A. Litigasi
Dr. Frans Hendra Winarta, S.H., M.H. dalam bukunya Hukum
Penyelesaian Sengketa (hal. 1-2) mengatakan bahwa secara
konvensional, penyelesaian sengketa dalam dunia bisnis, seperti dalam
perdagangan, perbankan, proyek pertambangan, minyak dan gas,
energi, infrastruktur, dan sebagainya dilakukan melalui proses litigasi.
Dalam proses litigasi menempatkan para pihak saling berlawanan satu
sama lain, selain itu penyelesaian sengketa secara litigasi merupakan
sarana akhir (ultimum remidium) setelah alternatif penyelesaian sengketa
lain tidak membuahkan hasil.
Hal serupa juga dikatakan oleh Rachmadi Usman, S.H., M.H. dalam
bukunya Mediasi di Pengadilan (hal. 8), bahwa selain melalui pengadilan
(litigasi), penyelesaian sengketa juga dapat diselesaikan di luar
pengadilan (non litigasi), yang lazim dinamakan dengan Alternative
Dispute Resolution (ADR) atau Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Dari hal-hal di atas dapat kita ketahui bahwa litigasi itu adalah
penyelesaian sengketa antara para pihak yang dilakukan di muka
pengadilan.
B. Makna Forensik
Audit forensik merupakan audit gabungan keahlian yang mencakup
keahlian akuntansi, auditing maupun bidang hukum/perundangan
dengan harapan bahwa hasil audit tersebut akan dapat digunakan
untuk mendukung proses hukum di pengadilan maupun kebutuhan
hukum lainnya. Audit forensik dilakukan dalam rangka untuk
memberikan dukungan keahlian dalam proses legal pemberian
keterangan ahli dalam proses litigasi/litigation. Audit forensik yang
sebelumnya dikenal dengan akuntansi forensik mengandung makna
antara lain yang berkenaan dengan pengadilan. Selain itu, juga
sesuatu yang berkenaan dengan penerapan pengetahuan ilmiah pada
permasalahan hukum.
C. Kecurangan Terkini
Frauder akan berusaha mengamankan hasil kejahatannya antara lain
dengan merekayasa, menyamarkan dan
menutupi/menyembunyikannya dari penegak hukum. Namun
demikian, auditor forensik harus menelusuri, menelisik jejak hasil fraud
yang sudah disamarkan atau dimanipulasikan dalam bentuk asset
lainnya sehingga diperoleh alat bukti yang handal dan memadai dalam
rangka proses litigasi. Upaya kamuflase hasil tindak pidana kecurangan
bisa melalui money laundering maupun penggelapan aset.
Dapat dikatakan bahwa audit forensik merupakan suatu metodologi
dan pendekatan khusus dalam menilisik kecurangan (fraud), atau audit
yang bertujuan untuk membuktikan ada atau tidaknya fraud yang
dapat digunakan dalam proses litigasi.
D. Audit investigasi-forensik
Akuntansi forensik dibagi ke dalam dua bagian: jasa penyelidikan
(investigative services) dan jasa litigasi (litigation services). Jenis layanan
pertama mengarahkan pemeriksa penipuan atau auditor penipuan,
yang mana mereka menguasai pengetahuan tentang akuntansi
mendeteksi, mencegah, dan mengendalikan penipuan, dan
misinterpretasi. Jenis layanan kedua merepresentasikan kesaksian dari
seorang pemeriksa penipuan dan jasa-jasa akuntansi forensik yang
ditawarkan untuk memecahkan isu-isu valuasi, seperti yang dialami
dalam kasus perceraian. Sehingga, tim audit harus menjalani pelatihan
dan diberitahu tentang pentingnya prosedur akuntansi forensik di
dalam praktek audit dan kebutuhan akan adanya spesialis forensik
untuk membantu memecahkan masalah.
Dalam audit forensik ini secara normatif auditor dibebani tuntutan
untuk dapat memperoleh bukti dan alat bukti yang dapat mengungkap
adanya tindak pidana fraud. Selain itu, alat bukti hasil audit forensik
dimaksud untuk digunakan oleh aparat penegak hukum (APH) untuk
dikembangkan menjadi alat bukti yang sesuai dengan yang tercantum
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) seperti
tersebut pada uraian diatas dalam rangka mendukung litigasi peradilan.
Alat bukti yang cukup dikembangkan tersebut selanjutnya dilakukan
analisis yang merupakan tanggungjawab auditor dalam upaya
pembuktian sampai menemukan alat bukti sesuai ketentuan,
sedangkan penetapan terjadinya fraud maupun salah tidaknya
seseorang merupakan wewenang APH, dalam hal ini alat bukti dan
keyakinan hakim pengadilan.
Untuk melaksanakan audit forensik maka sangatlah wajar bila
seorang auditor harus memiliki talenta yang lebih dan memiliki
kompetensi yang spesial. Berkaitan dengan hal tersebut auditor
diwajibkan atau harus memiliki kompetensi akademis dan empiris
sebagai bukti proses litigasi atau memberikan keterangan ahli di
pengadilan saat proses hukum berjalan. Kompetensi auditor forensik
maupun akuntan forensik tersebut sangat berkait erat dengan
ketersediaan kemampuan audit atas permasalahan yang spesifik antara
lain audit investigasi, kemampuan menghitung terjadinya kerugian
keuangan Negara, kemampuan mengendus dan mencegah kejahatan
pencucian uang, kemampuan penelusuran asset Negara, kemampuan
mengidentifikasi, menyikapi terjadinya risiko penyimpangan atau fraud,
kemampuan untuk memahami terjadinya penyimpangan transaksi
keuangan dan dalam pengadaan barang-jasa pemerintah dan
kemampuan lain yang mendukung dan relevan.
Standar kompetensi seorang auditor meliputi bidang kemampuan
untuk mencegah dan mendeteksi fraud (kecurangan), kemampuan
melaksanakan audit forensik, kemampuan memberikan pernyataan
secara keahlian dan kemampuan melaksanakan penghitungan kerugian
keuangan dan penelusuran asset. Kadar pemahaman dan kemampuan
keahlian tersebut utamanya terhadap penguasaan bidang-bidang
dimaksud diatas, dalam upaya untuk mempersiapkan pelaksanaan
tugas sebagai pemberi keterangan ahli (litigator) saat penanganan kasus
tersebut masuk proses hukum di pengadilan Tindak Pidana Korupsi
(TIPIKOR).
Selain hal tersebut, juga berkaitan erat dengan meningkatkan
kemampuan dan ketrampilan dalam menggali informasi penting melalui
komunikasi dan wawancara baik pada saat pelaksanaan audit maupun
saat memberikan keterangan ahli di pengadilan saat proses hukum
litigasi (litigation). Auditor dapat menghadapi tuntutan hukum dari
pihak yang merasa dirugikan akibat kesalahan auditor yang mengambil
simpulan dari fakta-fakta yang tidak lengkap. Sehingga auditor dalam
melaksanakan tugasnya harus berpegang teguh pada standar audit dan
kode etik, serta memperhatikan kerangka hukum formal yang berlaku,
sehingga tidak menjadi boomerang dikemudian hari.
Seberapa jauh kompatibilitas dan keandalan kita untuk melakukan
audit forensik dalam rangka mendapatkan alat bukti sesuai ketentuan
hukum yang berlaku dalam membedah fraud dan proses litigasi,
mengingat domain kita merupakan aparat pengawasan internal
kementerian yang notabene merupakan mata dan telinga dari
manajemen puncak. Tentunya kondisi demikian tidak dapat lepas dari
etika organisasi yaitu kebijakan dan keputusan manajemen puncak
sangat menentukan langkah selanjutnya. Selain itu, perlu pemahaman
atas kewenangan auditor hanya untuk mendapatkan bukti audit sesuai
ketentuan, dan yang sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku,
sedangkan penetapan benar-tidaknya seseorang bersalah dan
melanggar hukum acara merupakan wewenang aparat penegak hukum
(APH). Harapan yang besar terhampar kedepan dengan dilakukannya
audit forensik agar hasilnya dapat memberikan kunci masuk yang tepat
dalam rangka dapat membedah fraud secara legal dengan alat bukti
yang dapat diterima sistem hukum pada litigasi di lembaga peradilan.
E. Risiko Litigasi
Risiko litigasi diartikan sebagai resiko yang melekat pada
perusahaanyang memungkinkan terjadinya ancaman litigasi oleh
pihak-pihak yangberkepentingan dengan perusahaan yang merasa
dirugikan. Pihak-pihakyang berpentingan tersebut meliputi kreditor,
investor, dan regulator.Risiko litigasi dapat diukur dari berbagai
indikator keuangan yangmenjadi faktor penentu kemungkinan
terjadinya litigasi. Akhir-akhir ini,risiko litigasi terhadap perusahaan
karena kesalahan pelaporan keuangansering terjadi pada perusahaan-
perusahaan go public (Juanda, 2008).Bahkan, intensitas risiko
litigasi semakin tinggi ketika penegakan hukum(law enforcement)
dalam suatu lingkungan pasar modal dijalankandengan baik.
Tuntutan litigasi dapat timbul dari pihak kreditor, investor atau
pihaklain yang berkepentingan dengan perusahaan. Investor bisa
bertindaksebagai penuntut bila manajer memberikan laporan keuangan
yang tidakrelevan, yang berakibat bisa merugikan di pihak investor.
Laporankeuangan merupakan dasar pijakan utama untuk
melakukan tuntutanhukum. Beberapa kesalahan dalam pelaporan
karena ketidakpatuhanterhadap standar akuntansi dan penundaan
informasi negatif akan mudahdijadikan bahan tuntutan (Juanda, 2008).
Francis et al. (1994), Johnson et al. (2001), Rogers dan
Stocken(2005) dalam Krishnan dan Lee (2009) yang meneliti faktor
determinanpemicu litigasi menyimpulkan bahwa kapitalisasi pasar, beta
saham danperputaran volume saham secara positif berhubungan
dengan probabilitasterjadinya tuntutan hukum.
Dikarenakan luasnya konsekuensi dari resiko tersebut,
makaperusahaan dituntut seminimal mungkin mengurangi peluang
resikolitigasi. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah
denganmeningkatkan fungsi monitoring dan pengendalian perusahaan
melaluikomite audit.
F. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Litigasi Auditor
Menurut Mayangsari (2005) faktor-faktor yang mempengaruhi litigasi
auditor dipengaruhi oleh 3 hal, yaitu: (i) Karakteristik auditee atau yang
biasa disebut inherent risk, (ii) Karaketristik auditor dan (iii)
Karakteristik hubungan auditee-auditor. Argumen bahwa faktor diduga
mempengaruhi litigasi auditor dapat dijelaskan dengan teori agensi
untuk karakteristik auditee. Sedangkan faktor kompetensi serta
independensi yang melekat pada profesi auditor diduga kuat
mempengaruhi litigasi auditor
G. Akuntansi forensik dan Penerapan Hukum
Sebenarnya akuntan dan akuntansi forensik tidak sepenuhnya
berkaitan dengan pengadilan saja. Istilah pengadilan memberikan kesan
bahwa akuntansi forensik semata-mata berperkara di pengadilan, dan
istilah lain ini disebut litigasi (litigation). Di samping proses litigasi ada
proses penyelesaian sengketa dimana jasa akuntan forensik juga dapat
dipakai. Kegiatan ini bersifat non litigasi. Misalnya penyelesaian
sengketa lewat arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa atau
alternative dispute resolution.
H. Akuntan Publik Berpotensi Menjadi Target Litigasi
Profesi akuntan beberapa tahun terakhir acapkali mendapat sorotan
tajam terkait dengan berbagai skandal koorporasi besar yang
melibatkan akuntan publik. Akuntan public yang nakal selama
ini hanya dikenakan sanksi administratif maksimal pencabutan ijin
praktik. Namun, di masa mendatang akuntan publik tidak bias lepas
dari tekanan arus global dan sangat berpotensi menjadi target litigasi
atau peradilan.
Salah satu penyebab utama terjadinya litigasi adalah adanya
kesenjangan antara apa yang diekspektasi oleh publik dari sebuah
pekerjaan audit dengan apa yang diekspektasikan oleh audit itu sendiri.
Publik, khususnya investor, kreditor, dan pemerintah memeiliki
ekspektasi yang sangat besar dan mengharapkan informasi yang
terdapat dalam laporan keuangan dalam proses pengambilan keputusan
ekonomik.
A. SISTEM PENGADILAN DI AS
Berikut ini susunan lembaga peradilan di negara-negara bagian AS:
a. Lower Level Trial Court
Menangani kasus yang sifatnya ringan dan pada proses
pendahuluan atau jika hukum perdata nilainya tidak sampai US
$10.000. Jenis kasus yang ditangani antara lain adalah:
1. Terkait perumahan dan kepemilikan tanah.
2. Terkait klaim kecil
3. Terkait dengan pengesahan hakim
4. Terkait dengan warisan
5. Kenakalan remaja, dll
b. Higher Level Trial Court
Menangani kasus yang sama seperti Lower Level Trial Court, hanya
saja yang membedakan dengan pengadilan sebelumnya adalah
tingkat keseriusan dari kejahatan dan nilai dari kasus tersebut di
atas US $10.000. Pengadilan ini dipimpin oleh hakim panel sejumlah
dua atau tiga orang hakim.
c. Pengadilan Banding
Penggugat atau tergugat yang tidak puas atas putusan pengadilan
dapat mengajukan banding kepada pengadilan banding atau
pengadilan tinjauan tingkat menengah. Jika masih ada upaya
banding dari pihak terkait maka kasus tersebut dapat di bawa ke
pengadilan tertinggi negara bagian. Pada tingkatan terakkhir
pengadilan banding ini kasus ditinjau kembali dan keputusan dari
pengadilan tertinggi ini bersifat final. Pengadilan tertinggi ini
memiliki kekuasaan tidak terbatas untuk menentukan apakah
tinjauan kembali tersebut akan dilakukan atau tidak.
Pengadilan Federal hanya menangani kasus di mana Konstitusi AS
memberikan otorisasi. Pengadilan federal baru menangani kasus
kecurangan apabila sudah melibatkan hukum federal dan melibatkan
beberapa negara bagian. Beberapa contoh dari pengadilan Federal
adalah Pengadilan Pajak dan Pengadilan Kebangkrutan untuk menguji
kebangkrutan. Pengadilan ini melakukan uji coba kasus secara perdata
maupun pidana di bawah payung hukum federal.
Jika penggugat dan tergugat tidak puas dengan hasil keputusan
pengadilan tersebut maka mereka dapat mengajukan banding pada
salah satu dari 12 kontak pengadilan banding. Jika masih keberatan
dengan putusan tersebut, peninjauan kembali dapat diajukan ke
pengadilan tinggi AS.
Ketika seseorang melakukan kecurangan ataupun kejahatan maka
mereka dapat dituntut secara pidana maupun perdata atau keduanya.
Perusahaan yang menjadi korban kecurangan setelah mendapat bukti-
bukti kasusnya dapat mengambil langkah sebagai berikut:
a. Mengambil Tindakan Hukum
1. Tindakan Hukum Secara Pidana
2. Tindakan Hukum Secara Perdata
3. Tindakan Hukum Secara Pidana dan Perdata
b. Tidak Mengambil Tindakan Hukum
Namun demikian perusahaan biasanya memilih untuk tidak
melanjutkan kasus tersebut ke ranah hukum karena akan
menyebabkan tambahan biaya dan memberikan citra buruk ke
publik. Oleh karena itu selain dengan cara memecat pegawainya,
perusahaan biasanya melakukan Fidelity Bonding. Fidelity Bonding
adalah jaminan dari suatu perusahaan kepada pengusaha/pemilik
perusahaan atas kemungkinan adanya kerugian yang disebabkan
oleh kecurangan yang dilakukan oleh karyawan yang dimaksud.
B. TINJAUAN PROSES PENGADILAN SECARA PERDATA
Setiap kasus perdata melibatkan proses sebagai berikut:
a. Investigasi dan pengajuan gugatan
Proses ini biasanya dimulai jika perusahaan melakukan pendekatan
dengan pengacara. Investigator kecurangan kemudian
mengumpulkan bukti penting dan fakta-fakta terkait, misalnya
bagaimana kasus itu terjadi, jumlah kecurangan dan tuntutan
terhadap pelaku. Jika sudah terkumpul maka gugatan dapat
diajukan ke pengadilan. Atas pengajuan gugatan tersebut akan
diterbitkan mosi atau jawaban. Mosi biasanya adalah keberatan atas
tuntutan penggugat yang keluar dari kasus yang ada dan
mengupakan pemulihan secara khusus. Jawaban adalah respons
atas pengaduan yang mengakui atau mengingkari terjadinya kasus
tersebut.
b. Memperoleh temuan
Pada proses ini pengacara masing-masing pihak yang bersengketa
mencari bukti dan informasi tentang kasus tersebut. Berikut ini
adalah cara memperoleh temuan yang bisa dilakukan oleh
investigator:
1. Permintaan Hasil
Mengamankan dokumen yang berkaitan dengan kasus namun
dimiliki pihak lain. Permintaan hasil sebaiknya sangat rinci, berisi
sejumlah fakta dalam kasus, dan dapat dipertahankan dalam
persidangan.
2. Interogasi
Serangkian pertanyan tertulis yang secara khusus
mengidentifikasi informasi yang dibutuhkan dari pihak yang
melakukan perlawanan. Investigator kecurangan dapat meberikan
saran atas pertanyaan yang relevan dengan kasus.
3. Permintaan Pengakuan
Meminta pihak yang berseberangan untuk mengakui telah
membuat fakta yang relevan dengan kasus. Fakta ini dapat
berupa keaslian dokumen atau fakta mengenai isu tertentu.
4. Sobpoena
Perintah tertulis atas nama pengadilan yang meminta saksi untuk
mengajukan pernyataan, memberikan kesaksian saat
persidangan, atau melapor ke bagian administratif.
5. Deposisi
Keterangan yang diambil sebelum pengadilan dimulai. Biasanya
saksi atau ahli akan disumpah terlebih dahulu dan
keterangannya tersebut direkam untuk kemudian dijadikan bukti
di persidangan.
c. Motion Practice dan Negosiasi
Pada sejumlah tahapan pencarian bukti atas temuan pihak lawan
kemungkinan akan mencari putusan dari hakim atas kasus yang
relevan untuk kemudian dapat dijadikan bukti yang meringankan.
Pihak tergugat dan penggugat dapat melakukan negosiasi untuk
menyelesaikan kasus ini di luar pengadilan. Investigator kecurangan
biasanya digunakan untuk melakukan negosiasi sehingga kasus
perdata terselesaikan sebelum masuk ke ranah pengadilan.
d. Proses Pengadilan dan Pengadilan Banding
Jika tidak tercapai kesepakatan dalam negosiasi maka tahapan
selanjutnya adalah proses pengadilan. Keterangan yang dikumpulkan
oleh investigator bertujuan untuk membantu juri dalam memahami
kasus yang terjadi sehingga dapat memberikan kesimpulan yang
tepat.