Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
1
yang berhubungan dengan peningkatan angka kematian ibu. Sebagian besar
kasus kehamilan abdominal adalah sekunder karena keluarnya hasil konsepsi
dan plasenta yang dapat hidup dari lokasi sebelumnya yang mengalami ruptur
yaitu tuba, ovarium atau uterus.Kehamilan abdominal sekunder biasanya akan
menimbulkan gejala setelah kehamilan 12 minggu berupa nyeri abdomen, nyeri
karena pergerakan janin serta mual dan muntah yang berlebihan.Angka
kematian ibu danperinatalyang berhubungan dengan kehamilanabdominal
masing-masing memiliki rentangdari 0,5% sampai18% dan40% sampai
95%.Diagnosiskehamilanabdominalmemiliki indeks keraguan yang tinggi.
Riwayat klinis, pemeriksaan fisik, laboratorium danultrasonografi tidak
spesifik untuk memastikan kehamilan abdominal.1,2,3,4,5
2
BAB II
LAPORAN KASUS
Identitas Suami
Nama : Tn. Junaidi
Umur : 28 tahun
Suku/bangsa : Melayu/Indonesia
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Petani
Alamat : Merlung
2.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Tidak merasakan pergerakan janin sejak 2 hari yang lalu.
3
Riwayat Penyakit Sekarang
Os merupakan rujukan dari dr. Hanif M. Noor, Sp.OG datang
dengan keluhan tidak merasakan pergerakan janin sejak 2 hari yang lalu.
Gerakan yang awal nya ada dirasakan semakin hari semakin berkurang
dan menghilang. Nyeri perut (-), keluar darah/air-air dari jalan lahir (-),
demam (-), riwayat trauma (-), riwayat diurut (-)
Sejak usia kehamilan 3 bulan, os sudah didiagnosa dengan
kehamilan diluar rahim. Pada saat hamil muda, os mengeluh sering keluar
flek-flek hitam dari jalan lahir dan sering mengeluh nyeri perut, kehamilan
dirasakan tidak seperti pada anak pertama, setiap janin bergerak pasien
merasa nyeri.
Os tidak ada keluhan dalam buang air besar dan air kecil.
Hipertensi (-), DM (-), Asma (-), PJK (-), Malaria (-) tumor (-) Kista (-)
Hipertensi (-), DM (-), Asma (-), PJK (-), Malaria (-), tumor ()
RiwayatHaid
Menarcheumur : 13 tahun
Haid : Teratur
Siklus : 28 hari
4
Flour Albus : Tidak ada
Riwayat Perkawinan
Status perkawinan : Ya
Jumlah : 1 kali
Lama : + 8 tahun
Umur : 18 tahun
GPA : G2P1A0
HPHT : Lupa
TP :-
ANC : >3x
Imunisasi TT : 1x
5
c. Riwayat KB
I. Riwayat Kesehatan
1. Riwayat Kesehatan Keluarga
Keturunan kembar : Tidak ada
Hipertensi : Disangkal
DM : Disangkal
Hepatitis : Disangkal
PJK : Disangkal
TB : Disangkal
DM : Disangkal
Hepatitis : Disangkal
Hipertensi : Disangkal
Tifoid : Disangkal
PJK : Disangkal
TB : Disangkal
6
2.3 Pemeriksaan Fisik
Status Generalisata
Dada
Inspeksi : Bekas luka (-), retraksi (-)
Perkusi : Sonor (+/+)
Palpasi : Pengembangan dada simetris (+/+)
Vocal Fremitus (+) normal simetris
Auskultasi :
Cor : BJ1 BJ2 reguler, murmur (-) gallop (-)
Pulmo : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen :
Inspeksi : Cembung, membesar simetris, striae (-), venektasi (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), nyeri lepas (-)
Perkusi : Timpani
7
Auskultasi : Bising usus (+)
Ekstremitas :
Superior : Akral hangat, clubbing finger (-), CRT <2detik, tonus otot
baik
Inferior : Akral hangat, edema (-), varices (-), tonus otot baik
Status Obstetrik
a. Pemeriksaan Luar
Abdomen : Teraba janin dibawah kulit, letak tidak jelas, gerakan janin (-),
denyut jantung janin (-)
b. Inspekulo :
Tidak Dilakukan
c. Pemeriksaan Dalam :
Tidak Dilakukan
8
USG
2.5 Diagnosa
G2P1A0 Gravida 32-33 minggu Janin Tunggal Mati dengan Kehamilan Intra
Abdominal
2.6Penatalaksanaan
- IVFD RL 20 gtt/menit.
- Rencana operasi citoLaparatomi.
- Laporan Operasi
- Pasien dalam stadium narkose, dilakukan insisi dinding perut
secara mediana.
- Dinding perut dibuka lapis demi lapis, insisi diperdalam sampai
mencapai peritoneum
- Setelah peritoneum dibuka tampak jaringan plasenta, ditelusuri di
abdomen teraba kaki janin
- Kaki Janin diangkat sehingga bayi dilahirkan dalam keadaan
meninggal dengan :
Jenis Kelamin : Perempuan, BB : 2400 gram, A/S : 0/0
9
- Tali pusat dipotong sedekat mungkin dengan pars maternal
plasenta
- Plasenta dibiarkan didalam rongga abdomen
- Dilakukan pemasangan drainase
- Cavum abdomen dicuci dengan NaCl 0,9%
- Dinding abdomen ditutup lapis demi lapis
- Tindakan selesai
Intruksi post op
Ampicilin 3 x 1 gr
Kaltropen Supp 3x1
Alinamin F 2x1
IVFD RL 20 gtt/menit
2.7Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
2.8Follow Up :
Tanggal / Jam Perjalanan Penyakit Pengobatan / Tindakan
15-01-2017 S: Nyeri pada luka operasi (+), Ampicilin 3 x 1 gr
lemas (+), nyeri ulu hati (+) Kaltropen Supp 3x1
O: Alinamin F 2x1
- TD = 100/60 mmhg IVFD RL 20 gtt/menit
- N = 72 x/mnt
- RR = 20 x/mnt
- T = 36.3C
- Urin output : 300cc/24 jam
- TFUT sejajar pusat
- Kontraksi Uterus baik
- Lochea: rubra
10
Darah rutin Post Op:
HB : 9,4 g/dl
WBC : 11,7 x 109/L
RBC : 3,65 x 1012/L
PLT : 322 x 109/L
HT : 30,1%
A: P2A0 Post Op Laparatomi atas
indikasi pengangkatan janin
tunggal mati intra abdomen hari
ke-2
11
- N = 80 x/mnt B comp 1x1
- RR = 20 x/mnt BLPL
- T = 36.2C
- TFU 1 jari dibawah pusat
- Kontraksi Uterus baik
- Perdarahan (-)
- Lochea: rubra
A: P2A0 Post Op Laparatomi atas
indikasi pengangkatan janin
tunggal mati intra abdomen hari
ke-4
12
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Kehamilan ektopik terganggu merupakan kegawatdaruratan kehamilan
muda. Kehamilan ektopik ialah kehamilan dengan ovum yang dibuahi,
berimplantasi dan tumbuh tidak di tempat yang normal yakni dalam endometrium
kavum uteri.1,2
Menurut lokasinya, kehamilan ektopik dapat dibagi dalam beberapa
golongan: 1,2,3
a. Tuba fallopii
1. Pars interstisialis
2. Isthmus
3. Ampulla
4. Infundibulum
5. Fimbria
b. Uterus
1. Kanalis servikalis
2. Divertikulum
3. Kornua
4. Tanduk rudimenter
c. Ovarium
d. Intraligamenter
e. Abdominal
1. Primer
2. Sekunder
f. Kombinasi kehamilan dalam dan luar uterus
13
3.2 Epidemiologi
Kehamilan ektopik ditemukan pada hampir 1% kehamilan, dan lebih dari
90% kasus implantasi terjadi di tuba fallopii (kehamilan tuba), ovarium, rongga
abdomen dan bagian intrauterus dari tuba fallopii (kehamilan interstisium). 3,5,6
Lokasi tersering kehamilan ektopik pada tuba fallopii yaitu ampulla, isthmus,
fimbria dan pars interstisialis. 4
Sebagian besar wanita yang mengalami kehamilan ektopik berumur
antara 25-35 tahun. Di Indonesia, kejadian kehamilan ektopik sekitar 5-6 per
seribu kehamilan.1,2
14
3. Faktor ovarium
Bila ovarium memproduksi ovum dan ditangkap oleh tuba yang
kontralateral, dapat membutuhkan proses khusus atau waktu yang lebih panjang
sehingga kemungkinan terjadinya kehamilan ektopik lebih besar. 1,2,4
4. Faktor hormonal
Pada askseptor, pil KB yang hanya mengandung progesteron dapat
mengakibatkan gerakan tuba melambat. Apabila terjadi pembuahan dapat
menyebabkan terjadinya kehamilan ektopik.1,2,6,7
5. Faktor lain
Pada pemakaian IUD dapat terjadi proses peradangan yang dapat timbul
pada endometrium dan endosalping dapat menyebabkan terjadinya kehamilan
ektopik. Faktor umur penderita yang sudah menua dan faktor perokok juga sering
dihubungkan dengan terjadinya kehamilan ektopik. 1
Faktor resiko lain yang meningkatkan kejadian kehamilan ektopik
meliputi banyaknya pasangan seksual, terminasi kehamilan sebelumnya,
keguguran, seksio sesarea, wanita yang subfertil, reproduksi buatan seperti
fertilisasi in vitro, kehamilan heterotopik dan riwayat kehamilan ektopik.6,7
3.4 Klasifikasi
Berdasarkan lokasi terjadinya, kehamilan ektopik dapat dibagi menjadi 5
berikut ini :
Kehamilan tuba
Adalah kehamilan ektopik pada setiap bagian dari tuba fallopi meliputi >
95% yang berlokasi di: pars ampularis (55%), pars isthmika (25%), pars fimbriae
(17%) dan pars insterstisialis (2%). 1,2,3
15
Gambar 3.2 Lokasi Kehamilan Ektopik
16
Kehamilan ovarial terjadi apabila spermatozoa memasuki folikel de graaf
yang baru saja pecah, dan menyatukan diri dengan ovum yang masih tinggal
dalam folikel. 1,3
Untuk kehamilan abdominal lebih sering merupakan kehamilan
abdominal sekunder dimana semula merupakan kehamilan tuba yang kemudian
abortus dan meluncur ke abdomen dari ostium tuba pars abdominalis yang
kemudian embrio mengalami reimplantasi di kavum abdomen, misalnya di
mesenterium/mesovarium atau di omentum. Kehamilan abdominal primer sangat
jarang ditemukan, terjadi apabila ovum dan spermatozoa bertemu dan kemudian
bersatu di dalam satu tempat pada peritoneum dalam rongga perut, dan kemudian
juga berimplantasi di tempat tersebut.1,2,4,5
Kehamilan intraligamenter
Kehamilan ini jumlahnya sangat sedikit. Kehamilan intraligamenter
berasal dari kehamilan ektopik dalam tuba yang pecah. Konseptus yang terjatuh
ke dalam ruangan ekstra peritoneal ini apabila lapisan korionnya melekat dengan
baik dan memperoleh vaskularisasi di situ fetusnya dapat hidup dan berkembang
dan tumbuh membesar. Dengan demikian proses kehamilan ini serupa dengan
kehamilan abdominal sekunder karena keduanya berasal dari kehamilan ektopik
dalam tuba yang pecah.1
17
Gambar 3.4 Kehamilan Intraligamenter
Kehamilan heterotopik
Merupakan kehamilan ganda di mana satu janin berada di kavum uteri
sedangkan yang lain merupakan kehamilan ektopik. Kejadian sekitar 15.000 -
40.000 kehamilan.1,2
Kehamilan ektopik bilateral
Kehamilan ini jumlahnya sangat sedikit.
3.5.1 Definisi
3.5.2 Epidemiologi
Kehamilan ektopik extrauteri paling sering terjadi pada tuba fallopii, dan
sangat jarang pada ovarium dan cavum abdominal. Kira-kira 2% dari seluruh
kehamilan adalah ektopik, dan 95% dari kehamilan ektopik adalah kehamilan
18
pada tuba. Kehamilan abdominal mengenai 1-4% dari seluruh kehamilan
ektopik.Sebagian besar kasus kehamilan abdominal adalah sekunder karena ruptur
dari tempat kehamilan sebelumnya, sedangkan kehamilan abdominal primer
dilaporkan sebanyak 24 kasus diatas tahun 2007.1Risiko kematian pada kehamilan
abdominal 7.7 kali lipat dari kehamilan tuba dan 90 kali lipat dari kehamilan
intrauteri.5 Morbiditas dan mortalitas ibu terjadi karena perdarahan, infeksi,
toksemia, anemia, koagulasi intravaskular diseminata, emboli paru, atau
pembentukan fistula antara kantung ketuban dan usus disebabkan oleh penetrasi
tulang janin.5 Angka kematian maternal yang berhubungan dengan kehamilan
ektopik berkisar antara 0.5 sampai 18%.3,4,6,7
Pada kehamilan abdominal lanjut, kemungkinan bayi lahir hidup sekitar
10% sampai 25%. Namun, dari bayi tersebut didapatkan 20% sampai 40% akan
mengalami malformasi dan hanya 50% yang akan bertahan hidup setelah 1
minggu. Selanjutnya, malformasi tersebut dapat berupa tortikolis, asimetri wajah,
kelainan anggota badan dan malformasi thorax, hal ini terjadi karena
oligohidramnion berat pada lingkungan ekstrauteri.5 Angka kematian perinatal
yang berhubungan dengan kehamilan abdominal berkisar antara 40% sampai
95%.1,3,5
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Faisalabad,
India dari tahun 2000 sampai 2007, didapatkan sebanyak 8 kasus kehamilan
abdominal dengan rata-rata usia maternal adalah 30.125 tahun dan usia akhir
kehamilan adalah 20.62 minggu dan 50% kasus terjadi pada primigravida.3 Di
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dari tahun 1967 sampai 1972, ditemukan 1
kasus kehamilan ektopik lanjut diantara 1065 persalinan.8,9,10
3.5.3 Klasifikasi
19
hanya 24 kasus yang pernah dilaporkan pada tahun 1968. Suddiford pada tahun
1942 menetapkan definisi baku untuk kehamilan abdominal jenis primer yang
masih dianut hingga sekarang. Kriteria ini sangat dikenal dengan nama Studdiford
criterias, yang terdiri atas 3 kategori yaitu: 2,11,12
1. Kedua tuba dan kedua ovarium dapat teridentifikasi dalam keadaan normal,
dan tidak terbukti adanya luka
2. Tidak terdapat adanya fistula uteroplasenter
3. Terdapat kehamilan yang semata-mata hanya pada permukaan peritoneum dan
umur kehamilannya cukup muda agar dapat mengenyampingkan kemungkinan
adanya implantasi sekunder yang menyertai implantasi primer pada tuba.
Kemudian Frederick dan Rankin pada tahun 1968 membuat modifikasi
dari kriteria tersebut di atas sebagai berikut: 11,13,14
20
zat-zat makanan dan oksigen dari plasenta yang meluaskan implantasinya
kejaringan sekitarnya, seperti ke ligamentum latum, uterus, dasar panggul, usus
dan sebagainya.14,15,16
21
implantasi dan rekonstruksi stroma endometrium adalah enzim matrix
metalloproteinase (MMPs). Enzim ini bekerja dengan mendegradasi komponen
matriks ekstraseluler seperti kolagen, proteoglikan dan glikoprotein. Diantara
MMPs, MMP-2 dan MMP-9 tampaknya memainkan peran penting dalam
remodeling jaringan yang menyertai implantasi dan desidualisasi. MMP-2
terutama bekerja pada fase awal dari remodeling desidua serta neoangiogenesis,
sedangkan MMP-9 bekerja mengkoordinasi invasi oleh trofoblas dalam lapisan
endometrium. Perubahan dalam ekspresi dari kedua enzim ini selama proses
implantasi dapat terjadi tanpa sinyal langsung dari blastokista. Beberapa peneliti
menyebutkan ekspresi dari enzim MMPs ini mungkin disebabkan oleh beberapa
sitokin atau faktor pertumbuhan, seperti vascular endothelial growth factor
(VEGF), transdorming growth factor (TGF), epidermal growth factor (EGF) serta
TIMPs.14,16
Berikut ini adalah tabel mediator kimiawi yang terlibat dalam implantasi
embrional :
22
2. Adhesi blastokista pada pinopoda endometrium
3. Invasi stroma endometrium
23
Gambar 3.6. Implantasi pada Endometrium, Proses Biokimiawi.16
b. Implantasi Abdominal
Segera setelah menembus zona pellucida, sel sperma menyentuh
permukaan oosit dan akan bertemu dengan membran plasma oosit, hal ini
menyebabkan perubahan permeabilitas pada zona pellucida sehingga impermeabel
terhadap sperma lain. Impermeabilitas zona pellucida disebabkan oleh kerja enzim
lisosom yang dikeluarkan oleh granul-granul korteks dekat membran plasma
oosit. Zona pellucida yang telah terbentuk sebenarnya tidak hanya berperan
24
mencegah sperma lain memasuki ovum, namun juga berperan menjamin
pembelahan sel zigot yang baru terbentuk agar tidak terganggu dan mencegah
terjadinya implantasi zigot ke tuba fallopii.17,18 Zona pellucida normalnya akan
mengalami lisis pada saat mencapai cavum uteri sebelum implantasi blastokista
oleh kerja enzim proteolitik dari sel-sel trofoblas . Selama proses pembelahan sel
ini, embrio memperoleh nutrisi dari sekresi pada lumen tuba.18,19
Namun, oleh karena suatu sebab, transportasi ovum yang telah dibuahi
ini tidak mencapai cavum uteri sehinggga implantasi tidak terjadi pada
endometrium uteri. Seperti Infeksi pelvis, salpingitis, endometriosis tuba,
divertikel tuba kongenital, bedah plastik tuba atau sterilisasi tuba yang tak
sempurna dapat mengakibatkan gangguan pada fungsi tuba. Disfungsi tuba ini
dapat berupa mekanik dan fungsional. Faktor lain yang ikut berperan adalah
adanya massa tumor yang menekan dinding tuba sehingga lumen menjadi sempit.8
Disfungsi tuba selanjutnya menyebabkan ovum yang telah dibuahi
menetap dituba atau dapat keluar dari fimbria tuba menuju cavum peritoneum.
Sementara itu perkembangan embrional terus berlanjut menjadi blastokista yang
mengandung sel-sel trofoblas yang dapat melisis zona pellusida dan mendegradasi
jaringan permukaan yang berkontak dengannya. Implantasi primer abdominal
berarti blastokista mengadakan implantasi pertamanya dalam cavum peritoneum,
hal ini kemungkinan dapat terjadi karena :8,11,12
1. Migrasi embrio melewati mikrofistula pada tuba fallopii memasuki cavum
peritoneum.
2. Embrio masuk kedalam cavum peritoneum melalui ostium tuba abdominale.
3. Setelah ovulasi, terjadi migrasi luar, yaitu ovum mengadakan perjalanan pada
tuba kontralateral, namun sebelum mencapai fimbria ovum telah dibuahi, atau
karena pertumbuhan ovum yang terlalu cepat sehingga terjadi implantasi
prematur yang belum memasuki fimbria.
25
dengan yang terjadi di kavum uteri.Pada kehamilan tuba, MMP-9 dan TIMP-1, 2,
3 diproduksi oleh semua sel sitotrofoblas ekstravili (EVCT), sedangkan MMP-2
dan MMP-14 terutama diproduksi oleh sel distal column cytotrophoblast (CCT)
dan sel invasif EVCT. Selama terjadinya implantasi, MMP-14 dan TIMP-1 dan 2
meningkat sepanjang jalur invasi menuju sel interstisium tuba. MMP-2, 9, 14 dan
TIMP-1,2,3 semuanya terdeteksi pada sel vilus citotrofoblas (VCT). Enzim-enzim
ini mendegradasi jaringan tuba dan embrio dapat mengadakan implantasi secara
kolumner maupun interkolumner. Implantasi secara kolumner yaitu embrio
berimplantasi pada permukaan atau sisi silia endosalping. Perkembangan embrio
pada implantasi ini tidak sempurna dan biasanya akan mati secara dini karena
kurangnya vaskularisasi dan kemudian diresorbsi. Pada implantasi secara
interkolumner embrio berimplantasi antara silia endosalping atau masuk kedalam
interstisium tuba. Setelah tempat implantasi tertutup, maka embrio dipisahkan dari
lumen tuba oleh lapisan jaringan yang menyerupai desidua dan dinamakan
pseudokapsularis. Karena pembentukan desidua di tuba tidak sempurna, dengan
mudah vili korialis menembus endosalping dan masuk ke dalam lapisan otot-otot
tuba dengan merusak jaringan dan pembuluh darah. Perkembangan janin
selanjutnya bergantung pada beberapa faktor, seperti tempat implantasi, tebalnya
dinding tuba dan banyaknya perdarahan yang terjadi oleh invasi trofoblas.8,9,10,11
26
minggu. Perdarahan yang terjadi karena pembukaan pembuluh-pembuluh darah
oleh villi koriales pada dinding tuba di tempat implantasi dapat melepaskan
embrio dari dinding tersebut bersama-sama dengan robeknya pseudokapsularis.
Pelepasan ini dapat terjadi sebagian atau seluruhnya. Bila pelepasan menyeluruh,
mudigah dan selaputnya dikeluarkan dalam lumen tuba dan kemudian didorong
oleh darah ke arah ostium tuba abdominale. Pada saat ini dapat terjadi
reimplantasi pada jaringan di rongga peritoneum. Bukti adanya implantasi tuba
setelah terjadinya kehamilan abdominal adalah tampak adanya distorsi dan
kerusakan pada tuba yang berhubungan.1,8,16,18
Ruptur tuba sering terjadi bila ovum berimplantasi pada ismus dan
biasanya pada kehamilan muda. Sebaliknya ruptur pada pars interstitialis terjadi
pada kehamilan yang lebih lanjut. Faktor utama yang menyebabkan ruptur ialah
penembusan villi koriales ke dalam lapisan muskularis tuba terus ke peritoneum.
Ruptur dapat terjadi secara spontan atau karena trauma ringan. Darah dapat
mengalir ke dalam rongga perut melalui ostium tuba abdominale. Bila ostium tuba
tersumbat, ruptur sekunder dapat terjadi. Dalam hal ini, dinding tuba yang telah
menipis oleh invasi trofoblas, pecah karena tekanan darah dalam tuba. Jika ruptur
mengarah ke rongga perut, seluruh janin dapat keluar dari tuba, tetapi bila robekan
tuba kecil, perdarahan terjadi tanpa hasil konsepsi dikeluarkan dari tuba.12,15
Janin yang dikeluarkan dari tuba dengan masih diselubungi oleh kantong
amnion dan dengan plasenta masih utuh kemungkinan tumbuh terus dalam rongga
27
perut, sehingga terjadi kehamilan ektopik lanjut atau kehamilan abdominal
sekunder. Untuk mencukupi kebutuhan makanan bagi janin, plasenta dari tuba
akan meluaskan implantasinya ke jaringan sekitarnya misalnya ke sebagian
uterus, ligamentum latum, dasar panggul dan usus dan pada beberapa kasus dapat
pula terjadi pada omentum.8,9,11
28
perangsangan peritoneum. Jika janin hidup, setiap gerakan janin akan terasa
lebih nyeri.
2. Amenore biasanya berkorelasi dengan umur kehamilan.
3. Pada kehamilan abdomen sekunder, mungkin pasien pernah mengalami sakit
perut yang hebat disertai pusing atau pingsan, yaitu sewaktu terjadinya ruptur
tuba.
4. Gejala gangguan gastrointestinal yang bervariasi akibat penekanan pada
saluran gastrointestinal. Seperti nausea, vomitus, konstipasi dan diare.
5. Malaise yang disebabkan perdarahan ke rongga abdomen akibat ruptur tuba
sebelumnya yang tidak ditangani sehingga terjadi anemia.6,10
29
5.3.5 Diagnosis
A. Anamnesis
Anamnesa tidak jarang memberikan petunjuk yang penting dalam
membuat diagnosis. Pada riwayat sebelumnya atau pada kehamilan muda,
diketahui adanya perdarahan dan nyeri perut bagian bawah. Penderita mungkin
dapat mengingat adanya spotting atau perdarahan iregular bersama dengan nyeri
abdomen yang biasanya paling menonjol pada salah satu atau kedua kuadran
bawah. Pada ibu multigravida, penderita merasakan bahwa kehamilan ini tidak
berjalan seperti biasa, dimana gejala gastrointestinal lebih nyata, dan gerakan anak
dirasakan lebih nyeri.8,10
B. Pemeriksaan Fisik
Pada kehamilan lebih lanjut dan pada pemeriksaan abdomen sering
ditemukan kelainan letak janin. Bagian-bagian janin sering teraba lebih jelas di
bawah kulit, walaupun pada multipara dan pada wanita dengan dinding perut yang
tipis kesan tersebut kadang-kadang diperoleh. Massase abdomen pada kehamilan
tidak merangsang massa tersebut berkontraksi sebagaimana yang hampir selalu
terjadi pada kehamilan intrauteri lanjut. Pada pemeriksaan vagina, serviks
biasanya bergeser, bergantung sebagian pada posisi janin, dan serviks mungkin
berdilatasi tetapi pendataran bermakna tidak terjadi. Uterus seolah-olah tampak
melapisi massa kehamilan atau dapat bergeser menyamping. Bagian kecil janin
atau kepala dipalpasi melalui forniks dan teridentifikasi dengan jelas berada diluar
uterus.8,10,16
C. Uji Laboratorium
Pada masa awal, kehamilan mungkin dapat ditentukan dengan
pemeriksaan urin atau pemeriksaan -hCG serum. Uji laboratorium pada
kehamilan abdominal mungkin dapat ditemukannya anemia transien yang tidak
dapat dijelaskan pada awal kehamilan dapat menyertai awal suatu ruptur tuba atau
abortus. Peningkatan nilai alfafetoprotein serum yang tidak dapat dijelaskan
mengisyaratkan kemungkinan adanya kehamilan abdominal.10,11
30
D. Stimulasi Oksitosin
Stimulasi oksitosin dilakukan untuk membedakan janin berada dalam
cavum uteri atau berada di dalam cavum peritoneum. Pada uterus yang terletak di
belakang atau disamping massa abdomen yang berisi janin, pemberian infus
oksitosin 50 mU/menit tidak menyebabkan massa tersebut berkontraksi. Bila hasil
kontraksi ini negatif pada dua kali pemeriksaan dapat diduga kehamilan
abdominal. Namun jika uterus berada di anterior massa abdomen yang berisi
janin, uterus tersebut dapat berkontraksi sebagai respon terhadap pemberian
oksitosin dan mungkin menimbulkan salah diagnosis menjadi kehamilan
intrauteri.10,18,19
E. Sonografi
Temuan ultrasonografik pada kehamilan abdominal seringkali tidak
memungkinkan untuk ditegakkan diagnosis pasti. Perubahan lingkungan
hormonal pada kehamilan ektopik dapat memproduksi kumpulan cairan intrauteri
yang dapat menyerupai kantung gestasional.Pada pemeriksaan USG kehamilan
abdominal terkadang salah diagnosis karena diduga uterus bikornus.1,8,9
31
Pada separuh kasus, terjadi missdiagnosis dengan pemeriksaan USG (50-
90%),namun ada beberapa kriteria yang bersifat sugestif terhadap kehamilan
abdominal :10,15,17
1. Visualisasi janin yang terpisah dari uterus.
2. Kegagalan memvisualisasi dinding uterus diantara janin dan kandung kemih.
3. Bagian-bagian janin amat berdekatan dengan dinding abdomen ibu.
4. Posisi (hubungan antara janin dan dinding uterus) eksentrik atau sikap janin
(hubungan antara bagian-bagian janin dengan bagian janin lainnya) yang
abnormal dan visualisasi jaringan plasenta ekstrauteri.
32
dengan plasenta previa. Selain itu pemeriksaan ini pernah pula salah diagnosis
degenerasi fibroid sebagai kehamilan abdominal.10,14,15
G. CT-Scan
Meskipun tampilan untuk jaringan MRI lebih baik dari CT-scan, namun
beberapa peneliti berpendapat CT-scan pada kehamilan abdominal lebih baik
daripada MRI, tetapi penggunaannya terbatas karena efek berbahaya radiasi
terhadap janin. Pada kasus-kasus kematian janin, CT-scan dapat bersifat
diagnostik dan boleh dipertimbangkan.10,17,18
Gambar 3.10 dan 3.11 Kehamilan Abdominal, Panel A CT-Scan dan Panel B
MRI.12,13
5.3.6 Penatalaksanaan
1. Laparatomi
33
untuk menunda operasi untuk kepentingan anak kecuali pada keadaan-keadaan
yang tertentu.18,19
2. Penatalaksanaan plasenta
Pada kasus-kasus plasenta diangkat sebanyak mungkin, dengan
meninggalkan jaringan plasenta sedikit mungkin.
34
Penatalaksanaan plasenta merupakan persoalan yang paling penting pada
kehamilan abdominal lanjut dan menentukan prognosis ibu. Penatalaksanaan
plasenta banyak ditentukan oleh faktor-faktor :20
35
yang sukar dikuasai. Perdarahan waktu operasi merupakan indikasi untuk
mengangkat plasenta. Dalam hal ini pengangkatan sebagian plasenta mungkin
perlu, seandainya pengangkatan seluruhnya tidak mungkin.19
36
Pada hari ke-4 dan ke-7 setelah pemberian MTX, kadar hCG diperiksa kembali.
Bila kadar hCG berkurang 15% atau lebih, dari kadar yang diperiksa pada hari ke-
4 maka MTX tidak diberikan lagi dan kadar hCG diperiksa setiap minggu sampai
hasilnya negatif atau evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan USG
transvaginal setiap minggu. Bila kadar hCG tidak berkurang atau sebaliknya
meningkat dibandingkan kadar hari ke-4 atau menetap selama interval setiap
minggunya, maka diberikan MTX 50 mg/m2 kedua.20
Stoval dan Ling pada tahun 1993 melaporkan keberhasilan metoda ini
sebesar 94,3%. Selain dengan dosis tunggal, dapat juga diberikan multidosis
sampai empat dosis atau kombinasi dengan leucovorin 0,1 mg/kgBB.
Yang perlu diperhatikan dalam pemberian MTX yaitu:20
a. Hindari hubungan seks vagina sampai HCG tidak terdeteksi
b. Hindari kehamilan selama tiga bulan karena risiko teoritis teratogenicity
dengan methotrexate
c. Hindari pemeriksaan panggul selama pengawasan terapi methotrexate karena
risiko ruptur tuba
d. Menghindari paparan sinar matahari untuk membatasi risiko dermatitis
methotrexate
e. Hindari makanan dan vitamin yang mengandung asam folat
f. Hindari obat anti-inflamasi nonsteroid, interaksi dengan methotrexate dapat
menyebabkan penekanan sumsum tulang, anemia aplastik, atau toksisitas
gastrointestinal. Parasetamol dengan atau tanpa kodein dianjurkan untuk
menghilangkan rasa sakit.
Penatalaksanaan Plasenta
Pengangkatan plasenta deapat memicu perdarahan yang hebat karena tidak
terdapat mekanisme hemostatik normal yang dihasilkan oleh kontraki miometrium
untuk menjepit pembuluh darah yang mengalami hipertrofi. Perdarahan dapat
terjadi secara spontan atau, yang lebih mungkin, ketika dokter berupaya
mengetahui secara pasti letak perlengketan plasenta. Karena itu, eksplorasi organ
sekitar yang tidak perlu sebaiknya jangan dilakukan. Jika telah jelas bahwa
37
plasenta dapat dengan aman dikeluarkan atau jika teraji perdarahan dari tempat
implantasinya maka pengangkatan harus segera dimulai. Jika mungkin, pembuluh
darah yang memasok plasenta harus diligasi.
Meninggalkan plasenta in situ sebagian penulis menyarankan dibiarkan
ditempatnya sebagai salah satu pilihan dari dua pilihan buruk. Hal ini mengurangi
kemungkina perdarahan akut yang mengancam jiwa, tetapi pengorbanan berupa
sekuele jangka-panjang. Sayangnya, jika dibiarkan di rongga abdomen, plasenta
sering terinfeksi yang diikuti oleh pembentukan abses, perlengketan, obstruksi
usus, dan terlepasnya jahitan. Obstruksi parsial ureter disertai hidronefrosis
reversibel juga pernah dilaporkan. Pada banyak dari kasus ini, plasenta akhirnya
harus diangkat secara bedah.
Jika plasenta dibiarkan maka involusinya dapat pantau dengan menggunakan
sonografi dan kadar -hCG serum. Sonografi doppler berwarna dapat digunakan
untuk menilai prubahan pada aliran darah. Pada sebagian kasus, dan baisanya
tergantung pada ukurannya, fungi plasenta cepat menurun, dan plasenta resorpsi.
Pada sebuah kasus, resopsi plasenta memerlukan waktu 5 tahun. Pada 10 wanita
dari parkland hospital plasenta dibiarkan terimplantasi pada dua kasus. Keduanya
mengalami penyulit parah dengan perdarahan dan infeksi
Pemakaian methotrexate masih diperdebatkan. Obat ini pernah dianjurkan
untuk percepatan involusi dan pernah dilaporkan mempercepat destruksi plasenta
disertai akumulasi jaringan nekrotik dan infeksi dan pembentukan abses. Peran
suportif pemakaian suatu obat antimetabolit bagi suatu organ yang akan menyusut
sulit dibayangkan
5.3.7 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada pada ibu yaitu :
1. Perdarahan dalam berbagai derajat menyebabkan
a. Anemia
b. Koagulasi intravaskular diseminata (DIC)
c. Syok hipovolemik
38
2. Infeksi yang dapat berkembang menjadi abses dan sespis.
3. Emboli paru
4. Toksemia menyebabkan terjadinya preeklampsi
5. Terbentuknya fistula antara membran amnnion dan saluran gastrointestinal
5.3.7 Prognosis
Angka kematian pada ibu sangat meningkat bila dibandingkan dengan
kehamilan normal. Berdasarkan penelitian didapatkan angka kematian ibu
berkisar antara 0.5-18%. Namun dengan diagnosis dini dan perencanaan
preoperasi yang tepat, angka kematian ibu dapat diturunkan secara signifikan.
Pada banyak kasus terdapat banyak morbiditas yang diderita ibu yang selamat.
Bayi yang lahir dari kehamilan abdominal memiliki morbiditas jangka panjang
dan mortalitas perinatal yang tinggi. Angka kematian bayi perinatal berkisar
antara 40-95%.21
39
5.4 KEMATIAN JANIN
5.4.1 Definisi
5.4.2 Diagnosis
Dengan fetoskopi dan doppler tidak dapat didengar adanya bunyi jantung
janin. Dengan sarana penunjang diagnostik lain yaitu USG, tampak gambaran
janin tanpa tanda kehidupan. Dengan foto radiologik setelah 5 hari tampak tulang
kepala kolaps, tulang kepala saling tumpang tindih (gejala spalding) tulang
belakang hiperfelksi, dimana sekitar tulang kepala, tampak gambaran gas pada
jantung dan pembuluh darah. Pemeriksaan hCG urin menjadi negatif setelah
beberapa hari kematian janin. Komplikasi yang dapat terjadi ialah trauma psikis
ibu atau keluarga, apalagi bila waktu antara kematian janin dan persalinan
berlangsung lama. Bila terjadi ketuban pecah dapat terjadi infeksi. Terjadi
koagulopati bila kematian janin lebih dari 2 minggu.6,7
40
5.4.3 Etiologi
Pada 25-60% kasus penyebab kematian janin tidak jelas. Kematian janin
dapat disebabkan oleh faktor maternal, fetal atau kelainan patologik plasenta.6,7,8
Faktor maternal antara lain adalahPost term (> 42 minggu), diabetes mellitus
tidak terkontrol, sistemik lupus eritematosus, infeksi, hipertensi, ruptura uteri,
antifosfolipid sindrom, hipotensi akut ibu, kematian ibu.
Faktor fetal antara lain adalahHamil kembar, hamil tumbuh terhambat,
kelainan kongenital, kelainan genetik, infeksi.
Faktor plasenta antara lain Kelainan tali pusat, lepasnya plasenta, ketuban
pecah dini, vasa previa.Sedangkan faktor risiko terjadinya kematian janin
intrauterin meningkat pada usia ibu > 40 tahun, pada ibu infertil,
kemokonsentrasi pada ibu, riwayat bayi dengan berat badan lahir rendah, infeksi
ibu (ureplasma urealitikum), kegemukkan, ayah berusia lanjut.
5.4.4 Pengelolaan
41
Bila kematian janin lebih dari 3-4 minggu kadar fibrinogen menurun
dengan kecenderungan terjadinya koagulopati. Masalah menjadi rumit bila
kematian janin terjadi pada salah satu dari bayi kembar.6,10
5.4.5 Pencegahan
42
BAB IV
PEMBAHASAN
43
DAFTAR PUSTAKA
44
medical-embryology/chapter-14-week-1-of-embryonic-development-
ovulation-to-implantation
14. Cha et al. Mechanisms of Implantation : Strategies for Succesful Pregnancy.
Nature Medicine, January 2013. [Cited 2017 Feb 03]; available from:
http://home.med.wayne.edu/embryo/pdf/impl_rev_dey_natmed_2012.pdf
15. Sadler. Langman : Embriologi Kedokteran. Edisi 7. Jakarta : EGC, 2000.
16. Guyton & Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta : EGC,
2008.
17. Shao, Ruijin. Defining the Molecular Mechanisms for Tubal Ectopic
Pregnancy Using Mouse Models. Medical Journal, March 2012. [Cited 2017
Feb 04]; available from: http://www.omicsonline.org/2157-7536/2157-7536-
3-e102.php?aid=4977
18. Chaudhari & Prajapati.Full-Term Abdominal Pregnancy with Dead Fetus: A
Case Report. India ; Medical Journal, 2012. [Cited 2017 Feb 04]; available
from: http://www.omicsonline.org/scientific-reports/2165-7920-SR-434.pdf
19. Gayer, Gabriela. Abdominal Ectopic Pregnancy. England Journal of Medicine,
Dec, 2012. [Cited 2017 Feb 05]; available from:
http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMicm1111814
20. Dastur et al. Treating Hemorrhage from Secondary Abdominal Pregnancy:
then and now. Medical Journal : Case Report. [Cited 2014 Jan 20]; available
from: http://www.aogm.org.mo/assets/Uploads/aogm/PPH-Files/PPH-Chap-
48.pdf
21. Orio Nicholas, dkk. Adjunctive use of methotrexate in the management of
advanced abdominal pregnancy: a case report and literature review. Case
report. 2014. [Cited 11 Feb 2017]; available from:
http://www.interesjournals.org/full-articles/adjunctive-use-of-methotrexate-in-
the-management-of-advanced-abdominal-pregnancy-a-case-report-and-
literature-review.pdf?view=inline
22. Sarwono prawirohardjo, S. Kematian Janin dalam buku ajar ilmu kebidanan.
Editor: Rachimhadhi T. Jakarta; 2008: Yayasan bina pustaka sarwono
prawirohardjo. Hal.733-735
45