Anda di halaman 1dari 3

D.

Membangun Argumen tentang Dinamika dan Tantangan


Pancasila sebagai Sistem Filsafat

1. Dinamika Pancasila sebagai Sistem Filsafat

Pancasila sebagai sistem filsafat mengalami dinamika sebagai berikut :

I. Pada era pemerintahan Soekarno (ORDE LAMA), Pancasila sebagai sistem filsafat
dikenal dengan istilah Philosofische Grondslag. Gagasan tersebut merupakan
perenungan filosofis Soekarno atas rencananya berdirinya negara Indonesia
merdeka. Ide tersebut dimaksudkan sebagai dasar kerohanian bagi penyelenggaraan
kehidupan bernegara. Ide tersebut ternyata mendapat sambutan yang positif dari
berbagai kalangan, terutama dalam sidang BPUPKI pertama, persisnya pada 1 Juni
1945. Namun, ide tentang Philosofische Grondslag belum diuraikan secara rinci,
lebih merupakan masalah politik untuk menarik perhatian anggota sidang, dan
bersifat teoritis. Pada masa tersebut, Soekarno lebih menekankan bahwa Pancasila
merupakan filsafat asli Indonesia yang diangkat dari akulturasi budaya bangsa
Indonesia.
II. Sebaliknya, di era Soeharto (ORDE BARU), kedudukan Pancasila sebagai sistem
filsafat berkembang ke arah yang lebih praktis (dalam hal ini istilah yang lebih
tepat adalah weltanschauung). Artinya, filsafat Pancasila tidak hanya bertujuan
mencari kebenaran dan kebijaksanaan, tetapi juga digunakan sebagai pedoman
hidup sehari-hari. Atas dasar inilah, Soeharto mengembangkan sistem filsafat
Pancasila menjadi penataran P-4 atau yang disebut Pedoman Penghayatan dan
Pengalaman Pancasila. Panduan P4 dibentuk dengan Ketetapan MPR no.
II/MPR/1978. Ketetapan MPR no. II/MPR/1978tentang Ekaprasetia Pancakarsa
menjabarkan kelima asas dalam Pancasila menjadi 36 butir pengamalan sebagai
pedoman praktis bagi pelaksanaan Pancasila. Saat ini produk hukum ini tidak
berlaku lagi karena Ketetapan MPR no. II/MPR/1978 telah dicabut dengan
Ketetapan MPR no XVIII/MPR/1998 dan termasuk dalam kelompok Ketetapan
MPR yang sudah bersifat final atau selesai dilaksanakan menurut Ketetapan MPR
no. I/MPR/2003.

III. Pada era reformasi, Pancasila sebagai sistem filsafat kurang terdengar
resonansinya. Namun, Pancasila sebagai sistem filsafat bergema dalam wacana
akademik, termasuk kritik dan renungan yang dilontarkan oleh Habibie dalam
pidato 1 Juni 2011. Habibie menyatakan bahwa:
Pancasila seolah-olah tenggelam dalam pusaran sejarah masa lalu yang
tidak lagi relevan untuk disertakan dalam dialektika reformasi. Pancasila seolah
hilang dari memori kolektif bangsa Indonesia. Pancasila semakin jarang
diucapkan, dikutip, dan dibahas baik dalam konteks kehidupan ketatanegaraan,
kebangsaan maupun kemasyarakatan. Pancasila seperti tersandar di sebuah lorong
sunyi justru di tengah denyut kehidupan bangsa Indonesia yang semakin hiruk-
pikuk dengan demokrasi dan kebebasan berpolitik (Habibie, 2011: 1--2).

2. Tantangan Pancasila sebagai Sistem Filsafat


Beberapa bentuk tantangan terhadap Pancasila sebagai sistem filsafat muncul dalam
bentuk-bentuk sebagai berikut:

Kapitalisme, yaitu aliran yang meyakini bahwa kebebasan individual pemilik


modal untuk mengembangkan usahanya dalam rangka meraih keuntungan sebesar-
besarnya merupakan upaya untuk menyejahterakan masyarakat. Salah satu bentuk
tantangan kapitalisme terhadap Pancasila sebagai sistem filsafat ialah meletakkan
kebebasan individual secara berlebihan sehingga dapat menimbulkan berbagai
dampak negatif, seperti monopoli, gaya hidup konsumerisme, dan lain-lain.

Komunisme / Marxisme, adalah sebuah paham yang muncul sebagai reaksi atas
perkembangan kapitalisme sebagai produk masyarakat liberal. Komunisme
merupakan aliran yang meyakini bahwa kepemilikan modal dikuasai oleh negara
untuk kemakmuran rakyat secara merata. Salah satu bentuk tantangan komunisme
terhadap Pancasila sebagai sistem filsafat ialah dominasi peran negara yang
berlebihan sehingga dapat menghilangkan peran rakyat dalam kehidupan bernegara.
Salah satu jenis sosialisme yang mengajarkan tentang teori pertentangan kelas. Dalam
konsep marxisme, negara hendaknya dipimpin dan lebih mengutamakan kelas pekerja
( buruh ) atau diktator ploretariat. Marxisme berawal dari konsep-konsep politik
ekonomi dan sosial Karl marx dan selanjutnya diteruskan oleh lenin, stalin, dan mao
tze tung ( dibaca : mao zedong ) menjadi paham komunisme. Menurut ajaran ini,
suatu tujuan dapat dicapai dengan cara menghalalkan segala cara. Komunisme
cendrung meniadakan artu "Tuhan" karena ini menindas kebebasan dalam beragama
dan kebebasan individual. Menurut budiarjo ( 1980 ) nilai-nilai yang terkandung
dalam komunisme adalah :

a. Monoisme : Prinsip yang menolak golongan-golongan ( strata ) dalam suatu


masyarakat.
b. Kekerasan dianggap cara yang sah untuk mencapai suatu tujuan ( menghalalkan
segala cara )
c. Semua alat negara ( polisi, tentara, birokrasi, media masa, intelektual, dan
perundang-undangan ) digunakan untuk mewujudkan tujuan komunisme.

Fasisme ( pelopor : Adolf Hitler asal Jerman )


Suatu bentuk kediktatoran yang dapat dipersamakan dengan otoritarian, didalamnya
terdapat unsur-unsur kekerasan dan hal-hal lain yang bersifat mengerikan
( pembantaian, diskriminasi ras, ekspansasi kenegara lain dan penghilangan hak asasi
manusia ). Terutama dalam pengabaian hak asasi warga negara-
negara. Fasisme menitik beratkan pada pola khusus aksi dan sangat tergantung pada
pimpinan yang karismatik.

Fundamentalisme merupakan salah satu ideologi untuk mendapatkan agama


tertentu sebagai suatu sistem politik dalam negara. ( Contohnya afganistan pada masa
pemerintahan taliban dan iras sekarang setelah revolusi islam iran, negara ini
menerapkan hukum islam secara kepada warga negaranya ).

Liberalisme adalah ideologi yang berpaham kebebasan yaitu adanya pengakuan


hak-hak individual yang harus dilindungi dari campur tangan dan badan-badan yang
lain. Manusia dipandang sebagai makhluk yang bebas dan rasional. Pemerintah harus
didasarkan pada persetujuan rakyat. Contoh negara yang memegang paham ini adalah
Amerika serikat ( U.S.A ).

Anda mungkin juga menyukai