Anda di halaman 1dari 26

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Pterigium adalah suatu pertumbuhan jaringan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat


degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal
ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea. Pterigium berbentuk segitiga
dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea. Etiologi pterigium tidak diketahui
dengan jelas dan penyebabnya bersifat multifaktorial diduga suatu neoplasma, inflamasi,
degenerasi dan tropik yang disebabkan oleh iritasi kronis akibat debu, pasir, cahaya
matahari, lingkungan dengan angin yang banyak, berdebu/berpasir dan udara yang panas.1

Prevalensi pterigium sangat besar (0,7-31%), berkisar 1,2% ditemukan di daerah urban
pada orang kulit putih dan 23,4% di daerah tropis. Di Amerika serikat bagian utara angka
prevalensinya 2% dan 7% bagian selatan. Umumnya prevalensi pterigium pada daerah
tropis lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya. Didaerah tropis seperti indonesia dengan
paparan sinar matahari yang tinggi risiko timbulnya pterigium 44 kali lebih tinggi
dibandingkan daerah non tropis, dengan prevalensi untuk untuk orang dewasa > 40 tahun
adalah 16,8%, laki-laki 16,1% dan perempuan 17,6%. Hasil survei morbiditas oleh
Departemen Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 1993-1996, angka kejadian
pterigium sebesar 13,9% dan menempati urutan kedua penyakit mata. Insiden tertinggi
pterigium terjadi pada pasien dengan rentang usia 20-49 tahun. Pasien dibawah usia 15
tahun jarang terjadi pterigium. Rekuren lebih sering terjadi pada pasien usia muda
dibandingkan dengan pasien usia tua.1,2,3

Tatalaksana pterigium adalah dengan tindakan bedah pada pterigium melebihi


derajat 2, jika pterigium membesar dan meluas sampai ke daerah pupil, lesi harus diangkat
secara bedah bersama sebagian kecil kornea superfisial di luar daerah perluasannya.
Kombinasi autograft konjungtiva dan eksisi lesi terbukti mengurangi risiko kekambuhan.3,4

1
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Anatomi

2.1.1 Konjungtiva

Konjungtiva merupakan membran mukosa yang transparan dan tipis yang


membungkus permukaan posterior kelopak mata ( konjungtiva palpebralis) dan permukaan
anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva ini mengandung sel musin yang
dihasilkan oleh sel goblet. Musin bersifat membasahi bola mata terutama kornea. 1,2
Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu :
a) Konjungtiva palpebra/tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal ini sukar
digerakkan dari tarsus.
b) Konjungtiva bulbi, menutupi sclera dan mudah digerakan dari sclera dibawahnya.
c) Konjungtiva forniks, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan
konjungtiva bulbi
Konjungtiva palpebralis/tarsal melapisi permukaan posterior kelopak mata dan melekat
erat ke tarsus di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat ke posterior (pada
fornices superior dan inferior) dan membungkus jaringan episklera dan menjadi
konjungtiva bulbaris.
Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbitale di fornices dan melipat
berkali-kali. Pelipatan ini memungkinkan bola mata bergerak dan memperbesar
permukaan konjungtiva sekretorik. Duktus-duktus kelenjar lakrimalis bermuara ke fornik
temporal superior, kecuali di limbus tempat kapsul tenon dan konjungtiva bulbaris melekat
longgar ke kapsul tenon dan sklera di bawahnya. Lipatan konjungtiva bulbaris yang tebal,
mudah bergerak dan lunak (plika semilunaris) terletak di kanthus internus. Struktur
epidermoid kecil semacam daging (karunkula) menempel superfisial ke bagian dalam plika
semilunaris dan merupakan zona transisi yang mengandung elemen kulit dan membran
mukosa.
Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan dengan sangat longgar dengan jaringan di
bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak. Dari permukaan dalam palpebra,
konjungtiva palpebra melanjutkan diri kearah bola mata membentuk dua resesus, yaitu
fornik superior dan inferior. Fornik superior terletak kira-kira 8-10 mm dari limbus. Pada
bagian medial, struktur ini menjadi karunkula dan plika semilunaris. Di sisi lateral fornik

2
terletak kira-kira 14 mm dari limbus. Pada bagian medial, struktur ini menjadi karunkula
dan plika semilunaris. Di sisi lateral fornik terletak kira-kira 14 mm dari limbus. Saluran
keluar dari glandula lakrimal bermuara pada bagian lateral fornik superior. Konjungtiva
fornik superior dn inferior melekat longgar dengan pembungkus otot rekti dan levator yang
terletak di bawahnya. Kontraksi otot-otot ini akan menarik konjungtiva sehingga ikut
bergerak saat palpebra maupun bola mata bergerak. Perlekatan yang longgar akan
memudahkan terjadinya akumulasi cairan. Garis yang terbentuk pada pertemuan antara
konjungtiva dan kornea disebut limbus konjungtiva, terletak kira-kira 1 mm anterior ke
tepi kornea disebut limbus kornea, yang merupakan pertemuan antara kornea dan sklera.1,5
Plika semilunaris merupakan bagian dari konjungtiva bulbi pada daerah kantus medial
yang merupakan lipatan tebal berbentuk bulan sabit yang lunak dan mudah bergerak.
Karunkula merupakan struktur epidermoid kecil seperti daging yang menempel superfisial
disebelah medial dari plika semilunaris, karena merupakan jaringan peralihan antara
konjungtiva dan kulit sehingga mengandung elemen pigmen dan membran mukosa.5

Keterangan Gambar

3
1) Limbus, 2) Konjungtiva Bulbi, 3) Konjungtiva forniks, 4) Konjungtiva palpebra,

5) Pungtum Lakrimal, 6) Konjungtiva Marginalis. 10) Plika semilunaris 11) Karunkula

Gambar 2.1 Anatomi konjungtiva

Histologi

Secara histologis, lapisan sel konjungtiva terdiri atas dua hingga lima lapisan sel
epitel silindris bertingkat, superfisial dan basal.6 Sel-sel epitel superfisial mengandung sel-
sel goblet bulat atau oval yang mensekresi mukus yang diperlukan untuk dispersi air
mata.Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat dibandingkan sel-sel superfisial dan dapat
mengandung pigmen.5,6
Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superfisialis) dan satu lapisan
fibrosa (profundus).Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan tidak berkembang
sampai setelah bayi berumur 2 atau 3 bulan. Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan
penyambung yang melekat pada lempeng tarsus dan tersusun longgar pada mata.5,6

Gambar 2.2 Histologi Konjungtiva

Vaskularisasi

Arteri-arteri konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri palpebralis. Kedua
arteri ini beranastomosis bebas dan bersama dengan banyak konjungtiva yang umumnya
mengikuti pola arterinya membentuk banyak jaringan-jaringan vaskuler konjungtiva.
Pembulu linfe konjungtiva tersusun dalam lapisan superfisial dan lapisan profunda dan
bersambung dengan pembulu limfe kelopak mata hingga membentuk pleksus limfatikus.

4
Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan pertama nervus V. Saraf ini hanya
relatif sedikit mempunyai serat nyeri.1,5

Gambar 2.3 Vaskularisasi Konjungtiva

2.1.2 Kornea

Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus cahaya,
merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata bagian depan.5
Kornea terdiri dari lima lapis, yaitu :
a. Epitel
Tebalnya 50 m, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling tumpang
tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng.
Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan
menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal
berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di depanya
melalui desmosom dan makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air,
elektrolit, dan glukosa yang merupakan barrier.
b. Membran Bowman
Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang
tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma
c. Stroma
Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan
lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian
perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali serat kolagen

5
memakan waktu yang lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan. Keratosit
merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblas terletak di antara serat
kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen
dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma.
d. membrane descement
merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea
dihasilkan sel endotel dan merupakan membran basalnya.
bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal
40m.
e. Endotel
berasal dari mesotellium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-40m.
endotel melekat pada membrane descement melalui hemidesmosom dan zonula
okluden.5
Kornea dipersyarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar longus,
saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan suprakoroid, masuk ke dalam stroma
kornea, menembus membrane bowman melepaskan selubung schwannya. Seluruh lapis
epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan tanpa ada akhir saraf.Bulbus Krause
untuk sensasi dingin ditemukan di daerah limbus.Daya regenerasi saraf sesudah dipotong
di daerah limbus terjadi dalam waktu 3 bulan.5

Gambar 2.4 Lapisan kornea

6
2.2 Pterigium

2.2.1 Definisi

Pterigium adalah suatu pertumbuhan jaringan fibrovaskular konjungtiva yang


bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak
bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea. Pterigium
berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea. Pterigium
mudah meradang dan bila terjadi iritasi, maka bagian pterigium akan berwarna merah.1

Gambar 2.5 Pterigium

2.2.2 Etiologi
Etiologi pterigium tidak diketahui dengan jelas dan penyebabnya bersifat multifaktrial.
diduga suatu neoplasma, inflamasi, degenerasi dan tropik yang disebabkan oleh iritasi
kronis akibat cahaya matahari (ultraviolet), debu, pasir, lingkungan dengan angin yang
banyak, berdebu/berpasir dan udara yang panas.1
Faktor resiko yang mempengaruhi pterigium adalah lingkungan yakni radiasi
ultraviolet sinar matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara dan faktor herediter.
1. Radiasi ultraviolet
Faktor resiko lingkungan yang utama sebagai penyebab timbulnya pterigiumadalah
terpapar sinar matahari.Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea dan konjungtiva yang
dapat mengakibatkan kerusakan sel dan proliferasi sel.
2. Iritasi kronik atau inflamasi terjadi pada area limbus atau perifer kornea merupakan
pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya limbal.

7
Faktor risiko yang mempengaruhi antara lain :
1. Usia
Prevalensi pterigium meningkat dengan pertambahan usia banyak ditemui pada usia
dewasa tetapi dapat juga ditemui pada usia anak-anak. Tan berpendapat pterigium
terbanyak pada usia dekade dua dan tiga.
2. Pekerjaan
Pertumbuhan pterigium berhubungan dengan paparan yang sering dengan sinar UV.
3. Tempat tinggal
Gambaran yang paling mencolok dari pterigium adalah distribusi geografisnya.
Distribusi ini meliputi seluruh dunia tapi banyak survei yang dilakukan setengah abad
terakhir menunjukkan bahwa negara di khatulistiwa memiliki angka kejadian pterigium
yang lebih tinggi. Survei lain juga menyatakan orang yang menghabiskan 5 tahun
pertama kehidupannya pada garis lintang kurang dari 300 memiliki risiko penderita
pterigium 36 kali lebih besar dibandingkan daerah yang lebih selatan.
4. Jenis kelamin
Tidak terdapat perbedaan risiko antara laki-laki dan perempuan.
5. Herediter
Pterigium diperengaruhi faktor herediter yang diturunkan secara autosomal dominan.
6. Infeksi
Human Papiloma Virus (HPV) dinyatakan sebagai faktor penyebab pterigium.
7. Faktor risiko lainnya
Kelembaban yang rendah dan mikrotrauma karena partikel-partikel tertentu seperti asap
rokok, pasir merupakan salah satu faktor risiko terjadinya pterigium.7

2.2.3 Epidemiologi
Pterigium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan
kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Faktor yang sering
mempengaruhi adalah daerah dekat dengan ekuator yaitu daerah <370 lintang utara dan
selatan dari ekuator. Prevalensi tinggi sampai 22 % di daerah dekat ekuator dan <2 % pada
daerah di atas lintang 400.8
Prevalensi pterigium sangat besar (0,7-31%), berkisar 1,2% ditemukan di daerah
urban pada orang kulit putih dan 23,4% di daerah tropis. Di Amerika serikat bagian utara
angka prevalensinya 2% dan 7% bagian selatan. Umumnya prevalensi pterigium pada

8
daerah tropis lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya. Paparan sinar ultraviolet
merupakan penyebab utama terjadinya pterigium. Hal ini sesuai dengan peta distribusi
pterigium dari Cameron, secara geografis memperlihatkan angka kejadian pterigium
sebesar 22,5%dan akan terus menurun sampai 2% pada daerah 40 LU dan LS. Didaerah
tropis Indonesia, dengan paparan sinar matahari tinggi, resiko timbulnya pterigium 44x
lebih tinggi dibandingkan daerah non-tropis, dengan prevalensi usia > 40 tahun adalah
16,8%, laki-laki 16,1% dan perempuan 17,6%. 8

2.2.4 Patofisiologi
Etiologi pterigium tidak diketahui dengan jelas namun kaena lebih sering pada orang
yang tinggal di daerah iklim panas maka disimpulkan respon terhadap faktor-faktor
lingkungan sangat berhubungan erat dengan paparan sinar matahari, walaupun dapat pula
disebabkan oleh udara yang kering, inflamasi, dan paparan terhadap angin dan debu atau
iritan yang lain dan proses degenerasi. Ultaviolet merupakan faktor mutagenik bagi tumor
supressor gene p53 yang terdapat pada stem sel basal di limbus. Ekspresi berlebihan
sitokin seperti TGF- dan VEGF (vascular endothelial growth factor) menyebabkan
regulasi kolagenase, migrasi sel, dan angiogenesis. Diduga berbagai faktor risiko tersebut
menyebabkan terjadinya degenerasi elastis jaringan kolagen dan proliferasi fibrovaskular
yang progrevitasnya diduga merupakan hasil dari kelainan lapisan Bowman kornea.
Pengeringan lokal dari kornea dan konjungtiva 1
Teori lain menyebutkan bahwa patofisiologi pterigium ditandai dengan degenerasi
elastik kolagen dan proliferasi fibrovaskular dengan permukaan yang menutupi epitel. Hal
ini disebabkan karena struktur konjungtiva bulbi yang selalu berhubungan dengan dunia
luar dan secara intensif kontak dengan ultraviolet dan debu sehingga sering mengalami
kekeringan yang mengakibatkan terjadinya penebalan dan pertumbuhan konjungtiva bulbi
sampai menjalar ke kornea. Selain itu, pengeringan lokal dari kornea dan konjungtiva yang
disebabkan kelainan tear film menimbulkan fibroplastik baru. Tingginya insiden pterigium
pada daerah beriklim kering mendukung teori ini.1
Teori terbaru pterigium menyatakan kerusakan limbal stem cell di daerah
interpalpebra akibat sinar ultraviolet. Limbal stem cell merupakan sumber regenarasi epitel
kornea dan sinar ultraviolet menjadi mutagen untuk p53 tumor supressor gene pada limbal
stem cell. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta diproduksi dalam jumlah
berlebihan dan meningkatkan proses kolagenase sehingga sel-sel bermigrasi dan terjadi
angiogenesis. Akibatnya, terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan

9
subepitelial fibrovaskular. Pada jaringan subkonjungtiva terjadi perubahan degenerasi
elastik dan proliferasi jaringan vaskular di bawah epitelium yang kemudian menembus
kornea. Kerusakan pada kornea terdapat pada lapisan membran Bowman oleh
pertumbuhan jaringan fibrovaskular yang sering disertai inflamasi ringan. Epitel dapat
normal, tebal, atau tipis dan kadang terjadi displasia. Pada keadaan defisiensi limbal stem
cell, terjadi pembentukan jaringan konjungtiva pada permukaan kornea.3
Pemisahan fibroblast dari jaringan pterigium menunjukkan perubahan phenotype,
yaitu lapisan fibroblast mengalami proliferasi sel yang berlebihan. Pada fibroblast
pterigium menunjukkan matriks metalloproteinase, yaitu matriks ekstraselular yang
berfungsi untuk memperbaiki jaringan yang rusak, penyembuhan luka, dan mengubah
bentuk. Hal ini menjelaskan penyebab pterigium cenderung terus tumbuh dan berinvasi ke
stroma kornea sehingga terjadi reaksi fibrovaskular dan inflamasi.4
Patofisiologi pterigium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan proliferasi
fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium, Histopatologi kolagen
abnormal pada daerah degenerasi elastotik menunjukkan basofilia bila dicat dengan
hematoksin dan eosin. Jaringan ini juga bisa dicat dengan cat untuk jaringan elastic akan
tetapi bukan jaringan elastic yang sebenarnya, oleh karena jaringan ini tidak bisa
dihancurkan oleh elastase.4
Histologi pterigium merupakan akumulasi dari jaringan degenerasi subepitel yang
basofilik dengan karakteristik keabu-abuan di pewarnaan H & E . Berbentuk ulat atau
degenerasi elastotic dengan penampilan seperti cacing bergelombang dari jaringan yang
degenerasi. Pemusnahan lapisan Bowman oleh jaringan fibrovascular sangat khas. Epitel
diatasnya biasanya normal, tetapi mungkin acanthotic, hiperkeratotik, atau bahkan
displastik dan sering menunjukkan area hiperplasia dari sel goblet.3,4

2.2.5 Klasifikasi
Pterigium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi yaitu sebagai berikut:

Klasifikasi Pterigium dibagi menjadi dua, yaitu:


Pterigium Simpleks; jika terjadi hanya di nasal/ temporal saja.
Pterigium Dupleks; jika terjadi di nasal dan temporal.
1. Berdasarkan perjalanan penyakitnya, pterigium dibagi menjadi 2 yaitu:
Pterigium progresif : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di kornea di
depan kepala pterigium (disebut cap dari pterigium).

10
Pterigium regresif : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi bentuk
membran, tetapi tidak pernah hilang.

2. Berdasarkan Tipenya pterigium berdasarkan pemeriksaan pembuluh darah dengan


slitlamp dibagi 3 :
Tipe I (atrofi): Pterigium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus atau
menginvasi kornea pada tepinya saja. Lesi meluas < 2 mm dari kornea. Stockers line atau
deposit besi dapat dijumpai pada epitel kornea dan kepala pterigium. Lesi sering
asimptomatis, meskipun sering mengalami inflamasi ringan. Pasien yang memakai lensa
kontak dapat mengalami keluhan lebih cepat.
Tipe II (Intermediate): disebut juga pterigium tipe primer advanced atau
ptrerigium rekuren tanpa keterlibatan zona optik. Pada tubuh pterigium sering nampak
kapiler-kapiler yang membesar. Lesi menutupi kornea sampai 4 mm, dapat primer atau
rekuren setelah operasi, berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan astigmat.

Tipe III (fleshy opaque): Pterigium primer atau rekuren dengan keterlibatan zona
optik. Merupakan bentuk pterigium yang paling berat. Keterlibatan zona optik
membedakan tipe ini dengan yang lain. Lesi mengenai kornea > 4 mm dan mengganggu
aksis visual. Lesi yang luas khususnya pada kasus rekuren dapat berhubungan dengan
fibrosis subkonjungtiva yang meluas ke forniks dan biasanya menyebabkan gangguan
pergerakan bola mata serta kebutaan.

Gambar 2.6 Tipe pterigium

11
3. Berdasarkan stadium pterigium dibagi ke dalam 4 stadium yaitu:

Stadium I: jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea.


Stadium II: jika pterigium sudah melewati limbus dan belum mencapai pupil, tidak
lebih dari 2 mm melewati kornea.
Stadium III: jika pterigium sudah melebihi stadium II tetapi tidak melebihi
pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4
mm).
Stadium IV: jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga
mengganggu penglihatan.

Gambar 2.7 Derajat pterigium


2.2.6 Manifestasi Klinis
Gejala klinis pterigium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa keluhan
sama sekali (asimptomatik). Beberapa keluhan yang sering dialami pasien antara lain rasa
perih, terganjal, sensasi benda asing, silau, berair, gangguan visus, serta masalah
kosmetik.

Adapun keluhan lainnya yaitu :


Mata gatal, merah dan mungkin menimbulkan astigmatisme.
Kemunduran tajam penglihatan akibat pteregium yang meluas ke kornea
(Zone Optic).

12
Dapat diserati keratitis Pungtata, delen (Penipisan kornea akibat kering) dan
garis besi yang terletak di ujung pteregium.

2.2.7 Diagnosis Banding

1. Pinguekula
Pinguekula merupakan degenerasi jaringan hiallin submukosa dan elastik kuning
pada konjungtiva. Pembuluh darah tidak masuk ke dalam pinguekula akan tetapi bila
meradang atau terjadi iritasi maka sekitar bercak degenerasi ini akan terlihat pembuluh
darah yang melebar dan tampak nodul kuning pada konjungtiva bulbi yang terletak pada
celah nasal umumnya ditemukan pada orang tua, terutama yang matanya sering mendapat
rangsangan sinar matahari, debu dan angin panas.1,5

Gambar 2.8 Mata dengan pinguekula


Pseudopterigium

Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea yang cacat.


Pseudopterigium sering ditemukan pada preses penyembuhan ulkus kornea, sehingga
konjungtiva menutupi kornea. Pseudopterigium terletak pada daerah konjungtiva yang
terdekat dengan proses kornea sebelumnya, perbedaan dengan pterigium selai letaknya,
pseudopterigium tidak harus pada celah kelopak atau fisura palpebra, dapat diselipkan
sonde dibawahnya. 1,5

13
Gambar 2.9 Mata dengan pseudopterigium

2.2.8 Diagnosis

1. Anamnesis

Pada anamnnesis didapatkan adanya keluhan pasien seperti mata merah, gatal,
mata sering berair, ganguan penglihatan. Selain itu perlu juga ditanyakan adanya riwayat
mata merah berulang, riwayat banyak bekerja di luar ruangan pada daerah dengan pajanan
sinar mathari yang tinggi, serta dapat pula ditanyakan riwayat trauma sebelumnya.

2. Pemeriksaaan fisik

Pada inspeksi pterigium terlihat sebagai jaringan fibrovaskular pada permukaan


konjuntiva. Pterigium dapat memberikan gambaran yang vaskular dan tebal tetapi ada juga
pterigium yang avaskuler dan flat. Perigium paling sering ditemukan pada konjungtiva
nasal dan berekstensi ke kornea nasal, tetapi dapat pula ditemukan pterigium pada daerah
temporal.

Dari pemeriksaan didapatkan adanya penonjolan daging, berwarna putih, tampak


jaringan fibrovaskular yang berbentuk segitiga yang terbentang dari konjungtiva
interpalpebrae sampai kornea, jaringan berbatas tegas sebagai suatu garis yang berwarna
coklat kemerahan, umumya tumbuh di daerah nasal (pada 90% kasus). Dibagian depan
dari apek pterigium terdapat infiltrate kecil-kecil yang disebut islet of Fuch. Pterigium
yang mengalami iritasi dapat menjadi merah dan menebal yang kadang-kadang dikeluhkan
kemeng oleh penderita.1

14
3. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterigium adalah topografi


kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa astigmtisme ireguler yang
disebabkan oleh pterigium.

2.2.9 Penatalaksanaan
Pterigium sering bersifat rekuren, terutama pada pasien yang masih muda. Bila
pterigium meradang dapat diberikan steroid atau obat tetes mata dekongestan. Pengobatan
pterigium adalah dengan sikap konservatif atau dilakukan pembedahan bila terjadi
gangguan penglihatan akibat terjadinya astigmatisme ireguler atau pterigium yang telah
menutupi media penglihatan.
Lindungi mata yang pterigium dari sinar matahari, debu dan udara kering dengan
kacamata pelindung. Bila terdapat tanda radang berikan air mata buatan dan bila perlu
dapat diberi steroid. Bila terdapat delen (lekukan kornea) beri air mata buatan dalam
bentuk salep. Bila diberi vasokontriktor maka perlu kontrol 2 minggu dan bila terdapat
perbaikkan maka pengobatan dihentikan.
Keluhan fotophobia dan mata merah dari pterigium ringan sering ditangani dengan
mengindari asap dan debu. Beberapa obat topical seperti lubricant vasokonstriktor dan
kortikosteroid digunakan secara aman untuk menghilangkan gejala jika digunakan secara
benar. Untuk mencegah progresifitas beberapa peneliti menganjurkan penggunaan
kacamata pelindung ultraviolet.

Tindakan Operatif
Tindakan pembedahan kombinasi autograf konjungtiva dan eksisi adalah suatu
tindakan bedah plastik, Indikasi untuk eksisi pterigium termasuk ketidaknyamanan yang
menetap, gangguan pengeliatan, ukuran > 3-4 mm dan pertumbuhan yang progresif
menuju tengah kornea atau visual axis, adanya gangguan pergerakan bola mata dan
mengurangi resiko kekambuhan.8

Pada prinsipnya, tatalaksana pterigium adalah dengan tindakan bedah pada


pterigium melebihi derajat 2. Ada berbagai macam teknik bedah yang digunakan dalam
penanganan pterigium di antaranya adalah:

15
1. Bare sclera : bertujuan untuk menyatukan kembali konjungtiva dengan permukaan
sklera. Kerugian dari teknik ini adalah tingginya tingkat rekurensi pasca pembedahan yang
dapat mencapai 40-75%.
2. Simple closure : menyatukan langsung sisi konjungtiva yang terbuka, diman teknik ini
dilakukan bila luka pada konjuntiva relatif kecil.
3. Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas eksisi untuk
memungkinkan dilakukannya penempatan flap.
4. Rotational flap : dibuat insisi berbentuk huruf U di sekitar luka bekas eksisi untuk
membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang kemudian diletakkan pada bekas eksisi.
5. Conjungtival graft : menggunakan free graft yang biasanya diambil dari konjungtiva
bulbi bagian superior, dieksisi sesuai dengan ukuran luka kemudian dipindahkan dan
dijahit atau difiksasi dengan bahan perekat jaringan (misalnya Tisseel VH, Baxter
Healthcare, Dearfield, Illionis).
Lebih dari setengah pasien yang dioperasi pterigium dengan teknik simpel surgical
removal akan mengalami rekaren. Suatu teknik yang dapat menurunkan rekarensi hingga
5% adalah conjunctival autograft, dimana pterigium dibuang digantikan dengan
konjungtiva normal dan tidak menimbulkan pterigium rekuren.

Perawatan Lanjut pada Pasien Rawat Jalan


Sesudah operasi, eksisi pterigium, steroid topikal pemberiannya lebih di tingkatkan
secara perlahan-lahan. Pasien pada steroid topikal perlu untuk diamati, untuk menghindari
permasalahan tekanan intraocular dan katarak.

2.2.10 Komplikasi

Pterigium dapat menyebabkan komplikasi seperti scar (jaringan parut) pada


konjungtiva dan kornea, distorsi dan penglihatan sentral berkurang, scar pada rektus
medial dapat menyebabkan diplopia.
Komplikasi post eksisi pterigium meliputi:
Infeksi
Reaksi material jahitan
Diplopia
Conjungtival graft dehiscence
Corneal scarring

16
2.2.11 Prognosis
Pengelihatan dan kosmetik pasien setelah di eksisi pada hari pertama post operasi
dapat ditoleransi, kebanyakan pasien setelah 48 jam post operasi dapat beraktivitas
kembali. Pasien dengan rekuren pterigium dapat dilakukan eksisi ulang dan graf dengan
konjungtiva autograph atau trasplantasi membrane amnion. Umumnya rekurensi terjadi
pada 3-6 bulan pertama setelah operasi.4,8

2.2.12 Pencegahan

Pencegahan memperkecil terpapar radiasi ultraviolet untuk mengurangi resiko


berkembangnya pterygia pada individu yang mempunyai resiko lebih tinggi. Pasien di
sarankan untuk menggunakan topi yang memiliki pinggiran, sebagai tambahan terhadap
radiasi ultraviolet sebaiknya menggunakan kacamata pelindung dari cahaya matahari.
Tindakan pencegahan ini bahkan lebih penting untuk pasien yang tinggal di daerah
subtropis atau tropis, atau pada pasien yang memiliki aktifitas di luar, dengan suatu resiko
tinggi terhadap cahaya ultraviolet (misalnya, memancing, ski, berkebun, pekerja
bangunan). Untuk mencegah berulangnya pterigium, sebaiknya para pekerja lapangan
menggunakan kacamata atau topi pelindung.

17
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Ny. R
Umur : 84 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Suku : Aceh
Pekerjaan : IRT
Alamat : Bireun
CM : 0-92-63-19
Tanggal Pemeriksaan : 18 April 2017

3.2 ANAMNESIS
a. Keluhan Utama : Mata kiri tertutup selaput yang terasa mengganjal
dan terasa berpasir.
b. Keluhan Tambahan : Penglihatan terasa berasap.
c. Riwayat penyakit sekarang :

Pasien datang ke poli mata RSUDZA dengan keluhan mata kanan tertutup selaput
berbentuk segitiga yang terasa mengganjal. Keluhan ini dirasakan pasien sejak hampir 1
tahun belakangan. Pasien juga mengeluhkan pandangan berasap sejak kurang lebih 2 tahun
yang lalu. Pasien juga terkadang mengeluhkan matanya terasa perih. Awal sebelum
muncul selaput, mata pasien memang nampak merah seperti urat-urat, lama kelamaan
membentuk selaput, hingga seperti sekarang. Penglihatan ganda dan kesulitan
menggerakkan bola mata disangkal oleh pasien. Pasien dulunya bekerja sebagai petani di
sawah yang banyak bekerja dibawah sinar matahari dan sering kelilipan debu-debu yang
terbawa angin. Riwayat terkena bahan kimia disangkal. Keadaan ini belum pernah diobati
sebelumnya.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Tidak ada
e. Riwayat pengobatan
Pasien belum pernah berobat sebelumnya.

18
f. Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien mengaku tidak ada keluarga yang menggalami penyakit yang sama
seperti pasien.

3.3. Pemeriksaan fisik


1. Status Ophtalmologis
Sebelum evaluasi + CLG ( 30 Desember 2015)

Oculi Dextra Oculi Sinistra

VOD : 5/45 VOS : 5/18


PH : 5/18 PH :-

Pergerakan Bola Mata

Keterangan (OD) Komponen Keterangan (OS)

Ptosis (-), Lagoftalmus (-) Ptosis (-), Lagoftalmus (-) edema


Palpebra Superior
edema (-) (-)
edema (-) Palpebra Inferior edema (-)
Konj. Tarsal
hiperemis (-) hiperemis (-)
Superior
Konj. Tarsal
hiperemis (-) hiperemis (-)
Inferior

19
Injeksi siliar (-) Injeksi
Injeksi siliar (-) Injeksi
Konjungtiva (-), Jaringan(+) Konj. Bulbi
Konjungtiva (-), selaput (+)
selaput (-)
Edem (-), infiltrate (-), ulkus(-) Edem (-), Infiltrate (-), ulkus(-),
Kornea
sikatrik (-), selaput (-) sikatrik(-), selaput (+)

Normal COA Normal

Jelas Kripta Iris Jelas

Bulat(+), isokor (+) Bulat(+), isokor (+)


Pupil
RCL (+), RCTL (+) RCL (+), RCTL (+)

Keruh (+) Lensa Keruh (+)

Uji lapangan
Normal Normal
pandang

2. Foto klinis pasien

20
3.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Refraksi : snellen chart
Pemeriksaan dengan Slit Lamp

3.5 RESUME
Pasien datang ke poli mata RSUDZA dengan keluhan mata kanan tertutup selaput
berbentuk segitiga yang terasa mengganjal. Keluhan ini dirasakan pasien sejak hampir 1
tahun belakangan. Pasien juga mengeluhkan pandangan berasap sejak kurang lebih 2 tahun
yang lalu. Pasien juga terkadang mengeluhkan matanya terasa perih. Awal sebelum
muncul selaput, mata pasien memang nampak merah seperti urat-urat, lama kelamaan
membentuk selaput, hingga seperti sekarang. Penglihatan ganda dan kesulitan
menggerakkan bola mata disangkal oleh pasien. Pasien dulunya bekerja sebagai petani di
sawah yang banyak bekerja dibawah sinar matahari dan sering kelilipan debu-debu yang
terbawa angin. Riwayat trauma disangkal Riwayat terkena bahan kimia disangkal.
Keadaan ini belum pernah diobati sebelumnya. Keluarga pasien tidak ada yang mengalami
hal yang sama dengan pasien.
3.6. DIAGNOSA BANDING
1. Pinguekula
2. Pseudopterigium

21
3.7 DIAGNOSA KERJA
Pterigium grade II OS

3.8. PENATALAKSANAAN UMUM


Medikamentosa
1. Artifisial tears 1-2 dd gtt 3

3.9. PROGNOSIS
Quo ad Vitam : Dubia ad bonam
Quo ad Functionam : Dubia ad bonam
Quo ad Sanactionam : Dubia ad bonam

22
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien datang ke poli mata RSUDZA dengan keluhan mata kanan tertutup
selaput berbentuk segitiga yang terasa mengganjal. Keluhan ini dirasakan pasien sejak
hampir 1 tahun belakangan. Pasien juga mengeluhkan pandangan berasap sejak kurang
lebih 2 tahun yang lalu. Pasien juga terkadang mengeluhkan matanya terasa perih. Awal
sebelum muncul selaput, mata pasien memang nampak merah seperti urat-urat, lama
kelamaan membentuk selaput, hingga seperti sekarang. Penglihatan ganda dan kesulitan
menggerakkan bola mata disangkal oleh pasien. Pasien dulunya bekerja sebagai petani di
sawah yang banyak bekerja dibawah sinar matahari dan sering kelilipan debu-debu yang
terbawa angin. Riwayat terkena bahan kimia disangkal. Keadaan ini belum pernah diobati
sebelumnya.
Dari hasil pemeriksaan tajam penglihatan didapatkan visus pasien VOD 5/45 dan
VOS 5/18. Pada konjungtiva bulbi didapatkan jaringan fibrovaskular dan terdapat selaput
putih pada bola mata kanan.
Pterigium merupakan suatu timbunan atau benjolan pada selaput lendir atau
konjungtiva yang bentuknya seperti segitiga dengan puncak berada di arah kornea.
Timbunan atau benjolan ini membuat penderitanya agak kurang nyaman karena biasanya
akan berkembang dan semakin membesar dan mengarah ke daerah kornea, sehingga bisa
menjadi menutup kornea dari arah nasal dan sampai ke pupil, jika sampai menutup pupil
maka penglihatan akan terganggu.
Sesuai dengan teori, setiap individu dengan pterigium dapat memperlihatkan
keluhan yang berbeda-beda. Pasien datang mulai dari tanpa keluhan sampai keluhan mata
merah, bengkak, gatal, iritasi, dan pandangan kabur yang signifikan sesuai dengan
peningkatan lesi pada konjungtiva dan kelanjutannya pada kornea pada satu mata atau
keduanya.9 Pada kasus ini keluhan pasien merasakan mata terasa mengganjal dan berpasir.
Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak dengan ultraviolet, debu,
kekeringan mengakibatkan terjadinya penebalan dan pertumbuhan konjungtiva bulbi yang
menjalar ke kornea. Daerah nasal konjungtiva juga relatif mendapat sinar ultraviolet yang
lebih banyak dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain, karena disamping kontak
langsung, bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar ultraviolet secara tidak langsung
akibat pantulan dari hidung. Karena itu pada bagian nasal konjungtiva lebih sering

23
didapatkan pterigium dibandingkan dengan bagian temporal.4 Sinar ultraviolet diabsorbsi
kornea dan konjungtiva mengakibatkan kerusakan sel dan porliferasi sel.
Pengeringan lokal dari kornea dan konjungtiva dari fisura interpalpebralis
disebabkan oleh karena kelainan tear film bisa menimbulkan pertumbuhan fibroblastik
baru, tingginya insiden pterigium pada daerah dingin, iklim kering mendukung teori ini.
Diagnosis pterigium dapat ditegakkan dngan pemeriksaan klinis. Biasanya pasien
mengeluh ada sesuatu yang tumbuh di kornea dan khawatir akan adanya kegananasan atau
alasan kosmetik. Pada pemeriksaan terlihat lesi pterigium sebagai lipatan berbentuk
segitiga pada konjungtiva yang meluas ke kornea pada fisura interpalpebralis, bewarna
putih kekuningan. Penentuan derajat pterigium sangat penting untuk penatalaksanaan
selanjutnya.

24
BAB V
KESIMPULAN

Pterigium adalah suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat


degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal
ataupun temporal konjungtiva yang meluas kekornea berbentuk segitiga dengan puncak
pada bagian sentral atau didaerah kornea.
Lindungi mata dengan pterigium dari sinar matahari, debu dan udara kering dengan
kacamata pelindung. Bila terdapat tanda radang berikan air mata buatan dan bila perlu
dapat diberi steroid. Bila terdapat delen (lekukan kornea) beri air mata buatan dalam
bentuk salep. Bila diberi vasokontriktor maka perlu kontrol 2 minggu dan bila terdapat
perbaikan maka pengobatan dihentikan. Keluhan fotophobia dan mata merah dari
pterigium ringan sering ditangani dengan mengindari asap dan debu. Beberapa obat topikal
seperti lubrikan vasokonstriktor dan kortikosteroid digunakan secara aman untuk
menghilangkan gejala jika digunakan secara benar. Untuk mencegah progresifitas
beberapa peneliti menganjurkan penggunaan kacamata pelindung ultraviolet.
Indikasi untuk eksisi pterigium termasuk ketidaknyamanan yang menetap,
gangguan penglihatan, ukuran > 3-4 mm dan pertumbuhan yang progresif menuju tengah
kornea atau visual axis, adanya gangguan pergerakan bola mata dan mengurangi resiko
kekambuhan.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas S. dan Sri Rahayu Yulianti. 2014. Ilmu Penyakit Mata Edisi Kelima. Jakarta:

Balai Penerbit FKUI.

2. Ardalan Aminlari, MD, Ravi Singh, MD, and David Liang, MD. Management of
Pterigium. Opthalmic Pearls.2010
3. Suhardjo S.U. dan Hartono. 2007. Ilmu Kesehatan Mata Edisi 1. Jogjakarta :

Bagian Ilmu Penyakit Mata FK UGM.

4. Kanski J.J. 2006. Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach; Edisi 6.

Philadelphia: Butterworth Heinemann Elsevier.

5. Vaughan, D. 2010. Oftalmologi Umum, Edisi 17. Jakarta: Penerbit Buku


Kedokteran EGC.
6. Junqueira, L.C., Carneiro, J., 2007. Sistem Fotoreseptor dan Audioreseptor.Dalam:
Junqueira, L.C., Carneiro, J (ed). Histologi Dasar: Text & Atlas. Edisi 10. Jakarta:
EGC.
7. Skuta, Gregory L. Cantor, Louis B. Weiss, Jayne S. 2008. Clinical Approach to
Depositions and Degenerations of the Conjungtiva, Cornea, and Sclera. In:
External Disease and Cornea. San Fransisco : American Academy of
Ophtalmology. P.8-13, 366
8. Laszuarni. 2009. Prevalensi Pterigium di Kabupaten Langkat. Tesis Dokter
Spesialis Mata. Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara.

26

Anda mungkin juga menyukai