Anda di halaman 1dari 9

PENDEKATAN FORTIFIKASI PANGAN UNTUK MENGATASI MASALAH

KEKURANGAN ZAT GIZIMIKRO

Ir. ALBINER SIAGIAN, Msi

Fakultas Kesehatan Masyarakat


Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN

Kekurangan akan tiga jenis zat gizimikro (micronutrient)-iodium, besi,dan


vitamin A- secara luas menimpa lebih dari sepertiga penduduk dunia. Konsekuensi
serius dari kekuarangan tersebut terhadap individu dan keluarga termasuk
ketidakmampuan belajar secara baik, penurunan produktivitas kerja, kesakitan, dan
bahkan kematian.
Beberapa negara menetapkan target untuk menghilangkan kekurangan zat
gizimikro pada tahun 2000. Tujuan dasar dari semua program-program zat gizi
mikro nasional adalah untuk manjamin bahwa zat gizimikro yang dibutuhkan
tersedia dan dikonsunsi dalam jumlah yang cukup, oleh penduduk (terutama
penduduk yang rentan terhadap kekurangan zat gizimikro tersebut). Strategi-
strategi yang digunakan harus tepat untuk menjawab kebutuhan dan harus
menggunakan sistem dan teknologi yang tersedia. Kombinasi beberapa intervensi
mencakup promosi pemberian ASI, modifikasi makanan (misalnya meningkatkan
ketersediaan pangan dan meningkatkan konsumsi pangan), fortifikasi pangan dan
suplementasi.
Fortifikasi pangan (pangan yang lazim dikonsumsi) dengan zat gizimikro
adalah salah satu strategi utama yang dapat digunakan untuk meningkatkan status
mikronutrien pangan. Fortifikasi harus dipandang sebagai upaya (bagian dari upaya)
untuk memperbaiki kualitas pangan selain dari perbaikan praktek-praktek pertanian
yang baik (good agricultural practices), perbaikan pengolahan dan penyimpangan
pangan (good manufacturing practices), dan memperbaiki pendidikan konsumen
untuk mengadopsi praktek-praktek penyediaan pangan yang baik.

II. MASALAH KEKURANGAN ZAT GIZIMIKRO

Penduduk dunia, dengan proporsi yang signifikan, menderita atau beresiko


terhadap kekurangan vitamin dan mineral, yang biasa dikenal sebagai zat gizimikro.
Asupan yang cukup dan, dan ketersediaan vitamin dan mineral yang esensial secara
erat berkaitan dengan kelangsungan hidup, perkembangan fisik dan mental,
kesehatan yang baik secara umum, dan kesejahteraan menyeluruh dari semua
individu dan masyarakat.
Vitamin A, zat besi dan iodium adalah tiga zat gizimikro utama yang menarik
banyak perhatian, terutama pada dekade terakhir. Alasan-alasan dibalik pem-
fokusan usaha-usaha untuk mengurangi defisiensi ketiga zat gizimikro ini adalah:
- didasarkan pada informasi yang tersedia: kekurangan vitamin A, iodium" dan
anemi gizi besi memiliki prevalensi yang tinggi di dunia dewasa ini;
- informasi yang tersedia sebagai konsekuensi kekurangan zat gizimikro tersebut
terhadap kesehatan fisik dan mental, pendidikan, kapasitas kerja, dan efisiensi
ekonomi;
- meskipun beberapa konsekuensi klinis dari kekurangan zat gizimikro telah lama
diketahui, dimensi global dan spektrum yang luas dari efek dentrimental dari

2003 Digitized by USU digital library 1


kekurangan zat gizimikro yang sedang (mild) terhadap perkembangan fisik dan
mental, mortalitas, dan morbiditas telah diketahui belakangan ini;
- luasnya spketrum kekurangan zat gizimikro ini pada tingkat populasi dapat diukur
secara relatip dengan akurat; dan
- solusi untuk menghilangkan kekurangan zat gizi mikro telah diketahui dan mudah
diimplementasikan dan biayanya relatif murah.
Beberapa studi telah dilakukan untuk mengidentifikasi luasnya cakupan
kekurangan zat gizimikro di negara-negara berkembang. Penyebaran tersebut dapat
dilihat pada Tabel berikut.

Tabel 1. Jumlah populasi yang Beresikoa dan terkena kekurangan Zat Gizimikro
Wilayahb GAKIc KVAd Kekurang zat gizi
Besif atau
GAKI Menderita Penderitae Prevalensi popoulasi terkena anemi
At risk goitre (%)
Afrika 181 86 53 49 206
Amerika 168 63 16,1 20 94
Asia Tenggara 486 176 126,5 69 616
Mediterania Timur 173 93 16,1 22 149
Pasifik Barat 423 141 42,1 27 1.058
Total 1.572 655 254 2.150

Keterangan :
GAKI : ganguan akibat kekurangan Iodium
KVA : Kekurangan Vitamin A
a) Banyak yang tinggal di wilayah yang beresiko terkena GAKI dan banyaknya anak
usia prasekolah yang tinggal di wilayah KVA
b) WHO region
c) sumber WHO (1992)
d) Estimasi menggambarkan hanya data WHO tahun 1994 (sumber:WHO, 1994)
e) Populasi yang menderita defisiensi sub klinis berat dan sedang
f) Hanya untuk anak usia prasekolah (Sumber WHO, 1992,1994)
g) Temasuk cina

III. PENGHAPUSAN KEKURANGAN ZAT GIZI MIKR0 DAN PELUANG:


MENINGKATKAN KUALITAS HIDUP

Kekurangan zat gizi mikro esensial mengakibatkan ketidakmampuan belajar


dengan baik, keterlambatan mental, kesehatan yang buruk, kapasitas kerja yang
rendah, kebutaan, dan kematian yang prematur. Hal ini mengakibatkan kehilangan
potensi sosial ekonomi dari masyarakat. Menurut publikasi Bank Dunia (World Bank,
1994), Kekurangan vitamin A, iodium, dan besi dapat menghabiskan 5% dari produk
domestik bruto (PDR) suatu negara (bandingkan dengan hanya 0.3% PDR untuk
penanggulangannya).
Pertemuan para pemimpin negara pada Woeld Summit for Children di New
York menetapkan tujuan spesifik dari program penghilangan kekurangan zat
gizimikro, yaitu:
- penghapusan yang sesunggulmya kekurangan iodium, vitamin A, dan
- pengurangan anemi gizi besi pada wanita sebesar 1/3 dari tahun 1990

2003 Digitized by USU digital library 2


3.1. Strategi Intervensi dan Penerapannya
Strategi intervensi utama pada kekurangan Zat gizimikro adalah:
- suplementasi langsung pada masyarakat rentan atau kelompok masyarakat
tertentu dengan suplemen zat gizimikro,
- perbaikan makanan/pangan, dan
- fortifikasi pangan yang lazim dikonsumsi (common foods) dengan zat gizimikro.
Intervensi ini memperlihatkan 2 (dua) pendekatan utama terhadap perbaikan
masalah kekurangan zat gizimikro: suplementasi dengan 'pharmacological
preparations' -intervensi yang berbasiskan medis, dan fortifikasi pangan/perbaikan
makanan, yang menggunakan pendekatan-pendekatan yang berbasiskan pangan
untuk mengatasi masalah kekurangan zat gizimikro. Dalam beberapa kasus, tujuan
pokok dari semua strategi ini adalah untuk meningkatkan status zat gizimikro pada
individu, komunitas, dan penduduk yang mengalami kekurangan zat gizimikro.
Perbaikan pangan/makanan dimaksudkan untuk meningkatkan ketersediaan
(availability) makanan, akses reguler, dan konsumsi pangan yang kaya vitamin dan
minerai pada kelompok beresiko dan kelompok yang defisien di negara-negara
berkembang.
Fortifikasi pangan dengan zat gizimikro diketahui telah banyak berperan
dalam penghilangan kekurangan vtamin dan mineral di negara-negara maju seperti
Kanada, Swiss, Inggris, dan Amerika Serikat. Fortifikasi margarin dengan vitamin D
berperan untuk menghilangkan ricket di Jnggris, Kanada, dan Eropa Utara. Fortifikasi
tepung terigu dengan besi di Swedia, dan Amerika Serikat menurunkan prevalensi
penderita anemi gizi besi secara dramatis. Iodisasi garam, yang dimulai sejak tahun
1922, menunjukan hasil yang spektakuler (Burgi et al, 1990). Fortifikasi pangan
komersial terutama sekali menarik karena, jika dilakukan pada pangan yang tepat,
cakupan yang luas akan terjamin. Tabel 2. merangkum beberapa keuntungan
fortifikasi dibandingkan dengan suplementasi dosis tinggi.

Tabel 2. Keuntungan Fortifikasi Pangan Dibanding Dengan Suplementasi Dosis


tinggi
Suplementasi Fortifikasi
Keefektifan Efektif untuk jangka panjang Efektif untuk jangka
menegah dan panjang
Delivery requirement Sistim hearth delivery yang Panagan pembawa(foo
efektif vehicle) yang cocok dan
fasilitas pengolahan yang
terorganisir
Cukupan Hanya menjangakau populasi Menjangkau semua segmen
yang mendapat pelayanan dari populasi sasaran
Kerelaan (compliance) Memerlukan motivasi yang Tidak memerlukan kerja
berkelanjutan dari partisipan sama yang intensif dan
kerelaan pribadi masing-
masing individu
Biaya pemeliharaan Relatig membutuhkan biaya Biaya rendah
yang tinggi
Sumberdaya eksternal Dukungan ekternal Teknologi yang memadai
dibutuhkan untuk memproleh tersedia dan mudah
suplemen ditranfer

Kesinambungan Tergantung kepada kemauan Fortifikan (senyawa


(sustainibility) dan sumberdaya yang ada fortifikasi )mungkin perlu
diimpor

2003 Digitized by USU digital library 3


IV. GANGGUAN AKIBAT KEKURANGANZA T GIZI MIKRO

4.1. Gangguan Akibat Kekurangan Iodium


Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI) mungkin merupakan penyakit
yang terkait dengan gizi yang pertama dikenal manusia. Efek dari kekurangan
iodium dalam bentuk goitre dan kekerdilan serta penanganannya lewat zat gizi
(dietary treatment) juga sudah diketahui sejak zaman nenek moyang dulu. Kelenjar
tiroid memerlukan iodium untuk menghasilkan hormon, akan membesar pada
penderita kekurangan iodium akan mengakibatkan goitre (pembengkakan gondok).
Kelainan ini dikenal sebagai tanda-tanda kekurangan iodium. Goitre, bagaimanapun
hanya salah satuindikasi, dan ada banyak defisien yang mungkin telah terjadi
(mulai) sebelum kelahiran. Bayi yang lahir dari ibu yang menderita kekurangan
iodium, jika mereka hidup, akan kerdil dengan umur harapan hidup (UHH) yang
rendah, retardasi fisik dan mental, dan tuli atan bisu atan kejang, tergantung kepada
derajat kekurangannya. Kekurangan iodium adalah penyebab yang paling umum dari
penyakit retardasi mental.
Dewasa ini sekitar 1,6 milyar penduduk dunia tinggal di wilayah dengan
kondisi tanah yang kandungan iodiumnya rendah. Kira-kira 655 juta menderita
goitre, dimana 43 juta diantaranya menderita kerusakan mental pada berbagai
tingkatan dengan 6 juta orang menderita kekerdilan. Lebih dari setengah orang yang
menderita tersebut tinggai di India dan China. Sejauh ini, penyebab utama GAKI
adalah kandungan iodium yang rendah dari tanah dan lingkungan lokal.
GAKI berbeda dari penyakit kekurangan zat gizimikro yang lain dalam hal
penyebabnya. Gaki lebih diakibatkan oleh kondisi geologis dibandingkan dengan
kondisi sosial-ekonomi. Dampak GAKI dapat lebih buruk apabila dikombinasikan
dengan kemiskinan, malagizi umum, dan buruknya sanitasi.

4.2. Defisiensi Zat Gizi Besi (Anemi Besi)


Anemi Besi adalah penyakit kekurangan zat besi yang paling lazim di dunia
mencangkup setengah dari semua jenis penyakit anemia. Menurut WHO, lebih dari 2
milyar penduduk dunia beresiko anemia besi atan menderita berbagai bentuk anemia
besi. Hampir setengah dari populasi wanita dan anak-anak di negara berkembang
menderita anemia. Anak-anak penderita anemia besi menderita gangguan
perkembangan fisik dan mental. Wanita hamil dan bayi yang menderita anemia besi
akan mengalami pengurangan yang nyata akam kemampuannya melawan infeksi.
Anemia Besi pada dewasa menyebabkan kelelahan dan berdampak pada rendahnya
kapasitas Iproduktivitas kerja. Lebih jauh lagi, defisiensi besi (dalam hal simpanan
zat besi dalam tubuh) dapat terjadi tanpa anemia klinis.
Zat gizi besi ditemukan pada pangan produk hewani, sayuran, biji-bijian/padi-
padian, dan tumbuhan. Daging mengandung zat besi yang siap untuk diserap, akan
tetapi zat besi yang bersumber dari sayuran-sayuran (nabati) hanya sedikit yang
terserap. Abssorsi zat besi dapat ditingkatkan apabila makanan (menu) mengandung
daging dan kaya vitamin C dikonsumsi bersamaan.
Penyebab utama anemia besi adalah bioavailasilitas yang rendah dari zat-zat
besi dari pangan yang berbasis sereal dan polongan-polongan yang selanjutnya
buruknya penyerapan zat gizi besi dari makanan. Status zat gizi besi penduduk
(masyarakat) dapat ditingkatkan dengan cara memodifikasi kebiasaan pangan dan
penyerapan teknik pengolahan pangan yang tepat.

4.3. Defisiensi Vitamin A


Defisiensi vitamin A telah lama dikenal sebagai penyakit terkait gizi yang
serius, tetapi sejauhmana populasi telah terkena dan implikasinya bagi kesehatan
dan kelangsungan hidup baru disadari belakangan. Penelitian dasar secara

2003 Digitized by USU digital library 4


menyakinkan memperlihatkan efek biologis dari defisiensi vitamin A. Defisiensi
vitamin A awalnya merupakan ancaman yang tidak kelihatan, yang apabila tidak
ditangani dapat merampas penglihatan seseorang (anak-anak). Dampak selanjutnya
adalah ketika mereka tidak lagi bisa melihat pada cahaya yang suram dan akan
menderita akan apa yang disebut night blindness (buta senja) atau xerophthalmia.
Apabila penderitaan terns berlanjut conjangtiva dan cornea mata menjadi
kuning) kemudian muncul bercorak pada cornea dan selanjutnya berakibat pada
kebutaan yang permanen.
Kekurangan vitamin A juga meningkatkan resiko terkena penyakit yang lazim
pada anak-anak, misainya campak, infeksi saluran pernafasan, dan penyakit diare.
Anak- anak dengan status vitamin A yang cukup atau mereka yang mendapatkan
vitamin A memiliki sistim kekebalan yang diperlengkapi untuk menghadapi
permasalahan yang berkaitan dengan penyakit-penyakit seperti campak.
Kekurangan vitamin A terjadi di lebih dari 60 negara, pada tingkat klinis
dan/atau subklinis. Didasarkan pada data yang tersedia yang di proyeksikan untuk
menggabaikan kondisi tahun 1994, perkiraan global jumlah anak-anak usia 0-4
tahun yang secara teknis menderita akibat kekurangan vitamin A adalah 251 juta
jiwa (WHO) 1995). Maka paling sedikit 2543 juta anak-anak usia prasekolah sudah
pada keadaan beresiko. kekurangan vitamin A adalah penyebab kebutaan global
yang kedua terbesar setelah katarak.
Penyebab utama kekurangan vitamin A adalah asupan zat gizi vitamin A
(preformed retinol) atau prekursor vitamin A yang tidak mencakupi peningkatan
kebutuhan vitamin A pada kondisi fisiologis dan patologis tertentu, penyerapan yang
kurang kehilangan karena diare sering merupakan penyebab kekurangan vitamin A.

V. MENGEMBANGKAN PROGRAM FORTIFIKASI PANGAN

5.1. Dasar pemikiran dan Tujuan


Fortifikasi pangan adalah penambahan satan atan lebih zat gizi (nutrien)
kepangan. Tujuan utama adalah untuk meningkatkan tingkat konsumsi dari zat gizi
yang ditambahkan untuk meningkatkan status gizi populasi. harus diperhatikan
bahwa peran pokok dari fortifikasi pangan adalah pencegahan detisiensi: dengan
demikian menghindari terjadinya gangguan yang membawa kepada penderitaan
manusia dan kerugian sosio ekonomis. Namun demikian, fortitkasi pangan juga
digunakan untuk menghapus dan mengendalikan defisiensi zat gizi dan gangguan
yang diakibatkannya.
Untuk menggambarkan proses penambahan zat gizi ke pangan, istilah-istilah
lain seperti enrichment (pengkayaan), nutrification (Harris, 1968) atan restoration
telah saling dipertukarkan, meskipun masing-masing mengimplikasikan tindakan
spesifik. Fortifikasi mengacu kepada penambahan zat-zat gizi pada taraf yang lebih
tinggi dari pada yang ditemukan pada pangan asal/awal atau pangan sebanding.
Enrichment biasanya mengacu kepada penambahan satu atan lebih zat gizi
pada pangan asal pada taraf yang ditetapkan dalam standar intemasional (indentitas
pangan). Restoration mengacu kepada penggantian zat gizi yang hilang selama
proses pengolahan, dan nutrification berarti membuat campuran makanan atan
pangan lebih bergizi. Menurut Banernfeind (1994) istilah nutrification lebih spesifik
terhadap ilmu gizi, sementara semua istilah-istilah yang lain diadopsi dari disiplin
dan aplikasi lain.
The Joint Food and Agricuktural Organization World Health Organization
(FAOIWO) Expert Commitee on Nutrition (FAO/WHO, 1971) menganggap istilah
fortification paling tepat menggambarkan proses dimana zat gizi makro dan zat gizi
mikro ditambahkan kepada pangan yang dikonsumsi secara umum. Untuk

2003 Digitized by USU digital library 5


mempertahankan dan untuk memperbaiki kualitas gizi, masing-masing ditambahkan
kepada pangan atau campuran pangan.
Istilah double fortijication dan multiple fortification digunakan apabila 2 atau
lebih zat gizi, masing-masing ditambahkan kepada pangan atan campuran pangan.
Pangan pembawa zat gizi yang ditambahkan disebut Vehicle', sementara zat gizi
yang ditambahkan disebut 'Fortificant '.
Secara umum fortifikasi pangan dapat diterapkan untuk tujuan-tujuan
berikut:
Untuk memperbaiki kekurangan zat-zat dari pangan (untuk memperbaiki
defisiensi akan zat gizi yang ditambahkan).
Untuk mengembalikan zat-zat yang awalnya terdapat dalam jumlah yang
siquifikan dalam pangan akan tetapi mengalami kehilangan selama
pengolahan.
Untuk meningkatkan kualitas gizi dari produk pangan olahan (pabrik) yang
digunakan sebagai sumber pangan bergizi misal : susu formula bayi.
Untuk menjamin equivalensi gizi dari produk pangan olahan yang
menggantikan pangan lain, misalnya margarin yang difortifikasi sebagai
pengganti mentega .

Langkah-langkah pengembangan program fortifikasi pangan, antara lain


adalah:
1. Menentukan prevalensi defisiensi mikronutrien
2. Segmen populasi (menentukan segmen)
3. Tentukan asupan mikronutrien dari survey makanan
4. Dapatkan data konsumsi untuk pengan pembawa (vehicle) yang potensial
5. Tentukan availabilitas mikronutrien dari jenis pangan
6. Mencari dukungan pemerintah (pembuat kebijakan dan peraturan)
7. Mencari dukungan industri pangan
8. Mengukur (Asses) status pangan pembawa potensial dan cabang industri
pengolahan(termasuk suplai bahan baku dan penjualan produk)
9. Memilih jenis dan jumlah fortifikasi dan campurannya
10. Kembangkan teknologi fortifikasi
11. Lakukan studi pada interaksi, potensi stabilitas, penyimpangan dan kualitas
organoleptik dari produk fortifikasi.
12. Tentukan bioavailabilitas dari pangan hasil fortifikasi
13. Lakukan pengujian lapangan untuk menentukan efficacy dan kefektifan
14. Kembangkan standar-standar untuk pangan hasil fortifiksi
15. Defenisikan produk akhir dan keperluan-keperluan penyerapan dan pelabelan
16. Kembangkan peraturan-peraturan untuk mandatory compliance
17. Promosikan (kembangkan) untuk meningkatkan keterterimaan oleh konsumen.

5.2. Fortifikasi Yodium


Defisiensi Yodium dihasilkan dari kondisi geologis yang irreversiber itu
sebabnya, penganekaragaman makanan dengan menggunakan pangan yang tumbuh
di daerah dengan tipe tanah dengan menggunakan pangan yang sama tidak dapat
meningkatkan asupan Yodium oleh individu ataupun komunitas. Diantara strategi-
strategi untuk penghampusan GAKI, pendekatan jangka panjang adalah fortifikasi
pangan dengan Yodium.
Sampai tahun 60an, beberapa cara suplementasi yodium dalam dies yang
telah diusulkan berbagai jenis pangan pembawa seperti garam, roti, susu, gula, dan
air tela dicoba Iodisasi garam menjadi metode yang paling umum yang diterima di
kebanyakan negara di dunia sebab garam digunakan secara luas dan serangan oleh
seluruh lapisan masyarakat. Prosesnya adalah sederhana dan tidak mahal. fortifikasi

2003 Digitized by USU digital library 6


yang biasa digunakan adalah Kalium Yodida (KI) dan Kalium Iodat (KID3). Iodat
lebih stabil dalam 'impure salt' pada penyerapan dan kondisi lingkungan
(kelembaban) yang buruk penambahan tidak menambah warna, penambahan dan
rasa garam. Negara-negara yang dengan program iodisasi garam yang efektif
memperlihatkan pengurangan yang berkesinambungan akan prevalensi GAKI.

5.3. Fortifikasi Besi


Dibandingkan dengan strategi lain yang digunakan untuk perbaikan anemi
gizi besi, fortifikasi zat gizi besi dipandang oleh beberapa peneliti merupakan strategi
termurah untuk memulai, mempertahankan, mencapai/mencakup jumlah populasi
yang terbesar, dan menjamin pendekatanjangka panjang (Cook and Reuser, 1983).
Fortifikasi Zat besi tidak menyebabkan efek samping pada saluran pencernaan. Inilah
keuntungan pokok dalam hal keterterimaannya oleh konsumen dan pemasaran
produk-produk yang diperkaya dengan besi.
Penetapan target penerima fortifikasi zat besi, yaitu mereka yang rentan
defisie zat besi, merupakan strategi yang aman dan efektif untuk mengatasi masalah
anemi besi (Ballot, 1989). Pilihan pendekatan ditentukan oleh prevalensi dan
beratnya kekurangan zat besi (INAAG, 1977). Tahapan kritis dalam perencanaan
program fortifikasi besi adalah pemilihan senyawa besi yang dapat diterima dan
dapat diserap (Cook and Reuser, 1983). Harus diperhatikan bahwa wanita hamil
membutuhkan zat besi sangat besar selama akhir trimester kedua kehamilan.
Terdapat beberapa iortifikan yang umum digunakan untuk fortifikasi besi
seperti besi sulfat besi glukonat, besi laktat, besi ammonium sulfat, dan lain-lain.

5.4. Fortifikasi Vitamin A


Fortifikasi pangan dengan vitamin A memegang peranan penting untuk
mengatasi problem kekurangan vitamin A dengan menjembatani jurang antara
asupan vitamin A dengan kebutuhannya. Fortifikasi dengan vitamin A adalah strategi
jangka panjang untuk mempertahankan kecukupan vitamin A.
Kebanyakan vitamin yang diproduksi secara komersial (secara kimia) identik
dengan vitamin yang terdapat secara alami dalam bahan makanan. Vitamin yang
larut dalam lemak (seperti vitamin A) biasanya tersedia dalam bentuk larutan
minyak (oil solution), emulsi atau kering, keadaan yang stabil yang dapat
disatukan/digabungkan dengan campuran multivitamin-mineral atau secara langsung
ditambahkan ke pangan.
Bentuk komersial yang paling penting dari vitamin A adalah vitamin A asetat
dan vitamin A palmitat. Vitamin A dalam bentuk retionol atau karoten (sebagai
beta-karoten dan beta-apo-8 karotenal) dapat dibuat secara komersial untuk
ditambahkan ke pangan. Pangan pembawa seperti gula, lemak, dan minyak, garam,
the, sereal, dan monosodium glutamat (MSG) telah (dapat) difortifikasi oleh vitamin
A.

VI. PERAN INDUSTRI DALAM PROGRAM FORTIFIKASI


Industri pangan/makanan memegang peranan kunci dalam setiap program
fortifikasi di setiap negara Kekurangan zat gizimikro adalah problem kesehatan
masyarakat. Beberapa aspek program fortifikasi pangan, bagaimanapun, seperti
penentuan prevalensi kekurangan, pemilihan intervensi yang tepat, penghitungan
taraf asupan makanan (zat gizi), konsumsi pangan pembawa sehari-hari dan
fortifikan yang akan ditambahkan, dan juga teknologinya (pengembangan teknologi),
harus dievaluasi oleh otoritas ilmu pengetahuan di bidang kesehatan masyarakat dan
pertanian, dan yang lainnya.

2003 Digitized by USU digital library 7


Pelaksanaan fortifikasi pangan, bagaimanapun, harus dijalankan oleh industri
pangan/makanan. Akan tetapi, dalam banyak kasus departemen kesehtan sering
tidak dapat atau mau mengendalikan dan memotivasi industri.
Umumnya pemerintah tidak melakukan sendiri fortifikasi pangan. Hal ini
adalah tugas/tanggungjawab dari perusahaan pengolahan makanan. Pegawai
pemerintah harus bertindak sebagai penasehat, konsultan, koordinator, dan
supervisor yang memungkinkan industri pangan/makanan melaksanakan fortifikasi
pangan secara efektif dan menguntungkan.
lndustri pangan/makanan juga dapat memainkan peranan yang nyata dalam
strategi fortifikasi jangka panjang melalui penyediaan tenik preservation yang
dikembangkan dan melalui peningkatan (promosi) pangan yang kaya zat gizimikro
yang tersedia secara lokal atau sebagai fortifikan.
Spesifiknya, industri pangan (baik nasional manpun multinasional) perlu
untuk:
- berpartisipasi sejak permulaam perencanaan program, yang akan menetapkan
strategi fortifikasi yang layak,
- mengidentifikasi mekanisme untuk kolaborasi antara pemerintah, industri pangan
dan sistem pemasarannya, dan organisasi non pemerintah dan perwakilan donor,
- membantu dalam mengidentifikasi pangan pembawa dan fortifikan yang sesuai,
- menetapkan dan mengembangkan sistem jaminan mutu (quality assurance
system),
- berpatisipasi dalam dukungan-dukungan promosi dan edukasi untuk mencapai
populasi sasaran.
Kondisi-kondisi yang perlu untuk suksesnya program fortifikasi, antara lain
adalah:
- dukungan politik,
- dukungan industri,
- perangkat legislasi yang cukup termasuk pengendalian kualitas eksternal,
- tingkat (taraf) fortifikasi yang tepat,
- bioavailibilitas yang baik dari campuran,
- tidak ada efek penghambat dari makanan asal (common diet),
- pelatihan sumber daya manusia pada tingkat industri dan pemasaran ,
- akseptibilitas (keterimaan) konsumen,
- tidak ada penolakan secara kultural (dan yang lain) terhadap pangan hasil
fortifikasi,
- penilaian laboratoris yang cukup (memadai) untuk status zat gizimikro,
- dalam kasus kekurangan gizi besi, ketidakhadiran paratisme dan nondiit lain
yang menyebabkan anemi, dan,
- tidak ada kendala yang menyangkut usaha untuk mendapatkan gizimikro.

2003 Digitized by USU digital library 8


DAFTAR PUSTAKA

Bauernd, JC. 1994. Nutrification of Foods. In Shils, MD.; Olsm, JA.; Shike, M. Ed.
Modern nutrition in health an disease. Lea and Febiger, 8th Edition, Chaper

Burgi, H.; Supersaxo, Z.; Selz, B. 1990. Iodine deficiency diseases in Switernland
one hundred years after Theatre Kocher's survey: A historical review with some
new goitre prevalence data. Acta Endocrinologica. Copenhagen.

Harris, RS. 1968. Attitudes and approaches to supplementation offoods with


nutrients. J. Agr. Food Chern. 16(2), 149-152.

INNAG. 1993. Iron EDTA for food fortifikation. A report of the INAAG. Wahongton,
DC. USA.

WHO. 1995. Global prevalence of vitamin A deficiency. WHO Micronutrient Deficiency


Onformation Systems: Working Paper Number 2. WHO, Geneva, Switzernland.

WHO. 1994. Indicator for assesing iodine deficiency disorders and their controll
through salt iodization. WHO/UNICEF/ICCIDD.Doc. WHO, Geneva, Switzernland.

WHO. 1992. National strategies for overcoming micronutrient malnutrition EB89/27.


45th World Health Assembly Provisional Agenda Item 21; WHO, Geneva,
Switzernland.

World Banka. 1994. Enriching Lives. Overcoming vitamin A and mineral malnutrition
in developing countries. The World Bank. DC, USA.

2003 Digitized by USU digital library 9

Anda mungkin juga menyukai