BAB I
PENDAHULUAN
I. 1 Latar Belakang
Farmasi fisika adalah ilmu yang mempelajari tentang analisis
kualitatif dan kuantitatif senyawa organik dan anorganik yang berhubungan
dengan sifat fisikanya, misalnya spektrometri massa, spektrofotometri, dan
kromatografi. Farmasi fisika juga merupakan ilmu yang mempelajari tentang
ilmu fisika yang diaplikasikan ke dalam ilmu farmasi. Salah satu objek yang
dipelajari dalam farmasi fisika adalah emulsifikasi (Syamsuni, 2006).
Emulsifikasi merupakan proses terbentuknya emulsi, dimana emulsi
adalah sediaan berupa campuran terdiri dari dua fase cairan dalam sistem
dispersi, fase cair yang satu terdispersi sangat halus dan merata dalam fase
lainnya, umumnya dimantapkan oleh zat pengemulsi (Dirjen POM, 1979).
sediaan yang mengandung bahan obat cair atau larutan obat,
redispersi dalam cairan pembawa, distabilkan dengan zat pengemulsi atau
surfaktan yang cocok. Proses terbentuknya emulsi, dimana emulsi adalah
sediaan berupa campuran terdiri dari dua fase cairan dalam system dispers;
fase cair yang satu redispersi sangat halus dan merata dalam fase cairan
lainnya; umumnya dimantapkan oleh zat pengemulsi inilah yang disebut
dengan emulsifikasi (Ditjen POM, 1979; Depkes RI, 1978).
Dalam kehidupan sehari-hari sangat banyak sediaan farmasi yang
berupa emulsi, sebab emulsi memiliki banyak kelebihan diantaranya dapat
menyatukan dua fase yang berbeda, mengurangi rasa pahit dari zat aktif obat,
dan tentunya mempercepat absorbsi secara oral dalam tubuh (Jufri. M, 2004).
Sediaan emulsi biasanya sangat sulit untuk menjaga kestabilannya,
oleh karena itu, untuk menjaga kestabilan dari emulsi tersebut digunakan
emulgator. Emulgator itu sendiri merupakan komponen yang penting untuk
memperoleh emulsi yang stabil atau sebagai penstabil emulsi. Salah satu
emulgator yang banyak digunakan adalah surfaktan. Mekanisme kerja
emulgator semacam ini berdasarkan atas kemampuannya menurunkan
tegangan permukaan air dan minyak serta membentuk lapisan
2
monomolekuler pada permukaan global fase terdispersi. Ada dua macam tipe
emulsi yang terbentuk yaitu tipe M/A dimana tetes minyak redispersi ke
dalam fase air, dan tipe A/M dimana fase intern air dan fase ekstern adalah
minyak. Fase intern disebut pula fase dispers atau fase discontinue. Selain
itu, HLB butuh minyak juga perlu kita ketahui (Rowe,R.C, 2009).
Praktikum ini mempelajari tentang cara pembuatan emulsi dengan
menggunakan emulgator dari golongan surfaktan yaitu Tween 80 dan Span
80 dengan berbagai konsentrasi. Oleh karena, betapa pentingnya mahasiswa
farmasi mengetahui bagaimana cara pembuatan sediaan emulsi yang
kestabilannya baik, maka hal ini yang mendasari percobaan emulsifikasi.
I. 2 Maksud dan Tujuan Percobaan
I.2.1 Maksud Percobaan
Mengetahui dan memahami ksetabilan dari suatu sediaan emulsi serta
tipe-tipe emulsi
I.2.2 Tujuan Percobaan
Setelah melakukan percobaan ini mahasiswa diharapkan mampu:
1. Menghitung jumlah emulgator golongan surfaktan yang digunakan dalam
pembuatan emulsi
2. Membuat emulsi dengan menggunakan emulgator golongan surfaktan
3. Mengevaluasi ketidakstabilan emulsi
4. Menentukan HLB butuh minyak yang digunakan dalam pembuatan
I. 3 Prinsip Percobaan
Pembuatan emulsifikasi menggunakan paraffin cair dengan span 80
sebagai fase minyak, serta air dan tween 80 sebagai fase air dengan
menggunakan ultra turrax untuk mengetahui adanya volume pemisahan, uji
redispersi, dan penentuan tipe emulsi dengan adanya penambahan methylen
blue.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Teori Umum
II.1.1 Definisi Emulsi
Emulsi adalah suatu sistem yang secara termodinamika tidak stabil,
terdiri dari paling sedikit dua fasa sebagai globul-globul dalam fasa cair
lainnya. Sistem ini biasanya distabilkan dengan emuulgator (Jenkins, 1957).
Emulsi yang digunakan dalam bidang farmasi adalah sediaan yang
mengandung dua cairan yang satu terdispersi secara seragam sebagai tetesan
dalam cairan lainnya. Sediaan emulsi merupakan golongan penting dalam
sediaan farmasetik karena memberikan pengaturan yang dapat diterima dan
bentuk yang cocok untuk beberapa bahan berminyak yang tidak diinginkan
oleh pasien (Jenkins, 1957).
Dalam bidang farmasi, emulsi biasanya terdiri dari minyak dan air.
Berdasarkan fasa terdispersinya dikenal dua jenis emulsi, yaitu (Ansel,
1989):
1. Emulsi minyak dalam air, yaitu bila fasa minyak terdispersi di dalam
fasa air.
2. Emulsi air dalam minyak, yaitu bila fasa air terdispersi di dalam fasa
minyak.
Dalam pembuatan suatu emulsi, pemilihan emulgator merupakan
faktor yang penting untuk diperhatikan karena mutu dan kestabilan suatu
emulsi banyak dipengaruhi oleh emulgator yang digunakan. Salah satu
emulgator yang aktif permukaan atau lebih dikenal dengan surfaktan.
Mekanisme kerjanya adalah menurunkan tegangan antarmuka permukaan
air dan minyak serta membentuk lapisan film pada permukaan globul-globul
fasa terdispersinya (Jenkins, 1957).
II.1.2 Teori terbentuknya emulsi
Untuk mengetahui proses terbentuknya emulsi dikenal empat macam
teori yang melihat proses terjadinya emulsi dari sudut pandang yang
berbeda-beda, diantaranya yaitu (Syamsuni, 2006):
4
Gom 8,0 -
B% a = (100% - A%)
Makin rendah nilai HLB suatu surfaktan maka akan makin lipofil
surfaktan tersebut, sedang makin tinggi nilai HLB surfaktan akan makin
hidrofil (Anief, 2005).
Cara menentukan HLB ideal dan tipe kimi surfaktan dilakukan dengan
eksperimen yang prosedurnya sederhana, ini dilakukan jika kebutuhan HLB
bagi zat yang diemulsi tidak diketahui. Ada 3 fase (Anief, 2005) :
a. Fase I
Dibuat 5 macam atau lebih emulsi suatu zat cair dengan sembarang
campuran surfaktam, dengan klas kimi yang sama, misalnya campuran
Span 20 dan Tween 20. Dari hasil emulsi dibedakan salah satu yang
terbaik diperoleh HLB kira-kira. Bila semua emulsi baik atau jelek maka
percobaan diulang dengan mengurangi atau menambah emulgator.
b. Fase II
Membuat 5 macam emulsi lagi dengan nilai HLB di sekitar HLB
yang diperoleh dari fase I. dari kelima emulsi tersebut dipilih emulsi yang
terbaik maka diperoleh nilai HLB yang ideal.
c. Fase III
Membuat 5 macam emulsi lagi dengan nilai HLB yang ideal dengan
menggunakan bermacam-macam surfaktan atau campuran surfaktan.dari
emulsi yang paling baik, dapat diperoleh campuran surfaktan mana yang
paling baik (ideal).
Ketidakstabilan dalam emulsi farmasi dapat digolongkan sebagai
berikut (Anief, 2010) :
1. Flokulasi dan creaming
Creaming merupakan pemisahan dari emulsi menjadi beberapa
lapis cairan, dimana masing-masing lapis mengandung fase dispers
yang berbeda. Nama cream berasal dari peristiwa pemisahan sari susu
daru susu (milk). Sari susu tersebut dapat dibuat Casein, keju dan
sebagainya.
11
BAB III
METODE KERJA
III.1.2 Bahan
1. Alkohol 70%
2. Aquades
3. Methylen blue
4. Paraffin cair
5. Span 80
6. Tissue
7. Tween 80
Cara Kerja
1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
2. Dibersihkan alat yang akan digunakan dengan menggunakan alkohol 70%
17
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1 Hasil Pengamatan
IV.1.1 Tabel volume pemisahan
A. HLB butuh 5
0 33 mL - -
10 33 mL 8 mL 0,24 mL
20 33 mL 7 mL 0,21 mL
30 33 mL 6 mL 0,18 mL
B. HLB butuh 6
Volume pemisahan
Tinggi volume Tinggi
t Vu
awal cair
(menit) V0
(V0 ) (Vu )
0 31 mL - -
10 31 mL 9 mL 0,29 mL
20 31 mL 8 mL 0,25 mL
30 31 mL 7 mL 0,225 mL
C. HLB butuh 10
0 23 mL - -
10 23 mL 8 mL 0,347 mL
20 23 mL 7 mL 0,30 mL
19
30 23 mL 6 mL 0,26 mL
D. HLB butuh 11
Volume pemisahan
Tinggi volume Tinggi
t Vu
awal cair
(menit) V0
(V0 ) (Vu )
0 22 mL - -
10 22 mL 9 mL 0,40 mL
20 22 mL 8 mL 0,36 mL
30 22 mL 7 mL 0,31 mL
5 2
6 3
10 2
11 3
5 M/A
6 M/A
10 M/A
11 M/A
IV.2 Perhitungan
IV.2.1 Perhitungan HLB
20
R/
Paraffin cair 20%
Tween 80
7%
Span 80
Aquadest add 30 mL
a. HLB butuh 5
20
Paraffin cair = 30 = 6 g
100
Tween 80 15 0,7
5
Span 80 4,3 10
+
10,7
0,7
Tween 80 = 7% = 0,5 %
10,7
0,5
= 20 = 0,1 gr
100
10
Span 80 = 7% = 6,5 %
10,7
6,5
= 20 = 1, 3 gr
100
Air = 20 mL (4 + 0,1 + 1,3)
= 14,6 mL
b. HLB butuh 6
20
Paraffin cair = 30 = 6 g
100
Tween 80 15 1,7
6
Span 80 4,3 9
+
2,6
21
1,7
Tween 80 = 7% = 1,11 %
10,7
1,11
= 20 = 0,2 gr
100
9
Span 80 = 7% = 5,9 %
10,7
5,9
= 20 = 1, 2 gr
100
Air = 20 mL (4 + 0,2 + 1,2)
= 14,6 mL
c. HLB butuh 10
20
Paraffin cair = 30 = 6g
100
Tween 80 15 5,7
10
Span 80 4,3 5
+
10,7
5,7
Tween 80 = 7% = 3,7 %
10,7
3,7
= 20 = 0,66 gr
100
5
Span 80 = 7% = 3,3 %
10,7
3,3
= 20 = 0,74 gr
100
Air = 20 mL (4 + 0,66 + 0,74)
= 14,6 mL
d. HLB butuh 11
20
Paraffin cair = 30 = 6g
100
Tween 80 15 6,7
11
22
Span 80 4,3 4
+
10,7
6,7
Tween 80 = 7% = 4,4 %
10,7
4,4
= 20 = 0,9 gr
100
4
Span 80 = 7% = 2,6 %
10,7
2,6
= 20 = 0,5 gr
100
Air = 20 mL (4 + 0,9 + 0,5)
= 14,6 mL
IV.2.2 Perhitungan volume pemisahan
a. HLB butuh 5
V0 = 36 mL
1. t10 Vu = 9 mL
Vu
Vpemisahan =
V0
8
= = 0,24 mL
33
Waktu redispersi = 2 detik
2. t20 Vu = 7 mL
Vu
Vpemisahan =
V0
7
= = 0,21 mL
33
Waktu redispersi = 2 detik
3. t30 Vu = 6 mL
Vu
Vpemisahan =
V0
23
7
= = 0,18 mL
33
Waktu redispersi = 2 detik
b. HLB butuh 6
V0 = 31 mL
1. t10 Vu = 9 mL
Vu
Vpemisahan =
V0
9
= = 0,29 mL
31
Waktu redispersi = 3 detik
2. t20 Vu = 8 mL
Vu
Vpemisahan =
V0
8
= = 0,26 mL
31
Waktu redispersi = 3 detik
3. t30 Vu = 7 mL
Vu
Vpemisahan =
V0
7
= = 0,225 mL
31
Waktu redispersi = 3 detik
c. HLB butuh 10
V0 = 23 mL
1. t10 Vu = 8 mL
Vu
Vpemisahan =
V0
8
= = 0,347 mL
23
Waktu redispersi = 2 detik
2. t20 Vu = 7 mL
24
Vu
Vpemisahan =
V0
7
= = 0,30 mL
23
Waktu redispersi = 2 detik
3. t30 Vu = 6 mL
Vu
Vpemisahan =
V0
6
= = 0,26 mL
23
Waktu redispersi = 2 detik
d. HLB butuh 11
V0 = 22 mL
1. t10 Vu = 9 mL
Vu
Vpemisahan =
V0
9
= = 0,40 mL
22
Waktu redispersi = 3 detik
2. t20 Vu = 8 mL
Vu
Vpemisahan =
V0
8
= = 0,36 mL
22
Waktu redispersi = 3 detik
3. t30 Vu = 7 mL
Vu
Vpemisahan =
V0
7
= = 0,31 mL
22
Waktu redispersi = 3 detik
IV.2 Pembahasan
25
pertumbuhan mikroba pada alat yang akan digunakan serta alkohol 70% juga
membuat alat tetap steril (Jurnal Sari Pediatri volume 2, 2005).
Kemudian membuat emulsi dengan HLB butuh 5, 6, 10 dan 11.
Sebelumnya dihitung paraffin yang akan digunakan untuk setiap HLB yaitu,
4 g. Sedangkan jumlah Tween 80 yang dibutuhkan masing-masing HLB
butuh yaitu untuk HLB 5 : 0,1g, HLB 6 : 0,2 g, HLB 10 : 0,75 g, dan HLB
11 : 0,88 g, Span 80 untuk HLB 5 : 1,3 g g, HLB 6 : 1,2 g, HLB 10 : 0,6 g,
HLB 11 : 0,5 g, dan air yang dibutuhkan untuk masing-masing HLB adalah
14,6 ml.
Langkah selanjutnya ditimbang bahan, dan dilarutkan masing-masing
bahan pada fase yang sesuai. Tween 80 dilarutkan dalam air sebagai fase air
dan span 80 dilarutkan ke dalam minyak sebagai fase minyak. Menurut Ansel
(2008) hal ini disebabkan karena tween 80 memiliki HLB 15 dan Span 80
memiliki HLB 4,3, semakin tinggi harga HLB maka semakin polar atau
hidrofilik sediaan itu dan sebaliknya semakin rendah harga HLB maka
semakin nonpolar atau hidrofobik seidiaan tersebut, sehingga tween 80 larut
dalam air dan span 80 larut dalam minyak. Kemudian dipanaskan diatas hot
plat sambil diaduk. Tujuan pemanasan dengan adanya pengadukan untuk
mempercepat larutnya tween dalam air Ansel (1989). Sedangkan span 80
dengan HLB 5, 6, 10, dan 11, masing-masing dicampurkan dengan parafin
cair 4 ml, karena span dapat larut dalam minyak yang merupakan pelarut
nonpolar (Ansel, 1989), kemudian dipanaskan diatas hot plat sambil diaduk
hingga larut.
Selanjutnya digunakan alat Ultra Turrax dengan kecepatan 3500 rpm
untuk menghomogenkan emulsi. Adapun prinsip kerja dari ultra turrax ini
adalah dengan cara memberikan gelombang ultrasonik dengan frekuensi 20-
50 kilocydes/detik. Dengan adanya gelombang tersebut akan
mengakibatkan partikel pecah menjadi ukuran lebih kecil. (Jufri. M, 2004;
Ansel, 1989).
Selanjutnya dihitung volume pemisahan pada menit ke 10, 20 dan 30.
Menurut Martin (2008), hal ini bertujuan agar dapat diketahui rasio dari
27
dalam air. Jika air merupakan fase luar, yakni jika emulsi tersebut bertipe
o/w, zat warna tersebut akan melarut didalam dan berdifusi merata ke
seluruh bagian dari air tersbut. Jika emulsi tersebut tipe w/o, partikel-
partikel warna akan tinggal bergerombol pada permukaan (Martin A, 2008).
Data yang diperoleh berbeda setiap waktunya pada HLB yang
berbeda pula, hal ini membuktikan adanya faktor ketidakstabilan yang
terjadi dalam sediaan emulsi yang dibuat.
Kemungkinan kesalahan yang terjadi pada saat praktikum ialah
kurang telitinya praktikan dalam melaksanakan praktikum dan saat melihat
waktu redispersi.
BAB V
PENUTUP
V.1 Kesimpulan
1. Surfaktan yang digunakan dalam praktikum kali ini yaitu Tween-80 dan
Span-80 untuk memformulasikan Parafin Cair 20%. Tween-80 sebagai
pembawa fase air dan Span-80 sebagai pembawa minyak.
2. Untuk membuat emulsi dengan surfaktan Tween-80, Span-80 dan paraffin
cair 20% yaitu, mencampur Tween-80 dengan air karena Tween sebagai
29
pembawa fase air dan Span-80 dicampur dengan Paraffin Cair karena
Span-80 sebagai pembawa fase minyak, kemudian kedua campuran
tersebut di aduk dan dihomogenkan dengan ultraturax.
3. Evaluasi ketidakstabilan emulsi pad praktikumini terdiri dari uji
pemisahan dan metode warna. Setelah di uji pemisahan, volume
pemisahan berkisar dari <1 sampai >1 dan apabila volume suatu endapan
terjadi flokulasi maka volume akhir dari endapan (F) adalah lebih kecil
dari volume awal, hal ini terjadi karena hasil flokulat yang terbentuk
adalah sebegitu longgarnya dan lunak sehingga volume yang dapat dicapai
lebih besar dari volume emulsi awal. Setelah ditetesi metilen biru, semua
emulsi berubah menjadi warna biru artinya semua emulsi merupakan
emulsi tipe minyak dalam air, ini karena metilen biru larut dalam air.
4. Setelah dihitung menggunakan perhitungan aligasi didapat HLB butuh
untuk paraffin cair 20% yaitu 5, 6, 10 dan 11. Surfaktan untuk setiap HLB
yaitu Tween-80 0,1 gr, 0,2 gr, 0,7 gr, 0,9 gr dan Twen-80 1,3 gr, 1,2 gr,
0,7 gr, 0,5 gr.
V. 2 Saran
V.2.1 Asisten
Untuk para asisten yang ada dilaboratoriun farmasi fisika agar lebih
bisa spesifik lagi untuk menerangkan teori maupun cara kerja praktikum yang
akan dilakukan.
V.2.2Laboratorium
Untuk laboratorium yang di gunakan untuk praktikum farmasi fisika
agar lebih di perhatikan kebersihan lab dan kelengkapan alat-alat yang sangat
di perlukan oleh praktikan demi ke-efektifan kegiatan praktikum yang di
lakukan.
V.2.3 Mahasiswa
30