TINJAUAN PUSTAKA
Demam berdarah dengue (Dengue Hemoragic Fever (DHF) ialah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri
sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik.
Sindrom rejatan dengue adalah penyakit DHF yang disertai rejatan1.
Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus DBD sangat
kompleks, yaitu :
1. Pertumbuhan penduduk yang tinggi
2. Urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali
3. Tidak adanya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis
4. Peningkatan sarana transportasi
Morbiditas dan mortalitas infeksi virus dengue dipengaruhi berbagai faktor antara lain
status imunitas pejamu, kepadatan vektor nyamuk, transmisi virus dengue, keganasan
(virulensi) virus dengue, dan kondisi geografis setempat. Pola berjangkit infeksi virus dengue
dipengaruhi oleh iklim dan kelembaban udara. Di Indonesia, karena suhu udara dan
kelembaban tidak sama di setiap tempat, maka pola waktu terjadinya penyakit agak berbeda
untuk setiap tempat. Di Jawa pada umumnya infeksi virus dengue terjadi mulai awal Januari,
meningkat terus sehingga kasus terbanyak terdapat pada sekitar bulan April-Mei setiap tahun.
ETIOLOGI
Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan oleh virus dengue yang termasuk
kelompok B Arthropod Borne Virus (Arboviroses) yang sekarang dikenal sebagai genus
Flavivirus , famili Flaviviridae, dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu ; DEN-1, DEN-2,
DEN-3, dan DEN-4 . Di Indonesia serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan
diasumsikan banyak yang menunjukkan manifestasi klinik yang berat. Di indonesia vektor
utamanya adala nyamuk Aedes aegypti, di samping itu pula ada nyamuk Aedes albopictus.
Vektor ini bersarang di bejana-bejana yang berisi air jernih dan tawar seperti bak mandi,
drum penampungan air, kaleng bekas, dan lainnya3,4.
VEKTOR DBD dan CARA PENULARAN
Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus dengue,
yaitu manusia, virus dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan kepada manusia melalui
gigitan nyamuk Aedes aegypti5. Nyamuk Aedes albopictus, Aedes polynesienesis dan
beberapa spesies yang lain dapat juga menularkan virus ini, namun merupakan vektor yang
kurang banyak berperan. Nyamuk Aedes menggigit manusia mengandung virus dengeu
(viremia) Virus dalam kelenjar liur nyamuk berkembang biak 8-10 hari (extrinsic
incubation period) dalam tubuh nyamuk mengigit manusia sehat masa tunas 4-6 hari
(intrinsic incubation period) Demam dengue. Penularan dari manusia kepada nyamuk
hanya dapat terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2
hari sebelum panas sampai 5 hari setelah demam timbul.
Tidak semua orang yang digigit nyamuk Aedes aegypti yang membawa virus dengue,
akan terserang penyakit demam berdarah. Orang yang mempunyai kekebalan yang cukup
terhadap virus dengue, tidak akan terserang penyakit ini, meskipun dalam darahnya terdapat
virus itu6. Sebaliknya pada orang yang tidak mempunyai kekebalan yang cukup terhadap
virus dengue, dia akan sakit demam ringan atau bahkan sakit berat, yaitu demam tinggi
disertai perdarahan bahkan syok, tergantung dari tingkat kekebalan tubuh yang dimilikinya.
Ada 2 teori tentang terjadinya manifestasi yang lebih berat itu yang dikemukakan oleh
pakar demam berdarah dunia:
1. Teori infeksi primer/teori virulensi : yaitu munculnya manifestasi itu disebabkan karena
adanya mutasi dari virus dengue menjadi lebih virulen.
2. Teori infeksi sekunder : yaitu munculnya manifestasi berat bila terjadi infeksi ulangan
oleh virus dengue yang serotipenya berbeda dengan infeksi sebelumnya.
PATOGENESIS
Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia melalui gigitan nyamuk dan infeksi
pertama kali mungkin memberi gejala DF. Reaksi tubuh merupakan reaksi yang biasa terlihat
pada infeksi oleh virus. Reaksi yang amat berbeda akan tampak, bila seseorang mendapat
infeksi berulang dengan tipe virus yang berlainan. Berdasarkan hal ini timbullah yang disebut
dengan the secondary heterologous infection atau the sequential infection hypothesis yang
dianut oleh sebagian besar pakar dewasa ini6. Hipotesis ini menyatakan bahwa DBD dapat
terjadi bila seseorang setelah terinfeksi virus dengue pertama kali, mendapat infeksi berulang
virus dengue lainnya. Re-infeksi ini akan menyebabkan suatu reaksi anamnestik antibodi,
sehingga menimbulkan konsentrasi kompleks antigen-antibodi (kompleks virus-antibodi)
yang tinggi.
Teraktifasinya sistem komplemen dilepaskan C3a dan C5a meningkatnya
permeabilitas dinding pembuluh darah ekstravasasi cairan plasma dari intra ke
ekstravaskular volume plasma intravascular menurun hemokonsentrasi rejatan
Kemudian yang berikutnya yang kedua, Agregasi trombosit melepaskan ADP
trombosit mengalami metamorfosis trombosit rusak dimusnahkan oleh RES terutama
terjadi di hati trombositopenia hebat perdarahan.
Dan yang ketiga ialah,terjadinya aktivasi faktor Hageman (faktor XII) dengan akibat
akhir terjadinya pembekuan intravaskular yang meluas. Dalam proses aktivasi ini,
plasminogen akan menjadi plasmin yang berperan dalam pembentukan anafilatoksin dan
penghancuran fibrin menjadi fibrin degradation product. Disamping itu aktivasi akan
merangsang sistem kinin yang berperan dalam proses meningginya permeabilitas dinding
pembuluh darah.
PATOFISIOLOGI9
plasma
Penghancuran Pengeluaran Aktivasi faktor Hageman
Trombosit Platelet
Oleh RES Faktor III
Perdarahan SYOK
Masif
Setelah virus dengue masuk kedalam tubuh, pasien akan mengalami keluhan dan gejala
karena viremia, seperti demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal seluruh badan, hiperemia
di tenggorok, timbulnya ruam dan kelainan yang mungkin terjadi pada sistem
retikuloendotelial seperti pembesaran kelenjar-kelenjar getah bening, hati dan limpa. Ruam
pada DF disebabkan oleh kongesti pembuluh darah di bawah kulit.
Fenomena patofisiologi utama yang menentukan berat penyakit dan membedakan DF
dengan DBD ialah meningginya permeabilitas dinding kapiler karena penglepasan zat
anafilatoksin, histamin dan serotonin serta aktivasi sistem kalikrein yang berakibat
ekstravasasi cairan intravaskular. Hal ini berakibat mengurangnya volume plasma, terjadinya
hipotensi, hemokonsentrasi, hipoproteinemia, efusi dan renjatan. Plasma merembes selama
perjalanan penyakit mulai dari saat permulaam demam dan mencapai puncaknya pada saat
renjatan. Pada pasien dengan renjatan berat volume plasma dapat menurun sampai lebih dari
30 %.
Fungsi agregasi trombosit menurun mungkin disebabkan proses imunologis terbukti
dengan terdapatnya kompleks imun dalam peredaran darah. Kelainan sistem koagulasi
disebabkan di antaranya oleh kerusakan hati yang fungsinya memang terbukti terganggu oleh
aktivasi sistem koagulasi. Masalah terjadi tidaknya DIC pada DBD/DSS, terutama pada
pasien dengan perdarahan hebat, sejak lama telah menjadi perdebatan.
Telah dibuktikan bahwa DIC secara potensial dapat terjadi juga pada pasien DBD
tanpa renjatan. Dikatakan pada masa dini DBD, peran DIC tidak menonjol dibandingkan
dengan perembesan plasma, tetapi bila penyakit memburuk dengan terjadinya asidosis dan
renjatan, maka renjatan akan memperberat DIC sehingga perannya akan menonjol.
GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis amat bervariasi, dari yang amat ringan (silent dengue infection)
hingga yang sedang seperti DF, sampai ke DBD dengan manifestasi demam akut, perdarahan
serta kecenderungan terjadi renjatan yang dapat berakibat fatal. Masa inkubasi dengue antara
3-15 hari, rata-rata 5-8 hari7.
Pada DF, suhu meningkat tiba-tiba, disertai sakit kepala, nyeri yang hebat pada otot
dan tulang (break bone fever), mual, kadang-kadang muntah dan batuk ringan. Sakit kepala
dapat menyeluruh atau berpusat pada daerah supraorbita atau retroorbital. Nyeri di bagian
otot terutama dirasakan bila tendon dan otot perut ditekan. Sekitar mata mungkin ditemukan
pembengkakan, injeksi konjungtiva, lakrimasi dan fotofobia. Otot-otot sekitar mata terasa
pegal.
Eksantem yang klasik ditemukan dalam 2 fase, mula-mula pada awal demam (intial rash)
terlihat jelas pada muka dan dada, berlangsung selama beberapa jam dan biasanya tidak
diperhatikan oleh pasien. Ruam berikutnya (terminal rash) mulai antara hari ke 3-6, mula-
mula berbentuk makula-makula besar yang kemudian timbul bercak-bercak petechiae pada
dasarnya. Hal ini terlihat pada lengan dan kaki, kemudian menjalar cepat ke seluruh tubuh.
Pada saat suhu turun ke normal, ruam ini berkurang dan cepat menghilang, bekas-bekasnya
kadang-kadang terasa gatal.
Pada sebagian pasien ditemukan kurva suhu yang bifasik (saddle back fever).
Pemeriksaan fisis pasien DF hampir tidak ditemukan kelainan. Nadi pasien mula-mula cepat
dan menjadi normal atau lebih lambat pada hari ke-4 dan ke-5. Bradikardia dapat menetap
untuk beberapa hari dalam masa penyembuhan.
Lidah sering kotor dan kadang-kadang pasien sukar buang air besar, terkadang dapat
diraba pembesaran kelenjar yang konsistensinya lunak dan tak nyeri. Pada pasien DBD,
gejala perdarahan mulai pada hari ke-3 atau ke-5 berupa petechiae, purpura, ekimosis,
hematemesis, melena dan epiktasis. Hati umumnya membesar dan nyeri tekan, tetapi
pembesaran hati tidak sesuai dengan beratnya penyakit dan tidak dijumpai ikterus.
Pada awal perjalanan penyakit, DBD dapat menyerupai kasus DF dengan
kecenderungan perdarahan dengan satu manifestasi klinis atau lebih, yaitu :
Uji tourniquet positif
Petechiae, ekimosis atau purpura
Perdarahan mukosa (epistaksis, perdarah gusi)
Hematemesis atau melena
Trombositopenia (jumlah trombosit < 100.000 mm3)
Hemokonsentrasi sebagai akibat dari peningkatan permeabilitas kapiler dengan
manifestasi satu atau lebih, yaitu :
Peningkatan hematokrit > 20 % dibandingkan standar sesuai umur dan jenis
kelamin
Penurunan hematokrit > 20 % setelah mendapatkan pengobatan cairan
Tanda perembesan plasma, yaitu efusi pleura, asites atau proteinemia
Demam pada DBD berlangsung 2-7 hari, kemudian turun secara cepat. Kadang-
kadang suhu tubuh sangat tinggi hingga 40C dan dapat dijumpai kejang demam. Akhir fase
demam merupakan fase kritis pada DBD, oleh karena fase tersebut merupakan fase kritis
pada DBD, oleh karena fase tersebut dapat merupakan awal penyembuhan tetapi dapat pula
sebagai awal fase syok8.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
hematokrit 20% dari hematokrit awal, umumnya dimulai pada hari ke-3 demam.
c. Leukosit : Dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemukan limfositosis
relative dan LPB > 15% dari jumlah total leukosit yang pada fase syok akan meningkat.
PEMERIKSAAN RADIOLOGIS
Pada foto thoraks didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitorak kanan tetapi apabila
terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada kedua hemitoraks.
Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya dalam posisi lateral dekubitus kanan. Asites dan
DIAGNOSIS
Kriteria Klinis
a. Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus selama 2-7
hari
b. Terdapat manifestasi perdarahan, termasuk uji touniquet positif, petechiae, ekimosis,
epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan atau melena
c. Pembesaran hati
d. Syok, ditandai nadi cepat atau lemah serta penurunan tekanan nadi hipotensi, kaki dan
tangan dingin, kulit lembab dan pasien tampak gelisah
Kriteria Laboratoris
a. Trombositopenia (100.000 /mm3 atau kurang)
b. Hemokonsentrasi, dapat dilihat dari peningkatan hematokrit 20 % atau lebih, menurut
standar umum dan jenis kelamin
Diagnosis ditegakkan bila didapatkan 2 atau lebih gejala klinis disertai trombositopenia
dengan atau tanpa hemokonsentrasi. Efusi pleura dan atau hipoalbuminemia dapat
memperkuat diagnosis terutama pada pasien anemi dan atau terjadi perdarahan. Pada kasus
syok, adanya peningkatan hematokrit dan adanya trombositopenia mendukung diagnosis
DBD.
Pada seleksi pertama diagnosis ditegakkan berdasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan fisis
serta hasil pemeriksaan Hb, Ht, dan jumlah trombosit.
Indikasi rawat penderita DBD dewasa pada seleksi pertama ialah :
1. DBD dengan syok atau tanpa perdarahan
2. DBD dengan perdarahan masif dengan atau tanpa syok
3. DBD tanpa perdarahan masif dengan :
a. Hb, Ht normal dengan trombositopenia < 100.000 / mm3
b. Hb, Ht yang meningkat dengan trombositopenia < 150.000 / mm3
Pada kasus yang meragukan untuk sementara penderita tetap diobservasi di IGD
dengan ajuran minum yang banyak, serta diberikan infus Ringer Laktat sebanyak 500 cc
dalam empat jam. Setelah itu dilakukan pemeriksaan ulang Hb, Ht, dan trombosit.
Penderita dirawat apabila didapatkan hasil sebagai berikut :
1. Hb, Ht dalam batas normal dengan jumlah trombosit kurang dari 100.000/ mm3
2. Hb, Ht yang meningkat dengan trombositopenia kurang dari 150.000 / mm3
Dikenal 5 jenis uji serologik yang biasa dipakai untuk menentukan adanya infeksi
virus dengue, yaitu :
1) Uji hemaglutinasi inhibisi (haemagglutination Inhibition test = HI test)
2) Uji komplemen fiksasi (Complement Fixation test = CF test)
3) Uji neutralisasi (Neutralization test = NT test)
4) IgM Elisa (Mac Elisa)
5) IgG Elisa
Pada infeksi sekunder Dengue Fever IgG akan timbul secara cepat dan dominan setelah
onset dari gejala timbul, puncaknya ialah 2 minggu setelah onset gejala awal dan akan
bertahan kemudian akan menurun selama kurang lebih 3-6 bulan setelah infeksi, dan IgM
tidak selalu muncul pada infeksi sekunder. Dan IgG ini sangat dominan pada infeksi
sekunder17.
Penatalaksanaan
Perhimpunan dokter penyakit dalam telah menyusun protocol penatalaksanaan DBD
pada pasien dewasa berdasarkan criteria :
Protokol ini digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan pertama pada
penderita DBD atau yang diduga DBD di instalasi Gawat Darurat dan juga dipakai sebagai
petunjuk dalam memutuskan indikasi rawat. Seseorang yang tersangka menderita DBD
diruang Gawat Darurat dilakukan pemeriksaan hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht), dan
trombosit bila :
Hb,Ht, dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000-150.000,
pasien dapat dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan.
Hb,Ht normal tetapi trombosit <100.000 dianjurkan untuk dirawat
Hb,Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga harus dirawat.
Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan massif dan tanp syok maka di
ruang awat diberikan cairan infus kristaloid dengan rumus :
1500 + { 20 x BB dalam kg 20}
Setelah pemberian cairan dilakukan pemeriksaan Hb, Ht tiap 24 jam :
Bila Hb,Ht meningkat 10-20 % dan trombosit < 100.000 jumlah pemberian cairan
tetap seperti rumus diatas tetapi pemantauan Hb,Ht dan trombosit dilakukan tiap 12
jam
Bila Hb,Ht meningkat > 20 % dan trombosit < 100.000, maka pemberian cairan
sesuai dengan protocol penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht > 20%.
c. Protokol 3 : Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht>20%
Pada keadaan ini terapi awal adalah pemberian cairan adalah dengan memberikan infuse
cairan kristaloid sebanyak 6-7 ml/kg/jam.Pasien dipantau setelah 3-4 jam pemberian
cairan. Bila keadaan membaik maka jumlah cairan iufus dikurangi. Bila keadaan tidak
kunjung membaik maka jumlah cairan infuse ditambah sampai keadaan membaik.
Perdarahan spontan dan massif pada pasien DBD adalah perdarahan hidung, perdarahan
saluran cerna, perdarahan saluran kencing, perdarahan otak dll. Pemeriksaan tanda vital
dilakukan sesering mungkin. Pemeriksaan Hb, Ht, dan trombosit dilakukan tiap 4-6 jam.
Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratories didapatkan tanda-tanda
koagulasi intravascular diseminata. Transfusi komponen darah diberikan sesuai indikasi.
Pada dokumen Renstra Kemenkes tahun 2010-2014 tertuang visi dan misi serta nilai-nilai
dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia, yang menjadi dasar
dalam penentuan kebijakan dan strategi pengendalian DBD di Indonesia.
Guna mewujudkan visi dan misi rencana strategis pembangunan kesehatan, Kementerian
Kesehatan menganut dan menjunjung tinggi nilai-nilai
yaitu :
a. Pro Rakyat yang artinya dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan, Kemenkes
selalu mendahulukan kepentingan rakyat dan menghasilkan yang terbaik untuk rakyat.
c. Responsif yang dimaksud adalah program kesehatan harus sesuai dengan kebutuhan dan
keinginan rakyat, serta tanggap dalam mengatasi permasalahan di daerah, situasi kondisi
setempat, sosial budaya dan kondisi geografis.
d. Efektif untuk mencapai hasil yang signifikan sesuai target yang telah ditetapkan dan
bersifat efisien.
e. Bersih, bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), transparan dan
akuntabel.
Adapun sasaran strategis dalam pembangunan kesehatan 2011-2014
antara lain adalah :
e. Meningkatkan ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan obat dan alat kesehatan serta
menjamin keamanan/khasiat, kemanfaatan, dan mutu sediaan farmasi, alat kesehatan dan
makanan.
a. Visi
b. Misi
1) Program pengendalian DBD bertujuan untuk menghentikan dan mencegah penularan
penyakit dari penderita ke orang sehat melalui pengendalian vektor.
1) Meningkatkan perilaku dalam hidup sehat dan kemandirian terhadap pengendalian DBD.
1) Pemberdayaan masyarakat
Meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pencegahan dan pengendalian penyakit DBD
merupakan salah satu kunci keberhasilan upaya pengendalian DBD. Untuk mendorong
meningkatnya peran aktif masyarakat, maka KIE, pemasaran sosial, advokasi dan berbagai
upaya penyuluhan kesehatan lainnya dilaksanakan secara intensif dan berkesinambungan
melalui berbagai media massa maupun secara berkelompok atau individual dengan
memperhatikan aspek sosial budaya yang lokal spesifik.
Upaya pengendalian DBD tidak dapat dilaksanakan oleh sektor kesehatan saja, peran sektor
terkait pengendalian penyakit DBD sangat menentukan. Oleh sebab itu maka identifikasi
stake-holders baik sebagai mitra maupun pelaku potensial merupakan langkah awal dalam
menggalang, meningkatkan dan mewujudkan kemitraan. Jejaring
kemitraan diselenggarakan melalui pertemuan berkala guna memadukan berbagai sumber
daya yang tersedia dimasing-masing mitra. Pertemuan berkala sejak dari tahap perencanaan
sampai tahap pelaksanaan, pemantauan dan penilaian melalui wadah Kelompok Kerja
Operasional (POKJANAL DBD) di berbagai tingkatan administrasi.
SDM yang terampil dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan salah satu
unsur penting dalam mencapai keberhasilan pelaksanaan program pengendalian DBD.
4) Desentralisasi
Meningkatkan mutu lingkungan hidup yang dapat mengurangi risiko penularan DBD kepada
manusia, sehingga dapat menurunkan angka kesakitan akibat infeksi Dengue/DBD.
c. Sasaran
Berdasarkan strategi yang telah dirumuskan, maka sasaran pengendalian DBD adalah :
1) Individu, keluarga dan masyarakat di tujuh tatanan dalam PSN yaitu tatanan rumah tangga,
institusi pendidikan, tempat kerja, tempat-tempat umum, tempat penjual makanan, fasilitas
olah raga dan fasilitas kesehatan yang secara keseluruhan di daerah terjangkit DBD mampu
mengatasi masalah termasuk melindungi diri dari penularan DBD di dalam wadah organisasi
kemasyarakatan yang ada dan mengakar di masyarakat.
2) Lintas program dan lintas sektor terkait termasuk swasta/dunia usaha, LSM dan organisasi
kemasyarakatan mempunyai komitmen dalam penanggulangan penyakit DBD.
a. Surveilans epidemiologi
Surveilans pada pengendalian DBD meliputi kegiatan surveilans kasus secara aktif maupun
pasif, surveilans vektor (Aedes sp), surveilans laboratorium dan surveilans terhadap faktor
risiko penularan penyakit seperti pengaruh curah hujan, kenaikan suhu dan kelembaban serta
surveilans akibat adanya perubahan iklim (climate change).
Penyediaan sarana dan prasarana untuk melakukan pemeriksaan dan penanganan penderita di
Puskesmas dan Rumah Sakit.
c. Pengendalian vektor
Upaya pengendalian vektor dilaksanakan pada fase nyamuk dewasa dan jentik nyamuk. Pada
fase nyamuk dewasa dilakukan dengan cara pengasapan untuk memutuskan rantai penularan
antara nyamuk yang terinfeksi kepada manusia. Pada fase jentik dilakukan upaya PSN
dengan kegiatan 3M Plus :
Sasaran peran serta masyarakat terdiri dari keluarga melalui peran PKK dan organisasi
kemasyarakatan atau LSM, murid sekolah melalui UKS dan pelatihan guru, tatanan institusi
(kantor, tempat0tempat umum dan tempat ibadah). Berbagai upaya secara polotis telah
dilaksanakan seperti instruksi Gubernur/Bupati/Walikota, Surat Edaran Mendagri,
Mendiknas, serta terakhir pada 15 Juni 2011 telah dibuat suatu komitmen bersama pimpinan
daerah Gubernur dan Bupati/Walikota untuk pengenadalian DBD.
f. Penyuluhan
Promosi kesehatan tentang penyakit DBD tidak hanya menyebarkan leaflet atau poster tetapi
juga ke arah perubahan perilaku dalam pemberantasan sarang nyamuk sesuai dengan kondisi
setempat. Metode ini antara lain dengan COMBI, PLA dsb.
g. Kemitraan/jejaring kerja
Disadari bahwa penyakit DBD tidak dapat diselesaikan hanya oleh sektor kesehatan saja,
tetapi peran lintas program dan lintas sektor terkait sangat besar. Wadah kemitraan telah
terbentuk melalui SK KEPMENKES 581/1992 dan SK MENDAGRI 441/1994 dengan nama
Kelompok Kerja Operasional (POKJANAL). Organisasi ini merupakan wadah koordinasi
dan jejaring kemitraan dalam pengendalian DBD.
h. Capacity building
Peningkatan kapasitas dari Sumber Daya baik manusia maupun sarana dan prasarana sangat
mendukung tercapainya target dan indikator dalam pengendalian DBD. Sehingga secara rutin
perlu diadakan sosialisasi/penyegaran/pelatihan kepada petugas dari tingkat kader,
Puskesmas sampai dengan pusat.
Penelitian dan upaya pengembangan kegiatan pengendalian tetap terus dilaksanakan oleh
berbagai pihak, antara lain universitas, Rumah Sakit, Litbang, LSM dll. Penelitian ini
menyangkut beberapa aspek yaitu bionomik vektor, penanganan kasus, laboratorium,
perilaku, obat herbal dan saat ini sedang dilakukan uji coba terhadap vaksin DBD.
Monitoring dan evaluasi ini dilaksanakan secara berjenjang dari tingkat kelurahan/desa
sampai ke pusat yang menyangkut pelaksanaan pengendalian DBD, dimulai dari input,
proses, output dan outcome yang dicapai pada setiap tahun.
Penyakit akibat kerja adalah setiap penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau
lingkungan kerja (pasal 1, peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi nomor
PER.01/MEN/1981) tentang kewajiban melapor penyakit akibat kerja. Definisi yang
digunakan dalam keputusan Menteri Tenaga Kerja No.KEPTS.333/MEN/1989 tentang
Pelaporan Penyakit Akibat Kerja merujuk pada ketentuan Permen Nakertrans
No.PER.01/MEN/1981.3 Penyakit yang timbul karena hubungan kerja adalah penyakit
yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja (Pasal 1, Keputusan Presiden
Nomor 22 Tahun 1993 tentang Penyakit yang Timbul karena Hubungan Kerja (Keppres
No.22 Tahun 1993 ; Handayani,2008).
Terdapat 3 istilah untuk suatu kelompok penyakit yang sama yaitu penyakit yang timbul
karena hubungan kerja, penyakit yang disebabkan karena pekerjaan atau lingkungan
kerja dan penyakit akibat kerja. Ketiga istilah tersebut mempunyai pengertian yang sama
dan masing-masing memiliki dasar hukum perundang-undangan yang menjadi
landasannya (Sumamur, 2006).
Faktor Penyebab terjadinya Penyakit Akibat Kerja dan Kecelakaan Akibat Kerja antara
lain faktor manusia (pekerja), jenis pekerjaan yang dilakukan dan proses kerja (bahan
baku, peralatan kerja dan lingkungan tempat kerja) (Markkanen, 2004).
Pada umumnya faktor penyebab dapat dikelompokkan dalam 5 golongan (Sulistoma,
2002):
a. Golongan fisik
Contohnya: suara (bising), radiasi, suhu (panas/dingin), tekanan yang sangat tinggi,
vibrasi, penerangan lampu yang kurang baik.
b. Golongan kimiawi
Bahan kimiawi yang digunakan dalam proses kerja, maupun yang terdapat dalam
lingkungan kerja, dapat berbentuk debu, uap, gas, larutan dan kabut.
c. Golongan biologis
Bakteri, virus atau jamur
d. Golongan fisiologis
Biasanya disebabkan oleh penataan tempat kerja dan cara kerja
e. Golongan psikososial
Lingkungan kerja yang mengakibatkan stress.
4. Tentukan apakah jumlah pajanan yang dialami cukup besar untuk dapat
mengakibatkan penyakit tersebut.
Jika penyakit yang diderita hanya dapat terjadi pada keadaan pajanan tertentu, maka
pajanan yang dialami pasien di tempat kerja menjadi penting untuk diteliti lebih lanjut
dan membandingkannya dengan kepustakaan yang ada untuk dapat menentukan
diagnosis penyakit akibat kerja.
C. Kecelakaan Kerja
Kecelakaan adalah kejadian yang tidak terduga dan tidak diharapkan. Tidak terduga oleh
karena dibelakang peristiwa itu tidak terdapat unsur kesengajaan, lebih-lebih dalam
bentuk perencanaan. Kecelakaan menurut Sumamur (1987) adalah suatu kerjadian tidak
diduga dan tidak dikehendaki yang mengacaukan proses suatu aktivitas yang telah
diatur. Kecelakaan akibat kerja adalah berhubungan dengan hubungan kerja pada
perusahaan. Hubungan kerja disini dapat berarti bahwa kecelakaan terjadi dikarenakan
pekerjaan atau pada waktu pekerjaan berlangsung (Silalahi, 2003).
Oleh karena itu, kecelakaan akibat kerja ini mencakup dua permasalahan pokok, yakni
(Aditama, 2002):
1. Kecelakaan adalah akibat langsung pekerjaan
2. Kecelakaan terjadi pada saat pekerjaan sedang dilakukan.
Bennett Silalahi dan Rumondang Silalahi menyatakan bahwa kecelakaan kerja adalah
setiap perbuatan atau kondisi tidak selamat yang dapat mengakibatkan kecelakaan.
Adapun pengertian kecelakaan kerja menurut yang lazim berlaku di perusahaan-
perusahaan Indonesia diartikan sebagai suatu peristiwa atau kejadian yang tidak
direncanakan, tidak diharapkan terjadi diperusahaan yang dapat menimbulkan
penderitaan bagi pekerja.
2. Faktor Pekerjaan
a. Jam Kerja
Yang dimaksud jam kerja adalah jam waktu bekerja termasuk waktu istirahat
dan lamanya bekerja sehingga dengan adanya waktu istirahat ini dapat
mengurangi kecelakaan kerja.
b. Pergeseran Waktu
Pergeseran waktu dari pagi, siang dan malam dapat mempengaruhi terjadinya
peningkatan kecelakaan akibat kerja.
Kecelakaan kerja umumnya disebabkan oleh berbagai penyebab, teori tentang terjadinya
suatu kecelakaan adalah (Sumamur, 1987):
1. Teori kebetulan Murni (Pure Chance Theory), yang menyimpulkan bahwa kecelakaan
terjadi atas kehendak Tuhan, sehingga tidak ada pola yang jelas dalam rangkaian
peristiwanya, karena itu kecelakaan terjadi secara kebetulan saja.
2. Teori Kecenderungan Kecelakaan (Accident prone Theory), pada pekerja tertentu
lebih sering tertimpa kecelakaan, karena sifat-sifat pribadinya yang memang
cenderung untuk mengalami kecelakaan kerja.
3. Teori Tiga Faktor (Three Main Factor), menyebutkan bahwa penyebab kecelakaan
peralatan, lingkungan dan faktor manusia pekerja itu sendiri.
4. Teori Dua Faktor (Two main Factor), kecelakaan disebabkan oleh kondisi berbahaya
(unsafe condition) dan tindakan berbahaya (unsafe action).
5. Teori Faktor Manusia (Human Factor Theory), menekankan bahwa pada akhirnya
seluruh kecelakaan kerja tidak langsung disebabkan karena kesalahan manusia.
e. Lingkungan kerja
di luar bangunan
di dalam bangunan
di bawah tanah
f. Penyebab-penyebab lain yang belum termasuk golongan tersebut
hewan
penyebab lain
Umumnya penyebab kecelakaan kerja adalah tempat kerja yang tidak aman seperti
lokasi yang tidak rata menyulitkan memanen, lokasi kerja bersemak tempat bersemainya
binatang berbisa jalan licin dan berlobang terpeleset. Serta budaya kerja kurang beradap
seperti alat pelindung kerja tidak cukup atau tidak memenuhi standar keselamatan kerja
dan perilaku tidak mengindahkan kerja yang benar terutama akibat minimnya sosialisasi
dan pelatihan kerja bagi buruh perkebunan. Dengan demikian di sektor perkebunan,
potensi kecelakaan kerja cukup tinggi (Bennet dan Rumondang, 2003).
Sedangkan penyebab kecelakaan kerja di perkebunan umumnya
disebabkan oleh :
1. Lingkungan kerja fisik oleh pemakaian alat/mesin (suar, panas, sinar, dan lain-
lain)
2. Lingkungan kerja kimia oleh pemakaian bahan kimia (pupuk, pestisida, dan lain-
lain)
2. Lingkungan kerja biologis oleh makhluk hidup (babi, tikus, landak, lalat
anclylostoma, dan lain-lain)
3. Lingkungan kerja ergonomi oleh pemakaian alat yang tidak sesuai dengan
keterbatasan kemampuan anatomi dan fisiologis tenaga kerja. Lingkungan kerja
umumnya disebabkan oleh suasana kerja, lokasi pemukiman jauh dari kota.
4. Human Error (sikap kerja (Sumber daya manusia) yang salah).
Kecelakaan kerja yang mungkin terjadi pada sektor kerja perkebunan
adalah sebagai berikut :
1. Pembukaan Lahan
Luka akibat pemakaian alat pertanian untuk pembukaan lahan seperti parang, babat,
kampak, cidera akibat tertimpa pohon yang tumbang, serangan binatang buas dapat
juga menimbulkan cidera sedangkan digigit ular dapat menimbulkan kondisi yang
fatal akibat racun ular.
2. Pemeliharaan Tanaman
Pemakaian alat babat, cangkul, dodos, dan lain-lain dapat mengancam terjadinya
kecelakaan kerja bila tidak dilaksanakan dengan sikap kerja yang kurang hati-hati,
luka oleh duri sawit juga merupakan ancaman bagi pekerja pemeliharaan tanaman
sedangkan iritasi kulit dan keracunan bahan kimia dapat terjadi akibat pemakaian
pestisida dan pupuk, malahan terjadi nekrose jaringan tubuh akibat kena tetesan
pestisida yang pekat.
3. Panen
Kecelakaan akibat menggunakan alat panen yang tidak ergonomis terutama untuk
lokasi yang dipanen cukup tinggi seperti penggunaan egrek dapat menyebabkan
pemanen kena timpa buah yang dipanen.
4. Pengolahan
Kecelakaan kerja dapat terjadi akibat pemakaian boiler, luka oleh cutting machine,
jari terpotong oleh proses machine dan ancaman kecelakaan kerja oleh house keeping
yang jelek seperti susunan barang hasil panen yang tidak teratur, tangga yang curam,
lantai yang licin yang dapat menimbulkan tertimpa barang, terjatuh dari tangga dan
terpeleset.
5. Gudang
Dapat juga terjadi kecelakaan kerja di gudang yang merupakan lokasi penyimpanan
pupuk, bahan kimia dan lain-lain akibat house keeping yang jelek. Penyimpanan
Bahan Bakar Minyak (BBM) harus diawasi dengan ketat untuk mencegah terjadinya
kecelakaan untuk kebakaran.
6. Kabel Listrik
Kurang terpeliharanya kabel listrik (tegangan listrik) terutama dibangunan perusahaan
dapat mengundang terjadinya kebakaran.
Pencegahan Kecelakaan Akibat Kerja
1. Menurut Bennett NBS (2003) bahwa teknik pencegahan kecelakaan harus didekati
dengan dua aspek, yakni : 8
a. Aspek perangkat keras (peralatan, perlengkapan, mesin, letak, dan
b. sebagainya)
c. Aspek perangkat lunak (manusia dan segala unsur yang berkaitan)