Anda di halaman 1dari 22

Referat Medula spinalis

Novia Chrystina
102011346-112014323
Periode 27April 2015-30 Mei 2015

Pendahuluan
Medula spinalis terfiksir pada tulang vertebra dan bisa tertekan oleh tumor yang
berasal dari substansi medula spinalis sendiri dari akar, meningen atau kolumna vertebralis
dan jaringan yang berdekatan. Kompresi bisa berakibat beban pada tulang spina, fraktur,
dislokasi, tembakan atau luka lain, penyakit radang, abses epidural, arthritis deformans,
aneurisma aorta yang menekan ke vertebra dan parasit atau kista dapat menyebabkan
kompresi. Medula spinalis merupakan jalur impuls aferen dan eferen antara otak dan tubuh
serta ekstremitas, berupa reflek motorik, otonom, segmental, lengkung somatik dan viseral.
Sindrom dan perjalanan penyakit dari berbagai penyebab tersebut biasanya hampir
sama, tergantung dari struktur anatomi medula spinalis yang terkena, level medula spinalis
yang terkompresi, perluasan, intensitas dan arah dan sifat kompresi. Biasanya semua tanda
yang ditemukan di bawah tingkat lesi, walau ada juga setingkat lesi atau di atas tingkat lesi.
Gambaran klinis kompresi yaitu kelemahan motorik biasanya paraplegia, gangguan sfingter,
gangguan sensorik objektif di bawah tingkat lesi dan manifestasi segmental/radiks motorik
dan sensorik (terutama nyeri) setingkat lesi.

Pembahasan
Medula spinalis merupakan struktur berbentuk selinder yang berdiameter < 2cm dan
terdiri dari bagian pu tih, dan bagian abu-abu. Medula spinalis menerima input melalui
nervus perifer dari bagian tubuh dan melalui traktus descenden dari otak, kemudian
memproyeksikan output saraf perifer ke bagian tubuh dan melalui traktus ascenden ke otak.
Medula spinalis dikelilingi oleh struktur-struktur yang secara berurutan dari luar ke
dalam terdiri atas:
dinding kanalis vertebralis yang terdiri atas tulang vertebrae dan ligamen.
lapisan jaringan lemak ekstradural yang mengandung anyaman pembuluh darah
vena
meninges, yang terdiri atas:
duramater (pachymeninx)
arachnoid (leptomeninx) yang menempel secara langsung pada duramater,
sehingga di antara kedua lapisan ini dalam keadaan normal tidak dijumpai suatu
ruangan.
ruangan subarachnoid yang di dalamnya terdapat cairan serebrospinal (CSF)
piamater, yang menempel langsung pada bagian luar medula spinalis.1

Pada tubuh orang dewasa panjang medula spinalis adalah sekitar 43 cm. Pada masa
tiga bulan perkembangan intrauterin, panjang medula pinalis sama dengan panjang korpus
vertebrae. Pada masa perkembangan berikutnya, kecepatan pertumbuhan korpus vertebrae
melebihi kecepatan pertumbuhan medula spinalis. Akibatnya pada masa dewasa, ujung
kaudal medula spinalis terletak setinggi tepi kranial korpus vertebrae lumbal II atau
intervertebral disk I/II. Perbedaan panjang medula spinalis dan korpus vertebrae ini
mengakibatkan terbentuknya konus medularis (bagian paling kaudal dari medula spinalis
yang berbentuk kerucut dan terutama terdiri atas segmen-segmen sakral medula spinalis) dan
cauda equina (kumpulan radiks nervus lumbalis bagian kaudal dan radiks nervus sakralis
yang mengapung dalam CSF). Kearah kaudal, ruangan subarachnoid berakhir setinggi
segmen sakral II atau III korpus vertebrae. Dengan demikian, di antara korpus vertebrae
lumbal II sampai korpus vertebrae sakral III tidak lagi terdapat medula spinalis, melainkan
hanya terdapat cauda equina yang terapung-apung di dalam CSF. Hal ini memungkinkan
tindakan punksi lumbal di daerah intervertebral disk III/IV atau IV/V tanpa mencederai
medula spinalis. Medula spinalis juga terbagi ke dalam beberapa segmen, yaitu: cervikal (C1-
C8), segmen torakal (T1-T12), segmen lumbal (L1-L5), segmen sakral (S1-S5) dan 1 segmen
koksigeal yang vestigial. Saraf dari C1-C7 berjalan di sebelah atas korpus vertebrae yang
bersangkutan, sedangkan dari saraf C8 ke bawah berjalan di sebelah bawah korpus vertebrae
yang bersangkutan.
Berdasarkan arah aliran impulsnya, traktus dalam medula spinalis antara lain:
Traktus ascenden yang membawa impuls ke arah kranial atau ke pusat-pusat
fungsional yang lebih tinggi
Traktus descenden yang membawa impuls dari pusat-pusat fungsional yang lebih
tinggi ke medula spinalis
Traktus intersegmentalis, yang mengantarkan impuls dalam dua arah.

Fungsi medula spinalis :2,3


Pusat gerakan otot tubuh terbesar yaitu dikornu motorik atau kornu ventralis.
Mengurus kegiatan refleks spinalis dan refleks tungkai, Refleks merupakan respon
bawah sadar terhadap adanya suatu stimulus internal ataupun eksternal untuk
mempertahankan keadaan seimbang dari tubuh. Refleks yang melibatkan otot
rangka disebut dengan refleks somatis dan refleks yang melibatkan otot polos, otot
jantung atau kelenjar disebut refleks otonom atau visceral.
Menghantarkan rangsangan koordinasi otot dan sendi menuju cerebellum.
Mengadakan komunikasi antara otak dengan semua bagian tubuh.

Fungsi lengkung refleks : 2,3


Reseptor: penerima rangsang.
Aferen: sel saraf yang mengantarkan impuls dari reseptor ke sistem saraf pusat
(ke pusat refleks).
Pusat refleks : area di sistem saraf pusat (di medula spinalis: substansia
grisea), tempat terjadinya sinap (hubungan antara neuron dengan neuron
dimana terjadi pemindahan atau penerusan impuls).
Eferen: sel saraf yang membawa impuls dari pusat refleks ke sel efektor. Bila
sel efektornya berupa otot, maka eferen disebut juga neuron motorik (sel saraf
atau penggerak).
Efektor: sel tubuh yang memberikan jawaban terakhir sebagai jawaban refleks.
Dapat berupa sel otot (otot jantung, otot polos atau otot rangka), sel kelenjar.

Jaras serabut aferen medulla spinalis yang menghantarkan suatu modalitas


somatosensorik tersendiri dan akan dibahas secara terpisah.
Traktus spinoserebelaris posterior dan anterior
Beberapa impuls eferen timbul di organ sistem musculoskeletal (otot, tendon dan
sendi), berjalan melalui traktus spinoserebelaris ke organ keseimbangan dan koordinasi,
serebelum. Ada dua traktus pada setiap sisi. Satu anterior dan satu lagi di posterior.1,4
Traktus spinoserebelaris posterior
Serabut Ia yang cepat menghantar impuls dari spindle otot dan organ tendon terbagi
menjadi banyak kolateral setelah memasuki medulla spinalis. Beberapa serabut kolateral
ini langsung membuat kontak sinaps dengan neuron motrik yang besar di kornu
anterius medulla spinalis (lengkung reflex monosinaptik). Serabut kolateral lain yang
muncul setingkat vertebra torakal dan sakral berakhir di nucleus berbentuk tabung yang
terdapat di dasar kornu posterius setinggi vertebra C8-L2, yang memiliki nama yang
bervariasi, antara lain kolumna sel intermediolateralis, nucleus torasikus, kolumna
Clarke dan nucleus Stilling. Neuron pasca sinaps kedua dengan badan sel yang terletak
di nucleus ini merupakan asal traktus spinoserebelaris posterior, yang serabutnya
merupakan salah satu serabut penghantar impuls tercepat di seluruh tubuh. Traktus
spinoserebelaris posterior berjalan ke atas di dalam medulla spinalis sisi ipsilateral di
bagian posterior funikulus lateralis dan kemudian berjalan melalui pedunkulus
serebelaris inferior ke vermis cerebri. Serebut aferen yang muncul setingkat vertebra
servikalis (yaitu di atas level kolumna sel intermediolateralis) berjalan di dalam
fasikulus kuneatus untuk membuat sinaps dengan neuron kedua yang sesuai di nucleus
kuneatus asesorius medullae dan serabut yang keluar berjalan naik ke serebelum.1,4

Traktus spinoserebelaris anterior


Serabut Ia yang lain yang memasuki medulla spinalis membentuk sinaps dengan
neuron fasikularis di kornu posterius di bagian sentral substansia grisea medulla
spinalis. Neuron kedua ini yang ditemukan setingkat segmen vertebralis lumbalis
bawah merupakan sel asal traktus spinoserebelaris anterior, yang berjalan naik di dalam
medulla spinalis baik di sisi ipsilateral maupun kontralateral dan berakhir di serebelum.
Kebalikan dengan traktus spinoserebelaris posterior, traktus spinoserebelaris anterior
menyilang di dasar ventrikel ke empat ke otak tengah kemudian berbelok kearah
posterior untuk mencapai vermis cerebeli melalui pedunkulus serebelaris superior dan
velum medulla superius. Serebelum menerima input prorioseptif aferen dari semua
region tubuh kemudian output eferen polisinaptiknya mempengaruhi tonus otot dan
koordinasi kerja-kerja otot agonis dan antagonis (otot sinergistik) yang berperan pada
saat berdiri, berjalan, dan semua gerakan lain. Dengan demikian, selain sirkuit regulasi
yang lebih rendah di medulla spinalis itu sendiri, yang telah dibahas pada bagian
sebelumnya, sirkuit fungsional yang lebih tinggi untuk regulasi gerakan ini juga
melibatkan jaras lain, jaras non piramidal dan neuron motor ik dan . Semua proses
tersebut terjadi tanpa disadari.1

Kolumna posterior
Kita dapat merasakan posisi tungkai kita dan merasakan derajat tegangan
ototnya. Kita dapat merasakan berat badan kita yang tertumpu pada telapak kaki. Kita
juga dapat mengenali gerakan sendi. Dengan demikian setidaknya beberapa impuls
propioseptif mencapai kesadaran. Impuls tersebut berasal dari reseptor di otot, tendon,
fascia, kapsul, sendi dan jaringan ikat serta reseptor kulit. Serabut aferen yang
menghantarkannya adalah prosesus neuron pseudounipolar bagian distal di ganglion
spinal. Prosesus bagian sentral sel-sel ini kemudian berjalan naik di dalam medulla
spinalis dan berakhir di nuclei kolumna posterior di medulla yang lebih rendah.
Lesi kolumna posterior
Kolumna posterior menghantar impuls yang berasal dari propioseptor dan
reseptor kutaneus. Jika terjadi kerusakan pada struktur tersebut, seseorang tidak dapat
merasakan posisi tungkainya lagi. Ia juga tidak dapat mengenali objek yang diletakkan
ditanganya hanya dengan sensasi raba saja atau mengenali suatu angka atau huruf yang
digambarkan oleh jari pemeriksa di telapak tangan. Diskriminasi spesial antar dua
stimulus yang diberikan secara bersamaan pada dua lokasi tubuh yang berbeda akan
terganggu. Karena rasa tekan juga terganggu, lantai di bawah tungkainya tidak lagi
dapat terasa sehingga mengakibatkan terjadinya gangguan postur dan cara berjalan (gait
ataxia), terutama pada keadaan gelap atau mata terpejam. Tanda-tanda lesi kolumna
posterior ini paling jelas ketika kolumna posterior itu sendiri yang mengalami
gangguan, tetapi tanda-tanda tersebut juga dapat timbul pada lesi di nuclei kolumna
posterior, lemniskus medialis, thalamus dan girus postsentralis.
Tanda-tanda klinis lesi kolumna posterior :
Hilangnya sensasi posisi dan gerakan. Pasien tidak dapat menyatakan lokasi
ekstrimitasnya tanpa melihat.
Asteriognosis: pasien tidak dapat mengenali dan menyebutkan objek melalui bentuk
dan beratnya hanya dengan menggunakan sensasi raba saja.
Agrafestesia : pasien tidak dapat mengenali rasa raba berbentuk suatu angka atau
huruf yang digambarkan di telapak tangannya oleh jari pemeriksa.
Hilangnya diskriminasi dua titik.
Hilangnya sensasi getar. Pasien tidak dapat merasakan garpu tala yang ditempelkan
pada tulangnya.
Tanda Romberg positif : pasien tidak dapat berdiri dalam jangka masa yang lama
dengan kedua kaki bersatu dan mata tertutup tanpa bergoyang dan mungkin juga
terjatuh. Hilangnya sensasi propioseptif, pada jangka tertentu, dapat dikompensasi
dengan membuka mata (yang tidak terjadi dengan pasien dengan lesi serebelum)

Traktus spinotalamikus anterior


Impuls timbul di reseptor kutaneus (ujung saraf peritrikial, korpuskel taktil)
dan dihantarkan disepanjang serabut saraf perifer yang bermielin sedang ke sel-sel
pseudounipolar ganglion radiks dorsalis dan dari sini masuk ke medula spinalis
melalui radiks posterior.sel-sel tersebut (neuron kedua) kemudian membentuk
traktus spinotalamikus anterior, yang serabut-serabutnya menyilang di komisura
spinalis anterior, berjalan naik ke funikulus anterolateralis kontralateral, dan
berakhir di nukleus ventralis posterolaeralis talami, bersama-sama dengan serabut-
serabut traktus spinotalamikus lateralis dan lemniskus medialis. Lesi pada traktus ini
setinggi verebra lumbal atau torakal umumnya menimbulkan sedikit atau tidak ada
gangguan pada rasa raba, karena banyak impuls yang naik dapat menutupi lesi
melalui bagian ipsilateral jaras ini. Namun, lesi pada traktus spinotalamikus anterior
pada tingkat servikal akan menimbulkan hipestesia ringan pada ekstremitas bawah
kontralateral.

Traktus spinotalamikus lateralis


Ujung saraf bebas di kulit merupakan reseptor perifer untuk stimulus nyeri
dan suhu. Ujung-ujung saraf ini merupakan endorgan serabut grup A yang tipis dan
serabut grup C yang hampir tidak bermielin, yang merupakan prosesus perifer
neuron pseudounipolar di ganglion spinale. Prosesus spinalis melewati bagian lateral
radiks posterior ke dalam medulla spinalis dan kemudian terbagi secara longitudinal
menjadi kolateral-kolateral yang pendek dan berakhir di dalam satu atau dua segmen
substansia gelatinosa, membuat kontak sinaptik dengan neuron funikularis (neuron
kedua) yang prosesusnya membentuk traktus spinotalamikus lateralis.
Lesi traktus spinotalamikus lateralis
Traktus spinotalamikus lateralis merupakan jaras utama untuk sensasi nyeri
dan suhu. Pada jaras ini dapat dilakukan transeksi secara pembedahan saraf untuk
menghilangkan rasa nyeri (kordotomi). Operasi ini jarang dilakukan saat ini karena
telah digantikan oleh metode yang lebih tidak inasif dan juga karena pemulihan yang
terjadi umumnya hanya bersifat sementara.
Traktus kortikospinalis/traktus piramidalis
Traktus ini berasal dari kortek motorik dan berjalan melalui substansia alba
dan serebri (korona radiata), kornu posterius kapsula interna (serabut terletak sangat
berdekatan di sini), bagian sentral pedunkulus serebri (krus serebri), pons, basal
medulla (bagian anterior), tempat traktus terlihat sebagai penonjolan kecil yang
disebut piramid. Piramid medulla terdapat satu pada masing-masing sisi memberikan
nama pada traktus tersebut. Pada bagian ujung bawah medulla, 80-85% serabut
piramidal menyilang ke sisi lain di dekusasio piramidum. Serabut yang tidak
menyilang di sini berjalan menuruni medulla spinalis di funikulus anterior ipsilateral
sebagai traktus kortikospinalis anterior. Serabut ini menyilang lebih ke bawah
(biasanya setingkat segmen yang dipersarafi) melalui komisura anterior medulla
spinalis. Pada tingkat servikal dan torakal, kemungkinan juga terdapat serabut-
serabut saraf yang tetap tidak menyilang dan mempersarafi neuron motorik
ipsilateral di kornu anterius, sehingga otot-otot leher dan badan mendapatkan
persarafan kortikal bilateral. Mayoritas serabut traktus piramidalis menyilang di
dekusasio piramidum, kemudian menuruni medulla spinalis di funikulus lateralis
kontralateral sebagai traktus kortikospinalis lateralis. Traktus ini mengecil pada area
potong-lintangnya ketika berjalan turun ke bawah medula spinalis, karena beberapa
serabutnya berakhir di masing-masing segmen sepanjang perjalanannya. Sekitar
90% dari semua serabut traktus piramidalis berakhir membentuk sinaps dengan
interneuron, yang kemudian menghantar impuls motorik ke neuron motor yang
besar di kornu anterius serta ke neuron motorik yang lebih kecil.1,4,5

Traktus kortikonuklearis/kortikobulbaris
Beberapa serabut traktus piramidalis membentuk cabang dari masa utama
traktus ketika melewati otak tengah dan kemudian berjalan lebih ke dorsal menuju
nuclei nervi kranialis motorik. Serabut yang mempersarafi nuclei batang otak ini
sebagian menyilang dan sebagian lagi tidak menyilang. Nuclei yang menerima input
traktus piramidalis adalah nuclei yang memediasi gerakan volunter otot-otot cranial
melalui nervus kranialis V (N. trigeminus), N. Fasialis, N. Glosofaringeus, N vagus,
N. Aksesorius serta N hipoglosus.1,4
Dermatom

Gambar 1. Medula spinalis


Sumber: www.eventu.biz

Sindrom medulla spinalis


Karena medulla spinalis terdiri dari serabut saraf motorik, sensorik, dan
otonom, serta nuclei dengan hubungan spesial yang erat satu sama lain, lesi pada
medulla spinalis dapat menimbulkan berbagai deficit neurologis, yang dapat
dikombinasikan satu dengan yang lainnya dalam berbagai cara yang berbeda.
Pemeriksaaan klinis yang cermat biasanya dapat menunjukkan lokasi lesi secara
tepat.
Lesi pada medulla spinalis jarang hanya mengenai substansia alba atau hanya
substansia grisea tetapi lebih sering mengenai keduanya. Di sini akan dibahas
manifestasi klinis sindrom medulla spinalis yang khas dan ditampilkan dari sudut
pandang topikal.1

Sindrom kolumna posterior


Kolumna posterior dapat terlihat secara sekunder oleh proses patologis yang
mengenai sel-sel ganglion radiks dorsalis dan radiks posterior. Lesi pada kolumna
posterior umumnya merusak sensasi posisi dan getar, diskriminasi dan streognosis.
Lesi ini juga menimbulkan tanda Romberg yang positif, serta gait ataksia yang
memberat secara bermakna ketika mata ditutup (tidak seperti ataksia serebelar yang
mana tidak memberat saat mata ditutup). Lesi kolumna posterior juga seringkali
menyebabkan hipersensitivitas terhadap nyeri. Kemungkinan penyebabnya antara
lain adalah defisiensi vitamin B12 (misalnya pada mielosis funikularis), mielopati
vakuolar terkait-AIDS, dan kompresi spinal (misalnya pada stenosis medulla spinalis
servikalis).1,4,6

Sindrom kornu posterius


Sindrom ini dapat menjadi manifestasi klinis siringomielia, hematomielia
dan beberapa tumor intra medular medulla spinalis, dan kondisi-kondisi lainnya.
Seperti lesi pada radiks posterior, lesi kornu posterius menimbulkan deficit
somatosensorik segmental namun tidak seperti lesi radiks posterior yang merusak
semua modalitas sensorik, lesi kornu posterius menyisakan modalitas yang
dipersarafi oleh kolumna posterior. Hanya sensasi nyeri dan suhu segmen ipsilateral
yang sesuai yang hilang, karena modalitas ini dikonduksikan ke sentral melalui
neuron kedua di kornu posterius (yang aksonnya berjalan naik di dalam traktus
spinotalamikus lateralis). Hilangnya sensasi nyeri dan suhu dengan menyisakan
sensasi bagian kolumna posterior disebut deficit somatosensorik terdisosiasi. Dapat
terjadi nyeri spontan (nyeri deferentasi) di area yang analgesik. Sensasi nyeri dan
suhu di bawah tingkat lesi tetap baik, karena traktus spinotalamikus lateralis, yang
terletak di funikulus anterolateralis, tidak mengalami kerusakan dan tetap
menghantar modalitas tersebut ke sental.1

Sindrom substansia grisea


Kerusakan pada substansia grisea sentral medulla spinalis akibat
siringomielia, hematomielia, tumor medulla spinalis intramedular atau proses-proses
lain mengganggu semua jaras serabut yang melewati substansia grisea. Serabut yang
paling berpengaruh adalah serabut yang berasal dari sel-sel kornu posterius dan yang
menghantarkan sensasi tekanan, raba kasar, nyeri dan suhu. Serabut-serabut tersebut
menyilang di substansia grisea sentral dan kemudian berjalan naik di traktus
spinotalamikus lateralis dan anterior. Suatu lesi yang mengenainya menimbulkan
deficit sensorik terdisosiasi bilateral di area kulit yang dipersarafi oleh serabut yang
rusak.
Siringomielia ditandai dengan pembentukan satu atau beberapa rongga berisi
cairan di medulla spinalis. Penyakit yang serupa di batang otak disebut
siringobulbia. Rongga ini disebut siring, dapat terbentuk oleh berbagai mekanisme
yang berbeda dan terdistribusi dengan pola karekteristik yang berbeda, sesuai
dengan mekanisme pembentukannya. Beberapa siring merupakan perluasan kanalis
sentralis medulla spinalis yang berhubungan atau tidak berhubungan dengan
ventrikel keempat. Siringomielia paling sering mengenai medulla spinalis servikalis,
umumnya menimbulkan hilangnya sensasi nyeri dan suhu di bahu dan ekstremitas
atas. Siring menyebabkan (para) paresis spastik dan gangguan proses berkemih,
defekasi dan fungsi seksual. Siringobulbia sering menyebabkan atrofi unilateral pada
lidah, hiperalgesia atau analgesia pada wajah dan berbagai jenis nistagmus sesuai
dengan lokasi dan konfigurasi siring.

Sindrom lesi kombinasi pada kolumna posterior dan traktus kortikospinalis


Sindrom ini paling sering terjadi disebabkan oleh defisiensi vitamin B12
akibat karena kurangnya faktor instrinsik lambung dan pada kasus demikian disebut
degenerasi kombinasi subakut. Fokus-fokus demielinasi ditemukan di regio
servikal dan torakal di kolumna posterior (70-80%) dan lebih jarang di traktus
piramidalis (40-50%), sedangkan substansia grisea biasanya tidak mengalami
kerusakan. Kerusakan kolumna posterior menyebabkan hilangnya sensasi posisi dan
getar di ekstremitas bawah, menimbulkann ataksia spinal dan tanda Romberg yang
positif (ketidakseimbangan postur saat mata tertutup). Kerusakan traktus pirimidalis
yang menyertainya menimbulkan paraparesi spastik dengan hiperrefleksia dan tanda
Babinski bilateral.1
Sindrom kornu anterius
Baik poliomyelitis akut maupun berbagai jenis atrofi otot spinal secara
spesifik mempengaruhi sel-sel kornu anterius, terutama pada pembesaran servikal
dan lumbalis medulla spinalis.
Pada poliomyelitis (infeksi virus), sejumlah sel kornu anterius hilang secara
akut dan irreversible, terutama di region lumbalis, menyebabkan paresis flasid pada
otot-otot di segmen yang sesuai. Otot proksimal cenderung lebih terpengaruh
berbanding otot distal. Otot menjadi atrofi dan pada kasus berat dapat tergantikan
seluruhnya oleh jaringan ikat dan lemak. Poliomyelitis jarang mengenai seluruh otot
ekstremitas, karena sel-sel kornu anterius di kolumna vertical yang panjang di dalam
medulla spinalis.1,7

Sindrom kombinasi kornu anterius dan traktus piramidalis


Terlihat pada sklerosis amitrofi lateral (ALS) sebagai akibat degenerasi
neuron motorik kortikal dan medulla spinalis. Gambaran klinisnya adalah kombinasi
paresis flasid dan spastik. Atrofi otot yang timbul pada awal perjalanan penyakit,
umumnya sangat berat sehingga reflek tendon dalam menghilang, jika hanya
mengenai lower motor neuron. Namun karena kerusakan yang simultan pada upper
motor neuron (dengan konsekuensi berupa degenerasi traktus pirimidalis dan
spastisitas), refleks umumnya tetap dapat dicetuskan dan bahkan dapat meningkat.
Degenerasi nuclei nervus kranialis motorik yang menyertainya dapat menyebabkan
disartria dan disfagia (kelumpuhan bulbar progresif).1,6

Sindrom traktus kortikospinalis


Hilangnya neuron motorik kortikal yang diikuti oleh degenerasi traktus
kortikospinalis pada beberapa penyakit, termasuk sklerosis lateralis primer (varian
sklerosis amiotrofik lateralis) dan bentuk yang lebih jarang paralisis spinal spastic
herediter. Bentuk yang lebih sering pada penyakit ini terjadi akibat mutasi gen untuk
ATPase dari family AAA pada kromosom 2. Penyakit ini muncul pada masa kanak-
kanak dan memberat secara lambat setelahnya, awalnya pasien mengeluh rasa berat
yang dilanjutkan dengan kelemahan pada ekstemitas bawah. Paraparesis spatik
dengan gangguan cara berjalan pasti timbul dan memberat secara perlahan. Refleks
lebih kuat daripada normal. Paresis spastik pada ekstremitas atas tidak timbul hingga
lama setelahnya.1
Sindrom kombinasi keterlibatan kolumna posterior, traktus spinoserebelaris
dan (kemungkinan ) traktus piramidalis.
Ketika proses patologis mengenai semua sistem tersebut, diagnosis banding
harus menyertakan ataksia spinoserebelaris tipe Friedreich, bentuk aksonal neuropati
herediter (HSMN II), dan ataksia lainnya.
Karekteristik menifestasi klinis timbul oleh lesi pada masing-masing sistem
yang terkena. Ataksia Friedreich dimulai sebelum usia 20 tahun dengan hilangnya
sel-sel ganglion radiks dorsalis, yang menyebabkan degenerasi kolumna posterior.
Akibat klinisnya adalah gangguan sensasi posisi, diskriminasi dua titik, dan
stereognosis, dengan ataksia spinalis dan tanda Romberg yang positif. Sensasi nyeri
dan suhu sebagian besar atau seluruhnya tidak terganggu. Ataksia berat, baik karena
kolumna posterior ataupun traktus spinoserebelaris terkena. Hal ini terlihat jelas
ketika pasien mencoba berjalan, berdiri dan duduk, serta pada saat pemeriksaan jari-
hidung-jari dan uji heel-knee-shin. Cara berjalan pasien tidak terkoordinasi dengan
festinasi, dan juga menjadi spastik seiring perjalanan waktu karena degenerasi
progresif pada traktus piramidalis. Sekitar setengah jumlah pasien menunjukkan
deformitas rangka seperti skoliosis atau pes kavus (yang disebut kaki Friedreich).
Menurut Harding, ataksia Friedreich dapat didiagnosis jika ditemukan kriteria klinis
berikut:
Ataksia progresif tanpa diketahui penyebabnya, dimulai sebelum usia 25
tahun.
Diturunkan secara autosomal resesif.
Tidak adanya refleks tendon dalam di ekstremitas bawah
Gangguan kolumna posterior
Disartria dalam 5 tahun setelah onset.

Diagnosis dapat ditegakkan secara definitif dengan pemeriksaan genetik molekuler


untuk mengindentifikasi defek genetik yang mendasarinya.1

Sindrom hemiseksi medulla spinalis/ sindrom Brown-Sequard


Sindrom ini jarang dan biasanya tidak komplet. Penyebab tersering adalah
karena trauma medula spinalis dan herniasi diskus servikalis. Interupsi jaras motorik
desendens pada satu sisi medulla spinalis pada awalnya menyebabkan paresis flasid
ipsilateral di bawah tingkat lesi (syok spinal), yang kemudian menjadi spastik dan
disertai oleh hiperefleksia, tanda Babinsky dan gangguan vasomotor. Pada saat yang
bersamaan gangguan kolumna posterior pada satu sisi medulla spinalis
menimbulkan hilangnya sensasi posisi, getar, dan diskriminasi taktil ipsilateral di
bawah tingkat lesi. Ataksia yang normalnya terlihat pada lesi kolumna posterior
tidak terjadi kerena paresis ipsilateral yang bersamaan. Sensasi nyeri dan suhu sesisi
lesi tidak terganggu, karena serabut yang mempersarafi modalitas ini telah
menyilang ke sisi kontralateral dan berjalan naik ke dalam traktus spinotalamikus
lateralis, tetapi sensasi nyeri dan suhu kontralateral hilang di bawah tingkat lesi
karena traktus spinnotalamikus ipsilatral terganggu.
Sensasi taktik sederhana tidak terganggu karena modalitas ini dipersarafi
oleh dua jaras serabut yang berbeda. Kolumna posterior (tidak menyilang) dan
traktus spinotalamikus anterior (menyilang). Hemiseksi medulla spinalis menyisakan
satu dari kedua jaras tersebut untuk sensasi taktil pada kedua sisi tubuh tetap intak-
kolumna posterior kontralateral untuk sisi kontralateral lesi dan traktus
spinotalamikus anterior kontralateral untuk sisi ipsilateralis.
Selain interupsi traktus yang panjang, sel-sel kornu anterius dapat mengalami
kerusakan dengan luas yang bervariasi pada tingkat lesi, kemungkinan menyebabkan
paresis flasid. Iritasi radiks posterior juga dapat menyebabkan parestesia atau nyeri
radikular di dermatom yang sesuai dengan batas atas gangguan motorik.1,6,7

Sindrom transseksi medulla spinalis Akut


Sindrom transseksi medulla spinalis total paling sering disebabkan oleh
trauma , jarang disebabkan oleh inflamasi atau infeksi. Trauma medulla spinalis akut
awalnya menimbulkan keadaan yang disebut syok spinal, gambaran klinis yang
patofisiologinya belum difahami secara total. Di bawah tingkat lesi terdapat paralisis
flasid komplet dan semua modalitas sensasi hilang. Fungsi berkemih, defekasi dan
seksual juga hilang. Hanya refleks bulbokavernosus yang tetap ada. Juga terdapat
perubahan tropik di bawah tingkat lesi khususnya hilangnya berkeringat dan
gangguan termoregulasi. Terdapat kecenderungan bermakna untuk terbentuknya
ulkus dekubitus. Batas ada deficit sensorik sering dibatasi oleh suatu zona
hiperalgesia.
Dalam beberapa hari dan minggu setelah kejadian, neuron spinalis perlahan-
lahan kembali mendapatkan fungsinya, setidaknya sebagian, tetapi tetap terputus
sebagian besar impuls neuron yang berasal dari sentral yang normalnya mengatur
neuron tersebut. Kemudian neuro-neuron ini menjadi otonom dan timbul
otomatisme spinal. Pada banyak kasus stimulus di bawah tingkat lesi mencetuskan
fleksi tiba-tiba pada panggul, lutut, dan pergelangan kaki (refles fleksor). Jika
sindrom transseksi medulla spinalis total, ekstremitas tetap berada pada posisi fleksi
dalam jangka panjang setelah stimulus karena elevasi spastik pada tonus otot.
(sebaliknya pada sindrom transseksi medulla spinalis inkomplet, tungkai pada
awalnya mengalami fleksi saat distimulasi, tetapi kemudian kembali ke posisi
semula). Defekasi dan miksi perlahan-lahan berfungsi kembali, tetapi tidak berada di
bawah kendali volunteer bahkan kandung kemih dan rectum secara refleksif
mengosongkan diri ketika terisi pada jumlah tertentu. Disnergia sfingter detrusor
menyebabkan retensi urin dan miksi refleksif yang sering. Reflek tendon dalam dan
tonus otot perlahan-lahan kembali dan dapat meningkat secara patologis, namun
potensi seksual tidak kembali.7

Sindrom transseksi medulla spinalis progresif


Ketika Sindrom transseksi medulla spinalis muncul perlahan-lahan dan
bukan tiba-tiba, misalnya karena tumor yang tumbuh secara lambat, syok spinal
tidak terjadi. Sindrom transseksi pada kasus seperti ini biasanya parsial bukan total.
Paraparesis spastik yang berat dan progresif terjadi dibawah tingkat lesi, disertai
oleh deficit sensorik, disfungsi miksi, defekasi dan seksual serta manifesatasi
otonomik.

Sindrom transseksi medulla spinalis servikalis


Transseksi medulla spinalis di atas sevikal III fatal karena dapat
menghentikan pernafasan (hilangnya fungsi nervus frenikus dan nervi interkostales
secara total). Pasien tersebut hanya dapat bertahan jika diberikan ventilasi buatan
dalam beberapa menit setelah trauma penyebabnya, keadaan yang sangat jarang
terjadi. Transeksi pada tingkat servikal bawah menyebabkan kuadriparesis dengan
keterlibatan otot-otot interkostal, pernafasan dapat sangat terganggu. Ekstremitas
atas terkena dengan luas yang bervariasi bergantung pada tingkat lesi. Tingkat lesi
dapat ditentukan secara tepat dari deficit sensoris yang ditemukan pada pemeriksaan
fisik.1
Sindrom transseksi medulla spinalis torasika
Transseksi medulla spinalis torasika bagian atas tidak mengganggu
ekstremitas atas, tetapi mengganggu pernafasan dan juga dapat menimbulkan ileus
paralitis melalui keterlibatan nervus splanknikus. Transseksi medulla spinalis
torasika bagian bawah tidak mengganggu otot-otot abdomen dan tidak mengganggu
pernafasan.1

Sindrom transseksi medulla spinalis lumbalis


Transseksi medulla spinalis lumbalis menyebabkan gangguan berat karena
secara bersamaan terjadi kerusakan arteri utama yang menyuplai medulla spinalis
bagian bawah, arteri radikularis mayor. Hasilnya adalah infark pada seluruh medula
spinalis lumbalis dan sakralis.1

Sindrom epikonus
Sindrom epikonus disebabkan oleh lesi medulla spinalis setinggi L4 hingga
S2, relatif jarang. Tidak seperti sindrom konus, sindrom epikonus berkaitan dengan
paresis spastik dan flasid ekstremitas bawah, tergantung pada segmen lesi yang
tepat. Terdapat kelemahan atau paralisis total pada rotasi ekterna panggul (L4-S1)
dan ekstensi panggul (L4-L5) dan kemungkinan juga fleksi lutut (L4-S2) serta fleksi
dan ekstensi pergelangan kaki dan jari-jari kaki (L4-S2). Reflek Achilles
menghilang, sedangkan refleks lutut tetap ada. Deficit sensorik terbentang dari L4-
S5. Pengosongan kandung kemih dan rectum hanya secara refleksif, potensi seksual
hilang dan pasien laki-laki sering mengalami priapisme. Terdapat paralisis
vasomotor sementara serta kehilangan kemampuan berkeringat sementara.1,6

Sindrom konus
Sindrom ini diakibatkan oleh lesi setinggi atau di bawah S3. Juga jarang
terjadi dan biasanya disebakan oleh tumor spinal, iskemia atau herniasi diskus
lumbalis massif.
Lesi konus medularis terisolasi menimbulkan berbagai defisit neurologi seperti:
arefleksia destrusor dengan retensi urin dan inkontinensia overflow; inkontinensia;
impotensia; saddle anestesia; hilang refleks ani. Ekstremitas bawah tidak paresis dan
refleks Achilles tetap ada (L5-S2).
Jika sindrom konus disebabkan oleh tumor, radiks lumbalis dan radiks
sakralis yang berjalan menurun di sepanjang konus medularis akan terkena, cepat
atau lambat. Pada kasus-kaus tersebut, manifestasi sindrom konus disertai oleh
deficit akibat keterlibatan kauda ekuina :kelemahan ekstremitas bawah dan deficit
sensori yang lebih luas dibandingkan dengan defisit pada sindrom konus murni.1,6,7

Sindrom kauda equina


Sindrom ini melibatkan radiks nervi lumbalis dan radiks nervi sakralis yang
berjalan ke bawah di sepnjang sisi dan bawah konus medularis dan menembus ruang
subarachnoid lumbosakral dan keluar melalui foramennya. Tumor biasanya
penyebab yang umum. Pasien awalnya mengeluhkan nyeri radikuler pada distribusi
nervus ischiadiks dan nyeri pada kandung kemih yang hebat dan memberat saat
batuk dan bersin. Kemudian, deficit sensorik radikuar dengan berat yang bervariasi,
mengenai semua modalitas sensorik, timbul pada tingkat L4 atau di bawahnya. Lesi
yang mengenai bagian atas kauda equina menimbulkan deficit sensorik pada tungkai
dan area saddle. Dapat terjadi paresis flasid pada ekstremitas bawah dengan
arrefleksia, juga terdapat inkontinensia urin dan alvi, bersamaan dengan disfungsi
seksual. Pada lesi di bagian bawah kauda equina, deficit sensorik hanya terdapat
pada daerah saddle (S3-S5) dan tidak terjadi kelemahan tungkai, tetapi fungsi miksi,
defekasi dan seksual terganggu. Tumor yang mengenai kauda equina tidak seperti
tumor konus, menimbulkan manifestasi klinis dengan progresivtas lambat dan
ireguler karena masing-masing radiks saraf terkena dengan kecepatan yang berbeda
dan beberapa di antaranya tidak mengalami kerusakan hingga akhir perjalanan
klinis.

Klasifikasi Tipe dan Lokasi Trauma


Terdapat beberapa pembagian untuk klasifikasi ini, diantaranya sebagai berikut :
i) Complete spinal cord injury (Grade A)
a. Unilevel
b. Multilevel
ii) Incomplete spinal cord injury (Grade B, C, D)
Sindroma Kausa Utama Gejala Klinis

Brown-Sequard Trauma tembus, 1. Paresis UMN ipsilateral di bawah lesi dan


Syndrome Kompresi LMN setinggi lesi
2. Gangguan eksteroseptif (nyeri dan suhu)
kontralateral
3. Gangguan proprioseptif (raba dan tekan)
ipsilateral
Sindroma Spinalis Cedera yang 1. Paresis LMN setinggi lesi, UMN dibawah
Anterior menyebabkan lesi
HNP pada T4-6 2. Dapat disertai disosiasi sensibilitas
3. Gangguan eksteroseptif, proprioseptif normal
4. Disfungsi spinkter
Sindroma Spinalis Hematomielia, 1. Paresis lengan > tungkai
Sentral Servikal Trauma spinal 2. Gangguan sensorik bervariasi di ujung distal
lengan
3. Disosiasi sensibilitas
4. Disfungsi miksi, defekasi, dan seksual
Sindroma Spinalis Trauma, infark 1. Paresis ringan
Posterior arteri spinalis 2. Gangguan eksteroseptif punggung, leher, dan
posterior bokong
3. Gangguan propioseptif bilateral
Sindroma Konus Trauma lower 1. Gangguan motorik ringan, simetris
Medullaris sacral cord 2. Gangguan sensorik, bilateral, disosiasi
sensibilitas
3. Nyeri jarang, relative ringan, simetris,
bilateral pada perineum dan paha
4. Refleks Achilles -, patella +,
bulbocavernosus -, anal
5. Disfungsi spinkter, ereksi, dan ejakulasi.
Sindroma Kauda Cedera akar 1. Gangguan motorik sedang sampai berat,
Equina saraf asimetris
lumbosakral 2. Gangguan sensibilitas, asimetris, tidak ada
disosiasi sensibilitas
3. Nyeri sangat hebat, asimetris
4. Gangguan reflex bervariasi
5. Gangguan spinkter timbul lambat, ringan,
jarang terdapat disfungsi seksual
Tabel. Klasifikasi Menurut Tipe dan Lokasi Trauma8

Cedera medula spinalis traumatik, terjadi ketika benturan fisik eksternal seperti yang
diakibatkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atau kekerasan, merusak medula
spinalis. Cedera medula spinalis traumatik mencakup fraktur, dislokasi dan kontusio dari
kolum vertebra. Cedera medula spinalis non traumatik, terjadi ketika kondisi kesehatan
seperti penyakit, infeksi atau tumor mengakibatkan kerusakan pada medula spinalis, atau
kerusakan yang terjadi pada medula spinalis yang bukan disebabkan oleh gaya fisik eksternal.
Faktor penyebab dari cedera medula spinalis mencakup penyakit motor neuron, myelopati
spondilotik, penyakit infeksius dan inflamatori, penyakit neoplastik, penyakit vaskuler,
kondisi toksik dan metabolik dan gangguan kongenital dan perkembangan.

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan foto polos vertebra yang merupakan langkah
awal untuk mendeteksi kelainan-kelainan yang melibatkan medulla spinalis, kolumna
vertebralis, dan jaringan di sekitarnya. Pada trauma servikal digunakan foto AP, lateral, dan
odontoid. Pada cedera torakal dan lumbal, digunakan foto AP dan Lateral. Pemeriksaan
laboratorium seperti darah lengkap, urin lengkap, gula darah, ureum dan kreatinin, fungsi
hati, dan analisis gas darah kerap dikerjakan guna mengetahui kondisi metabolik pasien.
Pemeriksaan lain seperti EKG juga dapat dilakukan dalam kondisi tertentu. Untuk
menegakkan diagnosis pasti dapat dilakukan pemeriksaan CT-scan dan MRI vertebra. CT-
scan dapat lebih jelas memperlihatkan jaringan lunak, struktur tulang, dan kanalis spinalis
dalam potongan aksial. Sedangkan MRI dapat memperlihatkan keseluruhan struktur internal
medulla spinalis dalam sekali pemeriksaan.

Tatalaksana
Pre Hospital
Untuk mendukung tujuan penyembuhan yang optimal, maka perlu diperhatikan
tatalaksana di saat sebelum masuk rumah sakit seperti halnya melakukan stabilisasi secara
manual, membatasi gerakan fleksi dan lainnya, menenangkan pasien dan memberikan
penanganan mobilitasi vertebra dengan kolar leher atau brace vertebral.
Unit Gawat Darurat
Wajib diperiksa ABC (airway, breathing, circulation), bila pernafasan terganggu
dapat dipasang intubasi endotrakeal atau pemasangan alat bantu nafas lainnya supaya
oksigenasi adekuat. Perlu dinilai juga apabila pasien memiliki kemungkinan fraktur servikal,
maka kerah fiksasi leher harus terpasang terlebih dahulu.
Bila mendapatkan tanda-tanda hipotensi, harus segera dibedakan antara syok
hipovolemik dan syok neurogenik. Pada syok hipovolemik didapati tanda hipotensi,
takikardia, ekstremitas dingin. Pada syok hipovolemik harus dipertimbangkan untuk
pemberian cairan kristaloid (NaCl 0,9% / Ringer Laktat), bila perlu diberikan koloid.
Sedangkan pada syok neurogenik didapati tanda hipotensi, bradikardia, ekstremitas hangat.
Pada syok neurogenik, pemberian cairan tidak akan menaikkan tensi, maka harus diberikan
obat vasopressor seperti dopamine, adrenalin 0,2 mg subkutis, dan boleh diulangi setiap 1
jam. Selanjutnya dapat dipasang foley kateter untuk memonitor hasil urin dan mencegah
retensi urin. Segera lakukan pemeriksaan status generalis dan neurologis guna membuat
diagnosis dan menentukan tatalaksana selanjutnya.
Ruang Rawat
Prinsip utama dalam perawatan pasien dengan trauma servikal adalah dengan terus
menjaga terapi ABC. Untuk terapi medikamentosa, metilprednisolon dapat terus diberikan
guna mencegah proses kerusakan sekunder. Obat-obatan penunjang lain seperti anti
spastisitas otot dapat diberikan sesuai keadaan klinis. Pasien yang mengeluh kesakitan dapat
juga diberi obat analgetik. Pemberian antikoagulan dapat diberikan untuk mencegah adanya
thrombosis vena dalam. Untuk kasus-kasus dengan infeksi, antibiotik perlu dipertimbangkan.
Antioksidan dapat diberikan pada setiap pasien trauma spinalis.
Tindakan operasi dapat dilakukan dalam 24 jam sampai dengan 3 minggu pasca
trauma. Tindakan operatif awal (kurang dari 24 jam) lebih bermakna menurunkan perburukan
neurologis, komplikasi, dan keluaran skor motorik satu tahun pasca trauma. Terapi bedah
bertujuan untuk mengeluarkan fragmen tulang, benda asing, reparasi hernia diskus, dan
menstabilisasi vertebra guna mencegah nyeri kronis. Indikasi untuk operasi adalah adanya
fraktur, pecahan tulang yang menekan medulla spinalis, gambaran neurologis yang progresif
memburuk, fraktur atau dislokasi yang labil, terjadinya herniasi diskus intervertebralis yang
menekan medulla spinalis.
Neurorestorasi dan Neurorehabilitasi
Rehabilitasi adalah suatu proses progresif, dinamis, dalam waktu yang terbatas bertujuan
untuk meningkatkan kualitas individu yang mengalami gangguan secara optimal dalam
bidang mental, fisik, kognitif, dan sosial. Tindakan yang dapat dilakukan berupa fisioterapi,
terapi okupasi, latihan miksi dan defekasi secara rutin, serta tidak lupa untuk aspek
psikologis penderita. Tujuan dari rehabilitasi ini adalah untuk memberikan penerangan dan
pendidikan kepada pasien dan keluarga mengenai trauma medulla spinalis, memaksimalkan
kemampuan mobilisasi dan latihan mandiri, serta mencegah adanya kelainan komorbiditi
seperti kontraktur, dekubitus, infeksi paru, dan lain sebagainya. Melakukan pelayanan
khusus selama fase sub-akut yang meliputi perawatan, terapi fisik, terapi kerja, menjaga
pernafasan dan obat-obatan, istirahat dan rekreasi, psikologi, pelayanan nutrisi, latihan
wicara, pekerjaan sosial, sampai dengan konseling kesehatan seksual. 8

Daftar pustaka
1. M. Baehr, M. Frotscher. Diagnosis Topic Neurologi Duus : Anatomi, isiologi, Tanda,
Gejala. Jakarta : EGC, 2010.
2. Evans, Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat;
2003.h. 35-36.
3. Snell RS. Neuroanatomi klinik : pendahuluan dan susunan saraf pusat. Edisi ke-5.
Jakarta : EGC; 2007.h.1-16.
4. Rohkamm R. Color Atlas of Neurology. Spine and Spinal Cord. New York :2004
5. Lain. W, Graham L. Essential Neurology. Clinical skill, physical sign dan anatomy.
Fourth edition. Blackwell Publishing, USA. 2005
6. Byrne TN, Waxman. Spinal Cord Compression : Diagnosis and Principles of
Management, Philadelphia : FA Davis Company. 1990
7. Spinal cord syndromes and lesions. Diunduh dari
http://www.ozemedicine.com/wiki/doku.php?id=n_spinalcord
8. Perdossi. Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal.
Jakarta : Perdossi ; 2006.
Sindroma medularis dorsolateralis (sindroma Wallenberg)
Penyebab adalah oklusi atau embolisme di teritori arteria serebeli inferior posterior
atau arteria vertebralis. Gambaran klinis: onset mendadak disertai dengan vertigo, nistagmus
(nukleus vestibularis inferior dan pedunkulus serebeli inferior), nausea dan muntah (area
postrema), disatria dan disfonia (nukleus ambiguus), singultus (pusat respirasi formasio
retikularis).
Sindroma medularis medialis ( sindroma Dejerine)
Penyebab adalah oklusi ramus paramedianus arteria vertebralis atau arteria basilaris,
umumnya bilateral. Gambaran klinis: kelumpuhan flasid nervus hipoglosus ipsilateral,
hemiplegia kontralateral (bukan spastik) dengan tanda babinski, hipestesia kolumna posterior
kontralateral (yaitu, hipestesia terhadap raba dan tekan, dengan gangguan sensasi posisi),
serta nistagmus (pada kasus terkenanya fasikulus longitudinalis medialis oleh lesi tersebut.
Sindroma basis pontis kaudalis (sindroma Millard-Gubler)
Penyebabnya adalah oklusi ramus sirkumferensialis arteria basilaris, tumor, abses, dan
lain-lain. Gambaran klinis: kelumpuhan nersvus abdusen (perifer) dan nervus fasialis
(nuklear) ipsilateral; hemiplegi kontralateral; analgesia, termanestesia, dan gangguan sensasi
raba, posisi, serta getar sisi kontralateral.
Sindroma Foville
Ditandai oleh kelumpuhan nervus VII ipsilaeral jenis lower motor neuron,
kelumpuhan melirik ke lateral ipsilateral dan hemiplegia kontralateral jenis upper motor
neuron.
Sindroma tegmentum pontis kaudale.
Penyebabnya adalah oklusi cabang arteri basilaris (ramus sirkumferensialis longus
dan brevis). Gambaran klinis: kelumpuhan nuklear abdusen dan fasialis ipsilateral, nistagmus
(fasikulus longitudinalis medialis). Paresis tatapan ke arah sisi lesi; hemiataksia dan asinergia
ipsilateral (pedunculus serebelaris medialis); analgesia dan termanestesia kontralateral
(traktus spinotalamikus lateralis); hipestesia dan gangguan sensasi posisi dan getar sisi
kontralateral (lemniskus medialis); mioritmia palatum dan faring ipsilateral (traktus
tegmentalis sentralis).
Sindroma tegmentum pontis orale
Penyebabnya adalah oklusi ramus sirkumferensialis longus arteri basilaris dan arteri
serebelaris superior. Gambaran klinis: hilangnya sensasi wajah ipsilateral (gangguan semua
serabut n. Trigeminus) dan paralisis otot-otot pengunyah (nukleus motorius n. Trigeminus),
hemiataksia, intention tremor, adiadokokinesia (pedunkulus serebelaris superior); gangguan
semua modalitas sensorik konralateral.
Sindroma basis pontis bagian tengah
Penyebabnya adalah oklusi ramus sirkumferensialis brevis dan ramus paramedianus
arteri basilaris. Gambaran klinisnya: paresis flasid otot-otot pengunyah ipsilateral, serta
hipestesia, analgesia, dan termanestesia wajah; hemiataksia dan asinergia ipsilateral;
hemiparesis spastik kontralateral.
Sindroma pedunkulus serebri (sindroma Weber)
Penyebabnya adalah ramus interpedunkularis arteri serebri posterior dan arteri
khoroidalis posterior, penyebab yang juga jarang adalah tumor (glioma). Gambaran klinis:
kelumpuhan nervus okulomotorius ipsilateral; hemiparesis spastik kontralateral; rigiditas
parkinsonisme kontralateral (substansia nigra), distaksia kontralateral (traktus kortikopontis);
defisit saraf kranialis kemungkinan akibat gangguan persarafan supranuklear pada nN VII,
IX, X dan XII. Infark kecil di regio oralis pons, akbat oklusi arteriae perforantes, dapat
menimbulkan berbagai defisit yang dapat dibedakan dan seringkali bersifat sementara.
Areriosklerosis arteri baasilaris dapat menyebabkan infark kecil multipel pada satu atau
kedua sisi batang otak, yang dapat terjadi perlahan-lahan seiring perjalanan waktu an
akhirnya menimbulkan gamvaran klinis kelumpuhan pseudobulbar mikroangiopatik. Pada
sindroma ini, disatria dan disfagia terjadi akibat gangguan persarafan supranuklear nuklei
motorii nervi kranialis. Penyakit batang otak amikroangiopatik paling sering disebabkan oleh
hipertensi arterial generalisata; sehingga gejala ini biasanya disertai oleh lesi lain diatas
tentorium.
Sindrome Claude
Lesi berada di daerah nukleus dan ruber tempat nervus III juga melintas. Gejalanya
adalah kelumpuhan nervus III ipsilateral dan ataksia serta tremor kontralateral. Bila lesi ini
meluas ke daerah sekitarnya, maka lemniskus medialis dan pedunkulus serebri akan terkena
dan gejala yang menjelma ialah kelumpuhan ipsilateral nervus III yang disertai oleh
hemiparesis kontralateral, hemihipestesi kontralateral dan ataksia serta tremor kontralateral
(sindrom benedict).
Sindrom Parinaud
Ditandai oleh kelumpuhan gerakan kedua bola mata keatas, sebagai akibat lesi di
kolikulus superior, yang dpaat disebabkan oleh tumor pineal body, ensefalitis dan sklerosis
multipleks.

Anda mungkin juga menyukai