Maungkai Budaya
Esai-esai Kontemplatif tentang
Bahasa, Sastra, Seni, Pendidikan dan Politik
i
Muangkai Budaya
Perpustakaan Nasional:
Katalog dalam Terbitan (KDT)
Maungkai Budaya
Fatchul Muin,
Scripta Cendekia,
Banjarbaru 2009
xiv + 274 halaman, 15,5 x 23 cm
ISBN: 979-17096-9-6
Editor/Penyunting:
Rusma Noortyani dan Sainul Hermawan
Perwajahan: Hambali
Pracetak: Agvenda
Diterbitkan oleh:
Scripta Cendekia
Jl. Nusantara V.1
Balitra Jaya Permai
Banjarbaru
Telp. 0511-4788347
ii
PRAKATA
iii
Muangkai Budaya
dalam sebuah artikel sebagai kilas balik pemilihan salah satu pejabat
di lingkungan FKIP Unlam itu. Sejumlah tulisan berkait dengan topik
ini ditambahkan sebagai bagian dari tema politik.
Sekali lagi, penulis tidak berpretensi sebagai pemilik
kemampuan memadai untuk memberikan tanggapan atau bahkan
protes terhadap masalah-masalah sebagaimana terurai dalam
semua tulisan yang disajikan. Dalam hal ini, tentu saja, kekurangan
atau kelemahan banyak ditemukan dalam tulisan-tulisan itu. Kritik
dan saran dari pembaca yang budiman, sangatlah diharapkan.
vii
Muangkai Budaya
viii
UCAPAN TERIMA KASIH
ix
Muangkai Budaya
Fatchul Muin
xiv
Catatan Penyunting
PEMIKIR SEJATI, PENDENGAR YANG BAIK
xi
Muangkai Budaya
xii
DAFTAR ISI
PRAKATA.................................................................................. iii
UCAPAN TERIMA KASIH ........................................................... ix
CATATAN PENYUNTING ........................................................... xi
DAFTAR ISI .................................................................................. xiii
I. BAHASA ....................................................................................... 1
1. Pembinaan Bahasa Indonesia dalam Keluarga........................ 3
2. Bahasa Inggris Sejak Dini itu Perlu? .......................................... 8
3. Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Situasi
Keanekabahasaan .................................................................. 12
4. Bahasa dalam Perspektif Sosial Budaya ................................. 24
5. Bahasa dan Budaya Jawa .......................................................... 31
6. Kedwibahasaan ..................................................................... 43
7. Belajar Bahasa Inggris itu Perlu Exposure? ............................. 58
8. Dialog Borneo-Kalimantan VII: Suatu Kilas Balik ................ 62
9. Multilingualisme Dalam Karya Sastra Indonesia .................. 67
II. SASTRA ..................................................................................... 79
1. Memahami Kondisi Sosial Budaya Masyarakat
melalui Karya Sastra .................................................................. 81
2. Menulis ......................................................................................... 85
3. Mencipta Dan Membaca Karya Sastra .................................... 89
4. Pelatihan Penulisan Kreatif, Tak Ada Artinya? .................... 94
5. Tentang Wanita, Prosa dan Ratna: Suatu Kilas Balik .......... 98
6. Karya Sastra Menurut Teori Abrams .................................... 102
7. Sastra dalam Pandangan Interdisipliner............................... 107
8. Manfaat Karya Sastra dalam Pengajaran Bahasa .............. 114
9. Sejumlah Pendekatan dalam Studi Sastra ............................ 119
10. Aspek Moralitas Karya Sastra ................................................ 124
III. SENI............................................................................................... 129
1. Bukan Hanya Buruan Cium Gue ........................................... 131
2. Joget: Antara Seni dan Moral ................................................. 135
xiii
Muangkai Budaya
xiv
Bahasa
1
Maungkai Budaya
2
PEMBINAAN BAHASA INDONESIA
DALAM KELUARGA
3
Maungkai Budaya
Peran Keluarga
Sejak lahir, manusia telah memiliki potensi bawaan untuk
mampu berbahasa. Potensi bawaan itu sering dikenal dengan Lan-
guage Acquisition Device (LAD) atau Alat Pemerolehan Bahasa. LAD
dapat berfungsi bila sejak dilahirkan manusia itu berada di
lingkungan manusia, lingkungan sosial. Lingkungan sosial yang
terkecil adalah keluarganya. Oleh karena itu, keluarga memiliki peran
yang sangat besar dalam proses belajar seseorang (anak). Di antara
anggota-anggota keluarga itu, orang yang paling berperan adalah
kaum ibu (wanita).
Wanita secara tradisional dan umum diakui memegang peranan
penting dalam menentukan kedudukan sosial anak-anaknya. Wanita
memantau dan membimbing anak-anak menjadi peka terhadap
norma-norma yang berlaku. Wanita selalu mengajarkan perilaku,
termasuk perilaku berbahasa, kepada anak-anaknya. Wanita selalu
mencegah anak-anak yang berbahasa tidak baik (mengucapkan kata-
kata jorok atau tabu). Hal-hal semacam itu dilakukan wanita karena
ia sangat dekat dengan anak-anaknya. Jadi, yang tahu segala gerak
gerik anak-anak itu adalah wanita (ibu). Maka, wajarlah bila wanita
diakui berperan sangat penting dalam membina anak-anaknya,
termasuk membina bahasanya.
Bila anak-anak sudah memiliki kemampuan berbahasa yang
cukup baik, dalam arti mereka sudah menguasai kaidah-kaidah
bahasa dan menggunakannya untuk berinteraksi sosial, maka
keluarga, terutama ibu, secara sedikit demi sedikit mengarahkan cara-
cara berbahasa yang baik. Bagaimana mereka harus berbahasa
dengan orang yang lebih tua, bagaimana mereka harus berbahasa
dalam situasi tertentu, dan sebagainya dapat diarahkan oleh
keluarga.
4
Pembinaan Bahasa Indonesia dalam Keluarga
6
Pembinaan Bahasa Indonesia dalam Keluarga
7
Maungkai Budaya
8
Bahasa Inggris Sejak Dini itu Perlu?
9
Maungkai Budaya
10
Bahasa Inggris Sejak Dini itu Perlu?
11
Maungkai Budaya
12
Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Situasi Keanekabahasaan
Kedwibahasaan
Kalau kita melihat atau mendengar seseorang memakai dua
bahasa atau lebih dalam pergaulannya dengan orang lain, kita dapat
mengatakan bahwa dia berdwibahasa atau bermultibahasa, dalam
arti dia melakukan kedwibahasaan atau kemultibahasaan atau
keanekabahasaan. Ada sejumlah ilmuwan bahasa berpendapat
bahwa penggunaan lebih dari satu bahasa semacam itu diacu
dengan satu istilah, yakni kedwibahasaan atau bilingualisme. Kata
bilingualisme secara leksikal berarti penggunaan dua bahasa. Kita
ikuti pendapat-pendapat para ahli.
Kedwibahasaan dibatasi oleh Bloomfield sebagai penggunaan
dua bahasa yang sama baiknya antara bahasa ibu (asli) dan bahasa kedua.
Dengan demikian, pengertian kedwibahasaan semacam ini
menyaran pada kelancaran dan ketepatan yang sama seperti
penggunaan bahasa oleh penutur asli dari setiap bahasa itu.
Bila kita beranjak dari gagasan Bloomfield tentang kewiba-
hasaan, lebih jauh kita dapat ikuti penjelasannya dalam buku yang
13
Maungkai Budaya
Atas dasar pendapat dari dua ahli bahasa di atas, dapat dika-
takan bahwa bagaimanapun sempurnanya penguasaan dua bahasa
atau lebih oleh seseorang, bila dua bahasa atau lebih berkontak,
yakni: bahasa-bahasa itu digunakan oleh orang yang sama secara
bergantian, maka unsur-unsur bahasa lain atau asing itu dapat saja
muncul dalam tuturan orang tersebut.
Penggunaan bahasa yang melibatkan unsur-unsur atau kaidah-
kaidah bahasa lain dapat ditanggapi lewat dua perspektif: linguistik
dan sosiolinguistik/sosiologi bahasa.
14
Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Situasi Keanekabahasaan
15
Maungkai Budaya
16
Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Situasi Keanekabahasaan
17
Maungkai Budaya
18
Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Situasi Keanekabahasaan
20
Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Situasi Keanekabahasaan
21
Maungkai Budaya
22
Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Situasi Keanekabahasaan
23
Maungkai Budaya
24
Bahasa dalam Perspektif Sosial Budaya
25
Maungkai Budaya
Pemerolehan Bahasa
Sejak manusia lahir ke dunia, sebenarnya, telah memiliki
semacam kemampuan bawaan (innate ability). Baik para ahli
sosiolinguistik maupun psikolinguistik mengakui bahwa kemampuan
bawaam itu diacu dengan istilah Language Acquisition Device (LAD),
alat pemerolehan bahasa. Kendati memiliki kemampuan bawaan,
seorang anak tidak secara otomatis mampu berbahasa (berbicara)
hanya karena dia itu manusia.
26
Bahasa dalam Perspektif Sosial Budaya
27
Maungkai Budaya
30
31
Maungkai Budaya
humanistik sang profesor itu, antara lain, bisa dilihat dari perilaku
yang mengedepankan kebersamaan, toleran terhadap pemeluk agama
yang berbeda dengan yang beliau peluk, dan menghargai manusia
sebagai manusia atau memanusiakan manusia. Mungkin, karena sifat
humanistiknya itu, konon, beliau pernah diminta berpidato seputar
agama/pemeluk agama Kristiani di hadapan kaum muslimin di
Martapura sana.
Sedangkan, dalam tulisan ini saya akan mengatakan bahwa
Pak Fudiat (Almarhum) adalah sosok yang sifatnya kurang lebih
sama dengan Pak Lambut. Prof. Fudiat sangat low profile, suka
mengajak diskusi dan sangat dekat dengan dosen-dosen yunior.
Beliau, tampaknya, tidak merasa rugi bila harus menyapa dosen-
dosen yunior dan dosen-dosen baru sekalipun.
Di mata saya, ada bedanya antara kedua beliau ini. Bedanya
adalah bahwa saya agak sungkan dan cenderung takut dengan Pak
Lambut; saya tidak merasa bebas bila saya berbicara dengan Pak
Lambut. Namun, lain halnya bila saya berbincang-bincang dengan
Pak Fudiat; saya merasa bebas (tanpa dihantui perasaan sungkan)
bila berhadapan dengan beliau. Ini bukan tanpa sebab. Saya tidak
merasa sungkan dengan Pak Fudiat, sebab sejak awal saya bertugas
di FKIP Unlam ini, saya sering diajak diskusi tentang berbagai hal
tentang bahasa dan budaya Jawa. Beliau sering mengajukan
pertanyaan kepada saya seputar aspek-aspek budaya Jawa. Namun,
semula saya tidak tahu apakah beliau itu bertanya karena beliau
tidak tahu atau ingin klarifikasi. Tetapi, yang jelas bahwa beliau
senantiasa mengajukan sejumlah pertanyaan bila beliau memulai
diskusi dengan saya.
Ternyata, beliau hanya ingin klarifikasi menyangkut
pengetahuannya tentang bahasa Jawa dan budaya Jawa (khususnya
yang menyangkut perkawinan dan kekerabatan). Dugaan saya ini
didasarkan pada kenyataan bahwa segala hal yang dilontarkan beliau
tentang bahasa dan budaya Jawa sama dan sebangun dengan hal-hal
yang tersaji dalam Buku Pidato Pengukuan Guru Besar yang berjudul
Sistem Perkawinan dan Istilah Kekerabatan pada Orang Jawa, Sunda dan
Banjar (1989) yang belakangan ini saya ketemukan dan baca.
Dengan penuh semangat dan tanpa menyadari bahwa saya
berhadapan dengan seorang antropolog yang tentu saja mumpuni
32
Bahasa dan Budaya Jawa
33
Maungkai Budaya
Budaya Jawa
Di samping masalah seputar bahasa Jawa, Prof. Fudiat menga-
jukan sejumlah pertanyaan yang masih saya ingat, antara lain,
berkenaan dengan sikap-sikap yang diajarkan oleh sistem budaya
Jawa. Misalnya, Ngono yo ngono, nanging mbok aja ngono, tega larane
ora tega patine, rame ing gawe sepi ing pamrih, narimo ing pandum,
sumarah. Berkenaan dengan nafsu, beliau menanyakan tentang tiga
nafsu yang harus dihindari, yakni: nefsu menange dhewe, nefsu benere
dhewe, dan nefsu butuhe dhewe. Masih banyak lagi pertanyaan yang
diajukan namun saya tidak ingat.
37
Maungkai Budaya
38
Bahasa dan Budaya Jawa
39
Maungkai Budaya
41
Maungkai Budaya
42
KEDWIBAHASAAN
Kedwibahasaan
43
Maungkai Budaya
dari itu, kita harus memasukkan tidak hanya dua bahasa, akan tetapi
sejumlah bahasa. Oleh karena itu, kita akan memandang kedwiba-
hasaan sebagai the alternate use of two or more languages by the same
individual (penggunaan dua bahasa atau lebih secara bergantian oleh
individu yang sama) (Fishman, ed., 1972:555).
Kalau kita perhatikan pengertian kedwibahasaan di atas, kita
akan melihat adanya perbedaan antara yang diberikan oleh
Bloomfield dan oleh yang lainnya. Kedwibahasaan dibatasi oleh
Bloomfield sebagai penggunaan dua bahasa yang sama baiknya antara
bahasa ibu (asli) dan bahasa kedua. Dengan demikian, pengertian
kedwibahasaan semacam ini menyaran pada kelancaran dan
ketepatan yang sama seperti penggunaan bahasa oleh penutur asli
dari setiap bahasa itu.
Bila kita beranjak dari gagasan Bloomfield tentang kedwiba-
hasaan, lebih jauh kita dapat ikuti penjelasannya dalam bukunya
yang berjudul Language yang di dalamnya, antara lain, menyatakan
sebagai berikut:
In the extreme case of foreign-language learning the speaker becomes so
proficient as to be indistinguishable from the native speaker around him. This
happens occassionally in adult shifs of language and frequently in the child-
hood shift .. In this cases where this perfect foreign-language learning is not
accompanied by loss of the native-language, it results in bilingualism, native-
like control of two languages (Bloomfield, 1935:56).
44
Kedwibahasaan
45
Maungkai Budaya
46
Kedwibahasaan
Dwibahasawan
Sama halnya dengan kedwibahasaan, konsep dwibahasawan
juga mengalami perluasan. Weienriech memberikan batasan
dwibahasawan sebagai orang yang terlibat dalam praktek penggunaan
dua bahasa secara bergantian (1968:1).
Kalau dikatakan bahwa bahasa-bahasa disebut dalam kontak
bila bahasa-bahasa itu digunakan oleh dwibahasawan secara bergantian,
maka sebenarnya kurang memadai pengertiannya. Hal ini karena,
menurut Haugen, bahasa-bahasa itu tidak harus digunakan secara
nyata oleh dwibahasawan melainkan hanya cukup diketahui saja.
Namun demikian, dia menyarankan bahwa dwibahasawan yang
ideal adalah seseorang yang mengetahui lebih dari satu bahasa yang
mampu menginternalisasikan atau membiasakan pola-pola produktif
(aturan tata bahasa) dan unsur leksikal dari dua speech communities
(Fishman, ed., 1972:20).
Bila kemampuan pasif bahasa tulis atau setiap kontak dengan
bentuk-bentuk dalam bahasa kedua dimasukkan dalam konsep
kedwibahasaan, maka dwibahasawan lebih jauh dibatasi sebagai
orang yang memiliki kemampuan bahasa yang berbeda-beda
(Fishman, ed., 1972:555). Hal ini didukung oleh pernyataan Haugen
bahwa dwibahasawan itu bukanlah ekabahasawan atau mololingual
walaupun tidak ditetapkan seberapa jauh seseorang itu memerlukan
pengetahuan bahasa kedua sebelum disebut dwibahasawan.
Kemudian, dia menyarankan bahwa kemampuan menghasilkan
kalimat-kalimat dalam bahasa kedua harus menjadi syarat terendah,
atau paling tidak, memahami kalimat-kalimat bahasa kedua itu.
Istilah kedwibahasawan menyaran juga pada orang yang
48
Kedwibahasaan
mengetahui lebih dari satu bahasa, yang biasa dikenal dengan istilah
multibahasawan atau ploligot (Fishman, ed., 1978:4).
Sebagaimana dikatakan di atas, bahwa konsep kedwibahasaan
telah mengalami perluasan. Hal ini terlihat pada pernyataan Mackey,
bahwa kedwibahasaan itu melibatkan tingkatan. Tingkatan
dimaksudkan untuk membedakan kemampuan seseorang dalam
penguasaannya terhadap bahasa kedua. Tingkatan kemampuan itu
dapat dilihat pada penguasaan dwibahasawan dalam hal fonologi,
tata bahasa (grammar), segi leksikal, semantik dan gaya bahasa (sty-
listic) yang terlihat dalam empat ketrampilan (skill) bahasa, yaitu:
menyimak (listening), membaca (reading), berbicara (speaking), dan
menulis (writing) (Fishman, ed., 1972:556-557).
Pengertian kemampuan berbahasa itu juga mengacu pada
kemampuan aktif dan pasif. Ini berarti bahwa dwibahasawan tidak
harus menguasai bahasa keduanya secara aktif, tetapi dapat juga
secara pasif. Seseorang yang memiliki kemampuan pasif bahasa tulis
dalam bahasa kedua dapat juga disebut dwibahasawan (Fishman,
ed., 1972:555).
Interferensi
Sebagaimana dikatakan di atas, bahwa kedwibahasaan
mengandung pengertian yang relatif atau nisbi. Ia melibatkan
masalah tingkatan, fungsi, pertukaran, dan interferensi. Tiga hal yang
pertama (tingkatan, fungsi, dan pertukaran) menentukan terjadi atau
tidaknya peristiwa interferensi bahasa tertentu dalam tuturan
dwibahasawan dengan bahasa yang lain. Dengan demikian,
menurut Mackey, pengertian interferensi adalah penggunaan unsur-
unsur yang ada dalam suatu bahasa pada waktu berbicara atau
menulis dalam bahasa lain (Fishman, ed., 1972:569).
Praktek penggunaan dua bahasa oleh seseorang menimbulkan
penyimpangan-penyimpangan dari norma masing-masing bahasa
itu. Penyimpangan semacam itu disebut interferensi. Dalam hal ini,
Weinreich mengatakan:
The practice of alternately using two languages will be called bilingual-
ism and the persons involved, bilingual. Those instances of deviation from the
norms of either language either language which occurs in the speech of bilinguals
49
Maungkai Budaya
as a result of their familiarity with more than one language, i.e. as a result of
language contact, will be referred to as interference phenomena (1953:1).
Integrasi
Baik interferensi maupun integrasi merupakan gejala akibat dari
kontak bahasa. Keduanya peristiwa itu sebenarnya merupakan
penggunaan unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain
yang terjadi pada diri penutur bahasa. Mackey mengajukan
perbedaan antara interferensi dan integrasi. Menurut dia, interferensi
menyaran pada the use of elements of one language or dialect while
speaking or writing another dan integreasi menyaran pada the in-
corporation into one language or dialect of elements from another from
another (Fishman, ed., 1972:555).
Sebagaimana dikatakan di atas, bahwa interferensi terjadi pada
diri dwibahasawan; sedangkan pinjaman bahasa (yang sering
dikaitkan dengan integrasi) dapat terjadi tidak hanya pada diri
dwibahasawan tetapi juga pada diri ekabahasawan. Dengan
51
Maungkai Budaya
Kode
Istilah kode di sini dimaksudkan untuk menyebut salah satu
varian dalam hirakhi kebahasaan. Kode dapat menyaran pada (1)
bahasa, dan (2) varian dari suatu bahasa. Bila bahasa dipandang
sebagai suatu kode, kita, misalnya, akan mengetahui bahwa bahasa
Banjar, bahasa Arab, bahasa Indonesia dan sebagainya adalah kode-
kode. Suatu bahasa memiliki sejumlah varian bahasa dan selanjutnya
setiap varian bahasa juga disebut kode. Varian-varian bahasa dapat
berupa (a) dialek yang terbagi lagi menjadi: dialek geografi, sosial,
usia, jenis kelamin, aliran, suku, ras dan sebagainya, (b) tingkat tutur
yang terbagi lagi menjadi: tingkat tutur hormat, dan non-hormat,
yang berwujud ngoko, krama madya, dan krama inggil (bahasa Jawa),
(c) ragam (style) yang terbagi lagi atas dasar suasana: ragam santai
(informal), resmi (formal), dan literer (indah), dan atas dasar
komunikasi: ragam ringkas (restricted code), ragam lengkap (elaborated
code), dan syair, serta atas dasar kekhususan: register (Poejosoedarmo,
1975). Dalam kaitan ini, Fishman menyatakan bahwa setiap varian
bahasa itu dapat dikenali atau diketahui (1) pola-pola bunyinya, (2)
kosa katanya, (3) ciri-ciri gramatikalnya, dan (4) maknanya (1972:5).
Istilah dialek menyaran pada varian bahasa yang adanya
ditentukan oleh latar belakang asal usul penutur. Latar belakang
52
Kedwibahasaan
non kebahasaan yang ada pada waktu dan di sekitar pembicaraan itu
berlangsung. Bahasa yang dipakai dalam suasana santai antara sahabat
karib, sesama anggota keluarga, antara teman, biasanya berwujud
singkat-singkat seperti itu (Poedjosoedarmo, 1974:8).
Varian bahasa yang lain adalah register. Kita sering
membedakan tutur karena penggunaan tutur itu secara khusus.
Tutur penjual obat dan tutur ahli hukum yang sedang bekerja di
kantor pengadilan akan berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Demikian pula, tutur seseorang yang kerkecimpung dalam dunia
kedokteran akan berbeda dengan tutur seseorang yang bekerja dalam
bidang teknik. Dalam kaitan ini, Trudgill berpendapat:
The occupational situation will produce a distinct linguistic variety. Oc-
cupational linguistic varieties of this sort have been termed registers, and are
likely to occur in any situation involving members of a particular profession or
occupation. The language of law, for example, is different from the language of
medicine, which in turn is different from the language of engineering- and so
on. Registers are usually characterized solely by vocabulary differences; nei-
ther by the use of particular words, or by the use of words in a particular sense
(1974:104).
Alih Kode
Penggunaan bahasa dalam situasi kedwi-bahasaan atau
keanekabahasaan akan melibatkan persoalan siapa yang bertutur,
bahasa apa yang digunakan, kepada siapa seseorang itu bertutur, kapan
dan di mana tutur itu terjadi (Fishman,1972:244).
Dalam situasi kedwibahasaan atau keaneka-bahasaan, sering
kita melihat orang mengganti bahasa atau ragam bahasa; hal ini
tergantung pada keadaan atau keperluan berbahasa itu sendiri.
Kalau bahasa dipandang sebagai system kode, maka peralihan
bahasa yang satu ke bahasa yang lain disebut alih kode. Misalnya,
seseorang penutur menggunakan bahasa Indonesia, dan kemudian
beralih dengan menggunakan bahasa yang lain. Peralihan dari
bahasa Indonesia ke bahasa yang lain itu disebut peristiwa alih kode
(code-switching). Namun, seperti telah terurai di atas, dalam suatu
bahasa terdapat kemungkinan varian bahasa baik dialek, tingkat
tutur, ragam maupun register yang juga disebut sebagai kode maka
peristiwa alih kode mungkin berwujud alih dialek, alih tingkat tutur,
alih ragam ataupun alih register. Dalam kaitan ini, Nababan
55
Maungkai Budaya
56
Belajar Bahasa Inggris itu Perlu Exposure?
57
Maungkai Budaya
58
Belajar Bahasa Inggris itu Perlu Exposure?
manusia tadi diajari dan belajar- bahasa daerah. Dilihat dari sisi si
anak, belajar bahasa daerah dimaksudkan untuk bisa berkomunikasi/
berinteraksi sosial dengan lingkungan sosialnya.
Ketika lingkungan sosial lain (misal: sekolah) menghendaki
penggunaan bahasa lain (baca: bahasa Indonesia), maka belajar
bahasa Indonesia akan menjadi tuntutan baginya. Dia akan
termotivasi untuk belajar bahasa Indonesia. Karena, bila dia tidak
mampu berbahasa Indonesia maka hampir semua urusan yang
berkait dengan sekolah, bakal terhambat. Sebab, bahasa pengantar
di sekolah adalah bahasa Indonesia; buku-buku pelajaran tercetak
dalam bahasa Indonesia; dan komunikasi antar siswa mungkin juga
dilakukan dengan bahasa Indonesia.
Secara tidak langsung si pembelajar telah menetapkan tujuan
belajar bahasa Indonesia, yakni: untuk bisa mengikuti pelajaran di
sekolah, berkomunikasi/berinteraksi sosial dan membaca bacaan
dalam bahasa Indonesia. Pendek kata, ada unsur suka rela dalam
belajar bahasa Indonesia.
Bagaimana tentang belajar bahasa Inggris? Adakah kondisi
tertentu yang menjadikan belajar bahasa Inggris itu seperti halnya
belajar bahasa Indonesia? Mulai beberapa tahun terakhir, bahasa
itu diajarkan di sekolah mulai tingkat sekolah dasar (kelas 4) hingga
perguruan tingg dalam beberapa semester. Di sini, ada yang suka
rela dan ada yang terpaksa belajar bahasa Inggris. Dalam kaitan
ini, mereka yang suka rela, punya motivasi tinggi dalam belajar.
Didasari motivasi tinggi itu, akan baguslah kemampuan bahasa
Inggris mereka. Namun, jumlah mereka tak seberapa.
Bagi yang terpaksa? Tampaknya, bahasa Inggris yang diajarkan
sedini itu, justru menjadi momok bagi sebagian besar siswa. Mereka,
tampaknya, kurang termotivasi untuk mempelajari bahasa Inggris
itu sampai mereka memiliki kemampuan berbahasa Inggris yang
memadai. Kita mengatakan bahwa bahasa Inggris itu penting;
sementara mereka punya pandangan: bahasa Inggris tak penting.
Kalau demikian halnya, kita mau apa? Sebagai akibatnya, mereka
cenderung bersikap apatis dan kurang bergairah dalam mengikuti
pelajaran bahasa Inggris itu. Atas dasar pengamatan, hal ini tidak
saja terjadi pada sejumlah siswa tetapi juga pada sejumlah
59
Maungkai Budaya
Perlu Exposure
Kemampuan berbahasa daerah umumnya didapat melalui proses
pemerolehan (acquisition process), walaupun kadangkala diikuti juga
oleh proses belajar (learning process). Kemampuan bahasa Indonesia
bisa didapat melalui proses pemerolehan maupun belajar. Kemampuan
berbahasa melalui proses pemerolehan biasanya didapat secara tidak
disadari, sedangkan kemampuan berbahasa melalui proses belajar
biasanya didapat secara sadar atau sengaja. Kemampuan berbahasa
Inggris dikuasai melalui proses belajar (learning process).
Mengapa kemampuan dua bahasa (bahasa daerah dan bahasa
Indonesia) bisa baik, dalam arti, si penutur mampu menggunakan
bahasa-bahasa yang dikuasainya itu untuk keperluan komunikasi/
interaksi sosial? Sementara itu, bahasa Inggris yang dipelajarinya
sejak dia duduk di bangku kelas 4 SD hingga lulus SMA dan bahkan
beberapa semester di perguruan tinggi itu, belum dapat
dimanfaatkan untuk keperluan yang sama.
Belajar bahasa (apapun) perlu adanya exposure, speaking com-
munity, atau situasi di mana seseorang bisa terlibat atau melibatkan
diri dalam suatu tindak bahasa (speech act). Dalam komunitas (atau
setidak-tidaknya, kelompok) penutur itu, penggunaan bahasa secara
nyata terjadi. Belajar bahasa dilakukan di sekolah, dan praktik
berbahasa bisa dilakukan dalam speaking community itu. Bila kondisi
belajarnya demikian, maka bisa saja seseorang mendapatkan
kemampuan berbahasa melalui language acquisition. Sebab, di
samping pengetahuan berbahasa yang didapat secara sadar, ada
pengetahuan berbahasa yang tanpa disadari, didapat melalui speak-
ing community, public speaking atau sejenisnya.
60
Belajar Bahasa Inggris itu Perlu Exposure?
61
Maungkai Budaya
62
Kilas Balik Dialog Borneo-Kalimantan VII
66
Tulisan ini pernah dimuat di SKH Radar Banjarmasin, 13 Mei
2003
67
Maungkai Budaya
68
Multilingualisme dalam Karya Sastra Indonesia
Indonesia yang terselipi dengan bahasa lain (asing atau daerah) harus
disikapi dan dipahami.
Pengarang tentu saja tidak asal mengarang atau menulis. Kalau
tulisannya atau karangannya itu tidak ditujukan pada masyarakat
tertentu, paling tidak ia menulisnya untuk dirinya sendiri. Dengan
begitu, tulisan atau karangan itu selalu ada tujuannya. Karena ada
tujuannya itu, dengan sendirinya pesan atau makna selalu ada
(Husen, 1989:2). Kalau banyak pengarang karya sastra Indonesia
memanfaatkan unsur-unsur bahasa lain (asing atau daerah) dalam
karangan mereka, maka sebagai pembaca kita perlu memahami
pesan atau makna apa yang ingin disampaikan oleh pengarang.
Untuk memahami beberapa cerita pendek karya Umar (Sri
Sumarah dan Bawuk, misalnya), beberapa novel karya Ahmad Tohari
(Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, dan Di Kaki Bukit Cibalak, misalnya),
prosa liris karya Linus Suryadi Pariyem, dan Roman Burung-Burung
Manyar karya Y.B. Mangunwijaya, pembaca perlu memahami unsur
luar karya-karya itu, yang menyangkut kondisi penciptaan atau latar
belakang sosial-budaya yang melingkungi karya-karya itu sendiri.
Pengarang adalah produk zamannya. Jadi untuk memahami karya
sastranya, mau tidak mau pembaca harus mengetahui latar belakang
zamannya itu.
Bahasa Indonesia merupakan medium untuk sastra Indonesia.
Para pengarang sastra Indonesia jelas mereka yang yang menggeluti
bahasa Indonesia secara serius.Untuk kepentingan satu atau dua
patah kata yang ditulis, pembaca memerlukan dukungan
pengetahuan yang luas sekali (Husin, 1989:3). Terlebih lagi, kalau
kata atau sejumlah kata itu berasal dari bahasa daerah atau bahasa
asing, pembaca harus mengetahui lebih banyak tentang budaya dari
bahasa daerah atau bahasa asing itu. Misalnya, kalau kita membaca
karya-karya dari pengarang-pengarang di atas yang banyak
diwarnai budaya Jawa, maka agar kita dapat memahami karya-
karya itu secara lengkap kita hendaknya tidak memisahkan diri dari
lingkungan atau budaya Jawa itu sendiri.
70
Multilingualisme dalam Karya Sastra Indonesia
74
Multilingualisme dalam Karya Sastra Indonesia
75
Maungkai Budaya
76
Multilingualisme dalam Karya Sastra Indonesia
78
Sastra
79
Maungkai Budaya
80
MEMAHAMI KONDISI SOSIAL BUDAYA
MASYARAKAT MELALUI KARYA SASTRA
81
Maungkai Budaya
84
MENULIS
85
Maungkai Budaya
simpan yang kuat, dia memiliki daya teropong yang cukup tajam.
Mobil plat merah yang dipakai untuk mengantar anak ke sekolah,
misalnya, tak luput dari teropongannya dan lalu dijadikan bahan
penulisan. Tentu, itu dimaksudkan untuk menyentil semua pemakai
kendaran atau mobil plat merah yang semestinya- untuk keperluan
tugas kedinasan namun dipakai untuk keperluan di luar tugas
kedinasan: mengantar anak ke sekolah, berbelanja di mall pada
malam hari, atau untuk sarana pergi saruan pada hari minggu.
Satu lagi, didukung daya rekam, daya simpan, daya teropong
yang kuat, EWA tak memerlukan alat tulis ketika berbincang-bincang
atau semacam wawancara. Ketika orang-orang yang dihadapi
bapandir, dia hanya mendengarkan sambil ketawa-ketawa khasnya
dan sesekali menimpalinya dengan goyonan. Jangan coba-coba,
ngomong semaunya bila berhadapan dengan EWA. Sebab, omongan
anda bisa jadi dikutip EWA dan besok pagi muncul di koran.
86
Menulis
87
Maungkai Budaya
88
Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang obyeknya
manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya
(Semi, 1988: 8)
K alau tak ada aral melintang, Jurusan Bahasa dan Seni FKIP
Unlam akan menyelenggarakan pelatihan penulisan kreatif, Kamis
26 Januari 2006, di Aula 1 FKIP Unlam Banjarmasin. Para pelatihnya
adalah Agus R. Sarjono, Jamal T. Suryanata, dan Tajuddin Noor
Gani. Ketiganya adalah para pendekar dalam hal
menulis kreatif. Hasil karya mereka banyak terpublikasikan.
Saya suka menulis. Fenomena kehidupan manusia yang saya
amati, sering saya tulis. Kalau sekiranya hasil tulisan itu saya anggap
tak layak untuk khalayak, saya simpan saja. Namun, saya tak
mengklaim bahwa saya ini seorang penulis. Saya masih perlu terus
belajar, ya belajar menulis. Kalau saya mengkalim sebagai penulis,
tentu banyak orang akan bertanya: berapa banyak artikel ilmiah/
populer, buku dan karya-karya tulis lain. Dalam hal ini, saya tentu
tak sebanding dengan Ersis Warmansyah Abbas (EWA). Sebab, artikel
yang ditulisnya banyak; buku yang dihasilkannya banyak; dan karya-
karya tulis lainnya segudang. Bagi dia, menulis itu gampang.
Saya juga pernah mencoba menulis karya kreatif bukan
kreatif. Sebab, seperti halnya menulis artikel, saya masih belajar.
Saya coba mengadaptasikan karya-karya yang pernah baca, misal:
karya Henry James, Faulkner, Richard Wright dan lain-lain dan saya
tulis dalam bahasa Indonesia. Ya, karena itu hanya latihan atau
89
Maungkai Budaya
90
Mencipta dan Membaca Karya Sastra
psikologi dan sejarah. Sebab, karya sastra dan karya non sastra
tersebut berbicara tentang manusia, kehidupan manusia, peristiwa-
peristiwa yang berhubungan dengannya, tempat dan waktunya.
Hal yang membedakan adalah cara menyatakannya dan asumsi
pembaca terhadap jenis tulisan tersebut.
Cara seseorang yang menyatakan petani melarat dalam bahasa
karya sastra akan berbeda dengan cara orang lain secara ilmiah,
ilmiah popular atau dengan berita di koran, meskipun fakta yang
ditulis sama.
Demikian pula, asumsi pembaca terhadap teks sastra dan teks
non sastra tampak berbeda. Secara umum orang beranggapan bahwa
karya sastra itu selalu imaginer, fiktif atau khayal belaka; dan bahwa
laporan penelitian antropologi, sosiologi, psikologi, sejarah dan berita
di koran selalu nyata dan benar adanya. Benarkah bahwa seorang
sastrawan menulis karyanya tidak berdasar pada fakta di zamannya
sehingga tulisannya bersifat fiktif belaka? Sebaliknya, apakah seorang
sejarawan, sosiolog, antropolog, atau reporter menulis fakta di
lapangan secara benar-benar obyektif, independen, tanpa
dipengaruhi subyektifitas, kepentingandan ideologi? Atau,
barangkali orang akan mengatakan bahwa ketika karya sastra dan
karya non sastra telah menjadi karya teks bisa saja mengandung
unsur subyektif bila dilihat dari sudut pandang yang berbeda?
Memang, sepengetahuan penulis, orang-orang yang
mengatakan bahwa karya sastra itu walaupun bersifat imaginer,
fiktif, khayal alias tidak nyata- mengetengahkan fakta tentang
kehidupan manusia dan sejumlah sisi yang menyertainya, adalah
mereka yang menggeluti atau berkecimpung dalam dunia sastra.
Sementara masyarakat secara umum dan kalangan akademisi
tertentu menganggap bahwa karya sastra adalah benar-benar
imaginer, fiktif, atau dunia rekaan pengarang yang kurang, atau
bahkan tidak, berhubungan dengan dengan sejarah, sosiologi,
psikologi, studi pembangunan, politik, moral, agama dan sebagainya.
91
Maungkai Budaya
sang pengarang itu tentu tidak asal mengarang atau menulis karya
sastra; dia tentu terlebih dahulu melakukan observasi dan lalu
melakukan komtemplasi (perenungan) atas peristiwa-peristiwa yang
terjadi di masyarakatnya. Melalui proses observasi dan komtemplasi,
dia melakukan imajinasi dakam rangka untuk menciptakan karya
sastra (berkreasi). Singkat kata, melalui proses-proses itu maka
terwujudlah suatu karya sastra.
Secara ekspresif karya sastra (seni) merupakan hasil pengung-
kapan sang pencipta seni (artist) tentang pengalaman, pikiran,
perasaan, dan sejenisnya.Dengan demikian, menurut Lewis, karya
sastra bisa didekati dengan pendekatan ekspresif, yakni pendekatan
yang berfokus pada diri penulis (pengarang), imajinasinya,
pandangannya, atau kespontanitasnya (1976: 46).
Dengan perkatan lain, dilihat dari sisi pengarang, karya sastra
(seni) merupakan karya kreatif, imaginatif (rekaan) dan
dimaksudkan untuk menghadirkan keindahan. Dalam kaitan ini,
Esten menyatakan bahwa ada dua hal yang harus dimiliki oleh
seorang pengarang, yakni: daya kreatif dan daya imajinatif. Daya
kreatif adalah daya untuk menciptakan hal-hal yang baru dan asli.
Manusia penuh dengan seribu satu kemungkinan tentang dirinya.
Untuk itu, seorang pengarang berusaha untuk memperlihatkan
kemungkinan tersebut, memperlihatkan masalah-masalah manusia
dalam karya-karya sastranya. Sedangkan daya imajinatif adalah
kemampuan pengarang untuk membayangkan, mengkhayalkan,
dan menggambarkan sesuatu atau peristiwa-peristiwa. Seorang
pengarang yang memiliki daya imajinatif yang tinggi bila dia mampu
memperlihatkan dan menggambarkan kemungkinan-kemungkinan
kehidupan, masalah-masalah, dan pilihan-pilihan dari alternatif
yang mungkin dihadapi manusia. Kedua daya itu akan menentukan
berhasil tidaknya suatu karya sastra (1978: 9).
Dalam kaitan dengan proses penciptaan karya sastra, seorang
pengarang berhadapan dengan suatu kenyataan yang ada dalam
masyarakat (realitas obyektif). Realitas obyektif bisa berbentuk
peristiwa-peristiwa, norma-norma (tata nilai), pandangan hidup dan
bentuk-bentuk realitas obyektif yang ada dalam masyarakat. Bila
seseorang pengarang merasa tidak puas dengan realitas obyektif itu,
mungkin saja dia lalu merasa gelisah. Berangkat dari kegelisahan
92
Mencipta dan Membaca Karya Sastra
93
Maungkai Budaya
95
Maungkai Budaya
96
Pelatihan Penulisan Kreatif, Tak Ada Artinya?
Panitia Digugat?
Mahasiswa mempertanyakan: Mengapa kegiatan pelatihan
penulisan kreatif tak diikuti oleh training, simulasi dan praktek?
Pertanyaan ini jelas tak bisa dijawab oleh para nara sumber. Mod-
erator pun bingung menjawabnya. Untuk itu, panitia harus
menjawab. Kegiatan itu memang dimaksudkan untuk menggali
pengalaman, kiat dan jurus-jurus kepengarangan dari nara
sumber. Untuk sementara, setelah jurus-jurus kepengarangan telah
terwariskan, maka praktek selanjutnya dilakukan sendiri oleh para
peserta. Kata panitia, kegiatan lanjutan yang dimaksud mahasiswa
itu akan dilakukan tahun depan, 2007.
Mendengar gugaan mahasiswa itu, justru, Dr. Jumadi merasa
senang terhadap mahasiswa yang jeli dan kritis. Karena, selama
ini, tampaknya, mahasiswa hanya menerima apa saja yang dimaui
dosennya. Bila mereka diundang dan wajib hadir, mereka hadir saja.
Namun, kalau boleh saya katakan, kehadiran mereka hanyalah
kehadiran fisik: hanya memenuhi kewajiban akademis belaka.
Mudah-mudahan, dengan kerja keras tak kenal lelah dan semangat
yang luar biasa para dosen muda, Jumadi, Sainul Hermawan,
Daud Pamungkas, M. Rafiek dan lain-lain, suasana akademis
menjadi lebih baik. Dengan harapan, tentu saja, mahasiswa Jurusan
Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP Unlam memiliki keterampilan
berbahasa dan keterampilan mengajar bahasa yang baik, serta
memiliki keterampilan tambahan dalam hal tulis menulis (baik ilmiah,
sastra dan esai) yang baik pula. Namun, ini akan terjadi bila para
mahasiswa juga mengimbangi. Ada acara, mereka datang. Dan, yang
terpenting adalah mereka mau berlatih dan berlatih. Tanpa itu, kerja
keras para dosen bagai bertepuk sebelah tangan. Yang pinter justru
para dosen mereka! Viva mahasiswa. Menulis dan berkaryalah!
97
Maungkai Budaya
Ratna diculik?
Dalam proses penyelenggaraan diskusi tentang Wanita, Prosa
dan Ratna, dua penggagasnya, Jarkasi dan Sainul Hermawan,
melakukan aksi penculikan terhadap calon pembicara, Ratna
Indraswari Ibrahim, asal Malang Jawa Timur. Konon, karena
cerpenis-novelis ini juga pelaku penculikan terhadap orang-or-
ang hebat seperti W.S. Rendra dan Eep Syaifullah untuk menjadi
pembicara suatu diskusi, ia hooh saja ketika kedua penggagas diskusi
itu mencoba menculiknya. Ia tak menolak. Sebab, penculikan
model ini bisa mendatangkan manfaat bagi kedua pihak: penculik
dan terculik.
Diskusi itu tak banyak dihadiri oleh peserta. Hal ini, mungkin,
diakibatkan oleh kenyataan bahwa para mahasiswa FKIP Unlam
98
Tentang Wanita, Prosa dan Ratna
99
Maungkai Budaya
100
Tentang Wanita, Prosa dan Ratna
101
Maungkai Budaya
D alam bukunya yang berjudul The Mirror and The Lamp (l971),
Abrams mengetengahkan teori Universe-nya. Melalui teori Universe
itu, kita mengetahui bahwa: pertama, ada suatu karya sastra (karya
seni); kedua, ada pencipta (pengarang) karya sastra; ketiga, ada
semesta (alam) yang mendasari lahirnya karya sastra; dan keempat,
ada penikmat karya sastra (pembaca). Berkenaan dengan
teori Universe itu, dia mengatakan:
102
Karya Sastra Menurut Teori Abrams
103
Maungkai Budaya
104
Karya Sastra Menurut Teori Abrams
105
Maungkai Budaya
106
107
Maungkai Budaya
110
Sastra dalam Pandangan Interdisipliner
111
Maungkai Budaya
113
Maungkai Budaya
Keterampilan Membaca
Keterampilan membaca yang diperoleh melalui kegiatan
membaca karya sastra akan lebih besar manfaatnya daripada melalui
kegiatan membaca non-karya sastra. Hal ini disebabkan oleh
kenyataan bahwa apa yang tertulis dalam karya sastra merupakan
bentuk, pilihan, dan koleksi yang khusus dari bahasa tertentu, dan
114
Manfaat Karya Sastra dalam Pengajaran Bahasa
Keterampilan Menyimak
Keterampilan menyimak dapat dibangun melalui kegiatan
menyimak suatu karya sastra, apakah berupa puisi, cerita fiksi (cerita
pendek, novel) yang dibacakan secara nyaring atau menyimak hasil
rekamannya.
Dalam kegiatan menyimak, seseorang (siswa) dapat memper-
oleh pengetahuan tentang bagaimana bahasa itu dilisankan. Dengan
perkataan lain, dia akan mendapat pengetahuan tentang pengucap-
an (pronunciation) sesuai dengan system bunyi (sound system) bahasa
yang dipelajari atau bahasa target.
Masalah pengucapan merupakan salah satu masalah dalam
belajar bahasa, khususnya bahasa asing (bahasa Inggris, misalnya).
Masalah pengucapan ini muncul dalam diri pembelajar karena: (1)
sejak masa kanak-kanak dia telah terbiasa memproduksi bunyi-bunyi
dalam bahasa pertamanya; (2) karena kebiasaannya itu, alat-alat
ucapnya sulit digerakkan untuk menghasilkan bunyi-bunyi bahasa
asing; dan (3) adanya perbedaan unsur dalam sistem bunyi antara
bahasa pertama dan bahasa asing.
Melalui kegiatan menyimak, si pembelajar dapat memperbaiki
pengucapan dalam bahasa asingnya melalui proses peniruan
115
Maungkai Budaya
Keterampilan Menulis
Dari kegiatan menyimak sebagaimana diuraikan di atas, kita bisa
mengembangkan keterampilan menulis, yaitu dengan cara meminta
siswa untuk menceritakan kembali atau memberikan ulasan terhadap
pembacaan puisi atau cerita tersebut secara tertulis (Elkins, 1976).
Bila didukung dengan kegiatan membaca karya sastra secara
intensif (intensive reading) dan secara ekstensif (extensive reading),
maka kegiatan menulis tersebut tidak hanya dimaksudkan untuk
sekedar menceritakan kembali atau memberikan ulasan sederhana
saja, namun dikembangkan lagi untuk menghasilkan tulisan-tulisan
yang apresiatif, interpretatif atau evaluatif. Tulisan-tulisan yang
apresiatif, interpretatif, atau evaluatif terhadap karya sastra harus
didukung pula oleh (1) kepekaan emosi atau perasaan terhadap
unsur-unsur artistik yang terdapat dalam karya sastra, (2) pemilikan
pengetahuan dan pengalaman yang berhubungan dengan masalah
kehidupan dan kemanusiaan, (3) pemahaman terhadap aspek
kebahasaan, dan (4) pemahaman terhadap unsur- unsur intrinsik
karya sastra (Elkins, l976 dan Aminuddin, l996). Pendek kata,
keterampilan menulis akan dapat dikembangkan oleh seseorang
dengan (1) membaca karya sastra baik secara intensif maupun
ekstensif, (2) membekali diri dengan pengetahuan dan pengalaman
tentang kehidupan dan kemanusiaan; pengetahuan kebahasaan dan
kesastraan (teori sastra), dan (3) memiliki kepekaan emosi atau
perasaan sehingga dia tidak hanya mampu menghayati dan
memahami keindahan, tetapi juga mampu memahami kendungan
makna dalam karya sastra yang umumnya bersifat konotatif.
Keterampilan Berbicara
Keterampilan berbicara termasuk keterampilam berbahasa yang
bersifat produktif-ekspresif. Ia mencakup komponen-komponen
bahasa seperti fonologi, strukstur, kosa kata dan menuntut kecepatan
dan kelancaraan. Ia juga banyak didukung oleh keterampilan
116
Manfaat Karya Sastra dalam Pengajaran Bahasa
117
Maungkai Budaya
118
Pendekatan Obyektif
Pendekatan obyektif adalah pendekatan yang mendasarkan
pada suatu karya sastra. Dengan pendekatan obyektif ini penelaah
melihat karya sastra sebagai produk manusia atau artifak. Karya
sastra, dalam hal ini, merupakan suatu karya yang otonom, yang
dipisahkan dari hal-hal di luar karya itu sendiri. Dengan demikian
telaah karya sastra dengan pendekatan obyektif beranjak dari aspek-
aspek atau unsur-unsur yang langsung membangun karya sastra.
Signifikansi dan nilai karya sastra dilihat dari unsur-unsur dan
keterhubungan antara unsur-unsur karya sastra. Ilutrasi di atas
diderivasikan dari gagasan Abrams dalam bukunya The Mirror and
The Lamp, yaitu: (the objective approach) will explain the work by con-
sidering it in isolation, as an autonomous whole, whose siginificance and
value are ditermined without any reference beyond itself (Abrams,
1953:7).
Telaah karya sastra dengan pendekatan obyektif sering dikenal
dengan telaah struktural, yang dimaksudkan untuk mendeskripsikan
119
Maungkai Budaya
Pendekatan Ekspresif
Pendekatan ekspresif adalah pendekatan yang mendasarkan
pada pencipta atau pengarang karya sastra. Telaah dengan
pendekatan ekspresif ini menitik beratkan, misalnya, pada the nov-
elist, his imagina-tion, insight, and spontaneity Lebih lanjut, Abrams
menjelaskan: This is based on the ex-pressive theory which considers a
work of art as essentially the internal made external, resulting from a
creative process operating under the impulse of feeling, and embodying
the combined product of the novelists perceptions, thoughts, and feel-
ings. The primary source and subject matter of a novel therefore are the
attributes and actions of the novelists mind (Abrams, 1956:22). (Telaah
ini didasarkan pada teori ekspresif yang memandang suatu karya
seni yang secara esensial sebagai dunia internal (pengarang) yang
terungkap sehingga menjadi dunia eksternal (berupa karya seni);
perwujudannya melalui proses kreatif, dengan titik tolak dorongan
perasaan pengarang; dan hasilnya adalah kombinasi antara persepsi,
pikiran dan perasaan pengarangnya. Sumber utama dan pokok
masalah suatu novel, misalnya, adalah sifat-sifat dan tindakan-
tindakan yang berasal dari pemikiran pengarangnya).
Di sisi lain Rohrberger dan Woods (1971:8) memandang
pendekatan ekspresif ini sebagai pendekatan biografis. Dalam kaitan
ini, mereka menjelaskan: The biographical approach refers to the ne-
cessity for an appreciation of the ideas and personality of the author to an
understanding of the literary object. On the basis of this approach, a work
of art is a reflection of a personality, that in the esthetic experience the
reader shares the authors consciousness, and that at least part of the
readers responsse is to the authors personality. Consequently, we at-
tempt to learn and to apply this knowledge in our attempt to understand
his writing(s). (Pendekatan biografis menyaran pada perlunya suatu
apresiasi terhadap gagasan-gagasan dan kepribadian pengarang
untuk memahami obyek literer. Atas dasar pendekatan ini, karya
seni dipandang sebagai refleksi kepribadian pengarang, yang atas
dasar pengalaman estetis pembaca dapat menangkap kesadaran
pengarangnya; dan yang setidak-tidaknya.sebagian respons pembaca
120
Sejumlah Pendekatan dalam Studi Sastra
Pendekatan Mimetik
Pendekatan mimetik adalah pendekatan yang mendasarkan
pada hubungan karya sastra dengan universe (semesta) atau
lingkungan sosial-budaya yang melatarbelakangi lahirnya karya
sastra itu. Perhatian penelaah adalah pada the rela-tionship between
the work of art and the universe that it pretends to produce (hubungan
antara karya seni dan realitas yang melatarbelakangi kemuncul-
annya). Dalam hubungan ini Lewis menjelaskan: This approach
views art as an imita-tion of aspects of the universe, of external and im-
mutable ideas, of eternal and unchanging patterns of sound, sight, move-
ment, or form (pendekatan ini memandang seni sebagai tiruan dari
aspek-aspek realitas, dari gagasan-gagasan eksternal dan abadi, dari
pola-pola bunyi, pandangan, gerakan, atau bentuk yang muncul
secara terus menerus dan tidak pernah berubah) (Lewis, 1976:46).
Serupa dengan Lewis, Rohrberger dan Woods memandang
pendekatan mimetik sebagai pendekatan historis-sosiologis. Katanya:
The sociological-historical approach refers to an approach that locates
the real work in reference to the civilization that produced it. Civilization
here can be defined as the attitudes and actions of a specific group of people
and point out that literature takes these attitudes and actions as its sub-
ject matter (pendekatan sosiologis-historis menyaran kepada
pendekatan yang menempatkan karya yang sebenarnya dalam
hubungannya dengan peradaban yang menghasilkannya. Peradaban
di sini dapat didefisikan sebagai sikap-sikap dan tindakan-tindakan
kelompok masyarakat tertentu dan memperlihatkan bahwa sastra
mewadahi sikap-sikap dan tindakan-tindakan mereka sebagai
persolan pokoknya) ((Rohrberger dan Woods, 1971:9).
Dalam mengimplementasikan pendekatan-pendekatan di atas,
penelaah pertama memahami suatu karya atas dasar teks tertulis; kedua
121
Maungkai Budaya
Pendekatan Interdisipliner
Pendekatan interdisipliner dalam studi sastra mengacu kepada
pendekatan yang melibatkan sejumlah disiplin sosial/ humaniora
122
Sejumlah Pendekatan dalam Studi Sastra
123
Maungkai Budaya
124
Aspek Moralitas Karya Sastra
tentu baik bagi pihak yang lain. Biasanya, pandangan baik dan
buruk itu dipengaruhi oleh pandangan hidup kelompok etnis, suku
atau bangsanya.
Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan
hidup pengarang yang bersangkutan, pandangannya tentang nilai-
nilai kebenaran, dan hal itulah yang ingin disampaikannya kepada
pembaca. Sebuah karya sastra ditulis oleh pengarang, antara lain,
untuk menawarkan model kehidupan yang diidealkannya. Karya
sastra mengandung penerapan moral dalam sikap dan tingkah laku
para tokoh sesuai dengan pandangan tentang moral. Melalui cerita,
sikap dan tingkah laku tokoh-tokoh itulah pembaca diharapkan
dapat mengambil hikmah dari pesan-pesan morean yang
disampaikan atau diamanatkan.
Jika kehidupan seperti tercermin dalam karya sastra dipandang
sebagai model kehidupan manusia, maka model kehidupan itu
dapat diadopsi dan dikembangkan dalam kehidupan sehari-hari dan
yang buruk atau tidak terpuji tentu harus ditinggalkan oleh pembaca
atau penikmat karya sastra. Jika nilai-nilai moral seperti tercermin
dalam karya sastra dipahami, dihayati, dan lalu diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari dalam kita bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara, tidak tertutup kemungkinan kita bisa mengembangkan
sikap mental yang positif, kuat, tangguh dan sejenisnya sehingga
kita mampu bersikap, berpikir, dan berperilaku positif yang tidak
hanya menguntungkan diri kita sendiri tetapi juga menguntungkan
pihak-pihak lainnya.
Kalau novel, bisa juga sinetron, misalnya, dianggap sebagai
model atau pola kehidupan manusia, betapapun khayalnya,
kita bisa melihat model-model atau pola-pola kehidupan yang baik-
buruk, santun-kasar, bermoral-amoral, menyegarkan-menyebalkan
atau sejenisnya (misalnya, dalam persahabatan, hubungan antar
anak-anak, hubungan anak dengan orang tua atau sebaliknya,
hubungan guru dengan murid atau sebaliknya, hubungan dosen
terhadap mahasiswa atau sebaliknya, hubungan pemimpin dengan
anak buahnya atau sebaliknya, dan sebagainya). Model-model atau
pola-pola kehidupan dalam kategori baik bisa diadopsi dan
dikembangkan dalam kita hidup bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara; sebaliknya, hal-hal yang tidak baik tentu harus kita
125
Maungkai Budaya
126
Aspek Moralitas Karya Sastra
menjadi manusia yang hina dina bagai sampah yang tiada guna,
sebagai akibat yang bersangkutan suka menghalangi atau merampas
hak-hak orang lain.
Novel Uncle Toms Cabin karya Harriet Beecher Stowe
mengisahkan perbudakan di Amerika Serikat. Ketika novel ini ditulis,
di negara itu telah terjadi silang pendapat tentang adanya
perbudakan. Kelompok yang pro dengan perbudakan adalah terdiri
dari orang-orang kulit putih yang umumnya berada di Amerika
belahan selatan, yang memiliki banyak budak atau yang
diuntungkan dengan adanya perbudakan itu; sedangkan kelompok
yang kontra adalah mereka yang berada di Amerika belahan utara
(didukung oleh kelompok kulit hitam). Kelompok yang pertama tetap
ingin mempertahankan perbudakan sedangkan kelompok yang
kedua ingin menghapuskan dengan dasar pemikiran masing-
masing. Lalu, muncullah novel Uncle Toms Cabin yang mengisahkan
betapa kejamnya para penjaga budak, para tuan budak atau pemilik
budak dan betapa menderitanya menderitanya para budak. Novel
ini dikatakan sebagai novel yang memiliki daya provokatif yang luar
biasa, karena tak lama kemudian terjadi perang saudara (civil war)
di Amerika.
Aspek moral yang dapat dipetik adalah agar setiap manusia
yang juga sebagaimana umat Tuhan dimanusiakan sebagaimana
manusia-manusia lain. Kelompok manusia yang satu hendaknya
tidak memperbudak manusia atau kelompok manusia yang lain.
Ini juga mengisyaratkan akan perlunya cinta sesama umat.
Dalam kaitan itu, pembaca dihadapkan pada sikap dan tingkah
laku tokoh-tokoh yang baik dan kurang terpuji. Terhadap sikap dan
perilaku tak terpuji itu bukan berarti bahwa pengarang
menyarankan kepada pembaca untuk bersikap dan berperilaku
demikian. Sikap dan perilaku tak terpuji itu hanyalah sebuah model,
yakni model yang harus dihindari atau ditolak oleh pembaca.
127
Maungkai Budaya
128
Seni
129
Maungkai Budaya
130
BUKAN HANYA BURUAN CIUM GUE
(Catatan Tambahan untuk Dwi Atmono)
131
Maungkai Budaya
132
Bukan Hanya Buruan Cium Gue
Tidak Self-Cencorship
Produser sinetron film atau pengelola televisi, misalnya,
memiliki hak unluk membuat program hiburan. Namun, masalah
pendidikan moral seyogyanya menjadi pertimbangan utama,
artinya, tidak semata-mata demi keuntungan ekonomis. Self-Cen-
sorship bisa dilakukan dengan cara, misalnya, mendesain dan
menayangkan iklan/program hiburan yang tidak berbau pornografi,
tidak bertentangan dengan nilai-nilai sosial, moral, dan agama,
sebelum hasil karya disensor oleh lembaga sen sor atau diprotes oleh
masyarakat luas.
Dengan perkataan lain, model pakaian, perilaku dan sejenisnya
yang tidak sesuai dengan nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur
bangsa seyogyanya tidak ditampilkam, karena hal itu akan memiliki
dampak tak baik bagi moralitas anak bangsa.
Tampaknya, self-censorship tidak dilakukan oleh sejumlah
produser (pengelola) acara TV atau produser film-sinetron. Buktinya,
antara lain: (1) pada awaltahun 1980-an, sejumlah film layar lebar
yang dibintangi oleh tiga sekawan (Dono, Kasino dan Indro) yang
banyak memamerkan daya tarik seksual diperuntukkan kepada
mereka yang berumur 17 tahun ke atas Jewat gedung bioskop; kini
ditayangkan secara berulang-ulang dan dapat ditonton lewat layar
kaca (TV) oleh masyarakat segala umur, (2) setelah goyang
ngebomya Inul diprotes di mana-mana, sejumlah Stasiun TV,
133
Maungkai Budaya
134
JOGET:
ANTARA SENI DAN MORAL
G oyang atau joget Inul yang ngebor, beberapa saat lalu bikin heboh
dan kemudian tenggelam, belakangan ini, bikin heboh lagi.
Sejumlah pihak memandangnya sebagai salah satu seni; sementara
pihak memandangnya sebagai sesuatu yang tidak baik, tidak patut
dan merusak moral.
Menimbulkan Kontrovesi
Seperti telah diketahui, performansi Inul dengan goyang
ngebornya (dan Ani Bahar dengan goyang patahnya) menimbulkan
banyak reaksi keras dari sejumlah kalangan. Bahkan di sejumlah
daerah banyak digelar protes dengan mengerahkan massa yang besar.
Tidak ketinggalan Chofifah Indar Parawansa, mantan Menteri
Pemberdayaan Perempuan, ketika diminta pendapatnya pada acara
Cek dan Ricek suatu jaringan TV, ikut memprotes juga. Reaksi dan
protes yang mungkin terkeras terlontar oleh Si Raja Dangdut, Rhoma
Irama. Reaksi keras dan protes itu didasarkan pada anggapan bahwa
goyangan ngebor ala Inul dan goyangan patah ala Anisa Bahar telah
memicu timbulnya tindak asusila pada penontonnya. Apa bener nich?
Reaksi demi reaksi dan protes demi protes pun ditanggapi oleh
sementara pihak yang pro dunia seni, antara lain seorang artis yang
cukup terkenal, Nurul Arifin, yang menyatakan bahwa seni itu seni
dan hendaknya tidak dikaitkan dunia di luar seni. Bahkan, Gus Dur,
sang mantan Presiden pun berseberangan dengan mantan anaknya
dan si Raja Dangdut. Namun, belakangan Gus Dur diberitakan
menyetujui keberatan Rhoma Irama. Di sisi lain, Inul yang dibela
oleh sejumlah pihak malah takluk di hadapan Rhoma Irama dan minta
135
Maungkai Budaya
137
Maungkai Budaya
dari Inul dan atau Anisa Bahar. Ia datang dari media cetak, elektronik
dan kehidupan keseharian. Adalah hak semua orang untuk
melakukan sesuatu yang indah, artistik, menarik dan sejenisnya.
Produsen atau pengelola televisi, misalnya, memiliki hak untuk
membuat iklan dan program hiburan. Namun, masalah pendidikan
moral seyogyanya menjadi pertimbangan utama, artinya, tidak
semata-mata demi keuntungan ekonomis. Self-Censorship bisa
dilakukan dengan cara, misalnya, mendesain dan menayangkan
iklan/program hiburan yang tidak berbau pornografi, tidak
bertentangan dengan nilai-nilai sosial, moral, dan agama. Dengan
perkataan lain, model pakaian, perilaku dan sejenisnya yang tidak
sesuai dengan nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur bangsa
seyogyanya tidak ditampilkam, karena hal itu akan memiliki dampak
tak baik bagi moralitas anak bangsa.
Solusi
Dalam kaitan ini, media massa terutama TV hendaknya
dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dalam kerangka membangun
moral anak bangsa. Media massa memiliki kebebasan. Kebebasan
bagi media massa adalah hak; penyampaian pesan-pesan moral
(moral teaching) adalah kewajibannya. Semua orang yang terlibat
dalam dunia media massa, hendaknya melakukan self-censorship
sebelum produk pers (media massa) disiarkan kepada khalayak.
Demikian juga, adalah hak para kaum hawa untuk memilih
cara dan model pakaian. Namun, perlu diketahui bahwa model
pakaian yang ketat dan bila dikenakan akan memperlihatkan
bangun tubuh aslinya, akan menimbulkan atau menyebabkan
memanasnya hasrat lelaki yang melihat. Bila terlalu sering melihat
tontonan yang menggairahkan semacam itu, mungkin saja,
seseorang akan tergoyah imannya. Bila hal ini terjadi, sementara
yang si empunya ego tidak memiliki ketahanan yang kuat, maka ia
menyalurkan gairah birahinya secara asusila. Untuk itu, dalam
kehidupan keseharian hendaknya kaum hawa hendaknya tidak
mempertontonkan sex appeal dengan cara berpakaian serba ketat.
Wallahu alam.
138
SISI LAIN SINETRON KITA:
ANTARA HIBURAN DAN
KEBERMANFAATAN
(Tanggapan atas Tulisan Nadzmi Akbar)
139
Maungkai Budaya
140
Sisi Lain Sinetron Kita: Antara Hiburan dan Kebermanfaatan
141
Maungkai Budaya
Sebuah Catatan
Sehabis nonton sinetron, terlepas apakah ceritanya yang sangat
fiktif, karakterisasinya terlalu dibuat-buat dan sangat jauh dunia
nyata, saya senantiasa membutiri pesan-pesan moral yang
dicobaapungkan oleh sinetron itu. Tanpa menyebut judul-judul
sinetron yang ditayangkan melalui media TV kita, saya tertarik
dengan karakterisasi terhadap sejumlah tokoh yang secara kasat
mata (dikatakan) tidak mencerminkan karakter manusia dalam
dunia nyata, antara lain: anak-anak, siswa/mahasiswa, orang tua,
ayah/ibu/anak tiri, guru, dosen, profesor (ilmuwan, intelektual),
dokter dan sebagainya.
Sekedar contoh, suatu sinetron yang mengetengahkan tokoh
profesor yang nota bene sebagai ilmuwan atau intelektual, mungkin
dikomentari sebagai sangat melecehkan eksistensi seorang profesor;
atau suatu sinetron yang menghadirkan sosok seorang guru,
mungkin dikomentari sebagai merendahkan martabat guru; dan
seterusnya.
Dalam kaitan ini saya mencobaapungkan sosok profesor dan
guru dalam sinetron kita. Memang seorang profesor adalah sosok
yang harus dihormati, dihargai karena derajat keilmuwannya yang
tinggi, oleh karena itu dia tidak boleh dilecehkan dengan cara atau
melalui media apapun. Namun, perlu diingat bahwa dalam
kehidupan nyata kita sering mendengar ketika ada tes ujian masuk
perguruaan tinggi ada sejumlah joki (pelakunya tentu kaum intelek,
setidak-tidaknya orang berilmu cukup tinggi); ketika mahasiswa
menyusun skripsi (disinyalir) dibantu oleh orang yang
berkemampuan menyusun karya ilmiah itu; ketika polisi menangkap
pelaku pemalsuan (pengisian ulang) kartu telepon yang
memanfaatkan keahliannya untuk melakukan kegiatan melanggar
hukum (dia ini masuk kategori orang berilmu). Mungkin juga dalam
segala lini kehidupan banyak orang yang nota bene adalah ilmuwan,
melakukan pembelokan dari yang semestinya benar menjadi salah
atau sebaliknya. Hal-hal itulah yang mungkin dijadikan dasar oleh
142
Sisi Lain Sinetron Kita: Antara Hiburan dan Kebermanfaatan
144
TELETUBIES:
POTRET KEBERSAMAAN DALAM
KEBERAGAMAN*
145
Maungkai Budaya
negeri lain. .sebuah keluarga, sang kakek orang Inggris, istrinya seorang
perumpuan Belanda, anak lelaki mereka kawin dengan seorang perempuan
Perancis, dan keempat anak laki-laki pasangan ini menikah dengan empat
anak gadis yang berasal dari empat negara. .. Di sini setiap orang dari
semua negara di dunia berbaur menjadi suku bangsa manusia yang baru.
Dua ratus tahun kemudian tempat asal dan susunan dari suku bangsa
manusia baru ini telah meluas melampaui batas-batas Eropa, tetapi
proses tercabut dari akar ini, perpindahan ke negeri baru, penyusuaian
diri, dan pembaharuan terus berjalan.
Walau demikian, sejarah menunjukkan bahwa dalam meniti
kehidupan berbangsa, bangsa Amerika itu tetap saja dalam
keberagaman. Amerika tidak dipandang sebagai melting pot (periuk
pelebur) melainkan sebagai salad bowl (wadah sayur-mayur). Sebagai
salad bowl, Amerika masih memperlihatkan warna-warni-nya bangsa
Amerika; di sana masih ada keberagaman. Untuk itu, tampaknya,
bangsa Amerika memandang perlu memberlakukan semboyannya
E Pluribus Unum (beraneka ragam tetapi tetap satu).
E Pluribus Unum bisa dipandang sebagai harapan bangsa
Amerika untuk menciptalan kebersamaan dalam keberagaman.
Namun, lagi-lagi sejarah menunjukkan bahwa kebersamaan itu sulit
diwujudkan. Dalam kaitan ini, Alexis de Toqueville dalam bukunya
Democracy in America (1835-1840) menjelaskan bahwa Amerika yang
terbangun atas tiga ras besar (putih, merah, dan hitam)
memperlihatkan ketidaksederajatan orang-orang Amerika antara
ras yang satu dengan ras-ras yang lain; ras putih memposisikan diri
sebagai kelompok superior; ras merah dan hitam di bawah mereka;
dan ras yang paling menderita adalah ras hitam. Tampaknya,
Amerika memerlukan waktu yang amat panjang untuk menciptakan
kebersamaan sesuai dengan semboyannya E Pluribus Unum. Karena,
seperti tercermin dalam Black Studies, bahwa orang-orang Amerika
kulit hitam hidup di bawah dominasi orang-orang Amerika kulit
putih. Penderitaan demi penderitaan dialami oleh orang-orang
Amerika kulit hitam. Setidak-tidaknya, hingga tahun 1960-an
Amerika banyak dihadapkan dengan masalah atau konflik rasial
antara kulit putih dan kulit hitam.
Seperti halnya masyarakat Amerika, masyarakat Indonesia pun
juga dikenal sebagai masyarakat yang mejemuk, beragam atau
146
Teletubies: Potret Kebersamaan dalam Keberagaman*
citakan oleh para pendiri negara, pendahulu kita dan tentu oleh kita
semua?
Kiranya kita, elit politik kita, pejabat negara kita semua perlu
menonton Film Teletubbies. Karya seni yang cukup digemari anak-
anak itu mengetengahkan keberagaman para pelaku-nya. Namun,
keberagaman itu tidak menghalangi mereka untuk menjalin
kebersamaan, keharmonisan, kerukunan, kebersatuan dan
sejenisnya. Kalau kebersamaan demi kebersamaan tercipta mulai
dari skala kecil, maka semoga- tidak terjadi saling cakar, saling
hujat, saling menjatuhkan, saling menghina dan sejenisnya.
Implikasinya bahwa jika kita sebagai rakyat, kita sadar akan posisi
kita sebagai rakyat; jika kita sebagai wakil rakyat, kita betul-betul
merakyat, memperjuangkan atau menyuarakan aspirasi rakyat, dan
berperilaku sebagai wakil rakyat; jika kita sebagai pejabat, kita betul-
betul menjadi pengayom rakyat secara keseluruhan tanpa
memandang latar belakang suku, ras, agama atau warna-warni baju
mereka. Wallahualam.
149
Maungkai Budaya
150
Televisi dalam Perspektif Social Responssibility Theory
152
Televisi dalam Perspektif Social Responssibility Theory
153
Maungkai Budaya
154
Pendidikan
155
Maungkai Budaya
156
SKRIPSI DAN PLAGIARISME
157
Maungkai Budaya
161
Maungkai Budaya
162
Guru Kusayang, Guru Kau Nistakan?
163
Maungkai Budaya
165
Maungkai Budaya
166
E-Learning Via Information Technology
167
Maungkai Budaya
Dalam arti, saya coba untuk committed terhadap status dan peran
saya sebagai dosen, menjaga martabat diri, kolegial, dan
instutusional; tidak telatan, tidak bolosan, dan sejenisnya. Kalaupun
saya beternak ayam dan itik, saya tidak koar-koar melalui koran.
Insya Allah, dengan begitu, hasil kerja yang kita makan dalam
keseharian, beberkah. Dari awal mendosen nama ini diupayakan
baik; pada masa purnabakti diupayakan baik; serta pasca purnabakti
diupayakan meninggalkan kesan yang baik pula. Singkat kata,
keadaan yang husnul khatimah-lah yang musti kita cita-citakan.
***
Saya memang suka baca cerpen atau novel baik yang populer
maupun serius, baik yang berbahasa daerah (Banjar dan Jawa), In-
donesia maupun Inggris. Bagi saya, cerpenis atau novelis adalah
orang yang mampu menciptakan manusia dan pola kehidupan-
nya dalam dunia fiktif. (Tentu, hanya Tuhanlah yang mampu dan
berhak menciptakan pola kehidupan manusia yang nyata). Cerpenis
atau novelis mampu mempolakan kehidupan manusia dalam dua
kategori: manusia yang baik tabiatnya dan yang buruk tabiatnya,
otoriter dan demokratis, kaya dan miskin, baik rupa dan buruk rupa,
dan sejenisnya.
Kalau novel, bisa juga sinetron, misalnya, dianggap sebagai
model atau pola kehidupan manusia, betapapun khayalnya, kita
bisa melihat model-model atau pola-pola kehidupan yang baik-buruk,
santun-kasar, bermoral-amoral, menyegarkan-menyebalkan atau
sejenisnya (misalnya, dalam persahabatan, hubungan antar anak-
anak, hubungan anak dengan orang tua atau sebaliknya, hubungan
guru dengan murid atau sebaliknya, hubungan dosen terhadap
mahasiswa atau sebaliknya, hubungan pemimpin dengan anak
buahnya atau sebaliknya, dan sebagainya). Model-model atau pola-
pola kehidupan dalam kategori baik bisa diadopsi dan dikembangkan
dalam kita hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara;
sebaliknya, hal-hal yang tidak baik tentu harus kita tinggalkan.
Sebagai model kehidupan, novel hampir selalu menawarkan
model/pola kehidupan yang baik dikonfrontasikan dengan yang
jelek, jahat. Walaupun, pada awalnya tokoh yang baik banyak
menghadapi tantangan, masalah, dan sejenisnya dari tokoh yang
jahat; pada akhirnya yang baik menang, berjaya, dan berbahagia,
168
E-Learning Via Information Technology
170
171
Maungkai Budaya
Ujian Ulang?
Menurut informasi, para siswa yang gagal UNAS itu akan diberi
kesempatan untuk ujian ulang pada bulan Agustus 2005. Dari sudut
pandang kemanusiaan, pemberian kesempatan ujian ulang ini,
menurut saya, bagus. Sebab, secara psikologis (yang positif) ia tidak
terlalu lama mendera mental para siswa yang gagal itu. Namun,
secara psikologis pula (yang agak negatif dari aspek pembelajaran),
retest semacam itu tidak akan memberikan shock therapy bagi diri
mereka dan adik-adik kelas mereka di masa mendatang. Sebab,
seperti tahun-tahun yang lalu, dengan gaya belajar mereka yang
santai, toh mereka akan lulus bahkan dengan nilai yang lebih tinggi
dari nilai teman-temannya lulus terdahalu. Bila gaya ini yang
diadopsi oleh adik-adik kelas mereka, maka hal serupa akan terulang
pada tahun-tahun mendatang. Tidak lulus UNAS, tenang-tenang
saja. Toh mereka akan lulus bila diuji ulang.
Untuk dapat menjadi shock theraphy, terhadap para siswa yang
gagal UNAS dan para adik kelas mereka, seorang teman saya lebih
172
Siswa Gagal Ujian Nasional (Unas) Salah Siapa?
173
Maungkai Budaya
174
175
Maungkai Budaya
176
Program Besar FKIP
177
Maungkai Budaya
Tak salah kiranya bila tim yang notabene mewakili semua itu diberi
apresiasi khusus. Bila tidak, tidak fair namanya. Sebab, jelas kerja
mereka menjadi ganda: sebagai individu dan sebagai anggota tim
kerja. Sebagai pemain ganda, mereka hendaknya tidak dipandang
dengan sebelah mata. Bagaimana menurut Anda?
178
Tak nyambung?
Kebetulan saya dikirim oleh lembaga tempat saya bekerja untuk
mengikuti sosialisasi Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Karena
ketidaktahuan saya tentang HKI itu, saya hooh saja, ketika lembaga
meminta kesediaan saya. Tentu dengan harapan, walau serba
sedikit, saya akan menjadi tahu tentang HKI. Materi demi materi
saya ikuti dengan seksama hingga acara itu selesai. Jujur saja,
lembaga kurang tepat dalam mengirim orang. Sebab, prior knowl-
edge saya tak banyak terpaut dengan materi yang disajikan. Soal
teknik (sekalipun yang paling sederhana), jangankan bikin, paham
saja enggak. Soal elektronik, saya hanya mampu menyambung kabel.
179
Maungkai Budaya
180
Kekayaan yang Terlupakan, Adakah?
dalam memori mereka, bisa saja lenyap. Bila tak ada makalah,
pointer-pointer itu saja satu-satunya bahan untuk memunculkan
pemahaman tentang materi tertentu. Ini menyusahkan.
Penyampaian materi tanpa makalah bisa mengindikasikan
bahwa sang penyaji koler menyusun makalah (dengan sejumlah
alasan) dan melestarikan tradisi lisan. Bila dikatakan bahwa dia tak
punya kemampuan menulis, tak mungkinlah. Dia tentu pakar.
Sebagai seorang dengan label pakar, selain hebat dalam bicara, tentu
hebat dalam dunia tulis menulis, termasuk menulis makalah yang
kaidahnya serba scientific. Syukur-syukur, kalau penyaji yang berasal
dari pengelola Sentra Kekayaan Inteletual menyertakan contoh pro-
posal pengajuan Hak Kekayaan Intelektual, baik Hak Cipta maupun
Hak Paten. Dalam kaitan ini, saya ingat seorang penulis artikel dalam
koran di kota ini, yang menyatakan bahwa banyak di antara kita
bisu bahasa tulis dan hanya mengandalkan bapandir. Oleh karena
itu, wajar saja bila banyak temuan atau peristiwa penting tak
terdokumentasikan. Tautannya dengan Kekayaan Intelektual? Lha,
karena tak terbiasa mendokumentasikan, justru, orang luar negeri
meneliti produk yang telah sekian lama dihasilkan atau meneliti
hal-hal lain di bumi pertiwa ini, lalu mendokumentasikan dan
mengusulkan menjadi hak patennya. Tak perlu disesali. It is useless.
Kebakaran Jenggot?
Konon, banyak temuan bangsa kita yang menjadi kekayaan
intelektual terlupakan untuk dipatenkan; justru diusulpatenkan oleh
orang-orang manca negara. Sekedar contoh, hak kekayaan
intelektual (paten) untuk tempe, tahu, batik, furnitur, dan akar pasak
bumi dimiliki oleh mereka. Ketika salah seorang penyaji bersama-
sama peserta penataran- melakukan searching hak paten tempe (tereja
tempeh) di internet, ditemukan lebih dari 500 hak paten yang terkait
tempe. Apakah satu atau beberapa hak paten tempe itu dimiliki oleh
orang-(orang) kita? Tak tahulah. Yang saya tangkap, tempe produk
makanan yang teknologinya telah dikerjakan oleh orang Jawa secara
turun temurun itu- telah dipatenkan oleh orang Jepang. Sebagai
konsekuensinya, kita tak bisa menjual produk itu ke luar negeri
sebelum membayar royalty kepada pemilik hak patennya.
181
Maungkai Budaya
182
SEKOLAH
DALAM KONDISI DILEMATIS?
183
Maungkai Budaya
184
Sekolah dalam Kondisi Dilematis
Besaran sumbangan sukarela ini tidak sama antara orang yang satu
dengan lainnya. Tidak dipukul rata. Orang tua/wali siswa
diharapkan memberikan subsidi silang kepada orang tua/wali siswa
kurang mampu. Agak rumit memang, namun hal itu dapat
dilakukan.
Ini berarti penyelenggaraan pendidikan di sana tak mengalami
masalah dalam pembiayaan, sebab pemerintah setempat menyokong
dana kepada sekolah. Sokongan dana ini pada gilirannya akan
meringankan biaya pendidikan yang harus ditanggung oleh
masyarakat yang secara ekonomi kurang beruntung. Pembiayaan
penyelenggaraan tetap saja seperti biasa, bahkan bisa lebih tinggi
dari tahun-tahun sebelumnya, namun pihak sekolah disokong dana
yang memadai. Pak walikotanya memenuhi janji untuk meringankan
beban masyarakat dalam pendidikan. Namun demikian,
sebagaimana dituturkan oleh Wakasek itu, pendidikan gratis-tis itu
hal yang tak mungkin. Semua pihak, khususnya orang tua siswa,
harus menanggung sebagian dari biaya pendidikan. Mana ada yang
gratis sekarang ini.
Di kota ini? Kayaknya, kebijakan seperti itu koq belum ter-
dengar. Yang terdengar selama ini, tak boleh ada pungutan dalam
penerimaan siswa baru (PSB); setelah PSB selesai, tak boleh ada
pungutan dari orang tua/siswa dalam bentuk apapun sebelum ada
musyawarah antara sekolah, komite sekolah dan wali siswa. Banyak
pengelola pendidikan di sekolah berada di bawah bayang-bayang
ketakutan. Berani melakukan pungutan, harus siap terkena semprit.
Sampai-sampai, menyediakan tetek bengek atribut sekolah, seragam
dan lain-lain perlu dilengkapi dengan surat pernyataan yang
berbunyi: Saya memesan/membeli barang tersebut atas kemauan
sendiri, tanpa ada paksaan dari pihak manapun yang ditanda-
tangani oleh siswa dan walinya. Ini refleksi dari ketakutan yang
luar biasa! Saya kira semua kita tahu, atribut dan seragam sekolah
(khusus baju batik, topi, kaos kaki, kerudung yang tak ada di
pasaran) dari dulu disediakan oleh sekolah. Sebentar lagi, heboh
soal pengadaan buku mungkin terjadi lagi. Kita tunggu reaksi apa
yang bakal muncul?
Tidak baik memang, membanding-membandingkan dengan
pihak/kota lain. Namun, perlu juga kita memperhatikan kiprah pihak
185
Maungkai Budaya
lain dan bila beberapa hal di antaranya patut diadoptasi, kenapa tidak?
Kita seringkali mendengar istilah studi banding. Sejumlah anggota
dewan, pengelola sekolah, atau dosen/mahasiswa melakukan studi
banding ke wadah orang. Apa gunanya studi banding? Ya itu tadi,
kalau kita dapati hal-hal bagus di wadah orang, kita manfaatkan untuk
membangun di wadah kita. Kiranya, perlu juga mengintip
penyelenggaraan pendidikan di kota dari provinsi tetangga itu.
Pungutan dilarang
Pelarangan terhadap sesuatu pasti didasarkan pada perilaku
menyimpang yang terjadi selama ini. Untuk mengeliminir (setidak-
tidaknyanya, meminimalisir) perlu dilakukan pelarangan. Ini
kebijakan yang perlu dihormati. Karena, sekecil apapun, pungutan,
misalnya, tetap saja melanggar ketentuan. Bila pungutan uang
pengembangan dan iuran komite harus didasarkan pada
musyawarah, hendaknya sekolah tidak coba-coba memungut
sebelum ada kesepakatan dalam musyawarah. Kegiatan
musyawarah untuk menentukan besaran uang sumbangan,
hendaknya didasarkan pada rencana kegiatan/pengeluaran/
pembiayaan yang realistis dan bermuara pada peningkatan mutu
pembelajaran.
Insentif boleh saja tinggi. Namun, insentif tinggi harus dibarengi
dengan tingkat pelayanan yang sepadan. Rencana anggaran untuk
pengadaan/peningkatan fasilitas boleh saja besar. Namun,
anggaran yang besar itu harus direalisasikan sesuai dengan rencana
anggaran yang telah ditetapkan. Dengan jalan itu dan hanya dengan
jalan itu, anggaran pendapatan dan belanja sekolah akan
mengantarkan pembelajaran bermutu dan pada gilirannya anak
didik bisa memperoleh layanan pendidikan yang memuaskan. Proses
bagus dan hasil maksimal. Konsekuensi logisnya, damai di sekolah
dan damai di masyarakat; damai guru dan damai siswa. Pendek
kata, tiada kecewa di sana dan tiada gerutu di sini. Di sana-sini,
yang ada adalah kepuasaan semua pihak. Alangkah indahnya bila
sebuah sekolah mampu menciptalan kondisi itu.
188
DUKUNGAN DANA,
APBS DAN STUDI BANDING
(Tanggapan atas Tulisan Ahmad Rizky Mardhatillah Umar)
189
Maungkai Budaya
Tentang APBS
Idealnya, APBS disusun melalui prosedur yang cukup panjang.
Pertama, sekolah membentuk tim penyusun Rancangan RAPBS. Tim
ini mencakup beberapa bidang, antara lain: umum, pengajaran,
sarana dan prasarana, kesiswaan, kehumasan, perpustakaan. Kedua,
masing-masing bidang merencanakan program berikut dengan biaya
yang diperlukan. Ketiga, hasil kerja dari masing-masing bidang
dikompilasi menjadi Rancangan RAPBS. Keempat, RAPBS ini
kemudian ditelaah oleh Pengurus Komite Sekolah. Kelima,
Rancangan RAPBS hasil revisi itu lalu dijadikan RAPBS, yang
kemudian diserahkan ke Dinas Pendidikan Kota untuk ditelaah lagi.
Kemudian, RAPBS hasil telaah Dinas Pendidikan Kota itu dibawa
ke musyawarah bersama sekolah, komite sekolah dan wali murid.
Terakhir, melalui kesepakatan bersama, RAPBS dijadikan APBS yang
disahkan oleh Dinas Pendidikan Kota. Mekenisme ini perlu proses
190
Dukungan Dana, APBS dan Studi Banding
192
193
Maungkai Budaya
194
Mengapa Ada Pelarangan?
195
Maungkai Budaya
196
Mengapa Ada Pelarangan?
197
Maungkai Budaya
Enam Doktor?
Dalam diskusi terungkap, Prodi Pendidikan Bahasa Inggris
Unpar, Palangka Raya memili 28 dosen. Enam di antaranya, bergelar
doktor (S-3). Tak lama lagi, ujar Natalina Asi, 2 dosennya akan
menyelesaikan pendidikan doktor. Bila dalam waktu dekat, kedua
198
Universitas Palangka Raya, Selangkah Lebih Maju?
Di FKIP Unlam?
Berkait dengan ini, saya teringat, ada sejumlah kawan di FKIP
yang sedang studi lanjut ke S-2 dan S-3. Beberapa tahun lalu, mereka
mengeluh, salah satunya, kepada saya. Pasalnya? Setelah enam
bulan mereka sekolah, tunjungan fungsional dipotong atau tidak
dibayarkan. Memang, kata saya, menurut aturan yang ada,
pemotongan itu benar adanya dan nanti diganti dengan tunjungan
fungsional. Salah satu dari mereka berkilah, aturan ya aturan; kalau
menyangkut urusan hidup, kan enggak bisa ditunda. Waduh, kalau
begitu saya tak bisa ngomong.
199
Maungkai Budaya
200
Universitas Palangka Raya, Selangkah Lebih Maju?
201
Maungkai Budaya
202
Politik
203
Maungkai Budaya
204
DOMINASI
207
Maungkai Budaya
Dominasi di Amerika
Dalam suatu negara di mana masyarakatnya heterogen atau
beragam apakah dalam hal etnis, ras, agama, kebudayaan atau
dalam hal-hal lainnya, mau tidak tidak mau, pasti menghadapi
sejumlah persoalan akibat dari keberagaman itu. Amerika Serikat,
suatu negara besar, misalnya, yang berlatar belakang keberagaman
ras (ada tiga ras besar di sana: putih, merah, dan hitam), etnis, agama
(aliran agama), dan kebudayaan secara historis terlihat tersibukkan
oleh persoalan akibat dari keberagam itu. Warga negara ras kulit
putih memegang dominasi di sana.
Dominasi bisa berimplikasi negatif bila pihak yang dominan
melakukan penindasan, penekanan, perampasan hak atau
sejenisnya terhadap pihak yang lemah atau minor. Banyak contoh
dominasi semacam ini muncul ke permukaan. Secara historis,
misalnya, sebagian besar orang-orang Amerika kulit hitam adalah
bekas budak. Ketika mereka menjadi orang-orang bebas (freedmen),
mereka dipandang sebagai bermartabat rendah (inferior) dan tidak
209
Maungkai Budaya
211
Maungkai Budaya
Untuk direnungkan
Dengan demikian, alangkah indahnya, alangkah bijaksananya
kalau kita berpikir, berbicara dan bertindak dalam hidup
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara bukan atas dasar suara
mayoritas yang diyakini terdapat celah-celah ketidakbenaran,
ketidakadilan, inkonstitusional dan sejenisnya dan diyakini
dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu demi kepentingan pribadi,
kelompok, atau sejenisnya yang sifatnya sesaat, tetapi atas dasar
kebenaran, keadilan dan keterpihakan pada rakyat banyak, yang
bisa diterima oleh semua pihak dan diradhai oleh Tuhan Yang Maha
Kuasa serta dalam kerangka untuk membangun bangsa dan negara.
Bila kita berada dalam lingkaran mayoritas dan tahu
keangkaramurkaan dan ketidakadilan ada di dalamnya, hendaknya
kita amalkan ajaran: Katakan yang benar itu benar walau anda
merasa pahit ketika mengatakannya. Mari kita tegakkan kebenaran
dan keadilan pada segala lini kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara. Walaupun dalam kondisi bangsa yang majemuk
(pluralistik), semangat Bhineka Tuggal Ika kita jangan sampai pudar.
Wallahu alam
212
213
Maungkai Budaya
Sebab, mengikuti Pemilu itu hak. Tentu, akan dipandang aneh bila
orang yang tidak menggunakan haknya, lalu diberi sanksi. Memang
tidak mudah untuk mengembalikan kepercayaan semua lapisan
masyarakat terhadap pelaksanaan Pemilu kita.
***
Sebagai penutup tulisan ini, saya kira ada tiga hal yang patut
kita renungkan. Pertama, sebagai warga negara Indonesia yang baik,
kita hendaknya berperan serta dalam pem-bangunan, termasuk
pembangunan di bidang politik, dengan cara menggunakan hak pilih
secara benar, mensukseskan, dan menerima segala hasil Pemilu.
Kedua, bila kita sebagai penyelenggara Pemilu, hendaknya kita
hendaknya bekerja secara profesional (tidak emosional), terbuka (bagi
krtitikan), jujur dan transparan. Bagaimana menurut Anda?
216
217
Maungkai Budaya
219
Maungkai Budaya
220
221
Maungkai Budaya
224
225
Maungkai Budaya
228
229
Maungkai Budaya
230
Pemilihan Umum 2004 dan Sejumlah Aspeknya
caleg dengan nomor urut satu adalah caleg beruntung, dan (3) caleg
pendonor; dia mendapatkan suara namun jumlah suaranya tidak
memenuhi quota satu kursi (walaupun hanya kurang satu suara)
dan mau tidak mau atau suka atau tidak suka dia harus
mendonorkan suara yang diperolehnya untuk caleg lain yang
berada pada nomor urut di atasnya.
Calon pemilih dimungkinkan memiliki sejumlah karakter pada
Pemilu 2004. Pertama, tetap ada calon pemilih yang hanya akan
memilih tanda gambar partai saja. Hal ini didasarkan pada
fanatisme mereka yang telah tertanam kuat mulai Pemilu-Pemilu
sebelumnya. Oleh karena itu, mereka mungkin saja tidak
menghiraukan siapa calon legislatif yang mereka pilih. Bagi mereka,
hal yang penting adalah bahwa suara mereka sah dan tersalur pada
partai idola mereka.
Kedua, ada calon pemilih yang memilih tanda gambar partai
berikut nama calon legislatifnya. Hal ini didasarkan pada fanatisme
terhadap partai dan simpatisme terhadap calon tertentu. Sebagai
konsekuensinya, bila pemilih dengan karakter semacam ini banyak
yang memberikan suaranya kepada salah satu calon legislatif dari
partai tertentu (kendati dia berada pada nomor bawah), maka
mereka akan mengantarkan dia dan calon legislatif nomor urut 1
(satu) untuk menjadi anggota legislatif jika jumlah suara mereka
melebihi quota yang ditentukan. Namun, bila jumlah suara mereka
tidak memenuhi quota yang ditentukan (katakan, kurang 1 (satu)
suara) berarti mereka harus rela menyerahkan suara mereka
kepada calon legislatif yang sebenarnya tidak mereka pilih. Bila
penyerahan suara ini terjadi (dan mungkin saja terjadi), maka
bersama-sama calon yang dipilihnya, pemilih dengan karakter ini
akan kecewa. Terhadap hal ini muncul pertanyaan: Demokratiskah
ketentuan semacam ini?
Ketiga, ada calon pemilih yang mempunyai simpatisme kepada
salah calon legislatif tetapi tidak menyukai partai yang menaunginya.
Bila hal ini terjadi, suaranya akan tidak sah atau batal. Calon dengan
karakter ini mungkin saja mencoblos tanda gambar partai karena
keterpaksaan, agar suaranya sah. Saya yakin, calon pemilih seperti
banyak jumlahnya.
231
Maungkai Budaya
232
233
Maungkai Budaya
234
Pengawasan Pemilihan Umum
235
Maungkai Budaya
236
237
Maungkai Budaya
Swadaya Masyarakat
Berkait dengan soal fasilitas jalan di komplek manapun yang
perlu penanganan/pembenahan, namun belum diserahkan oleh
pengembang ke Pemerintah Kabupaten, tentu Pak Ketua RW
hendaknya mempelopori pengurusan dan penyerahan fasilitas jalan
itu. Kalau tidak, Pak Lurah dan Pak Camat yang ikut hadir dalam
acara safari itu, tentu punya kewajiban membantu warganya agar
fasilitas jalan di komplek itu bisa diserahkan kepada Pemerintah
Kabupaten. Atau, kalau tidak, tim dari Pemerintah Kabupaten
mengambil langkah solutif yang jitu. Sebab, kehadiran Bupati dan
rombongan, tentu selain menggali aspirasi, juga akan membantu
memecahkan persoalan yang dihadapi masyarakat, bukan?
Caranya? Tak tahulah saya!
Sekadar diketahui, Pengembang Komplek Griya Permata Handil
Bakti, telah lama bubar. Para personilnya bahamburan ke mana-
239
Maungkai Budaya
Pernah diaspal
Konon, tahun 1999, era Bupati Bardiansyah, fasilitas jalan di
Komplek Griya Permata itu pernah diaspal. Siapa pengusulnya, saya
tak tahu. Kala itu saya berada di luar daerah untuk beberapa tahun.
Waktu itu tidak ada masalah dengan status fasilitas jalan itu, apakah
sudah diserahkan ke Pemerintah Kabupaten atau belum.
Kenyataanya, bisa diaspal. Bekas aspalnya, masih ada.
Kini, ketika pembenahan/pengaspalan diusulkan lewat dialog,
jawabannya bahwa fasilitas jalan itu belum diserahkan ke Pemerintah
Kabupaten Batola sehingga pembenahan/pengaspalan fasilitas jalan
ini tak bisa dilakukan. Namun, tampak juga keanehan. Dalam status
fasilitas jalan yang tak jelas itu, terlihat adanya pengaspalan pada
240
Plus-Minus Penggalian Aspirasi Masyarakat melalui Safari Jumat
sejumlah ruas jalan tertentu. Pada suatu ruas jalan, pengaspalan itu
tidak dimulai dari pintu gerbang. Dari pintu gerbang hingga lebih
kurang 500 meter dibiarkan hancur dan berlobang di sana sini. Baru-
baru ini, malahan dilakukan pengaspalan pada ruas jalan di tengah-
tengah komplek. Ada apa di balik ini semua?
241
Maungkai Budaya
242
Salah Penempatan?
Semula, saya menduka bahwa sebelum pembangunan pasar
itu, tidak dilakukan studi kelayakan (feasibility studi). Karena tidak
dilakukan studi kelayakan itu, maka pasar itu ditempatkan pasa
lokasi yang kurang tepat. Dalam suatu pandiran di pangkalan ojek
dalam Komplek Griya Permata Handil Bakti, kawan saya
membantah. Walaupun dia kurang tahu pasti, apakah studi
kelayakan itu dilakukan oleh pihak berwenang atau tidak, dia
menyatakan bahwa penempatan pasar induk itu sudah tepat. Dia
berasumsi, pasar induk yang ditempatkan di dekat jembatan kayu
(orang menyebut, jembatan lama) sebagai penghubung warga Kota
Banjarmasin dan lokasi pasar itu, diharapkan tidak hanya dikunjungi
oleh warga Batola tetapi juga warga Kota Banjarmasin.
Dalam perkembangan berikutnya, jembatan tersebut rusak.
Idealnya, jembatan yang rusak itu tidak dihancurkan sekalian,
namun justru ia diperbaiki. Bukankah memperbaiki jembatan itu
lebih mudah dan lebih ringan biayanya ketimbang membangunnya
kembali? Atas dasar penghancuran jembatan itu, saya masih merasa
yakin kalau studi kelayakan itu tidak dilakukan. Bila studi kelayakan
itu dilakukan, khususnya, terhadap warga Kota Banjarmasin,
244
Pasar Induk Selidah Handil Bakti Besar Tapi Sepi, Mengapa?
Solusi
Ketika saya menyodorkan berita dengan judul Beratnya Menata
Pasar Handil Bakti (Radar Banjarmasin, 18 Agustus 2005, halaman
14), kepada kawan saya, dia tak tertarik untuk membacanya. Dia
meminta saya untuk menyebutkan inti berita tersebut. Kata saya,
Pasar Induk Selidah Handil Bakti itu sepi pengunjung disebabkan
oleh tiga masalah, yakni: pedagang enggan berjualan, jembatan
penghubung lokasi pasar dan wilayah utara Kota Banjarmasin, dan
jalan dari Komplek Griya Permata menuju pasar induk. Dalam
diskusi ringan itu, kami menggagas solusi terhadap masalah-masalah
tersebut.
Pertama, kalau Bupati Barito Kuala mengatakan bahwa
pihaknya akan membina pedagang, kami punya pandangan lain.
245
Maungkai Budaya
246
Pasar Induk Selidah Handil Bakti Besar Tapi Sepi, Mengapa?
247
Maungkai Budaya
248
Memahami Karakter Amerika
249
Maungkai Budaya
251
Maungkai Budaya
S ebuah jalan yang sangat panjang dan sulit harus ditempuh oleh
seorang dosen untuk bisa menjadi rektor. Tak semua dosen
berkesempatan. Dia harus telah mengabdikan dirinya setidak-
tidaknnya selama 20 tahun; dia harus lektor kepala dengan golongan
IV c. Yang bermasa kerja 20 tahun/ lector kepala IVc, banyak sekali
di Unlam. Namun tak banyak yang mampu melintasi pagar
berikutnya, yakni: pernah menjabat serendah-rendahnya Pembantu
Dekan atau Ketua Lembaga Universitas. Menggapai jabatan rektor
amatlah susah, banyak pagar yang menghadang.
Pada hari Sabtu, 04 Juni 2005, warga Universitas Lambung
Mangkurat telah berpesta demokrasi. Mereka ikut serta dalam salah
satu proses penjaringan bakal calon rektor. Ada sebelas bakal calon
rektor yang bersaing. Melalui proses penjaringan yang melibatkan
para dosen dan sejumlah karyawan dan mahasiswa. Untuk
mendapatkan enam peraih suara terbesar.
Menurut penghitungan sementara, enam bakal calon rektor peraih
suara terbesar adalah (1) H.M. Rasmadi (25,46 %), (2) H. Rustam Effendi
(19,09 %), (3) Adreas Mashuri (16,37 %), (4) Athailah Mursyid (13,42 %),
(5) Moehansyah (8,72 %), dan (6) Zain Hernady Arifin (5,59 %) (Banjarmasin
Post, 5 Juni 2005, hal.1). Oleh senat Unlam, dengan mekanisme yang telah
ditetapkan, mereka dipilih untuk menempati 3 besar dan sekaligus
ditentukan peringkatnya. Kemudian, ketiganya dikirim ke Presiden melalui
Mendiknas, guna memperoleh keputusan penetapan salah satu dari
mereka menjadi rektor Unlam Periode 2005-2010.
252
Jalan Meraih Kursi Rektor Unlam 2005-2010
Skenario memihak?
Dalam suatu acara pemilihan, termasuk pemilihan rektor, tentu
ada: (1) penyelenggara, (2) aturan main, (3) pemilih, dan (4) peserta/
yang dipilih. Mereka semua bermain tentunya. Saya coba mengulas
kata bermain. Ini kata punya konotasi yang bagus bila digabung
dengan kata cantik (bermain cantik). Bermain cantik itu enak dilihat
dan hasilnya pasti memuaskan semua pihak: (dalam kompetisi) pihak
yang kalah dan yang menang. Namun, bila kata bermain digabung
dengan sabun (bermain sabun), punya konotasi negatif. Di
dalamnya, ada unsur akal-akalan, curang, menghalalkan segala cara,
atau sejenisnya.
Dalam dunia persepakbolaan, saya ingat, pada tahun 1980-
an, konon, ada sebuah skenario untuk menghalangi PSIS Semarang
untuk masuk partai final Divisi Utama Sepak Bola Indonesia. Konon,
partai final dirancang untuk Persija Jakarta dan Persebaya
Surabaya. Lalu, pada putaran semi final yang mempertemukan
Persija-Persebaya dirancang sedemikian rupa agar salah satu
kesebelasan itu tidak kalah. Bila salah satu kesebelasan itu kalah,
maka pemenangnya akan bertemu dengan PSIS Semarang. Ternyata,
mereka main sabun dengan hasil 0-0. Permainan yang ditampilkan
hanya ala kadarnya dan hanya untuk memenuhi wajib tanding.
Kondisi ini tentu saja mengecewakan tidak hanya pihak PSIS
Semarang tetapi semua pihak, semua pencinta sepak bola yang
menghendaki fair play. Pemenang kompetisi itu bukanlah the real
winner (pemenang sejati) melainkan the invented winner (pemenang
hasil rekadaya/rekayasa)
Konser Eliminasi model AFI 2005 juga diduga ada skenario
keberpihakan. Walaupun, Tri Utami alias Mbak iik berulang kali
mengatakan: Pemirsa adalah the real executor, bukan saya. Namun,
kita tidak serta merta percaya terhadap pernyataan sikap Tri Utami,
bukan? Karena, ia bisa saja bermain menurut takarannyanya
sendiri dan/atau selera pihak-pihak tertentu; dan dukungan pemirsa
via SMS dan/atau premium call bisa saja dimainkan. Siapa tahu
bila cara-cara ini dilakukan? Tak seorangpun pemirsa tahu.
Kalaupun tahu, tak akan ada protes dari mereka. Kalaupun ada
protes, protes itu akan dianggap sebagai angin yang numpang
lewat.
253
Maungkai Budaya
Proses Alami
Dalam pilih-memilih, yang seharusnya tidak dipilih tapi
akhirnya terpilih, itu mungkin saja terjadi. Pilih-memilih itu tak akan
menjadi beban bagi pelakunya, bila prosesnya berjalan alami, tanpa
pesanan, tanpa pemberian janji-janji terteentu, tanpa tekanan, tanpa
penggiringan, atau tanpa intimidasi. Artinya, memilih tanpa
menanggung beban berkepanjangan adalah memilih sesuai hati
nurani, didasarkan kondisi obyektif orang yang akan dipilih, dan
keyakinan bahwa calon yang dipilih, Isnya Allah, akan menjadi ini-
tiator, creator, actor perubahan menuju kemajuan Unlam. Dan, pilih-
memilih itu akan menjadi beban, bila hati nurani telah terkena
interferensi pihak-pihak yang punya vested interest dalam proses
pilih-memilih itu.
Mohon maaf, mohon ampun, sebagai manusia saya punya
banyak khilaf dan kekurangan. Namun, izinkanlah saya
menyampaikan moral message kepada para pemegang hak pilih calon
rektor: Pilihlah calon rektor Unlam yang dalam visi-misi-program
dan proses pencalonannya tersurat atau tersirat karakteristik berikut:
(1) Kreatif-inovatif, dalam arti bahwa ia harus cekatan dan penuh
254
Jalan Meraih Kursi Rektor Unlam 2005-2010
256
257
Maungkai Budaya
258
Verifikasi Bukan Character Assassination
259
Maungkai Budaya
260
261
Maungkai Budaya
262
Pemilihan Presiden Amerika Serikat 2008 dari Invisible Man Menjadi ...
Kondisi Dilematis?
Secara sosiologis, berdasar pengelompokan ras, masyarakat
Amerika digolongkan dalam tiga golongan besar. Pertama adalah
kelompok kulit putih; kedua, kulit merah; dan ketiga, kulit hitam.
Orang kulit putih ini berasal dari imigran Eropa (khususnya, Inggris);
orang kulit merah adalah orang Amerika Asli (Native Americans);
dan orang kulit hitam berasal dari/keturunan Afrika. Orang kulit
putih menduduki kelas pertama (the first class); orang kulit merah,
kelas kedua (the second class); dan orang kulit hitam (dan imigran
lain), kelas ketiga (the third class).
Bila orang kulit dan kulit hitam disandingkan, stratifikasi sosial
mereka adalah: orang kulit laki-laki (male white people), orang kulit
putih perempuan (female white people), orang kulit hitam laki-laki
(male Black Americans), dan orang kulit hitam perempuan (female
Black Americans).
Ketika Obama bersaing dengan Hillary Clinton dalam
penjaringan kandidat presiden dari Partai Demokrat, di atas kertas,
diprediksi dia (Obama) sulit mendapat dukungan untuk menjadi
salah satu penghuni Gedung Putih. Mengapa? Karena, Hillary itu
perempuan (Female American); sementara Obama itu keturunan kulit
hitam (African American). Secara sosiologis, posisi sosial Hillary lebih
tinggi ketimbang Obama. Berdasar sudut pandang sosiologis pula,
pertarungan Obama dan Hillary menciptakan kondisi dilematis bagi
rakyat pendukung mereka. Memilih Obama yang kulit hitam atau
Hillary yang kulit putih tapi perempuan.
Sebab, sejarah menunjukkan bahwa belum pernah ada orang
kulit hitam atau kulit putih perempuan menjadi Presiden Amerika.
263
Maungkai Budaya
Pelajaran berharga
Sejumlah pengamat menyatakan bahwa kemenangan Barack
Obama dalam Pemilihan Presiden Amerika Serikat ini hendaknya
dijadikan pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia. Dalam
Pemilihan Umum dan Pemilihan Presiden kita nanti, atau Pemilihan
Gubernur, Bupati/Walikota, kita hendaknya mengambil sisi-sisi
positif dari proses demokrasi di negeri Paman Sam itu.
Satu sisi yang perlu dicermati adalah kenyataan bahwa seorang
Barack Obama bukanlah orang terkategori sebagai bagian dari White
Anglo- Saxon Protestants. Artinya, siapapun asalkan Warga Negara
Indonesia dan tentu memenuhi syarat-syarat sebagai kandidat
presiden, bupati atau wali kota- beri kesempatan untuk maju ke
pemilihan presiden. Bila beliau terpilih, dialah presiden, gubernur,
atau bupati/wali kota kita. Beliau harus didukung, dan hendaknya
tidak diprotes, diboikot program-programnya, dan tindakan-
tindakan sejenisnya. Bagaimana menurut Anda?
264
DAFTAR PUSTAKA
265
Maungkai Budaya
266
Daftar Pustaka
267
Maungkai Budaya
268
Daftar Pustaka
269
Maungkai Budaya
RIWAYAT TULISAN
I. Bahasa
1. Pembinaan Bahasa Indonesia dalam Keluarga (Dinamika Berita,
25/10/1994)
2. Bahasa Inggris Sejak Dini itu Perlu? (Banjarmasin Post, 16/07/
2004)
3. Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Situasi Keanekaba-
hasaan (Dokumen Pribadi)
4. Bahasa dalam Perspektif Sosial Budaya (Dokumen Pribadi)
5. Bahasa dan Budaya Jawa (Dokumen Pribadi)
6. Kedwibahasaan (Dokumen Pribadi)
7. Belajar Bahasa Inggris itu Perlu Exposure? (Radar Banjarmasin,
03/10/2005)
8. Kilas Balik Dialog Borneo-Kalimantan VII (Radar Banjarmasin,
13/5/ 2003)
9. Multilingualisme dalam Karya Sastra Indonesia (Dokumen
Pribadi)
II. Sastra
1. Memahami Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Melalui Karya
Sastra (Radar Banjarmasin, 30/10/2005)
2. Menulis (Radar Banjarmasin, 23 Januari 2006)
3. Mencipta dan Membaca Karya Sastra (Radar Banjarmasin, 26/
01/2006)
270
Riwayat Tulisan
III. Seni
1. Bukan Hanya Buruan Cium Gue (Radar Banjarmasin, 21/09/
2004)
2. Semestinya Bukan Hanya Buruan Cium Gue (Radar
Banjarmasin,21 September 2004)
3. Joget: Antara Seni dan Moral (Radar Banjarmasin, 07/05/2003)
4. Semestinya Porno Performansi Juga Dilarang! (Dokumen Pribadi)
5. Sisi Lain Sinetron Kita (Kalimantan Post, 15/08/2002)
6. Teletubies: Potret Kebersamaan dalam Keberagaman (Radar
Banjarmasin, 07/10/2002)
7. Televisi dalam Perspektif Social Responssibility Theory
(Kalimantan Post, 12/06/2002)
IV. Pendidikan
1. Skripsi dan Plagiarisme (Dokumen Pribadi)
2. Aku Seorang Guru di Perguruan Tinggi? (Dokumen Pribadi)
3. Guru Kusayang, Guru Kau Nistakan? (Radar Banjarmasin, 13/
08/2005)
4. E-Learning Via Information Technology (Dokumen Pribadi)
5. Siswa Gagal Ujian Nasional (Unas): Salah Siapa? (Radar
Banjarmasin, 04/08/2005)
6. Program Besar FKIP Unlam? (Dokumen Pribadi)
271
Maungkai Budaya
V. Politik
1. Dominasi (Kalimantan Post, 15/707/ 2002)
2. Pemilu Sebentar Lagi! (Dokumen Pribadi)
3. KPU Kalsel Musti Solid (Dokumen Pribadi)
4. Tim Seleksi Anggota KPU: Obyektif Atau Akomodatif? (Radar
Banjarmasin, 28/04/2003)
5. Tim Seleksi Anggota KPU Juga Harus Jujur (Radar Banjarmasin,
03/05/2003)
6. Pemilihan Umum 2004 dan Sejumlah Aspeknya (Dokumen
Pribadi)
7. Pengawasan Pemilihan Umum (Dokumen Pribadi)
8. Plus-Minus Penggalian Aspirasi Masyarakat Dengan Safari
Jumat (Dokumen Pribadi)
9. Pasar Induk Selidah Handil Bakti: Besar Tapi Sepi, Mengapa?
(Radar Banjarmasin,23/08/2005)
10 Memahami Karakter Amerika (Radar Banjarmasin, 19/02/
2003)
11.Jalan Meraih Kursi Rektor Unlam 2005-2010 (Radar Banjarma-
sin, 06/06/2005)
12. Verifikasi Bukan Character Assassination (Dokumen Pribadi)
13. Pemilihan Presiden Amerika Serikat (Dokumen Pribadi)
272
Riwayat Penulis
273
Maungkai Budaya
274