Anda di halaman 1dari 3

4.

Patogenesis

Saluran respiratori bawah normalnya dijaga tetap dalam kondisi steril oleh
mekanisme pertahanan fisiologis, termasuk oleh sistem mukosilier, produk sekresi normal
seperti immunoglobulin A (IgA), dan pembersihan jalan nafas melalui batuk. Sedangkan
pada alveoli dan bronkiolus terdapat makrofag yang dapat membantu menghancurkan bakteri
maupun berbagai macam benda asing yang masuk ke dalam tubuh melalui pernapasan. (3)

Pneumonia dicirikan oleh inflamasi alveoli dan jalan nafas terminal sebagai respon
dari invasi agen infeksius terhadap paru-paru melalui penyebaran infeksius atau inhalasi.
Kaskade inflamatori mencetuskan kebocoran plasma dan hilangnya surfaktan, menyebabkan
hilangnya udara dan konsolidasi. (2)

Respon inflamasi yang teraktivasi sering menyebabkan migrasi fagosit, disertai


pengeluaran zat toksik dari granula. Kaskade ini dapat langsung menginjuri jaringan pejamu
dan merubah integritas epitel dan endotel, tonus vasomotor, hemostasis intravaskular, dan
mengaktivasi fagosit pada fokus inflamasi. (2)

Injuri pulmonar disebabkan secara langsung atau tidak langsung dari mikroorganisme
atau benda asing dan respon dari sistem pertahanan pejamu yang dapat merusak jaringan
pejamu sehat yang menyebabkan kerusakan yang sama buruk atau bahkan lebih buruk
daripada agen yang menyerang. Injuri langsung dari agen yang menginvasi biasanya
disebabkan sintesis dan sekresi dari enzim mikrobial, protein, lemak, dan toksis yang
merusak membran sel pejamu, sistem metabolik, dan matriks ekstraseluler. (2) Sedangkan
injuri tidak langsung dimediasi oleh molekul-molekul yang disekresi, seperti endotoksin,
leukocidin, dan toxin shock syndrome toxin-1 (TSST-1), yang dapat merubah tonus dan
integritas vasomotor lokal, merubah karakteristik perfusi jaringan, dan secara umum
mengganggu penghantaran oksigen dan nutrisi dan pembuangan produk sisa dari jaringan
lokal. (2)

Pneumonia viral biasanya merupakan hasil dari penyebaran infeksi sepanjang saluran
nafas, melalui injuri langsung pada epitel respirasi, yang menyebabkan obstruksi jalan nafas
melalui pembengkakan, sekresi abnormal, dan debris seluler. Kaliber yang kecil dari jalan
nafas pada bayi muda membuat mereka lebih rentan terhadap infeksi berat. Atelektasis,
edema interstisial, dan ketidaksingkronan ventilasi perfusi menyebabkan hipoksemia
signifikan disertai obstruksi jalan nafas. Infeksi virus dari saluran nafas juga dapat
terpredisposisi terhadap infeksi bakteri sekunder dengan cara mengganggu mekanisme
pertahanan normal pejamu, mengubah sekresi, dan memodifikasi flora bakteri. (3) Infeksi
virus dicirikan oleh akumulasi sel mononuklear pada submukosa dan ruang perivaskular,
menyebabkan obstruksi parsial dari jalan nafas. Pasien dengan infeksi ini ditandai dengan
wheezing dan crackles. Penyakit ini berkembang ketika sel alveolar tipe 2 kehilangan
integritas strukturalnya dan produksi surfaktan menurun, terbentuk membran hyalin, dan
edema paru terjadi. (2)

Pada infeksi bakteri, yang umumnya menyebabkan bentukan pneumonia lobar,


sebesar 95% disebabkan oleh streptococcus pneumoniae, dapat dibagi menjadi empat stadium
pneumonia lobar. Pada stadium pertama, setelah mikroorganisme penyebab terhisap ke paru
bagian perifer melalui saluran respiratori, mula-mula terjadi edema akibat reaksi jaringan
yang mempermudah proliferasi dan penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya. Stadium
pertama ini terjadi 24 jam setelah infeksi selama 1-2 hari, yaitu paru secara mikroskopik
dicirikan dengan kongesti vaskular dan edema alveolar. Selanjutnya, alveoli dari bagian paru
yang terkena mengalami konsolidasi, yaitu terjadi serbukan sel PMN, fibrin, sel epitel yang
berdeskuamasi, eritrosit, cairan edema, dan ditemukannya kuman di alveoli. Stadium kedua
ini disebut stadium hepatisasi merah (2-3 hari) karena kesamaannya dengan konsistensi liver.
Pada stadium hepatisasi kelabu (2-3 hari), terjadi deposisi fibrin dan degradasi sel
inflamatori, terdapat fibrin dan leukosit PMN di alveoli dan terjadi proses fagositosis yang
cepat, menyebabkan paru berwarna kelabu-coklat sampai kuning karena adanya eksudat
fibrinopurulen, disintegrasi sel darah merah, dan hemosiderin. Stadium akhir adalah resolusi,
dicirikan dengan resorbsi dan restorasi dari arsitektur pulmonal, jumlah makrofag meningkat
di alveoli, sel akan mengalami degenerasi, fibrin menipis, kuman dan debris menghilang
akibat dimakan dan dibuang oleh makrofag alveolar. Konsolidasi ini menyebabkan
penurunan masuknya udara dan pekak pada perkusi; inflamasi pada jalan nafas kecil
menyebabkan rhonki. Sistem bronkopulmoner jaringan paru yang tidak terkena akan tetap
normal. (1,2,3)

Bronkopneumonia, bentukan konsolidasi yang tersebar (patchy consolidation) yang


melibatkan satu atau lebih lobus. Eksudat neutrofilik terpusat di bronki dan bronkiolus,
dengan penyebaran sentrifugal ke alveoli di dekatnya. (2)

Pada pneumonia interstisial, inflamasi patchy atau diffuse yang melibatkan intersisium
dicirikan dengan infiltrasi limfosit dan makrofag. Alveoli tidak berisi eksudat yang signfikan,
tetapi terdapat membran hyalin kaya protein (yang sama dengan yang ditemukan pada
ARDS) yang melapisi ruang alveolar. Superinfeksi bakteri dari pneumonia virus juga dapat
memproduksi pola campuran dari inflamasi alveolar dan interstisial. (2)

Antibiotik yang diberikan sedini mungkin dapat memotong perjalanan penyakit,


sehingga stadium khas yang telah diuraikan sebelumnya tidak terjadi. Beberapa bakteri
tertentu sering menimbulkan gambaran patologis tertentu bila dibandingkan dengan bakteri
lain. Infeksi Streptococcus pneumoniae biasanya bermanifestasi sebagai bercak-bercak
konsolidasi merata di seluruh lapangan paru (bronkopneumonia), dan pada anak besar atau
remaja dapat berupa konsolidasi pada satu lobus (pneumonia lobaris). Pneumatokel atau
abses-abses kecil sering disebabkan oleh Staphylococcus aureus pada neonatus atau bayi
kecil, karena Staphylococcus aureus menghasilkan berbagai toksin dan enzim seperti
hemolisin, lekosidin, stafilokinase, dan koagulase. Toksin dan enzim ini menyebabkan
nekrosis, perdarahan, dan kavitasi. Koagulase berinteraksi dengan faktor plasma dan
menghasilkan bahan aktif yang mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin, sehingga terjadi
eksudat fibrinopurulen. Terdapat korelasi antara produksi koagulase dan virulensi kuman.
Staphylococcus yang tidak menghasilkan koagulase jarang menimbulkan penyakit yang
serius. Pneumatokel dapat menetap hingga berbulan-bulan, tetapi biasanya tidak memerlukan
terapi lebih lanjut. (1)

Anda mungkin juga menyukai