Oleh :
Aisyah Nur Ramadhani
20110310044
Diajukan kepada :
dr. Dedy Hartono, Sp.An
Disusun oleh:
07Maret 2017
Mengetahui
1. Rangkuman kasus
Pasien laki-laki (41 th) datang ke poli bedah dengan keluhan adanya
benjolan pada anus + 1 tahun yang lalu, benjolan awalnya kecil namun lama-lama
semakin besar, benjolan tidak bisa dimasukkan kembali ke anus. Pasien mengaku
jika BAB sering mengedan dan keras. Pasien jarang mengkonsumsi makanan
yang berserat, suka mengkonsumsi makanan pedas dan jarang minum air putih.
Pemeriksaan fisik keadaan umum pasien compos mentis dengan tekanan
darah 120/80 mmHg, suhu 36.80 C, nadi: 80 x/menit, pernafasan 20 x/menit. Pada
pemeriksaan status lokalisasi, inspeksi : Tampak benjolan keluar dari anus (+).
Pemeriksaan penunjang hematologi didapatkan hasil, Hb: 13,2, AL:
12,01, AT: 199, Hmt: 39,5, Golongan darah: O, PPT/APTT: 13.6/28,5, HbSAg:
negatip, ureum 31, creatinin 0.87, gula darah sewaktu 520, natrium 142.6, kalium
4.22, klorida 109,7. Hasil dari anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan
diagnosis hemoroid grade IV.
Pasien direncanakan operasi tanggal 15 Maret 2017 kemudian
dipuasakan 8 jam pre operasi dan dipasang IV line. Pasien dianestesi dengan
teknik regional anestesi dengan bupivacain 0,5% 12,5mg, dengan pemeliharaan
O2, obat yang diberikan selama operasi berlangsung ketorolac 30 mg,
ondansentron 4 mg.
3. Analisis
A. Definisi
Diabetes mellitus adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh defisiensi
insulin ditandai dengan peningkatan kadar glukosa dalam plasma.89
Saat ini, American Diabetes Association (ADA) dan WHO mengeluarkan
kriteria diagnostik terbaru. Kedua badan tersebut menganjurkan penurunan nilai
ambang kadar glukosa plasma puasa dan menetapkan klasifikasi lebih berdasarkan
etiologi.7
ADA telah menspesifikasikan bahwa diagnosis diabetes mellitus dibuat jika
kadar glukosa plasma sewaktu pada individu asimtomatik > 11,1 mmol/L (200
mg/dl). Jika kadar glukosa plasma puasa > 7,0 mmol/L (126 mg/dl) pada individu
asimtomatik, pemeriksaan harus diulang pada hari yang berbeda dan diagnosis dibuat
jika nilainya tetap di atas batas ini. ADA menetapkan kadar glukosa plasma
diantara 6,1 dan 7,0 mmol/L (110 dan 126 mg/dl) sebagai kadar glukosa plasma
puasa terganggu. WHO juga merekomendasikan bahwa diagnosis diabetes mellitus
dibuat jika kadar glukosa plasma sewaktu> 11,1 mmol/L atau 200 mg/dl (darah vena
> 10,0 mmol/L atau 180 mg/dl). Diabetes mellitus dapat juga didiagnosis bila kadar
glukosa plasma puasa > 7,0 mmol/L (126 mg/dl) dan tes kedua yang serupa atau tes
toleransi glukosa oral memberikan .hasil pada batas diabetes.7
B. Klasifikasi 15789
Diabetes mellitus diklasifikasikan menjadi 2 tipe utama.
Tipe I (kerusakan sel p pankreas) dan tipe II (gangguan sekresi insulin, dan
biasanya retensi insulin) direkomendasikan untuk menggantikan Istitah
insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) dan Non Insulin Dependent
Diabetes Mellitus (NIDDM). Tipe I. Jenis ini paling sering terdapat pada
anak-anak dan dewasa muda.Defisiensi insulin terjadi karena produksi yang
rendah yang disebabkan oleh adanya destruka sel-sel pembuat insulin melalui
mekanisme imunologik, sehingga pasien ini selalu memerlukan insulin
sebagai pengobatannya dan cenderung untuk mengalami ketoasidosis jika
insulindihentikan pemberiannya.
Tipe II . Kelainan ini disebabkan oleh 2 sebab yaitu resistensi insulin dan
defisiensi insilin relatif, muncul pada usia dewasa, pasien tidak cenderung
mengalami ketoasidodis, sering kali berbadan gemuk. Pengobatan penderita
ini kadang cukup dengan diet saja, bila perlu dapat diberikan obat anti
diabetes oral dan jarang sekali memerlukan insulin kecuali pada keadaan stres
atau infeksi berat.
C. Patofisiologi
Pulau-pulau Langerhans yang menjadi sistem endokrinologis dari pankreas
tersebar di seluruh pankreas tetapi berat semuanya hanya 1 - 3% dari berat total
pankreas. Besarnya pulau-pulau Langerhans ini berbeda-beda, yang terkecil adalah
50m. sedangkan yang terbesar 300 m. Terbanyak adalah yang besarnya antara 100
dan 225 m. Jumlah semua pulau Langerhans di pankreas diperkirakan antara 100.000
dan 2.500.00. Pulau-pulau Langerhans paling kurang tersusun atas tiga jenis sel: sel-
sel a memproduksi glukagon yang menjadi faktor hiperglikemik, sel-sel d yang
mensekresi insulin , dan sel-sel d yang membuat somatostatin. Pertama insulin
disintesa sebagai proinsulin diubah menjadi insulin melalui pembelahan proteolitik
dan kemudian dibungkus kedalam butir-butir diantara sel-sel b. Sejumlah besar
insulin, normalnya kira-kira 200 unit disimpan dalam pankreas. Sintesa terus
berlangsung dengan rangsangan glukosa. Glukosa dan fruktosa merupakan pengatur
utama pelepasan insulin. Stimulator lain dari pelepasan insulin termasuk asam
amino, glukagon, hormon-hormon gastrointestinal (gastrin, sekretin,
cholecystokinin-pancreozymin, dan enteroglucagon), dan asetilkolin. Epinefrin
dan.norepinefrin menghambat pelepasan insulin dengan merangsang reseptor a
adrenergik dan merangsang pelepasan insulin pada reseptor b adrenergik.5,9
Pada tipe I terjadi defisiensi insulin yang berat menyebabkan mobilisasi asam
lemak bebas dari jaringan lemak dan pelepasan asam amino dari dalam
otot.Hiperglikemia terjadi karena dosis insulin yang normal tidak cukup untuk
menandingi meningkatnya kebutuhan insulin. Hati melalui proses glukoneogenesis,
akan mengubah asam amino dan asam lemak bebas membentuk glukosa dan benda
keton. Keduanya mempunyai peran penting dalam timbulnya gejala ketoasidosis.
Pada tipe I dijumpai peningkatan glukagon yang merangsang hati untuk mengubah
asam lemak bebas menjadi benda keton. Hipotesis terjadinya tipe I dihubungkan
dengan infeksi virus yang membentuk respon autoimun yang menyebabkan
dirusaknya sel beta oleh antibodi. Infeksi oleh virus dianggap sebagai trigger factor
pada mereka yang sudah mempunyai predisposisi genetik terhadap diabetes mellitus.
Virus-virus yang dianggap mempunyai pengaruh adalah : virus coxsackie B, virus
encephalamiokardias, mumps, rubella, cytomegalovirus, mononudeosis infectiosa,
varicella dan virus hepatftis.4,6,7,9
Sedangkan patofisiologi tipe II tidak jelas dipahami, tapi yang pasti ada
hubungannya dengan faktor keturunan. Pada tipe II terjadi defisiensi insulin relatif,
hal ini kadang diperberat oleh resistensi insulin yang biasanya disebabkan karena
kegemukan.
Gejala diabetes + konsentrasi glukosa plasma sewaktu >= 200 mg/dl (11,1
mmol/k). Sewaktu didefinisikan sebagai setiap saat tanpa memperhatikan
waktu terakhir makan. Kadar glnkosa plasma puasa >= 126 mg/dl (7,0
,mmmo/L). Puasa didefinisikan sebagai tidak ada asupan kalori dalam 8 jam
terakhir, atau
Kadar glukosa plasma 2 jam setelah minum 75 gram glukosa oral pada tes
toleransi glukosa oral >= 200 mg/dl.
Apabila tidak terdapat hiperglikemia yang nyata pada keadaan dekompensasi
metabolik akut (seperti diabetes ketoasidosis atau sindrom hiperglikemik-
hiperosmolar-nonketotik), kriteria ini harus dikonfirmasi dengan mengulang
penilaian pada hari yang berbeda. Penilaian yang ketiga (tes toleransi glukosa
oral) tidak dianjurkan untuk penggunaan klinis rutin.
Pada pemeriksaan tes toleransi glukosa oral usia juga harus diperhitungkan,
karena respon insulin terhadap rangsangan karbohidrat akan menurun untuk setiap
dekade kehidupan. Penyebab sekunder intoleransi karbohidrat harus selalu
diperhitungkan sebagai diagnosis banding.Penyakit tertentu seperti pankreatitis,
hemokromatosis, feokromositoma dan hipertiroidisme harus selalu disingkirkan
terlebih dahulu.Gangguan primer metabolisme lemak seperti hiperlipidemia primer
dapat pula menyebabkan intoleransi karbohidrat sekunder.Semua penderita
hiperglikemia tanpa ketosis harus dicari kemungkinan hipertrigliseridemia.
E. Efek Pembedahan dan Pembiusan Pada Metabolisme
Diabetes mellitus menggambarkan adanya pengaturan abnormal dan gula
darah karena salah satu sebab yaitu adanya kekurangan insulin retetif atau absolut
atau karena resistensi insulin.Kadar gula darah tergantung dari produksi dan
penggunaan gula darah tubuh. Selama pembedahan atau sakit/stres terjadi respon
katabolik dimana terjadi peningkatan sekresi katekolamin, glukagon, korfisol, tetapi
di sana juga terjadi penurunan sekresi insulin. Jadi pembedahan menyebabkan
hiperglikemia, penurunan penggunaan gula darah, peningkatan glukoneogenesis,
katabolisme protein.Respon tersebut dipacu tidak hanya oleh nyeri tetapi juga oleh
sekresi, peptida seperti interleukin I dan berbagai hormon termasuk growth hormon
dan prolaktin.Efek pembiusan pada respon tersebut sangat bervariasi. Analgesia
epidural tinggi dapat menghambat respon katabolik terhadap pembedahan dengan
cara blokade aferen. dan saraf otonom. Teknik narkotik dosis tinggi (fentanyl 50
m/kg) sebagian dapat mencegah respon stres, sedangkan anestesia umum mempunyai
efek menghambat yang lebih kecil, meskipun dengan pemberian konsentrasi tinggi
(2,1 MAC halotan)1,6,11
G. Penilaian Prabedah
Penilaian prabedah diutamakan pada penilaian fungsi utama organ jantung, ginjal,
dan susunan syaraf pusat, tak kalah penting dibandingkan penilaian status metabolik
pasien. Untuk itu diperlukan penilaian laboratorium dasar yang mencakup gula darah
puasa, elektrolit, ureum, kreatinin, dan EKG. Komplikasi kardiovaskuler (penyakit
arteri koroner, gagal ginjal kongestif, hipertensi) hendaknya diatasi dahulu karena
berkaitan dengan meningkatnya mortalitas pada pasien diabetes mellitus. Pasien
dengan hipertensi mempunyai insidensi neuropati autonomik hingga 50 %,
sedangkan pasien tanpa hipertensi mempunyai insiden hanya 10%. Karenanya
disfungsi autonomik harus dicari secara rutin pada peralatan pra bedah.1,5,6,7,8,12.
H. Pengaruh Obat Anestesi Pada Pasien Diabetes
Seperti telah diketahui beberapa obat anestesi dapat meningkatkan gula
darah, maka pemilihan obat anestesi dianggap sama pentingnya dengan stabilisasi
dan pengawasan status diabetesnya.4
Beberapa obat yang dipakai untuk anestesi dapat mengakibatkan perubahan
di dalam metabolisme karbohidrat, tetapi mekanisme dan tempat kerjanya belum
jelas.Obat-obat induksi dapat mempengaruhi homeostatis glukosa perioperatif.
Etomediat menghambat steroidogenesis adrenal dan sintesis kortisol melalui aksinya
pada 11b-hydroxylase dan enzim pemecah kolesterol, dan akibatnya akan
menurunkan respon hiperglikemia terhadap pembedahan kira-kira 1 mmol per liter
pada pasien non diabetes. Pengaruh pada pasien diabetes belum terbukti.4.7
Benzodiazepin akan menurunkan sekresi ACTH, dan juga akan memproduksi
kortisol jika digunakan dengan dosis tinggi selama pembedahan. Obat-obat golongan
ini akan menurunkan stimulasi simpatis, tetapi merangsang sekresi growth hormone
dan akan menyebabkan penurunan respon glikemia pada pembedahan. Efek-efek ini
minimal jika midazolam diberikan pada dosis sedatif, tetapi dapat bermakna jika obat
diberikan secara kontinyu melalui infus intravena pada pasien di ICU.7
Teknik anestesia dengan opiat dosis tinggi tidak hanya memberikan
keseimbangan hemodinamik, tetapi juga keseimbangan hormonal dan
metabolik.Teknik ini secara efektil menghambat seluruh sistem saraf impatis dan
sumbu hipotalamik-pituitari, kemungkinan melalui efek langsung pada hipotalamus
dan pucat yang lebih tinggi. Peniadaan respon hormonal katabolik terhadap
pembedahan akan meniadakan hiperglikemia yang terjadi pada pasien normal dan
mungkin bermanfaat pada pasien diabetes.6,7
Ether dapat meningkatkan kadar gula darah, menoegah efek insulin untuk
transport glukosa menyeberang membran sel dan secara tak langsung melalui
peningkatan aktifitas simpatis sehingga meningkatkan glikogenolisis di hati. Menurut
Greene penggunaan halotan pada pasien cukup
memuaskan karena kurang pengaruhnya terhadap peningkatan hormon ;
pertumbuhan, peningkatan kadar gula atau penurunan kadar insulin. Penelitian
invitro halotan dapat menghambat
pelepasan insulin dalam merespon hiperglikemia, tetapi tidak sama pengaruhnya
terhadap level insulin selama anestesi. Sedangkan enfluran dan isofluran tak nyata
pengaruhnya terhadap kadar gula darah.4,6,7
Pengaruh propofol pada secresi insulin tidak diketahui.Pasien-pasien diabetik
menunjukkan penurunan kemampuan untuk membersihkan lipid dari sirkulasi.
Meskipun hal W tidak relevan selama anestesia singkat jika propofol digunakan
untuk pemeliharaan atau hanya sebagai obat induksi.Keadaan ini dapat terlihat pada
pasien-pasien yang mendapat propofol untuk sedasi jangka panjang di ICU. Obat-
obat anestesi intra vena yang biasa diberikan mempunyai efek yang tidak berarti
terhadap kadar gula darah kecuali ketamin yang menunjukkan peningkatan kadar
gula akibat efek simpatomimetiknya.7
Penggunaan anestesi lokal baik yang dilakukan dengan teknik epidural atau
subarakhnoid tak berefek pada metabolisme karbohidrat.Untuk prosedur
pembedahan pada pasien yang menderita insufisiensi vaskuler pada ekstremitas
bawah sebagai suatu komplikasi penderita, teknik subarakhnoid atau epidural lebih
memuaskan dan tanpa menimbulkan kcmplikasi. Epidural anestesia lebih efektif
dibandingkan dengan anestesia umum dalam mempertahankan perubahan kadar gula,
growth hormon dan kortisol yang disebabkan tindakan operasi.4,7
Pada DM tipe I, idealnya kontrol gula darah yang dapat diterima harus tercapai
dalam 2 sampai 3 hari sebelum pembedahan. Untuk pasien-pasien yang kronis,
dengan kontrol metabolik yang buruk, mungkin perlu dirawat di rumah sakit selama
2 sampai 3 hari untuk penyesuaian , dosis insulin. Untuk bedah minor cukup dengan
pemberian insulin subkutan.Pada pagi hari sebelum pembedahan, pasien diberikan
1/3 sampai 2/3 dosis insulin normal secara subkutan, bersamaan dengan pemberian
cairan dextrose 5% 100 cc/jam/70 kgBB. Dua pertiga dosis insulin normal diberikan
jika kadar glukosa darah puasa lebih dari 250 mg/dl setengah dosis insulin normal
untuk kadar glukosa antara 120 sampai 250 mg/d!, dan sepertiga dosis insulin normal
untuk kadar glukosa di bawah 120 mg/dl. Pasien dengan kadar glukosa darah rendah,
atau normal tetap membutuhkan sejumlah kecil insulin untuk mengimbangi
peningkatan efek katabolik stres pembedahan, penurunan metabolisme protein, dan
mencegah lipolisis. Tanpa insulin, DM tipe I berisiko tinggi untuk mengalami ketosis
dengan pembedahan.6
Terdapat beberapa regimen tatalaksana perioperatif untuk pasien DM. Yang
paling sering :tdigunakan adalah pasien menerima sebagian -biasanya setengah dari
dosis total insulin pagi hari dalam bentuk insulin kerja sedang:
Obesitas dan infeksi berat akan menambah kebutuhan insulin 1,5 - 2 kali lipat
Hal penting yang harus diingat dalam mengelola kadar gula prabedah pada pasien
diabetes adalah menetapkan sasaran yang jelas kemudian pemantauan kadar gula
darah untuk menyesuaikan terapi sesuai sasaran.1,9
Regimen lain untuk pemberian infus glukosa insulin dan kalium (GIK)
dikenal dengan regimen Alberti. Pemberiannya dapat terpisah atau bersama-
sama.Berikut ini salah satu teknik GIK. Pagi hari diberikan dosis intemiten insulin,
kemudian 500 cc dextrose 5% ditambah 10 KCl diberikan dengan kecepatan 2
cc/kg/jam. Infus insufin disiapkan dengan mencampurkan 50 unit RI ke dalam 250 cc
Nad 0,9% sehingga berkonsentrasi 0,2 unit/cc larutan. Sebelum pemberian dextrose -
kalium atau insulin, ukur kadar gula darah kemudian cek gula darah tiap 2-3 jam, dan
berikan dosis insulin sesuai dengan hasil pengukuran di bawah ini:
4. Daftar Pustaka
1. Brown Jr and Frink. Anesthetic Management of Patients with Endocrine
Disease in A Practice of Anesthesia, 6thed, Edward Arnold, 1996: 995-1004.
2. Gieseeke and Lee. Diabetic Trauma Patients in Text Book of Trauma
Anesthesia ang Critical Care, Mosby Year Book Inc, 1993: 663-671.
3. Tjokroprawiro A. Diabetes Mellitus Anestesia-Operasi dalam Buku
Naskah Lengkap Konas III IDSAI, 1992: 209-218.
4. William J, Fenderl. Diseases of the Endocrine System in Anesthesia and
Common Diseases, 2nd ed, Philadelphia, WBSaunders, 1991: 204-215.
5. Roizen MF. Anesthetic Implications of Concurent Diseases in Miller RD ed.
Anesthesia, 4thed, Churchill Livingstone, 1994: 903-1014.
6. Mathes DD. Management of Common Endocrine Disorder in Stone DJ ed.
Perioperative Care, 1sted, Mosby Year Book Inc, 1998: 235-265.
7. McAnulty GR, Robertshaw HJ, Hall GM. Anaesthetic Management of
Patients with Diabetes Mellitus in British Journal of Anaesthesia, London,
2000: 80-90.
8. Morgan JR. Clinical Anesthesiology, 2nded, Lange Medical Book, 1996: 636-
655.
9. Haznam MW. Pankreas Endokrin dalam Endokrinologi, Percetakan
Angkasa Offset, Bandung, 1991: 36-106.
10. Worthley. Synopsis of Intensive Care Medicine, Longman, 1994: 611-623.
11. Zaloga Gary P. Endocrine Consultation in Clinical Anesthesia Practice, WB
Saunders, 1994: 185-209.
12. Litt L, Roizen MF. Endocrine and Renal Function in Risk and Outcome in
Anesthesia, JB Lippincott, 1988: 111-125.
13. Roizen MF. Endocrine Abnormalities and Anesthesia, Renal Disfunction dan
Diabetes, IARS Review Course Lecture, 19%: 104-113.
14. Rush MD, Winslett S, Wisdom KD. Endocrine Emergencies in Tintinalli,
Kelen, Stapezynski ed. Emergency Medicine, 5th ed, Me Graw Hill, 1998:
1355.
15. Arauz C, Raskin P. Surgery and Anesthesia in Lebovitz HE ed. Therapy for
Diabetes Mellitus and Related Disorder, American Diabetes Association Inc,
Virginia, 1991: 147- 50