Anda di halaman 1dari 16

PRESENTASI KASUS DECOMPENSATIO CORDIS DENGAN EDEMA PULMONUM

PRESENTASI KASUS

DECOMPENSATIO CORDIS DENGAN EDEMA PULMONUM

Disusun Untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian Radiologi RSUD
Wonosobo

Diajukan kepada :

dr. Kus Budayantiningrum Sp.Rad

Disusun oleh :

Zakiah Nur Istianah (20030310054)

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH

YOGYAKARTA BAGIAN RADIOLOGI

BRSD KABUPATEN WONOSOBO

2009

HALAMAN PENGESAHAN

Diajukan Oleh :

Zakiah Nur Istianah (20030310054)

Telah dipresentasikan dan disetujui presus dengan Judul :

DECOMPENSATIO CORDIS DENGAN EDEMA PULMONUM

Tanggal : 30 Juli 2009


Tempat: BRSD Wonosobo

Disahkan Oleh :

Dosen Pembimbing

(dr. Kus Budayantiningrum Sp.Rad)

BAB I

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN

Nama pasien : Tn. CS

Umur : 79 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Sawit, Surogede Kertek, Wonosobo

NO. CM : 44 11 33

Masuk RS : 28 Juli 2009 (00.30)

Ruang : Herbra

II. ANAMNESIS
Autoanamnesis dengan Pasien pada tanggal 28 Juli 2009 (19.00)

Keluhan Utama : Sesak nafas & Nyeri dada kiri

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang ke BRSD Wonosobo dengan keluhan sesak nafas sejak 1 Minggu SMRS, memberat 1
HSMRS, sesak nafas ini dirasakan kambuh-kambuhan sejak 2 tahun terakhir, sesak nafas dirasakan saat
istirahat, memberat bila pasien bekerja sehingga membuat pasien membatasi pekerjaan. Saat muncul
gejala, dada dirasakan nyeri, terutama sebelah kiri menyebar hingga seluruh dada. Sesak nafas muncul
jika pasien kecapaian, udara dingin dan bekerja terlalu berat. Saat sesak nafas muncul bunyi mengi,
namun sekarang sudah tidak. Malam hari pasien kadang-kadang terbangun karena sesak nafas, dengan
posisi tidur bantal ditinggikan membuat pasien agak lega. Mual juga dikeluhkan, muntah 1x sebelum
dibawa ke rumah sakit. BAB dan BAK lancar normal.

Riwayat Penyakit Dahulu :

Pasien pernah menderita penyakit serupa kambuh-kambuhan sejak 2 tahun yang lalu.

Riwayat hipertensi ada

Riwayat penyakit gula disangkal

Riwayat penyakit asma disangkal pasien

Riwayat Penyakit Keluarga :

Tidak ada anggota keluarga yang menderita gejala serupa dengan pasien.

III. PEMERIKSAAN FISIK :

Keadaan Umum : lemah, tampak sesak napas.

Kesadaran : Compos Mentis

Vital Sign :

Tekanan Darah : 130 / 90 mmHg

Nadi : 92 x / menit
Suhu : 36,6 C

Respirasi : 30 x / menit.

1. Kepala :

Bentuk Kepala : Mesochepal, Simetris

Rambut : Hitam, sebagian putih, mudah dicabut.

Nyeri tekan : Tidak ada.

2. Mata

Palpebra : Tidak ada oedem

Konjungtiva : Anemis (-/-)

Sklera : Tidak ikterik

Pupil : Berespon terhadap rangsang cahaya, Isokor, diameter 2 mm.

3. Hidung : Simetris, tidak Nampak deformitas, tidak ada secret atau darah, nafas cuping hidung tidak
ada.

4. Mulut : Bibir tidak kering, tidak sianosis, lidah tidak kotor, faring tidak hiperemi.

5. Telinga : Tidak ada deformitas, otore maupun nyeri tekan.

6. Leher :

Trakhea : Tidak terdapat deviasi trachea

Kel. Tiroid : Tidak membesar

Kel. Limfe : Tidak membesar

JVP : Tidak meningkat 5 2 cmH2O

7. Dada

Paru-paru

Inspeksi : Simetris, tidak tampak deformitas, tidak terdapat retraksi, tidak tampak jejas.
Palpasi : Tidak terdapat ketinggalan gerak, vocal fremitus kanan sama dengan kiri.

Perkusi : Sonor di lapang paru atas, redup pada regio basal, redup berubah dengan perubahan posisi (dx
dan sin)

Auskultasi : SD Vesikuler (+/+), Ronkhi Basah Halus (+/+), Ronkhi Basah Basal (+/+)

8. Jantung

Inspeksi : Ictus Cordis terlihat di SIC VI linea axillaris anterior sinistra

Palpasi : Ictus Cordis teraba di SIC VI Linea axillaris anterior sinistra, kuat angkat.

Perkusi : Batas jantung kanan atas : SIC III LPS dx

Batas jantung kiri atas : SIC III LMC sinistra

Batas jantung kanan bawah : SIC V LPS dx

Batas jantung kiri bawah : SIC VI linea axillaris anterior sinistra

Auskultasi : BJ I-II reguler. Bising (-).

9. Abdomen

Inspeksi : Dinding perut sama dengan dinding dada, tidak ada deformitas.

Auskultasi : Persitaltic usus normal

Palpasi : Supel, tidak terdapat nyeri tekan, hepar lien tidak teraba.

Perkusi : Tymphani di seluruh lapang abdomen.

10. Ekstremitas

Superior : Tidak terdapat oedema, akral hangat, tidak pucat, tidak sianosis.

Inferior : terdapat oedema dx dan sin (minimal), akral hangat, tidak pucat, tidak sianosis.

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan darah rutin :

AL : 8,15 rb/mm3
AE : 0,24 jt/mm3

Hb : 12,2 gr/dL

Ht : 36,29 %

MCV : 90

MCH : 30,5

MCHC : 33,7

AT : 162 rb/mm3

Kimia Darah :

GDS : 144 Mg%

Chol.tot : 203 Mg%

TG : 70 Mg%

Ur : 28,72 Mg%

Cr : 1,4 Mg%

OT : 15 U/l

PT : 32 U/l

Asam urat : 9,90 Mg%

2. Ro Thorax :

Cor: kesan membesar

Hitung CTR = (a+b) = (4,5+11) = 0,56 > 0,5

(c1+c2) (14,5+13

Pulmo: corakan bronkhovaskuler bertambah

Tampak bercak-bercak kesuraman pada kedua paru

Diaphragm dan sinus dbn

Kesan: cor : cardiomegali


Pulmo: suspect oedem pulmonum

3. USG Abdomen

Tidak dilakukan

4. CT-Scan Thorax :

Tidak dilakukan

V. DIAGNOSIS KERJA

Diagnosis Fungsional: decompensatio cordis NYHA III

Diagnosis Anatomi: LVH, RVH

Diagnosis Etiologi: AMI

VI. PENATALAKSANAAN

Bed rest posisi duduk

O2 2 liter / menit

Infus D 5% 24 jam/ 1 kolf

Pasang DC

Inj. Furosemid 1 gr/ 24 jam

Inj. Ceftriaxon 2 gr/ 24 jam

Aspilet 2x1

KSR 1x1

Ulang EKG
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Gagal jantung adalah sindrom klinis (sekumpulan tanda dan gejala) ditandai oleh sesak nafas dan fatik
(saat istirahat atau saat aktivitas) yang disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi jantung (Price,
2006).

B. EPIDEMIOLOGI

Kejadian gagal jantung di Eropa berkisar antara 0,4% - 2% dan meningkat pada usia yang lebih lanjut,
dengan rata-rata umur 74 tahun. Prognosis dari gagal jantung akan jelek bila dasar atau penyebabnya
tidak dapat diperbaiki, 50% dari pasien gagal jantung akan meninggal dalam 4 tahun sejak diagnosis
ditegakkan dan pada keadaan gagal jantung berat lebih dari 50% akan meninggal dalam tahun pertama
(Price, 2006).
C. ETIOLOGI

Penyebab dari gagal jantung adalah penyakit yang menimbulkan penurunan fungsi ventrikel (seperti
penyakit arteri koroner, hipertensi, kardiomiopati, penyakit pembuluh darah atau penyakit jantung
congenital) dan keadaan yang membatasi pengisian ventrikel (stenosis mitral, kardiomiopati atau
penyakit pericardial). Factor pencetus termasuk meningkatnya asupan garam, ketidakpatuhan menjalani
pengobatan anti gagal jantung, infark miokard akut (mungkin yang tersembunyi), serangan hipertensi,
aritmia akut, infeksi atau demam, emboli paru, anemia, tirotoksikosis, kehamilan dan endokarditis
infektif (Sudoyo, 2007).

D. MANIFESTASI KLINIS

Berdasarkan bagian jantung yang mengalami kegagalan pemompaan, gagal jantung terbagi atas gagal
jantung kiri, gagal jantung kanan dan gagal jantung kongestif. Gejala dan tanda yang timbul pun
berbeda, sesuai dengan pembagian tersebut.

Pada gagal jantung kiri terjadi dyspneu deffort, fatig, ortopnea, dispnea nocturnal paroksimal, batuk,
pembesaran jantung, irama derap, ventricular heaving, bunyi derap S3 dan S4, pernafasan Cheyne
Stokes, takikardia, pulsus alternans, ronkhi dan kongesti vena pulmonalis. Pada gagal jantung kanan
timbul fatig, edema, liver engorgement, anoreksia dan kembung. Pada pemeriksaan fisik bisa didapatkan
hipertrofi jantung kanan, heaving ventrikel kanan, irama derap atrium kanan, murmur, tanda-tanda
penyakit paru kronik, tekanan vena jugularis meningkat, bunyi P2 mengeras, ascite, hidrotoraks,
peningkatan tekanan vena, hepatomegali dan edema putting. Gagal jantung kongestif terjadi manifetasi
gabungan gagal jantung kanan dan kiri (Price, 2006).

New York Heart Association (NYHA) membuat klasifikasi fungional dalam 4 kelas:

Kelas I : Bila pasien dapat melakukan aktivitas berat tanpa keluhan

Kelas II: Bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas lebih berat dari aktivitas sehari-hari tanpa keluhan

Kelas III: Bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa keluhan

Kelas IV: Bila pasien sama sekali tidak dapat melakukan aktivitas apapun dan harus tirah baring. (Sudoyo,
2007).

Diagnosis gagal jantung kongestif (Criteria Framingham)


Criteria Mayor:

1. Dispnea nocturnal paroksimal atau ortopnea

2. Peningkatan tekanan vena jugularis

3. Ronkhi basah tidak nyaring

4. Kardiomegali

5. Edema paru akut

6. Irama derap S3

7. Peningkatan tekanan vena >16 cm H2O

8. Refluks hepatojugular

Criteria minor

1. Edema pergelangan kaki

2. Betuk malam hari

3. Dyspneu deefort

4. Hepatomegali

5. Efusi pleura

6. Kapasitas vital berkurang menjadi 1/3 maksimum

7. Takikardi (>120x menit)

Criteria mayor atau minor

Penurunan berat badan >4.5 kg dalam 5 hari setelah terapi

Diagnosis ditegakkan dari 2 kriteria mayor ; atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor harus ada saat
bersamaan (Sudoyo, 2007).

Edema paru merupakan penimbunan cairan serosa atau serosanguinosa yang berlebihan dalam ruang
interstitial paru dan alveolus paru. Jika edema timbul akut dan luas sering disusul oleh kematian dalam
waktu singkat. Edema paru dapat terjadi karena peningkatan tekanan hidrostatika dalam kapiler paru,
penurunan tekanan osmotic koloid seperti pada nefritis, atau kerusakan dinding kapiler. Dinding kapiler
yang rusak dapat disebabkan oleh inhalasi gas-gas yang berbahaya, peradangan seperti pada pneumonia
atau karena gangguan local proses oksigenai. Penyebab tersering edema paru adalah kegagalan
ventrikel kiri akibat penyakit jantung arteriosklerotik atau stenosis mitralis (obstruksi katup mitral). Jika
terjadi gagal jantung kiri dan jantung kanan terus memompakan darah maka tekanan kapiler paru akan
meningkat sampai terjadi edema paru (Price, 2006)

Pembentukan edema paru dapat terjadi dalam dua stadium:

1. Edema interstitial yang ditandai pelebaran ruang perivaskuler dan ruang peribronkial serta
peningkatan aliran getah bening

2. Edema alveolar terjadi sewaktu cairan bergerak masuk ke dalam alveoli.

Plasma darah mengalir lebih cepat ke dalam alveoli daripada kemampuan pembersihan oleh batuk atau
getah bening paru. Plasma ini akan mengganggu difusi O2, sehingga hipokssia jaringan yang
diakibatkannya menambah kecenderungan terjadinya edema. Asfiksia dapat terjadi bila tidak segera
diambil tindakan untuk menhilangkan edema paru. Pengobatan darurat pada edema paru akut berupa
tindakan-tindakan untuk mengurangi tekanan hidrostatik paru, antara lain dengan menempatkan pasien
dalam posisi Fowler dengan kaki menggantung; torniket yang berpindah-pindah; atau flebotomi
(pembuangan darah sebanyak kira-kira 0,5 L). tindakan lain adalah dengan pemberian diuretic, O2 dan
digitalis untuk memperbaiki kontraktilitas miokardium (Price, 2006).

Jika terjadi kongesti paru paif kronik, mungkin akan timbul perubahan structural paru (misalnya, fibrosis
paru). Perubahan-perubahan ini memungkinkan paru berfungsi dalam keadaan terjadi peningkatan
tekanan hidrostatik untuk sementara namun tanpa edema paru. Akan tetapi, keseimbangan ini tidak
pasti dan pasien mungkin mengalami serangan dispneu pada waktu malam hari akibat peningkatan
tekanan hidrostatik paru yang timbul karena posisi tubuh horizontal (Price, 2006)

E. DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis gagal jantung antara lain:

1. Penyakit paru: pneumonia, PPOK, asma eksaserbasi akut, infeksi paru berat misalnya ARDS (Acute
Respiratory Distress Syndrome)

2. Penyakit Ginjal: gagal ginjal akut atau kronik, sindrom nefrotik, diabetic nefropati

3. Penyakit Hati: sirosis hepatic

4. Sindroma hiperventilasi: psikogenik atau penyakit ansietas berat (Sudoyo, 2007)

F. PENEGAKAN DIAGNOSIS

Dalam membantu penegakan diagnosis gagal jantung dapat dilakukan pemeriksaan berikut ini:
1. EKG

Pasien gagal jantung jarang dengan EKG normal dan bila terdapat EKG normal dianjurkan untuk meneliti
diagnosis gagal jantung tersebut. EKG sangat penting dalam menentukan irama jantung

2. Foto Toraks

Terdapat hubungan lemah antara ukuran jantung pada foto toraks dengan fungsi ventrikel kiri. Pada
gagal jantung akut sering tidak terdapat kardiomegali. Kardiomegali mendukung diagnosis gagal jantung
khususnya bila terdapat dilatasi vena lobus atas. Foto rontgen adalah indicator penting untuk
menentukan ukuran jantung dan mendeteksi pembesaran. Yang paling umum digunakan adalah CTR
(cardiothoracic Ratio). Selain itu juga digunakan diameter tranversal jantung. CTR adalah perbandingan
diameter transversal jantung dengan diameter transversal rongga thoraks. Rasio normalnya 50% (55%
untuk orang Asia dan Negro). Rasio ini meningkat pada orang tua dan pada neonates kadang mencapai
60%. Metode ini tidak bisa dipakai pada orang yang letak jantungnya mendatar (horizontal) atau vertical
dan orang dengan pericardium penuh lemak (Malueka, 2008).

CTR = (a+b)

(c1+c2)

Keterangan:

Garis a: jarak dari penonjolan yang dibentuk oleh atrium kordis dekstra sampai ke Linea mediana

Garis b: jarak dari penonjolan yang dibentuk oleh ventrikel kordis sinstra sampai ke linea mediana

Garis c: jarak dinding kanan-dinding kiri melalui sinus kardiofrenik.

Normal = 48 50% (Malueka, 2008).

GAMBARAN RADIOLOGIS GAGAL JANTUNG KIRI

Pada foto thoraks gagal jantung terlihat perubahan corakan vaskuler paru
1. Distensi vena di obus superior, bentuknya menyerupai huruf Y dengan cabang lurus mendatar ke
lateral

2. Batas hilus pulmo terlihat kabur

3. Menunjukkan adanya edema pulmonum keadaan awal

4. Terdapat tanda-tanda edema pulmonum meliputi edema paru interstitial dan alveolar.

Edema interstitial: edema ini menunjukkan septal line yang dikenal sebagai Kerleys line, ada 4 jenis
yaitu:

a. Kerley A: garis panjang di lobus superior paru, berasal dari daerah hilus menuju ke atas dan perifer

b. Kerley B: garis-garis pendek dengan arah horizontal tegak lurus pada dinding pleura dan letaknya di
lobus inferior, paling mudah terlihat karena letaknya tepat diatas sinus costophrenicus

Garis ini adalah yang paling mudah ditemukan di gagal jantung

c. Kerley C: garis-garis pendek, bercabang, ada di lobu inferior. Perlu pengalaman untuk melihatnya,
karena hampir sama dengan pembuluh darah.

d. Kerley D: garis-garis pendek, horizontal, letaknya retrostrenal hanya tampak pada foto lateral
(Malueka, 2008).

Edema alveolar: terjadi pengurangan lusensi paru yang difus mulai dari hilus sampai ke perifer bagian
atas dan bawah. Gambaran ini dinamakan butterfly appearance/ butterfly patterns atau bats wing
pattern. Batas kedua hilus menjadi kabur (Malueka, 2008).

GAMBARAN RADIOLOGIS GAGAL JANTUNG KANAN

Beberapa tanda khas gagal jantung kanan adalah:

Vena cava superior melebar, terlihat sebagai pelebaran di suprahiler kanan sampai ke atas

Vena azygos membesar sampai mencapai lebih dari 2 mm

Efusi pleura, biasanya terdapat di sisi kanan atau terjadi bilateral


Interlobar effusion atau fissural effusion. Sering terjadi pada fissure minor, bentuknya oval atau elips.
Setelah gagal jantung dapat diatasi, maka efusi tersebut menghilang, sehingga dinamakan vanishing lung
tumor sebab bentuknya mirip tumor paru.

Kadang-kadang disertai dengan efusi pericardial (Malueka, 2008).

3. Hematolosi dan biokimia (pemeriksaan laboratorium)

Peningkatan hematokrit memnunjukkan bahwa sesak nafas mungkin disebabkan oleh penyakit paru,
penyakit jantung congenital atau malformasi arteri vena. Kadar ureum dan kreatinin penting untuk
diagnosis differential penyakit ginjal. Kadar kalium dan natrium merupakan predictor mortalitas

4. Ekokardiografi

Pemeriksaan ini dilakukan untuk diagnosis optimal gagal jantung dalam menilai fungsi sistolik dan
diastolic ventrikel kiri, katup, ukuran ruang jantung, hipertrofi dan abnormalitas gerakan

5. Tes fungsi paru

6. Uji latih beban jantung

7. Kardiologi nuklir

G. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan gagal jantung pada prinsipnya dapat dilakukan hal-hal berikut ini:

1. Meningkatkan okigenasi dengan pemberian O2 dan menurunkan pemakaian oksigen dengan


pembatasan aktivitas

2. Memperbaiki kontraktilitas otot jantung

3. Menurunkan beban jantung dengan diet rendah garam, diuretic dan vasodilator (Sudoyo, 2007).
PEMBAHASAN

Diagnosa gagal jantung pada pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Pada anamnesa didapatkan keluhan sesak nafas memberat 1 HSMRS, sesak
nafas dirasakan kambuh-kambuhan sejak 2 tahun terakhir, dirasakan saat istirahat, memberat bila
pasien bekerja sehingga membuat pasien membatasi pekerjaan. Saat muncul gejala, dada dirasakan
nyeri, terutama sebelah kiri menyebar hingga seluruh dada. Sesak nafas muncul jika pasien kecapaian,
udara dingin dan bekerja terlalu berat. Saat sesak nafas muncul bunyi mengi, namun sekarang sudah
tidak. Malam hari pasien kadang-kadang terbangun karena sesak nafas, dengan posisi tidur bantal
ditinggikan membuat pasien agak lega. Mual juga dikeluhkan, muntah 1x sebelum dibawa ke rumah
sakit. Pasien juga mempunyai riwayat hipertensi

Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum lemah dan tampak seak nafas, dengan vital sign Tekanan
Darah : 130 / 90 mmHg, Nadi: 92 x / menit dan Respirasi meningkat : 30x / menit. Pemeriksaan paru
perkusi didapat sonor di lapang paru atas, redup pada regio basal, redup berubah dengan perubahan
posisi (pada paru dx dan sin), pemeriksaan auskultasi paru didapat: SD Vesikuler (+/+), Ronkhi Basah
Halus (+/+), Ronkhi Basah Basal (+/+). Pemeriksaan jantung didapat batas jantung melebar. Extremitas
inferior didapat edema minimal. Dari pemeriksaan fisik dan anamnesa mendukung adanya tanda-tanda
gagal jantug kanan dan kiri. Tanda-tanda gagal jantung kiri pada pasien ini yaitu: dyspneu deffort, fatig,
ortopnea, dispnea nocturnal paroksimal, pembesaran batas jantung, ronkhi basah halus dan ronkhi
basah basal (tanda edema). Pada gagal jantung kanan timbul fatig, edema pulmo dan anoreksia

Pemeriksaan radiologi didapat Cor: kesan membesar dengan hitung CTR 0,56, pada Pulmo: corakan
bronkhovaskuler bertambah, tampak bercak-bercak kesuraman pada kedua paru, diaphragm dan sinus
dbn. Gambaran paru didapat Garis Kerley untuk menentukan edema interstitial sulit dinilai pada pasien
ini, gambaran pengurangan lusensi paru yang difus mulai dari hilus sampai ke perifer bagian atas dan
bawah (butterfly appearance/ butterfly patterns atau bats wing pattern) terlihat pada gambaran
rontgennya, hal ini menunjukkan adanya edema alveolar. Edema alveolar merupakan kelanjutan dari
edema interstitial. Sehingga didapat kesan cardiomegali dan suspect oedem pulmonum.

Gagal jantung kiri pada pasien ini merupakan komplikasi mekanis yang paling sering terjadi setelah
infark miokardium, yaitu pada 50% kasus. Tanda-tanda adanya infark adalah adanya keluhan nyeri dada
sebelah kiri yang dijalarkan ke seluruh bagian dada pada pasien ini. Hal ini sebaiknya dikonfirmasi
dengan pemeriksaan EKG untuk melihat adanya kelainan di gelombang T apakah ada depresi atau T
inverted. Infark miokardium mengganggu fungsi miokardium karena menyebabkan pengurangan
kontraktilitas, menimbulkan gerakan dinding yang abnormal dan mengubah daya kembang ruang
jantung tersebut. Dengan berkurangnya kemampuan ventrikel kiri untuk mengosongkan diri, maka
besar curah sekuncup berkurang sehingga volume sisa ventrikel meningkat. Akibatnya tekanan jantung
sebelah kiri meningkat. Kenaikan tekanan ini disalurkan ke belakang ke vena pulmonalis. Bila tekanan
hidrostatik dalam kapiler paru-paru melebihi tekanan onkotik vaskuler maka terjadilah proses transudasi
ke dalam ruang interstitial menyebabkan edema pulmo interstitial. Bila tekanan ini masih meningkat
lagi, terjadi edema paru-paru alveoli akibat perembesan cairan ke dalam alveoli. Edema alveoli tampak
pada pemeriksaan rontgen paru.
Gagal jantung kanan pada pasien ini adalah akibat meningkatnya tekanan vaskuler paru-paru hingga
membebani ventrikel kanan. Selain tak langsung melalui pembuluh paru-paru terebut, disfungsi
ventrikel kiri juga mempengaruhi langsung terhadap ventrikel kanan melalui fungsi anatomis dan
biokimianya. Kedua ventrikel mempunyai satu dinding yang ama, yaitu septum interventrikuler dan
keduanya terletak dalam pericardium. Selain itu, perubahan-perubahan biokimia seperti berkurangnya
cadangan norepinefrin miokardium selama gagal jantung dapat merugikan kedua ventrikel.

DAFTAR PUSTAKA

Malueka, RG. 2008. Radiologi Diagnostik. Pustaka Cendekia Press. Yogyakarta.

Price, A.S et al. 2006. PATOFISIOLOGI Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Volume I Edisi 6. Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Price, A.S et al. 2006. PATOFISIOLOGI Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Volume II Edisi 6. Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Sudoyo, Aru W. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit
Dalam, FK UI, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai