PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
sehingga apa yang disebut dengan rongga pleura atau kavitas pleura hanyalah
suatu ruangan potensial.2
Tekanan dalam rongga pleura lebih rendah dari tekanan atmosfer,
sehingga mencegah kolaps paru. Bila terserang penyakit, pleura mungkin
mengalami peradangan, atau udara ataupun cairan dapat masuk ke dalam
rongga pleura, menyebabkan paru tertekan atau kolaps.3
Ada tiga faktor yang mempertahankan tekanan negatif yang normal
ini. Pertama, jaringan elastic paru memberikan kekuatan kontinu yang
cenderung menarik paru jauh dari rangka toraks. Setelah lahir, paru cenderung
mengerut ke ukuran aslinya yang lebih kecil daripada bentuknya sebelum
mengembang. Tetapi, permukaan pleura viseralis dan pleura parietalis yang
saling menempel itu tidak dapat dipisahkan, sehingga tetap ada kekuatan
kontinu yang cenderung memisahkannya. Kekuatan ini dikenal sebagai
tekanan negatif dari ruang pleura. Tekanan intrapleura secara terus-menerus
bervariasi sepanjang siklus pernafasan, tetapi selalu negatif.2
Faktor utama kedua dalam mempertahankan tekanan negatif
intrapleura adalah kekuatan osmotik yang terdapat di seluruh membrane
pleura. Cairan dalam keadaan normal akan bergerak dari kapiler di dalam
pleura parietalis ke ruang pleura dan kemudian diserap kembali melalui pleura
viseralis. Pergerakan cairan pleura dianggap mengikuti hukum Starling
tentang pertukaran transkapiler; yaitu, pergerakan cairan bergantung pada
selisih perbedaan antara tekanan hidrostatik darah yang cenderung mendorong
cairan keluar dan tekanan onkotik dari protein plasma yang cenderung
menahan cairan agar tetap di dalam. Selisih perbedaan absorbsi cairan pleura
melalui pleura viseralis lebih besar daripada selisih perbedaan pembentukan
cairan oleh pleura parietalis sehingga pada ruang pleura dalam keadaan
normal hanya terdapat beberapa milliliter cairan.3
Faktor ketiga yang mendukung tekanan negatif intrapleura adalah
kekuatan pompa limfatik. Sejumlah kecil protein secara normal memasuki
ruang pleura tapi akan dikeluarkan oleh sistem limfatik dalam pleura
parietalis; terkumpulnya protein di dalam ruang intrapleura akan mengacaukan
keseimbangan osmotik normal tanpa pengeluaran limfatik. Ketiga faktor ini
3
kemudian, mengatur dan mempertahankan tekanan negatif intrapleura
normal.3
4
pusat pernafasan agar menghentikan pengembangan lebih lanjut. Sinyal dari
reseptor regang tersebut akan berhenti pada akhir ekspirasi ketika paru dalam
keadaan mengempis dan pusat pernafasan bebas untuk memulai inspirasi lagi.
Mekanisme ini yang dikenal dengan nama reflex Hering-Breuer, refleks ini
tidak aktif pada orang dewasa, kecuali bila volume tidal melebihi 1 liter
seperti pada waktu berolah raga. Refleks ini menjadi lebih penting pada bayi
baru lahir. Pergerakan sendi dan otot (misalnya, sewaktu berolah raga) juga
merangsang peningkatan ventilasi. Pola dan irama pengaturan pernafasan
dijalankan melalui interaksi pusat-pusat pernafasan yang terletak dalam pons
dan medulla oblongata.3,4
Keluaran motorik akhir disalurkan melalui medulla spinalis dan saraf
frenikus yang mempersarafi diafragma, yaitu otot utama ventilasi. Saraf utama
lain yang ikut ambil bagian adalah saraf asesorius dan interkostalis torasika
yang mempersarafi otot bantu pernafasan dan otot interkostalis.4
5
menyebabkan bronkokonstriksi, peningkatan sekresi mucus, peningkatan
permeabilitas pembuluh darah.5
2.5 Fisiologi
Proses fisiologi pernafasan yaitu proses O2 dipindahkan dari udara ke
dalam jaringan-jaringan, dan CO2 dikeluarkan ke udara ekspirasi, dapat dibagi
menjadi tiga stadium. Stadium pertama adalah ventilasi, yaitu masuknya
campuran gas-gas ke dalam dan ke luar paru. Stadium
kedua, transportasi, yang harus ditinjau dari beberapa aspek5
Difusi gas-gas antara alveolus dan kapiler paru (respirasi eksterna) dan
antara darah sistemik dan sel-sel jaringan
Distribusi darah dalam sirkulasi pulmonar dan penyesuaiannya dengan
distribusi udara dalam alveolus-alveolus
Reaksi kimia dan fisik dari O2 dan CO2dengan darah. Respirasi sel atau
respirasi interna merupakan stadium akhir respirasi, yaitu saat zat-zat
dioksidasi untuk mendapatkan energi, dan CO2 terbentuk sebagai sampah
proses metabolisme sel dan dikeluarkan oleh paru.
2.5.1 Ventilasi
Udara bergerak masuk dan keluar paru karena ada selisih tekanan
yang terdapat antara atmosfer dan alveolus akibat kerja mekanik otot-otot.
Rangka toraks berfungsi sebagai pompa. Selama inspirasi, volume toraks
bertambah besar karena diafragma turun dan iga terangkat akibat kontraksi
beberapa otot. Otot sternokleidomastoideus mengangkat sternum keatas dan
otot seratus, skalenus dan interkostalis eksternus mengangkat iga-iga.6
Toraks membesar ke tiga arah: anteroposterior, lateral, dan vertical.
Peningkatan volume ini menyebabkan penurunan tekanan intrapleura, dari
sekitar 4 mmHg (relative terhadap terkanan atmosfer) menjadi sekitar 8
mmHg bila paru mengembang pada waktu inspirasi. Pada saat yang sama
tekanan intrapulmonal atau tekanan jalan nafas menurun sampai sekitar 2
mmHg dari 0 mmHg pada waktu mulai inspirasi. Selisih tekanan antara
jalan nafas dan atmosfer menyebabkan udara mengalir ke dalam paru sampai
tekanan jalan nafas pada akhir inspirasi sama dengan tekanan atmosfer.3,5
6
Selama pernafasan tenang, ekspirasi merupakan gerakan pasif akibat
elastisitas dinding dada dan paru. Pada waktu otot interkostalis internus
relaksasi, rangka iga turun dan lengkung diafragma naik ke atas ke dalam
rongga toraks, menyebabkan volume toraks berkurang. Otot interkostalis
internus dapat menekan iga ke bawah dan ke dalam pada waktu ekspirasi
kuat dan aktif, batuk, muntah, atau defekasi. Selain itu, otot-otot abdomen
dapat berkontraksi sehingga tekanan intraabdomen membesar dan menekan
diafragma ke atas.3,4
Peningkatan volume toraks ini meningkatkan tekanan intrapleura
maupun tekanan intrapulmonal. Tekanan intrapulmonal sekarang meningkat
dan mencapai 1 sampai 2 mmHg di atas tekanan atmosfer. Selisih tekanan
antara jalan nafas dan atmosfer menjadi terbalik, sehingga udara mengalir
keluar dari paru sampai tekanan jalan nafas dan atmosfer menjadi sama
kembali pada akhir ekspirasi. Tekanan intrapleura selalu berada dibawah
tekanan atmosfer selama siklus pernafasan.6
Definisi-definisi berikut ini akan berguna dalam pembahasan
ventilasi yang efektif :4
Volume semenit atau ventilasi semenit (VE) adalah volume udara yang
terkumpul selama ekspirasi dalam periode satu menit. V E dapat dihitung
dengan mengalikan nilai VT dengan kecepatan pernafasan. Dalam
keadaan istirahat, VE orang dewasa sekitar 6 atau 7 liter/ menit.
Frekuensi pernafasan (f) atau kecepatan; adalah jumlah nafas yang
dilakukan per menit. Pada keadaan istirahat, pernafasan orang dewasa
sekitar 10-20 kali per menit.
Volume tidal (VT) adalah banyaknya udara yang diinspirasi atau
diekspirasi pada setiap pernafasan. VT sekitar 8-12 cc/kgBB dan jauh
meningkat pada waktu melakukan kegiatan fisik yaitu bila bernafas
dalam.
Ruang mati fisiologis (VD) adalah volume udara inspirasi yang tidak
tertukar dengan udara paru; udara ini dapat dianggap sebagai ventilasi
yang terbuang sia-sia. Ruang mati fisiologis terdiri dari ruang mati
anatomis (volume udara dalam saluran nafas penghantar, yaitu sekitar 1
7
ml per pon berat badan), ruang mati alveolar (alveolus mengalami
ventilasi tapi tidak mengalami perfusi), dan ventilasi melampaui perfusi.
Perbandingan antara VD dengan VT (VD / VT) menggambarkan bagian
dati VT yang tidak mengadakan pertukaran dengan darah paru. Nilai rasio
tersebut tidak melebihi 30% sampai 40% pada orang yang sehat.
Perbandingan ini seringkali digunakan untuk mengikuti keadaan pasien
yang mendapatkan ventilasi mekanik.
Ventilasi alveolar (VA) adalah volume udara segar yang masuk ke dalam
alveolus setiap menit, yang mengadakan pertukaran dengan darah paru.
Ini merupakan ventilasi efektif. Ventilasi alveolar dapat dihitung dengan
menggunakan rumus :
VA= (VT-VD) x f, atau VA= VE-VD.
VA merupakan petunjuk yang lebih baik tentang ventilasi dibandingkan
VE atau VTkarena pada pengukuran ini diperhitungkan volume udara
yang terbuang dalam ventilasi VD.
Komplians (C=daya kembang) adalah ukuran sifat elastik
(distensibilitas) yang dimilii oleh paru dan toraks. Didefinisikan sebagai
perubahan volume per unit perubahan dalam tekanan dalam keadaan
statis. Komplians total (daya kembang paru dan toraks) atau komplians
paru saja dapat ditentukan. Komplians paru normal dan komplians
rangka toraks per VT masing-masing sekitar 0,2 liter/ cm H2O sedangkan
komplians total besarnya sekitar 0,1 liter/ cm H2O.
2.5.2 Transportasi Difusi
Tahap kedua dari proses pernafasan mencakup proses difusi gas-gas
melintasi membran alveolus kapiler yang tipis (tebalnya kurang dari 0.5
m). kekuatan pendorong untuk pemindahan ini adalah selisih tekanan
parsial antara darah dan fase gas. Tekanan parsial O2 (PO2) dalam atmosfer
pada permukaan laut sekitar 159 mmHg (21% dari 760 mmHg). Namun,
pada waktu O2 sampai di trakea, tekanan parsial ini akan mengalami
penurunan sampai sekitar 149 mmHg karena dihangatkan dan dilembabkan
oleh jalan nafas (760-47 x 0,21 = 149).4
8
Tekanan parsial uap air pada suhu tubuh adalah 47 mmHg. Tekanan
parsial O2 yang diinspirasi akan menurun kira-kira 103 mmHg pada saat
mencapai alveoli karena tercampur dengan udara dalam ruang mati
anatomik pada saluran jalan nafas. Ruang mati anatomik ini dalam keadaan
normal mempunyai volume sekitar 1 ml udara per pound berat badan ideal.
Hanya udara bersih yang mencapai alveolus yang merupakan ventilasi
efektif. Tekanan parsial O2 dalam darah vena campuran (PVO2) di kapiler
paru kira-kira sebesar 40 mmHg.4
PO2 kapiler lebih rendah daripada tekanan dalam alveolus (PAO2 =
103 mmHg) sehingga O2 nudah berdifusi ke dalam aliran darah. Perbedaan
tekanan antara darah (46 mmHg) dan PaCO2 (40 mmHg) yang lebih rendah
6 mmHg menyebabkan CO2 berdifusi ke dalam alveolus. CO2 ini kemudian
dikeluarkan ke atmosfer, yang konsentrasinya mendekati nol. Kendati selisih
CO2 antara darah dan alveolus amat kecil namun tetap memadai, karena
dapat berdifusi melintasi membran alveolus kapiler kira-kira 20 kali lebih
cepat dibandingkan O2 karena daya larutnya yang lebih besar.6
Dalam keadaan beristirahat normal, difusi dan keseimbangan antara
O2 di kapiler darah paru dan alveolus berlangsung kira-kira 0,25 detik dari
total waktu kontak selama 0,75 detik. Hal ini menimbulkan kesan bahwa
paru normal memiliki cukup cadangan waktu difusi. Pada beberapa penyakit
(misalnya, fibrosis paru), sawar darah dan udara dapat menebal dan difusi
dapat melambat sehingga keseimbangan mungkin tidak lengkap, terutama
sewaktu berolah raga ketika waktu kontak total berkurang. Jadi, blok difusi
dapat mendukung terjadinya hipoksemia, tetapi tidak dianggap sebagai
faktor utama. Pengeluaran CO2 dianggap tidak dipengaruhi oleh kelainan
difusi.6
9
keadaan istirahat, ventilasi dan perfusi hamir seimbang kecuali pada apeks
paru.7
Sirkulasi pulmoner dengan tekanan dan resistensi rendah
mengakibatkan aliran darah di basis paru lebih besar daripada di bagian apeks,
disebabkan pengaruh gaya tarik bumi. Namun, ventilasinya cukup merata.
Nilai rata-rata rasio antara ventilasi terhadap perfusi :7
V/Q = 0,8
Nilai diatas didapatkan melalui rasio rata-rata laju ventilasi alveolar
normal (4L/menit) dibagi dengan curah jantung normal (5L/menit).
Ketidakseimbangan antara proses ventilasi-perfusi terjadi kebanyakan
pada penyakit pernafasan. Penyakit paru dan gangguan fungsional pernafasan
dapat diklasifikasikan secara fisiologis sesuai jenis penyakit yang dialami,
apakah menimbulkan pirau yang besar (tidak terdapat ventilasi tapi perfusi
normal, sehingga perfusi terbuang sia-sia, V/Q kurang dari 0,8) atau
menimbulkan penyakit pada ruang mati (ventilasi normal, akan tetapi tanpa
perfusi, V/Q lebih dari 0,8).7
10
memberikan pasien O2 bertekanan lebih tinggi dari tekanan atmosfer (ruang
O2 hiperbarik).7
Satu gram Hb dapat mengikat 1,34 ml O 2. Konsentrasi Hb rata-rata
dalam darah laki-laki dewasa sekitar 15 g per 100 ml sehingga 100 ml darah
dapat mengangkut 20,1 ml O2(15 x 1,34) bila O2 jenuh (SaO2) adalah 100%.
Tetapi sedikit darah vena campuran dari sirkulasi bronchial ditambahkan ke
darah yang meninggalkan kapiler paru dan sudah teroksigenasi. Proses
pengenceran ini menjelaskan mengapa hanya kira-kira 97 persen darah yang
meninggalkan paru menjadi jenuh.6
Pada tingkat jaringan, O2 akan melepaskan diri dari Hb ke dalam
plasma dan berdifusi dari plasma ke sel-sel jaringan tubuh untuk memenuhi
kebutuhan jaringan yang bersangkutan. Meskipun kebutuhan jaringan tersebut
bervariasi, namun sekitar 75% Hb masih berikatan dengan O2 pada waktu Hb
kembali ke paru dalam bentuk darah vena campuran. Jadi hanya sekitar 25%
O2 dalam darah arteri yang digunakan untuk keperluan jaringan. Hb yang telah
melepaskan O2 pada tingkat jaringan disebut Hb tereduksi. Hb tereduksi
berwarna ungu dan menyebabkan warna kebiruan pada darah vena, sedangkan
HbO2 berwarna merah terang dan menyebabkan warna kemerah-merahan pada
darah arteri.7
11
berarti bahwa jumlah O2 yang relatif konstan dapat disuplai ke jaringan bahkan
pada ketinggian yang tinggi saat PO2 dapat sebesar 60 mmHg atau kurang. Ini
juga berarti bahwa pemberian O2 dalam konsentrasi tinggi (udara normal 21%)
pada pasien dengan hipoksemia ringan (PaO2=60-75 mmHg) adalah sia-sia,
karena HbO2 hanya dapat ditingkatkan sedikit sekali. Pelepasan O2 ke jaringan
dapat ditingkatkan oleh hubungan PO2 terhadap SaO2 pada kurva bagian vena
yang curam. Pada bagian ini perubahan-perubahan besar pada
HbO2 merupakan akibat sedikit perubahan pada PO2.7
Afinitas Hb terhadap O2 dipengaruhi oleh banyak faktor lain yang
menyertai jaringan dan dapat diubah oleh penyakit. Daftar dari beberapa
faktor tersebut serta pengaruhnya pada afinitas terhadap O2 dapat dilihat pada
tabel di bawah.7
12
sel darah merah yang mengikat Hb dan mengurangi afinitas Hb terhadap O2.
Pada anemia dan hipoksemia kronik, 2,3-DPG sel darah merah meningkat.
Meskipun kemampuan transport O2 oleh Hb menurun bila kurva bergeser ke
kanan, namun kemampuan Hb untuk melepaskan O2 ke jaringan dipermudah.
Karena itu, pada anemia dan hipoksemia kronik pergeseran kurva ke kanan
merupakan proses kompensasi. Pergeseran kurva ke kanan yang disertai
kenaikan suhu, selain menggambarkan adanya kenaikan metabolisme sel dan
peningkatan kebutuhan O2, juga merupakan proses adaptasi dan menyebabkan
lebih banyak O2 yang dilepaskan ke jaringan dari aliran darah.7
Sebaliknya, peningkatan pH darah (alkalosis) atau penurunan
PCO2, suhu, dan 2,3-DPG akan menyebabkan pergeseran kurva disosiasi
oksihemoglobin ke kiri. Pergeseran ke kiri menyebabkan peninkatan afinitas
Hb terhadap O2. Akibatnya ambilan O2 paru meningkat pada pergeseran ke
kiri, namun pelepasan ke jaringan terganggu. Karena itu secara teoretis dapat
terjadi hipoksia (insufisiensi O2 jaringan guna memenuhi kebutuhan
metabolisme) pada keadaan alkalosis berat, terutama bila disertai dengan
hipoksemia.7
Keadaan ini terjadi selama proses mekanisme overventilasi dengan
respirator atau pada tempat yang tinggi akibat hiperventilasi. Karena
hiperventilasi juga diketahui dapat menurunkan aliran darah serebral karena
penurunan PaCO2, iskemia serebral juga bertanggung jawab atas gejala
berkunang-kunang yang sering terjadi pada kondisi demikian. Darah yang
disimpan akan kehilangan aktifitas 2,3-DPG, sehingga afinitas Hb terhadap
O2 akan meningkat. Oleh karena itu, pasien yang menerima transfuse darah
yang disimpan dalam jumlah banyak kemungkinan akan mengalami gangguan
pelepasan O2 ke jaringan karena adanya pergeseran kurva disosiasi HbO 2 ke
kiri.7
Afinitas Hb diberi batasan melalui PO2 yang dibutuhkan untuk
menghasilkan kejenuhan 50% (P50). Dalam keadaan normal, P50 sekitar 27
mmHg. P50 akan meningkat, bila kurva disosiasi bergeser ke kanan
(pengurangan afinitas Hb terhadap O2) sedangkan pada pergeseran kurva ke
kiri, (peningkatan afinitas Hb terhadap O2), P50 akan menurun.7
13
Homeostasis CO2 juga merupakan suatu aspek penting dalam
kecukupan respirasi. Transpor CO2 dari jaringan ke paru untuk dibuang
dilakukan dengan tiga cara. Sekitar 10% CO2 secara fisik larut dalam plasma,
karena tidak seperti O2, CO2 mudah larut dalam plasma. Sekitar 20%
CO2 berikatan dengan gugus amino pada Hb (karbaminohemoglobin) dalam
sel darah merah, dan sekitar 70% diangkut dalam bentuk bikarbonat plasma
(HCO3-). CO2 berikatan dengan air dalam reaksi berikut ini :7
CO2 + H2O H2CO3 H+ + HCO3-
Reaksi ini reversible dan disebut persamaan buffer asam bikarbonat-
karbonat.Keseimbangan asam basa tubuh ini sangat dipengaruhi oleh fungsi
paru dan homeostasis CO2. Pada umumnya hiperventilasi (ventilasi alveolus
dalam keadaan kebutuhan metabolisme yang berlebihan) menyebabkan
alkalosis (peningkatan pH darah melebihi pH normal 7,4) akibat ekskresi
CO2 berlebihan dari paru; hipoventilasi (ventilasi alveolus yang tidak dapat
memenuhi kebutuhan metabolisme) menyebabkan asidosis akibat retensi
CO2oleh paru. Penurunan PCO2 seperti yang terjadi pada hiperventilasi, akan
menyebabkan reaksi bergeser ke kiri sehingga menyebabkan penurungan
konsentrasi H+(kenaikan pH), dan peningkatan PCO2 menyebabkan reaksi
menjurus ke kanan, menimbulkan kenaikan H+(penurunan pH).7
Sama seperti O2, jumlah CO2 dalam darah berkaitan dengan PCO2.
Kurva disosiasi CO2 hampir linear pada batas-batas fisiologis PCO 2. Ini berarti
bahwa kandungan CO2dalam darah berhubungan lansung dengan PCO2. Selain
itu, tidak ada sawar yang bermakna terhadap difusi CO 2. Karena itu
PaCO2 merupakan petunjuk yang baik akan kecukupan ventilasi.7
2.9 Penilaian Status Pernafasan
Pengetahuan tentang gas darah (PO2, PCO2, dan pH darah arteri) saja
tidak cukup memberikan keterangan tentang transpor O2 dan CO2 untuk
memastikan apakah oksigenasi jaringan pasien sudah memadai. Banyak faktor
lain yang ikut berperan dalam proses transport, seperti curah jantung yang
memadai dan perfusi jaringan, serta difusi gas-gas pada tingkat jaringan.
Karena itu deteksi hipoksia jaringan harus selalu disertai dengan pengamatan
klinis serta interpretasi gas-gas darah.6,7
14
Informasi penting lain yang diperlukan untuk menilai status respirasi
pasien adalah konsentrasi Hb serta persentase kejenuhan Hb. Persentase
kejenuhan Hb tidak bergantung pada konsentrasi Hb, sedangkan kandungan
O2 dalam volume persen berhubungan langsung dengan konsentrasi Hb.
Volume persen menunjukkan berapa banyak O2 yang dapat dihantarkan ke
jaringan pada PaO2 tertentu.6,7
15
mmHg. PaCO2 dapat meningkat atau turun sampai di bawah nilai normal
pada insufisiensi atau kegagalan pernafasan.6
Tabel 2. Nilai Normal dari Gas Darah Arteri
Pengukuran Gas Darah Simbol Nilai normal
35-45 mmHg
Tekanan CO2 PaCO2 (rata-rata, 40)
Tekanan O2 PaO2 80-100 mmHg
Persentase kejenuhan O2 SaO2 97
Konsentrasi ion hydrogen pH 7,35-7,45
Bikarbonat HCO3- 22-26 mEq/L
2.12 Hipoksemia
Hipoksemia adalah suatu keadaan dimana terjadi penurunan
konsentrasi oksigen dalam darah arteri (PaO2) atau saturasi O2 arteri (SaO2)
dibawah nilai normal. Hipoksemia dibedakan menjadi ringan sedang dan
berat berdasarkan nilai PaO2 dan SaO2, yaitu:3,8
1. Hipoksemia ringan dinyatakan pada keadaan PaO2 60-79 mmHg dan
SaO2 90-94%
2. Hipoksemia sedang PaO2 40-60 mmHg, SaO2 75%-89%
3. Hipoksemia berat bila PaO2 kurang dari 40 mmHg dan SaO2 kurang dari
75%.
16
Hipoksemia dapat disebabkan oleh gangguan ventilasi, perfusi,
hipoventilasi, pirau, gangguan difusi dan berada ditempat yang tinggi.
Keadaan hipoksemia menyebabkan beberapa perubahan fisiologi yang
bertujuan untuk mempertahankan supaya oksigenasi ke jaringan memadai.
Bila tekanan oksigen arteriol (PaO2) dibawah 55 mmHg, kendali nafas akan
meningkat, sehingga tekanan oksigen arteriol (PaO2) yang meningkat dan
sebaliknya tekanan karbondioksida arteri (PaCO2) menurun, jaringan
vaskuler yang mensuplai darah di jaringan hipoksia mengalami vasodilatasi,
juga terjadi takikardi kompensasi yang akan meningkatkan volume sekuncup
jantung sehingga oksigenasi jaringan dapat diperbaiki.3,8
Hipoksia alveolar menyebabkan kontraksi pembuluh pulmoner
sebagai respon untuk memperbaiki rasio ventilasi perfusi di area paru
terganggu, kemudian akan terjadi peningkatan sekresi eritropoitin ginjal
sehingga mengakibatkan eritrositosis dan terjadi peningkatan kapasitas
transfer oksigen. Kontraksi pembuluh darah pulmoner, eritrositosis dan
peningkatan volume sekuncup jantung akan menyebabkan hipertensi
pulmoner, gagal jantung kanan bahkan dapat menyebabkan kematian.8
2.13 Hipoksia
Hipoksia adalah kekurangan O2 ditingkat jaringan. Istilah ini lebih
tepat dibandingkan anoksia, sebab jarang dijumpai keadaan dimana benar-
benar tidak ada O2 tertinggal dalam jaringan. Jaringan akan mengalami
hipoksia apabila aliran oksigen tidak adekuat dalam memenuhi kebutuhan
metabolisme jaringan, hal ini dapat terjadi kira-kira 4-6 menit setelah
ventilasi spontan berhenti. Secara tradisional, hipoksia dibagi dalam 4 jenis.
Keempat kategori hipoksia adalah sebagai berikut :5
1. Hipoksia hipoksik (anoksia anoksik) yaitu apabila PO2 darah arteri
berkurang. Merupakan masalah pada individu normal pada daerah
ketinggian serta merupakan penyulit pada pneumonia dan berbagai
penyakit sistim pernafasan lainnya. Gejala yang muncul pada keadaan ini
antara lain iritabilitas, insomnia, sakit kepala, sesak nafas, mual dan
muntah.
17
2. Hipoksia anemik yaitu apabila O2 darah arteri normal tetapi mengalami
denervasi. Sewaktu istirahat, hipoksia akibat anemia tidaklah berat, karena
terdapat peningkatan kadar 2,3-DPG didalam sel darah merah, kecuali
apabila defisiensi hemoglobin sangat besar. Meskipun demikian, penderita
anemia mungkin mengalami kesulitan cukup besar sewaktu melakukan
latihan fisik karena adanya keterbatasan kemampuan meningkatkan
pengangkutan O2 ke jaringan aktif.
3. Hipoksia stagnan akibat sirkulasi yang lambat merupakan masalah bagi
organ seperti ginjal dan jantung saat terjadi syok. Hipoksia akibat sirkulasi
lambat merupakan masalah bagi organ seperti ginjal dan jantung saat
terjadi syok. Hati dan mungkin jaringan otak mengalami kerusakan akibat
hipoksia stagnan pada gagal jantung kongestif. Pada keadaan normal,
aliran darah ke paru-paru sangat besar, dan dibutuhkan hipotensi jangka
waktu lama untuk menimbulkan kerusakan yang berarti. Namun, syok
paru dapat terjadi pada kolaps sirkulasi berkepanjangan,terutama didaerah
paru yang letaknya lebih tinggi dari jantung.
4. Hipoksia histotoksi adalah hipoksia yang disebabkan oleh hambatan
proses oksidasi jaringan paling sering diakibatkan oleh keracunan sianida.
Sianida menghambat sitokrom oksidasi serta mungkin beberapa enzim
lainnya. Biru metilen atau nitrit digunakan untuk mengobati keracunan
sianida. Zat-zat tersebut bekerja dengan sianida, menghasilkan
sianmethemoglobin, suatu senyawa non toksik. Pemberian terapi oksigen
hiperbarik mungkin juga bermanfaat.
Jika aliran oksigen ke jaringan berkurang, atau jika penggunaan
berlebihan di jaringan maka metabolisme akan berubah dari aerobik ke
metabolisme anaerobik untuk menyediakan energi yang cukup untuk
metabolisme. Apabila ada ketidakseimbangan, akan mengakibatkan produksi
asam laktat berlebihan, menimbulkan asidosis dengan cepat, metabolisme
selule terganggu dan mengakibatkan kematian sel. Pemeliharaan oksigenasi
jaringan tergantung pada 3 sistem organ yaitu sistem kardiovaskular,
hematologi, dan respirasi.7
18
2.13.1 Manifestasi klinik hipoksia
Manifestasi klinik hipoksia tidak spesifik, sangat bervariasi,
tergantung pada lamanya hipoksia, kondisi kesehatan individu, dan
biasanya timbul pada keadaan hipoksia yang sudah berat. Manifestasi
klinik dapat berupa perubahan status mental/bersikap labil, pusing,
dispneu, takipneu, respiratory distress, dan aritmia. Sianosis sering
dianggap sebagai tanda dari hipoksia, namun hal ini hanya dapat
dibenarkan apabila tidak terdapat anemia.8
Untuk mengukur hipoksia dapat digunakan alat oksimetri (pulse
oxymetry) dan analisis gas darah. Bila nilai saturasi kurang dari 90%
diperkirakan hipoksia, dan membutuhkan oksigen.8
Tabel 3. Gejala dan Tanda-Tanda Hipoksia Akut.8
19
oximetry.Pada pemeriksaan gas darah, spesimen darah diambil dari
pembuluh darah arteri (a.Radialis atau a.Femoralis) dan akan didapatkan
nilai PaO2, PCO2, saturasi oksigen, dan parameter lain.8
Pada pemeriksaan oksimetri hanya dapat melihat saturasi oksigen.
Pemeriksaan saturasi oksigen ini tidak cukup untuk mendeteksi
hipoksemia, karena hanya dapat memperkirakan PaO2 60 mmHg atau
PaO2 < 60mmHg. Berulang kali studi dilakukan, ternyata oksimetri tidak
bisa untuk menentukan indikasi pemberian terapi oksigen jangka panjang,
namun pemeriksaan noninvasif ini efektif digunakan untuk evaluasi
kebutuhan oksigen selama latihan, dan untuk mengevaluasi dan
memastikan dosis oksigen bagi pasien yang menggunakan terapi oksigen
di rumah.6,8
20
Ketidakseimbangan ventilasi / perfusi [V/Q mismatch]
Pirau kanan ke kiri
Hipoventilasi alveolar
Konsumsi oksigen jaringan yang tinggi
2. Gagal Nafas Tipe II
Tipe ini dihubungkan dengan peningkatan karbondioksida
karena kegagalan ventilasi dengan oksigen yang relatif cukup.
Beberapa kelainan utama yang dihubungkan dengan gagal nafas
tipe ini adalah kelainan sistem saraf sentral, kelemahan
neuromuskuler dan deformitas dinding dada.Penyebab gagal nafas
tipe II adalah :
Kerusakan pengaturan sentral
Kelemahan neuromuskuler
Trauma spina servikal
Keracunan obat
Infeksi
Penyakit neuromuskuler
Kelelahan otot respirasi
Kelumpuhan saraf frenikus
Gangguan metabolism
Deformitas dada
Distensi abdomen massif
Obstruksi jalan nafas
21
Manfaat lain dari terapi oksigen adalah memperbaiki hemodinamik
paru, kapasitas latihan, kor pulmonal, menurunkan cardiac
output, meningkatkan fungsi jantung, memperbaiki fungsi neuropsikiatrik,
mengurangi hipertensi pulmonal, dan memperbaiki metabolisme otot.8,4
22
mmol/L)
Respiratory distress (frekuensi pernafasan > 24/min)
Indikasi yang masih dipertanyakan :
Infark miokard tanpa komplikasi
Sesak nafas tanpa hipoksemia
Krisis sel sabit
Angina
23
ini akan menyebabkan retensi CO2 dan akan menimbulkan asidosis
respiratorik yang berakibat fatal.8
Pasien yang menerima terapi jangka panjang harus dievaluasi ulang
dalam 2 bulan untuk menilai apakah hipoksemia menetap atau ada perbaikan
mendapat terapi oksien mengalami perbaikan setelah 1 bulan dan tidak perlu
lagi meneruskan suplemen oksigen.8
2.18.1 Indikasi terapi oksigen
Tabel 5. Indikasi terapi oksigen jangka panjang8
2.18.2 Kontraindikasi
Suplemen oksigen tidak direkomendasi pada:9
24
Pasien dengan keterbatasan jalan nafas yang berat dengan keluhan utama
dispneu, tetapi dengan PaO2 lebih atau sama dengan 60 mmHg dan tidak
mempunyai hipoksia kronik.
Pasien yang meneruskan merokok, karena kemungkinan prognosis yang
buruk dan dapat meningkatkan resiko kebakaran.
Pasien yang tidak menerima terapi adekuat.
25
Gambar 1. Kanul nasal
26
oksigen 6-10L/m dan dapat menyediakan 40-70% oksigen.
Sedangkan non-rebreathing mask hampir sama dengan parsial
rebreathing mask kecuali alat ini memiliki serangkai katup one-
way. Satu katup diletakkan diantara kantung dan masker untuk
mencegah udara ekspirasi kembali kedalam kantung. Untuk itu
perlu aliran minimal 10L/m. Sistem ini mengalirkan FiO 2sebesar
60-80%.
27
kontinyu selama 24 jam, dan sering berhasil bagi pasien
hipoksemia yang refrakter. Dari hasil studi, dengan oksigen
transtrakea ini dapat menghemat penggunaan oksigen 30-60%.
Keuntungan dari pemberian oksigen transtrakea yaitu tidak menyolok
mata, tidak ada bunyi gaduh, dan tidak ada iritasi muka/hidung. Rata-
rata oksigen yang diterima mencapai 80-96%. Kerugian dari
penggunaan oksigen transtrakea adalah biaya tinggi dan resiko infeksi
lokal. Komplikasi yang biasa terjadi pada pemberian oksigen transtrakea
ini adalah emfisema subkutan, bronkospasme, dan batuk paroksismal.
Komplikasi lain diantaranya infeksi stoma, dan mucus ball yang dapat
mengakibatkan fatal.
28
nyaman dipakai, dan masalah rebreathing diatasi melalui proses pendorongan
dengan arus tinggi tersebut.
Sistem arus tinggi ini dapat mengirimkan sampai 40L/menit oksigen
melalui mask, yang umumnya cukup untuk total kebutuhan respirasi.
Dua indikasi klinis untuk penggunaan oksigen dengan arus tinggi adalah
pasien dengan hipoksia yang memerlukan pengendalian FiO2, dan pasien
hipoksia dengan ventilasi abnormal.
29
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Oksigen merupakan unsur yang paling dibutuhkan bagi kehidupan
manusia, sebentar saja manusia tak mendapat oksigen maka akan langsung
fatal akibatnya. Tak hanya untuk bernafas dan mempertahankan kehidupan,
oksigen juga sangat dibutuhkan untuk metabolisme tubuh. Pembarian oksigen
dapat memperbaiki keadaan umum, mempermudah perbaikan penyakit dan
memperbaiki kualitas hidup. Oksigen dapat diberikan jangka pendek dan
jangka panjang.
Untuk pemberian oksigen kita harus mengerti indikasi pemberian oksigen,
teknik yang akan dipakai, dosis oksigen yang akan diberikan, dan lamanya
oksigen yang akan diberikan serta waktu pemberian. Pemberian oksigen perlu
selalu dievaluasi sehingga dapat mengoptimalkan pemberian oksigen dan
mencegah terjadinya retensi CO2.
30
DAFTAR PUSTAKA
31