Anda di halaman 1dari 22

BAB II

PEMBAHASAN

A. Defenisi

Alergi atau hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh


seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan-bahan
yang umumnya non imunogenik. Dengan kata lain, tubuh manusia bereaksi berlebihan
terhadap lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing atau berbahaya.
Bahan-bahan yang menyebabkan hipersensitivitas tersebut disebut alergen.

B. Etiologi

Faktor yang berperan dalam alergi makanan yaitu :

1. Faktor Internal

a. Imaturitas usus secara fungsional (misalnya dalam fungsi-fungsi : asam lambung,


enzym-enzym usus, glycocalyx) maupun fungsi-fungsi imunologis (misalnya : IgA
sekretorik) memudahkan penetrasi alergen makanan. Imaturitas juga mengurangi
kemampuan usus mentoleransi makanan tertentu.

b. Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitisasi alergen dini mulai janin
sampai masa bayi dan sensitisasi ini dipengaruhi oleh kebiasaan dan norma
kehidupan setempat.

c. Mukosa dinding saluran cerna belum matang yang menyebabkan penyerapan


alergen bertambah.
2. Fakor Eksternal

a. Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis (sedih, stress)
atau beban latihan (lari, olah raga).

b. Contoh makanan yang dapat memberikan reaksi alergi menurut prevalensinya: ikan
15,4%; telur 12,7%; susu 12,2%; kacang 5,3% dll.

c. Hampir semua jenis makanan dan zat tambahan pada makanan dapat
menimbulkan reaksi alergi.

C. Tanda dan Gejala

Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal.
Pemberian antigen protein atau obat (misalnya, penisilin) secara sistemik (parental)
menimbulkan anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit setelah pajanan, pada pejamu
yang tersensitisasi akan muncul rasa gatal, urtikaria (bintik merah dan bengkak), dan
eritems kulit,diikuti oleh kesulitan bernafas berat yang disebabkan oleh bronkokonstriksi
paru dan diperkuat dengan hipersekresi mukus. Edema laring dapat memperberat persoalan
dengan menyebabkan obstruksi saluran pernafasan bagian atas. Selain itu, otot semua
saluran pencernaan dapat terserang, dan mengakibatkan vomitus, kaku perut, dan diare.
Tanpa intervensi segera,dapatterjadi vasodilatasi sistemik (syok anafilaktik ), dan penderita
dapat mengalami kegagalan sirkulasi dan kematian dalam beberapa menit.

Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu sesuai
jalur pemajanannya, seperti di kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus gastrointestinal
(ingesti,menyebabkan diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan bronkokonstriksi).

Reaksi tipe II umumnya berupa kelainan darah, seperti anemia hemolitik,


trombositopenia, eosinofilia dan granulositopenia.

Manifestasi klinik hipersensivitas tipe III dapat berupa:


1. Urtikaria, angioedema, eritema, makulopapula, eritema multiforme dan lain-
lain. gejala sering disertai pruritis

2. Demam

3. Kelainan sendi, artralgia dan efusi sendi

4. Limfadenopati

5. kejang perut, mual

6. neuritis optic

7. glomerulonefritis

8. sindrom lupus eritematosus sistemik

9. gejala vaskulitis lain

Manifestasi klinis hipersensitivitas tipe IV, dapat berupa reaksi paru akut seperti
demam, sesak, batuk dan efusi pleura. Obat yang tersering menyebabkan reaksi ini yaitu
nitrofuratonin, nefritis intestisial, ensafalomielitis. hepatitis juga dapat merupakan
manifestasi reaksi obat.

Adapun Gejala klinis umumnya :

1. Pada saluran pernafasan : asma

2. Pada saluran cerna: mual,muntah,diare,nyeri perut

3. Pada kulit: urtikaria. angioderma, dermatitis, pruritus, gatal, demam, gatal

4. Pada mulut: rasa gatal dan pembengkakan bibir


D. Patofisiologi

Saat pertama kali masuknya alergen (ex. telur ) ke dalam tubuh seseorang yang
mengkonsumsi makanan tetapi dia belum pernah terkena alergi. Namun ketika untuk kedua
kalinya orang tersebut mengkonsumsi makanan yang sama barulah tampak gejala-gejala
timbulnya alergi pada kulit orang tersebut. Setelah tanda-tanda itu muncul maka antigen
akan mengenali alergen yang masuk yang akan memicu aktifnya sel T, dimana sel T tersebut
yang akan merangsang sel B untuk mengaktifkan antibodi (Ig E). Proses ini mengakibatkan
melekatnya antibodi pada sel mast yang dikeluarkan oleh basofil. Apabila seseorang
mengalami paparan untuk kedua kalinya oleh alergen yang sama maka akan terjadi 2 hal
yaitu,:

1. Ketika mulai terjadinya produksi sitokin oleh sel T. Sitokin memberikan efek terhadap
berbagai sel terutama dalam menarik sel sel radang misalnya netrofil dan eosinofil,
sehingga menimbulkan reaksi peradangan yang menyebabkan panas.

2. Alergen tersebut akan langsung mengaktifkan antibodi ( Ig E ) yang merangsang sel


mast kemudian melepaskan histamin dalam jumlah yang banyak, kemudian histamin
tersebut beredar di dalam tubuh melalui pembuluh darah. Saat mereka mencapai kulit,
alergen akan menyebabkan terjadinya gatal, prutitus, angioderma, urtikaria, kemerahan
pada kulit dan dermatitis. Pada saat mereka mencapai paru paru, alergen dapat
mencetuskan terjadinya asma. Gejala alergi yang paling ditakutkan dikenal dengan
nama anafilaktik syok. Gejala ini ditandai dengan tekanan darah yang menurun,
kesadaran menurun, dan bila tidak ditangani segera dapat menyebabkan kematian

Klasifikasi

1. Hipersensitifitas tipe I

Hipersensitifitas tipe I disebut juga sebagai hipersensitivitas langsung atau


anafilaktik. Reaksi ini berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan
bronkopulmonari, dan saluran gastrointestinal. Reaksi ini dapat mengakibatkan gejala
yang beragam, mulai dari ketidaknyamanan kecil hingga kematian. Waktu reaksi
berkisar antara 15-30 menit setelah terpapar antigen, namun terkadang juga dapat
mengalami keterlambatan awal hingga 10-12 jam. Hipersensitivitas tipe I diperantarai
oleh imunoglobulin E (IgE). Komponen seluler utama pada reaksi ini adalah mastosit
atau basofil. Reaksi ini diperkuat dan dipengaruhi oleh keping darah, neutrofil, dan
eosinofil.

Uji diagnostik yang dapat digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas tipe I


adalah tes kulit (tusukan dan intradermal) dan ELISA untuk mengukur IgE total dan
antibodi IgE spesifik untuk melawan alergen (antigen tertentu penyebab alergi) yang
dicurigai. Peningkatan kadar IgE merupakan salah satu penanda terjadinya alergi akibat
hipersensitivitas pada bagian yang tidak terpapar langsung oleh alergen). Namun,
peningkatan IgE juga dapat dikarenakan beberapa penyakit non-atopik seperti infeksi
cacing, mieloma, dll. Pengobatan yang dapat ditempuh untuk mengatasi hipersensitivitas
tipe I adalah menggunakan anti-histamin untuk memblokir reseptor histamin,
penggunaan Imunoglobulin G (IgG), hyposensitization (imunoterapi atau desensitization)
untuk beberapa alergi tertentu.

2. Hipersensitifitas tipe II

Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi berupa imunoglobulin G (IgG)


dan imunoglobulin E (IgE) untuk melawan antigen pada permukaan sel dan matriks
ekstraseluler. Kerusakan akan terbatas atau spesifik pada sel atau jaringan yang
langsung berhubungan dengan antigen tersebut. Pada umumnya, antibodi yang langsung
berinteraksi dengan antigen permukaan sel akan bersifat patogenik dan menimbulkan
kerusakan pada target sel.

Hipersensitivitas dapat melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi silang) yang


berikatan dengan antibodi sel sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan jaringan.
Beberapa tipe dari hipersensitivitas tipe II adalah:

a. Pemfigus (IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler di antara sel epidermal),


b. Anemia hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin yang dapat
menempel pada permukaan sel darah merah dan berperan seperti hapten untuk
produksi antibodi kemudian berikatan dengan permukaan sel darah merah dan
menyebabkan lisis sel darah merah), dan

c. Sindrom Goodpasture (IgG bereaksi dengan membran permukaan glomerulus


sehingga menyebabkan kerusakan ginjal).

3. Hipersensitifitas tipe III

Hipersensitivitas tipe III merupakan hipersensitivitas kompleks imun. Hal ini


disebabkan adanya pengendapan kompleks antigen-antibodi yang kecil dan terlarut di
dalam jaringan. Hal ini ditandai dengan timbulnya inflamasi atau peradangan. Pada
kondisi normal, kompleks antigen-antibodi yang diproduksi dalam jumlah besar dan
seimbang akan dibersihkan dengan adanya fagosit. Namun, kadang-kadang, kehadiran
bakteri, virus, lingkungan, atau antigen (spora fungi, bahan sayuran, atau hewan) yang
persisten akan membuat tubuh secara otomatis memproduksi antibodi terhadap senyawa
asing tersebut sehingga terjadi pengendapan kompleks antigen-antibodi secara terus-
menerus. Hal ini juga terjadi pada penderita penyakit autoimun. Pengendapan kompleks
antigen-antibodi tersebut akan menyebar pada membran sekresi aktif dan di dalam
saluran kecil sehingga dapat memengaruhi beberapa organ, seperti kulit, ginjal, paru-
paru, sendi, atau dalam bagian koroid pleksus otak.

Patogenesis kompleks imun terdiri dari dua pola dasar, yaitu kompleks imun
karena kelebihan antigen dan kompleks imun karena kelebihan antibodi. Kelebihan
antigen kronis akan menimbulkan sakit serum (serum sickness) yang dapat memicu
terjadinya artritis atau glomerulonefritis. Kompleks imun karena kelebihan antibodi
disebut juga sebagai reaksi Arthus, diakibatkan oleh paparan antigen dalam dosis
rendah yang terjadi dalam waktu lama sehingga menginduksi timbulnya kompleks dan
kelebihan antibodi. Beberapa contoh sakit yang diakibatkan reaksi Arthus adalah spora
Aspergillus clavatus dan A. fumigatus yang menimbulkan sakit pada paru-paru pekerja
lahan gandum (malt) dan spora Penicillium casei pada paru-paru pembuat keju.

4. Hipersensitifitas tipe IV

Hipersensitivitas tipe IV dikenal sebagai hipersensitivitas yang diperantarai sel


atau tipe lambat (delayed-type). Reaksi ini terjadi karena aktivitas perusakan jaringan
oleh sel T dan makrofag. Waktu cukup lama dibutuhkan dalam reaksi ini untuk aktivasi
dan diferensiasi sel T, sekresi sitokin dan kemokin, serta akumulasi makrofag dan
leukosit lain pada daerah yang terkena paparan. Beberapa contoh umum dari
hipersensitivitas tipe IV adalah hipersensitivitas pneumonitis, hipersensitivitas kontak
(kontak dermatitis), dan reaksi hipersensitivitas tipe lambat kronis (delayed type
hipersensitivity, DTH).

Hipersensitivitas tipe IV dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori berdasarkan


waktu awal timbulnya gejala, serta penampakan klinis dan histologis. Ketiga kategori
tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Waktu Penampakan
Tipe Histologi Antigen dan situs
reaksi klinis

Limfosit, diikuti Epidermal (senyawa


48-72
Kontak Eksim (ekzema) makrofag; edema organik, jelatang atau poison
jam
epidermidis ivy, logam berat , dll.)

48-72 Pengerasan Limfosit, monosit, Intraderma (tuberkulin,


Tuberkulin
jam (indurasi) lokal makrofag lepromin, dll.)

Antigen persisten atau


21-28 Makrofag, epitheloid dan
Granuloma Pengerasan senyawa asing dalam tubuh
hari sel raksaksa, fibrosis
(tuberkulosis, kusta, etc.)
Mekanisme Berbagai Gangguan Yang Diperantarai Secara Imunologis

Tipe Mekanisme Imun Gangguan Prototipe


1 Tipe Alergen mengikat silang Anafilaksis, beberapa
Anafilaksis antibody IgE pelepasan bentuk asma
amino vasoaktif dan bronchial
mediatorlain dari basofil dan sel
mast rektumen sel radang lain
2 Antibodi IgG atau IgM berikatan dengan Anemia hemolitik
terhadap antigen pada permukaan sel autoimun,
antigen fagositosis sel target atau lisis eritroblastosis fetalis,
jaringan sel target oleh komplemen atau penyakit
tertentu sitotosisitas yang diperantarai Goodpasture,
oleh sel yang bergantung pemfigus vulgaris
antibodi
3 Penyakit Kompleks antigen-antibodi Reahsi Arthua, serum
Kompleks mengaktifkan komplemen sickness, lupus
Imun menarik perhatian nenutrofil eritematosus sistemik,
menjadikan pelepasan enzim bentuk tertentu
lisosom, radikal bebas oksigen, glumerulonefritis akut
dll
4 Hipersensivitas Limfisit T tersensitisasi Tuberkulosis,
Selular pelepasan sitokin dan dermatitis kontak,
(Lambat) sitotoksisitas yang diperantarai penolakan transplant
oleh sel T
G. Pemeriksaan Penunjang

1. Uji kulit: sebagai pemerikasaan penyaring (misalnya dengan alergen hirup seperti
tungau, kapuk, debu rumah, bulu kucing, tepung sari rumput, atau alergen makanan
seperti susu, telur, kacang, ikan).
2. Darah tepi: bila eosinofilia 5% atau 500/ml condong pada alergi. Hitung leukosit
5000/ml disertai neutropenia 3% sering ditemukan pada alergi makanan.
3. IgE total dan spesifik: harga normal IgE total adalah 1000u/l sampai umur 20 tahun.
Kadar IgE lebih dari 30u/ml pada umumnya menunjukkan bahwa penderita adalah atopi,
atau mengalami infeksi parasit atau keadaan depresi imun seluler.
4. Tes intradermal nilainya terbatas, berbahaya.
5. Tes hemaglutinin dan antibodi presipitat tidak sensitif.
6. Biopsi usus: sekunder dan sesudah dirangsang dengan makanan food chalenge
didapatkan inflamasi / atrofi mukosa usus, peningkatan limfosit intraepitelial dan IgM.
IgE ( dengan mikroskop imunofluoresen ).
7. Pemeriksaan/ tes D Xylose, proktosigmoidoskopi dan biopsi usus.
8. Diit coba buta ganda ( Double blind food chalenge ) untuk diagnosa pasti

H. Diagnostik

1. Gangguan saluran cerna dengan diare dan atau mual muntah, misalnya : stenosis
pilorik, Hirschsprung, defisiensi enzim, galaktosemia, keganasan dengan obstruksi, cystic
fibrosis, peptic disease dan sebagainya.
2. Reaksi karena kontaminan dan bahan-bahan aditif, misalnya : bahan pewarna dan
pengawet, sodium metabisulfite, monosodium glutamate, nitrit, tartrazine, toksin, fungi
(aflatoxin), fish related (scombroid, ciguatera), bakteri (Salmonella, Escherichia coli,
Shigella), virus (rotavirus, enterovirus), parasit (Giardia, Akis simplex), logam berat,
pestisida, kafein, glycosidal alkaloid solanine, histamin (pada ikan), serotonin (pisang,
tomat), triptamin (tomat), tiramin (keju) dan sebagainya.
3. Reaksi psikologi

I. Terapi

Penanganan gangguan alergi berlandaskan pada empat dasar:

1. Menghindari allergen
2. Terapi farmakologis

a. Adrenergik

Yang termasuk obat-obat adrenergik adalah katelokamin ( epinefrin, isoetarin,


isoproterenol, bitolterol ) dan nonkatelomin ( efedrin, albuterol, metaproterenol,
salmeterol, terbutalin, pributerol, prokaterol dan fenoterol ). Inhalasi dosis tunggal
salmeterol dapat menimbulkan bronkodilatasi sedikitnya selam 12 jam, menghambat
reaksi fase cepat maupun lambat terhadap alergen inhalen, dan menghambat
hiperesponsivitas bronkial akibat alergen selama 34 jam.

b. Antihistamin

Obat dari berbagai struktur kimia yang bersaing dengan histamin pada reseptor di
berbagai jaringan. Karena antihistamin berperan sebagai antagonis kompetitif
mereka lebih efektif dalam mencegah daripada melawan kerja histamine.

c. Kromolin Sodium

Kromolin sodium adalah garam disodium 1,3-bis-2-hidroksipropan. Zat ini


merupakan analog kimia obat khellin yang mempunyai sifat merelaksasikan otot
polos. Obat ini tidak mempunyai sifat bronkodilator karenanya obat ini tidak efektif
unutk pengobatan asma akut. Kromolin paling bermanfaat pada asma alergika atau
ekstrinsik.
d. Kortikosteroid

Kortikosteroid adalah obat paling kuat yang tersedia untuk pengobatan alergi.
Beberapa pengaruh prednison nyata dalam 2 jam sesudah pemberian peroral atau
intravena yaitu penurunan eosinofil serta limfosit prrimer. Steroid topikal mempunyai
pengaruh lokal langsung yang meliputi pengurangan radang, edema, produksi
mukus, permeabilitas vaskuler, dan kadar Ig E mukosa.

3. Imunoterapi

Imunoterapi diindikasikan pada penderita rhinitis alergika, asma yang diperantarai


Ig E atau alergi terhadap serangga. Imunoterapi dapat menghambat pelepasan histamin
dari basofil pada tantangan dengan antigen E ragweed in vitro. Leukosit individu yang
diobati memerlukan pemaparan terhadap jumlah antigen E yang lebih banyak dalam
upaya melepaskan histamin dalam jumlah yang sama seperti yang mereka lepaskan
sebelum terapi. Preparat leukosit dari beberapa penderita yang diobati bereaksi seolah-
olah mereka telah terdesensitisasisecara sempurna dan tidak melepaskan histamin pada
tantangan dengan antigen E ragweed pada kadar berapapun

4. Profilaksis

Profilaksis dengan steroid anabolik atau plasmin inhibitor seperti traneksamat, sering
kali sangat efektif untuk urtikaria atau angioedema.
BAB III

ASKEP HIPERSENSITIFITAS
A. Pengkajian

1. Data Demografi

2. Riwayat Kesehatan Sekarang

a) Alasan masuk rumah sakit:

b) Keluhan utama

c) Kronologis keluhan

3. Riwayat Kesehatan Masa Lalu

4. Riwayat Kesehatan Keluarga

5. Riwayat Psikososial dan Spiritual

Analisa Data

1. Data Subjektif

a. Sesak nafas

b. Mual, muntah

c. Meringis, gelisah

d. Terdapat nyeri pada bagian perut

e. Gatal gatal

f. Batuk

2. Data objektif

a. Penggunaan O2
b. Adanya kemerahan pada kulit

c. Terlihat pucat

d. Pembengkakan pada bibir

e. Demam ( suhu tubuh diatas 37,50C)

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan terpajan allergen

2. Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi

3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan infalamasi dermal, intrademal sekunder

4. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan berlebih

5. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologi (allergen, ex: makanan)

C. INTERVENSI KEPERAWATAN

1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan terpajan allergen

Tujuan : setelah diberikan askep selama 1.x15 menit. diharapkan pasien


menunjukkan pola nafas efektif dengan frekuensi dan kedalaman rentang normal.

Kriteria hasil :

a.Frekuensi pernapasan pasien normal (16-20 kali per menit)


b. Pasien tidak merasa sesak lagi

c.Pasien tidak tampak memakai alat bantu pernapasan

d. Tidak terdapat tanda-tanda sianosis

Intervensi :

1. Kaji frekuensi, kedalaman pernapasan dan ekspansi paru. Catat upaya


pernapasan, termasuk pengguanaan otot bantu/ pelebaran masal.

Rasional : Kecepatan biasanya meningkat. Dispenea dan terjadi peningakatan


kerja napas. Kedalaman pernapasan berpariasi tergantung derajat gagal
napas. Ekspansi dada terbatas yang berhubungan dengan atelektasis atau nyeri
dada pleuritik.

2. Auskultasi bunyi napas dan catat adanya bunyi napas adventisius seperti
krekels, mengi, gesekan pleura.

Rasional : Bunyi napas menurun/ tak ada bila jalan napas obstruksi sekunder
terhadap pendarahan, bekuan/ kolaps jalan napas kecil (atelektasis). Ronci dan
mengi menyertai obstruksi jalan napas/ kegagalan pernapasan.

3. Tinggikan kepala dan bantu mengubah posisi. Bangunkan pasien turun dari
tempat tidur dan ambulansi sesegera mungkin.

Rasional : Duduk tinggi memungkinkan ekspansi paru dan memudahkan


pernapasan. Pengubahan posisi dan ambulansi meningkatkan pengisian udara
segmen paru berbeda sehingga memperbaiki difusi gas.

4. Observasi pola batuk dan karakter secret.


Rasional : Kongesti alveolar mengakibatkan batuk kering atau iritasi. Sputum
berdarah dapat diakibatkan oleh kerusakan jaringan atau antikoagulan
berlebihan.

5. Berikan oksigen tambahan

Rasional : Memaksimalkan bernapas dan menurunkan kerja napas

6. Berikan humidifikasi tambahan, mis: nebulizer ultrasonic

Rasional: Memberikan kelembaban pada membran mukosa dan membantu


pengenceran secret untuk memudahkan pembersihan.

2. Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi

Tujuan : setelah diberikan askep selama 1.x.24 jam diharapkan suhu tubuh pasien
menurun.

Kriteria hasil :

a. Suhu tubuh pasien kembali normal ( 36,5 oC -37,5 oC)

b. Bibir pasien tidak bengkak lagi

Intervensi :

1. Pantau suhu pasien ( derajat dan pola )

Rasional : Suhu 38,9-41,1C menunjukkan proses penyakit infeksius akut.

2. Pantau suhu lingkungan, batasi atau tambahkan linen tempat tidur sesuai
indikasi
Rasional : Suhu ruangan/jumlah selimut harus diubah untuk mempertahankan
mendekati normal

3. Berikan kompres mandi hangat, hindari penggunaan alcohol

Rasional : Dapat membantu mengurangi demam

3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan infalamasi dermal, intrademal


sekunder

Tujuan : setelah diberikan askep selama 2 x24 jam diharapkan pasien tidak akan
mengalami kerusakan integritas kulit lebih parah.

Kriteria hasil :

a. Tidak terdapat kemerahan, bentol-bentol dan odema

b. Tidak terdapat tanda-tanda urtikaria, pruritus dan angioderma

c. Kerusakan integritas kulit berkurang

Intervensi :

1. Lihat kulit, adanya edema, area sirkulasinya terganggu atau pigmentasi

Rasional : Kulit berisiko karena gangguan sirkulasi perifer

2. Hindari obat intramaskular

Rasional : Edema interstisial dan gangguan sirkulasi memperlambat absorpsi


obat dan predisposisi untuk kerusakan kulit

4. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan berlebih


Tujuan : setelah diberikan askep selama 1 x 24 jam diharapkan kekurangan volume
cairan pada pasien dapat teratasi.

Kriteria hasil :

a.Pasien tidak mengalami diare lagi

b. Pasien tidak mengalami mual dan muntah

c.Tidak terdapat tanda-tanda dehidrasi

d. Turgor kulit kembali normal

Intervensi :

1. Ukur dan pantau TTV, contoh peningakatan suhu/ demam memanjang,


takikardia, hipotensi ortostatik.

Rasional : Peningkatan suhu atau memanjangnya demam meningkatkan laju


metabolic dan kehilangan cairan melalui evaporasi. TD ortostatik berubah dan
peningkatan takikardia menunjukkan kekurangan cairan sistemik.

2. Kaji turgor kulit, kelembaban membrane mukosa (bibir, lidah).

Rasional : Indicator langsung keadekuatan volume cairan, meskipun


membrane mukosa mulut mungkin kering karena napas mulut dan oksigen.

3. Monitor intake dan output cairan

Rasional : Mengetahui keseimbangan cairan

4. Beri obat sesuai indikasi misalnya antipiretik, antiemetic.

Rasional : Berguna menurunkan kehilangan cairan

5. Berikan cairan tambahan IV sesuai keperluan


Rasional : pada adanya penurunan masukan/ banyak kehilangan, penggunaan
parenteral dapat memperbaiki atau mencegah kekurangan.

5. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologi ( alergen,ex: makanan).

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam diharapkan


nyeri pasien teratasi

Kriteria hasil :

a. Pasien menyatakan dan menunjukkan nyerinya hilang

b. Wajah tidak meringis

c. Skala nyeri 0

d. Hasil pengukuran TTV dalam batas normal, TTV normal yaitu :

1) Tekanan darah : 140-90/90-60 mmHg

2) Nadi : 60-100 kali/menit

3) Pernapasan : 16-20 kali/menit

4) Suhu : Oral (36,1-37,50C)

Rektal (36,7-38,10C)

Axilla (35,5-36,40C)
Intervensi :

1. Ukur TTV

Rasional : untuk mengetahui kondisi umum pasien

2. Kaji tingkat nyeri (PQRST)

Rasional : Untuk mengetahui faktor pencetus nyeri

3. Berikan posisi yang nyaman sesuai dengan kebutuhan

Rasional : memberikan rasa nyaman kepada pasien

4. Ciptakan suasana yang tenang

Rasional : membantu pasien lebih relaks

5. Bantu pasien melakukan teknik relaksasi

Rasional : membantu dalam penurunan persepsi/respon nyeri. Memberikan


kontrol situasi meningkatkan perilaku positif.

6. Observasi gejala-gejala yang berhubungan, seperti dyspnea, mual muntah,


palpitasi, keinginan berkemih.

7. Rasional : tanda-tanda tersebut menunjukkan gejala nyeri yang dialami pasien.

8. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgesic

Rasional : Analgesik dapat meredakan nyeri yang dirasakan oleh pasien.


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hipersensitivitas merupakan suatu reaksi hipersensitivitas biasanya tidak akan terjadi


sesudah kontak pertama kali dengan sebuah antigen. Reaksi terjadi pada kotak-ulang sesudah
seseorang yang memiliki predisposisi mengalami sensitisasi . Anafilaksis merupakan respon
klinis terhadap suatu reaksi imunologi cepat (hipersensitivitas tipe 1). Anafilaksis adalah repon
berlebihan system imun yang melibatkan seluruh tubuh. Tipe anfilaksia ada beberapa yaitu :
Local, reaksi anafilaksis local biasanya meliputi urtikaria serta angioedema pada tempat kontak
dengan antigen dan dapat merupakan reaksi yang berat tetapi jarang fatal. Sistemik, reaksi
sistemik terjadi dalam tempo kurang lebih 30 menit sesudah kontak dalam system organ berikut
ini : kardiovaskuler, respiratorius, gastrointestinal dan integument .

B. Saran

Hal hal yang perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya hipersensitivitas.

1. Menghindari zat yang dicurigai sebagai allergen

2. Melakukan tes alergi dan melihat riwayat keluarga serta riwayat frekuensi
serangan terjadi.

3. Menjaga kelembaban ruangan dengan mengatur sirkulasi angin dan udara

4. Menjaga kebersihan pakaian dan mengganti sprei sedikitnya seminggu sekali

5. Konsultasi dengan dokter dan melakukan tes alergi untuk mengetahui allergen-
allergen yang harus dihindari

Anda mungkin juga menyukai