Anda di halaman 1dari 9

PENDAHULUAN

Program Problem based learning (PBL) pertama kali diimplementasikan oleh Faculty of Health
Sciences of McMaster University di Kanada pada tahun 1969 sebagai sebuah cara belajar baru yang
radikal dan inovatif dalam pendidikan dokter (Gwee, 2009). Adapun ciri khas dari pelaksanaan PBL
di Mc Master University adalah filosofi pendidikan yang berorientasi pada masyarakat, terfokus pada
manusia, melalui pendekatan antar cabang ilmu pengetahuan dan belajar berdasar masalah. Akan
tetapi sesungguhnya gebrakan PBL untuk merestrukturisasi pendidikan kedokteran sudah dimulai di
Universitas McMaster sejak tahun 1950an (Halonen, 2010). Sejak saat itu PBL telah menjadi trend
baru pendidikan kedokteran. Kini PBL telah diterapkan pada banyak Fakultas Kedokteran di seluruh
dunia termasuk di Indonesia pada khususnya.

Kemudian Maastricht Faculty of Medicine di Belanda pada tahun 1976 menyusul sebagai institusi
pendidikan kedokteran kedua yang menjalankan program PBL. Berbeda dengan jenis program PBL
yang dijalankan di Mc Master University, program PBL di Maastrich lebih menekankan pada konsep
tes kemajuan serta pengenalan keterampilan medik sejak awal dimulainya program pendidikan.

1. PERKEMBANGAN PBL DI INDONESIA

Pemahaman terhadap keuntungan yang diperoleh dari penerapan metode PBL menyebar ke seluruh
dunia termasuk negara kita, Indonesia. Pada hakikatnya pendidikan kedokteran di Indonesia
bertujuan mendidik mahasiswa lewat proses belajar dengan menyelesaikan suatu kurikulum sehingga
memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sikap untuk memberi pelayanan yang sesuai dengan
profesinya, mengembangkan ilmu kesehatan, dan meningkatkan serta mengembangkan diri dalam
aspek ilmu kedokteran. Penerapan program PBL merupakan kurikulum yang tepat serta sesuai untuk
mencapai tujuan pendidikan kedokteran di Indonesia.

Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (FK Unair) mulai menerapkan metode PBL sejak tahun
2000 sebagai bagian penerapan kurikulum hybrid yang merupakan proses perubahan dari sistem
tradisional (subject-based) menuju sistem intergrasi (system-based). FK Unair melaksanakan PBL
dalam 6 modul pada tahun 2000, selanjutnya berkembang menjadi 18 modul dengan peresmian
pelaksanaan kurikulum untuk angkatan 2005. Perkembangan tersebut merupakan bagian perubahan
yang bertahap, karena hambatan utama penerapan PBL adalah masalah kebijakan.

Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (FK UGM) yang diresmikan pada 5 Maret 1946
merupakan salah satu fakultas kedokteran tertua di Indonesia. FK UGM mulai menjalankan penuh
kurikulum PBL sejak angkatan 2003/2004. Aktivitas pembelajaran dalam kurikulum PBL ini meliputi
kuliah pakar, tutorial, praktikum di laboratorium, praktikum keterampilan medik, pengalaman belajar
di lapangan, dan kepaniteraan di rumah sakit dan puskesmas. (Nur Cahyani,2008)

Sedangkan Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala (FK Unsyiah) memakai metode PBL
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang merupakan penerapan dari KBK untuk Pendidikan
Kedokteran Dasar yang berpedoman pada SK Menteri Kesehatan No. 1457/MOH/SK/X/2003 dan
SK Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) tentang Standar Kompetensi Dokter yang diterbitkan pada
April 2006. Berdasarkan Rapat Senat FK Unsyiah, maka penerapan PBL KBK dimulai sejak tahun
2006.

Perkembangan metode PBL yang diaplikasikan di banyak fakultas kedokteran mendorong juga
Fakultas Kedokteran Unika Atmajaya (FK UAJ) Jakarta untuk berani menerapkan metode tersebut
sebagai salah satu cara pembelajaran (Rukmini, 2006). Rencana Fakultas Kedokteran Unika
Atmajaya mengaplikasikan PBL sudah dimulai sejak tahun 2000. Serangkaian pertemuan dilakukan
jajaran Unit Pendidikan Kedokteran dan pimpinan FK UAJ pada waktu itu untuk memutuskan
pembuatan pilot PBL. Tim pilot PBL mulai mengaplikasikan PBL sejak tahun ajaran 2001/2002.

PROBLEM BASED-LEARNING

Problem-Based Learning menekankan active student center learning (AASCL) dimana para
mahasiswa ditantang untuk menguji, mencari, menyelidiki merefleksikan, memahami makna, dan
memahami ilmu dalam konteks yang relevan dengan profesi mereka di masa datang (Harsono, 2004).

Problem Based Learning merupakan suatu pendekatan pendidikan dengan menggunakan bahan
stimulus untuk membantu mahasiswa berdiskusi tentang masalah yang penting, pertanyaan maupun
issue (Boud & Felleti cit Saryono et al., 2006).

Problem Based Learning (PBL) adalah metode pendidikan yang mendorong mahasiswa untuk
mengenal cara belajar dan bekerjasama dalam kelompok untuk mencari penyelesaian masalah-
masalah di dunia nyata. Simulasi masalah digunakan untuk mengaktifkan keingintahuan mahasiswa
sebelum mulai mempelajari suatu subyek. PBL menyiapkan mahasiswa untuk berpikir secara kritis
dan analitis, serta mampu untuk mendapatkan dan menggunakan sumber-sumber belajar secara tepat.
Disamping itu, PBL dapat dikatakan sebagai suatu kurikulum dan proses. Yang dimaksud dengan
kurikulum disini yaitu bahwa PBL menuntut kemahiran mahasiswa dalam pengetahuan yang kritis,
keahlian dalam memecahkan masalah, strategi pembelajaran mandiri, dan kemampuan berpartisipasi
dalam tim melalui masalah yang dipilih dan didisain dengan hati-hati. Sedangkan yang dimaksud
dengan proses yaitu PBL merupakan tiruan dari pendekatan sistemik yang biasa digunakan untuk
memecahkan masalah atau menjawab tantangan dalam kehidupan dan karier profesi (Nur Cahyani,
2008).

2. Apa dan bagaimana?

PBL adalah metode belajar yang menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam mengumpulkan
dan mengintegrasikan pengetahuan baru (Suradijono, 2004). Atau menu- rut Boud & Felleti (1991,
dalam Saptono, 2003) menyatakan bahwa Problem based learning is a way of constructing and
teaching course using problem as a stimulus and focus on student activity.

Konsep inovasi pendidikan (Harsono, 2004):


Mahasiswamemperolehpengetahuandasar(basicsciences)yangbergunauntukmemec- ahkan
masalah-masalah keteknikan yang dijumpainya,

Student-centered: mahasiswa belajar secara aktif dan mandiri (sebagai adult learner) dengan sajian
materi terintegrasi (horisonal dan vertikal) dan relevan dengan real set- ting (profesionalism),

Mahasiswa mampu berpikir kritis, mengembangkan inisiatif,

Mahasiswa menjunjung tinggi etika engineering dan memperhatikan legal.


Di sini akan timbul beberapa perubahan baik paradigma maupun implementasinya:

Dosen sebagai fasilitator,

Perubahanformatkurikulum,misalnyaFakultas Kedokteran UGM menerpkan sistem blok dengan


total 23 blok di mana tahun pertama sampai tahun ketiga masing-masing terdiri atas 6 blok/tahun.
Tiap blok terdiri atas kelompok bidang ilmu yang saling berintegrasi atau saling berkopetensi yang
dapat dipakai untuk menyelesaikan problem real yang dijadikan topik dalam PBL,

Penyediaan fasilitas pembelajaran (fasilitator menyediakan buku bahan ajar atau tuto- rial),

3. KARAKTERISTIK PBL

PBL dibagi menjadi poin-poin di bawah ini. Dan berikut karakteristik PBL:
Siswa harus memiliki tanggung jawab untuk pembelajaran mereka sendiri.
PBL adalah pembelajar berpusat pendekatan-siswa terlibat dengan masalah
The Interdisipliner Journal of Learning berbasis Masalah.
Ikhtisar Soal berbasis Learning
whatever pengetahuan saat mereka / pengalaman affords. motivasi pelajar meningkat ketika tanggung
jawab untuk solusi untuk masalah dan proses terletak dengan peserta didik (Savery & Duffy, 1995)
dan sebagai kepemilikan siswa untuk meningkatkan belajar (Savery, 1998; 1999). Melekat dalam
desain PBL adalah artikulasi publik oleh peserta didik dari apa yang mereka ketahui dan tentang apa
yang mereka perlu mempelajari lebih lanjut. Individu menerima tanggung jawab untuk mencari
informasi yang relevan dan membawa yang kembali ke kelompok untuk membantu
menginformasikan perkembangan solusi mampu vi-.
simulasi masalah yang digunakan dalam pembelajaran berbasis masalah harus sakit-terstruktur dan
memungkinkan untuk penyelidikan gratis.
Masalah di dunia nyata yang sakit-terstruktur (atau mereka tidak akan masalah). Sebuah keterampilan
penting dikembangkan melalui PBL adalah kemampuan untuk mengidentifikasi masalah dan set
parameter pada pengembangan solusi. Ketika masalah adalah peserta didik yang terstruktur kurang
termotivasi dan kurang berinvestasi dalam pengembangan solusi. (Lihat bagian Masalah vs Kasus
bawah.)
Belajar harus diintegrasikan dari berbagai disiplin ilmu atau mata pelajaran.
Gerobak mencatat bahwa selama belajar mandiri, siswa harus dapat mengakses, studi dan
mengintegrasikan informasi dari semua disiplin ilmu yang mungkin terkait dengan pemahaman dan
menyelesaikan masalah-hanya tertentu sebagai orang-orang di dunia nyata harus mengingat dan
menerapkan informasi terintegrasi dari beragam sumber dalam pekerjaan mereka. Ekspansi yang
cepat dari informasi telah mendorong lintas-fertilisasi ide dan menyebabkan perkembangan dari
disiplin ilmu baru. Beberapa perspektif mengarah pada pemahaman yang menyeluruh lebih dari isu-
isu dan pengembangan solusi yang lebih kuat.
Kolaborasi adalah penting.
Dalam dunia setelah sekolah sebagian besar peserta didik akan menemukan diri mereka dalam
pekerjaan di mana mereka perlu untuk berbagi informasi dan bekerja secara produktif dengan orang
lain. PBL menyediakan format untuk pengembangan keterampilan penting. Selama sesi PBL tutor
akan mengajukan pertanyaan dari setiap dan semua anggota untuk memastikan informasi yang telah
dibagikan antara anggota dalam kaitannya dengan masalah kelompok.
Apa yang siswa pelajari selama belajar mandiri mereka harus diterapkan kembali ke masalah dengan
analisis ulang dan resolusi.
Titik penelitian mandiri bagi individu untuk mengumpulkan informasi yang akan menginformasikan
proses pengambilan keputusan kelompok dalam kaitannya dengan masalah.
Analisis penutupan apa yang telah dipelajari dari pekerjaan dengan masalah dan diskusi tentang apa
konsep dan prinsip-prinsip yang telah dipelajari sangat penting.
Mengingat bahwa PBL adalah sangat menarik, memotivasi dan melibatkan bentuk pembelajaran
sajalah pengalaman-, peserta didik sering sangat dekat dengan rincian segera masalah dan solusi yang
diajukan. Tujuan dari proses pembekalan pasca-pengalaman (lihat Steinwachs, 1992; Thiagarajan,
1993 untuk rincian tentang debriefing) adalah untuk mengkonsolidasikan pembelajaran dan
memastikan bahwa pengalaman telah direfleksikan. Barrows (1988) menyarankan bahwa peserta
didik memeriksa semua aspek dari proses PBL untuk lebih memahami apa yang mereka ketahui, apa
yang mereka pelajari, dan bagaimana mereka tampil.
Sejawat harus dilakukan pada penyelesaian setiap masalah dan pada akhir setiap unit kurikuler.
kegiatan penilaian ini terkait dengan proses PBL yang terkait erat dengan karakteristik penting
sebelumnya refleksi pada keuntungan pengetahuan. Arti penting dari kegiatan ini adalah untuk
memperkuat sifat reflektif diri belajar dan mempertajam berbagai keterampilan pengolahan
metakognitif.
Kegiatan yang dilakukan dalam pembelajaran berbasis masalah harus mereka dihargai di dunia
nyata.
Sebuah pemikiran dan pedoman untuk pemilihan masalah otentik dalam PBL dibahas secara luas di
Savery & Duffy (1995), Stinson dan ikan jantan (1996), Wilkerson dan Gijselaers (1996), dan
MacDonald (1997). Transfer keterampilan belajar melalui PBL untuk konteks dunia nyata juga
dicatat oleh Bransford, Brown, & Cocking (2000, p. 77).
Pemeriksaan siswa harus mengukur kemajuan siswa terhadap tujuan pembelajaran berbasis
masalah.
Tujuan PBL keduanya berbasis pengetahuan dan proses berbasis. Siswa harus dinilai pada kedua
dimensi secara berkala untuk memastikan bahwa mereka mendapatkan manfaat sebagaimana
dimaksud dari pendekatan PBL. Siswa bertanggung jawab atas isi dalam kurikulum bahwa mereka
telah "menutupi" melalui keterlibatan dengan masalah. Mereka harus mampu mengenali dan
mengartikulasikan apa yang mereka ketahui dan apa yang telah mereka pelajari.
Pembelajaran berbasis masalah harus menjadi dasar pedagogis dalam kurikulum.

4. Peran pengajar/tutor dalam PBL


Selama berlangsungnya proses belajar dalam PBL mahasiswa akan mendapat bimbingan dari
narasumber atau fasilitator, tergantung dari tahapan kegiatan yang dijalankan.
Narasumber
Menyusun trigger problems,
Sebagai sumber pembelajaran untuk informasi yang tidak ditemukan dalam sumber
pembelajaran bahan cetak atau elektronik,

Melakukan evaluasi hasil pembelajaran

Fasilitator
Secara umum peran fasilitator adalah memantau dan mendorong kelancaran kerja kelompok,
serta melakukan evaluasi terhadap efektivitas proses belajar kelompok. Secara lebih rinci peran
fasilitator adalah:

Pada pertemuan pertama, mengatur kelompok dan menciptakan suasana yang nya- man.

Memastikan bahwa sebelum mulai setiap kelompok telah memiliki seorang anggota yang
bertugas membaca materi keras-keras, sementara teman-temannya menden- garkan, dan seorang
anggota yang bertugas mencatat informasi yang penting sepanjang jalannya diskusi.

Memberikan materi atau informasi pada saat yang tepat, sesuai dengan perkembangan kelompok.

Memastikan bahwa setiap sesi diskusi kelompok diakhiri dengan self-evaluation.

Menjaga agar kelompok terus memusatkan perhatian pada pencapaian tujuan.

Memonitor jalannya diskusi dan membuat catatan tentang berbagai masalah yang muncul dalam
proses belajar, serta menjaga agar proses belajar terus berlangsung, agar tidak ada fase dalam
proses belajar yang dilewati atau diabaikan dan agar setiap fase dilakukan dalam urutan yang
tepat.

Menjagamotivasimahasiswadenganmempertahankanunsurtantangandalampenye- lesaian tugas


dan juga memberikan pengarahan untuk mendorong mahasiswa keluar dari kesulitannya.

Membimbing proses belajar mahasiswa dengan mengajukan pertanyaan yang tepat pada saat
yang tepat. Pertanyaan-pertanyaan ini hendaknya merupakan pertanyaan terbuka yang
mendorong mereka mencari pemahaman yang lebih mendalam tentang berbagai konsep, ide,
penjelasan, sudut pandang, dll.

Mengevaluasi kegiatan belajar mahasiswa, termasuk partisipasinya dalam proses kelompok.


Pengajar perlu memastikan bahwa setiap mahasiswa terlibat dalam pros- es kelompok dan
berbagi pemikiran dan pandangan,

Mengevaluasi penerapan PBL yang telah dilakukan.

5. Jenis Kompetensi yang Dihasilkan


Belajar kelompok PBL tidak hanya memudahkan tercapainya kompetensi untuk mengakusisi
(memperoleh) pengetahuan baru, tetapi juga sejumlah keterampilan lainnya yang penting, misalnya
ketrampilan berkomunikasi, kerjasama tim, pemecahan masalah, tanggungjawab untuk belajar
mandiri, berbagi informasi, dan menghargai orang lain. Dengan demikian PBL dapat dipandang
sebagai sebuah metode belajar kelompok kecil yang memadukan akuisi pengetahuan dan
pengembangan aneka ketrampilan dan sikap umum yang diperlukan dalam pekerjaan sebagai dokter
atau tenaga kesehatan profesional lainnya .
Keterampilan dan sikap umum yang dihasilkan PBL
Kerjasama tim
Memimpin kelompok
Mendengarkan
Mencatat
Menghargai pandangan kolega
Mengkaji kritis literatur
Belajar mandiri
Penggunaan sumberdaya informasi Keterampilan presentasi
Dengan demikian jelas bahwa keterampilan pencapaian area kompetensi dokter, baik
kompetensi 3, 5), keterampilan berkomunikasi dan presentasi (area kompetensi 1), kerjasama dalam
tim (area kompetensi 7), pengembangan diri, memimpin kelompok, dan menghargai orang lain
(area kompetensi 6), penggunaan sumber informasi (area kompetensi 5), maupun menilai literatur
dengan kritis (area kompetensi 3, 4). Demikian pula penyajian materi klinik di dalam skenario
sebagai stimulus pembelajaran memungkinkan mahasiswa memahami relevansi pengetahuan ilmiah
yang diperoleh dengan prinsip-prinsip praktik klinis (area kompetensi 2, 7).
Keuntungan dan Kerugian PBL
PBL memberikan aneka keuntungan sebagai berikut (Halonen, 2010):
1. Kemampuan retensi dan pemanggilan kembali (recall) pengetahuan lebih besar
2. Mengembangkan keterampilan interdisipliner:
- Mengakses dan menggunakan informasi dari aneka domain subjek
- Mengintegrasikan pengetahuan dengan lebih baik
- Mengintegrasikan belajar di kelas dan lapangan
3. Mengembangkan keterampilan belajar seumur hidup:
- Cara meneliti
- Cara berkomuniasi dalam kelompok
- Cara mengatasi masalah
4. Menciptakan lingkungan belajar yang aktif, kooperatif, penilaian diri dan kelompok (peer
assessment), berpsat pada mahasiswa, efektivitas tinggi yang diperoleh dari strategi PBL
mendukung keterampilan memperoleh pengetahuan (area
5. Menciptakan lingkungan belajar yang memberikan
- Umpan balik segera
- Kesempatan untuk mempelajari aneka sasaran belajar yang disukai
- Kesempatan untuk belajar pada berbagai tingkat pembelajaran (taksonomi Bloom)
6. Menciptakan lingkungan belajar yang dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis dan
memecahkan masalah
7. Meningkatkaan motivasi dan kepuasan mahasiswa, interaksi mahasiswa-mahasiswa, dan interaksi
mahasiswa-dosen/ instruktur
Kerugian PBL sebagai berikut (Halonen, 2010):
1. Membutuhkan perencanaan dan sumberdaya yang sangat besar:
- Pembuatan skenario, meliputi masalah, kasus, situasi
- Penyediaan sumberdaya untuk mahasiswa, misalnya, ruang diskusi, literatur, perpustakaan
tradisional maupun e-library, narasumber, tenaga profesional di bidangnya
2. Membutuhkan komitmen untuk menjalankan PBL, dan kesediaan dosen untuk menghargai
pengetahuan, pengalaman, dan ketrampilan yang diperoleh mahasiswa selama proses
pembelajaran
3. Memerlukan perubahan paradigma:
- Pergeseran dari fokus dari apa yang diajarkan dosen (teacher-centered) menjadi apa yang
dipelajari mahasiswa (student-centered)
- Perubahan pandangan dosen sebagai pakar yang berperan sebagai bank pengetahuan melalui
kuliah dan peragaan di kelas, menjadi dosen sebagai fasilitator atau tutor pembelajaran.

DAFTAR PUSTAKA
Albanese, M. A., & Mitchell, S. (1993). Problem-based learning: A review of the literature on its
outcomes and implementation issues. Academic Medicine, 68 (1), 52-81.

Harsono (2004) Pengalaman inovasi pendidikan di Fakultas Kedokteran UGM. Makalah Seminar
Penumbuhan Inovasi Sistem Pembelajaran: Pendekatan Problem-Based Learn- ing berbasis ICT
(Information and Communication Technology), 15/5/2004, Yogyakarta.

Sanjaya, Wina (2007). Kajian Kurikulum dan Pembelajaran. SPs UPI : Bandung

http://fk.uns.ac.id/static/materi/Problem_Based_Learning_Prof_Bhisma_Murti.pdf
http://jurnal-pedagogik.info/downloads/5-Tita%20Menawati%20Liansyah%20-%20PBL.pdf

Anda mungkin juga menyukai