Disusun oleh :
DWI YULIANNISA AMRI
NIM : 2010 031 0133
Diajukan kepada :
Disusun Oleh:
DWI YULIANNISA AMRI
20100310133
Dokter Pembimbing
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PRESENTASI PASIEN
I. DATA PRIBADI
Nama : Tn. M
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 31 tahun
Bangsa : Indonesia
Suku : Jawa
Agama : Islam
Status : Menikah
Alamat : Karanggayam RT 5 Bantul
No RMK : 45.62.32
II. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Nyeri Kepala
Perjalanan Penyakit : Pasien mengeluhkan nyeri kepala terutama dibagian
belakang kepala pasien seperti dipukul-pukul yang dirasakan sejak 1 minggu
sebelum MRS, terasa makin lama makin memberat hingga tidak bisa
beraktivitas. Gejala ini disertai dengan mual dan muntah. Muntah seperti
menyemprot disangkal, kelemahan anggota gerak disangkal, badan
kesemutan disangkal, kejang disangkal, pandangan menjadi dua disangkal
dan demam disangkal.
Anamnesis Sistem
1. Sistem serebrospinal : Nyeri kepala
2. Sistem kardiovaskuler : tidak ada keluhan
3. Sistem respirasi : tidak ada keluhan
4. Sistem gastrointestinal : tidak ada keluhan
5. Sistem neuromuskular : tidak ada keluhan
6. Sistem integumentum : tidak ada keluhan
7. Sistem urogenital : tidak ada keluhan
V. NEUROLOGIS A.
Kesan Umum:
Kesadaran : GCS E4V5M6
Pembicaraan : Disartri (-)
Monoton (-)
Scanning (-)
Afasia :
Motorik (-)
Sensorik (-)
Anomik (-)
B. Pemeriksaan Khusus :
1. Rangsangan Selaput Otak
Kaku Tengkuk : (-)
Kernig : (-)/(-)
Laseque : (-)/(-)
Bruzinski I : (-)/(-)
Bruzinski II : (-)/(-)
2. Nervus kranialis
3. Sistem Motorik
Kekuatan Otot
5 5
5 5
Besar Otot :
Atrofi :-
Pseudohypertrofi :-
Palpasi Otot :
Nyeri :-
Kontraktur :-
Konsistensi :-
Tonus Otot : Lengan Tungkai
Kanan Kiri Kanan Kiri
Hipotoni - - - -
Spastik - - - -
Rigid - - - -
Rebound - - - -
phenomen - - - -
Gerakan Involunter
Tremor : Waktu Istirahat : -/-
Waktu bergerak : -/-
Chorea : -/-
Athetose : -/-
Balismus : -/-
Torsion spasme : -/-
Fasikulasi : -/-
Myoklonik : -/-
Koordinasi : tdl
Gait dan station : tdl
4. Sistem Sensorik
Rasa eksteroceptik Lengan Tungkai
Tubuh
Nyeri superficial : N/N N/N N/N
Suhu : N/N N/ N N/N
Raba ringan : N/N N/ N N/N
Rasa propioceptik
Rasa getar : tdl tdl tdl
Rasa tekan : N/N N/ N N/N
Nyeri tekan : N/N N/ N N/N
Rasa gerak/posisi : N/N N/ N
Rasa enteroceptik
Referred pain :N
Rasa Kombinasi
Stereognosis :N
Barognosis :N
Graphesthesi :N
Two point tactil discrimination :N
Sensory extinction : (-)
Loss of body image : (-)
Fungsi Luhur
Apraxia : (-)
Alexia : (-)
Agraphia : (-)
Fingerosesthesia : (-)
Membedakan kanan dan kiri : (-)
Acalculia : (-)
5. Refleks-refleks
Refleks kulit
Hasil laboratorium
DARAH RUTIN
Hasil
Parameter Nilai Rujukan
Pemeriksaan
Hematologi
Hemoglobin 13,5 14,0-18,0 g/dl
Leukosit 10.04 4,0-11 Ribu/ul
Eritrosit 4.61 4,5-5,5 juta/ul
Hematokrit 42.3 42-52 %
Trombosit 363 150-450 ribu/ul
Hitung jenis
Eosinofil 4 2-4 %
Basofil 2 0-1%
Batang 0 2-5 %
Segmen 67 51-67 %
Limfosit 19 20-35 %
Monosit 8 4-8 %
GDS 117 80-200 mg/dl
Fungsi hati
SGOT 21 0-46 U/L
SGPT 22 0-45 U/L
Protein total 8.27 6.20-8.40 g/dl
Albumin 4.30 3.50-5.50 g/dl
Globulin 3.97 2.80-3.20 g/dl
Fungsi Ginjal
Creatinin 1.19 0.90-1.30 mg/dl
Ureum 25 17-43 mg/dl
Asam Urat 6.19 3.60-8.20 mg/dl
Elektrolit
Natrium 140.8 137-145 mmol/l
Kalium 5.11 3.50-5.10 mmol/l
Chlorida 105.2 98.0-107.0 mmol/l
Sero Imunologi
TORCH
Ig G anti Toxoplasma 159.00 Neg :<4
Equivocal :4-8
Positip : > 8
Ig M anti Toxoplasma 0.21 Neg :<0.55
Equivocal : =0.55-<0.65
Positip : > =0.65
Toxoplasma Ig G Aviditas 0.653 Neg :<0.20
Equivocal : 0.20-<0.30
Positip : > =0.30
CD4 (tgl 20 feb 2016) 14
VIII. PENATALAKSANAAN
Terapi medikamentosa:
1. Inf. Nacl 0.9% 16 tpm
2. Inj Dexametason 1A/6 jam tappering off perhari
3. Inj Ranitidin 1A/12 jam
4. Inj Diazepam jika kejang
5. Primetamin 2 x 25 mg
6. Clindamisin 4x 300 mg
IX. PROGNOSIS
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Toksoplasmosis serebral adalah penyakit infeksi opportunistik biasanya
menyerang pasien-pasien dengan HIV-AIDS dan merupakan penyebab paling
sering terhadap abses serebral pada pasien-pasien ini. Toxoplasma gondii
jugadapatmenimbulkanradang pada kulit, kelenjar getahbening, jantung,
paru,mata, dan selaput otak. Infeksi paling umum dapat didapat dari kontak dengan
kucing-kucing dan feces mereka atau daging mentah atau yang kurang masak.
Penyakit ini bisa diobati dan bisa sembuh secara total, namun jika tidak
dirawat, akan berakhir dengan kematian. Penyakit ini disebabkan oleh parasit
Toxoplasma gondii, yang merupakan penyakit parasit pada hewan yang dapat
ditularkan ke manusia. Parasit ini merupakan golongan protozoa yang bersifat parasit
obligat intraseseluler yang menginfeksi sebagian besar populasi dunia dan merupakan
penyebab tersering penyakit-penyakit infeksi otak pada pasien dengan HIV-AIDS.
Infeksi toksoplasma gondii biasanya bersifat laten dan dormant asimptomatik pada
individu baik dengan imunokompeten atau dengan HIV-AIDS. Namun pasien dengan
HIV lebih cenderung terkena toksoplasmosis akut karena proses reaktivasi organisme
ini apabila jumlah CD4 T sel mereka kurang di bawah 100sel/L atau apabila jumlah
CD4 T sel di bawah 200 sel/L tetapi ada infeksi-infeksi oportunistik lainnya atau
malignansi. Reaktivasi toksoplasma gondii yang laten pada pasien HIV-AIDS
umumnya akan menyebabkan toksoplasmosis serebral dan bisa membahayakan jiwa
jika diagnosis dan terapi tidak tepat. Penyakit ini cukup sulit didiagnosis dan diterapi,
terutama di negara-negara berkembang di mana jumlah pasien HIV sangat tinggi.(1)
Faktor resiko untuk terkena infeksi toksoplasma gondii pada pasien HIV termasuklah
umur, ras dan faktor demografik lainnya. Berdasarkan gejala klinis dan terlibatnya
organ sefal, menyebabkan kasus ini menjadi lebih serius dari toksoplasmosis
ekstraserebral.[2]
Toksoplasma gondii dengan pewarnaan H.A.
II. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi zat anti T. gondii berbeda di berbagai daerah geografik, seperti
pada ketinggian yang berbeda di daerah rendah prevalensi zat anti lebih tinggi
dibandingkan dengan daerah yang tinggi. Prevalensi zat anti ini juga lebih tinggi di
daerah tropik.Pada umumnya prevalensi zat anti T. gondii yang positif meningkat
sesuai dengan umur, tidak ada perbedaan antara pria dan wanita. Anjing sebagai
sumber infeksi mendapatkan infeksi dari makan tinja kucing atau bergulingan pada
tanah yang mengandung tinja kucing, yang merupakan instrumen penyebaran
secara mekanis dari infeksi T. gondii. Lalat dan kecoa secara praktis juga penting
dalam penyebarannya.[9]
Di Indonesia, prevalensi zat anti T. gondii pada hewan adalah sebagai berikut:
kucing 35-73 %,
babi 11-36 %,
kambing 11-61 %
anjing 75 %
ternak lain kurang dari 10 % .[9]
III. ETIOLOGI
Disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii, yang dibawa olehkucing,
burung dan hewan lainyang dapat ditemukan pada tanahyang tercemar oleh tinja
kucing dan kadang pada daging mentahataukurang matang. Apabila parasit masuk
ke dalam sistemkekebalan, ia menetap di dalamtubuhtetapi sistem kekebalan pada
orangyang sehat dapat melawan parasit tersebut hingga tuntasdandapatmencegah
penyakit. Transmisi pada manusia terutama terjadi bilamemakan daging babi atau
domba yang mentahyang mengandungoocyst (bentuk infektif dari T.gondii). Bisa
juga dari sayur yangterkontaminasi ataukontak langsung dengan feses kucing.
Selain itudapat terjadi transmisi lewat transplasental, transfusidarah,
dantransplantasi organ. Infeksi akut pada individu yangimmunokompeten biasanya
asimptomatik. Pada manusia denganimunitas tubuh yang rendah dapat terjadi
reaktivasi dariinfeksilaten. Yang akan mengakibatkan timbulnya
infeksiopportunistik dengan predileksi di otak.[6]
Gambar 2: Tachyzoit
Gambar 3 : Kista
Gambar4:Ookista
IV. PATOMEKANISME
Penularanpadamanusia dimulaidengan tertelannya tissue cyst atau oocyst
diikuti oleh terinfeksinyasel epitel usus halus oleh bradyzoites atau sporozoites
secaraberturut-turut. Setelah bertransformasi menjadi tachyzoites,organisme ini
menyebar ke seluruh tubuh lewat peredaran darahatau limfatik. Parasit ini berubah
bentuk menjadi tissue cysts begitumencapai jaringan perifer. Bentuk ini dapat
bertahan sepanjanghidup pejamu,danberpredileksi untuk menetap pada
otak,myocardium, paru, otot skeletal dan retina.
Pada manusiadengan imunitas tubuh yang rendah dapat terjadi reaktivasi
dariinfeksi laten yang akan mengakibatkan timbulnya infeksioportunistik
denganpredileksi di otak. Tissue cyst menjadi rupturdan melepaskan invasive
tropozoit (takizoit). Takisoit ini akanmenghancurkan sel dan menyebabkan focus
nekrosis.[5][8]
Ookista (Daging
mentah)
Tachyzoit (usus)
Darah & Limfe
Imune Respon
Bradyzoit (otak,
skeletal, myocard,
Immunocompromized
reaktivasi
Tachyzoit
ekspresi CD154
IL-12
Sel TINF-y
Respon
Gambar5 :ResponImun
PATOFISIOLOGI HIV/AIDS
Dasar utama patogenesis HIV adalah kurangnya jenis limposit
Thelper/induser yang mengandung marker CD 4 (sel T 4). Limfosit T 4 merupakan
pusat dan sel utama yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam
menginduksi fungsi-fungsi imunologik. Menurun atau hilangnya sistem imunitas
seluler, terjadi karena HIV secara selektif menginfeksi sel yang berperan
membentuk zat antibodi pada sistem kekebalan tersebut, yaitu sel lymfosit T4.
Setelah HIV mengikat diri pada molekul CD 4, virus masuk kedalam target dan ia
melepas bungkusnya kemudian dengan enzym reverse
transcryptae ia merubah bentuk RNA agar dapat bergabung dengan DNA sel target.
Selanjutnyasel yang berkembang biak akan mengundang bahan genetik vir
us.Infeksi HIV dengan demikian menjadi irreversibel dan berlangsung seumur
hidup. Pada awal infeksi, HIV tidak segera menyebabkan kematian dari sel yang di
infeksinya tetapi terlebih dahulu mengalami replikasi (penggandaan), sehingga ada
kesempatan untuk berkembang dalam tubuh penderita tersebut, yang lambat laun
akan menghabiskan atau merusak sampai jumlah tertentu dari sel lymfositT4.
setelah beberapa bulan sampai beberapa tahun kemudian, barulah pada penderita
akan terlihat gejala klinis sebagai dampak dari infeksi HIV tersebu t.Masa antara
terinfeksinya HIV dengan timbulnya gejala-gejala penyakit (masa inkubas) adalah
6 bulan sampai lebih dari 10 tahun, rata-rata 21 bulan pada anak-anak dan 60 bulan
pada orang dewasa. Infeksi oleh virus HIV menyebabkan fungsi kekebalan tubuh
rusak yang mengakibatkan daya tahan tubuh berkurang atau
hilang, akibatnya mudah terkena penyakit-penyakit lain seperti penyakit infeksi
yang disebabkan oleh bakteri, protozoa, dan
jamur dan juga mudah terkena penyakit kanker seperti sarkomakaposi. HIV
mungkin juga secara langsung menginfeksi sel-sel syaraf,menyebabkan kerusakan
neurologis.
Perjalanan alamiah infeksi HIV dapat dibagi dalam tahapan sebagai berikut:
Manifestasi neurologis HIV dapat terjadi setiap saat dari akuisisi virus untuk
tahap akhir AIDS; mereka bervariasi dan dapat mempengaruhi setiap bagian dari
sistem saraf termasuk otak, sumsum tulang belakang, sistem saraf otonom dan saraf
perifer. HIV mempengaruhi sistem saraf di 70-80% dari pasien yang terinfeksi.
Efeknya mungkin karena efek langsung dari virus, infeksi oportunistik dan / atau
keganasan. Untuk manifestasi neurologis tertentu etiologi tunggal bertanggung
jawab sementara di lain itu adalah karena beberapa penyebab. Kebanyakan
komplikasi neurologis yang mengancam kehidupan HIV terjadi sdi negara
immunodeficiency parah dan diagnosis etiologi spesifik dalam pengaturan Ethiopia
sering merupakan tantangan besar. Dengan demikian, unit ini mencoba
untuk memandu manajemen infeksi oportunistik umum dan kondisi yang dapat
diobati lainnya dalam sistem saraf
Diagnosis gangguan neurologis di HIV di pengaturan kami tergantung pada sejarah
dan pemeriksaan neurologis standar. Dalam pandangan ini, penyedia layanan
kesehatan harus mampu melakukan pemeriksaan fisik untuk mendeteksi kelainan
neurologis. Ada dapat temuan neurologis normal satu atau beberapa pada pasien
yang sama memerlukan evaluasi neurologis holistik. Sehingga pemeriksaan harus
mencakup penilaian:
Mental status comprising cognitive function, orientation and memory.
Cranial nerves
Motor function including DTR
Sensation
Syndrome Possibilities Diagnosis
Painful legs (extremities) Peripheral neuropathy, Hx, Px, NCT
metabolic disorders or
vascular insufficiency.
Difficulty walking Musculoskeletal disorders, Spinal X-ray,, CT,
Spinal cord lesions, MRI,CK, LDH LP when
Myopathies, peripheral indicated
neuropathies, or some
brain lesions.
Severe headache +/focal Meningo encephalitis, Imaging (CT, MRI) LP
neurological deficit +/- Meningitis, CNS when indicated
seizure Toxoplasmosis, brain
abscess, Tuberculoma,
CNS lymphoma.
Ensefalitis sitomegalovirus
Leukoensefalopati tmultifokal progresif
Patogen non-viral
Ensefalitis toksoplasmas
Meningitis kriptokokus
V.MANIFESTASI KLINIS
CD4 adalah sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel-sel
darah putih manusia, terutama sel-sel limfosit. Sel ini berfungsi dalam memerangi
infeksi yang masuk ke dalam tubuh. Pada orang dengan sistem kekebalan yang
baik, jumlah CD4 berkisar antara 1400-1500 sel/L. Pada penderita HIV/AIDS
jumlah CD4 akan menurun dan dapat menyebabkan terjadinya infeksi oportunistik.
Umumnya muncul jika dijumpai keadaan immunodefisiensi berat (jumlah limfosit
CD4 < 200 sel/mm3).
Hubungan infeksi oportunistik dan jumlah sel CD4 pada penderita HIV (secara
umum) :
JUMLAH SEL PATOGEN MANIFESTASI
CD4
200-500/mcl S.pneumoniae, H.influenzae Community-Aquired
Pneumonia(CAP)
M.tuberculosis TB paru
C.albicans Sariawan, candida vagina
HSV 1 dan 2 Herpes orolabial, genital, perirectal
Virus Varicela-Zoster Ruam pada saraf
Virus Epstein-Barr Oral hairy leukoplakia
Human Hervesvirus 8 Sarkoma Kaposi
100-200/mcl Semua di atas, ditambah :
P.carinii Pneumonia
C.parvum Diare kronik
50-100/mcl Semua di atas, ditambah :
T.gondii Ensefalitis
C.albocans Ensefalitis
C.neoformans Meningitis
H.capsulatum Penyakit diseminata
Microsporidia Diare kronik
M.tuberculosis TB diseminata/
Ekstrapulmoner
R.equi Pneumonia
HSV 1 dan 2 HSV diseminata
Virus Varicella-Zoster VZV diseminata
Virus Epstein-Barr Limfoma primer SSP
<50/mcl Semua di atas, ditambah :
M.avium complex MAC diseminata
Cytomegalovirus Retinitis, diare, ensefalitis
Infeksi oportunistik pada SSP muncul secara tidak langsung sebagai akibat dari
proses immunosupresi konkomitan berupa infeksi opportunistik dan neoplasma.
Dapat dibedakan menjadi
Patogen viral
Ensefalitis sitomegalovirus
Leukoensefalopati multifokal progresif
Patogen non-viral
Ensefalitis toksoplasmas
Meningitis kriptokokus
V. GAMBARAN KLINIS
Gejala toxoplasmosis cerebral tidak bersifat spesifik dan agak sulit untuk
dibedakan dengan penyakit lain seperti lymphoma, tuberculosis dan infeksi HIV
akut. Toksoplasmosis dapatan tidak diketahui karena jarang menimbulkan gejala.
Gejala yang ditemui pada dewasa maupun anak-anak umumnya ringan.
Apabila menimbulkan gejala, maka gejalanya tidak khas seperti demam,
nyeri otot, sakit tenggorokan, nyeri dan ada pembesaran kelenjar limfe servikalis
posterior, supraklavikula dan suoksiput. Pada infeksi berat, meskipun jarang, dapat
terjadi sefalgia, muntah, depresi, nyeri otot, pneumonia, hepatitis, miokarditis,
ensefalitis, delirium dan dapat terjadi kejang.[4]
Gejala-gejala klinis pada toksoplasmosis pada umumnya sesuai dengan
kelainan patologi yang terjadi dapat digolongkan menjadi dua kelompok yaitu
gejala-gejala klinis pada toksoplasmosis congenital dan toksoplasmosis didapat.
Gejala cerebral toksoplasma atau dikenali sebagai toksoplasma otak
termasuk ensefalitis, demam, sakit kepala hebat yang tidak ada respon terhadap
pengobatan, lemah pada satu sisi tubuh, kejang, kelesuan, kebingungan meningkat,
masalah penglihatan, vertigo, afasia, masalah berjalan, muntah dan perubahan
kepribadian. Tidak semua pasien menunjukan tanda infeksi. Pada ensefalitis fokal
ditemukan nyeri kepala dan rasa bingung kerna adanya pembentukan abses akibat
dari terjadinya infeksi toksoplasma. Pasien dengan sistem immunonya menurun,
gejala-gejala fokalnya cepat sekali berkembang dan penderita mungkin akan
mengalami kejang dan penurunan kesadaran.[4]
Toksoplasmosis serebral sering muncul dengan onset subakut dengan gejala
fokal nerologik. Walaubagaimanapun, terdapat juga onset yang tiba-tiba disertai
kejang atau pendarahan serebral. Hemiparesis dan gangguan percakapan sering
ditemui sebagai gejala klinis awal.
Keterlibatan batang otak bisa menghasilkan lesi saraf cranial dan pasien
akan mempamerkan disfungsi serebral seperti disorientasi, kesadaran menurun,
lelah atau koma. Pengibatan medulla spinalis akan menghasilkan gangguan motorik
dan sensorik bagi beberapa anggota badan serta kantung kemih atau kesakitan
fokal.[4]
VI. DIAGNOSIS
Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan serologi, biopsi jaringan,
isolasi T gondii dari cairan tubuh atau darah dan pemeriksaan DNA parasit.Pada pasien
dengan suspek toxoplasmosis, pemeriksaan serologi dan pencitraan baik Computed
Tomography (CT) atau Magnetic Resonance Imaging (MRI) biasanya digunakan untuk
membuat diagnosis. Terapi empirik untuk toxoplasmosis cerebral harus
dipertimbangkan untuk pasien yang terinfeksi HIV. Biopsi dicadangkan untuk
diagnosis pasti atau untuk pasien yang gagal dengan terapi empirik. [1][13]
Pada pemeriksaan serologi didapatkan seropositif dari anti-T gondii IgG
dan IgM. Pemeriksaan yang sudah menjadi standar emas untuk mendeteksi titer
IgG dan IgM T gondii yang biasa dilakukan adalah dengan Sabin-Feldman dye test,
tapi pemeriksaan ini tidak tersedia di Indonesia. Deteksi antibodi juga dapat
dilakukan dengan indirect fluorescent antibody (IFA), agglutinasi, atau enzyme
linked immunosorbent assay (ELISA). Titer IgG mencapai puncak dalam 1-2 bulan
setelah infeksi kemudian bertahan seumur hidup. Anti bodi IgM hilang dalam
beberapa minggu setelah infeksi.[13][15]
Pemeriksaan cairan serebrospinal jarang berguna dalam diagnosis
toxoplasmosis cerebral dan tidak dilakukan secara rutin karena resiko dapat
meningkatkan tekanan intrakranial dengan melakukan pungsi lumbal. Temuan dari
pemeriksaan cairan serebrospinalmenunjukkan adanya pleositosis ringan dari
mononuclear predominan dan elevasi protein.[1]
Pemeriksaan Polymerase chain reaction (PCR) untuk mendeteksi DNA T
gondii dapat berguna untuk diagnosis toxoplasmosis. PCR untuk T gondii dapat
juga positif pada cairan bronkoalveolar dan cairan vitreus atau aqueous humor dari
penderita toxopasmosis yang terinfeksi HIV. Adanya PCR yang positif pada
jaringan otak tidak berarti terdapat infeksi aktif karena tissue cyst dapt bertahan
lama berada di otak setelah infeksi akut. PCR pada darah mempunyai sensitifitas
yang rendah untukdiagnosis pada penderita AIDS.[1][11]
Toxoplasmosis juga dapat didiagnosis dengan isolasi T gondii dari kultur
cairan tubuh atau spesimen biopsi jaringan tapi diperlukan waktu lebih dari 6
minggu untuk mendapatkan hasil kultur. Diagnosis pasti dari toxoplasmosis adalah
dengan biopsi otak, tapi karena keterbatasan fasilitas, waktu dan dana sering biosi
otak ini tidak dilakukan. Upaya isolasi parasit dapat dilakukan dengan inokulasi
mouse atau inokulasi dalam jaringan kultur sel dari hampir semua jaringan manusia
atau cairan tubuh. Pasien dengan toxoplasmosis cerebral ditemukan
histopatologitachyzoitpadajaringanotak.[1][15]
Pada kebanyakan pasien imunodefisiensi dengan toxoplasmosis cerebral,
CT scan menunjukkan gambaran beberapa lesi otak bilateral. Studi pencitraan
biasanya menunjukkan beberapa lesi terletak di wilayah korteks serebral ,
corticomedullary junction , atau ganglia basal. Meskipun begitu, lesi tunggal juga
kadang-kadang muncul pada penderita toxoplasmosis cerebral. Karakteristik
toxoplasmosis cerebral adalah asimetris, yang memberi gambarn abses cincin
dengan kedua CT dan MRI. CT scan tanpa kontras dapat memperlihatkan lesi
hipodens dalam otak yang mungkin keliru pada lesi otak fokal tipe lain, namun ,
CT Scan ulang dengan kontras akan memperlihatkan lesi otak dengan gambaran
khas ring enhancement dan disertai edema vasogenik pada jaringan sekitarnya.[14]
Pada T1 weighted MRI , toxoplasma memprelihatkn lesi dengan intensitas sinyal
rendah berhubung dengan sisa dari jaringan otak . Pada T2 weighted MRI
, lesi biasanya dengan intensitas sinyal tinggi. MRI adalah modalitas pilihan untuk
mendiagnosis dan memantau respon terhadap pengobatan toxoplasmosis karena
lebih sensitif dari CT untuk mendeteksi beberapa lesi.[1][15]
AAN Quality Standards subcommittee (1998) merekomendasikan
penggunaan terapi empirik pada pasien yang diduga toxoplasmosis cerebral selama
2 minggu, kemudian dimonitor lagi setelah 2 minggu, bila ada perbaikan secara
klinis maupun radiologik, diagnosis adanya toxoplasmosis cerebral dapat
ditegakkan dan terapi ini dapat di teruskan.Lebih dari 90% pasien menunjukkan
perbaikan klinis dan radiologik setelah diberikan terapi inisial selama 10-14 hari.
Jika tidak ada perbaikan lesi setelah 2 minggu, diindikasikan untuk dilakukan
biopsi otak.[1]
VII. PENATALAKSANAAN
Terapi utama pada toxoplasmosis serebral akut ialah pirimetamin(obat anti
malaria) dan sulfadiazine. Kombinasi antara pirimetamin dengan sulfadiazin
(antibiotik) ini menunjukkan aktivitas sinergis dalam mengeradikasi toxoplasma
gondii karena dapat menyebabkan inhibisi secara terus menerus terhadap jalur
sintesis asam folat. Leucovorin haruslah ditambah untukmencegah komplikasi
pendarahan karena efek samping untuk regimen kombinasi ini adalah penurunan
jumlah trombosit atau trombositopenia. Pengobatan untuk ibu hamil yang terinfeksi
toksoplasma gondii sama dengan individu-individu lain, tetapi para ibu haruslah
diberi informasi bahwa sulfadiazine bisa menyebabkan bayinya hiperbilirubinemia
dan kernikterus.[1] Terdapat regimen alternatif untuk pasien yang intoleransi
terhadap sulfadiazin atau pirimetamin. Kombinasi yang sering dipakai dalam
menangani kasus toksoplasma serebral selain pirimetamin dan sulfadiazin ialah
trimetoprim dengan sulfamethoxazole, klindamisin dengan pirimetamin, dan
claritromisin dengan pirimetamin. Klindamisin dengan pirimetamin diberikan pada
pasien yang tidak bisa toleransi terhadap sulfonamid.
[1][2]
Penyebab abnormalitas sistem saraf pusat pada pasien HIV yang sudah berat
(CD4 T sel <50 sel/L) termasuklah toksoplasmosis serebral (19% dari semua pasien
dengan gejala lesi di otak), limfoma sistem saraf pusat primer (4%-7%),
leukoensefalopati multifokal progresif, HIV ensefalopati dan ensefalitis
sitomegalovirus. Infeksi-infeksi dari etiologi lain ialah tuberkulosis, stafilokokkus,
streptokokkus, salmonella, kriptokokkus, histoplasmosis dan meningovaskuler
syphilis.[1]
IX. PENCEGAHAN
Non farmakologi
Pemeriksaan antitoksoplasma IgG antibodi harus dilakukan sebaik mungkin
pada pasien yang didiagnosis dengan HIV-AIDS untuk melihat faktor-faktor resiko
terjadinya toksoplasmosis akut. Pasien dengan hasil laboratorium seronegatif harus
diperiksa ulang apabila jumlah CD4 T sel menurun di bawah 100 sel/L untuk
melihat apakah telah terjadi serokonversi. Semua pasien dengan infeksi HIV harus
diberikan edukasi mengenai cara menjaga makanan karena penularan toxoplasma
gondii bisa melalui makanan.Jadi makanan yang dikonsumsi terutamadaging harus
benar-benar masak (pada suhu 116 derajat celcius). Tangan harus dicuci sebelum
dan setelah menyentuh makanan. Buah-buahan dan sayur-sayuran harus dicuci
bersih.[1]
Hindari menyentuh barang yang kemungkinan terkontaminasi dengan
kotoran kucing.Jika ada kotoran kucing, maka harusdibersihkan untuk menghindari
maturasi sel-sel telur toxoplasma gondii. Sewaktuberkebun, harus memakai sarung
tangan untuk menghindari transmisi toxoplasma gondii yang ada di tanah ke tangan
manusia.[1]
Farmakologi
Pada pasien dengan seropositif, profilaksis primer direkomendasikan pada
pasien dengan T gondii seropositif yang memiliki jumlah CD4 T-sel <100/L dan
pada pasien dengan CD4 T-sel <200/L yang mempunyai infeksi oportunistik atau
malignansi. Profilaksis dengan menggunakan regimen trimetoprim-
sulfamethoxazole pada pasien dengan jumlah CD4 T sel <100/L menunjukkan
pengurangan risiko terinfeksi toksoplasmosis sebanyak 73%.Pasien-pasien yang
tidak mendapat terapi pemeliharaan selepas menjalani terapi fase akut mempunyai
kadar kekambuhan antara 50%-80%. Mereka harus mendapat terapi pemeliharaan
selepas 6 minggu menjalani terapi fase akut. Insiden infeksi oportunistik termasuk
toksoplasma serebral sudah berkurang,terutama di daerah di mana penggunaan
antiretroviral terapi bisa didapatkan. Terapi HAART (Highly Active Anti Retro
viral) berhasil mengurangi kekambuhan dan berhasil memperbaiki kualitas hidup
pada pasien-pasien HIV. Hal ini dikarenakan terapi itu berhasil menekan replikasi
virus dan meningkatkan jumlah CD4+ limfosit yang mana akan turut memperbaiki
sistem imunitas pasien.[1]
X. PROGNOSIS
Jika tidak didiagnosis dan diterapi dengan tepat, toksoplasmosis serebral
bisa menyebabkan kecacatan bahkan kematian. Terapi profilaksis adalah kunci
mencegah terjadinya onset penyakit. Dengan adanya terapi HAART (Highly Active
Anti Retroviral Terapi), maka insiden kekambuhan infeksi toksoplasmosis serebral
dapat dikurangi.[1]
XI. KOMPLIKASI
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus, dari anamnesa didapatkan keluhan utama pasien adalah nyeri
kepala seperti dipukul pukul dan semakin memberat setiap harinya. Pasien
merupakan penderita hiv/aids dengan jumlah CD4 14 cells. Dari hasil
pemeriksaan psikiatri didapatkan halusianasi auditorik dengan ide curiga, kemudia
pemeriksaan neurologis tidak didapatkan adanya penurunan kekuatan otot maupun
defisit neurologis lainnya. Dilakukan pemeriksaan penunjang berupa darah rutin,
fungsi ginjal, fungsi hati, gds, dan elektrolit dalam batas normal, akan tetapi dari
hasil pemeriksaan serologi torch didapatkan IgG toxoplasmosis dan toxoplasmosis
IgG Aviditas yang tinggi.
Toksoplasmosis serebral adalah penyakit infeksi opportunistik biasanya
menyerang pasien-pasien dengan HIV-AIDS dan merupakan penyebab paling
sering terhadap abses serebral pada pasien-pasien ini.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaaan fisik, pemeriksaan psikiatri dan
penunjang, pasien dapat didiagnosis abses cerebri toxoplasmosis. Nyeri kepala
terus menerus dan semakin bertambah sakit dari sebelumnya Hal ini didukung
dengan adanya pernyataan bahwa gejala-gejala peningkatan tekanan itrakranial
disebabkan oleh tekanan yang berangsur-angsur terhadap otak akibat pertumbuhan
tumor sehingga terjadi nyeri kepala. Nyeri kepala yang dihubungkan dengan tumor
otak disebabkan oleh traksi dan pergeseran struktur peka nyeri dalam rongga
intrakranial. Hal ini dapat diperkuat dengan pasien menderita HIV/AIDS dengan
jumlah CD4 14 cells dengan penyakit oppurtunistik toxoplasmosis. IgG Aviditas
yang tinggi mengindikasikan bahwa pasein telah lama menderita toxoplasmosis.
Terapi dalam kasus ini diberikan inj dexamethason 1A/6 jam dimana
menurut literarur pemberian golongan kortikosteroid diindikasi kan untuk oedema
vasogenik. Pemberian kortikosteroid yang bertujuan untuk memberantas edema
otak. Pengaruh kortikosteroid terutama dapat dilihat pada keadaan-keadaan seperti
nyeri kepala yang hebat, defisit motorik, afasia dan kesadaran yang menurun.
Mekanisme kerja kortikosteroid belum diketahui secara jelas. Beberapa hipotesis
yang dikemukakan: meningkatkan transportasi dan resorbsi cairan serta
memperbaiki permeabilitas pembuluh darah. Perbaikan sudah ada dalam 24-48
jam. Jenis kortikosteroid yang dipilih yaitu glukokortikoid; yang paling banyak
dipakai ialah deksametason, selain itu dapat diberikan prednison atau prednisolon.
Dosis deksametason biasa diberikan 4-20 mg intravena setiap 6 jam untuk
mengatasi edema vasogenik (akibat tumor) yang menyebabkan tekanan tinggi
intrakrania. Pemberian Pirimethamine (200-mg oral dosis inisial, dilanjutkan
dengan 5075 mg/day secara oral) and klindamisin(600 mg intravena [IV] atau oral
4 kali sehari) sesuai dengan guideline, dimana pada kasus ini diberikan primetamin
2x 25 mg dan clindamisin 4x 300 mg.
DAFTAR PUSTAKA