Anda di halaman 1dari 12

PENDIDIKAN MORAL DI KOREA

Oleh: Mukhtasar Syamsuddin*

Pengantar
Salah satu pandangan etis yang secara tradisional dianut oleh masyarakat
Korea hingga saat ini tersimpul dari pepatah Korea yang berbunyi; Jika saya berada
di antara dua orang, maka kedua orang itu haruslah menjadi contoh moral bagi saya.
Pepatah ini mengajarkan bahwa sumber pelajaran moral, tidak saja berasal dari orang
yang bermoral baik, namun juga dari orang yang bermoral buruk sekalipun. Dengan
kata lain, pepatah ini mengandung pesan bahwa seseorang dapat belajar bagaimana
memiliki moral baik dengan memperhatikan tidak saja perilaku dan tutur-kata orang
yang dapat memberi contoh moral baik namun juga dari orang yang berperilaku
buruk secara moral.
Orang Korea memang telah mencanangkan pendidikan yang berkarakter
moral bagi kehidupan umat manusia sejak sekitar 5000 tahun silam. Dari tradisi luhur
yang dimiliki, orang Korea telah menyadari bahwa mereka adalah bagian dari bangsa
berperadaban timur, sehingga nilai-nilai ketimuran itu dijadikan sebagai fondasi yang
dapat mencerahkan kehidupan bangsa Korea. Di bawah pengaruh tradisi luhur itu,
bagi orang Korea, langit adalah dasar bagi tatanan moral dan landasan hidup yang
merasuk ke dalam relung-relung kesadaran umat manusia. Kuatnya kepercayaan
orang Korea atas nilai-nilai ketimuran dan terhadap makna penting langit itu
menghasilkan kesadaran etis dengan meyakini bahwa langit sesungguhnya
memahami dan meguasai hidup manusia seutuhnya atau langit adalah penguasa
kebaikan yang ada dalam diri manusia. Hal lebih jauh melahirkan rasa malu moral di
hadapan langit dan kewajiban moral terhadap langit. Bahkan, dalam masyarakat yang
ilmiah modern, sebagian besar orang Korea merasa takut akan ancaman langit tatkala
mereka melakukan sesuatu secara tidal adil.

*
Paper dipresentasikan dalam Lokakarya dan Pelatihan Guru-Guru SMA se-Indonesia, 2011

1
Berdasarkan keyakinan itu, tipe orang Korea sesungguhnya merupakan
gambaran tipikal masyarakat yang menjunjung tinggi bahkan merepresentasi
peradaban Timur. Tipologi inilah yang kemudian memberikan suatu alasan mengapa
pendidikan moral dipandang sebagai unsur yang paling penting dalam proses
pendidikan di Korea. Selain itu, orang Korea sangat percaya bahwa penghormatan
atas kebajikan moral dan pengembangan disiplin diri adalah sesuatu yang mungkin
dilakukan melalui pendidikan moral secara berkelanjutan. Sebagai contoh misalnya,
Hwarang-do dalam era dinasti Silla (57 BC-935 AD) memberikan prioritas tertinggi
bagi pendidikan moral. Hwarang-do didirikan dengan tujuan melatih tubuh dan
pikiran para pemuda dan untuk membangun karakter mereka melalui pelatihan militer
dan akademik dalam rangka membentuk jiwa-jiwa patriotis dan warganegara
pemberani. Bahkan, pada era akhir Dinasti Choson (1392 AD-1910 AD), pendidikan
moral merupakan pendidikan terpenting, sebagaimana bentuk pendidikan moral yang
diselenggarakan oleh institusi pendidikan seperti Sungkyunkwan, Hyanggyo,
Seodang, and Seowon.
Setelah terbebas dari imperialisme Jepang pada era Perang Dunia II, Korea
memperoleh pengaruh yang cukup kuat dari sistem pendidikan Barat. Pada saat itu,
pendidikan moral tidak dapat dipisahkan dari pelajaran sekolah, bahkan menjadi
bagian dari seluruh kurikulum sekolah. Mengikuti gagasan pendidikan Barat, para
pendidik Korea sangat berharap agar pendidikan moral dapat mewarnai seluruh
kurikulum sekolah. Sayangnya, harapan itu tak kunjung terwujud. Dengan adanya
pengaruh Barat dan pendekatan general terhadap pendidikan moral ini, yang terjadi
justru yang sebaliknya; tidak seorangpun lagi memperhatikan secara serius
pentingnya pendidikan moral yang mengandung nilai-nilai luhur sebagaimana
dikembangkan dalam era dinasti Silla dan Choson. Pada umumnya, guru
memperhatikan hanya mata pelajaran yang diajarkannya. Dengan kata lain, sebagian
besar guru secara drastis mengambil jarak terhadap pentingnya pendidikan moral.
Sejak perang Korea (1950-1953), sistem nilai tradisional, seperti rasa hormat
kepada yang tua, rasa kebersamaan, kerjasama, integritas, dan menghargai kehidupan

2
mengalami penurunan, dan secara terus menerus kekacauan sosial terjadi lebih luas di
dalam negeri. Perang antara Korea Utara dan Selatan melahirkan ketidakpercayaan
yang sangat dalam, dan menyebabkan lahirnya survival-first policy" yang kurang
berkenan dengan tujuan dan cara hidup bangsa Korea dalam arti yang sebenarnya.
Barulah setelah perang Korea usai, ancaman invasi Korea Utara menyebabkan orang
Korea Selatan memperkuat semangat anti komunisme sehingga kebutuhan atas
pelajaran anti komunisme menemukan momentumnya yang tepat bagi para pengajar
pendidikan moral di Korea Selatan.
Selain itu, perubahan sosial yang disertai dengan pembangunan ekonomi
melahirkan suatu krisis nilai yang tidak dapat diprediksi. Suatu filosofi me-first"
bangkit dan sikap materialistis meningkat. Egoisme, nepotisme, dan rasa kedaerahan
menjadi landasan pembenar bagi runtuhnya aturan-aturan moral. Uang semakin
menjadi nilai dan tujuan utama orang Korea. Pada waktu yang sama, kejahatan, obat-
obatan terlarang, dan kekerasan meningkat secara tajam. Dari kenyataan ini, orang
Koreapun mulai menyadari bahwa mereka telah dengan nyata semakin tidak
memperhatikan pentingnya aspek moral dan spiritual dalam kehidupan.

Kurikulum dan Pelajaran Pendidikan Moral


Akibat perang Korea dan pesatnya kemajuan industrialisasi, kebutuhan akan
nilai-nilai demokrasi mulai bangkit. Para pendidik Korea mulai mendambakan cara
demokratis dalam hidup yang harus dimasukkan ke dalam diri anak-anak sejak dini
melalui suatu pendidikan yang sistematis. Sejak saat itu, beberapa nilai-nilai
demokratis senantiasa bercampur dengan nilai-nilai tradisional Korea. Sebagai
contoh, pandangan hidup orang Korea yang didasarkan pada kesetiaan dan cinta kasih
yang mendalam seringkali harus diikuti oleh solusi secara rasional dan menuruti
proses demokratis dalam kehidupan publik.
Pendidikan moral di Korea saat ini merupakan hasil refleksi atas situasi dan
faktor historis tersebut. Kebutuhan-kebutuhan untuk membangun identitas nasional
bangsa Korea memerlukan nilai-nilai dan sikap demokratis yang dapat menciptakan

3
suatu kesepakatan moral melalui sintesis antara nilai-nilai tradisional dan nilai-nilai
demokratis. Membicarakan pendidikan moral di Korea, maka dalam konteks sintesis
nilai tradisional dan nilai demokratis itulah, konsep dan implementasi pendidikan
moral di Korea saat ini diarahkan.
Oleh sebab itu, dalam kurikulum pendidikan moral, setiap aspek pendidikan
moral di sekolah-sekolah Korea dirinci sehingga tergambar secara jelas dalam
rumusan maksud, tujuan, isi (daftar keutamaan moral), metode pengajaran, dan
evaluasi bagi setiap kelas di sekolah. Lebih dari 50 tahun, yaitu sejak 1945 sampai
sekarang, kurikulum pendidikan moral di Korea Selatan seringkali mengalami
perubahan seperti diuraikan sebagai berikut;
a. Kurikulum pendidikan moral yang pertama (1954-1963);
Kurikulum ini merupakan kurikulum pertama yang mengalami modernisasi yang
dilakukan oleh Kementrian Pendidikan Korea. Pendidikan moral pada era ini
difokuskan pada pendidikan kewarganegaraan (civics education).
b. Kurikulum pendidika moral yang kedua (1963-1973):
Kurikulum ini difokuskan pada etika anti-komunisme, pembaharuan ekonomi, dan
nilai-nilai tradisional.
c. Kurikulum pendidikan moral yang ketiga (1973-1982):
Pendidikan moral menjadi bagian pelajaran tersendiri dalam jenjang pendidikan dasar
dan menengah. Sebagai bagian pelajaran yang tersendiri, pendidikan moral
difokuskan pada pendidikan dengan model yang demokratis dan berorientasi pada
pembangunan ekonomi.
d. Kurikulum pendidikan moral yang keempat (1982-1987):
Pendidikan moral difokuskan pada pengembangan metode pengajaran, dari
"pendekatan nilai-nilai kebajikan kepada pendekatan pengembangan
pengetahuan/koginitif. Pembicaraan dan diskusi moral lebih ditekankan daripada
sekedar menghafal ajaran-ajaran moral.
e. Kurikulum pendidikan moral yang kelima (1987-1992):

4
Kurikulum ini menekankan unsur-unsur demokrasi yang diimplemetasikan dalam
kehidupan. Terdapat juga perubahan fokus dari anti komunisme kepada isu unifikasi
kedua Korea dan pendidikan yang berorientasi pada pertahanan nasional.
f. Kurikulum pendidikan moral yang keenam (1992-2000):
Kurikulum ini dipraktekkan sekarang, berpusat pada etika komunitarian, dasar
perilaku moral, dan karakter perilaku moral yang otonom. Tujuan inti kurikulum ini
adalah untuk menyeimbangkan antara mengajarkan keutamaan moral dan
mengajarkan pertimbangan-pertimbangan rasional bagi moral. Kurikulum ini
menekankan pelajaran tentang pandangan hidup dalam upaya unifikasi Korea dan
Setelah unifikasi Korea.
Pendidikan moral sebagai bagian pelajaran tersendiri didasarkan atas suatu
keyakinan bahwa pendidikan moral di Korea harus bersifat universal dan sekaligus
memiliki sifat khusus. Berdasarkan pada prinsip universal, maka pendidikan di Korea
memperhatikan norma universal moral. Sedangkan berdasarkan prinsip particular,
pendidikan di Korea memperhatikan situasi khusus politik, masyarakat, ekonomi, dan
teknologi yang sedang dihadapi oleh bangsa Korea. Menurut kurikulum nasional
Korea yang keenam, pendidikan moral sebagai bagian pelajaran tersendiri tersebut
telah sesuai dengan karakter bangsa Korea

Metode Pengajaran dan Evaluasi Pendidikan Moral


Berdasarkan anggapan bahwa tidak ada metodologi pendidikan moral yang
dapat diterapkan secara universal, maka metode pengajaran harus memperhatikan
tingkat perkembangan moral dan pengetahuan siswa sehingga proses belajar-
mengajar pendidikan moral dapat berlangsung secara efektif. Dalam hal ini, para guru
didorong untuk menggunakan metode yang terkombinasi agar dapat menciptakan
suasana kelas yang penuh makna, efektif, dan siswa dapat belajar secara
menyenangkan sehingga dapat menstimulasi dan mengembangkan daya pikir serta
kreativitas siswa.

5
Saat ini, cara yang dapat merangsang kemauan berpikir, diskusi atas hal-hal
yang bersifat dilematis, dan instruksi berbasis siswa sangat ditekankan untuk
dilakukan dalam pendidikan moral di Korea. Maksudnya tidak lain kecuali untuk
menghindari proses indoktrinasi yang dapat membosankan siswa. Meskipun
demikian, masih juga terdapat cara pengajaran yang berangkat dari model instruksi
berbasis guru sehingga nampak bahwa dalam mengajar, guru di sekolah-sekolah
Korea masih menggunakan cara-cara tradisional dalam menjelaskan pelajaran seperti
melalui model bercerita.
Secara umum, guru-guru di sekolah Korea menggunakan metode pengajaran sebagai
berikut;
a. Menjelaskan keutamaan-keutamaan moral;
b. Menunjukkan sikap moral yang baik sebagaimana terdapat dalam sejarah dan
buku-buku pelajaran;
c. Membaca buku pelajaran dan menemukan pelajaran-pelajaran moral dari bacaan
tersebut;
d. Mengajukan persoalan moral yang bersifat dilematis dan didiskusikan dalam
kelompok kecil;
e. Membicarakan masalah moral melalui tanya-jawab;
f. Studi kasus;
g. Permainan dan simulasi atas masalah-masalah moral;
h. Pengunaan alat-alat audiovisual dalam membicarakan pelajaran moral;
i. Menugaskan siswa untuk menulis essai tentang moral.
Sebagai tambahan dalam penggunaan metode-metode pendidikan moral ini,
dilakukan berbagai kegiatan ekstrakurikuler, seperti pelatihan ketaatan atas peraturan-
peraturan sekolah, bermeditasi, kegiatan regular mingguan, pengenalan prinisip-
prinsip sekolah dan kelas, pertemuan pagi dan sore dengan guru pembimbing,
petemuan kelas, kegiatan-kegiatan klub sekolah, program-program layanan
masyarakat, dan berbagai kegiatan-kegiatan luar sekolah lainnya. Sejak tahun 1994,

6
kegiatan pengabdian pada masyarakat diberlakukan sebagai syarat dalam kegiatan
ektrakurikuler sekolah menengah pertama dan menegah atas di Korea.
Evaluasi pendidikan moral di Korea menimbulkan masalah dilematis yang
cukup permanen. Tes-tes yang menggunakan pensil dan kertas tak dapat dihindarkan
sebab guru-guru diwajibkan melakukan pe-rangking-an untuk mengurutkan nilai dan
prestasi siswa. Pendidikan moral sebagai bagian pelajaran tersendiri pada sekolah
dimasukkan juga sebagai bahan untuk ujian memasuki pendidikan tinggi. Walaupun
tekinik-teknik pengembangan pendidikan, seperti penelitian kepribadian, wawancara,
pengecekan daftar, skala sikap moral, questioner telah direkomendasikan untuk
dilakukan oleh Kementrian Pendidikan, namun sebagian besar guru secara ekslusif
menggunakan cara sederhana dalam memberikan tes untuk meningkatkan
pengetahuan moral siswa. Secara umum dapat dikatakan bahwa sebagian besar
pertanyaan untuk ujian pendidikan moral lebih mudah jika dibandingkan dengan
materi ujian pelajaran yang lain.

Kualifikasi Pendidikan Guru untuk Pendidikan Moral


Secara tradisional, guru-guru di Korea mendapatkan penghormatan yang
cukup tinggi dari masyarakat. Orang Korea sangat meyakini kebenaran suatu pepatah
Raja, bapak, dan guru merupakan satu tubuh. Guru relatif memiliki status sosial
yang tinggi meskipun berpenghasilan rendah. Masyarakat Korea secara umum sangat
memperhatikan pendidikan para guru sebab mereka meyakini bahwa kualitas
pendidikan moral juga sangat ditentukan oleh kuaifikasi pendidikan para guru.
Persoalannya, dengan kualitas yang bagaimana, seseorang dapat dijadikan sebagai
guru pendidikan moral di Korea? Kualifikasi dan pendidikan jenis apa yang harus
ditempuh oleh seseorang untuk menjadi guru pendidikan moral? Untuk
mengantisipasi dan mempersiapkan kualitas guru yang diharapkan oleh masyarakat
tersebut, maka proses menjadi guru pendidikan dan khususnya pendidikan moral di
Korea dilakukan melalui dua jenis dan proses pendidikan, yaitu; pendidikan sebelum
menjadi guru dan pendidikan guru.

7
Untuk program pendidikan sebelum menjadi guru, pada akhir tahun 1970-an,
"Departemen Pendidikan Etika" membuka lembaga pendidikan guru sekolah dan
sekolah pendidikan di Korea. Departemen ini mengembangkan program-program
pendidikan yang sistematis yang memungkinkan pendidikan moral sebagai pelajaran
tersendiri dapat diimplementasikan secara baik di awal 1973. Bagi orang Korea yang
ingin menjadi guru pendidikan moral harus menempuh pendidikan pada Departemen
Pendidikan Etika ini.
Agar seorang mahasiswa dapat mendaftar pada lembaga pendidikan guru
sekolah atau sekolah pendidikan, maka ia diwajibkan lulus pada tes wawancara dan
tes profesi guru. Maksud kedua tes ini adalah untuk mengantisipasi munculnya efek-
efek negatif dari pemilikan ijin mengajar terhadap siswa yang dididik. Wawancara
dilakukan, terutama untuk mendekteksi potensi yang dimiliki oleh calon untuk
menjadi guru pendidikan moral, dan lebih jauh lagi untuk memproteksi siswa didik
dari perilaku moral buruk guru. Hal ini menunjukkan bahwa guru di Korea adalah
orang yang telah luluas ujian karakter dan dinyatakan pantas untuk menjadi teladan
dalam pengembangan pendidikan untuk masyarakat Korea.
Sampai saat ini, belum dimiliki standar kurikulum untuk guru pendidikan
moral di Korea. Departemen Pendidikan Etika, melalui lembaga pendidikan guru
sekolah dan sekolah pendidikannya telah memiliki dan menggunakan kurikulumnya
sendiri. Sebagi contoh Departemen Pendidikan Etika di Kyungsung University
memberlakukan kurikulum pendidikan sebagai berikut (Kyungsung University,
1996);
Pertama, mahasiswa wajib mengambil lebih kurang 20 kredit dari kelompok
perkuliahan Liberal Arts yang mencakup mata kuliah sastra Korea, bahasa asing,
sejarah, pemikiran sosial dan filsafat, dan ilmu-ilmu kealaman;
Kedua, mahasiswa wajib mengambil lebih kurang 20 kredit dari kelompok
perkuliahan Teaching Profession yang mencakup pengantar ilmu pendidikan,
filsafat dan sejarah pendidikan, kurikulum dan evaluasi pendidikan, metode dan

8
teknik pendidikan, psikologi pendidikan, sosiologi pendidikan, administrasi
pendidikan, dan praktek pengajaran; dan
Ketiga, mahasiswa wajib mengambil 54 kredit dari kemompok matakuliah yang
sesuai dengan bidangnya termasuk pendidikan moral I, pendidikan moral II, metode
pengajaran, Etika Nasional, ilmu-ilmu politik, ilmu-ilmu sosial, pengantar studi
Korea Utara, pemikiran sosial, pemikiran ke-tumur-an tentang etika, demokrasi dan
kewarganegaraan, teori kebangsaan modern, pemikiran Barat tentang etika,
pembangunan sosial Korea, etika terapan I (budaya dan perempuan), etika terapan II
(profesi dan informasi), politik internasional Korea, studi Korea Utara, sejarah
pemikiran Korea, studi etika sosial, sejarah pergerakan Korea Utara, unifikasi dan
hubungan antara Korea Selatan dan Korea Utara, etika modern Korea.
Setelah menempuh matakuliah yang diwajibkan tersebut, mahasiswa harus
menempuh ujian untuk memperoleh ijin mengajar sebagai guru pendidikan moral.
Ijin mengajar ini secara resmi merupakan sertifikat yang dapat menjadi bukti bahwa
seseorang telah menempuh persyaratan untuk menjadi guru. Meskipun demikian,
sertifikat resmi tersebut belum merupakan jaminan bahwa seseorang sudah pasti
dapat mengajar di lembaga pendidikan umum atau sekolah. Untuk mengajar di
sekolah, ia masih harus menempuh ujian yang sangat kompetitif untuk pengangkatan
guru pendidikan moral.
Untuk pendidikan bagi guru pendidikan moral, ditempuh tiga jenis program
pendidikan yaitu; program yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan ke-guru-
an, program yang diselenggarakan oleh setiap sekolah, dan program pendidikan yang
dipilih sendiri oleh guru-guru. Meskipun demikian, program yang diselenggarakan
oleh lembaga pendidikan ke-guru-an, termasuk yang dilakukan oleh dewan
pendidikan daerah sangat ditekankan untuk diikuti oleh guru pendidikan moral sebab
hal itu diperlukan untuk mempromosikan guru itu sendiri. Situasi program
pendidikan yang diselenggarakan oleh dewan ini, selama ini di Korea dirasa kurang
memuaskan oleh karena fasilitas pendidikan yang disiapkan oleh dewan tersebut
kurang memadai bagi peningkatan karir dan mutu pendidikan moral.

9
Terlepas dari situasi historis dan substansi pendidikan moral Korea,
sebagaimana diuraikan di atas, sebagian besar ahli pendidikan di Korea menyatakan
bahwa pendidikan moral di Korea sekarang ini telah berjalan efektif meskipun masih
terdapat beberapa problem yang harus diselesaikan. Problem-problem tersebut
menyangkut kurikulum pendidikan moral, metode pangajaran dan materi
pembelajaran, program pendidikan para guru, dan problem-problem yang terjadi
dalam lingkungan sosial dan masyarakat.

Penutup
Sebagai bangsa yang memiliki rasa hormat terhadap nilai-nilai moralitas,
adalah tepat jika pendidikan moral diletakkan sebagai pelajaran yang berdiri sendiri
dalam lembaga pendidikan sekolah di Korea Selatan. Dalam rangka peningkatan
efektifitas ini, hal-hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut;
Pertama, pendidikan moral Korea seharusnya merupakan perpaduan antara
pengetahuan, rasa, dan tindakan. Sebagaimana teori pendidikan moral yang ideal,
maka guru pendidikan moral di Korea harus memberdayakan kapasitas intelektual
mereka dalam kerangka pendidikan moral yang mengintegrasikan antara
pengetahuan, rasa, dan tindakan;
Kedua, pendidikan moral di sekolah harus diimplementasikan dengan sedapat
mungkin sesuai dengan perkembangan nilai-nilai moral di tengah keluarga dan
masyarakat. Orang tua dan masyarakat harus dipandang sebagai faktor yang sangat
penting dan menentukan dalam pembentukan karakter diri siswa yang bermoralitas
tinggi. Hal ini penting diperhatikan sebab selama menerima pengaruh pendidikan
modern, pendidikan moral di Korea hanya dibatasi pada pendidikan di sekolah.
Dalam hal ini pula, para guru mendapatkan tantangan untuk secara aktif mendorong
keluarga dan masyarakat untuk mendukung keberhasilan pendidikan moral yang
diselenggarakan di lembaga-lebaga pendidikan sekolah di Korea.

10
Bahan Bacaan
Butts, R. F. (1988). The morality of democratic citizenship. Calabasas, CA: Center for
Civic Education.

Chu, B. & Park, J. (1996). Moral education in Korea: Curriculum and teacher
education. Paper presented at the annual conference of the Georgia Council
for the Social Studies, Atlanta, GA.

Chung, S. (1984). Teaching methods for moral & ethics education, Seoul:
Educational Science Publishing Company.

Chung, S. (1992a). A study of the revised moral education curriculum in middle


schools. Seoul: Seoul National University.

Chung, S. (1992b). A study of the revised ethics education in high schools. Seoul:
Seoul National University.

Chung, S. (1996). The tasks of moral education. Moral & Ethical Education, 5, 15-
39.

Chung, S., Chu, B., Cha, W., Kim, K., and Lee, C. (1994). An explanatory book for
moral education curriculum in middle school. Seoul: Ministry of
Education.

Korea Educational Development Institute. (1989). The topology of moral education in


Korea. Seoul: KEDI.

Korea Educational Development Institute. (1985). A study on the new evaluation


methods for moral education. Seoul: KEDI.

Korea Ethics Studies Association. (1993). Korean ethos. Seoul: KESA.

Kyungsung University. (in press). '97 university curricula. Pusan, Korea: Kyungsung
University Press.

11
Ministry of Education. (1992a). National curriculum for elementary schools, Seoul:
MOE.

Ministry of Education. (1992b), National curriculum for middle schools, Seoul:


MOE.

Ministry of Education. (1992c). National curriculum for high schools, Seoul: MOE.

Moon, Y. (1995). Moral education in Korea. Paper presented at the 2nd International
Conference on Moral Education, Tokyo, Japan.

Park, J. (1993). Society and value. Pusan: Kyungsung University Press.

12

Anda mungkin juga menyukai