2
2
PERDARAHAN PERSALINAN
KELOMPOK A-4
UNIVERSITAS YARSI
FAKULTAS KEDOKTERAN
TAHUN PELAJARAN 2014-2015
SKENARIO 1
PERDARAHAN PERSALINAN
Seorang pasien 17 tahun datang ke UGD RSUD dengan hamil pertama dan keluhan nyeri
perut dan perdarahan pervaginam. Pasien mengaku hamil 32 minggu dihitung dari haid pertama
haid terakhirnya (HPHT). Pasien tidak pernah melakukan antenatal care (ANC) sebelumnya.
Pasien mengalami kenikan berat badan sampai 25 kg selama kehamilan ini diikuti edema
tungkai dalam 4 minggu terakhir. Pasien tidak pernah mengkonsumsi suplemen besi atau vitamin
lainnya.
Dari riwayat penyakit keluarga diketahui ada riwayat penyakit ginjal, DM dan hipertensi
dikeluarganya.
Dilakukan pemeriksaan fisik dengan hasil : keadaan umum tampak sakit sedang, tekanan
darah 135/85 mmHg; frekuensi nadi 98x/menit, frekuensi napas:26x/menit; suhu afebris. Dari
status obstetrik didapatkan tinggi fundus uteri 42cm, denyut jantung janin I: 166x/menit dan
II:176x/menit simultan. Dilakukan pemeriksaan inspekulo tampak darah berwarna kehitaman
mengalir dari OUI, pembukaan tidak ada.
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan penunjang USG dengan hasil: kehamilan ganda letak
sunsang dan hasil pemeriksaan laboratorium urin didapatkan protein +2. Dilakukan pemeriksaan
CTG didapatkan tanda-tanda gawat janin.
Kata kata sulit
ANC : Pemeriksaan pada ibu hamil untuk deteksi dini terjadinya resiko dini terhadap
kehamilan dan persalinan
CTG : Pemeriksaan untuk mengetahui ada atau tidak nya fetal distress dengan mengetahui
Denyut Jantung Janin dan kontraksi ibu
Pertanyaan
1. Apa tanda tanda dari gawat janin?
2. Kenapa berat badan ibu naik?
3. Kapan pemeriksaan ANC dilakukan?
4. Kenapa tinggi fundus ibu lebih tinggi?
5. Mengapa darah yang keluar berwarna kehitaman?
6. Apakah yang menyebabkan perdarahan pada ibu?
7. Apakah usia mempengaruhi keadaan pasien?
8. Apakah yang menyebabkan proteinuria?
9. Apakah hubungan antara pasien yang tidak pernah konsumsi vitamin dengan gejala ibu?
10. Apakah kemungkinan diagnosa pasien?
Jawaban
1. - DJJ >160x/menit atau <100x/menit
- DJJ tidak teratur
- Keluarnya mekonium yang kental pada awal persalinan
2. Karena ibu mengalami edema dan kehamilan kembar
3. 4 kali, padat saati Trimester I: 1x, Trimester II:1x, Trimester III:2x
4. Karena kemungkinan ada penumpukan darah atau cairan pada rahim ibu, dan karena
kehamilan gameli
5. Karena darah tidak langsung keluar, tetapi menjadi hematom retroplasenta, dan ketika
keluar vagina darah sudah menjadi kehitaman, karena bercampur dengan cairan yang
lainnya (ketuban)
6. Kemungkinan :
- Plasenta terlepas
- Letak plasenta abnormal
- Trauma
- Karena adanya peningkatan tekanan darah
7. Iya, karena perkembangan fisiologi organ reproduksi juga belum berkembang secara
sempurna
8. Karena kemungkinan pasien mengalami pre-eklampsia yang telah mengalami gangguan
ginjal
9. Kekurangan nutrisi
10. Pre-eklampsia dengan komplikasi solusio plasenta
Hipotesis
Ibu kehamilan ganda, G1P0A0, 32 minggu
Nyeri perut
Perdarahan per vagina
Pemeriksaan fisik :
- Edema
- Tinggi fundus lebih tinggi daripada umur kehamilan
- Detak Jantung Janin meningkat
- Tekanan darah meningkat
Inspekulo :
- Darah berwarna kehitaman
- Tidak ada pembukaan
Pemeriksaan penunjang:
Lab : Proteinuria
CTG : Gawat Janin
5) Teori Genetik
Ada faktor keturunan dan familial dengan model gen tunggal. Genotype ibu lebih
menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan secara familial jika dibandingkan
dengan genotype janin. Telah terbukti bahwa ibu yang mengalami pre eklamsia, 26%
anak perempuannya akan mengalami pre eklamsia pula, sedangkan hanya 8% anak
menantu mengalami pre eklamsia.
1.5 Klasifikasi
1.51 Hipertensi kronik
A. Pengertian
Hipertensi kronik dalam kehamilan adalah hipertensi yang didapatkan sebelum timbulnya
kehamilan. Apabila tidak diketahui adanya hipertensi sebelum kehamilan, maka hipertensi kronik
didefinisikan bila didapatkan tekanan darah sistolik 140 mmHg atau tekanan darah diastolik 90
mmHg sebelum umur kehamilan 20 minggu. ( Prawirohardjo, Sarwono. 2008. Ilmu kebidanan.
Jakarta : PT. Bina Pustaka Sarwono Prawihardjo. Halaman : 556 )
B. Etiologi
Hipertensi konik dapat disebabkan primer: idiopatik: 90 % dan sekunder: 10 %, berhubungan
dengan penyakit ginjal, vaskular kolagen, endokrin, dan pembuluh darah.
E. Pemeriksaan
Pemeiksaan khusus: ECG (eko kardiografi), pemeriksaan mata, dan pemeriksaan USG ginjal.
Pemeriksaan laboratorium lain ialah fungsi ginjal, fungsi hepar, Hb,
hematokrit, dan trombosit.
Pemeriksaan janin : Perlu dilakukan pemeriksaan ultrasonografi janin. Bila dicurigai IUGR,
dilakukan NST dan profil biofisik.
1.54 Pre-eklampsia
A. Pengertian preeklamsi
Preeklamsi adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan disertai dengan
proteinuria.Menurut Prawiroharjo 2008 hal-hal yang perlu diperhatikan:
1) Hipertensi adalah tekanan darah sistolik dan diastolik 140/90 mmHg. Pengukuran darah
dilakukan sebanyak 2 kali pada selang waktu 4 jam-6 jam.
2) Proteinuria adalah adanya 300 mg protein dalam urin selama 24 jam atau sama dengan 1+
dipstic.
3) Edema, sebelumnya edema tungkai dipakai sebagai tanda-tanda preeklamsi tetapi sekarang
edema tungkai tidak dipakai lagi, kecuali edema generalisata. Selain itu bila di dapatkan
kenaikan berat badan >0,57kg/minggu.
Preeklamsi adalah sindrom spesifik kehamilan berupa berkurangnya perfusi organ akibat
vasospasme dan aktivasi endotel, proteinuria adalah tanda penting preeklamsi, terdapatnya
proteinuria 300 mg/1+ (Cunningham, 2006).
C. Klasifikasi preeklamsi
Preeklamsi merupakan penyulit kehamilan yang akut dan dapat membahayakan kesehatan
maternal maupun neonatal. Gejala klinik preeklamsi dapat dibagi menjadi preeklamsi ringan dan
preeklampsi berat:
1) Preeklamsi ringan (PER)
a) Pengertian PE ringan
Preeklamsi ringan adalah suatu sindrom spesifik kehamilan dengan menurunnya perfusi organ
yang berakibat terjadinya vasospasme pembuluh darah dan aktivasi endotel (Prawirohardjo,
2008).
b) Diagnosis Pre-eklampsia ringan
Diagnosis preeklamsi ringan menurut Prawirohardjo 2008, ditegakkan berdasarkan atas
munculnya hipertensi disertai proteinuria pada usia kehamilan lebih dari 20 minggu dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. TD 140/90 mmHg
b. Proteinuria: 300 mg/24 jam atau pemeriksaan kualitatif 1 atau 2+
c. Edema: edema generalisata (edema pada kaki, tangan,muka,dan perut).
2) Preeklamsi berat
a) Pengertian Pre-eklamsia berat
Preeklamsi berat adalah preeklamsi dengan tekanan darah 160/110 mmHg, disertai proteinuria
5g/24jam atau 3+ atau lebih (Prawirohardjo, 2008).
b) Diagnosa Pre-ekmlamsia berat
Diagnosis preeklamsi berat menurut Prawirohardjo 2008, dan Wiknjosastro 2007, ditegakkan
bila ditemukan salah satu atau lebih tanda/gejala berikut:
1. TD 160/110 mmHg
2. Proteinuria 5 g/24 jam; 3 atau 4+ dalam pemeriksaan kualitatif.
3. Oliguria yaitu produksi urin kurang dari 500cc/24jam
4. Kenaikan kadar kreatinin plasma
5. Gangguan visus dan serebral: penurunan kesadaran, nyeri kepala, skotoma dan
pandangan kabur.
6. Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen.
7. Edema paru-paru dan sianosis
8. Hemolisis mikroangiopatik
9. Trombositopenia berat: <100.000 sel/mm3atau penurunan trombosit dengan cepat.
10. Gangguan fungsi hepar
11. Pertumbuhan janin intra uterin yang terhambat
12. Sindrom HELLP
D. Patologi Pre-eklamsi
Perubahan pada sistem dan organ pada preeklamsi menurut Prawirohardjo 2008 adalah:
a) Perubahan kardiovaskular
Penderita preeklamsi sering mengalami gangguan fungsi kardiovaskular yang parah, gangguan
tersebut pada dasarnya berkaitan dengan afterload jantung akibat hipertensi (Cunningham, 2006).
b) Ginjal
Terjadi perubahan fungsi ginjal disebabkan karena menurunnya aliran darah ke ginjal akibat
hipovolemi, kerusakan sel glomerulus mengakibatkan meningkatnya permebelitas membran
basalis sehingga terjadi kebocoran dan mengakibatkan proteinuria. Gagal ginjal akut akibat
nekrosis tubulus ginjal. Kerusakan jaringan ginjal akibat vasospasme pembuluh darah dapat
diatasi dengan pemberian dopamin agar terjadi vaso dilatasi pada pembuluh darah ginjal.
c) Viskositas darah
Vaskositas darah meningkat pada preeklamsi, hal ini mengakibatkan meningkatnya resistensi
perifer dan menurunnya aliran darah ke organ.
d) Hematokrit
Hematokrit pada penderita preeklamsi meningkat karena hipovolemia yang menggambarkan
beratnya preeklamsi.
e) Edema
Edema terjadi karena kerusakan sel endotel kapilar. Edema yang patologi bila terjadi pada kaki
tangan/seluruh tubuh disertai dengan kenaikan berat badan yang cepat.
f) Hepar
Terjadi perubahan pada hepar akibat vasospasme, iskemia, dan perdarahan. Perdarahan pada sel
periportal lobus perifer, akan terjadi nekrosis sel hepar dan peningkatan enzim hepar. Perdarahan
ini bisa meluas yang disebut subkapsular hematoma dan inilah yang menimbulkan nyeri pada
daerah epigastrium dan dapat menimbulkan ruptur hepar.
g) Neurologik
Perubahan neurologik dapat berupa, nyeri kepala di sebabkan hiperfusi otak. Akibat spasme
arteri retina dan edema retina dapat terjadi ganguan visus.
h) Paru
Penderita preeklamsi berat mempunyai resiko terjadinya edema paru. Edema paru dapat
disebabkan oleh payah jantung kiri, kerusakan sel endotel pada pembuluh darah kapilar paru, dan
menurunnya deuresis.
E. Pencegahan preeklamsi
Pencegahan preeklamsi ini dilakukan dalam upaya untuk mencegah terjadinya preeklamsi pada
perempuan hamil yang memiliki resiko terjadinya preeklamsi. Menurut Prawirohardjo 2008
pencegahan dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu:
1) Pencegahan non medikal
Yaitu pencegahan dengan tidak memberikan obat, cara yang paling sederhana yaitu dengan tirah
baring. Kemudian diet, ditambah suplemen yang mengandung: a) minyak ikan yang kaya akan
asam lemak tidak jenuh misal: omega-3 PUFA, b) antioksidan: vitamin C, vitamin E, dll.c)
elemen logam berat: zinc, magnesium, kalium.
2) Pencegahan dengan medikal
Pemberian deuretik tidak terbukti mencegah terjadinya hipertensi bahkan memperberat
terjadinya hipovolumia. Pemberian kalsium: 1.500-2.000mg/hari, selain itu dapat pula diberikan
zinc 200 mg/hari,magnesium 365 mg/hari. Obat trombotik yang dianggap dapat mencegah
preeklampsi adalah aspirin dosis rendah rata-rata <100mg/hari atau dipiridamole dan dapat juga
diberikan obat anti oksidan misalnya vitamin C, Vitamin E.
F. Pengelolaan pre-eklamsi
Pengelolaan Pre-eklamsi Ringan
1. Rawat jalan ( ambulatoir )
2. Rawat inap ( hospitalisasi )
3. Pemeriksaan laboratorium
a. Proteinuria pada dipstick pada waktu masuk dan sekurang-kurangnya diikuti 2 hari
b. Hematokrit dan trombosit : 2 x seminggu
c. Test fungsi hepar: 2 x seminggu
d. Test fungsi ginjal dengan pengukuran kreatinin serum, asam urat, dan BUN
e. Pengukuran produksi urine setiap 3 jam (tidak perlu dengan kateter tetap)
Terapi medikamentosa
I. Pada dasarnya sama dengan terapi ambulatoar
II. Bila terdapat perbaikan gejala dan tanda-tanda pre-eklamsi dan umur kehamilan 37
minggu, ibu masih perlu diobservasi selama 2-3 hari kemudian boleh dipulangkan.
Pengelolaan obstetrik
Pengelolaan obstetrik tergantung usia kehamilan
1. Bila penderita tidak inpartu :
a. Umur kehamilan < 37 minggu
Bila tanda dan gejala tidak memburuk, kehamilan dapat dipertahankan sampai
aterm.
b. Umur kehamilan 37 minggu
1. Kehamilan dipertahankan sampai timbul onset partus
2. Bila serviks matang pada tanggal taksiran persalinan dapat dipertimbangkan
untuk dilakukan induksi persalinan
Zuspan, Continous
1966 Intravenous
Injection
Antidotum
Bila timbul gejala dan tanda intoksikasi MgSO 4. 7H2O , maka diberikan
injeksi Kalsium Glukonat 10% dalam 10 cc dalam 3 menit
Anti hipertensi
Diberikan : bila tensi 180/110 atau MAP 126
Jenis obat : Nifedipine : 10-20 mg oral, diulangi setelah 30 menit, maksimum 120 mg dalam 24
jam.
* Nifedipine tidak dibenarkan diberikan dibawah mukosa lidah (sub lingual) karena absorbsi
yang terbaik adalah melalui saluran pencernaan makanan.
Diet
Diet diberikan secara seimbang, hindari protein dan kalori yang berlebih
Tujuan :
Mempertahankan kehamilan, sehingga mencapai umur kehamilan yang memenuhi syarat
janin dapat dilahirkan
Meningkatkan kesejahteraan bayi baru lahir tanpa mempengaruhi keselamatan ibu
Terapi Medikamentosa :
1) Lihat terapi medikamentosa seperti di atas. : no. VI. 5.a
2) Bila penderita sudah kembali menjadi preeklamsi ringan, maka masih dirawat 2-3 hari
lagi, baru diizinkan pulang.
3) Pemberian MgSO4 sama seperti pemberian MgSO4 seperti tersebut di atas nomor VI.
5.a Tabel 3, hanya tidak diberikan loading dose intravena, tetapi cukup intramuskuler
4) Pemberian glukokortikoid diberikan pada umur kehamilan 32-34 minggu selama 48
jam.
Cara persalinan :
1) Bila penderita tidak inpartu, kehamilan dipertahankan sampai kehamilan aterm
2) Bila penderita inpartu, perjalanan persalinan diikuti seperti lazimnya
3) Bila penderita inpartu, maka persalinan diutamakan pervaginam, kecuali bila ada
indikasi untuk seksio sesaria.
Indikasi :
1. Indikasi Ibu :
a) Kegagalan terapi medikamentosa :
1.Setelah 6 jam sejak dimulai pengobatan medikamentosa, terjadi kenaikan darah yang
persisten.
2.Setelah 24 jam sejak dimulainya pengobatan medikamentosa terjadi kenaikan darah
b) Tanda dan gejala impending eklamsi
c) Gangguan fungsi hepar
d) Gangguan fungsi ginjal
e) Dicurigai terjadi solution placenta
f) Timbulnya onset partus, ketuban pecah dini, pendarahan.
2.Indikasi Janin :
1. Umur kehamilan 37 minggu
2. IUGR berat berdasarkan pemeriksaan USG
3. NST nonreaktiv dan profil biofisik abnormal
4. Timbulnya oligohidramnion
3.Indikasi Laboratorium :
Thrombositopenia progesif, yang menjurus ke sindroma HELLP
Terapi Medikamentosa :
Lihat terapi medikamentosa di atas : nomor VI. 5.a.
Cara Persalinan :
Sedapat mungkin persalinan diarahkan pervaginam
Penderita belum inpartu
a. Dilakukan induksi persalinan bila skor Bishop 8
Bila perlu dilakukan pematngan serviks dengan misoprostol. Induksi persalinan harus
sudah mencapai kala II dalam waktu 24 jam. Bila tidak, induksi persalinan dianggap
gagal, dan harus disusul dengan seksio sesarea
b. Indikasi seksio sesarea:
1. Tidak ada indikasi untuk persalinan pervaginam
2. Induksi persalinan gagal
3. Terjadi gawat janin
4. Bila umur kehamilan < 33 minggu
Penderita sudah inpartu
1. Perjalanan persalinan diikuti dengan grafik Friedman
2. Memperpendek kala II
3. Seksio sesarea dilakukan apabila terdapat kegawatan ibu dan gawat janin
4. Primigravida direkomendasikan pembedahan cesar
5. Anestesia : regional anestesia, epidural anestesia. Tidak diajurkan anesthesia umum
1.55 Eklampsia
A. Pengertian
Eklamsi adalah kelainan akut pada ibu hamil, saat hamil tua, persalinan atau masa nifas ditandai
dengan timbulnya kejang atau koma, dimana sebelumnya sudah menunjukkan gejala-gejala pre
eklamsi (hipertensi, edems, proteinuri) (Wirjoatmodjo, 1994: 49). Eklamsi merupakan kasus
akut, pada penderita dengan gambaran klinik pre eklamsi yang disertai dengan kejang dan koma
yang timbul pada ante, intra dan post partum (Angsar MD, 1995: 41) .
B. Etiologi
Sebab eklamsi belum diketahui benar. Salah satu teori yang dikemukakan ialah bahwa eklamsi
disebabkan ischaemia rahim dan plasenta (ischaemia uteroplasenta). Selama kehamilan uterus
memerlukan darah lebih banyak. Pada molahidatidosa, hydramnion, kehamilan ganda, multipara,
pada akhir kehamilan, pada persalinan, juga pada penyakit pembuluh darah ibu, diabetes,
peredaran darah dalam dinding uterus kurang, maka keluarlah zat-zat dari plasenta atau decidua
yang menyebabkan vasospasmus dan hypertensi
C. Gejala
Eklamsi selalu didahului oleh gejala-gejala preeklamsi. Gejala-gejala preeklamsi yang berat
seperti:
Sakit kepala yang keras
Penglihatan kabur
Nyeri diulu hati
Kegelisahan dan hyperfleksi sering mendahului kejang
Serangan dibagi dalam 3 tingkatan :
1. Tingkat invasi (tingkat permulaan)
Mata terpaku, kepala dipalingkan ke satu fihak, kejang-kejang halus terlihat pada muka.
Berlangsung beberapa detik.
2. Tingkat kontraksi (tingkat kejang kronis )
Seluruh badan menjadi kaku, kadang-kadang terjadi episthotonus, lamanya 15 sampai 20
detik.
3. Tingkat konvulsi
Terjadi kejang yang timbul hilang, radang membuka dan menutup begitu juga mata; otot-otot
muka dan otot badan berkontraksi dan berelaksasi berulang. Kejang ini bisa menjadi sangat
kuat dan bisa menyebabkan pasien terlempar dari tempat tidurnya atau lidahnya tergigit.
Ludah yang berbuih bercapur darah keluar dari mulutnya, mata merah, muka biru.
Berlangsung sekitar 1 menit.
4. Tingkat coma
Setelah kejang kronis pasien akan coma. Lamanya beberapa menit sampai berjam-jam. Dan
jika pasien telah sadar kembali maka ia tidak ingat sama sekali apa yang terjadi(amnesi
retrograd). Setelah beberapa waktu, terjadi serangan baru dan kejadian yang dilukiskan di
atas berulang lagi kadang-kadang 10-20 kali.
Sebab kematian eklamsi ialah : oedema paru-paru, apoplexi dan acidosis. Atau pasien mati
setelah beberapa hari karena pneumoni aspirasi, kerusakan hati atau gangguan faal ginjal.
Kadang-kadang terjadi eklamsi tanpa kejang, gejala yang menonjol adalah coma. Eklamsi
semacam ini disebut eclampsi sine eclampsi dan terjadi kerusakan hati yang berat.
Karena kejang merupakan gejala yang khas dari eklamsi maka eclampsi sine eclampsi
sering dimasukkan preeklamsi yang berat. Pada eklamsi tensi biasanya tinggi sekitar
180/110. Nadi kuat dan berisi tapi jika keadaan sudah buruk menjadi kecil dan cepat. Demam
yang tinggi memperburuk prognosa. Demam ini rupa-rupanya cerebral. Pernafasan biasanya
cepat dan tersembunyi, pada eklamsi yang berat ada cyanosis. Protein uri hampir selalu ada
malahan kadang-kadang sangat banyak, juga oedema biasanya ada.
Pada eklamsi antepartum biasanya persalinan mulai setelah beberapa waktu. Tapi kadang-
kadang pasien berangsur baik tidak kejang lagi dan sadar sedangkan kehamilan terus
berlangsung. Eklamsi yang tidak segera disusul dengan persalinan disebut eklamsi
intercurrent. Dianggap bahwa pasien yang sedemikian bukan sembuh tapi jatuh ke yang lebih
ringan ialah dari eklamsi ke dalam keadaan preeklamsi. Jadi kemungkinan eklamsi tetap
mengancam pasien semacam ini sebelum persalinan terjadi.
Setelah persalinan keadaan pasien berangsur baik, kira-kira dalam 12-24 jam. Juga kalau
anak mati di dalam kandungan sering kita lihat bahwa beratnya penyakit berkurang.
Proteinuria hilang dalam 4-5 hari sedangkan tensi normal kembali dalam 2 minggu.
Adakalanya pasien yang telah menderita eklamsi psychotis, biasanya pada hari ke 2 atau ke 3
postpartum dan berlangsung 2-3 minggu. Prognosa umumnya baik. Penyulit lainnya ialah
hemiplegi dan gangguan penglihatan (buta) karena oedema retina
Diagnosis Banding
Umumnya eklamsia lebih besar kemungkinannya terlalu sering di diagnosis (overdiagnosis)
daripada kurang terdiagnosis (underdiagnosis) karena epilepsy, ensefalitis, meningitis, tumor
serebri, sistiserkosis dan rupture aneurisma serebri pada kehamilan tahap lanjut dan masa nifas
dapat menyerupai eklamsia. Namun, sampai kausa-kausa lain ini disingkirkan, semua wanita
hamil dengan kejang dianggap menderita eklamsia.
Walaupun demikian, eklampsia harus dibedakan dari (1) epilepsi; dalam anamnesis diketahui
adanya serangan sebelum hamil atau pada hamil-muda dan tanda pre-eklampsia tidak ada; (2)
kejangan karena obat anestesia; apabila obat anestesia lokal tersuntikkan ke dalam vena, dapat
timbul kejangan; (3) koma karena sebab lain, seperti diabetes, perdarahan otak, meningitis,
ensefalitis, dan lain-lain.
E. Manajemen
Pritchard (1955) memulai standardisasi rejimen terapi eklampsia di Parkland Hospital dan
rejimen ini sampai sekarang masih digunakan. Pada tahun 1984 Pritchard dkk melaporkan hasil
penelitiannya dengan rejimen terapi eklampsia pada 245 kasus eklampsia. Prinsip prinsip dasar
pengelolaan eklampsia adalah sebagai berikut :
1. Terapi suportif untuk stabilisasi pada penderita
2. Selalu diingat mengatasi masalah masalah Airway, Breathing, Circulation
3. Kontrol kejang dengan pemberian loading dose MgSO4 intravena, selanjutnya dapat
diikuti dengan pemberian MgSO4 per infus atau MgSO4 intramuskuler secara loading
dose didikuti MgSO4 intramuskuler secara periodik.
4. Pemberian obat antihipertensi secara intermiten intra vena atau oral untuk menurunkan
tekanan darah, saat tekanan darah diastolik dianggap berbahaya. Batasan yang digunakan
para ahli berbeda beda, ada yang mengatakan 100 mmHg, 105 mmHg dan beberapa
ahli mengatakan 110 mmHg.
5. Koreksi hipoksemia dan asidosis
6. Hindari penggunaan diuretik dan batasi pemberian cairan intra vena kecuali pada kasus
kehilangan cairan yang berat seperti muntah ataupun diare yang berlebihan. Hindari
penggunaan cairan hiperosmotik.
7. Terminasi kehamilan
Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI telah membuat pedoman pengelolaan
eklampsia yang terdapat dalam Pedoman Pengelolaan Hipertensi Dalam Kehamilan di
Indonesia, berikut ini kami kutipkan pedoman tersebut.
a). Pengobatan Medisinal
1. MgSO4 :
Initial dose :
- Loading dose : 4 gr MgSO4 20% IV (4-5 menit)
Bila kejang berulang diberikan MgSO4 20 % 2 gr IV, diberikan sekurang - kurangnya 20
menit setelah pemberian terakhir. Bila setelah diberikan dosis tambahan masih tetap kejang
dapat diberikan Sodium Amobarbital 3-5 mg/ kg BB IV perlahan-lahan.
- Maintenace dose : MgSO4 1 g / jam intra vena
2. Antihipertensi diberikan jika tekanan darah diastolik > 110 mmHg. Dapat diberikan
nifedipin sublingual 10 mg. Setelah 1 jam, jika tekanan darah masih tinggi dapat
diberikan nifedipin ulangan 5-10 mg sublingual atau oral dengan interval 1 jam, 2 jam
atau 3 jam sesuai kebutuhan. Penurunan tekanan darah tidak boleh terlalu agresif.
Tekanan darah diastolik jangan kurang dari 90 mmHg, penurunan tekanan darah
maksimal 30%. Penggunaan nifedipine sangat dianjurkan karena harganya murah, mudah
didapat dan mudah pengaturan dosisnya dengan efektifitas yang cukup baik.
3. Infus Ringer Asetat atau Ringer Laktat. Jumlah cairan dalam 24 jam sekitar 2000 ml,
berpedoman kepada diuresis, insensible water loss dan CVP .
4. Perawatan pada serangan kejang :
a) Dirawat di kamar isolasi yang cukup tenang.
b) Masukkan sudip lidah ( tong spatel ) kedalam mulut penderita.
c) Kepala direndahkan , lendir diisap dari daerah orofarynx.
d) Fiksasi badan pada tempat tidur harus aman namun cukup longgar guna menghindari
fraktur.
e) Pemberian oksigen.
f) Dipasang kateter menetap ( foley kateter ).
5. Perawatan pada penderita koma : Monitoring kesadaran dan dalamnya koma memakai
Glasgow Pittsburg Coma Scale .
Perlu diperhatikan pencegahan dekubitus dan makanan penderita. Pada koma yang lama
( > 24 jam ), makanan melalui hidung ( NGT = Naso Gastric Tube : Neus Sonde
Voeding ).
6. Diuretikum tidak diberikan kecuali jika ada :
- Edema paru
- Gagal jantung kongestif
- Edema anasarka
7. Kardiotonikum ( cedilanid ) jika ada indikasi.
8. Tidak ada respon terhadap penanganan konservatif pertimbangkan seksio sesarea.
Catatan:
Syarat pemberian Magnesium Sulfat:
Harus tersedia antidotum Magnesium Sulfat yaitu Kalsium Glukonas 10%, diberikan iv
secara perlahan, apabila terdapat tanda tanda intoksikasi MgSO4.
Refleks patella (+)
Frekuensi pernafasan > 16 kali / menit.
Produksi urin > 100 cc dalam 4 jam sebelumnya ( 0,5 cc/ kg BB/ jam ). Pemberian
Magnesium Sulfat sampai 20 gr tidak perlu mempertimbangkan diurese
G. Prognosis
Eklampsia selalu menjadi masalah yang serius, bahkan merupakan salah satu keadaan paling
berbahaya dalam kehamilan. Statistik menunjukkan di Amerika Serikat kematian akibat
eklampsia mempunyai kecenderungan menurun dalam 40 tahun terakhir, dengan persentase
10 % - 15 %. Antara tahun 1991 1997 kira kira 6% dari seluruh kematian ibu di Amerika
Serikat adalah akibat eklampsia, jumlahnya mencapai 207 kematian. Kenyataan ini
mengindikasikan bahwa eklampsia dan pre eklamsia berat harus selalu dianggap sebagai
keadaan yang mengancam jiwa ibu hamil.
H. Pencegahan
Pada umumnya timbulnya eklampsia dapat dicegah, atau frekuensinya dikurangi.
Usaha-usaha untuk menurunkan frekuensi eklampsia terdiri atas :
1. Meningkatkan jumlah balai pemeriksaan antenatal dan mengusahakan agar semua wanita
hamil memeriksakan diri sejak hamil muda.
2. Mencari pada tiap pemeriksaan tanda-tanda pre-eklampsia dan mengobatinya segara
apabila ditemukan.
3. Mengakhiri kehamilan sedapat-dapatnya pada kehamilan 37 minggu ke atas apabila
setelah dirawat tanda-tanda preeklampsia tidak juga dapat dihilangkan.
Gestational
Ages (Wks)
28 -32 24 45.3 33.81
33 36 15 28.3 3.64
37 40 14 26.4
Lalu bagaimana dengan hubungan tingkat paritas dan frekuensi terjadinya solusio plasenta
di Indonesia? Pada penelitian yang dilakukan pada RSUD Dr. Moerwadi Surakarta tahun
2001-2003, dilaporkan bahwa tingginya frekuensi solusio plasenta terjadi pada multiparitas
dibanding nulipara.
Tabel 2 : Persentase Kasus Solusio Plasenta terhadap Paritas
13 13 1875 0,69
46 12 1064 1,13
7 3 257 1,18
2.5 Patofisiologi
2.5.1 Plasenta Previa
Implantasi plasenta diprakarsai (initiate) oleh embrio (embryonic plate) menempel
diuterus (cauda) bagian bawah. Dengan pertumbuhan dan penambahan plasenta,
perkembangan plasenta dapat menutupi mulut rahim (cervical os). Bagaimanapun juga,
diperkirakan bahwa suatu vaskularisasi decidua (jaringan epitel endometrium) defective
terjadi di atas (over) serviks, mungkin ini sekunder terhadap inflamasi atau perubahan
atrofik. Sebagian plasenta yang sedang mengalami perubahan atrofik dapat berlanjut
sebagai vasa previa.
Sebagai penyebab penting perdarahan pada trimester ketiga, plasenta previa memberikan
gambaran sebagai perdarahan tanpa disetai rasa nyeri (painless bleeding). Perdarahan ini
dipercaya memiliki hubungan dengan perkembangan segmen bawah rahim (the lower
uterine segmen) pada trimester ketiga. Tambahan (attachment) plasenta terganggu
(distrupted) karena daerah ini (segmen bawah rahim) menipis secara bertahap dalam
rangka persiapan untuk permulaan kelahiran (the onset of labor). Saat ini berlangsung,
maka perdarahan terjadi pada daerah implantasi/nidasi darah dari pembuluh darah yang
terbuka. Thrombin yang dilepaskan dari area perdarahan memacu (promotes) kontraksi
uterus dan timbulnya lingkaran setan (vicious cycle) : perdarahan-kontraksi-pemisahan
plasenta-perdarahan.
Gambar 11. Foto Solusio Plasenta Partialis dengan Gambaran Darah Beku
Perdarahan dapat terjadi dari pembuluh darah plasenta atau uterus yang membentuk
hematoma di desidua sehingga plasenta terdesak dan akhirnya terlepas. Perdarahan
berlangsung terus-menerus karena otot uterus yang telah meregang oleh kehamilan tidak
mampu lebih berkontraksi untuk menghentikan perdarahan. Akibatnya, hematoma
retroplasenter akan bertambah besar, sehingga sebagian dan akhirnya seluruh plasenta
terlepas dari dinding uterus. Sebagian darah akan menyeludup di bawah selaput ketuban
keluar dari vagina, atau menembus selaput ketuban masuk ke dalam kantong ketuban
atau ekstravasasi diantara serabut-serabut otot uterus.Apabila ekstravasasinya
berlangsung hebat sehingga menembus lapisan myometrium bahkan serosa uterus maka
seluruh permukaan uterus akan berbecak biru atau ungu fan terasa sangat tegang serta
nyeri.
Hal ini disebut uterus couvelaire. Yang akhirnya sebagai penyebab terjadinya atonia uteri
dan bukan sebagai indikasi dilakukannya histerektomi.
Nasib janin tergantung dari luasnya plasenta yang terlepas dari dinding uterus. Apabila
sebagian kecil yang terlepas, mungkin tidak berpengaruh sama sekali atau mengakibatkan
gawat janin.
Waktu, sangat menentukan beratnya gangguan pembekuan darah, kelainan ginjal, dan nasib
janin. Makin lama selang waktu solusio plasenta sampai persalinan selesai, umumnya makin
hebat komplikasinya.
2.6 Pemeriksaan fisik dan Pemeriksaan penunjang
2.6.1 Plasenta Previa
1) Anamnesis
Perdarahan jalan lahir pada kehamilan setelah 22 minggu berlangsung tanpa nyeri terutama
pada multigravida, banyaknya perdarahan tidak dapat dinilai dari anamnesis, melainkan dari
pada pemeriksaan hematokrit.
2) Pemeriksaan luar
Bagian bawah janin biasanya belum masuk pintu atas panggul presentasi kepala, biasanya
kepala masih terapung di atas pintu atas panggul mengarah ke samping dan sukar didorong
ke dalam pintu atas panggul.
3) Pemeriksaan inspekulo
Pemeriksaan bertujuan untuk mengetahui apakah perdarahan berasal dari ostium uteri
eksternum atau dari ostium uteri internum, adanya plasenta previa harus dicurigai.
4) Penentuan letak plasenta tidak langsung
Penentuan letak plasenta secara tidak langsung dapat dilakukan radiografi, radioisotope, dan
ultrasonografi. Ultrasonografi penentuan letak plasenta dengan cara ini ternyata sangat tepat,
tidak menimbulkan bahaya radiasi bagi ibu dan janinnya dan tidak menimbulkan rasa nyeri.
Pemeriksaan ultrasonografi, dengan pemeriksaan ini dapat ditentukan implantasi plasenta
atau jarak tepi plasenta terhadap ostium bila jarak tepi 5 cm disebut plasenta letak rendah.
5) Diagnosis plasenta previa secara definitif
Dilakukan dengan PDMO yaitu melakukan perabaan secara langsung melalui pembukaan
serviks pada perdarahan yang sangat banyak dan pada ibu dengan anemia berat, tidak
dianjurkan melakukan PDMO sebagai upaya menentukan diagnosis.
2.6.2 Solusio Plasenta
Untuk mendapatkan diagnosis solusio plasenta secara tepat dan akurat maka perlu dilakukan
pemeriksaan yang komprehensif mulai dari anamnesa sampai pemeriksaan penunjang lainnya.
Dari anamnesa perlu ditanyakan beberapa hal seperti :
1. Identitas Ibu
2. Riwayat obstetri seperti :
a) Usia kehamilan ibu (abortus jika < 20 minggu, perdarahan antepartum > 20 minggu)
b) Perdarahan pervaginam ? (jumlah, intensitas dan frekuensi)
c) Apakah terdapat nyeri suprapubis ?
d) Riwayat obstetri terdahulu ? (jumlah gravida, jenis persalinan dan penyakit lainnya)
e) Tanda-tanda hipovolemia (mual,muntah dan kelemahan)
f) Ada tidaknya gerakan janin dalam kandungan ?
g) Urinaria
h) Riwayat hipertensi dan penggunaan obat-obatan (sebelum dan selama kehamilan)
i) Riwayat merokok
j) Riwayat trauma dan persalinan terdahulu ?
Pemeriksaan fisik :
a) Suatu generalis :
Menyangkut tanda-tanda vital seperti; tekanan darah (hipertensi), nadi (takikardi) dan
respirasi juga katerisasi urine (volume dan warna).
b) Status obstetrik :
Pada pemeriksaan luar seperti tinggi fundus uteri (cenderung lebih tinggi daripada usia
kehamilan yang dapat menunjukan adanya perdarahan retroplasenta), konsistensi dinding
perut yang meningkat disertai adanya nyeri, kesulitan melakukan palpasi untuk
menentukan bagian janin akibat kontraksi uterus, bunyi jantung anak (yang menunjukkan
kesajahteraan janin dalam uterus). Sedangkan pada pemeriksaan pervaginal seperti
inspekulo dan pemeriksan dalam bertujuan untuk melihat apakah perdarahan berasal dari
ostium uteri eksternum atau dari kelainan serviks dan vagina seperti erosi porsio uteri,
kanker serviks, varises vulva dan trauma. Apabila terdapat perdarahan yang berasal dari
ostium uteri eksternum, adanya plasenta previa dan solusio plasenta harus dicurigai. Akan
tetapi pemeriksaan pervaginal ini harus dilalukan fasilitas seksio caesarea kamar operasi.
Pemeriksaan penunjang :
a) Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium secara definitif bukan untuk mendiagnosis kasus solusio
plasenta, akan tetapi berbagai rangkaian pemeriksaan laboratorium yang dilakukan dalam
rangka manajemen terapi pada kasus solusio plasenta.
1) Pemeriksaan darah rutin (complete blood cell count)
Sangat membantu dalam menentukan status hemodinamik pasien dan nilainya tidak
terbukti dalam memperkirakan volume darah yang hilang secara akut.
Ketika terjadi perdarahan akut, penurunan nilai hematokrit terjadi beberapa jam
setelah terjadinya perdarahan akan tetapi hasilnya dapat kabur saat terjadi pemberian
cairan kristaloid dalam rangka resusitasi.
2) Pemeriksaan kadar fibrinogen
Pada saat kehamilan sangat berhubungan dengan keadaan hipofibronogenemia. Oleh
karena itu tertekannya level fibrinogen dapat menunjukkan adanya masalah
koagulasi darah. Jika level fibrinogen < 200 mg/dl, maka dapat diduga pada pasien
tersebut terjadi solusio yang berat. Tujuan manajemen terapi adalah 100 mg/dl
yang dapat dicapai dengan transfusi fresh frozen plasma atau cryoprecipitate ataupun
transfusi darah segar.
3) Prothrombin Time/Activated Partial Thromboplastin Time (PTT/APTT)
Sekitar 20% wanita dengan Disseminated Intra Coagulopaty (DIC) akan memiliki
kecenderungan terjadinya solusio plasenta yang berat saat kehamilannya.
Dan pada kasus solusio plasenta yang selalu akan ditangani dengan seksio caesarea
maka pemeriksaan PTT/APTT sangat diperlukan.
4) Blood urea nitrogen/serum kreatinin
Pada kondisi hipovolemik akibat perdarahan yang masif pada solusio plasenta, tidak
jarang akan berimbas pada terjadinya komplikasi gagal ginjal akut. Kondisi ini dapat
dicegah dengan resusitasi cairan yang tepat waktu dan adekuat agar perfusi darah
pada ginjal tetap berlangsung sebagaimana mestinya.
5) Kleihauer-Betke test
Untuk menemukan adanya sel darah merah fetus yang beredar pada sirkulasi darah
maternal pada kasus solusio plasenta, terutama pada wanita dengan Rhesus negatif.
6) Golongan darah
Perlu dilakukan pemeriksaan ini setidaknya agar ketika diperlukan saat akan
dilakukan trasnfusi.
7) Rhesus darah
Wanita dengan rhesus darah negatif memerlikan Rh imunoglobulin untuk mencegah
isoimunisasi yang akan berdampak pada kehamilannya.
8) Pengelolaan thrombofilia, mencakup pemeriksaan :
Mutasi faktor v leiden, mutasi gen prothrombin (a20210), defisiensi antithrombin III,
protein c dan defisiensi protein s, level homocysteine puasa, antibodi anticardiolipin
antibodies, activated protein c resistance.
b) Ultrasonografi
Ultrasonosgrafi adalah pemeriksaan khusus yang digunakan dalam menimaginasikan
perdarahan dalam kehamilan dengan tingkat sensitivitas dan spesifitas yang tinggi.
Solusio plasenta terlihat sebagai perdarahan retroplasenta pada gambaran ultrasound,
akan tetapi tidak semua tipe solusio plasenta dapat terdeteksi. Pada fase akut, perdarahan
akan tampak secara umum sebagai gambaran hiperechoic atau bahkan isoechoic seperti
gambaran plasenta normal. Ultrasonografi dapat membantu menyingkirkan penyebab lain
pada perdarahan retroplasenta trimester ketiga. Pada perdarahan akut solusio plasenta
seperti perdarahan retroplasenta gambaran hiperechoic akan berubah menjadi isoechoic
dan kemudian akan menjadi hipoechoic dalam 1 minggu.
2.8 Penatalaksanaan
2.8.1 Plasenta Previa
1. Terapi Ekspektatif
a) Tujuan supaya janin tidak lahir premature, penderita dirawat tanpa melakukan
pemeriksaan dalam melalui kanalis servisis. Syarat-syarat terapi ekspektatif :
- Kehamilan preterm dengan perdarahan sedikit yang kemudian berhenti
- Belum ada tanda-tanda inpartu
- Keadaan umum ibu cukup baik
- Janin masih hidup
b) Rawat inap, tirah baring dan berikan antibiotik profilaksis.
c) Lakukan pemeriksaan USG untuk mengetahui implantasi plasenta
d) Berikan tokolitik bila ada kontraksi :
- MgSO4 i.v dosis awal tunggal dilanjutkan 4 gram setiap 6 jam
- Nifedipin 3 x 20 mg perhari
- Dexamethason 24 mg i.v dosis tunggal untuk pematangan paru janin.
e) Pada terapi ekspektatif kita rawat pasien di Rumah Sakit sampai berat anak 2500
gram atau kehamilan sudah sampai 37 minggu. Kalau kehamilan 37 minggu telah
tercapai kehamilan diakhiri.
2. Terapi Aktif (Tindakan segera)
Wanita hamil diatas 22 minggu dengan perdarahan pervagina yang aktif dan banyak, harus
segera ditatalaksanakan secara aktif tanpa memandang maturitas janin.
Lakukan PDMO jika :
- Infus I transfusi telah terpasang
- Kehamilan > 37 minggu (berat badan > 2500 gram) dan inpartu
- Janin telah meninggal atau terdapat anomali kongenital mayor, seperti anesefali.
- Perdarahan dengan bagian terbawah janin telah jauh melewati pintu atas panggul (2/5
atau 3/5 pada palpasi luar).
3. Cara menyelesaikan persalinan dengan plasenta previa seksio caesarea
- Prinsip utama adalah menyelamatkan ibu, walaupun janin meninggal atau tidak punya
harapan untuk hidup, tindakan ini tetap dilakukan.
- Tujuan seksio caesarea : persalinan dengan segera sehingga uterus segera berkontraksi
dan menghentikan pendarahan, menghindarkan kemungkinan terjadi robekan pada
serviks, jika janin dilahirkan pervagina.
- Siapkan darah pengganti untuk stabilisasi dan pemulihan kondisi ibu.5
4. Perawatan post operasi seksio caesarea
- Analgesia
Wanita dengan ukuran tubuh rata-rata dapat disuntik 75 mg Meperidin (intramuskuler)
setiap 3 jam sekali, bila diperlukan untuk mengatasi rasa sakit atau dapat disuntikan
dengan cara serupa 10 mg morfin.
Wanita dengan ukuran tubuh kecil, dosis Meperidin yang diberikan adalah 50 mg.
Wanita dengan ukuran besar, dosis yang lebih tepat adalah 100 mg Meperidin
Obat-obatan antiemetik, misalnya protasin 25 mg biasanya diberikan bersama-sama
dengan pemberian preparat narkotik
- Tanda-tanda vital
Tanda-tanda vital harus diperiksa 4 jam sekali, perhatikan tekanan darah, nadi jumlah
urin serta jumlah darah yang hilang dan keadaan fundus harus diperiksa.
- Terapi cairan dan diet
Untuk pedoman umum, pemberian 3 liter larutan RL terbukti sudah cukup selama
pembedahan dan dalam 24 jam pertama berikutnya, meskipun demikian jika output
urin jauh dibawah 30 ml/jam, pasien harus segera dievaluasi kembali paling lambat
pada hari kedua.
- Vesika urinarius dan usus
Kateter dapat dilepaskan setelah 12 jam, post operasi atau pada keesokan paginya
setelah operasi. Biasanya bising usus belum terdengar pada hari pertama setelah
pembedahan, pada hari kedua bising usus masih lemah, dan usus baru aktif kembali
pada hari ketiga.
- Ambulasi
Pada hari pertama setelah pembedahan, pasien dengan bantuan perawatan dapat
bangun dari tempat sebentar, sekurang-kurang 2 kali pada hari kedua pasien dapat
berjalan dengan pertolongan.
- Perawatan luka
Luka insisi diinspeksi setiap hari, sehingga pembalut luka yang alternatif ringan tanpa
banyak plester sangat menguntungkan, secara normal jahitan kulit dapat diangkat
setelah hari keempat setelah pembedahan. Paling lambat hari ketiga post partum,
pasien dapat mandi tanpa membahayakan luka insisi.
- Laboratorium
Secara rutin hematokrit diukur pada pagi setelah operasi hematokrit tersebut harus
segera dicek kembali bila terdapat kehilangan darah yang tidak biasa atau keadaan lain
yang menunjukan hipovolemia.
- Perawatan payudara
Pemberian ASI dapat dimulai pada hari post operasi jika ibu memutuskan tidak
menyusui, pemasangan pembalut payudara yang mengencangkan payudara tanpa
banyak menimbulkan kompresi, biasanya mengurangi rasa nyeri.
- Memulangkan pasien dari Rumah Sakit
Seorang pasien yang baru melahirkan mungkin lebih aman bila diperbolehkan pulang
dari rumah sakit pada hari keempat dan kelima post operasi, aktivitas ibu seminggunya
harus dibatasi hanya untuk perawatan bayinya dengan bantuan orang lain.9
2.8.2 Solusio Plasenta
Penatalaksanaan pengelolaan solusio plasenta harus didasarkan pada kondisi ibu (keparahan
perdarahan) dan kondisi janin (hidup, mati, umur kehamilan).
Penanganan solusio plasenta secara umum :
1. Pemberian darah yang cukup
2. Pemberian O2
3. Pemberian antibiotik
4. Pada syok yang berat diberikan kortikosteroid dosis tinggi untuk mencegah terjadinya
perdarahan yang semakin hebat. Mekanisme kerjanya yaitu dengan cara memperbaiki
perfusi jaringan, memperkuat dinding sel, memperkuat integritas sel endotel, stabilitas
membran lisosom dan menurunkan resistensi perifer.
A. Perdarahan masif
1. Evakuasi pasien ke rumah sakit untuk dilakukan tindakan resusitasi.
Jaga agar hemtokrit darah sekitar 30% dan keluaran urin sekitar 60 ml/jam dan cek
kadar hemoglobin tiap 4 jam.
2. Lakukan transfusi fresh frozen plasma atau darah segar.
3. Lakukan terminasi kehamilan baik persalinan pervaginal jika dilatasi serviks sudah
lengkap ataupun dengan seksio caesarea.
4. Jika terjadi perdarahan postpartum pasca terminasi kehamilan yang menyebabkan
atonia uteri dan tidak dapat teratasi, maka histerektomi adalah langkah yang harus
diambil untuk menyelamatkan nyawa ibu.
B. Perdarahan sedikit
Tindakan yang dilakukan sangat dipengaruhi dari status fetus dalam kandungan apakah
prematur, imatur ataupun sudah mati.
1. Penatalaksanaan ekspektatif
Dilakukan jika umur kehamilan < 36 minggu dan janin masih hidup serta tidak adanya
perdarahan yang hebat yang menyebabkan syok hipovolemia pada ibu.
Hal ini dilakukan dengan harapan janin dapat seviable mungkin bila dilahirkan
nantinya. Observasi yang ketat terutama kondisi ibu (tekanan darah, nadi, kadar
hemoglobin dan urinaria) dan kondisi janin menggunakan cardiotocografi (CTG).
2. Penatalaksanaan aktif
Adakah sebuah tindakan terminasi kehamilan pada kondisi janin yang matur ataupun
terjadi fetal distres.
1. Pada ibu dapat terjadi perdarahan hingga syok akibat perdarahan, anemia karena perdarahan
plasentitis, dan endometritis pasca persalinan.
2. Pada janin biasanya terjadi persalinan premature dan komplikasi seperti Asfiksia berat.
2.9.2 Solusio Plasenta
Komplikasi akibat solusio plasenta dapat terjadi pada ibu dan janin.
1. Komplikasi pada ibu, antara lain :
a) Syok
Pada kasus solusio plasenta tipe external hemorrhagic maka syok yang terjadi adalah
syok hipovolemi, sedangakan solusio plasenta tipe Concealed (perdarahan
tersembunyi) maka syok yang terjadi adalah syok neurogenik akibat nyeri yang ada.
b) Terjadinya gangguan pembekuan darah (koagulopati) akibat turunnya kadar
fibrinogen.
Kelainan pembekuan darah pada solusio plasenta biasanya disebabkan oleh
hipofibrinogen. Dari penelitian yang dilakukan oleh Wirjohadiwardojo di RSUPNCM
dilaporkan kelainan pembekuan darah terjadi pada 46% dari 134 kasus solusio
plasenta yang diteliti.
Kadar fibrinogen plasma normal pada wanita hamil cukup bulan ialah 450 mg%
berkisar antara 300-700 mg%. Apabila kadar fibrinogen plasma kurang dari 100 mg%
maka akan terjadi gangguan pembekuan darah.
Mekanisme gangguan pembuluh darah terjadi melalui dua fase :
Fase I
Pada pembuluh darah terminal (arteriole, kapiler, venule) terjadi pembekuan dara,
disebut disseminated intravasculer clotting (DIC). Akibatnya ialah peredaran
darah kapiler (mikrosirkulasi) terganggu. Jadi pada fase I, turunnya kadar
fibrinogen disebabkan karena pemakaian zat tersebut, maka fase I disebut juga
coagulopathi consumptive. Diduga bahwa hematom subkhorionik mengeluarkan
tromboplastin yang menyebabkan pembekuan intravaskuler tersebut. Akibat
gangguan mikrosirkulasi dapat mengakibatkan syok, kerusakan jaringan pada alat-
alat yang penting karena hipoksia dan kerusakan ginjal yang menyebabkan
oliguria/anuria.
Fase II
Fase ini sebetulnya fase regulasi reparatif, yaitu usaha tubuh untuk membuka
kembali peredaran darah kapiler yang tersumbat. Usaha ini dilaksanakan dengan
fibrinolisis. Fibrinolisis yang berlebihan malah berakibat lebih menurunkan lagi
kadar fibrinogen sehingga perdarahan patologis. Kecurigaan akan adanya kelainan
pembekuan darah harus dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium, namun di
klinik pengamatan pembekuan darah merupakan cara pemeriksaan yang terbaik
karena pemeriksaan laboratorium lainnya memerlukan waktu terlalu lama,
sehingga hasilnya tidak mencerminkan keadaan penderita saat itu.
c) Kerusakan jaringan pada organ vital
Kejadian gagal ginjal akut sering terjadi akibat perdarahan masif yang terjadi pada
solusio plasenta yang tidak mendapatkan resusitasi cairan dan darah yang adekuat
untuk mengatasi kondisi hipovolemia yang terjadi.
Kerusakan kelenjar hipofisis anterior akan menyebabkan sindroma Sheehan yang
mengakibatkan kegagalan laktasi dan amenorhea sekunder serta gangguan sistem
reproduksi.
d) Atonia uteri post partum
Terjadi akibat anemia yang terjadi, gangguan koagulopati dan overdistensi uterus serta
Couvelaire uterus.
2.10. Prognosis
2.3.1 Plasenta Previa
Ibu
Dengan adanya fasilitas diagnosa dini (USG), transfusi darah, teknik anestesi dan operasi
yang baik dengan indikasi SC yang lebih liberal, prognosis ibu cukup baik. Prognosis
kurang baik jika penolong melakukan VT di luar Rumah Sakit dan mengirim pasien sangat
terlambat dan tanpa infus.
Janin
Kematian janin umumnya disebabkan prematuritas.
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/137/jtptunimus-gdl-prasintade-6825-3-babii.pdf
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/37235/4/Chapter%20I.pdf
Scott, James. Danforth, Buku Saku Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: Widya Medika. Hlm: 202-213.
Wylie, Linda, 2010. Manajemen Kebidanan: Gangguan Medis Kehamilan dan Persalinan. Jakarta: EGC.
Hlm:13-41.