Harapan Palsu Transformasi Kurikulum Pendidikan Indonesia
Oleh : Siti Maisaroh, S.Pd
Pendidikan merupakan jantung kehidupan suatu negeri. Keberlangsungannya menentukan
hidup atau matinya sebuah generasi bangsa. Sehingga bukan sesuatu yang berlebihan, jika pemerintah kita menjadikan tanggal 2 Mei yang merupakan hari kelahiran Ki Hadjar Dewantara (sang pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia di era kolonialisme) sebagai hari pendidikan nasional. Berbicara masalah pendidikan, pemerintah kita telah melakukan seribu cara dalam rangka perenovasian ajang pendidikan. Salah satu cara itu ialah dengan memperbaiki standar kurikulumnya dengan berulang-ulang kali. Seperti yang dikutip oleh brilio.net dari kemendikbud.go.id, ternyata Indonesia telah berganti kurikulum sebanyak 11 kali. Terhitung sejak Indonesia merdeka, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, 2006, 2013 dan 2015. Sebenarnya mau dikemanakan wajah pendidikan negeri ini. Meski kurikulum baru yang dibuat dengan tujuan sebagai penyempurna dari kurikulum yang sebelumnya, toh perubahan sistemnya hanya melebihi satu unsur dan mengurangi unsur lainnya. Bukankah itu bukti nyata atas ketidak mapanan negeri ini dalam mengatasi masalah pendidikan?. Pasalnya, setiap berganti kabinet maka imbasnya diikuti dengan perubahan terhadap kebijakan pendidikan tanah air, yang pada ujung-ujungnya menjadi beban bagi para siswa, guru dan sekolah. Riwayat perubahan kurikulum di Indonesia sudah setua usia negeri ini. Selama kurang lebih 72 tahun Indonesia menyandang gelar merdeka, kurikulumnya selalu berganti dengan tingkat perubahan atau penyempurnaan yang berbeda-beda dan bertahap. Pemerintah sepertinya selalu melakukan kesalahan yang sama dalam hal penerapan kurikulum sejak 1945 sampai sekarang ini. Membingungkan dan Tidak Membangkitkan Generasi Akibat digonta-gantinya kurikulum, tentu membuat para guru dan siswa harus menyesuaikan dengan kemauan pemerintah dalam aturan main kurikulum baru tersebut. Hal itu tentu bukan perkara yang ringan bagi mereka. Karena semua konten dan tehnik pembelajaran mau tidak mau harus disesuaikan dengan standarisasi kurikulum yang baru. Bisa dibayangkan, betapa berat kinerja para guru karena harus merubah model pembelajaran dan system penilaian terhadap para siswanya. Begitupun nasib para siswa, mereka tentu bingung dengan model pembelajaran yang berubah-ubah. Belum lagi mereka harus belajar dan memahami materi yang diberikan oleh guru. Tentu permasalahan demikian menjadi bumerang dalam upaya membangkitkan para generasi negeri ini, mereka akan terbelenggu dengan aturan-aturan baru yang diterapkan. Seakan siswa dan guru hanya menjadi bahan percobaan rumusan kurikulum pamerintah. Ini adalah ungkapan pertanyaan polos dari seorang siswi bernama Desi, siswi SMK N 4 Denpasar yang mempertanyakan kurikulum 2013, yang membuat mereka terbebani dengan masih diberlakukannya kurikulum tersebut. Pak mentri, mengapa kurikulum 2013 masih digunakan, kita terbebani dengan kurikulum 2013. Tolong dong bapak kasih tahu apa keuntungan K 13 ini. Tanyanya disambut riuh dari seluruh siswa yang hadir, serasa pertanyaan mereka diwakili oleh perempuan berusia 15 tahun itu. Sembari tersenyum mendengar keluh kesah dari siswi SMK N 4 tersebut Anis Baswedan yang masih menjabat sebagai mentri pendidikan pada saat itu mengatakan K 13 bingung ya?, sama saya juga bingung. Beliau melanjutkan karena selama ini kecenderungan di Indonesia ganti mentri ganti kurikulum. Ujarnya ringan (Tribunnews.com). Bukan hanya siswa, para guru juga mengeluh atas dirubahnya kurikulum. Sejumlah guru yang tergabung dalam koalisi tolak kurikulum 2013 melakukan unjuk rasa didepan istana negara, Jakarta (9 Desember 2014 lalu). Penghentian kurikulum ini kan ditengah jalan. Otomatis merepotkan. Sekarang sedang semester ganjil, berarti nanti rapor siswa juga akan ada dua karena kurikulumnya sudah berbeda. Cetus kepala SMA N 24 Jakarta diruang kerjanya. (Viva.co.id) Itulah keluhan para guru dan siswa yang tersentuh oleh media, belum lagi suara-suara mereka yang berada dipelosok desa dan jauh dari pantauan media. Inilah keluhan yang terulang setiap adanya cetusan pergantian kurikulum. Sekelumit mengingat sejarah, setelah Khilafah hancur pada tanggal 4 Maret 1924 di Turki, sebagian besar negeri-negeri Islam merancang kurikulum pendidikannya sesuai pendidikan kaum Imperialis, yakni berasaskan ide Sekularisme. Menjauhkan nilai-nilai Islam dari IPTEK dan ilmu alam. Sebenarnya, inilah penyebab utama terjadinya krisis pendidikan dinegeri-negeri Muslim. Begitupun di negeri Berkebinekaan Tunggal Ika ini, dari zaman mengukir diatas batu, sampai menulis diatas kertas dan era digital. Dari era Soekarno sampai era Jokowi, pemerintah selalu menunjukan ketidak jelasan mengatur masalah pendidikan negeri ini. Indonesia, salah satu dari negara yang menjunjung tinggi ideology Kapitalisme, menanamkan paham-paham sekularisme atau lebih dikenal pemisahan agama dari kehidupan. Pemisahan agama dari kancah pendidikan dan ilmu pengetahuan, agama hanya sebagai penglegitimasian saja. Sehingga tak heran, jika para peserta didik yang bermental materialistiklah yang dihasilkan. Bersifat individual, pragmatis dan hedonis. Waallahu alamu bishowab.