Bab III Anestesi Dasar Revisi Akhir PDF
Bab III Anestesi Dasar Revisi Akhir PDF
ANESTESI DASAR
Evaluasi harus dilakukan dengan ketrampilan dan pertimbangan yang benar untuk
mendapatkan hasil akhir yang memuaskan dari suatu proses anestesi. Hal ini disebabkan
dengan kunjungan praanestesi yang berkualitas kita dapat meramalkan penyulit yang
mungkin terjadi sehingga dapat mempersiapkan hal-hal yang dibutuhkan untuk mengatasi
penyulit.
A. Pernapasan
Jalan napas diperiksa untuk menyingkirkan adanya sumbatan partial atau total dan
radang akut dari jalan napas. Pharyngitis, tonsillitis dan pilek mudah menyebarkan kuman-
kuman secara descending-infection ke paru menjadi pneumonia pasca bedah dan dapat
berakibat fatal hingga spasme jalan napas pada saat induksi atau saat extubasi. Sekret yang
dihasilkan dapat membuntu jalan napas karena pada waktu anestesia, refleks protektif batuk
hilang dan pembuntuan ini mengakibatkan hipoksia. Pembedahan elektif harus ditunda
sampai radang akut ini sembuh. Gerak leher untuk mengangguk dan menengadah serta
menoleh kekiri dan kekanan dengan bebas diperiksa untuk memastikan bahwa jalan napas
dapat ditolong dengan mudah jika terjadi obstruksi. Rahang bawah yang pendek dan tumor di
leher akan menyulitkan pemasangan pipa trakhea (intubasi).
Pemeriksaan paru meliputi pola napas dan suara napas tambahan untuk
menyingkirkan spasme bronchus (asthma bronchiale), ronkhi (bronchopneumonia) dan
sebagainya. Gerak cuping hidung dan cekungan sela iga waktu inspirasi menandakan adanya
kerja otot napas berlebihan yang sering disebabkan gangguan di bronchioli atau alveoli.
Penyakit paru yang kronis diupayakan untuk menjadi tenang, tidak dalam keadaan kambuh
akut (exacerbation). Pasien dengan asma bronchiale diberi terapi terlebih dahulu dan
ditunggu pada saat bebas serangan. Orang tua atau perokok berat sering menderita Chronic
Obstructive Pulmonary Disease, pasien dengan COPD harus ditunggu tidak ada infeksi
(sputum jernih tidak kuning atau hijau). Pasien dengan TB dipayungi dengan triple-drugs
terlebih dahulu pada pembedahan dapat ditunda, ditunggu sampai open TB menjadi closed.
Evaluasi dengan foto sinar X dada diperlukan terutama pada kasus trauma, untuk menemukan
patah iga, pneuomothorax, hemothorax, edema paru dan lain sebagainya. Pasien penyakit
paru menahun dan gagal napas akut memerlukan pemeriksaan gas darah arterial untuk
menilai faal oksigenasi (pO2) dan ventilasi (pCO2)
B. Sirkulasi
Obat anestesia yang sebagian besar membuat depresi napas dan gangguan kontraksi
otot jantung, dalam keadaan hipoksia dapat timbul aritmia yang kadang-kadang diperlukan
terapi. Pasien dengan gangguan irama jantung diupayakan untuk diberikan terapi terlebih
dahulu. Gangguan irama (aritmia) dibagi menjadi aritmia supraventrikuler jika sumber
masalah berada di atrium sampai AV node; dan aritmia ventrikuler jika sumber di ventrikel.
Aritmia ventrikuler jauh lebih berbahaya daripada yang supraventrikuler.
Perfusi koroner yang tidak stabil memberikan keluhan angina pectoris. Ischemia
miokard yang sudah menetap mudah dikenali dengan adanya perubahan EEG berupa depresi
segmen ST dan gelombang T terbalik. Infark miokard tampak dari adanya gelombang Q yang
dalam, gelombang QS, dan pada fase akut nampak adanya elevasi segment ST. Semua
pembedahan elektif harus ditunda pada pasien infark akut sampai 6 bulan sesudahnya karena
sebelum itu resiko infark ulang sangat besar dan mortalitasnya sangat tinggi.
Pengukuran tekanan darah sejak saat pasien masuk rumah sakit menentukan apakah
pengobatan hipertensi harus diberikan atau diintensifkan agar pada waktu pembedahan tidak
timbul krisis hipertensi, infark atau payah jantung akut. Pasien memakai obat betablocker
dosis diatur seminimal mungkin sebab sinergisme dengan obat anestesia halothan misalnya
akan menyebabkan hipotensi atau syok yang sukar diatasi. Beta-blocker tidak boleh
dihentikan mendadak karena hal ini menyebabkan reaksi withdrawl yang berbahaya. Pasien
cacad jantung bawaan atau kelainan katub karena infeksi rheuma perlu dipayungi antibiotika
untuk mencegah terjadinya SBE (Subacut Bacterial Endocarditis)
Masalah kadar Hb penting dalam kaitan transport oksigen. Jika pembedahan dapat
ditunda 2-4 minggu, banyak pasien anemia yang dapat diperbaiki dengan meningkatkan gizi
dan sediaan besi (Fe). Sebaiknya untuk bedah elektif, Hb sama atau lebih dari 10 mg/dl.
Ketentuan ini tidak mengikat. Seorang pasien hernia berumur 30 tahun dengan Hb 8 mg/dl
tidak perlu diberi transfusi dulu, karena dia dapat menjalani pembedahan seperti biasa. Tetapi
seorang wanita 60 tahun dengan Hb 8 mg/dl yang akan menjalani hysterectomy perlu
mendapat transfusi pra bedah, karena selain trauma bedahnya cukup besar, juga kondisi umur,
jantung dan organ lain tidak dapat mentolerir anemia.
Pada pembedahan darurat karena perdarahan, syarat untuk dapat dimulainya anestesia
dan pembedahan bukan kadar Hb tetapi apakah volume intravaskuler sudah cukup atau belum.
Transfusi sedapat mungkin ditunda sampai sumber perdarahan sudah dapat dihentikan.
C. Faal Hati
Pasien dengan hepatitis akut menjadi berat bukan karena masalah obat anestesianya
hepato-toxic, tetapi menjalani anestesia/pembedahan merupakan tambahan stress. Proses
ini dapat dikenali dengan pemeriksaan kadar bilirubin direct dan total (test heymans v.d
Bergh) serta SGOT dan SGPT. Langkah-langkah mengisolasi pasien yang mengandung
antigen hepatitis B perlu diambil agar tidak menular ke pasien lain.
D. Faal Ginjal
Gagal ginjal akut mudah dikenali karena adanya oliguria meskipun ada juga gagal
ginjal akut dengan produksi air seni normal. Test ureum darah (BUN) dan creatinin sangat
membantu menentukan keadaan ginjal. Gagal ginjal kronik sangat mungkin mengalmi
episode akut jika menerima beban pembedahan atau infeksi (Acute on chronic renal failure).
Secara umum, jika produksi air seni diikuti sejak awal pra bedah dan seterusnya tidak ada
episode oliguria (produksi kurang dari 0,5 ml/kg/jam), karena ginjal dalam keadaan aman.
Faal ginjal mempunyai kaitan dengan obat anesthesia atau yang berkaitan dengan tindakan
anesthesia yang mempunyai metabolisme dan eksresi melelui ginjal.
1. Klas 1
Pasien tanpa gangguan organik, fisiologik, biokemik maupun psikiatrik.
Proses patologis yang akan dilakukan operasi terbatas lokalisasinya dan tidak
menyebabkan gangguan sistemik.
2. Klas 2
Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai sedang, yang disebabkan baik
oleh keadaan yang harus diobati dengan jalan pembedahan maupun oleh
proses patofisiologis.
3. Klas 3
Pasien dengan ganguan sistemik yang berat, apapun penyebabnya.
4. Klas 4
Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa yang tidak
selalu dapat dikoreksi dengan pembedahan.
5. Klas 5
Moribund: Pasien yang hanya mempunyai kemungkinan kecil untuk bertahan
hidup
Operasi darurat: setiap pasien dari masing-masing kelas tersebut di atas yang
mengalami pembedahan darurat dipertimbangkan masuk dalam kondisi fisik
yang lebih jelek. Dibelakang angka yang menunjukkan kelasnya ditulis huruf
D yang berarti Darurat atau E yang berarti Emergency.
3.2.2 Premedikasi
Tujuan utama pemberian obat premedikasi adalah membebaskan pasien dari rasa
cemas, takut, rasa sakit, ketegangan otot dan aktifitas syaraf simpatis menjelang pembedahan
dengan memberikan sedasi psikis untuk melindungi keadaan basal fisiologis melawan stress
mental tersebut.
Adanya rasa takut dan nyeri rasa takut dan nyeri timbul reaksi fisologis somatic dan
simpatetik. Efek somatic ini timbul didalam kecerdasan dan menumbuhkan dorongan untuk
bertahan atau menghindari kejadian tersebut. Kebanyakan pasien akan melakukan modifikasi
terhadap manifestasi efek tersebut dan menerima keadaan yaitu dengan tampak tenang.
Reaksi simpatetik ini tidak dapat disembunyikan oleh pasien sehingga menimbulkan
perubahan dalam berbagai derajat pada setiap organ tubuh. Perubahan suplai darah kejaringan
ini sebagian karena naiknya kadar katekholamin dalam sirkulasi dan stimulasi eferen simpatis
ke pembuluh darah.
Tujuan premedikasi selain menghilangkan nyeri yang ada pada masa prabedah adalah
membantu efek obat anestesia serta mengurangi efek samping obat anestesia. Premedikasi
tepat kerjanya, menghasilkan pasien menjadi mengantuk tetapi mudah dibangunkan dan tidak
mengalami depresi napas maupun sirkulasi. Pasien menjadi mudah untuk bekerja sama.
Obat premedikasi yang dapat digunakan antara lain, sedativa, narkotik antikholinergik,
anti histamin, antasida dan H2 antagonis
A. Sedativa
Yang termasuk golongan sedativa adalah barbiturat, benzodiazepin atau butyrophenon
Barbiturat
Benzodiazepin
Golongan ini sangat spesifik untuk menghilangkan rasa cemas. Diazepam bekerja
pada reseptor otak yang spesifik, menghasilkan efek anti anxiety yang selektif. Pada dosis
sedatif tidak menimbulkan depresi napas, mual atau muntah. Kerugian pemakaian diazepam
dapat terjadi sedasi yang berkepanjangan, rasa sakit didaerah suntikan intramuskuler dan
absorbsi sistemik yang lambat. Dengan diketemukannya Midazolam yang efeknya lebih kuat,
absorbsinya lebih cepat dan tidak menimbulkan sakit pada daerah penyuntikan, tetapi harus
waspada dengan adanya depresi napas. Dosis diazepam 0,2-0,3 mg/kg dan Midazolam 1/3
diazepam.
Butyrophenon
B. Narkotik
Morfin dan petidin merupakan narkotik yang paling sering digunakan. Keuntungan
obat ini adalah mempermudah induksi, mengurangi kebutuhan obat anestesi, menghasilkan
analgesia pra dan pasca bedah, mempermudah pemberian napas buatan dan mempunyai obat
antagonis noloxon. Narkotik ini mempunyai efek vasodilatasi perifer, sehingga pemberian
pada pasien dengan hipovolemi akan semakin berat dan dapat menimbulkan hipotensi
ortostatik
C. Antikholinergik
Atropin adalah obat antikholinergik yang banyak dipakai sebagai obat premedikasi.
Atropin memunyai efek kompetitif inhibitor terhadap efek muskarinik dari acetycholine.
Atropin ini dapat menembus bloodbrain barrtier, placenta barrie dan traktus gastrointestinal.
Reaksi yang timbul pada pemberian antikholinergik adalah efek antisialagog, mengurangi
sekresi ion H asam lambung, menghambat reflek bradikardia dan memberikan efek sedasi
dan amnesi (terutama pada scopolamine). Efek yang kurang menyenangkan adalah adanya
gelisah, agitasi naiknya nadi, midriasis, cycloplegia, kenaikan suhu dan mengeringnya secret
jalan napas. Scopolamin mempunyai khasiat mengeringkan yang lebih kuat tetapi pasien
sering mengalami berbagai halusinasi. Dosis atropin 0,01 mg/kg dan maksimal 0,5 mg pada
orang dewasa.
D. Anti histamin
Antihistamin dapat digunakan sebagai sedativa, karena mempunyai khasiat
samping sedasi. Khasiat utama yang diharapkan adalah untuk anti alergi dan brochodilatasi
sehingga dipakai untuk pasien dengan asthma bronchiale. Promethazin (Phenergan) dapat
diberikan 1 mg/kg)
2. Umur
Bayi sampai 2 tahun dan orang tua lebih dari 60 tahun, kedua kelompok ini sangat
peka terhadap sedatif dan narkotik, dosis harus dikurangi hingga sampai 1/3 dosis
pasien normal
Pada umumnya diberikan kombinasi beberapa obat untuk mendapat hasil yang
diinginkan, misalnya
1. Narkotik, benzodiazepin dan atropin.
2. Narkotik, droperidol dan atropin
3. Narkotik, antihistamin dan atropin
DAFTAR PUSTAKA
1. G Edward Morgan Jr, Maged S Mikhail. Clinical Anesthesiology Fifth
Edition a Lange Medical Book. 2013.
2. Robert K. Stoelting. Pharmacology & Physiology in Anesthetic Practice,
4th Edition. 2006
3. Lorraine M. Sdrales, Ronald D. Miller. Miller's anesthesia review. 2nd
ed 2013
4. Atkinson R.S.,Rushman G.B.,Alferd Lee J., A synopsis of Anesthesia.
10th John Wright & Sons Ltd, Bristol, 1988. Halaman:107-117
5. Dripps R.D., EkkenhoffJ.E., Vandam L.D. Introduction to Anesthesia
7th edition. W.B. Saunders Company. Philadelphia-London Toronto,
1988
Halaman:13-21.