Anda di halaman 1dari 13

Masyarakat Madani Menurut Islam

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Semua orang mendambakan kehidupan yang aman, damai dan sejahtera sebagaimana
yang dicita-citakan masyarakat Indonesia, yaitu adil dan makmur bagi seluruh lapisan
masyarakat. Untuk mencapainya berbagai sistem kenegaraan muncul, seperti demokrasi. Cita-
cita suatu masyarakat tidak mungkin dicapai tanpa mengoptimalkan kualitas
sumber daya manusia. Hal ini terlaksana apabila semua bidang pembangunan bergerak secara
terpadu yang menjadikan manusia sebagai subjek. Pengembangan masyarakat sebagai sebuah
kajian keilmuan dapat menyentuh keberadaan manusia yang berperadaban. Pengembangan
masyarakat merupakan sebuah proses yang dapat merubah watak, sikap dan prilaku masyarakat
ke arah pembangunan yang dicita-citakan.
Indikator dalam menentukan kemakmuran suatu bangsa sangat tergantung pada situasi
dan kondisi serta kebutuhan masyarakatnya. Akhir-akhir ini masyarakat Indonesia mencuatkan
suatu kemakmuran yang didambakan yaitu terwujudnya masyarakat madani. Munculnya istilah
masyarakat madani pada era reformasi ini, tidak terlepas dari kondisi politik negara yang
berlangsung selama ini. Sejak Indonesia merdeka, masyarakat belum merasakan makna
kemerdekaan yang sesungguhnya. Pemerintah atau penguasa belum banyak member kesempatan
bagi semua lapisan masyarakat mengembangkan potensinya secara maksimal. Bangsa Indonesia
belum terlambat mewujudkan masyarakat madani, asalkan semua potensi sumber daya manusia
mendapat kesempatan berkembang dan dikembangkan. Mewujudkan masyarakat madani banyak
tantangan yang harus dilalui. Untuk itu perlu adanya strategi peningkatan peran dan fungsi
masyarakat dalam mengangkat martabat manusia menuju masyarakat madani itu sendiri.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian masyarakat madani?
2. Bagaimana karekteristik masyarakat madani?
3. Bagaimana masyarakat madani dalam pandangan islam?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian masyarakat madani
2. Untuk mengetahui karakteristik masyarakat madani
3. Untuk mengetahui masyarakat madani dalam pandangan islam

I. PENGERTIAN MASYARAKAT MADANI


Masyarakat madani atau civil society secara umum bisa diartikan sebagai suatu
masyarakat atau institusi sosial yang memiliki ciri-ciri antara lain : kemandirian, toleransi,
keswadayaan, kerelaan menolong satu sama lain, dan menjunjung tinggi norma dan etika yang
disepakati secara bersama-sama (Din Syamsudin, 1998 : 12). Sebenarnya masyarakat madani
secara substansial sudah ada sejak zaman Aristoteles, yakni suatu masyarakat yang dipimpin dan
tunduk pada hukum. Penguasa, rakyat dan siapapun harus taat dan patuh pada hukum yang telah
dibuat secara bersama-sama. Bagi Aristoteles, siapapun bisa memimpin negara secara
bergiliran dengan syarat ia bisa berbuat adil. Dan keadilan baru bisa ditegakkan apabila setiap
tindakan didasarkan pada hukum. Jadi hukum merupakan ikatan moral yang bisa membimbing
manusia agar senantiasa berbuat adil.
Dalam mendefinisikan masyarakat madani ini sangat tergantung pada kondisi sosio-
kultural suatu bangsa, karena bagaimanapun konsep masyarakat madani merupakan bangunan
yang lahir dari sejarah pergulatan bangsa Eropa Barat. Sebagai titik tolak, disini akan
dikemukakan beberapa definisi masyarakat dari berbagai pakar di berbagai negara yang
menganalisa dan mengkaji fenomena masyarakat madani ini
1. Menurut Zbigniew Rau, masyarakat madani merupakan suatu masyarakat yang berkembang
dari sejarah, yang mengandalkan ruang dimana individu dan perkumpulan tempat mereka
bergabung, bersaing satu sama lain guna mencapai nilai-nilai yang mereka yakini.
Ruang ini timbul di antara hubungan-hubungan yang merupakan hasil komitmen keluarga dan
hubungan-hubungan yang menyangkut kewajiban mereka terhadap negara. Lebih tegasnya
terdapat ruang hidup dalam kehidupan sehari-hari serta memberikan integritas sistem nilai yang
harus ada dalam masyarakat madani, yakni individualisme, pasar dan pluralisme.
2. Menurut Han Sung-joo, masyarakat madani merupakan sebuah kerangka hukum yang
melindungi dan menjamin hak-hak dasar individu, perkumpulan sukarela yang terbebas dari
negara, suatu ruang pablik yang mampu mengartikulasikan isu-isu politik, gerakan warga negara
yang mampu mengendalikan diri dan independen, yang secara bersama-sama mengakui norma-
norma dan budaya yang menjadi identitas dan solidaritas yang terbentuk serta pada akhirnya
akan terdapat kelompok inti dalamnya.
3. Menurut Kim Sunhyuk, masyarakat madani adalah suatu satuan yang terdiri dari kelompok-
kelompok yang secara mandiri menghimpun dirinya dan gerakan-gerakan dalam masyarakat
yang secara relatif otonom dari negara, yang merupakan satuan-satuan dasar dari reproduksi dan
masyarakat politik yang mampu melakukan kegiatan politik dalam ruang publik, guna
menyatakan kepedulian mereka dan memajukan kepentingan-kepentingan mereka menurut
prinsip-prinsip pluralisme dan pengelolaan yang mandiri.
Dari berbagai batasan di atas, jelas merupakan suatu analisa dari kajian kontekstual
terhadap performa yang diinginkan dalam mewujudkan masyarakat madani. Hal tersebut dapat
dilihat dari perbedaan penekanan dalam mensyaratkan idealisme masyarakat madani. Akan tetapi
secara global dari ketiga batasan di atas dapat ditarik benang emas, bahwa yang dimaksud
dengan masyarakat madani adalah sebuah kelompok atau tatanan masyarakat yang berdiri secara
mandiri dihadapan penguasa dan negara, memiliki ruang publik dalam mengemukakan pendapat,
adanya lembaga-lembaga yang mandiri yang dapat menyalurkan aspirasi dan kepentingan
publik.
Menurut Rahardjo (1996) masyarakat madani identik dengan cita-cita Islam membangun
ummah. Masyarakat madani adalah suatu ruang (realm) partisipasi masyarakat melalui
perkumpulan-perkumpulan sukarela (voluntary association) melalui organisai-organisasi massa.
Masyarakat madani dan negara bergantung mana yang dianggap primer dan mana yang
sekunder. Sepertinya menurut pendapat tersebut, hak berserikat merupakan prinsip dalam
kehidupan bermasyarakat.
Kelompok-kelompok masyarakat tercipta tiada lain untuk terjadi integrasi dalam
membangun manyarakat yang berperadaban. Sementara itu secara filosofis Yusuf (1998)
memandang masyarakat madani membangun kehidupan masyarakat beradab yang ditegakkan di
atas akhlakul karimah, masyarakat yang adil, terbuka dan demokratis dengan landasan
ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT. Kualitas manusia bertaqwa secara
essensial adalah manusia yang memelihara hubungan dengan Allah SWT (habl min Allah) dan
hubungannya dengan sesama manusia (habl min al-nas). Akhlakul karimah dapat terwujud
manakala masing-masing individu dan kelompok masyarakat terjadi saling membelajarkan atau
berperan sebagai pembawa kearah kebenaran yang digariskan oleh Allah. Karena Tuhan tidak
akan merubah nasib suatu kaum manakala mereka tidak berbuat ke arah perbaikan yang
dikehendakinya.
Masyarakat madani jika dipahami secara sepintas merupakan format kehidupan sosial
yang mengedepankan semangat demokratis dan menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia.
Dalam masyarakat madani, warga negara bekerjasama membangun ikatan sosial, jaringan
produktif dan solidaritas kemanusiaan yang bersifat non-govermental untuk mencapai kebaikan
bersama. Karena itu, tekanan sentral masyarakat madani adalah terletak pada independensinya
terhadap negara. Masyarakat madani berkeinginan membangun hubungan
yang konsultatif bukan konfrontatif antara warga negara dan negara. Masyarakat madani juga
tidak hanya bersikap dan berperilaku sebagai citizen yang memiliki hak dan kewajiban,
melainkan juga harus menghormati equal right, memperlakukan semua warga negara sebagai
pemegang hak kebebasan yang sama.
Disinilah kemudian, masyarakat madani menjadi alternative pemecahan, dengan
pemberdayaan dan penguatan daya kontrol masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah
yang pada akhirnya nanti terwujud kekuatan masyarakat sipil yang mampu merealisasikan dan
mampu menegakkan konsep hidup yang demokratis dan menghargai hak-hak asasi
manusia.Masyarakat madani dipercaya sebagai alternatif paling tepat bagi demokratisasi,
terutama di negara yang demokrasinya mengalami ganjalan akibat kuatnya hegemoni negara.
Tidak hanya itu, masyarakat madani kemudian juga dipakai sebagai cara pandang untuk
memahami universalitas fenomena demokrasi di berbagai negara.

II. KARAKTERISTIK MASYARAKAT MADANI


Karakteristik ini yang merupakan prasyarat untuk merealisasikan wacana masyarakat
madani tidak bisa dipisahkan satu sama lain, dan merupakan satu kesatuan yang terintegral dan
menjadi dasar serta nilai bagi masyarakat. Adapun karakteristiknya, menurut Arendt dan
Habermas, antara lain :
1. Free Public Sphere, adanya ruang publik yang bebas sebagai sarana dalam mengemukan
pendapat. Pada ruang publik yang bebaslah individu dalam posisinya yang setara mampu
melakukan transaksi-transaksi wacana dan praksis politik tanpa mengalami distorsi dan
kekhawatiran. Sebagai sebuah prasyarat, maka untuk mengembangkan dan mewujudkan
masyarakat madani dalam sebuah tatanan masyarakat, maka free publik sphere menjadi salah
satu bagian yang harus diperhatikan. Karena dengan menafikan adanya ruang publik yang bebas
dalam tatanan masyarakat madani, maka akan memungkinkan terjadinya pembungkaman
kebebasan warga Negara dalam menyalurkan aspirasinya yang berkenaan dengan kepentingan
umum oleh penguasa yang tiranik dan otoriter.
2. Demokratis, merupakan suatu entitas yang menjadi penegak yang menjadi penegak wacana
masyarakat madani, dimana dalam menjalani kehidupan, warga negara memiliki kebebasan
penuh untuk menjalankan aktivitas kesehariannya, termasuk berinteraksi dengan lingkungan
sosialnya.
3. Toleran, merupakan sikap yang dikembangankan dalam masyarakat madani untuk
menunjukan sikap saling menghargai dan menghormati aktivitas yang dilakukan oleh orang lain.
4. Pluralisme, adalah pertalian sejati kebhenikaan dalam ikatan-ikatan keadaban. Bahkan
pluralisme adalah suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia antara lain melalui
mekanisme pengawasan dan pengimbangan,
5. Keadilan Sosial, dimaksudkan adanya keseimbangan dan pembagian yang proporsional
terhadap hak dan kewajiban setiap warga Negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan.
III. MASYARAKAT MADANI DALAM PANDANGAN ISLAM

Dalam perspektif Islam, civil society lebih mengacu kepada penciptaan peradaban.
Kata al-din, yang umumnya diterjemahkan sebagai agama, berkaitan dengan terma al-
tamaddun atau peradaban. Keduanya menyatu ke dalam pengertian al-madinah yang arti
harfiahnya adalah kota. Dengan demikian, masyarakat madani mengandung tiga hal,
yakni:agama, peradaban, dan perkotaan. Dari konsep ini tercermin bahwa agama merupakan
sumbernya, peradaban sebagai prosesnya, dan masyarakat kota adalah hasilnya.
Secara etimologis, madinah adalah derivasi dari kosakata Arab yang mempunyai dua
pengertian. Pertama, madinah berarti kota atau disebut dengan "masyarakat kota. Kedua,
masyarakat berperadaban karena madinah adalah juga derivasi dari
kata tamaddun ataumadaniyah yang berarti peradaban, yang dalam bahasa Inggris dikenal
sebagai civility dancivilization. Kata sifat dari kata madinah adalah madani (Sanaky, 2002:30).
Adapun secara terminologis, masyarakat madani adalah komunitas Muslim pertama di
kota Madinah yang dipimpin langsung oleh Rasul Allah SAW dan diikuti oleh keempat al-
Khulafa al-Rasyidun. Masyarakat madani yang dibangun pada zaman Nabi Muhammad SAW
tersebut identik dengan civil society, karena secara sosio-kultural mengandung substansi
keadaban atau civility. Model masyarakat ini sering dijadikan model masyarakat modern,
sebagaimana yang diakui oleh seorang sosiolog Barat, Robert N. Bellah, dalam
bukunya The Beyond of Belief (1976). Bellah, dalam laporan penelitiannya terhadap agama-
agama besar di dunia, mengakui bahwa masyarakat yang dipimpin Rasul Allah SAW itu
merupakan masyarakat yang sangat modern untuk zaman dan tempatnya, karena masyarakat
Islam kala itu telah melakukan lompatan jauh ke depan dengan kecanggihan tata sosial dan
pembangunan sistem politiknya (Hatta, 2001:1).
Nabi Muhammad SAW melakukan penataan negara tersebut, dengan
cara: pertama,membangun infrastruktur negara dengan masjid sebagai simbol dan perangkat
utamanya.Kedua, menciptakan kohesi sosial melalui proses persaudaraan antara dua komunitas
yang berbeda, yaitu Quraisy dan Yatsrib, serta komunitas Muhajirin dan Anshar dalam bingkai
solidaritas keagamaan. Ketiga, membuat nota kesepakatan untuk hidup berdampingan dengan
komunitas lain, sebagai sebuah masyarakat pluralistik yang mendiami wilayah yang sama,
melalui Piagam Madinah. Keempat, merancang sistem negara melalui konsep jihad fi
sabilillah (berjuang di jalan Allah).
Dengan dasar ini, negara dan masyarakat Madinah yang dibangun oleh
NabiMuhammad SAW merupakan negara dan masyarakat yang kuat dan solid. Peristiwa hijrah
telah menciptakan keberagaman penduduk Madinah. Penduduk Madinah tidak terdiri dari Suku
Aus, Khazraj dan Yahudi saja, tetapi juga Muhajirin Quraisy dan suku-suku Arab
lain.Nabi SAW menghadapi realitas pluralitas, karena dalam struktur masyarakat Madinah yang
baru dibangun terdapat beragam agama, yaitu: Islam, Yahudi, Kristen, Sabiin, dan Majusi
ditambah ada pula yang tidak beragama (atheis) dan bertuhan banyak (polytheis). Struktur
masyarakat yang pluralistik ini dibangun oleh Nabi SAW di atas pondasi ikatan iman dan akidah
yang nilainya lebih tinggi dari solidaritas kesukuan (ashabiyah) dan afiliasi-afiliasilainnya.
Selain itu, masyarakat pada saat itu terbagi ke dalam beberapa kelompok yang didasarkan
atas ikatan keimanan, yaitu: mu'minun, munafiqun, kuffar, musyrikun, dan Yahudi. Dengan kata
lain, masyarakat Madinah pada saat itu merupakan bagian dari komunitas masyarakat yang
majemuk atau plural. Kemajemukan masyarakat Madinah diawali dengan membanjirnya
kaum Muhajirin dari Makkah, hingga kemudian mengakibatkan munculnya persoalan-persoalan
ekonomi dan kemasyarakatan yang harus diantisipasi dengan baik. Dalam konteks itu, sosialisasi
sistem persaudaraan menjadi kebutuhan mendesak yang harus diwujudkan.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, Nabi Muhammad SAW bersama semua unsur
penduduk madinah secara konkret meletakkan dasar-dasar masyarakat Madinah yang mengatur
kehidupan dan hubungan antarkomunitas, yang merupakan komponen masyarakat majemuk di
Madinah. Kesepakatan hidup bersama yang dituangkan dalam suatu dokumen yang dikenal
sebagai Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah) dianggap sebagai konstitusi tertulis pertama
dalam sejarah manusia. Piagam ini tidak hanya sangat maju pada masanya, tetapi juga menjadi
satu-satunya dokumen penting dalam perkembangan konstitusional dan hukum di dunia.
Dalam dokumen itulah umat manusia untuk pertama kalinya diperkenalkan, antara lain,
kepada wawasan kebebasan, terutama di bidang agama dan ekonomi, serta tanggung jawab sosial
dan politik, khususnya pertahanan secara bersama. Dalam piagam tersebut juga ditempatkan hak-
hak individu, yaitu kebebasan memeluk agama, persatuan dan kesatuan, persaudaraan (al-
ukhuwwah) antaragama, perdamaian, toleransi, keadilan (al-'adalah), tidak membeda-bedakan
(anti diskriminasi), dan menghargai kemajemukan.
Dengan kemajemukan tersebut, Nabi Muhammad SAW mampu mempersatukan mereka.
Fakta ini didasarkan pada: pertama, mereka hidup dalam wilayah Madinah sebagai tempat untuk
hidup dan bekerja bersama. Kedua, mereka bersedia dipersatukan dalam satu umat untuk
mewujudkan kerukunan dan kemaslahatan secara bersama-sama. Ketiga, mereka menerima
Muhammad SAW sebagai pemimpin tertinggi dan pemegang otoritas politik yang legal dalam
kehidupan. Otoritas tersebut juga dilengkapi dengan institusi peraturan yang disebut Piagam
Madinah yang berlaku atas seluruh individu dan setiap kelompok.
Dalam konstitusi Piagam Madinah, secara umum masyarakat berada dalam satu ikatan
yang disebut ummah. Yaitu suatu masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok sosial yang
disatukan dengan ikatan sosial dan kemanusiaan yang membuat mereka bersatu menjadiummah
wahidah. Oleh karena itu, perbedaan agama bukan merupakan penghambat dalam mencipatakan
suasana persaudaraan dan damai dalam masyarakat plural.
Muhammad Abduh dalam tafsirnya, al-Manar, mengakui bahwa agama bukanlah satu-
satunya faktor ikatan sosial dalam suatu umat, melainkan ada faktor universal
yang dapatmendukung terwujudnya suatu umat, yaitu unsur kemanusiaan. Karenanya unsur
kemanusiaan sangat dominan dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial atau makhluk
politik. Demikian juga Muhammad Imarah, dalam karyanya berjudul Mafhum al-Ummah fi
Hadharat al-Islam, menyatakan bahwa umat yang dibentuk oleh Nabi Muhammad SAW di
Madinah merupakan umat yang sekaligus bersifat agama dan politik (Bahri, 2001).
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa umat yang dibentuk Nabi Muhammad SAW di
kota Madinah bersifat terbuka, karena Nabi mampu menghimpun semua komunitas atau
golongan penduduk Madinah, baik golongan yang menerima risalah tauhid beliau maupun yang
menolak.
Perbedaan akidah atau agama di antara mereka tidak menjadi alasan untuk tidak bersatu-
padu dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Oleh karena itu, gagasan dan praktik
membentuk satu umat dari berbagai golongan dan unsur sosial pada masa itu merupakan sesuatu
yang baru, yang belum pernah dilakukan oleh kelompok masyarakat manapun sehingga seorang
penulis Barat, Thomas W Arnold menganggapnya sebagai awal dari kehidupan berbangsa dalam
Islam, atau merupakan kesatuan politik dalam bentuk baru yang disatukan oleh Piagam Madinah
(Mitsaq al-Madinah).
Konstitusi Piagam Madinah, yang berjumIah 47 pasal itu (Sukardja, 1995:47-57), secara
formal mengatur hubungan sosial antarkomponen dalam masyarakat. Pertama, antarsesama
Muslim. Bahwa sesama Muslim itu satu umat walaupun mereka berbeda suku. Kedua, hubungan
antara komunitas Muslim dengan non-Muslim didasarkan pada prinsip bertetangga yang baik,
saling membantu dalam menghadapi musuh bersama, membela mereka yang teraniaya, saling
menasihati, dan menghormati kebebasan beragama. Dari Piagam Madinah ini, setidaknya ada
dua nilai dasar yang tertuang sebagai dasar atau fundamental dalam mendirikan dan membangun
negara Madinah. Pertama, prinsip kesederajatan dan keadilan (al-musawah wa al-
adalah). Kedua, inklusivisme atau keterbukaan. Kedua prinsip ini, ditanamkan dalam bentuk
beberapa nilai humanis universal lainnya, seperti konsistensi (iltizam), seimbang (tawazun),
moderat (tawassut), dan toleransi (tasamuh). Kesemuanya menjadi landasan ideal sekaligus
operasional dalam menjalin hubungan sosial-kemasyarakatan yang mencakup semua aspek
kehidupan, baik politik, ekonomi maupun hukum.
Pada masa awal Nabi SAW membangun Madinah, peran kelompok-kelompok masyarakat
cukup besar dalam pengambilan keputusan, sebagaimana tercermin dalam Piagam Madinah.
Tetapi seiring dengan semakin banyaknya wahyu yang turun, sistem negara Madinah masa Nabi
kemudian berkembang menjadi sistem teokrasi. Negara, dalam hal ini dimanifestasikan dalam
figur Nabi SAW yang memiliki kekuasaan amat besar, baik kekuasaan eksekutif, legislatif
maupun yudikatif. Segala sesuatu pada dasarnya dikembalikan kepada Nabi SAW, dan ketaatan
umat kepada Nabi SAW pun semakin mutlak sehingga tidak ada kemandirian lembaga
masyarakat berhadapan dengan negara.
Meskipun demikian, berbeda dengan umumnya penguasa dengan kekuasaan
besaryang cenderung despotik (sewenang-wenang), Nabi SAW justru meletakkan nilai-nilai dan
norma-norma keadilan, persamaan, persaudaraan, dan kemajemukan yang menjadi dasar dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara, di samping mendukung keterlibatan masyarakat
(sahabat) dalam pengambilan keputusan secara musyawarah.
Pada masa al-Khulafa al-Rasyidun, sistem negara tidak lagi berbentuk teokrasi
melainkan nomokrasi, yaitu prinsip ketuhanan yang diwujudkan dalam bentuk supremasi
syariat. Namun peran masyarakat menjadi lebih besar, di mana hal itu mengindikasikan
mulaiterbangunnya masyarakat madani. Mereka melakukan kontrol terhadap pemerintah, dan
rekrutmen kepemimpinan pun yang didasarkan pada kapasitas individual. Tetapi, setelah masaal-
Khulafa al-Rasyidun, situasi mulai berubah, peran masyarakat mengalami penyusutan,
rekrutmen pimpinan tidak lagi berdasarkan pilihan rakyat (umat), melainkan atas dasar
keturunan. Lembaga keulamaan merupakan satu-satunya lembaga masyarakat madani yang
masih relatif independen. Pada masa kekhilafahan, yakni dari masa al-Khulafa al-
Rasyidunsampai menjelang runtuhnya Dinasti Ustmani akhir abad ke-19, umat Islam telah
memiliki struktur religio-politik (politik berbasis agama) yang mapan, yakni lembaga legislatif
dipegang oleh ulama. Mereka memiliki kemandirian dalam berijtihad dan menetapkan hukum.
Dari pandangan ini, tercermin bahwa sebenarnya masyarakat madani yang bernilai
peradaban itu dibangun setelah Nabi Muhammad SAW melakukan reformasi dan transformasi
pada individu yang berdimensi akidah, ibadah, dan akhlak. Dalam praktiknya, iman dan
moralitaslah yang menjadi landasan dasar bagi Piagam Madinah. Prinsip-prinsip dan nilai-nilai
tersebut menjadi dasar bagi semua aspek kehidupan, baik politik, ekonomi, dan hukum pada
masa Nabi SAW.
Posisi Piagam Madinah adalah sebagai kontrak sosial antara Nabi Muhammad SAW
dengan penduduk Madinah yang terdiri dari pendatang Quraisy, kaum lokal Yastrib, dan orang-
orang yang menyatakan siap berjuang bersama mereka. Posisi Rasul SAW adalah sebagai
pimpinan yang mereka akui bersama, dan telah meletakkan Islam sebagai landasan
bermasyarakat dan bernegara. Itulah sebabnya penjanjian tersebut, dalam konteks teori
politik, disebut sebagai Piagam Madinah atau Konstitusi Madinah. Di dalamnya, terdapat pasal-
pasal yang menjadi hukum dasar sebuah negara kota yang kemudian disebut Madinah (al-
Madinah al-Munawarah atau Madinah al-Nabi). Nilai-nilai yang tercermin dalam masyarakat
Madinah saat itu pastilah nilai-nilai Islami yang tertuang di dalam Piagam Madinah.
Kontrak sosial yang dilakukan Nabi SAW itu dinilai identik dengan teori Social
Contract dari Thomas Hobbes, berupa perjanjian masyarakat yang menyatakan sumber
kekuasaan pemerintah adalah perjanjian masyarakat. Pemerintah memiliki kekuasaan, karena
adanya perjanjian masyarakat untuk mengurus mereka. Teori Social Contract J.J. Rousseau
bahwa otoritas rakyat dan perjanjian politik harus dilaksanakan untuk menentukan masa depan
rakyat serta menghancurkan monopoli yang dilakukan oleh kaum elite yang berkuasa atas nama
kepentingan rakyat, juga identik dengan teori Nabi Muhammad SAW ketika membangun
ekonomi dengan membebaskan masyarakat dari cengkeraman kaum kapitalis.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa masyarakat Madinah yang dibangun NabiSAW
itu sebenarnya identik dengan civil society, karena secara sosio-kultural mengandung substansi
keadaban atau peradaban. Nabi SAW menjadikan masyarakat Madinah pada saat itu
sebagai classless society (masyarakat tanpa kelas), yakni tidak membedakan antara sikaya
dan si miskin, pimpinan dan bawahandi mana seluruhnya sama dan sejajar di hadapanhukum.
Dari uraian di atas, secara terminologis masyarakat madani yang berkembang
dalamkonteks Indonesia setidaknya berada dalam dua pandangan, yakni: masyarakat Madinah
dan masyarakat sipil (civil society). Keduanya tampak berbeda, tetapi sama. Berbeda, karena
memang secara historis keduanya mewakili budaya yang berbeda, yakni masyarakat Madinah
yang mewakili historis peradaban Islam. Sedangkan masyarakat sipil adalah hasil dari peradaban
Barat, seperti telah dipaparkan di atas. Perbedaan lainnya, masyarakat Madinah menjadi tipe
ideal yang sangat sempurna, karena komunitas masyarakat dipimpin langsung oleh
Nabi Muhammad SAW.
Apabila masyarakat madani diasosiasikan sebagai penguat peran masyarakat sipil, maka
masyarakat madani hanya bertahan di era empat al-Khulafa al-Rasyidun. Setelah itu,masyarakat
Islam kembali kepada masa monarki, di mana penguasaan negara (state power) kembali menjadi
besar, dan peran masyarakat (society participation) menjadi kecil. Oleh sebab itu, ketiga prinsip
yang dikemukakan di atas, dapat dikatakan sebagai elemen penting terbentuknya masyarakat
madani, yaitu masyarakat yang memegang teguh ideologi yang benar, berakhlak mulia, bersifat
mandiri secara kultural-politik-ekonomi, memiliki pemerintahan sipil, memiliki prinsip
kesederajatan dan keadilan, serta prinsip keterbukaan.
Timbul pertanyaan, nilai substansial seperti apakah yang dapat mewakili kecenderungan
masyarakat Madinah? Apabila dikaji secara umum, setidaknya nilai subtansial dari semangat
Islam dalam pemberdayaan masyarakat mencakup tiga pilar utama, yakni: musyawarah (syura),
keadilan (adl), dan persaudaraan (ukhuwwah). Sedangkan masyarakat sipil (civil society)
bermula dari semangat dan pergumulan pemikiran masyarakat Barat untuk mengurangi peranan
negara (state) dalam kehidupan masyarakat.
Seperti diketahui bahwa pada abad pertengahan masyarakat Barat dikuasai oleh dua
kekuatan yang sangat dominan, yakni gereja dan kerajaan-kerajaan. Sehingga para sejarahwan
Barat menyebutnya sebagai Abad Kegelapan (the Dark Ages). Selanjutnya, muncul gerakan
perlawanan dari para ilmuwan yang menghadirkan gerakan sekularisme dan humanisme, di mana
mereka menyatakan lepas dari keyakinan gereja, dan manusia dianggap sebagai pusat segalanya
(antrophosentris).
Dengan demikian, ada konsep baru yang ditawarkan Nabi SAW bahwa negara itu
melampaui batas-batas wilayah geografis. Negara itu lebih cocok dengan nilai-nilai dasar
kemanusiaan (basic values of humanity), sebab yang menjadi dasar utama kewarganegaraannya
bukan nasionalisme, suku, ras atau pertalian darah. Tetapi manusia dapat memilih konsep hidup
tertentu atau akidah tertentu. Manusia secara bebas dan merdeka menentukan pilihan
akidahnya, tanpa ada tekanan dan paksaan dari pihak mana pun dan oleh siapa pun. Negara baru
yang dibangun Nabi SAW adalah negara ideologi yang didasarkan pada asas kemanusiaan yang
terbuka, sesuai dengan firman Allah SWT dalam Q.S. al-Baqarah:256.

Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang
benar dari jalan yang sesat.
Dengan demikian, konsep negara yang ditawarkan Nabi SAW benar-benar baru dan
orisinil, karena negara menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Di dalam Q.S. al-
Saba:15, Allah SWT mengilustrasikan profil masyarakat ideal sebagai berikut:

"Sebuah negeri yang aman sentosa dan masyarakatnya terampuni dosanya."

PENUTUP
Banyak faktor yang turut menentukan dalam pemberdayaan masyarakat madani,
gambaran masyarakat berdaya yang diidamkan sangat menentukan dalam perencanaan
strategis dan operasionalnya. Oleh sebab itu, seluruh sektor masyarakat terutama gerakan,
kelompok, dan individu-individu independen yang concered dan committed padademokratisasi
dan masyarakat madani seyogyanya mengambil strategi yang lebih stabil, lebih halus, bukan
mengambil jalan konfrontasi langsung yang tidak mustahil akan mengorbankan aktor-aktor
masyarakat madani
itu sendiri.
DAFTAR RUJUKAN
Din Syamsuddin. 1999. Etika Agama dalam membangun Masyarakat Madani. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Hatta, Ahmad. 2001. Peradaban yang Bagaimana? Rincian Misi Negara Tauhid Madinah. http: //
rully-indrawan.tripod.com pada tanggal 14 Februari 2012.
Rahardjo,M. Dawam. 1996. Masyarakat Madani: Agama , Kelas Menengah dan Perubahan
Sosial. Jakarta: LP3ES. 1999. cet. ke.1.
Sanaky, Hujair A.H. 2002. Paradigma Pendidikan Islam : Membangun Masyarakat Madani
Indonesia. Yogyakarta: Safiria Insani Press.
Kholidah, Nur, dkk. 2011. Aktualisasi Pendidikan Islam. Respons Terhadap Problematika
Kontemporer. Malang: Hilal Pustaka.
Yusuf, Y.1998. Azas-azas Teologi dan filosofis Masyarakat Madani, Makalah Seminar Pembanguan
Akhlak Bangsa dalam Reformasi Menuju Masyarakat Madani.Padang: 28-29 November 1998.

Anda mungkin juga menyukai