Anda di halaman 1dari 36

1.

Macam-macam gangguan nutrisi


A. Malnutrisi

Arti sebenamya malnutrisi adalah gizi salah, yang mencakup keadaan gizi
kurang maupun gizi lebih. Di Indonesia dengan masih tingginya angka kejadian gizi
kurang, istilah malnutrisi lazim dipakai untuk keadaan ini. Secara umum gizi kurang
disebabkan oleh kekurangan energi atau protein. Namun keadaan di lapangan
menunjukkan bahwa jarang dijumpai kasus yang menderita defisiensi energi murni
ataupun defisiensi protein murni. Anak dengan defisiensi protein biasanya disertai
pula dengan defisiensi energi atau nutrien lainnya. Karena itu istilah yang lazim
dipakai adalah malnutrisi energi protein (MEP) atau kekurangan kalori protein
(KKP). MEP dapat diklasifikasi menjadi MEP ringan dan MEP berat yang terakhir
ini terbagi lagi menjadi marasmus, kwashiorkor, dan marasmus-kwashiorkor.
Disadari sepenuhnya bahwa kasus kwashiorkor tidak terlepas dari adanya faktor
kekurangan energi demikian pula pada kasus marasmus pun terdapat adanya
kekurangan protein. Istilah marasmus-kwashiokor dipakai bila defisiensi kedua
nutrien ini berimbang. Sistem Wellcome Trust Working Party membedakan jenis
MEP berdasarkan berat badan dan edema sebagai berikut : (1) Jenis kwashiorkor bila
BB lebih dari 60% BB baku, disertai edema, (2) Jenis marasmus-kwashiorkor bila BB
lebih dari 60% BB baku, disertai edema, dan (3) Jenis marasmus bila BB kurang dari
60% BB baku, tanpa edema.

Secara umum istilah undernutrition dipakai untuk keadaan defisiensi berbagai


nutrien, tetapi dalam arti yang lebih khusus ditujukan bagi keadaan defisiensi energi
yang sifatnya ringan. Istilah underweight hanya dipakai untuk keadaan dengan berat
badan yang lebih rendah daripada berat badan baku. Karena sifat genetiknya, kasus
underweight dapat dianggap sebagai anak normal dan tidak selalu menderita
malnutrisi.

Di negara sedang berkembang dan miskin, malnutrisi merupakan penyebab


utama kesakitan pada anak dan secara tidak langsung sebagai penyebab kematiannya.
Awal penyakit ini dimulai pada saat pemberian makanan yang tidak adekuat atau
karena adanya malabsorpsi. Penyediaan makanan yang kurang, tingkat ekonomi yang
rendah, dan tingkat pendidikan ibu yang rendah akan berpengaruh terhadap
banyaknya masukan makanan. Faktor pendidikan mencakup pengetahuan yang
kurang tentang nilai bahan makanan, kebiasaan makan yang buruk akibat pengaruh
lingkungan, cara perawatan anak yang belum memadai, sifat tahayul terhadap
makanan, dan kesehatan lingkungan yang buruk. Selain itu kebutuhan nutrien
esensial akan meningkat pada ketegangan mental, keadaan sakit, dan pada pemberian
obat antibiotik, obat katabolik atau anabolik. Bila keadaan tersebut tidak diperhatikan
akhirnya dapat menimbulkan malnutrisi.

Malnutrisi dapat terjadi akut atau kronik dan dapat pulih sempurna, menetap,
atau dengan meninggalkan gejala sisa berupa kelambatan perkembangan intelektual.
Dalam garis besarnya perubahan yang terjadi pada malnutrisi dapat dibagi menjadi
perubahan klinis, biokimiawi. dan perubahan patologi anatomik organ tubuh.
Kelainan klinis meliputi kelainan antropometrik, gejala defisiensi vitamin A, kelainan
fisis lainnya, dan kelainan intelektual. Contoh kelainan biokimiawi adalah penurunan
nilai hemoglobin, albumin, prealbumin, kolesterol, asam amino esensial, transferin,
daya ikat retinol. Selain itu ditemukan pula perubahan perbandingan asam amino
dalam serum, ekskresi hidroksiprolin air kemih menurun dan metilhistidin yang
meningkat. Kelainan patologianatomik mencakup hipotrofi atau atrofi, perlemakan,
fibro-sis, bahkan nekrosis sel jaringan atau organ.

Pada malnutrisi akut akan terjadi gangguan air dan elektrolit, seperti natrium,
kalium, dan klorida. Pada malnutrisi kronik biasanya terlibat defisiensi nutrien
lainnya, bergantung kepada diet setempat dan keadaan infeksi yang menyertainya.
Pada malnutrisi kronik sering ditemukan puladefisiensi imunologik yang ditandai
oleh jumlah sel limfosit kurang dari 1500/ul dan anergi terhadap antigen uji kulit
seperti uji ruberkulin, Candida, atau parotitis.
B. Obesitas

Obesitas adalah penimbunan lemak yang berlebihan secara umum pada jaringan
subkutan dan jaringan lainnya di seluruh tubuh. Sering dikaitkan dengan kelebihan
berat badan (overweight), walaupun tidak selalu identik. Anak bongsor mempunyai
massa jaringan otot dan kerangka tulang relatif yang lebih banyak, sehingga berat,
tinggi badan dan penampilannya nampak lebih besar dari rata-rata anak seusia, tetapi
mereka tidak termasuk obese.

Etiologi

Obesitas biasanya disebabkan oleh masukan energi yang melebihi kebutuhan


tubuh untuk keperluan metabolisme dasar yang mencakup metabolisme basal, SDA,
aktivitas jasmani, pembuangan sisa makanan dan energi untuk pertumbuhan. Bila
kelebihan energi ini berkelanjutan, misal 500 kkal setiap hari, maka diperkirakan
dalam waktu 1 minggu akan terjadi kenaikan BB sebanyak 450-500 g.

Kelebihan energi dapat terjadi sebagai akibat masukan energi yang berlebih,
penggunaan energi yang kurang atau kombinasi kedua hal tersebut. Masukan energi
yang berlebih, yang biasanya dihubungkan dengan bertambahnya nafsu makan,
terdapat pada keadaan berikut: (1) Gangguan psikologik/emosional; dalam hal ini
makanan merupakan pengganti untuk mencapai kepuasan dalam mendapatkan rasa
kasih sayang, ketenangan dan ketenteraman jiwa yang tidak diperoleh penderita
sebelumnya. (2) Kelainan pada hipotalamus, kelenjar hipofisis, dan lesi otak lainnya
yang dapat mengakibatkan gangguan terhadap pusat rasa kenyang. (3)
Hiperinsulinisme, pada keadaan ini terjadi perendahan lipolisis, peninggian sintesis
dan ambilan lemak. (4) Kebiasaan pemberian makan, misal pemberian susu botol
secara berulang pada bayi setiap kali ia menangis dan rewel, atau pemberian makanan
padat tinggi kalori sejak masa awal. (5) Predisposisi genetik, yang terdapat pada
binatang tertentu dan mungkin juga pada manusia; hasil penelitian membuktikan
bahwa anak kembar monozigotik walaupun dibesarkan terpisah mempunyai BB yang
hampir sama dibandingkan dengan anak kembar dizigotik yang dibesarkan bersama.
Penggunaan energi yang kurang mungkin ditemukan pada keadaan berikut: (1)
Merendahnya nilai metabolisme dasar, seperti perawatan baring yang lama pada
penyakit menahun. (2) Endokrinopati, misal pada hipotiroidisme, sindrom
adrenogenital (sindrom Cushing), sindrom Laurence-Moon-Biedl, sindrom Prader-
Willi. (3) Berkurangnya aktivitas jasmani, meskipun dalam hal ini tanpa disertai
masukan yang terlalu berlebih.

Patogenesis

Kelebihan energi oleh tubuh diubah menjadi zat lemak yang akan disimpan
sebagai jaringan lemak di bawah kulit dan pada organ tubuh lain. Selain itu obesitas
mungkin terjadi sebagai akibat meningkatnya jumlah dan ukuran adiposit (sel lemak).
Jumlah adiposit ini akan bertambah bila terjadi masukan kalori yang meningkat,
terutama pada masa janin dan masa bayi; rangsang untuk menambah jumlah sel
adiposit ini akan berlangsung terus sampai masa pubertas, tetapi dengan intensitas
yang makin menurun. Selama periode penurunan berat badan, besar sel lemak
berkurang tetapi jumlahnya menetap.

Manifestasi klinis ,

Anak dengan obesitas akibat diet kalori tinggi, tidak hanya lebih berat tetapi
juga lebih tinggi dari anakseusia, seperti juga terlihat dari umur tulangnya yang lebih
melanjut. Karena masa pubertas timbul lebih awal, pada akhirnya anak yang cepat
tumbuh dan matang itu akan mempunyai tinggi badan yang relatif lebih rendah
dibandingkan dengan anak sebayanya.

Gangguan psikologik berupa kelainan emosional sering dijumpai pada anak


dengan obesitas, meskipun terlihatnya dapat menyesuaikan diri. Karena malu ia
enggan untuk bergaul dan bermain dengan temannya, atau menghindar untuk berolah
raga. Kelainan emosional ini mungkin menjadi penyebab atau merupakan akibat
keadaan obesitas.
Diagnosis

Menentukan diagnosis obesitas tidak selalu mudah, karena tidak ada garis
pembatas yang jelas antara gizi baik dan gizi lebih. Diagnosis didasarkan atas gejala
klinis dan hasil pemeriksaan antropometrik, yang mencakup pengukuran BB, TB,
lingkaran lengan atas, serta tebal lipatan kulit dan subkutan lengan atas kanan bagian
belakang tengah, sebelah atas otot triseps. Diagnosis ditegakkan bila ditemukan
gejala klinis obesitas, disertai dengan adanya data antropometrik untuk perbandingan
BB dan TB, lingkaran lengan atas dan tebalnya lapisan kulit, paling sedikit 10% di
atas nilai normal.

C. Malnutrisi energi protein (MEP, Gizi buruk)

Gambaran klinis malnutrisi energi protein (MEP) sangat bervariasi dalam


derajat berat dan lamanya kekurangan energi dan protein, umur penderita, serta
gambaran klinis lain yang menyertai sebagai akibat defisiensi vitamin, mineral, dan
elemen renik.

Sindrom marasmus, kwashiorkor, dan marasmik-kwashiorkor yang merupakan


MEP-berat tidaklah lebih sering ditemukan dari pada MEP ringan/sedang yang
disebut juga sebagai gizi kurang (undernutrition) yang hanya ditandai oleh adanya
hambatan pertumbuhan. Karenanya istilah MEP mencakup suatu spektrum keadaan
gizi yang luas, mulai dari sekedar kegagalan pertumbuhan ringan sampai suatu
sindrom klinis berat yang spesifik. Hal ini berkaitan dengan kenyataan bahwa jenis
dan kebiasaan makan berlainan antara satu daerah dengan daerah lainnya, di samping
adanya fluktuasi iklim. Keadaan lingkungan ikut berperan dalam terjadinya MEP
seperti pemukiman yang padat, sanitasi dan higiene yang buruk, serta infeksi
berulang yang ditimbulkannya.
1. Marasmus

etiologi

Kelainan ini banyak ditemukan di negara miskin dan dunia ketiga,


karena peran berbagai factornegatif seperti di uraikan di atas, yang sifatnya
multifaktorial dan kompleks. Selain pengaruh berbagai faktor tersebut,
masukan kalori yang kurang dapat pula terjadi sebagai akibat kesalahan
pemberian makan karena tiadanya keakraban dalam hubungan orang tua dan
anak, penyakit metabolik, kelainan kongenital, infeksi kronik atau kelainan
organ tubuh lainnya.

Patofisiologi

Untuk kelangsungan hidup, jaringan diperlukan sejumlah energi


yang dalam keadaan normal dapat dipenuhi dari makanan yang diberikan.
Kebutuhan ini tidak terpenuhi pada masukan yang kurang, karena itu untuk
pemenuhannya digunakan cadangan protein sebagai sumber energi.
Penghancuran jaringan pada defisiensi kalori tidak saja membantu
memenuhi kebutuhan energi, tetapi juga memungkinkan sintesis glukosa
dan metabolit esensial lainnya, seperti berbagai asam amino. Karena itu
pada marasmus, kadang-kadang masih ditemukan kadar asam amino yang
normal, sehingga masih dapat membentuk cukup albumin.

Gejala klinis

Gambaran klinis akan jelas memperlihatkan penampilan seorang


anak yang kurus kering. Semula anakrewel, cengeng walaupun telah diberi
minum, dan sering bangun malam. Pada tahap berikutnya anak bersifat
penakut, apatik, dan nafsu makan menghilang. Sebagai akibat kegagalan
tumbuh kembang akan terlihat berat badan menurun, jaringan subkutan
menghilang sehingga turgor menjadi jelek dan kulit berkeriput. Pada
keadaan yang lebih berat jaringan lemak pipi pun menghilang, sehingga
wajah anak menyerupai wajah orang usia lanjut. Vena superfisialis kepala
lebih nyata, fontanel cekung, tulang pipi dan dagu terlihat menonjol, mata
nampak lebih besar dan cekung. Perut dapat membuncit atau mencekung
dengan gambaran usus yang nyata. Atrofi otot akan menimbulkan hipotonia.
Kadang-kadang terdapat edema ringan pada tungkai, tetapi tidak pada muka.
Suhu tubuh umumnya subnormal, nadi lambat dan metabolisme basal
menurun, sehingga ujung tangan dan kaki terasa dingin dan nampak
sianosis.

Penyakit penyerta

Penyakit penyerta yang sering dijumpai adalah enteritis, infestasi


cacing, tuberkulosis, dan defisiensi vitamin A. Karena itu pada
pemerikasaan anak dengan marasmus hendaknya di perhatikan
kemungkinan adanya penyakit tersebut, yang akan rnempengaruhi tindakan
pengobatannya. Pengobatan dan prognosis dibahas pada topik Kwashiorkor.

2. Kwashiorkor

Agar tercapai keseimbangan nitrogen yang positif, bayi dan anak


dalam masa pertumbuhan memerlukan protein lebih banyak dibandingkan
dengan orang dewasa. Keseimbangan nitrogen yang positif pada orang
dewasa tidak diperlukan, karena kebutuhan protein sudah terpenuhi bila
keseimbangan tersebut dapat dipertahankan. Pada anak bila keseimbangan
nitrogen yang positif tidak terpenuhi, maka setelah beberapa saat ia akan
menderita malnutrisi protein yang mungkin berlanjut dengan kwashiorkor.
Meskipun sebab utama penyakit ini adalah defisiensi protein, tetapi karena
bahan makanan yang dimakan kurang mengandung nutrien lainnya
ditambah dengan konsumsi setempat yang berlainan, maka akan terdapat
perbedaan gambaran kwashiorkor di berbagai negara. Umumnya defisiensi
protein disertai pula oleh defisiensi energi, sehingga pada seorang kasus
terdapat gejala kwashiorkor maupun marasmus.
Etiologi

Selain oleh pengaruh negatif faktor sosio-ekonomi-budaya yang


berperan terhadap kejadian malnutrisi umumnya, keseimbangan nitrogen
yang negatif dapatpula disebabkan oleh diare kronik, malabsorpsi protein,
hilangnya protein melalui air kemih (sindrom neftotik), infeksi menahun,
luka bakar, dan penyakit hati.

Patofisiologi

Pada defisiensi protein murni tidak terjadi katabolisme jaringan yang


sangat berlebihkarena persediaan energi dapat dipenuhi oleh jumlah kalori.
Kelainan yang mencolokadalah gangguan metabolik dan perubahan sel yang
menyebabkan edema dan perlemakan hati, Karena kekurangan protein
dalam diet, akan terjadi kekurangan berbagai asam amino esensial dalam
serum yang diperlukan untuk sintesis dan metabolisme. Selama diet
mengandung cukup karbohidrat, maka produksi insulin akan meningkat dan
sebagian asam amino dalam serum yang jumlahnya sudah kurang tersebut
akan disalurkan kejaringan otot. Makin berkurangnya asam amino dalam
serum ini akan menyebabkan kurangnya produksi albumin oleh hepar, yang
kemudian berakibat timbulnya edema. Perlemakan hati terjadi karena
gangguan pembentukan beta-lipoprotein, sehingga transport lemak dari hati
ke depot terganggu, dengan akibat terjadinya penimbunan lemak dalam hati.

Gejala klinis

(1) Secara umum anaknampaksembab, letargik, cengeng, dan mudah


terangsang. Pada tahap lanjut anak menjadi apatik, sopor atau koma. (2)
Gejala terpenting adalah pertumbuhan yang terhambat, berat dan tinggi
badan lebih rendah dibandingkandenganBBbaku. PenurunanBB ini tidak
mencolok atau mungkin tersamar bila dijumpai edema anasarka. (3)
Sebagian besar kasus menunjukkan adanya edema, baik derajat ringan
maupun berat. Edema ini muncul dini, pertama kali terjadi pada alat dalam
tungkai, rongga tubuh, dan pada stadium lanjut mungkin diseluruh tubuh
(edema anasarka). (4) Jaringan otot mengecil dengan tonusnya yang
menurun, jaringan subkutan tipis dan lembek. (5) Kelainan gastrointestinal
yang mencolok adalah anoreksia dan diare. Kadang-kadang anoreksia
demikian hebatnya dan penderita akan menolak semua jenis makanan,
sehingga cara pemberiannya harus personde. Diare terdapat pada sebagian
besar penderita, yang selain infeksi penyebabnya mungkin karena gangguan
fungsi hati, pankreas atau usus (atrofi). Intoleransi laktosa sering dijumpai,
sehingga untuk mencegah diare pemberian susu sapi biasa harus diencerkan.
(6) Rambut berwarna pirang, berstruktur kasar dan kaku, serta mudah
dicabut. Tarikan ringan di daerah temporal dengan mudah dapat mencabut
seberkas rambut tanpa reaksi sakit. Padakwashiorkor tahap lanjut rambut
akan terlihat kusam, jarang, kering, halus, dan berwarna pucat atau putih.
Pada selembar rambut seringkali nampak berbagai warna secara selang-
seling antara warna gelap, pirang , dan pucat, yang menyerupai bendera dan
dikenal sebagai signo de bandero. Perubahan rambut pada kelopak mata
tidak nyata, bahkan bulu mata sering menjadi lebih panjang. (7) Kelainan
kulit tahap awal berupa kulit yang kering, bersisik dengan garis-garis kulit
yang dalam dan lebar, disertai denitamin B kompleks, defisiensi
eritropoetin, dan kerusakan hati. (8) Anak mudah terjangkit infeksi akibat
defisiensi imunologik; penyakit campak pada anak kwashiorkor dapat
menjadi serius dan berakibat fatal. Penyakit infeksi ini sering bermanifestasi
sebagai diare, bronkopneumonia, faringotonsilitis, atau tuberkulosis.
(9)Penyakit kwashiorkor sering disertai oleh defisiensi vitamin dan mineral
lain, karena itu bisa dijumpai tanda defisiensi vitamin A, riboflavin
(stomatitis angularis), anemia defisiensi besi, dan anemia megaloblastik.
Pemeriksaan laboratorium

Hampir semua kasus kwashiorkormemperlihatkan penurunan kadar


albumin, kolesterol, dan glukosa dalam serum. Kadar globulin dapat normal
atau meningkat, sehingga perbandingan albumin dan globulin serum dapat
terbalik, yaitu kurang dari 1. Kadar asam amino esensial dalam plasma
relatif lebih rendah dari pada asam amino nonesensial. Umumnya kadar
imunoglobulin serum normal, bahkan dapat meningkat. Meskipun kadar
IgA serum normal, namun kadar IgA sekretori merendah. Gangguan
imunitas selular, khususnya jumlah populasi sel T, merupakan kelainan
imunologik yang paling sering dijumpai pada MEP berat. Penetapan
komplemen mununjukkan penurunan kadar beberapa jenis komplemen
dalam serum; Uji toleransi glukosa menunjukkan gambaran tipe diabetik.
Begitu pula terdapat penurunan kadar berbagai enzim dalam serum, seperti
amilase, esterase, kolin esterase, transaminase, dan fosfatase alkali; aktivitas
enzim pankreas dan xantin oksidase juga berkurang. Karena seringkali
disertai defisiensi vitamin dan mineral, maka kadar vitamin.dan mineral
dalam serum merendah, di antaranya vitamin A, asam folat, riboflavin,
fosfor, magnesium, besi, dan kalium. Anemia yang timbul dapat disebabkan
oleh defisiensi besi, protein, atau asam folat dengan jenis -yang paling
sering ditemukan adalah anemia normokromik normositik. Pertumbuhan
tulang juga mengalami hambatan, sedangkan sekresi hormon pertumbuhan
meningkat. Pemeriksaan air kemih menunjukkan peningkatan ekskresi
hidroksiprolin dan adanya aminoasiduria.

Pada biopsi hati ditemukan perlemakan ringan sampai berat, fibrosis,


nekrosis, dan infiltrasi sel mononuklear. Pada perlemakan berat hampir
semua sel hati mengandung vakuol lemak yang besar. Pemeriksaan autopsi
penderita kwashiorkor menunjukkan kelainan pada hampirsemua organ
tubuh, seperti degenerasi otot jantung, osteoporosis tulang, atrofi vilus usus,
atrofi sistem limfoid, dan atrofi kelenjar timus.
Diagnosis

Umumnya dengan pandangan sepintas, diagnosis kwashiorkor mudah


ditegakkan. Apalagi dengan memperhatikan gejala klinis, hampir tidak
diperlukan diagnosis banding. Bila hanya diperhatikan adanya edema, perlu
dipikirkan pula penyakit hati yang lanjut (sirosis hepatis), penyakit ginjal
(sindrom nefrotik), atau penyakit jantung (dekompensasio kanan).

3. Marasmik Kwashiorkor

Berdasarkan definisi kelainan gizi ini menunjukkan gejala klinis


campuran antara marasmus dan kwashiorkor. Gejala klinis yang umum adalah
gagal tumbuh-kembang. Di samping itu terdapat pula satu atau lebih gejala
kwashiorkor seperti edema, dermatosis, perubahan rambut, hepatomegali,
perubahan mental, hipotrofi otot, jaringan lemak subkutan berkurang, kerdil,
anemia, dan defisiensi vitamin. Berat badan dengan edema kurang dari 60%
nilai berat badan terhadap umur pada standar yang baku (berdasarkan
Lokakarya Antropometri Gizi 1975, untuk anak balita dipakai standar P50
Harvard).

Pemeriksaan darah tepi memperlihatkan anemia ringan sampai sedang,


yang umumnya berupa anemia hipokromik atau normokromik. Pada uji faal
hati tampak nilai albumin sedikit atau amat merendah, trigliserida normal, dan
kolesterol normal atau merendah. Kadar elektrolit K rendah bahkan mungkin
sangat rendah, sedangkan kadar Na, Zn, dan Cu bisanormal atau menurun.

Penatalaksanaan marasmik kwashiorkor dalam garis besarya terdiri


dari terapi nutrisi, pengobatan terhadap penyakit penyerta, dan penyuluhan
gizi terhadap keluarga. Keberhasilannya ditentukan oleh faktor sosio-ekonomi
dan budaya keluarga, misal tingkat pendidikan ibu, penghasilan keluarga, atau
peran dan pengaruh anggota keluarga lain.
Terapi nutrisi dilakukan dengan pemberian makanan tinggi energi
tinggi protein, seperti pada marasmus dan kwashiorkor. Energi diberikan 150
kkal/ kg BB/hari, protein sebanyak 3-5 g/kg BB/hari; keduanya diberikan
secara bertahap. Sebagai tambahan diberikan pula KC1 75-100 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 3 dosis, MgsO4 50% sebanyak 0,25 ml/kg BB/hari secara IM,
dan roboransia. Vitamin A perlu diberikan dengan dosis profilaksis, kecuali
bila ditemukan tanda defisiensi vitamin A, harus diberikan dosis terpeutik
sebanyak 50.000 Si/kg BB dengan maksimal 400.000 SL Senyawa besi atau
asam folat ditambahkan bila dijumpai anemia defisiensi besi atau
megaloblastik.

Penyakit penyerta yang sering ditemukan adalah infeksi saluran nafas


atas, bronkopneumonia, Koch pulmonum, noma, otitis media supurativa,
infeksi saluran kemih, penyakit parasit, dan diare. Tidak jarang penyakit
penyerta ini menjadi faktor penyebab utama marasmik kwashiorkor, misal
diare menahun atau tuberkulosis. Oleh karena itu penyakit penyerta tersebut
harus diobati secara tuntas.

Penyuluhan gizi akan sangat bermanfaat untuk men-cegah


kekambuhan dan mencegah kejadian kurang gizi pada anak lain dalam
keluarga.

MEP ringan/sedang

Istilah lain adalah gizi kurang atau undernutrition. Keadaan ini


seringkali terjadi pada masa setelah penyapihan yang umumnya berkisar
antara 9 bulan dan 2 tahun, walaupun dapat terjadi pada berbagai usia.
Gambaran yang mencolok adalah adanya gagal tumbuh, seringnya terkena
infeksi, adanya anemia, berkurangnya aktivitas jasmani, serta hambatan
perkembangan mental dan psikomotor, sedangkan perubahan pada rambut dan
kulit sangat jarang ditemukan.
D. Defisiensi vitamin
Vitamin adalah nutrien esensial yang kebutuhannya hanya dapat dipenuhi dari
sumber di luar tubuh. Keracunan vitamin Iebih sering terjadi pada kelebihan vitamin
A dan D yang larut dalam lemak, dibandingkan dengan vitamin yang larut dalam air.

1. Defisiensi vitamin A

Patofisiologi

Pada retina manusia dikenal 2 sistem fotoreseptor, yaitu batang yang


sensitif untuk sinar berintensitas rendah, dan kerucut untuk warna atau sinar
berintensitas tinggi. Retinal merupakan gugusan prostetik pigmen
fotosensitif yang terdapat pada batang maupun kerucut Perbedaan pokok
antara pigmen visual pada batang (rodopsin) dan pada kerucut (iodopsin)
adalah jenis ikatan protein pada retinal. Dalam keadaan gelap retinal bentuk
all- trans akan diubah menjadi bentuk isomer 2-cis. Bentuk ini
Bersamaopsin akan membentuk rodopsin. Dalam keadaan terang, energi
sinar mengubah seluruh 2-cis-retinal menjadi bentuk all-trans kembali;
pertukaran energi ini disalurkan melalui N. optikus ke otak, yang akan
mengakibatkan sensasi visual. Besar faktor energi ini dapat diukur dengan
elektroretinograf untuk menilai status vitamin A.

Dalam keadaan defisiensi vitamin A terjadi hambatan dalam sekresi


RBP, sedangkan pada defisiensi protein terdapat gangguan sintesis RBP.
Retinitis pigmentosa diperkirakan mempunyai hubungan dengan defek pada
RBP. Makanan yang mengandung banyak karotenoid akan mengakibatkan
kadar karoten dalam darah meningkat (karotenemia), sehingga terlihat
wama kuning pada kulit tetapi tidak pada sklera mata. Karotenemia mudah
terjadi pada anak dengan penyakit hati, diabetes melitus, hipotiroidisme atau
defisiensi enzim pengkonversi karotenoid.
Nampaknya vitamin A diperlukan untuk stabilitas membran lisosom.
Kelebihan maupun kekurangan vitamin A dapat menimbulkan pecahnya
membran tersebut dengan akibat dilepaskannya enzim hidrolase. Vitamin A
berperan pula dalam proses keratinisasi, kornifikasi, metabolisme tulang dan
gigi, perkembangan plasenta, pertumbuhan badan, spermatogenesis, dan
pembentukan epitel (kulit, mata, saluran cerna, saluran nafas, saluran kemih,
sistem reproduk-si). Perubahan karakteristikpada epitel meliputi proliferasi
sel basal, hiperkeratosis, dan pembentukan berbagai jenis epitel (berlapis,
bertanduk, skuamosa). Perubahan pada epitel saluran nafas dapat
mengakibatkan obstruksi bronkiolus. Metaplasia skuamosa epitel pelvis
ginjal, ureter, kandung kemih, lapisan email, duktus pankreas, dan saluran
kelenjar ludah akan mempermudah timbulnya infeksi pada tempat tersebut.

Dalam kepustakaan dilaporkan bahwa defisiensi vitamin A pada


hewan diikuti oleh merendahnya respons imun. Semula pendapat ini masih
kontroversial, meskipun telah timbul dugaan adanya penurunan kadar
lisozim, jumlah sel T, daya fagositpsis dan daya bakterisidal leukosit.
Kemudian dugaan tersebut dapat dibuktikan kebenarannya.

Etiologi

Defisiensi vitamin A umumnya terjadi karena masukan yang kurang


atau absorpsi yang terganggu. Malabsorpsi ini dijumpai pada anak yang
menderita malnutrisi, sering terjangkit infeksi (enteritis, salmonelosis,
infeksi saluran nafas), infestasi parasit (askariasis, ankilostomiasis,
giardiasis, skistosomiasis), atau pada penyakit hati. Karena vitamin A larut
dalam lemak, masukan lemak yang kurang dapat menimbulkan gangguan
absorpsi.
Manifestasi klinis

Kelainan yang timbul dapat dibagi menjadi mata (okular) dan


kelainan di luar mata (ekstraokular). Kelainan pada mata (xeroftalmia)
timbul secara lambat. Klasifikasi xeroftalmia menurut WHO (1982).
Batasan-xeroftalmia yang diajukan WHO mencakup semua kelainan mata
yang disebabkan oleh defisiensi vitamin A, termasuk kelainan struktural
konjungtiva, kornea, dan kadang-kadang retina, maupun kelainan fungsi
batang dan kerucut.

Rabun senja merupakan gejala dini defisiensi vitamin A, yang terjadi


karena terhambatnya sekresi RBP sehingga berakibat terganggunya sintesis
rodopsin. Gejala rabun senja sangat bermanfaat untuk mendeteksi defisiensi
vitamin A di lapangan. Kasus dengan rabun senja mempunyai kadar rata-
rata vitamin A dalam serum yang lebih rendah daripada kelola anak normal.
Kemudian terjadi pengeringan epitel konjungtiva, yang akan nampak
sebagai bercak kering bergaris-garis di daerah nasal atau temporal kornea
(xerosis konjungtiva). Selanjutnya bercak bergaris pada konjungtiva bulbi
tersebut akan terlihat sebagai bercak putih mengkilat yang lebih besar,
berbentuk bulat atau segitiga, yang dikenal sebagai bercak Bitot. Pada tahap
berikutnya terjadi pengeringan dan pengeruhan komea (xerosis kornea),
yang biasanya dimulai pada bagian bawah kornea. Tahap awal xerosis kor-
nea, yang nampak sebagai keratopati pungtata di kuadrannasal bawah, akan
terdeteksi pada pemeriksaan lampu ceiah (slit-lamp) dengan memakai zat
fluoresein, sedangkan tahap oerikutnya mudah terlihat dengan pemeriksaan
lampu biasa. Kelainan lebih lanjut ditandai oleh terjadinya pengeriputan dan
pengeruhan yang lebih nyata, disertai dengan ulserasi (ulkus komea),
kemudian perforasi dan destraksi total kotnea mata (keratomalasia). Proses
terjadinya ulkus komea dan keratomalasia ini berlangsung dalam waktu
yang singkat; karena itu diagnosis dini kelainan ini sangat penting. Klasi-
fikasi WHO ulkus kornea (X3) menjadi X3A dan X3B ber-dasar atas
luasnya kerusakan komea dan kaitannya dengan prognosis penglihatan. Bila
pengobatan cepat diberikan, defek stroma yang meliputi kurang dari 1/3
permukaan komea akan menyembuh dengan masih adanya fungsi
penglihatan yang cukup memadai; kerusakan komea yang lebih besar
biasanya berakhir dengan kebutaan. Kelainan mata akan lebih parah bila
pada waktu yang sama anak terjangkit campak. Dari Afrika dilaporkan
kejadian keratokonjungtivitis pada anak yang dalam waktu singkat berakibat
dengan kebutaan, karena ketika itu ia terjangkit pula penyakit campak.

Kelainan ekstraokular yang ditemukan adalah : (1) Kelainan kulit


berupa hiperkeratosis foiikularis yang terdapat di bahu, bokong, dan bagian
ekstensor anggota gerak; kelainan ini biasanya terdapat pada orang dewasa
dan jarang pada anak. (2) Metaplasia epitel pada organ lain, seperti pada
bronkiolus yang dapat menyebabkan obstruksi, pada pelvis ginjal dan ureter
yang mempermudah terjadinya infeksi. (3) Defek sistem imunologik akibat
berkurangnya jumlah sel T. (4) Kelambatan pertumbuhan, yang biasanya
dikaitkan dengan adanya malnutrisi atau infeksi, dan bukan semata-mata
karena defisiensi vitamin A. (5) Tekanan intrakranial me-ninggi disertai
dengan pelebaran sutuia tulang tengkorak; kadang-kadang terdapat pula
hidrosefalus. (6) Kelainan in-dera rasa dan penciuman, fungsi vestibular,
sistem reproduksi, dan kelainan bawaan hanya dijumpai pada hewan
percobaan.

Diagnosis

Secara klinis tidak sulit untuk menegakkan diagnosis defisiensi


vitamin A. Diagnosis dibuat berdasarkan gejala rabun senja, kelainan mata,
dan penurunan kadar vitamin A (retinol) atau RBP dalam plasma maupun
jaringan hati. Kadar vitamin A dalam plasma kurang dari 20 ug/dl akan
menunjang diagnosis.
2. Hipervitaminosis A

Hipervitaminosis A akut dapat terjadi pada bayi setelah pemberian


vitamin A 300.000 SI atau lebih. Gejala yang timbul berupa mual, muntah,
dan pembonjolan fontanel. Gejala lain yang mirip dengan tumor otak
mungkin pula ditemukan, seperti diplopia, edema papil, atau kelumpuhan
saraf otak.

Hipervitarainosis A kronik timbul setelah pemberian vitamin A


secara berlebih selama beberapa minggu atau beberapa bulan. Gejala yang
dijumpai pada anak adalah anoreksia, tubuh menjadi kurus, pruritus, mudah
terangsang dan cengeng, hiperestesia, pembengkakan tulang dan nyeri tekan
sehingga gerakan terbatas. Selain itu mungkin ditemukan alopesia, lesi
seboroik pada kulit, stomatitis angularis, hepatomegali, splenomegali,
peninggian tekanan intra-kranial, tabes kranialis, dan deskuamasi telapak
tangan atau kaki. Pemeriksaan radiologik memperlihatkan adanya
hiperostosis tulang panjang.

Diagnosis ditegakkan oleh riwayat pemberian vitamin A yang


berlebih dan kenaikan kadar vitamin A dalam plasma yang melebihi 100
ug/dl.

3. Defisiensi vitamin B kompleks

Ke dalam vitamin B kompleks tercakup sejumlah faktor yang


komposisi kimia dan fungsinya bervariasi luas. Seluruh faktor tersebut
merupakan komponen pokok berbagai sistem enzim. Karena fungsi berbagai
enzim tersebut saling berkaitan, maka kekurangan atau terganggunya fungsi
salah satu faktor akan mengakibatkan terputusnya seluruh rangkaian proses
biokimia yang normal. Keadaan ini dapat berwujud dalam bentuk berbagai
manifestasi klinis. Diet yang kekurangan salah satu faktor vitamin B
kompleks, biasanya akan kekurangan pula unsur vitamin B kompleks
lainnya. Kaiena itu tidak jarang pada seorang anak dijumpai berbagai
manifestasi klinis yang merupakan kombinasi gejala defisiensi sejumlah
faktor vitamin B kompleks. Atas dasar ini, bila diperlukan pengobatan
sebaiknya diberikan seluruh faktor vitamin B kompleks. Beberapa faktor
seperti asam pantotenat, biotin, kolin, dan inositol mempunyai peranan yang
penting pada proses biokimia dalam tubuh manusia. Tetapi sampai saat ini
belum diketahui dengan pasti gejala khas yang timbul pada anak akibat
defisiensi faktor tersebut.

4. Defisiensi tiamin (beri-beri)

Selain merupakan koenzim pada metabolisme karbohidrat, tiamin


diperlukan pula dalam sintesis asetilkolin: Karena itu defisiensi tiamin dapat
menghambat konduksi saraf.

Etiologi

Defisiensi tiamin terjadi karena masukan yang kurang, malabsorpsi,


atau kebutuhan yang meningkat. Selain kualitas bahan makanan yang rendah,
masukan yang kurang mungkin disebabkan karena pengolahannya yang salah.
Misalnya kerusakan vitamin akibat penggilingan beras yang terlalu bersih,
pemanasan sewaktu memasak, atau adanya enzim perusak pada beberapa jenis
ikan yang biasa dikonsumsi. Pada bayi yang hanya mendapat ASI dan ibu
dengan defisiensi tiamin, mungkin akan timbul gejala beri-beri. Malabsorpsi
tiamin dijumpai pada penyakit gastrointestinal atau penyakit hati.Ketegangan,
tindakan bedah, atau kenaikan suhu dapat menyebabkan kebutuhan tiamin
bertambah.

Patologi

Pada kasus beri-beri yang fatal, lesi akan dijumpai terutama pada
jantung, saraf perifer, jaringan subkutan, dan rongga serosa. Jantung
mengalami dilatasi dan pada otot jantung sering ditemukan degenerasi lemak.
Mielin dan silinder akson pada saraf perifer menunjukkan pula adanya
degenerasi yang dimulai di bagian distal; yang pertama kali terkena adalah
saraf anggota gerak bawah. Kelainan di otak dapat berupa dilatasi vaskular
atau perdarahan.

Gejala klinis

Secara garis besar manifestasi klinis dapat digolongkan ke dalam


kelainan psikologik, jantung, dan saraf perifer. Gejala beri-beri pada bayi dan
anak umumnya sama dengan gejala yang terdapat pada orang dewasa. Kadang-
kadang ditemukan kasus beriberi kongenital sebagai akibat defisiensi tiamin ibu
selama kehamilan.

Manifestasi dini biasanya timbul dalam bentuk kelainan psikologik,


seperti apati, cepat lelah, depresi, mengantuk, iritabel, dan konsentrasi
menurun. Kadang-kadang dijumpai gejala anoreksia, mual, dan rasa wegah.
Pada tahap lanjut dapat ditemukan gejaia yang berhubungan dengan kelainan
saraf perifer, maupun kelainan jantung. Kelainan saraf perifer meliputi: neuritis
perifer dengan rasa gatal, panas dan kesemutan pada kaki dan jari kaki;
menurunnya refleks tendon lutut dan Achilles; menghilangnya rasa getaran;
kejang dan nyeri tekan otot tungkai; ptosis kelopak mata dan atrofi nervus
optikus; suara serak atau afonia karena paralisis nervus la-ringialis dan edema
pita suara yang merupakan gejala khas atiaminosis. Kelainan jantung biasanya
merupakan gejala gagal jantung kongestif, seperti sesak nafas, takikardia,
kardiomegali terutama kanan, hepatomegali, edema, asites, kongesti paru, dan
oliguria. Pada tahap kasip mungkin ditemukan atrofi otot dan nyeri pada
serabut saraf diikuti dengan ataksia, hilangnya koordinasi, dan hilangnya
sensasi dalam. Pada tahap akhir terlihat tanda peninggian tekanan intra-kranial,
meningismus, kejang, dan koma.

Pada keadaan akut anak dapat tiba-tiba meninggal akibat gagal jantung
yang mendadak. Kasus beriberi menahun biasanya ditemukan pada anak yang
lebih besar dengan gejalanya berupa profil anak lebih kecil, edema, dan perut
membuncit karena meteorismus. Gejala yang menarik perhatian adalah suara
serak atau afonia. Paralisis seperti yang sering dijumpai pada orang dewasa,
jarang terlihat pada anak. Pada beriberi menahun pun sebab kematian biasanya
karena gagal jantung.

Kelainan elektrokardiogram yang nampak adalah interval QT


memanjang, inversi gelombang T, dan voltase rendah. Dengan pengobatan
perubahan kardiologik tersebut menjaoi normal kembali dengan cepat.

Diagnosis

Riwayat tnakanan dan gejala Minis, khususnya adanya afonia atau suara
serak, dapat menunjang diagnosis atiaminosis. Hasil pemeriksaan labotatorium
yang dapat membantu adalah merendahnya kadar transketolase critrosit serta
meningginya kadar glioksilat dalam darah dan urin. Apapun, respons klinis
setelah pemberian tiamin merapakan uji diagnostik yang terandalkan.

5. Defisiensi riboflavin (ariboflavinosis)

Defisiensi riboflavin jarang dijumpai tanpa defisiensi unsur vitamin B


kompleks lainnya. Riboflavin adalah vitamin yang larut dalam air, berwarna
Joining, berfluoresensi, tahan terhadap panas dan asam, tetapi mudah rusak oleh
penyinaran (fototerapi) dan basa. Ternyata kandungan riboflavin dalam susu
sapi 5 kali lebih banyak daripada dalam ASI.

Riboflavin merupakan unsur pokok 2 macam koenzim flavin


mononukleotida (FMN) dan flavin adenin dinukleotida (FAD). Kedua koenzim
ini merupakan bagian dari berbagai enzim flavoprotein yang berperan dalam
transportasi elektron (ion hidrogen), misal pada proses pernafasan sel,
metabolisme asam amino dan asam lemak. Selain itu riboflavin diperlukan
untuk pernafasan dan pertumbuhan jaringan, proses adaptasi cahaya pada
retina, dan konversi piridoksin menjadi piridok-sal fosfat.

Etiologi

Defisiensi riboflavin biasanya disebabkan karena masukan yang kurang


atau karena malabsorpsi. Gangguan absorpsi dijumpai pada penderita atresia
biliaris, hepatitis, atau karena suatu pengobatan (fenotiasin, kontraseptif oral).

Manifestasi klinis

Kelainan utama defisiensi riboflavin ditemukan pada mulut, mata, dan


kulit. Kelainan mulut dapat berupa keilosis (stomatitis angularis, perleche) atau
glositis. Keilosis dimulai dengan kepucatan di sudut mulut, kemudian terdapat
fisura yang ditutupi keropeng kuning, yang dapat melebar ke kulit sampai
sepanjang 1-2 cm. Glositis ditandai dengan gambaran lidah yang melicin karena
hilangnya struktur papil. Gejala pada mata biasanya adalah konjungtivitis,
keratitis, fotofobia, lak-rimasi, danbertambahnya vaskularisasi komea. Kelainan
kulit biasanya hanya berupa dermatitis seboroik pada lipatan nasolabial, alae
nasi, telinga, dan kelopak mata. Kadang-kadang dijumpai pula dermatitis pada
tangan, sekitar vulva, anus dan perineum. Mungkin ditemukan anemia
normositik-normokromik.

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dengan gejala klinis dan pemeriksaan


laboratorium, yaitu menurunnya ekskresi riboflavin dalamair kemih (kurang
dari 30 ug/24 jam) dan merendahnya kadar enzim glutation reduktase dalam
eritrosit.

6. Defisiensi niasin (Pelagra)

Ke dalam niasin tergolong asam nikotinat dan nikotinamida, yang


keduanya mempunyai khasiat sebagai vitamin. Telah dibuktikan bahwa organ
tubuh dapat membentuk sendiri asam nikotinat dari triptofan, sehingga
sebenarnya asam nikotinat beserta amidanya tidak tergolong lagi ke dalam
jenis vitamin. Niasin bersifat stabil, karena itu hanya sebagian kecil yang
hilang pada pemasakan makanan..

Niasin merupakan bagian dari 2 enzim nikotinamida adenin


dinukleotida (NAD) dan nikotinamida adenin dinukleotida fosfat (NADP)
yang berperan dalam transfer elektron dan glikolisis. Asara nikotinat juga
berldiasiat sebagai vasodilator. Walaupun diet yang mengandung 60 mg
triptofan dapat digunakan sebagai pengganti 1 mg niasin, tetapi masih
diperlukan niasin dari suraber makanan lain.

Etiologi

Umumnya makanan sehari-hari mengandung cukup triptofan. Protein


jagung kurang mengandung triptofan, sehingga gejala pelagra dapat timbul
pada mereka yang makanan utamanya adalah jagung. Di samping itu pelagra
mungkin dijumpai pada bayi yang biasa mendapat susu sapi yang diencerkan
tanpa tambahan vitamin, karena susu sapi tidak mengandung cukup niasin.

Patologi

Pemeriksaan histologik Iapisan dermis menunjukkan adanya edema


dan degenerasi kolagen superfisial, pembuluh kapiler melebar, serta infiltrasi
limfositik perivaskular. Epidermis menjadi hiperkeratotik, kemudian atrofik.
Kelainan seperti pada kulit dijumpai pula pada lidah, mukosa bukalis, dan
vagina. Perubahan susunan saraf terjadi pada tahap lanjut dengan terlihatnya
demielinisasi dan degenerasi pada sel ganglion atau pada medula spinalis.

Manifestasi Minis

Anak dengan pelagra umumnya disertai pula oleh penyakit defisiensi


nutrien lainnya. Biasanya pada anak jarang di-temukan gejala pelagra yang
khas seperti pada orang dewasa. Gejala prodromal tidak khas, biasanya timbul
sebagai rasa terbakar, lesu, baal, pusing, dan anoreksia. Sebelum kelainan
kulit, biasanya nampak adanya stomatitis, glositis, muntah, atau diare.
Kemudian timbul gejala trias klasik yang lebih karakteristik berupa dermatitis,
diare, dan demensia.

Manifestasi klinis yang paling khas adalah timbulnya eritema secara


mendadak, berbatas tegas, simetrik; terjadinya mungkin dirangsang oleh sinar
matahari. Lesi kulit ini terda-pat pada kedua tangan (pellagrous glove., serupa
pakai sarung tangan), pada kaki dan tungkai bawah (pellagrous boot), atau
sekeliling leher (Casal necklace). Gejala neurologik biasanya berupa depresi,
disorientasi, insomnia, dan delirium.

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dengan riwayat makanan dan ditemukannya


tanda klinis berupa glositis, gejala gastrointestinal, dan dermatitis dengan lesi
yang simetrik, Diagnosis dikonfirmasi dengan adanya respons klinis terhadap
pemberian niasin. Pemeriksaan laboratorium penunjang adalah tidak
ditemukannya N- metilnikotinamida, suatu metabolit niasin, dalam air kemih.

7. Defisiensi piridoksin (vitamin 86)

Vitamin ini tidak tahan terhadap pemanasan yang lama. Tergolong ke


dalam vitamin B6 adalah piridoksal, piridoksin, dan piridok-samin. Ketiga
bahan ini akan dikonversi menjadi piridoksal-5-fosfat yang berperan sebagai
koenzim dalam prc;;.s dekarboksilasi dan transaminasi metabolisme asam
ammo, glikogen, dan asam lemak. Misal, proses dekarboksilasi 5-hidroksi-
triptofan dalam pembentukan serotonin; sintesis asam arakidonat dari asam
linoleat; piridoksal fosfat adalah koenzim untuk enzim glutamat
dekarboksilase dan asam gama-aminobutirat transaminase dalam metabolisme
jaringan otak. Karena ituiah defisiensi piridoksin dapat menimbulkan kejang
dan neuropati perifer. Kelompok vitamin B<5 sebagian besar diekskresi
dalam air kemih sebagai asam 4-piridoksai.

Etiologi

(1) Masukan kurang: Karena dalam makanan sehari-hari terdapat


dalam jumlah yang cukup, defisiensi piridoksin biasanya disebabkan oleh
pemanasan yang berlebih ketika memasak bahan makanan. (2) Malabsorpsi
piridoksin terjadi pada penyakit gastrointestinal, misal sindrom seliak. (3)
Kebutuhan yang bertambah mungkin dijumpai pada ke-hamilan atau
pemberian obat yang bersifat antagonis piridoksin, seperti INH, penisilamin,
dan kontrasepsi oral dengan progesteron-estrogen. (4) Sindrom
ketergantungan piridoksin yang mungkin karena kelainan struktur atau fungsi
enzim, sehingga respons penderita hanya terhadap dosis yang lebih besar.
Kelainan ini meliputi kejang, anemia, homosistinuria, sistationuria, dan
asiduria xanturenat.

Manifestasi klinis

Gejala pada anak tidak begitu sering seperti pada orang dewasa. Pada
manusia dikenal 4 jenis kelainan klinis, yaitu kejang pada bayi, neuritis
perifer, anemia, dan dermatitis.

Kejang dapat terjadi pada bayi baru lahir beberapa jam sampai
berumur 6 bulan, biasanya kejang betsifat mioklonik dengan gambaran
hipsaritmia pada rekaman EEG. Anemia defisiensi piridoksin umumnya
bersifat mikrositik hipokromik, serupa dengan anemia defisiensi besi.
Kelainan kulit meliputi keilosis, glositis, dan dermatitis seboroik sekitar mata,
hidung, dan mulut.
Pemeriksaan laboratorium

Pemberian triptofan 100 mg/kg BB pada anak dengan defisiensi


vitamin B6 akan menyebabkan sangat banyaknya ekskresi asam xanturenat
dalam air kemih, yang tidak dijumpai pada anak normal. Hasil uji triptofan ini
dapat normal pada anak dengan ketergantungan piridoksin.

Diagnosis

Bayi dengan kejang harus dicurigai menderita defisiensi vitamin Bg


atau sindrom ketergantungan piridoksin. Bila sebab lain kejang pada bayi
seperti hipokalsemia, hipoglikemia, dan infeksi dapat disingkirkan, maka bayi
tersebut harus segera mendapat piridoksin 100 mg parenteral. Kemudian bila
kejang berhenti harus diduga adanya defisiensi piridoksin, dan merupakan
indikasi untuk melakukan uji triptofan dosis tinggi. Hal serupa dilakukan pada
anak besar yang menderita kejang, yaitu pada saat merekam EEG disuntikkan
piridoksin 100 mg; bila dilihat adanya respons yang membaik pada rekamam
EEG dicurigai adanya defisiensi piridoksin. Diagnosis defisiensi vitamin B6
dapat dibantu dengan merendahnya kadar enzim glutamat piruvat
transaminase dalam eritrosit.

8. Defisiensi vitamin C (Skorbut)

Asam askorbat (vitamin C) diperlukan untuk pembentukan kolagen


yang normal. Kelainan struktur kolagen ini akan menyebabkan beberapa
kelainan metabolisme dan manifestasi klinis skorbut. Perubahan bentuk
kolagen akibat defisiensi vitamin C adalah karena gagalnya penyatuan
rangkaian hidroksiprolin dan prolin. Vitamin C adalah zat pereduksi kuat,
sangat mudah teroksidasi dan sangat mudah rusak oleh pemanasan. Jaringan
adrenal dan lensa merupakan bagian tubuh yang paling banyak mengandung
vitamin C. Asam askorbat mempunyai peranan dalam beberapa aktivitas
enzim (lihat Tabel 5-7). Keadaan tirosinemia sementaia pada bayi berat badan
lahir rendah dan pada bayi cukup bulan yang mendapatkan diet tinggi protein
dapat ditanggulangi dengan pemberian vitamin C. Defisiensi asam askorbat
merupakan salah satu sebab terjadinya anemia megaloblastik sebagai akibat
terganggunya konversi asam folat atau konjungasi lainnya.

Etiologi

Bayi yang dilahirkan dan ibu dengan masukan vitamin C yang cukup
akan mempunyai cadangan vitamin C yang cukup pula.Kadar vitamin C pada
plasma darah tali pusat 2 - 4 kali lebih besar dari kadar dalam plasma ibu.
Pada keadaan yang baik, kadar vitamin C air susu ibu berkisar antara 4-7
mg/dl dan kadar tersebut cukup sebagai sumber vitamin C bagi bayi.
Defisiensi vitamin C pada diet ibu yang menyusukan akan menyebabkan
penyakit skorbut pada bayi yang disusuinya. Bayi yang mendapat susu sapi
mumi harus diberikan vitamin C tambahan untuk mencegah defisiensi vitamin
C. Kebutuhan vitamin C akan meningkat pada defisiensi besi, udara dingin,
kekurangan protein, merokok, atau pada keadaan penyakit dengan demam,
terutama penyakit infeksi dan diare.

Patologi

Defisiensi vitamin C akan menyebabkan terganggunya pembentukan


kolagen dan kondroitin sulfat. Kecenderungan terjadinya perdarahan,
kerusakan dentin gigi, dan goyahnya gigi adalah karena defisiensi kolagen.
Sel osteoblas tidak lagi membentuk osteoid (substansi jaringan interselular),
akibat-nya pembentukan endokondrium tulang terhenti. Trabekula tulang
yang telah terbentuk menjadi rapuh dan mudah patah. Periosteum menjadi
longgar dan mudah terjadi perdarahan subperiosteum, terutama pada ujung
tulang femur dan tibia. Pada skorbut berat dapat terjadi degenerasi otot
skeletal, hipertrofi jantung, depresi sumsum tulang, dan atrofi adrenal.
Manifestasi klinis

Skorbut dapat terjadi pada semua umur, tetapi pada bayi baru lahir
penyakit ini sangat jarang ditemukan. Angka kejadian tertinggi terjadi pada
bayi berumur 6 sampai 24 bulan. Manifestasi klinis baru terjadi setelah
beberapa lama menderita defisiensi vitamin C, dengan terdapatnya gejala iri-
tabilitas, takipnea, gangguan pencernaan, dan hilangnya nafsumakan. Pada
bayi baru lahir gejala iritabilitas lebih sering dijumpai, teratama gejala ini dapat
dibangkitkan apabila bayi tersebut diangkat atau diganti popoknya.Rasa nyeri
yang terjadi mengakibatkan bayi dalam keadaan pseudoparalisis, dengan posisi
kaki seperti posisi katak.Pada posisi ini nampak sendi pinggul dan sendi lutut
dalam semifleksi serta kaki dalam eksorotasi.Terdapat edema di tungkai, dan
dalam beberapa kasus terdapat perdarahansubperiosteumyang dapat diraba pada
ujung tulang femur.Wajah tampak seperti ketakutan.Juga terjadi perubahan
pada gusi, yang sangat jelas terlihat pada saat gigi tumbuh (erupsi), gusi tampak
berwama ungu kebiruan, membran mukosa membengkak seperti spons yang
biasanya terjadi di atas gigi serf atas, dapat pula terlihat perdarahan gusi atau
ulserasi.Terdapat rosari pada persam-bungan tulang rawan dan tulang iga, dan
depresi sternum.Rosari pada skorbut sudutnya lebih runcing dibandingkan
dengan rosari pada xakitis, yang disebabkan karena pada skorbut terjadi depresi
sternum sedangkan pada rakitis karena pelebaran epifisis.Pada kulit dan
membran mukosa dapat terjadi perdarahan kecil berupa petekie.Juga dapat
dijumpai hematuria, melena, perdarahan orbita dan subdural.Demam yang lama
juga sering dijumpai.Anemia dapat terjadi karena ketidak mampuan penggunaan
zat besi atau adanya gangguan metabolisme asam folat. Terdapat kelambatan
penyembuhan luka, bahkan luka yang sudah sembuh dapat kambuh
kembali.Pembengkakan sendi dan hiperkeratosis folikularis juga dijumpai
pada skorbut, seperti halnya sindrom sicca pada penyakit Sjorgen, yang juga
disebabkan karena penyakit kolagen.
Gambaran radiologik

Diagnosis skorbut biasanya ditegakkan atas dasar kelainan radiologik pada


tulang panjang, terutama pada ujung distalnya.Kelainan tersebut biasanya dijumpai
di daerah lutut.Pada stadium awal terlihat kelainan yang menyerupai atrofi tulang
biasa.Trabekula biasanya tidak dapat dilihat, dan tulang menyerupai gambaran
ground-glass.Korteks menipis sampai sehalus benang dan tepi epifisis sangat
jelas.terlihat.Pada metafisis terlihat garis putih Fraenkel, yang nampak sebagai
garis putih tebal dan iregular.Garis Fraenkel ini merupakan daerah kalsifikasi
tulang rawan.Pusat osifikasi epifisis juga menyerupai gambaran ground-glass dan
dikelilingi oleh cincin berwama putih.

Pada tingkat tersebut di atas skorbut tidak dapat didiagnosis hanya


berdasarkan kelainan radiologik, kecuali bila dijumpai adanya zone penipisan
(rarefaction) di bawah garis putih pada metafisis.Zone penipisan ini adalah
daerah destruksi linear tulang proksimal dan sejajar dengan garis putih
Fraenkel.Zone ini sering tidak melintasi seluruh lebar tulang dan hanya dapat
dilihat pada bagian lateral sebagai defek segitiga. Juga dapat dijumpai adanya
spur sebagai akibat perpanjangan ke arah lateral dari garis putih tersebut.
Pemisahan epifisis terjadi sepanjang garis destruksi dengan pernindahan linear
atau korrip'ressi epifisis terhadap tangkainya. Perdarahan subperiosteum secara
radiologis tidak tampak pada skorbut aktif . Pada masa penyembuhan, periosteum
yang menonjol akan mengalami kalsifikasi dan ana yang terkena teriihat
menyempai bentuk dumb bell atau club.

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang khas berupa rasa


nyeri yang sangat dan gejala iritabilitas, kelainan radiologik pada tulang panjang, dan
adanya riwayat masukan vitamin C yang kurang.Biasanya terdapat riwayat ibu yang
selaiu mendidihkan/memasak sari buah untuk bayinya.Uji laboratorium untuk
penyakit skorbut sampai saat ini masih belum memuaskan. Kadar vitamin C dalam
plasma darah (puasa) lebih dari 0,6 mg/dl dapat menyingkirkan diagnosis skorbut,
tetapi kadar vitamin C yang lebih rendah dari itu belum tentu membuktikan
adanya skorbut. Pemeriksaan kadar vitamin C dalam lapisan sel darah
putihtrombosit (huffy coat) dari darah oksalat yang diputar, saat ini merupakan
petunjuk yang paling baik untuk diagnosis. Kadar nihil vitamin C pada lapisan ini
menunjukkan adanya skorbut laten, meskipun tidak dijumpai adanya gejala klinis.
Kadar vitamin C dalam jaringan dapat diukur dengan menghitung banyaknya ekskresi
vitamin C melalui urin setelah dilakukan uji dosis vitamin C. Biasanya 3-5 jam
setelah pemberian vitamin C secara parenteral, 80% akan dijumpai dalam urin
anaknormal. Pada skorbut juga dijumpai aminoasiduria nonspesifik, tetapi kadar
asam amino darah masih tetap normal. Setelah diberikaii tirosin, bayi skorbut akan
mengekskresikan rnetaboiit yang sama dengan bayi prematur. Masa protrombin
pada penderita skorbut memanjang.

9. Rakitis (Defisiensi vitamin D)

Rakitis adalah istilah yang dipakai untuk kegagalan mineralisasi tulang


yang sedang tumbuh atau jaringan osteoid.Sedangkan kegagalan mineralisasi tulang
yang telah matang disebut osteomalasia.

Etiologi

1. Masukan vitamin D kurang, jarang dijumpai dewasa inikarena meluasnya


pemakaian vitamin D maupun minyak ikan.
2. Kurang terpapar cahaya matahari, jarang terjadi di negeritropis.
3. Absorpsi terhambat misalnya pada enteritismenahun, pankreatitis,
defisiensi lemak pada MEP.

4. Kebutuhan meningkat, seperti pada BBLR dan remaja


5. Gangguan metabolisme, seperti pada pengobatan antikonvulsan dengan fenitoin
atauluminal, penyakit hati atau ginjal.
6. Antagonis vitamin D, kortikosteroid bersifat antagonis terhadap transportKasium,
perlu diperhatikan dalam pengobatan steroid jangka lama pada BBLR.
7. Kelainan genetik, misal hipofosfatemia familial (rakitis refrakter terhadap vitamin
D), rakitis hipokalsemik, hipofosfatasia.
8. Lain-lain: orang berkulit hitam lebih rentan, yang mungkin karena penetrasi sinar
ultraviolet pada kulit dengan hiperpigmentasi kurang baik.
Patofisiologi

Tulang baru dibentuk oleh osteoblas dengan cara pembentukan matriks


tulang dan mineralisasi. Mineralisasi terjadi karena (1) adanya bahan kolagen yang
disekresi oleh osteoblas, (2) metabolisme polisakarida, fosfolipid, fosfatase alkali,
pirofosfatase, dan (3) kecukupan mineral kaisium, fosfor, dan fluorida.Sebaliknya,
resorpsi tulang dilakukan oleh osteoklas dengan dikeluarkannya enzim yang
menghancurkan matriks tulang beserta mineral.Selain itu osteosit berperan
meresorpsi dan menyimpan kembali materi tulang.

Kelainan pertumbuhan tulang pada rakitis terjadi akibat terhambatnya


pertumbuhan epifisis tulang rawan dan terhambatnya kalsifikasi normal.Perubahan
yang terjadi bergantung kepada derajat defisiensi garam kaisium dan fosfor dalam
serum, yang diperlukan untuk mineralisasi.Sel tulang rawan gagal dalam
melaksanakan siklus normal proliferasi dan degenerasi; kemudian disusul dengan
kegagalan penetrasi kapiler ke dalam jaringan tulang yang tumbuh tersebut,
sehingga kapilarisasi tidak sempurna.Akibatnya pada ujung batang tulang
dijumpai garis epifisis yang tidak teratur dan berjumbai. Kegagalan mineralisasi
matriks tulang dan tulang rawan dan penimbunan jaringan osteoid baru tanpa
kalsifikasi sempuma, akan mengakibatkan bentuk tulang melebar, tidak rata dan
berjumbai. Kelainan ini dikenal sebagai zona metafisis rakitis, yang merupakan
awal kelainan rakitis; secara klinis nampak sebagai pelebaran ujung tulang dan
rosari. Selain itu gangguan mineralisasi terjadi juga di daerah subperiosteum,
yang bila berkelanjutah akan menyebabkan hilangnya kekuatan batang tulang
sehingga tulang menjadi lunak. Dalam keadaan ini tulang mudah mengalami
distorsi akibat tekanan, sehingga terjadi deformitas atau patah tulang.

Selama proses penyembuhan rakitis berlangsung, degenerasi tulang rawan


sepanjang batas metafisis-diafisis akanmengalami proses kalsifikasi dan kapilarisasi
kembali. Secara radiologis tempat regenerasi ini nampak jelas sebagai suatu garis.
Bila proses penyembuhan berlangsung terus, kalsifikasi terjadi pula pada jaringan
osteoid antara garis tersebut dan diafisis, kemudian disusul pada jaringan osteoid
korteks dan trabekula batang tulang. Untuk penyembuhan deformitas tulang
diperlukan waktu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun.Pada deformitas yang
sangat berat mungkin tidak terjadi penyembuhan sempuma.

Manifestasi klinis

Penibahan tulang baru nampak setelah Jefisiensi vitamin D berlangsung


berbulan-bulan. Pada bayi yang menyusui dari ibu dengan osteomalasia gejala
sudah terllhat pada umur 2 bulan, kemudian seluruh gejala rakitis akan jelas nampak
pada umur 1-2 tahun. Rakitis karena.defisiensi vitamin D jarang terjadi pada anak
yang lebih besar.

Gejala dini rakitis adalah kraniotabes, pembengkakan pergelangan tangan


atau kaki, rosari pada sambungan koj-io-kondral, dan perspirasi.Kraniotabes teijadi
karena penipisan tabula intema tengkorak.Kraniotabes dapat dikenal dengan
adanya tanda bola pingpong, yang dapat dirasakan bila di-lakukan tekanan kuat
pada tulang oksiput atau tulang parietal posterior.Kelainan ini lebih sering dijumpai
pada BBLR yang menderita rakitis.

Pada stadium lanjut kelainan yang timbul sangat mudah diketahui, yang
nampak pada bagian tubuh berikut. (1) Kepala: dapat ditemukan kraniotabes,
asimetri bentuk kepala, kaput kuadratum, ukuran kepala lebih besar, ubun-ubun
besar melebar dan penutupannya terlambat Kraniotabes dapat menghilang
sebelum akhir tahun pertama kehidupan. Asimetri kepala disebabkan oleh proses
periunakan tulang tengkorak. Kaput kuadratum terjadi karena penebalan bagian
sentral tulang frontalis dan parietalis, sehingga terbentuk penonjolan-penonjolan
yang mengakibatkan bentuk kepala serupa kotak. Ukuran kepala yang lebih besar
akan menetap seumur hidup. (2) Gigi: kelambatan erupsi gigi susu, kerusakan email
yang memudahkan terjadinya karies, dan gangguan perkapuran gigi tetap
(biasanya gigi sen, taring dan geraham pertama). (3) Toraks: pembengkakan
tulang rawan iga, gam-baran tasbih (rosari), sisi toraks mendatar, cekungan longi-
tudinal sebelah posterior dari rosari, sternum terdorong ke depan, dada burung,
alur Harrison, dan bahu korset. Pembengkakan tulang rawan makin jelas, demikian
pula rosari tidak hanya mudah diraba tetapi sangat jelas terlihat.Dada burung
terbentuk karena sisi toraks mendatar dan tulang sternum terdorong ke
anterior.Alur Harrison merupakan garis depresi melintang separijang batas toraks
bagian bawah, sesuai dengan insersi diafragma pada tulang iga. (4) Kolumna
vertebralis: skoliosis ringan sampai sedang, kifosis lumbal pada posisi duduk, dan
lordosis lumbal pada posisi tegak. (5) Panggul: Bila terjadi lordosis lumbal dapat
mengakibatkan penyempitan dan deformitas panggul; pada anak perempuan akan
menjadi penyulit pada kelahiran, sehingga sering dila-kukan bedah kaisar. (6)
Ekstremitas: pembengkakan pergelangan tangan dan kaki, deformitas kaki
berbentuk X atau Y, koksa vara, fraktur greenstick. Kaki X atau Y terjadi karena
pembengkokan batang femur, tibia, dan fibula. Kelainan pada tulang belakang,
panggul, dan kaki mengakibatkan perawak-an pendek yang dikenal sebagai kerdil
rakitis. (7) Ligamen: melemasnya ligamen mengakibatkan kelainan bentuk tubuh,
seperti kaki Y, overekstensi sendi lutut, kifosis, skoliosis, dan lemahnya
pergelangan kaki. (8) Otot: terhambatnya pertumbuhan otot dan berkurangnya
tbnus akan nampak sebagai perut yang membuncit dan keterlambatan berdiri
atau berjalan.
2. Penilaian status gizi

Status gizi, sebagai refleksi kecukupan zat gizi, merupakan salah satu parameter
penting dalam menilai tumbuh-kembang anak dan keadaan kesehatan anak umumnya.
Cara penilaian status gizi dilakukan atas dasar anamnesis, pemeriksaan jasmani, data
antropometrik, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan radiologik.

Anamnesis

Dengan anamnesis yang baik akan diperoleh informasi tentang riwayat nutrisi
selama dalam kandungan, saat kelahiran, keadaan waktu lahir (termasuk berat dan
panjang badan), penyakit dan kelainan yang diderita, data imunisasi, data keluarga,
serta riwayat kontak dengan penderita penyakit menular tertentu.

Pemeriksaan jasmani

Bermanfaat untuk memperoleh kesan klinis tentang tumbuh-kembang. Secara


umum perlu diperhatikan bentuktubuh serta perbandingan bagian kepala, tubuh dan
anggota gerak. Demikian pula keadaan mental anak yang dapat kompos mentis,
bersifat cengeng, atau apatik. Pada kepala yang perlu mendapat perhatian khusus
adalah rombui (wama, tekstur, mudah dicabut), wajah (serupa anak sehat, orang tua
susah, wajah buian), mata yang mencakup sinar mata (biasa, sayu, apatik), bulu mata
(biasa atau lurus, panjang dan jarang), dan gejala defisiensi vitamin A, serta mulut
(stomatitis, noma). Pada toraks diperiksa bentuk seperti gambang atau adanya tanda
rakitis. Abdomen mungkin tampak biasa atau membuncit, teliti adanya asites,
hepatomegali, dan splenomegali. Terhadap ekstremitas perhatikan adanya edema dan
hipotrofi otot Sedangkan pada kulit perlu diperiksa tanda perdarahan, hiperkeratosis,
dermatosis, dan crazy pavement.

Antropometri

Ukuran antropometri yang bermanfaat dan sering dipakai adalah berat badan,
panjang (tinggi) badan, lingkar kepala, lingkar lengan atas, dan lipatan kulit Berat
badan merupakan indikator tunggal terbaik pada saat ini untuk menilai keadaan gizi
dan tumbuh kembang anak. Di klinik berat badan dimanfaatkan untuk: (1) dasar
perhitungan dosis obat dan makanan yang diperlukan, (2) memantau keadaan
kesehatan, misalnya ketika sakit, dan (3) menilai keadaan gizi serta tumbuh kembang.
Tinggi badan merupakan indikator kedua yang penting. Tinggi badan akan meningkat
terus walaupun laju tumbuh berubah. Perubahan laju tumbuh terjadi cepat pada masa
bayi, kemudian melambat, dan menjadi pesat lagi pada masa remaja (growth spurt).
Selanjutnya melambat lagi secara cepat, lalu berhenti pada nilai tinggi maksimal
ketika usia 18-20 tahun. Karena itu nilai tinggi dipakai sebagai dasar perbandingan
terhadap perubahan relatif, seperti berat badan dan lingkar lengan atas. Lingkar
kepala mencerminkan volume intrakranial. ukuran ini dipakai untuk menilai
pertumbuhan otak. Laju tumbuhnya sangat pesat pada 6 bulanpertama, yaitu dan 35
cm saat lahir menjadi 43 cm pada umur 1 tahun, dan 49 cm pada umur 2 tahun.
Selanjutnya melambat secara drastis, hanya bertambah 1 cm sampai umur 3 tahun dan
bertambah 5 cm sampai usia remaja/dewasa. Lingkar lengan atas mencerminkan
tumbuh kembang jaringan lemak dan otot, dan tidak terpengaruh banyak oleh
keadaan cairan tubuh dibandingkan berat badan. Lipatan kulit di daerah triseps dan
subskapula merupakan refleksi tumbuh kembang jaringan lemak bawah kulit, dan
mencerminkan kecukupan energi. Tebal lipatan kulit dimanfaatkan untuk menilai
terdapatnya gizi lebih, khususnya pada obesitas.

Dewasa ini terdapat beberapa altematif antropomentri baku gizi yang dipakai
untuk penilaian status gizi bayi dan anak. Hal ini disebabkan karena di Indonesia
antropometri baku gizi untuk tiap kelompok umur belum ada yang mantap sehingga
tidak dapat dirangkum menjadi satu nilai yang bersifat nasional. Beberapa di antara
nilai baku antropometri yang sering dipakai adalah : (1) Baku untuk tinggi dan berat
badan menurut Direktorat Gizi Depkes (1973), (2) Baku NCHS (National Centre of
Health Statistics) yang dianjurkan WHO (1978) untuk anak prasekolah 0-60 bulan
dengan menggunakan persentil untuk berat dan tinggi badan, (3) Hasil penelitian
Djumadias (1964) untuk anak usia 6-18 tahun dengan menggunakan persentil untuk
berat dan tinggi badan, (4) Hasil penelitian Sugiono dan Palenkahu (1964) untuk bayi
dengan menggunakan nilai rerata untuk berat dan tinggi badan, dan (5) Baku NCHS
untuk anak 0-18 tahun dengan menggunakan persentil untuk berat badan, tinggi
badan, dan lingkar kepala.

Pemeriksaan laboratorium

Terutama mencakup pemeriksaan darah rutin seperti kadar hemoglobin dan


protein serum (albumin, globulin), serta pemeriksaan kimia darah lain bila diperlukan
(kadar hormon, perbandingan asam amino esensial dengan non-esensial, kadar lipid,
kadar kolesterol).

Pemeriksaan radiologik

Terutama untuk menilai umur biologik, misalnya umur tulang yang biasanya
dilakukan bila terdapat dugaan gangguan atau hambatan pertumbuhan.

Berdasarkan informasi antropometrik tersebut, status gizi anak dapat


dikelompokkan menjadi gizi lebih, gizi baik, gizi kurang, atau gizi buruk.
DAFTAR PUSTAKA

Behrman, Kliegman, Arvin.2000. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15.Jakarta.


EGC
Hurlock E. Psikologi Perkembangan Edisi 5. Jakarta. Erlangga
Katzung BG. 2001. Farmakologi Dasar dan Klinik Buku 1. Jakarta. Salemba Medika
Markum, A., Ismael, Sofyan.2002. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Jilid I. FKUI.
Jakarta
Syarif, dkk. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta. Balai Penerbit FK UI

Anda mungkin juga menyukai