Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II. 1. URAIAN TANAMAN

Seledri (Apium graveolens, L.) berasal dari Eropa Selatan. Pertama

kali dijelaskan oleh Carotus Linnaeus (spesies Plantanum, 1753), di

Indonesia tanaman ini dikenal dengan nama seledri (Agoes, 2010).

Seledri merupakan herba berbau aromatik, rasanya manis, sedikit pedas

dan sifatnya sejuk, herba bersifat tonik, memacu enzim pencernaan

(stomatika), menurunkan tekanan darah (hipotensif), penghenti pendarahan

(hemostatika), peluruh kentut (karminatifa), mengeluarkan asam urat darah

yang tinggi, pembersih darah, dan memperbaiki fungsi hormon yang

terganggu (Dalimarta, 2008).

II.1.1 Klasifikasi Seledri

Klasifikasi tanaman seledri sebagai berikut (Rukmana, 1995) :

Gambar II.1 Tumbuhan Seledri


Sumber : Anonim, 2010

6
7

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Bangsa : Apiales

Suku : Apiaceae

Marga : Apium

Jenis : Apium graveolens

II.2.2 Deskripsi Tanaman

Tanaman seledri ini berupa herba tegak. Umur tanaman ini bisa

mencapai 2 tahun. Seledri memiliki daun berpangkal pada batang

dekat tanah, bertangkai, dan mengeluarkan bau aromatis yang khas,

bunga majemuk dan bertangkai pendek pendek dan buah membulat

panjang, dan berwarna coklat serta biji berwarna hitam (Gunawan,

2007).

II.1.3 Kandungan Seledri

Badan POM (2008) menyatakan bahwa seluruh bagian tanaman

seledri mengandung flavonoid senyawa apiin, apigenin, luteolin 7-O-

apiosil, fenol, isoquersetin, saponin, umbiliferon, mannite, inosite,

asparagin, glutamine, kolin, provitamin A (karotenoid), vitamin C,

vitamin B. Biji mengandung senyawa kumarin berupa bergapten,

seselin, isoimperatorin, astenol, isopimpinelin, dan apigrafin. Daun

mengandung minyak menguap seperti limonene, myrcene, beta

selinene, alfa terfinoel, carveol, dihidrocarvron, geranyl asetate dan


8

senyawa phthalide yang memberikan bau aromatik yaitu 3-butiliden

phthalid, 3-butil phthalid dan 3-isobutiliden dihidrophthalid .

Gambar II.2 Senyawa Apiin


Sumber : Harbone dkk, 1999

Apiin adalah termasuk senyawa glikosida flavanoid yang

ditunjukkan adanya dua gugus gula yang diikat pada rantai karbon 7,

gula yang diikat adalah glukosa dan piranosa (Gambar II.2). Apiin

merupakan senyawa identitas dari seledri (Apium grveolens L.) dan

memiliki aktivitas sebagai diuretik, antihipertensi dan juga memiliki

aktifitas sebagai antiinflamasi. Apiin pada pemberian per oral, akan

menurunkan tekanan darah penderita hipertensi karena akan

terhidrolisis menjadi apigenin dan glukosa dalam saluran cerna

(Siswono, 1991).

Gambar II.3 Senyawa Apigenin


Sumber : Harbone dkk, 1999

Seledri diketahui mengandung senyawa aktif yang dapat

menurunkan tekanan darah yaitu, apigenin yang dikenal sebagai


9

diuretik. Apigenin juga memiliki aktivitas sebagai antibakteri,

antiinflamasi, hipotensif, meningkatkan relaksasi otot polos,

antioksidan (Dillard, 2000), antikarsinogenik, antidepresan,

kardioprotektif, hepatoprotektif, antiperoksidatif (Panda, 2007).

Menurut Duke (2003), senyawa apiol yang terkandung pada

seledri berkhasiat sebagai antidismenorea, antimalaria, antineuralgik,

antipiretik, antispasmodik, antagonis kalsium, stimulan, diuretik, dan

vasodilator.

Gambar II.5 Senyawa 3 butylphthalide


Sumber : Burdock, 2010

Seledri mengandung senyawa 3-n-butylphtalide yang diduga

memiliki efek menurunkan tekanan darah. Penurunan tekanan darah

terjadi karena dalam seledri mengandung senyawa 3-n-butylphthalide

yang berefek memblok calcium channel, vasodilatasi dan diuretik

sehingga tekanan darah akan menurun (Tsi, 1998).

Senyawa 3-n-butylphthalide akan memblok calcium channel

yaitu, pada reseptor voltage-gated calcium channels (L-type) pada otot

jantung dan pembuluh darah. Akibatnya, ion kalsium tidak bisa

masuk, dan berikatan dengan protein bernama kalmodulin. Karena

tidak terbentuknya ikatan ion kalsium-kalmodulin maka terjadi


10

inaktivasi dari enzim myosin-kinase light chain yang menyebabkan

ATP tidak bisa memfosforilasi rantai ringan yang terdapat di kepala

miosin sehingga kepala miosin tak bisa berikatan dengan filamen

aktin, akibatnya tidak terjadi kontraksi otot polos (Grawbosy, 2003).

Senyawa 3-n-butylphthalide pada seledri juga mempunyai efek

diuretik karena secara tidak langsung efek vasodilatasi yang

ditimbulkan oleh senyawa 3-n-butylphthalide akan meningkatkan

renal blood flow sehingga terjadi ekskresi natrium, klorida, dan air.

Akibatnya volume ekstraseluler akan berkurang dan menurunkan

venous return, dan akhirnya berefek menurunkan cardiac output

sehingga dengan demikian terjadi penurunan tekanan darah (Tsi,

1998).

II.1.4 Manfaat Seledri

Secara tradisional tanaman seledri digunakan sebagai pemacu

enzim pencernaan atau sebagai penambah nafsu makan, peluruh air

seni dan penurunan tekanan darah (Sudarsono dkk, 1996). Seledri

ditandaskan memiliki efek antirematik, obat penenang, diuretik

ringan, dan antiseptik pada saluran kemih. Seledri juga telah

digunakan untuk radang sendi, encok dan terutama untuk rheumatoid

(Bisset, 1994).

Banyak penelitian terdahulu seledri digunakan untuk mengobati

sakit mata, keseleo, reumatik, hipertensi, dan sebagai penyubur

rambut (Perry, 1980). Seledri sebagai anti hipertensi, dan dapat


11

menurunkan tekanan darah, kolesterol dan lipid. Ekstrak etanol

sebagai antidiabetes. Pada tikus efek sedatif dan aktivitas

antispamodik telah dilaporkan untuk komponen phthalide (Hoffman,

2003). Minyak biji seledri telah dilaporkan memperlihatkan efek

bakteriostatik pada bacillus subtilis, vibrio cholarae, staphylococcus

aureus, taphilococcus albus, shigella dysentriae, corynebacterium

diphtheriae, samonella typhi, strepto coccus faecalis, bacillus 7

pumilus, streptococcus pyogenes dan pseodomonas solanacearum

(Kar, 1971).

II. 2. DIURETIK

Diuretika adalah zat-zat yang dapat memperbanyak pengeluaran kemih

(diuresis) melalui kerja langsung terhadap ginjal. Fungsi utama ginjal adalah

memelihara kemurnian darah dengan jalan mengeluarkan semua zat asing

dan sisa pertukaran zat dari dalam darah sehingga darah mengalami filtrasi,

dimana semua komponennya melintasi saringan ginjal kecuali zat putih telur

dan sel-sel darah. Setiap ginjal mengandung lebih kurang satu juta filter

kecil ini (glomeruli), dan setiap 50 menit (5 liter telah dimurnikan dengan

melewati saringan tersebut). Fungsi penting yang lainnya adalah meregulasi

kadar garam dan cairan tubuh (Tjay dan Rahardja, 2002).

Walaupun kerjanya pada ginjal, diuretik bukan obat ginjal, artinya

senyawa ini tidak dapat memperbaiki atau menyembuhkan penyakit ginjal,

demikian juga pada pasien insufisiensi ginjal jika diperlukan dialisis, tidak
12

akan dapat ditangguhkan dengan penggunaan senyawa ini. Beberapa

diuretika pada awal pengobatan justru memperkecil ekskresi zat-zat penting

urin dengan mengurangi laju filtrasi glomerulus sehingga akan

memperburuk insufisiensi ginjal (Mutschler, 1991).

II.2.1 Mekanisme Pembentukan Urin

Gambar II.6 Mekanisme Pembentukan Urin


Sumber : Furqonita, 2006

Urin merupakan larutan kompleks yang terdiri dari sebagian

besar air (96%) dan sebagian kecil zat terlarut (4%) yang dihasilkan

oleh ginjal, disimpan sementara dalam kandung kemih dan dibuang

melalui proses mikturisi.

1. Filtrasi (penyaringan) : proses penyaringan terjadi dalam

glomerulus. Hasil penyaringan akan masuk ke dalam kapsul

Bowman dan disebut urin primer atau filtrat glomerulus. Urin

primer mengandung bahan-bahan yang terlarut dalam darah

dengan konsentrasi yang sama seperti di dalam darah, tetapi,


13

tanpa protein. Selain urea dan air, di dalam urin primer dapat

ditemukan asam amino, glukosa, natrium, kalium, dan garam-

garam mineral lainnya.

2. Reabsorbsi (penyerapan kembali) : urin primer mengalami

penyerapan kembali (reabsorpsi) pada saat melewati saluran yang

dekat dengan glomerulus (tubulus konkurtus proksimal) yang

terdapat dalam sumsum ginjal. Bahan-bahan yang masih

diperlukan dalam tubuh seperti asam amino, glukosa, dan air

diserap kembali dan dikembalikan ke dalam darah. Urin yang

terbentuk jumlahnya jauh lebih sedikit daripada urin primer. Urin

yang telah mengalami proses reabsorpsi disebut urin sekunder.

3. Augmentasi (pemekatan) : setelah proses reabsorpi, urin sekunder

mengalami proses pemekatan dengan adanya penambahan urea

dan zat-zat sisa lain yang tidak dibutuhkan tubuh. Proses ini

terjadi dalam saluran pengumpul (tubulus kolektivus). Urin ini

siap dikeluarkan dari tubuh (Furqonita, 2006).


14

II.2.2 Mekanisme Diuretik

Gambar II.7 Tempat Kerja Diuretik


Sumber : Horne dkk, 2001

Kebanyakan diuretika bekerja dengan mengurangi reabsorpsi

natrium sehingga pengeluaran lewat kemih dan demikian juga dari

air diperbanyak. Obat obat ini bekerja khusus terhadap tubuli,

tetapi juga bekerja di tempat lain, yaitu :

1. Tubuli Proksimal

Ultrafiltrat mengandung sejumlah besar garam yang di sini

direabsorbsi secara aktif untuk lebih kurang 70% antara lain ion

Na+ dan air, begitu pula glukosa dan ureum. Karena reabsorbsi

berlangsung secara proporsional, maka susunan filtrat tidak

berubah dan tetap isotonis terhadap plasma (Sunaryo, 2005).

2. Lengkungan Henle

Di bagian menaik henles loop, ini kurang lebih kurang 25% dari

semua ion Cl- yang telah reabsorbsi secara aktif, disusuldengan

rebsorbsi pasif dari ion Na+ dan ion K+, tetapi tanpa air hingga

filtrat menjadi hipotonis. Diuretika yang mekanisme kerjanya di


15

lengkung henle, seperti furosemida, bumetamida, dan etakrinat,

bekerja terutama di sini dengan merintangi transport Cl dan

demikian reabsorbsi Na+. Pengeluaran K+ dan air

jugadiperbanyak (Sunaryo, 2005).

3. Tubulus Renalis Kontortus Distal

Sel sel tubulus distal juga impermeabel untuk air. Sekitar 10%

dari natrium klorida yang disaring direabsorpsi melalui suatu

transporter natrium/klorida yang sensitif terhadap diuretik tiazid.

Selain itu, ekskresi kalsium diatur oleh hormon hormon

paratiroid pada bagian tubulus ini (Mycek, 1997).

4. Tubulus Kolektivus

Hormon antidiuretik ADH (vasopresin) dari hipofise bertitik kerja

di sini dengan jalan mempengaruhi permeabilitas bagi air dari sel-

sel saluran ini (Tjay dan Rahardja, 2002).

II.2.3 Penggolongan Diuretik

Diuretik yang efektif untuk menghilangkan air dan natrium

sebagai berikut :

1. Diuretik Tiazid

Efeknya lebih lemah dan lambat (6-48 jam) dan terutama

digunakan pada terapi hipertensi dan kelemahan jantung (Tjay

dan Rahardja, 2002). Efek samping berupa hipokalemia,

hiperkolesterolemia, hiperurikemi, hiperglikemi, kecepatan


16

filtrasi glomerulus berkurang, impotensi, serta efek diuretik pada

penderita diabetes insipidus (Anonim, 1994).

2. Diuretik Kuat (Loop Diuretics)

Obat obat ini berkhsiat kuat dan pesat tetapi agak singkat (4-6

jam). Banyak digunakan pada keadaan akut, misalnya pada

udema otak dan paru-paru. Memperlihatkan kurva dosis efek

curam, artinya bila dosis dinaikkan efeknya (diuresis) senantiasa

bertambah. Contoh obatnya furosemida, bumetanida dan

etakrinat (Tjay dan Rahardja, 2007).

3. Diuretik Hemat Kalium

Diuretik hemat kalium dipakai untuk diuretik ringan atau dalam

kombinasi obat antihipertensi (contohnya, triamterence). Obat

obat ini bekerja pada tubulus distal ginjal untuk meningkatkan

ekskresi natrium dan air dan retensi kalium. Kalium direabsorpsi

dan natrium diekskresi. Efek samping utama dari obat obat ini

adalah hiperkalemia (Kee dan Hayes, 1996).

4. Antagonis Aldosteron

Antagonis aldosteron merupakan diuretik hemat kalium juga

tetapi lebih berpotensi sebagai antihipertensi dengan onset aksi

yang lama (hingga 6 minggu dengan spironolakton).

Efek obat ini lemah dan khusus digunakan kombinasi dengan

diuretik lainnya untuk menghemat ekskresi kalium. Aldosteron

menstimulasi reabsorpsi Na+ dan K+, proses ini dihambat secara


17

kompetitif oleh antagonis aldosteron (Tjay dan Rahardja, 2002).

Efek samping berupa hiperkalemia (Anonim, 1994).

II. 3. TIKUS PUTIH

Gambar II.8 Tikus Putih Jantan Galur Sprague Dawley


Sumber : Prasetya, 2011

Tikus putih (Ratus norvegicus) merupakan salah satu spesies tikus yang

dijumpai di perkotaan dan digunakan sebagai hewan percobaan. Tikus

sprague dawley merupakan jenis tikus albino serba guna secara ekstensif

dalam riset medis. Keuntungan utamanya adalah ketenangan dan

kemudahan penanganannya. Galur sprague dawley merupakan galur yang

paling besar diantara galur yang lain sehingga sering digunakan dalam

penelitian (Mangkoewidjojo dan Smith, 1988).

Klasifikasi tikus putih menurut klasifikasi tikus putih (Rattus

norvegicus) sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Phylum : Chordata

Subphylum : Vertebrata

Class : Mammalia

Order : Rodentia
18

Familia : Muridae

Genus : Rattus

Species : Rattus norvegicus

II. 4. EKSTRAKSI

Ekstraksi adalah penyarian zat zat berkhasiat dari bagian tanaman,

hewan, dan beberapa jenis ikan termasuk biota laut. Proses ekstraksi dalam

tanaman (zat aktif) yaitu, pelarut organik menembus membran atau dinding

sel dan masuk ke dalam inti.

II.4.1 Maserasi

Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana. Maserasi

dilakukan dengan cara merendam serbuk serbuk simplisia dalam

cairan penyari. Cairan penyari akan menembus dinding sel dan

masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif. Zat aktif

akan larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan

zat aktif di dalam sel dengan yang di luar sel maka, larutan yang

terpekat di desak keluar. Peristiwa tersebut berulang ulang

sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel

dan di dalam sel (Anonim, 2001).

II.4.2 Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru

sampai terjadi penyaringan sempurna yang umumnya dilakukan

pada temperatur ruangan. Proses perkolasi terdiri dari tahap


19

pengembangan bahan, tahap maserasi antara tahap perkolasi

(penetasa/penampungan ekstrak), terus diperoleh ekstrak

(perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan (Anonim, 2000).

II.4.3 Infudasi

Infus adalah cairan yang dibuat dengan menyari simplisia

dengan air suhu pada suhu 90 C selama 15 menit. Infudasi adalah

proses penyarian yang yang umumnya digunakan untuk menyari zat

kandungan aktif yang larut dalam air dari bahan bahan nabati.

Penyarian dengan cara ini menghasilkan sari yang tidak stabil dan

mudah tercemar oleh kuman dari kapang. Oleh sebab itu, sari yang

diperoleh dengan cara ini tidak boleh disimpan lebih dari 24 jam

(Anonim, 1986).

II.4.4 Sokhletasi

Sokhletasi adalah cara ekstraksi yang digunakan di

laboratorium. Cara ini cocok untuk bahan aktif yang tidak tahan

panas (Said, 2007).

Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang secara

terus-menerus, umumnya dilakukan dengan alat soxhlet sehingga

terjadi ekstraksi kontiniu dengan jumlah pelarut relatif konstan

dengan adanya pendingin balik (Anonim, 2000).

II.4.5 Fraksinasi

Fraksinasi merupakan proses pemisahan antara zat cair dengan

zat cair. Fraksinasi dilakukan secara bertingkat berdasarkan tingkat


20

kepolarannya yaitu, dari nonpolar, semipolar, dan polar. Senyawa

yang memiliki sifat nonpolar akan larut dalam pelarut nonpolar,

yang semi polar akan larut dalam pelarut semi polar, dan yang polar

akan larut ke dalam pelarut polar (Harbone, 1987).

II. 5. FUROSEMID

Furosemid merupakan obat yang sering digunakan dalam manajemen

pengobatan edema disertai dengan gagal jantung, dan penyakit hepatitis atau

ginjal, edema paru akut, pengobatan hipertensi (tunggal atau dalam bentuk

kombinasi antihipertensi lainnya) (Anonim, 2011).

Furosemid bekerja dengan cara menghambat reabsorpsi natrium dan

klorida di lengkungan henle dan tubulus distal pada ginjal, menghalangi

sistem kontrasport klorida yang terikat sehingga menyebabkan peningkatan

ekskresi air, natrium, klorida, magnesium, dan kalsium (Anonim, 2011).

Furosemid memiliki onset kerja pada diuresis oral dalam waktu 30-60

menit, intramuskular dalam waktu 30 menit, dan intravena kurang dari 5

menit. Efek puncaknya tercapai sekitar 1 hingga 2 jam dengan durasi 6

hingga 8 jam. Selain itu, diketahui bahwa furosemid dimetabolisme di hati

dan diekskresi melalui urin (oral : 50%, i.v: 80%) dalam 24 jam (Anonim,

2011).

Dalam pengobatan hipertensi untuk dosis dewasa, dosis furosemid yang

digunakan adalah 20 80 mg per hari dalam 2 dosis terbagi. Sedangkan

untuk pengobatan pada usia 1 hingga 17 tahun diberikan dosis 0,5 2


21

mg/kg dalam dosis satu kali atau dua kali dengan dosis maksimum 6

mg/kg/dosis (Anonim, 2011).

II. 6. PENELITIAN YANG RELEVAN

Penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan terkait dengan penelitian

di atas antara lain :

1. Jus seledri (Apium graveolens, L.) menurunkan tekanan darah tikus

ratus strain wistar dengan hipertensi oleh Harmilah, dan Rosa Delima

Ekwantini tahun 2013. Jumlah sampel sebanyak 18 ekor dibagi ke

dalam 3 kelompok. Dari hasil penelitian diketahui bahwa rata-rata

tekanan darah sistolik tikus rattus starin wistar setelah diinduksi NaCl

adalah 189 mmHg pada kelompok perlakuan 1, 192,17 pada kelompok

perlakuan 2 dan 188,17 pada kelompok kontrol, rata-rata penurunan

tekanan darah sistolik tikus rattus starin wistar setelah diberikan jus

seledri 0,009 gr/grBB selama dua minggu adalah 38,83 mmHg

(p=0,0000), rata-rata penurunan tekanan darah sistolik tikus rattus starin

wistar setelah diberikan jus seledri 0,0225 gr/grBB selama dua minggu

adalah 85 mmHg (p=0,000), rata rata penurunan tekanan darah sistolik

tikus rattus starin wistar pada kelompok kontrol adalah 3 mmHg (p=

0,000). Terdapat perbedaan bermakna rata-rata tekanan darah sistolik

pada kelompok yang diberikan jus seledri 0,009 gr/grBB (p=0,018) dan

kelompok yang diberikan jus seledri 0,0225 gr/grBB (p=0,000)

dibandingkan kelompok kontrol pada minggu I pemberian jus seledri,


22

terdapat perbedaan secara bermakna ratarata tekanan darah sistolik pada

kelompok yang diberikan jus seledri 0,009 gr/grBB, kelompok yang

diberikan jus seledri 0,0225 gr/grBB dan kelompok kontrol setelah

pemberian jus seledri selama dua minggu (p=0,000).

2. Efek ekstrak etanol seledri (Apium graveolens, L.) terhadap tekanan

darah pria dewasa oleh Kartika Dewi dkk tahun 2010. Penelitian yang

dilakukan pada 30 orang pria dewasa dengan mengukur tekanan darah

sistol dan diastol. Subjek penelitian minum ekstrak etanol seledri yang

berbentuk kapsul, diminum sebanyak sekali sehari secara oral selama

satu minggu. Dosis yang digunakan adalah 1 x 550 mg ekstrak etanol

seledri yang setara dengan 5,5 gr seledri kering. Selanjutnya, tekanan

darah sistol dan diastol diukur pada arteri brachialis dalam mmHg pada

posisi duduk setelah istirahat selama 10 menit, kaki menempel pada

lantai. Pengukuran tekanan darah dilakukan sebelum dan sesudah

minum ekstrak etanol seledri selama 7 hari, dilakukan empat kali

dengan selang waktu 15 menit menggunakan alat sphygmomanometer.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa pemberian ekstrak etanol seledri

dengan dosis 1 x 550 mg selama 7 hari dapat menurunkan tekanan

darah sistol dan diastol.

3. Efek diuretik ekstrak air herba seledri (Apium graveolens, L.) pada tikus

jantan wistar oleh Irawan Ambar Ristiyanto tahun 2006. Penelitian ini

menggunakan rancangan acak lengkap pola searah dengan jumlah

hewan uji sebanyak 25 ekor tikus putih jantan wistar yang dibagi
23

menjadi 5 kelompok dengan kontrol positif furosemid dosis 0,0072

g/kg, perlakuan dengan aquadest sebagai kontrol negatif, dan ekstrak air

herba seledri dosis 3,45; 4,40, dan 7,35 g/kg BB diberikan secara oral

dengan volume pemberian 2,50 ml/200 gr BB. Analisis data dilakukan

dengan ANOVA one way dan dilanjutkan dengan LSD dengan taraf

kepercayaan 95%. Hasil AUC0-24 volume urin tiap pengamatan terhadap

waktu menunjukkan bahwa ekstrak air herba seledri dosis 4,40 g/kg

BB, dan 7,35 g/kg BB berbeda bermakna (p<0,05) dengan kontrol

negatif sehingga dapat dikatakan bahwa ekstrak air herba seledri

berkhasiat sebagai diuretik dan konsumsi air minum tidak berpengaruh

terhadap efek diuretik.

4. Uji efek ekstrak etanol patikan kebo Euphorbia hirta Linn.) sebagai

diuretik pada tikus putih jantan galur wistar (Rattus norvegicus sp.) oleh

Irene Sondang Lingga, Gayatri Citraningtyas, dan Widya Astuti Lolo

pada tahun 2014. Sebanyak 15 ekor hewan uji dibagi menjadi 5

kelompok perlakuan, yaitu kontrol negatif (suspensi CMC 0,5%),

kontrol positif (suspensi furosemid 5,04 mg/KgBB), suspensi ekstrak

etanol patikan kebo dengan dosis 0,045g/KgBB, dosis 0,09 g/kgBB,

dan dosis 0,18 g/kgBB. Pengujian terhadap efek diuretik dilakukan

dengan mengukur volume urin yang dikeluarkan selama 6 jam. Data

yang diperoleh dianalisis dengan spss ver. 20, uji one way ANOVA

untuk melihat perbedaan rata-rata setiap kelompok perlakuan, jika

terdapat beda nyata dilanjutkan dengan uji LSD untuk melihat


24

signifikan antara setiap kelompok perlakuan. Hasil uji LSD

menunjukkkan kelompok perlakuan dari suspensi ekstrak etanol patikan

kebo 0,045 g/kgBB tidak jauh berbeda dengan suspensi CMC 0,5%,

dibandingkan suspensi ekstrak etanol herba patikan kebo 0,09 g/kgBB

dan suspensi ekstrak etanol patikan kebo dengan dosis 0,18 g/gBB

memberikan efek peningkatan urin yang signifikan.

5. Aktivitas diuretik ekstrak air dan alkohol Wrightia tinctoria oleh

Sathianarayanan S., Asha Jose, Rajasekaran A., Rijo Mary George, dan

Amrutha B.Chittethu tahun 2011 (International Journal of

Phytopharmacology). Ekstrak air dan alkohol dari daun wrightia

tinctoria (Apocyanacea) dianalisis untuk mengidentifikasi karbohidrat,

fitosterol, tannin, dan lignin. Kedua ekstrak diteliti memiliki aktivitas

diuretik. Total volume urin, dan konsentrasi sodium, potassium, dan

klorida di dalam urin. Ekstrak menunjukkan potensi efek diuretik

dengan peningkatan konsentrasi elektrolit di dalam urin yang

dibandingkan dengan obat standar (furosemid) pada tikus putih.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah

penelitian ini menguraikan tentang efektivitas ekstrak etanol herba seledri

(Apium graveolens L.) sebagai diuretik pada tikus putih jantan galu

rsprague dawley sedangkan penelitian-penelitian sebelumnya

menguraikan tentang jus seledri, ekstrak etanol seledri dan rebusan seledri

yang berpengaruh terhadap penurunan tekanan darah serta ekstrak air

herba seledri yang berkhasiat sebagai diuretik.


25

II. 7. KERANGKA KONSEP

Variabel
Variabel Independen
Dependen
Pada penelitin ini tikus dibagi menjadi 5 Mempunyai
kelompok dengan konsentrasi ekstrak efek diuretik
etanol 70% herba seledri (Apium atau tidak
graveolens L.) yang dibagi dalam 5 mempunyai
kelompok perlakuan yaitu : efek diuretik

Kelompok 1 : Kontrol Normal


Kelompok 2 : Kontrol Positif
Kelompok 3 : Dosis 1,5 gr/200 grBB
Kelompok 4 : Dosis 0,75 gr/200grBB
Kelompok 5 : Dosis 0,375 gr/200 grBB

Gambar II.9 Kerangka Konsep Uji Efektivitas Ekstrak Etanol 70% Herba Seledri (Apium
graveolens L.) sebagai Diuretik pada Tikus Putih Jantan Galur Sprague Dawley

Anda mungkin juga menyukai