ASUHAN KEPERAWATAN
GANGGUAN FUNGSI EMPEDU
Disusun Oleh :
Kelompok 15
FAKULTAS KEDOKTERAN
2017
BAB I
LATAR BELAKANG
Adaptasi masyarakat terhadap kondisi dan lingkungan membuat masyarakat mengubah perilaku
dan gaya hidup mereka. Salah satu perubahan perilaku dan gaya hidup yang dilakukan oleh masyarakat
adalah terkait kebiasaan dalam mengkonsumsi makanan cepat saji, berlemak, dan berkolesterol.
Makanan yang berlemak dan berkolesterol dapat menimbulkan berbagai macam penyakit yang
berhubungan dengan gangguan fungsi empedu. Berbagai macam masalah yang berkaitan dengan
gangguan fungsi empedu salah satunya Kolelitiasis atau dikenal sebagai penyakit batu empedu
merupakan penyakit yang di dalamnya terdapat batu empedu yang dapat ditemukan di dalam kandung
empedu atau di dalam saluran empedu atau pada kedua-duanya.
Mowat (1987) dalam Gustawan (2007) mengatakan kolelitiasis adalah material atau kristal tidak
berbentuk yang terbentuk dalam kandung empedu. Komposisi dari batu empedu merupakan campuran
dari kolesterol, pigmen empedu, kalsium dan matriks inorganik (Gustawan, 2007). Kandung empedu
merupakan sebuah kantung yang terletak di bawah hati yang mengkonsentrasikan dan menyimpan
empedu sampai dilepaskan ke dalam usus. Fungsi dari empedu sendiri sebagai ekskretorik seperti
ekskresi bilirubin dan sebagai pembantu proses pencernaan melalui emulsifikasi lemak oleh garam-
garam empedu (Smeltzer dan Bare, 2002).
Selain membantu proses pencernaan dan penyerapan lemak, empedu juga berperan dalam
membantu metabolisme dan pembuangan limbah dari tubuh, seperti pembuangan hemoglobin yang
berasal dari penghancuran sel darah merah dan kelebihan Analisis praktik, (Sandra Amelia, FIK UI, 2013
2 Universitas Indonesia kolesterol). Garam empedu membantu proses penyerapan dengan cara
meningkatkan kelarutan kolesterol, lemak, dan vitamin yang larut dalam lemak.
TUJUAN PEMBELAJARAN
PEMBAHASAN
Ada dua tipe utama batu empedu yaitu batu yang terutama tersusun dari pigmen dan batu
terutama yang tersusun dari kolesterol (Smeltzer dan Bare, 2002). Komposisi dari batu empedu
merupakan campuran dari kolesterol, pigmen empedu, kalsium dan matriks inorganik (Gustawan, 2007).
a) Batu kolesterol
Batu kolesterol mengandung lebih dari 50% kolesterol dari seluruh beratnya, sisanya terdiri dari
protein dan garam kalsium. Batu kolesterol sering mengandung kristal kolesterol dan musin
glikoprotein. Kristal kolesterol yang murni biasanya agak lunak dan adanya protein
menyebabkan konsistensi batu empedu menjadi lebih keras (Gustawan, 2007). Batu kolesterol
terjadi karena konsentrasi kolesterol di dalam cairan empedu tinggi. Ini akibat dari kolesterol di
dalam darah cukup tinggi. Jika kolesterol dalam kandung empedu tinggi, pengendapan akan
terjadi dan lama kelamaan menjadi batu. Kolesterol yang merupakan unsur normal pembentuk
empedu bersifat tidak larut dalam air. Kelarutannya bergantung pada asam-asam empedu dan
lesitin (fosfolipid) dalam empedu. Pada pasien yang cenderung menderita batu empedu akan
terjadi penurunan sintesis asam empedu dan peningkatan sintesis kolesterol dalam hati;
keadaan ini mengakibatkan supersaturasi getah empedu oleh kolesterol yang kemudian keluar
dari getah empedu, mengendap dan membentuk batu. Getah empedu yang jenuh oleh
kolesterol merupakan predisposisi untuk timbulnya batu empedu dan berperan sebagai iritan
yang menyebabkan peradangan dalam kandung empedu (Smeltzer dan Bare, 2002).
b) Batu Pigmen
Batu pigmen merupakan campuran dari garam kalsium yang tidak larut, terdiri dari kalsium
bilirubinat, kalsium fosfat, dan kalsium karbonat. Kolesterol terdapat dalam batu pigmen dalam
jumlah yang kecil yaitu 10% dalam batu pigmen hitam dan 10- 30% dalam batu pigmen coklat.
Batu pigmen dibedakan menjadi dua yaitu batu pigmen hitam dan batu pigmen coklat,
keduanya mengandung garam kalsium dari bilirubin. Batu pigmen hitam mengandung polimer
dari bilirubin dengan musin glikoprotein dalam jumlah besar, sedangkan batu pigmen coklat
mengandung garam kalsium dengan sejumlah protein dan kolesterol yang bervariasi. Batu
pigmen hitam umumnya dijumpai pada pasien sirosis atau penyakit hemolitik kronik seperti
thalasemia dan anemia sel sikle. Batu pigmen coklat sering dihubungkan dengan kejadian infeksi
(Gustawan, 2007). Batu pigmen akan terbentuk bila pigmen takterkonyugasi dalam empedu
mengadakan presipitasi (pengendapan) sehingga terjadi batu (Smeltzer dan Bare, 2002).
dapat dilakukan jika terdapat kecurigaan akan penyakit kandung empedu dan untuk menyingkirkan
penyebab gejala yang lain. Namun, hanya 15-20% batu empedu yang mengalami cukup kalsifikasi
untuk dapat tampak melalui pemeriksaan sinar-x.
b. Ultrasonografi,
pemeriksaan USG telah menggantikan pemeriksaan kolesistografi oral karena dapat dilakukan
secara cepat dan akurat, dan dapat dilakukan pada penderita disfungsi hati dan ikterus.
Pemeriksaan USG dapat mendeteksi kalkuli dalam kandungempedu atau duktus koledokus yang
mengalami dilatasi.
Koleskintografi menggunakan preparat radioaktif yang disuntikkan secara intravena. Preparat ini
kemudian diambil oleh hepatosit dan dengan cepat diekskresikan ke dalam sistem bilier. Selanjutnya
dilakukan pemindaian saluran empedu untuk mendapatkan gambar kandung empedu dan
percabangan bilier.
pemeriksaan ini meliputi insersi endoskop serat-optik yang fleksibel ke dalam esofagus
hinggamencapai duodenum pars desendens. Sebuah kanul dimasukkan ke dalam duktus koledokus
serta duktus pankreatikus, kemudian bahan kontras disuntikkan ke dalam duktus tersebut untuk
memungkinkan visualisasi serta evaluasi percabangan bilier. ERCP juga memungkinkan visualisasi
langsung struktur bilier dan memudahkan akses ke dalam duktus koledokus bagian distal untuk
mengambil empedu.
pemeriksaan dengan cara menyuntikkan bahan kontras langsung ke dalam percabangan bilier.
Karena konsentrasi bahan kontras yang disuntikkan itu relatif besar, maka semua komponen pada
sistem bilier (duktus hepatikus, duktus koledokus, duktus sistikus dan kandung empedu) dapat
dilihat garis bentuknya dengan jelas.
merupakan teknik pencitraan dengan gema magnet tanpa menggunakan zat kontras, instrumen,
dan radiasi ion. Pada MRCP saluran empedu akan terlihat sebagai struktur yang terang karena
mempunyai intensitas sinyal tinggi, sedangkan batu saluran empedu akan terlihat sebagai intensitas
sinyal rendah yang dikrelilingi empedu dengan intensitas sinyal tinngi, sehingga metode ini cocok
untuk mendiagnosis batu saluran empedu. (Lesmana, 2006).
2. Patogenesis batu pigmen melibatkan infeksi saluran empedu, stasis empedu, malnutrisi, dan
faktor diet. Kelebihan aktivitas enzim -glucuronidase bakteri dan manusia (endogen)
memegang peran kunci dalam patogenesis batu pigmen pada pasien dinegara Timur. Hidrolisis
bilirubin oleh enzim tersebut akan membentuk bilirubin tak terkonjugasi yang akan mengendap
sebagaicalcium bilirubinate. enzim -glucuronidase bakteri berasal kuman E.coli dan kuman
lainnya di saluran empedu. Enzim ini dapat dihambat glucarolactone yang kadarnya meningkat
pada pasien dengan diet rendah protein dan rendah lemak (Lesmana, 2006).
3. Patogenesis batu pigmen hitam banyak dijumpai pada pasien-pasien sirosis, penyakit hemolitik
seperti thalasemia dan anemia sel sikle. Batu pigmen hitam terjadi akibat melimpahnya bilirubin
tak terkonyugasi dalam cairan empedu. Peningkatan ini disebabkan karena peningkatan sekresi
bilirubin akibat hemolisis, proses konjugasi bilirubin yang tidak sempurna (penyakit sirosis hati)
dan proses dekonjugasi. Bilirubin tak terkonjugasi ini kemudian membentuk kompleks dengan
ion kalsium bebas membentuk kalsium bilirubinat yang mempunyai sifat sangat tidak larut.
Proses adifikasi yang tidak sempurna menyebabkan peningkatan pH, dan keadaan ini
merangsang pembentukan garam kalsium. Kalsium bilirubinat yang terbentuk terikat dengan
musin tertahan di kandung empedu. Hal ini sebagai awal proses terbentuknya batu (Gustawan,
2007).
4. Patogenesis batu pigmen coklat umumnya terbentuk dalam duktus biliaris yang terinfeksi. Batu
pigmen coklat mengandung lebih banyak kolesterol dibanding batu pigmen hitam, karena
terbentuknya batu mengandung empedu dan kolesterol yang sangat jenuh. Garam asam lemak
merupakan komponen penting dalam batu pigmen coklat. Palmitat dan stearat yang merupakan
komponen utama garam tersebut tidak dijumpai bebas dalam empedu normal, dan biasanya
diproduksi oleh bakteri. Kondisi stasis dan infeksi memudahkan pembentukan batu pigmen
coklat (Gustawan, 2007).
Dalam keadaan infeksi kronis dan stasis empedu dalam saluran empedu, bakteri memproduksi
enzim -glucuronidase yang kemudian memecah bilirubin glukoronida menjadi bilirubin tak
terkonjugasi. Bakteri juga memproduksi phospholipase A-1 dan enzim hidrolase garam empedu.
Phospholipase A-1 mengubah lesitin menjadi asam lemak jenuh dan enzim hidrolase garam empedu
mengubah garam empedu menjadi asam empedu bebas. Produk-produk tersebut kemudian
mengadakan ikatan dengan kalsium membentuk suatu garam kalsium. Garam kalsium bilirubinat, garam
kalsium dari asam lemak (palmitat dan stearat) dan kolesterol membentuk suatu batu lunak. Bakteri
berperan dalam proses adhesi dari pigmen bilirubin (Gustawan, 2007)
G. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik pada pasien kolelitiasis sangat bervariasi, ada yang mengalami gejala
asimptomatik dan gejala simptomatik. Pasien kolelitiasis dapat mengalami dua jenis gejala:
gejala yang disebabkan oleh penyakit kandung empedu itu sendiri dan gejala yang terjadi akibat
obstruksi pada jalan perlintasan empedu oleh batu empedu.
Gejalanya bisa bersifat akut atau kronis. Gangguan epigastrium, seperti rasa penuh, distensi
abdomen dan nyeri yang samar pada kuadran kanan atas abdomen dapat terjadi. Gangguan ini dapat
terjadi bila individu mengkonsumsi makanan yang berlemak atau yang digoreng (Smeltzer dan Bare,
2002)
Gejala yang mungkin timbul pada pasien kolelitiasis adalah nyeri dan kolik bilier, ikterus, perubahan
warna urin dan feses dan defisiensi vitamin. Pada pasien yang mengalami nyeri dan kolik bilier
disebabkan karena adanya obstruksi pada duktus sistikus yang tersumbat oleh batu empedu sehingga
terjadi distensi dan menimbulkan infeksi. Kolik bilier tersebut disertai nyeri hebat pada abdomen
kuadran kanan atas, pasien akan mengalami mual dan muntah dalam beberapa jam sesudah
mengkonsumsi makanan dalam posi besar.
Gejala kedua yang dijumpai pada pasien kolelitiasis ialah ikterus yang biasanya terjadi pada
obstruksi duktus koledokus. Salah satu gejala khas dari obstruksi pengaliran getah empedu ke dalam
duodenum yaitu penyerapan empedu oleh darah yang membuat kulit dan membran mukosa berwarna
kuning sehingga terasa gatal-gatal di kulit.
Gejala selanjutnya terlihat dari warna urin yang berwarna sangat gelap dan feses yang tampak
kelabu dan pekat.
Kemudian gejala terakhir terjadinya defisiensi vitamin atau terganggunya proses penyerapan
vitamin A, D, E dan K karena obstruksi aliran empedu, contohnya defisiensi vitamin K dapat
menghambat proses pembekuan darah yang normal. (Smeltzer dan Bare, 2002)
1.Pengkajian
2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan obstruksi / spasmeduktus, proses inflamasi, iskemia
jaringan / nekrosis
Tujuan : Nyeri terkontrol, teradaptasi
Kriteria hasil :
- penurunan respon terhadap nyeri (ekspresi)
- laporan nyeri terkontrol
Rencana intervensi :
1) observasi catat lokasi, tingkat dan karakter nyeri
Rasional: membantu mengidentifikasi nyeri dan memberi informasi tentang
terjadinya perkembangannya
2) Catat respon terhadap obat nyeri
Rasional: nyeri berat yang tidak hilang dengan tindakan rutin dapat menunjukkan
terjadinya komplikasi.
3) Tingkatkan tirah baring (fowler) / posisi yang nyaman
Rasional :posisi fowler menurunkan tekanan-tekanan intra abdominal.
4) Ajarkan teknik relaksasi (nafas dalam)
Rasional : meningkatkan istirahat dan koping
5) Ciptakan lingkungan yang nyaman (turunkan suhu ruangan)
Rasional : mendukung mental psikologik dalam persepsi tentang nyeri
6) Berikan kompres hangat
Rasional: dilatasi dingin empedu spasme menurun
7) Kolaborasi pemberian antibiotik
b. Kekurangan volume cairan (resiko tinggi terhadap) berhubungan dengan muntah,
distensi dan hipermotilitas gaster, gangguan proses pembekuan
Tujuan : Menunjukkan keseimbangan cairan yang adekuat
Kriteria hasil :Turgor kulit yang baik,Membran mukosa lembab,Pengisian kapiler baik,
Urine cukup, TTV stabil, Tidak ada muntah.
Rencana intervensi :
1) Pertahankan intakke dan output
Rasional : cairan mempertahankan volume sirkulasi
2) Awasi tanda rangsangan muntah.
Rasional : muntah berkepanjangan, aspirasi gaster dan pembatasan pemasukan oral
menimbulkan degfisit natrium, kalium dan klorida.
3) Anjurkan cukup minum 50cc/kgBB/hari
Rasional : mempertahankan keseimbangan cairan dalam tubuh
4) Kolaborasi :Pemberian antiemetik, Pemberian cairan IV, Pemasangan NGT.
c. Resiko tinggi perubahan nutrisi (kurang dari kebutuhan) berhubungan dengan
gangguan pencernaan lemak, mual muntah, dispepsia, nyeri
Tujuan : Menunjukkan kestabilan BB
Kriteria hasil : BB stabil, laporan tidak mual muntah
Rencana intervensi :
1) Kaji perkiraan kebutuhan kalori tubuh
Rasional :mengidentifikasi jumlah intake kalori yang diperlukan tiap hari
2) Timbang BB sesuai indikasi.
rasional : mengawali keseimbangan diet
3) Diskusi menu yang disukai dan ditoleransi.
rasional :meningkatkan toleransi intake makanan.
4) Anjurkan gosok gigi sebelum atau sesudah makan.
rasional: menjaga kebersihan mulut agar tidak bau dan meningkatkan nafsu makan.
5) Konsultasi pada ahli gizi untuk menetapkan diit yang tepat.
rasional: berguna dalam membuat kebutuhan nutrisi individual melalui rute yang
paling tepat
6) Anjurkan mengurangi makan na berlemak dan menghasilkan gas.
rasional: pembatasan lemak menurunkan rangsangan pada kandung empedu dan
nyeri
7) Berikan diit rendah lemak.
rasional: mencegah mual dan spasme
8) Kaji distensi abdomen, berhati-hati, menolak gerak.
rasional: menunjukkan ketidaknyamanan berhubungan dengan gangguan
pencernaan, nyeri gas
9) Ambulasi dan tingkatkan aktivitas sesuai toleransi.rasional: membantu dalam
mengeluarkan flatus, penurunan distensi abdomen
2. Evaluasi
a. Nyeri berkurang.
b. Asupan cairan adekuat.
c. Asupan nutrisi adekuat.
d. Mengerti tentang proses penyakit, prosedur pembedahan, prognosis dan
pengobatan.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
penyebab kolelitiasis/batu empedu yang mungkin dialami klien adalah batu kolesterol. Batu
kolesterol yang terbentuk terjadi ketika konsentrasi kolesterol dalam saluran empedu melebihi
kemampuan empedu untuk mengikatnya dalam suatu pelarut, kemudian terbentuk kristal yang
selanjutnya membentuk batu. Hal ini terjadi karena adanya peningkatan sekresi kolesterol oleh hati dan
penurunan sintesis asam empedu yang dapat mengakibatkan supersaturasi getah empedu oleh
kolesterol yang kemudian keluar dari getah empedu, mengendap, dan membentuk batu.
Cairan empedu yang berfungsi sebagai pembantu proses penyerapan lemak dengan cara
emulsifikasi lemak tidak berfungsi secara optimal karena kadar kolesterol yang tinggi. Oleh karena itu,
diperlukannya informasi kepada klien tentang diet rendah lemak untuk mencegah terjadinya
hipersaturasi cairan empedu kembali pasca pembedahan. Berdasarkan hasil pengkajian, klien belum
tahu tentang apa yang dimaksud dengan diet rendah lemak, pentingnya diet rendah lemak untuk
dirinya, dan makanan apa saja yang mengandung lemak. Oleh karena itu, masalah keperawatan yang
muncul pada klien adalah defisiensi pengetahuan. Klien diberikan pendidikan kesehatan terkait diet
rendah lemak.
Evaluasi keperawatan setelah diberikan intervensi pendidikan kesehatan tentang diet rendah lemak
adalah klien mengerti, paham, dan dapat menyebutkan tentang diet rendah lemak, pentingnya diet
rendah lemak untuk dirinya, makanan apa saja yang mengandung lemak, diet atau nutrisi apa saja yang
baik untuk klien dan pembuatan menu harian yang dilakukan oleh klien dan keluarga. Oleh karena itu,
pentingnya kontinuitas pengulangan materi sebagai pengingat untuk klien terhadap materi yang telah
disampaikan.
2. SARAN
a. Bagi Mahasiswa
b. Bagi Masyarakat
Meningkatkan pengetahuan dengan mencari informasi terkait faktor resiko dan etiologi dari
kolelitiasis
Merubah perilaku dan gaya hidup ke arah lebih sehat untuk meningkat derajat kesehatan
DAFTAR REFERENSI
Gustawan, I.W., K. Nomor Aryasa, dkk. (2007). Kolelitiasis pada anak dalam Maj kedokt Indon,
volum:57, Nomor: 10, Oktober 2007.
Lesmana, Laurentinus A. (2006). Penyakit Batu Empedu dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I
Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Robbin, dkk. (2007). Buku Ajar Patologi. Edisi 7 Volume 2. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC.
Schwartz, dkk. (2000). Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah. Jakarta: Penerbit buku kedokteranEGC
Setiadi,. (2012). Konsep dan Penulisan Dokumentasi Asuhan Keperawatan; Teori dan
Praktik.Yogyakarta: Graha Ilmu
Sjamsuhidayat, R, de jong W. (2005). Buku Ajar I,mu Bedah, Edisi 2. Jakarta: Penerbit buku
kedokteran EGC
Smeltzer, S. & Bare, B. (2002). Buku ajar keperawatan medikal bedah Brunner&Suddarth..Edisi 8
volume 2. (Waluyo, A., Kariasa, M., Julia, Kuncara, A., & Asih, Y., Penerjemah). Jakarta: Penerbit buku
kedokteran EGC
Penerbit jurnal nursing. (2008). Nursing the series of clinical excellenge.Jakarta : Indeks.
Guyton, Arthur C. 1994. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed.7. Jakarta: EGC
Suratun. 2010. Asuhan Keperawatan klien gangguan sistem Gastrointestinal. Jakarta : CV. Trans Info
Media
Hartanto, Huriawati dan Dewi Asih (editor).2008. Kamus Saku Mosby. Jakarta: EGC.
Smelter, Suzanne C. 2002. Keperawatan Medikal Bedah, Ed.8. Jakarta: EGC.
Sjamsuhidajat R, de Jong W. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2.
Eman.2009. Askep Pasien dengan kolelitiasis. Diunduh dari
http://perawatpskiatri.blogspot.com/2009/04/asuhan-keperawatan-pasien-dengan.