Sindrom Nefrotik Dila
Sindrom Nefrotik Dila
SINDROMA NEFROTIK
Disusun Oleh:
1102012066
Pembimbing :
I. IDENTITAS
A. Identitas Pasien
Nama : An. N
Agama : Islam
No. RM : 2015-649743
Ayah Ibu
Pendidikan : SMA D3
II. ANAMNESIS
1
A. Keluhan utama
Pasien datang ke poli anak RSUD Pasar Rebo dengan keluhan bengkak di seluruh tubuh
sejak 1 minggu yang lalu. Bengak diawali pada daerah kelopak mata dan muka sejak 1 minggu
SMRS, keluhan tersebut dirasakan saat pasien bangun tidur. Bengkak makin bertambah,
menyebar ke daerah muka, perut, dan kedua tungkai. Pasien juga mengalami bengkak pada
kemaluannya sejak 1 hari yang lalu. Selama bengkak, ibu penderita mengeluh BAK pasien
berwarna kuning keruh tidak disertai BAK yang berbusa dan darah. Keluhan Riwayat sering
terbangun pada malam hari untuk BAK disangkal. Keluhan bengkak ini tidak disertai sesak
napas saat tidur dan anak masih bisa tidur dengan satu bantal. Anak tidak pernah muntah-
muntah, demam, batuk, pilek dan kejang. Selama bengkak anak tidak pernah tampak pucat,
lemah, lesu atau kehilangan nafsu makan. Anak masih bisa beraktivitas ringan. Keluhan ini
tidak disertai dengan sesak napas ataupun sakit perut hebat. BAB lancar, lunak berwarna
kecokelatan.
Pasien pernah mengalami keluhan yang sama dan dirawat pada tanggal 9 Oktober 2015.
D. Riwayat pengobatan
Pasien rutin minum obat predsnison 2,5 mg sejak Oktober 2015 namun sudah 2 bulan tidak
mengkonsumsi obat.
E. Riwayat penyakit keluarga
Riwayat seperti asma, alergi, penyakit ginjal, dan diabetes melitus disangkal oleh orangtua
pasien. Tidak terdapat riwayat alergi terhadap obat-obatan dan makanan. Tidak ada anggota
keluarga yang mengalamai keluhan yang sama.
F. Riwayat kehamilan dan kelahiran
- Riwayat kehamilan
Status obstetri ibu pasien P3A0, pasien merupakan anak ke-3. Selama kehamilan ibu
tidak pernah sakit berat, tidak mengonsumsi obat-obatan, tidak pernah merokok dan
minum-minuman beralkohol. Ibu pasien juga rutin melakukan pemeriksaan antenatal
secara teratur di bidan.
2
- Riwayat persalinan
Pasien lahir secara sectio cesaria dengan indikasi CPD (cephalopelvic disproportion).
Berat lahir 3300 gram, panjang badan 48 cm, nangis spontan.
Psikomotor
a. Tengkurap : 4 bulan
b. Duduk : 6 bulan
c. Merangkak : 8 bulan
d. Berjalan : 1 tahun
e. Bicara : 1 tahun
H. Riwayat imunisasi
Ibu pasien mengatakan imunisasi pasien lengkap dan sesuai dengan jadwal imunisasi.
I. Riwayat sosial ekonomi, lingkungan, gaya hidup
Anak masih bisa beraktivas ringan dirumah. Anak makan 3 kali sehari dengan sayur dan
lauk pauk. Anak tidak tampak lebih kecil dibanding teman sebayanya. Ayah dan Ibu pasien
bekerja sebagai karyawan swasta.
III. PEMERIKSAAN
A. Pemeriksaan Fisik
Tanda Vital:
Tekanan darah : 100/80 mmHg
Nadi : 72 x/menit, reguler, isi cukup, teraba kuat
Frek.napas : 24 x/menit, reguler
Suhu : 37,60C
STATUS GIZI
Antropometris:
Berat Badan (BB) : 11 kg
Tinggi/Panjang Badan(TB/PB) : 76 cm
3
Kepala : Normocephal, edema pada wajah
Mata : Pupil bulat isokor, Conjungtiva anemis -/-, Sklera ikterik -/-, RCL/RCTL
+/+, Edema palpebra superior dan inferior +/+
Telinga : Bentuk normal, sekret (-), serumen (-)
Hidung : Bentuk normal, nafas cuping hidung (-), sekret (-)
Lidah : Bercak putih (-), tremor (-)
Tenggorokan : Tonsil T1-T1, faring hiperemis (-)
Leher : Trakea terletak ditengah, KGB tidak teraba membesar
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS 5 Linea mid clavicula sinistra
Perkusi : Batas pinggang jantung linea parastrenalis sinistra ICS 3
Batas jantung kanan linea parasternalis dekstra ICS 4
Batas jantung kiri linea mid clavicula sinistra ICS 5
Auskultasi : Bunyi jantung 1 & 2 reguler, gallop (-) murmur (-)
Paru
Inspeksi : Bentuk dada normal, pernapasan simetris dalam keadaan statis dan
dinamis, retraksi sela iga (-)
Palpasi : Tidak teraba kelainan dan massa pada seluruh lapang paru. Fremitus
taktil dan vokal statis dan dinamis kanan kiri.
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Suara napas vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-), slam (-/-)
Abdomen
Inspeksi : Abdomen cembung
Palpasi : Nyeri tekan epigastrium (-), Hepar dan lien tidak teraba membesar,
turgor kembali cepat
Perkusi : Tympani di seluruh regio abdomen, shifting dullnes (-), undulasi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Genitalia : edema pada vulva
Ekstremitas
Atas: Akral hangat +/+, CRT<2 dtk +/+, edema +/+, pitting edema (+)
Bawah: Akral hangat +/+, CRT<2 dtk +/+, edema +/+, pitting edema (+)
4
B. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan lab (5/12/2016)
Hematologi
Hematocrit 41 % 32 47
Hitung Jenis
Basophil 1 % 0-1
Eosinophil 4 % 1-3
Limfosit 42 % 25-50
Monosit 6 % 1-6
Kimia klinik
5
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
URINALISA
KIMIA URIN
Sedimen
Leukosit 2 /L <7
Eritrosit 3 /L <9
Epitel 2 /L <13
Kristal 0 /L <20
Bakteri 27 /L <93
IV. DIAGNOSIS
Sindrom Nefrotik Relaps
6
V. DIAGNOSIS BANDING
Sindroma Nefrotik Kelainan minimal
Glomerulosklerosis fokal segmental
VII. RESUME
Sindroma Nefrotik Relaps
7
VIII. PROGNOSIS
ad vitam : dubia ad bonam
IX. FOLLOW UP
S Bengkak pada kelopak mata (+/+) berkurang, Bengkak pada kelopak mata (-/-), bengkak
bengkak pada kaki (+/+) mulai berkurang. pada kaki (-/-). Batuk () pilek (-), sesak (-),
Batuk (+) pilek (+), sesak (-), mual (-), muntah mual (-), muntah (-). BAB dan BAK (+)
(-). BAB dan BAK (+) lancar. Penurunan berat lancar. Penurunan berat badan sebanyak 1 kg.
badan sebanyak 1 kg.
O
KU:Baik K.U:Baik
Kes : Komposmentis Kes : Komposmentis
8
Cor : BJ I-II Normal Reguler M(-) G (-) Cor : BJ I-II Normal Reguler M(-) G (-)
Pulmo : SN Vesikuler (+/+), RH (-/-), WH (-/- Pulmo : SN Vesikuler (+/+), RH (-/-), WH (-/-
) )
Abdomen = Supel, Turgor baik, BU (+)N, NT Abdomen = Supel, Turgor baik, BU (+)N, NT
(-), Hepar-lien tidak teraba, (-), Hepar-lien tidak teraba,
Ekstremitas: Ekstremitas:
- Atas: Akral hangat +/+, CRT<2 dtk +/+, - Atas: Akral hangat +/+, CRT<2 dtk +/+,
edema +/+, pitting edema (+) edema +/+, pitting edema (-)
- Bawah: Akral hangat +/+, CRT<2 dtk - Bawah: Akral hangat +/+, CRT<2 dtk
+/+, edema +/+, pitting edema (+) +/+, edema +/+, pitting edema (-)
9
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Sindrom nefrotik merupakan kumpulan gejala-gejala yang terdiri dari proteinuria
massif (40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urine sewaktu >2 mg/mg atau
dipstick 2+), hipoalbuminemia (2,5 gr/dL), edema, dan dapat disertai hiperkolestrerolemia
(250 mg/uL).
Etiologi
Dikatakan sindrom nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara primer
terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain. Golongan ini
paling sering dijumpai pada anak. Termasuk dalam sindrom nefrotik primer adalah sindrom
nefrotik kongenital, salah satu jenis sindrom nefrotik yang ditemukan sejak anak itu lahir atau
usia dibawah 1 tahun. Sekitar 90% anak dengan sindrom nefrotik merupakan sindrom nefrotik
idiopatik. Sindrom nefrotik idiopatik terdiri dari 3 tipe secara histologis: sindrom nefrotik
kelainan minimal, glomerulonephritis proliferative (mesangial proliferation), dan
glomerulosklerosis fokal segmental. Ketiga gangguan ini dapat mewakili 3 penyakit berbeda
dengan manifestasi klinis yang serupa; dengan kata lain, ketiga gangguan ini mewakili suatu
spektrum dari satu penyakit tunggal.
Penyebab sekunder timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai
akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping obat. Penyebab yang
sering dijumpai adalah:
10
Sindrom nefrotik sebagian besar diperantarai oleh beberapa bentuk glomerulonefritis dan yang
tersering adalah membranosa dan membranoproliferatif.
Epidemiologi
Insidens SN pada anak dalam kepustakaan di Amerika Serikat dan Inggris adalah 2-
7 kasus baru per 100.000 anak per tahun, dengan prevalensi berkisar 12 16 kasus per 100.000
anak. Di negara berkembang insidensnya lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000
per tahun pada anak berusia kurang dari 14 tahun. Perbandingan anak laki-laki dan perempuan
2:1.
Sindrom nefrotik lebih sering terjadi pada pria dibandingkan wanita (2:1) dan
kebanyakan terjadi pada umur 2 dan 6 tahun. Telah dilaporkan terjadi paling muda pada anak
umur 6 bulan dan paling tua pada masa dewasa. SNKM terjadi pada 85-90% pasien dibawah
umur 6 tahun dan paling; di Indonesia dilaporkan 6 kasus per 100.000 anak per tahun. Pada
penelitian di Jakarta (Wila Wirya) menemukan hanya 44,2% tipe kelainan minimal dari 364
anak dengan sindrom nefrotik primer yang dibiopsi, sedangkan ISKDC melaporkan
penelitiannya diantara 521 pasien, 76,4% merupakan tipe kelainan minimal.
Angka kejadian sindrom nefrotik pada anak dibawah usia 18 tahun diperkirakan
berkisar 2-7 kasus per 100.000 anak per tahun, dengan onset tertinggi pada usia 2-3 tahun.
Hampir 50% penderita mulai sakit saat berusia 1-4 tahun, 75% mempunyai onset sebelum
berusia 10 tahun.
Patofisiologi
Proteinuria merupakan gejala utama sindrom nefrotik, proteinuria yang terjadi lebih
berat dibandingkan proteinuria pada penyakit ginjal yang lain. Jumlah protein dalam urin dapat
mencapi 40mg/jam/ m2 luas permukaan tubuh (1gr/ m2/hari) atau 2-3,5gram/ 24 jam.
Proteinuria yang terjadi disebabkan perubahan selektifitas terhadap protein dan perubahan pada
filter glomerulus.
11
banyak protein dapat melewati barier. Selain itu terjadi pula terjadi perubahan ukuran celah
(pori-pori) pada sawar sehingga protein muatan netral dapat melalui barier.
Pada Sindrom Nefrotik terjadi hipoproteinemia terutama albumin, hal ini disebabkan
oleh meningkatnya eksresi albumin dalam urin dan meningkatnya degradasi dalam tubulus
renal yang melebihi daya sintesis hati. Gangguan protein lainnya didalam plasma adalah
menurunnya -1 globulin. Sedangkan -2globulin, -globulin dan fibrinogen meningkat secara
relatif atau absolut. -2globulin meningkat disebabkan oleh retensi selektif protein dengan
berat molekul tinggi oleh ginjal sedangkan laju sintesisnya relatif normal.
Ada 2 teori mengenai patofisiologi edema pada sindrom nefrotik; teori underfill dan
teori overfill. Pada teori underfill di jelaskan pembentukan edema terjadi karena menurunnya
albumin (hipoalbuninemia), akibat kehilangan protein melalui urin. Hipoalbuminemia
menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma, yang memungkinkan transudasi cairan dari
ruang inervaskular keruangan intersisial. Penurunan volume intravakular menyebabkan
penurunan tekanan perfusi ginjal, sehingga terjadi pengaktifan sistem renin-angiotensin-
aldosteron, yang merangasang reabsorbsi natrium ditubulus distal. Penurunan volume
intravaskular juga merangsang pelepasan hormon antideuritik yang mempertinggi penyerapan
air dalam duktus kolektivus. Karena tekanan onkotik kurang maka cairan dan natrium yang
telah direabsorbsi masuk kembali ke ruang intersisial sehingga memperberat edema.
Pada teori overfill dijelaskan retensi natrium dan air diakibatkan karena mekanisme
intra renal primer dan tidak bergantung pada stimulasi sistemik perifer. Serta adanya agen
dalam sirkulasi yang meningkatkan permeabilitas kapiler diseluruh tubuh serta ginjal. Retensi
natrium primer akibat defek intra renal ini menyebabkan ekspansi cairan plasma dan cairan
ekstraseluler. Edema yang terjadi diakibatkan overfilling cairan ke dalam ruang interstisial
12
Kelainan Glomerulus
Albuminuria
Hipoalbuminemia
Volume plasma
Edema
Dengan teori underfill dapat diduga terjadi kenaikan renin plasma dan aldosteron
sekunder terhadap adanya hipovolemia, tetapi hal tersebut tidak terdapat pada semua penderita
Sindroma nefrotik. Sehingga teori overfill dapat di pakai untuk menerangkan terjadinya edema
pada sindrom nefrotik dengan volume plama yang tinggi dan kadar renin, aldosteron menurun
terhadap hipovolemia.
Pada Sindroma nefrotik hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid meningkat.
Paling tidak ada dua faktor yamg mungkin berperan yakni: (1) hipoproteinemia merangsang
sintesis protein menyeluruh dalam hati termasuk lipoprotein. (2) katabolisme lemak menurun
karena penurunan kadar lipoprotein lipase plasma, sistem enzim utama yang mengambil lemak
dari plasma.
13
Kelainan Glomerulus
Volume plasma
Edema
Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis yang paling sering ditemukan adalah edema yang menyeluruh dan
terdistribusi mengikuti gaya gravitasi bumi. Edema sering ditemukan dimulai dari daerah
wajah dan kelopak mata pada pagi hari, yang kemudian menghilang, digantikan oleh edema di
daerah pretibial pada sore hari.
Anak biasanya datang dengan keluhan edema ringan, dimana awalnya terjadi di sekitar
mata dan ekstremitas bawah. Sindrom nefrotik pada mulanya diduga sebagai gangguan alergi
karena pembengkakan periorbital yang menurun dari hari ke hari. Seiring waktu, edema
semakin meluas, dengan pembentukan asites, efusi pleura, dan edema genital. Seringkali cairan
yang menyebabkan edema dipengaruhi oleh gravitasi sehingga bengkak dapat berpindah-
pindah. Saat malam cairan terakumulasi di tubuh bagian atas seperti kelopak mata. Disaat siang
hari cairan terakumulasi dibagian bawah tubuh seperti ankles, pada saat duduk atau berdiri.
Anoreksia, iritabilitas, nyeri perut, dan diare sering terjadi. Hipertensi dan hematuria jarang
ditemukan. Differensial diagnosis untuk anak dengan edema adalah penyakit hati, penyakit
jantung kongenital, glomerulonefritis akut atau kronis, dan malnutrisi protein.
Asites sering ditemukan tanpa odem anasarka, terutama pada anak kecil dan bayi
yang jaringannya lebih resisten terhadap pembentukan edema interstisial dibandingkan anak
yang lebih besar. Efusi transudat lain sering ditemukan, seperti efusi pleura. Bila tidak diobati
edema dapat menjadi anasarka, sampai ke skrotum atau daerah vulva.
14
Pada pemeriksaan fisik harus disertai pemeriksaan berat badan, tinggi badan, lingkar
perut, dan tekanan darah. Tekanan darah umunya normal atau rendah, namun 21% pasien
mempunyai tekanan darah tinggi yang sifatnya sementara, terutama pada pasien yang pernah
mengalami deplesi volume intravaskuler berat. Keadaan ini disebabkan oleh sekresi rennin
berlebihan, sekresi aldosteron, dan vasokonstriktor lainnnya, sebagai respon tubuh terhadap
hipovolemia. Pada sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM) dan glomerulosklerosis fokal
segmental (GSFS) jarang ditemukan hipertensi yang menetap. Dalam laporan ISKDC
(Internasional Study of Kidney Disease in Children), pada SNKM ditemukan 22% disertai
hematuria mikroskopik, 15-20% disertai hipertensi, dan 32% dengan peningkatan kadar
kreatinin dan ureum darah yang bersifat sementara. Pasien sindrom nefrotik perlu diwaspadai
sebagai gejala syok dikarenakan kekurangan perfusi ke daerah splanchnik atau akibat
peritonitis.
Diagnosis banding antara lain Diabetic Nephropathy, Light Chain-Associated Renal
Disorders, Focal Segmental Glomerulosclerosis, Glomerulonephritis akut/kronis, HIV
Nephropathy, IgA Nephropathy.
Klasifikasi
Subkategori atau klasifikasi nefrotik sindrom primer bedasarkan deskripsi histologi dan
dihubungkan dengan patologi klinis kelainan yang sebelumnya telah diketahui.3 Tetapi
bagaimanapun pengetahuan mengenai penyebab spesifik sindrom nefrotik sangat terbatas,
varians nefrotik sindrom akan diketahui manifestasi klinisnya dengan memastikan proses
histopatologinya. Tipe histopatologi juga menentukan dalam hal respon terapi, dan prognosis
dari penyakit.
Glomerulosklerosis (GS)
15
Glomeruloskerosis fokal segmental (GSFS)
Diagnosis
Sindrom nefrotik (SN) adalah keadaan klinis yang ditandai dengan gejala:
1. Proteinuria masif (> 40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio protein/kreatinin
pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik 2+)
2. Hipoalbuminemia < 2,5 g/dL
3. Edema
4. Dapat disertai hiperkolesterolemia > 200 mg/dL
16
Pada analisa urin didapatkan proteinuria +3 atau +4; mungkin ada hemeturia
mikroskopis, tapi jarang ada hematuria makroskopis. Fungsi ginjal mungkin normal atau
menurun. Klirens protein melebihi 2 gr/24 jam. Kadar kolesterol dan trigliserid serum naik,
kadar albumin serum biasanya kurang dari 2 g/dl (20g/L). Dan kadar kalsium serum total
menurun, karena penurunan fraksi terikat albumin. Kadar C3 biasanya normal.5
1. Terapeutik
Pada kasus sindrom nefrotik yang diketahui untuk pertama kalinya, sebaiknya penderita
di rawat di rumah sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi
pengaturan diet, penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi bagi orang
tua. Sebelum pengobatan steroid dimulai, dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan berikut:
17
- Pengukuran berat badan dan tinggi badan
- Pengukuran tekanan darah
- Pemeriksaan fisis untuk mencari tanda atau gejala penyakit. Sistemik, seperti
lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schonlein.
- Selama 6 bulan bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis
- Mencari fokus infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun kecacingan. Setiap infeksi
perlu dieradikasi lebih dahulu sebelum terapi steroid dimulai
- Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis. INH
diberikan obat antituberkulosis (OAT).
Perawatan pada sindrom nefrotik relaps dilakukan bila disertai edema anasarka yang berat atau
disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal ginjal, atau syok. Tirah baring tidak perlu
dipaksakan dan aktivitas disesuaikan dengan kemampuan pasien.
Pemberian diet tinggi protein tidak diperlukan. Bahkan sekarang dianggap kontra
indikasi, karena akan menambah beban glomerolus untuk mengeluarkan sisa metabolisme
protein (hiperfiltasi) dan menyebabkan terjadinya sklerosis glomerolus. Sehingga cukup
diberikan diet protein normal sesuai dengan RDA (Recommended Daily Allowances) yaitu
2gram/kgBB/hari. Diet rendah protein akan menyebabkan malnutrisi energy protein (MEP)
dan hambatan pertumbuhan anak. Diet rendah garam (1-2gram/hari) hanya diperlukan jika
anak menderita edema.
a. Pengobatan Inisial
Sesuai dengan anjuran ISKDC (International Study on Kidney Diseases in Children)
pengobatan inisial pada sindrom nefrotik dimulai dengan pemberian prednisone dosis penuh
(full dose) 60 mg/m2 LPB/hari (maksimal 80mg/hari), dibagi dalam 3 dosis, untuk
menginduksi remisi. Dosis prednisone dihitung berdasarkan berat badan ideal (berat badan
terhadap tinggi badan). Prednisone dalam dosis penuh inisial diberikan selama 4 minggu.
Setelah pemberian steroid dalam 2 minggu pertama, remisi telah terjadi pada 80% kasus, dan
remisi mencapai 94% setelah pengobatan steroid 4 minggu. Bila terjadi remisi pada remisi
pada 4 minggu pertama, maka pemberian steroid dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan
dosis 40mg/m2 LPB/hari (2/3 dosis awal) secara alternating (selang sehari), 1 kali sehari
setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi
remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten steroid. (Gambar 1)
18
b. Pengobatan Relaps
Meskipun pada pengobatan inisial terjadi remisi total pada 94% pasien, tetapi pada
sebagian besar akan mengalami relaps (60-70%) dan 50% diantaranya mengalami relaps
sering. Skema pengobatan relaps dapat dilihat di gambar 2, yaitu diberikan prednisone dosis
penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan prednisone dosis alternating
selama 4 minggu. Pada sindrom nefrotik yang mengalami proteinuria 2+ kembali tetapi tanpa
edema, sebelum dimulai pemberian prednisone, terlebih dahulu dicari pemicunya, biasanya
infeksi saluran napas atas. Bila ada infeksi, diberikan antibiotic 5-7 hari dan bila setelah
pemberian antibiotic kemudian proteinuria menghilang, tidak perlu diberikan pengobatan
relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria 2+ disertai edema, maka didiagnosis sebagai
relaps, dan diberi pengobatan relaps.
Jumlah kejadian relaps dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan inisial, sangat penting,
karena dapat meramalkan perjalanan penyakit selanjutnya. Berdasarkan relaps yang terjadi
dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan steroid inisial, pasien dapat dibagi dalam beberapa
penggolongan, yaitu :
1. Tidak ada relaps sama sekali (30%)
2. Relaps jarang : jumlah relaps < 2 kali (10-20%)
3. Relaps sering : jumlah relaps 2 kali (40-50%)
4. Dependen steroid : yaitu keadaan dimana terjadi relaps saat dosis steroid diturunkan
atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan, dalam hal ini terjadi 2 kali
berturut-turut.
Skema pengobatan relaps dapat dilihat pada Gambar 2, yaitu diberikan prednison dosis penuh
sampai remisi (maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan dosis alternating selama 4 minggu.
Pada pasien SN remisi yang mengalami proteinuria kembali ++ tetapi tanpa edema, sebelum
pemberian prednison, dicari lebih dahulu pemicunya, biasanya infeksi saluran nafas atas. Bila
terdapat infeksi diberikan antibiotik 5-7 hari, dan bila kemudian proteinuria menghilang tidak
19
perlu diberikan pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria ++ disertai edema,
maka diagnosis relaps dapat ditegakkan, dan prednison mulai diberikan.
Selain itu perlu dicari focus infeksi, seperti tuberculosis, infeksi di gigi atau
cacingan. Bila telah dinyatakan sebagai sindrom nefrotik relaps sering/dependen steroid,
setelah mencapai remisi dengan prednisone dosis penuh, diteruskan dengan steroid alternating
dengan dosis yang diturunkan perlahan/ bertahap 0,2mg/kgBB sampai dosis terkecil yang tidak
menimbulkan relaps yaitu antara 0,1-0,5mg/kgBB alternating. Dosis ini disebut threshold dan
dapat diteruskan selama 6-12 bulan, kemudian dicoba dihentikan. Umumnya anak usia sekolah
dapat mentolerir prednisone 0,5mg/kgBB dan anak usia pra sekolah sampai 1mg/kgBB secara
alternating.
20
Keterangan : prednisone dosis penuh setiap hari sampai remisi (maksimal 4 minggu),
dialnjutkan dengan prednisone alternating 40 mg/m2 LPB/hari dan imunosupresan/sitostatik
oral (siklofosfamid 2-3 mg/kgBB/hari) dosis tunggal selama 8 minggu
Keterangan : prednisone dosis penuh setiap hari sampai remisi (maksimal 4 minggu)
dilanjutkan dengan siklofosfamid plus dengan dosis 500-750 mg/m2 LPB diberikan melalui
infuse 1x sebulan selama 6 bulan berturut-turut dan prednisone alternating 40 mg/m2 LPB/hari
selama 12 minggu. Kemudian prednisone di-tapering-off dengan dosis 1 mg/kgBB/hari selama
1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5mg/kgBB/hari selama 1 bulan (lama tapering-off 2 bulan).
Atau prednisone dosis penuh setiap hari sampai remisi (maksimal 4 minggu) dilanjutkan
dengan siklofosfamid oral 2-3 mg/kgBB/hari dosis tunggal selama 12 minggu dan prednisone
alternating 40 mg/m2 LPB/hari selama 12 minggu. Kemudian prednisone di-tapering-off
dengan dosis 1 mg/kgBB/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5mg/kgBB/hari selama 1
bulan (lama tapering-off 2 bulan).
21
Siklosporin (CyA)
Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid atau sitostatik dianjurkan
untuk pemberian siklosporin dengan dosis 4-5 mg/kgbb/hari (100-150 mg/m2 LPB). Dosis
tersebut dapat mempertahankan kadar siklosporin darah berkisar antara 150-250 ng/mL. Pada
SN relaps sering atau dependen steroid, CyA dapat menimbulkan dan mempertahankan remisi,
sehingga pemberian steroid dapat dikurangi atau dihentikan, tetapi bila CyA dihentikan,
biasanya akan relaps kembali (dependen siklosporin). Efek samping dan pemantauan
pemberian CyA dapat dilihat pada bagian penjelasan SN resisten steroid.
22
Mikofenolat mofetil (mycophenolate mofetil = MMF)
Pada SNSS yang tidak memberikan respons dengan levamisol atau sitostatik dapat diberikan
MMF. MMF diberikan dengan dosis 800 1200 mg/m2 LPB atau 25-30 mg/kgbb bersamaan
dengan penurunan dosis steroid selama 12 - 24 bulan. Efek samping MMF adalah nyeri
abdomen, diare, leukopenia.
23
12 minggu. Metilprednisolon dosis 30 mg/kgbb (maksimum 1000 mg)
dilarutkan dalam 50-100 mL glukosa 5%, diberikan dalam 2-4 jam
Setiap relaps nefrosis diobati dengan cara yang sama. Kekambuhan didefinisikan
sebagai berulangnya edema dan bukan hanya proteinuria. Karena pada anak dengan
keadaan ini menderita proteinuria intermiten yang menyembuh spontan. Sejumlah kecil
pasien yang berespon terhadap terapi dosis terbagi setiap hari, akan mengalami
kekambuhan segera setelah perubahan ke atau setelah penghentian terapi selang sehari,
penderita demikian disebut tergantung steroid.
Bila ada kekambuhan berulang dan terutama jika anak menderita toksisitas steroid
(muka cushingoid, hipertensi, gagal tumbuh) harus dipikirkan terapi imuno supresif
lain.
2. Pengobatan suportif
Dalam penanganan pasien sindrom nefrotik harus diperhatikan tidak saja pendekatan
farmakologis terhadap penyakit glomerular yang mendasarinya. Tapi juga ditujukan
terhadap pencegahan dan pengobatan sekuele yang menyertainya. Pengobatan suportif
sangat penting bagi pasien yang tidak memberi respon terhadap pengobatan
imunosupresif dan karena itu mudah mendapat komplikasi Sindrom nefrotik yang
berkepanjangan.
24
- Terapi dietetik 1,2
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan loop
diuretic seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasikan dengan
spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4 mg/kgbb/hari.
Sebelum pemberian diuretik, perlu disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pada
pemakaian diuretik lebih dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit
kalium dan natrium darah.
Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter), biasanya terjadi karena
hipovolemia atau hipoalbuminemia berat ( 1 g/dL), dapat diberikan infus
albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam untuk menarik cairan dari
jaringan interstisial dan diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2
mg/kgbb. Bila pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma 20
ml/kgbb/hari secara pelan-pelan 10 tetes/menit untuk mencegah terjadinya
komplikasi dekompensasi jantung. Bila diperlukan, suspensi albumin dapat
diberikan selang-sehari untuk memberi kesempatan pergeseran cairan dan mence-
gah overload cairan. Bila asites sedemikian berat sehingga mengganggu
pernapasan dapat dilakukan pungsi asites berulang.
25
- Imunisasi
Pasien SN yang sedang mendapat pengobatan kortikosteroid >2 mg/kgbb/ hari
atau total >20 mg/hari, selama lebih dari 14 hari, merupakan pasien
imunokompromais.11 Pasien SN dalam keadaan ini dan dalam 6 minggu
setelah obat dihentikan hanya boleh diberikan vaksin virus mati, seperti IPV
(inactivated polio vaccine). Setelah penghentian prednison selama 6 minggu
dapat diberikan vaksin virus hidup, seperti polio oral, campak, MMR, varisela.
Semua anak dengan SN sangat dianjurkan untuk mendapat imunisasi terhadap
infeksi pneumokokus dan varisela.
26
dengan dosis rendah dan secara progresif ditingkatkan sampai dosis toleransi
maksimal.
Obat-obat anti inflamasi nonsteroid dapat menurunkan protreinuia sampai
50%, efek ini disebabkan karena menurunnya permeabilitas kapiler terhadap
protein, nenurunnya tekanan kapiler intraglomerural dan atau karena
menurunnya luas permukaan filtrasi. Indometasin (150mg/hari) dan
meklofenamat (200-300mg/hari) merupakan obat yang sering dipakai.
n-3 asam lemak takjenuh (polyunsaturated fatty acid) dapat mengurangi
proteinuria sebanyak 30% tanpa efek samping yang berarti.
- Hiperlipidemia
- Hiperkoagulabilitas
27
Komplikasi
1. Infeksi
Infeksi merupakan komplikasi utama dari sindrom nefrotik, komplikasi ini akibat dari
meningkatnya kerentanan terhadap infeksi bakteri selama kambuh. Peningkatan
kerentanan terhadap infeksi disebabkan oleh5:
kadar IgG pada anak dengan sindrom nefrotik sering sangat menurun, dimana
pada suatu penelitian didapkan rata-rata 18% dari normal. Sedangkan kadar
IgM meningkat. Hal ini menunjukan kemungkinan ada kelainan pada konversi
yang diperantarai sel T pada sintesis IgG dan IgM
- defisiensi protein,
- Streptococcus pneumoniae,
- Haemophilus influenzae,
- Escherichia coli,
Peritonitis spontan merupakan jenis infeksi yang paling sering, belum jelas sebabnya.
Jenis infeksi lain yang dapat ditemukan antara lain; sepsis, pnemonia, selulitis dan ISK.
28
Terapi profilaksis yang mencakup gram positif dan gram negatif dianggap penting
untuk mencegah terjadinya peritonitis. 5
Kelainan hemostatic ini bergantung dari etiologi nefrotik sindrom, pada kelainan
glomerulopati membranosa sering terjadi komplikasi ini, sedang pada kelainan minimal
jarang menimbulkan komplikasi tromboembolism1,2. Pada sindrom nefrotik terdapat
peningkatan faktor-faktor I, II, VII, VII, dan X yang disebabkan oleh meningkatnya
sintesis oleh hati dan dikuti dengan peningkatan sintesis albumin serta lipoprotein.
Terjadi kehilangan anti trombin II, menurunya kadar plasminogen, fibrinogen plasma
meningkat dan konsentrasi anti koagulan protein C dan protein S meningkat dalam
plasma4. Secara ringkas kelainan hemostatik pada Sindrom nefrotik dapat timbul dari
dua mekanisme yang berbeda2:
meningkatnya degradasi renal dan hilangnya protein dalam urin seperti anti
trombin III, protein S bebas, plasminogen dan antiplasmin
3. Pertumbuhan abnormal
Pada anak dengan sindrom nefrotik dapat terjadi gangguan pertumbuhan (failure to
thrive), hal ini dapat disebabkan anoreksia hypoproteinemia, peningkatan katabolisme
protein, atau akibat komplikasi penyakit infeksi, mal absorbsi karena edem saluran
gastrointestinal.1,2
29
terutama apabila dosis melampaui 5mg/m2/hari. Walau selama pengobatan
kortikosteroid tidak terdapat pengurangan produksi atau sekresi hormon pertumbuhan,
tapi telah diketahui bahwa kortikosteroid mengantagonis efek hormon pertumbuhan
endogen atau eksogen pada tingkat jaringan perifer , melalui efeknya terhadap
somatomedin.
Pada pasien Sindrom nefrotik berbagai gangguan hormon timbul karena protein
pengikat hormon hilang dalam urin. Hilangnya globulin pengikat tiroid (TBG) dalam
urin pada beberapa pasien Sindrom nefrotik dan laju eksresi globulin umumnya
berkaitan dengan beratnya proteinemia. Hipo kalsemia pada sindrom nefrotik berkaitan
dengan disebabkan oleh albumin serum yang rendah dan berakibat menurunnya
kalsium terikat, tetapi fraksi trionisasi tetap normal dan menetap.2
5. Anemia
Prognosis
Hanya sekitar 20% pasien sindrom nefrotik dengan fokal segmental glomerulonefritis
sklerosis, yang mengalami remisi derajat protenurianya, banyak pasien yang mengalamai
30
relaps menjadi steroid dependen atau resisten. Penyakit renal stadium akhir terjadi pada 25-
30% pasien dalam lima tahun, dan 30-40% dalam sepuluh tahun.
31
DAFTAR PUSTAKA
2. Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO: Sindrom Nefrotik, Buku Ajar
Nefrologi Anak. Edisi 2. Balai Penerbit FKUI, Jakarta 2004
5. Behram, Kleigman, Arvin. Nelson, Ilmu Kesehatan Anak. Ed 15. EGC Jakarta 2000
th
6. Kliegman, Behrman, Jenson, Stanton. 2007. Nelson Textbook of Pediatric 18 ed.
Saunders. Philadelpia.
7. Mansjoer Arif, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 2, Media Aesculapius : Jakarta. 2000
32