Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Tersebutlah seseorang yang bernama Rajapala, yang berasal dari Wanakeling, rupanya
tampan, pekerjaannya berburu. Pada saat berada dalam perburuan di tengah hutan, ia
kepayahan dan kehausan, lalu ada keinginannya untuk mencari air.
Lukisan Rajapala
Dalam perjalanannya mencari mata air, melewati sebuah asrama yang kosong, lalu ia
berteduh di bawah pohon tigaron, disampingnya ada pancuran dengan air yang jernih,
dikelilingi dengan pepohonan dan bunga-bunga yang harum. Pada saat menikmati
keheningan, ia melihat tujuh orang bidadari (widyadhari) yang cantik-cantik, sedang asyik
mandi di kolam.
Sang Rajapala mengintip dari celah-celah pohon pudak, dengan niat untuk mendapatkan
seorang dari tujuh bidadari itu, sehingga timbullah niatnya, untuk mengambil baju bidadari
itu, lalu diambil menggunakan galah yang panjang.
Dengan mendapatkan baju itu lalu disembunyikannya, akhirnya seorang dari tujuh bidadari
itu tidak dapat terbang kembali ke Kahyangan. Bidadari Kahyangan itu lalu bertanya kepada
Rajapala, Wahai orang laki tampan, adakah tuan melihat baju saya, jika ada saya akan
menukarnya, dengan mas permata yang indah.
Rajapala menjawab, Wahai engkau gadis cantik, yang menawan hati, bukan mas permata
yang saya inginkan, tetapi seorang anak laki, yang bijaksana,pengarang ulung, berwibawa
dan dapat kelak menjadi raja, dihormati rakyat, pandai, tampan, berbudi luhur dan kata-
katanya menawan hati.
Sang bidadari lalu memberi kepastian, Wahai kakanda yang tampan, amat berat permintaan
kakanda, walaupun demikian saya bersedia, tetapi hanya berputra seorang, setelah itu saya
akan kembali ke Kendran (Kahyangan).
Dalam perkawinan Rajapala dengan Ken Sulasih, yang berada dalam hutan, setelah lama
hamillah Ken Sulasih, lalu memohon untuk kembali pulang, agar nantinya dapat merawat
anak yang akan lahir dengan baik.
Dengan kelahiran putranya itu Rajapala sangat senang, setelah berumur 3 (tiga) bulan,
kelihatan ketampanan putranya, bagaikan arca mas. Semua orang ikut gembira, melihat
ketampanan dan kewibawaan putranya, diandaikan bagaikan penjelmaan Dewa Asmara.
Setelah berumur 7 (tujuh) oton, Ken Sulasih mohon pamit kepada Rajapala sesuai dengan
perjanjiannya. Rajapala sedih ditinggal pergi oleh Ken Sulasih, mengingat anaknya masih
kecil, akan hidup sengsara, karena kemiskinannya. Dengan kepergian Ken Sulasih, dengan
membakar diri dan menghilang, hanya berpesan putranya agar diberi nama Durma. Ken
Sulasih pulang ke Kahyangan dan Rajapala pergi bertapa ke hutan.
Sebelum pergi bertapa Rajapala menasehati dan berpesan kepada anaknya, yaitu :
1. Ada sawah dan tempat rumah, yang luasnya sempit, agar sawah dikerjakan dengan
baik dan rajin-rajinlah bekerja.
2. Anakku hendaknya teguh dan tahan uji.
3. Beringkah laku yang baik.
4. Hati-hati berbicara.
5. Selalu senyum.
6. Bermuka manis.
7. Jangan mengisap candu.
8. Jangan berjudi.
9. Jangan membuat keonaran.
10. Berlaku sopan santun.
11. Hidup bermasyarakat dan bertetangga yang baik.
12. Jangan mengharapkan imbalan.
13. Jangan mementingkan diri sendiri.
14. Hormat kepada raja.
15. Bantulah tetangga dengan tulus ikhlas.
16. Bergaullah dengan baik dan harmonis.
17. Jangan melupakan pertolongan orang.
18. Berlaku yang jujur.
19. Berbuat berdasarkan kebenaran.
20. Jangan congkak dan sombong.
21. Jangan berpura-pura pandai.
Nasihat Rajapala diakhiri dengan ucapan, ayah orang yang bodoh, umur tua menjadi anak-
anak kembali, rewel, pertimbangkanlah dalam hati, jangan melihat kekeliruan ayah.
Setelah menasihati putranya Durma, Rajapala pergi ke hutan untuk bertapa, memusatkan
pikiran, samadhi yang ditujukan kepada Sanghyang Siwa. Ki Durma selalu mengingat nasihat
ayahnya, sebagai pedoman hidupnya. Dengan demikian tetangganya dan orang-orang lain,
sangat senang bergaul dengannya, senang belajar, menuntut pengetahuan tak lupa berdoa
kepada Sanghyang Siwa.
Setelah dewasa ia menghadap raja di Wanakeling, Ki Durma diterima dengan baik, karena
berbudi luhur, bijaksana dan susastra. Para menteri amat sayang dan segan kepada Ki Durma.
Pada suatu ketika Ki Durma, mohon diri kepada raja Wanakeling, untuk melihat ayahnya di
hutan. Dalam perjalanannya, ia dihadang oleh 3 (tiga) orang penguasa hutan, yaitu Kala
Drembha, Kala Murkha dan Durga Deni. Ketiga orang itu selalu memakan binatang dan
merusak pertapaan.
Dengan kedatangan Ki Durma, yang berwajah tampan, Durga Deni terpanah hatinya, lalu
berubah wujud menjadi orang cantik. Ki Durga Deni merayu Ki Durma dan bertanya, Ai,
orang tampan, apakah tidak takut datang sendirian ke dalam hutan ?
Ki Durma menjawab, Tujuan saya hanya mencari ayah yang sedang bertapa dan telah lama
meninggalkan saya, maka saya sendirian di rumah.
Ki Durga Deni menegaskan, Saya ini adalah utusan Dewa Indra untuk menjaga hutan. Ki
Durga Deni terus membujuk dan merayu Ki Durma, agar mau menerimanya. Ki Durma selalu
menolak permintaan Ki Durga Deni, dengan alasan, saya masih kecil.
Tersebutlah raja Wanakeling, yang selalu dikelilingi oleh pembesar istana, setiap pertemuan
selalu menanyakan keadaan Ki Durma, yang pergi ke hutan dan lama belum datang. Sang
raja Wanakeling lalu mengutus Tumenggung Gagak Baning dan Ki Demung Empuan,
untuk mencari I Durma di hutan.
Tak diceriterakan keadaan dalam hutan, utusan bertemu dengan I Durma, sedang berjalan-
jalan mencari tempat ayahnya bertapa. Utusan memaksa I Durma diajak pulang, karena
perintah raja, hal itu didengar oleh Ki Durga Deni, lalu ia marah dan menantang utusan itu.
Pertempuran tak terelakkan, utusan kalah melarikan diri, I Durma diajak oleh Ki Durga Deni,
menghadap pada saudaranya.
Kedua utusan itu lari, menyelamatkan diri dan kembali ke Wanakeling, menyampaikan
kepada sang raja. Sang Raja marah dan mengerahkan pasukan, untuk berperang melawan
raksasa di hutan yang menyandera I Durma. Raja dengan pasukannya berangkat perang,
sampai di hutan terjadilah perang yang hebat. Para patih, menteri, pimpinan perang semuanya
kalah, ada yang mati dan dimangsa, ada juga yang lari menyelamatkan diri.
Pada suatu ketika I Durma dapat menghadap raja, dengan kerendahan hatinya dan bersujud,
menyerahkan diri. Saat itulah ia menerima perintah, bagaimana caranya untuk dapat
membunuh raksasa-raksasi itu.
Ketika hari sudah malam, I Durma menghadap kepada ke tiga raksasa bersaudara itu, I
Durma diterima dengan baik dan dengan rasa sayang. I Durma membujuk Ki Durga Deni,
akhirnya luluhlah hatinya, semakin menumbuhkan rasa sayang pada I Durma. Ki Durga Deni
lupa akan dirinya, karena bujuk rayu I Durma, lalu mengeluarkan rahasia kematiannya, yaitu,
Tidak dikalahkan oleh manusia sakti, diatas bumi di bawah angkasa, raksasa, bhuta, pisaca,
hanya ada bidadari yang kawin dengan manusia, berputra seorang laki, orang itulah yang
mampu membunuh diriku, begitu pula ramanda berdua (raksasa), yang merupakan anugrah
Dewa Rudra.
Dengan bujukan dan tipu muslihatnya I Durma, sambil menghibur Ki Durga Deni, akhirnya
mereka tidur berdua, bercumbu rayu, namun tidak sampai berhubungan badan. I Durma
mengaku sudak mengantuk, tidak bisa ditahan, akhirnya tidur bersama-sama. Ketika Ki
Durga Deni telah tidur nyenyak, I Durma bangun memakan sirih dan menghunus keris,
menikam dada raksasi, darahnyapun muncrat, mendidih. Demikian juga ke dua raksasa itu
dapat dibunuh dengan sigap, dadanya diparang.
Raksasa bertiga mati dibunuh, I Durma lalu menghadap raja, dengan menceritrakan segala-
galanya, sampai Durga Deni terbunuh bersama saudaranya. Dengan matinya ke tiga rarksasa
itu raja menjadi senang dan menitahkan kepada para punggawa, patih, menteri dan menepati
janji, bahwa siapa yang mampu membunuh ke-3 raksasa itu, akan diangkat menjadi anak dan
akan menggantikan kedudukannya menjadi raja Wanakeling. Dengan berbagai nasihat sang
raja, kepada anak angkatnya (I Durma), demikian juga para pejabat istana, agar selalu
menepati janji.
I Durma memohon agar mayat ke-3 raksasa itu dibakar dan diupacarai, dipimpin oleh seorang
Resi, jika tidak demikian negara kacau, diganggu oleh Panca Korsika. Upacara dapat
dilaksanakan sebagaimana mestinya, negara aman, rakyat berbahagia karena akan
mendapatkan pemimpin atau raja yang tampan lahir bathin.
Setelah sang raja dengan bala wadwanya pulang dari hutan, sampailah di istana (Puri), sang
raja menobatkan putra angkatnya (Durma), menjadi raja, dibuatkan istana di Carangsari di
sebelah selatan pasar. I Durma didampingi seorang istri, hidup rukun dan berbahagia, karena
mereka sama-sama memahami tentang Madhu Kama, dan hari-hari pertemuan, yang
nantinya akan mendapatkan keturunan yang baik dan utama.
Sejarah Singkat Hari Raya Galungan
Kata galungan berasal dari bahasa Jawa kuno, yang berarti menang atau beruntung. Galungan sama
artinya dengan dungulan yang berarti menang. Di Jawa, wuku kesebelas disebut dengan wuku
Galungan, sedangkan di Bali wuku kesebelas disebut dengan wuku Dungulan. Namanya berbeda
namun artinya sama. Contoh lain seperti salah satu pancawara di Jawa yaitu Legi, dengan salah satu
pancawara di Bali yaitu umanis artinya adalah sama, yaitu manis.
Terkait asal-usul Hari Raya Galungan memang agak sulit dipastikan, tapi menurut Lontar Purana Bali
Dwipa, disebutkan bahwa Galungan pertama kali dirayakan pada tahun 804 Saka atau 882 Masehi.
Sejak saat itu Galungan dirayakan oleh umat Hindu di Bali dengan peuh kemeriahan.
Sekitar 3 abad kemudian, tiba-tiba perayaan Galungan mulai dihentikan, entah apa dasar
pertimbangan dari hal tersebut, dan pada tahun 1103 Saka, perayaan Galungan benar-benar
dihentikan. Hal tersebut terjadi ketika raja Sri Eka Jaya memegang tampuk pemerintahan. Hingga
masa pemerintahan dipegang oleh raja Sri Dhanadi, Galungan masih belum dirayakan. Konon pada
saat itu banyak musibah yang datang tak henti-hentinya dan umur para pejabat kerajaan menjadi
pendek.
Ketika raja Sri Dhanadi mangkat, beliau kemudian digantikan oleh raja Sri Jaya Kasunu pada tahun
1126 Saka, dan barulah sejak saat itu Galungan mulai dirayakan kembali. Keterangan tersebut dapat
dilihat melalui Lontar Sri Jaya Kasunu yang menceritakan bahwa raja Sri Jaya Kasunu merasa heran
mengapa para raja dan pejabat kerajaan lainnya selalu berumur pendek. Untuk mengetahui
penyebabnya, beliau kemudian beryoga semadhi di pura Dalem Besakih dan akhirnya mendapat
pawisik dari Bhatari Durga. Dalam pawisik tersebut, Bhatari Durga meminta Raja Sri Jaya Kasunu agar
merayakan kembali haru raya Galungan setiap hari Rabu Kliwon Dungulan sesuai dengan tradisi yang
pernah berlaku sebelumnya. Selain itu disarankan juga agar sekuruh umat hindu memasang penjor
pada hari penampahan Galungan atau tepatnya satu hari sebelum Hari raya Galungan.
Dan sejak saat itu, Galungan kembali dirayakan dengan khidmat dan penuh antusias oleh umat
Hindu.
Sehubungan dengan jatuhnya Hari Raya Galungan pada hari ini di Bali, maka saya akan
membahas sedikit sejarah mengenai Hari Raya Galungan. Semoga dengan ini mereka yang
merayakan semakin mendalami makna yang sebenarnya dari Hari Raya Galungan.
Kata Galungan berasal dari bahasa Jawa Kuna yang artinya menang atau bertarung. Galungan
juga sama artinya dengan Dungulan, yang juga berarti menang. Karena itu di Jawa, wuku yang
kesebelas disebut Wuku Galungan, sedangkan di Bali wuku yang kesebelas itu disebut Wuku
Dungulan. Namanya berbeda, tapi artinya sama saja. Seperti halnya di Jawa dalam rincian
pancawara ada sebutan Legi sementara di Bali disebut Umanis, yang artinya sama: manis.
Agak sulit untuk memastikan bagaimana asal-usul Hari Raya Galungan ini. Kapan sebenarnya
Galungan dirayakan pertamakali di Indonesia, terutama di Jawa dan di daerah lain khususnya di
Bali.
Drs. I Gusti Agung Gede Putra (mantan Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Departemen Agama RI)
memperkirakan, Galungan telah lama dirayakan umat Hindu di Indonesia sebelum hari raya itu
populer dirayakan di Pulau Bali. Dugaan ini didasarkan pada lontar berbahasa Jawa Kuna yang
bernama Kidung Panji Amalat Rasmi.
Tetapi, kapan tepatnya Galungan itu dirayakan di luar Bali dan apakah namanya juga sama
Galungan, masih belum terjawab dengan pasti. Namun di Bali, ada sumber yang memberikan
titik terang. Menurut lontar Purana Bali Dwipa, Galungan pertama kali dirayakan pada hari
Purnama Kapat, Budha Kliwon Dungulan, tahun Saka 804 atau tahun 882 Masehi. Dalam lontar
itu disebutkan:
Punang aci Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur, tanggal 15, isaka 804.
Bangun indria Buwana ikang Bali rajya.
Artinya:
Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon,
(Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra
Loka.
Sejak itu Galungan terus dirayakan oleh umat Hindu di Bali
secara meriah. Setelah Galungan ini dirayakan kurang lebih selama tiga abad, tiba-tiba entah
apa dasar pertimbangannya pada tahun 1103 Saka perayaan hari raya itu dihentikan. Itu
terjadi ketika Raja Sri Ekajaya memegang tampuk pemerintahan. Galungan juga belum
dirayakan ketika tampuk pemerintahan dipegang Raja Sri Dhanadi. Selama Galungan tidak
dirayakan, konon musibah datang tak henti-henti. Umur para pejabat kerajaan konon menjadi
relatif pendek.
Ketika Sri Dhanadi mangkat dan digantikan Raja Sri Jayakasunu pada tahun 1126 Saka, barulah
Galungan dirayakan kembali, setelah sempat terlupakan kurang lebih selama 23 tahun.
Keterangan ini bisa dilihat pada lontar Sri Jayakasunu.
Dalam lontar tersebut diceritakan bahwa Raja Sri Jayakasunu merasa heran mengapa raja dan
pejabat-pejabat raja sebelumnya selalu berumur pendek. Untuk mengetahui penyebabnya, Raja
Sri Jayakasunu mengadakan tapa brata dan samadhi di Bali yang terkenal dengan istilah Dewa
Sraya artinya mendekatkan diri pada Dewa. Dewa Sraya itu dilakukan di Pura Dalem Puri, tak
jauh dari Pura Besakih.
Karena kesungguhannya melakukan tapa brata, Raja Sri Jayakasunu mendapatkan pawisik atau
bisikan religius dari Dewi Durgha, sakti dari Dewa Siwa. Dalam pawisik itu Dewi Durgha
menjelaskan kepada raja bahwa leluhurnya selalu berumur pendek karena tidak lagi merayakan
Galungan.
Karena itu Dewi Durgha meminta kepada Raja Sri Jayakasunu supaya kembali merayakan
Galungan setiap Rabu Kliwon Dungulan sesuai dengan tradisi yang pernah berlaku. Di samping
itu disarankan pula supaya seluruh umat Hindu memasang penjor pada hari Penampahan
Galungan (sehari sebelum Galungan).
Disebutkan pula, inti pokok perayaan hari Penampahan Galungan adalah melaksanakan byakala
yaitu upacara yang bertujuan untuk melepaskan kekuatan negatif (Buta Kala) dari diri manusia
dan lingkungannya. Semenjak Raja Sri Jayakasunu mendapatkan bisikan religius itu, Galungan
dirayakan lagi dengan hikmat dan meriah oleh umat Hindu di Bali.
Galungan adalah juga salah satu upacara agama Hindu untuk mengingatkan manusia secara
ritual dan spiritual agar selalu memenangkan Dewi Sampad untuk menegakkan dharma
melawan adharma. Dalam lontar Sunarigama, Galungan dan rincian upacaranya dijelaskan
dengan mendetail. Mengenai makna Galungan dalam lontar Sunarigama dijelaskan sebagai
berikut:
Budha Kliwon Dungulan Ngaran Galungan patitis ikang janyana samadhi, galang apadang
maryakena sarwa byapaning idep
Artinya:
Rabu Kliwon Dungulan namanya Galungan, arahkan ber-satunya rohani supaya mendapatkan
pandangan yang terang untuk melenyapkan segala kekacauan pikiran. Jadi, inti Galungan
adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapat pikiran dan pendirian yang terang.
Untuk memenangkan dharma itu ada serangkaian kegiatan yang dilakukan sebelum dan setelah
Galungan. Sebelum Galungan ada disebut Sugihan Jawa dan Sugihan Bali. Kata Jawa di sini
sama dengan Jaba, artinya luar. Sugihan Jawa bermakna menyucikan bhuana agung (bumi ini)
di luar dari manusia.
Sugihan Jawa dirayakan pada hari Wrhaspati Wage Wuku Sungsang, enam hari sebelum
Galungan. Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari Sugihan Jawa itu merupakan
Pasucian dewa kalinggania pamrastista batara kabeh (Penyucian Dewa, karena itu hari
penyucian semua bhatara).
Pelaksanaan upacara ini adalah dengan membersihkan segala tempat dan peralatan upacara di
masing-masing tempat suci. Sedangkan pada hari Jumat Kliwon Wuku Sungsang disebutkan:
Kalinggania amretista raga tawulan (Oleh karenanya menyucikan badan jasmani masing-
masing).
Karena itu Sugihan Bali disebutkan menyucikan diri sendiri. Kata bali dalam bahasa
Sansekerta berarti kekuatan yang ada di dalam diri. Dan itulah yang disucikan.
Pada Redite Paing Wuku Dungulan diceritakan Sang Kala Tiga Wisesa turun mengganggu
manusia. Karena itulah pada hari tersebut dianjurkan anyekung jana, artinya: mendiamkan
pikiran agar jangan dimasuki oleh Butha Galungan. Dalam lontar itu juga disebutkan
nirmalakena (orang yang pikirannya selalu suci) tidak akan dimasuki oleh Butha Galungan.
Pada hari Senin Pon Dungulan disebut Penyajaan Galungan. Pada hari ini orang yang paham
tentang yoga dan samadhi melakukan pemujaan. Dalam lontar disebutkan, Pangastawaning
sang ngamong yoga samadhi.
Demikian urutan upacara yang mendahului Galungan. Setelah hari raya Galungan yaitu hari
Kamis Umanis wuku Dungulan disebut Manis Galungan. Pada hari ini umat mengenang betapa
indahnya kemenangan dharma. Umat pada umumnya melampiaskan kegembiraan dengan
mengunjungi tempat-tempat hiburan terutama panorama yang indah. Juga mengunjungi sanak
saudara sambil bergembira-ria.
Hari berikutnya adalah hari Sabtu Pon Dungulan yang disebut hari Pemaridan Guru. Pada hari ini,
dilambangkan dewata kembali ke sorga dan meninggalkan anugrah berupa kadirghayusaan yaitu hidup
sehat panjang umur. Pada hari ini umat dianjurkanmenghaturkan canang meraka
dan matirta gocara. Upacara tersebut barmakna, umat menikmati waranugraha Dewata.
(Sumber: Buku Yadnya dan Bhakti oleh Ketut Wiana, terbitan Pustaka Manikgeni)
Suntingan: http://gugling.com/2009/03/18/sejarah-dan-makna-hari-raya-galungan/
Gambar:
Makna Hari Raya Kuningan
Kuningan adalah rangkaian dari upacara Galungan, yaitu 10 hari setelah Galungan, yang jatuhnya
pada Saniscara (Sabtu) Kliwon Wuku Kuningan. Kata kuningan sendiri memiliki makna "kauningan"
yang artinya mencapai peningkatan spiritual dengan cara introspeksi agar terhindar dari mara
bahaya.
Pada hari Raya Kuningan menggunakan upakara sesajen yang berisi simbul tamiang dan endongan, di
mana makna tamiang memiliki lambang perlindungan dan juga juga melambangkan perputaran roda
alam.
Sedangkan endongan maknanya adalah perbekalan. Bekal yang paling utama dalam mengarungi
kehidupan adalah ilmu pengetahuan dan bhakti (jnana). Sementara senjata yang palingampuh
adalah ketenangan pikiran. Dalam Hari Raya ini diharapkan manusia mampu menyesuaikan diri
dengan alam, dan taat dengan hukum alam dan diharapkan mampu menata kembali kehidupan yang
harmonis (hita) sesuai dengan tujuan agama Hindu.
Pada hari itu juga dibuat nasi kuning sebagai lambang kemakmuran dan dihaturkan sesajen-sesajen
sebagai tanda terimakasih dan suksmaning idep kita sebagai manusia menerima anugrah dari Hyang
Widhi.
Intinya dalam perayaan ini dimaksudkan agar umat selalu ingat kepada Sang Pencipta, Ida Sang
Hyang Widi Wasa dan mensyukuri karuniaNya, Selalu ingat menyamabraya, meningkatkan persatuan
dan solidaritas sosial, dan umat diharapkan selalu ingat kepada lingkungan sehingga tercipta
harmonisasi alam semesta beserta isinya.
Lubdaka Bermalam Di Hutan Setiap Ciwaratri datang, pikiran kita otomatis melompat ke
kisah Lubdaka, kisah tentang seorang pemburu binatang bernama Lubdaka yang harus
bermalam di hutan karena terpaksa. Hari itu Lubdaka kurang beruntung, sejak pagi hingga
sore dia samasekali belum mendapatkan binatang buruan. Terbayang dibenaknya, istri dan
anak-anaknya tentu sangat mengharapkan hasil buruannya hari itu. Getir membayangkan hal
tersebut, Lubdaka urung pulang ke rumah dengan tangan hampa. Diapun terus merangsek
kedalam hutan, bertekad untuk memperoleh hasil. Tanpa disadarinya dia sudah semakin jauh
berada ditengah hutan, sehingga dia harus bermalam. Takut dengan ancaman binatang buas,
Lubdaka memilih naik ke pohon besar dan duduk disebuah dahan ranting yang cukup kuat
menahan tubuhnya. Persis dibawah dahan tersebut ada kolam. Agar tidak mengantuk,
Lubdaka memetik daun sehelai demi sehelai sampai matahari pagi terbit. Setiap helai daun
yang dipetiknya itu dibuang kebawah dan jatuh di kolam. Kira-kira demikian ringkas ceritra
Lubdaka. Penulisnya disebut Mpu Tanakung. Siapakah Mpu Tanakung ? Tidak ada yang
mengetahui riwayatnya. Ada yang menduga Tanakung dari Tan Aku yang kira-kira berarti
bahwa penulis kisah Lubdaka ini tidak ingin menampilkan dirinya. Cerita lanjutannya,
Lubdaka pagi harinya pulang dengan tangan hampa. Dikisahkan sejak saat itu Lubdaka
berhenti menjalani profesi pemburu dan menjadi petani. Tanpa setahu Lubdaka sendiri,
malam dia menahan kantuk itu rupanya adalah malam Dewa Shiwa melakukan tapa yoga
semadi. Karena Lubdaka ikut berjaga (tidak tidur) saat Dewa Shiwa melakukan tapa yoga
semadi, dia mendapatkan reward dari Dewa Shiwa berupa peleburan dosa-dosanya. Itulah
sebabnya malam Ciwaratri disebut juga malam peleburan atau pengampunan dosa. Tafsir
Yang Berbahaya Tafsir atau pemaknaan tentang kisah Lubdaka tersebut sangat beragam. Dan
hal tersebut wajar-wajar saja. Sejauh tafsir tersebut bisa membelokkan tingkah laku manusia
ke arah yang positip, maka barangkali kita bisa anggap sebuah tafsir itu benar. Dan bila ada
tafsir yang lain yang juga memberi pencerahan spiritual, maka tafsir itupun tidak perlu
disalahkan. Bukankah tidak ada monopoli dalam menafsirkan sesuatu di zaman sekarang ini.
Yang paling banyak dilakukan orang saat malam ciwaratri adalah tidak tidur sampai pagi. Ini
seperti melakukan napak tilas dari apa yang telah dilakukan oleh Lubdaka, walaupun tidak
persis 100 %. Jika napak tilasnya benar, maka orang harus bertahan tidak tidur diatas dahan
ranting pohon, lalu membuang helai demi helai ranting pohon kebawah sampai pagi. Sesuatu
yang tidak mungkin dilakukan oleh umat Hindu sekarang ini, sebab berapa banyak pohon
yang harus disediakan untuk ribuan umat Hindu yang melaksanakan jagra tersebut. Penulis
menyaksikan beberapa sekolah di Buleleng, dari SD,SMP dan SMA/SMK melaksanakan
persembahyangan bersama pada malam hari Ciwaratri dilanjutkan dengan melkan sampai
pagi. Remaja maupun muda mudi memenuhi Pura Jagatnatha untuk begadang sampai pagi.
Tidak ada yang salah bila mereka melakoni malam ciwaratri dan menghayatinya dengan cara
seperti itu, bahkan barangkali mereka juga sudah dibekali oleh guru mereka bahwa malam itu
adalah malam pengampunan dosa. Benarkah bahwa bila malam Ciwaratri kita tidak tidur
sampai pagi akan membuat dosa-dosa kita terlebur ? Bukankah ini semacam pembodohan ?
Masuk akalkah dosa yang dilakukan selama 364 hari akan terhapus hanya dengan cara
bagadang semalam pada malam Ciwaratri ? Betapa berbahayanya dunia ini jika keyakinan ini
merasuk ke sanubari umat Hindu, sebab orang-orang akan leluasa berbuat jahat, toh pada
akhirnya seluruh dosa yang dibuat melalui kejahatan akan bisa dilebur pada malam Ciwaratri.
Dari sudut pandang ini, kita perlu memberikan tafsir ulang atas kisah Lubdaka tersebut.
Hemat penulis, tidak mungkin Mpu Tanakung membuat kisah Lubdaka untuk
mensimplifikasi masalah dosa dan pengampunannya. Pengendalian Diri Monabrata, Upawasa
dan Jagra sesungguhnya 3 fondasi utama yang saling berkaitan untuk mencapai tingkat
pengendalian diri yang baik. Ketiga hal tersebut sejatinya sangat sulit untuk dilakukan dalam
kehidupan ini. Misalkan soal menahan diri untuk bicara seperlunya atau menahan diri untuk
diam disaat diperlukan adalah pekerjaan mental yang amat sulit dilaksanakan. Contoh
mutakhir, Mendagri Gamawan Fauzi dikritik karena dianggap terlalu banyak bicara dalam
polemik RUUK Yogyakarta. Banyak yang berpendapat, bahwa dalam situasi emosional
masyarakat Yogya Gamawan hendaknya bisa lebih mengendalikan diri dalam berbicara.
Demikian pula soal Upawasa (tidak makan). Semua agama memiliki anjuran agar umatnya
dapat berpuasa, karena puasa adalah latihan untuk mengendalikan diri. Penerapan Upawasa
dalam kehidupan sehari hari akan menyelamatkan kehidupan kita. Misalkan orang yang
menderita penyakit kencing manis, pengendalian nafsu makan sangat dipentingkan. Jika
tidak, maka jangan heran kadar gula yang bersangkutan akan naik. Jagra atau tidak tidur
semalaman adalah latihan untuk menahan kantuk. Kemampuan mengendalikan rasa kantuk
akan sangat bermanfaat juga dalam kehidupan sehari hari. Mahasiswa atau pelajar yang akan
menghadapi ujian harus mampu menahan kantuk karena harus belajar.Para supir juga harus
bisa menahan kantuk, dan masih banyak lagi profesi yang membutuhkan kemampuan
menahan kantuk. Jadi jika ketrampilan monabrata, upawasa dan jagra sudah dikuasai, maka
yang bersangkutan akan lebih mudah mengendalikan dan menguasai dirinya, dan akhirnya
akan terselamatkan dari kehidupan ini. Untuk menguasai seni monabrata, upawasa dan jagra
tersebut tidaklah cukup bila hanya dilakukan sekali dalam setahun. Latihan harus dilakukan
berulang-ulang, karena latihan yang berulang-ulang akan mengasah ketrampilan. Lalu, kisah
Lubdaka memetik daun (dikisahkan 108 helai) helai demi helai dan dibuang ke kolam yang
ada dibawahnya untuk membuat dia tetap terjaga kira-kira memiliki makna apa ? Bagi
penulis, hal tersebut bermakna bahwa kita perlu memberikan kontribusi /kepedulian kepada
kehidupan ini agar kita tetap terjaga dalam menjalani kehidupan ini. Ada 108 jenis
kontribusi/kepedulian yang dapat diberikan. Jadi, mari kita tafsirkan ulang kisah Lubdaka ini.
(***)
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/gdewisnaya/menafsirkan-ulang-kisah-
lubdaka_55006a54813311275efa7972
KISAH LUBDAKA MENUJU
SWARGALOKA
Lubdaka adalah seorang kepala keluarga hidup di suatu desa menghidupi keluarganya dengan
berburu binatang di hutan. Hasil buruannya sebagian ditukar dengan barang-barang
kebutuhan keluarga, sebagian lagi dimakan untuk menghidupi keluarganya. Dia sangat rajin
bekerja, dia juga cukup ahli sehingga tidak heran bila dia selalu pulang membawa banyak
hasil buruan.
Hari itu Lubdaka berburu sebagaimana biasanya, dia terus memasuki hutan, aneh pikirnya
kenapa hari ini tak satupun binatang buruan yang muncul, dia semua peralatan berburu
digotongnya tanpa kenal lelah, dia tidak menyerah terus memasuki hutan. Kalo sampe aku
pulang gak membawa hasil buruan nanti apa yang akan dimakan oleh keluargaku..?,
semangatnya semakin tinggi, langkahnya semakin cepat, matanya terus awas mencari-cari
binatang buruan, namun hingga menjelang malam belum juga menemukan apa yang ia
harapkan, hari telah terlalu gelap untuk melanjutkan kembali perburuannya, dan sudah cukup
larut jika hendak kembali ke pernaungan.
Ia memutuskan untuk tinggal di hutan, namun mencari tempat yang aman terlindungi dari
ancaman bahaya, beberapa hewan buas terkenal berkeliaran di dalam gelapnya malam guna
menemukan mangsa yang lelap dan lemah. Sebagai seorang pemburu tentu dia tahu betul
dengan situasi ini. Tak perlu lama baginya guna menemukan tempat yang sesuai, sebuah
pohon yang cukup tua dan tampak kokoh di pinggir sebuah telaga mata air yang tenang
segera menjadi pilihannya.
Dengan cekatan dari sisa tenaga yang masih ada, ia memanjat batang pohon itu, melihat
sekeliling sekejap, ia pun melihat sebuah dahan yang rasanya cukup kuat menahan beratnya,
sebuah dahan yang menjorok ke arah tengah mata air, di mana tak satu pun hewan buas
kiranya akan bisa menerkamnya dari bawah, sebuah dahan yang cukup rimbun, sehingga ia
dapat bersembunyi dengan baik. Singkat kata, ia pun merebahkan dirinya, tersembunyikan
dengan rapi di antara rerimbunan yang gulita.
Ia merasa cukup aman dan yakin akan perlindungan yang diberikan oleh tempat yang telah
dipilihnya. Sesaat kemudian keraguan muncul dalam dirinya. Kalo sampe dia tertidur dan
jatuh tentu binatang buas seperti macan, singa, dll akan dengan senang hati memangsanya.
Ia resah dan gundah, badannya pun tak bisa tenang, setidaknya ia harapkan badannya bisa
lebih diam dari pikirannya, itulah yang terbaik bagi orang yang dalam persembunyian.
Namun nyatanya, badan ini bergerak tak menentu, sedikit geseran, terkadang hentakan kecil,
atau sedesah napas panjang. Tak sengaja ia mematahkan beberapa helai daun dari
bantalannya yang rapuh, entah kenapa Lubdaka tiba-tiba memandangi daun-daun yang
terjatuh ke mata air itu. Riak-riak mungil tercipta ketika helaian daun itu menyentuh
ketenangan yang terdiam sebelumnya. Ia memperhatikan riak-riak itu, namun ia tak dapat
memikirkan apapun. Beberapa saat kemudian, riak-riak menghilang dan hanya menyisakan
bayang gelombang yang semakin tersamarkan ketika masuk ke dalam kegelapan. Ia memetik
sehelai daun lagi dan menjatuhkannya, kembali ia menatap, dan entah kenapa ia begitu ingin
menatap. Ia memperhatikan dirinya, bahwa ia mungkin bisa tetap terjaga sepanjang malam,
jika ia setiap kali menjatuhkan sehelai daun, dan mungkin ia bisa menyingkirkan
ketakutannya, setidaknya karena ia akan tetap terjaga, itulah yang terpenting saat ini.
Ia terlalu sibuk dalam rutinitas itu, ya sesaat ia menyadari bahwa hidup ini seakan berlalu
begitu saja, ia bahkan tak sempat berkenalan dengan sang kehidupan, karena ia selalu sbuk
lari dari si kematian, ia berpikir apakah si kematian akan datang ketika si kelaparan
menyambanginya, ataukah si kematian akan berkunjung ketika si mara bahaya menyalaminya
ketika ia lalai. Semua yang ia lakukan hanyalah sebuah upaya bertahan hidup. Ia tak tahu
apapun selain itu, mungkin ia mengenal mengenal kode etik sebagai seorang pemburu, dan
aturan moralitas atau agama, namun semua itu hanya sebatas pengetahuan, di dalamnya ia
melihat, bahwa dirinya ternyata begitu kosong dan dangkal. Keberadaannya selama ini,
adalah identitasnya sebagai seorang pemburu, ia tak mengenal yang lainnya.
Sesekali ia memetik helai demi helai, dan menatap dengan penuh, kenapa ia tak menyadari
hal ini sebelumnya, ia bertanya pada dirinya, ia melihat kesibukan dan rutinitasnya telah
terlalu menyita perhatiannya. Dalam kehinangan malam, dan sesekali riak air, ia bisa
mendengar sayup-sayup suara malam yang terhantarkan bagai salam oleh sang angin, ia pun
terhenyak, sekali lagi, ia tak pernah mendengarkan suara malam seperti saat ini, biasanya ia
telah terlelap setelah membenahi daging buruannya dan santap malam sebagaimana biasanya.
Terdengar lolongan srigala yang kelaparan tak jauh dari tempatnya berada, secara tiba-tiba ia
mengurungkan niatnya memetik daun. Jantungnya mulai berdegup kencang, Lubdaka tahu,
pikirannya berkata bahwa jika ia membuat sedikit saja suara, si pemilik lolongan itu bisa saja
menghampirinya, dan bisa jadi ia akan mengajak serta keluarga serta kawan-kawannya untuk
menunggu mangsa lesat di bawah pohon, walau hingga surya muncul kembali di ufuk Timur.
Ia berusaha memelankan napasnya, dan menjernihkan pikirannya. Walau ia dapat
memelankan napasnya, namun pikirannya telah melompat ke beberapa skenario
kemungkinan kematiannya dan bagaimana sebaiknya lolos dari semua kemungkinan itu.
Beberapa saat kemudian, ketenangan malam mulai dapat kembali padanya. Ia mendengarkan
beberapa suara serangga malam, yang tadi tak terdengar, ah ia ingat, ia terlalu ketakutan
sehingga sekali lagi tak memperhatikan. Sebuah helaan napas yang panjang, ia masih hidup,
dan memikirkan kembali bagaimana ia berencana untuk lolos dari kematian yang terjadi, ia
pun tersenyum sendiri, ia cukup aman di sini. Namun Lubdaka melihat mulai melihat sesuatu
dalam dirinya, yang dulu ia pandang sambil lalu, sesuatu yang yang ia sebut ketakutan.
Lubdaka menyadari bahwa ia memiliki rasa takut ini di dalam dirinya, sesuatu yang
bersembunyi di dalam dirinya, ia mulai melihat bahwa ia takut terjatuh dari pohon, ia takut
dimangsa hewan buas, bahkan ia takut jika tempat persembunyiannya disadari oleh hewan-
hewan yang buas, ia takut tak berjumpa lagi dengan keluarganya. Setidaknya ia tahu saat ini,
ia berada di atas sini, karena takut akan tempat yang di bawah sana, tempat di bawah sana
mungkin akan memberikan padanya apa yang disebut kematian. Dan ketakutan ini begitu
mengganggunya.
Ia kembali memetik sehelai daun dan menjatuhkannya ke mata air, namun secara tak sadar
oleh kegugupannya, ia memetik sehelai daun lagi dengan segera, secepat itu juga ia sadar
bahwa tangannya telah memetik sehelai daun terlalu cepat. Ia memandangi helaian daun itu,
di sinilah ia melihat sesuatu yang sama dengan apa yang ia takutkan, ia melihat dengan jelas
sesuatu pada daun itu, sesuatu yang disebut kematian. Daun yang ia pisahkan dari pohonnya
kini mengalami kematian, namun daun itu bukan hewan atau manusia, ia tak bisa bersuara
untuk menyampaikan apa yang ia rasakan, ia tak dapat berteriak atau menangis kesakitan, ia
hanya hanya mati, dan itulah apa yang si pemburu lihat ketika itu.
Selama ini Lubdaka selalu melihat hewan-hewan yang berlari dari kematiannya dan yang
menjerit kesakitan ketika kematian yang dihantarkan sang pemburu tiba pada mereka,
Lubdaka telah mengenal sisi kematian sebagai suatu yang menyakitkan, dan kengerian yang
timbul dari pengalamannya akan saksi kematian, telah menimbulkan ketakutan di dalam
dirinya. Ia melihat ia sendiri telah menjadi buruan akan rasa takutnya. Lubdaka telah melihat
bentuk kematian di luar sana, termasuk yang kini dalam kepalan tangannya, ia kini masuk ke
dalam dirinya, dan ingin melihat kematian di dalam dirinya, namun semua yang ia temukan
hanyalah ketakutan akan kematian, ketakutan yang begitu banyak, namun si kematian itu
sendiri tak ada, tak nyata kecuali bayangan kematian itu sendiri. Lubdaka pun tersenyum, aku
belum bertemu kematian, yang menumpuk di sini hanyalah ketakutan, hal ini begitu
menggangguku, aku tak memerlukan semua ini. Lubdaka melihat dengan nyata bahwa
ketakutannya sia-sia, ia pun membuang semua itu, kini ia telah membebaskan dirnya dari
ketakutan. Ia pun melepas tangkai daun yang mati itu dari genggamanannya, dan jatuh
dengan begitu indah di atas permukaan air. Diapun tidak menyadari bahwa malam itu adalah
malam Siva (Siva Ratri). Dimana Siva sedang melakukan tapa brata yoga semadi. Barang
siapa pada malam itu melakukan brata (mona brata: tidak berbicara, jagra: Tidak Tidur,
upavasa: Tidak makan dan minum) maka mereka akan dibebaskan dari ikatan karma oleh
Siva.
Ufuk Timur mulai menunjukkan pijar kemerahan, Lubdaka memandangnya dari celah-celah
dedaunan hutan, dalam semalam ia telah melihat begitu banyak hal yang belum pernah ia
lihat sebelumnya. Kini ia telah berkenalan dengan kehidupan dan melepas ketakutan-
ketakutannya, ia telah mulai mengenal semua itu dengan mengenal dirinya.
Lubdaka begitu senang ia dapat tetap terjaga walau dengan semua yang ia alami dengan
kekalutan dan ketakutan, kini sesuatu yang lama telah padam dalam dirinya, keberadaannya
begitu ringan, tak banyak kata yang dapat melukiskan apa yang ia rasakan, begitu hening,
sehingga ia bisa merasakan setiap gerak alami kehidupan yang indah ini, setiap tiupan yang
dibuat oleh angin, dan setiap terpaan sinar yang menyentuhnya. Kini sang pemburu memulai
perjalanannya yang baru bersama kehidupan.
Dia menyadari bahwa berburu bukanlah satu-satunya pilihan untuk menghidupi keluarganya.
Setelah dia melewati perenungan di malam tersebut, kesadaran muncul dalam dirinya untuk
merubah jalan hidupnya. Dia mulai bercocok tanam, bertani hingga ajal datang
menjemputnya.
Saat dia meninggal, Atmanya (Rohnya) menuju sunia loka, bala tentara Sang Suratma
(Malaikat yang bertugas menjaga kahyangan) telah datang menjemputnya. Mereka telah
menyiapkan catatan hidup dari Lubdaka yang penuh dengan kegiatan Himsa Karma (memati-
mati). Namun pada saat yang sama pengikut Siva pun datang menjemput Atma Lubdaka.
Mereka menyiapkan kereta emas. Lubdaka menjadi rebutan dari kedua balatentara baik
pengikut Sang Suratma maupun pengikut Siva. Ketegangan mulai muncul, semuanya
memberikan argumennya masing-masing. Mereka patuh pada perintah atasannya untuk
menjemput Atma Sang Lubdaka.
Saat ketegangan memuncak Datanglah Sang Suratma dan Siva. Keduanya kemudian bertatap
muka dan berdiskusi. Sang Suratma menunjukkan catatan hidup dari Lubdaka, Lubdaka telah
melakukan banyak sekali pembunuhan, sudah ratusan bahkan mungkin ribuan binatang yang
telah dibunuhnya, sehingga sudah sepatutnya kalo dia harus dijebloskan ke negara loka.
Siva menjelaskan bahwa; Lubdaka memang betul selama hidupnya banyak melakukan
kegiatan pembunuhan, tapi semua itu karena didasari oleh keinginan/niat untuk menghidupi
keluarganya. Dan dia telah melakukan tapa brata (mona brata, jagra dan upavasa/puasa)
salam Siva Ratri/Malam Siva, sehingga dia dibebaskan dari ikatan karma sebelumnya. Dan
sejak malam itu Dia sang Lubdaka menempuh jalan hidup baru sebagai seorang petani. Oleh
karena itu Sang Lubdaka sudah sepatutnya menuju Suarga Loka (Sorga). Akhirnya Sang
Suratma melepaskan Atma Lubdaka dan menyerahkannya pada Siva. (Kisah ini adalah
merupakan Karya Mpu Tanakung, yang sering digunakan sebagai dasar pelaksanaan Malam
Siva Ratri).
Siva Ratri datang setahun sekali setiap purwani Tilem ke-7 (bulan ke-7) tahun Caka.
Jayaprana Dan Layonsari Cerita Rakyat Dari Bali
Saturday, February 23, 2013 cerita rakyat No comments
Dua orang suami istri bertempat tinggal di Desa Kalianget mempunyai tiga orang anak, dua
orang laki-laki dan seorang perempuan. Oleh karena ada wabah yang menimpa masyarakat
desa itu, maka empat orang dari keluarga yang miskin ini meninggal dunia bersamaan.
Tinggallah seorang laki-laki yang paling bungsu bernama I Jayaprana. Oleh karena orang
yang terakhir ini keadaannya yatim piatu, maka ia pun memberanikan diri mengabdi di
istana raja. Di istana, laki-laki itu sangat rajin, rajapun amat kasih sayang kepadanya.
Kini I Jayaprana baru berusia duabelas tahun. Ia sangat ganteng paras muka tampan dan
senyumnya pun sangat manis menarik.
Pada suatu hari raja menitahkan I Jayaprana, supaya memilih seorang dayang-dayang yang
ada di dalam istana atau gadis gadis yang ada di luar istana. Mula-mula I Jayaprana
menolak titah baginda, dengan alasan bahwa dirinya masih kanak-kanak. Tetapi karena
dipaksa oleh raja akhirnya I Jayaprana menurutinya. Ia pun melancong ke pasar yang ada
di depan istana hendak melihat-lihat gadis yang lalu lalang pergi ke pasar. Tiba-tiba ia
melihat seorang gadis yang sangat cantik jelita. Gadis itu bernama Ni Layonsari, putra Jero
Bendesa, berasal dari Banjar Sekar.
Melihat gadis yang elok itu, I Jayaprana sangat terpikat hatinya dan pandangan matanya
terus membuntuti lenggang gadis itu ke pasar, sebaliknya Ni Layonsari pun sangat jatuh
hati memandang pemuda ganteng yang sedang duduk-duduk di depan istana. Setelah gadis
itu menyelinap di balik orang-orang yang ada di dalam pasar, maka I Jayaprana cepat-
cepat kembali ke istana hendak melapor kehadapan Sri Baginda Raja. Laporan I Jayaprana
diterima oleh baginda dan kemudian raja menulis sepucuk surat.
Setelah senja kedua mempelai itu lalu memohon diri akan kembal ke rumahnya
meninggalkan sidang di paseban. Sepeninggal mereka itu, Sri Baginda lalu bersabda kepada
para perbekel semuanya untuk meminta pertimbangan caranya memperdayakan I
Jayaprana supaya ia mati. Istrinya yaitu Ni Layonsari akanmasuk ke istana untuk dijadikan
permaisuri baginda. Dikatakan apabila Ni Layonsari tidak dapat diperistri maka baginda
akan mati karena kesedihan.
Mendengar sabda itu salah seorang perbekel lalu tampak ke depan hendak
mengetengahkan pertimbangan, yang isinya antara lain: agar Sri Paduka Raja menitahkan
I Jayaprana bersama rombongan pergi ke Celuk Terima, untuk menyelidiki perahu yang
hancur dan orang-orang Bajo menembak binatang yang ada di kawasan pengulan.
Demikian isi pertimbangan salah seorang perbekel yang bernama I Saunggaling, yang telah
disepakati oleh Sang Raja.
Hari sudah malam Ni Layonsari bermimpi, rumahnya dihanyutkan banjir besar, ia pun
bangkit dari tempat tidurnya seraya menerangkan isi impiannya yang sangat mengerikan
itu kepada I Jayaprana. Ia meminta agar keberangkatannya besok dibatalkan berdasarkan
alamat-alamat impiannya. Tetapi I Jayaprana tidak berani menolak perintah raja.
Dikatakan bahwa kematian itu terletak di tangan Tuhan Yang Maha Esa. Pagi-pagi I
Jayaprana bersama rombongan berangkat ke Celuk Terima, meninggalkan Ni Layonsari di
rumahnya dalam kesedihan. Dalam perjalanan rombongan itu, I Jayaprana sering kali
mendapat alamat yang buruk-buruk. Akhirnya mereka tiba di hutan Celuk Terima. I
Jayaprana sudah merasa dirinya akan dibunuh. Kemudian I Saunggaling berkata kepada I
Jayaprana sambil menyerahkan sepucuk surat.
I Jayaprana menerima surat itu terus langsung dibaca dalam hati isinya:
Demikianlah isi surat Sri Baginda Raja kepada I Jayaprana. Setelah I Jayaprana membaca
surat itu lalu ia pun menangis tersedu-sedu sambil meratap. Yah, oleh karena sudah dari
titah baginda, hamba tiada menolak. Sungguh semula baginda menanam dan memelihara
hambat tetapi kini baginda ingin mencabutnya, yah silakan. Hamba rela dibunuh demi
kepentingan baginda, meski pun hamba tiada berdosa. Demikian ratapnya I Jayaprana
seraya mencucurkan air mata. Selanjutnya I Jayaprana meminta kepada I Saunggaling
supaya segera bersiap-siap menikamnya. Setelah I Saunggaling mempermaklumkan kepada
I Jayaprana bahwa ia menuruti apa yang dititahkan oleh raja dengan hati yang berat dan
sedih ia menancapkan kerisnya pada lambung kirinya I Jayaprana. Darah menyembur
harum semerbak baunya bersamaan dengan alamat yang aneh-aneh di angkasa dan di bumi
seperti: gempa bumi, angin topan, hujan bunga, teja membangun dan sebagainya.
Setelah mayat I Jayaprana itu dikubur, maka seluruh perbekel kembali pulang dengan
perasaan sangat sedih. Di tengah jalan mereka sering mendapat bahaya maut. Di antara
perbekel itu banyak yang mati. Ada yang mati karena diterkam harimau, ada juga dipagut
ular. Berita tentang terbunuhnya I Jayaprana itu telah didengar oleh istrinya yaitu Ni
Layonsari. Dari itu ia segera menghunus keris dan menikan dirinya. Demikianlah isi singkat
cerita dua orang muda mudi itu yang baru saja berbulan madu atas cinta murninya akan
tetapi mendapat halangan dari seorang raja dan akhirnya bersama-sama meninggal dunia.
CUPAK TEKEN GRANTANG
Ada katuturang satua, I Cupak teken I Grantang. Menyama ajaka dadua. I Cupak ane kelihan, I
Grantang ane cerikan. Goba lan parilaksanan kaka adi punika doh pesan matiosan. I Cupak gobane
bocok, kumis jempe, kales, brenges, lan bok barak keke alah duk. Basang gede madaar kereng pesan.
Nanging joh bina ajaka adine I Grantang. I Grantang pengadegne lanjar, goba alep bagus, asing-asing
anake ngantenang makejang ngedotang. Kemikane manis tur anteng magarapan.
Kacarita sedek dina anu, i Cupak ajak I Grantang matekap di carike, I Grantang matekap nututin
sampi, nanging i Cupak satate maplalianan dogen gaene. Tusing pesan I Cupak ngrunguang adine
magae. Disubane I Grantang suud matekap mara I Cupak teka uli maplalianan. Yadiastun keto bikas
beline masih luung penampene I Grantang. I Grantang ngomong munyine alus tur nyunyur manis.
"Kemu beli malunan mulih tiang lakar manjus abedik. "Icupak masaut gangsar,"Lamun keto kola lakar
malunan mulih, adi. I Cupak laut majalan mulih. Disubane joh liwat uli sig I Grantange manjus, ditu
lantas I Cupak makipu di endute kanti awakne uyak endut. Disubane keto, I Cupak nutugang majalan
ngamulihan saha jlempah jlempoh.
Kacarita ane jani i Cupak suba neked diwangan umahe, ditu laut I Cupak gelur-gelur ngeling. Meme
bapane tengkejut ningehin eling panakne tur nyagjag laut nakonin,"Cening-cening bagus Wayan
Cupak anake buka cening ngudiang cening padidi mulih buine blolotan, men adin ceninge I Made
Grantang dija?" Disubane keto petakon reramane, laut masaut i Cupak sambilange ngeling. "Kene
ento bapa lan meme Kola anak uli semengan metekap dicarike I Grantang anak meplalianan melali
dogen uli semengan, buine ia ento ngenemin anak luh-luh dogen gaene". Mara monto pesadune I
Cupak bapane suba brangti teken I Grantang. Suud keto laut bapane ngrumrum I Cupak. "Nah,
mendep dewa mendep, buin ajahan lamun teka I Grantang lakar tigtig bapa, lakar tundung bapa uli
jumah. "Lega pesan kenehne I Cupak ningeh bapane pedih teken I Grantang. Apang tusing ketara
dayane jele, I Cupak pesu ngaba siap lakar mabongbong.
Ane jani kacaritayang I Grantang suba ngamulihang uli carik genah ipun magarapan. I Grantang
majalan jlempah jlempoh kabatek baan kenyelne kaliwat. Tan kacaritayang malih kawentenang ipun
ring margi, kancit sampun neked jumahne. Duk punika sahasa bapane teka nyag jag nyambak tur
nigtig. Bapane ngomong bangras. Makaad cai makaad Grantang, nirguna bapa ngelah panak buka cai.
Goba melah, solah jele, tur tuara demen nyemak gae, men nyak adung goba ajaka bikase? Dija cai
maan ajah-ajahan keto? " I Grantang ngeling sigsigan merasa teken dewek kena pisuna. Ngomong
laut I Grantang, sakewala raosne pegat-pegat duaning sambilange ngeling. "Nah, Bapa yan suba keto
keneh bapane, nundung anake buka tiang....uli jumah, tiang nerima pesan tresnan bapane ento.
Dumadak-dumadik sepatilar tiang uli jumah bagia idup bapa miwah belin tiange I Cupak.
Amonto I Grantang ngomong teken bapane laut majalan makaad uli jumah. Lampah laku pajalane I
Grantang tur jlempah-jlempoh pejalane kabatek baan naanang basang seduk. Sakit saja kenehne I
Grantang ningeh munyin bapane abuka keto. Disubane joh I Grantang liwat, teka lantas I Cupak
turnakonang adine I Grantang. "Meme...Bapa...adin kolane dija? " Mesaut laut bapane, "Adin I
Dewane suba tigtig bapa tur suba tundung bapa uli jumah. Jani apang tawange rasan mayusne ento."
Mara keto pasaut bapane I Cupak ngeling gelur-gelur tur mamunyi : "Ngudiang ketang bapa adin
kolane. Dadi tundung bapa adin kolane, dija jani alih kola adin kolane ...anak kola ...anak ... anak kola
ane mayus magae, ngudiang adin kolane tundung bapa?" Ningeh munyin I Cupake keto dadi engsek
memen bapane, merasa teken dewek pelih. "Jani kola lakar ngalih adin kolane, lakar abang kola
takilan!" Masepan-sepan memene ngaenang I Cupak takilan.
Kacarita jani I Cupak ninggal umah ngalain memen bapane lakar ngruruh I Grantang. Gelur gelur I
Cupak ngaukin adine Adi....adi....adi..Grantang ... ene kola teka ngaba takilan ..Adi!" Cutetin satua,
bakat bane ngetut adine, tepukina ditengah alase. Ditu lantas I Cupak ngidih pelih teken adine. Adi
jalan mulih adi, ampurayang Beli adi, jalan adi mulih!" I Grantang mesaut alot, "kema suba Beli mulih
padidi, depang tiang dini naenang sakit ati, diastun tampin tiang mati.Apa puaran tiange idup tusing
demenin rerama. "Disubane buka keto pasaut adine laut nyawis nimbal natakin panes tis, suka duka
ajak dadua. Jalan mareren malu adi, kola kenyel pesan nugtug adi uli jumah. Ene kola ngaba takilan,
jalan gagah ajak dadua. "I Cupak lantas nunden adine ngalih yeh, "Kema adi ngalih yeh, kola nongosin
takilane dini. "Nyrucut I Grantang ngalih yeh. Disubane I Grantang liwat joh, pesu dayane I Cupak
lakar nelahang isin takilane. Sepan-sepan I Cupak ngagah takilane tur daara telahanga. Sesubane
telah, kulit takilane besbesa tur kacakanga di tanahe. Nepukin unduke ento lantas I Cupak dundune
teken I Grantang. I Cupak mani-mani kapupungan. "Aduh adi apa mesbes takilane ne? Bes makelo
Adi ngalih yeh kanti takilane bakat kalain pules. Nah ne enu lad-ladne jalan gagah ajak
dadua."Disubane ada raosne I Cupak buka keto laut masaut I Grantang, "Nah daar suba beh, tiang
tusing merasa seduk" I Cupak medaar padidiana, ngesop nasi nginem yeh, celekutang nitig tangkah,
suud madaar I Cupak taagtaag nyiriang basang betek.
Disubane I Cupak ajaka I Grantang maan mareren laut ngalanturang pejalane. Kacarita ane jani I
Cupak lan I Grantang neked di Bencingah Puri Kediri. Di desane ento suung manginung, tusing ada
anak majlawatang. Pejalane I Cupak ngetor kabatek baan jejehne, jani suba neked kone ia di jaba puri
Kedirine, ditu I Cupak nepukin peken. Di pekene masih suung manginung tuah ada dagang nasi adiri
buina mengkeb madagang. Ngatonang unduke buka keto, ditu laut I Grantang metakon teken
dagange ento, "Nawegang jero dagang nasi, titiang matur pitaken, napi wastan jagate puniki, napi
sane mawinan jagat druwene sepi. I Dagang nasi masaut, Jero, jero anak lanang sareng kalih jagate
puniki mawasta jagat Kediri. Jagat puniki katiben bencana. Putran Ida Sang Prabu kapandung olih I
Benaru. Ida Sang Prabu ngamedalang wecana, sapasiraja sane mrasidayang ngrebut putran gelahe
tur mademang I Benaru jagi kaadegang agung ring jagate puniki. Wantah putrin Ida sane kaparabiang
ring sang sane prasida mademang I Benaru.
I Cupak masaut elah, "ah raja belog kalahang Benaru. Kola anak suba bisa nampah Benaru. Eh
dagang, kema orahang teken rajabe dini. Bantes Benaru aukud elah baan kola ngitungang". I
Grantang megat munyin beline, "Eda Beli baas sumbar ngomong, awak tusing nawang matan Benaru.
Patilesang raga beline digumin anak. "Sakewala I Cupak bengkung ngelawan tur tuara ngugu munyin
adine. "Adi baas setata, adi mula getap. Kalingke nampak ngadeg gumi, baanga ngidih nasi dogen beli
nyak ngematiang I Benaru. "I Grantang nglanturang munyine teken jero dagang nasi. "Inggih jero
dagang nasi durusang uningan marika ring Ida Sang Prabu. Titiang jagi ngaturang ayah,
ngemademang ipun I Benaru. "Duaning asapunika wenten pabesene I Grantang, laut I dagang nasi
gagesonan nangkil ka puri. Nganteg ring puri I Dagang nasi matur, "Inggih Ratu Sang Prabhu
sasuhunan titiang, puniki wenten tamiu sareng kalih misadia jagi ngemademang I Benaru.
Riwawu asapunika atur I Dagang nasi, premangkin ledang pisan pikayun Ida Sang Prabhu. Raris Ida
Sang Prabhu ngandika, " Ih memen cening, yen mula saja buka atur men ceninge, lautang kema
tunden ia tangkil ka puri apang tawang gelah!" Sesampune wenten renteh wacanan Ida Sang
Prabhu,'I Dagang nasi jek ngenggalang ngalih I Cupak teken I Grantang. Nganteg di peken dapetange I
Cupak masehin lima mara suud madaar. I Grantang kimud kenehne nepukin beline setata ngaba
basang layah. I Grantang laut ngomong. "Nawegang jero dagang belin tiange iwang ngambil ajengan,
mangda ledang jero ngampurayang santukan titiang nenten makta jinah. "I Cupak masaut, "Saja kola
nyemak nasi, ampura kola, tusing sida baan kola naanang basang layah. "I Dagang nasi anggen
kenehne ningeh munyine I Grantang. Munyin I Cupake tan kalinguang. I dagang nasi laut nekedang
pangandikan Ida Sang Prabhu, apang tangkil ajaka dadua. Sesampune katerima pabesene punika olih
I Dagang nasi.
Teked di puri hut panjake pati kaplug melaib, kadene I Benaru. Kacrita sane mangkin I Cupak lan I
Grantang sampun tangkil ring ajeng Ida Sang Prabhu raris Ida Sang Prabhu ngandika, "Eh cai ajak
dadua cai uli dija, nyen adan caine?" I Grantang matur dabdab alon,"Nawegang titiang Ratu Sang
Prabhu, titiang puniki wantah jadma nista saking jagat Gobangwesi. Munggwing wastan titiang
wantah I Grantang, niki belin titiange mewasta I Cupak. Titiang jagi matetegar nyarengin
sewayambarane puniki ngamademang ipun satrun palungguh I Ratu I Benaru. Konden suud aturne I
Grantang saget sampun kasampuak olih I Cupak, tur ngomong kene, "Kola seduk, kola lakar ngidih
nasi abetekan. Basang kolane layah. Suud keto I Cupak ajak I Grantang mapamit. Ida Sang Prabhu
mapaica cincin mas masoca mirah teken pajenengan puri Kediri. Ento pinaka cirin I Grantang dados
utusan.
Gelisang carita I Cupak kebedak-bedak, lantas nepukin telaga linggah tur bek misi yeh. Ditu lantas I
Cupak morahang teken adine. "Adi...adi Grantang mareren malu, kola kenyel tur bedak pesan, kola
lakar ngalih yeh ditu di telagane. "Kasautin laut pamunyin Beline teken I Grantang, "Eda beli ditu
ngalih yeh, ento anak yeh encehne I Benaru tusing dadi inem, beli, "Ningeh munyin adine keto I
Cupak makesiab ngatabtab muane putih lemlem. I Grantang nutugang majalan. I Cupak buin nepukin
gegumuk maririgan. Ditu buin I Cupak matakon teken adine, "Nyen ane ngae gunung gunungan dini
adi?" sambilange maklemir I Grantang nyaurin petakon beline. "Ene tusing ja gunung-gunungan beli,
ene mula tuah taine I Benaru beli. I Cupak makraik baan takutne. "Aduh mati jani beli adi, yan mone
geden taine, lamun apa ja gedene I Benaru, adi?. Jalan suba mulih adi. I Grantang nguncangang
majalan ngungsi Guane I Benaru. I Cupak bejag bejug nutug I Grantang.
Kacaritayang sane mangkin I Cupak ajaka I Grantang suba teked di sisin goane I Benaru. Umah I
Benaru ditengah goane. I Cupak laut ngomong " Adi .... kola tusing bani tuun adi, adi dogen suba
masiat ngelawan I Benaru. Kola ngantiang dini. Kewala ngidih olas kola teken adi, tegul kola dini adi! "
Bincuh I Grantang ngalih tali anggona negul I Cupak. Disubane suud I Grantang negul beline, I
Grantang laut matinget teken beline, "Ene tingalin tumbake buin ajahan beli, yan bah kangin
tumbake ento pinaka cirin tiange menang di pasiatan. Sakewala yan bah kelod tumbake, ento pinaka
cihna tiang kalah. "Suud matinget, teken beline, I Grantang laut tuun ka goane.
Teked di tengah goane dapetange I Benaru nagih melagandang Raden Dewi. I Benaru matolihang tur
matbat I Grantang. " "Eh iba manusa cenik, wanen iba teka mai, Yan iba mabudi idup matulak iba
mulih ! " Disubane keto ada munyine I Benaru, laut I Grantang masaut wiring, "Apa..apa..orahang iba
Benaru? Kai teka mai mula nyadia lakar ngalahan iba, tur kai lakar mendak Raden Dewi putran Ida
Sang Prabhu. Kai lakar ngiring Ida ka Puri. " I Benaru lantas ngelur brangti laut ngamuk. Ditu I
Grantang mayuda ngajak I Benaru. Sangkaning kepradnyanan I Grantang mayuda, dadosne I
Grantang polih galah nebek basangne I Benaru nganti betel antuk keris pajenengan purine. I Benaru
ngelur kesakitan basangne embud mebrarakan.
Kacrita ane jani, I Cupak baduuran ningeh I Benaru ngelur. I Cupak pesu enceh, tur tategulane telah
tastas. Ditu lantas I Cupak inget teken patingetne I Grantang. Ningalin lantas tumbake ento suba bah
kangin. Mara I Cupak masrieng kenehne liang. I Cupak laut ngomong, " Adi...adi Grantang antos kola
Adi. Yan kola tusing maan metanding ngajak I Benaru jengah kola, Adi. " I Grantang laut ngomong uli
tengah goane teken I Cupak. "Beli tegarang entungan tali bune ka goane! "Disubane ada raos adine
buka keto laut I Cupak ngentungan taline ento. Ditu lantas I Grantang ngelanting ditaline apan
ngidang menek. I Grantang sambilange ngamban Raden Dewi. Disubane I Grantang lan Raden Dewi
nengok uli ungas goane, gegeson pesan I Cupak nyaup Raden Dewi tur sahasa megat tali ane
glantingine baan I Grantang. Duaning tali bune kapegatang, ditu lantas I Grantang ulung ngeluluk
ditengah goane. Semaliha Ida Raden Dewi kasirepang olih I Cupak di batan kayune satonden megat
tali bune ento.
Kacaritayang sane mangkin, I Cupak ngiring Ida Raden Dewi nuju Puri Agung. Tan kacaritayang
kawentenang Ida kairing baan I Cupak ring margi, kancit sampun rauh Ida ring Puri. Ida Sang Prabhu
ledang kayune tan siti, digelis raris nyaup Raden Dewi. Ida Sang Prabhu raris matemuang Ida Raden
Dewi teken I Cupak sawireh I Benaru suba mati. I Cupak matur ring Ida Sang Prabhu, I Grantang
sampun padem, kapademang oleh I Benaru. I Cupak mangkin kaadegang Agung ring Puri.
Kacaritayang sane mangkin I Cupak sampun madeg Agung ring Puri. Makejang panjake keweh,
duaning sasukat risapa madeg I Cupak sadina-dina panjake makarya guling.
Sane mangkin iring menengang abosbos cerita sapamadeg I Cupak, iring sane mangkin caritayang
kawentenang I Grantang ring tengah goane. I Grantang grapa-grepe bangun nyelsel padewekan.
"Raturatu Bhatara nguda kene lacur titiange manumadi?" Kasuen-suen dados metu rincikan naya
upanaya I Grantang bakal nganggon tulang I Benarune menek. I Grantang ngragas tur makekeh pesan
menek. Sakewanten sangkanin sih Ida SangHyang Parama Kawi I Grantang nyidayang ngamenekang. I
Grantang jadi suba neked di baduuran. I Grantang lantas nugtugang pejalane nuju je puri. Gelisang
carita I Grantang suba neked di puri. Ditu lantas I Grantang ngomong teken panyeroan I Cupake, "Jero
tulung titiang, titiang jagi tangkil matur ring Ida Sang Prabhu. "Malaib panyroane ka puri
nguningayang unduke punika teken Raden Cupak. I Cupak inget teken adine ane enu digoane. Ditu
lantas I Cupak ngelur nunden panjake ngejuk tur ngulung aji tikeh tur ngentungang ka pasihe.
Kacarita buin manine Pan Bekung memencar di pasihe ento. Uling semengan nganti linsir sanje
memencar tusing maan be naang aukud. Ngentungan pencar tanggun duri, pencare marase baat,
mare penekanga bakatange tikeh. Buin Pan Bekung mulang pencar buin bakatange tikehe ane busan.
Gedeg basang Pan Bekunge, laut tikehe abane menek tur kagagah. Makesiab Pan Bekung ningalin
jadma berag pesan. Pan Bekung enggalang ngajak anake ento kepondokne. Teked dipondokne
pretenina teken Men Bekung. Sewai-wai gaenange bubuh, uligange boreh. Dadosne sayan wai sayan
misi awakne I Grantang. Dadi kendel Pan Bekung ajak Men Bekung iaan unduk panak truna tur
bangus. Di subane I Grantang seger ditu lantas I Grantang ngae tetaneman. Megenepan pesan
bungane tanema. Disubane bungane pada kembang, I Grantang ngalap bungane ento tur adepa
teken Men Bekung ka peken. Sadinadina saja geginane I Grantang metik bunga lan Men Bekung
ngadep.
Kacarita ane jani ada wong jero uli puri Kediri lakar meli bunga. Makejang bungane Men Bekung
belina baan wong jerone ento. Disubane suud mablanja lantas wong jerone ento ka puri ngaturang
bunga. Bungane ane kaaturang katerima olih Ida Raden Dewi. Mara kearasan oleh Raden Dewi dadi
merawat rawat anak bagus dibungane.
Eling lantas Ida teken I Grantang anak bagus ane ngamatiang I Benaru. Ida Raden Dewi raris metaken
teken wong jerone. "Eh Bibi bibi Sari dija nyai meli bungane ene?"buin mani ka pasar apang
kacunduk teken dagang bungane ene." Manine kairing Ida Raden Dewi lunga, matumbasan ka
pasar.Gelisang carita raris kapanggih Men Bekung nyuun kranjang misi bunga mewarna warni. Raden
Dewi raris nampekin. Kagiat Raden Dewi nyingak bungkung mas masoca mirah ane anggone teken
Men Bekung. Bungkunge ento wantah druwen Ida Sang Prabhu lingsir, ane kapicayang teken I
Grantang. Ngaksi kawentenane punika, raris Raden Dewi ngandika teken Men Bekung. "Uduh Meme,
titiang matakon, dija umah memene?' Ajak gelah melali kema ka umah Memene apang gelah
nawang. " Gelisang carita Ida Raden Dewi sampun neked di pondok Men Bekung. Pan Bekung kemeg-
megan sinambi ngadap kasor saha nyambang sapangrauh Ida Raden Dewi. Ningeh Bapane
makalukang tur epot laut I Grantang nyagjag. Ditu lantas I Grantang matemu teken Raden Dewi.
Rikanjekan pinika Ida Raden Dewi nyagjag tur mlekur I Grantang sinambi nangis masasambatan,
"Aduh Beli mgudal las beli ngutiang tiang. Ngudiang beli tusing ka puri tangkil ring Ida Sang Prabhu."
Sasampune wenten ketel wacanan Ida Raden Dewi raris I Grantang nyawis tur matur dabdab alon,
ngaturan parindikan pajalan sane sampun lintang.
Kacaritanyang mangkin I Grantang sareng Ida Raden Dewi suba neked di puri. Sang Prabhu maweweh
meweh ledang kayun Idane nyingak putrane anut masanding ajaka I Grantang. Kacaritayang mangkin
I Cupak katundung uli puri. I Grantang mangkin kaadegang agung ring puri. Sasukat I Grantang madeg
agung, jagate gemuh kerta raharja. Panjake sami pada girang pakedek pakenyung duaning suud
ngayahin raja buduh.
I LUTUNG MASAWITRA RING I KEKUA
Ring tengah alase sane jimbar, wenten macan masawitra sareng lutung. Sedek rahina anu i macan
sane masambung ikuh sareng i lutung malaib pati luplup, santukan jejeh manahnyane ngeton i
kambing. Palaib ipune sareng kalih pati luplup, nenten ngetang karengkaden alas, pangkung miwah
grembeng. Saking pangendan Widi, sambungan ikuh sang kalih keles, mawinan palaib i macan sareng
i lutunge mabelasan.
Critayang i lutung sampun rauh ring alase sane madurgama. Irika i lutung mararian, tur glalang-
gliling ring tanahe, santukan nenten sida antuk ipun naanang sakit awakipune. Angkihanipune noos
kabatek antuk kenyelipune. Sampun sue masanekan raris ipun bangun, mamanah pacang ngulati
toya santukan bedaknyane tan gigisan. Irika raris ipun mamargi ring samping pangkunge, bilih
wenten toya panggihinipun. Tan dumade panggihinipun tugu bagu sampun rubuh, genah i kekua
masinutan.
I lutung kagiat miragi suara saking batune. Manahangipun suara punika suaran manusa, mawinan
ipun nenten di geelis nyaurin.
I kekua malih mabaos, " Ih lutung cai teka uli dija, dadi tumben tepukin deweke?"
I lutung raris nyelehin panangkan suaranne, kandugi panggihinipun i kekua ngesil ring samping
batune.
I lutung alon nyaurin, "Mawanan deweke teked dini, sawireh deweke paling, tusing nawang lisikan.
Deweke bengong ngatonang jeneng caine tawah pesan. Tusing pesan masaih teken buron ane lenan.
Ento krananne deweke kedek ngatonang goban caine masaih pesan teken batu." Miragi baos i
lutunge nyadcad deweknyane, i kekua manahipune daat brangti raris mabaos bangras, "Ih lutung
kaliwat baan cai mamunyi, tusing nawang paundukan. Padingehang munyin deweke! Deweke mula
terehan Bedawang Nala ane setata kukuh nyuun gumine. Leluhur deweke kasub tan patandingan ane
malu. Yan cai dot nawang buat kawisesan deweke, mai paekang awak caine, lakar uyeng deweke!
Yan sedekan deweke pedih gumi muah alas gununge makejang, nyidaang deweke mralina. Nah
edengang jani kawisesan caine. Deweke lakar nandingin kapurusan caine!" Sapunika baos i kekuane
bangras.
I lutung daat jejeh miragi gertak i kekuane tumuli mabaos banban, "beh kekua, sinampuraang pesan
buat kasigugan deweke. Tusing ja sangkaning deweke degag bani teken cai. Sujatinne deweke tusing
nawang teken panumadian caine. Nah ne jani jalan makekasihan! Cai kekua anggon deweke kanti.
Sawireh i raga mula terehan wangsa utama." Sapunika baos i lutunge.
I kekua raris mabaos banban sarwi kenyem, "ih lutung, mangdoh lakar kasidan amun keneh caine,
lakar makasihan teken icang sawireh bebaksane pada melenan. Icang demen teken dondonan ane
berek, cai demen teken wohwohan, sinah suba pepinehe tusing lakar adung.
Ada katuturan ane malu, anggon icang tetuladan, buka bojog masawitra teken i kambing.
Pawawitrane raket, mawastu ngwetuang siat malarapan baan ngrebutin tanduk." I lutung kenyem
nyaurin, "Ih kekua, yan kenehang icang tusing ja keto. Sawireh icang melenan teken bojoge ane
satuaang cai." Sapunika pajar i lutunge mitegesang pisan.
Critayang indik pasawitran i lutunge sareng ring kekua becik pisan. Sareng kalih ipun rerad-rerod
luas ngrereh tetedaan nenten naenin mabelasan, ngulurin legan kenehnyane. Ri kala semeng i lutung
metu manahipune pacang nyugjugin baos i kekuane, santukan ipun ngaku sakti.
Sasampun i lutung matemu ring sawitrannyane, raris ipun mapajar, "Ih cai kekua, buin mani jalan luas
melali kategale kelod, sawireh icang ningeh orta, ditu liu ada umbi-umbian muah woh-wohan
minakadi poh, pakel, nyambu, juuk muah ane lenan. Buina soroh umbi-umbiane suba kone sedeng
ebet.
Disisin-sisin abiane, glagahe bet buina liu pesan don kayune berek ane ulung ka tepin jurange. Jae,
isen, lempuyang samah buka alase. Buina ane ngelahang abiane tusing mondokin." Sapunika baos i
lutunge. I kekua lega manahipune miragi sarwi mabaos banban, "Nah yan saja buka raos caine, jalan
buin mani semengan luas ka tegale kelod. Nanging ada piteket deweke, yan saget teked di pakubuan,
apang ngalih amah-amahan suang-suang, buina eda cai uyut.
Critayang benjangne pasemengan i lutung miwah i kekua sampun mamargi. Sampun doh ipun
mamargi nuut lisikan sane silak-siluk ring bangkiang gununge. Saking bangkiang gununge katon
pasisine asri ngulangunin manahipune. Sasampune rauh ring pabianan, sareng kalih macelep ka
tengah abiane. Nyandang becika sang madrue abiane nenten wenten ring abian, mawinan kalintang
lega manah sang kalih neda tetedaan sane doyaninipun. Nenten nyandang baosang indik legannyane
ngulurin kaulangunan. I lutung raris ngrincikang daya pacang nyengkalen i kekua. Irika ipun tedun
saking wit tarune tur nuju wit jaene, tumuli ngambil umbinnyane tatis kateda. Sasampune polih
ngarasayang, pramangkin ipun maduhan sarwi ngusap yeh mata. Suarannyane ngelur aduh-aduh.
Kala punika i kekua raris nangsekin tur mabaos, "Ih lutung eda keto, suud aduh-aduh! Yan dingeha
teken ane ngelah abiane sinah deweke lakar matianga." Sapunika pajar i kekuane. I lutung nenten
ngrungu baos i kekuane, bilih nyangetang ipun aduh-aduh. Duk punika suaran i lutunge kapiragi olih
sang nruenang abiane. Sang madrue raris gegison nyujur ka abiannyanne. Sasampune rauh ring
tegalanipune, tengkejut ipun ngatonang abiannyane telas kagebur.
Tan dumade metu gedeg manahipune tur di gelis ngruruh, nyliksik sang corah sarwi matbat, "Ih cai
corah, kenken sujatinne goban caine. Cai bani ngusak-asik pabianan deweke, antosang buin ajahan,
lakar empug kai tendas ibane."
Miragi baos sang masrue abian, i kekua daat jejeh raris di gelis mengkeb ring batan tengkulake. I
lutung makecos menek ring tarune. Solahipune kajengat-kajengit sekadi nundun gedeg manah sang
madue abiane. I lutung tatis magending sapuniki, "I lutung babuan di kayu, i kekua batan tengkulak
dug, dag, ceng, ceng, kiok." Sapunika gendinganipune mawali-wali, ngardinin sang madue abiane
sane mawasta durbudi sayan nyangetang pedihipune. Bonglakipune makelep kasunarin antuk surya.
Matanipune barak, nulengek mapawasan ring carang kayune. Panggihinipun i lutung negak ring
carang kayune, iteh magending. Durbudi sayan sengitan.
Ipun raris mabaos, "Ih lutung buron cemer, apa petaang cai? Cai kaliwat degag teken deweke. Yan
saja cai wanen, tuunang iban caine! Lakar cohcoh kai tendas ibane baan caluk. Kema enggalang
orahin kadang caine, tonden ngrebut kai!" I lutung nenten ngrungu munyin Durbudine bilih
nyangetang ipun magending. Sasampune ipun miragi gending i lutunge, raris ipun mapineh-pineh, "I
lutung magending sujatinne ngorahin i dewek." I Durbudi raris nyliksik batan tarune. Asing-asing ane
ebet adas ipun. Tan dumade panggihin upun clebongkak madugdug, punika tatis keberangipun,
panggihinipun i kekua ngesil.
Durbudi kalintang sengitan tur mabaos, "Bah ne ko ya malinge ane bani ngrusak abian deweke."
Sapunika baos ipune. I kekua di gelis kategul, raris kabakta ka pondoknyane.
Kacrita sampun tauh ring pondok, Durbudi raris ngaukin pianak miwah somahipune, "Men Cening,
mai tingalin! Kema enggalang ngalih saang. Ajaka mebat. Ne kekuane suba krangkeng Bapa. Buin
mani pasemengan dabdabang basa muah reramone!"
Sasampune sore i lutung sane kantun ring carang kayune, wiakti daat lega manahipune, santukan
katarka i kekua pedas pacang padem. Punika mawinan ipun tedun, mamanah pacang nyelehin genah
i kekuane.
Rauh i lutung ring genah i kekuane raris ipun mapakar alon, "Ih kekaua, eda cai sanget nyekelang
deweke! Sawireh ene mula pangendan Widi, rusing dadi kelidin. Yan kenehang deweke, cai tusing ja
lakar mati, yan saja buka munyin caine i pidan, cai mula terehan sakti mawisesa. Sakewala baan
teresnan deweke masawitra teken cai, ento krananne deweke teka nelokin cai. Yan sing pelih baan
deweke narka sinah cai lakar anggona cokok makuskus." Sapunika baos i lutunge, sakadi nyindirin.
I kekua kenyem nyaurin, "Bah yan keto, tusing cai nawang teken unduk deweke? Di kapan deweke
lakar mati, sawireh deweke dini, lakar kanggon mantu. Petengne nyanan deweke lakar kaatenang
ngajak pianak Durbudine. To iwasin, gegelan deweke mara pesan suud ngulig boreh! matuan deweke
epot magarapan nabdabang sagi, nyanggra tamiune lakar teka." Sapunika baos i kekuane, masebeng
bingar. Nenten pisan wenten merawat jejeh ring semitanipune, yadiastun ipun pacang kapademang. I
lutung bengong miragiang satuan i kekuane. Saantukan belognyane kaliwatm baos i kekuane
kadenipun sujati. Irika metu manahipune dot ngantinin i kekua dados mantu sarwi ipun mabaos,
"Beh, saking saja cai mula sawitran deweke ane melah. Nah jani terusang legan caine masawitra
teken icang. Cutetne icang ngidih teken cai apang cai saking las nyerahang gegelan caine teken icang.
Icang ngantinin cai dadi mantun I Durbudine. Yan suba saking saja cai nyak nyerahang gegelan caine,
icang tising engsap teken kapitresnan caine yadiastun ping kuda-kuda icang lakar numadi, apang
setata masawitra teken cai." Sapunika baos i lutunge.
I kekua kenyem nyaurin, "Yan keto keneh caine, apa men orahang deweke teken cai. Deweke mula
saking sujati tresna makekasihan. Deweke tusing mucingin pangidihan caine. Jani, cai dini nongos di
tengah krangkenge, deweke lakar matinggal, cirin deweke tresna teken cai!" Sapunika baos i
kekuane. I lutung raris ngungkab krangkenge, tumuli ngranjing ngentosin i kekua. I kekua raris
matinggal nylupsup ka bete.
Tan critaang i kekua ring margi, mangkin ipun sampun rauh ring genah sane singid. Critayang
mangkin I Durbudi sampun puput nyangih blakas tumuli ipun nyujur genah i kekuane. Sarauhe ring
genah i kekuane, I Durbudi daat kagiat, saantukan ipun manggihin i lutung sane matekep ring
krangkenge.
I Durbudi raris mabaos ring somahipune, "Men Cening nyen ane nyilurin i kekua di krangkenge?"
Somahipune maosang nenten uning.
I Durbudi malih ngucap, "Bah saking suecan Widi ene, kekuane magentos dadi lutung." Sapunika
baosipune, sarwi ngigelang blakas antuk legan manahipune." Bah mati cai lutung. Cai buron corah tur
nista sing buungan cai lakar anggon deweke cokok, anggon deweke murnayang keneh deweke
sebet." Sapunika baos I Durbudine. Somah miwah pianaknyane sami lega tur mabaos, "Ngedenang
bene teka."
I Duurbudi mabaos, "Men Cening imbuhin buin basane. Aba mai wadah getihe!" Miragi baos I
Durbudine asapunika i lutung daat jejeh, awakipune ngejer santukan tan pariwangde ipun pacang
kapademang.
I lutung raris mapineh-pineh, "Bah uli kene i kekua lakar ngamatiang deweke." Sapunika
pepinehipune, tur tan mari nyesel awak baan belogipune nenten uning keni upaya sandi. Irika raris
ipun mabaos ring I Durbudi, "Uduh jero, nenten ke jerone pacang leteh mademang tur ngajengang
titiang, santukan tiang makuku lelima. Yan manut ajaran agama, sane makuku lelima, tan wenang
kabaksa. Mawastu jerone jagi nemu nraka. Yan pet jerone ngamatiang tur ngajengan sinah lakar
nenten ngleganin kayun, sawireh awak tiange jagi berek kateda olih bubuk. Yan jerone mapakayun
apang rasan ben tiange becik, nyupsup kayang kawekas tur prasida nyupat nrakan jerone, mangkin
durus pirengang atur titiange. Titiang puniki wantah terehan wenara saking gunung kiskinda sane
naenin ngrusak gumi Lengkane. Mangda jerone uning sane anggen mademang titiang, inggih punika
kulit sane lumutan, punika anggen nunu dewek titiange, sinah titiang padem. Yan ben titiange kaolah
sinah pacang ngamedalang sad rasa sane becik." Sapunika baos i lutunge.
I Durbudi bengong miragi baos i lutunge santukan nembe miragi tutur. Saantukan belog tututipune
nenten uning ring daya upayan i lutunge, tan dumade punika sane katuut. Sasampune ipun polih kulit
kayu kadugdugang ring arep i lutunge raris katunjel. Apine ngendih murub ngabar-ngabar. I lutung di
gelis makecos ngelidang dewekipune. Apine sayan dumillah kaampehang angin, nilap pondok I
Durbudine, jantos puun. Pondoknyane telas puun, saantukan nenten wenten anak sane nulungin. I
Durbudi sareng pianak somahipune raris matilar ngungsi alase sane suung. Apine sayan murub
muunang kekayuan sane ring samping pondok I Durbudine, sekare katah sane aas saking witnyane
saantukan layu keni iusan panes. Tambulilingane sami mabiayuhan, pakeberbernyane pati purug,
kalikub antuk andus. Suaran paksine makuug, makeber srantaban. Iusan genine sayan nyupsup
mawinan katah pianak paksine sane wenten ring sebunnyane, paplukpuk ulung.
Critayang i lutung sampun rauh ring alase ageng. Manahipune pacang ngetut pejalan i kekuane. I
lutung nenten lega, yan tan ipun polih ngwales laksanan i kekuane sane daat corah punika. Sapanjang
margi ipun uyut ngaukin i kekua, "Ih cai kekua kaliwat nista tur corah, dija tongos caine, yadiastun cai
mengkeb di tengah pasihe, lakar sliksik kai. Rahina wengi i lutung masusupan ring alase, nyliksik
pangkung, jurang miwah bete. I kekua taleer durung panggihinipun. Tandumade ring tegal
ambenganne linggah panggihinipun i kekua sedek ngesil ring beten batune sane ngenjol. Ring
samping i kekuane wenten lelipi poleng sedekan pules. Kala punika i kekua uning ring pangrauh i
lutunge raris ipun mapi-mapi ngranasika, mamegeng sarwi ngidemang matannyane, sekadi tingkah
anake matapa.
I lutung rauh nangsekin, tur mabaos bangras tur nuding, "Ih kekua mati cai jani. Cai kaliwat corah,
tusing nyandang anggon sawitra tingkah caine nyicing singal. Laluang keneh caine. Tendas caine lakar
pantigang deweke. Apang tawang cai pikolih anake tusing satia teken munyi." Sapunika baos i
lutunge, sada jenger.
I kekua sebengne alep raris mabaos, "Saja pesan buka raos caine. Eda cai sanget pedih. Dikapan cai
nyidaang ngamatiang deweke. Mapan deweke mula kasuecanin olih Sang Hyang Widi. Deweke dini
kanikayang ngemit druen Ida Betara. Apang cai nawang deweke jani nyatauin cai, sakewala tusing
dadi wera. Ada katuturan satua singid, rikala watek betara sura gana, sapta resi muah danawa rajane
makejang satinut muter pasih empehane. Pakayunidane sami pacang ngrereh amreta miwah raja
brana. Amertane kawadahin jun manik. Penegulan amertane ada dini. Deweke kanikayang ngemit.
Ento krananne deweke ada dini, nyungsung pangandikan Ida Betara. Sawireh ada pawisik, nyen ja
ane ngemit pican Ida Betara, ia tusing lakar kena baya ane ngewehin, tusing kena gering, muah tusing
lakar mati. Yan pet mati sinah buin mewali idup. Nah keto kautaman sabuke." Sapunika baos i
kekuane. Wiakti pangus antukipun nyatuaang anggenipun ngengkebang kacorahannyane. I lutung
teleb miragiang, mawanan ical pedihipune. Kamanah antukipun baos i kekuane saking tetuian pisan.
Irika raris ipun mabaos, "Ih kekua, buka raos deweke i tunian, eda nyen cai pedih. Ampurayang
munyin deweke ane nyakitin keneh caine, saja bas kaliwat icang mesuang munyi, sakewala sujatinne
keneh icange mula saking tresna masawitra teken cai. Raos icange buka keto mula nyinahang
karaketan keneh icange masawitra. Nah yan ada legan caine teken icang, icang dot pesan apang taen
nganggon sabuk polenge ene, apang sida masih icang nepukin karahayuan. Icang majanji teken cai,
yan pet icang nepukin kadirgayusan tur kasuecanin olih Ida Betara, icang tusing engsap masawitra
teken cai kayang kawekas." Sapunika baos i lutunge kedeh pisan, mangda ipun kawehin ngangge
sabuk polenge sane kakemit olih i kekua. Ipun nenten uning ring pangindra jalan i kekuane.
Kala punika i kekua raris nyaurin, "Apa men orahang deweke teken cai, sawireh keneh caine suluk
lakar nganggon sabuke ene. Sujatinne abot pesan keneh deweke lakar mebasang, nanging baan
tresnan deweke masawitra teken caim deweke tusing lakar mucingin. Sakewala ada piteket deweke
teken cai. Deweke takut kaduken olih Ida Betara, deweke lakar ninggalin cai dini. Eda pesan cai jeg
kadropon nganggon sabuk polenge ene, satonden deweke ninggalin cai. Yan suba deweke joh
mejalan, ditu mara cai nganggo sabuke ene!" Sapunika baos i kekuane. I lutung matutang, saantukan
meled manahipune pacang ngrangsuk sabuk punika. Irika raris i kekua matilar saking genah lelipi
polenge medem. Sampun doh i kekua mamargi, i lutung raris mabakti ring arep lelipine pules. Puput
mabakti, di gelis i lutung nyaup lelipine sarwi ngambil bungutnyane. kala punika i lelipu tengkejut, tur
pedih, manahangipun wenten baya sane rauh. Irika raris i lelipi nyeceh nyotot tur nglilit bangkiang i
lutunge. I lutung pramangkin nyerit maduhan, antuk pangrabdan wisian lelipine. I lutung raris ebah
glalang-gliling ring tanahe, naanang wisian lelipine sayan nyusup. Dewekeipune waluya kadi tan
pajiwa sarwi ngeling, nyambat-nyambat Widi. Saking pamerat wisian lelipi polenge, i lutung raris
engsap tur nylempang ring sor taru kepele. Yan makudang dina suene i lutung niwang ring tengah
alase, Critayang mangkin i kekua sampun ring sisin pasihe. Manahipune setata sengsaya santukan i
lutung sinah pacang gedeg tur ngruruh ipun pacang mademang. Irika ipun mapineh-pineh, ngricikang
daya upaya mangdene nenten disa kasengkalen olih i lutung.
Critayang wenten kerang magenah ring sor parangane ngenjol, kenjekan nyebak keni embahan
toyan pasihe sedekan puras. I kekua raris gelis nangsekin kerange punika, sarwi nongos ring
sampingnyane.
Baosang mangkin i lutung sasampunne ipun seger, manaipune daat gedeg ring i kekua sarwi
mapineh-pineh. Beh sing cepok pindo deweke nagih matianga teken i kekua, mawinan tusing
nyandang ia idupang." Sapunika manahipune saatukan gedegnyane kaliwat. Punika mawanan panes
bara rasan manahnyane matanipune barak, angkihannyane noos miwah limannyane ngetor
mamanah pacang ngilut baong i kekuane. Irika raris ipun mamargi gegancangan ngentasin alas sane
wayah, tan ngitung bayane pacang nyengkalen. Ting margi ipun setata ngimik, matbat i kekua sane
kaliwat corah, sarwi makta batu pacang anggeipun mademang i kekua.
Pamarginnyane tan pararianan, kancit i lutung rauh ring genah i kekuane, sarwi gregetan nuding,
"Bah, mati cai jani kekua. Ene iwasin liman kaine, lakar mancut urip caine. Jani suba pragatne, pikolih
caine matingkah corah. Uli goban caine suba nyinahang, Cai setata ngardinin deweke sakit kalara-
lara, jani trima pikolih pakardin caine ane setata ngrincikang matin deweke. Dadi cai nengil, dong
pesuang karirihan caine! Yadiastun Sang Hyang Wisnu ngasih-asih ngidih pelih teken deweke cai
tusing ja lakar idupang kai." Sapunika baos i lutunge.
Wau i lutung pacang nglempag, i kekua masebeng kenyem sarwi mabaosm "Ih sawitra, sedeng
melaja cai teka. Deweke mula setata ngati-ati apang enggal kamatiang baan saritra, maka jalaran
deweke maan suarga. Keto pangandikan Ida Sang Hyang Widi tekening deweke, apang enggal
deweke mulih ka suargan, upah deweke dadi panunggu." Sapunika baos i kekuane. I lutung kamegan
miragi, santukan tambet manahipune. Ipun kadaut antuk baos manis.
Pedihipune mawastu enduh sarwi mabaos, "Bah yan keto, tegarang satuaang katuturanne!" I kekua
raris nyatua, "Kacrita ane malu Ida Sang Hyang Siwa ngelarang tapa, tusing dadi ngajak rabi. Ada
detia raja madan Si Nila Rudraka, tusing suud-suud kenehne lakar nguugang suargane. Mawastu
bingung kayun watek dewatane di suargan, sawireh ane lakar nyidayang ngamatiang Si Nila Rudraka
mula tuah okan Sang Hyang Siwa mapesengan Sang Hyang Gana. Ditu laut para dewatane nunas ica
ring Ida Sang Hyang Semara, mangdane ida ngoda patapan Ida Betara Siwa, apanga metu kayunidane
kasemaran. Ditu laut Sang Hyang Semara ngoda yogan Sang Hyang Siwane, majalaran baan niwakang
panah semara, Ri kala Ida Betara Siwa kena panah semara, laut ida ngleuang semara laut ida duka.
Sang Hyang Semara kageseng baan api, dumilah ane pesu uli panyingakan Betara Siwane. Ida Betari
Ratih rabin Sang Hyang Semarane mireng rakanidane seda, laut ida masatia malabuh geni. Nah keto
katuturan sedan Idang Sang Hyang Semara kasarengin baan rabinne. Pasukanidane ane mautama
ada dini di parangane marupa kerang. Asing -asing ane sida nguasayang mawastu dadi ratu wibuh
pradnyan, susila, kasumbung di gumine. Buina setata prasida ngulurin Karasmian ngajak rabine. Nah
keto katuturan Sang Hyang Semara ane malu apang cai nawang." Sapunika baos i kekuane. Manah i
lutunge lega miragi satuan i kekuane, santukan lengut antukipun ngiketang satua.
Gedeg i lutunge mawastu ical, raris ipun mabaos banban, "Galamg keneh icange ningeh satuan caine.
Sayan cumpu keneh icange makekasihan teken cai baan isin satuan caine daat mautama. Ane jani
icang ngidih teken cai, yan cai lega, icang ngenntinin cai dini. Dumadak ada suecan Widi, icang enggal
dadi ratu nyakra werti. Icang lakar nganggon cai patih Mangku Bumi." Sapunika baos i lutunge
tetuian. I kekua nenten malih mabaos, raris gelis nyrutcut makaon.
Tan critayang pajalan i kekuane nylupsup ring alase, baosang mangkin i lutung sampun usan
mabresih masuci, raris nabdabang negak masila sarwi nyakupang lima ngranasika. Solahnyane tan
pendah kadi anak matapa. Ri kala i lutung sedek teleb ngincepang semadi ring arep kerange sane
nyebak, tan dumade kaange raris ngep, nyepit liman i lutunge.
I lutung nyerit aduh-aduh sarwi ngedeng limanipune sambilang ipun mabaos, "Ratu Betara,
ampurayang titiang parekan Betara. Sampunang banget duka, durus lebang liman titiange!" Sapunika
baosipune. Kala punika toyane sayan ngagengang, mawastu liman i lutunge kalebang. i lutung raris
munggah ka duur parangane. Manahipune sayan jejeh, saantukan sinah ipun pacang padem kalebu.
"Aduh sing buungan deweke lakar mati dini. Tusing pesan ada ane lakar nulungin, yan tusing mula
saking suecan Ida Sang Hyang Widi." Sapunika baosipune tan mari nyelsel dewek saantukan merasa
kauluk-uluk olih i kekua. Manahipune sayan sedih sarwi ngeling, mapulisahan ring parangane.
Matsya Awatara
Desember 7, 2009 baliaga Tinggalkan komentar Go to comments
Dalam ajaran Agama Hindu, awatara Wisnu yang turun pertama kali adalah Matsya Awatara,
dalam bahasa Sansekerta berarti ikan. Matsya Awatara muncul pada masa Satya Yuga, pada
masa pemerintahan Maharaja Manu, putera Vivasvan Sang Dewa matahari, yang diyakini
sebagai ayah umat manusia masa kini. Satya Yuga dalam ajaran agama Hindu, adalah suatu
kurun zaman yang disebut sebagai zaman keemasan, ketika umat manusia sangat dekat
dengan Tuhan dan para Dewa, ketika kebenaran ada dimana-mana, dan kejahatan adalah
sesuatu yang tak biasa.
Hampir tidak ada kejahatan. Pelajaran agama, penebusan dosa, dan meditasi (mengheningkan
pikiran) merupakan sesuatu yang sangat penting pada zaman ini. Konon rata-rata umur umat
manusia bisa mencapai 4.000 tahun ketika hidup di zaman ini. Menurut Natha Shastra, di
masa Satya Yuga tidak ada Natyam karena pada masa itu semua orang berbahagia.
Pada masa Satya Yuga, orang-orang tidak perlu menulis kitab, sebab orang-orang dapat
berhubungan langsung dengan Yang Maha Kuasa. Pada masa tersebut, tempat memuja Tuhan
tidak diperlukan, sebab orang-orang sudah dapat merasakan di mana-mana ada Tuhan,
sehingga pemujaan dapat dilakukan kapanpun dan di manapun.
Satya Yuga (Krita Yuga atau Kerta Yuga), merupakan tahap awal dari empat (catur) Yuga.
Siklus Yuga merupakan siklus yang berputar seperti roda. Setelah Satya Yuga berakhir, untuk
sekian lamanya kembali lagi kepada Satya Yuga. Satya Yuga berlangsung kurang lebih
selama 1.700.000 tahun. Setelah masa Satya Yuga berakhir, disusul oleh masa Treta Yuga.
Setelah itu masa Dwapara Yuga, lalu diakhiri dengan masa kegelapan, Kali Yuga. Setelah
dunia kiamat pada akhir zaman Kali Yuga, Tuhan yang sudah membinasakan orang jahat dan
menyelamatkan orang saleh memulai kembali masa kedamaian, zaman Satya Yuga.
Menurut agama Hindu, keberadaan alam semesta tak lepas dari siklus kalpa. Satu kalpa
berlangsung selama jutaan tahun, dan satu kalpa terdiri dari empat belas Manwantara (siklus
Manu). Setiap Manwantara diperintah oleh seorang Manu. Menurut Purana, enam
Manwantara telah berlalu dan Manwantara yang ketujuh sedang berlangsung. Manwantara
yang sekarang diperintah oleh Waiwaswata Manu. Jadi, tujuh Manwantara lainnya akan
terjadi di masa depan, dan dipimpin oleh seorang Manu yang baru.
Matsya Awatara turun ke dunia untuk memberitahu raja Manu mengenai bencana air bah
yang akan melanda bumi. Beliau memerintahkan raja Manu untuk segera membuat perahu
besar.
Pada suatu hari, saat raja Manu mencuci tangan di sungai, seekor ikan kecil menghampiri
tangannya dan raja tahu ikan itu meminta perlindungan. Akhirnya beliau memelihara ikan
tersebut. Beliau menyiapkan kolam kecil sebagai tempat tinggal ikan tersebut.
Dalam agama Hindu, Manu adalah pemimpin setiap Manwantara, yaitu suatu kurun zaman
dalam satu kalpa. Ada empat belas Manwantara, sehingga ada empat belas Manu. Zaman
sekarang adalah Manwantara ketujuh dan diperintah oleh Manu ketujuh yang bergelar
Waiwaswata Manu. Manu yang pertama adalah Swayambu Manu, yang dianggap sebagai
kakek moyang manusia. Swayambu Manu menikah dengan Satarupa dan memiliki keturunan.
Anak cucu dari Manu disebut Manawa (secara harfiah berarti keturunan Manu), merujuk
kepada manusia zaman sekarang. Menurut agama Hindu, Swayambu Manu dan Satarupa
merupakan pria dan wanita pertama di dunia, sama seperti Adam dan Hawa dalam agama
Yahudi, Kristen dan Islam.
Waiwaswata Manu, atau Manu yang sekarang, dikatakan merupakan putra dari Surya
(Wiwaswan), yaitu dewa matahari menurut mitologi Hindu. Waiwaswata Manu terlahir pada
zaman Satyayuga dan mendirikan kerajaan bernama Kosala, dengan pusat pemerintahan di
Ayodhya. Ia memiliki sepuluh anak: Wena, Dresnu (Dresta), Narisyan (Narisyanta), Nabaga,
Ikswaku, Karusa, Saryati, Ila, Persadru (Persadra), dan Nabagarista. Dalam kitab
Matsyapurana, ia muncul sebagai raja yang menyelamatkan umat manusia dari bencana air
bah setelah mendapat pesan dari Wisnu yang berwujud ikan (Matsya Awatara).
Namun lambat laun ikan tersebut bertambah besar, hampir memenuhi seluruh kolam.
Akhirnya beliau memindahkan ikan tersebut ke kolam yang lebih besar. Kejadian tersebut
terus terjadi berulang-ulang sampai akhirnya beliau sadar bahwa ikan yang ia pelihara
bukanlah ikan biasa.
Akhirnya melalui upacara, diketahuilah bahwa ikan tersebut merupakan penjelmaan Dewa
Wisnu. Beliau menyampaikan kabar bahwa di bumi akan terjadi bencana air bah yang sangat
hebat. Beliau berpesan agar raja Manu membuat sebuah bahtera besar untuk menyelamatkan
diri dari banjir besar, dan mengisi bahtera tersebut dengan berbagai makhluk hidup yang
setiap jenisnya berjumlah sepasang (betina dan jantan). Akhirnya amanat tersebut dipatuhi.
Raja Manu beserta pengikutnya selamat dari bencana.
Setelah air bah yang melanda bumi surut, sang raja dan makhluk hidup lainnya menempati
bumi kembali. Waiwaswata Manu mendirikan kota yang disebut Ayodhya, letaknya di
Kerajaan Kosala. Di antara para putranya, Waiwaswata Manu memilih Ikswaku sebagai raja.
Keturunan Ikswaku merupakan para raja dari Dinasti Surya. Para raja yang mahsyur dalam
legenda India, seperti misalnya Bhagiratha dan Sri Rama, lahir dalam dinasti ini.
Dalam kitab Brahmapurana (dan juga Purana lainnya), diceritakan bahwa Swayambu Manu
tercipta dari tubuh Brahma. Pasangannya, yaitu Satarupa, diciptakan bersamaan. Mereka
kemudian menikah lalu memiliki tiga orang putra, yaitu Wira, Priyabrata, dan Utanapada.
Purana lain menyebutkan bahwa Swayambu Manu juga memiliki seorang putri bernama
Prasuti. Keturunan mereka kemudian disebut Manawa.
Kitab Matsyapurana memiliki versi yang berbeda mengenai kisah penciptaan Swayambu
Manu. Dalam kitab Matsyapurana diceritakan bahwa Brahma menciptakan seorang wanita
cantik bernama Satarupa. Kemudian Brahma menikahinya lalu lahirlah Swayambu Manu.
Dengan demikian, maka Swayambu Manu adalah putra dari Barhma dan Satarupa. Atas
usaha meditasi yang keras, Swayambu Manu memperoleh seorang istri bernama Ananti. Dari
hubungan mereka, lahirlah Priyabrata dan Utanapada.
Banyak kitab Purana yang memiliki kisah mengenai keturunan Swayambu Manu, dan
banyak pula berbagai perbedaan antara kisah pada kitab yang satu dengan kitab lainnya.
Meskipun demikian, terdapat banyak persamaan yang bisa dihimpun.
Menurut kitab Purana, Utanapada memiliki putra bernama Druwa. Keturunan Druwa
bernama Pracinawarhi (kadangkala dieja Pracina Werhi). Pracinawarhi memiliki sepuluh
putra yang dikenal dengan sebutan para Praceta. Para Praceta menikah dengan Marisa
(hadiah para dewa), lalu berputra Daksa. Kemudian para putri Daksa menikah dengan Resi
Kasyapa, lalu lahirlah leluhur berbagai spesies makhluk hidup di muka bumi.
Daksa putra Praceta berbeda dengan Daksa yang lahir dari jempol kaki Brahma, yang
menjadi salah satu Prajapati.