Anda di halaman 1dari 14

Makalah Manajemen Keuangan

Manajemen Keuangan adalah untuk memahami tentang apa yang terjadi disekeliling kita
untuk menyelesaikan masalah-masalah praktis dan juga menjelaskan berbagai fakta dan
informasi. Untuk lebih jelas mengenai manajemen keuangan silakan anda simak makalah di
bawah

Pelaksanaan pengelolaan keuangan negara pasca Reformasi Manajemen Keuangan Pemerintah


yang diikuti lahirnya UU No.17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No.1 tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara telah berjalan hampir satu setengah tahun. Sebagaimana
dipahami UU Keuangan Negara No.17 tahun 2003 dan UU Perbendaharaan Negara nomor 1
tahun 2004 adalah untuk memenuhi kebutuhan pengelolaan keuangan negara yang sesuai dengan
tuntutan perkembangan demokrasi, ekonomi dan teknologi moderen.

UU No.17/2003 tentang Keuangan Negara telah merubah sistem dan pola pengelolaan
keuangan negara. Sistem yang diusung dalam UU tersebut adalah sistem penganggaran berbasis
kinerja (performance budgeting system) yang menjadikan kinerja sebagai fokus sehingga seluruh
potensi harus diarahkan untuk mendukung agar kinerja yang diinginkan dapat tercapai. Secara
sederhana dapat dijelaskan bahwa kinerja yang dicanangkan tercapai dengan pendanaan yang
dialokasikan secara efisien dan efektif. Sejalan dengan ketentuan yang diatur dalam UU No.17
tahun 2003, Menteri Keuangan sebagai pembantu Presiden dalam bidang keuangan pada
hakikatnya adalah Chief Financial Officer (CFO) Pemerintah RI sedangkan setiap
Menteri/Pimpinan Lembaga adalah Chief Operacional Officer (COO) untuk statu bidang tugas
pemerintahan. Untuk meningkatkan akuntabilitas dan menjamin terselenggaranya saling uji
(check and balance) dalam proses pelaksanaan anggaran, perlu dilakukan pemisahan secara tegas
antara pemegang kewenangan administratif yang diserahkan kepada kementrian/lembaga dan
pemegang kewenangan kebendaharaan yang diserahkan kepada kementrian keuangan.

Dari pengamatan APBN tahun 2005 sampai dengan triwulan I tahun 2006 menunjukkan
pengalihan kewenangan administratif yang dulunya dilaksanakan oleh kementrian keuangan
kepada kementrian/lembaga menunjukkan sebagian besar mind set KPA masih berprinsip tolok
ukur keberhasilan diukur dari tingkat capaian disbursement (penyerapan) tanpa terlalu jauh
memperhatikan kualitas kinerjanya. Berdasarkan permasalahan di atas maka pada RADIN
tingkat regional Kanwil DJPBN wilayah Sumatera di Medan, Kanwil III DJPBN Padang merasa
perlu mengangkat permasalahan pengalihan kewenangan administratif pada
Kementrian/Lembaga khususnya dalam hal pelaksanaan pembayaran yang efisien dan efektif .

2.Tujuan

Dalam rangka mengemban misi reformasi dalam bidang keuangan negara yakni mewujudkan
pemerintahan yang bersih (clean governance) maka Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum
Negara (BUN) dan pejabat lainnya yang ditunjuk selaku Kuasa BUN bukanlah sekadar kasir
yang hanya melaksanakan penerimaan dan pengeluaran negara tanpa berhak menilai kebenaran
penerimaan dan pengeluaran negara tersebut, tetapi Menteri Keuangan selaku pengelola
keuangan dalam arti yang seutuhnya yaitu berfungsi sekaligus kasir,pengawas keuangan dan
manajer keuangan. Dikarenakan pelaksanaan tahun 2005 sampai dengan triwulan I tahun 2006
menunjukkan belum berubahnya mind set KPA dan KPPN dalam mekanisme pelaksanaan
pembayaran APBN perlu dilakukan langkah-langkah konkrit mengendalikan pengelolaan
keuangan negara sesuai fungsi kementrian keuangan dalam arti seutuhnya : kasir, pengawas
keuangan dan manajer keuangan agar tercipta efisiensi biaya dan efektifitas dalam pelaksanaan
anggaran (cost effektiveness and operational efficiency) sehingga ada benang merah dalam
siklus anggaran (budget cycle) antara input, output dan outcome.

RumusanMasalah

Cakupan permasalahan dalam pelaksanaan pemisahan kewenangan administrasi dan kewenangan


kebendaharaan adalah :

Menyoroti sampai dimana tingkat kesiapan kementrian/lembaga dalam menjalankan


fungsinya selaku pemegang kewenangan administratif (what and how the manager
manage);
Pelaksanaan kewenangan kebendaharaan (comptable) di kementrian keuangan (d.h.i
KPPN);
Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan pemisahan kedua kewenangan pada KPA
dan KPPN;
Usul penyempurnaan aturan atau prosedur kerja untuk menciptakan efisiensi biaya dan
efektifitas kinerja dalam mekanisme pelaksanaan pembayaran sebagai bentuk
pengendalian keuangan negara .

BatasanMasalah

Makalah ini hanya membahas tentang

Menyoroti sampai dimana tingkat kesiapan kementrian/lembaga dalam menjalankan


fungsinya
Pelaksanaan kewenangan kebendaharaan
Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan pemisahan kedua kewenangan pada KPA
dan KPPN
LANDASANTEORI

Sistem penganggaran moderen (Public Expenditure Management) menekankan pentingnya tiga


prinsip penting (best practice) dalam pengelolaan keuangan negara yaitu :

Aggegate Fiscal Dicipline,


disiplin anggaran pada tingkat nasional agar besarnya belanja negara disesuaikan dengan
kemampuan menghimpun pendapatan negara
Allocative Efficiency, efisiensi alokasi anggaran melalui distribusi yang tepat sumber-
sumber daya keuangan untuk berbagai fungsi pemerintahan sesuai dengan outcome
(manfaat atau hasil) yang diharapkan dari penyelenggaraan tugas kementrian/lembaga
Operational Efficiency, efisiensi pelaksanaan kegiatan instansi pemerintahan untuk
menghasilkan output sesuai tugas dan fungsi instansi pemerintahan bersangkutan

Reformasi di bidang perbendaharaan dilakukan sejalan dengan prinsip operational efficiency


dengan mengubah fokus dari kontrol pengeluaran pada input menjadi output dan memberikan
kewenangan yang lebih besar kepada manajer untuk pelaksanaan tugas dan fungsinya (Lets the
manager manage). Pemberian kewenangan yang lebih besar pada manajer dilakukan untuk
melaksanakan kegiatan berorientasi pada hasil (output) dan manfaat (outcome)

1. Dasar Hukum Pembayaran

UU No.17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara


UU No.1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
UU No.15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan
Negara
UU No.13 tahun 2005 tentang APBN TA.2006
PP No.21 tahun 2004 tentang Penyusunan RKAKL
Keppres No.42 tahun 2002 jtentang Pedoman Pelaksanaan APBN
PMK No.134/PMK.06/2005 tentang Pedoman Pembayaran Dalam Pelaksanaan
Pembayaran APBN
Peraturan Dirjen Perbendaharaan No.PER-66/PB/2005 tanggal 28-12-2005 tentang
Mekanisme Pelaksanaan Pembayaran atas beban APBN
2.PembagianKewenangan

Pasal 19 UU No.1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara ayat (1) menyebutkan bahwa
Pembayaran atas tagihan yang menjadi beban APBN dilakukan oleh Bendahara Umum
Negara/Kuasa Bendahara Umum Negara. Dalam pelaksanaannya pembayaran APBN tersebut
dilakukan oleh KPPN. Selanjutnya pada ayat (2) bahwa dalam rangka pelaksanaan pembayaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bendahara Umum Negara/Kuasa Bendahara Umum Negara
berkewajiban untuk :

1. Meneliti kelengkapan perintah pembayaran yang diterbitkan oleh Pengguna


Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran;
2. Menguji kebenaran perhitungan tagihan atas beban APBN yang tercantum dalam perintah
pembayaran;
3. Menguji ketersediaan dana yang bersangkutan;
4. Memerintahkan pencairan dana sebagai dasar pengeluaran negara;
5. Menolak pencairan dana, apabila perintah pembayaran yang diterbitkan oleh Pengguna
Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan.

Kewajiban dalam rangka pelaksanaan pembayaran ini dijabarkan lebih lanjut dalam peraturan
pelaksanaan yaitu Peraturan Dirjen Perbendaharaan No.PER-66/PB/2005 pada pasal 11 sebagai
berikut :

1. Pengujian SPM dilaksanakan oleh KPPN mencakup pengujian yang bersifat substansif
dan formal.
2. Pengujian substantif dilakukan untuk:

Menguji kebenaran perhitungan tagihan yang tercantum dalam SPM;


Menguji ketersediaan dana pada kegiatan/sub kegiatan/MAK dalam DIPA yang ditunjuk
dalam SPM tersebut;
Menguji dokumen sebagai dasar penagihan (Ringkasan Kontrak/SPK, Surat Keputusan,
Daftar Nominatif Perjalanan Dinas);
Menguji surat pernyataan tanggung jawab (SPTB) dari kepala kantor/satker atau pejabat
lain yang ditunjuk mengenai tanggung jawab terhadap kebenaran pelaksanaan
pembayaran;
Menguji faktur pajak beserta SSP-nya;

Pengujian formal dilakukan untuk:

Mencocokkan tanda tangan pejabat penandatangan SPM dengan spesimen tandatangan;


Memeriksa cara penulisan/pengisian jumlah uang dalam angka dan huruf; memeriksa
kebenaran dalam penulisan, termasuk tidak boleh terdapat cacat dalam penulisan.
Pada Pasal 7 ayat (2.c.) UU No.1/2004 bahwa Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum
Negara berwenang melakukan pengendalian pelaksanaan anggaran negara. Sedangkan pada
penjelasan UU tersebut Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara dan pejabat lainnya
yang ditunjuk sebagai Kuasa Bendahara Umum Negara (KPPN) bukanlah sekedar kasir yang
hanya berwenang melaksanakan penerimaan dan pengeluaran negara tanpa berhak menilai
kebenaran penerimaan dan pengeluaran tersebut. Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum
Negara adalah pengelola keuangan dalam arti seutuhnya, yaitu berfungsi sekaligus sebagai kasir,
pengawas keuangan, dan manajer keuangan.

Fungsi pengawasan keuangan di sini terbatas pada aspek rechmatigheid dan wetmatigheid dan
hanya dilakukan pada saat terjadinya penerimaan atau pengeluaran, sehingga berbeda dengan
fungsi pre-audit yang dilakukan oleh kementerian teknis atau post-audit yang dilakukan oleh
aparat pengawasan fungsional. Dengan demikian, dapat dijalankan salah satu prinsip
pengendalian intern yang sangat penting dalam proses pelaksanaan anggaran, yaitu adanya
pemisahan yang tegas antara pemegang kewenangan administratif (ordonnateur) dan pemegang
kewenangan kebendaharaan (comptable).

3. Kewenangan Administratif (Ordonateur)

Penyelenggaraan kewenangan administratif diserahkan kepada kementerian negara/lembaga.


Kewenangan administratif tersebut meliputi melakukan perikatan atau tindakan-tindakan lainnya
yang mengakibatkan terjadinya penerimaan atau pengeluaran negara, melakukan pengujian dan
pembebanan tagihan yang diajukan kepada kementerian negara/lembaga sehubungan dengan
realisasi perikatan tersebut, serta memerintahkan pembayaran atau menagih penerimaan yang
timbul sebagai akibat pelaksanaan anggaran.

Satu hal penting yang mendasar dalam penyempurnaan manajemen keuangan alah adanya
kewenangan dan tanggung jawab yang lebih besar bagi kementerian negara/lembaga dalam
mengelola program dan kegiatan yang ada dalam lingkup kerjanya dimana penganggaran
berdasarkan kinerja akan sangat membantu dalam penerapannya.

Penganggaran berdasarkan kinerja adalah penyusunan anggaran yang dilakukan dengan


memperhatikan keterkaitan antara pendanaan dengan keluaran dan hasil yang diharapkan
termasuk efisiensi dalam pencapaian hasil dan keluaran tersebut. Indikator kinerja (performance
indicators) dan sasaran (targets) merupakan bagian dari pengembangan sistem penganggaran
berdasarkan kinerja dalam rangka mendukung perbaikan efisiensi dan efektivitas pemanfaatan
sumberdaya.

Penganggaran berdasarkan kinerja pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dalam
pelaksanaan anggaran dengan menghubungkan antara beban kerja dan kegiatan terhadap biaya.
Secara lebih dalam, penerapan penganggaran berdasarkan kinerja akan mendukung alokasi
anggaran terhadap prioritas program dan kegiatan. Sistem ini terutama berusaha untuk
menghubungkan antara keluaran (outputs) dengan hasil (outcomes) yang disertai dengan
penekanan terhadap efektifitas dan efisiensi terhadap anggaran yang dialokasikan.
Ekonomis: sejauh mana masukan/sumberdaya yang ada digunakan dengan sebaik-
baiknya;
Efisiensi: sejauh mana perbandingan antara tingkat keluaran suatu kegiatan dengan
sumberdaya/dana yang digunakan;
Efektivitas: sejauh mana keluaran yang dihasilkan mendukung pencapaian

Analisa Manajemen Keuangan


A. Pelaksanaan Reformasi di Bidang Perbendaharaan

Sebagaimana diketahui reformasi di bidang perbendaharaan mempunyai konsekuensi pada


pemisahan kewenangan administratif (ordonateur) dan kewenangan kebendaharaan (comptable).
Kewenangan administratif yang selama hampir 58 tahun berada di Kementrian Keuangan beralih
pada Kementrian/Lembaga sementara Kementrian Keuangan mempunyai kewenangan
kebendaharaan. Dari pengamatan terhadap pelaksanaan APBN tahun 2005 dan triwulan pertama
tahun anggaran 2006 memberikan gambaran masih terdapat berbagai hambatan dalam
pelaksanaan anggaran yang efisien (operational efficeincy).

Permasalahan aktual dan krusial yang dihadapi dalam rangka pelaksanaan fungsi pelayanan yang
diemban KPPN sebagai ujung tombak dalam rangka pembayaran dana APBN adalah :

Aspek check and balance (saling uji) belum dapat dijalankan dengan baik sebagai
konsekuensi pemisahan fungsi orodonateur dan fungsi comptable dikarenakan faktor
SDM yang masih belum siap menjalankan amanat UU No.1/2004
Cara berpikir (mindset) jajaran Dit.Jen.Perbendaharaan (Kanwil DJPBN dan KPPN) yang
sebagian besar belum memahami bahwa telah terjadi perubahan dalam sistim
pembayaran sebagaimana telah diatur dalam UU No. 17/2003 dan UU No.1/2004 yakni
diterapkannya sistem Anggaran Berbasis Kinerja (ABK)
Masih adanya perasaan berat hati melepaskan kewenangan administratif yang telah
bertahun-tahun melekat dan seolah menjadi bench mark pegawai KPPN bahwa dalam
pelaksanaan pembayaran harus melakukan pengujian substantif yang kadang terjebak
kepada pengujian formal yakni aspek tujuan pembayaran (doelmatigheid). Contoh :
Dikarenakan penulisan resume kontrak yang kurang lengkap KPPN minta kontrak
sebagai bahan pemeriksaan;
Adanya perbedaan penafsiran dalam menterjemahkan peraturan pelaksanaan yang
mengakibatkan ketidakjelasan atau grey area bahkan menjadi blank area dan mendorong
pada satu tindakan yang mengarah pada pelayanan yang berbelit-belit. Contoh : Dalam
hal pembayaran Belanja Barang Non Operasional Lainnya (BKPK 5212) ternyata dalam
SPTB tercantum Pemeliharaan AC yang seharusnya masuk dalam BKPK 5231 dan
ternyata dalam RKAKL memang alokasi dana untuk pemeliharaan AC tersebut masuk
dalam MAK 521219
Adanya pertentangan pemahaman satu produk aturan dan produk aturan lainnya
menimbulkan dilematika dalam pelaksanaan pengujian substantif atas perintah
pembayaran contoh : pada pasal 19 ayat 2c UU No.1 tahun 2004 tentang pengendalian
anggaran negara dan pasal 19 ayat 2 mengenai kewajiban bendahara umum negara serta
penjelasan UU dimana fungsi komptabel tidak sekedar sebagai kasir tapi termasuk
sebagai pengawas keuangan. Dilain pihak pada Peraturan Menteri Keuangan 96/2005
disebutkan bahwa Satker selaku Kuasa Pengguna Anggaran bertanggung jawab terhadap
pelaksanaan kegiatan pendukung program sesuai dengan bagian anggarannya masing-
masing yang juga dituangkan pada halaman pengesahan DIPA. Hal ini berpengaruh pada
kualitas pelayanan antar KPPN karena masing-masing mempunyai standar pelayanan
berdasarkan penafsiran dan pemahaman aturan-aturan tersebut
KPPN wajib membuat Kartu Pengawasan Belanja Pegawai Perorangan yang seharusnya
merupakan kewenangan administratif dan berada di Satker/KPA. Hal ini merupakan
inkonsistensi dalam penerapan pemisahan ordonateur dan comptable.

B. Pelaksanaan Kewenangan Administratif (Ordonateur) di KPA

Permasalahan yang dihadapi KPA dalam pelaksanaan fungsi administratif :

Permasalahan dalam DIPA misalnya : tidak tersedia MAK 511119 (Pembulatan) MAK
511124 (tunjangan fungsional), MAK 511125 (PPh Ps.21) menimbulkan dilematika pada
KPPN untuk melakukan pembayaran;
Adanya euforia (Lets the manager manage) untuk melakukan pengeluaran sesuai
keinginan dengan berdalih pada Petunjuk Operasional Kegiatan yang pada dasarnya
adalah untuk menghabiskan dana yang tersedia dalam DIPA sehingga mengakibatkan
penafsiran yang menyimpang dari bagan perkiraan standar

Contoh

Pembayaran insentif pegawai untuk kegiatan bersifat rutin


Fungsional
Kegiatan-kegiatn yang kurang mendukung pencapaian sasaran

Dalam hal pengadaan barang dan jasa yang dikontrakkan pada pihak yang bukan ahli
dibidangnya

Adanya kecenderungan melakukan pengadaan barang dan jasa dengan pembayaran Uang
Persediaan/ Tambahan UP khususnya untuk pekerjaan swakelola misalnya pada Dinas
Kimpraswil. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya permintaan izin TU dengan
beraneka alasan yang pada hakikatnya adalah keengganan KPA untuk melakukan
pembayaran langsung;

Adanya kecenderungan melakukan perubahan/penambahan volume kegiatan yang pada


hakikatnya adalah untuk penyerapan dana, dengan mengalihkan dari kegiatan yang dirasa
sulit untuk melakukan pencairan dana. Indikator ini dapat dibuktikan banyaknya
pengajuan revisi kepada Kanwil DJPBN;

Belum adanya kesadaran para pengelola keuangan untuk menjadikan dan memiliki
peraturan tentang pengelolaan keuangan sebagai pegangan dan acuan kerja, dan lebih
mengandalkan pada konsultasi ke KPPN dimana kemampuan dan penguasaan peraturan
teknis pegawai yang melayani juga masih terbatas;

Belum adanya kemandirian para penanggung jawab fungsional (Bendahara, Penguji


Tagihan dan Penandatangan SPM) yang pada umumnya secara struktural merupakan
pegawai bawahan pembuat komitmen (Kabag Umum / Kasubag Umum/ Kasubag TU)
yang dalam pelaksanaan pekerjaannya berada dalam kendali dan atas perintah atau lebih
extrim berada dalam tekanan sesuai keinginan atasannya sehingga ada rasa enggan atau
takut terjadinya conflict of interest;

Masih lemahnya kemampuan pejabat penerbit SPM dalam menterjemahkan DIPA serta
RKA-KL dan akibatnya pengujian tagihan dan pembebanan MAK/MAP tidak sesuai
dengan substansi pembayaran,

Contoh :
Dalam hal pembayaran Belanja Barang Non Operasional Lainnya (BKPK 5212) ternyata dalam
SPTB tercantum Pemeliharaan AC yang seharusnya masuk dalam BKPK 5231 dan ternyata
dalam RKAKL memang alokasi dana untuk pemeliharaan AC tersebut masuk dalam MAK
521219

C. Faktor-faktor yang mempegaruhi pelaksanaan tugas

a. Faktor yang mendukung pelaksanaan tugas

1. Proses pengolahan data pelaksanaan APBN dilakukan secara elektronik didukung dengan
aplikasi program secara integrasi;
2. Adanya payung hukum yang mandiri dan mempunyai legimitasi yakni UU No.17 tahun
2003 tentang Keuangan Negara dan UU No.1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
serta peraturan lainnya.

b. Faktor yang menghambat pelaksanaan tugas

1. Kemampuan SDM menjadi faktor utama terhambatnya pelaksanaan tugas dikarenakan di


era Teknologi Informasi maka pelaksanaan tugas menuntut adanya kemampuan di bidang
pengolahan data (komputer) disamping pengetahuan kewenangan kebendaharaan dan
pengetahuan kewenangan administratif yang standar;
2. Pembinaan terhadap KPA masih dilakukan parsial dan seharusnya pembinaan dan
bimbingan teknis dilakukan secara komprehensf meliputi aspek otoriasasi,
orodonansering, comptable, akuntansi dan pengolahan data;
3. Kurangnya sosialisasi dalam bentuk GKM kepada lingkup internal (jajaran DJPBN);
4. Belum adanya payung hukum bagi Bendahara Umum Negara/Kuasa BUN untuk
melakukan pengawasan kepada satker pengguna atas pengelolaan keuangan negara
khususnya ada temuan kejanggalan atau indikasi penyimpangan yang dilakukan oleh
KPA;
5. Tidak adanya penghargaan (reward) dan sanksi (punishmen) atas kinerja pegawai;
6. Sarana dan prasarana berupa piranti komputer dan jaringan website untuk mendukung
sistem pembayaran yang belum memadai mengingat sarana yang ada sementara ini sudah
tergolong kuno dan tidak branded.

D. Usul Penyempurnaan Aturan Pelaksanaan Kewenangan Kebendaharaan

Dari pengamatan pelaksanaan pengelolaan keuangan negara yang dikemukakan di atas dapat
disimpulkan masih terdapat kelemahan khususnya efficiency operational yang dikhawatirkan
justru akan menghambat pencapaian tujuan dan sasaran program. Oleh karena itu diperlukan
langkah-langkah perbaikan sebagai berikut :

Perlu adanya aturan sebagai bentuk pembinaan sekaligus pengawasan atas pengelolaan
keuangan negara (post audit) oleh Bendahara Umum Negara/Kuasa BUN. Artinya
apabila ada kejanggalan atau ditemukan indikasi penyimpangan dalam perintah
pembayaran maka BUN/Kuasa BUN tetap menerbitkan SP2D, namun perlu dilakukan
pembinaan secara tertulis atas kesalahan/penyimpangan tersebut dengan tembusan
kepada aparat pengawas fungsional. Produk aturan yang diusulkan adalah dalam bentuk
Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan;

Diperlukan penyuluhan secara kontinyu kepada KPA agar mind set selaku pemegang
kewenangan administratif dapat dipahami dan diresapi. Untuk itu fungsi pembinaan pada
Bidang PPKN dan Bidang AKLAP perlu dirumuskan ulang agar pola pembinaan yang
dilakukan benar-benar komprehensif dan tepat guna sesuai reformasi manajemen
keuangan pemerintah;

Perlu aturan tentang standar mutu layanan Kanwil DJPBN dan KPPN agar proses
pengalihan kewenangan administratif kepada KPA dapat berjalan dengan baik;

Dengan diberlakukan standar mutu layanan maka perlu adanya bentuk kompensasi yakni
berupa rangsangan (insentif) sebagai reward dan sebaliknya akan diberikan sanksi apabila
ada pelanggaran dalam pelayanan kepada mitra kerja;

KPPN tidak perlu lagi membuat Kartu Pengawasan Belanja Pegawai Perorangan
(lampiran 14-3 PER-66/PB/2005) dikarenakan hal tersebut merupakan kewenangan
administratif pada KPA;
Perlunya Bank Data Pegawai Negeri Sipil seluruh Indonesia agar file data jati diri PNS
dapat secara mudah diakses oleh seluruh unit pemakai mengingat di era IT semua data
diproses secara elektronik;

Diterapkan standar kompetensi dalam rangka meningkatkan kualitas kinerja


Dit.Jen.Perbendaharaan termasuk lingkup Kanwil DJPBN dan KPPN dikarenakan
perubahan dalam sistem penganggaran di era reformasi manajemen pemerintah
menghendaki adanya profesionalisme dan kompeten di bidang tugasnya;

Perlu percepatan peningkatan kompetensi pegawai di bidang otorisasi, ordonateur,


akuntansi, analisa pelaporan dan pengolahan data dengan indikator sasaran prosentase
pegawai yang mempunyai keahlian pada bidang tersebut dengan melaksanakan kegiatan
on the job training (pelatihan di tempat kerja) dan GKM dengan sisitim mentoring;

Perlu dirumuskan ulang prosedur kerja Kanwil DJPBN dan KPPN dalam hal :

Pola pembinaan sistem akuntansi pemerintah yang komprehensif dan pengolahan data
yang integrasi dengan membetuk think thank dan DUKTEK di Kanwil DJPBN

Standardisasi kinerja KPPN :

a. Diterapkan pengamanan prosedur tetap pengamanan database


b. Ditentukan proses cut off
c. Dibentuk work shop untuk menanggulangi permasalahan aplikasi
d. Standar rekonsiliasi dalam rangka mutu pelayanan terhadap mitra kerja
e. Prosedur perbaikan data

E. Reformasi Manajemen Keuangan Pemerintah

Indikasi penyimpangan anggaran negara sebagaimana ditemukan oleh Badan Pemeriksa


Keuangan (BPK) akhir-akhir ini menimbulkan kekhawatiran pada sebagian kalangan politisi dan
masyarakat bahwa reformasi manajemen keuangan pemerintah tampaknya masih dalam batas
verbalisme politis. Sistem manajemen keuangan pemerintah dan aparat pelaksananya masih
belum mampu menggunakan uang rakyat secara bertanggung jawab. Sungguh ironis di tengah
pengangguran dan kemiskinan yang semakin meluas serta hutang negara yang semakin
membengkak, oknum aparat pemerintah masih melakukan tindakan tidak terpuji dengan
menyalahgunakan uang rakyat. Perilaku koruptif masa Orde Baru masih melekat kuat pada
sebagian aparat pemerintah.

Hasil temuan BPK tersebut menimbulkan pertanyaan mendasar: Apa yang salah dengan sistem
manajemen keuangan pemerintah kita? Apabila ternyata sistem manajemen keuangan
pemerintah kita terbukti memiliki kelemahan, apakah ada sistem manajemen keuangan
pemerintah alternatif yang mampu menekan penyimpangan dan pemborosan keuangan dan
sumber daya negara? Sistem manajemen keuangan pemerintah
Apa yang dikemukakan oleh Sondang P. Siagian (1995) dalam menggambarkan keadaan
manajemen keuangan pemerintah semasa Orde Baru tampaknya masih belum berubah secara
signifikan pada masa Orde Reformasi sekarang ini. Ia mengatakan bahwa manajemen keuangan
pemerintah sudah tidak sesuai dengan tuntutan pembangunan. Sebagai contoh, sistem pelaporan
keuangan, katanya "....sering hanya menunjukkan legalitas penggunaan biaya dan kurang
menunjukkan efisiensi penggunaan biaya tersebut". Sistem pelaporan keuangan yang
memungkinkan terjadinya distorsi informasi demikian tentunya sangat buruk bagi proses
pembuatan keputusan dan kebijakan pemerintah yang efektif di bidang manajemen aset dan
kewajiban (liabilities).

Dalam praktik manajemen keuangan pemerintah yang masih berlangsung sekarang ini, ada
kecenderungan dari oknum pejabat untuk menghabiskan sisa anggaran, baik anggaran rutin
maupun anggaran pembangunan (proyek), yang dikelolanya. Pejabat tersebut termotivasi oleh
insentif untuk menghabiskan sisa anggaran karena kalau sisa anggaran tersebut tidak dihabiskan
maka jumlah anggaran yang disetujui Departemen Keuangan untuk tahun berikutnya, baik yang
diusulkan dalam Daftar Usulan Kegiatan (DUK) maupun Daftar Usulan Proyek (DUP), akan
lebih kecil dari jumlah anggaran tahun sebelumnya.

Akibatnya, oknum pejabat tersebut merekayasa kegiatan untuk menghabiskan sisa anggaran dan
membuat laporan keuangan "yang seolah-olah benar" untuk menjustifikasi kegiatan tersebut.
Dalam sistem manajemen keuangan demikian tidak ada insentif bagi pengelola anggaran untuk
menghemat maupun mengelola anggaran tersebut secara efektif dan efisien.

Lemahnya manajemen pemerintahan khususnya manajemen keuangan, pemerintah yang


menstimulasi perbuatan koruptif demikian telah menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat
kepada lembaga pemerintah terutama pada lembaga pengawasan.

Apabila dilihat dari praktik pengelolaan keuangan negara, tampak jelas pemerintah
menggunakan "Cash Accounting System" (Sistem Akutansi Tunai-SAT). Penggunaan sistem ini
dipertegas lagi dalam Keputusan Presiden No. 16 Tahun 1994 dan Surat Keputusan Menteri
Keuangan No. 217/KMK.03/1990.

SAT hanya mencatat pos-pos penerimaan dan pengeluaran tunai. Dalam SK Menteri tersebut
ditegaskan bahwa mulai 1 April 1990 berlaku sistem baru untuk semua pembayaran atas beban
kepanjangan (APBN) yang disebut Sistem Pembayaran dengan Uang Yang Harus
Dipertanggungjawabkan (UYHD). Dalam sistem UYHD tampak jelas pencatatan hanya
dilakukan pada pembayaran tunai kegiatan jangka pendek, tidak memperhitungkan kewajiban
jangka panjang.

Seperti yang sudah lazim dalam praktik pembukuan dan akutansi pemerintah selama ini, SAT
yang digunakan pemerintah tidak mencatat aset dan kewajiban terutang baik dalam bentuk akun
yang terutang (account payable) maupun akun piutang (account receivable). Oleh karena itu,
tidak jelas dan sulit dilacak berapa nilai semua aset dan kewajiban yang dimiliki pemerintah.

Akibatnya, sistem pelaporan keuangan yang dihasilkan cenderung memberikan informasi yang
tidak lengkap dan menyesatkan. Keadaan demikian seringkali membuat keputusan dan kebijakan
publik yang berkaitan dengan aset dan kewajiban pemerintah, termasuk manajemen hutang salah
dan tidak efektif (policy defect). Kelemahan lain dari manajemen keuangan pemerintah selama
ini adalah adanya nonbujeter, yaitu dana di luar APBN yang berasal dari pendapatan bukan
pajak. Adanya pengalokasian dana yang bersifat nonbujeter yang penggunaannya tidak
transparan dan lemah mekanisme akuntabilitas publiknya jelas bertentangan dengan prinsip
pemerintahan yang baik (good governance).

Berbeda dengan SAT, Sistem "Accrual Accounting" (SAA) bukan hanya mencatat nilai
penerimaan dan pembayaran tunai tetapi juga mencatat semua nilai aset dan kewajiban jangka
panjang. Oleh karena itu, dengan SAA semua aset dan kewajiban pemerintah akan terlihat dan
terdeteksi. Melalui pencatatan account payable dan account receivable, SAA secara sistematis
membukukan, dalam bentuk double entries, semua aset dan kewajiban pemerintah.SAA
mengutamakan pemenuhan prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntablitas publik dalam
manajemen keuangan dan sumber daya negara.

Penerapan SAA adalah wujud pelaksaan good governance dalam manajemen keuangan dan
sumber daya (aset) negara. Namun demikian, efektivitas implementasi SAA tersebut tidak bisa
lepas dari apa yang kemudian dikenal dalam manajemen sektor publik moderen New Public
Management (NPM) sebagai korporasi manajemen pemerintahan (corporate government).
Sebagaimana layaknya dikenal dalam dunia bisnis swasta, dalam NPM pun diaplikasikan konsep
ownership (pemilikan), purchase (pembeli), shareholder (pemegang saham), dan custtomer
(pelanggan). NPM mengonstruksi organisasi pemerintah sebagai suatu korporasi. Masyarakat,
sebagai pembayar pajak (tax payer), adalah shareholder dari organisasi tersebut.

Masyarakat berhak tahu atas segala urusan dan manajemen organisasi pemerintah, termasuk
manajemen aset dan kewajiban. Pengurus organisasi tersebut wajib memberitahukan secara
transparan kepada masyarakat sebagai shareholder semua hal mengenai aset dan kewajiban
organisasi, baik yang bersifat jangka pendek maupun jangka panjang. Menteri, sebagai pimpinan
tertinggi dari organisasi tersebut, harus bertanggung jawab dan akuntabel kepada masyarakat
mengenai semua hal menyangkut kemajuan dan manajemen organisasi.

Peran dan partisipasi masyarakat dalam korporasi manajemen pemerintahan demikian adalah
dengan mengawasi penggunaan dan pengelolaan aset dan kewajiban organisasi. Apabila
pengurus gagal mengelola aset dan kewajiban organisasi maka masyarakat bisa mengusulkan
untuk mengganti pengurus atau menteri yang memimpin organisasi tersebut. Dalam NPM
hubungan antara Menteri dan Direktur Jenderal sebagai CEO (Chief Executive Officer)
diwujudkan dalam bentuk Performance Contract (kontrak kinerja) yang biasanya berlaku selama
lima tahun. Dalam kontrak demikian, menteri sebagai wakil dari owner (pemerintah), dapat
memecat CEO sebelum habis masa kontrak kerjanya apabila ia gagal dalam mengelola aset dan
sumber daya organisasi yang dipimpinnya. Oleh karena itu, CEO akan termotivasi untuk
mengelola aset organisasi tersebut secara lebih afektif, efisien, dan bertanggung jawab.

Namun, SAA bukannya tanpa kekurangan. Kelemahannya adalah relatif tingginya biaya
admisitrasi dan transaksi (transaction cost). Dalam sistem ini setiap organisasi pemerintah
diwajibkan mempublikasikan laporan keuangannya kepada publik. Artinya, dibutuhkan banyak
tenaga pemeriksa keuangan (auditor) profesional untuk menyiapkan dan mengaudit laporan
keuangan tersebut. Selain itu, efektivitas SAA dalam manajemen aset dan keuangan negara
sangat bergantung pada integritas moral dan keprofesionalan para operatornya.

Di sinilah profesi pemeriksa keuangan, baik ia sebagai pemeriksa keuangan internal maupun
eksternal (internal and external auditor) maupun pengelola keuangan pemerintah, memegang
peranan penting. Efektivitas SAA dalam manajemen aset dan keuangan pemerintah telah
dibuktikan oleh Pemerintah Selandia Baru. Hasilnya, posisi anggaran belanja Pemerintah
Selandia Baru berubah, dari defisit sebesar $ 2.254 miliar tahun 1990-1991 menjadi surplus $755
juta pada 1994 dan $ 3.314 juta pada 1996. SAA telah memberikan kontribusi yang nyata dalam
menekan pemborosan anggaran sekaligus meningkatkan efektivitas penggunaan anggaran
tersebut.

SAA merupakan sistem manajemen keuangan alternatif yang dapat digunakan oleh pemerintah
Indonesia untuk mereformasi manajemen keuangannya. Sistem ini telah terbukti mampu
mengelola kekayaan negara secara efektif, efisien, dan bertanggung jawab. Namun, hal yang
paling mendasar agar sistem tersebut bekerja dengan efektif adalah adanya kemauan politik
pemerintah untuk secara sungguh-sungguh menerapkan sistem tersebut guna mewujudkan good
governance dalam manajemen keuangan pemerintah

KESIMPULAN

Dari uraian yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan pemisahan kewenangan administratif
dan kewenangan kebendaharaan masih menimbulkan permasalahan-permasalahan sehingga
pelaksanaan anggaran yang efisien sebagaimana diharapkan dengan perubahan sistem belum
terlihat secara jelas. Yang perlu dipikirkan bersama adalah arah reformasi bidang
perbendaharaan harus dikawal sesuai tujuan yang dicapai yaitu menciptakan good governance
dan hal itu dapat terwujud apabila dalam pelaksanaan APBN mengacu pada tiga prinsip penting
dalam Public Expendiure Management yakni : aggregate fiscal dicipline, Allocative efficiency
dan operational efficiency. Untuk itu selaku bagian dari jajaran Direktorat Jenderal
Perbendaharaan maka Kanwil DJPBN hendaknya terus melakukan evaluasi kinerja dan
pengembangan kinerja agar dapat merespon perubahan dalam segala aspek pengelolaan
keuangan negara. Amin.
SARAN

Sistem manajemen keuangan pemerintah yang dipraktikkan pemerintah selama ini kurang
memenuhi prinsip good governance dalam pengelolaan keuangan negara. Sistem manajemen
keuangan demikian melemahkan partisipasi masyarakat untuk mengawasi penggunaan anggaran,
memancing praktik korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) karena kurang transparan, dan mendorong
pejabat untuk menggunakan keuangan dan sumber daya negara secara tidak bertanggung jawab
karena lemahnya mekanisme akuntablitas publik dalam pengelolaan keuangan negara. Oleh
karena itu, perlu dicari sistem manajemen keuangan pemerintah alternatif yang memenuhi
prinsip good governance dalam pengelolaan keuangan dan sumber daya negara. Sistem "Accrual
Accounting" dapat dijadikan salah satu alternatif kebijakan.
DAFTARPUSTAKA

James K. Van Fleet, 1973, 22 Manajemen Keuangan, Jakarta:Mitra Usaha

http://artikelrande.blogspot.com/2010/07/manajemen-keuangan.html

Purwanto, Yadi, 2001, Manajemen Keuangan Pemerintah PT. Cendekia Informatika, Jakarta

W. Brown steven, 1998, manajemen kepemipinan, Jakarta: Profesional Books

Anda mungkin juga menyukai