Anda di halaman 1dari 33

Keperawatan Gerontik

Dimensi Spiritual pada Lansia


Pengampu: Suwanti, S.Kep., Ns., MNS

Disusun Oleh:

1. Aisiyah Iman Brilian (010114A004)


2. Erika Risnamingtyas (010115A037)
3. Sahrul (010115A107)

Program Studi Keperawatan


Fakultas Keperawatan
Universitas Ngudi Waluyo
Ungaran
2017

0
BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Masa tua merupakan masa paling akhir dari siklus kehidupan
manusia. Pada masa-masa ini akan terjadi proses penuaan atau aging
yang merupakan suatu proses dari perubahan aspek seperti biologis,
psikososial, spiritual, dan kultural. Spiritual berkaitan dengan aspek
kepercayaan manusia terhadap kekuasaan Sang Pencipta, meyakini
wujud ciptaanNya berupa alam semesta beserta isinya. Seperti halnya
keyakinan dalam agama maka spiritual dan agama tidak dapat
dipisahkan karena kedua mempengaruhi kehidupan manusia.
Spiritualitas pada lansia bersifat universal, intrinsik, dan
merupakan proses individual yang berkembang sepanjang rentan
kehidupan. Karena aliran siklus kehidupan lansia, keseimbangan hidup
tersebut dipertahankan sebagai efek positif harapan dari kehilangan
tersebut. Lansia yang telah mempelajari cara menghadapi perubahan
hidup melalui mekanisme keimanan akhirnya kan dihadapkan pada
tantangan akhir, yaitu kematian. Harapan memungkinkan individu
dengan keimanan spiritualitas atau religius untuk bersiap menghadapi
krisis kehilangan dalam hidup sampai kematian.
Perkembangan spiritualitas yang matang akan membantu lansia
untuk menghadapi kenyataan, berperan aktif dalam kehidupan, maupun
merumuskan arti dan tujuan keberadaannya di dunia/kehidupan. Rasa
percaya diri dan cinta mampu membina integritas personal dan merasa
dirinya berharga, merasakan kehidupan yang terarah terlihat melalui
harapan, serta mampu mengembangkan hubungan antara manusia yang
positif (Graha Cendikia, 2009).
Berdasarkan kegiatan spiritual, kondisi lanjut usia meliputi dua
hal yaitu mengenai ibadah agama dan kegiatan didalam organisasi
sosial keagamaan. Dalam hal ini kehidupan spiritual mempunyai

1
peranan penting, seseorang yang mensyukuri nikmat umurnya tentu
akan memelihara umurnya dan mengisinya dengan hal-hal yang
bermanfaat (Depsos, 2007).
1.2.Rumusan Masalah
1. Bagaimana karakteristik spiritual lansia?
2. Apa saja faktor yang mempengaruhi spiritual lansia?
3. Apa saja perubahan fungsi spiritual lansia?
4. Bagaimana konsep kehilangan versus harapan?
5. Bagaimana peran perawat dalam spiritualitas lansia?
6. Bagaimana ekspresi kebutuhan spiritual adaptif & maladaptif?
7. Bagaimana proses keperawatan dalam pemenuhan spiritualitas
lansia?
8. Bagaimana koping pada loss, grieving, dying, and death?
1.3.Tujuan
a. Tujuan Umum
Untuk mengetahui dimensi yang mempengaruhi spiritualitas pada
lansia dan peran perawat dalam menghadapinya.
b. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui karakteristik spiritual lansia?
2. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi spiritual lansia?
3. Untuk mengetahui perubahan fungsi spiritual lansia?
4. Untuk mengetahui konsep kehilangan versus harapan?
5. Untuk mengetahui peran perawat dalam spiritualitas lansia?
6. Untuk mengetahui ekspresi kebutuhan spiritual adaptif &
maladaptif?
7. Untuk mengetahui proses keperawatan dalam pemenuhan
spiritualitas lansia?
8. Untuk mengetahui koping pada loss, grieving, dying, and death?

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Pengertian spiritual adalah kebutuhan dasar dan pencapaian
tertinggi seorang manusia dalam kehidupannya tanpa memandang
suku atau asal-usul. Kebutuhan dasar tersebut meliputi: kebutuhan
fisiologis, keamanan dan keselamatan, cinta kasih, dihargai dan
aktualitas diri. Aktualitas diri merupakan sebuah tahapan spiritual
seseorang, dimana berlimpah dengan kreativitas, intuisi, keceriaan,
sukacita, kasih sayang, kedamaian, toleransi, kerendahatian serta
memiliki tujuan hidup yang jelas (Taylor, 2002 dikutip dari Young,
2007).
Spiritual adalah keyakinan dalam hubungannya dengan Yang
Maha Kuasa dan Maha Pencipta (Hamid, 1999). Spiritual juga
disebut sebagai sesuatu yang dirasakan tentang diri sendiri dan
hubungan dengan orang lain, yang dapat diwujudkan dengan sikap
mengasihi orang lain, baik dan ramah terhadap orang lain,
menghormati setiap orang untuk membuat perasaan senang
seseorang. Spiritual adalah kehidupan, tidak hanya doa, mengenal
dan mengakui Tuhan (Nelson, 2009).
Beberapa istilah yang membantu dalam pemahaman tentang
spiritual adalah : kesehatan spiritual adalah rasa keharmonisan saling
kedekatan antara diri dengan orang lain, alam, dan lingkungan yang
tertinggi (Hungelmann et al, 1985 dalam Potter & Perry, 1995).
Ketidakseimbangan spiritual (Spirituality Disequilibrium) adalah
sebuah kekacauan jiwa yang terjadi ketika kepercayaan yang
dipegang teguh tergoncang hebat. Kekacauan ini seringkali muncul
ketika penyakit yang mengancam hidup berhasil didiagnosis (Taylor,
2002 dikutip dari Young, 2007).

3
2.2 Kharakteristik Spiritual
Adapun karakteristik spiritualitas menurut Hamid (2002) meliputi :
a. Hubungan dengan diri sendiri
Merupakan kekuatan dari dalam diri seseorang yang
meliputi pengetahuan diri yaitu siapa dirinya, apa yang dapat
dilakukannya dan juga sikap yang menyangkut kepercayaan pada
diri-sendiri, percaya pada kehidupan atau masa depan,
ketenangan pikiran, serta keselarasan dengan diri-sendiri.
Kekuatan yang timbul dari diri seseorang membantunya
menyadari makna dan tujuan hidupnya, diantaranya memandang
pengalaman hidupnya sebagai pengalaman yang positif,
kepuasan hidup, optimis terhadap masa depan, dan tujuan hidup
yang semakin jelas. Kepercayaan (Faith). Menurut Fowler dan
keen kepercayaan bersifat universal, dimana merupakan
penerimaan individu terhadap kebenaran yang tidak dapat
dibuktikan dengan pikiran yang logis. Kepercayaan dapat
memberikan arti hidup dan kekuatan bagi individu ketika
mengalami kesulitan atau stress. Mempunyai kepercayaan berarti
mempunyai komitmen terhadap sesuatu atau seseorang sehingga
dapat memahami kehidupan manusia dengan wawasan yang
lebih luas. Harapan (Hope). Harapan berhubungan dengan
ketidakpastian dalam hidup dan merupakan suatu proses
interpersonal yang terbina melalui hubungan saling percaya
dengan orang lain, termasuk dengan Tuhan. Harapan sangat
penting bagi individu untuk mempertahankan hidup, tanpa
harapan banyak orang menjadi depresi dan lebih cenderung
terkena penyakit. Makna atau arti dalam hidup (Meaning of live).
Perasaan mengetahui makna hidup, yang kadang diidentikan
dengan perasaan dekat dengan Tuhan , merasakan hidup sebagai
suatu pengalaman yang positifseperti membicarakan tentang
situasi yang nyata, membuat hidup lebih terarah, penuh harapan

4
tentang masa depan, merasa mencintai dan dicintai oleh orang
lain. (Puchalski, 2004)
b. Hubungan dengan orang lain
Hubungan ini terbagi atas harmonis dan tidak
harmonisnya hubungan dengan orang lain. Keadaan harmonis
meliputi pembagian waktu, pengetahuan dan sumber secara
timbal balik, mengasuh anak, mengasuh orang tua dan orang
yang sakit, serta meyakini kehidupan dan kematian. Sedangkan
kondisi yang tidak harmonis mencakup konflik dengan orang
lain dan resolusi yang menimbulkan ketidakharmonisan dan
friksi, serta keterbatasan asosiasi. Hubungan dengan orang lain
lahir dari kebutuhan akan keadilan dan kebaikan, menghargai
kelemahan dan kepekaan orang lain, rasa takut akan kesepian,
keinginan dihargai dan diperhatikan, dan lain sebagainya.
Dengan demikian apabila seseorang mengalami kekurangan
ataupun mengalami stres, maka orang lain dapat memberi
bantuan psikologis dan sosial. Maaf dan pengampunan
(Forgiveness). Menyadari kemampuan untuk menggunakan
sumber dan kekuatan dalam diri sendiri seperti marah,
mengingkari, rasa bersalah, malu, bingung, meyakini bahwa
Tuhan sedang menghukum serta mengembangkan arti
penderitaan dan meyakini hikmah dari suatu kejadian atau
penderitaan. Dengan pengampunan, seorang individu dapat
meningkatkan koping terhadap stres, cemas, depresi dan tekanan
emosional, penyakit fisik serta meningkatkan perilaku sehat dan
perasaan damai. Cinta kasih dan dukungan sosial (Love and
social support). Keinginan untuk menjalin dan mengembangkan
hubungan antar manusia yang positif melalui keyakinan, rasa
percaya dan cinta kasih. Teman dan keluarga dekat dapat
memberikan bantuan dan dukungan emosional untuk melawan
banyak penyakit. Seseorang yang mempunyai pengalaman cinta

5
kasih dan dukungan sosial yang kuat cenderung untuk
menentang perilaku tidak sehat dan melindungi individu dari
penyakit jantung.
c. Hubungan dengan alam
Harmoni merupakan gambaran hubungan seseorang
dengan alam yang meliputi pengetahuan tentang tanaman,
pohon, margasatwa, iklim dan berkomunikasi dengan alam serta
melindungi alam tersebut.Rekreasi (Joy). Rekreasi merupakan
kebutuhan spiritual seseorang dalam menumbuhkan keyakinan,
rahmat, rasa terima kasih, harapan dan cinta kasih. Dengan
rekreasi seseorang dapat menyelaraskan antara jasmani dan
rohani sehingga timbul perasaan kesenangan dan kepuasaan
dalam pemenuhan hal-hal yang dianggap penting dalam hidup
seperti nonton televisi, mendengarkan musik, olahraga dan lain-
lain. Kedamaian (Peace). Kedamaian merupakan keadilan, rasa
kasihan dan kesatuan. Dengan kedamaian seseorang akan merasa
lebih tenang dan dapat meningkatkan status kesehatan.
d. Hubungan dengan Tuhan
Meliputi agama maupun tidak agamais. Keadaan ini
menyangkut sembahyang dan berdoa, keikutsertaan dalam
kegiatan ibadah, perlengkapan keagamaan, serta bersatu dengan
alam. Dapat disimpulkan bahwa seseorang terpenuhi kebutuhan
Spiritual apabila mampu merumuskan arti personal yang positif
tentang tujuan keberadaannya di dunia/kehidupan,
mengembangkan arti penderitaan serta meyakini hikmah dari
satu kejadian atau penderitaan, menjalin hubungan yang positif
dan dinamis, membina integritas personal dan merasa diri
berharga, merasakan kehidupan yang terarah terlihat melalui
harapan dan mengembangkan hubungan antar manusia yang
positif.

6
2.3 Faktor yang Mempengaruhi Spiritual
Menurut Taylor dan Craven & Hirnle dalam Hamid (2002), faktor
penting yang dapat mempengaruhi Spiritual seseorang adalah:
1. Tahap perkembangan
Spiritual berhubungan dengan kekuasaan non material,
seseorang harus memiliki beberapa kemampuan berfikir abstrak
sebelum mulai mengerti spiritual dan menggali suatu hubungan
dengan yang Maha Kuasa. Hal ini bukan berarti bahwa Spiritual
tidak memiliki makna bagi seseorang.
2. Peranan keluarga penting dalam perkembangan
Spiritual individu tidak begitu banyak yang diajarkan
keluarga tentang Tuhan dan agama, tapi individu belajar tentang
Tuhan, kehidupan dan diri sendiri dari tingkah laku keluarganya.
Oleh karena itu keluarga merupakan lingkungan terdekat dan
dunia pertama dimana individu mempunyai pandangan,
pengalaman tehadap dunia yang diwarnai oleh pengalaman
dengan keluarganya.
3. Latar belakang etnik dan budaya
Sikap, keyakinan dan nilai dipengaruhi oleh latar belakang
etnik dan sosial budaya. Pada umumnya seseorang akan
mengikuti tradisi agama dan spiritual keluarga. Anak belajar
pentingnya menjalankan kegiatan agama, termasuk nilai moral
dari hubungan keluarga dan peran serta dalam berbagai bentuk
kegiatan keagamaan.
4. Pengalaman hidup sebelumnya
Pengalaman hidup baik yang positif maupun negatif dapat
mempengaruhi Spiritual sesorang dan sebaliknya juga
dipengaruhi oleh bagaimana seseorang mengartikan secara
spiritual pengalaman tersebut. Peristiwa dalam kehidupan
seseorang dianggap sebagai suatu cobaan yang diberikan Tuhan
kepada manusia menguji imannya.

7
5. Krisis dan perubahan

Krisis dan perubahan dapat menguatkan kedalam spiritual


seseorang. Krisis sering dialami ketika seseorang menghadadapi
penyakit, penderitaan, proses penuaan, kehilangan dan bahkan
kematian, khususnya pada pasien dengan penyakit terminal atau
dengan prognosis yang buruk. Perubahan dalam kehidupan dan
krisis yang dihadapi tersebut merupakan pengalaman spiritual
yang bersifat fiskal dan emosional.

6. Terpisah dari ikatan spiritual


Menderita sakit terutama yang bersifat akut, sering kali
membuat individu merasa terisolasi dan kehilangan kebebasan
pribadi dan sistem dukungan sosial. Kebiasaan hidup sehari-hari
juga berubah, antara lain tidak dapat menghadiri acara resmi,
mengikuti kegiatan keagamaan atau tidak dapat berkumpul
dengan keluarga atau teman dekat yang bisa memberikan
dukungan setiap saat diinginkan.
7. Isu moral terkait dengan terapi
Pada kebanyakan agama, proses penyembuhan dianggap
sebagai cara Tuhan untuk menunjukan kebesaran-Nya, walaupun
ada juga agama yang menolak intervensi pengobatan.
2.4 Manifestasi Perubahan Fungsi Spiritual
Manifestasi perubahan fungsi spiritual menurut Taylor & Craven
(1997) dalam Dwidiyanti (2008)
1. Verbalisasi distress
Individu yang mengalami gangguan fungsi spiritual,
biasanya akan meverbalisasikan yang dialaminya untuk
mendapatkan bantuan.
2. Perubahan perilaku
Perubahan perilaku juga dapat merupakan manifestasi
gangguan fungsi spiritual. Klien yang merasa cemas dengan hasil

8
pemeriksaan atau menunjukkan kemarahan setelah mendengar
hasil pemeriksaan mungkin saja sedang menderita distress
spiritual.
Dengan manifestasi spiritual maka perawat akan lebih mudah
dalam menggambarkan kondisi klien karena salah satu kunci
yang dimiliki mereka adalah ekspresi mereka ketika berperilaku
misalnya memberikan pandangan bahwa penyakit itu sebagai
anugerah atau bahkan penyakit itu sebagai bentuk kejahatan
manusia.
2.5 Kehilangan Versus Harapan
Konsep kehilangan masuk kedalam proses penuaan, sejalan
dengan penurunan kumulatif dalam hal mental, fisik, dan sosial.
Kehilangan adalah satu kata yang paling menyimpulkan masalah-
masalah usia tua, yang meliputi kehilangan pekerjaan, waktu, harga
diri, martabat pribadi, kesehatan fisik, kontak sosial, peran,
pendapatan, barang, ketajaman mental, energi, dan kehilangan
kehidupan itu sendiri yang tidak dapat dihindari.
Kehilangan dinyatakan sebagai deprivasi yang berkaitan
dengan status masa lalu, sekalipun intensitas kehilangan tersebut
bergantung pada sistem nilai seseorang. Jika frekuensi dan intensitas
kehilangan semakin cepat, maka orang tersebut akan kurang mampu
beradaptasi dan berintergrasi, yang oleh karena itu, membahayakan
kesehatan mental dan fisiknya. Garret (2005) mengidentifikasi
pengaruh pada kemampuan seseorang yang sedang berduka untuk
melakukan koping sejalan dengan bertambahnya usia, pengalaman
negative terdahulu terhadap kehilangan, kurangnya metode koping
preventif,keterbatasan penggunaan sistem pendukung,
ketidakmampuan mempertahankan kendali, penurunan status
kesehatan mental dan fisik, dan kurangnya keyakinan pada kekuatan
yang lebih besar daripada dirinya sendiri. Sikap seseorang terhadap
semua kehilangan tersebut memengaruhi kualitas seorang lansia.

9
Efek kumulatif dari kehilangan seumur hidup, setelah usia 75
tahun, dialami sebagai ketidakberhargaan dan pengabaian.
Kerapuhan akan meningkat jika lansia kekurangan keterampilan
interpersonal, motivasi, kekuatan spiritual, kontak sosial yang
bermakna, keuangan yang adekuat, atau persepsi positif tentang
kesehatan. Burnside (1979) menganjurkan penggunaan strategi dan
dukungan untuk meningkatkan kesejehteraan. Konsep negatif
kehilangan digambarkan pada sebagai beikut:
Penyeimbang konsep kehilangan adalah konsep yang lain:
harapan. Harapan menghilangkan potensi efek katastrofik dari
kehilangan kumulatif pada lansia. Harapan, sebagai suatu
pemenuhan ekspektasi, mengatasi kehilangan yang tidak dapat
dihindari yang terakumulasi dari masa kanak- kanak. Harapan adalah
antisipasi peningkatan status atau terlepas dari perasaan terjebak. Hal
tersebut berdasar pada keyakinan akan sesuatu yang mungkin terjadi,
dukungan dari orang yang berarti, rasa sejahtera, kemampuan koping
secara menyeluruh, dan tujuan hidup. Harapan merupakan kekuatan
motivasi, memberi energy yang dapat memindahkan lansia keluar
dari kehilangan yang kacau balau ketingkatan fungsi yang lebih
tinggi. Hickey menggunakan istilah memungkinkan harapan untuk
menggambarkan peran perawat dalam merawat pasien kanker.
Beriman kepada Tuhan memberi alasan bagi lansia untuk hidup dan
berharap, selama mereka mau berusaha untuk mencapainya.
Harapan adalah karakteristik esensial dari tahapan intregitas
Erickson yang terakhir. Harapan, sebagai pola integral yang
terpenting seumur hidup, bertindak sebagai pengstabil fungsional
pada usia tua. Pada lansia, konsep kehilangan akan sangat merusak
jika menyebabkan kehilangan arti hidup. Kehilangan arti dan tujuan,
dan oleh karena itu kehilangan harapan, merupakan kehilanagn yang
terakhir dalam kehidupan-kehidupan kematian. Dulu, Gibbon

10
menuliskan, kegagalan harapan akan mempersuram masa tua.
Kehilangan tanpa harapan memandamkan cahaya kehidupan.
2.6 Peran Perawat dalam Spiritualitas (Sofia Rhosma, 2014)
1. Pengkaji
Mungkin merupakan fungsi perawat yang terpenting, atau
orang lain yang bekerja sama dengan lansia dalam hal
pengkajian. Pengkajian spiritual mencakup pengumpulan
informasi tentang riwayat spiritual dan status saat ini dan
menganalisis signifikansi dari hasil tersebut. Data
pengakajian yang diperoleh dari lansia dan keluarga serta
lingkungan memengaruhi pemberian informasi yang luas
tentang kesehatan spiritual. Data yang diperoleh digunakan
sebagai dasar bagi intervensi keperawatan berikutnya.
Kebutuhan pengkajian yang terampil mencakup
mendengarkan dengan penuh perhatian, mengajukan
pertanyaan dengan terampil, mengobservasi dengan penuh
pemikiran dan berpikir kritis.
2. Teman Sejalan
Dengan hilangnya kontak sosial lansia, stimulasi mental dan
harga diri mereka juga mengalami penurunan. Mereka
membutuhkan seseorang yang memahami proses penuaan
normal dan proses penyakit di usia lanjut. Kebutuhan
terpenting bagi lansia adalah seseorang merawatnya sebagai
individu. Perawat yang mengasuh harus menyediakan waktu
untuk lansia, membiarkan mereka menjadi diri mereka
sendiri, dan mengenal nilai mereka sebagai individu.
Mungkin hadiah terbesar dapat diberikan seseorang kepada
lansia adalah waktu. Waktu dapat digunakan untuk berbagi
minat, berdoa untuk mengatasi masalah, membaca materi
keagamaan, menertawakan flim kartun atau duduk tenang
bersama mendengarkan musik atau menikmati matahari

11
terbenam. Kuantitas waktu kurang penting jika dibandingkan
dengan kualitas. Keterampilan yang diperlukan adalah
menunjukkan adanya kasih Tuhan, mendengarkan dengan
penuh perhatian, memulai percakapan yang mengarah pada
topik spiritual dan menyediakan diri secara teratur.
3. Advokat
Peran advokasi perawat untuk lansia meliputi mendapatkan
sumber-sumber spiritual berdasarkan latar belakang klien
yang unik. Hal tersebut perlu dilakukan untuk mendukung
keinginan klien untuk berpartisipasi dalam layanan
keagamaan dengan mendapatkan transpostasi yang sesuai
atau mengatur pemuka agama setempat untuk berkunjung.
Hal tersebut dapat melibatkan peningkatkan persahabatan
dengan lansia lain di tempat beribadah. Pada beberapa kasus,
perawata dapat menjadi penengah antara klien dan teman
atau anggota keluarga yang jauh. Pada saat yang bersamaan
perawat dapat membantu klien dan keluarga menghadapi
masalah-masalah etik seperti euthanasia, kelanjutan
pemakaian sistem bantuan hidup, atau bantauan nutrisi
jangka panjang. Hal tersebut dapat mencakup intervensi
untuk kepentingan klien bersama dokternya berkaitan dengan
perpanjangan perawatan medis. Peran advoksi perawat dapat
mencakup menulis surat, menelpon, atau melakukan
pendekatan tentang sebab-sebab yang memengaruhi
kesejahteraan klien. Beberapa keterampilan keperawatan
khusus mencakup kemampuan untuk tetap tenang pada saat
orang lain kacau, keyakinana bahwa Tuhan akan membantu
pada situasi yang sulit, keinginan untuk meningkatkan
konsiliasi, dan kemampuan untuk mengungkapkan ide secara
jelas.

12
4. Pemberi Asuhan
Perawat sebagai pemberi asuhan merupakan seorang
pengkaji yang cerdik yang tidak hanya melakukan
pengkajian dasar terhadap status spiritual yang menyeluruh,
tetapi terus juga mengkaji klien melalui hubungan. Perawat
menerjemahkan pengkajian difisit spiritual ke dalam
intervensi asuhan spiritual atau kesejahteraan spiritual
dengan memperkuat dukungan spiritual. Perawat mengetahui
bahwa status spiritual memiliki efek kuat pada pemeliharaan
kesehatan juga mencegahan atau pemyembuhan penyakit.
Lansia mungkin memerlukan bantuan khusus untuk
menghadiri layanan keagamaan, mendengarkan layanan
radio atau televisi, menyediakan waktu tenang tanpa
gangguan untuk bermeditasi atau menerima sakramen, atau
melepaskan kemarahannya terhadap penderitaan yang
mereka alami. Keterampilan perawat meliputi bersifat
sensitif terhadap kebutuhan yang tidak terungkapkan,
meningkatkan sikap membantu, mendengarkan adanya
tanda-tanda distress spritual, dan memberikan perawatan
fisik dan spiritual secara bersamaan. Hal tersebut sering kali
di rasa sulit bagi pemberi asuhan karena kebutuhan fisik
lansia juga dapat begitu luas sehingga hanya sedikit saja
waktu atau energi yang tersisa untuk perawatan spiritual.
5. Manajer Kasus
Perawatan yang bertindak sebagai manajer kasus di area
spiritulaitas harus mengetahui tentang lansia dan komunitas.
Manajer kasus yang bekerja dengan lansia cenderung harus
mengkoordinasikan asuhan untuk klien yang rentan
memerlukan bantuan karena usia lanjut, pendapatan rendah,
masalah penyakit yang bermacam-macam, atau keterbatsan
sistem pendukung. Seringkali perawat perlu bernegoisasi

13
dengan anggota keluarga, pemberi asuhan yang lain, atau
lembaga-lemabga yang memberikan bantuan. Keterampilan
keperawatan khusus yang diperlukan mencakup mengelola
sumber-sumber yang terbatas untuk mendapatkan manfaat
yang maksimal, mengelola asuhan untuk klien guna
meminimalkan keleihan dan ansietas, meningkatkan
penerimaan terhadap bantuan tanpa menjadi ketergantungan,
dan meningkatkan ikatan asal komunitas agama seseorang.
6. Peneliti
Perawat yang meneliti aspek-aspek spiritual lansia harus
menjaga hak-hak hasasi lansia yang menjadi subjek
penelitian. Pertimbangan etik yang relevan yang terdapat
dalam proposal harus di evaluasi dan di jelaskan secara rinci.
Jelas terlihat dari bahasan litelatur penelitian dan instrument
test yang tersedia bahwa religiositas merupakan konsep yang
lebih mudah untuk dipelajari daripada spiritualitas.
Penyelidikan secara prinsip melibatkan sikap religious
organisasi, sikap religious pribadi, dan korelasi aktifitas
religious dengan kesehatan, pneyesuaian pribadi, dan
praktik- praktik lain. Penelitian spiritual di hambat oleh
beberapa faktor. Spiritualitas bersifat temporer dan sulit
untuk didefinisikan. Kerangka kerja konseptual terbebani
dengan komponen-komponen multidisiplin, dan instrument
yang valid harus dibuat atau diperbaiki untuk membantu
dalam kuantifikasi. Lebih lanjut lagi, upaya penelitian
spiritualitas belum sepenuhnya di bantu oleh pemerintah atau
sumber pendanaan swasta.

14
2.7 Ekspresi Kebutuhan Spiritual Adaptif & Maladaptif

Kebutuhan Tanda pola atau perilaku Tanda pola atau perilaku


adaptif maladaptif
Rasa percaya Rasa percaya terhadap diri Merasa tidak nyaman
sendiri dan kesabaran dengan kesadaran diri
Menerima bahwa yang lain Mudah tertipu
akan mampu memenuhi Ketidakmampuan untuk
kebutuhan terbuka dengan orang lain
Rasa percaya terhadap Merasa bahwa hanya orang
kehidupan walaupun terasa tertentu dan tempat tertentu
berat yang aman
Keterbukaan terhadap Mengharapkan orang tidak
Tuhan berbuat baik dan tidak
tergantung
Ingin kebutuhan dipenuhi
segera tidak dapat
menunggu
Tidak terbuka kepada
Tuhan
Takut terhadap maksud
Tuhan
Kemampuan Menerima diri sendiri dan Merasa penyakit sebagai
memberi orang lain dapat berbuat suatu hukuman
maaf salah Merasa Tuhan sebagai
Tidak mendakwa atau penghukum
berprasangka buruk Merasa maaf hanya
Memandang penyakit diberikan berdasar prilaku

15
sebagai sesuatu yang nyata Tidak menerima diri
Memaafkan diri sendiri sendiri
Memaafkah orang lain Menyalahkan diri sendari
Menerima pengampunan atau orang lain.
Tuhan.
Pandangan yang realistik
terhadap masa lalu
Mencintai Mengekspresikan perasaan Takut akan tergantung
dan dicintai oleh orang lain atau dengan orang lain
ketertarikan Tuhan Menolak bekerja sama
Mampu menerima bantuan dengan tenaga kesehatan
Menerima diri sendiri Cemas berpisah dengan
Mencari kebaikan dari orang keluarga
lain Menolak diri sendiri serta
angkuh dan mementingkan
diri sendiri
Tidak mampu untuk
mempercayai diri sendiri
dicintai oleh Tuhan, tidak
punya hubungan rasa cinta
dengan Tuhan
Merasa tergantung dan
hubungan bersifat magik
dengan Tuhan. Merasa
jauh dengan Tuhan.
Keyakinan Ketergantungan dengan Mengekspresikan perasaan
anugerah Tuhan ambivalens terhadap
Termotifasi untuk tumbuh Tuhan
Mengekspresikan kepuasan Tidak percaya terhadap
dengan menjelaskan kekuasaan Tuhan

16
kehidupan setelah kematian Takut kematian
Mengekspresikan kebutuhan Merasa terisolasi dari
untuk memasuki kehidupan kepercayaan masyarakat
dan atau memahami sekitar
kehidupan manusia dengan Merasa pahit, frustasi dan
wawasanyang lebih luas marah terhadap Tuhan
Mengekspresikan kebutuhan Nilai, keyakinan dan
ritual tujuan hidup yang tidak
Mengekspresikan kehidupan jelas
untuk merasa berbagi Konflik nilai
keyakinan Tidak mempunyai
komitmenm
Kreatifitas Meminta informasi tentang Mengekspresikan perasaan
dan harapan kondisi takut kehilangan kendali
Membicarakan kondisinya diri
secara realistik Mengekspresikan
Menggunakan waktu selama kebosanan diri
dirawat inap secara Tidak mempunyai visi
konstruktif alternatif yang
Mencari cara untuk memungkinkan
mengekspresikan diri Takut terhadap terapi
Mencari kenyamanan batin Putus asa
daripada fisik Tidak dapat menolong
Mengekspresikan harapan ayau menerima diri sendiri
tentang masa depan Tidak dapat menikmati
Terbuka terhadap apapun
kemungkinan mendapatkan Telah menunda
kedamaian pengambilan keputusan.
Arti dan Mengekspresikan kepuasan Mengekspresikan tidak ada
tujuan hidup alasan bertahan hidup

17
Menjalani kehidupan sesuai Tidak dapat menerima arti
dengan sistem nilai penderitaan yang dialami
Menggunakan penderitaan Mempertanyakan arti
sebagai cara memahami diri kehidupan
Mengekspresikan arti Mempertanyakan tujuan
kehidupan/ kematian penyakit
Mengekspresikan komitmen Tidak dapat merumuskan
dan orientasi hidup tujuan dan tidak mencapai
Jelas tentang apa yang tujuan
penting Telah menunda
pegambilan keputusan
yang penting.

2.8 Proses Keperawatan dalam Pemenuhan Spiritualitas


A. Pengkajian
Pengkajian dilakukan untuk mendapatkan data subyektif dan
obyektif.Spiritual sangat bersifat subyektif, ini berarti spiritual
berbeda untuk individu yang berbeda pula (Mcsherry dan Ross,
2002)
Pada dasarnya informasi awal yang perlu digali adalah:
1. Alifiasi nilai
a. Partisipasi klien dalam kegiatan agama apakah
dilakukan secara aktif atau tidak
b. Jenis partisipasi dalam kegiatan agama
2. Keyakinan agama dan spiritual
a. Praktik kesehatan : diet, mencari dan menerima ritual
atau upacara agama
b. Strategi koping
3. Nilai agama atau spiritual, mempengaruhi:
a. Tujusn dan arti hidup

18
b. Tujuan dan arti kematian
c. Kesehatan dan arti pemeliharaan
d. Hubungan dengan Tuhan, diri sendiri dan orang lain
B. Diagnosa (NANDA, 2015 )
1. Distress spiritual
2. Koping inefektif
3. Ansietas
4. Disfungsi seksual
5. Harga diri rendah
6. Keputusasaan
C. Perencanaan (NOC, 2016) (NIC, 2016)
1. Distress spiritual b.d anxietas
Definisi : gangguan pada prinsip hidup yang meliputi
semua aspek dari seseorang yang menggabungkan aspek
psikososial dan biologis
NOC :
a. Menunjukkan harapan
b. Menunjukkan kkan kesejahteraan spiritual:
Berarti dalam hidup
Pandangan tentang spiritual
Ketentraman, kasih sayang dan ampunan
Berdoa atau beribadah
Berinteraksi dengan pembimbing ibadah
Keterkaitan denganorang lain, untuk berbagi pikiran,
perasaan dan kenyataan
c. Klien tenang
NIC :
Kaji adanya indikasi ketaatan dalam beragama
Tentukan konsep ketuhanan klien
Kaji sumber-sumber harapan dan kekuatan pasisien

19
Dengarkan pandangan pasien tentang hubungan
spiritiual dan kesehatan
Berikan prifasi dan waktu bagi pasien untuk
mengamati praktik keagamaan
Kolaborasi dengan pastoral
2. Koping inefektif b.d krisis situasi
Definisi : ketidakmampuan membuat penilaian yang
tepat terhadat stressor, pilihan respon untuk bertindak secara
tidak adekuat dan atau ketidakmampuan menggunakan
sumber yang tersedia
NOC:
Koping efektif
Kemampuan untuk memilih antara 2 alternatif
Pengendalian impuls : kemampuan mengendalikan diri
dari prilaku kompulsif
Pemrosesan informasi : kemampuan untuk mendapatkan
dan menggunakan informasi
NIC :
Identifikasi pandangan klien terhadap kondisi dan
kesesuaiannya
Bantu klien mengidentifikasi kekuatan personal
Peningkatan koping:
Nilai kesesuaian pasien terhadap perubahan gambaran
diri
Nilai dampak situasi kehidupan terhadap peran
Evaluasi kemampuan pasien dalam membuat
keputusan
Anjurkan klien menggunakan tehnik relakssi
Berikan pelatihan ketrampilan sosial yang sesuai

20
Libatkan sumber sumber yang ada untuk mendukung
pemberian pelayanan kesehatan
D. Pelaksanaan
Dilaksanakan sesuai dengan NIC yang telah ditentukan
E. Evaluasi
Evaluasi dengan melihat NOC yang telah ditentukan ,
secaara umum tujuan tercapai apabila klien ( Hamid, 1999)
1. Mampu beristirahat dengan tenang
2. Menyatakan penerimaan keputusan moral
3. Mengekspresikan rasa damai
4. Menunjukkan hubungan yang hangat dan terbuka
5. Menunjukkan sikap efektif tanpa rasa marah, rasa berslah
dan ansietas
6. Menunjukkan prilaku lebih positif
7. Mengekspresikan arti positif terhadap situasi dan
keberadaannya
2.9 Koping pada Loss, Grieving, Dying, and Death
Kehilangan atau kematian adalah suatu peristiwa atau
pengalaman manusia yang bersifat mutlak secara
individual.kematian merupakan suatu peristiwa yang dapat
menggoncangkan jiwa sehingga dapat mempengaruhi seseorang
menjelang ajal dan keluarga,dan kerabat dekat. Keadaan mereka
meninggal dapat mencerminkan pola gaya hidup orang
tersebut,seperti latar belakang budaya,keyakinan, dan sikap tentang
kehidupan dan kematian.
1. Kehilangan
Kehilangan pribadi adalah segala kehilangan yang dialami
seseorang secara jelas dan membutuhkan terapi untuk beradaptasi
dalam proses pemulihannya.Pasien kemungkin akan mengalami
kehilangan maturasional (kehilangan yang dialami seseorang untuk

21
yang pertama kalinya).Kehilangan situasional(kehilangan orang
yang dicintai yang terjadi secara tiba-tiba atau kematian mendadak).
Kehilangan dikelompokan dalam 5 kategori :
a. Kehilangan objek eksternal
Kehilangan yang dirasakan seseorang terhadap benda yang
dimilikinyadan kegunaan benda tersebut yang memiliki nilai.
b. Kehilangan lingkungan yang telah dikenal
Kehilangan yang dialami seseorang dari lingkungan yang
telah dia kenal berpindah ke tempat asing yang belum dia
kenali.
c. Kehilangan orang terdekat
Kehilangan yang dirasakan seseorang akibat
perpisahan,pindah, kematian keluarga atau kerabat dekat.
d. Kehilangan aspek diri
Kehilangan aspek diri terbagi menjadi dua,yaitu kehilangan
fisiologis dan psikologis. Kehilangan fisiologis berupa
hilangnya fungsi mata , hilangnya fungsi telinga dan anggota
tubuh lainnya yang di akibatkan cidera. Kehilangan
psikologis hilang rasa percaya diri,hilang ingatan,harga
diri,rasa cinta.
e. Kehilangan hidup
Rasa putus asa seseorang yang timbul akibat ketakutan yang
dialami seseorang tersebut menjelang kematian.

2. Dukacita, berkabung, dan kehilangan karena kematian


Kehilangan karna kematian adalah suatu keadaan, pikiran,
perasaan, dan aktivitas yang mengikuti kehilangan. Dukacita
adalah proses mengalami reaksi psikologis, sosial dan fisik
terhadap kehilangan yang di persepsikan (Rando, 1991).
Sedangkan Berkabung adalah proses kehilangan yang mencakup
upaya untuk melewati dukacita.

22
Dukacita mencakup pikiran, perasaan, dan perilaku. Tujuan
dukacita adalah untuk mencapai fungsi yang lebih efektif dengan
mengintegrasikan kehilangan kedalam pengalaman hidup
seseorang. pencapaian ini membutuhkan waktu dan upaya. Orang
yang mengalami dukacita mencoba berbagai strategi untuk
menghadapinya. Worder (1982) menggaris bawahi empat tugas
dukacita yang memudahkan penyesuaian yang sehat terhadap
kehilangan, dan Harper (1987) merancang tugas dalam akronim
TEAR
1. T- Untuk menerima realitas dari kehilangan
2. E- Mengalami kepedihan akibat kehilangan
3. A- Menyesuaikan yang tidak lagi mencakup orang, benda, atau
aspek diri yang hilang.
4. R- Memberdayakan kembali energi emosional kedalam
hubungan yang baru.

a. Respon dukacita khusus : dukacita adaptif dan dukacita


terselubung
Dukacita adaptif termasuk proses berkabung, koping,
interaksi, perencanaan dan pengenalan psikosoial. hai ini
dimulai dalam memproses terhadap kesadaran tentang suatu
ancaman kehilangan dan pengenalan tentang kehilangan yang
berkaitan dengan masa lalu, saat ini, dan masa mendatang.
Dukacita yang adaptif terjadi pada mereka yang menerima
diagnosis yang mempunyai efek jangka panjang terhadap
fungsi tubuh, seperti pada lupus eritomatosus sistemik. klien
mungkin meresa sangat sehat ketika di diagnosis tetapi mulai
berduka dalam memproses informasi tentang kehilangan
dimasa mendatang yang berkaitan dengan penyakit. dalam
situasi seperti ini, dukacita adaptif dapat mendalam lama dan
dapat terbuka. dukacita adaptif bagi klien menjelang ajal

23
mencakup melepas harapan, impian dan harapan terhadap
masa depan jangka panjang. keterlibatan secara kontinue
dengan klien menjelang ajal dan tujuan untuk memksimalkan
kemungkinan hidup bukan hal yang tidak sesuai dengan
pengalaman dukaita adaptif. dukacita adaptif bagi klien
menjelang ajal mempunyai akhir yang pasti. hal tersebut akan
menghilang sejalan dengan kematian klien: meskipun dukacita
berlanjut, tetapi dukacita tersebut tidak lagi adaptif, klien,
keluarganya, dan perawat dihadapkan dengan tugas adaptasi
dalam proses dukacita adaptif (Rando, 1986)
Dukacita terselubung terjadi ketika seseorang
mengalami kehilangan yang tidak atau tidak dapat dikenali,
rasa berkabung yang luas, atau didukung secara sosial. konsep
mengenali bahwa masyarakat mempunyai serangkaian norma
mengenai aturan dukacita yang berupaya yang
mengkhususkan siapa, kapan, dimana, bagaimana, berapa
lama, dan kepada siapa orang harus berduka. Dukacita
mungkin terselubung dalam situasi dimana hubungan antara
yang berduka dan meninggalkan tidak didasarkan pada ikatan
keluarga yang dikenal. Dukacita ini dapat mencakup teman,
pemberi perawatan, dan rekan kerja atau hubungan non
tradisional, seperti hubungan diluar perkawinan atau hu
bungan homoseksual dan mereka yang hubungannya terjadi
pada masallau, seperti bekas pasangan.

3. Konsep dan Teori berduka


Dukacita adalah respon normal terhadap setiap kehilangan.
perilaku dan perasaan yang berkaitan dengan proses berduka
terjadi pada individu yang menderita kehilangan seperti
perubahan fisik atau kematian teman dekat. proses ini juga terjadi
ketika individu menghadap kematian mereka sendiri. seseorang

24
yang mengalami kehilangan, keluarganya, dan dukungan sosial
lainnya juga mengalami dukacita.
a. Teori Engel
Teori ini mengajukan proses berduka mempunyai 3 fase :
1. Fase I (shock dan tidak percaya)
Seseorang menolak kenyataan atau kehilangan dan mungkin
menarik diri, duduk malas, atau pergi tanpa tujuan. Reaksi
secara fisik termasuk pingsan, diaporesis, mual, diare, detak
jantung cepat, tidak bisa istirahat, insomnia dan kelelahan.
2. Fase II (berkembangnya kesadaran)
Seseoarang mulai merasakan kehilangan secara nyata/akut
dan mungkin mengalami putus asa. Kemarahan, perasaan
bersalah, frustasi, depresi, dan kekosongan jiwa tiba-tiba
terjadi.
3. Fase III (realitas kehilangan)
Marah dan depresi tidak lagi dibutuhkan, kehilangan telah
jelas bagi individu, yang mulai mengenali hidup. dengan
mengenali fase ini seseorang beralih dari tingkat fungsi
emosi dan intelektual yang lebih rendah ke tingkat yang
lebih tinggi, berkembang kesadaran diri.

b. Tahapan menjelang ajal menurut Kubler-Ross


1. Penyangkalan (Denial)
Individu bertindak seperti seolah tidak terjadi apa-apa dan
dapat menolak untuk mempercayai bahwa telah terjadi
kehilangan. Pernyataan seperti Tidak, tidak mungkin
seperti itu, atau Tidak akan terjadi pada saya! umum
dilontarkan klien.
2. Kemarahan (Anger)
Individu mempertahankan kehilangan dan mungkin
bertindak lebih pada setiap orang dan segala sesuatu yang

25
berhubungan dengan lingkungan. Pada fase ini orang akan
lebih sensitif sehingga mudah sekali tersinggung dan marah.
Hal ini merupakan koping individu untuk menutupi rasa
kecewa dan merupakan menifestasi dari kecemasannya
menghadapi kehilangan.
3. Depresi (Depression)
Terjadi ketika kehilangan disadari dan timbul dampak nyata
dari makna kehilangan tersebut. Tahap depresi ini memberi
kesempatan untuk berupaya melewati kehilangan dan mulai
memecahkan masalah.
4. Penerimaan (Acceptance)
Reaksi fisiologi menurun dan interaksi sosial berlanjut.
Kubler-Ross mendefinisikan sikap penerimaan ada bila
seseorang mampu menghadapi kenyataan dari pada hanya
menyerah pada pengunduran.
5. Penawaran (Bargaining)
Individu berupaya untuk membuat perjanjian dengan cara
yang halus atau jelas untuk mencegah kehilangan. Pada
tahap ini, klien sering kali mencari pendapat orang lain.

c. Fase berduka menurut Rando


1. Penghindaran
Pada tahap ini terjadi shock, menyangkal dan tidak percaya.
2. Konfrontasi
Pada tahap ini terjadi luapan emosi yang sangat tinggi
ketika klien secara berulang-ulang melawan kehilangan
mereka dan kedukaan mereka paling dalam dan dirasakan
paling akut.
3. Akomodasi
Pada tahap ini terjadi secara bertahap penurunan kedukaan
akut dan mulai memasuki kembali secara emosional dan

26
sosial dunia sehari-hari dimana klien belajar untuk
menjalani hidup dengan kehidupan mereka.

Diagnosa Keperawatan Dan Dukacita


1. Pengkajian
Perawat menganalisa terlebih dahulu apakah keluarga
pasien bersedia dilibatkan dalam perawatan pasien yang
menjelang ajal. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
pengkajian antara lain:
Karakteristik personal
Respon setiap anak berbeda sesuai dengan usia, karakter
dan kepribadian masin-masing anak tehadap kehilangan.
Peran jenis kelamin
Perawat harus memahami perasaan klien,reaksinya dan arti
personal yang berkaitan dengan kehilangan tersebut. pria
dan wanita mempunyai arti yang berbeda terhadap
fungsi,bagian tubuh dan hubungan impersonal serta benda.
Sifat Hubungan
Keluarga harus menceritakan riwayat penyakit dari anggota
keluarga kedalam kehidupan mereka dan sepanjang masa
sakit keluarga harus terus memberi dukungan.
Sifat Pendukung Sosial
Pemberian dukungan terhadap keluarga dan kerabat dekat
yang ditinggalkan melalui proses berkabung.dengan
mempertimbangkan ketepatan waktu karena pada umumnya
keluarga pasien yang berduka belum dapat memanfaatkan
kesempatan tersebut.
Sifat Kehilangan
Rasa kehilangan yang dialami seseoang akibat ditinggalkan
keluarga atau kerabat ekat yang dicintai.

27
Keyakinan Spiritual dan Budaya
Perawat mempersiapkan apa yang masih dapat dilakukan
untuk terpenunhya segala kebutuhan pasien saat menjelang
ajal yang bergantung pada perasaan untuk mempertahankan
intergritas spiritual dan budaya.
Kehilangan Tujuan Hidup Pribadi
Seseorang yang memiliki banyak tujuan untuk dicapai akan
semakin besar kemampuan orang tersebut untuk beradaptasi
dari rasa kehilangan.
Harapan
Suatu kekuatan hidup yang ingin dicapai dan ditandai
dengan rasa percaya diri meskipun tercapainya tujuan masih
belum pasti.
Fase Duka Cita
Perawat harus mempunyai kemampuan mengenal sikap
berkabung untuk membantu perawat dalam membuat
diagnosa dengan cara mendata cara berkomunikasi pasien
serta memberi dukungan kepada pasien dan keluarganya.
Dukacita Klien Menjelang Ajal dan Keluarganya
Ketika pasien mendekati kematian keluarga dan kerabat
dekat akan mengalami banyak emosi,perawat dapat
memberikan motivasi kepada pasien dan tidak akan berhasil
jika pasien mengungkapkan perasaan marah dan putus asa.
Faktor Risiko Terhadap Orang Yang Ditinggal
Faktor beresiko tinggi mempengaruhi anggota keluarga atau
kerabat dekat yang ditinggalkan akan menderita penyakit
psikologis atau fisiologis selama dukacita.
Dukacita Perawat
Perawat diharuskan memahami tentang kematian,proses
berduka dan menghargai latar belakang yang dialami oleh
pasien.

28
Evaluasi
Asuhan keperawatan untuk keluarga pasien yang
berduka dan pasien yang menjelang ajal dapat didasarkan
pada perubahan sikap yang dapat diketahui melalui proses
berkabung. Perawat pasien menjelang ajal harus mendata
kembali kenyamanan,penyakit dan kondisi tubuh pasien.

29
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Spiritualitas sering digunakan secara sinonim dengan agama
atau religiositas tetapi secara aktual dapat dibedakan dari hal
tersebut. Spiritualitas berhubungan dengan keyakinan internal
seseorang dan pengalaman pribadi dengan Tuhan, sedangkan agama
hanya satu cara untuk mengekspresikan aspek dari dalam keyakinan
pribadi seseorang. Agama atau religius lebih berhubungan dengan
ibadah, praktik komunitas, dan perilakuu eksternal. Kebutuhan
spiritual dapat dipenuhi dengan tindakan-tindakan keagamaan seperti
berdoa atau pengakuan dosa, tetapi banyak dari kebutuhan tersebut
dapat dipenuhi hanya dengan hubungan antar-manusia.
Kelompok usia pertengahan dan lansia mempunyai lebih
banyak waktu untuk kegiatan agama dan berusaha untuk mengerti
agama dan berusaha untuk mengerti nilai-nilai agama yang diyakini
oleh generasi muda. Perasaan kehilangan karena pensiun dan tidak
aktif serta menghadapi kematian orang lain (saudara, sahabat)
menimbulkan rasa kesepian dan mawas diri. Perkembangan filosofis
agama yang lebih matang sering dapat membantu orang tua untuk
menghadapi kenyataan, berperan aktif dalam kehidupan dan merasa
bahagia serta lebih dapat menerima kematian sebagai suatu yang
tidak dapat ditolak atau dihindari.
B. Saran
Diaharapkan kita sebagai perawat yang akan datang mampu
lebih mamahami aspek yang terjadi pada lansia agar mampu
mengaplikasikannya dalam praktik keperawatan.

30
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, Gloria M. 2016. NIC (Nursing Intervention and Classification).


Ed.6. El Server Singapore

Depsos. (2007). Konsekuensi peningkatan populasi lansia dari tahun ke


tahun. Diambil pada tanggal 12Agustus 2017 dari
http://www.depsos.go.id/modules.News&File=article&sid

Dwidiyanti, M. (2008). Konsep "Caring", Komunikasi, Etik, dan Aspek


Spiritual dalam Pelayanan Keperawatan. Semarang: Penerbit
Hasani

Graha Cendikia. 2009. Hubungan Dukungan Keluarga Dengan


Kemandirian Lansia. Diakses tanggal 22 Agustus 2017.
http://grahacendekia.wordspress.com

Hamid, Achir Yani. 1999. Buku ajar Aspek Spiritual dalam


Keperawatan. Widya Medika: Jakarta

Hamid, Achir Yani. (2002). Buku Pedoman Askep Jiwa 1 Keperawatan


Jiwa Teori dan Tindakan Keperawatan. Jakarta : Departemen
Kesehatan Republik Indonesia

Harper, J.M. 1983. Plateaus of Acceptance: pits of pain. In Corn CA,


Stillion JM, Ribar MC. Jitors: Creativity In Death Education And
Conselling. Hartford

Herdman, T. Heatger. 2015. NANDA International Inc. Diagnosis


Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2015-2017. Ed.10.
jakarta:EGC

Moorhead, Sue. 2016. NOC (Nursing Outcome Classification). Ed.5. El


Sevier Singapore

31
Nelson, James M. 2009. Psychology, Religion, and Spirituality. New York :
Springer Science Business Media, LLC

Potter, P.A. &Pery, A.G. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan:


Konsep, proses, dan Praktik, Vol. 2 E/4.Jakarta: EGC. (halaman
584-608).

Puchalski, C. (2004). Spitually and Health. Diambil pada tanggal 12


Agustus 2017 dari http://www.spiritualityandhealth.com

Rando, T.A. 1991. How To Go On Living When Someone You Love Dies.
New York:Bantam

Rhosma, Sofia. 2014. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Ed.1. Cetakan 1.


Yogyakarta: Deepublish

Worder, J.W. 1982. Grief Counseling and Grief Therapy. New York:
Springer

Young & Koopsen. (2007). Spiritualitas, Kesehatandan Penyembuhan.


Medan : Bina Media Perintis

32

Anda mungkin juga menyukai