Anda di halaman 1dari 22

SCABIES

I. PENDAHULUAN
Kebersihan perorangan adalah suatu tindakan yang dilakukan
untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk
kesejahteraan fisik dan psikis. Higiene yang rendah dapat menjadi faktor
penunjang berkembangnya penyakit kulit, seperti scabies.1
Scabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan
sensitifitas terhadap Sarcoptes scabiei var.hominis dan produknya.
Penularannya dapat terjadi secara langsung dan tidak langsung.
Penularan secara langsung dapat terjadi melalui berjabat tangan, tidur
bersama dan hubungan seksual, sedangkan penularan secara tidak
langsung (melalui benda), misalnya pakaian, handuk, sprei, bantal,
selimut dan lain-lain.2

Scabies sering diabaikan karena tidak mengancam jiwa sehingga


prioritas penanganannya rendah, namun sebenarnya skabies kronis dan
berat dapat menimbulkan komplikasi yang berbahaya. Skabies
menimbulkan ketidaknyamanan karena menimbulkan lesi yang sangat
gatal. Akibatnya, penderita sering menggaruk dan mengakibatkan infeksi
sekunder terutama oleh bakteri Group A Streptococci (GAS) serta
Staphylococcus aureus. Komplikasi akibat infestasi sekunder GAS dan S.
aureus sering terdapat pada anak-anak di negara berkembang.3

Faktor yang berperan pada tingginya prevalensi scabies di negara


berkembang terkait dengan kemiskinan yang diasosiasikan dengan
rendahnya tingkat kebersihan, akses air yang sulit, dan kepadatan hunian.
Tingginya kepadatan hunian dan interaksi atau kontak antar individu
memudahkan transmisi dan infestasi tungau scabies. Oleh karena itu,
prevalensi scabies yang tinggi umumnya ditemukan di lingkungan dengan
kepadatan penghuni dan kontak interpersonal tinggi seperti penjara, panti

1
asuhan, dan pondok pesantren.3 Maka dari itu sangat penting untuk
diketahui pencegahan, diagnosis dini, dan penanganan scabies.

II. EPIDEMIOLOGI
Scabies dapat ditemukan di semua negara dengan prevalensi yang
cukup bervariasi. Daerah endemik scabies adalah pada daerah tropis dan
subtropis seperti daerah Afrika, Mesir, Amerika Tengah, Amerika Selatan,
Amerika Utara, Australia, Kepulauan Karibia, India, dan juga Asia
Tenggara.4

Diperkirakan terdapat lebih dari 300 juta orang di seluruh dunia


terjangkit akan tungau scabies. Studi epidemiologi menunjukkan bahwa
prevalensi scabies cenderung tinggi pada usia anak-anak serta remaja
dan tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin, ras, usia, ataupun kondisi sosial-
ekonomi. Faktor primer yang berkontribusi adalah kemiskinan dan kondisi
hidup di daerah yang padat penduduk,sehingga penyakit ini lebih sering
terjadi di daerah perkotaan. Ada dugaan bahwa setiap siklus 30 tahun
terjadi epidemi scabies. Banyak faktor yang menunjang berkembangnya
penyakit ini, antara lain: higiene yang buruk, kesalahan dalam diagnosis,
dan perkembangan dermografik serta kondisi ekologi. Penyakit ini juga
dapat dimasukkan dalam P.H.S. (Penyakit akibat Hubungan Seksual). 1

Scabies yang parah, kadang-kadang dari jenis berkrusta, terjadi


pada pasien yang terinfeksi virus immuno-deficiency virus (HIV) . Pasien-
pasien ini, seperti orang lain dengan kondisi yang menyebabkan
kerusakan kekebalan tubuh sedang hingga parah (misalnya pasien
kanker, penerima transplantasi), seringkali tidak dapat memasang
Imuneresponse yang adekuat, memiliki ruam yang menyebar dan atipikal,
dan secara aromitis lebih menular daripada pasien dengan kudis classi-
cal. Mereka mungkin bertanggung jawab atas wabah penyakit di rumah
sakit dan fasilitas perawatan lainnya.16

2
III. ETIOPATOGENESIS

Tungau Sarcoptes scabiei termasuk filum Arthropoda , kelas


Arachnida, ordo Acarina, superfamili Sarcoptes. Pada manusia disebut
Sarcoptes scabiei var. hominis. Selain itu terdapat Sarcoptes scabiei yang
lain, misalnya pada kambing dan babi. Skabies pada anjing dapat juga
ditularkan kepada manusia dalam kondisi tertentu.5

Secara morfologi, Sarcoptes scabiei merupakan tungau kecil


berbentuk oval, memiliki punggung yang cembung, dan bagian perutnya
rata. Tungau ini translusen, berwarna putih kotor, dan tidak bermata.
Ukuran tungau betina berkisar antara 330450 mikron x 250-350 mikron,
sedangkan tungau jantan berukuran lebih kecil, yakni 200-240 mikron x
150-200 mikron. Bentuk dewasa mempunyai 4 pasang kaki, 2 pasang kaki
di depan sebagai alat untuk melekat dan 2 pasang kaki kedua pada betina
berakhir dengan rambut, sedangkan pada yang jantan pasangan kaki
ketiga berakhir dengan rambut dan keempat berakhir dengan alat
perekat.5

Gambar 1. Bentuk Dewasa Sarcoptes scabiei.


Sumber: http://kedokteran-kesehatan.blogspot.co.id/2014/11/referat-scabies-
epidemiologi-etiologi-patogenesis.html

Siklus hidup tungau ini adalah sebagai berikut: setelah kopulasi


(perkawinan) yang terjadi di atas kulit, tungau jantan akan mati, kadang-
kadang masih dapat hidup beberapa hari dalam terowongan yang digali

3
oleh yang betina . Tungau betina yang telah dibuahi menggali terowongan
dalam stratum korneum, dengan kecepatan 2-3 milimeter sehari dan sambil
meletakkan telurnya 2 atau 4 butir sehari sampai mencapai jumlah 40 atau
50. Bentuk betina yang telah dibuahi ini dapat hidup sebulan lamanya.
Telurnya akan menetas, biasanya dalam waktu 3-5 hari, dan menjadi larva
yang mempunyai 3 pasang kaki. Larva ini dapat tinggal dalam terowongan,
tetapi dapat juga keluar. Setelah 2 -3 hari larva akan menjadi nimfa yang
mempunyai 2 bentuk: jantan dan betina, dengan 4 pasang kaki. Seluruh
siklus hidupnya mulai dari telur sampai bentuk dewasa memerlukan waktu
antara 8-12 hari.5

Telur menetas menjadi larva dalam waktu 3-4 hari, kemudian larva
meninggalkan terowongan dan masuk ke dalam folikel rambut. Selanjutnya
larva berubah menjadi nimfa yang akan menjadi parasit dewasa. Tungau
skabies betina membuat liang di dalam epidermis dan meletakkan telur -
telurnya di dalam liang yang ditinggalkannya, sedangkan tungau skabies
jantan hanya mempunyai satu tugas dalam kehidupannya yaitu kawin
dengan tungau betina, dan setelah melaksanakan tugasnya masing-masing
mereka akan mati.6

Telur yang dihasilkan skabies betina ditularkan melalui kontak fisik


yang erat, misalnya melalui pakaian dalam, handuk, sprei, dan tempat tidur.
Skabies dapat hidup di luar kulit hanya 2-3 hari dan pada suhu kamar 21C
dengan kelembaban relative 40-80%.

Penyebaran terjadi dari satu orang ke orang lain melalui kontak


langsung atau dua orang yang menggunakan tempat tidur yang sama.
Penyebaran biasa terjadi di tempat-tempat yang padat populasi atau di
rumah-rumah yang dihuni oleh banyak orang.7

4
Gambar 2. Siklus Hidup Sarcoptes scabiei
Sumber:http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/40134/Capter%20II
.pdf?sequence=4

IV. GEJALA KLINIS

Gatal merupakan gejala utama sebelum gejala klinis lainnya


muncul. Rasa gatal biasanya hanya pada lesi tetapi pada skabies kronis
gatal dapat dirasakan pada seluruh tubuh. Pada orang dewasa, gejala
yang timbul antara lain ada rasa gatal yang hebat pada malam hari, ruam
kulit yang terjadi terutama di bagian sela- sela jari tangan, bawah ketiak,
pinggang, sekeliling siku, areola mammae, permukaan depan
pergelangan tangan, skrotum, dan penis. Pada bayi dan anak-anak, lesi
biasanya mengenai wajah, kepala, leher, kulit kepala, dan telapak kaki.
Pada bayi paling umum lesi yang nampak adalah papul-papul dan
vesikopustul. Vesikopustul sering nampak di kulit kepala dan telapak
kaki.1

Ada 4 tanda kardinal gejala skabies:

a. Pruritus nokturna, artinya gatal pada malam hari oleh karena aktivitas
tungau ini lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab dan panas.

5
b. Penyakit ini menyerang manusia secara kelompok, misalnya dalam
sebuah keluarga biasanya seluruh anggota keluarga terkena infeksi.
Begitu pula dalam sebuah perkampungan yang padat penduduknya ,
sebagian besar tetangga yang berdekatan akan diserang oleh tungau
tersebut. Dikenal juga keadaan hiposensitisasi, yaitu seluruh anggota
keluarganya terkena, tetapi tidak memberikan gejala. Penderita ini bersifat
sebagai pembawa (carrier).
c. Adanya terowongan (kunikulus) pada tempat-tempat predileksi yang
berwarna putih keabu -abuan, berbentuk garis lurus atau berkelok, rata -
rata panjang 1 cm, pada ujung terowongan itu ditemukan papul, atau
vesikel. Jika timbul infeksi sekunder ruam kulitnya menjadi polimorf
(pustul, ekskoriasi, dan lain-lain). Tempat predileksinya biasanya
merupakan tempat dengan stratum korneum yang tipis, yaitu: sela-sela
jari tangan, pergelangan tangan bagian volar, siku bagian luar, lipat ketiak
bagian depan, areola mammae (wanita), umbilicus, bokong, genitalia
eksterna (pria), dan perut bagian bawah. Pada bayi dapat menyerang
telapak tangan dan telapak kaki.8
d. Menemukan tungau, merupakan hal yang paling diagnostik. Dapat
ditemukan satu atau lebih stadium hidup tungau ini.1

Diagnosis dapat dibuat dengan menemukan 2 dari 4 tanda kardinal tersebut.

6
Gambar 3. Gejala Klinis Sarcoptes scabiei.
Sumber:
http://img.webmd.com/dtmcms/live/webmd/consumer_assets/site_images/articles/h
ealth_tools/scabies_overview_slideshow/princ_rm_photo_of_scabies_skin_infectio
n.jpg

Adanya periode asimptomatis bermanfaat sekali bagi parasit ini, karena


dengan demikian mereka mempunyai waktu untuk membangun dirinya sebelum
hospes membuat respons imunitas. Setelahnya, hidup mereka menjadi penuh
bahaya karena terowongannya akan digaruk dan tungau -tungau serta telur
mereka akan hancur. Dengan cara ini hospes mengendalikan populasi tungau
dan pada kebanyakan penderita skabies, rata-rata jumlah tungau betina dewasa
pada kulitnya tidak lebih dari selusin.9

Cara Penularannya adalah Kontak langsung (kontak kulit dengan kulit),


misalnya berjabat tangan, tidur bersama, dan berhubungan seksual dan kontak
tak langsung (melalui benda), misalnya pakaian, handuk, sprei, bantal, dan lain-
lain. Penularannya biasanya oleh Sarcoptes scabiei betina yang sudah dibuahi
atau kadang-kadang oleh bentuk larva. Dikenal pula Sarcoptes scabiei var.
animalis yang kadang-kadang dapat menulari manusia, terutama pada mereka
yang banyak memelihara binatang peliharaan, misalnya anjing. 1

Terkadang diagnosis sukar ditegakkan karena lesi kulit bisa bermacam


macam dan distribusi yang tidak khas. Berikut ini adalah beberapa bentuk
khusus skabies :

7
a. Skabies Nodula

Bentuk ini sangat jarang dijumpai, dan gambaran klinisnya adalah


nodul berpigmen yang terasa gatal dan dapat menetap selama berbulan
bulan. Untuk menyingkirkan dengan limfoma kulit diperlukan biopsi.
Bentuk ini juga terkadang mirip dengan beberapa dermatitis atopik kronik.
Apabila secara inspeksi, kerokan ataupun biopsi tidak jelas, maka
penegakan diagnosis dapat melalui adanya riwayat kontak dengan
penderita skabies atau lesi membaik dengan pengobatan khusus untuk
skabies.16

b. Skabies Incognito

Seperti semua bentuk dermatitis yang meradang, skabies juga


memberi respon terhadap pengobatan steroid baik topikal maupun
sistemik. Pada kebanyakan kasus, skabies menjadi lebih parah dan
diagnosis menjadi lebih mudah ditegakkan. Tetapi pada beberapa kasus,
pengobatan steroid membuat diagnosis menjadi kabur, dan perjalanan
penyakit menjadi kronis dan meluas yang sulit dibedakkan dengan bentuk
ekzema generalisata. Penderita ini tetap infeksius, sehingga diagnosis
dapat ditegakkan dengan adanya anggota keluarga lain terinfeksi.16

c. Skabies pada Bayi

Skabies pada bayi dapat menyebabkan gagal tumbuh atau menjadi


ekzema generalisata. Pada anak-anak sering kali timbul vesikel yang
menyebar dengan gambaran suatu impetigonesa atau infeksi sekunder
oleh staphylococcus aureus.16

d. Skabies pada Penderita HIV/AIDS

Gejala skabies tergantung pada respon imun, karena itu tidak


mengherankan bahwa sprektum klinis skabies penderita HIV berbeda

8
dengan penderita yang memiliki status imun yang normal. Meskipun data
yang ada masih sedikit, tampaknya ada kecenderungan bahwa penderita
dengan AIDS biasanya menderita skabies berkrusta. Selain itu, skabies
pada penderita AIDS biasanya juga menyerang wajah, kulit kepala dan
kuku, suatu hal yang jarang didapatkan pada penderita dengan status
imunologi yang normal. Gambaran yang tidak khas ini kadang
membingungkan dengan diagnosis penyakit Darier White atau keratosis
folikularis, suatu penyakit dengan lesi papular yang berskuama pada area
seboroik termasuk badan, wajah, kulit kepala dan daerah lipatan. Skabies
juga harus dipikirkan sebagai diagnosis banding pada penderita AIDS
dengan lesi psoriasiform, yang terkadang didiagnosis sebagai ekzema.
Pada penderita dengan status imunologi yang normal, pruritus merupakan
tanda khas, sedangkan pada beberapa penderita AIDS pruritus tidak
terlalu dirasakan. Hal ini mungkin disebabkan status imun yang berkurang
dan kondisi ini berhubungan dengan konversi penyakit menjadi bentuk lesi
berkrusta. Pada penderita AIDS, skabies berkrusta juga berhubungan
dengan bakteremia, yang biasanya disebabkan oleh S.aureus dan
streptococcus grup A, streptococcus grup lain bakteri gram negatif seperti
Enterobacter cloacae dan Pseudomonas aeruginosa. Sebagian ahli
menyarankan pemberian antibiotika profilaksis pada penderita AIDS
dengan skabies untuk mencegah sepsis sedangkan sebagian lain
menganjurkan tindakan yang tepat adalah dengan pengawasan yang
ketat.16

e. Skabies Sebagai Penyakit Menular Seksual (PMS)

Sudah tidak diragukan lagi bahwa skabies dapat menular selama


hubungan seksual, meski tidak semua penderita dewasa mendapatkan
penyakit tersebut secara hubungan seksual. Secara epidemiologi hal ini
berdampak sebagai berikut. Pertama, IMS adalah penyakit akibat gaya
hidup, sehingga penderita dengan suatu IMS secara bermakna memiliki
risiko tinggi untuk menderita infeksi IMS lain, oleh karena itu, penderita

9
dengan skabies seharusnya dievaluasi juga untuk penyakit IMS lain
(misalnya Chlamydia atau HIV). Kedua, khususnya pada pasangan
seksual hendaknya dievaluasi dan diobati bila perlu, karena terdapat
kontak yang erat.16

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnosis pasti skabies ditegakkan dengan ditemukannya tungau
melalui pemeriksaan mikroskop, yang dapat dilakukan dengan beberapa
cara, antara lain:

a. Kerokan kulit. Kerokan kulit dilakukan dengan mengangkat atap

terowongan atau papula menggunakan skalpel nomor 15. Kerokan

diletakkan pada kaca objek, diberi minyak mineral atau minyak imersi,
diberi kaca penutup, dan dengan mikroskop pembesaran 20x atau

100x dapat dilihat tungau, telur, atau fecal pellet.3

b. Mengambil tungau dengan jarum. Jarum dimasukkan ke dalam

terowongan pada bagian yang gelap (kecuali pada orang kulit hitam

pada titik yang putih) dan digerakkan tangensial. Tungau akan

memegang ujung jarum dan dapat diangkat keluar.

c. Epidermal shave biopsy. Menemukan terowongan atau papul yang

dicurigai antara ibu jari dan jari telunjuk, dengan hati-hati diiris

puncak lesi dengan skalpel nomor 15 yang dilakukan sejajar dengan


permukaan kulit. Biopsi dilakukan sangat superfisial sehingga tidak
terjadi perdarahan atau tidak perlu anestesi. Spesimen diletakkan pada
gelas objek lalu ditetesi minyak mineral dan diperiksa dengan

mikroskop.6

10
d. Kuretase terowongan. Kuretase superfisial mengikuti sumbu

panjang terowongan atau puncak papula kemudian kerokan

diperiksa dengan mikroskop, setelah diletakkan di gelas objek atau

ditetesi minyak mineral.

e. Tes tinta Burowi. Papul skabies dilapisi dengan tinta pena, ke mudia

segera dihapus dengan alkohol, maka jejak terowongan akan terlihat

sebagai garis yang karakteristik, berkelok-kelok, karena ada tinta yang


masuk. Tes ini tidak sakit dan dapat dikerjakan pada anak dan pada

penderita yang non-koperatif.

f. Tetrasiklin topikal. Larutan tetrasiklin dioleskan pada terowongan

yang dicurigai. Setelah dikeringkan selama 5 menit, hapus larutan

tersebut dengan isopropilalkohol. Tetrasiklin akan berpenetrasi ke


dalam melalui kerusakan stratum korneum dan terowongan akan
tampak dengan penyinaran lampu Wood, sebagai garis linier berwarna

kuning kehijauan sehingga tungau dapat ditemukan.

g. Apusan kulit. Kulit dibersihkan dengan eter, kemudian diletakkan

selotip pada lesi dan diangkat dengan gerakan cepat. Selotip

kemudian diletakk an di atas gelas objek (enam buah dari lesi yang

sama pada satu gelas objek) dan diperiksa dengan mikroskop.6

h. Biopsi plong (punch biopsy). Biopsi berguna pada lesi yang atipik,

untuk melihat adanya tungau atau telur. Yang perlu diperhatikan

11
adalah bahwa j umlah tungau hidup pada penderita dewasa hanya
sekitar 12, sehingga biopsi berguna bila diambil dari lesi yang
meradang. Secara umum digunakan punch biopsy, tetapi epidermal
shave biopsy adalah lebih sederhana dan biasanya dilakukan tanpa
anestetik lokal pada penderita yang tidak kooperatif.

VI. DIAGNOSIS
Diagnosis scabies sebagian besar tergantung pada riwayat dan
pemeriksaan pasien, serta riwayat keluarga dan kontak dekat. Manifestasi
klasik dari scabies meliputi gatal-gatal umum dan intens. Pruritus lebih
buruk di malam hari. Lesi kebanyakan terletak di jaring jari, di permukaan
fleksor pergelangan tangan, di siku, di aksila, di bokong dan alat kelamin,
dan pada payudara wanita. Papula pruritus inflamasi hadir di sebagian
besar lokasi.10,11

VII. DIFFERENSIAL DIAGNOSIS


Ada pendapat yang mengatakan penyakit scabies ini merupakan
the great immitator karena dapat menyerupai banyak penyakit kulit
dengan keluhan gatal. Sebagai diagnosis banding adalah :

a. Pedikulosis corporis

Pedikulosis corporis adalah infeksi kulit disebabkan oleh


pediculus humanus var.corporis. penyakit ini biasanya menyerang
orang dewasa yang buruk, misalnya penggembala, disebabkan
mereka jarang mandi atau jarang mengganti pakaian. Maka itu
penyakit ini sering disebut penyakit vagabound. Hal ini disebabkan
kutu tidak melekat pada kulit, tetapi pada serat kapas di sela-sela
lipatan pakaian dan hanya transien ke kulit untuk menghisap darah.

12
Penyebaran penyakit ini bersifat kosmopolit, lebih sering daerah
beriklim dingin karena orang memakai baju tebal serta jarang dicuci.
Cara penularannya adalah Melalui pakaian dan Pada orang-orang
yang dadanya berambut terminal kutu ini dapat melekat pada rambut
tersebut dan dapat ditularkan melalui kontak langsung.12

Umumnya hanya ditemukan kelainan berupa bekas-bekas


garukan pada badan, karena gatal baru berkurang dengan garukan
yang lebih intensif. Tempat predileksinya biasanya di dada. Kadang-
kadang timbul infeksi sekunder dengan pembesaran kelenjar getah
bening regional. 12

Gambar 4. Pedukilosis korporis


Sumber: http://newssehat.com/pedikulosis-korporis/

b. Prurigo
Prurigo adalah penyakit kulit kronik dimulai sejak bayi atau
anak. Kelainan kulit terdiri atas papul-papul miliar berbentuk
kubah sangat gatal, lebih mudah diraba daripada dilihat,
terutama didaerah ekstremitas bagian ekstensor. Penyakit ini
sering pada keadaan soasialekonomi yang rendah dan hygine

13
yang buruk. Umumnya terjadi pada anak. Penyebabnya yang
pasti belum diketahui. Umumnya ada saudara yang juga
menderita penyakit ini, karena itu ada yang menganggap
penyakit ini herediter. Didiagnosis banding dengan scabies
dengan perbedaan pada penyakit scabies gatal terutama pada
malam hari, orang-orang yang berdekatan juga terkena.
Kelainan kulit berupa banyak vesikel dan papul pada lipatan-
lipatan kulit.15

Gambar 5. Prurigo
Sumber: https://image.slidesharecdn.com/prurigohebra-130528123403-phpapp01/95/prurigo-hebra-13-
638.jpg?cb=1369744493

VIII. PENATALAKSANAAN
Merupakan hal yang penting untuk menerangkan kepada pasien
dengan sejelas-jelasnya tentang bagaimana cara memakai obat-obatan
yang digunakan, dan lebih baik lagi bila disertai penjelasan tertulis. Semua
anggota keluarga dan orang-orang yang secara fisik berhubungan erat
dengan pasien, hendaknya secara simultan diobati juga. Obat-obat topikal
harus dioleskan mulai daerah leher sampai jari kaki, dan pasien diingatkan
untuk tidak membasuh tangannya sesudah melakukan pengobatan. 14

Pada bayi, orang-orang lanjut usia, dan orang-orang dengan


immunokompromasi, terowongan tungau dapat terjadi pada kepala dan

14
leher, sehingga pemakaian obat perlu diperluas pada daerah itu. Sesudah
pengobatan, rasa gatal tidak dapat segera hilang, tetapi pelan-pelan akan
terjadi perbaikan dalam waktu 2-3 minggu, saat epidermis superfisial yang
mengandung tungau alergenik terkelupas.14

Syarat obat yang ideal adalah harus efektif terhadap semua


stadium tungau, harus tidak menimbulkan iritasi dan tidak toksik, tidak
berbau atau kotor serta tidak merusak atau mewarnai pakaian, mudah
diperoleh dan harganya murah. Beberapa macam obat yang dapat dipakai
pada pengobatan skabies yaitu:

a. Terapi Sistemik

1. Antihistamin klasik sedatif ringan untuk mengurangi gatal,


misalnya klorfeniramin maleat 0.34 mg/kg BB 3 x sehari.
2. Antibiotik bila ditemukan infeksi sekunder misalnya ampisilin,
amoksisilin,eritromisin.
b. Terapi Topikal

1. Permetrin.

Dalam bentuk krim 5% sebagai dosis tunggal.


Penggunaannya selama 8-12 jam dan kemudian dicuci bersih-
bersih. Obat ini dilaporkan efektif untuk skabies. Pengobatan
pada skabies krustosa sama dengan skabies klasik, hanya perlu
ditambahkan salep keratolitik. Bila didapatkan infeksi sekunder
perlu diberikan antibiotik sistemik. Tidak dianjurkan pa da bayi di
bawah umur 2 bulan.1,15

2. Emulsi Benzil-benzoas (20-25%).

Efektif terhadap semua stadium, diberikan setiap malam


selama tiga hari. Obat ini sulit diperoleh, sering memberi iritasi,
dan kadang - kadang makin gatal setelah dipakai.15

15
3. Sulfur.

Dalam bentuk parafin lunak, sulfur 10% secara umum


aman dan efektif digunakan. Dalam konsentrasi 2,5% dapat
digunakan pada bayi. Obat ini digunakan pada malam hari
selama 3 malam. Kekurangannya yang lain ialah berbau dan
mengotori pakaian dan kadang-kadang menimbulkan iritasi.

4. Monosulfiran.

Tersedia dalam bentuk lotion 25%, yang sebelum


digunakan harus ditambah 2-3 bagian dari air dan digunakan
selama 2-3 hari. Selama pengobatan, penderita tidak boleh
minum alkohol karena dapat menyebabkan keringat yang
berlebihan dan takikardi.

5. Gama Benzena Heksa Klorida (gameksan).

Kadarnya 1% dalam krim atau losio, termasuk obat


pilihan karena efektif terhadap semua stadium, mudah
digunakan, dan jarang memberi iritasi. Obat ini tidak dianjurkan
pada anak di bawah 6 tahun dan wanita hamil karena toksik
terhadap susunan saraf pusat. Pemberian cukup sekali, kecuali
jika masih ada gejala diulangi seminggu kemudian.15

6. Krotamiton.

Krotamiton 10 % dalam krim atau losio juga merupakan obat


pilihan, mempunyai dua efek sebagai antiskabies dan antigatal; harus
dijauhkan dari mata, mulut, dan uretra.1,15

16
c. Terapi untuk ibu hamil dan bayi

1. Sulfur
Dalam bentuk parafin lunak, padat dan berwarna, dengan
konsentrasi 10 %, bila kontak dengan jaringan hidup, preparat
ini akan membentuk hidrogen sulfide dan pentathionic acid yang
bersifat germicid dan fungicid. Secara umum sulfur bersifat
aman dan efektif bila digunakan dalam konsentrasi 2,5 % pada
pengobatan skabies pada bayi. Obat ini digunakan setiap
malam hari selama 3 malam, lalu dicuci bersih setelah 24 jam
dan bisa diulangi setelah 1 minggu kemudian. Obat ini aman
digunakan pada bayi, anak-anak, wanita hamil dan menyusui.
Kerugian pemakaian obat ini adalah baunya yang tidak enak,
dapat mewarnai pakaian dan kadang-kadang menimbulkan
iritasi.
2. Crotamition
Crotamiton krim ini diketahui tidak mempunyai efekifitas yang
tinggi terhadap skabies,meskipun demikian obat ini aman
digunakan oleh wanita hamil, bayi dan anak kecil. Cara
penggunaanya yaitu dengan mengoleskannya pada leher lalu
dilanjutkan ke tubuh bagian bawah. Setelah pemakaian kulit
dicuci bersih dan sebaiknya obat ini digunakan selama 5 hari
berturut-turut untuk memperoleh hasil pengobatan yang lebih
baik dibanding hanya 2 hari pemakaian. Efek samping dari obat
ini ialah iritasi jika digunakan dalam waktu yang cukup lama.

IX. PROGNOSIS
Dengan memperhatikan pemilihan dan cara pemakaian obat, serta
syarat pengobatan dan menghilangkan faktor predisposisi (antara lain
higiene), maka penyakit ini dapat diberantas dan memberi prognosis yang
baik.1

17
X. PENCEGAHAN

Pencegahan skabies pada manusia dapat dilakukan dengan cara


menghindari kontak langsung dengan penderita dan mencegah
penggunaan barang-barang penderita secara bersama-sama. Pakaian,
handuk, dan barang- barang lainnya yang pernah digunakan oleh
penderita harus diisolasi dan dicuci dengan air panas. Pakaian dan
barang-barang asal kain dianjurkan untuk disetrika sebelum digunakan.
Sprei penderita harus sering diganti dengan yang baru maksimal tiga hari
sekali. Benda- benda yang tidak dapat dicuci dengan air (bantal, guling,
selimut) disarankan dimasukkan kedalam kantung plastik selama tujuh
hari, selanjutnya dicuci kering atau dijemur di bawah sinar matahari.
Kebersihan tubuh dan lingkungan termasuk sanitasi serta pola hidup yang
sehat akan mempercepat kesembuhan dan memutus siklus hidup
15
Sarcoptes scabies.

XI. KOMPLIKASI

Skabies Norwegia atau Skabies Berkrusta

Karateristik skabies berkrusta adalah lesi berskuama tebal yang penuh


dengan infeksi tungau. Istilah skabies norwegia merujuk pada negara
yang pertama mendeskripsikan kelainan ini dan sebaiknya diganti dengan
istilah skabies berkrusta. Penyakit ini dikaitkan dengan penderita yang
memiliki defek imunologi misalnya usia tua, debilitas, dan disabilitas
pertumbuhan, contohnya seperti sindrom Down, juga pada penderita yang
mendapat terapi imunosupresan. Tidak seperti skabies umumnya,
penyakit ini dapat menular melalui kontak biasa. Masih belum jelas
apakah hal ini disebabkan jumlah tungau yang sangat banyak atau karena
tungau yang berbeda. Terapi yang diberikan selain skabisid adalah terapi
suportif dan antibiotika.15

18
Gambar 5. Scabies Norwegia
Sumber: http://scabiespics.com/large/42/Norwegian-Scabies-Pictures-4.jpg

XII. KESIMPULAN
Scabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan
sensitifitas terhadap Sarcoptes scabiei var.hominis. Pada orang dewasa,
gejala yang timbul antara lain ada rasa gatal yang hebat pada malam hari,
ruam kulit yang terjadi terutama di bagian sela- sela jari tangan, bawah
ketiak, pinggang, sekeliling siku, areola mammae, permukaan depan
pergelangan tangan, skrotum, dan penis. Pada bayi dan anak-anak, lesi
biasanya mengenai wajah, kepala, leher, kulit kepala, dan telapak kaki.

Studi epidemiologi menunjukkan bahwa prevalensi scabies


cenderung tinggi pada usia anak-anak serta remaja dan tidak dipengaruhi
oleh jenis kelamin, ras, usia, ataupun kondisi sosial-ekonomi. Faktor
primer yang berkontribusi adalah kemiskinan dan kondisi hidup di daerah
yang padat penduduk,sehingga penyakit ini lebih sering terjadi di daerah
perkotaan. Ada dugaan bahwa setiap siklus 30 tahun terjadi epidemi
scabies. Banyak faktor yang menunjang berkembangnya penyakit ini,
antara lain: higiene yang buruk, kesalahan dalam diagnosis, dan
perkembangan dermografik serta kondisi ekologi. Penyakit ini juga dapat
dimasukkan dalam P.H.S. (Penyakit akibat Hubungan Seksual).

Tungau Sarcoptes scabiei termasuk filum Arthropoda , kelas


Arachnida, ordo Acarina, superfamili Sarcoptes. Pada manusia disebut
Sarcoptes scabiei var. hominis.

19
Cara Penularannya adalah Kontak langsung (kontak kulit dengan
kulit), misalnya berjabat tangan, tidur bersama, dan berhubungan seksual
dan kontak tak langsung (melalui benda), misalnya pakaian, handuk,
sprei, bantal, dan lain-lain. Penularannya biasanya oleh Sarcoptes scabiei
betina yang sudah dibuahi atau kadang-kadang oleh bentuk larva. Dikenal
pula Sarcoptes scabiei var. animalis yang kadang-kadang dapat menulari
manusia, terutama pada mereka yang banyak memelihara binatang
peliharaan, misalnya anjing.

Penatalaksanaan scabies adalah harus efektif terhadap semua


stadium tungau, harus tidak menimbulkan iritasi dan tidak toksik, tidak
berbau atau kotor serta tidak merusak atau mewarnai pakaian, mudah
diperoleh dan harganya murah. Beberapa macam obat yang dapat dipakai
pada pengobatan skabies yaitu, permetrin, Eulsi Benzil-benzoas (20-
25%), sulfur, Gama Benzena Heksa Klorida (gameksan), Krotamiton.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda, A. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Keenam. Cetakan


ketiga. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2010.
2. Muafidah N, Santoso I, Darmiah. The Relation of Personal Hygiene
with The Incidence of Scabies at Al Falah Male Boarding School
Students Sub-district of Liang Anggang. 2016. April Vol.1(1).
3. Ratnasari A F, Sungkar S. Prevalensi Skabies dan Faktor-faktor yang
Berhubungan di Pesantren X, Jakarta Timur. 2014. April Vol. 2(No. 1).
4. Rodina MA. The Epidemiology of Scabies in Gaza Governorates.
Journal of Al Azhar University. 2007;9:13-20.

5. Gandahusada S,ilahude H, dan Pribadi W. Parasitologi Kedokteran.


Edisi 3. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universita Indonesia. 2004;264-
266.

6. Sutejo I R ,Rosyidi V A, Zaelany AI. Prevalensi, Karakteristik dan


Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Penyakit Skabies di
Pesantren Nurul Qarnain Kabupaten Jember. 2017. Jan vol. 5 (no. 1).

7. Prayogi S, Kurniawan B. Pengaruh Personal Hygiene dalam


Pencegahan Penyakit Skabies. 2016. Des Vol. 5 (No.5).
8. Handoko R P. Skabies dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin (Edisi
keenam), Badan Penerbit FKUI, 2010. Jakarta, 122-125.

9. Baur B., Sarkar J.,Manna N., & Bandyopadhyay L. (2013). The Pattern

21
of Dermatological Disorders among Patients Attending the Skin O.P.D
of A Tertiary Care Hospital in Kolkata, India. Journal of Dental and
Medical Sciences 3, 1-6.

10. Chosidow O,M D, P H. Scabies. The New England Journal of


Medicine 2006; 354:1718-1727.
11. Shelley FW, Currie BJ. Problems in Diagnosing Scabies, a Global
Disease in Human and Animal Populations. CMR. 2007;268-79.

12. Administrator. 2016. Pedikulosis Korporis. Sumber URL :


http://newssehat.com/pedikulosis-korporis/ (diakses tanggal 8 Novembe
2016)
13. Baker F. Scabies management. Paediatr Child Health. 2010;6:775-7.

14. Mansyur, M, Wibowo, A, Maria,A., Munandar, Abdillah, A.,


Ramadora,A. F. 2007. Pendekatan Kedokteran Keluarga pada
Penatalaksanaan Skabies Anak Usia Pra-Sekolah. Majalah
Kedokteran Indonesia, Vol. 57, No. 2, Februari 2007:63-67.

15. Murtiastutik D. Buku ajar infeksi menular seksual. Surabaya : Airlangga


unuversity press, 2008.h.205-6.

16. L. Pagani,G. Ratti,P. Viale. Ivermectin alone or in combination with


benzyl benzoate in the treatment of human immunodeficiency virus-
associated scabies. May 2002.

22

Anda mungkin juga menyukai