METODOLOGI PENELITIAN
8
II.2. Survei Hidrologi
Dalam survei hidrologi dilakukan analisis neraca air Daerah Aliran Sungai
(DAS) dan analisis air permukaan. Berikut penjelasan mengenai metodologi yang
digunakan pada kedua analisis tersebut secara lebih detail.
II.2.1. Analisis Neraca Air Daerah Aliran Sungai (DAS)
a. Variabel neraca air DAS
Variabel penelitian memiliki peranan penting dalam penentuan
kebutuhan data, teknik sampling, unit analisis dan analisis hasil. Variabel neraca
air DAS terdiri atas hujan, suhu, evapotranspirasi potensial, accumulated
potential water loss, water holding capacity, soil mosture storage, perubahan soil
mosture storage, evapotranspirasi aktual, surplus air, defisit air , direct runoff
(DRO), infiltrasi, dan infiltrasi ke dalam airtanah . Deskripsi masing-masing
variabel dijelaskan pada Tabel 2.1.
9
Tabel 2.1 Jenis variabel penelitian (lanjutan)
Variabel
No Sumber Data
Jenis Pengukuran
7 Perubahan Soil Perubahan Soil Persamaan rumus Balai Besar Wilayah
Mosture Storage Mosture Storage (Thornthwaite dan Sungai Serayu
(dSt) bulanan Mather, 1957) dan
data sekunder
pengolahan St dan
Sto
8 Evapotranspirasi Evapotranspirasi Persamaan rumus Balai Besar Wilayah
aktual (Ea) aktual bulanan (Thornthwaite dan Sungai Serayu
(Ea) Mather, 1957) dan
data sekunder
pengolahan P dan
Ep
9 Defisit (D) Defisit bulanan Persamaan rumus Balai Besar Wilayah
(Thornthwaite dan Sungai Serayu
Mather, 1957) dan
data sekunder
pengolahan Ep dan
Ea
10 Surplus (S) Surplus bulanan Persamaan rumus Balai Besar Wilayah
(Thornthwaite dan Sungai Serayu
Mather, 1957) dan
data sekunder
pengolahan P, Ep
dan dSt
11 Direct Runoff Direct Runoff Persamaan rumus Balai Besar Wilayah
(DRO) bulanan (Thornthwaite dan Sungai Serayu
Mather, 1957) dan
data sekunder
pengolahan S
12 I (infiltrasi) Infiltrasi bulanan Pengolahan data Balai Besar Wilayah
hujan, Sungai Serayu
evapotranspirasi
aktual dan runoff
13 Igw (Infiltrasi ke Infiltrasi ke Pengolahan data Balai Besar Wilayah
dalam airtanah) dalam airtanah infiltrasi dengan Sungai Serayu
bulanan koefisien perkolasi
10
c. Data suhu 13 tahun, untuk menghitung evapotranspirasi potensial dan
aktual
d. Peta tanah skala, untuk perhitungan water holding capacity
e. Citra satelit Google Earth 2016, untuk memperbaharui peta penggunaan
lahan
c. Populasi dan sampel
Populasi dan sampel setiap parameter neraca air DAS memiliki pengaruh
penting terhadap keakuratan hasil penilaian neraca air. Populasi dan sampel
tergantung pada unit analisis yang digunakan. Penelitian ini menggunakan unit
analisis DAS. Kajian dalam penelitian ini berdasarkan keseluruhan parameter
dan sensus. Parameter suhu dan hujan mengunakan keseluruhan stasiun hujan
dan meteorologi yang terdekat dan sebarannya merata di DAS. Parameter tekstur
tanah dan penggunaan lahan merupakan sensus karena lingkupnya DAS sehingga
keseluruhannya perlu dikaji. Parameter lainnya merupakan sensus dengan
pengolahan berdasarkan rumus menurut (Thornthwaite dan Mather, 1957).
d. Metode pengolahan dan analisis data
Pengolahan data dan analisis neraca air di DAS dijelaskan secara lebih
detail pada setiap parameternya, yaitu sebagai berikut:
- Hujan (P)
Hujan merupakan parameter yang penting dalam menghitung
ketersediaan air. Perhitungan hujan di dalam DAS dapat dijadikan model
untuk menghitung distribusi air di dalamnya baik sebagai air permukaan
maupun air tanah. Pemodelan tersebut sudah termasuk dalam metode yang
dilakukan oleh Thorthwaite dan Mather (1957). Pengolahan data hujan
diawali dengan mengisi data hujan yang kosong, uji korelasi stasiun hujan
dan konsistensi stasiun hujan. Pengisian data hujan yang kosong dilakukan
menggunakan rumus inverse distance square (Hadisusanto, 2010). Metode
ini menggunakan nilai dari data hujan tempat lain yang berdekatan.
Pengisian data hujan yang kosong menggunakan Persamaan 2.1 sebagai
berikut.
11
PA dx A PB dx B pc dx C
2 2 2
Px
1dx A 1dx B 1dx C
2 2 2
(2.1)
Keterangan :
Px : Tebal hujan (mm)
PA, PB, PC : Tinggi hujan stasiun sekitar (mm)
dxA, dxB : Jarak dari stasiun hujan x ke stasiun hujan A, B dan C (km)
Uji korelasi stasiun hujan dilakukan untuk mengetahui hubungan
antar stasiun hujan. Hasil uji korelasi mengevaluasi stasiun hujan perlu
ditambah atau dikurangi. Minimal data hujan yang diuji adalah 10 tahun. Uji
korelasi stasiun hujan menggunakan Persamaan 2.2 berikut:
nxy (x)(y )
R (2.2)
{nx 2 (x) 2 }{ny 2 (y ) 2 }
Keterangan:
R : Uji korelasi stasiun hujan
x : Stasiun hujan yang diuji (mm)
y : Stasiun hujan penguji (mm)
Hasil dari pengujian korelasi data hujan diklasifikasikan menjadi
beberapa ketegori atau klasifikasi. Klasifikasi dari sangat lemah hingga
sangat kuat. Apabila hasil uji korelasi antar stasiun termasuk kuat dan sangat
kuat maka stasiun hujan tersebut dapat dipertahankan atau dihilangkan
salah satunya. Hasil uji korelasi antar stasiun termasuk dalam klasifikasi
lemah hingga dan sangat lemah maka diperlukan stasiun hujan tambahan
sehingga diperoleh hasil sebaran hujan yang akurat. Klasifikasi dari uji
korelasi dapat dilihat pada Tabel 2.2.
12
konsistensi data hujan dilakukan dengan membuat kurva massa ganda. Hasil
koreksi dari kurva massa ganda dilihat berdasarkan garis kurva massa
ganda. Apabila garis tersebut tidak lurus atau banyak ditemukan garis yang
patah maka perlu dikoreksi. Pengerjaan kurva massa ganda diawali dengan
mengisi Tabel 2.3.
13
Gambar 2.2 Contoh kurva massa ganda (Riyanto, dkk. 2015)
Hasil data hujan yang telah diuji konsistensi dan korelasi kemudian di
lakukan pengolahan untuk hujan rancangan dengan probabilitas 60% dan
80% dengan data yang digunakan selama 10 tahun. Penggunanan
probabilitas hujan 60% dan 80% ditujukan untuk memperoleh debit andalan
dan besaran prediksi neraca air di dalam DAS. Pengolahan hujan rancangan
probabilitas 60% dan 80% menggunakan aplikasi otomatis dalam Microsoft
Excel. Proses pengolahan hujan rancangan ini dijelaskan pada Gambar 2.3
berikut.
14
Input data pada aplikasi perhitungan hujan rancangan diawali
dengan mengisi data dasar Gambar 2.3 (kiri). Data awal berupa koefisien
kepercayaan dengan tingkat kesalahan 5% (semakin kecil derajat kesalahan
hasil model semakin mendekati kenyataan). Pengisian selanjutnya berupa
data jumlah kala ulang. Jumlah kala ulang yang diproyeksikan adalah 60%
dan 80% adalah dua kala ulang. Langkah berikutnya melakukan input data
hujan bulanan setiap stasiun dan diurutkan sesuai dengan tahun. Apabila
terdapat nilai yang sama maka data tersebut dapat dihapus salah satunya.
Langkah terakhir tekan proses untuk memperoleh hasil pengolahan hujan
rancangan.
Pengolahan aplikasi hujan rancangan diperoleh hasil seperti Gambar
2.3 (kanan). Hasil analisis diperoleh keterangan hasil hujan rancangan yang
paling baik beradasarkan distribusinya. Hasil yang digunakan sebagai hujan
rancangan adalah Xt. Hasil tersebut kemudian dilakuakn analisis hujan
wilayah dengan hasil stasiun hujan lainnya. Analisis hujan wilayah
dilakukan dengan sistem interpolasi geostatistik baik Spline, Inverse
Distance Weighting (IDW), Kriging dan moving average. Berdasarkan hasil
keempat metode tersebut dipilih nilai root mean square eror (RMSE) yang
paling kecil.
- Suhu
Suhu merupakan parameter penting dalam menghitung neraca air
dalam DAS. Parameter suhu berkaitan dengan proses evaporasi maupun
evapotranspirasi. Data suhu yang digunakan dalam penelitian ini minimal
10 tahun. Hal tersebut ditujukan untuk mendapatkan rata-rata suhu yang
akurat. Menghitung suhu dalam DAS di dasarkan pada rumus median
elevasi. Median elevasi menekankan pada titik tengah DAS yang dapat
mewakili suhu yang ada di DAS secara keseluruhan. Pengolahan median
elevasi dilakukan dengan cara membuat persentase ketinggian dari garis
kontur dengan luasan garis kontur (Tabel 2.4).
15
Tabel 2.4 Uji konsistensi data hujan
Kelas
Luas Luas Komulatif Luas (%)
No Ketinggian
(Ha) (%) Di atas Limit Bawah
(mdpl)
1 <500 0.31 0.23 100
2 500-700 8.14 5.95 99.77
3 700-1100 34.95 25.55 93.82
4 1100-1500 36.2 26.47 68.27
5 1500-1900 32.27 23.59 41.80
6 1900-2300 21.05 15.39 18.21
7 2300-2700 3.17 2.32 2.82
8 2700-3100 0.62 0.45 0.50
9 >3100 0.07 0.05 0.05
Jumlah 136.8 100
16
Hasil ploting median elevasi ini digunakan dalam perhitungan untuk
memperoleh suhu diketinggian tersebut menggunakan Persamaan 2.4.
Pengolahan data suhu pada ketinggian hasil ploting grafik median elevasi
diperoleh dari data suhu bulanan (hasil rerata 10 tahunan) pada stasiun di
sekitarnya. Hasil pengolahan suhu tersebut digunakan untuk pengolahan data
berikutnya baik evapotranspirasi potensial dan aktual.
Tx = T 0,006 (h1-h2) (2.4)
Keterangan :
Tx : Suhu yang dicari (C)
T : Suhu stasiun yang diketahui
h1 : Ketinggian hasil median elevasi (m)
h2 : Ketinggian stasiun yang diketahui (m)
- Evapotranspirasi Potensial
Perhitungan evapotranspirasi potensial didasarkan pada rumus
Thortnhwaite dan Mather (1957) pada Persamaan 2.5. Data-data yang
digunakan adalah data temperatur rata-rata bulanan.
s.Tz
EP = PET (2.5a)
30 12
10 t a (2.5b)
PET = 1,6
i = ( t / 5 )1,514 (2.5c)
17
Apabila (P-EP) bernilai positif, maka APWL bernilai 0. Apabila (P-
EP) bernilai negatif maka diturunkan menjadi harga mutlak untuk APWL.
- Sto (water holding capacity)
Water holding capacity merupakan fungsi dari tekstur tanah dan
kedalaman zona perakaran (mm/m) berdasarkan Tabel 2.7. Sto = Air
tersedia (mm/m) x zona akar (m) x luas wilayah (desimal).
- Storage (St)
Menghitung nilai soil moisture storage (St) berdasarkan , yaitu:
St = Sto X e (APWL/Sto) jika APWL 0 (2.6a)
St = Sto jika APWL = 0 (2.6b)
- Menghitung St
St = St bulan yang bersangkutan St bulan yang lalu, untuk bulan Januari
dikurangi bulan Desember (2.7)
- Evapotranspirasi Aktual (EA)
Untuk bulan basah (P>EP), maka EA = EP (2.8a)
Untuk bulan kering (P<EP), maka EA = P + |St| (2.8b)
- Menghitung surplus air (S)
S = (P EP) - St (2.9)
- Menghitung defisit air (D) = EP EA (2.10)
- Menghitung Direct Runoff (DRO)
DRO = (surplus bulan sebelumnya + surplus bulan saat itu) (2.11)
Asumsi yang digunakan untuk DRO setengah dari hujan yang jatuh
menjadi aliran permukaan dan setengahnya masuk ke dalam air tanah. Saat
memasuki musim kemarau DRO tetap terjadi dari separuh air yang masuk
ke dalam air tanah keluar menjadi DRO di bulan berikutnya.
- Menghitung Infiltrasi (I)
I = P Ea DRO (2.12)
- Menghitung infiltrasi ke dalam airtanah (Igw)
Igw = 0.9 (koefisien perkolasi) x I (2.13)
18
Tabel 2.5 Faktor koreksi letak Lintang utara (Thornthwaite dan Mather, 1957)
Bulan
LU
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
0 1,04 0,94 1,04 1,01 1,04 1,01 1,04 1,04 1,01 1,04 1,01 1,04
1 1,04 0,94 1,04 1,01 1,04 1,01 1,04 1,04 1,01 1,04 1,01 1,04
2 1,04 0,94 1,04 1,01 1,05 1,02 1,05 1,04 1,01 1,04 1,01 1,04
3 1,03 0,94 1,04 1,02 1,05 1,02 1,05 1,05 1,01 1,04 1,0 1,03
4 1,03 0,93 1,03 1,02 1,06 1,03 1,06 1,05 1,01 1,03 1,0 1,03
5 1,02 0,93 1,03 1,02 1,06 1,03 1,06 1,05 1,01 1,03 0,99 1,02
6 1,02 0,93 1,03 1,02 1,06 1,03 1,06 1,05 1,01 1,03 0,99 1,02
7 1,02 0,93 1,03 1,02 1,07 1,04 1,07 1,06 1,01 1,03 0,99 1,01
8 1,01 0,92 1,03 1,03 1,07 1,05 1,07 1,06 1,02 1,03 0,99 1,01
9 1,01 0,92 1,03 1,03 1,08 1,05 1,08 1,07 1,02 1,02 0,98 1,0
10 1,00 0,91 1,03 1,03 1,08 1,06 1,08 1,07 1,02 1,02 0,98 0,99
11 1,00 0,91 1,03 1,03 1,08 1,06 1,08 1,07 1,02 1,02 0,98 0,99
12 0,99 0,91 1,03 1,03 1,09 1,07 1,09 1,07 1,02 1,02 0,97 0,99
13 0,99 0,91 1,03 1,04 1,1 1,07 1,1 1,08 1,02 1,02 0,97 0,98
14 0,98 0,91 1,03 1,04 1,1 1,08 1,11 1,08 1,02 1,01 0,96 0,98
15 0,97 0,91 1,03 1,04 1,11 1,08 1,12 1,08 1,02 1,01 0,95 0,97
16 0,97 0,91 1,03 1,04 1,11 1,08 1,12 1,08 1,02 1,01 0,95 0,97
17 0,97 0,91 1,03 1,04 1,12 1,09 1,13 1,09 1,02 1,01 0,95 0,96
18 0,96 0,91 1,03 1,05 1,12 1,1 1,13 1,1 1,02 1,01 0,94 0,96
19 0,96 0,9 1,03 1,05 1,13 1,1 1,14 1,1 1,02 1,00 0,94 0,95
20 0,95 0,9 1,03 1,05 1,13 1,11 1,14 1,11 1,02 1,00 0,93 0,94
21 0,95 0,9 1,03 1,05 1,13 1,11 1,14 1,11 1,02 1,00 0,93 0,94
22 0,95 0,9 1,03 1,05 1,14 1,12 1,15 1,11 1,02 1,00 0,93 0,93
23 0,94 0,9 1,03 1,06 1,14 1,13 1,16 1,12 1,02 1,00 0,92 0,93
24 0,94 0,89 1,03 1,06 1,15 1,13 1,16 1,12 1,02 0,99 0,92 0,92
25 0,93 0,89 1,03 1,06 1,15 1,14 1,17 1,12 1,02 0,99 0,91 0,91
26 0,92 0,88 1,03 1,06 1,15 1,15 1,17 1,12 1,02 0,99 0,91 0,91
27 0,92 0,88 1,03 1,07 1,16 1,15 1,18 1,13 1,02 0,99 0,9 0,9
28 0,91 0,88 1,03 1,07 1,16 1,16 1,18 1,13 1,02 0,98 0,9 0,9
29 0,91 0,87 1,03 1,07 1,17 1,16 1,19 1,13 1,03 0,98 0,9 0,89
30 0,90 0,87 1,03 1,08 1,18 1,17 1,2 1,14 1,03 0,98 0,89 0,88
31 0,90 0,87 1,03 1,08 1,18 1,18 1,2 1,14 1,03 0,98 0,89 0,88
32 0,89 0,86 1,03 1,08 1,19 1,19 1,21 1,15 1,03 0,98 0,88 0,87
33 0,88 0,86 1,03 1,09 1,19 1,2 1,22 1,15 1,03 0,97 0,88 0,86
34 0,88 0,85 1,03 1,09 1,2 1,2 1,22 1,16 1,03 0,97 0,87 0,86
35 0,87 0,85 1,03 1,09 1,21 1,21 1,23 1,16 1,03 0,97 0,86 0,85
36 0,87 0,85 1,03 1,1 1,21 1,22 1,24 1,16 1,03 0,97 0,86 0,84
37 0,86 0,84 1,03 1,1 1,22 1,23 1,25 1,17 1,03 0,97 0,85 0,83
38 0,85 0,84 1,03 1,1 1,23 1,24 1,25 1,17 1,04 0,96 0,84 0,83
39 0,85 0,84 1,03 1,11 1,23 1,24 1,26 1,18 1,04 0,96 0,84 0,82
40 0,84 0,83 1,03 1,11 1,24 1,25 1,27 1,18 1,05 0,96 0,83 0,81
41 0,83 0,83 1,03 1,11 1,25 1,26 1,27 1,19 1,04 0,96 0,82 0,8
42 0,82 0,83 1,03 1,12 1,26 1,27 1,28 1,19 1,04 0,95 0,82 0,79
43 0,81 0,82 1,02 1,12 1,26 1,28 1,29 1,2 1,04 0,95 0,81 0,77
44 0,81 0,82 1,02 1,13 1,27 1,29 1,3 1,2 1,04 0,95 0,8 0,76
45 0,80 0,81 1,02 1,13 1,28 1,29 1,31 1,21 1,04 0,94 0,79 0,75
46 0,79 0,81 1,02 1,13 1,29 1,31 1,32 1,22 1,04 0,94 0,79 0,74
47 0,77 0,8 1,02 1,14 1,3 1,32 1,33 1,22 1,04 0,93 0,78 0,73
48 0,76 0,8 1,02 1,14 1,31 1,33 1,34 1,23 1,05 0,93 0,77 0,72
49 0,75 0,79 1,02 1,14 1,32 1,34 1,35 1,24 1,05 0,93 0,76 0,71
50 0,74 0,78 1,02 1,15 1,33 1,36 1,37 1,25 1,06 0,92 0,76 0,70
19
Tabel 2.6 Faktor koreksi letak lintang selatan (Thornthwaite dan Mather, 1957)
Bulan
LS
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
0 1,04 0,94 1,04 1,01 1,04 1,01 1,04 1,04 1,01 1,04 1,01 1,04
1 1,04 0,94 1,04 1,01 1,04 1,01 1,04 1,04 1,01 1,04 1,01 1,04
2 1,05 0,94 1,04 1,01 1,04 1,01 1,04 1,04 1,01 1,04 1,02 1,05
3 1,05 0,95 1,04 1,01 1,03 1,0 1,03 1,04 1,01 1,05 1,02 1,05
4 1,06 0,95 1,04 1,0 1,03 1,0 1,03 1,03 1,0 1,05 1,03 1,06
5 1,06 0,95 1,04 1,0 1,02 0,99 1,02 1,03 1,0 1,05 1,03 1,06
6 1,06 0,95 1,04 1,0 1,02 0,99 1,02 1,03 1,0 1,05 1,03 1,06
7 1,07 0,96 1,04 1,0 1,02 0,98 1,02 1,03 1,0 1,05 1,04 1,07
8 1,07 0,96 1,05 1,0 1,02 0,98 1,01 1,02 1,0 1,06 1,04 1,08
9 1,08 0,97 1,05 0,99 1,01 0,97 1,01 1,02 1,0 1,06 1,05 1,09
10 1,08 0,97 1,05 0,99 1,01 0,96 1,0 1,01 1,0 1,06 1,05 1,1
11 1,08 0,97 1,05 0,99 1,01 0,96 1,0 1,01 1,0 1,06 1,05 1,1
12 1,09 0,97 1,05 0,99 1,0 0,96 0,99 1,01 1,0 1,06 1,06 1,11
13 1,10 0,98 1,05 0,99 1,0 0,95 0,99 1,01 1,0 1,07 1,06 1,11
14 1,11 0,98 1,05 0,98 0,99 0,95 0,98 1,0 1,0 1,07 1,07 1,12
15 1,12 0,98 1,05 0,98 0,98 0,94 0,97 1,0 1,0 1,07 1,07 1,12
16 1,12 0,98 1,05 0,98 0,98 0,94 0,97 1,0 1,0 1,07 1,07 1,12
17 1,13 0,99 1,05 0,98 0,98 0,93 0,97 1,0 1,0 1,07 1,08 1,13
18 1,13 0,99 1,05 0,98 0,97 0,93 0,96 1,0 1,0 1,08 1,08 1,14
19 1,14 1,0 1,05 0,97 0,97 0,92 0,96 0,99 1,0 1,08 1,09 1,14
20 1,14 1,0 1,05 0,97 0,96 0,91 0,95 0,99 1,0 1,08 1,09 1,15
21 1,14 1,0 1,05 0,97 0,96 0,91 0,95 0,99 1,0 1,08 1,09 1,15
22 1,15 1,0 1,05 0,97 0,96 0,9 0,95 0,99 1,0 1,09 1,1 1,16
23 1,16 1,01 1,05 0,97 0,95 0,9 0,94 0,99 1,0 1,09 1,1 1,17
24 1,16 1,01 1,05 0,96 0,95 0,89 0,94 0,98 1,0 1,10 1,11 1,17
25 1,17 1,01 1,05 0,96 0,94 0,88 0,93 0,98 1,0 1,10 1,11 1,18
26 1,17 1,01 1,05 0,96 0,94 0,88 0,93 0,98 1,0 1,10 1,11 1,18
27 1,18 1,02 1,05 0,96 0,94 0,87 0,92 0,98 1,0 1,11 1,12 1,19
28 1,19 1,02 1,06 0,96 0,93 0,87 0,92 0,97 1,0 1,11 1,13 1,2
29 1,19 1,03 1,06 0,95 0,93 0,86 0,91 0,97 1,0 1,12 1,13 1,2
30 1,20 1,03 1,06 0,95 0,92 0,85 0,9 0,96 1,0 1,12 1,14 1,21
31 1,20 1,03 1,06 0,95 0,92 0,85 0,9 0,96 1,0 1,12 1,14 1,21
32 1,21 1,03 1,06 0,95 0,91 0,84 0,89 0,96 1,0 1,12 1,15 1,22
33 1,22 1,04 1,06 0,95 0,91 0,84 0,89 0,95 1,0 1,13 1,16 1,23
34 1,22 1,04 1,06 0,94 0,9 0,83 0,88 0,95 1,0 1,13 1,16 1,24
35 1,23 1,04 1,06 0,94 0,89 0,82 0,87 0,94 1,0 1,13 1,17 1,25
36 1,23 1,04 1,06 0,94 0,89 0,82 0,87 0,94 1,0 1,13 1,17 1,25
37 1,24 1,05 1,06 0,94 0,88 0,81 0,86 0,94 1,0 1,14 1,18 1,26
38 1,25 1,05 1,07 0,94 0,88 0,8 0,86 0,93 1,0 1,14 1,19 1,27
39 1,26 1,06 1,07 0,93 0,87 0,79 0,85 0,93 1,0 1,15 1,19 1,28
40 1,27 1,06 1,07 0,93 0,86 0,78 0,84 0,92 1,0 1,15 1,2 1,29
41 1,28 1,07 1,07 0,93 0,86 0,77 0,83 0,92 1,0 1,16 1,21 1,3
42 1,28 1,07 1,07 0,92 0,85 0,76 0,82 0,92 1,0 1,16 1,22 1,31
43 1,29 1,08 1,07 0,92 0,84 0,75 0,82 0,92 1,0 1,17 1,23 1,32
44 1,30 1,08 1,07 0,92 0,83 0,74 0,81 0,91 0,99 1,17 1,23 1,33
45 1,31 1,09 1,07 0,92 0,83 0,73 0,8 0,91 0,99 1,17 1,24 1,34
46 1,32 1,1 1,07 0,91 0,82 0,72 0,79 0,9 0,99 1,17 1,25 1,35
47 1,33 1,11 1,08 0,91 0,81 0,71 0,78 0,9 0,99 1,18 1,26 1,36
48 1,34 1,11 1,08 0,9 0,8 0,7 0,76 0,89 0,99 1,18 1,27 1,37
49 1,36 1,12 1,08 0,9 0,79 0,69 0,75 0,89 0,99 1,19 1,28 1,39
50 1,37 1,12 1,08 0,89 0,77 0,67 0,74 0,88 0,99 1,19 1,29 1,41
20
Tabel 2.7 Pendugaan Available Water Capacity berdasarkan kombinasi jenis tanah
dan vegetasi (Thornthwaite-Mather, 1957)
Air Tersedia Tebal Zone Lengas Tanah
Tipe Tanah (Available water) Perakaran Tertahan
(mm . m-1) (m) (m)
Tanaman berakar
dangkal
100 0,50 50
Pasir halus
150 0,50 75
Lempung berpasir halus
200 0,62 125
Lempung berdebu
250 0,40 100
Lempung berliat
300 0,25 75
Liat
Tanaman berakar
sedang
100 0,75 75
Pasir halus
150 1,00 150
Lempung berpasir halus
200 1,00 200
Lempung berdebu
250 0,80 200
Lempung berliat
300 0,60 150
Liat
Tanaman berakar dalam
Pasir halus 100 1,00 100
Lempung berpasir halus 150 1,00 150
Lempung berdebu 200 1,25 250
Lempung berliat 250 1,00 250
Liat 300 0,67 200
Orchad
Pasir halus 100 1,50 150
Lempung berpasir halus 150 1,67 250
Lempung berdebu 200 1,50 300
Lempung berliat 250 1,00 250
Liat 300 0,67 200
Hutan tua tertutup
Pasir halus 100 2,50 250
Lempung berpasir halus 150 2,00 300
Lempung berdebu 200 2,00 400
Lempung berliat 250 1,60 400
Liat 300 1,17 350
21
Grafik Neraca Air 60%
600.00
500.00
400.00
300.00
P
200.00 EP
Ea
100.00
0.00
Juli
Mei
Maret
Agustus
Desember
Januari
April
September
Juni
Oktober
Nopember
Februari
Gambar 2.5 Contoh grafik neraca ar probabilitas hujan 60% (Riyanto dkk., 2015)
22
Variabel
No Sumber Data
Jenis Pengukuran
Kebutuhan air Persamaan rumus
Kebutuhan air Badan Pusat
4 peternakan SNI Kebutuhan air
peternakan Statistik
tahunan peternakan
Kebutuhan air Persamaan rumus
Kebutuhan air Badan Pusat
5 industri SNI Kebutuhan air
industri Statistik
tahunan industri
23
q (r) : adalah konsumsi air pada daerah pedesaan (liter/kapita/hari)
P (u) : adalah jumlah penduduk kota
P (r) : adalah jumlah penduduk pedesaan
Penggunaan air untuk keperluan domestik diperhitungkan dari jumlah
penduduk di daerah perkotaan dan pedesaan yang terdapat di Daerah Aliran
Sungai (DAS). Untuk penduduk perkotaan diperlukan 120L/hari/kapita,
sedang penduduk pedesaan memerlukan 60L/hari/kapita. Dengan diketahui
kebutuhan per hari per kapita penduduk maka dapat diformulasikan.
24
Tabel 2.10 Unit kebutuhan air untuk peternakan
Konsumsi Air
No Jenis ternak
(liter/ekor/hari)
1 Sapi/Kerbau 40
2 Domba/Kambing 5
3 Babi 6
4 Unggas 0.6
- Kekritisan DAS
Kekritisan DAS = DRO/total kebutuhan air dalam DAS (2.18)
DRO = Direct runoff (m3/tahun)
Kebutuhan air dalam DAS = Kebutuhan air domestik + kebutuhan air irigasi
+ kebutuhan air peternakan + kebutuhan air industri (m3/tahun)
25
diketahui dari parameter dominan yang berpengaruh. Klasifikasi kekritisan DAS
menjadi acuan dalam menilai kondisi air di DAS. Pengelolaan dan pengawasan
DAS dapat dilakukan sesuai dengan klasifikasi kekritisa DAS.
26
Kajian analisis debit dan kualitas air permukaan menggunakan teknik
purposive sampling dalam pengukuran debit dan pengambilan sampel kualitas
air sungai. Sampel yang diambil sebanyak 4 titik dengan mempertimbangkan
perbedaan penggunaan lahan sehingga lokasi pengambilan sampel dilakukan
di daerah hulu DAS, sebelum PT Tirta Investama, setelah PT Tirta Investama dan
hilir DAS. Keempat titik tersebut diasumsikan dapat mewakili kondisi kualitas
dan debit air sungai di DAS.
d. Metode pengolahan dan analisis data
Pengolahan data dan analisis debit dan kualitas air permukaan DAS
dijelaskan setiap parameter sebagai berikut:
- Debit sungai
Pengukuran debit sungai diukur menggunakan metode pengukuran
debit secara langsung. Pengukuran debit secara langsung diukur
berdasarkan kecepatannya secara langsung diperoleh tanpa menggunakan
persamaan rumus. Alat pengukur yang digunakan adalah current meter yang
otomatis dapat menghitung kecepatan aliran. Rumus dalam menghitung
debit menggunakan Persamaan 2.19 berikut:
Q = A.V (2.19)
Keterangan :
Q : Debit air (m/detik)
V : Kecepatan air (m/s)
A : Luas penampang sungai (m2)
Hasil perhitungan kecepatan dengan menggunakan current meter
diperoleh nilai jumlah putaran per waktu. Hasil jumlah putaran tersebut
dimasukan kedalam rumus koefisien alat. Rumus koefisien alat di jelaskan
dalam Persamaan 2.20 berikut:
V = aN + b (2.20)
Keterangan :
V : Kecepatan air (m/s)
N : Jumlah putaran alat per waktu (m/s)
a dan b : Koefisien alat
27
Pengukuran kecepatan menggunakan current meter juga
mempertimbangkan kecepatan secara vertikal dan horizontal. Pengukuran
kecepatan tersebut disesuaikan dengan kedalaman sungai dan rentang
penampang. Perhitungan kecepatan setiap kedalaman memiliki tingkat
kecepatan yang berbeda. Pengukuran setiap kedalaman dilakukan untuk
memperoleh nilai kecepatan yang mewakili setiap kedalaman (Tabel 2.13).
28
Gambar 2.6 Penampang sungai metode Mean Section (Rahayu dkk., 2009)
29
pengukur otomatis baik pH meter dan EC meter (Gamba 2.7). Pengukuran
kualitas air di laboratorium meliputi Dissolved Oxygen (DO), Biochemical
Oxygan Demand (BOD), Total Suspended Solid (TSS), Total Dissolved Solid
(TDS), nitrat, fosfat, sulfat, amonia, H2S, BOD, COD, Fe, Mn, detergen, coli
tinja, coliform total dan minyak lemak.
Gambar 2.8 Alat ukut DHL Meter (kiri) dan pH Meter (kanan)
30
Data Hujan Garis Kontur dan Sungai
Tidak Sesuai
Kalibrasi
Sesuai
31
DRO 60 dan 80 Hujan Evaporasi Aktual
Perhitungan
infiltrasi
infiltrasi
Perhitungan infiltrasi
kedalam airtanah
32
II.3. Survei Hidrogeologi dan Hidrogeokimia
II.3.1. Hidrokimia Air Tanah
Pengukuran hidrokimia air tanah di lapangan akan penting untuk
memahami kondisi air dalam suatu akuifer. Pangambilan sampel air tanah
dilakukan berdasarkan standar survei lapangan hidrogeologi, untuk menganalisa
sifat-sifat kimianya. Parameter fisik penting yang diukur di lapangan adalah suhu,
DHL (Daya Hantar Listrik) dan pH. Pengukuran suhu dan DHL menggunakan
Hanna HI 99300, sedangkan pengukuran pH air menggunakan Hanna HI 99104.
Pengukuran ini dilakukan pada sumur gali, sumur bor dan mataair. Nilai DHL
pada masing-masing lokasi pengukuran diinterpolasi sehingga dihasilkan peta
penyebaran nilai DHL air tanah untuk dapat diketahui kualitas air tanah pada
daerah penelitian.
Ion-ion utama yang umumnya terkandung dalam air tanah, seperti Na+, K+,
Ca2+, Mg2+, Cl-, CO3-, HCO3- dan SO4- merupakan kunci untuk melakukan analisis
yang efektif. Hasil dari analisis tersebut akan diplot dalam Diagram Fingerpirnt
Piper, yang digunakan untuk menentukan hidrokimia dari fasies air tanah dan
memprediksi asal dari air tersebut. Analisa kandungan klorida juga digunakan
untuk menentukan hubungan air tanah dalam hidraulika akuifer. Di dalam zona
air tersaturasi, meskipun klorida yang konstan tercampur dengan sumber yang
berbeda tipe, tidak ada proses yang akan mempengaruhi konsentrasi dari klorida
tersebut (Mazor, 1997).
II.3.2. Sistem Akuifer
Identifikasi sistem akuifer meliputi keberadaan mataair, sumur gali dan
sumur bor. Data-data tersebut dievaluasi bersama dengan informasi dari geologi
bawah permukaan melalui survei geolistrik untuk menentukan sistem akuifer,
sistem konfigurasi akuifer dan penyebarannya dalam suatu cekungan air tanah.
Penentuan daerah imbuhan dan lepasan air tanah juga sangat penting dan
dilakukan berdasarkan pola aliran air tanah, kemunculan air tanah (mataair,
rembesan) dan informasi hidrokimia air tanah serta kondisi hidrogeologi secara
umum.
33
II.3.3. Sistem Aliran Air tanah
Sistem aliran air tanah dapat dijelaskan dalam tiga dimensi yang terdiri
atas susunan permukaan ekuipotensial dan garis aliran struktur orthogonal, atau
garis tegak lurus dua dimensi yang melewati bagian yang terpilih. Kumpulan
garis ekuipotensial dan garis aliran tersebut dijelaskan dalam jaring-jaring aliran
sebagai alat analisis yang baik untuk memecahkan permasalahan air tanah. Garis
ekuipotensial adalah garis dengan kesamaan potensial dan saling memotong
tegak lurus terhadap garis aliran.
Sistem aliran air tanah ini dapat digambarkan dalam peta pola aliran air
tanah. Pembuatan peta ini mengunakan metode interpolasi data elevasi muka air
tanah hasil pengukuran lapangan. Elevasi muka air tanah adalah merupakan
ketinggian muka air tanah dari permukaan laut, sehingga nilainya merupakan
hasil pengurangan elevasi permukaan tanah dengan kedalaman muka air tanah.
Kontur muka air tanah pada akuifer bebas berdasarkan data elevasi muka air
tanah sumur gali, sedangkan kontur muka air tanah pada akuifer semi tertekan
berdasarkan data elevasi mataair. Selanjutnya arah aliran air tanah dapat
diketahui, yaitu kontur muka air tanah tinggi ke rendah dengan arah tegak lurus
dengan kontur elevasi muka air tanah.
Peta kontur dan pola aliran air tanah dibuat berdasarkan hasil
pengukuran langsung di lapangan. Metode pengukuran dilakukan dengan
pengukuran kedalaman muka air tanah dan bidang piezometrik pada sumur gali
dan sumur bor. Dalam pengukuran ini digunakan alat ukur kedalaman air tanah
berupa meteran. Parameter yang diperoleh adalah elevasi muka air tanah (mat)
dalam satuan mdpl (meter di atas permukaan air laut) dan tebal air dalam satuan
meter.
34
mempertimbangkan kondisi geologi. Besaran inilah yang menjadi target utama
dalam survei geolistrik, disamping sifat polaritas, sifat metal maupun bentuk
geometri medium bawah permukaan. Pengukuran besaran tahanan jenis batuan
bawah permukaan dengan menggunakan metode Schlumberger Vertical
Electrical Sounding (VES).
Metode ini bertujuan untuk mengetahui variasi susunan lapisan batuan
bawah tanah secara vertikal dengan memberikan arus listrik ke dalam tanah dan
mencatat perbedaan potensial terukur. Pengolahan data sounding ini dilakukan
dengan menggunakan program inversi. Program inversi dalam
pengoperasiannya tidak harus memasukkan model awal berupa banyaknya
lapisan, ketebalan dan resistivitasnya. Penghalusan data dilakukan secara
otomatis, tetapi untuk mendapatkan akurasi yang lebih tinggi dibutuhkan
pencocokan antara kurva lapangan dengan kurva model secara manual, lalu
melakukan inversi dengan menggunakan perangkat lunak.
II.4.1. Perambatan Arus di Dalam Tanah
Di dalam medium tanah atau batuan, arus listrik (pergerakan partikel-
partikel bermuatan) menjalar melalui tiga macam konduksi, yaitu konduksi
ohmik, elektrolitik dan dielektrik. Konduksi ohmik adalah jenis konduksi dimana
muatan listrik menjalar melalui struktur-struktur kristalin ataupun logam
dengan nilai hambatan cukup kecil. Konduksi elektrolitik adalah jenis konduksi
dimana muatan menjalar melalui air tanah yang sering terdapat pada lubang
tanah yang permeabel, pada sedimen lepas maupun batuan berpori. Konduksi
dielektrik, dimana dengan adanya medan listrik bolak-balik akan menyebabkan
ion-ion dalam medium bergerak melingkar menimbulkan medan magnet
sekunder dan memunculkan medan elektrik sekunder. Kondisi ini dapat terjadi
pada batuan yang mengandung elektron-elektron bebas.
Dalam penjalarannya di dalam tanah, aliran-aliran elektron tersebut
mengalami berbagai hambatan. Di dalam geolistrik, hambatan tersebut dikenal
sebagai hambatan jenis (tahanan jenis/resistivity) yang merupakan tahanan
sebagai fungsi jarak bersatuan Ohm-jarak. Satuan tersebut muncul dikarenakan
penerapan fungsi ruang dalam penataan posisi-posisi elektroda di dalam
pengukurannya. Besaran inilah yang menjadi target utama dalam survei
35
geolistrik, disamping sifat polaritasnya, sifat metalnya maupun bentuk geometri
medium bawah permukaan. Pada medium bumi, nilai tahanan jenis sangat
bergantung dari kombinasi efek ohmik dan dielektrik yang bersesuaian dengan
jenis batuannya, sifat elektrolitiknya dan kandungan air dalam pori-porinya.
Tahanan jenis batuan di bawah permukaan dapat berbeda di setiap posisi
walaupun batuan tersebut berjenis sama dan dalam formasi yang sama.
II.4.2. Hukum Ohm dan Resistivitas
Apabila ditinjau sebuah rangkaian sederhana yang terdiri dari sumber
arus yang terhubung seri dengan sebuah tahanan, maka arus yang mengalir
dalam kawat loop akan terhambat oleh keberadaan hambatan tadi. Pada ujung-
ujung hambatan dapat diukur beda potensialnya. Beda potensial ini besarnya
dirumuskan oleh George Simon Ohm pada Persamaan 2.22 berikut:
v = i .r (2.22)
dengan v adalah beda potensial terukur (volt), i adalah besarnya arus yang
dilewatkan (ampere) dan r besarnya tahanan (ohm) hambatan yang dipasang.
Apabila hambatan tersebut berbentuk balok dengan luas penampang A,
panjang L dan hambatannya r, maka dikenal parameter baru yang disebut sebagai
tahanan jenis (resistivitas) pada Persamaan 2.23 berikut:
rA
R (2.23)
L
Apabila ditinjau bahwa media yang dipakai adalah medium homogen
setengah koordinat, garis-garis arus akan menjalar radial dan membentuk
setengah bola. Apabila jarak titik pengukuran adalah d (Gambar 2.11), maka
dapat dibuat Persamaan 2.24 sebagai berikut:
Rd R 1
r (2.24)
2d 2
2 d
sehingga beda potensialnya akan memberikan Persamaan 2.25 berikut:
iR 1
v ir v0 v d (2.25)
2 d
yang menunjukkan beda potensial di titik 0 dan potensial pada jarak d. Pada
kasus 2 titik arus sebagai source dan sink (Gambar 2.12) dengan menganggap titik
0 adalah sama, maka akan diperoleh Persamaan 2.26 berikut:
36
iR 1 1
v (2.26)
2 d1 d 2
dengan d1 dan d2 adalah jarak dari titik amat ke kedua elektroda arus.
Gambar 2.11 Penjalaran arus dalam medium half-space dengan 2 elektroda arus
Gambar 2.12 Pengukuran beda potensial dengan dua elektroda arus (A dan B) dan dua
elektroda potensial (M dan N)
37
iR 1 1 1 1
v MN vM v N (2.28)
2 d1 d 2 d 3 d 4
Persamaan 2.22 menunjukkan harga beda potensial dari sebuah media
dengan harga resistivitas yang seragam di seluruh medium, atau dengan kata lain
mediumnya homogen. Sedangkan pada medium tanah atau batuan, harga
resistivitas di setiap titik berbeda dan bidang ekuipotensial yang terbentuk dapat
tidak beraturan. Dalam pengukuran di lapangan dikenal istilah resistivitas semu
yaitu rata-rata berbobot resistivitas yang berbeda-beda. Harga resistivitas semu
dapat dihitung dengan Persamaan 2.29 berikut:
1
V 1 1 1 1
Ra 2 MN (2.29)
i d1 d 2 d 3 d 4
Persamaan 2.27 dipersingkat menjadi Persamaan 2.30 berikut:
vMN
Ra G (2.30)
i
dengan G yang dikenal sebagai faktor geometri yang harganya bergantung dari
susunan (konfigurasi) elektroda yang digunakan.
II.4.4. Prosedur Survei Geolistrik
Menurut Kirsch (2006), perbedaan prosedur pengukuran tahanan jenis
umumnya dilakukan karena perbedaan geometri objek geologi. Dalam beberapa
kasus, pengukuran harus dilakukan pada lapisan horizontal (misalnya batuan
sedimen), bentukan geologi memanjang, bentukan struktur geologi dua dimensi
(misalnya dike, zona patahan) atau bentukan struktur yang acak (misalnya
formasi geologi berbentuk lensa dan gua karst). Beberapa metode pengukuran
tahanan jenis untuk menyiasati variasi perbedaan bentuk objek geologi, yaitu
pengukuran 1-D (Vertical Electrical Sounding), 2-D (Horizontal Profiling) dan 3-
D (Pemetaan tahanan jenis formasi, HES, tomografi tahanan jenis). Penjelasan
metode pengukuran tahanan jenis 1-D dan 2-D yang digunakan dalam penelitian
ini, yaitu sebagai berikut:
- Metode tahanan jenis 1-D
Teknik ini disebut juga dengan metode sounding atau VES (Vertical
Electrical Sounding), biasanya digunakan untuk menentukan perubahan atau
38
distribusi tahahan jenis ke arah vertikal medium bawah permukaan, di
bawah suatu titik sounding. Menurut Kirsch (2006), VES lebih baik
digunakan untuk daerah dengan lapisan batuan atau endapan yang
horizontal. Target geologi yang baik untuk metode ini adalah batuan sedimen
yang beraneka ragam, lapisan akuifer yang memiliki sifat fisik berbeda,
batuan sedimen yang menindih batuan beku dan zona pelapukan dari batuan
beku. Metode VES menghasilkan ketebalan dan nilai tahanan jenis lapisan
batuan atau endapan.
Pengukurannya dengan memasang elektroda arus dan potensial yang
diletakkan dalam satu garis lurus dengan jarak antar elektroda tertentu dan
selanjutnya spasi elektroda ini diperbesar secara gradual. Selanjutnya,
dilakukan plot harga tahanan jenis semu hasil pengukuran versus spasi
elektroda pada grafik log-log. Survei ini berguna untuk menentukan letak
dan posisi kedalaman benda anomali di bawah permukaan (Virgo, 2003).
Konfigurasi elektroda yang digunakan adalah konfigurasi Wenner, Wenner-
Schlumbeger dan Dipole-Dipole.
- Metode tahanan jenis 2-D
Metode ini disebut juga metode profiling atau Horizontal Profiling
yang digunakan untuk menentukan distribusi tahanan jenis semu secara
horizontal per kedalaman. Secara teknis pengukuran tahanan jenis 2-D
merupakan gabungan antara pengukuran sounding dan profiling. Metode ini
dilakukan untuk menginvestigasi objek geologi kompleks dengan perubahan
tahanan jenis secara horizontal. Kombinasi pengukuran ini menghasilkan
informasi tahanan jenis ke arah vertikal dan horizontal secara bersamaan.
Untuk metode ini diasumsikan variasi tahanan jenis pada bumi hanya terjadi
sepanjang lajur pengukuran, tanpa menganggap perbedaan tahanan jenis
yang tegak lurus profile.
Kelebihan dari prosedur akuisisi dua dimensi adalah resolusi vertikal
dan horizontal yang sangat tepat sepanjang profile, biaya operasional yang
relatif murah karena akuisisi data menggunakan komputer dan tenaga kerja
yang dibutuhkan sedikit. Pengukuran profiling dua dimensi dilakukan
dengan memasang elektroda arus dan potensial pada satu garis lurus dengan
39
jarak antar elektroda tetap, kemudian semua elektroda dipindahkan atau
digeser sepanjang permukaan sesuai dengan arah yang telah ditentukan
sebelumnya. Untuk setiap posisi elektroda akan didapatkan harga tahanan
jenis semu. Dengan membuat peta kontur tahanan jenis semu akan diperoleh
pola kontur yang menggambarkan adanya tahanan jenis yang sama (Loke,
2000).
Menurut Kirsch (2006), data yang didapatkan dari pengukuran
tahanan jenis secara dua dimensi akan ditampilkan sebagai pseudosection
sepanjang lintasan. Pseudosection akan memberikan gambaran dalam dari
penampang bawah permukaan. Umumnya model 2-D membagi-bagi
gambaran bawah permukaan menjadi beberapa persegi yang memiliki nilai
tahanan jenis semu sesuai dengan hasil pengukuran. Model yang digunakan
untuk inversi ini terdiri dari unit cell. Ukuran dari cell tergantung secara
otomatis terhadap jarak setiap elektroda terpasang atau dapat juga diatur
secara manual oleh pengguna. Ukuran dari cell biasanya bertambah besar
seiring dengan pertambahan kedalaman serta bertambah kecil akibat
kurang sensitifnya pengukuran pada awal dan akhir lintasan. Hasil akhir dari
pengukuran tahanan jenis secara dua dimensi ini adalah penampang dari
perhitungan tahanan jenis batuan sepanjang lintasan pengukuran.
Penampang melintang ini harus mencakup interpretasi struktural dari data
resistivitas yang ada. Konfigurasi elektroda yang dipakai pada metode ini
adalah konfigurasi Wenner, Wenner-Schlumbeger dan Dipole-Dipole.
40
Tahapan dan metodologi pada setiap survei dalam penelitian ini dapat
digambarkan dalam diagram alir pada Gambar 2.13 berikut.
Studi Literatur
Kerja Lapangan
Zona Recharge
Studi
Nilai Recharge
Hidrologi
Potensi Sumberdaya
Air Tanah
41