Anda di halaman 1dari 24

Nazza R Ramdhagama

1102014190

SASBEL

1. Memahami dan Menjelaskan Trauma Kepala


1.1. Definisi
1.2. Etiologi
1.3. Klasifikasi
1.4. Patofisiologi
1.5. Manifestasi Klinik
1.6. Diagnosis dan Diagnosis Banding
1.7. Tatalaksana
1.8. Pencegahan
1.9. Komplikasi
1.10. Prognosis

2. Memahami dan Menjelaskan Perdarahan Intrakranial


2.1. Definisi
2.2. Etiologi
2.3. Klasifikasi
2.4. Patofisiologi
2.5. Manifestasi Klinik
2.6. Diagnosis dan diagnosis banding
2.7. Tatalaksana
2.8. Pencegahan
2.9. Komplikasi
2.10. Prognosis

3. Memahami dan Menjelaskan Fraktur Basis Cranium


3.1. Definisi
3.2. Etiologi
3.3. Klasifikasi
3.4. Patofisiologi
3.5. Manifestasi Klinik
3.6. Diagnosis dan diagnosis banding
3.7. Tatalaksana
3.8. Pencegahan
3.9. Komplikasi
3.10. Prognosis
1. Memahami dan Menjelaskan Trauma Kepala

1.1. Definisi
Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi
atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan
kognitif dan fungsi fisik

1.2. Etiologi
Trauma kepala karena kekerasan tumpul
Trauma kepala karena kekerasan tajam
Trauma kepala karena gerakan mendadak
Trauma kepala akibat tembakan

1.3. Klasifikasi
Berdasarkan mekanisme terjadinya :
a. Cedera kepala tumpul
Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas,
jatuh/pukulan benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan
decelerasi yang menyebabkan otak bergerak di dalam rongga kranial dan
melakukan kontak pada protuberas tulang tengkorak.
b. Cedera tembus
Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak atau tusukan.

Berdasarkan morfologi cedera kepala:


a. Luka pada kepala:
Laserasi kulit kepala
Diantara galea aponeurosis dan periosteum terdapat jaringan ikat
longgar yang memungkinkan kulit bergerak terhadap tulang. Pada
fraktur tulang kepala, sering terjadi robekan pada lapisan ini. Lapisan
ini banyak mengandung pembuluh darah dan jaringan ikat longgar,
maka perlukaan yang terjadi dapat mengakibatkan perdarahan yang
cukup banyak.
Luka memar (kontusio)
Luka memar adalah apabila terjadi kerusakan jaringan subkutan
dimanapembuluh darah (kapiler) pecah sehingga darah meresap ke
jaringan sekitarnya, kulit tidak rusak, menjadi bengkak dan berwarna
merah kebiruan.
Abrasi
Luka yang tidak begitu dalam, hanya superfisial. Luka ini tidak sampai
pada jaringan subkutis tetapi akan terasa sangat nyeri karena banyak
ujung-ujung saraf yang rusak.
Avulsi
Apabila kulit dan jaringan bawah kulit terkelupas, tetapi sebagian
masih berhubungan dengan tulang kranial. Intak kulit pada kranial
terlepas setelah kecederaan.
b. Fraktur tulang kepala
Fraktur linier
Fraktur dengan bentuk garis tunggal. Fraktur linier dapat terjadi jika
gaya langsung yang bekerja pada tulang kepala cukup besar tetapi
tidak menyebabkan tulang kepala bending dan tidak terdapat fraktur
yang masuk ke dalam rongga intrakranial.
Fraktur diastasis
Jenis fraktur yang terjadi pada sutura tulang tengkorak yang
menyebabkan pelebaran sutura-sutura tulang kepala. Pada usia dewasa
sering terjadi pada sutura lambdoid dan dapat mengakibatkan
terjadinya hematum epidural.
Fraktur kominutif
Jenis fraktur tulang kepala yang memiliki lebih dari satu fragmen
dalam satu area fraktur.
Fraktur impresi
Fraktur ini terjadi akibat benturan dengan tenaga besar yang langsung
mengenai tulang kepala. Dapat menyebabkan penekanan atau laserasi
pada durameter dan jaringan otak.
Fraktur basis cranii
Fraktur basis kranii adalah suatu fraktur linier yang terjadi pada dasar
tulang tengkorak, fraktur ini seringkali diertai dengan robekan pada
durameter yang merekat erat pada dasar tengkorak. Fraktur basis kranii
berdasarkan letak anatomi di bagi menjadi fraktur fossa anterior,
fraktur fossa media dan fraktur fossa posterior

Cedera Kepala Berdasarkan Keparahan Cedera


1) Ringan : GCS 1415
(tidak ada penurunan kesadaran, tidak ada kelainan anatomi)
Dengan Skala Koma Glasgow >12, tidak ada kelainan dalam CT-scan, tiada
lesi operatif dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit. Trauma kepala ringan
atau cedera kepala ringan adalah hilangnya fungsi neurologi atau menurunnya
kesadaran tanpa menyebabkan kerusakan lainnya (Smeltzer, 2001). Cedera
kepala ringan adalah trauma kepala dengan GCS: 15 (sadar penuh) tidak
kehilangan kesadaran, mengeluh pusing dan nyeri kepala, hematoma, laserasi
dan abrasi (Mansjoer, 2000). Cedera kepala ringan adalah cedara otak karena
tekanan atau terkena benda tumpul (Bedong, 2001). Cedera kepala ringan
adalah cedera kepala tertutup yang ditandai dengan hilangnya kesadaran
sementara (Corwin, 2000). Pada penelitian ini didapat kadar laktat rata-rata
pada penderita cedera kepala ringan 1,59 mmol/L.

2) Sedang : GCS 9-13


(penurunan kesadaran ringan)
Dengan Skala Koma Glasgow 9 - 12, lesi operatif dan abnormalitas dalam CT-
scan dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit (Torner, Choi, Barnes, 1999).
Pasien mungkin bingung atau somnolen namun tetap mampu untuk mengikuti
perintah sederhana (SKG 9-13). Pada suatu penelitian penderita cedera kepala
sedang mencatat bahwa kadar asam laktat rata-rata 3,15 mmol/L.

3) Berat : GCS 38
(penurunan kesadaran berat, mata tidak sama, pemeriksaan motor tidak sama,
bocornya cairan otak, perburukan saraf, fraktur tengkorak depressed)
Dengan Skala Koma Glasgow < 9 dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit
(Torner C, Choi S, Barnes Y, 1999). Hampir 100% cedera kepala berat dan
66% cedera kepala sedang menyebabkan cacat yang permanen. Pada cedera
kepala berat terjadinya cedera otak primer seringkali disertai cedera otak
sekunder apabila proses patofisiologi sekunder yang menyertai tidak segera
dicegah dan dihentikan (Parenrengi, 2004). Penelitian pada penderita cedera
kepala secara klinis dan eksperimental menunjukkan bahwa pada cedera
kepala berat dapat disertai dengan peningkatan titer asam laktat dalam jaringan
otak dan cairan serebrospinalis (CSS) ini mencerminkan kondisi asidosis otak.

1.4. Patofiologi
Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan pada
permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa kerusakan
pada duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di bawah area
benturan disebut lesi kontusio coup, di seberang area benturan tidak terdapat
gaya kompresi, sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka lesi
tersebut dinamakan lesi kontusio countercoup. Kepala tidak selalu
mengalami akselerasi linear, bahkan akselerasi yang sering dialami oleh
kepala akibat trauma kapitis adalah akselerasi rotatorik. Bagaimana caranya
terjadi lesi pada akselerasi rotatorik adalah sukar untuk dijelaskan secara
terinci. Tetapi faktanya ialah, bahwa akibat akselerasi linear dan rotatorik
terdapat lesi kontusio coup, countercoup dan intermediate.

Yang disebut lesi kontusio intermediate adalah lesi yang berada di antara lesi
kontusio coup dan countrecoup (Mardjono dan Sidharta, 2008). Akselerasi-
deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan
kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak
(substansi solid) dan otak (substansi semi solid) menyebabkan tengkorak
bergerak lebih cepat dari muatan intra kranialnya. Bergeraknya isi dalam
tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat
yang berlawanan dari benturan (countrecoup) (Hickey, 2003 dalam Israr
dkk,2009).

Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan


iskemia otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya
merusak otak. Cedera sekunder terjadi dari beberapa menit hingga beberapa
jam setelah cedera awal. Setiap kali jaringan saraf mengalami cedera, jaringan
ini berespon dalam pola tertentu yang dapat diperkirakan, menyebabkan
berubahnya kompartemen intrasel dan ekstrasel.

1.5. Manifestasi Klinik


Menurut Reissner (2009), gejala klinis trauma kepala adalah seperti berikut:
Tanda-tanda klinis yang dapat membantu mendiagnosa adalah:
Battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga di atas os
mastoid)
Hemotipanum (perdarahan di daerah menbran timpani telinga)
Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung)
Rhinorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari hidung)
Otorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari telinga)
Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala ringan:
Pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat
kemudian sembuh.
Sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan.
Mual atau dan muntah.
Gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun.
Perubahan keperibadian diri.
Letargik.

Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala berat:


Simptom atau tanda-tanda cardinal yang menunjukkan peningkatan di
otak menurun atau meningkat.
Perubahan ukuran pupil (anisokoria).
Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi
pernafasan).
Apabila meningkatnya tekanan intrakranial, terdapat pergerakan
atau posisi abnormal ekstrimitas

1.6. Diagnosis dan diagnosis Banding


1) Anamnesis
Sedapatnya dicatat apa yang terjadi, dimana, kapan waktu terjadinya kecelakaan yang
dialami pasien. Selain itu perlu dicatat pula tentang kesadarannya, luka-luka yang
diderita, muntah atau tidak, adanya kejang. Keliarga pasien ditanyakan apa yang
terjadi.
2) Pemeriksaan fisik umum
Pada pemeriksaan fisik dicatat tanda-tanda vital : kesadaran, nadi, tensi darah,
frekuensi dan jenis pernapasan serta suhu tubuh. Tingkat kesadaran dicatat yaitu
kompos mentis (kondisi segar bugar), apatis, somnolen (ngantuk), sopor (tidur),
soporokomo atau koma.43 Selain itu ditentukan pula Skala Koma Glasgow sebagai
berikut :

Respon 0-1 tahun


1 tahun
Mata

4 Membuka mata spontan Membuka mata spontan

3 Membuka mata dengan Membuka mata oleh tarikan


perintah

2 Membuka mata oleh nyeri Membuka mata oleh nyeri

1 Tidak membuka mata Tidak membuka mata

Respon 0-1 tahun


1 tahun
motorik

6 Mengikuti perintah Belum dapat dinilai

5 Melokalisasi nyeri Melokalisasi nyeri

4 Menghindari nyeri Menghindari nyeri


3 Fleksi abnormal (decorticasi) Fleksi abnormal (decorticasi)

2 Ekstensi abnormal Ekstensi abnormal (deserebrasi)


(deserebrasi)

1 Tidak ada respon Tidak ada respon

Respon
5 tahun 2 5 tahun 0 - 2 tahun
verbal

5 Orientasi baik dan Menyebutkan kata Menangis kuat


mampu kata yang sesuai
berkomunikasi

4 Disorientasi tapi Menyebutkan kata Menangis lemah


mampu kata yang tidak sesuai
berkomunikasi

3 Menyebutkan kata Menangis dan menjerit Kadang kadang


kata yang tidak menangus/menjerit
sesuai (kasar, lemah
jorok)

2 Mengeluarkan Mengeluarkan suara Mengeluarkan suara


suara lemah lemah

1 Tidak ada respon Tidak ada respon Tidak ada respon

Nilai tertinggi dari pemerikasan Skala Koma Glasgow (SKG) adalah 15 dan
terendah adalah 3. Berdasarkan nilai SKG trauma kapitis dapat dibagi atas :

kategori SKG Gambaran klinik Skening Otak

Pingsan 10
Trauma kapitis
13 15 menit, defisit Normal
ringan
neurologis (-)

Pingsan > 10
Trauma Kapitis menit s/d 6 jam,
9 12 Abnormal
Sedang defisit
neurologis (-)

Pingsan >6jam,
Trauma Kapitis
3-8 defisit Abnormal
berat
neurologis (+)
Pemeriksaan Skala Koma Glasgow tidak dapat dilakukan bila kedua mata
tertutup, misalnya bila kelopak mata membengkak. Rangsangan nyeri untuk
menimbulkan respon motorik dilakukan dengan menekan pertengahan sternum
dengan kapitulum metakarpal (telapak tangan) pertama jari tengah. Bila ada
tetraplegi tentu tes ini tidak akan berguna.

3) Pemeriksaan Pupil
Pupil harus diperiksa untuk mengetahui ukuran dan reaksi terhadap cahaya.
Perbedaan diameter antara dua pupil yang lebih besar dari 1 mm adalah
abnormal.Pupil yang terfiksir untuk dilatasi menunjukkan adanya penekanan terhadap
saraf okulomotor ipsilateral. Respon yang terganggu terhadap cahaya bisa merupakan
akibat dari cedera kepala. Penilaian ukuran pupil dan responnya terhadap rangsangan
cahaya adalah pemeriksaan awal terpenting dalam menangani cedera kepala.
Salah satu gejala dini dari herniasi dari lobus temporal adalah dilatasi dan
perlambatan respon cahaya pupil. Dalam hal ini adanya kompresi maupun distorsi
saraf okulomotorius sewaktu kejadian herniasi tentorial unkal akan mengganggu funsi
akson parasimpatis yang menghantarkan sinyal eferen untuk konstrksi pupil.
Gerakan bola mata merupakan indeks penting untuk penilaian aktiffitas fungsional
batang otak (formasio rektikularis). Penderita yang sadar penuh (alert) dan
mempunyai gerakan bola mata yang baik menandakan intaknya sistem motorikokuler
di batang otak. Pada keadaan kesadaran yang menurun, gerakan bola mata volunter
menghilang, sehingga untuk menilai gerakannya ditentukan dari refleks okulosefalik
dan okulovestibuler.

4) Pemeriksaan Neurologis
Pada pasien yang sadar dapat dilakukan pemeriksaan neurologis lengkap
seperti biasanya. Pada pasien yang berada dalam keadaan koma hanya dapat
dilakukan pemeriksaan obyektif. Pemeriksaan neurologis dilaksanakan terhadap saraf
kranial dan saraf perifer. Tonus,kekuatan, koordinasi, sensasi dan refleks harus
diperiksa dan semua hasilnya harus dicatat.
Bentuk pemeriksaan yang dilakukan adalah tanda perangsangan meningens,
yang berupa tes kaku kuduk yang hanya boleh dilakukan bila kolumna vertebralis
servikalis (ruas tulang leher) normal. Tes ini tidak boleh dilakukan bila ada fraktur
atau dislokasi servikalis. Selain itu dilakukan perangsangan terhadap sel saraf motorik
dan sarah sensorik (nervus kranialis).

5) Analisa gas darah untuk mengetahui masalah ventilasi dan oksigenasi akibat
peningkatan tekanan intracranial.

6) Pemeriksaan radiologis, yang berupa :


a. Foto Rontgen polos
Pada trauma kapitis perlu dibuat foto rontgen kepala dan kolumna vertebralis
servikalis. Film diletakkan pada sisi lesi akibat benturan. Bila lesi terdapat di
daerah oksipital, buatkan foto anterior-posterior dan bila lesi pada kulit terdapat di
daerah frontal buatkan foto posterior-anterior. Bila lesi terdapat pada daerah
temporal, pariental atau frontal lateral kiri, film diletakkan pada sisi kiri dan
dibuat foto lateral dari kanan ke kiri. Kalau diduga ada fraktur basis kranii, maka
dibuatkan foto basis kranii dengan kepalamenggantung dan sinar rontgen terarah
tegak lurus pada garis antar angulus mandibularis (tulang rahang bawah). Foto
kolumna vertebralis servikalis dibuat anterior-posterior dan lateral untuk melihat
adanya fraktur atau dislokasi. Pada foto polos tengkorak mungkin dapat
ditemukan garis fraktur atau fraktur impresi. Tekanan intrakranial yang tinggi
mungkin menimbulkan impressions digitae.

b. Compute Tomografik Scan (CT-Scan)


CT. Scan untuk menentukan hemoragi, ukuran ventrikel, pergeseran jaringan
otak. CT-Scan diciptakan oleh Hounsfield dan Ambrose pada tahun 1972. Dengan
pemeriksaan ini kita dapat melihat ke dalam rongga tengkorak. Potongan-
potongan melintang tengkorak bersama isinya tergambar dalam foto dengan
jelas.43 Indikasi pemeriksaan CT-Scan pada penderita trauma kapitis :
a) SKG < 15 atau terdapat penurunan kesadaran
b) Trauma kapitis ringan yang disertai dengan fraktur tulang tengkorak
c) Adanya tanda klinis fraktur basis kranii
d) Adanya kejang
e) Adanya tanda neurologis fokal
f) Sakit kepala yang menetap.

c. MRI (Magnetic Resonance Imaging) MRI dapat memberikan foto berbagai


kelainan parenkim otak dengan lebih jelas. Beberapa keuntungan MRI
dibandingkan dengan CT-Scan yaitu : lebih baik dalam menilai cedera sub-
akut, termasuk kontusio, shearing injury, dan sub dural hematoma, lebih baik
dalam menilai dan melokalisir luasnya kontusio dan hematoma secara lebih
akurat karena mampu melakukan pencitraan dari beberapa posisi, dan lebih
baik dalam pencitraan cedera batang otak. Sedangkan kerugian MRI
dibandingkan dengan CT-Scan yaitu : membutuhkan waktu pemeriksaan lama
sehingga membutuhkan alat monitoring khusus pada pasien trauma kapitis
berat, kurang sensitif dalam menilai perdarahan akut, kurang baik dalam
penilaian fraktur, perdarahan subarachnoid dan pneumosefalus minimal dapat
terlewatkan.

d. Angiografi
Angiografi untuk menunjukkan kelainan sirkulasi cerebral seperti pergeseran
jaringan otak akibat edema, perdarahan dan trauma.

DIAGNOSIS BANDING
Jika riwayat trauma kurang jelas dan pasien tidak sadar, kita harus
membedakan cedera kepala tertutup dengan penyebab lainnya, seperti: koma diabetik,
koma alkoholik, CVD atau epilepsy (jika pasien kejang).

1.7. Tatalaksana
Terapi non-operatif pada pasien cedera kranioserebral ditujukan untuk:
1. Mengontrol fisiologi dan substrat sel otak serta mencegah kemungkinan
terjadinya tekanan tinggi intrakranial
2. Mencegah dan mengobati edema otak (cara hiperosmolar, diuretik)
3. Minimalisasi kerusakan sekunder
4. Mengobati simptom akibat trauma otak
5. Mencegah dan mengobati komplikasi trauma otak, misal kejang, infeksi
(antikonvulsan dan antibiotik)
Terapi operatif terutama diindikasikan untuk kasus:
1. Cedera kranioserebral tertutup
Fraktur impresi (depressed fracture)
Perdarahan epidural (hematoma epidural /EDH) dengan volume
perdarahan lebih dari 30mL/44mL dan/atau pergeseran garis tengah
lebih dari 3 mm serta ada perburukan kondisi pasien
Perdarahan subdural (hematoma subdural/SDH) dengan pendorongan
garis tengah lebih dari 3 mm atau kompresi/obliterasi sisterna basalis
Perdarahan intraserebral besar yang menyebabkan progresivitas
kelainan neurologik atau herniasi
2. Pada cedera kranioserebral terbuka
Perlukaan kranioserebral dengan ditemukannya luka kulit, fraktur
multipel, durameter yang robek disertai laserasi otak
Liquorrhea yang tidak berhenti lebih dari 14 hari
Pneumoencephali
Corpus alienum
Luka tembak

Tatalaksana pasien dalam keadaan sadar (SKG=15)


Simple Head Injury (SHI)
Pada pasien ini, biasanya tidak ada riwayat penurunan kesadaran sama sekali dan
tidak ada defisit neurologik, dan tidakada muntah. Tindakan hanya perawatan luka.
Pemeriksaan radiologik hanya atas indikasi.Umumnya pasien SHI boleh pulang
dengan nasihat dan keluarga diminta mengobservasi kesadaran. Bila dicurigai
kesadaran menurun saat diobservasi, misalnya terlihat seperti mengantuk dan sulit
dibangunkan, pasien harus segera
dibawa kembali ke rumah sakit.

Penderita mengalami penurunan kesadaran sesaat setelah trauma


kranioserebral,
dan saat diperiksa sudah sadar kembali. Pasien ini kemungkinan mengalami cedera
kranioserebral ringan (CKR).

Tatalaksana pasien dengan penurunan kesadaran


Cedera kepala ringan (SKG = 13-15)
Dilakukan pemeriksaan fi sik, perawatan luka, foto kepala, istirahat baring dengan
mobilisasi bertahap sesuai dengan kondisi pasien disertai terapi simptomatis.
Observasi minimal 24 jam di rumah sakit untuk menilai kemungkinan hematoma
intrakranial, misalnya riwayat lucid interval, nyeri kepala, muntah-muntah, kesadaran
menurun, dan gejala-gejala lateralisasi (pupil anisokor, refleksi patologis positif). Jika
dicurigai ada hematoma, dilakukan CT scan.
Cedera kepala sedang (SKG = 9-13)
Urutan tindakan:
a. Periksa dan atasi gangguan jalan napas (Airway), pernapasan (Breathing), dan
sirkulasi (Circulation)
b. Pemeriksaan singkat kesadaran, pupil, tanda fokal serebral, dan cedera organ
lain. Jika dicurigai fraktur tulang servikal dan atau tulang ekstremitas lakukan
fiksasi leher dengan pemasangan kerah leher dan atau fiksasi tulang
ekstremitas bersangkutan
c. Foto kepala, dan bila perlu foto bagian tubuh lainnya
d. CT scan otak bila dicurigai ada hematoma intrakranial
e. Observasi fungsi vital, kesadaran, pupil, dan defisit fokal serebral lainnya.
Cedera kepala berat (SKG 3-8)
Pasien dalam kategori ini, biasanya disertai cedera multipel. Bila didapatkan fraktur
servikal, segera pasang kerah fiksasi leher, bila ada luka terbuka dan ada perdarahan,
dihentikan dengan balut tekan untuk pertolongan pertama. Tindakan sama dengan
cedera kranioserebral
sedang dengan pengawasan lebih ketat dan dirawat di ICU.

Tindakan di ruang unit gawat darurat :


1. Resusitasi dengan tindakan A = Airway, B = Breathing dan C = Circulation
a. Jalan napas (Airway)
Jalan napas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi kepala
ekstensi.
Jika perlu dipasang pipa orofaring atau pipa endotrakheal. Bersihkan sisa muntahan,
darah,
lendir atau gigi palsu. Jika muntah, pasien dibaringkan miring. Isi lambung
dikosongkan melalui pipa nasogastrik untuk menghindari aspirasi muntahan.
b. Pernapasan (Breathing)
Gangguan pernapasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau perifer.Kelainan
sentral disebabkan oleh depresi pernapasan yang ditandai dengan pola pernapasan
Cheyne Stokes, hiperventilasi neurogenik sentral, atau ataksik. Kelainan perifer
disebabkan oleh aspirasi, trauma dada, edema paru, emboli paru, atau infeksi.
Tata laksana:
Oksigen dosis tinggi, 10-15 liter/menit, intermiten
Cari dan atasi faktor penyebab
Kalau perlu pakai ventilator

c. Sirkulasi (Circulation)
Hipotensi dapat terjadi akibat cedera otak. Hipotensi dengan tekanan darah sistolik
<90 mm Hg yang terjadi hanya satu kali saja sudah dapat meningkatkan risiko
kematian dan kecacatan. Hipotensi kebanyakan terjadi akibat faktor ekstrakranial,
berupa hipovolemia karena perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma dada
disertai tamponade jantung/ pneumotoraks, atau syok septik. Tata laksananya dengan
cara menghentikan sumber perdarahan, perbaikan fungsi jantung, mengganti darah
yang hilang, atau sementara dengan cairan isotonik NaCl 0,9%.

1.8. Pencegahan
1) Pencegahan Primordial
Pencegahan Primordial ialah pencegahan yang dilakukan kepada orang-orang
yang belum terkena faktor risiko yaitu berupa safety facilities : koridor (sidewalk),
jembatan penyeberangan (over head bridge), rambu jalanan (traffic signal); dan
peraturan (law enforcement).
2) Pencegahan Primer
Pencegahan primer yaitu, upaya pencegahan sebelum peristiwa terjadi yang
dirancang untuk mencegah faktor-faktor yang menunjang tejadinya trauma, seperti
:\
a. Tidak mengemudi di bawah pengaruh alkohol atau obat-obatan.
b. Penggunaan helm, sabuk pengaman (seat belt)
c. Pengendalian/ pembatasan kecepatan kendaraan
d. Membuat lingkungan yang lebih aman bagi manula dan anak-anak, seperti :
meningkatkan penerangan seluruh rumah, lantai tidak licin, membuat pegangan
pada kedua sisi tangga.
3) Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder yaitu upaya pencegahan saat peristiwa terjadi yang
dirancang untuk mengurangi atau meminimalkan beratnya trauma yang terjadi.
Pada pencegahan sekunder dilakukan diagnosis yang berupa anamnesis,
pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan neurologis, dan pemeriksaan radiologis
a. Memberikan jalan nafas yang lapang (Airway).
b. Memberi nafas/ nafas buatan (Breathing)
c. Menghentikan perdarahan (Circulations).
4) Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier yaitu upaya mencegah terjadi komplikasi trauma kapitis yang
lebih berat atau kematian. Pencegahan tersier dapat dilakukan dengan melakukan
rehabilitasi yang tepat, pemberian pendidikan kesehatan sekaligus konseling yang
bertujuan untuk mengubah perilaku (terutama perilaku berlalu lintas) dan gaya
hidup penderita. Rehabilitasi adalah bagian penting dari proses pemulihan
penderita trauma kapitis. Tujuan dari rehabilitasi setelah trauma kapitis yaitu
untuk meningkatkan kemampuan penderita untuk melaksanakan fungsinya di
dalam keluarga dan di dalam masyarakat.
1. Rehabilitasi Fisik
2. Rehabilitasi Psikologis
3. Rehabilitasi Sosial

1.9. Komplikasi
A. Jangka pendek :
1. Hematom Epidural
Letaknya antara tulang tengkorak dan duramater. Terjadi akibat pecahnya arteri
meningea media atau cabangnya. Gejalanya : setelah kecelakaan pasien
pingsa/nyeri kepala sebentar kemudian membaik dengan sendirinya tetapi
beberapa jam kemudian timbul gejala yang bersifat progresif seperti nyeri kepala,
pusing, kesadaran menurun, nadi melambat, tekanan darah meningkat, pupil pada
sisi perdarahan mula-mula miosis lalu menjadi lebar dan akhirnya tidak bereaksi
terhadap cahaya. Ini adalah tanda-tanda terjadi herniasi tentorial.
Keadaan akut (minimal 24 jam sampai 3X24 jam), adanya lucid interval,
peningkatan TIK dan gejala lateralisasi berupa hemiparesis.
Pemeriksaan CT scan menunjukan ada bagian hiperdens yang bikonveks dan LCS
biasanya jernih. Tatalaksana berupa tindakan evakuasi darah (dekompresi) dan
pengikatan pembuluh darah.
2. Hematom Subdural
Letak dibawah duramater. Akibat pecahnya bridging vein, gabungan robekan
bridging veins dan laserasi piamater serta arackhinoid dari korteks serebri. Gejala
subakut mirip epidural hematom, timbul dalam 3 hari pertama dan gejala cronis
timbul 3 minggu atau berbulan-bulan setelah trauma.
Pada pemeriksaan CT Scan setelah hari ke 3 kemudian diulang 2 xkemudia
terdapat bagian hipodens berbentuk creesent.)
Operasi : segera dilakukan untuk mengurangi tekanan dalam otak (dekompresi)
dengan melakukan evakuasi hematom.
Penanganan subdural hematom aku t terdiri dari tranplasntasi dekompresi.
3. Perdarahan intracerebral
Perdarahan dalam koretek serebri yang berasal dari arteri kortikal, banyak terdapat
pada lobus temporal.
4. Perdarahan subarachnoid
Perdarahan di dalam rongga subarachinoid akibat robek pembuluh darah dan
permukaan otak, selalu ada pada cedera kepala yang hebat.
5. Udem cerebri
Otak membengkak, penderita lebih lama pingsannya, mungkin hingga berjam-
jam. Tekanan darah naik, nadi melambat, gejala kerusakan jaringan otak juga tidak
ada, cairan otak normal, hanya tekanan meninggi dan kesadaran menurun.

B. Jangka panjang :
1. Kerusakan saraf kranial
Anosmia
Kerusakan nervus olfaktorius menyebabkan gangguan sesnsasi pembauan
yang jika total disebut anosmia, jika parsial disebut hiposmia. Tidak ada
pengobatan khusus bagi penderita anosmia.
Gangguan penglihatan
Gangguan pada nervus optikus, timbul segera setelah terjadi trauma. Disertai
hematoma disekitar mata, proptosis akibat perdarahan, dan edema dalam
orbita. Gejala berupa penurunan visus,skotoma, dilatasi pupil dengan reflek
cahaya negative. Dalam waktu 3-6 minggu setelah cedera mengakibatkan
kebutaan, terjadi atrofi pupil yang difus, kebutaan bersifat irreversible.
Oftalmoplegi
Kelumpuhan otot-otot penggerak bola mata, disertai proptosis dan pupil yang
midriatik. Tidak ada pengobatan khusus untuk penyakit ini, tapi bisa
diusahakan dengan latihan ortoptik dini.
Paresis fasialis
Gejala muncul saat cedera berupa gangguan pengecapan pada lidah, hilangnya
kerutan dahi, kesulitan menutup mata, mulut mencong, semuanya pada sisi
yang mengalami kerusakan.
Gangguan pendengaran
Gangguan pendengaran yang berat biasanya disertai dengan vertigo dan
nystagmus karena ada hubungan erat antara koklea, vestibula dan saraf.
2. Disfagia
Kesulitan untuk memahami / memproduksi Bahasa disebabkan oleh penyakit SSP.
Penderita disfagia membutuhkan perwatan yang lebih lama, rehabilitasi juga lebih
sulit karena masalah komunikasi. Pengobatan untuk disfagia hanya speech
therapy.
3. Hemiparesis
Manifestasi dari kerusakan jaras pyramidal di korteks, subkorteks, atau di batang
otak. Penyebab karena perdarahan otak, empyema subdural, dan herniasi
transtentorial.
4. Syndrome pasca cedera kepala
Kumpulan gejala yang kompleks, sering dijumpai pada penderita cedera kepala.
Gejala berupa nyeri kepala, vertigo gugup, mudah tersinggung, gangguan
konsentrasi, penurunan daya ingat, mudah terasa lelah, sulit tidura dan gangguan
fungsi seksual.
5. Epilepsi
Epilepsy pasca trauma muncul dalam minggu pertama pasca trauma da nada yang
muncul setelah 4 tahun pasca trauma.

1.10. Prognosis
a. Menurut Chusid (1982), prognosis TK tergantung berat dan letak TK.
b. Menurut King & Bewes (2001), prognosis TK buruk jika pada pemeriksaan ditemukan
pupil midriasis dan tidak ada respon E, V, M dengan rangsangan apapun. Jika
kesadarannya baik, maka prognosisnya dubia, tergantung jenis TK, yaitu: pasien dapat
pulih kembali atau traumanya bertambah berat.
c. Menurut Fauzi (2002), faktor yang memperjelek prognosis adalah terlambatnya
penanganan awal/resusitasi, transportasi yang lambat, dikirim ke RS yang tidak
memadai, terlambat dilakukan tindakan pembedahan dan disertai trauma multipel yang
lain.

2. Memahami dan menjelaskan perdarahan Intrakranial

2.1. Definisi
Perdarahan Intrakranial adalah perdarahan di dalam tulang tengkorak. Perdarahan bisa terjadi
di dalam otak atau di sekeliling otak:
Perdarahan yang terjadi di dalam otak disebut perdarahan intraserebral
Perdarahan di antara otak dan rongga subaraknoid disebut perdarahan
subaraknoid
Perdarahan diantara lapisan selaput otak (meningen) disebut perdarahan
subdural
Perdarahan diantara tulang tengkorak dan selaput otak disebut perdarahan
epidural

2.2. Etiologi
a. Cedera kepala merupakan penyebab yang paling sering ditemukan pada penderita
perdarahan intrakranial yang berusia dibawah 50 tahun.
b. Penyebab lainnya adalah malformasi arteriovenosa, yaitu kelainan anatomis di dalam
arteri atau vena di dalam atau di sekitar otak. Malformasi arteriovenosa merupakan
kelainan bawaan, tetapi baru diketahui keberadaannya jika telah menimbulkan gejala.
c. Perdarahan dari malformasi arteriovenosa bisa secara tiba-tiba menyebabkan pingsan dan
kematian, dan cenderung menyerang remaja dan dewasa muda.
d. Kadang dinding pembuluh darah menjadi lemah dan menonjol, yang disebut dengan
aneurisma. Dinding aneurisma yang tipis bisa pecah dan menyebabkan perdarahan.
e. Aneurisma di dalam otak merupakan penyebab dari perdarahan intrakranial, yang bisa
menyebabkan stroke hemoragik (stroke karena perdarahan).

2.3. Klasifikasi
Berdasarkan cedera kepala di area intrakranial.
Menurut (Tobing, 2011) yang diklasifikasikan menjadi cedera otak fokal dan cedera otak
difus.
Cedera otak fokal yang meliputi :
Perdarahan epidural atau epidural hematoma (EDH)
Epidural hematom (EDH) adalah adanya darah di ruang epidural yitu ruang
potensial antara tabula interna tulang tengkorak dan durameter. Epidural
hematom dapat menimbulkan penurunan kesadaran adanya interval lusid
selama beberapa jam dan kemudian terjadi defisit neorologis berupa
hemiparesis kontralateral dan gelatasi pupil itsilateral. Gejala lain yang
ditimbulkan antara lain sakit kepala, muntah, kejang dan hemiparesis.
Perdarahan subdural akut atau subdural hematom (SDH) akut.
Perdarahan subdural akut adalah terkumpulnya darah di ruang subdural yang
terjadi akut (6-3 hari).Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil
dipermukaan korteks cerebri.Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh
hemisfir otak.Biasanya kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan
prognosisnya jauh lebih buruk dibanding pada perdarahan epidural.
Perdarahan subdural kronik atau SDH kronik
Subdural hematom kronik adalah terkumpulnya darah diruang subdural lebih
dari 3 minggu setelah trauma.Subdural hematom kronik diawali dari SDH
akut dengan jumlah darah yang sedikit. Darah di ruang subdural akan
memicu terjadinya inflamasi sehingga akan terbentuk bekuan darah atau clot
yang bersifat tamponade. Dalam beberapa hari akan terjadi infasi fibroblast
ke dalam clot dan membentuk noumembran pada lapisan dalam (korteks) dan
lapisan luar (durameter). Pembentukan neomembran tersebut akan di ikuti
dengan pembentukan kapiler baru dan terjadi fibrinolitik sehingga terjadi
proses degradasi atau likoefaksi bekuan darah sehingga terakumulasinya
cairan hipertonis yang dilapisi membran semi permeabel. Jika keadaan ini
terjadi maka akan menarik likuor diluar membran masuk kedalam membran
sehingga cairan subdural bertambah banyak. Gejala klinis yang dapat
ditimbulkan oleh SDH kronis antara lain sakit kepala, bingung, kesulitan
berbahasa dan gejala yang menyerupai TIA (transient ischemic
attack).disamping itu dapat terjadi defisit neorologi yang berfariasi seperti
kelemahan otorik dan kejang
Perdarahan intra cerebral atau intracerebral hematom (ICH)
Intra cerebral hematom adalah area perdarahan yang homogen dan konfluen
yang terdapat didalam parenkim otak. Intra cerebral hematom bukan
disebabkan oleh benturan antara parenkim otak dengan tulang tengkorak,
tetapi disebabkan oleh gaya akselerasi dan deselerasi akibat trauma yang
menyebabkan pecahnya pembuluh darah yang terletak lebih dalam, yaitu di
parenkim otak atau pembuluh darah kortikal dan subkortikal. Gejala klinis
yang ditimbulkan oleh ICH antara lain adanya penurunan kesadaran. Derajat
penurunan kesadarannya dipengaruhi oleh mekanisme dan energi dari trauma
yang dialami.
Perdarahan subarahnoit traumatika (SAH)
Perdarahan subarahnoit diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah kortikal
baik arteri maupun vena dalam jumlah tertentu akibat trauma dapat
memasuki ruang subarahnoit dan disebut sebagai perdarahan subarahnoit
(PSA).Luasnya PSA menggambarkan luasnya kerusakan pembuluh darah,
juga menggambarkan burukna prognosa. PSA yang luas akan memicu
terjadinya vasospasme pembuluh darah dan menyebabkan iskemia akut luas
dengan manifestasi edema cerebri.

Cedera otak difus menurut (Sadewa, 2011)


Terjadinya cedera kepala difus disebabkan karena gaya akselerasi dan deselarasi gaya
rotasi dan translasi yang menyebabkan bergesernya parenkim otak dari permukaan
terhadap parenkim yang sebelah dalam. Maka cedera kepala difus dikelompokkan
menjadi :
Cedera akson difus (difuse aksonal injury) DAI
Difus axonal injury adalah keadaan dimana serabut subkortikal yang
menghubungkan inti permukaan otak dengan inti profunda otak (serabut
proyeksi), maupun serabut yang menghubungkan inti-inti dalam satu
hemisfer (asosiasi) dan serabut yang menghbungkan inti-inti permukaan
kedua hemisfer (komisura) mengalami kerusakan. Kerusakan sejenis ini lebih
disebabkan karena gaya rotasi antara initi profunda dengan inti permukaan .
Kontusio cerebri
Kontusio cerebri adalah kerusakan parenkimal otak yang disebabkan karena
efek gaya akselerasi dan deselerasi. Mekanisme lain yang menjadi penyebab
kontosio cerebri adalah adanya gaya coup dan countercoup, dimana hal
tersebut menunjukkan besarnya gaya yang sanggup merusak struktur
parenkim otak yang terlindung begitu kuat oleh tulang dan cairan otak yang
begitu kompak. Lokasi kontusio yang begitu khas adalah kerusakan jaringan
parenkim otak yang berlawanan dengan arah datangnya gaya yang mengenai
kepala.
Edema cerebri
Edema cerebri terjadi karena gangguan vaskuler akibat trauma kepala.Pada
edema cerebri tidak tampak adanya kerusakan parenkim otak namun terlihat
pendorongan hebat pada daerah yang mengalami edema.Edema otak bilateral
lebih disebabkan karena episode hipoksia yang umumnya dikarenakan
adanya renjatan hipovolemik.
Iskemia cerebri
Iskemia cerebri terjadi karena suplai aliran darah ke bagian otak berkurang
atau terhenti.Kejadian iskemia cerebri berlangsung lama (kronik progresif)
dan disebabkan karena penyakit degeneratif pembuluh darah otak.

Berdasarkan kronologisnya hematom epidural diklasifikasikan menjadi :


1. Akut : ditentukan diagnosisnya waktu 24 jam pertama setelah trauma
2. Subakut : ditentukan diagnosisnya antara 24 jam 7 hari
3. Kronis : ditentukan diagnosisnya hari ke 7

Klasifikasi intraserebral hematom menurut letaknya ;


1. Hematom supra tentoral.
2. Hematom serbeller.
3. Hematom pons-batang otak.

1.4. Patofisiologi
Perdarahan epidural :
Hematom epidural terjadi karena cedera kepala benda tumpul dan dalam waktu yang lambat,
seperti jatuh atau tertimpa sesuatu, dan ini hampir selalu berhubungan dengan fraktur cranial
linier.Pada kebanyakan pasien, perdarahan terjadi pada arteri meningeal tengah, vena atau
keduanya.Pembuluh darah meningeal tengah cedera ketikaterjadi garis fraktur melewati
lekukan minengeal pada squama temporal.

Perdarahan subdural :
Vena cortical menuju dura atau sinus dural pecahdan mengalami memar atau laserasi, adalah
lokasi umum terjadinya perdarahan.Hal ini sangat berhubungan dengan comtusio serebral dan
oedem otak. CT Scan menunjukkan effect massa dan pergeseran garis tengah dalam exsess
dari ketebalan hematom yamg berhubungan dengan trauma otak.

Perdarahan intraserebral
Hematom intraserebral biasanta 80%-90% berlokasi di frontotemporal atau di daerah
ganglia basalis, dan kerap disertai dengan lesi neuronal primer lainnya serta fraktur
kalvaria.

1.5. Manifestasi Klinik


Perdarahan epidural :
Gejala klinis hematom epidural terdiri dari trias gejala;
1. Interval lusid (interval bebas)
Setelah periode pendek ketidaksadaran, ada interval lucid yang diikuti dengan
perkembangan yang merugikan pada kesadaran dan hemisphere contralateral. Lebih dari
50% pasien tidak ditemukan adanya interval lucid, dan ketidaksadaran yang terjadi dari
saat terjadinya cedera.
Sakit kepala yang sangat sakit biasa terjadi, karena terbukanya jalan dura dari bagian
dalam cranium, dan biasanya progresif bila terdapat interval lucid.
Interval lucid dapat terjadi pada kerusakan parenkimal yang minimal. Interval ini
menggambarkan waktu yang lalu antara ketidak sadaran yang pertama diderita karena
trauma dan dimulainya kekacauan pada diencephalic karena herniasi transtentorial.
Panjang dari interval lucid yang pendek memungkinkan adanya perdarahan yang
dimungkinkan berasal dari arteri.

2. Hemiparesis
Gangguan neurologis biasanya collateral hemipareis, tergantung dari efek pembesaran
massa pada daerah corticispinal. Ipsilateral hemiparesis sampai penjendalan dapat juga
menyebabkan tekanan pada cerebral kontralateral peduncle pada permukaan tentorial.

3. Anisokor pupil
Yaitu pupil ipsilateral melebar. Pada perjalananya, pelebaran pupil akan mencapai
maksimal dan reaksi cahaya yang pada permulaan masih positif akan menjadi negatif.
Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardi.pada tahap ahir, kesadaran menurun
sampai koma yang dalam, pupil kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya
kedua pupil tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian.

Perdarahan Subdural
Gejala klinisnya sangat bervariasi dari tingkat yang ringan (sakit kepala) sampai
penutunan kesadaran. Kebanyakan kesadaran hematom subdural tidak begitu hebat deperti
kasus cedera neuronal primer, kecuali bila ada effek massa atau lesi lainnya.
Gejala yang timbul tidak khas dan meruoakan manisfestasi dari peninggian tekanan
intrakranial seperti : sakit kepala, mual, muntah, vertigo, papil edema, diplopia akibat
kelumpuhan n. III, epilepsi, anisokor pupil, dan defisit neurologis lainnya.kadang kala yang
riwayat traumanya tidak jelas, sering diduga tumor otak.

Perdarahan Intraserebral
Perdarahan intraserebral merupakan salah satu jenis stroke, yang disebabkan oleh adanya
perdarahan ke dalam jaringan otak.Perdarahan intraserebral terjadi secara tiba-tiba, dimulai
dengan sakit kepala, yang diikuti oleh tanda-tanda kelainan neurologis (misalnya kelemahan,
kelumpuhan, mati rasa, gangguan berbicara, gangguan penglihatan dan kebingungan). Sering
terjadi mual, muntah, kejang dan penurunan kesadaran, yang bisa timbul dalam waktu
beberapa menit.
Biasanya dilakukan pemeriksaan CT scan dan MRI untuk membedakan stroke iskemik
dengan stroke perdarahan.Pemeriksaan tersebut juga bisa menunjukkan luasnya kerusakan
otak dan peningkatan tekanan di dalam otak. Pungsi lumbal biasanya tidak perlu dilakukan,
kecuali jika diduga terdapat meningitis atau infeksi lainnya. Pembedahan bisa
memperpanjang harapan hidup penderita, meskipun masih dapat meninggalkan kelainan
neurologis yang berat. Tujuan pembedahan adalah untuk membuang darah yang telah
terkumpul di dalam otak dan untuk mengurangi tekanan di dalam tengkorak.

Perdarahan Subarakhnoid
Perdarahan subaraknoid adalah perdarahan tiba-tiba ke dalam rongga diantara otak
dan selaput otak (rongga subaraknoid).Sumber dari perdarahan adalah pecahnya dinding
pembuluh darah yang lemah (apakah suatu malformasi arteriovenosa ataupun suatu
aneurisma) secara tiba-tiba. Kadang aterosklerosis atau infeksi menyebabkan kerusakan pada
pembuluh darah sehingga pembuluh darah pecah. Pecahnya pembuluh darah bisa terjadi pada
usia berapa saja, tetapi paling sering menyerang usia 25-50 tahun. Perdarahan subaraknoid
jarang terjadi setelah suatu cedera kepala.

1.6. Diagnosis dan diagnosis banding


Pemeriksaan penunjang
Level hematokrit, kimia, dan profil koagulasi (termasuk hitung trombosit) penting
dalam penilaian pasien dengan perdarahan epidural, baik spontan maupun trauma..
Cedera kepala berat dapat menyebabkan pelepasan tromboplastin jaringan, yang
mengakibatkan DIC. Pengetahuan utama akan koagulopati dibutuhkan jika
pembedahan akan dilakukan. Jika dibutuhkan, faktor-faktor yang tepat diberikan pre-
operatif dan intra-operatif.
Pada orang dewasa, perdarahan epidural jarang menyebabkan penurunan yang
signifikan pada level hematokrit dalam rongga kranium kaku. Pada bayi, yang volume
darahnya terbatas, perdarahan epidural dalam kranium meluas dengan sutura terbuka
yang menyebabkan kehilangan darah yang berarti.Perdarahan yang demikian
mengakibatkan ketidakstabilan hemodinamik; karenanya dibutuhkan pengawasan
berhati-hati dan sering terhadap level hematokrit.

Pencitraan
Radiografi
o Radiografi kranium selalu mengungkap fraktur menyilang bayangan
vaskular cabang arteri meningea media. Fraktur oksipital, frontal atau
vertex juga mungkin diamati.
o Kemunculan sebuah fraktur tidak selalu menjamin adanya perdarahan
epidural. Namun, > 90% kasus perdarahan epidural berhubungan
dengan fraktur kranium. Pada anak-anak, jumlah ini berkurang karena
kecacatan kranium yang lebih besar.
CT-scan
o CT-scan merupakan metode yang paling akurat dan sensitif dalam
mendiagnosa perdarahan epidural akut. Temuan ini khas. Ruang yang
ditempati perdarahan epidural dibatasi oleh perlekatan dura ke skema
bagian dalam kranium, khususnya pada garis sutura, memberi tampilan
lentikular atau bikonveks. Hidrosefalus mungkin muncul pada pasien
dengan perdarahan epidural fossa posterior yang besar mendesak efek
massa dan menghambat ventrikel keempat.
o CSF tidak biasanya menyatu dengan perdarahan epidural; karena itu
hematom kurang densitasnya dan homogen. Kuantitas hemoglobin
dalam hematom menentukan jumlah radiasi yang diserap.
o Tanda densitas hematom dibandingkan dengan perubahan parenkim
otak dari waktu ke waktu setelah cedera. Fase akut memperlihatkan
hiperdensitas (yaitu tanda terang pada CT-scan). Hematom kemudian
menjadi isodensitas dalam 2-4 minggu, lalu menjadi hipodensitas
(yaitu tanda gelap) setelahnya. Darah hiperakut mungkin diamati
sebagai isodensitas atau area densitas-rendah, yang mungkin
mengindikasikan perdarahan yang sedang berlangsung atau level
hemoglobin serum yang rendah.
o Area lain yang kurang sering terlibat adalah vertex, sebuah area
dimana konfirmasi diagnosis CT-scan mungkin sulit. Perdarahan
epidural vertex dapat disalahtafsirkan sebagai artefak dalam potongan
CT-scan aksial tradisional. Bahkan ketika terdeteksi dengan benar,
volume dan efek massa dapat dengan mudah disalahartikan. Pada
beberapa kasus, rekonstruksi coronal dan sagital dapat digunakan
untuk mengevaluasi hematom pada lempengan coronal.
o Kira-kira 10-15% kasus perdarahan epidural berhubungan dengan lesi
intrakranial lainnya. Lesi-lesi ini termasuk perdarahan subdural,
kontusio serebral, dan hematom intraserebral.

Perdarahan intraserebral
Kriteria diagnosis hematom supra tentorial:
nyeri kepala mendadak
penurunan tingkat kesadaran dalam waktu 24-48 jam.
Tanda fokal yang mungkin terjadi ;
- Hemiparesis / hemiplegi.
- Hemisensorik.
- Hemi anopsia homonim
- Parese nervus III.

Kriteria diagnosis hematom serebeller ;


Nyeri kepala akut.
Penurunan kesadaran.
Ataksia
Tanda tanda peninggian tekanan intrakranial.
1.7. Tatalaksana
1. Terapi Umum
a) Breathing : menjaga jalan nafas dengan memposisikan kepala sedikit
ekstensi untuk mencegah lidah jatuh ke belakang, pemberian oksigen 2-3
L/menit.
b) Blood : kontrol tekanan darah dan nadi
c) Brain : mengurangi edema, memenuhi intake cairan dengan
pemberian cairan isotonis seperti RL 12 jam/kolf, atasi gelisah dan kejang.
d) Bladder : pasang kateter untuk miksi dan mengetahui output urine
e) Bowel : memenuhi asupan makanan, kalori dan elektrolit
f) Burn : demam diatasi.
2. Terapi Khusus
a. Anti udema : manitol bolus 1 gr/kgBB dalam 20-30 menit, kemudian
dilanjutkan dengan dosis 0,25-0,5 gr/kgBB setiap 6 jam sampai maksimal
48 jam. Target osmolaritas 300-320 mosm/L atau dengan gliserol 10% 10
ml/kg dalam 3-4 jam atau dengan furosemide 1 mg/kgBB IV. Pemberian
steroid tidak diberikan secara rutin, bila ada indikasi harus diikuti oleh
pengamatn yang ketat.
b. Obat homeostasis : Transamic acid 6 gram/hari IV (2 minggu), berperan
sebagai antiinflamasi dan mencegah perdarahan ulang.
c. Anti hipertensi : bila tekanan darah sistolik > 230 mmHg atau tekanan
diastolik > 140 mmHg berikan : Nikardipin 5-15 mg/jam infus kontinyu
atau Diltiazem 5-40 mg/kg/menit infus kontinyu. Bila tekanan sistolik
180-230 mmHg atau tekanan diastolik 105-140 mmHg, atau tekanan
darah arterial rata-rata 130 mmHg berikan : Labetalol 10-20 mg IV
selama 1-2 menit, ulangi atau gandakan setiap 10 menit sampai
maksimmum 300 mg atau berikan dosis awal bolus diikuti oleh Labetalol
drip 2-8 mg/menit atau Nikardipin 5-15 mg/jam infus kontinyu atau
Diltiazem 5-40 mg/kg/menit infus kontinyu atau Nimodipin. Bila tekanan
sistolik <180 mmHg atau tekanan diastolic < 105 mmHg, tangguhkan
pemberian obat anti hipertensi.
d. Bila terdapat kejang diatasi segera dengan Diazepam IV perlahan atau
dengan antikonvulsan lain.
e. Neurotropik agent : Piracetam 3x400 mg.
f. Tindakan bedah dilakukan dengan pertimbangan usia dan skala Glasgow
> 4, dan hanya dilakukan pada penderita dengan : peradarahan serebelum
dengan diameter lebih dari 3 cm dilakukan kraniotomi dekompresi,
hidrosefalus akut akibat perdarahan intraventrikel atau serebelum dapat
dilakukan VP shunting, perdarahan lobus diatas 60 cc dengan tanda-tanda
peningkatan tekanan intrakranial akut disertai dengan ancaman herniasi.
g. Rehabilitasi : penderita perlu perawatan lanjutan secara intensif dan
dimobilisasi sesegera mungkin bila klinis neurologis dan hemodinamik
stabil. Perubahan posisi badan dan ekstremitas setiap 2 jam untuk
mencegah dekubitus.

1.8. Pencegahan
Beberapa faktor yang dapat dicegah untuk mengurangi risiko terjadinya perdarahan
otak meliputi :
a. Atasi tekanan darah tinggi. Sekitar 80% perdarahan otak terjadi pada penderita
yang memiliki riwayat darah tinggi. Untuk itu perlu tindakan untuk mengatasi
tekanan darah yang tinggi, yaitu melalui diet yang sehat, olahraga, dan obat-
obatan
b. Jangan merokok
c. Jangan menggunakan obat-obat terlarang, misalnya kokain, dapat meningkatkan
risiko terjadinya perdarahan di otak
d. Mengemudi dengan hati-hati, gunakan sabuk pengaman Anda
e. Selalu memakai helm saat mengendarai sepeda motor
f. Jika Anda memiliki aneurisma, tindakan pembedahan dapat diakukan untuk
mencegah perdarahan di kemudian hari

1.9. Komplikasi
Kebanyakan dari komplikasi perdarahan epidural muncul ketika tekanan yang mereka
kerahkan mengakibatkan pergeseran otak yang berarti. Ketika otak menjadi subyek
herniasi subfalcine, arteri serebral anterior dan posterior mungkin tersumbat,
menyebabkan infark serebral.
Herniasi kebawah batang otak menyebabkan perdarahan Duret dalam batang otak,
paling sering di pons.
Herniasi transtentorial menyebabkan palsy nervus III kranialis ipsilateral, yang
seringnya membutuhkan berbulan-bulan untuk beresolusi sekali tekanan dilepaskan.
Palsy nervus III kranialis bermanifestasi sebagai ptosis, dilatasi pupil, dan
ketidakmampuan menggerakkan mata ke arah medial, atas, dan bawah.
Pada anak-anak < 3 tahun, fraktur kranium dapat menyebabkan kista leptomeningeal
atau fraktur bertumbuh. Kista ini diyakini muncul ketika pulsasi dan pertumbuhan
otak tidak mengijinkan fraktur untuk sembuh, lalu menambah robek dura dan batas
fraktur membesar. Pasien dengan kista leptomeningeal biasanya memperlihatkan
massa scalp pulsatile

1.10. Prognosis
Meksipun tujuan akhir adalah mencapai angka kematian 0% dan hasil akhir
fungsional baik sebesar 100%, angka kematian keseluruhan pada kebanyakan seri
pasien dengan perdarahan epidural berkisar antara 9,4-33%, rata-rata sekitar 10%.
Secara umum, pemeriksaan motorik pre-operatif, skor GCS, dan reaktivitas pupil
secara pasti berhubungan dengan hasil akhir fungsional pasien dengan perdarahan
epidural akut jika mereka berhasil bertahan. Karena banyaknya perdarahan epidural
yang terisolasi tidak melibatkan kerusakan struktural otak yang mendasarinya, hasil
akhir secara keseluruhan akan menjadi sempurna jika evakuasi bedah yang tepat
dilakukan. Pada pasien trauma cedera otak dengan perdarahan epidural, prognosis
lebih baik jika ada interval lucid (sebuah periode kesadaran sebelum kembalinya
koma) dibandingkan jika pasien koma sejak mendapat cedera.

3. Memahami dan menjaslkan fraktur basis crani

3.1 Definisi
Fraktur basis cranii/Basilar Skull Fracture (BSF) merupakan fraktur akibat
benturan langsung pada daerah daerah dasar tulang tengkorak (oksiput,
mastoid, supraorbita). Dalam beberapa studi telah terbukti fraktur basis cranii
dapat disebabkan oleh berbagai mekanisme termaksud ruda paksa akibat
fraktur maksilofacial, ruda paksa dari arah lateral cranial dan dari arah kubah
cranial, atau karena beban inersia oleh kepala.

3.2. Etiologi
Trauma

3.3. Klasifikasi
1) Fraktur linear yang paling sering terjadi merupakan fraktur tanpa pergeseran,
dan umumnya tidak diperlukan intervensi
2) Fraktur depresi terjadi bila fragmen tulang terdorong kedalam dengan atau
tanpakerusakan pada scalp. Fraktur depresi mungkin memerlukan tindakan
operasi untuk mengoreksi deformitas yang terjadi.
3) Fraktur diastatik terjadi di sepanjang sutura dan biasanya terjadi pada neonatus
dan bayi yang suturanya belum menyatu. Pada fraktur jenis ini, garis sutura
normal jadimelebar
4) Fraktur basis merupakan yang paling serius dan melibatkan tulang-tulang
dasar tengkorak dengan komplikasi rhinorrhea dan otorrhea cairan
serebrospinal(Cerebrospinal Fluid)

3.4. Patofisiologi
Fraktur basis cranii merupakan fraktur akibat benturan langsung pada daerah daerah
dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbita); transmisi energy yang berasal
dari benturan pada wajah atau mandibula; atau efek remote dari benturan pada
kepala (gelombang tekanan yang dipropagasi dari titik benturan atau perubahan
bentuk tengkorak).
Fraktur basis cranii telah dikaitkan dengan berbagai mekanisme termasuk
benturan dari arah mandibula atau wajah dan kubah tengkorak, atau akibat beban
inersia pada kepala (sering disebut cedera tipe whiplash). Terjadinya beban inersia,
misalnya, ketika dada pengendara sepeda motor berhenti secara mendadak akibat
mengalami benturan dengan sebuah objek misalnya pagar. Kepala kemudian secara
tiba tiba mengalami percepatan gerakan namun pada area medulla oblongata
mengalami tahanan oleh foramen magnum, beban inersia tersebut kemudian
meyebabkan ring fracture. Ring fracture juga dapat terjadi akibat ruda paksa pada
benturan tipe vertikal, arah benturan dari inferior diteruskan ke superior (daya
kompresi) atau ruda paksa dari arah superior kemudian diteruskan ke arah occiput
atau mandibula.
Peneliti menyimpulkan bahwa hasil penelitian ini mendukung hipotesis bahwa
ruda paksa pada mandibula saja biasanya hanya menyebabkan fraktur mandibula.
Selanjutnya, complete dan partial ring type BSF membutuhkan ruda paksa temporo-
mandibular yang secara tidak langsung menghasilkan pembebanan pada daerah
sekitar foramen magnum.

3.5. Manifestasi Klinik


Gambaran klinis dari fraktur basis cranii yaitu hemotimpanum, ekimosis periorbita
(racoon eyes), ekimosis retroauricular ( Battles sign), dan kebocoran cairan
serebrospinal (dapat diidentifikasi dari kandungan glukosanya) dari telinga dan
hidung. Parese nervus cranialis (nervus I, II, III, IV, VII dan VIII dalam berbagai
kombinasi) juga dapat terjadi.
Fractur basis cranii bisa mengenai fossa anterior, fossa media dan fossa posterior.
Gejala yang timbul tergantung pada letak atau fossa mana yang terkena.
1) Fraktur pada fossa anterior menimbulkan gejala:
a. Hematom kacamata tanpa disertai subkonjungtival bleeding
b. Epistaksis
c. Rhinorrhoe
2) Fraktur pada fossa media menimbulkan gejala:
a. Hematom retroaurikuler, Ottorhoe
b. Perdarahan dari telinga
Keterangan :
1) Otorrhea atau keluarnya cairan otak melalui telinga menunjukan terjadi fraktur
pada petrous pyramid yang merusak kanal auditory eksternal dan merobek
membrane timpani mengakibatkan bocornya cairan otak atau darah terkumpul
disamping membrane timpani (tidak robek)
2) Battle Sign (warna kehitaman di belakang telinga) : Fraktur meluas ke posterior
dan merusak sinus sigmoid.
3) Racoon atau pandabear: fraktur dasar tengkorak dari bagian anterior menyebabkan
darah bocor masuk ke jaringan periorbital.

3.6. Diagnosis dan diagnosis banding


Studi Imaging
1) Radiografi: Pada tahun 1987, foto x-ray tulang tengkorak merujukan pada kriteria
panel memutuskan bahwa skull film kurang optimal dalam menvisualisasikan
fraktur basis cranii. Foto x-ray skull tidak bermanfaat bila tersedianya CT scan.
2) CT scan: CT scan merupakan modalitas kriteria standar untuk membantu dalam
diagnosis skull fraktur. Slice tipis bone window hingga ukuran 1-1,5 mm, dengan
potongan sagital, bermanfaat dalam menilai skull fraktur. CT scan Helical sangat
membantu dalam menvisualisasikan fraktur condylar occipital, biasanya 3-
dimensi tidak diperlukan.
3) MRI: MRI atau magnetic resonance angiography merupakan suatu nilai tambahan
untuk kasus yang dicurigai mengalami cedera pada ligament dan vaskular. Cedera
pada tulang jauh lebih baik divisualisasikan dengan menggunakan CT scan4.

Pemeriksaan lainnya
Perdarahan dari telinga atau hidung pada kasus dicurigai terjadinya kebocoran
CSF, dapat dipastikan dengan salah satu pemeriksaan suatu tehnik dengan
mengoleskan darah tersebut pada kertas tisu, maka akan menunjukkan gambaran
seperti cincin yang jelas yang melingkari darah, maka disebut halo atau ring sign.
Kebocoran dari CSF juga dapat dibuktikan dengan menganalisa kadar glukosa dan
dengan mengukur transferrin.

Diagnosis banding
1) Echimosis periorbita (racoon eyes) dapat disebabkan oleh trauma langsung seperti
kontusio fasial atau blow-out fracture dimana terjadi fraktur pada tulang-tulang
yang membentuk dasar orbita (arcus os zygomaticus, fraktur Le Fort tipe II atau
III, dan fraktur dinding medial atau sekeliling orbital).
2) Rhinorrhea dan otorrhea selain akibat fraktur basis cranii juga bisa diakibatkan
oleh :
a. Kongenital
b. Ablasi tumor atau hidrosefalus
c. Penyakit-penyakit kronis atau infeksi
d. Tindakan bedah

3.7. Tatalaksana
Penanganan dari fraktur basis kranii meliputi:
a. Cegah peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak, misal cegah batuk,
mengejan, makanan yang tidak menyebabkan sembelit.
b. Jaga kebersihan sekitar lubang hidung dan lubang telinga, jika perlu dilakukan
tampon steril (Consul ahli THT) pada tanda bloody otorrhea/ otoliquorrhea,
c. Pada penderita dengan tanda-tanda bloody otorrhea /otoliquorrheapenderita
tidur dengan posisi terlentang dan kepala miring keposisi yang sehat.
d. Pemberian antibiotika profilaksis untuk mencegah terjadinya
meningoensefalitis masih kontroversial, di SMF Bedah Saraf RSU Dr. Soetomo
kami tetap memberikan antibiotika profilaksis dengan alasan penderita fraktur
basis kranii dirawat bukan diruangan steril / ICU tetapi di ruang bangsal
perawatan biasa dengan catatan pemberian kami batasi sampai bloody
rhinorrhea/otorrhea berhenti.

Terapi medis
Pasien dewasa dengan simple fraktur linear tanpa disertai kelainan struktural
neurologis tidak memerlukan intervensi apapun bahkan pasien dapat dipulangkan
untuk berobat jalan dan kembali jika muncul gejala. Sementara itu, Pada Bayi dengan
simple fraktur linier harus dilakukan pengamatan secara terus menerus tanpa
memandang status neurologis. Status neurologis pasien dengan fraktur basis cranii
tipe linier biasanya ditatalaksana secara conservative, tanpa antibiotik. Fraktur os
temporal juga dikelola secara konservatif, jika disertai rupture membrane timpani
biasanya akan sembuh sendiri.
Simple fraktur depress dengan tidak terdapat kerusakan struktural pada neurologis
pada bayi ditatalaksana dengan penuh harapan. Menyembuhkan fraktur depress
dengan baik membutuhkan waktu, tanpa dilakukan elevasi dari fraktur depress. Obat
anti kejang dianjurkan jika kemungkinan terjadinya kejang lebih tinggi dari 20%.
Open fraktur, jika terkontaminasi, mungkin memerlukan antibiotik disamping tetanus
toksoid. Sulfisoxazole direkomendasikan pada kasus ini. Fraktur condylar tipe I dan
II os occipital ditatalaksana secara konservatif dengan stabilisasi leher dengan
menggunakan collar atau traksi halo.

Peran antibiotik pada profilaksis fraktur basis cranii


Pemberian antibiotic sebagai terapi profilaksis pada fraktur basis cranii dengan
pertimbangan terjadinya kebocoran dari lapisan meningeal akan menyebabkan
mikroorganisme pathogen dari saluran nafas atas (hidung dan telinga) dapat mencapai
otak dan selaput mengingeal, hal ini masih menjadi controversial. Pemberian
antibiotic profilaksis berkontribusi terhadap terjadinya peningkatan resistensi
antibiotic dan akan menyebabkan infeksi yang serius.
Pada sebuah review artikel yang di publish antara tahun 1970 dan 1989, menemukan
848 kasus dari fraktur basis cranii (519 mendapatkan antibiotic profilaksis dan 8%
menjadi meningitis) dan kesimpulannya adalah antibiotic tidak mencegah terjadinya
meningitis pada fraktur basis cranii14. Studi lain juga menunjukkan dengan
menggunakan uji statistik, dari total 1241 pasien dengan fraktur basis cranii, 719
pasien diantaranya mendapat antibiotic profilaksis dan 512 pasien tidak mendapat
antibiotic profilaksis. Kesimpulan dari penelitian tersebut menunjukkan antibiotic
profilaksis tidak mencegah terjadinya meningitis pada pasien fraktur basis cranii.
(odds ratio (OR) = 1.15; 95% confidence interval (CI) = 0.68-1.94 P = .678)14.

Terapi Bedah
Peran operasi terbatas dalam pengelolaan skull fraktur. Bayi dan anak-anak dengan
open fraktur depress memerlukan intervensi bedah. Kebanyakan ahli bedah lebih suka
untuk mengevaluasi fraktur depress jika segmen depress lebih dari 5 mm di bawah
inner table dari adjacent bone. Indikasi untuk elevasi segera adalah fraktur yang
terkontaminasi, dural tear dengan pneumocephalus, dan hematom yang mendasarinya.
Kadang kadang, craniectomy dekompressi dilakukan jika otak mengalami kerusaksan
dan pembengkakan akibat edema. Dalam hal ini, cranioplasty dilakukan dikemudian
hari. Indikasi lain untuk interaksi bedah dini adalah fraktur

3.8. Pencegahan
Pencegahan sama seperti trauma kepala, ada pencegahan primer, sekunder, tersier

3.9. Komplikasi
Risiko infeksi tidak tinggi, bahkan tanpa antibiotik, terutama yang disertai dengan
rhinorrhea. Facial palsy dan gangguan ossicular yang berhubungan dengan fraktur
basis cranii dibahas di bagian klinis. Namun, terutama, facial palsy yang terjadi pada
hari ke 2-3 pasca trauma adalah akibat sekunder untuk neurapraxia dari nervus
cranialis VII dan responsif terhadap steroid, dengan prognosis yang baik. Onset facila
palsy secara tiba tiba pada saat bersamaan terjadinya fraktur biasanya akibat skunder
dari transeksi nervus, dengan prognosis buruk

3.10 Prognosis
Walaupan fraktur pada cranium memiliki potensi resiko tinggi untuk cedera nervus
cranialis, pembuluh darah, dan cedera langsung pada otak, sebagian besar jenis fraktur
adalah jenis fraktur linear pada anak-anak dan tidak disertai dengan hematom
epidural. Sebagian besar fraktur, termasuk fraktur depresi tulang cranium tidak
memerlukan tindakan operasi.

DAFTAR PUSTAKA

Apardi, Iskandar. Cedera Kepala. Jakarta : Bhuana Ilmu Populer, 2004


http://www.lhsc.on.ca/Health_Professionals/CCTC/edubriefs/baseskull.htm
Sabiston, David C. Buku Ajar Bedah. Vol 2. Jakarta : EGC, 1994
Sjamsuhidayat, R dan De Jong, Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. 2nd ed. Jakarta :
EGC, 2005.

Anda mungkin juga menyukai