Anda di halaman 1dari 48

SEJARAH BIDAN INDONESI

Di Indonesia, Bidan dikenal dengan seorang


wanita yang telah lulus pendidikan bidan sesuai
peraturan hukum Indonesia mengani standar Profesi
Bidan, serta dapat meberikan pelayanan atau asuhan
sesuai standardnya.

Wisuda D3 Kebidanan (9 September 2013)

Angka Kematian Ibu dan Angka Kematian


Bayi tinggi saat pemerintahan Hindia Belanda di
Indonesia, dikarenakan pertolongan persalinan
ditolong oleh dukun yang belum mendapatkan
pengetahuan dan pelatihan pertolongan persalinan
bersih dan aman. Pada tahun 1807, Gubernur Jendral
Hendrik William Deandels melatih para dukun dalam

~1~
pertolongan persalinan. Tetapi tidak berlangsung lama
karena tidak ada pelatihan kebidanan. Tetapi pada saat
itu pelayanan kesehatan hanya diberikan kepada
orang-orang Belanda yang berada di Indonesia.

Tahun 1849, dibukalah sekolah kedokteran,


Pendidikan Dokter Jawa di Batavia (yang sekarang
menjadi RSAD Gatot Soebroto). Dan pada tahun 1851
dibuka pendidikan Bidan bagi wanita pribumi di
Batavia oleh dokter militer Belanda (Dr. W Bosch),
yang lulusannya bekerja di RS dan masyarakat. Dan
dari saat itu pelayanan kesehatan ibu dan anak
dilakukan oleh dukun dan bidan.

Tahun 1952, diadakan pelatihan secara formal


untuk Bidan agar dapat meningkatkan kualitas
pertolongan persalinan. Dilanjutkan dengan
diadakannya kursus tambahan bidan (KTB) di
Yogyakarta tahun 1953, lalu berdirilah BKIA yang
memiliki kegiatan antara lain, pelayanan antenatal,
post natal, pemeriksaan bayi dan anak termasuk
imunisasi dan penyuluhan tentang gizi. Dan tahun
1957, BKIA berubah menjadi Puskesmas (Pusat
Kesehatan Masyarakat). Puskesmas memiliki kegiatan
pelayanan kesehatan untuk masyarakat tidak hanya di
dalam gedung melainkan di luar gedung.

Tahun 1990, pelayanan kebidanan mulai


merata dan dekat dengan masyarakat. Presiden
memberikan instruksi pada tahun 1992 secara lisan
pada sidang kabinet tentang perlunya mendidik bidan
~2~
untuk penempatannya di Desa (Bidan Desa). Dengan
tugas yaitu pelaksanaan KIA (Kesehatan Ibu dan
Anak) diantaranya, Bumil, Bulin, Bufas, dan Bayi
baru lahir; termasuk bidan juga melakukan pembinaan
dukun bayi (yang sekarang dikenal dengan bermitra
dengan dukun), serta memberikan pelayanan KB.

Dalam Konferensi Kependudukan Dunia di


Kairo, tahun 1994 membahas perluasan area garapan
bidan yaitu Safe Motherhood termasuk bayi baru lahir
dan perawatan post abortus, Family Planning, PMS
termasuk infeksi saluran alat reproduksi, Kespro
Remaja dan Kespro Orang tua.

Dalam wewenangnya adapun peraturan-


peraturan yang mengatur tentang Bidan:

Permenkes no. 900/menkes/SK/VI/2002 ttg


Registrasi dan Praktik bidan

Kepmenkes no. 369/menkes/SK/III/2007 ttg


Standar Profesi Bidan

Perkembangan Pendidikan Bidan di Indonesia:

1851, dibuka pendidikan bidan bagi wanita


pribumi di Batavia. Pendidikan ini tidak
berlangsung lama karena kurangnya peserta
didik.
1902, dibuka kembali di Batavia.
1904, dibuka pendidikan bidan di Makassar.
Kedua lulusan tsb hrs mau ditempatkan
~3~
dimana saja, dg tunjangan dari pemerintah
Belanda 15 25 Gulden per bulan, naik jadi
40 Gulden per bulan pd thn 1922.
1911/1912, dimulai pendidikan tenaga
keperawatan di CBZ (RSUP) Semarang &
Batavia. Calon diterima dari HIS (SD 7 thn),
lama pendidikan 4 tahun,peserta didik adalah
pria.
1914, diterima peserta didik wanita,& jika
lulus dpt melanjutkan ke pendidikan
kebidanan selama 2 thn.
1935 1938, pemerintah kolonial Belanda
mendidik bidan lulusan Mulo (SLTP bagian
B). Bersamaan jg dibuka dikota besar lainnya :
Jakarta (RSB Budi Kemuliaan), RSB Palang
Dua, RSB Mardi Waluyo Semarang. Bidan
lulusan Mulo disebut Bidan kelas satu; Bidan
lulusan perawat disebut Bidan kelas dua.
1950 1953, dibuka sekolah bidan dari
lulusan SP, dg batas usia min 17 thn, lama
pendidikan 3 tahun. Dibuka juga Penjenang
Kesehatan E atau pembantu bidan. PK-E
adalah lulusan SMP + 2 tahun kebidanan
dasar. Ditutup tahun 1976
1953, dibuka KTB di Jogyakarta, lama kursus
7 12 minggu,
1960, KTB dipindah ke Jakarta
1967, KTB ditutup

~4~
1954, dibuka pendidikan guru bidan, lama
pendidikan mulanya 1 thn, lalu 2 thn
kemudian 3 tahun.
1972, insitusi ini dilebur jadi SGP (sekolah
guru peerawat)
1970, dibuka Program pendidikan bidan dari
SPR + 2 thn, disebut Sekolah Penddikan
lanjutan Jurusan kebidanan (SPLJK).
1974, penyederhanaan pendidikan tenaga
kesehatan non sarjana. Sekolah bidan ditutup,
dan dibuka SPK, tapi tidak berhasil.
1975 1984, institusi pendidikan bidan
ditutup, selama 10 thn tdk menghasilkan
bidan, namun IBI masih hidup.
1981, dibuka pendidikan diploma I kesehatan
ibu & anak, hanya berlangsung 1 tahun.
1985, dibuka PPB, dari lulusan SPR & SPK,
lamanya 1 thn, khusus institusi ttt yg
mengirimnya.
1989, dibuka crash program pendidikan bidan
A (PPB A) secara nasional, status PNS gol II,
ditempatkan di desa. Mulai 1996 mjd Bidan
PTT, kontrak 3 thn, boleh perpanjang 2 3 thn
1993, dibuka PPB B, lulusan Akper, lamanya 1
thn, sbg tenaga pengajar pada PPB A, hanya 2
angkatan.
1993, dibuka juga PPB C, lulusan SMP, lama
pendidikan 6 semester, di 11 propinsi : Aceh,
bengkulu, Lampung, Riau, Kalbar, Kaltim,
Kalsel, Sulsel, NTT, Maluku, Irian Jaya.

~5~
1994-1995, pendidikan bidan jarak jauh
(distance learning), di Jabar, Jateng, Jatim, 22
modul, koordinator Pusdiklat.
1996, pelatihan LSS (life saving skill),
koordinator direktorat kesehatan keluarga
ditjen binkesmas
1996, ACNM mengadakan training of trainer
u/ pelatih LSS.
1995-1998, IBI bekerjasama dg mother care
melakukan pelatihan dan peer review bagi
bidan RS, PKM dan bides di prop kalsel.
1996, dibuka AKBID
2000, dibuka program Diploma IV kebidanan
2000, ada tim pelatih APN,koordinator MNH
2000,dibuka Prog DIV kebid di UGM, 2 smt
2002, DIV kebid Unpad
2004, DIV kebid di USU
2003, D IV kebid di Stikes NWU Semarang
2003, DIV Kebid di STIKIM Jakarta
2004, S1 kebid di Unair
2006, S2 Kebidanan di Unpad

~6~
1. DHIMAS GINANJAR, Jakarta

SENYUM ramah terpancar di wajah Eulis.


Dengan logat Sunda yang kental, dia menyambut
ramah kedatangan Jawa Pos yang menemuinya di
~7~
sebuah rumah makan di kawasan SCBD, Jakarta
Selatan, Kamis pekan lalu (14/7).

Sehari-hari, Eulis bekerja sebagai bidan di


Desa Ujung Genteng, Sukabumi, Jawa Barat. Hari itu,
dia berada di Jakarta karena menerima penghargaan
sebagai bidan teladan.

Dengan senyum mengembang, Eulis


mengungkapkan bahwa dirinya sangat gembira
menerima penghargaan tersebut. "Gara-gara saya
dapat penghargaan ini, Pak Gubernur (Gubernur Jabar
Ahmad Heryawan) akhirnya berkunjung ke desa
kami," kata perempuan 41 tahun tersebut.

Tidak hanya itu, ketika berkunjung ke desa


tersebut, gubernur sempat menjanjikan kepada Eulis
untuk segera membangun puskesmas. Begitu
menyebut puskesmas, dua mata Eulis terlihat berkaca-
kaca. Tak lama berselang, air matanya jatuh
membasahi pipi. "Saya sangat senang. Sebab, sampai
sekarang, desa kami tidak punya puskesmas,"
ungkapnya dengan suara bergetar lantas terisak.

Pendirian puskesmas memang menjadi


dambaan Eulis. Sebab, selama ini, penanganan
kesehatan warga di desa itu hanya bisa dilakukan
seadanya di pondok kesehatan desa (poskesdes).
Maklum, jarak puskesmas terdekat dari desa tersebut
mencapai 30 km. Ongkos sekali jalan saat siang
mencapai Rp 50 ribu dan naik 100 persen saat malam.
~8~
Ujung Genteng adalah sebuah desa di
Sukabumi yang dihuni 4.438 penduduk dengan 1.251
KK (kepala keluarga). Potret sebagai desa tertinggal
terlihat pada jumlah keluarga prasejahtera yang
mencapai separonya. Sisanya termasuk dalam
keluarga sejahtera 1 (mudah jatuh miskin).

Menurut Eulis, sangat sulit menuju Desa


Ujung Genteng. Sebab, tidak banyak kendaraan
umum yang tersedia. Selain itu, kondisi jalan masih
sangat parah karena berlubang-lubang dan berkelok-
kelok. Dari Kota Sukabumi, sedikitnya butuh lima
jam perjalanan dengan mobil untuk menuju desa itu.

"Ketika awal-awal bertugas di desa itu pada


1991, saya sempat gundah," ceritanya. "Minimnya
sarana dan infrastruktur serta sulitnya medan yang
harus saya tempuh sempat membuat saya hampir
menyerah," lanjutnya. Namun, kondisi yang sulit
tersebut justru memacu semangatnya.

Yang menjadi cambuk bagi Eulis kala itu, di


desa tersebut tidak ada lagi bidan. Sulitnya medan
juga membuat dia yakin bahwa warga sangat
mengandalkan kehadiran dirinya. Harapan tinggi
wargalah yang akhirnya membuat lulusan sekolah
bidan di Bandung tersebut bertekad untuk bisa
berbuat sesuatu.

Dia mulai mempelajari karakteristik warga.


Mulai pola menjaga kesehatan, budaya dalam
~9~
persalinan, hingga penanganan dalam keadaan
darurat. "Ternyata, semua masih dilakukan secara
tradisional dengan sedikit klenik," jelasnya.

Dia lantas mencontohkan masalah persalinan.


Setiap ibu yang akan bersalin (melahirkan) selalu
dibawa ke dapur. Tak cukup itu, si ibu harus berada di
kolong tempat tidur. Di kolong sempit itulah sang ibu
berjuang melahirkan bayi bersama dukun. "Menurut
keyakinan mereka, ibu melahirkan itu kotor. Karena
itu, harus dibawa ke dapur," tuturnya.

Tidak hanya itu, jaminan kesehatan


masyarakat (jamkesmas) dan jaminan persalinan
(jampersal) hampir tidak berarti bagi warga Desa
Ujung Genteng. Semua itu percuma. Sebab, untuk
menuju rumah sakit terdekat, yakni RS Jampang,
jaraknya mencapai 60 km dari Desa Ujung Genteng.
Sebelum RS tersebut didirikan sekitar 2004, warga
Ujung Genteng harus menuju wilayah Sekar Wangi,
Sukabumi, dengan jarak 160 km.?

Yang membuat Eulis geregetan, warga desa


sering ditolak masuk RS karena pasien sudah
membeludak. Karena tanggung untuk balik ke desa,
akhirnya mereka terpaksa mencari RS lain. Ibu tiga
anak itu pernah menangani kasus persalinan dan
terpaksa membawa ke Bogor hanya untuk berobat.
"Transpornya saja sudah habis Rp 1 juta," ungkapnya.

~ 10 ~
Akhirnya, dia berpikir agar warga desa bisa
mandiri. Saat panas-panasnya reformasi 1998, Eulis
mulai menjalankan strateginya memberdayakan warga
desa. Dia mulai membentuk kelompok arisan WC.
Tujuannya, meningkatkan jumlah WC di setiap RT.
Maklum, saat itu, sangat sedikit warga yang
mempunyai WC di rumahnya. "Harapan saya,
kesehatan warga bisa membaik," terangnya.

Cara arisan WC itu, warga saling memberikan


subsidi silang untuk membuat WC. Dari program
tersebut, jumlah WC di tiap-tiap RT meningkat. Kalau
sebelumnya hanya 500 orang yang punya WC,
sekarang sudah tinggal 100-an rumah yang tanpa WC.
Eulis mengklaim, warga saat ini lebih bersih dan
kesehatannya juga meningkat.

Selain itu, dia menciptakan program arisan


sebagai dana cadangan kalau ada keperluan
pengobatan dan biaya persalinan. Agar warga mau
bergabung, program tersebut diberi nama unik:
"Seliber".?Singkatan dari seliter beras. Yakni,
program pengumpulan beras bagi para warga yang
bekerja sebagai petani dengan cara mengumpulkan
dua sendok beras setiap hari.

Dari program tersebut, dalam sebulan, setiap


petani mempunyai 60 sendok beras yang setara
dengan seliter beras. Beras dari seluruh petani itu
dikumpulkan dan dijual kepada tengkulak. Hasilnya,
uang tersebut dijadikan dana simpanan untuk keadaan
~ 11 ~
darurat. "Gampangnya, petani yang butuh uang untuk
berobat tinggal mengajukan," jelasnya.

Bagi para nelayan, ada pula arisannya, yakni


Meronce Kasih. Polanya sama seperti arisan seliber.
Bedanya, pada arisan Meronce Kasih, nelayan
mengumpulkan sekilo ikan dengan kualitas paling
rendah setiap pergi melaut. Pola yang sama
diberlakukan bagi penyadap gula aren dengan
mengumpulkan 2 kg aren per bulan.

Para penambang pasir juga memiliki


arisannya, yakni diberi nama Limaribu Kasih.
Caranya, mengumpulkan Rp 5.000 setiap bulan. Tidak
hanya itu, Eulis juga menciptakan jaminan asuransi
kesehatan yang disebut Askes Lembur. Itu merupakan
asuransi kesehatan yang hanya berlaku di lembur
(sebutan kampung, Red). "Semua untuk dana darurat
kesehatan," paparnya.

Kemudian, dia menggagas rumah singgah.


Yakni, pemberdayaan rumah warga sebagai tempat
persalinan yang layak untuk ibu bersalin. Gagasan
rumah singgah itu muncul karena pengalaman Eulis
mengantarkan seorang ibu bersalin ke puskesmas
terdekat saat malam dan hujan. "Medan yang berat
membuat mobil terperosok di salah satu ruas jalan,"
kenangnya.

Dia lantas berjalan kembali ke desa dan


membangunkan hampir seluruh warga RT untuk
~ 12 ~
membantu membebaskan mobil yang terjebak di
lumpur selama hampir sejam itu. Tidak mau kejadian
tersebut terulang, dia lantas bernegosiasi dengan
warga untuk menyediakan rumah mereka sebagai
rumah singgah.

Warga yang memiliki rumah di tengah jalan


dirayu agar mau menyediakan satu kamar untuk
persalinan. Tidak mudah memang. Dengan berbagai
alasan, akhirnya ada juga warga yang bersedia.
Rumah singgah tersebut kemudian dilengkapi
perlengkapan persalinan. "Ruangannya harus bersih,
steril dan nyaman untuk persalinan," tambahnya.

Eulis juga rutin mengadakan Tabulin


(Tabungan Ibu Bersalin) yang berarti persiapan dana
saat melahirkan. Setiap hari, para ibu diminta
mengumpulkan Rp 1.000. Uang tersebut nanti
diberikan kepada ibu yang melahirkan lebih dulu.

Untuk menghilangkan batas antara wilayahnya dan


daerah lain, dia menggugah warga untuk mendukung
program ambulans desa. Namun, bukan patungan
untuk membeli ambulans. Warga yang memiliki
kendaraan seperti mobil, motor, atau kendaraan apa
pun dimintai komitmen untuk membantu warga.
"Digunakan oleh warga yang memerlukan kapan
pun," tegasnya.

~ 13 ~
Saat ini, warga Desa Ujung Genteng telah
merasakan manfaat pemikiran Eulis. Kegigihan Eulis
membuat dirinya dinobatkan sebagai bidan teladan.
Saat ini, dia masih menjadi satu-satunya bidan di desa
tersebut. Dia berharap gubernur tidak mengingkari
janjinya untuk membangun puskesmas.

2. CERITA WANTI, WANITA YANG INGIN


ANGKAT BIDAN JADI PROFESI MULIA

Cita-cita Sri Kuswanti hanya satu, ia ingin


menjadikan bidan sebagai profesi yang luhur dan
patut dihargai masyarakat. Sebab, sejauh ini bidan
kerap masih dianggap "sebelah mata". Bahkan, bidan

~ 14 ~
tak lebih dari sekadar profesi sampingan yang tidak
bisa dijadikan sandaran hidup.

Misi itulah yang mendorong Wanti - panggilan


akrab Sri Kuswanti - Ketua Ikatan Bidan Indonesia
(IBI) Kabupaten Magelang, untuk berjuang
memberdayakan ratusan bidan di Kabupaten
Magelang menjadi bidan dengan standar kompetensi
tinggi. Keinginan Wanti tidak berlebih, jika berkaca
pada pengalaman pahit getir selama dia bertugas
menjadi bidan di beberapa pelosok desa di Kabupaten
Magelang.

Sekitar tahun 1986, Wanti pernah bertugas di


Puskesmas Giripurno, Kecamatan Borobudur. Ketika
itu, Wanti hanya seorang diri menjadi bidan yang
harus menangani puluhan pasien ibu hamil di wilayah
perbukitan Menoreh itu.
Tidak jarang Wanti harus naik turun bukit,
menyeberang sungai, tidak peduli apakah siang
ataupun tengah malam, Wanti harus menangani pasien
yang hendak melahirkan tersebut. Belum ada listrik,
bahkan fasilitas kendaraan yang bisa dipakai pun
tidak ada, kecuali motor butut miliknya. "Ketika itu
saya harus menangangi ibu yang sudah melahirkan
bayi tetapi plasentanya masih tertinggal di rahim.
Saya juga pernah mendapati ibu dan bayi yang
meninggal akibat salah penanganan oleh dukun

~ 15 ~
beranak. Jaman dahulu masyarakat masih saja percaya
dukun daripada tenaga media. papar Wanti.

Saat itulah, Wanti pertama kali berceramah


kepada seluruh warga dan tokoh masyarakat
Borobudur, termasuk para dukun, tentang pentingnya
penanganan persalinan dengan benar sesuai ilmu
medis. Tidak disangka, banyak warga dan dukun-
dukun yang kemudian mau kursus/belajar tentang
persalinan. Salah satu pengalaman berkesan bagi
Wanti, adalah ketika terjadi erupsi Gunung Merapi
2010 silam.

Gubernur Jawa Tengah yang saat itu dijabat


oleh Bibit Waluyo memerintahkan seluruh tenaga
medis termasuk bidan untuk tidak turun karena harus
turut menyelamatkan warga. "Ada banyak bidan yang
ada di lereng Merapi, seperti di Kecamatan Srumbung
dan Dukun. Mereka kebingungan, di satu sisi mereka
harus menyelamatkan pasien, di satu sisi ketakutan
dengan bencana dahsyat itu. Saya bilang ke mereka:
'jangan jadi pahlawan kesiangan, segera selamatkan
diri setelah pasien dievakuasi',"kata istri dari Laely
Sanjoko itu.

Seiring berjalanan waktu, Wanti semakin


yakin jika profesi bidan bisa memberikan pelayanan
lebih bagi masyarakat. Meski Wanti tidak menampik
saat ini masyarakat masih memandang sebelah mata,
dibanding dengan tenaga medis lainnya yang lebih
pengalaman darinya. Ibu kelahiran 2 Januari 1959 itu
~ 16 ~
tidak putus asa. Ia lantas mendata seluruh bidan yang
ada di Kabupaten Magelang, kemudian mengajak
mereka menggelar berbagai seminar hingga pelatihan
keahlian.

Saat ini tercatat ada sekitar 506 bidan tersebar


diKabupaten Magelang. Sekitar 125 orang
diantaranya sudah menjadi bidan delima. Aktifkan
Organisasi
Belum puas sampai di situ, ratusan bidan itu belum
terwadahi dalam sebuah organisasi yang terstruktur,
maka Wanti bertekad mengaktifkan Ikatan Bidan
Indonesia (IBI) Kabupaten Magelang. Pada tahun
2003-2009, Wanti secara aklamasi dipilih menjadi
Ketua IBI Kabupaten Magelang, hingga terpilih
kembali pada periode berikutnya.

Namun sayang, kata Wanti, IBI Kabupaten


Magelang belum memiliki gedung. Sehingga tidak
jarang Wanti dan para anggota disia-siakan, bahkan
oleh instansi pemerintahan yang dipinjami gedung
untuk kegiatan IBI.

Sejak itu, ibu dua putri itu bertekad untuk


membangun gedung milik IBI Kabupaten Magelang.
"Waktu itu, kami ingin beli tanah seharga Rp 115 juta.
Padahal kami hanya punya uang kas Rp 45 juta saja.
Kami nekat beli tanah itu. Kami ajak para pengurus
patungan dan bersyukur mereka bersedia hingga
akhirnya tanah itu terbeli," kata Wanti, yang kini

~ 17 ~
menjabat sebagai Kabid Sumber Daya Kesehatan,
Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang.

Tanah seluas 850 meter persegi itu kemudian


dibangun gedung IBI Kabupaten Magelang lantai tiga
dan telah diresmikan oleh Bupati Magelang Singgih
Sanyoto, 24 juni 2013 lalu.

Harapan Wanti, dengan adanya gedung itu,


anggota IBI tidak perlu lagi susah payah menyewa
gedung lain untuk menyelenggarakan kegiatan
pelatihan. "Kami kemudian membuat kebijakan iuran
sukarela, setiap anggota Rp 10.000, uangnya untuk
menyicil membangun gedung hingga perawatannya,"
ujar Wanti, yang pernah mendapat predikat Bidan
Teladan Kabupaten Magelang pada tahun 1986 itu.

DIPROTES

Meski demikian upaya Wanti tidak selalu


berjalan mulus, Wanti pernah didemo oleh ratusan
bidan anggota IBI Kabupaten Magelang, lantaran
kebijakan iuran yang dinilai sangat membebani
anggota.

"Saya ajak seluruh anggota IBI berkumpul di


GOR Gemilang Kabupaten Magelang. Di sana saya
katakan bahwa saya siap mundur. Saya juga katakan
kepada mereka kapan lagi bidan punya gedung sendiri
yang bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan

~ 18 ~
kompetensi diri. Saya beri motivasi mereka hingga
akhirnya mereka sepakat untuk kompak membangun
IBI, urai Wanti.

Melalui organisasi itu, ia ingin bisa


mengakomodasi teman-teman sesama bidan,
membenahi sumber daya manusia dan yang tidak
kalah penting adalah standarisasi bidan dan pelayanan
bagi masyarakat. Sehingga citra bidan terangkat
sebagai profesi yang mulia, bukan sekedar profesi
pembantu.

~ 19 ~
3. SUSILAWATI: BIDAN DAN PARAJI
HARUS BERDAMPINGAN

Susilawati, bidan yang saat ini menjadi bidan


koordinator di Puskesmas Jatisari. Menurutnya,
menjadi seorang bidan itu tidak mudah, pasalnya
pandangan masyarakat terhadap bidan adalah orang
yang ahli dibidang kesehatan. "Bidan adalah seorang
wanita yang lulus dari akademis kebidanan yang
berkompeten melayani masyarakat. Sebagai bidan
komunitas harus bisa melayani masyarakat disemua
bidang khususnya tentang kesehatan reproduksi," ujar
Susilawati, kepada RAKA, Selasa (16/9).

Perempuan yang sudah menjadi bidan sejak


tahun 1992 itu, mengaku banyak menemukan
pengalaman menarik atas profesi yang digelutinya.
Baik itu pengalaman pahit maupun manis. Yang jelas,
menurut Susi, bekerja menjadi seorang bidan harus
memiliki sifat sabar dan ramah kepada siapa pun.
"Mulai dari bidan desa banyak pengalaman yang amat
~ 20 ~
sangat menyentuh hati, padahal saya ditempatkan
bukan di desa yang tertinggal tapi pada waktu itu
masih banyak sekali yang lahir oleh paraji, sehingga
langkah pertamanya adalah merubah paradigma
masyarakat akan penting persalinan, ujaranya.

Karena menurutnya, posisi paraji itu juga tidak


mesti dihilangkan, melainkan saat melakukan
persalinan harus juga didampingi oleh orang yang
faham di dunia medisnya yaitu bidan. "Jadi harus
beriringan memang, nah untuk merubah kesadaran
masyarakat akan hal itu cukup berat, pasalnya
memang masyarakat sudah terbiasa saat melakukan
persalinan hanya dibantu oleh paraji saja,Ujarnya.
Tapi, tambahan Susi, lambat laun, masyarakat juga
memahami akan pentingnya kesehatan, kemudian
pentingnya konsultasi dengan bidan terkait kesehatan
reproduksi. "Ya alhamdulillah masyarakat sudah
semakin faham bagaimana pentingnya kesehatan
reproduksi," pungkasnya. (zie)

~ 21 ~
4. JADI BIDAN SIAPA TAKUT ?

Ini Pengalaman Bidan "Ngantor" 17 Februari


2012 10:27:36 Diperbarui: 25 Juni 2015 19:32:15

Banyak sahabat yang bertanya- tanya, saya ini


sebenarnya berdomisili dimana sih? Banyak tempat
dan bahasa daerah yang saya tahu meskipun sedikit-
sedikit he he he. Itulah untungnya jadi bidan.
Melayani banyak orang bermacam- macam suku dan
bahasa. Kebetulan bidan seperti saya "Kantornya"
pindah - pindah sesuai kebutuhan Yayasan Rumah
sakit tempat bekerja. Jika semua orang bercerita
tentang meja kantor, saya cuma senyam- senyum
saja.

Lha memang tidak bermeja. Maksudnya


datang bekerja tak pernah duduk manis di belakang
meja kantor. Masuk ruang bersalin langsung kaki
bergerak ke sana- kemari. Kalau sampai bu bidan
duduk di balik meja, itu tanda berarti bu bidan
pasienya sedang sepi he he he. Atau kemungkinan lain
sedang memberikan konseling Keluarga Berencana
atau melayani posyandu dan duduk di antara meja 1
sampai meja lima. Oh iya pernah teman facebook ada
yang bilang saya menulis kesehatan pasti bidan yang
~ 22 ~
kerja di kantor, bisa online dan hanya teori melulu
tidak pernah lagi ke lapangan. Tidak apa hehehe...
Asal tahu saja saya tiap hari juga kerja shift pagi,
siang, malam dan beberapa kegiatan lain di luar tugas.
Di Rumah sakit khusus bertugas melayani pasien,
tidak menulis online. Jadi jika libur tugas dan bila
ada waktu baru saya usahakan menulis kesehatan di
Kompasiana untuk berbagi.

Pernah tidak membayangkan tempat tugas


bidan? Saya beri gambaran sedikit dulu. Bidan ada
banyak peluang tempat bekerja, ada yang buka
praktek sendiri atau disebut BPS( Bidan Praktek
Swasta ), ada yang bekerja di Rumah sakit, ada yang
di bidang Pendidikan sebagai Dosen, ada yang
bertugas di Dinas kesehatan dan instansi terkait yang
memerlukan tenaga kebidananan. Saya bekerja di
Rumah Sakit Swasta.

Sudah berapa lama jadi bidan? Lumayan baru,


ya kira kira baru 15 tahun dan sebelumnya saya
adalah perawat selama 4 tahun. Lalu bertempat
tugasnya dimana sebenarnya kog kadang di Malang,
di Lombok, di Palembang , Surabaya? ini bidan asli
atau aspal ? hehehehe Bidan asli. Berijasah resmi dan
anggota dari Ikatan Bidan Indonesia. Nah kapan -
kapan saya ceritakan apa itu Ikatan Bidan Indonesia.

Tempat tugas, saya pernah di Sumatera selatan


tepatnya di Palembang selama tiga tahun dan
selebihnya di Jawa Timur dan sekitarnya lima belas
~ 23 ~
tahun terakhir ini. Tugas di Nusa Tenggara Barat juga
pernah. Konsekwensi saya sebagai karyawan Rumah
Sakit Swasta kadang ditugaskan sewaktu - waktu ke
tempat cabang. Seperti Tentara saya tidak boleh
menolak tugas dan malah senang .

Lho kog bisa? Bayangkan saja saya tidak


pernah bercita - cita berekreasi ke pulau Lombok yang
eksotis itu. Eh tiba - tiba saat saya sedang bertugas,
direktur menelpon saat itu juga saya harus berkemas
di kirim ke Lombok. Ternyata bidan yang tugas di
sana sakit, sedangkan ada pasien mau melahirkan
anak ke tiga sudah pembukaan 4 cm. Nah lho,
akhirnya saya yang sudah terbiasa tugas mendadak ya
langsung berangkat saja diantar ke Bandara Juanda.
Sampai bandara Selaparang, di sana sudah dijemput
ambulan rumah sakit S.A di Karang Ujung Ampenan.
Saya langsung segera mandi, ganti pakaian. Belum
sempat minum teh, ealah pasiennya sudah mau
melahirkan hehehehe. Malah datang beruntun tiga
pasien baru datang mau melahirkan juga.

Iya begituhlah meskipun letih namun terhapus


dengan nikmatnya sepiring plecing kangkung dan sate
ikan di pantai Ampenan yang hanya berjarak 10 menit
jalan kaki. Bisa juga ke Senggigi menikmati
indahnya hamparan pasir putih dan deburan ombak
pantainya. Banyak pengalaman seru di sana, oya
pernah melayani pasien suku Sasak asli melahirkan di
rumah sakit S.A dan sempat perdarahan. Waduh

~ 24 ~
dikerubung orang kampung kerabat mereka yang
antar hehehehe, untung selamat pasiennya. Lega deh.
Ketika saya mau pulang ke Jawa dapat ucapan
terimakasih patung asli dari salah satu pasien suku
Sasak dan berbagai oleh- oleh yang akkhirnya saya
tinggal di asrama karena over bagasi hehehehe.

Pernah juga menolong ibu melahirkan seorang


guru di Mataram dan ari - arinya ( plasenta ) sulit
lahir, bayinya prematur juga. Bidan hanya saya
sendirian. Untung akhirnya ibu dan bayi selamat.
Kekuatan saya bila sedang sendirian bertugas hanya
doa, saya dan ilmu bukanlah apa - apa dibanding
kekuasaan Tuhan.

Saya juga pernah tugas di Batu,Klinik M. R ,


tahun 2005. Pernah semalaman suntuk saya menolong
melahirkan lima pasien. Tiba dini hari pukul 01:00
WIB, ada pasien baru lagi akan melahirkan. Hamil
anak pertama letak lintang dan saya lihat tangannya
bekas infus semua. Kesimpulan saya pasti pasien ini
minta pulang paksa dari rumah sakit. Saat saya
periksa memang sudah jelas posisi bayi letak lintang,
maka saya merayu pasiennya agar mau saya antar lagi
ke Rumah sakit di Malang. Eh si pasien tetap nekad
duduk ndeprok di kaki saya memohon - mohon jangan
dikirim ke rumah sakit. Di sisi lain dilema bagi saya
karena persalinan untuk bidan hanya boleh yang
normal saja. Saya sudah menjelaskan tentang seluruh
resiko yang terjadi pada persalinan dengan kelainan

~ 25 ~
letak dan mengapa harus operasi Caesar. Tetapi
dengan menangis dia tetap tidak mau, pokoknya mau
tidur di Klinik kami semalam. Dia hanya punya uang
Rp 600 ribu rupiah. Padahal biaya operasi sekitar 6
juta rupiah. Sebagai buruh Tani dia tidak punya biaya.
Saya ijinkan menginap malam itu. Di kamar saya
berdoa semoga ada mukjizat Tuhan untuk ibu miskin
itu. Saya juga minta suaminya sembahyang dan
berzikir. Keputusan akan kami bicarakan besok
paginya. Ketika itu belum ada Jampersal. Ketika
pagi- pagi saya periksa, ternyata bayinya sudah posisi
kepala kendati masih agak sedikit miring. Untungnya
memang bayinya kecil, 2500 gram. Tanpa saya
lakukan tindakan apapun si bayi memutar sendiri.
Mungkin si bayi tahu orangtuanya tidak mampu dan
Tuhan menolong ibu itu. Saat itu saya tolong
melahirkan dengan lancar. Ibu si pasien sampai
menangis dan bersujud pada saya mengucapkan
terimakasih. Saya bilang Tuhan yang menolong, saya
hanya perantara saja.

Pernah juga pengalaman waktu tugas di


Sumatera Selatan, sekitar tahun 1996 ada bayi letak
sungsang tidak lahir - lahir sudah dua malam di Balai
Pengobatan di Air Sugihan jalur 20. Akhirnya kami
kirim dengan naik speed boat ke Palembang menuju
rumah sakit Charitas. Belum sampai di dermaga bayi
sudah nongol duluan, untungnya kami bawa
perlengkapan menolong melahirkan. Wah saya
bersama senior berpikir, mungkin guncangan nombak
~ 26 ~
sungai Musi ya yang membuat ibu itu melahirkan
hehehe. Tetap posisi Sungsang sih, tapi ya syukur
lancar. Padahal persalinan sungsang kadang bersiko
macet juga.

Sekedar berbagai buat sahabat kompasiana


dan untuk yang sedang kuliah Bidan semangat iya !
jadi Bidan siapa takut

5. BIDAN SALAH BERDOA

Sudah umum bagi kami kumpulan bidan saling


berkunjung ke rumah teman. Walaupun masih belum
~ 27 ~
akrab dengan para suami teman kami berusaha untuk
saling berkunjung. Nah kisah ini berkaitan dengan
kebiasaan kami menyebut nama panggilan teman.
Karena terlalu banyak nama Tuti di tempat kuliah,
maka kami panggil nama aslinya lalu dikuti nama
suami. Anehnya ada satu teman yang nama suaminya
ini tak disebutkan. Namanya Tuti CHIPS.

Saat itu kami hadir acara selamatan rumah


barunya. Tibalah saat doa makan. Para bidan
menunjuk salah seorang teman baru kami namanya
Yustin berasal dari Sumbawa untuk berdoa sebelum
pesta dimulai. Dengan khusyuk Yustin ini mulailah
berdoa.Di akhir doanya... " Semoga Tuhan
memberikan rahmat kesehatan, rejeki dan
kebahagiaan bagi keluarga bapak ...( dia sempat
berhenti ragu, lalu melanjutkan) bagi keluarga bapak
CHIPS " Katanya mantab sambil menutup doa.

Kontan saja kami tertawa cekikikan...dasar ibu


- ibu bidan pada tidak bisa menahan tertawa.
Memang ada apa pada tertawa? Si Yustin clingak -
clinguk tanya kanan kirinya. lha wong nama suaminya
bukan CHIPS!..Lihat tuh suaminya Tuti pun ikut
tertawa geli lihat ibu - ibu bidan teman istrinya . Ealah
tahu tidak, ternyata CHIP'S itu nama beken suaminya
ketika dulu mereka masih pacaran di asrama.
Daripada salah panggil Tuti yang mana karena banyak
sekali, maka di asrama dia dikenal dengan nama " Tuti

~ 28 ~
CHIP'S" . Masih ingat kan, dulu ada film seri
CHIP'S..itu lho yang film tentang POLISI. he he he.

Nama Suaminya yang asli Bambang, dia


seorang Polisi. Jadi ceritanya waktu dia pacaran
bersamaan dengan lagi trendnya film seri CHIP'S
masa itu. Akhirnya dia dijuluki Tuti CHIP'S hingga
saat ini he he he.

~ 29 ~
6. BIDAN MERUJUK KAMBING

Kisah teman saat kami perjalanan rekreasi


bidan ke Tretes. Seorang bidan sambil berdiri dalam
bis ia mengisi waktu untuk share pengalaman. Suatu
hari tetangganya datang ke kliniknya. " Bu bidan,
tolong bu kambing saya dari tadi kesakitan mau
beranak tapi anaknya tidak bisa keluar" kata
tetangganya itu " Waduh, maaf pak saya tidak bisa
menolong kambing melahirkan" jawab teman bidan
tadi. "

Bu bidan tolonglah bu, kasihan kambing saya


bu pendarahan banyak." si tetangga nekad saja terus
memohon -mohon. " Pak, ilmu saya khusus untuk
manusia pak, mohon maaf sungguh saya tidak bisa
membantu" bidan itu berusaha meyakinkan. " Pasti
bisa bu, ibu kan pintar menolong bayi manusia,
apalagi ini cuma bayi kambing pasti bisa !" katanya
ngotot. " Baik, saya lihat dulu" si teman bidan ini
sambil geleng - geleng heran lihat ngototnya bapak
itu. " Duh pak , anak kambing ini letaknya melintang
barangkali, kalau bapak mau saya antar ke RS hewan
untuk dibantu dokter hewan" Akhirnya si bidan itu
mengantar bapak dan kambingnya ke rumah sakit
hewan di Surabaya selatan.

Menurut keterangan tetangga tadi, nasib si


kambing itu anaknya berhasil dikeluarkan dengan
~ 30 ~
operasi he he he. Kontan saja kami seisi bus
pariwisata ngakak terpingkal - pingkal. Waduh bidan
merujuk kambing nih ha ha ha.

7. BIDAN NYUNTIK KB KUCING

Bidan Retha suka sekali dengan kucingnya


yang lucu. Kucingnya juga sudah divaksin untuk
binatang. Tapi sayang si kucing ini suka banget
keluyuran keluar rumah.Si kucing bernama Trinil
sering pergi pacaran dengan kucing lain dan hamil.
Awalnya tak tega kasihan melihat kucingnya makin
kurus akibat sering beranak.

Selain itu Retha juga jengkel dengan


kucingnya yang gampang hamil ini. Ia ingin
kucingnya tetap sehat. Maka tak ada pilihan lain
terpaksa si Bidan Retha memberikan obat suntik KB
untuk si kucing he he he. Akhirnya si kucing tidak
hamil lagi dan badannya gemuk lucu karena teratur
suntik KB sesuai dengan jadwal suntik pasien KB
he he he. Dasar kucing...masih saja tetap hobi pacaran
di luar rumah Retha. Heheheheeh

~ 31 ~
8. KISAH NYATA ARWAH BIDAN DEWI
TEROR EKSEKUTOR

Teror - Bak di film-film horor, arwah bidan


Nurmala Dewi boru Tinambunan (23), acap kali
meneror tersangka eksekutor, Rizky Darma Putra (23)
alias Gope, selama dia mendekam di sel tahanan

~ 32 ~
Polresta Medan. Arwah Dewi menuntut balas atas
kematian sadis yang dideritanya dengan
meninggalkan tetesan darah. Hi, seram!

Pengakuan Rizky Darma Putra (23) alias


Gope, selama mendekam di sel tahanan Polresta
Medan arwah bidan Dewi sering menerornya.
Peristiwa yang paling membuatnya ketakutan saat roh
penasaran itu meninggalkan tetesan darah di dalam
Ruang Tahana Polresta (RTP) Polresta Medan Blok D.

"Sebelum aku mimpi dia bang, kepala aku


tiba-tiba sakit kayak berputar-putar gitu," katanya.
Akibatnya, pria beranak dua itu sakit. "Badan aku kek
kaku gitu. Sakit kalilah pokoknya bang, leher aku saja
macam tertekan gitu," ucapnya. Mantan sales rokok
itu mengaku saat didatangi arwah Nurmala Dewi
Boru Tinambunan tercium wangi bunga kantil dan
pakaiannya putih-putih.

Dari balik jeruji besi, Dewi bertanya kepada


Gope siapa yang menyuruhnya untuk membunuh.
"Ditanya aku, siapa yang nyuruh membunuh. Dia di
depan blok aku gitu," katanya seraya menunjukkan
tangannya yang merinding. "Merinding aku jadinya
bang,sambunganya.

Mendengar ucapan itu, Gope pun menjawab


kalau dirinya hanya disuruh. "Aku bilang lah aku
cuma disuruh, putih semua pakaiannya pokoknya
cantiklah," ujarnya.
~ 33 ~
Yang kedua, katanya, arwah bidan Puskesmas
Teladan itu kembali mendatangi Gope. "Besoknya,
masuk lagi dia dalam mimpi aku bang," katanya.
Dewi mengatakan kepadanya sedih melihat Gope
karena anaknya masih kecil-kecil.

"Sedih dia lihat aku, karena anak aku masih


kecil-kecil katanya. Mau aja kau disuruh orang,"
kenangnya. Mendengar ucapan Dewi itu, Gope pun
meminta maaf kepadanya. "Minta maaf lah aku sama
dia, baru hilang tiba-tiba bang," ucapnya.

Kemudian, esok harinya lagi-lagi, Gope


mengaku didatangi dua bayangang laki-laki yang
hendak mencabut nyawanya. "Besoknya aku mimpi
lagi, tapi bukan si Dewi yang datang. Laki-laki datang
dua orang, macam mau dicabutnya nyawa aku,"
katanya.

"Yang paling aku tidak percaya bang, netes


darah dari atas. Ada dua kali netes, pas di samping
aku," katanya. Saat itu, dirinya sedang terbaring di
balik jeruji sel tahanan Polresta Medan. Tiba-tiba,
dilihatnya darah menetes tepat di sampingnya. "Dua
tetes darahnya bang, aku lihat ke atas disemen ya.
Dari mana netesnya," ucapnya.

Melihat hal itu dia memberitahukan kepada


teman-temannya, sehingga satu blok di dalam tahanan

~ 34 ~
itu heboh. "Asli tidak tidur aku bang, sampai aku
diperiksa. Aku ceritakan ke polisi tapi nggak percaya
polisinya. Ujarnya.

Menurutnya, aksi penembakan itu


dilakukannya karena dirinya disuruh. "Cuma disuruh
aku bang, aku butuh uang. Karena sudah setahun aku
nganggur," ucapnya.

Sementara berdasarakan hasil pemeriksaan


saat ini para tersangka dijerat dengan Pasal 340
subsider 338 dengan ancaman hukuman maksimal
hukuman mati.

Kasat Reskrim Polresta Medan, Kompol Yoris


Marzuki melalui Kanit Jatanras Polresta Medan, AKP
Antony Simamora yang ditemui pada Jumat (15/3) di
Mapolresta Medan mengaku, berdasarkan penyidikan
sementara, Rizky Darma Putra alias Gopek (23)
selaku eksekutor penembakan terancam hukuman
paling tinggi, dijerat pasal 340 subsider 338.

Sementara Idawati br Pasaribu alias Nenek


(70), Rini Dharmawati alias Cici (40), Julius alias Yus
(40), Brigadir Agustina, Bripda Aulia dan Briptu Iin
Dahyani dijerat Pasal 340 subsider 338 jo Pasal 55, 56
KUHP dengan ancaman hukuman penjara seumur
hidup dan minimal 20 tahun penjara.

"Gope selaku eksekutor, terlibat langsung


dalam pembunuhan berencana ini. Sementara yang

~ 35 ~
lain masih dijerat dengan turut serta dalam
pembunuhan berencana ini. Untuk ancaman hukuman
bagi para tersangka sebagaimana diatur dalam pasal-
pasal yang kita sangkakan itu cukup berat. Bahkan
hukuman maksimalnya bisa sampai hukuman mati.
Ungkapnya Antiny Simamora.

Untuk tersangka Anshari alias Ari (23),


disangkakan melanggar undang-undang darurat
nomor 12 tahun 1951, memberi pertolongan pada
kejahatan. Untuk itu tersangka Anshari terancam
hukuman 12 tahun penjara.

Pria yang sehari-harinya bekerja sebagai


penjual martabak di kawasan Jalan Brigjen Katamso
itu mendapat hukuman terendah bila dilihat dari pasal
yang dksangkakan kepadanya.

Sebagaiman diketahui, kalau sepeda motor


serta senjata api yang digunakan tersangka Gope
dalam melakukan penembakan, ditemukan di
kediaman Anshari dikawasan jalan Brigjen Katamso.

Menanggapi hal itu, Gope mengaku tidak


terima dengan hukuman terberat. Disebutkannya,
kalau dirinya melakukan hal itu karena faktor desakan
ekonomi dan disuruh oleh orang. Oleh karena itu juga,
Gope mengaku menyesal serta meminta maaf kepada
keluarga korban atas apa yang sudah dilakukannya.

~ 36 ~
"Aku nekad melakukan itu karena sudah
hampir 1 tahun aku menganggur dan sudah banyak
utang. Lagi pula, anak aku saat itu sedang kena sakit
kuning dan butuh biaya Rp25 juta. Saat melakukan
penembakan itu juga aku seperti ada yang
mengendalikan, makanya hasil tembakannya seperti
penembak profesional," ungkapnya.

~ 37 ~
9. LIKU DAN TANTANGAN MENEKUNI
PROFESI BIDAN

09 Juli 2011 02:20:56 Diperbarui: 26 Juni


2015 03:49:32

Mendatangi tempat praktek bidan kala hendak


melahirkan masih menjadi pilihan sebagian besar
masyarakat kita. Biaya melahirkan yang terjangkau,
pelayanan yang lebih bersifat kekeluargaan, dan
tempat klinik yang biasanya tak jauh dari lokasi
rumah, adalah beberapa alasan mengapa masyarakat
setia mendatangi klinik kebidanan. Tak heran bila
klinik-klinik kebidanan tak pernah sepi pengunjung.

Terkadang dalam satu keluarga tak hanya anak


pertama, bahkan anak kedua, ketiga, lahir ditempat
yang sama. Mereka datang bermodal kepercayaan.
Hampir selama 30 tahun lebih ibuku bekerja di sebuah
rumah sakit swasta. Selama kurun waktu itu, 15 tahun
ia mengabdi sebagai perawat dan separuhnya lagi ia
jalani sebagai bidan. Kini status ibuku adalah mantan
bidan. Karena ia sudah pensiun dari profesinya. Ia
memutuskan pensiun dini. Dengan alasan ingin
momong cucu. Pernah ayahku menyarankan agar ibu
membuka praktek bidan dirumah. Maksud ayah, agar
ibu tetap bisa mengamalkan ilmunya.

Selain itu, dengan membuka praktek, tentu


ibu bisa mendapatkan penghasilan tambahan. Tak
hanya ayah. Teman-teman seprofesinya pun banyak
~ 38 ~
yang mengajaknya bekerja sama membuka klinik atau
balai pengobatan. Sudah banyak dari teman-temannya
yang hidupnya berkecukupan dari hasil membuka
praktek bidan ini. Namun semua tawaran itu
ditampiknya. Sedikitpun ia tak berminat.

Kemudian berceritalah ibuku, tentang


alasannya tak ingin menjalani saran yang diusulkan
ayah. Ibuku beralasan ia ingin hidup tenang di hari
tuanya tanpa diganggu perasaan tertekan dan stress
karena membuka praktek. Lho?? kenapa stress?
bukankah itu adalah dunianya selama ini. Dunia yang
telah digelutinya selama hampir 15 tahun lamanya?
Penasaran akan alasan ibu membuatku bertanya lebih
jauh padanya. Ibupun menjelaskan. Profesi bidan
adalah profesi yang sangat penuh resiko dan tekanan.
Seorang bidan mempunyai kewenangan menolong
pasien selama kehamilan normal dan tak ada indikasi
penyulit.

Namun selalu ada saja kasus-kasus kehamilan


pasca melahirkan yang mempunyai resiko besar
dalam penanganannya. Memang tak sebesar resiko
seorang dokter obgyn, meski yang dihadapi adalah
obyek yang sama. Karena wewenang dan batas
tanggung jawab dokter dan bidan berbeda. Karena
memang bidan tak sederajat dengan dokter dalam
tingkatan ilmu. Selain itu, sebagaimana layaknya
profesi dokter, profesi bidan juga yang sarat nilai
pengabdian. Hingga butuh konsentrasi penuh dalam

~ 39 ~
pelayanan. Sebagai contoh, bila sudah memutuskan
untuk membuka praktek, pintu klinik harus terbuka
setiap saat. Siaga 24 jam penuh didatangi pasien dan
calon ibu yang akan melahirkan. Karena proses
kelahiran kerap tak mengenal waktu. Kapanpun bisa
terjadi, tak peduli pada dinihari, waktu saat
kebanyakan orang beristirahat.

Tak mungkin menolak pasien yang mengetuk


pintu memohon pertolongan. Tentu saja ini
memberatkan bagi ibuku yang ingin mencari
ketenangan di usia pensiunnya. Bila itu dilakoninya,
bukan tak mungkin waktunya kembali habis tercurah
disana. Begitupun di rumah sakit, khususnya dibagian
kebidanan. Di sana, layaknya peran perawat, para
bidan adalah asisten dokter. Bila pasien misalnya
datang pada waktu dini hari hendak melahirkan,
bidanlah yang menjadi garda depan menghadapi
pasien, mendahului dokter yang biasanya datang
belakangan.

Saat pasien datang, biasanya sang dokter yang


dituju si pasien akan ditelpon oleh bidan. Dan
sebelum dokter datang, sekian petunjuk mengenai
tindakan apa yang harus dilakukan terhadap pasien,
diinstruksikan dokter kepada bidan lewat telpon. Ini
menjadi standar prosedur kerja. Karena bila tak
melapor dokter, jika sesuatu terjadi pada pasien
ditengah jalan, ini bisa menjadi kasus yang ikut
menyeret dan membelit si bidan. Karena dianggap

~ 40 ~
lalai terhadap prosedur. Namun lagi-lagi, waktu
proses kelahiran kerap tak ada yang bisa
mengaturnya. Ini hak prerogatif Tuhan. Seringkali,
sebelum dokter datang, pasien sudah tak tahan untuk
mengejan.

Tanda waktu melahirkan sudah tiba. Bila


sudah begini, bidanpun tak mungkin menunggu
datangnya sang dokter. Ia harus segera memimpin
proses kelahiran. Tugas dokter otomatis diestafet,
berpindah ke tangannya. Karena nyawa ibu dan anak
jauh lebih penting untuk didahulukan. Akhirnya si
anak lahir ditolong sang bidan, meski ibunya
menginginkan di tolong seorang dokter. Dalam
perjalanan 15 tahun menjadi bidan, cerita sedih dan
tragis pernah pula ibuku alami. Saat itu adalah hari
terkelam baginya, sepanjang perjalanan karirnya
sebagai bidan. Ibuku gagal menolong seorang ibu
yang menderita perdarahan hebat pasca melahirkan.
Memang semua adalah kerja tim dengan sesama bidan
lain dan atas kontrol serta pengawasan dokter obgyn
tentunya.

Namun malang tak dapat ditolak, sang ibu


meninggal dunia tanpa sempat ditangani oleh dokter.
Inilah mimpi buruk bagi seorang bidan. Saat ia
melihat dengan mata kepalanya sendiri, sang pasien
terkulai lemah menutup mata, karena kehabisan darah.
Tentu saja saat itu ibuku dan beberapa bidan yang
bersamanya panik luar biasa. Sungguh pengalaman

~ 41 ~
traumatis. Membuat ibuku tak bisa tidur berhari-hari
karena terus dihantui rasa bersalah. Terbayang selalu
wajah si pasien saat meregang nyawa. Rasa bersalah
yang terus terbawa bahkan sampai ke mimpinya.
Membuat hari-hari ibuku diliputi stress
berkepanjangan. Mentalnya tak cukup kuat
menghadapi kasus traumatis itu.

Padahal saat itu keluarga pasien pasrah


menerima. Tak ada komplain. Bayangkan bila sudah
ada kasus seperti itu, masih pula harus menghadapi
klaim dari keluarga pasien yang tak terima. Tentu
bidan masih harus berurusan sangat panjang dengan
aparat hukum. Ceritanya tak berhenti sampai disitu.
Pengalaman buruk inilah yang saat itu membuat ibuku
ingin berhenti dari profesinya sebagai seorang bidan.
Ia tak cukup kuat mental menghadapi kasus demikian.
Sementara kasus kematian ibu dan anak pasca
melahirkan kerap terjadi tanpa diduga. Namun berkat
dorongan teman-temannya ia berhasil melewati masa
traumanya. Teman-temannyalah yang akhirnya bisa
meyakinkan ibuku, bahwa semua itu adalah resiko
pekerjaan.

Tak ada yang perlu disalahkan. Semuanya


takdir. Selama ia telah bekerja sesuai prosedur. Begitu
hibur teman-temannya. Sebagai seorang anak bidan,
aku bisa merasakan peliknya tantangan profesi ini.
Beberapa kali aku pernah diajak ibu menyaksikan
langsung proses kelahiran normal seorang ibu.

~ 42 ~
Menyaksikannya, benar-benar pengalaman
mendebarkan bagi orang awam sepertiku. Terkesima
saat kepala bayi lahir dari lubang kecil yang sangat
sempit namun juga sangat elastis itu.
Subhanallah...benar-benar menakjubkan. Meski aku
melihatnya sambil mengernyit setengah ngeri. Tak
terbayang bila kepala bayi macet dijalan lahir karena
si ibu kelelahan dan berhenti mengejan. Tentu ini bisa
membuat bayi membiru kehilangan nafas.

Dan sudah pasti ini akan berdampak buruk


pada kesehatan sang bayi kelak . Bukan tak mungkin
pula menyebabkan kematian sang bayi. Inilah diantara
contoh resiko besar yang mengiringi sebuah proses
kelahiran. Demi menyaksikan semua itu pula aku bisa
mengerti mengapa Tuhan memberi ganjaran mati
syahid bagi seorang ibu yang meninggal dunia saat
melahirkan. Ia benar-benar berjuang dalam hidup dan
mati. Kakinya menjejak di dua tempat. Dunia dan
Akhirat. Itulah mengapa surga ada di telapak kaki ibu.
Karena proses kelahiran yang luar biasa sakitnya ini,
masih didahului dengan proses kehamilan selama 9
bulan lamanya.

Meski itu proses alami, tentu bukan hal mudah


menjalaninya. Akhirnya aku berkesimpulan,
diperlukan mental baja bila ingin menekuni profesi
bidan. Selalu ada kasus-kasus berat yang mengiringi
perjalanan profesinya. Meski sejatinya tak ada

~ 43 ~
pekerjaan tanpa resiko. Dan aku pikir ibuku tak
cukup punya mental itu. Tak heran ia pension dini.

10. KISAH NYATA BU BIDAN ANI

November 17, 2012 | 5:11 AM

~ 44 ~
Aku sudah satu tahun ditugaskan pemerintah,
menjadi bidan desa di kecamatan Tegalgondo,
tepatnya di Desa Tahunan, sejak tahun 2000. Aku
berasal dari Kota Nganjuk, provinsi yang sama juga.
Perkenalanku dengan Mas Hardi, akhirnya
membuatku hidup menetap di daerah terpencil
tersebut dalam ikatan perkawinan. Aku dan Mas Hardi
sama-sama perantauan. Ia bertugas mengajar di SD
Tahunan, dan aku menjadi bidan desa di sana.
Bedanya dia berasal dari kota Kediri, dan saya dari
Kabupaten Nganjuk.

Perkawinanku telah membuahkan dua orang


putra, yang kini telah lulus dari SMA, dan yang kecil
baru kelas dua SMP di Tahunan juga. Pertama kali
aku membangun rumah, ada pengalaman unik yang
pernah aku alami, hingga kini menjadi catatan manis
dalam keluargaku.

Suatu malam, sekitar jam satu malam, tempat


praktikku, kedatangan seorang ibu yang berjalan
tertatih-tatih dalam keadaan hamil mengetok pintu
rumahku. "Bu Bidan, maaf ya saya mengganggu
tolonglah ibu saya mau melahirkan " pintanya,
sambil memagang perut yang telah membesar.

Aku segera membangunkan Mas Hardi agar


mau membantuku, menyiapkan segala sesuatu yang
berkaitan proses persalinan. "Ibu kok sendirian"

~ 45 ~
tanyaku sambil membenahi dipan persalinan. "Iya bu,
suamiku masih di Tegalgondo..

Aku tidak mau berpikir banyak. Ibu muda


yang akan melahirkan itu segera aku bimbing
berbaring pada dipan persalinan di ruang praktikku.
"Oek oeeek oek!!!" tangis bayi itu memecah
kesunyian malam yang telah beranjak dari jam satu
menuju jam dua seperempat. Aku segera
membersihkan bayi dan ibunya sesuai dengan
prosedur pelayanan kesehatan yang sudah biasa aku
lakukan.

Sementara suamiku, tertidur lelap di kursi


tamu, setelah selama satu jam lebiah ia menunggu.

"Bu, maaf ya bu malam hari ini saya sudah


ngrepotin ibu. Suami saya kebetulan pas pulang ke
Tegalgondo. Jadi malam hari ini saya belum bisa
melunasi administrasi keuangannya. Tapi anu kok
Bu suami saya tadi siang sudah pesan, kalau malam
ini saya melahirkan ibu bisa mengambil uangnya di
Tegalgondo"

Sudah ibu.. ibu nggak usah memikirkan itu


dulu. Yang penting kesehatan ibu baik-baik saja
kataku bijaksana.

Terus, anu ya bu saya ingin malam ini


diantar pulang saja ya..

oh iya, nggak apap-apa.


~ 46 ~
Akhirnya aku membangunkan suamiku, untuk
mengantar Bu Mugi pulang ke rumahnya, tidak jauh
dari rumahku. Di sepanjang jalan mobilku terasa enak
sekali. Jalan yang aku lalui terasa datar, seperti di kota
saja. Perasaanku pada waktu itu, ruang mobil
beraroma seperti kembang yang biasa dibuat untuk
tabur bunga di pusara. Suamiku diam saja. Dia juga
merasakan hal yang sama. Dan akhirnya tidak berapa
lama mobil itu sudah berada di depan rumah Pak
Mugi.

Mari Bu, aku bimbing masuk rumah. Mana


kunci rumahnya?

Nggak terkunci kok Bu. Sudahlah, ibu nggak


usah membantu. Aku bisa berjalan masuk sendiri
kok.

Akhirnya Bu Mugi berjalan dan masuk rumah


sendirian. Aku dan suamiku hanya bengong melihat
kejadian malam itu. Aku tidak bisa berbuat apa-apa.
"Sudah mas, ayo kita segera pulang saja. Besok pagi
aku akan ke Tegalgondo"

Malam semakin larut. Kokok ayam pertanda


hari sudah pagi, mulai riuh terdengar bersautan. Aku
segera membangunkan suami dan anak-anak untuk
sholat Shubuh berjamaah di Surau dekat rumahku.
Sekitar jam tujuh pagi aku segera mengambil
sepedamotor, menemui Pak Mugi di Tegalgondo.

~ 47 ~
Assalamualaikum Bapak!

Waalaikum salam! Mari Bu bidan masuk!!


sambut Bu Sainem, orang tua pak Mugi.

Selamat ya Bu tadi malam istri Pak Muji


melahirkan anak laki-laki.. kataku memberikan
kabar.

Bu Sainem terlihat heran, dan bingung. "Maaf


Bu Bidan, apa nggak salah???"

"Benar , ibu. Tadi malam cucu ibu telah lahir,


ini lho saksinya suami saya"

Betul Bu istri pak Mugi telah melahirkan


dirumah saya jelas suamiku jujur.

Tapi begini lho Bu, anakku Mugi itu hinnga


kini belum punya istri lho. Dan rumahnya yang di
tahunan itu tidak pernah ditempati.

Jad jadi .. jadi siapa tadi malam itu ???

Aku jadi penasaran dibuatnya. Aku segera


berpamitan pulang. Sesampai di rumah, ternyata
tempatku praktik masih dalam keadaan bersih. Seperti
tidak pernah ada orang yang baru melahirkan.
Demikian juga rumah kosong milik Pak Mugi, juga
kosong melompong tiada satupun penghuninya.
"Haaaa" aku dan suamiku bulu kuduknya
merinding[]

~ 48 ~

Anda mungkin juga menyukai