Anda di halaman 1dari 29

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teory dan Penelitian Terdahulu

2.1.1 Teori Agensi

Didalam konsep teori agensi, perusahaan dipandang sebagai penghubung

antara investor, kreditur, dan manajemen dalam sebuah kontrak. Teori agensi

memiliki asumsi bahwa setiap individu dimotivasi oleh kepentingannya masing

masing. Investor (Principal) ingin menyejahtrakan dirinya dengan laba yang

bertumbuh, sedangkan manajemen ingin memuaskan kebutuhan ekonominya. Hal

inilah yang menimbulkan konflik kepentingan diantara kedua kedua belah pihak.

Konflik ini memuncak karena manajemen sebagai pengelola perusahaan memiliki

lebih banyak mengenai internal perusahaan dan prospek perusahaan di masa depan,

padahal principal tidak dapat memantau aktivitas manajemen untuk memastikan

manajemen mengambil keputusan untuk kepentingan principal. Hal ini dimanfaatkan

oleh manajemen untuk melakukan earnings manajement sehingga kedua belah pihak

dapat mencapai keinginannya dengan memanfaatkan kelonggara SAK dalam

pemilihan model akuntansi.

Scott (2000) menyatakan bahwa perusahaan mempunyai banyak kontrak,

misalnya kontrak kerja antara perusahaan dengan para manajernya dan kontrak

pinjaman antara perusahaan dengan krediturnya. Kontrak kerja yang dimaksud dalam

penulisan makalah ini adalah kontrak kerja antara pemilik modal dengan manajer
perusahaan. Dimana antara agent dan principal ingin memaksimumkan utility

masing-masing dengan informasi yang dimiliki.

Hubungan kegenan merupakan suatu kontrak dimana satu orang atau lebih

(prinsipal) memerintah orang lain (agen) untuk melakukan suatu jasa atas nama

prinsipal serta memberi wewenang kepada agen untuk membuat keputusan yang

terbaik bagi prinsipal (Jensen dan Meckling, 1976).

Mengacu pada teori agensi (agency teory), Akuntabilitas publik dapat

dimaknai dengan adanya kewajiban pihak pemegang amanah (agent) untuk

memberikan pertanggung jawaban, menyajikan, melaporkan dan mengungkapkan

segala aktvitas dan kegiatan yang tanggung jawabnya kepada pihak pemberi amanah

(principal) yang memiliki hak dan kewenangan untuk meminta pertanggung jawaban

tersebut (Haryanto dkk, 2007 seperti dikutip oleh Frastina, 2011).

2.1.2 Audit Tenure

Audit tenure adalah lamanya waktu yang dibutuhkan untuk memenuhi

kebutuhan audit klien dan memiliki pengaruh pada resiko hilangnya independensi

auditor. Lamanya hubungan antara perusahaan dan Kantor Akuntan Publik (KAP)

menjadi sebuah indikasi bahwa sikap independen auditor yang sesungguhnya menjadi

sangat sulit untuk diterapkan, karena adanya kepentingan terhadap manajemen klien

(Abu bakar et al., 2005).

Kecurangan klien tidak terlepas dari lemahnya independensi auditor yang

rendah. Penyimpangan dalam akuntansi dapat disebabkan eskalasi komitmen dari

auditor untuk selalu memberikan pendapat wajar terhadap laporan keuangan klien

yang menyimpang (Moore, et.al., 2006 seperti dikutip oleh Hardiningsih, 2012).
Sikap yang fleksibel (lemahnya independensi) menyebabkan auditor terjebak

dalam cara berpikirnya sendiri sehingga keputusan awal untuk menyetujui tindakan

klien yang keliru menyebabkan auditor secara terpaksa harus menanamkan

komitmennya secara mendalam. Ketika auditor mengetahui kliennya melakukan

penyimpangan dalam pelaporan keuangan, auditor tidak memberikan teguran bahkan

mengesahkan perbuatan klien sebagai akibat dari independendensi auditor yang

lemah.

Tenur memiliki hubungan erat dengan tindakan low-balling yang dilakukan

oleh auditor, berdasarkan perspektif ekonomi. Low-balling merupakan usaha auditor

untuk mendapatkan klien dengan menurunkan harga pada tugas audit awal dengan

harapan akan mendapatkan fee tambahan pada masa depan (Simon and Francis, 1998;

Etterge and Greenberg, 1990; Deis and Giroux, 1996; seperti dikutip oleh

Hardiningsih, 2012).

Mgbame, et al. (2012) membuktikan bahwa audit tenure berhubungan negatif dengan

kualitas audit. Blandon and Bosch (2013) Hasil penelitian menunjukkan audit tenure

dalam jangka waktu yang panjang dapat merusak independensi auditor sehingga

dapat menurunkan kualitas audit. Dalam penelitian ini mendukung adanya rotasi audit

yang bisa menjaga independensi auditor dan dapat meningkatkan kualitas audit. Oleh

karena itu,

Di Indonesia, masalah auditor tenure atau masa kerja auditor dengan klien

sudah diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan No.423/KMK.06/2002 tentang Jasa

Akuntan Publik. Keputusan ini membatasi masa kerja auditor paling lama tiga tahun

untuk klien yang sama, sementara untuk kantor akuntan publik (KAP) boleh sampai
lima tahun. Peraturan mengenai jasa akuntan publik diatur kembali oleh pemerintah

melalui Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 17/PMK.01/2008.

Peraturan baru tersebut mengubah batas maksimal perikatan KAP dari lima tahun

menjadi enam tahun. Pembatasan ini dimaksudkan agar auditor tidak terlalu dekat

dengan klien sehingga dapat mencegah terjadinya skandal akuntansi.

1) Pro dan Kontra Terhadap Rotasi Auditor

Arens, et al. (2008:113) menyatakan bahwa aturan independensi SEC

mengharuskan pimpinan dan partner audit merotasi penugasan audit sesudah lima

tahun. (Partner yang sama tidak akan terlibat dengan kinerja aktual audit tertentu dan

kemudian kembali terlibat dengan review pekerjaan sesudah penyelesaian audit

tersebut) meskipun tidak dinyatakan dalam Sarbanes-Oxley Act, SEC mewajibkan

time out selama lima tahun bagi pimpinan dan partner audit sesudah rotasi sebelum

mereka dapat kembali ke klien audit yang sama.

Pada tahun 2002, Sarbanes-Oxley Act mengatur bahwa auditor harus dirotasi

setiap lima tahun sekali. Indonesia sendiri, melalui Menteri Keuangan, juga membuat

aturan mengenai rotasi audit dalam KMK 423/KMK.06/2002 yang kemudian

diperbaharui dengan KMK 359/KMK.06/2003 dan saat ini juga dimasukkan dalam

Rancangan Undang-undang Akuntan Publik. Tidak seperti Sarbanes-Oxley Act,

kedua KMK dan RUU Akuntan Publik mengatur bahwa audit partner harus dirotasi

setiap tiga tahun sekali dan kantor akuntan publik (KAP) tehadap satu klien yang

sama dirotasi setiap lima tahun sekali. Peraturan mengenai jasa akuntan publik diatur

kembali oleh pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia


Nomor 17/PMK.01/2008. Peraturan baru tersebut mengubah batas maksimal

perikatan KAP dari lima tahun menjadi enam tahun.

Pengaturan mengenai rotasi audit banyak menimbulkan pro dan kontra.

Myers, et al. (2003) menyatakan bahwa pihak yang pro terhadap rotasi audit memiliki

alasan secara umum bahwa independensi auditor, pada akhirnya kualitas audit, akan

menurun seiring bertambahnya auditor tenure.

Mautz dan Sharaf (1961) seperti dikutip oleh Febrianto (2009), percaya bahwa

hubungan yang panjang bisa menyebabkan auditor memiliki kecederungan

kehilangan independensinya. Auditor yang memiliki hubungan yang lama dengan

klien diyakini akan membawa konsekuensi ketergantungan tinggi atau ikatan

ekonomik yang kuat antara auditor dengan klien. Semakin tinggi keterikatan auditor

secara ekonomik dengan klien, semakin tinggi pula kemungkinan auditor

membiarkan klien untuk memilih metode akuntansi yang ekstrem. Kekhawatiran ini

memiliki bukti yang kuat, yaitu kasus Enron.

Metcalf Committee, seperti dikutip oleh Myers, et al. (2003) menyatakan

bahwa salah satu cara untuk meningkatkan independensi auditor adalah dengan

menerapkan rotasi audit. De Angelo (1981), Davis et al. (1993), O'Keefe, et al.

(1994) seperti dikutip oleh Davis et al., (2000), rotasi audit perlu dilakukan dengan

beberapa argumen sebagai berikut:

"Pertama, ia berpendapat bahwa dari waktu ke waktu auditor mulai mengidentifikasi

dengan dan bertindak sebagai advokat untuk manajemen. Akibatnya, daripada

melihat pernyataan manajemen dengan skeptisisme profesional yang tepat, auditor

akan melihatnya dari perspektif pendukung untuk manajemen.


Kedua, dari waktu ke waktu auditor menjadi 'basi' dan gagal untuk melihat

dan memasukkan ke dalam penilaian mereka bukti baru atau perubahan situasi klien.

Perilaku ini dapat mengakibatkan auditor gagal untuk merevisi penilaian mereka

dari tahun sebelumnya tentang kesesuaian pernyataan meskipun fakta dan keadaan

telah berubah (misalnya, gagal untuk memberikan bobot yang tepat untuk bukti baru

mengenai kemungkinan kerugian kontinjensi).

Terakhir, ia berpendapat bahwa kemampuan untuk mempertahankan klien

tanpa batas memberikan insentif bagi auditor untuk menyelesaikan perselisihan

dalam mendukung klien jika melakukan sebaliknya akan mengakibatkan hilangnya

klien. Argumen ini ditopang oleh penelitian yang menunjukkan bahwa biaya startup

yang dikeluarkan oleh auditor selama pertunangan tahun pertama, dan bahwa

sebagai hasilnya auditor mungkin dapat memperoleh sewa ekonomi untuk audit

tahun berikutnya 'selama mereka mempertahankan klien. "

Dari beberapa tiga argument tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa semakin

lama auditor berhubungan dengan klien maka auditor akan bertindak seolah-olah

sebagai konsultan manajemen. Selain itu, semakin lama auditor dengan klien maka

auditor akan lupa untuk memperlihatkan perubahan-perubahan yang terjadi pada

klien dan tidak memasukkan unsur perubahan-perubahan tersebut pada pendapat yang

diberikan oleh auditor terhadap laporan keuangan klien. Kepentingan agar tidak

kehilangan klien memberikan insentif bagi auditor untuk menyelesaikan perselisihan

antara auditor dan klien dengan cara yang menguntungkan bagi klien. Hal ini

diperkuat dengan hasil penelitian yang menyimpulkan bahwa auditor akan

mendapatkan economic-rent manakala mereka dapat mempertahankan klien semakin


lama. Dari tiga argument tersebut dapat disimpulkan bahwa rotasi audit perlu untuk

dilakukan.

Pihak yang kontra terhadap rotasi audit secara umum mengungkapkan bahwa

rotasi akan menyebabkan biaya audit menjadi lebih tinggi dengan penambahan

manfaat yang lebih rendah. Mereka berargumen bahwa setiap kali ada pergantian

auditor, proses audit harus dimulai dari pemahaman bisnis klien kembali. Hal ini

menimbulkan biaya tambahan, di samping penurunan kualitas audit, karena

pemahaman yang diperoleh auditor baru belum terlalu mendalam (Davis, et al.,

2000).

Sarbanes-Oxley Act memberikan mandat bagi General Accounting Office

(GAO) untuk melakukan penelitian tentang penerapan rotasi audit. Hasil penelitian

GAO mendukung pendapat pihak yang kontra terhadap rotasi audit. GAO

menyimpulkan bahwa rotasi audit bukan cara yang efisien untuk meningkatkan

independensi dan kualitas audit. Additional benefit rotasi audit sulit untuk diprediksi

dan dikuantifikasikan, sementara GAO percaya terdapat additional cost bagi

penerapan rotasi audit ini. Pada akhirnya, GAO tidak memberikan rekomendasi

apapun, tetapi GAO mengungkapkan cara-cara lain untuk meningkatkan

independensi dan kualitas audit (Yullyan, 2006).

2.1.3 Manajemen Laba

Istilah earnings management atau manajemen laba merupakan istilah yang

sudah biasa didengar, baik oleh praktisi maupun akademisi dari akuntansi dan

manajemen. Terdapat beberapa istilah umum yang sering digunakan oleh para
praktisi dan kalangan bisnis mengenai manajemen laba, antara lain creative

accounting practices, income smoothing, income manipulation, agressive accounting,

financial number game, dan masih banyak istilah lainnya yang dapat digunakan

secara bergantian yang kadarnya mulai dari tingkatan sopan sampai pada tingkatan

kotor dan membahayakan publik.

Scott (2003:369) menyatakan bahwa Earnings management is the choice by

a manager of accounting policies so as to achieve some specific objective.

Manajemen laba adalah pilihan atas kebijakan akuntansi yang dilakukan manajemen

untuk mencapai tujuan tertentu. Healy, Wahlen (1999) mendefinisikan manajemen

laba sebagai berikut:

"Manajemen laba terjadi ketika manajer menggunakan penilaian dalam pelaporan

keuangan dan transaksi penataan untuk mengubah laporan keuangan baik

menyesatkan beberapa stakeholder tentang kinerja ekonomi yang mendasari

perusahaan atau untuk mempengaruhi hasil kontrak yang tergantung pada angka

akuntansi yang dilaporkan."

Definisi di atas menyatakan bahwa manajemen laba terjadi ketika manajer

menggunakan kebijakan dalam pelaporan keuangan dan dalam menyusun transaksi

untuk mengubah laporan keuangan dan menyesatkan stakeholders mengenai kinerja

ekonomi perusahaan, atau untuk mempengaruhi contractual outcomes yang

tergantung pada angka akuntansi yang dilaporkan.

(Middleton, 2009), Akuntan yang dianggap kreatif adalah akuntan yang dapat

menginterpretasikan grey area (hal yang belum diatur secara pasti) baik teknik
ataupun kebijakan akuntansi yang ada dalam standar akuntansi keuangan (SAK)

dengan tujuan untuk mendapatkan manfaat atau keuntungan dari interpretasi tersebut.

Manfaat manajemen laba tergantung dari tujuan digunakannya apakah untuk

mencapai hubungan kontrak tepat guna (efficient contracting) atau untuk tujuan

menggunakan kesempatan (opportunistic) (Scott, 2003:385). Apabila manajemen

laba digunakan untuk tujuan efficient contracting, maka dapat dikatakan manajemen

laba adalah sesuatu hal yang baik. Sebaliknya, apabila digunakan untuk tujuan

opportunistic maka manajemen laba dapat dikatakan buruk.

Dari beberapa pengertian manajemen laba di atas, penulis menyimpulkan

bahwa manajemen laba lebih banyak berkaitan dengan pengambilan keputusan

manajemen terkait laporan keuangan perusahaan. Banyak cara yang dapat ditempuh

oleh manajemen untuk mempengaruhi pelaporan keuangan. Salah satu contoh,

manajer dapat memilih diantara beberapa metode akuntansi untuk satu kegiatan

ekonomi yang sama, seperti menggunakan metode penyusutan garis lurus atau saldo

menurun, LIFO, FIFO atau rata-rata tertimbang. Pemilihan dari salah satu metode

tersebut tentu akan berpengaruh terhadap laporan keuangan khususnya laba yang

dihasilkan oleh perusahaan.

2.1.3.1 Motivasi Manajemen Laba

Perusahaan yang melakukan manajemen laba menggunakan angka-angka

yang dilaporkan untuk membangun opini di lingkungan perusahaan. Laba bersih

menjadi angka yang memperoleh banyak perhatian. Maka angka ini yang paling

mungkin dimanipulasi oleh para manajer.


Sulistiawan, et al. (2011:31) mengemukakan bahwa secara umum terdapat

beberapa hal yang memotivasi individu atau badan usaha melakukan tindakan

creative accounting, yaitu:

a. Motivasi Bonus

Dalam sebuah perjanjian bisnis, pemegang saham akan memberikan sejumlah

insentif dan bonus sebagai feedback atau evaluasi atas kinerja manajer dalam

menjalankan operasional perusahaan. Insentif ini diberikan dalam jumlah relatif tetap

dan rutin. Sementara, bonus yang relatif lebih besar nilainya hanya akan diberikan

ketika kinerja manajer berada di area pencapaian bonus yang telah ditetapkan oleh

pemegang saham. Kinerja manajer salah satunya diukur dari pencapaian laba usaha.

Pengukuran kinerja berdasarkan laba dan skema bonus tersebut memotivasi para

manajer untuk memberikan performa terbaiknya sehingga tidak menutup peluang

mereka melakukan tindakan manajemen laba agar dapat menampilkan kinerja yang

baik demi mendapatkan bonus yang maksimal.

b. Motivasi Utang

Selain melakukan kontrak bisnis dengan pemegang saham, untuk kepentingan

ekspansi perusahaan, manajer seringkali melakukan beberapa kontrak bisnis dengan

pihak ketiga, dalam hal ini adalah kreditor. Agar kreditor mau menginvestasikan

dananya di perusahaannya, tentunya manajer harus menunjukkan performa yang baik

dari perusahaannya. Dan untuk memperoleh hasil maksimal, yaitu pinjaman dalam

jumlah besar, perilaku kreatif dari manajer untuk menampilkan performa yang baik

dari laporan keuangannya pun seringkali muncul.


c. Motivasi Pajak

Tindakan manajemen laba tidak hanya terjadi pada perusahaan go public dan

selalu untuk kepentingan harga saham, tetapi juga untuk kepentingan perpajakan.

Kepentingan ini didominasi oleh perusahaan yang belum go public. Perusahaan yang

belum go public cenderung melaporkan dan menginginkan untuk menyajikan laporan

laba fiskal yang lebih rendah dari nilai yang sebenarnya. Kecenderungan ini

memotivasi manajer untuk bertindak kreatif melakukan tindakan manajemen laba

agar seolah-olah laba fiskal yang dilaporkan memang lebih rendah tanpa melanggar

aturan dan kebijakan akuntansi perpajakan.

d. Motivasi Penjualan Saham

Motivasi ini banyak digunakan oleh perusahaan yang akan go public ataupun

sudah go public. Perusahaan yang akan go public akan melakukan penawaran saham

perdananya ke publik atau lebih dikenal dengan istilah Initial Public Offering (IPO)

untuk memperoleh tambahan modal usaha dari calon investor. Begitupun dengan

perusahaan yang sudah go public untuk kelanjutan dan ekspansi usahanya.

e. Motivasi Pergantian Direksi

Praktik manajemen laba biasanya terjadi pada sekitar periode pergantian

direksi atau chief executive officer (CEO). Menjelang berakhirnya masa jabatan,

direksi cenderung bertindak kreatif dengan memaksimalkan laba agar performa

kerjanya tetap terlihat baik pada tahun terakhir ia menjabat. Motivasi utama yang

mendorong hal tersebut adalah untuk memperoleh bonus yang maksimal pada akhir

masa jabatannya.
f. Motivasi Politis

Motivasi ini biasanya terjadi pada perusahaan besar yang bidang usahanya

banyak menyentuh masyarakat luas, seperti perusahaan-perusahaan strategis

perminyakan, gas, listrik, dan air. Demi menjaga tetap mendapatkan subsidi,

perusahaan-perusahaan tersebut cenderung menjaga posisi keuangannya dalam

keadaan tertentu sehingga prestasi atau kinerjanya tidak terlalu baik karena jika sudah

baik, kemungkinan besar subsidi tidak lagi diberikan.

2.1.3.2 Pola Umum Manajemen Laba

Dengan semua insentif untuk melakukan manajemen laba, maka bukanlah

suatu yang mengherankan apabila sering kali para manajer menggunakan

fleksibilitas yang terkandung di dalam akuntansi akrual agar benarbenar mampu

mengatur labanya. Semakin banyak orang yang mendapatkan pengetahuan atau

pelatihan akuntansi, semakin mudah bagi orang tersebut untuk melihat estimasi

atau pertimbangan akuntansi yang dapat digunakan untuk menaikkan laba yang

dilaporkan.

Pola manajemen laba sebagaimana dikemukakan oleh Scott (2003:383), yaitu:

a. taking a bath:

Hal ini dapat terjadi selama periode reorganisasi, termasuk pengangkatan

Chief Excecutive Officer (CEO) baru. Jika perusahaan memang sedang dalam

kondisi rugi, maka manajemen akan membebankan biaya-biaya yang seharusnya


ditangguhkan atau dapat ditangguhkan agar tidak mengganggu laba di masa

mendatang.

b. income minimazation

Skenario ini mirip taking a bath tetapi lebih halus. Skenario ini sengaja

memilih alternatif akuntansi atau manipulasi yang akan menghasilkan laba lebih

rendah, misalnya metode akuntansi persediaan dipilih Last In First Out (LIFO),

metode penyusutan dipilih double declining atau sum of the years digit,

membebankan biaya fiktif.

c. income maximization:

Untuk mendapatkan bonus yang lebih besar atau menghindari pelanggaran

debt covenants perusahaan melakukan skenario yang dapat memperbesar laba.

Kebalikan dari Income minimization maka skenario ini memilih metode atau

melakukan manipulasi yang dapat memperbesar laba, misalnya memilih First In

First Out (FIFO), mengakui pendapatan lebih cepat daripada seharusnya.

d. income smoothing

Tidak seperti skenario di atas, pada skenario ini perusahaan justru

berusaha agar laba yang dicapai dari tahun ke tahun berada pada level yang

stabil.

2.1.3.3 Teknik Manajemen Laba

Teknik manajemen laba sangat beragam. Mulai dari teknik legal yang

diperbolehkan dalam SAK sampai teknik illegal yang bertentangan dan tidak

diperbolehkan dalam SAK. Secara umum, teknik legal yang biasanya dijumpai dalam
praktik manajemen laba dapat dikelompokkan ke dalam lima teknik (Sulistiawan, et

al., 2011:43), yaitu:

a. Mengubah Metode Akuntansi

Metode akuntansi merupakan pilihan-pilihan yang disediakan oleh standar

akuntansi (accounting choice) dalam menilai aset perusahaan. Beberapa bentuk

pilihan metode akuntansi antara lain seperti metode penilaian persediaan (First In

First Out-FIFO, Last In First Out -LIFO, rata-rata tertimbang, atau identifikasi

khusus. Selain itu, masih banyak metode pilihan yang lain seperti leasing (capital

lease atau operating lease), penggunaan metode harga pasar atau nilai buku pada

aset jangka panjang, daln lain-lain.

Sebagai contoh, dalam hal pemilihan metode akuntansi untuk penilaian

perusahaan, seperti FIFO atau LIFO, bagi pemilik perusahaan akan

menguntungkan dalam aspek pajak ketika memilih untuk menggunakan metode

LIFO, karena penilaian persediaan dengan metode LIFO akan menekan jumlah

arus kas keluar untuk pembayaran pajak. Namun, LIFO tidak diperkenankan

dalam aturan perpajakan di Indonesia, meskipun dalam akuntansi komersial hal ini

diperkenankan.

b. Membuat Estimasi Akuntansi

Teknik ini dilakukan dengan tujuan mempengaruhi laba akuntansi melalui

kebijakan dalam membuat estimasi akuntansi. Beberapa bentuk estimasi akuntansi

tersebut yaitu estimasi dalam menentukan umur ekonomis aset, baik aset tetap

maupun aset berwujud, estimasi dalam menentukan besarnya jumlah piutang tidak
tertagih, baik dengan persantase penjualan maupun persentase piutang, dan lain-

lain.

Salah satu contoh manajemen laba yaitu cara untuk mendapatkan tambahan

atau pengurangan laba adalah dengan mengubah estimasi akuntansi. Perubahan

estimasi akuntansi ini disesuaikan dengan kebutuhan penyajian laporan keuangan.

Jika mengharapkan kenaikan laba, perusahaan dapat mengubah estimasi aset tetap

atau aset tidak berwujudnya menjadi lebih panjang. Hasilnya, laba menjadi lebih

tinggi karena biaya penyusutan menurun.

c. Mengubah Periode Pengakuan Pendapatan dan Biaya

Teknik ini dilakukan untuk mempercepat atau menunda pengakuan

pendapatan dan biaya dengan cara menggeser pendapatan dan biaya ke periode

berikutnya agar memperoleh biaya maksimum. Teknik ini biasanya ditemukan

pada perusahaan yang akan melakukan IPO.

d. Mengklasifikasikan Akun Current dan Noncurrent

Pada bagian ini, permainan akuntansi dilakukan dengan memindahkan

posisi akun dari satu tempat ke tempat lainnya. Jadi, sebenarnya laporan keuangan

yang disajikan sudah sama, tetapi karena kelihaian penyajinya, laporan keuangan

ini bias memberikan dampak interpretasi yang berbeda bagi penggunanya.

e. Mereklasifikasi Akrual Diskresioner (Accrual Discretionary) dan Akrual

Nondiskresioner (Accrual Nondiscretionary)

Akrual diskresioner adalah akrual yang dapat berubah sesuai dengan

kebijakan manajemen, seperti pertimbangan tentang penentuan umur ekonomis

aset tetap atau pertimbangan pemilihan metode depresiasi. Sedangkan, akrual


nondiskresioner adalah akrual yang dapat berubah bukan karena kebijakan atau

petimbangan pihak manajemen, seperti perubahan piutang yang besar karena

adanya tambahan penjualan secara signifikan.

Akrual adalah penjumlahan antara akrual diskresioner dan akrual

nondiskresioner. Akrual merupakan perbedaan laba dengan arus kas operasi.

Makin besar perbedaannya, maka perbedaan itu disebabkan karena aspek akrual

atau kebijakan akuntansi, sedangkan arus kas operasional hanya berasal dari

transaksi kas riil. Makin tinggi nilai akrual menunjukkan adanya strategi

menaikkan laba dan makin minus nilai akrual menunjukkan adanya strategi

menurunkan laba.

2.1.3.4 Deteksi Manajemen Laba

Praktik manajemen laba adalah suatu hal yang penting diketahui oleh para

pengguna laporan keuangan, terutama analis keuangan, investor, dan kreditor.

Dengan berbagai alternatif metodologi yang ada, peningkatan ataupun penurunan

laba yang terjadi pada proses manajemen laba dapat diketahui dengan berbagai

metode.

Secara umum, untuk mendeteksi manajemen laba digunakan dua pendekatan

(Sulistiawan, et al., 2011:67), yaitu:

a. Deteksi Manajemen Laba secara Kualitatif

Mohanram (2003) seperti dikutip oleh Sulistiawan, et al. (2011:67)

menyatakan bahwa untuk mendeteksi praktik manajemen laba, analisis akuntansi

bisa dilakukan dengan beberapa tahapan sebagai berikut.


1) Mengidentifikasi kebijakan akuntansi utama yang digunakan oleh sebuah

perusahaan atau industri.

2) Menilai penggunaan fleksibilitas akuntansi perusahaan, yaitu seberapa fleksibel

perusahaan menerapkan kebijakan akuntansinya.

3) Menilai strategi yang dijalankan perusahaan, yaitu sejauh manakah perbedaan

kebijakan akuntansi perusahaan yang sedang dijalankan dengan kebijakan

akuntansi perusahaan lain.

4) Menilai kualitas pengungkapan perusahaan, yaitu dengan menilai apakah

perusahaan telah menyediakan informasi yang memadai untuk menilai strategi

dan memahami kondisi ekonomi dari kegiatan operasinya.

5) Mengidentifikasi adanya potensi permasalahan akuntansi (potential red flag).

Potensi permasalahan akuntansi dapat diidentifikasi dari hal-hal seperti adanya

penghapusan aset (writedowns) aset dalam jumlah besar secara tiba-tiba atau

tidak terduga, adanya opini audit yang qualified atau adanya perubahan auditor,

adanya transaksi-transksi yang banyak berkaitan dengan pihak-pihak yang

memiliki hubungan istimewa, dan lain-lain.

b. Deteksi Manajemen Laba secara Kuantitatif

Sulistiawan, et al. (2011:70) menjelaskan bahwa secara umum manajemen

laba dibagi menjadi dua kategori, yaitu manajemen laba melalui kebijakan akuntansi

dan manajemen laba melalu aktivitas riil. Manajemen laba melalui kebijakn akuntansi

merujuk pada permainan angka laba yang dilakukan dengan menggunakan teknik dan

kebijakan akuntansi. Sementara, manajemen laba melalui aktivitas riil menunjuk pada

permainan angka laba yang dilakukan melalui aktivitas-aktivitas yang berasal dari
kegiatan bisnis normal atau yang berhubungan dengan kegiatan operasional, misalnya

menunda kegiatan promosi produk atau mempercepat penjualan dengan pemberian

diskon besar-besaran.

1) Deteksi Manajemen Laba melalui Kebijakan Akuntansi

Pada deteksi ini, yang digunakan adalah model-model deteksi manajemen laba

yang banyak digunakan dalam riset empiris. Model-model tersebut diantaranya

adalah Jones Model (1991), Modified Jones Model (1995), Kasznik Model (1999),

dan Performance-Matched Discretionary Accruals Model yang dikemukakan oleh

Kothari dan kawan-kawan (2005). Secara umum semua model tersebut menggunakan

akrual sebagai dasar dalam menghitung manajemen laba yang terjadi.

2) Deteksi Manajemen Laba dari Aktivitas Riil

Roychowdhury (2006) seperti dikutip oleh Sulistiawan, et al. (2011:76)

menyatakan bahwa praktik manajemen riil dapat dilakukan dengan

menggunakan tiga metode, yaitu:

(a) memanipulasi penjualan atau meningkatkan penjualan secara tidak wajar

(sales manipulation). Cara ini dilakukan dengan menawarkan diskon harga

atau syarat kredit yang ringan. Akibatnya, manajemen perusahaan dapat

meningkatkan penjualan selama tahun berjalan sehingga akan meningkatkan

nilai laba kotornya. Namun, peningkatan volume penjualan ini akan hilang

ketika harga jual kembali ke harga awal.

(b) mengurangi pengeluaran diskresioner. Pengeluaran diskresioner seperti biaya

riset dan pengembangan, biaya iklan, dan biaya pemeliharaan dibebankan

pada periode terjadinya. Dengan begitu, perusahaan dapat mengurangi biaya


yang dilaporkan dan meningkatkan laba dengan mengurangi pengeluaran

diskresioner. Pada proses pergantian direksi atau pimpinan perusahaan,

pengelola lama cenderung menunda atau mengurangi pengeluaran

diskresioner untuk mendapatkan bonus dari penyajian laba yang besar pada

tahunnya.

(c) produski yang berlebihan (overproduction). Agar laba naik, manajer

memproduksi lebih banyak persediaan dari yang sewajarnya untuk memenuhi

permintaan. Dengan tingkat produksi yang lebih tinggi, biaya overhead tetap

per unit makin kecil sehingga biaya per unitnya akan turun. Hal ini membuat

biaya barang terjual lebih rendah sehingga perusahaan mendapat keuntungan

operasi yang lebih baik. Namun akibatnya, persediaan barang perusahaan di

apsar menjadi besar dan akan berimbas pada permintaan barang pada masa

mendatang.

Menurut Roychowdhurry (2006) seperti dikutip oleh Sulistiawan, et al.

(2011:77), pendekatan adanya praktik manajemen laba riil apat dilakukan dengan dua

model, yaitu aliran kas operasi abnormal dan biaya produksi abnormal.

2.1.4 Audit Partner Tenure dan Audit Firm Tenure

Auditor sebuah perusahaan tidak harus berganti setiap tahun. Davis et

al.(2000) mendefinisikan audit tenure sebagai "discrete number of years of auditor

employment". Audit tenure terdapat pada tingkat KAP (audit firm tenure) dan

tingkat partner (audit partner tenure). Fanny dan Siregar (2007) mengemukakan

bahwa audit partner tenure adalah jangka waktu penugasan partner audit oleh
perusahaan. Semakin lama hubungan partner audit dengan klien menyebabkan

menurunnya kualitas laba (poor quality earnings). Myers et al. (2003) menambahkan

bahwa poor quality earnings ini menimbulkan masalah karena dapat menyesatkan

investor dalarn mengalokasikan sumber daya. Hal ini melatarbelakangi aturan rotasi

auditor melalui diterbitkannya Sarbanes-Oxley 1ct pada tanggal 30 Juli 2002.

Manry et al. (2008) mengungkapkan bahwa Sarbanes- Oxley Act pada section

203 menyebutkan bahwa:

"a registered public accounting firm to rotate its lead or

coordinating audit partner and the reviewing partner so that

neither role is performed by the same auditor for the same

issuer for more than five consecutive years. The rules also

mandate a five-year' 'time out" period after rotation."

Peraturan ini telah diterapkan di Amerika Serikat, Inggris, dan Jepang

dengan pembatasan jangka waktu penugasan yang bervariasi. Di Amerika Serikat,

rotasi auditor wajib dilakukan minimal sekali dalam tujuh tahun penugasan. Di

Inggris, peraturan rotasi partner audit mulai diberlakukan tahun 2003 di mana rotasi

partner audit dilakukan lima tahun sekali. Peraturan rotasi auditor di Jepang barn

diberlakukan efektif sejak April 2004, di mana rotasi harus dilakukan tujuh tahun

sekali.

Indonesia juga mengadopsi peraturan tersebut melalui Keputusan Ketua

BAPEPAM No. Kep-20/PMI2002, Peraturan Nornor VIII. A. 2 tanggal 12

November 2002, tentang Independensi Akuntan yang Memberikan Jasa Audit di

Pasar Modal. Di dalam peraturan ini, dikatakan bahwa seorang akuntan hanya dapat
memberikut jasa audit paling lama untuk 3 tahun buku berturut-turut. Selain itu,

mereka tidak boleh menerima penugasan audit kembali untuk klien tersebut selama

3 tahun buku berturut-turut (BAPEPAM, 2002). Aturan ini kemudian diperbarui

dengan dikeluarkannya Keputusan Ketua BAPEP AM dan Lembaga Keuangan

(BAPEPAM-LK) No. Kep-3 IO/BLl2008 tentang lndependensi Akuntan yang

Memberikan Jasa di Pasar Modal di mana akuntan baru boleh menerima penugasan

audit kembali untuk klien tersebut setelah satu tahun buku tidak mengaudit kIien

tersebut (BAPE,PAM-LK, 2008).

Johnson et.al (2002:640) Audit firm tenure is the number of consective years

that the audit firm has conducte audits for a particular client.

Menurut Johnson et al (2002), menjelaskan Audit Firm Tenure adalah sebagai

berikut:

Audit Firm Tenure adalah masa jangka waktu perikatan yang terjalin antara KAP

dengan auditee yang sama.

Audit Firm Tenure diukur dengan menghitung tahun dimana KAP yang sama

telah melakukan perikatan dengan auditee dalam batas regulasi yang telah ditentukan

oleh pemerintah (Johnson et al., 2002). Masih menurut Johnson et al (2002) kualitas

audit dapat ditentukan antara lain oleh independensi auditor. Menurut Johnson et al

(2002), masa perikatan audit dibagi menjadi tiga kategori. Kategori pertama adalah

pendek, yaitu dua sampai tiga tahun. Masih menurut Menurut Johnson et al (2002)

Kategori kedua adalah medium atau sedang yang panjang perikatannya empat sampai

delapan tahun. Kategori ketiga adalah panjang, yaitu lebih dari delapan tahun

(Johnson et al,2002).
Menurut Quick et al (2008:161) menjelaskan bahwa :

Aturan rotasi secara wajib dilakukan untuk meningkatkan independensi dari audit

firm, dan juga untuk meningkatkan kualitas audit.

Menurut Paino et al (2010:38) menjelaskan bahwa :

faktor yang mempegaruhi kualitas audit adalah audit tenure (jangka waktu audit)

suatu audit firm.

Fanny dan Sire gar (2007) mengernukakan bahwa audit firm tenure adalah

jangka waktu penugasan KAP oleh perusahaan. Semakin lama hubungan KAP

dengan klien dikahawatirkan akan menurunkan independensi auditor. Hal ini

melatarbelakangi aturan rotasi KAP di Indonesia di mana BAPEPAM (2002)

menyebutkan bahwa KAP paling lama mengaudit sebuah perusahaan untuk 5 tahun

buku berturut-turut, yang kemudian diperbarui oleh BAPEPAM-LK (2008) menjadi

paling lama enam tahun buku bertu:ut-turut. Selain itu, BAPEPAM-LK (2008)

juga menyebutkan bahwa KAP yang memberikan jasa di pasar modal yang

mengubah kornposisi akuntan sehingga jurnlah akuntannya 50% atau lebih berasal

dari KAP yang telah memberikan jasa di pasar modal diberlakukan sebagai

kelanjutan KAP asal akuntan yang bersangkutan dan tetap diberlakukan pernbatasan

penyelenggaraan audit atas laporan keuangan enam tahun untuk KAP dan tiga

tahun untuk akuntan.


2.2 Penelitian Terdahulu

Hasil penelitian sebelumnya dapat digunakan sebagai acuan dalam penelitian

ini. Tinjauan penelitian terdahulu berupa tahun penelitian, judul penelitian, dan hasil

penelitian.

Tabel 2.1

NO NAMA JUDUL HASIL


Pengaruh Fee Audit, Audit Hasil analisis

Tenure, dan Rotasi Audit menunjukkan bahwa

Terhadap Kualitas Audit (Studi variabel fee audit, tenure

Empiris Pada Perusahaan audit, dan

Manufaktur Go Public yang rotasi audit berpengaruh

terdaftar di Bursa Efek signifikan terhadap

Indonesia tahun 2008 2012) kualitas audit. Variabel

Margi Kurniasih fee audit


1 (2014)
berpengaruh positif

terhadap kualitas audit,

tenure audit berpengaruh

terhadap

kualitas audit dan rotasi

audit berpengaruh

terhadap kualitas audit.

Analisis Pengaruh Audit Hasil penelitian ini

Tenure, Ukuran KAP, Ukuran menunjukkan bahwa


Muhammad Athoi
2 Perusahaan Klien, dan variable Audit Tenure,
(2010)
Spesialisasi Audit terhadap Ukuran
Kualitas Audit Pada Perusahaan Kap, Ukuran Perusahaan

Manufaktur yang terdaftar di Klien, dan Spesialisasi

BEI Audit tidak berpengaruh

secara

signifikan terhadap

Kualitas Audit.

Hasil uji korelasi

menunjukkan adanya

hubungan negatif antara

auditor tenure dengan

manajemen laba, akan

tetapi tidak signifikan.

Dari hasil analisis regresi

linier berganda diperoleh


Pengaruh Auditor Tenure
hasil bahwa secara
Ahmad Mursyid Terhadap Manajemen Laba
Muhammad Ashari simultan auditor tenure,
M. Christian Mangiwa (Studi Empiris pada Perusahaan
3 ukuran perusahaan, jenis
Manufaktur yang Terdaftar di
pendapat auditor, ukuran
(2009) BEI tahun 2007 2012).
KAP, dan dummy tahun

kalender berpengaruh

positif, tetapi tidak

signifikan. Sedangkan

secara parsial, tidak ada

variabel yang

berpengaruh signifikan

terhadap manajemen
laba. Secara keseluruhan,

dapat disimpulkan bahwa

penelitian ini tidak

mendukung kebijakan

rotasi auditor yang telah

ditetapkan karena tidak

terdapat pengaruh yang

signifikan antara auditor

tenure dan manajemen

laba.

Hasil penelitian adalah

sebagai berikut : (1)

Audit Tenure tidak

berpengaruh secara
ANALISIS PENGARUH
signifikan terhadap
AUDIT TENURE, UKURAN
kualitas audit, (2) Ukuran
KAP DAN UKURAN
Daud M.T. Sinaga KAP berpengaruh secara
4 (2012) PERUSAHAAN KLIEN
signifikan terhadap
TERHADAP KUALITAS
kualitas audit, (3) Ukuran
AUDIT
Perusahaan Klien

berpengaruh secara

signifikan terhadap

kualitas audit.

Yavina Nugrahanti PENGARUH AUDIT TENURE, Hasil penelitian


5
(2014)
SPESIALISASI KANTOR menunjukkan bahwa
AKUNTAN PUBLIK DAN audit tenure dan

UKURAN PERUSAHAAN spesialisasi Kantor

TERHADAP KUALITAS Akuntan Publik

AUDIT berpengaruh positif dan

(Studi Empiris Pada signifikan terhadap

Perusahaan Manufaktur yang kualitas audit, sedangkan

Terdaftar di Bursa Efek ukuran perusahaan klien

Indonesia Tahun 2010 2012) tidak berpengaruh

terhadap kualitas audit.

2.3 Kerangka Pemikiran

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, maka dapat

disusun sebuah kerangka pemikiran penelitian. Berikut ini bagan kerangka pemikiran

dalam penelitian ini.

Audit Partner Tenure

Earnings Management

Audit Firm Tenure

2.4 Hipotesis Penelitian

Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah

penelitian.

Erwan Agus Purwanto dan Dyah Ratih Sulistyastuti (2007:137), hipotesis

adalah pernyataan atau dugaan yang bersifat sementara terhadap suatu masalah
penelitian yang kebenarannya masih lemah (belum tentu kebenarannya) sehingga

harus diuji secara empiris.

Margono (2004: 80) menyatakan bahwa hipotesis berasal dari perkataan hipo

(hypo) dan tesis (thesis). Hipo berarti kurang dari, sedangkan tesis berarti pendapat.

Jadi hipotesis adalah suatu pendapat atau kesimpulan yang sifatnya masih sementara.

Hipotesis merupakan suatu kemungkinan jawaban dari masalah yang diajukan.

Hipotesis timbul sebagai dugaan yang bijaksana dari peneliti atau diturunkan

(deduced) dari teori yang telah ada.

Menurut Suryabrata (2000: 49), pengertian hipotesis dapat ditinjau dari beberapa hal,

yaitu :

1. Secara teknis

hipotesis merupakan pernyataan mengenai keadaan populasi yang akan diuji

kebenarannya berdasarkan data yang diperoleh dari sampel penelitian.

2. Secara statistic

hipotesis merupakan pernyataan mengenai keadaan parameter yang akan diuji

melalui statistik sample.

3. Ditinjau dalam hubungannya dengan variabel

hipotesis merupakan pernyataan tentang keterkaitan antara variabel-variabel

(hubugan atau perbedaan antara dua variabel atau lebih).

4. Ditinjau dalam hubungannya dengan teori ilmiah, hipotesis merupakan deduksi

dari teori ilmiah (pada penelitian kuantitatif) dan kesimpulan sementara sebagai

hasil observasi untuk menghasilkan teori baru (pada penelitian kualitatif).


Adapun hipotesis untuk penelitian ini, yaitu:

Hubungan auditor dengan klien yang semakin lama membuat auditor lebih

mudah berkompromi dalam pemilihan metode akuntansi dan penyusunan laporan

keuangan klien karena mereka takut kehilangan klien. Chung (2004) berpendapat

bahwa hal ini dapat membuat independensi auditor berkurang sehingga earnings

management lebih mudah dilakukan dan kualitas laba menurun. Di lain pihak, Chen

et al (2008) mengemukakan bahwa para penentang kebijakan ini berpendapat bahwa

semakin lama hubungan auditor dengan klien membuat mereka lebih memahami akan

pemilihan metode akuntansi klien sehingga tingkat earnings management semakin

menurun. Berdasarkan pandangan tersebut, dapat dirumuskan hipotesis sebagai

berikut:

H1 : Semakin lama audit partner tenure, earnings management semakin

meningkat.

Semakin lama hubungan KAP dengan klien dikhawatirkan dapat mengurangi

kualitas audit sehingga earnings management meningkat. Hal ini disebabkan

skeptisme profesional auditor berkurang karena hubungan KAP dan klien terlampau

dekat. Sebaliknya, Carcello dan Nagy (2004) berpendapat bahwa apabila hubungan

KAP dengan klien singkat, auditor kurang memahami bisnis klien dan pos pos yang

memungkinkan dilakukan earnings management sehingga manajemen dapat lebih

mudah melakukan earnings management . Audit firm tenure tidak dapat dilepaskan

dari audit partner tenure karena yang melaksanakan penugasan audit adalah partner

audit, yang mana ia terikat dengan sebuah KAP. Berdasarkan hal tersebut, disusun

hipotesis sebagai berikut:


H2 : Semakin lama audit firm tenure, earnings management semakin

meningkat.

Anda mungkin juga menyukai