Anda di halaman 1dari 23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Pustaka

1. Brotowali ( Tinospora crispa, L.)

a. Biologi Brotowali

Brotowali merupakan jenist umbuhan yang mudah ditemukan dan mudah dalam

perawatan penanamannya, tumbuh secara liar di hutan, ladang atau ditanam di halaman

dekat pagar sebagai tumbuhan obat. Tanaman ini menyukai tempat terbuka yang terkena

sinar matahari. (Setiawan, 2008:11).

Brotowali merupakan tumbuhan merambat dengan panjang mencapai 2,5 meter

atau lebih. Brotowali tumbuh baik di hutan terbuka atau semak belukar di daerahtropis.

Brotowali menyebar merata hampir di seluruh wilayah Indonesia dan beberapa Negara

lain di Asia tenggara dan India. (Supriadi, 2001:10).

Batang Brotowali hanya sebesar jari kelingking, berbintil- binti lrapat dan rasanya

pahit. Daun Brotowali merupakan dan tunggal, tersebar, berbentuk jantung dengan ujung

runcing, tepi daun rata, pangkalnya berlekuk, memiliki panjang 7-12 cm dan lebar 7-11

cm. Tangkai daun menebal pada pangkal dan ujung, pertulangandaunmenjari dan

berwarna hijau (Supriadi, 2001:10). Bunga majemuk berbentuk tandan, terletak pada

batang kelopaktiga. Memiliki enam mahkota, berbentuk benang berwarna hijau.Benang

sari berjumlahe nam, tangkai berwarna hijau muda dengan kepala sari kuning.Buah

Brotowali keras seperti batu, berwarna hijau (Supriadi, 2001: 10).

Gambar1.Brotowali (Tinosporacrispa, L.)( Dokumentasi penelitian, 2012)


b. Klasifikasi

Brotowali mempunyai kedudukan klasifikasi sebagai berikut:

Divisi : Spermatophyta

Sub Divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledonea

Bangsa : Ranunculales

Suku : Menispermaceae

Marga : Tinospora

Jenis : (Tinospora crispa, L)

(SridanJhony, 1991: 574)

c. Kandungan Kimia

Brotowali mengandung damar lunak, pati, glikosida, pikroretosid, zat pahit

pikroretin, harsa, alkaloid berberin dan palmatin. Bagian akarnya mengandung alkaloid

berberin dan kolumbin (Setiawan, 2008:11).

Daun dan batang Tinospora mengandung alkaloid, saponin, dan tanin. Sedangkan

batangnya mengandung flavanoid. (Sri dan Jhony, 1991:569). Beberapa jenis senyawa

kimia yang dikandung Brotowali antara lain : alkaloida, dammar lunak, pati, glikosida,

zat pahit, pikroretin, harsa, barberin, palmatin, kolumbin, dan jatrorhize (Supriadi,

2001:10). Studi pustaka terhadap kandungan kimia jenis- jenis tumbuhan dari keluarga

Menispermaceae menunjukkan adanya beberapa macam alkaloid, yaitu berberina,

palmatina, kolumbamina, yatrorrhiza. Flavanoidadalah salah satu golongan senyawa

metabolit sekunder yang banyak terdapat pada tumbuh-tumbuhan. Senyawa flavanoid

terbukti mempunyai efek hormonal, khususnya efek estrogenik.

d. Khasiat

Batangnya dimanfaatkan untuk rematik, memar, demam, merangsang, nafsu

makan, sakit kuning, cacingan, dan batuk. Air rebusan daun Brotowali sering

dimanfaatkan untuk mencuci luka pada kulit atau gatal- gatal. Sedangkan rebusan daun

dan batang Brotowali dipergunakan untuk penyakit kencing manis. Seluruh bagian

tanaman ini bisa digunakan untuk mengobati penyakit kolera (Sri dan Jhony, 1991:574).

Zat zat yang tterdapat di dalambatangBrotowali :

1) Flavanoid

Flavanoid merupakan senyawa alam yang mengandung 15 atom karbon sebagai

rangka dasarnya. (William, 1955: 104). Gil, dkk. (2000) dan Juneja, dkk. (2001:95)

dalam Wurlina (2003:90)menyatakan flavanoid termasuk dalam golongan fitoestrogen

yaitu sumber estrogen yang berasal dari tanaman yang merupakan senyawa non steroidal

dan memiliki aktivitas estrogenik

Gambar 2. Struktur kimiaflavanoid(Harborne, 1987: 47)


2) Alkaloid

Alkaloid menurut (Winterstein dan Trier, 1990: 45) didefinisikan sebagai

senyawa senyawa yang bersifat basa, mengandung atom nitrogen berasal dari

tumbuhan dan hewan. Alkaloid merupakan golongan fitoestrogen. Alkaloid memiliki

efek hormonal khususnya efek estrogenik.

Gambar 3. Struktur kimia alkaloid (Harborne, 1987: 53)

3) Saponin

Senyawa saponin merupakan larutan berbuih dan merupakan steroid atau

glikosidatriterpenoid. Efek negatif dari saponin pada reproduksi hewan diketahui

10

sebagai abortivum, menghambat pembentukan zigot dan anti implantasi (de Padua,

1978 dalam Rusmiati, 2010: 34). Saponin bersifat sitotoksik terhadap sel terutama

yang sedang mengalami perkembangan, seperti pada saatoogenesis (Nurhudadkk.,

1995 dalam AnniNurliani, 2007: 57).

Gambar 4. Struktur kimiasaponin(Harborne, 1987: 69)

11

1. Tikus Putih ( Rattus norvegicus, L.)

a. Biologi Tikus Putih

Di Indonesia, binatang percobaan ini sering dinamakan tikus besar, akan tetapi

jika lebih kecil lagi dinamakan mencit sehingga akan membingungkan jika

semuanya dinamakan tikus (Smith& Mangkoewidjojo,1991: 36). Dibandingkan

dengan tikus liar, tikus percobaan lebih cepat dewasa yang tidak ditunjukkan oleh

musim kawin dan seringnya berbiak. Tikus liar dapat hidup sampai 4-5 tahun,

sedangkan tikus percobaan jarang yang lebih dari 3 tahun. Dua karakteristik yang

membedakan tikus putih dengan binatang percobaan yang lain adalah tikus tidak

dapat memuntahkan makanan karena susunan anatomi esophagus yang menyatu di

perut, serta tikus tidak mempunyai kantung empedu (John Smith,1987: 36-37).

Kelebihandari tikus putih sebagai binatang percobaan antara lain bersifat omnnivora

(pemakan segala), mempunyai jaringan yang hampir sama dengan manusia dan

kebutuhan gizinya juga hampir sama dengan manusia. Selain itu dari segi ekonomi

harganya murah, ukurannya kecil dan perkembangannya cepat. Tikuspercobaan

strain wistar yang dikembangkan secara luas sangat mudah menyesuaikan diri

dengan lingkungannya. Makanan tikus juga mempunyai variasi dalam susunannya,

sebagai contoh komposisinya meliputi: protein 20-25 %, karbohidrat 45-50%, serat

5%. Juga harus mengandung vitamin A, vitamin D, alfa tokoferol, asam linoleat,

thiamin, riboflavin, panthothenat, biotin, serta mineral, phospor, magnesium,

potasium, tembaga, iodin, besi dan timah. Setiap hari seekor tikus dewasa

membutuhkan makanan antara 12-20 gr, serta minum air antara 20-45 ml, serta

mineral, besi sebesar 35 mg/kg ( Smith, 1987:41).

12

Data tentang fisiologi tikus putih (Rattus norvegicus, L.) menurut Bivin,

Crawford dan Brewer (1979: 60), Ringler dan Dabch (1979: 70), Carr dan Krantz

(1949: 65), Mitruka dan Rawnsley (1981: 45) dalam John Smith (1987: 37) antara

lain:

Jangka hidup : 2-3 tahun, ada yang dapat hidup

selama 4 tahun

Produksi ekonomi : 1 tahun

Kehamilan : 20-22 hari

Umur saat disapih : 21 hari

Umur ketika dewasa : 40-60 hari

Berat lahir : 5-6 gram

Volume darah : 57-70 ml/gr

Sel darah merah : 7,2-9,6 x 106/mm3

Sel darah putih : 5,0-13,0 x 106/mm3

Trombosit : 150-460 x 103/mm3

Tikus putih jenis (Rattus norvegicus, L.) sejak dulu sudah sering digunakan

sebagai hewan uji laboratorium karena anatomi fisiologi dari organ-organ hewan

tersebut sistematis kerjanya hampir sama dengan fungsi anatomi organ

manusia(John Smith, 1987:43).

b. Klasifikasi

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

13

Kelas : Mammalia

Famili : Muridae

Genus : Rattus

Spesies : Rattus norvegicus, L.

( Priyambodo, 1995: 55)

Gambar 5. Tikus putih ( Rattus norvegicus, L.)( Dokumentasi penelitian, 2012)


2. Ovarium

Ovarium merupakan kelenjar ganda, sebagai kelenjar eksokrin dan kelenjar endokrin,

misalnya mampu menghasilkan sekreta berupa ovum sekresi eksokrin dan menghailkan

hormon ovarium terutama estrogen dan progesteron (sekresi endokrin). Struktur

ovariumsangat bervariasi tergantung pada spesies dan umur tahap siklus seksual.Ovarium

merupakan bagian alat kelamin yang utama. (Suhandoyo, 1992: 29). Besar ovarium sangat

tergantung pada umur dan status reproduksi hewan betina. Pada permukaan bebas, organ ini

ditutupi oleh selapis sel kuboid yaitu epitel gonade( Brown dan Dellman, 1992: 489).

Jaringan dasar ovarium disebut stroma, mengandung serat jaringan ikat, otot polos

dan pembuluh darah yang bergelung-gelung banyak sekali. Badan ovarium terbagi atas

14

korteks yang langsung di sebelah dalam tunika albuginea dan medula berada didalamnya

(Wildan Yatim, 1990:70). Stroma korteks berupa jaringan ikat longgar. Tunika albuginea

tebal dan merupakan lapis yang langsung dibawah epitel permukaan. Tebal tunika albuginea

dapat menipis dan bahkan menghilang karena terdesak oleh perkembangan folikel ovarium

serta corpus luteum selama aktivitas ovarium meningkat. Medula merupakan bagian dalam

yang mengandung saraf, banyak pembuluhatau tali sel-sel pekat(Brown dan Dellman, 1992:

490-491).

Gambar 6. Folikel ovarium dan tahap perkembangannya


(Syharum, dkk., 1994 dalam Tasalifah, 2010: 7)
3. Folikel Ovarium

Pembentukan ovum terjadi karena adanya pembelahan meiosis yang sering disebut

sebagai oogenesis. Mamet (1978: 23), Turner C.D dan J.T Bagnara(1988:461)menambahkan

bahwa sel telur berasal dari perkembangan epithel germinativum yang mengalami

penggandaan yang hebat dan terdeferensiasi menjadi oocyt primer. Proses meiosis

15

dihentikan pada stadium profase akhir, sedangkan folikel oosit itu sendiri ukurannya

bertambah. Dalam menyelesaikan pembelahan meiosis pertama tiap periode estrus akan

dilepaskan benda kutub pertama, selanjutnya oosit sekunder yang haploid akan mengalami

pembelahan meiosis yang kedua, sel germinal akan menjadi suatu ovum yang masak setelah

benda kutub kedua dilepaskan (Prawirohartono, S. 1987:82).

Menurut Leonhardt (1990:276) sel telur dalam ovarium dikelilingi oleh sel folikel

yang merupakan sel hasil deferensiasi ephitelium germinativum yang bersifat sebagai sel

soma. Folikel ovarium mengalami tiga tahap perkembangan. Pada embrio, demikian pula

pada betina pasca lahir sebagian besar folikel-folikelnya berupa folikel primer. Folikel-

folikel tersebut membentuk lapisan tebal di bawah tunika albuginea dan memiliki ciri

khusus, yaitu bahwa ova yang terdapat didalamnya tidak memiliki membran vitelina. Ova

dikelilingi oleh banyak lapisan sel-sel folikel yang kemudaian akan membentuk lapisan

granulosa pada folikel yang lebih masak( Dellman, H. D. dan Brown, E.M. 1992: 491-496).

4. Perkembangan Folikel Ovarium

Tanda awal perkembangan folikel ovarium adalah terjadi penambahan ukuran oosit,

adanya perubahan bentuk sel granulosa yang mengelilinginya, dari bentuk datar menjadi

kuboid, ada peningkatan jumlah sel granulosa, dan terdapat zona pelusida di sekitar oosit

(Heffner & Schust, 2008: 30).

Folikel pada ovariummengalami 4 tahapperkembangan, yaitu :

a. Tahap pertama (Folikel primer)

Pada masa embriosebagian besar folikel-folikelnyaberupafolikel primer.

Folikeltersebutmembentuklapisantebal di bagianbawahtunikaalbuginea dan

bercirikhusus, yaitubahwa ova yang

16

terdapatdidalamnyatidakmempunyaimembranvitelline (Nalbandov, 1990: 22).

Folikel primer berasaldarisatuepitelbenih yang membelahdiri.

Seltersebutnantinyamenjadiovumdenganposisiberadaditengah dan dikelilingiolehsel-

selhasilpembelahansebelumnya. Sel-seltersebutmerupakanlapisansel yang

disebutmembran granulosa. Folikel primer terletakdekatataumenempel pada

permukaanovarium dan ovanyatidakterbungkusolehmembranvitelline (Partodiharjo,

1982: 45-46).

b. Tahap kedua (Folikel sekunder)

Ova yang dikelilingi oleh banyak lapisan sel-sel folikel kemudian akan

membentuk sel granulose pada folikel yang telah masak. Bila sebuah ovum sudah

dilengkapi dengan sebuah membran (zona pelucida) dan bila folikel sudah tumbuh,

maka disebut folikel sekunder (Nalbandov, 1990: 22). Folikel sekunder memiliki ukuran

yang lebih besar dari folikel primer, hal ini dikarenakan oleh jumlah sel-sel

granulosanya yang lebih banyak dari sebelumnya. Pada tahap ini, folikel berbentuk ova

dan sudah bergerak menjauhi korteks menuju medulla ovarium. Letak folikel sekunder

agak jauh dari permukaan ovarium (Partodiharjo, 1982: 46).

c. Tahap ketiga (Folikel tersier)

Selanjutnya perkembangan folikel sekunder berlanjut hingga akhirnya terbentuk

suatu ruangan yang berisi cairan disebut dengan antrum di sekitar ova dan lapisan sel-

sel granulose yang mengelilinginya. Folikel-folikel yang telah telah memiliki antrum

disebut folikel tersier (Nalbandov, 1990: 22). Folikel tersier merupakan folikel sekunder

yang telah tumbuh lebih dewasa, dimana jumlah sel-sel granulosa lebih banyak dari fase

sebelumnya sehingga ukuran folikel menjadi lebih besar dari sebelumnya. Letak folikel

17

tersier lebih jauh dibanding letak folikel sekunder dari korteks ovarium (Partodiharjo,

1982: 46).

d. Tahapkeempat (Folikel de Graaf)

Perkembanganfolikeltersiermenjadifolikel de Graafmerupakantahap yang

keempat. Banyak yang berpendapatbahwaperubahanfolikeltersiermenjadi de

Graaflebihcondonguntukdisebutdenganprosespematanganfolikel. Folikel de

Graafadalahbentukfolikelterakhir dan terbesar pada ovarium (Partodiharjo, 1982: 47).

Perbedaanutama antara folikeltersierdenganfolikel de Graaf yang telahmasakyaitu pada

ukurannya. Pada saatfolikeltumbuh,

antrummembesarsampaimencapaiseluruhketebalankorteksovarium. Folikel yang

masakmembesar, karenapenimbunancairanfolikuler dan melepuhke atas permukaan

bebas dariovarium (Nalbandov, 1990: 22).

5. Fungsi Ovarium

Disamping menghasilkan oosit, ovarium memiliki fungsi sebagai kelenjar endokrin yang

menghasilkan hormon kelamin betina, yakni estrogen dan progesteron. Estrogen terutama

dihasilkan oleh sel-sel granulosa yang mengubah androgen, yang dihasilkan oleh sel-sel teka

interna menjadi estrogen. Progesteron terutama dihasilkan oleh sel-sei lutein besar selama

metestrus, diestrus dan kebuntingan, di samping dihasilkan pula oleh plasenta. Pada spesies

tertentu, sel-sel kelenjar interstisial menghasilkan banyak hormon steroid. Hormon estrogen

mendorong perkembangan serta perkembangan saluran kelamin betina serta membangkitkan

gejala birahi. Hormon progesteron merangsang perkembangan kelenjar uterus (glandula

uterina), mendorong untuk bersekresi dan membuat endometrium siap menerima (reseptif)

bagi implantasi embrio. Sifat lain adalah menghalangi pemasakan folikel dan estrus

18

berikutnya, meningkatkan tingkah laku kebuntingan. Estrogen dan progesteron merangsang

perkembangan kelenjar ambing (glandula mammaria). Perkembangan dan pemasakan

folikel ovarium dan sekresi estrogen dikendalikan oleh hormon gonadtropin hipofise, yakni

FSH dan LH. Sebaiiknya, sekresi estrogen oleh ovarium memicu pelepasan gelombang LH

untuk ovulasi, biasanya pada masa berahi. Pembentukan korpus luteum juga diawali oleh

rangsangan LH hipofise. LH mengadakan interaksi dengan sel-sel reseptor dari dinding

folikel yang robek untuk mengawali proses luteinisasi dan sekresi hormon progesteron. Pada

beberapa spesies, seperti tikus dan mencit, hormon luteotropik (LTH) diperlukan untuk

mempertahankan komus luteum agar terus mensekresikan progesteron. Surutnya (regresi)

korpus luteum dapat diikuti dengan penarikan LH, LTH, atau keduanya, (Dellmann, H. D.

dan Brown, E. M. 1992: 506).

Bila kebuntingan, korpus luteum tetap dipertahankan, karena korpus luteum kebun-

tingan berbeda dengan korpus luteum periode lain pada berbagai spesies.Pada stadium lanjut

kebuntingan pada kebanyakan spesies, korpus luteum tidak penting, sebab plasenta mampu

menghasilkan hormon progesteron yang diperlukan untuk mempertahankan kebuntingan

secara berhasil. Sebaliknya, hormon steroid ovarium dan plasenta mempengaruhi sekresi

hormon gonadotropin dari hipofise melalui efek Umpan-balik pada hipotalamus yang

terutama mengatur pelepasan hormon pelepas hipotalamik-gonadotropin. Organ diensefalon

lain, seperti epifise (pineal gland), juga mempengaruhi fungsi gonadotropin (Dellmann, H.

D. dan Brown, E. M. 1992: 506-507).

6. Siklusestrus pada tikusputih

19

MenurutPapanicolau (1945), vaginal smearsditambahdengancervix dan

endometriumsmears, dapatmenunjukanwaktuovulasi secara persis dan daurestrus.

Ciridaurestrusdapatdiketahuisebagaiberikut :

a. Proestrus : Terdapat sel epitel biasa

b. Estrus : Terdapat banyak sel epitel menanduk

c. Diestrus : Terdapat sel epitel biasa dan banyak leukosit

d. Metestrus : Terdapat banyak sel epitel menanduk, sel epitel biasa

dan leukosit (Yatim,1982:103).

Proestrus merupakan periode perkembangan folikel dan produksi esterogen tinggi

Periode proestrus berlangsung selama 12 jam, secara mikroskopis terlihat sel epitel berinti

dari ulasan vagina yang dilakukan (Yatim, 1982: 104).

Gambar 7. Fase proestrus, 400x (Dokumenpenelitian, 2012)

Periodeestrusmerupakanperiodeberahi (klimaks fase folikel) dan

kopulasidimungkinkanhanya pada saatini. Setiap siklusnya berlangsung selama 12 jam

(Yatim, 1982: 104).

20

Gambar 8. Fase estrus, 400x (Dokumenpenelitian, 2012)

Periodemetestrusmerupakanperpanjangandari fase diestrus yang berlangsungselama

10-14 jam, pada umumnyatidakterjadiperkawinan. Pada

ovariumterbentukkorpushemorhagi di tempatfolikelde Graffyang barumelepaskanovum.

Apabila terjadikebuntingan, siklusakantergangguselama masa kebuntingan (Yatim, 1982:

106).

Manifestasibirahiditimbulkanolehhormonbetinayaituestrogen yang

dihasilkanolehfolikel-folikelovarium. Tikus yang sedangmengalami masa

estruscenderungseringbergerakaktif (berlari) secara spontandibandingsaatmengalami masa

diestrus (Nalbandov, 1990: 141).

21

Gambar 9. Fase diestrus, 400x (Dokumenpenelitian, 2012)

Diestrusmerupakansaatovarium dan

alatkelamintambahanmengalamiperubahanberangsurkembali pada suasanatenang dan

istirahat (non-fertil). Periodediestrusberlangsungselama 60-70 jam. pada masa

tersebutterjadiregresifungsionalkorpusluteum.

7. Fisiologi Hormon Ovarium

Hormon didefinisikan sebagai substansi organik fisiologik yang dibebaskan oleh sel-

sel hidup dari suatu daerah terbatas pada organisme yang berdifusi atau yang diangkut ke

suatu lokasi dalam organisme yang sama dimana menyebabkan penyesuaian yang cenderung

untuk mengintegrasikan bagian-bagian dan fungsi komponen organisme tersebut. Ovarium

selain berfungsi sebagai produksi telur juga memproduksi hormon yang mengatur saluran

reproduksi dan sifat-sifat seks sekunder, persiapan reaksi perkawinan serta pengaruh

metabolik lainnya. Hormon pada ovarium tersebut adalah estrogen dan progesteron, yang

selama berlangsungnya siklus reproduksi hormon ini dikendalikan oleh adanya interaksi

hormonal antara hormon hipofisis dengan hormon ovarium itu sendiri. Seperti halnya

mamalia lain, kunci siklus repoduksi tikus betina terletak pada hipotalamus yang

22

berhubungan dengan kelenjar hipofisis. Siklus reproduksi berlangsung dengan bantuan

hormon gonadotropin yang dihasilkan oleh kelenjar hipofisis bagian anterior. Hormon

gonadotropin tdiri atas FSH ( Folicle Stimulating Hormone), LH ( Luteinizing Hormone),

Prolactin dan LTH (Luteotropic Hormone). Sintesis dan sekresi FSH dan LH dirangsang

oleh Gonadotropin Releasing Hormon (Gn RH) yang disekresi oleh hipotalamus. Hormon

ini mulai bekerja saat hewan mencapai masa pubertas ( kematangan kelamin). FSH dan LH

dibutuhkan untuk perkembangan normal folikel di ovarium. Perkembanga awal sel folikel

dikendalikan oleh FSH yang selanjutnya merangsang sel granulose dan sel teka ovarium

untuk mensekresi estrogen. Sedangkan progesteron terdapat dalam jumlah sedikit pada awal

perkembangan sel folikel produksi progesteron mulai meningkat di bawah pengaruh LH

(Partodihardjo.1980 dan Lay Cock. 1982).

Perkembangan akhir sel folikel dikendalikan oleh LH dan selanjutnya LH

mendorong pecahnya folikel dan ovulasi (Nalbandov.1990 ). Sedangkan prolaktin bersifat

luteolitik pada siklus estrus dan berfungsi untuk mempertahankan korpus luteum serta

merangsang korpus luteum untuk menghasilkan hormon progesteron (Nalbandov, 1990).

Estrogen termasuk hormon steroid yang mempunyai struktur inti siklopentana

perhidrofenantrna dengan 18 atom karbon (Partodihardjo S.,1982:131). Di dalam ovarium,

estrogen dihasilkan oleh sel-sel teca interna, adrenal cortex dan plasenta (pada binatang

bunting). Estrogen diperlukan untuk manifestasi fisiologik dari estrus, mempengaruhi

perkembangan dari endometrium uterus, perubahan-perubahan histologik pada epitelium

vagina selama siklus estrus, mempengaruhi perkembangan kelenjar mammae untuk

menyusui, mengontrol pelepasan hormon pituitary (FSH dan LH), bertanggung jawab

terhadap sifat-sifat kelamin sekunder pada betina, mensensitifkan uterus terhadap oxytocin,

23

mngendorkan cervix, vagina dan vulva serat menimbulkan tonus pada uterus (Wildan

Yatim, 1990:108).

Progesteron termasuk hormon steroid dengan 12 atom karbon dengan struktur dasar

inti pregnan, yang paling banyak mengahsilkan progesteron adalah korpus luteum, selain itu

juga kelenjar adrenal, plasenta dan testes (Partodiharjo S.,1982:124). Progesteron diperlukan

untuk mempertahankan kebuntingan dengan jalan menghambat pergerakan uterus secara

spontan serta meniadakan atau menurunkan respon myometrium terhadap oxytocin,

menghambat sekresi FSH dan Lh sehingga mencegah terjadinya estrus. Ovulaasi bersama

dengan estrogen menyebabkan perkembangan dan perkembangan sisitem alveoler kelenjar

mammae yang menyebabkan hilangnya birahi pada tikus tersebut. Progesteron juga dapat

mengubah kelenjar cervix menjadi kental. Tikus merupakan hewan ovulator spontan. Pada

tikus, hormon folikulotropin (FSH dan LH) merangsang perkembangan folikel dan sekresi

estrogen. Estrogen memberii umpan balik pada hipotalamus berupa pesan bahwa folikel

telah matang. Estrogen juga merangsang timbulnya gelombang puncak LH yang

menyebabkan terjadinya ovulasi. LH kemudian merangsang sekresi progesteron, selanjutnya

bersama estrogen akan menimbulkan libido sexual pada tikus (Turner, CD dan JT Bagnara,

1988:591).

8. Peranan Hormon dalam Siklus Estrus

Pada akhir dari fase diestrus, korpus luteum yang mempunyai peranan menenangkan

alat kelamin dengan sekresi progesteronnya, mengalami regresi (kemunduran fungsi).

Regresi ini disebabkan oleh pengaruh prostaglandin yang dihasilkan oleh masa uterus.

Prostaglandin mempunyai sifat luteolysis terhadap korpus luteum. Pada domba, sapi, dan

babi pengaruh ini telah dibuktikan dan diketahui bahwa macam prostaglandin yang paling

24

selektif dalam melisis korpus luteum adalah prostaglandin F 2 alfa (PGF2 alfa).

Prostaglandin dihasilkan oleh uterus, mengalir ke dalam vena uterina media, menembus

dinding vena dan arteri ovarica yang keduanya terletak berdampingan. Mekanisme ini

disebut perembesan lintas vena-arteri (Counter current mechanism). Selanjutnya

prostaglandin mengalir dalam arteri ovarica menuju ovarium dan melisis korpus luteum. Hal

ini dibuktikan oleh Mc Cracken pada domba. Kini PGF2 alfa digunakan untuk

penyerentakan birahi pada sapi, domba, dan babi (Partodiharjo, 1982:181-182).

Setelah produksi progesteron merendah, yang berarti pencegahan produksi FSH-

RH/LH-RH oleh hipotalamus. FSH merangsang folikel tersier pada ovarium untuk tumbuh

menjadi folikel de Graaf. Lapis sel teca interna dan sel granulosa pada folikel de Graff

menghasilkan estrogen. Semakin masak atau semakin besar dimensi folikel de Graff

semakin tinggilah produksi estrogen. Estrogen mempunyai daya mencegah produksi FSH

dan daya rangsang terhadap produksi LH(Partodiharjo, 1982:182).

Gambar 10. Struktur kimia estrogen (Cao dalam Hapsari, 2011: 7)

Setelah kadar estrogen dalam darah mencapai derajat ketinggian tertentu, maka

terjadilah efek positif terhadap dan pelepasan LH dari hiopfisa anterior. Mekanisme ini

disebut umpan balik positif. Kadar LH dalam darah mendadak meningkat sedemikian rupa

hingga terjadilah ovulasi. Ovulasi adalah peristiwa pecahnya dinding folikel de Graff dan

25

keluarnya ovum. Ovum yang keluar disertai sel-sel granulosa, masuk ke dalam

infundibulum dari fimbrae dan selanjutnya secara perlahan-lahan menggelindir ke dalam

lumen tuba fallopi (Partodiharjo, 1982:182).

Setelah ovum meninggalkan folikel yang pecah, terjadilah perdarahan pada bekas

folikel. Darah menggumpal mengisi ruang bekas ovum dan cairan folikel, hingga pada

permukaan ovarium terlihat sebagai bintik merah. Gumpalan darah pada ruang bekas folikel

ini disebut corpus hemorrhagicum (Partodiharjo, 1982:182-183).

Setelah ovulasi terjadi, kadar LH menurun dengan cepat tetapi tidak kembali ke

kadar dasar melainkan cukup untuk merangsang sel-sel teca interna untuk membentuk sel-

sel yang berbentuk polymorph dan berwarna kuning. Sel-sel ini selanjutnya disebut corpus

luteum. Perkembangan corpus luteum berlangsung beberapa hari, pada sapi 4 sampai 6 hari.

Sejak terbentuknya korpus luteum, sel-sel kuning ini memproduksi hormon progesteron

yang mempunyai fungsi meredakan aktivitas estrogen. Dengan adanya progesteron,

kontraksi dinding tuba fallopi dan uterus karena pengaruh estrogen, mereda dan akhirnya

tenang. Sebaliknya perkembangan kelenjar pada endometrium semakin giat hingga menjadi

rimbun cabang-cabangnya serta berkelok-kelok lumennya (Partodiharjo, 198:183).

Gambar 11. Struktur kimia progesteron (Sarah dalam Hapsari, 2011: 7)

Setelah folikel de Graaf pecah, produksi estrogen turun dengan cepat, hingga

mencapai kadar dasar. Folikel yang tumbuh, secara berangsur-angsur mempertinggi kadar

26

estrogen dalam darah. Setelah kadar estrogen dalam darah mencapai derajad ketinggian

tertentu, maka terjadilah rangsangan pada masa uterus untuk memproduksi prostaglandin.

Peristiwa ini terjadi pada akhir fase diestrus. Prostaglandin selanjutnya menyebabkan korpus

luteum beregresi dan produksi progestin secara tajam menurun. Dengan menurunnya kadar

progesteron dalam darah maka estrogen menjadi dominan pada alat reproduksi hingga

terjadilah estrus.(Partodiharjo, 1982:183-185).

27

A. Kerangka Berfikir

Senyawa yang terkandungdalambatangBrotowalidiantaranflavanoid, alkaloid

dansaponin yang mempunyaisifatsebagai antifertilitas yang diduga menyebabkan gangguan

pada proses ovulasi dan fertilisasi. Brotowali memiliki kandungan kimia yang bersifat

estrogenik, sehingga dalam penelitian ini dilakukan pemberian ekstrak Brotowali terhadap

perkembanganjumlah folikel ovarium.

Pemberian ekstrak Brotowali tersebut diduga dapat menghambat perkembangan

folikel ovarium dan menurunkan jumlah folikel ovarium.

Disini yang menghambatadalah hormone FSH

dikarenakankadardalamdarahmeningkatsehingga estrogen jugameningkat.

Ekstrakbrotowalimemilikiefek hormonal.Efek hormonal dalam ekstrak Brotowali yang

mengandung flavanoid dapat menghambat biosintesis prostaglandin melalui jalur

Cyclooxygenase. Efek penghambatan flavanoid terhadap efektifitas Cyclooxygenase terlihat

dari hambatan metabolisme asam arakhidonat menjadi Prostaglandin (Huang, 2001:60).

Terhambatnya sintesis prostaglandin menyebabkan terhambatnya proliferasi sel granulose

pada ovarium. Sifat estrogenik yang dimiliki ekstrak tersebut dalam dosis tinggi dapat

meningkatkan kadar estrogen dalam darah, sehingga menurunkan sekresi FSH dan LH.

Pengaruh pemberian ekstrak Brotowali diduga akan menekan sekresi gonadotropin

sehingga sekresi FSH dan LH akan menurun. Menurunnya FSH dan LH akan

mengakibatkan proses ovulasi menjadi terhambat.

Menurut Soejono (2001) pemberian flavanoidpada kultur sel luteal yang

sebelumnya telah mendapat LH terjadi penurunan produksi progesteron. Hal ini

menandakan bahwa kurkumin menghambat kerja LH pada produksi progesteron oleh kultur

28
sel luteal. Mekanisme kerja LH melalui second messenger cAMP (cyclic Adenosine

Monophosphate) yaitu hormon LH (sebagai first messenger) berikatan pada reseptornya

yang kemudian berikatan pada sebuah protein G. Protein G kemudian teraktivasi ketika

berikatan dengan GTP menggantikan GDP. Protein G yang teraktivasi mengaktifkan enzim

efektor berupa adenilat siklase. Adenilat siklase menghasilkan cAMP (second messenger)

dari ATP. cAMP mengaktifkan protein kinase yang kemudian menyebabkan efek seluler

(Saryono, 2009: 45).

Pemberian ekstrak brotowali yang mengandungflavanoid dapat mengganggu

mekanisme kerja hormon LH melalui penghambatan ikatan LH dengan reseptornya sehingga

efek seluler dari LH tidak terjadi. Tidak adanya efek seluler dari LH menyebabkan tidak

terjadinya ovulasi sehingga tidak terbentuk korpus luteum. Korpus luteum adalah jaringan

tubuh yang paling banyak menghasilkan progesteron. Apabila korpus luteum tidak terbentuk

maka tidak dihasilkan progesteron.

Dosis tinggi dapat meningkatkan kadar estrogen dalam darah.Pada tingkat ketinggian

dosis tertentu kadar estrogen dapat turun sehingga dapat menurunkan sekresi FSH dan

LH. Oleh karena itu dilakukan penelitian untuk mengetahui Pengaruh Pemberian Ekstrak

Brotowali (Tinosporacrispa,L)terhadap Perkembangan Folikel Ovarium Tikus Putih Betina

(Rattus norvegicus, L.).

B. Hipotesis

Dalampenelitianinihipotesis yang didugaadalahpemberian ekstrakBrotowali

(Tinospora crispa, L.) dapat berpengaruh menurunkanjumlahfolikel ovarium tikus putih

(Rattus norvegicus, L).

29

Anda mungkin juga menyukai