Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Dewasa ini, banyak sekali kita melihat kekerasan dan penelantaran yang terjadi
pada anak. Banyak orang tua yang menyalahgunakan tugasnya dalam kehidupan sehari-
hari. Salah satunya adalah kekerasan pada anak yang dilakukan oleh orang tua kepada
anaknya ataupun penelantaran terhadap anaknya.

Penelantaran anak (child neglect) yang merupakan suatu bentuk dari penganiyaan
(maltreatment) terhadap anak. Penelantaran anak ini memang jarang diketahui oleh orang
lain dan kurang diketahui daripada child abuse. Adapun yang membedakan antara child
abuse dengan child neglect yakni perilaku abusive dapat meninggalkan luka atau memar,
sedangkan dampak dari child neglect cenderung tidak tampak. Pengaruh buruk yang
muncul akibat adanya penelantaran terhadap anak ini, yakni dapat mengganggu
perkembangan otak anak.
Hendaknya kita mengetahui dan menyadari seperti apakah bentuk dan kategori
dari penelantaran terhadap anak (child neglect) sehingga hal itu dapat dihindarkan dan
tidak membawa pengaruh buruk terhadap perkembangan anak.
Selain penelantaran terhadap anak (child neglect), Kekerasan merupakan
fenomena universal karena tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Kekerasan pada anak,
dapat menimbulkan dampak psikologis yang hebat pada anaknya pada masa yang akan
datang, misalnya dia merasa trauma dengan setiap kekerasan dan yang paling parah
adalah anak itu akan meneruskan apa yang dilakukan oleh orang tuanya dahulu kepada
penerusnya dan sifatnya anak tersebut akan menjadi keras karena anak tersebut merasa
kekerasan adalah jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah.
Kekerasan pada anak (child abuse) adalah tindakan salah atau sewenang-wenang
yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak, baik secara fisik, emosi maupun
seksual. Batasan usia anak menurut konvensi PBB adalah sejak lahir sampai 18 tahun
(Sugiarno 2002). Sedangkan menurut Psychology Today (2002) child abuse tidak hanya
meliputi kekerasan tetapi juga penelantaran diri pada anak (neglect) oleh orangtua.
Seorang anak yang mengalami penelantaran mempunyai ciri-ciri tertentu, salah satunya
penampilan fisik tidak terawat.
Anak yang menjadi korban tidak dapat berbuat apa-apa menghadapi orang
dewasa. Sebagai korban anaklah yang akan menanggung berbagai dampak kekerasan
tersebut. Dari perkembangan fisik anak akan sangat terlihat jelas. Apalagi jika anak
sering mendapatkan kekerasan fisik, perkembangan fisiknya akan teganggu dan mudah
diamati. Secara psikologis anak akan menyimpan semua derita yang ditanggungnya.
Anak akan mengalami berbagai penyimpangan kepribadian seperti menjadi pendiam atau
menjadi agresif, mudah marah, konsep dirinya negatif, mudah mengalami depresi, dan
yang akan lebih memperihatinkan adalah anak akan meyakini kekerasan adalah cara atau
alternatif yang dapat diterima dalam menyelesaikan sebuah konfik atau permasalahan.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana konsep neglect ?
2. Bagaimana konsep abuse ?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui konsep neglect.
2. Untuk mengetahui konsep abuse.
BAB II
PEMBAHASAN

A. KONSEP NEGLECT

1. Pengertian Neglect

Pengabaiaan (neglect) didefinisikan sebagai jenis penganiayaan yang mengacu pada


kegagalan oleh pengasuh untuk memberikan yang diperlukan, perawatan yang sesuai
dengan usia meski secara finansial mampu melakukannya atau ditawarkan berarti
keuangan atau lainnya untuk melakukannya (USDHHS, 2007).

Neglect adalah kegagalan dalam menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk
tumbuh kembangnya, seperti : kesehatan, pendidikan, perkembangan emosional, nutrisi,
rumah atau tempat bernanung, dan keadaan hidup yang aman, di dalam konteks sumber
daya yang layaknya dimiliki oleh keluarga atau pengasuh, yang mengakibatkan atau
sangat mungkin mengakibatkan gangguan kesehatan atau gangguan perkembangan fisik,
mental, spiritual, moral dan sosial. Termasuk didalamnya adalah kegagalan dalam
mengawasi dan melindungi secara layak dari bahaya atau gangguan.

Kelalaian di bidang kesehatan terjadi apabila terjadi kegagalan untuk memperoleh


perawatan medis, mental dan gigi pada keadaan-keadaan, yang bila tidak dilakukan akan
dapat mengakibatkan penyakit atau gangguan tumbuh-kembang. Kelalaian di bidang
pendidikan meliputi pembolehan mangkir sekolah yang kronis, tidak menyekolahkan
pada pendidikan yang wajib diikuti setiap anak, atau kegagalan memenuhi kebutuhan
pendidikan yang khusus. Kelalaian di bidang fisik meliputi penolakan atau penundaan
memperoleh layanan kesehatan, penelantaran/pembiaran, pengusiran dari rumah atau
penolakan kembalinya anak sepulang dari kabur, dan pengawasan yang tak memadai.

Kelalaian di bidang emosional meliputi kurangnya perhatian atas kebutuhan anak


akan kasih sayang, penolakan atau kegagalan memberikan perawatan psikologis,
kekerasan terhadap pasangan di hadapan anak, dan pembolehan penggunaan alkohol dan
narkoba oleh si anak.Neglect adalah perbuatan orang dewasa atau orang tua atau wali
(yang secara hukum bertanggung jawab bagi kesejahteraan si anak selama
pengasuhannya) tidak memberi/ menyediakan kebutuhan dasar anak yaitu asuh-asih-asah,
sebenarnya sumber untuk pemenuhan kebutuhan tersebut tersedia.

2. Jenis-jenis Neglect
Para ahli mendefinisikan empat jenis pengabaian yakni fisik, pendidikan, emosional
dan medis.
a. Physical neglect (Pengabaian fisik)
Pengabaian fisik umumnya melibatkan orang tua atau pengasuh yang tidak
memberikan kebutuhan dasar pada anak (misalnya, makanan pakaian, memadai dan
tempat tinggal). Kegagalan atau penolakan untuk menyediakan kebutuhan
membahayakan kesehatan fisik anak, kesejahteraan, pertumbuhan psikologis dan
perkembangan. Pengabaian fisik juga termasuk meninggalkan anak, pengawasan
tidak memadai, penolakan terhadap anak yang mengarah ke pengusiran dari rumah
dan kegagalan untuk secara memadai menyediakan untuk keselamatan anak dan
kebutuhan fisik dan emosional. Pengabaian fisik yang parah dapat berdampak pada
perkembangan anak dengan menyebabkan gagal tumbuh, gizi buruk, penyakit
serius, kerusakan fisik berupa luka, memar, luka bakar atau cedera lainnya karena
kurangnya pengawasan, dan seumur hidup harga diri yang rendah.
b. Educational neglect (Pengabaian pendidikan)
Pengabaian pendidikan melibatkan kegagalan dari orang tua atau pengasuh untuk
mendaftarkan anak usia sekolah wajib di sekolah atau menyediakan home schooling
yang sesuai atau diperlukan pelatihan pendidikan khusus, sehingga memungkinkan
anak atau pemuda untuk tidak terlibat dalam kebiasaan membolos. Pengabaian
pendidikan dapat menyebabkan anak gagal untuk memperoleh keterampilan hidup
dasar, putus sekolah atau terus menampilkan perilaku yang mengganggu.
Pengabaian pendidikan bisa menimbulkan ancaman serius bagi kesehatan anak,
kesejahteraan emosional, fisik atau pertumbuhan psikologis normal dan
perkembangan, terutama ketika anak memiliki kebutuhan pendidikan khusus yang
tidak terpenuhi.
c. Psychological neglect Emotional (Pengabaian psikologi emosional)
Pengabaian psikologi dan emosional meliputi tindakan seperti terlibat dalam
pertengkaran orang tua yang ekstrim di hadapan anak, memungkinkan seorang anak
untuk menggunakan obat-obatan atau alkohol, menolak atau gagal untuk
menyediakan membutuhkan perawatan psikologis serta terus-menerus meremehkan
kasih sayang. Perilaku orang tua yang dianggap menganiaya anak secara emosional
meliputi:

1) Mengabaikan (kegagalan konsisten untuk merespon kebutuhan anak untuk


stimulasi, merawat, dorongan dan perlindungan atau kegagalan untuk
mengakui keberadaan anak)
2) Menolak (aktif menolak untuk menanggapi kebutuhan anak - misalnya,
menolak untuk menunjukkan kasih sayang)
3) Menghina secara verbal (meremehkan, nama panggilan atau mengancam)
4) Mengisolasi (mencegah anak dari memiliki kontak sosial yang normal dengan
anak-anak lain dan orang dewasa)
5) Meneror (mengancam anak dengan hukuman ekstrim atau menciptakan iklim
teror dengan memainkan pada ketakutan masa kanak-kanak); dan
6) Kerusakan atau pemanfaatan (mendorong anak untuk terlibat dalam perilaku
merusak, ilegal atau antisosial).
Sebuah pola perilaku orangtua dapat menyebabkan citra diri yang rendah pada
anak, penyalahgunaan narkoba atau alkohol, perilaku merusak dan bahkan bunuh
diri. Yang lebih parah yakni mengabaikan stimulasi dan perawatan kebutuhan bayi
dapat menyebabkan bayi gagal untuk berkembang dan bahkan kematian bayi.

d. Medical neglect (Pengabaian Medis)


Pengabaian medis adalah kegagalan untuk menyediakan perawatan kesehatan
yang tepat bagi seorang anak (walaupun secara finansial mampu melakukannya),
sehingga menempatkan anak beresiko cacat atau mati. Menurut NCANDS, pada
tahun 2005, 2 % anak-anak (17.637 anak-anak) di Amerika Serikat menjadi korban
dari kelalaian medis (USDHHS, 2007). Pengabaian tidak hanya ketika orangtua
menolak perawatan medis untuk anak dalam keadaan darurat atau untuk penyakit
akut, tetapi juga ketika orangtua mengabaikan rekomendasi medis untuk anak
dengan penyakit kronis yang seharusnya bisa diobati, namun malah terjadi kecacatan
pada anak.
Bahkan dalam situasi non-darurat, pengabaikan medis dapat mengakibatkan
kesehatan secara keseluruhan semakin memburuk.Orangtua mungkin menolak
perawatan medis untuk anak-anak mereka untuk alasan yang berbeda , seperti agama
atau keyakinan, ketakutan atau kecemasan tentang kondisi medis atau perawatan dan
masalah keuangan. Lembaga perlindungan anak umumnya akan campur tangan bila:

1) Perawatan medis sangat diperlukan dalam keadaan darurat akut (misalnya,


seorang anak perlu transfusi darah untuk mengobati syok);
2) Seorang anak dengan penyakit kronis yang mengancam nyawa namun tidak
menerima perawatan medis diperlukan (misalnya, anak dengan diabetes tidak
menerima obat-obatan); atau
3) Seorang anak memiliki penyakit kronis yang dapat menyebabkan kecacatan
atau kematian jika tidak ditangani (misalnya, anak dengan katarak bawaan
perlu dioperasi untuk mencegah kebutaan).
Dalam kasus ini, jasa lembaga perlindungan anak dapat mencari perintah
pengadilan untuk perawatan medis guna menyelamatkan nyawa anak atau mencegah
cedera yang mengancam nyawa,atau kecacatan.
Meskipun penelantaran medis sangat berhubungan dengan kemiskinan, ada
beberapa hal yang menyebabkan ketidakmampuan seorang pengasuh untuk
memberikan perawatan yang diperlukan yakni : kurangnya sumber daya keuangan,
keengganan pengasuh untuk mengetahui perawatan itu sendiri dan penolakan untuk
menyediakan perawatan. Anak-anak dan keluarga mereka mungkin membutuhkan
pelayanan meskipun orang tua mungkin tidak sengaja lalai. Ketika kemiskinan
membatasi sumber daya orangtua untuk menyediakan kebutuhan bagi anak, terdapat
lembaga yang menawarkan bantuan guna mencukupi kebutuhan anak tersebut.
3. Dampak Child Neglect
Konsekuensi dari kelalaian umumnya kumulatif, dan sering negatif mempengaruhi
perkembangan anak. Sebagai contoh, gizi buruk memiliki konsekuensi negatif terhadap
perkembangan anak secara fisik dan psikologis. Jika nutrisi yang tepat tidak tersedia pada
periode kritis pertumbuhan, perkembangan anak tidak akan mengikuti pola normal dan
biasa. Reaksi fisik dan psikologis dari terabaikan meliputi terhambatnya pertumbuhan,
masalah medis yang kronis, pertumbuhan tulang dan otot tidak memadai dan
perkembangan neurologis yang negatif mempengaruhi fungsi otak normal dan
pengolahan informasi. Pengolahan masalah mungkin sering membuat sulit bagi anak-
anak untuk memahami arah, dapat berdampak negatif terhadap kemampuan anak untuk
memahami hubungan sosial, atau mungkin membuat penyelesaian beberapa tugas
akademik tidak mungkin tanpa bantuan atau intervensi dari orang lain. Kurangnya
perawatan medis yang memadai dapat mengakibatkan masalah kesehatan jangka panjang
atau kecacatan seperti kehilangan pendengaran dari infeksi telinga yang tidak diobati.
Efek jangka panjang dari mengabaikan dapat mengakibatkan kesehatan mental yang
tidak konsisten. Efek dari kelalaian dapat berkisar dari depresi kronis, kesulitan dengan
hubungan, namun tidak semua anak-anak yang terabaikan aoleh orang dewasa dapat
mengalami hal-hal seperti ini. Beberapa individu yang lebih tangguh daripada yang lain
dapat mampu bergerak untuk meneruskan hidup, walaupun mereka telah mengalami
pengabaian secara emosinal. Karakteristik individu ulet dan tangguh diantaranya
memiliki pandangan optimis atau harapan hidup, dan merasa tertantang daripada
dikalahkan oleh masalah

4. Tanda-tanda Child Neglect


a. Pada anak:
1. Sering absen dari sekolah
2. Meminta atau mencuri makanan atau uang
3. Kekurangan perawatan medis atau gigi, imunisasi, atau kacamata
4. Berbadan kotor dan berbau
5. Memakai pakaian yang tidak sesuai
6. Penyalahgunaan alkohol atau narkoba lain
7. Menyatakan bahwa tidak ada seorang pun yang dapat mengurusnya
b. Pada orangtua:
1. Tidak mempedulikan anak
2. Terlihat apatis atau tertekan
3. Berperilaku tidak rasional atau dengan cara yang aneh
4. Penyalahgunakan alkohol atau narkoba lain

5. Pencegahan dan Pengobatan Neglect


Intervensi biasanya ditujukan pada dua tingkat: upaya pencegahan masyarakat dan
keterampilan orangtua individu. Sebuah program berbasis masyarakat yang benar-benar
menggabungkan dua aspek intervensi adalah program"Orangtua sebagai Guru" , yang
tersedia melalui banyak distrik sekolah lokal di seluruh bangsa dan gratis. Manfaat dari
program ini mencakup aksesibilitas orang tua yang hanya perlu untuk memanggil layanan
gratis dan intervensi di rumah yang disediakan oleh program. Intervensi khusus
selanjutnya mengurangi kemungkinan pengabaian termasuk berfokus pada hubungan
orang tua-anak, meninjau harapan yang sesuai untuk perilaku anak (berdasarkan prinsip-
prinsip perkembangan anak), dan pengajaran keterampilan orangtua dasar.
Pilihan pengobatan lainnya pada umumnya lebih formal, dan dapat dimulai dengan
sebuah panggilan dari seorang reporter mandat yang prihatin tentang pengabaian. Setiap
dari para profesional dapat membuat panggilan awal jika pengabaian diduga. Individu
yang prihatin juga bisa menghubungi layanan sosial untuk melaporkan pengabaian yang
dicurigai telah terjadi. Dalam kasus pengobatan paksa, orang tua peserta mungkin kurang
bersedia dalam upaya pengobatan padahal itu ditujukan untuk perubahan perilaku diri
mereka sendiri dan keluarga mereka. Dalam kasus lain, orang tua atau anak mungkin
sudah dalam perawatan, dan fokus dalam mengurangi perilaku lalai dapat dimasukkan ke
dalam hubungan pengolahan yang ada. Faktor-faktor yang berfokus dalam pengobatan
formal yang bertujuan untuk mengurangi kemungkinan pengabaian adalah keterampilan
orang tua secara khusus, kunjungan rumah untuk memungkinkan pemantauan hubungan,
serta individu dengan kebutuhan lain seperti perawatan penyalahgunaan zat, atau
pelatihan keterampilan empati.
Upaya Pengobatan untuk anak harus mencakup konseling keluarga yang membahas
keterampilan komunikasi, ekspresi yang tepat dalam menunjukkan kasih sayang dan
emosi dalam keluarga. Keterampilan pelatihan dapat bermanfaat bagi anak yang telah
memasuki masa remaja dalam meminta kebutuhan yang mereka inginkan.

B. KONSEP ABUSE

1. Pengertian

Menurut WHO(dalam Bagong. S, dkk, 2000), kekerasan adalah penggunaan kekuatan


fisik dan kekuasaan,ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau
sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan atau kemungkinan besar
mengakibatkan memar/trauma,kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan
atau perampasan hak.

Barker (dalam Huraerah, 2007) mendefinisikan child abuse merupakan tindakan


melukai beulang-ulang secara fisik dan emosional terhadap anak yang
ketergantungan,melalui desakan hasrat, hukuman badan yang tak terkendali, degradasi
dan cemoohan permanen atau kekerasan seksual.

Kekerasan seksual merupakan bentuk kontak seksual atau bentuk lain yang tidak
diinginkan secara seksual. Kekerasan seksual biasanya disertai dengan tekanan psikologis
atau fisik (OBarnett et al., dalam Matlin, 2008).

Fontana (1971) membuat definisi yang lebih luas dari child abuse, dimana termasuk
malnutrisi dan menelantarkan anak sebagai stadium awal dari sindrom perlakuan salah,
dan penganiayaan fisikberada pada stadium akhiir yang paling berat dari spectrum
perlakuan salah oleh orang tuanya atau pengasuhnya.

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa child abuse adalah
kekerasan baik fisik maupun psilogi terhadap objek yang pada banyak kasus kebanyakan
ialah anak yang mengakibatkan tekanan, kerugian fisik maupun psikologi.
2. Gejala Abuse
Tertekan
Kecemasan
Menarik diri dari teman dan keluarga
Merasa diri tidak berarti

3. Bentuk-Bentuk Child Abuse

Menurut TerryE.Lawson (dalam Huraerah, 2007), psikiater internasional


menyebutkan ada empat macam bentuk child abuse, yaitu emotional abuse,verbal abuse,
physical abuse, dan sexual abuse).

a. Kekerasan secara Verbal (verbal abuse)

Biasanya berupa perilaku verbal dimana pelaku melakukan pola komunikasi yang
berisi penghinaan, ataupun kata-kata yang melecehkan anak. Pelaku biasanya
melakukan tindakan mental abuse, menyalahkan, melabeli, atau juga
mengkambinghitamkan.Tindakan yang bertujuan untuk merendahkan, menghina
atau dan memanipulasi orang lain dengan menggunakan kata-kata. Verbal abuse
adalah bentuk aniaya yang berbahaya karena dampaknya tidak langsung terlihat dan
biasanya tersimpan dalam pikiran dan perasaan korban dalam jangka waktu yang
lama dan sulit untuk di deteksi. Korban pun banyak yang tidak menyadari secara
langsung sehingga bentuk aniaya ini bisa terjadi untuk periode yang panjang. Korban
bisa kehilangan jati diri dan merasa diri tidak berarti.

Contoh: ucapan menyakitkan, kata-kata kotor, bentakan, penghinaan, ancaman.

b. Kekerasan Emosional (emotional abuse)

Emotional abuse terjadi ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak setelah
mengetahui anaknya meminta perhatian, mengabaikan anak itu. Ia membiarkan anak
basah atau lapar karena ibu terlalu sibuk atau tidak ingin diganggu pada waktu itu. Ia
boleh jadi mengabaikan kebutuhan anak untuk dipeluk atau dilindungi. Anak akan
mengingat semua kekerasan emosional jika kekerasan emosional itu berlangsung
konsisten. Orang tua yang secara emosional berlaku keji pada anaknya akan
terusmenerus melakukan hal sama sepanjang kehidupan anak itu.

Tindakan ini bertujuan untuk mempermainkan, mempengaruhi dan memanipulasi


kondisi emosi dan pikiran seseorang. Dengan mind-games seperti ini, pelaku
memaksa korban untuk patuh akan tuntutan dan permintaan pelaku.

Biasanya menimbulkan gejolak emosi dan luka batin yang luar biasa pada diri
korban. Sama seperti Verbal Abuse, tipe aniaya ini juga sulit untuk di deteksi karena
tidak menimbulkan luka pada tubuh.

c. Kekerasan secara Fisik (physical abuse)

Physical abuse, terjadi ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak memukul
anak (ketika anak sebenarnya memerlukan perhatian). Pukulan akan diingat anak itu
jika kekerasan fisik itu berlangsung dalam periode tertentu. Kekerasan yang
dilakukan seseorang berupa melukai bagian tubuh anak.menyiksa atau menganiaya
orang lain dengan menampar, memukul, menjambak, mendorong secara kasar,
menginjak, menendang, mencekik, melempar benda keras atau tajam.

d. Kekerasan Seksual (sexual abuse)

Sexual abuse meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap


orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut (seperti istri, anak dan
pekerja rumah tangga). Selanjutnya dijelaskan bahwa sexual abuse adalah setiap
perbuatan yang berupa tindakan yang bernuansa seksual, termasuk berbagai perilaku
yang tidak diinginkan misalnya pelecehan seksual sampai pemaksaan hubungan
seksual (pemerkosaan). Pelecehan seksual pada anak adalah kondisi dimana anak
terlibat dalam aktivitas seksual dimana anak sama sekali tidak menyadari, dan tidak
mampu mengkomunikasikannya, atau bahkan tidak tahu arti tindakan yang
diterimanya kekerasan seksual (sexual abuse) merupakan jenis penganiayaan yang
biasanya dibagi dalam kategori berdasar identitas pelaku (Tower, 2002), terdiri dari:
1) Familial Abuse

Incest merupakan sexual abuse yang masih dalam hubungan darah,


menjadi bagian dalam keluarga inti. Seseorang yang menjadi pengganti orang
tua, misalnya ayah tiri, atau kekasih, termasuk dalam pengertian incest.Mayer
(dalam Tower, 2002) menyebutkan kategori incest dalam keluarga dan
mengaitkan dengan kekerasan pada anak.

Kategori pertama, sexual molestation (penganiayaan). Hal ini meliputi


interaksi noncoitus, petting, fondling, exhibitionism, dan voyeurism, semua
hal yang berkaitan untuk menstimulasi pelaku secara seksual. Kategori kedua,
sexual assault (perkosaan), berupa oral atau hubungan dengan alat kelamin,
masturbasi, fellatio (stimulasi oral pada penis), dan cunnilingus (stimulasi oral
pada klitoris). Kategori terakhir yang paling fatal disebut forcible rape
(perkosaan secara paksa), meliputi kontak seksual. Rasa takut, kekerasan, dan
ancaman menjadi sulit bagi korban. Mayer mengatakan bahwa paling banyak
ada dua kategori terakhir yang menimbulkan trauma terberat bagi anak-anak,
namun korban-korban sebelumnya tidak mengatakan demikian. Mayer
berpendapat derajat trauma tergantung pada tipe dari kekerasan seksual,
korban dan survivor mengalami hal yang sangat berbeda. Survivor yang
mengalami perkosaan mungkin mengalami hal yang berbeda dibanding
korban yang diperkosa secara paksa.

2) Extrafamilial Abuse

Extrafamilial Abuse, dilakukan oleh orang lain di luar keluarga korban,


dan hanya 40% yang melaporkan peristiwa kekerasan. Kekerasan seksual
yang dilakukan oleh orang dewasa disebut pedophile, yang menjadi korban
utamanya adalah anak-anak. Pedophiliadiartikan menyukai anak-anak
(deYong dalam Tower, 2002). Pedetrasy merupakan hubungan seksual antara
pria dewasa dengan anak laki-laki (Struve & Rush dalam Tower,2002).
Pornografi anak menggunakan anak-anak sebagai sarana untuk
menghasilkan gambar, foto, slide, majalah, dan buku (OBrien, Trivelpiece,
Pecora et al., dalam Tower, 2002). Biasanya ada tahapan yang terlihat dalam
melakukan kekerasan seksual Kemungkinan pelaku mencoba perilaku untuk
mengukur kenyamanan korban. Jika korban menuruti, kekerasan akan
berlanjut dan intensif, berupa:

Nudity (dilakukan oleh orang dewasa).


Disrobing (orang dewasa membuka pakaian di depan anak).
Genital exposure (dilakukan oleh orang dewasa).
Observation of the child (saat mandi, telanjang, dan saat membuang air).
Mencium anak yang memakai pakaian dalam.
Fondling (meraba-raba dada korban, alat genital, paha, dan bokong).
Masturbasi
Fellatio (stimulasi pada penis, korban atau pelaku sendiri).
Cunnilingus (stimulasi pada vulva atau area vagina, pada korban atau
pelaku).
Digital penetration (pada anus atau rectum).
Penile penetration (pada vagina).
Digital penetration (pada vagina).
Penile penetration (pada anus atau rectum).
Dry intercourse (mengelus-elus penis pelaku atau area genital lainnya,
paha, atau bokong korban) (Sgroi dalam Tower, 2002).

Menurut Suharto (1997) mengelompokkan kekerasan pada anak menjadi:

a. Kekerasan Anak Secara Fisik

Kekerasan secara fisik adalah penyiksaan, pemukulan, dan penganiayaan


terhadap anak, dengan atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu, yang
menimbulkan luka-luka fisik atau kematian pada anak. Bentuk luka dapat
berupa lecet atau memar akibat persentuhan atau kekerasan benda tumpul,
seperti bekas gigitan, cubitan, ikan pinggang, atau rotan. Dapat pula berupa
luka bakar akibat bensin panas atau berpola akibat sundutan rokok atau
setrika. Lokasi luka biasanya ditemukan pada daerah paha, lengan, mulut,
pipi, dada, perut, punggung atau daerah bokong. Terjadinya kekerasan
terhadap anak secara fisik umumnya dipicu oleh tingkah laku anak yang
tidak disukai orangtuanya, seperti anak nakal atau rewel, menangis terus,
minta jajan, buang air atau muntah di sembarang tempat, memecahkn barang
berharga.

b. Kekerasan Anak Secara Psikis

Kekerasan secara psikis meliputi penghardikan, penyampaian kata-kata


kasar dan kotor, memperlihatkan buku, gambar, dan film pornografi pada
anak. Anak yang mendapatkan perlakuan ini umumnya menunjukkan gejala
perilaku maladaptif, seperti menarik diri, pemalu, menangis jika didekati,
takut ke luar rumah dan takut bertemu dengan orang lain.

c. Kekerasan Anak Secara Seksual

Kekerasan secara seksual dapat berupa perlakuan prakontak seksual antara


anak dengan orang yang lebih besar (melalui kata, sentuhan, gambar visual,
exhibisionism), maupun perlakuan kontak seksual secara langsung antara anak
dengan orang dewasa (incest, perkosaan, eksploitasi seksual).

d. Kekerasan Anak Secara Sosial

Kekerasan secara sosial dapat mencakup penelantaran anak dan eksploitasi


anak. Penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orangtua yang tidak
memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh-kembang anak.
Misalnya anak dikucilkan, diasingkandari keluarga, atau tidak diberikan
pendidikan dan perawatan kesehatan yang layak. Eksploitasi anak menunjuk
pada sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang
dilakukan keluarga atau masyarakat. Sebagai contoh, memaksa anak untuk
melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, sosial, atau politik tanpa
memperhatikan hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan
perkembangan fisik, psikisnya dan status sosialnya. Misalnya, anak dipaksa
untuk bekerja di pabrik-pabrik yang membahayakan (pertambangan, sektor
alas kaki) dengan upah rendah dan tanpa peralatan yang memadai, anak
dipaksa untuk angkat senjata, atau dipaksa melakukan pekerjaan-pekerjaan
rumah tangga melebihi batas kemampuannya.

e. Ekonomi

Dalam bentuk penelantaraan ekonomi; tidak diberi nafkah secara rutin


atau dalam jumlah yang cukup, membatasi atau melarang untuk bekerja
sehingga korban di bawah kendali orang tersebut.

4. Faktor Penyebab Abuse

Ada banyak faktor beresiko tinggi yang dapat mengarah kepada penyiksaan anak.
Faktor-faktor yang paling umum adalah sebagai berikut:

a. Lingkaran kekerasan

Yaitu individu yang mempunyai pengalaman disiksa atau mengalami kekerasan


semasa kecilnya akan tumbuh menjadi seorang yang mempunyai kecenderungan
untuk melakukan hal yang pernah dilakukan terhadap dirinya pada orang lain.

b. Stres dan kurangnya dukungan

Menjadi orangtua dapat menjadi sebuah pekerjaan yang menyita waktu dan sulit.
Orangtua yang mengasuh anak tanpa dukungan dari keluarga, teman atau masyarakat
dapat mengalami stress berat. Orangtua yang masih berusia remaja seringkali perlu
berjuang keras untuk dapat memiliki kedewasaan dan kesabaran yang diperlukan
untuk mejadi orangtua. Mengasuh anak dengan kekuarangan, kebutuhan khusus atau
perilaku yang menyulitkan juga merupakan tantangan. Pengasuh yang sedang
mengalami stress secara finansial maupun dalam hubungannya dengan orang lain
juga berpotensi melakukan penyiksaan anak.
c. Pecandu alkohol atau narkoba.

Para pecandu alkohol dan narkoba seringkali tidak dapat menilai dengan baik.
Mereka seringkali tidak dapat mengontrol emosi mereka sehingga kesempatan
melakukan penyiksaan lebih memungkinkan. Karena menjadi lemah akibat mabuk,
pecandu alkohol dan narkoba juga seringkali mengakibatkan mereka mengabaikan
anaknya. Kekerasan dalam rumah tangga. Menjadi saksi kekerasan dalam rumah
tangga serta kekacauan dan ketidakstabilan yang merupakan hasilnya, adalah sebuah
bentuk penyiksaan anak secara emosional. Kekerasan dalam rumah tangga yang
sering terjadi dapat juga memuncak dan mengakibatkan penyiksaan anak secara fisik.
Kemiskinan dan akses yang terbatas ke pusat ekonomi dan sosial saat masa-masa
krisis.

Menurut Gelles Richard.J (1982) mengemukakan bahwa kekerasan terhadap anak


(child abuse) terjadi akibat kombinasi dari berbagai faktor, yaitu:

1) Pewarisan Kekerasan Antar Generasi (intergenerational transmission of violance)


Banyak anak belajar perilaku kekerasan dari orangtuanya dan ketika tumbuh
menjadi dewasa mereka melakuakan tindakan kekerasan kepada anaknya. Dengan
demikian,perilaku kekerasan diwarisi (transmitted) dari generasi ke generasi. Studi-
studi menunjukkan bahwa lebih kurang 30% anak-anak yang diperlakukan dengan
kekerasan menjadi orangtua yang bertindak keras kepada anak-anaknya. Sementara
itu, hanya 2sampai 3 persen dari semua individu menjadi orangtua yang
memperlakukan kekerasankepada anak-anaknya. Anak-anak yang mengalami
perlakuan salah dan kekerasan mungkin menerima perilaku ini sebagai model
perilaku mereka sendiri sebagai orangtua.
Tetapi, sebagian besar anak-anak yang diperlakukan dengan kekerasan tidak menjadi
orang dewasa yang memperlakukan kekerasan kepada anak-anaknya.

2) Stres Sosial (social stress)

Stres yang ditimbulkan oleh berbagai kondisi sosial meningkatkan risiko


kekerasan terhadap anak dalam keluarga. Kondisi-kondisi sosial ini mencakup:
pengangguran (unemployment), penyakit (illness), kondisi perumahan buruk (poor
housing conditions), ukuran keluarga besar dari rata-rata (a larger than average family
size), kelahiran bayi baru (the presence of a new baby), orang cacat (disabled person)
di rumah, dan kematian (the death) seorang anggota keluarga. Sebagian besar kasus
dilaporkan tentang tindakan kekerasan terhadap anak berasal dari keluarga yang
hidup dalam kemiskinan. Tindakan kekerasan terhadap anak juga terjadi dalam
keluarga kelas menengah dan kaya, tetapi tindakan yang dilaporkan lebih banyak di
antara keluarga miskin karena beberapa alasan.

3) Isolasi Sosial dan Keterlibatan Masyarakat Bawah

Orangtua dan pengganti orangtua yang melakukan tindakan kekerasan terhadap


anak cenderung terisolasi secara sosial. Sedikit sekali orangtua yang bertindak keras
ikut serta dalam suatu organisasi masyarakat dan kebanyakan mempunyai hubungan
yang sedikit dengan teman atau kerabat.

4) Struktur Keluarga

Tipe-tipe keluarga tertentu memiliki risiko yang meningkat untuk melakukan


tindakan kekerasan dan pengabaian kepada anak. Misalnya, orangtua tunggal lebih
memungkinkan melakukan tindakan kekerasan terhadap anak dibandingkan dengan
orangtua utuh. Selain itu, keluarga-keluarga di mana baik suami atau istri
mendominasi di dalam membuat keputusan penting, seperti: di mana bertempat
tinggal, pekerjaan apa yang mau diambil, bilamana mempunyai anak, dan beberapa
keputusan lainnya, mempunyai tingkat kekerasan terhadap anak yang lebih tinggi
dibandingkan dengan keluarga-keluarga yang suami-istri sama-sama bertanggung
jawab atas keputusan-keputusan tersebut.

5. Faktor Risiko Abuse


a. Orang tua memiliki potensi untuk melukai anak-anak.
Orang tua yang memiliki kelainan mental, atau kurang kontrol diri daripada orang
lain, atau orang tua tidak memahami tumbuh kembang anak, sehingga mereka
memiliki harapan yang tidak sesuai dengan keadaan anak. Dapat juga orang tua
terisolasi dari keluarga yang lain, bisa isolasi sosial atau karena letak rumah yang
saling berjauhan dari rumah lain, sehingga tidak ada orang lain yang dapat
memberikan support kepadanya.

b. Menurut pandangan orang tua anak terlihat berbeda dari anak lain.
Hal ini dapat terjadi pada anak yang tidak diinginkan atau anak yang tidak
direncanakan, anak yang cacat, hiperaktif, cengeng, anak dari orang lain yang tidak
disukai, misalnya anak mantan suami/istri, anak tiri, serta anak dengan berat lahir
rendah(BBLR). Pada anak BBLR saat bayi dilahirkan, mereka harus berpisah untuk
beberapa lama, padahal pada beberapa hari inilah normal bonding akan terjalin.
c. Adanya kejadian khusus
Stressor yang terjadi bisa jadi tidak terlalu berpengaruh jika hal tersebut terjadi
pada orang lain. Kejadian yag sering terjadi misalnya adanya tagihan, kehilangan
pekerjaan, adanya anak yang sakit, adanya tagihan, dll. Kejadian tersebut akan
membawa pengaruh yang lebih besar bila tidak ada orang lain yang menguatkan
dirinya di sekitarnya Karena stress dapat terjadi pada siapa saja, baik yang
mempunyai tingkat sosial ekonomi yag tinggi maupun rendah, maka child abuse
dapat terjadi pada semua tingkatan.
Menurut Rusel dan Margolin, wanita lebih banyak melakukan kekerasan pada
anak, karena wanita merupakan pemberi perawatan anak yang utama. Sedangkan
laki-laki lebih banyak melakukan sex abuse, ayah tiri mempunyai kemungkinan 5
sampai 8 kali lebih besar untuk melakukannya daripada ayah kandung (Smith dan
Maurer).
Menurut Effendy, 2009, factor risiko kekerasan dalam rumah tangga dibagi
menjadi:
1) Faktor masyarakat
a) Kemiskinsn
b) Urbanisasi yang terjadi kesenjangan pendapat di antar pendududk kota.
c) Masyarakat keluarga ketergantungan obat.
d) Lingkungan dengan frekuensi kekerasa dan kriminalitas yang tinggi.
2) Factor keluarga
a) Adanya anggota keluarga yang sakit dan menumbuhkan bantuan terus-
menerus, misalnya anakdengan kelainan mental dan orang tua lanjut usia
(lansia).
b) Kehidupan keluarga yang kacau, tidak saling mencintai dan menghargai,
serta tidak menghargaiperan wanita.
c) Kurang adanya keakraban dan hubungan jaringan social pada keluarga.
d) Sifat kehidupan keluarga ini bukan keluarga luas.
3) Faktor individu
Di Amerika serikat, mereka yang mempunyai risiko lebih besar mengalami
kekerasan dalam rumah tangga ialahsebagai berikut :
a) Wanita yang lajang bercerai atauinhin bercerai
b) Berumur 17 28 tahun.
c) Ketergantungan obat atau alcohol atau riwayat ketergantungan kedua zat
tersebut
d) Sedang hamil
e) Mempunyai partner dengan sifat memiliki dan cemburu yang berlebihan.

6. Akibat Abuse
Anak yang mengalami kekerasan/ penganiayaan akan berakibat panjang. Mereka
akan mengalamigangguan belajar, retardasi mental, gangguan perkembangan temasuk
perkembangan bahasa, bicara, motorik halusnya. Dalam penelitian juga diperoleh bahwa
IQ anak yang mengalami kekerasan/penganiayaan akan rendah daripada yang tidak.
Mereka juga mengalami gangguan dalam konsep diri dan hubungan sosial. Teman-teman
menganggap mereka sebagai anak yang suka menyendiri atau pembuat onar. Hal ini akan
berlanjut hingga dewasa, dalam memilih pasangan hidup.
Menurut Soetjiningsih (2005), akibat abuse pada anak yaitu:
a. Akibat pada fisik anak
Diagnosis dibuat kalau dijumpai trauma fisik yang dapat dijelaskan penyebabnya.
1) Lecet, hematom, luka bekas gigitan, luka bakar, patah tulang, perdarahan
retina akibat adanya subdural hemtoma, dan adanya kerusakan organ dalam
lain.
2) Sekuele/cacat sebaggai akibat trauma misalnya jaringan parut, kerusakan
saraf, gangguan pendengaran, kerusakan mata dan cacat lainnya.
3) Kematian
b. Akibat pada tumbuh kembang anak
Pertumbuhan dan perkembangan anak yang mengalami perlakuan salah pada
umumnya lebih lambat dari anak yang normal yaitu:
Pertumbuhan fisik anak pada umumnya kurang dari anak-anak sebayanya
yang tidak mendapatt perlakuan salah.
Perkembangan kejiawaaan yang juga mengalami gangguan:
1) Kecerdasan
2) Emosi
3) Konsep diri
4) Agresif
5) Hubungan sosial
c. Akibat Penganiayaan seksual
Tanda-tanda penganiayaan seksual seperti:
1) Tanda akibat trauma atau infeksi lokal (Nyeri perineal, secret vagina, nyeri
dan perdarahan anus)
2) Tanda gangguan emosi (konsentrasi berkurang, anoreksia)
3) Tingkah laku atau pengetahuan seksual
d. Sindrome Munchausen
e. Akibat lain dari perlakuan salah tersebut, anak akan melakukan hal yang sama
kelak di kemuadian hari terhadap anak-anaknya.
7. Pencegahan Abuse

a. Pencegahan primer
1) Menghentikan peredaran buku, film, media dan atraksi kekerasan
perempuan.
2) Mengontrol pemilik senjata api.
3) Menghilangkan hukuman fisik di sekolah.
4) Promosi hubungan keluarga harmonis.
5) Informasi cara mencegah dan mengatasi masalah.

b. Pencegahan sekunder
1) Fase awal : bina hubungan saling percaya
2) Fase kedua : kaji bahaya yang dihadapi klien, kaji pemeriksaan
kesehatan, pastikan kontak korban dengan pelayanan, hubungkan dengan
pengacara, pertahankan kontak.
3) Fase ketiga : kaji kebutuhan tempat tinggal, pertahankan keamanan.
4) Fase keempat : keputusan tentang hubungan dengan pelaku.

c. Pencegahan tersier
1) Fase awal : bina hubungan, kesepakatan tujuan konseling.
2) Fase pertengahan : konseling
3) Fase akhir : evaluasi tentang keberhasilan korban untuk tidak jadi
korban kekerasan lagi dan meningkatkan kualitas hidup.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pengabaiaan (neglect) didefinisikan sebagai jenis penganiayaan yang mengacu pada
kegagalan oleh pengasuh untuk memberikan yang diperlukan, perawatan yang sesuai dengan
usia meski secara finansial mampu melakukannya atau ditawarkan berarti keuangan atau
lainnya untuk melakukannya.
Abuse adalah perilaku yang dirancang untuk mengendalikan dan menaklukkan
manusia yang lain melalui penggunaan ketakutan, penghinaan, dan lisan atau fisik. Kata
kekerasan merupakan terjemahan dari kata violence, artinya suatu serangan terhadap fisik
maupun integritas mental psikologis seseorang.
Para ahli mendefinisikan empat jenis pengabaian yakni : fisik, pendidikan, emosional
dan medis. Sedangkan terdapat lima jenis kekerasan yakni : kekerasan terhadap perempuan
(KTP), kekerasan terhadap anak (KTA/Child Abuse) , kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT), perkosaan dan kekerasan Napza.

B. Saran
Sebagai seorang perawat, hendaknya kita dapat mencegah penelantaran atau
pengabaian pada anak, karena hal tersebut dapat berakibat sangat fatal bagi perkembangan
anak serta mencegah kekerasan dalam bentuk apapun, karena kekerasan pun dapat
mengakibatkan kerusakan baik pada fisik maupun mental seseorang.
DAFTAR PUSTAKA

Effendy, Ferry. 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas: Praktik dalam Keperawatan.


Jakarta: Salemba Medika
Friedman.1998.Keperawatan.Jakarta : EGC
Ginott, Halim G,Dr (2001). Betwen Parents & child. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
Hanson. 2009. Family Health Care Nursing: Theory,Practice & Reesearch
Mubarak,dkk. 2009. Ilmu Keperawatan Komunitas : Konsep dan Aplikasi, Edisi 2.
Salemba Medika. Jakarta
www.childwelfare.gov/can

Anda mungkin juga menyukai