Anda di halaman 1dari 15

KONSEP IJMA DAN IKHTILAF TENTANG KEHUJJAHANNYA

A. Pendahuluan
Harus dikemukakan sejak awal bahwa ijma itu tidak
terlepas dari penyandaran terhadap Al-Quran dan As-Sunnah.
Sebagai doktrin dan dalil syariah, ijma pada dasarnya
merupakan dalil rasional. Teori ijma juga jelas bahwa ia
merupakan dalil yang menuntut bahwa banyak konsensus mutlak
dan universal sajalah yang memenuhi syarat, sekalipun
konsensus mutlak mengenai materi ijma yang bersifat rasional
sering kali sulit terjadi. Adalah wajar dan masuk akal untuk hanya
menerima ijma sebagai realitas dan konsep yang falid dalam
pengertian relatif, tetapi bukti faktual tidak cukup untuk
menentukan universalitas ijma.
Definisi klasik dan syarat esensial ijma sebagaimana
ditetapkan oleh ulama-ulama ushul sangat jelas bahwa tak
kurang dari konsensus universal sarjana-sarjana muslim dapat
dianggap sebagai ijma yang meyakinkan. Oleh karena itu tidak
ada sedikitpun ruang bagi ketidaksepakatan, atau ikhtilaf,
mengenai konsep ijma. Teori ijma juga tidak mau menerima
gagasan relatifitas atau tidak mau menerima kesepakatan
darinya.
Ijma adalah salah satu dalil syara yang memiliki tingkat
kekuatan argumentatif setingkat di bawah dalil-dalil nash (al-
Quran dan hadits). Ia merupakan dalil pertama setelah al-Quran
dan hadits yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali
hukum-hukum syara.

B. Pengertian dan Fungsi Ijma

1
2

Secara etimologi, ijma berarti kesepakatan atau


konsensus.1 Pengertian ini dijumpai dalam Al-Quran surat An-
nisa (4) : 115,




Artinya : dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas
kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan
jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa
terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami
masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali. (Q.S An-Nisa (4) : 5).2

Pengertian etimologi kedua dari ijma adalah (ketetapan


hati untuk melakukan sesuatu). Pengertian kedua ini ditemukan
dalam surat Yunus, 10 : 71,
....
Artinya : ... maka bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah)
sekutu-sekutumu.... (Q.S Yunus (10) : 71).3
Perbedaan antara pengertian kedua terletak pada kuantitas
(jumlah) orang yang berketetapan hati. Pengertian pertama
mencukupkan satu tekad saja, sedangkan untuk pengertian
kedua memerlukan tekad kelompok.4 Perbedaan rumusan itu
dapat dilihat dari beberapa rumusan atau definisi ijma sebagai
berikut:
1. Al-Ghazali merumuskan ijma dengan:

Kesepakatan umat Muhammad secara khusus atas suatu
urusan agama.5

1 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997), hlm.


51.
2 Departemen Agama, Quran dan Terjemah,(Jakarta: PT Bumi Restu,
1976-1977), Q.S An-Nisa (4) : 115
3 Departemen Agama, Quran dan Terjemah.. Q.S Yunus (10) : 71
4 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh... hlm. 51
5 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm.
132
3

Meskipun dalam istilah ini dikhususkan kepada umat Nabi


Muhammad, namun mencakup jumlah yang luas yaitu
seluruh umat Nabi Muhammad atau umat Islam.
Pandangan Imam Ghazali ini mengikuti pandangan Imam
Syafii yang menetapkan ijma itu sebagai kesepakatan
umat. Hal ini tampaknya didasarkan pada keyakinan bahwa
yang terhindar dari kesalahan hanyalah umat secara
keseluruhan, bukan perorangan. Namun pendapat Imam
Syafii ini mengalami perubahan dan perkembangan di
tangan pengikutnya di kemudian hari.
2. Al-Amidi yang juga pengikut Syafiiyah merumuskan ijma :
Ijma adalah kesepakatan sejumlah Ahlul Halli wal Aqd
(para ahli yang berkompeten mengurusi umat) dari umat
Muhammad pada suatu masa atau hukum suatu kasus.6
Kelihatannya Imam al-Amidi membatasi ijma itu pada
kesepakatan orang-orang tertentu dari umat Nabi
Muhammad, yaitu orang-orang yang mempunyai fungsi
sebagai pengungkai dan pengikat atau para ulama yang
membimbing kehidupan keagamaan umat Islam. Dalam hal
ini orang awam tidak diperhitungkan kesepakatannya.
Namun lebih lanjut terlihat, bahwa al-Amidi masih
memberikan kemungkinan masuknya orang awam dalam
penetapan ijma dengan ketentuan ia telah mampu
berbuat hukum. Untuk maksud ini al-Amidi memberikan
alternatif definisi ijma sebagai berikut:
Kesepakatan para mukallaf dari umat Muhammad pada
suatu masa atas hukum suatu kasus.
Definisi yang dikemukakan ulama Ahl al-Sunnah berkisar di
sekitar definisi yang dikemukakan al-Amidi tersebut di atas
meskipun berbeda dalam perumusannya, yakni,
6Ibid, hlm. 133
4

kesepakatan orang yang bernama ulama atau Ahlul Halli


wal Aqd.
3. Definisi yang berbeda secara substantial adalah apa yang
dikemukakan ulama Syiah. Mereka tidak menitikberatkan
pada kata semua. Tetapi cukup pada kelompok atau
beberapa orang asalkan kelompok itu mempunyai
wewenang dalam menetapkan hukum. Untuk tujuan ini
ulama Syiah merumuskan definisi ijma sebagai berikut:
Kesepakatan suatu komunitas karena kesepakatan mereka
dalam menetapkan hukum syara.7
Ulama Syiah tidak mengharuskan kesepakatan
menyeluruh dan mencukupkan dengan kesepakatan
kelompok, karena menurut mereka kesepakatan kelompok
ini bukan untuk menetapkan hukum tersendiri di luar apa
yang telah ditetapkan olah Quran dan Sunnah. Bagi
mereka ijma itu hanya untuk menemukan adanya Sunnah
yaitu ucapan atau perbuatan seseorang yang
dianggap mashum atau terbebas dari dosa yang dalam hal
ini, menurut mereka, adalah Nabi Muhammad dan Ahlul
bait (Keturunan Nabi dari Fatimah serta Hasan dan Husen).
4. Al-Nazham (pemuka kelompok Nazhamiyah, satu pecahan
dari Mutazilah) mengemukakan rumusan lain
tentang ijma.
Setiap perkataan yang hujjahnya tidak dapat dibantah.
Maksudnya: Setiap ucapan atau pendapat yang dapat
ditegakkan sebagai hujjah syariiyah, meskipun ucapan
seseorang.8

7 Ibid, hlm. 134


8 Ibid, hlm. 134
5

Ijma merupakan kebulatan pendapat semua ahli ijtihad


pada suatu masa atas hukum syara, oleh karena itu, menurut
Hanafi, dalam ijma terkandung hal-hal berikut :
1. Kebulatan dapat terwujud apabila pendapat seseorang
sama dengan pendapat lain.
2. Apabila ada yang tidak sependapat, tidak akan ada ijma
tanpa kesepakatan secara keseluruhan ijma, tidak terjadi,
tetapi pendapat terbanyak dapat dijadikan hujjah
3. Jika pendapat di suatu masa tersebut hanya keluar dari
seorang mujtahid , bukan termasuk ijma
4. Kebulatan pendapat harus real, artinya semua
menyatakannya, baik dengan lisan, tulisan, atau isyarat
5. Kesepakatan yang dimaksudkan hanya berlaku untuk
mujtahid, bukan yang lainnya.9
6. Kebulatan pendapat dari kelompok tertentu , bukan
merupakan ijma , sebab ijma disini adalah ijma ummah
seluruh umat bersepakat.
Selanjutnya fungsi ijma di sini adalah kedudukannya
dihubungkan dengan dalil lain, berupa nash atau bukan. Memang
pada dasarnya ijma itu, menurut ulama Ahl as-Sunnah
mempunyai kekuatan dalam menetapkan hukum dengan
sendirinya. Tetapi dalam pandangan ulama Syiah, ijma itu
adalah hanya untuk menyingkapkan adanya ucapan seseorang
yang mashum. Dalam hal ini terlihat ada dua pandangan yang
berbeda mengenai kedudukan dan fungsi ijma dilihat dari sudut
pandangan masing-masing kelompok.10
Dalam pandangan ulama yang berpendapat bahwa untuk
kekuatan suatu ijma tidak diperlukan sandaran atau rujukan

9 Boedi Abdullah, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung : CV pustaka setia, 2008),


hlm. 165
10 Ibid, hlm. 157
6

kepada suatu dalil yang kuat, ijma itu berfungsi menetapkan


hukum atas dasar taufiq Allah yang telah dianugrahkan kepada
ulama yang melakukan ijma tersebut. Dalam pandangan ini
tampak bahwa kedudukan dan fungsi ijma itu bersifat mandiri.
Dalam pandangan ulama yang mengharuskan adanya
sandaran untuk suatu ijma dalam bentuk nash atau qiyas,
maka ijma itu berfungsi untuk meningkatkan kualitas dalil yang
dijadikan sandaran itu. Melalui ijma dalil yang asalnya lemah
atau zhanni menjadi dalil yang kuat atau qathi, baik dalil itu
berbentuk nash atau qiyas.11

C. Rukun-Rukun Ijma
Dalam definisi ijma telah disebutkan bahwa ia adalah :
kesepakatan para mujtahid lah teknis hukum atau dari umat
islam pada suatu masa atas hukum Syara definisi ini dapat di
ambil kesimpulan bahwa rukun ijma dimana menurut Syari ia
tidak akan terjadi kecuali dengan keberadaanya, adalah empat,
yaitu:
Pertama, adanya sejumlah para mujtahid pada saat
terjadinya suatu peristiwa karena sesungguhnya kesepakatan
tidak mungkin dapat tergambar kecuali pada sejumlah pendapat,
dimana masing-masing pendapat sesuai dengan pendapat
lainnya. Maka kalau sekiranya pada suatu waktu tidak terdapat
sejumlah para mujtahid, Misalnya tidak ditemukan seorang
mujtahid sama sekali, atau hanya di temukan seorang mujtahid,
maka secara Syara tidak akan terjadi ijma pada waktu itu. Oleh
karena inilah, maka tidak ada ijma pada masa Rasulullah SAW.,
karena hanya beliau sendirilah mujtahid waktu itu.

11 Ibid, hlm. 157


7

Kedua, adanya kesepakatan seluruh mujtahid di kalangan


umat Islam terhadap hukum Syara mengenai suatu kasus atau
peristiwa pada waktu terjadinya tanpa memandang negeri
mereka, kebangsaan mereka, ataupun kelompok mereka. Maka
kalau seandainya para mujtahid negeri makkah dan madinah
saja ataupun para mujtahid negri irak saja, atau mujtahid negeri
hijaz saja, atau para mujtahid ahli bait, atau para mujtahid ahli
sunah, bukan mujtahid golongan Syiah sepakat atas hukum
Syara Mengenai suatu peristiwa, maka dengan kesempatan
kusus ini tidaklah sah ijma Menurut Syara. Karena ijma itu tidak
bisa terjadi kecuali dengan kesempatan umum dari semua
mujtahid dunia Islam pada masa suatu kejadian selain mujtahid
tidak masuk penilaian.
Ketiga, Bahwasanya kesepakatan mereka adalah dengan
mengemukakan pendapat masing-masing orang dari para
mujtahid itu tentang pendapatnya yang jelas mengenai suatu
peristiwa, baik penyampaian pendapat masing-masing mujtahid
itu berbentuk ucapan, misalnya Ia memberikan fatwa mengenai
peristiwa itu, atau berbentuk perbuatan, misalnya ia memberikan
suatu putusan mengenainya; baik masing-masing dari mereka
mengemukakan pendapatnya pendapat mereka, atau mereka
mengemukakan pendapat mereka secara kolektif, misalnya para
mujtahid di dunia Islam mengadakan suatu kongres pada suatu
masa terjadinya suatu peristiwa, dan peristiwa itu dihadapkan
kepada mereka, dan setelah mereka bertukar orientasi
pandangan, maka mereka seluruhnya sepakat atau satu hukum
mengenainya.
Keempat, bahwa kesepakatan dari seluruh mujtahid atau
suatu hukum itu terealisir. Kalau sekiranya kebanyakan dari
mereka sepakat, maka kesepakatan yang terbanyak itu tidak
8

menjadi ijma, kendatipun amat sedikit jumlah mujtahid yang


menentang dan besar sekali jumlah mujtahid yang sepakat
karena sepanjang masih dijumpai suatu perbedaan pendapat,
maka masih ditemukan kemungkinan benar pada salah satu
pihak dan kekeliruan pada pihak lainnya. Oleh karena itu, maka
kesepakatan jumlah terbanyak tidak menjadi hujjah Syariyah
yang pasti dan meningkat.12

D. Syarat Ijma
Di samping rukun di atas, Jumhur Ulama ushul fiqh,
mengemukakan pula syarat-syarat ijma, yaitu:
1. Yang melakukan ijma tersebut adalah orang-orang yang
memenuhi persyaratan ijtihad.
2. Kesepakatan itu muncul dari para mujtahid yang bersifat
adil (berpendirian kuat terhadap agamanya).
3. Para mujtahid yang terlibat adalah yang berusaha
menghindarkan diri dari ucapan atau perbuatan bidah.
Ketiga syarat ini disepakati oleh seluruh ulama ushul fiqh.
Ada juga syarat lain, tetapi tidak disepakati para ulama,
diantaranya:
1. Para mujtahid itu adalah sahabat.
2. Mujtahid itu kerabat Rasulullah, apabila memenuhi dua
syarat ini, para ulama ushul fiqh menyebutnya
dengan ijma shahabat.
3. Mujtahid itu adalah ulama Madinah.
4. Hukum yang disepakati itu tidak ada yang membantahnya
sampai wafatnya seluruh mujtahid yang menyepakatinya.

12 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Dina Utama (Toha
putra Group),1994), hlm. 57.
9

5. Tidak terdapat hukum ijma sebelumnya yang berkaitan


dengan masalah yang sama.13
E. Kehujjahan Ijma
Jumhur ulama ushul fiqh berpendapat apabila rukun-
rukun ijma telah terpenuhi, maka ijma tersebut menjadi hujjah
yang qathi (pasti), wajib diamalkan dan tidak boleh
mengingkarinya, bahkan orang yang mengingkarinya dianggap
kafir. Di samping itu, permasalahan yang telah ditetapkan
hukumnya melalui ijma, menurut para ahli ushul fiqh tidak boleh
lagi menjadi pembahasan ulama generasi berikutnya, karena
hukum yang ditetapkan melalui ijma merupakan hukum syara
yang qathi dan menempati urutan ketiga sebagai dalil syara
setelah al-Quran dan Sunnah.14
Alasan Jumhur Ulama ushul fiqh yang mengatakan
bahwa ijma merupakan hujjah yang qathi dan menempati
urutan ketiga sebagai dalil syara adalah :
1. Firman Allah SWT dalam surah An-Nisa (4) ayat 59 :

....
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu,...15
Menurut Jumhur Ulama ushul fiqh, lafal uli al-amr dalam
ayat itu bersifat umum, mencakup para pemimpin di
bidang agama (para mujtahid dan pemberi fatwa) dan
dunia (pemimpin masyarakat, negara, dan perangkatnya).
Ibn Abbas menafsirkan uli al-amr ini dengan para ulama.
2. Alasan Jumhur Ulama dari hadits adalah sabda Rasulullah
saw.:

13 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh... hlm. 53-54.


14 Ibid, hlm. 54.
15 Departemen Agama, Quran dan Terjemah... Q.S An-Nisa (4) : 59.
10

Umatku tidak akan melakukan kesepakatan terhadap yang


salah. (H.R. al-Tirmidzi). Dalam lafaz lain disebutkan:

Umatku tidak akan melakukan kesepakatan terhadap
suatu kesesatan.
Dalam hadits lain Rasulullah saw. bersabda:


Hendaklah kalian berjamaah dan jangan bercerai berai,
karena syetan bersama yang sendiri dan dengan dua
orang lebih jauh. (HR At-Tirmidzi).16
Seluruh hadits itu menurut Abdul Wahhab Khalaf,
menunjukkan bahwa suatu hukum yang disepakati seluruh
mujtahid sebenarnya merupakan hukum umat Islam seluruhnya
yang diperankan oleh para mujtahid mereka. Oleh sebab itu,
sesuai dengan kandungan hadits-hadits di atas, tidak mungkin
para mujtahid tersebut melakukan kesalahan dalam menetapkan
hukum. Apabila seluruh umat telah sepakat melalui para
mujtahid mereka maka tidak ada alasan untuk menolaknya.17
F. Macam-macam Ijma.
Adapun ijma ditinjau dari segi cara menghasilkanya, maka
ia ada dua macam yaitu:
Pertama: Ijma Sharih, yaitu: kesepakatan para mujtahid
suatu masa atas hukum suatu kasus, dengan cara masing-
masing dari mereka menemukakan pendapatnya secara jelas
melalui fatwa atau putusan hukum. Maksudnya bahwasanya
setiap mujtahid mengeluarkan pernyataan atau tindakan yang
mengungkapkan pendapatnya secara jelas.

16 Abd.Al-Havy Al-Farmawi, Al-Bidayayah At Tafsir Al-Mawdhui,


(Beirut: Dar Al-fikr 19960), hlm. 123.
17 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh... hlm. 56.
11

Kedua: Ijma Sukuti, yaitu: sebagian dari mujtahid suatu


masa mengemukakan pendapat mereka secara jelas mengenai
suatu kasus baik melalui fatwa atau suatu putusan hukum, dan
sisa dari mereka tidak memberikan tanggapan terhadap
pendapat tersebut, baik merupakan persetujuan terhadap
pendapat yang telah dikemukakan atau menentang pendapat
itu.18
Adapun macam yang pertama yaitu ijma sharih, maka itu
ijma yang hakiki dan ini merupakan hujjah syariyah dalam
madzhab jumhur ulama. Imam Syafii memberikan interpretasi
terhadap ijma sharih ini sebagai berikut Ijma sharih ialah, jika
engkau atau salah seorang ulama mengatakan , hukum ini telah
disepakati, maka niscaya setiap ulama yang engkau temui juga
mengatakan seperti apa yang engkau katakan.19
Sedangkan macam yang kedua yaitu ijma syukuti, maka ia
adalah ijma Itibari (anggapan). Dalam hal ini, Imam Syafii tidak
memasukkan ijma sukuti ini dalam kategori ijma yang dapat
dijadikan hujjah20, karena sesungguhnya orang yang diam saja
tidak ada kepastian, bahwa ia setuju. Oleh karena itu, tidak ada
kepastian mengenai terwujudnya kesepakatan dan terjadinya
ijma, dan karena inilah maka ia masih dipertentangkan
kehujjahannya. Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma sukuti
bukanlah hujjah, dan bahwa ijma tersebut tidak lebih dari
keadaannya sebagai pendapat sebagian dari individu para
mujtahid.

18 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh... hlm. 64.


19 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Jakarta : Pustaka Firdaus,
2012), hlm. 317
20 Ibid, hlm. 318
12

G. Ikhtilaf Kehujjahan Ijma


Kebanyakan ahli ushul menetapkan, bahwa ijma menurut
makna atau tarif yang diberikan oleh kebanyakan ahli ushul,
dipandang suatu dasar dari dasar-dasar syariat sebagai yang
sudah dijelaskan. Akan tetapi, jika masalah ini dibahas dengan
seksama, ditinjau dari segala aspeknya jelaslah bahwa : masalah
menjadikan ijma sebagai dasar agama, atau hujjah, bukanlah
masalah yang disepakati. Banyak diantara ulama mujtahidin
walaupun mereka membenarkan tarif ijma yang telah
diterangkan, menetapkan bahwa ijma yang seperti itu tidak
mungkin terjadi.
Imam Ahmad bin Hanbal menetapkan bahwa
kemungkinan terjadinya ijma sesudah masa sahabat tak dapat
diterima lagi karena para ulama Islam telah bertebaran sampai
ke pelosok. Mengumpulkan mereka itu untuk mencapai kata
sepakat (ijma) bukanlah suatu hal yang mudah lagi, bahkan
hampir bisa dikatakan mustahil dan belum pernah kita dengar
bahwa mereka seluruhnya telah berkumpul di kota itu untuk
menyepakati sesuatu hukum. Bahkan Imam Ahmad itu
mengingkari terjadinya ijma yang diartikan dengan arti ahli
ushul itu di masa sahabat sendiri. Beliau mengatakan
barangsiapa mengatakan berarti ia telah berdusta. Cukuplah ia
katakan aku tak tahu ada orang yang menyalahi pendapat ini.
Karena boleh jadi telah ada yang menyalahi yang belum sampai
berita ini kepadanya.
Abu Muslim Al-Ashfahani mengatakan bahwa para ulama
menetapkan bahwa ijma sahabat itu dipandang (diterima) ijma
orang di belakang sahabat diperselisihi. Abu Muslim menetapkan
pula, bahwa ijma sesudah sahabat tak mungkin diketahui
ada/terjadi. Dia menandaskan bahwa sukar kita mengetahui
13

ada/terjadi ijma selain dari ijma sahabat yang masih sedikit


jumlah orang-orang yang dipandang ahli ijma. Keadaan itu
memungkinkan meraka berkumpul atau memberi persetujuan
kepada sesuatu pendapat orang lain. Mereka masih sedikit
jumlahnya dan masih tinggal setempat, adapun sekarang Islam
sudah tersebar ke seluruh pelosok, banyak bilangan ulama, tak
mungkin lagi kita meyakini ada terjadinya ijma (kata sepakat)
diantara mereka itu. Apa yang ditetapkan Abu Muslim ini itulah
yang dipegang teguh oleh Ahmad yang masih dekat masanya
kepada masa sahabat dan yang sangat luas hafalannya terhadap
segala urusan yang dinukilkan. Ringkasnya ijma sesudah masa
sahabat tidak mungkin terjadi. Akan tetapi ijma dalam arti
mengumpulkan para ahli bermusyawarah sebagai ganti para
amirul muminin itulah yang mungkin terjadi. Dan inilah ijma
yang terjadi di masa Abu Bakar dan Umar.21
H. Kesimpulan
Dari keterangan diatas dapat di fahami bahwa ijma harus
menyandar kepada dalil yang ada yaitu kitab, sunnah, atau yang
mempunyai kaitan kepadanya baik langsung maupun tidak dan
tidak mungkin terlepas sama sekali dari kaitan tersebut. Dan
alasan ijma harus mempunyai sandaran adalah:
Pertama: bahwa bila ijma tidak mempunyai dalil tempat
sandarannya, ijma tidak akan sampai pada kebenaran. Kedua:
bahwa keadaannya sahabat tidak mungkin lebih baik dari pada
Nabi, sebagaimana diketahui, Nabi saja tidak pernah
menetapkan suatu hukum kecuali berdasarkan kepada wahyu.
Ketiga: bahwa pendapat tentang agama tanpa menggunakan
dalil adalah salah. Kalau mereka sepakat berbuat begitu berarti
mereka sepakat melakukan kesalahan; Keempat: pendapat yang

21 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam,


(Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 193.
14

tidak disandarkan kepada dalil tidak dapat di ketahui kaitannya


kepada hukum syara. Kalau tidak dapat dihubungkan dengan
syara tidak wajib diikuti.22
Sebagian ulama ushul berpendapat bahwa ijma boleh
diriwayatkan secara perseorangan karena selain ijma sahabat
tidak ada satupun ijma yang diriwayatkan secara mutawatir.
Oleh karena itu, para fuqaha berbeda pendapat tentang
terjadinya ijma. Sebagian fuqaha berpendapat bahwa ijma bisa
terjadi sementara sebagian yang lain berpendapat bahwa ijma
tidak dapat terjadi.

22 Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam,


(Padang : Angkasa Raya, 1993), hlm. 63.
15

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Boedi, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung : CV pustaka setia,


2008)
Al-Farmawi, Abd.Al-Havy, Al-Bidayayah At Tafsir Al-Mawdhui,
(Beirut: Dar Al-fikr 19960)
Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Pengantar Hukum
Islam, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1997)
Departemen Agama, Quran dan Terjemah,(Jakarta: PT Bumi
Restu, 1976-1977)
Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997)
Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Dina Utama
(Toha putra Group),1994)
Syarifuddin, Amir, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam,
(Padang : Angkasa Raya, 1993)
_______________, Ushul Fiqh Jilid 1, (Jakarta: Kencana, 2011)
Zahrah, Muhammad Abu, Ushul Fiqih, (Jakarta : Pustaka Firdaus,
2012)

Anda mungkin juga menyukai