1
2
2
3
Ali Syariati mengatakan bahwa ummat berasal dari kata amma yang
berarti "berniat" dan "menuju". Makna ini berkaitan juga dengan kata amam
yang artinya di muka, sebagai lawan dari kata wara'i atau khalaf, yang berarti
belakang. Dari sini, ia menarik tiga arti: gerak, tujuan, dan ketetapan
kesadaran. Dalam amma, tercakup pengertian taqaddum atau kemajuan,
sehingga ia menarik empat makna lagi, yakni: ikhtiar, gerak, kemajuan, dan
tujuan. Berdasarkan arti kata tersebut, maka kata ummat sesungguhnya
mengandung pengertian tentang perkumpulan orang, di mana setiap indi-
vidu sepakat dalam tujuan yang sama dan masing-masing saling membantu
agar bergerak ke arah tujuan yang diharapkan atas dasar kepemimpinan
yang sama (Rusmin Tumanggor, 2004:32).
Terminologi umat, dalam sejarahnya mengalami perkembangan dan
perluasan makna. Montegomery Watt (1955) menyebut bahwa umat adalah
konsep baru yang bisa dikembangkan lebih jauh. Pada awal Islam, arti umat
cukup beragam dan kurang jelas, sementara pada dewasa ini kata itu menjadi
simbol dan perwujudan gagasan masyarakat Islam. Nabi Muhammad Saw
ketika pertama kali menyatukan masyarakat diaspora Mekkah dengan
masyarakat Madinah dalam satu payung Piagam Madinah, menunjukkan
tonggak dimulainya ikatan dalam satu identitas keagamaan tertentu, yaitu
umat. Term ini merepresentasikan komunitas berdasarkan agama dan nilai
tertentu. Seperti diketahui bahwa Arab sebelumnya terdiri atas kabilah-
kabilah, di mana mereka diikat oleh identitas-identitas kesukuan. Mekanisasi
sosial dan kultural seperti hilf, wala, dan mu'akhah digunakan untuk memberi
status kekeluargaan fiktif kepada orang luas, sehingga menjadi bagian dari
suku tersebut. Pada saat yang sama, komunitas baru yang ada di Madinah itu
menjadi latar belakang sosiologis bagi perkembangan term umat, dari teologi
murni ke sosial keagamaan.
Keberhasilan Nabi Muhammad dalam membangun masyarakat
Madinah telah memberikan dasar bagi organisasi sosial dan cara baru dalam
membangun ikatan sosial di antara pemeluknya, dengan menjadikan mereka
sebagai bagian dari masyarakat Islam berdasarkan kesadaran keislaman yang
menjadi identitas primordial. Hal ini menjadi Islam sebagai pencipta
kesadaran sosial paling kuat dalam sejarah perkembangan manusia. Umat
menjadi peletak dasar bagi ekspansi Islam dan munculnya peradaban Islam
(Watt, 1955). Dengan demikian umat menjadi konsep perubahan yang
memainkan peran penting. Pertama, mengubah suku arab menjadi komunitas
arab, kemudian, kedua, setelah Islam menyebar ke luar arab, umat mengubah
kelompok Muslim yang berbeda menjadi komunitas yang beriman.
Umat merupakan kerangka untuk memelihara kesatuan agama dan
mengakomodasi keragaman budaya kaum beriman. Ia menghasilkan perasa-
an kesatuan yang kuat dalam dunia Islam dan sangat penting dalam me-
3
4
lenyapkan perbedaan etnik dan budaya dalam tataran ideal. Ia menjadi dasar
yang penting untuk memperluas cakupannya yang dapat mengatasi berbagai
ketidakserasian dalam kehidupan. Umat menyediakan ruang pada dua ting-
katan: memelihara kesatuan agama dan mengakomodasi keragaman budaya;
suata keadaan yang senantiasa berada dalam ketegangan, tidak pernah
terselesaikan, yang merupakan bagian penting dari inti persoalan yang terus
bergejolak di negara-negara Muslim.
Bila melihat penjelasan di atas tampak secara sosiologis umat dapat
dianalisis dalam dua perspektif, yaitu sebagai sebuah komunitas sekaligus
sebagai identitas kolektif. Sebagai komunitas, penjelasan ini dapat dicarikan
akar penjelasannya pada tokoh Sosiologi, yaitu Ferdinand Tonnes yang
mengklasifikasi pola-pola hubungan sosial masyarakat ke dalam dua kate-
gori yaitu, Gemeinschaft (paguyuban) dan Gesselschaft (patembayan) (Soerjono
Soekanto, 2003:132). Masyarakat tipe pertama seringkali digambarkan hu-
bungan di antara anggota-anggotanya diikat oleh hubungan batin yang bersi-
fat murni, alamiah, dan kekal. Ikatan primordial dan kohesi moral seringkali
dibangun di atas sentimen keagamaan. Pola hubungan seperti ini kemudian
berubah seiring dengan meningkatnya penemuan-penemuan baru dalam bi-
dang ilmu pengetahuan dan teknologi. Selanjutnya pada masyarakat ini di-
gambarkan dalam hubungannya yang lebih kompleks, modern, dan mene-
kankan individualisme. Karakter inilah yang mengambil bentuk pada tipe
masyarakat kedua. Umat Islam dalam perspektif ini dilihat sebagai sebuah
komunitas yang telah mengalami proses evolusi dari Gemeinschaft ke Gessel-
schaft.
Adapun sebagai identitas kolektif, umat mengakar dalam praktik
kehidupan sehari-hari. Hal itu bisa dikembangkan oleh setiap individu da-
lam cara-cara: pertama, dengan memahami nilai, cita-cita, dan tujuan ma-
syarakat; dan kedua, dengan menginternalisasikan nilai, cita-cita, dan tujuan
tersebut. Di samping membangun identitas individu, proses ini juga mem-
bangun identitas kolektif. Dalam proses pembentukan identitas ini sejalan
dengan apa yang dikemukakan Peter L. Berger dalam menganalisa terben-
tuknya sebuah masyarakat. Menurutnya, seorang individu hubungannya
dengan masyarakat terjadi atas tiga momen: eksternalisasi, objektivikasi, dan
internalisasi. Melalui eksternalisasi, seorang individu mengekspresikan diri-
nya dengan membangun dunianya. Ini menjadi sebuah kenyataan yang ob-
jektif, yaitu suatu kenyataan yang terpisah dari manusia dan berhadapan
dengan manusia. Ini adalah proses dimana terjadinya objektivikasi. Kemu-
dian masyarakat yang di dalam terdiri sistem nilai dan pranata-pranata
sosial, akan mempengaruhi bahkan membentuk perilaku individu itu sendiri.
Dalam proses inilah kenyataan objektif masyarakat diserap kembali oleh
individu melalui proses internalisasi (Peter L. Berger, 1992: xv).
4
5
5
6
6
7
pok masyarakat lainnya. Dan ini tidak bersifat statis dalam menghadapi
perubahan zaman. Oleh karenanya, struktur anatomi masyarakat Islam
setiap waktu dan zamannya akan selalu mengalami proses perubahan, seraya
menyesuaikan, agar senantiasa mampu menjadi bagian dari penyelesaian
masalah-masalah sosial. Dalam perkembangannya, masyarakat Islam akan
dapat saling bertukar tempat; kadangkala ia yang mengalami proses
perubahan, kadangkala juga ia yang mengubah stuktur masyarakat secara
keseluruhan. Tergantung dari sudut mana dimulai.
7
8
sannya akan digulingkan oleh kelompok lapisan bawah, baik dengan jalan
reformasi atau revolusi.
Selain itu, para sosiolog pun memiliki penekanan yang berbeda dalam
memandang terjadinya perubahan sosial. Ada yang menekankan perubahan
pada stuktur sosial, ada yang menekankan pada struktur perilaku individu
masyarakatnya, dan ada juga yang menekankan pada keduanya, dimana
perubahan terjadi ketika kedua struktur itu saling mempengaruhi. Untuk
yang pertama (struktur masyarakat) ini diwakili oleh Emile Durkheim (1857-
1917). Ia memandang bahwa fakta sosial (social fact) bukan terletak pada
prinsip-prinsip psikologi pada setiap level individu, tapi terletak pada ma-
syarakat. Sementara untuk yang kedua (struktur individu) diwakili oleh Max
Weber (1864-1920). Ia memandang bahwa fakta sosial terletak pada perilaku-
perilaku individu. Perilaku inilah yang mempengaruhi struktur dan sistem di
masyarakat. Tidak salah bila kemudian dalam menjelaskan pengaruh tin-
dakan individu terhadap masyarakat ia memperkenalkan Teori Tindakan
Sosial yang cukup populer (rasionalitas instrumental, rasionalitas berorientasi
nilai, tradisional, dan afektif). Adapun yang terakhir (struktur individu-struktur
masyarakat) ini diwakili oleh George Simmel (1858-1918). Menurutnya, ma-
syarakat adalah gejala yang dinamis. Individu berada di dalam masyarakat
bukan seperti burung di dalam kurungannya, melainkan ia bermasyarakat.
Individu menegakkan masyarakat dan bertanggung jawb atas keadaannya,
dan masyarakat berperan sedemikian di dalam diri individu, hingga eksis-
tensinya sebagai manusia tergantung daripadanya (K.J. Veeger, 1985:14).
Dalam konteks saat ini, proses-proses pada perubahan-perubahan
sosial dapat diketahui dari adanya ciri-ciri tertentu (Soerjono Soekanto,
2003:310-311), antara lain:
1. tidak ada masyarakat yang berhenti perkembangannya, karena
setiap masyarakat mengalami perubahan yang terjadi secara lambat
atau secara cepat.
2. perubahan yang terjadi pada lembaga kemasyarakatan tertentu,
akan diikuti dengan perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga
sosial lainnya. Karena lembaga-lembaga sosial tadi sifatnya
interdependen, maka sulit sekali untuk mengisolasi perubahan pada
lembaga-lembaga sosial tertentu saja. Proses awal dan proses-proses
selanjutnya merupakan suatu mata rantai.
3. perubahan-perubahan sosial yang cepat biasanya
mengakibatkan disorganisasi yang bersifat sementara karena berada
di dalam prses penyesuaian diri. Disorganisasi akan diikuti oleh suatu
reorganisasi yang mencakup pemantapan kaidah-kaidah dan nilai-
nilai lain yang baru.
8
9
9
10
10
11
sudah sepatutnya misi dakwah Islam itu berubah bila tidak ingin ketinggal
dalam gerak maju universal.
Dalam konteks ini, Gazalba menggarisbawahi bahwa perubahan itu
lebih terletak pada sisi-sisi kultural atau budaya masyarakatnya. Artinya
pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam kegiatan dakwah berubah
seiring dengan perkembangan masyarakatnya. Adapun prinsip dasar dari
ajaran dakwah Islam itu sendiri seperti yang menyangkut dengan akidah,
tidak dapat berubah. Hanya internalisasi pemahaman dan refleksi amalan
yang mengalami perubahan dalam setiap zamannya. Dalam pengertian ini
pun secara tidak langsung memperlihatkan pentingnya sikap yang tegas
terangkum dalam diktum, yaitu: almuhafadzatu ala qadimi shalih, wal ahzu ala
jadidi aslah. Melestarikan hal-hal yang baik dari masa lalu, serta mengambil
yang terbaik di masa kini.
11
12
"Hanya Islam yang mampu bertahan sebagai keimanan yang serius, yang mengatasi
tradisi baik kecil maupun tradisi besar. Tradisi besarnya dapat dipermodern
(modernisable), dan pelaksanaannya dapat disajikan, tidak sebagai inovasi ataupun
konsesi kepada pihak luar, tetapi sebaliknya sebagai kelanjutan dan penyempurnaan
dialog lama dalam Islam... Jadi dalam Islam, dan hanya dalam Islam,
purifikasi/modernisasi di satu pihak dan peneguhan pada yang disebut ciri lokal
lama, dapat dilakukan dalam bahasa dan perangkat simbol yang sama. Versi
kerakyatan lama (seperti praktik kesufian rakyat yang tidak sah atau mu'tabaroh),
yang pernah menjadi alas dangkal tradisi sentral, sekarang menjadi kambing hitam
yang dibuang, yang dipersalahkan menyebabkan kemunduran dan dominasi unsur
asing. Karena itu meskipun tidak merupakan sumber modernitas, Islam mungkin
akan ternyata merupakan penerima manfaat modernitas itu. Kenyataan bahwa
varian sentral, resmi dan murni Islam bersemangat egaliter dan keilmiahan
sementara hierarki dan ektase (seperti dalam banyak praktik sufi) berkaitan denga
bentuk-bentuknya yang bersifat pinggiran, senantiasa meluas namun akhirnya
ditampiksangat membantu adaptasi Islam ke dunia modern. Dalam zaman cita-
cita melek huruf universal, lapisan sarjana yang terbuka (dalam Islam) dapat
berkembang sehingga meliputi seluruh masyarakat, dan dnegan itu cita-cita
"Protestan" agar semua yang beriman memiliki akses yang sama (kepada kitab suci)
akan terlaksana. Egalitarianisme modern terpenuhi. Sementara Protestanisme Eropa
hanya menyiapkan lahan untuk nasionalisme melalui perluasan melek huruf,
potensi Islam yang bangkit kembali untuk skripturalisme egaliter dapat secara
katual menyatu dengan nasionalisme, sehingga orang tidak lagi mudah mengatakan
mana salah satu dari keduanya yang paling bermanfaat bagi yang lain."
12
13
13
14
14
15
15
16
16
17
17
18
baru menurutk ukuran tujuan ideal dan tujuan antara dari ssitem yang
bersumber dari al-Quran. Keempat, komponen feedback (umpanbalik) yang
berfungsi memberikan pengaruh baik yang positif maupun negatif terhadap
sistem dakwah khususnya dan realitas sosio-kulutral pada umumnya. Kelima,
komponen lingkungan yang berfungsi sebagai kenyataan yang hendak
diubah (sasaran) atau memberikan pengaruh terhadap sistem dakwah
terutama memberikan masukan permasalahan yang perlu dipecahkan yang
menyangkut ideologi, politik, pendidikan, ekonomi, teknologi, ilmu, seni,
dan sebagainya.
Berdasarkan kerangka sistem dakwah di atas maka sistem dapat
disebut sebagai sistem input-output, sistem terbukam dan sistem feedback.
Pertama, dakwah sebagai ssitem input-output artinya bahwa sistem dakwah
dibentuk oleh kompoenen-komponen yang mentransformasikan input men-
jadi output (realitas Islam). Faktor kualitas dai dalam proses pengubahan ini
sangat menentuukan dan terakhir adalah faktror hidayah Allah Swt. Proses
interelasi dan interaksi antar komponen dipandang sebagai fungsi yang
menghubungkan input dengan output sistem. Kedua, dakwah sebagai sistem
terbuka artinya bahwa sistem dakwah dipengaruhi atau mempengaruhi
lingkungan sosial-kulutral. Ketiga, sistem dakwah sebagai bagian sistem
feedback artinya sistem dakwah dipengaruhi oleh umpan balik yang datang
dari sistem itu sendiri. Meskipun umpanbalik itu tidak secara langsung tetapi
output sistem yang diberikan kepada lingkungan akan dapat mempengaruhi
kondisi lingkungan dengan kadar apapun (Amrullah Achmad, 1983:14-15).
Untuk menganalisa dakwah baik dari segi model maupun pende-
katannya, dapat dengan mudah dilihat pada sistem-sistem yang dijelaskan di
atas. Dengan begitu, untuk menemukan rumusan-rumusan baru dalam
berdakwah dapat dilihat sejauhmana masing-masing sistem itu berjalan.
Apakah sudah sesuai input atau tujuan dakwah Islam, atau semacamnya.
Sehingga akan dengan mudah menganalisa kegagalan atau keberhasilan
dakwah Islam di masyarakat.
Seperti diketahui bahwa dakwah Islam di masyarakat seringkali
dihadapkan pada dua kesenjangan: pertama, kesenjangan yang berasal dari
cara memberikan tradisi dakwah di Indonesia. Kesenjangan ini melihat
bahwa masyarakat kita masih sering menganggap dakwah sebagai
tabligh/penyiaran agama/penerangan agama. Dakwah dalam konteks ini
hanya sibuk berkutat di wilayah pinggir dari sebuah sistem kepribadian dan
sosial. Ia tidak mampu memberikan perubahan sosial secara mendasar.
Perubahan yang tampak boleh jadi lebih bersifat superficial alias dangkal.
Kedua, kesenjangan yang disebabkan tiadanya kerangka keilmuan tentang
dakwah yang mampu memberikan penjelasan tentang kenyataan dakwah
Islam yang berarti merupakan kesenjangan antara teori dan praktik (realitas)
18
19
19