A. Pendahuluan
Harus dikemukakan sejak awal bahwa ijma itu tidak
terlepas dari penyandaran terhadap Al-Quran dan As-Sunnah.
Sebagai doktrin dan dalil syariah, ijma pada dasarnya
merupakan dalil rasional. Teori ijma juga jelas bahwa ia
merupakan dalil yang menuntut bahwa banyak konsensus mutlak
dan universal sajalah yang memenuhi syarat, sekalipun
konsensus mutlak mengenai materi ijma yang bersifat rasional
sering kali sulit terjadi. Adalah wajar dan masuk akal untuk hanya
menerima ijma sebagai realitas dan konsep yang falid dalam
pengertian relatif, tetapi bukti faktual tidak cukup untuk
menentukan universalitas ijma.
Definisi klasik dan syarat esensial ijma sebagaimana
ditetapkan oleh ulama-ulama ushul sangat jelas bahwa tak
kurang dari konsensus universal sarjana-sarjana muslim dapat
dianggap sebagai ijma yang meyakinkan. Oleh karena itu tidak
ada sedikitpun ruang bagi ketidaksepakatan, atau ikhtilaf,
mengenai konsep ijma. Teori ijma juga tidak mau menerima
gagasan relatifitas atau tidak mau menerima kesepakatan
darinya.
Ijma adalah salah satu dalil syara yang memiliki tingkat
kekuatan argumentatif setingkat di bawah dalil-dalil nash (al-
Quran dan hadits). Ia merupakan dalil pertama setelah al-Quran
dan hadits yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali
hukum-hukum syara.
1
2
C. Rukun-Rukun Ijma
Dalam definisi ijma telah disebutkan bahwa ia adalah :
kesepakatan para mujtahid lah teknis hukum atau dari umat
islam pada suatu masa atas hukum Syara definisi ini dapat di
ambil kesimpulan bahwa rukun ijma dimana menurut Syari ia
tidak akan terjadi kecuali dengan keberadaanya, adalah empat,
yaitu:
Pertama, adanya sejumlah para mujtahid pada saat
terjadinya suatu peristiwa karena sesungguhnya kesepakatan
tidak mungkin dapat tergambar kecuali pada sejumlah pendapat,
dimana masing-masing pendapat sesuai dengan pendapat
lainnya. Maka kalau sekiranya pada suatu waktu tidak terdapat
sejumlah para mujtahid, Misalnya tidak ditemukan seorang
mujtahid sama sekali, atau hanya di temukan seorang mujtahid,
maka secara Syara tidak akan terjadi ijma pada waktu itu. Oleh
karena inilah, maka tidak ada ijma pada masa Rasulullah SAW.,
karena hanya beliau sendirilah mujtahid waktu itu.
D. Syarat Ijma
Di samping rukun di atas, Jumhur Ulama ushul fiqh,
mengemukakan pula syarat-syarat ijma, yaitu:
1. Yang melakukan ijma tersebut adalah orang-orang yang
memenuhi persyaratan ijtihad.
2. Kesepakatan itu muncul dari para mujtahid yang bersifat
adil (berpendirian kuat terhadap agamanya).
3. Para mujtahid yang terlibat adalah yang berusaha
menghindarkan diri dari ucapan atau perbuatan bidah.
Ketiga syarat ini disepakati oleh seluruh ulama ushul fiqh.
Ada juga syarat lain, tetapi tidak disepakati para ulama,
diantaranya:
1. Para mujtahid itu adalah sahabat.
2. Mujtahid itu kerabat Rasulullah, apabila memenuhi dua
syarat ini, para ulama ushul fiqh menyebutnya
dengan ijma shahabat.
3. Mujtahid itu adalah ulama Madinah.
4. Hukum yang disepakati itu tidak ada yang membantahnya
sampai wafatnya seluruh mujtahid yang menyepakatinya.
12 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Dina Utama (Toha
putra Group),1994), hlm. 57.
9
DAFTAR PUSTAKA