Puji Syukur kami panjatkan ke-hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat dan
karuniaNyalah, Makalah ini dapat kami selesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya
Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas pelajaran Geografi.
Dalam penyelesaian makalah ini, kami banyak mengalami kesulitan, terutama disebabkan
oleh kurangnya ilmu pengetahuan yang menunjang. Namun akhirnya makalah ini dapat kami
selesaikan dengan cukup baik. Kami sadar, sebagai seorang pelajar yang masih dalam proses
pembelajaran, pembuatan makalah ini masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu, kami
sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat positif, guna pembuatan makalah
yang lebih baik lagi di masa yang akan datang.
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang
Identifikasi Permasalahan
Maksud dan Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
Pengertian Sengketa Tanah
Faktor Pendorong (penyebab) Sengketa Tanah
Contoh kasus sengketa tanah
Solusi penyelesaian sengketa tanah
1. Latar Belakang
Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang sangat mendasar. Manusia hidup
serta melakukan aktivitas di atas tanah sehingga setiap saat manusia selalu
berhubungan dengan tanah dapat dikatakan hampir semua kegiatan hidup manusia
baik secara langsung maupun tidak langsung selalu memerlukan tanah. Pun pada saat
manusia meninggal dunia masih memerlukan tanah untuk penguburannya Begitu
pentingnya tanah bagi kehidupan manusia, maka setiap orang akan selalu berusaha
memiliki dan menguasainya. Dengan adanya hal tersebut maka dapat menimbulkan
suatu sengketa tanah di dalam masvarakat. Sengketa tersebut timbul akibat adanya
perjanjian antara 2 pihak atau lebih yang salah 1 pihak melakukan wanprestasi. Tanah
mempunyai peranan yang besar dalam dinamika pembangunan, maka didalam
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 disebutkan bahwa Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat .Ketentuan mengenai tanah juga dapat kita
lihat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang biasa kita sebut dengan UUPA.
Timbulnya sengketa hukum yang bermula dari pengaduan sesuatu pihak
(orang/badan) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik
terhadap status tanah, prioritas, maupun kepemilikannya dengan harapan dapat
memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Mencuatnya kasus-kasus sengketa tanah di Indonesia beberapa waktu terakhir seakan
kembali menegaskan kenyataan bahwa selama 62 tahun Indonesia merdeka, negara
masih belum bisa memberikan jaminan hak atas tanah kepada rakyatnya. Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria (UU PA) baru
sebatas menandai dimulainya era baru kepemilikan tanah yang awalnya bersifat
komunal berkembang menjadi kepemilikan individual. Terkait dengan banyak
mencuatnya kasus sengketa tanah ini, Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Joyo
Winoto mengatakan, bahwa terdapat sedikitnya terdapat 2.810 kasus sengketa tanah
skala nasional. Kasus sengketa tanah yang berjumlah 2.810 kasus itu tersebar di
seluruh indonesia dalam skala besar. Yang bersekala kecil, jumlahnya lebih besar lagi.
Identifikasi Permasalahan
Untuk memberikan arah, penulis bermaksud membuat suatu perumusan masalah
sesuai dengan arah yang menjadi tujuan dan sasaran penulisan dalam paper ini.
Perumusan masalah menurut istilahnya terdiri atas dua kata yaitu rumusan yang
berarti ringkasan atau kependekan, dan masalah yang berarti pernyataan yang
menunjukkan jarak antara rencana dengan pelaksanaan, antara harapan dengan
kenyataan. Perumusan masalah dalam paper ini berisikan antara lain :
1. Pengertian Sengketa Tanah
2. Faktor Pendorong (penyebab) Sengketa lahan
3. Contoh kasus sengketa tanah
4. Solusi Penyelesaian sengketa lahan
2. Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan dibuatnya makalah ini adalah untuk mengetahui cara penyelesaian
sengketa lahan serta menambah pengetahuan dan wawasan siswa akan sengketa
lahan.
BAB II
PEMBAHASAN
Menurut Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pusat, setidaknya ada tiga hal
utama yang menyebabkan terjadinya sengketa tanah :
1. Persoalan administrasi sertifikasi tanah yang tidak jelas, akibatnya adalah ada
tanah yang dimiliki oleh dua orang dengan memiliki sertifikat masing-masing.
2. Distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata. Ketidakseimbangan dalam
distribusi kepemilikan tanah ini baik untuk tanah pertanian maupun bukan
pertanian telah menimbulkan ketimpangan baik secara ekonomi, politis maupun
sosiologis. Dalam hal ini, masyarakat bawah, khususnya petani/penggarap tanah
memikul beban paling berat. Ketimpangan distribusi tanah ini tidak terlepas dari
kebijakan ekonomi yang cenderung kapitalistik dan liberalistik. Atas nama
pembangunan tanah-tanah garapan petani atau tanah milik masyarakat adat
diambil alih oleh para pemodal dengan harga murah.
3. Legalitas kepemilikan tanah yang semata-mata didasarkan pada bukti formal
(sertifikat), tanpa memperhatikan produktivitas tanah. Akibatnya, secara legal (de
jure), boleh jadi banyak tanah bersertifikat dimiliki oleh perusahaan atau para
pemodal besar, karena mereka telah membelinya dari para petani/pemilik tanah,
tetapi tanah tersebut lama ditelantarkan begitu saja. Mungkin sebagian orang
menganggap remeh dengan memandang sebelah mata persoalan sengketa tanah
ini, padahal persoalan ini merupakan persoalan yang harus segera di carikan
solusinya. Kenapa demikian? karena sengketa tanah sangat berpotensi terjadinya
konflik antar ras, suku dan agama. Akibatnya harga diri harus dipertaruhkan.
Indonesia adalah Negara yang berdasar hukum, maka semua aspek kehidupan
bermasyarakat diatur oleh hukum yang diwujudkan dalam peraturan perundang
undangan. Masyarakat dalam suatu Negara hukum akan menyelesaikan
masalahnya dalam suatu lembaga peradilan yang diatur khusus oleh undang
undang. Begitu pula dengan pertanahan yang mempunyai undang-undang politik
agrarian (UUPA). Namun, sengketa tanah yang terjadi di Indonesia tidak pernah
berakhir, selalu ada permasahalan terkait masalah kepemilikan tanah dan hak guna
pakainya.
Menurut Saidin (2002), bahwa pada catatan statistik pengadilan di Indonesia,
kasus-kasus sengketa pertanahan di peradilan formal menempati urutan pertama
bila dibandingkan dengan kasus-kasus lainnya. Masalah sengketa tanah tidak akan
ada habisnya karena tanah mempunyai arti sangat penting bagi kehidupan
manusia.
Menurut Lovetya (2008), faktor penyebab dari konflik di bidang pertanahan
antara lain adalah keterbatasan ketersediaan tanah, ketimpangan dalam struktur
penguasaan tanah, ketiadaan persepsi yang sama antara sesama pengelola negara
mengenai makna penguasaan tanah oleh Negara, inkonsistensi, dan
ketidaksinkronisasian antara undang-undang dengan kenyataan dilapang seperti
terjadinya manipulasi pada masa lalu yang mengakibatkan pada era
reformasisekarang ini muncul kembali gugatan, dualisme kewenangan (pusat-
daerah) tentang urusan pertanahan serta ketidakjelasan mengenai kedudukan hak
ulayat dan masyarakat hukum adatdalam sistem perundang-undangan agraria.
Jadi dilihat dari substansinya, maka sengketa pertanahan meliputi pokok persoalan
yang berkaitan dengan :
1. Peruntukan dan/atau penggunaan serta penguasaan hak atas tanah.
2. Keabsahan suatu hak atas tanah.
3. Prosedur pemberian hak atas tanah.
4. Pendaftaran hak atas tanah termasuk peralihan dan penerbitan tanda bukti
haknya.
Berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional mencatat ada 2.810 kasus sengketa
tanah yang berskala nasional yang terjadi di Indonesia ini, maka boleh dibayangkan
bagaimana hebatnya bom waktu yang akan meledak jika kasus-kasus tersebut tidak
segera mendapatkan penanganan dan penyelesaian yang layak dan yang berpihak
pada kepentingan rakyat.
Contoh kasus :
Sengketa tanah Meruya selatan (jakarta barat) antara warga (H. Djuhri bin H.
Geni, Yahya bin H.Geni, dan Muh.Yatim Tugono) dengan PT.Portanigra pada tahun
1972 1973 dan pada putusanMA dimenangkan oleh PT. Portanigra. Tetapi proses
eksekusi tanah dilakukan baru tahun 2007yang hak atas tanahnya sudah milik warga
sekarang tinggal di Meruya yang sudah mempunyaisertifikat tanah asli seperti
girik.Kasus sengketa tanah Meruya ini tidak luput dari pemberitaan media hingga
DPR pun turuntangan dalam masalah ini. Selama ini warga Meruya yang menempati
tanah Meruya sekarang tidak merasa punya sengketa dengan pihak manapun. Bahkan
tidak juga membeli tanah dari PTP ortanigra,namun tiba-tiba saja kawasan itu yang
ditempati hampir 5000 kepala keluarga atausekitar 21.000 warga akan dieksekusi
berdasarkan putusan MA. Contoh lainya seperti : Sengketa tanah Prokimal (proyek
pemukiman TNI AL) meletus tahun 1998. Warga di sekitar Prokimal sering
menggelar unjuk rasa dengan cara memblokade jalur pantura (pantai utara) untuk
menuntut pembebasan lahan yang dianggap miliknya. Dari catatan media Surya,
dalam setahun terakhir terjadi dua kali pemblokiran jalan pantura oleh warga, yakni
14 Desember 2006 dan 10 Januari 2007. Selain itu, warga Desa Alas Telogo,
Kecamatan Lekok, memilih menempuh jalur hukum dan menggugat kepemilikan
tanah itu ke Pengadilan Negeri (PN) Bangil, 18 Juli 2006 lalu.
Solusi penyelesaian sengketa tanah dapat ditempuh melalui cara berikut ini :
Dengan dicabutnya Instruksi Menteri Dalam Negeri No 16 Tahun 1984, maka diminta
perhatian dari Pejabat Badan Pertanahan Nasional di daerah yaitu para Kepala Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota, agar selanjutnya di dalam melakukan penetapan status quo atau
pemblokiran hanya dilakukan apabila ada penetapan Sita Jaminan (CB) dari
Pengadilan. (Bandingkan dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional No 3 Tahun 1997 Pasal 126).Oleh karena itu, dapat disimpulkan
bahwa apabila Kepala Kantor Pertanahan setempat hendak melakukan tindakan status
quo terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara di bidang Pertanahan
(sertifikat/Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah), harusnya bertindak hati-hati
dan memperhatikan asas-asas umum Pemerintahan yang baik, antara lain asas
kecermatan dan ketelitian, asas keterbukaan (fair play), asas persamaan di dalam
melayani kepentingan masyarakat dan memperhatikan pihak-pihak yang bersengketa.
Pembatalan keputusan tata usaha negara di bidang pertanahan oleh Kepala Badan
Pertanahan Nasional berdasarkan adanya cacat hukum/administrasi di dalam
penerbitannya. Yang menjadi dasar hukum kewenangan pembatalan keputusan
tersebut antara lain :
1. Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
2. Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
3. Keputusan Presiden No 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Di Bidang
Pertanahan.
4. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 3 Tahun
1999.
5. Dalam praktik selama ini terdapat perorangan/ badan hukum yang merasa
kepentingannya dirugikan mengajukan keberatan tersebut langsung kepada Kepala
Badan Pertanahan Nasional. Sebagian besar diajukan langsung oleh yang
bersangkutan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional dan sebagian diajukan
melalui Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat dan diteruskan melalui
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi yang bersangkutan.
Kemudian apabila sudah ada putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum yang
pasti, maka Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat melalui Kepala
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi yang bersangkutan
mengusulkan permohonan pembatalan suatu Keputusan Tata Usaha Negara di bidang
Pertanahan yang telah diputuskan tersebut di atas. Permohonan tersebut harus
dilengkapi dengan laporan mengenai semua data yang menyangkut subjek dan beban
yang ada di atas tanah tersebut serta segala permasalahan yang ada.
1. Kesimpulan
Di Zaman sekarang ini kebutuhan akan tempat tinggal meningkat, sedangkan luas
tanah terbatas, sehingga menyebabkan nilai guna tanah penting sekali, apapun
akan diusahan oleh pribadi manusia untuk mendapatkan tanah yang strategis.
Selain sebagai tempat untuk tinggal, tanah juga digunakan sebagai tempat
mengadakan aktivitas ekonomi, jalan untuk kegiatan lalu lintas, perjanjian dan
yang padaakhirnya sebagai tempat tinggal masa depan (kuburan). Ada 2.810 kasus
sengketa tanah yang berskala nasional yang tercatat oleh Badan Pertanahan
Nasional, terjadi di Indonesia ini, faktor utama penyebab adalah :
1. Persoalan administrasi sertifikasi tanah yang tidak jelas.
2. Distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata.
3. Legalitas kepemilikan tanah yang semata-mata didasarkan pada bukti formal
(sertifikat), tanpa memperhatikan produktivitas tanah. Sertifikat (tanah)
merupakan tanda bukti hak yang berlaku, apabila data fisik dan data yuridis
tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang
bersangkutan. Kedudukan sertifikat ini diatur dalam Pasal 32 Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Penyelesaian sengketa tanah dapat dituntaskan
dengan beberapa cara seperti :
1. Melalaui Badan Pertanahan Nasional
2. Melalui badan peradilan, bernegosiasi, dan lain-lain tergantung para pelakunya
mengarahkan ke arahmana jalan penyelesaian yang baik menurutnya.
2. Saran
Banyak sekali penyebab sengketa tanah di Indonesia ini, baik karena fungsi tanah itu
sendiri yang sangat dibutuhkan, maupun masalah administrasinya, tetapi sebagaimana
dari hasil catatan Badan Pertanahan Negara tentang kasus sengketa tanah yang terjadi
di Indonesia ini, faktor utama penyebabnya adalah masalah administrasi sertifikat
yang tidak jelas, distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata, dan legalitas
kepemilikan tanah yang semata-mata pada sertifikat saja, tanpa memperhatikan
produktifitas tanahnya. Berdasarkan faktor utama penyebab sengketa di atas dapat
disimpulkan pemerintah sangat diharapkan berperan aktif supaya tidak mengalami
sengketa tanah di masa akan datang, baik upaya peningkatan administrasi yangmana
harus jeli melihat dan akan membuat sertifikat-sertifikat tanah, agar tidak ada yang
berduplikat, maupun dalam pembagian tanah untuk pemukiman yang merata bagi
setiap rakyat Indonesia. Di sisi lain disarankan juga bagi masyarakat yang akan
membeli, memperoleh tanah maupun akan membuat surat bukti kepemilikan tanah
agar berhati-hati melihat kelegalan surat-surat atau dokumen-dokumen kepemilikan
tanah yang ada supaya tidak terjadi permasalahan nantinya.
DAFTAR PUSTAKA
Adrian, Sutedi, Peralihan Hak atas Tanah dan Pendaftarannya, Jakarta: Penerbit Sinar Grafika,
2009
H. Ali, Achmad C., Hukum Agraria(pertanahan Indonesia) jilid 1, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2004
Boedi, Harsono, Hukum Agaria Indonesia; Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria,isi dan pelaksanaannya, Jakarta: penerbit Djambatan, 2005
C.S.T.Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1986
Efendi, Perangin, Hukum Agraria di Indonesia, Jakarta: Rajagrafindo Persada; 1994
Mahfud ,Moh. MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012
Maria, Rita R., Sesat Pikir (Politik Hukum Agraria), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000
Maria, SW Sumardjono, Mediasi Sengketa Tanah, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009
Soedigdo, Hardjosudarmo, Masalah Tanah di Indonesia, Jakarta: Penerbit Bhratara, 1970
Urip, Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak atas Tanah, Jakarta: Prenada Media, 2005
http://derryjie.blogspot.co.id/2013/11/makalah-sengketa-lahan_26.html (Diakses 22/07/2017)
http://makalah2107.blogspot.co.id/2016/05/makalah-hukum-agraria-tentang-sengketa.html (Diakses
22/07/2017)