Anda di halaman 1dari 2

1

U.S. Food and Drug Administration (FDA; 21CFR 101.22(a)(5)) mendefinisikan bahan pengawet kimia
sebagai any chemical that, when added to food, tends to prevent or retard deterioration thereof, but does
not include common salt, sugars, vinegars, spices, or oils extracted from spices, substances added to food
by direct exposure thereof to wood smoke, or chemicals applied for their insecticidal or herbicidal
properties. Bahan pengawet digunakan untuk mencegah atau memperlambat kerusakan baik kerusakan
kimia maupun kerusakan biologis. Bahan pengawet yang digunakan untuk mencegah kerusakan kimia di
antaranya antioksidan, untuk mencegah autoksidasi pigmen, flavor, lipid, dan vitamin; antibrowning,
untuk mencegah pencoklatan enzimatik dan nonenzimatik; dan antistaling untuk mencegah perubahan
tekstur. Bahan pengawet yang digunakan untuk mencegah kerusakan biologis disebut dengan
antimicrobial agents (Davidson dan Branen 2005). Zat pengawet ialah bahan kimia yang berfungsi untuk
membantu, mempertahankan bahan makanan dari serangan mikroba pembusuk, baik bakteri, ragi maupun
jamur dengan cara menghambat, mencegah, menghentikan proses pembusukan, fermentasi, pengasaman
atau kerusakan komponen lain dari bahan makanan. Aktifitas-aktifitas zat pengawet tidak sama, misalnya
ada yang efektif terhadap bakteri, ragi atau kapang. Zat pengawet terdiri dari senyawa organik dan
senyawa anorganik (Winarno, 1983). Zat pengawet organik lebih banyak dipakai daripada zat pengawet
anorganik karena bahan ini mudah didapat. Bahan organik ini digunakan dalam bentuk asam maupun
dalam bentuk garamnya. Bahan pengawet yang sering digunakan ialah asam asetat, asam benzoat, asam
propionat, asam sorbat dan senyawa epoksida. Sedangkan zat pengawet anorganik yang sering digunakan
adalah sulfit, nitrit dan nitrat (Buckle, 1987).

Proses pemanasan, garam, asam, basa, atau pereaksi lain seperti urea (Winarno dan Sutrisno, 2002) yang
dilakukan pada putih telur akan menyebabkan terjadinya koagulasi protein telur. Koagulasi disebabkan
karena protein mengalami agregasi dan terbentuknya ikatan antar molekul. Ikatan yang terbentuk yaitu
ikatan hidrofobik, ikatan hidrogen, dan ikatan disulfida. Koagulasi yang terjadi karena panas disebabkan
karena adanya reaksi antara protein dan air yang diikuti dengan penggumpalan protein. Putih telur ayam
o
akan mengalami koagulasi pada suhu 62 C selama 10 menit (Winarno dan Sutrisno, 2002).

Pemanasan menyebabkan perubahan komponen telur dari cair (sol) menjadi semi padat (gel) yang disebut
dengan koagulasi (Stadelmen dan Cotteril, 1995). Koagulasi terjadi akibat pengurangan kadar air dalam
telur setelah mengalami pemanasan.

Menurut Zulfikar (2008) denaturasi protein merupakan suatu keadaan dimana protein mengalami
perubahan atau perusakan struktur sekunder, tersier dan kuartenernya. Sedangkan faktor yang dapat
menyebabkan terjadinya denaturasi protein diantaranya pemanasan, suasana asam atau basa yang ekstrim,
kation logam berat dan penambahan garam jenuh. Denaturasi protein terjadi karena adanya kerusakan
ikatan sekunder dan tersier protein. Denaturasi merusak bentuk alfa-heliks normal protein dan
mengurainya menjadi bentuk yang tidak teratur. Garam logam berat seperti timbale bersifat ionik dan
dapat merusak jembatan garam protein (Mustika et. al. 2014) Protein telur juga mudah mengalami
perubahan alamiah berupa denaturasi yang disebabkan oleh asam, basa, pelarut organik, pH, garam
maupun sinar radiasi radioaktif. Degradasi protein oleh panas membentuk ikatan-ikatan peptida dan asam
amino yang merubah struktur protein telur menjadi oligopeptida. Oligopeptida yang dihasilkan memiliki
kemampuan menghambat reaksi oksidatif dan kemampuan menghambat radikal bebas sebagai
antioksidan (Nurhamdayani 2016). Jenis garama yang dapat mengkoagulasi protein adalah garam-garam
laktat, klorida, sulfat dan kombinasi MgCl, dan NaSCN serta NaCl, Na2SO4, dan CaCl2.

Berbagai cara dilakukan agar kualitas telur dapat dipertahankan dalam waktu yang lebih lama.
Pencelupan dengan air kapur dan pencelupan dengan air mendidih sebelum telur disimpan merupakan
cara agar telur lebih tahan lama. Perendaman dalam larutan kapur suatu cara pengawetan telur yang
bertujuan mencegah penguapan air. Pencelupan telur pada air mendidih dapat menyebabkan permukaan
dalam kulit telur menggumpal dan menutupi pori kulit telur dari dalam. Hal ini akan memperlambat
hilangnya CO2 dan air dari dalam telur serta penyebaran air dari putih ke kuning telur (Djaelani 2016).
Daya pengawet dari kapur karena bersifat basa, sehingga mencegah tumbuhnya mikroba (Anjarsari 2010).
Lama penyimpanan menentukan kualitas telur, semakin lama telur disimpan, kualitas dan kesegaran telur
semakin menurun (Haryoto, 2010). Jika dibiarkan dalam udara terbuka (suhu ruang) telur hanya tahan 10-
14hari, setelah waktu tersebut telur mengalami perubahan-perubahan ke arah kerusakan seperti terjadinya
penguapan kadar air melalui pori kulit telur yang berakibat kurangnya berat telur, perubahan komposisi
kimia dan terjadinya pengenceran isi telur (Cornelia dkk., 2014). Telur juga dapat dipertahankan mutunya
apabila disimpan dalam ruangan dingin dengan kelembaban udara antara 80-90% dengan kecepatan aliran
udara 1-1,5 m/detik. Penyimpanan telur pada suhu yang rendah yaitu diatas -2o C menyebabkan hilangnya
CO2 dan air dari dalam telur serta penyebaran air dari putih telur ke kuning telur dapat
diperlambat.(Anjarsari 2010).

Anda mungkin juga menyukai