Anda di halaman 1dari 30

PPs UNY Prodi Pendidikan Matematika Kelas C

Abstrak
Pembelajaran merupakan kegiatan interaktif dan timbal balik antara pendidik dan peserta
didik (katakan sebagai siswa). Untuk mencapai kompetensi yang diharapkan maka seorang
pendidik (katakana sebagai guru) seharusnya menyiapkan berbagai kebutuhan sebalum mengajar
termasuk kebutuhan setelah mengajar. Merancang, melaksanakan, dan mengevaluasi
pembelajaran merupakan kegiatan wajib yang dilakukan guru sehingga perlu untuk mempelajari
teori-teori belajar walaupun implikasinya tak semanis teorinya. Dengan demikian guru dapat
berkreasi dan berinovasi pada kelasnya dengan teori yang mendasari proses pembelajaran
tersebut.
Terdapat banyak teori belajar yang mendasari proses pembelajaran. Beberapa diantaranya
yaitu teori Ausubel, teori Gagne dan teori Baruda. Teori belajar Ausubel secara umum
memaparkan bahwa pembelajaran harus bermakna yang terbagi dalam dua dimensi yaitu
penyampaian informasi dan penemuan. Teori belajar Gagne yang menyatakan bahwa belajar
dipengaruhi oleh faktor dari luar diri dan faktor dalam diri dan keduanya saling berinteraksi,
serta teori belajar Baruda dapat dikatakan sebagai social learning (belajar sosial), anak belajar
dari meniru hal-hal yang dilakukan oleh orang lain sehingga lingkungan adalah faktor penting
yang mempengaruhi perilaku, meskipun proses kognitif juga tidak kalah pentingnya manusia
memiliki kemampuan untuk mengendalikan polanya sendiri.

A. Pendahuluan
Belajar merupakan pembahasan menarik yang menjadi pusat perhatian para ahli psikologi
pendidikan untuk mengungkap rahasia dibalik belajar tersebut. Kaitannya dengan hal tersebut,
beberapa ahli psikologi dari berbagai aliran mendefinisikan istilah belajar, seperti Kimble (1961)
mendefinisikan belajar sebagai perubahan yang relatif permanen di dalam behavioral potentiality
(potensi behavioral) yang terjadi sebagai akibat dari praktik yang diperkuat.
Definisi tersebut di atas tidak serta merta diterima secara universal, beberapa ahli
psikologi tidak menerima definisi tersebut. Terlepas dari perbedaan pendefinisian istilah belajar,
hal menarik yang penting untuk diketahui adalah teori belajar dari beberapa tokoh (ahli) yang
menjadi sumber untuk pengembangan belajar maupun pembelajaran di dunia pendidikan.
Beberapa tokoh pendidikan (psikologi pendidikan) yang menuangkan pemikirannya
dengan melakukan penelitian untuk mengkaji belajar adalah Ausubel (1963) dengan teorinya
Meaningful Learning atau belajar bermakna, Gagne dengan teorinya Condition Learning
atau belajar pengkondisian, dan Baruda dengan teorinya Belajar meniru serta banyak lagi
tokoh lain yang mengkaji masalah belajar tersebut.
B. Pembahasan
1. Teori Belajar Ausubel
David Ausubel (1963) merupakan seorang psikolog pendidikan, melakukan beberapa
penelitian rintisan menarik di waktu yang hampir sama dengan Burner, Ia sangat tertarik dengan
cara mengorganisasikan berbagai ide. Ia menjelaskan bahwa dalam diri seorang pelajar sudah
ada organisasi dan kejalasan tentang pengetahuan dibidang subjek tertentu. Ia menyebut
organisasi ini sebagai struktur kognitif dan percaya bahwa struktur ini menentukan kemampuan
pelajar untuk menangani berbagai ide dan hubungan baru. Makna dapat muncul dari materi baru
hanya bila materi itu terkait dengan struktur kognitif dari pembelajaran sebelumnya.
David Ausubel terkenal dengan teori belajar yang dibawanya yaitu teori belajar bermakna
(meaningful learning). Menurut Ausubel belajar bermakna terjadi jika suatu proses dikaitkannya
informasi baru pada konsep-konsep yang relevan yang terdapat dalam struktur kognitif
seseorang, selanjutnya bila tidak ada usaha yang dilakukan untuk mengasimilasikan pengertian
baru pada konsep-konsep yang relevan yang sudah ada dalam struktur kognitif, maka akan
terjadi belajar hafalan. Ia juga menyebutkan bahwa proses belajar tersebut terdiri dari dua proses
yaitu proses penerimaan dan proses penerimaan dan proses penemuan. (Ratna Wilis Dahar,
2006).

Faktor-faktor utama yang mempengaruhi belajar bermakna menurut Ausubel adalah


struktur kognitif yang ada, stabilitas dan kejelasan pengetahuan dalam suatu bidang studi
tertentu dan pada waktu tertentu. Seseorang belajar dengan mengasosiasikan fenomena baru ke
dalam skema yang telah ia punya. Dalam prosesnya siswa mengkonstruksi apa yang ia pelajari
dan ditekankan pelajar mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta baru kedalam
system pengertian yang telah dipunyainya.
Teori belajar bermakna Ausubel ini sangat dekat dengan inti pokok konstruktivisme.
Keduanya menekankan pentingnya siswa mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta-
fakta baru kedalam sistem pengertian yang telah dipunyai. Keduanya menekankan pentingnya
asimilasi pengalaman baru kedalam konsep atau pengertian yang sudah dipunyai sisw. Keduanya
mengandalkan bahwa dalam pembelajaran itu aktif.
Terdapat empat prinsif dalam menerapkan teori belajar bermakna Ausubel yaitu :
a. Pengaturan Awal, dalam hal ini hal yang perlu dilakukan adalah mengarahkan dan membantu
mengingat kembali.
b. Defrensiasi Progresif, dalam hal ini yang perlu dilakukan adalah menyusun konsep dengan
mengajarkan konsep-konsep tersebut dari inklusif kemudian kurang ingklusif dan yang paling
ingklusif.
c. Belajar Subordinat, dalam hal ini terjadi bila konsep-konsep tersebut telah dipelajari sebelumnya.
d. Penyesuaian Integratif, dalam hal ini materi disusun sedemikian rupa hingga menggerakkan
hirarki konseptual yaitu ke atas dan ke bawah.
Terdapat 8 langkah pembelajaran yang bisa dilakukan dalam menerapkan teori belajar
bermakna Ausubel, yaitu :
1) Menentukan tujuan pembelajaran
2) Mengukur kesiapan siswa
3) Memilih materi pembelajaran dan mengatur dalam penyajian konsep
4) Mengidentifikasi prinsif-prinsif yang harus dikuasai peserta didik dari materi pembelajaran
5) Menyajikan suatu pandangan secara menyeluruh tentang apa yang seharusnya dipelajari
6) Menggunakan advance organizer dengan cara memberikan rangkuman dilanjutkan dengan
keterkaitan antara materi.
7) Mengajar siswa dengan pemahaman konsep
8) Mengevaluasi hasil belajar (Prasetyo Irawan, 1996)
2. Teori Belajar Gagne
Teori belajar Gagne didasarkan pada pembelajaran yang merupakan faktor sangat penting
dalam perkembangan. Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari pembelajaran. Menurut
Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk kemudian diolah
sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam pemrosesan informasi terjadi
adanya interaksi antara kondisi-kondisi internal dan kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi
internal yaitu keadaan dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan
proses kognitif yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan dari
lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran. Hal ini memunculkan
pemikiran Gagne bahwa pembelajaran harus dikondisikan untuk memunculkan respons yang
diharapkan.
Ahli belajar (learning theorist) Gagne telah membagi objek-objek matematika yang
diperoleh siswa menjadi objek langsung dan objek tak langsung (Bell, 1978). Objek langsung
adalah fakta (fact), konsep (concept), prinsip (principle), dan keterampilan (skill). Sedangkan
contoh objek tak langsungnya adalah berpikir logis, kemampuan memecahkan masalah, sikap
positif terhadap matematika, ketekunan dan ketelitian. (Fadjar Shodiq dan Nur Amini Mustajab,
2011: 13). Jadi, objek tak langsung adalah kemampuan yang secara tak langsung akan dipelajari
siswa ketika mereka mempelajari objek langsung matematika.
Menurut Gagne penampilan-penampilan yang dapat diamati sebagai hasil-hasil belajar
disebut kapabilitas. Gagne mengemukakan 5 macam kapabilitas, yaitu informasi verbal,
keterampilan intelektual, strategi kognitif, sikap dan keterampilan motorik. Keterampilan
intelektual menurut Gagne dikelompokkan ke dalam delapan tipe, yaitu: belajar isyarat, belajar
stimulus respon, belajar rangkaian gerak, belajar rangkaian verbal, belajar memperbedakan,
belajar pembentukan aturan, dan belajar pemecahan masalah. Menurut Gagne sasaran
pembelajaran adalah kemampuan. Kemampuan yang dimaksudkan di sini adalah hasil perilaku
yang bisa dianalisis. Gagne berpendapat bahwa rangkaian belajar dimulai dari prasyarat yang
sederhana yang kemudian meningkat pada kemempuan kompleks.
Didasarkan atas model pemrosesan informasi Gagne mengemukakan bahwa satu
tindakan belajar meliputi delapan fase belajar yang merupakan kejadian-kejadian eksternal yang
dapat distrukturkan oleh siswa atau guru, dan setiap fase ini dipasangkan dengan suatu proses
internal yang terjadi dalam pikiran siswa. Didasarkan atas analisis kejadian-kejadian belajar,
Gagne menyarankan agar guru memperhatikan delapan kejadian instruksi waktu menyajikan
suatu pelajaran pada sekelompok siswa.
Kejadian-kejadian belajar
Berdasarkan analisisnya tentang kejadian-kejadian belajar, Gagne menyarankan kejadian-
kejadian instruksi. Menurut Gagne, bukan hanya guru yang dapat memberikan instruksi;
kejadian-kejadian belajarnya dapat juga diterapkan baik pada belajar penemuan, atau belajar di
luar kelas, maupun belajar dalam kelas. Tetapi kejadian-kejadian instruksi yang dikemukakan
Gagne ditunjukkan pada guru yang menyajikan suatu pelajaran pada sekelompok siswa-siswa
(Fadjar Shodiq dan Nur Amini Mustajab, 2011: 3).
3. Teori Belajar Baruda
Baruda mengemukakan bahwa siswa belajar itu melalui meniru. Pengertian meniru di sini
bukan berarti menyontek, tetapi meniru hal-hal yang dilakukan oleh orang lain, terutama guru.
Jika tulisan guru baik, guru berbicara sopan santun dengan menggunakan hahasa yang baik dan
benar, tingkah laku yang terpuji, menerangkan dengan jelas dan sistematik, maka siswa akan
menirunya. Jika contoh-contoh yang dilihatnya kurang baik ia pun menirunya. Dengan demikian
guru harus menjadi manusia model yang profesional. Teori social learning (belajar sosial), anak
belajar dari meniru hal-hal yang dilakukan oleh orang lain. Dengan demikian, lingkungan adalah
faktor penting yang mempengaruhi perilaku, meskipun proses kognitif juga tidak kalah
pentingnya manusia memiliki kemampuan untuk mengendalikan polanya sendiri
4. Penutup
Definisi dikalangan tokoh pendidikan memiliki perbedaan pendapat, akan tetapi beberapa
tokoh lebih menfokuskan pada teori belajar sebagai dasar teori untuk pengembangan sebuah
pendekatan dalam pembelajaran. David ausubel menekankan pada belajar bermakna yang mana
belajar tidak hanya proses hafalan saja, akan tetapi lebih kepada pemaknaan dalam belajar.
Gagne lebih menekankan pada pengkondisian belajar yang melahirkan taksonomi dalam belajar
sedangkan baruda lebih menfokuskan pada belajar meniru yang mana siswa belajar dengan
meniru orang lain terlebih gurunya sendiri.
5. Daftar Pustaka

Bell, Frederick H. 1981. Teaching and Learning Mathematics (in Secondary School) IOWA: WnC Brown
Comp. Publisher.

Fadjar Shodiq dan Nur Amini Mustajab. 2011. Penerapan Teori Belajar dalam Pembelajaran
Matematika di SD. Yogyakarta: PPPPTK Matematika.

Richard I. Arends,2008, learning to teach: belajar untuk mengajar, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Dahar, Ratna W, 2006, Teori-teori Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: Erlangga


BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidik yang pertama dan yang paling utama adalah orang tua berupaya maksimal
memberikan yang terbaik terhadap perkembangan anak, sehingga dapat bertumbuh mengikuti
norma-norma kehidupan yang tidak bertentangan dengan ajaran agama norma-norma kesusilaan,
harapan maupun kaidah-kaidah hukum. Dalam tahap proses belajar yang di utamakan adalah
kematangan terhadapa diri anak, karena bagaimanapun juga bahwa hasil yang di capai tidak akan
memberikan hasil yang memuaskan. Berbicara mengenai teori belajar dan mengajar
matematika berarti berbicara mengenai bagaimana dan kepada siapa suatu topik matematika
diajarkan.
Belajar dan mengajar merupakan dua kata yang berbeda, tetapi dalam pelaksanaaannya tidak
dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya. Jika pada masa dulu konsep mengajar berarti guru
menyampaikan semua pengetahuan matematika yang diketahuinya kepada siswa, tapi pada masa
kini mengajar lebih diupayakan pada bagaimana proses pembelajaran dilaksanakan guru
sehingga siswa dapat belajar. Siswa menjadi fokus proses pembelajaran (students centered).
Salah satu ciri pembelajaran matematika masa kini adalah penyajiannya didasarkan pada teori
psikologi pembelajaran yang pada saat ini sedang populer dibicarakan oleh para pakar
pendidikan (Suherman, 29). Bila terjadi proses belajar, maka bersama itu pula terjadi proses
mengajar. Hal ini kiranya mudah dipahami, karena bila ada yang belajar sudah barang tentu ada
yang mengajarnya, dan begitu pula sebaliknya kalau ada yang mengajar tentu ada yang belajar.
Kalau sudah terjadi suatu proses/saling berinteraksi, antara yang mengajar dengan yang
belajar, sebenarnya berada pada suatu kondisi yang unik, sebab secara sengaja atau tidak sengaja,
masing-masing pihak berada dalam suasana belajar. Jadi guru walaupun dikatakan sebagai
pengajar, sebenarnya secara tidak langsung juga melakukan belajar. Berdasarkan etimologi
perkataan matematika berarti ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan bernalar. Di sisi lain
matematika dipadang sebagai ilmu tentang logika mengenai bentuk, susunan, besaran dan
konsep-konsep yang berhubungan satu dengan lainnya dan terbagi dalam tiga bidang, yaitu
aljabar, analisis dan geometri. Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, khususnya pasal 1 dinyatakan bahwa teori pembelajaran adalah
suatu interaksi antara peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan
belajar. Ketentuan ini membawa implikasi bahwa terjadinya proses pembelajaran berbasis pada
aneka sumber yang memungkinkan terciptanya suatu situasi pembelajaran yang hidup dan
menarik.
Selanjutnya didalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan dinyatakan bahwa, proses pembelajaran pada satuan pendidikan
diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta
didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas,
dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta
didik. Secara pragmatis, teori belajar dapat di pahami sebagai prinsip umum atau kumpulan
prinsip yang saling berhubungan dan merupakan penjelasan atas sejumlah fakta dan penemuan
yang berkaitan dengan peristiwa belajar. Siswa-siswa yang berprestasi tinggi umumnya
merupakan pembelajar-pembelajar mandiri yang disiplin dan efektif. Sebuah model
pembelajaran mandiri meliputi tiga komponen : evaluasi dan monitor diri sendiri, perancang
tujuan dan perencanaan strategi ; melaksanakan rencana dalam tindakan, dan memonitor hasil
serta menyempurnakan strategi-strategi. Pembelajaran mandiri memberi anak tanggung jawab
atas proses belajar mereka. Kemampuan memonitor diri berkembang dimasa remaja. Sehingga,
banyak suasana lingkungan memelihara munculnya kreativitas, namun banyak pula lingkungan
yang menekannya (Csikszentmihalyi, 1996: Strenberg, Grigorenko, dan Singer.2004).
Orang-orang yang mendorong kreativitas anak seringkali bertumpu pada keingintahuan
alami anak. Mereka menyediakan latihan-latihan dan aktivitas yang menstimulasi anak untuk
menemukan pemecahan-pemecahan mendalam terhadap masalah, alih-alih menanyakan
pertanyaan-pertanyaan yang memerlukan jawaban-jawaban. Howard Gardner (1993) yakin
bahwa ilmu pengetahuan, penemuan, dan museum anak menawarkan kesempatan yang banyak
untuk menstimulasi kreativitas anak. Titik fokus yang menjadi pusat perhatian suatu teori selalu
ada. Ada yang lebih mementingkan proses belajar, ada yang lebih mementingkan sistem
informasi yang diolah dalam proses belajar, dan lain-lain. Namun faktor-faktor lain diluar titik
fokus itu seperti lingkungan juga selalu diperlukan untuk menjelaskan proses belajar.
Pembelajaran menurut aliran kognitif, yang mana dalam pembelajaran kognitif menitik beratkan
belajar aktif, belajar lewat interaksi social, belajar lewat pengalaman pribadi ini di kemukakan
oleh jean piaget. Aliran kognitif berjalan dengan baik dan sekarang ini diterapkan seperti pada
kurikulum berbasis tujuan pendidikan yang mana didalamnya mempunyai aspek kognitif, afektif,
dan psikomotorik.
Jadi siswa di tuntut untuk aktif di dalam kelas ini merujuk pada pembelajaran menurut aliran
kognitif yang menjadikan siswa dapat aktif di dalam proses pembelajaran karena di dalam
pembelajarannya guru hanya sebagai fasilitator, sedangkan siswa di sini tidak menjadi objek
pembelajaran akan tetapi siswa sebagai subjek dari pembelajaran. Pembahasan ini sangat penting
karena mengingat proses belajar yang terjadi didalam kelas berlangsung dalam proses
komunikasi yang berisi pesan-pesan yang berkaitan dengan fakta, konsep, prinsip dan
keterampilan yang sering digunakan dalam sehari-hari. Proses pembelajaran dituntut untuk
secara aktif berpartisipasi. Keaktifan berpartisipasi ini memberikan kesempatan yang luas
mengembangkan potensi, bakat yang dimiliki oleh masing-masing siswa.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah Pengertian belajar bagi seorang anak didik?


2. Bagaimana teori-teori psikologi pembelajaran matematika dan tokoh-tokohnya?
3. Bagaimana Metode Pembelajaran Matematika?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian belajar bagi seorang anak didik.


2. Untuk mengetahui pembagian-pembagian teoro-teori psikologi pembelajaran matematika
dan tokoh-tokohnya.
3. Untuk mengetahui metode pembelajaran matematika.
BAB 2
DAFTAR PUSTAKA
Banyak orang yang beranggapan, bahwa yang di maksud dengan belajar adalah mencari
ilmu atau menuntut ilmu. Memang kalau kita bertanya kepada seseorang tentang apakah belajar
itu, akan memperoleh jawaban yang bermacm-macam. Perbedaan pendapat orang tentang arti
belajar itu disebabkan karena adanya kenyataan, bahwa perbuatan belajar itu sendiri bermacam-
macam. Menurut James O. Wittaker, belajar dapat didefinisikan sebagai proses di mana tingkah
laku di timbulkan atau di ubah melalui latihan atau pengalaman. Para ahli seperti John Locke
pada abad 7 mengemukakan pengalaman dan pendidikan bagi anak merupakan faktor yang
menentukan dalam perkembangan anak, sebab kejiwaan anak ketika di lahirkan adalah ibarat
secarik kertas yang masih bersih. Dan pernyataan ini di perkuat juga oleh tokoh B Watson (1908-
1920) yaitu tokoh Empirisme terkenal dengan behavioristik mengatakan karena jiwa manusia
waktu di lahirkan masih bersih, maka untuk menjadikannya sesuai dengan yang dikehendaki
kepadanya tinggal diberikan lingkungan dan pengalaman-pengalaman yang diperlukan.
Seorang psikolog dari Amerika Kuno yaitu William James mengungkapkan hasil
temuannya bahwa anak yang di lahirkan di tengah-tengah campuran cahaya dan keributan, maka
semakin bertambah pula pengetahuan baik berupa penganutan, penglihatan atau karena adanya
rangsangan dari luar sehingga anak dapat membedakan dan memisah-misahkan antara cahaya,
dengan demikian anak telah mulai mengalami proses belajar . Pendidikan sering di tafsirkan
sebagai bimbingan kepada anak untuk mencapai kedewasaan yang kelak mampu berdiri sendiri
dan mengejar cita-cita.
Dengan batasan bimbingan oleh ahlinya maka dapat di simpulkan bahwa tujuan
bimbingan pada umumnya untuk membantu individu melalui penyuluhan jiwa, dapat membantu
pilihan yang bijaksana, penyesuaian diri, dan penafsiran terhadap situasi yang kritis dalam
hidupnya sedemikian rupa untuk menjamin perkembangan kemampuan pengarahan diri sendiri
(John KJ, 1945). Menurut pengamatan dan pengalaman Dines bahwa terdapat anak-anak yang
menyenangi matematika hanya pada permulaan, mereka berkenalan dengan matematika yang
sederhana, semakin tinggi sekolahnya semakin sukar matematika yang di pelajari makin
kurang minatnya belajar matematika sehingga di anggap matematika itu sebagai ilmu yang
sukar, rumit, dan banyak memperdayakan.
Di sisi lain Sears mengungkapkan bahwa kepribadian seseorang banyak di pengaruhi
oleh pengaruh hubungan antar orang tua dan anak, saudara, lingkungan, majalah, koran, siaran
televisi dan lain-lain. Sehingga tak satupun orang yang mempunyai kepribadian yang sama di
sebabkan oleh pengaruh lingkungan terutama pengaruh dari orang tua karena latar belakang
kepribadian dan kemampuan orang tua berbeda-beda. Maka dari itu hendaknya orang tua selalu
berusaha menjadi contoh kepribadian yang hidup atas nilai-nilai yang tinggi.
Hal ini sesuai dengan pendapat Prof. Dr. Soepartinah Pakasi yang hendaknya kehidupan
keluarga Conducive bagi, dan membantu pembentukan kepribadian-kepribadian yang kita
inginkan sebagai orang tua, sebagai warga negara tyang berpedomana pada Pancasila dan
Filsafat Negara. Dengan demikian, anak/remaja akan berangsur-angsur melepas identifikasinya
terhadap orang-orang lain sehingga ia mampu menjadi dirinya sendiri.
BAB 3
PEMBAHASAN

A. Psikologi Pembelajaran Matematika


Belajar merupakan proses dasar dari perkembangan hidup manusia. Dengan belajar, manusia
melakukan perubahan-perubahan kualitif individu sehingga tingkah lakunya berkembang. Semua
aktivitas dan prestasi hidup manusia tak lain adalah hasil dari belajar. Menurut rumusan G.A
Kimble belajar adalah perubahan yang relatif menetap dalam potensi tingkah laku yang terjadi
sebagai akibat dari latihan dengan penguatan dan tidak termasuk perubahan-perubahan karena
kematangan, kelelahan atau kerusakan pada susunan saraf, atau dengan kata lain bahwa
mengetahui dan memahami sesuatu sehingga terjadi perubahan dalam diri seseorang yang
belajar. Di samping itu terdapat paham atau pemikiran lain yang menitikberatkan kepada
rangsangan dan jawaban yang lebih di kenal dengan teori RJ (rangsangan jawaban) bahwa
tingkah laku diperoleh dari proses belajar dengan cara merangsang dari luar, yang mungkin dapat
terjadi berulang-ulang dan dengan penguatan melalui cara yang langsung atau tidak langsung
memberikan dorongan untuk memberikan jawaban.
Pendidikan sering di artikan sebagai bimbingan kepada anak untuk mencapai kedewasaan
yang kelak mampu berdiri sendiri dan mengejar cita-cita. Untuk dapat tercapainya manusia yang
dewasa, sesuai dengan tujuan pendidikan, maka perlu dicegah dari pengaruh negatif dan
timbulnya gangguan dalam perkembangan anak. Salah satu usaha mencegah gangguan
perkembangan kepribadian anak adalah memberikan bimbingan dan penyuluhan. Bimbingan dan
penyuluhan merupakan salah satu upaya nyata dan telah banyak peranannya dalam ikut
membentuk manusia dan masyarakat yang sehat mental. Para ahli di bidangnya memberikan
batasan mengenai bimbingan yaitu pelayanan yang terorganisir dengan maksud memberi
bantuuan secara teratur pada anak didik (peserta didik) dalam memecahkan masalah-masalah
yang mereka hadapi dan dalam membina penyesuaian diri terhadap berbagai situasi yang harus
ia hadapi.
Dengan batasan bimbingan oleh ahlinya maka dapat disimpulkan bahwa tujuan bimbingan
pada umunya untuk membantu individu melalui penyuluhan jiwa, dapat membuat pilihan yang
bijaksana, penyesuaian diri, dan penafsiran situasi yang krisis dalam hidupnya sedemikian rupa
untuk menjamin perkembangan kemampuan pengarahan diri sendiri (John KJ, 1945). Sesuai
dengan sasaran yang ingin di capai yaitu bimbingan dalam belajar, maka pengenalan
pembahasan di tujukan pada :

a. Kemampuan berprestasi di sekolah


b. Pemahaman tentang kesulitan di sekolah
c. Penyelesaian kesulitan dalam belajar
d. Upaya mengatasi kesulitan anak
e. Pengamalan sila dari pancasila yaitu sikap menghormati kepentingan dan harga diri orang
lain. (uraian ini berpedoman pada buku psikologi untuk membimbing oleh Dra. Ny. Y.
Singgih D. Gunarsa).
Menurut MORRIS KLINE (1961) bahwa jatuh bangunnya suatu negara dewasa ini tergantung
dari kemajuan di bidang matematika. Dan Slamet Santoso mengemukakan bahwa fungsi
matematika merupakan ketahanan Indonesia dalam abad 20 di jalan raya dan bangsa-bangsa.
Untuk suatu negara penting karena jatuh bangunnya suatu negara tergantung dari kemajuan di
bidang matematikanya. Oleh karena itu sebagai langkah awal untuk mengarah pada tujuan yang
di harapkan adalah mendorong atau memberi motivasi belajar matematika bagi masyarakat
khususnya bagi anak-anak atau peserta didik. Keberhasilan proses belajar mengajar matematika
tidak terlepas dari persiapan peserta didik dan persiapan dari para tenaga pendidik di bidangnya
dan bagi para peserta didik yang sudah mampunyai minat (siap) untuk belajar matematika akan
merasa senang dan penuh perhatian mengikuti pelajaran tersebut, oleh karena itu para pendidik
harus berupaya untuk memelihara maupun mengembangkan minat atau kesiapan belajar anak
didiknya atau dengan kata lain bahwa teori belajar mengajar matematika harus di pahami
betul-betul oleh para pengelola pendidikan.
Penggunaan matematika atau berhitung dalam kehidupan manusia sehari-hari telah
menunjukkan hasil nyata seperti dasar bagi disain ilmu teknik misalnya perhitungan untuk
pembangunan antariksa dan di samping dasar disain ilmu teknik metode matematis memberikan
inspirasi kepada pemikiran di bidang sosial dan ekonomi dan dapat memberikan warna kepada
kegiatan seni lukis, arsitektur dan musik. Pengetahuan mengenai matematika memberikan
bahasa, proses dan teori yang memberikan ilmu bentuk dan kekuasaan yang akhirnya bahwa
matematika merupakan salah satu kekuatan utama pembentukan konsepsi tentang alam suatu
hakikat dan tujuan manusia dalam kehidupannya.
Salah satu ciri pembelajaran matematika masa kini adalah penyajiannya di dasari oleh teori
psikologi pembelajaran yang pada saat ini sedang popular dibicarakan oleh para pakar
pendidikan. Pembicaraan mengenai pembelajaran matematika di sekolah, tidak akan pernah bisa
terlepas dari teori psikologi yang mendasarinya. Ya, mungkin dapat diibaratkan seperti rasa
manis yang melekat pada gula. Jika sifat manisnya hilang, bukan lagi gula namanya. Sebaliknya,
kita melepaskan psikologi pembelajaran, maka segala aktifitas yang kita lakukan bukan lagi
sebagai proses pembelajaran. Tidak hanya tingkat kedalaman konsep dan keluasan materi yang
akan diberikan kepada siswa harus disesuaikan dengan tingkat kemampuannya, cara
penyampaian pun demikian juga seharusnya. Guru harus mampu mengetahui tingkat
perkembangan mental siswa dan bagaimana pembelajaran yang harus dilaksanakan sesuai
dengan tahapan perkembangan tersebut. Pembelajaran yang tidak memperhatikan tahap
perkembangan mental siswa, kemungkinan besar akan menyebabkan siswa merasa kesulitan,
karena apa yang disajikan tidak sesuai dengan kemampuannya menyerap bahan ajar.

B. Tokoh-tokoh Aliran Psikologi

1. Pavlov dengan teori belajar Klasiknya


Ivan Petrovich Pavlov lahir 14 September 1849 di Ryazan Rusia yaitu desa tempat ayahnya
Peter Dmitrievich Pavlov menjadi seorang pendeta. Ia di didik di sekolah gereja dan melanjutkan
ke Seminari Teologi. Pavlov lulus sebagai sarjana kedokteran dengan bidang dasar fisiologi.
Pavlov adalah ilmuwan Rusia yang terkenal dengan teori belajar klasik. Pavlov terkenal dengan
percobaannya menggunakan hewan dan manusia. Pada akhir abad ke-19 ia melakukan penelitian
tentang pencernaan. Pada sebagian penelitiannya ia melakukan pengamatan terhadap tingkah
laku anjing. Pavlov mencoba menemukan hubungan antara anjing yang melihat makanan dengan
keluar air liurnya. Pada mulanya anjing itu dikurung, lalu diberi makanan. Sebelum makanan itu
diberikan, nampak anjing itu mengelurkan air liurnya. Kemudian anjing itu diberi makan terus
seperti biasanya, namun sebelum diberi makan bunyikanlah sebuah bel.
Seperti biasanya anjing itu mengelurkan air liurnya. Akhirnya dicoba menyembunyikan bel
tanpa memberikan makanan, ternyata anjing itu tetap mengeluarkan air liurnya. Dengan
melelehnya air liur anjing setiap Apa yang dikemukakan Pavlov tersebut merupakan suatu
pembiasaan (conditioning). Dengan melelehnya air liur anjing setiap mendengarkan bunyi
lonceng oleh pavlov melihat ada hubungan bersyarat anatar anjing, makan, dan air liur. Makanan
atau lonceng merupakan stimulus untul keluarya air liur, sehingga makanan disebut stimulus tak
wajar (refleksi) sedangkan bunyi lonceng di sebut stimulus bersyarat. Dalam hubungannya
dengan proses belajar-mengajar, agar siswa belajar dengan baik, maka haruslah dibiasakan.
Misalnya agar siswa terbiasa mengerjakan soal pekerjaan rumah (PR) dengan baik, sebagai guru
sebaiknya membiasakan untuk memeriksanya, menjelaskannya, ataupun memberikan nilai
terhadap hasil pekerjaan siswanya.

2. Baruda
Albert Bandura dilahirkan pada tanggal 4 Desember 1925 di Mondere Alberta, Canada. Dia
memperoleh gelar Master di bidang psikologi pada tahun 1951 dan setahun kemudian ia juga
meraih gelar doktor (Ph.D). Setahun setelah lulus, ia bekerja di Standford University. Albert
Bandura sangat terkenal dengan teori pembelajaran sosial (Social Learning TheoryAlbert Baruda
mengemukakan bahwa seseorang itu belajar melalui proses meniru. Maksud meniru disini
bukanlah mencontek, tetapi meniru hal-hal yang dilakukan oleh orang lain.
Ia melakukan percobaan bersama dengan rekan-rekannya untuk menemukan adanya
pengaruh antara model-model (yang telah dilatih khusus untuk bertingkah laku tertentu) terhadap
orang-orang yang melihatnya. Kesimpulan dari hasil penelitiannya adalah bahwa seseorang yang
terbiasa melihat orang lain (model) berbuat jahat, maka ia cenderung untuk berbuat jahat, begitu
pun sebaliknya. Dengan demikian, implikasi teori ini dalam pembelajaran adalah guru harus
menjadi model yang professional, yang layak untuk ditiru siswanya. Seperti sebuah pameo,
guru, digugu dan ditiru, bukan lantas guru, digugu walaupun keliru. Sehingga, ketika
seorang anak didik tidak boleh mengikuti kekeliruan seorang guru, dan juga seorang guru tidak
boleh melakukan kekeliruan karena beliaulah contoh bagi anak didiknya.
3. Piaget
Jean Piaget lahir pada tanggal 9 Agustus 1896 di Neuchatel, Swiss. Sejak masa remaja, dia
sangat tertarik dengan filsafat. Hal inilah yang mengarahkan minat besarnya kepada
epistomologi, suatu cabang ilmu yang mempelajari tentang pengetahuan. Piaget dikenal sebagai
ahli ilmu jiwa yang juga berhasil memperoleh gelar doctor dalam bidang biologi (Setiono, 1983 :
12). Piaget menyakini bahwa proses berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Piaget yakin
bahwa anak bukan merupakan replica dari orang dewasa. Anak bukan hanya berfikir kurang
efisien dibandingkan orang dewasa, melainkan juga berfikir secara berbeda dengan orang
dewasa. Hal inilah yang menyebabkan Piaget yakin bahwa ada tahap perkembangan kognitif
yang berbeda dari mulai anak sampai menjadi orang dewasa (Suparno : 2000). Ia mengadakan
penelitian kepada anak-anak orang barat dimulai dengan penelitian kepada anaknya sendiri.
Dari penelitian itu timbullah teori belajarnya yang biasa disebut Teori Perkembangan
Mental Manusia. Perkataan mental pada teori itu biasa disebut intelektual atau kognitif.
Teorinya disebut teori belajar sebab berkenaan dengan kesiapan anak untuk mampu belajar.
Teorinya ini menetapkan ragam dari tahap-tahap perkembangan intelektual manusia dari lahir
samapi dewasa serta ciri-cirinya dari setiap tahap itu (Ruseffendi, 1991 : 132). Menurut teori
Piaget, perkembangan mental manusia itu tumbuh secara kronologis melalui empat tahap yang
berurutan. Empat tahap yang dimaksudkan oleh teori perkembangan kognitif dari Piaget tersebut
adalah sebagai berikut :

a. Tahap sensori motor (dari lahir sampai umur sekitar 2 tahun).


b. Tahap pra-operasional (umur dari sekitar 2 tahun sampai sekitar 7 tahun).
c. Tahap operasi konkret (umur dari sekitar 7 tahun sampai sekitar 12 tahun).
d. Tahap operasi formal (umur dari sekitar 12 tahun sampai dewasa).
Beberapa ciri utama pada setiap tahapan perkembangan kognitif menurut Piaget adalah sebagai
berikut :
a) Tahap Sensori-Motor (Sensori-Motor Stage)
Pada tahap ini anak mengembangkan konsep pada dasrnya melalui interaksi dengan dunia
fisik. Para guru tidak terkait secara langsung dengan anak-anak atau bayi seperti ini. Namun,
para guru perlu mengetahui dan menyadari bahwa sejak usia ini dasar-dasar pertumbuhan mental
dan belajar matematika sudah mulai dikembangkan. Secara lebih terperinci, beberapa ciri tahap
sensori-motor adalah sebagai berikut :
1) Anak belajar mengembangkan dan menyelaraskan gerak jasmaninya.
2) Anak berfikir/belajar melalui perbuatan dan gerak.
3) Anak belajar mengaitkan symbol benda dengan benda konkretnya, hanya masih sukar. Missal :
mengaitkan penglihatan mentalnya dengan penglihatan real dari benda yang disembunyikan.
4) Mulai mengotak-atik benda.
b) Tahap Pra-Operasional (Pre-Operasional Stage)
Pada tahap ini anak sudah menggunakan bahasa untuk menyatakan suatu ide, tetapi ide
tersebut masih sangat tergantung pada persepsinya. Pada tahap ini anak telah mulai
menggunakan simbol, dia belajar untuk membedakan antara kata atau istilah tersebut. Pada tahap
ini anak juga sudah mulai mengenal ide tentang kekekalan, tidak berubah, atau konservasi
yang sederhana, walaupun belum sempurna benar. Anak tidak melihat abahwa banyaknya objek
adalah tetap atau tidak berubah, tanpa memperhatikan susunan ruang yang ditempati objek tadi.
Tahap pra-operasional ini dibagi kedalam tahap berfikir prakonseptual dan tahap berfikir intuitif
(Ruseffendi, 1991). Adapun tahap ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut (Ruseffendi, 1991 ;
Bybee, 1982) :
1) Sebaran umur dari sekitar tahun 2 tahun sampai sekitar 7 tahun, tahpa berfikir pra-konseptual
sekitar 2-4 tahun, tahap berfikir intuitif sekitar 4-7 tahun.
2) Bila kita bandingkan pada tahap ini anak berfikir internal (penghayatan kedalam) sedangkan
pada tahap sensori-motor dengan gerak atau perbuatan. Anak pada tahap pra-konseptual
memungkinkan representasi sesuatu itu dengan bahasa, gambar, dan khayalan. Penilaian dan
perkembangan anak pada tahap berfikir intuitif didasarkan pada persepsi pengalaman sendiri,
bukan kepada penalaran.
3) Anak mengkaitkan pengalaman yang ada pada dunia luar dengan pengalaman pribadinya. Anak
mengira pada cara berfikir dan pengalamannya dimiliki pula oleh orang lain. Misalnya bila ia
melihat sebuah gambar terbalik dari sisi meja yang satu, mengira bahwa temannya yang
berhadapan dengan dia di sisi lain dari meja itu terlihat gambar itu terbalik pula. Karena itu kita
akan menemukan bahwa anak-anak pada tahap ini sangat egois (egosentris).
4) Anak mengira bahwa benda tiruan memiliki sifat-sifat benda yang sebenarnya (animisme).
5) Anak pada tahap ini tidak dapat membedakan kejadian yang sebenarnya (fakta) dengan
khayalannya (fantasi).
6) Anak berpendapat bahwa benda-benda itu berbeda jika kelihatannya berbeda, dengan kata lain :
a) Anak belum memiliki konsep kekekalan banyak.
b) Anak belum memiliki konsep kekekalan materi (zat)
c) Anak belum memiliki konsep kekekalan panjang
d) Anak belum memiliki konsep kekekalan luas
e) Anak belum memiliki konsep kekekalan berat
f) Anak belum memiliki konsep kekekalan isi
7) Pada tahap ini anak kesulitan membalikkan dan mengulang pemikiran (perbuatan), sehingga
anak pada tahap ini kesulitan melakukan operasi invers.
8) Anak sulit memikirkan dua aspek atau lebih dari suatu benda secara serempak.
9) Anak tidak berfikir induktif maupun deduktif, tetapi anak berfikir transduktif.
10) Anak mampu memanipulasi benda konkret.
11) Anak mulai dapat membilang menggunakan benda konkret, misalnya jari tangan.
12) Pada tahap akhir ini anak dapat memberikan alas an atas keyakinannya, dapat mengelompokkan
benda berdasarkan satu sifat khusus yang sederhana, dan mulai dapat memahami konsep yang
sederhana.
13) Anak belum dapat memahami korespondensi satu-satu untuk memahami banyaknya (kesamaan
dan ketidaksamaan).
14) Anak kesulitan memahami konsep ketakhinggaan dan pembagian tak terbnatas dari sebuah ruas
garis atas ruas garis-ruas garis yang lebih kecil panjangnya.
Mirip dengan ciri ke-12 diatas, Piaget (Crain, 1980) mengemukakan bahwa pada tahap pra-
operasional, anak kesulitan untuk mengklasifikasikan objek secara kompleks. Misalnya dari 20
bola kayu, 18 bola berwarna coklat dan 2 bola berwarna putih. Ketika anak ditanya manakah
yang lebih banyak, bola kayu atau bola yang berwarna coklat??? Maka anak akan menjawab
coklat yang lebih banyak.
c) Tahap Operasi Konkret (Concrete Operasional Stage)
Selama tahap ini anak mengembangkan konsep dengan menggunakan benda-benda konkret
untuk menyelidiki hubungan dan model-model ide abstrak. Bahasa merupakan alat yang sangat
penting untuk menyatakan dan mengingat konsep-konsep. Pada tahap ini anak sudfah mulai
berfikir logis. Befikir logis ini terjadi sebagai akibat adanya kegiatan anak memanipulasi benda-
benda konkret. Oleh sebab itu pada tahap ini sudah dapat diterima dengan mantap oleh anak.
Sebagai contoh, kita ambil dua gelas yang sama ukurannya. Masing-masing gelas diisi dengan
air yang sama banyak volumenya. Kedua gelas yang berisi air tersebut ditunjukkan kepada
seorang anak. Kita tanyakan kepada dia apakah sama ataukah tidak banyaknya air dalam kedua
gelas ini??? menurut Jean Piaget, anak-anak akan menjawab sama benyaknya. Selanjutnya,
air dalam salah satu gelas tadi dituangkan semuanya pada sebuah gelas yang tinggi dan garis
tengahnya lebih kecil. Sekarang kedua gelas yang berisi air itu kita tunjukkan kepada anak tadi.
Ajukan pertanyaan yang sama kepada anak itu. Menurut Jean Piaget, anak akan tetap menjawab
sama banyaknya. Alasannya adalah karena :
(1) Tampak lebih tinggi,
(2) anak menggunakan pikiran logis,
(3) anak berada pada tahap berfikir operasi konkret.
Kita juga banyak menjumpai sifat kekekalan pada konsep bilangan, contohnya antara lain :
3 = 1 + 2 = 1 + 1 + 1 = 5 2 = 12 : 4 = 1 x 3 = 3
5x4=4x5
0,25 = = 25 % dan lain sebagainya.
Umur anak ketika mulai memahami konsep kekekalan adalah sebagai berikut :
1) Konsep kekekalan bilangan, sektar 5 7 tahun.
2) Konsep kekekalan banyaknya zat, umur 7 8 tahun.
3) Konsep kekekalan panjang, sekitar 7 8 tahun.
4) Konsep kekekalan luas, sekitar 8 9 tahun.
5) Konsep kekekalan berat, sekitar 9 10 tahun.
6) Konsep kekekalan volume, kadang-kadang mulai pada tahap berfikir formal (11 12 tahun).
Selain ciri-ciri diatas, pada tahap operasi konkret anak juga sudah mampu melihat sudut pandang
orang lain dan mengetahui mana benar dan mana salah. Anak juga mulai senang dengan
membuat benda bentukan atau alat-alat mekanis, misalnya membuat mobil-mobilan dari bamu
dan kulit jeruk. Namun pada tahap ini masih cenderung mengalami kesulitan untuk menjelaskan
peribahasa dan belum mampu memahami arti yang tersembunyi. Satu hal yang perlu dicamkan,
tahap operasi konkret bukan berarti pada tahap ini anak tidak mengerti konsep tanpa benda
konkret, akan tetapi disebabkan karena anak-anak pada tahap ini mendapat kesukaran untuk
menerapkan proses intelektual formal kedalam symbol-simbol verbal dan ide-ide abstrak. Dari
awal tahap operasi konkret ini, sampai menjelang tahap operasi formal, terdapat empat tingkat
berfikir yang dilalui oleh anak, yakni :
1) Berfikir konkret
2) Berfikir semi konkret
3) Berfikir semi abstrak
4) Berfikir abstrak
Para siswa sekolah dasar di Indonesia umumnya berumur 6 12 tahun. Jadi, kebanyakan
diantara mereka berada pada tahap operasi konkret. Dalam kaitannya dengan pembelajaran
matematika SD, pada tahap ini anak dapat mengelompokkan benda-benda konkret berdaarkan
warna, bentuk, atau ukurannya. Misalnya kita menyediakan sekelompok benda konkret berupa
bangun-bangun geometri datar seperti : segitiga, segiempat, segilima, dan segienam. Setiap
bangun geometri tersebut berwarna tertentu, misalnya berwarna merah, kuning, hijau, biru dan
hitam. Kita dapat meminta anak untuk mengumpulkan bangun geometri yang berwarna merah.
Anak juga dapat diminta untuk mengumpulkan bangun geometri yang berbentuk segitiga. Anak
juga dapat mengumpulkan segitiga yang berwarna merah. Disamping itu, anak juga dapat
diminta mengurutkan segiempat berdasrkan ukurannya, misalnya dari kecil ke besar atau
sebaliknya.
d) Tahap Operasi Formal (Formal Operational Stage)
Ini merupakan tahap berfikir terakhir dari perkembangan intelektual manusia menurut Piaget.
Ciri-ciri yang tampak antara lain :
1) Anak sudah mampu berfikir secara abstrak, tidak memerlukan lagi perantara operasi konkret
untuk menyajikan abstraksi mental secara verbal.
2) Dia dapat mempertimbangkan banyak pandangan sekaligus, dapat memandang perbuatan secara
objektif dan merefleksikan proses berfikirnya, serta dapat membedakan antra argumentasi dan
fakta.
3) Mulai belajar menyusun hipotesis (perkiraan) sebelum melakukan perbuatan.
4) Dapat merumuskan dalil / teori, menggenerasikan hipotesis, serta ampu menguji bermacam-
macam hipotesis.
Operasi formal pada tahap perkembangan mental ini tidak berhubungan dengan ada atau
tidaknya benda-benda konkret, tetapi berhubungan dengan tipe berfikir. Apakah situasinya
disertai dengan benda konkrit atau tidak, tidak menjadi masalah. Piaget menekankan bahwa
proses belajar merupakan suatu proses asimilasi dan akomodasi informasi kedalam struktur
mental. Asimilasi adalah proses terpadunya informasi dan pengalaman baru kedalam struktur
mental. Akomodasi adalah hasil perubahan pikiran sebagai suatu akibat dari adanya informasi
dan pengalaman baru. Ketika para siswa mempunyai pengalaman baru, mereka secara aktif
mencoba menerima ide baru itu dalam kaitannya dengan pengalaman dan ide-ide lama yang
sudah ada.
Suatu istilah umum untuk teori belajar Jean Piaget adalah contructivism, karena
kenyakinannya bahwa para siswa mengkonstruksi pikiran mereka sendiri dan bukan menjadi
penerima informasi yang bersifat pasif. Sebagai contoh dalam operasi penjumlahan, anak sudah
memahami bahwa 2 + 3 = 5 dngan memanipulasi benda-benda konkret yang telah dia kenal.
Misalnya dia mempunyai 2 buah jeruk, kakaknya memberikan 3 buah jeruk lagi kepadanya. Dia
kumpulkan jeruk-jeruk tersebut kemudian membilang banyaknya buah jeruk yang dia miliki saat
ini. Dengan pengetahuan dan pengalaman yang telah dia miliki, dia mampu menyatakan bahwa
jumlah jeruknya sekarang adalah 5 buah. Kini dia dapat memisahkan antara konsep banyaknya
jeruk, yaitu 5 buah, yang terdapat pada suatu kumpulan dengan cara-cara jeruk tadi ditata atau
diatur, yaitu 2 dan 3 buah. Oleh sebab itu sekarang dia dapat mengkonstruksikan bahwa 5 sama
dengan 2 + 3. Dengan kata lain, tahap operasi konkret merupakan dasar untuk berfikir abstrak.
Teori ini di sebuut teori belajar karena berkenaan dengan kesiapan anak untuk mampu belajar
dan di sesuaikan dengan tahapan-tahapan perkembangan anak.
Belajar pada anak bukan sesuatu yang sepenuhnya tergantung pada guru melainkan harus
keluar dari anak itu sendiri. Berpegang pada teori ini bila kita menginginkan perkembangan
mental anak lebih cepat memasuki ke tahap yang lebih tinggi dapat di lakukan dengan
memperkaya pengalaman-pengalaman anak terutama pengalaman konkrit, sebab dasar
perkembangan mental(kognitif) adalah melalui pengalaman-pengalaman berbuat aktif terhadap
benda-benda sekeliling, dan perkembangan bahasa merupakan salah satu kunci untuk
mengembangan kognitif anak. Hal ini di pertegas oleh Soepartinah Pakasi bahwa dalam
perkembangan anak, di mana perkembangan kognisinya harus sejalan dengan perkembangan
bahasa sebab perkembangan bahasa dan perkembangan berpikir saling mempengaruhi.
4. Bruner dengan metode Penemuannya
Jerome, S Bruner telah banyak menulis teori belajar, yang kajian khususnya adalah mengenai
bagaimana keyakinan dia terhadap anak-anak yang belajar matematika. Dalam teorinya ia
menyatakan bahwa belajar matematika akan lebih berhasil jika proses pengajaran diarahkan
kepada konsep-konsep dan struktur-struktur yang termuat dalam pokok bahasan yang diajarkan,
disamping hubungan yang terkait antara konsep-konsep dan struktur-struktur tersebut. Dengan
mengenal konsep dan struktur yang tercakup dalam materi yang sedang dibicarakan, anak akan
lebih memahami materi yang harus dikuasainya itu. Dengan kata lain, materi yang mempunyai
suatu pola atau struktur tertentu akan lebih mudah dipahamai oleh anak. Seperti halnya Piaget,
Bruner lebih peduli terhadap proses belajar dari pada hasil belajar.
Oleh sebab itu, menurut Bruner metode belajar merupakan factor yang sangat menentukan
dalam pembelajaran dibandingkan dengan perolehan suatu kemampuan khusus. Metode yang
sangat didukung oleh Bruner adalah metode belajar dengan penemuan. Dengan metode ini anak
di dorong untuk memahami suatu fakta atau hubungan matematika yang belum dia pahami
sebelumnya, dan yang belum diberikan kepadanya secara langsung oleh orang lain. Bruner
berpendapat mengenai penemuan kegiatan mengorganisasikan kembali materi pelajaran yang
telah dikuasai oleh seorang siswa. Kegiatan ini berguna bagi siswa tersebut untuk menemukan
suatu pola atau keteraturan yang bersifat umum terhadap situasi atau masalah baru yang
sedang dihadapinya. Ia yakin bahwa dalam mempelajari matematika seorang anak perlu secara
langsung menggunakan bahan-bahan manipulative. Bahan-bahan manipulative merupakan benda
konkrit yang dirancang khusus dan dapat diotak-atik oleh siswa dalam berusaha untuk
memahami suatu konsep matematika.
Adanya interaksi antara siswa dengan lingkungan fisik ini, akan memberikan kesempatan
baginya untuk melaksanakan penemuan. Sehubungan dengan pengalaman fisik ini, Bruner
mengemukakan bahwa dalam proses belajarnya anak melewati tiga tahapan, yaitu :
a. Tahap enaktif (enactive). Dalam tahap ini anak secara langsung terlbat dalam memanipulasi
(menotak-atik) suatu benda. Sebagai contoh, kita ingin mengenalkan konsep bilangan pecahan
yaitu . kita dapat menggunakan sebuah apel yang dibagi dua sama besar.
b. Tahap ikonik (iconic). Dalam tahap ini kegiatan yang dilakukan anak sudah behubungan dengan
mental, yang merupakan gambaran dri objek / benda yang dimanipulasinya. Anak tidak langsung
memanipulasi objek seperti yang dilakukan pada tahap enaktif. Misalnya dengan menunjukkan
pada sajian yang berupa gambar atau grafik.
c. Tahap simbolik (symbolic). Dalam tahap ini anak tidak lagi terikat dengan objek pada tahap
sebelumnya. Anak pada tahap ini sudah mampu mengggunakan notasi / symbol tanpa
ketergantungan terhadap objek real.

5. Dewey dan Teori Pembelajaran Kognitif


Dewey adalah seorang filsuf dan pendidik, yang lahir tahun 1859 dan meninggal tahun 1952.
John Dewey merupakan salah seorang tokoh pendidikan berkebangsaan Amerika yang
menawarkan tentang pola pendidikan partisipatif. Yang bertujuan untuk lebih memberdayakan
peserta didik dalam jalannya proses pendidikan. Pendidikan partisipatif akan membawa peserta
didik untuk mampu berhadapan secara langsung dengan realitas yang ada di lingkungannya.
Sehingga, peserta didik dapat mengintegrasikan antara materi yang ia pelajari di kelas dengan
realitas yang ada. Konsep pendidikan John Dewey, tidak bisa serta merta diterapkan di bumi
Indonesia.
Sebab, secara psikologis dan sosiologis negara kita berbeda dengan Amerika Dewey
termasuk aliran pendidikan yang progresif di mana Dewey mengutamakan pada pengertian dan
belajar bermakna, maksudnya anak didik yang belum siap jangan di paksa belajar. Para
pendidik atau orang tua sebaiknya menunggu kesiapan peserta didik atau anak untuk belajar, atau
dapat di lakukan mengatur suasana pangajaran sehingga siswa siap untuk belajar. Setiap orang
telah mempunyai pengalaman dan pengetahuan di dalam dirinya serta pengalaman dan
pengetahuan ini tertata dalam bentuk struktur kognitif (Sugihartono dkk, 2007: 105).
Pengalaman dan pengetahuan tersebut diperoleh melalui proses penginderaan yang selanjutnya
akan masuk ke dalam memori serta tersusun dalam struktur kognitif. Pada tahap selanjutnya
pengalaman dan pengetahuan yang telah tersusun secara kognitif tersebut akan bekerja secara
psikomotorik untuk pemecahan masalah bagi siswa.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor kognitif berasal dari pengalaman dan
pengetahuan yang dimiliki oleh siswa. Menurut teori ini, proses belajar akan berjalan dengan
baik bila materi pelajaran yang baru beradaptasi (bersinambungan) secara tepat dan serasi
dengan struktur kognitif yang telah dimiliki siswa (Sugihartono dkk , 2007:105). Dari pengertian
tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa proses belajar harus dilakukan secara terus-menerus
agar berjalan dengan baik. Proses belajar yang berkesinambungan akan lebih memiliki manfaat
bagi siswa seperti siswa akan lebih banyak memiliki alternatif pemecahan masalah sehingga
masalah yang dihadapi akan terselesaikan dengan cara yang efisien. Teori kognitif John Dewey
dapat diaplikasikan dalam pembelajaran siswa khususnya pada pembelajaran kognitif.
Pembelajaran kognitif menekankan pada keaktifan siswa dalam berpikir untuk memecahkan
masalah dengan cara merekonstruksi masalah dengan pengetahuan dan pengalaman yang telah
didapat.
Hal ini tentunya akan melatih siswa untuk berpikir secara rasional dalam memecahkan
masalah. Proses pembelajaran kognitif harus dilakukan secara berkelanjutan agar ada
perkembangan dalam kemampuan berpikir siswa. Tujuan pendidikan menurut teori belajar
kognitif adalah (Sugihartono dkk, 2007):
1) Menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan
setiap persoalan yang dihadapi.
2) Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan
pengetahuan dan keterampilan dapat direkonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan
memecahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis
masalah dalam kehidupan sehari-hari.
3) Peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi
dirinya. Guru berfungsi sebagai mediator, fasilitator, dan teman yang membuat situasi menjadi
kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.
Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa pendidikan kognitif lebih mengarah pada
kemandirian siswa dengan kata lain guru hanya menjadi mediator atau menyampaikan materi
pendidikan. Dengan cara tersebut maka kemampuan siswa menjadi lebih berkembang sehingga
kualitas pendidikan yang dimiliki oleh siswa tersebut menjadi lebih baik. Dalam upaya
mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tyler (1996: 20 dalam Sugihartono dkk,
2007) mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai
berikut:
1) Memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri
2) Memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi
lebih kreatif dan imajinatif
3) Memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru
4) Memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa
5) Mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka
6) Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.

6. William Brownell (Aliran Psikologi Gestalt)


Salah satu ahli yang memberikan sumbangan pikiran dalam teori belajar adalah William
Arthur Brownell adalah tokoh besar dalam matematika pendidikan di awal abad dua puluh.
Brownell lahir pada tanggal 19 Mei 1895 di Smethport Pennsylvania, dan wafat pada tanggal 24
mei 1977. Ia menyelesaikan sekolah dasar dan menengahnya di Smethport dan kemudian
melanjutkan pendidikannya di Ailegheni College, di mana mendapatkan gelar A.B. pada tahun
1917. Setelah lulus, dia kembali ke kampung halamannya untuk mengajar di sekolah menengah
setempat selama empat tahun. Lalu ia pergi ke Illinois untuk mulai mengerjakan program
pascasarjananya di pendidikan psikologi di universitas Chicago Di Chicago.
Aliran psikologi Gestalt memandang bahwa pembelajaran harus ditekankan kepada
pengertian dan penuh makna (meaningful learning, atau meaning theory). Salah satu tokoh
penting yang mengemukakan pandangan ini dalam matematika adalah William Brownell (sekitar
tahun 1930-an). Pandangan Brownell ini didasarkan atas kenyakinan bahwa anak-anak pasti
memahami apa yang sedang mereka pelajari jika belajar secara permanen atau secara terus-
menerus untuk waktu yang lama. Salah satu cara bagi anak untuk mengembangkan pemahaman
tentang matematika adalah dengan menggunakan benda-benda tertentu ketika mereka
mempelajari konsep matematika. Sebagai contoh, pada saat anak-anak baru pertama kali
diperkenalkan dengan konsep membilang, mereka akan lebih mudah memahami konsep itu jika
mereka menggunakan benda konkret yang mereka kenal, seperti : mangga, kelereng, bola, atau
sedotan.
Dengan kata lain, teori belajara William Brownell ini mendukung penggunaan benda-benda
konkret untuk dimanipulasikan sehingga anak-anak dapat memahami makna dari konsep dan
keterampilan baru yang mereka pelajarai. Aliran psikologi Gestalt saling mendukung dengan
aliran pengaitan dari Thorndike dan aliran pendidikan progresif Dewey yaitu pengjaran yang
ditekankan pada pengertian, belajarbermakna dan pengaitan. Dan penekanan pada latih hafal
yang di lakukan setelah anak didik memperoleh pengertian. Teori belajar William Brownell
didasarkan atas keyakinan bahwa anak-anak memahami apa yang sedang mereka pelajari jika
belajar secara permanen atau secara terus menerus untuk waktu yang lama. Aritmatika atau
berhitung yang diberikan pada anak-anak SD dulu lebih menitikberatkan hafalan dan mengasah
otak.
Aplikasi dari bahan yang diajarkan dan bagaimana kaitannya dengan pelajaran-pelajaran
lainnya sedikit sekali dikupas. Salah satu cara bagi anak-anak untuk mengembangkan
pemahaman tentang matematika adalah dengan menggunakan benda-benda tentu ketika mereka
mempelajari konsep matematika. Sebagai contoh, pada saat anak-anak baru pertama kali di
perkenalkan dengan konsep membilang, mereka akan lebih mudah memahami konsep itu jika
mereka menggunakan benda kongkrit yang mereka kenal ; seperti mangga, kelereng, bola atau
sedotan. Dengan kata lain, teori belajar William brownel ini mendukung penggunaan benda-
benda kongkrit untuk dimanipulasikan sehingga anak-anak dapat memahami makna dari konsep
dan keterampilan baru yang mereka pelajari. Anak-anak yang berhasil dalam mengikuti pelajaran
pada waktu itu memiliki kemampuan berhitung yang jauh melebihi anak-anak sekarang. Contoh
mengenai belajar dengan menghafal dan belajar dengan pengertian,yaitu:
i. Siswa belajar dengan menghafal
1) 3+6 = 9
2) 15+11 = 26
ii. Siswa belajar dengan pengertian
1) 15+11 = (10+5) + (10+1)
= (10+10) + (5+1)
= 20 + 6
= 26

7. Teori Zaisa Dienes


Dienes dalam pengajaran matematika menekankan pengertian, dengan demikian anak di
harapkan akan lebih mudah mempelajarinya dan lebih menarik. Menurut pengamatan dan
pengamatan Dienes bahwa terdapat anak-anak yang menyenangi matematika hanya pada
permulaan, mereka berkenalan dengan matematika yang sederhana, semakin tinggi sekolahnya
semakin sukar matematika yang dipelajari makin kurang minatnya belajar matematika
sehingga di anggap matematika itu sebagai ilmu yang sukar, rumit, dan banyak memperdalam.
Kurangnya minat belajar anak terhadap matematika karena kurangnya pengertian tentang hakikat
dan fungsi matematika itu sendiri.
Padahal matematika itu salah satu jalan untuk menurut Slamet Imam Santoso merupakan
salah satu jalan untuk menuju pemikiran yang jelas, tepat, dan teliti pemikiran mana melandasi
semua ilmu pengetahuan dan filsafat, bahkan jatuh bangun suatu negara tergantung dari
kemajuan matematikanya(Moris Kline). Menurut ET Russefendi agar anak didik memahami dan
mengerti akan konsep (struktur) matematika seyogyanya diajarkan dengan urutan konsep murni,
di lanjutkan dengan konsep notasi, dan di akhiri dengan konsep terapan, di samping itu untuk
dapat mempelajari dengan baik struktur matematika maka representasinya (model) dimulai
dengan benda-benda kongkrit yang beraneka ragam. Misalnya anak akan lebih cepat memahami
arti benda-benda bila di sajikan berbagai bentuk dan jenis benda-benda, atau dengan kata lain
bahwa benda-benda yang akan diamati harus beraneka ragam. Untuk membangkitkan dan
memelihara minat belajar anak atau peserta didik perlu di ciptakan suasana santai saat belajar,
memberikan kesempatan bermain dan permainan akan lebih baik jika dikaitkan dengan bermain
dengan pelajaran matematika.

C. Metode Mengajar Matematika


Apabila kita ingin mengajarkan sesuatu kepada anak/peserta didik dengan baik dan berhasil
pertama-tama yang harus diperhatikan adalah metode atau cara pendekatan yang akan di
lakukan, sehingga sasaran yang diharapkan dapat tercapai atau terlaksana dengan baik, karena
metode atau cara pendekatan yang dalam fungsinya merupakan alat untuk mencapai tujuan.
Dengan demikian jika pengetahuan tentang metode dapat mengaplikasikannya dengan tepat mka
sasaran untuk mencapai tujuan akan semakin efektif dan efisien. Metode mengajar yang di
terapkan dalam suatu pengajaran di katakan efektif bila menghasilkan sesuatu sesuai dengan
yang di harapkan atau dengan kata lain tujuan tercapai, bila makin tinggi kekuatannya untuk
menghasilkan sesuatu makin efektif metode tersebut. Sedangkan metode mengajar dikatakan
efisien jika penerapannya dalam menghasilkan sesuatu yang di harapkan itu relatif menggunakan
tenaga, usaha pengeluaran biaya, dan waktu minimum atau semakin kecil tenaga, usaha, biaya
dan waktu yang di keluarkan semakin efisien metode itu.
Metode atau cara atau pendekatan yang diharapkan dapat terlaksana dengan baik, jika materi
yang akan diajarkan dirancang terlebih dahulu. Dengan kata lain bahwa untuk menerapkan suatu
metode atau cara atau pendekatan dalam pengajaran matematika sebelumnya menyusun strategi
belajar mengajar, dengan strategi belajar mengajar yang sudah tersusun dapat ditentukan metode
mengajar, atau tekhnik mengajar dan akhirnya dapat dipilih alat peraga atau media pelajaran
sebagai pendukung materi pelajaran yang akan diajarkan.
BAB 4
PENUTUP
Kesimpulan
Strategi pembelajaran adalah siasat atau kiat yang sengaja direncanakan oleh guru, berkenaan
dengan segala persiapan pembelajaran agar pelaksanaan pembelajaran berjalan dengan lancar,
dan tujuan yang berupa hasil belajar dapat tercapai secara optimal. Strategi belajar adalah
strategi siswa dalam mempelajari konsep-konsep matematika dan dalam menyelesaikan soal-
soalnya. Sedangkan strategi mengajar adalah strategi yang dipergunakan guru dalam mengolah
materi matematika untuk pengajaran.
Metode pembelajaran adalah cara menyajikan materi yang masih bersifat umum. Misalnya
seorang guru menyajikan materi dengan penyampaian yang didominasi cara lisan, lalu sekali-
sekali ada Tanya jawab. Model pembelajaran dimaksudkan sebagai pola interaksi siswa dengan
guru didalam kelas yang menyangkut strategi, pendekatan, metode dan teknik pembelajaran yang
diterapkan dalam pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar. Bagi guru matematika yang
mempelajari bagian ini akan sangat berguna dalam meningkatkan kemampuan dirinya sebagai
guru matematika yang professional, karena dengan menguasai materi serta aplikasinya akan
meningkat pula wawasan kemampuan untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran matematika di
dalam kelas.
Tidak hanya tingkat kedalaman konsep yang diberikan pada siswa yang harus disesuaikan
dengan tingkat kemampuannya, cara penyampaian materi pun demikiann pula. Guru harus
mengetahui tingkat perkembangan mental anak dan bagaimana pengajaran yang harus dilakukan
sesuai dengan tahap-tahap perkembangan tersebut. Pembelajaran yang tidak memperhatikan
tahap perkembangan mental siswa besar kemungkinan akan mengakibatkan siswa mengalami
kesulitan, karena apa yang disajikan pada siswa tidak sesuai dengan kemampuannya dalam
menyerap materi yang diberikan. Begitu pentingnya pengetahuan tentang teori pembelajaran
dalam system penyampaian materi di depan kelas, hingga setiap metode pengajaran harus
disesuaikan dengan teori-teori yang dikemukakan oleh ahli pendidikan.
Beberapa teori belajar dalam psikologi diaplikaskan dalam pendidikan, dan diungkapkan
bagaimana implikasinya dalam pembelajaran matematika. Setelah mempelajari bagian ini
diharapkan mahasiswa memiliki sejumlah kemampuan tertentu. Kemampuan ini, sebagai tujuan
mempelajari bagian ini mahasiswa dapat memahami teori psikologi pembelajaran serta mampu
menerapkannya dalam pelaksanaan pembelajaran matematika.
DAFTAR PUSTAKA

Simanjuntak Lisnawaty, Dra, Drs. Poltak Manurung, dan Domi C. Matutina.1992. Metode
Mengajar Matematika. Jakarta. Rineka Cipta.
Hudoyo, Herman.1988.Belajar Mengajar Matematika.Jakarta:Depdikbud
http://www.itachi Blog Archive macam-macam teori pembelajaran.htm
Islamuddin, Haryu. 2011. Psikologi Pendidikan. Jember. STAIN PRESS JEMBER.
Ratna Wilis Dahar, Prof. 1996. Teori-teori Belajar. Jakarta: Erlangga.
Santrock, W. John. 2007. Perkembangan Anak. Jakarta. Erlangga.
......................................Jilid 2. Jakarta. Erlangga.
Wiriatmadja Rochiati, Prof, Dr. 2005. Metode Penelitian Tindakan Kelas. Bandung. PT Remaja
rosdakarya.
Drs. Soemanto, Wasty, M.Pd. 2006. Psikologi Pendidikan Landasan Kerja Pemimpin
Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta

Anda mungkin juga menyukai