Anda di halaman 1dari 8

Dimensi Mutu Pelayanan Kesehatan

Mutu Pelayanan Kesehatan dapat dilihat dalam 5 dimensi mutu yaitu :

1. Responsiveness (Cepat Tanggap)


Dimensi ini dimasukkan kedalam kemampuan petugas kesehatan menolong
pelanggan dan kesiapannya melayani sesuai prosedur dan bisa memenuhi
harapan pelanggan. Harapan pelanggan terhadap kecepatan pelayanan
cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Pelayanan kesehatan yang responsif
ditentukan oleh sikap staf yang didepan karena berhubungan langsung dengan
para pengguna jasa dan keluarganya.
2. Reliability
Adalah kemampuan untuk memberikan pelayanan kesehatan dengan tepat
waktu dan akurat sesuai dengan yang ditawarkan. Untuk meningkatkan reliability
dibidang pelayanan kesehatan, pihak manajemen perlu membangun budaya
kerja yang bermutu. Reliabilitas berkaitan dengan kemampuan menyampaikan
layanan yang dijanjikan.
3. Assurance
Kriteria ini berhubungan dengan pengetahuan, kesopanan dan sifat petugas
yang dipercaya oleh pelanggan. Dimensi ini meliputi faktor keramahan,
kompetensi, kredibilitas dan keamanan.
4. Empathy
Kriteria ini terkait dengan rasa kepedulian dan perhatian khusus staf kepada
setiap pengguna jasa, memahami kebutuhan mereka dan memberikan
kemudahan untuk dihubungi setiap saat jika para pengguna jasa ingin
memperoleh bantuannya.
5. Tangible
Mutu jasa pelayanan kesehatan juga dapat dirasakan secara langsung oleh para
penggunanya dengan menyediakan fasilitas fisik dan perlengkapan yang
memadai. Contohnya ruang penerimaan dan perawatan pasien yang bersih,
nyaman, lengkap.

MENURUT LORI DI PRETE BROWN, ADA 8 DIMENSI MUTU PELAYANAN, YAITU:

1). Kompetensi teknis (Technical competence)


Adalah terkait dengan keterampilan, kemampuan dan penampilan petugas, manajer dan staf
pendukung. Kompetensi teknis berhubungan dengan bagaimana cara petugas mengikuti standart
pelayanan yang telah ditetapkan dalam hal: kepatuhan, ketepatan (accuracy), kebenaran (reliability),
dan konsistensi.

2). Akses terhadap pelayanan (Acces to service)


Adalah pelayanan kesehatan tidak terhalang oleh keadaan geografis, sosial, ekonomi, budaya, organisasi
atau hambatan bahasa.

3). Efektivitas (Effectiveness)


Adalah kualits pelayanan kesehatan tergantung dari efektivitas yang menyangkut norma pelayanan
kesehatan dan petunjuk klinis sesuai standart yang ada.

4). Efisiensi (Efficiency)


Adalah dimensi yang penting dari kualitas karena efisiensi akan mempengaruhi hasil pelayanan
kesehatan, apalagi sumberdaya pelayanan kesehatan pada umumnya terbatas. Pelayanan yang efesien
pada umumnya akan memberikan perhatian yang optimal kepada pasien dan masyarakat. Petugas akan
memberikan pelayanan yang terbaik dengan sumber daya yang dimiliki.

5).Kontinuitas (Continuity)
Adalah klien akan menerima pelayanan yang lengkap yang dibutuhkan (termasuk rujukan) tanpa
mengulangi prosedur diagnose dan terapi yang tidak perlu.

6).Keamanan (Safety)
Adalah mengurangi resiko cidera, infeksi atau bahaya lain yang berkaitan dengan pelayanan. Keamanan
pelayanan melibatkan petugas dan pasien

7).Hubungan antar manusia (Interpersonal relations)


Adalah interaksi antara petugas kesehatan dan pasien, manajer dan petugas, dan antara tim kesehatan
dengan masyarakat. Hubungan antar manusia yang baik menanamkan kepercayaan dan kredibilitas
dengan cara menghargai, menjaga rahasia, menghormati, responsive, dan memberikan perhatian.

8).Kenyamanan (Amenities)
Adalah pelayanan kesehatan yang tidak berhubungan langsung dengan efektifitas klinis, tetapi dapat
mempengaruhi kepuasan pasien dan bersedianya untuk kembali ke fasilitas kesehatan untuk
memperoleh pelayanan berikutnya. Amenities juga berkaitan dengan penampilan fisik dari fasilitas
kesehatan, personil,dan peralatan medis maupun non medis.(Wijoyo, Djoko. 2008).

Indikator Mutu Rumah Sakit

Dengan kondisi persaingan yang semakin tinggi antar rumah sakit, setiap rumah
sakit saling berpacu untuk memperluas pasarnya. Harapan adanya perluasan
pasar secara langsung adalah meningkatnya penjualan sehingga rumah sakit
akan memiliki lebih banyak konsumen (pasien). Namun, rumah sakit selaku
produsen haruslah memahami bahwa semakin banyak konsumen maka rumah
sakit akan semakin sulit memahami konsumennya secara teliti, terutama tentang
suka atau tidaknya konsumen terhadap barang dan jasa yang ditawarkan beserta
alasan-alasan yang mendasarinya.

Rumah sakit yang mampu bersaing dalam pasar adalah rumah sakit yang mampu
menyediakan produk atau jasa berkualitas. Oleh karena itu, rumah sakit dituntut
untuk terus melakukan perbaikan terutama pada kualitas pelayanannya. Hal ini
dimaksudkan agar seluruh barang atau jasa yang ditawarkan akan mendapat
tempat yang baik di mata masyarakat selaku konsumen dan calon konsumen.

Mutu adalah faktor yang mendasar dari pelanggan. Mutu adalah penentuan
pelanggan, bukan ketetapan insinyur, pasar atau ketetapan manajemen. Ia
berdasarkan atas pengalaman nyata pelanggan terhadap produk dan jasa
pelayanan, mengukurnya, mengharapkannya, dijanjikan atau tidak, sadar atau
hanya dirasakan, operasional teknik atau subyektif sama sekali dan selalu
menggambarkan target yang bergerak dalam pasar yang kompetitif (Wiyono,
1999).

Berikut ini definisi-definisi mutu: Juran menyebutkan bahwa mutu produk


adalah kecocokan penggunaan produk untuk memenuhi kebutuhan dan
kepuasan pelanggan; Crosby mendefinisikan mutu adalah conformance to
requirement, yaitu sesuai dengan yang disyaratkan atau distandarkan; Deming
mendefinisikan mutu, bahwa mutu adalah kesesuaian dengan kebutuhan pasar;
Feigenbaum mendefinisikan mutu adalah kepuasan pelanggan sepenuhnya;
Garvin dan Davis menyebutkan bahwa mutu adalah suatu kondisi dinamis yang
berhubungan dengan produk, manusia/tenaga kerja, proses dan tugas, serta
lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan pelanggan atau konsumen.
Mengukur mutu pelayanan kesehatan dimaksudkan untuk dapat menjawab
pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

1. Dapatkah mutu jasa pelayanan kesehatan diukur ?

2. Apanya yang diukur ?

3. Bagaimana mutu jasa pelayanan diukur ?

Untuk dapat memahami hal tersebut diatas perlu diketahui tentang pengertian
indikator, kriteria, dan standar.

Indikator adalah petunjuk atau tolak ukur, contoh : petunjuk indikator atau tolok
ukur status kesehatan antara lain adalah angka kematian ibu, angka kematian
bayi, status gizi. Petunjuk atau indikator ini (angka kematian ibu) dapat diukur.
Jadi indikator adalah fenomena yang dapat diukur.
Indikator mutu asuhan kesehatan atau pelayanan kesehatan dapat mengacu pada
indikator yang relevan berkaitan dengan struktur, proses, dan outcomes. Sebagai
contoh, indikator struktur: Tenaga kesehatan profesional (dokter, paramedis,
dan sebagainya), Anggaran biaya yang tersedia untuk operasional dan lain-lain,
Perlengkapan dan peralatan kedokteran termasuk obat-obatan, Metode berupa
adanya standar operasional prosedur masing-masing unit, dan sebagainya;
indikator proses berupa memberikan petunjuk tentang pelaksanaan kegiatan
pelayanan kesehatan, prosedur asuhan yang ditempuh oleh tenaga kesehatan
dalam menjalankan tugasnya, Apakah telah sebagaimana mestinya sesuai dengan
prosedur, diagnosa, pengobatan, dan penanganan seperti yang seharusnya sesuai
standar; indikator outcomes merupakan indikator hasil daripada keadaan
sebelumnya, yaitu Input dan Proses seperti BOR, LOS, TOI, dan Indikator klinis
lain seperti: Angka Kesembuhan Penyakit, Angka Kematian 48 jam, Angka
Infeksi Nosokomial, Komplikasi Perawatan , dan sebagainya.

Selanjutnya Indikator dispesifikasikan dalam berbagai kriteria. Sebagai contoh:


Indikator status gizi dapat lebih dispesifikasikan lagi menjadi kriteria tinggi
badan, berat badan anak. Untuk pelayanan kesehatan, kriteria ini adalah
fenomena yang dapat dihitung.

Setelah kriteria ditentukan dibuatlah standar-standar yang eksak dan dapat


dihitung kuantitatif, yang biasanya mencakup hal-hal yang standar baik,
misalnya: panjang badan bayi baru lahir yang sehat rata-rata (standarnya) adalah
50 cm; berat badan bayi baru lahir yang sehat standar adalah 3 kg.

Mutu asuhan kesehatan suatu organisasi pelayanan kesehatan dapat diukur


dengan memperhatikan atau memantau dan menilai indikator, kriteria, dan
standar yang diasumsikan relevan dan berlaku sesuai dengan aspek-aspek
struktur, proses, dan outcome dari organisasi pelayanan kesehatan tersebut.

Indikator mutu rumah sakit akan mencerminkan mutu pelayanan dari rumah
sakit tersebut. Fungsi dari penetapan indikator tersebut antara lain sebagai alat
untuk melaksanakan manajemen kontrol dan alat untuk mendukung
pengambilan keputusan dalam rangka perencanaan kegiatan untuk masa yang
akan datang.

Mutu pelayanan medis dan kesehatan di RS sangat erat kaitannya dengan


manajemen RS (quality of services) dan keprofesionalan kinerja SMF dan staf
lainnya di RS (quality of care). Keduanya merupakan oucome dari manajemen
manjaga mutu di RS (quality assurance) yang dilaksanakan oleh gugus kendali
mutu RS. Dalam hal ini, gugus kendali mutu dapat ditugaskan kepada komite
medik RS karena mereka adalah staf fungsional (nonstruktural) yang membantu
direktur RS dengan melibatkan semua staf SMF RS.
Tahap Pertama Mengukur Mutu Pelayanan Kesehatan: Tetapkan

Indikator

Pengukuran merupakan konsep sentral dalam peningkatan mutu.


Dengan pengukuran akan tergambarkan apa yang sebenarnya
sedang dilakukan sarana pelayanan kesehatan dan
membandingkannya dengan target sesungguhnya atau harapan
tertentu dengan tujuan untuk mengidentifikasi kesempatan untuk
adanya peningkatan mutu (Shaw, 2003).

Mengukur mutu pelayanan kesehatan baik di tingkat primer seperti


Puskesmas dan tingkat lanjut seperti rumah sakit memerlukan
indikator mutu yang jelas. Namun menyusun indikator yang tepat
tidaklah mudah. Kita perlu mempelajari pengalaman berbagai
institusi yang telah berhasil menyusun indikator mutu pelayanan
kesehatan yang kemudian dapat digunakan secara efektif mengukur
mutu dan meningkatkan mutu.

Salah satu pengalaman tersebut dapat dipelajari dari


program Performance Assessment Tool for Quality Improvement in
Hospital (PATH) dengan langkah-langkah sebagai berikut (WHO,
2006):

1. Menyusun model konseptual: identifikasi dimensi dan sub-dimensi


dan bagaimana hubungan antaranya satu sama lain
2. Melakukan penapisan awal indikator kinerja yang ada dan critical
review
3. Menetapkan indikator komplementer untuk mengisi area-area yang
belum ditunjang oleh indikator awal berdasarkan literatur ilmiah
4. Melakukan pemilihan awal indikator berdasarkan expert opinion dan
bukti-bukti awal
5. Melakukan penelitian yang ekstensif untuk mendapatkan literatur
mengenai angka prevalensi, bukti pendukung, reliabitas dan
validitas, survey pada negara yang berpartisipasi
6. Melakukan pemilihan akhir berdasarkan pakar, berdasarkan
informasi yang didapatkan pada langkah 5, menggunakan nominal
group tehnic (NGT)

Dalam pemilihan tersebut, WHO menggunakan kriteria-kriteria


berikut ini (WHO, 2006):

Kriteria untuk indikator

1. tingkat kepentingan dan relevansi: indikator harus menggambarkan


aspek-aspek yang bermanfaat bagi penggunanya dan relevan
dengan konteks kesehatan saat ini. Kepentingan tersebut dapat
diperjelas dengan adanya kebijakan nasional ataupun internasional
(seperti WHO Health for All Framework). Indikator klinis harus
berfokus pada kejadian yang memiliki angka prevalensi tinggi (high
prevalence rate) dan memiliki beban berat (high burden).
2. berpotensi untuk dapat digunakan (dan disalahgunakan) dan
hasilnya dapat ditindaklanjuti: rumah sakit harus dapat
menindaklanjuti permasalahan yang muncul dari indikator yang ada.
Dengan demikian, rumah sakit harus memiliki tanggung jawab,
kontrol substansial, dan kemampuan untuk mengimplementasikan
strategi untuk peningkatan kinerja.

Kriteria untuk alat ukur

1. reliabilitas: Indikator diharapkan memiliki spesifikasi yang detail


dan jelas untuk numerator dan denominatornya. Pengumpulan
data yang seragam mudah dipahami dan mudah untuk
diimplementasikan. Reliabilitas meningkat ketika pengukuran
yang dilakukan hanya sesedikit mungkin bergantung pada
penilaian subyektif. Ini juga termasuk konsep konsistensi
internal, stabilitas test/test ulang, dan kesepahaman antar
pengukuran.
2. face validity (juga dikenal sebagai akseptabilitas): terdapat
kesepakatan di antara pengguna dan pakar bahwa pengukuran ini
berhubungan dengan dimensi (atau subdimensi) yang akan
dijangkau.
3. content validity: model teoritis mendukung bahwa pengukuran ini
berhubungan dengan subdimensi kinerja yang akan dijangkau dan
pengukuran ini menjangkau seluruh domain dan tidak hanya
sebagian aspek spesifik saja.
4. contruct validity: bukti empiris menunjukkan bahwa pengukuran ini
berhubungan dengan pengukuran kinerja yang lainnya
5. beban untuk pengumpulan data: ini termasuk juga pertimbangan
ketersediaan data, biaya, ketepatan waktu sehingga didapatkan data
yang berkualitas, dan derajat kemudahan untuk pengumpulan data.
Indikator (misalnya kejadian sentinel) tidak harus dieksklusi hanya
karena data yang dibutuhkan tidak akurat atau sering hilang. Justru
adanya pengukuran ini dapat dipergunakan sebagai kesempatan
untuk mengidentifikasi dan menanggapi kebutuhan akan
pendidikan dan peningkatan untuk menunjang sistem informasi
yang efektif. Demikian pula untuk indikator yang berdasarkan data
yang dikumpulkan secara manual tidak harus dieksklusi karena
malah dapat menjadi sarana latihan dan belajar bagi staf dan
meningkatkan kualitas pengumpulan data.

Kriteria untuk kumpulan indikator

1. face validity: Apakah kumpulan indikator tersebut dapat diterima


oleh para penggunanya?
2. content validity: Apakah semua dimensi dijangkau dengan tepat?
3. construct validity: Bagaimana indikator-indikator tersebut saling
terkait satu dengan yang lainnya? Apakah indikator dari dimensi
yang berbeda saling berhubungan (discrimination criteria)?
Apakah indikator dari dimensi yang sama saling berhubungan
(convergence criteria)?

Anda mungkin juga menyukai