Anda di halaman 1dari 59

ANALISIS HUKUM KESEHATAN

BAB I
PENDAHULUAN

A. RUANG LINGKUP HUKUM KESEHATAN


Dewasa ini kemajuan iptek dibidang kesehatan telah sangat berkembang pesat dengan
di dukung oleh sarana kesehatan semakin canggih, perkembangan ini turut mempengaruhi
jasa profesionalisme di bidang kesehatan yang dari waktu ke waktu semakin berkembang
pula.
Dalam banyak hal yang berhubungan denngan masalah kesehatan , sering di temui
kasus kasus yang merugikan pasien, oleh sebab itu tidak mengherankan apabilaprofesi
kesehatan ramai di perbincangkan baik di kalangan masyarakat ataupun di kalangan
intelektual. Sehingga sering timbul gugatan dari pasien yang merasa dirugikan akibat adanya
kesehatan atau kelalaian yang di lakukan oleh tenaga kesehatan di dalam
melaksanakan pemberian pelayanan kesehatan, maka keadaan keadaan seperti inilah yang
menunjukkan suatu gejala, bahwa dunia kesehatan (pelayan kesehatan ) mulai di landa krisis
etik etik medis, bahkan juga krisis keterampilan medis yang pada dasarnya semuanya tidak
dapat tidak dapat di selesaikan dengan kode etik etika profesi para tenaga kesehatan semata,
melainkan harus diselesaikan dengan cara yang lebih luas, yaitu melalui jalur hukum.
Munculnya kasus kasus pelayanan kesehatan yang terjadi di tengah tengah lapisan
masyarakat dalam hal masalah kesehata dan bnyaknya kritikan kritikan yang muncul
terhadap pelayanan kesehatan itu merupakan indikasi bahwa kesadaran hukum oleh
masyarakat dalah hal masalah kesehatan semakin meningkat pula.
Hal ini juga yang menyebabkan masyaraaakat tidak mau lagi menerima begitu saja cara
pelayanan yang kurang efisien yang akan dilakukan para tenaga medis kesehatan kepada
masyaraakat, akan tetapi engin menjalani bagaimana pemberian pelayanan kesehatan
kepada masyarakat itu harus dilakukan, serta bagaimana masyarakat harus bertindak sesuai
denagn hak dan kepentinganya apabila mereka menderita kerugian akibat dari
kelalaian pelayanan kesehatan yang pada dasarnya adalah kesalahan atau kelalaian pelayan
kesehatan merupakan suatu hal yang penting untuk di bicarakan dalam hal ini yang di
sebabkan akibat dari kelalaian atau kesalahan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan tersebut
yang mempunyai
dampak yang sangat merugikan, selain merusak atau mengurangi kepercayaan masyarakat
terhadap profesi pelayanan kesehatan, juga menimbulkan kerugian terhadap pasien atau
masyarakat.
Maka untuk itu di dalam memahami ada tidak adanya kesalahan ataupun kelalaian
yang dilakuakan tenaga medis , maka hal itu harus dihadapkan dengan kewajiban profesi
disamping harus pula memperhatikan aspek hukum yang mendasari terjadinya hubungan
hukum antara dokter dengan pasien, yang di karenakan bahwa setiap kegiatan dalam upaya
untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya
dilaksanakan berdasarkan prinsipnondiskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan dalam
rangka pembentukan sumber daya manusia Indonesia, serta peningkatan ketahanan dan daya
saing bangsa bagi pembangunan nasional mengingat bahwa kesehatan merupakan hak asasi
manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-
citabangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
B. PENGERTIAN HUKUM KESEHATAN
Istilah hukum kesehatan ( medical law ) dalam negara yang menganut sistim hukum
eropa kontinental ( anglo saxon ) seperti, belanda , perancis berbeda dengan health law bagi
negara yang menganut sistim hukum common law system ( amerika serikat, inggris ) yang
dikarenakan bahwa helath law merupakan istilah ruang lingkupanya lebih luas dibanding
dengan medical law karena sebagian orang yang menyatakan bahwa medical law adalah
bagian dari health law.
Menurut prof. Van der mija yang mengatakan bahwa hukum kesehatan adalah
merupakan sekumpulan peraturan yang berkaitan dengan pemberian perawatan dan juga
penerapanya kepada hukum perdata, hukum pidana, dan hukum administrasi
negara.Sedangkan hukum medis ( medical law ) yaitu hukum yuridis dimana dokter menjadi
salah satu pihak dan bagian dari hukum kesehatan.
Sedangkan menurut prof. H.J.J. Leneen mengatakan bahwa hukum kesehatan adalah
semua peraturan peraturan hukum yang berhubungan langsung dengan pemberian
pelayanan kesehatan dan penerapanya kepada hukum perdata, hukum pidana, dan hukum
administarsi negara.
Dari dua pengertian yang di kemukakan diatas maka hukum kesehatan itu mencakup
ruang lingkup yang lebih luas dari pada medical law. Pada medical law berkaitan dengan segi
penyembuhanyan saja, sedangkan dalam hukum kesehatan ( health law ) meliputi tidak
hanya dalm segi penyembuhan akan tetapi juga meliputi sampai ke pemulihan pasien.
Dalam undang-undang Republik Indonesia nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
yang di maksud dengan Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian
kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintregasi dan berkesinambungan untuk
memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan
penyakit.
BAB II
HUBUNGAN HUKUM DALAM
PELAYANAN KESEHATAN

A. HUBUNGAN HUKUM ANTARA DOKTER DENGAN PASIEN


Hubungan hukum antara dokter dengan pasien pada dasarnya adalah
merupakanperjanjian perbintenis yang di karena berupaya untuk mewujudkan apa yang di
perjanjikan kedua pihak antara dokter dengan pasien, yang sebagaimana diatur dalam pasal
1320 kitab undang hukum perdata tentang sahnya suatu perjanjian. Ketika hubungan antara
dokter dan pasien termasuk dalam ruang lingkup perjanjian, maka apaun ketentuan
ketentuan yang di atur pada KUHPeradata berlaku terhadap perjanjian teraupeutik, yang
karena pada dasarnya kedatangan seorang pasien kepada dokter dianggap sudah adanya
perjanjian ( mutual consent )
Dalam tahapan perkembangan hubungan hukum antara dokter dengan pasien di dalam
memberikan pelayanan kesesahatan ini dikenal menjadi 3 ( tiga ) tahapan perkembangan
hubungan hukum yaitu sebagai berikut :
1. Hubungan aktif pasif.
Pada tahapan hubungan ini, pasien tidak memberikan kontribusi apapun, dimana pasien
hanya menyerahkan sepenuhnya akan tindakan dokter yang akan di lakukan dalam hal
pemberian jasa kesehatan.
2. Hubungan kerja sama terpimpin.
Pada tahapan hubungan ini, sudah tampak adanya partisipasi dari pasien dalam proses
pelayanan kesehatan sekalipun peranan dokter masih bersifat dominan di dalam menetukan
tidakan tindakan yang akan di lakukan, pada thapan ini pula kedudukan dokter sebagai
orang yang di percaya oleh pasien masih bersifat signifikan.

3. Hubungan partisipasi bersama.


Pada tahapan hubungan ini, pasien menyadari bahwa dirinya, sederajat dengan dokter
dan dengan demikian apabila terbentuk suatu hubungan hukum maka hubungan tersebut
dibangun atas dasar perjanjian yang di sepakati bersama antara pasien dengan dokter.
Menurut Lumenta hubungan antara dokter dengan pasien ada 3 ( tiga ) hubungan
yanitu :
1. Hubungan patnerlistik.
2. Hubungan individualistik.
3. Hubungan kolegial.

Sedangkan menurut Veronika Komalawati bahwa hubungan antara dokter dengan


pasien di kenal dengan 3 ( tiga ) tahapan yaitu :
1. aktiviti pasivity relation.
2. Qwidance corporation relation.
3. Mutual partisipation.

Menurut Dasen sebagai mana di kutip oleh Soejhono Soekanto ada terdapat beberapa
alasan mengapa seorang pasien mendatangi dokter, yaitu :
1. Pasien pergi kedokter semata mata karena ada merasa sesuatu yang membahyakan
kesehatanya.
2. Pasien pergi kedoter di karenakan mengetahui bahwa dirinya sakit dan dokter dianggap
mampu intuk menyembuhkan.
3. Pasien pergi keokter guna mendapatkan pemeriksaan yang intensif dan mengobati penyakit
yang di temukan.
Di dalam hubungan hukum antara dokter dengan pasien menurut undang-undang
Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran pada pasal 52 dan
pasal 53 dalam hal hak dan kewajiban pasien ditemui hubungan hukum pasien dengan dokter
yaitu :
1. Pasal 52 mengatakan bahwa Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran,
mempunyai hak sebagai berikut :
a. mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 45 ayat (3);
b. meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain
c. mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis
d. menolak tindakan medis; dan
e. mendapatkan isi rekam medis.
2. Dan di Pasal 53 mengatakan bahwa Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik
kedokteran, mempunyai kewajiban sebagai berikut :
a. memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya
b. mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi
c. mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan
d. memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.

B. ASAS ASAS HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN DOKTER DENGAN PASIEN

Di dalam hubungan hukum antara dokter dengan pasien terdapat beberapa asas asas
yang di atur di dalam Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang
Praktik Kedokteran, pasal 2 sebagai mana di sebutkan bahwa Praktik kedokteran
dilaksanakan berasaskan Pancasila dan didasarkan pada nilai ilmiah, manfaat, keadilan,
kemanusiaan, keseimbangan, serta perlindungan dan keselamatan pasien.
Di dalam penjelasan pasal 2 Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun
2004 Tentang Praktik Kedokteran, dapat diartikan asas asas tersebut di dalam pegertianya
di uraikan yang mana di dalam ketentuan ini yang dimaksud adalah :
a. Nilai ilmiah adalah bahwa praktik kedokteran harus didasarkan pada ilmu pengetahuan dan
teknologi yang diperoleh baik dalam pendidikan termasuk pendidikan berkelanjutan maupun
pengalaman serta etika profesi
b. Manfaat adalah bahwa penyelenggaraan praktik kedokteran harus memberikan manfaat
yang sebesar-besarnya bagi kemanusiaan dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat
c. Keadilan adalah bahwa penyelenggaraan praktik kedokteran harus mampu memberikan
pelayanan yang adil dan merata kepada setiap orang dengan biaya yang terjangkau oleh
masyarakat serta pelayanan yang bermutu
d. Kemanusiaan adalah bahwa dalam penyelenggaraan praktik kedokteran memberikan
perlakuan yang sama dengan tidak membedakan suku, bangsa, agama, status sosial, dan ras
e. Keseimbangan adalah bahwa dalam penyelenggaraan praktik kedokteran tetap menjaga
keserasian serta keselarasan antara kepentingan individu dan masyarakat
f. Perlindungan dan keselamatan pasien adalah bahwa penyelenggaraan praktik kedokteran
tidak hanya memberikan pelayanan kesehatan semata, tetapi harus mampu memberikan
peningkatan derajat kesehatan dengan tetap memperhatikan perlindungan dan keselamatan
pasien.

Maka selain dari pada itu, ada pula yang menyebutkan beberapa asas yang harus di
pedomani oleh dokter untuk menjadikan dasar dalam pemberian pelayanan kesehatan yaitu :
1. Asas legalitas.
2. Asas keseimbangan.
3. Asas tepat waktu.
4. Asas kejujuran.
5. Asas keterbukaan.
6. Asas kehati hatian.
Demikian pula di dala informed konsent ( persetujuan medes ) menganut ada 2 ( dua )
unsur antara lain yaitu :
a. Informasi yang di berikan oleh dokter kepada pasien mengenai tindakan apa yang di
lakukan.
b. Persetujuan yang di berikan oleh pasien kepada dokter.

Seperti yang di maksud di dalam Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 29


Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran di dalam pasal 45 yang menyatakan bahwa :
1. Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau
dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
2. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat
penjelasan secara lengkap.

3. Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup :


a. diagnosis dan tata cara tindakan medis
b. tujuan tindakan medis yang dilakukan
c. alternatif tindakan lain dan risikonya
d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
Perjanjian teraupeutik sebagaimana di dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor 80 tahun 1969 yang di sempurnakan dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor 483/Men.Kes/X/1982, yang mengatakan tentang Transaksi Teraupeutik adalah
perjanjian antara dokter dan pasien yang berupa hubungan hukum yang melahirkan hak dan
kewajiban bagi kedua belah pihak. Berbeda dengan perjanjian yang pada umumnya, karena
ke khususan itu terletak pada objek yang di perjanjikan, akan tetapi disini adalah yang
menjadi objek yang di perjanjikan adalah upaya untuk melakukan penyembuhan pasien.
Dengan demikian maka perjanjian teraupeutik adalah suatu perjanjian untuk
menetukan atau upaya mencari terapi yang paling tepat bagi pasien yang di lakukan oleh
dokter. Hubungan hukum antara dokter dengan pasien merupaka perjanjian perbintens,
karena berupaya untuk mewujudkan apa yang di perjanjiakan.
Dalam hal terpenuhinya suatu perjanjian transaksi teraupeutik, maka dalam hal ini
pasien bisa saja melakuakan tuntutan hukum kepada tenaga kesehatan dalam masalah
pertanggung jawaban hubungan hukum antara dokter dan pasien, apabila dokter melakukan
penyimpangan, malaui tuntutan, antara lain:
a. dalam aspek hukum perdata.
Wanprestasi pasal 1339 KUHPerdata.
Di katakan wanprestasi pabila :
a. Tidak melakukan apa yang disepakati
b. Melakukan apa yang di sepakati tetapi terlambat
c. Melakukan apa yang di sepakati tetapi tidak sebagaimana yang di perjanjiakan.
d. Melakukaan surat perbuatan yang menurut hakikatnya perjanjian itu tidak di perbolehkan.
Onrecht mangitedaad ( perbuatan melawan hukum ) pasal 1365 KUHPerdata.
KUHPerdata pasal 1365 yang mengatakan yang perbuatan melanggar hukum, yang
membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.
Unsur perbuatan melawan hukum ( Onrecht mangitedaad ) yaitu :
Menimbulkan kerugian kepada orang lain, yang di sebabkan antara lain :
a. Adanya kesalahan.
b. Adanya kerugian yang di timbulkan.
c. Adanya hubungan hukum antara kalusual dengan perbuatan yang di lakukan.
b. Dalam aspeh hukum pidana
Hubungan hukum antara dokter dengan pasien dalam aspek hukum pidana dapat dilihat
apabila pada saat memberikan pelayanan kesehatan ditemukan adanya kesalahan dan
kerugian yang di timbulkan. Sebagai mana di sebut dalam pasal 359 dan 361 KUHP yang
mengakibatkan orang mati atau luka yang karena salahnya. Untuk melihat adanya kesalahan
dokter dalam memberikan pelayanan kesehatan adalah dapat dilihat melaui satandart
operasional prosedural dan medical record.

C. HAK DAN KEWAJIBAN DOKTER DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN


KESEHATAN

Dari sudut pandang sosiologis seorang dokter yang melakukan hubungan atau transaksi
teraupeutik, masing masing mempunyai kedudukan dan peranan. Kedudukan yang
dimaksud disini adalah kedudukan yang berupa wadah, hak dan kewajiban. Sedangkan
peranan merupakan pelaksanaan hak hak dan kewajiban tersebut. Secara sederhana dapat di
katakan bahwa hak itu merupakan wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat. Sedangkan
kewajiban adalah tugas atau beban yang harus di laksanakan.
Dahulu kedudukan doter di anggap lebih tinggi dari pasien dan oleh karena itu
perananaya lebih penting pula. Dalam perkembangan kehidupan masyarakat hubungan dokter
dengan pasien secara khusus mengalami perubahan bentuk, hal itu di sebabkan oleh beberapa
faktor, antara lainya ialah sebagai berikut ini :
1. Kepercayaan tidak lagi tertuju kepada dokter pribadi, akan tetapi kepada kemampuan iptek
kesehatan.
2. Masyarakat menganggap bahwa tugas dokter itu bukan hanya melakukan penyembuhan,
akan tetapi juga di lakukan pada perawatan.
3. Adanya kecenderungan untuk menyatakan bahwa kesehatan bukan lagi merupakan keadaan
tanpa penyakit, akan tetapi lelbih berarti oada kesejahteraan fisik, mental, dan sosial.
4. Semakin banyaknya perturan yang memberikan perlindungan hukum kepada pasien,
sehinggga lebih mengetahui dan memahami hak haknya dalam hubunganya dengan dokter.
5. Tingkat kecerdasan masyarakat menegenai kesehatan semakin meningkat.

Menurut Leneen sebagaimana yang di kutip olehsoejono soekanto yang menyatakan


bahwa manusia itu mempunyai 2 ( dua ) macam hak asasi yaitu, hak asasi sosial, dan hak
asasi individual. Diamana batas antara keduanya agak kabur, sehingga di perlukan suatu
landasan pemikiran yang berbeda, hal itu dikarenakan hak asasi individual mempunyai aspek
sosial, hal ini berarti kedua kategori hak asasi tersebut dalam kenyataanya mengungkapkan
dimensi individual dan dan sosial dari keberadaan atau existensi sesuatu hak atas pelayanan
kesehatan merupakan salah satu hak asasi sosial manusia, dengan demikian untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik, pemerintah telah menetapkan Undang -
Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan, sebagai pengganti
undang undang nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan, khususnya di pasal 48 yang
menyatakan bahwa :
1. Penyelenggaraan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dilaksanakan
melalui kegiatan :
a. Pelayanan
b. pelayanan kesehatan
c. pelayanan kesehatan tradisional
d. peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit
e. penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan
f. kesehatan reproduksi
g. keluarga berencana
h. kesehatan sekolah
i. kesehatan olahraga
j. pelayanan kesehatan pada bencana
k. pelayanan darah
l. kesehatan gigi dan mulut
m. penanggulangan gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran
n. kesehatan matra
o. pengamanan dan penggunaan sediaan farmasi danalat kesehatan
p. pengamanan makanan dan minuman
q. pengamanan zat adiktif; dan/atau
r. bedah mayat.
2. Penyelenggaraan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didukung oleh
sumber daya kesehatan.

Menurut Leneen kewajiban dokter dalam melaksanakan pelayanan kesehatan dibagi


menjadi 3 ( tiga ) kelompok yaitu :
1. Kewajiban yang timbul dari sifat peralatan medis dimana dokter harus bertindak, harus
sesuai dengan standart profesi medis.
2. Kewajiban untuk menghormati hak hak pasien yang bersumber dari hak asasi di bidang
kesehatan.
3. Kewajiban yang berhubungan dengan fungsi sosial pemeliharaan kesehatan.
Kewajiban dokter terhadap pasien di dalam melaksanakan pelayanan kesehatan di atur
lebih kongkrit di dalam pasal 51 Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran yang berbunyi bahwa Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik
kedokteran mempunyai kewajiban :
a. memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur
operasional serta kebutuhan medis pasien
b. merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan
yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan
c. merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien
itu meninggal dunia
d. melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang
lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan
e. menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau
kedokteran gigi.
Selain itu, kewajiban dokter di dalam memberikan pelayanan kesehatan dapat juga
dilihat di dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 34 Tahun 1983 Tentang Kode
Etik Kedokteran Indonesia, yang menytakan bahwa dokter memiliki serangkaian kewajiban
yaitu :
a. kewajiban umum.
b. Kewajiban terhadap penderita.
c. Kewajiban terhadap rekan sejawat.
d. Kewajiban terhadap diri sendiri.

Selain dari pada kewajiban dokter di dalam memberikan pelayanan kesehatan, dokter
juga memiliki hak, sebagaimana yang di atur di dalam pasal 50 Undang Undang Nomor 29
Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, yang menyatakan bahwa Dokter atau dokter gigi
dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak :
a. memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar
profesi dan standar prosedur operasional
b. memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasional
c. memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya; dan
d. menerima imbalan jasa.
D. HAK DAN KEWAJIBAN PASIEN DALAM TRANSAKSI TERAUPEUTIK

Secara normatif hak dan kewajiban pasien di atur di dalam Undang - Undang Republik
Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran pada pasal 52 dan pasal 53
dalam hal hak dan kewajiban pasien ditemui hubungan hukum pasien dengan dokter yaitu :
1. Pasal 52 mengatakan bahwa Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran,
mempunyai hak sebagai berikut :
a. mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 45 ayat (3).
b. meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain
c. mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis
d. menolak tindakan medis; dan
e. mendapatkan isi rekam medis.
2. Dan di Pasal 53 mengatakan bahwa Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik
kedokteran, mempunyai kewajiban sebagai berikut :
a. memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya
b. mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi
c. mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan
d. memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.
Berkaitan dengan hak pasien untuk mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang
tindakan medis sebagaimana yang di maksud di dalam Undang - Undang Republik
Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran di dalam pasal 45 yang
menyatakan bahwa :
1. Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau
dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
2. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat
penjelasan secara lengkap.
3. Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup :
f. diagnosis dan tata cara tindakan medis
g. tujuan tindakan medis yang dilakukan
h. alternatif tindakan lain dan risikonya
i. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
j. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.

Selain dari pihak pasien yang di atur di dalam perundang undangan maka hak pasien
juga di cantumkan di dalam peraturan Kode Etik Profesi Kedokteran Indonesia yaitu :
1. hak untuk hidup, hak atas tubuhnya, dan hak untuk mati secara wajar.
2. Hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan standart profesi kedokteran.
3. Hak memperoleh penjelasan secara lengkap tenetang diagnosa dan terapi medis yang di
lakukan oleh dokter di dalam mengobatinya.
4. Hak untuk menolak prosedur diagnosis dan terapi yang akan di rencanakan, bahkan untuk
menarik diri dari kontrak teraupeutik.
5. Hak atas kerahasiaan atau rekam medic yang bersifat pribadi.
ANALISIS UNDANG-UNDANG KESEHATAN DAN TENAGA KESEHATAN

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masyarakat yang sehat, dengan kapasitas fisik dan daya pikir yang kuat, akan menjadi
kontribusi kontribusi positif terhadap komunitasnya, dengan menjadi individu yang produktif.
Kesehatan memiliki daya ungkit yang dapat mendukung aspek-aspek pembangunan lainnya,
sehingga indikator-indikator kesehatan seringkali digunakan sebagai ukuran kemajuan
pembangunan. Upaya penurunan kemiskinan pun dipengaruhi oleh kebijakan kesehatan yang
diberlakukan, seperti universal health coverage, atau perlindungan kesehatan
menyeluruh. Agar dapat mencapai perlindungan kesehatan yang ideal tersebut, diperlukan
sebuah sistem pelayanan kesehatan yang efisien dan efektif. Sistem ini mencakup akses
terhadap pusat layanan kesehatan, obat-obatan esensial, tenaga kesehatan yang kompeten,
serta tata kelola yang baik.
Dengan diterapkannya sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan peluncuran Kartu
Indonesia Sehat (KIS) pada tahun 2014, Indonesia telah menunjukkan komitmennya terhadap
perbaikan kualitas kesehatan rakyatnya. Hal ini perlu diikuti dengan penguatan sistem
layanan kesehatan primer, dimana penguatan layanan primer menjadi vital dalam perannya
sebagai garda terdepan menjaga kesehatan masyarakat, dalam, melakukan upaya prevensi
atau pencegahan penyakit secara luas termasuk melalui edukasi kesehatan, konseling serta
skrining/penapisan. Kuatnya sistem pelayanan kesehatan primer akan memperluas jangkauan
layanan kesehatan hingga ke akar rumput dan meminimalisir ketidakadilan akses terhadap
kesehatan antar kelompok masyarakat.
Dalam realita, Indonesia yang mempunyai geografi berupa daratan, lautan, pegunungan
serta banyaknya pulau-pulau yang tersebar menyebabkan akses pelayanan kesehatan untuk
daerah tertentu sangat sulit dijangkau. Situasi di daerah tertinggal, perbatasan dan kepulauan
(DTPK) dan Daerah Bermasalah Kesehatan (DBK) sangat berbeda dengan daerah lainnya.
Ketersediaan tenaga kesehatan dan sarana-prasarana merupakan masalah utama yang terjadi
di lapangan. Namun demikian, aktifitas pelayanan wajib dilaksanakan dan pelayanan
kesehatan kepada masyarakat tidak dapat ditunda. Oleh sebab itu diperlukan kebijakan
khusus mengenai model penempatan tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan
disesuaikan dengan karakteristik daerah dan tidak menyamaratakan kebijakan tersebut untuk
seluruh wilayah Indonesia.
1.2 Tujuan
Untuk mengetahui isi dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Bab 1 Ketentuan Umum
A. Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan
serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan
yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
2. Asisten Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang
kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan bidang
kesehatan di bawah jenjang Diploma Tiga.
3. Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang digunakan untuk
menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif, maupun
rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat.
4. Upaya Kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan
secara terpadu, terintregasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan,
pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat.
5. Kompetensi adalah kemampuan yang dimiliki seseorang Tenaga Kesehatan berdasarkan
ilmu pengetahuan, keterampiian, dan sikap profesional untuk dapat menjalankan praktik.
6. Uji Kompetensi adalah proses pengukuran pengetahuan, keterampilan, dan perilaku
peserta didik pada perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan tinggi bidang
Kesehatan.
7. Sertilikat Kompetensi adalah surat tanda pengakuan terhadap Kompetensi Tenaga
Kesehatan untuk dapat menjalankan praktik di seluruh Indonesia setelah lulus uji
Kompetensi.
8. Sertifikat Profesi adalah surat tanda pengakuan untuk melakukan praktik profesi yang
diperoleh lulusan pendidikan profesi.
9. Registrasi adalah pencatatan resmi terhadap Tenaga Kesehatan yang telah memiliki
Sertihkat Kompetensi atau Sertifikat Profesi dan telah mempunyai kualifikasi tertentu lain
serta mempunyai pengakuan secara hukum untuk menjalankan praktik.
10. Surat Tanda Registrasi yang selanjutnya disingkat STR adalah bukti tertulis yang diberikan
oleh konsil masing-masing Tenaga Kesehatan kepada Tenaga Kesehatan yang telah
diregistrasi.
11. Surat Izin Praktik yang selanjutnya disingkat SIP adalah bukti tertulis yang diberikan oleh
pemerintah daerah kabupaten/kota kepada Tenaga Kesehatan sebagai pemberian kewenangan
untuk menjalankan praktik.
12. Standar Profesi adalah batasan kemampuan minimai berupa pengetahuan, keterampilan,
dan perilaku profesional yang harus dikuasai dan dimiliki oleh seorang individu untuk dapat
melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh
organisasi profesi bidang kesehatan.
13. Standar Pelayanan Profesi adalah pedoman yang diikuti oleh Tenaga Kesehatan dalam
melakukan pelayanan kesehatan.
14. Standar Prosedur Operasional adalah suatu perangkat instruksi / langkah-langkah yang
dibakukan untuk menyelesaikan proses kerja rutin tertentu dengan memberikan langkah yang
benar dan terbaik berdasarkan konsensus bersama untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan
fungsi pelayanan yang dibuat oleh Fasilitas Pelayanan Kesehatan berdasarkan Standar
Profesi.
15. Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia adalah lembaga yang melaksanakan tugas secara
independen yang terdiri atas konsil masing-masing tenaga kesehatan.
16. Organisasi Profesi adalah wadah untuk berhimpun tenaga kesehatan yang seprofesi.
17. Kolegium masing-masing Tenaga Kesehatan adalah badan yang dibentuk oleh Organisasi
Profesi untuk setiap cabang disiplin ilmu kesehatan yang bertugas mengampu dan
meningkatkan mutu pendidikan cabang disiplin ilmu tersebut.
18. Penerima Pelayanan Kesehatan adalah setiap orang yang melakukan konsultasi tentang
kesehatan untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan,baik secara langsung
maupun tidak langsung kepada tenaga kesehatan.
19. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia
yang memegang kekuasaan pemerintah negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Repubiik Indonesia Tahun 1945.
20. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, dan Wali Kota serta perangkat daerah sebagai
unsur penyelenggara pemerintahan.
21. Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.

B. Pasal 2
Undang-Undang ini berasaskan:
a. Perikemanusiaan;
b. manfaat;
c. pemerataan;
d. etika dan profesionalitas;
e. penghormatan terhadap hak dan kewajiban;
f. keadilan;
g. pengabdian;
h. norma agama; dan
i. pelindungan.
C. Pasal 3
Undang-Undang ini bertujuan untuk:
a. memenuhi kebutuhan masyarakat akan tenaga kesehatan;
b. mendayagunakan tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan masyarakat;
c. memberikan pelindungan kepada masyarakat dalam menerima penyelenggaraan upaya
kesehatan;
d. mempertahankan dan meningkatkan mutu penyelenggaraan upaya kesehatan yang diberikan
oleh Tenaga Kesehatan; dan
e. memberikan kepastian hukum kepada masyarakat dan Tenaga Kesehatan.
2.2 Bab II Tanggung Jawab dan Wewenang Pemerintah dan Pemerintah Daerah
A. Pasal 4
Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab
terhadap:
a. pengaturan, pembinaan, pengawasan, dan peningkatan mutu Tenaga Kesehatan;
b. perencanaan, pengadaan, dan pendayagunaan Tenaga Kesehatan sesuai dengan kebutuhan;
dan
c. pelindungan kepada Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik.
B. Pasal 5
Dalam melaksanakan tanggung jawabnya, Pemerintah
berwenang untuk:
a. menetapkan kebijakan Tenaga Kesehatan skala nasional selaras dengan kebijakan
pembangunan nasional;
b. merencanakan kebutuhan Tenaga Kesehatan;
c. melakukan pengadaan Tenaga Kesehatan;
d. mendayagunakanTenagaKesehatan;
e. membina, mengawasi, dan meningkatkan mutu Tenaga Kesehatan meialui pelaksanaan
kegiatan sertifikasi Kompetensi dan pelaksanaan Registrasi Tenaga Kesehatan;
f. melaksanakan kerja sama, baik dalam negeri maupun luar negeri di bidang Tenaga
Kesehatan; dan
g. menetapkan kebijakan yang berkaitan dengan TenagaKesehatan yang akan melakukan
pekerjaan atau praktik di luar negeri dan Tenaga Kesehatan warga negara asing yang akan
melakukan pekerjaan atau praktik di Indonesia.
C. Pasal 6
Dalam melaksanakan tanggung jawabnya, pemerintah
daerah provinsi berwenang untuk:
a. menetapkan kebijakan Tenaga Kesehatan selaras dengan kebijakan pembangunan
nasional;
b. melaksanakan kebijakan Tenaga Kesehatan;
c. merencanakan kebutuhan Tenaga Kesehatan;
d. melakukan pengadaan Tenaga Kesehatan;
e. melakukan pendayagunaan melalui pemerataan,
f. pemanfaatan dan pengembangan;
g. membina, mengawasi, dan meningkatkan mutu Tenaga
h. Kesehatan melalui pembinaan dan pengawasan
i. pelaksanaan praktik Tenaga Kesehatan; dan
j. melaksanakan kerja sama dalam negeri di bidang
k. Tenaga Kesehatan.
D. Pasal 7
Dalam melaksanakan tanggung jawabnya, pemerintah daerah kabupaten/kota berwenang
untuk:
a. menetapkan kebijakan Tenaga Kesehatan selaras dengan kebijakan nasional dan provinsi;
b. melaksanakan kebij akan Tenaga Kesehatan;
c. merencanakan kebutuhan Tenaga Kesehatan;
d. melakukan pengadaan Tenaga Kesehatan;
e. melakukan pendayagunaan melalui pemerataan, pemanfaatan, dan pengembangan;
f. membina, mengawasi, dan meningkatkan mutu Tenaga Kesehatan melalui pelaksanaan
kegiatan perizinan Tenaga Kesehatan; dan
g. melaksanakan kerja sama dalam negeri di bidangTenaga Kesehatan.
2.3 Bab III Kualifikasi dan Pengelompokan Tenaga Kesehatan
A. Pasal 8
Tenaga di bidang kesehatan terdiri atas:
a. Tenaga Kesehatan; dan
b. Asisten Tenaga Kesehatan.
B. Pasal 9
1. Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a harus memiliki
kualifikasi minimum Diploma Tiga, kecuali tenaga medis.
2. Ketentuan lebih lanjut mengenai kualifikasi minimum Tenaga Kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
C. Pasal 10
1. Asisten Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b harus memiliki
kualifikasi minimum pendidikan menengah di bidang kesehatan.
2. Asisten Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat bekerja di
bawah supervisi Tenaga Kesehatan.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai Asisten Tenaga Kesehatan diatur dengan Peraturan
Menteri.
E. Pasal 11
1. Tenaga Kesehatan dikelompokkan ke dalam:
a. tenaga medis;
b. tenaga psikologi klinis;
c. tenaga keperawatan;
d. tenaga kebidanan;
e. tenaga kefarmasian;
f. tenaga kesehatan masyarakat;
g. tenaga kesehatan lingkungan;
h. tenaga gizi;
i. tenaga keterapian fisik;
j. tenaga keteknisian medis;
k. tenaga teknik biomedika;
l. tenaga kesehatan tradisional; dan
m. tenaga kesehatan lain.
2. Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga medis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter
gigi spesialis.
3. Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga psikologi klinis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah psikologi klinis.
4. Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga keperawatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri atas berbagai jenis perawat.
5. Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga kebidanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d adalah bidan.
6. Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga kefarmasian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf e terdiri atas apoteker dan tenaga teknis kefarmasian.
7. Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga kesehatan masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f terdiri atas epidemiolog kesehatan, tenaga
promosi kesehatan dan ilmu perilaku, pembimbing kesehatan kerja, tenaga administrasi dan
kebijakan kesehatan, tenaga biostatistik dan kependudukan, serta tenaga kesehatan reproduksi
dan keluarga.
8. Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga kesehatan lingkungan
sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) huruf g terdiri atas tenaga sanitasi lingkungan,
entomolog kesehatan, dan mikrobiolog kesehatan.
9. Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga gizi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf h terdiri atas nutrisionis dan dietisien.
10. Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga keterapian fisik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i terdiri atas fisioterapis, okupasi terapis, terapis
wicara, dan akupunktur.
11. Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga keteknisian medis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf j terdiri atas perekam medis dan informasi
kesehatan, teknik kardiovaskuler, teknisi pelayanan darah, refraksionis optisien/ optometris,
teknisi gigi, penata anestesi, terapis gigi dan mulut, dan audiologis.
12. Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga teknik biomedika
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf k terdiri atas radiografer, elektromedis, ahli
teknoiogi laboratorium medik, fisikawan medik, radioterapis, dan ortotik prostetik.
13. Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk daiam kelompok Tenaga Kesehatan tradisional
sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) huruf 1 terdiri atas tenaga kesehatan tradisional ramuan
dan tenaga kesehatan tradisional keterampilan.
14. Tenaga Kesehatan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m ditetapkan oleh
Menteri.

F. Pasal 12
Dalam memenuhi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan serta
kebutuhan pelayanan kesehatan, Menteri dapat menetapkan jenis Tenaga Kesehatan lain
dalam setiap kelompok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 1
2.4 Bab IV Perencanaan, Pengadaan, dan Pendayagunaan
A. Pasal 13
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memenuhi kebutuhan Tenaga Kesehatan, baik
dalam jumlah, jenis, maupun dalam kompetensi secara merata untuk menjamin
keberlangsungan pembangunan kesehatan.
B. Pasal 14
1. Menteri menetapkan perencanaan Tenaga memenuhi dan mmenyusun perencanaan Tenaga
Kesehatan secara nasional.
2. Perencanaan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun secara
berjenjang berdasarkan ketersediaan Tenaga Kesehatan dan kebutuhan penyelenggaraan
pembangunan dan Upaya Kesehatan.
3. Ketersediaan dan kebutuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui
pemetaan Tenaga Kesehatan.
C. Pasal 15
Menteri dalam menyusun perencanaan Tenaga Kesehatan harus memperhatikan faktor:
a. jenis, kualifikasi, jumlah, pengadaan, dan distribusi Tenaga Kesehatan;
b. penyelenggaraan Upaya Kesehatan;
c. ketersediaan Fasilitas Pelayanan Kesehatan;
d. kemampuanpembiayaan;
e. kondisi geografis dan sosial budaya; dan
f. kebutuhanmasyarakat.
D. Pasal 16
Ketentuan lebih lanjut mengenai perencanaan Tenaga Kesehatan diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
E. Pasal 17
1. Pengadaan Tenaga Kesehatan dilaksanakan sesuai dengan perencanaan dan pendayagunaan
Tenaga Kesehatan.
2. Pengadaan Tenaga Kesehatan dilakukan melalui pendidikan tinggi bidang kesehatan.
3. Pendidikan tinggi bidang kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (21 diarahkan untuk
menghasilkan Tenaga Kesehatan yang bermutu sesuai dengan Standar Profesi dan Standar
Pelayanan profesi.
4. Pendidikan tinggi bidang kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diselenggarakan
dengan memperhatikan:
a. keseimbangan antara kebutuhan penyelenggaraan Upaya Kesehatan dan dinamika
kesempatan kerja, baik di dalam negeri maupun di luar negeri;
b. keseimbangan antara kemampuan produksi Tenaga Kesehatan dan sumber daya yang
tersedia; dan
c. perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
5. Penyelenggaraan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan oleh
Pemerintah dan/atau masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan.
6. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengadaan Tenaga Kesehatan diatur dengan Peraturan
pemerintah.
F. Pasal 18
1. Pendidikan tinggi bidang kesehatan diselenggarakan berdasarkan izin sesuai dengan
ketentuan peraturan Perundang-undangan.
2. Izin sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) diberikan setelah mendapatkan rekomendasi dari
Menteri.
3. Pembinaan teknis pendidikan tinggi bidang kesehatan dilakukan oleh Menteri.
4. Pembinaan akademik pendidikan tinggi bidang kesehatan dilakukan oleh menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan.
5. Dalam penyusunan kurikulum pendidikan Tenaga Kesehatan, penyelenggara pendidikan
tinggi bidang kesehatan harus mengacu pada Standar Nasional Pendidikan Tinggi yang
ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan
dan berkoordinasi dengan Menteri.
6. Penyelenggaraan pendidikan tinggi bidang kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
G. Pasal 19
1. Dalam rangka penjaminan mutu lulusan, penyelenggara pendidikan tinggi bidang kesehatan
hanya dapat menerima mahasiswa sesuai dengan kuota nasional.
2. Ketentuan mengenai kuota nasional penerimaan mahasiswa diatur dengan Peraturan
Menteri yang menyelenggarakan urusan bidang pendidikan setelah berkoordinasi dengan
Menteri.
H. Pasal 20
1. Penyelenggaraan pendidikan tinggi bidang kesehatan harus memenuhi Standar Nasional
Pendidikan Tenaga Kesehatan.
2. Standar Nasionai Pendidikan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengacu pada Standar Nasional Pendidikan Tinggi.
3. Standar Nasional Pendidikan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disusun secara bersama oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang kesehatan, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
pendidikan, asosiasi institusi pendidikan, dan Organisasi Profesi.
4. Standar Nasional Pendidikan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan.
I. Pasal 2 1
1. Mahasiswa bidang kesehatan pada akhir masa pendidikan vokasi dan profesi harus
mengikuti Uji Kompetensi secara nasional.
2. Uji Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Perguruan
Tinggi bekerja sama dengan Organisasi Profesi, Iembaga pelatihan, atau lembaga sertifikasi
yang terakreditasi.
3. Uji Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditujukan untuk mencapai standar
kompetensi lulusan yang memenuhi standar kompetensi kerja.
4. Standar kompetensi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun oleh Organisasi
Profesi dan konsil masing-masing Tenaga Kesehatan dan ditetapkan oleh Menteri.
5. Mahasiswa pendidikan vokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang lulus Uji
Kompetensi memperoleh Sertifikat Kompetensi yang diterbitkan oleh Perguruan Tinggi.
6. Mahasiswa pendidikan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang lulus Uji
Kompetensi memperoleh Sertifikat Profesi yang diterbitkan oleh Perguruan Tinggi.
7. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan Uji Kompetensi diatur dengan
Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan.
J. Pasal 22
1. Pendayagunaan Tenaga Kesehatan dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah,
dan/atau masyarakat sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing berdasarkan ketentuan
Peraturan Perundang- Undangan.
2. Pendayagunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas pendayagunaan Tenaga
Kesehatan di dalam negeri dan luar negeri.
3. Pendayagunaan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
memperhatikan aspek pemerataan, pemanfaatan, dan pengembangan.
K. Pasal 23
1. Dalam rangka pemerataan pelayanan kesehatan dan pemenuhan kebutuhan pelayanan
kesehatan kepada masyarakat, Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan
penempatan Tenaga Kesehatan setelah melalui proses seleksi. Penempatan Tenaga Kesehatan
oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
dengan cara:
a. pengangkatan sebagai pegawai negeri sipil;
b. pengangkatan sebagai pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja; atau
c. penugasan khusus.
2. Selain penempatan Tenaga Kesehatan dengan cara sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Pemerintah dapat menempatkan Tenaga Kesehatan melalui pengangkatan sebagai anggota
TNI/POLRI.
3. Pengangkatan sebagai pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b serta penempatan melalui
pengangkatan sebagai anggota TNI/POLRI dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-Undangan.
4. Penempatan Tenaga Kesehatan melalui penugasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf c dilakukan dengan penempatan dokter pascainternsip, residen senior,
pascapendidikan spesialis dengan ikatan dinas, dan tenaga kesehatan lainnya.
5. Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan dengan penugasan khusus sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.
L. Pasal 24
1. Penempatan Tenaga Kesehatan dilakukan dengan tetap memperhatikan pemanfaatan dan
pengembangan Tenaga Kesehatan.
2. Penempatan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui
seleksi.
M. Pasal 25
1. Pemerintah dalam me meratakan penyebaran Tenaga Kesehatan sesuai dengan kebutuhan
masyarakat dapat mewajibkan Tenaga Kesehatan lulusan dari perguruan tinggi yang
diselenggarakan oleh Pemerintah untuk mengikuti seleksi penempatan.
2. Selain Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seleksi penempatan dapat
diikuti oleh Tenaga Kesehatan lulusan perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh
masyarakat.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan Tenaga Kesehatan diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
N. Pasal 26
1. Tenaga Kesehatan yang telah ditempatkan di Fasiiitas Pelayanan Kesehatan wajib
melaksanakan tugas sesuai dengan Kompetensi dan kewenangannya.
2. Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau
kepala daerah yang membawahi Fasilitas Pelayanan Kesehatan harus mempertimbangkan
pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, papan, dan lokasi, serta keamanan dan keselamatan
kerja Tenaga Kesehatan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan.
O. Pasal 27
1. Tenaga Kesehatan yang diangkat oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat
dipindahtugaskan antarprovinsi, antarkabupaten, atau antarkota karena alasan kebutuhan
fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau promosi.
2. Tenaga Kesehatan yang bertugas di daerah tertinggal perbatasan dan kepulauan serta daerah
bermasalah kesehatan memperoleh hak kenaikan pangkat istimewa dan pelindungan dalam
pelaksanaan tugas.
3. Dalam hal terjadi kekosongan Tenaga Kesehatan, Pemerintah atau Pemerintah Daerah
wajib menyediakan Tenaga Kesehatan pengganti untuk menjamin keberlanjutan pelayanan
kesehatan pada fasilitas pelayanan kesehatan yan g bersan gkutan.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pemindahtugasan Tenaga Kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan Tenaga Kesehatan yang bertugas di daerah tertinggal perbatasan
dan kepulauan serta daerah bermasalah ke sehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (21
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
P. Pasal 28
1. Dalam keadaan tertentu Pemerintah dapat memberlakukan ketentuan wajib kerja kepada
Tenaga Kesehatan yang memenuhi kualifikasi akademik dan Kompetensi untuk
melaksanakan tugas sebagai Tenaga Kesehatan di daerah khusus di wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
2. Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah memberikan tunjangan khusus kepada Tenaga
Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
3. Tenaga Kesehatan yang diangkat oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah di daerah khusus
berhak mendapatkan fasilitas tempat tinggal atau rumah dinas yang disediakan oleh
Pemerintah Daerah.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai penugasan sebagai Tenaga Kesehatan dalam keadaan
tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tunjangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Q. Pasal 29
1. Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dapat menetapkan pola ikatan dinas bagi calon
Tenaga Kesehatan untuk memenuhi kepentingan pembangunan kesehatan.
2. Ketentuan lebih lanjut mengenai pola ikatan dinas bagi calon Tenaga Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
R. Pasal 30
1. Pengembangan Tenaga Kesehatan diarahkan untuk meningkatkan mutu dan karier Tenaga
Kesehatan.
2. Pengembangan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui
pendidikan dan pelatihan serta kesinambungan dalam menjalankan praktik.
3. Dalam rangka pengembangan Tenaga Kesehatan, kepala daerah dan pimpinan Fasilitas
Pelayanan Kesehatan bertanggung j awab atas pemberian kesempatan yang sama kepada
Tenaga Kesehatan dengan mempertimbangkan penilaian kinerja.
S. Pasal 3 1
1. Pelatihan Tenaga Kesehatan dapat diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah,
dan/ atau masyarakat.
2. Pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi program pelatihan dan
tenaga pelatih yang sesuai dengan Standar Profesi dan standar kompetensi serta
diselenggarakan oleh institusi penyelenggara pelatihan yang terakreditasi sesuai dengan
ketentuan Peraturan Perundan g-undangan.
3. Ketentuan Iebih lanjut mengenai penyelenggara pelatihan Tenaga Kesehatan, program dan
tenaga pelatih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
T. Pasal 32
1. Pendayagunaan Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia ke luar negeri dapat dilakukan
dengan mempertimbangkan keseimbangan antara kebutuhan Tenaga Kesehatan di Indonesia
dan peluang kerja bagi Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia di luar negeri.
2. Pendayagunaan Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia ke luar negeri sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-
undangan.
U. Pasal 33
Ketentuan lebih lanjut mengenai dengan pendayagunaan Tenaga Kesehatan diatur dengan
Peraturan Pemerintah
2.5 Bab V Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia
A. Pasal 34
1. Untuk meningkatkan mutu Praktik Tenaga Kesehatan serta untuk memberikan pelindungan
dan kepastian hukum kepada Tenaga Kesehatan dan masyarakat, dibentuk Konsil Tenaga
Kesehatan Indonesia.
2. Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas konsil
masingmasing Tenaga Kesehatan.
3. Konsil masing-masing Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk
Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
tentang Praktik Kedokteran.
4. Konsil masing-masing Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam
melaksanakan tugasnya bersifat independen.
5. Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung
jawab kepada Presiden melalui Menteri.
B. Pasal 35
Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia berkedudukan di ibu kota negara Republik Indonesia.
C. Pasal 36
1. Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia mempunyai fungsi sebagai koordinator konsil masing-
masing Tenaga Kesehatan.
2. Dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) , Konsil Tenaga
Kesehatan Indonesia memiliki tugas:
a. memfasilitasi dukungan pelaksanaan tugas konsil masing-masing Tenaga Kesehatan.
b. meiakukan evaluasi tugas konsil masing-masing Tenaga Kesehatan; dan
c. membina dan mengawasi konsil masing-masing Tenaga Kesehatan.
3. Dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (i), Konsil Tenaga Kesehatan
Indonesia memiliki wewenang menetapkan perencanaan kegiatan untuk konsil masing-
masing Tenaga Kesehatan.
D. Pasal 37
Konsil masing-masing tenaga kesehatan mempunyai fungsi pengaturan, penetapan dan
pembinaan tenaga kesehatan dalam menjalankan praktik Tenaga Kesehatan untuk
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.
Dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) , konsil masing-masing Te
naga Kese hatan memiliki tugas:
a. melakukan Registrasi Tenaga Kesehatan;
b. melakukan pembinaan Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik Tenaga Kesehatan;
c. men)rusun Standar Nasional Pendidikan TenagaKesehatan;
d. menyrrsun standar praktik dan standar kompetensiTenaga Kesehatan; dan
e. menegakkan disiplin praktik Tenaga Kesehatan-
E. Pasal 38
Dalam menjalankan tugasnya, konsil masing-masing Tenaga Kesehatan mempunyai
wewenang:
a. menyetujui atau menolak permohonan Registrasi Tenaga Kesehatan;
b. menerbitkan atau mencabut STR;
c. menyelidiki dan menangani masalah yang berkaitan dengan pelanggaran disiplin profesi
Tenaga Kesehatan;
d. menetapkan dan memberikan sanksi disiplin profesi Tenaga Kesehatan; dan
e. memberikan pertimbangan pendirian atau penutupan institusi pendidikan Tenaga
Kesehatan.
F. Pasal 39
Dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenang, Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia
dibantu sekretariat yang dipimpin oleh seorang sekretaris.
G. Pasal 40
1. Keanggotaan Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia merupakan pimpinan konsil masing-
masing Tenaga Kesehatan.
2. Keanggotaan konsil masing-masing Tenaga Kesehatan terdiri atas unsur:
a. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan;
b. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan;
c. Organisasi Profesi;
d. Kolegium masing-masing Tenaga Kesehatan;
e. asosiasi institusi pendidikan Tenaga Kesehatan;
f. asosiasi fasilitas pelayanan kesehatan; dan
g. tokoh masyarakat.
H. Pasal 41
Pendanaan untuk pelaksanaan kegiatan Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia dibebankan
kepada anggaran pendapatan dan belanja negara dan sumber lain yang tidak mengikat sesuai
dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
I. Pasal 42
Ketentuan mengenai pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenang Konsil Tenaga Kesehatan
Indonesia diatur dengan Peraturan Menteri.
J. Pasal 43
Ketentuan Iebih lanjut mengenai susunan organisasi, pengangkatan, pemberhentian, serta
keanggotaan Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia dan sekretariat Konsil Tenaga Kesehatan
Indonesia diatur dengan Peraturan Presiden.
2.6 Bab VI Registrasi dan Perizinan Tenaga Kesehatan
A. Pasal 44
1. Setiap Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik wajib memiliki STR.
2. STR sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) diberikan oleh konsil masing-masing Tenaga
Kesehatan setelah memenuhi persyaratan.
3. Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
a. memiliki ijazah pendidikan di bidang kesehatan;
b. memiliki Sertifikat Kompetensi atau Sertifikat Profesi;
c. memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental;
d. memiliki surat pernyataan telah mengucapkansumpah/janji profesi; dan
e. membuat pernyataan mematuhi dan melaksanakanketentuan etika profesi.
4. STR berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diregistrasi ulang setelah memenuhi
persyaratan.
5. Persyaratan untuk Registrasi ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi:
a. memiliki STR lama;
b. memiliki Sertifikat Kompetensi atau SertifikatProfesi;
c. memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental;
d. membuat pernyataan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi.
e. telah mengabdikan diri sebagai tenaga profesi atau vokasi di bidangnya; dan
f. memenuhi kecukupan dalam kegiatan pelayanan,pendidikan, pelatihan, dan/atau kegiatan
ilmiah lainnya.
B. Pasal 45
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Registrasi dan Registrasi Ulang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 44 diatur dengan Peraturan Konsil masing-masing Tenaga Kesehatan.
C. Pasal 46
1. Setiap Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik di bidang pelayanan kesehatan wajib
memiliki izin.
2. Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk SIP.
3. SIP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota
atas rekomendasi pejabat kesehatan yang berwenang di kabupaten/ kota tempat Tenaga
Kesehatan menjalankan praktiknya.
4. Untuk mendapatkan SIP sebagairnana dirnaksud pada ayat (2\, Tenaga Kesehatan harus
memiliki;
a. STR yang masih berlaku;
b. Rekomendasi dari Organisasi Profesi; dan
c. tempat praktik.
5. SIP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) masing berlaku hanya untuk 1 (satu) tempat
6. SIP masih berlaku sepanjang:
a. STR masih berlaku; dan
b. tempat praktik masih sesuai dengan yangtercantum dalam SIP.
7. Ketentuan lebih lanjut sesuai dengan yang mengenai perizinan sebagaimana dimaksud pada
ayat ( 1) diatur dengan Peraturan Menteri.

D. Pasal 47
Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik mandiri harus memasang papan nama praktik.
E. Pasal 48
1. Untuk terselenggaranya praktik tenaga kesehatan yang bermutu dan pelindungan kepada
masyarakat, perlu dilakukan pembinaan praktik terhadap tenaga kesehatan.
2. Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri bersama-sama
dengan Pemerintah Daerah, konsil masing-masing Tenaga Kesehatan, dan Organisasi Profesi
sesuai dengan kewenangannya.
F. Pasal 49
1. Untuk menegakkan disiplin Tenaga Kesehatan dalam penyelenggaraan praktik, konsil
masing-masing Tenaga Kesehatan menerima pengaduan, memeriksa, dan memutuskan kasus
pelanggaran disiplin Tenaga Kesehatan.
2. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), konsil masing-masing
Tenaga Kesehatan dapat memberikan sanksi disiplin berupa:
a. pemberian peringatan tertulis;
b. rekomendasi pencabutan STR atau SIP; dan/atau
c. kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan diinstitusi pendidikan kesehatan.
3. Tenaga Kesehatan dapat mengajukan keberatan atas putusan sanksi disiplin sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) kepada Menteri.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi disiplin sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
2.7 Bab VII Organisasi Profesi
A. Pasal 50
1. Tenaga Kesehatan harus me mbentuk Organisasi Profesi sebagai wadah untuk
meningkatkan dan/atau mengembangkan pengetahuan dan keterampilan, martabat, dan etika
profesi Tenaga Kesehatan.
2. Setiap jenis Tenaga Kesehatan hanya dapat membentuk 1 (satu) Organisasi Profesi.
3. Pembentukan Organisasi Profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
B. Pasal 5 1
1. Untuk mengembangkan cabang disiplin ilmu dan standar pendidikan Tenaga Kesehatan,
setiap Organisasi Profesi dapat membentuk Kolegium masing-masing Tenaga Kesehatan.
2. Kolegium masing-masing Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan badan otonom di dalam Organisasi Profesi.
3. Kolegium masing-masing Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertanggung jawab kepada Organisasi Profesi.
2.8 Bab VIII Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia Lulusan Luar Negeri dan
Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing
A. Pasal 52 Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia Lulusan Luar Negeri
1. Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia lulusan luar negeri yang akan melakukan
praktik di Indonesia harus mengikuti proses evaluasi kompetensi.
2. Proses evaluasi kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. penilaian kelengkapan administratif; dan
b. penilaian kemampuan untuk melakukan praktik.
3. Kelengkapan administratif sebagaimana dimaksudpada ayat (2) huruf a paling sedikit
terdiri atas:
a. penilaian keabsahan ij azah oleh menteri yangmenyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidangpendidikan;
b. surat keterangan sehat flsik dan mental; dan
c. surat pernyataan untuk mematuhi danmelaksanakan ketentuan etika profesi.
4. Penilaian kemampuan untuk melakukan praktik sebagaimana dimaksud pada .ayat (2) huruf
b dilakukan melalui uji kompetensi sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
5. Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia lulusan
6. luar negeri yang telah lulus Uji Kompetensi dan yang akan melakukan praktik di Indonesia
memperolehSTR.
7. Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia lulusan luar negeri yang akan melakukan
praktik sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib memiliki SIP sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang ini.
8. STR sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diberikan oleh konsil masing-masing Tenaga
Kesehatan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
9. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara proses evaluasi kompetensi bagi Tenaga
Kesehatan Warga Negara lndonesia lulusan luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Menteri.
B. Pasal 53 Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing
1. Fasilitas Pelayanan Kesehatan dapat mendayagunakan Tenaga Kesehatan warga negara
asing sesuai dengan persyaratan.
2. Pendayagunaan Tenaga Kesehatan warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (
1) dilakukan dengan mempertimbangkan:
a. alih teknologi dan ilmu pengetahuan; dan
b. ketersediaan Tenaga Kesehatan setempat.
C. Pasal 54
1. Tenaga Kesehatan warga negara asing yang akan menjalankan praktik di Indonesia harus
mengikuti evaluasi kompetensi.
2. Evaluasi kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat(1) dilakukan melalui:
a. penilaian kelengkapan administratif; dan
b. penilaian kemampuan untuk melakukan praktik.
3. Kelengkapan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a paling sedikit
terdiri atas:
a. penilaian keabsahan ijazah oleh menteri yang bertanggung jawab di bidang pendidikan;
b. surat keterangan sehat fisik dan mental; dan
c. surat pernyataan untuk mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi.
4. Penilaian kemampuan untuk melakukan praktik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
b dinyatakan dengan surat keterangan yang menyatakan telah mengikuti program evaluasi
kompetensi dan Sertihkat Kompetensi.
5. Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Tenaga Kesehatan warga negara
asing harus memenuhi persyaratan lain sesuai dengan ketentuanPeraturan Perundang-
undangan.
D. Pasal 55
1. Tenaga Kesehatan warga negara asing yang telah mengikuti proses evaluasi kompetensi
dan yang akan melakukan praktik di Indonesia harus memiliki STR Sementara dan SIP.
2. STR sementara bagi Tenaga Kesehatan warga negara asing sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berlaku selama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang hanya untuk 1 (satu) tahun
berikutnya.
3. Tenaga Kesehatan warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan
Praktik di Indonesia berdasarkan atas permintaan pengguna Tenaga Kesehatan warga negara
asing.
4. SIP bagi Tenaga Kesehatan warga negara asing berlaku selama 1 (satu) tahun dan dapat
diperpanjang hanya untuk 1 (satu) tahun berikutnya.
E. Pasal 56
Ketentuan lebih lanjut mengenai pendayagunaan dan praktik Tenaga Kesehatan warga negara
asing diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2.9 Bab IX Hak dan Kewajiban Tenaga Kesehatan
A. Pasal 57
Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik berhak:
a. memperoleh pelindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan Standar
Profesi, Standar Pelayanan Profesi, dan Standar Prosedur Operasional;
b. memperoleh informasi yang lengkap dan benar dari Penerima Pelayanan Kesehatan atau
keluarganya;
c. menerima imbalan jasa;
d. memperoleh pelindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, perlakuan yang sesuai
dengan harkat dan martabat manusia, moral, kesusilaan, serta nilainilai agama;
e. mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan profesinya;
f. menolak keinginan Penerima Pelayanan Kesehatan atau pihak lain yang bertentangan
dengan Standar Profesi, kode etik, standar pelayanan, Standar Prosedur Operasional, atau
ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan
g. memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
B. Pasal 58
1. Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik wajib:
a. memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan Standar Profesi, Standar Pelayanan
Profesi, Standar Prosedur Operasional, dan etika profesi serta kebutuhan kesehatan Penerima
Pelayanan Kesehatan;
b. memperoleh persetujuan dari Penerima Pelayanan Kesehatan atau keluarganya atas
tindakan yang akan diberikan;
c. menjaga kerahasiaan kesehatan Penerima Pelayanan Kesehatan;
d. membuat dan menyimpan catatan dan/atau dokumen tentang pemeriksaan, asuhan, dan
tindakan yang dilakukan; dan
e. merujuk Penerima Pelayanan Kesehatan ke Tenaga Kesehatan lain yang mempunyai
Kompetensi dan kewenangan yang sesuai.
2. Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan hurul d hanya berlaku bagi
Tenaga Kesehatan yang melakukan pelayanan kesehatan perseorangan.
C. Pasal 59
1. Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib
memberikan pertolongan pertama kepada Penerima Pelayanan Kesehatan dalam keadaan
gawat darurat dan/atau pada bencana untuk penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan.
2. Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat( 1) dilarang menolak Pene rima
Pelayanan Kesehatan dan/atau dilarang meminta uang muka terlebih dahulu.
2.10 Bab X Penyelenggaraan Koprofesian
A. Pasal 60
Tenaga Kesehatan bertanggung jawab untuk:
a. mengabdikan diri sesuai dengan bidang keilmuan yang dimiliki;
b. meningkatkan Kompetensi;
c. bersikap dan berperilaku sesuai dengan etika profesi;
d. mendahulukan kepentingan masyarakat daripada kepentingan pribadi atau kelompok; dan
e. melakukan kendali mutu pelayanan dan kendali biaya dalam menyelenggarakan upaya
kesehatan.

B. Pasal 61
Dalam menjalankan praktik, Tenaga Kesehatan yang memberikan pelayanan langsung
kepada Penerima Pelayanan Kesehatan harus melaksanakan upaya terbaik untuk kepentingan
Penerima Pelayanan Kesehatan dengan tidak menjanjikan hasil.
C. Pasal 62
1. Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik harus dilakukan sesuai dengan kewenangan
yang didasarkan pada Kompetensi yang dimilikinya.
2. Jenis Tenaga Kesehatan tertentu yang memiliki lebih dari satu jenjang pendidikan memiliki
kewenangan profesi sesuai dengan Iingkup dan tingkat Kompetensi.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai kewenangan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1)
diatur dengan Peraturan Menteri.
D. Pasal 63
1. Dalam keadaan tertentu Tenaga Kesehatan dapatmemberikan pelayanan di luar
kewenangannya.
2. Ketentuan lebih lanjut mengenai menjalankan keprofesian di luar kewenangan sebagaimana
dimaksud pada ayat ( 1) diatur dengan peraturan Menteri.
E. Pasal 64
Setiap orang yang bukan Tenaga Kesehatan dilarang melakukan praktik seolah-olah sebagai
Tenaga Kesehatan yang telah memiliki izin.
F. pasal 65
1. Dalam melakukan pelayanan kesehatan, Tenaga Kesehatan dapat menerima pelimpahan
tindakan medis dari tenaga medis.
2. Dalam melakukan pekerjaan kefarmasian, tenaga teknis kefarmasian dapat menerima
pelimpahan pekerjaan kefarmasian dari tenaga apoteker.
3. Pelimpahan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan
ketentuan:
a. tindakan yang dilimpahkan termasuk dalam kemampuan dan keterampilan yang telah
dimilikioleh penerima pelimpahan;
b. pelaksanaan tindakan yang dilimpahkan tetap di bawah pengawasan pemberi pelimpahan;
c. pemberi pelimpahan tetap bertanggung jawab atastindakan yang dilimpahkan sepanjang
pelaksanaan tindakan sesuai dengan pelimpahan yang diberikan; dan
d. tindakan yang dilimpahkan tidak termasuk pengambilan keputusan sebagai dasar
pelaksanaan tindakan.
4. Ketentuan lebih Ianjut mengenai pelimpahan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
G. Pasal 66 Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, dan Standar Prosedur Operasional
1. Setiap Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik berkewajiban untuk mematuh.i
Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, dan Standar Prosedur Operasional.
2. Standar Profesi dan Standar Pelayanan Profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
masingmasing jenis Tenaga Kesehatan ditetapkan oleh organisasi profesi bidang kesehatan
dan disahkan oleh Menteri.
3. Standar Pelayanan Profesi yang berlaku universal ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
4. Standar Prosedur Operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh
Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
5. Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, dan
Standar Prosedur Operasicnal diatur dengan Peraturan Menteri.
H. Pasal 67
1. Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik dapat melakukan penelitian dan
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan.
2. Penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk
menghasilkan informasi kesehatan, teknologi, produk teknologi, dan teknologi informasi
kesehatan untuk mendukung pembangunan kesehatan.
3. Penelitian dan pengembangan kesehatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan.
I. Pasal 68 Persetujuan Tindakan Tenaga Kesehatan
1. Setiap tindakan pelayanan kesehatan perseorangan yang dilakukan oleh Tenaga Kesehatan
harus mendapat persetujuan.
2. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah mendapat penjelasan
secara cukup dan patut.
3. Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup:
a. tata cara tindakan pelayanan;
b. tujuan tindakan pelayanan yang dilakukan;
c. alternatif tindakan lain;
d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
4. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan, baik secara tertulis
maupun lisan.
5. Setiap tindakan Tenaga Kesehatan yang mengandung risiko tinggi harus diberikan dengan
persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.
6. Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan Tenaga Kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.
J. Pasal 69
1. Pelayanan kesehatan masyarakat harus ditujukan untuk kepentingan masyarakat dan tidak
melanggar hak asasi manusia.
2. Pelayanan kesehatan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (l) yang merupakan
program Pemerintah tidak memerlukan persetujuan tindakan.
3. Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap harus diinformasikan
kepada masyarakat Penerima Pelayanan Kesehatan tersebut.
K. Pasal 70 Rekam Medis
1. Setiap Tenaga Kesehatan yang melaksanakan pelayanan kesehatan perseorangan wajib
membuat rekam medis Penerima Pelayanan Kesehatan.
2. Rekam medis Penerima Peiayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
segera dilengkapi setelah Penerima Pelayanan Kesehatan selesai menerima pelayanan
kesehatan.
3. Setiap rekam medis Penerima Pelayanan Kesehatan harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda
tangan atau paraf Tenaga Kesehatan yang memberikan pelayanan atau tindakan.
4. Rekam medis Penerima Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harr.s
disimpan dan dijaga kerahasiaannya oleh Tenaga Kesehatan dan pimpinan Fasilitas
Pelayanan Kesehatan.
L. Pasal 7 I
1. Rekam medis Penerima Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70
merupakan milik Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
2. Dalam ha1 dibutuhkan, Penerima Pelayanan Kesehatan dapat meminta resume rekam medis
kepada Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
M. Pasal 72
Ketentuan lebih lanjut mengenai rekam medis diatur dengan Peraturan Menteri.
N. Pasal 73 Rahasia Kesehatan Penerima Pelayanan Kesehatan
1. Setiap Tenaga Kesehatan pelayanan kesehatan wajib menyimpan rahasia kesehatan
Penerima Pelayanan Kesehatan.
2. Rahasia kesehatan Penerima Pelayanan Kesehatan dapat dibuka hanya untuk kepentingan
kesehatan Penerima Pelayanan Kesehatan, pemenuhan permintaan aparatur penegak hukum
bagi kepentingan penegakan hukum, permintaan Penerima Pelayanan Kesehatan sendiri, atau
pemenuhan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
3. Ketentuan lebih lanjut tentang rahasia kesehatan Penerima Pelayanan Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri. dalam melaksanakan
O. Pasal 74 Pelindungan bagi Tenaga Kesehatan dan Penerima Pelayananan Kesehatan
Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan dilarang mengizinkan Tenaga Kesehatan yang tidak
memiliki STR dan izin untuk menjalankan praktik di Fasilitas pelayanan Kesehatan.
P. Pasal 75
Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik berhak mendapatkan pelindungan hukum
sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Q. Pasal 76
Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan dalam meningkatkan dan menjaga mutu pemberian
pelayanan kesehatan dapat membentuk komite atau panitia atau tim untuk kelompok Tenaga
Kesehatan di lingkungan Fasilitas Pelayanan Kesehatan.

2.11 Bab XI Penyelesaian Perselisihan


A. Pasal 77
Setiap Penerima Pelayanan Kesehatan yang dirugikan akibat kesalahan atau kelalaian Tenaga
Kesehatan dapat meminta ganti rugi sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan.
B. Pasal 78
Dalam hal Tenaga Kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya
yang menyebabkan kerugian kepada penerima pelayanan kesehatan, perselisihan yang timbul
akibat kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui penyelesaian sengketa di
luar pengadilan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
C. Pasal 79
Penyelesaian perselisihan antara Tenaga Kesehatan dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
2.12 Bab XII Pembinaan dan Pengawasan
A. Pasal 80
Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan pembinaan dan pengawasan kepada Tenaga
Kesehatan dengan melibatkan konsil masing-masing Tenaga Kesehatan dan Organisasi
Profesi sesuai dengan kewenangannya.
B. Pasal 81
1. Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 diarahkan untuk:
a. meningkatkan mutu pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Tenaga Kesehatan;
b. melindungi Penerirna Pelayanan Kesehatan dan masyarakat atas tindakan yang dilakukan
Tenaga Kesehatan; dan
c. memberikan kepastian hukum bagi masyarakat dan Tenaga Kesehatan.
2. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada
ayat ( 1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2.13 Bab XIII Sanksi Administratif
A. Pasal 82
1. Setiap Tenaga Kesehatan yang tidak melaksanakan ketentuan Pasal 47, Pasal 52 ayat (1),
Pasal 54 ayat (1), Pasal 58 ayat (I), Pasal 59 ayat (1), Pasal 62 ayat (1), Pasal 66 ayat (1),
Pasal 68 ayat (1), Pasal 70 ayat (1), Pasal 70 ayat (2), Pasal 70 ayat (3) dan Pasal 73 ayat (1)
dikenai sanksi administratif.
2. Setiap Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang tidak melaksanakan ketentuan Pasal 26 ayat l2),
Pasal 53 ayat (1), Pasal 70 ayat (4), dan Pasal 74 dikenai sanksi administratif.
3. Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota sesuai
dengan kewenangannya memberikan sanksi administratif kepada Tenaga Kesehatan dan
Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
4. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berupa:
a. teguran lisan;
b. peringatan tertulis;
c. denda adminstratif; dan/atau
d. pencabutan izin.
5. Tata cara pengenaan sanksi administratif terhadap Tenaga Kesehatan dan Fasilitas
Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
2.14 Bab XIV Ketentuan Pidana
A. Pasal 83
Setiap orang yang bukan Tenaga Kesehatan melakukan praktik seolah-olah sebagai Tenaga
Kesehatan yang telah memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
B. Pasal 84
1. Setiap Tenaga Kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan Penerima
Pelayanan Kesehatan luka berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.
2. Jika kelalaian berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian, setiap
Tenaga Kesehatan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
C. Pasal 85
1. Setiap Tenaga Kesehatan yarlg dengan sengaja menjalankan praktik tanpa memiliki STR
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (I) dipidana dengan pidana denda paling banyak
Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
2. Setiap Tenaga Kesehatan warga negara asing yang dengan sengaja memberikan pelayanan
kesehatan tanpa memiliki STR Sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1)
dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
D. Pasal 86
1. Setiap Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik tanpa memiliki izin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak
Rp100.000,000,00 (seratus juta rupiah).
2. Setiap Tenaga Kesehatan warga negara asing yang dengan sengaja memberikan pelayanan
kesehatan tanpa memiliki SIP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dipidana
dengan pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
2.15 Bab XV Ketentuan Peralihan
A. Pasal 87
1. Bukti Registrasi dan perizinan Tenaga Kesehatan yang telah dimiliki oleh Tenaga
Kesehatan, pada saat berlakunya Undang-Undang ini, dinyatakan masih tetap berlaku sampai
habis masa berlakunya.
2. Tenaga Kesehatan yang belum memiliki bukti Registrasl dan perizinan wajib menyesuaikan
dengan ketentuan Undang-Undang ini paling lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini
diundangkan.
B. Pasal 88
1. Tenaga Kesehatan lulusan pendidikan di bawah Diploma Tiga yang telah melakukan
praktik sebelum ditetapkan Undang-Undang ini, tetap diberikan kewenangan untuk
menjalankan praktik sebagai Tenaga Kesehatan untuk jangka waktu 6 (enam) tahun setelah
Undang-Undang ini diundangkan.
2. Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperoleh dengan mengajukan
permohonan mendapatkan STR Tenaga Kesehatan.
C. Pasal 89
Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia dan Komite Farmasi Nasional sebagaimana diatur
dalam peraturan perundangundangan tetap melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya
sampai terbentuknya Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia.

D. Pasal 90
1. Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi menjadi bagian dari Konsil Tenaga
Kesehatan Indonesia setelah Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia terbentuk sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang ini.
2. Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun
2OO4 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2OO4
Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 443 1) tetap
melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya sampai dengan terbentuknya Konsil Tenaga
Kesehatan Indonesia.
3. Sekretariat Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2OO4 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431)
tetap melaksanakan fungsi dan tugasnya sampai dengan terbentuknya sekretariat Konsil
Tenaga Kesehatan Indonesia.
2.16 Bab XVI Ketentuan Penutup
A. Pasal 9 I
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai Tenaga Kesehatan dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
B. Pasal 92
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996
tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3637) dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
C. Pasal 93
Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 harus dibentuk
paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
D. Pasal 94
1. Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku: Pasal 4 ayat (2\, Pasal 17, Pasal 20 ayat (4),
dan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2OO4 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4431) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku; dan
2. Sekretariat Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 29 Tahun 2OO4 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2OO4 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431)
menjadi sekretariat Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia setelah terbentuknya Konsil Tenaga
Kesehatan lndonesia.
E. Pasal 95
Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun
terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
F. Pasal 96
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
2.17Penjelasan Atas UURI No 36 tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan
Undang Undang tentang Tenaga Kesehatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa
Pembukaan UUD 1945 mencantumkan citacita bangsa Indonesia yang sekaligus merupakan
tujuan nasional bangsa Indonesia, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa Salah satu wujud memajukan kesejahteraan umum adalah Pembangunan
Kesehatan yang ditujukan untuk meningkatkan kesadaran' kemauan, dan kemampuan hidup
sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya'
sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif.
Kesehatan merupakan hak asasi manusia, artinya, setiap orang mempunyai hak yang
sama dalam memperoleh akses pelayanan kesehatan. Kualitas pelayanan kesehatan yang
aman, bermutu, dan terjangkau juga merupakan hak seluruh masyarakat Indonesia. Dengan
berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, dalam rangka melakukan upaya kesehatan
tersebut perlu didukung dengan sumber daya kesehatan, khususnya Tenaga Kesehatan yang
memadai, baik dari segi kualitas, kuantitas, maupun penyebarannya.
Upaya pemenuhan kebutuhan Tenaga Kesehatan sampai saat ini belum memadai, baik
dari segi jenis, kualifikasi, jumlah, maupun pendayagunaannya. Tantangan pengembangan
Tenaga Kesehatan yang dihadapi dewasa ini dan di masa depan adalah:
1. pengembangan dan pemberdayaan Tenaga Kesehatan belum dapat memenuhi kebutuhan
Tenaga Kesehatan untuk pembangunan kesehatan;
2. regulasi untuk mendukung upaya pembangunan Tenaga Kesehatan masih terbatas;
3. perencanaan kebijakan dan program Tenaga Kesehatan masih lemah;
4. kekurangserasian antara kebutuhan dan pengadaan berbagai jenis Tenaga Kesehatan;
5. kualitas hasil pendidikan dan pelatihan Tenaga Kesehatan pada umumnya masih belum
memadai;
6. pendayagunaan Tenaga Kesehatan, pemerataan dan pemanfaatan Tenaga Kesehatan
berkualitas masih kurang;
7. pengembangan dan pelaksanaan pola pengembangan karir, sistem penghargaan, dan
sanksi belum dilaksanakan sesuai dengan yang diharapkan;
8. pengembangan profesi yang berkelanjutan masih terbatas;
9. pembinaan dan pengawasan mutu Tenaga Kesehatan belum dapat dilaksanakan
sebagaimana yang diharapkan;
10. sumber daya pendukung pengembangan dan pemberdayaan Tenaga Kesehatan masih
terbatas;
11. sistem informasi Tenaga Kesehatan belum sepenuhnya dapat menyediakan data dan
informasi yang akurat, terpercaya, dan tepat waktu; dan
12. dukungan sumber daya pe mbiayaan dan sumber daya lain belum cukup.
Dalam menghadapi tantangan tersebut, diperlukan adanya penguatan regulasi untuk
mendukung pengembangan dan pemberdayaan Tenaga Kesehatan melalui percepatan
pelaksanaannya, pen.ingkatan kerja sama lintas sector, dan peningkatan pengelolaannya
secara berjenjang di pusat dan daerah.
Perencanaan kebutuhan Tenaga Kesehatan secara nasional disesuaikan dengan
kebutuhan berdasarkan masalah kesehatan, kebutuhan pengembangan program pembangunan
kesehatan, serta ketersediaan Tenaga Kesehatan tersebut. Pengadaan Tenaga Kesehatan
sesuai dengan perencanaan kebutuhan diselenggarakan melalui pendidikan dan pelatihan,
baik oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, maupun masyarakat, termasuk swasta.
Pendayagunaan Tenaga Kesehatan meliputi penyebaran Tenaga Kesehatan yang merata
dan berkeadilan, pemanfaatan Tenaga Kesehatan, dan pengembangan Tenaga Kesehatan,
termasuk peningkatan karier.
Pembinaan dan pengawasan mutu Tenaga Kesehatan terutama ditujukan untuk
meningkatkan kualitas Tenaga Kesehatan sesuai dengan Kompetensi yang diharapkan dalam
mendukung penyelenggaraan pelayanan kesehatan bagi seluruh penduduk Indonesia.
Pembinaan dan pengawasan mutu Tenaga Kesehatan dilakukan melalui peningkatan
komitmen dan koordinasi semua pemangku kepentingan dalam pengembangan Tenaga
Kesehatan serta legislasi yang antara lain meliputi sertifikasi melalui Uji Kompetensi,
Registrasi, perizinan, dan hak-hak Tenaga Kesehatan.
Penguatan sumber daya dalam mendukung pengembangandan pemberdayaan Tenaga
Kesehatan dilakukan melaluipeningkatan kapasitas Tenaga Kesehatan, penguatan sistem
informasi Tenaga Kesehatan, serta peningkatan pembiayaan dan fasilitas pendukung lainnya.
Dalam rangka memberikan pelindungan hukum dankepastian hukum kepada Tenaga
Kesehatan, baik yang melakukan pelayanan langsung kepada masyarakat maupun yang tidak
langsung, dan kepada masyarakat penerima pelayanan itu sendiri, diperlukan adanya landasan
hukum yang kuat yang sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di
bidang kesehatanserta sosial ekonomi dan budaya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan
serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan
yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
Tenaga kesehatan memiliki peranan penting untuk meningkatkan kualitas pelayanan
kesehatan yang maksimal kepada masyarakat agar masyarakat mampu untuk meningkatkan
kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat sehingga akan terwujud derajat kesehatan
yang setinggi-tingginya sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang
produktif secara sosial dan ekonomi serta sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum
sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undangg Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
Penyelenggaraan upaya kesehatan harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
bertanggung jawab, yang memiliki etik dan moral yang tinggi, keahlian, dan kewenangan
yang secara terus menerus harus ditingkatkan mutunya melalui pendidikan dan pelatihan
berkelanjutan, sertihkasi, registrasi, perizinan, serta pembinaan, pengawasan, dan pemantauan
agar penyelenggaraan upaya kesehatan memenuhi rasa keadilan dan perikemanusiaan serta
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan.
3.2 Saran
Bidan sebagai seorang tenaga kesehatan harus mampu menjalankan tugas dan
kewajibannya dengan baik sesuai dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014. Selain itu,
bidan harus bisa mengembangkan kemampuan dan keahliannya sesuai perkembangan zaman
dengan mengikuti seminar dan pelatihan.
ANALISIS MENGENAI INFORM CONSENT

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Pekerjaan dokter mempunyai ciri khusus, antara lain merupakan hubungan yang
sangat pribadi karena didasarkan pada kepercayaan. Pasien senantiasa harus percaya
kepada kemampuan dokter yang menanganinya. Namun keadaan demikian lama-
kelamaan mengalami perubahan, sehubungan dengan perkembangan yang terjadi dalam
berbagai bidang kehidupan. Dengan semakin meningkatnya pengetahuan dan kesadaran
masyarakat terhadap tanggung jawab
atas kesehatannya sendiri, maka kepercayaan yang semula tertuju pada kemampuan
dokter secara pribadi, sekarang bergeser pada kemampuan ilmunya. Timbul kesadaran
masyarakat untuk menuntut suatu hubungan yang seimbang dan tidak lagi sepenuhnya
pasrah kepada dokter. Husein Kerbala mengatakan bahwa selain kepercayaan tidak lagi
pada dokter secara pribadi, akan tetapi kepada kemampuan ilmu kedokteran, perubahan
pola hubungan dokter-pasien
terjadi karena:
a. ada kecenderungan untuk menyatakan bahwa kesehatan itu bukan lagi keadaan
tanpa penyakit, akan tetapi berarti kesejahteraan fisik, mental dan sosial.
b. semakin banyaknya peraturan yang memberikan perlindungan hukum kepada
pasien.
Dengan demikian terlihat hubungan dokter-pasien tidak hanya bersifat medis
semata, tetapi juga bersifat sosial, yuridis dan ekonomis . Di Indonesia, kasus Dokter
Setyaningrum pada tahun 1980-an untuk pertama kalinya menggugah kesadaran
masyarakat akan hubungan yang seimbang antara dokter dengan pasien. Sejak kasus itu
mencuat, terjadi perubahan pola hubungan pasien-dokter dari paternalistik menjadi
partnership.3 Pasien menjadi sadar akan hak-haknya, antara lain hak atas informasi dan
hak memberikan persetujuan yang umum disebut dengan informed consent. Banyak kasus
bermunculan setelah kasus dr. Setyaningrum, dimana pasien atau keluarga pasien
menggugat dan menuntut tenaga medis dalam berbagai kasus
malpraktek. Kasus-kasus seperti Keluarga Bayi Jared-Jayden dan RS Omni serta
Keluarga Bayi Ismi dan RS Borromeus baru-baru ini merupakan contoh nyata
fenomena ini. Dari sini terlihat, pemahaman Informed Consent yang memadai amat
dibutuhkan sebagai upaya preventif tindakan malpraktek.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Pustaka Informed Consent


2.1.1. Informed Consent Sebagai Hak Pasien

Perikatan medis yang lahir dari perjanjian medis merupakan hubungan hukum
yang bersifat timbal balik. Sebagai hubungan hukum yang bersifat timbale balik,
perjanjian medis selalu mempunyai dua segi yang isinya hak di satu pihak dan
kewajiban di pihak lainnya. Dengan lain perkataan bahwa hak pihak pertama
merupakan kewajiban pihak kedua dan sebaliknya kewajiban pihak pertama itu
merupakan hak bagi pihak kedua. Demikian juga dengan hubungan hukum antara
dokter dengan pasiennya pun terdapat hak dan kewajiban.
Pada literatur hukum kesehatan terdapat beberapa hak pasien antara lain :
a) Hak atas informasi
b) Hak memberikan persetujuan
c) Hak memilih dokter
d) Hak memilih sarana kesehatan (Rumah Sakit)
e) Hak atas rahasia kedokteran
f) Hak menolak pengobatan/perawatan
g) Hak menolak suatu tindakan medis tertentu
h) Hak untuk menghentikan pengobatan/perawatan (di Rumah Sakit tersedia formulir
keluar paksa)
i) Hak atas second opinion (pendapat kedua)
j) Hak melihat rekam medis/hak inzage rekam medis
Butir a dan b dinamakan informed consent.

Berkaitan dengan informed consent sebagai hak pasien di satu sisi, di sisi lain
lain pasien juga mempunyai kewajiban memberikan penjelasan lengkap, sebanyak
mungkin tentang penyakitnya. Kewajiban pasien ini dapat dikaitkan dengan hak dokter
atas itikad baik pasien.
Informed Consent diatur dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan, salah satunya Pasal 8 yang menyebutkan Setiap orang berhak memperoleh
informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah
maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan.
Pasal 22 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga
Kesehatan menyebutkan kewajiban dari tenaga kesehatan antara lain adalah
memberikan informasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang akan
dilakukan serta meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan. Selain itu
dalam pasal 22 ayat (1) ini juga disebutkan tenaga kesehatan diwajibkan untuk
menghormati hak-hak pasien, yang dalam penjelasan pasal Peraturan Pemerintah ini
dikatakan hak-hak pasien itu meliputi hak atas informasi dan hak untuk
memberikan/menolak persetujuan. Informed Consent juga diatur dalam Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan
Kedokteran. Berikut beberapa pasal yang mengatur mengenai informed consent :
Pasal 2

Ayat (1): Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus
mendapat persetujuan.
Ayat (3): Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah
pasien mendapat penjelasan yang diperlukan tentang perlunya tindakan
kedokteran dilakukan.

Pasal 7
(1) Penjelasan tentang tindakan kedokteran harus diberikan langsung kepada pasien
dan/atau keluarga terdekat, baik diminta maupun tidak diminta.
(2) Dalam hal pasien adalah anak-anak atau orang yang tidak sadar, penjelasan
diberikan kepada keluarganya atau yang mengantar.
(3) Penjelasan tentang tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat :
(1) sekurangkurangnya mencakup:
a. Diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran;
b. Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan;
c. Altematif tindakan lain, dan risikonya;
d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
f. Perkiraan pembiayaan

Pasal 8

(1) Penjelasan tentang diagnosis dan keadaan kesehatan pasien dapat meliputi :
a. Temuan klinis dari hasil pemeriksaan medis hingga saat tersebut;
b. Diagnosis penyakit, atau dalam hal belum dapat ditegakkan, maka
sekurangkurangnya diagnosis kerja dan diagnosis banding;
c. Indikasi atau keadaan klinis pasien yang membutuhkan dilakukannya tindakan
kedokteran;
d. Prognosis apabila dilakukan tindakan dan apabila tidak dilakukan tindakan.
(2) Penjelasan tentang tindakan kedokteran yang dilakukan meliputi :
a. Tujuan tindakan kedokteran yang dapat berupa tujuan preventif, diagnostik,
terapeutik, ataupun rehabilitatif.
b. Tata cara pelaksanaan tindakan apa yang akan dialami pasien selama dan
sesudah
tindakan, serta efek samping atau ketidaknyamanan yang mungkin terjadi.
c. Alternatif tindakan lain berikut kelebihan dan kekurangannya dibandingkan
dengan
tindakan yang direncanakan.
d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi pada masing-masing alternative
tindakan.
e.Perluasan tindakan yang mungkin dilakukan untuk mengatasi keadaan darurat
akibat risiko dan komplikasi tersebut atau keadaan tak terduga lainnya.

(3) Penjelasan tentang risiko dan komplikasi tindakan kedokteran adalah semua risiko
dan komplikasi yang dapat terjadi mengikuti tindakan kedokteran yang dilakukan,
kecuali:
a. risiko dan komplikasi yang sudah menjadi pengetahuan umum
b. risiko dan komplikasi yang sangat jarang terjadi atau yang dampaknya
sangat ringan
c. risiko dan komplikasi yang tidak dapat dibayangkan sebelumnya
(unforeseeable)

(4) Penjelasan tentang prognosis meliputi:


a. Prognosis tentang hidup-matinya (ad vitam);
b. Prognosis tentang fungsinya (ad functionam);
c. Prognosis tentang kesembuhan (ad sanationam)

2.1.2. Pengertian Informed Consent

Pada dasarnya, hubungan dokter dengan pasien yang dikenal dengan kontrak
terapeutik itu bertumpu pada dua macam hak manusia, yaitu:
a. Hak untuk menentukan nasib sendiri (the right to self determination/TROS)
b. Hak atas informasi (the right to information).
Dengan kedua hak dasar itu dokter dan pasien bersama-sama menemukan terapi (cara
penyembuhan) yang paling tepat akan diterapkan pada diri pasien. Dari sini pangkal
informed consent lahir.
Berikut beberapa pendapat yang pernah disampaikan mengenai definisi informed
consent:
a. Secara harfiah, informed consent terdiri dari dua kata yaitu informed dan consent.
Informed berarti telah mendapat penjelasan atau keterangan atau informasi.
Sedangkan consent itu berarti suatu persetujuan atau mengizinkan. Dengan
demikian informed consent itu berarti suatu persetujuan yang diberikan setelah
mendapat informasi (informed).
b. D. Veronica Komalawati merumuskan pengertian informed consent sebagai:
...suatu kesepakatan atau persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan
dokter terhadap dirinya setelah pasien mendapat informasi dari dokter mengenai
upaya medis yang dapat dilakukan menolong dirinya disertai informasi mengenai
segala risiko yang mungkin terjadi.
c. Di dalam Patient Bill of Rights atau American Hospital Assosiation, informed
consent
dirumuskan sebagai:
The patient has the right to receive from his physician information necessary to
give.
Informed Consent prior to the start of any procedure and/or treatment.
d. Menurut Blacks Law Dictionary maka dikatakan bahwa informed consent adalah:
A person's agreement to allow something to happen, made with full knowledge
of
the risks involved and the alternatives. For the legal professioni, informed
consent is
defined in Model Rule of Professional Conduct l.O(e). 2. A patient's knowing
choice
about a medical treatment or procedure, made after a physician or other healthcare
provider discloses whatever information a reasonably prudent provider in the medical
community would give to a patient regarding the risks involved in the proposed
treatment or procedure. -Also termed knowing consent.

2.1.3. Kode Etik Kedokteran dan Informed Consent


Dari segi etik, penerapan informed consent dianggap sebagai upaya dokter
untuk membuktikan kesungguhannya dalam mematuhi primum non nocere (yang
paling diutamakan adalah untuk tidak mencelakakan pasien), serta prinsip
mengutamakan kepentingan pasien. Dokter yang memegang prinsip primum non
nocere akan selalu menerima apa pun yang diputuskan oleh pasiennya. Sehingga dapat
dikatakan bahwa aspek etik dari informed consent
sangatlah luas dan besar dan menjadi landasan moral bagi kalangan tenaga kesehatan,
khususnya para dokter.
Dalam profesi kedokteran, dikenal adanya suatu kode etik yang disusun
berdasarkan asas etik. Dasar etik tersebut berlaku sejak zaman Hippocrates dan
merupakan asas yang tidak pernah berubah, yang secara universal dipakai diseluruh
dunia. Jika dijabarkan terdapat enam asas dalam profesi kedokteran yakni:
1. Asas menghormati otonomi pasien
Pasien mempunyai kebebasan untuk mengetahui apa yang akan
dilakukan oleh dokter serta memutuskan apa yang terbaik bagi dirinya
sendiri sehingga kepadanya perlu diberikan informasi yang cukup.
Pasien berhak untuk dihormati pendapat dan keputusannya, dan tidak
boleh dipaksa. Untuk itu maka perlu adanya informed consent.
2. Asas kejujuran
Dokter hendaknya mengatakan hal yang sebenarnya secara jujur
akan apa yang terjadi , apa yang akan dilakukan, serta akibat/risiko
yang dapat terjadi.

3. Asas tidak merugikan


Dokter berpedoman pada primum non nocere, tidak melakukan
tindakan yang tidak perlu, dan mengutamakan tindakan yang tidak
merugikan pasien, serta mengupayakan risiko fisik, risiko psikologis,
maupun risiko sosial akibat tindakan tersebut seminimal mungkin.
4. Asas manfaat
Semua tindakan dokter yang dilakukan terhadap pasien harus
bermanfaat bagi pasien guna mengurangi penderitaan atau
memperpanjang hidupnya. Untuk itu dokter wajib membuat rencana
perawatan/tindakan yang berlandaskan pada pengetahuan yang sahih
dan dapat berlaku secara umum.

5. Asas kerahasiaan
Dokter harus menghormati kerahasiaan pasien, meskipun pasien
tersebut sudah meninggal dunia.

6. Asas keadilan
Dokter harus berlaku adil, tidak memandang kedudukan atau
kepangkatan, tidak memandang kekayaan, dan tidak berat sebelah
dalam merawat pasien.

Dari asas tersebut kemudian disusun peraturan kode etik kedokteran Indonesia
yang menjadi landasan bagi setiap dokter untuk mengambil keputusan etik dalam
melakukan tugas profesinya sebagai seorang dokter. Kode etik kedokteran yang
berlaku sekarang dinyatakan mulai berlaku pertama kali dengan Keputusan Menteri
Kesehatan No. 434/Men. Kes/Sk/X/1983 tentang Berlakunya Kode Etik Kedokteran
Indonesia (Kodeki) bagi para dokter di seluruh Indonesia, baik yang menjadi anggota
IDI maupun yang tidak menjadi anggota IDI. Kodeki
berisi tentang kewajiban umum, kewajiban dokter terhadap penderita, kewajiban
dokter terhadap teman sejawat, dan kewajiban dokter terhadap diri sendiri.

2.1.4. Aspek Perdata Informed Consent

Telah dijelaskan di muka bahwa informed consent merupakan hubungan


hukum yang lahir dari perjanjian medis. Perjanjian medis yang termasuk perikatan
medis merupakan perikatan pada umumnya yang berlaku ketentuan-ketentuan umum
hukum perikatan sebagaimana diatur dalam Buku III Kitab Undang- Undang Hukum
Perdata. Dengan demikian, syarat sahnya perjanjian medis juga kontrak terapeutik
antara dokter dengan pasien haruslah memenuhi ketentuan dalam KUHPerdata Buku
III Bab II Bagian Kedua Tentang Syarat-Syarat yang Diperlukan Untuk Sahnya Suatu
Perjanjian. Syarat sahnya suatu perjanjian dalam
pasal 1320 Buku III Bab II Bagian Kedua KUHPerdata disebutkan ada empat,
yaitu:
1) Sepakat mereka yang mengikat dirinya;
2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3) Suatu hal tertentu;
4) Suatu sebab yang halal.

Dua syarat pertama, dinamakan syarat-syarat subjektif, karena mengenai orang-


orangnya atau subjeknya yang mengadakan perjanjian, sehingga dapat dimintakan
pembatalannya pada pengadilan manakala syarat subjektif ini tidak terpenuhi.
Sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat objektif karena mengenai
perjanjiannya sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu. Syarat
objektif ini apabila tidak terpenuhi maka perjanjiannya batal demi hukum.

1) Sepakat mereka yang mengikat dirinya


Pasal 1321 KUHPerdata menyebutkan bahwa kesepakatan harus diberikan
tanpa adanya kekhilafan, atau diperolehnya tidak dengan dengan paksaan atau
penipuan. Subekti menjelaskan dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan,
dimaksudkan bahwa kedua subjek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat,
setuju, seiya-sekata mengenai hal-hal pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa
yang dikehendaki pihak satu, juga dikehendaki pihak yang lain. Mereka menghendaki
sesuatu yang sama secara timbal-balik.22 Paksaan terjadi, jika seseorang memberikan
persetujuannya karena takut suatu ancaman. Misalnya rahasianya akan dibuka jika ia
tidak menyetujui suatu perjanjian. Yang diancam harus mengenai suatu perbuatan yang
dilarang undang-undang. Jikalau yang diancam itu suatu perbuatan yang diizinkan oleh
undangundang, misalnnya ancaman akan menggugat yang bersangkutan di depan
hakim dengan penyitaan barang, itu tidak dapat dikatakan suatu paksaan.
Kekhilafan dapat terjadi, baik menyangkut subjek maupun objeknya. Misalnya,
seseorang yang ingin mengobati penyakitnya datang ke seorang dokter. Sebenarnya ia
ingin berobat kepada seorang dokter spesialis, tetapi karena ketidaktahuannya ia
datang ke dokter umum. Sebaliknya dokter umum itu mengira bahwa calon pasien itu
tahu bahwa dirinya memang hanya seorang dokter umum dan sungguh ingin berobat
kepadanya.25 Kekhilafan mengenai objeknya, terjadi jika hal yang dijadikan objek
perjanjian itu sesungguhnya bukan yang dimaksudkan oleh pihak-pihak. Penipuan
terjadi, apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang
tidak benar, disertai dengan kelicikan-kelicikan, sehingga pihak lain terbujuk
karenanya untuk memberikan perizinan.
Adapun dalam menyatakan persesuaian kehendak itu, dapat dilakukan dengan
berbagai cara, baik secara tegas (expressed contract) mapun diam-diam (implied
contract). Dalam bentuk Expressed Contract sifat atau luas jangkauan pemberian
pelayanan pengobatan sudah ditawarkan oleh sang dokter yang dilakukan secara nyata
dan jelas, baik secara tertulis maupun secara lisan. Dalam bentuk Implied Contract
adanya kontrak disimpulkan dari tindakan-tindakan para pihak. Timbulnya bukan
karena adanya persetujuan, tetapi dianggap ada oleh hukum berdasarkan akal sehat dan
keadilan. Maka jika seorang pasien datang ke suatu klinik medis dan sang dokter
mengambil riwayat penyakitnya, memeriksa keadaan fisik pasien dan memberikan
pengobatan yang diperlukan, maka dianggap tersirat sudah ada hubungan kontrak
antara pasien dan dokter.
Menurut Veronica Komalawati, jika dihubungkan dengan perjanjian medis
(Veronica menyebutnya dengan transaksi terapeutik) sebagai hubungan interpersonal,
maka yang disebut informed consent untuk dilakukan tindakan medis merupakan
konstruksi dari persesuaian kehendak yang harus dinyatakan baik oleh dokter maupun
pasien setelah masing-masing menyatakan kehendaknya sehingga masing-masing telah
mendapatkan informasi secara bertimbal balik. Oleh karena itu, informed consent
diartikan sebagai persetujuan setelah
informasi. Bentuk informed consent tidak harus tertulis, tetapi bisa secara lisan.
Ketentuan mengenai ini tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran yang
bunyinya: Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan secara
tertulis maupun lisan. Namun untuk tindakan kedokteran yang mengandung risiko
tinggi harus memperoleh persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak
memberikan persetujuan (Pasal 3 ayat 1 ) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
290/MENKES/PER/III/2008). Berikut Pasal 3 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.

Pasal 3
(1) Setiap tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi harus memperoleh
persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan
persetujuan.
(2) Tindakan kedokteran yang tidak termasuk dalam ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat diberikan dengan persetujuan lisan.
(3) Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam bentuk
pernyataan yang tertuang dalam formulir khusus yang dibuat untuk itu.
(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan dalam bentuk
ucapan setuju atau bentuk gerakan menganggukkan kepala yang dapat diartikan
sebagai ucapan setuju.
(5) Dalam hal persetujuan lisan yang diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dianggap meragukan, maka dapat dimintakan persetujuan tertulis.

2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan


Pada dasarnya orang yang membuat perjanjian harus cakap menurut hukum.
Cakap menurut hukum maksudnya orang tersebut mempunyai kewenangan untuk
melakukan perbuatan hukum. Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-
perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap (Pasal 1329
KUHPerdata). Tak cakap membuat suatu perjanjian adalah (Pasal 1330 KUHPerdata):
a. Orang-orang yang belum dewasa;
b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
c. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan undang-undang,
dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang
membuat perjanjian tertentu. Dengan berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, maka istri telah dianggap cakap untuk melakukan perbuatan
hukum. Selain kecakapan berlandaskan faktor usia, kecakapan juga ditentukan
berdasarkan faktor kesehatan mental.30 Kecakapan juga ditentukan oleh undang-
undang. Misalnya, seorang tenaga kesehatan yang melakukan tindakan medis haruslah
tenaga kesehatan yang telah memperoleh Surat Izin Praktek dan tindakan medis
tersebut adalah sebatas tindakan (wewenang) yang memang ditulis dalam
Surat Izin Praktek Tenaga Kesehatan itu dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Seringkali ditemui kasus dimana seorang tenaga kesehatan melampaui
wewenangnya, misalnya kasus seorang dokter gigi yang membuka klinik kecantikan
untuk operasi plastik padahal ia hanya mempunyai Surat Izin Praktek (SIP) sebagai
dokter gigi yanbg tentu saja wewenangnya sebatas tindakan medis oleh dokter gigi
yang tercantum dalam SIP itu. Lebih lanjut mengenai SIP akan dibahas dalam sub-
bab Aspek Administratif Informed Consent.

3) Suatu hal tertentu


Sebagai syarat ketiga disebutkan bahwa suatu perjanjian harus mengenai suatu
hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak
jika timbul suatu perselisihan.32 Barang yang dimaksud paling sedikit ditentukan
jenisnya (Pasal 1333 ayat (1) KUHPerdata). Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah
barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung
(Pasal 1333 ayat (2) KUHPerdata). Menurut Veronica Komalawati, dihubungkan
dengan objek dalam perjanjian medis, maka urusan yang dimaksudkan adalah sesuatu
yang perlu ditangani, yaitu berupa upaya penyembuhan. Upaya penyembuhan tersebut
harus dapat dijelaskan karena dalam pelaksanaannya diperlukan kerja sama yang
didasarkan sikap saling percaya antara dokter dan pasien. Oleh karena upaya
penyembuhan yang akan dilakukan itu harus dapat ditentukan, maka diperlukan
adanya standar pelayanan medic.
Dengan demikian, dapat terlihat bahwa ketentuan mengenai objek perjanjian ini erat
kaitannya dengan masalah:
(1) pelaksanaan upaya medik sesuai dengan standar pelayanan medik yang meliputi
standar pelayanan penyakit dan standar pelayanan penunjang; serta
(2) masalah infomasi yang diberikan harus tidak melebihi dari yang dibutuhkan oleh
pasien. Jadi jika dokter tidak dapat menentukan dan menjelaskan, atau memberikan
informasi mengenai upaya medic yang akan dilakukannya, maka berarti syarat ini
tidak terpenuhi.

4) Suatu sebab yang halal


Syarat terakhir adalah sebab yang halal. Sebab yang halal maksudnya adalah isi
dari suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban
umum dan kesusilaan. Pengertian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang di
sini adalah undang-undang yang bersifat melindungi kepentingan umum, sehingga jika
dilanggar akan membahayakan kepentingan umum.35 Misalnya, menurut Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menentukan bahwa tindakan
pengguguran kandungan merupakan
perjanjian dengan sebab terlarang, kecuali berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan
kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban
perkosaan dengan syarat-syarat yang telah ditentukan undang-undang ini (Pasal 75 dan
Pasal 76).
Lalu bagaimana bila perjanjian terapeutik dilakukan oleh tenaga kesehatan
dalam rangka melakukan pekerjaan di bawah Rumah Sakit , Dalam kaitan dengan
tanggung jawab Rumah Sakit, maka pada prinsipnya Rumah Sakit bertanggung jawab
secara perdata terhadap semua kegiatan yang dilakukan oleh tenaga kesehatannya
sesuai dengan bunyi pasal 1367 (3) KUHP Perdata. Selain itu, Rumah Sakit
bertanggung jawab atas wanprestasi dan melawan hukum (1243, 1370, 1371, dan 1365
KUHPerdata) bila tindakan itu dilakukan pegawainya.

2.1.5. Aspek Pidana Informed Consent

Telah dibahas bahwa sebelum tindakan medik dilakukan diperlukan


persetujuan pasien. Mengapa seorang pasien harus memberikan persetujuan itu;
misalnya suatu operasi? Dilihat dari aspek pidananya, hal ini dikaitkan dengan Pasal
351 KUHP dimana diatur hal penganiayaan. Jika seseorang menusukkan pisau ke
dalam badan seseorang lain.yang menimbulkan luka, perbuatan ini merupakan
penganiayaan. Jika seseorang membius orang lain, ini pun termasuk
penganiayaan. Jika seseorang yang membius tersebut kebetulan seorang dokter, maka
tindakan itu tetap penganiayaan. Tindakan-tindakan itu bukan suatu penganiayaan
menurut Hukum Pidana manakala:
a. orang yang dilukai tersebut memberikan persetujuan;
b. tindakan medik itu berdasarkan suatu indikasi medik, dan ditujukan pada suatu
tujuan yang
konkrit; serta
c. tindakan medik itu dilakukan sesuai ilmu kedokteran.

a. Orang yang dilukai tersebut memberikan persetujuan


Telah dikemukakan di muka bahwa keharusan memberikan persetujuan
disyaratkan adanya pemberian informasi terlebih dahulu. Telah dijelaskan pula bahwa
hanya dalam keadaan-keadaan tertentu, persetujuan seperti itu tidak disyaratkan,
misalnya pasien tidak mampu mengucapkan keinginannya atau dalam keadaan darurat.
Dalam hal yang terakhir itu, bukan menjadi masalah teori mana yang akan
dipergunakan yakni berkenaan dengan permasalahan apakah tindakan medis itu
merupakan suatu penganiayaan atau tidak, khususnya tentang
bagaimana caranya tindakan tersebut jangan sampai termasuk dalam pengertiannya.
Jika adanya persetujuan itu pada umumnya tidak dapat membenarkan adanya suatu
penyimpangan terhadap standar profesional medis, maka hanya dalam satu hal adanya
suatu persetujuan itu dapat membuat suatu tindakan medis yang tidak diindikasikan
menjadi suatu tindakan yang dapat
dibenarkan, yakni jika tindakan tersebut sifanya tidak terlarang secara etis.

b. tindakan medik itu berdasarkan suatu indikasi medik, dan ditujukan pada
Suatu tujuan yang konkrit Itu berarti bahwa perawatan medis sesuai dengan
standar professional secara medis yang berlaku, harus ditujukan pada tujuan ilmu
kedokteran. Tindakan itu juga harus dibenarkan secara etis. Selanjutnya cara yang
dipakai itu harus sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, instrumen-instrumen yang
dipakai itu memang diperlukan, dan terdapat keseimbangan antara cara yang dipakai
dengan tujuan yang ingin dicapai. Kegunaan secara intrumental itu dianggap tidak ada
misalnya: jika suatu tindakna medis yang sifatnya beray itu telah diterapkan pada suatu
perasaan sakit yang ringan; jika dilakukan suatu tindakan
medis yang sifatnya tidak perlu; jika kepada pasien telah tidak diberikan pencegah
rasa sakit dalam jumlah yang memadai dan lain-lain. Suatu penanganan yang tidak
dapat dipertangungjawabkan secara intrumental atau menurut tujuan itu harus
diberikan kualifikasi sebagai suatu penganiayaan. Sebagai suatu kekecualian dapat
terjadi bahwa bagi seorang pasien itu terdapat perbedaan antara tujuan dengan
pelayanan, misalnya pada percobaan-percobaan pada manusia, tetapi jika orang
menginginkan agar tindakan tersebut tidak dapat disebut sebagai suatu tindakan yan
sifatnya melawan hukum secara material, maka tindakan itu harus memenuhi syarat-
syarat yang ditentukan bagi suatu percobaan.

c. tindakan medik itu dilakukan sesuai ilmu kedokteran.


Masalahnya di sini adalah berkenaan dengan ketelitian melakukan tindakan
medis, baik pada waktu melakukan pemeriksaan untuk membuat diagnosa maupun
pada waktu melakukan terapi, dan berkenaan dengan ketelitian memberikan sarana
pencegah rasa sakit dan memberikan pelayanan. Syarat-syarat yang disebutkan dalam
huruf b dan huruf c di atas juga dapat disebut dengan bertindak lege artis (bertindak
menurut standar professional medis). Dengan demikian, menurut Leenen, maka suatu
pembedahan yang dilakukan dengan hati-hati dan didasarkan pada indikasi yang baik
itu, jika karena suatu hal ternyata gagal, tidaklah bersifat melawan hukum.
Jika dokter memenuhi ketiga syarat itu, maka ia tidak dapat dikenakan pasal 351
KUHP tentang penganiayaan. Ketiga syarat itu harus semua dipenuhi. Satu sama lain
saling berhubungan. Upaya ini menurut Leenen meniadakan de materieele
wederechtelykheid, yaitu menghilangkan sifat yang bertentangan dengan hukum. Fred
Ameln menyebutnya dengan Buitenwettelyke schulduitsluitingsgrond atau dasar
peniadaan culpa di luar undang-undang. Selain itu
juga dikenal prinsip AVAS yang berarti afwezighyd van alle schuld, tidak terdapat
suatu kelalaian sama sekali.

2.1.6. Aspek Administratif Informed Consent

Dalam hukum administratif, masalah kualifikasi yuridis berkenaan antara lain


dengan kewenangan yuridis untuk melakukan tindakan medis. Kewenangan yuridis
untuk melakukan tindakan medis salah satu wujudnya adalah Surat Izin Praktek yang
diberikan aparatur negara yang berwenang kepada tenaga kesehatan. Dalam Surat Izin
Praktek dituliskan Ruang Lingkup kewenangan tenaga kesehatan.
Dasar hukum Surat Izin Praktek adalah :

Pasal 23 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan (selanjutnya disebut UU Kesehatan) sebagai berikut:
ayat (1) Tenaga kesehatan berwenang untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan.
ayat (2) Kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan bidang keahlian yang
dimiliki.
ayat (3) Dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan wajib
memiliki izin dari pemerintah.
Penjelasan Pasal 23 ayat (1) menyatakan kewenangan yang dimaksud dalam
ayat
ini adalah kewenangan yang diberikan berdasarkan pendidikannya setelah melalui
proses registrasi dan pemberian izin dari pemerintah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Selain dalam UU Kesehatan, mengenai surat izin praktek juga diatur dalam Pasal 4 dan
Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan.

Pasal 4
(1) Tenaga kesehatan hanya dapat melakukan upaya kesehatan setelah tenaga kesehatan
yang bersangkutan memiliki ijin dari Menteri.
(2) Dikecualikan dari pemilikan ijin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bagi tenaga
kesehatan masyarakat.) Ketentuan lebih lanjut mengenai perijinan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri.

Pasal 5
(1) Selain ijin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), tenaga medis dan
tenaga
kefarmasian lulusan dari lembaga pendidikan di luar negeri hanya dapat
melakukan
upaya
kesehatan setelah yang bersangkutan melakukan adaptasi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai adaptasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur oleh Menteri.

Surat Izin Praktek diatur lebih lanjut di dalam Peraturan Menteri Kesehatan,
sebagai berikut:

(1) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 512/MENKES/PER/IV/2007 tentang Izin


Praktik
dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran
(2) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor HK.02.02./MENKES/149/I/2010 tentang Izin
dan
Penyelenggaraan Praktik Bidan
(3) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor HK.02.02./MENKES/148/I/2010 tentang Izin
dan
Penyelenggaraan Praktik Perawat

2.1.7. Alasan-Alasan yang Mengecualikan Informed Consent

Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor


290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran menyebutkan
dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah
kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran. Hal ini berarti ada
keadaan dimana informed consent tak harus dipenuhi. Di samping ketentuan dalam
Permenkes itu, juga terdapat doktrin mengenai keadaankeadaan yang dapat menjadi
alasan dikesampingkannya informed consent. Alasan-alasan yang dapat
mengecualikan informed consent adalah sebagai berikut.
a. Pasien yang akan menjalani pengobatan dengan placebo (sugestif
therapeuticum)
Kadangkala ada orang yang datang kepada dokter mengungkapkan keluhan-
keluhan penyakitnya (pusing, sakit kepala, dan lain-lain). Tetapi hasil pemeriksaan dan
diagnosa dokter menyatakan orang ini secara medis tidak mengidap suatu penyakit apa
pun. Mengapa demikian? Mereka ini hanya merasa saja sakit. Perasaan ini terus
dipupuk dan diikuti sehingga perasaan
sakitnya makin parah. Terhadap pasien yang demikian dokter akan mengobatinya
dengan cara
placebo, yakni diberi suatu obat yang sebenarnya bukan obat (hanya kembang gula,
vitamin) tetapi diberi aturan minum seperti obat pada umumnya. Jadi terapi yang
digunakan juga harus berbentuk sugesti sugestif-therapeuticum. Karena timbulnya
penyakit yang dirasakan itu dari sugesti. Kepada pasien yang demikian, dokter tidak
mungkin menyampaikan diagnosa dan terapi yang dilakukan. Penyampaian informasi
itu justru akan merusak rencana terapi dan proses
penyembuhan.

b. Pasien yang akan merasa dirugikan bila mendengar informasi tersebut


Bila keadaan pasien sudah sangat parah dan labil, misalnya berpenyakit lemah
jantung yang sudah akut, maka dokter dapat menyampingkan hak pasien tersebut atas
informasi. Bila hasil diagnosa menunjukkan pasien mengalami komplikasi dengan
penyakit lever, dan lain-lain maka informasi tentang ini dapat disampaikan kepada
keluarga pasien yang berwenang.

c. Pasien yang sakit jiwa


Dapat dipahami jika pasien ini dapat dikesampingkan hak informasinya karena
ia tidak akan mampu memahami informasi dokter, terutama pasien yang sakitnya telah
parah sehingga sama sekali tidak dapat berkomunikasi lagi.

d. Pasien yang belum dewasa


Tentang kelompok pasien belum dewasa, Prof Leenen membedakannya ke
dalam dua kelompok, yakni: (1) Grup A: yang masih anak (de jongereminderjarige);
dan (2) Grup B: yang sudah mendekati kedewasaan (de Oudere minderjarige). Sukar
untuk menarik suatu batas umur antara Grup A dan Grup B dan di sini dapat dipakai
The Major-Minor Rule yaitu orang yang belum dewasa dapat dikategorikan grup B
jika mereka oleh dokter dinilai cukup matang untuk menerima infomasi tentang
penyakitnya. Secara hukum perdata, seseorang dinyatakan dewasa pada umur 21 tahun
(Pasal 330 KUHPerdata). Walaupun demikian, banyak contoh bahwa orang yang
belum dewasa sudah dianggap mampu bertindak menurut hukum tanpa izin orang tua.
Hal ini disebut terobosan umur dewasa di dalam hukum. Misalnya untuk hukum
perdata membuat testamen 18 tahun. Misalnya untuk hukum pidana:
- Pada umur 16 tahun seseorang diberlakukan hukum pidana untuk orang dewasa
(Pasal 45 KUHPidana).
- Mengajukan pengaduan pada delik aduan (klachtdelichten) 16 tahun. Sampai saat ini
belum ada
peraturan perundang-undangan mengenai kesehatan yang mengatur batas dewasa
dalam
melakukan perjanjian terapeutik.

e. Pasien Tidak Sadar


Pada literatur Leenen, dikemukakan adanya suatu fiksi yuridis. Fiksi yuridis
menyatakan bahwa seseorang dalam keadaan tidak sadar akan menyetujui apa yang
pada umumnya disetujui oleh pasien yang berada dalam keadaan sadar pada situasi dan
kondisi sakit yang sama. Fred Ameln menyebutnya dengan presumed consent. Prof.
W. Van der Mijn mengatakan bahwa hal paien yang dalam kondisi tidak sadar dapat
dikaitkan pula dengan pasal 1354 KUHPerdata yag mengatur Zaakwaarneming atau
perwakilan sukarela, yaitu suatu sikap tindak yang pada dasarnya pengambil-alih
tanggung jawab dengan bertindak menolong pasien dan bila pasien telah sadardokter
bisa bertanya apakah perawatan diteruskan atau ingin tukar dokter atau ingin
memperoleh second opinion. Selain itu, jikalau dokter harus melakukan tindakan
medis untuk menyelamatkan jiwa (life saving) seorang pasien yang tidak sadar, maka
ia tidak memerlukan informed consent dari siapa pun. Ini juga disebut oleh Fred
Ameln
sebagai presumed consent. Oleh karena itu, persetujuan untuk pasien yang tidak
sadar, tergantung dokter:
(1) Bisa menunggu sampai keluarganya datang atau sampai siuman, tanpa
membahayakan
jiwa pasien.
(2) Segera melakukan tindakan medik atas dasar:
a. Live-saving
b. Fiksi hukum (Leenen)
c. Zaakwaarneming (van der Mijn)

2.2.Tanggung Jawab Perawat dan Rumah Sakit


2.2.1. Tanggung Jawab Perawat

Peranan perawat juga sangat besar dalam pelaksanaan informed consent.


Meskipun hal tersebut bukan merupakan kewenangan perawat, melainkan kewenangan
dokter yang dapat didelegasikan kepada perawat. Untuk penelaahan mengenai
tanggung jawab perawat maka dapat dibedakan perawat atas:
1. Perawat yang bekerja untuk mendapatkan gaji dari dokter
2. Perawat yang bekerja untuk digaji oleh rumah sakit dan diperbantukan kepada
dokter
Untuk perawat yang bekerja dan digaji oleh seorang dokter, maka pada
umumnya dokterlah yang bertanggung jawab terhadap tindakan perawat yang
dilakukan atas perintah dokter, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1367
KUHPerdata. Akan tetapi apabila perawat melakukan sesuatu tindakan medic yang
tidak sesuai dengan ijazah yang ia miliki, perawat itu sendiri yang harus bertanggung
jawab. Apabila seorang perawat di dalam praktik diperintahkan
untuk meminta tanda tangan dari seorang pasien pada formulir persetujuan, maka
perawat tersebut secara etik moral harus bertanya terlebih dahulu kepada pasien,
apakah ia telah mendapat keterangan atau informasi dari dokter akan penyakit dan
tindakan medik yang akan dilakukan dokter terhadap dirinya, serta apakah ia telah
memahami keterangan tersebut.
Selanjutnya untuk perawat yang bekerja dan diberi gaji oleh rumah sakit dan
diperbantukan kepada dokter maka rumah sakit secara perdata bertanggung jawab atas
tindakan-tindakan yang dilakukan oleh perawat. Terhadap tanggung jawab rumah
sakit ini, dapat digunakan konstruksi pasal 1367 KUHPerdata, karena perawat dalam
menjalankan tugas keperawatannya di rumah sakit itu atas dasar perintah dari pihak
rumah sakit. Namun dalam hal-hal tertentu maka
perawat pun tetap harus bertanggung-jawab atas yang ia lakukan sendiri.

2.2.2. Tanggung Jawab Rumah Sakit


Secara umum dalam kaitannya dengan tanggung jawab rumah sakit maka pada
dasarnya rumah sakit bertanggung jawab secara perdata terhadap semua tindakan
medis maupun non medis di rumah sakit itu. Hal ini juga berdasarkan pasal1367
KUHPerdata. Apabila tanggung jawab rumah sakit dikaitkan dengan hal pelaksanaan
informed consent, maka tanggung jawab tersebut meliputi tigal hal, yaitu:

1. Tanggung jawab yang berkaitan dengan personalia


Rumah sakit secara umum bertanggung jawab atas tindakantindakan yang
dilakukan oleh personalia rumah sakit, yang dilakukan dalam melaksanakan tugasnya
masing-masing. Khusus mengenai tindakan dokter maka dokter dalam hubungannya
dengan rimah sakit dapat
dibedakan atas:
a. Dokter-in atau dokter purnawaktu (full time)
Dokter mendapat gaji dari rumah sakit yang bersangkutan dan ia
merupakan karyawan dari rumah sakit itu, sehingga pasien hanya
mempunyai perikatan perawatan dengan rumah sakit, sehingga rumah
sakit ikut bertanggung jawab atas tindakan dokternya.
b. Dokter-out atau dokter tamu
Dalam kaitannya dengan pelaksanaan informed consent bagi suatu
tindakan medik yang dokter tersebut ambil maka hanya dokter itulah
yang bertanggung jawab.

2. Tanggung jawab yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas


Rumah sakit dalam pelaksanaan informed consent bertanggung jawab untuk
untuk menyediakan formulir yang dibutuhkan. Pada dasarnya formulir-formulir
tersebut secara formil, berkasnya adalah milik rumah sakit sedangkan isinya
merupakan hak pasien. Akhirnya rumah sakit wajib memeriksa setiap persyaratan
administratif termasuk formulir persetujuan tindakan medis atau formulir operasi
sebelum tindakan medis atau operasi itu dilakukan. Hal ini berkaitan dengan tanggung
jawab yang dipikul rumah sakit terhadap kelengkapan administratif.

3. Tanggung jawab yang berkaitan dengan duty of care


Duty of care diartikan dengan kewajiban memberi perawatan. Hal ini
sebenarnya terletak dalam bidang medik dan perawatan, sehingga penilaiannya juga
harus ditafsirkan oleh kedua bidang tersebut. Mengenai hal yang sangat berkaitan
dengan duty of care untuk saat ini adalah unit emergensi atau unit gawat darurat.
Apabila emergensi dikaitkan dengan hal informed consent, maka dalam keadaan
emergensi kewajiban untuk memberikan informasi dan kewajiban untuk memberikan
persetujuan pasien atau keluarganya lebih dahulu sebelum tindakan medik dilakukan
tidak berlaku bila:
1) Keadaan mengharuskan segera dilakukan operasi
Dalam pasal 45 ayat (2) UU Rumah Sakit menyebutkan bahwa Rumah Sakit
tidak dapat dituntut dalam melaksanakan tugas dalam rangka
penyelamatan jiwa manusia.
2) Consent express tidak mungkin diperoleh dalam waktu singkat dari:
i. Pasien sendiri karena berada dalam keadaan tidak sadar, atau dari keluarga
terdekat yang berwenang untuk bertindak atas namanya
ii. Jika tidak segera dilakukan pembedahan akan sangat membahayakan
kesehatan atau jiwa pasien.

Oleh sebab itu dalam kadaan emergensi digunakan presumed consent


artinya dokter seolah-olah telah mendapat persetujuan dari pasien secara diam-diam.
Namun dalam pasal 45 ayat (1) UU Rumah Sakit menyebutkan bahwa Rumah Sakit
tidak bertanggung jawab secara hokum apabila pasien menolak pengobatan, setelah
adanya penjelasan medis yang komprehensif.

BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

1. Dari segi etik, penerapan informed consent dianggap sebagai upaya dokter untuk
membuktikan kesungguhannya dalam mematuhi primum non nocere (yang paling
diutamakan adalah untuk tidak mencelakakan pasien), serta prinsip mengutamakan
kepentingan pasien. Sehingga dapat dikatakan bahwa aspek etik dari informed
consent sangatlah luas dan besar dan menjadi landasan moral bagi kalangan tenaga
kesehatan, khususnya para dokter. Dalam profesi kedokteran, dikenal adanya suatu
kode etik yang disusun berdasarkan asas etik. Kode etik kedokteran yang berlaku
sekarang dinyatakan mulai berlaku pertama kali dengan Keputusan Menteri
Kesehatan No. 434/Men. Kes/Sk/X/1983 tentang Berlakunya Kode Etik Kedokteran
Indonesia (Kodeki) bagi para dokter di seluruh Indonesia. Dari segi hukum, seorang
dokter juga terikat aturan-aturan hukum, yang meliputi hukum perdata yang mengatur
kaedah-kedah hukum dalam hubungan antar individu dalam masyarakat, hukum
pidana yang berisi aturan hukum yang bersifat publik dan mengatur masalah tindak
pidana yang timbul dalam masyarakat serta menyelesaikan tindak pidana tersebut,
serta hokum administrasi. Dengan demikian di dalam menjalankan tugasnya, seorang
dokter di samping harus mematuhi etika kedokteran juga harus mematuhi hukum
yang berlaku.
2. Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/III/2008
tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran menyebutkan dalam keadaan gawat
darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak
diperlukan persetujuan tindakan kedokteran. Selain itu, terdapat doktrin mengenai
alasan-alasan yang dapat mengecualikan informed consent, yaitu sebagai berikut. (1)
Pasien yang akan menjalani pengobatan dengan placebo (sugestif therapeuticum);
(2) Pasien yang akan merasa dirugikan bila mendengar informasi tersebut; (3) Pasien
yang sakit jiwa; (4) Pasien yang belum dewasa; dan (5) Pasien Tidak Sadar.

3. Peranan perawat juga sangat besar dalam pelaksanaan informed consent. Meskipun
hal tersebut bukan merupakan kewenangan perawat, melainkan kewenangan dokter
yang dapat didelegasikan kepada perawat. Untuk perawat yang bekerja dan digaji oleh
seorang dokter, maka pada umumnya dokterlah yang bertanggung jawab terhadap
tindakan perawat yang dilakukan atas perintah dokter, hal ini sesuai dengan ketentuan
Pasal 1367 KUHPerdata. untuk perawat yang bekerja dan diberi gaji oleh rumah sakit
dan diperbantukan kepada dokter maka rumah sakit secara perdata bertanggung jawab
atas tindakan-tindakan yang dilakukan oleh perawat. Terhadap tanggung jawab rumah
sakit ini, dapat digunakan konstruksi pasal 1367 KUHPerdata. Akan tetapi apabila
perawat melakukan sesuatu tindakan medic yang tidak sesuai dengan ijazah yang ia
miliki, perawat itu sendiri yang harus bertanggung jawab. Mengenai tanggung jawab
Rumah Sakit, apabila tanggung jawab rumah sakit dikaitkan dengan hal pelaksanaan
informed consent dan personalia, maka pada dasarnya rumah sakit bertanggung jawab
secara perdata terhadap semua tindakan medis maupun non medis di rumah sakit itu.
Hal ini juga berdasarkan pasal 1367 KUHPerdata.
4. Dengan adanya informed consent ini, diharapkan dapat diminimalisasi sengketa
kedokteran yang terjadi atau yang dewasa ini sering disebut sebagai malpraktik,
walaupun pada kenyataannya sengketa kedokteran hingga saat ini masih seringkali
terjadi dan masih banyak ditemui pasien yang tidak mengetahui hak-hak mereka
sebagai pasien. Kemudian perlu juga digarisbawahi terkait minimalisasi sengketa
kedokteran dengan adanya informed consent bukan berarti bahwa informed consent
merupakan sarana yang dapat membebaskan dokter dari tanggung jawab hukum jika
terjadi malpraktik. Malpraktik adalah masalah lain yang erat kaitannya dengan
pelaksanaan pelayanan medis yang tidak sesuai dengan standar. Meskipun sudah
mengantongi informed consent, tetapi jika pelaksanaannya tidak sesuai standar, maka
dokter tetap harus bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi.
ANALISIS MENGENAI REKAM MEDIS BAGI PRODI NEUROLOGI

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sejak permulaan sejarah umuat manusia sudah dikenal adanya hubungan kepercayaan
antara dua insan, yaitu sang pengobatdan sang penderita, yang pada jaman modern ini
disebut dengan transaksi terapeutik antara dokter dan pasien.
Pemeriksaan, pengobatan dan perawatan akan melahirkan hubungan antara
pasien/ penderita atau keluarganya dengan dokter sebagai pribadi maupun sebagai
orang dalam bentuk badan hukum (rumah sakit, yayasan, atau lembaga lain yang
bergerak di bidang pelayanan kesehatan).Pemeriksaan, pengobatan dan perawatan
(termasuk informed consent) inilah yang akan dicatat di dalam rekaman medis, yang
dalam keputusan disebut Medical Record.
Pembuatan catatan medis (yang sekarang disebut Rekam Medis) di rumah
sakit atau boleh dokter pada kartu pasien di tempat praktek sebenarnya sudah
merupakan kebiasaan sejak jaman dahulu, namun belum menjadi kewajiban, sehingga
pelaksanaannya dianggap tidak begitu serius (baca pula J. Guwandi, 1991 : 73).
Seiring dengan perkembangan masyarakat yang sangat dinamis; termasuk masyarakat
Indonesia, maka rekam medis menjadi sangat penting dan dibutuhkan. Oleh karena
itu, khusus di Negara Kesatuan Republik Indonesia, pemerintah mellaui Departemen
Kesehatan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 749a/Menkes/
Per/XII/1989 tentang Rekam Medis/ Medical Records. Dengan diterbitkannya
Permenkes ini pengadaan rekam medis menjadi suatu keharusan atau telah menjadi
hukum yang harus ditaati bagi setiap sarana pelayanan kesehatan.

Rekam medis merupakan bagian penting dari seluruh pelayanan kepada pasien mulai
saat kunjungan pertaman hingga kunjungan-kunjungan berikutnya. Sebagai informasi
tertulis tentang perawatan kesehatan pasien, rekam medis digunakan dalam pengelolaan
dan perencanaan fasilitas dan pelayanaan kesehatan, juga digunakan untuk penelitian
medis dan untuk kegiatan statistik pelayanan kesehatan.
Para dokter, perawat dan profesi kesehatan lainnya mencatat pada berkas rekamedis
sehingga informasinya dapat digunakan secara berulang-ulang mana kala pasien datang
kembali ketempat pelayanan kesehatan yang bersangkutan. Rekam medis harus ada
tersedia saat dibutuhkan yatitu saat pasien datang berkunjung kembali, dan perihal
ketersediaan ini menjadi tanggung jawab petugas rekam medis. Apabila berkas rekam
medis tidak ditemukan tercecer, hilang, tidak tertelusuri maka pasien yang bersangkutan
akan merugi, dalam arti informasi tentang riwayat yang lalu yang sangat penting untuk
perawatatan kesehatan nya tidak tersedia, maka informasi untuk mengambil tindakan
yang diperlukan akan berkurang nilai kelengkapannya. Oleh karena itu, jika rekam medis
tidak ada saat diperlukan untuk merawat pasien, maka sistem rekam medis tidak dapat
berjalan lancar. Hal ini tetntu berpengaruh terhadap keseluruhan kerja pelayanan rekam
medis.
Unit rekam medis, disuatu sarana pelayanan kesehatan merupakan unit yang sibuk
dan sangat memerlukan kinerja tinggi dari ara petugasnya. Meskipun petugas rekam
medis tidak secara langsung terlibat dalam klinis pasien, tapi informasi yang tercatat
pada rekam medis merupakan bagian penting dalam pelayanan kesehatan. Oleh karena
itu, sebenarnya petugas unit rekam medis mempunyai peranan penting dalam proses
pelayanan di Rumah Sakit. Namun kadang pentingnya pekerjaan ini tidak dipahami oleh
petugas medis, staf administrasi Rumah Sakit dan kayawan lainnya, sehinga para
petugas unit rejkam medis sering merasa minder. Hal ini lebih diperparah lagi dengan
masalah dana yang terbatas, sehingga kurang adanya paya dalam peningkatan
kemampuan sumber daya yang pada akhirnya sulit mencapai pelayanan rekam medis
yang efektif dan efisien.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Rekam Medis

Definisi Rekam Medis dalam berbagai kepustakaan dituliskan dalam berbagai


pengertian, seperti dibawab ini:
Dalam bukunya yang berjudul Legal Aspect of Medical Record Hayt and
Hayt mendefinisikan rekam medis sebagai berikut :
A Medical record is the compilation of the partinent facta of the patients life history,
his illness, and treatment. In a larger sense the medical record is compilation of
scientifis data derived from many and available for various uses, personal and
impersonal, to serve the patiens was treated, the science of medce, and society as
awhole. (Hayt and Hayt, 1964: 1).
Dengan demikian menurut Hayt and Hayt, suatu rekam medis itu ialah
himpunan fakta-fakta yang berhubungan dengan sejarah /riwayat kehidupan pasien,
sakitnya, perawat/pengobatannya. Dalam pengertian yang luas (lebih luas) rekam
medik ialah suatu himpunan data ilmiah dari banyak sumber, dikoordinasikan pada
satu dokumen dan yang disediakan untuk bermacam-macam kegunaan, personel dan
impersoanl, untuk melayani pasien dirawat, diobati , ilmu kedokteran, dan masyarakat
secara keseluruhan.
Lebih lanjut Hayt and Hayt mengemukakan (Hayt and Hay, 1964:1):
Medical Record are an important tool in the practice of medicine. They serve as a
bassic for planning patient care; they provide a means contributing to the patients
care; they furnish documentary evidence of the course of the patients illness and
treadment and they serve as a bassic for review, study, and evaluation of the medical
care renderen to the patient.
Dengan pernyataan tersebut di atas jelaslah bahwa rekam medis merupakan
sarana penting dalam praktek kedokteran.
Sedangkan menurut Gemala R. Hatta dalam makalahnya yang berjudul
Peranan Rekaman Medik/Kesehatan (medical record) dalam Hukum Kedokteran,
rekam medis dirumuskan sebagai kumpulan segala kegiatan yang dilakukan oleh para
pelayan kesehatan yang ditulis, digambarkan, atas aktivitas terhadap pasien (Gemala
R. Hatta, 1986:2).
Selanjutnya, dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 749s/Menkes/Per
XII/1989 tentang Rekam Medis/Medical Records, yang dimaksud rekam medis ialah
berkas yang berisikan catatan, dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan,
pengobatan, tindakan dan pelayaran lain kepada pasien pada sarana pelayanan
kesehatan (Pasal 1 huruf a).
Menurut Edna K Huffman: Rekam Medis adalab berkas yang menyatakan siapa,
apa, mengapa, dimana, kapan dan bagaimana pelayanan yang diperoleb seorang
pasien selama dirawat atau menjalani pengobatan.
Menurut Gemala Hatta : Rekam Medis merupakan kumpulan fakta tentang
kehidupan seseorang dan riwayat penyakitnya, termasuk keadaan sakit, pengobatan
saat ini dan saat lampau yang ditulis oleb para praktisi kesehatan dalam upaya mereka
memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien.
Rekam medis adalah siapa, apa, dimana dan bagaimana perawatan pasien selama
dirumah sakit, untuk melengkapi rekam medis harus memiliki data yang cukup
tertulis dalam rangkian kegiatan guna menghasilkan suatu diagnosis, jaminan,
pengobatan dan hasil akhir.
Rekam medis adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen tentang identitas
pasien, pemeriksaan, pengbatan, tindakan dan pelayanan lain kepada pasien disarana
pelayanan kesehatan (SK.MenPan No.135 tahun 2002).
Rekam medis adalah fakta yang berkaitan dengan keadaan pasien, rawat penyakit
dan pengobatan masa lalu serta saat ini tertulis oleh profesi kesehatan yang
memberikan pelayanan kepada pasien tersebut (Health Information Management,
Edna K Huffman, 1999).
Rekam medis elektronik/rekam kesehatan elektronik adalah suatu kegiatan
mengkomputerisasikan tentang isi rekam kesehatan (rekam medis) mulai dari
(mengumpulkan, mengelolah, menganalisa dan mempresentasikan data) yang
berhubungan dengan kegiatan pelayanan kesehatan.
Apabila rekam medis merupakan kumpulan segala kegiatan yang dilakukan
oleh para pelayan kesehatan yang tertulis, maka akan mencerminkan setiap langkah
yang diambil dalam rangka hubungan pasien dengan dokter yang disebut hubungan
transaksi terapeutik. Dalam transaksi ini pasien dilindungi oleh dokumen internasional
yang terdiri dari the right to information and the right to self determination.
Suatu rekam medis yang baik akan membantu perawatan secara profesional
pasien, di samping memberikan refleksi mengenai kualitas/mutu/derajat
perawatan/pelayanan kesehatan. Pembuatan rekaman tertulis itu merupakan salah
satu jalan yang reliabel yang menyakinkan bahwa setiap orang memperhatikan secara
lengkap dan akurat mengenai informasi pelayanan kesehatan. Dalam praktek
kedokteran modern akan menyangkut tindakan terhadap pasien sebagai satu
keseluruhan, yang menuntut kseseluruhan, yang menuntut keseluruhan ketrampilan
dan tehnologi yang dikuasai para dokter, perawat, teknsi. Manajemen yang sempurna
atas perawatan pasien menuntut adanya rekaman yang akurat dan tepat oleh setiap
anggota dan tim klinis.
Jadi Rekam Medis adalah keterangan baik yang tertulis maupun yang terekam
tentang identitas, anamnesa penentuan fisik laboratorium, diagnosa segala pelayanan
dan tindakan medik yang diberikan kepada pasien dan pengobatan baik rawat inap,
rawat jalan maupun yang mendapatkan pelayanan gawat darurat.
2.2 Isi Rekam Medis

Isi Rekam Medis merupakan catatan keadaan tubuh dan kesehatan, termasuk data
tentang identitas dan data medis seorang pasien.
Di Indonesia, isi rekam medis bisa dibagi menjadi dua, yaitu isi rekam medik
untuk pasien rawat dan untuk pasien rawat inap (Pasal 15 dan 16 Permenkes No
749a/Menkes/Per/XII/1989).
Isi rekam medis untuk pasien rawat jalan dapat dibuat selengkap-lengkapnya dan
sekurang-kurangnya memuat : identitas, amnese, diagnosis, dan tindakan/pengobatan.
Sedangkan isi rekam medis untuk pasien rawat nginap sekurang-kurangnya memuat:
1. identitas pasien
2. anamnese;
3. riwayat penyakit
4. hasil pemeriksaan laboratorik;
5. diagnosis
6. persetujuan tindakan medik
7. tindakan/pengobatan
8. catatan perawat
9. catatan observasi klinis dan hasil pengobatan; dan
10. resume akhir dan evaluasi pengobatan.

2.3 Penyelenggaraan Rekam Medis


Penyelenggaraan Rekam Medis pada suatu sarana pelayanan kesehatan merupakan
salah satu indikator mutu pelayanan pada institusi tersebut. Berdasarkan data pada
Rekam Medis tersebut akan dapat dinilai apakah pelayanan yang diberikan sudah cukup
baik mutunya atau tidak, serta apakah sudah sesuai standar atau tidak. Untuk itulah,
maka pemerintah, dalam hal ini Departemen Kesehatan merasa perlu mengatur tata cara
penyelenggaraan Rekam Medis dalam suatu peraturan menteri keehatan agar jelas
rambu-rambunya, yaitu berupa Permenkes No.749a1Menkes/Per/XII/1989.
Tata cara penyelenggaraan rekam medis di Indonesia ialah sebagai berikut (lihat Pasal 2-
9, 19, dan 20 Permenkes No 749a/Menkes/Per/XII/1989):
1. Setiap sarana pelayanan kesehatan yang melakukan pelayanan rawat jalan maupun
rawat nginap wajib membuat rekam medis.
2. Rekam medis itu dibuat oleh dokter dan atau tenaga kesehatan lain yang memberi
pelayanan kepada pasien.
3. Rekam medis harus dibuat segera dan dilengkapi seluruhnya setelah pasien menerima
pelayanan.
4. Setiap pencatatan ke dalam rekam medis harus dibubuhi nama dan tanda tangan
petugas yang memberikan pelayanan atau tindakan.
5. Pembetulan kesalahan catatan dalam rekam medis dilakukan pada tulisan yang salah
dan diberi paraf oleh petugas yang bersangkutan.
6. Penghapusan tulisan dalam rekam medis dengan cara apapun tidak diperbolehkan.
7. Lama penyimpanan rekam medis sekurang-kurangnya untukjangka waktu 5 (lima)
tahun terhtung dari tanggal terakhir pasien berobat. Sedangkan lama penyimpanan
rekam medis yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat khusus dapat ditempatkan
tersendiri.
8. Setelah batas waktu sebagaimana dimaksud pada nomor tujuh dilampaui, rekam
medis dapat dimusnahkan. Tata cara permusnahannya ditetapkan oleh Direktur
Jenderal.
9. Rekam medis harus disimpan oleh petugas yang ditunjuk oleh pimpinan sarana
pelayanan kesehatan.
10. Pengawasan terhadap penyelenggaraan rekam medis dilakukan oleh Direktur
Jenderal.
11. Pelanggaran terhadap ketentuan dalam peraturan ini dapat dikenakan sanksi
administratif mulai dari teguran lisan sampai pencabutan izin.

Pada saat seorang pasien berobat ke dokter, sebenarya telah terjadi suatu hubungan
kontrak terapeutik antara pasien dan dokter. Hubungan tersebut didasarkan atas
kepercayaan pasien bahwa dokter tersebut mampu mengobatinya, dan akan
merahasiakan semua rahasia pasien yang diketahuinya pada saat hubungan tersebut
terjadi.
Dalam hubungan tersebut secara otomatis akan banyak data pribadi pasien tersebut
yang akan diketahui oleh dokter serta tenaga kesehatan yang memeriksa pasien tersebut.
Sebagian dari rahasia tadi dibuat dalam bentuk tulisan yang kita kenal sebagai Rekam
Medis. Dengan demikian, kewajiban tenaga kesehatan untuk menjaga rahasia
kedokteran, mencakup juga kewajiban untuk menjaga kerahasiaan isi Rekam Medis.
Berkas rekam medis adalah milik sarana pelayanan kesehatan, namun isi rekam
medis adalah milik pasien. Oleh karena itu, isi rekam medis wajib dijaga kerahasiaannya.
Pemaparan isi rekam medis hanya boleh dilakukan oleh dokter yang merawat pasien
dengan izin tertulis pasien. Pemamparan isi rekam medis oleh pimpinan sarana kesehatan
tanpa izin pasien dibolehkan apabila berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Apabila rekam medis tersebut rusak, hilang, dipalsukan, digunakan oleh orang /badan
yang tidak berhak, maka yang bertanggung jawab adalah pimpinan sarana pelayanan
kesehatan (baca Pasal 10-13 Permenkes No 749a/Menkes/Per/XII/1989). Apabila rekam
medis rusak karena pemeliharaannya tidak baik atau tidak diisi sebagaimana mestinya
sehingga isi rekam medis menjadi kabur atau tidak jelas, maka menurut yurisprudensi di
dalam hukum kedokteran bisa diberlakukan pembalikan pembuktian terhadap
dokter/rumah sakitnya. Pembebanan atas kewajiban pembuktin (onu, burden of proff)
bisa dibebankan kepada dokter /rumah sakit (baca J. Guwandi, 1991 : 76-77).
Hal terpenting dalam penyelenggaraan rekam medis ialah bahwa pengisisan rekam
medis harus dilakukan secara lengkap dan langsung, tepat waktu, dan tidak ditunda
tunda. Bila pengisiannya ditunda-tunda maka kemungkinan besar dokter lupa pada
pasien dan penyakitnya, lebih-lebih bila pasiennya sangat banyak. Mutu pelayanan
rumah sakit antara lain akan tercermin pada berkas rekan medisnya. Selanjutnya,
muncullah ucapan yang mengatakan : Medical record are witnesses whose memories
never die.

2.4. Fungsi / Manfaat Rekam Medis


Dari penjelasan di muka maka secara singkat dapat dikatakan bahwa rekam
medis merupakan catatan singkat tentang sejarah penyakit dan cara / teknik /terapi
upaya penyembuhan yang dilakukan oleh pelayan kesehatan (dokter dan paramedik)
yang sudah disetujui oleh pasien berdasarkan Informed Consent. Agar Informed
Consent ini dapat dijadikan bukti menurut hukum harus dicatat dan direkam dalam
rekam medis.
Dalam transaksi terapeutik apabila hak dan kewajiban tidak dipenuhi oleh
salah satu pihak (dokter atau pasien) maka tentunya pihak lain yang merasa dirugikan
akan menggugat atau menuntut. Dalam hal ini maka rekam medik mempunyai peranan
yang besar sekali yaitu dapat dipergunakan untuk menguatkan gugatan(pasien) atau
menolak gugatan perdata (bagi dokter dan atau rumah sakit) atau tuntutan pidana yang
didasarkan kesalahan, baik yang disengaja maupun yang karena kelalaian. Ini berarti
bahwa rekam medis mempunyai kekuatan hukum sebagai salah satu unsur masukan
dalam proses pengambilan keputusan oleh hakim.
Fungsi rekam medik secara lengkap adalah sebagai adminitrative value, legal
value, finacial value, research value, educational value dan documentary value.
Karena fungsi rekam medik itulah, maka di negara-negara besar atau di
negara-negara maju telah ditentukan satu standar baku bai pembuatan rekam medis
yang mencerminkan kualitas/mutu/derajat pelayanan kesehatan yang diberikan oleh
sang pengobat pada sang penderita. Fungsi rekam medis di Indonesia bisa dilihat dalam
Pasal 14 Permenkes Nomor 749a/Menkes/Per/XII/1989, yaitu dapat dipakai untuk :
1. dasar pemeliharaan kesehatan dan pengobatan pasie;
2. bahan pembuktian dalam perkara hukum;
3. bahan untuk keperluan penelitian dan pendidikan;
4. dasar pembayaran biaya pelayanan kesehatan; dan
5. bahan untuk menyiapkan statistik kesehatan.

Rekam medis yang diisi oleh para pihak dalam transaksi terapeutik
menampilkan mutu kualitas pelayanan kesehatan kepada pasien. Oleh karena itu,
menurut kepustakaan, dapat dikaji bahwa untuk memenuhi persyaratan bagi satu rekam
medis/haruslah ditandatangani oleh semua pelayan medik yang terlibat sebagai para
pihak dalam trnsasi terapeutik.
Ada tiga alasan yang menyebabkan para pelayan kesehatan (dokter dan para
medis) harus wajib menandatangani rekam Medis yang berisi sejarah perkembangan
kesehatan pasien dan ringkasannya, yaitu (periksa Hayt dan Hayt, 1964:42-44).
1. Pasien harus dilindungi
2. Tanda tangan dokter yang merawat itu relevan jika kasus tersebut sampai di pengadilan;
3. Untuk mencegah kegagalan bagi rumah sakit dalam memperoleh akreditasi.
Dengan tiga alasan tersebut di atas, maka rekam medis dapat berfungsi sebagai
dokumen hukum yaitu sebagai alat bukti dokumen undang-undang yang bernilai
sebagai keterangan/saksi ahli/expert wittness (Periksapasal 164RIB untuk perkara
perdata, dan pasal 184 KUHP untuk perkara pidana). Dengan demikian pembubuhan
tanda tangan itu sebagai bukti bahwa keputusan yang diambil oleh pasien itu tanggung
jawabnya, sedangkan apa yang dilakukan oleh pelayan kesehatan (dokter dan
paramedik) yang memberikan informasi yang lengkap dan akurat bertanggungjawab
atas kelengkapan dan kenaran informasinya.
Di samping itu, agar rekam medik yang mengandung informed consent itu dapat
berfungsi sebagai alat bukti di dalam proses peradilan, maka isi rekam medik modern
(Contents of a Modern Medical Record) harus meliputi hal-hal sebagai berikut :
1. Identification Data (Identifikasi data);
2. Provisional Diagnosis (Diagnosis awal);
3. Chief Complaint (Keluhan utama);
4. Present Illness (Penyakit yang diderita saat ini/saat masuk);
5. History and Physical examination (Sejarah pemeriksaan fisik);
6. Consultations (Konsultan/para konsultan jika lebih dari satu);
7. Clinical Laboratory Reports (Laporan laboratorium klinik);
8. X-ray Reports (Laporan kamar X-ray);
9. Tissue Report (Laporan Kamar bebat);
10. Treatment-Medical and Surgical (tindakan medik operatif);
11. Progress Notes (Catatan Kemajuan);
12. Final Diagnosis (diagnosis akhir);
13. Summary (Ringkasan); dan
14. Autopsy Findings(Penemuan-penemuan otopsi)
(Periksa.Hayt and Hayt, 1964:5).
Sedangkan observasi lain yang bisa membantu kegunaan Rekam Medik/K antara lain,
ialah (periksa Hayt and Hayt, 1964 : 19):
1. Correct spelling of name of patient and attending physician (menuliskan secara tepat
ejaan nama pasien dan dokternya);
2. method of admission orarrival, i.e., by wheelchair, ambulance, or ambulatory (caranya
pasien datang pada bagian masuk, misalnya dengan ambulance, dengan kursi roda;
3. complete discription of condition of patient on adminission and on discharge, nothing
particulary any mark, bruise, burn, rash or irritation (diskripsi yang jelas mengenai
keadaan pasie pada saat pertama kali masuk, misalnya apakah ada bekas luka bakar atau
iritasi).
4. Admission temperature, pulse and respiration (temperatur pada saat masuk, pulsa dan
respirasi);
5. routine and special procedures (prosedur rutin atau khusus);
6. medication, dosage, and manner of administration (pengobatan, dosis dan cara-cara
administratif);
7. objective signs and subdition (tanda-tanda obyektif dan gejala-gejala (simtom)
subyektif);
8. changes in apperance and mental condition (perubahan lahiriah serta kondisi mental);
9. Compalints (Keluhan); dan
10. Signature of nurse who renders the service (tanda tangan paramedis yang bertugas).

Dengan demikian, menurut kriteria rekam medis modern, agar rekam medik dapat
berfungsi sebagai alat bukti menurut undang-undang di dalam proses peradilan tidaklah
mudah dengantanpa memenuhi persyaratan utama maupun tambahan di atas, walau pun
mengandung/berisi persetujuan antara Pasien atau keluarganya dengan dokter atau
rumah sakit.
Dalam kepustakaan dikatakan bahwa rekam medis memiliki 5 manfaat, yang untuk
mudahnya disingkat sebagai ALFRED, yaitu:
1. Adminstratlve value: Rekam medis merupakan rekaman data adminitratif pelayanan
kesehatan.
2. Legal value: Rekam medis dapat.dijadikan bahan pembuktian di pengadilan
3. Financial value: Rekam medis dapat dijadikan dasar untuk perincian biaya pelayanan
kesehatan yang harus dibayar oleh pasien
4. Research value: Data Rekam Medis dapat dijadikan bahan untuk penelitian dalam
lapangan kedokteran, keperawatan dan kesehatan.
5. Education value: Data-data dalam Rekam Medis dapat bahan pengajaran dan
pendidikan mahasiswa kedokteran, keperawatan serta tenaga kesehatan lainnya.

2.5. Penyimpanan Rekam Medis


Dalam audit medis, umumnya sumber data yang digunakan adalah rekam medis pasien,
baik yang rawat jalan maupun yang rawat inap. Rekam medis adalah sumber data yang paling
baik di rumah sakit, meskipun banyak memiliki kelemahan. Beberapa kelemahan rekam
medis adalah sering tidak adanya beberapa data yang bersifat sosial-ekonomi pasien,
seringnya pengisian rekam medis yang tak lengkap, tidak tercantumnya persepsi pasien, tidak
berisi penatalaksanaan pelengkap seperti penjelasan dokter dan perawat, seringkali tidak
memuat kunjungan kontrol pasca perawatan inap, dll.
Dampak dari audit medis yang diharapkan tentu saja adalah peningkatan mutu dan
efektifitas pelayanan medis di sarana kesehatan tersebut. Namun di samping itu, kita juga
perlu memperhatikan dampak lain, seperti dampaknya terhadap perilaku para profesional,
tanggung-jawab manajemen terhadap nilai dari audit medis tersebut, seberapa jauh
mempengaruhi beban kerja, rasa akuntabilitas, prospek karier dan moral, dan jenis pelatihan
yang diperlukan.
Diantara semua manfaat Rekam Medis, yang terpenting adalah aspek legal Rekam
Medis. Pada kasus malpraktek medis, keperawatan maupun farmasi, Rekam Medis
merupakan salah satu bukti tertulis yang penting. Berdasarkan informasi dalam Rekam
Medis, petugas hukum serta Majelis Hakim dapat menentukan benar tidaknya telah terjadi
tindakan malpraktek, bagaimana terjadinya malpraktek tersebut serta menentukan siapa
sebenarnya yang bersalah dalam perkara tersebut.

2.6 Tujuan dan kegunaan Rekam Medis


Tujuan Rekam Medis adalah untuk menunjang tercapainya tertib administrasi dalam
rangka upaya peningkatkan pelayanan kesehatan,tanpa didukung suatu sistem pengelolaan
rekam medis yang baik dan benar,maka tertib administrasi tidak akan berhasil kegunaan
rekammedis antara lain:
1. Aspek administrasi
Suatu berkas rekam medis mempunyai nilai administrasi, karena isinya menyangkut
tindakan berdasarkan wewenang dan tanggung jawab sebagai tenaga medis dan perawat
dalam mencapai pelayanan kesehatan.
2. Aspek Medis
Catatan tersebut dipergunakan sebagai dasar untuk merencanakan pengobatan/perawatan
yang harus diberikan kepada pasien
Contoh :
_ Identitas pasien _ name, age, sex, address, marriage status, etc.
_ Anamnesis _ fever _ how long, every time, continuously, periodic???
_ Physical diagnosis _ head, neck, chest, etc.
_Laboratory examination, another supporting examination. Etc
1. Aspek Hukum
Menyangkut masalah adanya jaminan kepastian hukum atas dasar keadilan, dalam rangka
usaha menegakkan hukum serta penyediaan bahan tanda bukti untuk menegakkan
keadilan.

4. Aspek Keuangan
Isi Rekam Medis dapat dijadikan sebagai bahan untuk menetapkan biaya pembayaran
pelayanan. Tanpa adanya bukti catatan tindakan /pelayanan, maka pembayaran tidak
dapat dipertanggung jawabkan.
5. Aspek Penelitian
Berkas Rekam medis mempunyai nilai penelitian, karena isinya menyangkut
data/informasi yang dapat digunakan sebagai aspek penelitian.
6. Aspek Pendidikan
Berkas Rekam Medis mempunyai nilai pendidikan, karena isinya menyangkut
data/informasi tentang kronologis dari pelayanan medik yang diberikan pada pasien
7. Aspek Dokumentasi
Isi Rekam medis menjadi sumber ingatan yang harus didokumentasikan dan dipakai
sebagai bahan pertanggungjawaban dan laporan sarana kesehatan.
Berdasarkan aspek-aspek tersebut, maka rekam medis mempunyai kegunaan yang sangat
luas yaitu :
1). Sebagai alat komunikasi antara dokter dengan tenaga kesehatan lainnya yang ikut
ambil bagian dalam memberikan pelayanan kesehatan
2). Sebagai dasar untuk merencanakan pengobatan/perawatan yang harus diberikan
kepada seorang pasien
3). Sebagai bukti tertulis atas segala tindakan pelayanan , perkembangan penyakit dan
pengobatan selama pasien berkunjung/dirawat di Rumah sakit
4). Sebagai bahan yang berguna untuk analisa , penelitian dan evaluasi terhadap program
pelayanan serta kualitas pelayanan
Contoh : Bagi seorang manajer :
-Berapa banyak pasien yang datang ke sarana kesehatan kita? baru dan lama ?
-Distribusi penyakit pasien yang dating ke sarana kesehatan kita
- Cakupan program yang nantinya di bandingkan dengan target program
5). Melindungi kepentingan hukum bagi pasien, sarana kesehatan maupun tenaga
kesehatan yang terlibat
6). Menyediakan data dan informasi yang diperlukan untuk keperluan pengembangan
program , pendidikan dan penelitian
7). Sebagai dasar di dalam perhitungan biaya pembayaran pelayanan kesehatan
8). Menjadi sumber ingatan yang harus didokumentasikan serta bahan
pertanggung jawaban dan laporan

BAB III
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
Rekam medis merupakan bagian penting dari seluruh pelayanan kepada pasien mulai
saat kunjungan pertaman hingga kunjungan-kunjungan berikutnya. Sebagai informasi
tertulis tentang perawatan kesehatan pasien, rekam medis digunakan dalam pengelolaan
dan perencanaan fasilitas dan pelayanaan kesehatan, juga digunakan untuk penelitian
medis dan untuk kegiatan statistik pelayanan kesehatan.
Rekam Medik/Kesehatan (Medical Record) pada hakekatnya merupakan dokumen
hukum yang isinya dapat dibahas dan dipertimbangkan dalam suatu proses persidangan
peradilan (perdata maupun pidana) yaitu sebagai salah satu bukti yang berupa keterangan/
saksi ahli (Expet wittness), Dengan demikian, rekam medis merupakan input yang
relecvan bagi hakim falam mengambil keputusannya.
DAFTAR PUSTAKA

Fred Ameln. 1991. Kapita Selekta Hukum Kedokteran. Jakarta : Grafikatama Jaya.
Gemala R. Hatta. 1986, Peranan Rekam Medik/Kesehatan (medical Record) dalam Hukum
Kedokteran. Makalah. Disampaikan dalam Konggres PERHUKI I,tanggal 8 -9 Agustus
1986 di Jakarta: PERHUKI.

Hayt, Emanuel and Hayt, Jonathan. 1964. Legal Aspect of Medical Record. Illinois:
Physicians Record Company.

Hermien Hadiati Koeswadji. 1984. Hukum da Masalah Medik. Surabaya: Airlangga


University Press.1984. Aspek Medikolegal dari Pelayanan Kesehatan dan Rekam Medik.
Makalah. Suarbaya: Fakultas Hukum UNAIR.

J. Guwandi.1991. Dokter dan Pasien, Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Ninik Mariyanti. 1988. Malapraktek Kedokteran dari Segi Hukum Pidana dan Perdata,
Jakarta : Bina Aksara.

Prasetyo Hadi Purwandoko. 1996. Hubungan Dokter-Pasien dalam Upaya Penembuhan


/Perawatan menurut Hukum Kedokteran. Yustisia Nomor 36 Tahun X, Juni-Agustus 1996.
Surakarta : Fakultas Hukum UNS.

Prasetyo Hadi Purwandoko dan Suranto. 1991. Hukum dan Kesehatan tentang Hukum
Kedokteran. BPK . Surakarta : UNS.

Oemar Seno Adji. 1991. Profesi Dokter, Etika Profesional dan Hukum Pertanggungjawaban
Pidana Dokter. Jakrta : Erlangga.

Soerjono Soekanto. 1989. Aspek Hukum Kesehatan (Suatu Kumpulan Catatan). Jakarta : IN
Hill Co.

Ameln, Fred. Kapita Selekta Hukum Kedokteran. cet. ke-1. Jakarta: Grafikatama
Jaya, 1991.
Cahyono, Akhmad Budi dan Surini Ahlan Sjarif. Mengenal Hukum Perdata. ed.
ke-1. cet. ke-1. Jakarta: CV Gitama Jaya, 2008.
Garner, Bryan A. Ed. Black's Law Dictionary 9th ed. St. Paul Min: West Group,
2009.
Guwandi, J., Dokter, Pasien, dan Hukum. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2007.
Hariyanti, Widi. Analisis Teori Antrian Sebagai Penentu Optimalisasi Pelayanan
Konsumen Pada Intalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Klipang Di
Semarang, Bisnis dan Kewirausahaan. Vol. 2 (2009): 248.
Kerbala, Husein. Segi-Segi Etis dan Yuridis Informed Consent. cetakan ke-1.
Jakarta: PT Penebar Swadaya, 1993.
Komalawati: Veronica. Peranan Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik
(Persetujuan dalam Hubungan Dokter dan Pasien). Cetakan ke-2.
Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002.
Leenen, H.J.J. Pelayanan Kesehatan dan Hukum. Eds. A.F. Lamintang. Bandung:
Binacipta, 1991.
Mariyanti, Ninik. Malpraktek Kedokteran Dari Segi Hukum Pidana dan Perdata.
Jakarta: Bina Aksara, 1998.
Sardjono, Agus. Buku Ajar (Buku A) Hukum Dagang. Depok: Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2004.
Soekanto, Soerjono. Aspek Hukum Kesehatan Suatu Kumpulan Catatan. Jakarta:
Penerbit IND-HILL-CO, 1989.
Subekti. Hukum Perjanjian. cet. ke-12. Jakarta: Penerbit Intermasa, 2002.
- - -. Pokok-Pokok Hukum Perdata. cet. ke-31. Jakarta: PT Intermasa, 2003.
Wibowo, Antonius P.S. Kumpulan Karangan Ilmiah Populer di Media Cetak.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia Atmajaya,1998.

Yunanto, Ari dan Helmi. Hukum Pidana Malpraktik Medik. Yogyakarta: Andi
Offset, 2010.
Tempo Online, Vonis Bebas Untuk Profesi Dokter, Style Sheet.
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1984/08/25/HK/mbm.198408
25.HK41200. id.html (7 April 2012)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek
Kedokteran
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 512/MENKES/PER/IV/2007 tentang Izin
Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor HK.02.02./MENKES/149/I/2010 tentang
Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor HK.02.02./MENKES/148/I/2010 tentang
Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang
Persetujuan Tindakan Kedokteran
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 512/MENKES/PER/IV/2007 tentang Izin
Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 585/MENKES/PER/IX/1989 tentang
Persetujuan Tindakan Medik

Anda mungkin juga menyukai