Anda di halaman 1dari 53

TUGAS : FARMASI KLINIK

DOSEN : Dra. Hj. Nursiah Hasyim, CES, Apt

REAKSI OBAT YANG TIDAK DIINGINKAN


MUAL DAN MUNTAH

DISUSUN OLEH : KELOMPOK IV (KELAS C)


ADRIANTI N21116 920
DWI PUTRI N21116 921
IRNA MUTHMAINNA K. N21116 928
MARLINA N21116 929
HARNITA N21116 930
SEPRILIANTI S. N21116 936
AMIRAH GHINAYANTI N21116 937
ANINTIA NITAMI FARADILLAH N21116 938
ATHIYAH N21116 939
UMMY KALTSUM DARWIS N21116 940
ILHAM AKBAR AMIRUDDIN N21116 941
FAHIJRATIN NUR KAMARIAH MANTU N21116 942
PUTRI ATTHOHIRIYAH BINTI MUBARAK N21116 944

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2017

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
karena berkat Rahmat dan Hidayah-Nyalah sehingga penulis dapat
menyelesaikan penyusunan makalah ini sebagai tugas matakuliah
Farmasi Klinik Program Studi Profesi Apoteker, Fakultas Farmasi
Universitas Hasanuddin.
Makalah ini berjudul Reaksi Obat yang tidak Dikehendaki : Mual
dan Muntah yang membahas tentang patofisiologi dan penatalaksanaan
mual dan muntah akibat reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD) dan
peran apoteker dalam penanganannya. Makalah ini disusun berdasarkan
literatur-literatur yang tercantum di daftar pustaka. Penulis berharap
makalah ini dapat memberikan informasi dan pengetahuan yang layak
bagi pembaca dan dapat meningkatkan taraf kesehatan masyarakat.
Melalui kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh
pihak yang terkait dalam penyusunan makalah ini, terkhusus untuk Ibu
Dra. Nursiah Hasyim, CES., Apt. selaku dosen pengampuh matakuliah
Farmasi Klinik.
Penulis menyadari bahwa makalah ini sangat jauh dari
kesempurnaan, banyak kekurangan dan kelemahan. Oleh karena itu,
penulis memohon maaf atas segala kekurangan dan mengharapkan saran
dan kritik yang membangun demi terciptanya suatu karya yang jauh lebih
baik.
Makassar, Maret 2017

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Dalam kehidupan masyarakat, seorang farmasis memilik peran
yang penting dalam hal menjalankan pelayanan kesehatan kepada
pasien maupun klien. Hal tersebut sangat penting untuk menentukan
keberhasilan dari suatu pengobatan.
Dalam terapi obat pasien, seorang farmasis diharapkan dapat
mengidentifikasi masalah-masalah yang berkaitan dengan penggunaan
obat (Drug Related Problems) baik yang telah terjadi atau yang
berpotensi untuk terjadi, kemudian mengupayakan penanganannya dan
pencegahan terhadap masalah yang teridentifikasi. Reaksi obat yang
tidak dikehendaki (ROTD) sering kali menyebabkan hambatan-
hambatan dalam pelaksanaan layanan kesehatan (health care).
ROTD adalah respons terhadap obat yang membahayakan atau
tidak diharapkan yang terjadi pada dosis lazim dan dipakai oleh
manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis maupun terapi. Morbiditas
dan mortalitas karena penggunaan obat merupakan masalah nyata
yang sedang dihadapi farmasis klinis saat ini. Telah diperkiraan bahwa
41% pasien yang menggunakan obat-obat yang diterapkan pertama
kali akan mengalami reaksi efek samping obat. Masalah ROTD perlu
mendapatkan perhatian karena dapat menyebabkan penurunan
kualitas hidup, peningkatan kunjungan ke dokter, perawatan di rumah
sakit, bahkan kematian.
Salah satu ROTD yang banyak dijumpai dalam terapi pengobatan
adalah mual dan muntah. Mual dan muntah merupakan suatu gejala
tetapi bukan penyakit yang perlu mendapatkan terapi (baik
farmakologi maupun non farmakologi) dan memiliki kaitan
dengan sistem saraf pusat. Kondisi mual muntah sendiri bisa
disebabkan oleh berbagai faktor baik dengan adanya penggunaan obat
maupun kondisi fisiologis tubuh. Kondisi mual muntah dapat
mengganggu efektivitas dari terapi pengobatan akibat perasaan tidak
enak yang dialami pasien yang dapat mengganggu aktivitas pasien
(untuk pasien rawat jalan) sehingga tingkat kepatuhan pasien
berkurang dan dapat menyebabkan kegagalan terapi. Untuk itu perlu
pencegahan dan penanganan terkait ROTD tersebut. Peran farmasis
atau apoteker sangat dibutuhkan dalam upaya pencegahan dan
penanganan terkait ROTD.
Hal tersebut seperti di atas yang melatarbelakangi kami menyusun
makalah Reaksi Obat yang tidak Dikehendaki : Mual dan Muntah
sebagai bahan bacaan maupun acuan untuk menambah wawasan
pembaca khususnya apoteker dalam menghadapi masalah-masalah
terkait ROTD khususnya mual muntah.

I.2 Tujuan

1. Dapat mengetahui tentang reaksi obat yang tidak dikehendaki


(ROTD) salah satunya adalah mual dan muntah.

2. dapat memberikan edukasi kepada pasien tentang penggunaan


obat yang mengalami reaksi efek samping mual dan muntah

3. Dapat menambah wawasan secara multidisipliner dalam lingkungan


tenaga kesehatan khususnya Apoteker dalam menerjemahkan
penggunaan terapi obat
I.3 Rumusan Masalah

1. Apakah informasi utama dalam penggunaan obat-obat yang


mengalami efek yang tidak dikehendaki salah satunya adalah
mual dan muntah?

2. Bagaimana penanganan seorang Apoteker dalam memberikan


edukasi serta pengenalan dini tentang penggunaan terapi obat?
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Pengertian Reaksi Obat yang tidak Dikehendaki (ROTD)

Definisi ROTD menurut WHO adalah respon terhadap suatu obat


yang berbahaya dan tidak diharapkan serta terjadi pada dosis lazim yang
dipakai oleh manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis maupun terapi.
Menurut FDA (1995), ROTD didefinisikan sebagai efek yang tidak
diinginkan yang berhubungan dengan penggunaan obat yang timbul
sebagai bagan dari aksi farmakologis dari obat yang kejadiannya mungkin
tidak dapat diperkirakan.
Menurut Edward dan Aronson (2000), ROTD adalah reaksi yang
berbahaya atau tidak mengenakkan akibat penggunaan produk medis
yang memperkirakan adanya bahaya pada pemberian berikutnya
sehingga mengharuskan pencegahan, terapi spesifik, pengaturan dosis
atau penghentian obat.

II.2 Penggolongan ROTD


ROTD dapat dibagi menjadi dua kategori besar, yaitu yang dapat
diperkirakan, umum terjadi dan berhubungan dengan aksi farmakologis
obat (reaksi tipe A) dan yang tidak dapat diperkirakan, jarang terjadi dan
biasanya tidak berhubungan dengan aksi farmakologis obat (reaksi tipe
B). Hampir 80% ROTD adalah tipe A contohnya adalah toksisitas obat,
efek samping, efek sekunder, dan interaksi obat (Mariyono & Suryana).
Reaksi termediasi system imun atau alergi termasuk tipe B,
timbulnya jarang, hanya 6-10% dari keseluruhan ROTD. Tipe B seringkali
tidak terlihat sampai obat tersebut dipasarkan, dependen terhadap faktor
genetik dan lingkungan. Yang termasuk reaksi tipe B adalah intoleransi
obat (efek tidak diinginkan yang timbul pada dosis terapi atau subterapi),
reaksi idiosinkrasi (reaksi tidak spesifik yang tidak dapat dijelaskan oleh
reaksi farmakologis obat) dan alergi ataum reaksi hipersensitifitas (reaksi
yang sesuai dengan mekanisme imunologi) (Mariyono, 2008).
ROTD dalam segi praktis klinis dapat diklasifikasikan untuk
memudahkan dalam mengetahui terjadi ROTD pada penggunaan obat
dalam praktek sehari-hari, salah satu klasifikasi yang dapat digunakan
adalah: (Velvloet & Durham, 1998)
1. Reaksi yang dapat timbul pada setiap orang:
a. Overdosis obat: efek farmakologis toksik yang timbul pada
pemberian obat yang timbul akibat kelebihan dosis ataupun karena
gangguan ekskresi obat
b. Efek samping obat: efek farmakologis yang tidak diinginkan yang
timbul pada dosis terrekomendasi.
c. Interaksi obat: aksi farmakologis obat pada efektivitas maupun
toksisitas obat yang lain.
2. Reaksi yang hanya timbul pada orang yang suseptibel:
a. Intoleransi obat: ambang batas yang rendah pada aksi farmakologis
normal dari obat.
b. Idiosinkrasi obat: respon abnormal dari obat yang berbeda dari efek
farmakologisnya. Hal ini timbul pada pasien yang suseptibel dan
kejadian bisa/tidak bisa diperkirakan. Terjadi karena metabolisme
obat ataupun defisiensi enzim.
c. Alergi obat
d. Reaksi pseudoalergik/anafilaktoid: reaksi yang secara klinis mirip
dengan reaksi alergi tanpa peranan imunologis (tidak diperantarai
IgE).
Klasifikasi yang paling umum dari ROTD adalah salah satu yang
membedakan yaitu berhubungan dengan dosis (tipe A efek tambahan
dari aksi obat) dan tidak berhubungan dengan dosis (tipe B reaksi
aneh) reaksi obat yang merugikan. Ada kelompok lain dalam sistem
klasifikasi ini tetapi juga dapat dianggap sebagai subclass atau turunan
dari ROTD tipe A dan B, yakni ROTD tipe C (reaksi kronis, berhubungan
dengan dosis dan waktu), tipe D (reaksi tertunda, terkait dengan waktu),
tipe E (reaksi akhir penggunaan) dan tipe F (kegagalan terapi).
Karakteristik, beberapa contoh dan manajemen/pengelolaan dari ROTD ini
tercantum dalam Tabel I. Sebuah sistem klasifikasi alternatif mengusulkan
hanya 3 kelompok utama ROTD, disebut sebagai ROTD tipe A (aksi obat),
tipe B (reaksi pasien) dan tipe C (efek statistik) (Farcas & Bojita).
Berikut ini adalah klasifikasi dari reaksi obat yang tidak dikehendaki
yang terdiri atas 6 tipe reaksi yaitu :
Tabel 1. Klasifikasi Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki
Tipe Reaksi Karakteristik Contoh Manajemen
Tipe A Tergantung dosis Toksisitas Obat Kurangi dosis atau
(Augmentasi/ Umum/lazim Nefrotoksisitas oleh menghentikan
Diperbesar) (80%) Aminoglikosida pemberian
Berhubungan Dysrhytmia oleh Mempertimbangkan
waktu sugestif Digoksin efek dari terapi
Berkaitan dengan Efek Samping bersamaan
aksi farmakologis Konstipasi oleh
obat penggunaan kronis
Dapat diprediksi opioid
Gejalanya berat
tapi biasanya Diperoleh dari :
ringan Farmakologi primer
Morbiditas tinggi, (augmentasi dari aksi
Mortalitas rendah diketahui) ; B-Blocker
Dapat menginduksi bradikardia
direproduksi Farmakologi Sekunder
(melibatkan organ atau
sistem yang berbeda tapi
dapat dijelaskan dari
farmakologi diketahui); B-
Blocker menginduksi
bronkospasme

Tipe B Tidak tergantung Intoleransi Tidak memberikan


(bizarre/aneh) dosis Tinnitus disebabkan dan Hindari
Tidak umum/ oleh dosis kecil aspirin pemberian
lazim Allergi (hipersensitivitas kedepannya
Tidak berkaitan atau imunologik)
dengan aksi Dihasilkan oleh respon
farmakologis obat imun terhadap obat
Tidak dapat Penisilin menginduksi
diprediksi urtikaria
Gejalanya Pseudoalergi (non
sebagian lebih imunologik)
berat dari tipe A Sindrom pernafasan
Morbiditas & oleh AINS
Mortalitas tinggi Idiosinkratik (respon tidak
Tidak dapat terduga dari obat, tidak
direproduksi berkaitan dengan
mekanisme alergi)
Reaksi sindrom
hipersensitivitas
antikonvulsan
Tipe C (kronis) Tidak umum Penekanan aksis Mengurangi dosis
Berkaitan dengan hipotalamik-pituitari- atau menghentikan
dosis kumulatif adrenal oleh pemberian:
Long term kortikosteroid penarikan mungkin
exposure required harus diperpanjang
Tipe D Tidak umum Teratogenesis Sering terselesaikan
(tertunda) Biasanya Karsinogenesis
berkaitan dosis Diskinesia tardive oleh
Muncul beberapa antipsikosis
saat setelah
penggunaan obat
Tipe E (akhir Tidak umum Sindrom penghentian Diberikan kembali
penggunaan) Terjadi segera opiate dan dihentikan
setelah penarikan Hipotensi pada penarikan perlahan-lahan
obat klonidin
Iskemia miokardial
(penghentian -blocker)
Tipe F Umum Ketidakefektifan Meningkatkan dosis
(Kegagalan Mungkin berkaitan Resistensi mikroba atau mengganti agen
Terapi) dengan dosis terhadap reaksi obat terapi
Sering Toleransi Mempertimbangkan
disebabkan oleh Takifilaksis efek dari terapi
interaksi obat bersamaan
(Edward & Aronson, 2000)

Reaksi obat yang merugikan awalnya diklasifikasikan ke dalam dua


subtipe. ROTD Tipe A adalah tergantung dosis dan diprediksi; mereka
augmentasi farmakologis dikenal efek obat, seperti hipotensi ortostatik
yang disebabkan obat antihipertensi. ROTD tipe B adalah jarang dan tak
terduga, tergantung pada diketahui farmakologi obat; mereka independen
dari dosis dan mempengaruhi populasi kecil, menunjukkan individu yang
faktor tuan rumah pasien yang penting. Hipersensitivitas (alergi) reaksi
obat adalah contoh dari jenis ROTD B. Tipe A reaksi yang kemudian
disebut augmented, dan reaksi tipe B, aneh. Dua jenis lebih lanjut dari
reaksi akhirnya ditambahkan: kronis reaksi, yang berhubungan dengan
kedua dosis dan waktu (tipe C), dan reaksi tertunda (tipe D). Penarikan
kemudian menjadi kategori kelima (tipe E), dan yang terbaru, tak terduga
kegagalan terapi menjadi keenam (tipe F) (Schatz & Weber, 2015).
Pilihan untuk setiap klasifikasi ROTD. Sekitar 80% dari ROTD di
rumah sakit atau menyebabkan masuk ke rumah sakit adalah tipe A.
ROTD ini berpotensi dihindari dan sering diprediksi. Kelas obat yang
paling umum bertanggung jawab untuk ROTD pada orang dewasa adalah
kortikosteroid adrenal, antibiotik, antikoagulan, antineoplastik dan
imunosupresif obat, obat kardiovaskular, nonsteroidal anti-inflammatory
obat, dan opiat. Untuk anak-anak, yang paling umum golongan obat untuk
ROTD adalah anti infeksi obat, pernapasan obat, dan vaksin. (Schatz &
Weber, 2015)

II.3 Identifikasi ROTD


Hal yang perlu diperhatikan dalam mengidentifikasi ROTD ini
adalah bahwa sering kali sulit untuk membuktikan suatu obat mempunyai
hubungan penyebab dengan gejala yang dialami pasien. Sering kali
ROTD tampak seperti penyakit yang lain dan banyak gejala yang terkait
dengan ROTD muncul pada pasien yang sehat. Namun adanya dugaan
bahwa suatu ROTD telah cukup untuk melakukan suatu tindakan.
Beberapa pasien mungkin dapat membedakan sendiri suatu ROTD
dari gejala-gejala lain yang mereka alami. Namun di dalam
mengidentifikasi apakah suatu gejala itu termasuk ROTD atau bukan
keterampilan yang perlu dimiliki oleh farmasis. Kumpulan beberapa
informasi yang relevan berkaitan dengan gejala tersebut penting untuk
mengambil kesimpulan yang tepat. Bagian berikut ini akan
mempertimbangkan informasi apa yang akan diperlukan dan bagaimana
menggunakannnya dalam mengembangkan sebuah kesimpulan tentang
gejala yang tampak. Perkembangan yang pesat dalam penemuan,
penelitian dan produksi obat untuk diagnosis, pengobatan, maupun
pencegahan telah menimbulkan berbagai reaksi obat yang tidak
diinginkan (ROTD) yang disebut reaksi adversi. Reaksi tersebut tidak saja
menimbulkan persoalan baru di samping penyakit dasarnya, tetapi
kadang-kadang dapat membawa maut. Hiperkalemia, intoksikasi digitalis,
keracunan aminofilin,dan reaksi anafilaktik merupakan contoh ROTD yang
potensial sangat berbahaya. Gatal karena alergi obat, dan efek
mengantuk antihistamin merupakan contoh lain reaksi ROTD obat yang
ringan. Karena pada adversi obat dan pada khususnya alergi obat sering
terjadi dalam klinik, pengetahuan mengenai diagnosis, penatalaksanaan
dan pencegahan masalah tersebut amat penting untuk diketahui.

II.3.1 Faktor-Faktor yang mempengaruhi ROTD


Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya
reaksi obat yang tidak diinginkan yaitu : polifarmasi, jenis kelamin, kondisi
penyakit yang diderita, usia, ras, dan polimorfisa genetik serta
ketidakpatuhan pasien.
a. Polifarmasi
Kejadian-kejadian ROTD tampaknya muncul secara eksponensial
jika jumlah obat yang digunakan juga bertambah banyak. Peresepan
(prescribing) semacam ini sering terjadi pada penderita lanjut usia
atau pada penderita yang mengalami beberapa penyakit sekaligus.
Kedua kelompok ini sangat beresiko untuk mengalami ROTD tertentu.
b. Jenis Kelamin
Reaksi obat yang tidak dikehendaki lebih sering terjadi pada wanita
dibandingkan pria. Namun belum ada penjelasan tentang mengapa
hal ini bisa terjadi. Contoh dalam praktik dapat dilihat bahwa wanita
lebih cenderung mengalami ROTD akibat digoksin, kaptopril, dan
heparin. Di samping itu, wanita lebih mudah mengalami kelainan sel
darah (blood dyscrasias) bila menggunakan fnilbutazon dan
kloramfenikol.
c. Kondisi penyakit yang diderita
Adanya penyakit lain yang menyertai dapat mempengaruhi respons
obat dan munculnya ROTD secara bermakna melalui perubahan
proses farmakokinetika atau kepekaan jaringan. Penderita yang
mengalami gangguan fungsi ginjal dan hati akan mengalami resiko
ROTD yang lebih tinggi dari obat-obat yang dieliminasi melalui rute ini.
Keadaan hamil dan melahirkan sering kali juga mempengaruhi respon
obat. Penyakit lain juga mempengaruhi penderita terhadap terjadinya
ROTD, misalnya penderita yang positif mengidap HIV atau AIDS yang
menggunakan kotrimoksazol. Penderita yang berada dalam keadaan
sakit kritis juga akan berbeda dalam menangani obat yang ada dalam
tubuhnya.
d. Usia
Pasien lanjut usia akan lebih sering mengalami ROTD
dibandingkan pasien yang lebih muda. Hal ini dimungkinkan antara
lain karena pasien lanjut usia lebih sering mendapatkan terapi obat.
Namun, hal ini bukanlah satu-satunya penyebab. Faktor lain yang
mempengaruhi terjadinya ROTD pada lanjut usia adalah perubahan
farmakokinetika: absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi obat,
yang faktor-faktor tersebut sangat tergantung pada kondisi organ-
organ tubuh penderita. Neonatus, khususnya yang prematur, juga
beresiko lebih tinggi untuk mengalami ROTD. Pada tahap neonatus ini
enzim-enzim yang terlibat dalam metabolisme dan distribusi obat
masih belum berkembang sempurna. Oleh karena itu obat-obat
dengan indeks terapi sempit perlu digunakan lebih berhati-hati. Obat-
obat lain yang berbahaya bagi neonatus termasuk morfin,
kloramfenikol, golongan barbiturat, dan sulfonamida.
e. Ras dan polimorfisa genetika
Banyak ROTD yang semula diduga sebagai ROTD tipe B ternyata
disebabkan faktor genetik. Perbedaan ras dan genetik mungkin dapat
mempenaruhi proses pengobatan di dalam tubuh. Sebagai contoh,
perbedaan secara genetik tampak dalam laju metabolisme pada
banyak obat sehingga meskipun obat diberikan dengan dosis yang
sama dalam mg/kg akan menghasilkan variasi kadar yang sangat
besar di dalam plasma yang sangat berbeda. Beberapa jenis ras juga
akan mempunyai resiko untuk mengalami ROTD yang lebih besar
dibanding dengan ras yang lain. Misalnya orang amerika (yang
berasal dari afrika) dan orang mediteranean mempunyai resiko
terjadinya hemolisis yang lebih tinggi bila menggunakan obat-obatan
golongan sulfon (misalnya dapson), kuinolon (spirofloksasin,
ofloksasin, asam nalidiksat), antimalaria (primakuin,kuinin) dan aspirin.
Hal ini disebabkan lebih banyak orang dari golongan ras tersebut
mengalami defisiensi enzim glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD).
f. Ketidakpatuhan pasien
Ketidakpatuhan pasien dapat menimbulkan Drug Related Problem
(DRP). Ketidakpatuhan ini dapat disebabkan banyak hal, antara lain
obat yang diresepkan tidak tersedia (di apotek terdekat) sehingga
pasien kesulitan karena harus mencari obat tersebut di tempat lain.
Daya beli pasien yang rendah dan harga obat yang mahal menjadi
pemicu utama ketidakpatuhan pasien karena ia tidak mampu membeli
semua obat yang diresepkan. Beberapa faktor penyebab
ketidakpatuhan yang lain ialah pemberian sediaan yang tidak tepat
sehingga pasien tidak mau atau tidak bisa mengkonsumsi obat
tersebut, misalnya pasien anak diresepkan sediaan tablet yang tidak
bisa ditelannya, atau diresepkan sediaan suspensi yang bau dan
rasanya tidak enak, sehingga anak itu tidak mau minum obat. Pasien
kadang-kadang tidak mengerti instruksi pemberian obat, atau memiliki
asumsi sendiri terhadap regimen pengobatan, misalnya antibiotik yang
diresepkan seharusnya diminum sampai habis tetapi ternyata pasien
menghentikan minum obat setelah kondisi tubuhnya dirasa membaik
padahal obat belum dihabiskan. Pada kasus khusus pasien yang
beraktivitas seharian sehingga lupa meminum obatnya, atau lupa
membawa inhalernya, sehingga regimen pengobatan menjadi tidak
tepat. Secara umum perhatian farmasis terhadap adanya DRP
sebaiknya diprioritaskan pada pasien geriatri, pasien pediatri, ibu
hamil dan menyusui, serta pasien yang mendapatkan obat yang
indeks terapinya sempit. Pasien usia lanjut memiliki kelemahan dalam
hal fisik dan ingatan, sehingga sebaiknya tidak diberikan pengobatan
dengan regimen yang kompleks, dan sedapat mungkin farmasis
melibatkan orang lain (keluarga atau perawat) untuk mendampingi
pasien tersebut menjalankan terapinya. Pasien pediatri harus
diprioritaskan dalam penanganan DRP karena kondisi fisiologisnya
masih belum sempurna sehingga faktor-faktor metabolisme dan
absorbsi obat tidak bisa disamakan begitu saja dengan pasien
dewasa, dan farmasis mutlak harus melibatkan orangtua dalam
pelayanan dan penanganan terhadap DRP yang diderita anaknya.
Banyak obat yang dikontraindikasikan terhadap kehamilan dan
keadaan menyusui karena perubahan-perubahan fisiologis yang
dialami selama kehamilan, dan ada obat yang dapat terdistribusi
melalui plasenta dan air susu ibu sehingga dikhawatirkan
mempengaruhi pertumbuhan janin maupun bayi yang mengkonsumsi
air susu ibu. Pasien yang mendapatkan obat dengan indeks terapi
sempit, misalnya digitalis, harus dimonitor secara seksama
penggunaan obatnya untuk mencegah efek toksik, sebab kesalahan
penggunaan obat misalnya dosisnya lebih tinggi dari yang seharusnya
diterima walaupun sedikit akan mengakibatkan efek toksik terutama
pada jantung dan dapat menyebabkan kematian.

II.3.2 Kriteria Untuk Mengidentifikasi ROTD


Begitu ada gejala yang diduga sebagai ROTD, rincian tentang
pengobatan pasien perlu juga dimiliki termasuk obat bebas dan obat
bebas terbatas (over the counter) serta obat tradisional, jadi tidak hanya
obat-obatan yang diresepkan oleh dokter saja. Ketika menanggapi gejala
yang disampaikan pasien terhadap beberapa hal yang dapat ditanyakan
dengan tujuan untuk mengidentifikasi apakah terdapat reaksi yang
berkaitan dengan kemungkinan adanya ROTD. Hal-hal tersebut adalah
waktu, dosis, sifat permasalahan, pengalaman, penghentian/keterulangan.
a. Waktu
Kapan kejadian ROTD tersebut muncul? Apakah terjadi sesaat
setelah minum obat ataukah bersamaan dalam waktu yang lama?
Apakah reaksi tersebut terkait dengan pemakain obat? Relatif mudah
untuk mengenali suatu ROTD yang terjadi segera setelah pemakaian
obat. Namun, bila telah berlangsung beberapa minggu, hubungan
antara suatu obat dan ROTD menjadi lebih sulit ditentukan. Banyak
reaksi terjadi di awal masa pengobatan misalnya anafilaksis, reaksi
yang terjadi karena kecacatan enzim genetik, bahkan terjadi pada
pemberian dosis pertama. Kemungkinan lain, suatu reaksi penting
dapat berkembang dengan tanpa diduga dan berbahaya dalam
periode pengobatan yang panjang (misal katarak yang disebabkan
kortikosteroid, fibrosis retroperitoneal dari metisergit). Reaksi lainnya
(misal peritonitis sklerosing karna pemakaian praktolol) hanya akan
muncul dalam waktu yang lama setelah pemakaian obat dihentikan.
Beberapa reaksi (misal kanker, retinopati klorokuin, dan fibrosis
retroperitoneal) dapat muncul beberapa bulan atau tahun setelah
terpapar obat. Pada beberapa kasus dimungkinkan bahwa timbulnya
ROTD terjadi setelah pemakaian obat tersebut dihentikan, seperti
pada gejala putus obat benzodiasepin. Gejala putus obat ini dapat
terjadi setiap saat sampai dengan 3 minggu setelah penghentian
benzodiasepin bermasa kerja lama (long acting), namun bisa juga
terjadi beberapa jam bila menggunakan benzodiasepin bermasa kerja
singkat (short acting). Gejala putus obat ditandai dengan inmsomnia,
ansietas, kehilangan nafsu makan, dan penurunan berat badan,
tremor, berkeringat, telinga mendengung, dan gangguan perpepsi.
Beberapa gejala dapat berlangsung sampai beberapa minggu atau
bualan setelah penghentian benzodiasepin.
b. Dosis
Apakah dosis yang diberikan pada pasien dengan kondisi tertentu
terlalu besar? dalam hal ini sebagai contoh pasien lanjut usia yang
mengalami ganguan eliminasi obat. Dapat juga terjadi bahwa
pemakaian obat yang kedua akan meningkatkkan kadar obat pertama
di dalam darah, misalnya pada teofilin yang dipakai bersama simetilin,
yang merupakan penghambat enzim. Metabolisme teofilin akan
dihambat oleh simetilin sehingga kadar teofilin dalam darah akan
meningkat dan akhirnya muncul ROTD yang disebabkan oleh teofilin.
c. Sifat permasalahan
Apakah ciri-ciri reaksi yang diduga sebagai ROTD tersebut sama
dengan sifat farmakologi obatnya? hal ini akan membantu kita dalam
mengidentifikasi ROTD tipe A.
d. Pengalaman
Apakah reaksi yang muncul mirip dengan reaksi yang pernah
dilaporkan di pustaka? Pustaka yang dapat dijadikan acuan antara lain
Meylers Side Effect of Drugs, British National Formulary, Martindale :
The Drug Complete Reference, AHFS Drug Information. Tentu saja
tidak semua ROTD akan tercatat dalam pustaka dan sangat
dimungkinkan akan muncul reaksi baru atau belum di laporkan oleh
karena itu sebagai seorang farmasi anda harus siap menghadapi dan
mengatasinya bila terjadi dalam praktik. Di samping itu bila dijumpai
suatu ROTD yang baru muncul atau ROTD yang berkaitan obat yang
baru dipasarkan diharapkan untuk dilaporkan pada lembaga yang
berkaitan, seperti BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan).
Selain itu penting juga untuk memperhatikan tempat-tempat yang
sering terjadi ROTD.
e. Penghentian/ keterulangan (Dechallange/ Rechallenge)
Apa yang terjadi apabila pemakaian obat dihentikan? Bagaimana
jika suatu hari kelak obat yang menimbulkan ROTD tersebut
digunakan kembali, apakah reaksinya muncul kembali? Apakah gejala
ROTD berhenti setelah pemakaian obat dihentikan dan terjadi kembali
pada pemakaian obat berikutnya, maka dapat dikatakan bahwa
terdapat hubungan penyebab timbulnya ROTD tersebut. Namun tidak
semua ROTD akan berhenti seketika setelah pemakaian obat
dihentikan dan beberapa reaksi mungkin tidak dapat berubah
(irreversible).
Setelah informasi-informasi tersebut di atas terkumpul, maka
diperlukan suatu metode yang rasional untuk dapat menetapkan suatu
kesimpulan tentang kemungkinan adanya suatu reaksi obat yang tidak
dikehendaki. Salah satu pendekatan yang sistemik adalah dengan
menggunakan algoritma. Terdapat banyak algoritma yang dapat dipakai
antara lain adalah algoritma yang dipakai oleh Food and Drug
Administration di Amerika serikat seperti terlihat dalam gambar 1.
Berdasarkan gambar 1 tersebut, jika terdapat lebih dari satu obat
yang diminum, maka perlu diperiksa setiap obat tersebut melalui algoritma
ini. Jika hasil pemeriksaan algoritma tersebut didapatkan lebih dari satu
obat yang menunjukkan kemungkinan penyebab maka setiap obat perlu
dipertimbangkan untuk menjadi penyebabnya.
Sebagai contoh dalam menggunakan algoritma di atas, misalkan
seorang paisen mengeluh tentang dispepsia. Pasien tersebut telah
meminum ibuprofen selama setahun dan gejala dispepsia hanya muncul
setelah ibuprofen diminum. Dimulai dari pertanyaan yang pertama pada
algoritma, tampak bahwa gejala yang muncul terkait dengan waktu
pemakaian obat. Kedua, pada saat pengobatan dihentikan gejalanya juga
hilang. Ketiga, gejalanya berkurang pada masa penghentian pemakaian
obat.
Dari tahap keempat dan kelima dapat dipastikan bahwa gejala
muncul kembali pada penggunaan obat selanjutnya. Dapat disimpulkan
bahwa terdapat hubungan penyebab yang sangat tinggi antara pemakain
obat dengan gejala yang muncul.

Gambar 1. Algoritma yang digunakan oleh Farmasis Food and Drug


Administration AS untuk mengidentifikasi ROTD

II.4 Mual dan Muntah


II.4.1 Definisi
Mual dan muntah merupakan suatu gejala tetapi bukan penyakit
yang perlu mendapatkan terapi (baik farmakologi maupun non
farmakologi) dan memiliki kaitan dengan sistem saraf pusat.
Mual adalah rasa tidak nyaman di perut bagian atas, merupakan
kecenderungan untuk muntah. Muntah adalah dorongan dari dalam perut
yang tidak disadari dan pengeluarannya melalui esofagus sampai ke
mulut. Muntah biasanya disertai dengan mual tetapi mual tidak selalu
menimbulkan muntah (1).

II.4.2 Etiologi
Mual dan muntah mungkin berhubungan dengan beberapa
penyakit. Selain penyakit GI, yang mungkin menyebabkan mual muntah
yaitu kardiovaskular, infeksi, neurologis, atau penyakit metabolik. Mual
dan muntah munkin jug merupakan gejala kondisi seperti kehamilan, atau
mungkin mengikuti prosedur operatif atau pemberian obat tertentu, seperti
yang digunakan dalam kemoterapi kanker (DiPiro et al, 2008).
Muntah terjadi melalui mekanisme yang sangat kompleks.
Terjadinya muntah dikontrol oleh pusat muntah yang ada di susunan saraf
pusat otak. Muntah terjadi apabila terdapat kondisi tertentu yang
merangsang pusat muntah. Rangsangan pusat muntah kemudian
dilanjutkan ke diafragma atau suatu sekat antara dada dan perut dan otot-
otot lambung, yang mengakibatkan penurunan diafragma dan kontriksi
atau pengerutan otot-otot lambung. Hal tersebut selanjutnya
mengakibatkan peningkatan tekanan di dalam perut khususnya lambung
dan mengakibatkan keluarnya isi lambung sampai ke mulut. Beberapa
kondisi yang dapat merangsang pusat muntah di antaranya berbagai
gangguan di saluran pencernaan baik infeksi termasuk gastroenteritis
karena rotavirus dan non infeksi seperti obstruksi saluran pencernaan,
toksin (racun) di saluran pencernaan, gangguan keseimbangan, dan
kelainan metabolik.
Mual, muntah kering dan salivasi yang berlebihan sering terjadi
sesaat sebelum terjadinya muntah. Meskipun penderita. umumnya merasa
tidak enak badan selagi muntah, tetapi setelah terjadinya muntah akan
timbul rasa nyaman.
Obat yang dapat menginduksi terjadinya mual dan muntah harus
diperhatikan lebih, terlebih bagi yang menerima pengobatan sitotoksik.
Beberapa obat memeiliki efek resiko yang lebih tinggi disbanding yang
lain, dosis tinggi, kondisi fisiologis, pengalaman pengobatan sebelumnya,
dan stimulus yang tidak biasa dari penglihatan, penciuman, atau rasa
dapat mengubah respon pasien terhadap terapi obat (DiPiro et al, 2008).
Etiologi spesifik penyebab mual dan muntah (nausea and vomiting)
1. Mekanisme pencernaan
a. obstruksi mekanik
b. obstruksi lambung
c. obstruksi usus kecil
2. Gangguan fungsional gastrointestinal
a. gastroparesis
b. dispepsia Nonulcer
c. pseudoobstrusi usus kronis
d. Irritable bowel syndrome
3. Gangguan gastrointestinal organik
a. ulkus peptikum
b. pankreatitis
c. pielonefritis
d. kolesistitis
e. kolangitis
f. Hepatitis
4. Gastroenteritis akut
a. Virus
b. Bakteri
5. Penyakit kardiovaskular
a. infark miokard akut
b. gagal jantung kongestif
c. ablasi radiofrekuensi
6. Proses neurologis
a. Peningkatan tekanan intrakranial
b. Sakit kepala sebelah
c. gangguan vestibular
7. Gangguan metabolisme
a. Diabetes mellitus (diabetic ketoacidosis)
b. penyakit Addison
c. penyakit ginjal (uremia)
8. Penyebab psikiatri
a. muntah psikogenik
b. Gangguan kecemasan
c. Anorexia nervosa
9. Induksi Terapi
a. kemoterapi sitotoksik
b. Terapi radiasi
c. penyiapan teofilin
d. penyiapan antikonvulsan
e. penyiapan digitalis
f. opiat
g. Antibiotik
10. Penarikan obat
a. opiat
b. benzodiazepin
11. Penyebab Miscellaneous
a. kehamilan
b. bau berbahaya
c. prosedur operati

II.4.3 Patofisiologi
Jalur alamiah dari muntah juga belum sepenuhnya dimengerti
namun beberapa mekanisme patofisiologi diketahui menyebabkan mual
dan muntah telah diketahui. Koordinator utama adalah pusat muntah,
kumpulan saraf saraf yang berlokasi di medulla oblongata. Saraf saraf
ini menerima input dari (Murry & Christie, 1998):
1. Chemoreceptor Trigger Zone (CTZ) di area postrema
2. Sistem vestibular (yang berhubungan dengan mabuk darat dan
mual karena penyakit telinga tengah)
3. Nervus vagus (yang membawa sinyal dari traktus gastrointestinal)
4. Sistem spinoreticular (yang mencetuskan mual yang berhubungan
dengan cedera fisik)
5. Nukleus traktus solitarius (yang melengkapi refleks dari gag refleks)

Sensor utama stimulus somatik berlokasi di usus dan CTZ.


Stimulus emetik dari usus berasal dari dua tipe serat saraf aferen vagus
(Murry & Christie, 1998).
a. Mekanoreseptor : berlokasi pada dinding usus dan diaktifkan oleh
kontraksi dan distensi usus, kerusakan fisik dan manipulasi selama
operasi.
b. Kemoreseptor : berlokasi pada mukosa usus bagian atas dan
sensitif terhadap stimulus kimia.
Serabut afferent (>>
reseptor serotonin)
peritoneal atau
infeksi

Sistem vestibuler (>> reseptor


Infeksi histamine H1 dan Kolinergik
muskarinik

Perubahan emosional Pusat CNS (cortex)


meningkat

Chemoreceptor Trigger Zone


Obat-obatan dan kemoterapi,
hipoksia, uremia, asidosis (CTZ) di area postrema dari
dan terapi radiasi medulla (>> reseptor
serotonin & dopamin D2)

Pusat Muntah
(Daerah medulla oblongata nukleus salivarius,
berdekatan dengan formasio retikularis lateralis)

Mengkoordinasi pernafasan salivasi dan pusat


vasomotor serta inervasi nervus vagus dari traktus
gastrointestinal
Gambar 2. Mekanisme Mual dan muntah

Pusat muntah, disisi lateral dari retikular di medula oblongata,


memperantarai refleks muntah. Bagian ini sangat dekat dengan nukleus
tractus solitarius dan area postrema. Chemoreseptor Trigger Zone (CTZ)
berlokasi di area postrema. Rangsangan perifer dan sentral dapat
merangsang kedua pusat muntah dan CTZ. Afferent dari faring, GI tract,
mediastinum, ginjal, peritoneum dan genital dapat merangsang pusat
muntah. Sentral dirangsang dari korteks serebral, cortical atas dan pusat
batang otak, nucleus tractus solitarius, CTZ, dan sistem vestibular di
23
telinga dan pusat penglihatan dapat juga merangsang pusat muntah.
Karena area postrema tidak efektif terhadap sawar darah otak, obat atau
zat-zat kimia di darah atau di cairan otak dapat langsung merangsang
CTZ (Orensteins, 2005).
Kortikal atas dan sistem limbik dapat menimbulkan mual muntah
yang berhubungan dengan rasa, penglihatan, aroma, memori dan
perasaaan takut yang tidak nyaman. Nukleus traktus solitaries dapat juga
menimbulkan mual muntah dengan perangsangan simpatis dan
parasimpatis melalui perangsangan jantung, saluran billiaris, saluran
cerna dan saluran kemih. Sistem vestibular dapat dirangsang melalui
pergerakan tiba-tiba yang menyebabkan gangguan pada vestibular telinga
tengah (Orensteins, 2005).
Reseptor sepeti 5-HT3, dopamin tipe 2 (D2), opioid dan neurokinin-1
(NK-1) dapat dijumpai di CTZ. Nukleus tractus solitarius mempunyai
konsentrasi yang tinggi pada enkepalin, histaminergik, dan reseptor
muskarinik kolinergik. Reseptor-reseptor ini mengirim pesan ke pusat
muntah ketika di rangsang. Sebenarnya reseptor NK-1 juga dapat
ditemukan di pusat muntah. Pusat muntah mengkoordinasi impuls ke
vagus, frenik, dan saraf spinal, pernafasan dan otot- otot perut untuk
melakukan refleks muntah (Orensteins, 2005).
Mual muntah disebabkan oleh berbagai stimulasi pada pusat
muntah di medulla oblongata. Pusat muntah menerima impuls afferen dari
CTZ yang melalui stimulasi langsung maupun tidak langsung pada saluran
pencernaan. Pada daerah pusat muntah tersebut banyak terdapat
reseptor-reseptor yang berperan dalam proses mual dan muntah, dan
antiemetik umumnya bekerja menghambat neurotransmiter pada reseptor
tersebut. Impuls efferen melalui saraf kranialis V, VII, IX, X dan XII menuju
ke saluran gastrointestinal dapat menimbulkan mual dan muntah
(Sondheimer, 2003).
1) Stimulasi langsung saluran cerna misalnya pemakaian N2O
Akibat gangguan peristaltik dan pelintasan lambung akan
menyebabkan terjadinya dispepsi dan mual. Apabila gangguan
menghebat, melalui saraf vagus dapat merangsang terjadinya muntah.
2) Stimulasi tidak langsung pada CTZ
Obat-obat anestesi inhalasi dan opioid merangsang pusat muntah
secara tidak langsung melalui kemoreseptor ini.
3) Stimulasi tidak langsung melalui korteks serebri yang
lebih tinggi disebabkan oleh : perasaan cemas, takut, nyeri
dan respon sensoris lain.

II.5 Masalah Terkait Mual dan Muntah


II.5.1 Kondisi Penyakit
Penyakit spesifik yang merupakan penyebab terjadinya muntah ada
beberapa macam, yaitu:
a. Mekanisme oleh Penyakit Gastrointestinal (Saluran pencernaan)
Mekanisme ini dapat dibagi menjadi: (DiPiro et al, 2008)
Terjadinya kerusakan bagian saluran pencernaan, misalnya karena
kerusakan yang terjadi karena obstruksi tempat pembuangan
saluran pencernaan dan obstruksi dari usus kecil
Mual dan muntah yang disebabkan karena penyakit-penyakit
fungsional dari gastrointestinal
Gastroparesis, yaitu keadaan dimana otot-otot di lambung tidak
berfungsi secara normal. Dapat dibagi menjadi 3, yaitu karena
dyspepsia non-ulser, pseudoobstruksi usus yang kronik, dan
sindrom usus yang teriritasi.
Mual dan muntah karena penyakit gastrointestinal organik.
Penyebab ini dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu
karena penyakit ulkus peptikum, pancreatitis, pielonefritis,
kolesistitis, kolangitis, dan hepatitis.
Mual dan muntah karena penyakit gastroenteritis akut.
Mual dan muntah yang disebabkan karena adanya virus dan
bakteri tertentu.
b. Mual dan muntah yang disebabkan karena penyakit
kardiovaskular
Dapat dibagi menjadi: (DiPiro et al, 2008)
Infark miokardium akut yaitu suatu keadaan terjadinya kematian
otot jantung akibat suplai oksigen yang tidak cukup ke jantung,
kemudian terjadi juga peningkatan aktivitas fagal yang
mengakibatkan nyeri dada dan disertai keluhan sesak napas, mual
dan muntah.
Gagal jantung kongestif yaitu kelainan struktural dimana jantung
tidak mampu untuk memompa darah dan akhirnya akan ada
perasaan mual dan muntah yang akan timbul pada pasien.
Ablasi radiofrekuensi adalah prosedur yang menggunakan energi
frekuensi radio untuk memanaskan dan membakar saraf penyebab
nyeri sehingga tidak mengirimkan rasa sakit dan menghilangkan
gejala. Secara bersamaan, dapat digunakan untuk membakar
peradangan dalam sendi, menghilangkan rasa sakit, dimana efek
samping dari prosedur ini dapat menyebabkan mual dan muntah.
c. Masalah neurologik
Masalah karena neurologik dapat disebabkan karena:
Peningkatan tekanan intrakranial
Pada saat terjadi tekanan intrakranial karena adanya edema akibat
cedera kepala, selanjutnya akan merangsang reseptor tekanan
intrakranial. Ketika reseptor tekanan intrakranial terangsang akan
mengakibatkan pusat muntah di dorsolateral formation retikularis
terangsang. Selanjutnya formation retikularis akan menyalurkan
rangsangan motorik melalui nervus vagus. Selanjutnya nervus
vagus akan menyebabkan kontraksi duodenum dan antrum
lambung dan terjadi peningkatan intraabdomen, selain itu nervus
vagus juga membuat sfingter esofagus terbuka, oleh karena itu
akan terjadi muntah. (Corwin, 2001)
Sakit kepala migraine, yaitu nyeri kepala dengan serangan nyeri
yang berlangsung 4-72 jam yang biasanya unilateral, sifatnya
berdenyut, intensitas nyerinya sedang sampai berat, diperberat
oleh aktivitas, dan disertai mual dan muntah akibat biasanya
didahului oleh gangguan neurologic (merangsang pusat muntah).
(Anonim, 2004)
Penyakit vestibular, yaitu sistem yang berhubungan dengan mabuk
darat dan mual karena ketidakseimbangan dari cairan telinga yang
mengirim signal pada pusat muntah (Anonim, 2011)
d. Penyakit gangguan metabolisme
Diabetes melitus (diabetik ketoasidosis)
Pada DM yang tidak terkendali dengan kadar gula darah yang
terlalu tinggi dan kadar insulin yang rendah, maka tubuh tidak dapat
menggunakan glukosa sebagai sumber energi. Sebagai gantinya
tubuh akan memecah lemak sebagai sumber energi alternatif.
Pemecahan lemak tersebut kemudian menghasilkan badan-badan
keton dalam darah atau disebut dengan ketosis. Ketosis inilah yang
menyebabkan keasaman darah menurun atau disebut dengan
istilah asidosis. Kedua hal ini lantas disebut dengan
ketoasidosis.Gejala dan tanda-tanda yang ditemukan pada pasien
ketoasidosis diabetes adalah kadar gula darah >240 mg/dl,
terdapat keton pada urin, dehidrasi karena terlalu sering berkemih,
mual, muntah, sakit perut, sesak napas, napas berbau aseton, dll
(Nabyl, 2009)
Penyakit Addisons
Adalah kelainan yang disebabkan oleh ketidakmampuan korteks
adrenalis memproduksi hormon kortisol dan aldosteron yang dapat
disebabkan oleh insufisiensi adrenal primer seperti autoimun,
infeksi dan tumor adrenal atau insufisiensi adrenal sekunder karena
tumor atau infeksi, kurangnya aliran darah ke kelenjar hipofisis,
radiasi kelenjar hipofisis, atau pengangkatan bagian hipotalamus.
Gejala yang menunjukkan diagnosis kliniknya adalah tekanan
darah rendah dan turun pada saat berdiri mengakibatkan pusing,
tidak nafsu makan, penurunan berat badan, mual dan muntah
sepanjang waktu (Sanjaya, 2012).
Penyakit kelainan ginjal (uremia)
Uremia adalah sindrom klinis yang berhubungan dengan
ketidakseimbangan cairan, elektrolit, hormon dan kelainan
metabolik yang berkembang secara parallel dengan penurunan
fungsi ginjal yang dapat menyebabkan perdarahan dan pada
uremia berat dapat mengakibatkan mual dan muntah (Alper, 2015).
e. Penyebab Psikiatri
Mual psikogenik
Muntah yang berulang dan tidak diketahui penyebabnya disebut
cyclic vomiting syndrome (CVS) yang sering disebabkan faktor
psikologis. CVS sering disertai kecemasan, serangan panik dan
depresi, pada orang dewasa maupun anak-anak (Harianja, 2016).
Penyakit ansietas
Ansietas merupakan suatu keadaan dimana individu atau kelompok
mengalami perasaan yang sulit dan disertai aktivitas saraf otonom
dalam berespon terhadap ketidakjelasan, ancaman tidak spesifik.
Ketidak seimbangan fisik yang berupa keluhan-keluhan somatic
(fisik) seperti perasaan panas atau dingin, ual, mulut kering (Stuart,
2007).
Anoreksia nervosa
Merupakan kelainan pola makan (eating disorder) yang sering
terjadi pada wanita yang sadar bahwa mereka merasa lapar namun
takut untuk memenuhi kebutuhan makan mereka karena bisa
berakibat naiknya berat badan. Persepsi mereka terhadap rasa
kenyang terganggu sehingga pada saat mereka mengkonsumsi
sejumlah makanan dalam porsi kecil sekalipun, mereka akan
segera merasa penuh bahkan mual, anoreksia dan bulimia.
f. Terapi Penyakit yang Menginduksi Mual dan Muntah
Terapi penyakit yang dapat menginduksi mual dan muntah ada
beberapa macam, yaitu kemoterapi sitotoksik, radiasi, sediaan teofilin,
sediaan antikonvulsan, sediaan digitalis, opiate, dan antibiotik. Berikut
ini, terdapat pengelompokkan agen sitotoksik dengan risiko yang
menyebabkan emetiknya (jika tidak ada obat profilaksis yang
diberikan) (DiPiro et al, 2008):
Untuk agen sitotoksik yang memiliki risiko tinggi menyebabkan
mual muntah sebanyak >90% adalah carmustin, cisplatin,
cydophospamid, dakarbazin, daktinomisin, mech loretamin, dan
streptozotosin.
Untuk agen sitotoksik yang memiliki risiko moderate menyebabkan
mual dan muntah sebanyak 30-90% adalah carboplatin, cytarabin,
cydophospamid, daunorubisin, doksorubisin, epirubisin, idarubisin,
ifosfamid, innotecan, dan oxaliplatin.
Untuk agen sitotoksik yang memiliki risiko rendah menyebabkan
mual dan muntah (10-30%) adalah bortezomid, cetuximab,
sitarabin, docetaxel, etoposid, fluororasil, gemsitabin, metotrexat,
mitomisin, mitoxanron, paclitaxel, pemtrexed, topotecan dan
trastuzumab.
Untuk agen sitotoksik yang memiliki risiko paling minimal
menyebabkan mual dan muntah (<10%) adalah bevacizumab,
belomisin, busulfan, 2-klorodeoksiadenosin, fludarabin, rituximab,
vin blastin, vin Kristin, vinoerelbin.
g. Penyebab lain
Kehamilan
Mual dan muntah selama masa kehamilan mempengaruhi 70-80%
dari seluruh wanita hamil. Mual dan muntah selama kehamilan
biasa terjadi di pagi hari ataupun kapan saja. Tanda biasa muncul
segera setelah implantasi dan bersamaan saat produksi hCG
mencapai puncaknya, diduga bahwa hormon plasenta inilah yang
memicu mual dan muntah dengan bekerja pada chemoreseptor
trigger zone pada pusat muntah (Sherwood, 2001)
Sebagian besar wanita hamil mengalami mual dan muntah pada
berbagai tingkatan yang berbeda dan dapat terjadi setiap saat,
terutama pagi hari. Keadaan ini biasanya akan berakhir pada
minggu ke 16 (bulan ke 4) pada kehamilan, meskipun pada
beberapa kasus keadaan ini dapat berlangsung lebih lama.
Sebagian besar wanita mengalami mual dan muntah dalam derajat
yang ringan. Pada mual muntah derajat sedang wanita merasa
aktivitasnya terganggu karena kondisi mual dan muntah ini.
Setengah dari wanita yang bekerja merasa pekerjaannya
terganggu karena kondisi ini dan 25% wanita membutuhkan waktu
untuk tidak bekerja. Satu dari dua puluh wanita mengalami
penurunan berat badan, dehidrasi dan gangguan elektrolit. Mual
muntah yang berlebihan dapat menyebabkan dehidrasi,
ketidakseimbangan elektrolit, gangguan metabolik dan defisiensi
gizi yang dikenal sebagai hiperemesis gravidarum. Hiperemesis
gravidarum merupakan muntah persisten dan parah. Tanpa
pengobatan hiperemesis akan menyebabkan banyak komplikasi,
diantaranya kegagalan hati dan kegagalan ginjal (Coad & Dunstall,
2001)
Bau beracun
Bau beracun dapat merangsang pusat muntah sehingga mencium
bau beracun dapat menjadi salah satu penyebab muntah.
Prosedur operasi
Mual muntah pasca operasi atau Post Operative Nausea and
Vomiting (PONV) tidak mengenakkan bagi pasien dan potensial
mengganggu penyembuhan paska operatif. Kapur mendeskripsikan
PONV sebagai the big little problem pada pembedahan
ambulatory. Penggunaan agen inhalasi seperti eter dan siklopropan
juga menyebabkan insiden PONV yang tinggi karena katekolamin.
Pada sevofluran, enfluran, desfluran dan halotan menyebabkan
risiko PONV yang lebih rendah. Selain itu mekanisme muntah juga
terjadi karena penggunaan nitrogen dioksida yang bekerja pada
reseptor pusat opioid penyebabkan gangguan pada sistem
kesetimbangan cairan, menstimulasi saraf simpatis dan distensi
gaster. Selain penggunaan agen inhalasi, teknik anastesi juga
dapat menyebabkan mual dan muntah. Dimana kejadian mual
muntah lebih sering terjadi pada anastesi umum dibandingkan
anastesi spinal. Sedangkan untuk faktor pembedahan yang dapat
menyebabkan mual muntah adalah laparaskopi, bedah panyudara,
bedah plastic, optalmik, THT dan bedah ginekologi.

II.5.2 Jenis Kelamin


Jenis kelamin dapat mempengaruhi mual dan muntah. Wanita
dewasa akan mengalami mual dan muntah yang disebabkan karena Post
operative nausea and vomiting 2-4 kali lebih besar dari pada laki-laki. Hal
ini mungkin disebabkan karena hormon yang dimiliki perempuan dapat
merangsang pusat mual dan muntah. Namun perbedaan gender tidak
dapat terlihat pada anak yang baru mencapai tahap pubertas atau pada
orang dewasa yang memiliki variasi hormon gonadotropin atau hormon
lain yang dapat mempengaruhi tingginya risiko kejadian mual muntah
pada wanita (Clifford, 2009).

II.5.3 Terapi Obat.


Mual muntah dapat disebabkan oleh terapi/obat tertentu. Beberapa
obat yang paling umum menyebabkan reaksi mual dan muntah adalah
kalium klorida, heparin, dokusat dan suspensi alumunium serta
magnesium hidroksida. Mual muntah pun juga dapat dialami oleh pasien
yang mendapatkan terapi opiat, dan mungkin terjadi pada pemberian
antibiotik, teofilin ataupun antikonvulsan. Seseorang yang pernah
menjalani kemoterapi pada pengobatan kanker atau menggunakan obat
sitostatika (obat untuk terapi kanker) sering mengalami mual.
MEKANISME YANG MENCETUSKAN MUNTAH AKIBAT OBAT AINS
Seperti diketahui, generasi pertama obat-obat golongan
antiinflamasi nonsteroid (AINS) bekerja menghambat rasa nyeri
dengan menghambat pembentukan mediator nyeri, yaitu
prostaglandin. Prostaglandin merupakan senyawa endogen hasil
metabolisme asam arakidonat terjadi melalui dua jalur, yaitu jalur
lipoksigenasi yang dikatalisis oleh enzim lipoksigenase menghasilkan
leukotriene dan jalur siklooksigenasi yang dikatalisis oleh enzim
siklooksigenase menghasilkan prostaglandin dan tromboksan. Obat
AINS bekerja menghambat enzim siklooksigenase sehingga pada
gilirannya menghambat produksi prostaglandin yang merupakan
mediator nyeri utama.
Sementara itu, perkembangan penelitian di bidang biokimia
menemukan bahwa enzim siklooksigenase (Cox) ternyata terdiri atas
dua isoform, yaitu Cox-1 dan Cox-2. Enzim Cox-1 merupakan enzim
yang bersifat konstitusif, artinya keberadaannya selalu tetap dan tidak
dipengaruhi oleh adanya stimulus. Enzim ini mengkatalisis sintesis
prostaglandin yang dibutuhkan oleh tubuh yang normal, termasuk
untuk proteksi mukosa lambung. Sementara itu, enzim Cox-2 bersifat
indusibel yang berarti keberadaannya tergantung adanya induksi dari
stimulus. Enzim ini meningkat ekspresinya pada kondisi inflamasi dan
kanker. Dengan demikian, enzim Cox-2 lah (bukan Cox-1) yang
terlibat dalam patofisiologi inflamasi. AINS yang tidak selektif dapat
menghambat sintesis prostaglandin yang dibutuhkan tubuh untuk
proteksi mukosa lambung. Karena itu, efek samping utama obat-obat
AINS adalah tukak lambung dan mual muntah.
MEKANISME YANG MENCETUSKAN MUNTAH AKIBAT OBAT
KORTIKOSTEROID
Deksametason dan metilprednisolon yang digunakan tunggal
efektif untuk kemoterapi penyebab muntah yang ringan sampai
sedang. Mekanisme efek antimuntahnya tidak diketahui, tetapi
mungkin melibatkan penghambatan prostaglandin.

MEKANISME YANG MENCETUSKAN MUNTAH AKIBAT OBAT


KEMOTERAPI
Obat-obat kemoterapi (atau metabolitnya) dapat mengaktivasi
langsung daerah pemicu kemoreseptor di medula atau pusat muntah;
beberapa neuroreseptor, termasuk dopamin tipe 2 dan serotonin tipe
3, memainkan peranan kritis. Sering, warna dan bau obat-obat
kemoterapi (dan bahan rangsangan yang berhubungan dengan
kemoterapi) dapat mengaktivasi pusat muntah yang lebih tinggi di
dalam pusat otak dan memicu muntah. Obat-obat kemoterapi juga
dapat bekerja secara perifer dengan menyebabkan kerusakan sel di
saluran pencernaan dan melepaskan serotonin dari sel enterokromafin
dari mukosa usus halus. Serotonin yang dilepaskan mengaktifkan
reseptor 5-HT3 pada saraf vagus dan serat aferen nervus splanknikus,
yang kemudian membawa sinyal sensoris ke medula, menyebabkan
respons muntah.

Mual dan muntah adalah efek samping yang umum dari


pengobatan kemoterapi untuk kanker. Obat kemoterapi tertentu lebih
mungkin daripada yang lain untuk menyebabkan mual dan muntah.
Beberapa obat yang berhubungan dengan risiko signifikan dari efek
samping ini termasuk:
Altretamine
Busulfan
Carmustine
Cisplatin
Siklofosfamid
Dacarbazine
Doksorubisin
Epirubicin
Estramustine
Etoposid
Ifosfamid
Lomustine
Mechlorethamine
Prokarbazin
Streptozocin
Temozolomide

Contoh Kasus:
Kasus 1
Bapak PG baru-baru ini didiagnosis menderita penyakit Parkinson,
dia telah meminum kapsul Levodopa/benserazide (Madopar) 125mg
sehari tiga kali selama 14 hari. Ia merasa sangat mual dan telah muntah
sebanyak tiga kali selama beberapa hari terakhir. Gejala-gejala yang
dirasakan bapak PG sangat berbahaya sehingga ia bertanya kepada
apakah dia boleh menghentikan pengobatan tersebut.
Jawaban:
Mual dan muntah sering terjadi sebagai ROTD pada terapi
levodopa. Hal ini terjadi sebagai hasil pembentukan dopamine di perifer.
Dapat disarankan agar obat digunakan setelah makan dan dokter juga
meresepkan obat antimuntah (proklorperazin), namun Proklorperazin
dapat memperburuk gejala-gejala parkinsonisme. Efek sampingnya
meliputi gejala-gejala ekstrapiramidal dan penggunaan yang lama
menyebabkan terjadinya terdive dyskinesia. Domperidon merukan obat
pilihan untuk mual dan muntah yang dipicu oleh levodopa.
II.5.4 Interaksi Obat
Beberapa obat memiliki efek samping minor mual dan muntah,
artinya penggunaan dosis lazim jarang menimbulkan efek tersebut.
Namun efek tersebut dapat muncul jika dikonsumsi dengan bahan (baik
obat maupun makanan) yang dapat meningkatkan efek dari obat yang
dipengaruhi. Sehingga interaksi obat yang terjadi menimbulkan ROTD
mual muntah.
a. Interaksi Obat dengan Obat lain
1. Aciclovir + Teofilin
Bukti awal menunjukkan acyclovir dapat mengurangi clearance
teofilin sekitar 30%. Wasapada untuk peningkatan efek teofilin
(mual, sakit kepala, tremor) jika ditambahkan acyclovir dan
pertimbangkan pemantauan tingkat teofilin (Baxter, 2009).

2. Alkohol + Disulfiram
Konsumsi alcohol bersamaan dengan disulfiram akan
mengakibatkan takikardi, sesak napas, pusing dan hipotensi, mual
dan muntah (Baxter, 2009).

3. Ketoconazole + Galantamine
Ketokonazole meningkatkan ketersediaan hayati galantamine
sekitar 30%, yang diperkirakan meningkatkan efek samping
galantamine (misalnya mual dan muntah) (Baxter, 2009).

4. Methotrexate + teofilin
Dalam suatu studi teofilin clearance berkurang sebesar 19%
setelah 6 minggu pengobatan dengan methotrexate intramuscular.
Beberapa pasien mengeluh mual dan dosis teofilin harus dikurangi
(Baxter, 2009).

5. ACE inhibitor + diuretik (Diuretik loop dan Thiazides)


Penggunaan inhibitor ACE dengan diuretik loop atau tiazid
biasanya aman dan efektif, tapi 'dosis pertama hipotensi' (pusing,
pingsan) dapat terjadi, terutama jika dosis diuretik tinggi (lebih dari
furosemid 80 mg sehari-hari atau setara) dan sering di Asosiasi
dengan kondisi predisposisi (gagal jantung, hipertensi renovascular,
hemodialisis, tingkat tinggi renin dan angiotensin, diet rendah
sodium, dehidrasi, diare atau muntah, dll). Selain itu, gangguan
ginjal, dan bahkan akut ginjal kegagalan, telah dilaporkan, dan
hypokalaemia diinduksi diuretik dapat terjadi ketika ACE inhibitor
digunakan dengan diuretik kalium yang semakin menipis (Baxter,
2009).

6. Azoles + Carbamazepine
Flukonazol, Ketoconazole atau Miconazole Toksisitas
carbamazepine telah disebabkan oleh flukonazol dan miconazole,
dan tingkat carbamazepine bisa dinaikkan sebesar 30% oleh
ketoconazole. Bukti terbatas. Namun demikian, monitor untuk
tanda-tanda toksisitas carbamazepine, yang mungkin hadir sebagai
mual, muntah, ataxia atau mengantuk. Pertimbangkan monitor-ing
carbamazepine tingkat dan menyesuaikan dosis jika diperlukan
(Baxter, 2009).

7. Antagonis reseptor 5 HT3 + opioid


Ondansetron mengurangi efektivitas analgesik tramadol dan
setidaknya dosis dua kali diperlukan dalam satu studi klinis. Ini
mengakibatkan terjadinya muntah meskipun penggunaan
ondansetron. Akan tampak bijaksana untuk menggunakan alternatif
analgesik jika ondansetron diperlukan (Baxter, 2009).

b. Interaksi Obat dengan Makanan


Ketika sedang menerima pengobatan atau konsumsi obat-obat
tertentu, konsumsi makanan perlu diperhatikan. Beberapa obat dapat
berinteraksi dengan makanan tertentu yang menimbulkan masalah
yang mempengaruhi hasil pengobatan termasuk munculnya ROTD.
Salah obat yang dapat berinteraksi dengan makanan yaitu isoniazid.
Penyerapan isoniazid dikurangi dengan makanan. Pasien yang
memakai isoniazid yang makan beberapa makanan, seperti keju
matang dan terutama ikan dari keluarga scombroid (misalnya tuna,
Tenggiri, salmon) yang tidak segar, mungkin mengalami reaksi
keracunan akibat histamin berlebihan misalnya menggigil, diare,
kemerahan dan gatal-gatal kulit, sakit kepala, takikardia, muntah,
desah. Untuk penyerapan maksimal isoniazid harus diambil tanpa
makanan, maka produsen bimbingan untuk mengambil setidaknya 30
menit sebelum atau 2 jam setelah makanan. Tidak perlu untuk
memperkenalkan pantangan yang umum, tetapi jika salah satu reaksi
berpengalaman, memeriksa diet pasien dan menyarankan
menghindari setiap bahan makanan yang mungkin terkait (Baxter,
2009).

II.5.2 Polifarmasi
Salah satu faktor yang dapat memunculkan ROTD adalah
pengobatan (pemberian obat) yang berlebihan dibanding yang
diindikasikan secara medis atau biasa dikenal dengan istilah polifarmasi.
Salah satu ROTD yang timbul akibat polifarmasi yaitu mual dan muntah.
Contoh kasus:

Seorang anak perempuan umur 5 tahun (BB 19 kg) dibawa ke


dokter dengan keluhan muntah-muntah seharian setelah makan obat flu
dan malam hari mengeluh deg-degandan tidak bias tidur.

Resep yang diperoleh dari dokter tersebut sebagai berikut:

R/ Fenobarbital 3 x 15 mg
Parasetamol 3 x 250 mg
R/ Ethicef (sefadroksil) 3 x 275 mg
R/ Lesidas (loratadin) 3 x tab
Teofilin3 x 30 mg
Bricasma (terbutalin) 3 x tab
Transbroncho (ambroksol) 3 x 1/3 tab
Kenantist (triamsinolon+ karbinoksamin maleat) 3 x 1/3 tab
Tremenza (pseudoefedrin + triprolidin) 3 x 1/3 tab
Lactas calcicus 3 x 25 mg
R/ Kiddi Pharmaton1 x 1 sendok teh
Analisis:

Jumlah jenis obat: 10


Jumlah jenis zat aktif: 13
Obat yang mengandung antihistamin: Lesidas, Kenantist,
Tremenza
Obat yang menimbulkan takikardi: Bricasma, Lesidas, Tremenza
(efek simpatomimetik)
Obat yang dosisnya terlalu besar/kecil: parasetamol, Ethicef,
teofilin, terbutalin
Interaksi obat potensial:
- Efek sedasi: fenobarbital, Kenantist, Tremenza
- Efek mual: gabungan semua obat
- Efek takikardi: Lesidas, Bricasma, Kenantist, Tremenza
Obat yang pasti diperlukan pasien ini hanya: parasetamol+
Tremenza
Obat yang mungkin diperlukan pasien ini: bronkodilator (1 macam
saja) (Setiabudy, 2011).
Pemberian obat yang terlalu banyak menyebabkan tubuh merespon
adanya benda asing (racun) yang masuk ke dalam tubuh sehingga dapat
memicu mual muntah. Untuk itu, sebaiknya pemberian obat yang tidak
memiliki indikasi khusus tidak perlu.
II.6 Pencegahan dan Penatalaksanaan ROTD
II.6.1 Upaya pencegahan ROTD (BNF, 2011)
a. Antisipasi dengan pemantauan pasien
Sebenarnya, lebih diinginkan untuk mencegah atau
meminimalkan akibat suatu ROTD. Hal ini dilakukan dengan
mengkaji pasien dan mengantisipasi ROTD yang mungkin dapat
terjadi dalam pasien. Misalnya, beberapa obat tertentu
menyebabkan anemia hemolitik pada pasien yang kekurangan
glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD). Pasien dengan risiko tinggi
untuk kondisi ini perlu ditapis untuk kerja G6PD sebelum pemberian
suatu obat yang kemungkinan besar menyebabkan ROTD.
b. Antisipasi pengurangan dosis
Pengurangan dosis sebelum memulai terapi perlu diantisipasi
untuk pasien tertentu. Misalnya, pasien dengan fungsi ginjal yang
rusak, baik disebabkan penyakit ataupun karena usia lanjut, harus
menerima dosis yang dikurangi dari tiap obat yang diekskresi tidak
berubah dalam urin. Pengurangan dosis obat yang dikeluarkan
melalui ginjal dan didasarkan perkiraan bersihan kreatinin,
dimaksudkan untuk mencegah atau meminimalkan ROTD yang
berkaitan dengan obat tersebut.
c. Pemantauan kadar serum obat
Banyak ROTD dikaitkan dengan kadar serum obat. Contoh, obat-
obat ini adalah teofilin, antikonvulsan, antiaritmia, asetosal, dan
aminoglikosida.
Pemantauan yang tepat kadar serum menggunakan asas
farmakokinetik dasar akan mencegah banyak ROTD yang
disebabkan oleh kadar di luar rentang terapi.
d. Pemantauan kerja farmakologi
ROTD berkaitan dengan banyak obat. ROTD dapat
memperpanjang sifat farmakologi obat-obat tersebut. Misalnya,
diuretika diberikan untuk meningkatkan pengeluaran garam dan air,
tetapi dapat menyebabkan kehabisan elektrolit dan dehidrasi.
Warfarin diberikan sebagai suatu antikoagulan, tetapi dapat
menyebabkan pendarahan. Pencegahan efek toksis demikian
mencakup penetapan titik akhir terapi dan seleksi teknik, serta
frekuensi pemantauan yang tepat guna memastikan bahwa titik
akhir tidak dilewati. Kunci untuk pencegahan dan meminimalkan
ROTD umum atau yang dapat diramalkan adalah antisipasi. Seperti
yang diuraikan, banyak ROTD dapat dicegah jika sebelum memulai
terapi, pasien individu dievaluasi terhadap perkembangan yang
mungkin dari suatu ROTD selama terapi. Berdasarkan informasi
khusus pasien dan pengetahuan yang cermat dari obat, titik akhir
dan teknik pemantauan yang tepat dapat diseleksi sebelum pasien
menerima obat.
Sebagai tenaga profesional terakhir sebelum obat diserahkan
kepada pasien, sangatlah jelas diperlukan diketahui bahwa farmasis
mempunyai peranan yang penting dalam mencegah terjadinya ROTD.
Untuk itu diperlukan suatu pendekatan yang dapat dipakai untuk
memeriksa secara teliti resep obat yang akan digunakan pasien serta
bagaimana menanggapi gejala-gejala yang dikeluhkan pasien. Sebagai
salah satu contoh dalam mencegah terjadinya ROTD adalah
menghentikan pemberian penghambat adrenoseptor-beta (beta bloker)
bagi penderita asma karena dapat memperburuk asmanya atau
memberikan konseling agar pasien yang menggunakan obat-obat AINS
agar diminum setelah makan untuk mencegah iritasi pada saluran
cerna.
Cara mencegah reaksi yang tidak diinginkan:
a. Jangan menggunakan obat bila tidak diindikasikan dengan jelas.
Jika pasien sedang hamil, jangan gunakan obat kecuali benar-
benar diperlukan.
b. Alergi dan idiosinkrasi merupakan penyebab penting ROTD.
Tanyakan apakah pasien pernah mengalami reaksi sebelumnya.
c. Tanyakan jika pasien sedang menggunakan obat-obatan lainnya
termasuk obat yang dipakai sebagai swamedikasi; hal ini dapat
menimbulkan interaksi obat.
d. Usia dan penyakit hati atau ginjal dapat mengubah metabolisme
dan ekskresi obat, sehingga dosis yang lebih kecil diperlukan.
Faktor genetik mungkin juga berpengaruh pada variasi dalam
metabolisme, khususnya isoniazid dan antidepresan trisiklis.
e. Resepkan obat sesedikit mungkin dan berikan petunjuk yang
jelas kepada pasien lanjut usia dan pasien yang kurang
memahami petunjuk yang rumit.
f. Jika memungkinkan gunakan obat yang sudah dikenal. Dan
menggunakan suatu obat baru perlu waspada akan timbulnya
ROTD atau kejadian yang tidak diharapkan.
g. Jika kemungkinan terjadinya ROTD yang serius, pasien perlu
diperingatkan.

II.6.2 Penatalaksanaan (Mariyono, 2008)


Sekarang ini hanya sedikit alat yang dapat membantu evaluasi dan
penatalaksanaan pasien dengan reaksi akibat obat. Alat tersebut belum
ada karena keterbatasan pengetahuan mengenai patofisiologi dan faktor
predisposisi timbulnya kebanyakan reaksi tersebut. Meski dengan segala
keterbatasan pasien tetap harus dapat ditangani. Pendekatan terhadap
pasien alergi obat harus secara metodologis. Pertama hubungannya
dengan obat harus dapat dibuktikan. Setelah hal tersebut dapat
dibuktikan, tipe reaksi harus dapat ditentukan sebisa mungkin. Untuk
reaksi tipe A, modifikasi dosis sebelum diberikan merupakan satu-satunya
hal yang perlu dikerjakan. Toksisitas, serta efek samping dan efek
sekunder dapat membaik dengan menurunkan dosis obat. Untuk reaksi
tipe B, obat masih dapat diberikan kembali bila reaksi sebelumnya ringan
(tinitus pada pemberian aspirin). Untuk reaksi idiosinkrasi, kewaspadaan
yang lebih perlu dipertimbangkan. Pada reaksi yang berat atau
mengancam nyawa penderita, obat tersebut tidak boleh diberikan kembali.
Pada reaksi yang tidak terlalu berat, tes provokasi dapat dipertimbangkan.
Untuk reaksi tipe B, penatalaksanaannya tergantung dari
mekanisme yang mendasari timbulnya reaksi. Bila tes konfirmasi tersedia
dan telah divalidasi, tes tersebut harus digunakan untuk menentukan
status alergi pasien (tes untuk IgE spesifik penisilin dengan Pre-Pen dan
determinan campuran minor). Bila tes tersebut tidak tersedia dan pada
kebanyakan kasus memang tidak ada, beberapa pendekatan dapat
dilakukan. Pendekatan yang paling mudah adalah dengan menghindari
obat bila obat alternatif tersedia. Bila obat alternatif tidak ada, challenge
test bertahap dapat dikerjakan bila reaksi yang timbul sebelumnya bukan
merupakan reaksi yang diperantarai IgE dan tidak merupakan reaksi yan
berat dan membahayakan nyawa penderita. Bila reaksi yang sebelumnya
timbul merupakan reaksi yang diperantarai IgE, desensitisasi harus
dikerjakan.
1. Avoidance (menghindari paparan)
Merupakan panduan umum, diamana kita harus menghindari
penggunaan obat yang telah diketahui menyebabkan reaksi alergi pada
pasien, kecuali bila obat tersebut sangat dibutuhkan dan tidak ada obat
lain yang dapat menggantikannya.
2. Premedikasi
Penggunaan antihistamin H1 sebagai pencegahan tidak dianjurkan,
karena tidak dapat mencegah terjadinya syok anafilaktik dan dapat
mengaburkan gejala awal alergi obat.
Antihistamin H1 yang dikombinasikan dengan steroid telah dibuktikan
dapat menurunkan reaksi akibat media kontras radiografi.
3. Desensitisasi
Desensitisasi harus dipertimbangkan pada pasien yang pernah
mengalami reaksi yang diperantarai IgE terhadap penisilin dan
memerlukan penisilin untuk terapi infeksi yang berat seperti
endokarditis bakterial dan meningitis.
Beberapa protokol telah dikemukakan dengan jalur oral maupun
parenteral
Harus dikerjakan dengan pengawasan khusus dari seorang
spesialis.
Pemberian secara oral lebih disukai karena lebih kecil
kemungkinannya untuk menimbulkan reaksi yang mengancam
nyawa.
Desensitisasi juga dapat dikerjakan untuk pasien yang memerlukan
sulfonamid dan cephalosporin

II.6.3 Penatalaksanaan Mual Muntah diinduksi Kemoterapi (CINV)


Faktor yang perlu dipertimbangkan ketika memilih antiemetik untuk
CINV meliputi (Dipiro et al, 2008):
1. Potensi emetogenik dari agen kemoterapi atau rejimen
2. Faktor spesifik pasient
3. Pola muntah setelah pemberian kemoterapi tertentu atau rejimen.
Penatalaksanaan mual muntah dapat diberikan sesuai dengan
waktu terjadinya mual muntah yaitu:
a. Mual muntah antisipatori
Mual antisipasi dan muntah adalah respon terkondisi terkait
dengan kontrol muntah yang buruk dengan sebelumnya diberikan
kemoterapi. Mual muntah antisipatori diatasi dengan memberikan
intervensi perilaku berupa relaksasi, pengalihan perhatian terhadap
suatu stimulus, serta kemampuan untuk mengendalikan perasaan
tertentu. Antiemetik yang diberikan yaitu amnestic dan anxiolitic dari
lorazepam yang dapat membantu mencegah mual muntah antisipatori
dengan cara memblokir memori mual muntah yang terkait dengan
kemoterapi sebelumnya. Serta lorazepam ini harus diberikan pada
malam sebelumnya dari pagi hari sebelum kemoterapi diberikan
(Dipiro et al, 2008; Garret et al, 2003).
b. Mual muntah akut
Penanganan mual muntah akut diberikan terapi antiemetik
seperti Serotonin reseptor antagonis (SRA). Dikarenakan agen
kemoterapi memulai terjadinya reseptor serotonin utama yang
menyebabkan terjadinya mual muntah akibat kemoterapi. Obat
antiemetik ini telah menjadi standar utama terapi antiemetik yang
diberikan yang direkomendasikan oleh ASHP sebagai obat pilihan
pada pasien yang menerima agen kemoterapi dengan tingkat potensi
emetik pada level 3 sampai 5. SRA akan mencegah mual muntah
dengan menghambat respon awal mual muntah, tetapi SRA
(Serotonin reseptor antagonis) tidak berpengaruh pada histaminergic,
dopaminergic atau reseptor cholinergik, dimana SRA ini dapat
mengurangi mual muntah secara efektif tanpa menimbulkan dampak
yang buruk terkait dengan antiemetik traditional. Jenis SRA (Serotonin
reseptor antagonis) yang sering digunakan adalah ondansentron
(Zofran), Granisetron (kytril), dan Dolasetron (Anzemet).
Dexamethason dan proclorperazin disarankan untuk diberikan pada
saat pemberian agen kemoterapi dengan potensi emetik ringan
sampai sedang. Kombinasi dexamethason dan metoclopramid
walaupun kurang efektif tetapi dapat dijadikan sebagai sebuah pilihan
obat (Garret et al, 2003).
c. Mual muntah lambat
Mual dan muntah yang terjadi dalam waktu 24 jam setelah
pemberian kemoterapi, itu didefinisikan sebagai mual lambat.
Pemberian SRA (Serotonin reseptor antagonis) dalam dosis tunggal
tidak dapat membantu menangani mual muntah lambat tetapi
pencegahan mual muntah lambat ini dapat diatasi dengan pemberian
ondansentron yang dikombinasikan dengan dexamethasone Oleh
karena itu dexamethasone dijadikan sebagai pilihan obat yang dapat
digunakan untuk mengatasi mual muntah lambat bila diberikan
bersamaan dengan SRA (Serotonin reseptor antagonis) saat sebelum
prosedur kemoterapi dimulai. Untuk pencegahan muntah lambat
setelah terapi cipstatin pada orang dewasa, deksametason dengan
metoklopramid atau SSRI dianjurkan. Pilihan obat harus didasarkan
pada faktor-faktor tertentu pasien dan juga biaya. untuk muntah
lambat setelah terapi cyclophosphamide, doxorubicin atau karboplatin,
SSRI dengan dexametasone direkomendasikan. Pada pasien anak
anak, clorpromazine, Lorazepam, atau SSRI dapat digunakan dalam
kombinasi dengan kortikosteroid (Dipiro et al, 2008; Garret et al,
2003).

II.7 Peran Apoteker dalam Penanganan ROTD


Salah satu tanggung jawab profesi seorang farmasis adalah
memberikan layanan kefarmasian yang berorientasi pada pasien, yang
disebut dengan pharmaceutical care (asuhan kefarmasian). Dalam terapi
obat pasien, seorang farmasis diharapkan dapat mengidentifikasi
masalah-masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat (Drug Related
Problems) baik yang telah terjadi atau yang berpotensi untuk terjadi,
kemudian mengupayakan penanganannya dan pencegahan terhadap
masalah yang teridentifikasi (Trisna, 2000).
Salah satu masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat
adalah reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD/adverse drug reaction).
ROTD adalah respons obat yang membahayakan atau tidak diharapkan
yang terjadi pada dosis lazim dan dipakai oleh manusia untuk tujuan
profilaksis, diagnosis maupun terapi. Masalah ROTD perlu mendapatkan
perhatian karena dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup, bahkan
kematian. Peran fundamental farmasis adalah mengidentifikasi ROTD
yang potensial maupun aktual. Farmasis bertanggung jawab dalam
pengembangan program deteksi, pemantauan dan pelaporan ROTD
(Onder & Pedone, 2002).
Pemantauan terapi obat (PTO) adalah suatu proses yang
mencakup kegiatan untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif dan
rasional bagi pasien. Kegiatan tersebut mencakup: pengkajian pilihan
obat, dosis, cara pemberian obat, respons terapi, reaksi obat yang tidak
dikehendaki (ROTD), dan rekomendasi perubahan atau alternatif terapi.
Pemantauan terapi obat harus dilakukan secara berkesinambungan dan
dievaluasi secara teratur pada periode tertentu agar keberhasilan ataupun
kegagalan terapi dapat diketahui.
Keberadaan apoteker memiliki peran yang penting dalam
mencegah munculnya masalah terkait obat. Apoteker sebagai bagian dari
tim pelayanan kesehatan memiliki peran penting dalam PTO.
Pengetahuan penunjang dalam melakukan PTO adalah patofisiologi
penyakit, farmakoterapi, serta interpretasi hasil pemeriksaan fisik,
laboratorium dan diagnostik. Selain itu, diperlukan keterampilan
berkomunikasi, kemampuan membina hubungan interpersonal, dan
menganalisis masalah. Proses PTO merupakan proses yang
komprehensif mulai dari seleksi pasien, pengumpulan data pasien,
identifikasi masalah terkait obat, rekomendasi terapi, rencana pemantauan
sampai dengan tindak lanjut. Proses tersebut harus dilakukan secara
berkesinambungan sampai tujuan terapi tercapai (Depkes RI, 2009).
Penatalaksanaan Pemantauan Terapi Obat (PTO) oleh apoteker
seharusnya dilaksanakan untuk seluruh pasien. Mengingat terbatasnya
jumlah apoteker dibandingkan dengan jumlah pasien, maka perlu
ditentukan prioritas pasien yang akan dipantau, seleksi dapat dilakukan
berdasarkan :
a. Kondisi Pasien.
b. Jenis Obat yang diberikan kepada Pasien
c. Pengumpulan Data Pasien
d. Identifikasi Masalah Terkait Obat Setelah data terkumpul.
e. Rekomendasi Terapi
f. Rencana Pemantauan Setelah ditetapkan pilihan terapi
g. Tindak Lanjut, hasil identifikasi masalah terkait obat dan
rekomendasi yang telah dibuat oleh apoteker harus
dikomunikasikan kepada tenaga kesehatan terkait.
h. Dokumentasi
Salah satu metode sistematis yang dapat digunakan dalam PTO adalah
Subjective Objective Assessment Planning (SOAP), yaitu :
a. (S : Subjective) Data subyektif adalah gejala yang dikeluhkan oleh
pasien. Contoh : pusing, mual, nyeri, sesak nafas.
b. (O : Objective) Data obyektif adalah tanda/gejala yang terukur oleh
tenaga kesehatan. Tanda-tanda obyektif mencakup tanda vital
(tekanan darah, suhu tubuh, denyut nadi, kecepatan pernafasan), hasil
pemeriksaan laboratorium dan diagnostik.
c. (A : Assessment) Berdasarkan data subyektif dan obyektif dilakukan
analisis untuk menilai keberhasilan terapi, meminimalkan efek yang
tidak dikehendaki dan kemungkinan adanya masalah baru terkait obat.
d. (P : Plans) Setelah dilakukan SOA maka langkah berikutnya adalah
menyusun rencana yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan
masalah.
Rekomendasi yang dapat diberikan:
Memberikan alternatif terapi, menghentikan pemberian obat,
memodifikasi dosis atau interval pemberian, merubah rute pemberian.
Mengedukasi pasien.
Pemeriksaan laboratorium.
Perubahan pola hidup
Dengan Pemantauan Terapi Obat (PTO) ini diharapkan dapat
digunakan sebagai acuan apoteker dalam melakukan praktek profesi
terutama dalam pelaksanaan pelayanan farmasi klinik di rumah sakit dan
komunitas. Apoteker juga sebagai long life learner harus selalu
menambah pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan formal atau
non formal (continuing professional development), sehingga apoteker
diharapkan dapat melaksanakan pemantauan terapi obat, sehingga
masyarakat pada umumnya dan pasien pada khususnya serta pihak-pihak
terkait akan lebih merasakan peran dan fungsi pelayanan kefarmasian
khususnya dalam penanganan ROTD (Depkes RI, 2009).
BAB III

KESIMPULAN

1) Reaksi Obat yang tidak dikehendaki (ROTD) adalah respon terhadap


suatu obat yang berbahaya dan tidak diharapkan serta terjadi pada
dosis lazim yang dipakai oleh manusia untuk tujuan profilaksis,
diagnosis maupun terapi.
2) ROTD dapat dibagi menjadi dua kategori besar, yaitu yang dapat
diperkirakan, umum terjadi dan berhubungan dengan aksi
farmakologis obat (reaksi tipe A) dan yang tidak dapat diperkirakan,
jarang terjadi dan biasanya tidak berhubungan dengan aksi
farmakologis obat (reaksi tipe B). Ada kelompok lain dalam sistem
klasifikasi ini tetapi juga dapat dianggap sebagai subclass atau
turunan dari ROTD tipe A dan B, yakni ROTD tipe C (reaksi kronis,
berhubungan dengan dosis dan waktu), tipe D (reaksi tertunda, terkait
dengan waktu), tipe E (reaksi akhir penggunaan) dan tipe F
(kegagalan terapi).
3) Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya reaksi obat yang
tidak diinginkan antara lain : polifarmasi, jenis kelamin, kondisi
penyakit yang diderita, usia, ras, dan polimorfisa genetik serta
ketidakpatuhan pasien.
4) Salah satu ROTD yang banyak dijumpai dalam terapi pengobatan
adalah mual dan muntah. Mual adalah rasa tidak nyaman di perut
bagian atas, merupakan kecenderungan untuk muntah. Muntah
adalah dorongan dari dalam perut yang tidak disadari dan
pengeluarannya melalui esofagus sampai ke mulut. Muntah biasanya
disertai dengan mual tetapi mual tidak selalu menimbulkan muntah.
5) Obat yang dapat menginduksi terjadinya mual dan muntah harus
diperhatikan lebih, terlebih bagi yang menerima pengobatan sitotoksik.
Beberapa obat memeiliki efek resiko yang lebih tinggi dibanding yang
lain, dosis tinggi, kondisi fisiologis, pengalaman pengobatan
sebelumnya, dan stimulus yang tidak biasa dari penglihatan,
penciuman, atau rasa dapat mengubah respon pasien terhadap terapi
obat.
6) Upaya pencegahan ROTD dapat dilakukan dengan pelaksanaan:
a. Antisipasi dengan pemantauan pasien
b. Antisipasi pengurangan dosis
c. Pemantauan kadar serum obat
d. Pemantauan kerja Farmakologi
7) Keberadaan apoteker memiliki peran yang penting dalam mencegah
munculnya masalah terkait obat. Apoteker sebagai bagian dari tim
pelayanan kesehatan memiliki peran penting dalam PTO
(Pemantauan Terapi Obat). Kegiatan yang berkaitan dengan PTO
mencakup: pengkajian pilihan obat, dosis, cara pemberian obat,
respons terapi, reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD), dan
rekomendasi perubahan atau alternatif terapi. Pemantauan terapi obat
harus dilakukan secara berkesinambungan dan dievaluasi secara
teratur pada periode tertentu agar keberhasilan ataupun kegagalan
terapi dapat diketahui.
DAFTAR PUSTAKA

Alper, BA.2015. Uremia. Availaible from: http://emedicine.medscape.com/


Diakses tanggal 30 oktober 2016
Anonim. Anoreksia Nervosa. Availaible as pdf
http://docshare01.docshare.tips/files/24528/245284152.pdf
diakses pada tanggal 30 oktober 2016
Anonim. 2011. Mual dan muntah. Availaible as pdf
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/29669/4/Chapter%
20II.pdf Diakses tanggal 30 Oktober 2016
Anonim. Mual dan Muntah Paska Operasi available as pdf
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/32712/4/Chapter%
20II.pdf diaksses tanggal 30 oktober 2016
Aslam M, Tan CK, Prayitno A. 2003. Farmasi Klinis: Menuju Pengobatan
Rasional dan Penghargaan Pilihan Pasien. PT. Elex Media
Komputindo. Jakarta.
Baxter, Karen, Drug Interactions, Pharmaceutical Press, London, 2009.
BMJ Group. British National formulary 61. BMJ Group and the Royal
Pharmaceutical Society. London, 2011
Clifford, Theresa. Clinical Guideline for Nausea and Vomiting. Aspan
Edition. American Society of Periansthesia Nurses. 2009
Coad & Dunstall. Anatomi dan Fisiologi untuk Bidan. Jakarta: EGC. 2001)
Corwin EJ. Patofisiologi. EGC. Jakarta, 2001
Depkes RI. Pedoman Pemantauan Terapi Obat. Direktur Bina Farmasi
Komunitas dan Klinik. Jakarta, 2009.
DiPiro JT, Talbert RL, Yee GC, Matzke GR, Wells BG, Posey LM.
Pharmacotherapy: A Pathophysiological Approach. (Eds). 7th
edition.
Edwards IR, Aronson JK. Adverse Drug Reactions: Definitions, Diagnosis,
and Management. The Lancet Vol.356. October 7th. 2000.
Farcas A, Bojita M. Adverse Drug Reactions in Clinical Practice: a
Causality Assessment of a Case of Drug-Induced Pancreatitis.
Drug Information Research Centre, University of Medicine and
Pharmacy Cluj-Napoca, Romania
Garret, K, Tsuruta K., Walker,S., Jackson, S., & Sweat, M. Managing
nausea and vomiting, Critical Care Nurse, 2003, 23(1),31-50.
Harianja SH. Muntah Psikogenik. RSUD kabupaten Badung Mangusasa.
2016
Ikawati, Zullies. Farmakologi Molekuler. Gadjah Mada University Press.
Yogjakarta. 2014
Mariyono HH, Suryana K. Adverse Drug Reaction. Bagian/SMF Ilmu
Penyakit Dalam FK Unud/ RSUP Sanglah. Denpasar. Jurnal
Penyakit Dalam, Volume 9 Nomor 2 Mei 2008.
Murry KF, Christie DL. Vomiting Pediatrics in Review Vol. 19 No. 10
October 1998.
Nabyl. Cara Mudah Mencegah dan Mengobati Diabetes Melitus. Aula.
Yogyakarta, 2009)
Onder G., Pedone C. Adverse drug reactions as cause of hospital
admissions: Result from The Italian Group of
Pharmacoepidemiology in The Elderly (GIFA). Journal of
American Geriatrics Society. 2002. 50:1962-8.
Orensteins SR. 2005. Dysphagia and vomiting .In Pediatric
Gastroeintestinal Disease. Pathophysiology, Diagnosis,
Management Edited by Willy R, Hyams JS. WB Saunders Comp.
135-150
Priyanto, Drs. Apt. M.Biomed. Farmakoterapi & Terminologi Medis.
Leskonfi. Depok. 2008
Sanjaya A. Addisons Disease. Fakultas kedokteran universitas wijaya
kusuma Surabaya. 2012; 1(2).
Schatz NS., and Weber JR., Adverse Drug Reactions. CNS/Pharmacy
Practice., PSAP 2015Setiabudy, Rianto, Masalah Polifarmasi dan
Peresepan Obat Racikan Departemen Farmakologi FKUI,
Sorowako, 2011: 4-8.
Sherwood L.Fisiologi Manudia dari Sel ke sistem. Edisi 2. Jakarta: EGC.
2001.
Sondheimer JM. Vomiting In Pediatric Gastrointestinal Disease 3rd od.
Edited by Walter,Durie, Hmilton, Walkersmith, Watkins. Black and
Decker Inc. 2003. p 97-115.
Stuart GW. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 5. EGC. Jakarta, 2007.
Trisna Y. Peran farmasis di rumah sakit: Kenyataan dan Harapan.
Seminar sehari Achieving The Seven Star of Pharmacist on AFTA
2003. Diselenggarakan oleh mahasiswa profesi Farmasi
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
The international Classification of Headache Disorder: 2 nd Edition..
Cephalalgia. 2004
Vervloet C, Durham S. ABC of allergies Adverse reactions to drugs. BMJ
1998;316:1511-4.

Web_mual_dan_muntah_Thieara_Ramadanika_pdf
http://kompasianabeyondblogging@15_penyebab_mual_dan_muntah_da
n_15_obat

Anda mungkin juga menyukai