Anda di halaman 1dari 289

Fatchul Muin

Maungkai Budaya
Esai-esai Kontemplatif tentang
Bahasa, Sastra, Seni, Pendidikan dan Politik

i
Muangkai Budaya

Perpustakaan Nasional:
Katalog dalam Terbitan (KDT)

Maungkai Budaya
Fatchul Muin,
Scripta Cendekia,
Banjarbaru 2009
xiv + 274 halaman, 15,5 x 23 cm
ISBN: 979-17096-9-6

Editor/Penyunting:
Rusma Noortyani dan Sainul Hermawan
Perwajahan: Hambali
Pracetak: Agvenda

Cetakan Pertama: Maret 2009

Diterbitkan oleh:
Scripta Cendekia
Jl. Nusantara V.1
Balitra Jaya Permai
Banjarbaru
Telp. 0511-4788347

ii
PRAKATA

etelah artikel-artikel atau esai-esai mencapai jumlah cukup


S banyak sebagian besar terpublikasikan melalui surat kabar, dan
sebagian kecil, melalui jurnal, dan beberapa yang lain masih menjadi
dokumen pribadi sebenarnya saya berkeinginan untuk
menerbitkannya dalam bentuk buku. Keinginan itu telah lama menjadi
keinginan semata. Untungnya, ada seorang kawan yang sangat baik
dan penuh perhatian. Atas anjuran dan dorongannya, saya nekad
untuk mewujudkan keinginan itu. Namun proses penerbitan buku
ini cukup panjang. Dalam proses cukup panjang itu, pada awalnya
saya sangat bersemangat. Ketika proses penyuntingan telah berjalan
tujuh puluh lima persen, tiba-tiba upaya untuk membukukan sejumlah
tulisan itu, sempat terhenti. Dua hal utama menjadi penyebabnya.
Rasa ragu-ragu adalah salah satunya. Ya, saya ragu apakah tulisan-
tulisan saya itu layak diterbitkan dalam sebuah buku. Dan, pemberian
judul atas kumpulan tulisan adalah penyebab keduanya. Rasa ragu
dan lamanya menemukan judul itu benar-benar hampir menghentikan
niat untuk menerbitkan buku itu.
Judul-judul yang sempat muncul melibatkan kata/istilah:
bianglala, pelangi, menulis, meretas, dan beberapa kata/istilah lain yang
tidak populer. Semuanya tertolak, sebab bianglala milik Ahmad Tohari,
pelangi milik Andrea Herata, menulis milik EWA, dan meretas milik
Daud Pamungkas. Melalui diskusi cukup panjang dengan Sainul
Hermawan, judul didapat, yakni Maungkai Budaya (Esai-esai
Kontemplatif tentang Bahasa, Sastra, Seni, Pendidikan dan Politik).
Kata maungkai berasal dari bahasa Banjar, yang berarti
menyingkap, mengungkap. Maungkai Budaya dalam judul buku ini

iii
Muangkai Budaya

dimaksudkan untuk merujuk pada upaya merespons feneomena-


fenomena kehidupan manusia (kebudayaan) yang tentu saja menarik
minat, dalam wujud esai. Ya, esai yang menyangkut bahasa, sastra,
seni, pendidikan dan politik sebagai bagian tak terpisahkan dari
kebudayaan. Diharapkan, kumpulan esai itu dapat menjadi bahan
renungan bagi khalayak pembaca.
Dalam menanggapi fenomena-fenomena kehidupan manusia
, saya tidak berpretensi sebagai pemilik kemampuan memadai
tentang kebudayaan. Pengetahuan yang serba sedikit tentang
kebudayaan dimanfaatkan sebagai alat atau sarana untuk
menanggapi fenomena-fenomena kehidupan dalam bentuk artikel
atau esai.
Bagian pertama menyorot bahasa dan fenomena bahasa.
Sebagaimana diketahui bahwa bahasa merupakan salah satu hal
penting bagi manusia. Bahasa Indonesia merupakan sarana
persatuan bagi bangsa Indonesia; ia mengemban fungsi sebagai
bahasa resmi, bahasa pengantar pendidikan, dan lain-lain. Sebagai
bahasa yang sangat penting bagi bangsa Indonesia, selayaknyalah
ia dikuasai dengan baik oleh seluruh anak bangsa. Kita, terutama
keluarga, memiliki tanggung jawab membina anak-anak kita untuk
menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Bahasa daerah tak kalah pentingnya bagi kita. Sebelum anak-
anak kita menguasai bahasa Indonesia, umumnya, mereka telah
mengenal dan menggunakan bahasa daerah. Agar penggunaan
bahasa daerah tidak terkontaminasi oleh unsur-unsur bahasa lain
(terutama bahasa asing), maka kita perlu mengupayakan keaslian
dan kelestariannya. Kita hendaknya tidak menuduh begitu saja
bahwa anak-anak kita, generasi muda kita, mulai meninggalkan atau
kurang memperhatikan bahasa daerah, atau dengan kata lain,
mereka cenderung menggunakan bahasa daerah tanpa
memperhatikan kaidah. Kita semestinya bertanya kepada diri kita
apa yang telah kita lakukan dalam upaya membina anak-anak kita
agar dapat berbahasa daerah secara benar.
Pembelajaran bahasa asing, khususnya, bahasa Inggris di In-
donesia, seringkali dijadikan bahan pembicaraan. Anak-anak Indo-
nesia banyak yang gagal dalam belajar bahasa Inggris. Mereka tidak
mampu berbicara dan menulis walau telah belajar bahasa asing itu
iv
Prakata

selama bertahun-tahun. Dua artikel menyorot tentang bagaimana


belajar bahasa Inggris guna mencapai penguasaan bahasa Inggris
yang ideal. Penguasaan bahasa Inggris yang ideal mengacu pada
penguasaan bahasa Inggris dalam empat keterampilan berbahasa.
Masyarakat Indonesia bisa dikatakan sebagai masyarakat bi-
lingual atau multilingual. Dalam masyarakat yang demikian,
penggunaan bahasa sering menimbulkan fenomena kebahasaan
yang secara normatif tidak dibenarkan. Fenomena itu seringkali
mengacu pada interferensi, alih kode atau campur kode. Idealnya,
penggunaan bahasa itu mengacu pada apa yang disebut oleh Dr.
Istiati Soetomo sebagai tunggal bahasa. Namun, dalam situasi
bilingualistik atau multilinguistik, seringkali kita temukan peristiwa
interferensi, alih kode atau campur kode. Hal ini disebabkan oleh
kenyataan bahwa dalam upaya berinteraksi dan berkomunikasi
manusia tak bebas; ia sangat dipengaruhi atau dikendalikan oleh
budayanya. Budaya (di dalamnya terdapat norma-norma, aturan-
aturan) seringkali memaksa pemakai bahasa untuk melakukan
interferensi, alih kode atau campur kode.
Bagian kedua mengungkap karya sastra, penulisan karya sastra,
moralitas dalam sastra, dan memahami karya sastra, serta
pemanfaatan karya sastra untuk memahami masyarakat. Asbabun
nuzul tulisan-tulisan tentang sastra ini berkait dengan semangat
menggebu penulis usai menyelesaikan studi dari Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta. Pengetahuan tentang kesastraan yang serba
sedikit dicobakembangkan dalam kegiatan menulis tentang karya
sastra usai membaca ulasan tentang sastra dan atau mengikuti
kegiatan diskusi, seminar atau lokakarya penulisan karya sastra.
Bagian ketiga berbicara tentang seni. Seni dan kegiatan seni
yang penulis amati adalah seni yang ditayangkan di televisi. Tulisan-
tulisan tentang seni muncul setelah banyak orang menghebohkan
tayangan televisi yang mengobral pornografi dan atau pornoaksi.
Ini terjadi hampir bersamaan dengan upaya penyusunan dan
pembahasan Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan
Pornoaksi (RUU-APP), yang kini telah diundangkan sebagai UU
Anti Pornografi. Tayangan televisi yang mempertonkan pornografi,
mungkin saja, akan menimbulkan dampak negatif pada para
pemirsanya, khususnya anak-anak dan generasi muda kita.
v
Muangkai Budaya

Bagian keempat berkaitan dengan pendidikan. Artikel pertama


dari bagian ini menyangkut plagiarisme. Munculnya tulisan ini
diilhami oleh pembacaan penulis tentang plagiarisme sewaktu
mengambil mata kuliah Metode Penelitian Sastra di Program
Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dan
dilatarbelakangi oleh sinyalemen tentang adanya jual jasa
penulisan skripsi atau karya ilmiah lain. Artikel-artikel selebihnya
muncul sebagai respons terhadap gagasan, masalah dan sejenisnya
tentang penyelenggaraan pendidikan, seperti Ujian Nasional dan
sisi-sisi lain dari penyelenggaraan pendidikan. Sejumlah tulisan yang
muncul belakangan dimasukkan dalam buku ini.
Bagian kelima menyoroti masalah-masalah yang bersinggungan
dengan politik. Artikel-artikel tentang politik ini dimaksudkan
untuk urun rembug, terutama, dalam pelaksanaan Pemilihan Umum
2004, Pemerintahan (Daerah), Pemilihan Rektor Unlam (2005), dan
Pemilihan Pembantu Dekan Bagian Akademik Pengganti
Antarwaktu (2006). Menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum 2004,
penjaringan bakal/ calon anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU)
sangat ramai dibicarakan, baik di kalangan masyarakat maupun
pers. Bermunculan tanggapan, berita dan opini di surat kabar.
Berkenaan dengan itu, penulis juga menyampaikan tanggapan atau
pandangan via surat kabar tersebut.
Beberapa kali terlibat dalam kegiatan Safari Jumat yang
dilakukan oleh Bupati Batola dan memperhatikan kondisi Pasar
Selidah di Handil Bakti, penulis mencobaapungkan gagasan dalam
beberapa artikel. Dua artikel di antaranya tersaji dalam buku ini.
Pemilihan Rektor Unlam (2005) disambut secara antusias oleh
segenap warga Unlam Banjarmasin. Antusiasme ini diakibatkan oleh
kenyataan bahwa Pemilihan Rektor waktu itu berbeda dengan
pemilihan-pemilihan rektor sebelumnya. Dosen, Mahasiswa dan
Karyawan dilibatkan dalam proses pemilihan awal, walau pada
akhirnya Senat Unlam yang menentukan pilihan mereka. Kondisi
ini memberikan insprirasi pada penulis untuk menghasilkan artikel
tentang pemilihan rektor di Unlam. Sementara itu, pemilihan
Pembantu Dekan I Pengganti Antarwaktu meninggalkan kesan
kurang nyaman, khususnya, pada diri penulis. Kala itu, penulis
merupakan salah satu anggota panitia pemilihan. Kesan itu tertuang
vi
Prakata

dalam sebuah artikel sebagai kilas balik pemilihan salah satu pejabat
di lingkungan FKIP Unlam itu. Sejumlah tulisan berkait dengan topik
ini ditambahkan sebagai bagian dari tema politik.
Sekali lagi, penulis tidak berpretensi sebagai pemilik
kemampuan memadai untuk memberikan tanggapan atau bahkan
protes terhadap masalah-masalah sebagaimana terurai dalam
semua tulisan yang disajikan. Dalam hal ini, tentu saja, kekurangan
atau kelemahan banyak ditemukan dalam tulisan-tulisan itu. Kritik
dan saran dari pembaca yang budiman, sangatlah diharapkan.

Handil Bakti, Barito Kuala


Pebruari 2009
Penulis

vii
Muangkai Budaya

viii
UCAPAN TERIMA KASIH

ari sejumlah esai yang ada, Saudara Sainul Hermawan,


D mengelompokkannya dalam lima kelompok: bahasa, sastra,
seni, pendidikan dan politik. Atas anjuran, dorongan dan
kesediaannya, saya sampaikan ucapan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya. Tanpa dia, sejumlah artikel
atau esai tetap saja dalam keadaan bahamburan di mana-mana,
dan tak tertutup kemungkinan, akan habis dimakan rayap.
Buku ini terwujud karena dukungan banyak pihak. Pihak
pertama adalah penyunting. Dia, di samping bersedia melakukan
proses penyuntingan, adalah orang pertama menganjurkan dan
mendorong saya untuk membukukan artikel dan esai saya. Kedua
adalah Ersis Warmansyah Abbas, seorang motivator, yang selalu
memberikan semangat dan dorongan untuk bisa menerbitkan buku.
Ketiga adalah para donatur: Dekan FKIP Unlam, Ketua Jurusan
Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP Unlam, Ketua Program Studi
Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Unlam, Pengurus Ikatan Mahasiswa
Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, dan Saudara Agus
Zunaidi Karim.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada istri, Dina
Indayati dan kedua: Fahrina Galuh Larasati dan Galih Rizki Khairul
Ulum, yang telah merelakan waktu kebersamaan mereka, tersita.
Kepada ayah, Sihyar Imodimedjo (kini, almarhum) dan ibu saya,
Hj. Sunariyah, saudara-saudara saya: Saifuddin, Masrur, Binti
Maspupah, Nur Hasyim, Mansur Arifin, Laili NS, disampaikan
ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya, atas
dorongan, kesabaran dan kerelaan mereka selama ini.

ix
Muangkai Budaya

Juga kepada kedua mertua, H. Abdul Karim dan Hj. Kiptiyah,


dan saudara-saudara ipar, Munir Sultoni, Agus Zunaidi, dan Ratna
Widyawati berikut istri dan suami mereka, penulis sampaikan rasa
hormat dan terima kasih, atas pemberian semangat, dorongan dan
nasihat serta kesedian mereka untuk menjadi teman-teman diskusi
dan ngobrol ngalor-ngidul saat saya menghadapi persoalan.

Handil Bakti, Barito Kuala


Pebruari 2009
Penulis

Fatchul Muin

xiv
Catatan Penyunting
PEMIKIR SEJATI, PENDENGAR YANG BAIK

dalah kehormatan berharga bagi kami mendapat kesempatan


A menyunting tulisan kolega yang memiliki perhatian terhadap
dimensi hidup yang begitu beragam. Mengapa? Karena
memposisikan kolega muda seperti kami baginya tentu merupakan
apresiasi yang mahal harganya. Apalagi dalam atmosfer yang masih
marak memperbincangkan pemapanan eksistensi posisi senior dan
yunior. Dengan cara inilah sidin menawarkan bentuk interaksi yang
baru dalam atmosfer semacam itu, yaitu semacam sikap yang
mencoba meruntuhkan dinding pembatas senioritas. Kedua, melalui
kesempatan penyuntingan ini kami berpeluang untuk mempelajari
apa yang belum kami tahu dan apa yang telah kami ketahui tetapi
mulai pudar dari ingatan.
Dalam proses penyuntingan, kami berusaha menjadi dewa yang
baik bagi tulisannya. Setiap keanehan tidak langsung kami buang. Kami
lebih suka mendiskusikannya terlebih dahulu sebelum melakukannya.
Ada sejumlah esai yang terpakasa harus keluar dari daftar isi karena
telah dipublikasikan di buku lain. Selain membenahi kealpaan tulis dan
logika bahasa yang mungkin menghalangi pemahaman pembaca, saya
juga mengusulkan kepada penulis untuk menata isi sedemikian rupa
sehingga penyajiannya menjadi relatif enak dipandang mata dan
nyaman dibaca oleh mata. Alhasil, penulis benar-benar pendengar yang
baik dan sangat apresiatif dan akomodatif terhadap tawaran-tawaran
tersebut. Jadi, kendala penyuntingan buku ini menjadi lebih ringan
karena sikap penulisnya yang demikian ramah.
Kumpulan esai dalam buku ini menunjukkan bahwa sang
penulis bukan sekadar pendengar yang baik, melainkan pengamat

xi
Muangkai Budaya

yang sabar mengamati dan mencerna beragam peristiwa di


sekitarnya dan mengikat maknanya dalam tulisan-tulisannya.
Beragam tema yang diulasnya pun memperlihatkan dia sebagai
seoarang intelektual organik, yang menjelajahi wacana sampai jauh
ke luar batas-batas keilmuannya sendiri. Kami merasa merasa
bahagia mendapatkan kesempatan pertama membaca seluruh
tulisannya melalui kegiatan penyuntingan. Kami menyadari kerja
kami masih kurang sempurna. Segala kekuarang jelian atas
kesalahan penulisan tanda baja dan ejaan, sepenuhnya tanggung
jawab kami. Semoga, pada cetakan berikutnya kesalahan tersebut
dapat diminimalkan.

Banjarmasin, Pebruari 2009

xii
DAFTAR ISI
PRAKATA.................................................................................. iii
UCAPAN TERIMA KASIH ........................................................... ix
CATATAN PENYUNTING ........................................................... xi
DAFTAR ISI .................................................................................. xiii
I. BAHASA ....................................................................................... 1
1. Pembinaan Bahasa Indonesia dalam Keluarga........................ 3
2. Bahasa Inggris Sejak Dini itu Perlu? .......................................... 8
3. Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Situasi
Keanekabahasaan .................................................................. 12
4. Bahasa dalam Perspektif Sosial Budaya ................................. 24
5. Bahasa dan Budaya Jawa .......................................................... 31
6. Kedwibahasaan ..................................................................... 43
7. Belajar Bahasa Inggris itu Perlu Exposure? ............................. 58
8. Dialog Borneo-Kalimantan VII: Suatu Kilas Balik ................ 62
9. Multilingualisme Dalam Karya Sastra Indonesia .................. 67
II. SASTRA ..................................................................................... 79
1. Memahami Kondisi Sosial Budaya Masyarakat
melalui Karya Sastra .................................................................. 81
2. Menulis ......................................................................................... 85
3. Mencipta Dan Membaca Karya Sastra .................................... 89
4. Pelatihan Penulisan Kreatif, Tak Ada Artinya? .................... 94
5. Tentang Wanita, Prosa dan Ratna: Suatu Kilas Balik .......... 98
6. Karya Sastra Menurut Teori Abrams .................................... 102
7. Sastra dalam Pandangan Interdisipliner............................... 107
8. Manfaat Karya Sastra dalam Pengajaran Bahasa .............. 114
9. Sejumlah Pendekatan dalam Studi Sastra ............................ 119
10. Aspek Moralitas Karya Sastra ................................................ 124
III. SENI............................................................................................... 129
1. Bukan Hanya Buruan Cium Gue ........................................... 131
2. Joget: Antara Seni dan Moral ................................................. 135
xiii
Muangkai Budaya

3. Sisi Lain Sinetron Kita .............................................................. 139


4. Teletubies: Potret Kebersamaan dalam Keberagaman ....... 145
5. Televisi dalam Perspektif Social Responssibility Theory ........ 150

IV. PENDIDIKAN ....................................................................... 155


1. Skripsi dan Plagiarisme............................................................ 157
2. Guru Kusayang, Guru Kau Nistakan? .................................. 162
3. E-Learning Via Information Technology .................................... 166
4. Siswa Gagal Ujian Nasional (Unas): Salah Siapa? .............. 171
5. Program Besar FKIP Unlam? .................................................. 175
6. Kekayaan Yang Terlupakan, Adakah?.................................. 179
7. Sekolah dalam Kondisi Dilematis?......................................... 183
8. Dukungan Dana, APBS, dan Studi Banding ....................... 189
9. Mengapa Ada Pelarangan? ..................................................... 193
10. Universitas Palangka Raya, Selangkah Lebih Maju? .......... 198

V. POLITIK ......................................................................................... 203


1. Dominasi .................................................................................... 205
2. Pemilu Sebentar Lagi!............................................................... 213
3. KPU Kalsel musti Solid ............................................................ 217
4. Tim Seleksi Anggota KPU:
Obyektif Atau Akomodatif?.................................................... 221
5. Tim Seleksi Anggota KPU Juga Harus Jujur ........................ 225
6. Pemilihan Umum 2004 Dan Sejumlah Aspeknya ............... 229
7. Pengawasan Pemilihan Umum .............................................. 233
8. Plus-Minus Penggalian Aspirasi Masyarakat
Dengan Safari Jumat ............................................................... 237
9. Pasar Induk Selidah Handil Bakti:
Besar Tapi Sepi, Mengapa? ..................................................... 243
10. Memahami Karakter Amerika ................................................ 248
11. Jalan Meraih Kursi Rektor Unlam 2005-2010 ...................... 252
12. Verifikasi Bukan Character Assassination ............................... 257
13. Pemilihan Presiden Amerika Serikat ..................................... 261

DAFTAR PUSTAKA ................................................................... 265


RIWAYAT TULISAN .................................................................. 270
RIWAYAT PENULIS ................................................................... 273

xiv
Bahasa

1
Maungkai Budaya

2
PEMBINAAN BAHASA INDONESIA
DALAM KELUARGA

B ulan Oktober telah kita kenal sebagai bulan bahasa. Bulan


Oktober bagi bangsa Indonesia memiliki arti historis tersendiri
karena pada tanggal 28 Oktober 1928 pemuda Indonesia
mengangkat sumpah, antara lain: menjunjung tinggi bahasa persatuan,
bahasa Indonesia.
Sebagai penerus kita hendaknya tetap menggalang persatuan,
sebagaimana yang dicita-citakan oleh pemuda puluhan tahun silam.
Secara khusus kita hendaknya terus membina bahasa yang telah
diikrarkan sebagai bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia.
Membina bahasa Indonesia bukan hanya menjadi tanggung
jawab para pakar bahasa yang berkecimpung dalam bahasa dan
sastra Indonesia, tetapi juga tanggung jawab semua putra dan putri
Indonesia yang cinta tanah air, bangsa, dan bahasa. Dengan
perkataan lain, membina bahasa Indonesia itu kewajiban kita semua,
bangsa Indonesia.
Membina bahasa Indonesia bisa dimulai dari keluarga.
Keluarga, terutama para kaum ibu, sangat mungkin untuk
memberikan bimbingan berbahasa Indonesia secara baik dan benar.
Anjuran untuk menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan
benar sudah sering kita dengar, tetapi belum tentu pemahaman dan
penafsiran kita sama terhadap makna ungkapan itu. Seperti yang
pernah disampaikan oleh Dr. Durdje Durasid (1990), bahwa
berbahasa yang baik adalah berbahasa yang mengandung nilai rasa,
yang tepat dan sesuai dengan situasi pemakaiannya; sedangkan
berbahasa yang benar adalah berbahasa yang secara cermat
mengikuti kaidah-kaidah bahasa yang berlaku.

3
Maungkai Budaya

Peran Keluarga
Sejak lahir, manusia telah memiliki potensi bawaan untuk
mampu berbahasa. Potensi bawaan itu sering dikenal dengan Lan-
guage Acquisition Device (LAD) atau Alat Pemerolehan Bahasa. LAD
dapat berfungsi bila sejak dilahirkan manusia itu berada di
lingkungan manusia, lingkungan sosial. Lingkungan sosial yang
terkecil adalah keluarganya. Oleh karena itu, keluarga memiliki peran
yang sangat besar dalam proses belajar seseorang (anak). Di antara
anggota-anggota keluarga itu, orang yang paling berperan adalah
kaum ibu (wanita).
Wanita secara tradisional dan umum diakui memegang peranan
penting dalam menentukan kedudukan sosial anak-anaknya. Wanita
memantau dan membimbing anak-anak menjadi peka terhadap
norma-norma yang berlaku. Wanita selalu mengajarkan perilaku,
termasuk perilaku berbahasa, kepada anak-anaknya. Wanita selalu
mencegah anak-anak yang berbahasa tidak baik (mengucapkan kata-
kata jorok atau tabu). Hal-hal semacam itu dilakukan wanita karena
ia sangat dekat dengan anak-anaknya. Jadi, yang tahu segala gerak
gerik anak-anak itu adalah wanita (ibu). Maka, wajarlah bila wanita
diakui berperan sangat penting dalam membina anak-anaknya,
termasuk membina bahasanya.
Bila anak-anak sudah memiliki kemampuan berbahasa yang
cukup baik, dalam arti mereka sudah menguasai kaidah-kaidah
bahasa dan menggunakannya untuk berinteraksi sosial, maka
keluarga, terutama ibu, secara sedikit demi sedikit mengarahkan cara-
cara berbahasa yang baik. Bagaimana mereka harus berbahasa
dengan orang yang lebih tua, bagaimana mereka harus berbahasa
dalam situasi tertentu, dan sebagainya dapat diarahkan oleh
keluarga.

Tutur Lengkap dan Tutur Ringkas


Tutur lengkap (elaborated code) dan tutur ringkas (restricted code)
adalah dua istilah yang dimunculkan oleh Basil Berstein dari Lon-
don University. Menurut Berstein, tutur lengkap cenderung
digunakan dalam situasi-situasi seperti debat formal atau diskusi
akademik. Sedangkan, tutur ringkas cenderung digunakan dalam
suasana tidak resmi seperti dalam suasana santai.

4
Pembinaan Bahasa Indonesia dalam Keluarga

Dalam kaitan dengan pemerolehan bahasa oleh seorang anak,


maka tutur lengkap dan tutur ringkas perlu diangkat ke permukaan.
Tutur lengkap tentu saja mengandung kalimat-kalimat yang lengkap
dan sesuai dengan tuntutan kaidah-kaidah sintaktis yang ada.
Ungkapan-ungkapan dinyatakan secara jelas. Perpindahan dari
kalimat yang satu ke kalimat yang lainnya terasa runtut dan logis,
tidak dikejutkan oleh faktor-faktor non-kebahasaan yang aneh-aneh.
Tutur ringkas sering mengandung kalimat-kalimat pendek, dan
biasanya hanya dimengerti oleh peserta tutur. Orang luar kadang-
kadang tidak dapat menangkap makna tutur yang ada, sebab tutur
itu sangat dipengaruhi antara lain faktor-faktor non-kebahasaan
yang ada pada waktu dan sekitar pembicaraan itu berlangsung.
Bahasa yang dipakai dalam suasana santai antara sahabat karib,
sesama anggota keluarga, antar teman, biasanya berwujud singkat-
singkat seperti itu.
Keluarga sangat berpengaruh dalam proses belajar bahasa si
anak. Dia akan dapat berbahasa secara baik, dalam arti, dapat
menggunakan tutur lengkap bila keluarganya (sebagaimana
disarankan oleh Berstein) bukan positional family, yakni keluarga yang
penentuan segala keputusan tergantung pada status formal dari
setiap anggota keluarga itu. Keluarga yang demikian itu cenderung
mengakibatkan perkembangan kemampuan berbahasa si anak akan
terhambat, karena ia tidak bisa bebas mengutarakan pendapat atau
gagasannya. Lebih-lebih, bila orang tuanya sangat berlaku keras atau
kejam terhadap anak-anaknya, maka hal ini akan berdampak kurang
baik bagi si anak; dia akan cenderung merasa minder bila akan
berbicara baik dengan orang tuanya, gurunya, maupun dengan
sesama temannya. Sebagai akibatnya, dia hanya mampu
menghasilkan tutur ringkas saja. Pada waktu menginjak usia sekolah,
dia terasa sulit mengutarakan gagasannya bahasa yang jelas dan
dengan tutur lengkap, kurang atau tidak memiliki keberanian yang
memadai untuk berbicara sehingga dia akan mau membuka
mulutnya bilamana keadaan memaksa untuk itu. Dan, sangat
mungkin bahwa tuturannya hanya ala kadarnya atau seperlunya.
Keluarga yang ideal dalam kaitan dengan pembinaan
kemampuan berbahasa adalah keluarga yang person-oriented, yakni
keluarga yang segala permasalahan dibicarakan dan didiskusikan
5
Maungkai Budaya

bersama anggota-anggota keluarga. Gagasan atau pemikiran masing-


masing anggota keluarga sangat dihargai. Keluarga yang demikian
itu memungkinkan adanya komunikasi yang terbuka dan diskusi
kecil tentang berbagai masalah yang ada di sekelilingnya. Si anak
pun tidak merasa takut menceritakan berbagai pengalaman yang
dialaminya. Dan, sementara si anak bercerita, orang tua
membimbing anaknya dalam menggunakan bahasa sehingga tanpa
disadari si anak memiliki kemampuan berbahasa yang baik, dengan
tutut lengkap.

Pembinaan Bahasa Indonesia dalam Keluarga


Umumnya, anak-anak Indonesia mempelajari bahasa daerah
pada usia prasekolah. Mereka mempelajari bahasa Indonesia di
sekolah. Pada saat si anak memperoleh pengajaran bahasa Indone-
sia di sekolah, keluarga dapat memantau anak-anak menggunakan
bahasa Indonesia yang baik dan benar. Di samping tetap membina
bahasa daerah, keluarga harus mulai membina bahasa Indonesia
anak-anaknya, dengan memberikan perhatian yang wajar terhadap
bahasa Indonesia.
Karena kebanyakan anak-anak Indonesia itu sebelum
mempelajari bahasa Indonesia, telah menguasai bahasa daerah
mereka masing-masing, maka metode komparatif dapat dipakai
untuk mengajarkan bahasa Indonesia, yakni dengan membandingk-
an antara bahasa daerah dengan bahasa Indonesi. Melalui bahasa
daerah dapat diajarkan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Bahasa Indonesia sejak sumpah pemuda itu terus mengalami
perkembangan dan kini semakin mantap. Kemakinmantapan
bahasa Indonesia itu tidak lain karena para pakar bahasa kita
berupaya terus menerus untuk menyempurnakan bahasa kita,
bahasa Indonesia. Maka dari itu, agar bahasa kita, bahasa Indone-
sia, tetap terbina maka selain para guru, khususnya guru bahasa,
dan para pakar bahasa, keluargapun harus juga memikul tanggung
jawab untuk membina bahasa Indonesia.
Keluarga juga harus mengajarkan bahasa Indonesia yang baik
dan benar kepada anak-anaknya. Membina bahasa Indonesia baku
di lingkungan kelauarga sebagai langkah awal, dapat mempercepat
laju perkembangan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

6
Pembinaan Bahasa Indonesia dalam Keluarga

Dikatakan demikian, karena proses pemerolehan bahasa pada anak


banyak tergantung pada atau dipengaruhi oleh keluarga. Sehingga,
pendidikan dan pembinaan bahasa Indonesia yang baik dan benar
dapat dimulai di lingkungan keluarga, sehingga diharapkan
beberapa tahun mendatang generasi penerus mampu bernalar
dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Sekarang kita mengenal istilah prokem. Prokem adalah
semacam bahasa identitas remaja sekarang. Bahasa ini mampu
mengungkapkan rahasia di antara mereka. Orang luar sering tidak
bisa memahami istilah-istilah yang diungkapkan mereka. Kata-kata
bapak diganti dengan bokap, ibu diganti dengan nyokap, orang tua
diganti dengan ortu. Masih banyak lagi istilah-istilah jorok yang
disingkat agar tidak terdengar tabu oleh mereka. Hal semacam ini
menunjukkan pula, bahwa pembinaan bahasa Indonesia yang baik
dan benar perlu dilakukan di lingkungan keluarga, agar nantinya
remaja kita bisa menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan
benar. Bagaimana menurut Anda?

7
Maungkai Budaya

BAHASA INGGRIS SEJAK DINI ITU PERLU?


(Tanggapan atas tulisan M. Taufiq Rahman)

S audara M. Taufiq Rahman, dalam tulisannya yang berjudul


Bahasa Inggris Sejak Dini, Mengapa Tidak!, memandang perlu
pembelajaran Bahasa Inggris untuk anak-anak. Dia beralasan
bahwa, antara lain, program pengajaran bahasa Inggris dipandang
sebagai investasi jangka panjang sehingga program ini perlu
dilakukan untuk anak didik sejak dini.
Kalau kita cermati, bahwa pengajaran bahasa Inggris di Indo-
nesia telah berjalan sangat lama. Sejak proklamasi kemerdekaan In-
donesia, bahasa Inggris diajarkan sebagai bahasa asing pertama,
sebagai pelajaran wajib, yang diajarkan mulai kelas satu SLTP
sampai kelas tiga SLTA (SMU), dan bahkan pada universitas untuk
beberapa semester. Semua kita, mungkin, telah tahu bahwa berbagai
upaya untuk memperbaiki cara, pendekatan, metode dan sejenisnya
telah dilakukan. Kurikulum telah berkali-kali mengalami perubahan.
Berbagai buku penunjang banyak ditulis dan diterbitkan oleh
berbagai penerbit. Namun, sebagian besar dari kita merasa gagal
untuk memiliki kemampuan berbahasa Inggris baik aktif maupun
reseptif yang memadai. Sementara itu, pada pihak para pembelajar
bahasa Inggris, bahwa bahasa itu dianggap sebagai pelajaran yang
sulit.
Anggapan semacam itu menyebabkan mereka kurang
termotivasi untuk mempelajari bahasa Inggris sampai mereka
memiliki kemampuan berbahasa Inggris yang memadai. Akibatnya,
mereka cenderung bersikap apatis dan kurang bergairah dalam
mengikuti pelajaran bahasa asing itu. Konsekuensi logis dari keadaan

8
Bahasa Inggris Sejak Dini itu Perlu?

ini, prestasi belajar bahasa Inggris mereka kurang menggembirakan.


Lalu siapa yang dipersalahkan? Guru atau murid? Sistem atau
yang lainnya? Tentu saja, kita tidak perlu mencari kambing hitam
atas kekurangmenggembirakannya untuk tidak mengatakan
kegagalan- belajar mengajar bahasa Inggris baik di tingkat SLTP,
SMU maupun di tingkat perguruan tinggi.
Mungkin berangkat dari keadaan belajar mengajar bahasa
Inggris semacam itulah, pembelajaran bahasa Inggris perlu
dilakukan pada anak-anak di tingkat sekolah dasar. Dalam kaitan
ini, saudara M. Taufiq Rahman memandang pembelajaran bahasa
Inggris di tingkat sekolah dasar sebagai upaya untuk menanamkan
pondasi yang kokoh mulai usia dini.
Tentu saja, penanaman pondasi yang kokoh berkait dengan
pembelajaran Inggris tidaklah gampang. Ia tidak bisa dilakukan secara
sembarangan. Mungkin jadi, upaya menanamkan pondisi yang
kokoh, seperti disarankan oleh saudara M. Taufiq itu justru berakibat
tidak terbangunnya pondasi yang kokoh namun pondasi yang rapuh.
Karena, menurut pengamatan sementara saya, sejumlah anak sekolah
dasar tidak merasa happy and fun. Sekedar contoh, anak saya yang
tahun lalu berada di kelas IV, oleh guru bahasa Inggris diberi tugas
membuat daftar kosa dengan huruf inisial a sampai z, masing-masing
5 kata lengkap dengan arti dan cara membacanya. Bagi anak kelas
IV sekolah dasar, membuat tugas semacam itu sangatlah berat. Dilihat
dari segi manapun, sekedar membuat daftar kosa kata seperti itu tidak
ada artinya sama sekali. Justru, kita menjebak mereka dalam situasi
yang mencekam; mereka tidak lagi merasa dalam suasana happy
and fun. Sebab, salah satu pengajaran kosa kata harus didasarkan
pada konteks (Vocabolary in Context).
Dalam perbincangan saya dengan Dra. M.F. Sri Ekonomi, M.Pd,
penggagas dimunculkannya mata kuliah English for Young Learners
pada kurikulum Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris FKIP
Unlam Banjarmasin, berkenaan dengan pengajaran bahasa Inggris
untuk young learners (anak-anak), saya dapat sampaikan beberapa
hal: (1) bahwa pengajaran bahasa Inggris untuk anak-anak memang
perlu, (2) pengajaran bahasa Inggris itu harus didukung oleh
kurikulum, dan (3) guru yang berkesuaian dengan pengajaran bahasa

9
Maungkai Budaya

Inggris untuk anak-anak. Anehnya, menurut Dra. M.F. Sri Ekonomi,


M.Pd., belum didukung oleh sebuah kurikulum, telah muncul buku-
buku pelajaran bahasa Inggris yang dirancang untuk anak-anak
Sekolah Dasar mulai kelas I sampai dengan kelas VI, bahkan di In-
donesia telah beredar buku-buku pelajaran bahasa Inggris untuk
Elementary School di Singapura.
Untuk melengkapi tulisan Saudara M. Taufiq Rahman, perlu
saya sampaikan bahwa bahasa Inggris bukanlah satu-satu bahasa
asing dalam kurikulum sekolah kita. Sebab, pada masa penjajahan
Belanda, bahasa Belanda merupakan pelajaran wajib yang harus
diajarkan di sekolah-sekolah negeri (pemerintah). Bahasa Belanda,
yang merupakan bahasa asing bagi siswa-siswa Indonesia, bukan
hanya diajarkan sebagai mata pelajaran tetapi juga digunakan
sebagai bahasa pengantar pendidikan (medium of instruction) pada
sebagaian besar sekolah negeri. Keberhasilan dalam karir dan sta-
tus sosial pada saat itu tergantung pada penguasaan bahasa asing
(bahasa Belanda) itu. Sebagai konsekuensi logisnya, motivasi instru-
mental (instrumental motivation) untuk belajar bahasa Belanda begitu
tinggi dan kuat. Bahkan banyak orang kita memiliki motivasi
integratif (integrative motivation) untuk belajar bahasa Belanda. Di
samping dipakai sebagai bahasa pengantar pendidikan, bahasa
Belanda juga dipakai sebagai bahasa resmi pada kantor-kantor
pemerintah, dalam bisnis dan bahkan di tempat-tempat kediaman
Belanda yang terpelajar (Ramelan, 1984). Oleh karena itu, tidaklah
mengherankan bila hasil pengajaran bahasa Belanda lebih baik
daripada pengajaran bahasa Inggris dewasa ini.
Kendati tidak mengabaikan pengajaran keterampilan
berbahasa: menyimak, berbicara dan menulis, pengajaran bahasa
Inggris di Indonesia diarahkan kepada pengajaran keterampilan
membaca (reading skill). Dengan demikian, rendahnya kemampuan
menyimak, berbicara dan menulis dalam bahasa Inggris pada para
lulusan SMU harus kita maklumi. Hal ini dikarenakan bahwa tujuan
utama pengajaran bahasa Inggris di sekolah kita secara khusus untuk
mengembangkan kemampuan membaca. Akan tetapi, kenyataan
menunjukkan bahwa kemampuan membaca pun tidak memuaskan.
Saya kira, siapapun tidak akan memungkiri bahwa kebanyakan
lulusan SMU dewasa ini sangat buruk penguasaan bahasa Inggris

10
Bahasa Inggris Sejak Dini itu Perlu?

mereka. Namun, tidaklah bijaksana bila kegagalan pengajaran


bahasa Inggris ini ditimpakan pada salah satu pihak atau bahkan
semua pihak yang berkait dengan pengajaran bahasa Inggris. Banyak
faktor yang menyebabkan ketidakberhasilan pengajaran bahasa
asing itu, di antaranya faktor siswa (yang meliputi motivasi,
ketekunan, persepsi dan lain-lain) dan faktor sosiokultural (yang
mengacu pada bagaimana bahasa Inggris itu digunakan dalam
lingkungan masyarakat: apakah bahasa itu sering digunakan dalam
masyarakat atau apakah diajarkan hanya sebagai suatu mata
pelajaran, atau di samping serting digunakan dalam masyarakat
dan diajarkan sebagai suatu mata pelajaran, apakah juga bahasa
itu digunakan sebagai bahasa pengantar?). Tentu saja, di samping
kedua faktor di atas, faktor guru juga sangat berpengaruh dalam
berhasil atau tidaknya pengajaran bahasa Inggris di Indonesia.
Wallahu alam.

11
Maungkai Budaya

PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA


DALAM SITUASI KEANEKABAHASAAN

T ulisan ini dimunculkan setelah saya berdiskusi dengan seorang


kawan. Diskusi ini berkisar masalah: (1) pengucapan dan penulisan
simbol-simbol budaya Indonesia dalam bahasa Inggris, (2) masuknya
unsur bahasa asing (Inggris) dalam tuturan bahasa Indonesia, dan (3)
masuknya unsur-unsur bahasa (dialek) daerah ke dalam tuturan bahasa
Indonesia. Kawan diskusi, antara lain, mempermasalahkan:
1. Penyebutan atau pengucapan singkatan RRI dengan cara
pengucapan bahasa Inggris, yakni:/a: a: ai/, seperti yang terdengar
dalam siaran berbahasa Inggris RRI. Pengucapan dipandang
tidak benar. Walaupun dalam tindak bahasa dalam bahasa
Inggris, singkatan itu tetap dipertahankan pengucapannya
dengan cara/sistem pengucapan bahasa Indonesia, yakni:/er er
i/. Dasar pemikirannya, bahwa singkatan RRI merupakan simbol
budaya yang melambangkan nama yang bersifat ke-Indonesia-
an; maka ia harus diucapkan atau dilafalkan dengan mengikuti
kaidah bahasa Indonesia. Disarankan, bahwa simbol RRI yang
hendak diucapkan atau dilafalkan dalam bahasa Inggris, maka
terlebih dahulu dipindah polanya dalam bahasa Inggris dan
menjadi Radio of Republic of Indonesia, baru kemudian frasa
ini dilafalkan dalam bahasa Inggris.
2. Penyebutan (penulisan) alamat bersituasi Indonesia dalam tindak
bahasa dengan menggunakan bahasa Inggris. Penyebutan
(penulisan) alamat harus mengikuti kaidah bahasa Indonesia
bukan kaidah bahasa Inggris, seperti terlihat pada kalimat: He
lives in Jalan A. Yani, bukan He lives in A.Yani Street, seperti

12
Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Situasi Keanekabahasaan

dijumpai dalam tulisan mahasiswa Program Studi Pendidikan


Bahasa Inggris semester awal. Alasannya, bahwa frasa Jalan A.
Yani mengacu pada sebuah nama sehingga kata jalan pada frasa
itu tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
3. Penggunaan unsur asing, seperti terlihat dalam kalimat Product
kita tidak kalah dengan product luar negeri, seperti terdengar
pada acara dialog di televisi. (Kata product dilafalkan dalam
bahasa Inggris). Fenomena berbahasa ini juga tidak dibenarkan.
Alasannya, bahwa kata asing itu sudah memiliki padanannya
dalam bahasa Indonesia yakni: hasil atau barang hasil produksi.
Disarankan, bahwa kata product hendaknya dicarikan bentuk
padanannya dalam bahasa Indonesia.
4. Masuknya bahasa atau dialek daerah ke dalam tuturan bahasa
Indonesia, misalnya, penggunaan bentuk sapaan elo, gue, gua,
kata kerja pasif disamperin, dibuntutin, dibantuin, dan sebagainya,
seperti banyak didengar lewat radio-radio stasiun Banjarmasin.
Disarankan, seperti halnya kata product di atas, bahwa sepanjang
kata-kata itu masih ada padanannya, hendaknya penutur
menggunakan kata-kata dalam bahasa Indonesia.

Kedwibahasaan
Kalau kita melihat atau mendengar seseorang memakai dua
bahasa atau lebih dalam pergaulannya dengan orang lain, kita dapat
mengatakan bahwa dia berdwibahasa atau bermultibahasa, dalam
arti dia melakukan kedwibahasaan atau kemultibahasaan atau
keanekabahasaan. Ada sejumlah ilmuwan bahasa berpendapat
bahwa penggunaan lebih dari satu bahasa semacam itu diacu
dengan satu istilah, yakni kedwibahasaan atau bilingualisme. Kata
bilingualisme secara leksikal berarti penggunaan dua bahasa. Kita
ikuti pendapat-pendapat para ahli.
Kedwibahasaan dibatasi oleh Bloomfield sebagai penggunaan
dua bahasa yang sama baiknya antara bahasa ibu (asli) dan bahasa kedua.
Dengan demikian, pengertian kedwibahasaan semacam ini
menyaran pada kelancaran dan ketepatan yang sama seperti
penggunaan bahasa oleh penutur asli dari setiap bahasa itu.
Bila kita beranjak dari gagasan Bloomfield tentang kewiba-
hasaan, lebih jauh kita dapat ikuti penjelasannya dalam buku yang
13
Maungkai Budaya

berjudul Language yang di dalamnya, antara lain, dia menyatakan


sebagai berikut:
In the extreme case of foreign-language learning the speaker becomes so
proficient as to be indistinguishable from the native speaker around him. This
happens occasionally in adult shifts of language and frequently in the child-
hood shift .. In this cases where this perfect foreign-language learning is not
accompanied by loss of the native-language, it results in bilingualism, native-
like control of two languages (Bloomfield, 1935:56).

Dengan demikian, menurut Bloomfield, belajar bahasa asing


yang sempurna tanpa diikuti oleh hilangnya bahasa asli akan terjadi
native-like control of two languages. Namun demikian, penggunaan
dua bahasa atau lebih akan melibatkan latar kontal sosial budaya.
Pada hakikatnya, kontak bahasa adalah salah satu aspek dari kontak
kebudayaan, sedangkan pengacauan kaidah, alih kode maupun
campur kode itu merupan segi dari difusi dan akulturasi budaya.
Lebih lanjut, dalam kaitan ini, Weinreich menjelaskan sebagai berikut.
In a great majority of contact between groups speaking different mother
tongues, the groups constitute, at the same time, distinct ethnic or cultural
communities. Such contact entails biculturalism (participation in two cultures)
as well as bilingualism, diffusion of cultural traits as well as of linguistic
elements (1968:5 dan 89).

Atas dasar pendapat dari dua ahli bahasa di atas, dapat dika-
takan bahwa bagaimanapun sempurnanya penguasaan dua bahasa
atau lebih oleh seseorang, bila dua bahasa atau lebih berkontak,
yakni: bahasa-bahasa itu digunakan oleh orang yang sama secara
bergantian, maka unsur-unsur bahasa lain atau asing itu dapat saja
muncul dalam tuturan orang tersebut.
Penggunaan bahasa yang melibatkan unsur-unsur atau kaidah-
kaidah bahasa lain dapat ditanggapi lewat dua perspektif: linguistik
dan sosiolinguistik/sosiologi bahasa.

Interferensi dari Perspektif Linguistik


Seorang dwibahasawan yang menyampaikan pesan lewat
bahasa kepada orang lain, perjalanan pesan itu terhambat oleh dua
faktor. Faktor yang pertama adalah beberapa kaidah bahasa yang
dikenalnya, yang tentunya berbeda satu dengan yang lainnya:
mampukah dia membedakan dan memilah-milahkan setiap kaidah

14
Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Situasi Keanekabahasaan

itu, sehingga ketika dia menggunakan salah satu bahasa yang


dikenal, kaidah bahasa yang lain tidak mengganggu? Jika dia tidak
mampu, maka sementara dia menggunakan salah satu bahasa yang
dikenalnya, kaidah bahasa yang lain dapat saja muncul dalam
tuturannya. Terjadilah interferensi (Soetomo, 1985).
Penggunaan bahasa seperti digambarkan di atas dapat ditang-
gapi dari sudut pandang bahasa apa yang dominan digunakan
dalam suatu tindak berbahasa, apakah bahasa Indonesia atau bahasa
Inggris? Bila bahasa yang dominan itu adalah bahasa Indonesia,
maka bahasa Indonesia terkena interferensi (interference) dari
(kaidah) bahasa Inggris. Dan, bila bahasa yang dominan itu adalah
bahasa Inggris, maka bahasa Inggris terkena interferensi dari
(kaidah) bahasa Indonesia. Interferensi menyaran pada penggunaan
unsur atau kaidah dari bahasa tertentu dalam tuturan bahasa lain.
Fenomena interferensi sebenarnya telah banyak dibicarakan
orang. Yus Rusyana, misalnya, telah menyusun disertasi dengan
mengangkat masalah interferensi morfologi pada tahun 1975.
Beberapa dosen dan mahasiswa Fakultas Sastra Universitas
Diponegoro Semarang juga pernah mengadakan penelitian atau
menyusun karya tulis dengan mengangkat masalah interferensi, baik
interferensi fonemis, morfologis maupun sintaktis.
Yus Rusyana (1975) menyusun disertasi dengan judul
Interferensi Morfologi pada Penggunaan Bahasa Indonesia oleh Anak-
anak yang Berbahasa Pertama Bahasa Sunda Murid Sekolah Dasar Di
Daerah Propinsi Jawa Barat. Kajian interferensi oleh Yus Rusyana ini
jelas dilakukan dalam perspektif linguistik, sebab morfologi
merupakan salah satu cabang linguistik atas dasar sistem bahasa.
Mengapa penggunaan bahasa Indonesia oleh anak-anak
sekolah dasar itu mendapat gangguan dari unsur-unsur atau
kaidah-kaidah bahasa Sunda? Jawabannya adalah bahwa pada taraf
belajar bahasa Indonesia, anak-anak itu telah menguasai bahasa
pertama (bahasa ibu) bahasa Sunda. Kebiasaan berbahasa Sunda
itu telah tertanam kuat dalam diri mereka, sehingga ketika mereka
berbahasa dengan bahasa Indonesia dapat saja unsur-unsur (baik
fonetis/fonemis, morfologis, sintaktis maupun semantis) dari bahasa
Sunda masuk ke dalam tuturan bahasa Indonesia mereka.

15
Maungkai Budaya

Dengan demikian, interferensi itu dapat ditanggapi dari sudut


pandang kompetensi berbahasa. Kompetensi berbahasa ini menyaran
pada kemampuan seseorang penutur untuk memilah dan memilih
kaidah-kaidah bahasa tertentu dari kaidah-kaidah bahasa yang lain.
Interferensi dapat dikatakan sebagai fenomena bahasa yang timbul
akibat pengaruh bahasa tertentu. Karena seseorang, misalnya, tidak
mampu memilih dan memilah kaidah bahasa yang satu dari bahasa
yang lainnya, maka tuturannya dengan suatu bahasa akan terkena
interferensi dari salah satu kaidah bahasa-(bahasa) yang dikuasai-
nya. Artinya, sejumlah unsur bahasa yang berbeda masuk ke dalam
tuturannya dalam bahasa tertentu. Misalnya, ketika anak-anak yang
bahasa pertamanya bahasa Sunda berbahasa Indonesia, unsur-unsur
bahasa Sunda masuk dalam tuturan bahasa Indonesia-nya. Atau,
ketika seseorang berbahasa Inggris, unsur-unsur atau kaidah-kaidah
bahasa Indonesia masuk ke dalam tuturan bahasa Inggris-nya.
Jika masuknya unsur-unsur dari bahasa lain ke tuturan dalam
bahasa tertentu dapat ditanggapi dari perspektif linguistik, maka
hal itu dikategorikan dalam bentuk kesalahan berbahasa. Titik berat
atau fokus perhatian pada kesalahan berbahasa dalam perspektif
ilmu bahasa adalah pada bahasa penerima yang mendapat
gangguan dari bahasa lain. Telaah dengan perspektif ini mengacu
pada komponen-komponen bahasa (bunyi, mofem, kata, frasa,
kalimat, dan makna).

Hambatan Kultural dalam Berbahasa


Faktor yang kedua adalah faktor yang berasal dari pertimbangan
komunikasi. Bahasa digunakan manusia untuk alat komunikasi
dalam upayanya berinteraksi dengan sesamanya. Dalam kenyata-
annya, dia tidak bebas sama sekali. Ada seperangkat peraturan
berbahasa yang telah disepakati oleh masyarakat di mana dia hidup
dan bergaul dengan anggota-anggota lain sesuai dengan tata-nilai
yang menjadi pedoman mereka dalam upayanya berinteraksi
dengan sesamanya. Dalam kenyataannya, dia tidak bebas sama
sekali. Ada seperangkat peraturan berbahasa yang telah disepakati
oleh masyarakat di mana dia hidup dan bergaul dengan anggota-
anggota lain sesuai dengan tata-nilai yang menjadi pedoman
mereka. Pertimbangan komunikasi ini menentukan apakah dia akan

16
Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Situasi Keanekabahasaan

bertutur dengan tunggal-bahasa, melakukan interferensi, atau alih-


kode/campur kode (Soetomo, 1985).
Interferensi dan alih kode bahkan campur kode dapat dilihat
dari dua contoh kalimat berikut:
(1) Nuwun sewu, saya bisa mengganggu sebentar?
(2) Ulun mencari piyan di kampus kemarin, piyan sudah bulikan.
Andaikan saja, baik kalimat (1) maupun (2) diungkapkan dalam
speech act berbahasa Indonesia, maka dengan demikian bahasa In-
donesia sang penuturnya mendapat gangguan dari bahasa Jawa
untuk kalimat (1) dan bahasa Banjar untuk kalimat (2). Ini berarti
bahasa Indonesia kedua penutur itu mendapat interferensi dari
bahasa Jawa atau Banjar. Jadi, gejala interferensi kita lihat dari
bahasa penerima (dalam hal ini: bahasa Indonesia). Bila, baik
penggunaan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia atau bahasa Banjar
dan bahasa Indonesia kita lihat sebagai penggunaan dua bahasa
secara berselang-seling, maka berarti kita menemukan gejala alih
kode atau campur kode.
Andaikan saja lagi, bahwa kedua penutur tersebut telah menjadi
dwibahasawan-dwibahasawan seperti yang disarankan oleh
Bloomfield, yakni yang kedwibahasaannya memenuhi kriteria na-
tive-like control of two languages. Penutur pertama, misalnya,
memiliki kemampuan dan penguasaan terhadap baik bahasa Jawa
maupun bahasa Indonesia dengan sama baiknya, sama
kelancarannya, dan sama akurasinya, dan demikian juga penutur
yang kedua. Pendek kata, kedua penutur ini tidak memiliki persoalan
kebahasaan. Dengan demikian, penyimpangan dalam berbahasa
Indonesia itu bukan akibat ketidakmampuan mereka menggunakan
bahasa Indonesia, tetapi ia merupakan akibat dari faktor sosial
budaya yang melingkungi penutur-penutur tersebut.
Jika dikatakan bahwa bahasa merupakan sistem simbol atau tata
lambang, maka ia dapat mengacu tata lambing konstitusi, kognisi,
evaluasi dan ekspresi. Tata lambang konstitusi adalah tata lambang
yang bertalian dengan kepercayaan manusia terhadap Tuhan yang
menentukan hidup dan kehidupan manusia atau terhadap kekuatan
supernatural di luar kekuatan manusia. Tata lambang kognisi adalah
tata lambing yang dihasilkan manusia dalam upayanya untuk

17
Maungkai Budaya

memperoleh pengetahuan terhadap segala sesuatu di lingkungannya.


Tata lambang evaluasi adalah tata lambang yang bertalian dengan
nilai baik-buruk, betul-salah, pantas-tak pantas dan sebagainya. Tata
lambang eskpresi adalah tata lambang untuk mengungkapkan
perasaan atau emosi manusia (Soetomo, 1985).
Sebagaimana diketahui bahwa bahasa dan budaya merupakan
dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.
Hal ini karena bahasa merupakan salah satu unsur budaya,
sedangkan budaya itu sendiri adalah sesuatu yang sebagiannya
diformulasikan dalam bentuk bahasa.
Budaya memberikan pedoman bagi masyarakat yang
memilikinya. Ia mengajarkan bagaimana manusia harus bertingkah
laku, termasuk bertingkah laku dalam berbahasa. Sebagian tata cara
bertingkah laku itu dapat diungkapkan dengan bahasa. Jadi, di sini
terdapat kesulitan untuk membedakan atau memisahkan bahasa
dari budaya atau budaya dari bahasa.
Menurut teori Parsons (dalam Soetomo, 1985) tingkah laku
(berbahasa) manusia telah diatur oleh human action system. Sistem
tindak manusia ini memiliki empat sub-sistem: budaya, sosial,
kepribadian, dan tingkah laku manusia. Karena nilai-nilai yang
terkandung dalam sistem itu telah tertanam kuat pada diri seorang
penutur bahasa (Jawa, misalnya), maka dapat saja dia terhambat
oleh kultur Jawa-nya ketika dia berbahasa Indonesia.
Sebagai contoh, dalam suatu interaksi verbal antara dua orang
yang dilakukan dalam bahasa Indonesia, tiba-tiba penutur A
menyelipkan beberapa buah kata asing (non bahasa Indonesia)
dalam tuturannya. Tingkah laku berbahasa ini dapat dinilai
berdasarkan sumber-sumber penyebabnya. Masuknya unsur asing
ke dalam tuturan A tadi dapat disebabkan oleh kebiasaan atau
kemudahan pengucapan semata. Di sini, (sub) sistem tingkah laku
adalah penyebab masuknya unsur asing itu dalam tuturan A tersebut.
Tetapi, masuknya unsur asing itu dapat saja disengaja oleh A
sebagai upaya untuk memperlihatkan perasaan (sikap, motivasi,
pengalaman dan sebagainya) kepada penutur B. Dalam hal ini (sub)
sistem kepribadian penutur adalah penyebab penggunaan unsur asing
dalam tuturan bahasa Indonesia yang disampaikan oleh A tersebut.

18
Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Situasi Keanekabahasaan

(Sub) sistem sosial dapat pula menjadi sumber hambatan, bila


penutur A tadi menonjolkan status dan peranannya dalam interaksi
verbal itu. Umpamanya, seorang pengacara ingin menyelipkan reg-
ister hukum dalam tuturan bahasa Indonesia-nya akan
memperingatkan lawan tuturnya, B, untuk selalu sadar akan posisi
A maupun posisinya sendiri dalam hubungan peran itu.
(Sub) sistem budaya (dalam kaitan dengan bahasa sebagai tata
lambang: konstitusi, kognisi, evaluasi, dan ekspresi, sebagaimana
terurai di atas) dapat menjadi hambatan dalam berbahasa. Oleh
karena suatu komunitas tutur kebetulan mengangkat bahasa daerah
atau asing tertentu lebih tinggi nilainya daripada bahasa Indonesia
karena mampu mengungkapkan konsep atau ide secara lebih tepat
dan teliti, maka penyelipan unsur-unsur bahasa daerah atau asing
dalam tuturan bahasa Indonesia-nya akan dianggap orang lebih baik.
Hambatan kultural yang lain dapat dilihat, misalnya, dari kasus
tindak berbahasa (speech act) yang terjadi antara penutur dari suku
Sunda dan Banjar. Penutur bahasa Sunda yang tentu saja berlatar
belakang bahasa Sunda, artinya dia merupakan dwibahasawan
Sunda-Indonesia. Sementara, penutur bahasa Banjar yang tentu saja
berlatar belakang bahasa Banjar, artinya dia merupakan
dwibahasawan Banjar-Indonesia. Kedua bahasa daerah ini sama-
sama memiliki kata bujur. Kata bujur dalam bahasa Sunda berarti pantat
dan harus ditabukan, dalam arti tidak dapat diucapkan di sembarang
tempat (misalnya, di hadapan orang banyak). Sementara kata bujur
dalam konteks bahasa Banjar berkonotasi baik. Hambatan kultural
terjadi bila penutur yang berlatar belakang budaya/ bahasa Sunda
mendengar atau menggunakan kata bujur, walaupun sekarang dia
telah memahami arti kata bujur dalam konsep bahasa Banjar, namun
tetap saja dia merasa berdosa bila dia mengucapkan kata tersebut
karena ini berarti melanggar aturan atau nilai dari kulturnya sendiri.
Kata sare, dahar dalam konsep bahasa Jawa tidak dapat dipakai
secara sembarangan. Kata-kata itu harus digunakan sesuai dengan
peserta tutur, siapa penuturnya dan siapa pula lawan tuturnya.
Untuk menyapa atau membicarakan orang yang lebih tua, kata-
kata itu dapat saja dipakai, namun tidak dapat dipakai untuk
membicarakan diri sendiri atau anak-anak kecil. Kalimat Kulo dahar
rumiyen adalah contoh kalimat yang tidak dibenarkan oleh kultur
19
Maungkai Budaya

Jawa karena kata kulo tidak boleh ditinggikan (dengan menggu-


nakan kata dahar). Penggunaan yang benar, contohnya, adalah
Bapak dahar atau Monggo dahar rumiyen. Kedua kalimat ini
digunakan untuk membicarakan atau menyapa orang lain yang lebih
tua atau lebih tinggi derajat sosialnya.

Speech Act dalam Situasi Keanekabahasaan


Penggunaan bahasa dalam situasi keanekabahasaan atau
multilingualisme telah banyak mendapat perhatian dari ahli bahasa.
Fishman, misalnya, mengkaitkan penggunaan bahasa semacam itu
dengan Who speaks What language to Whom and When (1972:244).
Sementara Pride dan Holmes mengatakan bahwa speech act yang
terjadi pada masyarakat multilingual akan dipengaruhi oleh
sejumlah faktor non-kebahasaan seperti: partisipan, topik
pembicaraan, setting, jalur, suasana dan maksud (1972:35)
Gagasan dari kedua ahli itu sebenarnya mengandung maksud
yang mirip. Kemiripan itu dapat diilustrasikan sebagai berikut.
Ungkapan who speaks (penutur) dan to whom (lawan tutur) menyaran
pada orang yang melakukan speech act; keduanya disebut partisipan.
What language menyaran pada pemilihan bahasa yang dilakukan
oleh partisipan. Pemilihan bahasa berkaitan dengan topik pembi-
caraan. Artinya, seorang partisipan memilih bahasa tertentu (dari
sejumlah bahasa yang dikuasainya) karena topik pembicaraannya
lebih tepat diungkapkan lewat bahasa itu. Pemilihan bahasa juga
dipengaruhi oleh waktu dan suasana (Fishman menyebut when) dan
setting. (Menurut Pride dan Holmes, setting menyaran pada waktu
dan tempat).
Penggunaan bahasa-bahasa (setidak-tidaknya dua bahasa)
secara berselang-seling dapat ditanggapi dari perspektif
sosiolinguistik/sosiologi bahasa. Penggunaan dua bahasa atau lebih
(gandabahasa atau multibahasa) secara berselang seling semacam
ini menimbulkan fenomena alih-kode. Menurut Istiati Soetomo
(1985), tindak berbahasa yang ideal adalah bahwa bila seseorang
berbahasa, maka bahasa yang digunakan adalah satu bahasa (dari
sekian bahasa yang dia kenal dan kuasai) yang baik dan benar.
Durdje Durasid (1990) menyatakan bahwa berbahasa yang baik
adalah berbahasa yang mengandung nilai rasa yang tepat dan sesuai

20
Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Situasi Keanekabahasaan

dengan situasi penggunaannya, sedangkan berbahasa yang benar


adalah berbahasa yang secara cermat mengikuti kaidah-kaidah yang
berlaku. Ini berarti bahwa bila seseorang berbahasa dalam situasi
tertentu, dengan menggunakan bahasa tertentu (bahasa Indonesia,
misalnya) maka hendaknya unsur-unsur atau kaidah-kaidah dan
sejenisnya dari bahasa-bahasa lain yang dikuasainya tidak
dimasukkan dalam tuturan bahasa Indonesia-nya. Bila dalam situasi
lain, dia memanfaatkan bahasa lain (bahasa daerah), maka
hendaknya bahasa daerah itu tidak terselepi oleh simbol-simbol atau
kaidah-kaidah dari bahasa-bahasa lain.
Dalam perspektif sosiolinguistik/sosiologi bahasa ini, fenomena
alih kode dilihat dari pemakai bahasa sebagai makhluk sosial yang
hidup dalam masyarakat yang berbudaya. Dalam kaitan ini,
seseorang yang melakukan alih kode (mungkin berwujud alih bahasa,
alih dialek, alih register, alih gaya, alih nada dan sebagainya) bukan
berarti dia tidak mampu berbahasa dengan salah satu bahasa dari
bahasa-bahasa yang dikuasainya. Bahasa digunakan oleh manusia
untuk alat komunikasi dalam upayanya berinteraksi dengan
sesamanya. Dalam kenyataannya, dia tidak bebas sama sekali. Sebab,
ada seperangkat peraturan berbahasa yang telah disepakati oleh
masyarakat di mana dia hidup dan bergaul dengan anggota-anggota
masyarakat lain sesuai dengan tata nilai budaya yang menjadi
pedoman hidup mereka. Dia harus melakukan alih kode lantaran
nilai budaya masyarakatnya, misalnya, menghendaki hal itu.

Alih Kode oleh Penyiar Radio


Menyikapi penggunaan bahasa Indonesia di radio, khususnya
radio swasta, di mana sejumlah penyiarnya seringkali melakukan
alih kode (ke dialek Betawi) atau menyilipkan istilah-istilah/kata-
kata bahasa Inggris, hendaknya kita tidak serta merta menyatakan
bahwa tindak berbahasa itu tidak benar dan penuturnya tidak
mampu berbahasa Indonesia secara baik dan benar yang cenderung
untuk mengangkat prestise-nya dengan cara menggunakan unsur-
unsur bahasa selain bahasa Indonesia. Banyak faktor yang
menyebabkan yang bersangkutan berbahasa seperti itu.
Seorang penyiar radio menyelipkan dialek Betawi, misalnya,
karena, mungkin, khalayak pendengarnya menghendaki dialek itu.

21
Maungkai Budaya

Sebab, mungkin, dialek Betawi dianggap berkesesuaian dengan


selera pendengarnya. Dalam hal ini faktor pendengar menjadi
penyebabnya, yakni penggunaan atau pemilihan dialek tertentu
dilakukan untuk memenuhi tuntutan pendengarnya..
Bila dilihat dari sudut penyiarnya, mungkin, yang bersangkutan
ingin mengidentifikasikan diri sebagai penutur berprestise tinggi
seperti layaknya para selebritis di Jakarta. Dengan menggunakan
dialek Betawi, lalu dia berkeyakinan bahwa prestise-nya akan naik
maka faktor penyebabnya adalah motivasi, yakni motivasi dalam
rangka untuk mencapai prestise melalui penggunaan bahasa (dialek)
tertentu.
Mungkin saja, alih bahasa atau dialek itu disebabkan oleh
faktor-faktor lain, misalnya, yang berkaitan dengan sosial budaya
(hubungan status-peranan sosial, sistem nilai dan sebagainya) dari
masyarakat tertentu. Seorang penyiar yang menyelipkan unsur-
unsur dari bahasa daerah, seperti ulun, piyan (bahasa Banjar), dan
nuwun sewu, semonggo, sugeng midangetakan (bahasa Jawa) yang
memancarkan konotasi hormat, hendaknya kita pahami sebagai
tindak berbahasa yang dilandasi oleh keharusan sosial-budaya di
mana penutur itu harus berlaku hormat terhadap para pendengar
pemilik bahasa itu (faktor sosial budaya).

Penyiar Radio dalam Pembinaan Bahasa Indonesia


Di samping masuknya unsur-unsur bahasa asing dan daerah
dalam tuturan bahasa Indonesia, telah cukup lama dikenal dan
digunakan istilah prokem. Prokem adalah semacam bahasa yang
biasanya dipakai di lingkungan remaja dan orang-orang luar
terkadang sulit memahaminya, sebab dalaam kode (yang berupa
prokem) itu tersembunyi rahasia. Kata bapak diganti bokap; ibu
diganti nyokap. Sejumlah kata-kata diucapkan terbalik: Arek Malang
diucapkan kere ngalam, pulang menjadi ngalup. Sejumlah singkatan
digunakan untuk menghindari ketabuhan atau kesan jorok bila
diperdengarkan. Penyiar kita tak jarang menggunakan istilah-istilah
semacam itu dalam kepenyiarannya.
Dalam kaitan ini, para penyiar radio sangat penting
peranannya dalam pembinaan bahasa Indonesia, di atas peran
keluarga, para guru, khususnya guru bahasa Indonesia. Hal ini

22
Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Situasi Keanekabahasaan

disebabkan oleh kenyataan bahwa tindak bahasa (speech act)-nya


dapat didengar oleh khalayak yang sangat luas. Dalam
kepenyiarannya yang dilakukan dalam bahasa Indonesia, seorang
penyiar radio hendaknya tidak ikut-ikutan untuk menggunakan
istilah-istilah atau dialek daerah tertentu yang justru merusak
bahasa Indonesia, kecuali jika siarannya dilakukan dalam bahasa
daerah atau dialek daerah tertentu, atau bahkan dalam bahasa asing.
Masalah bahasa Indonesia bukan hanya masalah guru atau
dosen dan pakar bahasa, akan tetapi ia menjadi masalah seluruh
bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia akan lebih mantap, bila dalam
perkembangan dan pertumbuhannya terus menerus dibina, tidak
dibiarkan tumbuh liar. Bahasa Indonesia yang jauh sebelum negara
kita merdeka, sudah diikrarkaan oleh para pemuda waktu itu sebagai
bahasa persatuan, suatu bahasa yang mampu mempersatukan
berbagai macam suku baik sebelum Indonesia merdeka maupun
setelah ia merdeka. Bahasa Indonesia sejak adanya sumpah pemuda
itu terus mengalami perkembangan dan kini sudah semakin mantap.
Kesemakinmantapan bahasa Indonesia itu tidak lain karena para
pakar bahasa kita berupaya terus menerus untuk menyempurnakan
bahasa Indonesia.
Maka dari itu, agar bahasa kita, bahasa Indonesia tetap terbina
maka para penyiar radio kita yang banyak berkecimpung dalam
penggunaan bahasa Indonesia (di samping para guru, khususnya
guru-guru bahasa dan pakar bahasa Indonesia) juga mempunyai
tanggung jawab yang tidak enteng untuk membina bahasa Indone-
sia yang baik dan benar. Dalam kegiatan kepenyiaran mereka, para
penyiar juga harus ikut memasyarakatkan bahasa Indonesia yang baik
dan benar kepada para pendengarnya.
Dengan demikian, pembinaan bahasa Indonesia yang baik dan
benar bukan hanya menjadi tanggung jawab keluarga, guru-guru
khususnya guru-guru bahasa Indonesia di sekolah, tokoh-tokoh
masyarakat di daerah dan pusat akan tetapi juga menjadi tanggung
jawab para penyiar radio pemerintah maupun swasta. Atau dengan
perkataan lain, peranan penyiar dalam pembinaan bahasa Indone-
sia adalah sangat besar. Untuk itu, peranan itu hendaknya betul-
betul dimainkan oleh kawan-kawan penyiar radio. Wallahualam.

23
Maungkai Budaya

BAHASA DALAM PERSPEKTIF SOSIAL


BUDAYA

M anusia adalah makhluk sosial yang senantiasa memerlukan


bantuan manusia lain dalam kehidupannya. Hampir tidak dapat
dibayangkan betapa berat dan sulitnya seandainya dia hidup
seorang diri tanpa ada yang menemaninya. Dalam kenyataannya,
manusia selalu hidup secara berkelompok dan mereka saling
memerlukan bantuan atau pertolongan dan saling bekerja sama
antara satu dengan yang lainnya. Dengan demikian, kita dapat
membenarkan bahwa manusia merupakan makhluk sosial sebab dia
harus hidup bermasyarakat.
Dalam upaya memenuhi segala kebutuhan hidup, manusia harus
melakukan kerja sama antara satu dengan yang lainnya, yang hanya
dapat dilakukan dalam suatu komunitas atau masyarakat. Sewaktu
seseorang memerlukan beras, misalnya, dia tidak perlu menanam padi
sendiri di ladang atau sawah. Yang menanamnya cukup para petani;
dia dapat memperoleh beras dengan cara membeli dari mereka.
Seseorang mungkin memiliki kecakapan khusus dalam hal
membuat alat-alat pertanian, misalnya, cangkul atau alat membajak,
yang kemudian dapat dia jual kepada para petani untuk keperluan
menggarap sawah mereka. Dari contoh ini, kita dapat memperoleh
gambaran secara jelas bahwa para anggota masyarakat saling
memerlukan pertolongan antara yang satu dengan yang lainnya.
Karena ada saling ketergantungan itu, maka mereka perlu menjalin
kerja sama dalam rangka untuk memenuhi kepentingan atau
keperluan mereka sendiri.
Kerja sama antar mereka dapat berjalan dengan baik bila ada
suatu alat komunikasi yang disebut bahasa. Dengan bahasa, manusia

24
Bahasa dalam Perspektif Sosial Budaya

dapat mengungkapkan gagasan-gagasan dan keinginan-keingin-


annya kepada manusia lain dan menjalin kerja sama dengan sesama
anggota masyarakat lainnya. Namun demikian, bahasa bukanlah satu-
satunya alat yang dipergunakan manusia sebagai alat komunikasi
sebab dia dapat juga melakukan komunikasi dengan isyarat, ekspresi
wajah dan sentuhan. Bahasa merupakan alat komunikasi yang
memanfaatkan simbol-simbol yang dapat didengar (auditory symbols)
atau bunyi-bunyi ujaran (speech sounds), yang dihasilkan dengan alat
ucap manusia (speech organs). Sedangkan isyarat (sejumlah orang
menyebut bahasa isyarat) berupa simbol-simbol visual, yang memiliki
bentuk gerakan-gerakan anggota tubuh (badan) dan ekpresi wajah;
isyarat ini kadang-kadang dipergunakan orang secara bersamaan
dengan penggunaan bahasa dan kadang-kadang dipergunakan secara
tersendiri atau tanpa bahasa. Isyarat dapat dikatakan sebagai pelengkap
atau penunjang penggunaan bahasa.
Sistem komunikasi visual itu tidak memiliki struktur selengkap
bahasa, dan oleh karena itu, ia tidak dapat disebut sebagai bahasa.
Penggunaan isyarat sangat terbatas karena sifatnya yang visual itu.
Sedangkan penggunaan bahasa sangat luas sebab disamping
sifatnya yang dapat didengar, ia dapat divisualisasikan (dalam
bentuk tertulis). Dengan demikian, bahasa dapat dipergunakan
untuk menyampaikan pesan-pesan secara lisan dan secara tertulis.
Jadi, jangkauan bahasa lebih luas ketimbang isyarat; bahasa lebih
sering dipergunakan untuk berkomunikasi ketimbang isyarat; dan
bahasa lebih lengkap ketimbang isyarat.
Dari diskusi di atas, kita dapat memetik tiga hal, yaitu: manusia,
masyarakat dan bahasa. Tiga hal ini saling berkaitan dan tidak dapat
dipisahkan satu sama lain. Ini berarti bahwa di mana terdapat
manusia, di situ selalu ada suatu masyarakat, dan dalam masyarakat
itu selalu ada bahasa yang dipergunakan sebagai alat komunikasi
oleh para anggota masyarakat tersebut. Keberadaan bahasa dalam
masyarakat adalah sangat penting. Hal ini karena, dalam kenyataan,
manusia sebagai makhluk sosial selalu hidup bermasyarakat dan
memerlukan bahasa sebagai alat untuk berinteraksi dengan
sesamanya.

25
Maungkai Budaya

Bahasa itu Abitrer


Bahasa dikatakan memiliki sifat arbitrer. Ini berarti bahwa bahasa
(mula-mula diciptakan) atas dasar kesepakatan sosial (social agree-
ment). Dalam kaitan ini, tidak ada penjelasan yang logis atau masuk
akal, misalnya, mengapa seekor binatang tertentu yang biasanya
dipiara orang, yang berkaki empat dan dapat menggonggong disebut
dog dalam bahasa Inggris, asu dalam bahasa Jawa, atau anjing dalam
bahasa Indonesia. Mungkin saja, suku atau bangsa yang lain menyebut
binatang semacam itu dengan istilah yang berbeda. Dalam ini,
pemberian nama terhadap binatang itu hanya didasarkan pada
kesepakatan sosial antar penutur-penutur bahasa Inggris untuk
menyebut dog, antar penutur bahasa Jawa untuk menyebut asu dan
antar penutur bahasa Indonesia untuk menyebut anjing.
Lebih dari itu, sifat arbitrer itu juga dapat dilihat dari segi sistem
gramatikal. Kata-kata dalam bahasa Indonesia, misalnya, harus
disusun dengan order tertentu untuk membentuk konstruksi yang
secara gramatikal dapat diterima. Misalnya, sejumlah kata: motor,
Ali, naik, hari, setiap, tidak disusun secara sembarangan bila
seseorang menginginkan konstruksi yang gramatikal. Kata-kata itu
bisa disusun menjadi Ali naik motor setiap hari atau Setiap hari Ali
naik motor. (Dalam bahasa Indonesia, dimungkinkan keterangan
waktu diletakkan pada posisi awal atau pun akhir). Bila kata-kata
itu disusun dengan susunan Ali motor naik hari setiap maka susunan
itu tidak gramatikal. Tidak ada alasan yang logis mengapa penutur
bahasa Indonesia menerima dan menggunakan susunan yang
pertama dan bukan susunan yang kedua. Hal ini disebabkan bahwa
sistem gramatikal pun didasarkan pada kesepakatan sosial dan oleh
karena itu ia arbitrer.

Pemerolehan Bahasa
Sejak manusia lahir ke dunia, sebenarnya, telah memiliki
semacam kemampuan bawaan (innate ability). Baik para ahli
sosiolinguistik maupun psikolinguistik mengakui bahwa kemampuan
bawaam itu diacu dengan istilah Language Acquisition Device (LAD),
alat pemerolehan bahasa. Kendati memiliki kemampuan bawaan,
seorang anak tidak secara otomatis mampu berbahasa (berbicara)
hanya karena dia itu manusia.

26
Bahasa dalam Perspektif Sosial Budaya

Kemampuan bawaan tidak ubahnya seperti potential seed yang


harus ditumbuhkembangkan pada tempat yang cocok, yakni
masyarakat sosial (social community). Jika kemampuan bawaan itu
tidak dikembangkan secara benar, misalnya, jika seorang anak
dipisahkan dari masyarakat dan terputus dari hubungan manusia
(human relation), maka ia tidak akan mampu berbahasa dengan
bahasa tertentu. Untuk memperoleh kemampuan berbahasa itu dia
harus belajar bahasa melalui komunitas bahasa tertentu pula. Juga,
pemerolehan kemampuan berbahasa ditentukan oleh komunitas
bahasa di mana si anak tadi dibesarkan. Artinya, si anak dari suku
Banjar tidak serta merta mampu berbahasa dengan bahasa suku
itu. Bila dia dibesarkan di lingkungan komunitas bahasa Jawa,
misalnya, dia akan berkemampuan untuk berbahasa Jawa. Atau, si
anak dari keluarga atau suku Jawa yang dididik dan dibesarkan di
lingkungan komunitas bahasa Perancis, dia akan berkemampuan
untuk berbahasa Perancis sebagai bahasa yang digunakan di
lingkungan sosial tempat dia dibesarkan.
Dengan demikian, persangkaan bahwa anak dari etnis Jawa
akan pandai berbahasa Jawa, atau anak dari bangsa Perancis akan
pandai berbahasa Perancis merupakan persangkaan yang keliru.
Bila berpedoman dari persangkaan itu, orang akan menganggap
bahwa kemampuan berbahasa merupakan soal keturunan. Hal yang
sebenarnya adalah bahwa biarpun seorang anak berasal dari
keturunan etnis Jawa, bila dididik dan dibesarkan dalam keluarga
dan lingkungan yang bukan berbahasa Jawa, dia tidak akan memiliki
kemampuan berbahasa Jawa, melainkan dia akan memiliki
kemampuan berbahasa yang dipakai dalam keluarga dan
lingkungan itu.

Fungsi Sosial Bahasa


Bahasa dalam konteks sosial bukan halnya sebagai alat
komunikasi tetapi ia juga merupakan alat yang pemting untu
menciptakan dan mempertahankan hubungan antara orang yang
satu dengan yang lainnya. Sebagai ilustrasi, ada dua orang yang
belum saling mengenal yang sama-sama berada di ruang tunggu di
stasiun kereta api. Mereka, kemudian, mengadakan suatu
pembicaraan yang dimaksudkan untuk mengurangi kegelisahan.

27
Maungkai Budaya

Mereka saling bercerita, saling memberikan informasi. Di antara mereka


terjadilah hubungan sosial, yakni: mereka telah saling mengenal. Di
sinilah letak fungsi bahasa sebagai alat komunikasi dan pada saat
bersamaan ia berfungsi sebagai alat untuk menciptakan hubungan sosial.
Jika mereka berdua berasal dari lingkungan geografis yang
berbeda, misalnya yang satu dari Sumatera (Batak) dan yang lainnya
dari Jakarta (Betawi), maka logat bahasa yang mereka gunakan
menunjukkan perbedaan. Bahasa mereka itu menunjukkan asal-usul
mereka. Bila seseorang telah mengenali logat tertentu sebagai logat
Batak, Jawa, atau Betawi, maka dia akan mampu menebak bahwa
penutur tertentu berasal dari Batak, Jawa, atau Betawi. Dalam hal
ini, mungkin saja orang etnis Batak, Jawa, atau Betawi yang ada di
Kalimantan Selatan menggunakan bahasa Banjar sebagai alat
komunikasi dan interaksi sosialnya. Namun, tidak serta merta
mereka akan diidentifikasi sebagai penutur bahasa Banjar asli atau
beretnis Banjar. Sebab, sebagus apapun bahasa Banjar mereka, logat
(lagu) bahasanya seringkali masih menunjukkan logat bahasa daerah
mereka. Demikian pula, bila mereka menggunakan bahasa Indone-
sia, maka logat daerah mereka masih dapat dikenali dalam tuturan
bahasa Indonesia mereka. Dalam kaitan ini, para ahli bahasa
mengetengahkan istilah dialek regional (regional dialect), suatu variasi
bahasa yang didasarkan pada daerah (tempat).
Di samping dialek regional, kita juga mengenal dialek sosial
(social dialect). Dialek sosial ini mengacu pada variasi bahasa yang
dipergunakan oleh sekelompok orang dari kelas sosial tertentu. Bila
seseorang berasal dari kelompok pengusaha, maka dia biasanya
mempergunakan variasi bahasa yang sering dipergunakan oleh
kelompok itu.
Jika kita berpijak pada lingkungan fisik masyarakat di mana
manusia itu berada atau tinggal, maka kita akan mendapat
gambaran tentang refleksi lingkungan fisik dalam bahasa.
Lingkungan fisik, misalnya, dapat direfleksikan dalam bahasa.
Sebagai contoh, masyarakat Eskimo banyak dikelilingi oleh salju.
Bermacam-macam salju ada dalam masyarakat itu, sehingga untuk
membedakan jenis salju yang satu dengan jenis yang lainnya mereka
perlu kosa kata yang berbeda-beda. Pembedaan nama-nama salju,
bagi masyarakat Eskimo, adalah penting. Hal ini karena lingkungan
28
Bahasa dalam Perspektif Sosial Budaya

fisik mereka menuntut adanya pembedaan yang demikian itu.


Sedangkan masyarakat yang hidup dekat equator tidak merasa perlu
membedakan jenis-jenis salju dan oleh karena itu mereka hanya
memiliki satu kata, yakni: salju.
Sementara itu, masyarakat Inggris hanya memiliki kata rice
untuk menunjuk apa yang disebut oleh masyarakat Jawa sebagai
pari, gabah, beras dan sega. Hal ini karena antara masyarakat Inggris
dan Jawa memiliki kepentingan yang satu sama lain berbeda. Yang
jelas, bahwa masyarakat Jawa lebih berkepentingan untuk
menciptakan pembedaan kosa kata seperti di atas, karena pari, gabah,
beras, dan sega dalam konteks budaya Jawa mengacu pada hal-hal
yang berbeda. Bila dikaitkan dengan kegiatan tanam-menanam,
dalam masyarakat Jawa pari akan digunakan (misalnya, dalam
konteks nandur pari); buah pari yang telah dipanen disebut gabah;
gabah kering yang kemudian dikupas kulitnya melalui proses
penumbukan atau penggilingan disebut beras; pecahan beras yang
kecil disebut menir; dan beras digunakan untuk menyebut bahan
mentah yang diap dimasak untuk menjadi sego, lontong, kopat dan
sebagainya. Sementara itu, masyarakat Inggris menyebut pari, gabah,
beras, menir, dan sega dengan satu kata, yakni: rice.
Di samping lingkungan fisik, lingkungan sosial pun dapat
direfleksikan dalam bahasa, dan sering memiliki efek terhadap kosa
kata. Sebagai misal, suatu sistem kekerabatan dari masyarakat
tertentu biasanya direfleksikan dalam kosa kata kekerabatan. Kita
dapat mengatakan betapa pentingnya kosa kata kekerabatam
masyarakat tutur bahasa Banjar sehingga mereka memiliki banyak
kosa kata kekerabatan itu. Masyarakat tutur ini memiliki kosa kata
kekerabatan (dari angkatan atas): muyang, muning, waring, anggah,
datu, kai, abah, anak, cucu, buyut, intah, cicit, muning dan muyang. Di
samping itu, ada beberapa kosa kata: uma, julak, gulu, paman, dan
acil. Ada juga sejumlah kosa kata: ading, laki, bini, ipar, marui dan
warang. (Suryadikara, 1989). Masyarakat tutur bahasa Inggris
memiliki kosa kata kekerabatan: son, daughter, grandson, granddaugh-
ter, brother, sister, father, mother, husband, wife, grandfather, grand-
mother, uncle, aunt dan cousin (Trudgill, 19).
Tata nilai (system of values) dari suatu masyarakat dapat juga
berpengaruh terhadap bahasanya. Hal yang demikian ini dapat kita
29
Maungkai Budaya

lihat lewat fenomena tabu. Tabu mengimplikasikan adanya


larangan. Kata-kata yang mengandung unsur tabu dilarang
diucapkan atau dianggap tidak pantas atau tidak baik bila di
sembarang tempat. Kata-kata semacam itu bila diucapkan di
hadapan orang banyak dikategorikan sebagai hal yang memalukan
dan oleh karena itu dilarang. Masyarakat kita tentu saja menganggap
tabu bila mengucapkan alat vital orang laki-laki sesuai namanya.
Biasanya kita menggantikannya dengan menyebut burung atau
senjata tajam. Penyebutan dengan cara ini pun masih terasa
ketabuhannya.
***
Bahasa dan budaya merupakan dua hal yang tidak dapat
dipisahkan satu sama lain. Bahasa dimanfaatkan oleh penuturnya
untuk menyampaikan dan mewadai segala aspek kebudayaan;
sementara budaya dalam hal-hal tertentu- dijadikan oleh penutur
bahasa sebagai pedoman perilaku, termasuk perilaku berbahasa.
Pembahasan bahasa dalam perspektif sosial budaya mencoba
mengkaitkan bahasa dengan aspek-aspek sosial budaya. Kaitan
bahasa dengan aspek sosial budaya, bahwa (1) bahasa itu arbitrer;
bahasa merupakan hasil kesepakatan sosial, (2) kemampuan
berbahasa diperoleh melalui lingkungan sosial (3) bahasa digunakan
untuk interaksi sosial, dan (4) tindak berbahasa dipengaruhi sistem
tata nilai yang berlaku dalam masyarakat.

30

BAHASA DAN BUDAYA JAWA

K etika bincang-bincang seputar penyusunan buku kenangan


purnatugas Prof. M.P. Lambut, Ersis menyatakan siap
mengusahakan buku hingga menjadi buku siap luncur. Atas sejumlah
pertimbangan, usulan dan sejenisnya dari kawan-kawan, penanganan
buku kenangan untuk Lambut olehnya tidak jadi dan selanjutnya
dikembalikan kepada penggagas semula, Jarkasi dkk. Kala itu, Ersis
dengan style-nya yang self-confident menyanggupkan diri untuk
menangani buku kenangan bagi Prof. Fudiat bila beliau pensiun. Saya
yakin dan percaya bahwa bagi Ersis penanganan buku semacam itu
merupakan hal kecil, sebab hal-hal besar seperti yang pernah
dia sebutkan Suplemen Lustrum VII IKIP Bandung.
Mungkin, dalam benak Ersis bahwa Prof. Fudiat masih lama
pensiunnya. Jadi, dia bisa santai-santai. Rupanya keinginan untuk
bersantai ria bagi Ersis pupus, setelah keesokan harinya ada berita
bahwa Prof. Fudiat meninggal dunia. Ketika kami sama-sama
berkumpul waktu melayat almarhum, secara spontan kami menagih
janji kepada Ersis yang telah sanggup menjadi chief editor dalam
penanganan buku persembahan bagi Prof. Fudiat. Ersis tampaknya
tak ingin gagal; dia ingin tetap didukung kawan-kawan. Makanya,
dalam upaya pengumpulan artikel, Ersis yang biasanya berbicara
meledak-ledak, terutama terhadap saya terpaksa ber-lemah
lembut ketika mengajak kawan-kawan untuk menyumbangkan
artikel.
Dalam buku persembahan untuk Pak Lambut, saya menyata-
kan bahwa beliau merupakan sosok profesor yang humanis. Sifat

31
Maungkai Budaya

humanistik sang profesor itu, antara lain, bisa dilihat dari perilaku
yang mengedepankan kebersamaan, toleran terhadap pemeluk agama
yang berbeda dengan yang beliau peluk, dan menghargai manusia
sebagai manusia atau memanusiakan manusia. Mungkin, karena sifat
humanistiknya itu, konon, beliau pernah diminta berpidato seputar
agama/pemeluk agama Kristiani di hadapan kaum muslimin di
Martapura sana.
Sedangkan, dalam tulisan ini saya akan mengatakan bahwa
Pak Fudiat (Almarhum) adalah sosok yang sifatnya kurang lebih
sama dengan Pak Lambut. Prof. Fudiat sangat low profile, suka
mengajak diskusi dan sangat dekat dengan dosen-dosen yunior.
Beliau, tampaknya, tidak merasa rugi bila harus menyapa dosen-
dosen yunior dan dosen-dosen baru sekalipun.
Di mata saya, ada bedanya antara kedua beliau ini. Bedanya
adalah bahwa saya agak sungkan dan cenderung takut dengan Pak
Lambut; saya tidak merasa bebas bila saya berbicara dengan Pak
Lambut. Namun, lain halnya bila saya berbincang-bincang dengan
Pak Fudiat; saya merasa bebas (tanpa dihantui perasaan sungkan)
bila berhadapan dengan beliau. Ini bukan tanpa sebab. Saya tidak
merasa sungkan dengan Pak Fudiat, sebab sejak awal saya bertugas
di FKIP Unlam ini, saya sering diajak diskusi tentang berbagai hal
tentang bahasa dan budaya Jawa. Beliau sering mengajukan
pertanyaan kepada saya seputar aspek-aspek budaya Jawa. Namun,
semula saya tidak tahu apakah beliau itu bertanya karena beliau
tidak tahu atau ingin klarifikasi. Tetapi, yang jelas bahwa beliau
senantiasa mengajukan sejumlah pertanyaan bila beliau memulai
diskusi dengan saya.
Ternyata, beliau hanya ingin klarifikasi menyangkut
pengetahuannya tentang bahasa Jawa dan budaya Jawa (khususnya
yang menyangkut perkawinan dan kekerabatan). Dugaan saya ini
didasarkan pada kenyataan bahwa segala hal yang dilontarkan beliau
tentang bahasa dan budaya Jawa sama dan sebangun dengan hal-hal
yang tersaji dalam Buku Pidato Pengukuan Guru Besar yang berjudul
Sistem Perkawinan dan Istilah Kekerabatan pada Orang Jawa, Sunda dan
Banjar (1989) yang belakangan ini saya ketemukan dan baca.
Dengan penuh semangat dan tanpa menyadari bahwa saya
berhadapan dengan seorang antropolog yang tentu saja mumpuni
32
Bahasa dan Budaya Jawa

dalam segala persoalan kebudayaan, saya mencoba menerangkan


hal-hal yang diapungkan oleh beliau. Ketika saya mencoba
menerangkannya, seringkali beliau menyela dan menyatakan bahwa
uraian saya tentang suatu hal tidak berkesesuaian dengan harapan
beliau. Saya seringkali berkeberatan terhadap gagasan beliau tentang
bahasa dan budaya Jawa, karena walau beliau seorang antropolog
yang dalam kaitan dengan bahasa dan budaya Jawa sebagai
pengamatsaya sendiri adalah pemakai bahasa Jawa dan pelaku
budaya Jawa.
Barangkali, gagasan beliau tentang bahasa dan budaya Jawa
itu berkenaan dengan hal-hal yang ideal sebagaimana dideskripsikan
oleh seorang antropolog Amerika, Clifford Geertz, dalam bukunya
The Religion of Java. Tampaknya buku inilah rujukan Prof. Fudiat
dalam memahami budaya Jawa. Hal-hal yang ideal seringkali tidak
berkesesuaian dengan hal-hal yang benar-benar terjadi. Penggunaan
bahasa Jawa yang ideal sebagaimana dipolakan melalui budaya
Jawa, sekarang, banyak mengalami pergeseran. Berkenaan dengan
penggunaan bahasa Jawa yang ideal itu, kita ikuti uraian berikut.

Penggunaan Bahasa Jawa


Bahasa Jawa adalah bahasa ibu orang-orang Jawa yang tinggal,
terutama di Propinsi Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan
Jawa Timur. Di daerah-daerah lain, misalnya di Banten sebelah utara,
di Lampung dan daerah-daerah transmigrasi di beberapa pulau di
Indonesia terdapat pula orang-orang Jawa yang berbahasa ibu bahasa
Jawa. Bahasa Jawa sejak lama adalah bahasa pengantar suatu
peradaban besar. Tradisi sastra tulis telah ada dan terus terpelihara,
paling tidak sejak abad ke sepuluh (Poedjosoedarmo, 1979).
Seperti bahasa lain, bahasa Jawa mempunyai berbagai dialek
geografi. Dialek geografi seperti dialek Banyumas, Tegal, Yogya-Solo,
Surabaya, Samin, Osing dan lain-lain memiliki sub-dialeknya sendiri.
Seperti masyarakat bahasa lain, dalam masyarakat Jawa orang dapat
membedakan golongan orang kecil dengan golongan yang lebih
tinggi hanya dengan melihat adanya ciri kebahasaan tertentu yang
sering dipakai oleh golongan-golongan itu (Poedjosoedarmo, 1979).
Dalam masyarakat bahasa (speech community) dapat dipastikan
terdapat aturan berbahasa yang disepakati oleh para anggotanya.

33
Maungkai Budaya

Dalam pandangan Clifford Greetz aturan berbahasa itu diistilahkan


sebagai Linguistic Etiquette. Dalam bahasa Indonesia istilah itu dikenal
dengan etika berbahasa. Dalam masyarakat bahasa Jawa, misalnya,
terdapat istilah tingkat tutur (speech levels), yaitu sistem kode
penyampai rasa kesopanan yang di dalamnya terdapat unsure kosa kata
tertentu, aturan sintaksis tertentu, aturan morfologi tertentu dan juga
fonologi tertentu.
Tingkat tutur dalam bahasa Jawa yang umum adalah (1) Ngoko,
(2) Krama Madya, dan (3) Krama Inggil. Masing-masing tingkat tutur
itu memiliki kosa kata sendiri. Dengan demikian, dalam bahasa Jawa
terdapat kosa kata untuk tingkat tutur ngoko, kosa kata untuk tingkat
tutur krama madya, dan kosa kata untuk tingkat tutur krama inggil.
Soepomo Pudjosoedarmo menambahkan bahwa kosa kata bahasa
Jawa tidak hanya terbatas pada kosa kata ngoko, madya, dan krama,
tetapi juga meliputi krama inggil, krama andap, dan krama desa. Kata-
kata Ngoko memancarkan arti tanpa sopan santun; Krama Madya
memancarkan arti sopan (konotasi hormat) tetapi tingkat
kesopanannya agak setengah-setengah saja; Krama Inggil dan Krama
Andap memancarkan konotasi hormat yang sangat tinggi; dan Krama
Desa memancarkan konotasi hormat, tetapi di samping itu, ia
menunjukkan juga bahwa pemakainya kurang mengetahui bentuk
krama yang benar-benar standar (Poedjosoedarmo, 1979).
Menurut Geertz, salah satu etiket orang Jawa adalah andap asor,
yakni: merendahkan diri sendiri dengan sopan dan merupakan
kelakuan yang benar yang harus ditunjukkan kepada setiap orang
yang kira-kira sederajat atau lebih tinggi. Selalu ada semacam
kegelisahan bilamana dua orang Jawa bertemu untuk pertama
kalinya, karena masing-masing menentukan tingkatan pihak lainnya
agar masing-masing dapat menggunakan bentuk linguistis yang tepat
dan menerapkan pola andap asor yang tepat pula. Masing-masing
penutur berusaha (bersaing) untuk menempatkan dirinya pada posisi
yang paling rendah. Namun, persaingan ini sebenarnya hanya
bersifat pura-pura. Yang bersangkutan berpura-pura merendah,
namun sebenarnya ia bermaksud agar dirinya ditempatkan pada
posisi yang tinggi (sesuai dengan posisi yang disandangnya).
Mereka biasanya memakai tingkat tutur krama antara satu
dengan yang lainnya, dan mereka tidak memakai tingkat tutur ngoko.
34
Bahasa dan Budaya Jawa

Penggunaan tingkat tutur krama ini dimaksudkan agar yang


bersangkutan dapat melakukan sikap andap asor dan pada saat yang
bersamaan dia menghormati orang yang tua umurnya, menghargai
orang yang baru saja dikenal atau belum dikenal.
Tingkat tutur Krama Madya dan Krama Inggil juga digunakan
untuk menghormati orang-orang yang berkedudukan atau berstatus
lebih tinggi. Kedudukan atau status ditentukan oleh banyak hal,
antara lain kekayaan, keturunan, pendidikan, pekerjaan, usia,
keluarga dan kebangsaan. Untuk menyapa seseorang yang lebih
rendah status sosialnya atau seseorang yang lebih muda dari dirinya
sendiri atau seseorang yang telah menjadi kawan akrab, penutur
dapat menggunakan tingkat tutur ngoko. Dalam kaitan ini, Geertz
mencontohkan kalimat yang dalam bahasa Indonesia berarti Dari
mana anda?. Bila kalimat itu dinyatakan dalam tutur ngoko akan
berbunyi Kowe mau saka endi? dan dalam tingkat tutur krama
Panjenengan wau saking tindak pundi?
Menurut Prof. Fudiat, dalam hubungan kekerabatan anak
terhadap orang tuanya, cucu terhadap kakek/neneknya, menantu
terhadap mertuanya, antar besan, kemanakan terhadap paman/
bibinya, diwajibkan menggunakan bahasa Jawa dengan tingkat tutur
krama; sementara adik terhadap kakaknya diharapkan mengguna-
kan bahasa Jawa dengan tingkat tutur krama, tetapi bukan suatu
keharusan. Sedangkan, pihak-pihak yang merupakan kebalikan dari
mereka yang harus ber-krama (kecuali antara besan) diperbolehkan
menggunakan tingkat tutur ngoko bila berbicara dengan mereka,
yakni: orang tua terhadap anak, kakak terhadap adiknya, paman/
bibi terhadap kemanakannya.
Dalam pandangan saya, penggunaan bahasa Jawa telah banyak
mengalami pergeseran dari penggunaan yang ideal sebagaimana
dilukiskan oleh seorang antropolog Clifford Geertz, yang dijadikan
referensi Prof. Fudiat ketika mendiskusikan penggunaan bahasa
Jawa. Pergeseran yang saya amati, misalnya, dalam penggunaan
bahasa Jawa atas dasar pola hubungan sosial. Bila dikatakan bahwa
tingkat tutur krama (madya dan inggil) digunakan seseorang
penutur yang lebih muda atau lebih rendah derajat sosialnya
ketimbang lawan tuturnya, dalam upayanya untuk ber-andap asor
dan menghormat lawan tuturnya, pernyataan ini
35
Maungkai Budaya

tidak sepenuhnya benar. Karena, untuk konteks sekarang banyak


anak-anak tidak ber-krama terhadap bapak/simbok, simbah, pak
de/pak lik, mbok de/mbok lik, kakang/mbak yu, dan tetangga-
tetangga mereka yang bila dilihat dari segi umurjelas lebih tua
dari mereka. Memang, sebagian dari mereka yang pernah saya
amatimenggunakan pola seperti itu. Namun, sejumlah yang lain
menggunakan bentuk-bentuk campuran (ngoko dan krama). Hal ini
dapat kita lihat dalam ungkapan Sampeyan mau saka endi?.
Dalam kehidupan masyarakat yang lebih luas, penggunaan
bahasa Jawa tingkat tutur krama oleh anak-anak muda dan/atau
orang-orang dewasa dialamatkan kepada orang-orang tertentu
(misalnya, tokoh agama atau tokoh masyarakat, lurah dan anak
buahnya, camat dan anak buahnya). Itu pun, di sana-sini masih
ada selipan unsur-unsur dari bahasa Indonesia atau bahasa lain.
Dalam situasi formal (khutbah, ceramah, pidato, kampanye politik
dan sejenisnya), kendati pembicaranya adalah tokoh agama, tokoh
masyarakat, Lurah, Camat dan Juru Kampanye dan sebagainya,
tingkat tutur krama seringkali digunakan bila audience-nya berasal
dari berbagai kalangan. Namun, lagi-lagi, tuturan mereka tidak
melulu dalam bahasa Jawa dengan tingkat tutur krama (madya atau
inggil), tetapi campur tingkat tutur (istilah bakunya, campur kode
atau code-mixing, sebab tingkat tutur dianggap suatu kode) dengan
selipan unsur bahasa Indonesia, Arab, dan Inggris.
Penggunaan bahasa Jawa dengan tingkat tutur tertinggi (krama
inggil) masih terlihat pada acara perkawinan oleh masyarakat Jawa
Tengah dan Yogyakarta. Di luar kedua daerah itu, dalam acara
serupa, penggunaan bahasa Jawa dengan tingkat tutur krama inggil
jarang ditemukan. Tak jarang ditemukan penggunaan bahasa Jawa
dengan berbagai tingkat tutur dan selipan unsur-unsur bahasa-
bahasa lain.
Pendek kata, penggunaan bahasa Jawa yang memiliki sejumlah
tingkat tutur itu telah banyak mengalami pergeseran dari pengguna-
annya yang ideal. Sejumlah orang bertutur dengan tingkat ngoko
padahal semestinya dengan tingkat tutur krama. Celakanya lagi,
dalam pandangan saya, penguasaan tingkat tutur krama (madya
dan inggil) pada kalangan kawula muda dalam kondisi mempriha-
tinkan (untuk tidak mengatakan jelek). Tampaknya, mereka
36
Bahasa dan Budaya Jawa

kurang kompetensinya dalam bahasa Jawa, khususnya tingkat tutur


krama, yang memancarkan konotasi hormat itu. Sehingga,
performansi dalam bahasa ituseperti saya katakana di atas
memprihatinkan.
Yang lebih memprihatinkan lagi, mungkin menganggap
bahasa Jawa sebagai bahasa tradisional dan biar dianggap sebagai
orang-orang yang modern, educated ada sejumlah orang tua di
kampung tempat kelahiran saya membiasakan anak-anak mereka
menggunakan bahasa Indonesia dengan Jawa mereka yang medok
, padahal mereka hidup di lingkungan masyarakat bahasa (speech
community) bahasa Jawa. Mereka tampak begitu bangga ketika
memperhatikan anak-anak mereka berbahasa Indonesia. Hal yang
demikian, di samping tidak mendidik anak-anak untuk mampu
berbahasa Jawa, menyusahkan mereka dalam bergaul dengan
sesama mereka, tetapi juga membutakan mereka terhadap budaya
yang terpancar dari bahasa Jawa itu sendiri, seperti adap asor, dan
unggah-ungguh. Anak-anak yang hidup dan bergaul dalam
masyarakat tutur bahasa Jawa, ajarilah atau jika tidak
biarkanlah mereka berbahasa dan berbudaya Jawa.
Biarlah anak-anak berbahasa dengan bahasa yang digunakan
oleh masyarakat bahasa setempat. Kedua anak saya, Galuh dan
Galih, tidak saya paksakan memakai bahasa Jawa atau bahasa In-
donesia. Karena mereka hidup dan bergaul dalam masyarakat tutur
bahasa Banjar, saya biarkan saja mereka berbahasa dan berbudaya
Banjar. Tak perlu repot-repotlah. Kan ada pepatah: Di situ bumi
dipijak, di situ juga langit dijunjung.

Budaya Jawa
Di samping masalah seputar bahasa Jawa, Prof. Fudiat menga-
jukan sejumlah pertanyaan yang masih saya ingat, antara lain,
berkenaan dengan sikap-sikap yang diajarkan oleh sistem budaya
Jawa. Misalnya, Ngono yo ngono, nanging mbok aja ngono, tega larane
ora tega patine, rame ing gawe sepi ing pamrih, narimo ing pandum,
sumarah. Berkenaan dengan nafsu, beliau menanyakan tentang tiga
nafsu yang harus dihindari, yakni: nefsu menange dhewe, nefsu benere
dhewe, dan nefsu butuhe dhewe. Masih banyak lagi pertanyaan yang
diajukan namun saya tidak ingat.

37
Maungkai Budaya

Dengan merujuk pada karya-karya oleh Clifford Geertz, Hildred


Geertz, Koentjaraningrat, Franz Magnis Suseno dan Kodiran
melalui tulisan ini saya mencoba mengeksplorasi aspek-aspek
budaya Jawa termasuk sikap-sikap yang dipertanyakan oleh Prof.
Fudiat di atas. Sikap dalam bertingkah laku bagi orang Jawa tercermin
pada doktrin kultural Ngono yo ngono, nanging mbok aja ngono (mungkin
anda betul, tetapi jangan memakai cara seperti itu). Sikap itu harus
diterapkan, misalnya, ketika seseorang atau sekelompok orang berhasil
menangkap pencuri ayam dan lalu menghajarnya sampai babak belur
atau bahkan sampai mati. Masyarakat Jawa tidak diajarkan
menggunakan cara semacam itu; mereka harus berlaku tega larane
ora tega patine. Doktrin ini berimplikasi bahwa mereka boleh-boleh
saja memberi pelajaran kepada orang yang bersalah namun
hendaknya tidak menyakitinya. Dalam konteks sekarang, doktrin itu
banyak ditinggalkan orang. Pencuri sepeda motor atau barang-barang
lain seringkali dihajar sampai babak belur atau bahkan dibakar hidup-
hidup. Dengan demikian, mereka telah tega lara tega pati (tega
menyakiti sekaligus tega membunuh).
Sikap lain yang harus dihindari adalah sikap atau perilaku atas
dasar pamrih. Berperilaku atau bertindak atas dasar pamrih berarti
hanya mengusahakan kepentingan diri sendiri dengan tidak
menghiraukan kepentingan-kepentingan masyarakat. Secara sosial
pamrih selalu mengacau karena merupakan tindakan tanpa
perhatian terhadap keselarasan sosial. Pamrih terutama kelihatan
dalam tiga nafsu, yaitu: nefsu menange dhewe, nefsu benere dhewe, dan
nefsu butuhe dhewe yang secara berturut-turut berarti selalu ingin
menjadi orang yang pertama, menanggap dirinya selalu betul, dan
hanya memperhatikan kebutuhannya sendiri. Sikap yang menandai
watak yang luhur adalah kebebasan dari pamrih atau sepi ing pamrih.
Orang dikatakan sepi ing pamrih bila dia semakin tidak perlu gelisah
dan prihatin terhadap dirinya sendiri, semakin bebas dari nafsu ingin
memiliki. Hal ini sekaligus mengandaikan bahwa ia telah dia telah
mengontrol nafsu-nafsunya sepenuhnya dan menjadi tenang. Dalam
situasi sekarang, masihkah mereka (khususnya orang-orang Jawa)
sepi ing pamrih dengan menghindari ketiga nafsu di atas?
Doktrin lain adalah narimo ing pandum dan sumarah. Biasanya
doktrin narimo ing pandum dilakukan dengan didahului sikap sabar.

38
Bahasa dan Budaya Jawa

Dengan sabar dimaksudkan bahwa seseorang mempunyai nafas


panjang dalam kesadaran bahwa pada waktunya nasib baik pun
tiba. Narimo berarti menerima segala apa yang mendatanginya tanpa
protes dan pemberontakan. Narimo menuntut kekuatan untuk
menerima apa yang tidak dapat dielakkan tanpa membiarkan diri
dihancurkan olehnya. Istilah narimo biasanya digabung dengan ing
pandum atau lengkapnya narimo ing pandum. Istilah narimo ing
pandum mengimplikasikan bahwa orang dalam keadaan kecewa dan
dalam keadaan sulit pun bereaksi secara rasional, tidak ambruk,
dan juga tidak menentang secara percuma. Doktrin sumarah meng-
isyaratkan sikap penuh penyerahan diri, dengan mendahulukan
kewajiban-kewajiban ketimbang menuntut hak-hak. Sikap sumarah
berarti pula bahwa seseorang yang setelah melakukan pekerjaan
atau usaha untuk menggapai cita-cita atau harapan-harapannya
kemudian berserah diri kepada Yang Mahakuasa dengan suatu
harapan bahwa apa yang telah diperbuat itu sesuai dengan yang
diinginkan. Paham fatalistik-kah ini?
Sebetulnya, saya tidak kaget bila Prof. Fudiat yang
antropolog beretnis Sunda memiliki interest pada budaya Jawa
dan Banjar, apalagi setelah saya tahu beliau menulis tesis M.A-nya
dengan judul Banjarese Marriage and Divorce in South Kalimantan
ketika kuliah di The University of Kansas (1977) dan membaca Pidato
Pengukuan Guru Besar-nya yang berjudul Sistem Perkawinan dan
Istilah Kekerabatan pada Orang Jawa, Sunda, dan Banjar (1989).
Sesuai topik yang digarap dalam buku Pidato Pengukuhan Guru
Besar itu, Prof. Fudiat hanya menyoal budaya Jawa dari perspektif
perkawinan dan kekerabatan saja. Dalam pandangan saya, soal
perkawinan yang dikemukakan Prof. Fudiat dalam konteks
sekarangsangatlah ideal (menurut adat perkawinan yang telah
digariskan dalam sistem budaya). Dari perspektif perubahan
kemasyarakatan dan kebudayaan, budaya (termasuk budaya Jawa)
dapat saja mengalami pegeseran dari semula yang ideal menjadi tidak
ideal atau bahkan hilang sama sekali. Saya tidak tahu persis apakah
ketika menyusun tulisan itu Prof. Fudiat berdasar pada hasil penelitian
lapangan atau hanya berdasar karya-karya Kodiran, Koentjaraningrat,
Clifforf Geertz, Hildred Geertz dan lain-lain. Karena beliau telah
tiada, maka saya tak bisa melakukan konfirmasi tentang hal itu.

39
Maungkai Budaya

Berikut ini pandangan Prof. Fudiat tentang Perkawinan dan


Kekerabatan Masyarakat Jawa yang saya rangkum dari Buku Pidato
Pengukuhan Guru Besar-nya Sistem Perkawinan dan Istilah
Kekerabatan pada Orang Jawa, Sunda, dan Banjar (1989).
Saat yang terpenting dalam lingkaran hidup seseorang ialah
saat peralihan dari tingkat hidup remaja ke tingkat hidup berke-
luarga, yaitu perkawinan. Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara
seseorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan
tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahasa dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Suryadikara, 1989).
Orang Jawa umumnya beragama Islam. Larangan untuk
mengawini wanita sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran (Surah
Annisa ayat 23) mereka patuhi. Selain mematuhi larangan
perkawinan di atas, orang Jawa juga memperhatikan larangan
perkawinan menurut adat Jawa sesuai dengan tempat dan golongan
mereka. Orang Jawa melarang perkawinan antara saudara sepupu
sekali yang ayah pihak pria dan ayah pihak wanita bersaudara dan
antara pria-wanita yang masih ada hubungan kerabat tetapi pihak
pria berasal dari generasi yang lebih muda atau pernah muda
(Suryadikara, 1989).
Pada waktu dulu, keluarga Jawa sangat berlaku seksama dan
hati-hati dalam memilih calon menantu, baik itu calon menanti pria
maupun wanita. Masing-masing pihak keluarga terlebih dahulu
menyelidiki bakal calon menantu masing-masing, berkenaan dengan
keturunan, pendidikan, dan status sosial (bibit, bebet dan bobot).
Menurut adat Jawa, memilih jodoh itu ditentukan oleh orang tua.
Sekarang, telah banyak orang tua memberikan sedikit kebebasan
bagi kaum muda untuk memilih jodoh. Meskipun demikian, mereka
tidak melupakan persetujuan orang tua. Umumnya mereka percaya
bahwa perkawinan tanpa restu orang tua akan membawa mala
petaka (Suryadikara, 1989).
Namun, banyak pula orang tua tetap bersikukuh pada adat
Jawa mereka. Bila pihak yang bersikukuh itu adalah pihak orang
tua si wanita sementara antara pria dan wanita sudah merasa saling
cocok, sejumlah kemungkinan yang akan terjadi: (1) bahwa si pria
membawa lari si wanita dan menikahinya di tempat lain dengan
wali hakim, (2) bahwa karena takut kuwalat sama orang tuasi
40
Bahasa dan Budaya Jawa

wanita terpaksa mengikuti keinginan orang tua untuk dijodohkan


dengan pria lain walau yang bersangkutan tidak suka, (3) bahwa si
wanita terpaksa mengikuti keinginan orang tua namun tidak mau
dijodohkan dengan pria lain; dia memilih tidak kawin kecuali
dengan pria idamannya. Tidak jarang wanita jatuh pada
kemungkinan ketiga. Sebagai akibatnya, tidak sedikit wanita menjadi
perawan tua gara-gara bakal calon suami mereka ditolak oleh para
orang tua mereka sebab tidak sesuai dengan perhitungan ala adat
Jawa. Namun, bila penolakan perkawinan datang dari pihak or-
ang tua pria tidak banyak mengakibatkan timbulnya masalah sebab
dengan atau tanpa restu orang tua perkawinan tetap bisa
dilangsungkan dengan mudah. Tidak jarang pula pria nekat
menikahi wanita yang bukan menjadi pilihan orang tua mereka.
Secara adat Jawa, menurut keterangan Prof. Fudiat, tata cara
perkawinan menyangkut hal-hal: (1) nakokake, yakni suatu aktivitas
yang dilakukan oleh pihak orang tua pemuda dengan mengirimkan
dandan (utusan atau perantara yang biasanya telah dikenal oleh
kedua belah pihak) untuk menanyakan apakah si gadis itu sudah
ada yang mengikat atau belum. Jika belum, apakah orang tua si
gadis itu setuju jika anak gadisnya dijodohkan dengan pemuda yang
diceritakan oleh utusan tadi. Jika hal itu disetujui, maka akan
diadakan kunjungan atau perkenalan resmi dengan maksud untuk
melihat dan mengamati gadis yang bersangkutan, (2) nontoni, yakni
melihat wajah dan mengamati tingkah laku gadis yang akan diambil
istri. Kegiatan nontoni biasanya tidak diketahui oleh si gadis. Setelah
ada kecocokan pihak pemuda terhadap si gadis, atas dasar
kesepakatan kedua belah pihak, pada waktu yang ditentukan acara
berikutnya, (3) yaitu, peningsetan, yakni pemberian sejumlah harta
dari pihak pria kepada si gadis sebagai pengikat, biasanya berupa
pakaian sepengadeg (pakaian mulai dari bagian bawah sampai
bagian atas). Diteruskan dengan penentuan hari perkawinannya,
(4) perkawinan, yakni kegiatan yang melibatkan banyak hal. Beberapa
hari sebelum perkawinan dilangsungkan, calon pengantin pria
mengirimkan hadiah perkawinan. Sehari sebelum pernikahan/
perkawinan kerabat calon pengantin wanita mengadakan ziarah
kubur untuk minta restu. Malam pernikahan/perkawinan si wanita
tidak tidur sampai tengah malam untuk minta restu kepada bidadari

41
Maungkai Budaya

(midadarini). Pada pagi harinya diadakan akad nikah. Akad nikah


ini dapat dilakukan di Kantor penghulu, di masjid atau di rumah
calon pengantin wanita. Usai acara akad nikah, dilakukan temu
manten (mempertemukan kedua pengantin) dan dilanjutkan dengan
acara walimah, dan (5) ngunduh mantu, suatu upacara perkawinan
kedua yang dilakukan di tempat pihak pengantin pria, yang
biasanya, beberapa hari setelah pesta perkawinan di tempat
pengantin wanita (Suryadikara, 1989).
Dalam situasi sekarang, bila kedua bakal calon pengantin belum
saling kenal, maka semua tata cara perkawinan di atas tetap saja
dilalui, kendati di sana sini terdapat penyederhanaan. Namun,
karena umumnya muda-muda melangkah ke jenjang perkawinan
sudah saling mengenal (tepatnya, berpacaran) maka sebagian tata
cara tersebut tidak dilakukan. Tampaknya, tata cara yang ada adalah
(1) lamaran, (2) peningsetan, (3) perkawinan (yang tidak diikuti
macam-macam aktivitas sebagaimana disebutkan di atas, kecuali
walimah), dan (4) ngunduh mantu (yang tidak selalu dilakukan).
***
Artikel ini ditulis untuk mengenang Almarhum Prof. Fudiat.
Mengapa harus bahasa dan budaya Jawa? Pemilihan topik itu
didasarkan pada kenyataan bahwa kala masih hidup Prof. Fudiat
tidak hanya memiliki interest pada budaya beliau sendiri, budaya
Sunda, tetapi juga budaya-budaya etnis lain seperti Jawa dan Banjar.
Ketika beliau menyusun tesis M.A-nya, beliau bukan mengambil
budaya Sunda tetapi budaya Banjar.
Budaya bisa saja tetap ajeg, bergeser, berubah atau bahkan
musnah. Budaya Jawa yang, konon, dikatakan adiluhung di masa
lalu, setidak-tidaknya menurut pandangan saya sebagai pelaku
dan sekaligus pengamat budaya Jawa itu, telah mengalami
pergeseran dari budaya yang ideal, sebagaimana telah diamati dan
dideskripsi oleh sejumlah antropolog baik domestik (seperti
Koentjaraningrat, Kodiran dan Fudiat Suryadikara) maupun
antropolog luar negeri (seperti suami-istri Clifford Geertz dan Hildred
Geertz, dan Franz Magnis Soeseno), ke budaya yang kurang/tidak
ideal, akibat dari berbagai faktor. Bagaimana menurut sampeyan?

42

KEDWIBAHASAAN

Kedwibahasaan

I stilah kedwibahasaan, yang dalam bahasa Inggrisnya bilingual


ism, telah diperbincangkan oleh sejumlah ilmuwan bahasa.
Mereka mengajukan pengertian atau batasan tentang kedwi-
bahasaan itu menurut pandangan mereka masing-masing. William
F. Mackey merangkum sejumlah pengertian kedwibahasaan, sebagai
berikut:
Pada waktu dulu, konsep kedwibahasaan dipandang sebagai
the equal mastery of two languages (penguasaan yang sama terhadap
dua bahasa); definisi ini masih diketemukan dalam kamus-kamus
linguistik tertentu. Bloomfield memberikan konsep kedwibahasaan
sebagai the native-like control of two languages (penguasaan dua bahasa
yang sama antara bahasa asli dan bahasa yang lain). Konsep ini
diperluas oleh Haugen menjadi kemampuan menghasilkan complete
meaningful utterances in the other language (ungkapan-ungkapan yang
bermakna dan sempurna dalam bahasa lain). Akan tetapi, sekarang
disarankan bahwa konsep kedwibahasaan itu diperluas lagi dengan
memasukkan passive knowledge (pengetahuan pasif) bahasa tulis
atau setiap contact with possible models in a second language and the
ability to use these in the environment of the native language (kontak
dengan model model-model dalam bahasa kedua dan kemampuan
menggunakan model-model itu dalam lingkungan bahasa asli).
Perluasan konsep kedwibahasaan ini, menurut Mackey, karena
kenyataan bahwa titik tolak seseorang penutur bahasa kedua menjadi
dwibahasawan bersifat arbriter dan tidak mungkin ditentukan. Lebih

43
Maungkai Budaya

dari itu, kita harus memasukkan tidak hanya dua bahasa, akan tetapi
sejumlah bahasa. Oleh karena itu, kita akan memandang kedwiba-
hasaan sebagai the alternate use of two or more languages by the same
individual (penggunaan dua bahasa atau lebih secara bergantian oleh
individu yang sama) (Fishman, ed., 1972:555).
Kalau kita perhatikan pengertian kedwibahasaan di atas, kita
akan melihat adanya perbedaan antara yang diberikan oleh
Bloomfield dan oleh yang lainnya. Kedwibahasaan dibatasi oleh
Bloomfield sebagai penggunaan dua bahasa yang sama baiknya antara
bahasa ibu (asli) dan bahasa kedua. Dengan demikian, pengertian
kedwibahasaan semacam ini menyaran pada kelancaran dan
ketepatan yang sama seperti penggunaan bahasa oleh penutur asli
dari setiap bahasa itu.
Bila kita beranjak dari gagasan Bloomfield tentang kedwiba-
hasaan, lebih jauh kita dapat ikuti penjelasannya dalam bukunya
yang berjudul Language yang di dalamnya, antara lain, menyatakan
sebagai berikut:
In the extreme case of foreign-language learning the speaker becomes so
proficient as to be indistinguishable from the native speaker around him. This
happens occassionally in adult shifs of language and frequently in the child-
hood shift .. In this cases where this perfect foreign-language learning is not
accompanied by loss of the native-language, it results in bilingualism, native-
like control of two languages (Bloomfield, 1935:56).

Dengan demikian, menurut Bloomfield, belajar bahasa asing


yang sempurna tanpa diikuti oleh hilangnya bahasa asli akan terjadi
native-like control of two languages. Namun demikian, penggunaan
dua bahasa atau lebih akan melibatkan latar kontal sosial budaya.
Pada hakikatnya, kontak bahasa adalah salah satu aspek dari kontak
kebudayaan, sedangkan pengacauan kaidah, alih kode maupun
campur kode (yang akan dibahas kemudian) merupakan segi dari
difusi dan akulturasi budaya. Lebih lanjut, dalam kaitan ini,
Weinreich menjelaskan sebagai berikut.
In a great majority of contact between groups speaking different mother
tongues, the groups constitute, at the same time, distinct ethnic or cultural
communities. Such contact entails biculturalism (participation in two cultures)
as well as bilingualism, diffusion of cultural traits as well as of linguistic
elements (Weinreich, 1968:5 dan 89).

44
Kedwibahasaan

Beranjak dari gagasan Weinriech di atas, dapat dikatakan


bahwa bagaimanapun sempurnanya penguasaan bahasa asing (lain)
oleh seseorang, bila dua bahasa atau lebih berkontak, yaki: bahasa-
bahasa itu digunakan oleh orang yang sama secara bergantian, maka
unsur-unsur bahasa asing (lain) dapat saja muncul dalam
tuturannya.
Kemunculan unsur-unsur dari bahasa asing (lain) dalam
tuturan pemakai bahasa yang memiliki pengetahuan atau
penguasaan lebih dari satu bahasa itu, lebih lanjut dijelaskan oleh
Istiati Soetomo (1985:2) sebagai berikut.
Jika seorang dwibahasawan akan menyampaikan suatu pesan
lewat bahasa kepada pendengarnya, ada dua faktor yang
menghambat perjalanan pesan itu sebelum ia dapat diujarkan oleh
penuturnya. Pertama adalah faktor dari kaidah beberapa bahasa
yang dikenalnya, tentunya berbeda satu dari yang lainnya.
Mampukah dia membedakan dan memilah-milahkan setiap kaidah
itu, sehingga ketika dia menggunakan salah satu bahasa, kaidah
bahasa lain tidak mengganggu? Jika dia tidak mampu, maka
sementara dia menggunakan salah satu bahasa yang dikenalnya,
bahasa lain dapat saja muncul dalam tuturannya. Terjadilah apa
yang disebut interferensi, alih kode/campur kode. Sebaliknya, bila
dia dapat memisah-misahkan kaidah bahasa-bahasa yang
dikenalnya, maka terjadilah tunggal-bahasa dalam tuturan si
penutur tersebut. Kedua adalah faktor yang berasal dari
pertimbangan komunikasi. Bahasa digunakan manusia untuk alat
komunikasi dalam upayanya berinteraksi dengan sesamanya. Dalam
kenyataannya, dia tidak bebas sama sekali. Ada seperangkat
peraturan berbahasa yang telah disepakati oleh masyarakat di mana
dia hidup dan bergaul dengan anggota-anggota lain sesuai dengan
tata-nilai yang menjadi pedoman mereka dalam upayanya
berinteraksi dengan sesamanya. Dalam kenyataannya, dia tidak
bebas sama sekali. Ada seperangkat peraturan berbahasa yang telah
disepakati oleh masyarakat di mana dia hidup dan bergaul dengan
anggota-anggota lain sesuai dengan tata-nilai yang menjadi
pedoman mereka. Pertimbangan komunikasi ini menentukan apakah
dia akan bertutur dengan tunggal-bahasa, melakukan interferensi,
atau alih-kode/campur kode.

45
Maungkai Budaya

Tindak berbahasa bagi orang yang memiliki kemampuan atau


penguasaan terhadap dua bahasa (atau lebih) dapat memenuhi
tuntutan berkenaan dengan the native-like control of two languages,
akan terjadi bila kita memandang tindak berbahasa itu dari segi
penggunaan bahasa tanpa mempertimbangkan faktor-faktor non-
kebahasaan, seperti: peserta tutur (partisipan), topik pembicaraan,
setting, suasana, maksud dan faktor-faktor sosial-budaya. Namun,
dalam tindak berbahasa seseorang dalam upayanya berinteraksi
sosial dengan sesamanya, faktor-faktor non-kebahasaan seringkali
mempengaruhi penggunaan bahasa-bahasa yang dikuasainya.
Faktor-faktor non-kebahasaan dapat mengakibatkan apakah
seseorang itu akan bertutur dengan tunggal-bahasa, melakukan
interferensi, atau alih-kode/campur kode, sebagaimana disarankan
oleh Istiati Soetomo di atas.
Kemudian pengertian the native-like cotrol of two languages
dipandang sebagai satu jenis kedwibahasaan. Pengertian lain
tentang kedwibahasaan diberikan oleh Weinreich sebagai the prac-
tice of alternately using two languages. Dalam kaitan ini, dia
memandang kedwibahasaan dalam arti yang luas, tanpa kualifikasi
mengenai tingkat perbedaan antara dua bahasa, yaitu tanpa
memandang apakah kedua sistem itu bahasa dengan bahasa, dialek-
dialek dari bahasa yang sama, atau varitas-varitas dari dialek yang
sama. Berkenaan dengan pengertian kedwibahasaan ini, Haugen
menyarankan bahwa tidak perlu adanya syarat yang sama dalam
pengetahuan atau penguasaan terhadap kedua bahasa itu. Untuk
itu, dia menawarkan dua jenis kedwibahasaan, yakni: compound
bilingualism dan coordinate bilingualism. Jenis kedwibahasaan yang
pertama menyaran pada penguasaan dua bahasa dalam konteks
yang sama, sedangkan jenis kedwibahasaan yang kedua menyaran
pada penguasaan dua bahasa dalam konteks yang berbeda.
Konsep kedwibahasaan telah menjadi semakin luas. Ia tidak
hanya menyaran pada penguasaan atau penggunaan dua bahasa
tetapi juga pada dua bahasa atau lebih. Dengan demikian, konsep
kedwibahasaan berimplikasi pada keanekabahasaan. Dalam hal ini,
Mackey, seperti dinyatakan di atas, membatasi kedwibahasaan
sebagai penggunaan dua bahasa atau lebih oleh individu yang sama secara
bergantian (Fishman, ed.,: 1972:555).

46
Kedwibahasaan

Lebih lanjut, Mackey memandang konsep kedwibahasaan


sebagai konsep yang nisbi atau relatif. Kedwibahasaan itu melibatkan
atau mengandung masalah tingkat, fungsi, pertukaran, dan interferensi.
Tingkatan kedwibahasaan menyaran pada masalah: seberapa baik
seseorang mengetahui atau menguasai bahasa-bahasa yang
digunakan, atau dengan perkataan: Seberapa jauh dia menjadi
dwibahasawan? Fungsi kedwibahasaan menyaran pada masalah:
untuk apa dia menggunakan bahasa-bahasa itu, peran apa yang
dimainkan oleh bahasa-bahasa itu dalam pola perilakunya secara
keseluruhan? Pertukaran menyaran pada masalah: seberapa luas dia
mempertukarkan bahasa-bahasa yang dikuasainya, bagaimana dia
melakukan pergantian dari dari satu bahasa ke bahasa yang lain,
dan dalam keadaan bagaimana dia berganti bahasa itu? Interferensi
menyaran pada masalah: bagaimana dia menjaga bahasa-bahasa
itu terpisah ketika dia melakukan speech act, seberapa luas dia
mencampurbaurkan semua bahasa itu, dan bagaimana salah satu
bahasa dari bahasa-bahasa yang dikuasainya mempengaruhi
penggunaan bahasa yang lainnya? (Fishman, ed., 1972:555-556).
Kedwibahasaan bukan fenomena atau gejala bahasa; melainkan
sifat atau karakteristik penggunaannya. Ia bukan ciri kode; melainkan
ciri pesan. Ia bukan bagian dari langue (totalitas dari suatu bahasa yang
merupakan kombinasi dari grammar, kosa kata, dan system pengucapan);
melainkan bagian dari parole (penggunaan bahasa secara nyata oleh
penuturnya). Kalau bahasa merupakan milik kelompok, maka
kedwibahasaan merupakan milik perseorangan. Penggunaan dua
oleh seseorang mengharuskan keberadaan dua masyarakat bahasa
(speech communities) yang berbeda; akan tetapi tidak mengharuskan
masyarakat dwibahasawan (Fishman, ed., 1972:554).
Setelah kita mendapatkan gambaran tentang kedwibahasaan,
kita kemukakan istilah lain yang sangat berkaitan dengan masalah
kedwibahasaan. Istilah itu adalah kontak bahasa (language contact).
Sebagaimana dikatakan oleh Weinriech, bahwa dua bahasa atau
lebih dikatakan dalam kontak apabila digunakan secara bergantian
oleh orang yang sama. Individu pemakai bahasa-bahasa itu menjadi
tempat atau sumber terjadinya kontak tersebut (Weinriech, l953:1).
Sehubungan dengan kontak bahasa ini, Mackey menegaskan
perbedaan antara kedwibahasaan. Kedwibahasaan, seperti
47
Maungkai Budaya

dinyatakan di atas, menyaran pada penggunaan dua bahasa atau


lebih oleh individu yang sama; sedangkan kontak bahasa menyaran
pada pengaruh suatu bahasa terhadap bahasa lainnya, baik
pengaruh langsung maupun tidak langsung, yang menyebabkan
perubahan dalam langue yang menjadi milik tetap (permanen)
penutur ekabahasawan (monolingual) dan memasuki perkembangan
sejarah bahasa yang digunakan oleh penutur ekabahasawan
tersebut (Haugen dalam Fishman, ed., 1972:20).

Dwibahasawan
Sama halnya dengan kedwibahasaan, konsep dwibahasawan
juga mengalami perluasan. Weienriech memberikan batasan
dwibahasawan sebagai orang yang terlibat dalam praktek penggunaan
dua bahasa secara bergantian (1968:1).
Kalau dikatakan bahwa bahasa-bahasa disebut dalam kontak
bila bahasa-bahasa itu digunakan oleh dwibahasawan secara bergantian,
maka sebenarnya kurang memadai pengertiannya. Hal ini karena,
menurut Haugen, bahasa-bahasa itu tidak harus digunakan secara
nyata oleh dwibahasawan melainkan hanya cukup diketahui saja.
Namun demikian, dia menyarankan bahwa dwibahasawan yang
ideal adalah seseorang yang mengetahui lebih dari satu bahasa yang
mampu menginternalisasikan atau membiasakan pola-pola produktif
(aturan tata bahasa) dan unsur leksikal dari dua speech communities
(Fishman, ed., 1972:20).
Bila kemampuan pasif bahasa tulis atau setiap kontak dengan
bentuk-bentuk dalam bahasa kedua dimasukkan dalam konsep
kedwibahasaan, maka dwibahasawan lebih jauh dibatasi sebagai
orang yang memiliki kemampuan bahasa yang berbeda-beda
(Fishman, ed., 1972:555). Hal ini didukung oleh pernyataan Haugen
bahwa dwibahasawan itu bukanlah ekabahasawan atau mololingual
walaupun tidak ditetapkan seberapa jauh seseorang itu memerlukan
pengetahuan bahasa kedua sebelum disebut dwibahasawan.
Kemudian, dia menyarankan bahwa kemampuan menghasilkan
kalimat-kalimat dalam bahasa kedua harus menjadi syarat terendah,
atau paling tidak, memahami kalimat-kalimat bahasa kedua itu.
Istilah kedwibahasawan menyaran juga pada orang yang

48
Kedwibahasaan

mengetahui lebih dari satu bahasa, yang biasa dikenal dengan istilah
multibahasawan atau ploligot (Fishman, ed., 1978:4).
Sebagaimana dikatakan di atas, bahwa konsep kedwibahasaan
telah mengalami perluasan. Hal ini terlihat pada pernyataan Mackey,
bahwa kedwibahasaan itu melibatkan tingkatan. Tingkatan
dimaksudkan untuk membedakan kemampuan seseorang dalam
penguasaannya terhadap bahasa kedua. Tingkatan kemampuan itu
dapat dilihat pada penguasaan dwibahasawan dalam hal fonologi,
tata bahasa (grammar), segi leksikal, semantik dan gaya bahasa (sty-
listic) yang terlihat dalam empat ketrampilan (skill) bahasa, yaitu:
menyimak (listening), membaca (reading), berbicara (speaking), dan
menulis (writing) (Fishman, ed., 1972:556-557).
Pengertian kemampuan berbahasa itu juga mengacu pada
kemampuan aktif dan pasif. Ini berarti bahwa dwibahasawan tidak
harus menguasai bahasa keduanya secara aktif, tetapi dapat juga
secara pasif. Seseorang yang memiliki kemampuan pasif bahasa tulis
dalam bahasa kedua dapat juga disebut dwibahasawan (Fishman,
ed., 1972:555).

Interferensi
Sebagaimana dikatakan di atas, bahwa kedwibahasaan
mengandung pengertian yang relatif atau nisbi. Ia melibatkan
masalah tingkatan, fungsi, pertukaran, dan interferensi. Tiga hal yang
pertama (tingkatan, fungsi, dan pertukaran) menentukan terjadi atau
tidaknya peristiwa interferensi bahasa tertentu dalam tuturan
dwibahasawan dengan bahasa yang lain. Dengan demikian,
menurut Mackey, pengertian interferensi adalah penggunaan unsur-
unsur yang ada dalam suatu bahasa pada waktu berbicara atau
menulis dalam bahasa lain (Fishman, ed., 1972:569).
Praktek penggunaan dua bahasa oleh seseorang menimbulkan
penyimpangan-penyimpangan dari norma masing-masing bahasa
itu. Penyimpangan semacam itu disebut interferensi. Dalam hal ini,
Weinreich mengatakan:
The practice of alternately using two languages will be called bilingual-
ism and the persons involved, bilingual. Those instances of deviation from the
norms of either language either language which occurs in the speech of bilinguals

49
Maungkai Budaya

as a result of their familiarity with more than one language, i.e. as a result of
language contact, will be referred to as interference phenomena (1953:1).

Interferensi disebut juga dengan penerapan struktur bahasa


yang satu (misalnya, bahasa X) pada bahasa yang lain (misalnya,
bahasa Y). Atau, dapat dikatakan bahwa interferensi adalah
penerapan dua struktur bahasa secara serampak pada saat bertutur
dengan suatu bahasa (Haugen dalam Fishman, ed., 1978:33).
Dari pengertian-pengertian tentang interferensi di atas, kita
dapat menyimpulkan bahwa interferensi mencakup baik
penggunaan unsur yang ada dalam suatu bahasa pada waktu
berbicara atau menulis bahasa yang lain, maupun penerapakan dua
kaidah bahasa secara serempak, yang akibatnya menimbulkan
penyimpangan dari norma-norma masing-masing bahasa yang
terjadi tuturan dwibahasawan.
Penerapan dua kaidah bahasa secara serempak itu terbatas
pada gejala tuturan saja. Hal ini karena kaidah yang dipandang
sebagai pinjaman yang telah kukuh dan pemakaiannya tidak
terbatas pada kedwibahasaan, maka ia bukan lagi disebut
interferensi. Dalam kaitan ini, Weinreich menjelaskan sebagai berikut:
In speech, interference is like sand carried by a stream; in language, it is
sedimented sand deposited on the bottom of a lake. Two phases of interference
should be distinguished. In speech, it occurs anew in the utterances of the bilin-
gual speaker as a result of his personal knowledge of the other tongue. In lan-
guage, we find interference phenomena which, having frequently occurred in
the speech of bilinguals, have become habitualized and established. Their use is
no longer dependent on bilingualism. When a speaker of language X uses a
form of foreign origin not as an on the-spot borrowing from the language Y, but
because he has heard it used by others in X-utterances, this borrowing element
can be considered, from the descriptive viewpoint, to have a part of language X
(1968:11).

Senada dengan Weinreich, Mackey menyatakan bahwa


deskripsi tentang interferensi harus dibedakan dengan analisis
tentang pinjaman bahasa. Interferensi merupakan gejala parole;
sedangkan pinjaman merupakan gejala langue. Interferensi itu terjadi
pada diri dwibahasawan; sedangkan pinjaman bahasa yang
berkaitan dengan integrasi- dapat terjadi tidak hanya pada diri
dwibahasawan tetapi juga pada diri ekbahasawan (Fishman, ed.,
1972:569). Pengertian integrasi akan dijelaskan kemudian.
50
Kedwibahasaan

Dalam interferensi terdapat tiga unsur yang berperan, yaitu:


(1) bahasa model atau bahasa sumber, (2) bahasa penyerap atau
penerima, dan (3) unsur serapan atau importasi.
Interferensi dapat terjadi karena pemindahan unsur. Unsur
yang dipindahkan dari bahasa sumber ke bahasa penerima disebut
serapan atau importasi. Unsur serapan atau importasi semacam ini
dapat terjadi pada tingkat kata, yaitu berupa pemindahan atau
pemasukan kata dari bahasa sumber ke bahasa penerima, di mana
fonem-fonemnya diganti dengan fonem-fonem bahasa penerima
(native phonemes). Dalam hal ini importasi menyebabkan adanya
loanword (Weinreich, 1968:31 dan Fishman, ed., 1972:37).
Juga, dalam interferensi terdapat penggantian unsur. Yang
dimaksud dengan penggantian unsur di sini adalah unsure yang
digantikan atau disalin dari bahasa sumber dalam bahasa penerima.
Dalam hal ini, bahasa sumber disebut bahasa model dan bahasa
penerima disebut replica. Unsur yang disalin adalah substitusi.
Substitusi dari bahasa asli menyebabkan adanya loanship, yang
terjadi dengan menyalin kata asli ke dalam bahasa replica disertai
dengan pergesearan arti (Fishman, ed., 1978:38).
Interferensi dapat saja terjadi dalam semua komponen kebahasaan.
Ini berarti bahwa peristiwa interferensi dapat saja terjadi dalam bidang-
bidang: tata bunyi, tata bentuk, tata kata, tata kalimat, dan tata makna.

Integrasi
Baik interferensi maupun integrasi merupakan gejala akibat dari
kontak bahasa. Keduanya peristiwa itu sebenarnya merupakan
penggunaan unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain
yang terjadi pada diri penutur bahasa. Mackey mengajukan
perbedaan antara interferensi dan integrasi. Menurut dia, interferensi
menyaran pada the use of elements of one language or dialect while
speaking or writing another dan integreasi menyaran pada the in-
corporation into one language or dialect of elements from another from
another (Fishman, ed., 1972:555).
Sebagaimana dikatakan di atas, bahwa interferensi terjadi pada
diri dwibahasawan; sedangkan pinjaman bahasa (yang sering
dikaitkan dengan integrasi) dapat terjadi tidak hanya pada diri
dwibahasawan tetapi juga pada diri ekabahasawan. Dengan
51
Maungkai Budaya

demikian, dalam peristiwa integrasi unsur-unsur dari suatu bahasa


digunakan seolah-olah menjadi bagian dari bahasa yang lain. Dalam
kaitan ini, unsur-unsur dari bahasa lain itu digunakan oleh penutur
ekabahasawan yang tidak mempunyai pengetahuan tentang bahasa
sumber atau oleh penutur dwibahasawan yang menjadikan unsur-
unsur bahasa lain itu sebagai bagian dari kebiasaannya (Fishman,
ed., 1972:569 dan Weinreich, 1968:11).
Integrasi dapat dikatakan sebagai fenomena yang terjadi bila
unsur-unsur serapan dari suatu bahasa telah dapat menyesuaikan
dengan sistem bahasa penyerapnya sehingga pemakaiannya tidak
lagi terasa keasingannya. Dalam hal ini, Haugen (dalam Rusyana,
1975:76) memberikan batasan integrasi sebagai kebiasaan
menggunakan materi dari suatu bahasa ke dalam bahasa yang lain. Seperti
halnya interferensi, integrasi dapat terjadi pada semua komponen
kebahasaan: tata bunyi, tata bentuk, tata kalimat ataupun tata makna.

Kode
Istilah kode di sini dimaksudkan untuk menyebut salah satu
varian dalam hirakhi kebahasaan. Kode dapat menyaran pada (1)
bahasa, dan (2) varian dari suatu bahasa. Bila bahasa dipandang
sebagai suatu kode, kita, misalnya, akan mengetahui bahwa bahasa
Banjar, bahasa Arab, bahasa Indonesia dan sebagainya adalah kode-
kode. Suatu bahasa memiliki sejumlah varian bahasa dan selanjutnya
setiap varian bahasa juga disebut kode. Varian-varian bahasa dapat
berupa (a) dialek yang terbagi lagi menjadi: dialek geografi, sosial,
usia, jenis kelamin, aliran, suku, ras dan sebagainya, (b) tingkat tutur
yang terbagi lagi menjadi: tingkat tutur hormat, dan non-hormat,
yang berwujud ngoko, krama madya, dan krama inggil (bahasa Jawa),
(c) ragam (style) yang terbagi lagi atas dasar suasana: ragam santai
(informal), resmi (formal), dan literer (indah), dan atas dasar
komunikasi: ragam ringkas (restricted code), ragam lengkap (elaborated
code), dan syair, serta atas dasar kekhususan: register (Poejosoedarmo,
1975). Dalam kaitan ini, Fishman menyatakan bahwa setiap varian
bahasa itu dapat dikenali atau diketahui (1) pola-pola bunyinya, (2)
kosa katanya, (3) ciri-ciri gramatikalnya, dan (4) maknanya (1972:5).
Istilah dialek menyaran pada varian bahasa yang adanya
ditentukan oleh latar belakang asal usul penutur. Latar belakang

52
Kedwibahasaan

penutur dapat berupa (1) lingkungan geografis tempat seorang


penutur hidup, (2) tingkat sosial dari mana seorang penutur berasal,
(3) aliran agama, kepercayaan kebatinan atau kepartaian yang
seorang penutur anut, (4) umur seorang penutur (anak-anak atau
orang dewasa/tua, (5) jenis kelamin seorang penutur (laki-laki atau
perempuan), dan suku/etnis seorang penutur (Negro, Indian,
Tionghoa, Jawa, Madura).
Berkenaan dengan dialek sebagai suatu kode, Trudgill
berpendapat bahwa dalam bahasa terdapat dua dialek, yaitu dialek
regional dan dialek sosial. Dialek regional menyaran pada varian
bahasa yang adanya ditentukan oleh daerah asal si penutur. Dalam
bahasa Banjar, misalnya, kita mengenal dialek bahasa Banjar Hulu
dan Kuala; dalam bahasa Jawa, misalnya, kita mengenal dialek
bahasa Jawa Surabaya, Yogyakarta, Banyumas, dan lain-lain. Dialek
sosial menyaran dialek yang adanya ditentukan oleh tingkat sosial
dari mana seseorang penutur berasal, apakah ia berasal dari kelas
sosial tingkat, menengah, atau rendah.
Lebih lanjut, Soepomo Poedjosoedarmo menjelaskan bahwa
tingkat tutur dipandang sebagai suatu kode. Tingkat tutur
mempunyai ciri khusus sesuai dengan latar belakang penutur, relasi
penutur dengan lawan tuturnya, dan situasi tutur yang ada. Tingkat
tutur itu biasanya berbentuk varian bahasa yang secara nyata dipakai
berkomunikasi oleh anggota suatu masyarakat bahasa. Bagi
masyarakat ekabahasa, kode itu merupakan varian dari bahasanya
yang satu. Akan tetapi, bagi masyarakat yang dwibahasa atau
anekabahasa, inventariasai kode itu menjadi lebih luas dan
mencakup varian dua bahasa atau lebih(1975:30).
Berkaitan dengan tingkat tutur itu, Clifford Geertz membahas-
nya dalam kerangka sopan santun berbahasa atau etiket berbahasa.
Dalam bahasa Jawa, kita mengenal tingkat-tingkat tutur (speech lev-
els) yang sangat kompleks. Tingkat-tingkat tutur yang dimaksud
adalah varian-varian bahasa yang perbedaan antara yang satu
dengan yang lainnya ditentukan oleh perbedaan sikap sopan santun
yang ada pada diri pembicara atau penutur (O1) terhadap lawan
bicara (O2). Tingkat-tingkat tutur itu adalah ngoko, krama madya, dan
krama inggil (Geertz, 1960). Masing-masing tingkat tutur itu
membawa perbedaan dalam kosa kata. Dengan perkataan lain,
53
Maungkai Budaya

tingkat tutur itu dapat dikatakan sebagai sistem kode penyampai


rasa kesopanan yang di dalamnya terdapat unsur kosa kata tertentu,
aturan sintaksis tertentu, aturan morfologi dan fonologi tertentu
(Poedjosoedarmo, 1979:3-8).
Bila varian bahasa ditinjau dari segi ragam bahasa, maka varian
bahasa itu biasanya dikaitkan dengan tingkat formalitas. Dalam
kaitan ini, Trudgill mengatakan:
Formality is not, in fact, something which is easy to define with any
degree of precision, largely because it subsumes very many factors including
familiarity, kinship-relationship, politeness, seriousness, and so on, but most
people have a good idea of the relative formality of particular linguistic varians
in their own language (1974:110)

Berpijak dari pendapat Trudgill di atas, kiranya dapat dikatakan


bahwa tingkat formalitas antara bahasa yang satu dengan bahasa
yang lainnya akan berbeda. Sebagai contoh, ragam formal dalam
bahasa Inggris ditandai oleh penggunaan bentuk pasif; sementara
ragam formal dalam bahasa Jawa ditandai dengan penggunaan
tingkat tutur krama/krama inggil (misal, dalam rapat, pidato).
Varian bahasa yang lain adalah apa yang dikenal dengan istilah
tutur lengkap (elaborated code) dan tutur ringkas (restricted code). Dua
istilah ini merupakan dua istilah yang pernah dipakai oleh Basil
Berstein, seorang profesot sosiologi pendidikan pada Universitas
London. Tutur lengkap, menurut sang professor ini, umumnya
digunakan dalam situasi-situasi formal seperti debat formal atau
diskusi akademik. Sedangkan tutur ringkas umumnya digunakan
dalam suasana tak resmi, misalnya dalam suasana santai. Tutur
lengkap tentu saja mengandung kalimat-kalimat yang lengkap, sesuai
dengan kaidah sintaksis yang ada. Ungkapan-ungkapan dinyatakan
dengan jelas. (Trudgill, 1974:51-52). Tutur lengkap tentu saja
mengandung kalimat-kalimat yang lengkap, sesuai dengan kaidah
sintaksis yang ada. Ungkapan-ungkapan dinyatakan dengan jelas.
Perpindahan dari kalimat yang satu ke kalimat yang lain terasa runtut
dan logis, tidak dikejutkan oleh faktor-faktor non kebahasaan yang
aneh-aneh. Sedangkan tutur ringkas sering mengandung kalimat-
kalimat yang pendek, dan biasanya hanya dimengerti oleh peserta tutur.
Orang luar kadang-kadang tak dapat menangkap makna tutur yang
ada, sebab tutur itu sangat dipengaruhi antara lain oleh faktor-faktor
54
Kedwibahasaan

non kebahasaan yang ada pada waktu dan di sekitar pembicaraan itu
berlangsung. Bahasa yang dipakai dalam suasana santai antara sahabat
karib, sesama anggota keluarga, antara teman, biasanya berwujud
singkat-singkat seperti itu (Poedjosoedarmo, 1974:8).
Varian bahasa yang lain adalah register. Kita sering
membedakan tutur karena penggunaan tutur itu secara khusus.
Tutur penjual obat dan tutur ahli hukum yang sedang bekerja di
kantor pengadilan akan berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Demikian pula, tutur seseorang yang kerkecimpung dalam dunia
kedokteran akan berbeda dengan tutur seseorang yang bekerja dalam
bidang teknik. Dalam kaitan ini, Trudgill berpendapat:
The occupational situation will produce a distinct linguistic variety. Oc-
cupational linguistic varieties of this sort have been termed registers, and are
likely to occur in any situation involving members of a particular profession or
occupation. The language of law, for example, is different from the language of
medicine, which in turn is different from the language of engineering- and so
on. Registers are usually characterized solely by vocabulary differences; nei-
ther by the use of particular words, or by the use of words in a particular sense
(1974:104).

Alih Kode
Penggunaan bahasa dalam situasi kedwi-bahasaan atau
keanekabahasaan akan melibatkan persoalan siapa yang bertutur,
bahasa apa yang digunakan, kepada siapa seseorang itu bertutur, kapan
dan di mana tutur itu terjadi (Fishman,1972:244).
Dalam situasi kedwibahasaan atau keaneka-bahasaan, sering
kita melihat orang mengganti bahasa atau ragam bahasa; hal ini
tergantung pada keadaan atau keperluan berbahasa itu sendiri.
Kalau bahasa dipandang sebagai system kode, maka peralihan
bahasa yang satu ke bahasa yang lain disebut alih kode. Misalnya,
seseorang penutur menggunakan bahasa Indonesia, dan kemudian
beralih dengan menggunakan bahasa yang lain. Peralihan dari
bahasa Indonesia ke bahasa yang lain itu disebut peristiwa alih kode
(code-switching). Namun, seperti telah terurai di atas, dalam suatu
bahasa terdapat kemungkinan varian bahasa baik dialek, tingkat
tutur, ragam maupun register yang juga disebut sebagai kode maka
peristiwa alih kode mungkin berwujud alih dialek, alih tingkat tutur,
alih ragam ataupun alih register. Dalam kaitan ini, Nababan

55
Maungkai Budaya

mengatakan bahwa konsep alih kode ini mencakup juga di mana


seseorang beralih dari satu ragam fungsiolek (misalnya ragam santai)
ke ragam lain (misalnya ragam formal), atau dari satu dialek ke dialek
yang lain (1984:31).
Lebih lanjut, kalau kita berpijak pada bahasa Jawa atau bahasa
daerah yang memiliki sejumlah tingkat tutur yang mempunyai
tingkat tutur yang kompleks, alih kode ini dapat diperluas dengan
alih tingkat tutur. Alih kode seperti ini terjadi, misalnya, pada waktu
seseorang berbicara dalam bahasa daerah yang formal dan hormat
(krama), tiba-tiba penutur itu beralih ke bahasa Indonesia ragam for-
mal, kemudian kembali ke krama lagi, lalu berganti ke ngoko, lalu ke
bahasa Indonesia lagi, lalu ke krama, begitu selanjutnya.
Pengertian alih kode akan dibedakan dengan pengertian
campur kode. Situasi berbahasa yang berbeda-beda yang dapat
mempengaruhi alih kode ialah terdiri dari faktor-faktor, yakni:
pribadi yang berperan dalam tindak berbahasa, yang membicarakan
masalah tertentu, yang menggunakan jalur tertentu, dengan tujuan
tertentu pula (Nababan, 1984:31). Istiati Soetomo menegaskan bahwa
tindak berbahasa itu ditentukan oleh pertimbangan komunikasi,
yaitu pertimbangan yang datang dari sistem budaya, sistem sosial,
sistem kepribadian dan sistem tingkah laku (1985:26).
Sedangkan pengertian campur kode, menurut Nababan, ialah
suatu keadaan berbahasa di mana seseorang penutur mencampur
dua (atau lebih) bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak
berbahasa (speech act) tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa
itu yang menuntut pencampuran bahasa itu sendiri. Dalam keadaan
demikian, hanya kesantaian dan/atau kebiasaannya yang dituruti
(1984:31). Dalam hubungan ini, Istiati Soetomo menanbahkan bahwa
campur kode itu dilakukan seseorang demi kemudahan dalam
berbahasa (1985:88).
***
Seorang dwibahasawan mungkin saja menggunakan satu bahasa
(single language, melakukan interferensi atau alih kode/campur kode.
Fenomena bahasa seperti interferensi, integrasi, dan alih-kode/campur
kode diakibatkan oleh penutur bahasa yang memiliki penguasaan
terhadap lebih dari satu bahasa. Penutur semacam ini disebut

56
Belajar Bahasa Inggris itu Perlu Exposure?

dwibahasawan. Penguasaan dan penggunaan lebih dari satu bahasa


diacu dengan istilah kedwibahasaan. Berkaitan dengan
kedwibahasaan ini, sejumlah ahli mengajukan konsep kedwibahasaan
secara berbeda-beda, sehingga muncul, setidak-tidaknya, tiga jenis
kedwibasaan: kedwibahasaan majemik (compound bilingualism),
kedwibahasaan coordinat (coordinatitive bilingualism) dan
kedwibahawaan sub-ordinat (subordinate bilingualism).

57
Maungkai Budaya

BELAJAR BAHASA INGGRIS ITU PERLU


EXPOSURE?

A language is defined as a system of arbitrary, vocal symbols which


permit all people in a given culture, or other people who have learned the
system of that culture, to communicate or to interact (Finocchioro)

B eranjak dari definisi bahasa tersebut, untuk keperluan penulisan


artikel, kita dapat menarik beberapa ciri-ciri bahasa, yakni:
bahasa itu (1) sistematis, (2) dilisankan (spoken), (4) sosial. Konsep
bahasa yang bersifat sistematis, terlihat pada definisi bahasa di atas;
hal ini ditunjukkan dengan istilah sistem. Sesuatu akan disebut
sebagai sistem bila ia sistematis sifatnya. Bahasa dikatakan sebagai
suatu sistem, karena ia memiliki sifat sistematis. Belajar bahasa tentu
diarahkan kepada belajar grammar bahasa. Mempelajari grammar
tidak semata-mata dimaksudkan untuk menguasai grammar itu
sendiri, tetapi juga, untuk menunjang penggunaan bahasa secara
lisan dalam speech community, dan tulisan.

Belajar Bahasa itu untuk Apa?


Sejak lahir, anak manusia sudah dibekali dengan language acqui-
sition device (LAD). Alat pemerolehan bahasa ini memungkinkan anak
manusia untuk mampu berbahasa. Karena kemampuan berbahasa
itu tidak diturunkan secara genitis, maka kemampuan berbahasa itu
dibentuk oleh lingkungan sosiokultural tempat ia dibesarkan. Ia diajari
oleh -dan belajar bahasa dari- lingkungan sosial terdekatnya, yakni
orang tua/keluarganya. Umumnya, dalam keseharian keluarga
masyarakat Indonesia menggunakan bahasa daerah, maka si anak

58
Belajar Bahasa Inggris itu Perlu Exposure?

manusia tadi diajari dan belajar- bahasa daerah. Dilihat dari sisi si
anak, belajar bahasa daerah dimaksudkan untuk bisa berkomunikasi/
berinteraksi sosial dengan lingkungan sosialnya.
Ketika lingkungan sosial lain (misal: sekolah) menghendaki
penggunaan bahasa lain (baca: bahasa Indonesia), maka belajar
bahasa Indonesia akan menjadi tuntutan baginya. Dia akan
termotivasi untuk belajar bahasa Indonesia. Karena, bila dia tidak
mampu berbahasa Indonesia maka hampir semua urusan yang
berkait dengan sekolah, bakal terhambat. Sebab, bahasa pengantar
di sekolah adalah bahasa Indonesia; buku-buku pelajaran tercetak
dalam bahasa Indonesia; dan komunikasi antar siswa mungkin juga
dilakukan dengan bahasa Indonesia.
Secara tidak langsung si pembelajar telah menetapkan tujuan
belajar bahasa Indonesia, yakni: untuk bisa mengikuti pelajaran di
sekolah, berkomunikasi/berinteraksi sosial dan membaca bacaan
dalam bahasa Indonesia. Pendek kata, ada unsur suka rela dalam
belajar bahasa Indonesia.
Bagaimana tentang belajar bahasa Inggris? Adakah kondisi
tertentu yang menjadikan belajar bahasa Inggris itu seperti halnya
belajar bahasa Indonesia? Mulai beberapa tahun terakhir, bahasa
itu diajarkan di sekolah mulai tingkat sekolah dasar (kelas 4) hingga
perguruan tingg dalam beberapa semester. Di sini, ada yang suka
rela dan ada yang terpaksa belajar bahasa Inggris. Dalam kaitan
ini, mereka yang suka rela, punya motivasi tinggi dalam belajar.
Didasari motivasi tinggi itu, akan baguslah kemampuan bahasa
Inggris mereka. Namun, jumlah mereka tak seberapa.
Bagi yang terpaksa? Tampaknya, bahasa Inggris yang diajarkan
sedini itu, justru menjadi momok bagi sebagian besar siswa. Mereka,
tampaknya, kurang termotivasi untuk mempelajari bahasa Inggris
itu sampai mereka memiliki kemampuan berbahasa Inggris yang
memadai. Kita mengatakan bahwa bahasa Inggris itu penting;
sementara mereka punya pandangan: bahasa Inggris tak penting.
Kalau demikian halnya, kita mau apa? Sebagai akibatnya, mereka
cenderung bersikap apatis dan kurang bergairah dalam mengikuti
pelajaran bahasa Inggris itu. Atas dasar pengamatan, hal ini tidak
saja terjadi pada sejumlah siswa tetapi juga pada sejumlah

59
Maungkai Budaya

mahasiswa. Mereka mengikuti pelajaran atau mata kuliah Bahasa


Inggris, karena kurikulum mewajibkannya. Perlukah pelajaran
bahasa Inggris diajarkan sebagai mata pelajaran pilihan? Siswa yang
punya minat dan motivasi, boleh mengambilnya; sementara, siswa
yang tak punya minat dan motivasi dipersilahkan untuk minggir.
Kalau pelajaran bahasa Inggris tetap diwajibkan, hendaknya pihak
berwenang mengupayakan exposure; hendaknya, tidak hanya
menyambut baik dan mendukung saja. Itu tak cukup!

Perlu Exposure
Kemampuan berbahasa daerah umumnya didapat melalui proses
pemerolehan (acquisition process), walaupun kadangkala diikuti juga
oleh proses belajar (learning process). Kemampuan bahasa Indonesia
bisa didapat melalui proses pemerolehan maupun belajar. Kemampuan
berbahasa melalui proses pemerolehan biasanya didapat secara tidak
disadari, sedangkan kemampuan berbahasa melalui proses belajar
biasanya didapat secara sadar atau sengaja. Kemampuan berbahasa
Inggris dikuasai melalui proses belajar (learning process).
Mengapa kemampuan dua bahasa (bahasa daerah dan bahasa
Indonesia) bisa baik, dalam arti, si penutur mampu menggunakan
bahasa-bahasa yang dikuasainya itu untuk keperluan komunikasi/
interaksi sosial? Sementara itu, bahasa Inggris yang dipelajarinya
sejak dia duduk di bangku kelas 4 SD hingga lulus SMA dan bahkan
beberapa semester di perguruan tinggi itu, belum dapat
dimanfaatkan untuk keperluan yang sama.
Belajar bahasa (apapun) perlu adanya exposure, speaking com-
munity, atau situasi di mana seseorang bisa terlibat atau melibatkan
diri dalam suatu tindak bahasa (speech act). Dalam komunitas (atau
setidak-tidaknya, kelompok) penutur itu, penggunaan bahasa secara
nyata terjadi. Belajar bahasa dilakukan di sekolah, dan praktik
berbahasa bisa dilakukan dalam speaking community itu. Bila kondisi
belajarnya demikian, maka bisa saja seseorang mendapatkan
kemampuan berbahasa melalui language acquisition. Sebab, di
samping pengetahuan berbahasa yang didapat secara sadar, ada
pengetahuan berbahasa yang tanpa disadari, didapat melalui speak-
ing community, public speaking atau sejenisnya.

60
Belajar Bahasa Inggris itu Perlu Exposure?

Untuk apa Bahasa Inggris?


Bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sama-sama dipelajari oleh
kebanyakan anak Indonesia. Namun, karena exposure untuk bahasa
Indonesia lebih dari cukup, maka kemampuan bahasa Indonesia
yang mereka miliki jauh lebih baik. Hal ini, bukan karena bahasa
Inggris itu bahasa asing. Tetapi, lebih cenderung, karena exposure
untuk praktik menggunakan bahasa Inggris secara nyata sangat
terbatas. Untuk apa bahasa Inggris diajarkan (mulai dari SD) dengan
harapan anak-anak Indonesia memiliki empat keterampilan bahasa:
listening, speaking, reading dan writing, bila exposure sebagai wahana
bagi mereka untuk terlibat atau melibatkan diri, tidak diciptakan
sedemikian memadai? Saya kira, tetap saja, anak-anak Indonesia
dalam jumlah tertentu saja, yang memang memiliki motivasi
(kendatipun, motivasi instrumental), akan memperoleh kemampuan
bahasa Inggris yang baik. Sebab, mereka terus mencari atau
menciptakan exposure sendiri. Tak ada di sekolah, mereka
mencarinya di tempat lain: lingkungan keluarga, antara kawan, atau
kursus.
Bagi mereka yang tidak aktif menciptakan exposure, bisa saja,
secara linguistis, mereka memiliki apa yang disebut Ferdinand de
Saussure sebagai- langue tetapi tak/kurang mampu menghasilkan
parole; atau menurut Noam Chomsky, mereka hanya memiliki com-
petence tetapi tak/kurang mampu mewujudkannya dalam perfor-
mance. Kemampuan semacam inipun, sebenarnya masih bagus.
Kalau keduanya tak mereka miliki, itu berarti mereka gagal total.
Hanya yes-no, I dont know, dan I love you saja, yang mereka tahu.
Sebenarnya, saya prihatin. Bagaimana menurut Anda?

61
Maungkai Budaya

KILAS BALIK DIALOG BORNEO-


KALIMANTAN VII

D ialog Borneo-Kalimantan VII berlangsung mulai tanggal 30 April


sampai dengan 3 Mei 2003 di Hotel Borneo. Dialog itu menyoal
budaya Melayu, termasuk di dalamnya bahasa Banjar. Adalah Ersis
Warmansyah Abbas dengan gayanya yang khas, telah mengulas
dialog itu dari berbagai sisi, antara lain, berkenaan dengan
pelestarian budaya dan bahasa Banjar. Kali ini, saya melihat bahasa
Banjar dari sisi yang lain.
Dalam diskusi itu terungkap, antara lain, bahwa penggunaan
bahasa Banjar sekarang menunjukkan gejala yang memprihatinkan.
Dikhawatirkan bahwa bahasa Banjar akan tidak berkembang dan
lama kelamaan akan lenyap bila tidak diadakan pembinaan.
Sejumlah kalangan justeru tidak mengkhawatirkan akan
lenyapnya bahasa Banjar. Hal ini karena bahasa daerah ini masih
banyak pendukungnya. Di kantor-kantor, di kampung-kampung,
di tempat-tempat mangkal para pengojek, dalam pandiran ala
warung kopi dan lain-lain, yang pernah saya amati, bahasa Banjar
selalu digunakan, khususnya, bila peserta tuturnya beretnis Banjar.
Bahkan, tidak tertutup kemungkinan etnis lain ikut menggunakan
bahasa Banjar bila bergabung dengan mereka. Mereka ini sebenarnya
para pelestari bahasa Banjar itu sendiri.
Penggunaan bahasa Banjar dalam siaran berita RRI terkena tohok.
Menurut salah seorang penyaji, bahasa Banjar dalam siaran berita RRI
itu adalah bahasa Banjar yang tidak murni (terpengaruh oleh bahasa
Indonesia) dan (ciri yang jelas) dibacakan dengan lagu bahasa Indo-
nesia. Bagi penutur asli bahasa Banjar yang punya kepedulian terhadap
hidup-matinya bahasa Banjar, siaran berita dalam bahasa daerah

62
Kilas Balik Dialog Borneo-Kalimantan VII

ini dipandang cacat dan bisa memanaskan telinga. Namun sayang,


model dan lagu membacakan berita dalam bahasa Banjar yang benar
tidak dicontohkan (misalnya, dengan memutar kaset rekaman siaran
itu). Padahal, kawan di sebelah saya ingin mendengar model dan lagu
pembacaan berita dalam bahasa Banjar yang benar.
Beranjak dari statement di atas, untuk kepentingan penyiaran
berita dalam bahasa Banjar ini, kiranya perlu bagi pihak RRI untuk
merekrut penulis dan atau pembaca berita dari penutur asli (native
speaker) bahasa Banjar yang betul-betul memiliki linguistic compe-
tence dan performance yang memadai. Linguistic competence adalah
kemampuan terhadap bahasa dan aturan-aturan atau kaidah-
kaidahnya (the users knowledge about the language and its system);
sedangkan linguistic performance adalah penggunaan bahasa secara
nyata (the actual use of the language) yang secara langsung dapat
diamati (didengar atau dibaca). Atau, kalau perlu ia merekrut
penutur asli bahasa Banjar yang monolingual. Namun, apa mungkin
mengambil penutur yang monolingual itu?
Jika seorang penutur bahasa akan menyampaikan pesan
kepada orang lain, dia perlu mengetahui dan menguasai bahasa dan
kaidahnya yang akan digunakan sebagai alat komunikasinya.
Pengetahuan dan kemampuan terhadap kaidah bahasa itu akan
sangat menentukan apakah kata-kata, kalimat-kalimat atau
ungkapan-ungkapan yang diucapkan atau dihasilkannya itu benar
atau tidak, dan baik atau tidak. Dengan demikian, penggunaan
bahasa secara nyata (linguistic performance) yang didukung oleh
pengetahuan dan kemampuan bahasa yang tidak atau kurang
sempurna, akan memanaskan telinga penutur asli bahasa itu. Dalam
arti, penggunaan bahasa secara nyata tidak berkesesuaian dengan
kaidah bahasa yang bersangkutan, misalnya: bahasa Indonesia yang
di-Banjar-kan atau bahasa Indonesia yang dilagu-Banjar-kan.
Dalam diskusi tersebut terungkap pula bahwa rusaknya
bahasa Banjar karena para penutur selain memiliki kemampuan
bahasa Banjar juga kemampuan bahasa-(bahasa) lain. Mereka in
disebut dwibahasawan. Penggunaan dua (atau lebih) bahasa disebut
kedwibahasawan atau bilingualisme.
Kedwibahasaan dibatasi oleh Bloomfield sebagai penggunaan dua
bahasa yang sama baiknya antara bahasa ibu (asli) dan bahasa kedua.
63
Maungkai Budaya

Dengan demikian, pengertian kedwibahasaan semacam ini menyaran


pada kelancaran dan ketepatan yang sama seperti penggunaan bahasa
oleh penutur asli dari setiap bahasa itu. Munculnya unsur-
unsur dari bahasa lain (bahasa Indonesia) dalam tuturan pembawa
berita dalam bahasa Banjar, seperti yang disinyalir terjadi di RRI, yang
memiliki pengetahuan atau penguasaan lebih dari satu bahasa itu,
kiranya perlu kita ikuti penjelasan sebagai berikut.
Jika seorang dwibahasawan akan menyampaikan suatu pesan
lewat bahasa kepada pendengarnya, ada dua faktor yang
menghambat perjalanan pesan itu sebelum ia dapat diujarkan oleh
penuturnya. Pertama adalah faktor dari kaidah beberapa bahasa
yang dikenalnya, tentunya berbeda satu dari yang lainnya. Faktor
ini tampaknya dapat untuk menanggapi penggunaan bahasa Banjar
oleh penulis dan atau pembaca berita dalam bahasa Banjar di RRI.
Saya berkeyakinan bahwa penulis dan atau pembaca berita
dalam bahasa Banjar di RRI itu adalah dwibahasawan. Mampukah
dia membedakan dan memilah-milahkan setiap kaidah itu, sehingga
ketika dia menggunakan salah satu bahasa, kaidah bahasa lain tidak
mengganggu? Jika dia tidak mampu, maka sementara dia
menggunakan salah satu bahasa yang dikenalnya, bahasa lain dapat
saja muncul dalam tuturannya. Terjadilah apa yang disebut
interferensi, alih kode/campur kode. Sebaliknya, bila dia dapat
memisah-misahkan kaidah bahasa-bahasa yang dikenalnya, maka
terjadilah tunggal-bahasa dalam tuturan si penutur tersebut.
Beranjak dari statement yang muncul dalam diskusi tersebut, dia tidak
mampu membedakan dan memilah-milahkan setiap kaidah dari
bahasa-bahasa yang dikenalnya. Akibatnya, ya itu tadi: the actual
use of Banjarese language memanaskan telinga penutur aslinya.
Kedua adalah faktor yang berasal dari pertimbangan
komunikasi. Faktor ini kiranya dapat digunakan untuk menanggapi
penggunaan bahasa Banjar yang ter-distorsi oleh bahasa-(bahasa)
lain. Ini berkait dengan statement yang juga muncul dalam diskusi
tersebut, bahwa bahasa Banjar berfungsi sebagai lingua franca
untuk berbagai suku yang tinggal/menetap di Kalimantan Selatan,
Timur dan Tengah, dan sebagian Kalimantan Barat. Bahasa Banjar
digunakan mereka untuk alat komunikasi dalam upayanya
berinteraksi antar mereka.
64
Kilas Balik Dialog Borneo-Kalimantan VII

Dalam kenyataannya, dia tidak bebas sama sekali. Ada


seperangkat peraturan berbahasa yang telah disepakati oleh
masyarakat di mana dia hidup dan bergaul dengan anggota-anggota
lain sesuai dengan tata-nilai yang menjadi pedoman mereka.
Pertimbangan komunikasi ini menentukan apakah dia akan bertutur
dengan tunggal-bahasa, atau melakukan alih-kode (code-switching)
atau bisa juga campur-kode (code-mixing).
Dalam hal ini, mungkin kita dapati alih kode atau campur kode:
Banjar-Jawa, Banjar-Madura, Banjar-Bugis, Banjar-Bakumpai
Banjar-Indonesia, dan sebagainya atau Banjar logat Jawa, Banjar
logat Madura, Banjar logat Bugis, Banjar logat Bakumpai, Banjar
lagu Indonesia-nya pembaca berita dalam bahasa Banjar di RRI
dan sebagainya.
Kekhawatiran akan lenyapnya bahasa dan budaya Banjar
memang perlu disikapi, misalnya, seperti kata Ersis, dengan
memasukkannya ke dalam kurikulum sekolah, menulis buku-buku
dalam bahasa Banjar. Untuk melestarikan bahasa perlu dilakukan
language planning dalam rangka untuk membakukan bahasa itu
sendiri. Agar lagu bahasa bisa dipertahankan sesuai lagu aslinya,
kiranya perlu dilakukan pelisanan bahasa itu oleh native speaker yang
benar-benar bagus bahasa lisannya, atau bila perlu dilakukan re-
cording terhadap bahasa lisan itu sendiri.
Sebetulnya, amburadulnya penggunaan bahasa Banjar tidak
sendirian. Penggunaan Jawa yang memiliki sejumlah tingkat tutur
itu, misalnya, juga telah banyak mengalami pergeseran dari
penggunaannya yang ideal. Sejumlah orang bertutur dengan tingkat
ngoko padahal semestinya dengan tingkat tutur krama. Celakanya
lagi, dalam pandangan saya, penguasaan tingkat tutur krama (madya
dan inggil) pada kalangan kawula muda dalam kondisi
memprihatikan (untuk tidak mengatakan jelek). Tampaknya,
mereka kurang kompetensinya dalam bahasa Jawa, khususnya
tingkat tutur krama, yang memancarkan konotasi hormat itu.
Sehingga, performansi dalam bahasa itu juga memprihatinkan.
Yang lebih memprihatinkan lagi, mungkin menganggap
bahasa Jawa sebagai bahasa tradisional dan biar dianggap sebagai
orang-orang yang modern, educated ada sejumlah orang tua di
kampung tempat kelahiran saya membiasakan anak-anak mereka
65
Maungkai Budaya

menggunakan bahasa Indonesia dengan Jawa mereka yang medok


, padahal mereka hidup di lingkungan masyarakat bahasa (speech
community) bahasa Jawa. (Telinga saya juga panas bila
mendengarnya). Mereka tampak begitu bangga ketika
memperhatikan anak-anak mereka berbahasa Indonesia. Hal yang
demikian, di samping tidak mendidik anak-anak untuk mampu
berbahasa Jawa, menyusahkan mereka dalam bergaul dengan
sesama mereka, tetapi juga membutakan mereka terhadap budaya
yang terpancar dari bahasa Jawa itu sendiri, seperti adap asor, dan
unggah-ungguh. Anak-anak yang hidup dan bergaul dalam
masyarakat tutur bahasa Jawa, ajarilah atau jika tidak
biarkanlah mereka berbahasa dan berbudaya Jawa.
Secara adat Jawa, tata cara perkawinan, misalnya, menyangkut
hal-hal: (1) nakokake, (2) nontoni, (3) yaitu, peningsetan, (4) perkawinan,
dan (5) ngunduh mantu (Suryadikara, 1989). Dalam situasi sekarang,
bila kedua bakal calon pengantin belum saling kenal, maka semua
tata cara perkawinan di atas tetap saja dilalui, kendati di sana sini
terdapat penyederhanaan. Namun, karena umumnya muda-mudi
melangkah ke jenjang perkawinan sudah saling mengenal (tepatnya,
berpacaran) maka sebagian tata cara tersebut tidak dilakukan.
Tampaknya, tata cara yang ada adalah (1) lamaran, (2) peningsetan,
(3) perkawinan (yang tidak diikuti macam-macam aktivitas, kecuali
walimah), dan (4) ngunduh mantu (yang tidak selalu dilakukan).
Dalam kaitan dengan budaya, mungkin kita sepakat bahwa budaya bisa
saja tetap ajeg, bergeser, berubah atau bahkan musnah. Bila kita menginginkan
keajegan budaya itu, kita tentu perlu usaha yang kongkret. Bagaimana menurut
sampeyan?

66
Tulisan ini pernah dimuat di SKH Radar Banjarmasin, 13 Mei
2003

MULTILINGUALISME DALAM KARYA


SASTRA INDONESIA

K etika menjelaskan kedwibahasaan atau bilingualisme, William


F. Mackey mengutip sejumlah definisi dari para pakar ilmu
bahasa. Penjelasan Mackey adalah sebagai berikut. Istilah bilingual-
ism itu banyak dipertentangkan oleh banyak ilmuwan bahasa. Hal
ini terbukti dengan banyaknya pengertian tentang bilingualism itu
sendiri. Konsep bilingualism telah menjadi semakin luas. Dahulu
memang bilingualism dipandang sebagai the equal mastery of two lan-
guages. Konsep ini dikumandangkan oleh Bloomfiled sebagai the
native-like control of two languages. Gagasan Bloomfield ini, kemudian,
diperluas oleh Haugen menjadi the ability to produce complete mean-
ingful utterances in the other language. Diebold, kemudian,
menyarankan dimasukkannya passive-knowledge of the written lan-
guage atau any contact with possible models in a second language and
the ability to use these in the environment of the native language.
Perluasan konsep ini karena titik tolak untuk menyatakan bahwa
seorang penutur menjadi dwibahasawan (bilingual) bersifat arbitrer
dan tidak mungkin ditentukan secara pasti. Untuk itu, jelaslah bahwa
bila kita mengkaji gejala bilingualism berarti kita mengkaji sesuatu
yang relatif atau nisbi. Lebih dari itu, kita harus memasukkan
penggunaan tidak hanya terhadap dua bahasa, akan tetapi sejumlah
bahasa. Dengan demikian kita akan memandang bilingualism sebagai
the alternate use of two or more languages by the same individual atau
penggunaan dua bahasa atau lebih oleh individu yang sama secara
bergantian (Mackey dalam Fishman, ed., 1972:555).
Atas dasar definisi kedwibahasaan ini menurut Mackey di atas,
dua konsep, yakni: kedwibahasaan (bilingualism) dan keanekaba-

67
Maungkai Budaya

hasaan (multilingualism) yang selama ini dianggap banyak kalangan


mengacu kepada dua konsep yang berbeda, dapat dipandang seba-
gai hal yang sama. Secara harfiah, kata kedwibahasaan berarti
penggunaan dua bahasa, sedangkan kata keanekabahasaan berarti
penggunaan lebih dari dua bahasa. Dengan demikian, menurut definisi
yang diajukan oleh Mackey tersebut, baik kedwibahasaan maupun
keanekabahasaan sama-sama mengacu pada penggunaan dua
bahasa atau lebih oleh seseorang secara bergantian, dalam arti pada
suatu saat tertentu ia menggunakan suatu bahasa (yang dikuasai)
dan pada saat yang lain ia menggunakan bahasa yang lain pula.

Multingualisme dalam Sastra


Ada suatu permasalahan yang sangat menarik untuk diung-
kapkan yaitu permasalahan tentang adanya gejala penggunaan
bahasa yang unik dalam karya sastra Indonesia. Keunikan
penggunaan bahasa dalam karya sastra Indonesia itu dapat dilihat
dari penggunaan dua buah bahasa atau lebih dalam karya sastra
Indonesia. Penggunaan dua buah bahasa atau lebih itu kita sebut
multilingualisme dalam karya sastra Indonesia.
Multilingualisme dalam karya sastra Indonesia itu pernah
dipermasalahkan oleh seorang pemakalah pada Pertemuan Him-
punan Sarjana Kesusasteraan-Indonesia (HISKI) di Denpasar-Bali
pada bulan Juli 1989. Multilingualisme semacam itu dipandangnya
sebagai tumpang tindih penggunaan bahasa dalam sastra Indone-
sia yang dapat mengganggu kelancaran dalam membaca bagi
pembaca yang tidak berasal dari kultur yang sama (Hasanuddin,
1989:2).
Terlepas dari ketumpangtindihan penggunaan bahasa dalam
karya sastra Indonesia itu, bagaimanapun juga, jika kita meng-
hadapi karya sastra yang memiliki gejala multilingualisme, kita harus
menyikapi dan memahaminya.
Sebuah karya sastra pada hekikatnya adalah tanggapan
seseorang (pengarang) terhadap situasi di sekelilingnya. Berbagai
situasi yang hidup di sekeliling pengarang dapat dijadikannya sebagai
bahan untuk menghasilkan karya sastra setelah proses observasi,
kontemplasi, dan imajinasi. Benda mati, tanaman, tatatan sosial, tatanan
politik, dan manusia dapat dijadikan pbyek penulisan cerita oleh si

68
Multilingualisme dalam Karya Sastra Indonesia

pengarang. Dari sekian juta jumlah dan sekian banyak diobservasi


oleh pengarang kiranya dapat dijadikan satu istilah: kehidupan. Dengan
demikian karya sastra merupakan refleksi atau cerminan kehidupan
yang diamati pengarang terhadap kehidupan itu. Dengan perkataan
lain, karya sastra merupakan pengungkapan pengarang terhadap
kehidupan, yaitu peristiwa yang ia tangkap maupun pengalaman
dalam hidupnya. Untuk itu, latar belakang budaya dan pribadi setiap
pengarang akan mendasari kreativitasnya. Pengarang karya sastra
Indonesia sudah barang tentu orang yang sibuk berurusan dengan
bahasa. Ia adalah orang yang mencintai bahasa bahasa. Ia mengurus
bahasa, memilihnya dan mengolahnya untuk kepentingan penciptaan
karya sastra. Bagi pengarang, penciptaan karya sastra tentu dimulai
dengan pertama-tama memperoleh gagasan (masalah) dari
masyarakat, kemudian memperenungkan gagasan (masalah) itu,
selanjutnya mengekspresikannya dalam karya sastra dan
menyajikannya kembali kepada masyarakat (pembaca).
Karya sastra, menurut Andre Hardjana, merupakan pengung-
kapan baku dari apa yang telah disaksikan orang dalam kehidupan,
apa yang telah dialami orang tentang kehidupan, apa yang telah
dipermenungkan dan dirasakan orang mengenai segi-segi kehidupan
yang paling menarik minat secara langsung lagi kuat pada
hakikatnya adalah kehidupan lewat bahasa (1981:10).
Bahasa adalah medium sastra. Meskipun bahasa bukan satu-
satunya alat penentu keberhasilan sebuah karya sastra, bahasa tetap
merupakan sebuah faktor penting. Bahasa adalah suatu alat untuk
mengungkapkan kembali pengamatan pengarang terhadap
kehidupan dalam bentuk karya sastra.Untuk mencapai sasaran
karya sastra, sang pengarang memilih bahasanya sendiri. Bahasa
itu adalah milik khas sang pengarang karena ia sendiri yang tahu
dalam memilih bahasa tersebut dan karena ia sendiri pula yang
menciptakan dunia rekaannya. Kebebasan memilih bahasa untuk
berekspresi adalah semacam kebebasan yang mengacu pada
persoalan kreatif.
Dalam membicarakan karya sastra Indonesia, khususnya, yang
memiliki gejala penggunaan terhadap lebih dari satu bahasa,
pemahaman tentang kedwibahasaan atau keanekabahasaan dalam
karya sastra itu dipandang perlu. Bagaimanapun juga, karya sastra
69
Maungkai Budaya

Indonesia yang terselipi dengan bahasa lain (asing atau daerah) harus
disikapi dan dipahami.
Pengarang tentu saja tidak asal mengarang atau menulis. Kalau
tulisannya atau karangannya itu tidak ditujukan pada masyarakat
tertentu, paling tidak ia menulisnya untuk dirinya sendiri. Dengan
begitu, tulisan atau karangan itu selalu ada tujuannya. Karena ada
tujuannya itu, dengan sendirinya pesan atau makna selalu ada
(Husen, 1989:2). Kalau banyak pengarang karya sastra Indonesia
memanfaatkan unsur-unsur bahasa lain (asing atau daerah) dalam
karangan mereka, maka sebagai pembaca kita perlu memahami
pesan atau makna apa yang ingin disampaikan oleh pengarang.
Untuk memahami beberapa cerita pendek karya Umar (Sri
Sumarah dan Bawuk, misalnya), beberapa novel karya Ahmad Tohari
(Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, dan Di Kaki Bukit Cibalak, misalnya),
prosa liris karya Linus Suryadi Pariyem, dan Roman Burung-Burung
Manyar karya Y.B. Mangunwijaya, pembaca perlu memahami unsur
luar karya-karya itu, yang menyangkut kondisi penciptaan atau latar
belakang sosial-budaya yang melingkungi karya-karya itu sendiri.
Pengarang adalah produk zamannya. Jadi untuk memahami karya
sastranya, mau tidak mau pembaca harus mengetahui latar belakang
zamannya itu.
Bahasa Indonesia merupakan medium untuk sastra Indonesia.
Para pengarang sastra Indonesia jelas mereka yang yang menggeluti
bahasa Indonesia secara serius.Untuk kepentingan satu atau dua
patah kata yang ditulis, pembaca memerlukan dukungan
pengetahuan yang luas sekali (Husin, 1989:3). Terlebih lagi, kalau
kata atau sejumlah kata itu berasal dari bahasa daerah atau bahasa
asing, pembaca harus mengetahui lebih banyak tentang budaya dari
bahasa daerah atau bahasa asing itu. Misalnya, kalau kita membaca
karya-karya dari pengarang-pengarang di atas yang banyak
diwarnai budaya Jawa, maka agar kita dapat memahami karya-
karya itu secara lengkap kita hendaknya tidak memisahkan diri dari
lingkungan atau budaya Jawa itu sendiri.

Multilingualisme dalam Burung-Burung Manyar


Kalau kita membaca novel (pengarangnya, Y.B. Mangunwijaya
menyebutnya roman) Burung-Burung Manyar, kita akan tahu betapa

70
Multilingualisme dalam Karya Sastra Indonesia

kompleksnya masalah yang disampaikan oleh pengarangnya. Karya


ini melibatkan berbagai tokoh dengan karakter yang berbeda-beda.
Tokoh-tokoh yang ditampilkan dalam karya itu berasal dari sejumlah
kelas sosial yang berbeda.Di dalamnya, ada tokoh yang konon
keturunan kaum bangsawan, ada tokoh yang berpendidikan, ada
tokoh pembantu rumah tangga yang tak berpendidikan, ada tokoh
yang mewakili masyarakat kelas bawah dan sebagainya. Karena
begitu kompleksnya masalah yang ingin disampaikan atau diungkap-
kan oleh pengarang lewat karyanya itu, maka digunakanlah lebih
dari satu bahasa atau sebagaimana disebutkan di atas, multilingual-
isme dalam karya sastra itu.Tokoh Setadewa, yang banyak bergaul
dengan orang-orang Belanda, misalnya, harus mampu berbahasa
Inggris dan berbahasa Belanda; sedangkan Larasati harus mampu
menggunakan istilah khusus (register) biologi, agar masalah-masalah
yang hendak disampaikan tampak wajar. Dengan demikian
rumitnya masalah dalam novel itu menuntut multingualisme.
Di samping itu, pengarang novel itu menyadari bahwa manu-
sia yang diamatinya dan dijadikan obyek karangannya tidak berasal
dari komunitas tutur yang sama, sehingga untuk membedakan
karakter tokoh yang satu dengan yang lainnya digunakanlah ciri
pembeda, yaitu: bahasa yang digunakan.
Penggunaan bahasa Belanda oleh tokoh Setadewa pada bagian
pertama cerita dalam Burung-Burung Manyar itu tidak digunakan
lagi pada bagian ketiga novel itu. Pada bagian ketiga, bahasa asing
yang digunakan adalah bahasa Inggris. itu tidak digunakan lagi
pada bagian ketiga novel itu. Pada bagian ketiga, bahasa asing yang
digunakan adalah bahasa Inggris. Perbedaan penggunaan bahasa
asing pada bagian pertama dan bagian ketiga ini justru merupakan
penggunaan bahasa yang diperhitungkan oleh pengarangnya.
Pada bagian pertama, peristiwa cerita berkisar tahun 1934
sampai dengan tahun 1944, bagian kedua peristiwa cerita berikisar
antara tahun 1945 sampai dengan tahun 1950, dan bagian ketiga
peristiwa cerita berkisar antara tahun 1968 sampai dengan tahun
1978. Secara historis, jelas setting bagian pertama cerita ini adalah
masa penjajahan Belanda di mana peristiwa perang mewarnai masa
itu, sehingga cerita atau novel itu banyak diilhami oleh peristiwa
perang antara Indonesia dan Belanda. Bahasa Belanda pada masa
71
Maungkai Budaya

itu dipelajari dan digunakan sebagai bahasa asing di Indonesia.


Dengan demikian, penggunaan bahasa Belanda dalam novel itu
adalah wajar dan berkesesuaian dengan setting historis. Penggunaan
bahasa Belanda oleh tokoh Setadewa yang konon ibunya berasal
dari negeri Belanda, misalnya, di samping berkesesuaian dengan
setting historis juga berkesesuaian dengan speech act antara sang anak
dan ibunya. Dengan demikian, penggunaan bahasa Belanda dalam
novel itu, khususnya pada bagian pertama, dapat dipertanggung-
jawabkan. Sebab, penggunaan bahasa itu dapat ditelusuri maksud
penggunaannya.
Setelah perang selesai, Setadewa pergi ke negeri Belanda,
kemudian menempuh studi komputer di Amerika hingga
memperoleh gelar doktor. Dengan demikian lingkungan dan situasi
di mana Setadewa belajar menuntut yang besangkutaan untuk
menggunakan bahasa Inggris. Bahasa Belanda yang dulu dia kuasai
sedikit demi sedikit tertutup oleh bahasa Inggris. Dengan demikian,
ketika berbicara tentang ilmu dan pekerjaan dia sering melakukan
alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris. (Alih kode atau
code-switching merupakan salah satu akibat dari penguasaan
seseorang terhadap lebih dari satu bahasa). Jadi, penggunaan bahasa
Inggris pada bagian ketiga dari novel itu pun dapat dipertanggung-
jawabkan.
Diskusi tentang multilingualisme dalam novel Burung-Burung
Manyar, pertama menyangkut macam atau jenis bahasa yang
digunakan dalam novel tersebut. Bahasa-bahasa yang digunakan
dalam novel tersebut adalah (1) (yang dominan) bahasa Indonesia,
(2) bahasa Jawa, (3) bahasa Belanda, dan (4) bahasa Inggris.
Penggunaan bahasa Jawa, Belanda dan Inggris hanya terbatas pada
tingkat (1) kata (misalnya: Gusti, Verdomme dan sorry), (2) bentuk
sapaan (misalnya: Den Rara, loitenent, dan sir), (3) frasa (misalnya:
mampir ngombe, loitenent eeste, dan off the record), dan (4) klausa atau
kalimat (misalnya: Nyuwun pangapunten, Daar bij de ouwe molen dan
Okay, never mind), mengingat novel itu merupakan karya sastra In-
donesia, yang tentu saja memanfaatkan bahasa Indonesia sebagai
mediumnya.
Penggunaan bahasa-bahasa selain bahasa Indonesia dalam
novel Burung-Burung Manyar dilakukan oleh pengarang dengan
72
Multilingualisme dalam Karya Sastra Indonesia

macam cara. Cara yang pertama adalah bahwa bahasa-bahasa itu


digunakan secara langsung dalam diskripsi peristiwa, tokoh, setting
dan sebagainya atau dalam percakapan antar tokoh dalam novel
itu. Cara menggunakan bahasa semacam ini dinamakan cara
eksplisit, yang dapat dilihat dalam kutipan berikut:
..walaupun konon salah seorang nenek canggah atau gantung siwur
berkedudukan selir Keraton Mangkunegaran (BBM, 3).
Beginilah dear Seta (BBM, 172).
Bagaimana old fellow, elegan ya istriku berjalan (BBM, 172).

Cara yang kedua adalah bahwa bahasa-bahasa itu digunakan


secara tidak langsung. Cara menggunakan bahasa semacam ini
disebut cara implisit. Hal ini dapat kita lihat dalam kutipan berikut:
Hanya secarik surat dari Mami yang kutemukan. Dalam bahasa Belanda
(BBM, 33).
Dalam bahasa Belanda ia tenang berkata padaku (BBM, 61).
Anak-anak itu melongo mendengarkan percakapan dalam bahasa asing
itu(BBM, 152).
Ia bertanya dalam bahasa Inggris berlogat Perancis (BBM, 205).

Multilingualisme, dalam pandangan sosiolinguistik, melibatkan


persoalan siapa yang bertutur (who speaks), bahasa apa yang
digunakan (what language), kepada siapa seseorang itu bertutur (to
whom), kapan dan di mana tutur itu disampaikan (when and where)
(Fishman, 1972:244).
Menurut Pride dan Holmes (1972:35) pemilihan dan peralihan
bahasa dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor non-kebahasaan, seperti
partisipan dalam suatu speech act, topik pembicaraan, setting atau
tempat pembicaraan itu terjadi, jalur, suasana, dan maksud.
Faktor-faktor non-kebahasaan yang mempengaruhi masuknya
unsur-unsur bahasa daerah atau bahasa asing dalam suatu speech
act sebagaimana disarankan oleh Istiati Soetomo (1985) adalah: (1)
faktor-faktor dalam sistem budaya (di mana bahasa dipandang
sebagai (a) tata lambang konstitusi, (b) tata lambang kognisi, (c) tata
lambang evaluasi, dan (d) tata lambang ekspresi, (2) faktor-faktor
dalam sistem sosial (di mana penggunaan bahasa harus
berkesesuaian dengan status dan peranan sosial manusia pemakai
bahasa itu, dan (3) faktor-faktor dalam psikologi penutur (di mana
73
Maungkai Budaya

penggunaan bahasa asing mungkin dilatarbelakangi oleh persepsi,


motivasi, identitas, pengalaman dan hal-hal yang pribadi sifatnya.
(Soetomo, 1985:2-3).
Multilingualisme dalam novel Burung-Burung Manyar dapat
dijelaskan melalui faktor-faktor non-kebahasaan sebagaimana yang
disarankan oleh Fishman, Pride & Holmes, dan Istiati Soetomo di
atas. Dalam kaitan ini, penulis hanya menjelaskan gejala
multilingualisme dari (a) faktor-faktor peserta tutur (penutur dan
lawan tuturnya), topik pembicaraan, dan waktu/tempat tutur itu
disampaikan, dan (b) faktor-faktor dalam sistem budaya, sosial, dan
kepribadian penutur.

Multilingualisme ditinjau dari pesera tutur, topik, dan waktu/tempat


Dari sudut pandang peserta dalam sejumlah speech act,
Setadewa digambarkan sebagai tokoh yang menggunakan bahasa
Indonesia, bahasa Jawa, bahasa Belanda, dan bahasa Inggris.
Penggunaan bahasa Jawa untuk tokoh ini mengimplikasikan bahwa
setidak-tidaknya dia memahami bahasa Jawa. Dengan alat bantu
unsur cerita lain, tokoh ini teridentifikasi sebagai tokoh keturunan
Jawa-Belanda; ayahnya keturunan Jawa sedangkan ibunya berdarah
Belanda. Dengan demikian, penggunaan bahasa Jawa oleh tokoh
ini adalah wajar dan diperhitungkan oleh pengarang novel itu. Atas
dasar sudut pandang peserta tutur (penutur) dengan topik
pembicaraan tertentu dan dialamatkan kepada lawar tutur tertentu,
dia bisa saja menyelipkan unsur-unsur bahasa Jawa, bahasa Belanda,
atau bahkan bahasa Inggris.
Tokoh Setadewa ini menggunakan atau menyelipkan unsur-
unsur bahasa Jawa atau bahasa Belanda, bila topik yang dibicarakan
menghendaki penggunaan bahasa-bahasa itu. Misalnya, ketika dia
membicarakan seputar masa kecilnya, dia menyelipkan kata-kata
loitenant, Vadeland, Inlandar (bahasa Belanda), dan kata-kata gantung
siwur, canggah, selir, sinyo londo (bahasa Jawa). Faktor lawan tutur
juga turut menentukan tokoh ini dalam memilih bahasa-bahasa yang
akan digunakan. Misalnya, dia menggunakan bahasa Belanda bila
dia berkomunikasi dengan ibunya (BBM, 29); dia menyelipkan kata-
kata safe, detail, up and down, Excellency, multinational (bahasa Inggris),
bila berkomunikasi dengan Larasati, Janakatamsi, dan John Briendley.

74
Multilingualisme dalam Karya Sastra Indonesia

Penggunaan bahasa-bahasa selain bahasa Indonesia itu dapat


dijelaskan bahwa Setadewa menggunakan bahasa Jawa karena dia
memiliki kemampuan berbahasa Jawa dan keturunan suku Jawa
(dari pihak ayah). Kemampuan bahasa Jawanya diperoleh dari
lingkungan keluarga dari garis ayahnya. Dia menggunakan bahasa
Belanda karena dia memiliki kemampuan berbahasa Belanda dan
keturunan Belanda (dari pihak ibu). Bagi dia, bahasa Belanda diduga
sebagai bahasa pertamanya. Hal ini didasarkan pada teori
pemerolehan bahasa pertama, bahwa bahasa itu diperoleh oleh
seseorang (anak) melalui lingkungan sosial (terutama lingkungan
keluarga, khususnya sang ibu). Ibu lah orang yang paling berperan
dalam proses belajar bahasa pertama bagi anak(-anak)-nya. Bahasa
(Belanda) yang diajarkan oleh orang tuanya itu tertanam kuat (well-
established) dalam ingatannya sebab bahasa itu lah yang dipakai
untuk komunikasi di lingkungan keluarganya. Oleh karena bahasa
pertama ini tertanam kuat, maka ketika berkomunikasi dengan
siapapun Setadewa kecil berusaha untuk menggunakan bahasa
pertamanya itu, yakni bahasa Belanda.
Setelah Setadewa menginjak usia yang memungkinkan untuk
bergaul dengan orang-orang di luar keluarganya yang tidak
berbahasa sebagaimana yang dia kuasai, maka kondisi ini menuntut
dia untuk belajar bahasa lain, yakni bahasa Jawa. Berdasarkan cerita
dalam novel itu, Setadewa dibawa oleh ayahnya ke Magelang dan
Keraton. Di lingkungan sosial itu bahasa Jawa digunakan, sehingga
dia harus belajar dan lalu menggunakan bahasa itu dalam upayanya
untuk berkomunikasi dengan orang-orang di Keraton dan Magelang.
Dorongan lain yang menyebabkan Setadewa mempelajari
bahasa lain adalah karena keinginannya untuk mempelajari ilmu
pengetahuan yang hanya dapat dipelajari lewat bahasa lain itu
sendiri. Atas dasar cerita dalam novel itu, bahwa setelah Belanda
kalah perang, Setadewa pergi ke Belanda. Kemudian dia melanjutkan
studi ke Amerika. Dia belajar komputer di Amerika. Karena
lingkungan Amerika menuntut dia untuk memiliki kemampuan
berbahasa Inggris, maka dia harus belajar dan lalu menggunakan
bahasa itu untuk keperluan studi dan komunikasi di sana. Karena
bahasa Inggris telah menjadi bagian dari hidupnya, maka ketika
dia berbicara tentang pekerjaan atau ilmu pengetahuan dengan

75
Maungkai Budaya

lawan tutur tertentu dia menggunakan bahas Inggris. Ketika dia


kembali ke Indonesia, dia menggunakan bahasa Indonesia sebagai
alat komunikasinya, namun unsur-unsur bahasa Inggris masih
mewarnai tuturannya.

Multilingualisme ditinjau dari faktor budaya, sosial, dan kepribadian


Dalam tinjauan dari sudut pandang faktor-faktor non-
kebahasaan ini, multilingualisme dipandang sebagai bagian dari
tingkah laku manusia, yakni: tingkah laku berbahasa dengan
menggunakan lebih dari satu bahasa. Tingkah laku berbahasa ini
dapat ditelusur (1) melalui sistem budaya, yang antara lain,
menggariskan bahwa bahasa itu setidak-tidaknya- mencakup
empat tata lambang: konstitusi, kognisi, evaluasi, dan ekspresi yang
secara berturutan melambangkan kepercayaan (manusia terhadap
Tuhan dan/atau kekuatan supernatural di luar dirinya), ilmu
pengetahuan, penilaian (baik-buruk, pantas-tak pantas, dan
sebagainya), dan pengungkapan perasaan manusia, (2) melalui sistem
sosial (khususnya yang berkaitan dengan status dan peranan sosial),
dan (3) melalui sistem kepribadian (khususnya yang berkaitan
dengan sikap, identitas, persepsi, dan motivasi)..
Dalam sistem budaya Jawa dikenal, antara lain, (1) adanya
usaha mistik atau kebatinan sebagai usaha pendalaman batin untuk
memperoleh ilmu mistik demi dua tujuan: (1) untuk mencapai
pengertian dan kesadaran tentang sangkan paran atau asal-usul
manusia, dan (2) untuk memiliki kemampuan menjalankan praktek-
praktek jahat yang didorong oleh nafsu-nafsu rendah demi benda-
benda dunia dan kekuatan iblis (setan). Usaha pendalaman batin
yang pertama bersifat positif, karena kemampuan batin yang
diperoleh tidak dimanfaatkan untuk tujuan jahat. Sedangkan usaha
batin yang kedua disebut klenik, bersifat negatif, karena kemampuan
batin yang diperoleh diarahkan kepada tindakan-tindakan yang
jahat dan merugikan orang lain (Suseno, 184:182), (2) macam-macam
selamatan (slametan), yang antara lain, nyadran (selamatan yang
dilakukan di pekuburan), dan ramalan nasib dalam primbon-primbon
(Koentjaraningrat, 1980).
Dalam novel Burung-Burung Manyar, Y.B. Mangunwijaya
menyelipkan sejumlah istilah bahasa Jawa yang melambangkan

76
Multilingualisme dalam Karya Sastra Indonesia

kepercaryaan manusia terhadap kekuatan supernatural, roh halus,


gaib di luar kekuatan manusia. Penyebutan istilah-istilah kejawen,
seperti primbon, ilmu klenik, (BBM, 7), dan nyadran (BBM, 193)
dimaksudkan untuk memberikan penekanan pada aspek budaya
Jawa, yang berkaitan dengan tata lambang kepercayaan terhadap
kekuatan (gaib) di luar kekuatan manusia atau terhadap roh-roh halus.
Penggunaan istilah-istilah dari bahasa Jawa, bahasa Belanda, dan
bahasa Inggris juga dimaksudkan untuk memberikan penekanan pada
aspek budaya Jawa yang berkaitan dengan tata lambang pengetahuan
manusia tentang alam sekelilingnya, karena jika diungkapkan dalam
bahasa Indonesia akan kurang tepat atau memang tidak ada
padanannya dalam bahasa Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari
penggunaan istilah takir, biting, onde-onde ceplus, wijen (BBM, 11) (bahasa
Jawa), fanfare, Khemeente (BBM, 5) (bahasa Belanda), dan Cobra-Fire of
the moluccan Inlands (BBM, 173) (bahasa Inggris)
Lambang-lambang kebaikan dan keburukan diungkapkan lewat
istilah atau kata bahasa Jawa (istilah pewayangan) seperti pendowo
(lambang kebaikan), dan togog (lambang keburukan) (BBM, 12).
Lambang ekspresif untuk mengungkapkan perasaan cinta antara
pria dan wanita diungkapkan lewat istilah kama dan ratih, trisno
margo kulino, laras ing ati (BBM, 42) (bahasa Jawa); perasaan marah
lewat istilah verrekt, verdomme (BBM, 31 dan 49) (bahasa Belanda),
asu (BBM, 131) (bahasa Jawa).
Penggunaan lebih dari satu bahasa atau multilingualisme dalam
novel Burung-Burung Manyar dapat ditelusur melalui sistem sosial,
yang dalam hal ini, berkaitan dengan status dan peranan sosial
penuturnya. Penggunaan bahasa tertentu dimaksudkan untuk
membedakan kelas-kelas sosial tokoh-tokoh yang ditampilkan. Tokoh
Mbok Naya dan Mbok Ranu ditempatkan dalam kelas atau golongan
wong cilik, sedangkan tokoh Larasati diposisikan sebagai seorang priyayi.
Tokoh yang pertama memiliki hak dan kewajiban sesuai dengan status
dan peranan sebagai pembantu rumah tangga (abdi). Dalam perilaku
berbahasa, sebagai abdi, mereka memperlihatkan sikap hormatnya
terhadap tuannya, dengan menggunakan ungkapan-ungkapan dari
bahasa Jawa kromo (BBM, 10).
Penggunaan lebih dari satu bahasa atau multilingualisme dalam
novel Burung-Burung Manyar dapat ditelusur melalui sistem
77
Maungkai Budaya

kepribadian penutur. Penggunaan ungkapan ngono ya ngono ning


mbok ja ngono(BBM, 110) harus menjadi sikap pemilik ungkapan
dari bahasa itu yang terpancar dalam perilakunya yang rame ing
gawe, sepi ing pamrih. Dalam sistem kepribadian Jawa, bekerja atau
bertindak karena pamrih berarti hanya mengusahakan kepentingan
diri sendiri saja dengan tidak menghiraukan kepentingan-kepetingan
masyarakat. Secara sosial pamrih itu selalu mengacu karena
merupakan tindakan tanpa perhatian terhadap keselarasan sosial.
Orang ber-pamrih selalu ingin menange dhewe, benere dhewe, dan
perlune dhewe (ingin menang sendiri, benar sendiri, dan memper-
hatikan kepentingan sendiri).
Penggunaan istilah dari bahasa Jawa dan Belanda oleh tokoh
Setadewa dapat ditanggapi sebagai memberikan penekanan pada
identitas-nya sebagai tokoh yang berdarah Jawa dan Belanda (BB,
3). Faktor lain yang menyebabkan digunakannya unsur-unsur dari
bahasa asing (selain bahasa Indonesia) dalam novel Burung-Burung
Manyar ini adalah faktor pengalaman seseorang (tokoh). Sebagai
ilustrasi, tokoh Setadewa adalah tokoh yang kaya akan pengalaman.
Karena pengalamannya itu, dia banyak menggunakan unsur-unsur
asing dalam tuturannya sesuai dengan status dan peranannya, di
mana dia bertutur, kepada siapa dia bertutur dan kapan tutur itu
dilakukan.
***
Multilingualism dalam karya sastra, khususnya novel Burung-
Burung Manyar, dilatarbelakangi oleh beberapa hal: (1) kompleksnya
masalah yang ingin disampaikan, yang muliputi masalah lokal,
nasional, dan internasional, (2) pluralistiknya tokoh-tokoh yang
ditampilkan, yang meliputi tokoh kampung yang tak berpendidikan
hingga tokoh kelas nasional bahkan internasional, dan (3) adanya
usaha yang gagal untuk mencari padanan istilah-istilah atau kata-
kata dari bahasa selain bahasa Indonesia sehingga pengarang
menggunakan istilah atau kata dari bahasa lain; dari segi penceri-
taan penggunaan istilah atau kata dari bahasa lain itu adalah untuk
memperjelas ide atau konsep sosial-budaya secara utuh dan tepat
sasaran.

78

Sastra

79
Maungkai Budaya

80
MEMAHAMI KONDISI SOSIAL BUDAYA
MASYARAKAT MELALUI KARYA SASTRA

S aya menelaah karya sastra dalam upaya memahami kondisi


sosial budaya masyarakat Amerika kulit hitam melalui novel Native
Son karya Richard Right; sementara Sainul melakukan ha yang
sama dalam upaya memahami kondisi sosial budaya
masyarakat Tionghoa melalui novel Cabaukan karya Remy Sylado.
Terus terang, saya belum membaca novel Cabaukan karya Remy
Sylado. Pemahaman yang sangat sedikit tentang novel itu, saya
dapatkan dari keterangan Sainul dan dari membaca hasil telaah
terhadapnya. Tidak jelas, kapan novel itu pertama kali diterbitkan.
Sebab, novel yang dikaji Sainul itu terbitan ke dua, tahun 1999;
sementara dia tidak menjelaskan kapan novel itu diterbitkan untuk
pertama kalinya. Yang jelas, novel itu mengisahkan sebagian dari
sisi-sisi kehidupan orang-orang Tionghoa di Pulau Jawa, terutama
Semarang, Tangerang dan Batavia, dalam kurun waktu 1918-1951.
Novel itu kemudian dikategorikan dalam Sastra Indonesia-Tionghoa.
Dalam tradisi sastra Amerika, karya sastra yang ditulis oleh
orang Amerika keturunan, misalnya, Afrika, dikategorikan dalam
African-American Literature. Karya sastra semacam ini, selain ditulis
oleh orang Amerika keturunan Afrika atau Amerika kulit hitam,
umumnya, mengungkap sisi-sisi gelap kehidupan (penderitaan)dari
orang-orang Amerika kulit hitam. Sebuah novel Native Son karya
Richard Wright adalah contohnya. Penulisnya berasal dari ras hitam,
dan tokoh-tokoh yang ditampilkan orang-orang kulit hitam dalam
interaksi mereka dengan orang-orang kulit putih. Bahasa yang
digunakan adalah bahasa Inggris Amerika dengan selipan dialek
khas orang kulit hitam.

81
Maungkai Budaya

Tampaknya, karena kekurangan informasi/referensi, Sainul


tidak bisa melacak apakah penulis novel Cabaukan ber-etnis Tionghoa
atau bukan. Itu bukan persoalan. Sebab, telaahnya tidak
mengharuskan penulusuran terhadap siapa penulis novel itu. Dalam
kaitan ini, siapapun orangnya, asal tahu seluk beluk kehidupan etnis
tertentu dan terlibat di dalamnya baik secara kebahasaan maupun
sosiokultural, punya peluang untuk mengekspresikan hasil
pengamatannya dalam bentuk karya sastra. Saya kira, tidak harus,
sastra Indonesia-Tionghoa (sebut saja begitu) ditulis oleh orang In-
donesia keturunan Tionghoa.
Setelah saya membaca buku Sainul, saya menangkap bahwa
di satu sisi, secara makro, orang-orang keturunan Tionghoa menjadi
kelompok marjinal dengan steriotip (label) negatif; mereka
menempati kategori non-pribumi dalam dikotomi: pribumi vs non-
pribumi. Secara politis (baca: de jure), mereka berada di bawah
dominasi kelompok (elit/penguasa) pribumi; ada sejumlah aturan
hukum yang secara khusus mengatur kehidupan orang keturunan
Tionghio; dan secara de facto mereka menghadapi doiminasi dalam
bentuk lain, misalnya: prejudice, discrimination, dan arnachic action
dari kelompok pribumi kebanyakan. Namun di sisi lain mereka
memegang dominasi yang memungkinkan mereka menjadi the op-
pressing people terhadap kebanyakan masyarakat Indonesia,
khususnya, dalam kehidupan ekonomi. Itu sebuah realitas obyektif
yang mungkin tak akan terbantah.
Dominasi dalam kehidupan ekonomi ini, tampaknya, juga
tercermin dalam novel Cabaukan karya Remy Sylado. Atas dasar
telaah Sainul, Sylado mengukuhkan steriotip (label) negatif dan
sekaligus membantahnya. Artinya, memang ada sisi-sisi baik dan
buruk bagi diri orang-orang Tionghoa di Indonesia. Kehadiran novel
Cabaukan ini, mungkin saja, dimaksudkan untuk membuka mata
kaum pribumi bahwa mereka memiliki kekuatan. Dengan kata lain,
kalaupun ada dominasi yang berwujud: prejudice, discrimination,
oppression, anarchic action dan sejenisnya terhadap warga non-
pribumi itu di satu sisi; ada juga kekuatan pada mereka untuk
menguasai sektor kehidupan tertentu di pihak lain.
Kalau novel Cabaukan dibandingkan dengan novel Native Son,
ditemukan suatu perbedaan yang cukup tajam. Dalam Native Son
82
Memahami Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Melalui Karya Sastra

justru orang-orang Amerika keturunan Afrika menjadi orang-or-


ang yang tertindas tanpa kekuatan untuk menindas balik; mereka
harus berhadapan dengan prejudice, discrimination, dan segregation,
serta anarchic action. Sehingga, mereka menghadapi sejumlah masalah
atau kesulitan dalam aspek-aspek kehidupan mereka; mereka
dianggap sebagai makhluk yang rendah martabatnya, dan mereka
tidak mempunyai persamaan hak dalam pendidikan, pekerjaan,
perlindungan/pelaksanaan hukum, partisipasi politik, dan dalam
aspek-aspek kehidupan sosial budaya yang lain. Kehadiran novel
itu adalah sebagai salah satu bentuk protes terhadap perlakuan tidak
adil yang dilakukan oleh orang-orang kulit putih.
Bila karya sastra dipandang sebagai dunia kecil atau minia-
ture- yang dikonstruksi dari dunia besar (Abrams menyebutnya
Universe), maka peristiwa-peristiwa yang terungkap di dalamnya
merupakan refleksi dari peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi
dalam dunia besar itu. Dalam kaitan ini, (karya) sastra) pada
hakikatnya adalah tanggapan seseorang (pengarang) terhadap
situasi di sekelilingnya. Berbagai situasi di sekeliling pengarang dapat
dijadikan bahan untuk menghasilkan karya sastra. Benda mati,
tanaman, tatanan sosial, tatanan politik dan manusia dapat
dijadikan obyek atau bahan penulisan oleh pengarang. Dari sekian
juta jumlah benda yang ada didunia dan sekian banyak yang
diamati oleh pengarang dapat dikelompokkan menjadi satu istilah,
yakni: kehidupan.
Dengan demikian karya sastra itu merupakan refleksi atau
cerminan kehidupan yang diamati oleh pengarang, dibumbui respons
atau tanggapan dan imaginasi pengarang terhadap kehidupan itu.
Abdul Hadi menjelaskan bahwa dalam upaya mengungkapkan
kembali pengamatannya terhadap kehidupan dalam bentuk karya
sastra, pengarang menggunakan bahasa sebagai mediumnya (dalam
S.Hoerip, 1982).
Dalam telaah wacana dalam sastra (sebagai dunia kecil)
sebagai upaya melihat dunia besar, diperlukan deskripsi tentang
kondisi sosial, ekonomi, politik (secara umum, budaya) dan peristiwa
sejarah yang melatari hadirnya sebuah karya sastra. Dalam telaah
novel Cabaukan, Sainul mendeskripsikan kondisi tersebut secara
berlebihan (hal. 47-65). Sebab, pada dalam kurun waktu 1918-1951
83
Maungkai Budaya

hal-hal seperti: era Soeharto, surat edaran 14 Maret 1976, peristiwa


Mei 1998, dan lain-lain, belum ada.
Dalam baingkai teoritis, Sainul menegaskan bahwa karya sastra
merupakan bangunan dunia yang tidak otonom, tetapi produk
diskursif yang terikat pada berbagai konteks diskursif yang lebih
luas; karya sastra bukan sekedar cermin pasif mengenai dunia,
melainkan semacam tindakan terhadap dunia (hal. 32). Menurut
saya, telaah wacana dalam novel Cabaukan tidak hanya dikaitkan
dengan wacana-wacana ke-Tionghoa-an, tetapi juga dengan
pengarang dan kepengarangannya. Sekian.

84

MENULIS

S aya dan mungkin banyak orangharus salut atas kepiawian


Ersis Warmansyah Abbas. Dia memiliki keterampilan menulis yang
luar biasa. Saya sering diskusi dengannya soal tulis menulis.
Dalam suatu diskusi, dia mengatakan: Menulis itu gampang. Saya
menimpali: Gampang bagi anda. Bagi saya, -walaupun saya suka
menulis- tetap saja itu sulit. Pengalaman menunjukkan bahwa
sejumlah topik tak bisa saya kembangkan menjadi sebuah artikel.
Topik-topik itu tetap tersimpan dalam hard disk computer selama
berhari-hari, bahkan ada yang berbulan-bulan. Ketika saya coba
untuk dikembangkan lagi, tetap saja bisa jadi artikel.

Sekilas tentang EWA


Hal yang saya alami, tak bakal terjadi pada diri EWA. Daya
rekam dan daya simpan EWA bagus, bahkan sangat bagus.
Sehingga, ketika suatu saat dia ingin memanggil kembali
memorinya, dia begitu lancar. Dalam waktu kurang dari dua jam,
dia mampu menghasilkan sebuah artikel, bahkan bisa lebih. Bagi
saya, itu tak mungkin. Ketika saya menulis hingga menghasilkan
sebuah artikel, saya harus baca lagi, edit, baca lagi, dan edit lagi.
Bila sekiranya artikel itu pantas dibaca orang, saya kirim ke media
cetak. Namun, bila saya pikir itu tak pantas, saya urung kirimkan.
Saya simpan saja.
Kehebatan EWA dalam mencari bahan penulisan, mungkin,
tak banyak orang yang menandingi. Dalam mencari bahan tulisan,
dia tentu melalui kegiatan membaca. Dia banyak bacaan dan suka
baca. Tak hanya itu, saya kira. Di samping daya rekam dan daya

85
Maungkai Budaya

simpan yang kuat, dia memiliki daya teropong yang cukup tajam.
Mobil plat merah yang dipakai untuk mengantar anak ke sekolah,
misalnya, tak luput dari teropongannya dan lalu dijadikan bahan
penulisan. Tentu, itu dimaksudkan untuk menyentil semua pemakai
kendaran atau mobil plat merah yang semestinya- untuk keperluan
tugas kedinasan namun dipakai untuk keperluan di luar tugas
kedinasan: mengantar anak ke sekolah, berbelanja di mall pada
malam hari, atau untuk sarana pergi saruan pada hari minggu.
Satu lagi, didukung daya rekam, daya simpan, daya teropong
yang kuat, EWA tak memerlukan alat tulis ketika berbincang-bincang
atau semacam wawancara. Ketika orang-orang yang dihadapi
bapandir, dia hanya mendengarkan sambil ketawa-ketawa khasnya
dan sesekali menimpalinya dengan goyonan. Jangan coba-coba,
ngomong semaunya bila berhadapan dengan EWA. Sebab, omongan
anda bisa jadi dikutip EWA dan besok pagi muncul di koran.

Lima Keterampilan Berbahasa


Ada empat keterampilan berbahasa: listening, speaking, read-
ing, dan writing (menyimak, berbicara, membaca dan menulis).
Seorang kawan dari Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris FKIP
Unlam, menambahkan satu keterampilan lagi, menterjemahkan.
Dengan demikian, dapat dikatakan, ada lima keterampilan
berbahasa. Mahasiswa Jurusan Bahasa, khususnya, Jurusan Bahasa
Inggris, pasti mendapatkan mata kuliah lima keterampilan berbahasa
itu. Mahasiswa mendapat teori tentang how to: listen, speak, read
and write. Diharapkan, tentunya, setelah selesai kuliah, mahasiswa
mampu atau terampil menyimak, berbicara, membaca dan menulis.
Harapan dan kenyataan tak mesti sama. Kadangkala, ada
sejumlah mahasiswa punya lima keterampilan berbahasa yang baik.
Ada sejumlah lainnya punya empat keterampilan yang baik. Ada
sejumlah mahasiswa punya tiga keterampilan berbahasa yang baik,
dan seterusnya. Bahkan, ada sejumlah lainnya punya keterampilan
berbahasa yang serba tanggung. Sehingga, masih mending bila ada
mahasiswa atau lulusan Jurusan Bahasa yang punya keterampilan
menulis. Bisa saja mereka lemah dalam menyimak, membaca atau
berbicara, namun mereka punya keterampilan menulis dan
menterjemahkan cukup bagus.

86
Menulis

Belajar Menulis = Belajar Berjalan?


Seorang bayi umur 11 bulan, punya naluri untuk mampu
berjalan. Dalam upaya belajar berjalan, dia mencoba untuk berdiri.
Masyarakat Jawa, khususnya, biasanya membuatkan alat bantu bagi
si bayi dari bambu sedemikian rupa sehingga dengan dibantu or-
ang tuanya- ia bisa memanfaatkannya untuk belajar bediri dan
berjalan memutar. Bila sekiranya ia bisa berdiri tanpa alat bantu,
orang tua membiarkannya untuk belajar berjalan. Tentu, karena
kedua kakinya belum begitu kuat dan penguasaan teori berjalan
belum begitu sempurna, ia jatuh bangun dalam proses belajar
berjalan. Kegigihan untuk belajar berjalan mengantarkan ia memiliki
kemampuan berjalan.
Baik berjalan maupun menulis sama-sama dimulai dari
ketidakmampuan. Berkat latihan terus menerus, kemampuan
berjalan atau menulis terjadi. Peristiwa jatuh bangun pastilah
terjadi. Pengalaman saya, bahwa ketika saya ada pada semester III,
saya diminta menulis sebuah artikel pendek untuk Majalah Kampus,
saya bingung tujuh keliling. Mulanya, saya tak mampu. Lalu, saya
coba mengumpulkan sejumlah bahan bacaan. Saya coba telaah
bahan bacaan itu dan kemudian saya coba tuangkan dalam sebuah
artikel. Pendek kata, saya mampu menulis artikel, yang kabarnya,
dimanfaatkan oleh mahasiswa angkatan sesudah saya sebagai
rujukan mata kuliah Phonology.
Berhasil menulis artikel untuk Majalah Kampus, saya ingin coba
menulis untuk Majalah Psikologi terbitan Jakarta (kini, tak terbit lagi).
Kala itu, saya sempat diolok-olok oleh kawan saya: Tak bakalan
tulisan anda bisa dimuat di majalah ini. Ini majalah nasional. Dia
berlangganan majalah itu. Betapa kagetnya dia ketika membaca
artikel saya termuat di situ.

Trial and Error itu perlu


Bila kita hanya diberi teori-teori tentang menulis saja, misalnya,
tanpa dibarengi trial and error, maka mustahillah kita punya
kemampuan/keterampilan menulis yang baik.
Selaku pengajar mata kuliah writing, saya selalu wanti-wanti
kepada mahasiswa-mahasiswa saya untuk melakukan latihan
menulis. Kesulitan menulis dalam bahasa Inggris, menulis bisa

87
Maungkai Budaya

dilakukan dengan bahasa Indonesia atau bahasa apa saja yang


dikuasai. Tampaknya, hanya satu dua orang saja yang mau menulis
untuk orang banyak via koran. Dan, tak perlu menunggu diberi tugas
menulis. Umumnya, bagi mahasiswa saya, menulis hanya
dimaksudkan untuk memenuhi tugas kuliah saja. Lulus mata kuliah
writing, mereka stop writing. Sebagai konsekuensinya, mereka banyak
yang kesulitan bila mereka diberi tugas membuat karya tulis,
misalnya: ulusan, makalah atau skripsi. Menulis untuk keperluan
pemenuhan tugas akademis saja ogah-ogahan, mungkin dalam batin
mereka: untuk apa menulis yang tak gunanya seperti menulis di
koran. Bagaimana menurut Anda

88

MENCIPTA DAN MEMBACA KARYA


SASTRA

Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang obyeknya
manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya
(Semi, 1988: 8)

K alau tak ada aral melintang, Jurusan Bahasa dan Seni FKIP
Unlam akan menyelenggarakan pelatihan penulisan kreatif, Kamis
26 Januari 2006, di Aula 1 FKIP Unlam Banjarmasin. Para pelatihnya
adalah Agus R. Sarjono, Jamal T. Suryanata, dan Tajuddin Noor
Gani. Ketiganya adalah para pendekar dalam hal
menulis kreatif. Hasil karya mereka banyak terpublikasikan.
Saya suka menulis. Fenomena kehidupan manusia yang saya
amati, sering saya tulis. Kalau sekiranya hasil tulisan itu saya anggap
tak layak untuk khalayak, saya simpan saja. Namun, saya tak
mengklaim bahwa saya ini seorang penulis. Saya masih perlu terus
belajar, ya belajar menulis. Kalau saya mengkalim sebagai penulis,
tentu banyak orang akan bertanya: berapa banyak artikel ilmiah/
populer, buku dan karya-karya tulis lain. Dalam hal ini, saya tentu
tak sebanding dengan Ersis Warmansyah Abbas (EWA). Sebab, artikel
yang ditulisnya banyak; buku yang dihasilkannya banyak; dan karya-
karya tulis lainnya segudang. Bagi dia, menulis itu gampang.
Saya juga pernah mencoba menulis karya kreatif bukan
kreatif. Sebab, seperti halnya menulis artikel, saya masih belajar.
Saya coba mengadaptasikan karya-karya yang pernah baca, misal:
karya Henry James, Faulkner, Richard Wright dan lain-lain dan saya
tulis dalam bahasa Indonesia. Ya, karena itu hanya latihan atau

89
Maungkai Budaya

belajar, maka saya tak berani mencoba untuk menerbitkannya. Saya


amat takut dituduh plagiat oleh kritikus kita, Sainul Hermawan.
Jadi, karya tulis kreatif yang sempat saya hasilkan, tak diterbitkan.
Untuk bisa memiliki kemampuan kreatif, saya akan berguru
kepada Agus R. Sarjono, Jamal T. Suryanata, dan Tajuddin Noor
Gani. Insya Allah, beliau bertiga akan menyampaikan jurus-jurus
tulis menulis kreatif. Beliau bertiga adalah pendekar dalam penulisan
kreatif, yang akan mewariskan ilmu kepada sang murid.
Tulisan berikut tidak bermuatan jurus-jurus penulisan kreatif.
Ini hanya suatu ulasan dari sejumlah bacaan yang berkait dengan
karya sastra dan penciptaannya. Ya, ini ulasan yang disampaikan
oleh orang yang hanya berada pada posisi pembaca karya sastra,
karya kreatif.

Karya Sastra itu Karya Kreatif


Karya sastra pada hakikatnya adalah tanggapan seseorang
(pengarang) terhadap situasi di sekelilingnya. Berbagai situasi di
sekeliling pengarang dapat dijadikan bahan untuk menghasilkan
karya sastra. Benda mati, tanaman, tatanan sosial, tatanan politik
dan manusia dapat dijadikan obyek atau bahan penulisan oleh
pengarang. Dari sekian juta jumlah benda yang ada didunia dan
sekian banyak yang diamati oleh pengarang dapat dikelompokkan
menjadi satu istilah, yakni: kehidupan. Dengan demikian karya
sastra itu merupakan refleksi atau cerminan kehidupan yang diamati
oleh pengarang, dibumbui respons atau tanggapan dan imaginasi
pengarang terhadap kehidupan itu. Dalam kaitan ini, Abdul Hadi
menjelaskan bahwa dalam upaya mengungkapkan kembali
pengamatannya terhadap kehidupan dalam bentuk karya sastra,
pengarang menggunakan bahasa sebagai mediumnya (dalam
S.Hoerip, 1982:99).
Jika dikatakan bahwa karya sastra merupakan fenomena
kehidupan manusia, maka banyak sisi kehidupan manusia yang
(dapat) dicakup oleh karya sastra, misalnya, kesedihan, kegelisahan,
kekecewaan, kemarahan, keheranan, protes, dan pikiran atau opini.
dan lingkungan, tatanan sosial, tatanan politik dan sejenisnya.
Dengan demikian, karya sastra identik (walau tidak persis sama)
dengan berita di koran, laporan penelitian antropologi, sosiologi,

90
Mencipta dan Membaca Karya Sastra

psikologi dan sejarah. Sebab, karya sastra dan karya non sastra
tersebut berbicara tentang manusia, kehidupan manusia, peristiwa-
peristiwa yang berhubungan dengannya, tempat dan waktunya.
Hal yang membedakan adalah cara menyatakannya dan asumsi
pembaca terhadap jenis tulisan tersebut.
Cara seseorang yang menyatakan petani melarat dalam bahasa
karya sastra akan berbeda dengan cara orang lain secara ilmiah,
ilmiah popular atau dengan berita di koran, meskipun fakta yang
ditulis sama.
Demikian pula, asumsi pembaca terhadap teks sastra dan teks
non sastra tampak berbeda. Secara umum orang beranggapan bahwa
karya sastra itu selalu imaginer, fiktif atau khayal belaka; dan bahwa
laporan penelitian antropologi, sosiologi, psikologi, sejarah dan berita
di koran selalu nyata dan benar adanya. Benarkah bahwa seorang
sastrawan menulis karyanya tidak berdasar pada fakta di zamannya
sehingga tulisannya bersifat fiktif belaka? Sebaliknya, apakah seorang
sejarawan, sosiolog, antropolog, atau reporter menulis fakta di
lapangan secara benar-benar obyektif, independen, tanpa
dipengaruhi subyektifitas, kepentingandan ideologi? Atau,
barangkali orang akan mengatakan bahwa ketika karya sastra dan
karya non sastra telah menjadi karya teks bisa saja mengandung
unsur subyektif bila dilihat dari sudut pandang yang berbeda?
Memang, sepengetahuan penulis, orang-orang yang
mengatakan bahwa karya sastra itu walaupun bersifat imaginer,
fiktif, khayal alias tidak nyata- mengetengahkan fakta tentang
kehidupan manusia dan sejumlah sisi yang menyertainya, adalah
mereka yang menggeluti atau berkecimpung dalam dunia sastra.
Sementara masyarakat secara umum dan kalangan akademisi
tertentu menganggap bahwa karya sastra adalah benar-benar
imaginer, fiktif, atau dunia rekaan pengarang yang kurang, atau
bahkan tidak, berhubungan dengan dengan sejarah, sosiologi,
psikologi, studi pembangunan, politik, moral, agama dan sebagainya.

Pengarang dan Kepengarangan


Dilihat dari sudut pandang penciptaan atau kepengarangan,
dapat dikatakan bahwa karya sastra tidak dapat dilepaskan dari
sang pengarangnya. Dalam kaitan ini, dalam proses kepengarangan,

91
Maungkai Budaya

sang pengarang itu tentu tidak asal mengarang atau menulis karya
sastra; dia tentu terlebih dahulu melakukan observasi dan lalu
melakukan komtemplasi (perenungan) atas peristiwa-peristiwa yang
terjadi di masyarakatnya. Melalui proses observasi dan komtemplasi,
dia melakukan imajinasi dakam rangka untuk menciptakan karya
sastra (berkreasi). Singkat kata, melalui proses-proses itu maka
terwujudlah suatu karya sastra.
Secara ekspresif karya sastra (seni) merupakan hasil pengung-
kapan sang pencipta seni (artist) tentang pengalaman, pikiran,
perasaan, dan sejenisnya.Dengan demikian, menurut Lewis, karya
sastra bisa didekati dengan pendekatan ekspresif, yakni pendekatan
yang berfokus pada diri penulis (pengarang), imajinasinya,
pandangannya, atau kespontanitasnya (1976: 46).
Dengan perkatan lain, dilihat dari sisi pengarang, karya sastra
(seni) merupakan karya kreatif, imaginatif (rekaan) dan
dimaksudkan untuk menghadirkan keindahan. Dalam kaitan ini,
Esten menyatakan bahwa ada dua hal yang harus dimiliki oleh
seorang pengarang, yakni: daya kreatif dan daya imajinatif. Daya
kreatif adalah daya untuk menciptakan hal-hal yang baru dan asli.
Manusia penuh dengan seribu satu kemungkinan tentang dirinya.
Untuk itu, seorang pengarang berusaha untuk memperlihatkan
kemungkinan tersebut, memperlihatkan masalah-masalah manusia
dalam karya-karya sastranya. Sedangkan daya imajinatif adalah
kemampuan pengarang untuk membayangkan, mengkhayalkan,
dan menggambarkan sesuatu atau peristiwa-peristiwa. Seorang
pengarang yang memiliki daya imajinatif yang tinggi bila dia mampu
memperlihatkan dan menggambarkan kemungkinan-kemungkinan
kehidupan, masalah-masalah, dan pilihan-pilihan dari alternatif
yang mungkin dihadapi manusia. Kedua daya itu akan menentukan
berhasil tidaknya suatu karya sastra (1978: 9).
Dalam kaitan dengan proses penciptaan karya sastra, seorang
pengarang berhadapan dengan suatu kenyataan yang ada dalam
masyarakat (realitas obyektif). Realitas obyektif bisa berbentuk
peristiwa-peristiwa, norma-norma (tata nilai), pandangan hidup dan
bentuk-bentuk realitas obyektif yang ada dalam masyarakat. Bila
seseorang pengarang merasa tidak puas dengan realitas obyektif itu,
mungkin saja dia lalu merasa gelisah. Berangkat dari kegelisahan
92
Mencipta dan Membaca Karya Sastra

itu, mungkin saja, dia, dengan caranya sendiri (misalnya, lewat


kegiatan kepengarangan) memprotes, memberontak, mendobrak
realitas obyektif yang, menurutnya, tidak memuaskan atau penuh
dengan ketidakadilan. Setelah ada suatu sikap, maka dia mencoba
untuk mengangankan suatu realitas baru sebagai pengganti
realitas obyektif yang sementara ini dia tolak. Hal inilah yang
kemudian dia ungkapkan melalui karya sastra yang dia ciptakan.
Dia mencoba untuk mengutarakan sesuatu terhadap realitas obyektif
yang dia temukan. Dia ingin berpesan kepada pihak-pihak lain
tentang sesuatu yang dianggap sebagai masalah atau persoalan
manusia (Esten, 1978: 9-10).
***
Uraian di atas menunjukkan pandangan pembaca karya
sastra terhadap karya sastra dan pengarangnya. Apakah hal itu
berkesesuaian dengan pengalaman-pengalaman para pendekar
penulisan kreatif sebagaimana disebutkan di atas? Jawabannya akan
dapat kita dengar di FKIP Unlam Banjarmasin, Kamis 26 Januari
2006.

93
Maungkai Budaya

PELATIHAN PENULISAN KREATIF, TAK


ADA ARTINYA?

P elatihan Penulisan Kreatif yang kami gelar di FKIP Unlam


memang diperuntukan kepada mahasiswa sejumlah mahasiswa
Jurusan Pendidikan Bahasa FKIP Unlam. Para dosen tak diundang
secara khusus, termasuk Kaprodi PBSID dan Bahasa Inggris serta
Ersis Warmansayah Abbas (EWA). Tentu kasihan dan sayang bila
EWA diundang untuk jadi peserta. Kendati tak hadir dalam acara
yang kami gelar, Ersis Warmansayah Abbas (EWA) tampaknya
punya kepedulian. Dia kirim Short Message Service kepada saya:
Gimana Pelatihan Penulisan Kreatifnya. Pian suka banar maulu-ulu
ulun?. Katanya lagi; Pelatihan menulis itu tak penting; yang
penting menulisnya.SMS saya balas: Maaf Pak Ersis, pian saya
jadikan contoh. Ini bukan maulu-ulu. Bujur, ulun salut sama pian.
Banyak pembaca memberikan komentar: Pak Ersis itu produktif,
banyak sentilan. Pian mirip Mahbub, Hari Rusli atau Emha.

Teori menulis itu perlu?


EWA betul. Siswa atau mahasiswa dilatih langsung menulis.
Kalau hanya diceramahi saja, mereka bisa bosan, apatis. Namun
demikian, teori menulis itu perlu; kiat-kiat atau jurus-jurus menulis
perlu. Dalam kaitan ini, Agus R. Sarjono, nara sumber dari Jakarta
itu, membuat analogi dengan bermain melodi. Sebelum atau pada
saat orang belajar melodi, otaknya perlu diisi dengan teori melodi
dan lalu bermain. Kalau hanya otaknya saja yang diisi teori melodi
atau hanya praktek saja, ia hanya punya satu melodi; paduan teori
dan praktek menghasilkan dua melodi dalam dirinya. Saat ia bermain
melodi, ia berteori; saat ia berteori, ia bermain.
94
Pelatihan Penulisan Kreatif, Tak Ada Artinya?

Dalam hal tulis menulis, teori menulis pastilah diperlukan.


Seperti telah diketahui, hal-hal yang diperhatikan dalam menulis
adalah antara lain: kata, frasa, klausa dan kalimat, paragraph,
pungtuasi dan sebagainya. Kalau EWA mengatakan bahwa kata,
misalnya, hanya dibentuk dari beberapa huruf; kalimat hanya
terbentuk dari beberapa kata; dan paragraf atau sering disebut alinea
hanya terbentuk dari beberapa kalimat; dan sebuah artikel terbentuk
dari sekian paragraf, banyak orang sudah tahu. Katanya lagi, menulis
itu gampang; sementara banyak orang mengatakan: menulis itu sulit.
Pernyataan EWA tak lain, tak bukan hanyalah untuk memberikan
motivasi kepada kita: menulislah karena menulis itu tak sesulit yang
dibayangkan!

Agus R. Sarjono menyoal Esai


Dalam acara pelatihan itu, Agus didaulat untuk berbicara
tentang strategi penulisan esai. Dalam uraiannya, dia memulai
dengan sejumlah definisi (baca: teori) tentang esai, selayaknya dosen
mengajar di kelas. Seiring penguraian tentang teori itu, para audi-
ence tampak lesu, kurang bergairah. Dia paham audience-nya kurang
berterima dengan metode ceramah; lalu, dia mengubahnya.
Sambil seringkali mengusap hidungnya (yang mungkin gatal), dia
menjelaskan esai (dengan tidak terpaku pada teori) dalam kaitan
dengan karya ilmiah dan karya sastra.
Dengan mengutip pendapat Stanley M. Honer dan Thomas C.
Hunt, Agus menjelaskan prosedur penulisan karya ilmiah: (1) sadar
akan adanya masalah dan perumusan masalah, (2) pengamatan
dan pengumpulan data yang relevan, (3) penyusunan atau klasifikasi
data, (4) perumusan hipotesis, (5) deduksi dan hipotesis, dan (6) tes
dan pengujian kebenaran (verifikasi) dari hipotesis. Dengan begitu,
karangan ilmiah memiliki kaidah-kaidah tertentu sesuai dengan
kerangka/metode ilmiah yang mendasarinya. Dalam penulisannya
pun karya ilmiah memiliki kaidah-kaidah tesendiri yang ditandai
dengan adanya pengajuan masalah, penyusunan kerangka teoritis,
laporan hasil penelitian, ringkasan dan kesimpulan, abstrak dan
daftar pustaka.
Dengan kata lain, karya tulis ilmiah, menuntut penulisnya
untuk memenuhi kaidah-kaidah ilmiah, antara lain: bahwa (1) sub-

95
Maungkai Budaya

ject-matter dinyatakan secara eksplisit, (2) kegiatan penelitian


dilakukan secara obyektif, dan (3) hasil disampaikan secara
sistematis. Kaidah pertama memungkinkan penulis untuk
memperoleh pemahaman yang mendalam terhadap suatu topik
sebelum dia menyatakan subject-matter yang akan dicobapecahkan
melalui kegiatan penelitian; kaidah kedua melatih mahasiswa
berlaku obyektif bukan subyektif; dan kaidah ketiga mengarahkan
mahasiswa untuk berpikir atau melakukan sesuatu secara sistematis,
tidak acak-acakan. Pendek kata, dia menentukan obyek pengamatan,
melakukan pengamatan, berlaku obyektif dan menulis hasilnya
secara sistematis.
Sementara karya sastra memiliki kaidah tersendiri. Dalam kaitan
ini pengarang karya satra berpedoman pada kaidah penulisan sastra
yang relatif baku, seperti tema, alur, latar, sudut pandang dan
sebagainya (untuk cerpen dan novel), dan tema, diksi, irama, majas,
rancang bangun dan sebagainya (untuk puisi). Sama halnya dengan
penulis karya ilmiah, pengarang karya sastra, tentu terlebih dahulu
mencari dan menentukan obyek penulisan, melakukan pengamatan
terhadap obyek itu dan lalu melakukan komtemplasi (perenungan)
atas hasil pengamatannya. Melalui proses observasi dan
komtemplasi, dia melakukan imajinasi dakam rangka untuk
menciptakan karya sastra (berkreasi). Singkat kata, melalui proses-
proses itu maka terwujudlah suatu karya sastra.
Selanjutnya, Agus R. Sarjono menjelaskan tentang esai. Secara
prosedural, penulis esai beranjak dari hal sebagaimana dilakukan
oleh penulis karya ilmiah dan karya sastra; ia menentukan obyek
penulisan, melakukan pengamatan dan lalu melakukan penulisan.
Esai punya kemiripan dengan karya ilmiah. Baik karya ilmiah
maupun esai tidak meninggalkan fakta. Yang membedakan adalah
bahwa esai disampaikan bersamaan dengan subyektivitas
penulisnya; sementara karya ilmiah disampaikan dengan
meninggalkan unsur subyektif penulisnya. Misalnya, (mohon maaf
untuk contoh) EWA menulis tentang kendaraan plat merah yang
dipakai untuk mengantarkan anak ke sekolah. Itu didasarkan pada
fakta. Tetapi, itu fakta yang disampaikan dengan caranya sendiri
(ada unsur subyektif di sini). Berari pula, EWA, mengacu pada
pandangan Agus R. Sarjono, adalah contoh seorang penulis esai.

96
Pelatihan Penulisan Kreatif, Tak Ada Artinya?

Panitia Digugat?
Mahasiswa mempertanyakan: Mengapa kegiatan pelatihan
penulisan kreatif tak diikuti oleh training, simulasi dan praktek?
Pertanyaan ini jelas tak bisa dijawab oleh para nara sumber. Mod-
erator pun bingung menjawabnya. Untuk itu, panitia harus
menjawab. Kegiatan itu memang dimaksudkan untuk menggali
pengalaman, kiat dan jurus-jurus kepengarangan dari nara
sumber. Untuk sementara, setelah jurus-jurus kepengarangan telah
terwariskan, maka praktek selanjutnya dilakukan sendiri oleh para
peserta. Kata panitia, kegiatan lanjutan yang dimaksud mahasiswa
itu akan dilakukan tahun depan, 2007.
Mendengar gugaan mahasiswa itu, justru, Dr. Jumadi merasa
senang terhadap mahasiswa yang jeli dan kritis. Karena, selama
ini, tampaknya, mahasiswa hanya menerima apa saja yang dimaui
dosennya. Bila mereka diundang dan wajib hadir, mereka hadir saja.
Namun, kalau boleh saya katakan, kehadiran mereka hanyalah
kehadiran fisik: hanya memenuhi kewajiban akademis belaka.
Mudah-mudahan, dengan kerja keras tak kenal lelah dan semangat
yang luar biasa para dosen muda, Jumadi, Sainul Hermawan,
Daud Pamungkas, M. Rafiek dan lain-lain, suasana akademis
menjadi lebih baik. Dengan harapan, tentu saja, mahasiswa Jurusan
Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP Unlam memiliki keterampilan
berbahasa dan keterampilan mengajar bahasa yang baik, serta
memiliki keterampilan tambahan dalam hal tulis menulis (baik ilmiah,
sastra dan esai) yang baik pula. Namun, ini akan terjadi bila para
mahasiswa juga mengimbangi. Ada acara, mereka datang. Dan, yang
terpenting adalah mereka mau berlatih dan berlatih. Tanpa itu, kerja
keras para dosen bagai bertepuk sebelah tangan. Yang pinter justru
para dosen mereka! Viva mahasiswa. Menulis dan berkaryalah!

97
Maungkai Budaya

TENTANG WANITA, PROSA DAN RATNA

T ampaknya, arti penculikan mulai bergeser atau sengaja


digeserkan maknanya. Kata penculikan menyaran pada makna
negatif (kriminalitas). Menurut Kamus Bahasa Indonesia, kata kerja
dari kata itu adalah menculik, yang berarti mencuri atau melarikan
anak atau orang, lalu disembunyikan atau dimintakan tebusan Sang
penculik melakukan penculikan dengan cara sembunyi-sembunyi
dan didasarkan pada rencana yang matang agar tidak diketahui dan
ditangkap sekelompok orang/pemuda atau polisi. Bila penculik
semacam ini tertangap basah oleh sekelompok orang/pemuda,
maka ia bisa babak belur akibat digebuki oleh mereka. Ya, bila ia
ditangkap (istilah halusnya: diamankan) oleh petugas keamanan, ia
bisa bernapas agak lega; ia tak akan diapa-apai bila tidak bandel.

Ratna diculik?
Dalam proses penyelenggaraan diskusi tentang Wanita, Prosa
dan Ratna, dua penggagasnya, Jarkasi dan Sainul Hermawan,
melakukan aksi penculikan terhadap calon pembicara, Ratna
Indraswari Ibrahim, asal Malang Jawa Timur. Konon, karena
cerpenis-novelis ini juga pelaku penculikan terhadap orang-or-
ang hebat seperti W.S. Rendra dan Eep Syaifullah untuk menjadi
pembicara suatu diskusi, ia hooh saja ketika kedua penggagas diskusi
itu mencoba menculiknya. Ia tak menolak. Sebab, penculikan
model ini bisa mendatangkan manfaat bagi kedua pihak: penculik
dan terculik.
Diskusi itu tak banyak dihadiri oleh peserta. Hal ini, mungkin,
diakibatkan oleh kenyataan bahwa para mahasiswa FKIP Unlam

98
Tentang Wanita, Prosa dan Ratna

sedangkan menjalani liburan semester. Sementara, undangan


disampaikan melalui koran. Nah, bagi mereka yang tak membaca
undangan yang ditempel di pintu masuk ruang dosen kampus I FKIP
Unlam atau undangan via koran (Radar Banjarmasin), tentu saja
mereka tak tahu kalau FKIP Unlam -yang dimotori oleh Jarkasi dan
Sainul Hermawan- menggelar diskusi dengan pembicara seorang
pengarang hebat. Dekan FKIP Unlam, Drs. H. Rustam Effendi,
M.Pd., dalam sambutannya, mengakui bahwa liburan semester
menjadi salah satu penyebab para mahasiswa (berikut para dosen?)
tak bisa hadir dalam diskusi itu. Mungkin, karena Dekan FKIP Unlam
merasa kurang puas terhadap sederhana and minimnya peserta
diskusi, beliau punya niat untuk mengundang Ratna Indraswari
Ibrahim secara khusus di masa mendatang. Semoga, niat itu
kesampaian.

Ratna mampu jadi motivator?


Secara pribadi, saya amat takjub terhadap Ratna. Kalau kita
hanya bertemu ia di jalan, dan duduk di kursi roda, dan didorong
oleh asistennya, kita tak akan menyangka bila ia seorang pengarang
400 lebih cerpen dan novel. Dalam benak saya, ia adalah orang yang
luar biasa. Meski catat fisik bawaan, lumpuh, ia tetap percaya diri.
Tak minder sama sekali. Begitu melihat Ratna, saya kontan teringat
kemenakan saya.
Kondisi fisik kemenakan saya itu punya kemiripan dengan
Ratna. Sebenarnya, secara mental ia normal. Memperhatikan kondisi
fisiknya kurang normal (lumpuh dan tangan kanannya sulit
difungsikan), kedua orang tuanya mengirimnya ke sekolah bagi
penderita cacat mental; ia menolak karena ia merasa dirinya nor-
mal. Sementara, kedua orang tuanya juga enggan megirimnya ke
sekolah bagi anak normal; sebab, mereka khawatir kalau ia
merepotkan pihak sekolah dan mendapatkan olok-olok dari teman-
temannya. Hingga sekarang, ia tidak bersekolah. Andaikan saja,
saya tahu Ratna sejak ia masih anak-anak, saya akan ikut
membesarkan hatinya, agar ia mau bersekolah dan memotivasi kedua
orang tuanya agar selalu sabar, telaten, dan pantang menyerah.
Sementara, Ratna mendapatkan perhatian yang luar biasa dari
kedua orang tuanya. Dengan kondisi fisik seperti itu, ia sempat kuliah

99
Maungkai Budaya

di Fakultas Ilmu Admistrasi Universitas Brawijaya Malang meski


tak lulus. Perhatian dari kedua orangnya, saya kira, bukan hanya
pemenuhan kebutuhan Ratna sebagai makhluk biologis, melainkan
pemenuhan terhadap segala kebubuhan sebagaimana dituntut oleh
manusia normal. Singkatnya, proses pendidikan dan pembelajaran
yang dilalui Ratna mengantarkannya ke Ratna seperti yang kita
ketahui: Ratna yang tak didukung kemampuan fisik dalam dunia
tulis-menulis; namun, ia mampu membaca banyak fenomena
kehidupan dan lalu dituangkan dalam lebih dari 400 karya (cerpen
dan novel)-nya.
Dalam pengalaman kepengarangannya, Ratna mengaku
pernah jatuh bangun. Ia tak begitu saja menjadi penulis terkenal
di negeri ini. Baginya, karya tulisnya ditolak media cetak itu biasa.
Ia tak patah semangat, kendati seperti yang ia akui- dari 10 karya
yang ia tulis, semuanya dikembalikan.
Kalau menyimak tuturan Ratna tentang pengalaman dalam
kepengarangannya, ia bisa kita jadikan motivator untuk
memunculkan kreativitas kita dan anak-anak kita dalam dunia tulis
menulis. Pesan Ratna, kalaupun tidak menulis/mengarang cerpen
atau novel, setidak-tidaknya kita menulis sesuatu dalam buku harian
dan syukur menulis artikel. Menurut Ratna, meski baik, menonton
televisi, khususnya sinetron, dan membaca itu bagaikan hanya
menelan sesuatu. Hendaknya, kita tidak berhenti di situ saja,
namun, cobalah untuk menulis.

Ratna, Wanita, dan Penindasan


Orang atau kelompok bisa melakukan penindasan manakala
ia atau mereka dominan. Dominasi yang melekat pada dirinya atau
diri mereka bisa berimplikasi negatif bila ia atau mereka melakukan
penindasan, penekanan, perampasan hak atau sejenisnya terhadap
pihak yang lemah atau minor.
Bila wanita diposisikan sebagai konco wingking (baca: teman
tak setara) yang hanya memainkan peran masak, macak dan manak
(memasak, berdandan dan melahirkan) dan memiliki posisi (sosial)
suargo nunut neroko katut (baca: laki-laki/suami nyaman, wanita/
istri ikut nyaman), maka penindasan terhadapnya mungkin saja
mudah terjadi. Dalam kaitan ini, Ratna memandang penindasan

100
Tentang Wanita, Prosa dan Ratna

dari sisi lain. Penindasan (oppression) bisa terjadi di mana-mana, dan


dilakukan oleh siapa saja. Sebagaimana yang saya tangkap dari
penuturan Ratna, sang penindas tentu merasa dirinya lebih kuat
ketimbang yang ditindas. Wanita bisa saja menindas suaminya.
Hendanya, penindasan itu tidak dilihat dari segi siapa pelakunya.
Saya kira Ratna benar. Bila wanita memiliki dominasi, ia
mungkin saja akan menindas laki-laki yang note bene suaminya
sendiri. Bukankah fenomena STI (suami takut istri) menyiratkan
bahwa sang istri menempatkan dirinya pada posisi dominan atas
suaminya, dan lalu menindasnya? Let us stop oppressing one to an-
other! Bagaimana menurut Anda?

101
Maungkai Budaya

KARYA SASTRA MENURUT TEORI


ABRAMS

D alam bukunya yang berjudul The Mirror and The Lamp (l971),
Abrams mengetengahkan teori Universe-nya. Melalui teori Universe
itu, kita mengetahui bahwa: pertama, ada suatu karya sastra (karya
seni); kedua, ada pencipta (pengarang) karya sastra; ketiga, ada
semesta (alam) yang mendasari lahirnya karya sastra; dan keempat,
ada penikmat karya sastra (pembaca). Berkenaan dengan
teori Universe itu, dia mengatakan:

Four elements in the total situation of a work of art are dis-


criminated and made salient, by one or another synonym, in almost
all theories which aim to be comprehensive. First, there is the work,
the artist product itself. And since this is a human product, an arti-
fact, the second common element is the artificer, the artist. Third,
the work is taken to have a subject which, directly or deviously, is
derived from existing things-to be about, or signify, or reflect some-
thing which either is, or bears some relation to, an objective state of
affairs. This third element, whether held to consist of people and
actions, ideas and feelings, material things and events, or super-
sensible essences, has frequently been denoted by that word-all-work,
nature; but let us use the more neutral and comprehensive term,
universe, instead. For the final element we have the audience: the
listeners, spectators, or readers to whom the work of art is ad-
dressed (Abrams, l971: 6).

Berdasar teori itu, karya sastra dapat dipandang dari empat


sudut pandang: (a) ekspresif, (b) mimetik, (c) pragmatis dan (d)
obyektif. Cara pandang terhadap karya sastra semacam itu, lebih
lanjut, dijelaskan oleh Leary Lewis bahwa dalam memahami atau

102
Karya Sastra Menurut Teori Abrams

menelaah karya sastra bisa difokuskan pada: (a) pengarang bila


pendekatan yang digunakan adalah pendekatan ekspresif, (b)
hubungan antara karya sastra dan universe yang melatarbelakangi
lahirnya karya sastra itu bila pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan mimetik, (c) efek karya sastra terhadap pembaca bila
pendekatan yang digunakan adalah pendekatan pragmatis, dan (d)
karya sastra sebagai karya yang otonom, sebagai artifak yang bisa
dikenali ciri-ciri strukturnya bila pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan obyektif (Lewis, 1976: 46). Empat sudut pandang itu
dapat dijelaskan sebagai berikut.

Sudut Pandang Ekspresif


Secara ekspresif karya sastra (seni) merupakan hasil
pengungkapan sang pencipta seni (artist) tentang pengalaman,
pikiran, perasaan, dan sejenisnya.Dengan demikian, menurut Lewis,
karya sastra bisa didekati dengan pendekatan ekspresif, yakni
pendekatan yang berfokus pada diri penulis (pengarang),
imajinasinya, pandangannya, atau kespontanitasnya (1976: 46).
Dengan perkatan lain, dilihat dari sisi pengarang, karya sastra
(seni) merupakan karya kreatif, imaginatif (rekaan) dan dimaksudkan
untuk menghadirkan keindahan. Dalam kaitan ini, Esten menyatakan
bahwa ada dua hal yang harus dimiliki oleh seorang pengarang, yakni:
daya kreatif dan daya imajinatif. Daya kreatif adalah daya untuk
menciptakan hal-hal yang baru dan asli. Manusia penuh dengan seribu
satu kemungkinan tentang dirinya. Untuk itu, seorang pengarang
berusaha untuk memperlihatkan kemungkinan tersebut, memperli-
hatkan masalah-masalah manusia yang substil (halus) dan bervariasi
dalam karya-karya sastranya. Sedangkan daya imajinatif adalah
kemampuan pengarang untuk membayangkan, mengkhayalkan, dan
menggambarkan sesuatu atau peristiwa-peristiwa. Seorang pengarang
yang memiliki daya imajinatif yang tinggi bila dia mampu
memperlihatkan dan menggambarkan kemungkinan-kemungkinan
kehidupan, masalah-masalah, dan pilihan-pilihan dari alternatif yang
mungkin dihadapi manusia. Kedua daya itu akan menentukan berhasil
tidaknya suatu karya sastra (1978: 9).
Dalam kaitan dengan proses penciptaan karya sastra, seorang
pengarang berhadapan dengan suatu kenyataan yang ada dalam

103
Maungkai Budaya

masyarakat (realitas obyektif). Realitas obyektif bisa berbentuk peristiwa-


peristiwa, norma-norma (tata nilai), pandangan hidup dan bentuk-
bentuk realitas obyektif yang ada dalam masyarakat. Bila seseorang
pengarang merasa tidak puas dengan realitas obyektif itu, mungkin
saja dia lalu merasa gelisah. Berangkat dari kegelisahan itu, mungkin
saja, dia, dengan caranya sendiri (misalnya, lewat kegiatan
kepengarangan) memprotes, memberontak, mendobrak realitas obyektif
yang, menurutnya, tidak memuaskan atau penuh dengan ketidakadilan.
Setelah ada suatu sikap, maka dia mencoba untuk mengangankan suatu
realitas baru sebagai pengganti realitas obyektif yang sementara ini
dia tolak. Hal inilah yang kemudian dia ungkapkan melalui karya sastra
yang dia ciptakan. Dia mencoba untuk mengutarakan sesuatu terhadap
realitas obyektif yang dia temukan. Dia ingin berpesan kepada pihak-
pihak lain tentang sesuatu yang dianggap sebagai masalah atau
persoalan manusia (Esten, 1978: 9-10).
Karena karya sastra (seni) dituntut untuk memberikan hiburan
(entertainment), maka keindahan, kesegaran, kemenarikan dan
sejenisnya harus menyertai karya sastra (seni) itu. Karena sifatnya
yang kreatif-imaginatif, karya sastra (seni) menyaran pada dunia
rekaan sang penciptanya. Karya sastra, novel, misalnya,
menyuguhkan cerita. Tokoh-tokoh berikut perilaku yang menyertai
dan segala aspek pendukung cerita itu merupakan hasil kreasi dari
penciptanya. Sebagai karya seni, karya sastra dicipta dengan
menonjolkan aspek seninya (aspek estetis) dalam upaya untuk
memberikan hiburan (entertainment) bagi penikmatnya.
Pandangan tersebut, memang, sejalan dengan doktrin seni yang
pernah berkembang di Eropa, terutama di Perancis, pada akhir abad
19, yakni: lart pour lart yang dalam bahasa Inggrisnya art for
arts sake yang berarti seni untuk seni. Para seniman Perancis,
pada waktu itu, mengukuhkan pandangan bahwa karya seni
menyuguhkan nilai (seni) yang agung ketimbang karya-karya
manusia lainnya dan harus dipandang sebagai dirinya sendiri
sebab ia mampu berdiri sendiri (self-sufficient) ; ia tidak
menghadirkan manfaat atau mengajarkan moral. Tujuan akhir dari
karya seni adalah hanya menyuguhkan keindahan, yang pada
gilirannya dapat memberikan hiburan kepada penikmatnya
(Abrams, l998).

104
Karya Sastra Menurut Teori Abrams

Sudut Pandang Mimetik


Secara mimetik dalam proses penciptaan karya sastra (seni),
sastrawan/seniman tentu saja telah melakukan pengamatan yang
seksama terhadap kehidupan manusia dalam dunia nyata dan lalu
membuat perenungan terhadap kehidupan itu sebelum menuang-
kan dalam karya sastra (seni)-nya. Dengan demikian karya sastra
pada hakikatnya adalah tanggapan seseorang (pengarang) terhadap
situasi di sekelilingnya.
Pandangan semacam ini berangkat dari pemikiran bahwa karya
sastra merupakan refleksi kehidupan nyata. Refleksi ini terwujud
karena adanya peniruan dan dipadukan dengan imajinasi pengarang
terhadap realitas alam atau kehidupan manusia.
Berbicara mengenai pandangan mimetik terhadap karya sastra
itu, pada dasarnya tidak dilepaskan dari pemikiran Plato. Dalam
hubungan ini, Plato, dalam dialognya dengan Socrates, mengemu-
kakan bahwa semua karya seni (termasuk karya sastra) merupakan
tiruan (imitation). Tiruan merupakan istilah relasional, yang
menyaran adanya dua hal, yakni: yang dapat ditiru (the imitable) dan
tiruannya (the imitation) dan sejumlah hubungan antara keduanya.
Hubungan dua hal tadi terlihat dalam tiga kategori: (a) adanya ide-
ide abadi dan ide-ide yang tidak bisa berubah (the eternal and unchang-
ing Ideas), (b) adanya refleksi dari ide abadi dalam wujud dunia rekaan
baik natural maupun artifisial, dan (c) adanya refleksi dari kategori
kedua sebagaimana terlihat adanya suatu bayangan dalam air dan
cermin dan karya-karya seni (Abrams, l971: 8).

Sudut Pandang Pragmatis


Pandangan terhadap karya sastra (seni) secara pragmatis ini
menggeser doktrin seni (hanya) untuk seni sebagaimana terurai di
atas. Dalam kaitan ini, Horace, misalnya, mengetengahkan tesis dan
kontratesisnya terhadap karya seni. Menurut Horace, bahwa seni
harus dulce et utile atau menghibur dan bermanfaat (Wellek & Warren,
l977). Karya seni yang menghibur dan bermanfaat harus dilihat secara
simultan, tidak secara terpisah antara satu dengan yang lainnya.
Artinya, bagi seniman, dalam proses penciptaan karya seni antara
aspek hiburan dan kebermanfaatan harus dipertimbangkan; dia
hendaknya tidak menonjolkan aspek hiburan ketimbang aspek

105
Maungkai Budaya

kebermanfaatan, sehingga terjadi keseimbangan antara segi menghibur


dan bermanfaat pada karya seni yang diciptanya.
Secara pragmatis selain sebagai sarana hiburan, pesan-pesan
moral yang dihadirkan oleh karya seni bisa dimanfaatkan oleh para
penikmatnya sebagai bahan perenungan. Kalau sastra (seni),
misalnya novel, dianggap sebagai model kehidupan manusia,
betatapun khayalnya, kita bisa melihat model-model atau pola-pola
kehidupan yang baik-buruk, santun-kasar, bermoral-amoral,
menyegarkan-menyebalkan atau sejenisnya (misalnya, dalam
persahabatan, hubungan antar anak-anak, hubungan anak terhadap
orang tua atau sebaliknya, hubungan murid terhadap guru atau
sebaliknya, dan sebagainya). Model-model kehidupan dalam
kategori baik bisa diadopsi dan dikembangkan dalam kita hidup
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; sebaliknya, hal-hal yang
tidak baik tentu harus kita tinggalkan.
Sebagai model kehidupan, novel hampir selalu menawarkan
model kehidupan yang baik dikonfrontasikan dengan yang jelek,
jahat. Walaupun, pada awalnya tokoh yang baik banyak
menghadapi tantangan, masalah, dan sejenisnya dari tokoh yang
jahat; pada akhirnya yang baik menang, berjaya, dan berbahagia,
sedangkan yang jahat kalah, tersingkir dan lalu menderita. Aspek
pragmatis (kebermanfaatan) yang dapat dipetik dari karya seni
tersebut adalah antara lain: (a) perbuatan yang baik lambat laun
akan membuahkan hasil yang baik pula, (b) perbuatan yang tidak
baik (sewenang-wenang, korupsi, manipulasi, hanya mementingkan
kepentingan pribadi padahal yang bersangkutan seharusnya
memikirkan kepentingan rakyat banyak, serakah, memakan yang
bukan haknya, dan sejenisnya) akan berbuah ketidakbaikan,
ketidaknyamanan, kegelisahan, stress, penyakit (terkena bala), dan
hal-hal yang tidak nyaman lainnya; (c) perbuatan yang baik akan
mengalahkan perbuatan yang jahat.

Sudut Pandang Obyektif


Pandangan terhadap karya sastra secara obyektif menyatakan
bahwa karya sastra (seni) merupakan dunia yang otonom, yang dapat
dilepaskan dari pencipta dan lingkungan sosial-budaya zamannya.
Dalam hal ini, karya sastra dapat diamati berdasarkan strukturnya.

106

SASTRA DALAM PANDANGAN


INTERDISIPLINER

ika dikatakan bahwa karya sastra merupakan fenomena


kehidupan manusia, yang secara garis besar menyangkut: (a)
persoalan manusia dengan dirinya sendiri, (b) hubungan manusia
dengan manusia lain dalam lingkup sosial termasuk dalam
hubungannya dengan lingkungan alam, dan (c) hubungan manusia
dengan Tuhannya (Nurgiyantoro, l998:323), maka banyak sisi
kehidupan manusia yang (dapat) dicakup oleh karya sastra,
misalnya, kesedihan, kegelisahan, kekecewaan, kemarahan,
keheranan, protes, dan pikiran atau opini. dan lingkungan, tatanan
sosial, tatanan politik dan sejenisnya. Dengan demikian, karya sastra
identik (walau tidak persis sama) dengan berita di koran, laporan
penelitian antropologi, sosiologi, psikologi dan sejarah. Sebab, karya
sastra dan karya non sastra tersebut berbicara tentang manusia,
kehidupan manusia, peristiwa-peristiwa yang berhubungan
dengannya, tempat dan waktunya. Hal yang membedakan adalah
cara menyatakannya dan asumsi pembaca terhadap jenis tulisan
tersebut.
Cara menyatakan petani melarat dalam bahasa karya sastra
akan berbeda dengan cara yang digunakan dalam bahasa
antropologi, sosiologi, psikologi dan berita di koran, meskipun fakta
yang ditulis sama. Demikian pula, asumsi pembaca terhadap teks
sastra dan teks non sastra tampak berbeda. Secara umum orang
beranggapan bahwa karya sastra itu selalu imaginer, fiktif atau
khayal belaka; dan bahwa laporan penelitian antropologi, sosiologi,
psikologi, sejarah dan berita di koran selalu nyata dan benar adanya.

107
Maungkai Budaya

Benarkah bahwa seorang sastrawan menulis karyanya tidak


berdasar pada fakta di zamannya sehingga tulisannya bersifat fiktif
belaka? Sebaliknya, apakah seorang sejarawan, sosiolog, antropolog,
atau reporter menulis fakta di lapangan secara benar-benar obyektif,
independen, tanpa dipengaruhi subyektifitas, kepentingandan
ideologi? Atau, barangkali orang akan mengatakan bahwa ketika
karya sastra dan karya non sastra telah menjadi karya teks bisa saja
mengandung unsur subyektif bila dilihat dari sudut pandang yang
berbeda?
Memang, sepengetahuan penulis, orang-orang yang mengata-
kan bahwa karya sastra itu walaupun bersifat imaginer, fiktif,
khayal alias tidak nyata- mengetengahkan fakta tentang kehidupan
manusia dan sejumlah sisi yang menyertainya, adalah mereka yang
menggeluti atau berkecimpung dalam dunia sastra. Sementara
masyarakat secara umum dan kalangan akademisi tertentu
menganggap bahwa karya sastra adalah benar-benar imaginer, fiktif,
atau dunia rekaan pengarang yang kurang, atau bahkan tidak,
berhubungan dengan dengan sejarah, sosiologi, psikologi, studi
pembangunan, politik, moral, agama dan sebagainya.
Dengan cara pandang interdisipliner kita akan dapat melihat
bahwa disiplin-disiplin tertentu tidak lebih unggul atau lebih favorit
daripada yang lain. Sebab, setiap disiplin memiliki kekurangan dan
kelebihan dalam melihat fenomena kehidupan manusia; setiap
disiplin memiliki obyek dan permasalahan yang diselesaikan dengan
caranya yang khas dan tidak dapat diselesaikan oleh oleh disiplin
lain. Cara Pandang interdisipliner dapat digunakan untuk
menyelesaikan persoalan yang memiliki banyak sisi. Atau dengan
perkataan lain, cara pandang interdisipliner dalam kasus-kasus
tertentu sangat diperlukan, karena penjelasan yang menyeluruh
terhadap satu hal atau fenomena dapat diperoleh.
Karya sastra, novel misalnya, dapat dipandang sebagai potret
kehidupan manusia. Di dalamnya, sang pengarang mengetengahkan
model kehidupan para tokoh dan kondisi sosial yang antara lain
mencakup struktur sosial, hubungan sosial, pertentangan sosial,
hubungan kekeluargaan, dominasi kelompok yang kuat terhadap
yang lemah, dan sisi-sisi kehidupan sosial lainnya, seperti layaknya
kehidupan nyata. Dengan demikian, menghayati dan memahami
108
Sastra dalam Pandangan Interdisipliner

karya sastra sama halnya menghayati dan memahami manusia dan


kehidupannya dalam segala segi, yang pada hakikatnya masing-
masing segi tersebut dapat dipelajari oleh disiplin-disiplin ilmu yang
bergayut dengan manusia (ilmu-ilmu humaniora/sosial) lain.
Bila studi sastra secara interdisipliner bisa memanfaatkan
disiplin-disiplin ilmu humaniora/sosial yang lain, maka pada
gilirannya studi sejarah, sosiologi, antropologi, psikologi misalnya)
bisa memanfaatkan karya sastra sebagai salah satu sumber datanya.
Dalam kaitan ini, menurut Selden (l989), karya sastra pun dapat
dianggap sebagai data sejarah, antropologi, psikologi, dan disiplin-
disiplin ilmu humaniora/sosial yang lain.
Memahami karya sastra dengan cara pandang interdisipliner
memungkinkan kita untuk mengerahui banyak fenomena yang
terjadi dalam kehidupan manusia sebagaimana tercermin dalam
karya sastra. Kita ambil contoh sebuah novel Di Kaki Bukit Cibalak
karya Ahmad Tohari. Dalam novel itu pengarang menggambarkan
pola hubungan seorang Kepala Desa dan rakyatnya.
Secara politis kepala desa adalah pemimpin desa yang dipilih
langsung oleh rakyat. Dalam proses pemilihan kepala desa, masing-
masing calon berkompetisi untuk bisa memenangkan pemilihan itu.
Artinya, jabatan kepala desa itu diraih secara politis. Cara meraih
jabatan itu secara politis bisa bersifat baik dan bisa pula bersifat tidak
baik atau curang. Cara yang baik bisa berupa penyampaian pro-
gram yang akan dilaksanakan bila yang bersangkutan terpilih; cara
ini menyaran pada upaya menarik simpati (tanpa diikuti pemberian
uang atau menggunakan politik uang, misalnya, para calon
pemilihnya. Namun tak jarang banyak dugaan bahwa dalam
kompetisi itu para calon itu menggunakan cara-cara yang tak terpuji,
misalnya: money politics atau siasat-siasat tak terpuji lainnya.
Calon yang menang dan kemudian dikukuhkan menjadi kepala
desa, pada umumnya, akan berhadapan pihak yang kalah berikut
dengan para pendukung setianya. Kepala desa terpilih dengan cara
yang simpatik, jujur atau sejenisnya biasanya melakukan rekonsiliasi
dengan cara yang simpatik untuk tidak melukai bekas saingannya,
tanpa memandang pihak yang kalah sebagai lawan secara terus
menerus. Dengan perkataan lain, kepala desa terpilih mungkin saja
mendapatkan banyak persoalan bilamana dia gagal melakukan
109
Maungkai Budaya

rekonsiliasi dengan pihak calon yang kalah berikut dengan sejumlah


pendukungnya. Terlebih sulit lagi bagi kepala desa itu bilamana pihak
yang kalah dan pendukungnya dipandang sebagai lawan politiknya.
Seperti tercermin dalam novel Di Kaki Bukit Cibalak tersebut
kepala desa yang terpilih diduga oleh sementara pihak pada saat
pemilihan bahwa dia telah melakukan berbagai kecurangan. Dia
tidak melakukan rekonsiliasi dengan pihak-pihak yang kalah.
Sebaliknya dia malah berusaha menyingkirkan setiap orang yang
dengan sengaja mengungkap kecurangan-kecurangan yang dia
lakukan pada saat pemilihan. Adalah Pambudi, tokoh protagonis,
yang berusaha untuk menegakkan keadilan di desanya terdepak
oleh kepala desanya. Dia terpaksa meninggalkan desanya,
keluarganya, kekasihnya akibat tekanan yang teramat kuat dari
kepala desanya. Namun, upaya Pambudi untuk melengserkan kepala
desanya yang zalim (sewenang-wenang, korup, suka kawin secara
paksa, berlaku asal bapak senang (ABS) terhadap atasannya dan
sejenisnya) dari jabatannya, tak kunjung padam bahkan meningkat
intensitasnya. Dia dengan gencarnya menggoyang kepala desanya
melalui artikel-artikelnya di Koran Kalawarta.
Melihat novel Di Kaki Bukit Cibalak itu diterbitkan pertama kali
pada tahun 1994, maka bisa kita katakana bahwa situasi politik pada
waktu itu atau bahkan sebelumnya masih kental dengan nuansa
politik orde baru di mana seorang pemimpin, katakan kepala desa/
lurah, memiliki dominasi yang sangat kuat terhadap rakyatnya.
Kehadiran novel itu, menurut teori novel sosial/ novel protes,
dimaksudkan untuk mengkritisi pemegang dominasi kekuasaan
pada waktu itu. Jika dilihat dengan pendekatan mikro-makro
terhadap karya sastra, maka seorang kepala desa seperti tercermin
dalam novel itu sebenarnya merupakan representasi dari banyak
kepala desa atau pemimpin politis lainnya dan seorang Pambudi
seperti tercermin juga dalam novel itu merupakan representasi dari
sekian orang yang berani mengkritisi pemimpin politis. Tampaknya,
belum banyak orang yang berani mengkritisi kepala desa atau
pemimpin politis lainnya pada waktu itu. Kalau boleh saya
mengatakan, pada waktu itu, hanya ada tiga orang saja yang berani
melawan pemimpin politis, satu di antaranya, Ahmad Pambudi
Tohari.

110
Sastra dalam Pandangan Interdisipliner

Suatu pandangan lain adalah menyangkut masalah status dan


peranan. Secara sosiologis seseorang yang dalam keseharian sebagai
warga biasa menjadi pejabat berarti yang bersangkutan naik
statusnya. Status yang demikian disebut achieved status, bukan as-
cribed status. Istrinya pun dengan serta merta menyandang status
baru. Status seseorang sebagai kepala desa dan memerankan
peranannya sebagai akibat dari statusnya itu merupakan tindakan
yang wajar dan memang seharusnya demikian. Namun, akan
menimbulkan interpretasi lain bila peranan istri pemimpin desa itu
seperti layaknya seorang kepala desa; wanita yang memainkan
peranan yang demikian itu melebibi status yang disandangnya,
yakni hanya sebagai istri seorang pemimpin desa.. Sebagaimana
tercermin dalam novel Di Kaki Bukit Cibalak itu, bahwa peranan istri
kepala desa dan istri camat tampak dominan bahkan lebih dominan
ketimbang suami-suami mereka. Kalau boleh saya katakana bahwa
di desa/ kecamatan itu terdapat dua kepala desa dan dua camat,
yang satu formal dan yang satunya lagi informal. Namun justru
yang informal lebih mengepala desa daripada kepala desa dan lebih
mencamat daripada camat.
Sebenarnya, penggambaran peranan istri kepala desa/camat
oleh Ahmad Tohari dapat dipahami sebagai kritik terhadap
banyaknya campur tangan istri kepala desa/ camat dalam hal-hal
di luar kewenangan mereka. Dalam hubungan dinas kepemerintah-
an, tentu ada batas-batas yang memisahkan wewenang kepala desa/
camat dengan wewenang istri kepala desa/ camat. Sebagai missal,
istri kepala desa/ camat tidak selayaknya memberikan komando
atau instruksi yang sebenarnya menjadi kewenangan. Namun,
seperti tercermin dalam novel itu bahwa istri kepala desa lebih
dominan daripada suaminya; dia dengan semaunya sendiri
memberikan perintah kepada bawahan kepala desa, dan bahkan
lebih dari itu, dalam urusan kepemerintahan, dia berani mengatur
suaminya. Pada era sekarang, masihkah peranan wanita istri pejabat
(yang sebagai ketua Tim Penggerak PKK) seperti peranan wanita
istri kepala desa/camat dalam novelnya Ahmad Tohari?
Dari pandangan moralitas, bahwa secara moral suatu jabatan
harus dipersembahkan kepada kepentingan publik, rakyat banyak.
Yang bersangkutan hendaknya tidak mementingkan kepentingan

111
Maungkai Budaya

pribadi atau kelompoknya, tetapi dia hendaknya berdiri di atas


kepentingan rakyat tanpa pandang bulu. Jabatan kepala desa, misal-
nya, hendaknya dimanfaatkan untuk memberikan pengayoman
terhadap seluruh rakyat di wilayah desanya. Sebagai orang yang
memiliki dominasi kekuasaan, kepala hendaknya tidak memanfaat-
kan kekuasaannya untuk menindas, menekan, mempersulit
rakyatnya. Seperti tercermin dalam novel Di Kaki Bukit Cibalak,
seorang kepala desa memanfaatkan dominasinya untuk menggilas
lawan-lawan politiknya, menekan yang lemah, memperlakukan
secara berbeda atau tidak adil terhadap yang pro dan yang kontra
dengannya.
Suatu pandangan lain berasal dari ajaran agama. Dari ajaran
agama (Islam khususnya) yang, antara lain, mengajarkan kepada
manusia untuk amar maruf dan nahi munkar. Ahmad Tohari,
pengarang novel Di Kaki Bukit Cibalak, yang terlahir dari keluarga
muslim taat dan dibesarkan di lingkungan pesantren, atas dasar
teori pendekatan sastra secara ekspresif, dapat dikatakan bahwa
dia merasa gelisah atas perilaku para pemimpin di negeri ini dan
kemudian mengungkapkan kegelisahannya itu dalam bentuk karya
sastra. Dalam kaitan ini, kalau boleh saya katakana bahwa pada
hakikatnya dia ber-amar maruf dan nahi munkar; dia mengajak para
pembaca sekalian untuk melakukan kebaikan dan mencegah
perbuatan melanggar larangan Tuhan (dosa)
Ilustrasi lain tentang penerapan pendekatan interdisipliner
untuk memahami novel karya Richard Wright yang berjudul Native
Son. Dalam novel ini pengarang mengetengahkan model/pola
hubungan antara orang-orang Amerika kulit putih dan kulit hitam.
Menurut hemat penulis, pengarang novel ini tampak netral dalam
pola hubungan itu. Pada satu sisi, walaupun dia berkulit hitam, dia
mengkritisi sesama orang kulit hitam yang malas, munafik, tak
berdaya dan tergantung pada orang kulit putih; pada sisi lain, dia
mengecam keras orang-orang kulit putih yang menekan, menzalimi,
sewenang-wenang dan sejenisnya terhadap orang-orang kulit hitam.
Dalam pola hubungan itu terjadi dominasi orang kulit putih diikuti
oleh efek-efek negatif bagi kaum kulit hitam.
Dari perspektif sejarah, misalnya, sebagian besar orang-orang
Amerika kulit hitam adalah bekas budak, sehingga ketika mereka
112
Sastra dalam Pandangan Interdisipliner

menjadi orang-orang bebas (freedmen), mereka dipandang sebagai


bermartabat rendah (inferior) dan tidak layak untuk diposisikan
sederajat dengan orang-orang kulit putih. Sehingga, dalam perspektif
sosiologi (sistem kelas sosial) orang-orang kulit putih memandang
diri mereka sebagai superior dan orang-orang kulit hitam sebagai
inferior dan diperlakukan secara tidak adil. Orang-orang kulit hitam
diposisikan dalam warga negara kelas dua (second-class citizens).
Dalam perspektif politik, kita dapat melihat adanya ketidaksamaan
hak politik antara kulit putih dan kulit hitam. Menurut aturan dasar
sebagaimana tersurat dalam Declaration of Independence, bahwa all
men are created equal. Namun, dalam sejarah politik Amerika tampak
terjadi pengingkaran terhadap salah satu doktrin dalam deklarasi
itu. Dalam perspektif psikologi, kita dapat melihat adanya perasaan
rendah diri, tak percaya diri, takut, dan sejenisnya pada orang kulit
hitam, yakni sebagai akibat penindasan mental yang dilakukan oleh
orang kulit putih terhadap mereka, secara turun temurun mulai
masa perbudakan hingga saat ditulisnya novel tersebut. Dari
perspektif ekonomi (dunia usaha), kita dapat melihat pola hubungan
usaha yang tidak imbang antara orang kulit hitam dan kulit putih,
di mana, antara lain, kesempatan usaha pada orang kulit hitam
sangat dibatasi oleh orang kulit putih.

113
Maungkai Budaya

MANFAAT KARYA SASTRA DALAM


PENGAJARAN BAHASA

P enggunaan bahasa dalam sastra sebagai besar tergantung pada


perpaduan antara aspek individual dan sosial dari pengarang- nya.
Penciptaan karya sastra oleh pengarang dimaksudkan untuk
menimbulkan respons tertentu pada pendengar atau pembacanya.
Untuk itu, dalam penciptaan karya sastra, pengarang memilih
bentuk-bentuk yang menurut pertimbangannya akan dapat
membangkitkan reaksi atau respons dari pendengar atau
pembcanya. Reaksi atau respons ini akan muncul bilamana karya
sastra itu dibaca atau didengar (diperdengarkan). Oleh karena itu,
karya sastra harus menarik untuk dibaca, didengar (diperdengarkan)
dan kemudian didiskusikan. Kemenarikan karya sastra
memungkinkan seseorang guru, misalnya, untuk memilihnya sebagai
bahan pengajaran bahasa.
Dalam pengajaran bahasa ada empat keterampilan berbagasa
yang harus dikembangkan, yaitu: menyimak (listening), berbicara
(speaking), membaca (reading), dan menulis (writing). Masuknya
karya sastra dalam (kurikulum) pengajaran bahasa akan membantu
untuk mengembangkan keterampilan membaca, menyimak,
berbicara, dan menulis.

Keterampilan Membaca
Keterampilan membaca yang diperoleh melalui kegiatan
membaca karya sastra akan lebih besar manfaatnya daripada melalui
kegiatan membaca non-karya sastra. Hal ini disebabkan oleh
kenyataan bahwa apa yang tertulis dalam karya sastra merupakan
bentuk, pilihan, dan koleksi yang khusus dari bahasa tertentu, dan
114
Manfaat Karya Sastra dalam Pengajaran Bahasa

bahwa tulisan (karya sastra) itu merupakan tulisan yang kreatif-


imaginatif-simbolis yang tidak hanya mengungkapkan makna
denotatif tetapi juga makna konotatif. Kegiatan membaca karya
sastra tidak dimaksudkan untuk memahami makna denotatif tetapi
pada saat yang sama untuk memahami makna konotatif. Pembaca
karya sastra mencoba untuk memahami apa yang tersurat dan yang
tersirat.
Dalam kaitan itu, Rusyana menjelaskan bahwa bahasa dalam
sastra tidak dipergunakan sebagai alat semata seperti halnya dalam
penggunaan bahasa ilmu yang mengutamakan perhubungan antara
tanda dengan apa yang dimaksud. Bahasa dalam sastra dipergu-
nakan sebagai perwujudan ekspresi pengarangnya. Oleh karena itu,
disamping denotasi kata, dalam karya sastra itu bunyi kata, konotasi
kata, irama, dan unsure lainnya mendapat perhatian. Unsur-unsur
itu yang dalam penggunaan lainnya kurang diindahkan, dalam
sastra justru diutamakan (l984:301).

Keterampilan Menyimak
Keterampilan menyimak dapat dibangun melalui kegiatan
menyimak suatu karya sastra, apakah berupa puisi, cerita fiksi (cerita
pendek, novel) yang dibacakan secara nyaring atau menyimak hasil
rekamannya.
Dalam kegiatan menyimak, seseorang (siswa) dapat memper-
oleh pengetahuan tentang bagaimana bahasa itu dilisankan. Dengan
perkataan lain, dia akan mendapat pengetahuan tentang pengucap-
an (pronunciation) sesuai dengan system bunyi (sound system) bahasa
yang dipelajari atau bahasa target.
Masalah pengucapan merupakan salah satu masalah dalam
belajar bahasa, khususnya bahasa asing (bahasa Inggris, misalnya).
Masalah pengucapan ini muncul dalam diri pembelajar karena: (1)
sejak masa kanak-kanak dia telah terbiasa memproduksi bunyi-bunyi
dalam bahasa pertamanya; (2) karena kebiasaannya itu, alat-alat
ucapnya sulit digerakkan untuk menghasilkan bunyi-bunyi bahasa
asing; dan (3) adanya perbedaan unsur dalam sistem bunyi antara
bahasa pertama dan bahasa asing.
Melalui kegiatan menyimak, si pembelajar dapat memperbaiki
pengucapan dalam bahasa asingnya melalui proses peniruan

115
Maungkai Budaya

terhadap teks bahasa asing yang dilisankan. Komponen-komponen


bahasa yang bisa dipahami dan ditiru selain pengucapan adalah
intonasi, penekanan (stress), penggunaan kosa kata dan pola-pola
kalimat, yang pada gilirannya akan bermanfaat untuk
mengembangkan kecakapan menulis dan berbicara.

Keterampilan Menulis
Dari kegiatan menyimak sebagaimana diuraikan di atas, kita bisa
mengembangkan keterampilan menulis, yaitu dengan cara meminta
siswa untuk menceritakan kembali atau memberikan ulasan terhadap
pembacaan puisi atau cerita tersebut secara tertulis (Elkins, 1976).
Bila didukung dengan kegiatan membaca karya sastra secara
intensif (intensive reading) dan secara ekstensif (extensive reading),
maka kegiatan menulis tersebut tidak hanya dimaksudkan untuk
sekedar menceritakan kembali atau memberikan ulasan sederhana
saja, namun dikembangkan lagi untuk menghasilkan tulisan-tulisan
yang apresiatif, interpretatif atau evaluatif. Tulisan-tulisan yang
apresiatif, interpretatif, atau evaluatif terhadap karya sastra harus
didukung pula oleh (1) kepekaan emosi atau perasaan terhadap
unsur-unsur artistik yang terdapat dalam karya sastra, (2) pemilikan
pengetahuan dan pengalaman yang berhubungan dengan masalah
kehidupan dan kemanusiaan, (3) pemahaman terhadap aspek
kebahasaan, dan (4) pemahaman terhadap unsur- unsur intrinsik
karya sastra (Elkins, l976 dan Aminuddin, l996). Pendek kata,
keterampilan menulis akan dapat dikembangkan oleh seseorang
dengan (1) membaca karya sastra baik secara intensif maupun
ekstensif, (2) membekali diri dengan pengetahuan dan pengalaman
tentang kehidupan dan kemanusiaan; pengetahuan kebahasaan dan
kesastraan (teori sastra), dan (3) memiliki kepekaan emosi atau
perasaan sehingga dia tidak hanya mampu menghayati dan
memahami keindahan, tetapi juga mampu memahami kendungan
makna dalam karya sastra yang umumnya bersifat konotatif.

Keterampilan Berbicara
Keterampilan berbicara termasuk keterampilam berbahasa yang
bersifat produktif-ekspresif. Ia mencakup komponen-komponen
bahasa seperti fonologi, strukstur, kosa kata dan menuntut kecepatan
dan kelancaraan. Ia juga banyak didukung oleh keterampilan
116
Manfaat Karya Sastra dalam Pengajaran Bahasa

membaca dan menyimak. Melalui kegiatan membaca, seseorang


akan memperoleh banyak pengetahuan bahasa dan komponen-
komponennya, pengalaman dan pemahaman tentang kehidupan
dan sebagainya. Melalui kegiatan menyimak, dia akan memiliki
pengetahuan tentang bagaimana bahasa itu dilisankan. Dengan
demikian, keterampilan membaca dan menyimak menentukan atau
mempengaruhi kecakapan seseorang dalam berbicara.
Seperti halnya menulis, keterampilan berbicara, sebenarnya,
dapat dibangun melalui kegiatan membaca dan menyimak karya
sastra yang berupa puisi atau cerita fiksi. Seseorang (guru) dapat
meminta siswanya untuk membaca atau menyimak dan kemudian
melaporkan hasil membaca atau menyimaknya secara lisan. Namun,
suatu karya sastra yang lebih cocok untuk membangun keterampilan
berbahasa adalah drama. Karena, di samping terdiri dari dialog
drama juga menghadirkan tiruan dari kehidupan dan aktivitas
manusia. Puisi dan prosa fiksi yang banyak melibatkan narasi lebih
cocok untuk membangun keterampilan membaca, walau tidak
menutup kemungkinan untuk membangun keterampilan-
keterampilan yang lain (menyimak, menulis dan berbicara).
Melalui drama yang di dalamnya terdapat dialog, pembaca atau
pendengar dapat melihat perkembangan karakter-karakternya.
Drama merupakan karya untuk presentasi teatrikal. Dalam
membaca atau membicarakan drama sebagai karya sastra, seseorang
tidak boleh lupa bahwa drama adalah karya teatrikal. Orang harus
membayangkan suatu panggung pementasan dalam pikirannya
ketika membaca drama.
Dalam pengembangan keterampilan berbicara di satu sisi, dan
keterampilan lain di sisi lainnya, maka drama itu harus melibatkan
setidak-tidaknya dua kelompok: kelompok pemain dan kelompok
penonton. Kelompok pertama dapat mengembangkan keterampilan
berbicaranya dan kelompok kedua dapat mengembangkan
keterampilan menyimak ketika drama itu dipentaskan.
Beranjak dari diskusi di atas, penulis dapat menyimpulkan
bahwa karya sastra pada hakikatnya adalah karya yang
dimaksudkan untuk menggambarkan kehidupan, menyampaikan
nilai-nilai kemanusiaan atau moral melalui bahasa; dan bahwa karya

117
Maungkai Budaya

sastra adalah bahasa, yakni bahasa yang mewadai nilai-nilai


kemanusiaan atau moral.
Karya sastra sangat baik untuk digunakan sebagai bahan
pengajaran bahasa. Karena, di samping sarat dengan nilai-nilai
kemanusiaan atau moral bahasa ragam sastra itu terdiri dari dari
bentuk-bentuk yang khas. Karena kekhasannya itu, bahasa dalam
sastra berbeda dengan bahasa sehari-hari dan oleh karena itu
diharapkan penggunaan karya sastra untuk pengajaran bahasa akan
lebih menarik.

118

SEJUMLAH PENDEKATAN DALAM STUDI


SASTRA

D alam studi sastra ada sejumlah pendekatan yang dapat


diterapkan oleh penelaah sastra. Bila kita bertolak dari empat
cara pandang terhadap karya sastra seperti ditawarkan oleh
Abrams, yakni karya sastra dilihat dari: (1) karya sastra itu sendiri,
(2) pengarangnya, (3) semesta, dan (4) pembacanya, maka empat
cara pandang itu menghasilkan empat pendekatan, yakni (1)
pendekatan obyektif, (2) pendekatan ekspresif, (3) pendekatan mi-
mesis, dan (4) pendekatan pragmatis.

Pendekatan Obyektif
Pendekatan obyektif adalah pendekatan yang mendasarkan
pada suatu karya sastra. Dengan pendekatan obyektif ini penelaah
melihat karya sastra sebagai produk manusia atau artifak. Karya
sastra, dalam hal ini, merupakan suatu karya yang otonom, yang
dipisahkan dari hal-hal di luar karya itu sendiri. Dengan demikian
telaah karya sastra dengan pendekatan obyektif beranjak dari aspek-
aspek atau unsur-unsur yang langsung membangun karya sastra.
Signifikansi dan nilai karya sastra dilihat dari unsur-unsur dan
keterhubungan antara unsur-unsur karya sastra. Ilutrasi di atas
diderivasikan dari gagasan Abrams dalam bukunya The Mirror and
The Lamp, yaitu: (the objective approach) will explain the work by con-
sidering it in isolation, as an autonomous whole, whose siginificance and
value are ditermined without any reference beyond itself (Abrams,
1953:7).
Telaah karya sastra dengan pendekatan obyektif sering dikenal
dengan telaah struktural, yang dimaksudkan untuk mendeskripsikan

119
Maungkai Budaya

tema, peristiwa, tokoh, alur, setting, sudut pandangan, diksi yang


terdapat dalam karya sastra.

Pendekatan Ekspresif
Pendekatan ekspresif adalah pendekatan yang mendasarkan
pada pencipta atau pengarang karya sastra. Telaah dengan
pendekatan ekspresif ini menitik beratkan, misalnya, pada the nov-
elist, his imagina-tion, insight, and spontaneity Lebih lanjut, Abrams
menjelaskan: This is based on the ex-pressive theory which considers a
work of art as essentially the internal made external, resulting from a
creative process operating under the impulse of feeling, and embodying
the combined product of the novelists perceptions, thoughts, and feel-
ings. The primary source and subject matter of a novel therefore are the
attributes and actions of the novelists mind (Abrams, 1956:22). (Telaah
ini didasarkan pada teori ekspresif yang memandang suatu karya
seni yang secara esensial sebagai dunia internal (pengarang) yang
terungkap sehingga menjadi dunia eksternal (berupa karya seni);
perwujudannya melalui proses kreatif, dengan titik tolak dorongan
perasaan pengarang; dan hasilnya adalah kombinasi antara persepsi,
pikiran dan perasaan pengarangnya. Sumber utama dan pokok
masalah suatu novel, misalnya, adalah sifat-sifat dan tindakan-
tindakan yang berasal dari pemikiran pengarangnya).
Di sisi lain Rohrberger dan Woods (1971:8) memandang
pendekatan ekspresif ini sebagai pendekatan biografis. Dalam kaitan
ini, mereka menjelaskan: The biographical approach refers to the ne-
cessity for an appreciation of the ideas and personality of the author to an
understanding of the literary object. On the basis of this approach, a work
of art is a reflection of a personality, that in the esthetic experience the
reader shares the authors consciousness, and that at least part of the
readers responsse is to the authors personality. Consequently, we at-
tempt to learn and to apply this knowledge in our attempt to understand
his writing(s). (Pendekatan biografis menyaran pada perlunya suatu
apresiasi terhadap gagasan-gagasan dan kepribadian pengarang
untuk memahami obyek literer. Atas dasar pendekatan ini, karya
seni dipandang sebagai refleksi kepribadian pengarang, yang atas
dasar pengalaman estetis pembaca dapat menangkap kesadaran
pengarangnya; dan yang setidak-tidaknya.sebagian respons pembaca

120
Sejumlah Pendekatan dalam Studi Sastra

mengarah kepada kepribadian pengarangnya. Untuk itu, dengan


pendekatan ekspresif penelaah hendaknya mempelajari pengetahuan
tentang pribadi pengarang guna memahami karya seninya).
Telaah dengan pendekatan ekspresif dimaksudkan untuk
mengetahui sejauh mana keberhasilan pengarang dalam mengung-
kapkan gagasan-gagasan, imajinasi, spontatanitasnya dan
sebagainya.

Pendekatan Mimetik
Pendekatan mimetik adalah pendekatan yang mendasarkan
pada hubungan karya sastra dengan universe (semesta) atau
lingkungan sosial-budaya yang melatarbelakangi lahirnya karya
sastra itu. Perhatian penelaah adalah pada the rela-tionship between
the work of art and the universe that it pretends to produce (hubungan
antara karya seni dan realitas yang melatarbelakangi kemuncul-
annya). Dalam hubungan ini Lewis menjelaskan: This approach
views art as an imita-tion of aspects of the universe, of external and im-
mutable ideas, of eternal and unchanging patterns of sound, sight, move-
ment, or form (pendekatan ini memandang seni sebagai tiruan dari
aspek-aspek realitas, dari gagasan-gagasan eksternal dan abadi, dari
pola-pola bunyi, pandangan, gerakan, atau bentuk yang muncul
secara terus menerus dan tidak pernah berubah) (Lewis, 1976:46).
Serupa dengan Lewis, Rohrberger dan Woods memandang
pendekatan mimetik sebagai pendekatan historis-sosiologis. Katanya:
The sociological-historical approach refers to an approach that locates
the real work in reference to the civilization that produced it. Civilization
here can be defined as the attitudes and actions of a specific group of people
and point out that literature takes these attitudes and actions as its sub-
ject matter (pendekatan sosiologis-historis menyaran kepada
pendekatan yang menempatkan karya yang sebenarnya dalam
hubungannya dengan peradaban yang menghasilkannya. Peradaban
di sini dapat didefisikan sebagai sikap-sikap dan tindakan-tindakan
kelompok masyarakat tertentu dan memperlihatkan bahwa sastra
mewadahi sikap-sikap dan tindakan-tindakan mereka sebagai
persolan pokoknya) ((Rohrberger dan Woods, 1971:9).
Dalam mengimplementasikan pendekatan-pendekatan di atas,
penelaah pertama memahami suatu karya atas dasar teks tertulis; kedua

121
Maungkai Budaya

dia memandang teks tertulis itu sebagai pengungkapan pengalaman,


perasaan, imajinasi, persepsi, sikap dan sebagainya; dan kedua dia
menghubungkannya dengan realitas yang terjadi di masyarakatnya.
Langkah-langkah ini pernah dilakukan Fatchul Muin (2001)
ketika dia menelaah novel Native Son karya Richard Wright dalam
tesisnya yang berjudul Richard Wrights Native Son: A Study of White
Domination and Its Effects on African Americans. Katanya:In implement-
ing those approaches, the writer of this thesis comprehends Richard Wrights
Native Son on the basis of its written text, then regards it as Richard Wrights
experience, feeling, imagination, perceptions, etc. After that the writer re-
lates it (the novel) to the universe or the American life as the background of
the production of the novel. (dalam mengimplementasikan pendekatan-
pendekatan itu, penulis tesis ini memahami Native Son karya Richard
Wright atas dasar teks tertulisnya, kemudia memandangnya sebagai
ungkapan pengarang novel itu tentang pengamalannya, perasaannya,
imajinasinya dan sebagainya. Setelah itu, dia menghubungkan novel
itu dengan realitas atau kehidupan Amerika sebagai latar belakang
penulisan novel itu sendiri).
Dilihat dari sudut pandang penciptaan atau kepengarangan,
dapat dikatakan bahwa karya sastra tidak dapat dilepaskan dari
sang pengarangnya. Dalam kaitan ini, dalam proses kepengarangan,
sang pengarang itu tentu tidak asal mengarang atau menulis karya
sastra; dia tentu terlebih dahulu melakukan observasi dan lalu
melakukan komtemplasi (perenungan) atas peristiwa-peristiwa yang
terjadi di masyarakatnya. Melalui proses observasi dan komtemplasi,
dia melakukan imajinasi dakam rangka untuk menciptakan karya
sastra (berkreasi). Singkat kata, melalui proses-proses itu maka
terwujudlah suatu karya sastra.
Karena karya sastra banyak berkait dengan persoalan-persoalan
kemanusia, maka untuk dapat memahaminya kita perlu
mengkaitkannya dengan bidang-bidang atau disiplin-disiplin sosial/
humaniora lainnya. Pemahaman dengan cara yang demikian
mengacu kepada pemahaman karya sastra secara interdisipliner.

Pendekatan Interdisipliner
Pendekatan interdisipliner dalam studi sastra mengacu kepada
pendekatan yang melibatkan sejumlah disiplin sosial/ humaniora

122
Sejumlah Pendekatan dalam Studi Sastra

lainnya. Pendekatan ini telah banyak dilakukan dalam studi sastra


pada Program American Studies. Pendekatan interdisipliner seperti
yang disarankan oleh McDowel sebagai berikut:
an approach pertinent to American Studies is the interdisciplinary
approach as suggested by McDowel, stating that the course in American Stud-
ies is interdisciplinary in approach and employs the resources of history, phi-
losophy, the social sciences, and literature, art and architecture, music, the
dance, and the motion picture (1948:71-72).

Dalam studi sastra dengan pendekatan interdisipliner, kita


mungkin memanfaatkan kajian sejarah, sosiologi, pendidikan,
politik, ekonomi, dan budaya dalam yang seluas-luasnya.
Pendekatan mikro-makro merupakan salah pendekatan yang
dimanfaatkan dalam studi sastra pada Program American Studies.
Dalam kaitan ini, McDowel mengatakan bahwa: Another approach
used in this study is micro to macro approach by which a study begins
with the microcosm,, a small world to explain the macrocosm, a larger
world (McDowel, 1948:92).
Ketika melakukan telaah sastra untuk tesis S-2, Fatchul Muin
(2001) mengetangahkan: In American Studies Study, a literary work
is regarded as a mental evidence to explain American culture as a
whole; a literary work is regarded as a microcosm which is used to
explain a microcosm. Richard Wrights Native Son is a literary work
portraying a black mans life. Thus, Bigger Thomas as a black man
in the novel is a representative of the black people; whereas the
Dalton family is a representation of the white people (dalam studi
pengkajian Amerika, suatu karya sastra dipandang sebagai bukti
mental (mental evidence) untuk menjelaskan kebudayaan Amerika
secara luas (yang menyangkut keseluruhan hubungan dan akibat
hubungan antara orang-orang kulit putih dan kulit hitam); suatu
karya sastra dipandang sebagai dunia kecil (mikrokosmos) yang
dimanfaatkan untuk menjelaskan dunia besar (makrokosmos). Novel
Native Son karya Richard Wright yang menggambarkan kehidupan
seorang kulit hitam. Jadi, Bigger Thomas sebagai seorang kulit hitam
dalam novel itu merupakan perwujudan dari orang-orang Amerika
kulit hitam; sedangkan keluarga Dalton merupakan perwujudan
orang-orang Amerika kulit putih).

123
Maungkai Budaya

ASPEK MORALITAS KARYA SASTRA

P ada hakikatnya, nilai-nilai moral atau nilai baik-buruk, positif-


negatif, pantas-tak pantas dan sejenisnya adalah bersumber dari
ajaran agama. Prinsip ajaran agama adalah untuk mengatur
kehidupan manusia. Jenis ajaran moral dapat mencakup masalah,
yang boleh dikatakan tak terbatas. Ia dapat mencakup seluruh
persoalan kehidupan, seluruh persoalan yang menyangkut harkat
dan martabat manusia. Secara garis besar persoalan kehidupan
manusia itu dapat dibedakan ke dalam persoalan: (a) persoalan
manusia dengan dirinya sendiri, (b) hubungan manusia dengan
manusia lain dalam lingkup sosial termasuk dalam hubungannya
dengan lingkungan alam, dan (c) hubungan manusia dengan
Tuhannya (Nurgiyantoro, l998:323). (Pembedaan persoalan
kehidupan manusia itu hanya untuk memudahkan pemahaman.
Sebab, persoalan hidup/kehidupan manusia tak bisa lepas dari
persoalan hubungan antar manusia dan hubungan manusia dengan
Tuhan).
Secara umum moral mengacu pada ajaran baik-buruk yang
diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban dan
sebagainya; akhlak, budi pekerti, susila (Kamus Umum Bahasa In-
donesia, l982). Istilah bermoral bagi seseorang yang kita rujuk
berarti bahwa yang bersangkutan memiliki pertimbangan baik dan
buruk, pantas dan tidak pantas, positif dan negatif. Namun demikian,
pengertian baik dan buruk, dan sejenisnya kadang-kadang bersifat
relatif. Artinya, suatu perbuatan, sikap, atau hal yang dipandang
baik oleh orang atau sekelompok orang atau bangsa yang satu, belum

124
Aspek Moralitas Karya Sastra

tentu baik bagi pihak yang lain. Biasanya, pandangan baik dan
buruk itu dipengaruhi oleh pandangan hidup kelompok etnis, suku
atau bangsanya.
Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan
hidup pengarang yang bersangkutan, pandangannya tentang nilai-
nilai kebenaran, dan hal itulah yang ingin disampaikannya kepada
pembaca. Sebuah karya sastra ditulis oleh pengarang, antara lain,
untuk menawarkan model kehidupan yang diidealkannya. Karya
sastra mengandung penerapan moral dalam sikap dan tingkah laku
para tokoh sesuai dengan pandangan tentang moral. Melalui cerita,
sikap dan tingkah laku tokoh-tokoh itulah pembaca diharapkan
dapat mengambil hikmah dari pesan-pesan morean yang
disampaikan atau diamanatkan.
Jika kehidupan seperti tercermin dalam karya sastra dipandang
sebagai model kehidupan manusia, maka model kehidupan itu
dapat diadopsi dan dikembangkan dalam kehidupan sehari-hari dan
yang buruk atau tidak terpuji tentu harus ditinggalkan oleh pembaca
atau penikmat karya sastra. Jika nilai-nilai moral seperti tercermin
dalam karya sastra dipahami, dihayati, dan lalu diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari dalam kita bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara, tidak tertutup kemungkinan kita bisa mengembangkan
sikap mental yang positif, kuat, tangguh dan sejenisnya sehingga
kita mampu bersikap, berpikir, dan berperilaku positif yang tidak
hanya menguntungkan diri kita sendiri tetapi juga menguntungkan
pihak-pihak lainnya.
Kalau novel, bisa juga sinetron, misalnya, dianggap sebagai
model atau pola kehidupan manusia, betapapun khayalnya,
kita bisa melihat model-model atau pola-pola kehidupan yang baik-
buruk, santun-kasar, bermoral-amoral, menyegarkan-menyebalkan
atau sejenisnya (misalnya, dalam persahabatan, hubungan antar
anak-anak, hubungan anak dengan orang tua atau sebaliknya,
hubungan guru dengan murid atau sebaliknya, hubungan dosen
terhadap mahasiswa atau sebaliknya, hubungan pemimpin dengan
anak buahnya atau sebaliknya, dan sebagainya). Model-model atau
pola-pola kehidupan dalam kategori baik bisa diadopsi dan
dikembangkan dalam kita hidup bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara; sebaliknya, hal-hal yang tidak baik tentu harus kita
125
Maungkai Budaya

model/pola kehidupan yang baik dikonfrontasikan dengan yang


jelek, jahat. Walaupun, pada awalnya tokoh yang baik banyak
menghadapi tantangan, masalah, dan sejenisnya dari tokoh yang
jahat; pada akhirnya yang baik menang, berjaya, dan berbahagia,
sedangkan yang jahat kalah, tersingkir dan lalu menderita. Aspek
pragmatis yang dapat dipetik dari karya seni tersebut adalah antara
lain: (a) perbuatan yang baik lambat laun akan membuahkan hasil
yang baik pula, (b) perbuatan yang tidak baik (sewenang-wenang,
korupsi, manipulasi, hanya mementingkan kepentingan pribadi
padahal yang bersangkutan seharusnya memikirkan kepentingan
rakyat banyak, serakah, memakan yang bukan haknya, dan
sejenisnya) akan berbuah ketidakbaikan, ketidaknyamanan,
kegelisahan, stress, penyakit (menderita lumpuh), dan hal-hal yang
tidak nyaman lainnya; (c) perbuatan yang baik akan mengalahkan
perbuatan yang jahat. Naudzubillahi min dzalik.
Sehabis baca novel, terlepas apakah ceritanya yang sangat fiktif,
karakterisasinya terlalu dibuat-buat dan sangat jauh dunia nyata,
saya senantiasa membutiri pesan-pesan moral yang dicobaapungkan
oleh novel itu. Ambil contoh, novel Di Kaki Bukit Cibalak karya
Ahmad Tohari. Penulis novel ini menggarap seorang pemimpin
(kepala desa) yang sewenang-wenang, otoriter, koruptor dan asal
bapak camat senang, serta atribut-atribut buruk lainnya. Melihat
novel Di Kaki Bukit Cibalak itu diterbitkan pertama kali pada tahun
1994, maka bisa kita katakan bahwa situasi politik pada waktu itu
atau bahkan sebelumnya masih kental dengan nuansa politik orde
baru di mana seorang pemimpin, katakan kepala desa/ lurah,
memiliki dominasi yang sangat kuat terhadap rakyatnya.
Kehadiran novel itu, menurut teori novel sosial/ novel protes,
dimaksudkan untuk mengkritisi pemegang dominasi kekuasaan
pada waktu itu. Jika dilihat dengan pendekatan mikro-makro
terhadap karya sastra, maka seorang kepala desa seperti tercermin
dalam novel itu sebenarnya merupakan representasi dari banyak
kepala desa atau pemimpin politis lainnya dan seorang Pambudi
seperti tercermin juga dalam novel itu merupakan representasi dari
sekian orang yang berani mengkritisi pemimpin politis. Sang lurah
yang jahat itu akhirnya jatuh juga. Kejatuhan lurah ini digambarkan
dengan indahnya oleh pengarang mulai dari kejayaannya hingga

126
Aspek Moralitas Karya Sastra

menjadi manusia yang hina dina bagai sampah yang tiada guna,
sebagai akibat yang bersangkutan suka menghalangi atau merampas
hak-hak orang lain.
Novel Uncle Toms Cabin karya Harriet Beecher Stowe
mengisahkan perbudakan di Amerika Serikat. Ketika novel ini ditulis,
di negara itu telah terjadi silang pendapat tentang adanya
perbudakan. Kelompok yang pro dengan perbudakan adalah terdiri
dari orang-orang kulit putih yang umumnya berada di Amerika
belahan selatan, yang memiliki banyak budak atau yang
diuntungkan dengan adanya perbudakan itu; sedangkan kelompok
yang kontra adalah mereka yang berada di Amerika belahan utara
(didukung oleh kelompok kulit hitam). Kelompok yang pertama tetap
ingin mempertahankan perbudakan sedangkan kelompok yang
kedua ingin menghapuskan dengan dasar pemikiran masing-
masing. Lalu, muncullah novel Uncle Toms Cabin yang mengisahkan
betapa kejamnya para penjaga budak, para tuan budak atau pemilik
budak dan betapa menderitanya menderitanya para budak. Novel
ini dikatakan sebagai novel yang memiliki daya provokatif yang luar
biasa, karena tak lama kemudian terjadi perang saudara (civil war)
di Amerika.
Aspek moral yang dapat dipetik adalah agar setiap manusia
yang juga sebagaimana umat Tuhan dimanusiakan sebagaimana
manusia-manusia lain. Kelompok manusia yang satu hendaknya
tidak memperbudak manusia atau kelompok manusia yang lain.
Ini juga mengisyaratkan akan perlunya cinta sesama umat.
Dalam kaitan itu, pembaca dihadapkan pada sikap dan tingkah
laku tokoh-tokoh yang baik dan kurang terpuji. Terhadap sikap dan
perilaku tak terpuji itu bukan berarti bahwa pengarang
menyarankan kepada pembaca untuk bersikap dan berperilaku
demikian. Sikap dan perilaku tak terpuji itu hanyalah sebuah model,
yakni model yang harus dihindari atau ditolak oleh pembaca.

Pembentukan Mentalitas via Karya Sastra


Besar kecilnya peranan dalam masyarakat banyak ditentukan
oleh peranan konsumen sastra dalam masyarakat yang
bersangkutan. Nilai-nilai moral dalam karya sastra akan tidak banyak
artinya jika para anggota masyarakat yang bersangkutan tidak

127
Maungkai Budaya

memiliki kemauan untuk membaca. Langkah awal untuk bisa


membentuk sikap mental yang baik melalui karya sastra adalah
membaca karya sastra itu sendiri. Melalui kegiatan pembacaan
terhadap karya sastra, seseorang bisa mengambil manfaat dari hasil
pembacaan itu, dengan cara membutiri nilai-nilai moral yang baik
dan yang buruk. Nilai-nilai moral yang baik bisa diadopsi dan lalu
dikembangkan dalam kehidupan bermasyarakat; sementara nilai-
nilai moral yang buruk ditinggalkan.
Novel karya Stowe yakni Uncle Toms Cabin seperti disinggung
di atas, dikatakan sebagai peniup perang saudara di negeri Paman
Sam itu. Ini menunjukkan bahwa nilai-nilai moral yang buruk akibat
dari perbudakan bisa ditangkap oleh banyak orang di sana sehingga
secara simultan mereka membenci dan menolak perbudakan.

128

Seni

129
Maungkai Budaya

130
BUKAN HANYA BURUAN CIUM GUE
(Catatan Tambahan untuk Dwi Atmono)

K arya atau kreasi seni, seperti: Dansa Yo Dansa, Goyang Ngebor


Inul dan Goyang Patah Anisa Bahar, dan terakhir film Human
Cium Cue menuai protes dari sejumlah kalangan. Sebenarnya masih
banyak lagi karya-karya seni (baca: sinetron) yang perlu mendapat
perhatian. Saya setuju bila dikatakan bahwa sejumlah sinetron:
Cinta SMU, ABC, Cinta Memang Gila, Inikah Rasanya, dan Kisah
Kasih di Sekolah merupakan sinetron-sinetron yang bermasalah,
bahkan menurut saya, kurang (boleh dikatakan tidak) mengajar-
kan nilai-nilai moral yang kelakdapat dipedomani oleh kita, remaja
kita dan masyarakat kita. Dalam dunia nyata, guru senantiasa
mencegah anak didiknya untuk melakukan perbuatan yang baik
atau bermoral; namun, dalam sejumlah sinetron, guru diberi peran
minor atau sejenis peran asesoris belaka. Ini pelecehan terhadap
profesi guru.
Bahkan, Kisah Sedih di Hari Minggu dan Bawang Merah-
Bawang Putih mengede-pankan ketidakberdayaan kaum lelaki yang
notabene sebagai kepala keluarga. Dalam dua sinetron yang
disebutkan terakhir ini mengarah kepada karakterisasi (penghadiran
karakter) yang berlebihan. Dalam dunia nyata, sifat galak, benci,
kuat-lemah atau sejenisnya memang benar adanya. Namun,-bila
hal-hal itu dihadirkan dengan tokoh dalam cerita secara berlebihan,
maka cerita itu justru tidak memberikan moral teaching yang baik.
Saya menjadi terheran-heran mengapa para produser selalu
saja mcmproduksi sarana hiburan yang dibalut dengan sex appeal
yang berlebihan. Nah, setelah masyarakat ramai-ramai
memprotesnya, mereka tidak serta merta melakukan koreksi diri dan

131
Maungkai Budaya

bahkan mencari pembenaran atas dasar sudut pandangnya sendiri.


Tampaknya, mereka tidak menjadikan keberatan, kritik dan bahkan
protes dari masyarakat sebagai pelajaran berharga untuk
memproduksi sarana hiburan (sinetron/film) yang lebih santun,
bermartabat dan bermoral.

Karya Seni yang Ideal


Memang, karya seni, khususnya sinetron atau film, seperti
halnya novel atau cerita rekaan lainnya, menyuguhkan cerita.
Tokoh-tokoh berikut perilaku yang menyertai dan segala aspek
pendukung cerita itu merupakan hasil kreasi dari penciptanya.
Sebagai karya seni, sinetron diciptakan dengan menonjolkan aspek
seninya (aspek estetis) dalam upaya untuk memberikan hiburan (en-
tertainment) bagi penikmatnya. Hal ini, memang, sejalan dengan
doktrin seni yang pernah berkembang di Eropa, terutama di
Perancis, pada akhir abad 19, yakni: Iart pour lart yang dalam
bahasa Inggrisnya art for arts sake yang berarti seni untuk seni.
Para seniman Perancis, pada waktu itu, mengukuhkan
pandangan bahwa karya seni menyuguhkan nilai (seni) yang agung
ketimbang karya-karya manusia lainnya dan harus dipandang
sebagai dirinya sendiri sebab ia mampu berdiri sendiri (self-
suffi-cient) ; ia tidak menghadirkan manfaat atau mengajarkan
moral. Tujuan akhir dari karya seni adalah hanya menyuguhkan
keindahan, yang pada gilirannya dapat memberikan hiburan kepada
penikmatnya (Ahrums, I977).
Kemudian, pada pcrkembangan sclunjulnyu, pandangan seni
(hanya) unluk seni banyak mendapat kecaman. Horace, misalnya,
mengetengahkan tesis dan kontratesisnya terhadap karya seni.
Menurut Horace, bahwa seni harus menghibur dan bermanfaat
(Wellek & Warren, 1977). Karya seni yang menghibur dan
bermanfaat harus dilihat secara simultan, tidak secara terpisah
antara satu dengan yang lainnya. Artinya, bagi seniman, dalam
proses penciptaan karya seni antara aspek hiburan dan
kebermanfaatan harus dipertimbangkan; dia hendaknya tidak
menonjolkan aspek hiburan ketimbang aspek kebermanfaatan,
sehingga terjadi keseimbangan antara segi menghibur dan
bermanfaat pada karya seni yang diciptanya.

132
Bukan Hanya Buruan Cium Gue

Produser hendaknya mempertimbangkan bahwa publik atau


masyarakal mempunyai hak dan produsen mempunyai
tanggungjawab untuk memenuhi hak masyarakat tersebut. Hak-
hak yang melckat pada masyarakat, antara lain, adalah hak-hak
untuk mendapatkan informasi yang benar dan pendidikan moral
(moral teaching) dari produser melalui karya seni yang dihasilkan.
Di sisi lain, produser mempunyai kewajiban untuk memenuhi pub-
lic interest dalam menyajikan program-programnya. Program-pro-
gram yang disajikan bukan hanya-bersifat informasional dan busi-
ness-oriented tetapi hendaknya dalam kerangka untuk pendidikan
moral. Dengan demikian, kalaupun dikatakan bahwa produser
mempunai kebebasan (freedom) untuk berekspresi, tetapi dia memiliki
tanggung jawab moral yang menyertai kebebasan itu.

Tidak Self-Cencorship
Produser sinetron film atau pengelola televisi, misalnya,
memiliki hak unluk membuat program hiburan. Namun, masalah
pendidikan moral seyogyanya menjadi pertimbangan utama,
artinya, tidak semata-mata demi keuntungan ekonomis. Self-Cen-
sorship bisa dilakukan dengan cara, misalnya, mendesain dan
menayangkan iklan/program hiburan yang tidak berbau pornografi,
tidak bertentangan dengan nilai-nilai sosial, moral, dan agama,
sebelum hasil karya disensor oleh lembaga sen sor atau diprotes oleh
masyarakat luas.
Dengan perkataan lain, model pakaian, perilaku dan sejenisnya
yang tidak sesuai dengan nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur
bangsa seyogyanya tidak ditampilkam, karena hal itu akan memiliki
dampak tak baik bagi moralitas anak bangsa.
Tampaknya, self-censorship tidak dilakukan oleh sejumlah
produser (pengelola) acara TV atau produser film-sinetron. Buktinya,
antara lain: (1) pada awaltahun 1980-an, sejumlah film layar lebar
yang dibintangi oleh tiga sekawan (Dono, Kasino dan Indro) yang
banyak memamerkan daya tarik seksual diperuntukkan kepada
mereka yang berumur 17 tahun ke atas Jewat gedung bioskop; kini
ditayangkan secara berulang-ulang dan dapat ditonton lewat layar
kaca (TV) oleh masyarakat segala umur, (2) setelah goyang
ngebomya Inul diprotes di mana-mana, sejumlah Stasiun TV,

133
Maungkai Budaya

termasuk TVRI Kalimantan Selatan, menyiarkan secara langsung


acara musik di mana performance (pakaian dan goyangnya) artis-
artisnya kurang lebih atau bahkan melebihi Inul, (3) sejumiah judul
sinetron menjadi bahan pembicaraan sejumlah orang tua karena
akan berdampak tak baik bagi putra-putri mereka dan bahan
penulisan artikel bagi sejumiah pengamat, (4) presenter/perabawa
acara wanita di TV, artis-artis wanita AFI dan lain-lain didesain
dengan pakaian yang begitu minim (kain) dan ketat seolah
penonton/pemirsa bisa melihat bentuk tubuh aslinya hanya demi
daya tarik, dan (5) film BCG membuat gelisah seorang ustadz
kondang, Aa Gym, yang kemudian menyeru agar film porno itu
ditarik dari peredaran; tampaknya hasil karya produser bisa saja
lolos dari Lembaga Sensor Film, namun ia belum tentu lulus
bila diuji oleh Aa Gym yang didukung oleh khalayak.
Untuk itu, kepekaan lembaga penjaga moralitas bangsa,
seperti Majelis Ulama Indonesia (dari pusat sampai daerah arau
sebaliknya dari daerah sampai pusat) sangatlah diperlukan. Orang-
orang yang tergabung dalam lembaga itu hendaknya secara cepat
menangani atau menanggapi fenemona sosial, khususnya yang
menyangkut moralitas. Mereka hendaknya tidak menunggu adanya
keberatan atau protes dari masyarakat seperti yang terjadi selama
ini. MUI Kabupaten/Kota dan Propinsi, semestinya, tidak perlu
menunggu petunjuk dan instruksi dari MUI Pusat dalam merespons
hal-hal yang dipandang akan merusak moralitas anak bangsa.

134

JOGET:
ANTARA SENI DAN MORAL

G oyang atau joget Inul yang ngebor, beberapa saat lalu bikin heboh
dan kemudian tenggelam, belakangan ini, bikin heboh lagi.
Sejumlah pihak memandangnya sebagai salah satu seni; sementara
pihak memandangnya sebagai sesuatu yang tidak baik, tidak patut
dan merusak moral.

Menimbulkan Kontrovesi
Seperti telah diketahui, performansi Inul dengan goyang
ngebornya (dan Ani Bahar dengan goyang patahnya) menimbulkan
banyak reaksi keras dari sejumlah kalangan. Bahkan di sejumlah
daerah banyak digelar protes dengan mengerahkan massa yang besar.
Tidak ketinggalan Chofifah Indar Parawansa, mantan Menteri
Pemberdayaan Perempuan, ketika diminta pendapatnya pada acara
Cek dan Ricek suatu jaringan TV, ikut memprotes juga. Reaksi dan
protes yang mungkin terkeras terlontar oleh Si Raja Dangdut, Rhoma
Irama. Reaksi keras dan protes itu didasarkan pada anggapan bahwa
goyangan ngebor ala Inul dan goyangan patah ala Anisa Bahar telah
memicu timbulnya tindak asusila pada penontonnya. Apa bener nich?
Reaksi demi reaksi dan protes demi protes pun ditanggapi oleh
sementara pihak yang pro dunia seni, antara lain seorang artis yang
cukup terkenal, Nurul Arifin, yang menyatakan bahwa seni itu seni
dan hendaknya tidak dikaitkan dunia di luar seni. Bahkan, Gus Dur,
sang mantan Presiden pun berseberangan dengan mantan anaknya
dan si Raja Dangdut. Namun, belakangan Gus Dur diberitakan
menyetujui keberatan Rhoma Irama. Di sisi lain, Inul yang dibela
oleh sejumlah pihak malah takluk di hadapan Rhoma Irama dan minta

135
Maungkai Budaya

maaf kepadanya; sementara Anisa Bahar memilih untuk mengajukan


somasi lewat pengacaranya kepada si Raja Dangdut tersebut.
Terjadilah gonjang-ganjing goyang ngebor dan goyang patah.

Faktor Internal dan Eksternal


Kali ini, saya akan mengajukan pertanyaan: Apakah benar hanya
karena goyangan ngebor atau goyangan patah itu sejumlah penonton
atau pengemar menjadi rusak moralnya sehingga mereka melakukan
tindak asusila? Apa tuduhan itu tidak berlebihan? Menurut saya, rusak
atau bejatnya moral yang berakibat timbulnya tindak asusila disebabkan
oleh banyak faktor, tidak hanya akibat dibor Inul. Faktor-faktor itu
bisa bersifat internal, yang berasal dari individu pelaku itu sendiri dan
eksternal, yang bersumber dari luar individu pelaku bersangkutan.
Faktor internal penyebab tindak asusila, dilihat dari agama,
adalah rendahnya (baca: labilnya) moral agama yang ada pada
dirinya. Agama, antara lain, telah mengajarkan manusia bagaimana
ia melihat, memahami, dan mengambil sikap terhadap berbagai
gejala, peristiwa maupun hal-hal yang terjadi di sekelilingnya.
Teori Psikoanalisisnya Sigmund Freud, yang menjelaskan bahwa
dalam diri manusia ada tiga kekuatan: id, ego dan superego. Id berarti
kekuatan naluriah untuk hidup dan mempertahankan diri dan
melestarikan jenisnya; ego berarti kesadaran diri akan keberadaannya
di antara id-id dan alter-alter (ego-ego pada orang lain) dalam
memenuhi kebutuhannya; dan superego unsur-unsur kultural umum
yang telah terpateri dalam dirinya, yang akan memimpin,
memedomani tingkah-lakunya sesuai dengan nilai dan norma-norma
yang telah disepakati oleh para anggota masyarakat di mana pelaku
atau seseorang itu hidup (dalam Istiati Soetomo, 1985).
Ego atau identitas individual merupakan kekuatan sentral dalam
diri manusia. Ego ini bisa memperlihatkan kepribadian pemiliknya.
Secara internal, perilaku ego dipengaruhi oleh superegonya (baca:
moralitasnya) dalam mengendalikan id (baca: naluri seksnya). Bila
bagian pengendalinya mantap, kokoh, baik atau sejenisnya, maka
sekuat apapun terpaan faktor-faktor eksternal (salah satunya: goyang
ngebornya Inul) si ego akan memilih perilaku susila ketimbang asusila.
Dengan demikian, perilaku asusila (baca: penyimpangan seksual
yang berupa pemerkosan) setelah menyaksikan goyang ngebornya
136
Joget: Antara Seni dan Moral

Inul sebenarnya, menurut saya, bersumber dari masing-masing ego


pelakunya. Karena mereka memiliki mental agama yang lemah,
mereka akan mudah berbuat tak senonoh; mereka sulit
mengendalikan emosi dan hasrat seksualnya sehingga bila ada
rangsangan sepintas imannya mudah goyah.
Goyang ngebornya Inul hanyalah salah satu dari sekian faktor
eksternal yang bisa mempengaruhi orang untuk melakukan tindak
asusila. Itu pun bila benar bahwa seseorang pelaku pemerkosaan
disebabkan hanya oleh goyang ngebornya Inul. OK, katakan saja
bahwa faktor eksternal itu memiliki pengaruh yang signifikan pada
perilaku menyimpang seseorang. Mari kita bongkar lagi faktor-faktor
eksternal yang lain. Kita tentu saja tahu tayangan Televisi (iklan,
sinetron, musik, dan acara hiburan lain) dan media cetak (koran,
majalah dalam kolom tertentu) banyak memamerkan atau
mempertontonkan sex appeal (daya tarik seksual) wanita.

Pornografi di Media Massa


Para produsen atau pemasang iklan di televisi seringkali
menggunakan slogan yang mengimplikasikan keunggulan produk
mereka dari produk yang lain. Di samping slogan, mereka juga
memanfaatkan simbol-simbol prestise, kecantikan, kehebatan,
kekuatan dan sebagainya; dan tidak jarang mereka lebih
menonjolkan daya tarik seks (sex appeal) daripada pengenalan
produknya. Sinetron-sinetron di televisi baik hasil produksi domestik
maupun mancanegara banyak menonjolkan daya tari seksual
ketimbang aspek moralnya. Koran dan majalah juga melakukan hal
yang sama ketika memberitakan artis/selebritis: memamerkan daya
tarik seksual wanita.
Yang luput dari perhatian kita adalah perilaku keseharian
wanita kita. Dalam kehidupan keseharian di jalan-jalan, di pasar, di
mall-mall, di tempat-tempat hiburan, bahkan di kampus-kampus
dan sebagainya, banyak pula para wanita mempertontonkan daya
tarik seksual mereka. Dengan demikian, bila faktor-faktor eksternal
tersebut menjadi biang keladi timbulnya tindak asusila maka akan
tidak bijaksana jika hanya Inul dan Anisa Bahar yang dipersalahkan.
Sebenarnya, hebohnya goyang ngebornya Inul dikaitkan dengan
soal daya tarik seksual. Soal daya tarik seksual bukan hanya datang

137
Maungkai Budaya

dari Inul dan atau Anisa Bahar. Ia datang dari media cetak, elektronik
dan kehidupan keseharian. Adalah hak semua orang untuk
melakukan sesuatu yang indah, artistik, menarik dan sejenisnya.
Produsen atau pengelola televisi, misalnya, memiliki hak untuk
membuat iklan dan program hiburan. Namun, masalah pendidikan
moral seyogyanya menjadi pertimbangan utama, artinya, tidak
semata-mata demi keuntungan ekonomis. Self-Censorship bisa
dilakukan dengan cara, misalnya, mendesain dan menayangkan
iklan/program hiburan yang tidak berbau pornografi, tidak
bertentangan dengan nilai-nilai sosial, moral, dan agama. Dengan
perkataan lain, model pakaian, perilaku dan sejenisnya yang tidak
sesuai dengan nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur bangsa
seyogyanya tidak ditampilkam, karena hal itu akan memiliki dampak
tak baik bagi moralitas anak bangsa.

Solusi
Dalam kaitan ini, media massa terutama TV hendaknya
dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dalam kerangka membangun
moral anak bangsa. Media massa memiliki kebebasan. Kebebasan
bagi media massa adalah hak; penyampaian pesan-pesan moral
(moral teaching) adalah kewajibannya. Semua orang yang terlibat
dalam dunia media massa, hendaknya melakukan self-censorship
sebelum produk pers (media massa) disiarkan kepada khalayak.
Demikian juga, adalah hak para kaum hawa untuk memilih
cara dan model pakaian. Namun, perlu diketahui bahwa model
pakaian yang ketat dan bila dikenakan akan memperlihatkan
bangun tubuh aslinya, akan menimbulkan atau menyebabkan
memanasnya hasrat lelaki yang melihat. Bila terlalu sering melihat
tontonan yang menggairahkan semacam itu, mungkin saja,
seseorang akan tergoyah imannya. Bila hal ini terjadi, sementara
yang si empunya ego tidak memiliki ketahanan yang kuat, maka ia
menyalurkan gairah birahinya secara asusila. Untuk itu, dalam
kehidupan keseharian hendaknya kaum hawa hendaknya tidak
mempertontonkan sex appeal dengan cara berpakaian serba ketat.
Wallahu alam.

138
SISI LAIN SINETRON KITA:
ANTARA HIBURAN DAN
KEBERMANFAATAN
(Tanggapan atas Tulisan Nadzmi Akbar)

S audara saya, Nadzmi Akbar, dalam tulisannya yang berjudul


Hati-hati dengan Nuansa Kemewahan Sinetron Televisi
(Kalimantan Post, Kamis, 8 Agustus 2002) menyoal tentang sinetron
(kalau saya tidak salah tangkap) dari sisi hiburan yang cenderung
memamerkan kemewahan berikut dengan sejumlah efek negatif dari
penayangan sinetron tersebut. Saya sangat setuju dengan gagasan
saudara saya tersebut. Namun, dalam beberapa hal saya mempunyai
pandangan lain, sebagai berikut.
Tanpa penjelasan apapun, semua orang akan selalu
mengatakan bahwa karya-karya seni, termasuk di dalamnya
sinetron, merupakan karya imaginatif atau fiktif. Dunia seni
merupakan dunia rekaan atau hasil karya kreatif pencipta seni,
dengan aspek estetisnya cukup dominan. Dari sudut pandang ini,
adalah sah bagi pencipta karya seni untuk menghasilkan karya yang
sangat fiktif dan sama sekali tidak bersentuhan dengan dunia nyata
dan hanya berkutat dalam dunia maya.
Sinetron, seperti halnya novel atau cerita rekaan lainnya,
menyuguhkan cerita. Tokoh-tokoh berikut perilaku yang menyertai
dan segala aspek pendukung cerita itu merupakan hasil kreasi dari
penciptanya. Sebagai karya seni, sinetron dicipta dengan
menonjolkan aspek seninya (aspek estetis) dalam upaya untuk
memberikan hiburan (entertainment) bagi penikmatnya. Hal ini,
memang, sejalan dengan doktrin seni yang pernah berkembang di
Eropa, terutama di Perancis, pada akhir abad 19, yakni: lart pour
lart yang dalam bahasa Inggrisnya art for arts sake yang berarti

139
Maungkai Budaya

seni untuk seni. Para seniman Perancis, pada waktu itu,


mengukuhkan pandangan bahwa karya seni menyuguhkan nilai
(seni) yang agung ketimbang karya-karya manusia lainnya dan
harus dipandang sebagai dirinya sendiri sebab ia mampu berdiri
sendiri (self-sufficient) ; ia tidak menghadirkan manfaat atau
mengajarkan moral. Tujuan akhir dari karya seni adalah hanya
menyuguhkan keindahan, yang pada gilirannya dapat memberikan
hiburan kepada penikmatnya (Abrams, l953).
Kemudian, pada perkembangan selanjutnya, pandangan seni
(hanya) untuk seni banyak mendapat kecaman. Horace, misalnya,
mengetengahkan tesis dan kontratesisnya terhadap karya seni.
Menurut Horace, bahwa seni harus menghibur dan bermanfaat
(Wellek & Warren, l977). Karya seni yang menghibur dan
bermanfaat harus dilihat secara simultan, tidak secara terpisah
antara satu dengan yang lainnya. Artinya, bagi seniman, dalam
proses penciptaan karya seni antara aspek hiburan dan
kebermanfaatan harus dipertimbangkan; dia hendaknya tidak
menonjolkan aspek hiburan ketimbang aspek kebermanfaatan,
sehingga terjadi keseimbangan antara segi menghibur dan
bermanfaat pada karya seni yang diciptanya.

Tentang Karya Seni


Bila dilihat dari tiga dari empat teori Universe-nya Abrams
(1998), pertama, secara ekspresif karya seni merupakan hasil
pengungkapan sang pencipta seni (artist) tentang pengalaman,
pikiran, perasaan, dan sejenisnya. Dengan perkatan lain, karya seni
merupakan karya kreatif, imaginatif (rekaan) dan dimaksudkan
untuk menghadirkan keindahan. Karena karya seni dituntut untuk
memberikan hiburan (entertainment), maka keindahan, kesegaran,
kemenarikan dan sejenisnya harus menyertai karya seni itu. Karena
sifatnya yang kreatif-imaginatif, karya seni menyaran pada dunia
rekaan sang penciptanya.
Kedua, secara mimetik dalam proses penciptaan karya seni,
seniman tentu saja telah melakukan pengamatan yang seksama
terhadap kehidupan manusia dalam dunia nyata dan lalu membuat
perenungan terhadap kehidupan itu sebelum menuangkan dalam
karya seninya. Seorang karikaturis, misalnya, tentu telah melakukan

140
Sisi Lain Sinetron Kita: Antara Hiburan dan Kebermanfaatan

pengamatan yang seksama dan membuat pertimbangan matang


sebelum melakukan kritik melalui karikaturnya. Seorang novelis,
misalnya, tentu tidak langsung menulis cerita khayalnya sebelum
melakukan hal-hal serupa. Demikian juga, seorang seniman yang
membuat sinetron, misalnya, tentu terlebih dahulu melihat atau
mengamati fenomena-fenomena sosial yang terjadi dalam
masyarakat sebelum dia menciptakan sinetronnya. (Memang,
acapkali kita temukan sejumlah sinetron yang menyuguhkan cerita
yang sangat fiktif (jauh dari kenyataan kehidupan keseharian),
penokohannya terlalu dibuat-buat dan cenderung untuk
dimanfaatkan sebagai hiburan oleh penikmatnya).
Ketiga, secara pragmatis selain sebagai sarana hiburan, pesan-
pesan moral yang dihadirkan oleh karya seni bisa dimanfaatkan
oleh para penikmatnya bahan perenungan. Kalau sinetron,
misalnya, dianggap sebagai model atau pola kehidupan
manusia, betatpun khayalnya, kita bisa melihat model-model atau
pola-pola kehidupan yang baik-buruk, santun-kasar, bermoral-
amoral, menyegarkan-menyebalkan atau sejenisnya (misalnya,
dalam persahabatan, hubungan antar anak-anak, hubungan anak
terhadap orang tua atau sebaliknya, hubungan murid terhadapguru
atau sebaliknya, dan sebagainya). Model-model atau pola-pola
kehidupan dalam kategori baik bisa diadopsi dan dikembangkan
dalam kita hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara;
sebaliknya, hal-hal yang tidak baik tentu harus kita tinggalkan.
Sebagai model kehidupan, sinetron hampir selalu menawarkan
model/pola kehidupan yang baik dikonfrontasikan dengan yang
jelek, jahat. Walaupun, pada awalnya tokoh yang baik banyak
menghadapi tantangan, masalah, dan sejenisnya dari tokoh yang
jahat; pada akhirnya yang baik menang, berjaya, dan berbahagia,
sedangkan yang jahat kalah, tersingkir dan lalu menderita. Aspek
pragmatis yang dapat dipetik dari karya seni tersebut adalah antara
lain: (a) perbuatan yang baik lambat laun akan membuahkan hasil
yang baik pula, (b) perbuatan yang tidak baik (sewenang-wenang,
korupsi, manipulasi, hanya mementingkan kepentingan pribadi
padahal yang bersangkutan seharusnya memikirkan kepentingan
rakyat banyak, serakah, memakan yang bukan haknya, dan
sejenisnya) akan berbuah ketidakbaikan, ketidaknyamanan,

141
Maungkai Budaya

kegelisahan, stress, penyakit (terkena bala), dan hal-hal yang tidak


nyaman lainnya; (c) perbuatan yang baik akan mengalahkan
perbuatan yang jahat.

Sebuah Catatan
Sehabis nonton sinetron, terlepas apakah ceritanya yang sangat
fiktif, karakterisasinya terlalu dibuat-buat dan sangat jauh dunia
nyata, saya senantiasa membutiri pesan-pesan moral yang
dicobaapungkan oleh sinetron itu. Tanpa menyebut judul-judul
sinetron yang ditayangkan melalui media TV kita, saya tertarik
dengan karakterisasi terhadap sejumlah tokoh yang secara kasat
mata (dikatakan) tidak mencerminkan karakter manusia dalam
dunia nyata, antara lain: anak-anak, siswa/mahasiswa, orang tua,
ayah/ibu/anak tiri, guru, dosen, profesor (ilmuwan, intelektual),
dokter dan sebagainya.
Sekedar contoh, suatu sinetron yang mengetengahkan tokoh
profesor yang nota bene sebagai ilmuwan atau intelektual, mungkin
dikomentari sebagai sangat melecehkan eksistensi seorang profesor;
atau suatu sinetron yang menghadirkan sosok seorang guru,
mungkin dikomentari sebagai merendahkan martabat guru; dan
seterusnya.
Dalam kaitan ini saya mencobaapungkan sosok profesor dan
guru dalam sinetron kita. Memang seorang profesor adalah sosok
yang harus dihormati, dihargai karena derajat keilmuwannya yang
tinggi, oleh karena itu dia tidak boleh dilecehkan dengan cara atau
melalui media apapun. Namun, perlu diingat bahwa dalam
kehidupan nyata kita sering mendengar ketika ada tes ujian masuk
perguruaan tinggi ada sejumlah joki (pelakunya tentu kaum intelek,
setidak-tidaknya orang berilmu cukup tinggi); ketika mahasiswa
menyusun skripsi (disinyalir) dibantu oleh orang yang
berkemampuan menyusun karya ilmiah itu; ketika polisi menangkap
pelaku pemalsuan (pengisian ulang) kartu telepon yang
memanfaatkan keahliannya untuk melakukan kegiatan melanggar
hukum (dia ini masuk kategori orang berilmu). Mungkin juga dalam
segala lini kehidupan banyak orang yang nota bene adalah ilmuwan,
melakukan pembelokan dari yang semestinya benar menjadi salah
atau sebaliknya. Hal-hal itulah yang mungkin dijadikan dasar oleh

142
Sisi Lain Sinetron Kita: Antara Hiburan dan Kebermanfaatan

pencipta sinetron untuk mengangkat sosok seorang profesor yang


dikarakterisasikan sebagai sosok yang jahat, yang memanfaatkan
ilmu pengetahuannya untuk merusak kehidupan manusia.
Setelah dua kali penayangan suatu sinetron yang antara lain
menghadirkan tokoh-tokoh guru di suatu sekolah, ada kawan saya
yang kebetulan seorang guru berkomentar miring terhadap guru-
guru dalam sinetron itu. Komentar-komentarnya, antara lain,
adalah bahwa:(a) dalam sinetron itu tidak ada kerjasama atau
komunikasi yang baik antar para guru, (b) perilaku guru tidak
mencerminkan perilaku guru secara nyata; perilaku guru itu aneh;
(c) mengatasi masalah satu murid yang sebenarnya masalah kecil
seperti halnya mengatasi masalah yang sangat besar. Inti komentar
itu adalah bahwa cerita itu sangat khayal (jauh dari kenyataan
dalam dunia pendidikan) dan karakterisasi tokoh-tokohnya terlalu
dibuat-buat dan berlebihan.
Beranjak dari hal-hal di atas, saya mencoca untuk mengajukan
sejumlah pertanyaan bahwa (a) apakah cerita sinetron itu
merupakan cerminan dari kondisi persekolahan kita, di mana para
guru (kelompok guru) saling bercakaran satu sama lain?; (b) kalau
dalam sinetron itu digambarkan seorang guru yang keras,
militeristik, dominasinya sangat kuat, apakah perilaku ini merupakan
refleksi perilaku sejumlah guru atau pendidik kita, sehingga dengan
mudahnya memvonis salah anak didik dan lalu mengeluarkannya?;
(c) apakah gaya/ perilaku itu tidak mengimplikasikan gaya atau
perilaku kelompok kuat terhadap yang lemah, di mana pihak yang
lemah selalu pada posisi tertekan, tertindas, terjajah dan sejenisnya?
Jika jawaban terhadap contoh-contoh pertanyaan itu adalah ya,
maka aktivitas cakar-mencakar atau jegal-menjegal dan sejenisnya,
pihak yang dominan harus menang atau sejenisnya, telah merambat
dari dunia luar pendidikan ke dunia persekolahan kita. Jika
jawabannya tidak, maka (memang) dunia sinetron adalah dunia
rekaan, dunia fiktif.
Itulah sinetron, sebuah karya seni, yang diciptakan bisa atas
dasar imaginasi penciptanya dan bisa saja atas dasar kenyataan
yang ada dalam masyarakat. Sebuah karya seni tentu bisa
diinterpretasikan dari sudut pandang yang bermacaam-macam.
Harapan kita semua pada para pencipta seni, tidak lain, adalah:
143
Maungkai Budaya

Ciptakanlah karya seni, termasuk sinetron, yang di samping sebagai


hiburan bisa dimanfaatkan sebagai sarana pendidikan moral (moral
teaching). Sebab, anda semua merupakan bagian warga bangsa yang
harus ikut bertanggung jawab terhadap moralitas seluruh anak
bangsa Indonesia ini. Wallahu alam.

144

TELETUBIES:
POTRET KEBERSAMAAN DALAM
KEBERAGAMAN*

D alam suatu negara di mana masyarakatnya heterogen atau


beragam apakah dalam hal etnis, ras, agama, kebudayaan atau
dalam hal-hal lainnya, mau tidak tidak mau, pasti menghadapi
sejumlah persoalan akibat dari keberaman itu. Amerika Serikat, suatu
negara besar, misalnya, yang berlatar belakang keberagaman ras
(ada tiga ras besar di sana: putih, merah, dan hitam), etnis, agama
(aliran agama), dan kebudayaan secara historis terlihat tersibukkan
oleh persoalan akibat dari keberagam itu.
Sadar akan keberagam yang bisa menimbulkan persoalan itu,
Thomas Jefferson mengapungkan gagasan seperti tertuang dalam
tulisannya Declaration of Independence (yang kemudian dikukuhkan
menjadi naskah deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat), antara lain,
bahwa semua orang diciptakan sama atau sederajat, bahwa mereka
dianugerahi oleh Sang Pencipta dengan hak-hak tertentu yang tidak dapat
dirampas, bahwa di antara hak-hak ini terdapat hak (untuk) hidup, kebebasan,
dan hak mendapatkan kebahagiaan. Kesadaran yang sama muncul pada
diri Jean de Crevecoeur (seorang imigran asal Perancis) seperti tertuang
dalam tulisannya Letters from an American Farmer (1782).
Dia melihat keberagaman Amerika dari kacamata melting pot,
yakni Amerika sebagai tempat berleburnya berbagai macam ras,
etnis, bangsa berikut dengan atribut-atribut yang menyertainya
menjadi suatu bangsa yang baru, bangsa Amerika. Katanya bahwa
Jadi apakah yang disebut orang Amerika, manusia (bangsa) yang baru
ini? Ia orang Eropa atau keturunan Eropa, dan inilah asal-usul darah
campuran yang lain dari yang lain itu, yang tidak akan pernah dijumpai di

145
Maungkai Budaya

negeri lain. .sebuah keluarga, sang kakek orang Inggris, istrinya seorang
perumpuan Belanda, anak lelaki mereka kawin dengan seorang perempuan
Perancis, dan keempat anak laki-laki pasangan ini menikah dengan empat
anak gadis yang berasal dari empat negara. .. Di sini setiap orang dari
semua negara di dunia berbaur menjadi suku bangsa manusia yang baru.
Dua ratus tahun kemudian tempat asal dan susunan dari suku bangsa
manusia baru ini telah meluas melampaui batas-batas Eropa, tetapi
proses tercabut dari akar ini, perpindahan ke negeri baru, penyusuaian
diri, dan pembaharuan terus berjalan.
Walau demikian, sejarah menunjukkan bahwa dalam meniti
kehidupan berbangsa, bangsa Amerika itu tetap saja dalam
keberagaman. Amerika tidak dipandang sebagai melting pot (periuk
pelebur) melainkan sebagai salad bowl (wadah sayur-mayur). Sebagai
salad bowl, Amerika masih memperlihatkan warna-warni-nya bangsa
Amerika; di sana masih ada keberagaman. Untuk itu, tampaknya,
bangsa Amerika memandang perlu memberlakukan semboyannya
E Pluribus Unum (beraneka ragam tetapi tetap satu).
E Pluribus Unum bisa dipandang sebagai harapan bangsa
Amerika untuk menciptalan kebersamaan dalam keberagaman.
Namun, lagi-lagi sejarah menunjukkan bahwa kebersamaan itu sulit
diwujudkan. Dalam kaitan ini, Alexis de Toqueville dalam bukunya
Democracy in America (1835-1840) menjelaskan bahwa Amerika yang
terbangun atas tiga ras besar (putih, merah, dan hitam)
memperlihatkan ketidaksederajatan orang-orang Amerika antara
ras yang satu dengan ras-ras yang lain; ras putih memposisikan diri
sebagai kelompok superior; ras merah dan hitam di bawah mereka;
dan ras yang paling menderita adalah ras hitam. Tampaknya,
Amerika memerlukan waktu yang amat panjang untuk menciptakan
kebersamaan sesuai dengan semboyannya E Pluribus Unum. Karena,
seperti tercermin dalam Black Studies, bahwa orang-orang Amerika
kulit hitam hidup di bawah dominasi orang-orang Amerika kulit
putih. Penderitaan demi penderitaan dialami oleh orang-orang
Amerika kulit hitam. Setidak-tidaknya, hingga tahun 1960-an
Amerika banyak dihadapkan dengan masalah atau konflik rasial
antara kulit putih dan kulit hitam.
Seperti halnya masyarakat Amerika, masyarakat Indonesia pun
juga dikenal sebagai masyarakat yang mejemuk, beragam atau
146
Teletubies: Potret Kebersamaan dalam Keberagaman*

heterogen. Kita hidup bersama dalam keberagaman. Keberagaman


itu bisa terlihat dari keberagaman etnis, kebudayaan, agama, dan
lain-lain.
Secara historis, sebelum Indonesia memperoleh kemerdekaan,
misalnya, keberagaman itu telah disadari dan lalu diantisipasi oleh
para pemuda kita. Kita semua tahu bahwa pada tahun 1928
(tepatnya tanggal 28 Oktober 1928), dalam keberagaman itu para
pemuda kita telah mengangkat sumpah untuk (1) menjadi bangsa
yang satu, yakni bangsa Indonesia, (2) bertanah air yang satu, yakni
tanah air Indonesia, dan (3) menjunjung tinggi bahasa persatuan,
yakni bahasa Indonesia. Ketika Indonesia merdeka, kesadaran akan
keberagaman masih tampak kental, sebagaimana tercermin pada
semangat para pendiri negara ini, yang kemudian secara eksplisit
mengukir kata persatuan dalam Dasar Negara dan Undang Undang
Dasar 1945 kita. Dan, mereka mewakili segenap bangsa ini
menciptakan semboyan Bhineka Tunggal Ika yang mirip dengan E
Pluribus Unum-nya Amerika.
Di samping itu, banyak pula kata-kata bijak, kata-kata mutiara,
slogan, semboyan dimunculkan ke permukaan untuk menyadarkan
kita akan keberagaman. Atas dasar kesadaran akan keberagaman
itu kita membuat komitmen untuk menjalani kehidupan dan menjalin
hubungan yang harmonis, mesra, seiring sejalan, senasib
seperjuangan dalam kerangka untuk mencapai satu tujuan
bersama., yakni tercapainya masyarakat adil dan makmur.
Tentu, tidak asing lagi bagi telinga kita sewaktu kita mendengar
kata-kata bijak seperti Bediri sama tinggi, duduk sama rendah Ringan
sama dijinjing, berat sama dipikul, dan Bersatu kita teguh, bercerai berai
kita runtuh. Ungkapan-ungkapan itu, di samping mengisyaratkan
kesamaan derajat antar kita yang beragam ini, juga mengimplikasikan
akan pentingnya kebersamaan dan/atau kesatuan dan persatuan.
Mungkin timbul pertanyaan, Sudahkan kita mengimplemen-
tasikan ungkapan-ungkapan di atas dalam kehidupan bermasya-
rakat, berbangsa, dan bernegara dalam arti yang sebenar-benarnya?
Atau, ungkapan-ungkapan itu hanyalah sekedar ungkapan yang
perlu diajarkan di sekolah sebagai bagian dari pelajaran Bahasa In-
donesia tanpa dicobajabarkan dan diterjemahkan dalam kehidupan
sehari-hari sehingga, misalnya, (a) kita benar-benar saling
147
Maungkai Budaya

memandang bahwa kita- warga bangsa ini, tanpa melihat latar


belakang etnis, agama, dan kultur masing-masing- merupakan or-
ang-orang yang benar-benar seperti yang diisyaratkan oleh
ungkapan Berdiri sama tinggi, duduk sama rendah?, (b) beban berat
yang ada pada bangsa ini dipikul atau ditanggulangi secara bersama
seperti yang diisyaratkan oleh ungkapan Ringan sama dijinjing, berat
sama dipikul?, dan (c) kita bersatu padu, tanpa saling curiga, tanpa
saling usik, tanpa saling cakar atau sejenisnya seperti yang
diisyaratkan oleh ungkapan Bersatu kita teguh, bercerai berai kita
runtuh.
Tampaknya, ungkapan bijak, semboyan, slogan yang mengajak
kita untuk hidup dalam kebersamaan, dalam pandangan saya
pribadi, tidak banyak implikasinya dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Sekedar contoh, pada tataran Rukun
Tetangga (RT), tataran yang mungkin paling kecil dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bahkan bernegara, sering dijumpai
semacam aksi boikot oleh orang atau kelompok orang tertentu
terhadap kegiatan kerukuntetanggaan akibat dari, misalnya, ketua
RT-nya bukan orang mereka; atau akibat dari gagasan orang atau
kelompok orang tertentu ditolak oleh orang atau kelompok orang
yang lain; atau akibat dari ketidak/kekurangpedulian kita terhadap
pentingnya kebersamaan; atau akibat dari anggapan akan adanya
dikotomi superioritas-inferioritas, mayoritas-minoritas, pribumi-non
pribumi, penduduk asli-pendatang, dan sejenisnya. Hal itu masih
dilihat dari skala yang sangat kecil, belum dari skala yang lebih besar.
Ungkapan-ungkapan di atas, tampaknya, tetap menjadi
rangkaian kata-kata yang kandungan maknanya seperti halnya
rangkaian kata-kata lain. Slogan Satu Nusa, Satu Bangsa dan Satu
Bahasa yang diikrarkan oleh para pemuda kita puluhan tahun silam
tidak sepenuhnya kita pegang teguh. Sebagai bukti? Sejumlah daerah
di negeri ini ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Atau, masih sering terdengar adanya purbasanga (preju-
dice) dan diskriminasi (discrimination) dan sejenisnya di antara kita.
Lalu, apakah semboyan kita Bhineka Tunggal Ika hanya akan
menjadi semboyan belaka, yang harus dihafal oleh anak-anak mu-
rid kita, yang menjadi hiasan rumah, gedung, kantor kita tanpa
upaya konkret untuk menggalang kebersamaan sebagaimana dicita-
148
Teletubies: Potret Kebersamaan dalam Keberagaman*

citakan oleh para pendiri negara, pendahulu kita dan tentu oleh kita
semua?
Kiranya kita, elit politik kita, pejabat negara kita semua perlu
menonton Film Teletubbies. Karya seni yang cukup digemari anak-
anak itu mengetengahkan keberagaman para pelaku-nya. Namun,
keberagaman itu tidak menghalangi mereka untuk menjalin
kebersamaan, keharmonisan, kerukunan, kebersatuan dan
sejenisnya. Kalau kebersamaan demi kebersamaan tercipta mulai
dari skala kecil, maka semoga- tidak terjadi saling cakar, saling
hujat, saling menjatuhkan, saling menghina dan sejenisnya.
Implikasinya bahwa jika kita sebagai rakyat, kita sadar akan posisi
kita sebagai rakyat; jika kita sebagai wakil rakyat, kita betul-betul
merakyat, memperjuangkan atau menyuarakan aspirasi rakyat, dan
berperilaku sebagai wakil rakyat; jika kita sebagai pejabat, kita betul-
betul menjadi pengayom rakyat secara keseluruhan tanpa
memandang latar belakang suku, ras, agama atau warna-warni baju
mereka. Wallahualam.

149
Maungkai Budaya

TELEVISI DALAM PERSPEKTIF SOCIAL


RESPONSSIBILITY THEORY

K alau boleh dikatakan, era reformasi adalah era kebebasan.


Tidak seperti pada era sebelumnya, era Orde Baru, yang ditandai
dengan otoriterisme yang sangat kuat dan dominan sehingga setiap
pemegang otoritas setiap sektor kehidupan memiliki kekuatan dan
dominasi yang luar biasa, maka pada era reformasi, otoriterisme
memudar atau bahkan sudah tidak ada lagi. Kondisi ini
memungkinkan kebebasan tak terbendung lagi.
Kebebasan diartikan oleh sebagian orang sebagai kebebasan
untuk berbuat sesuai dengan keinginan, kepentingan dan ekspektasi
sendiri. Mereka lupa bahwa orang-orang (pihak) lain juga berhak
untuk tidak terganggu oleh kebebasan itu. Sekedar contoh, dalam
kehidupan sehari-hari, kita dapati orangatas dasar kebebasan
yang dimilikiberbuat seenaknya sendiri tanpa memperhatikan
bahwa perbuatannya itu mengganggu kebebasan orang lain.
Misalnya, kebut-kebutan di jalan raya yang sedang ramai, memutar
musik dengan nyaring sewaktu kebanyakan orang sedang istirahat
dan sejenisnya.
Kebebasan semestinya dikembangkan dalam rangka untuk tidak
mengganggu kebebasan orang (pihak) lain. Kebebasan itu hendaknya
mengimplikasikan adanya tanggung jawab (moral, sosial).
Kebebasan sering dikaitkan dengan dunia pers atau media
massa. Pertelevisian, bagian dari pers, memiliki (atau diberi)
kebebasan. Namun, empat teori tentang pers yakni: teori pers
otoriter, teori pers liberal, teori pers bermuatan tanggung jawab sosial,
dan teori pers totaliter-Soviet mengaplikasikan kebebasan secara
berbeda antara satu dengan yang lainnya.

150
Televisi dalam Perspektif Social Responssibility Theory

Berdasar pada teori social responssibility, media massa (pers) baik


cetak maupun audiovisual harus mempertimbangkan dua hal, yaitu:
(1) the publics right to know, dan (2) the public responssibility of the
mass media. Hak-hak yang melekat pada masyarakat, antara lain,
adalah hak-hak untuk mendapatkan informasi yang benar dan
pendidikan moral (moral teaching) dari media massa. Di sisi lain, media
massa mempunyai kewajiban untuk memenuhi public interest dalam
menyajikan program-programnya. Program-program yang disajikan
bukan hanya bersifat informasional tetapi hendaknya dalam kerangka
untuk pendidikan moral. Dengan demikian, kalaupun dikatakan
bahwa media massa mempunai kebebasan (freedom) untuk berekspresi,
tetapi dia memiliki tanggung jawab yang menyertai kebebasan itu.
Dia bebas tetapi bertanggung jawab, sehingga kita punya ungkapan
pers yang bebas tetapi bertanggung jawab.
Fungsi pers, antara lain, adalah memberikan informasi tentang
berbagai aspek kihidupan (sosial, politik, ekonomi dan sebagainya),
memberikan pencerahan kepada publik, melindungi hak-hak
individu, dan memberikan hiburan kepada publik. Dalam kerangka
social responsibility theory, fungsi pers tersebut harus bermuatan
tanggung jawab. Bentuk-bentuk tanggung jawab itu, antara lain,
bersifat sosial, moral dan religius.
Televisi, sebagai salah satu bagian darin pers, antara lain,
memprogramkan iklan dan paket hiburan. Iklan adalah salah satu
alat yang dapat dimanfaatkan oleh produsen untuk memperkenalkan
produk tertentu kepada (calon) pembeli atau pelanggan. Melalui
iklan tersebut, produsen atas suatu peroduk berharap untuk dapat
menarik perhatian para (calon) pembeli atau pelanggannya, yang
pada gilirannya mereka membeli produk yang diiklankan itu. Iklan,
sebagai upaya sistematis untuk mempromosikan causa tertentu, turut
membentuk dan mentransmisikan perilaku, kepercayaan, dan nilai-
nilai dari suatu kelompok masyarakat tertentu kepada kelompok
yang lain.
Para produsen atau pemasang iklan seringkali menggunakan
slogan yang mengimplikasikan keunggulan produk mereka dari
produk yang lain. Lihat saja, misalnya, tiga produk sepeda motor:
Suzuki dengan Inovasi Tiada Henti (memangnya produsen lain
tidak pernah melakukan inovasi?), Honda dengan Bagaimanapun
151
Maungkai Budaya

Honda Lebih Unggul (di mana dan apa keunggulannya?), dan


Vespa dengan Lebih Baik Naik Vespa (daripada jalan kaki?). Di
samping slogan, mereka juga memanfaatkan simbol-simbol prestise,
kecantikan, kehebatan, kekuatan dan sebagainya; dan tidak jarang
mereka lebih menonjolkan daya tarik seks (sex appeal) daripada
pengenalan produknya.
Program televisi yang lain adalah program atau paket hiburan
(entertainment). Mungkin, program ini merupakan program yang
dominan dalam media TV bila dibandingkan dengan program-pro-
gram lain. Program hiburan di TV dapat diambil dari produksi
domestik atau produksi luar negeri. Program hiburan ini mungkin
mendapat pujian atau bahkan kritikan dari masyarakat.
Adalah hak produsen untuk membuat iklan dan program
hiburan. Namun, masalah pendidikan moral seyogyanya menjadi
pertimbangan utama, artinya, tidak semata-mata demi keuntungan
ekonomis. Self-Censorship bisa dilakukan dengan cara, misalnya,
mendesain iklan/ program hiburan yang tidak berbau pornografi,
tidak bertentangan dengan nilai-nilai sosial, moral, dan agama.
Dengan perkataan lain, model pakaian, perilaku dan sejenisnya yang
tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa seyogyanya tidak
ditampilkam, agar pada gilirannya tidak ditiru oleh anak bangsa ini.
Seperti terungkap dalam program Dewan Pers Menjawab,
bahwa lembaga sensor atau otoritas yang menentukan hidup-
matinya media massa telah pudar. Tampaknya, dengan dalih
menghidupkan seni atau sejenisnya, media TV banyak
mengeksploitasi daya tarik seksual wanita dan perilaku kurang
bermoral. Sekedar contoh, TVRI menyiarkan secara langsung Dansa
Yo Dansa di mana penari wanita asing berpakaian sedemikian
minimnya sehingga ketika dia menari (maaf) pakaian dalamnya
kelihatan. Acara ini, mungkin, telah membikin heboh sehingga MUI
mengeluarkan teguran kepada TVRI dan dibahas dalam acara
Dewan Pers Menjawab oleh stasiun yang sama. Contoh lain, ada
sejumlah iklan untuk sejumlah produk yang menonjolkan daya tarik
seksual wanita ketimbang produk yang ditawarkan dan sejumlah
iklan yang lain menampilkan perilaku (cara makan, minum) yang
tidak patut ditiru oleh anak bangsa, dan banyak lagi iklan yang
melangggar etika (saya melihatnya sebagai plagiat yakni meniru

152
Televisi dalam Perspektif Social Responssibility Theory

iklan yang sudah ada), menjelekkan produk lain, memanfaatkan


agama untuk kepentingan bisnis dan sejenisnya.
Dalam kaitan ini, media massa terutama TV hendaknya
dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dalam kerangka membangun
moral anak bangsa. Media massa memiliki kebebasan. Kebebasan
bagi media massa adalah hak; penyampaian pesan-pesan moral
(moral teaching) adalah kewajibannya. Semua orang yang terlibat
dalam dunia media massa, hendaknya melakukan self-censorship
sebelum produk pers (media massa) disiarkan kepada khalayak.
Wallahu alam.

153
Maungkai Budaya

154
Pendidikan

155
Maungkai Budaya

156
SKRIPSI DAN PLAGIARISME

S kripsi merupakan sebuah karya tulis ilmiah bagi mahasiswa


program S-1. Wajib atau tidaknya penyusunan skripsi itu
tergantung pada kebijakan perguraan tinggi tempat mahasiswa
mengikuti Program S1 itu sendiri. Artinya, ada sejumlah perguruan
tinggi yang mewajibkan penyusunan skripsi bagi mahasiswa mereka;
ada sejumlah perguruan tinggi yang lain menawarkan mata kuliah
skripsi itu sebagai mata kuliah pilihan.
Sekedar contoh, sebut saja, Jurusan Sastra Inggris Fakultas
Sastra Universitas Diponegoro Semarang, tempat penulis
menyelesaikan program S1, telah mewajibkan para mahasiswanya
untuk menyusun skripsi sebagai salah satu persyaratan untuk
menyelesaikan program S1-nya, setidak tidaknya bagi mahasiswa
mulai angkatan tahun 1975; pada jurusan itu tidak ada jalur non-
skripsi, yang ada hanyalah program sarjana strata 1 dengan skripsi
sebagai salah satu mata kuliah wajibnya; tidak ada mata kuliah yang
dapat digunakan sebagai pengganti skripsi. Artinya, mahasiswa
yang gagal menyusun skripsi dan/atau gagal ujian skripsi, maga
gagallah yang bersangkutan untuk menjadi seorang sarjana.
Bila lembaga perguruan tinggi menawarkan jalur skripsi dan
non-skripsi, maka umumnya sejumlah (besar) mahasiswa memilih
jalur non-skripsi, kecuali bagi mereka yang memiliki pertimbangan
tertentu yang mendorong mereka menyusun skripsi. Hal ini
didasarkan pada perbincangan ala warung kopi dengan sejumlah
mahasiswa, yang ketika ditanya mengapa mereka tidak menyusun
skripsi, mareka memberikan alasan yang beragam: ada yang ingin

157
Maungkai Budaya

segera lulus karena ada pertimbangan tertentu (walaupun


sebenarnya yang bersangkutan ingin menyusun skripsi), ada yang
menganggap penyusunan skripsi itu di luar kemampuannya, dan
ada yang merasa puas dengan predikat sarjana tanpa skripsi.
Penulis pernah mendapati salah seorang mahasiswa yang telah
memprogramkan skripsi dan mengerjakannya selama satu semes-
ter, lalu mundur atau membatalkan program skripsinya. Lalu, saya
bertanya kepadanya mengapa dia membatalkannya. Dia menjawab
bahwa dia sudah tak mampu berpikir lagi. Padahal, menurut
pandangan penulis bahwa dia tergolong mahasiswa yang cukup
potensial. Hal ini, mungkin, disebabkan oleh adanya jalur lain, yakni:
non-skripsi. Sehingga, begitu muncul sejumlah kendala dalam proses
penyusunan skripsi itu, dia lalu menyerah. Bila, misalnya,
penyusunan skripsi menjadi salah satu persyaratan seorang
mahasiswa untuk mencapai derajat sarjana S1, maka mau tidak
mau dia harus berusaha untuk memenuhinya. Mahasiswa yang
cukup potensial namun tidak menyusun skripsi ini akan kalah sebelum
berperang, bila kelak dia berkompetisi untuk posisi tertentu yang
mensyaratkan bahwa yang bersangkutan adalah sarjana ber-skripsi.
Bila seorang mahasiswa berkeinginan untuk menjadi staf
pengajar di perguruan tinggi (dosen) atau melanjutkan ke S2 kelak,
maka dia akan berupaya untuk menyusun skripsi. Karena, pada
umumnya, salah satu syarat untuk menjadi staf pengajar di
perguruan tinggi atau melanjutkan ke S2 adalah sarjana yang
bersangkutan menyusun skripsi. Dengan demikian, dia menyusun
skripsi lantaran dia memiliki target tertentu yang hanya dapat
dicapai dengan skripsi.
Skripsi tampaknya menjadi momok bagi sejumlah mahasiswa.
Dengan demikian, menjadikan skripsi sebagai mata kuliah wajib
bagi calon sarjana S1 dapat memiliki dampak positif dan negatif.
Dampak positif dari penyusunan skripsi bagi mahasiswa yang
menyusunnya. Mahasiswa yang menyusun skripsi tentu dituntut
untuk banyak menggali berbagai informasi ilmiah yang mendukung
topik yang ingin dikembangkan dalam sebuah karya ilmiah yang
bernama skripsi, melalui kegiatan studi kepustakaan dan/atau
penelusuran atau pencarian informasi ilmiah via internet. Hal yang
demikian memungkinkan mahasiswa untuk memperluas wawasan
158
Skripsi dan Plagiarisme

dan memperdalam pengetahuan terhadap suatu topik yang kelak


dijadikan spesialisasinya.
Karena skripsi merupakan karya tulis ilmiah, maka ia menuntut
penyusunannya untuk memenuhi kaidah-kaidah ilmiah, antara lain:
bahwa (1) subject-matter dinyatakan secara eksplisit, (2) kegiatan
penelitian dilakukan secara obyektif, dan (3) hasil disampaikan
secara sistematis, dan (4) ilmu pengetahuan itu open to change. Kaidah
pertama memungkinkan mahasiswa untuk memperoleh
pemahaman yang mendalam terhadap suatu topik sebelum dia
menyatakan subject-matter yang akan dicobapecahkan melalui
kegiatan penelitian; kaidah kedua melatih mahasiswa berlaku
obyektif bukan subyektif; dan kaidah ketiga mengarahkan
mahasiswa untuk berpikir atau melakukan sesuatu secara sistematis,
tidak acak-acakan, serta kaidah keempat mengajarkan bahwa
seseorang hendaknya tidak beranggapan suatu temuan selalu benar
untuk selamanya bila telah ada temuan baru yang menyatakan
bahwa temuan terdahulu tidak atau kurang benar adanya.
Dampak positif penyusunan skripsi lainnya adalah bahwa
mahasiswa penyusunnya dapat menjadikan penyusunan skripsi itu
sebagai ajang latihan menulis karya ilmiah. Sebagaimana dikatakan
di atas, mahasiswa yang hendak menyusun skripsi dituntut untuk
mengumpulkan sebanyak mungkin bahan bacaan atau referensi dan
kemudian membaca, menelaah, menerapkannya dalam kegiatan-
kegiatan penelitian, yang mencakup kegiatan persiapan,
pelaksanaan, dan pelaporan. Pendek kata, penyusunan skripsi harus
didasari oleh kemauan dan keterampilan menulis. Mahasiswa yang
telah menyusun skripsi sendiri, berarti dia telah mendapatkan
keterampilan membaca (kritis), menulis, dan pengalaman menyusun
karya ilmiah. Keterampilan dan pengalaman semacam itu akan
sangat bemanfaat bila dia melakukan kegiatan ilmiah serupa. Naluri
ilmiah sarjana ber-skripsi ini dapat dengan cepat muncul sewaktu-
waktu terjadi fenomena tertentu di masyarakat dan tergerak untuk
segara menanggapi baik melalui kegiatan penelitian maupun melalui
penulisan artikel ilmiah popular.
Dampak negatif dapat saja terjadi bila mahasiswa diwajibkan
menyusun skripsi. Diwajibkannya penyusunan skripsi bagi
mahasiswa, bahwa mungkin saja akan melakukan hal-hal yang tidak
159
Maungkai Budaya

terpuji, yakni: melakukan plagiarisme, akibat dari ketidakmauan, atau


kekurangmampuan, atau ketidakmampuan atau sejenisnya. Menurut
Mintarsih Adimihardja dalam Jurnal Pelangi Pendidikan, Volume 4
No.2 Tahun 2001, (2001:58), menyatakan bahwa plagiarisme adalah
pencurian dan penggunaan gagasan atau tulisan orang lain dan diakui
sebagai miliknya sendiri, yang meliputi peminjaman, reproduksi,
terjemahan, dan perubahan tulisan orang lain yang diakui sebagai
tulisannya sendiri. Sementara itu, Gunawan Wiradi dalam Etika
Penulisan Karya Ilmiah (1996:37), menjelaskan bahwa plagiarisme
adalah suatu perbuatan mengemukakan kata-kata, frasa, kalimat,
pendapat, ungkapan-ungkapan, gagasan (sebagian atau seluruhnya),
dari orang lain, tetapi tanpa menyebutkan sumbernya sehingga
memberikan kesan sebagai karya sendiri.
Lebih lanjut, Mintarsih Adimihardja menjelaskan bahwa
peminjaman gagasan atau pendapat orang lain dapat dianggap
sebagai plagiarisme yang bersangkutan mengutip atau mengulang
gagasan atau pendapat orang lain itu dalam suatu percakapan
tanpa merujuk kepada yang punya gagasan. Reproduksi
dikategorikan sebagai plagiarisme; kegiatan ini dilakukan dengan
cara mereproduksi atau mereduplikasi karya orang lain dan diakui
sebagai tulisan sendiri. Penerjermahan karya penulis asing dan diakui
sebagai gagasan si penterjemah dipandang sebagai plagiarisme. Dan,
terakhir, tulisan yang merupakan hasil modifikasi (perubahan)
dianggap juga sebagai plagiarisme (Jurnal Pelangi Pendidikan, Vol-
ume 4 No.2 Tahun 2001, hal.58 - 61).
Kegiatan tulis-menulis, khususnya tulis-menulis karya ilmiah,
termasuk skripsi, ternyata tidak gampang. Sehingga, kalau kondisi
tertentu mengharuskan seseorang untuk menulis karya ilmiah, yang
bersangkutan hendaknya mencoba semampunya untuk menulis
sendiri. Menulis skripsi pasti dibimbing oleh satu atau dua orang
pembimbing. Tak perlu khawatir bila ada kekurangan atau
kesalahan sekalipun. Hal terpenting, menulis apa yang bisa ditulis.
Dengan bimbingan pembimbing, Insya Allah, skripsi itu akan
terwujud.
Ada sejumlah kiat dalam menyusun skripsi. Pertama, pilihlah
topik yang menarik. Topik yang menarik akan mempermudah bagi
penulisnya untuk mengembangkannya menjadi skripsi. Kedua, topik
160
Guru Kusayang, Guru Kau Nistakan?

yang menarik itu hendaknya didukung oleh pengetahuan memadai.


Hendaknya tidak mengambil topik yang penulis tidak memiliki
pengetahuan sama sekali. Ketiga, penulis memiliki referensi yang
cukup untuk mendukung dua hal di atas. Artinya, bila topik itu
menarik dan penulis memiliki pengetahuan memadai tentang topik
itu, serta didukung oleh sejumlah referensi yang relevan, maka
penyusunan skripsi akan lebih gampang. Wallahualam.

161
Maungkai Budaya

GURU KUSAYANG, GURU KAU


NISTAKAN?

B agi saya, seorang guru adalah orang orang yang mengajarkan


ilmu yang bermanfaat bagi hidup dan kehidupan saya. Kedua
orang tua, tentu, guru saya yang pertama dan utama. Berikutnya
adalah guru-guru di sekolah, ustadz di madrasah, dan dai atau
penceramah di majelis taklim. Disusul oleh kakak-kakak dan kawan-
kawan saya. Setelah menikah, kedua mertua dan pasangan saya
menjadi guru-guru saya. Para penulis buku, karya sastra, artikel dan
lain-lain serta wartawan, saya akui sebagai guru-guru saya. Bahkan,
sejumlah mahasiswa yang menemukan sesuatu dalam skripsi mereka,
saya akui sebagai guru. Kenapa begitu? Ya, karena mereka semua
pernah memberikan ilmu yang tiada terkira manfaatnya bagi saya,
yang tentu saja dengan teknik dan metode yang satu sama lain tak
sama. Untuk itu, mereka hendaknya dihormati dan disayangi.

Tak Wajib Beli?


Jual beli buku pelajaran sebenarnya telah berlangsung lama.
Selaku wali murid selama 8 tahun saya membeli buku-buku
pelajaran lewat guru-guru anak saya. Pembayarannya bisa dicicil
atau setidak-tidaknya bisa ditunda atau ngutang. Kata anak saya,
bapak-ibu guru tidak mewajibkan untuk membeli buku di sekolah.
Kalau mau beli sendiri di toko buku, beliau mempersilakan.
Ketidakharusan membeli buku lewat guru/sekolah ini sebetulnya telah
ditegaskan oleh salah satu kepala SMA di Banjarmasin, yang dilansir
oleh salah satu koran di kota ini.
Bagi saya, buku-buku itu sangat penting. Bila si anak telah
memiliki buku-buku pelajaran yang disarankan bapak-ibu guru, baik
guru maupun murid akan lebih mudah dalam kegiatan belajar

162
Guru Kusayang, Guru Kau Nistakan?

mengajar (KBM). Tanpa buku-buku pelajaran sebagai pegangan guru


dan murid, maka kita akan kembali ke pola catat buku sampai
(h)abis seperti yang pernah saya alami pada era 1970-an sampai
dengan 1980-an. Sekedar contoh, selama lebih kurang 6 tahun saya
menjadi tukang catat di papan tulis. Karena saya ingin juga punya
catatan, maka saya harus mencatat lagi di rumah.

Sudah Terlanjur, Maklumilah!


Seperti saya, kawan saya yang kebetulan guru memandang
buku-buku pegangan sebagai piranti kegiatan belajar mengajar yang
sangat penting. Tanpa buku-buku itu, ia akan menghadapi kesulitan
dalam KBM. Kan ada buku paket milik sekolah? Betul, memang ada
buku paket itu, tapi apakah semua sekolah mempunyai buku paket
dalam jumlah yang cukup? Bila jumlah buku paket itu cukup,
sebenarnya kepemilikan buku-buku pendukung dan buku LKS
(Lembar Kerja Siswa) sebagaimana dihebohkan itu- dimaksudkan
untuk menambah bahan bacaan mendampingi buku yang ada.
Konon, buku pendukung yang dijualbelikan itu lebih mudah
dipahami, khususnya oleh para siswa.
Memang sebuah peraturan yang melarang bisnis buku di
sekolah haruslah dipatuhi. Namun, menurut kawan saya tadi,
peraturan itu belum terbaca oleh guru. Dia tahu jual beli buku itu
dilarang, hanya lewat koran. Guru terlanjur menyediakan dan
mendistribusikan buku-buku kepada para muridnya beberapa hari
sebelum peraturan Mendiknas diketahui oleh para guru. Menurut
ia, tidak ada kesengajaan guru maupun sekolah untuk melanggar,
mencueki, meremehkan atau sejenisnya terhadap Permendiknas
tersebut. Hendaknya, hal ini dimaklumi.
Tampaknya, komentar-komentar tentang jual beli buku di
sekolah yang cenderung memojokkan guru, tidak sepenuhnya
didasarkan pada kenyataan di lapangan. Lalu dasarnya apa?
Laporan dari wali murid? Laporan dari wali murid boleh dijadikan
pijakan untuk memberikan komentar terhadap jual beli buku di
sekolah. Ya, boleh-boleh saja keluhan masyarakat disuarakan,
namun hendaknya guru/sekolah tidak dipojokkan secara berlebihan.
Menanggapi komentar anggota DPRD Kota Banjarmasin (Ra-
dar Banjarmasin, 11 Agustus 2005, hal. 8), bahwa siswa yang telah

163
Maungkai Budaya

terlanjur menerima buku-buku, disarankan agar tidak membayar.


Saran ini tidak fair, tidak cantik, tidak pada tempatnya dan sekaligus
tidak mendidik. Hal ini bisa menistakan eksistensi dan fungsi bapak-
ibu guru sebagai pendidik generasi muda kita. Relakah kita bila bapak-
ibu guru kita menjadi nista di hadapan masyarakat (baca: wali siswa
dan siswa)? Kalau siswa yang bersangkutan tidak jadi membeli buku
lewat gurunya, sebaiknya dia mengembalikannya. Bagaimana
hukumnya, buku diambil tapi tidak dibayar? Haram atau halalkah
bila kita memanfaatkannya?

Guru Tak Sepenuhnya Salah?


Saya kurang setuju bila dikatakan bisnis buku di sekolah sebagai
bisnis konspiratif atau bisnis terselubung yang dilakukan oleh
penerbit dan guru/sekolah. Baik bisnis konspiratif (kongkalikong)
maupun bisnis terselebung (secara sembunyi-sumbunyi) menyiratkan
makna yang negatif. Saya tidak mampu melihat konspirasi atau
keterselubungan dalam bisnis buku di sekolah itu. Saya kira, istilah
cukup tepat untuk menyebut hubungan antara penerbit/pebisnis
buku dan guru/sekolah adalah hubungan koordinatif atau partner-
ship.
Kalau bisnis buku di sekolah dianggap sebagai hal yang salah,
maka kesalahan itu hendaknya tidak dialamatkan kepada guru/
sekolah saja. Penerbit atau pebisnis buku yang mengarahkan place-
ment-nya di sekolah (bukan di toko buku) dan menjadikan personal
selling sebagai strategi pemasarannya, tentu mempunyai andil
kesalahan dalam bisnis buku di sekolah. Sudahkah pihak
berwenang memberikan imbauan kepadanya untuk tidak berbisnis
buku secara langsung ke sekolah? Menurut saya, akan lebih fair jika
imbauan atau bahkan pelarangan juga dialamatkan kepadanya.
Karena, sebagai sesama warga Negara, baik guru maupun pebisnis
buku memiliki hak yang sama. Bila guru dilarang untuk menyalurkan
buku, pebisnis buku hendaknya diperlukan sama.

Beban Guru itu Berat?


Guru sudah menanggung beban moral yang cukup berat.
Misalnya, siswa gagal Ujian Nasional, guru terkena sorot; antar
siswa terlibat perkelaian, guru harus ikut bertanggung jawab, dan
sebagainya. Sekarang ditambah lagi dengan dugaan bisnis buku
164
Guru Kusayang, Guru Kau Nistakan?

secara kongkalikong atau terselubung. Akibat dugaan ini, guru harus


menanggung rasa kada nyaman ketika ia ada di lingkungan
masyarakatnya. Sekedar informasi, sejumlah guru di sekolah tertentu
tidak menangani lagi pendistribusian buku-buku pelajaran yang
terlanjur didrop oleh pebisnis buku. Let us stop underestimating our
teachers! Bagaimana menurut Anda?

165
Maungkai Budaya

E-LEARNING VIA INFORMATION


TECHNOLOGY
(Menanggapi Tulisan Ersis Warmansyah Abbas)

E -Learning atau Electronic Learning sebenarnya dimaksudkan


sebagai sarana belajar bersama melalui IT (Information Technol- ogy)
atau baca saja internet. Namanya saja belajar bersama. Tentu saja,
orang-orang yang terlibat dalam kelompok belajar itu membahas
hal-hal yang scientific-lah. Tidak seperti yang diungkap oleh Ersis
Warmansyah Abbas dalam tulisannya Ketika Gaji Dosen Terlalu
Tinggi (Radar Banjarmasin, 27 Mei 2003). Dalam tulisan itu, antara
lain,dia menyatakan bahwa melalui LambungMangkurat
@yahoogroups kawan-kawan yang terlibat dalam kelompok itu
menyampaikan (mendiskusikan?) uneg-uneg sampai kritikan pedas
terhadap Unlam. Apa ini bukan Menepuk Air Di Dulang, Basah
Muka Sendiri?
Saya kira, uneg-uneg atau kritikan yang pedas sekalipun, tidak
perlu dilontarkan melalui dunia maya (internet). Soalnya, pihak-
pihak yang dikritik mungkin sekali tidak bakalan membaca uneg-
uneg atau kritikan itu. Apalagi, bila para petinggi Unlam,
sebagaimana disinyalir anggota kelompok belajar itu, benar-benar
gaptek (gagap teknologi), seperti disampaikan Ersis dalam tulisannya
itu, maka akan jelaslah bahwa tulisan kritikan hanyalah deretan
kata-kata yang tidak memiliki implikasi apa-apa. Kritikan yang
cenderung menghujat semacam itu tidak akan terbaca; namun yang
jelas, ia menambah dosa. Kiranya, kita tidak perlu terlalu terbawa
emosi lalu mencak-mencak, menghujat dan sejenisnya lewat dunia
maya akibat angka credit point usulan kenaikan pangkat dipangkas
(misalnya, satu tulisan di Jurnal yang sesuai dengan ketentuan dari
pusat bernilai 10 hanya dihargai 3).

166
E-Learning Via Information Technology

Dalam soal naik pangkat, saya mempunyai pengalaman


yang sebenarnya menurut saya dan mungkin menurut kawan-
kawan yang tergabung dalam kelompok E-Learning of
LambungMangkurat@yahoogroups.com tidak rasional. Ceritanya
begini. Kira-kira lima tahun yang silam, saya mengusulkan kenaikan
pangkat dari III c ke III d. Modal untuk usul kenaikan pangkat saya
kumpulkan selama dua tahun. Nah, menurut ketentuan yang ada,
seseorang dosen boleh saja mengusulkan kenaikan pangkatnya dua
tahunan sepanjang didukung credit point yang dipersyaratkan. Saya
telah memenuhi ketentuan itu. Dan, usul kenaikan pangkat itu
adalah hak setiap dosen. Saya adalah dosen, maka saya berhak untuk
naik pangkat. Hak saya itu dirampas oleh penjaga pintu
gerbang kenaikan pangkat di tingkat program studi. Kenapa ketua
program studi bertindak sebagai penentu bahwa seseorang bisa
dinaikkan pangkatnya? Sebab, di samping ada peraturan dari pusat,
ternyata ada juga ketentuan di tingkat fakultas yang menggariskan,
bila seorang dosen akan naik pangkat dua tahunan terlebih dahulu
yang bersangkutan harus mendapat restu dari ketua program
studinya. Kebetulan saya tak mendapat restu itu.
Oleh karenanya, saya coba menyampaikan soal itu kepada
Pembantu Dekan I. Dia menegaskan bahwa restu yang sifatnya
tertulis itu harus disertakan dalam usulan kenaikan pangkat. Itu
sudah ketentuan fakultas, katanya. Saya akan coba mengadu kepa-
da dekan, tapi saya tak jadi, sebab saya takut. Konon kabarnya,
ketentuan itu dibikin oleh dekan. Singkat cerita, saya tak mampu
melewati pintu gerbang kenaikan pangkat. Lalu, saya biarkan usulan
kenaikan pangkat saya itu hingga setahun kemudian. Baru setelah
itu saya ajukan lagi. Lolos. Dan, naik pangkatlah saya dari IIIc ke
IIId.
Kini, saya siap-siap mengajukan usul kenaikan pangkat dari
IIId ke IVa. Walaupun dalam hitungan saya, credit point saya sudah
cukup, sementara ini saya kurang bernafsu untuk usul. Saya nggak
repot, kok. Yang penting, sekarang mudah-mudahan sampai masa
pensiun tiba saya coba untuk jadi dosen yang baik, seperti baiknya
tokoh-tokoh heroik dalam cerita fiksi. Tokoh-tokoh semacam ini selalu
sukses dalam memberantas ketidakadilan dan selalu dikenang
jasanya. Saya pengin seperti itu. Orang lain? Mana saya tahu!

167
Maungkai Budaya

Dalam arti, saya coba untuk committed terhadap status dan peran
saya sebagai dosen, menjaga martabat diri, kolegial, dan
instutusional; tidak telatan, tidak bolosan, dan sejenisnya. Kalaupun
saya beternak ayam dan itik, saya tidak koar-koar melalui koran.
Insya Allah, dengan begitu, hasil kerja yang kita makan dalam
keseharian, beberkah. Dari awal mendosen nama ini diupayakan
baik; pada masa purnabakti diupayakan baik; serta pasca purnabakti
diupayakan meninggalkan kesan yang baik pula. Singkat kata,
keadaan yang husnul khatimah-lah yang musti kita cita-citakan.
***
Saya memang suka baca cerpen atau novel baik yang populer
maupun serius, baik yang berbahasa daerah (Banjar dan Jawa), In-
donesia maupun Inggris. Bagi saya, cerpenis atau novelis adalah
orang yang mampu menciptakan manusia dan pola kehidupan-
nya dalam dunia fiktif. (Tentu, hanya Tuhanlah yang mampu dan
berhak menciptakan pola kehidupan manusia yang nyata). Cerpenis
atau novelis mampu mempolakan kehidupan manusia dalam dua
kategori: manusia yang baik tabiatnya dan yang buruk tabiatnya,
otoriter dan demokratis, kaya dan miskin, baik rupa dan buruk rupa,
dan sejenisnya.
Kalau novel, bisa juga sinetron, misalnya, dianggap sebagai
model atau pola kehidupan manusia, betapapun khayalnya, kita
bisa melihat model-model atau pola-pola kehidupan yang baik-buruk,
santun-kasar, bermoral-amoral, menyegarkan-menyebalkan atau
sejenisnya (misalnya, dalam persahabatan, hubungan antar anak-
anak, hubungan anak dengan orang tua atau sebaliknya, hubungan
guru dengan murid atau sebaliknya, hubungan dosen terhadap
mahasiswa atau sebaliknya, hubungan pemimpin dengan anak
buahnya atau sebaliknya, dan sebagainya). Model-model atau pola-
pola kehidupan dalam kategori baik bisa diadopsi dan dikembangkan
dalam kita hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara;
sebaliknya, hal-hal yang tidak baik tentu harus kita tinggalkan.
Sebagai model kehidupan, novel hampir selalu menawarkan
model/pola kehidupan yang baik dikonfrontasikan dengan yang
jelek, jahat. Walaupun, pada awalnya tokoh yang baik banyak
menghadapi tantangan, masalah, dan sejenisnya dari tokoh yang
jahat; pada akhirnya yang baik menang, berjaya, dan berbahagia,
168
E-Learning Via Information Technology

sedangkan yang jahat kalah, tersingkir dan lalu menderita. Aspek


pragmatis yang dapat dipetik dari karya seni tersebut adalah antara
lain: (a) perbuatan yang baik lambat laun akan membuahkan hasil
yang baik pula, (b) perbuatan yang tidak baik (sewenang-wenang,
korupsi, manipulasi, hanya mementingkan kepentingan pribadi
padahal yang bersangkutan seharusnya memikirkan kepentingan
rakyat banyak, serakah, memakan yang bukan haknya, dan
sejenisnya) akan berbuah ketidakbaikan, ketidaknyamanan,
kegelisahan, stress, penyakit (menderita lumpuh), dan hal-hal yang
tidak nyaman lainnya; (c) perbuatan yang baik akan mengalahkan
perbuatan yang jahat. Naudzubillahi min dzalik.
Sehabis baca novel, terlepas apakah ceritanya yang sangat fiktif,
karakterisasinya terlalu dibuat-buat dan sangat jauh dunia nyata,
saya senantiasa membutiri pesan-pesan moral yang dicobaapungkan
oleh novel itu. Ambil contoh, novel Di Kaki Bukit Cibalak karya
Ahmad Tohari. Penulis novel ini menggarap seorang pemimpin
(lurah) yang sewenang-wenang, otoriter, koruptor dan asal bapak
camat senang, serta atribut-atribut buruk lainnya. Melihat novel Di
Kaki Bukit Cibalak itu diterbitkan pertama kali pada tahun 1994, maka
bisa kita katakan bahwa situasi politik pada waktu itu atau bahkan
sebelumnya masih kental dengan nuansa politik orde baru di mana
seorang pemimpin, katakan kepala desa/ lurah, memiliki dominasi
yang sangat kuat terhadap rakyatnya.
Kehadiran novel itu, menurut teori novel sosial/ novel protes,
dimaksudkan untuk mengkritisi pemegang dominasi kekuasaan
pada waktu itu. Jika dilihat dengan pendekatan mikro-makro
terhadap karya sastra, maka seorang kepala desa seperti tercermin
dalam novel itu sebenarnya merupakan representasi dari banyak
kepala desa atau pemimpin politis lainnya dan seorang Pambudi
seperti tercermin juga dalam novel itu merupakan representasi dari
sekian orang yang berani mengkritisi pemimpin politis. Sang lurah
yang jahat itu akhirnya jatuh juga. Kejatuhan lurah ini digambarkan
dengan indahnya oleh pengarang mulai dari kejayaannya hingga
menjadi manusia yang hina dina bagai sampah yang tiada guna,
sebagai akibat yang bersangkutan suka menghalangi atau merampas
hak-hak orang lain.
***
169
Maungkai Budaya

Pakai sajalah media lain bila hendak mengritik. Karena, saya


percaya anda-anda yang tergabung dalam kelompok IT itu memiliki
kemampuan untuk menyuarakan pemikiran-pemikiran konstruktif
baik melalui ajang dialog maupun media koran, yang dilandasi
dengan teori-teori yang sangat sophisticated. Kenapa harus melalui
dunia maya?
Mending, bila nama atau identitas pengritiknya tercermin dalam
e-mail-nya seperti fatchul_muin@yahoo.com. Artinya, pihak-pihak
pengritiknya bisa diidentifikasi dan kritikan-kritikannya bisa
dikonfirmasi. Bila tidak, bukankah hal itu sama saja dengan
Melempar batu sembunyi tangan?
Tentang gaji dosen yang dihitung Ersis Rp. 500.000,00 sekali
hadir mengajar 2 mata kuliah, itu memang besar bila dibanding kerja
buruh di tambak ikan atau kandang ayam sampeyan. Tapi, yang
harus diingat bahwa kewajiban seorang dosen tentu tidak hanya
mengajar. Habis mengajar dia menghilang ke negeri antah
berantah, sehingga mahasiswa yang memerlukan bimbingan
akademis di luar kuliah bingung mencarinya. Dosen itu kan pegawai
negeri. Masak hadirnya cuma satu kali dalam seminggu? Kalau begitu,
ya baju luarnya saja yang dosen. Ah, yang bener aja, Sampeyan!

170

SISWA GAGAL UJIAN NASIONAL (UNAS)


SALAH SIAPA?

B ila seorang siswa sukses dan mencapai prestasi gemilang, or


ang tuanya mengklaim: Itu wajar, memang anak saya pintar.
Si anak sendiri mungkin juga punya anggapan yang kurang lebih
sama seraya mengatakan: Kalau saya nggak lulus, yang bodoh
bukan saya. Terhadap anak itu, orang lain pun, mungkin, akan
mengatakan: Wah, luar biasa anak itu, nilai matematikanya 10
(sepuluh) dan bertanya: Anak siapa itu, dan tak menanyakan:
Siapa guru matematikanya, atau les privat di mana? Dia mungkin
lupa bahwa kepintaran anak itu salah satunya- merupakan hasil
terpaan para gurunya di sekolah? Namun, bila dia gagal, guru itu
menjadi orang yang akan dimnitai pertanggungjawabannya?

Saling Lempar Kesalahan?


Pada tahun pelajaran 2004/2005 ini, ribuan siswa mengalami
kegagalan dalam studi. Mereka tidak lulus ujian akhir. Siapa salah dan
dipersalahkan? Tentu, para siswa dan orang tua/wali siswa tak akan
mengakui kalau mereka bersalah dan kemudian, dipersalahkan.
Malahan mereka balik mempersalahkan guru. Seperti disinyalir oleh
mantan Gubernur H.M. Said (Banjarmasin Post, 31 Juli 2005), bahwa
orang tua murid jika anak-anaknya tidak lulus sekolah marah-marah
dengan gurunya, padahal memang anaknya yang kurang memenuhi
syarat untuk dinyatakan lulus sekolah. Bila mereka gagal dalam
pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris atau pelajaran Matematika,
maka guru mata pelajaran itu akan dipersalahkan? Tentu, itu tak fair.
Terhadap para siswa yang gagal, guru/sekolah mungkin
mempersalahkan para siswa. Dari pembicaraan ringan dengan teman

171
Maungkai Budaya

saya, tampaknya pihak guru/sekolah mempersalahkan para siswa,


karena mereka tak mau bekerja keras atau belajar ala kadarnya.
Mungkin juga, pihak para guru/sekolah mempersalahkan para or-
ang tua/wali siswa. karena mereka tidak mendorong anak-anak untuk
belajar. Para orang tua dinilai hanya mengandalkan upaya para guru
di sekolah; mereka pasrah (menyerahkan sepenuhnya) kepada para
guru/sekolah. Tentu saja, amat tidak fair bila pihak guru atau sekolah
memiliki sikap semacam itu, yakni menimpakan kesalahan kepada
para siswa dan para orang tua mereka.
Banyak faktor penyebab mengapa para orang tua kurang
memiliki atensi terhadap kegiatan belajar anak-anaknya. Salah
satunya adalah faktor ekonomi keluarga. Banyak para orang tua
siswa kurang beruntung secara ekonomis. Mereka harus
membanting tulang, bekerja keras untuk mampu survive dalam
kondisi sulit ini. Boro-boro untuk mengirimkan anak-anak mereka
ke Pusat Bimbingan Belajar, Les Privat atau membelikan buku-buku
penunjang untuk keperluan belajar anak-anak mereka, bagi mereka,
cukup untuk menghidupi segenap anggota keluarganya dengan
takaran gizi minimal saja, sudah bersyukur.

Ujian Ulang?
Menurut informasi, para siswa yang gagal UNAS itu akan diberi
kesempatan untuk ujian ulang pada bulan Agustus 2005. Dari sudut
pandang kemanusiaan, pemberian kesempatan ujian ulang ini,
menurut saya, bagus. Sebab, secara psikologis (yang positif) ia tidak
terlalu lama mendera mental para siswa yang gagal itu. Namun,
secara psikologis pula (yang agak negatif dari aspek pembelajaran),
retest semacam itu tidak akan memberikan shock therapy bagi diri
mereka dan adik-adik kelas mereka di masa mendatang. Sebab,
seperti tahun-tahun yang lalu, dengan gaya belajar mereka yang
santai, toh mereka akan lulus bahkan dengan nilai yang lebih tinggi
dari nilai teman-temannya lulus terdahalu. Bila gaya ini yang
diadopsi oleh adik-adik kelas mereka, maka hal serupa akan terulang
pada tahun-tahun mendatang. Tidak lulus UNAS, tenang-tenang
saja. Toh mereka akan lulus bila diuji ulang.
Untuk dapat menjadi shock theraphy, terhadap para siswa yang
gagal UNAS dan para adik kelas mereka, seorang teman saya lebih

172
Siswa Gagal Ujian Nasional (Unas) Salah Siapa?

cenderung berkeberatan akan adanya retest tersebut. Menurut dia,


untuk memberikan motivasi belajar yang tinggi salah satunya- siswa
yang tak lulus harus mengulang atau mengikuti pelajaran lagi di
sekolah yang bersangkutan selama dua semester. Memang, dari segi
pembiayaan atau material-finansial, hal itu akan merepotkan baik
para orang tua maupun sekolah/pemerintah. Namun, dari segi
akademis, hal itu akan memacu mereka untuk mengubah gaya
belajar yang ala kadarnya menjadi gaya belajar yang serius, yang
pada gilirannya nanti, mereka tidak mengalami kegagalan dalam
UNAS.
Tentu, kegagalan para siswa tidak dapat sepenuhnya
diakibatkan oleh para guru atau pihak sekolah. Tak ada guru atau
sekolah manapun punya keinginan anak didiknya gagal alias tidak
lulus. Mereka tentu saja menginginkan semua anak didiknya
berhasil dengan predikat memuaskan, bahkan sangat memuaskan.
Namun, harus diakui bahwa mereka tentu punya andil terhadap
kegagalan sejumlah siswa dalam UNAS. Dan, saya yakin, mereka
juga tahu dan sadar bahwa mereka punya andil. Kalau, kemudian,
mereka hanya melempar kesalahan kepada para siswa, itu juga tidak
fair.

Atensi lebih terhadap Proses?


Menurut pengamatan saya, andil terhadap kegagalan para
siswa dalam UNAS itu bisa dirunut kembali mulai kelas satu. Saya
punya ilustrasi sederhana. Andaikan saja, ada siswa yang sebetulnya
lemah. Dengan berbagai pertimbangan, dia dinaikkan ke kelas dua.
Karena di kelas satu dia lemah, tanpa dibarengi upaya keras, di
kelas dua dia masih juga lemah. Dengan pertimbangan tertentu lagi,
dia naik ke kelas tiga. Celakanya, di kelas tiga dia memainkan
peranan yang sama dengan ketika dia berada di kelas sebelumnya.
Pada akhirnya, dia gagal dalam UNAS-nya, karena memang- dia
lemah sejak kelas-kelas awal.
Input bisa saja kurang bagus. Namun, bila proses pembelajaran
dan proses penilaian serta aspek-aspek pengiring lainnya berpijak
pada norma-norma yang telah ditetapkan, tanpa rekadaya, Insya
Allah, input kurang bagus akan keluar menjadi output yang bagus.
Kalaupun, paribahasa kita tak bisa mengubah iwak saluang menjadi

173
Maungkai Budaya

iwak haruan, ya setidak-tidak kita mengupayakan mereka untuk


mampu melampuai standar kelulusan. Namun, hendaknya kita tetap
memperhatikan aspek-aspek: pengetahuan, sikap dan perilaku.
Bila nilai kelulusan dipandang sebagai satu-satunya target dan
dianggap sebagai satu-satunya tolok ukur keberhasilan siswa, maka
kita akan terjebak pada proses pembelajaran yang titik berat aspek
atau ranah kognitif (pengetahuan) saja. Dua aspek atau ranah lain:
sikap dan perilaku terabaikan. Gawat, bila ini terjadi. Konon, karena
nilai yang dikejar, ada sejumlah siswa mengerjakan tes dengan cara
yang tak terpuji. Dan, ada sinyalemen, bahwa ada pihak tertentu,
dengan cara tertentu, dan untuk tujuan tertentu, mengupayakan
para siswa agar mereka mencapai angka/nilai standar kelulusan.
Wallahualam. Bagaimana menurut Anda?

174

PROGRAM BESAR FKIP

S ejak bulan Agustus 2008, FKIP Unlam mengadakan sejumlah


rapat besar. Pertemuan besar pertama adalah rapat kerja
fakultas. Dalam rapat kerja itu, memang dibicarakan hal-hal yang
ideal. Kalau hal-hal ideal itu bisa diimplementasikan dalam kegiatan
nyata di lingkungan fakultas, pastilah fakultas itu akan menjadi
fakultas dengan atmosfer akademik yang luar biasa tingginya. Dosen
disiplin; pemanfaatan IT menggairahkan; KBM bagus; dosen-
mahasiswa betah di kampus. Gagasan-gagasan ideal yang muncul
dan dijadikan kesepakatan, tampaknya, belum menyentuh
pelaksanaan KBM secara ideal. Buktinya, KBM masih saja terganggu
oleh bisingnya suara kendaraan. Ruang kuliah masih menjadi
rebutan. Dan sebagainya.
Seringkali, gagasan-gagasan ideal sulit diimplementasikan.
Sebab, banyak hal mempengaruhinya. Salah satunya adalah
ketersediaan dana. Gagasan pemanfataan IT dalam KBM, misalnya,
selain terkendala dana, ia meuntut kemampuan masing-masing
individu untuk mengoperasikannya. Ok, operasionalisasi ini bisa
dibantu oleh teknisi. Namun, apakah fakultas telah menyediakan
tenaga teknisi? Pemanfaatan IT ternyata menuntut individu untuk
tidak sekedar mengoperasikannya. Konkritnya, kita harus mampu
mengoperasikan komputer; membuat media dengan komputer;
memiliki blog/web dan mampu memeliharanya, dan sebagaimana
dan seterusnya. Pertanyaannya, sudahkah kita mengupayakan
kepada kita sendiri dan kepada warga fakultas secara keseluruhan
untuk melek IT itu?. Hendaknya, tidak hanya menyarankan atau

175
Maungkai Budaya

mengharuskan atau bahkan menginstruksikan untuk


memanfaatkan IT tetapi kita sendiri tak tahu sama sekali tentang
IT. Kalau hanya memberikan perintah saja, hendaknya dihindari.
Mari belajar dulu, baru memberikan perintah. Berikan contoh atau
teladan dalam hal IT dan pemanfaatannya.
Agenda besar lain adalah pembuatan rancangan pedoman
akademik, pedoman penulis karya ilmiah, dan lain-lain. Ini bagus,
bahkan bagus sekali. Namun, perlu diingat bahwa pedoman yang
ada masih dapat digunakan. Hal terpenting sebenarnya bukan
melakukan revisi pedoman, khususnya pedoman akademik, tetapi
memaksimalkan implementasi pedoman akademik itu dalam
kehidupan akademis di fakultas. Pertanyaannya? Apakah pedoman
yang ada itu telah dijalankan sebagaimana mestinya?
Agenda besar lain yang cukup menyita perhatian, tenaga dan
pikiran adalah revisi kurikulum. Pertengahan September 2008,
pertemuan akbar digelar. Sejumlah peserta rapat membahas secara
habis-habisan dan cenderung emosional. Sebab, berbagai alasan atau
pemikiran yang cukup rasional tidak ditanggapi dengan cara yang sama.
Kalau boleh dikatakan, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
kekuasaan. Konkritnya? Bahwa revisi kurikulum bagai kata pepatah
tak semudah membalik telapak tangan. Atas dasar perdebatan sengit
diwarnai sikap cukup emosional, disepakati: revisi kurikulum
diselesaikan di tingkat jurusan/program studi, selama enam bulan.
Persoalan muncul, ketika fakultas (dengan input dari PD 1)
mengundang lokakarya kurikulum pada tanggal 12 November 2008.
Artinya, kesepakatan penyelesaian revisi kurikulum dalam enam
bulan, dilabaikan. Undangan lokakarya itu telah beredar pada akhir
Oktober 2008. Sejumlah kaprodi bereaksi dan menyampaikan halnya
kepada dekan, dengan mengacu pada kesepakatan pada lokakarya
pertengahan September 2008. Gimana nich, kan belum enam bulan,
koq sudah ada undangan lokakarya?, komentar salah seorang dari
salah satu program studi di FKIP.
Beberapa hari sebelum lokakarya revisi kurikulum ke dua itu
digelar, ada surat penundaan lokakarya sampai waktu yang belum
ditetapkan. Dalam kaitan ini, dekan berlaku bijaksana. Mengapa?
Bila lokakarya yang belum saatnya digelar itu dipaksakan, akan

176
Program Besar FKIP

beberapa kemungkinan hal yang akan terjadi. Perdebatan sengit


seperti lokakarya pertama mungkin akan terulang. Kalau tidak, para
kaprodi hanya menampilkan sesuatu ala kadarnya, karena memang,
revisi kurikulum di prodinya belum dilaksanakan secara tuntas.
Masih sepenggal-sepenggal alias tidak seutuhnya. Apalagi,
pedoman yang turun dari langit ternyata membingunkan dan
sering berubah-ubah seiring dengan masuknya informasi baru.
Muncul lagi informasi terbaru, pedoman atau tepatnya petunjuk
berubah lagi. Hal ini membuat sejumlah dosen bekerja dua sampai
tiga kali seiring perubahan petunjuk. Seyogyanya, pedoman itu
didasarkan pada hasil kesepakatan. Bila keliru, keliru semua; bila
benar, ya benar semua. Tak ada yang dipersalahkan bila ada
kesalahan. Kalau begini, kesan pertama atas berubah-ubahnya
pedoman itu adalah belum matangnya perencanaan, konsep dan
lain-lain di tingkat fakultas. Bukan kita menolak perubahan menuju
hal ideal. Tapi, berikan waktu yang cukup dan bila perlu sokongan
dana yang memadai.
Bila waktu yang disediakan cukup dan sokongan dana
memadai, kerja dosen akan maksimal. Harap diingat, bahwa para
dosen kita masih banyak yang mencari penghasilan tambahan di
sela-sela tugas wajibnya. Jadi, bila sekiranya dana fakultas
memungkinkan, alangkah bagusnya, dana itu tidak hanya
diarahkan kepada pengembangan fisik saja tetapi juga kepada
pengembangan non-fisik, termasuk memberikan intensif bagi dosen
yang berkarya. Karya dosen tidak hanya penelitian atau pengabdian
masyarakat. Membuat peranti pembelajaran (silabus, RPP, dan buku
ajar dan sebagainya) bisa diartikan sebagai karya akademis.
Hendaknya, ada reward bagi dosen yang berkreasi/berkarya.
Dalam hal ini, perlu dibikin mekanisme pemberian reward.
Menulis artikel di koran, jurnal ilmiah, buku ajar, dan sejenisnya,
misalnya, dihargai berapa. Bila begini apresiasinya, dosen akan
menjadi kreatif, inovatif dan produktif. Namun, bila dosen hanya
diminta kerja dalam suatu tim untuk mengerjakan, katakan saja,
rancangan pedoman akademik tanpa adanya reward, maka mereka
tidak ada bedanya dengan mereka di luar tim. Walau semua kita
tahu, bahwa membela lembaga itu hukumnya wajib. Kalau boleh
dibagi, ada wajib secara individu dan wajib secara kelompok (tim).

177
Maungkai Budaya

Tak salah kiranya bila tim yang notabene mewakili semua itu diberi
apresiasi khusus. Bila tidak, tidak fair namanya. Sebab, jelas kerja
mereka menjadi ganda: sebagai individu dan sebagai anggota tim
kerja. Sebagai pemain ganda, mereka hendaknya tidak dipandang
dengan sebelah mata. Bagaimana menurut Anda?

178

KEKAYAAN YANG TERLUPAKAN,


ADAKAH?
(Catatan dari Sosialisasi Kekayaan Intelektual)

M enurut keterangan panitia, dalam tahun 2005, Sosialisasi


Kekayaan Intelektual dalam bentuk Penataran dan Lokakarya
atau Workshop telah digelar oleh Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi melalui Direktur Pembinaan Penelitian dan Pengabdian
Kepada Masyarakat (DP3M), di empat tempat (Malang, 1 s.d 4 Juni
2005, Jakarta, 27 s.d. Juni 2005, Manado, 3 s.d. Juli 2005, dan
Banjarmasin 29 s.d. 31 Agustus 2005). Kegiatan Manajemen (Sentra)
Kekayaan Intelektual akan digelar di Jakarta, pada bulan Septem-
ber 2005. Sosialisasi Kekayaan Intelektual ini diselenggarakan, antara
lain, didasarkan pada kenyataan bahwa kita, bangsa Indonesia amat
kaya akan invensi (temuan) dan inovasi teknologis, baik sederhana
maupun complicated. Dengan harapan, insan akademis melakukan
kegiatan riset/penelitian yang invensi dan inovasinya dideskripsi
semikian rupa untuk bisa dipatenkan kelak.

Tak nyambung?
Kebetulan saya dikirim oleh lembaga tempat saya bekerja untuk
mengikuti sosialisasi Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Karena
ketidaktahuan saya tentang HKI itu, saya hooh saja, ketika lembaga
meminta kesediaan saya. Tentu dengan harapan, walau serba
sedikit, saya akan menjadi tahu tentang HKI. Materi demi materi
saya ikuti dengan seksama hingga acara itu selesai. Jujur saja,
lembaga kurang tepat dalam mengirim orang. Sebab, prior knowl-
edge saya tak banyak terpaut dengan materi yang disajikan. Soal
teknik (sekalipun yang paling sederhana), jangankan bikin, paham
saja enggak. Soal elektronik, saya hanya mampu menyambung kabel.

179
Maungkai Budaya

Soal pertanian/perkebuhan, saya hanya pengguna hasilnya. Soal


hukum, saya hanya tahu sedikit sekali.
Padahal, usai penataran, peserta diharapkan untuk mengupayakan
riset berbasis Hak Kekayaan Intelektual atau berperan aktif mengelola
Hak Kekayaan Intelektual di Sentra Hak Kekayaan Intelektual; setidak-
tidaknya, selalu melakukan sosialisasi tentang Hak Kekayaan Intelektual
lebih lanjut. Saya tak nyambung dengan materi-materi yang disajikan
itu. Sub-materi karya seni saja yang sedikit nyangkut. Karya seni, novel
misalnya, tidak seperti tempe yang bisa diusulkan Hak Kekayaan
Intelektual-nya berupa hak paten; Hak Kekayaan Intelektual novel hanya
berupa hak cipta (copy right). Namun sub-materi itupun, tak banyak
dipaparkan oleh penyaji. Tampaknya, Hak Kekayaan Intelektual yang
bisa dipatenkan, dimonopoli oleh hal-hal berbau teknologi.

Tak Semua Bikin Makalah


Kegiatan sosialisasi itu memang memang berupa penataran dan
lokakarya. Ya, sah-sah saja bila para pembicara tak menyusun
makalah. Karena kegiatan itu perlu dokumen tertulis, selain materi
pokok, sambutan-sambutan pun perlu dituangkan dalam dokumen
tertulis. Dari 15 pembicara, hanya 3 pembicara menyusun makalah.
Sejumlah lainnya hanya menyampaikan materi secara lisan; dan
sejumlah lainnya lagi menyampaikannya dengan pointer.
Idealnya, materi terlebih dahulu dituangkan dalam makalah.
Memang, penyusunan makalah perlu waktu cukup panjang. Ini,
tentu agak merepotkan pembicara yang sibuknya luar biasa. Namun,
perlu diingat, bahwa sang pembicara perlu meninggalkan dokumen
tertulis yang berupa makalah, bukan pointer-pointer. Makalah
menghadirkan sejumlah manfaat bagi pembaca, baik yang sebagai
peserta maupun bukan peserta; ia dapat dibaca kembali guna
pemahaman lebih lanjut dan/atau dimanfaatkan sebagai bahan
rujukan penyusunan makalah/artikel oleh pihak lain.
Tampaknya, penyampaian materi dengan pointer telah menjadi
trend sekarang ini. Sang pembicara/penyaji, tampaknya, tak peduli,
apakah materi yang disampaikan bisa diserap dengan baik atau tidak.
Ya, mungkin saja, para peserta bisa menyerapnya dengan baik ketika
atau beberapa saat setelah materi itu disampaikan. Setelah mereka
kembali ke lembaga masing-masing. Materi yang sempat hinggap

180
Kekayaan yang Terlupakan, Adakah?

dalam memori mereka, bisa saja lenyap. Bila tak ada makalah,
pointer-pointer itu saja satu-satunya bahan untuk memunculkan
pemahaman tentang materi tertentu. Ini menyusahkan.
Penyampaian materi tanpa makalah bisa mengindikasikan
bahwa sang penyaji koler menyusun makalah (dengan sejumlah
alasan) dan melestarikan tradisi lisan. Bila dikatakan bahwa dia tak
punya kemampuan menulis, tak mungkinlah. Dia tentu pakar.
Sebagai seorang dengan label pakar, selain hebat dalam bicara, tentu
hebat dalam dunia tulis menulis, termasuk menulis makalah yang
kaidahnya serba scientific. Syukur-syukur, kalau penyaji yang berasal
dari pengelola Sentra Kekayaan Inteletual menyertakan contoh pro-
posal pengajuan Hak Kekayaan Intelektual, baik Hak Cipta maupun
Hak Paten. Dalam kaitan ini, saya ingat seorang penulis artikel dalam
koran di kota ini, yang menyatakan bahwa banyak di antara kita
bisu bahasa tulis dan hanya mengandalkan bapandir. Oleh karena
itu, wajar saja bila banyak temuan atau peristiwa penting tak
terdokumentasikan. Tautannya dengan Kekayaan Intelektual? Lha,
karena tak terbiasa mendokumentasikan, justru, orang luar negeri
meneliti produk yang telah sekian lama dihasilkan atau meneliti
hal-hal lain di bumi pertiwa ini, lalu mendokumentasikan dan
mengusulkan menjadi hak patennya. Tak perlu disesali. It is useless.

Kebakaran Jenggot?
Konon, banyak temuan bangsa kita yang menjadi kekayaan
intelektual terlupakan untuk dipatenkan; justru diusulpatenkan oleh
orang-orang manca negara. Sekedar contoh, hak kekayaan
intelektual (paten) untuk tempe, tahu, batik, furnitur, dan akar pasak
bumi dimiliki oleh mereka. Ketika salah seorang penyaji bersama-
sama peserta penataran- melakukan searching hak paten tempe (tereja
tempeh) di internet, ditemukan lebih dari 500 hak paten yang terkait
tempe. Apakah satu atau beberapa hak paten tempe itu dimiliki oleh
orang-(orang) kita? Tak tahulah. Yang saya tangkap, tempe produk
makanan yang teknologinya telah dikerjakan oleh orang Jawa secara
turun temurun itu- telah dipatenkan oleh orang Jepang. Sebagai
konsekuensinya, kita tak bisa menjual produk itu ke luar negeri
sebelum membayar royalty kepada pemilik hak patennya.

181
Maungkai Budaya

Setelah temuan demi temuan bangsa kita dipatenkan oleh pihak


lain, kita terkaget-kaget dan lalu kebakaran jenggot seraya
mengklaim ini-itu merupakan kekayaan intelektual kita. Bila azas
yang dipakai adalah siapa cepat, dia dapat (the first to file), maka kita
hanya bisa gigit jari. Orang kita yang menemukan dan
mengembangkan, tetapi Hak Kekayaan Intelektual -nya dimiliki oleh
orang luar negeri. Bila benar Hak Kekayaan Intelektual teknologi
sasirangan telah dimiliki oleh orang luar negeri, maka kita akan susah
mengekspor produk sasirangan, dan tidak tertutup kemungkinan kita
akan diklaim sebagai penjiplak. Bila klaim penjiplakan ini terjadi,
tentu konsekuensi hukum menyertainya.

Sentra HKI di Unlam


Buku Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem
Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi yang, antara lain, mengamanatkan pembetukan Sentra
Hak Kekayaan Intelektual di Perguruan Tinggi, tentu telah lama ada
di Unlam. Tampaknya, Sentra Hak Kekayaan Intelektual (HKI) belum
dibentuk di Unlam. Agar tidak mengingkari Undang-Undang itu,
terutama pasal 13 ayat 2 dan 3:
Perguruan tinggi dan lembaga libang wajib mengusahakan
penyebaran informasi hasil-hasil kegiatan penelitian dan
pengembangan serta kekayaan intelektual yang dimiliki selama tidak
mengurangi kepentingan perlindungan kekayaan intelektual dan
Dalam meningkatkan kekayaan intelektual, perguruan tinggi dan
lembaga litbang wajib mengusahakan pembentukan sentra HKI
sesuai dengan kapasitas dan kemampuannyamaka dengan
mengikuti atau mengadopsi paparan Dr. Suprapto, Manager Sentra
HKI dan Promosi IPTEKS, ITS Surabaya dalam makalahnya Peran
Sentra/Gugus HKI di Perguruan Tinggi (bila perlu), Unlam sesegera
mungkin membentuk Sentra HKI.
Diharapkan, selain sebagai wadah untuk menangani tetek bengek
tentang HKI, Sentra HKI di Unlam bersama Lembaga Penelitian bisa
memainkan peran dalam sosialisasi kekayaan intelektual dan
mengarahkan research for invention and/or innovation to reach intellec-
tual property rights. Bagaimana menurut Anda?

182

SEKOLAH
DALAM KONDISI DILEMATIS?

T erinspirasi oleh berita di Radar Banjarmasin, Sabtu, 26 Juli 2008


berjudul Dikembalikan, Tapi Dipungut Lagi?, saya mencoba
untuk menulis artikel ini. Dalam artikel berita dikemukakan soal
pungutan biaya penyelenggaraan pendidikan. Konon, menurut
ketentuan pungutan tanpa dasar yang jelas, dilarang. Sehingga, saya
berasumsi bahwa sekolah, khususnya di Banjarmasin, dihadapkan
pada dua pilihan yang sulit untuk dipilih. Sekolah menjadi serba
salah. Sekolah mendapat tekanan berat dari berbagai arah.
Memang, pelarangan tentu ada dasarnya. Namun, dalam
melarangan adanya pungutan mustinya dibarengi kebijakan yang
meringankan semua pihak (khususnya, sekolah dan orang tua
siswa). Berikut ulasannya.
Sebagaimana dimaklumi selama ini, pendidikan terhadap anak
bangsa ini menjadi tanggung jawab bersama, antara pemerintah,
masyarakat dan para orang tua. Tanggung jawab ketiga pihak itu
tentu sudah dijalankan sesuai dengan porsi masing-masing. Secara
khusus, sebagaimana yang saya ketahui dan alami ketika masih
sekolah, tanggung jawab orang tua yang harus diemban oleh orang
tua, salah satu di antaranya, adalah pemenuhan sumbangan yang
berupa uang pangkal dan SPP. Sejauh yang saya ketahui, uang
pangkal dan SPP ditentukan oleh pihak sekolah. Kini, sumbangan
berganti nama (uang pengembangan dan iuran komite) dan
ditentukan melalui musyawarah antara sekolah, komite sekolah
dan para orang tua siswa. Kedua macam sumbangan sebenarnya
setali tiga uang atau sama saja. Yakni, sama-sama merogoh kocek
orang tua siswa.

183
Maungkai Budaya

Selama ini pula, tidak muncul persoalan berarti. Namun, dua


tahun terakhir, ketika diwacanakan pendidikan murah atau kalau
perlu gratis, sumbangan pendidikan memunculkan persoalan cukup
pelik bagi sekolah. Sebab, konon kabarnya, kucuran dana
operasional pendidikan di sekolah tak mampu untuk membiayai
semua keperluan sekolah. Sementara, pihaknya tidak diperbolehkan
memungut uang dari wali siswa secara sepihak. Pungutan uang
sekecil apapun, tanpa melalui mekanisme musyawarah, akan
diobok-obok oleh LSM dan disemprit oleh pihak-pihak berwenang.
Pihak sekolah benar-benar berada dalam kondisi dilematis:
memungut, salah; tidak memungut, tak ada duit.
Urusan finansial di sekolah tak bakal menjadi masalah bilamana
pihak berwenang mengucurkan dana yang cukup guna
operasionalisasi pendidikan di sekolah. Pertanyaannya: apakah
pihak berwenang telah menyediakan dana yang cukup?

Perlu sokongan dana


Ada sebuah ungkapan yang kurang lebih artinya: ingin sukses,
berkorbanlah. Menggapai kesuksesan besar perlu biaya yang besar pula.
Menginginkan pendidikan dengan mutu yang memadai tanpa
pembedaan latar belakang ekonomi orang tua siswa, perlu sokongan
dana yang memadai pula. Anggota masyarakat yang cukup
berkemampuan dan menginginkan anak bangsa ini maju, tentu saja,
diharapkan bersedia merogoh koceknya untuk penyelenggaraan
pendidikan (via orang tua asuh atau lainnya). Orang tua yang berharap
anaknya berhasil dalam belajar, sudah barang tentu, hendaknya
melakukan hal yang sama. Pendek kata, segala sesuatu tanpa bea (baca:
pengorbanan) hasilnya tak maksimal alias ala kadarnya.
Menurut informasi dari salah seorang Wakasek salah satu SMA
favorit di Kota Balikpapan, Pemerintah Kota Balikpapan
mengucurkan dana bantuan atau subsidi untuk pendidikan. Bantuan
untuk siswa SMA (negeri/swasta) lebih kurang 50 % dari dana yang
harus dibayar; SMP (negeri/swasta) dan SD (negeri/swasta)
mungkin saja gratis bila dana bantuan cukup untuk operasionalisasi
pendidikan. Bila dana bantuan ternyata kurang, maka kekurangan
itu dimusyawarahkan antara sekolah, komite sekolah dan wali siswa.
Dalam musyawarah, ditetapkan sumbangan sukarela tapi mengikat.

184
Sekolah dalam Kondisi Dilematis

Besaran sumbangan sukarela ini tidak sama antara orang yang satu
dengan lainnya. Tidak dipukul rata. Orang tua/wali siswa
diharapkan memberikan subsidi silang kepada orang tua/wali siswa
kurang mampu. Agak rumit memang, namun hal itu dapat
dilakukan.
Ini berarti penyelenggaraan pendidikan di sana tak mengalami
masalah dalam pembiayaan, sebab pemerintah setempat menyokong
dana kepada sekolah. Sokongan dana ini pada gilirannya akan
meringankan biaya pendidikan yang harus ditanggung oleh
masyarakat yang secara ekonomi kurang beruntung. Pembiayaan
penyelenggaraan tetap saja seperti biasa, bahkan bisa lebih tinggi
dari tahun-tahun sebelumnya, namun pihak sekolah disokong dana
yang memadai. Pak walikotanya memenuhi janji untuk meringankan
beban masyarakat dalam pendidikan. Namun demikian,
sebagaimana dituturkan oleh Wakasek itu, pendidikan gratis-tis itu
hal yang tak mungkin. Semua pihak, khususnya orang tua siswa,
harus menanggung sebagian dari biaya pendidikan. Mana ada yang
gratis sekarang ini.
Di kota ini? Kayaknya, kebijakan seperti itu koq belum ter-
dengar. Yang terdengar selama ini, tak boleh ada pungutan dalam
penerimaan siswa baru (PSB); setelah PSB selesai, tak boleh ada
pungutan dari orang tua/siswa dalam bentuk apapun sebelum ada
musyawarah antara sekolah, komite sekolah dan wali siswa. Banyak
pengelola pendidikan di sekolah berada di bawah bayang-bayang
ketakutan. Berani melakukan pungutan, harus siap terkena semprit.
Sampai-sampai, menyediakan tetek bengek atribut sekolah, seragam
dan lain-lain perlu dilengkapi dengan surat pernyataan yang
berbunyi: Saya memesan/membeli barang tersebut atas kemauan
sendiri, tanpa ada paksaan dari pihak manapun yang ditanda-
tangani oleh siswa dan walinya. Ini refleksi dari ketakutan yang
luar biasa! Saya kira semua kita tahu, atribut dan seragam sekolah
(khusus baju batik, topi, kaos kaki, kerudung yang tak ada di
pasaran) dari dulu disediakan oleh sekolah. Sebentar lagi, heboh
soal pengadaan buku mungkin terjadi lagi. Kita tunggu reaksi apa
yang bakal muncul?
Tidak baik memang, membanding-membandingkan dengan
pihak/kota lain. Namun, perlu juga kita memperhatikan kiprah pihak
185
Maungkai Budaya

lain dan bila beberapa hal di antaranya patut diadoptasi, kenapa tidak?
Kita seringkali mendengar istilah studi banding. Sejumlah anggota
dewan, pengelola sekolah, atau dosen/mahasiswa melakukan studi
banding ke wadah orang. Apa gunanya studi banding? Ya itu tadi,
kalau kita dapati hal-hal bagus di wadah orang, kita manfaatkan untuk
membangun di wadah kita. Kiranya, perlu juga mengintip
penyelenggaraan pendidikan di kota dari provinsi tetangga itu.

Pungutan dilarang
Pelarangan terhadap sesuatu pasti didasarkan pada perilaku
menyimpang yang terjadi selama ini. Untuk mengeliminir (setidak-
tidaknyanya, meminimalisir) perlu dilakukan pelarangan. Ini
kebijakan yang perlu dihormati. Karena, sekecil apapun, pungutan,
misalnya, tetap saja melanggar ketentuan. Bila pungutan uang
pengembangan dan iuran komite harus didasarkan pada
musyawarah, hendaknya sekolah tidak coba-coba memungut
sebelum ada kesepakatan dalam musyawarah. Kegiatan
musyawarah untuk menentukan besaran uang sumbangan,
hendaknya didasarkan pada rencana kegiatan/pengeluaran/
pembiayaan yang realistis dan bermuara pada peningkatan mutu
pembelajaran.
Insentif boleh saja tinggi. Namun, insentif tinggi harus dibarengi
dengan tingkat pelayanan yang sepadan. Rencana anggaran untuk
pengadaan/peningkatan fasilitas boleh saja besar. Namun,
anggaran yang besar itu harus direalisasikan sesuai dengan rencana
anggaran yang telah ditetapkan. Dengan jalan itu dan hanya dengan
jalan itu, anggaran pendapatan dan belanja sekolah akan
mengantarkan pembelajaran bermutu dan pada gilirannya anak
didik bisa memperoleh layanan pendidikan yang memuaskan. Proses
bagus dan hasil maksimal. Konsekuensi logisnya, damai di sekolah
dan damai di masyarakat; damai guru dan damai siswa. Pendek
kata, tiada kecewa di sana dan tiada gerutu di sini. Di sana-sini,
yang ada adalah kepuasaan semua pihak. Alangkah indahnya bila
sebuah sekolah mampu menciptalan kondisi itu.

Soal buku pelajaran


Setiap awal tahun pelajaran, para orang tua/wali siswa sering
dipusingkan dengan pengadaan buku-buku pelajaran. Mereka
186
Sekolah dalam Kondisi Dilematis

diwajibkan menebus buku-buku pelajaran. Sempat ada pelarangan


terhadap guru/sekolah merangkap sebagai penyedia buku-buku
pelajaran. Sejumlah guru takut menjual buku pelajaran yang
diasuhnya. Sehingga, mereka hanya mewajibkan anak didik memiliki
buku itu. Tetapi ternyata, ada sejumlah orang tua siswa pusing ketika
membeli sendiri di toko buku. Sebab, buku-buku yang dimaksud
ternyata tidak selalu tersedia di toko buku tertentu. Pendek kata,
dia harus pergi dari toko buku yang satu ke toko yang lain. Ternyata,
ongkos yang harus dikeluarkan lebih besar ketimbang ujungan yang
diterima oleh bapak/ibu guru. Tak salah-salah amat, bila kita
membantu bapak/ibu guru. Biarkanlah beliau ikut menyalurkan
buku pelajaran yang ditawarkan oleh penerbit atau pihak manapun.
Diakui atau tidak, buku pelajaran itu penting dalam serangkaian
proses pembelajaran. Sekarang bukan zamannya lagi kita
menerapkan sistem catat, sebab bahan yang dicatat telah tersedia.
Sehingga, pengadaan buku pelajaran menjadi sebuah keharusan.
Dalam hal ini, bila guru/sekolah menjadi penyedia buku-buku
pelajaran, seyogyanya pihaknya mengatur cara pembayaran
sedemikian rupa sehingga kelak tidak memberatkan siswa/orang
tua siswa yang kurang mampu.
Untuk keperluan jauh ke depan, bila pembelajaran menekankan
pada proses sesuai dengan tuntutan kurikulum dan ditunjung buku/
referensi memadai, maka dalam menempuh ujian nasional para siswa
tidak perlu lagi diantarkan, sebagaimana disinyalir selama ini, dengan
cara-cara yang tidak mendidik. Hendaknya, para guru/sekolah tidak
dihadapkan pada kondisi dilematis.
***
Upaya meringankan masyarakat dalam pendidikan hendaknya
tidak hanya didasarkan pada niat/keinginan belaka; harus ada
tindakan nyata. Pendidikan perlu biaya. Bila pihak berwenang ingin
meringankan biaya pendidikan, tindakan nyata yang semestinya
ditempuh adalah memberikan sokongan dana. Dan, masyarakat
cukup mampu perlu diminta partisipasinya melalui orang tua asuh,
memberikan sokongan dana lebih dari yang ditetapkan atau
memberikan donasi dengan cara lain. Dengan cara itu, beban
masyarakat kurang mampu akan menjadi lebih ringan. Komitmen
semua pihak perlu dibangun, khususnya dalam pembiayaan
187
Maungkai Budaya

penyelenggaraan pendidikan. Setelah dana tersedia, sekolah


hendaknya berkomitmen untuk benar-benar memanfaatkan dana
itu untuk kepentingan penyelenggaran pendidikan. Bagaimana
menurut Anda?

188

DUKUNGAN DANA,
APBS DAN STUDI BANDING
(Tanggapan atas Tulisan Ahmad Rizky Mardhatillah Umar)

A rtikel saya Sekolah dalam Kondisi Dilematis? (Radar


Banjarmasin, 29 Juli 2008) ditanggapi oleh Ahmad Rizky
Mardhatillah Umar, selanjutnya disebut Umar, seorang alumnus
salah satu SMA favorit di Banjarmasin, dengan judul Sekolah,
Pungutan, dan Transparansi (Radar Banjarmasin, 6 Agustus 2008).
Tulisan tanggapan itu menyorot beberapa hal, antara lain: kebijakan
Dinas Pendidikan Kota, APBS, dan Studi Banding. Masalah-masalah
yang dicobaampungkan menyangkut pelaksanaan program
sebagaimana tertuang dalam APBS (Anggaran Pendapatan dan
Belanja Sekolah). Ulasannya adalah sebagai berikut:

Tentang Dukungan Dana?


Prinsipnya, saya setuju dengan gagasan yang dicobaapungkan
oleh Umar. Berkenaan dengan dukungan dana penyelenggaraan
pendidikan yang berasal dari Pemerintah Kota Banjarmasin, dalam
artikel saya, saya sampaikan dengan harapan untuk mendapatkan
informasi tentang ada/tidaknya dukungan dana. Dengan
perbandingan itu, kalau memang pihaknya mendrop sejumlah dana
penunjang penyelenggaraan pendidikan di kota ini, yang berwenang
diharapkan memberikan klarifikasi, bahwa pihaknya telah
melakukan hal itu.
Kalau memang dana penunjang pendidikan itu ada,
bagaimana mekanisme pendistribusiannya? Apa Sekolah dan Komite
Sekolah merancang RAPBS, semisal belanja sekolah teranggar 1
miliar rupiah. Lalu, diajukan ke Pemkot. Katakan saja, pihaknya
membantu setengah miliar rupiah. Kalau begini kondisi, sekolah

189
Maungkai Budaya

bersama komite sekolah akan mencari setengah miliar ke pihak wali


murid melalui mekanisme rapat/musyawarah.
Atau, pendistribusiannya melalui mekanisme lain. Bila dana
ada dan mekanisme pendistribusiannya jelas, maka pihak sekolah/
komite sekolah tidak kalang kabut. Ini semua, yang saya kira, belum
jelas. Yang jelas dan sangat jelas, sekolah tidak boleh memungut
biaya dari wali murid sebelum ada ketetapan besaran pungutan
melalui musyawarah.
Larang-melarang boleh-boleh saja; namun, menurut saya,
melarang memungut duit maka mohon dengan sangat hormat
berikanlah duit pengganti. Dalam kaitan ini, mungkin senada
dengan Umar, pelarangan pungutan hendaknya tersosialisasikan
dengan sebaik-baiknya hingga seluruh personil pendudung
penyelenggaraan pendidikan tahu persis apa saja yang boleh dan
apa saja yang dilarang. Mohon diberi rambu-rambu yang jelas
sehingga komite sekolah tidak ikut kalang kabut.
Berkenaan dengan pemungutan, yang legal sekalipun, bagi
oknum nakal yang memanfaatkan kesempatan untuk kepentingan
pribadi, hendaknya ditangani dengan mekanisme yang sudah baku.
Oknum yang jelas menyelewengkan dana dari masyarakat, tentu
saja patut diberi ganjaran setimpal.

Tentang APBS
Idealnya, APBS disusun melalui prosedur yang cukup panjang.
Pertama, sekolah membentuk tim penyusun Rancangan RAPBS. Tim
ini mencakup beberapa bidang, antara lain: umum, pengajaran,
sarana dan prasarana, kesiswaan, kehumasan, perpustakaan. Kedua,
masing-masing bidang merencanakan program berikut dengan biaya
yang diperlukan. Ketiga, hasil kerja dari masing-masing bidang
dikompilasi menjadi Rancangan RAPBS. Keempat, RAPBS ini
kemudian ditelaah oleh Pengurus Komite Sekolah. Kelima,
Rancangan RAPBS hasil revisi itu lalu dijadikan RAPBS, yang
kemudian diserahkan ke Dinas Pendidikan Kota untuk ditelaah lagi.
Kemudian, RAPBS hasil telaah Dinas Pendidikan Kota itu dibawa
ke musyawarah bersama sekolah, komite sekolah dan wali murid.
Terakhir, melalui kesepakatan bersama, RAPBS dijadikan APBS yang
disahkan oleh Dinas Pendidikan Kota. Mekenisme ini perlu proses

190
Dukungan Dana, APBS dan Studi Banding

yang panjang, sementara biaya penyelenggaraan pendidikan harus


terpenuhi dari hari ke hari dan dari bulan ke bulan.
Merespons gagasan Umar tentang APBS, bahwa APBS yang
telah ada sebenarnya sudah baik walau belum ideal dan rasional. Ia
terlahir melalui proses yang cukup ideal dan telah dimungkinkan
untuk dijadikan dasar belanja sekolah. Namun, seperti disinyalir
oleh Umar, di sani-sini masih ditemukan hal-hal yang kurang
rasional. Untuk itu, saya sepakat, rasionalisasi anggaran perlu
dilakukan. Insentif dipangkas (sebab umumnya personil sekolah
negeri itu pegawai negeri dan sebagian telah mendapatkan
tunjangan profesional). Biaya ulangan harian, ulangan blok, ulangan
tengah semester dan ulangan semester disediakan dana secara wajar
dan rasional (misal, hanya biaya untuk alat tulis; sedangkan panitia
dan pengawas tidak usah dibayar (sebab itu sudah menjadi bagian
dari tugas guru: mengajar, menguji dan menilai).
Mari kita sama-sama perhatikan beberapa hal tentang peran
yang seharusnya dimainkan oleh komite sekolah, yakni: (1) pemberi
pertimbangan dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan di
sekolah, (2) pendukung finansial, pemikiran maupun tenaga dalam
penyelenggaraan pendidikan, (3) pengontrol dalam rangka
transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan, dan
(4) mediator antara sekolah dan masyarakat. Dari peran-peran itu
termanifestasi fungsi-fungsi yang seharusnya dijalankan, antara lain;
(1) membangun komitmen masyarakat terhadap pendidikan
bermutu, (2) menjalin kerja sama dengan masyarakat dalam arti
luas, (3) menampung dan menganalisis aspirasi, ide, tuntutan dan
berbagai kebutuhan pendidikan yang diajukan masyarakat, (4)
memberikan masukan, pertimbangan dan rekomendasi kepada
sekolah yang antara lain berkenaan dengan RAPBS, dan (5)
mendorong partisipasi masyarakat (termasuk orang tua murid/
siswa) dalam pembiayaan penyelenggaraan pendidikan, serta (6)
melakukan kegiatan-kegiatan lain yang mendorong kebermutuan
penyelenggaraan pendidikan.
Bila peran dan fungsi komite sekolah bisa dijalankan sesuai
dengan Keputusan Mendiknas Nomor 044/U/2002, komite sekolah
akan lebih powerful dalam rangka penyelenggaraan pendidikan yang
bermutu akan terwujud, dana tersedia dengan cara legal,
191
Maungkai Budaya

transparansi dan akuntabilitas terjaga, komitmen sekolah dan


masyarakat terbangun, dan segala keluhan terhadap penyimpangan
penggunaan dana APBS, dapat diminimalisir, syukur bila dapat
dieliminir. Hal terpenting, bila komite sekolah lebih powerful, ia bisa
memainkan peran dan mengemban fungsinya secara maksimal.
Selama ini, apakah komite itu powerful or powerless? Bila ia power-
less, pihak sekolah menjadi pihak yang powerful. Sehingga, komite
sekolah hanya sebuah badan hidup tapi tanpa roh, dengan fungsi
sebagai pemberi legitimasi kebijakan program sekolah? Namun,
adakah di dunia ini yang ideal atau bahkan sangat ideal? Seringkali,
antara harapan terhadap komite sekolah tidak berbanding lurus
dengan kenyataan. Hanya dengan komitmen kepala sekolah dan
jajarannya dalam menjalankan proses persekolahan berdasar
ketentuan tersebut, harapan terhadap komite sekolah dan kenyataan
dapat berbanding lurus.

Tentang Studi Banding


Studi banding dalam artikel saya adalah studi banding dalam
rangka pemenuhan biaya penyelenggaraan pendidikan oleh pihak
pemerintah, masyarakat dan orang tua murid. Namun, studi band-
ing yang saya maksudkan, oleh Umar, ditarik sedemikian jauh
sehingga secara implisit memasuki ranah yang berbeda. Ranah yang
dimasuki Umar, konon kabarnya, telah ada klarifikasi. Itu sah-sah
saja. Tapi bagi saya, itu bagai ungkapan lain nang gatal, lain nang
digaruk. Luput jadinya. Terlepas dari itu, saya salut dengan adik
kita bernama Umar ini. You are a creative and critical young man. Go
on your writing habit. I hope you become a good writer in the future.
Bagaimana menurut Anda?

192

MENGAPA ADA PELARANGAN?

P elarangan diberlakukan oleh pihak berwenang tentu didasarkan


pada pertimbangan yang matang. Pelarangan dimunculkan ke
permukaan bila sesuatu hal dilakukan akan menimbulkan kerugian,
ketidaknyamanan, penderitaan, keberatan atau sejenisnya pada
pihak lain yang nota bene masyarakat luas. Penjualan buku dan
penarikan pungutan yang ditengarahi tidak wajar dan rasional di
sekolah, akhir-akhir ini, menjadi bahan pembicaraan sejumlah
kalangan dan menjadi obyek pelarangan oleh pihak berwenang.
Tulisan ini menyorot dua obyek pelarangan. Ulasannya sebagai
berikut:

Penjualan Buku Teks


Langkah-langkah pihak berwenang untuk menertibkan
pungutan di sekolah perlu dihormati. Sebagai warga negara yang
baik, kita sudah semestinya samina wa athana. Bila pihak
berwenang melakukan pelarangan, tentu pihaknya telah
mempertimbangkannya secara matang. Sebagaimana telah
ditengarahi, bahwa ada tindakan menyimpang terjadi selama ini.
Satu tindakan yang diduga menyimpang adalah penjualan buku
pelajaran oleh sekolah/guru. Mengapa menjadi agen penjualan
buku-buku pelajaran dilarang? Memang buku pelajaran itu penting
dalam kegiatan belajar mengajar. Bahkan bagi saya, kepemilikan
(atau paling tidak, penyediaan) buku pelajaran oleh si murid itu
sebuah keharusan. Bila kita menginginkan anak-anak kita memiliki
penguasaan ilmu dan teknologi yang memadai, seyogyanya kita
menyediakan bahan-bahan bacaan yang tidak hanya buku-buku

193
Maungkai Budaya

pelajaran. Namun, kita semestinya tahu, bahwa tidak semua wali


murid itu berkemampuan membeli buku pelajaran dan bahan-bahan
bacaan lain. Sehingga, bila tiap awal tahun setiap murid wajib
membeli buku-buku pelajaran dengan total harga 200 ribu rupiah
hingga 500 ribu rupiah, banyak wali murid tak sanggup.
Bila guru mewajibkan murid untuk membawa buku pelajaran
ketika belajar, tidak banyak menimbulkan masalah kelak. Sebab, para
murid akan mensiasatinya dengan cara saling pinjam. Pada awal
bulan, mereka masing-masing bisa membeli satu buku mata pelajaran
tertentu (misal, Bahasa Indonesia) dan yang lain menyediakan buku
pelajaran lain (misal, Bahasa Inggris). Mereka saling pinjam buku
antara satu dengan yang lain. Dan, saling pinjam bisa dilakukan
dengan kawan di satu sekolah atau bila mungkin dengan kawan antar
sekolah, sepanjang buku yang digunakan sama.
Masalah akan timbul bila sekolah/guru mewajibkan murid-
muridnya untuk membeli buku-buku pelajaran melalui pihaknya.
Mungkin saja, pihaknya tak mau tahu apakah si murid/ wali mu-
rid itu punya duit atau tidak, atau tak mau tahu apakah si murid itu
sudah punya buku (bekas kakak atau kawannya) atau belum. Cara
yang terindikasi pemaksaan ini dilarang. Dalam kaitan ini, sekolah/
guru hendaknya memberikan pandangan sedemikian rupa kepada
murid, sehingga dia mempunyai pandangan bahwa memiliki buku
itu suatu keharusan bagi dirinya. Jadi, yang mengharuskan itu adalah
si murid terhadap dirinya (mungkin dengan kalimat: saya harus
punya buku); bukan si guru terhadap muridnya (kira-kira dengan
kalimat: kamu harus punya buku, bila kamu tidak punya buku,
bapak/ibu tak mau mengajar kamu). Ada dua keharusan.
Keharusan yang pertama itu bagus dan tanpa resiko; dan keharusan
kedua hendaknya tidak dilakukan karena riskan dan dapat
menimbulkan keluhan serta melanggar ketentuan. Ketentuan
dimaksud tertuang dalam pasal 8 Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Nomor 11 tahun 2005, sebagai berikut: (1) Guru dapat
menganjurkan kepada peserta didik yang mampu untuk memiliki
buku teks pelajaran, (2) Anjuran sebagaimana pada ayat 1 bersifat
tidak memaksa atau tidak mewajibkan, (3) Untuk memiliki buku
teks pelajaran peserta didik atau orang tua/walinya membelinya di
pasar, dan (4) Untuk membantu peserta didik yang tidak mampu

194
Mengapa Ada Pelarangan?

memiliki akses ke buku teks pelajaran, satuan pendidikan wajib


menyediakan paling sedikit 10 (sepuluh) eksemplar buku teks
pelajaran pada setiap kelas, untuk dijadikan koleksi
perpustakaannya, serta pasal 9: Guru, tenaga kependidikan, satuan
pendidikan, atau komite sekolah tidak dibenarkan melakukan
penjualan buku kepada peserta didik.

Pungutan Biaya Pendidikan


Ketika terlibat dalam pembicaraan tentang pendidikan gratis,
saya ditanya: Apakah anda termasuk orang yang tidak setuju
dengan pendidikan gratis?. Jawab saya, prinsipnya saya setuju.
Apalagi, segalanya gratis alias tak dipungut biaya apapun, mulai
uang ini dan itu, seragam dan atribut sekolah, buku teks pelajaran
dan lain-lain. Syukur-syukur kalau diberi uang saku dan makan siang
di sekolah. Kalau begini, beban saya akan menjadi ringan dalam
membiayai anak-anak saya. Cukup menyediakan sarapan pagi dan
makan malam, dan membelikan beberapa lembar pakaian untuk di
rumah dan jalan-jalan. Namun, mungkinkah anak kita mau pinter
melalui cara seperti itu? Hal itu bisa terjadi bila negara ini kaya raya
dan banyak dana, serta mampu mendanai semua biaya
penyelenggaraan pendidikan. Saya tak tahu apakah ada negara di
dunia ini menggratiskan biaya pendidikan anak bangsanya? Kalau
ada, berbahagialah anak bangsa di negara itu.
Pendidikan gratis? Mungkinkah? Dan, itu wacana atau program?
Terhadap pendidikan gratis (apakah itu wacana atau program),
sejumlah kawan menanggapi secara beragam. Namun, walau
tanggapan itu beragam, tampaknya dapat disimpulkan, bahwa
pendidikan gratis itu tak mungkin. Kawan yang satu memberikan
contoh. Akibat kebijakan pendidikan (baca: sekolah) gratis, ada sebuah
sekolah tak mampu membayar biaya pemakaian listrik sekian bulan,
dan kemudian aliran akan diputus oleh PLN. Kawan yang lain,
mengatakan, pendidikan gratis itu mungkin terjadi bila dana
operasional tersedia. Memimjam pandangan Alimun Hakim,
pendidikan gratis itu hanya omong kosong (Radar Banjarmasin, 26 Juli
2008). Lalu siapa pihak penyedia dana, kalau pendidikan itu gratis?
Konon kabarnya, ada sejumlah sumber dana untuk
penyelenggaran pendidikan. Ada macam-macam hibah, salah

195
Maungkai Budaya

satunya bloc grant namanya, dengan jumlah ratusan jutaan rupiah,


tentu saja, di samping dana dari negara. Komite sekolah diminta
ikut mengesahkan proposal yang diajukan sekolah, namun tak tahu
penggunaan dana secara persisnya, karena memang tidak ada
laporan diperuntukkan padanya. Konon, katanya, komite sekolah
terbatas kewenangannya. Tak boleh tahu urusan internal sekolahnya.
Setelah ada masalah menerpa, komite sekolah terbawa-bawa. Ikut
dimintai keterangan atas dugaan penyimpangan prosedur
penggalangan dan kemungkinan penyalahgunaan dana. Permintaan
keterangan oleh pihak berwenang, sebenarnya, bukan menjadi
persoalan serius bagi komite sekolah dari sekolah diwakilinya.
Namun, hal ini mengakibatkan terganggunya kegiatan dan pikiran
sang pengarus komite sekolah yang nota bene sebagai pelayan publik
dalam rangka ikut mencerdaskan anak bangsa, di tempat berbeda,
sebagai guru atau dosen, misalnya. Ironis sekali, bila pihak sekolah
diam seribu bahasa. Apa jadinya, bila komite sekolah tidak diberi
kewenangan yang seimbang atau lebih kuat dari kepala sekolahnya.
Sebetulnya, penggalangan dana dari wali murid itu sah adanya.
Asal didasarkan pada aturan yang ada. Coba lihat dan baca lagi
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional, nomor 044/U/2002. Di
sana jelas tertera, komite sekolah boleh menggalang dana dari
masyarakat, khususnya, wali murid atau siswa melalui mekanisme
musyawarah atau sidang paripurna. Soal penggunaan dana yang
dikumpulkannya, tentu menjadi tanggung penuh kepala sekolah
dan jajarannya.

Komite Sekolah harus kuat, independen


Selama ini komite sekolah ditetapkan oleh kepala sekolah,
berdasarkan hasil musyawarah antara wali murid dengan mediator
sekolah yang bersangkutan. Sehingga, kedudukan komite sekolah
seolah subordinate (di bawah) sekolah, khususnya, kepala sekolah. Hal
ini menyebabkan komite sekolah tak memiliki power yang memadai
dalam peran dan fungsinya sebagai institusi legal (berdasarkan pada
Kepmendiknas, nomor 044/U/2002 dan diperkuat lagi oleh PP Nomor
19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Berdasar Keputusan Menteri Pendidikan tersebut, komite sekolah
memiliki sejumlah peran dan mengemban sejumlah fungsi, yang

196
Mengapa Ada Pelarangan?

antara lain: memberikan masukan, pertimbangan, dan rekomendasi


kepada sekolah (satuan pendidikan) yang antara lain mengenai
RAPBS (Rencana Anggaran dan Belanja Sekolah); mendorong orang
tua dan masyarakat berpartisipasi guna mendukung peningkatan
mutu dan pemerataan pendidikan; dan menggalang dana masyarakat
(tentunya, termasuk orang tua/wali murid) dalam rangka
penyelenggaraan pendidikan. Kekuatan komite sekolah itu dipertegas
lagi dengan PP Nomor 19 Tahun 2005, khususnya Bab VIII Standar
Pengelolaan, khususnya lagi, pasal 51 ayat 2, pasal 52 ayat 1 dan 3,
pasal 53 ayat 3, dan pasal 54 ayat 2 dan 4.
Dalam artikel ini, saya kutip pasal 54 ayat 4, yang berbunyi:
Pelaksanaan pengelolaan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar
dan menengah dipertanggungjawabkan oleh kepala satuan pendidikan
kepada rapat dewan pendidik dan komite sekolah/madrasah. Dalam
kaitan dengan penggalangan dana dan penyelenggaraan pendidikan
dalam arti seluas-luasnya, yang telah direkomendasikan oleh komite
sekolah, berdasarkan ketentuan itu, kepala sekolah menjadi pihak yang
paling bertanggung jawab atas pengelolaannya.
Sebenarnya, komite sekolah itu harus kuat dan independen.
Agar komite sekolah itu kuat dan independen, maka ia harus
dikukuhkan dengan surat keputusan institusi yang lebih tinggi dari
sekolah. Bisa Dinas Pendidikan atau Walikota. Semoga tulisan ini
bermanfaat bagi semua pihak (khususnya, sekolah, komite sekolah
dan pihak-pihak terkait). Mari kita jalin komunikasi sebagai upaya
menyelesaikan persoalan kita dalam penyelenggaraan pendidikan
di negeri ini, khususnya di kota ini, Kota Banjarmasin. Mari kita
cari win-win solution sehingga tak ada pihak merasa kalah dan
menang. Kepala sekolah dan bapak/ibu guru, tetap semangatlah
dalam mendidik anak bangsa ini. Jangan ala kadarnya walau insentif
anda dipangkas sekalipun. Melalui pian-pian jua anak bangsa ini
pintar dan beberapa dari mereka menjadi pemimpin di negeri ini.
Bapak/ibu guru, pahlawanku. Berkat anda juga, aku jadi
dosen..hehehe; komite sekolah, jangan mundur; dan pihak
berwenang, mohon jadi motivator. Bila saya salah, mohon
diluruskan; bila saya khilaf, mohon dimaafkan. Amin.

197
Maungkai Budaya

UNIVERSITAS PALANGKA RAYA,


SELANGKAH LEBIH MAJU?
(Catatan Kunjungan Mahasiswa Unpar di FKIP Unlam)

T anggal 7-8 November 2008, rombongan Mahasiswa Program


Studi Pendidikan Bahasa Inggris, FKIP Unpar Palangkarya,
berada di Banjarmasin dalam rangka studi banding dengan program
studi yang sama di FKIP Unlam Banjarmasin. Didampingi oleh Ketua
Prodi, Natalina Asi, M.A., secara kelembagaan, mereka menjadi tamu
fakultas atau bahkan universitas. Oleh karena mereka berasal dari
Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, maka Program Studi yang
sama diminta oleh Dekan FKIP Unlam untuk mempersiapkan
penyambutan dan menjadi partner studi banding mereka.
Banyak acara yang ditawarkan tidak dapat dipenuhi. Sebab,
selain rentang waktu yang sempit (hanya satu minggu), dana sangat
terbatas menjadi alat pembenarannya. Tiga agenda penting: diskusi
program kerja HIMA. mata kuliah dan perkuliahan antara dua prodi
sejenis, dan campus tour dapat dipenuhi oleh tuan rumah. Acara
studi banding itu dibuka oleh Dekan FKIP Unlam; kegiatan
selanjutnya diladeni oleh program studi, tanpa kehadiran satupun
pimpinan fakultas. Sebab, pada waktu yang sama, dekan menjadi
salah pembicara kunci dalam seminar sertifikasi guru, sementara
para pembantu dekan entah kemana. Barangkali, mereka punya
kegiatan lain yang maha penting dan tidak bisa diganggu gugat.

Enam Doktor?
Dalam diskusi terungkap, Prodi Pendidikan Bahasa Inggris
Unpar, Palangka Raya memili 28 dosen. Enam di antaranya, bergelar
doktor (S-3). Tak lama lagi, ujar Natalina Asi, 2 dosennya akan
menyelesaikan pendidikan doktor. Bila dalam waktu dekat, kedua

198
Universitas Palangka Raya, Selangkah Lebih Maju?

dosen ini lulus, prodi yang dipimpinnya punya 8 doktor. Sementara


Prodi Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Unlam memiliki 22 dosen
(empat di antaranya, berstatus DPK) dengan pendidikan tertinggi,
S2 (magister). Di Unpar, sudah ada Program Pascasarjana
Pendidikan Bahasa Inggris; di Unlam, program yang sama, belum
ada. Dari jumlah dosen, kualifikasi dosen, dan kepemilikan program
S-2, Prodi Pendidikan Bahasa Inggris Unpar jelas lebih unggul.
Ketika saya ajukan sejumlah pertanyaan kepada Natalina Asi,
kiat-kiat apa yang dilakukan kawan-kawan di Unpar sehingga
jumlah dosennya cukup ideal dan fakultas/universitas mampu
menyekolahkan mereka sehingga mempunyai 6 doktor? Pertanyaan
ini tidak dijawab secara memuaskan. Jawaban saya harapkan adalah
jawaban yang terkait dengan seberapa jauh keterlibatan pihak
fakultas/universitas dan pemerintah setempat dalam studi lanjut
para dosennya. Katanya, tidak ada kiat-kiat istimewa. Dari segi
finansial, mereka sama saja dengan kawan-kawan di Unlam. Yang
jelas, dalam diri mereka ada motivasi yang tinggi dan rajin mencari
peluang untuk bisa studi lanjut hingga mencapai derajat doktor.
Tentang sejauh mana keterlibatan lembaga dan pemerintah setempat
dalam hal studi lanjut itu, dia tidak memberikan penjelasan sama
sekali.
Saya hanya menduga, keberhasilan FKIP Unpar itu tak lepas
dari upaya lembaga di tingkat fakultas/universitas dan mendapat
dukungan dari pemerintah setempat. Selain pemberian stimulasi dan
motivasi, pihak lembaga, saya yakin, memberikan bantuan yang
memadai.

Di FKIP Unlam?
Berkait dengan ini, saya teringat, ada sejumlah kawan di FKIP
yang sedang studi lanjut ke S-2 dan S-3. Beberapa tahun lalu, mereka
mengeluh, salah satunya, kepada saya. Pasalnya? Setelah enam
bulan mereka sekolah, tunjungan fungsional dipotong atau tidak
dibayarkan. Memang, kata saya, menurut aturan yang ada,
pemotongan itu benar adanya dan nanti diganti dengan tunjungan
fungsional. Salah satu dari mereka berkilah, aturan ya aturan; kalau
menyangkut urusan hidup, kan enggak bisa ditunda. Waduh, kalau
begitu saya tak bisa ngomong.

199
Maungkai Budaya

Lalu, dia mengadukan halnya kepada salah satu pejabat di


lingkungan FKIP Unlam Banjarmasin. Apa komentar beliau?
Komentar yang tidak disangka meluncur: Yang menyuruh sekolah
siapa?. Komentar semacam ini, menurut saya, tak selayaknya
terlontar. Lembaga yang bernama fakultas itu perlu tenaga dosen
yang S-2 dan kalau perlu S-3. Coba bayangkan, bila FKIP Unlam
tak cukup dosen yang S-2 dan S-3? Pertama, akreditasi kategori baik
mungkin saja tak tergapai. Kedua, proyek sertifikasi guru tak bakal
singgah di FKIP Unlam (sebab, usulan bakal calon asesor untuk
masing-masing program studi, setidak-tidaknya: 1 doktor dan
selebihnya bisa magister; bagi prodi yang tak punya doktor, mau
tak mau harus pinjam ke prodi lain). Ketiga, tanpa dosen S-2/S-3
pamor lembaga akan redup dan lama kelamaan padam. Hal ini
jangan sampai terjadi.
Hendaknya, dosen yang masih S-1 difasilitasi agar bisa bisa
meneruskan ke S-2; dan yang sudah S-2, ke S-3. Kalaupun tak bisa
membantu dalam urusan finansialnya, pemberian doa restu dan
motivasi sudah lumayan. Komentar sejenis, ke depannya, hendaknya
tak terjadi lagi.

Dalam bincang tak resmi


Dalam perbincangan tidak resmi, usai rapat pemilihan Ketua
Jurusan PBS FKIP Unlam, sejumlah dosen yang telah doktor,
menyarankan dosen-dosen yang masih S2 untuk melanjutkan studi
ke program doktor. Saran memang bagus, bahkan sangat bagus.
Banyak persoalan yang menghantui kawan-kawan. Urusan
keluarga, biaya kuliah, aspek untung rugi menjadi bahan
pertimbangan serius. Dekan FKIP Unlam, H.Ahmad Sofyan,
memberikan dorongan dan akan memberikan bantuan dari fakultas.
Namun, tak jelas bantuan dana itu diberikan dalam 1 tahun, 2 tahun
atau sampai selesai studi. Tampaknya, keraguan masih saja
menghinggapi mereka. Akan cukupkah biaya untuk bisa
menyelesaikan program doktor? Sementara mereka tidak punya
modal yang cukup, anak-anak masih perlu perhatian dan
sebagainya. Tampaknya, mereka takut untuk melanjutkan studi
bukan lantaran mereka takut beratnya studi, tetapi biaya besarlah
yang menjadi biang keladinya.

200
Universitas Palangka Raya, Selangkah Lebih Maju?

Kabar yang datang dari kawan-kawan yang sudah doktor,


antara lain, menyebutkan bahwa setidak-tidaknya seorang calon
doktor harus mempersiapkan diri dengan modal awal Rp 100 juta.
Waduh, duit dari mana? Kalau bantuan dari fakultas hanya Rp 1
juta per tahun dan bea siswa (bila dapat) Rp 12 juta setahun.
Rasanya, tidak akan sangguplah bila kita todak punya modal, pal-
ing tidak, Rp 50 juta.
Saya sendiri akan berpikir dua belas kali. Apalagi anak saya
melarang saya untuk sekolah. Katanya, Bapak enggak usah sekolah
lagi. Saya saja yang sekolah sampai doktor. Mbah kakung (kakek)
dulu, kan enggak sekolah tinggi, hanya lulus SD. Mending, saya
saja yang sekolah lebih tinggi dari Bapak.
Benar juga anak saya itu. Sebab, bapak saya dulu hanya lulus
SD. Artinya, kalau anaknya sekolah, tamat SMP pun sudah bagus.
Setingkat lebih tinggi dari bapak saya. Ah, sekolah doktor, bagi
hanya, cukup berat. Tidak tahulah nanti. Kalau cukup modal dan
tidak mengganggu sekolah anak saya, mudah-mudahan, saya
berubah pikiran. Untuk apa sekolah doktor dan berhasil, tetapi anak
saya terkalahkan? Apalagi, sampai jual ini dan jual itu hanya karena
sudah terlanjur basah. Bagaimana menurut Anda?

201
Maungkai Budaya

202
Politik

203
Maungkai Budaya

204
DOMINASI

D alam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar atau bahkan


menggunakan kata-kata dominasi/ dominan, mayoritas, dan
minoritas. Kata dominasi berasal dari bahasa Inggris domination
yang berarti penguasaan, memiliki kekuasaan atau pengaruh. Kata
sifat dari dominasi adalah dominan. Kelompok yang dominan bisa
berimplikasi pada kolompok mayoritas, superioritas, kuat,
berpengaruh atau sejenisnya; sedangkan kelompok yang tidak
dominan bisa berimplikasi pada minoritas, inferioritas, lemah, tidak
berpengaruh atau sejenisnya.
Sekelompok orang bisa melakukan dominasi bila mereka dominan
atas kolompok orang lainnya. Dominasi itu akan berarti positif bila pihak
yang dominan dalam arti di atas, misalnya, memberikan perlindungan
atau pengayoman kepada pihak yang lemah.

Dominasi dalam Pandangan Islam


Dalam syariah Agama Islam digariskan apa yang disebut
dengan ibadah. Kata ibadah atauibadat adalah kata benda yang
berasal dari (kata kerja) bahasa Arab abada-yabadu yang berarti
menyembah atau menghambahan diri kepada Allah SWT. Dalam bahasa
Indonesia, kata itu menjadi ibadah, yang berarti pengabdian kepada
Tuhan atau kegiatan untuk menunjukkan bakti kepada Tuhan, yang bukan
hanya digunakan dalam agama Islam tetapi juga agama-agama lain.
Bentuk kata kerja dari ibadah adalah beribadah atau melakukan ibadah.
Dalam Islam, ibadah-ibadah yang dilandasai oleh shahadah atau
kesaksian, bahwa Tiada Tuhan (yang wajib disembah) kecuali Allah dan
Nabi Muhammad adalah utusan Allah, adalah mendirikan shalat,
membayar zakat, melaksanakan puasa, dan menunaikan haji.
205
Maungkai Budaya

Setiap ibadah dalam Islam, apakah itu shalat, membayar zakat,


melaksanakan puasa, dan menunaikan haji, memiliki dua demensi.
Pertama, kegiatan ibadah dimaksudkan untuk memenuhi kewajiban
atau penggilan Allah SWT, dalam rangka hablum minallah. Kedua,
ibadah yang dilakukan oleh hamba Allah itu memiliki implikasi
sosial. Dimensi kedua ini menyaran pada implikasi hablum minallah
terhadap hablum minannas.
Dalam dimensi kewajiban, ibadah shalat (lima waktu), membayar
zakat, menjalankan puasa, dan menunaikan haji merupakan ibadah yang
wajib hukumnya (fardlu ain); artinya setiap muslim wajib
melaksanakan ibadah-ibadah itu, kecuali haji; ibadah haji wajib
hukumnya bagi seorang muslim yang mampu untuk menunaikannya.
Dalam ajaran Islam, ibadah shalat merupakan ibadah yang
sangat penting. Karena sangat pentingnya shalat, maka shalat
dipandang sebagai tiyang agama. Shalat, digariskan sebagai ibadah
yang mampu mencegah umat muslim dari perbuatan keji dan munkar,
memiliki dimensi sosial, antara lain, mendidik umat manusia untuk
berlaku demokratis. Sewaktu melaksanakan ibadah shalat
berjamaah di mushalla atau masjid, antar kaum muslimin tidak ada
perbedaan; tidak ada perbedaan antara si kaya dan si miskin,
bawahan dan atasan, kaum elit dan rakyat biasa dan sebagainya.
Seseorang yang paling awal datang ke mushalla atau masjid untuk
shalat berjamaah, dia memiliki hak untuk menempatkan diri pada
barisan terdepan. Implikasi sosial lebih lanjut bisa dilihat bila seorang
muslim kembali ke tengah-tengah masyarakat, dia akan
mendahulukan atau memperhatikan hak orang lain ketimbang hak
yang dimilikinya. Ini berarti bahwa dia tidak akan merasa menang
sendiri; dia tidak akan merasa pintar sendiri; dia tidak akan merasa
benar sendiri, dia rame ing gawe sepi ing pamrih (tidak melakukan
korupsi dan manipulasi, karena dua perbuatan ini mengarah kepada
pengambilan sesuatu yang bukan menjadi haknya), dan sebagainya.
Demikian pula, ibadah puasa juga mendidik kaum muslimin untuk
tidak berpurba sangka (prejudice), tidak melakukan pembedaan (discrimi-
nation), dan sejenisnya terhadap sesama umat manusia. Hal ini
didasarkan pada salah satu unsur puasa adalah menahan lapar dan
dahaga. Perasaan lapar dan dahaga merupakan masalah keseharian
yang dihadapi oleh orang-orang miskin, namun bukan menjadi masalah
206
Dominasi

bagi orang-orang berada. Pada tataran tertentu, seseorang yang berasal


dari kelompok orang berada akan dapat merasakan apa yang dirasakan
oleh saudara-saudaranya yang berada di bawah garis kemiskinan, yaitu
perasaan lapar dan dahaga. Hal ini, sebenarnya, mengajarkan pada
umat manusia untuk tidak berpurbasangka, melakukan diskriminasi
atau pembedaan terhadap sesama umat.
Implikasi sosial yang dipancarkan oleh ibadah zakat bisa timbul
dari hikmah ibadah puasa. Seperti diketehui dan dirasakan bahwa
setiap orang yang berpuasa pasti mengalami rasa lapar dan dahaga.
Dengan mengalami sendiri bagaimana rasanya lapar dan dahaga
sewaktu berpuasa itu, maka orang-orang, katakanlah, dari kalangan
kaya terlatih untuk merasakan derita lapar dan dahaga sebagaimana
yang dialami oleh golongan fakir-miskin dalam hidup keseharian
mereka. Ajaran ini diharapkan dapat menimbulkan rasa belas kasihan
dan sifat penyantun si kaya terhadap si miskin. Pada waktu-waktu
selepas puasa, diharapkan bahwa si kaya atas kemauannya sendiri
akan selalu mengulurkan tangan, memberikan pertolongan dan
bantuan baik secara material maupun non-material. Bantuan-bantuan
itu bisa berupa infag, sedekah dan zakat (materi) dan nasihat,
dorongan moril dan sejenisnya (non-materi). Dalam kehidupan
bernegara, ajaran ini menggariskan kepada para pemegang kekuasaan
untuk mengarahkan segala kebijakan (ekonomi, politik, dan sosial
budaya, dan sebagainya) demi kepentingan orang banyak, khususnya
orang miskin, wong cilik bukan demi kepentingan untuk mencari
popularitas dalam rangka mempertahankan kekuasaan mereka.
Implikasi sosial yang terpancar dalam ibadah haji, antara lain,
adalah terciptanya persaudaraan sesama umat Islam dari seluruh
pelosok dunia dan sekaligus merupakan syiar Islam yang luar biasa.
Setiap musim haji tiba, sejumlah besar umat Islam yang berasal dari
seluruh penjuru dunia berbondong-bondong ke tanah suci untuk
menunaikan ibadah haji. Momen ibadah haji ini bisa dimanfaatkan
sebagai syiar Islam dan sekaligus sebagai sarana untuk menjalin
persaudaraan sesama muslim sedunia. Usai menunaikan ibadah haji,
seorang muslim dapat memanfaatkan momen ibadah yang telah
dilaksanakan itu sebagai titik tolak untuk mengembangkan tali
persaudaraannya dengan sesama umat muslim, dengan umat
sebangsa di tanah airnya secara lebih baik.

207
Maungkai Budaya

Ibadah haji, sebagaimana dinyatakan oleh Ustadz Fauzan Abidin


merupakan ibadah yang dimaksudkan untuk mensucikan diri dari:
kotoran lahiriah, kotoran bathiniah, kotoran pikiran dan kotoran
sosial. (Radar Banjarmasin, 31 Januari). Seorang muslim yang telah
menunaikan ibadah haji berarti yang bersangkutan telah memenuhi
lima rukun Islam. Dia adalah seorang muslim yang telah tersucikan
dari segala kotoran sebagaimana dijelaskan oleh Ustadz tersebut.
Bila ibadah dalam kerangka hablum minallah memiliki implikasi
sosial (hablum minnas) yang positif, dan bila nilai-nilai baik yang
terkandung di dalamnya terpateri secara kukuh dan terpadu dalam
diri seorang muslim dan secara terus menerus diimplementasikan
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara maka
Insya Allah berarti dia adalah mukmin, muslim dan sekaligus muhsin.
Dalam ajaran Islam, hubungan antar manusia (hablum minannas)
yang terbimbing melalui ibadah (hablum minallah) telah diatur secara
sangat rapi. Dalam kerangka hubungan antar manusia, ajaran Islam
menggariskan pola persaudaraan sesama muslim (ukhuwah al-
Islamiyah atas dasar al muslimu akhul muslim), persaudaraan sesama
warga bangsa (ukhuwah al- wathaniyah), dan persaudaraan sesama
manusia (ukhuwah al-basyariyah). Dalam hal ini, para mukminin,
muslimin dan muhsinin yang telah menunaikan lima rukun Islam
(bukan hanya rukun Islam ke lima) menjadi harapan kita semua untuk
menjadi pelopor dalam mengemban ajaran Allah SWT, bahwa: Is-
lam adalah rahmat bagi sekalian alam, yang di samping dengan
tetap menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah SWT, secara
sosial mereka akan senantiasa, antara lain, menjaga kelestarian,
keselarasan, keharmonisan di muka bumi ini.
Dominasi dalam arti positif, misalnya, dapat kita lihat dalam
ajaran Islam di mana hubungan antar manusia (hablum minannas)
telah diatur sedemikian rapinya sehingga dominasi pihak yang
mayoritas, kuat, kaya, berpengaruh atau sejenisnya harus
diupayakan menjadi hal yang positif dan diridhai oleh Allah S.W.T.
Dalam pandangan Islam, orang atau kelompok orang yang dominan,
kuat, kaya, atau berpengaruh bisa saja melakukan dominasi tetapi
harus dalam kerangka untuk melindungi atau mengayomi pihak
lain yang lemah. Orang kaya yang secara ekonomi dominan harus
melindungi atau mengayomi pihak yang miskin dengan cara
208
Dominasi

memberikan sedekah, santunan, zakat, pekerjaan atau sejenisnya.


Dalam dunia kerja hubungan antara majikan dan buruh dalam
ajaran Islam tidak berimplikasi pada dominasi majikan terhadap
buruh, seperti yang diisyaratkan oleh sistem kelas model kapitalisme.
Seperti diuraikan di atas, ajaran Islam menggariskan pola
persaudaraan sesama muslim, persaudaraan sesama warga bangsa,
dan persaudaraan sesama manusia. Dengan demikian jikalau kaum
muslimin menjadi kekuatan yang dominan maka tidak ada alasan
bagi mereka untuk melakukan penindasan, penekanan, intimidasi,
perampasan hak atau sejenisnya terhadap kelompok lain yang lemah
atau minoritas. Sebab, ajaran Islam menunjukkan bahwa semua
umat manusia di bumi ini, tanpa memandang rasa, suku dan agama,
adalah saudara.
Dalam pandangan Islam, jikalau terjadi dominasi yang
mengarah pada penindasan, intimidasi, pemaksaan, perampasan hak
dan sejenisnya, berarti di sana terjadi pula pengingkaran terhadap
ajaran Islam bahwa: Islam adalah rahmat bagi sekalian alam, dan
terhadap hakikat manusia sebagai Allah S.W.T, yang antara lain untuk
menjaga kelestarian, keselarasan, keharmonisan di muka bumi ini.

Dominasi di Amerika
Dalam suatu negara di mana masyarakatnya heterogen atau
beragam apakah dalam hal etnis, ras, agama, kebudayaan atau
dalam hal-hal lainnya, mau tidak tidak mau, pasti menghadapi
sejumlah persoalan akibat dari keberagaman itu. Amerika Serikat,
suatu negara besar, misalnya, yang berlatar belakang keberagaman
ras (ada tiga ras besar di sana: putih, merah, dan hitam), etnis, agama
(aliran agama), dan kebudayaan secara historis terlihat tersibukkan
oleh persoalan akibat dari keberagam itu. Warga negara ras kulit
putih memegang dominasi di sana.
Dominasi bisa berimplikasi negatif bila pihak yang dominan
melakukan penindasan, penekanan, perampasan hak atau
sejenisnya terhadap pihak yang lemah atau minor. Banyak contoh
dominasi semacam ini muncul ke permukaan. Secara historis,
misalnya, sebagian besar orang-orang Amerika kulit hitam adalah
bekas budak. Ketika mereka menjadi orang-orang bebas (freedmen),
mereka dipandang sebagai bermartabat rendah (inferior) dan tidak

209
Maungkai Budaya

layak untuk diposisikan sederajat dengan orang-orang kulit putih.


Orang-orang kulit putih memandang diri mereka sebagai superior
dan orang-orang kulit hitam sebagai inferior.
Di Amerika pernah terjadi atau muncul dominasi kelompok or-
ang Amerika kulit putih terhadap kelompok orang Amerika kulit hitam,
yang berwujud purbasangka (prejudice), diskriminasi (discrimination),
dan pemisahan (segregation), pencabutan hak pilih (disfranchisement),
intimidasi (intimidation), hukuman mati tanpa proses hukum (lynch-
ing) dan tindak kekerasan lainnya. Dominasi kelompok orang Amerika
kulit putih merupakan upaya untuk mempertahankan superioritas
mereka dan inferioritas kelompok orang Amerika kulit hitam.
Di bawah dominasi itu, orang-orang Amerika kulit hitam
menjadi orang-orang yang tertindas (the oppressed people) dan
diperlakukan secara tidak tidak adil; mereka dianggap rendah mar-
tabatnya, dan dalam segala aspek kehidupan mereka berhadapan
dengan diskriminasi atau pembedaan, serta sering terjadi mereka
dipisahtempatkan ke pemukiman khusus untuk orang-orang kulit
hitam (ghetto). Dengan dominasi itu pula, mereka menghadapi
banyak masalah atau kesulitan dalam dunia pendidikan, pekerjaan,
hukum/pelaksanaan hukum, partisipasi politik, dan dalam banyak
aspek kehidupan sosial-budaya lainnya.
Untuk mendobrak dominasi kulit putih itu amatlah berat bagi
orang-orang Amerika kulit hitam. Sebab, pihak kulit putih dengan
berbagai cara berupaya agar pihak kulit hitam tetap berada pada
posisi inferioritas sehingga segala upaya untuk memperoleh
persamaan derajat yang dilakukan oleh pihak kulit hitam ditepis
habis-habisan, kalau perlu dengan kekerasan.
Sebetulnya, dominasi orang kulit terhadap orang kulit hitam
seperti terurai di atas merupakan bentuk pengingkaran terhadap
harapan para pendiri negara Amerika Serikat sebagaimana tersurat
dalam Declaration of Independence (Deklarasi Kemerdekaan) negera
itu, yaitu bahwa all men are created equal (semua manusia diciptakan
sederajat atau sama).

Dominasi Mayoritas terhadap Minoritas


Seperti halnya masyarakat Amerika, masyarakat Indonesia pun
juga dikenal sebagai masyarakat yang mejemuk, beragam atau
210
Dominasi

heterogen. Kita hidup bersama dalam keberagaman. Keberagaman


itu bisa terlihat dari keberagaman etnis, kebudayaan, agama, dan
lain-lain.
Dalam masyarakat yang beragam (pluralistik) sering terjadi
kelompok tertentu merasa lebih tinggi dari kelompok yang lain.
Kelompok-kelompok yang sering memperlihatkan dikotomi,
misalnya, kelompok mayoritas-minoritas, kelompok kuat-lemah,
kelompok kaya-miskin, dan sebagainya. Dalam kondisi semacam
ini dominasi yang negatif sifatnya mungkin saja terjadi.
Bahaya dominasi negatif yang lain bisa saja muncul bila dominasi
itu didasarkan pada aspek suara mayoritas. Suara mayoritas belum
tentu memiliki implikasi pada kebenaran. Sekedar contoh, keputusan
sesaat yang dilakukan oleh sekelompok orang yang menangkap
pencuri sepeda motor di mana mayoritas atau bahkan seluruh or-
ang yang ada di tempat kejadian itu menghendaki agar si pencuri
itu dibunuh dan dibakar. Tindakan brutal dan keji yang mirip dengan
lynching (hukuman mati secara kejam tanpa proses hukum/
pengadilan di Amerika, akhir abad 19 sampai menjelang pertengahan
abad 20) ini jelas tidak bisa dibenarkan karena melanggar hukum.
Massa dalam situasi dan kondisi apapun tidak diperbolehkan main
hakim sendiri walaupun mayoritas dari mereka mendukungnya.
Berbicara tentang mayoritas dan minoritas, tidak ada salahnya
kita melihat kembali sebuah kisah pewayangan. Konon, Negeri
Alengka Diraja yang diperintah oleh Rahwana, raja yang angkara
murka. Dia ingin memperistri Dewi Shinta yang telah diperistri Shri
Rama. Singkat cerita, Shri Rama dibantu oleh pasukan kera
berencana menyerang Alengka. Sidang dalam rangka untuk
membahas rencana menghadapi serangan dari bala tentara Shri
Rama pun digelar. Ketika sidang itu berlangsung, ada satu orang
yang adik kandung sang raja, Bambang Wibisana, menolak aksi
penyerbuan terhadap pasukan Shri Rama dan meminta sang raja
untuk mengembalikan Dewi Shinta kepada suaminya secara damai.
Sebab, dia tahu bahwa tindakan sang raja adalah tidak benar, tidak
bermoral, dan melanggar hukum. Alkisah, dia melakukan walk-out,
meninggalkan sidang dan lalu bergabung dengan kelompok
pengemban nilai-nilai kebenaran.

211
Maungkai Budaya

Pesan moral dari dua peristiwa di atas mengisyaratkan bahwa


suara mayoritas bisa dimanfaatkan untuk pembenaran hal yang
bathil, inkonstitusional dan sejenisnya oleh kelompok yang dominan
(mayoritas). Bambang Wibisana yang minoritas merupakan cermin
kebenaran. Rahwana yang didukung oleh suara mayoritas adalah
cermin kezaliman/kebathilan. Kebenaran yang terpancar dari diri
si Bambang Wibasana tidak diindahkan oleh yang mayoritas. Suara
mayoritas ala Negeri Alengka diselimuti oleh keangkaramurkaan
dan keserakahan.
Dalam situasi Indonesia, jikalau kelompok tertentu mampu
melakukan dominasi dan lalu mewujudkannya dalam bentuk
penindasan, intimidasi, perampasan hak, akal-akalan, kolusi-
korupsi-nepotisme, purbangsangka (prejudice), diskriminasi,
pemisahan (segregation), pengusiran dan sejenisnya merupakan
perwujudan pengingkaran kita terhadap nilai-nilai luhur yang
terkandung dalam Pancasila sebagai dasar negara, pandangan hidup
bangsa, dan sumber hukum dari segala sumber hukum.

Untuk direnungkan
Dengan demikian, alangkah indahnya, alangkah bijaksananya
kalau kita berpikir, berbicara dan bertindak dalam hidup
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara bukan atas dasar suara
mayoritas yang diyakini terdapat celah-celah ketidakbenaran,
ketidakadilan, inkonstitusional dan sejenisnya dan diyakini
dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu demi kepentingan pribadi,
kelompok, atau sejenisnya yang sifatnya sesaat, tetapi atas dasar
kebenaran, keadilan dan keterpihakan pada rakyat banyak, yang
bisa diterima oleh semua pihak dan diradhai oleh Tuhan Yang Maha
Kuasa serta dalam kerangka untuk membangun bangsa dan negara.
Bila kita berada dalam lingkaran mayoritas dan tahu
keangkaramurkaan dan ketidakadilan ada di dalamnya, hendaknya
kita amalkan ajaran: Katakan yang benar itu benar walau anda
merasa pahit ketika mengatakannya. Mari kita tegakkan kebenaran
dan keadilan pada segala lini kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara. Walaupun dalam kondisi bangsa yang majemuk
(pluralistik), semangat Bhineka Tuggal Ika kita jangan sampai pudar.
Wallahu alam

212

PEMILU SEBENTAR LAGI!

P emilu dikatakan sebagai titik tolak berjalannya mekanisme


kepemimpinan nasional lima tahunan. Dengan Pemilu ini kita
yakini bahwa mekanisme kepemimpinan nasional telah dapat
berjalan dengan baik sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
Dasar 1945.
Pemilu yang lima tahun sekali dilaksanakan bisa dikatakan
sebagai alat untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia
adalah negera demokrasi. Pemilu selalu saja dikatakan sebagai
penuh rekayasa politik yang penuh kecurangan, akal-akalan,
intimidasi atau sejenisnya untuk kepentingan kelompok penguasa.
Kesan yang saya tangkap dari sejumlah anggota masyarakat, bahwa
di samping pemerintah Orde Baru mengobok-obok partai politik
peserta pemilu ia juga banyak melakukan rekayasa politik dalam
pelaksanaan Pemilu itu sendiri Sebagai contoh, elemen-elemen
panitia Pemilu mulai tingkat atas (KPU pusat) sampai dengan tingkat
bawah (Panitia Pemungutan Suara) berasal dari orang-orang
pendukung salah satu kontestan Pemilu. Mereka semua diyakini
memiliki kecenderungan membela (untuk memenangkan)
kontestan tersebut. Di sinilah, banyak orang mensinyalir bahwa
mereka melakukan pelanggaran, penyelewenangan, atau manipulasi
suara atau sejenisnya. Diakui atau tidak, hal ini masih membekas
dalam diri kebanyakan rakyat Indonesia. Tapi, itu dulu.
Pada Pemilihan Umum mendatang (2004), tampaknya KPU
tidak banyak disorot dalam kaitan dengan pelanggaran,

213
Maungkai Budaya

penyelewenangan, atau manipulasi suara atau sejenisnya. Dari


sekarang telah tampak bahwa pemilu tersebut akan berjalan secara
jujur dan adil. KPU sebagai salah satu kunci keberhasilan pemilu
dituntut untuk bekerja secara profesional demi mengembalikan
kepercayaan masyarakat terhadap keseluruhan proses pelaksanaan
pemilu itu sendiri. Namun demikian, demi perbaikan dalam waktu
yang pendek ini (lebih kurang satu bulan), KPU Kabupaten Barito
Kuala, khususnya, perlu dikritisi.
Pada tanggal 21-22 Februari 2004, saya dan sejumlah anggota
masyarakat Kelurahan Handil Bakti mengikuti acara sosialisasi
tentang pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) oleh Komisi
Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Barito Kuala. Konon, semua
kegiatan KPU (khususnya KPU Kabupaten Barito Kuala), termasuk
sosialisasi tentang pelaksanaan Pemilu, telah terjadwal rapi. Namun,
tampaknya, setidak-tidaknya menurut kesan yang sasya tangkap,
kegiatan KPU Kabupaten Barito Kuala tidak terencana secara rapi.
Buktinya? Sekedar contohnya: pertama, sosialisasi itu direncanakan
pada hari Sabtu, tanggal 21 Februari 2004, pukul 14.00, namun
undangan baru saya terima pada hari, tanggal, dan pukul yang sama.
Kedua, fasilitator KPU tampak kurang siap dan hanya menyiapkan
perlengkapan ala kadarnya. Ketiga, saya dan enam orang kawan
diusulkan oleh Ketua RT untuk menjadi KPPS. Jangankan diberi
Surat Penunjukan, diberi tahu saja tidak. Keempat, kawan saya yang
menjadi anggota Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu)
telah diberi buku pedoman; sementara kami yang, konon, diusulkan
menjadi KPPS (yang kegiatannya diawasi oleh Panwaslu) belum
diberi apa-apa kecuali handout presentasi fasilitator dari KPU.
***
Sistem Pemilu 2004 sangat berbeda dengan pemilu-pemilu
sebelumnya. Dalam Pemilu-pemilu sebelum ini para calon pemilih
hanya mencoblos tanda gambar; sebagian atau bahkan mereka
semua tidak menghiraukan calon-calon anggota legislatif yang ada
di bawah tanda gambar itu; dan asal mereka telah fanatik kepada
salah kontestan Pemilu, mereka pilih atau cobloslah tanda
gambarnya. Namun, sekarang mereka bisa mencoblos tanda gambar
saja, dengan ketentuan suara mereka tertuju kepada calon nomor
urut 1 (satu); dan mereka bisa mencoblos tanda gambar dan nama
214
Pemilu Sebentar Lagi!

calon yang dihendaki. Jika mereka hanya memilih atau mencoblos


nama calon, maka suara mereka tidaklah sah atau batal.
Dalam kaitan ini saya mencoba untuk memberikan ilustrasi
tentang karakter para calon pemilih pada Pemilu mendatang.
Pertama, tetap ada calon pemilih yang hanya akan memilih tanda
gambar partai saja. Hal ini didasarkan pada fanatisme mereka yang
telah tertanam kuat mulai Pemilu-Pemilu sebelumnya. Oleh karena
itu, mereka mungkin saja tidak menghiraukan siapa calon legislatif
yang mereka pilih. Bagi mereka, hal yang penting adalah bahwa
suara mereka sah dan tersalur pada partai idola mereka.
Kedua, ada calon pemilih yang memilih tanda gambar partai
berikut nama calon legislatifnya. Hal ini didasarkan pada fanatisme
terhadap partai dan simpatisme terhadap calon tertentu. Sebagai
konsekuensinya, bila pemilih dengan karakter semacam ini banyak
yang memberikan suaranya kepada salah satu calon legislatif dari
partai tertentu (kendati dia berada pada nomor bawah), maka
mereka akan mengantarkan dia dan calon legislatif nomor urut 1
(satu) untuk menjadi anggota legislatif jika jumlah suara mereka
melebihi quota yang ditentukan. Namun, bila jumlah suara mereka
tidak memenuhi quota yang ditentukan (katakan, kurang 1 (satu)
suara) berarti mereka harus rela menyerahkan suara mereka
kepada calon legislatif yang sebenarnya tidak mereka pilih. Bila
penyerahan suara ini terjadi (dan mungkin saja terjadi), maka
bersama-sama calon yang dipilihnya, pemilih dengan karakter ini
akan kecewa. Demokratiskah ketentuan semacam ini?
Ketiga, ada calon pemilih yang cenderung untuk memilih
menjadi GOLPUT. Banyak sinyalem, bahwa terhadap pelaksanaan
Pemilu pada era sekarang ini, banyak anggota masyarakat bersikap
apatis, tidak percaya dan tidak ingin melibatkan diri dalam kegiatan
politik. Dengan perkataan lain, mereka enggan untuk memberikan
hak suara mereka; mereka cenderung memilih (dalam istilah
sekarang) menjadi GOLPUT. Kepanjangan dari apa GOLPUT
itupun, saya tidak tahu, apakah Golongan Putih atau Golongan
Putus asa.
Terhadap GOLPUT itu, dulu, pernah akan dibuatkan undang-
undang. Intinya, mereka akan diberi sanksi. Bagaimanapun juga,
GOLPUT itu perlu disikapi, namum bukan dengan cara diberi sanksi.
215
Maungkai Budaya

Sebab, mengikuti Pemilu itu hak. Tentu, akan dipandang aneh bila
orang yang tidak menggunakan haknya, lalu diberi sanksi. Memang
tidak mudah untuk mengembalikan kepercayaan semua lapisan
masyarakat terhadap pelaksanaan Pemilu kita.
***
Sebagai penutup tulisan ini, saya kira ada tiga hal yang patut
kita renungkan. Pertama, sebagai warga negara Indonesia yang baik,
kita hendaknya berperan serta dalam pem-bangunan, termasuk
pembangunan di bidang politik, dengan cara menggunakan hak pilih
secara benar, mensukseskan, dan menerima segala hasil Pemilu.
Kedua, bila kita sebagai penyelenggara Pemilu, hendaknya kita
hendaknya bekerja secara profesional (tidak emosional), terbuka (bagi
krtitikan), jujur dan transparan. Bagaimana menurut Anda?

216

KPU KALSEL MUSTI SOLID

D alam dunia pewayangan, konon, Negeri Amarta memiliki


pemimpin yang bernama Yudhistira. Dia adalah tokoh tertua
dari lima bersaudara. Kenapa dia dipilih menjadi pemimpin negeri
itu? Bukan Bima, Arjuna, Sadewa atau Nakula? Apa karena dia yang
tertua? Alkisah, dia itu dikarakterisasikan sebagai tokoh yang secara
fisik lemah dan kurang terampil menggunakan senjata. Lalu, tokoh
yang semacam ini kog dijadikan pemimpin? Padahal, baik Bima
maupun Arjuna selalu tampil di barisan terdepan ketika Pandawa
Lima itu kedatangan musuh. Sementara, Yudhistira diminta oleh para
saudaranya untuk berlindung di tempat yang aman.
Pak Dalang menjelaskan, Bima menyadari bahwa dia memiliki
emosionalitas yang tinggi; sementara Arjuna menyadari bahwa dia
suka mengembara. Saudara mereka, Sadewa dan Nakula, menyadari
bahwa mereka adalah kembar dan paling yunior yang bila salah
satunya dipilih menjadi pemimpin, yang bersangkutan akan sungkan
terhadap saudara-saudara tua dan saudara kembarnya; mereka
khawatir tidak mampu bertindak tegas. Tampaknya, para saudara
Yudhistira itu mengakui kelebihan dan kekurangan saudara tertua
mereka. Kelebihan yang nyata adalah bahwa selain sebagai senior
dari saudara-saudaranya, Yudhistira amat bijaksana, tidak
emosional, dan rendah hati. Itu hanya cerita wayang, cerita fiksi
yang bagi kebanyakan dimanfaatkan sebagai hiburan.
Sama seperti cerita-cerita fiksi lainnya, cerita wayang juga
menyampaikan pesan-pesan moral yang tanpa mengesampingkan
ajaran moral agama perlu dicermati dan dicermini. Bila tindakan

217
Maungkai Budaya

melanggar terhadap ajaran moral agama langsung diadili oleh


Tuhan, mungkin saja para pelaku atau orang-orang lain yang
menyaksikan pengadilan Tuhan itu akan jera, tak berani
melanggar ketentuan (hukum) yang ada dan bertaubat. Artinya,
kita bercermin pada orang-orang yang diadili itu. Tapi, Tuhan tidak
mengadili mereka di dunia tetapi di akhirat kelak. Sehingga, kita
tidak bisa tahu akhir kisah para pelanggar hukum, misalnya.
Dengan demikian, cerita wayangpun, saya kira tak salah untuk
dijadikan cermin. Sebab, kita bisa tahu akhir kisah tokoh-tokoh yang
sewenang-wenang, zalim dan mengakali hukum, dan sebagainya.
Seperti diketahui bahwa ada dua versi cerita wayang:
Ramayana dan Mahabarata. Keduanya berasal dari India. Keduanya
adalah produk kebudayaan Hindu. Dalam kisah Ramayana, kita
temukan pertentangan antara Ramawijaya dan Rahwana. Dalam
kisah Mahabarata, kita temukan pertentangan antara Pandawa
Lima dan Kurawa. Baik Ramawijaya maupun Pandawa Lima
adalah tokoh-tokoh lambang yang merepresentasikan kebaikan,
kejujuran, keadilan, pengayoman, kedamaian , legowo dan
sejenisnya. Sedangkan, baik Rahwana maupun Kurawa adalah
lambang yang merepresentasikan keburukan, ketidakjujuran,
ketidakadilan, penindasan, kekacauan, sinisme dan sebagainya. Dari
kisah-kisah itu pula, kita bisa melihat bahwa Ramawijaya dan
Pandawa Lima berjaya; sementara Rahwana dan Kurawa hancur
lebur.
Terlepas dari itu, rupanya angka 5 punya konotasi yang sangat
bagus. Bagi kaum muslimin, angka 5 menyaran pada 5 Rukun Islam
(Syahadah, Shalat, Zakat, Puasa dan Haji). Dalam kisah pewayangan
yang dikemas oleh Sunan Kalijaga, Rukun Islam yang lima itu
dikaitkan dengan Pandawa yang jumlahnya lima. Dalam dakwah
Islamnya melalui wayang, melalui Pandawa Lima, Sunan Kalijaga
mengajar Islam. Kekuatan Pandawa adalah pada jimat kalimasadha.
Fondasi Islam adalah pada dua kalimah syahadah. Kaitan Pandawa
Lima dan Rukun Islam yang Lima adalah adanya Panca Manunggal
(Lima unsur yang pada hakikatnya satu) sehingga unsur yang satu
tidak bisa dipisahkan dengan unsur yang lain.
Bagi bangsa Indonesia, angka 5 juga punya konotasi yang bagus;
ia digunakan dalam Pancasila (lima sila). Pemahaman, penghayatan
218
KPU KalSel Musti Solid

dan pengamalan Pancasila tak bisa dilakukan secara sepotong-


sepotong. Kelima sila itu merupakan satu kesatuan yang terpadu.
Jumlah jari-jari tangan kita juga lima. Dalam keseharian, kita
telah diajarkan kelima jari tangan kita untuk selalu bekerja sama
secara terpadu dan solid. Masing-masing jari tidak bisa meng-klaim
kalau dirinya paling hebat di antara jari-jari yang lain. Sehebat
apapun ibu jari, misalnya, bila dia diminta untuk mengangkat satu
ember air, ia tak akan mampu; ia perlu bantuan keempat jari lainnya.
KPU dibentuk dengan jumlah yang lima. Mungkin saja,
maksudnya untuk memberikan implikasi pada angka 5 dalam cerita
wayang (Pandawa Lima), atau pada Rukun Islam yang Lima, atau
pada Dasar Negara kita (Pancasila), atau pada jar-jari (tangan)
manusia yang juga lima. Sebab, angka 5 pada ketiga hal itu memiliki
konotasi dan/atau implementasi yang sangat baik. Ia menunjukkan
kebersatuan, kebersamaan, keterpaduan. Namun, KPU Propinsi
Kalimantan Selatan yang lima itu tampaknya belum
mengimplikasikan kebersatuan, kebersamaan, dan keterpaduan
(untuk tidak mengatakan: masih dalam suasana cakar-cakaran).
***
Kelima anggota KPU Provinsi Kalimantan Selatan tentu orang-
orang pilihan terbaik melalui proses seleksi oleh tim seleksi anggota
KPU beberapa waktu lalu, mulai dari seleksi administratif (lulus 70
orang), tes wawancara (lulus 10 orang), terakhir tes kelayakan dan
kepatutan (lulus 5). Artinya, secara administratif, dan akademis
mereka layak dan patut untuk menduduki posisi di KPU. Juga,
mereka telah mengucapkan sumpah/janji dengan diawali: Demi
Allah (Tuhan). Dalam sumpah/janji itu mereka akan (1) bekerja
dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, (2) loyal terhadap
Pancasila dan UUD 1945, (3) tidak menerima tekanan dan pengaruh
apa pun dari pihak mana pun yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan, (4) bekerja dengan sungguh-sungguh, jujur,
adil, dan cermat, (5) menegakkan demokrasi dan keadilan,dan (6)
mengutamakan kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia
daripada kepentingan pribadi atau golongan.(Disarikan dari Pasal
24 ayat 1 Undang-Undang Pemilu 2003).
***

219
Maungkai Budaya

Seperti pernah saya tulis pada koran ini bahwa terhadap


pelaksanaan Pemilu pada era sekarang ini, banyak anggota
masyarakat bersikap apatis, tidak percaya dan tidak ingin melibatkan
diri dalam kegiatan politik. Untuk mengembalikan kepercayaan
semua lapisan masyarakat terhadap pelaksanaan Pemilu kita,
tidaklah mudah. Sebabnya? Hampir semua kita, khususnya kaum
intelektual, akademisi, dan orang-orang yang teraniaya secara
politik, saya yakin, memiliki asumsi bahwa siapapun penyelenggara
Pemilu akan dikatakan sebagai akan tidak berlaku jujur dan adil.
Pemilu yang dari dulu dinyatakan sebagai sarana berdemokrasi yang
Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia, di sana-sini masih terdengar
complaint dari sejumlah kalangan yang mensinyalir adanya
kecurangan dan/atau pelanggaran dalam Pemilu itu sendiri.
Pada Pemilihan Umum mendatang (2004), sejumlah kalangan
khususnya kalangan akedemisi meragukan bahwa pemilu tersebut
akan berjalan secara jujur dan adil. Banyak kalangan kawula muda,
khususnya sejumlah mahasiswa, dan akademisi yang kurang
mempercayai pemilu. Dengan kata lain, mereka lebih cenderung
untuk tidak memilih. Singkat kata, KPU sebagai salah satu kunci
keberhasilan pemilu dituntut untuk bekerja secara profesional demi
mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap keseluruhan
proses pelaksanaan pemilu itu sendiri. Dan, yang terpenting KPU
Propinsi Kalimantan, khususnya, haruslah solid dan mengesamping-
kan kepentingan-kepentingan pribadi maupun kelompok tertentu.
Kiranya, amat baguslah bila kita bercermin pada Pandawa Lima
yang solid itu. Wallahualam.

220

TIM SELEKSI ANGGOTA KPU:


OBYEKTIF ATAU AKOMODATIF?

S ebetulnya, saya kurang tertarik pada dunia politik, tetapi lebih


tertarik pada masalah humanitas. Namun, ketika dua kawan
saya, Ersis dan Daud Pamungkas, mendorong saya untuk ikut
nimbrung membicarakan politik maka saya mencobanya. Tidak salah
bukan? Terlebih ketika saya membaca komentar yang menurut saya
agak minor, terkesan prejudice dan (mungkin juga) tendensius tentang
pembentukan (tampaknya) KPU (Kalsel) itu, saya jadi agak
semangat.
Pembentukan KPU (khususnya KPU Provinsi Kalimantan
Selatan) banyak mendapat sorotan agak minor dari berbagai pihak.
Saya ambil contoh saja, misalnya, seorang pengirim opini via SMS
yang mengatakan: KPU daerah hanyalah perpanjangan tangan
KPU Pusat, jadi anggota KPU tidak perlu S-3 atau profesor. Cukup
aktivis yang paham politik, muda dan enerjik (Radar Banjarmasin,
24 April 2003, halaman 9) dan salah seorang rektor PTS di
Banjarmasin yang menyatakan bahwa Tim Seleksi Anggota KPU
hendaknya tidak menganaktirikan akademisi dari PTS (Radar
Banjarmasin, 25 April 2003, halaman 15). Dua komentar di atas
mempunyai implikatur yang kurang sedap didengar.
Komentar pertama tentu dialamatkan kepada para calon yang
lulusan S-3 (Doktor) dan/atau yang bergelar profesor. Implikasinya
adalah prejudice atau underestimate terhadap KPU Pusat dan
akademisi yang telah meraih derajat doktor dan atau bergelar
profesor (guru besar). Tentu kita semua tidak tahu betul apa niat,
minat, dan kepentingan mereka menjadi anggota KPU. Siapa tahu

221
Maungkai Budaya

kalau, misalnya, niat mereka adalah lillahi taala untuk mengabdikan


segala yang mereka miliki kepada kepentingan bangsa dan negara?
Jawabnya: tentu kita tidak tahu persis. Namun, kita telah berburuk
sangka dan/atau melecehkan mereka. Saya kira, semua warga
negara yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Undang-
Undang memiliki hak untuk menjadi anggota KPU. Alangkah
manisnya, kalau kita berikan kepercayaan kepada mereka; alangkah
bijaksananya, kalau kita berikan dukungan kepada mereka; dan
alangkah idealnya, kalau kita bisa gapai harapan akan perbaikan
kualitas pemilu melalui perjuangan mereka. Setelah pemilu nanti,
mari kita membandingkan mana yang lebih baik antara KPU masa
lalu dan KPU sekarang.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2003
menggariskan syarat-syarat untuk dapat menjadi anggota KPU,
KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/ Kota sebagai berikut:
a. warga negara Republik Indonesia; b. setia kepada Pancasila
sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik In-
donesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945; c.
mempunyai integritas pribadi yang kuat, jujur, dan adil;d.
mempunyai komitmen dan dedikasi terhadap suksesnya Pemilu,
tegaknya demokrasi dan keadilan; e. memiliki pengetahuan yang
memadai tentang sistem kepartaian, sistem dan proses pelaksanaan
Pemilu, sistem perwakilan rakyat, serta memiliki kemampuan
kepemimpinan; f. berhak memilih dan dipilih; g. berdomisili dalam
wilayah Republik Indonesia yang dibuktikan dengan KTP; h. sehat
jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan
menyeluruh dari rumah sakit; i. tidak menjadi anggota atau pengurus
partai politik; j. tidak pernah dihukum penjara berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5
(lima) tahun atau lebih; k. tidak sedang menduduki jabatan politik,
jabatan struktural, dan jabatan fungsional dalam jabatan negeri; l.
bersedia bekerja sepenuh waktu.
Bila para doktor dan/atau profesor yang aktivis, paham politik,
muda dan enerjik, serta yang memenuhi segala persyaratan di atas,
apa salahnya bagi mereka untuk memasuki dunia KPU? Malahan,
saya yakin bahwa dua orang di antara mereka punya idealisme,
222
Tim Seleksi Anggota KPU: Obyektif atau Akomodatif?

dedikasi, komitmen, dan spirit untuk menciptakan kondisi yang


demokratis bila mereka berdua betul-betul duduk di KPU. Dengan
perkataan lain, kemampuan mereka berdua bisa diandalkan. (Boleh
dong, memuji jago-jagonya; wong orang lain lebih dulu melakukan
hal yang sama).
Komentar kedua, menurut saya, berimplikasi pada upaya
menciptakan dikotomi antara PTN-PTS. Ah, jangan pakai dikotomi
PTN-PTS, anak tiri-anak kandung, bapak/ibu tiri-bapak/ibu
kandung seperti itulah, kalau hanya dalam kaitan dengan soal KPU.
Hal ini karena kaum akademisi baik dari PTN maupun PTS, menurut
saya, bukan mewakili PTN atau PTS tempat mereka bernaung. Saya
kira, mereka tidak juga diutus oleh pimpinan (rektor) mereka untuk
memasuki dunia KPU.
Dalam kaitan ini, saya amat salut terhadap sikap Rektor Uni-
versitas Lambung Mangkurat Banjarmasin tentang sejumlah anak
buah beliau yang mendaftarkan diri untuk menjadi anggota KPU,
yang menyatakan (seperti dikutip wartawan Radar Banjarmasin):
Mereka mendaftar atas nama pribadi atau LSM, meski juga dosen
Unlam. Dalam hal ini kampus tak pernah mengusulkan. Untuk
sementara kami tak mau campur tangan (Radar Banjarmasin, 24
April 2003, halaman 15).
Dengan demikian, karena para dosen itu mendaftarkan diri
untuk menjadi anggota KPU atas nama pribadi, maka pada
hakikatnya mereka tidak membawa bendera PT tertentu; mereka
tidak mewakili PT tertentu (karena setahu saya, tidak ada
perkawilan dosen untuk KPU); dan mereka juga bukan utusan dari
PT tertentu. Singkat kata, mereka atas inisiatif sendiri berkeinginan
untuk menjadi anggota KPU dan konsekuensi logis dari hal itu akan
menjadi tanggung jawab masing-masing dari mereka. Sehingga,
menurut saya, sebenarnya tidak ada persaingan ketat antara PTN
dan PTS, yang ada antar individu yang berjumlah 70 itu dalam
perebutan kursi-kursi di KPU.
Terlepas dari itu semua, Tim Seleksi Calon Anggota KPU tentu
sudah mempersiapkan seperangkat alat uji untuk menjaring sekian
banyak calon anggota KPU, terutama yang berkaitan dengan
kesetiaan kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita
223
Maungkai Budaya

Proklamasi 17 Agustus 1945; integritas pribadi yang kuat, jujur, dan


adil; dan komitmen dan dedikasi terhadap suksesnya Pemilu,
tegaknya demokrasi dan keadilan. Dalam hal ini, obyektivitas Tim
Seleksi Anggota benar-benar diuji: apakah tim ini benar-benar
obyektif atau akomodatif? Bila mereka berlaku obyektif berarti
mereka akan menerapkan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan
untuk menentukan apakah sejumlah calon tertentu bisa diajukan
menjadi anggota-anggota KPU atau tidak. Namun, mereka mungkin
saja mengakomodasikan sejumlah 10 calon, yang mencerminkan
berbagai unsur dari Unlam, IAIN Antasari, Stienas, Uniska, dan
PTS lain (bila ada), serta orang dari luar kampus untuk diajukan
menjadi anggota-anggota KPU Provinsi. Bila cara yang kedua (cara
kompromistik) ini diambil, jelas obyektivitas Tim Seleksi terganggu.
Yang menjadi pertanyaan adalah: Apakah cara yang demikian ini
mencerminkan keadilan sebagaimana diharapkan sementara
pihak? Wallaualam.

224

TIM SELEKSI ANGGOTA KPU


JUGA HARUS JUJUR

S ecara historis, situasi politik di Indonesia menegang sekurang-


kurangnya ketika Partai Komunis berkeinginan untuk
memegang dominasi dalam kehidupan politik di negeri ini.
Kegagalan partai yang melakukan pemberontakan pada tahun 1965
untuk berdiri pada barisan terdepan, diikuti oleh carut marutnya
kehidupan politik kita. Singkat kata, kendali pemerintahan bergeser
dari Presiden Soekarno kepada Presiden Soeharto (Faruk, dkk.,
2000:98-99).
Era Soekarno dikatakan sebagai Orde Lama; sedangkan Era
Presiden Soeharto dikatakan sebagai Orde Baru. Pemunculan Orde
Baru dimaksudkan untuk melakukan koreksi terhadap kesalahan
dan/atau penyelewengan terhadap Dasar Negara dan UUD 1945
yang dilakukan oleh orde sebelumnya, yakni Orde Lama.
Perkembangan politik di Indonesia pada pemerintahan Orde
Baru ditandai oleh dominasi yang sangat kuat dari pihak penguasa.
Orde ini ditopang oleh militer dan teknokrat. Para teknokrat ditugasi
untuk memperbaiki dan mengembangkan potensi ekonomi;
sementara militer ditugasi untuk menentukan, mengatur dan
menjaga stabilitas politik dan keamanan dalam negeri. Praktek
kekuasaan pada era Orde Baru, tampaknya, ditentukan oleh
presiden. Sang Presiden tampak dengan jelas berusaha menentukan
dan mengontrol ideologi, pranata, personalia dan aktivitas politik
di Indonesia. Konon, pada Pemilihan Umum tahun 1971 yang diikuti
oleh 10 partai politik, pihak militer memiliki pengaruh yang sangat

225
Maungkai Budaya

kuat. Artinya, militer ikut bermain dalam rangka memenangkan


salah satu kontestan pemilu. Itulah kesan di masyarakat bahwa
pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) tersebut dan Pemilu-Pemilu
selanjutnya selama era Orde Baru banyak diwarnai ketidakadilan,
kecurangan, dan kegiatan-kegiatan malprakek lainnya (Faruk, dkk.,
2000:99-100). Sehingga, kemenangan partai peserta pemilu yang
diraihnya bisa dikatakan sebagai kemenangan semu, kemenangan
dengan cara tak terpuji, yang pada hakikatnya bukanlah
kemenangan.
Pada era Orde Baru, rakyat dibuat takut. Betapa tidak! Ketika
seseorang berbicara politik ala warung kopi atau ketika dia
berpidato dengan kebudayaan (seni) untuk kalangan terbatas dan
menyentil atau menyudutkan simbol kekuatan Orde Baru, dan
sentilan atau penyudutan terdengar pihak penguasa, maka dia bisa
dituduh subversi. Akibat dari sentilen dan/atau penyudutan itu,
hukuman teringan adalah pencekalan (seperti Emha Ainun
Najib yang tidak boleh tampil pidato atau berkegiatan di Wilayah
Jawa Tengah) dan hukuman (yang betul-betul hukuman) menimpa
seorang cendekiawan kita, Dr. Sri Bintang Pamungkas. (Orang yang
belakangan disebut ini dituduh menghina Presiden. Selain, harus
hengkang dari kursi DPR/MPR ia dipenjarakan. Ketika terjadi
pergantian presiden dari Soeharto ke B.J. Habibie, ia dibebaskan atau
diberi pengampunan oleh Presiden Habibie).
Pada sisi lain, kita bisa juga melihat bahwa berdasar Undang-
Undang Pemilu yang berlaku, pihak militer tidak memiliki hak pilih;
namun mereka mendapat kursi di parlemen yakni 1/5 dari seluruh
jumlah kursi anggota parlemen atau DPR. Mengapa militer bisa
berlaku seperti itu? Konon kabarnya, mereka merupakan stabilisator
dan dinamisator dalam kehidupan sosial dan politik. Mereka diberi
dua fungsi yang disebut dwi fungsi (Faruk, dkk., 2000:99).
Bila kita mempercayai kata pepatah: Sepandai-pandai tupai
meloncat, suatu saat ia akan jatuh juga. Kata pepatah yang cukup bijak
ini kiranya bisa dimanfaatkan untuk menginterpretasikan simbol
kekuatan Orde Baru. Siapa yang menyangka ia akan jatuh dan lalu
tertimpa tangga (terkena hujatan sangat hebat)? Ia kita ketahui
sangat kuat di segala lini kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Namun, sekuat apapun suatu kekuatan suatu orde, ketika
226
Tim Seleksi Anggota KPU Juga Harus Jujur

simbol kekuatannya jatuh, toh akhirnya, ia runtuh juga. Apakah


keruntuhan Orde Baru disusul oleh orde lain? Tampaknya, hingga
kini belum ada penamaan orde setelah keruntuhan Orde Baru itu.
Tetapi yang tampak adalah munculnya era baru. Era ini disebut
Era Reformasi, suatu era yang ditandai oleh kebebasan yang kurang
atau bahkan tidak dilandasi sikap-sikap moral yang baik, justru
menjadikan tercabik-cabik atau carut-marutnya dunia politik di In-
donesia. Sikap-sikap yang demikian tampak pada kebanyakan elit
kita yang menonjolkan keinginan untuk menang sendiri, perasaan
benar sendiri, dan keinginan untuk memenuhi kebutuhan/
kepentingan sendiri.
Dalam situasi politik yang carut marut itu, muncullah berpuluh-
puluh partai politik. Dalam situasi yang penuh kebebasan itu,
sekolompok orang yang mungkin kecewa karena kepentingan
mereka tidak diperhatikan oleh partai asal merekadengan begitu
mudahnya mendirikan partai-partai baru. Sementara itu, organisasi
politik pendukung kuat pemerintahan Orde Baru mulai diobok-
obok atau, pada tingkatan paling rendah, menjadi bahan olok-olok;
banyak orang menudingnya sebagai penyebab segala krisis yang
melanda Indonesia.
Terhadap pelaksanaan Pemilu pada era sekarang ini, banyak
anggota masyarakat bersikap apatis, tidak percaya dan tidak ingin
melibatkan diri dalam kegiatan politik. Untuk mengembalikan
kepercayaan semua lapisan masyarakat terhadap pelaksanaan
Pemilu kita, tidaklah mudah. Sebabnya? Hampir semua kita,
khususnya kaum intelektual, akademisi, dan orang-orang yang
teraniaya secara politik, saya yakin, memiliki asumsi bahwa
siapapun penyelenggara Pemilu akan dikatakan sebagai akan tidak
berlaku jujur dan adil. Pemilu yang dari dulu dinyatakan sebagai
sarana berdemokrasi yang Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia,
ditambah Jurdil (Jujur dan Adil) di sana-sini masih terdengar com-
plaint dari sejumlah kalangan yang mensinyalir adanya kecurangan
dan/atau pelanggaran dalam Pemilu itu sendiri.
Pemilu yang lima tahun sekali dilaksanakan bisa dikatakan
sebagai alat untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia
adalah negera demokrasi. Pemilu selalu saja dikatakan sebagai
penuh rekayasa politik yang penuh kecurangan, akal-akalan,
227
Maungkai Budaya

intimidasi atau sejenisnya untuk kepentingan kelompok penguasa.


Kesan yang saya tangkap dari sejumlah anggota masyarakat, bahwa
di samping pemerintah Orde Baru mengobok-obok partai politik
peserta pemilu ia juga banyak melakukan rekayasa politik dalam
pelaksanaan Pemilu itu sendiri Sebagai contoh, elemen-elemen
panitia Pemilu mulai tingkat atas (KPU pusat) sampai dengan tingkat
bawah (Panitia Pemungutan Suara) berasal dari orang-orang
pendukung salah satu kontestan Pemilu. Mereka semua diyakini
memiliki kecenderungan membela (untuk memenangkan)
kontestan tersebut. Di sinilah, banyak orang mensinyalir bahwa
mereka melakukan pelanggaran, penyelewenangan, atau manipulasi
suara atau sejenisnya. Diakui atau tidak, hal ini masih membekas
dalam diri kebanyakan rakyat Indonesia.
Pada Pemilihan Umum mendatang (2004), atas dasar
pengalaman Pemilu-Pemilu sebelumnya, sangat mungkin banyak
kalangan meragukan bahwa pemilu tersebut akan berjalan secara
jujur dan adil. Dengan kata lain, mereka lebih cenderung untuk tidak
memilih. Singkat kata, KPU sebagai salah satu kunci keberhasilan
pemilu dituntut untuk bekerja secara profesional demi
mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap keseluruhan
proses pelaksanaan pemilu itu sendiri.
Ketika Tim Seleksi Calon Anggota KPU dibentuk, tidak
terdengar ribut-ribut seperti halnya ketika proses seleksi calon
anggota KPU dilangsungkan.Tim Seleksi ini tak dikritisi. Malahan,
KPU yang masih dalam proses pembentukan sudah dituntut macam-
macam. Namun apa boleh dikata. Tim Seleksi itu sudah terbentuk
dan sudah pula menjalankan fungsinya. Oleh karena itu, yang
penting sekarang, sebelum menuntut calon anggota KPU untuk
taat pada Pancasila dan UUD 1945, independen, sungguh-sungguh, jujur,
adil, cermat dan mendahulukan kepentingan Negara di atas kepentingan
pribadi, terlebih dahulu Tim Seleksi memiliki sikap yang sama.
Melalui Tim Seleksi dengan sikap seperti itu, kita akan berharap para
calon anggota KPU yang akan dilahirkannya betul-betul mampu
menyelenggarakan Pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia,
dan jujur serta adil pada Pemilu 2004. Bagaimana menurut
sampeyan?

228

PEMILIHAN UMUM 2004


DAN SEJUMLAH ASPEKNYA

P emilu 2004 sebentar lagi akan digelar. Segenap jajaran


penyelenggara Pemilu, KPU Pusat, Propinsi dan Kabupaten/ Kota,
tengah sibuk-sibuknya mempersiapkan pelaksanaan pesta
demokrasi itu. Salah satu kegiatan mereka adalah sosialisasi
pemungutan suara kepada penyelenggara Pemilu tingkat paling
bawah, KPPS. Sementara itu, para Calon Legislatif dan para Calon
Dewan Perwakilan Daerah juga tak mau ketinggalan; mereka juga
mensosialisasikan diri bahwa mereka telah masuk dalam Daftar
Calon Legislatif dan Calon Dewan Perwakilan Daerah dengan
harapan (tentunya) agar masyarakat (calon pemilih) mengetahui
pencalonan mereka.

Sistem Pemilu 2004


Sistem Pemilu 2004 sangat berbeda dengan pemilu-pemilu
sebelumnya. Beberapa di antaranya: (1) Wakil Daerah yang dalam
Pemilu-pemilu sebelum ini dipilih oleh DPRD Tingkat I; sekarang
mereka dipilih langsung oleh rakyat (2) dulu, para calon pemilih
(capem) hanya mencoblos tanda gambar; sebagian atau bahkan
mereka semua tidak menghiraukan calon-calon anggota legislatif
(caleg) yang ada di bawah tanda gambar itu; dan asal mereka telah
fanatik kepada salah kontestan Pemilu, mereka pilih atau cobloslah
tanda gambarnya; sekarang, mereka mencoblos foto (untuk DPD)
dan tanda gambar partai berikut caleg di bawahnya yang
dikehendaki, (3) persaingan terjadi antar perorangan baik untuk
DPD maupun Legislatif; dengan begitu, tidak tertutup kemungkinan
bahwa ada calon yang mendapatkan suara yang berlimpah dan
ada pula yang mendapat suara yang tidak signifikan jumlahnya.

229
Maungkai Budaya

Menurut keterangan M. Ramli, anggota KPU Propinsi


Kalimantan Selatan, pada Pemilu 2004, dalam suatu kesempatan
sosialisasi Pemilu di Kecamatan Alalak, Kabupaten Barito Kuala, ada
empat kartu suara: untuk (1) Calon Dewan Perwakilan Daerah (DPD),
(2) DPR, (3) DPR Propinsi, dan (4) DPR Kabupaten/Kota. Untuk
mencoblos calon anggota DPD, sangat mudah: coblos salah satu
foto dari sekian calon. Namun, untuk mencoblos baik surat suara
untuk DPR, DPR Propinsi, maupun DPR Kabupaten/Kota, pemilih
mencoblos dua kali untuk masing- masing kartu suara: pertama,
mencoblos tanda gambar partai, dan kedua, mencoblos salah satu
nama caleg yang ada di bawah. Dengan demikian, ada 7 (tujuh)
kali pencoblosan: 1 kali untuk kartu suara DPD, 2 kali untuk kartu
suara DPR, 2 kali untuk kartu suara DPR Propinsi, dan 2 kali untuk
kartu suara DPR Kabupaten/Kota.
Lebih lanjut, M. Ramli menyatakan bahwa ada dua cara
pencoblosan yang sah untuk memilih caleg: (1) pemilih bisa
mencoblos tanda gambar saja. Walaupun diperbolehkan dan sah,
namun cara pertama ini tidak disarankan; dan (2) pemilih bisa
mencoblos tanda gambar dan nama calon yang dihendaki. Cara
kedua ini yang disarankan. Jika mereka hanya memilih atau
mencoblos nama calon, maka suara mereka tidaklah sah atau batal.
Perlu diketahui, tata cara mencoblos itu belum tersosialisasikan
sampai ke akar rumput pemilih kita. Alasannya? Ada sejumlah kawan
saya yang cukup terdidik belum tahu cara mencoblos. Untuk itu,
segenap panitia penyelenggara Pemilu hendaknya tidak
mengganggap enteng soal tata cara mencoblos yang benar dan hasil
coblosannya sah.

Karakter Calon Legislatif dan Calon Pemilih


Analisis karakter sudah biasa saya lakukan ketika saya
menelaah sebuah novel atau cerita pendek. Namun, kali ini analisis
itu saya coba lakukan terhadap caleg dan capem pada Pemilu 2004
mendatang. Analisis saya adalah sebagai berikut: (1) caleg terdukung
penuh oleh suara pemilih; dengan jumlah suara tertentu dia terantar
menuju kursi wakil rakyat, (2) caleg beruntung; dia terantar ke kursi
wakil rakyat karena dia mendapatkan donor suara dari caleg lain
yang nomor urutnya berada di bawahnya; dan kemungkinan besar

230
Pemilihan Umum 2004 dan Sejumlah Aspeknya

caleg dengan nomor urut satu adalah caleg beruntung, dan (3) caleg
pendonor; dia mendapatkan suara namun jumlah suaranya tidak
memenuhi quota satu kursi (walaupun hanya kurang satu suara)
dan mau tidak mau atau suka atau tidak suka dia harus
mendonorkan suara yang diperolehnya untuk caleg lain yang
berada pada nomor urut di atasnya.
Calon pemilih dimungkinkan memiliki sejumlah karakter pada
Pemilu 2004. Pertama, tetap ada calon pemilih yang hanya akan
memilih tanda gambar partai saja. Hal ini didasarkan pada
fanatisme mereka yang telah tertanam kuat mulai Pemilu-Pemilu
sebelumnya. Oleh karena itu, mereka mungkin saja tidak
menghiraukan siapa calon legislatif yang mereka pilih. Bagi mereka,
hal yang penting adalah bahwa suara mereka sah dan tersalur pada
partai idola mereka.
Kedua, ada calon pemilih yang memilih tanda gambar partai
berikut nama calon legislatifnya. Hal ini didasarkan pada fanatisme
terhadap partai dan simpatisme terhadap calon tertentu. Sebagai
konsekuensinya, bila pemilih dengan karakter semacam ini banyak
yang memberikan suaranya kepada salah satu calon legislatif dari
partai tertentu (kendati dia berada pada nomor bawah), maka
mereka akan mengantarkan dia dan calon legislatif nomor urut 1
(satu) untuk menjadi anggota legislatif jika jumlah suara mereka
melebihi quota yang ditentukan. Namun, bila jumlah suara mereka
tidak memenuhi quota yang ditentukan (katakan, kurang 1 (satu)
suara) berarti mereka harus rela menyerahkan suara mereka
kepada calon legislatif yang sebenarnya tidak mereka pilih. Bila
penyerahan suara ini terjadi (dan mungkin saja terjadi), maka
bersama-sama calon yang dipilihnya, pemilih dengan karakter ini
akan kecewa. Terhadap hal ini muncul pertanyaan: Demokratiskah
ketentuan semacam ini?
Ketiga, ada calon pemilih yang mempunyai simpatisme kepada
salah calon legislatif tetapi tidak menyukai partai yang menaunginya.
Bila hal ini terjadi, suaranya akan tidak sah atau batal. Calon dengan
karakter ini mungkin saja mencoblos tanda gambar partai karena
keterpaksaan, agar suaranya sah. Saya yakin, calon pemilih seperti
banyak jumlahnya.

231
Maungkai Budaya

Keempat, ada calon pemilih yang cenderung untuk memilih


menjadi Golput. Ada sinyalemen, bahwa terhadap pelaksanaan
Pemilu pada era sekarang ini, banyak anggota masyarakat bersikap
apatis, tidak percaya dan tidak ingin melibatkan diri dalam kegiatan
politik. Dengan perkataan lain, mereka enggan untuk memberikan
hak suara mereka; mereka cenderung memilih (dalam istilah
sekarang) menjadi Golput Kepanjangan dari apa Golput itupun, saya
tidak tahu, apakah Golongan Putih atau Golongan Putus asa.

Apatisme Calon Pemilih


Terhadap calon pemilih yang Golput tu, dulu, pernah akan
dibuatkan undang-undang. Intinya, mereka akan diberi sanksi.
Bagaimanapun juga, Golput itu perlu disikapi, namum bukan dengan
cara diberi sanksi. Sebab, mengikuti Pemilu itu hak. Tentu, akan
dipandang aneh bila orang yang tidak menggunakan haknya, lalu
diberi sanksi. Memang tidak mudah untuk mengembalikan
kepercayaan semua lapisan masyarakat yang apatis terhadap
pelaksanaan Pemilu kita. Mereka itu menjadi apatis, tentu mereka
mempunyai sejumlah alasan; sejumlah di antaranya, mungkin,
aspirasi politik mereka tak bisa tersalur lewat partai-partai yang ada,
atau ketidakyakinan mereka akan tetap kukuhnya idealisme para
calon DPD atau Legislatif ketika mereka benar-benar menjadi wakil
rakyat (di DPD, DPR, DPRD Propinsi, atau DPRD Kabupaten/Kota).
Jika sinyalemen mengenai memudarnya kepercayaan masyarakat
terhadap Pemilu itu benar adanya, adalah tugas setiap calon DPD
dan partai beserta para calegnya untuk membangun kepercayaan
masyarakat terhadap Pemilu kita. Bagaimana menurut sampeyan?

232

PENGAWASAN PEMILIHAN UMUM

T ulisan ini semula akan saya gunakan untuk melengkapi salah


satu persyaratan melamar menjadi calon anggota Panitia
Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kota Banjarmasin. Setelah mengambil
formulir, saya membaca ketentuan-ketentuan yang di dalamnya.
Sebenarnya, secara administratif saya bisa memenuhi ketentuan-
ketentuan itu. Karena sejumlah sebab, saya putuskan bahwa saya
tidak jadi melamarnya. Tak tahulah di masa-masa mendatang!
Namun demikian, walaupun tak jadi melamar sebagai calon anggota
Panwaslu, kiranya tak salah bila saya turut urun rembug dalam soal
pengawasan Pemilu. Toh, secara de facto saya telah mulai melakukan
pengawasan terhadap bagian tak terpisahkan dari pelaksanaan
Pemilu.
***
Pemilihan Umum dapat dikatakan sebagai titik tolak
berjalannya mekanisme kepemimpinan nasional lima tahunan.
Kepemimpinan Orde Baru tampak yakin dan percaya bahwa
mekanisme kepemimpinan nasional telah dapat berjalan dengan
baik sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945.
Hal itu tercermin dalam Materi Pokok Penataran P4 Pola 100
jam (1993:310), bahwa pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945
selama Orde Baru ini telah mulai terbina dan terpelihara dengan
baik. Mekanisme Kepemimpinan Nasional yang dilaksanakan lima
tahunan itu telah berjalan dengan baik. Mekanisme lima tahunan
itu meliputi kegiatan-kegiatan kenegaraan sebagai berikut:

233
Maungkai Budaya

1. Pemilihan Umum. Pemilihan Umum dilaksanakan untuk wakil


rakyat yang akan duduk di DPRD Tk II, DPRD Tk I, dan DPR
Pusat.Selanjutnya, DPRD Tk I yang merupakan hasil pemilu tadi
mengirimkan utusan-utusannya untuk duduk sebagai bagian dari
MPR.
2. Sidang MPR. MPR yang terdiri dari seluruh anggota DPR, utusan-
utusan dan golongan-golongan sebagai hasil Pemilihan Umum
berdasarkan Undang-Undang mengadakan sidang, yang antara
lain, menetapkan GBHN dan memilih Presiden dan Wakil
Presiden untuk masa lima tahun untuk melaksanakan GBHN.
3. Pelaksanaan Tugas Presiden/Mandataris MPR. Presiden sebagai
mandataris MPR dibantu oleh Wakil Presiden dan para menteri
melaksanakan tugas berdasarkan pada Undang-Undang Dasar
1945 dan GBHN, yang akan dipertanggungjawabkan kepada
Sidang Umum MPR pada akhir masa jabatannya.
***
Memang, bila dilihat dari mekanisme kepemimpinan nasional
tersebut sesuai saja dengan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan
oleh Undang-Undang Dasar 1945. Yakni, mula-mula kita
mengadakan pemilihan umum; para wakil rakyat hasil pemilu
menetapkan GBHN dan memilih presiden dan wakil presiden, dan
presiden menjalankan GBHN itu dalam masa lima mendatang.
Menjelang presiden selesai masa jabatan yang lima tahun itu, kita
mengadakan pemilu lagi. Dan begitu seterusnya. Namun, pemilu kita
selama ini dinilai oleh sementara pihak sebagai memiliki sisi-sisi negatif.
Pemilu disinyalir masih diselimuti kecurangan dan/atau pelanggaran.
Untuk menghindari (atau setidak-tidaknya meminimalisir)
munculnya kecurangan dan/atau pelanggaran dalam Pemilu sangat
diperlukan adanya Panitia Pengawas Pemilu yang benar-benar
independen. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
12 Tahun 2003, Pasal 122, Pengawas Pemilu mempunyai tugas dan
wewenang: (1) mengawasi semua tahapan penyelenggaraan Pemilu;
(2) menerima laporan pelanggaran peraturan perundang-undangan
Pemilu; (3) menyelesaikan sengketa yang timbul dalam
penyelenggaraan Pemilu; dan (4) meneruskan temuan dan laporan
yang tidak dapat diselesaikan kepada instansi yang berwenang.

234
Pengawasan Pemilihan Umum

Strategi pengawasan yang sekiranya dapat diimplementasikan


dapat ditarik dari tugas dan wewenang Panitia Pengawas Pemilu,
sebagai berikut:
(1) Panitia Pengawas Pemilu harus bertindak atas dasar tugas dan
kewenangannya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang yang
berlaku.
(2) Panitia Pengawas Pemilu tidak hanya menunggu laporan-laporan
tentang pelanggaran-pelanggaran yang terjadi tetapi harus
proaktif dalam melakukan tugas pengawasan terhadap setiap
tahapan pemilu. Dalam hal ini, panitia harus peka terhadap hal-
hal yang disinyalir sebagai pelanggaran baik yang berasal
pembicaraan ala warung kopi oleh sejumlah kalangan maupun
yang diekspos di media massa. Berangkat dari kepekaaan ini,
tanpa menunggu laporan dari pihak tertentu, panitia harus
mencari klarifikasi tentang sinyalemen itu.
(3) Panitia Pengawas Pemilu mencatat hal pada poin (1) di atas
sebagai pelanggaran bila memang ada bukti bahwa hal itu
pelanggaran; namun, bila bukan merupakan pelanggaran tetapi
menjadikan masalah bagi pihak tertentu, maka hal itu diselesaikan
sesuai dengan tugas dan wewenang serta ketentuan yang berlaku.
(4) Pelanggaran yang mengandung unsur pidana diteruskan kepada
pihak berwenang.
Untuk itulah, orang-orang yang terlibat dalam Panitia Pengawas
Pemilu setidak-tidaknya harus memiliki sifat-sifat berikut:
(1) Agresif, dalam arti bahwa mereka harus cekatan dan penuh
kreatifitas dalam menjalankan segala hal yang berkaitan dengan
tugas-tugas mereka.
(2) Transparan atau Terbuka, dalam arti segala sesuatu yang benar
disampaikan bahwa itu benar; sementara sesuatu yang tidak
benar (hendaknya) tidak dibungkus sehingga menjadi kelihatan
benar.
(3) Disiplin, dalam arti bahwa mereka harus bekerja sesuai dengan
ketentuan/jadwal, tidak menunda-nunda, bermalas-malasan dan
sejenisnya.

235
Maungkai Budaya

(4) Komunikatif, dalam arti bahwa mereka hendaknya mampu


menjalin komunikasi ke segala arah (secara horisontal saja
maupun vertikal-horisontal).
(5) Selalu tertantang, dalam arti bahwa mereka selalu merasa
tertantang untuk melakukan yang terbaik bagi keseluruhan
lapisan; berusaha untuk membuka peluang guna mencari solusi
terhadap tantangan atau masalah tersebut.
(6) Adaptif, dalam arti bahwa mereka selalu berusaha untuk
menyesuaikan diri di segala lingkungan di mana mereka berada.
(7) Persuasif, dalam arti bahwa mereka berusaha untuk selalu dingin
dalam menghadapi segala masalah; segala masalah yang
ditangani secara persuatif mengisyaratkan bahwa yang
bersangkutan tetap dalam situasi damai.
(8) Jujur, dalam arti bahwa mereka berusaha untuk menghindari
malpraktek atau pelanggaran.
(9) Tanggung jawab, dalam arti bahwa mereka hendaknya bekerja
berdasarkan aturan yang ada dan hasil kerjanya dapat
dipertanggungjawabkan menurut aturan itu; tanggung jawab di
sini tentu harus dilandasi oleh moralitas agama dan Pancasila
demi terjaminnya pemilu yang jujur dan adil. Wallahualam.

236

PLUS-MINUS PENGGALIAN ASPIRASI


MASYARAKAT MELALUI SAFARI JUMAT
(Catatan untuk Pemerintah Kabupaten Barito Kuala)

K epemimpinan Bupati Barito Kuala, Eddy Sukarma, telah hampir


berjalan lima tahun. Selama memimpin Kabupaten Batola, beliau
telah banyak melakukan kunjungan/safari Jumat. Setidak-tidaknya,
tiga kali Jumat, saya menghadirinya. Setelah shalat Jumat, Bupati
melakukan dialog dengan jamaah. Dalam dialog itu, warga diberi
kesempatan untuk memberikan apresiasi dan/atau usulan berkait
dengan pembangunan di lingkungan Kabupaten Batola.
Dalam safari itu, Bupati tidak sendirian. Beliau diikuti oleh
personil-personil dinas-dinas pemerintah lokal. Skenario dialog
dirancang oleh pengurus masjid. Dialog diawali dengan sambutan
wakil pengurus masjid. Dalam sambutan itu, selain memberikan kata
pengantar untuk dialog, dia mewakili warga guna menyampaikan
usulan-usulan tentang apa saja yang perlu mendapatkan perhatian
Pemerintah Kabupaten Batola. Umumnya, karena acara dialog itu
di masjid, sang pengurus minta bantuan untuk pembangunan
masjid. Dan, secara global, dia menyampaikan masalah sarana jalan
lingkungan, kesehatan, air minum dan lain-lain. Dilanjutkan dengan
sambutan camat setempat. Dalam sambutannya, camat biasanya
memberikan gambaran singkat tentang kecamatan yang
dipimpinnnya, khususnya desa/kelurahan setempat, kepada bupati.
Dilanjutkan dengan sambutan bupati. Lalu, dipimpin oleh camat,
dialog dengan jamaah dilakukan.
Tampak pula, dalam acara dialog itu, Pemerintah Kabupaten/
dinas terkait memberikan bantuan kepada pengurus masjid,
mushala, dan madrasah dari sejumlah desa/kelurahan terdekat,

237
Maungkai Budaya

yang telah ditentukan sebelumnya. Waktu saya mewakili pengurus


salah satu mushala di Handil Bakti, kami diberi bantuan Rp. 800.000,-
, jumlah uang yang lumayan untuk membenahi mushala yang
biayanya tak kurang dari Rp. 20 juta. (Saat itu dialog dilakukan di
suatu masjid di Desa Beringan).

Plus-Minus Safari Jumat?


Dari sisi silaturrahim, pemimpin yang datang dan berdialog
dengan warganya, amat bagus dan sangat terpuji. Tiada yang salah
dalam acara silaturrahim. Banyak warga masyarakat bisa bertatap
muka langsung dengan pemimpinnya. Dalam hal safari ini, kalau
tidak salah, Camat Alalak, waktu itu Pak Samson, pernah
mengatakan bahwa Bupati Barito Kuala adalah satu-satunya Bupati
yang bersedia menyambangi warganya hingga ke pelosok-pelosok
wilayah kabupaten. Bupati dan rombongan membaur dengan warga
masyarakat. Kedekatan beliau dengan warga masyarakat terbangun
dengan baik. Seolah, terlihat tiada jarak sosial mencolok antara beliau
dengan warga masyarakat.
Memang betul adanya. Pada safari jumat ini, misalnya, Bupati
Eddy Sukarma di desa/kecamatan A; dan pada jumat yang lain di
desa/kecamatan B. Pendek kata, mungkin, setiap kecamatan di
kabupaten ini, pernah dikunjungi oleh Bupati Eddy Sukarma dalam
rangka safari Jumat. Sebagai warga biasa, tentu saya senang bertemu
bupati secara langsung.
Di sisi lain, karena para warga diberi kesempatan untuk usul
perbaikan dan/pembangunan ini dan itu, tentu mereka punya
pengharapan atas apa-apa yang diusulkan. Mereka menunggu dan
menunggu realisasi usulan perbaikan dan/atau pembangunan
fasilitas tertentu. Seolah, Bupati memberikan janji. Janji yang suatu
saat harus dipenuhi.
Sekadar contoh, ketika warga mengusulkan perbaikan/
pengaspalan jalan utama di lingkungan Komplek Griya Permata,
usulan itu tidak dijawab langsung oleh Bupati melainkan
dilemparkan ke dinas terkait. Oleh dinas terkait, dikatakan bahwa
sarana jalan itu masih merupakan kewenangan pengembang; belum
diserahkan oleh pengembang ke Pemerintah Kabupaten Barito
Kuala. Dalam kaitan ini, Pemerintah Kabupaten Batola belum bisa
238
Plus-Minus Penggalian Aspirasi Masyarakat melalui Safari Jumat

melakukan pembenahan (kehendak warga, pengaspalan) lantaran


fasilitas jalan belum diserahkan oleh pengembang kepada pihaknya.
Usulan tetap menjadi usulan; hanya ditampung sebagai
sebagian dari aspirasi warga. Aspirasi yang ditampung tanpa realisasi
di kemudian hari, akan mengurangi arti niat baik Pemerintah
Kabupaten Batola dalam rangka membangun masyarakat
seutuhnya; membangun masyarakat lahir-batin, menyeluruh dan
berkesinambungan. Bahkan, hal itu mungkin sekali akan mengurangi
(kalaupun, tidak mengikis habis) kepercayaan masyarakat terhadap
pemerintahnya. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa aspirasi
warga itu digali langsung oleh Bupati beserta rombongan yang nota
bene personil-personil dinas-dinas terkait.
Bila aspirasi itu digali melalui kegiatan penelitian/survey, akan
lain lagi masalahnya. Warga tak akan menunggu. Warga
mempercayakan kepada para wakilnya di DPR dan Pemerintah
Kabupaten Batola. Bila tak ada atensi dari pemerintah daerah,
pembenahan dan/atau pembangunan fasilitas umum dilakukan
dengan swadaya masyarakat, seperti yang dilakukan selama ini.
Kalau ada atensi, ya syukur; kalau tidak, ya apa boleh buat. Kalau
hanya menambal jalan berlobang, warga masyarakat masih punya
kesanggapun.

Swadaya Masyarakat
Berkait dengan soal fasilitas jalan di komplek manapun yang
perlu penanganan/pembenahan, namun belum diserahkan oleh
pengembang ke Pemerintah Kabupaten, tentu Pak Ketua RW
hendaknya mempelopori pengurusan dan penyerahan fasilitas jalan
itu. Kalau tidak, Pak Lurah dan Pak Camat yang ikut hadir dalam
acara safari itu, tentu punya kewajiban membantu warganya agar
fasilitas jalan di komplek itu bisa diserahkan kepada Pemerintah
Kabupaten. Atau, kalau tidak, tim dari Pemerintah Kabupaten
mengambil langkah solutif yang jitu. Sebab, kehadiran Bupati dan
rombongan, tentu selain menggali aspirasi, juga akan membantu
memecahkan persoalan yang dihadapi masyarakat, bukan?
Caranya? Tak tahulah saya!
Sekadar diketahui, Pengembang Komplek Griya Permata Handil
Bakti, telah lama bubar. Para personilnya bahamburan ke mana-

239
Maungkai Budaya

mana. Pengembang yang berjuluk PT Griya Permata Dwi


Manunggal itu hanya tinggal namanya saja. Kalau fasilitas jalannya
harus diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten, siapa yang berhak
menyerahkannya? Bisahkah mantan direkturnya? Atau, bisakah Pak
RW, Pak Lurah dan Pak Camat? Atau langsung diambil alih oleh
Pemerintah Kabupaten? Tolong warga dikasih tahu!
Dari hari ke hari, dari bulan ke bulan, dan dari tahun ke tahun
hingga masa bakti Bupati Eddy Sukarma hampir habis, kondisi jalan
(khususnya, jalan utama) di lingkungan Komplek Griya Permata
masih seperti dulu. Rusak dan berlobang. Untuk mengurangi
kerusakan atau menutup lobang-lobang yang ada, secara insidental,
sejumlah warga (bukan Pengurus Rukun Warga atau RW)
memprakarsai bapintaan kepada orang-orang tertentu (yang mampu)
dan meminta bantuan ala kadarnya kepada para pemakai jalan, untuk
membeli pasir-batu, dan kemudian diampar secara gotong royong.
Hasilnya, lumayan. Kondisi jalan, walaupun buruk tapi tak berlobang.
Sekadar diketahui, sejumlah warga mempunyai prakarsa
spontan tampaknya merasa jenuh, karena mereka bukan pengurus
Rukun Warga; mereka tak mempunyai hubungan hirarkhis-
institusional dengan para ketua Rukun Tetangga. Untuk itu, Pak
Ketua RW hendaknya tanggap dan sasmita dalam menghadapi
persoalan-persoalan lingkungan di bawah kewenangannya. Adalah
tugas dan kewajiban Pak Lurah untuk membenahi dan
memberdayakan para Ketua RW.

Pernah diaspal
Konon, tahun 1999, era Bupati Bardiansyah, fasilitas jalan di
Komplek Griya Permata itu pernah diaspal. Siapa pengusulnya, saya
tak tahu. Kala itu saya berada di luar daerah untuk beberapa tahun.
Waktu itu tidak ada masalah dengan status fasilitas jalan itu, apakah
sudah diserahkan ke Pemerintah Kabupaten atau belum.
Kenyataanya, bisa diaspal. Bekas aspalnya, masih ada.
Kini, ketika pembenahan/pengaspalan diusulkan lewat dialog,
jawabannya bahwa fasilitas jalan itu belum diserahkan ke Pemerintah
Kabupaten Batola sehingga pembenahan/pengaspalan fasilitas jalan
ini tak bisa dilakukan. Namun, tampak juga keanehan. Dalam status
fasilitas jalan yang tak jelas itu, terlihat adanya pengaspalan pada

240
Plus-Minus Penggalian Aspirasi Masyarakat melalui Safari Jumat

sejumlah ruas jalan tertentu. Pada suatu ruas jalan, pengaspalan itu
tidak dimulai dari pintu gerbang. Dari pintu gerbang hingga lebih
kurang 500 meter dibiarkan hancur dan berlobang di sana sini. Baru-
baru ini, malahan dilakukan pengaspalan pada ruas jalan di tengah-
tengah komplek. Ada apa di balik ini semua?

Air leding asin


Air leding bersih layak diminum merupakan dambaan warga
Batola, khususnya di Kecamatan Alalak. Selanjutnya, keluhan warga
tertuju kepada Perusahan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten
Barito Kuala, air yang diproduksi pihaknya di Kecamatan Alalak,
bila musim kemarau, asin rasanya. Keluhan warga disampaikan
secara langsung kepada Bupati dan rombongan (atau sering, melalui
koran via SMS). Jawaban disampaikan pihak PDAM (kira-kira,
begini): Bapak-bapak di sini masih mendingan; masih bisa mandi-
cuci dengan air bersih. Hendaknya, bersabar karena dua-tiga tahun
mendatang, PDAM akan mengalihkan intake bahan air baku ke
Sungai Tabuk sana. Itu sebuah jawaban yang sama sekali tak
memuaskan dan terkesan sekenanya. Masa air leding rasa kalat atau
asin, kok dibilang mendingan. (Dialog ini terjadi di Masjid Nurul
Iman beberapa bulan yang lalu). Ya, betul kami masih mendingan
pakai air bersih tapi kalat dan kalau kemarau asin rasanya itu. Tapi
tarifnya kok dibikin sama dengan air PDAM yang bersih lagi layak
diminum. Tiada penurunan tarif ketika air leding berasa asin! Air
itu masih saja kami manfaatkan untuk mandi/cuci walaupun
rasanya asin dan cenderung pahit, sebab tak ada pilihan lain.
Untuk sekadar diketahui, selama ini kami tidak memanfaatkan
produk PDAM itu untuk keperluan masak atau minum. Ini bisa
dicek. Berapa banyak mobil pick up pembawa jurigen berisi air minum
yang masuk ke Komplek Griya Permata, bisa diamati. Kami
sebenarnya tak ingin membaca PDAM sebagai Perusahan Daerah
Air Mandi. Walaupun pernah dinyatakan oleh pihak berwenang
bahwa air itu layak diminum, tapi kami tak meminumnya; karena
memang tidak enak diminum.
***
Singkat kisah, penggalian inspirasi lewat safari Jumat bisa
berdampak positif bila keinginan/usulan warga ditindaklanjuti di

241
Maungkai Budaya

kemudian hari. Jawaban terhadap keluhan warga hendaknya


didesain sedemikian rupa agar memuaskan warga. Seperti halnya
anak kecil, warga masyarakat tahunya minta saja dan
permintaannya musti dikabulkan. Penggalian aspirasi itu bisa
berdampak negatif bila usulan warga hanya ditampung dan tak
ada tindak lanjut sampai masa kepemimpinan seorang bupati habis.
Warga masyarakat akhirnya menjadi kurang respek dan dihinggapi
prejudice. Kalau begini kondisinya, maka kunjungan itu menjadi
useless. Mudah-mudahan gagasan ini ada manfaatnya. Wallau alam.
Bagaimana menurut Anda?

242

PASAR INDUK SELIDAH HANDIL BAKTI


BESAR TAPI SEPI, MENGAPA?
(Menanggapi Keluhan Bupati Barito Kuala)

S elain mengacu pada tempat bertemunya pedagang dan pembeli,


implikasi kata pasar adalah ramai. Terhadap para siswa yang
berbicara dalam waktu bersamaan, tak karuhan ujung pangkalnya,
seorang guru sering mengatakan: Lho ramainya kaya pasar (ikan)!.
Ternyata, kesan ramai seperti pasar-pasar lain tak terjadi Pasar
Handil Bakti, sebuah pasar induk yang terbesar di kawasan
Kabupaten Barito Kuala sebagaimana diproklamirkan oleh Bapak
Bardiansyah, Bupati Barito Kuala, ketika menyampaikan pidato
peresmian, kala itu. Untuk sekedar diingat kembali, warga yang
hadir dalam peresmian itu, memberikan applause yang meriah, ketika
beliau menyatakan bahwa Pasar Induk ini adalah pasar terbesar
dan menjadi pusat perdagangan di kawasan Kabupaten Barito
Kuala Namun, kini, apa yang terjadi? Pasar yang punya label pasar
induk ini terlihat seperti pasar sejumput dengan sejumlah
pedagang kecil. Itupun, hanya setiap hari minggu. Sebenarnya, kami
ikut prihatin!

Pasar Induk atau Pasar Sejumput?


Kalau saya tak salah, para pedagang kecil tersebut merupakan
pindahan dari pasar sejumput yang berlokasi di depan Komplek Griya
Permata. Selain dimanfaatkan untuk belanja sembako dan lain-lain,
pasar sejumput itu dimanfatkan untuk rekreasi oleh sebagian besar
warga komplek Griya Permata khususnya dan warga Kelurahan
(waktu itu masih, Desa) Handil Bakti dan desa-desa lain di
sekitarnya. Warga mulai dari anak-anak hingga kakek-kakek-
dengan suka ria mengunjungi pasar itu.
243
Maungkai Budaya

Awalnya, mereka khususnya anak-anak dan bapak-bapak- tidak


punya niat untuk belanja dan hanya sekedar melihat-lihat barang-
barang dagangan. Namun, setelah mereka tertarik terhadap barang-
barang yang dilihatnya, akhirnya mereka membeli juga. Kala itu, saya
amati, mereka itu banyak jumlahnya. Kini, hal itu tak ada lagi setelah
pasar sejumput berpindah ke pasar yang disebut pasar induk itu.
Pemindahan pasar sejumput itu, sebenarnya, banyak dikeluhkan
oleh sebagian besar konsumen, termasuk keluarga saya. Sebagai
akibatnya, pemindahan itu membuat anak-anak dan bapak-bapak
koler berkunjung ke pasar itu, dengan berbagai alasan. Misalnya,
jaraknya jauh, dan jalannya ramai dengan berbagai kendaraan. Yang
tertarik untuk pergi ke Pasar Induk (tapi kenyataannya)
sejumput adalah para ibu rumah tangga. Karena faktor kemalasan
untuk pergi pasar di Banjarmasin, mereka terpaksa memilih pasar
itu sebagai tempat untuk berbelanja keperluan rumah tangga mereka.
Itupun, tak banyak jumlahnya.

Salah Penempatan?
Semula, saya menduka bahwa sebelum pembangunan pasar
itu, tidak dilakukan studi kelayakan (feasibility studi). Karena tidak
dilakukan studi kelayakan itu, maka pasar itu ditempatkan pasa
lokasi yang kurang tepat. Dalam suatu pandiran di pangkalan ojek
dalam Komplek Griya Permata Handil Bakti, kawan saya
membantah. Walaupun dia kurang tahu pasti, apakah studi
kelayakan itu dilakukan oleh pihak berwenang atau tidak, dia
menyatakan bahwa penempatan pasar induk itu sudah tepat. Dia
berasumsi, pasar induk yang ditempatkan di dekat jembatan kayu
(orang menyebut, jembatan lama) sebagai penghubung warga Kota
Banjarmasin dan lokasi pasar itu, diharapkan tidak hanya dikunjungi
oleh warga Batola tetapi juga warga Kota Banjarmasin.
Dalam perkembangan berikutnya, jembatan tersebut rusak.
Idealnya, jembatan yang rusak itu tidak dihancurkan sekalian,
namun justru ia diperbaiki. Bukankah memperbaiki jembatan itu
lebih mudah dan lebih ringan biayanya ketimbang membangunnya
kembali? Atas dasar penghancuran jembatan itu, saya masih merasa
yakin kalau studi kelayakan itu tidak dilakukan. Bila studi kelayakan
itu dilakukan, khususnya, terhadap warga Kota Banjarmasin,

244
Pasar Induk Selidah Handil Bakti Besar Tapi Sepi, Mengapa?

mengenai kesiapan atau kesediaan mereka menjadi calon konsumen


bagi pasar tersebut, maka, menurut saya, jembatan itu tak akan
dihancurkan. Bukankah, dalam teori pemasaran, faktor para calon
konsumen, potensial tidaknya para calon konsumen, itu perlu
mendapatkan perhatian serius?
Saya kira, jumlah calon konsumen potensial yang mungkin bisa
terjaring dari wilayah Kota Banjarmasin yang ada sekitar jembatan
rusak dan lalu dihancurkan itu, cukup besar. Di sana, ada banyak
warga asli dan warga komplek perumahan yang cukup besar
jumlahnya. Tampaknya, mereka bisa dikatakan sebagai calon
konsumen yang potensial. Bahkan, kalau sarana dan prasarananya
sangat menunjang, besar kemungkinan warga Kota Banjarmasin,
khusunya, yang berasal dari Kecamatan Banjarmasin Utara, menjadi
calon konsumen yang potensial. Hal ini didasarkan pada asumsi
bahwa mereka akan merasa lebih leluasa berbelanja di pasar induk
ketimbang di pasar di tengah-tengah Kota Banjarmasin. Yang pasti,
mereka tak akan terkendala kemacetan di jalan dan tak akan bekajal
ketika berada di pasar.
Karena, jembatan penghubungnya rusak dan lalu dihancurkan,
mereka enggan berkunjung ke pasar induk tersebut. Daripada harus
berputar lewat Jembatan Kayu Tangi Ujung, tentu, mereka lebih
memilih untuk pergi ke pasar di Kota Banjarmasin; di sana, mereka
bisa membeli apa saja yang mereka mau.

Solusi
Ketika saya menyodorkan berita dengan judul Beratnya Menata
Pasar Handil Bakti (Radar Banjarmasin, 18 Agustus 2005, halaman
14), kepada kawan saya, dia tak tertarik untuk membacanya. Dia
meminta saya untuk menyebutkan inti berita tersebut. Kata saya,
Pasar Induk Selidah Handil Bakti itu sepi pengunjung disebabkan
oleh tiga masalah, yakni: pedagang enggan berjualan, jembatan
penghubung lokasi pasar dan wilayah utara Kota Banjarmasin, dan
jalan dari Komplek Griya Permata menuju pasar induk. Dalam
diskusi ringan itu, kami menggagas solusi terhadap masalah-masalah
tersebut.
Pertama, kalau Bupati Barito Kuala mengatakan bahwa
pihaknya akan membina pedagang, kami punya pandangan lain.

245
Maungkai Budaya

Kami memandang perlu diadakannya pendataan ulang terhadap


pemilik kios, toko dan ruko. Dalam kaitan ini, kami mensinyalir para
pemilik kios, toko dan ruko, tidak semuanya pedagang. Malahan,
kami berkeyakinan, bila diprosentasikan, 90 persen pemilik kios, toko
dan ruko itu bukan pedagang. Mohon maaf, itu hanya sinyalemen.
Secara konkret dan akuratnya, perlu pendataan ulang secara
seksama terhadap mereka, sebagai upaya mengalihkan kepemilikan
kios, toko dan ruko itu kepada mereka yang benar-benar pedagang.
Bila para pemilik kios, toko dan ruko itu pedagang, tanpa pembinaan
yang melelahkan, kemungkinan besar mereka akan menggelar
dagangan di sana. Rugi dong, kalau mereka tak memanfaatkan kios,
toko atau roko mereka, sebab investasi yang mereka tanamkan cukup
besar.
Kedua, terhadap masalah jembatan penghubung lokasi pasar
dan wilayah Kota Banjarmasin, kami punya pandangan yang tak
terlalu muluk. Cukup dibangunkan jembatan gantung, seperti halnya
di daerah pahuluan. Yang penting, pejalan kaki dan pemakai sepeda
motor bisa melintas dari wilayah Kota Banjarmasin ke lokasi pasar
atau sebaliknya. Syukur-syukur kalau Pemerintah Kabupaten Barito
Kuala membangun jembatan besar, kokoh dan permanen. Di
samping untuk menunjang keberadaan pasar induk, jembatan itu
tentu akan bermanfaat sebagai jembatan alternatif. Sebab, selama
ini semua pemakai jalan dari Banjarmasin menuju ke wilayah
Kabupaten Barito Kuala dan/atau ke wilayah Kabupaten/Kota di
Kalimantan Tengah atau sebaliknya, hanya mengandalkan
Jembatan Kayu Tangi Ujung.
Ketiga, masalah jalan dan jembatan (kecil) dari Komplek Griya
Permata menuju lokasi pasar sebagaimana dinyatakan Bupati Barito
Kuala, secara persis sama dipersepsi oleh kami. Itu memang perlu
dibenahi. Karena kami berdua adalah warga Komplek Griya
Permata, kami tahu persis soal keberadaan jalan dari komplek
menuju lokasi pasar. Jalan sudah ada; namun, jembatan masih
darurat. Sarana jalan dan jembatan ini hanya perlu pembenahan.
Syukur-syukur lagi kalau Pemerintah Kabupaten Batola tidak hanya
membenahi jalan dari komplek menuju lokasi pasar, tetapi juga
semua ruas jalan di seluruh komplek. Setidak-tidaknya, bila dana
tak mencukupi, jalan utama di komplek yang rusak cukup berat itu

246
Pasar Induk Selidah Handil Bakti Besar Tapi Sepi, Mengapa?

juga dibenahi. Sekedar untuk diingat kembali, hampir seluruh ruas


jalan di komplek itu pernah diaspal oleh Pemerintah Kabupaten
Barito Kuala. Tapi, kini, di permukaan jalan itu tak kentara lagi
aspalnya., bahkan rusak cukup parah.
Selain itu, kami akan sangat berterima kasih, bila Perusahan
Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Barito Kuala mengatasi
masalah air (minum?) di Kecamatan Alalak yang bila musim
kemarau, asin rasanya; misalnya, dengan menjalin kerja sama dengan
PDAM Kota Banjarmasin atau dengan cara mengambil bahan baku
yang tidak kalat.
Untuk sekedar diketahui, selama ini kami tidak memanfaatkan
produk PDAM itu untuk keperluan masak atau minum. Believe it or
not, it is the real fact. The local government of Barito Kuala can check it.
Berapa banyak mobil pick up pembawa jurigen berisi air minum yang
masuk ke Komplek Griya Permata, bisa diamati. Kami sebenarnya
tak ingin membaca PDAM sebagai Perusahan Daerah Air Mandi.
Walaupun pernah dinyatakan oleh pihak berwenang bahwa air itu
layak diminum, tapi kami tak meminumnya; karena memang tidak
enak diminum. Air minum yang diproduksi di kawasan Handil Bakti
itu, kami manfaatkan untuk mandi dan mencuci saja. Tak lebih dari
itu. Sebenarnya, hal ini telah tersampaikan oleh warga ketika Bapak
Bupati dan rombongan berkunjung ke Komplek Griya Permata,
Handil Bakti, beberapa bulan yang lewat. We hope our expectation
will be responsded soon.

247
Maungkai Budaya

MEMAHAMI KARAKTER AMERIKA

D ulu, awal-awal tahun 1990-an, President George Bush, pemegang


kendali pemerintahan United States of America, dikutuk habis-
habisan oleh dunia internasional, karena negeri Uncle Sam itu
bersama sekutu-sekutunya menyerang Iraq yang oleh sejumlah
pengamat dikatakan- untuk menurunkan Saddam Husin dari kursi
kepresidenan. Iraq, kala itu, hancur lebur akibat serangan maha
dahsyat dari Amerika dan para sekutunya. Walaupun begitu, negeri
Seribu Satu Malam itu masih mampu bertahan dan hingga kini
Saddam Husin masih mampu memimpin.
Kini, President George Walker Bush, anak mantan President George
Bush, mendapat kutukan dari dunia internasional, termasuk dari
rakyatnya sendiri. Dulu, walau dikutuk habis-habisan, President George
Bush tetap saja melanjutkan penggempuran terhadap Iraq. Perang
besar yang didukung peralatan serba canggih berkobar di kawasan
Teluk Persia. Perang besar disebut oleh banyak orang dengan sebutan
Perang Teluk. Kini, atas dasar kutukan yang sama, apakah sang anak
mantan President George Bush dan konco-konconya akan kembali
meluluhlantakkan negeri Seribu Satu Malam itu?
***
Mungkin kita bertanya-tanya, mengapa negeri Uncle Sam itu
begitu ngotot untuk menyerang Iraq? menguasai Iraq? menguasai
Timur Tengah? menguasai Dunia? Keinginan negeri itu untuk
menjadi polisi dunia, negara adidaya, pemegang superiotas dunia dan
sejenisnya, dapat kita telusuri lewat sejumlah karakter orang-orang
Amerika.

248
Memahami Karakter Amerika

Seperti pernah saya tulis pada Radar Banjarmasin, bahwa sejak


dari awal berdirinya negara Amerika Serikat, orang-orang Amerika
itu beragam baik bila dilihat dari ras, etnis, agama, dan budaya.
Upaya untuk mempersatukan mereka yang beragam itu, para
pendiri negara itu menuangkan sebuah doktrin dalam deklarasi
kemerdekaan negara itu: bahwa semua orang diciptakan sama atau
sederajat, bahwa mereka dianugerahi oleh Sang Pencipta dengan hak-hak
tertentu yang tidak dapat dirampas, bahwa di antara hak-hak ini terdapat
hak (untuk) hidup, kebebasan, dan hak mendapatkan kebahagiaan.
Pemikiran lain muncul dari Jean de Crevecoeur dalam
tulisannya Letters from an American Farmer (1782). Bumi Amerika
sebagai New World dipandang sebagai melting pot, tempat
berleburnya berbagai macam ras, etnis, bangsa berikut segala atribut
yang menyertainya menjadi suatu bangsa yang baru, bangsa
Amerika. Katanya bahwa bangsa Amerika adalah bangsa dengan
darah campuran, bangsa yang beragam. Sebagai bangsa yang baru,
orang-orang Amerika meleburkan diri untuk membentuk karakter
baru, karakter khas Amerika. Walau demikian, sejarah menunjukkan
bahwa dalam meniti kehidupan berbangsa, bangsa Amerika itu tetap
saja dalam keberagaman. Amerika tidak dipandang sebagai melting
pot (periuk pelebur) melainkan sebagai salad bowl (wadah sayur
mayur). Sebagai salad bowl, Amerika masih memperlihatkan warna-
warni-nya bangsa Amerika; di sana masih ada keberagaman. Untuk
itu, tampaknya, bangsa Amerika memandang perlu memberlakukan
semboyannya E Pluribus Unum (beraneka ragam tetapi tetap satu).
Sebenarnya, implikasi dari semboyan ini adalah kesederajatan atau
keseteraan antara unsur bangsa yang satu dengan unsur bangsa yang
lainnya. Kendati bersemboyan E Pluribus Unum, namun bangsa
Amerika masih belum sepenuhnya menunjukkan kesederajatan atau
kesetaraan antar unsur bangsa yang ada.
Dalam kaitan ini, Luther S. Luedtke, seorang editor buku yang
berjudul Making America: The Society and Culture of the United States
(1988) menyatakan bahwa di Amerika terdapat kontradiksi
pandangan hidup yang resmi diterima yakni kemerdekaan, persamaan
derajat, peluang, dan keadilan bagi individu dengan diskriminasi
kalaupun tidak secara de jure tetapi de facto- terhadap orang-orang
Amerika kulit hitam. Bagi orang Amerika kulit hitam, persamaan

249
Maungkai Budaya

derajat, peluang, dan keadilan bagi invididu bukanlah hal-hal secara


otomatis melekat pada diri mereka namun harus diperjuangkan.
Singkat kata, kendati, pada akhirnya, ada pengakuan secara de jure
(khususnya melalui amanden 13, 14 dan 15 konsitusi Amerika
Serikat) bahwa orang-orang Amerika kulit hitam merupakan bagian
dari warga negara itu, secara de fakto, di sana sini mereka masih
dibedakan; mereka masih berposisi di bawah dominasi orang-or-
ang Amerika kulit putih; artinya, mereka masih menghadapi
persoalan purbasangka/ predikat jelek (prejudice), diskriminasi (dis-
crimination), dan mungkin juga pemisahan (segregation).
Karakter orang-orang Amerika, khususnya, kulit putih yang
demikian dapat ditelusur kembali melalui pengalaman sejarah
mereka. Karakter bangsa Amerika terbentuk mulai dari zaman
kedatangan pertama para kolonis atau imigran dari Eropa yang
datang dan menetap di Amerika karena dorongan kekuatan untuk
membebaskan diri dari tekanan keagamaan, politik, dan ekonomi.
Mereka membawa beraneka ragam kebudayaan. Kemudian muncul
pemikiran Jean de Crevecoeur tentang melting pot; keberagaman
dianggap tidak ada sehingga mereka mampu mengarungi kehidupan
baru di Dunia Baru dalam keberagaman itu, dengan keyakinan
bahwa Amerika adalah negeri harapan, negeri kebanggaan karena
menunjung tinggi kemerdekaan dan kemandirian pribadi.
Dalam perkembangan selanjutnya, dari sekian kelompok
manusia yang berlatar belakang agama/keyakinan, ras, dan budaya
yang berbeda-beda itu, ada satu kelompok orang kulit putih yang
tergolong sebagai White Anglo Saxon Protestant (WASP)/ Orang-or-
ang kulit putih yang berasal dari Inggris dan beragama Protestan,
yang dominan dalam kehidupan bangsa Amerika. Dominasi mereka
ini dimanfaatkan untuk memposisikan mereka pada posisi superior
dan kelompok etnis atau ras yang lain pada posisi inferior, termasuk
di dalamnya orang-orang Amerika asli (bangsa Indian) dan orang-
orang Amerika kulit hitam.
***
Orang-orang Amerika kulit putih yang tergolong sebagai WASP
itu menganggap diri mereka sebagai God chosen people (orang-orang
yang terpilih oleh Tuhan) untuk membangun promised land (tanah
harapan) yaitu Dunia Baru (Amerika) sebagai A City Upon a Hill
250
Memahami Karakter Amerika

(Sebuah Kota di Atas Bukit). Di negeri sendiri, kelompok WASP


memposisikan diri pada tempat tertinggi di atas kelompok-kelompok
yang lain. Dalam lingkup dunia internasional, A City Upon A Hill,
salah satu dari sekian American dreams, yang mungkin mendasari
Amerika Serikat ingin tetap mempertahankan posisinya sebagai
negara superior (tertinggi), super power (terkuat, adidaya), dan sebagai
polisi dunia yang selalu siap menangkap mereka yang dianggap
bersalah atau membangkang terhadapnya. Hal itu yang dapat kita
lihat dari sepak terjang Amerika Serikat, setidak-tidaknya, mulai
dari Perang Dunia II, Perang Dingin (Cold War) antara Amerika
Serikat-Uni Soviet sampai dengan sekarang, di mana Amerika Serikat
tetap ingin menjadi nomor wahid dunia. Begitulah analisis singkat-
sederhana tentang Amerika, selanjutnya Wallahualam (dan Allah
yang maha mengetahui).

251
Maungkai Budaya

JALAN MERAIH KURSI REKTOR UNLAM


2005-2010

S ebuah jalan yang sangat panjang dan sulit harus ditempuh oleh
seorang dosen untuk bisa menjadi rektor. Tak semua dosen
berkesempatan. Dia harus telah mengabdikan dirinya setidak-
tidaknnya selama 20 tahun; dia harus lektor kepala dengan golongan
IV c. Yang bermasa kerja 20 tahun/ lector kepala IVc, banyak sekali
di Unlam. Namun tak banyak yang mampu melintasi pagar
berikutnya, yakni: pernah menjabat serendah-rendahnya Pembantu
Dekan atau Ketua Lembaga Universitas. Menggapai jabatan rektor
amatlah susah, banyak pagar yang menghadang.
Pada hari Sabtu, 04 Juni 2005, warga Universitas Lambung
Mangkurat telah berpesta demokrasi. Mereka ikut serta dalam salah
satu proses penjaringan bakal calon rektor. Ada sebelas bakal calon
rektor yang bersaing. Melalui proses penjaringan yang melibatkan
para dosen dan sejumlah karyawan dan mahasiswa. Untuk
mendapatkan enam peraih suara terbesar.
Menurut penghitungan sementara, enam bakal calon rektor peraih
suara terbesar adalah (1) H.M. Rasmadi (25,46 %), (2) H. Rustam Effendi
(19,09 %), (3) Adreas Mashuri (16,37 %), (4) Athailah Mursyid (13,42 %),
(5) Moehansyah (8,72 %), dan (6) Zain Hernady Arifin (5,59 %) (Banjarmasin
Post, 5 Juni 2005, hal.1). Oleh senat Unlam, dengan mekanisme yang telah
ditetapkan, mereka dipilih untuk menempati 3 besar dan sekaligus
ditentukan peringkatnya. Kemudian, ketiganya dikirim ke Presiden melalui
Mendiknas, guna memperoleh keputusan penetapan salah satu dari
mereka menjadi rektor Unlam Periode 2005-2010.

252
Jalan Meraih Kursi Rektor Unlam 2005-2010

Skenario memihak?
Dalam suatu acara pemilihan, termasuk pemilihan rektor, tentu
ada: (1) penyelenggara, (2) aturan main, (3) pemilih, dan (4) peserta/
yang dipilih. Mereka semua bermain tentunya. Saya coba mengulas
kata bermain. Ini kata punya konotasi yang bagus bila digabung
dengan kata cantik (bermain cantik). Bermain cantik itu enak dilihat
dan hasilnya pasti memuaskan semua pihak: (dalam kompetisi) pihak
yang kalah dan yang menang. Namun, bila kata bermain digabung
dengan sabun (bermain sabun), punya konotasi negatif. Di
dalamnya, ada unsur akal-akalan, curang, menghalalkan segala cara,
atau sejenisnya.
Dalam dunia persepakbolaan, saya ingat, pada tahun 1980-
an, konon, ada sebuah skenario untuk menghalangi PSIS Semarang
untuk masuk partai final Divisi Utama Sepak Bola Indonesia. Konon,
partai final dirancang untuk Persija Jakarta dan Persebaya
Surabaya. Lalu, pada putaran semi final yang mempertemukan
Persija-Persebaya dirancang sedemikian rupa agar salah satu
kesebelasan itu tidak kalah. Bila salah satu kesebelasan itu kalah,
maka pemenangnya akan bertemu dengan PSIS Semarang. Ternyata,
mereka main sabun dengan hasil 0-0. Permainan yang ditampilkan
hanya ala kadarnya dan hanya untuk memenuhi wajib tanding.
Kondisi ini tentu saja mengecewakan tidak hanya pihak PSIS
Semarang tetapi semua pihak, semua pencinta sepak bola yang
menghendaki fair play. Pemenang kompetisi itu bukanlah the real
winner (pemenang sejati) melainkan the invented winner (pemenang
hasil rekadaya/rekayasa)
Konser Eliminasi model AFI 2005 juga diduga ada skenario
keberpihakan. Walaupun, Tri Utami alias Mbak iik berulang kali
mengatakan: Pemirsa adalah the real executor, bukan saya. Namun,
kita tidak serta merta percaya terhadap pernyataan sikap Tri Utami,
bukan? Karena, ia bisa saja bermain menurut takarannyanya
sendiri dan/atau selera pihak-pihak tertentu; dan dukungan pemirsa
via SMS dan/atau premium call bisa saja dimainkan. Siapa tahu
bila cara-cara ini dilakukan? Tak seorangpun pemirsa tahu.
Kalaupun tahu, tak akan ada protes dari mereka. Kalaupun ada
protes, protes itu akan dianggap sebagai angin yang numpang
lewat.

253
Maungkai Budaya

Adakah skenario keberpihakan dalam pemilihan rektor Unlam


periode 2005-2010? Tak banyak warga Unlam tahu. Tak banyak
dari mereka berkeberatan, lalu protes. Kalaupun ada yang
berkeberatan dan protes, keberatan atau protes dipersilakan lewat.
Namun demikian, oleh sebagian kalangan melalui pandiran ala
warung kopi, suatu pandiran yang tak didengar dan tak akan pernah
didengar kalaupun diperdengarkan mekanisme yang telah
ditetapkan itu dinilai sarat dengan vested interest dari pihak(-pihak)
tertentu untuk menggolkan salah satu balon tertentu. Diduga, tar-
get pertamanya, yang penting dia masuk 6 besar. Aturan main telah
ditetapkan: penetapan 3 besar, berikut peringkatannya, ada di tangan
senat. Ya, terserah senat-ai. Dalam tahapan ini, senat bisa saja
bermain secara cantik dan fair. Hasilnya? Saya, anda dan kita
semua punya hak untuk memprediksi, kalau dikehendaki oleh
mayoritas anggota senat, peringkat berapa pun punya peluang
bertengger di posisi klasemen teratas alias tampil sebagai pemenang,
the winner.

Proses Alami
Dalam pilih-memilih, yang seharusnya tidak dipilih tapi
akhirnya terpilih, itu mungkin saja terjadi. Pilih-memilih itu tak akan
menjadi beban bagi pelakunya, bila prosesnya berjalan alami, tanpa
pesanan, tanpa pemberian janji-janji terteentu, tanpa tekanan, tanpa
penggiringan, atau tanpa intimidasi. Artinya, memilih tanpa
menanggung beban berkepanjangan adalah memilih sesuai hati
nurani, didasarkan kondisi obyektif orang yang akan dipilih, dan
keyakinan bahwa calon yang dipilih, Isnya Allah, akan menjadi ini-
tiator, creator, actor perubahan menuju kemajuan Unlam. Dan, pilih-
memilih itu akan menjadi beban, bila hati nurani telah terkena
interferensi pihak-pihak yang punya vested interest dalam proses
pilih-memilih itu.
Mohon maaf, mohon ampun, sebagai manusia saya punya
banyak khilaf dan kekurangan. Namun, izinkanlah saya
menyampaikan moral message kepada para pemegang hak pilih calon
rektor: Pilihlah calon rektor Unlam yang dalam visi-misi-program
dan proses pencalonannya tersurat atau tersirat karakteristik berikut:
(1) Kreatif-inovatif, dalam arti bahwa ia harus cekatan dan penuh

254
Jalan Meraih Kursi Rektor Unlam 2005-2010

kreatifitas-inovasi dalam menjalankan segala hal yang berkaitan


dengan tugas-tugas mereka.
(2) Transparan atau Terbuka, dalam arti segala sesuatu yang benar
disampaikan bahwa itu benar; sementara sesuatu yang tidak
benar (hendaknya) tidak dibungkus sehingga menjadi kelihatan
benar.
(3) Disiplin diri, dalam arti bahwa sebagai pihak penegak disiplin
mustinya terlebih dahulu ia mendisiplinkan diri sebelum ia
menuntut pihak lain untuk berdisiplin.
(4) Komunikatif, dalam arti bahwa mereka hendaknya mampu
menjalin komunikasi ke segala arah (secara horisontal saja
maupun vertikal-horisontal).
(5) Selalu tertantang, dalam arti bahwa ia selalu merasa tertantang
untuk melakukan yang terbaik bagi keseluruhan lapisan; berusaha
untuk membuka peluang guna mencari solusi terhadap tantangan
atau masalah tersebut.
(6) Adaptif, dalam arti bahwa ia selalu berusaha untuk menyesuaikan
diri di segala lingkungan di mana mereka berada.
(7) Persuasif, dalam arti bahwa ia berusaha untuk selalu dingin
dalam menghadapi segala masalah; segala masalah yang
ditangani secara persuatif mengisyaratkan bahwa yang
bersangkutan tetap dalam situasi damai.
(8) Kooperatif, dalam arti ia berusaha untuk tidak hanya menjalin
kerjasama di tingkat local, nasional tetapi juga di tingkat
internasional.
(9) Jujur, dalam arti bahwa ia berusaha untuk menghindari
malpraktek atau pelanggaran.
(10) Tanggung jawab, dalam arti bahwa ia hendaknya bekerja
berdasarkan aturan yang ada dan hasil kerjanya dapat
dipertanggungjawabkan menurut aturan itu; tanggung jawab di
sini tentu harus dilandasi oleh moralitas agama dan Pancasila
demi terjaminnya pemilihan rektor yang jujur dan adil.

Lurahnya Ahmad Tohari


Tulisan ini saya tutup dengan penggambaran tokoh lurah
dalam Novel Di Kaki Bukit Cibalak karya Ahmad Tohari sebagai
255
Maungkai Budaya

berikut. (Ini barangkali- dapat dijadikan bahan perenungan). Seperti


tercermin dalam novel Di Kaki Bukit Cibalak yang kebetulan
menyangkut persoalan kepemimpinan tersebut kepala desa yang
terpilih diduga oleh sementara pihak pada saat pemilihan bahwa
dia telah melakukan berbagai kecurangan.
Dia tidak melakukan rekonsiliasi dengan pihak-pihak yang
kalah. Sebaliknya dia malah berusaha menyingkirkan setiap orang
yang dengan sengaja mengungkap kecurangan-kecurangan yang
dia lakukan pada saat pemilihan. Adalah Pambudi, tokoh protagonis,
yang berusaha untuk menegakkan keadilan di desanya terdepak
oleh kepala desanya. Dia terpaksa meninggalkan desanya,
keluarganya, kekasihnya akibat tekanan yang teramat kuat dari
kepala desanya. Namun, upaya Pambudi untuk melengserkan kepala
desanya yang zalim (sewenang-wenang, korup, suka kawin secara
paksa, berlaku asal bapak senang (ABS) terhadap atasannya dan
sejenisnya) dari jabatannya, tak kunjung padam bahkan meningkat
intensitasnya. Dia dengan gencarnya menggoyang kepala desanya
melalui artikel-artikelnya di Koran Kalawarta. Semoga bermanfaat.
Wallahualam.

256

VERIFIKASI BUKAN CHARACTER


ASSASSINATION
(Kilas Balik Pemilihan PD-I Pengganti Antar Waktu di FKIP Unlam)

T iada duga, tiada nyana di FKIP Unlam terjadi Pemilihan


Pembantu Dekan I pada sepertiga perjalanan per-PD-an. Pemilihan
Pembantu Dekan I Pengganti Antar dilaksanakan karena H. Ahmad
Sofyan terpilih sebagai Pembantu Rektor III. Sebenarnya, Ahmad Sofyan
belum habis masa jabatannya. Masih dua setengah tahunan.
Memperhatikan masa itu masih lama, Dekan FKIP Unlam memandang
perlu untuk mencari ganti Pembantu Dekan bidang akademiknya.
Atas dasar itu, tanggal 4 Januari 2006, Dekan FKIP Unlam
mengundang para anggota Senat FKIP Unlam untuk menyampaikan
perlunya mencari Pembantu Dekan I dan sekaligus membentuk
panitia. Semua anggota sepakat terhadap keinginan dekan.
Selanjutnya, panitia pemilihan dibentuk. Pembentukan panitia
berjalan tanpa proses yang sulit. Sesuai ketentuan yang ada, anggota
panitia tak boleh mencolankan. Maka, dicarilah orang-orang yang
sekiranya tidak akan mencalonkan diri. Ada seorang pengusul
menghendaki panitia berasal dari para senior (usia di atas 61 tahun)
atau para yunior yang tak punya hak untuk mencalonlan diri.
Singkat kisah, dua anggota senat yunior dan satu pejabat FKIP
dinobatkan menjadi panitia. Yudha Irhasyuarna, ketua; saya, Fatchul
Muin, sekretaris, dan Tri Irianto (Pembantu Dekan III), anggota.
Tanggal 5 Januari 2006 Surat Keputusan Dekan terbit. Mulai
tanggal 5 Januari 2006 itu pula panitia langsung bergerak.
Pengumuman tentang penjaringan bakal calon dan formulir selesai
pada tanggal itu juga. Proses penjaringan bakal calon dilaksanakan
mulai tanggal 5 sampai dengan 14 Januari 2006. Hingga tanggal 14

257
Maungkai Budaya

Januari, telah terjaring 5 (lima) bakal calon. Tanggal 14 Januari 2006,


5 (lima) bakal calon Pembantu Dekan I FKIP Unlam diumumkan.
Dari pengumuman itu, sejumlah pemerhati mulai melakukan
analisis politik mereka. Masing-masing bakal calon dianalisis. Kalau
yang ini, begini; kalau yang itu, begitu. Pendek kata, dua sisi (positif-
negatif) dari masing-masing bakal calon diungkap. Pandiran ala warung
kopi bertemakan bakal calon pengganti H. Ahmad Sofyan itu.
Sementara proses penjaringan masih berlangsung, saya mencari
data tentang status para bakal calon. Ini sebagai upaya untuk
memastikan apakah bakal calon itu memenuhi syarat atau tidak.
Syarat-syarat sebagai bakal calon Pembantu Dekan I (sesuai
Keputusan Rektor Unlam, Nomor 209/J08/KP/2005, tanggal 11
April 2005) adalah sebagai berikut:
1. Staf pengajar tetap dengan pengalaman masa kerja sekurang-
kurangnya delapan tahun pada fakultas yang bersangkutan
(sesuai dengan masa kerja yang tercantum pada SK kepangkatan
terakhir).
2. Pendidikan sekurang-kurangnya Sarjana dengan jabatan
fungsional sekurang-kurangnya Lektor Kepala dengan pangkat
Pembina/IV/a.
3. Usia tidak lebih dari 61 tahun pada saat berakhirnya jabatan
Pembantu Dekan terdahulu.
4. Mempunyai prestasi kerja, kesetiaan, pengabdian, kejujuran, sehat
jasmani dan rohani, berbudi pekerti luhur, integritas kepribadian,
kepemimpinan sesuai dengan Peraturan dan Perundang-
undangan (termasuk PP. No. 10 Tahun 1983 jo PP. No.45 Tahun
1990).
5. Tidak untuk menjabat jabatan Pembantu Dekan untuk yang
ketiga kalinya berturut-turut.
6. Sekurang-kurangnya pernah menjabat Ketua Jurusan/ Ketua
Program Studi/Kepala Bagian/Ketua Bagian atau yang setara.
7. Tidak sedang mengikuti studi lanjutan program S2 dan S3 atau
pendidikan lainnya yang melebihi waktu 6 bulan.
8. Secara tertulis menyatakan bersedia:
a. Dicalonkan sebagai calon Pembantu Dekan.

258
Verifikasi Bukan Character Assassination

b. Memenuhi isi dan jiwa PP. 60 Tahun 1999, dan


c. Melepaskan jabatan rangkap, baik di dalam maupun di luar
lingkungan Fakultas.

Data yang diperlukan didapat, pada 12 Januari 2006, saya


temukan bahwa ada seorang bakal calon dilaporkan oleh fakultas
berstatus mahasiswa (S3). Atas pertimbangan kemanusian (yang
kemudian ditertawakan oleh sejumlah kawan), saya coba
mengklarifikasinya kepada yang bersangkutan. Dia adalah H.
Ahmad Suriansyah. Ternyata, dia mulai (tiga) semester yang lewat,
telah berhenti kuliah. Disayangkan, pada 16 Januari 2006 saat
verifasi dilakukan, surat keterangan berhenti atau pegunduran
dirinya tak kunjung terlihat oleh semua anggota panitia, hingga
proses verifikasi selesai; dan keputusan tentang bakal calon itu
memenuhi syarat atau tidak, telah diterbitkan dan dilaporkan ke
Dekan FKIP Unlam. Memang, secara normatif (de jure?), dia masih
berstatus sebagai mahasiswa (S3), walaupun dalam kenyataan yang
diakuinya secara sepihak (de facto?) dia telah berhenti.
Pada tanggal 16 Januari 2006 itu pula, ketua dan sekretaris panitia
memutuskan bahwa seorang bakal calon, H. Ahmad Suriansyah, tak
memenuhi syarat untuk menjadi bakal calon, tanpa
dimusyawarahkan dengan anggota lain, walaupun ada permintaan
untuk melibatkannya. Dia terleminasi dari pencalonan. Tak selang
lama, dia kirimkan surat keterangan nomor 002/K/DIA/I/2006 yang
menyatakan bahwa dia sudah tidak aktif lagi. Lalu, panitia melakukan
sidang. Frasa tidak aktif lagi diinterpretasi sebagai (1) tidak sedang studi,
dan (2) belum berhenti; yang bersangkutan masih berstatus mahasiswa.
Permintaan untuk meninjau ulang surat nomor 003.16.1.2006, perihal
hasil verifikasi bakal calon Pembantu Dekan I FKI Unlam,
ditangguhkan. Tanggal 17 Januari 2006, panitia konsultasi dengan
Dekan FKIP Unlam, dilanjutkan dengan musyawarah. Deadlock.
Mufakat, tidak; voting pun tidak. Tak ada keputusan. Kemudian,
Dekan membawanya ke rapat Senat FKIP Unlam. Sementara itu, atas
inisiatif sendiri, H. Ahmad Suriansyah mengurus surat keterangan
berhenti dari lembaga tempat dia studi lanjut. Tanggal 18 Januari 2006,
ada surat keterangan nomor 008/K/DIA/I/2006. Ketika rapat Senat
FKIP Unlam, surat itu dinyatakan sah.

259
Maungkai Budaya

Apresiasi oleh sejumlah warga FKIP Unlam dalam pembicaraan


ala warung kopi bermacam-macam. Setidak-tidaknya, dua hal yang
saya catat: pro eliminasi dan kontra eleminasi. Pro eliminasi
berkeyakinan bahwa pihaknya telah menegakkan kebenaran dan
(secara implisit) menuduh kontra eliminasi menegakkan kebatilan;
sementara kontra eliminasi juga berkeyakinan bahwa apa yang
dilakukan juga benar. Wallahu alam.
Menurut saya, verifikasi bukanlah pembunuhan karakter. Ia
dimaksudkan untuk membuktikan apakah benar seseorang itu
memenuhi syarat yang telah ditetapkan. Cara bisa macam-macam.
Pertama, verifikasi bisa dilakukan secara normatif, dengan terlebih
dahulu mengklarifikasikan dengan yang bersangkutan. Merujuk
seorang bakal calon, H. Ahmad Suriansyah, bila verifikasi atas dasar
laporan fakultas, memang dia tak memenuhi syarat. Sebab,
statusnya masih dalam studi lanjut (normatif). Kemudian, ada surat
keterangan yang bisa digunakan untuk menganulir laporan fakultas
itu (Surat Keterangan 1). Ini juga normatif. Lebih-lebih, hal itu
dikuatkan lagi dengan surat keterangan lain (Surat Keterangan 2).
Kedua, verifikasi normatif dipadukan dengan pendekatan humanistik
(mungkin tak ada dalam kamus hukum, sehingga ketika saya
lontarkan dalam pandiran ala warung kopi, saya ditertawakan?).
Ini dilakukan dengan tetap memperhatikan acuan normatif; namun
dalam proses verifikasi itu tetap ada komunikasi dan/atau klarifikasi
dengan seseorang yang diverifikasi. Bagaimana menurut Anda?

260

PEMILIHAN PRESIDEN AMERIKA SERIKAT 2008


DARI INVISIBLE MAN MENJADI VISIBLE
MAN?

D alam proses pemilihan presiden, di manapun, kalah atau


menang dalah hal biasa. Bila seseorang mampu meraup suara
terbanyak, dia menang; sebaliknya bila dia memperoleh suara lebih
kecil dari pesaingnya, berarti dia kalah. Namun, akan menjadi lain,
bila Obama mampu meraih kemenangan dalam Pemilihan Presiden
Amerika Serikat. Mengapa demikian? Saya mencoba memberikan
ulasan sebagai berikut.

Sekilas tentang Black American


Orang Amerika kulit hitam, yang memiliki sejumlah sebutan:
Negro, Black American, dan African American. Sebutan negro atau niger
dan black American, kini, jarang dipakai. Tampaknya, sebutan popu-
lar hari ini adalah African American.
Orang Amerika kulit hitam, awalnya, orang Afrika yang
dipekerjakan sebagai indentured servant dan kemudian sebagai budak
(slave).Para budak itu, umumnya, bekerja di perkebunan, dimiliki
oleh pemilik budah (slave owner), dan diawasi oleh para mandor.
Mereka bisa diperjualbelikan. Hingga dalam beberapa generasi,
mereka menjadi budak. Walaupun Amerika telah mendapatkan
kemerdekaannya, perbudakan masih berlangsung, hingga pecahnya
Perang Saudara (Civil War).
Perang saudara itu terjadi antara pihak pro dan kontra
perbudakan. Pihak pro pebudakan adalah Amerika bagian Utara
(Northern America) dan Amerika bagian Selatan (Southern America).
Salah satu faktor utama penyebab meletusnya perang saudara

261
Maungkai Budaya

adalah pandangan kelompok Utara, bahwa perbudakan melanggar


hak asasi manusia (human rights); perbudakan bertentangan dengan
Deklarasi Kemerdekaan (Declaration of Independence), khususnya ....
all men are created equal (Semua manusia tercipta dalam
kesamaan). Para budak harus ditingkat status sosial mereka sebagai
orang bebas (free men), yang memiliki hak-hak dan kewajiban yang
sama, dalam semua aspek kehidupan (idelogi, politik,ekonomi, sosial,
budaya, dan pertahanan-keamanan.
Setelah secara de jure, perbudakan itu dihapuskan, namun
secara de facto, perlakuan terhadap free men tidak serta merta sama
dengan warga Amerika lain, khususnya dengan White American.
Warga kulit hitam lama sekali berada di bawah dominasi kulit putih
(white domination). Warga kulit putih menganggap diri mereka
sebagai superior; sementara warga kulit hitam, sebagai inferior.
Sejarah mencatat, di bawah white domination itu, warga
Amerika kulit hitam dihadapkan pada kehidupan yang serba sulit
dan berat. Mereka dihadapkan pada purbasangka (prejudice),
diskriminasi (discrimination), pemisahan (segregation), bahkan
hukuman mati secara sadis tanpa proses hukum (lynching).
Pengalaman warga Amerika kulit hitam banyak terefleksikan
dalam kaya-karya sastra. Ambil contoh, novel berjudul Uncle Toms
Cabin, Native Son dan Insivible Man. Dalam Uncle Toms Cabin, seorang
perempuan kulit hitam, Harriet Beecher Stowe, mengisahkan
perbudakan di Amerika Serikat. Ketika novel ini ditulis, di negera
itu telah terjadi silang pendapat tentang adanya perbudakan.
Kelompok yang pro dengan perbudakan adalah terdiri dari orang-
orang kulit putih yang umumnya berada di Amerika bagian Selatan,
yang memiliki banyak budak atau yang diuntungkan dengan adanya
perbudakan itu. Sedangkan kelompok yang kontra adalah mereka
yang berada di Amerika bagian Utara (didukung oleh kelompok
kulit hitam). Menurut catatan sejarah, novel Uncle Toms Cabin
memiliki daya provokatif yang luar biasa, membawa rakyat Amerika
ke kancah perang saudara.
Novel Native Son, karya Richard Wright, terbit pada tahun 1940-
an, dan Insvisible Man, karya Ralph Ellison, terbit tahun 1950-an,
keduanya masih merekam inferioritas kaum kulit hitam. Dalam masa

262
Pemilihan Presiden Amerika Serikat 2008 dari Invisible Man Menjadi ...

ini, secara de jure, perbudakan telah dihapuskan; namun secara de


facto, dominasi kulit putih terhadap kulit hitam masih cukup kuat.
Yang menarik untuk diungkap di sini adalah invisible man dalam
novel Invisible Man. Pernah ada penerjemah, menerjemahkan Invis-
ible Man dalam bahasa Indonesia dengan istilah Manusia Gaib.
Yang dimaksud dengan invisible man bukanlah manusia gaib; tetapi
manusia yang secara fisik seperti manusia lain, bisa dilihat, dan dia
tidak bisa menghilang. Dia adalah manusia yang secara sosial-
budaya kurang (atau bahkan tidak) diakui eksistensinya.

Kondisi Dilematis?
Secara sosiologis, berdasar pengelompokan ras, masyarakat
Amerika digolongkan dalam tiga golongan besar. Pertama adalah
kelompok kulit putih; kedua, kulit merah; dan ketiga, kulit hitam.
Orang kulit putih ini berasal dari imigran Eropa (khususnya, Inggris);
orang kulit merah adalah orang Amerika Asli (Native Americans);
dan orang kulit hitam berasal dari/keturunan Afrika. Orang kulit
putih menduduki kelas pertama (the first class); orang kulit merah,
kelas kedua (the second class); dan orang kulit hitam (dan imigran
lain), kelas ketiga (the third class).
Bila orang kulit dan kulit hitam disandingkan, stratifikasi sosial
mereka adalah: orang kulit laki-laki (male white people), orang kulit
putih perempuan (female white people), orang kulit hitam laki-laki
(male Black Americans), dan orang kulit hitam perempuan (female
Black Americans).
Ketika Obama bersaing dengan Hillary Clinton dalam
penjaringan kandidat presiden dari Partai Demokrat, di atas kertas,
diprediksi dia (Obama) sulit mendapat dukungan untuk menjadi
salah satu penghuni Gedung Putih. Mengapa? Karena, Hillary itu
perempuan (Female American); sementara Obama itu keturunan kulit
hitam (African American). Secara sosiologis, posisi sosial Hillary lebih
tinggi ketimbang Obama. Berdasar sudut pandang sosiologis pula,
pertarungan Obama dan Hillary menciptakan kondisi dilematis bagi
rakyat pendukung mereka. Memilih Obama yang kulit hitam atau
Hillary yang kulit putih tapi perempuan.
Sebab, sejarah menunjukkan bahwa belum pernah ada orang
kulit hitam atau kulit putih perempuan menjadi Presiden Amerika.

263
Maungkai Budaya

Sebab, selama ini, dominasi kulit putih (white domination), khususnya,


kulit putih yang terkategori WASPs (White Anglo-Saxon Protestants).
Klausa ...all men are created equal.. seperti tertera dalam Declara-
tion of Independence, selama ini, masih berpihak pada Man White Anglo-
Saxon Protestant. Namun, kini, tradisi bahwa Presiden Amerika
Serikat itu laki-laki, kulit putih, keturunan Inggris, dan beragama
Protestan, telah runtuh seiring dengan kemenangan Barack Obama.
Apakah kemenangan Obama ini berarti mengantarkan status
invisible manseperti yang dicita-citakan oleh Ralph Ellison dalam
novelnya Invisible Manke status visible man? Saya kira, hanya orang-
orang Amerika yang mampu dan berhak menjawabnya.

Pelajaran berharga
Sejumlah pengamat menyatakan bahwa kemenangan Barack
Obama dalam Pemilihan Presiden Amerika Serikat ini hendaknya
dijadikan pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia. Dalam
Pemilihan Umum dan Pemilihan Presiden kita nanti, atau Pemilihan
Gubernur, Bupati/Walikota, kita hendaknya mengambil sisi-sisi
positif dari proses demokrasi di negeri Paman Sam itu.
Satu sisi yang perlu dicermati adalah kenyataan bahwa seorang
Barack Obama bukanlah orang terkategori sebagai bagian dari White
Anglo- Saxon Protestants. Artinya, siapapun asalkan Warga Negara
Indonesia dan tentu memenuhi syarat-syarat sebagai kandidat
presiden, bupati atau wali kota- beri kesempatan untuk maju ke
pemilihan presiden. Bila beliau terpilih, dialah presiden, gubernur,
atau bupati/wali kota kita. Beliau harus didukung, dan hendaknya
tidak diprotes, diboikot program-programnya, dan tindakan-
tindakan sejenisnya. Bagaimana menurut Anda?

264

DAFTAR PUSTAKA

1982. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka


Keputusan Menteri Pendidikan Nasional, nomor 044/U/2002.
Tentang Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidian.
Abdul Hadi, WM. 1962. Bahasa Sebagai Alat Pengucapan
Kesusasteraan, dalam Satyagraha Hoerip, 1982. Sejumlah
Masalah Sastra. Jakarta: Sinar Harapan.
Abrams, M.H. 1971. The Mirror and the Lamp. Oxford: Oxford Uni-
versity Press.
Abrams, M.H. 1993. A Glossary of Literary Terms. Fort Worth:
Harcourt Brace Press.
Aminuddin. 1995. Pengantar Aspresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar
Baru Algensindo.
Bloomfield, Leonard. 1953. Language. London: Unwin University
Books Compston Printing Ltd.
Djoko Damono, Sapardi. 1978. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar
Ringkas. Jakarta: Pusat Bahasa.
Durasid, Durdje. 1990. Pengembangan Materi Penelitian dalam Bidang
Bahasa. Banjarmasin: Puslit Unlam
Elkins, Deborah. 1976. Teaching Literature, Design for Cognitive De-
velopment. Ohio: A bell & Howell Company.
Esten, Mursal. 1978. Kesusasteraan: Pengantar Teori dan Sejarah.
Bandung: Angkasa.

265
Maungkai Budaya

Fatchul Muin. 1993. Pembinaan Bahasa Indonesia dalam


Keluarga. (Makalah). Banjarmasin: Jurusan Pendidikan
Bahasa dan Seni FKIP Unlam.
Fatchul Muin. 2001. Richard Wright Native Son: A Study of White
Dominaation and Its Effects on African-Americans. (Thesis S-2).
Yogyakarta: Gadjah Mada University.
Fananie, Zainuddin. 2000. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah
University Press.
Fishman, J.A. 1972. Language in Sociocultural Change. California:
Stanford University Press.
Fishman, J.A. Ed. 1972. Readings in the Sociology of Language. The
Hague-Paris: Mouton.
Fishman, J. A, 1978. Advances in the Study of Societal Multilingualism.
The Hague-Paris: Mouton.
Geertz, Clifford. 1960. The Religion of Java. New York: The Free Press.
Geertz, Hildred. 1961. The Javanese Family. New York: The Free Press.
Gumpers, John J. & Dell Hymes, eds. 1972. Diretiction in
Sociolinguistics: The Ethnography of Communication. New York:
Holt, Rinehart and Winston.
Haugen, Einar. 1972. Ecology of Language, Stanford: Stanford Uni-
versity Press.
Hoerip, Satyagraha (Editor). 1982. Sejumlah Masalah Sastra. Jakarta:
Sinar Harapaan.
Hardjana, Andre. 1981. Kritik Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta:
Gramedia.
Hasanuddin. 1989. Tentang Tumpang Tindih Bahasa dalam Sastra
Kita.(Makalah). Denpasar: HISKI.
Hermawan, Sainul. 2005. Tionghoa dalam Sastra Indonesia.
Yogyakarta: IRCISoD
Husen, Ida Sundari. 1989. Pemahaman Sri Sumarah Karya Umar
Kayam dalam Pelajaran Pengkajian Teks Sastra. (Makalah).
Denpasar: HISKI.
Kayam, Umar. 1992. Para Priyayi. (Novel). Jakarta: Djambatan

266
Daftar Pustaka

Kodiran. 1981. Kebudayaan Jawa dalam Koentjaraningrat (ed)


Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Koentjaraningrat. 1980. Kebudayaan Jawa. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Lewis, Leary. 1976. American Literature: A Study and Research Guide.
New York: St. Martins Press.
Lewis, Sinclair. 1961. Babbit. New York: The American Library of
World Literature, Inc.
Mackey, William F. The Description of Bilingualism in Fishman,
J.A. Ed., 1972. Readings in The Sociology of Language. The
Hague-Paris: Mouton.
Mangunwijaya, Y.B. 1981. Burung-Burung Manyar. Jakarta:
Djambatan.
Martin, James Kirby dkk. 1989. America and Its People. New York:
Harper Collins Publishers.
Mintarsih Adimihardja. 2001. Plagiarisme, dalam Jurnal Pelangi
Pendidikan, Volume 4 No.2. Jakarta: Departmen Pendidikan
Nasional.
McDowell, Tremaine. 1948. American Studies. Menneapolis: The
University of Menneapolis.
Nababan, PWJ. 1984. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta:
Gramedia.
Nurgiyantoro, Burhan. 1988. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarya:
Gadjah Mada University Press.
Parsons, Talcott. 1966. Societies: Evolutionary and Comparative Per-
spective. Englewood, New Jersey: Prentice_hall, Inc.
Poedjosoedarmo, Soepomo. 1975. Kode dan Alih Kode. Yogyakarta:
Balai Penelitian Bahasa
Poedjosoedarmo, Soepomo. 1979. Tingkat Tutur Bahasa Jawa.
Yogyakarta: Balai Penelitian Bahasa.
Ramelan. l984. Introduction to Linguistics for Students of English in
Indonesia. Semarang: IKIP.
Ramelan. 1977. English Phonetics Part I. Semarang: English Depart-
ment, IKIP.

267
Maungkai Budaya

Rohrberger, Mary & Samuel H. Woods. 1971. Reading and Writing


about Literature. First Edition. New York: Random House.
Rusli, Marah. 1993. Sitti Nurbaya. Jakarta: Balai Pustaka.
Rusyana, Yus. 1975. Interferensi Morfologi pada Penggunaan Bahasa
Indonesia oleh Anak-anak yang berbahasa Pertama Bahasa Sunda
Murid Sekolah Dasar di Daerah Propinsi Jawa Barat. Disertasi.
Jakarta : Universitas Indonesia.
Rusyana, Yus. 1984. Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan.
Bandung: Diponegoro.
Semi, Atar. 1988. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya.
Siebert, Fred S. dkk. 1963. Four Theories of the Press. Urbana and
Chicago: University of Illinoisa Press.
Soekanto, Soerjono. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali.
Soetomo, Istiati. 1985a. Telaah Sosial-Budaya Terhadap Interferensi,
Alih-Kode dan Tunggal Bahasa dalam Masyarakat Gandabahasa.
(Disertasi). Jakarta: UI.
Soetomo, Istiati 1985b. Sosiolinguistik vs Sosiologi Bahasa: Dua Disiplin
Ilmu yang bisa Komplementer. Makalah. Semarang: FS Undip.
Soetomo, Istiati.1985b. Pokok-Pokok Pikiran tentang Multilingualis-
me dalam Sastra. (Makalah). Semarang: Fakultas Sastra.
Stowe, Hariet Beecher. 1852. Uncle Toms Cabin. New York: Harcourt,
Brace & World, Inc.
Sumarjo, Yakop. 1982. Masyarakat dan Sastra Indonesia. Yogyakarta:
C.V. Nur Cahaya.
Suryadikara, Fudiat. 1989. Sistem Perkawinan dan Istilah Kekerabatan
pada Orang Jawa, Sunda dan Banjar. Banjarmasin: Unlam.
Suseno, Franz Magnis. 1984. Etika Jawa Sebuah Analisa Falsafati
tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia.
Tohari, Ahmad. 1982. Ronggeng Duku Paruk. Jakarta: Gramedia
Tohari, Ahmad. 1985. Lintang Kemukus Dini Hari. Jakrta: Gramedia
Tohari, Ahmad. Jantera Bianglala. Jakarta: Gramedia
Tohari, Ahmad. 2001. Di Kaki Bukit Cibalak. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.

268
Daftar Pustaka

Trudgill, Peter. 1974. Sociolinguistics: An Introduction. Middlesex,


England: Penguin Books.
Weinriech, Uriel. 1968. Languages in Contact: Findings and Problems.
The Hague: Mouton.
Wellek, Rene & Warren, Austin. 1956. Theory of Literature. New York:
Harcourt, Brace & World, Inc.
Wiradadi, Gunawan. 1996. Etika Penulisan Karya Ilmiah, Beberapa
Butir Prinsip Dasar. Bandung: Yayasan Akatiga.
Wright, Richard. 1966. Native Son. (Novel). New York: Harper &
Row Publishers, Inc.

269
Maungkai Budaya

RIWAYAT TULISAN

I. Bahasa
1. Pembinaan Bahasa Indonesia dalam Keluarga (Dinamika Berita,
25/10/1994)
2. Bahasa Inggris Sejak Dini itu Perlu? (Banjarmasin Post, 16/07/
2004)
3. Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Situasi Keanekaba-
hasaan (Dokumen Pribadi)
4. Bahasa dalam Perspektif Sosial Budaya (Dokumen Pribadi)
5. Bahasa dan Budaya Jawa (Dokumen Pribadi)
6. Kedwibahasaan (Dokumen Pribadi)
7. Belajar Bahasa Inggris itu Perlu Exposure? (Radar Banjarmasin,
03/10/2005)
8. Kilas Balik Dialog Borneo-Kalimantan VII (Radar Banjarmasin,
13/5/ 2003)
9. Multilingualisme dalam Karya Sastra Indonesia (Dokumen
Pribadi)

II. Sastra
1. Memahami Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Melalui Karya
Sastra (Radar Banjarmasin, 30/10/2005)
2. Menulis (Radar Banjarmasin, 23 Januari 2006)
3. Mencipta dan Membaca Karya Sastra (Radar Banjarmasin, 26/
01/2006)

270
Riwayat Tulisan

4. Pelatihan Penulisan Kreatif, Tak Ada Artinya? (Radar


Banjarmasin, 29/01/2006)
5. Tentang Wanita, Prosa dan Ratna: Suatu Kilas Balik (Radar
Banjarmasin, 18/08/2005)
6. Karya Sastra Menurut Teori Abrams (Dokumen Pribadi)
7. Sastra dalam Pandangan Interdisipliner (Dokumen Pribadi)
8. Manfaat Karya Sastra dalam Pengajaran Bahasa (Dokumen
Pribadi)
9. Sejumlah Pendekatan dalam Studi Sastra (Dokumen Pribadi)
10. Aspek Moralitas Karya Sastra (Dokumen Pribadi)

III. Seni
1. Bukan Hanya Buruan Cium Gue (Radar Banjarmasin, 21/09/
2004)
2. Semestinya Bukan Hanya Buruan Cium Gue (Radar
Banjarmasin,21 September 2004)
3. Joget: Antara Seni dan Moral (Radar Banjarmasin, 07/05/2003)
4. Semestinya Porno Performansi Juga Dilarang! (Dokumen Pribadi)
5. Sisi Lain Sinetron Kita (Kalimantan Post, 15/08/2002)
6. Teletubies: Potret Kebersamaan dalam Keberagaman (Radar
Banjarmasin, 07/10/2002)
7. Televisi dalam Perspektif Social Responssibility Theory
(Kalimantan Post, 12/06/2002)

IV. Pendidikan
1. Skripsi dan Plagiarisme (Dokumen Pribadi)
2. Aku Seorang Guru di Perguruan Tinggi? (Dokumen Pribadi)
3. Guru Kusayang, Guru Kau Nistakan? (Radar Banjarmasin, 13/
08/2005)
4. E-Learning Via Information Technology (Dokumen Pribadi)
5. Siswa Gagal Ujian Nasional (Unas): Salah Siapa? (Radar
Banjarmasin, 04/08/2005)
6. Program Besar FKIP Unlam? (Dokumen Pribadi)

271
Maungkai Budaya

7. Kekayaan yang Terlupakan, Adakah? (Radar Banjarmasin, 03/


09/2005)
8. Sekolah dalam Kondisi Dilematis? (Radar Banjarmasin, 29 Juli 2008)
9. Dukungan Dana, APBS, dan Studi Banding (Radar Banjarmasin,
Agustus 2008)
10. Mengapa Ada Pelarangan? (Dokumen Pribadi, 2008)

V. Politik
1. Dominasi (Kalimantan Post, 15/707/ 2002)
2. Pemilu Sebentar Lagi! (Dokumen Pribadi)
3. KPU Kalsel Musti Solid (Dokumen Pribadi)
4. Tim Seleksi Anggota KPU: Obyektif Atau Akomodatif? (Radar
Banjarmasin, 28/04/2003)
5. Tim Seleksi Anggota KPU Juga Harus Jujur (Radar Banjarmasin,
03/05/2003)
6. Pemilihan Umum 2004 dan Sejumlah Aspeknya (Dokumen
Pribadi)
7. Pengawasan Pemilihan Umum (Dokumen Pribadi)
8. Plus-Minus Penggalian Aspirasi Masyarakat Dengan Safari
Jumat (Dokumen Pribadi)
9. Pasar Induk Selidah Handil Bakti: Besar Tapi Sepi, Mengapa?
(Radar Banjarmasin,23/08/2005)
10 Memahami Karakter Amerika (Radar Banjarmasin, 19/02/
2003)
11.Jalan Meraih Kursi Rektor Unlam 2005-2010 (Radar Banjarma-
sin, 06/06/2005)
12. Verifikasi Bukan Character Assassination (Dokumen Pribadi)
13. Pemilihan Presiden Amerika Serikat (Dokumen Pribadi)

272
Riwayat Penulis

Fatchul Muin, lahir pada 04 Maret 1961 di


Blitar, Jawa Timur. Pendidikan Dasar dan
Menengah dilaluinya di Sekolah Dasar Is-
lam Wahid Hasyim di kampung tempat
kelahirannya, Tanjungsari (lulus tahun
1974) dan Pendidikan Guru Agama 4 Tahun
di Kota Blitar (lulus tahun 1979), dan
Madrasah Aliyah Negeri di Tlogo, Kanigoro,
Kabupaten Blitar (lulus tahun 1981). Gelar
kesarjanaannya (S-1) diperoleh dari Jurusan
Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Sastra, Universitas Diponegoro,
Semarang (masuk tahun 1982 dan lulus tahun 1987).
Menjadi staf pengajar pada Program Studi Pendidikan Bahasa
Inggris, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lambung
Mangkurat, Banjarmasin mulai tahun 1989 hingga sekarang. Pada
tahun 1998, dia melanjutkan studi ke Program Pascasarjana (S-2)
Kesusastraan Amerika, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dan lulus
tahun 2001 dengan tesis: Richard Wrights Native Son: A Study of White
Domination and Its Effects on African-Americans
Karya-karyanya berupa artikel, esai dan makalah banyak
bersinggungan dengan masalah bahasa, sastra, seni, pendidikan,
dan politik. Bukubukunya berjudul Sociolinguistics: An Introduc-
tion (ditulis bersama Sirajuddin Kamal) dan Introduction to Lin-
guistics (ditulis bersama Nanik Mariani). Menjadi penyunting FKIP
in Waiting.... (bersama Sainul Hermawan).

273
Maungkai Budaya

Mulai tahun 2007 menjadi Ketua Program Studi Pendidikan


Bahasa Inggris, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas
Lambung Mangkurat Banjarmasin. Sejumlah artikel dan esainya juga
bisa di baca dalam webblog berikut: pbingfkipunlam.wordpress.com
dan fatchulfkip.worpress.com.

274

Anda mungkin juga menyukai