Anda di halaman 1dari 12

Kata Pengantar

Puji Syukur kami panjatkan ke-hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat dan
karuniaNyalah, Makalah ini dapat kami selesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya
Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas pelajaran Geografi.
Dalam penyelesaian makalah ini, kami banyak mengalami kesulitan, terutama disebabkan
oleh kurangnya ilmu pengetahuan yang menunjang. Namun akhirnya makalah ini dapat kami
selesaikan dengan cukup baik. Kami sadar, sebagai seorang pelajar yang masih dalam proses
pembelajaran, pembuatan makalah ini masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu, kami
sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat positif, guna pembuatan makalah
yang lebih baik lagi di masa yang akan datang.

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang
Identifikasi Permasalahan
Maksud dan Tujuan

BAB II PEMBAHASAN
Pengertian Sengketa Tanah
Faktor Pendorong (penyebab) Sengketa Tanah
Contoh kasus sengketa tanah
Solusi penyelesaian sengketa tanah

BAB III PENUTUP


Kesimpulan dan Saran
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang sangat mendasar. Manusia hidup
serta melakukan aktivitas di atas tanah sehingga setiap saat manusia selalu
berhubungan dengan tanah dapat dikatakan hampir semua kegiatan hidup manusia
baik secara langsung maupun tidak langsung selalu memerlukan tanah. Pun pada saat
manusia meninggal dunia masih memerlukan tanah untuk penguburannya Begitu
pentingnya tanah bagi kehidupan manusia, maka setiap orang akan selalu berusaha
memiliki dan menguasainya. Dengan adanya hal tersebut maka dapat menimbulkan
suatu sengketa tanah di dalam masvarakat. Sengketa tersebut timbul akibat adanya
perjanjian antara 2 pihak atau lebih yang salah 1 pihak melakukan wanprestasi. Tanah
mempunyai peranan yang besar dalam dinamika pembangunan, maka didalam
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 disebutkan bahwa Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat .Ketentuan mengenai tanah juga dapat kita
lihat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang biasa kita sebut dengan UUPA.
Timbulnya sengketa hukum yang bermula dari pengaduan sesuatu pihak
(orang/badan) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik
terhadap status tanah, prioritas, maupun kepemilikannya dengan harapan dapat
memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Mencuatnya kasus-kasus sengketa tanah di Indonesia beberapa waktu terakhir seakan
kembali menegaskan kenyataan bahwa selama 62 tahun Indonesia merdeka, negara
masih belum bisa memberikan jaminan hak atas tanah kepada rakyatnya. Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria (UU PA) baru
sebatas menandai dimulainya era baru kepemilikan tanah yang awalnya bersifat
komunal berkembang menjadi kepemilikan individual. Terkait dengan banyak
mencuatnya kasus sengketa tanah ini, Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Joyo
Winoto mengatakan, bahwa terdapat sedikitnya terdapat 2.810 kasus sengketa tanah
skala nasional. Kasus sengketa tanah yang berjumlah 2.810 kasus itu tersebar di
seluruh indonesia dalam skala besar. Yang bersekala kecil, jumlahnya lebih besar lagi.

Identifikasi Permasalahan
Untuk memberikan arah, penulis bermaksud membuat suatu perumusan masalah
sesuai dengan arah yang menjadi tujuan dan sasaran penulisan dalam paper ini.
Perumusan masalah menurut istilahnya terdiri atas dua kata yaitu rumusan yang
berarti ringkasan atau kependekan, dan masalah yang berarti pernyataan yang
menunjukkan jarak antara rencana dengan pelaksanaan, antara harapan dengan
kenyataan. Perumusan masalah dalam paper ini berisikan antara lain :
1. Pengertian Sengketa Tanah
2. Faktor Pendorong (penyebab) Sengketa lahan
3. Contoh kasus sengketa tanah
4. Solusi Penyelesaian sengketa lahan
2. Maksud dan Tujuan

Maksud dan tujuan dibuatnya makalah ini adalah untuk mengetahui cara penyelesaian
sengketa lahan serta menambah pengetahuan dan wawasan siswa akan sengketa
lahan.
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Sengketa Tanah


Sengketa menurut kamus Bahasa Indonesia, berarti pertentangan atau konflik,
konflik dapat terjadi karena adanya pertentangan antara orang-orang, kelompok-
kelompok ataupun organisasi-organisasi. Winardi berpendapat pertentangan atau
konflik yang terjadi antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang
mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu objek kepemilikan,
yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain. Adapun tujuan
seseorang dalam memperkarakan sengketa adalah untuk menyelesaikan masalah
yang konkret dan memuaskan. Tanah dapat definisikan menurut ilmu pastinya
adalah kumpulan tubuh alam yang menduduki sebagian besar daratan planet
bumi,yang mampu menumbuhkan berbagai tanaman dan sebagai tempat makhluk
hidup lainnya untuk melangsungkan kehidupan. Dapat disimpulkan sengketa
tanah merupakan perebutan hak atas kepemilikan tanah yang jelas maupun karena
kepemilikan tanah yang tidak jelas, dan sengketa tanah terjadi karena ada sebuah
kepentingan dan hak. Sengketa tanah banyak terjadi karena adanya sebuah
benturan kepentingan antara siapa dengan siapa. Sadar akan pentingnya tanah
untuk tempat tinggal atau kepentingan lainnya menyebabkan tanah yang tidak
jelas kepemilikannya diperebutkan bahkan ada yang sudah jelas
kepemilikannyapun masih ada yang diperubutkan, hal ini terjadi karena
masyarakat sadar akan kepentingan dan haknya,selain itu harga tanah yang
semakin meningkat.Menurut Rusmadi Murad timbulnya sengketa hukum yang
bermula dari pengaduan sesuatu pihak (orang atau badan) yang berisi keberatan-
keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik terhadap status tanah, prioritas,
maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara
administrasi sesuai dengan ketentuan. Peraturan yang berlaku kasus pertanahan itu
timbul karena adanya klaim / pengaduan / keberatan dari masyarakat
(perorangan/badan hukum) yang berisi kebenaran dan tuntutan terhadap suatu
keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan yang telah ditetapkan oleh
Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan Badan Pertanahan Nasional, serta
keputusan Pejabat tersebut dirasakan merugikan hak-hak mereka atas suatu bidang
tanah tersebut. Dengan adanya klaim tersebut, mereka ingin mendapat
penyelesaian secara administrasi dengan apa yang disebut koreksi serta merta dari
Pejabat yang berwenang untuk itu. Kewenangan untuk melakukan koreksi
terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan (sertifikat /
Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah), ada pada Kepala Badan Pertanahan
Nasional.Kasus pertanahan dapat berupa permasalahan status tanah,masalah
kepemilikan,masalah bukti-bukti perolehan yang menjadi dasar pemberian hak
dan sebagainya.

2. Faktor Pendorong (Penyebab) Sengketa Lahan

Menurut Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pusat, setidaknya ada tiga hal
utama yang menyebabkan terjadinya sengketa tanah :
1. Persoalan administrasi sertifikasi tanah yang tidak jelas, akibatnya adalah ada
tanah yang dimiliki oleh dua orang dengan memiliki sertifikat masing-masing.
2. Distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata. Ketidakseimbangan dalam
distribusi kepemilikan tanah ini baik untuk tanah pertanian maupun bukan
pertanian telah menimbulkan ketimpangan baik secara ekonomi, politis maupun
sosiologis. Dalam hal ini, masyarakat bawah, khususnya petani/penggarap tanah
memikul beban paling berat. Ketimpangan distribusi tanah ini tidak terlepas dari
kebijakan ekonomi yang cenderung kapitalistik dan liberalistik. Atas nama
pembangunan tanah-tanah garapan petani atau tanah milik masyarakat adat
diambil alih oleh para pemodal dengan harga murah.
3. Legalitas kepemilikan tanah yang semata-mata didasarkan pada bukti formal
(sertifikat), tanpa memperhatikan produktivitas tanah. Akibatnya, secara legal (de
jure), boleh jadi banyak tanah bersertifikat dimiliki oleh perusahaan atau para
pemodal besar, karena mereka telah membelinya dari para petani/pemilik tanah,
tetapi tanah tersebut lama ditelantarkan begitu saja. Mungkin sebagian orang
menganggap remeh dengan memandang sebelah mata persoalan sengketa tanah
ini, padahal persoalan ini merupakan persoalan yang harus segera di carikan
solusinya. Kenapa demikian? karena sengketa tanah sangat berpotensi terjadinya
konflik antar ras, suku dan agama. Akibatnya harga diri harus dipertaruhkan.

Indonesia adalah Negara yang berdasar hukum, maka semua aspek kehidupan
bermasyarakat diatur oleh hukum yang diwujudkan dalam peraturan perundang
undangan. Masyarakat dalam suatu Negara hukum akan menyelesaikan
masalahnya dalam suatu lembaga peradilan yang diatur khusus oleh undang
undang. Begitu pula dengan pertanahan yang mempunyai undang-undang politik
agrarian (UUPA). Namun, sengketa tanah yang terjadi di Indonesia tidak pernah
berakhir, selalu ada permasahalan terkait masalah kepemilikan tanah dan hak guna
pakainya.
Menurut Saidin (2002), bahwa pada catatan statistik pengadilan di Indonesia,
kasus-kasus sengketa pertanahan di peradilan formal menempati urutan pertama
bila dibandingkan dengan kasus-kasus lainnya. Masalah sengketa tanah tidak akan
ada habisnya karena tanah mempunyai arti sangat penting bagi kehidupan
manusia.
Menurut Lovetya (2008), faktor penyebab dari konflik di bidang pertanahan
antara lain adalah keterbatasan ketersediaan tanah, ketimpangan dalam struktur
penguasaan tanah, ketiadaan persepsi yang sama antara sesama pengelola negara
mengenai makna penguasaan tanah oleh Negara, inkonsistensi, dan
ketidaksinkronisasian antara undang-undang dengan kenyataan dilapang seperti
terjadinya manipulasi pada masa lalu yang mengakibatkan pada era
reformasisekarang ini muncul kembali gugatan, dualisme kewenangan (pusat-
daerah) tentang urusan pertanahan serta ketidakjelasan mengenai kedudukan hak
ulayat dan masyarakat hukum adatdalam sistem perundang-undangan agraria.

Menurut Fia (2007), faktor penyebab munculnya permasalahan tentang kasus


sengketa tanah antara lain Harga tanah yang meningkat dengan cepat, kondisi
masyarakat yang semakin sadar dan peduli akan kepentingan dan haknya, iklim
keterbukaan yang digariskan pemerintah.

Dari pendapat diatas dapat disimpulkan, faktor utama penyebab sengketa


tanah adalah :
1. Luas tanah yang tersedia terbatas, tapi di sisi lain kebutuhan akan
tanahmeningkat sehingga nilai tanah lebih besar.
2. Masalah pengaturan, penguasaan, dan pemilikan yang pengendaliannya
belum efektif.Kasus konflik pertanahan seperti sengketa tanah hampir terjadi
seluruh penjuru tanah air indonesia. Setelah diusut dan diteliti semua kasus
sengketa tanah yang terjadi menunjukkan pola sengketa yang sebangun. Berbagai
kasus pertanahan yang menyangkut nasib ribuan warga itu pun dikenal memakan
waktu lama dan terasa menggetirkan dalam proses penyelesaiannya.
Banyak masalah sengketa tanah yang terkadang selalu memberikan kerugian
kepada orang yangseharusnya tidak bersalah misalnya warga (rakyat biasa) yang
bersengketa dengan suatu instansi yang mempunyai wewenang dan kekuasaan,
karena carut-marutnya hukum pertanahan Indonesian sebenarnya sudah menjadi
hal yang biasa.Dari mulai pungli (pungutan liar), korupsi sampaikearah mafia
pertanahan yaitu juga melibatkan lembaga peradilan kita.

Sifat permasalahan dari suatu sengketa ada beberapa macam:

1. Masalah yang menyangkut prioritas untuk dapat ditetapkan sebagai


pemegang hak yang sah atas tanah yang berstatus hak atas tanah yang belum ada
haknya.
2. Bantahan terhadap sesuatu alas hak/bukti perolehan yang digunakan sebagai
dasar pemberian hak.
3. Kekeliruan/kesalahan pemberian hak yang disebabkan penerapan peraturan
yang kurang/tidak benar.
4. Sengketa/masalah lain yang mengandung aspek-aspek sosial praktis
(bersifat strategis).

Jadi dilihat dari substansinya, maka sengketa pertanahan meliputi pokok persoalan
yang berkaitan dengan :
1. Peruntukan dan/atau penggunaan serta penguasaan hak atas tanah.
2. Keabsahan suatu hak atas tanah.
3. Prosedur pemberian hak atas tanah.
4. Pendaftaran hak atas tanah termasuk peralihan dan penerbitan tanda bukti
haknya.

3. Contoh Kasus Sengketa Lahan

Berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional mencatat ada 2.810 kasus sengketa
tanah yang berskala nasional yang terjadi di Indonesia ini, maka boleh dibayangkan
bagaimana hebatnya bom waktu yang akan meledak jika kasus-kasus tersebut tidak
segera mendapatkan penanganan dan penyelesaian yang layak dan yang berpihak
pada kepentingan rakyat.
Contoh kasus :
Sengketa tanah Meruya selatan (jakarta barat) antara warga (H. Djuhri bin H.
Geni, Yahya bin H.Geni, dan Muh.Yatim Tugono) dengan PT.Portanigra pada tahun
1972 1973 dan pada putusanMA dimenangkan oleh PT. Portanigra. Tetapi proses
eksekusi tanah dilakukan baru tahun 2007yang hak atas tanahnya sudah milik warga
sekarang tinggal di Meruya yang sudah mempunyaisertifikat tanah asli seperti
girik.Kasus sengketa tanah Meruya ini tidak luput dari pemberitaan media hingga
DPR pun turuntangan dalam masalah ini. Selama ini warga Meruya yang menempati
tanah Meruya sekarang tidak merasa punya sengketa dengan pihak manapun. Bahkan
tidak juga membeli tanah dari PTP ortanigra,namun tiba-tiba saja kawasan itu yang
ditempati hampir 5000 kepala keluarga atausekitar 21.000 warga akan dieksekusi
berdasarkan putusan MA. Contoh lainya seperti : Sengketa tanah Prokimal (proyek
pemukiman TNI AL) meletus tahun 1998. Warga di sekitar Prokimal sering
menggelar unjuk rasa dengan cara memblokade jalur pantura (pantai utara) untuk
menuntut pembebasan lahan yang dianggap miliknya. Dari catatan media Surya,
dalam setahun terakhir terjadi dua kali pemblokiran jalan pantura oleh warga, yakni
14 Desember 2006 dan 10 Januari 2007. Selain itu, warga Desa Alas Telogo,
Kecamatan Lekok, memilih menempuh jalur hukum dan menggugat kepemilikan
tanah itu ke Pengadilan Negeri (PN) Bangil, 18 Juli 2006 lalu.

4. Solusi Penyelesaian Sengketa Tanah

Pada hakikatnya, kasus pertanahan merupakan benturan kepentingan (conflict of


interest) di bidang pertanahan antara siapa dengan siapa, sebagai contoh konkret
antara perorangan dengan perorangan; perorangan dengan badan hukum; badan
hukum dengan badan hukum dan lain sebagainya.Sehubungan dengan hal tersebut
di atas, guna kepastian hukum yang diamanatkan UUPA, maka terhadap kasus
pertanahan dimaksud antara lain dapat diberikan respons/reaksi/penyelesaian
kepada yang berkepentingan (masyarakat dan pemerintah), berupa solusi melalui
Badan Pertanahan Nasional dan solusi melalui Badan Peradilan.

Solusi penyelesaian sengketa tanah dapat ditempuh melalui cara berikut ini :

A. Solusi melalui BPN

Kasus pertanahan itu timbul karena adanya klaim/pengaduan/keberatan dari


masyarakat (perorangan/badan hukum) yang berisi kebenaran dan tuntutan terhadap
suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan yang telah ditetapkan oleh
Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan Badan Pertanahan Nasional, serta
keputusan Pejabat tersebut dirasakan merugikan hak-hak mereka atas suatu bidang
tanah tersebut.

Dengan adanya klaim tersebut, mereka ingin mendapat penyelesaian secara


administrasi dengan apa yang disebut koreksi serta merta dari Pejabat yang
berwenang untuk itu. Kewenangan untuk melakukan koreksi terhadap suatu
keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan (sertifikat/Surat Keputusan
Pemberian Hak Atas Tanah), ada pada Kepala Badan Pertanahan Nasional. Kasus
pertanahan meliputi beberapa macam antara lainmengenai masalah status tanah,
masalah kepemilikan, masalah bukti-bukti perolehan yang menjadi dasar pemberian
hak dan sebagainya. Setelah menerima berkas pengaduan dari masyarakat tersebut di
atas, pejabat yang berwenang menyelesaikan masalah ini akan mengadakan penelitian
dan pengumpulan data terhadap berkas yang diadukan tersebut. Dari hasil penelitian
ini dapat disimpulkan sementara apakah pengaduan tersebut dapat diproses lebih
lanjut atau tidak dapat. Apabila data yang disampaikan secara langsung ke Badan
Pertanahan Nasional itu masih kurang jelas atau kurang lengkap, maka Badan
Pertanahan Nasional akan meminta penjelasan disertai dengan data serta saran ke
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota setempat letak tanah yang disengketakan.

Bilamana kelengkapan data tersebut telah dipenuhi, maka selanjutnya diadakan


pengkajian kembali terhadap masalah yang diajukan tersebut yang meliputi segi
prosedur, kewenangan dan penerapan hukumnya. Agar kepentingan masyarakat
(perorangan atau badan hukum) yang berhak atas bidang tanah yang diklaim tersebut
mendapat perlindungan hukum, maka apabila dipandang perlu setelah Kepala Kantor
Pertanahan setempat mengadakan penelitian dan apabila dari keyakinannya memang
harus distatus quokan, dapat dilakukan pemblokiran atas tanah sengketa. Kebijakan
ini dituangkan dalam Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional tanggal 14-1-
1992 No 110-150 perihal Pencabutan Instruksi Menteri Dalam Negeri No 16 tahun
1984.

Dengan dicabutnya Instruksi Menteri Dalam Negeri No 16 Tahun 1984, maka diminta
perhatian dari Pejabat Badan Pertanahan Nasional di daerah yaitu para Kepala Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota, agar selanjutnya di dalam melakukan penetapan status quo atau
pemblokiran hanya dilakukan apabila ada penetapan Sita Jaminan (CB) dari
Pengadilan. (Bandingkan dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional No 3 Tahun 1997 Pasal 126).Oleh karena itu, dapat disimpulkan
bahwa apabila Kepala Kantor Pertanahan setempat hendak melakukan tindakan status
quo terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara di bidang Pertanahan
(sertifikat/Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah), harusnya bertindak hati-hati
dan memperhatikan asas-asas umum Pemerintahan yang baik, antara lain asas
kecermatan dan ketelitian, asas keterbukaan (fair play), asas persamaan di dalam
melayani kepentingan masyarakat dan memperhatikan pihak-pihak yang bersengketa.

Terhadap kasus pertanahan yang disampaikan ke Badan Pertanahan Nasional untuk


dimintakan penyelesaiannya, apabila dapat dipertemukan pihak-pihak yang
bersengketa, maka sangat baik jika diselesaikan melalui cara musyawarah.
Penyelesaian ini seringkali Badan Pertanahan Nasional diminta sebagai mediator di
dalam menyelesaikan sengketa hak atas tanah secara damai saling menghormati
pihak-pihak yang bersengketa.

Berkenaan dengan itu, bilamana penyelesaian secara musyawarah mencapai kata


mufakat, maka harus pula disertai dengan bukti tertulis, yaitu dari surat
pemberitahuan untuk para pihak, berita acara rapat dan selanjutnya sebagai bukti
adanya perdamaian dituangkan dalam akta yang bila perlu dibuat di hadapan notaris
sehingga mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna.

Pembatalan keputusan tata usaha negara di bidang pertanahan oleh Kepala Badan
Pertanahan Nasional berdasarkan adanya cacat hukum/administrasi di dalam
penerbitannya. Yang menjadi dasar hukum kewenangan pembatalan keputusan
tersebut antara lain :
1. Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
2. Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
3. Keputusan Presiden No 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Di Bidang
Pertanahan.
4. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 3 Tahun
1999.
5. Dalam praktik selama ini terdapat perorangan/ badan hukum yang merasa
kepentingannya dirugikan mengajukan keberatan tersebut langsung kepada Kepala
Badan Pertanahan Nasional. Sebagian besar diajukan langsung oleh yang
bersangkutan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional dan sebagian diajukan
melalui Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat dan diteruskan melalui
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi yang bersangkutan.

B. Melalui Badan Peradilan

Apabila penyelesaian melalui musyawarah di antara para pihak yang bersengketa


tidak tercapai, demikian pula apabila penyelesaian secara sepihak dari Kepala Badan
Pertanahan Nasional tidak dapat diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa, maka
penyelesaiannya harus melalui pengadilan.
Setelah melalui penelitian ternyata Keputusan Tata Usaha Negara yang diterbitkan
oleh Pejabat Badan Pertanahan Nasional sudah benar menurut hukum dan sesuai
dengan prosedur yang berlaku, maka Kepala Badan Pertanahan Nasional dapat juga
mengeluarkan suatu keputusan yang berisi menolak tuntutan pihak ketiga yang
berkeberatan atas Keputusan Tata Usaha Negara yang telah dikeluarkan oleh Pejabat
Badan Pertanahan Nasional tersebut. Sebagai konsekuensi dari penolakan tersebut
berarti Keputusan Tata Usaha Negara yang telah dikeluarkan tersebut tetap benar dan
sah walaupun ada pihak lain yang mengajukan ke pengadilan setempat. Sementara
menunggu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, dilarang bagi Pejabat
Tata Usaha Negara yang terkait mengadakan mutasi atas tanah yang bersangkutan
(status quo). Oleh karena itu untuk menghindari terjadinya masalah di kemudian hari
yang menimbulkan kerugian bagi pihak-pihak yang berperkara maupun pihak ketiga,
maka kepada Pejabat Tata Usaha Negara di bidang Pertanahan yang terkait harus
menerapkan asas-asas umum pemerintahan yang baik, yaitu untuk melindungi semua
pihak yang berkepentingan sambil menunggu adanya putusan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde).

Kemudian apabila sudah ada putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum yang
pasti, maka Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat melalui Kepala
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi yang bersangkutan
mengusulkan permohonan pembatalan suatu Keputusan Tata Usaha Negara di bidang
Pertanahan yang telah diputuskan tersebut di atas. Permohonan tersebut harus
dilengkapi dengan laporan mengenai semua data yang menyangkut subjek dan beban
yang ada di atas tanah tersebut serta segala permasalahan yang ada.

Kewenangan administratif permohonan pembatalan suatu Surat Keputusan Pemberian


Hak Atas Tanah atau Sertifikat Hak Atas Tanah adalah menjadi kewenangan Kepala
Badan Pertanahan Nasional termasuk langkah-langkah kebijaksanaan yang akan
diambil berkenaan dengan adanya suatu putusan hakim yang tidak dapat
dilaksanakan. Semua ini agar diserahkan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional
untuk menimbang dan mengambil keputusan lebih lanjut.Di bidang pertanahan,
belum ada suatu peraturan perundang undangan yang secara eksplisit memberikan
dasar hukum penerapan Alternatif Dispute Resolution (ADR).Namun, hal ini tidak
dapat dijadikan alasan untuk tidak menggunakan lembaga ADR di bidang pertanahan
berdasarkan 2 (dua) alasan, yaitu :Pertama, di dalam setiap sengketa perdata yang
diajukan di muka pengadilan, hakim selalu mengusulkan untuk penyelesaian secara
damai oleh para pihak (Pasal 130 HIR).Kedua, secara eksplisit cara penyelesaian
masalah berkenaan dengan bentuk dan besarnya ganti kerugian dalam kegiatan
pengadaan tanah diupayakan melalui jalur musyawarah.

Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi


Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, (Keppres No.53 tahun 1993)
dan Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1
tahun 1994 yang merupakan peraturan pelaksanaan Keppres No. 55 tahun 1993,
mengatur tentang tata cara melakukan musyawarah secara cukup terinci.Dalam
perkembangannya, hal ini dimuat dalam Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005
tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum
(Perpres No. 36 tahun 2005) yang diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65
tahun 2006 yang telah dilengkapi dengan Peraturan Kepala BPN Nomor 3 tahun
2007. Dengan berlakunya Perpres No. 36 tahun 2005, maka Keppres No. 55 tahun
1993 dinyatakan tidak berlaku lagi.
Dengan berjalannya waktu, penyelesaian sengketa melalui ADR secara implisit
dimuat dalam Peraturan Presiden Nomor 10 tahun 2006 tentang Badan Pertanahan
Nasional (BPN). Dalam struktur organisasi BPN dibentuk 1 (satu) kedeputian,
yakni Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan
(Deputi). BPN telah pula menerbitkan Petunjuk Teknis Penanganan dan
Penyelesaian Masalah Pertanahan melalui Keputusan Kepala BPN RI Nomor 34
tahun 2007. Dalam menjalankan tugasnya menangani sengketa pertanahan, BPN
melakukan upaya melalui mediasi sebagai cara penyelesaian sengketa alternatif.
Pembentukan Deputi tersebut menyiratkan 2 (dua) hal, yaitu pertama, bahwa
penyelesaian berbagai konflik dan sengketa pertanahan itu sudah merupakan hal yang
sangat mendesak sehingga diupayakan membentuk kedeputian untuk
penanganannya.Kedua, terdapat keyakinan bahwa tidak semua sengketa harus
diselesaikan melalui pengadilan.
BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan

Di Zaman sekarang ini kebutuhan akan tempat tinggal meningkat, sedangkan luas
tanah terbatas, sehingga menyebabkan nilai guna tanah penting sekali, apapun
akan diusahan oleh pribadi manusia untuk mendapatkan tanah yang strategis.
Selain sebagai tempat untuk tinggal, tanah juga digunakan sebagai tempat
mengadakan aktivitas ekonomi, jalan untuk kegiatan lalu lintas, perjanjian dan
yang padaakhirnya sebagai tempat tinggal masa depan (kuburan). Ada 2.810 kasus
sengketa tanah yang berskala nasional yang tercatat oleh Badan Pertanahan
Nasional, terjadi di Indonesia ini, faktor utama penyebab adalah :
1. Persoalan administrasi sertifikasi tanah yang tidak jelas.
2. Distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata.
3. Legalitas kepemilikan tanah yang semata-mata didasarkan pada bukti formal
(sertifikat), tanpa memperhatikan produktivitas tanah. Sertifikat (tanah)
merupakan tanda bukti hak yang berlaku, apabila data fisik dan data yuridis
tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang
bersangkutan. Kedudukan sertifikat ini diatur dalam Pasal 32 Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Penyelesaian sengketa tanah dapat dituntaskan
dengan beberapa cara seperti :
1. Melalaui Badan Pertanahan Nasional
2. Melalui badan peradilan, bernegosiasi, dan lain-lain tergantung para pelakunya
mengarahkan ke arahmana jalan penyelesaian yang baik menurutnya.

2. Saran

Banyak sekali penyebab sengketa tanah di Indonesia ini, baik karena fungsi tanah itu
sendiri yang sangat dibutuhkan, maupun masalah administrasinya, tetapi sebagaimana
dari hasil catatan Badan Pertanahan Negara tentang kasus sengketa tanah yang terjadi
di Indonesia ini, faktor utama penyebabnya adalah masalah administrasi sertifikat
yang tidak jelas, distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata, dan legalitas
kepemilikan tanah yang semata-mata pada sertifikat saja, tanpa memperhatikan
produktifitas tanahnya. Berdasarkan faktor utama penyebab sengketa di atas dapat
disimpulkan pemerintah sangat diharapkan berperan aktif supaya tidak mengalami
sengketa tanah di masa akan datang, baik upaya peningkatan administrasi yangmana
harus jeli melihat dan akan membuat sertifikat-sertifikat tanah, agar tidak ada yang
berduplikat, maupun dalam pembagian tanah untuk pemukiman yang merata bagi
setiap rakyat Indonesia. Di sisi lain disarankan juga bagi masyarakat yang akan
membeli, memperoleh tanah maupun akan membuat surat bukti kepemilikan tanah
agar berhati-hati melihat kelegalan surat-surat atau dokumen-dokumen kepemilikan
tanah yang ada supaya tidak terjadi permasalahan nantinya.
DAFTAR PUSTAKA

Adrian, Sutedi, Peralihan Hak atas Tanah dan Pendaftarannya, Jakarta: Penerbit Sinar Grafika,
2009
H. Ali, Achmad C., Hukum Agraria(pertanahan Indonesia) jilid 1, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2004
Boedi, Harsono, Hukum Agaria Indonesia; Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria,isi dan pelaksanaannya, Jakarta: penerbit Djambatan, 2005
C.S.T.Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1986
Efendi, Perangin, Hukum Agraria di Indonesia, Jakarta: Rajagrafindo Persada; 1994
Mahfud ,Moh. MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012
Maria, Rita R., Sesat Pikir (Politik Hukum Agraria), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000
Maria, SW Sumardjono, Mediasi Sengketa Tanah, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009
Soedigdo, Hardjosudarmo, Masalah Tanah di Indonesia, Jakarta: Penerbit Bhratara, 1970
Urip, Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak atas Tanah, Jakarta: Prenada Media, 2005
http://derryjie.blogspot.co.id/2013/11/makalah-sengketa-lahan_26.html (Diakses 22/07/2017)
http://makalah2107.blogspot.co.id/2016/05/makalah-hukum-agraria-tentang-sengketa.html (Diakses
22/07/2017)

Anda mungkin juga menyukai