Anda di halaman 1dari 34

BAB II

METODOLOGI PENELITIAN

II.1. Survei Geologi


Kondisi geologi merupakan kunci untuk mengetahui kejadian air tanah,
asal-muasalnya, pergerakan dan kualitasnya. Pemetaan geologi dilaksanakan
melalui metode pemetaan geologi permukaan yang lazim digunakan, yang
meliputi penentuan jenis tanah/batuan dan kedudukan stratigrafinya,
pengamatan morfologi (bentuk topografi dan kemiringan lereng) dan juga
struktur geologi.
Pengamatan tanah/batuan di daerah penelitian ditunjang dengan
pengambilan sampel batuan di daerah keluarnya mataair untuk selanjutnya
dilakukan uji XRF (X-Ray Fluorescence) secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis
geomorfologi dengan bantuan Peta Topografi juga dilakukan untuk membantu
penentuan pola pengaliran sungai, kemiringan lereng, pola struktur geologi yang
berkembang dan potensi akumulasi air tanah.

Gambar 2.1 Siklus hidrologi (John Willey and Sons, 1999)

8
II.2. Survei Hidrologi
Dalam survei hidrologi dilakukan analisis neraca air Daerah Aliran Sungai
(DAS) dan analisis air permukaan. Berikut penjelasan mengenai metodologi yang
digunakan pada kedua analisis tersebut secara lebih detail.
II.2.1. Analisis Neraca Air Daerah Aliran Sungai (DAS)
a. Variabel neraca air DAS
Variabel penelitian memiliki peranan penting dalam penentuan
kebutuhan data, teknik sampling, unit analisis dan analisis hasil. Variabel neraca
air DAS terdiri atas hujan, suhu, evapotranspirasi potensial, accumulated
potential water loss, water holding capacity, soil mosture storage, perubahan soil
mosture storage, evapotranspirasi aktual, surplus air, defisit air , direct runoff
(DRO), infiltrasi, dan infiltrasi ke dalam airtanah . Deskripsi masing-masing
variabel dijelaskan pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Jenis variabel penelitian


Variabel
No Sumber Data
Jenis Pengukuran
1 Hujan (P) Hujan Bulanan Data sekunder Balai Besar Wilayah
curah hujan tahun Sungai Serayu
2001-2013
2 Suhu (T) Suhu bulanan Data sekunder suhu Balai Besar Wilayah
tahun 2001-2013 Sungai Serayu
3 Evapotranspirasi Evapotranspirasi Data sekunder suhu Balai Besar Wilayah
Potensial (EP) potensial tahun 2001-2013 Sungai Serayu
bulanan dan persamaan
rumus
(Thornthwaite dan
Mather, 1957)
4 Accumulated Accumulated Persamaan rumus Balai Besar Wilayah
Potential Water Potential Water (Thornthwaite dan Sungai Serayu
Loss (APWL) Loss bulanan Mather, 1957) dan
data pengolahan P
dan Ep
5 Water Holding Water Holding Ekstrasi data Balai Besar Wilayah
Capacity (Sto) Capacity bulanan sekunder tekstur Sungai Serayu, Peta
tanah dan Rupa Bumi Indonesia
penggunaan lahan skala 1:25.000 dan
Citra Satelit Google
Earth 2016
6 Soil Mosture Soil Mosture Persamaan rumus Balai Besar Wilayah
Storage (St) Storage bulanan dan data sekunder Sungai Serayu
pengolahan St dan
Sto

9
Tabel 2.1 Jenis variabel penelitian (lanjutan)
Variabel
No Sumber Data
Jenis Pengukuran
7 Perubahan Soil Perubahan Soil Persamaan rumus Balai Besar Wilayah
Mosture Storage Mosture Storage (Thornthwaite dan Sungai Serayu
(dSt) bulanan Mather, 1957) dan
data sekunder
pengolahan St dan
Sto
8 Evapotranspirasi Evapotranspirasi Persamaan rumus Balai Besar Wilayah
aktual (Ea) aktual bulanan (Thornthwaite dan Sungai Serayu
(Ea) Mather, 1957) dan
data sekunder
pengolahan P dan
Ep
9 Defisit (D) Defisit bulanan Persamaan rumus Balai Besar Wilayah
(Thornthwaite dan Sungai Serayu
Mather, 1957) dan
data sekunder
pengolahan Ep dan
Ea
10 Surplus (S) Surplus bulanan Persamaan rumus Balai Besar Wilayah
(Thornthwaite dan Sungai Serayu
Mather, 1957) dan
data sekunder
pengolahan P, Ep
dan dSt
11 Direct Runoff Direct Runoff Persamaan rumus Balai Besar Wilayah
(DRO) bulanan (Thornthwaite dan Sungai Serayu
Mather, 1957) dan
data sekunder
pengolahan S
12 I (infiltrasi) Infiltrasi bulanan Pengolahan data Balai Besar Wilayah
hujan, Sungai Serayu
evapotranspirasi
aktual dan runoff
13 Igw (Infiltrasi ke Infiltrasi ke Pengolahan data Balai Besar Wilayah
dalam airtanah) dalam airtanah infiltrasi dengan Sungai Serayu
bulanan koefisien perkolasi

b. Alat dan bahan


Alat dan bahan yang digunakan dalam analisis neraca air DAS, yaitu:
a. Software ArcGIS 10.2, untuk memodelkan hasil pengukuran
b. Software Microsoft Excel, untuk mengolah neraca air
a. Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala 1 : 25.000, untuk perhitungan water
holding capacity
b. Data curah hujan 13 tahun, untuk menghitung probabilitas hujan 60% dan
80%

10
c. Data suhu 13 tahun, untuk menghitung evapotranspirasi potensial dan
aktual
d. Peta tanah skala, untuk perhitungan water holding capacity
e. Citra satelit Google Earth 2016, untuk memperbaharui peta penggunaan
lahan
c. Populasi dan sampel
Populasi dan sampel setiap parameter neraca air DAS memiliki pengaruh
penting terhadap keakuratan hasil penilaian neraca air. Populasi dan sampel
tergantung pada unit analisis yang digunakan. Penelitian ini menggunakan unit
analisis DAS. Kajian dalam penelitian ini berdasarkan keseluruhan parameter
dan sensus. Parameter suhu dan hujan mengunakan keseluruhan stasiun hujan
dan meteorologi yang terdekat dan sebarannya merata di DAS. Parameter tekstur
tanah dan penggunaan lahan merupakan sensus karena lingkupnya DAS sehingga
keseluruhannya perlu dikaji. Parameter lainnya merupakan sensus dengan
pengolahan berdasarkan rumus menurut (Thornthwaite dan Mather, 1957).
d. Metode pengolahan dan analisis data
Pengolahan data dan analisis neraca air di DAS dijelaskan secara lebih
detail pada setiap parameternya, yaitu sebagai berikut:
- Hujan (P)
Hujan merupakan parameter yang penting dalam menghitung
ketersediaan air. Perhitungan hujan di dalam DAS dapat dijadikan model
untuk menghitung distribusi air di dalamnya baik sebagai air permukaan
maupun air tanah. Pemodelan tersebut sudah termasuk dalam metode yang
dilakukan oleh Thorthwaite dan Mather (1957). Pengolahan data hujan
diawali dengan mengisi data hujan yang kosong, uji korelasi stasiun hujan
dan konsistensi stasiun hujan. Pengisian data hujan yang kosong dilakukan
menggunakan rumus inverse distance square (Hadisusanto, 2010). Metode
ini menggunakan nilai dari data hujan tempat lain yang berdekatan.
Pengisian data hujan yang kosong menggunakan Persamaan 2.1 sebagai
berikut.

11
PA dx A PB dx B pc dx C
2 2 2
Px
1dx A 1dx B 1dx C
2 2 2
(2.1)

Keterangan :
Px : Tebal hujan (mm)
PA, PB, PC : Tinggi hujan stasiun sekitar (mm)
dxA, dxB : Jarak dari stasiun hujan x ke stasiun hujan A, B dan C (km)
Uji korelasi stasiun hujan dilakukan untuk mengetahui hubungan
antar stasiun hujan. Hasil uji korelasi mengevaluasi stasiun hujan perlu
ditambah atau dikurangi. Minimal data hujan yang diuji adalah 10 tahun. Uji
korelasi stasiun hujan menggunakan Persamaan 2.2 berikut:
nxy (x)(y )
R (2.2)
{nx 2 (x) 2 }{ny 2 (y ) 2 }

Keterangan:
R : Uji korelasi stasiun hujan
x : Stasiun hujan yang diuji (mm)
y : Stasiun hujan penguji (mm)
Hasil dari pengujian korelasi data hujan diklasifikasikan menjadi
beberapa ketegori atau klasifikasi. Klasifikasi dari sangat lemah hingga
sangat kuat. Apabila hasil uji korelasi antar stasiun termasuk kuat dan sangat
kuat maka stasiun hujan tersebut dapat dipertahankan atau dihilangkan
salah satunya. Hasil uji korelasi antar stasiun termasuk dalam klasifikasi
lemah hingga dan sangat lemah maka diperlukan stasiun hujan tambahan
sehingga diperoleh hasil sebaran hujan yang akurat. Klasifikasi dari uji
korelasi dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Klasifikasi uji korelasi (Sugiyono, 2007)


No Nilai Korelasi Keterangan
1 0,00 0,199 Sangat Lemah
2 0,20 0,399 Lemah
3 0,40 0,599 Sedang
4 0,60 0,799 Kuat
5 0,80 1,00 Sangat Kuat

Uji konsistensi dilakukan untuk mengetahui konsistensi data hujan.


Minimal data yang digunakan untuk analisis konsistensi adalah 10 tahun. Uji

12
konsistensi data hujan dilakukan dengan membuat kurva massa ganda. Hasil
koreksi dari kurva massa ganda dilihat berdasarkan garis kurva massa
ganda. Apabila garis tersebut tidak lurus atau banyak ditemukan garis yang
patah maka perlu dikoreksi. Pengerjaan kurva massa ganda diawali dengan
mengisi Tabel 2.3.

Tabel 2.3 Uji konsistensi data hujan (Triatmodjo, 2013)


Kumulatif Kumulatif
Stasiun Stas (A) Stas (B) Stas (C) Rata-rata
Tahun Stasiun Rata-Rata
Diuji (Penguji) (Penguji) (Penguji) Penguji
Diuji (Y) (X)

Hasil pengerjaan tabel uji konsistensi data hujan di buat grafik


(Gambar 2.2). Sumbu x merupakan komulatif rata-rata stasiun penguji dan
sumbu y merupakan komulatif stasiun diuji. Hasil ploting grafik pada Tabel
2.3 dianalisis garis yang menyimpang dan koefisien determinan (x2). Apabila
nilai koefisien determinan mendekati 1 maka model kurva massa ganda
sudah tepat. Apabila garis yang menyimpang cukup banyak maka diperlukan
koreksi kurva massa ganda. Hasil koreksi kurva massa ganda berupa Hz
dikalikan dengan nilai curah hujan yang menyimpang sehingga data (2.3a)

konsistensi lebih akurat. Konstanta koreksi dirumuskan pada Persamaan 2.3


berikut:
tan
Hz
tan o
y 4 y3 y 2 y1
tan (2.3b) tan o (2.3c)
x 4 x3 x 2 x1
Keterangan :
Hz : Hujan yang diperkiran (dihitung)
Tan0 : Kemiringan garis kurva massa ganda sebelum ada perubahan
Tan : Kemiringan garis kurva massa ganda yang mengalami perubahan

13
Gambar 2.2 Contoh kurva massa ganda (Riyanto, dkk. 2015)
Hasil data hujan yang telah diuji konsistensi dan korelasi kemudian di
lakukan pengolahan untuk hujan rancangan dengan probabilitas 60% dan
80% dengan data yang digunakan selama 10 tahun. Penggunanan
probabilitas hujan 60% dan 80% ditujukan untuk memperoleh debit andalan
dan besaran prediksi neraca air di dalam DAS. Pengolahan hujan rancangan
probabilitas 60% dan 80% menggunakan aplikasi otomatis dalam Microsoft
Excel. Proses pengolahan hujan rancangan ini dijelaskan pada Gambar 2.3
berikut.

Gambar 2.3 Contoh pengolahan hujan rancangan (Riyanto, dkk. 2015)

14
Input data pada aplikasi perhitungan hujan rancangan diawali
dengan mengisi data dasar Gambar 2.3 (kiri). Data awal berupa koefisien
kepercayaan dengan tingkat kesalahan 5% (semakin kecil derajat kesalahan
hasil model semakin mendekati kenyataan). Pengisian selanjutnya berupa
data jumlah kala ulang. Jumlah kala ulang yang diproyeksikan adalah 60%
dan 80% adalah dua kala ulang. Langkah berikutnya melakukan input data
hujan bulanan setiap stasiun dan diurutkan sesuai dengan tahun. Apabila
terdapat nilai yang sama maka data tersebut dapat dihapus salah satunya.
Langkah terakhir tekan proses untuk memperoleh hasil pengolahan hujan
rancangan.
Pengolahan aplikasi hujan rancangan diperoleh hasil seperti Gambar
2.3 (kanan). Hasil analisis diperoleh keterangan hasil hujan rancangan yang
paling baik beradasarkan distribusinya. Hasil yang digunakan sebagai hujan
rancangan adalah Xt. Hasil tersebut kemudian dilakuakn analisis hujan
wilayah dengan hasil stasiun hujan lainnya. Analisis hujan wilayah
dilakukan dengan sistem interpolasi geostatistik baik Spline, Inverse
Distance Weighting (IDW), Kriging dan moving average. Berdasarkan hasil
keempat metode tersebut dipilih nilai root mean square eror (RMSE) yang
paling kecil.
- Suhu
Suhu merupakan parameter penting dalam menghitung neraca air
dalam DAS. Parameter suhu berkaitan dengan proses evaporasi maupun
evapotranspirasi. Data suhu yang digunakan dalam penelitian ini minimal
10 tahun. Hal tersebut ditujukan untuk mendapatkan rata-rata suhu yang
akurat. Menghitung suhu dalam DAS di dasarkan pada rumus median
elevasi. Median elevasi menekankan pada titik tengah DAS yang dapat
mewakili suhu yang ada di DAS secara keseluruhan. Pengolahan median
elevasi dilakukan dengan cara membuat persentase ketinggian dari garis
kontur dengan luasan garis kontur (Tabel 2.4).

15
Tabel 2.4 Uji konsistensi data hujan
Kelas
Luas Luas Komulatif Luas (%)
No Ketinggian
(Ha) (%) Di atas Limit Bawah
(mdpl)
1 <500 0.31 0.23 100
2 500-700 8.14 5.95 99.77
3 700-1100 34.95 25.55 93.82
4 1100-1500 36.2 26.47 68.27
5 1500-1900 32.27 23.59 41.80
6 1900-2300 21.05 15.39 18.21
7 2300-2700 3.17 2.32 2.82
8 2700-3100 0.62 0.45 0.50
9 >3100 0.07 0.05 0.05
Jumlah 136.8 100

Hasil perhitungan median elevasi diambil dari komulatif luas (%)


sebesar 50%. Hal tersebut diasumsikan nilai kertinggian tengah di DAS
dapat mewakili nilai secara keseluruhan. Nilai ketinggian diperoleh dengan
mengeplotkan tabel median elevasi ke dalam grafik. Sumbu x untuk
persentase dan sumbu y untuk ketinggian. Hasil persentase 50 ditarik garis
ke atas hingga mengenai garis ploting data dan kemudian ditarik ke sisi
kanan untuk memperoleh ketinggian 50% (Gambar 2.4).

Gambar 2.4 Grafik median elevasi

16
Hasil ploting median elevasi ini digunakan dalam perhitungan untuk
memperoleh suhu diketinggian tersebut menggunakan Persamaan 2.4.
Pengolahan data suhu pada ketinggian hasil ploting grafik median elevasi
diperoleh dari data suhu bulanan (hasil rerata 10 tahunan) pada stasiun di
sekitarnya. Hasil pengolahan suhu tersebut digunakan untuk pengolahan data
berikutnya baik evapotranspirasi potensial dan aktual.
Tx = T 0,006 (h1-h2) (2.4)
Keterangan :
Tx : Suhu yang dicari (C)
T : Suhu stasiun yang diketahui
h1 : Ketinggian hasil median elevasi (m)
h2 : Ketinggian stasiun yang diketahui (m)
- Evapotranspirasi Potensial
Perhitungan evapotranspirasi potensial didasarkan pada rumus
Thortnhwaite dan Mather (1957) pada Persamaan 2.5. Data-data yang
digunakan adalah data temperatur rata-rata bulanan.
s.Tz
EP = PET (2.5a)
30 12

10 t a (2.5b)
PET = 1,6

i = ( t / 5 )1,514 (2.5c)

a = ( 675 . 10-9 . I3 ) (771 . 10-7 . I2 ) + (1792 . 10-5 . I ) + 0,49239 (2.5d)


Keterangan:
EP : Evapotransipari potensial
PET : Evapotranspirasi potensial bulanan (cm/bulan)
T : Temperatur udara rata-rata per bulan (oC)
I : Indeks panas tahunan (akumulasi indeks dalam setahun/i)
a : Koefisien yang tergantung dari tempat
(sTz/30x12) : Faktor koreksi terhadap panjang hari dari letak
lintang (Tabel 2.5 dan 2.6)
- Menghitung selisih antara P dan Ep (P-EP)
- Menghitung APWL (accumulated potential water loss)

17
Apabila (P-EP) bernilai positif, maka APWL bernilai 0. Apabila (P-
EP) bernilai negatif maka diturunkan menjadi harga mutlak untuk APWL.
- Sto (water holding capacity)
Water holding capacity merupakan fungsi dari tekstur tanah dan
kedalaman zona perakaran (mm/m) berdasarkan Tabel 2.7. Sto = Air
tersedia (mm/m) x zona akar (m) x luas wilayah (desimal).
- Storage (St)
Menghitung nilai soil moisture storage (St) berdasarkan , yaitu:
St = Sto X e (APWL/Sto) jika APWL 0 (2.6a)
St = Sto jika APWL = 0 (2.6b)
- Menghitung St
St = St bulan yang bersangkutan St bulan yang lalu, untuk bulan Januari
dikurangi bulan Desember (2.7)
- Evapotranspirasi Aktual (EA)
Untuk bulan basah (P>EP), maka EA = EP (2.8a)
Untuk bulan kering (P<EP), maka EA = P + |St| (2.8b)
- Menghitung surplus air (S)
S = (P EP) - St (2.9)
- Menghitung defisit air (D) = EP EA (2.10)
- Menghitung Direct Runoff (DRO)
DRO = (surplus bulan sebelumnya + surplus bulan saat itu) (2.11)
Asumsi yang digunakan untuk DRO setengah dari hujan yang jatuh
menjadi aliran permukaan dan setengahnya masuk ke dalam air tanah. Saat
memasuki musim kemarau DRO tetap terjadi dari separuh air yang masuk
ke dalam air tanah keluar menjadi DRO di bulan berikutnya.
- Menghitung Infiltrasi (I)
I = P Ea DRO (2.12)
- Menghitung infiltrasi ke dalam airtanah (Igw)
Igw = 0.9 (koefisien perkolasi) x I (2.13)

18
Tabel 2.5 Faktor koreksi letak Lintang utara (Thornthwaite dan Mather, 1957)
Bulan
LU
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
0 1,04 0,94 1,04 1,01 1,04 1,01 1,04 1,04 1,01 1,04 1,01 1,04
1 1,04 0,94 1,04 1,01 1,04 1,01 1,04 1,04 1,01 1,04 1,01 1,04
2 1,04 0,94 1,04 1,01 1,05 1,02 1,05 1,04 1,01 1,04 1,01 1,04
3 1,03 0,94 1,04 1,02 1,05 1,02 1,05 1,05 1,01 1,04 1,0 1,03
4 1,03 0,93 1,03 1,02 1,06 1,03 1,06 1,05 1,01 1,03 1,0 1,03
5 1,02 0,93 1,03 1,02 1,06 1,03 1,06 1,05 1,01 1,03 0,99 1,02
6 1,02 0,93 1,03 1,02 1,06 1,03 1,06 1,05 1,01 1,03 0,99 1,02
7 1,02 0,93 1,03 1,02 1,07 1,04 1,07 1,06 1,01 1,03 0,99 1,01
8 1,01 0,92 1,03 1,03 1,07 1,05 1,07 1,06 1,02 1,03 0,99 1,01
9 1,01 0,92 1,03 1,03 1,08 1,05 1,08 1,07 1,02 1,02 0,98 1,0
10 1,00 0,91 1,03 1,03 1,08 1,06 1,08 1,07 1,02 1,02 0,98 0,99
11 1,00 0,91 1,03 1,03 1,08 1,06 1,08 1,07 1,02 1,02 0,98 0,99
12 0,99 0,91 1,03 1,03 1,09 1,07 1,09 1,07 1,02 1,02 0,97 0,99
13 0,99 0,91 1,03 1,04 1,1 1,07 1,1 1,08 1,02 1,02 0,97 0,98
14 0,98 0,91 1,03 1,04 1,1 1,08 1,11 1,08 1,02 1,01 0,96 0,98
15 0,97 0,91 1,03 1,04 1,11 1,08 1,12 1,08 1,02 1,01 0,95 0,97
16 0,97 0,91 1,03 1,04 1,11 1,08 1,12 1,08 1,02 1,01 0,95 0,97
17 0,97 0,91 1,03 1,04 1,12 1,09 1,13 1,09 1,02 1,01 0,95 0,96
18 0,96 0,91 1,03 1,05 1,12 1,1 1,13 1,1 1,02 1,01 0,94 0,96
19 0,96 0,9 1,03 1,05 1,13 1,1 1,14 1,1 1,02 1,00 0,94 0,95
20 0,95 0,9 1,03 1,05 1,13 1,11 1,14 1,11 1,02 1,00 0,93 0,94
21 0,95 0,9 1,03 1,05 1,13 1,11 1,14 1,11 1,02 1,00 0,93 0,94
22 0,95 0,9 1,03 1,05 1,14 1,12 1,15 1,11 1,02 1,00 0,93 0,93
23 0,94 0,9 1,03 1,06 1,14 1,13 1,16 1,12 1,02 1,00 0,92 0,93
24 0,94 0,89 1,03 1,06 1,15 1,13 1,16 1,12 1,02 0,99 0,92 0,92
25 0,93 0,89 1,03 1,06 1,15 1,14 1,17 1,12 1,02 0,99 0,91 0,91
26 0,92 0,88 1,03 1,06 1,15 1,15 1,17 1,12 1,02 0,99 0,91 0,91
27 0,92 0,88 1,03 1,07 1,16 1,15 1,18 1,13 1,02 0,99 0,9 0,9
28 0,91 0,88 1,03 1,07 1,16 1,16 1,18 1,13 1,02 0,98 0,9 0,9
29 0,91 0,87 1,03 1,07 1,17 1,16 1,19 1,13 1,03 0,98 0,9 0,89
30 0,90 0,87 1,03 1,08 1,18 1,17 1,2 1,14 1,03 0,98 0,89 0,88
31 0,90 0,87 1,03 1,08 1,18 1,18 1,2 1,14 1,03 0,98 0,89 0,88
32 0,89 0,86 1,03 1,08 1,19 1,19 1,21 1,15 1,03 0,98 0,88 0,87
33 0,88 0,86 1,03 1,09 1,19 1,2 1,22 1,15 1,03 0,97 0,88 0,86
34 0,88 0,85 1,03 1,09 1,2 1,2 1,22 1,16 1,03 0,97 0,87 0,86
35 0,87 0,85 1,03 1,09 1,21 1,21 1,23 1,16 1,03 0,97 0,86 0,85
36 0,87 0,85 1,03 1,1 1,21 1,22 1,24 1,16 1,03 0,97 0,86 0,84
37 0,86 0,84 1,03 1,1 1,22 1,23 1,25 1,17 1,03 0,97 0,85 0,83
38 0,85 0,84 1,03 1,1 1,23 1,24 1,25 1,17 1,04 0,96 0,84 0,83
39 0,85 0,84 1,03 1,11 1,23 1,24 1,26 1,18 1,04 0,96 0,84 0,82
40 0,84 0,83 1,03 1,11 1,24 1,25 1,27 1,18 1,05 0,96 0,83 0,81
41 0,83 0,83 1,03 1,11 1,25 1,26 1,27 1,19 1,04 0,96 0,82 0,8
42 0,82 0,83 1,03 1,12 1,26 1,27 1,28 1,19 1,04 0,95 0,82 0,79
43 0,81 0,82 1,02 1,12 1,26 1,28 1,29 1,2 1,04 0,95 0,81 0,77
44 0,81 0,82 1,02 1,13 1,27 1,29 1,3 1,2 1,04 0,95 0,8 0,76
45 0,80 0,81 1,02 1,13 1,28 1,29 1,31 1,21 1,04 0,94 0,79 0,75
46 0,79 0,81 1,02 1,13 1,29 1,31 1,32 1,22 1,04 0,94 0,79 0,74
47 0,77 0,8 1,02 1,14 1,3 1,32 1,33 1,22 1,04 0,93 0,78 0,73
48 0,76 0,8 1,02 1,14 1,31 1,33 1,34 1,23 1,05 0,93 0,77 0,72
49 0,75 0,79 1,02 1,14 1,32 1,34 1,35 1,24 1,05 0,93 0,76 0,71
50 0,74 0,78 1,02 1,15 1,33 1,36 1,37 1,25 1,06 0,92 0,76 0,70

19
Tabel 2.6 Faktor koreksi letak lintang selatan (Thornthwaite dan Mather, 1957)
Bulan
LS
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
0 1,04 0,94 1,04 1,01 1,04 1,01 1,04 1,04 1,01 1,04 1,01 1,04
1 1,04 0,94 1,04 1,01 1,04 1,01 1,04 1,04 1,01 1,04 1,01 1,04
2 1,05 0,94 1,04 1,01 1,04 1,01 1,04 1,04 1,01 1,04 1,02 1,05
3 1,05 0,95 1,04 1,01 1,03 1,0 1,03 1,04 1,01 1,05 1,02 1,05
4 1,06 0,95 1,04 1,0 1,03 1,0 1,03 1,03 1,0 1,05 1,03 1,06
5 1,06 0,95 1,04 1,0 1,02 0,99 1,02 1,03 1,0 1,05 1,03 1,06
6 1,06 0,95 1,04 1,0 1,02 0,99 1,02 1,03 1,0 1,05 1,03 1,06
7 1,07 0,96 1,04 1,0 1,02 0,98 1,02 1,03 1,0 1,05 1,04 1,07
8 1,07 0,96 1,05 1,0 1,02 0,98 1,01 1,02 1,0 1,06 1,04 1,08
9 1,08 0,97 1,05 0,99 1,01 0,97 1,01 1,02 1,0 1,06 1,05 1,09
10 1,08 0,97 1,05 0,99 1,01 0,96 1,0 1,01 1,0 1,06 1,05 1,1
11 1,08 0,97 1,05 0,99 1,01 0,96 1,0 1,01 1,0 1,06 1,05 1,1
12 1,09 0,97 1,05 0,99 1,0 0,96 0,99 1,01 1,0 1,06 1,06 1,11
13 1,10 0,98 1,05 0,99 1,0 0,95 0,99 1,01 1,0 1,07 1,06 1,11
14 1,11 0,98 1,05 0,98 0,99 0,95 0,98 1,0 1,0 1,07 1,07 1,12
15 1,12 0,98 1,05 0,98 0,98 0,94 0,97 1,0 1,0 1,07 1,07 1,12
16 1,12 0,98 1,05 0,98 0,98 0,94 0,97 1,0 1,0 1,07 1,07 1,12
17 1,13 0,99 1,05 0,98 0,98 0,93 0,97 1,0 1,0 1,07 1,08 1,13
18 1,13 0,99 1,05 0,98 0,97 0,93 0,96 1,0 1,0 1,08 1,08 1,14
19 1,14 1,0 1,05 0,97 0,97 0,92 0,96 0,99 1,0 1,08 1,09 1,14
20 1,14 1,0 1,05 0,97 0,96 0,91 0,95 0,99 1,0 1,08 1,09 1,15
21 1,14 1,0 1,05 0,97 0,96 0,91 0,95 0,99 1,0 1,08 1,09 1,15
22 1,15 1,0 1,05 0,97 0,96 0,9 0,95 0,99 1,0 1,09 1,1 1,16
23 1,16 1,01 1,05 0,97 0,95 0,9 0,94 0,99 1,0 1,09 1,1 1,17
24 1,16 1,01 1,05 0,96 0,95 0,89 0,94 0,98 1,0 1,10 1,11 1,17
25 1,17 1,01 1,05 0,96 0,94 0,88 0,93 0,98 1,0 1,10 1,11 1,18
26 1,17 1,01 1,05 0,96 0,94 0,88 0,93 0,98 1,0 1,10 1,11 1,18
27 1,18 1,02 1,05 0,96 0,94 0,87 0,92 0,98 1,0 1,11 1,12 1,19
28 1,19 1,02 1,06 0,96 0,93 0,87 0,92 0,97 1,0 1,11 1,13 1,2
29 1,19 1,03 1,06 0,95 0,93 0,86 0,91 0,97 1,0 1,12 1,13 1,2
30 1,20 1,03 1,06 0,95 0,92 0,85 0,9 0,96 1,0 1,12 1,14 1,21
31 1,20 1,03 1,06 0,95 0,92 0,85 0,9 0,96 1,0 1,12 1,14 1,21
32 1,21 1,03 1,06 0,95 0,91 0,84 0,89 0,96 1,0 1,12 1,15 1,22
33 1,22 1,04 1,06 0,95 0,91 0,84 0,89 0,95 1,0 1,13 1,16 1,23
34 1,22 1,04 1,06 0,94 0,9 0,83 0,88 0,95 1,0 1,13 1,16 1,24
35 1,23 1,04 1,06 0,94 0,89 0,82 0,87 0,94 1,0 1,13 1,17 1,25
36 1,23 1,04 1,06 0,94 0,89 0,82 0,87 0,94 1,0 1,13 1,17 1,25
37 1,24 1,05 1,06 0,94 0,88 0,81 0,86 0,94 1,0 1,14 1,18 1,26
38 1,25 1,05 1,07 0,94 0,88 0,8 0,86 0,93 1,0 1,14 1,19 1,27
39 1,26 1,06 1,07 0,93 0,87 0,79 0,85 0,93 1,0 1,15 1,19 1,28
40 1,27 1,06 1,07 0,93 0,86 0,78 0,84 0,92 1,0 1,15 1,2 1,29
41 1,28 1,07 1,07 0,93 0,86 0,77 0,83 0,92 1,0 1,16 1,21 1,3
42 1,28 1,07 1,07 0,92 0,85 0,76 0,82 0,92 1,0 1,16 1,22 1,31
43 1,29 1,08 1,07 0,92 0,84 0,75 0,82 0,92 1,0 1,17 1,23 1,32
44 1,30 1,08 1,07 0,92 0,83 0,74 0,81 0,91 0,99 1,17 1,23 1,33
45 1,31 1,09 1,07 0,92 0,83 0,73 0,8 0,91 0,99 1,17 1,24 1,34
46 1,32 1,1 1,07 0,91 0,82 0,72 0,79 0,9 0,99 1,17 1,25 1,35
47 1,33 1,11 1,08 0,91 0,81 0,71 0,78 0,9 0,99 1,18 1,26 1,36
48 1,34 1,11 1,08 0,9 0,8 0,7 0,76 0,89 0,99 1,18 1,27 1,37
49 1,36 1,12 1,08 0,9 0,79 0,69 0,75 0,89 0,99 1,19 1,28 1,39
50 1,37 1,12 1,08 0,89 0,77 0,67 0,74 0,88 0,99 1,19 1,29 1,41

20
Tabel 2.7 Pendugaan Available Water Capacity berdasarkan kombinasi jenis tanah
dan vegetasi (Thornthwaite-Mather, 1957)
Air Tersedia Tebal Zone Lengas Tanah
Tipe Tanah (Available water) Perakaran Tertahan
(mm . m-1) (m) (m)
Tanaman berakar
dangkal
100 0,50 50
Pasir halus
150 0,50 75
Lempung berpasir halus
200 0,62 125
Lempung berdebu
250 0,40 100
Lempung berliat
300 0,25 75
Liat
Tanaman berakar
sedang
100 0,75 75
Pasir halus
150 1,00 150
Lempung berpasir halus
200 1,00 200
Lempung berdebu
250 0,80 200
Lempung berliat
300 0,60 150
Liat
Tanaman berakar dalam
Pasir halus 100 1,00 100
Lempung berpasir halus 150 1,00 150
Lempung berdebu 200 1,25 250
Lempung berliat 250 1,00 250
Liat 300 0,67 200
Orchad
Pasir halus 100 1,50 150
Lempung berpasir halus 150 1,67 250
Lempung berdebu 200 1,50 300
Lempung berliat 250 1,00 250
Liat 300 0,67 200
Hutan tua tertutup
Pasir halus 100 2,50 250
Lempung berpasir halus 150 2,00 300
Lempung berdebu 200 2,00 400
Lempung berliat 250 1,60 400
Liat 300 1,17 350

Analisis neraca air di DAS dijelaskan berdasarkan hasil grafik


hubungan antara hujan (P), evapotranspirasi potensil (EP) dan
evapotranspirasi aktual (Ea) yang ditunjukkan pada Gambar 2.5.
Berdasarkan grafik tersebut dapat diketahui pola dan kecenderungan nilai
surplus dan defisit beserta jumlahnya.

21
Grafik Neraca Air 60%
600.00

500.00

400.00

300.00
P
200.00 EP
Ea
100.00

0.00

Juli
Mei
Maret

Agustus

Desember
Januari

April

September
Juni

Oktober

Nopember
Februari

Gambar 2.5 Contoh grafik neraca ar probabilitas hujan 60% (Riyanto dkk., 2015)

II.2.2. Analisis Kekritisan Daerah Aliran Sungai (DAS)


a. Variabel kekritisan DAS
Variabel kekritisan DAS sangat penting untuk mengetahui kondisi DAS
tergolong tidak kritis, mendekati kritis, keadaan kritis, dan telah kritis. Kekritisan
DAS dipengaruhi oleh besaran kebutuhan air dan besaran limpasan permukaan
(DRO). Variabel kekritisan DAS terdiri atas kebutuhan air domestik, irigasi,
ternak, dan industri, serta limpasan permukaan. Deskripsi masing-masing
variabel dijelaskan pada Tabel 2.8.

Tabel 2.8 Jenis variabel


Tabel 2.8 Jenis variabel penelitian
Variabel
No Sumber Data
Jenis Pengukuran
Persamaan rumus
(Thornthwaite dan
Direct Runoff Direct Runoff Perhitungan model
1 Mather, 1957) dan
(DRO) tahunan
data sekunder
pengolahan S
Kebutuhan air Persamaan rumus
Kebutuhan air Badan Pusat
2 domestik SNI Kebutuhan air
domestik Statistik
tahunan domestik
Persamaan rumus
Kebutuhan air Kebutuhan air Badan Pusat
3 SNI Kebutuhan air
irigasi irigasi tahunan Statistik
irigasi

22
Variabel
No Sumber Data
Jenis Pengukuran
Kebutuhan air Persamaan rumus
Kebutuhan air Badan Pusat
4 peternakan SNI Kebutuhan air
peternakan Statistik
tahunan peternakan
Kebutuhan air Persamaan rumus
Kebutuhan air Badan Pusat
5 industri SNI Kebutuhan air
industri Statistik
tahunan industri

b. Alat dan bahan


Alat dan bahan yang digunakan dalam kekritisan DAS, yaitu:
a. Hasil perhitungan neraca air, untuk menghitung kekritisan DAS
b. Referensi SNI Kebutuha air, untuk menghitung kebutuhan air
c. Software Microsoft Excel, untuk mengolah kebutuhan air dan kekritisan DAS

c. Populasi dan sampel


Populasi dan sampel setiap parameter kekritisan air di DAS memiliki
pengaruh penting terhadap keakuratan hasil klasifikasi kondisi DAS. Penelitian
ini menggunakan unit analisis DAS. Kajian dalam penelitian ini berdasarkan
parameter kebutuhan air domestik, pertanian, peternakan, dan industri dengan
sistem sensus pada DAS baik berupa jumlah penduduk, jumlah ternak, jumlah
industri, dan pertanian. Data yang digunakan merupakan data sekunder dari BPS.

d. Metode pengolahan dan analisis data


Metode pengolahan kekritisan DAS dilakukan dengan menggunakan dua
metode yaitu perhitungan DRO dari persamaan Thornthwaite dan Mather,
(1957) dan perhitungan kebutuhan air berdasarkan SNI nomor 19-6728.1-2002
tentang penyusunan neraca sumberdaya air spasial. Pengolahan data dan
analisis kekritisan air di DAS dijelaskan secara lebih detail pada setiap
parameternya, yaitu sebagai berikut:
- Kebutuhan air domestik
() ()
Q domestik = 365 (1000 () + 1000 ()) (2.14)

Q domestik : adalah kebutuhan air untuk kebutuhan domestik (m3/tahun)


q (u) : adalah konsumsi air pada daerah perkotaan (liter/kapita/hari)

23
q (r) : adalah konsumsi air pada daerah pedesaan (liter/kapita/hari)
P (u) : adalah jumlah penduduk kota
P (r) : adalah jumlah penduduk pedesaan
Penggunaan air untuk keperluan domestik diperhitungkan dari jumlah
penduduk di daerah perkotaan dan pedesaan yang terdapat di Daerah Aliran
Sungai (DAS). Untuk penduduk perkotaan diperlukan 120L/hari/kapita,
sedang penduduk pedesaan memerlukan 60L/hari/kapita. Dengan diketahui
kebutuhan per hari per kapita penduduk maka dapat diformulasikan.

- Kebutuhan air irigasi


Q irigasi = L x It x a (2.15)
L : luas daerah irigasi (Ha)
It : Intensitas tanaman dalam prosen (%) musim/tahun
a : standar penggunaan air (1L/det/ha)
atau
Q irigasi : 0.001 m/de/ha x Luas daerah irigasi x 3600 x 24 x 120 hari/musim
(2.16)
- Kebutuhan air peternakan
Q peternakan = 365 x { q(c/b) x P(c/b) + q(s/g) x P(s/g)+ q(pi) x P(pi) +
q(po) x P(po)} (2.17)

Q Peternakan : Kebutuhan air untuk ternak (m/tahun)


q(c/b) : Kebutuhan air untuk sapi/kerbau (liter/ekor/hari)
q(s/g) : Kebutuhan air untuk Domba/Kambing (liter/ekor/hari)
q(pi) : Kebutuhan air untuk babi (liter/ekor/hari)
q(po) : Kebutuhan air untuk unggas (liter/ekor/hari)
P(c/b) : Jumlah sapi/kerbau
P(s/g) : Jumlah domba/kambing
P(pi) : Jumlah babi
P(po) : Jumlah ungas
Untuk kebutuhan air setiap jenis ternak di rinci pada tabel 2.10

24
Tabel 2.10 Unit kebutuhan air untuk peternakan
Konsumsi Air
No Jenis ternak
(liter/ekor/hari)
1 Sapi/Kerbau 40
2 Domba/Kambing 5
3 Babi 6
4 Unggas 0.6

- Kebutuhan air industri


Q industri = Hk {(Pk x Qk)/1000}+Up
Q industri = Kebutuhan air untuk industri (m/th)
Hk = Jumlah hari kerja per tahun
Pk = Jumlah karyawan
Qk = Baku kebutuhan air karyawan ( l/kap/hari)
Up = Kebutuhan air untuk proses industri (m3/th)

- Kekritisan DAS
Kekritisan DAS = DRO/total kebutuhan air dalam DAS (2.18)
DRO = Direct runoff (m3/tahun)
Kebutuhan air dalam DAS = Kebutuhan air domestik + kebutuhan air irigasi
+ kebutuhan air peternakan + kebutuhan air industri (m3/tahun)

Hasil kekritisan DAS diklasifikasikan menurut Notodiharjo (1982)


berdasarkan tabel 2.11

Tabel 2.11 Klasifikasi Kekritisan air di DAS


No Kelas Kekritisan DAS (%) Klasifikasi
1 < 50 Tidak Kritis
2 50 75 Mendekati Kritis
3 75 100 Keadaan Kritis
4 >100 Telah Kritis

Analisis kekritisan air di DAS dilakukan berdasarakan perhitungan DRO


dan kebutuhan air di DAS. Analisis kekritisan DAS dibandingkan antara
probabilitas 60% dan 80%. Berdasarkan hasil kekritisan DAS juga dapat

25
diketahui dari parameter dominan yang berpengaruh. Klasifikasi kekritisan DAS
menjadi acuan dalam menilai kondisi air di DAS. Pengelolaan dan pengawasan
DAS dapat dilakukan sesuai dengan klasifikasi kekritisa DAS.

II.2.3. Analisis Air Permukaan


a. Analisis debit dan kualitas air permukaan
Variabel analisis air permukaan meliputi debit dan kualitas air sungai di
Sub-DAS Serayu. Deskripsi masing-masing variabel dapat dijelaskan pada Tabel
2.12 berikut:
Tabel 2.12 Jenis variabel penelitian
Variabel
No Sumber Data
Jenis Pengukuran
Data primer
Debit saat Pengukuran
1 Debit (Q) pengukuran
pengukuran lapangan
lapangan
Kualitas air Pengujian Pengukuran
2 Kualitas air saat lapangan dan lapangan dan uji
pengukuran laboratorium laboratorium

b. Alat dan bahan


Alat yang digunakan dalam analisis debit dan kualitas air permukaan
dirinci sebagai berikut:
d. Current meter, untuk mengukur debit (Gambar 2.7)
e. Electrical conductivity meter, untuk mengukur daya hantar listrik, pH, suhu,
dissolved oxygen dan salinitas
f. Botol sampel ukuran 2 liter dan 1 liter, untuk wadah sampel air uji
parameter tss (total suspended solid) , tds (total dissolved solid), nitrat, fosfat,
sulfat, amoniak, h2s, bod, cod, fe, mn, detergen, minyak dan lemak
g. Botol winkler, untuk wadah sampel air uji parameter coli total
h. Pita ukur, untuk mengukur penampang sungai
i. Yalon, untuk menentukan penampang sungai
j. Check list, untuk mencatat pengukuran debit
Bahan yang digunakan dalam analisis debit dan kualitas air sungai adalah
Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala 1 : 25.000, untuk penentuan titik sampel
pengukuran debit dan kualitas air.
c. Populasi dan sampel

26
Kajian analisis debit dan kualitas air permukaan menggunakan teknik
purposive sampling dalam pengukuran debit dan pengambilan sampel kualitas
air sungai. Sampel yang diambil sebanyak 4 titik dengan mempertimbangkan
perbedaan penggunaan lahan sehingga lokasi pengambilan sampel dilakukan
di daerah hulu DAS, sebelum PT Tirta Investama, setelah PT Tirta Investama dan
hilir DAS. Keempat titik tersebut diasumsikan dapat mewakili kondisi kualitas
dan debit air sungai di DAS.
d. Metode pengolahan dan analisis data
Pengolahan data dan analisis debit dan kualitas air permukaan DAS
dijelaskan setiap parameter sebagai berikut:
- Debit sungai
Pengukuran debit sungai diukur menggunakan metode pengukuran
debit secara langsung. Pengukuran debit secara langsung diukur
berdasarkan kecepatannya secara langsung diperoleh tanpa menggunakan
persamaan rumus. Alat pengukur yang digunakan adalah current meter yang
otomatis dapat menghitung kecepatan aliran. Rumus dalam menghitung
debit menggunakan Persamaan 2.19 berikut:
Q = A.V (2.19)
Keterangan :
Q : Debit air (m/detik)
V : Kecepatan air (m/s)
A : Luas penampang sungai (m2)
Hasil perhitungan kecepatan dengan menggunakan current meter
diperoleh nilai jumlah putaran per waktu. Hasil jumlah putaran tersebut
dimasukan kedalam rumus koefisien alat. Rumus koefisien alat di jelaskan
dalam Persamaan 2.20 berikut:
V = aN + b (2.20)
Keterangan :
V : Kecepatan air (m/s)
N : Jumlah putaran alat per waktu (m/s)
a dan b : Koefisien alat

27
Pengukuran kecepatan menggunakan current meter juga
mempertimbangkan kecepatan secara vertikal dan horizontal. Pengukuran
kecepatan tersebut disesuaikan dengan kedalaman sungai dan rentang
penampang. Perhitungan kecepatan setiap kedalaman memiliki tingkat
kecepatan yang berbeda. Pengukuran setiap kedalaman dilakukan untuk
memperoleh nilai kecepatan yang mewakili setiap kedalaman (Tabel 2.13).

Tabel 2.13 Perhitungan kecepatan metode Current Meter (Soewarno, 1991)


Titik
Tipe Kedalaman (d) Kecepatan Rata-Rata Pada Vertikal
Pengamatan
1 titik 0,3 -0,6 m 0,6d V = V 0,6d
2 titik 0,6 3,0 m 0,2d dan 0,8d V = (V 0,2d + 0,8d)
0,2d; 0,6d dan
3 titik 3,0 6,0 m V = (V 0,2d + 0,6d+ 0,8d)
0,8d
Permukaan,
V = 1/10 (V permukaan +V 0,2d +
5 titik >6,0 m 0,2d; 0,6d; 0,8d
0,6d+ 0,8d + V dasar)
dan dasar

Pengukuran luas penampang sungai menggunakan metode mean


section. Metode mean section menggunakan luas penampang sungai dengan
membagi masing-masing saluran dengan ukuran yang sama (Gambar 2.6).
Persamaan perhitungan penampang sungai metode mean section
ditunjukkan pada Persamaan 2.13. Asusmsi yang digunakan dalam metode
mean section seluruh saluran dapat dihitung kecepatannya sehingga dapat
diperoleh nilai debit yang mewakili keseluruhan penampang sungai baik
vertikal dan horizontal.
An = (dn+dn+1) x ln (2.21)
2
Keterangan :
an : Luas Seksi A
dn : Kedalaman Sungai (1)
dn+1 : Kedalaman Sungai (2)
ln : Lebar Segmen

28
Gambar 2.6 Penampang sungai metode Mean Section (Rahayu dkk., 2009)

Gambar 2.7 Current Meter

Analisis perhitungan debit sungai dilakukan dengan cara


menggabungkan setiap saluran sehingga diperoleh satu perhitungan debit
sungai. Hasil perhitungan empat titik pengukuran debit sungai dikaitkan
dengan uji kualitas air. Berdasarkan perhitungan secara temporal 4 kali
pengukuran debit sungai dan pengujian kualitas air sungai akan diperoleh
hubungan debit sungai dan kualitas air sungai.
- Kualitas air sungai
Perolehan data kualitas air sungai diperoleh melalui dua tahap yaitu
pengujian sampel di lapangan dan analisis laboratorium. Pengukuran
kualitas air di lapangan berupa suhu, daya hantar listrik (DHL) dan pH.
Pengukuran sampel di lapangan dilakukan dengan menggunakan alat

29
pengukur otomatis baik pH meter dan EC meter (Gamba 2.7). Pengukuran
kualitas air di laboratorium meliputi Dissolved Oxygen (DO), Biochemical
Oxygan Demand (BOD), Total Suspended Solid (TSS), Total Dissolved Solid
(TDS), nitrat, fosfat, sulfat, amonia, H2S, BOD, COD, Fe, Mn, detergen, coli
tinja, coliform total dan minyak lemak.

Gambar 2.8 Alat ukut DHL Meter (kiri) dan pH Meter (kanan)

Pengambilan sampel air sungai dilakukan bersamaan dengan


pengukuran debit sungai. Setiap sungai diambil satu sampel untuk dikaji
kualitas airnya. Dasar pengukuran kualitas air sungai dilakukan untuk
mengetahui kondisi kualitas air sungai yang ditujukan untuk baku mutu air
minum. Asumsi yang digunakan air permukaan mengimbuh air tanah
sehingga perlu diketahui kondisi kualitas air permukaan.
Hasil uji labooratorium kemudian diolah kedalam Microsoft excel untuk
dikelaskan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001. Baku mutu air kelas II
peruntukannya untuk irigasi, pertanian dan perikanan. Analisis kualitas air
permukaan dilakukan di laboratorium untuk mengetahui kandungan unsur
yang terkandung di dalamnya. Hasil uji masing-masing parameter tersebut
dapat dikaitkan dengan sumber pencemar di lokasi kajian. Diagram alir dari
survei hidrologi ini dijelaskan pada Gambar 2.9.

30
Data Hujan Garis Kontur dan Sungai

Pengujian Data Hujan Interpretasi Visual

Data Hujan Terkoreksi Batas DAS

Perhitungan Hujan Wilayah


Metode Isohyet

Data Tekstur Data Penggunaan Lahan


Curah Hujan DAS tanah

Analisis Frekuensi Perhitungan STO

Curah Hujan Prob 0.8 dan 0.6 STO DAS

Neraca Air Thornwaite

DRO Prob 0.8 dan 0.6 Debit Observasi

Tidak Sesuai
Kalibrasi
Sesuai

Debit Kondisi Minimum Debit Kondisi Maksimum


(Probabilitas 80%) (Probabilitas 60%)

Grafik Neraca Air

Gambar 2.9 Diagram alir survei hidrologi

31
DRO 60 dan 80 Hujan Evaporasi Aktual

Perhitungan
infiltrasi

infiltrasi

Perhitungan infiltrasi
kedalam airtanah

infiltrasi kedalam airtanah

Data Penduduk Data Pertanian Data Industri Data ternak

Perhitungan Perhitungan Perhitungan Perhitungan


Kebutuhan air Kebutuhan air Kebutuhan air Kebutuhan air
domestik irigasi industri ternak

Kebutuhan air di DAS

Debit Kondisi Minimum


(Probabilitas 80%)
Perhitungan Keritisan DAS
Debit Kondisi Maksimum
(Probabilitas 60%)

Keritisan DAS Probabilitas


60% dan 80%

Gambar 2.10 Diagram alir survei hidrologi

32
II.3. Survei Hidrogeologi dan Hidrogeokimia
II.3.1. Hidrokimia Air Tanah
Pengukuran hidrokimia air tanah di lapangan akan penting untuk
memahami kondisi air dalam suatu akuifer. Pangambilan sampel air tanah
dilakukan berdasarkan standar survei lapangan hidrogeologi, untuk menganalisa
sifat-sifat kimianya. Parameter fisik penting yang diukur di lapangan adalah suhu,
DHL (Daya Hantar Listrik) dan pH. Pengukuran suhu dan DHL menggunakan
Hanna HI 99300, sedangkan pengukuran pH air menggunakan Hanna HI 99104.
Pengukuran ini dilakukan pada sumur gali, sumur bor dan mataair. Nilai DHL
pada masing-masing lokasi pengukuran diinterpolasi sehingga dihasilkan peta
penyebaran nilai DHL air tanah untuk dapat diketahui kualitas air tanah pada
daerah penelitian.
Ion-ion utama yang umumnya terkandung dalam air tanah, seperti Na+, K+,
Ca2+, Mg2+, Cl-, CO3-, HCO3- dan SO4- merupakan kunci untuk melakukan analisis
yang efektif. Hasil dari analisis tersebut akan diplot dalam Diagram Fingerpirnt
Piper, yang digunakan untuk menentukan hidrokimia dari fasies air tanah dan
memprediksi asal dari air tersebut. Analisa kandungan klorida juga digunakan
untuk menentukan hubungan air tanah dalam hidraulika akuifer. Di dalam zona
air tersaturasi, meskipun klorida yang konstan tercampur dengan sumber yang
berbeda tipe, tidak ada proses yang akan mempengaruhi konsentrasi dari klorida
tersebut (Mazor, 1997).
II.3.2. Sistem Akuifer
Identifikasi sistem akuifer meliputi keberadaan mataair, sumur gali dan
sumur bor. Data-data tersebut dievaluasi bersama dengan informasi dari geologi
bawah permukaan melalui survei geolistrik untuk menentukan sistem akuifer,
sistem konfigurasi akuifer dan penyebarannya dalam suatu cekungan air tanah.
Penentuan daerah imbuhan dan lepasan air tanah juga sangat penting dan
dilakukan berdasarkan pola aliran air tanah, kemunculan air tanah (mataair,
rembesan) dan informasi hidrokimia air tanah serta kondisi hidrogeologi secara
umum.

33
II.3.3. Sistem Aliran Air tanah
Sistem aliran air tanah dapat dijelaskan dalam tiga dimensi yang terdiri
atas susunan permukaan ekuipotensial dan garis aliran struktur orthogonal, atau
garis tegak lurus dua dimensi yang melewati bagian yang terpilih. Kumpulan
garis ekuipotensial dan garis aliran tersebut dijelaskan dalam jaring-jaring aliran
sebagai alat analisis yang baik untuk memecahkan permasalahan air tanah. Garis
ekuipotensial adalah garis dengan kesamaan potensial dan saling memotong
tegak lurus terhadap garis aliran.
Sistem aliran air tanah ini dapat digambarkan dalam peta pola aliran air
tanah. Pembuatan peta ini mengunakan metode interpolasi data elevasi muka air
tanah hasil pengukuran lapangan. Elevasi muka air tanah adalah merupakan
ketinggian muka air tanah dari permukaan laut, sehingga nilainya merupakan
hasil pengurangan elevasi permukaan tanah dengan kedalaman muka air tanah.
Kontur muka air tanah pada akuifer bebas berdasarkan data elevasi muka air
tanah sumur gali, sedangkan kontur muka air tanah pada akuifer semi tertekan
berdasarkan data elevasi mataair. Selanjutnya arah aliran air tanah dapat
diketahui, yaitu kontur muka air tanah tinggi ke rendah dengan arah tegak lurus
dengan kontur elevasi muka air tanah.
Peta kontur dan pola aliran air tanah dibuat berdasarkan hasil
pengukuran langsung di lapangan. Metode pengukuran dilakukan dengan
pengukuran kedalaman muka air tanah dan bidang piezometrik pada sumur gali
dan sumur bor. Dalam pengukuran ini digunakan alat ukur kedalaman air tanah
berupa meteran. Parameter yang diperoleh adalah elevasi muka air tanah (mat)
dalam satuan mdpl (meter di atas permukaan air laut) dan tebal air dalam satuan
meter.

II.4. Survei Geolistrik


Survei geolistrik merupakan salah satu metode geofisika yang digunakan
untuk menduga kondisi geologi bawah permukaan (penyebaran lapisan akuifer
secara lateral dan vertikal), meliputi macam dan sifat batuan berdasarkan sifat-
sifat kelistrikan batuan. Data sifat kelistrikan batuan berupa besaran hambatan
jenis (tahanan jenis/resistivity) akan dikelompokkan dan ditafsirkan dengan

34
mempertimbangkan kondisi geologi. Besaran inilah yang menjadi target utama
dalam survei geolistrik, disamping sifat polaritas, sifat metal maupun bentuk
geometri medium bawah permukaan. Pengukuran besaran tahanan jenis batuan
bawah permukaan dengan menggunakan metode Schlumberger Vertical
Electrical Sounding (VES).
Metode ini bertujuan untuk mengetahui variasi susunan lapisan batuan
bawah tanah secara vertikal dengan memberikan arus listrik ke dalam tanah dan
mencatat perbedaan potensial terukur. Pengolahan data sounding ini dilakukan
dengan menggunakan program inversi. Program inversi dalam
pengoperasiannya tidak harus memasukkan model awal berupa banyaknya
lapisan, ketebalan dan resistivitasnya. Penghalusan data dilakukan secara
otomatis, tetapi untuk mendapatkan akurasi yang lebih tinggi dibutuhkan
pencocokan antara kurva lapangan dengan kurva model secara manual, lalu
melakukan inversi dengan menggunakan perangkat lunak.
II.4.1. Perambatan Arus di Dalam Tanah
Di dalam medium tanah atau batuan, arus listrik (pergerakan partikel-
partikel bermuatan) menjalar melalui tiga macam konduksi, yaitu konduksi
ohmik, elektrolitik dan dielektrik. Konduksi ohmik adalah jenis konduksi dimana
muatan listrik menjalar melalui struktur-struktur kristalin ataupun logam
dengan nilai hambatan cukup kecil. Konduksi elektrolitik adalah jenis konduksi
dimana muatan menjalar melalui air tanah yang sering terdapat pada lubang
tanah yang permeabel, pada sedimen lepas maupun batuan berpori. Konduksi
dielektrik, dimana dengan adanya medan listrik bolak-balik akan menyebabkan
ion-ion dalam medium bergerak melingkar menimbulkan medan magnet
sekunder dan memunculkan medan elektrik sekunder. Kondisi ini dapat terjadi
pada batuan yang mengandung elektron-elektron bebas.
Dalam penjalarannya di dalam tanah, aliran-aliran elektron tersebut
mengalami berbagai hambatan. Di dalam geolistrik, hambatan tersebut dikenal
sebagai hambatan jenis (tahanan jenis/resistivity) yang merupakan tahanan
sebagai fungsi jarak bersatuan Ohm-jarak. Satuan tersebut muncul dikarenakan
penerapan fungsi ruang dalam penataan posisi-posisi elektroda di dalam
pengukurannya. Besaran inilah yang menjadi target utama dalam survei

35
geolistrik, disamping sifat polaritasnya, sifat metalnya maupun bentuk geometri
medium bawah permukaan. Pada medium bumi, nilai tahanan jenis sangat
bergantung dari kombinasi efek ohmik dan dielektrik yang bersesuaian dengan
jenis batuannya, sifat elektrolitiknya dan kandungan air dalam pori-porinya.
Tahanan jenis batuan di bawah permukaan dapat berbeda di setiap posisi
walaupun batuan tersebut berjenis sama dan dalam formasi yang sama.
II.4.2. Hukum Ohm dan Resistivitas
Apabila ditinjau sebuah rangkaian sederhana yang terdiri dari sumber
arus yang terhubung seri dengan sebuah tahanan, maka arus yang mengalir
dalam kawat loop akan terhambat oleh keberadaan hambatan tadi. Pada ujung-
ujung hambatan dapat diukur beda potensialnya. Beda potensial ini besarnya
dirumuskan oleh George Simon Ohm pada Persamaan 2.22 berikut:
v = i .r (2.22)
dengan v adalah beda potensial terukur (volt), i adalah besarnya arus yang
dilewatkan (ampere) dan r besarnya tahanan (ohm) hambatan yang dipasang.
Apabila hambatan tersebut berbentuk balok dengan luas penampang A,
panjang L dan hambatannya r, maka dikenal parameter baru yang disebut sebagai
tahanan jenis (resistivitas) pada Persamaan 2.23 berikut:

rA
R (2.23)
L
Apabila ditinjau bahwa media yang dipakai adalah medium homogen
setengah koordinat, garis-garis arus akan menjalar radial dan membentuk
setengah bola. Apabila jarak titik pengukuran adalah d (Gambar 2.11), maka
dapat dibuat Persamaan 2.24 sebagai berikut:
Rd R 1
r (2.24)
2d 2
2 d
sehingga beda potensialnya akan memberikan Persamaan 2.25 berikut:
iR 1
v ir v0 v d (2.25)
2 d
yang menunjukkan beda potensial di titik 0 dan potensial pada jarak d. Pada
kasus 2 titik arus sebagai source dan sink (Gambar 2.12) dengan menganggap titik
0 adalah sama, maka akan diperoleh Persamaan 2.26 berikut:

36
iR 1 1
v (2.26)
2 d1 d 2
dengan d1 dan d2 adalah jarak dari titik amat ke kedua elektroda arus.

Gambar 2.11 Penjalaran arus dalam medium half-space dengan 2 elektroda arus

II.4.3. Pengukuran Resistivitas


Pengukuran dalam geolistrik menggunakan dua elektroda arus yang
berfungsi untuk menginjeksikan arus ke dalam tanah dan dua elektroda lainnya
untuk mengukur beda potensial di permukaan. Biasanya, tapi tidak selalu,
pemasangan elektroda tersebut berada dalam satu garis (in-line).

Gambar 2.12 Pengukuran beda potensial dengan dua elektroda arus (A dan B) dan dua
elektroda potensial (M dan N)

Berdasarkan Persamaan 2.27 dan notasi disesuaikan untuk Gambar 2.12,


maka akan terpenuhi Persamaan 2.19 berikut:
iR1 1
vM
2 d1 d 2
(2.27)
iR 1 1
vN
2 d 3 d 4

dengan penggabungan kedua Persamaan 2.27 tersebut, beda potensial terukur


pada kedua titik MN dihitung dengan Persamaan 2.28 berikut:

37
iR 1 1 1 1
v MN vM v N (2.28)
2 d1 d 2 d 3 d 4
Persamaan 2.22 menunjukkan harga beda potensial dari sebuah media
dengan harga resistivitas yang seragam di seluruh medium, atau dengan kata lain
mediumnya homogen. Sedangkan pada medium tanah atau batuan, harga
resistivitas di setiap titik berbeda dan bidang ekuipotensial yang terbentuk dapat
tidak beraturan. Dalam pengukuran di lapangan dikenal istilah resistivitas semu
yaitu rata-rata berbobot resistivitas yang berbeda-beda. Harga resistivitas semu
dapat dihitung dengan Persamaan 2.29 berikut:
1
V 1 1 1 1
Ra 2 MN (2.29)
i d1 d 2 d 3 d 4
Persamaan 2.27 dipersingkat menjadi Persamaan 2.30 berikut:
vMN
Ra G (2.30)
i
dengan G yang dikenal sebagai faktor geometri yang harganya bergantung dari
susunan (konfigurasi) elektroda yang digunakan.
II.4.4. Prosedur Survei Geolistrik
Menurut Kirsch (2006), perbedaan prosedur pengukuran tahanan jenis
umumnya dilakukan karena perbedaan geometri objek geologi. Dalam beberapa
kasus, pengukuran harus dilakukan pada lapisan horizontal (misalnya batuan
sedimen), bentukan geologi memanjang, bentukan struktur geologi dua dimensi
(misalnya dike, zona patahan) atau bentukan struktur yang acak (misalnya
formasi geologi berbentuk lensa dan gua karst). Beberapa metode pengukuran
tahanan jenis untuk menyiasati variasi perbedaan bentuk objek geologi, yaitu
pengukuran 1-D (Vertical Electrical Sounding), 2-D (Horizontal Profiling) dan 3-
D (Pemetaan tahanan jenis formasi, HES, tomografi tahanan jenis). Penjelasan
metode pengukuran tahanan jenis 1-D dan 2-D yang digunakan dalam penelitian
ini, yaitu sebagai berikut:
- Metode tahanan jenis 1-D
Teknik ini disebut juga dengan metode sounding atau VES (Vertical
Electrical Sounding), biasanya digunakan untuk menentukan perubahan atau

38
distribusi tahahan jenis ke arah vertikal medium bawah permukaan, di
bawah suatu titik sounding. Menurut Kirsch (2006), VES lebih baik
digunakan untuk daerah dengan lapisan batuan atau endapan yang
horizontal. Target geologi yang baik untuk metode ini adalah batuan sedimen
yang beraneka ragam, lapisan akuifer yang memiliki sifat fisik berbeda,
batuan sedimen yang menindih batuan beku dan zona pelapukan dari batuan
beku. Metode VES menghasilkan ketebalan dan nilai tahanan jenis lapisan
batuan atau endapan.
Pengukurannya dengan memasang elektroda arus dan potensial yang
diletakkan dalam satu garis lurus dengan jarak antar elektroda tertentu dan
selanjutnya spasi elektroda ini diperbesar secara gradual. Selanjutnya,
dilakukan plot harga tahanan jenis semu hasil pengukuran versus spasi
elektroda pada grafik log-log. Survei ini berguna untuk menentukan letak
dan posisi kedalaman benda anomali di bawah permukaan (Virgo, 2003).
Konfigurasi elektroda yang digunakan adalah konfigurasi Wenner, Wenner-
Schlumbeger dan Dipole-Dipole.
- Metode tahanan jenis 2-D
Metode ini disebut juga metode profiling atau Horizontal Profiling
yang digunakan untuk menentukan distribusi tahanan jenis semu secara
horizontal per kedalaman. Secara teknis pengukuran tahanan jenis 2-D
merupakan gabungan antara pengukuran sounding dan profiling. Metode ini
dilakukan untuk menginvestigasi objek geologi kompleks dengan perubahan
tahanan jenis secara horizontal. Kombinasi pengukuran ini menghasilkan
informasi tahanan jenis ke arah vertikal dan horizontal secara bersamaan.
Untuk metode ini diasumsikan variasi tahanan jenis pada bumi hanya terjadi
sepanjang lajur pengukuran, tanpa menganggap perbedaan tahanan jenis
yang tegak lurus profile.
Kelebihan dari prosedur akuisisi dua dimensi adalah resolusi vertikal
dan horizontal yang sangat tepat sepanjang profile, biaya operasional yang
relatif murah karena akuisisi data menggunakan komputer dan tenaga kerja
yang dibutuhkan sedikit. Pengukuran profiling dua dimensi dilakukan
dengan memasang elektroda arus dan potensial pada satu garis lurus dengan

39
jarak antar elektroda tetap, kemudian semua elektroda dipindahkan atau
digeser sepanjang permukaan sesuai dengan arah yang telah ditentukan
sebelumnya. Untuk setiap posisi elektroda akan didapatkan harga tahanan
jenis semu. Dengan membuat peta kontur tahanan jenis semu akan diperoleh
pola kontur yang menggambarkan adanya tahanan jenis yang sama (Loke,
2000).
Menurut Kirsch (2006), data yang didapatkan dari pengukuran
tahanan jenis secara dua dimensi akan ditampilkan sebagai pseudosection
sepanjang lintasan. Pseudosection akan memberikan gambaran dalam dari
penampang bawah permukaan. Umumnya model 2-D membagi-bagi
gambaran bawah permukaan menjadi beberapa persegi yang memiliki nilai
tahanan jenis semu sesuai dengan hasil pengukuran. Model yang digunakan
untuk inversi ini terdiri dari unit cell. Ukuran dari cell tergantung secara
otomatis terhadap jarak setiap elektroda terpasang atau dapat juga diatur
secara manual oleh pengguna. Ukuran dari cell biasanya bertambah besar
seiring dengan pertambahan kedalaman serta bertambah kecil akibat
kurang sensitifnya pengukuran pada awal dan akhir lintasan. Hasil akhir dari
pengukuran tahanan jenis secara dua dimensi ini adalah penampang dari
perhitungan tahanan jenis batuan sepanjang lintasan pengukuran.
Penampang melintang ini harus mencakup interpretasi struktural dari data
resistivitas yang ada. Konfigurasi elektroda yang dipakai pada metode ini
adalah konfigurasi Wenner, Wenner-Schlumbeger dan Dipole-Dipole.

40
Tahapan dan metodologi pada setiap survei dalam penelitian ini dapat
digambarkan dalam diagram alir pada Gambar 2.13 berikut.

Studi Literatur

Kerja Lapangan

Observasi Geologi Observasi Air


Tanah

Geologi Observasi Mataair, Pengukuran


Permukaan Sungai dan Sumur Fisik

Terbentuknya Air Tanah Hidrokimia


Elevasi Air Tanah
Evaluasi Hasil
Survei Geolistrik Discharge Mataair
Terdahulu Discharge Sumur

Zona Recharge
Studi
Nilai Recharge
Hidrologi

Potensi Sumberdaya
Air Tanah

Gambar 2.13 Diagram alir penelitian

41

Anda mungkin juga menyukai