Anda di halaman 1dari 7

Nasionalisasi Aset sebagai Langkah Strategis Mewujudkan

Kedaulatan NKRI dan Memaksimalkan Pendapatan Negara Sektor


Migas
Hingga saat ini, sektor migas masih menjadi salah satu tulang tunggung
perekonomian nasional, sebagai sumber penerimaan negara dan devisa, bahan bakar
bagi industri, mendorong investasi dan penyerapan tenaga kerja, wahana alih
teknologi, pemenuhan energi domestik dan peningkatan kemampuan sumber daya
manusia serta sumber pengembangan ekonomi daerah.[1]

Dengan masih pentingnya


sektor migas bagi penerimaan
negara, maka manajemen dan
pengelolaan industri migas
yang baik dan aman
diperlukan untuk
memaksimalkan penerimaan
negara dari sektor migas demi
menyokong ketahanan
nasional yang pada akhirnya
untuk kesejahteraan rakyat
Indonesia.

Pendapatan Negara Sektor Migas


Sejak ekspor migas dilakukan tahun 1969, penerimaan migas berjumlah 65 milyar
rupiah. Dalam kurun waktu selama 25 tahun produksi migas (1969-1993), puncak
penerimaan Negara dari migas yakni pada tahun 1990 berjumlah 17,712 triliun
rupiah. Sampai tahun anggaran 1987, penerimaan Negara dari migas masih
mendominasi penerimaan Negara dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara
(APBN). Baru setelah tahun anggaran 1988, peran penerimaan perpajakan sudah
mengalahkan posisi dominan penerimaan migas dalam APBN [2]

Penerimaan Migas berasal dari Pajak Penghasilan (PPh) dan Penerimaan Negara
Bukan Pajak (PNBP) migas. PPh dimaksud yaitu PPh minyak bumi dan PPh Gas
Bumi, sedangkan PNBP migas terdiri dari pendapatan minyak bumi dan gas bumi
serta PNBP lainnya dari Domestic Market Obligation (DMO). Penerimaan migas
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu Lifting migas, Cost Recoverable, Harga
minyak mentah(Indonesia Crude Price/ICP), Nilai tukar rupiah (Rp) terhadap US
Dolar (US$). [2]
a) Pajak Penghasilan (PPh) Migas di Indonesia

Pada periode 2010-2012, Pajak Penghasilan Migas mengalami peningkatan tiap


tahunnya, namun pada tahun 2013 mengalami penurunan sebesar Rp 9,282.8 triliun
.Dan dalam APBN 2014 pemerintah menargetkan penerimaan pajak penghasilan
(PPh) dari sektor migas sebesar sebesar Rp 76,073.6 triliun.[2]

b) Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Migas

Perolehan Negara dari hasil migas merupakan penerimaan Negara bukan pajak dari
sektor migas. Mengenai bagi hasil Migas antara Negara dengan kontraktor dalam hal
berapa bagian persentase dari masing-masing diatur dalam setiap kontrak yang
ditandatangani Negara dalam hal ini BP Migas (sekarang SKK Migas) dengan
kontraktor.

Penerimaan Bukan Pajak dari SDA Migas meningkat dari tahun 2010 hingga 2012
namun untuk tahun 2013 mengalami penurunan tajam sebesar Rp. 25,213.1 triliun
dari Rp. 205,823.5 triliun pada LKPP 2012 menjadi Rp. 180,610.4 triliun pada
APBNP 2013. Untuk target penerimaan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dari
sektor migas dalam APBN 2014 sebesar Rp 196,508.3 triliun. [2]
Berikut ini adalah grafik distribusi penerimaan dari sector migas yang menunjukan
betapa pentingnya sector migas yang menopang rata-rata lebih dari 50% penerimaan
APBN dalam 5 tahun terakhir

Namun sayangnya penerimaan dari sektor migas menurun drastis sejak pertengahan
tahun 2015 yang faktor utamanya disebabkan oleh menurunnya harga minyak
dipasaran dunia

Nasionalisasi Aset sebagai Langkah Strategis Mewujudkan


Kedaulatan NKRI dan Memaksimalkan Pendapatan Negara Sektor
Migas

Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alamnya, baik didarat
maupun dilaut. Salah satunya minyak dan gas bumi yang merupakan sumber daya
alam strategis dan memegang peranan penting tidak hanya bagi perekonomian dan
kesejahteraan nasional namun juga global. Tetapi terdapat keterbatasan untuk
mengelola sumber daya alam tersebut dalam hal sumber daya manusia, teknologi, dan
modal. Untuk mensiasati keterbatasan itu, maka dilakukan kerjasama dengan
perusahaan-perusahaan asing.

Saat ini blok migas yang berproduksi di Indonesia berjumlah 79 dengan rincian 13
blok dipegang oleh kontraktor
nasional yaitu PT. Pertamina atau
bisa dikatakan 83 % blok migas
Indonesia dikuasai oleh swasta /
asing [3]. Mengapa hal ini bisa
terjadi ?

Faktor sumber daya manusia saat ini


bukan lagi hambatan utama karena
sudah banyak terjadi transfer
teknologi dan knowledge kepada
anak bangsa di industri migas selama
1 abad terakhir namun yang menjadi masalah utama adalah bahwa industri migas
merupakan industri padat modal dan memiliki resiko yang sangat tinggi. Dalam
menjalankan bisnis ini, Indonesia menerapkan Production Sharing Contract (PSC)
atau sering juga disebut kontrak kerja sama (KKS). Pada mekanisme ini, perusahaan
migas yang ditunjuk menjadi kontraktor kontrak kerja sama (Kontraktor KKS)
menanggung semua biaya awal kegiatan usaha hulu migas. Biaya-biaya tersebut baru
akan digantikan oleh negara jika wilayah kerja yang mereka garap telah berproduksi.
Apabila kegiatan usaha tersebut tidak berhasil, maka semua biaya yang telah
dikeluarkan tersebut tidak akan diganti atau akan menjadi beban Kontraktor KKS
sepenuhnya.[4] Dengan mekanisme seperti ini Pertamina sebagai BUMN tentu sangat
beresiko jika melakukan eksplorasi dan mengalami kegagalan karena uang miliaran
rupiah yang digunakan pada kegiatan eksplorasi akan hilang begitu saja dan ironisnya
itu adalah uang negara.

Namun itu bukanlah alasan untuk tidak dapat menjadikan Pertamina sebagai
perusahaan nasional untuk menjadi tombak demi mewujudkan kedaulatan negara di
sektor migas. Menjadikan Pertamina sebagai pemain utama dalam sektor migas
bukan hanya baik secara bisnis bagi Pertamina-nya itu sendiri namun juga bagi
negara.
Salah satu langkah untuk mengantisipasi keterbatasan modal adalah dengan
melakukan mekanisme bisnis JoB (Joint of Body) yaitu membentuk perusahaan
patungan antara Pertamina dengan swasta ,seperti yang sudah dilakukan salah satunya
JOB Pertamina-Petrochina East Java untuk lapangan Sukowati Bojonegoro dan Mudi
Tuban ,Jawa Timur.

Langkah Strategis-Nasionalisasi Aset Migas

Nasionalisasi aset migas mutlak diperlukan untuk meningkatkan pendapatan dari


sektor migas

Berdasarkan skema PSC (Prodection Sharing Contract) kontraktor akan mendapat 15


% dari keuntungan hasil produksi suatu lapangan. Dengan Pertamina sebagai
kontraktor maka 100 % keuntungan hasil produksi akan masuk kedalam kas negara
karena Pertamina merupakan BUMN yang 100 % kepemilikannya adalah milik
pemerintah.

Nasionalisasi aset asing tidaklah melanggar hukum karena sesuai dengan UUD 1945.
Dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 2 disebutkan bahwa, Bumi, air, dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan unruk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat dan pasal 33 ayat 3 disebutkan bahwa, Cabang-
cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh negara.[5]

Saat ini ada sebanyak 28 wilayah kerja (WK) migas akan berakhir kontrak kerja
samanya pada 2017 hingga 2022 mendatang [6]. Dan ini merupakan peluang untuk
mewujudkan kedaulatan NKRI di sektor migas terlebih sudah ada regulasi yang
mendukung, yaitu Permen ESDM 15 Tahun 2015 Pasal 2 Ayat 1 yang berbunyi,

Pengelolaan Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi yang berakhir Kontrak Kerja
Samanya dilakukan dengan cara

a. Pengelolaan oleh PT Pertamina (Persero)


b. Perpanjangan Kontrak Kerja Sama oleh Kontraktor
c. Pengelolaan secara bersama antara PT Pertamina (Persero) dan
Kontraktor[7]

Regulasi ini mengedepankan Pertamina sebagai NOC (National Oil Company) untuk
mengelola Wilayah Kerja (WK) yang akan habis masa kontraknya.
Dengan memadukan strength dari sisi regulasi dan opportunity dari sisi kontrak
wilayah kerja migas yang akan habis masa kontrak memunculkan tantangan berupa
kesiapan Pertamina dalam pengelolaan blok migas tersebut. Dan ini bukan tanggung
jawab Pertamina sepenuhnya namun juga Pemerintah sebagai regulator untuk
membuat sebuah regulasi yang dapat memungkinkan terjadinya transfer of
knowledge terhadap suatu blok migas yang akan habis masa kontraknya antara
Pertamina dengan kontraktor lama diblok tersebut.

Kesimpulan

Nasionalisasi aset migas mutlak perlu dilakukan sebagai wujud kedaulatan NKRI di
wilayahnya sendiri dalam sektor migas. Selain merupakan bentuk kedaulatan hal ini juga
dapat meningkatkan penerimaan negara dari sektor migas non pajak dan memaksimalkan
potensi sumber daya manusia dalam negeri melalui Pertamina sebagai NOC (National Oil
Company). Dengan adanya peluang kontrak-kontrak migas yang akan habis masa kontraknya
dan regulasi Permen ESDM 15 Tahun 2015 Pasal 3 Ayat 1 yang mendukung nasionalisasi
kita tetap tidak boleh lengah karena kesiapan Pertamina menjadi taruhannya. Transfer of
knowledge antara Pertamina dengan kontraktor lama dalam suatu Wilayah Kerja (WK) perlu
difasilitasi dalam sebuah regulasi yang harus dibuat oleh pemerintah.

Referensi

[1] www.esdm.go.id/berita/40-migas/6094-wamen-esdm-buka-seminar-
pengelolaan-data-hasil-survei-eksplorasi-dan-eksploitasi-migas.html

[2]www.dpr.go.id/doksetjen/dokumen/apbn_Penerimaan_Migas_dalam_RAPB
N_P_201420140602100733.pdf

[3] www.migas.esdm.go.id/public/images/uploads/posts/daftar-kkks-
produksi.pdf

[4] www.skkmigas.go.id/mengapa-psc-lebih-menguntungkan

[5] UUD 1945

[6] 2015http://www.migas.esdm.go.id/post/read/delapan-kontrak-migas-akan-
berakhir-2018

[7] Permen ESDM 15 Tahun


Profil Diri

Nama saya Muhamad Choirul Azis , saya berasal dari Depok Jawa Barat
dan di Bandung saya tinggal bersama 5 teman di Jl.Flamboyan No.49
Sekeloa Coblong Bandung.

Saat ini sedang meyelesaikan studi di Teknik Perminyakan Institut


Teknologi Bandung dan cukup aktif di organisasi tingkat kampus. Saat
ini sedang menjabat sebagai Kepala Departemen Kajian & Propaganda
HMTM PATRA ITB untuk periode 2016-2017 dan sebelumnya menjabat
sebagai Deputi Pencerdasan Kesenatoran HMTM PATRA ITB periode
2015-2016

Anda mungkin juga menyukai