DISUSUN OLEH :
P.1337420615024
2017
1. Fraktur Klavikula
1.1 Pengertian
Fraktur adalah kerusakan atau patah tulang yang disebabkan oleh adanya
trauma ataupun tenaga fisik. Pada kondisi normal, tulang mampu menahan
tekanan, namun jika terjadi penekanan ataupun benturan yang lebih besar dan
melebihi kemampuan tulang untuk bertahan, maka akan terjadi fraktur (Garner,
2008; Price & Wilson, 2006).
1.3 Klasifikasi
1. Fraktur mid klavikula ( Fraktur 1/3 tengah klavikula)
Paling banyak ditemui, terjadi medial ligament korako-klavikula ( antara
medial dan 1/3 lateral) mekanisme trauma berupa trauma langsung atau
tak langsung ( dari lateral bahu).
2. Fraktur 1/3 lateral klavikula
1. Nyeri local
2. Pembengkakan
3. Eritema
4. peningkatan suhu
5. pergerakan abnormal
1.6 Penatalaksanaan
Pada prinsipnya penangan patah tulang klavikula adalah untuk mencapai
penyembuhan tulang dengan minimum tingkat morbiditas, hilangnya fungsi, dan
sisa kelainan bentuk. Kebanyakan patah tulang klavikula telah berhasil ditangani
dengan metode tanpa operasi. Perawatan nonoperative dengan cara mengurangi
gerakan di daerah patah tulang. Tujuan penanganan adalah menjaga bahu tetap
dalam posisi normalnya dengan cara reduksi tertutup dan imobilisasi. Modifikasi
spika bahu (gips klavikula) atau balutan berbentuk angka delapan atau strap
klavikula dapat digunakan untuk mereduksi fraktur ini, menarik bahu ke
belakang, dan mempertahankan dalam posisi ini. Bila dipergunakan strap
klavikula, ketiak harus diberi bantalan yang memadai untuk mencegah cedera
kompresi terhadap pleksus brakhialis dan arteri aksilaris. Peredaran darah dan
saraf kedua lengan harus dipantau. Fraktur 1/3 distal klavikula tanpa pergeseran
dan terpotongnya ligamen dapat ditangani dengan sling dan pembatasan gerakan
lengan. Bila fraktur 1/3 distal disertai dengan terputusnya ligament
korakoklavikular, akan terjadi pergeseran, yang harus ditangani dengan reduksi
terbuka dan fiksasi interna. Selama imobilisasi pasien diperkenankan melakukan
latihan gerakan tapi harus menghindari aktivitas yang berat. Tindak lanjut
perawatan dilakukan dengan pemantauan yang dijadwalkan 1 hingga 2 minggu
setelah cedera untuk menilai gejala klinis dan kemudian setiap 2 hingga 3 minggu
sampai pasien tanpa gejala klinis.
Pemeriksaan foto rontgen tidak perlu selama proses perawatan, tetapi akan
lebih baik dilakukan pada saat proses penyatuan tulang yang biasanya dapat
dilihat pada minggu ke 4 sampai minggu ke 6 (pada saat fase remodeling pada
proses penyembuhan tulang). Tanda klinis penyatuan tulang adalah berkurangnya
rasa sakit atau rasa sakit hilang, dapat melakukan gerakan bahu secara penuh, dan
kekuatan kembali normal. Tidakan pembedahan dapat dilakukan apabila terjadi
hal-hal berikut :
a. Fraktur terbuka.
b. Terdapat cedera neurovaskuler.
c. Fraktur comminuted.
d. Tulang memendek karena fragmen fraktur tumpang tindih.
e. Rasa sakit karena gagal penyambungan (nonunion).
f. Masalah kosmetik, karena posisi penyatuan tulang tidak semestinya
(malunion).
Pemberian obat pada kasus patah tulang dapat dilakukan untuk mengurangi
rasa nyeri. Obat-obat yang dapat digunakan adalah obat kategori analgesik
antiinflamasi seperti acetaminophen dan codeine dapat juga obat golongan
NSAIDs seperti ibuprofen.
Pertahankan tempat tidur yang nyaman dan aman (kering, bersih, alat
tenun kencang, bantalan bawah siku, tumit).
R/ Menurunkan risikokerusakan/abrasi kulit yang lebih luas.
6. Risiko infeksi b/d ketidak ada kuatan pertahanan primer (kerusakan kulit,
taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang.
Intervensi:
V. Buku Sumber
Anderson, Sylvia Price. 2000. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses
Penyakit. Jakarta: EGC
Helmi, Z.N. (2011). Buku ajar gangguan muskuloskeletal. Jakarta: Salemba
Medika.
Luju, S.S.(2014). Analisis Praktik Klinik Keperawatab Kesehatan Masyarakat
Perkotaan pada Pasien Fraktur Klavikula di Ruang Perawatan Bedah Kelas RSUP
Persahabatan Jakarta, di unduh tanggal 24 September 2017 pukul 19.00 WIB
Potter & Perry. (2005). Buku ajar fundamental keperawatan: konsep, proses,
dan praktek.(Yasmin Asih, Penerjemah). (Ed. 4). Jakarta: EGC.
Price & Sylvia, (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses penvakit. Jakarta
; EGC.