Anda di halaman 1dari 10

Muhammad Azmi Hakim (1102012170)

LI 1.1. Memahami dan Menjelaskan Morbilivirus


LO 1.2. Definisi
Famili Paramiksoviridae terjadi menjadi dua subfamili dan enam genus. Sebagian besar
anggotanya monotipik (yaitu terdiri dari serotipe tunggal); semuanya stabil secara antigen.
Berikut skemanya.

Respirovirus

Rubulavirus

Paramiksovirinae

Morbilivirus

Paramiksoviridae Henipavirus

Pneumovirus

Pneumovirinae

Metapneumovirus

Genus Morbilivirus terdiri dari campak (rubeola) pada manusia dan virus canine distemper.
LO 1.2. Morfologi
Morfologi paramiksoviridae adalah pleomorfik, dengan partikel 50 nm atau lebih, kadang-
kadang berkisar hingga 700 nm. Selubung paramiksovirus tampak terlihat rentan, menjadikan
virus labil pada kondisi penyimpanan dan rentan terahadp distorsi dalam mikrograf elektron.
Genom virus adalah RNA untai tunggal sense negatif berbentuk linear tidak bersegmen,
berukuran sekitar 15 kb (kilobasa). Karena genom ini tidak bersegmen, tidak ada kemungkinan
ulang genetik yang sering terjadi, menyebabkan bahwa semua anggota kelompok
paramiksovirus stabil secara antigen.
LO 1.3. Klasifikasi
Virus rinderpest pada lembu, dan morbilivirus akuatik yang menginfeksi mamalia laut. Virus-
virus tersebut secara antigen terkait satu sama lain. Protein F banyak terdapat pada
morbilivirus, sedangkan protein H menunjukkan variabilitas yang lebih luas. Virus campak
memiliki hemaglutinin tetapi tidak memiliki aktivitas neuraminidase. Virus campak
menginduksi pembentukan inklusi intranuklear, sedangkan paramiksovirus lain tidak.
LO 1.4. Daur Hidup

Paramiksovirus melekat pada sel host melalui glikoprotein hemaglutinin (ptotein HN atau H).
Pada kasus virus campak, reseptornya adalah molekul membrane CD46. Lalu, selubung virion
berfusi dengan membran sel melalui kerja produk pembelahan glikoprotein fusi F1. Jika
prekursor F0 tidak dibelah, prekursor ini tidak memiliki aktivitas fusi; tidak terjadi penetrasi
virion; dan partikel virus tidak dapat memulai infeksi. Fusi oleh F1 terjadi pada lingkungan
ekstraselular dengan pH netral, memungkinkan pelepasan nukleokapsid virus secara langsung
ke dalam sel. Dengan demikian, paramiksovirus dapat melewati internalisasi melalui endosom.

Paramiksovirus mengandung genom RNA untai negatif tidak bersegmen. Transkrip messenger
RNA dibuat di dalam sitoplasma sel oleh polimerase RNA virus. mRNA jauh lebih kecil
daripada ukuran genom; masing-masing mewakili gen tunggal. Sekuens regulasi
transkripsional pada gen membatasi awal dan akhir transkripsi sinyal. Protein virus disintesis
di dalam sitoplasma dan jumlah masing-masing produk gen berkaitan dengan kadar transkrip
mRNA dari gen tersebut. Glikoprotein virus disintesis dan mengalami glikolisasi di dalam jalur
ekskresi.
Kompleks protein polimerase virus (protein P dan L) juga berperan untuk replikasi genom
virus. Untuk berhasil menyintesis cetakan antigenom rantai positif intermedia kompleks
polimerase harus mengabaikan sinyal terminasi yang tersebar pada perbatasan gen. Seluruh
panjang genom progeni kemudian dikopi dari cetakan antigenom.
Genom paramiksovirus yang tidak bersegmen meniadakan kemungkinan penyusunan ulang
segmen gen (yaitu, genetic reassortment) sehingga penting bagi perjalanan alamiah virus
influenza. Protein permukaan HN dan F paramiksovirus menunjukkan variasi genetik yang
minimal damalm jangka waktu yang lama. Mengejutkan bahwa virus tersebut tidak mengalami
antigenic drift akibat mutasi yang terjadi pada replikasi, karena RNA polimerase rentan
terhadap terjadinya kesalahan. Satu penjelasan yang mungkin adalah bahwa hamper semua
asam amino di dalam struktur primer glikoprotein paramiksovirus dapat terlibat di dalam peran
pembentukan fungsional, meninggalkan kesempatan yang kecil untuk substitusi yang secara
jelas tidak akan menghilangkan viabilitas virus.
Virus matang dengan membentuk tonjolan dari permukaan sel. Nukleokapsid progeni
terbentuk di dalam sitoplasma dan bermigrasi ke permukaan sel. Mereka ditarik ke suatu
tempat di membran plasma yang bertaburan duri glikoprotein HN dan virus F0. Protein M
penting untuk pembentukan partikel, mungkin membentuk hubungan antara selubung virus dan
nuklekapsid. Saat penonjolan, sebagian besar protein host dikeluarkan dari membran.
Jika terdapat protease sel host yang sesuai, protein F0 di dalam membran plasma akan diaktivasi
oleh pembelahan. Protein fusi yang teraktivasi kemudian akan menimbulkan fusi membran sel
di sekitarnya, dan menghasilkan pembentukan sinsitium yang besar. Pembentukan sinsitium
adalah respons yang umum terhadap infeksi paramiksovirus. Inklusi sitoplasma asidofili secara
teratur diberntuk. Inklusi diyakini menggambarkan tempat sintesis virus dan ditemukan
mengandung protein virus dan nukleokapsid yang dapat dikenali. Virus campak juga
menghasilkan inklusi intranukleus.
LI 2. Campak
LO 2.1. Definisi
Campak adalah penyakit akut yang sangat menular dan ditandai dengan demam, gejala
pernapasan, serta ruam makulopapular.
LO 2.2. Epidemiologi
Kunci gambaran epidemiologi campak adalah sebagai berikut: virus ini sangat menular, hanya
ada satu serotipe, tidak ada reservoir binatang, infeksi yang tidak terlihat jarang terjadi, dan
infeksi menimbulkan kekebalan seumur hidup. Prevalensi dan insidens usia penyakit campak
berkaitan dengan kepadatan populasi, faktor ekonomi dan lingkungan, serta penggunaan vaksin
virus hidup yang efektif. Di negara industri, campak terjadi pada anak berusia 5 10 tahun,
sedangkan di negara berkembang menginfeksi anak yang berusia kurang dari lima tahun.
Campak pada anak yang malnutrisi di negara berkembang yang tidak tersedia perwatan medis
yang adekuat, campak merupakn penyebab utama mortalitas bayi.
LO 2.3. Etiologi
Campak disebabkan oleh morbilivirus dari famili paramiskoviridae. Penularan terutama terjadi
melalui rute pernapasan (melalui inhalasi droplet besar sekret yang terinfeksi). Penularan
hematogen transplasental dapat terjadi ketika campak timbul pada saat kehamilan.
LO 2.4. Manifestasi
Setelah masa inkubasi sekitar 8-12 hari, penyakit campak berlangsung selama 7-11 hari
(dengan fase prodromal 2-4 hari diikuti oleh fase erupsi 5-8 hari). Fase prodromal ditandai
dengan demam, bersin, batuk, hidung berair, mata merah, bercak Koplik, dan limfopenia.
Batuk dan koriza menggambarkan reaksi inflamasi berat yang mengenai mukosa saluran napas.
Konjungtivitis umumnya disertai dengan fotofobia. Bercak Koplik (patognomonik untuk
campak) adalah ulserasi kecil berwarna putih kebiruan pada mukosa bukal yang berseberangan
dengan molar bawah. Bercak ini mengandung sel raksasa dan antigen virus serta muncul
sekitar 2 hari sebelum ruam.. Demam dan batuk menetap hingga muncul ruam kemudian
menghilang dalam 1-2 hari.
Ruam yang dimulai dari kepala dan kemudian menyebar secara progresif ke dada, badan, dan
turun ke tungkai, tampak sebagai makulopapula diskret berwarna merah muda yang bergabung
membentuk bercak, menjadi kecoklatan dalam 5-10 hari. Ruam menghilang dengan mengalami
deskuamasi. Gejala paling terlihat ketika ruam mencapai puncaknya tetapi segera menghilang
setelahnya.
LO 2.5. Patogenesis
Manusia merupakan satu-satunya host alamiah untuk morbilivirus yang menyebabkan campak.
Penularan campak terjadi pada fase prodromal. Virus dapat masuk ke dalam tubuh manusia
melalui saluran napas, tempat virus melakukan multiplikasi lokal; kemudian infeksi menyebar
ke jaringan limfoid regional, tempat terjadinya multiplikasi yang lebih lanjut. Viremia primer
menyebarkan virus, yang kemudian bereplikasi di dalam sistem retikuloendotelial. Akhirnya,
viremia sekunder berkembang biak di permukaan epitel tubuh, termasuk kulit, saluran napas,
dan konjungtiva, tempat terjadinya reolikasi lokal. Campak dapat bereplikasi di limfosit
tertentu yang membantu penyebaran ke seluruh tubuh. Sel multinukleus raksasa dengan inklusi
intraselular terlihat di dalam jaringan limfoid di seluruh tubuh (KGB, tonsil, dan apendiks).
Kejadian tersebut terjadi pada masa inkubasi, yang khasnya berlangsung selama 8-12 hari teapi
dapat berlangsung hingga 3 minggu pada orang dewasa.
Selama fase prodromal (2-4 hari) dan 2-5 hari pertama ruam, virus terdapat di dalam air mata,
sekret nasal dan tenggorok, urin, dan serta darah. Ruam makulopapular yang khas muncul
sekitar 14 hari ketika antibody yang bersirkulasi terdeteksi, viremia menghilang, dan demam
mereda. Ruam terjadi akibat interaksi sel imun T dengan sel yang terinfeksi virus di dalam
pembuluh darah kecil dan berlangsung selama satu minggu. (Pada pasien dengan gannguan
imunitas selular, tidak terjadi ruam).
LO 2.6. Diagnosis dan Diagnosis Banding
Dengan pemeriksaan fisik: adanya ruam makulopapular di seluruh badan, bercak
Koplik, konjungivitis, fotofobia
Dengan diagnosis laboratorium: deteksi antigen, isolasi dan identifikasi virus, serologi
LO 2.7. Pemeriksaan
Deteksi antigen: Antigen campak dapat dideteksi langsung pada sel epitel dalam
sekret respirasi dan urin. Antibodi terhadapa nucleoprotein
bermanfaat karena merupakan protein virus yang paling banyak
ditemukan pada sel yang terinfeksi.
Isolasi dan identifikasi virus: Apusan nasofaring dan konjungtiva, sampel darah, sekret
pernapasan, serta urin yang diambil dari pasien selama
masa demam merupakan sumber yang sesuai untuk
isolasi virus. Virus campak bertubuh lambat; efek
sitopatik yang khas (sel raksasa multinukleus yang
mengandung badan inklusi intranuklear dan
intrasitoplasmik) terbentuk dalam 7-10 hari.
Serologi: Pemastian infeksi campak secara serologis bergantung pada
peningkatan titer antibodi empat kali lipat antara serum fase-akut atau
terlihatnya antibodi IgM spesifik campak di dalam spesimen serum
tunggal yang diambil antara 1 dan 2 minggu setelah awitan ruam.
LO 2.8. Komplikasi
Komplikasi campak yang paling umum adalah otitits media (5-9% kasus).
Pneumonia adalah komplikasi campak yang paling mengancam jiwa, disebabkan oleh infeksial
bakteri sekunder. Komplikasi ini terjadi pada kurang dari 10% kasus di negara maju tetapi jauh
lebih sering (20-80%) di negara berkembang. Komplikasi pulmonal menimbulkan lebih dari
90% kematian yang disebabkan oleh campak. Pneumonia terjadi pada 3-15% dewasa dengan
campak sebagian besar disebabkan oleh virus.
Komplikasi yang menyerang sistem saraf pusat adalah komplikasi yang paling serius. Sekitar
50% anak dengan campak biasa mengalami oerubahan elektroensefalografi. . Ensefalitis akut
terjadi sekitar 1:1000 kasus. Angka mortalitas ensefalitis yang terjadi pada campak adalah
sekitar 10-20%. Mayoritas pasien yang dapat bertahan memiliki sekuela neurologis.
Panensefalitis sklerosa subakut merupakan komplikasi lanjut infeksi campak yang jarang,
insidens 1:300.000 kasus. Penyakit dimulai secara tersembunyi 5-15 tahun setelah kasus
campak; ditandai dengan deteriorasi mental progresif, gerakan involunter, rigiditas otot, dan
koma. Pasien dengan panensefalitis sklerosa subakut menunjukkan titer antibodi campak yang
tinggi di dalam cairan serebrospinal dan serum serta virus campak yang rusak di dalam sel otak.
LO 2.9. Pencegahan
Karantina tidak efektif sebagai langkah pengendalian
LO 2.10. Tata Laksana
Pengobatan vitamin A di negara berkembang telah menurunkan mortilitas dan morbiditas.
Vaksin virus campak hidup telah dilemahkan yang aman dan sangat efektif telah tersedia.
Vaksin campak tersedia dalam bentuk monovalen dan dalam bentuk kombinasi dengan vaksin
rubela hidup yang dilemahkan (MR) serta vaksin rubela dan vaksin gondong hidup yang
dilemahkan (MMR). Reaksi klinis yang rigan (demam atau ruam ringan) akan terjadi pada 2-
5% anak yang divaksinasi, tetapi hanya sedikti atau tidak ada ekskresi virus dan tidak terjadi
penularan.Imunosupresi terjadi pada campak, tetapi bersifat sementara dan secara klinis tidak
bermakna. Titer antibodi cenderung lebih rendah daripada setelah infeksi alamiah, ttapi
kekebalannya mungkin seumur hidup.

LO 2.11 Prognosis
Sumber Pustaka
Jawetz et al. 2008. Mikrobiologi Kedokteran
http://eprints.undip.ac.id/14410/1/2003MIKM2202.pdf

Anda mungkin juga menyukai