Anda di halaman 1dari 36

Laporan Kasus

Abses Submandibula
Oleh :

Affra Cahyo Wibowo


Annisa Soraya Putri
Asti Uki Utari
Citra Puan Maulidza
Fakhrul Gamal Putra
Lola Dwi Syahtira
Sri Wahyuni
Dessy Maharani

SMF Ilmu THT


Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala
Tahun 2014
BAB I
PENDAHULUAN

Abses submandibular merupakan salah satu abses leher dalam yang banyak
disebabkan oleh infeksi gigi. Penelitian yang dilakukan oleh Huang dkk tahun
1997 sampai 2002, menemukan kasus infeksi leher dalam sebanyak 185 kasus.
Abses submandibula (15,7%) merupakan kasus terbanyak kedua setelah abses
parafaring (38,4%), diikuti oleh angina Ludovici (12,4%), parotis (7%), dan
retrofiring (5,9%). Sakaguchi dkk memaparkan bahwa dari tahun 1985 sampai
1994 kasus infeksi leher dalam sebanyak 91 kasus. Rentang usia dari umur 1-81
tahun, laki-laki sebanyak 78% dan perempuan 22%. Infeksi peritonsil paling
banyak ditemukan, yaitu 72 kasus, diikuti oleh parafaring 8 kasus, submandibular,
sublingual dan submaksila 7 kasus dan retrofiring 1 kasus.
Abses submandibula adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan
pus pada daerah submandibula. Abses submandibula menempati urutan tertinggi
dari seluruh abses leher dalam. 70-85 % kasus yang disebabkan oleh infeksi gigi
merupakan kasus terbanyak, selebihnya disebabkan oleh sialadenitis, limfadenitis,
laserasi dinding mulut atau fraktur mandibula. Keadaan ini merupakan salah satu
infeksi pada leher bagian dalam (deep neck infection). Pada umumnya sumber
infeksi pada ruang submandibula berasal dari proses infeksi dari gigi, dasar mulut,
faring, kelenjar limfe submandibula.
Abses submandibula adalah salah satu abses leher dalam yang sering
ditemukan. Angka kejadian Abses submandibula berada di bawah abses peritonsil
dan retrofaring. Namun dewasa ini, angka kejadiannya menduduki urutan tertinggi
dari seluruh abses leher dalam. 70 85% dari kasus disebabkan oleh infeksi dari
gigi, selebihnya karena sialadenitis, limfadenitis, laserasi dinding mulut atau
fraktur mandibula. Selain itu, angka kejadian juga ditemukan lebih tinggi pada
daerah dengan fasilitas kesehatan yang kurang lengkap. Pada kasus infeksi leher
dalam rentang usia dari umur 1-81 tahun, laki-laki sebanyak 78% dan perempuan
22%. Infeksi peritonsil paling banyak ditemukan, yaitu 72 kasus, diikuti oleh
parafaring 8 kasus, submandibula, sublingual dan submaksila masing-masing 7
kasus dan retrofaring 1 kasus. kasus infeksi leher dalam sebanyak 185 kasus.
Abses submandibula (15,7%) merupakan kasus terbanyak ke dua setelah abses
1
parafaring (38,4), diikuti oleh Ludwigs angina (12,4%), parotis (7%) dan
retrofaring (5,9%). Kasus abses leher dalam yang diteliti April 2001 sampai
Oktober 2006 mendapatkan perbandingan antara laki-laki dan perempuan 3:2.
Lokasi abses lebih dari satu ruang potensial 29%. Abses submandibula 35%,
parafaring 20%, mastikator 13%, peritonsil 9%, sublingual 7%, parotis 3%, infra
hyoid 26%, retrofaring 13%, ruang karotis 11%.
Abses submandibula sudah semakin jarang dijumpai. Hal ini disebabkan
penggunaan antibiotik yang luas dan kesehatan mulut yang meningkat. Disamping
insisi drainase abses yang optimal, pemberian antibiotik diperlukan untuk terapi
yang adekuat. Walaupun demikian, angka morbiditas dari komplikasi yang timbul
akibat abses submandibula masih cukup tinggi sehingga diagnosis dan
penanganan yang cepat dan tepat sangat dibutuhkan.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Anatomi
Fasia servikalis terdiri dari lapisan jaringan ikat fibrous yang membungkus
organ, otot, saraf dan pembuluh darah serta membagi leher menjadi beberapa
ruang potensial. Fasia servikalis terbagi menjadi 2 bagian yaitu fasia servikalis
superfisialis dan fasia servikalis profunda. Kedua fasia ini dipisahkan oleh m.
plastima yang tipis dan meluas ke anterior leher. Muskulus platisma sebelah
inferior berasal dari fasia servikal profunda dan klavikula serta meluas ke superior
untuk berinsersi di bagian inferior mandibula.(Gambar 1)

Gambar 2.1 Anatomi Leher

3
Fasia servikalis superfisialis terletak tepat dibawah kulit leher berjalan dari
perlekatannya di prosesus zigomatikus pada bagian superior dan berjalan ke
bawah ke arah toraks dan aksila yang terdiri dari jaringan lemak subkutan. Ruang
antara fasia servikalis superfisialis dan fasia servikalis profunda berisi kelenjar
limfe superfisial, saraf dan pembuluh darah termasuk vena jugularis eksterna.

Fasia servikalis profunda terdiri dari 3 lapisan yaitu :

1. Lapisan superfisial
Lapisan ini membungkus leher secara lengkap, dimulai dari dasar tengkorak
sampai daerah toraks dan aksila. Pada bagian anterior menyebar ke daerah wajah
dan melekat pada klavikula serta membungkus m. sternokleidomastoideus, m.
trapezius, m. masseter, kelenjar parotis dan submaksila. Lapisan ini disebut juga
lapisan eksternal, investing layer, lapisan pembungkus dan lapisan anterior.

2. Lapisan media
Lapisan ini dibagi atas 2 divisi yaitu divisi muskular dan viscera. Divisi
muskular terletak dibawah lapisan superfisial fasia servikalis profunda dan
membungkus m. sternohioid, m. sternotiroid, m. tirohioid dan m. omohioid.
Dibagian superior melekat pada os hioid dan kartilago tiroid serta dibagian
inferior melekat pada sternum, klavikula dan skapula.
Divisi viscera membungkus organ organ anterior leher yaitu kelenjar
tiroid, trakea dan esofagus. Disebelah posterosuperior berawal dari dasar
tengkorak bagian posterior sampai ke esofagus sedangkan bagian anterosuperior
melekat pada kartilago tiroid dan os hioid. Lapisan ini berjalan ke bawah sampai
ke toraks, menutupi trakea dan esofagus serta bersatu dengan perikardium. Fasia
bukkofaringeal adalah bagian dari divisi viscera yang berada pada bagian
posterior faring dan menutupi m. konstriktor dan m. buccinator.

3. Lapisan profunda
Lapisan ini dibagi menjadi 2 divisi yaitu divisi alar dan prevertebra. Divisi
alar terletak diantara lapisan media fasia servikalis profunda dan divisi
prevertebra, yang berjalan dari dasar tengkorak sampai vertebra torakal II dan
bersatu dengan divisi viscera lapisan media fasia servikalis profunda. Divisi alar

4
melengkapi bagian posterolateral ruang retrofaring dan merupakan dinding
anterior dari danger space.
Divisi prevertebra berada pada bagian anterior korpus vertebra dan ke lateral
meluas ke prosesus tranversus serta menutupi otot-otot didaerah tersebut. Berjalan
dari dasar tengkorak sampai ke os koksigeus serta merupakan dinding posterior
dari danger space dan dinding anterior dari korpus vertebra.
Ketiga lapisan fasia servikalis profunda ini membentuk selubung karotis
(carotid sheath) yang berjalan dari dasar tengkorak melalui ruang
faringomaksilaris sampai ke toraks.

Fasia servikalis:
A. Fasia servikalis superfisialis
B. Fasia servikalis profunda :
1. Lapisan superfisial
2. Lapisan media :
- divisi muskular
- divisi viscera
3. Lapisan profunda :
- divisi alar
- divisi prevertebra
Daerah ini meluas mulai dari dasar tengkorak sampai ke mediastinum
setinggi bifurkasio trakea (vertebra torakal I atau II) dimana divisi viscera dan alar
bersatu. Daerah retrofaring terbagi menjadi 2 daerah yang terpisah di bagian
lateral oleh midline raphe. Tiap tiap bagian mengandung 2 5 buah kelenjar
limfe retrofaring yang biasanya menghilang setelah berumur 4 5 tahun. Kelenjar
ini menampung aliran limfe dari rongga hidung, sinus paranasal, nasofaring,
faring, tuba Eustakius dan telinga tengah. Daerah ini disebut juga dengan ruang
retroviscera, retroesofagus dan ruang viscera posterior.
Ruang potensial leher dibagi menjadi ruang yang melibatkan seluruh leher,
ruang suprahioid dan ruang infrahioid. Ruang yang melibatkan seluruh leher
terdiri dari ruang retrofaring, ruang bahaya (danger space) dan ruang prevertebra.
Prevertebral space dibatasi oleh divisi prevertebra pada bagian anterior dan korpus
vertebra pada bagian posterior (tepat di belakang danger space). Ruang ini
5
berjalan sepanjang kollumna vertebralis dan merupakan jalur penyebaran infeksi
leher dalam ke daerah koksigeus. Danger space dibatasi oleh divisi alar pada
bagian anterior dan divisi prevertebra pada bagian posterior (tepat di belakang
ruang retrofaring).
Ruang suprahioid terdiri dari ruang submandibula, ruang parafaring, ruang
parotis, ruang peritonsil dan ruang temporalis. Ruang infrahioid meliputi bagian
anterior dari leher mulai dari kartilago tiroid sampai superior mediastinum
setinggi vertebra ke empat dekat arkus aorta.

Ruang Submandibula
Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual, submaksila dan
submental. Muskulus milohioid memisahkan ruang sublingual dengan ruang
submental dan submaksila. Ruang sublingual dibatasi oleh mandibula di bagian
lateral dan anterior, pada bagian inferior oleh m. milohioid, di bagian superior
oleh dasar mulut dan lidah, dan di posterior oleh tulang hioid. Di dalam ruang
sublingual terdapat kelenjer liur sublingual beserta duktusnya.
Ruang submental di anterior dibatasi oleh fasia leher dalam dan kulit dagu,
di bagian lateral oleh venter anterior m. digastrikus, di bagian superior oleh m.
milohioid, di bagian inferior oleh garis yang melalui tulang hyoid. Di dalam ruang
submental terdapat kelenjer limfa submental.

6
Gambar 2.2 Ruangan leher dalam

Ruang maksila bagian superior dibatasi oleh m. milohioid dan m.


hipoglossus. Batas inferiornya adalah lapisan anterior fasia leher dalam, kulit
leher dan dagu. Batas medial adalah m. digastrikus anterior dan batas posterior
adalah m. stilohioid dan m. digastrikus posterior. Di dalam ruang submaksila
terdapat kelenjer liur submaksila atau submandibula beserta duktusnya. Kelenjar
limfa submaksila atau submandibula beserta duktusnya berjalan ke posterior
melalui tepi m. milohioid kemudian masuk ke ruang sublingual. Akibat infeksi
pada ruang ini mudah meluas dari satu ruang ke ruang lainnya.

II. Definisi
Abses submandibular didefinisikan sebagai terbentuknya abses pada ruang
potensial di regio submandibular yang disertai dengan rasa nyeri tenggorok,
demam dan terbatasnya gerakan membuka mulut. Abses submandibular
merupakan bagian dari abses leher dalam. Abses leher dalam terbentuk di ruang
potensial diantara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai
sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher.
Gejala dan tanda klinik biasanya berupa nyeri dan pembengkakan diruang leher
dalam yang terlibat.

7
III. Epidemiologi
Huang dkk, dalam penelitiannya pada tahun 1997 sampai 2002, menemukan
kasus infeksi leher dalam sebanyak 185 kasus. Abses submandibula (15,7%)
merupakan kasus terbanyak ke dua setelah abses parafaring (38,4), diikuti oleh
angina Ludovici (12,4%), parotis (7%) dan retrofaring (5,9%).
Sakaguchi dkk, menemukan kasus infeksi leher dalam sebanyak 91 kasus
dari tahun 1985 sampai 1994. Rentang usia dari umur 1-81 tahun, laki-laki
sebanyak 78% dan perempuan 22%. Infeksi peritonsil paling banyak ditemukan,
yaitu 72 kasus, diikuti oleh parafaring 8 kasus, submandibula, sublingual dan
submaksila 7 kasus dan retrofaring 1 kasus.
Fachruddin, melaporkan 33 kasus abses leher dalam selama Januari 1991-
Desember 1993 di bagian THT FKUI-RSCM dengan rentang usia 15-35 tahun
yang terdiri dari 20 laki-laki dan 13 perempuan. Ruang potensial yang tersering
adalah submandibula sebanyak 27 kasus, retrofaring 3 kasus dan parafaring 3
kasus.
Di subbagian laring faring FK Unand/RSUP M Djamil Padang selama
Januari 2009 sampai April 2010, tercatat kasus abses leher dalam sebanyak 47
kasus, dengan abses submandibula menempati urutan ke dua dengan 20 kasus
dimana abses peritonsil 22 kasus, abses parafaring 5 kasus dan abses retrofaring 2
kasus.

IV. Etiologi
Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjer liur atau
kelenjer limfa submandibula. Sebagian lain dapat merupakan kelanjutan infeksi
ruang leher dalam lainnya.
Sebelum ditemukan antibiotika, penyebab tersering infeksi leher dalam
adalah faring dan tonsil, tetapi sekarang adalah infeksi gigi. Bottin dkk,
mendapatkan infeksi gigi merupakan penyebab yang terbanyak kejadian angina
Ludovici (52,2%), diikuti oleh infeksi submandibula (48,3%), dan parafaring.
Sebagian besar kasus infeksi leher dalam disebabkan oleh berbagai kuman,
baik aerob maupun anaerob. Kuman aerob yang paling sering ditemukan adalah
Streptococcus sp, Staphylococcus sp, Neisseria sp, Klebsiella sp, Haemophillus
sp. Pada kasus yang berasal dari infeksi gigi, sering ditemukan kuman anaerob
8
Bacteroides melaninogenesis, Eubacterium Peptostreptococcus dan yang jarang
adalah kuman Fusobacterium.

V. Patogenesis
Beratnya infeksi tergantung dari virulensi kuman, daya tahan tubuh dan
lokasi anatomi. Infeksi gigi dapat mengenai pulpa dan periodontal. Penyebaran
infeksi dapat meluas melalui foramen apikal gigi ke daerah sekitarnya.
Infeksi dari submandibula dapat meluas ke ruang mastikor kemudian ke
parafaring. Perluasan infeksi ke parafaring juga dapat langsung dari ruang
submandibula. Selanjutnya infeksi dapat menjalar ke daerah potensial lainnya.

Gambar 2.3 Infeksi Submandibula

9
Penyebaran abses leher dalam dapat melalui beberapa jalan yaitu limfatik,
melalui celah antara ruang leher dalam dan trauma tembus.

Gambar 2.4 Patofisiologi penyebaran abses leher

Abses adalah kumpulan pus yang terletak dalam satu kantung yang
terbentuk dalam jaringan yang disebabkan oleh suatu proses infeksi oleh bakteri,
parasit atau benda asing lainnya. Abses merupakan pus yang terlokalisir akibat
adanya infeksi dan supurasi jaringan. Abses merupakan reaksi pertahanan yang
bertujuan mencegah agen-agen infeksi menyebar ke bagian tubuh lainnya. Pus itu
sendiri merupakan suatu kumpulan sel-sel jaringan lokal yang mati, sel-sel darah
putih, organisme penyebab infeksi atau benda-benda asing dan racun yang
dihasilkan oleh organisme dan sel-sel darah. Abses bisa terjadi pada semua
struktur atau jaringan rongga mulut.
Abses submandibula adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan
pus pada daerah submandibula. Keadaan ini merupakan salah satu infeksi pada

10
leher bagian dalam (deep neck infection). Abses di ruang submandibula adalah
salah satu abses leher dalam yang sering ditemukan. Ruang submandibula terdiri
dari ruang sublingual dan submaksila yang dipisahkan oleh otot milohioid. Ruang
submaksila dibagi lagi menjadi ruang submental dan submaksila (lateral) oleh otot
digastrikus anterior.
Pada umumnya sumber infeksi pada ruang submandibula berasal dari proses
infeksi dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar limfe submandibula. Mungkin juga
kelanjutan infeksi dari ruang leher dalam lain.Selain disebabkan oleh infeksi gigi,
infeksi di ruang submandibula bisa disebabkan oleh sialadenitis kelenjar
submandibula, limfadenitis, trauma, atau pembedahan dan bisa juga sebagai
kelanjutan infeksi ruang leher dalam lain. Penyebab infeksi dapat disebabkan oleh
kuman aerob, anaerob atau campuran. Infeksi di ruang submandibula biasanya
ditandai dengan pembengkakan di bawah rahang, baik unilateral atau bilateral dan
atau di bawah lidah yang berfluktuasi, dan sering ditemukan trismus.Beberapa
penelitian melaporkan bahwa infeksi gigi atau odontogenik merupakan penyebab
terbanyak dari abses leher dalam. Berhubungan dengan ini, ruang submandibula
sering terkena infeksi. Infeksi gigi dapat mengenai pulpa dan periodontal.
Penyebaran infeksi dapat meluas melalui foramen apikal gigi ke daerah sekitarnya

Gambar 2.5 Penyebaran infeksi melalui gigi

Lee dkkmelaporkan 83,3% hasil kultur positif untuk kuman aerob dan
31,3% untuk anaerob pada abses leher dalam. Pada abses leher dalam yang
bersumber dari infeksi gigi, bakteri yang paling sering ditemukan adalah grup
Streptococcus milleri dan bakteri anaerob. Mazita dkk, melaporkan mayoritas
hasil kultur tidak ditemukan pertumbuhan kuman. Di Bagian THT-KL Rumah
Sakit Dr. M. Djamil Padang, periode April sampai Oktober 2010 dari hasil kultur
11
didapatkan 73% spesimen tumbuh kuman aerob, 27% tidak tumbuh kuman aerob.
Pada pemeriksaan ini tidak dilakukan kultur pada kuman anaerob.

VI. Gejala Klinis


Menurut Smeltzer dan Bare (2001), gejala dari abses tergantung kepada
lokasi dan pengaruhnya terhadap fungsi suatu organ saraf. Gejala tersebut dapat
berupa :
- Nyeri
- Teraba hangat
- Pembengkakan
- Kemerahan
- Demam
Pada abses submandibular didapatkan pembengkakan dibawah dagu atau
dibawah lidah baik unilateral atau bilateral, disertai rasa demam, nyeri tenggorok
dan trismus. Mungkin didapatkan riwayat infeksi atau cabut gigi. Pembengkakan
dapat berfluktuasi atau tidak.

VII. Diagnosis
Diagnosis abses leher dalam ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis yang
cermat, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada beberapa kasus
kadang-kadang sulit untuk menentukan lokasi abses terutama jika melibatkan
beberapa daerah leher dalam dan jika pasien sudah mendapatkan pengobatan
sebelumnya.
Pemeriksaan penunjang sangat berperan dalam menegakkan diagnosis. Pada
foto polos jaringan lunak leher anteroposterior dan lateral didapatkan gambaran
pembengkakan jaringan lunak, cairan di dalam jaringan lunak, udara di subkutis
dan pendorongan trakea. Pada foto polos toraks, jika sudah terdapat komplikasi
dapat dijumpai gambaran pneumotoraks dan juga dapat ditemukan gambaran
pneumomediastinum.
Jika hasil pemeriksaan foto polos jaringan lunak menunjukkan kecurigaan
abses leher dalam, maka pemeriksaan tomografi komputer idealnya dilakukan.
Tomografi Komputer (TK) dengan kontras merupakan standar untuk evaluasi
infeksi leher dalam. Pemeriksaan ini dapat membedakan antara selulitis dengan

12
abses, menentukan lokasi dan perluasan abses. Pada gambaran TK dengan kontras
akan terlihat abses berupa daerah hipodens yang berkapsul, dapat disertai udara di
dalamnya, dan edema jaringan sekitar. TK dapat menentukan waktu dan perlu
tidaknya operasi.
Pemeriksaan penunjang lainnya adalah pemeriksaan pencitraan resonansi
magnetik (Magnetic resonance Imaging/MRI) yang dapat mengetahui lokasi
abses, perluasan dan sumber infeksi. Sedangkan Ultrasonografi (USG) adalah
pemeriksaan penunjang diagnostik yang tidak invasif dan relatif lebih murah
dibandingkan TK, cepat dan dapat menilai lokasi dan perluasan abses.
Foto panoramik digunakan untuk menilai posisi gigi dan adanya abses pada
gigi. Pemeriksaan ini dilakukan terutama pada kasus abses leher dalam yang
diduga sumber infeksinya berasal dari gigi. Pemeriksaan darah rutin dapat melihat
adanya peningkatan leukosit yang merupakan tanda infeksi. Analisis gas darah
dapat menilai adanya sumbatan jalan nafas. Pemeriksaan kultur dan resistensi
kuman harus dilakukan untuk mengetahui jenis kuman dan antibiotik yang sesuai.

VIII. Tatalaksana
Penatalaksanaan abses submandibula umumnya adalah dengan evakuasi
abses baik dilakukan dengan anestesi lokal maupun dengan anestesi umum serta
dengan pemberian antibiotik intravena dosis tinggi. Antibiotika dosis tinggi
terhadap kuman aerob dan anaerob diberikan secara parenteral. Hal yang paling
penting adalah terjaganya saluran nafas yang adekuat dan drainase abses yang
baik.
Infeksi leher dalam sering disebabkan campuran bakteri (gram positif, gram
negatif, aerob dan anaerob) sehingga diberikan antibiotik kombinasi secara
empiris menunggu hasil kultur keluar. Antibiotik yang dapat diberikan yaitu
seftriakson dan metronidazole.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan antibiotik adalah
efektifitas obat terhadap kuman target, risiko peningkatan resistensi kuman
minimal, toksisitas obat rendah, stabilitas tinggi dan masa kerja yang lebih lama.
Insisi dibuat pada tempat yang paling berfluktuasi atau setinggi os hyoid,
tergantung letak dan luas abses. Eksplorasi dilakukan secara tumpul sampai
mencapai ruang sublingual, kemudian dipasang salir.Pasien dirawat inap sampai
13
1-2 hari gejala dan tanda infeksi reda.

IX. Komplikasi
Komplikasi terjadi karena keterlambatan diagnosis, terapi yang tidak tepat
dan tidak adekuat. Komplikasi diperberat jika disertai dengan penyakit diabetes
mellitus, adanya kelainan hati dan ginjal dan kehamilan. Komplikasi yang berat
dapat menyebabkan kematian.
Infeksi dapat menjalar ke ruang leher dalam lainnya, dapat mengenai
struktur neurovaskular seperti arteri karotis, vena jugularis interna dan n. X.
Penjalaran infeksi ke daerah selubung karotis dapat menimbulkan erosi sarung
karotis atau menyebabkan trombosis vena jugularis interna. Infeksi yang meluas
ke tulang dapat menimbulkan osteomielitis mandibula dan vertebra servikal.
Dapat juga terjadi obstruksi saluran nafas atas, mediastinitis, dehidrasi dan sepsis.

X. Prognosis
Pada umumnya prognosis abses retrofaring baik apabila dapat didiagnosis
secara dini dengan penanganan yang tepat dan komplikasi tidak terjadi. Pada fase
awal dimana abses masih kecil maka tindakan insisi dan pemberian antibiotika
yang tepat dan adekuat menghasilkan penyembuhan yang sempurna.
Apabila telah terjadi mediastinitis, angka mortalitas mencapai 40 - 50%
walaupun dengan pemberian antibiotik. Ruptur arteri karotis mempunyai angka
mortalitas 20 40% sedangkan trombosis vena jugularis mempunyai angka
mortalitas 60%.

14
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
Nama : Nn. R
Umur : 25 tahun
Alamat : Geulanggang Baroe, Bireuen
JenisKelamin : Perempuan
Agama : Islam
Suku : Aceh
No. CM : 1-02-25-48
Tanggal Masuk : 3 Desember 2014
Tanggal Pemeriksaan : 2014

3.2 Anamnesis
1.Keluhan Utama
Nyeri di pipi kanan
2. Keluhan Tambahan
Sulit membuka mulut, lemas dan demam.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD ZA atas rujukan RSUD Fauziah Bireuen
dengan keluhan nyeri pada pipi kanan sejak 5 hari yang lalu. Nyeri pada gigi yang
berlubang dirasakan pasien 2 bulan yang lalu sebelum masuk rumah sakit.
Awalnya pasien mengaku tersangkut makanan pada giginya yang berlubang pada
pagi hari. Kemudian pasien berusaha untuk mengeluarkannya dengan cara
mencongkel gigi dengan lidi yang di ambil pasien di pohon kelapa depan
rumahnya. Pada malam harinya pasien merasakan nyeri pada gusi dan gigi kanan
bawah belakang. Keluhan terus dirasakan memberat dan disertai bengkak pada
pipi kanan sehingga pasien tidak dapat membuka mulut dan sulit memakan
makanan. Selain itu pasien juga merasakan lemas.
4. Riwayat Penyakit Dahulu:
Pasien menderita gigi yang berlubang sejak 1 tahun yang lalu, yaitu 2 gigi
geraham belakang kanan dan 1 geraham belakang kiri. Pasien menderita sakit
ginjal sejak 3 tahun yang lalu.
15
5. Riwayat Pemakaian Obat:
Pasien berobat ke ahli tradisional sebanyak 2 kali sejak keluhan muncul,
namun keluhan tidak berkurang. Kemudian pasien berobat ke puskesmas dan
keluhan juga tiak berkurang, sehingga pasien memutuskan untuk berobat ke
RSUD Fauziah Bireuen selama 2 hari dan dirujuk ke RSUDZA.
6. Riwayat Penyakit Keluarga:
Tidak ada keluarga pasien yang mengalami penyakit yang sama dengan
pasien.
7. Riwayat Kebiasaan Sosial
Pasien mempunyai kebiasaan mengorek telinga sejak kecil, sering mandi di
laut sehingga telinganya sering masuk air, suka makan bakso, sering berobat ke
puskesmas tetapi tidak pernah tuntas karna pasien merasa keluhan sudah
berkurang.
Vital sign
TD: 120/80 mmHg
N : 90x/menit
RR: 20 x/menit
T : 36,90C

3.3 Status Lokalis (THT)

Pemeriksaan Dextra Sinistra


Preaurikuler Tenang Tenang
Aurikula Normal Normal
CAE Lapang/tenang Lapang/tenang
Serumen Minimal Minimal
Sekret Tidak ada Tidak ada
Membran timpani Intak Intak
Refleks cahaya Arah jam 5 Arah jam 7
Retroaurikuler Fistel (-), Abses (-) Fistel (-), Abses (-)
Rhinoskopi anterior
Mukosa Tidak hiperemis Tidak hiperemis

16
Sekret Tidak ada Tidak ada
Massa Negatif Negatif
Konka Inf. Dalam batas normal Dalam batas normal
Septum nasi Tidak deviasi Tidak deviasi
Pasase udara Lancar Lancar
Orofaring
Tonsil T1, tenang T1,tenang
Kripta Tidak melebar Tidak melebar
Detritus Negatif Negatif
Perlengketan Negatif Negatif
Sikatrik Negatif Negatif
Faring
Mukosa Tenang Tenang
Granul Negatif Negatif
Bulging Negatif Negatif
Reflek muntah (+) (+)
Arkus faring Simetris Simetris
Maksilofasial
Simetri Tidak simetris Tidak simetris
Parese n. Kranialis Negatif Negatif
Massa Negatif Negatif
Hematoma Negatif Negatif
Oedem Positif Positif
Leher
Upper juguler Pembesaran Pembesaran
Mid juguler Tidak ada pembesaran Tidak ada pembesaran
Lower juguler Tidak ada pembesaran Tidak ada pembesaran
Sub mandibula Pembesaran Pembesaran
Sub mental Pembesaran Pembesaran
Supra Klavikula Tidak ada pembesaran Tidak ada pembesaran

17
Dorsum nasi : Dalam batas normal
Palatum : Tidak hiperemis
Gigi-geligi : Terdapat karies dentis (gigi 7, 8 bawah kanan dan
gigi 8 bawah kiri)
Trimus : (+)
Nistagmus : (-)
Laringoskopi indirek : Tidak dilakukan

3.4 Diagnosa banding


1. Abses submandibular dekstra
2. Abses buccal meluas ke mandibula
3. Angina Ludovici (Ludwigs angina)
4. Abses parafaring

3.5 Pemeriksaan Penunjang


1. Kultur Mikroorganisme
Hasil : Tidak ada pertumbuhan mikroorganisme bakteri maupun jamur
2. Laboratorium Darah

Pemeriksaan 2-12-2014 5-12-2014 10-12-2014


Hemoglobin 9,5 g/dl 9,4 g/dl 9,7 g/dl
Hematokrit 28 % 28 % 28 %
Eritrosit 3,6 x 106/ ul 3,5 x 106/ ul 3,6 x 106/ ul
Leukosit 19,0 x 103/ul 12,0 x 103/ul 5,7 x 103/ul
Trombosit 149.000/mm3 174.000/mm3 524.000/mm3
LED 115 mm/jam
E/B/NS/L/M 1/0/85/6/8 0/0/88/8/4 1/2/57/26/14
Creatinin 0,80 mg/dl 0,80 mg/dl
Ureum 55 55
Chlorida Darah

Kalium Darah

Natrium Darah

18
Albumin
Globulin
Protein total
MCV
MCH
MCHC
CT 7
BT 2
SGOT
SGPT

3. Foto thoraks (2 Desember 2014)

Kesimpulan : Cor dan Pulmonal dalam batas normal

19
4. CT Scan mandibula tanpa contras (3 Desember 2014)

1.

Kesimpulan : Suspect soft tissue swelling dengan air bubble di mandibula


sampai ke temporal dekstra ke dalam mengenai oropharyng dekstra

20
5. CT Scan mandibula dengan contras (3 Desember 2014)

Kesimpulan: Soft tissue swelling dengan air bubble di dalamnya di mandibula


sampai ke temporal dekstra ke dalam mengenai oropharyng dekstra suspect abses
fase infiltrat.

21
6. CT Scan cervical AP/Lat

Kesimpulan : soft tissue massa region submandibula dekstra dan sinistra.

22
3.6 Diagnosis kerja
Abses submandibular dekstra

3.7 Penatalaksanaan
Medikamentosa:
Terapi THT
- IVFD Ringer Laktat 10 tetes per menit
- Injeksi Cefotaxim 1 gr per 12 jam
- Injeksi Metronidazole 500 mg vial per 8 jam

Non Medimentosa
- Operatif : Insisi dan Drainage Evakuasi Abses Submandibular

3.8 Prognosis
- Quo ad vitam : Dubia ad bonam
- Quo ad functionam : Dubia ad bonam
- Quo ad Sanactionam : Dubia ad bonam

23
FOLLOW UP PASIEN

4/12/2 S/ Ass/ Th/


014 Bengkak pipi kanan Abses submandibula Terapi THT
H1 (+) dekstra - IVFD Ringer Laktat
Mulut susah di buka 10 tetes per menit
- Injeksi Cefotaxim 1
Kes : Compos mentis gr per 12 jam (H1)
TD : 120/70 mmHg - Injeksi
HR : 80x/i Metronidazole 500
RR : 19x/i mg ampul per 8 jam
T : 36,5OC (H1)
Status lokalis: - Betadine Gurgle
- Wajah : asimetris, P/
benjolan di pipi - Operasi insisi +
kanan drainage abses
- Mulut : trismus 2
submandibula
jari, pus (+)
- Leher : benjolan
(+/+).

5/12/2 S/ Ass/ Th/


014 Sakit kepala (+), Post insisi dan Terapi THT
H2 keluar cairan dari drainage abses - IVFD Ringer Laktat
telinga kiri kental dan submandibular 20 tetes per menit
berbau (+) lengan dekstra - Injeksi Cefotaxime
kanan atas terasa 1 gr per 12 jam
kebas (H2)
- Injeksi Ketorolac
Kes : Compos mentis 3% per 12 jam (H1)
TD : 120/70 mmHg - Injeksi
HR : 80x/i Metronidazole 500
RR : 20x/i mg per 8 jam (H2)
T : 36,5OC - Betadine Gurgle

SL a/r mandibula: p/ Rawat luka


Luka terpasang drain
dan terbalut verban,
drain mengeluarkan
pus (+), nyeri (+),
berbau (+)
6/12/2 S/ Ass/ Th/
014 Nyeri luka operasi (+) Post insisi dan Terapi THT
POD Batuk berdahak drainage abses - IVFD Ringer Laktat
I submandibular 20 tetes per menit
Kes : Compos mentis dekstra - Injeksi Cefotaxime
TD : 95/70 mmHg 1 gr per 12 jam
24
HR : 74x/i (H3)
RR : 17x/i - Injeksi Ketorolac
T : 36,5OC 3% per 12 jam (H2)
- Injeksi Gentamisin
SL a/r mandibula: 80 mg per 12 jam
Luka terpasang drain (H1)
dan terbalut verban, - Injeksi
drain mengeluarkan Metronidazole 500
pus (+), nyeri (+), mg per 8 jam (H3)
berbau (+) - Betadine gurgle
- Diet MI

p/
- Rawat Luka

7/12/2 S/ Ass/ Th/


014 Nyeri luka operasi (+) Post insisi dan Terapi THT
POD Batuk berdahak drainage abses - IVFD Ringer Laktat
II submandibular 20 tetes per menit
Kes : Compos mentis dekstra - Injeksi Cefotaxime
TD : 120/60 mmHg 1 gr per 12 jam
HR : 72x/i (H4)
RR : 19x/i - Injeksi Gentamisin
T : 36,5OC 80 mg per 12 jam
(H2)
SL a/r mandibula: - Injeksi Ketorolac
Luka terpasang drain 3% per 12 jam (H3)
dan terbalut verban, - Injeksi
drain mengeluarkan Metronidazole 500
pus (+), nyeri (+), mg per 8 jam (H4)
berbau (+) - Betadine Gurgle

p/
- Buka draine
(8/12/2014)
8/12/2 S/ Ass/ Th/
014 Nyeri luka operasi (+) Post insisi dan Terapi THT
POD Batuk berdahak drainage abses - IVFD Ringer Laktat
III submandibular 20 tetes per menit
Kes : Compos mentis dekstra - Injeksi Cefotaxime
TD : 120/60 mmHg 1 gr per 12 jam
HR : 72x/i (H5)
RR : 19x/i - Injeksi Gentamisin
T : 36,5OC 80 mg per 12 jam
(H3)

25
SL a/r mandibula: - Injeksi Ketorolac
Luka terbalut verban, 3% per 12 jam
pus (+), darah (+) (H4)
- Injeksi
Metronidazole 500
mg per 8 jam (H5)
- Betadine Gurgle

p/
-

9/12/2 S/ Ass/ Th/


014 Nyeri dan berdenyut Post insisi dan - IVFD Ringer
POD luka operasi (+) drainage abses Laktat 20 tetes per
IV Batuk berdahak submandibular menit
dekstra
berwana putih - Injeksi Cefotaxime
kekuningan 1 gr per 12 jam
(H6)
Kes : Compos mentis - Injeksi Gentamisin
TD : 120/60 mmHg 80 mg per 12 jam
HR : 72x/i (H4)
RR : 19x/i - Injeksi Ketorolac
T : 36,5OC 3% per 12 jam
- Injeksi
SL a/r mandibula: Metronidazole 500
Luka terbalut verban, mg per 8 jam (H6)
pus (+), darah (+), - Ambroxol 3x1C
nyeri (+) - Asam mefenamat
3x500 mg
- Betadine Gurgle
p/
- Rawat luka
- Ganti verban 2x
sehari
10/12/ S/ Ass/ Th/
2014 Nyeri luka operasi (+) Post insisi dan - IVFD Ringer
POD Batuk berdahak drainage abses Laktat 20 tetes per
V berwana putih submandibular menit
dekstra
kekuningan - Injeksi Cefotaxime
1 gr per 12 jam
Kes : Compos mentis (H7)
TD : 120/80 mmHg - Injeksi Gentamisin
HR : 76x/i 80 mg per 12 jam
RR : 26x/i (H5)
T : 36,5OC - Injeksi

26
Metronidazole 500
SL a/r mandibula: mg per 8 jam (H7)
Luka terbalut verban, - Ambroxol 3x1C
pus (+), darah (+), (H2)
nyeri (+) - Asam mefenamat
3x500 mg (K/P)
- Betadine Gurgle
p/
-
11/12/ S/ Ass/ Th/
2014 Nyeri luka operasi (+) Post insisi dan drainage - IVFD Ringer
POD Batuk berdahak abses submandibular Laktat 20 tetes per
VI berwana putih dekstra menit
kekuningan - Injeksi Cefotaxime
1 gr per 12 jam
Kes : Compos mentis (H8)
TD : 120/80 mmHg - Injeksi Gentamisin
HR : 76x/i 80 mg per 12 jam
RR : 26x/i (H6)
T : 36,5OC - Injeksi
Metronidazole 500
SL a/r mandibula: mg per 8 jam (H8)
Luka terbalut verban, - Ambroxol 3x1C
pus (+), darah (+), (H3)
nyeri (+) - Asam mefenamat
3x500 mg (K/P)
- Betadine Gurgle
p/
-
12/12/ S/ Ass/ Th/
2014 Nyeri luka operasi (-) Post insisi dan drainage - IVFD Ringer
POD abses submandibular Laktat 20 tetes per
VII Kes : Compos mentis dekstra menit
TD : 130/80 mmHg - Injeksi Cefotaxime
HR : 83x/i 1 gr per 12 jam
RR : 19x/i (H9)
T : 36,5OC - Injeksi Gentamisin
80 mg per 12 jam
SL a/r mandibula: (H7)
Luka terbalut verban, - Injeksi
kering. Metronidazole 500
mg per 8 jam (H9)
- Ambroxol 3x1C
(H2)
- Asam mefenamat
3x500 mg (K/P)
27
- Betadine Gurgle
p/
-
13/12/ S/ Ass/ Th/
2014 Nyeri luka operasi Post insisi dan drainage - IVFD Ringer
POD berkurang abses submandibular Laktat 20 tetes per
IX dekstra menit
Kes : Compos mentis - Injeksi Cefotaxime
TD : 120/80 mmHg 1 gr per 12 jam
HR : 80x/i (H10)
RR : 19x/i - Injeksi Gentamisin
T : 36,6OC 80 mg per 12 jam
(H8)
SL a/r mandibula: - Injeksi
Luka terbalut verban, Metronidazole 500
kering mg per 8 jam
(H10)
- Ambroxol 3x1C
(H2)
- Asam mefenamat
3x500 mg (K/P)
- Betadine Gurgle
- Injeksi vit C 200
mg per 12 jam
- Ranitidin 2x1 tab
p/
- Rawat luka +
Nebacitin tabor
- Ganti verban 2 x
sehari
14/12/ S/ Ass/ Th/
2014 Nyeri luka operasi Post insisi dan drainage - IVFD Ringer
POD berkurang abses submandibular Laktat 20 tetes per
VI dekstra menit
Kes : Compos mentis - Cefixime 2 x 200
TD : 110/70 mmHg mg tab (H1)
HR : 76x/i - Injeksi Gentamisin
RR : 19x/i 80 mg per 12 jam
T : 36,5OC (H5)
- Injeksi
SL a/r mandibula: Metronidazole 500
Luka terbalut verban, mg per 8 jam (H7)
kering - Ambroxol 3x1C
(H2)
- Asam mefenamat
3x500 mg (K/P)

28
- Betadine Gurgle
p/
- Rawat luka +
Nebacitin tabor
- Ganti verban 2 x
sehari

29
30
BAB IV
PEMBAHASAN
Di laporkan pasien perempuan berusia 25 tahun dengan diagnosis
submandibula dekstra. Pasien datang dengan keluhan nyeri pada pipi kanan yang
dirasakan sejak 5 hari SMRS. Awalnya pasien mengaku tersangkut makanan
pada giginya yang berlubang pada pagi hari. Kemudian pasien berusaha untuk
mengeluarkannya dengan cara mencongkel gigi dengan lidi yang di ambil pasien
di pohon kelapa depan rumahnya. Pada malam harinya pasien merasakan nyeri
pada gusi dan gigi kanan bawah belakang. Keluhan terus dirasakan memberat dan
disertai bengkak pada pipi kanan sehingga pasien tidak dapat membuka mulut dan
sulit memakan makanan. Pada pemeriksaan fisik pada regio submandibula dekstra
terdapat udem(+), eritema (+), kalor (+), nyeri tekan (+), Fluktuasi (+) dan tidak
ada pembesaran kelenjar getah bening.
Penegakan diagnosis abses submandibula dekstra pada pasien ini berdasrkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan.
Hal ini sesuai yang dikemukana Smeltzer dan Bare (2001) gejala abses tergantung
kepada lokasi dan pengaruhnya terhadap suatu organ, gejala tersebut yaitu: nyeri,
teraba hangat pada lesi, pembengkakan, kemerahan dan demam. Hal ini sesuia
dengan teori yang dikemukanan Smeltzer dan Bare, pada pemeriksaan fisik
didapatkan pembengkakan dibawah rahang baik unilateral maupun bilateral dan
berfluktuasi. Adanya pembengkakan dinding lateral faring hingga menonjol ke
arah media.
Diagnosis banding pasien ini adalah Angina Ludovici merupakan infeksi
ruang submandibula berupa selulitis dengan tanda khas berupa pembengkakan
submandibula. Sumber infeksi berasal dari gigi dan dasar mulut, oleh kuman
aerob dan anaerob. Gejala klinis berupa nyeri tenggorokan dan leher, disertai
pembengkakan di daerah submandibula yang hiperemis dan keras pada perabaan,
dasar mulut yang membengkak dapat mendorong lidah ke atas belakang sehingga
menimbulkan sesak napas .
Pada kasus tersebut, pemeriksaan penunjang yang dilakukan yaitu
pemeriksaan darah lengkap, pada darah ditemukan leukosit 19,0 x 103/ul , ini
menunjukkan bahwa terdapat tanda infeksi (leukositosis) pada pasien. Hasil CT

31
Scan mandibula tanpa kontras didapatkan Kesimpulan : Suspect soft tissue
swelling dengan air bubble di mandibula sampai ke temporal dekstra ke dalam
mengenai oropharyng dekstra. CT Scan mandibula dengan kontras didapati
kesimpulan: Soft tissue swelling dengan air bubble di dalamnya di mandibula
sampai ke temporal dekstra ke dalam mengenai oropharyng dekstra suspect abses
fase infiltrat. CT Scan cervical AP/Lat Kesimpulan : soft tissue massa region
submandibula dekstra dan sinistra. Ct Scan merupakan gold standar untuk
mengevaluasi infeksi pada leher dalam. Abses akan tampak sebagai bangunan
atau lesi, air fluid level, dan lokulasi.
Abses submandibula adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan
pus pada daerah submandibula. Abses mandibula menempati urutan tertinggi dari
seluruh abses leher dalam mencapai 70-85% kasus yang disebabkan oleh infeksi
gigi ini merupakan kasus terbanyak selebihnya disebabkan oleh sialandenitis,
limfadenitis, laserasi dinding mulut atau fraktur mandibula. Pada pasien ini abses
submandibula diduga kuat disebabkan oleh dentogenik yaitu infeksi ini terjadi
akibat perjalanan dari infeksi gigi yaitu karies dentis pada gigi 7, 8 bawah kanan
dan gigi 8 bawah kiri. Pasien juga mengaku tersangkut makanan pada giginya
yang berlubang kemudian pasien berusaha untuk mengeluarkannya dengan cara
mencongkel gigi dengan lidi yang di ambil pasien di pohon kelapa, ini lah yang
juga ikut menjadi faktr terjadinya abses submandibula yaitu personal hygiene
pasien yang buruk. Pasien menggunakan alat-a;at yang tidak sesuai standar dan
steril.
Prinsip pengelolaan abses adalah pemberian antibiotik perenteral dosis
tinggi dan evakuasi abses. Evakuasi abses dapat dilakukan dengan anestesi lokal
untuk abses yang dangkal dan terlokalisasi atau eksplorasi dalam narkosis bila
letak abses dalam dan luas. Insisi dibuat pada tempat yang paling berfluktuasi.
Antibiotik yang diberikan pada pasien ini Cefotaxime 1 gr/12 jam yang sensitif
pada kuman aerob dan Metronidazole 500 mg/ 8 jam yang sensitif pada kuman
anaerob. Cefotaxime merupakan golongan antibiotik golongan sepalosphorin
generasi ke tiga yang efektif terhadap gram positif dan gram negatif. Kuman aerob
memiliki angka sensitifitas tinggi terhadap Cefotaxime. Metronidazole memiliki
sensitifitas yang tinggi terutama untuk kuman anaerob gram negatif.

32
Sebagian besar abses leher disebabkan oleh campuran berbagai kuman baik
kuman aerob, anaerob maupun fakultatif anaerob. Kuman aerob yang sering
ditemukan Staphylococcus, Streptococcus sp, Haemifilus influenza, Streptococcus
pneumonia, Moraxtella cattarrhalis, Klebsiella sp, Neisseria sp. Kuman anaerob
yang sering ditemukan pada abses leher dalam adalah kelompok basil gram
negatif, seperti Bacteroides, Prevotella dan Fusobacterium. Namun pada hasil
mikrobiologi pasien ini tidak ditemukan adanya bakteri. Diduga disini terdapat
kesalahan dari pengambilan sampel atau proses pengerjaan sampel pada
laboraturium.
Prognosis pasien pada kasus ini ad bonam jika pasien mengatasi etiologi
dari abses yaitu merawat gigi geligi dan menjalankan odontektomi pada gigi yang
mengalami karies dentist srta mengikuti nasehat dari tenaga medis.

33
BAB V
KESIMPULAN
Abses submandibular merupakan suatu kondisi dimana terbentuknya abses
pada ruang potensial di regio submandibular yang disertai dengan rasa nyeri
tenggorok, demam dan terbatasnya gerakan membuka mulut. Abses
submandibular merupakan bagian dari abses leher dalam. Pada abses
submandibular didapatkan pembengkakan dibawah dagu atau dibawah lidah baik
unilateral atau bilateral, disertai rasa demam, nyeri tenggorok dan trismus.
Mungkin didapatkan riwayat infeksi atau cabut gigi. Pembengkakan dapat
berfluktuasi atau tidak.
Diagnosis abses leher dalam ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis yang
cermat, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada beberapa kasus
kadang-kadang sulit untuk menentukan lokasi abses terutama jika melibatkan
beberapa daerah leher dalam dan jika pasien sudah mendapatkan pengobatan
sebelumnya. Pemeriksaan penunjang sangat berperan dalam menegakkan
diagnosis. Pada foto polos jaringan lunak leher anteroposterior dan lateral
didapatkan gambaran pembengkakan jaringan lunak, cairan di dalam jaringan
lunak, udara di subkutis dan pendorongan trakea. Pada foto polos toraks, jika
sudah terdapat komplikasi dapat dijumpai gambaran pneumotoraks dan juga dapat
ditemukan gambaran pneumomediastinum.

34
DAFTAR PUSTAKA

1. Scott BA, Steinberg CM, Driscoll BP. Infection of the deep Space of the
neck. In: Bailley BJ, Jhonson JT, Kohut RI et al editors. Otolaryngology
Head and neck surgery. Philadelphia: JB.Lippincott Company 2001.p.701-
15
2. Fachruddin D. Abses leher dalam. Dalam: Iskandar M, Soepardi AE
editor. Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi ke 7.
Jakarta: Balai Penerbit FK-UI. 2007:p. 185-8
3. Sakaguchi M, Sato S, Ishiyama T, Katsuno T, Taguchi K. characterization
and management of deep neck infection. J. Oral Maxillofac Surg.
1997;26:131-134
4. Huang T, chen T, Rong P, Tseng F, Yeah T, Shyang C. Deep neck
infection: analysis of 18 cases. Head and neck. Ock, 2004.860-4

5. Lawson W, Reino AJ. Odontogenic infection. In: Byron Bailey, MD


editor. Otolaryngologi head and neck surgery. Philadelphia:
JB.Lippincott.Co 1998:p. 671- 80

6. Fachruddin DR, Helmi. Penatalaksanaan infeksi leher dalam. Up-date


1995. Prinsip dasar penatalaksanaan penyakit infeksi, dalam rangka dies
natalis FK-UI ke- 46(1995)

7. Bottin R, Marioni G, Rinalsi R, boninsema M, Salvadori L, Staffieri A.


Deep neck infection: a present-day complication. A retrospective review
of 83 cases (1998-2001). Eur Arch Otolaryngol.2003; vol 260;576-9

8. Ballenger JJ. Leher, orofaring dan nasofaring. Dalam : Ballenger JJ, Ed.
Penyakit THT Kepala & Leher, Jilid 1, Edisi ke 13.Jakarta : Binarupa
Aksara, 199 . h. 295 -

35

Anda mungkin juga menyukai