Anda di halaman 1dari 19

BAGIAN KEDUA

DAKWAH DAN PERUBAHAN SOSIAL

Anatomi Masyarakat Islam


Islam dapat menunjuk pada satu keyakinan tertentu, juga dapat
menunjuk pada satu komunitas yang memiliki keyakinan tersebut. Untuk
yang terakhir ini, pengertian Islam menunjuk pada satu kelompok
masyarakat yang memiliki batas teritori, menganut sistem nilai dan sistem
aturan tertentu. Dalam konteks inilah kemudian dikenal dengan istilah umat
Islam atau umat Muslim. Nanih Machendrawaty dan Ahmad Syafii (2006)
mendefinisikan umat Islam sebagai komunitas sosial kultural yang memiliki
keyakinan, tinggal di satu wilayah yang sama, dan hidup dalam sebuah
sistem yang sama pula.
Sebetulnya, masyarakat Islam bukanlah komunitas suci bagi sebuah
agama tertentu. Seperti masyarakat pada umumnya. Masyarakat Islam
dibangun di atas sistem sosial kultural yang bersifat profan, di mana antara
satu sistem dengan sistem lainnya saling bercampur untuk memperkuat
sebuah sistem sosial. Tidak ada satu sistem nilai tertentu yang menjadi batu
bata bangunan masyarakat tersebut. Seperti dikatakan oleh Muhammad
Arkoun (1998) bahwa masyarakat Islam adalah sebuah kenyataan Islami (le
fait islamique) bukan sebuah kenyataan Qurani (le fait coranique). Artinya
masyarakat Islam adalah sebuah fakta historis yang dibangun di atas banyak
garis dan warna. Adalah tidak layak, menyifati suatu masyarakat dengan
menggunakan kata Islamyang pada hakikatnya memang beraneka ragam
itu.
Oleh karena itu, Arkoun sangat berhati-hati dalam meletakan kata Is-
lam dalam konteks masyarakat. Ia meletakkan Islam dengan tanda kutip.
Betapapun masyarakat yang disebut Islam itu sangat beragam sesuai dengan
strukturnya masing-masing. Mustahil menyamakan antara masyarakat Islam,
misalnya, dengan masyarakat Iran atau Mesir, semata-mata karena agama
yang dominan di sana adalah Islam. Agama bukanlah satu-satunya faktor
yang mempengaruhi kehidupan dan perjalanan masyarakat, sebagaimana di-
yakini oleh para ideolog. Terdapat sejumlah faktor lain yang ikut mempenga-
ruhi perkembangan suatu masyarakat, di antaranya adalah ekonomi, struk-
tur budaya, sosial, sejarah, dan bahkan situasi lingkungan masing-masing
(Suadi Putro, 1998:34).
Kenyataan ini secara tidak langsung mengafirmasi pendapat para
sosiolog yang menyatakan bahwa masyarakat adalah sebuah sistem terbuka
yang bersifat dinamis. Ia bukanlah sebuah organisme tertutup yang bersifat

1
2

statis terhadap perubahan. Bapak Sosiologi, Auguste Comte, misalnya,


melihat masyarakat sebagai kesatuan individu yang terbuka terhadap
perkembangan atau evolusi. Ia melihat proses perkembangan masyarakat
akan selalu didasarkan pada tiga tahap, yaitu tahap religius, tahap metafisik,
dan tahap positif (Soerjono Soekanto, 2003:32). Dari ketiga tahap itu,
mengandaikan adanya perbedaan pada masing-masing baik dari segi cara
berpikir maupun gaya hidupnya.
Jauh sebelum Comte menjelaskan secara sistematis mengenai stuktur
sebuah masyarakat, sosiolog muslim Ibnu Khaldun pernah meneliti tentang
perkembangan masyarakat gurun pasir di Jazirah Arab. Menurutnya, evolusi
masyarakat terjadi ketika interaksi antara suku bangsa nomaden yang
wataknya keras dengan suku bangsa yang menetap. Kedua tipe masyarakat
itu dilihat secara berbeda yang pada gilirannya akan membentuk sebuah
peradaban tertentu. Dalam konteks ini, sebuah peradaban ditakdirkan tidak
untuk bertahan lama dan bertumbuh tanpa batas, tetapi untuk menjadi lebih
mudah ditaklukan oleh orang-orang nomaden yang kuat, keras, dan yang
keberaniaannya diikat oleh solidaritas yang tinggi (Doyle Paul Johnson,
1986:14). Terjadinya perkembangan sebuah masyarakat yang bersifat terbuka
itu berarti dibangun di atas rasa solidaritas yang mengambil bentuknya baik
pada suku-suku, klan, negara, atau komunitas sosial masyarakat lainnya.
Dalam istilah Arab, kata yang sering dipergunakan untuk menunjuk
secara khusus kepada arti masyarakat adalah kata ummah. Dalam konteks
politik, Watt menilai bahwa kata ummat, merupakan pengganti kata kabilah,
sebuah kata yang sering dipergunakan sebelum Islam dan terbentuknya
masyarakat muslim Madinah. Tetapi, setelah terbentuknya Negara Madinah
dan masih masyarakat yang multicultural dan etnis, Nabi Muhammad mulai
menggunakan kata ummah. Kata ini dipergunakan untuk menunjukkan
identitas muslim. Untuk lebih jelasnya, lihat buku tersebut).
Istilah umat muncul sebanyak 64 kali dalam al-Quran dengan makna
beragam, mulai dari pengikut nabi, pengikut jalan keselamatan Tuhan,
kelompok agama, kelompok kecil dalam komunitas agama, orang tersesat,
sampai tata keteraturan (Riaz Hassan, 2006:91). Banyak yang mengatakan
kata ini berasal dari kata 'umm', yang berarti ibu, atau dari kata kerja 'amma'.
Ada juga yang mengatakan istilah 'umma' dengan kata 'imam ' atau
'pemimpin'. Sebagian lainnya ada yang mengatakan bahwa kata umat berasal
dari bahasa Ibrani (umma) atau Aramanik (umm tha). Sebagian lagi ada yang
mengatakan bahwa kata umat merupakan bahasa Arab yang merujuk pada
'perkumpulan suku-suku Arab. Dan ada juga yang mengatakan bahwa kata
umat sebelum Islam datang digunakan dalam syair Arab yang berarti
komunitas agama.

2
3

Ali Syariati mengatakan bahwa ummat berasal dari kata amma yang
berarti "berniat" dan "menuju". Makna ini berkaitan juga dengan kata amam
yang artinya di muka, sebagai lawan dari kata wara'i atau khalaf, yang berarti
belakang. Dari sini, ia menarik tiga arti: gerak, tujuan, dan ketetapan
kesadaran. Dalam amma, tercakup pengertian taqaddum atau kemajuan,
sehingga ia menarik empat makna lagi, yakni: ikhtiar, gerak, kemajuan, dan
tujuan. Berdasarkan arti kata tersebut, maka kata ummat sesungguhnya
mengandung pengertian tentang perkumpulan orang, di mana setiap indi-
vidu sepakat dalam tujuan yang sama dan masing-masing saling membantu
agar bergerak ke arah tujuan yang diharapkan atas dasar kepemimpinan
yang sama (Rusmin Tumanggor, 2004:32).
Terminologi umat, dalam sejarahnya mengalami perkembangan dan
perluasan makna. Montegomery Watt (1955) menyebut bahwa umat adalah
konsep baru yang bisa dikembangkan lebih jauh. Pada awal Islam, arti umat
cukup beragam dan kurang jelas, sementara pada dewasa ini kata itu menjadi
simbol dan perwujudan gagasan masyarakat Islam. Nabi Muhammad Saw
ketika pertama kali menyatukan masyarakat diaspora Mekkah dengan
masyarakat Madinah dalam satu payung Piagam Madinah, menunjukkan
tonggak dimulainya ikatan dalam satu identitas keagamaan tertentu, yaitu
umat. Term ini merepresentasikan komunitas berdasarkan agama dan nilai
tertentu. Seperti diketahui bahwa Arab sebelumnya terdiri atas kabilah-
kabilah, di mana mereka diikat oleh identitas-identitas kesukuan. Mekanisasi
sosial dan kultural seperti hilf, wala, dan mu'akhah digunakan untuk memberi
status kekeluargaan fiktif kepada orang luas, sehingga menjadi bagian dari
suku tersebut. Pada saat yang sama, komunitas baru yang ada di Madinah itu
menjadi latar belakang sosiologis bagi perkembangan term umat, dari teologi
murni ke sosial keagamaan.
Keberhasilan Nabi Muhammad dalam membangun masyarakat
Madinah telah memberikan dasar bagi organisasi sosial dan cara baru dalam
membangun ikatan sosial di antara pemeluknya, dengan menjadikan mereka
sebagai bagian dari masyarakat Islam berdasarkan kesadaran keislaman yang
menjadi identitas primordial. Hal ini menjadi Islam sebagai pencipta
kesadaran sosial paling kuat dalam sejarah perkembangan manusia. Umat
menjadi peletak dasar bagi ekspansi Islam dan munculnya peradaban Islam
(Watt, 1955). Dengan demikian umat menjadi konsep perubahan yang
memainkan peran penting. Pertama, mengubah suku arab menjadi komunitas
arab, kemudian, kedua, setelah Islam menyebar ke luar arab, umat mengubah
kelompok Muslim yang berbeda menjadi komunitas yang beriman.
Umat merupakan kerangka untuk memelihara kesatuan agama dan
mengakomodasi keragaman budaya kaum beriman. Ia menghasilkan perasa-
an kesatuan yang kuat dalam dunia Islam dan sangat penting dalam me-

3
4

lenyapkan perbedaan etnik dan budaya dalam tataran ideal. Ia menjadi dasar
yang penting untuk memperluas cakupannya yang dapat mengatasi berbagai
ketidakserasian dalam kehidupan. Umat menyediakan ruang pada dua ting-
katan: memelihara kesatuan agama dan mengakomodasi keragaman budaya;
suata keadaan yang senantiasa berada dalam ketegangan, tidak pernah
terselesaikan, yang merupakan bagian penting dari inti persoalan yang terus
bergejolak di negara-negara Muslim.
Bila melihat penjelasan di atas tampak secara sosiologis umat dapat
dianalisis dalam dua perspektif, yaitu sebagai sebuah komunitas sekaligus
sebagai identitas kolektif. Sebagai komunitas, penjelasan ini dapat dicarikan
akar penjelasannya pada tokoh Sosiologi, yaitu Ferdinand Tonnes yang
mengklasifikasi pola-pola hubungan sosial masyarakat ke dalam dua kate-
gori yaitu, Gemeinschaft (paguyuban) dan Gesselschaft (patembayan) (Soerjono
Soekanto, 2003:132). Masyarakat tipe pertama seringkali digambarkan hu-
bungan di antara anggota-anggotanya diikat oleh hubungan batin yang bersi-
fat murni, alamiah, dan kekal. Ikatan primordial dan kohesi moral seringkali
dibangun di atas sentimen keagamaan. Pola hubungan seperti ini kemudian
berubah seiring dengan meningkatnya penemuan-penemuan baru dalam bi-
dang ilmu pengetahuan dan teknologi. Selanjutnya pada masyarakat ini di-
gambarkan dalam hubungannya yang lebih kompleks, modern, dan mene-
kankan individualisme. Karakter inilah yang mengambil bentuk pada tipe
masyarakat kedua. Umat Islam dalam perspektif ini dilihat sebagai sebuah
komunitas yang telah mengalami proses evolusi dari Gemeinschaft ke Gessel-
schaft.
Adapun sebagai identitas kolektif, umat mengakar dalam praktik
kehidupan sehari-hari. Hal itu bisa dikembangkan oleh setiap individu da-
lam cara-cara: pertama, dengan memahami nilai, cita-cita, dan tujuan ma-
syarakat; dan kedua, dengan menginternalisasikan nilai, cita-cita, dan tujuan
tersebut. Di samping membangun identitas individu, proses ini juga mem-
bangun identitas kolektif. Dalam proses pembentukan identitas ini sejalan
dengan apa yang dikemukakan Peter L. Berger dalam menganalisa terben-
tuknya sebuah masyarakat. Menurutnya, seorang individu hubungannya
dengan masyarakat terjadi atas tiga momen: eksternalisasi, objektivikasi, dan
internalisasi. Melalui eksternalisasi, seorang individu mengekspresikan diri-
nya dengan membangun dunianya. Ini menjadi sebuah kenyataan yang ob-
jektif, yaitu suatu kenyataan yang terpisah dari manusia dan berhadapan
dengan manusia. Ini adalah proses dimana terjadinya objektivikasi. Kemu-
dian masyarakat yang di dalam terdiri sistem nilai dan pranata-pranata
sosial, akan mempengaruhi bahkan membentuk perilaku individu itu sendiri.
Dalam proses inilah kenyataan objektif masyarakat diserap kembali oleh
individu melalui proses internalisasi (Peter L. Berger, 1992: xv).

4
5

Dari ketiga moment itulah, identitas keumatan terbentuk dalam ko-


munitas masyarakat Islam. Identitas itu disumbang oleh praktik keseharian
di masyarakat, seperti dalam praktik ritual dan tradisi masyarakat sehari-
hari. Itulah yang kemudian telah memperkuat dan memberi rasa persamaan
bagi para anggotanya terutama ketika berhadapan dengan orang lain (the
others) yang memiliki identitas kolektif yang berbeda.
Umat adalah kesatuan masyarakat terbaik. Al-Quran surat Ali Imran
ayat 104 menyebutkan bahwa: "Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan
ummah yang menyeru kepada keutamaan (khayr) dengan menegakkan yang baik
(ma'ruf) dan mencegah yang buruk (munkar). Dengan begitu mereka akan mencapai
kebahagiaan (falah). Dan ayat 110 menyebutkan bahwa: "Kamu adalah umat
yang terbaik, yang dilahirkan untuk manusia, yang menegakkan yang baik dan
mencegah yang munkar, dan beriman kepada Allah." Kedua ayat ini menun-
jukkan gambaran sebuah masyarakat etis (ethical society), dimana masyarakat
yang terus menerus berproses menuju dan memiliki kecenderungan kepada
nilai-nilai kebaikan yang berlandaskan pada iman tawhid dalam melaksana-
kan amar bi al ma'ruf dan nahy'an munkar.
Syeikh Yusuf Qardhawy (1997) mengidentifikasi umat Islam sebagai
komunitas teologis. Umat adalah masyarakat yang berdasarkan iman kepada
Allah Swt. Iman menjadi dasar bagi langkah membuat kehalusan dan keting-
gian moral serta kesadaran sosial yang selanjutnya akan melahirkan perilaku
budaya dan kontrol moral sosial yang tinggi. Semua prinsip dan nilai yang
bersumber dari Yang Maha Kuasa menjadi dasar bagi semua kegiatan dalam
kehidupan, baik dalam bidang sosial, ekonomi, politik, hukum, kebudayaan,
dan lain sebagainya. Dan sistem masyarakat Islam adalah segala ajaran yang
menyangkut berbagai aspek kehidupan kemasyarakatan, yang secara umum
tersimpul dalam empat unsur, yaitu akidah, ibadah, akhlak, dan syariat. Keem-
pat unsur inilah berlaku menyeluruh dalam menentukan dan mengarahkan
masyarakat Islam.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa struktur ana-
tomi masyarakat Islam terdiri atas Akidah, Ibadah, Akhlak Islamiyah, dan
Syariat. Yang pertama adalah inti tegaknya dari sebuah sistem masyarakat
Islam. Akidah berarti juga inti dari keyakinan seorang Muslim terhadap
keesaan Allah (tawhid) dan keyakinan bahwa Muhammad adalah utusan-
Nya. Nurcholish Madjid (2005) menyebut tawhid sebagai akar paling
primordial dari manusia. Bahwa di dalam setiap lubuk hati manusia terdapat
kerinduan kepada kebenaran yang dalam bentuk hasrat tertingginya adalah
isyarat bertemu Tuhan. Berserah dan menyatakan diri hanya iman kepada-
Nya adalah prinsip dasar dari tawhid.
Akidah adalah inti dari sebuah sistem masyarakat Islam. Karenanya
untuk membangun dan menegakkan sistem masyarakat Islam harus dimulai

5
6

dengan menegakkan akidah dan pemahaman umatnya, mengenai Islam se-


bagai pandangan hidup dan Islam sebagai sebuah sistem sosial kema-
syarakatan. Akidah yang kuat adalah landasan utama berdirinya sistem ma-
syarakat yang kuat. Tanpa itu, akan sulit gagasan masyarakat Islam akan
dapat terwujud. Oleh karenanya akidah Islam harus senantiasa dipelihara,
diperkuat, dan dimantapkan oleh setiap pribadi Muslim yang meyakininya.
Struktur kedua adalah ibadah yang berarti taat, tunduk, turut, ikut,
dan doa. Ibadah merupakan bentuk ketaatan seorang muslim terhadap
perintah-perintah yang Allah telah gariskan. Nurcholish Madjid menyebut
ibadah sebagai bentuk pelembagaan iman atau institusi iman. Ia menyebut
bahwa ibadah adalah merupakan salah satu kelanjutan logis dari sistem
iman. Jika tidak dikehendaki iman menjadi sekadar rumusan-rumusan abs-
trak, tanpa kemampuan memberi dorongan batin kepada individu untuk ber-
buat sesuatu dengan tingkat ketulusan yang sejati, maka keimanan itu harus
dilembagakan dalam peribadatan sebagai ekspresi penghambaan seseorang
kepada pusat makna dan tujuan hidupnya, yaitu Tuhan ( Nurcholish Madjid,
2005:60). Mengenai kedudukan ibadah dalam umat Islam, Allah berfirman
bahwa: "Dan tidaklah Kuciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka
mengabdi (beribadah) kepada-Ku" (QS.al-Dzariyat:56)
Struktur ketiga adalah akhlak Islamiyah, dimana menunjukkan seba-
gai bentuk sikap hidup yang mencakup perkataan, perbuatan, tingkah laku,
sopan santun, yang karena dorongan hati nurani dan semata-mata karena
mengharap ridha Allah. Akhlak Islam berarti juga bentuk kesadaran diri
terhadap suatu nilai kebajikan, yang timbul bukan karena ada hukum atau
paksaan dari pihak lain. Seorang yang berbuat kebajikan, namun mengharap-
kan pujian, pamrih, popularitas, dan lain sebagainya belum mencerminkan
ahklak yang terpuji sebagai ciri dari masyarakat Islam. Seorang masyarakat
Islam harus mampu memperlihatkan akhlak-akhlak yang dapat diteladani
pada diri Rasulullah Muhammad.
Struktur keempat adalah syariat, yang berarti norma atau aturan yang
yang diwahyukan Allah, yang wajib diikuti oleh setiap muslim, baik dalam
hubungannya dengan sang pencipta atau sesama makhluk-Nya. Al-Quran
memuat syariat dalam term-term yang masih bersifat universal atau umum,
yang kemudian diterjemahkan secara operasional dalam hadis, atau kalam
para ulama. Sehingga tampaklah syariat akan memuat banyak aturan terkait
semua aspek kehidupan di masyarakat. Masyarakat dapat dikatakan memi-
liki karakter yang islami selama telah menerapkan syariat Islam dalam selu-
ruh aspek kehidupan masyarakatnya, baik yang berhubungan langsung de-
ngan ritual ibadah, maupun berhubungan dengan muamalah.
Kesemuanya ini membentuk masyarakat Islam baik sebagai sebuah
komunitas maupun sebagai identitas yang membedakannya dengan kelom-

6
7

pok masyarakat lainnya. Dan ini tidak bersifat statis dalam menghadapi
perubahan zaman. Oleh karenanya, struktur anatomi masyarakat Islam
setiap waktu dan zamannya akan selalu mengalami proses perubahan, seraya
menyesuaikan, agar senantiasa mampu menjadi bagian dari penyelesaian
masalah-masalah sosial. Dalam perkembangannya, masyarakat Islam akan
dapat saling bertukar tempat; kadangkala ia yang mengalami proses
perubahan, kadangkala juga ia yang mengubah stuktur masyarakat secara
keseluruhan. Tergantung dari sudut mana dimulai.

Konsepsi Perubahan Sosial


Dalam penjelasan mengenai masyarakat Islam, tampak jelas bahwa
ada situasi yang terbuka bagi munculnya sebuah gejala sosial yang mengarah
kepada terjadinya perubahan baik dalam struktur maupun kultur masya-
rakat tersebut. Gejala itu tentu saja sifatnya alami dan berjalan normal yang
fungsinya untuk mendukung bagi kelangsungan sebuah sistem masyarakat
itu.
Perubahan sosial (social change) adalah terminologi inti bahasan dari
sebuah disiplin ilmu Sosiologi. Term ini mengacu kepada dinamika kehidup-
an individu baik saat berhubungan dengan sesama maupun saat berhu-
bungan dengan alam sekitarnya. Perubahan sosial diyakini oleh para ahli
dalam perspektif yang beragam. Ada yang meyakini bahwa perubahan itu
selalu berjalan dalam konteks yang linear. Auguste Comte (1877), misalnya,
meyakini bahwa kehidupan manusia itu berjalan di atas hukum-hukum yang
sudah pasti, baku, tetap, dan tiada toleransi untuk perubahan. Senada
dengan itu, Herbert Spencer (1892) meyakini bahwa struktur sosial berjalan
secara evolusioner ke arah ukuran yang lebih besar, kemajemukan, keter-
paduan, dan kepastian, sehingga suatu masyarakat menjadi suatu bangsa
yang beradab (Zainuddin Maliki, 2003:55-66).
Di seberang yang lain ada juga sosiolog yang menolak anggapan ide
statisme pada masyarakat. Oswald Spengler dan Vilfredo Pareto adalah dua
tokoh yang menolak keras ide perubahan sosial yang berjalan secara linear.
Keduanya mengajukan analisis bahwa perubahan sosial itu berjalan secara
siklikal. Spengler memandang bahwa kebudayaan tumbuh berkembang dan
pudar laksana perjalanan sebuah gelombang. Ia mencontohkan tumbuh dan
pudarnya kebudayaan Yunani, Romawi, dan Mesir, yang kemudian meng-
antarkannya pada kesimpulan bahwa kebudayaan Barat pun akan menga-
lami nasib yang sama. Sementara bagi Pareto tiap masyarakat memiliki dua
lapisan, yaitu lapisan atas (elite) dan lapisan bawah (non elite) yang berkuasa
dan yang tidak berkuasa. Ia menyebutkan bahwa sistem aristokrasi yang
tengah berjalan akan selalu berubah dan diganti oleh sistem aristokrasi yang
berasal dari lapisan bawah. Mereka yang berusaha mempertahankan kekua-

7
8

sannya akan digulingkan oleh kelompok lapisan bawah, baik dengan jalan
reformasi atau revolusi.
Selain itu, para sosiolog pun memiliki penekanan yang berbeda dalam
memandang terjadinya perubahan sosial. Ada yang menekankan perubahan
pada stuktur sosial, ada yang menekankan pada struktur perilaku individu
masyarakatnya, dan ada juga yang menekankan pada keduanya, dimana
perubahan terjadi ketika kedua struktur itu saling mempengaruhi. Untuk
yang pertama (struktur masyarakat) ini diwakili oleh Emile Durkheim (1857-
1917). Ia memandang bahwa fakta sosial (social fact) bukan terletak pada
prinsip-prinsip psikologi pada setiap level individu, tapi terletak pada ma-
syarakat. Sementara untuk yang kedua (struktur individu) diwakili oleh Max
Weber (1864-1920). Ia memandang bahwa fakta sosial terletak pada perilaku-
perilaku individu. Perilaku inilah yang mempengaruhi struktur dan sistem di
masyarakat. Tidak salah bila kemudian dalam menjelaskan pengaruh tin-
dakan individu terhadap masyarakat ia memperkenalkan Teori Tindakan
Sosial yang cukup populer (rasionalitas instrumental, rasionalitas berorientasi
nilai, tradisional, dan afektif). Adapun yang terakhir (struktur individu-struktur
masyarakat) ini diwakili oleh George Simmel (1858-1918). Menurutnya, ma-
syarakat adalah gejala yang dinamis. Individu berada di dalam masyarakat
bukan seperti burung di dalam kurungannya, melainkan ia bermasyarakat.
Individu menegakkan masyarakat dan bertanggung jawb atas keadaannya,
dan masyarakat berperan sedemikian di dalam diri individu, hingga eksis-
tensinya sebagai manusia tergantung daripadanya (K.J. Veeger, 1985:14).
Dalam konteks saat ini, proses-proses pada perubahan-perubahan
sosial dapat diketahui dari adanya ciri-ciri tertentu (Soerjono Soekanto,
2003:310-311), antara lain:
1. tidak ada masyarakat yang berhenti perkembangannya, karena
setiap masyarakat mengalami perubahan yang terjadi secara lambat
atau secara cepat.
2. perubahan yang terjadi pada lembaga kemasyarakatan tertentu,
akan diikuti dengan perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga
sosial lainnya. Karena lembaga-lembaga sosial tadi sifatnya
interdependen, maka sulit sekali untuk mengisolasi perubahan pada
lembaga-lembaga sosial tertentu saja. Proses awal dan proses-proses
selanjutnya merupakan suatu mata rantai.
3. perubahan-perubahan sosial yang cepat biasanya
mengakibatkan disorganisasi yang bersifat sementara karena berada
di dalam prses penyesuaian diri. Disorganisasi akan diikuti oleh suatu
reorganisasi yang mencakup pemantapan kaidah-kaidah dan nilai-
nilai lain yang baru.

8
9

4. perubahan-perubahan tidak dapat dibatasi pada bidang


kebendaan atau bidang spiritual saja, karena kedua bidang tersebut
mempunyai kaitan timbal balik yang sangat kuat.
5. secara tipologis, perubahan-perubahan sosial dapat
dikategorikan sebagai: social process, segmentation, structural change, dan
change in group structure .

dalam konteks ini, Islam mengafirmasi terjadinya perubahan sosial.


Dalam al-Quran disebutkan ada dua syarat pokok untuk terjadinya perubah-
an sosial: (a) adanya nilai atau ide; dan (b) adanya pelaku-pelaku yang
menyesuaikan diri dengan nilai-nilai tersebut (Quraish Shihab, 1992:246).
Syarat pertama telah diambilalih oleh Allah Swt melalui petunjuk-petunjuk
al-Quran serta penjelasan-penjelasan Rasulullah, walaupun sifatnya masih
umum dan memerlukan perincian dari manusia. Adapun para pelakunya,
mereka adalah manusia-manusia yang hidup dalam suatu tempat dan yang
selalu terikat dengan hukum-hukum masyarakat yang ditetapkan itu.
Salah satu hukum masyarakat yang ditetapkan oleh al-Quran
menyangkut perubahan adalah yang dirumuskan dalam firman
Allah: ...sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum
(masyarakat) sampai mereka mengubah (terlebih dahulu) apa yang ada pada diri
mereka (sikap mental mereka)...(QS 13:11).
Menurut Quraish, ayat di atas berbicara dua macam perubahan
dengan dua pelaku. Pertama, perubahan masyarakat yang pelakunya adalah
Allah Swt; dan kedua, perubahan keadaan diri manusia yang pelakunya
adalah manusia. Perubahan yang dilakukan Tuhan terjadi secara pasti
melalui hukum-hukum masyarakat yang ditetapkan-Nya. Hukum-hukum
tersebut tidak memilih atau membedakan antara satu masyarakat atau ke-
lompok dengan masyarakat atau kelompok lainnya. Siapapun yang meng-
abaikan akan digilarnya, sebagaimana yang terjadi kini pada masyarakat Is-
lam, dengan sebagaimana pernah terjadi pada masyarakat yang dipimpin
oleh Nabi sendiri dalam Perang Uhud.
Kendati Islam meniscayakan adanya perubahan dalam sebuah sistem
masyarakat, sejatinya di dalam tubuh Islam sendiri terdapat upaya peles-
tarian prinsip-prinsip yang baku, teguh, dan tak bisa diubah oleh apapun.
Adalah prinsip tawhid yang tiada pernah berubah, ia sifatnya permanen.
Prinsip inilah yang menjadi dasar bagi terjadinya proses perubahan sosial.
Prinsip inilah yang kemudian membedakan konsep perubahan dalam
perspektif Islam dengan perspektif para sosiolog Barat. Islam menghadirkan
tawhid dan menghargai fitrah manusia secara sekaligus sebagai kesatuan
monolitik yang tak terpisahkan. Perubahan sosial adalah dinamika hidup,
buah dari kreasi insaniah atas kesadaran ilahiah. Dalam pengertian ini

9
10

permanensi kepercayaan keagamaan (iman) menjadi pondasi dari aktualitas


Islam (Rusmin Tumanggor, 2004:55).
Konsep perubahan dalam Islam juga diakomodasi dalam terminologi
ijtihad. Term ini mengisyaratkan kepada setiap muslim untuk melakukan in-
terpretasi terhadap teks-teks suci agar tetap dapat memberikan penyelesaian
masalah-masalah sosial di masyarakat. Menurut Yusuf Qordhawi bahwa
seruan untuk berijtihad dan melakukan perubahan sangatlah terbuka luas.
Kendati begitu, ia menekankan bahwa tajdid (pembaharuan) dan ath-thawwur
(perkembangan) bukan perintah asal-asalan, melainkan perlu syarat utama
yang memungkinkan seorang melakukan ijtihad secara benar (Yusuf
Qordhawi, 2000:299).
Dengan demikian, perubahan sosial adalah fitrah dari manusia yang
selalu cenderung pada kebaikan. Hadis Nabi menyebutkan bahwa seorang
yang beruntung adalah orang yang lebih baik di hari sekarang dibanding
hari kemarin. Artinya hadis ini mengajarkan kepada setiap individu ma-
syarakat untuk terus melakukan perubahan eksistensi dirinya guna menuju
cita-cita kebaikan yang lebih sempurna. Perubahan itu bisa dimulai dari
perilaku sehari-hari di keluarga, sekolah, maupun di masyarakat.
Kendati doktrin Islam mengajarkan pentingnya perubahan, kenyata-
annya seringkali masyarakat Islam emoh dengan perubahan itu sendiri. Sikap
ini dimungkinkan oleh beberapa hal, di antaranya karena ada kekhawatiran
akan ancaman terhadap sistem keyakinan yang telah berlaku di masyarakat
atau karena dimungkinkan ketidaksiapan mental umat Islam dalam mengha-
dapi perubahan. Dalam hal pandangan keagamaan, misalnya, umat Islam
seringkali menghadapi problem pemisahan yang sangat akut antara realitas
dan idealitas yang terangkum dalam setiap ajarannya. Untuk kasus pandang-
an umat terhadap fiqh, misalnya, terpolarisasi antara mereka yang meng-
inginkan perlunya penyesuaian-penyesuaian dengan konteks kekinian, dan
ada juga yang ingin mempertahankan. Persoalan yang dilirik bahwa rumus-
an fiqh klasik seringkali tidak mampu lagi menampung perkembangan
kebutuhan manusia modern, termasuk soal dimensi hubungan agama-agama
(Nurcholish Madjid dkk., 2003:ix). Kemunculan pentingnya menggagas fiqh
lintas agama adalah upaya untuk menegaskan pentingnya perubahan dalam
struktur pemahaman keagamaan masyarakat di Indonesia.
Bagaimanapun, perubahan adalah condition sine quo non. Ia adalah se-
buah keniscayaan yang tidak dapat dielakan, bahkan oleh ajaran-ajaran Islam
sekalipun. Dalam ajaran Islam lainnya, yakni ajaran untuk berdakwah misal-
nya, juga menuntut adanya perubahan. Gazalba menilai bahwa seiring me-
ningkatnya misi dakwah Islam atau proses Islamisasi yang merebak hingga
ke seluruh pelosok dunia, mengharuskan adanya penyesuaian-penyesuaian
kultural yang tak terelakan (Sidi Gazalba, 1983:98). Karena itu, menurutnya,

10
11

sudah sepatutnya misi dakwah Islam itu berubah bila tidak ingin ketinggal
dalam gerak maju universal.
Dalam konteks ini, Gazalba menggarisbawahi bahwa perubahan itu
lebih terletak pada sisi-sisi kultural atau budaya masyarakatnya. Artinya
pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam kegiatan dakwah berubah
seiring dengan perkembangan masyarakatnya. Adapun prinsip dasar dari
ajaran dakwah Islam itu sendiri seperti yang menyangkut dengan akidah,
tidak dapat berubah. Hanya internalisasi pemahaman dan refleksi amalan
yang mengalami perubahan dalam setiap zamannya. Dalam pengertian ini
pun secara tidak langsung memperlihatkan pentingnya sikap yang tegas
terangkum dalam diktum, yaitu: almuhafadzatu ala qadimi shalih, wal ahzu ala
jadidi aslah. Melestarikan hal-hal yang baik dari masa lalu, serta mengambil
yang terbaik di masa kini.

Arah Perubahan Sosial


Membahas perubahan sosial baik dalam perspektif umum maupun
perspektif yang lebih khusus, yakni Islam tidak cukup berhenti pada proses
atau tahapan-tahapan terjadinya perubahan itu sendiri. Melainkan perlu juga
diulas pandangan mengenai ke arah mana perubahan sosial itu akan
bergerak. Tentu saja perubahan bergerak meninggalkan faktor yang telah
diubah. Persoalannya setelah meninggalkan faktor itu mungkin perubahan
bergerak kepada sesuatu bentuk yang sama sekali baru atau mungkin pula
bergerak kepada sesuatu bentuk yang sudah ada di dalam waktu yang
lampau (Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, 1964:490). Bagaimana
Islam memandang arah perubahan sosial ke depan. Pada sub bab ini akan
dibahas.
Menurut Sosiologi, arah perubahan sosial (direction of social change)
seringkali mengarah pada modernisasi dan industrialisasi (Soejono Soekanto,
2003:345). Modernisasi adalah suatu transformasi total kehidupan bersama
yang tradisional atau pra modern dalam arti teknologi serta organisasi sosial,
ke arah pola-pola ekonomis dan politik yang menjadi ciri-ciri negara barat
yang stabil. Karakteristik umum modernisasi yang menyangkut aspek-aspek
sosio demografis masyarakat digambarkan dengan istilah gerak sosial (social
mobility). Artinya suatu proses unsur-unsur sosial ekonomis dan psikologis
mulai menunjukkan peluang-peluang ke arah pola-pola baru melalui
sosialisasi dan pola perilaku. Perwujudannya adalah aspek-aspek kehidupan
modern seperti misalnya mekanisasi, mass media yang teratur, urbanisasi,
peningkatan pendapatan per kapita, dan sebagainya.
Modernisasi adalah suatu bentuk perubahan sosial. Biasanya meru-
pakan perubahan sosial yang terarah (directed change) yang didasarkan pada
perencanaan (jadi juga merupakan intended atau planned change) yang bisa

11
12

dinamakan social planning. Modernisasi merupakan satu persoalan yang


harus dihadapi masyarakat yang bersangkutan oleh karena prosesnya yang
sangat luas menyangkut di dalamnya terjadinya proses disorganisasi sosial,
konflik atau pertentangan-pertentangan, dan lain sebagainya.
Sementara itu, proses perubahan dalam bidang teknologi mengambil
bentuknya dalam industrialisasi. Proses ini menunjuk pada terjadinya
tranformasi umat manusia dalam penggunaan alat-alat mesin dari yang
sebelumnya berbasis konvensional atau tradisional beralih ke alat-alat mesin
yang berbasis modern dan canggih. Dalam proses ini, prinsip efektifitas dan
efisiensi sangat dikedepankan. Sejauh piranti-piranti itu dapat berfungsi
membantu memenuhi kebutuhan masyarakat secara cepat, mudah, dan
murah, maka itu telah memasuki proses industrialisasi. Kenyataan ini
tonggaknya ditandai pertama kali oleh James Watt ketika menemukan mesin
uap yang memberikan perubahan besar-besaran dalam sistem dan struktur
sosial masyarakat Eropa pada masa itu.
Arah perubahan sosial dalam bentuknya modernisasi dan indus-
trialisasi sejatinya tidak bertentangan dengan Islam. Seperti disebutkan oleh
Ernest Gellner bahwa Islam adalah agama yang paling dekat dengan
modernitas dibanding Yahudi dan Kristen (Budy Munawar-Rahman [ed].,
1995:378-382). Secara rinci dia menyebutkan bahwa:

"Hanya Islam yang mampu bertahan sebagai keimanan yang serius, yang mengatasi
tradisi baik kecil maupun tradisi besar. Tradisi besarnya dapat dipermodern
(modernisable), dan pelaksanaannya dapat disajikan, tidak sebagai inovasi ataupun
konsesi kepada pihak luar, tetapi sebaliknya sebagai kelanjutan dan penyempurnaan
dialog lama dalam Islam... Jadi dalam Islam, dan hanya dalam Islam,
purifikasi/modernisasi di satu pihak dan peneguhan pada yang disebut ciri lokal
lama, dapat dilakukan dalam bahasa dan perangkat simbol yang sama. Versi
kerakyatan lama (seperti praktik kesufian rakyat yang tidak sah atau mu'tabaroh),
yang pernah menjadi alas dangkal tradisi sentral, sekarang menjadi kambing hitam
yang dibuang, yang dipersalahkan menyebabkan kemunduran dan dominasi unsur
asing. Karena itu meskipun tidak merupakan sumber modernitas, Islam mungkin
akan ternyata merupakan penerima manfaat modernitas itu. Kenyataan bahwa
varian sentral, resmi dan murni Islam bersemangat egaliter dan keilmiahan
sementara hierarki dan ektase (seperti dalam banyak praktik sufi) berkaitan denga
bentuk-bentuknya yang bersifat pinggiran, senantiasa meluas namun akhirnya
ditampiksangat membantu adaptasi Islam ke dunia modern. Dalam zaman cita-
cita melek huruf universal, lapisan sarjana yang terbuka (dalam Islam) dapat
berkembang sehingga meliputi seluruh masyarakat, dan dnegan itu cita-cita
"Protestan" agar semua yang beriman memiliki akses yang sama (kepada kitab suci)
akan terlaksana. Egalitarianisme modern terpenuhi. Sementara Protestanisme Eropa
hanya menyiapkan lahan untuk nasionalisme melalui perluasan melek huruf,
potensi Islam yang bangkit kembali untuk skripturalisme egaliter dapat secara
katual menyatu dengan nasionalisme, sehingga orang tidak lagi mudah mengatakan
mana salah satu dari keduanya yang paling bermanfaat bagi yang lain."

12
13

Sebetulnya tidak dapat dimungkiri bahwa modernitas dalam perja-


lanannya akan menimbulkan konsekwensi-konsekwensi logis yang tidak
pernah terpikir pada masa sebelumnya; dan tentu saja gejala ini juga akan
dirasakan langsung oleh masyarakat Islam. Apalagi seperti diintrodusir oleh
Beyer (1994) bahwa modernitas juga sering dimaknai sebagai sekularisasi
terhadap fungsi-fungsi sosial keagamaan yang ada di masyarakat.
Modernitas yang menuntut adanya kepentingan fungsional yang otonom
dalam peraturan, hukum, ekonomi, ilmu, pendidikan, kesehatan, seni,
keluarga, dan agama. Akibat dari inilah yang kemudian mengarah pada
lepasnya lembaga-lembaga yang selama ini dibawah pengaturan agama.
Sehingga kemudian muncul terminologi yang privat dan yang publik.
Masing-masing terpisah satu sama lain.
Peter L. Berger pernah memprediksikankendati pada akhirnya ia
merevisi pandangannyabahwa kelak pada saatnya seiring dengan semakin
menguatnya gejala modernitas, agama akan hilang dengan sendirinya. Ia
membedakan fungsi agama ke dalam dua, yaitu: fungsi Nomos dan Kosmos
(Margaret M. Poloma, 2003:308). Fungsi pertama menunjuk pada agama
sebagai pemasok sistem nilai dan aturan bagi ketenangan dan stabilitas
masyarakat. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,
fungsi ini dapat digantikan oleh pranata-pranata lainnya di masyarakat. Bagi
masyarakat yang tengah sedih atau berlipur lara, ia tidak harus lari kepada
agama. Modernitas telah menawarkan alternativ-alternativ yang lebih cang-
gih, seperti pergi rekreasi, menonton film, menonton opera, atau semacam-
nya. Kembalinya pada agama dicirikan sebagai masyarakat primitif. Dengan
begitu, fungsi nomos, setahap sudah dapat digantikan oleh pranata sosial
yang lain.
Adapun fungsi kedua dari agama dalam masyarakat adalah Kosmos,
yang berarti agama sebagai upaya mentransendentir realitas sehari-hari,
hingga bergerak dalam dunia di luar verifikasi objektif. Kemajuan ilmu
pengetahuan adalah bentuk dari usaha yang sekular pada kosmization.
Artinya fenomena-fenomena yang sebelumnya sering dirujuk pada fenomena
yang transenden, berkaitan dengan Dia yang di sana, itu dapat dijelaskan
seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Seperti berbagai gejala alam
yang terjadi, misalnya, dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
dapat dijelaskan dan bahkan dapat diramalkan. Manusia modern tidak lagi
mendasarkan pada asumsi-asumsi teologis dalam memandang realitas yang
ada dihadapannya. Dalam fungsi inilah, maka fungsi agama kembali
digantikan. Dengan begitu, perkembangan modernitas diramalkan Berger
sedikit demi sedikit akan mengantarkan pada situasi di mana agama sudah
tidak lagi berperan dan berfungsi di masyarakat. Agama dengan sendirinya

13
14

akan lenyap dari kehidupan masyarakat, seiring dengan menghilang


legitimasinya sebagai problem solver.
Terlepas dari kebenaran ramalan itu, adalah fakta yang tidak dapat
dinafikan bahwa masyarakat dewasa ini mengalami gejala peningkatan
terhadap kebutuhan spiritualitas. Kita dapat menyaksikan meningkatkan
pembangunan masjid dan rumah-rumah ibadah lainnyameski masih
dalam angka statistik, meluasnya partisipasi masyarakat terhadap praktik-
praktik ritual keagamaan, serta berdirinya "bengkel-bengkel" rohani yang
menawarkan solusi alternatif di tengah semakin terasingnya masyarakat dari
dunia modern. Kenyataan ini tentu saja tidak terlalu istimewa bila
menyaksikan perkembangan masyarakat modern yang seringkali kering dari
nilai-nilai, emosi keagamaan, dan persaudaraan. Ilmu pengetahuan dan
teknologi tidak mampu memberikan ketenangan dan kesejukan batin. Hanya
agama, dan keyakinan kepada Allah yang kemudian diyakini sebagai obat
mujarab bagi situasi yang dihadapi. Dalam konteks ini pula kenyataan-
kenyataan tersebut seringkali dijadikan sebagai indikator bahwa agama
masih menjadi kebutuhan dasar bagi masyarakat modern.
Secara lebih jauh Nurcholish Madjid melihat bahwa proses modernitas
tidak akan menjadi hambatan bagi masyarakat akan kebutuhannya terhadap
agama. Ia menyebutkan bahwa keimanan seorang Muslim tidak akan hilang
oleh adanya modernitas. Bahkan menurutnya iman yang benar yang bebas,
dan murni dari setiap bentuk representasi akan lebih mendapat dukungan
manusia modern. Dengan iman yang murni, ia tetap memiliki pegangan
hidup, dan bersama dengan itu sekaligus membebaskan diri dari belenggu
takhayul dan supersitisi. Dan jika dalam Kitab Suci seruan iman kepada ma-
nusia selalu disertai dengan anjuran, dorongan, atau perintah menggunakan
akal, maka sebenarnya modernitas akan dapat menjadi batu penguji kebenar-
an seruan suci itu (Nurcholish Madjid, 2005:462).
Setelah didapati bahwa baik modernisasi dan industrialisasi yang
dikehendaki dari gerak perubahan sosial itu tidak bertentangan dengan
konsepsi dasar Islam, maka lebih jauh agama ini menghendaki arah
perubahan itu tidak berhenti pada ukuran-ukuran keberhasilan sebuah
capaian yang sifatnya material. Melainkan Islam menghendaki perubahan itu
selain sesuai dengan hukum-hukum yang berlaku di masyarakat, juga
berlaku sesuai dengan hukum Allah. Artinya dalam wajah perubahan sosial
itu terjadi proses transendensi keimanan yang bersifat melampaui batas-batas
material kemanusiaan.
Arah perubahan sosial yang dikehendaki Islam adalah terbentuknya
khairu ummah (umat terbaik) yang beriman kepada Allah, mengajak kepada
kebaikan dan mencegah kepada kemunkaran. Dalam terminologi ilmu
profetik yang dikembangkan oleh Kuntowijoyo (2004), ada proses liberalisasi,

14
15

transendensi, dan imanensi. Liberalisasi berarti arah perubahan sosial itu


ditujukan pada terjadinya proses pembebasan dan emansipasi sosial di
masyarakat. Perubahan sosial harus berani melakukan kritik terhadap
struktur sosial masyarakat yang lalim, dan menggantinya menjadi sebuah
sistem yang berkeadilan. Selanjutnya adalah imanensi, yang berarti bahwa
perubahan sosial itu harus mampu bersentuhan dengan kebutuhan dasar
masyarakat. Proses itu harus mampu mengangkat harkat dan martabat
manusia ke tingkat yang lebih tinggi. Tujuan paling ultim dari semuanya itu
adalah transendensi. Artinya proses perubahan harus diarahkan pada
pencarian ridha ilahi.

Dakwah: Sebuah Penghampiran.


Islam sebagai agama yang menyebar ke seluruh penjuru dunia tampil
secara kreatif berdialog dengan masyarakat setempat dalam posisi yang
menerima kebudayaan lokal, sekaligus melakukan perubahan atau
memodifikasi menjadi budaya baru sehingga dapat diterima oleh masyarakat
setempat. Proses penyebaran dengan bersendikan pada perubahan struktur
dan sistem sosial inilah mengambil bentuknya dalam kegiatan dakwah Islam.
Dakwah yang asal suku katanya daa berarti mengajak atau menyeru
seseorang atau sekelompok orang agar hidup berlaku sesuai dengan apa
yang diridhai Allah. Kegiatan dakwah menunjukkan adanya sebuah proses
interaksi baik dalam bentuknya yang langsung atau tidak, guna menyam-
paikan pesan seorang dai' kepada madu-nya. Dalam praktiknya, dakwah
juga berarti terjadinya proses saling pengaruh-mempengaruhi dalam dimensi
rasa, cara berpikir, bersikap, dan bertindak, demi tercapai cita-cita dan tujuan
yang sesuai dengan apa yang diajarkan oleh agama.
Secara historis, dakwah Islam diyakini telah berhasil memberikan
corak sekaligus warna bagi setiap langgam sejarah perkembangan umat
manusia mulai dari awal-awal kemajuan Islam hingga kini. Dalam setiap
episodenya, selalu memperlihatkan model dan pendekatan yang berbeda,
sesuai dengan tuntutan setiap zamannya, yang daripadanya kemudian
melahirkan model-model dakwah tersendiri yang dapat dimanfaatkan secara
efektif untuk merealisir setiap ajaran Tuhan dalam firman-Nya. Di Indonesia,
efektivitas dakwah dirasakan manfaatnya kali pertama saat Islam masuk dan
disebarkan oleh para pedagang sekaligus bertindak sebagai juru dakwah
yang datang dari Gujarat pada abad ke-15 dan 16. Pendekatannya ada yang
dilakukan secara terang-terangan, yaitu mengajak penduduk pesisir
Nusantarayang pada saat itu menjadi pusat pertemuan antara orang
pribumi dengan pendatangdengan ajaran-ajaran yang disampaikan secara
verbal; dan ada juga yang dilakukan dengan cara-cara sembunyi, melalui
akulturasi budaya yang dilembagakan dalam bentuk perkawinan antara

15
16

pendatang dengan wanita pribumi. Semuanya itu memperlihatkan pendekat-


an-pendekatan yang berbeda dalam setiap upaya penyebarannya.
Pada fase berikutnya, penyebaran dakwah Islam sempat menghadapi
sejumlah hambatan, terutama setelah adanya kolonialisasi dari pemerintahan
Belanda. Penjajahan yang berlangsung kurang lebih 350 tahun itu dirasakan
jutaan rakyat Indonesia bukan hanya berdampak luas terhadap segi-segi
sosial, ekonomi, dan budaya, namun yang terpenting adalah ancaman bagi
keimanan masyarakat Indonesia. Ekspansi besar-besaran para misionaris
zending yang dikirim oleh pemerintahan Belanda ke daerah-daerah di Indo-
nesia menjadi kekhawatiran bagi para juru dakwah. Mereka berhasil menge-
labui keimanan masyarakat dengan cara-cara persuasif, seperti mendatangi
rumah-rumah penduduk, menanyakan setiap persoalan pendudukan, kemu-
dian memberikan bantuan, pengobatan, atau sejenisnya. Kenyataan ini tentu
saja menjadi tantangan eksternal bagi para dai atau para ulama dan
intelektual muslim Indonesia. penyampai dakwah Islam.
Tekanan pemerintah Belanda semakin kuat dirasakan oleh umat Islam
Islam Indonesia, terutama oleh para pemuka-pemuka agama, setelah mereka
menggunakan cara-cara rekayasa dari dalam tubuh Islam itu sendiri.
Siasatnya adalah dengan mengirimkan juru bicara Belanda, yaitu Christian
Snouck Hurgonye ke Mekkah untuk mendalami Islam, yang kemudian
mengganti namanya menjadi Abdul Gafur, dan kembali ke Indonesia dengan
mengaku-ngaku Islam, menjadi penasihat Belanda dalam bidang keagamaan.
Ironinya, kebijakan-kebijakan Belandasetelah mendapatkan nasihat dari
Snouck itu, berusaha mengatur setiap aktivitas keagamaan, yang berpotensi
mengancam terhadap aktivitas penyebaran dakwah Islam. Di antara
kebijakan yang cukup merugikan umat Islam Indonesia adalah mengenai
pengendalian jemaah haji. Adalah Resolusi 1825 yang mengatur pembatasan
kuota dan mengawasi gerak-geri jemaah (Dien Majid, 2008:83. Lihat juga
Aqib Suminto. Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta: LP3ES, 1985).
Resolusi tersebut di atas muncul bersamaan dengan kekhawatiran
pemerintahan Hindia Belanda terhadap tingginya animo umat Islam untuk
pergi ke Tanah Suci. Ajaran dakwah mengenai pentingnya umat Islam untuk
menyempurnakan keimanan sekaligus memperluas jaringan terbukti cukup
efektif bagi umat Islam, apalagi ditengah kondisi pendudukan Belanda.
Pemerintahan Belanda tentu saja menyadari bahwa para jemaah asal Indo-
nesia berada di Mekah akan bertemu dengan sesama muslim dari seluruh
dunia Isla,. Pertemuan di sana memberikan informasi yang berkembang di
berbagai belahan dunia Islam lainnya. Dalam suasana dialog yang bersifat
lintas budaya ini pada akhirnya tidak mustahil melahirkan pemikiran-pe-
mikiran yang bersifat progresif-radikal; sebuah kesadaran untuk perlawanan
terhadap kaum penindas yang diidentikkan dengan kaum penjajah. Sehingga

16
17

upaya untuk mengantisipasi penyebaran dakwah yang dilakukan oleh


orang-orang yang baru pulang dari Mekah, atas usul penasihat agama itu,
maka dibuatlah peraturan yang berkaitan dengan pelaksanaan haji.
Peraturan dalam bentuk Ordonansi 1825 ini tentu saja sangat merugikan
jemaah haji Indonesia. ( Aqib Suminto: 1985).
Peraturan di atas kendati tidak secara langsung berkaitan dengan
pengaturan atau penertiban aktivitas dakwah Islam, namun sejatinya memi-
liki keterkaitan yang sangat erat dalam mewujudkan tujuan dakwah yang
ideal di tengah-tengah umat Islam Indonesia. Cita-cita dakwah merealisir
terbentuknya masyarakat yang tercerahkan, memiliki pengetahuan dan wa-
wasan keagamaan yang luas, serta memiliki modal sosial dan ekonomi yang
mumpuni, menjadi sulit tercapai, karena adanya larangan pemerintahan
Belanda itu. Karena mereka yang pergi ke Tanah Suci bukan hanya untuk
menunaikan rukum Islam yang kelima, namun juga mereka di sana belajar,
berdialog, untuk menambah pengetahuan mengenai berbagai persoalan yang
dihadapi umat Islam di dunia dan Indonesia khususnya. Di samping juga
menambah jaringan muslim yang berbasis dunia internasional. Karenanya
akan sangat terganggu dengan peraturan-peraturan Belanda yang merugikan
itu.
Situasi tanah air yang semakin berubah, terutama setelah zaman
kemerdekaan, hingga kemudian masuk ke masa Orde Baru, dan terakhir
masa reformasi, menyertai perubahan pada langgam dan corak dakwah
Islam. Karena tidak dapat dimungkiri bahwa perubahan-perubahan pada
bidang sosial, politik, ekonomi, dan keamanan itu, telah membawa berbagai
permasalahannya, yang daripadanya memberikan tantangan tersendiri
terhadap dakwah Islam. Dalam kenyataan ini pun menuntut kepada para
pemikir Islam, khususnya pada penggiat dakwah untuk meninjau kembali
pendekatan-pendekatan yang dilakukan selama ini. (sebutkan dan tulis
sumbernya)
Secara teoritis, dakwah Islam yang dilakukan selama ini bertumpu
pada analisa lima komponen dasar, yaitu input (masukan), conversition
(proses pengubahan), output (keluaran), feedback (umpan balik), dan
environment (lingkungan).
Pertama, komponen input (masukan) terdiri dari raw input,
instrumental input, dan environmental input yang kesemuanya berfungsi
memberikan informasi, energi, dan materi yang menentukan eksistensi
sistem. Kedua, komponen konversi yang berfungsi mengubah input menjadi
output, merealisir ajaran Islam menjadi realitas sosio-kultural yang diproses
dalam kegiatan administrasi dakwah (organisasi, managemen,
kepemimpinan, komunikasi dakwah, dan sebagainya). Ketiga, komponen
output (keluaran) yang merupakan hasil dakwah yaitu terciptanya realitas

17
18

baru menurutk ukuran tujuan ideal dan tujuan antara dari ssitem yang
bersumber dari al-Quran. Keempat, komponen feedback (umpanbalik) yang
berfungsi memberikan pengaruh baik yang positif maupun negatif terhadap
sistem dakwah khususnya dan realitas sosio-kulutral pada umumnya. Kelima,
komponen lingkungan yang berfungsi sebagai kenyataan yang hendak
diubah (sasaran) atau memberikan pengaruh terhadap sistem dakwah
terutama memberikan masukan permasalahan yang perlu dipecahkan yang
menyangkut ideologi, politik, pendidikan, ekonomi, teknologi, ilmu, seni,
dan sebagainya.
Berdasarkan kerangka sistem dakwah di atas maka sistem dapat
disebut sebagai sistem input-output, sistem terbukam dan sistem feedback.
Pertama, dakwah sebagai ssitem input-output artinya bahwa sistem dakwah
dibentuk oleh kompoenen-komponen yang mentransformasikan input men-
jadi output (realitas Islam). Faktor kualitas dai dalam proses pengubahan ini
sangat menentuukan dan terakhir adalah faktror hidayah Allah Swt. Proses
interelasi dan interaksi antar komponen dipandang sebagai fungsi yang
menghubungkan input dengan output sistem. Kedua, dakwah sebagai sistem
terbuka artinya bahwa sistem dakwah dipengaruhi atau mempengaruhi
lingkungan sosial-kulutral. Ketiga, sistem dakwah sebagai bagian sistem
feedback artinya sistem dakwah dipengaruhi oleh umpan balik yang datang
dari sistem itu sendiri. Meskipun umpanbalik itu tidak secara langsung tetapi
output sistem yang diberikan kepada lingkungan akan dapat mempengaruhi
kondisi lingkungan dengan kadar apapun (Amrullah Achmad, 1983:14-15).
Untuk menganalisa dakwah baik dari segi model maupun pende-
katannya, dapat dengan mudah dilihat pada sistem-sistem yang dijelaskan di
atas. Dengan begitu, untuk menemukan rumusan-rumusan baru dalam
berdakwah dapat dilihat sejauhmana masing-masing sistem itu berjalan.
Apakah sudah sesuai input atau tujuan dakwah Islam, atau semacamnya.
Sehingga akan dengan mudah menganalisa kegagalan atau keberhasilan
dakwah Islam di masyarakat.
Seperti diketahui bahwa dakwah Islam di masyarakat seringkali
dihadapkan pada dua kesenjangan: pertama, kesenjangan yang berasal dari
cara memberikan tradisi dakwah di Indonesia. Kesenjangan ini melihat
bahwa masyarakat kita masih sering menganggap dakwah sebagai
tabligh/penyiaran agama/penerangan agama. Dakwah dalam konteks ini
hanya sibuk berkutat di wilayah pinggir dari sebuah sistem kepribadian dan
sosial. Ia tidak mampu memberikan perubahan sosial secara mendasar.
Perubahan yang tampak boleh jadi lebih bersifat superficial alias dangkal.
Kedua, kesenjangan yang disebabkan tiadanya kerangka keilmuan tentang
dakwah yang mampu memberikan penjelasan tentang kenyataan dakwah
Islam yang berarti merupakan kesenjangan antara teori dan praktik (realitas)

18
19

Untuk kesenjangan yang terakhir ini, sebetulnya sudah banyak upaya


yang dilakukan untuk mencari-cari rumusan mengenai struktur bangun
keilmuan dakwah. Apalagi seiring dengan menguatnya tuntutan perubahan
zaman dan tuntutan profesionalitas dalam dunia komunikasi massa,
sehingga mendorong perlunya rumusan epistemologis yang dapat
dioperasionalkan secara langsung dalam mengatasi berbagai permasalahan
kontemporer. Dibukanya lembaga-lembaga pendidikan perguruan tinggi
seperti Fakultas Dakwah STAIN/IAIN/UIN, yang secara akademis
mengajarkan dakwah melalui pendekatan yang lebih ilmiah, diketahui telah
berhasil menemukan objek (material atau formal), sistem, teori, metodologi,
sub-sub disiplin, dan fungsi keilmuan dakwah. Di samping itu, buku-buku
yang membahas tentang dakwah, baik berupa buku ajar, jurnal, atau
sejenisnya sudah sangat banyak dipublikasikan.
Persoalannya tidak berhenti sampai di situ, melainkan dalam
praktiknya rumusan-rumusan itu seringkali menghadapi persoalan ketika
hendak dioperasionalkan. Apakah itu disebabkan oleh sistem dakwah itu
sendiri yang kurang applicable atau disebabkan oleh ketidakmampuan umat
Muslim untuk menterjemahkan rumusan-rumusan tersebut dalam perilaku
sehari-hari.
Dalam kondisi itulah diperlukan rumusan dakwah Islam yang
strategis lagi taktis, sehingga dapat mengatasi persoalan kebuntuan terhadap
dakwah Islam. Di samping itu agar dapat melahirkan rumusan-rumusan
dakwah Islam yang tidak hanya dapat dioperasionalkan dalam kenyataan
sehari-hari masyarakt, namun yang terpenting adalah mampu memberikan
guidence terhadap terjadinya proses perubahan sosial di masyarakat. Seperti
apa rumusan dakwah Islam itu, maka akan dibahas pada bab selanjutnya.

19

Anda mungkin juga menyukai