Proposal Tenaga Kerja Byediting
Proposal Tenaga Kerja Byediting
PENDIDIKAN GEOGRAFI
PROPOSAL
PENELITIAN DOSEN KELOMPOK
Tim Peneliti :
LEMBAGA PENELITIAN
IKIP PGRI PONTIANAK
NOVEMBER 2015
1
HALAMAN PENGESAHAN
4. Anggota Peneliti :
a. Nama Lengkap : Wiwik Cahyaningrum., S.Si, M.Pd
b. NPP/NIDN : 2022011206/1121077703
c. Tempat, Tgl. Lahir : Pontianak, 21 Juli 1977
d. No Handphone : 081229791319
e. Email : wiwikcahyaningrum@yahoo.co.id
Menyetujui
Kepala Lembaga Penelitian
IKIP PGRI Pontianak
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
Ketersediaan lapangan kerja merupakan hal kompleks terkait dengan investasi
memadai untuk menyerap tenaga kerja dari lulusan berbagai program studi, kinerja ekonomi
nasional, dan kondisi ekonomi global. Penyebab lain, seperti pengendalian mutu institusi
pendidikan tinggi dan pembekalan kompetensi lulusan. Masalah yang sering dihadapi adalah
individu dalam usia produktif berpendidikan tinggi tersebut tidak memiliki keahlian tertentu
yang dianggap sesuai dengan kebutuhan pengguna tenaga kerja.
Pengangguran terdidik yang tinggi mencerminkan kondisi yang saling berkaitan,
antara pendidikan, kondisi ekonomi dan sosial. Output pendidikan yang tidak sesuai dengan
kebutuhan pasar, kompetensi lulusan yang berada di bawah ekspektasi pengguna tenaga
kerja, pasar kerja yang tidak sempurna akibat informasi tentang penawaran dan permintaan
tenaga kerja tidak diakses merata, serta tidak tersedianya lowongan pekerjaan yang sesuai
dengan kompetensi lulusan perguruan tinggi. Pengangguran terdidik secara subjektif
memiliki pilihan atas pekerjaan yang diinginkan. P engangguran terdidik cenderung selektif
memilih pekerjaan, sehingga sebagian mereka memilih untuk memperpanjang masa tunggu
menganggur setelah lulus sampai menemukan pekerjaan yang sesuai.
Permasalahan ketenagakerjaan khususnya pengangguran berimplikasi luas pada
aspek sosial dan ekonomi. Dalam konteks pengangguran terdidik, hal ini mencerminkan
pendidikan yang tidak mampu menjawab kebutuhan pasar kerja, atau ketidakmampuan
lulusan pendidikan tinggi menyesuaikan diri dengan dinamika persaingan kerja. Dari aspek
sosial, semakin lama masa tunggu menganggur, semakin besar beban tanggungan penduduk
produktif lainnya (orang tua atau keluarga). Dari sudut ekonomi, pengangguran terdidik bisa
dipandang sebagai hilangnya potensi pemanfaatan sumberdaya manusia berusia produktif
dan terdidik yang semestinya dapat berkontribusi bagi peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Secara agregat hilangnya kontribusi ekonomi tersebut dapat dianggap sebagai
kerugian bagi suatu wilayah.
Objek kajian penelitian ini adalah pengangguran terdidik di Kalimantan Barat dalam
cuplikan Sakernas Agustus 2014. Fokus kajian adalah pada profil pengangguran terdidik
menurut karakteristik demografi dan sosialnya. Karakteristik demografi yang digunakan
sebagai determinan pengangguran terdidik adalah kelompok usia dan jenis kelamin,
sedangkan tingkat pendidikan yang ditamatkan dipakai sebagai determinan sosial
pengangguran terdidik.
4
Sebagai obyek material dalam kajian ilmu geografi sosial, profil pengangguran
terdidik dianalisis dengan pendekatan keruangan yang menggambarkan sebarannya menurut
wilayah desa dan kota, serta per kabupaten/kota di Kalimantan Barat.
Sebagai penelitian dalam kajian geografi manusia khususnya geografi
ketenagakerjaan, studi ini mempunyai objek material dan objek formal. Objek material
penelitian ini adalah fenomena pengangguran terdidik dilihat dari karakteristik demografi
dan sosial. Objek formal penelitian ini menggunakan pendekatan spasial dengan membuat
kajian sebaran penganggur terdidik menurut wilayah perkotaan/perdesaan, dan kabupaten.
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah penelitian ini sebagai berikut.
B. Perumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
5
3. Profil pengangguran terdidik Kalimantan Barat 2014 menurut wilayah perkotaan
dan perdesaan.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Untuk memahami konsep angkatan kerja dan pengangguran terlebih dahulu kita
mengenali perbedaan istilah angkatan kerja dan tenaga kerja. Angkatan kerja merupakan
bagian dari penduduk usia produktif yang masuk dalam pasar kerja. Badan Pusat Statistik
mendefinisikan penduduk yang termasuk angkatan kerja sebagai penduduk usia kerja (15
tahun dan lebih) yang bekerja, atau punya pekerjaan namun sementara tidak berkerja dan
pengangguran.
Bekerja adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh seseorang dengan maksud
memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan, paling sedikit 1 jam
(tidak terputus) dalam seminggu yang lalu. Kegiatan tersebut termasuk pola kegiatan
pekerja tak dibayar yang membantu dalam suatu usaha/kegiatan ekonomi.
Punya pekerjaan tetapi sementara tidak bekerja adalah keadaan seseorang yang
mempunyai pekerjaan tetapi selama seminggu yang lalu tidak bekerja karena berbagai
sebab, seperti sakit, cuti, menunggu panenan, mogok dan sebagainya. Sementara BPS
menggolongkan mereka yang tergolong pengangguran terbuka terdiri dari mereka yang tak
punya pekerjaan dan mencari pekerjaan, tak punya pekerjaan dan mempersiapkan usaha, tak
punya pekerjaan dan tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan
pekerjaan, mereka yang sudah punya pekerjaan tetapi belum mulai bekerja.
Tenaga Kerja tidak identik dengan angkatan kerja. Tenaga kerja (man power) ialah
besarnya bagian dari penduduk yang dapat diikutsertakan dalam proses ekonomi (Tan Goan
Tiang, 1965 dalam Mantra, 2013: 223). Pada awalnya indikator yang digunakan untuk
mengukur keterlibatan dalam kegiatan ekonomi adalah ekonomi upah. Artinya kegiatan
tersebut harus menghasilkan barang dan atau jasa yang berguna bagi masyarakat.
Penggunaan ekonomi upah menimbulkan perdebatan mengingat di negara berkembang
persentase pekerja yang tidak dibayar masih cukup tinggi. Oleh ILO akhirnya diputuskan
bahwa seseorang dapat maupun belum dapat dilibatkan dalam kegiatan ekonomi didasarkan
pada umur.
7
Batasan umur ini diserahkan kepada setiap negara dalam hubungannya dengan
pembangunan ekonomi. Di beberapa negara misalnya: Amerika Serikat, Jerman Barat, dan
negara-negara Eropa yang lain, bagian penduduk yang termasuk usia keja ialah kelompok
umur (15-64) tahun. Di Indonesia, Badan Pusat Statistik mengambil penduduk usia 10 tahun
ke atas sebagai kelompok usia kerja. Akan tetapi sejak tahun 1998 mulai menggunakan usia
15 tahun ke atas, atau lebih tua batas usia kerja pada periode sebelumnya. Batasan usia yang
digunakan berbeda-beda untuk tiap negara, tetapi yang sering dijadikan pertimbangan
adalah tingkat perekonomian dan situasi tenaga kerja. Semakin maju perekonomian di suatu
daerah atau negara batas umur yang ditetapkan untuk usia kerja minimum semakin tinggi.
Secara umum pengukuran kegiatan ekonomi dapat didekati dengan dua cara, yakni
gainful worker approach (pendekatan kebiasaan) dan labour force approach (pendekatan
saat ini). Dalam gainful worker approach seseorang dalam batas umur tertentu akan ditanya
Kegiatan apa yang biasa dia lakukan. Konsep ini kurang dapat memberikan gambaran
statistik yang tepat antara mereka yang bekerja dan sedang mencari pekerjaan. Kelemahan
ini amatlah dirasakan bila ingin mengetahui jumlah angkatan kerja yang sedang mencari
pekerjaan (pengangguran terbuka). Konsep ini cenderung menghasilkan angka
pengangguran terbuka yang relatif kecil.
Pendekatan lain yang lebih sering dihunakan adalah labour force approach. Dalam
pendekatan ini seluruh penduduk dalam keompok umur tertentu dan dalam kurun waktu
tertentu seperti sebulan seminggu yang lalu dinyatakan kegiatan utama. Dengan demikian
pendekatan ini memberikan batas yang tegas dalam jangka seminggu ini, apa kegiatan
utamanya. Oleh sebab itu labour force approach lebih dikenal dengan pendekatan aktivitas
kini dengan jangka waktu tertentu.
Di Indonesia konsep labour force approach digunakan sejak Sensus Penduduk tahun
1961 yakni apa kegiatan utama yang dilakukan minimal 2 bulan selama 6 bulan yang lalu
huingga sensus dilakukan. Kemudian pada Sensus 1971 menggunakan referensi waktu 2
hari dalam seminggu, dan mulai Sakernas 1976 sampai saat ini menggunakan referensi
waktu satu jam selama seminggu. Pengertian 1 (satu) jam adalah berturur-turut, misalnya
pada hari Senin bekerja atau sedang mencari pekerjaan minimal kegiatan tersebut
memerlukan waktu satu jam. Dengan referensi waktu yang tegas untuk kegiatan utama/
8
waktu yanng terbanyak maka penduduk yanng berumur 15 tahun ke atas dengan mudah
dibedakan ke dalam angkatan kerja dan bukan angkatan kerja.
Tingkat pengangguran terbuka dihitung sebagai persentase jumlah pengangguran
terhadap jumlah angkatan kerja. Dalam penelitian ini seleksi dilakukan terhadap data
pengangguran yang memiliki pendidikan terakhir diploma dan perguruan tinggi.
9
melonjak tinggi dari 0,57 persen dari tahun 1982 menjadi 5,02 persen pada tahun 1998.
Pada tahun 2002, pengangguran terbuka berpendidikan akademi atau D3 sebesar 8,61
persen dari angkatan kerja pada jenjang pendidikan tersebut yang sebesar 11,22 persen.
Hal dapat dicermati adalah bahwa pembangunan ekonomi telah meningkatkan
pendapatan masyarakat sehingga mampu membiayai pendidikan formal angkatan kerja.
Namun, saat angkatan kerja terdidik meningkat pesat, lapangan kerja masih didominasi
sektor-sektor subsistensi yang tidak membutuhkan tenaga kerja berpendidikan. Kondisi ini
menimbulkan gejala supply induce, yaitu jumlah tenaga kerja terdidik yang cukup besar
memberi tekanan kuat pada kesempatan kerja di sektor formal yang jumlahnya relatif kecil,
sehingga terjadi pendayagunaan tenaga kerja terdidik tidak optimal.
Ditinjau secara makro ekonomi, situasi tersebut menunjukkan transformasi struktur
ekonomi dari sektor primer (pertanian) menuju sektor sekunder dan tersier (industri dan
jasa) tidak diiringi transformasi penyerapan tenaga kerja. Saliman (2005: 82)
memperkirakan, gejala tersebut diakibatkan pola perkembangan industri yang kurang
berbasis permasalahan nasional yang seolah labour surplus, padahal permintaan kecil.
Menurutnya, perhatian seharusnya diberikan pada pengembangan industri berorientasi
penyerapan tenaga kerja terdidik yang berjumlah besar dan tumbuh sangat cepat.
Imbas tingginya angka penganguran terdidik tidak hanya pada dunia kerja, tapi juga
pada kondisi dunia pendidikan. Para lulusan perguruan tinggi mengalami kesulitan untuk
menembus pasar kerja karena peluang kerja yang sangat terbatas. Akibatnya persaingan
mendapatkan pekerjaan semakin tinggi. Untuk memenangkan persaingan, calon tenaga kerja
tidak hanya membutuhkan penguasaan teknis pekerjaannya, tetapi juga memiliki
keunggulan kompetetitif lainnya, dari aspek kepribadian (personality), kepemimpinan,
kreativitas, dan lain-lain yang sering dikenal dengan istilah soft skill. Pengguna para lulusan
lembaga pendidikan, baik perusahaan atau institusi membutuhkan karyawan dengan
kualifikasi baik, tidak hanya dalam bidang keprofesian dan aspek manajerial tetapi juga
aspek etika dan moralitas yang dapat berkontribusi dalam pengembangan perusahaan.
Ditinjau dari dimensi politik, pada masa Orde Baru penganggur terdidik yang
berserikat dan tidak terlibat dalam kegiatan ekonomi berpotensi menciptakan destabilitas
melalui aksi-aksi eksplosif. Dari dimensi ekonomi, masalah ini merupakan pemborosan
nasional. Investasi pendidikan terutama pada tingkat pendidikan menengah ke atas
10
memerlukan biaya tinggi. Angkatan kerja terdidik yang tidak didayagunakan sesuai
kapasitasnya, memicu inefiensi (pemborosan) biaya, waktu, dana dan energi.
Situasi menganggur ditilik dari dimensi sosial-psikologis dapat menurunkan rasa
percaya diri individu para penganggur. Akumulasi hilangnya rasa percaya diri dalam jangka
waktu yang lama dapat mengimbas angkatan kerja lainnya yang kemudian menimbulkan
sikap skeptis terhadap pentingnya pendidikan formal.
Saliman (2005) mengemukakan beberapa penyebab gabungan pengangguran
terdidik di antaranya dikemukakan berikut. Pertama, ketidakcocokan karakteristik lulusan
baru yang memasuki dunia kerja (sisi penawaran tenaga kerja) dengan kesempatan kerja
yang tersedia (pernintaan tenaga kerja). Ketidakcocokan ini dapat bersifat geografis, jenis
pekerjaan, orientasi status atau keahlian khusus.
Kedua, semakin terdidik seseorang, semakin besar harapannya pada jenis pekerjaan
yang aman. Sebagaimana dikemukakan Clignent (1980) yang menemukan gejala
peningkatan pengangguran terdidik di Indonesia antara lain disebabkan adanya keinginan
memilih pekerjaan yang aman risiko. Penganggur terdidik menilai tinggi pekerjaan yang
stabil daripada pekerjaan berisiko tinggi. Oleh karenanya pekerjaan di perusahaan mapan
atau besar akan lebih diminati daripada membuka usaha sendiri. Akibatnya, angkatan kerja
terdidik lebih memilih menganggur daripada mendapat pekerjaan yang tidak sesuai dengan
keinginan mereka.
Ketiga, belum efisiennya fungsi pasar kerja sehingga antara angkatan kerja dan
pengguna tenaga kerja sulit bertemu. Hal ini ditambah sulitnya mengakses informasi tenaga
kerja, sehingga banyak tenaga kerja yang bekerja di luar bidang pendidikannya.
Dalam bidang pendidikan, Saliman (2005: 84) menawarkan perhatian pada isi
kurikulum sistem pendidikan yang mampu meningkatkan keterampilan, keahlian dan daya
adaptasi lulusan terhadap dunia nyata. Implementasinya dapat berupa bimbingan karir atau
informasi realistis tentang pasar tenaga kerja, latihan manajerial dasar/wirausaha dan
praktek permagangan.
Implementasi kewiraswastaan tidak hanya proses belajar di kelas, namun lebih pada
perangsangan dan penggalian ide, pengenalan dunia usaha dan pengetahuan tentang
berusaha. Dunia usaha kemudian dilibatkan baik secara fungsional maupun institusional
untuk membantu pengimplementasian program tersebut.
11
D. Penelitian Terdahulu tentang Pengangguran Terdidik di Kalimantan Barat
Penelitian yang mengangkat tema pengangguran terdidik di Kalimantan Barat
(Yacoub, 2012: 176-185) berjudul Pengaruh Tingkat Pengangguran terhadap Tingkat
Kemiskinan Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Barat. Penelitian ini mengkaji
pengaruh tingkat pengangguran terhadap kemiskinan. Data pengangguran berasal dari
Sakernas yang dianalisis secara time- series dari tahun 2005 2010 pada untuk tiap masing-
masing 12 kabupaten/kota, sedangkan data kemiskinan berasal dari data kemiskinan berasal
dari Data dan Informasi Kemiskinan Kabupaten/Kota 2005 2010. Data ini kemudian
dianalisis menggunakan metode regresi.
Hasil penelitian ini menunjukkan tingkat pengangguran (variabel X) berpengaruh
signifikan terhadap kemiskinan (variabel Y) di Kalimantan Barat. Dengan nilai probabilitas
signifikansi sebesar 0,002 yang lebih kecil daripada taraf signifikansi yang ditentukan yaitu
() sebesar 0,05. Koefisien sebesar -0,405 yang bertanda negatif bermakna bahwa
pengaruh tingkat pengangguran tidak searah terhadap tingkat kemiskinan. Dengan kata lain,
apabila tingkat pengangguran meningkat dapat berpotensi menurunkan tingkat kemiskinan.
Sebaliknya jika pengangguran menurun, maka tingkat kemiskinan berpotensi naik, dan
pengaruh tersebut signifikan.
12
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif kuantitatif dan kualitatif
terhadap data sekunder Survei Angkatan Kerja Nasional Tahun 2014 Provinsi Kalimantan
Barat.
B. Sumber Data
Sumber data ketenagakerjaan pada penelitian ini dilakukan oleh Sub-Direktorat
Ketenagakerjaan, Badan Pusat Statistik melalui Survei Angkatan Kerja Nasional
(SAKERNAS). Sejak tahun 2012, rancangan pelaksanaan Sakernas pada bulan Februari
hanya mampu disajikan hingga tingkat provinsi, sementara pada pelaksanaan bulan
Agustus dapat disajikan hingga tingkat kabupaten/kota. Untuk menggambarkan kondisi
ketenagakerjaan di tahun 2014 untuk analisis hingga tingkat kabupaten/kota, maka
Sakernas yang dipilih adalah pencacahan pada Agustus 2014.
Pengumpulan data ketenagakerjaan melalui Sakernas memiliki tiga tujuan utama
dalam mengetahui karakteristik berikut:
i. Penduduk yang bekerja;
ii. Pengangguran dan setengah pengangguran;
iii. Penduduk yang terliput dalam kategori bukan angkatan kerja, yaitu mereka yang
sekolah, mengurus rumah tangga, dan melakukan kegiatan lainnya.
Data yang dianalisis dalam penelitian ini adalah pengangguran dan setengah
pengangguran.
C. Sampel Penelitian
13
Ada 3 catatan penting dalam Sakernas 2014 Kalimantan Barat ini, yaitu:
1. Jumlah sampel sebanyak 7.712 rumah tangga, tabel disajikan secara terbatas
menurut kabupaten/kota
2. Klasifikasi lapangan usaha menggunakan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha
Indonesia (KLBI) 2005.
3. Klasifikasi jenis pekerjaan menggunakan Klasifikasi Baku Jenis Pekerjaan (KBJI)
2002 yang mengacu kepada ISCO 88 dengan uraian jenis pekerjaan lebih rinci.
Agar dapat dibandingkan dengan data sebelumnya, dalam penyajian ini,
klasifikasi tersebut dikonversi ke Klasifikasi Jenis Pekerjaan Indonesia (KJI)
1982.
Keterangan pokok yang berkaitan dengan ketenagakerjaan yang dikumpulkan
melalui Sakernas adalah keterangan perorangan dari setiap anggota rumah tangga yang
berumur 10 tahun ke atas. Meskipun demikian, informasi yang disajikan dalam publikasi
ini hanya dari penduduk yang berusia 15 tahun ke atas. Informasi tersebut meliputi:
1) Keterangan identitas anggota rumah tangga seperti: nama, hubungan dengan
kepala rumah tangga, jenis kelamin, umur, status perkawinan dan pendidikan
tertinggi yang ditamatkan. Kegiatan selama seminggu yang lalu seperti: bekerja
(paling sedikit 1 jam dalam seminggu), punya pekerjaan namun sedang tidak
bekerja, mencari pekerjaan/mempersiapkan usaha, sekolah, mengurus rumah
tangga dan lainnya (pension, cacat jasmani dan lain-lain).
2) Bagi mereka yang bekerja/punya pekerjaan tetapi sementara tidak bekerja
ditanyakan antara lain jumlah hari kerja, jam kerja, lapangan pekerjaan, jenis
pekerjaan, status pekerjaan, dan upah/gaji bersih selama sebulan.
3) Bagi mereka yang mencari pekerjaan/mempersiapkan usaha, ditanyakan alasan
utama mencari pekerjaan/mempersiapkan usaha, upaya yang dilakukan, lama
waktu mencari pekerjaan dan jenis pekerjaan yang dicari (pekerjaan purna waktu.
atau paruh waktu).
Data yang dipilih adalah sampel dengan kategori pengangguran terbuka dengan
tingkat pendidikan tinggi (di atas SLTA), yaitu D1, D2, D3, D4 atau setingkat Strata 1,
dan seterusnya.
14
Tabel 1. Tabel pada Publikasi SAKERNAS Kalimantan Barat (Agustus)
Tahun 2014 yang Digunakan untuk Analisis Pengangguran Terdidik
15
D. Metode Analisisa Data
1. Data yang diperoleh dari SAKERNAS tersebut perlu disusun ke dalam tabel
frekuensi menurut variabel-variabel yang digunakan untuk menjawab pertanyaan
penelitian. Tujuan penyusunan data ke dalam tabel frekuensi adalah untuk
mengetahui sebaran data, dan gambaran umum nilai-nilai variabel yang
ditentukan. Rancangan tabel frekuensi seperti contoh berikut
a. Tabel 2. Rancangan Tabulasi Distribusi Pengangguran terdidik menurut umur dan
jenis kelamin.
25 29
30 34
35 39
Jumlah
16
c. Tabel 4. Rancangan Tabulasi Pengangguran terdidik menurut tingkat pendidikan
yang ditamatkan.
17
a. Tabel 7. Rancangan Tabulasi Pengangguran terdidik menurut jenis kelamin dan
wilayah perkotaan/pedesaan
No. Jenis Kelamin Wilayah Jumlah
Perkotaan Pedesaan
1. Laki-laki N N N
(%) (%) (100%)
2. Perempuan N N N
(%) (%) (100%)
3. Jumlah N N N
(%) (%) (100%)
2. Perempuan N N N N N N N
(%) (%) (%) (%) (%) (%) (100%)
3. Jumlah N N N N N N N
(%) (%) (%) (%) (%) (%) (100%)
18
3. Konsep dan Definisi Operasional
Konsep dan definisi yang digunakan dalam pengumpulan data ketenagakerjaan
oleh Badan Pusat Statistik adalah The Labour Force Concept yang disarankan oleh the
International Labor Organization (ILO). Konsep ini membagi penduduk menjadi dua
kelompok, yaitu penduduk usia kerja dan penduduk bukan usia kerja. Selanjutnya,
penduduk usia kerja dibedakan pula menjadi dua kelompok berdasarkan kegiatan utama
yang sedang dilakukannya. Kelompok tersebut adalah Angkatan Kerja dan Bukan
Angkatan Kerja.
Definisi yang berkaitan dengan penerapan konsep tersebut di Indonesia dijelaslan
dalam uraian berikut:
1. Penduduk usia kerja adalah penduduk berumur 15 tahun dan lebih.
2. Penduduk yang termasuk angkatan kerja adalah penduduk usia kerja (15 tahun
dan lebih) yang bekerja, atau punya pekerjaan namun sementara tidak bekerja dan
pengangguran.
3. Penduduk yang termasuk bukan angkatan kerja adalah penduduk usia kerja (15
tahun dan lebih) yang masih sekolah atau melaksanakan kegiatan lainnya.
4. Bekerja adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh seseorang dengan maksud
memperoleh pendapatan atau keuntungan, paling sedikit 1 jam (tidak terputus)
dalam seminggu yang lalu. Kegiatan tersebut termasuk pula kegiatan pekerja tak
dibayar yang membantu dalam suatu usaha/kegiatan ekonomi.
5. Penganggur terbuka, terdiri dari :
a. Mereka yang mencari pekerjaan. Mencari pekerjaan adalah kegiatan
seseorang yang tidak bekerja dan pada saat survei orang tersebut sedang
mencari pekerjaan, seperti mereka :
- yang belum pernah bekerja dan sedang berusaha mendapatkan
pekerjaan.
- yang sudah pernah bekerja, karena sesuatu hal berhenti dan sedang
berusaha untuk mendapatkan pekerjaan.
- yang bekerja atau mempunyai pekerjaan, tetapi karena sesuatu hal
masih berusaha untuk mendapatkan pekerjaan lain.
19
Usaha mencari pekerjaan ini tidak terbatas pada seminggu sebelum
pencacahan, jadi mereka yang sedang berusaha mendapatkan pekerjaan
dan yang permohonannya telah dikirim lebih dari satu minggu yang lalu
tetap dianggap sebagai mencari pekerjaan. Mereka yang sedang bekerja
atau yang sedang dibebastugaskan, baik akan dipanggil kembali ataupun
tidak, dan berusaha untuk mendapatkan pekerjaan, tidak dapat disebut
sebagai penganggur terbuka.
b. Mereka yang mempersiapkan usaha, adalah suatu kegiatan yang dilakukan
seseorang dalam rangka mempersiapkan suatu usaha/pekerjaan yang
baru, bertujuan untuk memperoleh penghasilan/keuntungan atas resiko
sendiri, baik dengan atau tanpa mempekerjakan buruh/pekerja dibayar
maupun tidak dibayar. Mempersiapkan yang dimaksud adalah apabila
tindakannya nyata, seperti: mengumpulkan modal atau
perlengkapan/alat, mencari lokasi/tempat, mengurus surat ijin usaha dan
sebagainya, telah/sedang dilakukan. Mempersiapkan usaha tidak termasuk
yang baru merencanakan, berniat, dan baru mengikuti kursus/pelatihan
dalam rangka membuka usaha. Mempersiapkan suatu usaha yang nantinya
cenderung pada pekerjaan sebagai berusaha sendiri (own account worker)
atau sebagai berusaha dibantu buruh tidak tetap/buruh tak dibayar atau
sebagai berusaha dibantu buruh tetap/buruh dibayar.
c. Mereka yang tidak mencari pekerjaan, karena merasa tidak mungkin
mendapatkan pekerjaan.
d. Mereka yang sudah punya pekerjaan, tetapi belum mulai bekerja.
6. Pendidikan tertinggi yang ditamatkan adalah tingkat pendidikan yang dicapai
seseorang setelah mengikuti pelajaran pada kelas tertinggi suatu tingkatan sekolah
dengan mendapatkan tanda tamat (ijazah).
7. Penganggur Terdidik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Pengangguran
Terbuka ditambah Setengah Pengangguran Terpaksa yang memiliki pendidikan
tertinggi di atas SLTA.
8. Profil Pengangguran Terdidik dalam penelitian ini menggambarkan karakteristik
demografi dan sosial pengangguran terdidik di Provinsi Kalimantan Barat
20
menurut Sakernas pencacahan Agustus 2014. Karakteristik demografi yang
dianalisis adalah umur, jenis kelamin dan status perkawinan. Karakteristik sosial
pengangguran terdidik yang dianalisis adalah pendidikan.
21
BAB IV
1. Profil pengangguran terdidik Kalimantan Barat 2014 menurut Kelompok Umur dan
Jenis Kelamin
Pengangguran terdidik di Kalimantan Barat dapat didistribusikan ke dalam 4
kelompok umur, yaitu 20 24 tahun, 25 29 tahun, 30 34 tahun dan 35 39 tahun.
Pada masing-masing kelompok umur, terdapat perbedaan karakteristik pengangguran
terdidik menurut pengalaman bekerja. Pada usia 20 24 tahun lebih banyak disumbang
22
oleh fresh graduate yang baru saja menyelesaikan pendidikan tinggi. Kelompok ini
memiliki pilihan untuk menunggu pekerjaan yang sesuai dengan pendidikan atau
cenderung pemilih. Namun ada juga yang bersikap lebih terbuka pada berbagai jenis
pekerjaan karena ingin mencari pengalaman sebelum memutuskan menetap pada
pekerjaan pilihannya.
Tabel 9. Pengangguran Tedidik Menurut Umur dan Jenis Kelamin
di Kalimantan Barat 2014
Kelompok Jenis Kelamin
Umur
Laki-laki Perempuan Jumlah
20 24 1.934
1.334 (59.2%) 3.268
(40.8%) (100 %)
25 29 553
1.466 (27.4%) 2.019
(72.6%) (100%)
30 34
416 1.111 1.527
(27.2%) (72.8%) (100.%)
35 39
162 0 162
(100%) (0%) (100%)
Jumlah
3.378 3.598 6.976
(48.4%) (51.6%) (100.0%)
Sumber : Diolah dari Data Sakernas Kalimantan Barat 2014
Sebaran menurut jenis kelamin pada kelompok umur 20 24 tahun ini adalah
1.334 orang laki-laki (40,8 persen) dan 1.934 perempuan (59,2 persen). Dengan
komposisi hampir berimbang, suplai pengangguran terdidik perempuan relatif lebih
banyak dibanding laki-laki. Penyebabnya antara lain karena jenis-jenis pekerjaan yang
tersedia bagi tenaga kerja terdidik lebih banyak yang membutuhkan tenaga kerja laki-laki
dibanding perempuan. Atau bisa jadi fresh graduate laki-laki lebih cepat terserap di pasar
kerja dibanding perempuan. Dalam budaya patriarki di Kalimantan Barat, dorongan bagi
laki-laki untuk segera bekerja setelah lulus kuliah. Ada rasa sungkan bagi mereka jika
masih menganggur sementara pendidikan sudah selesai. Disamping itu, situasi terpaksa
akibat terhentinya bantuan keuangan yang diberikan keluarga saat mendukung
pendidikan menjadi motivasi utama angkatan kerja terdidik laki-laki 20 24 tahun untuk
23
bekerja apa saja. Sementara itu perempuan di usia yang sama memiliki toleransi waktu
untuk menunggu pekerjaan yang pas.
Pada kelompok umur 25 29 tahun, terdapat ketimpangan menyolok antara
pengangguran terdidik laki-laki daripada perempuan, masing-masing berbagi 72,6 persen
laki-laki dan 27,4 perempuan. Tinggi rendahnya pengangguran perempuan tidak bisa
dilepaskan dari dinamika suplai angkatan kerja perempuan itu sendiri. Sebagaimana
diketahui angkatan kerja merupakan seluruh penduduk usia kerja yang terlibat dalam
kegiatan dalam rangka memperoleh penghasilan, yang terdiri dari mereka yang mencari
kerja (pengangguran) dan bekerja. Tidak seperti laki-laki yang sedikit sekali dipengaruhi
perannya di rumah tangga, kontribusi jumlah angkatan kerja perempuan sangat
bergantung pada keputusan memilih atau menyeimbangkan perannya di sektor publik
maupun domestik.
Tingkat Angkatan Kerja (TPAK) perempuan Kalimantan Barat pada 2014 untuk
semua kelompok umur adalah 55,65 persen. Sementara untuk kelompok umur 25 29
tahun, TPAK perempuan di tahun yang sama adalah 58,81 persen, sementara TPAK laki-
laki adalah 83,71 persen. Dari data TPAK ini sudah menunjukkan perbedaan mencolok
antara keterlibatan penduduk usia 25 29 tahun dalam pasar kerja, sehingga adalah
koheren jika data pengangguran terdidik di usia ini juga menunjukkan kesenjangan
berdasarkan gender.
Ketimpangan yang besar antara jumlah penganggur terdidik laki-laki dan
perempuan pada kelompok umur 25 29 tahun ini antara lain disebabkan usia
perkawinan yang biasanya dimulai pada usia ini. Data Susenas tahun 2014 menyatakan
bahwa lebih dari separuh perempuan Kalimantan Barat menikah pertama kali saat berusia
25 tahun. Pernikahan yang diikuti masa melahirkan dan merawat anak (childbrearing
period) menjadi alasan bagi perempuan meninggalkan sektor publik, atau keluar dari
pasar kerja alias mengurus rumah tangga.
Ada pola yang unik dimana suplai pengangguran terdidik perempuan melonjak
tinggi pada kelompok umur 30 34 tahun. Jumlah penganggur terdidik perempuan yang
kali ini mendominasi dibanding laki-laki, berurutan dengan persentase 72,8 persen
berbanding 27,2 persen. Kondisi ini beroposisi dengan kelompok umur sebelumnya. Pada
kelompok umur yang sama, jumlah penganggur terdidik laki-laki sejumlah 416 orang,
24
sedangkan perempuan 1.111 orang Sebaliknya rendahnya persentase pengangguran
terdidik laki-laki di usia 30 34 tahun karena mereka sudah berada pada situasi pekerjaan
yang mantab dari pekerjaan yang didapat di usia lebih muda. Input kelompok ini pada
pengangguran terdidik disebabkan mereka yang berhenti dari pekerjaan lama dan mencari
pekerjaan baru, baik karena pemutusan hubungan kerja atau keinginan mencari pekerjaan
yang lebih baik.
Dikaitkan dengan periode child bearing perempuan, jika usia pernikahan pertama
lebih dari 50 persen perempuan di Kalimantan Barat adalah 25 tahun, maka memasuki
usia 30-an, anak-anak yang dilahirkan siap disapih dan diasuh oleh orang lain selain
ibunya. Periode ini dimanfaatkan angkatan kerja perempuan terdidik yang berstatus
menikah dan memiliki anak untuk kembali ke pasar kerja. Menarik untuk mencermati
bahwa seluruh sampel penganggur terdidik perempuan di kelompok usia 30 34 tahun
Kalimantan Barat 2014 berpendidikan sarjana. Ada beberapa kemungkinan, pertama
angkatan kerja perempuan terdidik yang menikah berhenti bekerja selama periode
kelahiran dan perawatan anak, kemudian mencari pekerjaan setelah usia anak 1-5 tahun.
Kedua, angkatan kerja perempuan terdidik memutuskan tidak bekerja di awal pernikahan.
Didorong oleh meningkatnya biaya pemenuhan keluarga, selain waktu yang lebih leluasa
seiring anak-anak mulai bersekolah atau dirawat oleh lingkungan di luar rumah,
perempuan terdidik ini kembali mencari pekerjaan. Keputusan untuk mencari pekerjaan
di usia 30-an bagi perempuan sangatlah merupakan situasi sulit yang bisa
memperpanjang waktu menganggur, terlebih bagi yang belum memiliki pengalaman
bekerja. Hal ini didasari pertimbangan bahwa sebagian lowongan pekerjaan khususnya
bagi perempuan sering menggunakan batasan usia pelamar maksimal 28 tahun.
Sementara persaingan semakin ketat dari mereka yang lebih muda, belum terikat
kewajiban peran di sektor domestik, memiliki akses informasi dan penguasaan teknologi
lebih baik.
25
perencana ketenagakerjaan, data pengangguran terdidik berdasarkan jenis kelamin dan
pendidikan terakhir yang ditamatkan merupakan data yang bermanfaat untuk
memperkirakan serapan tenaga kerja dari investor yang membuka kesempatan kerja di
suatu wilayah.
Tabel 9. Pengangguran Terdidik Kalimantan Barat 2014
Menurut Jenis Kelamin dan Pendidikan Terakhir yang Ditamatkan
Jenis Kelamin Jumlah
Pendidikan Laki-laki Perempuan
1.256 639 1.895
Diploma (37.2%) (17.8%) (27.2%)
2.122 2.959 5.081
Universitas (62.8%) (82.2%) (72.8%)
3.378 3.598 6.976
Jumlah (100.0) (100.0%) (100.0%)
Sumber : Diolah dari Data Sakernas Kalimantan Barat 2014
Distribusi pengangguran terdidik di Kalimantan Barat Tahun 2014 memiliki
komposisi 27,2 persen lulusan diploma (1.895 orang) dan 72,8 persen lulusan universitas
(5.081 orang). Secara sederhana bisa dikatakan bahwa penawaran tenaga kerja terdidik di
provinsi ini memiliki rasio 1 orang diploma berbanding 3 orang sarjana.
Komposisi menurut jenis kelamin menyatakan bahwa jumlah penganggur laki-
laki dan perempuan hampir berimbang, namun terdapat perbedaan komposisi lulusan
sarjana dan diploma antara kelompok laki-laki dibanding perempuan. Dalam kelompok
perempuan, pengangguran terdidik tamatan universitas (sarjana) mendominasi lebih dari
delapan puluh persen daripada yang berijazah diploma. Pada kelompok laki-laki,
pengangguran terdidik sarjana masih mendominasi dengan porsi lebih rendah yaitu 62,8
persen, sedangkan sisanya 37,2 persen berpendidikan diploma. Sebagaimana data
menunjukkan penawaran tenaga kerja diploma tersedia lebih banyak pada pengangguran
terdidik laki-laki (1.256 orang) dibanding perempuan (639 orang).
Tinggi rendahnya suplai tenaga kerja diploma dan sarjana pada masing-masing
kelompok jenis kelamin dipengaruhi oleh preferensi tamatan SMA sederajat pada tiap
jenis pendidikan tinggi lanjutan. Seiring banyaknya tamatan SMA sederajat yang memilih
jenjang diploma, maka suplai dari tamatan diploma dalam pasar kerja akan meningkat.
26
Perbedaan minat melanjutkan pendidikan tinggi ke jenjang diploma atau sarjana
antara lain disebabkan preferensi tujuan pendidikan yang dipilih. Sayangnya banyak
calon tamatan SMA sederajat kurang memperoleh informasi yang tepat mengenai fokus
dan kekuatan pendidikan diploma atau sarjana. Akibatnya sebagian besar mahasiswa
diploma dan universitas menanamkan harapan besar dari ijazah yang menjamin
kesempatan kerja. Cara pandang ini menghasilkan lulusan diploma atau sarjana yang
gagap terhadap situasi pasar kerja karena tidak memahami esensi pendidikan yang
diperolehnya.
Tujuan pendidikan diploma dan sarjana di Indonesia dirujuk pada Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Pendidikan Tinggi di
Indonesia dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, pendidikan akademik yang memiliki
fokus penguasaan ilmu pengetahuan. Kedua, pendidikan vokasi yang mentitikberatkan
pada persiapan lulusan untuk mengaplikasikan keahlian.
Pendidikan akademik merupakan pendidikan tinggi program sarjana dan pasca
sarjana yang diarahkan pada penguasaan serta pengembangan cabang ilmu pengetahuan.
Harapannya para peserta didik mampu mengamalkan ilmu pengetahuan dan teknologi
melalui penalaran ilmiah. Pendidikan akademis menyiapkan mahasiswa menjadi
intelektual berbudaya, mampu memasuki dan menciptakan lapangan kerja, serta
mengembangkan diri menjadi profesional.
Pendidikan vokasi merupakan pendidikan diploma yang menyiapkan mahasiswa
untuk pekerjaan dengan keahlian terapan. Lewat program diploma, lulusan pendidikan
menengah sederajat dapat mengembangkan keterampilan dan penalaran dalam penerapan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Mahasiswa menjadi praktisi yang terampil untuk
memasuki dunia kerja sesuai bidang keahliannya. Program diploma terdiri dari diploma
1, 2, 3, dan 4 (sarjana terapan). Perlu diperhatikan bahwa dalam konsep dasar yang
dipakai BPS, diploma 4 dimasukkan dalam kelompok pendidikan setingkat universitas.
27
Kalimantan Barat menunjukkan kelompok ini berada di usia sangat produktif, kurang dari
40 tahun. Distribusi pengangguran terdidik ini hampir dua per tiga sampel (73,7 persen)
berada di daerah perkotaan, sedang sisanya yaitu 26,3 persen berada di perdesaan.
Konsentrasi jumlah pengangguran terdidik di perkotaan adalah wajar mengingat harapan
tamatan SLTA untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lanjutan juga tinggi. Pernyataan
ini didukung data Angka Partisipasi Kasar (APK) SMA/MA di Kalimantan Barat pada
2015 mencapai 81 persen, sementara APK di beberapa kota seperti Ada pandangan umum
di masyarakat bahwa untuk menghadapi persaingan dunia kerja yang semakin ketat,
minimal dibutuhkan ijazah diploma bahkan sarjana.
Dari kelompok umur per 5 tahunan, 46,8 persen pengangguran terdidik berusia 20
24 tahun. Mereka dalam usia 20 24 tahun ini baru saja menamatkan pendidikan
diploma dan sarjana yang sedang mencari pekerjaan. Sebaran pengangguran terdidik
tamatan baru (fresh graduate) ini sebagian besar atau 71,3 persen berada di perkotaan,
sedangkan sisanya 28,7 persen berada di perdesaan.
Tabel 10. Pengangguran Terdidik Kalimantan Barat 2014 menurut
Wilayah Perkotaan dan Perdesaan
Perkotaan Perdesaan Perkotaan
+Perdesaan
Kelompok Perkotaan Persen Perdesaan Persen Jumlah Persen
Umur jumlah Jumlah
20 24 2329 71.3 939 28.7 3268 46.8
28
perdesaan. Angka ini dapat disebabkan disebabkan input urbanisasi pekerja
berpengalaman dari perdesaan ke perkotaan. Ada kecenderungan pekerja di daerah
perdesaan memiliki harapan untuk bekerja di kota karena remunerasi yang lebih baik.
Pengalaman yang telah dimiliki meningkatkan kepercayaan diri untuk mengisi lowongan
pekerjaan. Daya tarik perkotaan berupa tersedianya infrastruktur, sarana dan prasarana
wilayah menjadi pendorong urbanisasi pengangguran terdidik di usia ini.
Pada usia 35 tahun ke atas pengangguran terdidik hanya berkonsentrasi di wilayah
perkotaan, dan tidak terdata dalam cuplikan Sakernas 2014 Kalimantan Barat. Persentase
mereka yang brstatus mencari pekerjaan di usia ini sangat kecil dibanding kelompok
umur yang lebih muda, yaitu 2,3 persen.
29
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengangguran terdidik merupakan angkatan kerja yang belum terserap ke dalam sektor-
sektor, atau bidang kerja dengan karakteristik memiliki tingkat pendidikan yang relatif
tinggi. Di Provinsi Kalimantan Barat terlihat secara kuantitas terdapat kecenderungan
bahwa:
- pengangguran terdidik perempuan lebih tinggi dibandingkan
pengangguran terdidik laki-laki. Hal ini dipengaruhi oleh usia
pernikahan pertama, budaya patriarki, dan pengasuhan anak.
- semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin tinggi pula kecenderungan
untuk menjadi pengangguran. Gejala ini dapat dijelaskan bahwa
mereka yang berpendidikan tinggi cenderung selektif dalam memilih
bidang kerja
- Pengangguran terdidik cenderung lebih banyak di perkotaan
dibandingkan dengan pengangguran di pedesaan. Hal ini dapat
dijelaskan karena para pencari kerja cenderung lebih tertarik untuk
mencari kerja di kota atau wilayah perkotaan.
B. Saran/Implikasi
30
2. Kecenderungan pengangguran berbanding lurus dengan tingkat pendidikan. Hal ini
tentu saja harus dijawab dengan penyediaan pendidikan vokasi yang merupakan
pendidikan diploma, yang menyiapkan mahasiswa untuk pekerjaan dengan keahlian
terapan. Lewat program diploma, lulusan pendidikan menengah sederajat dapat
mengembangkan keterampilan dan penalaran dalam penerapan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Mahasiswa menjadi praktisi yang terampil untuk memasuki dunia kerja
sesuai bidang keahliannya.
3. Pendidikan akademik merupakan pendidikan tinggi program sarjana dan pasca
sarjana yang diarahkan pada penguasaan serta pengembangan cabang ilmu
pengetahuan. Harapannya para peserta didik mampu mengamalkan ilmu pengetahuan
dan teknologi melalui penalaran ilmiah. Pendidikan akademis menyiapkan mahasiswa
menjadi intelektual berbudaya, mampu memasuki dan menciptakan lapangan kerja,
serta mengembangkan diri menjadi professional di daerah masing-masing. Mengingat
mobilitas dari desa ke kota, masih menjadi orientasi para sarjana.
31
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 1983. Penduduk Indonesia. Hasil Sensus 1980. Jakarta: BPS.
Hananto, Sigit. 1983. Perkembangan Kesempatan Kerja dan Ciri-ciri Pekerja Sektor
Formal-Informal Paper Lokakarya Nasional Angkatan Kerja dan Kesempatan Kerja.
Jakata: 12 14 Januari.
Suharso, 1983. Transmigran: Ciri, Proses, dan Aspirasinya, Sebuah Studi Kasus di Way
Abung Lampung Utara. Jakarta: LEKNAS-LIPI.
32
Lampiran 1. Justifikasi Anggaran
Jumlah 1.710.000
Sub Total
33
C. Enumerasi dan Pengolahan Data
= Rp 5000.000
34
Lampiran 2. Biodata Tim Peneliti
1. Ketua Peneliti
Riwayat Pekerjaan
2. Anggota
Nama Lengkap : Wiwik Cahyaningrum S.Si., M.Pd
Jenis Kelamin : perempuan
NIDN : 1121077703
Tempat, Tgl. Lahir : Pontianak, 21 Juli 1977
Instansi/Unit Kerja : IKIP PGRI Pontianak/Lab. Prodi P. Geografi
Alamat Instansi : Jalan Ampera Pontianak
No. HP : 085228582222
35
Riwayat Pendidikan
No Universitas Jurusan Jenjang Tahun
Riwayat Pekerjaan
No Pekerjaan Tahun
3. Anggota
Riwayat Pendidikan
No Universitas Jurusan Jenjang Tahun
36
Riwayat Pekerjaan
No Pekerjaan Tahun
4. Anggota
Riwayat Pendidikan
No Universitas Jurusan Jenjang Tahun
Riwayat Pekerjaan
No Pekerjaan Tahun
37