Anda di halaman 1dari 47

WRAP UP SKENARIO 1

PERDARAHAN PERSALINAN

KELOMPOK A-4

Ketua : Fatimah alia 1102011102


Sekretaris : Luthfia Rozanah 1102011145
Anggota : Anggraeni Ayu W 1102011028
Anna Rizky A 1102011031
Caesaredo Derza P 1102011062
Farizky Baskoro 1102011100
Fatima Zahra 1102011101
Fazelia Berlianthi 1102011103
Lusy Cristi 1102011143
Lusy Novitasari 1102011144

UNIVERSITAS YARSI
FAKULTAS KEDOKTERAN
TAHUN PELAJARAN 2014-2015
SKENARIO 1
PERDARAHAN PERSALINAN
Seorang pasien 17 tahun datang ke UGD RSUD dengan hamil pertama dan keluhan nyeri
perut dan perdarahan pervaginam. Pasien mengaku hamil 32 minggu dihitung dari haid pertama
haid terakhirnya (HPHT). Pasien tidak pernah melakukan antenatal care (ANC) sebelumnya.
Pasien mengalami kenikan berat badan sampai 25 kg selama kehamilan ini diikuti edema
tungkai dalam 4 minggu terakhir. Pasien tidak pernah mengkonsumsi suplemen besi atau vitamin
lainnya.
Dari riwayat penyakit keluarga diketahui ada riwayat penyakit ginjal, DM dan hipertensi
dikeluarganya.
Dilakukan pemeriksaan fisik dengan hasil : keadaan umum tampak sakit sedang, tekanan
darah 135/85 mmHg; frekuensi nadi 98x/menit, frekuensi napas:26x/menit; suhu afebris. Dari
status obstetrik didapatkan tinggi fundus uteri 42cm, denyut jantung janin I: 166x/menit dan
II:176x/menit simultan. Dilakukan pemeriksaan inspekulo tampak darah berwarna kehitaman
mengalir dari OUI, pembukaan tidak ada.
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan penunjang USG dengan hasil: kehamilan ganda letak
sunsang dan hasil pemeriksaan laboratorium urin didapatkan protein +2. Dilakukan pemeriksaan
CTG didapatkan tanda-tanda gawat janin.
Kata kata sulit
ANC : Pemeriksaan pada ibu hamil untuk deteksi dini terjadinya resiko dini terhadap
kehamilan dan persalinan
CTG : Pemeriksaan untuk mengetahui ada atau tidak nya fetal distress dengan mengetahui
Denyut Jantung Janin dan kontraksi ibu
Pertanyaan
1. Apa tanda tanda dari gawat janin?
2. Kenapa berat badan ibu naik?
3. Kapan pemeriksaan ANC dilakukan?
4. Kenapa tinggi fundus ibu lebih tinggi?
5. Mengapa darah yang keluar berwarna kehitaman?
6. Apakah yang menyebabkan perdarahan pada ibu?
7. Apakah usia mempengaruhi keadaan pasien?
8. Apakah yang menyebabkan proteinuria?
9. Apakah hubungan antara pasien yang tidak pernah konsumsi vitamin dengan gejala ibu?
10. Apakah kemungkinan diagnosa pasien?
Jawaban
1. - DJJ >160x/menit atau <100x/menit
- DJJ tidak teratur
- Keluarnya mekonium yang kental pada awal persalinan
2. Karena ibu mengalami edema dan kehamilan kembar
3. 4 kali, padat saati Trimester I: 1x, Trimester II:1x, Trimester III:2x
4. Karena kemungkinan ada penumpukan darah atau cairan pada rahim ibu, dan karena
kehamilan gameli
5. Karena darah tidak langsung keluar, tetapi menjadi hematom retroplasenta, dan ketika
keluar vagina darah sudah menjadi kehitaman, karena bercampur dengan cairan yang
lainnya (ketuban)
6. Kemungkinan :
- Plasenta terlepas
- Letak plasenta abnormal
- Trauma
- Karena adanya peningkatan tekanan darah
7. Iya, karena perkembangan fisiologi organ reproduksi juga belum berkembang secara
sempurna
8. Karena kemungkinan pasien mengalami pre-eklampsia yang telah mengalami gangguan
ginjal
9. Kekurangan nutrisi
10. Pre-eklampsia dengan komplikasi solusio plasenta
Hipotesis
Ibu kehamilan ganda, G1P0A0, 32 minggu

Nyeri perut
Perdarahan per vagina

Pemeriksaan fisik :
- Edema
- Tinggi fundus lebih tinggi daripada umur kehamilan
- Detak Jantung Janin meningkat
- Tekanan darah meningkat
Inspekulo :
- Darah berwarna kehitaman
- Tidak ada pembukaan

Pemeriksaan penunjang:
Lab : Proteinuria
CTG : Gawat Janin

Pre-eklamsia dengan komplikasi solusio plasenta


SASARAN BELAJAR
1. Memahami dan menjelaskan hipertensi pada kehamilan
1.1 Definisi
1.2 Etiologi
1.3 Faktor risiko
1.4 Patofisiologi
1.5 Klasifikasi
1.51 Hipertensi Kronik
1.52 Hipertensi Gestasional
1.53 Hipertensi Kronik dengan superimposed pre-eklampsia
1.54 Pre-eklampsia
1.55 Eklampsia
1.56 Sindrom HELLP
2. Memahami dan menjelaskan perdarahan antepartum
2.1 Definisi
2.2 Klasifikasi
2.3 Etiologi
2.4 Faktor risiko
2.5 Patofisiologi
2.6 Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang
2.7 Diagnosis dan Diagnosis Banding
2.8 Penatalaksanaan
2.9 Komplikasi
2.10 Prognosis
1.Memahami dan menjelaskan hipertensi pada kehamilan
1.1 Definisi
Hipertensi adalah adanya kenaikan tekanan darah melebihi batas normal yaitu tekanan
darah 140/90 mmHg (Prawirohardjo, 2008).
Pengukuran tekanan darah sekurang-kurangnya dilakukan 2 kali selanh 4 jam. Kenaikan
tekanan darah sistolik 30 mmHg dan keniakan tekanan darahdiastolik 15 mmHg sebagai
parameter hipertensi sudah tidak dipaki lagi.
Hipertensi pada kehamilan terdapat pada 5-10% kehamilan, hipertensi merupakan salah
satu dari ketiga penyebab kematian pada ibu hamil selain perdarahan dan infeksi. World Health
Organization (WHO) menyatakan pada negara maju 16% kematian maternal diakibatkan karena
hipertensi pada kehamilan, dan menempati proporsi kematian pertama setelah perdarahan (13%),
aborsi (8%), dan sepsis (2%). Berg et all pada tahun 2003 melaporkan kematian maternal sekitar
16% karena komplikasi dari hipertensi pada kehamilan, dua tahun kemudian berg et al
melakukan penelitian yang menunjukan bahwa kematian maternal akibat hipertensi dapat
dicegah melalui beberapa tahapan.
1.2 Etiologi
Teori yang dianggap dapat menjelaskan etiologi dan patofisiologi pre-eklampsia harus dapat
menjelaskan kenyataan bahwa hipertensi dalam kehamilan seringkali terjadi pada :
1. Mereka yang terpapar pada villi chorialis untuk pertama kalinya ( pada nulipara )
2. Mereka yang terpapar dengan villi chorialis yang berlimpah
3. Mereka yang sudah menderita penyakit vaskular sebelum kehamilan.
4. Penderita dengan predisposisi genetik Hipertensi .
Menurut Sibai (2003), faktor-faktor yang berpotensi sebagai etiologi :
1. Invasi trofoblastik abnormal kedalam vasa uterina.
2. Intoleransi imonologi antara maternal dengan jaringan feto-maternal .
3. Maladaptasi maternal terhadap perubahan kardiovaskular atau inflamasi selama
kehamilan.
4. Defisiensi bahan makanan tertentu ( nutrisi ).
5. Pengaruh genetik.

1.3 Faktor risiko


Terdapat banyak factor resiko untuk terjadinya hipertensi dalam kehamilan , yang dapat
dikelompokkan dalam factor resiko sebagai berikut:
1. Primi gravid, primipaternitas
2. Hiperplasentosis, misalnya: mola hidatidisa, kehamilan multiple, DM, Hidrops fetalis
3. Umur yang Ekstrim ( <20 tahun atau >35 tahun)
4. Riwayat keluarga pernah preeklamsia/eklamsia
5. Penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil
6. Obesitas
1.4 Patofisiologi
Menurut Angsar (2008) teori teorinya sebagai berikut:
1) Teori kelainan vaskularisasi plasenta
Pada kehamilan normal, rahim dan plasenta mendapatkan aliran darah dari cabang
cabang arteri uterina dan arteri ovarika yang menembus miometrium dan menjadi arteri
arkuata, yang akan bercabang menjadi arteri radialis. Arteri radialis menembus
endometrium menjadi arteri basalis memberi cabang arteri spiralis. Pada kehamilan
terjadi invasi trofoblas kedalam lapisan otot arteri spiralis, yang menimbulkan degenerasi
lapisan otot tersebut sehingga terjadi distensi dan vasodilatasi arteri spiralis, yang akan
memberikan dampak penurunan tekanan darah, penurunan resistensi vaskular, dan
peningkatan aliran darah pada utero plasenta. Akibatnya aliran darah ke janin cukup
banyak dan perfusi jaringan juga meningkat, sehingga menjamin pertumbuhan janin
dengan baik. Proses ini dinamakan remodelling arteri spiralis. Pada pre eklamsia terjadi
kegagalan remodelling menyebabkan arteri spiralis menjadi kaku dan keras sehingga
arteri spiralis tidak mengalami distensi dan vasodilatasi, sehingga aliran darah utero
plasenta menurun dan terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta.

2) Teori Iskemia Plasenta, Radikal bebas, dan Disfungsi Endotel


a.Iskemia Plasenta dan pembentukan Radikal Bebas
Karena kegagalan Remodelling arteri spiralis akan berakibat plasenta mengalami
iskemia, yang akan merangsang pembentukan radikal bebas, yaitu radikal hidroksil (-OH)
yang dianggap sebagai toksin. Radiakl hidroksil akan merusak membran sel yang banyak
mengandung asam lemak tidak jenuh menjadi peroksida lemak. Periksida lemak juga
akan merusak nukleus dan protein sel endotel
b.Disfungsi Endotel
Kerusakan membran sel endotel mengakibatkan terganggunya fungsi endotel, bahkan
rusaknya seluruh struktur sel endotel keadaan ini disebut disfungsi endotel, yang akan
menyebabkan terjadinya :
1. Gangguan metabolisme prostalglandin, yaitu menurunnya produksi prostasiklin
(PGE2) yang merupakan suatu vasodilator kuat.
2. Agregasi sel-sel trombosit pada daerah endotel yang mengalami kerusakan.
Agregasi trombosit memproduksi tromboksan (TXA2) yaitu suatu vasokonstriktor
kuat. Dalam Keadaan normal kadar prostasiklin lebih banyak dari pada
tromboksan. Sedangkan pada pre eklamsia kadar tromboksan lebih banyak dari
pada prostasiklin, sehingga menyebabkan peningkatan tekanan darah.
3. Perubahan khas pada sel endotel kapiler glomerulus (glomerular endotheliosis)
4. Peningkatan permeabilitas kapiler.
5. Peningkatan produksi bahan bahan vasopresor, yaitu endotelin. Kadar NO
menurun sedangkan endotelin meningkat.
6.Peningkatan faktor koagulasi

3) Teori intoleransi imunologik ibu dan janin


Pada perempuan normal respon imun tidak menolak adanya hasil konsepsi yang bersifat
asing. Hal ini disebabkan adanya Human Leukocyte Antigen Protein G (HLA-G) yang
dapat melindungi trofoblas janin dari lisis oleh sel natural killer (NK) ibu. HLA-G juga
akan mempermudah invasis el trofoblas kedalam jaringan desidua ibu. Pada plasenta ibu
yang mengalami pre eklamsia terjadi ekspresi penurunan HLA-G yang akan
mengakibatkan terhambatnya invasi trofoblas ke dalam desidua. Kemungkinan terjadi
Immune-Maladaptation pada pre eklamsia.

4) Teori Adaptasi kardiovaskular


Pada kehamilan normal pembuluh darah refrakter terhadap bahan vasopresor. Refrakter
berarti pembuluh darah tidak peka terhadap rangsangan vasopresor atau dibutuhkan kadar
vasopresor yang lebih tinggi untuk menimbulkan respon vasokonstriksi. Refrakter ini
terjadi akibat adanya sintesis prostalglandin oleh sel endotel. Pada pre eklamsia terjadi
kehilangan kemampuan refrakter terhadap bahan vasopresor sehingga pembuluh darah
menjadi sangat peka terhadap bahan vasopresor sehingga pembuluh darah akan
mengalami vasokonstriksi dan mengakibatkan hipertensi dalam kehamilan.

5) Teori Genetik
Ada faktor keturunan dan familial dengan model gen tunggal. Genotype ibu lebih
menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan secara familial jika dibandingkan
dengan genotype janin. Telah terbukti bahwa ibu yang mengalami pre eklamsia, 26%
anak perempuannya akan mengalami pre eklamsia pula, sedangkan hanya 8% anak
menantu mengalami pre eklamsia.

6) Teori Defisiensi Gizi


Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa defisiensi gizi berperan dalam terjadinya
hipertensi dalam kehamilan. Penelitian terakhir membuktikan bahwa konsumsi minyak
ikan dapat mengurangi resiko pre eklamsia. Minyak ikan banyak mengandung asam
lemak tidak jenuh yang dapat menghambat produksi tromboksan, menghambat aktivasi
trombosit, dan mencegah vasokonstriksi pembuluh darah.

7) Teori Stimulasi Inflamasi


Teori ini berdasarkan bahwa lepasnya debris trofoblas di dalam sirkulasi darah
merupakan rangsangan utama terjadinya proses inflamasi. Berbeda dengan proses
apoptosis pada pre eklamsia, dimana pada pre eklamsia terjadi peningkatan stres oksidatif
sehingga produksi debris trofoblas dan nekrorik trofoblas juga meningkat. Keadaan ini
mengakibatkan respon inflamasi yang besar juga. Respon inflamasi akan mengaktifasi sel
endotel dan sel makrofag/granulosit yang lebih besar pula, sehingga terjadi reaksi
inflamasi menimbulkan gejala gejala pre eklamsia pada ibu.

1.5 Klasifikasi
1.51 Hipertensi kronik
A. Pengertian
Hipertensi kronik dalam kehamilan adalah hipertensi yang didapatkan sebelum timbulnya
kehamilan. Apabila tidak diketahui adanya hipertensi sebelum kehamilan, maka hipertensi kronik
didefinisikan bila didapatkan tekanan darah sistolik 140 mmHg atau tekanan darah diastolik 90
mmHg sebelum umur kehamilan 20 minggu. ( Prawirohardjo, Sarwono. 2008. Ilmu kebidanan.
Jakarta : PT. Bina Pustaka Sarwono Prawihardjo. Halaman : 556 )
B. Etiologi
Hipertensi konik dapat disebabkan primer: idiopatik: 90 % dan sekunder: 10 %, berhubungan
dengan penyakit ginjal, vaskular kolagen, endokrin, dan pembuluh darah.

C.Diagnosis hipertensi kronik pada kehamilan


Diagnosis hipetensi kronik ialah bila didapatkan hipertensi yang tela timbul sebelum kehamilan,
atau timbul hiprtensi < 20 minggu umur kehamilan. ( Prawirohardjo, Sarwono. 2008. Ilmu
kebidanan. Jakarta : PT. Bina Pustaka Sarwono Prawihardjo. Halaman : 557 )
Ciri-ciri hipertensi konik:
1. Umur ibu relatif tua diatas 35 tahun
2. Tekanan darah sangat tinggi
3. Umumnya multipara
4. Umumnya ditemukan kelainan jantung, ginjal, dan diabetes mellitus
5. Obesitas
6. Penggunaan obat-obat anti hipertensi sebelum kehamilan
7. Hipertensi yang menetap pascapersalinan

D. Dampak hipertensi kronik pada kehamilan
Pada Ibu
Bila perempuan hamil mendapat monoterapi untuk hipertensinya, dan hipertensi dapat
terkendali, maka hipertensi kronik tidak brpengaruh buruk pada kehamilan, meski tetap
mempunyai resiko tejadinya solusio plasenta, ataupun superimposed preeklampsia.
Pada janin
Dampak hipertensi kronik pada janin ialah pertumbuhan janin terhambat atau fetal growth
restriction, intra uterine growth restriction: IUGR. Insidens fetal growth restriction berbanding
langsung dengan derajat hipertensi yang disebabkan menurunnya pefusi uteroplasenta,
sehingga menimbulakna insufiensi plasenta. Dampak lain pada janin ialah peningkatan
persalinan preterm.

E. Pemeriksaan
Pemeiksaan khusus: ECG (eko kardiografi), pemeriksaan mata, dan pemeriksaan USG ginjal.
Pemeriksaan laboratorium lain ialah fungsi ginjal, fungsi hepar, Hb,
hematokrit, dan trombosit.
Pemeriksaan janin : Perlu dilakukan pemeriksaan ultrasonografi janin. Bila dicurigai IUGR,
dilakukan NST dan profil biofisik.

F. Pengelolaan pada kehamilan


Tujuan pengelolaan hipertensi kroni dalam kehamilan adalah meminimalkan atau mencegah
dampak buruk pada ibu ataupun janin akibat hipertensinya sendiri ataupun akibat obat-obat
antihipertensi.
Secara umum ini berarti mencegah terjadinya hiprtensi yang ringan menjadi lebih
berat(pregnancy aggravated hypertension), yang dapat dicapai dengan cara farmakologik atau
perubahan pola hidup: diet, merokok, alkoho, dan substance abuse.
Terapi hipertensi kronik berat hanya mempertimbangkan keselamatan ibu, tanpa memandang
status kehamilan. Hal ini untuk menghindari terjadinya CVA, infark miokard, serta disfungsi
jantung dan ginjal.
Antihipertensi diberikan:
- Sedini mungkin pada batas tekanan darah dianggap hipetensi, yatu pada stage 1
hipertensi tekanan darah sistolik 140 mmHg, tekanan diastolik 90 mmHg
- Bila terjadi disfungsi end organ.
Obat antihipertensi
Jenis antihiprtensi yang digunakan pada hipertensi kronik, ialah:
Metildopa:
Suatu 2 reseptor agonis
Dosis awal 500 g 3 x per hari, maksimal 3 gram per hari
Calcium channel blockers
Nifedipin: dosis bervariasi antara 30 90 mg per hari.
Diuretik thiazide
Tidak diberikan karena akan mengganggu volume plasma sehingga mengganggu aliran
darah utero-plasenta.
G. Evaluasi janin
Untuk mengetahui apakah terjadi insufisiensi plasenta akut atau kronik, perlu dilakukan
Nonstress Test dan pemeriksaan ultrasonografi bila curiga terjadinya fetal growth restriction
atau terjadi superimginjal posed preeklampsia.

1.52 Hipertensi gestasional


Hipertensi gestasional (transient hypertensi) adalah hipertensi yang timbul pada kehamilan
tanpa disertai proteinuria dan hipertensi menghilang setelah 3 bulan pascapersalin, kehamilan
dengan preeklamsi tetapi tanpa proteinuria. Gejala dapat disertai gejala pre-eklamsi berat yang
berupa nyeri epigastrium, dan trombositopenia. Diagnosa hanya dapat ditegakkan pasca
persalinan

1.53 Hipertensi kronik dengan superimposed pre-eklampsia


Hipertensi kronik dengan superimposed preeklamsi adalah hipertensi kronik di sertai tanda-
tanda preeklamsi atau hipertensi kronik disertai proteinuria.
Gejala :
- Nyeri kepala hebat
- Gangguan visus
- Edema anasarka
- Oliguria
- Gangguan neurologi
Kelainan laboratorium :
- Peningkatan serum kreatinin
- Trombositopenia ( <100.000/mm3)
- Peningkatan transaminase serum hepar

1.54 Pre-eklampsia
A. Pengertian preeklamsi
Preeklamsi adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan disertai dengan
proteinuria.Menurut Prawiroharjo 2008 hal-hal yang perlu diperhatikan:
1) Hipertensi adalah tekanan darah sistolik dan diastolik 140/90 mmHg. Pengukuran darah
dilakukan sebanyak 2 kali pada selang waktu 4 jam-6 jam.
2) Proteinuria adalah adanya 300 mg protein dalam urin selama 24 jam atau sama dengan 1+
dipstic.
3) Edema, sebelumnya edema tungkai dipakai sebagai tanda-tanda preeklamsi tetapi sekarang
edema tungkai tidak dipakai lagi, kecuali edema generalisata. Selain itu bila di dapatkan
kenaikan berat badan >0,57kg/minggu.

Preeklamsi adalah sindrom spesifik kehamilan berupa berkurangnya perfusi organ akibat
vasospasme dan aktivasi endotel, proteinuria adalah tanda penting preeklamsi, terdapatnya
proteinuria 300 mg/1+ (Cunningham, 2006).

B. Etiologi atau Predisposisi preeklamsi


Penyebab penyakit ini sampai sekarang belum bisa diketahui secara pasti. Namun banyak teori
yang telah dikemukakan tentang terjadinya hipertensi dalam kehamilan tetapi tidak ada satupun
teori tersebut yang dianggap benar-benar mutlak. Beberapa faktor resiko ibu terjadinya
preeklamsi:
1) Paritas
Kira-kira 85% preeklamsi terjadi pada kehamilan pertama. Paritas 2-3 merupakan paritas paling
aman ditinjau dari kejadian preeklamsi dan risiko meningkat lagi pada grandemultigravida
(Bobak, 2005). Selain itu primitua, lama perkawinan 4 tahun juga dapat berisiko tinggi timbul
preeklamsi (Rochjati, 2003)
2) Usia
Usia aman untuk kehamilan dan persalinan adalah 23-35 tahun. Kematian maternal pada wanita
hamil dan bersalin pada usia dibawah 20 tahun dan setelah usia 35 tahun meningkat, karena
wanita yang memiliki usia kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun di anggap lebih rentan
terhadap terjadinya preeklamsi (Cunningham, 2006). Selain itu ibu hamil yang berusia 35 tahun
telah terjadi perubahan pada jaringan alat-alat kandungan dan jalan lahir tidak lentur lagi
sehingga lebih berisiko untuk terjadi preeklamsi (Rochjati, 2003).
3) Riwayat hipertensi
Riwayat hipertensi adalah ibu yangpernah mengalamihipertensi sebelum hamil atau sebelum
umur kehamilan 20 minggu. Ibu yang mempunyai riwayat hipertensi berisiko lebih besar
mengalami preeklamsi, serta meningkatkan morbiditas dan mortalitas maternal dan neonatal
lebih tinggi. Diagnosa preeklamsi ditegakkan berdasarkan peningkatan tekanan darah yang
disertai dengan proteinuria atau edema anasarka (Cunningham, 2006)
4) Sosial ekonomi
Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa wanita yang sosial ekonominya lebih maju jarang
terjangkit penyakit preeklamsi. Secara umum, preeklamsi/eklamsi dapat dicegah dengan asuhan
pranatal yang baik. Namun pada kalangan ekonomi yang masih rendah dan pengetahuan yang
kurang seperti di negara berkembang seperti Indonesia insiden preeklamsi atau eklamsi masih
sering terjadi (Cunningham, 2006)

5) Hiperplasentosis atau kelainan trofoblast


Hiperplasentosis atau kelainan trofoblas juga dianggap sebagai faktor predisposisi terjadinya
preeklamsi, karena trofoblas yang berlebihan dapat menurunkan perfusi uteroplasenta yang
selanjutnya mempengaruhi aktivasi endotel yang dapat mengakibatkan terjadinya vasospasme,
dan vasospasme adalah dasar patofisiologi preeklamsi atau eklamsi. Hiperplasentosis tersebut
misalnya: kehamilan multiple, diabetes melitus, bayi besar, 70% terjadi pada kasus
molahidatidosa (Prawirohardjo, 2008; Cunningham, 2006).
6) Genetik
Genotip ibu lebih menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan secara familial jika
dibandingkan dengan genotip janin. Telah terbukti pada ibu yang mengalami preeklamsi 26%
anak perempuannya akan mengalami preeklamsi pula, sedangkan 8% anak menantunya
mengalami preeklamsi. Karena biasanya kelainan genetik juga dapat mempengaruhi penurunan
perfusi uteroplasenta yang selanjutnya mempengaruhi aktivasi endotel yang dapat menyebabkan
terjadinya vasospasme yang merupakan dasar patofisiologi terjadinya preeklamsi atau eklamsi
(Wiknjosastro, 2008; Cunningham, 2008).
7) Obesitas
Obesitas adalah adanya penimbunan lemak yang berlebihan di dalam tubuh. Obesitas merupakan
masalah gizi karena kelebihan kalori, biasanya disertai kelebihan lemak dan protein hewani,
kelebihan gula dan garam yang kelak bisa merupakan faktor risiko terjadinya berbagai jenis
penyakit degeneratif, seperti diabetes melitus, hipertensi, penyakit jantung koroner, reumatik dan
berbagai jenis keganasan (kanker) dan gangguan kesehatan lain.Hubungan antara berat badan ibu
dengan risiko preeklamsia bersifat progresif, meningkat dari 4,3% untuk wanita dengan indeks
massa tubuh kurang dari 19,8 kg/m2 terjadi peningkatan menjadi 13,3 % untuk mereka yang
indeksnya 35 kg/m2 (Cunningham, 2006; Mansjoer, 2008) c.

C. Klasifikasi preeklamsi
Preeklamsi merupakan penyulit kehamilan yang akut dan dapat membahayakan kesehatan
maternal maupun neonatal. Gejala klinik preeklamsi dapat dibagi menjadi preeklamsi ringan dan
preeklampsi berat:
1) Preeklamsi ringan (PER)
a) Pengertian PE ringan
Preeklamsi ringan adalah suatu sindrom spesifik kehamilan dengan menurunnya perfusi organ
yang berakibat terjadinya vasospasme pembuluh darah dan aktivasi endotel (Prawirohardjo,
2008).
b) Diagnosis Pre-eklampsia ringan
Diagnosis preeklamsi ringan menurut Prawirohardjo 2008, ditegakkan berdasarkan atas
munculnya hipertensi disertai proteinuria pada usia kehamilan lebih dari 20 minggu dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. TD 140/90 mmHg
b. Proteinuria: 300 mg/24 jam atau pemeriksaan kualitatif 1 atau 2+
c. Edema: edema generalisata (edema pada kaki, tangan,muka,dan perut).

2) Preeklamsi berat
a) Pengertian Pre-eklamsia berat
Preeklamsi berat adalah preeklamsi dengan tekanan darah 160/110 mmHg, disertai proteinuria
5g/24jam atau 3+ atau lebih (Prawirohardjo, 2008).
b) Diagnosa Pre-ekmlamsia berat
Diagnosis preeklamsi berat menurut Prawirohardjo 2008, dan Wiknjosastro 2007, ditegakkan
bila ditemukan salah satu atau lebih tanda/gejala berikut:
1. TD 160/110 mmHg
2. Proteinuria 5 g/24 jam; 3 atau 4+ dalam pemeriksaan kualitatif.
3. Oliguria yaitu produksi urin kurang dari 500cc/24jam
4. Kenaikan kadar kreatinin plasma
5. Gangguan visus dan serebral: penurunan kesadaran, nyeri kepala, skotoma dan
pandangan kabur.
6. Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen.
7. Edema paru-paru dan sianosis
8. Hemolisis mikroangiopatik
9. Trombositopenia berat: <100.000 sel/mm3atau penurunan trombosit dengan cepat.
10. Gangguan fungsi hepar
11. Pertumbuhan janin intra uterin yang terhambat
12. Sindrom HELLP

D. Patologi Pre-eklamsi

Perubahan pada sistem dan organ pada preeklamsi menurut Prawirohardjo 2008 adalah:
a) Perubahan kardiovaskular
Penderita preeklamsi sering mengalami gangguan fungsi kardiovaskular yang parah, gangguan
tersebut pada dasarnya berkaitan dengan afterload jantung akibat hipertensi (Cunningham, 2006).
b) Ginjal
Terjadi perubahan fungsi ginjal disebabkan karena menurunnya aliran darah ke ginjal akibat
hipovolemi, kerusakan sel glomerulus mengakibatkan meningkatnya permebelitas membran
basalis sehingga terjadi kebocoran dan mengakibatkan proteinuria. Gagal ginjal akut akibat
nekrosis tubulus ginjal. Kerusakan jaringan ginjal akibat vasospasme pembuluh darah dapat
diatasi dengan pemberian dopamin agar terjadi vaso dilatasi pada pembuluh darah ginjal.
c) Viskositas darah
Vaskositas darah meningkat pada preeklamsi, hal ini mengakibatkan meningkatnya resistensi
perifer dan menurunnya aliran darah ke organ.
d) Hematokrit
Hematokrit pada penderita preeklamsi meningkat karena hipovolemia yang menggambarkan
beratnya preeklamsi.
e) Edema
Edema terjadi karena kerusakan sel endotel kapilar. Edema yang patologi bila terjadi pada kaki
tangan/seluruh tubuh disertai dengan kenaikan berat badan yang cepat.
f) Hepar
Terjadi perubahan pada hepar akibat vasospasme, iskemia, dan perdarahan. Perdarahan pada sel
periportal lobus perifer, akan terjadi nekrosis sel hepar dan peningkatan enzim hepar. Perdarahan
ini bisa meluas yang disebut subkapsular hematoma dan inilah yang menimbulkan nyeri pada
daerah epigastrium dan dapat menimbulkan ruptur hepar.
g) Neurologik
Perubahan neurologik dapat berupa, nyeri kepala di sebabkan hiperfusi otak. Akibat spasme
arteri retina dan edema retina dapat terjadi ganguan visus.
h) Paru
Penderita preeklamsi berat mempunyai resiko terjadinya edema paru. Edema paru dapat
disebabkan oleh payah jantung kiri, kerusakan sel endotel pada pembuluh darah kapilar paru, dan
menurunnya deuresis.
E. Pencegahan preeklamsi
Pencegahan preeklamsi ini dilakukan dalam upaya untuk mencegah terjadinya preeklamsi pada
perempuan hamil yang memiliki resiko terjadinya preeklamsi. Menurut Prawirohardjo 2008
pencegahan dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu:
1) Pencegahan non medikal
Yaitu pencegahan dengan tidak memberikan obat, cara yang paling sederhana yaitu dengan tirah
baring. Kemudian diet, ditambah suplemen yang mengandung: a) minyak ikan yang kaya akan
asam lemak tidak jenuh misal: omega-3 PUFA, b) antioksidan: vitamin C, vitamin E, dll.c)
elemen logam berat: zinc, magnesium, kalium.
2) Pencegahan dengan medikal
Pemberian deuretik tidak terbukti mencegah terjadinya hipertensi bahkan memperberat
terjadinya hipovolumia. Pemberian kalsium: 1.500-2.000mg/hari, selain itu dapat pula diberikan
zinc 200 mg/hari,magnesium 365 mg/hari. Obat trombotik yang dianggap dapat mencegah
preeklampsi adalah aspirin dosis rendah rata-rata <100mg/hari atau dipiridamole dan dapat juga
diberikan obat anti oksidan misalnya vitamin C, Vitamin E.

F. Pengelolaan pre-eklamsi
Pengelolaan Pre-eklamsi Ringan
1. Rawat jalan ( ambulatoir )
2. Rawat inap ( hospitalisasi )

1.Pengelolaan secara rawat jalan( a m b u l a t o i r )


1. Tidak mutlak harus tirah baring, dianjurkan ambulasi sesuai keinginannya. Di Indonesia
tirah baring masih diperlukan.
2. Diet reguler : tidak perlu diet khusus
3. Vitamin prenatal
4. Tidak perlu restriksi konsumsi garam
5. Tidak pelu pemberian diuretic, antihipertensi dan sedativum.
6. Kunjungan ke rumah sakit tiap minggu

2.Pengelolaan secara rawat inap (hospitalisasi)


1. Indikasi preeklamsi ringan dirawat inap (hospitalisasi)
a. Hipertensi yang menetap selama > 2 minggu
b. Proteinuria menetap selama > 2 minggu
c. Hasil test laboratorium yang abnormal
d. Adanya gejala atau tanda 1 (satu) atau lebih preeklamsi berat

2. Pemeriksaan dan monitoring pada ibu


a. Pengukuran desakan darah setiap 4 jam kecuali ibu tidur
b. Pengamatan yang cermat adanya edema pada muka dan abdomen
c. Penimbangan berat badan pada waktu ibu masuk rumah sakit dan penimbangan
dilakukan setiap hari
d. Pengamatan dengan cermat gejala preeklamsi dengan impending eklamsi:
- Nyeri kepala frontal atau oksipital
- Gangguan visus
- Nyeri kuadran kanan atas perut
- Nyeri epigastrium

3. Pemeriksaan laboratorium
a. Proteinuria pada dipstick pada waktu masuk dan sekurang-kurangnya diikuti 2 hari
b. Hematokrit dan trombosit : 2 x seminggu
c. Test fungsi hepar: 2 x seminggu
d. Test fungsi ginjal dengan pengukuran kreatinin serum, asam urat, dan BUN
e. Pengukuran produksi urine setiap 3 jam (tidak perlu dengan kateter tetap)

4.Pemeriksaan kesejahteraan janin


a. Pengamatan gerakan janin setiap hari
b. NST 2 x seminggu
c. Profil biofisik janin, bila NST non reaktif
d. Evaluasi pertumbuhan janin dengan USG, setiap 3-4 minggu
e. Ultrasound Doppler arteri umbilikalis, arteri uterina

Terapi medikamentosa
I. Pada dasarnya sama dengan terapi ambulatoar
II. Bila terdapat perbaikan gejala dan tanda-tanda pre-eklamsi dan umur kehamilan 37
minggu, ibu masih perlu diobservasi selama 2-3 hari kemudian boleh dipulangkan.

Pengelolaan obstetrik
Pengelolaan obstetrik tergantung usia kehamilan
1. Bila penderita tidak inpartu :
a. Umur kehamilan < 37 minggu
Bila tanda dan gejala tidak memburuk, kehamilan dapat dipertahankan sampai
aterm.
b. Umur kehamilan 37 minggu
1. Kehamilan dipertahankan sampai timbul onset partus
2. Bila serviks matang pada tanggal taksiran persalinan dapat dipertimbangkan
untuk dilakukan induksi persalinan

2. Bila penderita sudah inpartu :


Perjalanan persalinan dapat diikuti dengan Grafik Friedman atau Partograf WHO.

3. Konsultasi Selama dirawat di Rumah Sakit lakukan konsultasi kepada :


1. Bagian penyakit mata
2. Bagian penyakit jantung
3. Bagian lain atas indikas

Pengelolaan Pre-eklamsi Berat


Pada kehamilan dengan penyulit apapun pada ibunya, dilakukan pengelolaan dasar sebagai
berikut :
a. Pertama adalah rencana terapi pada penyulitnya : yaitu terapi medikamentosa dengan
pemberian obat-obatan untuk penyulitnya
b. Kedua baru menentukan rencana sikap terhadap kehamilannya yang tergantung pada
umur kehamilan. Sikap terhadap kehamilannya dibagi 2, yaitu :
1. Ekspektatif ; konservatif : bila umur kehamilan < 37 minggu, artinya :
kehamilan dipertahankan selama mungkin sambil memberikan terapi
medikamentosa
2. Aktif, agresif ; bila umur kehamilan 37 minggu, artinya kehamilan dikahiri
setelah mendapat terapi medikamentosa untuk stabilisasi ibu.

Pemberian terapi medikamentosa


a. Segera masuk rumah sakit
b. Tirah baring miring ke kiri secara intermiten
c. Infus Ringer Laktat atau Ringer Dekstrose 5%
d. Pemberian anti kejang MgSO4 sebagai pencegahan dan terapi kejang.
e. Pemberian MgSO4 dibagi :
- Loading dose (initial dose) : dosis awal
- Maintenance dose : dosis lanjutan

Sumber Regimen Loading dose Maintena Dihentika


nce dose n
Intermitent
Prichard, intramuscular
1955 1957 injection

Preeklamsi 10 g IM 5g 50% 24 jam


tiap 4-6 pasca
jam persalinan
Bergantian
Eklamsi 1) 4g 20% IV; salah satu
1g/menit bokong
2) 10g 50% IM:
Kuadran atas sisi 5g 50%
luar kedua bokong tiap 4-6
- 5g IM bokong jam
kanan Bergantian
- 5g IM bokong salah satu
kiri bokong
3) Ditambah 1.0 (10 g
mllidocaine MgSO4 IM
dalam
2-3 jam
dicapai
4) Jika konvulsi kadar
tetap terjadi plasma
Setelah 15 menit, 3, 5-6
beri : 2g mEq/l
20% IV : 1
g/menit
Obese : 4g iv
Pakailah jarum 3-
inci, 20
gauge

Zuspan, Continous
1966 Intravenous
Injection

Preeklamsi Tidak ada 1 g/jam IV


berat
4-6 g IV / 5-10 1 g/jam IV
Eklamsi minute

3. Sibai, Continous 4-6 g 20% IV 1) Dimulai 24 jam


1984 Intravenous dilarutkan dalam 2g/jam IV pascasalin
Injection dalam
Preeklamsi - 10g 1000
eklamsi cc D5 ; 100
cc/jam
2) Ukur
kadar Mg
setiap 4-6
jam
3) Tetesan
infus
disesuaika
n untuk
mencapai
maintain
dose 4-6
35 mEq/l
100 ml/D5 / 15-20 (4,8-9,6
menit mg/dL)

4. Magpie Sama dengan 1) 4g 50% 1)


Trial Pritchard dilarutkan dalam 1g/jam/IV
Colaborativ Regimen normal dalam 24
e Saline IV / 10-15 jam
Group, 2002 menit atau
2) 10 g 50% IM: 2) 5g IM/4
- 5g IM bokong jam dalam
kanan 24 jam
- 5g IM bokong
kiri

Syarat pemberian MgSO4. 7H2O


1. Refleks patella normal
2. Respirasi > 16 menit
3. Produksi urine dalam 4 jam sebelumnya > 100 cc ; 0,5 cc/kg BB/jam
4. Siapkan ampul Kalsium Glukonat 10% dalam 10 cc

Antidotum
Bila timbul gejala dan tanda intoksikasi MgSO 4. 7H2O , maka diberikan
injeksi Kalsium Glukonat 10% dalam 10 cc dalam 3 menit

Refrakter terhadap MgSO4. 7H2O, dapat diberikan salah satu regimen


dibawah ini :
1. 100 mg IV sodium thiopental
2. 10 mg IV diazepam
3. 250 mg IV sodium amobarbital
4. phenytoin : a. dosis awal 1000 mg IV

16,7 mg/menit/1 jam


500 g oral setelah 10 jam dosis awal dalam 14 jam

Anti hipertensi
Diberikan : bila tensi 180/110 atau MAP 126
Jenis obat : Nifedipine : 10-20 mg oral, diulangi setelah 30 menit, maksimum 120 mg dalam 24
jam.
* Nifedipine tidak dibenarkan diberikan dibawah mukosa lidah (sub lingual) karena absorbsi
yang terbaik adalah melalui saluran pencernaan makanan.

Desakan darah diturunkan secara bertahap :


1. Penurunan awal 25% dari desakan sistolik
2. Desakan darah diturunkan mencapai :
< 160/105
MAP < 125
* Nicardipine-HCl : 10 mg dalam 100 atau 250 cc NaCl/RL diberikan secara IV selama 5 menit,
bila gagal dalam 1 jam dapat diulang dengan dosis 12,5 mg selama 5 menit. Bila masih gagal
dalam 1 jam, bisa diulangi sekali lagi dengan dosis 15 mg selama 5 menit
Diuretikum
Diuretikum tidak dibenarkan diberikan secara rutin, karena :
1. Memperberat penurunan perfusi plasenta
2. Memperberat hipovolemia
3. Meningkatkan hemokonsentrasi
Diuretikum yang diberikan hanya atas indikasi :
1. Edema paru
2. Payah jantung kongestif
3. Edema anasarka

Diet
Diet diberikan secara seimbang, hindari protein dan kalori yang berlebih

Sikap terhadap kehamilannya:

1.Perawatan Konservatif ; ekspektatif

Tujuan :
Mempertahankan kehamilan, sehingga mencapai umur kehamilan yang memenuhi syarat
janin dapat dilahirkan
Meningkatkan kesejahteraan bayi baru lahir tanpa mempengaruhi keselamatan ibu

Indikasi : Kehamilan 37 minggu tanpa disertai tanda-tanda dan gejala-gejala impending


eklamsi.

Terapi Medikamentosa :
1) Lihat terapi medikamentosa seperti di atas. : no. VI. 5.a
2) Bila penderita sudah kembali menjadi preeklamsi ringan, maka masih dirawat 2-3 hari
lagi, baru diizinkan pulang.
3) Pemberian MgSO4 sama seperti pemberian MgSO4 seperti tersebut di atas nomor VI.
5.a Tabel 3, hanya tidak diberikan loading dose intravena, tetapi cukup intramuskuler
4) Pemberian glukokortikoid diberikan pada umur kehamilan 32-34 minggu selama 48
jam.

Perawatan di Rumah Sakit :


1) Pemeriksaan dan monitoring tiap hari terhadap gejala klinik
2) Menimbang berat badan pada waktu masuk Rumah Sakit dan diikuti tiap hari.
3) Mengukur proteinuria ketika masuk Rumah Sakit dan diulangi tiap 2 hari.
4) Pengukuran desakan darah sesuai standar yang telah ditentukan.
5) Pemeriksaan laboratorium sesuai ketentuan di atas nomor V. C Tabel 2
6) Pemeriksaan USG sesuai standar di atas, khususnya pemeriksaan :
a. Ukuran biometrik janin
b. Volume air ketuban

Penderita boleh dipulangkan :


Bila penderita telah bebas dari gejala-gejala preeklamsi berat, masih tetap dirawat 3 hari lagi
baru diizinkan pulang.

Cara persalinan :
1) Bila penderita tidak inpartu, kehamilan dipertahankan sampai kehamilan aterm
2) Bila penderita inpartu, perjalanan persalinan diikuti seperti lazimnya
3) Bila penderita inpartu, maka persalinan diutamakan pervaginam, kecuali bila ada
indikasi untuk seksio sesaria.

2.Perawatan aktif ; agresif

Tujuan : Terminasi kehamilan

Indikasi :
1. Indikasi Ibu :
a) Kegagalan terapi medikamentosa :
1.Setelah 6 jam sejak dimulai pengobatan medikamentosa, terjadi kenaikan darah yang
persisten.
2.Setelah 24 jam sejak dimulainya pengobatan medikamentosa terjadi kenaikan darah
b) Tanda dan gejala impending eklamsi
c) Gangguan fungsi hepar
d) Gangguan fungsi ginjal
e) Dicurigai terjadi solution placenta
f) Timbulnya onset partus, ketuban pecah dini, pendarahan.

2.Indikasi Janin :
1. Umur kehamilan 37 minggu
2. IUGR berat berdasarkan pemeriksaan USG
3. NST nonreaktiv dan profil biofisik abnormal
4. Timbulnya oligohidramnion

3.Indikasi Laboratorium :
Thrombositopenia progesif, yang menjurus ke sindroma HELLP

Terapi Medikamentosa :
Lihat terapi medikamentosa di atas : nomor VI. 5.a.

Cara Persalinan :
Sedapat mungkin persalinan diarahkan pervaginam
Penderita belum inpartu
a. Dilakukan induksi persalinan bila skor Bishop 8
Bila perlu dilakukan pematngan serviks dengan misoprostol. Induksi persalinan harus
sudah mencapai kala II dalam waktu 24 jam. Bila tidak, induksi persalinan dianggap
gagal, dan harus disusul dengan seksio sesarea
b. Indikasi seksio sesarea:
1. Tidak ada indikasi untuk persalinan pervaginam
2. Induksi persalinan gagal
3. Terjadi gawat janin
4. Bila umur kehamilan < 33 minggu
Penderita sudah inpartu
1. Perjalanan persalinan diikuti dengan grafik Friedman
2. Memperpendek kala II
3. Seksio sesarea dilakukan apabila terdapat kegawatan ibu dan gawat janin
4. Primigravida direkomendasikan pembedahan cesar
5. Anestesia : regional anestesia, epidural anestesia. Tidak diajurkan anesthesia umum

1.55 Eklampsia
A. Pengertian
Eklamsi adalah kelainan akut pada ibu hamil, saat hamil tua, persalinan atau masa nifas ditandai
dengan timbulnya kejang atau koma, dimana sebelumnya sudah menunjukkan gejala-gejala pre
eklamsi (hipertensi, edems, proteinuri) (Wirjoatmodjo, 1994: 49). Eklamsi merupakan kasus
akut, pada penderita dengan gambaran klinik pre eklamsi yang disertai dengan kejang dan koma
yang timbul pada ante, intra dan post partum (Angsar MD, 1995: 41) .
B. Etiologi
Sebab eklamsi belum diketahui benar. Salah satu teori yang dikemukakan ialah bahwa eklamsi
disebabkan ischaemia rahim dan plasenta (ischaemia uteroplasenta). Selama kehamilan uterus
memerlukan darah lebih banyak. Pada molahidatidosa, hydramnion, kehamilan ganda, multipara,
pada akhir kehamilan, pada persalinan, juga pada penyakit pembuluh darah ibu, diabetes,
peredaran darah dalam dinding uterus kurang, maka keluarlah zat-zat dari plasenta atau decidua
yang menyebabkan vasospasmus dan hypertensi
C. Gejala
Eklamsi selalu didahului oleh gejala-gejala preeklamsi. Gejala-gejala preeklamsi yang berat
seperti:
Sakit kepala yang keras
Penglihatan kabur
Nyeri diulu hati
Kegelisahan dan hyperfleksi sering mendahului kejang
Serangan dibagi dalam 3 tingkatan :
1. Tingkat invasi (tingkat permulaan)
Mata terpaku, kepala dipalingkan ke satu fihak, kejang-kejang halus terlihat pada muka.
Berlangsung beberapa detik.
2. Tingkat kontraksi (tingkat kejang kronis )
Seluruh badan menjadi kaku, kadang-kadang terjadi episthotonus, lamanya 15 sampai 20
detik.
3. Tingkat konvulsi
Terjadi kejang yang timbul hilang, radang membuka dan menutup begitu juga mata; otot-otot
muka dan otot badan berkontraksi dan berelaksasi berulang. Kejang ini bisa menjadi sangat
kuat dan bisa menyebabkan pasien terlempar dari tempat tidurnya atau lidahnya tergigit.
Ludah yang berbuih bercapur darah keluar dari mulutnya, mata merah, muka biru.
Berlangsung sekitar 1 menit.
4. Tingkat coma
Setelah kejang kronis pasien akan coma. Lamanya beberapa menit sampai berjam-jam. Dan
jika pasien telah sadar kembali maka ia tidak ingat sama sekali apa yang terjadi(amnesi
retrograd). Setelah beberapa waktu, terjadi serangan baru dan kejadian yang dilukiskan di
atas berulang lagi kadang-kadang 10-20 kali.
Sebab kematian eklamsi ialah : oedema paru-paru, apoplexi dan acidosis. Atau pasien mati
setelah beberapa hari karena pneumoni aspirasi, kerusakan hati atau gangguan faal ginjal.
Kadang-kadang terjadi eklamsi tanpa kejang, gejala yang menonjol adalah coma. Eklamsi
semacam ini disebut eclampsi sine eclampsi dan terjadi kerusakan hati yang berat.
Karena kejang merupakan gejala yang khas dari eklamsi maka eclampsi sine eclampsi
sering dimasukkan preeklamsi yang berat. Pada eklamsi tensi biasanya tinggi sekitar
180/110. Nadi kuat dan berisi tapi jika keadaan sudah buruk menjadi kecil dan cepat. Demam
yang tinggi memperburuk prognosa. Demam ini rupa-rupanya cerebral. Pernafasan biasanya
cepat dan tersembunyi, pada eklamsi yang berat ada cyanosis. Protein uri hampir selalu ada
malahan kadang-kadang sangat banyak, juga oedema biasanya ada.
Pada eklamsi antepartum biasanya persalinan mulai setelah beberapa waktu. Tapi kadang-
kadang pasien berangsur baik tidak kejang lagi dan sadar sedangkan kehamilan terus
berlangsung. Eklamsi yang tidak segera disusul dengan persalinan disebut eklamsi
intercurrent. Dianggap bahwa pasien yang sedemikian bukan sembuh tapi jatuh ke yang lebih
ringan ialah dari eklamsi ke dalam keadaan preeklamsi. Jadi kemungkinan eklamsi tetap
mengancam pasien semacam ini sebelum persalinan terjadi.
Setelah persalinan keadaan pasien berangsur baik, kira-kira dalam 12-24 jam. Juga kalau
anak mati di dalam kandungan sering kita lihat bahwa beratnya penyakit berkurang.
Proteinuria hilang dalam 4-5 hari sedangkan tensi normal kembali dalam 2 minggu.
Adakalanya pasien yang telah menderita eklamsi psychotis, biasanya pada hari ke 2 atau ke 3
postpartum dan berlangsung 2-3 minggu. Prognosa umumnya baik. Penyulit lainnya ialah
hemiplegi dan gangguan penglihatan (buta) karena oedema retina

D. Diagnosis dan Diagnosis Banding


Diagnosis
Eklamsia adalah terjadinya kejang pada seorang wanita dengan preeklamsi yang tidak dapat
disebabkan oleh hal lain. Kejang bersifat grand mal dan mungkin timbul sebelum, selama, atau
setelah persalinan. Namun kejang yang timbul lebih dari 48 jam postpartum, terutama pada
nulipara, dapat dijumpai sampai 10 hari postpartum (Brown dkk., 1987;Lubarsky dkk ., 1994).
Eklamsia secara umum dapat dicegah dan penyakit ini sudah jarang dijumpai di Amerika Serikat
karena sebagian besar wanita sekarang sudah mendapat asuhan prenatal yang memadai. Penyulit
utamanya adalah solusio plasenta, deficit neurologis, pneumonia aspirasi, edema paru, henti
kardiopulmonal / cardiopulmonary arrest, gagal ginjal akut, dan kematian ibu.

Diagnosis Banding
Umumnya eklamsia lebih besar kemungkinannya terlalu sering di diagnosis (overdiagnosis)
daripada kurang terdiagnosis (underdiagnosis) karena epilepsy, ensefalitis, meningitis, tumor
serebri, sistiserkosis dan rupture aneurisma serebri pada kehamilan tahap lanjut dan masa nifas
dapat menyerupai eklamsia. Namun, sampai kausa-kausa lain ini disingkirkan, semua wanita
hamil dengan kejang dianggap menderita eklamsia.
Walaupun demikian, eklampsia harus dibedakan dari (1) epilepsi; dalam anamnesis diketahui
adanya serangan sebelum hamil atau pada hamil-muda dan tanda pre-eklampsia tidak ada; (2)
kejangan karena obat anestesia; apabila obat anestesia lokal tersuntikkan ke dalam vena, dapat
timbul kejangan; (3) koma karena sebab lain, seperti diabetes, perdarahan otak, meningitis,
ensefalitis, dan lain-lain.
E. Manajemen
Pritchard (1955) memulai standardisasi rejimen terapi eklampsia di Parkland Hospital dan
rejimen ini sampai sekarang masih digunakan. Pada tahun 1984 Pritchard dkk melaporkan hasil
penelitiannya dengan rejimen terapi eklampsia pada 245 kasus eklampsia. Prinsip prinsip dasar
pengelolaan eklampsia adalah sebagai berikut :
1. Terapi suportif untuk stabilisasi pada penderita
2. Selalu diingat mengatasi masalah masalah Airway, Breathing, Circulation
3. Kontrol kejang dengan pemberian loading dose MgSO4 intravena, selanjutnya dapat
diikuti dengan pemberian MgSO4 per infus atau MgSO4 intramuskuler secara loading
dose didikuti MgSO4 intramuskuler secara periodik.
4. Pemberian obat antihipertensi secara intermiten intra vena atau oral untuk menurunkan
tekanan darah, saat tekanan darah diastolik dianggap berbahaya. Batasan yang digunakan
para ahli berbeda beda, ada yang mengatakan 100 mmHg, 105 mmHg dan beberapa
ahli mengatakan 110 mmHg.
5. Koreksi hipoksemia dan asidosis
6. Hindari penggunaan diuretik dan batasi pemberian cairan intra vena kecuali pada kasus
kehilangan cairan yang berat seperti muntah ataupun diare yang berlebihan. Hindari
penggunaan cairan hiperosmotik.
7. Terminasi kehamilan
Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI telah membuat pedoman pengelolaan
eklampsia yang terdapat dalam Pedoman Pengelolaan Hipertensi Dalam Kehamilan di
Indonesia, berikut ini kami kutipkan pedoman tersebut.
a). Pengobatan Medisinal
1. MgSO4 :
Initial dose :
- Loading dose : 4 gr MgSO4 20% IV (4-5 menit)
Bila kejang berulang diberikan MgSO4 20 % 2 gr IV, diberikan sekurang - kurangnya 20
menit setelah pemberian terakhir. Bila setelah diberikan dosis tambahan masih tetap kejang
dapat diberikan Sodium Amobarbital 3-5 mg/ kg BB IV perlahan-lahan.
- Maintenace dose : MgSO4 1 g / jam intra vena
2. Antihipertensi diberikan jika tekanan darah diastolik > 110 mmHg. Dapat diberikan
nifedipin sublingual 10 mg. Setelah 1 jam, jika tekanan darah masih tinggi dapat
diberikan nifedipin ulangan 5-10 mg sublingual atau oral dengan interval 1 jam, 2 jam
atau 3 jam sesuai kebutuhan. Penurunan tekanan darah tidak boleh terlalu agresif.
Tekanan darah diastolik jangan kurang dari 90 mmHg, penurunan tekanan darah
maksimal 30%. Penggunaan nifedipine sangat dianjurkan karena harganya murah, mudah
didapat dan mudah pengaturan dosisnya dengan efektifitas yang cukup baik.
3. Infus Ringer Asetat atau Ringer Laktat. Jumlah cairan dalam 24 jam sekitar 2000 ml,
berpedoman kepada diuresis, insensible water loss dan CVP .
4. Perawatan pada serangan kejang :
a) Dirawat di kamar isolasi yang cukup tenang.
b) Masukkan sudip lidah ( tong spatel ) kedalam mulut penderita.
c) Kepala direndahkan , lendir diisap dari daerah orofarynx.
d) Fiksasi badan pada tempat tidur harus aman namun cukup longgar guna menghindari
fraktur.
e) Pemberian oksigen.
f) Dipasang kateter menetap ( foley kateter ).

5. Perawatan pada penderita koma : Monitoring kesadaran dan dalamnya koma memakai
Glasgow Pittsburg Coma Scale .
Perlu diperhatikan pencegahan dekubitus dan makanan penderita. Pada koma yang lama
( > 24 jam ), makanan melalui hidung ( NGT = Naso Gastric Tube : Neus Sonde
Voeding ).
6. Diuretikum tidak diberikan kecuali jika ada :
- Edema paru
- Gagal jantung kongestif
- Edema anasarka
7. Kardiotonikum ( cedilanid ) jika ada indikasi.
8. Tidak ada respon terhadap penanganan konservatif pertimbangkan seksio sesarea.
Catatan:
Syarat pemberian Magnesium Sulfat:

Harus tersedia antidotum Magnesium Sulfat yaitu Kalsium Glukonas 10%, diberikan iv
secara perlahan, apabila terdapat tanda tanda intoksikasi MgSO4.
Refleks patella (+)
Frekuensi pernafasan > 16 kali / menit.
Produksi urin > 100 cc dalam 4 jam sebelumnya ( 0,5 cc/ kg BB/ jam ). Pemberian
Magnesium Sulfat sampai 20 gr tidak perlu mempertimbangkan diurese

b). Pengobatan Obstetrik :


1. Semua kehamilan dengan eklamsia harus diakhiri tanpa memandang umur kehamilan dan
keadaan janin.
2. Terminasi kehamilan
Sikap dasar : bila sudah stabilisasi ( pemulihan ) hemodinamika dan metabolisme ibu,
yaitu 4-8 jam setelah salah satu atau lebih keadaan dibawah ini :

Setelah pemberian obat anti kejang terakhir.


Setelah kejang terakhir.
Setelah pemberian obat-obat anti hipertensi terakhir.
Penderita mulai sadar ( responsif dan orientasi ).

3. Bila anak hidup dapat dipertimbangkan bedah Cesar.


c) Perawatan Pasca Persalinan
Bila persalinan terjadi pervaginam, monitoring tanda-tanda vital dilakukan sebagaimana
lazimnya.
Pemeriksaan laboratorium dikerjakan setelah 1 x 24 jam persalinan.
Biasanya perbaikan segera terjadi setelah 24 - 48 jam pasca persalinan.
F. Komplikasi
Komplikasi yang terberat ialah kematian ibu dan janin. Usaha utama ialah melahirkan bayi
hidup dari ibu yang menderita pre-eklampsia dan eklampsia. Komplikasi yang tersebut di
bawah ini biasanya terjadi pada preeklampsia berat dan eklampsia.
1. Solutio Plasenta .Komplikasi ini biasanya terjadi pada ibu yang menderita hipertensi akut
dan lebih sering terjadi pada per-eklampsia.
2. Hipofibrinogenemia. Pada preeklampsia berat Zuspan (1978) menemukan 23%
bipofibrinogenemia, maka dari itu penulis menganjurkan pemeriksaan kadar fibrinogen
secara berkala.
3. Hemolisis. Penderita dengan pre-eklampsia berat kadang-kadang menunjukkan gejala
klinik hemolisis yang dikenal karena ikterus. Belum diketahui dengan pasti apakah ini
merupakan kerusakan sel-sel hati atau destruksi sel darah merah. Nekrosis periportal hati
yang sering ditemukan pada autopsi penderita eklampsia dapat menerangkanikterus
tersebut.
4. Perdarahan otak. Komplikasi ini merupakan penyebab utama kematian maternal
penderita eklampsia.
5. Kelainan mata. Kehilangan penglihatan untuk sementara, yang berlangsung sampai
seminggu, dapat terjadi. Perdarahan kadang-kadang terjadi pada retina; hal ini merupakan
tanda gawat akan terjadinya apopleksia serebri.
6. Edema paru-paru. Zuspan (1978) menemukan hanya satu penderita dari 69 kasus
eklampsia, hal ini disebabkan karena payah jantung.
7. Nekrosis hati. Nekrosis periportal hati pada pre-eklampsia-eklampsia merupakan akibat
vasopasmus arteriol umum. Kelainan ini diduga khas untuk eklampsia, tetapi ternyata
juga ditemukan pada penyakit lain. Kerusakan sel-sel hati dapat diketahui dengan
pemeriksaan faal hati, terutama penentuan enzim-enzimnya.
8. Sindroma HELLP. Yaitu baemolysis, elevated liver enzymes, dan low platelet.
9. Kelainan ginjal. Kelainan ini berupa endoteliosis glomerulus yaitu pembengkakan
sitoplasma sel endotelial tubulus ginjal tanpa kelainan struktur lainnya. Kelainan lain
yang dapat timbul ialah anuria sampai gagal ginjal.
10. Komplikasi lain. Lidah tergigit, trauma dan frakura karena jatuh akibat kejang-kejang
pneumonia aspirasi, dan DIC (disseminated intravascular coogulation)
11. Prematuritas, dismaturitas dan kematian janin intra-uterin.

G. Prognosis
Eklampsia selalu menjadi masalah yang serius, bahkan merupakan salah satu keadaan paling
berbahaya dalam kehamilan. Statistik menunjukkan di Amerika Serikat kematian akibat
eklampsia mempunyai kecenderungan menurun dalam 40 tahun terakhir, dengan persentase
10 % - 15 %. Antara tahun 1991 1997 kira kira 6% dari seluruh kematian ibu di Amerika
Serikat adalah akibat eklampsia, jumlahnya mencapai 207 kematian. Kenyataan ini
mengindikasikan bahwa eklampsia dan pre eklamsia berat harus selalu dianggap sebagai
keadaan yang mengancam jiwa ibu hamil.
H. Pencegahan
Pada umumnya timbulnya eklampsia dapat dicegah, atau frekuensinya dikurangi.
Usaha-usaha untuk menurunkan frekuensi eklampsia terdiri atas :
1. Meningkatkan jumlah balai pemeriksaan antenatal dan mengusahakan agar semua wanita
hamil memeriksakan diri sejak hamil muda.
2. Mencari pada tiap pemeriksaan tanda-tanda pre-eklampsia dan mengobatinya segara
apabila ditemukan.
3. Mengakhiri kehamilan sedapat-dapatnya pada kehamilan 37 minggu ke atas apabila
setelah dirawat tanda-tanda preeklampsia tidak juga dapat dihilangkan.

2. Memahami dan menjelaskan perdarahan antepartum


2.1 Definisi
Perdarahan antepartum menurut WHO adalah perdarahan pervaginam setelah 29 minggu
kehamilan atau lebih. Perdarahan yang terjadi umumnya lebih berbahaya dibandingkan
perdarahan pada umur kehamilan kurang dari 28 minggu karena biasanya disebabkan faktor
plasenta, perdarahan dan plasenta biasanya hebat dan mengganggu sirkulasi O2, CO2 dan nutrisi
dari ibu ke janin.
Perdarahan antepartum sering terjadi pada kehamilan usia muda. Bloody show adalah
konsekuensi dari awal terbentuknya segmen bawah rahim dan dilatasi serviks yang
menyebabkan robeknya pembuluh darah kecil. Perdarahan dalam uterus sering berasal dari sisi
atas serviks. Misalnya pada plasenta previa yang disebabkan abnormalitas lokasi implantasi
plasenta, solusio plasenta yang disebabkan terlepasnya plasenta dari tempat implantasinya yang
normal dalam rahim sebelum waktunya ataupun vasa previa.
Perdarahan antepartum biasanya dibatasi pada perdarahan jalan lahir setelah kehamilan
22 minggu, walaupun patologi yang sama dapat pula terjadi pada kehamilan sebelum 22 minggu.
Perdarahan setelah kehamilan 22 minggu biasanya lebih banyak dan lebih berbahaya daripada
sebelum kehamilan 22 minggu, oleh karena itu perlu diberikan penanganan yang berbeda.
Perdarahan antepartum yang berbahaya umumnya bersumber pada kelainan plasenta,
sedangkan perdarahan yang tidak bersumber pada kelainan plasenta umpamanya kelainan serviks
biasanya tidak seberapa berbahaya. Pada setiap perdarahan antepartum pertama-tama harus
selalu dipikirkan bahwa hal itu bersumber pada kelainan plasenta.
Perdarahan antepartum dapat berasal dari :
A. Kelainan Plasenta
1. Plasenta previa
Plasenta previa adalah keadaan dimana plasenta berimplantasi pada tempat abnormal, yaitu
segmen bawah rahim sehingga menutupi sebagian atau seluruh pembukaan jalan lahir. Pada
keadaan normal plasenta terletak dibagian atas uterus.

Gambar 1. Kelainan Plasenta


2. Solusio plasenta
Solusio plasenta adalah terlepasnya plasenta yang letaknya normal di korpus uteri yang
terjadi setelah kehamilan 20 minggu dan sebelum janin dilahirkan. Yang dapat
termanifestasikan dalam perdarahan pervagina, peningkatan kontraksi uterus dan distres
pada fetus yang dapat berakibat pada kematian ibu dan janin.

Gambar 2. Solusio Plasenta


3. Perdarahan antepartum yang belum jelas sumbernya, mungkin disebabkan : ruptura sinus
marginalis, atau vasa previa.
Vasa previa adalah keadaan dimana pembuluh darah umbilikalis janin berinsersi dengan
vilamentosa yakni pada selaput ketuban.
B. Bukan dari kelaianan plasenta
Misalnya didapatkan kelainan serviks dan vagina, dapat diketahui bila dilakukan
pemeriksaan dengan spekulum yang seksama.
Kelainan yang tampak ialah :
1. Erosio portionis uteri
2. Carcinoma portionis uteri
3. Polypus cervicis uteri, varices vulvae, dan trauma.
Disini penulis hanya akan membahas perdarahan antepartum yang bersumber dari kelainan
plasenta yaitu tentang plasenta previa dan solusio plasenta dan pemeriksaan penunjang
ultrasonography untuk mendukung diagnosa. Perlu diketahui kematian perinatal terbesar
karena perdarahan antepartum adalah solusio plasenta (70%) dan plasenta previa (26,3%).

Gambar 3. Kelainan Letak Plasenta

Keterangan : A. Plasenta Normal : tampak plasenta tidak melekat pada dinding


endometrium
B. Plasenta Previa : tampak plasenta letak di bagian bawah dari
endometrium
C. Plasenta Akreta : tampak dinding endometrium menempel dengan
plasenta
D. Solusio Plasenta : tampak gambar darah berada diantara dinding
endometrium dengan plasenta
2.2 Klasifikasi
2.2.1 Plasenta Previa
Didasarkan atas terabanya jaringan plasenta melalui pembukaan jalan lahir pada waktu
tertentu :
a) Plasenta previa totalis, bila seluruh pembukaan tertutup oleh jaringan plasenta.
Gambar 4. Plasenta previa totalis
b) Plasenta previa lateralis, bila sebagian pembukaan tertutup oleh jaringan plasenta.

Gambar 5. Plasenta previa lateralis


c) Plasenta previa marginalis, bila pinggir plasenta berada tepat pada pinggir
pembukaan.

Gambar 6. Plasenta previa marginalis


d) Plasenta letak rendah bila plasenta yang letaknya abnormal di segmen bawah uterus,
akan tetapi belum sampai menutupi pembukaan jalan lahir. Pinggir plasenta kira-kira
3 atau 4 cm diatas pinggir pembukaan, sehingga tidak akan teraba pada pembukaan
jalan lahir.
A. Letak plasenta normal B. Plasenta letak rendah
Gambar 7. Plasenta letak rendah

2.2.2 Solusio Plasenta


Ada 3 tipe perdarahan pada solusio plasenta, yaitu
1. Perdarahan keluar (External hemorrhage)
Diakibatkan terlepasnya plasenta bagian perifer (tepian) dan membran di antara
plasenta dan kanalis servikalis terlepas dari desidua yang di bawahnya. Sehingga
perdarahan yang terjadi dapat tampak pervaginam. Gejala klinis sesuai dengan jumlah
kehilangan darah, tidak terdapat ketegangan uterus, atau hanya ringan.
2. Perdarahan tersembunyi (Concealed hemorrhage)
Diakibatkan terlepasnya plasenta bagian sentral, sedangkan perdarahan yang terjadi
sifatnya retroplasenta. Gejala yang terjadi, tidak terdapat perdarahan pervaginam,
uterus tegang dan hipertonus, sering terjadi fetal distress berat.
3. Perdarahan kombinasi (Combined hemorrhage)
Terjadi perdarahan baik retroplasental atau pervaginam dan uterus tetanik.
Sedangkan berdasarkan luas terlepasnya plasenta dari uterus, solusio plasenta dapat dibagi
atas :
1. Solusio plasenta totalis
2. Solusio plasenta partialis
Gambar 8. Perdarahan pada solusio plasenta

Gambar 9. Solusio Plasenta Totalis dan Perdarahan tersembunyi (Concealed hemorrhage)


2.3 Etiologi
2.3.1 Plasenta Previa
Beberapa faktor dan etiologi dari plsenta previa tidak diketahui. Tetapi diduga hal
tersebut berhubungan dengan abnormalitas dari vaskularisasi endometrium yang mungkin
disebabkan oleh timbulnya parut akibat trauma operasi/infeksi. Perdarahan berhubungan
dengan adanya perkembangan segmen bawah uterus pada trimester ketiga. Plasenta yang
melekat pada area ini akan rusak akibat ketidakmampuan segmen bawah rahim.
Kemudian perdarahan akan terjadi akibat ketidakmampuan segmen bawah rahim untuk
berkonstruksi secara adekuat.
2.3.2. Solusio Plasenta
Penyebab primer solusio plasenta belum diketahui secara pasti.

2.4 Faktor Risiko


2.4.1 Plasenta Previa
Faktor risiko plasenta previa termasuk :
1. Riwayat plasenta previa sebelumnya
2. Riwayat seksio cesarea
3. Riwayat aborsi
4. Kehamilan ganda
5. Umur ibu yang telah lanjut, wanita lebih dari 35 tahun
6. Multiparitas
7. Adanya gangguan anatomis/tumor pada rahim, sehingga mempersempit permukaan bagi
penempatan plasenta
8. Adanya jaringan rahim pada tempat yang bukan seharusnya. Misalnya dari indung telur
setelah kehamilan sebelumnya atau endometriosis.
9. Adanya trauma selama kehamilan
10. Sosial ekonomi rendah/gizi buruk, patofisologi dimulai dari usia kehamilan 30 minggu
segmen bawah uterus akan terbentuk dan mulai melebar serta menipis
11. Mendapat tindakan kuretase

2.4.2 Solusio Plasenta


Ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya solusio plasenta, antara lain:
a) Usia ibu saat hamil
Dalam sebuah penelitian oleh Cleary dan Goldman (2007), menunjukan data bahwa pada
evaluasi di trimester pertama dan kedua kehamilan terdapat peningkatan insidensi terjadinya
soluiso plasenta sebesar 2-3 kali pada ibu hamil yang berusia 40 tahun dibandingkan usia
35 tahun.
b) Paritas
Sampai saat ini, masih menjadi kontroversi tentang pengaruh multiparitas sebagai faktor
predisposisi terjadinya solusio plasenta. Misalnya pada penelitian yang dilakukan Pritchard
dan Colleagues (1991) melaporkan insidensi terjadinya solusio plasenta lebih tinggi pada
multiparitas, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Toohey dan Associates (1995) tidak
menemukan pengaruh multiparitas dan insidensi terjadinya solusio plasenta.9 Akan tetapi
pada penelitian yang dilakukan oleh Iram Sarwer et al (2003-2004), dilaporkan bahwa
nulipara lebih cenderung terjadinya solusio plasenta dibanding ibu multipara.
Tabel 1 : Presentase Kasus Solusio Plasenta terhadap Paritas dan Umur Kehamilan

Vartables No. Of cases Percentage Mean S.D


Parity Groups
0 06 11.3 3.92
4 26 49.1 2.56
>4 21 39.6

Gestational
Ages (Wks)
28 -32 24 45.3 33.81
33 36 15 28.3 3.64
37 40 14 26.4

Lalu bagaimana dengan hubungan tingkat paritas dan frekuensi terjadinya solusio plasenta
di Indonesia? Pada penelitian yang dilakukan pada RSUD Dr. Moerwadi Surakarta tahun
2001-2003, dilaporkan bahwa tingginya frekuensi solusio plasenta terjadi pada multiparitas
dibanding nulipara.
Tabel 2 : Persentase Kasus Solusio Plasenta terhadap Paritas

Paritas Solusio Plasenta Persalinan Frekuensi (%)


0 4 1682 0,23

13 13 1875 0,69

46 12 1064 1,13

7 3 257 1,18

Jumlah 32 4878 0,65

c) Ras dan faktor keturunan


Pada data yang dilaporkan oleh Pritchard and co-workers (1991) yang diambil dari 170.000
kelahiran di Rumah Sakit Parkland, solusio plasenta sering terjadi pada wanita dengan ras
Afro-Amerika dan Kaukasoid (1 kasus dari 450 kelahiran).
Rasmusen dan Irgens (2009) melaporkan penelitiannya yang dilakukan pada 378.000 wanita
bersaudara dengan lebih dari 767.000 kehamilan, didapatkan data bahwa jika saudara wanita
tersebut memiliki riwayat solusio plasenta pada kehamilannya, maka terdapat peningkatan
risiko terjadinya solusio plasenta sebesar 16%.
d) Hipertensi kronis dan preeklampsia
Hubungan solusio plasenta dan beberapa bentuk hipertensi (hipertensi gestasional,
preeklampsia, hipertensi kronis ataupun kombinasinya), pada penelitian yang dilakukan oleh
Pritchard dan co-workers (1991) di Rumah Sakit Parkland ditemukan dari 408 kasus solusio
plasenta dan kematian janin ternyata 50% kasus tersebut ada hubungan erat dengan riwayat
hipertensi dan 25% diantaranya akibat riwayat hipertensi kronis. Dan diduga hal ini
diakibatkan dari deplesi intravaskular dan pengisian yang tidak adekuat. Hal yang cenderung
sama juga terlihat pada beberapa penelitian lainnya, seperti : Sibai dan co-workers (1998),
Ananth dan associates (2007), Zetterstrom dan colleagues (2005).
e) Riwayat trauma
Pada beberapa kasus trauma abdomen, seperti : kecelakaan kendaraan bermotor dan trauma
fisik lainnya yang berat sering diikuti dengan terlepasnya plasenta dari tempat nidasinya.
Pada penelitian yang dilakukan pada Rumah Sakit Parkland, sekitar 2% penyebab terjadinya
solusio plasenta yang menyebabkan kematian fetus disebabkan oleh trauma kecelakaan di
jalan raya.
f) Merokok
Menurut hasil penelitian yang dilakukan Ananth (1986-1993) didapatkan data bahwa
terdapat peningkatan risiko menjadi 2 kali lipat terjadinya solusio plasenta pada kehamilan
dengan riwayat ibu yang merokok bukan perokok (baik perokok pasif ataupun aktif).Hal
yang sama didapatkan penelitian yang dilakukan oleh Mortensen (2001), Hogberg (2007),
Kaminsky (2007).
g) Kokain
Wanita yang pernah menggunakan kokain memiliki risiko yang tinggi terjadi solusio
plasenta pada kehamilan. Hal ini dapat dibuktikan pada penelitian yang dilakukan oleh
Bingol (1987) dan Addis (2001). Mengapa hal ini dapat terjadi? Karena kokain dapat
menyebabkan peningkatan katekolamin dan hipertensi yang akhirnya akan menyebabkan
vasospasme pembuluh darah uterin sebagai penyebab solusio plasenta.
h) Leiomyomas
Myoma uteri terutama yang berlokasi dibelakang sisi implantasi plasenta cenderung akan
menyebabkan terjadinya solusio plasenta. Rice pada penelitiannya tahun 1989 menemukan 8
dari 14 wanita dengan myoma uteri retroplasenta akan berkembang menjadi solusio plasenta
sedangkan 4 lainnya akan berakhir dengan kejadian 4 bayi lahir mati. Sedangkan hanya 2
dari 79 wanita dengan kasus myoma uteri non retroplasenta yang berkembang menjadi
solusio plasenta.
i) Thrombofilia
Pada dekade yang lalu. Trombofilia yang diturunkan ataupun didapatkan selalu mempunyai
korelasi langsung pada kasus thromboembolik dalam kehamilan yang akhirnya akan
berasosiasi sebagai penyebab terjadinya solusio plasenta dan preeklampsia, hal ini
ditemukan oleh Kenny (2009). Beberapa literatur menulis bahwa mutasi pada faktor V
Leiden, gen prothrombin, hiperhomocysteinemia, activated protein C resistance, defisiensi
antithrombin III dan terdapatnya antibodi anticardiolipin immunoglobin G. Jika pada
antenatal care ditemukan pasien positif terindikasi thrombofilia maka seharusnya pasien
mendapatkan terapi heparin ataupun aspirin dalam kehamilannya.
j) Riwayat solusio plasenta sebelumnya
Seorang wanita yang pernah menderita solusio plasenta terlebih yang menyebabkan
kematian janin memiliki risiko tinggi terjadinya rekurensi. Hal ini ditemukan pada berbagai
sumber dari laporan penelitian yang dilakukan. Pada penelitain yang terakhir oleh Rasmusen
dan Irgens (2009) dengan 767.000 kehamilan peningkatan ratio terjadinya rekurensi hampir
3 kali dengan riwayat solusio plasenta pada kehamilan sebelumnya.

2.5 Patofisiologi
2.5.1 Plasenta Previa
Implantasi plasenta diprakarsai (initiate) oleh embrio (embryonic plate) menempel
diuterus (cauda) bagian bawah. Dengan pertumbuhan dan penambahan plasenta,
perkembangan plasenta dapat menutupi mulut rahim (cervical os). Bagaimanapun juga,
diperkirakan bahwa suatu vaskularisasi decidua (jaringan epitel endometrium) defective
terjadi di atas (over) serviks, mungkin ini sekunder terhadap inflamasi atau perubahan
atrofik. Sebagian plasenta yang sedang mengalami perubahan atrofik dapat berlanjut
sebagai vasa previa.

Sebagai penyebab penting perdarahan pada trimester ketiga, plasenta previa memberikan
gambaran sebagai perdarahan tanpa disetai rasa nyeri (painless bleeding). Perdarahan ini
dipercaya memiliki hubungan dengan perkembangan segmen bawah rahim (the lower
uterine segmen) pada trimester ketiga. Tambahan (attachment) plasenta terganggu
(distrupted) karena daerah ini (segmen bawah rahim) menipis secara bertahap dalam
rangka persiapan untuk permulaan kelahiran (the onset of labor). Saat ini berlangsung,
maka perdarahan terjadi pada daerah implantasi/nidasi darah dari pembuluh darah yang
terbuka. Thrombin yang dilepaskan dari area perdarahan memacu (promotes) kontraksi
uterus dan timbulnya lingkaran setan (vicious cycle) : perdarahan-kontraksi-pemisahan
plasenta-perdarahan.

2.5.2 Solusio Plasenta


Solusio plasenta diawali dengan perdarahan dalam desidua basalis. Decidua yang terobek
melepaskan lapisan tipis yang terpisah dari myometrium. Yang sebagai konsekuensi pada
stage awal akan berkembang pada hematoma desidual, terlepasnya plasenta, terjadi
penekanan dan berakhir pada rusaknya plasenta yang beruntun. Nath dan colleageus
(2007) menemukan secara histologis proses inflamasi pada kasus solusio plasenta
sehingga diduga inflamasi dan infeksi berkontribusi pada kasus solusio plasenta.

Gambar 10. Mekanisme Terjadinya Solusio Plasenta


Pada stadium awal, mungkin saja tidak ditemukan gejala dan separasi dapat ditemukan
ketika dilakukan pemeriksaan pada plasenta akibat penekanan pada permukaan maternal
plasenta. Yang dapat tergambar sebagai daerah berwarna gelap yang terbentuk dari darah
yang beku dengan diameter beberapa centimeter pada permukaan plasenta.

Gambar 11. Foto Solusio Plasenta Partialis dengan Gambaran Darah Beku
Perdarahan dapat terjadi dari pembuluh darah plasenta atau uterus yang membentuk
hematoma di desidua sehingga plasenta terdesak dan akhirnya terlepas. Perdarahan
berlangsung terus-menerus karena otot uterus yang telah meregang oleh kehamilan tidak
mampu lebih berkontraksi untuk menghentikan perdarahan. Akibatnya, hematoma
retroplasenter akan bertambah besar, sehingga sebagian dan akhirnya seluruh plasenta
terlepas dari dinding uterus. Sebagian darah akan menyeludup di bawah selaput ketuban
keluar dari vagina, atau menembus selaput ketuban masuk ke dalam kantong ketuban
atau ekstravasasi diantara serabut-serabut otot uterus.Apabila ekstravasasinya
berlangsung hebat sehingga menembus lapisan myometrium bahkan serosa uterus maka
seluruh permukaan uterus akan berbecak biru atau ungu fan terasa sangat tegang serta
nyeri.

Hal ini disebut uterus couvelaire. Yang akhirnya sebagai penyebab terjadinya atonia uteri
dan bukan sebagai indikasi dilakukannya histerektomi.

Gambar 12. Foto Uterus Courvelaire, tampak Uterus Berwarna kebiruan

Nasib janin tergantung dari luasnya plasenta yang terlepas dari dinding uterus. Apabila
sebagian kecil yang terlepas, mungkin tidak berpengaruh sama sekali atau mengakibatkan
gawat janin.
Waktu, sangat menentukan beratnya gangguan pembekuan darah, kelainan ginjal, dan nasib
janin. Makin lama selang waktu solusio plasenta sampai persalinan selesai, umumnya makin
hebat komplikasinya.
2.6 Pemeriksaan fisik dan Pemeriksaan penunjang
2.6.1 Plasenta Previa
1) Anamnesis
Perdarahan jalan lahir pada kehamilan setelah 22 minggu berlangsung tanpa nyeri terutama
pada multigravida, banyaknya perdarahan tidak dapat dinilai dari anamnesis, melainkan dari
pada pemeriksaan hematokrit.
2) Pemeriksaan luar
Bagian bawah janin biasanya belum masuk pintu atas panggul presentasi kepala, biasanya
kepala masih terapung di atas pintu atas panggul mengarah ke samping dan sukar didorong
ke dalam pintu atas panggul.
3) Pemeriksaan inspekulo
Pemeriksaan bertujuan untuk mengetahui apakah perdarahan berasal dari ostium uteri
eksternum atau dari ostium uteri internum, adanya plasenta previa harus dicurigai.
4) Penentuan letak plasenta tidak langsung
Penentuan letak plasenta secara tidak langsung dapat dilakukan radiografi, radioisotope, dan
ultrasonografi. Ultrasonografi penentuan letak plasenta dengan cara ini ternyata sangat tepat,
tidak menimbulkan bahaya radiasi bagi ibu dan janinnya dan tidak menimbulkan rasa nyeri.
Pemeriksaan ultrasonografi, dengan pemeriksaan ini dapat ditentukan implantasi plasenta
atau jarak tepi plasenta terhadap ostium bila jarak tepi 5 cm disebut plasenta letak rendah.
5) Diagnosis plasenta previa secara definitif
Dilakukan dengan PDMO yaitu melakukan perabaan secara langsung melalui pembukaan
serviks pada perdarahan yang sangat banyak dan pada ibu dengan anemia berat, tidak
dianjurkan melakukan PDMO sebagai upaya menentukan diagnosis.
2.6.2 Solusio Plasenta
Untuk mendapatkan diagnosis solusio plasenta secara tepat dan akurat maka perlu dilakukan
pemeriksaan yang komprehensif mulai dari anamnesa sampai pemeriksaan penunjang lainnya.
Dari anamnesa perlu ditanyakan beberapa hal seperti :
1. Identitas Ibu
2. Riwayat obstetri seperti :
a) Usia kehamilan ibu (abortus jika < 20 minggu, perdarahan antepartum > 20 minggu)
b) Perdarahan pervaginam ? (jumlah, intensitas dan frekuensi)
c) Apakah terdapat nyeri suprapubis ?
d) Riwayat obstetri terdahulu ? (jumlah gravida, jenis persalinan dan penyakit lainnya)
e) Tanda-tanda hipovolemia (mual,muntah dan kelemahan)
f) Ada tidaknya gerakan janin dalam kandungan ?
g) Urinaria
h) Riwayat hipertensi dan penggunaan obat-obatan (sebelum dan selama kehamilan)
i) Riwayat merokok
j) Riwayat trauma dan persalinan terdahulu ?

Pemeriksaan fisik :
a) Suatu generalis :
Menyangkut tanda-tanda vital seperti; tekanan darah (hipertensi), nadi (takikardi) dan
respirasi juga katerisasi urine (volume dan warna).
b) Status obstetrik :
Pada pemeriksaan luar seperti tinggi fundus uteri (cenderung lebih tinggi daripada usia
kehamilan yang dapat menunjukan adanya perdarahan retroplasenta), konsistensi dinding
perut yang meningkat disertai adanya nyeri, kesulitan melakukan palpasi untuk
menentukan bagian janin akibat kontraksi uterus, bunyi jantung anak (yang menunjukkan
kesajahteraan janin dalam uterus). Sedangkan pada pemeriksaan pervaginal seperti
inspekulo dan pemeriksan dalam bertujuan untuk melihat apakah perdarahan berasal dari
ostium uteri eksternum atau dari kelainan serviks dan vagina seperti erosi porsio uteri,
kanker serviks, varises vulva dan trauma. Apabila terdapat perdarahan yang berasal dari
ostium uteri eksternum, adanya plasenta previa dan solusio plasenta harus dicurigai. Akan
tetapi pemeriksaan pervaginal ini harus dilalukan fasilitas seksio caesarea kamar operasi.

Pemeriksaan penunjang :
a) Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium secara definitif bukan untuk mendiagnosis kasus solusio
plasenta, akan tetapi berbagai rangkaian pemeriksaan laboratorium yang dilakukan dalam
rangka manajemen terapi pada kasus solusio plasenta.
1) Pemeriksaan darah rutin (complete blood cell count)
Sangat membantu dalam menentukan status hemodinamik pasien dan nilainya tidak
terbukti dalam memperkirakan volume darah yang hilang secara akut.
Ketika terjadi perdarahan akut, penurunan nilai hematokrit terjadi beberapa jam
setelah terjadinya perdarahan akan tetapi hasilnya dapat kabur saat terjadi pemberian
cairan kristaloid dalam rangka resusitasi.
2) Pemeriksaan kadar fibrinogen
Pada saat kehamilan sangat berhubungan dengan keadaan hipofibronogenemia. Oleh
karena itu tertekannya level fibrinogen dapat menunjukkan adanya masalah
koagulasi darah. Jika level fibrinogen < 200 mg/dl, maka dapat diduga pada pasien
tersebut terjadi solusio yang berat. Tujuan manajemen terapi adalah 100 mg/dl
yang dapat dicapai dengan transfusi fresh frozen plasma atau cryoprecipitate ataupun
transfusi darah segar.
3) Prothrombin Time/Activated Partial Thromboplastin Time (PTT/APTT)
Sekitar 20% wanita dengan Disseminated Intra Coagulopaty (DIC) akan memiliki
kecenderungan terjadinya solusio plasenta yang berat saat kehamilannya.
Dan pada kasus solusio plasenta yang selalu akan ditangani dengan seksio caesarea
maka pemeriksaan PTT/APTT sangat diperlukan.
4) Blood urea nitrogen/serum kreatinin
Pada kondisi hipovolemik akibat perdarahan yang masif pada solusio plasenta, tidak
jarang akan berimbas pada terjadinya komplikasi gagal ginjal akut. Kondisi ini dapat
dicegah dengan resusitasi cairan yang tepat waktu dan adekuat agar perfusi darah
pada ginjal tetap berlangsung sebagaimana mestinya.
5) Kleihauer-Betke test
Untuk menemukan adanya sel darah merah fetus yang beredar pada sirkulasi darah
maternal pada kasus solusio plasenta, terutama pada wanita dengan Rhesus negatif.
6) Golongan darah
Perlu dilakukan pemeriksaan ini setidaknya agar ketika diperlukan saat akan
dilakukan trasnfusi.
7) Rhesus darah
Wanita dengan rhesus darah negatif memerlikan Rh imunoglobulin untuk mencegah
isoimunisasi yang akan berdampak pada kehamilannya.
8) Pengelolaan thrombofilia, mencakup pemeriksaan :
Mutasi faktor v leiden, mutasi gen prothrombin (a20210), defisiensi antithrombin III,
protein c dan defisiensi protein s, level homocysteine puasa, antibodi anticardiolipin
antibodies, activated protein c resistance.

b) Ultrasonografi
Ultrasonosgrafi adalah pemeriksaan khusus yang digunakan dalam menimaginasikan
perdarahan dalam kehamilan dengan tingkat sensitivitas dan spesifitas yang tinggi.
Solusio plasenta terlihat sebagai perdarahan retroplasenta pada gambaran ultrasound,
akan tetapi tidak semua tipe solusio plasenta dapat terdeteksi. Pada fase akut, perdarahan
akan tampak secara umum sebagai gambaran hiperechoic atau bahkan isoechoic seperti
gambaran plasenta normal. Ultrasonografi dapat membantu menyingkirkan penyebab lain
pada perdarahan retroplasenta trimester ketiga. Pada perdarahan akut solusio plasenta
seperti perdarahan retroplasenta gambaran hiperechoic akan berubah menjadi isoechoic
dan kemudian akan menjadi hipoechoic dalam 1 minggu.

Gambar 13. Gambaran ultrasonografi solusio plasenta retroplasenta


Gambar 14. Gambaran ultrasonografi solusio plasenta retroplasenta
Berdasarkan jumlah perdarahan yang terjadi maka solusio plasenta dapat dibedakan
menjadi :
a) Solusio plasenta ringan
Jika kehilangan darah sekitar 10-15% volume darah atau < 1000 cc darah dan
tekanan darah > 100/60, kesadaran baik akan tetapi mungkin terdapat postural
hipotensi.
b) Solusio plasenta moderat
Jika kehilangan darah sekitar 15-30% volume darah atau sekitar 1000-1500 cc darah
dan tekanan darah pada rentang nilai > 80/40 dan < 100/60, nadi > 120x/menit,
pasien akan tampak lemah dan merasa kehausan.
c) Solusio plasenta mayor
Jika kehilangan sekitar 30-40% volume darah atau sekitar 1500-2000 cc darah dan
tekanan darah < 60/0, nadi > 120x/menit, pasien akan tampak pucat, sesak,
penurunan kesadaran bahkan koma, oligouria.
d) Solusio plasenta berat
Jika kehilangan > 40% volume darah atau > 2000 cc darah, tekanan darah dan nadi
tidak dapat terukur, koma dan anuria.

2.7 Diagnosis dan Diagnosis Banding


Tabel 3. diferensiasi perdarahan antepartum

Klinis Solusio plasenta Plasenta previa Ruptura uteri


Onset kejadian Sewaktu hamil dan Sewaktu hamil Inpartu
inpartu
Cara mulainya Tiba-tiba Perlahan Tiba-tiba
Tipe perdarahan Non recurren Recurren Bergantung pada
pembuluh darah
yang pecah
Warna darah Darah beku+segar Darah segar Darah segar
Anemia Tak sebanding Sesuai dengan Perdarahan keluar
dengan darah yang darah yang keluar dan di dalam
keluar
Toxemia Bisa ada - -
gravidarum
Nyeri perut Ada Tidak ada (+) di segmen bawah
rahim
Palpasi Uterus in-bois bagian Biasa dan floating Defans muskular,
anak sulit ditentukan meteoritis
His Kuat Biasa Hilang
Bunyi jantung - + -
anak
Periksa dalam Ketuban tegang, Jaringan plasenta Robekan
menonjol
Plasenta Tipis, cekung Selaput robek pada Biasa
pinggiran

2.8 Penatalaksanaan
2.8.1 Plasenta Previa
1. Terapi Ekspektatif
a) Tujuan supaya janin tidak lahir premature, penderita dirawat tanpa melakukan
pemeriksaan dalam melalui kanalis servisis. Syarat-syarat terapi ekspektatif :
- Kehamilan preterm dengan perdarahan sedikit yang kemudian berhenti
- Belum ada tanda-tanda inpartu
- Keadaan umum ibu cukup baik
- Janin masih hidup
b) Rawat inap, tirah baring dan berikan antibiotik profilaksis.
c) Lakukan pemeriksaan USG untuk mengetahui implantasi plasenta
d) Berikan tokolitik bila ada kontraksi :
- MgSO4 i.v dosis awal tunggal dilanjutkan 4 gram setiap 6 jam
- Nifedipin 3 x 20 mg perhari
- Dexamethason 24 mg i.v dosis tunggal untuk pematangan paru janin.
e) Pada terapi ekspektatif kita rawat pasien di Rumah Sakit sampai berat anak 2500
gram atau kehamilan sudah sampai 37 minggu. Kalau kehamilan 37 minggu telah
tercapai kehamilan diakhiri.
2. Terapi Aktif (Tindakan segera)
Wanita hamil diatas 22 minggu dengan perdarahan pervagina yang aktif dan banyak, harus
segera ditatalaksanakan secara aktif tanpa memandang maturitas janin.
Lakukan PDMO jika :
- Infus I transfusi telah terpasang
- Kehamilan > 37 minggu (berat badan > 2500 gram) dan inpartu
- Janin telah meninggal atau terdapat anomali kongenital mayor, seperti anesefali.
- Perdarahan dengan bagian terbawah janin telah jauh melewati pintu atas panggul (2/5
atau 3/5 pada palpasi luar).
3. Cara menyelesaikan persalinan dengan plasenta previa seksio caesarea
- Prinsip utama adalah menyelamatkan ibu, walaupun janin meninggal atau tidak punya
harapan untuk hidup, tindakan ini tetap dilakukan.
- Tujuan seksio caesarea : persalinan dengan segera sehingga uterus segera berkontraksi
dan menghentikan pendarahan, menghindarkan kemungkinan terjadi robekan pada
serviks, jika janin dilahirkan pervagina.
- Siapkan darah pengganti untuk stabilisasi dan pemulihan kondisi ibu.5
4. Perawatan post operasi seksio caesarea
- Analgesia
Wanita dengan ukuran tubuh rata-rata dapat disuntik 75 mg Meperidin (intramuskuler)
setiap 3 jam sekali, bila diperlukan untuk mengatasi rasa sakit atau dapat disuntikan
dengan cara serupa 10 mg morfin.
Wanita dengan ukuran tubuh kecil, dosis Meperidin yang diberikan adalah 50 mg.
Wanita dengan ukuran besar, dosis yang lebih tepat adalah 100 mg Meperidin
Obat-obatan antiemetik, misalnya protasin 25 mg biasanya diberikan bersama-sama
dengan pemberian preparat narkotik
- Tanda-tanda vital
Tanda-tanda vital harus diperiksa 4 jam sekali, perhatikan tekanan darah, nadi jumlah
urin serta jumlah darah yang hilang dan keadaan fundus harus diperiksa.
- Terapi cairan dan diet
Untuk pedoman umum, pemberian 3 liter larutan RL terbukti sudah cukup selama
pembedahan dan dalam 24 jam pertama berikutnya, meskipun demikian jika output
urin jauh dibawah 30 ml/jam, pasien harus segera dievaluasi kembali paling lambat
pada hari kedua.
- Vesika urinarius dan usus
Kateter dapat dilepaskan setelah 12 jam, post operasi atau pada keesokan paginya
setelah operasi. Biasanya bising usus belum terdengar pada hari pertama setelah
pembedahan, pada hari kedua bising usus masih lemah, dan usus baru aktif kembali
pada hari ketiga.
- Ambulasi
Pada hari pertama setelah pembedahan, pasien dengan bantuan perawatan dapat
bangun dari tempat sebentar, sekurang-kurang 2 kali pada hari kedua pasien dapat
berjalan dengan pertolongan.
- Perawatan luka
Luka insisi diinspeksi setiap hari, sehingga pembalut luka yang alternatif ringan tanpa
banyak plester sangat menguntungkan, secara normal jahitan kulit dapat diangkat
setelah hari keempat setelah pembedahan. Paling lambat hari ketiga post partum,
pasien dapat mandi tanpa membahayakan luka insisi.
- Laboratorium
Secara rutin hematokrit diukur pada pagi setelah operasi hematokrit tersebut harus
segera dicek kembali bila terdapat kehilangan darah yang tidak biasa atau keadaan lain
yang menunjukan hipovolemia.
- Perawatan payudara
Pemberian ASI dapat dimulai pada hari post operasi jika ibu memutuskan tidak
menyusui, pemasangan pembalut payudara yang mengencangkan payudara tanpa
banyak menimbulkan kompresi, biasanya mengurangi rasa nyeri.
- Memulangkan pasien dari Rumah Sakit
Seorang pasien yang baru melahirkan mungkin lebih aman bila diperbolehkan pulang
dari rumah sakit pada hari keempat dan kelima post operasi, aktivitas ibu seminggunya
harus dibatasi hanya untuk perawatan bayinya dengan bantuan orang lain.9
2.8.2 Solusio Plasenta
Penatalaksanaan pengelolaan solusio plasenta harus didasarkan pada kondisi ibu (keparahan
perdarahan) dan kondisi janin (hidup, mati, umur kehamilan).
Penanganan solusio plasenta secara umum :
1. Pemberian darah yang cukup
2. Pemberian O2
3. Pemberian antibiotik
4. Pada syok yang berat diberikan kortikosteroid dosis tinggi untuk mencegah terjadinya
perdarahan yang semakin hebat. Mekanisme kerjanya yaitu dengan cara memperbaiki
perfusi jaringan, memperkuat dinding sel, memperkuat integritas sel endotel, stabilitas
membran lisosom dan menurunkan resistensi perifer.

A. Perdarahan masif
1. Evakuasi pasien ke rumah sakit untuk dilakukan tindakan resusitasi.
Jaga agar hemtokrit darah sekitar 30% dan keluaran urin sekitar 60 ml/jam dan cek
kadar hemoglobin tiap 4 jam.
2. Lakukan transfusi fresh frozen plasma atau darah segar.
3. Lakukan terminasi kehamilan baik persalinan pervaginal jika dilatasi serviks sudah
lengkap ataupun dengan seksio caesarea.
4. Jika terjadi perdarahan postpartum pasca terminasi kehamilan yang menyebabkan
atonia uteri dan tidak dapat teratasi, maka histerektomi adalah langkah yang harus
diambil untuk menyelamatkan nyawa ibu.

B. Perdarahan sedikit
Tindakan yang dilakukan sangat dipengaruhi dari status fetus dalam kandungan apakah
prematur, imatur ataupun sudah mati.
1. Penatalaksanaan ekspektatif
Dilakukan jika umur kehamilan < 36 minggu dan janin masih hidup serta tidak adanya
perdarahan yang hebat yang menyebabkan syok hipovolemia pada ibu.
Hal ini dilakukan dengan harapan janin dapat seviable mungkin bila dilahirkan
nantinya. Observasi yang ketat terutama kondisi ibu (tekanan darah, nadi, kadar
hemoglobin dan urinaria) dan kondisi janin menggunakan cardiotocografi (CTG).
2. Penatalaksanaan aktif
Adakah sebuah tindakan terminasi kehamilan pada kondisi janin yang matur ataupun
terjadi fetal distres.

Hal-hal yang dilakukan dalam penatalaksanaan terapi diantaranya adalah :


a. Mengkoreksi keadaan umum pasien dengan tindakan resusitasi untuk mencegah agar
pasien tidak jatuh dalam kondisi syok.
b. Segera lakukan persalinan
1) Persalinan pervaginal
Persalinan pervaginal dengan solusio plasenta pada bayi hidup dapat dilakukan
dengan syarat perdarahan yang terjadi jumlahnya sedikit, multipara, serviks lunak
dan pembukaan telah lengkap, presentasi kepala dan tidak didapatkannya
disproporsi kepala bayi dan panggul ibu. Akan tetapi jika terjadi separasi plasenta
yang berat sehingga fetus didalamnya mati, persalinan pervaginal lebih dipilih.
Saat dilakukan persalinan pervaginal, dilakukan amniotomi dan stimulasi
kontraksi myometrium dengan pemberian oksitosin secara intravena dengan
melakukan monitor pada tekanan darah, urinaria dan status koagulatif darah ibu.
Akan tetapi persalinan pervaginal tidak dapat dilakukan jika terjadi perdarahan
hebat tanpa diikuti pergantian darah yang cepat untuk menghindari komplikasi
pada ibu sehingga persalinan harus dilakukan secara seksio caesarea darurat.
2) Seksio caesarea
Seksio caesarea dipilih sebagai teknik persalinan pada pasien dengan solusio
plasenta dan terjadi fetus distres. Kayani (2003) meneliti tentang kecepatan
persalinan dan outcome neonatal pada 33 ibu dengan solusio plasenta dan kondisi
fetal distres, didapatkan 22 bayi yang dilahirkan tidak memiliki masalah
neurologis, 11 bayi akan mati ataupun hidup dengan kondisi cerebral palsy.

Gambar 15. Skema tatalaksana persalinan pada solusio plasenta


2.9 Komplikasi
2.9.1 Plasenta Previa

1. Pada ibu dapat terjadi perdarahan hingga syok akibat perdarahan, anemia karena perdarahan
plasentitis, dan endometritis pasca persalinan.
2. Pada janin biasanya terjadi persalinan premature dan komplikasi seperti Asfiksia berat.
2.9.2 Solusio Plasenta
Komplikasi akibat solusio plasenta dapat terjadi pada ibu dan janin.
1. Komplikasi pada ibu, antara lain :
a) Syok
Pada kasus solusio plasenta tipe external hemorrhagic maka syok yang terjadi adalah
syok hipovolemi, sedangakan solusio plasenta tipe Concealed (perdarahan
tersembunyi) maka syok yang terjadi adalah syok neurogenik akibat nyeri yang ada.
b) Terjadinya gangguan pembekuan darah (koagulopati) akibat turunnya kadar
fibrinogen.
Kelainan pembekuan darah pada solusio plasenta biasanya disebabkan oleh
hipofibrinogen. Dari penelitian yang dilakukan oleh Wirjohadiwardojo di RSUPNCM
dilaporkan kelainan pembekuan darah terjadi pada 46% dari 134 kasus solusio
plasenta yang diteliti.
Kadar fibrinogen plasma normal pada wanita hamil cukup bulan ialah 450 mg%
berkisar antara 300-700 mg%. Apabila kadar fibrinogen plasma kurang dari 100 mg%
maka akan terjadi gangguan pembekuan darah.
Mekanisme gangguan pembuluh darah terjadi melalui dua fase :
Fase I
Pada pembuluh darah terminal (arteriole, kapiler, venule) terjadi pembekuan dara,
disebut disseminated intravasculer clotting (DIC). Akibatnya ialah peredaran
darah kapiler (mikrosirkulasi) terganggu. Jadi pada fase I, turunnya kadar
fibrinogen disebabkan karena pemakaian zat tersebut, maka fase I disebut juga
coagulopathi consumptive. Diduga bahwa hematom subkhorionik mengeluarkan
tromboplastin yang menyebabkan pembekuan intravaskuler tersebut. Akibat
gangguan mikrosirkulasi dapat mengakibatkan syok, kerusakan jaringan pada alat-
alat yang penting karena hipoksia dan kerusakan ginjal yang menyebabkan
oliguria/anuria.
Fase II
Fase ini sebetulnya fase regulasi reparatif, yaitu usaha tubuh untuk membuka
kembali peredaran darah kapiler yang tersumbat. Usaha ini dilaksanakan dengan
fibrinolisis. Fibrinolisis yang berlebihan malah berakibat lebih menurunkan lagi
kadar fibrinogen sehingga perdarahan patologis. Kecurigaan akan adanya kelainan
pembekuan darah harus dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium, namun di
klinik pengamatan pembekuan darah merupakan cara pemeriksaan yang terbaik
karena pemeriksaan laboratorium lainnya memerlukan waktu terlalu lama,
sehingga hasilnya tidak mencerminkan keadaan penderita saat itu.
c) Kerusakan jaringan pada organ vital
Kejadian gagal ginjal akut sering terjadi akibat perdarahan masif yang terjadi pada
solusio plasenta yang tidak mendapatkan resusitasi cairan dan darah yang adekuat
untuk mengatasi kondisi hipovolemia yang terjadi.
Kerusakan kelenjar hipofisis anterior akan menyebabkan sindroma Sheehan yang
mengakibatkan kegagalan laktasi dan amenorhea sekunder serta gangguan sistem
reproduksi.
d) Atonia uteri post partum
Terjadi akibat anemia yang terjadi, gangguan koagulopati dan overdistensi uterus serta
Couvelaire uterus.

2. Komplikasi pada janin, antara lain :


a) Tingginya angka kematian perinatal
b) Gangguan pertumbuhan pada bayi
c) Tingginya asfiksia neonatal
d) Prematuritas bayi
e) Anemia pada neonatal.

2.10. Prognosis
2.3.1 Plasenta Previa
Ibu
Dengan adanya fasilitas diagnosa dini (USG), transfusi darah, teknik anestesi dan operasi
yang baik dengan indikasi SC yang lebih liberal, prognosis ibu cukup baik. Prognosis
kurang baik jika penolong melakukan VT di luar Rumah Sakit dan mengirim pasien sangat
terlambat dan tanpa infus.
Janin
Kematian janin umumnya disebabkan prematuritas.

2.3.2 Solusio Plasenta


Ibu
Tergantung dari luasnya plasenta yang terlepas dari dinding uterus, banyaknya perdarahan,
derajat koagulasi, adanya hipertensi menahun atau preeklampsia, tersembunyi tidaknya
perdarahannya, dan jarak waktu antara terjadinya solusio plasenta sampai pengosongan
uterus. Angka kematian ibu 0,5%-5% di seluruh dunia. Kebanyakan karena perdarahan
(segera atau lambat) atau gagal jantung atau ginjal
Janin
Pada solusio plasenta berat sekitar 50%-80% mengalami kematian. 15% sudah tidak
terdengar denyut jantung janin saat tiba di Rumah Sakit, dan 50% dalam kondisi gawat
janin. Pada solusio plasenta ringan dan sedang kematian janin tergantung dari luas plasenta
yang terlepas dan usia kehamilan.
DAFTAR PUSTAKA
Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, Spong CY. Obstetri William edisi 23. Pendit BU,
Setia R, editors. Jakarta: EGC; 2013.

http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/137/jtptunimus-gdl-prasintade-6825-3-babii.pdf

Prawirodihardjo, S . 2009. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/37235/4/Chapter%20I.pdf

Scott, James. Danforth, Buku Saku Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: Widya Medika. Hlm: 202-213.

Wylie, Linda, 2010. Manajemen Kebidanan: Gangguan Medis Kehamilan dan Persalinan. Jakarta: EGC.
Hlm:13-41.

Anda mungkin juga menyukai