Anda di halaman 1dari 1187

Pusaka Negeri Tayli

Saduran : Can
Kontributor : aaa Dimhader
Ebook pdf oleh : Dewi KZ
Tiraikasih Website
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://cerita-silat.co.cc/ http://kang-zusi.info
Daftar Isi
PUSAKA NEGERI TAYLI
DAFTAR IS I
JILID 1
JILID 2
JILID 3
JILID 4
JILID 5
JILID 6
JILID 7
JILID 8
JILID 9
JILID 10
JILID 11
JILID 12
JILID 13
JILID 14
JILID 15
JILID 16
JILID 17
JILID 18
JILID 19
JILID 20
JILID 21
JILID 22
JILID 23 TAMAT
Jilid 1
Ang Nio-cu.
Gunung Jong san terkenal sebagai gunung batu marmar
yang indah. Luarnya meliputi beratus-ratus li.
Puncak gunung yang terletak diwilayah Hun-lam itu,
sepanjang tahun tertutup kabut. Di musim dingin, kabut itu
menjadi gumpalan salju putih. Puncak yang tertutup salju
abadi. Demikian orang menjulukinya, karena sepanjang
tahun salju itu tak pernah cair.
Negeri Tayli terletak di tengah-tengah pegunungan itu.
Karena letaknya itu maka negeri Tay-li memiliki keindahan
alam yang tiada taranya.
Negeri yang kecil mungil itu, memiliki kebudayaan
tersendiri. Istana, bangunan dan peradabannya masih
murni. Tetapi sekalipun begitu, tak terhindar juga dari
beberapa pengaruh kebudayaan luar juga.
Pendiri dari kerajaan Tayli, seorang marga Toan,
bergelar Toan Hong-ya. Dia mengangkat diri sebagai raja
yang dipertuan dari negeri Tayli.
Pada masa tahun ketiga berdirinya kerajaan Tayli,
Sippat-thian mo atau Delapan-belas iblis-langit dari daerah
Tionggoan serempak menuju ke gunung Jong san. Tujuan
mereka hendak mencari dua buah mustika pusaka kerajaan
Tayli.
Kim-cu-giok-pay atau Ikat-pinggang bertabur ratna mutu
manikam. Dan kitab Giok-Ka-kim-keng atau Kitab-emas
dalam kotak kumala, Kedua benda itu merupakan pusaka
negeri Tayli yang termasyhur dalam dunia persilatan
sebagai benda yang tak ternilai harganya.
Kitab Giok-ka-kim-keng sebuah kitab pusaka kuno yang
berisi ilmu pelajaran silat sakti. Barang siapa yang
mendapatkannya, tentu akan dapat menjagoi dunia
persilatan.
Baginda Toan Hong-ya juga gemar ilmu silat. Dalam
kerajaannya. ia mempunyai pengawal2 yang berbakat dan
berkepandaian tinggi.
Setiap kaum persilatan, se dunia persilatan menitikkan
air liur mendengar nama kitab Giok-ka-kim-keng, namun
apabila membayangkan jago2 sakti Tayli, nyali merekapun
menyurut, tiada seorangpun yang berani coba2
mengunjungi daerah selatan itu.
Sip-pat-thian-mo atau iblis langit, termasyhur sebagai
tokoh dunia persilatan di Tiong goan, tiada seorang jago
persilatanpun yang tak gemetar mendengar nama mereka.
Merekapun mendengar akan kitab Giok ka-kim-keng itu
dan berniat untuk memilikinya dan pergi ke negeri Tayli.
Namun selama berpuluh tahun lamanya, tiada
seorangpun yang mengetahui jejak mereka, seolah-olah
lenyap begitu saja.
Beberapa tahun kemudian nampak seorang padri dan
seorang imam memberanikan diri menuju ke negeri Tayli,
mereka tidak masuk kedalam kota kerajaan melainkan
langsung menuju ke gunung Jong-san.
Dalam semalaman mereka mendaki, pada hari itu,
mereka tiba di bawah sebuah jajaran batu dan kedua padri
itu saling tukar pandang.
Mata si paderi itu berkilat-kilat memandang pada jajaran
batu. Lama sekali ia dalam keadaan seperti orang
merenung.
"Benar!" tiba2 ia bertepuk tangan lalu tertawa gembira,
"Kim-toh-tin yang dirobah dari barisan Pat-tin-tho ciptaan
Cukat Su-hou!"
Kim-toh-tin artinya barisan Kunci emas.
"Gong-gong-cu menganggap tempat ini sebagai ujung
dunia. . ." kata paderi itu pula.
"Apakah kemungkinan kitab Giok-ka-kim-keng ini
berada di dalamnya?" tanya imam tua.
"Pasti begitu," sahut si paderi, " hayo kita serbu saja ke
dalam!"
Dengan kepandaiannya yang tinggi, kedua paderi dan
imam itu mulai menyerbu dari dua arah. Mereka
menghancurkan jajaran batu2 itu kemudian dengan tertawa
gembira keduanya masuk kedalam gua.
Tiba di mulut gua, imam tua berkata:
"Hud heng, barisan batu telah kita bobol, tetapi apakah
di dalam gua masih terdapat rintangan lagi?"
Baru ia berkata begitu, tiba2 dari dalam gua terdengar
letusan dahsyat. Menyusul belasan sosok bayangan
manusia berhamburan keluar.
Kejut kedua paderi dan imam itu bukan kepalang.
Mahluk2 yang keluar dari gua itu benar2 mengerikan sekali.
Tubuh mereka rata2 tak utuh lagi. Wajahnya
menyeramkan, rambut dan jenggotnya terurai memanjang.
Tiga bagian menyerupai manusia, tujuh bagian seperti
setan.
Paderi dan imam tua itu terlongong-longong. . . .
Manusia2 mengerikan itu berjumlah delapan belas orang.
Mereka mengepung kedua paderi dan imam itu di tengah.
Kemudian salah seorang dari kawanan manusia
mengerikan itu tertawa gelak-gelak dan berseru:
"Bagaimana kalau kita bagi keuntungan?" Seorang
manusia mengerikan yang lain berteriak keras mencegah:
"Jangan! Jika bukan mereka berdua yang membobolkan
barisan, tentulah kita seumur hidup takkan melihat sinar
matahari lagi. sekali ini kita beri ampun mereka!"
"Kalau begitu kita pergi saja."
"Ya, hayo pergi !"
Terdengar suara hiruk pikuk dan ke delapan belas
manusia mengerikan itupun segera lari seperti terbang.
Setelah mereka lenyap barulah si imam tua berkata:
"Hud-heng, mereka tentulah Sip-pat-thian-mo yang
termasyhur itu!"
"Omitohud." seru paderi itu, "to-heng, kita telah
menempuh bencana besar ..."
Tepat pada saat itu seorang tua berambut putih bergegas-
gegas lari mendatangi. Serentak dia banting2 kaki.
"Thian-hiancu, Go-leng-cu, karena nafsu kalian yang
temaha, kalian telah menimbulkan bencana besar dalam
dunia persilatan, ah, takdir.."
Kedua paderi dan imam itu termenung diam.
"Bu-lim Sam-cu jika tak berusaha untuk mencegah
bencana ini, harus menebus dosa dengan membunuh diri"
seru orang tua berambut putih yang baru datang itu.
Imam tua mengangkat muka dan berseru: "Gong-gongcu
mengapa engkau tak lebih dulu memberi tahu bahwa
tempat ini menjadi tempat penjara bagi kawanan Sip-pat-
thian-mo?"
Orang tua berambut putih itu menyahut dengan nyaring:
"Jika memberi tanda dengan terang2an, bukankah anak
buah Sip pat thian mo akan mengobrak abrik kerajaan
Tayli?"
Tiba2 setiap gelombang badai melanda. Dari udara
segera berhamburan salju. Dalam waktu sekejap saja.
tempat dan sekeliling ketiga orang itu berdiri telah tertutup
salju.
Demikian pula mereka bertiga.
-ooo0dw0ooo-

Setiap musim semi tiba, alam pemandangan di wilayah


Kanglam sangat indah. Burung2 berkicau, bunga2
bermekaran, rumput2 menghijau.
Ketika matahari menjulang sepenggalah tingginya, di
jalan besar yang merentang antara wilayah Sujwan Hopak,
seekor kuda tegar tengah mencongklang pesat.
Penunggang kuda itu seorang pelajar baju putih, wajah
berseri-seri, bibir merah, alisnya yang lebat menjulang
hingga ke pelipis. Cakap dan gagah sekali. Disamping
pelana kuda, terselip sebatang pedang yang berwarna
legam.
Tiba2 pelajar pemuda itu bersenandung:
Indah nian wilayah Kanglam.
Alamnya nan selalu meriah
bunga2 bermekaran merah menyala.
Air bengawan hijau ke biru2an
Mengetuk hati selalu terkenang..."
Sehabis bersenandung, ia berkata seorang diri pula: "Ah,
perjalanan harus berganti dengan kendaraan air, betapa hati
merasa sayang tetapi kuatir ayabunda gelisah menanti. . ."
"Aha, sungguh romantis anda ini? Apakah habis pesiar di
daerah Kanglam?"
Tiba2 seorang berseru dalam nada parau. Pelajar itu
kerutkan alis dan hentikan kuda nya. Ia berpaling.
"Totiang seorang imam, mengapa tak tahu diri?" serunya
agak kurang senang.
Ternyata yang berseru dan belakang itu seorang imam
tua yang jubahnya tak keruan tetapi mukanya bersih.
Sambil mengurut-urut jenggot, imam tua itu tertawa
mengikik:
"Anda seorang pemuda yang gagah perkasa, bagaimana
aku tak mengetahui?"
Pelajar itu tertawa angkuh.
"Sudah tiga hari lamanya totiang terus menerus
membuntuti aku. Apakah maksud totiang?"
Imam tua itu mengangguk.
"Bertemu itu tandanya berjodoh. Marilah kita berbicara
soal jodoh itu..."
Dengan tertawa dingin pemuda itu menukas:
"Aku tak mengerti soal jodoh, silahkan totiang
melanjutkan perjalanan."
"Mengapa anda menolak orang yang datang dari seribu li
jauhnya?" seru imam itu.
"O. apakah totiang memang mengikuti perjalananku?"
balas pelajar itu.
"Karena pinto tak mau melewatkan "jodoh" itu begitu
saja."
Tampaknya kuda pelajar itu tak sabar lagi. Berulang kali
kuda itu melonjak-lonjak seperti minta kepada tuannya
supaya berjalan lagi.
Imam itu melesat ke hadapan pemuda pelajar yang saat
itu tengah mengemasi duduknya dengan tegak. Ketika
memandang imam itu ia berseru:
"O, kiranya totiang itu Thian-hian-cu totiang dari tiga
serangkai Bu-lim sam-cu ..."
"Ha, ha, ha, ha!" ia itu tertawa, "tajam benar
penglihatanmu, anak muda. Ya, aku memang Thian-hian-
cu."
"Totiang hendak memberi petunjuk apa kepadaku?"
"Engkau belum menghayati apa yang kukatakan tentu
kata "jodoh" tadi."
"Maafkan kebodohanku. Aku memang tak mengerti
maksud totiang !"
"Apakah engkau pura2 tak mengerti?"
Wajah yang cakap dan pelajar itu agak berubah
cahayanya. .
"Mengapa totiang hendak main teka-teki kepadaku?"
serunya.
Thian-hian-cu kerutkan alis.
"Anak muda . . . engkau memiliki dasar kepandaian ilmu
silat yang bagus . . ."
"Ah apa artinya ilmu silat cakar kucing semacam yang
kumiliki itu." sahut pelajar dengan nada hambar.
"boleh tahu siapa namamu?"
"Aku she Cu nama Jiang."
"Nama perguruan?"
"Ini . . . maaf tak dapat memberitahukan." Thian-hian-cu
kerutkan dahi merenung sejenak lalu berkata. "Ada sesuatu
yang hendak kukatakan kepadamu ...."
"Silahkan," kata Cu Jiang.
"Dengan bakat yang engkau miliki itu, apabila mendapat
petunjuk yang hebat, tentu akan memperoleh hasil yang
luar biasa."
Cu Jiang tersenyum.
"Aku mengerti maksud totiang."
"Mengerti bagaimana?"
"Apa yang totiang katakan "berjodoh" itu kemungkinan
bukan jodoh. Karena aku tak menginginkan hati yang luar
biasa. Sampai jumpa lagi!"
Habis berkata ia terus memacu kudanya berjalan
perlahan-lahan.
Imam Thian hian-cu tertegun. Sambil memandang
bayangan pemuda itu ia berkata seorang diri:
"Siapakah pemuda yang begitu jumawa itu? Pada
umumnya, setiap orang persilatan yang mendapat rejeki
memperoleh petunjuk dari salah seorang Bu lim Sam cu,
tentu akan girang setengah mati. Tetapi dia sedikitpun tak
tertarik. Sejenak berhenti dia berkata, lagi: "Tetapi soal itu
menyangkut masalah besar, kalau kesempatan ini terlepas
kemanakah aku harus mencari lagi? Bila perlu terpaksa aku
harus membuang gengsi!"
Sekali kebutkan lengan jubah, tubuh imam itupun segera
meluncur bagai air mengalir deras, mengejar pemuda tadi.
Walaupun tak berpaling tetapi Cu Jiang dapat merasa
bahwa imam itu mengejarnya. Ia segera mengeprak kuda
dan mencongklangkannya dengan pesat menuju ke arah
matahari terbenam.
Melintasi sebuah hutan, barulah terdapat tempat
menginap.
Tetapi tiba di muka hutan, kudanya berhenti dan
meringkik sekeras-kerasnya seraya mengangkat kaki depan
tinggi2 ke atas: Binatang itu tak mau memasuki hutan.
Cu Jiang hampir kewalahan. Ia heran. Ketika
memandang ke sekeliling, wajahnya serentak berobah.
Tampak ditengah jalan yang merentang ketengah hutan
itu terkapar tujuh delapan sosok mayat yang memenuhi
jalanan.
Cu Jiang loncat turun, mengelus-elus kepala kudanya
kemudian melangkah pelahan-lahan ke muka, menghampiri
tumpukan mayat itu.
Ternyata mayat2 itu terdiri dari orang persilatan semua.
Senjata mereka masih terselip di tubuh masing2 seperti
belum digunakan. Tetapi mereka sudah mati.
Dengan begitu jelaslah bahwa musuhnya tentu seorang
yang berilmu tinggi sekali.
Ketika memeriksa dengan seksama, ternyata wajah
mereka menunjukkan ketenangan, seperti orang yang
sedang tidur nyenyak. Juga tiada bekas2 luka pada tubuh
mereka. Hanya pada alis mereka terdapat bekas noda warna
ungu sebesar kedele.
"Jari-terbang." serentak pelajar itu berteriak kaget,
"apakah dia . . . Ang Nio-cu!"
Memeriksa ke sekeliling, ternyata dia dapat menemukan
tanda ciri pengenal dari Ang Nio-cu. Pada sebatang pohon
yang tumbuh di tepi jalan tergantung sehelai kain mantel
wanita berwarna merah. Warna yang menyolok mata
sekali.
Segera teringat dalam perjalanan pesiar ke daerah
Kanglam kali ini, ketika berada di menara Lui-hong-tha
telaga Se-ou, Iapun mengalami peristiwa pembunuhan ngeri
semacam itu.
Ang Nio cu adalah seorang Iblis atau momok wanita
dalam dunia persilatan yang paling ditakuti oleh orang
persilatan, baik dari golongan Putih maupun Hitam.
Tetapi sejauh itu, tiada seorang persilatan pun yang
pernah melihat bagaimana wajah wanita itu.
Menurut kabar, dia adalah ahli waris dari perguruan
Hiat-ing-bun atau perguruan Bayangan darah.
Setelah tertegun beberapa saat. Cu Jing pun naik kuda,
mengitari tumpukan mayat ia terus menyusup ke dalam
hutan.
Tiba2 dari arah bagian dalam dari hutan itu
berkumandang tertiup angin suara tertawa yang dingin.
Hanya suaranya, tetapi tiada tampak orangnya.
Cu Jiang tergetar. Ia menyadari bahwa melintasi tempat
yang terdapat tanda pengenal dari Ang Nio-cu, merupakan
pelanggaran besar.
Tetapi pelajar yang masih berdarah panas itu tak peduli.
Dia tak mau kembali lagi. Tiba2 terdengar suara orang
berseru: "Berani melanggar tanda pengenalku ini, rasanya
baru engkau yang pertama!"
Walaupun nadanya dingin dan bengis tetapi
kumandangnya melengking nyaring. Cu Jiang menduga
orang itu tentulah masih muda juga. Cu Jiang hentikan
kuda dan berseru: "Apakah anda ini yang bergelar Ang Nio-
cu?"
"Benar."
"Aku tergesa-gesa menempuh perjalanan, tolong berikan
kelonggaran sekali saja," kata Cu Jiang.
"Tidak ada pengecualian!" Dalam berkata-kata itu diam2
Cu Jiang memperhatikan arah suara itu. Tetapi, arahnya
sukar di duga, seperti dari jauh tetapipun seperti dekat.
Akhirnya ia mengertek gigi, berseru:
"Lalu bagaimana maksud anda?"
"Tinggalkan jiwamu!"
"Jika aku menolak?"
"Tak ada jawaban semacam itu."
Cu Jiang loncat turun dari kudanya dan berseru dengan
angkuh.
"Aku tak mau kembali lagi!"
"Memang kalau mau kembalipun sudah terlambat!"
"Jika anda meminta nyawaku, silahkan ke mari
mengambilnya."
Cu Jiang terus siap sedia. Sekalipun begitu hatinya kebat
kebit tak keruan. Ia menyadari telah naik diatas punggung
macan. Daripada turun di makan binatang itu lebih baik ia
bulatkan tekad untuk menghadapinya.
Tapi sampai beberapa saat belum juga terjadi apa2. Cu
Jiang heran. Pikirnya: "Bagaimana kah sebenarnya wujud
momok wanita itu? Dia hendak menggunakan cara apa
untuk membunuh aku? Pertempuran nanti tentu
mengerikan sekali."
Sejenak ia melirik pada pedang pusaka yang terselip di
pelana kuda, diam2 wajahnya membesi.
Tiba2 terdengar suara Ang Nio-cu yang melengking
dingin itu pula:
"Anak kambing memang tak takut pada harimau!"
"Jangan terkebur!" sahut Cu Jiang dengan angkuh.
"Apakah engkau tak tahu bahwa barang siapa yang
bersalah kepadaku temu takkan terhindar dari kematian?"
seru Ang Nio cu pula.
"Aku tak menghiraukan soal begitu."
"Ah, engkau benar2 keras kepala seperti pelajar kutu
buku yang tolol. .. Hm, apakah engkau tak tahu akan arti
Hidup dan Mati itu?"
"Sebagai seorang persilatan, mengapa harus
memperhitungkan soal mati dan hidup?" balas Cu Jiang.
"Hai, nada bicaramu sok jagoan sekali!"
"Ang Niocu, jangan terlalu menghina kepadaku!" seru
Cu Jiang.
"Ha, ha, ha, ha . ..."
Terdengar momok yang disebut Ang Nio-cu itu tertawa
nyaring.
Cu Jiang meluap amarahnya. Dia masih muda, darahnya
masih panas.
"Ang Nio-cu, jangan sembunyikan kepala unjukkan ekor,
Kalau memang hendak mengambil jiwaku, silahkan
keluarlah!" ia menantang.
"Engkoh kecil, rupanya engkau sudah bosan hidup? Aha,
sudah berapa tahunkah engkau makan nasi?" diluar dugaan,
momok Ang Nio-cu itu masih menggodanya.
"Huh . ." Cu Jiang mendesah.
"Siapa namamu?" seru Ang Nio-cu pula.
"Tak perlu memberitahu kepadamu!"
"Namamu Cu Jiang, benar kan?" Cu Jiang terkejut.
"Kalau sudah tahu mengapa masih bertanya lagi!"
Baru Cu Jiang menjawab begitu tiba2 terdengar derap
kuda mencongklang jauh. Tiga ekor kuda lari membinal
menerobos ke dalam hutan situ.
Cu Jiang berpaling. Ia terkejut. Siapakah ke tiga
penunggang kuda yang berani melanggar tanda pengenal
Ang Nio cu itu? Adakah mereka juga tak takut terhadap
Ang Nio-cu si momok wanita itu?
Tepat pada saat itu ketiga penunggang kuda itupun tiba
dihadapannya. Mereka berhenti dengan mendadak sehingga
menimbulkan debu tebal yang melumuri pakaian Cu Jiang
sampai berobah kelabu warnanya.
Cu Jiang deliki mata ke arah ketiga penunggang kuda
itu. Mereka terdiri dari orang tua berbaju hitam yang
berwajah seram. Mata mereka mencurah ke arah Cu Jiang.
Salah seorang yang memelihara jenggot kambing segera
berseru dengan nada tak enak di dengar:
"Hai, budak, apakah engkau melihat seorang budak
perempuan lalu di tempat ini?"
"Ha, lihat, engkau belum, minta maaf atas perbuatanmu
mengotori pakaianku begini rupa!" sahut Cu Jiang.
"Apa? Ha, ha, ha, ha . . ." ketiga orang tua itu tertawa
keras.
"Ini bukan lelucon!" bentak Cu Jiang marah.
Salah seorang yang pipinya terdapat bekas luka tergurat
golok dan sikapnya seperti seorang banci, berseru:
"Kunyuk kecil, sikapmu seperti seorang yang berbakat
bagus tetapi engkau begitu tolol!"
Habis berkata ia tertawa gelak2.
Merah muka Gu Jiang mendengar kata2 si banci itu,
bentaknya keras2:
"Anda seorang tua, mengapa anda berbicara tanpa
aturan sedikitpun juga?"
"Tata cara ? tata cara apa ?"
"Silahkan pikir sendiri !" sahut Cu Jiang.
"Ha, ha. engkoh kecil, engkau belum menjawab
pertanyaanku tadi !"
"Aku tak ingin menjawab !"
"Ho, budak, rupanya engkau bosan hidup..ya?"
"Kenapa ?"
"Tahukah engkau siapa aku ini ?"
"Tidak tahu dan tak ingin tahu."
"Tak ingin tahupun tetap kuberitahu. Pernah dengar
nama Tiga harimau-Sujwan ?"
Sujwan nama sebuah propinsi.
Diam2 Cu Jiang terkejut. Tak disangkanya bahwa orang
tua itu ternyata salah seorang momok golongan hitam yang
termasyhur sebagai Tiga-harimau Sujwan.
Ketiga momok itu memang sakti tetapi ganasnya bukan
kepalang, Biasanya mereka selalu muncul bertiga,
bertempur bertiga. Setiap kaum persilatan mengatakan,
lebih suka bertemu dengan bangsa setan seribu, daripada
dengan Tiga-harimau-Sujwan."
Tetapi Cu Jiang masih muda. Darahnya masih panas.
Apalagi dia penasaran karena diperlakukan remeh.
Dia tak mempedulikan siapa orang tua itu. Seketika ia
berseru nyaring:
"Aha, sudah lama aku mendengar nama kalian yang
mengerikan!"
Orang tua jenggot kambing tadi tertawa seram:
"Budak, engkau berteriak tak tahu mati, berani ngoceh
sembarangan saja. Bagiku lebih mudah membunuh seorang
manusia daripada seekor semut. Apakah engkau sungguh2
sudah bosan hidup ?"
Orang tua bermata segi-tiga yang lainnya, ikut bersuara.
Suaranya nyaring seperti genderang ditabuh:
"Toako, perlu apa banyak bicara dengan dia? Mari kita
lekas lanjutkan perjalanan, jangan sampai budak
perempuan itu lolos .. ."
"Perlu turun tangan ?"
"Tak usah, biarkan dia menyelesaikan dirinya sendiri."
Lelaki tua yang wajahnya berhias bekas guratan golok,
memandang Cu Jiang, serunya:
"Budak, engkau dengar tidak?"
"Apa ?" sahut Cu Jiang.
"Lekas engkau bunuh diri sendiri !"
"Bunuh diri ? Mengapa ?"
"Kami bertiga tak pernah turun tangan terhadap bangsa
budak kecil!"
Dada Cu Jiang serasa meledak.
Tiba2 terdengar setiap suara tawa dingin. Datangnya dari
bagian dalam hutan.
Orang tua berjenggot kambing tertawa mengekeh:
"Ho, budak kecil, makanya engkau begitu berani mati,
kiranya engkau mempunyai tiang andalan."
"Hai, sahabat yang bersembunyi didalam hutan, silahkan
keluar!" teriak lelaki tua bermata segitiga.
Tetapi tiada penyahutan dari dalam hutan.
"Kalau keluar, kalian tentu mampus !" tiba2 Cu Jiang
mencemooh.
"Sungguh besar sekali mulutmu ! Siapakah yang berada
dalam hutan itu?"
"Ang Nio cu !" sahut Cu Jiang.
"Hai!" serempak Tiga-harimau-Sujwan itu berteriak
kaget, "apa katamu ?"
"Ang Nio cu !" Cu Jiang mengulang.
Ketiga momok itu saling bertukar pandang. Tampaknya
mereka siap hendak kabur.
"Tunggu dulu!" tiba2 orang tua bermuka bekas luka
golok berseru, "budak itu mungkin hanya mengacau saja.
Mengapa tak kelihatan pertandaannya ?"
Kedua kawannya celingukan kesana kemari. Tiba2
wajah si jenggot kambing berobah lesu. Menunjuk pada
sebatang pohon dia berteriak:
"Hayo, cepat kita pergi !"
Habis berkata si jenggot kambing terus loncat keatas
kuda dan melarikannya. Kedua kawannya terpaksa
mengikuti juga.
Kiranya si jenggot kambing tadi telah melihat mantel
merah yang tersangkut pada cabang sebatang pohon.
Cu Jiang tak mau cari perkara. Dia biarkan saja ke tiga
momok itu melarikan diri. Diam2 dia heran mengapa
sampai saat itu Ang Nio-cu belum juga menampakkan diri.
Terdengar derap kuda ketiga durjana diri Su-jwan itu
telah mencapai berpuluh-puluh tombak jauhnya.
"Aaah .... ahhh . . . aah..."
Terdengar tiga buah jeritan ngeri. Cu Jiang terkejut.
Cepat ia menceplak kudanya dan mencongklang ke muka.
Tak berapa lama ia terkesiap.
Tiga-harimau Sujwan, telah terkapar malang melintang
menjadi mayat di tanah. Pada dahi mereka terdapat sebintik
pekat warna ungu. Ah, merekapun telah mati dibawah ilmu
Hui ci atau Jari-terbang dari Ang Nio-cu.
Cu Jiang turun dari kudanya. Memang sikapnya tampak
tenang tetapi sesungguhnya hatinya berdebar keras. Ia
menyadari bahwa situasi yang dihadapi saat itu sangat
berbahaya.
Tiga - harimau Sujwan yang termasyhur dan berilmu
tinggi, dalam waktu singkat saja sudah hancur. Kepandaian
Ang Nio-cu benar2 menakjubkan sekali !
Tetapi Cu Jiang tak mempunyai pikiran untuk melarikan
diri. Dia tak takut mati. Hanya apabila dia sampai mati, dia
membayangkan betapa hancur hati kedua orang tuanya
nanti.
Dia sudah berjanji kepada orang tuanya akan pulang
menurut waktu yang dijanjikannya. Apabila dia sampai tak
pulang, betapa bingung perasaan ke dua orang tuanya
nanti?
Memikirkan keadaan orang tuanya, dia segera
mengambil kertas dan pena dari tas bukunya yang ditaruh
di pelana kuda. Segera ia menulis:
"Ayah bunda yang tercinta,
Tak disangka sangka dalam perjalanan pulang anak telah
menderita halangan. Anak belum tahu dapatkah anak
menghadapi halangan itu dengan selamat. Sebenarnya anak
merasa tak berbakti karena tak mau menghindari halangan itu.
Tetapi mengingat, anak ini keturunan keluarga ksatria, maka
anakpun tak mau bersikap pengecut dan akan menghadapinya
dengan sekuat tenaga.
Apabila dalam tiga hari anak belum pulang, berarti anak
sudah terkubur dalam sebuah hutan belantara. Mohon ampun
atas kesalahan anak yang tak berbakti.
Cu Jiang.
Setelah selesai ia membacanya sekali lagi. Serentak
terbayanglah akan wajah kedua orang tuanya yang begitu
mencintainya. Tak terasa hatinya seperti disayat sembilu.
Tetapi apa daya?
Segera ia melipat surat itu lalu dimasukkan dalam tas
bukunya. Ia mencabut pedang pusakanya, mengelus-elus
kepala kuda dan berkata:
"Hijau, untuk sementara terpaksa kita harus berpisah.
Pulanglah lebih dulu! "
Kuda yang diberi nama Hijau itu rupanya dapat mengerti
maksud tuannya. Setelah meringkik pelahan, ia
mengucapkan kepalanya ke tubuh Cu Jiang.
Melihat kesetian kuda itu berlinang-linanglah airmata Cu
Jiang. Tetapi dia harus keraskan hatinya.
"Pergilah! " ia menepuk kepala kuda itu dan
membentaknya.
Kuda itu meringkik lalu mencongklang pergi.
Setelah kuda itu lenyap dari pandangan, barulah Cu
Jiang menghela napas longgar, seolah perasaannya telan
terlepas dari himpitan batu besar.
Serentak ia menghapus segala macam keresahan dan
mulai mencurahkan pikirannya untuk mengadu kepandaian
dengan Ang Nio cu. Ia menyadari bahwa dirinya jelas
bukan tandingan dari Ang Nio-cu. Maka ia memutuskan
untuk menggunakan siasat main kucing-kucingan.
Matahari mulai condong ke barat. Hutan yang pada
tengah hari tak tertembus sinar matahari, saat itu makin
gelap suasananya.
Setelah menenangkan pikiran maka berseru dia dengan
nyaring:
"Ang Nio-cu, mari kita selesaikan urusan kita ini! "
Dari dalam hutan terdengar suara penyahutan Ang Nio-
cu:
"Cu Jiang, sia2 saja engkau suruh kuda mengundang
bala bantuan ..."
"Huh. aku orang she Cu, tak pernah berbuat semacam
itu!"
"O, kalau begitu engkau mengirim berita kecelakaan?"
"Ang Nio-cu, hari sudah gelap. Rasanya tak perlu
membicarakan hal2 yang tiada sangkut paut dengan urusan
ini!"
"Ih, mengapa engkau begitu terburu-buru hendak pulang
ke akhirat? " seru Ang Nio-cu.
"Jangan tekebur dulu. Kan belum diketahui siapa yang
akan kalah dan menang, " sahut Cu Jiang.
"Oh" seru Ang Nio-cu, "cobalah engkau tanya pada
dirimu sendiri. Adakah engkau lebih sakti dari Tiga-
harimau-Sujwan atau Delapan tikus Holam?"
Saat itu barulah Cu Jiang menyadari bahwa orang
pertama kali dilihatnya mayat2 yang malang lintang dalam
hutan itu tak lain adalah Delapan-tikus-Holam. Juga
kedelapan tikus dari propinsi Holam itu merupakan
kawanan tokoh2 Hitam yang terkenal sekali.
Dalam waktu yang sangat singkat, Ang Nio-cu telah
membunuh kawanan tokoh hitam yang ternama.
"Ang Nio-cu, harimau adalah harimau, tikus juga tikus.
Tetapi lainlah halnya dengan diriku Cu Jiang. Sudahlah,
jangan banyak bicara lagi!"
"Apakah engkau sudah benar-benar ikhlas mati?"
"Unjukkanlah dirimu! " seru Cu Jiang.
Ang Nio-cu tertawa gelak2.
"Engkau tak layak melihat diriku!"
-ooo0d-w0ooo-
Hukum rimba.
Cu Jiang mendengus geram.
"Apakah engkau tak berani keluar untuk mengambil
jiwaku?"
"Kurobah keputusanku..."
"Engkau .... engkau hendak merobah keputusanmu?"
teriak Cu Jiang terkejut.
"Hm . . . ."
"Keputusan apa?"
"Aku tak jadi membunuh engkau !"
Ucapan Ang Nio-cu itu benar2 di luar dugaan Cu Jiang
sehingga pemuda itu terlongong-longong.
Mengapa momok wanita itu tidak jadi membunuhnya?
Apa sebabnya?
"Mengapa engkau tak jadi membunuh aku?" akhirnya ia
berseru.
Tetapi hutan sunyi senyap. Ang Nio-cu tak menjawab.
Cu Jiang seperti berada dalam lingkupan kabut. Dia tak
mengerti tindakan Ang Nio-cu yang aneh itu. Tetapi
betapapun, ia girang sekali karena terhindar dari
pertempuran maut.
Kini pikirannyapun mulai menimang-nimang, adakah
dia harus lekas melanjutkan perjalanan mengejar kudanya si
Hijau atau berjalan seenaknya saja. Tetapi rasanya dia
harus cepat2 pulang karena apabila membaca surat yang
dibawa si Hijau, kedua orang tuanya tentu gelisah sekali.
Setelah mengambil keputusan, segera ia enjot kakinya
untuk berlari kencang. Namun dia juga masih berjaga-jaga
menghadapi serangan tak terduga-duga dari Ang Nio-cu.
Tetapi sehingga keluar dari hutan, tetap ia tak
mengalami gangguan apa2. Saat itu barulah ia benar2
menghela napas lega Namun iapun tetap tak mengerti
mengapa tiba-tiba Ang Nio cu merobah keputusannya itu.
Agar dapat mengejar si Hijau, ia tak berani berayal lagi.
Dengan menggunakan ilmu lari cepat, ia teras meluncur d
sepanjang jalan.
Tetapi betapapun ia berusaha, tetap ia tak dapat
mengejar lari si Hijau. Kuda itu memang bukan sembarang
kuda tetapi seekor kuda istimewa.
Ketika senja tiba, hitung2 dia sudah berlari berpuluh-
puluh li tetapi tetap tak dapat melihat bayangan si Hijau.
Akhirnya ia lambatkan lari. Tetapi saat itu iapun terkesiap.
Rupanya dia tersesat jalan. Disebelah muka tampak Jajaran
batu karang gunung yang berserakan tinggi rendah.
Diam2 ia mengeluh. Terpaksa ia harus menempuh
perjalanan sepanjang malam. Kemudian ia mendaki karang
yang penuh ditumbuhi pohon siong.
Saat itu rembulan mulai muncul. Tetapi tempat ia
berjalan itu, tertutup oleh kabut tipis.
Tiba2 ia mendengar suara ringkik kuda. Ia tak asing
dengan suara ringkikan itu. Menurut arah suara itu, segera
itu, segera ia menyerbunya.
Ah.
Ia terkesiap. Ternyata kudanya si Hijau tertambat pada
sebatang pohon siong. Hm, aneh benar. Mengapa si Hijau
tertambat di situ ? Adakah seseorang sengaja hendak
mempermainkannya? Ataukah si Hijau itu telah tertangkap
oleh pencuri kuda dan diikat di pohon itu ?
Segera ia menghampiri kuda itu. Ternyata barang2 yang
berada di pelana kuda, tak ada yang hilang. Hanya surat
yang ditulisnya secara terburu-buru itu yang hilang. Padahal
surat itu ditujukan kepada orang tuanya. Cu Jiang benar2
tak habis herannya.
Setelah merenungkan peristiwa itu, ia menarik
kesimpulan bahwa memang ada orang yang sengaja
menambatkan si Hijau di situ dan orang itu
memperhitungkan bahwa dia tentu akan lewat di tempat
itu.
Siapakah orang itu? Apa maksudnya mengambil surat?
Cu Jiang makin puyeng. Benar2 ia tak dapat
memecahkan teka teki itu. Aneh... benar2 aneh sekali.
Katanya dalam hati seraya geleng2 kepala.
Pada saat ia hendak melepas tali pengikat si Hijau
sekonyong-konyong ia mendengar suara orang membentak
keras2. Kemudian dari arah karang pohon siong jauh di
sebelah muka, terdengar suara seorang gadis berseru dengan
nada gemetar:
"Apakah kalian benar2 hendak membunuh habis-
habisan? Dulu aku tiada mempunyai dendam dengan
kalian, sekarangpun tidak bermusuhan. . ."
Seorang lelaki bernada kasar, berseru:
"Kami hanya menjalankan perintah saja, bocah ayu, tak
perlu engkau banyak bicara!"
Mendengar itu Cu Jiang kerutkan alis lalu loncat
menerjang kearah suara itu.
Dalam hutan dia melihat empat lelaki menghunus
pedang sedang mengepung seorang dara.
Dara itu berpakaian warna hijau, tangannya membawa
sebuah bungkusan kain. Umurnya di sekitar dua-puluhan
tahun. Ditingkah cahaya rembulan, tampak gadis itu
berwajah amat cantik sekali, Ia terpesona. Jarang dia bersua
dengan gadis yang memiliki kecantikan sedemikian
cemerlang.
Saat itu tampak wajah si nona menampil ketakutan dan
airmatanya berlinang linang.
Cu Jiang menghampiri. Sampai mencapai jarak dua
tombak dari nona itu, tetap keempat lelaki bersenjata
pedang itu masih belum mengetahui.
Ketika melihat gadis itu berpakaian warna hijau seketika
Cu Jiang teringat akan Tiga-harimau-Sujwan yang bertanya
kepadanya tentang diri seorang gadis baju hijau.
Kemungkinan besar tentu si jelita ini yang dimaksudkan
ketiga momok dari Sujwan itu.
"Mau kemana engkau, nona cantik ?" seru keempat lelaki
itu.
Dengan nada teriba-iba. si jelita baju hijau berkata:
"Silahkan kalian melanjutkan perjalanan, lepaskan aku,
berbuatlah dharma kebaikan untuk penitisan kalian yang
akan datang..."
Salah seorang dari keempat lelaki itu tertawa mengekeh:
"Heh, heh, penitisan yang akan datang? Apa itu?
Manisku, biarlah kami yang menggendong mu menempuh
perjalanan!"
Ucapan yang cabul itu membangkitkan kemarahan Cu
Jiang.
Salah seorang yang bernada nyaring, tiba2 berteriak:
"Hai, kawan2, tadi kuda itu bernama . .. "
Lelaki yang cabul tadi menukas:
"Persetan, siapa yang suruh dia berani menyiram air
dikepala pangeran, berani mencampuri urusan kita.
Cu Jiang tak dapat menabas diri. Dia tertawa dingin:
"Justeru aku memang hendak bertanya kepada kalian !"
"Hai, siapa itu !" serempak keempat orang berteriak
seraya berbalik tubuh. Serta melihat seorang yang tampan
dan gagah, mereka terkejut.
"Kongcu, tolonglah aku !" serentak si jelita berteriak
minta tolong kepada Cu Jiang. Cu Jiang mengerling.
Pandang matanya tertumbuk pada pandang mata jelita itu.
Seketika tersiraplah darahnya. Seorang gadis yang memiliki
kecantikan luar biasa dengan pandang mata meminta
pertolongan.
"Gadis ini benar-2 cantik sekali," pikirnya, "selama aku
berkelana di Kanglam, entah sudah berapa ratus gadis
cantik yang pernah kujumpai. Tetapi yang secantik gadis ini
baru pertama kali ini aku bertemu."
Salah seorang dari keempat lelaki yang membawa
pedang itu, rupanya yang menjadi pemimpinnya,
mengawasi lekat pada Cu Jiang.
"Engkoh kecil." sesaat kemudian dia berseru, "apakah
engkau benar2 hendak turut campur urusan kami ini ?"
"Pasti!" sahut Cu Jiang dengan nada tegas.
"Mengapa engkau menyiksa dirimu ..."
"Apa maksudmu ?" tukas Cu Jiang.
"Menilik sikapmu, engkau tentu bukan pemuda
sembarangan. Usiamupun belum berapa banyak. Bukankah
sayang kalau engkau sampai mati ?"
Meledaklah tawa Cu Jiang karena kemarahannya:
"Kebalikannya, apakah kalian juga tak sayang kalau
sampai mati?"
Keempat lelaki itu mengerut dahi. Wajah mereka sarat
dan matanya memancarkan sinar pembunuhan.
Pemimpin dari keempat lelaki itu segera berseru:
"Budak, ini berarti engkau hendak cari mati sendiri."
"Apakah anda sekalian hendak bertekad mati ?"
walaupun marah tetapi Cu Jiang masih dapat
mengendalikan diri.
"Lalu bagaimana baiknya kalau menurut pendapatmu ?"
"Lanjutkan saja perjalananmu !"
"Lalu gadis ini ?"
"Tinggalkan saja !"
"Ha, ha, ha, ha !" orang itu tertawa mencemooh, "budak,
kata-katamu lebih merdu dari orang menyanyi."
"Aku sebenarnya tak ingin membunuh orang."
"Bau pupuk kepalamu masih belum kering tetapi
mulutmu sudah sedemikian besar. Tahukah engkau siapa
kami berempat ini ?"
"Tak lebih dari kawanan tikus belaka !"
Mendengar Jawaban Cu Jiang, seketika meluaplah
kemarahan keempat orang itu. Orang yang nada suaranya
kasar tadi segera getarkan pedangnya dan berseru:
"Budak, pernahkah engkau mendengar nama Gedung
Hitam ?"
Terkejut Cu Jiang mendengar nama itu. ."Apakah kalian
ini orang dari Gedung Hitam?"
Gedung Hitam merupakan sebuah perkumpulan rahasia
dalam dunia persilatan. Pengaruh partai Gedung Hitam itu
meliputi daerah Kanglam dan Kangpak. Mereka membasmi
kaum persilatan yang bukan golongannya. Setiap orang
persilatan tentu akan gemetar mendengar nama Gedung
Hitam itu.
Tetapi di manakah letak markas Gedung Hitam itu dan
siapakah pemimpinnya, selama puluhan tahun tiada
seorangpun yang tahu.
"Ah, rupanya engkau sudah terlambat." seru lelaki yang
menjadi pemimpin kawan-kawannya itu.
Serentak Cu Jiang teringat akan pesan ayahnya ketika
dia hendak berangkat berkelana. Ayahnya pesan, selama
berkelana di dunia persilatan itu jangan sekali-kali cari
perkara dengan orang-orang Gedung Hitam. Berbahaya
sekali tentu celaka.
Tetapi apa mau dikata lagi. Saat itu dia sudah terlanjur
berhadapan dengan empat anggauta Gedung Hitam.
Sekalipun dia hendak menghindar, tentulah mereka tak
mau melepaskannya.
Seketika bangkitlah semangat Cu Jiang Sebagai putera
seorang ksatria, bagaimana dia mau ber peluk tangan
mengawasi seorang gadis lemah yang hendak diganggu oleh
kawanan anggauta Gedung Hitam?
Seketika timbullah semangat kegagahan Cu Jiang.
Serunya dengan nada datar:
"Apakah kesalahan nona itu kepada kalian?"
"Tiada seorangpun yang berani menanyakan urusan
pihak Gedung Hitam! " sahut pemimpin ke empat orang
itu.
"Tetapi kalau aku berkeras hendak bertanya?"
"Heh, heh, kematian sudah di depan mata, mengapa
engkau masih banyak tingkah." orang itu tertawa seram.
"Kongcu, jika engkau tak mau menolong, aku tentu
celaka di tangan mereka." kembali jelita Itu berteriak
dengan nada beriba.
Cu Jiang berpaling memandangnya. Seketika bulatlah
tekadnya. Keadilan dalam dunia persilatan tak boleh
diinjak-injak. Dia harus turut campur tangan dalam urusan
itu.
Tetapi tiba2 iapun ingin mengetahui, mengapa gadis
cantik itu sampai dikejar-kejar orang Gedung Hitam?
Kemudian Cu Jiang menarik kesimpulan bahwa
kawanan Delapan-tikus-Holam dan Tiga harimau-Sujwan
yang telah dibunuh Ang Nio cu itu kiranya juga anggauta
dari Gedung Hitam.
"Mengapa nona sampai berurusan dengan mereka?"
akhirnya ia meminta keterangan kepada jelita itu.
Dengan nada rawan jelita baju hijau itu berkata:
"Delapan jiwa dalam keluargaku telah dibunuh semua,
hanya tinggal aku seorang. Tetapi mereka tetap tak mau
melepaskan aku!"
"Apa sebabnya?" tanya Cu Jiang.
"Karena pemimpin Gedung Hitam itu tertarik pada
wajahku!"
"Harus dibasmi!" Cu Jiang mendengus geram.
"Budak, jangan berkentut busuk!" teriak pemimpin
kawanan lelaki itu seraya terus menusuk Cu Jiang.
Ilmu pedang orang itu memang bukan olah2. Aneh dan
ganas sekali. Sekaligus ujung pedang berhamburan
mengarah kelima buah jalan darah di tubuh Cu Jiang.
Gerakan pedangpun menimbulkan desis angin yang tajam
sekali.
Dengan tenang Cu Jiang bergerak ke samping untuk
menghindar.
"Bagus, budak, kiranya engkau mempunyai modal juga
maka engkau begitu jumawa!" seru orang itu. Dan mereka
berempat segera berpencar di empat penjuru untuk
mengepung Cu Jiang.
"Apakah kalian hendak memaksa aku harus turun
tangan? "seru Cu Jiang.
"Serahkan jiwamu!" teriak lelaki yang bersuara kasar. Ia
terus menusukkan pedang ke dada Cu Jiang. Sementara
ketiga kawannya juga serempak menyerang dari tiga arah.
Tring, iring, tring
Terdengar serentetan dering senjata yang menusuk
telinga dan seketika gerakan pedang keempat orang itu
berhenti, orangnyapun masing2 mundur sampai dua tiga
langkah.
Tampak Cu Jiang sedang memegang pedang pusakanya
yang berwarna hitam legam. Mencabut dan membabatkan
pedangnya, dilakukan dengan kecepatan yang amat tinggi
sekali. Seolah-olah pedang itu sudah melekat pada
tangannya.
Tetapi hal itu hanya penundaan sementara. Tak ada
anggauta Gedung Hitam yang tak ganas. Sudah tentu
mereka tak mau menerima begitu saja akan kekalahan itu.
Serempak mereka berempat menggembor dan menerjang
lagi. Mereka melancarkan jurus2 serangan yang buas,
seolah ingin lekas2 membelah pemuda itu.
Melihat tingkah mereka, berkobarlah kemarahan Cu
Jiang. Dengan mendengus, ia taburkan pedangnya pula.
"Huak..."
Terdengar jeritan ngeri menguak suasana. Lelaki yang
tadi buka suara besar itu rubuh, tubuhnya mandi darah.
Ketiga kawannya serentak tertegun.
"Aku dipaksanya untuk membunuh!" kata Cu Jiang pula.
"Aih . . . !" tiba2 gadis jelita tadi menjerit kaget.
Ketiga anggauta Gedung Hitam segera membungkukkan
tubuh dan terus mengundurkan diri.
Cu Jiang cepat berpaling. Tampak, entah kapan, di
tempat itu telah bertambah dengan kemunculan sesosok
bayangan raksasa. Ketika mengawasi dengan lekat, bulu
roma Cu Jiang meregang tegak dan menahan napas.
Bayangan raksasa yang ditingkah sinar rembulan itu
sepintas menyerupai bangsa setan gunung. Memakai topi
hijau dan jubahnyapun berwarna hijau.
Tangannya memegang sekeping papan. Matanya
menonjol ke luar, hidung melesak. Mengerikan mata
memandangnya. Sepintas menyerupai seorang menteri
kerajaan yang berpangkat sebagai hakim.
Dengan mata yang berkilat-kilat memancar cahaya hijau,
orang itu memandang Cu Jiang.
Siapakah orang itu? Dan gerak geriknya ketika dia
muncul tanpa mengeluarkan suara sedikit pun juga, jelas
dia tentu memiliki ilmu yang sakti.
Cu Jiang paksakan diri untuk menegur:
"Kojiu dari manakah anda ini ?"
"Hakim baju hijau dari Gedung Hitam!" sahut orang
tinggi besar itu dengan nada macam guntur yang
memekikkan telinga.
Cu Jiang belum pernah mendengar tentang diri Liok-
poan-koan atau Hakim Baju hijau. Tetapi karena dia
menjabat pelindung hukum dari Gedung Hitam, tentulah
ilmu kepandaiannya tinggi sekali.
"O, Hakim baju hijau," tanpa disadari Cu Jiang
mengulang nama itu.
Tetapi orang itu tak menghiraukan Cu Jiang. Dia
mengalihkan pandang matanya kearah gadis jelita.
Beberapa jenak kemudian baru dia berkata:
"O, benar2 memikat hati!" Kemudian dia beralih
memandang Cu Jiang lalu membentaknya: "Budak,
tahukah engkau bagaimana cara engkau akan mati?"
Cu Jiang mengertek gigi.
"Mati dengan cara bagaimana?" serunya.
"Tubuhmu akan kusempal-sempal hidup-hidupan !"
"Ah, masakan begitu mudah!"
"Belum pernah aku meninggalkan mayat korbanku
masih utuh !"
Cu Jiang menggenggam pedangnya makin kencang.
Kemudian dengan besarkan nyali, berseru:
"Soal itu harus dilihat kenyataannya !"
Liok-poan-koan atau Hakim baju hijau mengeliarkan biji
matanya beberapa kali. Kemudian tertawa seram.
"Budak, aneh, tiba2 saja aku ingin bermurah hati, tak
sampai hati untuk turun tangan..."
"Mengapa ?" seru Cu Jiang.
"Karena tulang-tulangmu bagus sekali, sebuah bahan
istimewa yang jarang terdapat dalam dunia persilatan!"
Lalu ?"
"Jika engkau masih ingin hidup, masih terbuka sebuah
jalan ...."
"Jalan yang bagaimana ?" tukas Cu Jiang.
"Menjadi muridku!"
Tak tahan Cu Jiang untuk tidak tertawa. Serentak dia
berseru:
"Anda berpikir terlalu muluk !"
Mendengar jawaban itu mata Liok-poan-koen segera
menghambur sinar hijau.
"Apa katamu? Engkau menolak?" teriaknya marah
sekali.
"Ya,"
"Coba ulangi lagi kalau berani!"
"Aku tidak mau! "
"Huh..." kerongkongan Liok-poan-koan menelan
ludahnya. Kemudian ia menyusupkan Papan-besi ke
pinggangnya lalu berseru:
"Jika begitu akan kurobek-robek tubuhmu!"
Serempak dengan kata2, tangannya yang segede kipas
bertebar dan kelima jarinya yang menyerupai cakar2 besi
segera menerkam Cu Jiang.
Walaupun tahu bahwa dirinya bukan lawan orang itu
tetapi dalam keadaan terdesak seperti saat itu, tiada lain
pilihan bagi Cu Jiang kecuali harus melawan. Dia babatkan
pedangnya dengan sepenuh tenaga. Ujung pedang
berhamburan bagai hujan mencurah deras ke arah tiga belas
buah jalan darah di tubuh lawan.
Jurus permainan pedang itu benar2 mengejutkan sekali.
"Ahhh ....!"
Entah dengan gerak bagaimana, tahu2 Cu Jiang rasakan
tangannya yang memegang pedang itu tergetar. Bukan saja
seluruh gerakan pedangnya terhalang, pun dia juga harus
menyurut mundur tiga langkah. Dan tanpa disadari dia
menjerit kaget.
Liok-poan-koan tak mau mengejar melainkan hentikan
serangannya. Rupanya dia merasa sayang.
Liok-poan-koan si manusia aneh itu tertawa aneh,
serunya:
"Budak, selama ini aku membunuh erang seperti
membunuh nyamuk saja. Tapi hari ini, kuadakan
pengecualian. Sekali lagi jawablah. Engkau mau atau tidak
menjadi muridku?"
Cu Jiang deliki mata dan menyahut dengan seram:
"Tidak bisa!"
Tangan Liok-poan koan yang diangkat ke-atas.
diturunkan pula. Kemudian berseru marah:
"Kunyuk kecil, jika aku sengaja tak memberi
kelonggaran, tak mungkin engkau mampu menerima
sebuah seranganku saja. Ketahuilah, jika engkau dapat
mewarisi kepandaianku, dalam dunia persilatan tiada yang
dapat melawanmu !"
"Tidak bisa !"
"Jika begitu akan kurobek-robek tubuhmu !" seru Liok-
poan koan seraya ulurkan tangan mencengkeram.
Ternyata Cu Jiang sudah tak berdaya lagi. Tenaganya
habis. Untuk mengangkat pedang saja dia sudah tak
mampu. Maka dia hanya pejamkan mata menunggu
kematian.
Dalam detik2 malaekat Elmaut hendak merenggut jiwa
Cu Jiang, sekonyong-konyong terdengar sebuah suara
nyaring berseru.
"Liok poan-koan, biarlah pinto yang mewakilinya
menerima seranganmu!"
Serempak muncullah seorang imam tua yang kain
kepalanya tak keruan.
Cu Jiang terbeliak. Ternyata imam tua itu tak lain adalah
Imam yang bertemu padanya di tengah jalan dan berkeras
hendak mengambilnya sebagai murid. Dia adalah Thian-
hian-cu, salah seorang dari Tiga-serangkai-imam dalam
dunia persilatan.
Cu Jiang timbul pula semangatnya. Liok-poan-koan
menarik tangannya dan tertawa gelak:
"Imam Jembel. tak kira kalau engkau masih berani
keluar gunung. Apakah engkau hendak mengantar jiwamu
kemari ?"
Thian-hian-cu melemparkan sebutir pil kepada si jelita
yang tak berapa jauh dari tempatnya seraya berkata
pelahan:
"Suruh dia lekas minum lalu lanjutkan perjalanan lagi,
jangan lupa!"
Setelah memberi pesan dia terus melangkah ke muka dan
memberi anggukan kepala kepada Liok-poan-koan: "Ah,
sudah lama kita tak berjumpa !"
Tetapi Liok-poan-koan membentaknya: "Imam busuk,
jangan banyak bicara, lekas serahkan jiwamu !"
Segera dia lepaskan sebuah hantaman.
Thian hian-cu pun cepat2 mengangkat tangannya untuk
menyongsong. Bum . . . terdengar letupan dahsyat. Batu
dan pasir berhamburan, ranting dan rumput2 bertebaran.
Kedua bayangan itupun segera berpencar lagi.
Ternyata kekuatan keduanya berimbang.
Sesaat kemudian keduanya lalu maju lagi. Saat itu
cuacapun mulai gelap. Malam tiba. Rembulan dan bintang
tak tampak di cakrawala.
Setelah menerima pil, si jelita tadi segera menghampiri
Cu Jiang. Dengan tangannya yang putih mulus, ia
menyusupkan pil itu ke mulut Cu Jiang.
Cu Jiang mengangakan mulut hendak berkata apa2,
tetapi si jelita sudah mendahului untuk menyusupkan pil ke
dalam mulutnya.
Ketiga lelaki membawa pedang tadi, rupanya hendak
mencari kesempatan. Mereka memberi isyarat mata lalu
tiba2 mereka serentak menyerang maju.
"Hm, cari mampus lu!" Terdengar ketiga orang itu
menjerit ngeri dan rubuh di tanah. Ternyata yang turun
tangan adalah Thian-hian-cu.
Walaupun sedang bertempur dengan Liok-poan-koan
tetapi Thian-hiancu masih sempat untuk menghantam
ketiga lelaki berpedang itu. Suatu bukti yang jelas bahwa
nama Bu-lim sam-cu atau Tiga-serangkai-imam dunia
persilatan, memang tak bernama kosong.
Hantaman dari Thian hian-cu yang merubuhkan ketiga
lelaki bersenjata pedang itu masih membaurkan angin yang
melanda ke Cu Jiang sehingga anak muda itu sampai
terhuyung. Melihat itu si jelita buru2 memegangnya agar
jangan sampai jatuh. Dengan demikian kedua muda mudi
itu telah bersentuhan tubuh.
Seketika hidung Cu Jiang terbaur oleh bau yang harum
sedap dari tubuh dan napas si jelita.
Cu Jiang tersirap, mukanya ter-sipu2 merah. Melihat itu
si jelitapun segera lepaskan tangannya dan dengan ke
malu2an, ia bertanya:
"Kongcu, apakah engkau dapat berjalan?"
Cu Jiang seperti di ingatkan akan keadaan yang
dihadapinya saat itu. serentak ia melakukan pernapasan dan
ternyata tenaganya sudah pulih separoh.
Ia tahu bahwa pil pemberian Thian-hian-cu itu memang
hebat sekali. Serentak timbullah keperwiraan hatinya. Dia
tak mau melarikan diri. Setelah Thian hian-cu selamat, baru
dia akan pergi.
Tetapi pada lain saat, ia menyadari. Sekali pun
tenaganya sudah sembuh sama sekali, diapun tetap tak
dapat membantu Thian-hian-cu. Ia bingung dan tak tahu
bagaimana harus mengambil keputusan.
"Kongcu, mari kita tinggalkan tempat ini," si jelita
mendesaknya.
Nadanya selembut sutera, kumandangnya semerdu
burung kenari. Telinga Cu Jiang seperti mendengar
nyanyian yang mengikat jiwa. Terutama ketika jelita itu
mengucapkan kata2 kita. Ah, semangat Cu Jiang seperti
me-layang2.
Walaupun mereka berdua baru saja berkenalan dan
belum mengetahui siapa diri masing2 yang sesungguhnya,
tetapi keadaan telah mempersatukan mereka dalam nasib
yang sama.
Dan keadaan itulah yang menyebabkan mereka
menghilangkan segala rasa kikuk dan malu satu sama lain.
Keduanya seperti kawan lama yang mesra.
Di tingkah cahaya rembulan, Cu Jiang sempat pula
memperhatikan betapa sorot mata si jelita itu memancarkan
rasa bersyukur, harapan dan percikan perasaan hati yang
tersembunyi.
Dalam pada itu, ketiga lelaki bersenjata pedang telah
duduk di tanah untuk menyembuhkan lukanya.
Sementara Thian-hian-cupun masih melanjutkan
pertempuran maut dengan Liok-poan-koan. Hanya
tampaknya Thian-hian-cu lebih di atas angin.
Sejenak memandang ke arah gelanggang pertempuran
berkatalah Cu Jiang kepada si jelita:
"Nona, bagaimana kalau engkau berangkat dulu?"
"Mengapa?" tanya si jelita.
"Aku tak dapat meninggalkan imam itu .. ."
"Tetapi kongcu, imam itulah yang memberi pesan
kepadamu."
"Tetapi .... sebagai seorang ksatrya.. ."
"Kongcu, maaf kalau aku lancang bicara. Tetapi apabila
kongcu tetap berada di sini, imam itu akan bertambah
beban pikiran. Luka mu . . . ."
Merah muka Cu Jiang. "Nona, mungkin kita tak satu
jalan."
Wajah si jelita tampak sedih, ujarnya:
"Kongcu, karena engkau sudah mengulurkan budi
pertolongan kepadaku, tentulah kongcu tak tega kalau aku
sampai jatuh ke tangan orang2 jahat itu, bukan?"
Cu Jiang terkesiap, ia serba salah.
Tiba2 Thian-hian-cu berteriak:
"Hai, budak, kasak kusuk apa lagi itu? Kalau mau
bermesra-mesraan, pindahlah ke lain tempat. Jangan di sini.
Celaka kalau sampai datang poan-koan (hakim) yang lain
lagi!"
Cu Jiang terbeliak. Diam2 dia mengakui ucapan imam
itu memang benar. Jika muncul jago ko-jiu dari Gedung
Hitam lagi, menilik si jelita itu seperti orang yang tak
mengerti ilmu silat, bukankah dirinya akan celaka.
Perangai Cu Jiang yang angkuh, saat itu harus
mengendap. Ia harus mengalah. Maka berserulah ia kepada
Thian-hian-cu:
"Cian pwe, budi pertolonganmu itu kelak pasti akan
kubalas!"
Dia terus berputar tubuh dan mengajak si jelita berlalu
dari situ. Keduanya menuju ke dalam hutan.
"Kongcu, mengapa balik ke sana lagi? " tegur si jelita.
Cu Jiang hentikan langkah dan menjawab: "Kudaku
masih berada di bawah karang."
"Oh..."
"Apakah nona pernah belajar silat?"
"Ah, hanya gerakan seperti orang menari-nari saja,
masakan dapat digunakan untuk melindungi diri. Mohon
tanya siapakah nama kongcu?"
"Namaku Cu Jiang."
"O, aku . . . namaku Ho Kiong Hwa! " Kiong Hwa
artinya Bunga istana. Ah, memang wajahnya benar2
secantik bunga istana.
"Nama yang indah!: tanpa disadari Cu Jiang berseru
memuji. Kemudian ia tersipu-sipu sendiri karena tak dapat
mengendalikan perasaannya.
Ho Kiong Hwa tertawa gembira: "Ah, kongcu terlalu
memuji. "
Dalam bercakap-cakap itu mereka tiba di tempat kuda
Hijau ditambatkan. Tetapi seketika itu mata Cu jiang
melotot dan wajahnya merah padam. Dadanya hampir
meledak karena diluap kemarahan yang besar.
Kuda Hijau, kuda kesayangannya, saat itu terkapar di
tanah, kepalanya hancur, darah bercucuran ke luar.
Antara Cu Jiang dengan kuda kesayangannya itu telah
terjalin suatu hubungan yang mesra. Melihat kudanya
dalam keadaan begitu mengenaskan, diapun mengucurkan
airmata.
"Ai, temuan Liok poan-koan itu yang melakukan." seru
Ho Kiong Hwa.
"Bagaimana nona tahu?"
"Yang dapat menghancurkan kepala kuda tanpa
menimbulkan suara, siapa lagi kalau bukan makhluk aneh
itu."
"Nona benar." tukas Cu Jiang dengan geram. "Pada
suatu hari aku tentu akan memperlakukan dia seperti apa
yang dilakukan terhadap kudaku ini. Kepalanya akan
kuhancurkan juga! "
"Kongcu, bagaimana kita sekarang?"
"Terpaksa harus berjalan kaki. "
"Cu kongcu, demi menolong diriku, engkau, banyak
mengalami kesukaran apalagi engkau harus menderita
kesedihan karena kehilangan kuda kesayanganmu. Hal ini
benar2..."
"Nona Ho. sungguh menyesal. Karena kepandaianku
yang dangkal maka aku sampai mengalami penderitaan
ini!"
"Ah. kalau kongcu mengatakan begitu, hatiku makin
berat."
Di sebelah sana pertempuran masih berlangsung seru.
Suasana sunyi di pegunungan tersibak oleh hiruk pikuk
pertempuran maut itu.
"Kita tinggalkan tempat ini dulu baru nanti kita
berunding lagi."
"Terserah bagaimana kongcu hendak mengatur, aku
hanya menurut saja."
Dari pelana kudanya, Cu Jiang mengambil beberapa
benda yang penting lalu disisipkan dalam bajunya. Yang
lain2 ia tinggalkan di situ.
Setelah berjalan menyusuri pegunungan karang itu,
mereka lalu lanjutkan berjalan dengan cepat.
Malam itu rembulan bersinar indah. Tetapi Cu Jiang tak
mempunyai hati untuk menikmati keindahan malam itu.
Belum pernah ia mengalami penderitaan yang begitu berat
dan begitu menyedihkan. Sifat kegagahannya pun seolah
pudar.
Demikian keduanya menyusur di sepanjang jalan kecil
dilereng gunung. Jauh disebelah muka tampak jalan yang
lebih lebar.
Tiba2 Cu Jiang berhenti. "Nona Ho, kita terpaksa harus
berpisah !"
Si jelita memandang Cu Jiang dengan rawan, serunya:
"Berpisah ?"
Cu Jiang terkesiap.
"Akhirnya kita tak dapat terus menerus bersama-sama
...."
Ho Kiong Hwa tersenyum:
"Tetapi aku ingin terus begini !"
Percik harapan yang tertumpah pada kata2 itu. sudah
tentu Cu Jiang dapat menerima. Tetapi dia selalu memikiri
rumah dan ingin pulang.
Kedua orang tuanya karena menyingkir dari dendam
permusuhan maka mengasingkan diri ditempat yang
tersembunyi, agar jangan diketahui orang. Seingatnya,
karena tempat tinggalnya diketahui orang, maka ayahnya
telah berpindah tempat sampai empat kali.
Dia harus mentaati pesan ayahnya, supaya jangan
sembarangan menceritakan tentang dirinya dan tempat
tinggalnya. Ho Kiong Hwa, sinona jelita itu belum jelas asal
usulnya.
"Mudah jatuh pada kecantikan wanita, bukan laku
seorang ksatrya." Demikian ajaran ayahnya.
Maka ia teguhkan hatinya dan berkata: "Nona Ho, kelak
kita tentu berjumpa lagi"
Wajah si jelita kembali mengerut kesedihan. Kemudian
berkata dengan rawan:
"Cu kongcu, aku sudah sebatang kara, tiada punya
rumah, tiada sanak keluarga. Entah bagaimana jadinya
dengan diriku dalam pengembaraanku di dunia persilatan
itu. Menilik sikap dan peribadi kongcu, kongcu tentu putera
seorang keluarga yang ternama. Apakah kongcu sudi
melimpahkan budi untuk menerima diriku sebagai bujang
pelayan . . ."
Cu Jiang gelengkan kepala pelahan.
"Nona Ho, aku sendiri dari keluarga miskin."
"Ah, tak percaya."
"Terserah pada nona."
"Apakah kongcu tak kasihan padaku?"
"Nona Ho, apabila aku mengandung hati begitu,
mengapa aku harus berjerih payah mengikat permusuhan
dengan fihak Gedung Hitam. . ."
"Maafkan kongcu, aku kelepasan omong!"
"Ah, janganlah nona berkata begitu," sahut Cu Jiang.
"Budi pertolongan kongcu, kelak tentu akan kubalas."
"Ah, jangan nona berkata begitu. Apa yang kulakukan
itu tak berarti apa2."
"Meskipun kongcu tak mengharap balas, tetapi aku tentu
selalu mengingat budi pertolongan kongcu."
"Sebenarnya aku sangat memikirkan keadaan nona tetapi
aku tak berdaya hendak membantu nona, kudoakan Thian
selalu memberkahi nona."
"Terima kasih, kongcu."
"Harap nona suka menjaga diri baik2."
"Harap kongcu juga baik2 menjaga diri."
"Semoga kelak kita akan berjumpa lagi."
"Pasti . . ." Cu Jiang memberi hormat. Dengan keraskan
hati, ia terus lari menuruni gunung. Ada sesuatu yang
membuat hatinya menderita tetapi sukar untuk diucapkan.
Setelah tiba di jalan besar, ia terus menuju ke arah
selatan. Pada hari ketiga, sampailah ia di kota Li-jwan.
Setelah itu akan mencapai daerah gunung Bu-teng-san yang
tak jauh dari tempat tinggalnya
Ia segera menuju ke rumah makan yang menjadi
langganannya apabila dia tiba di kota itu.
Pemilik rumah makan itu seorang nyonya bertubuh
gemuk. Ia menyambut kedatangan Cu Jiang dengan
gembira. Sambil bertepuk tangan dia berseru:
"Ai, Kongcu. sudah setengah tahun, kita tak bertemu.
Silahkan masuk! Mana kudanya?"
"Aku jalan kaki saja," Cu Jiang tertawa.
"Ah, kongcu tentu letih, silahkan beristirahat di ruang
kebun belakang!"
"Toa-Nio, aku hanya singgah makan saja terus akan
melanjutkan perjalanan lagi."
"Sudah lama tak bertemu mengapa begitu terburu-
buru...."
Cu Jiang hanya tertawa dan terus masuk ke ruang
belakang.
Di belakang terdapat tiga buah halaman. Yang satu
terang dan yang dua gelap. Di tengah halaman di tumbuhi
dengan bunga2an dan di hias dengan batu. Suasananya
sunyi tenang.
Cu Jiang menuju ke ruang yang di tengah. Tak berapa
lama pelayan mengantar minuman, buah2an dan handuk
panas.
"Apakah kongcu hendak minum arak?"
"Ya, sedikit saja."
"Pakai sayur apa?"
"Biasa saja yang sering kumakan."
Jongos segera ke luar, Cu Jiang duduk merenungkan
semua pengalaman selama dalam perjalanannya. Ang Nio-
cu, Liok-poan-koan, si jelita Ho Kiong Hwa, Thian-hian-cu.
..
Juga tentang suratnya yang hilang di pelana kuda. Dia
heran memikirkan hal itu. Mengapa bukan uang atau perak
yang di bekalnya yang hilang tetapi surat itu? Bukankah
surat itu hanya sekedar memberitahu kepada kedua orang
tuanya tentang keadaan dirinya waktu itu? Apa guna orang
itu mengambilnya?
Dan pula, mengapa kuda si Hijau sampai tertambat pada
pohon siong itu?
Setelah melalu lalang dalam lamunan, akhirnya
pikirannya teringat kembali kepada si jelita Ho Kiong Hwa.
seorang nona yang cantik luar biasa tetapi menderita nasib
yang malang.
Membayangkan betapa dalam waktu sesingkat itu ada
suatu perasaan yang menjalin hatinya dengan si jelita,
merahlah muka Cu Jiang.
Diam2 dia menyesal mengapa sekali sudah menolong
nona itu, ia tak mau menolong sampai akhir, membawanya
ke rumah makan di situ? Tetapi ketika teringat bahwa
rumah makan itu penuh di kunjungi dengan tetamu2 yang
pergi datang, padahal si jelita itu sedang diburu oleh orang2
Gedung Hitam, bukankah rumah makan itu akan terlibat?
Tiba2 pelayan muncul dengan membawa hidangan yang
di pesannya. Kemudian pelayan itu keluar lagi.
Kini Cu Jiang duduk minum seorang diri. Pikirannya
masih tertuju pada si jelita.
Ho Kiong Hwa benar2 seperti yang terlukis dalam
suratan nasib: "Wanita cantik kebanyakan tentu bernasib
malang . . ."
Sekonyong-konyong tirai pintu tersiak dan muncullah
seorang lelaki berpakaian biru di pinggir pintu. Dia
melangkah masuk tertawa sinis kepada Cu Jiang.
"Mau apa engkau !" bentak Cu Jiang.
Lelaki itu lemparkan sebuah benda lalu berbalik tubuh
dan melangkah keluar.
Cu Jiang menyambuti benda itu dengan sumpitnya lalu
berteriak: "Berhenti!"
Tetapi orang itu sudah menerobos keluar dan
menghilang. Cu Jiang terpaksa tak dapat mengejar. Dia
rasakan benda yang disumpitnya itu cukup berat. Ketika
diamatinya ternyata sebuah thiat pay atau papan besi warna
hitam, bagian tengahnya terdapat sebuah huruf yang
menonjol dan berbunyi MATI.
00ood-woo00

Jilid 2
Kejut Cu Jiang bukan kepalang.
"Amanat Maut !" teriaknya.
Amanat-maut merupakan pertandaan dari pihak Gedung
Hitam untuk mencabut nyawa orang. Tak beda seperti
amanat dari Giam lo-ong atau si Raja Akhirat. Barang siapa
menerima amanat itu tentu mati.
Dulu Cu Jiang hanya pernah mendengar tentang itu.
Tetapi kini dia benar2 melihat bahkan menerimanya
sendiri.
Balik kedalam ruangan, hilanglah selera Cu Jiang untuk
minum arak.
Pengaruh Gedung Hitam benar2 luas dan mengerikan.
Dalam waktu singkat saja dia sudah jatuh kedalam
cengkeraman mereka.
Bagaimana dengan si jelita Ho Kiong Hwa ? Ah, nona
itu tentu tak terhindar dan genggaman orang2 Gedung
Hitam. Entah bagaimana, walaupun dirinya sedang
menghadapi bencana maut, lebih dulu dia memikirkan diri
dan keselamatan si jelita Ho Kiong Hwa.
Pemilik rumah makan bergegas mendatangi dan berseru:
"Kongcu, orang tadi. . .."
"Menerimakan benda ini." kata Cu Jiang seraya
menunjukkan papan besi itu.
"Amanat-maut." teriak wanita itu.
"Benar, memang amanat kematian," kata Cu Jiang
dengan nada sarat.
Pipi wanita pemilik rumah makan yang besar dengan
daging itu segera mengerut. Sepasang alisnyapun hampir
meregang tegak.
"Kongcu, kenapa engkau sampai bermusuhan dengan
orang Gedung Hitam?" serunya.
"Karena menolong seorang nona."
"Aih, lalu bagaimana ?"
"Toa nio, aku segera hendak melanjutkan perjalanan
saja."
"Kemungkinan engkau tak dapat mencapai satu li saja !"
"Habis, daripada menunggu kematian !"
"Kongcu, berikan waktu kepadaku untuk ikut
memikirkan..."
"Tidak, toa nio, aku tak mau melibatkan dirimu."
Wanita gemuk itu deliki mata. "Ngaco !" teriaknya.
Cu Jiang terkesiap. Selama ini belum pernah wanita
gemuk pemilik rumah makan itu begitu keras sikapnya
terhadap dia. Seorang perempuan yang konon kabarnya tak
pernah belajar silat tetapi mengapa kenal Amanat-maut dan
Gedung Hitam ?
Aneh. Apakah wanita gemuk itu selama ini memang tak
mau unjukkan dirinya yang sesungguhnya ?
Tetapi betapapun juga, tak mungkin dia berani bertindak
menentang Gedung Hitam yang begitu besar pengaruh
kekuatannya dalam dunia persilatan.
"Toa-nio, apa yang engkau pikirkan?"
"Mencarikan jalan hidup untukmu !"
"Ah, tak perlu."
"Mengapa ?"
"Rumah tangga dan Jiwa toa nio, masakan harus ikut
menderita karena urusanku."
"Tutup mulutmu!" bentak wanita gemuk itu, "apabila
engkau mati ditangan orang Gedung Hitam, masih tak
mengapa. Tetapi Jiwa papah mamahmu juga terancam
bahaya."
Cu Jiang terkejut. Selama ini wanita gemuk itu tak
bertanya dan diapun tak pernah menceritakan tentang
keadaan ayah bundanya. Tetapi mengapa wanita gemuk itu
tahu ? Apakah wanita itu sesungguhnya orang Gedung
Hitam yang sengaja memancing-mancing ?
"Apa kata toa-nio?" Cu Jiang menegas.
"Tutup mulutmu !" bentak wanita gemuk itu pula seraya
deliki mata.
Cu Jiang terbeliak. Ia terlongong-longong memandang
wanita gemuk itu.
"Siapakah dia . .. .?"
Wanita gemuk itu tiba2 mengisar kemuka dinding lalu
menekan dinding itu sampai tiga kali. Dinding yang terbuat
daripada batu merah berkembang dan tiba2 merekah dan
terbukalah sebuah pintu.
Dibalik pintu itu merupakan sebuah titian atau undak-
undakan batu yang jauh menjurus ke-sebelah bawah.
Karena ujung titian yang dapat dilihat mata, tertutup dalam
kegelapan, maka tak dapat diketahui sampai berapakah
dalamnya lorong rahasia itu.
"Kongcu, turunlah. Didalamnya terdapat cukup
persedian makanan, tiga hari kemudian engkau boleh
keluar !"
Cu Jiang terkejut.
Diam2 ia menimang. Jika ia menuruti permintaan
wanita gemuk itu dan masuk kebawah lorong rahasia,
bukankah dia akan seperti burung yang terjebak dalam
sangkar ?
Atau mungkinkah wanita gemuk itu memang benar2
mengandung maksud baik hendak menyelamatkan dirinya?
"Lekas turun !" teriak wanita gemuk itu.
"Toa-nio !"
"Kusuruh engkau turun mengapa masih banyak omong
lagi!"
Sejenak meragu, akhirnya Cu Jiang mengambil sikap.
Dalam menghadapi saat2 yang membahayakan jiwanya, ia
harus lebih dulu mendapat keterangan yang jelas dan tak
boleh begitu pasrah saja. Bukankah ia bisa mati konyol ?
"Toa nio, apakah engkau seorang persilatan?" segera ia
bertanya.
"Eh, mengapa masih banyak mulut ? Apakah engkau
benar2 ingin mati ?"
"Aku tak mengerti, mengapa toa-nio berani menempuh
bahaya untuk menolong seorang yang telah menerima
Amanat Maut dari Gedung Hitam? "masih Cu Jiang
bertanya.
"Kelak engkau tentu tahu !"
"Tetapi sekarang juga aku ingin tahu."
"Tolol . . . engkau "
"Dan lagi rupanya toa-nio tahu akan keluargaku ?"
"Anggap saja sudah tahu, lekas engkau masuk!"
"Tidak ! Toa-nio harus memberi penjelasan dulu . .. . "
"Waktunya tak keburu lagi!"
Cu Jiang makin curiga. ia berkeras menolak.
"Jika begitu, maaf, aku tak dapat menuruti perintahmu !"
Wanita gemuk itu deliki mata dan berseru bengis:
"Apakah engkau benar2 menghendaki toaniomu harus
turun tangan?"
Cu Jiang tergetar hatinya.
"Betapapun disembunyikan dalam kulit domba, rubah
(rase) tentu akan tampak juga ekornya," pikirnya.
"Toanio," ia tertawa dingin, "sungguh tak kira kalau
engkau mengerti silat."
"Masih banyak hal2 yang tak dapat engkau duga !"
"Kalau begitu toanio harus banyak2 memberi penjelasan
lagi."
Turun !"
"Tidak !"
"Rupanya aku terpaksa turun tangan ..."
"Apa boleh buat..."
Tring, Cu Jiang terus mencabut pedang.
Wanita gemuk itupun segera singsingkan lengan bajunya
lalu siap mengangkat tangannya ke-atas.
Keduanya segera akan bertempur.
"Toa-nio," seru Cu Jiang dengan nada gemetar,
"bertahun-tahun engkau telah memperlakukan aku dengan
baik. Seharusnya tak boleh aku mencurigaimu. Tetapi hal
ini menyangkut suatu mati hidup
Wanita gemuk itu melangkah maju dan membentak
dengan marah:
"Tak perlu engkau banyak berkentut, mau turun atau
tidak !"
"Maaf..."
"Ho, budak kecil."
Serempak dengan kata2 itu wanita gemukpun terus
ayunkan tangannya menghampiri.
Cu Jiang terpaksa menangkis dengan pedangnya.
"Ha, kepandaianmu masih jauh sekali terpautnya,
budak!"
Gerakan tangan wanita gemuk itu lebih cepat dari kata-
katanya. Sementara pukulan tangan kanannya tadi masih
dilanjutkan, tangan kirinyapun menjulur maju menabas.
Hebat! Seketika itu gerak pedang Cu Jiang-pun tertutup
tak dapat berkembang. Dalam sekejap, Cu Jiangpun terkena
pukulan wanita gemuk itu. Dia sempoyongan ke belakang.
"Turun !"
Sebelum pemuda itu sempat berdiri tegak, kembali dia
sudah dilanda oleh gelombang angin pukulan dari wanita
gemuk itu. Cu Jiang kehilangan keseimbangan badan dan
diluar kehendaknya, dia tergelincir kedalam liang
terowongan.
Tetapi pemuda itu juga tidak lemah. Selekas kakinya
menyentuh tanah dibawah, cepat ia enjot tubuhnya hendak
melambung keatas lagi.
Wanita gemuk tertawa gelak2 seraya menghantam lagi.
Sudah tentu tubuh Cu Jiang tertekan kebawah dan jatuh ke
dalam terowongan pula.
Ha, ha ha terdengar wanita gemuk itu tertawa mengekeh
dan pada lain saat, pintu terowongan rahasia itupun
tertutup.
Kejut Cu Jiang bukan alang kepalang. Tak disangkanya
sama sekali bahwa wanita bertubuh gemuk seperti seekor
babi itu ternyata memiliki ilmu silat yang begitu hebat. Cu
Jiang merasa bahwa apa yang dipelajari selama ini sudah
cukup tinggi. Tetapi ternyata berhadapan dengan wanita
gemuk saja ia sudah kelabakan dan tak dapat berkutik lama
sekali.
Memandang ke arah bawah, gelapnya bukan main
sehingga ia tak dapat melihat jari2 tangannya sendiri. Ia
siapkan pedangnya menjaga setiap kemungkinan yang tak
terduga. Kemudian ia pejamkan mata dan tenangkan
pikiran.
Beberapa saat kemudian ia membuka mata dan dapatlah
dengan samar2 ia melihat keadaan terowongan rahasia itu.
ia coba mengacungkan pedangnya keatas. Tring, ternyata
ujung pedangnya telah menyentuh pintu rahasia tadi.
Pintu itu terbuat dari besi baja yang tebal sekali.
Sekalipun pedangnya itu juga sebuah pedang pusaka tetapi
sukar untuk membobolkan.
Betapapun geram dan bencinya terhadap wanita gemuk
itu tetapi Cu Jiang dipaksa oleh kenyataan. Dia tak dapat
keluar dari terowongan rahasia itu. Apa boleh buat, dia
harus berjuang untuk menghadapi apa yang akan terjadi.
Diam2 diapun mengutuk dirinya sendiri yang karena
kurang pengalaman maka sampai tertipu oleh wanita
gemuk itu.
Dengan membulatkan tekad, ia segera menuruni titian,
Lebih kurang lima tombak menurun ke bawah, sampailah
dia diujung titian yang terakhir. Kini dia berhadapan
dengan sebuah jalan yang datar.
Setelah menunggu beberapa saat dan tak terjadi suatu
apa, barulah ia melangkah maju. Sekalipun lorong
terowongan itu gelap tetapi tak berhawa lembab.
Lebih kurang dua-puluhan tombak berjalan dia
membiluk ke sebelah kiri dan tiba2 keadaannya terang
benderang. Sinar penerangan itu berasal dari untaian
mutiara yang terpancar dari dalam sebuah ruang.
Dalam ruang itu terdapat juga tempat tidur, meja kursi
dan lain2 alat perabot.
Berdiri di muka pintu, Cu Jiang masih meragu. Dia tak
tahu bagaimanakah sebenarnya maksud wanita gemuk itu
terhadap dirinya. Adakah wanita gemuk itu bermaksud baik
atau buruk kepadanya.
Sampai beberapa saat tertegun, ia tak melihat sesuatu
yang mencurigakan. Karena tiada lain pilihan lagi dan
karena ingin tahu, apapun yang akan terjadi ia harus
menghadapinya.
Dengan menghunus pedang ia segera melangkah masuk
ke dalam ruang. Ternyata kamar itu di hias dengan bersih
sekali. Di meja telah disediakan bahan makan dan
minuman. Tempat tidur pun lengkap dengan selimut dan
bantal. Juga disediakan rak buku dengan beberapa puluh
jilid buku bacaan.
Cu Jiang benar2 heran. Selama memasuki kamar rahasia
itu, dia tak menjumpai rintangan apa2. Dan keadaan dalam
kamar itu tepat seperti yang dikatakan si wanita gemuk.
Persedian makanan dan minuman disitu cukup untuk tiga
hari.
Apakah dia salah duga terhadap wanita gemuk itu?
Pikirnya.
"Tetapi mengapa dia menolong diriku?" tanya Cu Jiang
dalam hati.
Ransum makanan kering dan minuman disitu jelas
bukan baru saja disiapkan. Karena waktu dia menerima
Amanat Maut, sampai saat itu hanya berselang beberapa
saat saja.
Ah, hanya satu kemungkinan saja. Tentulah wanita
gemuk itu memang sudah siap menyediakan kamar rahasia
yang dilengkapi dengan ransum makanan untuk menjaga
kemungkinan apabila wanita gemuk itu menghadapi
bahaya.
Sekalipun ia menduga begitu namun hatinya masih
belum yakin. Saat itu dia ibarat burung yang sudah berada
dalam sangkar, setiap saat musuh tentu mudah sekali untuk
mengambil jiwanya.
Tiba2 ia teringat bahwa pintu di atas tadi terbuat dari
besi baja yang kokoh. Wanita gemuk mengatakan bahwa
tiga hari kemudian dia boleh keluar lagi Ah, bagaimana
mungkin!
Apabila persedian ransum makanan dan minuman di situ
sudah habis, bukankah dia akan mati kelaparan?
Apakah wanita gemuk itu memang sengaja hendak
membunuhnya secara pelahan?
"Ah, benar, benar," pikirnya, "wanita gemuk tadi telah
kelepasan omong, jelas dia tahu akan keadaan keluargaku."
Merenung hal itu diam2 Cu Jiang menggigil. Apa yang
di reka dalam dugaannya tadi, hapus semua. Jelas wanita
gemuk itu tentu seorang anggauta dari Gedung Hitam.
Diam2 pula Cu Jiang gelisah memikirkan keselamatan
ayah bunda dan adik2nya.
Makin merenungkan hal itu makin mendidihlah darah
Cu Jiang. Serentak ia menyambar pedang dan terus lari ke
luar lagi. Saat itu ia tiba kembali di bawah pintu baja yang
gelap tadi. Berulang kali ia berusaha untuk membacok,
menabas dan menusuk, namun pintu baja itu tak bergeming
sedikitpun juga.
Apa boleh buat, terpaksa dengan rasa kecewa ia kembali
lagi ke dalam kamar. Ia duduk termenung-menung.
Tiba2 ia mendapatkan bahwa dalam kamar itu juga
diperlengkapi dengan alat waktu atau jam model kuno,
yang dari tabung kaca yang berisi pasir.
Memang mudah ia untuk mengetahui waktu tetapi tak
tahu ia bagaimana nanti peristiwa yang akan menimpa pada
dirinya. Entah baik, entah celaka.
Mengeliar pandang ke arah rak buku, timbullah rasa
iseng untuk melihat2. Segera ia berbangkit dan
menghampiri tempat buku itu, mengambil sejilid dan
membacanya. Ia tertawa. Ternyata buku2 yang berada di
rak itu terdiri dari kitab Kim-kong-keng, Mi-io-keng dan
lain2 pelajaran agama Buddha.
"Huh, si gemuk itu rupanya hendak mempelajari agama
Buddha agar kelak dia dapat menitis lagi sebagai wanita
cantik . ."
Demikian tak terasa persedian bahan makanan telah
habis separuh dan menurut alat penghitung waktu, ternyata
saat itu sudah tiga hari lamanya dia berada di situ.
Tiga hari rasanya seperti tiga tahun. Harapan Cu Jiang
untuk keluar dari situ sudah pudar. Karena hal itu jelas tak
mungkin. Tetapi selama hayat masih di kandung badan,
manusia tentu selalu berdaya, harapan selalu tergenggam.
Saat itu dia keluar dari kamar dan menuju ke pintu di
atas tadi. Ketika mengamati dengan seksama, hampir saja
dia bersorak kegirangan.
Tapi pintu tampak bergurat lubang sehingga sinar dapat
memancar masuk. Seketika itu berobahlah pandangannya
terhadap wanita gemuk. Ternyata wanita gemuk itu
bermaksud baik kepadanya.
Diam2 ia malu sendiri mengapa menduga jelek pada
orang yang bermaksud baik. Setelah menyelipkan pedang,
dia segera mendaki ke atas. Dengan kedua tangan mulailah
ia mengisar pintu itu, ternyata pintu itu dapat bergerak.
Sejenak berhenti ia kerahkan seluruh tenaganya untuk
menarik. Pintupun berkisar lagi. Setelah untuk yang ketiga
kalinya ia mendorong, terbukalah sebuah lubang yang
cukup untuk dimasuki orang.
Girang Cu Jiang bukan kepalang. Selama tiga hari dalam
kamar rahasia di bawah tanah, tak pernah ia menduga akan
menghadapi peristiwa seaneh itu. Dia mengira pasti akan
mati kelaparan dalam kamar di bawah tanah.
Serentak ia menerobos ke luar. Tetapi ketika memandang
ke sekeliling, kejutnya bukan kepalang. Hampir ia tak
percaya apa yang disaksikan saat itu.
Bangunan rumah tiga hari yang lalu ia masuk dan
dihantam jatuh ke dalam terowongan oleh si wanita gemuk,
saat itu hanya tinggal reruntuhan puing. Dinding rubuh,
tiang dan genteng berserakan dimana-mana, hangus
terbakar.
Ah, itulah sebabnya pintu baja memancarkan guratan
sinar. Ternyata dinding dan tiang kayunya telah terbakar.
Apakah yang telah terjadi?
Apakah wanita gemuk itu yang membakar rumahnya
ataukah orang Gedung Hitam yang karena tak berhasil
menemukan dirinya ( Cu Jiang ) lalu marah dan membakar
rumah makan itu?
Jika wanita gemuk itu yang membakarnya sendiri, jelas
tak mungkin. Masakan dia akan menghancurkan rumah
makannya sendiri. Tak mungkin pula hanya karena hendak
menolong dirinya, wanita gemuk itu lantas membakar
rumah makan dan akibatnya tetangga2 yang berdekatan
ikut menderita!
Kemungkinan yang paling besar, tentulah gerombolan
Gedung Hitam yang melepas api.
Lalu ke manakah wanita gemuk dan para pegawainya?
Apakah mereka mati atau masih hidup?
Berbagai pikiran melalu lalang dalam benak Cu Jiang,
Tetapi yang jelas. rumah makan itu telah terbakar habis dan
pemiliknya, si wanita gemuk, tentu mengalami derita hebat.
Teringat akan kebaikan budi wanita gemuk kepadanya,
Cu Jiang menitikkan beberapa butir air mata.
Nadanya yang nyaring dan wajahnya yang cerah berseri
dan wanita gemuk itu, terbayang pada pelupuk Cu Jiang.
Sedih dan duka segera berubah menjadi rasa geram dan
dendam. Serentak Cu Jiang menengadah dan bersumpah:
"Selama aku masih hidup, aku tentu akan
menghancurkan Gedung Hitam, demi menghimpaskan
dendam kaum persilatan yang telah menjadi korban
keganasannya."
Apabila wanita gemuk itu karena menolong dirinya
sampai rumah-tangganya berantakan dan jiwanya
melayang, Cu Jiang merasa berhutang budi seumur hidup.
Bulat sudah keputusannya, Gedung Hitam tak perlu
disingkiri, tetapi harus dihadapi dan dihancurkannya.
Bahkan karena gejolak kemarahannya yang merangsang,
saat itu juga ia ingin bertemu dengan orang Gedung Hitam
dan mengadu jiwa.
Tetapi sesaat teringat akan ilmu kepandaiannya dan
kesaktian dari jago2 Gedung Hitam seperti Liok-poan-koan,
mau tak mau menurunlah kemarahannya.
Akhirnya ia memutuskan untuk segera tinggalkan tempat
itu karena dikuatirkan orang2 Gedung Hitam masih
berkeliaran di sekitar tempat itu. Dengan mudah mereka
pasti akan mengenali dirinya. Dan apabila mereka sampai
memergoki dan menyerangnya, bukankah dia akan mati
dengan sia2.
Dia mati sih tak apa, tetapi dendam darah dari wanita
gemuk yang telah mengorbankan jiwanya itu, tentu tak
dapat terhimpas selama-lamanya.
Setelah menutup pintu rahasia itu, ia segera
mengayunkan langkah dengan perasaan yang sukar
dilukiskan.
Tak lama ia segera berada di tengah kerumunan orang2
yang di sekeliling jalan. Ia berusaha untuk mendengarkan
berita tentang kebakaran rumah makan itu. Tetapi
pembicaraan mereka hanya simpang siur tak keruan, sukar
untuk menemukan jejak. Kebanyakan mereka tak tahu
kejadian yang sebenarnya dan hanya menduga-duga saja.
Sekonyong-konyong muncul lima penunggang kuda bulu
hitam yang dengan cepat tiba di jalan tempat orang2
berkerumun menyaksikan kebakaran itu. Yang empat
berpakaian warna hitam, membekal pedang. Sedang yang
seorang seorang baju hitam.
Orang2 itu segera menyingkir. Ketika tiba di tempat
kebakaran, kelima penunggang kuda itu berhenti.
Cu Jiang sebenarnya hendak segera melanjutkan
perjalanan. Ia telah memperhitungkan bahwa waktu yang
telah dijanjikan kepada kedua orang tuanya sudah lewat. Ia
harus buru2 pulang agar mereka jangan gelisah.
Tetapi ketika melihat kedatangan kelima penunggang
kuda itu, ia batalkan maksudnya dan tetap berada di situ. Ia
ingin tahu siapa mereka berlima dan apa yang hendak
mereka lakukan.
Tampak lelaki tua berbaju hitam berbicara asyik sambil
menuding kian kemari dengan keempat orang baju hitam.
Karena jaraknya jauh, entah apa yang dibicarakan mereka
Cu Jiang tak dapat menangkap.
Beberapa saat kemudian salah seorang penunggang kuda
baju hitam. tiba2 turun dari kudanya, mencabut pedang lalu
menabas lehernya sendiri.
Sekalian orang yang berkerumun disitu, menjerit kaget.
Darah menyembur dan rubuhlah orang itu. Sudah tentu
orang2 terkejut menyaksikan pertunjukan bunuh diri itu.
Bahkan yang nyalinya kecil terus ngacir pergi.
Cu Jiang juga terkejut. Siapa kelima penunggang kuda
baju hitam yang dandanan seperti kaum bu su (persilatan)
itu? Dan mengapa salah seorang memenggal lehernya
sendiri?
Seorang penunggang kuda yang lain lalu turun dari
kudanya, mengangkat tubuh kawannya yang bunuh diri itu
ke atas kudanya, mengusainya erat2. Setelah lelaki tua itu
memberi isyarat, mereka lalu melanjutkan perjalanan lagi.
Peristiwa itu masih meninggalkan kesan dan menjadi
pembicaraan yang ramai dari orang2 yang masih
berkerumun disitu.
Tiba2 bahu Cu Jiang ditepuk orang dari belakang. Ia
terkejut dan cepat berpaling. Seorang paderi jubah kelabu
berada di belakangnya dan tengah memandangnya dengan
mata berkilat-kilat.
Cu Jiang mengisar ke samping lalu cepat ber putar tubuh,
"Cianpwe, apa yang cianpwe hendak katakan
kepadaku?"
Paderi tua jubah kelabu itu berkata dengan suara sarat:
"Lekas ikut loni!" habis berkata paderi tua itu terus
ayunkan langkah tinggal tempat itu.
Cu Jiang meragu. Ia belum kenal dengan paderi tua itu
dan belum tahu dari aliran mana. Mengapa paderi tua itu
menyuruh dia mengikutinya ? Apakah dia juga seorang
anggauta Gedung Hitam ?
Teringat akan Gedung Hitam, seketika meluaplah
kemarahan Cu Jiang. Serentak ia menyusul.
Paderi tua Itu tak mau berpaling untuk melihat apakah
Cu Jiang mau menurut perintahnya atau tidak. Dia tetap
berjalan cepat ke muka seolah percaya bahwa Cu Jiang
tentu akan menyusulnya.
Cu Jiang mengikuti pada jarak lima tombak dibelakang
paderi tua itu.
Paderi tua itu ternyata tak mau mengambil jalan besar
melainkan menyusur jalan kecil dan gang. Tak lama tibalah
mereka disebuah tempat sepi dekat tembok kota.
Tiba2 paderi tua itu berpaling kearah Co Jiang lalu
loncat keatas tembok dan melayang turun diluar tembok.
Tempat itu merupakan bagian ujung kota Li-Jwan yang
paling sepi. Paderi tua itu tetap lanjutkan berjalan menuju
ke sebuah tempat yang lebih sepi. Cu Jiang terpaksa
mengikutinya.
Tak berapa lama mereka tiba disebuah hutan dan
barulah paderi tua itu berhenti.
Dengan hati2 Cu Jiang berhenti juga. Ia tetap menjaga
jarak lima tombak dari paderi tua itu dan bersiap-siap.
Memandang lekat kearah pemuda itu, paderi tua
menganguk-angguk kepala dan berkata.
"Benar2 seorang bahan yang sukar dicari keduanya !"
Cu Jiang terkesiap. "Mohon tanya, siapa cianpwe ini?"
serunya. "Loni adalah Go-leng-cu."
"Tokoh kedua dari Bu-lim Sam-cu?"
"Benar, pengetahuan sicu cukup luas !" sahut paderi tua
itu.
"Apakah maksud cianpwe memanggil aku kemari ?"
Wajah Go-leng-cu mengerut serius, serunya. "Siau-sicu,
engkau bernyali besar sekali."
"Apa maksud cianpwe ?" Cu Jiang terkejut.
"Tahukah sicu, apa artinya peristiwa berdarah di tanah
lapang bekas kebakaran tadi?"
Soal itulah yang menarik perhatian Cu Jiang. Dia
memang hendak mengetahui peristiwa itu. Kecurigaannya
terhadap paderi tua yang dikiranya anggauta Gedung
Hitam tetapi ternyata salah seorang tokoh dari Bu-lim Sam
cu atau Tiga-serangkai-paderi yang memakai nama gelar
Cu, kini mulai lenyap.
Iapun teringat akan Thian-hian cu yang pada beberapa
hari yang lalu telah menolong dirinya dari serangan Liok-
poan-koan, tokoh Gedung Hitam yang menjabat sebagai
Hu-hwat atau pelindung hukum dari gerombolan itu.
Thian-hian cu adalah tokoh ketiga dari Bu-lim Sam-cu,
sedang Go-leng cu yang berada dihadapannya saat itu
adalah tokoh kedua.
"Harap cianpwe suka memberi penjelasan."
"Lelaki tua berpakaian hitam tadi adalah Kho Kun
bergelar Bu-ceng-thay-swe atau Pangeran tak
berperikemanusian. Keempat penunggang kuda tadi adalah
pengikutnya yang di sebut Pengawal hitam."
"Pengawal Hitam?"
"Engkau belum pernah mendengar?"
"Belum."
"Pengawal Hitam merupakan pengawal berani mati dari
Gedung Hitam. Kepandaian mereka rata2 hebat dan
ganasnya bukan main..."
"Ho, kiranya kaki tangan Gedung Hitam." seru Cu Jiang
dengan mata melotot.
"Ko Kun si Pangeran-ganas itu adalah seorang toa-
thaubak (kepala) barisan Pengawal Hitam dari Gedung
Hitam . . ."
"Mengapa Pengawal Hitam tadi bunuh diri?" tanya Cu
Jiang pula.
"Karena tak dapat melakukan tugas!"
"Tugas apa?"
"Membunuhmu!"
Cu Jiang serentak loncat ke muka paderi tua itu dan
menegas: "Karena gagal membunuh aku?"
"Benar," sahut Go-leng-cu, "peristiwa itu merupakan
yang pertama kali di mana Amanat Maut dari Gedung
Hitam telah menemui kegagalan!"
"Karena tak dapat membunuh korbannya, Pengawal
Hitam itu harus bunuh diri?"
"Itu peraturan Gedung Hitam!"
"Tahukah cianpwe siapa pemimpin Gedung Hitam?"
"Ini . . . mungkin tiada seorang persilatan yang tahu."
"Mengapa rumah makan itu terbakar?"
"Api yang aneh."
"Api ajaib?" Cu Jiang mengulang.
"Benar, karena tak di ketahui siapa yang melepas api
itu."
Diam2 Cu Jiang menimang. Adakah karena hendak
menolong dirinya maka wanita gemuk itu rela membakar
rumah makannya sendiri? Jika benar begitu, ah betapa besar
pengorbanan wanita gemuk itu terhadap dirinya.
Padahal perkenalan mereka hanya sebagai langganan
saja, mengapa wanita gemuk itu sampai rela berkorban
sedemikian besar?
"Cianpwe, mengapa cianpwe tahu hal itu?" akhirnya ia
bertanya.
Dari pembicaraan kawanan Pengawal Hitam, kutahu
bahwa api itu bukan mereka yang melepas," sahut Go-leng-
cu.
"Tahukah pula cianpwe, siapa saja yang mati dalam
kebakaran itu?"
"Entah, loni kurang jelas."
"Mengapa cianpwe tahu akan keadaanku?"
"Dari pembicaraan mereka yang menyebut tentang
seorang pelajar baju putih, siapa lagi kalau bukan engkau?"
Cu Jiang mengangguk.
"Seluas seratus li di sekeliling daerah ini, penuh dengan
anak buah Gedung Hitam yang sedang mencarimu. Engkau
sungguh berani mati sekali karena berani mengunjuk diri . .
.."
"Terima kasih atas petunjuk cianpwe." kata Cu Jiang.
"Tak usah, itu jodoh namanya."
Mendengar kata "jodoh" serentak teringatlah Cu-Jiang
akan Thian hian-cu yang juga mengatakan hal itu
kepadanya.
Bu-lim Sam-cu merupakan tokoh sakti yang termasyhur
pada masa itu. Banyak orang persilatan yang ingin bertemu
muka dengan mereka tetapi gagal.
Diam2 Cu Jiang merenung, apakah di balik kata jodoh"
dari Go leng cu itu mengandung maksud tertentu
kepadanya.
"Benar, memang berjodoh," katanya.
"Dari perguruan manakah sicu." tanya Go-leng-cu.
"Didikan keluarga sendiri."
"O, siapakah ayah sicu?"
"Hal ini, maaf, aku tak dapat memberitahu kan."
"Kalau memang tak leluasa, tidak apalah, tak usah
engkau katakan. Karena sicu sudah mengakui tentang
jodoh itu maka tentulah sicu akan menurutkan garis jodoh
itu."
"Garis jodoh?"
"Ya."
"Harap cianpwe suka menjelaskan."
Go-leng-cu berhenti sejenak lalu berkata dengan tandas:
"Dengan memiliki seperangkat tulang yang begitu bagus,
sicu kelak dapat menjadi jago nomor satu dalam dunia!"
Mendengar itu tahulah Cu Jiang kemana arah ucapan
paderi tua itu. Jelas paderi itu juga mempunyai maksud
sama dengan Thian-hian-cu tempo hari. Maka tanpa ragu2
lagi, dia segera tersenyum:
"Apakah di dunia ini terdapat jago nomor satu?"
Dengan wajah bersungguh Go-leng-cu menjawab:
"Sudah tentu ada. Dengan memiliki ilmu kepandaian
yang tinggi setiap orang dapat menjadi jago nomor satu.
Tetapi apa yang di sebut nomor satu itu, hanyalah berlaku
untuk satu masa yang tertentu, menunjukkan suatu
perbuatan yang cemerlang untuk menundukkan sekalian
jago2 silat."
Mendengar penjelasan itu, diam-diam Cu Jiang tertawa.
Walaupun penjelasan itu memang mempunyai landasan
tetapi tampaknya seperti dipaksakan. Ayahnya sendiri
bukankah juga jago nomor satu dalam dunia persilatan?
Mengapa sekarang harus menyingkir dari musuh-
musuhnya?
Dengan begitu bukankah musuh-musuhnya itu lebih
unggul dari jago nomor satu? Jika begitu tidakkah lebih
pantas kalau musuhnya itulah jago yang nomor satu?
Lalu masih pula pemimpin dari gedung Hitam itu.
Tergolong nomor berapakah dia itu?
Walaupun dalam hati berpikir begitu tetapi Cu Jing tetap
berkata: "Ucapan cianpwe memang benar. "
"Jika begitu bukankah sicu ingin menjadi jago nomor
satu dalam dunia?" seru Go leng-cu.
"Ah, aku tak berani mengharapkan hal semacam itu."
"Bukan mengharapkan tetapi hanya tergantung sicu mau
atau tidak." seru Go-lang-cu.
"Maksud cianpwe. . ."
"Sicu dapat berjumpa dengan loni, sudah suatu jodoh
yang luar biasa," seru Go leng-cu pula.
Diam2 Cu Jiang membatin: "Dalam kalangan Bu-lim
Sam-cu, tokoh yang pertama Gong-gongcu paling tinggi
kepandaiannya. Baik dalam ilmu sastera maupun silat dan
lain2 pengetahuan, dia memang mempunyai kelebihan dari
orang lain.
Sedang kedua tokoh yang lainnya belum tentu lebih
unggul dan ayah Cu Jiang sendiri. Mampukah tokoh kedua
Go-leng cu itu menggembleng seorang murid yang kelak
akan menjadi calon jago nomor satu dalam dunia
persilatan?
Tetapi Go-leng-cu mempunyai maksud baik terhadap
dirinya. Cu Jiang tak mau membuat dia kecewa.
"Budi kebaikan cianpwe. kuterima dengan rasa terima
kasih yang tak terhingga," akhirnya ia berkata.
"Engkau . . . engkau tidak mau ?" seru Go-leng-cu.
"Bukan tak mau melainkan tak dapat."
"Mengapa ?"
"Kaum persilatan menarik garis tajam antara perguruan
yang satu dengan yang lain." sahut Cu Jiang.
"Soal itu ?" kata Go-leng-cu, "loni tiada partai merk
perguruan apa2 dan tak ada suatu ikatan sebagai guru dan
murid."
Ci Jiang sudah mengambil ketetapan.
"Karena aku sudah mendapat pelajaran dari ayahku
sendiri, aku tak berani melanggar peraturan maka dengan
menyesal terpaksa tak dapat menerima budi kebaikan
cianpwe."
Wajah Go-leng cu segera menampilkan kerut kecewa. Ia
memandang lekat2 pada Cu Jiang untuk beberapa saat,
kemudian berkata:
"Apakah sicu tak perlu mempertimbangkan lagi ?"
"Maafkan kalau aku berlaku kurang hormat kepada
cianpwe karena tak dapat menuruti perintah cianpwe !"
"Tahukah sicu bahwa dunia persilatan bakal menghadapi
kekacauan besar ?" tanya Go-leng cu.
"Apakah cianpwe maksudkan... gerombolan-2 Gedung
Hitam itu?"
"Yang kuat akan bersimaharajalela!"
"Maaf, aku tak mengerti maksud cianpwe."
"Thian telah memberkahi diri sicu dengan seperangkat
tulang yang bagus. Suatu bahan yang apabila ditempa tentu
akan berguna sekali. Dunia persilatan di Tionggoan akan
mengalami kehancuran. Maka harus ada suatu bibit baru
yang tumbuh dan bersemi agar dapat membangun lagi
sebuah dunia persilatan yang baru dan jaya lagi. Adakah
sicu bersedia untuk berkorban demi kepentingan itu?"
"Jika ada kesempatan, sudah tentu aku akan
mengerahkan tenagaku," jawab Cu Jiang.
"Mengapa sicu menolak maksudku?"
"Mohon cianpwe suka memberi maaf kepadaku."
Go leng-cu mengucap doa Omitohud, lalu berkata pula:
"Umat Buddha memandang penting soal "jodoh" itu.
Loni tetap akan menunggu saat tibanya jodoh itu dan untuk
sementara akan pergi. Sebelum pergi, loni perlu memberi
peringatan kepada sicu, sebaiknya sicu harus
menyembunyikan jejak sicu agar jangan diketahui orang."
Cu Jiang memberi hormat dan menghaturkan terima
kasih kepada paderi tua itu.
Sejenak memandang pemuda itu lagi, Go-leng-cu segera
ayunkan langkah. Setelah paderi tua itu lenyap dari
pandang mata, barulah Cu Jiang melanjutkan langkah
masuk ke hutan. Keluar dari hutan, dia berhadapan dengan
deretan puncak gunung.
Seketika wajah pemuda itu ber seri2. Ditempat belantara
yang berkabut rimba hijau itulah tempat kediaman dari
kedua orang tuanya. Kegembiraannya me luap2 laksana
burung yang terbang pulang ke sarangnya. Bahkan untuk
mencurahkan kegembiraannya, ia bersenandung.
Sesaat kumandang senandung lenyap, sesosok bayangan
melintas dan menghadang di hadapannya.
Cu Jiang terkejut dan hentikan langkah. Lebih terkejut
lagi ketika melihat orang itu.
Dari atas kepala sampai kaki, terbungkus dengan kain
hitam. Mengenakan ikat kepala kain hitam, pakaian hitam,
mantel hitam dan bahkan sepatunyapun hitam.
"Pengawal Hitam !" teriak Cu Jiang seketika. Seketika
meluaplah dendam kemarahan pemuda itu. Tangannyapun
cepat meraba tangkai pedang.
"Ho, budak, tiada seorang manusia yang mampu lolos
dari Amanat Maut !" dengus Pengawal Hitam dengan nada
seram.
Tring, Cu Jiang mencabut pedang dan menjawab dengan
geram.
"Akan kubasmi kalian kawanan anjing2 ini !" Pengawal
Hitam juga mencabut pedang dan berseru:
"Budak, jangan ngoceh tak karuan. Sekarang beritahukan
dulu asal usulmu agar dapat kuberi putusan !"
"Jangan harap ."
"Baik, engkau memilih bunuh diri atau perlu kubunuh ?"
"Jangan menggongong seperti anjing gila!"
"Akan ku belah tubuhmu . . . ." secepat kilat menyambar,
sinar pedang segera mengancam ke tubuh Cu Jiang.
Cu Jiang benci sekali kepada kawanan Gedung Hitam.
Dengan menyeringai dia segera menangkis dengan
pedangnya, Tring, tring, tiing .... denting menghambur, letik
bunga api segera disusul dengan kedua sosok tubuh yang
masing2 menyurut mundur.
Pengawal Hitam sejenak memeriksa pedangnya.
Ternyata batang pedangnya telah berhias tiga buah lubang.
Wajahnya makin seram.
"Bagus, budak, kiranya engkau hendak mengandalkan
punya pedang pusaka !"
Tetapi Cu Jiang tak mau menyahut melainkan taburkan
pedangnya menyerang lagi.
Keduanya segera terlibat dalam pertempuran yang
dahsyat. Dalam beberapa kejap saja sudah sepuluh jurus
lebih tetapi ternyata masih berimbang.
Diam2 Cu Jiang terkejut. Hanya seorang Pengawal
Hitam saja ternyata sudah sedemikian tinggi
kepandaiannya. Tak heran kalau Gedung Hitam dapat
menguasai dunia.
Diam ia malu dalam hati karena teringat akan
ucapannya hendak membasmi gerombolan Gedung Hitam.
Kata2 itu tak lebih seperti orang bermimpi disiang hari.
Tiba2 muncul pula dua orang Pengawal Hitam, Melihat
itu diam2 Cu Jiang mengeluh. Serentak ia keluarkan ilmu
permainan warisan keluarganya ...
"Aihhh" terdengar sebuah pekik ngeri dan Pengawal
Hitam itupun terhuyung mundur tiga langkah lalu jatuh
terduduk di tanah. Dadanya sebelah kiri berhias sebuah
luka sepanjang sejari. Darah merah mengucur deras.
Melihat itu, kedua Pengawal Hitam yang baru muncul
itu sempat menyerang dari kanan dan kiri.
Cu Jiang kembali menyambut dengan sebuah jurus
istimewa.
"Auhh .... " salah seorang Pengawal Hitam itu
sempoyongan ke belakang sedang kawannya terlongong-
longong.
Cu Jiang sudah terlanjur mengumbar kemarahannya.
Cepat ia menusuk Pengawal Hitam yang tercengang-
cengang itu.
Tiing . . . ., Pengawal Hitam itupun terhuyung
kebelakang sampai tiga langkah.
"Serahkan jiwamu !" teriak Cu Jiang seraya menyerang
dengan jurus istimewa lagi.
"Auhhhh..." terdengar jerit teriakan ngeri berkumandang
memecah kesunyian dan Pengawal Hitam itupun rubuh
mandi darah dan putus jiwanya.
Hawa pembunuh sudah berkobar dalam dada Cu Jiang.
Segera ia membabat Pengawal Hitam yang masih duduk di
tanah tadi. Dan seiring dengan jeritan ngeri, Pengawal
Hitam itupun melayang jiwanya.
Melihat itu Pengawal Hitam yang menderita luka ringan
tadi segera berputar tubuh terus melarikan diri.
Tetapi jurus yang dimainkan Cu Jiang itu telah menguras
tenaganya. Dia masih muda dan belum memiliki dasar
tenaga-dalam yang kokoh. Sehabis mengeluarkan jurus
istimewa itu, tenaganyapun habis. Dengan menyanggahkan
pedangnya ke tanah ia berdiri dengan napas terengah2. Dia
tak mampu mengejar Pengawal Hitam yang melarikan diri
itu.
"Kembali !" terdengar sebuah teriakan nyaring terdengar
dari samping Cu Jiang.
Cu Jiang terkejut dan berpaling. Kejutnya bukan
kepalang. Seorang Pengawal Hitam tua dengan dikawal
empat orang Pengawal Hitam, entah kapan datang, tiba2
muncul ditempat itu.
Pengawal Hitam tua itu bermulut runcing, mata
menonjol dan wajah seram. Menilik pakaiannya dia
tentulah golongan thau-bak dari Gedung Hitam.
Pengawal Hitam yang melarikan diri tadi segera berhenti
dan kembali menghampiri.
Pengawal! Hitam tua itu sejenak memandang Cu Jiang,
mulutnya segera menyeringai seram.
Diam2 Cu Jiang terkejut. Ia merasa tenaganya yang telah
habis itu belum dapat kembali lagi dengan cepat.
Bagaimana mungkin menghadapi kelima Pengawal Hitam
yang sakti itu. Jelas tak mungkin. Bahkan berhadapan
dengan seorang saja, mungkin dia hanya dapat bertahan
selama tiga jurus saja.
Pengawal Hitam yang lari dan di panggil kembali tadi,
dengan wajah pucat lesi menghadap Pengawal Hitam tua
dan memberi hormat.
"Hormat kepada Ong thaubak!"
"Ya."
"Budak itu memiliki kepandaian yang diluar dugaan
kami sekalian. . ."
"Tutup mulut !" bentak lelaki tua yang di panggil Ong
thau bak itu," tahu engkau melanggar pasal berapa dari
peraturan markas kita?"
"Hamba berdosa, mohon thaubak . . . . "
"Bilang, pasal ke berapa?" bentak kepala Pengawal
Hitam itu.
Bluk, anggauta Pengawal Hitam itu segera menekuk
lutut di hadapan Ong thaubak dan berkata dengan
tersendat-sendat:
"Pasal ke ... . lima!"
"Apa bunyi pasal kelima itu?"
Dahi Pengawal Hitam itu mulai mengucurkan keringat
sebesar kedelai, kemudian ia menunduk dan berkata dengan
nada gemetar:
"Mohon thaubak . . ."
"Engkau menghendaki aku supaya melindungi engkau?"
tegas thaubak yang bermulut lancip itu.
"Ah, hamba tak berani."
"Sebutkan bunyi pasal itu!"
"Takut kepada musuh . . . dan melarikan diri ... . mati!"
"Bagus, engkau sudah menentukan pilihan?"
"Thaubak . . . ."
Thaubak itu berpaling kepada Pengawal Hitam yang
berada di sampingnya. Dan Pengawal Hitam itu terus
loncat ke muka, menusuk punggung Pengawal Hitam yang
berlutut tadi.
"Auhhhh!" Pengawal Hitam itu menjerit rubuh tak
bernyawa.
Pengawal Hitam yang melaksanakan hukuman itu,
mengusapkan pedangnya yang berlumur darah ke tubuh
korbannya lalu kembali ke tempat semula, seolah tak terjadi
apa2.
Menyaksikan peristiwa itu kepala Cu Jiang berdenyut
keras. Sudah dua kali ia melihat kekejaman gerombolan
Gedung Hitam yang tak punya perikemanusian. Jika
terhadap kawan sendiri begitu kejam, apalagi terhadap lain
orang.
Thaubak bermulut lancip itu memberi isyarat: "Di sini
sudah beres, bawa mayat itu pulang!"
Keempat Pengawal Hitam mengiakan. Mereka segera
membawa mayat kawannya pergi.
Diam2 Cu Jiang heran. Mengapa si mulut lancip
mengatakan disitu sudah beres? Apa maksudnya?
Setelah pengiringnya pergi barulah thaubak atau kepala
kelompok Pengawal Hitam beralih pandang ke arah Cu
Jiang.
"Cu sauhiap, sungguh beruntung kita dapat bertemu, "
tiba2 thaubak itu memberi hormat dan berseru.
Sudah tentu Cu Jiang seperti dipagut ular kejutnya.
Bagaimana dia tahu kalau dirinya orang she Cu.
Sampai beberapa jenak ia tertegun dan tak dapat
menjawab.
Thaubak itu tertawa gelak2, serunya:
"Aku Ong Tiong Ki, menjabat thaubak dari Gedung
Hitam. Adakah ayah dan mamah sauhiap baik2 saja?"
Cu Jiang makin terbeliak.
"Aku bukan orang she Cu," akhirnya ia mendapat
pikiran untuk menyangkal.
Sekali lagi Ong Tiong Ki itu tertawa gelak2.
"Ah, mengapa siauhiap tak mau mengaku?"
"Berdasar apa anda mengatakan begitu?" balas Cu Jiang.
"Secara beruntun sauhiap telah membunuh tiga anggauta
Pengawal Hitam. Dan yang sauhiap gunakan itu adalah
ilmu pedang It-kiam-tui-hun, bukan?"
It-kiam-tui-hun artinya Pedang-pemburu nyawa.
Mendengar itu seketika berobahlah muka Cu Jiang.
Namun ia berusaha untuk menenangkan diri.
"Ilmu silat dalam dunia itu beraneka ragam tetapi tetap
tak meninggalkan sumbernya. Hampir mirip dan terdapat
banyak bagian2 yang sama.. ."
Kembali Ong Tiong Ki tertawa geli.
"Siauhiap, ilmu pedang It-kiam-tui-hun itu sudah
diketahui oleh setiap orang persilatan bahwa penciptanya
adalah Dewa-pedang Cu Beng Ko, jago nomor satu dalam
dunia persilatan.. Dan di ketahui orang pula bahwa Dewa-
pedang Cu Beng Ko itu tak pernah mempunyai murid.
Itulah sebabnya dengan mudah aku segera dapat mengenali
diri sauhiap!"
"Ah, mungkin anda salah duga," Cu Jiang.
"Dunia akan geli apabila si Mata-jeli Ong Tiong Ki ini
sampai salah lihat!"
Saat itu Cu Jiang rasakan tenaganya sudah agak pulih.
Apabila ia dapat mengulur waktu, tentulah ia akan lebih
kembali lagi tenaganya. Untung lawan sudah menyuruh
pergi pengiringnya. Maka ia segera tertawa datar.
"Dugaan anda seolah hampir mendekati tetapi
kenyataannya masih jauh sekali," serunya.
"Sikap dan wajah sauhiap menyerupai Dewa pedang Cu
Beng Ko, lalu apa kata sauhiap lagi?"
"Baru kali ini aku mendengar orang berkata begitu!"
sahut Cu Jiang.
"Cu sauhiap..."
"Apakah anda tetap memastikan aku ini orang she Cu?"
tukas Cu Jiang.
"Rasanya takkan salah," seru Ong Tiong Ki, "dalam
hidupku aku sangat mengagumi Dewa-pedang Cu Beng Ko,
sayang karena tiada rejeki, aku tak berjodoh untuk bertemu
muka. Tetapi rupanya keinginanku dikabulkan juga oleh
Thian karena saat ini aku dapat berjumpa dengan Cu
siauhiap. Maukah Cu siauhiap membawa aku menghadap
ayah sauhiap?"
Cu Jiang menyadari bahwa karena menghindari musuh
maka ayahnya sampai beberapa kati pindah tempat. Tak
mungkin ia terpikat oleh Ong Tiong Ki yang belum
dikenalnya.
Ia gelengkan kepala:
"Anda salah faham. Tak tahu aku bagaimana harus
memberi penjelasan kepada anda."
Tampaknya Ong Tiong Ki masih bersikap sabar. Dengan
lemah lembut ia berkata pula:
"Apakah karena aku menjadi anggauta Gedung Hitam
maka sauhiap menolak membawa aku kepada ayah
sauhiap?"
"Anda benar2 salah faham. Aku bukan putera dan
Dewa-pedang!" cepat Cu Jiang menukas.
"Lalu dari mana asal usul sauhiap ini?"
"Soal itu maaf, aku tak dapat memberi tahu." Tiba2
wajah Ong Tiang Ki mengerut gelap.
"Orang she Cu, aku Ong Tiong Ki, bukan orang yang
mudah dipermainkan!" serunya dengan bengis.
Diam2 Cu Jiang geli karena akhirnya orang itu tak dapat
menahan diri dan menampakkan dirinya yang asli. Diam2
Cu Jiang telah mengerahkan tenaga dan dapatkan bahwa
tenaganya sudah sembilan bagian pulih. Kegagahannyapun
timbul lagi.
"Anda bicara menurut seenak lidah anda sendiri saja."
serunya.
Wajah suara dari Ong Tiong Ki makin seram. "Bagus.
budak. engkau benar2 tak tahu diri:" Sambil cebirkan bibir,
Cu Jiang menyahut: "Kenal diripun tak perlu memberitahu
kepadamu!"
"Budak, engkau benar2 tak tahu diri. Berani melindungi
dara cantik yang hendak ditangkap perhimpunan Gedung
Hitam. Kemudian berani menentang Amanat-maut dan
sekarang engkau berani membunuh tiga orang Pengawal
Hitam. Tahukah engkau bagaimana engkau harus mati?"
Cu Jiang deliki mata. serunya: "Menurut anda,
bagaimana aku harus mati?"
"Tulang belulang di cacah2 dan dagingmu dijadikan
makanan anjing."
"Kentut!"
"Lihat sajalah!"
Tring, si Mata-jeli Ong Tiong Ki terus mencabut pedang.
seketika suasana penuh diliputi hawa pembunuhan.
Diam2 Cu Jiang telah menghimpun seluruh tenaganya
ke arah pedang. Dia mengharap dengan jurus istimewa
akan dapat menundukkan lawan.
Sepasang mata Ong Tiong Ki yang menonjol, tampak
memancarkan sinar yang tajam. Kemudian pedangnya
pelahan lahan di angkat ke atas. Dengan pembukaan itu
jelas dia telah memandang Cu Jiang seperti seorang lawan
yang tangguh. Tak berani ia meremehkan anak muda itu.
Cu Jiang juga tampak serius sekali. Ia menyadari bahwa
kalau tak mampu menundukkan lawan dengan ilmu pedang
simpanannya, akibatnya tentu runyam sekali.
Terdengar kedua orang itu serempak memekik keras, dan
sesaat kemudian di susul oleh dering senjata beradu.
Cepat sekali serangan itu berlangsung dan pada lain saat
keduanyapun segera mundur dua langkah ke belakang.
Terdengar napas mereka memburu keras.
Bahu sebelah kiri dari si Mata jeli Ong Tiong Ki
berlumuran darah merah. Tetapi lukanya hanya bagian luar
saja.
Cu Jiang terkejut sekali. Jurus yang dilancarkan itu,
merupakan jurus terhebat dari ilmu pedang It-kiam-tui-
hong. Tetapi ternyata hanya mampu membuat musuh
terluka ringan saja.
Ong Tiong Ki tertawa menyeringai.
"Hai, budak, engkau benar2 berisi. Sayang belum
sempurna. Jika serangan tadi dimainkan oleh Dewa-pedang
Cu Beng Ko, saat ini aku pasti sudah jadi mayat !"
Apa yang dikatakan orang itu memang benar. Cu Jiang
memang belum dapat mencapai tataran yang tinggi dalam
ilmu pedang ajaran ayahnya itu. Sudah tentu kesaktian dari
ilmu pedang itu jauh berkurang sekali perbawanya.
Cu Jiang diam2 bingung. Ia merasa tenaga-dalamnya
mulai berkurang lagi. Memang tampaknya ia masih tetap
tenang2 saja agar lawan jangan mengetahui kelemahannya.
Saat itu Ong Tiong Ki mulai maju lagi.
Setelah jaraknya cukup untuk menyerang, segera ia
menggembor keras dan mulai menyerang lebih dulu.
Dengan mengertek gigi, Cu Jiang kerahkan sisa
tenaganya. Ia tetap menggunakan ilmu pedang It kiam-tui-
hun untuk bertahan dan menyerang.
"Huh . . ." terdengar desah tertahan dan tubuh Cu Jiang
sempoyongan ke belakang, pedangnya hampir terlepas.
Ong Tiong Ki tertawa mengejek.
"Budak, kiranya kepandaianmu hanya begitu saja!"
serunya. Lalu menyerang lagi.
Cu Jiang sudah tak mempunyai tenaga untuk menangkis
lagi. Ia mengisar langkah kesamping untuk menghindar.
Tetapi setelah serangannya itu luput, Ong Tiong Ki tetap
mengejarnya dan menghujani lagi serangan yang lebih
gencar.
"Auh !" terdengar desuh mengerikan. Cu Jiang menderita
tiga buah luka. Bahu kiri, dan dada kiri kanan. Pakaiannya
yang putih segera berlumuran darah merah.
Ong Tiong Ki maju selangkah dan lekatkan ujung
pedang pada dada Cu Jiang. Dengan gembira ia tertawa
mengekeh.
"Ho, budak, sekarang bukankah engkau melihat
buktinya?"
Cu Jiang meraung seperti singa terluka:
"Ksatria rela dibunuh daripada dihina. Hayo bunuhlah !"
"Ah, tidak seenak itu."
"Apa maksudmu ?"
"Sebelum tahu siapa dirimu, memang engkau tentu
kubunuh. Tetapi setelah tahu engkau ini putera dari Dewa-
pedang Cu Beng Ko, maka lain lagi urusannya."
"Maksudmu ?"
"Sudah tujuh delapan tahun Cu Beng Ko
menyembunyikan diri. kali ini dia mau tak mau harus
keluar !"
Cu Jiang meraung lalu muntah darah.
"Budak, ayo jalan!" bentak Ong Tiong Ki.
"Tidak bisa," suruh Cu Jiang pelahan.
"Jangan engkau membawa kemauanmu sendiri !"
"Kalau mau bunuh, bunuhlah . . . ."
"Sekarang belum dapat membunuhmu. Pohcu
(pemimpin) kami tentu akan gembira sekali menyambut
kedatanganmu !"
Cu Jiang terkejut. Adakah musuh yang dihindari
ayahnya itu ternyata pemimpin Gedung Hitam ?
"Siapa poh-cu kalian itu?" tanyanya. "Engkau tak pantas
bertanya begitu !"
"Kalau aku masih dapat hidup, hinaanmu saat ini, kelak
tentu akan kubalas!"
"Hahaha," Ong Tiong Ki mengekeh," budak, rupanya
engkau bermimpi."
Tiba2 mengangkat tangan dan melentikkan jarinya. Dia
gunakan ilmu menutuk dari jarak jauh dan tepat mengenai
jalan darah Jien-ma-hiat (pelemas) pada tubuh Cu Jiang.
Anak muda itu serentak rubuh.
Ong Tiong Ki menyarungkan pedangnya lagi lalu
berseru.
"Budak, mari kita jalan !" ia terus mencengkeram tubuh
Cu Jiang.
Cu Jiang masih dapat mendengar dan melihat tetapi tak
dapat berkutik. Ia hanya deliki mata memandang Ong
Tiong Ki tetapi tak dapat berbuat apa2. Betapa kemarahan
dan penderitaan hatinya saat itu, benar2 sukar dilukiskan.
Sekonyong-konyong dari jauh terdengar suara kuda
meringkik. Ong Tiong Ki pasang telinga lalu menggeram
marah:
"Hm, setan mana yang berani mengganggu kudaku itu !"
Ia terus lepaskan tubuh Cu Jiang dan lari menuju kearah
suara itu. Baru saja orang itu pergi, Cu Jiang segera
mencium bau yang harum dan tahu2 ia rasakan tubuhnya
diangkat orang lalu dibawa lari masuk ke dalam hutan.
Saat itu tubuh Cu Jiang masih lemas. Dia tak dapat
berkutik sama sekali. Ia tahu bahwa yang menolong dirinya
itu tentu seorang gadis tetapi ia tak berdaya untuk melihat
wajah penolongnya itu.
Beberapa kejap kemudian, mereka sudah terpisah
beberapa li dari tempat tadi. Hutan itu sebuah hutan
belantara yang lebat sekali sehingga tak tertembus sinar
matahari.
Cu Jiang diletakkan diatas sebuah tumpukan daun kering
yang lembut dan sesaat kemudian terdengar suara seorang
wanita berseru:
"Siau Hui, bukalah jalan darahnya yang tertutuk itu !"
Terdengar seorang gadis yang berada dekat di
sampingnya berseru:
"Nona, mengapa engkau melakukan hal Ini ?"
"Entah, aku sendiri juga tak tahu." sahut suara yang
merdu.
"Apabila hal ini sampai tersiar..."
"Hanya aku dan engkau yang tahu, siapa yang akan
membocorkan lagi?"
"Tetapi . . ."
"Sudahlah, jangan membantah, lekas engkau bebaskan
jalan darahnya."
"Baiklah."
Setiap angin membentur tubuh Cu Jiang dan seketika itu
dia rasakan tubuhnya ringan sekali menggeliat ia terus
melenting bangun.
Ternyata dihadapannya terdapat seorang dara baju hijau,
usianya di antara enam belas tahun. Dara itu tengah
tersenyum kepadanya.
Cu Jiang buru2 memberi hormat:
"Terima kasih atas pertolongan nona."
Dara itu tertawa mengikik.
"Namaku Siau Hui, jangan berterima kasih kepadaku,
tetapi berterima kasihlah kepada nonaku." katanya seraya
menunjuk ke samping.
Menurutkan arah yang ditunjuk dara itu, Cu Jiang
berputar tubuh dan ah ia terlongong-longong seperti patung.
Tiga tombak jauhnya, tampak seorang gadis yang
dandanannya seperti seorang puteri keraton dan cantiknya
laksana bidadari turun dari kahyangan. Tubuhnya yang
langsing ramping bagaikan setangkai bunga melati yang
dihempus angin membuai.
Puteri jelita itu tengah mengulum senyum yang mengikat
jiwa. Kecantikan puteri jelita itu tak dibawah jelita Ho
Kiong Hwa yang dijumpainya beberapa hari yang lalu itu.
Jika terdapat perbedaan maka letaknya hanyalah sikap
dan cahaya muka kedua jelita itu. Ho Kiong Hwa memiliki
sifat yang lemah lembut seperti sifat kewanitaan. Tetapi
jelita yang berada di di hadapan itu, memiliki sifat
kekerasan macam sikap seorang pendekar wanita.
Si cantik itu juga gemetar hatinya ketika beradu pandang
dengan Cu Jiang. Senyumnyapun pelahan2 lenyap, berganti
dengan pipinya yang bertebar merah.
Sikap si jelita itu benar2 membuat hati Cu Jiang berdebar
keras dan semangatnya melayang.
Keduanya seperti terpukau. Tak sepatahpun keluar dari
mulut masing2.
Beberapa jenak kemudian Cu Jiang cepat tersadar. Ia
menyadari bahwa sikapnya itu kurang sopan. Segera ia
membungkuk tubuh dan berseru:
"Terima kasih atas pertolongan nona."
Wajah si cantik itu tersipu merah.
"Ah, tak usah siangkong mengatakan begitu. Siapakah
siangkong ini?"
"Namaku Cu Jiang."
"Dari perguruan manakah Cu siangkong ini?"
"Ini . . . mohon nona suka maafkan..."
"Kalau siangkong tak leluasa mengatakan, tak perlulah
siangkong memaksa diri."
"Mohon tanya siapakah nama yang mulia dari nona?"
"Aku Ki Ing."
"Ki Ing?" Cu Jiang mengulang. Ia tahu nona cantik itu
hanya mengatakan nama dan tidak menyebut shenya.
"Hm."
"Lalu bagaimana aku harus memanggil nona?"
"Panggil namaku saja."
"Apakah itu pantas , . ."
"Sudahlah, tak perlu memikirkan pantas atau tak
pantas."
"Bagaimana kalau kupanggil nona Ki?"
"Baik."
Tentulah ada sebabnya mengapa si cantik itu tak mau
mengatakan shenya. Dan Cu Jiang pun tak mau mendesak.
Demikian pula tentang asal usul si cantik itu, dia tak mau
bertanya dengan melilit. Karena dia merasa, dia sendiri juga
sedang merahasiakan dirinya.
"Bagaimana nona dapat datang ke dalam hutan belantara
sini dan menolong . . ."
"Anggap saja secara kebetulan."
Cu Jiang tahu bahwa tadi dirinya telah di bawa oleh dara
baju hijau yang bernama Siau Hui itu.
Seorang dara tampaknya begitu lemah tetapi ternyata
mampu mengangkut tubuh Cu Jiang berlari sampai
beberapa li jauhnya, bukankah suatu peristiwa yang luar
biasa? Jelas dara itu tentu bukan dara sembarangan.
Kemudian ia mengalihkan perhatiannya kepada puteri
cantik yang menyebut dirinya bernama Ki Ing. Jika
bujangnya memiliki kepandaian begitu hebat, tidakkah
nona majikannya akan lebih hebat lagi?
Merenungkan nona dan bujangnya begitu hebat
kepandaiannya. diam2 Cu Jiang malu dalam hati. Kini baru
ia menyadari betapa kecil dan rendah kepandaian yang
dimilikinya. Dunia ini benar2 penuh dengan manusia2 yang
berkepandaian tinggi, ia menganggap dirinya seperti "katak
dalam tempurung", menganggap kalau kepandaiannya
sudah hebat tetapi ternyata di luar, masih banyak orang2
yang jauh lebih sakti kepandaiannya.
"Nona, lebih baik kita lekas2 tinggalkan tempat ini." kata
Siau Hui.
Puteri cantik itu mengangguk. Sepasang bola matanya
yang bersinar terang bagai bintang kejora, sejenak mengeliar
pandang ke wajah Cu Jiang.
"Betulkah karena melindungi seorang nona jelita, Cu
siangkong terlibat permusuhan dengan orang2 Gedung
Hitam? " tanya si cantik.
Cu Jiang terkejut sekali. Mengapa puteri cantik itu tahu
peristiwa yang lalu.
"Benar." ia mengiakan.
"Karena hal itu selanjutnya dalam dunia persilatan Cu
siangkong tentu bakal menghadapi bermacam-macam
kesulitan!" kata puteri cantik itu pula.
"Benar. Tetapi aku bersumpah takkan mundur."
"Aku hendak memberikan sebuah benda kepada Cu
siangkong."
Mendengar itu bujang Siau Hui hendak membuka mulut
tetapi tak jadi bicara.
"Nona Ki hendak memberi aku sebuah benda?" tiba2 Cu
Jiang tergerak hatinya.
"Hm, hanya sebuah mainan anak2, sebagai tanda
perkenalan kita saat ini!" puteri cantik itu terus
mengeluarkan sebuah bungkusan dan dibukanya. Dengan
dua buah jari tangannya yang runcing seperti bulu landak,
ia menjepit sebuah benda berwarna hijau tua. Ternyata
sebuah pending kumala hijau.
Pending adalah hiasan pada dada atau ikat pinggang,
terbuat dari permata.
Tergetar hati Cu Jiang saat itu. Wajahnyapun merah.
"Aku sudah berterima kasih sekali mendapat pertolongan
nona, mengapa masih akan diberi benda yang begitu
berharga lagi..."
Pipi si cantik itu Juga bertebar merah tetapi dengan suara
lantang ia berkata:
"Ah, bukan benda berharga, melainkan sekedar untuk
kenang2an saja !"
Seorang gadis suci yang mirip dengan puteri keraton,
telah memberikan benda yang dipakaianya pada seorang
pemuda yang baru saja dikenalnya. Apakah artinya itu?
Naluri Cu Jiang sebagai seorang anak muda cepat dapat
menanggapi maksud si cantik. Diam2 timbul pertimbangan
dalam hatinya. Menerima atau menolak pemberian itu?
"Nona..." teriak Siau Hui.
Tetapi si cantik cepat memberi isyarat supaya bujang itu
jangan banyak bicara. Ia menyerahkan pending kumala itu
kepada Cu Jiang, katanya:
"Pending kumala ini adalah pusaka warisan keluarga.
Jika menghadapi kesulitan, Cu siangkong boleh
mengeluarkan pending ini, tentu ada manfaatnya !"
Kembali hati Cu Jiang tergetar. Siapakah sesungguhnya
puteri cantik ini? Mengapa pending pemberiannya itu dapat
mempunyai daya-guna sedemikian besar?
"Ah, nona Ki, bagaimana aku berani menerima !"
"Jika ada orang bertanya, katakan terus terang kalau aku
yang memberi. Lain2 hal tak perlu siangkong katakan." kata
puteri cantik itu pula terus maju mengangsurkan pending
itu kepada Cu Jiang.
Apa boleh buat, Cu Jiang terpaksa menyambutinya.
Si cantik Ki Ing tertawa. "Cu siangkong, kini kita telah
mengikat tali persahabatan."
Ada suatu perasaan dalam hati Cu Jiang yang sukar
diutarakan. Menerima budi dari seorang jelita, adalah yang
paling berat sendiri. Apa yang terjadi saat itu, benar2 tak
terduga sama sekali.
Apabila kedua nona dan bujang itu tak datang tepat pada
waktunya untuk memberi pertolongan, tentulah saat itu dia
sudah menjadi seorang tawanan pihak Gedung Hitam.
Entah bagaimana jadinya, ia tak dapat membayangkan.
Tetapi siapa dan bagaimana asal usul puteri cantik Ki Ing
itu, Cu Jiang benar2 tak mengerti.
"Cu siangkong, sampai jumpai." Cu Jiang buru2
memberi hormat dan membalas:
"Terima kasih nona. Budi nona kelak tentu kubalas!"
Dalam menghadapi saat2 yang mendebar hati itu,
tampak sikap dan wajah si cantik makin mempesonakan.
Dada Cu Jiang seperti tak dapat bernapas.
"Aku tak senang mendengar ucapan tentang balas budi
dan terimakasih." bergetaranlah bibir yang mungil dari si
cantik itu menghambur kata2 yang merdu.
"Bukan .... bukan hiasan bibir... tetapi apa yang
kukatakan itu memang keluar dari kesungguhan hatiku,"
kata Cu Jiang agak terbata-bata.
Si cantik Ki Ing tertawa.
"Baiklah, kuterima, sampai Jumpa!"
Sambil melambaikan tangan, tubuh yang lemah gemulai
dari puteri cantik itu segera diiring Siau Hui masuk kedalam
hutan.
Entah bagaimana, saat itu Cu Jiang merasa seperti
kehilangan sesuatu. Ia termenung-menung seperti
kehilangan semangat. Beberapa waktu kemudian baru ia
tersadar.
Luka pada bahu dan dadanya putih penuh dengan
lumuran darah merah. Untung dia berada di tengah
gunung, sehingga tiada orang tahu.
"Ah, siapakah gerangan puteri cantik itu ? Mengapa dia
muncul dalam hutan belantara ini ? Adakah secara
kebetulan saja puteri itu menolong dirinya dari
cengkeraman orang Gedung Hitam atau memang . ..." ia
berpikir dan berpikir. Tetapi makin memikirkan makin ia
tak mengerti jawabannya.
Ia teringat bagaimana Ong Tiong Ki buru2 melepaskan
dirinya karena mendengar ringkik kudanya. Ah, tak
mungkin tanpa sebab kuda itu akan meringkik-ringkik kalau
tidak diganggu orang. Dan siapa lagi pengganggunya kalau
bukan kedua nona dan bujangnya itu.
Hm, betapa akan pecah dada si Mata-Jeli Ong Tiong Kie
kalau mengetahui bahwa dia telah dikibuli oleh dua orang
gadis saja.
Dia mengusap-usap pending kumala pemberian si cantik
tadi. Teraba pending itu masih menebarkan bau harum.
Diam2 pikirannya melayang.
Kali ini mengembara ke dunia persilatan banyak sudah ia
bertemu dengan wanita2 cantik. Tetapi selama itu tak
pernah hatinya terpikat. Tak terduga selama dalam
perjalanan pulang, ia telah bertemu dengan dua orang gadis
cantik yang sangat meninggalkan kesan dalam hatinya...
Saat itu cuaca dalam hutan makin gelap, pertanda
matahari sudah mulai kelam. Kembali ia teringat akan
rumahnya. Maka iapun segera ke luar dari hutan dan
melanjutkan perjalanan.
Saat itu dia berada di tengah pegunungan. Jalan yang di
tempuhnya bukan jalan umum. Ia berjalan pada tempat2
yang dapat di lalui dengan tujuan ke suatu arah tertentu.
Dia tak merasa lelah. Pikirannyapun hanya ingin lekas2
pulang, bahkan kenangannya pada wajah si jelita Ho Kiong
Hwa dan puteri cantik Ki Ing juga terhapus.
Teringat akan keadaan dirinya, ia agak bingung
bagaimana nanti memberi penjelasan kepada ayahnya.
luka-lukanya melihat pun tentu akan menghujani
pertanyaan.
Tiba2 ia melihat pada puncak gunung di sebelah depan
tampak beberapa sosok bayangan manusia yang berlari-lari
mendatangi kearahnya. Makin lama makin dekat. Karena
cuaca gelap, ia tak dapat melihat jelas, apakah bayangan itu
manusia atau binatang.
Tetapi pada lain saat segera ia merasa ada sesuatu yang
tak beres. Jika binatang, tentu bukan begitu caranya berlari.
Tetapi jika bangsa manusia, bagaimana mungkin di daerah
belantara yang begitu sepi terdapat manusia, apalagi saat itu
tengah malam. Darimanakah mereka itu ?
Adakah kawanan anak buah Gedung Hitam yang
hendak mengejar jejaknya ?
Buru2 Cu Jiang percepat larinya dan menjelang terang
tanah tibalah dia disebuah lembah buntu. Berhenti sejenak
mengawasi, ia melihat lembah itu merupakan sebuah hutan
yang lebat sekali.
Karena saat itu kabut masih belum lenyap maka sukarlah
untuk masuk kedalam lembah hutan itu. Terpaksa ia
berhenti beberapa waktu.
Tiba2 ia bernyanyi sebuah lagu yang sering dinyanyikan
ayahnya. Lagu itu ciptaan raja terakhir dari ahala Tong
yang telah kehilangan negerinya.
Cu Jiang sengaja menyanyikan lagu itu agar terdengar
oleh ayahnya bahwa dia sudah pulang. Tetapi ternyata
tiada suatu reaksi apa2.
Lembah buntu itu terpisah dengan sebuah jurang. Untuk
mencapai tepi karang yang di seberang harus menggunakan
tali. Dan biasanya tali itu harus dilempar dari tepi seberang
dan ditarik dari sana.
Cu Jiang menunggu munculnya tali itu. Dan jalan itu
merupakan jalan pendek. Kalau tidak dia harus mengitari
lagi sampai sepuluhan li jauhnya baru dapat mencapai
rumahnya.
Kembali ia mengulang nyanyian lagi dengan nyaring,
Tetapi tetap tiada penyahutan apa2. Sunyi senyap
disekeliling lembah itu.
Tiba2 ia seperti merasakan satu firasat yang tak enak.
Serentak ia teringat akan beberapa sosok bayangan yang
dilihatnya semalam. Ia bingung dan gelisah.
Terpaksa ia mengambil jalan melingkar yang agak jauh
itu. Ketika matahari naik sepenggalan tingginya barulah dia
tiba di sebuah rumah penduduk yang tinggal di gunung itu.
Ditempat rumah penduduk itulah dia biasanya menitipkan
kuda apabila dia turun dan naik gunung.
Tempat itu di huni oleh dua orang suami isteri yang
menjadi keluarganya. Mereka mempunyai seorang anak
perempuan yang sering bersama dengan orang tua Cu
Jiang.
Dari tempat itu hingga ke rumahnya, Cu Jiang harus
menempuh perjalanan delapan li lagi. Jika tidak biasa dan
tidak mempunyai kepandaian yang tinggi, sukar orang
untuk melintasi daerah yang berbahaya keadaannya seperti
tempat itu.
"Paman Liok!" segera Cu Jiang berteriak memanggil
penghuni rumah. Biasanya apabila dia datang yang
menyambutnya tentu dua ekor anjing pemburu yang
dipelihara oleh penghuni rumah itu. Tetapi aneh, saat itu
keadaan rumah itu sunyi senyap saja.
Cu Jiang terkesiap. Apakah yang terjadi? Apakah benar2
telah terjadi peristiwa yang tak diharapkan?
Serentak ia enjot tubuh dan lari menuju ke rumah
pondok itu.
Krak.... pintu pondok yang terbuat dari papan kayu
segera berderak terbuka. Ah .... kedua ekor anjing pemburu
yang besar dan galak, ternyata sudah terkapar dalam
kubangan darah.
Saat itu Cu Jiang makin yakin bahwa sesuatu telah
terjadi dalam rumah pondok itu. Selekas ia melangkah
masuk, hidungnya segera terbaur hawa yang anyir baunya.
Dan ketika matanya memandang, hai.... ia menjerit,
pandang matanya terasa berbinar-binar, bumi dirasakan
seolah berputar-putar terasa ....
Di lantai telah terkapar dua sosok mayat yang sudah tak
utuh keadaannya. Kedua sosok mayat itu terendam dalam
kubangan darah yang sudah mengental. Mereka tak lain
adalah kedua suami isteri Liok So.
Seketika dinginlah tubuh Cu Jiang. Kedua suami isteri
itu telah ikut pada keluarganya sejak berpuluh tahun. Kini
mereka telah dibunuh orang secara begitu keji.
Siapakah yang membunuh mereka? Dan di manakah
Siau Hiang. anak perempuan kedua suami isteri itu? Ia
mencari kian kemari di sekeliling pondok tetapi tak melihat
anak itu.
Kemudian ia menuju ke kamar sebelah barat. Astaga !
Kembali ia menjerit keras dan serentak terhuyung
sandarkan diri pada pintu. Hampir saja ia rubuh terduduk!.
Ganas, ngeri benar. Di atas pembaringan tampak tubuh
seorang dara yang telanjang. Wajahnya menampilkan kerut
ketakutan dan ketakutan yang hebat. Seumur hidup Cu
Jiang takkan melupakan wajah itu.
Entah sampai berapa waktu, barulah Cu Jiang tenang
hatinya. Dia mencucurkan air mata. Dengan mengerut
geraham ia menghampiri kepembaringan dan berseru
dengan sedih:
"Cici Siau Hiang." ia menyambar selimut dan ditutupkan
pada tubuh mayat itu. Juga diketahuinya bahwa dara itu
telah mati menjadi korban perkosaan manusia terkutuk.
"Bunuh ! Bunuh !" ia menjerit kalap seraya mencabuti
rambutnya sendiri. Airmatanya mulai bercampur darah.
Saat itu hanya ada satu tujuan dalam hatinya. Bunuh
dan mencincang tubuh manusia yang telah mengganas
kedua suami isteri dan Siau Hiang. Ia hendak meminum
darah dan memakan daging pembunuh keji itu.
Perasaan dendam yang membara telah menghanguskan
dada Cu Jiang dan terkulailah di lantai dibawah ranjang itu.
Dia mengharap kesemuanya itu hanya suatu Impian
buruk. Tapi ah, ia menggigit bibir dan sakit. Jelas itu bukan
impian melainkan kenyataan.
Beberapa saat kemudian ia mulai sadar. Bahwa
kesemuanya itu suatu kenyataan yang harus dihadapi.
Semangatnya serentak bangkit. Segera ia membuat sebuah
liang untuk mengubur kedua suami isteri dan anaknya.
Kemudian dia berlutut di hadapan gundukan makam
dan berdua, dengan sedih:
"Paman Liok, bibi Liok dan taci Hiang. Selama aku Cu
Jiang masih bernyawa, aku bersumpah untuk membalaskan
dendam ini.
Selesai dengan penguburan itu, segera ia bergegas
menuju ke rumah. Ingin sekali ia mengetahui bagaimana
keadaan rumah tangganya.
Ia lari menerobos ke dalam hutan. Langkahnya
sempoyongan dan pakaiannya compang camping terlanggar
duri. Badannya letih sekali.
Tengah hari tampaklah sudah pondok kediamannya.
"Pah. mah, aku sudah pulang !" teriaknya dengan penuh
ketegangan.
Tetapi tiada penyahutan sama sekali. Cepat ia pesatkan
larinya dan ketika tiba dimuka pintu, ia rasakan kedua
kakinya amat berat sekali. Terpaksa ia berhenti untuk
memulangkan napas yang tersengal-sengal.
Dia tak berani membayangkan apa yang akan
ditemuinya dalam rumah itu. Hanya dia berdoa. Dia
mengharap pondok yang kosong itu. tidak terjadi sesuatu,
melainkan hanya seperti yang sudah2, setiap kali
kediamannya diketahui orang, ayahnya tentu segera pindah
ke lain tempat.
Kali ini mudah-mudahan juga begitu. Dia percaya, tokoh
seperti ayahnya yang diagungkan sebagai Dewa-pedang
tentu dapat mengatasi segala bencana. paling tidak, dapat
menjaga diri.
Demikian dia berusaha untuk menghibur diri, tetapi tak
urung hatinya masih berdebar-debar, keringat dinginpun
mulai mengucur. Bahkan karena cemas, ia hampir tak
berani masuk ke dalam pintu pondok itu. Karena hanya dua
kemungkinan yang didapatnya. bila rumah itu kosong,
tentu keluarganya telah pindah ke lain tempat atau tentu
sudah..."
Ia tak berani melanjutkan dugaannya. Kematian dua
suami isteri Liok dan anaknya, kembali terbayang di
pelupuknya. Segera ia menyadari betapa lemah dan tak
berguna dirinya itu. Sebenarnya ia tak percaya kepada
segala malaekat dan lain2, tetapi entah bagaimana saat itu
ia berdoa agar malaikat benar2 membantu dan melindungi
keluarganya.
Saat itu matahari bersinar tetapi baginya, sekeliling
tempat itu tampak remang2 seperti terbungkus halimun.
Ia ulurkan tangan hendak mendorong pintu tetapi tidak
ditariknya kembali. Dia kembali tegak mematung di depan
pintu.
Tiba2 di udara terdengar seekor burung gagak terbang
melintas dan berbunyi seram sehingga menggigillah hati Cu
Jiang. Bulu romanyapun meremang tegak.
Sebenarnya bunyi burung gagak itu sudah biasa ia dengar
selama tinggal di hutan itu. Tapi entah bagaimana saat itu
hatinya merasa seram sekali.
Nasib merupakan sesuatu garis hidup yang tak dapat di
robah. Dan sesuatu yang sudah menjadi kenyataan tak
dapat dia menghindarinya.
Akhirnya ia menyadari hal itu. Dengan mengertek gigi,
ia segera mendorong pintu dan melangkah masuk. Hatinya
berdebar keras, darahnya serasa berhenti...
Alat2 dalam ruang pondok itu masih tampak seperti
biasa, tiada yang kacau dan porak poranda. Juga tak
tampak bekas2 pertempuran. Dia menghela napas longgar
lalu memegang ujung meja. Ia berusaha untuk
menenangkan ketegangan hatinya dan mengusap peluh
yang membasahi kepala.
Beberapa saat kemudian baru ia melangkah ke dalam
untuk memeriksa. Semua alat dan perlengkapan dalam
ruang itu masih seperti sediakala. Hanya suasananya sepi
sekali. Ketegangannya pun ber angsur-2 menyurut.
Apakah artinya itu? Apakah yang telah terjadi dalam
rumahnya itu?
Jika pindah tentulah paling tidak orang tuanya akan
membawa kasur dari dalam rumah itu, seperti adat
kebiasaannya yang lalu, tentu diberi sebatang obor untuk
pertandaan.
Dia kembali ke ruang muka dan mengadakan
pemeriksaan yang teliti. Ia mengharap akan dapat
menemukan suatu jejak. Ketika memandang ke dinding
tembok di mana biasanya ayahnya menggantung
pedangnya, ia terkejut. Ternyata pedang ayahnya itu sudah
tak tampak lagi. Ia tahu pedang itu sebuah pedang pusaka,
pedang yang telah mengangkat nama ayahnya sebagai
tokoh Dewa-pedang yang termasyhur dalam dunia
persilatan.
Dia jatuhkan diri duduk terkulai di kursi. Sesaat ia tahu
apa yang harus dilakukan.
Tiba2 ia teringat akan sebuah guha rahasia yang terletak
di ujung lembah. Mungkin kedua orang tuanya ke pintu
sana. Maka tanpa berayal lagi ia terus lari ke luar menuju ke
tepi lembah. Tepi lembah merupakan sebidang tanah
karang yang luas. Disela-sela karang tumbuh rumput2 yang
tinggi.
"Hai, darah . . . !" serentak ia menjerit kaget dan tertegun
berhenti.
Penemuan itu telah membuat hatinya menggigil.
Memandang ke muka ia melihat sepanjang tanah penuh
dengan tetesan darah, ia menuju menurutkan arah bekas2
noda darah itu.
Jelas menunjukkan bahwa tempat itu habis menjadi
ajang pertempuran. Hanya bagaimana kesudahan
pertempuran itu, tak diketahui.
Di antara kubangan darah, tampak dua buah kutungan
jari tangan. Seketika kepala Cu Jiang pusing sekali. Ia
membungkuk, menjemput kedua kutungan jari itu.
Dilihatnya jari itu terpapas dengan rata sekali sehingga
dapat diketahui kalau terbabat oleh senjata yang amat tajam
sekali. Dan jari itu menunjukkan jari tengah dan jari manis.
Kulitnya kasar, jelas tentu milik orang lain, bukan jari
ayahnya.
Memandang agak jauh ke muka ia melihat sebuah
kutungan lengan tangan. Dengan mengerut geraham, ia
melempar jari itu dan menghampiri ke tempat kutungan
lengan. Menilik dari lengan bajunya, jelas kutungan lengan
itu berasal dan lain orang.
Ia mendapat kesan bahwa pertempuran yang telah
berlangsung di tempat itu tentu seru dan dahsyat sekali.
Siapakah musuh yang mengganggu ayahnya itu? Apakah
orang Gedung Hitam? Menurut dugaannya, kecuali pihak
Gedung Hitam, dalam dunia persilatan rasanya tiada lain
tokoh yang berani me musuhi ayahnya. Tetapi mengapa
ayahnya bermusuhan dengan pihak Gedung Hitam!
Selama ini belum pernah ayahnya menceritakan tentang
peristiwa itu. Cu Jiang makin bingung dan tak dapat
merangkai dugaan apa2.
Teringat akan sikap dan ucapan Ong Tiong Ki, jelas
bahwa pihak Gedung Hitam memang sedang giat mencari
jejak ayah Cu Jiang. Dengan begitu, yang bertempur
dengan ayahnya di tempat itu tentulah orang Gedung
Hitam.
Ia lanjutkan maju ke muka. Di tepi lembah pada
segerumbul batu2 karang runcing, samar2 seperti kelihatan
sehelai kain ujung baju.
Serentak jantung Cu Jiang berdebar keras. Dengan
memeriksa baju itu dapatlah ia mengetahui siapa yang
menjadi korbannya, musuh atau keluarganya sendiri.
Dengan pesat ia segera melesat maju.
"Hai..."
Cu Jiang menjerit dan rubuh ke tanah . . ..
-ooo0dw0ooo-

Jilid 3
Musibah.
Entah berapa lama Cu Jiang pingsan tak ingat diri itu.
Apa yang disaksikan saat itu telah menghancurkan hatinya.
Pandang matanya berbinar-binar. Dunia ini serasa gelap
baginya. Dan dia tak ingat apa2 lagi.
Ketika sadar, dengan lesu dia duduk memandang ke
muka. Empat sosok mayat yang terbentang di hadapannya
itu, membuat hatinya hancur berantakan.
Keguncangan besar telah menimbulkan penderitaan
hebat dalam sanubarinya sehingga ia tak dapat menangis
melainkan mengucurkan airmata saja.
Ayah, ibu, adik lelaki dan adik perempuannya telah mati
dibunuh musuh. Tangan ayahnya masih mencekal pedang
Seng-kiam, sekujur tubuhnya penuh luka2 sehingga
menyerupai manusia darah.
Adik lelaki dan adik perempuannya juga mengenaskan
keadaannya. Kaki dan tangan mereka lenyap. Sedang
mamahnya lebih ngeri lagi keadaannya. Telanjang, tangan
dan kakinya diikat pada empat buah tiang. Jelas mamahnya
itupun telah dirusak kehormatannya sebelum dibunuh.
Nasibnya seperti Siau Hui, anak perempuan dari bujang
Liok.
Oh, dunia ....
Adakah dunia ini terdapat perbuatan yang lebih keji dari
itu?
Cu Jiang seperti orang gila. Semangatnya seperti terbang
dari dalam tubuhnya. Hatinya seperti dicacah-cacah melihat
adegan saat itu.
Tak tahu dia apakah dia masih pantas hidup di dunia ini?
Adakah dia masih berhak disebut manusia lagi?
Kedukaan yang hebat telah menghancurkan kesadaran
pikirannya. Tiba2 ia tertawa keras. Nadanya macam burung
hantu mengutuk di tengah kuburan. Kumandangnya
memenuhi empat penjuru lembah.
Beberapa saat kemudian ia berhenti tertawa. Suasanapun
kembali diliputi hawa pembunuhan yang sunyi.
Sepasang biji mata Cu Jiang seperti pecah dan
mengucurkan airmata darah. Wajahnya pucat lesi seperti
mayat.
Dia berdiri, sempoyongan. Mencabut pedang terus
hendak di tikam ke dadanya....
"Uh. . ." tiba2 ia menjerit kaget ketika dadanya terkena
ujung pedang. Sakit. Dan serentak ia tersadar dan
kelimbungannya.
"Tidak! Aku tak boleh mati! Pengecut kalau aku bunuh
diri. Itu hanya menghindari tanggung jawab saja!"
Dan pedangnyapun terkulai.
Tiba2 terdengar suara orang berseru seram dan sinis:
"Hm, siapa bilang engkau tak boleh mati? Engkau, budak
kecil, harus mati juga, ha, ha, ha...."
Cu Jiang cepat berputar tubuh. Tiga tombak jauhnya,
entah kapan, telah muncul tiga manusia aneh. Mereka
bertubuh tinggi besar semua. Yang berdiri di tengah,
akhirnya mempunyai benjolan daging besar. Sedang yang
berdiri di sebelah kiri wajahnya pucat seperti mayat hidup.
Yang sebelah kanan, berwajah menyeramkan. Mukanya
penuh brewok, giginya merongos, matanya cekung ke
dalam dan berkilat2 menakutkan. Hidungnya bengkok
seperti paruh burung kakak tua.
Orang yang berwajah pucat seperti mayatpun berseru
dengan suara seram:
"Ah, tidak sia2 kita menunggu. Akhirnya kita
memperoleh kelinci kecil ini, Lekas bereskan saja.
Membabat rumput harus mencabut sampai akarnya!"
"Membabat rumput tidak mencabut akarnya, begitu
musim semi tiba, tentu akan tumbuh lagi." si hidung
bengkok menyambuti.
Lelaki yang dahinya tumbuh benjolan daging, tertawa
mengekeh:
"Soal ini memang telah di duga lotoa. lekas kerjain saja
dan lekas kita pergi!"
Darah Cu Jiang saat itu serasa beku. Matanya merekah
mengucurkan darah. Dadanya hampir meledak karena di
luap dendam kemarahan yang hebat. Dengan kalap ia
segera menerjang.
Uh . . . ternyata Ketiga manusia aneh itu sudah terpencar
dalam tiga tempat.
"Ha, ha, ha. ha ...."
"Heh, heh, heh, heh . . . ."
"Huh, hun, huh, huh . . . . "
Tiga macam nada tawa yang menyeramkan
berhamburan menusuk telinga Cu Jiang.
Tetapi saat itu Cu Jiang sudah tak menghiraukan segala
apa. Adakah kepandaiannya kalah dengan lawan, dia tak
ambil pusing lagi. Dia ingin benar mencincang ketiga
manusia aneh itu.
"Sebutkan nama kalian!" teriaknya dengan kalap.
Lelaki yang dahinya tumbuh daging benjolan, berseru
seram:
"Engkau belum pantas menanyakan diri kami!"
"Kawanan anjing Gedung Hitam?"
"Anak jadah!" lelaki berwajah pucat meraung marah.
Mengangkat tangan terus menghantam.
Kedua kawannyapun hampir berbareng, juga
menghantam. Tiga gelombang angin pukulan yang dahsyat
segera melanda Cu Jiang.
Anak muda itu hampir tak sempat lagi menangkis
ataupun menghindar. Tubuhnya segera mencelat ke udara
dan melayang ke bawah lembah. Pedangnyapun terlepas
jatuh.
"Mudah sekali, ha, ha, ha, ha ... "
"Heh, heh, heh, heh .... "
"Huh, huh, huh, huh .... "
Ketiga manusia aneh itupun segera lari pergi. Dan
lembah sunyi senyap seperti semula.
Cu Jiang memiliki dasar latihan silat yang cukup kokoh.
Ketika terlempar ke udara, ia menyadari kalau dirinya akan
jatuh ke dasar lembah. Tentu tulang belulangnya akan
hancur berantakan.
Segera dia mengempos semangat dan meringankan
tubuh, dengan sekuat tenaga ia bergeliatan ke dinding
lembah.
Tetapi pukulan ketiga manusia aneh itu terlalu sakti
sekali. Angin pukulan mereka menderu tubuh Gu Jiang
terpisah jauh dari dinding lembah. Dan dinding lembah
itupun licin sekali, tak mungkin ia dapat hinggap di situ.
Memang dengan mengerahkan tenaga tadi, Cu Jiang
berhasil mendekati dinding lembah, tetapi ia terkejut dan
mengeluh. Begitu menyentuh dinding lembah, tubuhnya
malah meluncur deras ke bawah...
"Habis sekarang riwayatku ..." diam2 ia mengeluh dalam
hati.
Mungkin hanya ingatan itu yang masih sempat singgah
dalam benaknya. Setelah itu ia terus dicengkam oleh rasa
ngeri membayangkan kematian.
Duk....
Terasa tubuhnya bergetar keras. Kemudian dia tak ingat
apa2 lagi.
Gelap sudah dunia ini.
Rasa kesedihan, nafsu hendak membalas dendam, tak
dapat dirasakan lagi.
Adakah kematian itu sesuatu yang sedap dan nikmat?
Bukankah mati itu sudah terbebas dari segala derita hatin
dan derita hidup?
Ada kalanya orang ingin mati tetapi tidak mati. Tetapi
orang yang takut mati bahkan malah dikejar kematian.
-ooo0d-w0ooo-

Pada tanah karang di puncak lembah, tampak sesosok


bayangan merah sedang berjalan mondar-mandir. Sebentar-
sebentar kedengaran menghela napas.
Mantel warna merah yang tersangkut pada lehernya, ber
kibar2 tertiup angin sehingga tampak tubuhnya yang
langsing itu makin tambah gemulai.
Siapakah dia?
Di ujung tanah lapang dekat pada hutan, tampak
segunduk kuburan yang baru. Sedang batu nisan yang
tertulis di situ, berbunyi:
Tempat peristirahatan yang terakhir dari Dewa-pedang
Cu Beng Ko, isteri dan putera puterinya.
Persembahan: Ang Nio Cu.
Walaupun saat itu sudah senja hari tetapi sosok
bayangan merah itu masih berada di tempat itu. Mulutnya
berkemak kemik:
"Sebenarnya nasibnya tidak harus berumur pendek,
tetapi . . . "
Malampun menebarkan kabut hitam. Bumi hitam kelam
dan gunung2 bagaikan gunduk2 raksasa hitam.
Entah kapan, bayangan merah itupun lenyap. Siapakah
dia?
Siapakah yang tertanam dalam makam itu? Benarkah
Giok-siu-lo Lamkiong Hau, isteri dan kedua putera
puterinya?
Dan pada batu nisan itu tertera nama Ang Nio Cu yang
mempersembahkan. Adakah Ang Nio Cu yang mengubur
dan membuatkan batu nisan itu?
Mengapa?
Apakah hubungan Ang Nio Cu dengan Lam kiong Hau?
Adakah Ang Nio Cu yang membunuh mereka lalu
timbul perasaan menyesal dan mengubur jenasah
korbannya itu?
Ah, sungguh misterius sekali.
Suatu aliran hawa panas yang menyengat tubuh, telah
membuat Cu Jiang tersadar. Ia membuka mata dan ah . . .
ternyata dia berada dalam sebuah gua.
Di dekatnya terdapat setumpuk kayu yang tengah
menyala. Suatu perapian. Asap putih yang mengepul ke
atas, membuat puncak langit gua putih.
Lama baru Cu Jiang pulih kesadaran pikirannya.
"Apakah tidak mati?" ia mulai heran.
"Tidak, engkau masih hidup!" tiba2 sebuah suara parau
terdengar menyahut.
Cu Jiang terkejut dan mengangkat kepala, ia hendak
bangkit ....
"Jangan bergerak!" suara parau dari seorang tua itu
berseru mencegah.
"Aduh," Cu jiang mengerang kesakitan ketika tubuhnya
bergerak. Ia rubuh kembali.
Ia keliarkan pandang ke dalam guha itu tetapi tak
melihat barang seorang manusiapun. Kemanakah orang tua
yang bicara tadi?
Ia berpikir kemungkinan orang itu tentu berada di ujung
sebelah belakang tempat ia berbaring. Dan suara itu di
pantulkan dapat kumandang dalam guha sehingga sukar
baginya untuk menentukan arahnya.
Jatuh ke dalam dasar jurang yang begitu curam, tentulah
tubuh akan hancur lebur. Tetapi ternyata ia masih hidup.
Benarkah itu? Ia hampir tak percaya pada dirinya sendiri.
Jiwa manusia memang aneh. Kadang lemah tetapi
kadang ulet sekali.
"Apakah locianpwe yang menolong jiwaku?" serunya.
"Bukan, jiwamu memang belum di takdirkan hilang.
Engkau jatuh di rumpun rotan mencelat ke atas, baru jatuh
ke tanah. Jika tidak begitu, meskipun tubuhmu dari besi,
tetap akan hancur lebur."
Saat itu Cu Jiang jelas memperhatikan bahwa orang yang
bicara itu berada di belakangnya. Tetapi sayang dia tak
dapat berputar tubuh.
"Budi kebaikan locianpwe menolong jiwa ku, pasti
takkan kulupakan seumur hidup . . ."
"Budak, kau hanya karena jodoh saja."
"Mohon tanya siapakah nama locianpwe?"
"Ini . . . sudah lama aku membuang namaku. Panggil
saja Ko-tiong-jin!"
"O . . . " seru Cu Jiang.
Ko-tiong-jin artinya Orang-dari-lembah. "Engkau ini
bagaimana sih?"
Peristiwa ngeri yang di alaminya ketika di atas lembah,
sejenak terbayang dalam benak Cu Jiang. Ia mengerang lalu
muntah darah.
"Budak, engkau tak mati itu sudah merupakan kejadian
yang ajaib. Jangan engkau mengeluarkan kemarahan atau
luka-dalam tubuhnya akan merekah lagi dan kalau terjadi
begitu, dewapun tak mampu menolong jiwamu lagi."
Cu Jiang mengucurkan airmata campur darah. Lama
sekali baru dia dapat terbebas dari kedukaan.
"Buyung, siapakah namamu?"
"Wanpwe bernama Cu Jiang."
"Murid perguruan mana?"
"Dari keluarga sendiri. Ayahku bernama Cu Beng Ko . .
."
"Engkau . . . putera dari Dewa-pedang?"
"Ya. Apakah locianpwe kenal padanya?"
"Berpuluh tahun yang lalu pernah bertemu satu kali.
Engkau mengatakan mendiang ayah tadi, apakah dia. . ."
Cu Jiang pejamkan mata. Hatinya bergolak2. Kemudian
baru berkata:
"Ayah, ibu dan adik perempuan serta adik laki2, terpaksa
harus menyingkir ke puncak lembah untuk menghindari
musuh..."
"Oh, makanya tiap kali aku melihat sosok2 bayangan
berkelebatan di puncak lembah ini. Kiranya keluargamu
menjadi tetanggaku. Hayo ceritakan lagi..."
"Ketika pulang dari berkelana, keluargaku satu rumah
semua telah di bunuh mati secara mengerikan. Bahkan aku
sendiripun telah di hantam pembunuh itu hingga terlempar
kebawah jurang ini."
"Siapakah musuh itu?"
"Soal itu wanpwe tak tahu."
"Tapi menghantam engkau jatuh ke sini?"
"Tiga manusia aneh yang tak diketahui namanya.
Kesaktiannya luar biasa sekali ..."
"Bagaimana ujudnya?"
"Yang seorang, dahinya tumbuh benjolan daging. Yang
kedua, wajahnya pucat seperti mayat. Dan yang ketiga,
bibirnya sumbing sehingga giginya tampak menonjol
keluar, mukanya penuh brewok..."
"Hah. . . apa senjata mereka?"
"Tangan kosong!"
"Hanya tiga orang saja ?"
"Rasanya tentu masih ada lagi tetapi yang muncul hanya
tiga orang itu."
"Bukankah perawakannya tinggi besar?"
"Benar..."
"Rasanya mirip dengan Sip-pat thian-mo..."
"Sip pat-thian-mo?" Cu Jiang berteriak kaget.
"Hanya dugaan, tetapi tak mungkin."
"Mengapa?"
"Sudah berpuluh-tahun kedelapan belas momok dunia
itu menghilang dari dunia persilatan. Dan menilik
umurnya, tak mungkin mereka mempunyai permusuhan
dengan orang tuamu."
"Aku bersumpah hendak menuntut balas!"
"Buyung, jangan bersedih, mungkin...."
"Mungkin bagaimana..."
Ko-tiong-jin atau Orang tua-dari-lembah menghela napas
dan berkata pelahan-lahan:
"Cu Jiang, engkau harus tabah untuk menghadapi
ketentuan nasib yang menimpa pada diri mu. Nasib yang
malang. . ."
Cu Jiang tergetar, serunya: "Nasib malang bagaimana?"
Ko-tiong-jin merenung dan menimang2 bagaimana dia
harus memberi keterangan kepada anak muda itu. Sampai
lama baru dia berkata:
"Sungguh suatu nasib yang luar biasa bahwa engkau tak
sampai mati. . ."
"Wanpwe takkan melupakan budi pertolongan
locianpwe," tukas Cu Jiang.
"Cu Jiang, dengarkanlah. Kini engkau menjadi seorang
pemuda cacat!"
Mendengar itu seketika Cu Jiang terlongong-longong
seperti orang kehilangan semangat. Cacat!
Suatu nasib yang mengerikan, lebih malang dari yang
malang. Segala harapan dan cita2nya akan lenyap bagai
awan di hembus angin. Menuntut balas dan segala macam
sumpah, pun akan ikut amblas.
"Thian sungguh tak adil. Malaekat sungguh jahat.
Mengapa aku tak mati saja!" serentak dia berteriak kalap.
Ko tiong-jin menghela napas.
"Aku sudah berusaha sekuat tenaga tetapi hanya dapat
menyelamatkan jiwamu, tak dapat menolong engkau dari
derita cacat!"
Air mata darah bercucuran dari mata Cu Jiang, Dengan
suara beriba2 ia berseru:
"Locianpwe, apakah aku masih berharga untuk hidup?"
"Mengapa tidak? Adakah engkau begitu memandang
enteng pada jiwamu? Nasibku jauh lebih mengerikan dari
engkau tetapi aku tetap bertahan hidup," sahut Ko-tiong-jin.
"Tetapi aku sudah cacat, tidakkah lebih baik mati
daripada hidup?"
"Ilmu kepandaian masih tetap ada."
"O. tenagaku masih?"
"Ya."
"Lalu bagai mana cacat tubuhku ini?"
"Tidak lututmu sebelah kanan hancur. Walaupun dapat
kusambung tetapi sekarang lebih pendek sedikit dari
semula..."
Mendengar itu timbullah harapan Cu Jiang serunya:
"Apakah hanya cacat begitu?"
"Masih ada lagi . . . . "
"Apa?"
"Engkau telah kehilangan wajahmu yang tampan."
"Hai . . . mukaku?"
"Hm, wajahmu penuh dengan bekas2 noda hitam!"
Tanpa disadari Cu Jiang terus merabah air-mukanya.
Memang kini kulit mukanya tidak sehalus yang lalu
melainkan terdapat bintik2 yang kasar. Separoh muka
bagian kiri, penuh dengan noda2 bekas luka. Sedang
sebagian dari tulang pipi sebelah kanan melesak. Hanya
kedua matanya yang masih utuh tak kurang suatu apa.
Tiba2 dia tertawa nyaring. Nadanya penuh kerawanan
dan kehampaan.
"Muka tampan atau buruk, aku tak memikirkan! "
serunya.
"Bagus, buyung. Engkau harus dapat menerima apa saja,
penderitaan maupun kegembiraan. Barang siapa dapat kuat
menerima coba derita yang orang biasanya tak dapat
menerima, barulah dia akan menjadi manusia unggul dari
manusia lainnya."
"Saat ini aku masih belum dapat bergerak."
"Engkau telah pingsan selama delapan hari delapan
malam! "
"Hah?"
"Benar, " kata Ko-tiong-jin, "untung aku mengerti sedikit
tentang ilmu pengobatan dan beruntung dapat
menyembuhkan lukamu.
"Locianpwe seperti melahirkan aku..."
"Sudahlah, jangan membicarakan soal itu. Telah kupetik
beberapa ramuan daun obat dan kujadikan pil. Setelah
minum, besok pagi engkau tentu dapat bangun. Sekarang,
beristirahatlah dulu, besok kita sambung bicara lagi."
Plak .... sebutir pil melayang jatuh ke samping kepala Cu
Jiang.
Diam2 Cu Jiang heran. Kalau sudah mau menolong
dirinya mengapa orang aneh yang menyebut dirinya dengan
nama Ko tiong-jin itu tak mau unjuk diri?
Ia tak mau mengambil pil itu, melainkan bertanya:
"Locianpwe, dapatkah aku melihat wajah locianpwe? "
"Minum obat dulu, jangan bicara yang tak berguna!"
"Tetapi aku tetap merasa ...."
"Engkau curiga?"
"Ah, tidak, locianpwe. Hanya ingin mengenangkan
wajah penolongku yang budiman itu. "
"Lekas minum obat itu dulu! "
Cu Jiang terpaksa menurut. Ia mengambil bungkusan
dan membukanya. Isinya sepuluh butir pil sebesar buah
kelengkeng. Sebutir demi sebutir dia terus menelannya. Ia
tak peduli bagaimana pahit rasanya.
"Buyung, di sisi bantalmu telah tersedia air."
Cu Jiang berpaling. Memang di sisi bantalnya terdapat
semangkuk air. Iapun mengambil dan meminum untuk
pengantar pil.
Beberapa saat kemudian, ia rasakan segumpal hawa
panas mulai meluap dari perut terus ke dada, kemudian
pelahan lahan mengalir ke kaki dan lengan. Makin lama
makin hebat sehingga tubuhnya terasa seperti digodok.
Keringatpun bercucuran deras seperti hujan. Dan
terakhir pikirannya mulai limbung, gelap dan tak ingat apa2
lagi ....
Ketika membuka mata ia tak merasa sakit lagi. Tak tahu
ia berapa lama telah pingsan tadi.
Perapian di samping tempat tidurnyapun telah ditambah
pula dengan kayu yang baru. Asap berkemelut
menyesakkan napas.
Ia mencoba untuk duduk dan ternyata tak apa2. Tetapi
ketika berdiri, tubuhnya agak sempoyongan dan hampir
rubuh ke dalam unggun api.
Saat itu baru dia menghayati betapa penderitaan seorang
yang cacad itu. Kakinya sebelah kiri bukan saja lebih
pendek, pun sukar untuk dijulur-turutkan, kaku sekali.
Betapa sedih hati Cu Jiang, sukar dilukiskan lagi
Tetapi hal itu suatu kenyataan. Tak mungkin dapat ia
tolak. Bahwa jatuh dari atas jurang yang sedemikian tinggi
tidak sampai mati memang sudah merupakan suatu
kemujijadan. Kalau hanya cacad tubuh dan wajahnya, tentu
sudah sewajarnya.
Segera ia alihkan pikirannya. Ia ingin melihat siapakah
yang telah menolong jiwanya itu.
Memandang ke muka, ia melihat pintu gua pada jarak
lima tombak jauhnya. Di sebelah luar gua, berkabut tebal
sehingga tak kelihatan apa2.
Memandang ke sebelah dalam gua itu, ternyata di
sebelah dalam masih terdapat sebuah gua lagi.
Ia tak berani sembarangan masuk tetapi lebih dulu ia
berseru dengan nada hormat:
"Locianpwe ....!"
"Bagaimana keadaanmu sekarang ini?" tiba2 terdengar
Ko tiong-jin menyahut.
"Obat pemberian lo cianpwe memang mustajab sekali.
Kini aku sudah sembuh. "
"Bagus. Apa engkau hendak bicara kepadaku? "
"Aku hendak menghadap locianpwe. "
"Engkau .... apa sungguh harus bertemu muka dengan
aku? "
"Benar, locianpwe."
"Sudah lebih dari sepuluh tahun lamanya aku tak pernah
melihat wajah manusia lain. "
"Aku hendak menghaturkan terima kasih yang setulus
hati kehadapan locianpwe"
Sampai beberapa jenak tak terdengar suara apa2 dari Ko-
tiong-jin. Rupanya dia tengah merenung.
"Baiklah," akhirnya ia berkata, "kululuskan engkau
melihat wajahku. Mungkin ada manfaatnya bagimu.
Masuklah!"
Berdebar-debar Cu Jiang ketika dengan langkah yang
terseok-seok masuk kegua bagian dalam.
Gua itu diterangi dengan penerangan yang redup.
Pertama yang dilihatnya, yalah sebuah meja dan sebuah
kursi terbuat dari pokok kayu yang dibelah. Bentuknya
kasar.
Diatas meja buatan Ko-tiong-Jin itu penuh dengan buah-
buahan. Bahan makanan yang menjadi ransum orang itu.
Disebelah dalam tampak sebuah tempat tidur yang
beralas tumpukan rumput kering.
Dan ketika pandang mata Cu Jiang berkeliar lebih lanjut,
hai
Menjeritlah mulut pemuda itu dengan serentak. Dia
gemetar. Jantungnya serasa copot. Benar2 dia tak
menyangga sama sekali, bahwa perwujudan dari Ko-tiong
jin itu sedemikian rupa.
Diatas tempat tidur yang berada didinding gua, duduklah
seorang mahluk yang aneh. Tubuhnya penuh dengan bulu,
kumis dan Jenggotnya melingkar-lingkar lebat. Matanya
hanya satu dan memancarkan sinar yang berapi-api.
Pakaiannya compang camping, hampir tidak menyerupai
pakaian lagi. Bagian bawah dari pakaiannya amblong
karena kedua kakinya hilang.
Ko-tiong-jin tertawa gelak2.
"Buyung, engkau masih jauh lebih baik dari diriku,
bukan ?"
Sesaat Cu Jiang tersadar akan dirinya. Buru2 ia berlutut
dan menghaturkan hormat.
"Harap locianpwe memaafkan karena wanpwe kurang
tata."
"Bangun dan duduklah di kursi!"
Setelah memberi hormat lagi barulah Cu Jiang duduk di
kursi yang terbuat dan belahan pokok pohon. Sesaat tak
tahulah bagaimana ia hendak bicara.
"Makanlah buah-buahan Itu untuk pengisi perut," seru
Ko-tiong-jin pula.
Seperti diingatkan, Cu Jiang baru teringat bahwa
perutnya memang lapar sehingga pandang matanya
berbinar-binar. Tanpa sungkan lagi ia terus mengambil dan
memakannya. Diantaranya terdapat buah yang sebenar
mangkok. Ketika digigit, mengucurkan air yang banyak dan
manis. Ia belum pernah makan buah semacam itu.
"Lo cianpwe, buah apakah ini ?"
"Namanya buah tasusu, dapat menambah tenaga. Jarang
terdapat dalam dunia. Tetapi didasar lembah ini banyak
sekali."
"Buah tasusu?"
"Ya," kata Ko-tiong-jin, "selama pingsan delapan hari
delapan malam, hanya dengan sari air buah itu, dengan
cepat engkau dapat pulih lagi tenagamu."
"O."
"Bagaimana kesanmu setelah melihat wajah ku ini ?"
"Lo cianpwe tentu menderita suatu peristiwa yang amat
menyedihkan sekali."
Ko-tiong-jin menengadahkan kepala dan tertawa gelak2.
"Musibah yang menimpa diriku itu tak kalah mengerikan
dari penderitaanmu."
"Maukah locianpwe menceritakan kepadaku."
"Ah, hidupku yang sekarang ini sudah habis. Tak perlu
ku uraikan peristiwa itu."
Keduanya lalu diam. Hanya dalam hati masing2 yang
masih bicara. Setelah makan tiga biji buah tasusu, rasa
panas pada tubuh Cu Jiang hilang. Semangatnya mulai
agak segar lagi. Tetapi apabila teringat akan peristiwa yang
menimpa dirinya, ia hendak menangis tetapi airmatanya
sudah kering.
Lebih dulu Ko-tiong-Jin yang memecah keheningan
suasana, katanya:
"Buyung, besok pagi2, keluarlah engkau dari lembah !"
Tergetar hati Cu Jiang seketika. Pertama, berat rasanya
atas budi pertolongan orang tua itu. Dan kedua, ia merasa
kasihan sekali atas nasib yang diderita Ko-tiong-jin.
"Dan locianpwe sendiri ?"
"Akan layu bersama rumput2 disini."
"Aku akan menemani locianpwe disini sampai akhir
hayat locianpwe."
"Ha, ha, ha, ha!" Ko tiong-Jin tertawa, "nak,
kesungguhan hatimu memang mengesankan. Tetapi aku
sudah tak mempunyai selera lagi terhadap manusia hidup.
Hanya...."
"Hanya apa, locianpwe?"
"Masih mempunyai sebuah keinginan yang belum
terlaksana. Tetapi keinginan itu juga sukar untuk
dilaksanakan. Tetapi . . . tetapi . . . ah, perasaanku sudah
mati. jiwaku masih hidup, belum dapat meninggalkan
ragaku yang sudah tak keruan ini. Apa boleh buat!"
Sebutir airmata menitik dari ujung pelupuk orang tua itu.
"Dapatkah aku membantu lo cianpwe?" tanya Cu Jiang
dengan sungguh2.
Tidak !"
"Mengapa locianpwe harus menderita sendiri?"
"Nasib menentukan begitu. Tidak mau menderita lalu
mau apa?"
"Bukankah tadi lo cianpwe mengatakan masih
mempunyai suatu masalah yang belum terselesaikan?"
"Sampai pada saat itu, tidak selesaipun sudah selesai
sendiri."
"Silahkan locianpwe memberi pesan kepadaku, agar aku
dapat membantu untuk menyelesaikannya."
"Tak usah."
"Dengan sungguh hati aku. . ."
"Tetapi aku tak mau menerima budimu."
"Mengapa lo cianpwe memiliki pikiran begitu?"
"Memang watakku tak senang menerima budi orang."
"Jika begitu aku yang telah menerima pertolongan
locianpwe, akan tak punya kesempatan lagi untuk
membalas budi locianpwe itu?"
"Nak, bersiap2lah besok engkau akan tinggalkan tempat
ini."
"Jika lo cianpwe tak memberi kesempatan kepadaku
untuk membalas budi, seumur hidup aku pasti menderita
hatin."
"Nak, kesungguhan hatimu itu, sudah lebih dari cukup . .
."
Cu Jiang jatuhkan diri berlutut seraya berkata dengan
tegang:
"Apabila locianpwe tak mau meluluskan, akupun takkan
berbangkit."
Butir airmata yang tertahan di ujung pelupuk Ko-tiong-
jin akhirnya menitik keluar juga.
"Bangunlah ..." serunya. "Locianpwe meluluskan?"
"Ah, nak, kululuskan engkau. Tetapi aku masih meminta
kepadamu agar jangan menganggap itu sebagai batas budi
kepadaku. Ikutilah garis takdir, berhasil atau gagal tak usah
engkau hiraukan . . ."
"Baiklah, locianpwe . . . , " kata Cu Jiang seraya
berbangkit dan duduk di kursi pula.
Mata yang tinggal sebuah dari Ko-tiong-jin tampak
berkaca2 memancar sinar sedih dan marah. Beberapa saat
kemudian baru dia berkata:
"Aku hendak minta kepadamu melakukan sebuah hal ..."
"Harap locianpwe segera memberitahu." kata Cu Jiang
dengan sigap.
Agaknya tegang sekali hati orang tua itu sehingga
napasnya ter-sengal2. Setelah menenangkan diri beberapa
saat, ia berkata:
"Soal ini merupakan soal yang terkandung dalam hatiku.
Karena soal itulah maka aku tetap bertahan hidup
walaupun sudah bukan layak di sebut manusia lagi..."
"Wanpwe akan ingat dengan sungguh2."
"Tahukah engkau apa sebab aku sampai menjadi cacat
begini rupa?"
"Mohon locianpwe suka memberitahu."
"Aku dicelakai oleh seorang sahabat yang dekat
hubungannya dengan aku ..."
"Sahabat yang paling dekat?"
"Benar. Seorang kawan akrab yang pura2 bersikap taat
dan baik."
"Siapa?"
"Sebun Ong yang bergelar Bu-lim-seng-hud."
Cu Jiang melonjak kaget. Bu-lim-seng-hud atau Buddha-
hidup dunia-persilatan Sebun Ong termasyhur dalam dunia
persilatan. Di kalangan aliran Pek-to (putih) dia termasuk
tokoh yang terkemuka.
Tokoh itu seorang penegak keadilan, menjunjung
kebenaran dan pembasmi kejahatan. Semasa hidupnya,
mendiang ayah Cu Jiang pernah memuji tokoh itu. Tetapi
tadi Ko-tiong-jin menyebutnya sebagai kawannya yang
akrab dan mencelakai dirinya.
Cu Jiang benar2 heran.
"Locianpwe mengatakan Sebun Ong?" ia menegas pula.
"Engkau tak percaya?"
"Bukan tak percaya, melainkan. . ."
"Terpengaruh oleh namanya yang termasyhur?"
"Memang namanya terkenal sebagai tokoh yang baik."
"Itulah mengapa kukatakan dia seorang manusia jahat
yang pura2 bersikap baik."
"Apakah locianpwe kenal baik sekali dengan dia?"
"Ya."
"Jika demikian tentulah locianpwe juga seorang tokoh
yang termasyhur dalam dunia persilatan?"
"Ah, tak perlu dikata lagi. Engkau bantu aku mencarikan
seseorang ..."
"Siapa?"
Tiba2 nada suara Ko-tiong-jin berobah bengis sekali,
serunya:
"Ho-hou Tio Hong Hui!"
"Ratu kembang Tio Hong Hui . . ."
"Hm."
"Wanita cantik nomor satu dalam dunia persilatan itu?"
"Benar."
"Dia mempunyai dendam permusuhan dengan
locianpwe?"
"Dia adalah isteriku."
"Jika begitu," seru Cu Jiang dengan nada tergetar,
"locianpwe ini tentulah tokoh pendekar-besar dari
Tionggoan Cukat Ong yang pernah menggetarkan dunia
persilatan pada beberapa puluh tahun yang lampau!"
"Benar. Engkau tak kecewa sebagai putera dari Dewa-
pedang, pengetahuanmu luas benar."
Hati Cu Jiang tegang sekali. Ia tak menyangka bahwa
seorang pendekar besar bakal menderita nasib begitu
mengenaskan.
"Locianpwe hendak mencari Tio cianpwe..."
"Jangan menyebutnya cianpwe. Wanita itu tak layak
mendapat kehormatan disebut cianpwe!" teriak Ko-tiong-jin
dengan bengis.
Cu Jiang terkesiap.
"Aku tak mengerti persoalannya."
Mata Ko-tiong-jin bersinar tajam, memancarkan dendam
yang menyala-nyala. Dengan mengerut geraham dia
berkata pula:
"Dengarkan. Delapan belas tahun yang lalu, aku dan
Sebun Ong bersama-sama menemui seorang gadis. Tetapi
akhirnya gadis itu memilih aku. Setelah itu akupun
hentikan petualanganku dalam dunia persilatan. Aku
menikah dan menuntut penghidupan yang tenang."
"Se-bun Ong masih bersikap baik. Tampaknya dia tak
sakit hati dan hubungan kita masih seperti sediakala dan
akupun tak mengandung kecurigaan apa2 kepadanya.
Bahkan aku memuji peribadinya."
"Apakah gadis itu bukan Ratu kembang Tio Hong Hui ?"
karena tak dapat menahan diri, Cu Jiangpun menyeletuk.
"Ya, memang dia. Tahun kedua dari pernikahanku, dia
telah melahirkan seorang bayi perempuan yang kucintai
bagaikan mutiara..."
"Ah," desuh Cu Jiang.
"Tahun ketiga, anak perempuanku itu genap berusia
setahun. Ketika itu aku sedang mencari daun obat ke
pegunungan. Tak kusangka sangka Sebun Ong menyusul.
Dengan terus terang dia mengaku bahwa dia tak dapat
melupakan rasa cintanya terhadap Tio Hong Hui. Dan
bahkan diapun mengaku bahwa dia telah melakukan
perbuatan terlarang dengan Tio Hong Hui."
"Apakah locianpwe percaya ?"
"Sudah tentu tidak percaya. Tetapi dia dapat
mengunjukkan bukti."
"Bukti?"
"Benar. Sebuah bungkusan Ho-pau (kantong uang) yang
selalu berada ditubuh wanita hina itu. Sebun Ong
menerangkan bahwa Tio Hong Hui tak senang pada diriku
karena aku tak suka bercumbu rayu, tidak mempunyai
selera untuk mengadakan hubungan kelamin, hanya
mencurahkan waktu dan perhatian untuk belajar silat.
Memang benar, aku memang begitu dan terpaksa mau
tak mau harus percaya keterangannya...."
"Lalu?"
"Sebun Ong mengakui kesalahannya dan menyatakan
penyesalannya yang tak terhingga karena telah berbuat yang
hina, menghianati kawan sendiri. Dia minta supaya aku
membunuhnya . .. ."
"Oh..."
"Saat itu tergerak hatiku. Aku menghela napas dan
mengatakan bahwa memang nasibku yang jelek. Aku akan
mengasingkan diri jauh dari dunia keramaian."
"Lalu ?"
"Ah, tak kusangka sama sekali bahwa Sebun Ong itu
seorang binatang yang berjiwa manusia. Seorang manusia
yang berhati binatang. Pada saat aku tak berjaga jaga, tiba2
dia menyerang aku. Setelah aku rubuh, dengan buas ia
menghancurkan sebelah mataku. Karena dia menyerang
cepat dan dahsyat, aku tak sempat membalas.
Kepandaiannya memang lebih tinggi dari aku apalagi dia
menggunakan pedang memapas kedua kakiku lalu
menendang tubuhku kedalam jurang ini . .."
"Jahanam !" teriak Cu Jiang serentak. Ko tiong-jin
mengertak gigi. "Adalah karena belum ditakdirkan mati,
tubuhku tersangkut pada gerumbul rotan sehingga tubuhku
tak hancur. Dan ternyata tumbuh-tumbuhan dalam dasar
jurang ini merupakan daun2 obat yang mujarab sehingga
selamatlah jiwaku. Begitulah kisah hidupku mengapa aku
berada disini. ."
"Bukankah locianpwe suruh aku mencari Tio Hong Hui .
. ."
"Dia adalah biang keladinya. Bunuhlah dia!"
"Baik, aku tentu akan melakukan pesan locianpwe! "
"Masih ada sebuah lagi. Apabila bertemu dengan anak
perempuanku, lindungilah dirinya. Kini dia tentu sudah
berumur 17 tahun . . ."
"Semua pesan lo cianpwe pasti akan kulakukan! "
"Ah. sekarang aku baru dapat mati dengan meram. Ini
memang kehendak Yang Kuasa. Di dasar jurang yang
begini dalam, ternyata engkau datang. Apa yang semula tak
pernah kuharapkan, kini ternyata akan terlaksana ..."
"Sebaiknya locianpwe tinggalkan tempat ini nanti akan
kuusahakan tempat tingaal yang sesuai untuk locianpwe.
Begitu pula setelah bertemu dengan puteri locianpwe, tentu
akan kuajak datang agar merawat locianpwe..."
"Tidak, buyung, aku tak mau bertemu muka dengan
manusia lain lagi?"
"Termasuk puteri lo cianpwe?"
"Kenapa?"
"Aku tak mau menyiksa batinnya ..."
"Tetapi walaupun locianpwe cacat, semangat locianpwe
masih penuh . . . " Ko-tiong-jin tertawa hambar.
"Batin dan raga telah hancur. Hanya mengandalkan
obat. Memang obat dapat menolong jiwa tetapi tidak dapat
menyambung umur. Aku pernah belajar soal ilmu obat2an
maka tahu jelas tentang hal itu."
Mendengar itu ber-linang2lah airmata Cu Jiang.
"Jika locianpwe menginginkan begitu...."
"Sudahlah, jangan banyak omong. Tubuhku sudah tak
utuh dan hatiku ingin sekali agar wanita hina itu mati, baru
aku dapat mati dengan meram. Tetapi baik atau buruk,
anak itu dia yang melahirkan. Cinta ayah kepada anak dan
cinta ibu kepada anak, sama2. Bagaimana aku dapat
bertemu muka dengan anak perempuanku itu?"
Mendengar itu barulah Cu Jiang tahu alasan yang
sebenarnya dari Ko-tiong-jin. Sebagai seorang pemuda yang
cerdas, cepatlah Cu Jiang dapat menyadari hal itu. Dia tak
mau memaksakan hal2 yang tak di inginkan orang tua itu.
Diam2 ia memutuskan. Kelak apabila berhasil
menemukan puteri Ko tiong-jin, dia akan mengajaknya
berunding lagi.
"Siapa nama puteri locianpwe itu?" tanyanya.
"Waktu kecil kuberi nama Beng Cu. Tetapi dia ikut
ibunya yang hina, namanya tentu berganti."
"Lalu cara bagaimana aku dapat mengenalinya?"
"Apabila bertemu dengan wanita yang cabul, tentu dapat
diketahuinya."
"Baik. "
"Dua buah benda ini akan kuberikan kepadamu ..." kata
Ko-tiong jin lalu mengambil sebuah kantong uang dan
sebuah kantong kecil, diberikan kepada Cu Jiang.
"Kantong uang ini adalah lima belas tahun yang lalu
dibawa Sebun Ong sebagai bukti tentang penyelewengan
Tio Hong Hui. Untung sampai sekarang masih kusimpan.
Apabila bertemu dengan perempuan hina Tio Hong Hui itu,
serahkanlah kantong itu. Tak perlu engkau turun tangan . .
."
"Tak perlu turun tangan?" ulang Cu Jiang heran.
"Dalam kantong uang itu berisi benda yang amat
beracun sekali. Barang siapa menyentuhnya tentu mati. Di
dunia tak ada obatnya lagi. Racun itu hasil buatanku selama
bersusah payah mempelajari sampai sepuluh tahun. Ingat,
jangan sekalikah engkau membuka kantong itu."
Gemetar Cu Jiang mendengar pesan itu.
"Di dalamnya berisi racun ganas?"
"Dengan begitu sama artinya akulah yang turun tangan
membunuhnya sendiri."
"Dan kantong kecil ini?"
"Apabila bertemu dengan anak perempuanku, serahkan
kantong kecil itu. Katakan, di dalamnya terdapat pesanku .
. ."
Cu Jiang menyambuti dengan kedua tangan. Ia masih
ngeri membayangkan kantong uang itu.
"Juga kantong kecil, jangan engkau buka. Kecuali anak
perempuanku, jangan sampai kantong kecil itu jatuh ke
tangan orang lain!"
"Baik, aku ingat semua pesan locianpwe."
"Nak, apakah permintaanku itu terlalu berlebihan?"
"Ah, mengapa locianpwe mengatakan begitu, " cepat2
Cu Jiang berseru, "jiwaku ini adalah locianpwe yang
memberi. Soal begini saja tentu tak berarti bagiku."
"Beristirahatlah di gua luar. Hari segera terang tanah dan
engkau dapat ke luar dari jurang ini."
"Apakah terdapat jalan yang tembus keluar."
"Ada. Kuketemukan jalan itu setahun yang lalu ketika
aku mencari daun obat. Menuruni jurang ini kira2 lima li
jauhnya, akan tiba di sebuah aliran air yang melintas
gunung. Karena saat ini sedang musim kering, airnya tentu
juga kering dan dapat di gunakan orang untuk melintasi
gunung."
"Oh."
"Pergilah!"
Serentak Cu Jiang menghaturkan hormat yang penuh
khidmat dan haru. Kemudian ia menuju ke gua luar. Api
unggun hanya tinggal sedikit. Dia menambah kayu bakar
lalu duduk bersandar pada dinding gua.
Pikirannyapun mulai melalu lalang memikirkan berbagai
peristiwa. Musuh yang membunuh ayah bunda, adik lelaki
dan adik perempuannya. Dan terutama jenasah ibunya
yang telanjang, benar-benar meledakkan dadanya.
Ia ingin menangis, meraung, menjerit dan ngamuk agar
dapat melampiaskan dendam hatinya.
Di amuk dendam kemarahan itu, ia tak dapat tidur. Ia
mencabuti rambut kepalanya Segenggam demi segenggam
di lemparnya dalam api yang menyala. Dengan perbuatan
itu agaknya ia dapat meredakan kedukaan dan dendam
hatinya.
Tetesan darah mengucur turun dari mukanya tetapi dia
tak merasakannya.
Api di perapian pun padam. Angin berhembus dingin
dari luar, menyusup kedalam gua Namun dia tetap duduk
bersandar pada dinding gua. sedikitpun tak bergerak.
Sekonyong-konyong sesosok bayangan hitam, menerjang
masuk dari luar gua. Cu Jiang terbelalak kaget dan cepat
ayunkan tangannya.
"Jangan!" tiba2 terdengar suara bentakan Dan nada
suaranya adalah nada Ko-tiong-jin.
Mendengar itu cepat Cu Jiang menghentikan tangannya.
Memandang dengan teliti gunduk bayangan hitam itu, ia
baru mengetahui kalau seekor kera besar yang membawa
buah-buahan. Kera itu menyeringaikan mulut,
memperlihatkan giginya yang tajam dan memandang Cu
Jiang dengan marah.
Saat itu Ko-tiong Jin sudah melayang ke samping Cu
Jiang lalu menggapaikan tangannya:
"Toa Hek. kemarilah. Ini kawan sendiri."
Rupanya kera besar itu mengerti bahasa manusia.
Dengan langkah pelahan-lahan ia berdiri dihadapan Ko
tiong-Jin. Beberapa jenak memandang tajam kepada Cu
Jiang lalu melangkah masuk ke gua dalam.
"Itulah kera hitam yang kupelihara," kata Ko tiong-jin
"sifatnya yang buas masih belum hilang sama sekali. Dia
memiliki tenaga yang kuat sekali. Jago silat yang tidak
tinggi kepandaiannya tentu sukar mendekatinya. Dia
mempunyai rasa setia kepada tuannya."
Cu Jiang mengangguk.
Setelah beberapa kali memandang ke luar gua, Ko-tiong-
jin berkata pula:
"Nak, sekarang engkau boleh berangkat!"
Berat rasa hati Cu Jiang untuk berpisah dengan orang tua
yang bernasib malang itu. Walaupun hanya berkumpul
dalam waktu yang singkat, tetapi ia menganggap orang tua
itu sebagai seorang cianpwe yang baik budi. Juga ia merasa
kasihan serta simpati atas keadaan diderita olehnya,
seorang yang pernah harum namanya dalam dunia
Cu Jiang tak pernah melupakan budi pertolongan Ko-
tiong-jin yang telah menyelamatkan jiwanya dari kematian.
Tahu bahwa saat itu ia akan berpisah, Cu Jiang tak dapat
berkata apa2. Hanya wajahnya amat berduka dan
airmatanya berlinang-linang.
Ko-Tiong jin tertawa gelak2.
"Nak, perjalanan hidupmu masih panjang. Penuh
dengan kepahitan dan derita. Engkau harus berlatih
meneguhkan batinmu."
Airmata Cu Jiang bercucuran deras.
"Terima kasih locianpwe." Katanya dengan suara parau
dicengkam keharuan.
"Bagaimana rencanamu setelah keluar dari lembah ini ?"
"Mencari jejak musuh."
"Dengan kepandaian yang engkau miliki sekarang ini ?"
Ko-tiong-jin menegas.
Semangat Cu Jiang segera menurun. Memang ia
menyadari bahwa dengan kepandaiannya saat itu, tak
mungkin dia hendak melakukan pembalasan. Ibarat hanya
seperti telur beradu dengan ujung tanduk.
Sedang mendiang ayahnya yang begitu sakti pun
akhirnya dapat dicelakai orang, apalagi dirinya yang terpaut
jauh sekali dari ayahnya.
Cu Jiang menundukkan kepala. Ko tiong-jin bergeliat
dan menepuk bahu anak muda itu, serunya:
"Nak, jangan putus asa. Manusia wajib berusaha. Adalah
karena aku merasa kepandaianku masih kalah dengan
mendiang ayahmu maka aku tak dapat membantu apa2
kepadamu. Tetapi aku hendak menghaturkan sebuah kata
nasehat padamu "untuk melakukan pembalasan, sampai
tiga tahun pun belum terlambat". Carilah seorang guru
kenamaan untuk belajar ilmu silat yang lebih tinggi, barulah
nanti engkau lakukan pembalasan itu. Tetapi .... guru yang
sakti itu memang sukar ditemukan. Kesemuanya itu
tergantung pada jodoh dan rejekimu!"
Cu Jiang mengangguk dalam2.
"Akan kuukir dalam sanubariku semua pesan
locianpwe."
"Jika mendiang ayahmu yang begitu sakti dalam ilmu
pedang dapat dicelakai musuh, Jelas bahwa musuhmu itu
tentu bukan tokoh sembarangan. Engkau harus berhati-hati,
jangan sampai mengalami kehancuran yang sia2...."
"Baik."
"Walaupun tiada hubungan dengan mendiang ayahmu,
tetapi aku sekaum dengan dia. Dan aku mengagumi
peribadinya. Ayahmu mengalami bencana dan aku
mendapat musibah begini, bukan disebabkan karena
perjuangan kami membela kebenaran dan keadilan tetapi
memang karena suatu peristiwa yang menyedihkan
sekali..."
"Aku kurang jelas akan maksud locianpwe." kata Cu
Jiang.
"Sewaktu masih hidup, pernahkah ayahmu menceritakan
tentang musuhnya ?"
"Tak pernah."
"Jika begitu, tentu sukar engkau melakukan
penyelidikan."
"Pada waktu itu aku melihat beberapa hal yang dapat
kujadikan pegangan untuk mencari jejak si pembunuh.
Pada saat itu kutemukan dua buah kutungan jari, sebuah
lengan. Dengan bukti itulah akan kucari musuh itu. "
"Oh..."
"Dan masih ada lagi . . . . "
"Apa? "
"Orang Gedung Hitam ketika menyelidiki asal usul
diriku pernah berusaha menekan aku supaya
memberitahukan tempat ayahku. Itulah sebabnya maka
keras dugaanku bahwa orang Gedung Hitamlah yang
melakukan pembunuhan itu ... "
"Gedung Hitam? Aku tak pernah mendengar nama itu! "
"Gerombolan Gedung Hitam mengacau dunia
persilatan, kemungkinan terjadi pada waktu locianpwe
mendapat musibah ..."
"Ya, mungkin begitu. Bagaimana gerombolan itu?"
"Begitu muncul mereka melakukan pembunuhan besar-
besaran di kalangan kaum persilatan, seluruh dunia
persilatan di Tionggoan diancam oleh bayang2 kecemasan
dan kegelisahan!"
"Siapakah pemimpin mereka?"
"Tak seorangpun yang tahu!"
"Oh, dunia persilatan memang banyak sekali urusannya.
Aliran Ceng-pay dan Shia-pay, timbul tenggelam silih
berganti. Demikian kehidupan dunia persilatan dari masa
ke masa. Tetapi ada sebuah dalih yang menjadi kenyataan
bahwa Kejahatan itu akhirnya harus menyerah pada
Kebaikan. Golongan Shia-pay tentu kalah dengan golongan
Ceng-pay!"
"Benar."
"Nak, engkau memiliki kecerdasan dan bakat yang bagus
sekali. Mungkin dalam dunia persilatan jarang terdapat
orang yang bertulang sebagus engkau. Sayang engkau
menderita musibah sedemikian menyedihkan, sebelah
kakimu cacad. Hal itu mungkin akan mempengaruhi
kemajuan dari latihan ilmu silatmu. Tetapi jangan kecewa.
Semua itu sudah digariskan Thian. Jangan putus asa dan
teruskanlah usahamu dengan hati lapang!"
"Baik, lo cianpwe."
"Nah, sekarang engkau boleh berangkat."
Dengan rasa yang berat, Cu Jiang berbangkit lalu
memberi hormat:
"Selamat tinggal, locianpwe. Mudah-mudahan kita akan
lekas berjumpa kembali."
"Ya, ya, mudah-mudahan aku masih hidup sampai
waktu itu. Per.... gilah! "
"Harap locianpwe baik2 menjaga diri. "
"Dan lagi . . . ."
"Oh, apakah lo cianpwe hendak memberi pesan lagi?"
"Dua buah hal yang perlu kupesan kepadamu. Pertama,
sembunyikan dirimu jangan engkau mengatakan asal
usulmu. Demi menjaga tindakan musuh yang hendak
membasmi seluruh keluargamu. Kedua, apabila Thian
mengabulkan harapanku dan engkau berhasil menemukan
anak perempuanku itu, jangan mengatakan kalau aku masih
hidup. Katakan saja . . . aku sudah berada di alam baka . . ."
Dalam mengatakan ucapan yang terakhir itu, suara Ko-
tiong jin agak sember. Air matanyapun berlinang-linang.
Cu Jiangpun ikut terharu sekali.
"Akan kuingat semua pesan locianpwe itu."
Ia terus berbangkit, memandang sejenak kepada Ko-
tiong-jin lalu dengan langkah tertatih-tatih ia melangkah ke
luar.
Suasana di luar guha masih gelap tertutup kabut pagi
sehingga ia tak dapat melihat jelas keadaan di sekeliling. Cu
Jiang menuruni lembah. Dicobanya untuk menggunakan
ilmu meringankan tubuh. Tetapi karena kakinya cacad, ia
tak leluasa berlari. Dengan tertatih-tatih dia berlari, hanya
lebih cepat sedikit dari orang biasa.
Teringat akan keadaan itu, kemarahannya memuncak
lagi.
Dengan susah payah barulah ia berhasil keluar dari
barisan karang tajam dan tiba di saluran air seperti yang
dikatakan Ko-tiong jin.
Saluran air itu terletak di bawah batu karang, berasal dari
sebuah gua. Karena musim panas, saluran air itupun hanya
sedikit airnya. Kalau musim hujan, tentu tak mungkin
orang dapat menggunakannya untuk berjalan menembus
gua.
Cu Jiang segera merangkak masuk ke dalam terowongan
gua itu. Sekonyong-konyong ia berteriak kaget sekali.
Dia terlongong-longong di tepi kubangan air yang
merupakan sebuah telaga kecil.
Di permukaan air ia melihat sesosok bayangan yang
mengerikan sekali. Rambut terurai kusut, wajahnya penuh
dengan noda hitam, pakaian compang camping penuh
berlumuran bintik2 percikan darah. Siapapun tentu akan
ketakutan apabila melihat bayangan itu.
Cu Jiang tenangkan semangatnya. Memandang keempat
penjuru. Tetapi tak tampak barang seorang manusia
lainnya. Kembali memandang ke permukaan air, ia masih
melihat bayangan yang mengerikan itu.
Tiba2 ia tersadar dan serentak lemas lunglailah kakinya.
Ia terkulai duduk di tanah lalu ia berteriak kalap:
"Inilah aku! Ya, aku sendiri, Cu Jiang!"
Habis berteriak kalang kabut, ia tertawa seram. Nadanya
penuh dendam dan kedukaan. Air matanya bercucuran.
Untuk pertama kali di permukaan air itu ia dapat melihat
roman mukanya. Dan raut mukanya itu ternyata jauh lebih
mengerikan dari apa yang di bayangkan.
Adakah manusia seperti diriku sekarang ini layak
bertemu muka dengan orang?
Ia bertanya dan bertanya pada dirinya sendiri. Sebagai
jawaban, meluaplah dendam kebenciannya. Seluruh
pikiran, semangat dan raganya, terbakar hangus oleh
dendam kesumat. Dia tak suka kepada segala apa di dunia
ini lagi. Dia benci pada dunia.
Dendam kesumat telah menghancur leburkan hati
nuraninya.
Dendam kesumat, seolah telah menyebabkan jiwanya
meninggalkan raga.
Dendam kesumat telah membuat dirinya menjadi
manusia yang berobah wataknya. Ia merasa langit telah
berubah, bumi berganti dan dirinyapun juga berobah.
"Cu Jiang yang sekarang, bukan Cu Jiang yang dulu
lagi," ia meratap dan memberingas.
Akhirnya ia bangkit, meraung raung seperti seekor
binatang buas dan dengan langkah terhuyung-huyung ia
melintasi terowongan itu, menurutkan aliran air. Beberapa
tombak jauhnya, keadaannya gelap sekali sehingga tak
dapat melihat tangannya sendiri. Namun ia tetap kalap.
Dengan jatuh bangun ia terus lari.
Tubuh Cu Jiang berlumuran darah akibat terbentur
dengan dinding terowongan gunung.
Tetapi dia telah mati rasa. Dia tak memikirkan rasa sakit
lagi. Hanya lari, ya, lari terus sejauh kakinya masih kuat...
Tiba2 disebelah muka merekah penerangan. Ternyata
telah tiba disebuah lorong atau jalanan lembah. Karena
kehabisan tenaga dia jatuh di saluran air, napasnya
tersengal-sengal keras.
Hampa. Hampa diluar hampa didalam. Pikirannya
sehampa langit yang luas.
Tak lama kemudian sang surya mulai memancarkan
sinarnya ke penjuru lembah. Awanpun berarak-arak di
puncak lembah.
Tanpa terasa karena merendam diri di saluran air, noda
darah pada lukanya tercuci bersih, tetapi sebagai gantinya
luka itupun memberinya rasa sakit. Dan rasa sakit itu
pelahan-lahan menyadarkan pikirannya lagi. Dia segera
meninggalkan saluran air. Sinar mentari pagi
menghangatkan pula tubuhnya. Pelahan-lahan
semangatnyapun segar kembali.
Peristiwa berdarah dalam rumah tangganya kembali
terlintas dalam benaknya ....
Paman Liok, Siau Hiang anak perempuan satu-satunya
dari paman Liok, bibi Liok . .. ayahnya, mamah, adik
perempuan .... mereka telah dibunuh secara kejam oleh
musuhnya.
Darah mereka telah menumpah. Darah mereka hanya
tinggal dalam dirinya. Dia adalah satu-satunya darah
mereka yang masih hidup. Jika dia mati, habislah
semuanya.
Tidak !
"Aku tak boleh mati!" Jika aku mati dendam darah itu
pasti tak dapat kubalas." kata hatinya. Dam bulatlah sudah
keputusannya. Dia harus hidup untuk menuntut balas atas
kematian kedua orang tua, adiknya dan kedua bujang Liok
serta anaknya itu.
Setelah semangat hidupnya bangkit, dia segera menuju
ke arah yang dikehendakinya. Sejam kemudian tibalah dia
di tempat pondok paman Liok.
Memandang pondok ditengah hutan belantara yang
sunyi senyap itu, dia menghela napas.
"Ah, yang mati, sudah mati. Tetapi yang hidup ini ?"
Dia melangkah masuk kedalam pondok. Dihadapan abu
ketiga anak beranak itu. dia tegak berdoa. Setelah itu ia
segera melintasi hutan dan menuju ke tempat tinggal ayah
bundanya.
Pondok dan segala isi rumah masih sama seperti
beberapa hari yang lalu. Hanya ia terkejut ketika melihat
sebuah makam. Segera ia menghampiri makam itu.
"Hai, siapakah yang membuat makam ini?"
"Ang Nio cu!" ia berteriak kaget setelah membaca tulisan
pada batu nisan itu.
"Mengapa Ang Nio-cu datang kemari? Dan mengapa dia
mendirikan makam untuk ayah bundaku ?" keheranan Cu
Jiang makin menjadi2.
Ang Nio cu, momok wanita yang membunuh jiwa
manusia seperti membunuh nyamuk, mengapa mau
mendirikan makam untuk ayah bunda Cu Jiang.
Aneh! Benar2 aneh. Cu Jiang tertegun dalam kehilangan
faham.
Ketika melintasi hutan dan melihat pertandaan dari Ang
Nio cu, ia segera mendengar suara momok wanita itu
mengancam hendak membunuhnya. Tetapi tiba2 wanita itu
merobah keputusannya. Adakah Ang Nio-cu memang
mengikuti jejaknya hingga tiba di situ? Jika benar, apakah
dia mengetahui tentang peristiwa yang terjadi di sini?
Cu Jiang benar2 bingung.
Dia berlutut dan menelungkupi makam. Ketika tersadar,
matahari sudah terbenam. Malam itu dia tidur di makam
orang tuanya.
Keesokan harinya, ia berlutut pula di depan nisan
makam dan berdoa:
"Ayah, mah, adikku berdua. Aku bersumpah akan
membalaskan dendam berdarah ini. Sejak saat ini aku tak
mau mengucurkan air mata lagi."
Habis bersembahyang, dia berbangkit. Tak berapa jauh
dari tempatnya, ia melihat sebatang pedang yang kutung
berkilau-kilauan tertimpa sinar matahari. Dikenalinya
pedang itu adalah milik ayahnya. Dihampirinya pedang itu
lalu di bungkusnya dengan robekan lengan baju dan di
simpannya dalam dada bajunya.
Pedangnya sendiri tiga hari yang lalu telah hilang ketika
dia di tendang jatuh ke dasar jurang oleh ketiga mahluk
aneh itu.
Setelah itu ia kembali berlutut di depan makam dan
menghaturkan hormat yang penghabisan kali. Kemudian ia
berbangkit dan menuju ke pondok kediamannya.
Dia mencari lemari untuk berganti pakaian. Dengan
mengenakan pakaian dari kain kasar dan caping, kini dia
berobah menjadi seorang manusia baru. Orang tentu tak
kenal lagi bahwa dia adalah Cu Jiang, putera dari Dewa-
pedang Cu Beng Ko yang termasyhur.
Selesai berpakaian ia mengambil cermin. Ah, ternyata
dia sendiripun tak kenal dengan dirinya yang baru itu.
Dia tak mau bersedih lagi. Yang ada dalam hatinya
hanyalah "dendam kesumat". Dia telah bersumpah di
hadapan makam kedua ayah-bundanya bahwa sejak saat itu
dia tak mau mengucurkan airmata lagi.
Setelah mengemasi bekal yang perlu, dia segera
tinggalkan rumah yang penuh kenangan pahit itu.
Racun yang tersimpan dalam kantong pemberian Ko-
tiong-jin, memberi peringatan kepadanya. Bahwa untuk
membalas dendam, tak mungkin dengan mengandalkan
ilmu kepandaian tetapi harus dengan akal. Tak peduli
apapun caranya yang penting dendam itu cepat terhimpas.
Soal mencari guru sakti dan berguru menuntut ilmu
kepandaian yang sakti, memang hanya tergantung dari
jodoh tetapi tak dapat diharapkan dengan pasti.
Kemanakah dia harus mencari guru sakti ? Dan sampai
berapa tinggikah ukuran ilmu-silat yang sakti itu? Jika
musuhnya itu benar pemimpin Gedung Hitam, siapakah
tokoh dalam dunia persilatan yang mampu melebihi
kesaktiannya? Karena jika ada tokoh yang lebih unggul dari
pemimpin gerombolan Gedung Hitam, tak mungkin
gerombolan Gedung Hitam dapat merajalela dalam dunia
persilatan.
Demikian untuk belajar silat hingga mencapai tataran
yang tinggi, bukan suatu pekerjaan yang dapat dilakukan
dalam setahun dua tahun, tetapi harus bertahun-tahun
bahkan belasan tahun. Lalu kapankah dendam itu akan
dapat terbalas?
Akhirnya tibalah Cu Jiang di sebuah kota kecil. Dia agak
takut. Dia kuatir orang akan takut melihat wajahnya. Pun
juga hal itu dapat mengundang peristiwa-peristiwa yang
sangat tak diharapkan.
Tetapi dia tak dapat terus menerus mengasingkan diri
dan tak mau bertemu orang. Untuk membalas sakit hati ia
harus melakukan penyelidikan dan hal itu berarti bahwa ia
harus bertemu dan bergaul dengan orang.
Akhirnya ia keraskan hati dan berjalan tertatih-tatih ke
arah kota itu.
"Hai..." tiba2 seorang perempuan menjerit, menutupi
muka dan lari ketakutan ketika melihat wajah Cu Jiang.
Cu Jiang hentikan langkah. Betapa sedih rasa hatinya
saat itu, sukar dilukiskan dengan kata-kata. Dulu setiap
mata gadis tentu akan berusaha untuk selalu
memandangnya. Tetapi kini mereka tentu akan membuang
muka.
Dendam kesumat makin tebal dalam sanubarinya.
Beberapa waktu kemudian baru ia timbul keberaniannya
untuk melanjutkan masuk ke dalam kota.
Sepanjang jalan banyak orang yang menjerit dan
berteriak kaget. Ada yang menghindar, ada pula yang
mengikuti untuk melihatnya lebih jelas. Bahkan anak2 yang
nakal melemparinya batu.
Ingin sekali dia membunuh mereka. Tetapi mereka
rakyat yang tak berdosa dan diapun tak mungkin dapat
membunuh habis mereka. Maka ditekannya perasaannya.
Dengan sabar ia berjalan.
Pada saat ia masuk yang pertama kali ke dalam sebuah
rumah makan, jongos segera deliki mata dan
membentaknya:
"Hai, berhenti . . . mau apa engkau!"
Darah Cu Jiang meluap, namun dengan mengertek gigi
ia balas bertanya:
"Apa perlunya kalian membuka pintu?"
"Di sini rumah makan, sudah tentu kami menjual
makanan dan minuman."
"Kalau begitu setiap orangpun berhak membeli di sini."
"Carilah lain rumah makan saja!"
"Apa maksudmu?"
"Dikuatirkan tetamu yang makan di sini akan muntah
melihat engkau."
Hawa pembunuhan serentak meluap sehingga sepasang
mata Cu Jiang berkilat-kilat memancarkan api, ketika
memandang jongos itu.
Jongos itu ketakutan dan menyurut mundur, seorang
lelaki pertengahan umur segera melangkah maju. Rupanya
dia pemilik rumah makan itu. Dia berhenti dihadapan Cu
Jiang dan mengawasinya dengan alis berkerut.
"Apa engkau orang dari desa ?"
Memang pakaian dari kain kasar yang dikenakan Cu
Jiang saat itu, biasanya dipakai orang desa.
"Jangan urusi aku orang desa atau orang kota. Aku bisa
membayar apa yang kumakan dan minum. Apakah tidak
boleh ?"
"Silakan engkau cari lain rumah makan saja."
"Tidak ! Aku hendak makan disini."
Lelaki pertengahan umur itu deliki mata lalu
membentak:
"Manusia cacat, disini bukan tempatmu main gila !"
Ribut2 itu telah mengundang perhatian tetamu2 lain.
Mereka serempak datang melihat. Begitu melihat wajah Cu
Jiang, berobahlah cahaya muka mereka. Ada yang muak,
ada pula yang kasihan.
"Engkau menghina aku orang cacat?" teriak Cu Jiang.
"Apa salah? Apakah engkau ini lelaki yang tampan ?"
Kata2 pemilik rumah makan itu menimbulkan gelak
tawa dari sekalian tetamu.
Kata2 itu benar2 telah menikam perasaan hati Cu Jiang.
Dia tak dapat menahan kesabarannya lagi. Dangau deliki
mata ia membentak:
"Apakah engkau pemilik rumah makan ini?"
"Ya."
"Rumah makan yang engkau usahakan ini menjual
makanan kepada orang atau tidak ?"
"Ya, tetapi tidak kepadamu."
Saat itu diluar rumah makan telah banyak orang yang
iseng melihat ribut2 itu. Mereka juga ikut
memperbincangkan wajah Cu Jiang.
"Apa engkau tak menyesal ?" Cu Jiang menegas geram.
"Orang cacat, enyahlah, jangan membuat naik darahku !"
bentak pemilik itu.
Wajah Cu Jiang yang seram makin mengerikan ketika
memancarkan hawa pembunuhan. Dengan mendengus dia
menggeram.
"Hm, engkau sendiri yang minta mati !" Secepat kilat
tangan kanannya menyambar. Walaupun kaki yang kiri
cacat, tetapi tenaga kepandaian Cu Jiang masih tetap tak
hilang.
Sambarannya itu hebat sekali, tak sembarang jago silat
dapat menghindari.
"Auh...!" pemilik rumah makan itu menjerit ngeri ketika
tubuhnya diangkat seperti anak kecil. Kelima jari Cu Jiang
menyusup kedalam daging tubuhnya sehingga darah
bercucuran deras.
Sekalian orang menjerit kaget. Mereka tak kira bahwa
orang desa yang berwajah buruk dan cacat kakinya itu
ternyata memiliki kepandaian yang sedemikian hebat.
Jongos segera mengajak kawan-kawannya untuk
menyerbu. Ada yang membawa pentung, serok api dan
pisau.
"Aduh .. . aduh Cu Jiang mengangkat tubuh pemilik
rumah makan yang diayun-ayunkan sebagai senjata.
Kawanan jongos itu tak berani turun tangan dan mereka
sendirilah yang mundur karena terbentur dengan senjata
istimewa dari Cu Jiang.
"Tuan, ampunilah jiwaku. Aku punya biji mata tetapi tak
dapat melihat gunung Thaysan !" pemilik rumah makan
menjerit jerit minta ampun.
"Sahabat, jangan !" tiba2 terdengar suara yang
menggetarkan telinga Cu Jiang.
Mengangkat muka memandang kedepan, Cu Jiang
melihat seorang tua berjenggot putih dan pakaian putih,
tengah melangkah masuk. Sikapnya amat berwibawa sekali.
"Lotiang, kojiu dari mana ?" tegur Cu Jiang dengan
masih marah.
Dengan pelahan tetapi penuh kekuatan, orang tua
berjenggot putih itu menyahut:
"Dengan ilmu kepandaian sahabat yang begitu hebat,
masakah sembabat hendak menuruti nafsu kepada
penduduk biasa ?"
Mendengar itu Cu Jiang terkesiap. "Aku seorang cacat
yang hina!" Orang tua jenggot putih itu tertawa gelak-gelak:
"Mengapa sahabat merendah diri. Lepaskanlah dia !"
"Apakah lotiang hendak memintakan ampun untuknya?"
"Bila sahabat suka memberi muka kepadaku, akan
kusuruh mereka segera mempersiapkan hidangan untuk
menghaturkan maaf."
"Ya, aku akan menghaturkan maaf!" teriak pemilik
rumah makan yang seperti ayam hendak disembelih.
Cu Jiang lepaskan cengkeramannya, bluk . . pemilik
rumah makan itu jatuh ke lantai dan merintih-rintih
kesakitan.
Setelah memandang beberapa jenak pada Cu Jiang,
orang tua jenggot putih itu mengangguk, katanya:
"Sahabat, maukah engkau menemani aku minum arak?"
Cu Jiang sudah mengetahui bahwa ia sedang berhadapan
dengan seorang tua yang bukan sembarangan. Serentak ia
mengangguk:
"Biarlah aku yang mengundang lotiang!"
Orang tua jenggot putih itu segera menarik tangan Cu
Jiang diajak masuk ke dalam. Dia memilih sebuah tempat
di ujung ruang yang sepi.
Setelah ditolong oleh jongos, pemilik rumah makanpun
berteriak-teriak:
"Lekas siapkan hidangan . . . menghaturkan maaf."
Dengan wajah cemberut, jongospun segera menyiapkan
hidangan. Tetamu2pun kembali ke tempat duduknya lagi.
Hanya pandang mereka senantiasa mencurah ke arah Cu
Jiang.
Setelah duduk, Cu Jiang segera bertanya nama orang tua
itu.
"Aku orang she Gong."
"Gong?"
"Ya Apakah engkau belum pernah mendengar she itu?"
"Baru pertama kali ini."
"Dan siapakah namamu?"
Cu Jiang teringat akan pesan Ko-tiong-jin agar jangan
membuka rahasia dirinya. Maka ia segera memberi
keterangan:
"Karena sejak kecil menderita nasib yang malang dan
terlunta lunta, she-ku sudah tak pernah kupakai lagi. Yang
hanya menyebutku sebagai Gok ji. "
"Gok-ji?" ulang orang tua berjenggot putih. Gok-ji
artinya Anak sengsara. "Ah, Gok-ji memang suatu nama
yang istimewa dan dalam sekali artinya."
Tergetar hati Cu Jiang mendengar kata2 orang tua itu. Ia
tahu bahwa orang tua itu tentu seorang yang aneh juga.
Saat itu jongos datang membawa hidangan makanan dan
arak. Kedua orang itupun segera makan.
Entah apa yang sedang dipikir orang tua itu. Diam2 Cu
Jiang merasa heran akan kemunculan orang tua itu yang
secara tiba2- Dia tak tahu siapa sebenarnya orang tua itu
dan apa tujuannya. Jika dia seorang musuh, baiklah ia
berhati-hati menghadapinya.
Takaran minum orang tua itu hebat benar. Setiap habis
dia tentu mengisi lagi cawannya dan terus diteguknya
sehingga poci arak yang dibawakan jongos itu habis isinya.
Diam2 Cu Jiang semakin waspada. Setelah meneguk
secawan, ia minta maaf dan mulai makan nasi. Tetapi
orang tua itu terus saja minum arak. Delapan poci yang
dibawa si jongos berturut-turut, telah diludaskan semua.
Sekalian tetamu leletkan lidah karena heran.
Setelah kenyang. Cu Jiang letakkan mangkuknya
demikian pula orang tua itu.
"Mari kita pergi!" kata orang tua itu.
Cu Jiang terbeliak, serunya: "Pergi? Ke mana? "
Rupanya dengan mengucapkan ajakannya tadi, orang
tua itu sudah berbangkit dan terus ngeloyor. Ia berpaling,
sahutnya:
"Pindah ke lain tempat!"
Cu Jiang makin tergetar hatinya. Dia belum tahu asal-
usul orang tua itu dan baru saja ia mengenalnya di rumah
makan situ.
Orang tua itu hanya menyebutkan orang she Gong,
tetapi tak mengatakan siapa namanya. Pada hal dalam
dunia ini, tak ada orang yang menggunakan she Gong.
"Aneh, mengapa dia mengajak aku pindah ke tempat
lain? Untuk apa? Bercakap-cakap? Apa yang
dipercakapkan? Aku tak kenal kepadanya, " diam2 Cu Jiang
membatin. Kemudian ia merangkai dugaan andaikata orang
tua itu tertarik perhatiannya kepada dirinya? Ah tak
mungkin. Dia membantah pikirannya sendiri. Masakan
pemuda berwajah seperti dirinya, dapat menarik perhatian
orang.
"Adakah dia bermaksud jahat?" pikirnya pula. Tetapi dia
membantah lagi, "Ah, tak mungkin. Bukankah dia sudah
berganti wajah? Tak mungkin orang akan mengenali bahwa
aku adalah pemuda Cu Jiang yang tampan dulu. "
Saat itu orang tua sudah tiba di ambang pintu. Akhirnya
timbullah pikiran Cu Jiang untuk mengetahui siapakah
orang tua itu dan apakah maksudnya mengajak dia.
Dia serentak berbangkit, mengambil sekeping hancuran
perak dan diletakkan di atas meja sebagai pembayarannya.
"Tidak usah, tuan. Majikan kami mengatakan memang
sengaja hendak menghidangkan makanan dan arak selaku
permohonan maaf kepada tuan, " jongos bergegas
menghampiri.
Cu Jiang deliki mata.
"Tak perlu ! "
Dia terus melangkah menyusul si orang tua. Keduanya
melangkah ke luar. Sepanjang jalan, setiap orang yang
melihat Cu Jiang tentu terkejut ngeri.
Sampai di sebuah tempat sepi di luar kota, Cu Jiang
hentikan langkah dan berseru:
"Apakah yang lotiang hendak katakan kepadaku?"
Orang tua itupun berhenti, berpaling dan tegak
berhadapan dengan Cu Jiang.
"Sahabat, apakah engkau benar bernama Gok ji?"
"Benar. Mengapa lotiang bertanya begitu?"
"Dengan tujuan apa sahabat merusakkan tubuhmu
sendiri?" tanya si orang tua.
"Aku .... tak mengerti."
"Pada jaman dahulu, Ong Cu telah mengutungi
lengannya sendiri kemudian pura2 menyerah pada bangsa
Kim. Tujuannya tak lain ialah hendak membebaskan Liok
Ban Liong, putera dari menteri negeri Kim yang setia tetapi
terkena fitnah. Ong Cupun menggunakan nama Gok-jin.
Apakah sahabat juga hendak mencontoh cerita itu ?"
Mendengar itu Cu Jiang tertawa gelak2.
"Sungguh kebetulan sekali. Itu hanya kebetulan saja
sama. Lotiang terlalu jauh membuat penilaian."
"Katakan hal itu memang secara kebetulan sama," kata
orang tua Itu dengan nada tegang, "tetapi kata2 sahabat itu
tidak sungguh2, mudah sekali diketahui. . ."
"Bagaimana lotiang mudah mengetahuinya?"
"Kesatu, pakaianmu dengan tindakan kata-katamu tidak
sepadan. Kedua, sinar matamu juga berkilat kilat tajam,
menandakan ada sesuatu yang terkandung dalam hatimu.
Ketiga, gerakan tanganmu tadi bukan main hebatnya. Bagi
orang yang ahli, jelas tentu mengetahui bahwa engkau tentu
memiliki ilmu silat yang hebat, Keempat, melihat tingkah
lakumu, jelas baru saja. Entah karena apa, tetapi yang jelas
bukan pembawaan sejak kecil. Dan tak mungkin sejak kecil
engkau diberi nama Gok-ji. Bagaimana pendapatmu,
salahkah penilaianku ini?"
Karena isi hatinya di buka, keringat dingin pun
bercucuran membasahi tubuh Cu Jiang. Tajam sekali
pandang mata orang tua itu sehingga sekali lihat dia sudah
dapat mengetahui tentang diri nya.
"Ah, kalau musuh juga dapat menilai begitu, tentu
sukarlah aku menyembunyikan diriku," diam-diam ia
mengeluh.
Seketika timbul keinginannya untuk mengetahui siapa
sesungguhnya orang tua itu.
"Kalau menurut pendapat lo-tiang sendiri, bagaimana?"
ia balas bertanya.
"Sahabat tentu berasal dari keluarga yang ternama dan
sahabatpun mempunyai bahan tulang yang bagus sekali.
Sebab apa sahabat menyembunyikan muka sahabat yang
sesungguhnya?" kata orang tua itu pula.
"Apakah aku boleh menyangkal pandangan lo-tiang?"
"Aku tak bermaksud menyelidiki urusan peribadi orang
Benar atau salah dugaanku tadi, bukan soal yang penting
bagiku."
"Tetapi lotiang memanggil aku kemari, tentu akan
memberi suatu petunjuk, bukan?"
"Tentu."
"Silahkan lotiang memberitahu."
"Aku hendak mencari seorang pewaris yang lain dari
yang lain . . ."
"Lotiang menjatuhkan pilihan padaku?"
"Benar."
Cu Jiang tertawa keras. "Mengapa lotiang memilih diriku
seorang yang cacat begini?"
"Aku tertarik sekali dengan bahan tulangmu!" Seketika
teringatlah Cu Jiang akan paderi Thian-hian-cu dan imam
Go-leng-cu yang juga ingin mengambil murid kepadanya
dengan alasan begitu juga.
"Apakah lotiang hendak menjadikan diriku seorang jago
yang mampu menandingi selaksa orang?"
"Ada kemungkinan begitu." Cu jiang terkejut. Jika
demikian tentu orang tua itu seorang yang sakti sekali.
"Sahabat, apakah engkau tak pernah mendengar bahwa
warna hijau itu berasal dari biru dan lebih tua dari biru . . ."
Memang dalam hati Cu Jiang sudah memutuskan untuk
mencari jalan melaksanakan pembalasan dendam
keluarganya. Sudah tentu tidak begitu mudah dia terpikat
oleh kata2 dari seorang yang belum dikenalnya. Serentak ia
memberi hormat dan berkata:
"Ai, aku tak berharga buat lotiang. Terima kasih sekali
atas perhatian lotiang!"
Seketika berobah cahaya wajah orang tua itu, serunya:
"Janganlah sahabat melewatkan kesempatan yang jarang
terdapat ini."
Tanpa ragu Cu Jiang menjawab: "Seorang cacat seperti
diriku, bagaimana berani memiliki harapan besar.
Maafkanlah apabila aku tak dapat memenuhi harapan
lotiang."
Habis berkata ia segera melangkah pergi. Orang tua itu
mengejarnya. "Apakah sahabat menganggap aku membual?
Ingin bukti ?"
Makin orang itu penasaran, makin Cu Jiang ingin lekas2
menghindarkan diri.
"Ah, tak usah," katanya menjawab pertanyaan orang tua
yang hendak mengunjukkan bukti.
Orang tua itu menghela napas dan berkata seorang diri:
"Bahan yang bagus memang sukar diperoleh. Tak
berjodoh memang menjengkelkan."
Namun walaupun mendengar, Cu Jiang tetap lanjutkan
langkah. Dia sudah mempunyai ketetapan takkan
mengunjukkan jejak dirinya agar jangan diketahui musuh.
Diam2 ia geli terhadap orang tua itu. Ia heran mengapa
banyak sekali orang yang ingin mengangkatnya sebagai
murid.
Kalau dulu dia memang mungkin tertarik. Tetapi
sekarang, cita2nya tak banyak lagi. Dia sudah putus asa,
sudah dapat melakukan pembalasan kepada musuhnya.
Ooood=woooO
Jilid 4
Balas dendam!.
Ya, memang mudah di ucapkan tetapi melakukannya
sukar bukan kepalang. Siapa musuhnya itu, pun dia tak
tahu. Maka dia gentayangan ke mana2 tanpa suatu tujuan
yang tertentu.
Sekarang wajahnya hanya menimbulkan rasa seram dan
ejekan orang tetapi tidak menarik perhatian mereka.
Setelah mendengar nasihat orang tua tadi, diapun harus
menyesuaikan diri, sebagai orang biasa, orang desa yang
sesuai dengan keadaannya saat itu. Dengan demikian tentu
dapat menghapus kecurigaan orang.
Tengah dia berjalan. Beberapa kuda hitam
mencongklang pesat dari sampingnya. Penunggangnya
mengenakan pakaian hitam, mukanya di tutup kain
kerudung dan pakai mantel warna hitam.
"Pengawal hitam" diam2 Cu Jiang berteriak dalam hati.
Cepat ia kerahkan tenaga dan lari mengejar.
Tetapi karena kaki kirinya cacat, beberapa saat
kemudian, ia sudah kehilangan jejak mereka. Terpaksa ia
hentikan pengejarannya.
Tetapi baru ia berhenti dari arah belakang terdengar
lengking tertawa.
Cu Jiang cepat berputar tubuh. Ah.... seperti disambar
kilat, mulutnya segera menganga hendak berteriak tetapi
tiba2 ia mengatupkannya lagi. Suara yang hendak
diluncurkannya ditelannya kembali.
Dari belakang tampak dua orang penunggang kuda.
Yang satu, seorang puteri keraton yang cantik gilang
gemilang. Dan yang satu seorang dayang cantik dalam
pakaian warna biru.
Kedua dara dan bujang itu tak lain adalah kedua gadis
yang telah menolong dirinya dari ancaman kelak kelompok
Pengawal Hitam yang bernama Mata-sakti Ong Tiong Ki.
Ki Ing demikian nama menurut pengakuan puteri jelita
itu telah memberinya pending (giok-pwe) kumala hijau tua.
Benda itu masih dipakaianya.
Kini dia merasa malu sendiri. Yang lalu biarlah lalu. Dia
berusaha untuk menekan perasaan hatinya, walaupun
hatinya seperti disayat-sayat.
"Nona, cobalah lihat wajahnya itu . ." tiba2 Siau Hui
dikejutkan suara bujang dara berseru. Ki Ing tak
menanggapi kata2 bujangnya, tetapi memandang kearah Cu
Jiang.
"Apakah engkau tadi mengejar rombongan itu?"
tegurnya.
Cu Jiang masih tertegun, terlongong-longong dalam
kerisauan hatinya. Ia tak menjawab apa2.
"Hai, nona aku bertanya kepadamu !" teriak Siau Hui.
Cu Jiang gelagapan dan berpaling. "O.. .. bertanya
kepadaku?" katanya tersendat-sendat.
Puteri cantik itu tertawa lalu mengulang pertanyaannya
tadi:
"Apakah engkau mengejar rombongan penunggang kuda
yang tadi ?"
"Mengejar .... ah, tidak mengejar siapa-siapa," kembali
Cu Jiang menyahut dengan nada tergetar.
"Bukankah engkau hendak mengejar rombongan
penunggang kuda yang tadi?" masih puteri cantik itu
menegas.
Hati Cu Jiang seperti disayat sembilu. Ia lantas
menjawab dengan kata2 yang tolol:
"Ah. aku ... hanya iseng saja !"
"Apakah engkau pernah belajar silat ?"
"Heh, heh ... hanya belajar beberapa hari saja."
"Engkau tahu siapa rombongan penunggang tadi !"
"Tidak.... tidak tahu. Hanya tampaknya garang sekali."
"Tolol! Lain kali engkau harus hati2, jangan sampai
kehilangan jiwa tanpa mengetahui apa2."
Dampratan "tolol" itu. bagaikan duri yang menusuk ulu
hati Cu Jiang. Tetapi dia harus belajar sabar. Ia tidak marah
melainkan tertawa dan miringkan kepala.
"Apakah sekedar iseng2 mengejar saja, bila kehilangan
jiwa ?"
"Kuberitahu kepadamu, engkau juga tak mengerti.
Cukup ingat sajalah. Lain kali kalau bertemu dengan
rombongan Pengawal Hitam yang berkuda, engkau lebih
baik menyingkir saja."
Dalam berkata itu bau tubuh si jelita bertebaran
dihembus angin. Nadanya bagai burung kenari, berkicau.
Diluar kesadaran, Cu Jiang memandang wajah si jelita yang
pernah menghadiahkan pending kumala kepadanya.
Dari kata-katanya itu, ia dapat mengetahui akan
kehalusan budi jelita itu. Tetapi oh, nasib . .. . dia merasa
tak layak lagi menerima budi kebaikan jelita itu.
Cu Jiang terlongong-longong. Pikirannya melayang-
layang
Rupanya bujang Siau Hui tak sabar, serunya.
"Nona, mari kita balik saja."
"Balik ?"
"Disekitar tempat ini telah kita jelajahi semua, tetapi
jejaknya tidak dapat kita ketemukan ..."
Jejaknya? Siapakah yang dimaksud dengan dia itu ?
Kembali hati Cu Jiang seperti tersayat-sayat...
"Aku harus menemukan dia !" seru si jelita.
"Ah, Janganlah nona terlalu merindukan dia."
"Tutup mulutmu!" bentak si Jelita," dia tentu juga belum
meninggalkan tempat ini. . ."
"Apakah tidak terlalu berbahaya nona menghadiahinya
pending kumala itu? Apabila loya tahu."
"Tutup mulutmu ?" kembali si jelita membentaknya lagi.
Saat itu hati Cu Jiang seperti ditusuk ujung pedang. Jelas
yang hendak dicari si jelita itu bukan lain adalah dirinya.
Oh, apakah dia masih sesuai menjadi pasangan jelita itu
?
Tidak ! Tidak ! Seribu kali tidak ! Dia menyadari bahwa
saat itu dia bukanlah Cu Jiang beberapa hari yang lalu. Kini
dia seorang manusia yang cacad.
Ah, betapa perasaan Jelita itu apabila tahu bahwa
pemuda yang hendak dicarinya itu ternyata kini adalah si
muka buruk yang tengah bicara dengannya. Tidakkah hati
jelita itu hancur berantakan . . . .
Ah, tidak! Dia harus menderita segala kehancuran hati
itu. Janganlah gadis jelita itu ikut menderita. Biarlah dalam
hati jelita itu tetap bersemayam suatu kenangan yang indah.
Cu Jiang merasa bahwa dia harus lekas pergi. Sesaat
lebih lama berhadapan dengan puteri jelita itu, sesaat lebih
lama lagi kehancuran hatinya. Mungkin dia akan gila.
Maka dengan kuatkan hati, tanpa berkata sepatahpun
juga, dia terus ayunkan langkah. Dia tak berani lagi
berpaling memandang jelita itu. Juga tak sepatahpun kata
selamat tinggal, dia tak berani mengucapkan.
"Nona, orang itu sungguh tak tahu aturan sekali . . ."
Siau Hui melengking.
"Ah, orang desa apalagi cacat," jawab si jelita," jangan
engkau salahkan dia. Aku lebih merasa kasihan kepadanya
daripada menyesali dia tak tahu aturan!"
Mendengar itu hati Cu Jiang bercucuran darah . . .
Terdengar kuda kedua gadis itu mulai berderap, makin
lama makin jauh...
Cu Jiang jatuhkan diri diaduk di tepi jalan. Dia bagaikan
seorang yang baru sembuh dari penyakit berat. Kini hanya
rasa pedih yang mencengkram hatinya. Dia bagaikan
seorang yang terlempar ke dalam lautan penderitaan. Makin
lama makin tenggelam dan tenggelam . . .
Lama sekali dia berjuang dalam laut penderitaan itu.
Sampai pada suata saat dapatlah ia tegak lagi.
"Cu Jiang, ah, Cu Jiang! Beban hidupmu masih berat
dengan tugas dendam berdarah. Kini engkaupun telah
cacat. Mengapa engkau masih tenggelam dalam lamunan
asmara? Hapuslah segala perasaan asmara itu.
Kuburlah apa yang engkau pernah rasakan terhadap
jelita itu. Hanya dengan bersikap secara jantan itu, barulah
engkau dapat menyelesaikan beban hidupmu yang maha
berat itu!" katanya seorang diri.
Serentak dia melonjak bangun. Kini dia seolah terlepas
dari himpitan beban yang berat. Sambil tundukkan kepala,
ia melanjutkan langkahnya dengan kakinya yang pincang,
Kini dia hendak menuju ke Kui-ciu lagi.
Dia tetap hendak menyembunyikan dirinya agar jangan
sampai menarik perhatian orang. Maka diapun berjalan
biasa tak mau gunakan ilmu berlari cepat.
Maka sampai matahari condong ke barat, dia masih
belum mencapai kota Kui-ciu walau pun sudah tampak di
depan mata.
Tak berapa lama awanpun mulai mengabur gelap disusul
dengan suara kilat sambar menyambar dan tak lama
kemudian hujan mulai mencurah.
Karena tiada tempat tujuan yang tertentu dan tak
terburu-buru mencapai suatu tempat maka Ciu Jiangpun tak
tergesa-gesa. Karena hujan terus tiada hentinya, dia segera
cari tempat meneduh. Memandang ke sekeliling penjuru ia
melihat segerumbul hutan pohon siong. Dia duga tentu
merupakan perumahan orang atau mungkin sebuah kuil.
Karena tiada orang, dia segera menggunakan ilmu lari
cepat menuju ke arah hutan pohon siong itu.
Tiba di tengah hutan dia sudah basah kuyup. Walaupun
tak sampai kedinginn tetapi juga tak enak rasanya.
Memandang ke muka ternyata memang di situ terdapat
sebuah biara. Ia girang dan terus lari menuju ke pintu biara.
Biara itu sunyi senyap, tiada orang dan tiada asap
pedupaan. Suasananya agak menyeramkan. Cu Jiangpun
melangkah masuk.
Tiba-tiba ia melihat sesosok bayangan berkelebat di
lorong serambi. Ketika memandang dengan lebih seksama
ternyata sosok tubuh itu bergelantungan di atas tiang
penglari, kedua kakinya terangkat di atas lantai.
Cu Jiang terkejut sekali. Jelas orang itu tentu bunuh diri.
Segera ia lari menghampiri.
Uh ... ia menjerit tertahan ketika hampir tergelincir jatuh.
Ternyata kakinya telah menginjak kubangan darah yang
masih basah memenuhi lantai, Ketika memandang ke arah
orang yang mati gantung diri itu, ia menjerit kaget.
"Hai..."
Korban itu bertubuh tinggi besar dan mengenakan jubah
warna hijau. Lehernya terjirat seutas tali yang tergantung
pada tiang penglari. Sebuah cempuling besi menancap dada
tembus sampai ke punggungnya. Cempuling itu masih
mengucurkan darah merah . . .
"Hakim Hijau!" teriak Cu Jiang ketika mengenali korban
itu sebagai Hakim Hijau dari Gedung Hitam yang berilmu
tinggi.
Thian-hian-cu, salah seorang tokoh dari Bu-lim Sam-cu
atau tiga-tokoh dunia persilatan yang termasyhur, pun tak
mampu mengalahkan Hakim Hijau itu.
Siapakah yang mampu membunuh dan
menggantungnya?
Siapakah yang berani membunuh seorang tokoh
terkemuka dari Gedung Hitam itu?
Menilik noda darah yang masih belum kering, jelas
pembunuhan itu belum lama terjadinya.
Sekonyong-konyong dari arah pintu biara terdengar
suara ringkikan kuda. Cu Jiang terkejut. Pada lain saat
terdengar suara orang bicara. Dan beberapa sosok tubuh
segera lari masuk kedalam ruang biara.
Walaupun suasana gelap tapi Cu Jiang dapat melihat
bahwa orang2 yang tengah lari menyerbu kedalam biara itu
sama mengenakan mantel hitam.
"Ah, Pengawal Hitam," serunya dalam hati.
"hm,rupanya aku beruntung dapat bertemu dengan
mereka!"
Cepat ia mendapat pikiran. Serentak ia melesat kedalam
ruang dan bersembunyi dibelakang cekungan tempat
patung.
Dia tak takut berhadapan dengan kawanan Pengawal
Hitam itu dari Gedung Hitam itu. Tetapi demi
melangsungkan rencananya, dia tak boleh bertindak secara
gegabah.
Dia memang belum tahu pasti apakah orang Gedung
Hitam itu yang membunuh kedua orang tua dan kedua
adiknya. Tetapi ia tahu jelas bahwa mereka memang
bernafsu sekali hendak menangkap dirinya.
Empat orang Pengawal Hitam segera menerjang masuk
ke dalam ruang sembahyang.
"Hai . . . hai . . . . ! " mereka berempat menjerit kaget
sekali ketika melihat mayat Hakim Hijau yang
bergelantungan pada tiang penglari. Mereka tersurut
mundur dengan wajah pucat seperti melihat hantu.
Tempat Cu Jiang bersembunyi tepat menghadap ke
ruang sembahyangan maka dia dapat melihat jelas apa yang
terjadi di ruang itu.
Menyusul masuklah dua orang Pengawal Hitam dengan
mengempit seorang pemuda yang berlumuran darah. Di
belakangnya mengikut seorang lelaki tinggi besar yang
mengenakan jubah putih, wajahnya berbentuk bundar dan
putih seperti kertas.
"Hai, mengapa ribut2 itu ! " bentak orang berjubah putih
itu.
Salah seorang dari keempat Pengawal Hitam yang kaget
dicekik setan tadi segera berseru dengan terbata-bata:
"Hatur hormat kepada Hu-hwat, Liok . . . Liok Hu-hwat
...."
"Liok hu hwat bagaimana?"
"Dibunuh orang!"
"Apa?" orang berjubah putih itu memekik kaget. Entah
dengan gerakan apa, tahu2 dia sudah melesat di serambi
ruang besar.
Cu Jiang menduga-duga. Menilik pakaiannya yang
istimewa, hampir serupa dengan pakaian Hakim Hijau
hanya warnanya yang berbeda, kemudian sebutannya juga
hu-hwat (pelindung hukum), Cu Jiang menduga orang itu
tentulah Pek poan-koan atau Hakim Putih.
Siapa nama Hakim Hijau, tiada seorang anak buah
Gedung Hitam yang tahu. Demikian pula dengan Hakim
Putih itu. Yang diketahui mereka hanya menyebut
jabatannya. Jika yang berjubah hijau disebut Hakim Hijau
maka yang berjubah putih itupun dipanggil Hakim Putih.
Melihat keadaan Hakim Hijau seketika Hakim Putih
menjerit-jerit aneh. Wajahnya pucat lesi, mata mendelik
seperti orang dicekik setan.
"Bagaimana peristiwa itu?" serunya.
"Ketika hamba beramai ramai masuk, Hek-poan-koan
sudah dalam keadaan begitu." sahut salah seorang
Pengawal Hitam.
Kedua Pengawal Hitam yang mengepit seorang pemuda
itu, ketika masuk ke dalam ruang juga tertegun.
Bum....
Tiba2 Hakim Putih menggentakkan kakinya ke lantai.
Seketika ruang itu berguncang keras. Debu campur guguran
tembok berhamburan rontok.
Diam2 Cu Jiang bercekat dalam hati. Rupa2nya Hakim
Putih itu lebih sakti dari Hakim Hijau.
"Turunkan!" perintahnya.
"Baik," seru anak buahnya. Dua orang Pengawal Hitam
segera maju. Yang seorang memeluk tubuh Hakim Hijau
dan yang seorang mencabut pedang lalu melonjak menabas
tali. Mayat Hakim Hijau dibaringkan dilantai.
Hakim Putih segera memeriksanya.
"Pembunuhan ini baru terjadi setengah jam yang lalu.
Lekas sebar orang dan tangkaplah setiap orang yang
mencurigakan dalam daerah sekeliling lima puluh li !"
"Baik " seorang Pengawal Hitam segera lari keluar.
Memandang mayat Hakim Hijau itu, tubuh Hakim Putih
gemetar keras sampai gerahamnya bergemeretukan.
"Hm, ternyata ada orang yang berani terang-terangan
bermusuhan dengan Gedung Hitam!" geramnya.
Dari celah2 tempat persembunyiannya, Cu Jiang dapat
mengintai jelas bahwa pemuda yang dibawa oleh kedua
Pengawal Hitam tadi, tubuhnya mandi darah dan wajahnya
menyeramkan.
Jelas sebelumnya dia tentu melakukan pertempuran
hebat melawan orang2 Gedung Hitam. Menilik wajahnya,
dia baru berumur dua puluhan tahun.
Memandang ketiga Pengawal Hitam, orang berjubah
putih atau Hakim Putih memberi perintah:
"Siapkan semua keperluan dan bawalah jenasah pulang
!"
Ketiga Pengawal Hitam itu mengiakan lalu memberi
hormat dan mengundurkan diri.
Saat itu hujanpun sudah berhenti. Ruang itu kini
bertabur kabut malam. Hakim Putih melangkah masuk,
berdiri membelakangi arca lalu berseru nyaring:
"Bawa masuk !"
Pemuda itu segera digusur kedalam.
Dalam pada itu hati Cu Jiang kebat kebit tak keruan.
Jika saja dirinya sampai diketahui Hakim Putih itu, tentulah
akan menghadapi bahaya besar. Dia tak kenal siapa
pemuda itu dan apa sebabnya sampai diringkus orang
Gedung Hitam.
Sambil menatap pemuda itu, berserulah Hakim Putih
dengan nada seram:
"Budak, dengarkan. Engkau tulis sepucuk surat untuk
orang tua keras kepala itu. Suruh dia dalam waktu sepuluh
hari harus menyerahkan kitab Sin-hong pit kiok untuk
menukar dengan jiwamu ..."
"Tidak !" seru pemuda itu dengan keras.
"Engkau kepingin mati ?"
"Seorang lelaki berani hidup mengapa harus takut mati?"
seru pemuda itu dengan gagah.
"Heh, heh, heh," Hakim Putih tertawa mengekeh,
"sungguh mempunyai pambek yang perwira. Tetapi apabila
engkau mati, bukankah si tua keras kepala itu akan mati
dengan mata terbuka . . ."
"Tutup mulutmu!"
"Baiklah," kata Hakim Putih, "sekarang aku hendak
pinjam sebuah lenganmu untuk barang bukti. Apabila si tua
keras kepala itu tetap tak mau menyerahkan kitab, tiap tiga
hari sekali, dia akan menerima kiriman sepotong anggauta
badanmu. Dan yang terakhir batok kepalamu!"
Dengan mata berkilat2 memancar api kemarahan,
berserulah pemuda itu:
"Hakim Putih, iblis durjana, engkau tentu akan
membayar apa yang engkau lakukan!"
Mendengar itu Cu Jiang makin membenarkan
dugaannya bahwa orang yang berjubah putih Itu adalah
pek-poan-koan atau Hakim Putih.
"Aku tak pernah menarik kembali kata2ku," seru Hakim
Putih, "lekas potong lengan kirinya!" Salah seorang
Pengawal Hitam serentak mencabut pedang. Tetapi pemuda
itu tak takut.
Dengan mengernyut geraham ia memandang Pengawal
Hitam itu dengan berapi2. Sikapnya benar2 menunjukkan
seorang ksatrya yang tak gentar menghadapi maut.
"Sekali lagi aku hendak bertanya," seru Hakim Putih,
"maukah engkau menulis surat itu?"
"Huh, apa engkau kira ayahku mau menyerahkan buku
itu?" dengus si pemuda.
"Apakah sebuah kitab lebih berharga dari putera
tunggalnya?"
"Seumur hidup ayah tak pernah tunduk kepada orang."
sahut si pemuda.
"Tetapi hal ini tentu lain ..."
"Ayahku tentu akan menuntut balas!"
"Justeru kebenaran sekali kalau dia mau ke luar dari
sarangnya. Mudah untuk di urus!" sambut Hakim Putih.
"Coba sajalah!"
"Potong lengannya." teriak Hakim Patih. Pengawal
Hitam yang sudah siap dengan pedang itupun segera
mengangkat senjatanya ....
Cu Jiang terpukau tak tahu apa yang harus di lakukan, Ia
menyadari kalau dirinya bukan tandingan Hakim Putih itu.
Jika ia nekad keluar, bukan saja tak dapat menyelamatkan
pemuda itu pun bahkan dia sendiripun tentu celaka.
Pada hal dia harus hidup demi melaksanakan tugasnya.
Karena tegang, tanpa disadari dia telah menimbulkan suara.
Hakim Putih cepat memberi isyarat supaya Pengawal
Hitam yang menabas dulu. Kemudian dia berseru bengis:
"Hai. siapa itu, hayo lekas keluar !" Cu Jiang terkejut
sekali. Tetapi karena jejaknya sudah ketahuan dia harus
unjuk diri saja. Maka dengan mengertak gigi dia segera
merangkak keluar dari lubang tempat arca.
"Budak jorok, mengapa engkau disitu?" setelah terkejut
melihat wajah Cu Jiang yang buruk, Hakim Putih segera
menegur.
"Aku .... meneduh disini," sahut Cu Jiang dengan
membawa sikap seperti orang tolol.
"Meneduh ?"
"Ya."
"Siapa yang membunuh korban diluar ruang itu ?"
"Tak .... tak tahu !"
Mata Hakim Putih berkilat-kilat memandang Cu Jiang.
Rupanya dia meneliti. Tetapi dia mendapat kesan bahwa
Cu Jiang itu tak lain seorang anak desa yang cacat tubuh
dan muka.
"Engkau melihat apa saja selama disini ?"
"Tidak tidak melihat apa2 kecuali, tubuh yang
bergelantungan itu."
"Ho, karena ketemu aku, engkaupun harus menyerahkan
jiwamu. Bereskan dia dulu !"
Mendengar itu Pengawal Hitam tadi segera lepaskan
lengan si pemuda lalu menyelinap maju membacok Cu
Jiang.
Cu Jiang terkejut dan terus menghindar ke samping.
Walaupun karena kakinya cacat gerakannya agak kaku
tetapi tetap tak dapat mengelabuhi mata Hakim Putih
bahwa pemuda itu mengerti ilmu silat.
Pengawal Hitampun melongo karena tak menyangka
bahwa tabasannya luput. Seketika merahlah mukanya.
Pada saat ia hendak menyerang lagi tiba2 Hakim Putih
sudah mendahului bertindak menyambar pergelangan
tangan Cu Jiang.
Sedemikian cepat sekali gerakan Hakim Putih itu
sehingga Cu Jiang tak sempat berbuat apa2 lagi.
"Budak, engkau pandai benar menyelubungi dirimu.
Lekas beritahu siapa engkau yang sebenarnya!" dengus
Hakim Putih.
Cu Jiang tahu bahwa saat itu dirinya seperti ikan yang
berada dalam jaring. Jika tak menggunakan akal, tentu ia
mati.
Tiba2 Ia teringat akan pending kumala pemberian si
jelita. Kata jelita itu, pada saat menghadapi bahaya supaya
mengeluarkan pending itu, tentu dapat menolong.
Teringat hal itu seketika timbullah pikiran Cu Jiang.
"Lepaskan !" bentaknya dengan garang.
Hakim Putih tertawa mengekeh.
"Heh, heh, engkau bermimpi !"
"Aku hendak memperlihatkan sebuah benda kepada
anda."
"Benda apa ?"
"Lepaskan dulu tanganku."
"Huh, masakan takut engkau mampu terbang ke langit."
Hakim Putih segera lepaskan cekalannya.
Cu Jiangpun segera merogoh giok-pwe atau pending
kumala yang tersimpan dalam bajunya. Kemudian
disongsongkan kemuka Hakim Putih seraya berseru:
"Apakah anda kenal akan benda ini ?"
"Piagam Hitam !" tiba2 salah seorang dari Pengawal
Hitam itu memekik kaget. Wajahnya pun pucat seketika.
Ketegangan hati Cu Jiang agak menurun. Ia tak tahu apa
Piagam Hitam itu tetapi yang Jelas rasanya tentu akan
membawa perobahan.
Sejenak Hakim Patih terlongong kesima memandang
benda di tangan Cu Jiang itu. Ia menyambutnya,
memeriksa sebentar lalu mengembalikan lagi kepada Cu
Jiang.
"Dari mana engkau memperoleh benda itu ?"
Nyali Cu Jiang makin besar.
"Tak perlu anda bertanya soal itu," sahutnya dengan
hambar.
"Silahkan engkau mau kemana," akhirnya Hakim Putih
menyerah.
Seorang iblis durjana yang ganas, seorang hu-hwat atau
Pelindung hukum dari Gedung Hitam, ternyata tunduk
pada sebuah pending kumala.
Cu Jiang benar2 tak menduga sama sekali. Dia makin
heran akan diri si dara jelita Ki Ing.
Pemuda tadi juga menyaksikan peristiwa itu. Dia
memandang wajah Cu Jiang dengan ngeri. Jika Cu Jiang
juga orang Gedung Hitam, bukankah akan lebih ganas lagi.
Tiba2 Cu Jiang menuding kearah pemuda itu dan
berseru:
"Lepaskan dia !"
Pemuda itu terkejut bukan kepalang. Ia terlongong-
longong memandang Cu Jiang.
"Apa katamu ?" Hakim Putih deliki mata. "Kukatakan,
bebaskan dia !"
"Lepaskan dia ?"
"Ya, benar!"
"Atas dasar apa?"
"Piagam Hitam ini !" sahut Cu Jiang.
Mata Hakim Putih berkilat-kilat penuh kecemasan
memandang wajah Cu Jiang.
"Hal itu tak dapat kulaksanakan!" akhirnya dia berseru.
Sudah terlanjur maju, Cu Jiang pantang mundur lagi. Ia
segera mendesak:
"Apakah engkau berani membantah amanat Piagam
Hitam?" serunya dengan garang.
Seketika wajah Hakim Patih pucat lesi.
"Apakah yang dipertuan dari Piagam Hitam yang
menyuruh engkau melakukan hal itu ?" serunya. Nadanya
sudah jauh berkurang bengisnya.
Sesungguhnya Cu Jiang tak mau menjual nama si jelita
untuk membereskan persoalan disitu. Tetapi bagaimana
lagi. dia tak dapat melihat pemuda itu akan mati disiksa
oleh kawanan Pengawal Hitam. Apabila pihak Gedung
Hitam berhasil mendapatkan buku Sin-hong-pit-kiok dari
ayah pemuda itu, jelas tentu akan mempersukar langkah Cu
Jiang untuk melakukan pembalasan.
"Ya, benar !" akhirnya ia menyahut tegas.
Dia tahu bahwa dengan menjawab begitu dia telah
melibatkan diri si Jelita Ki Ing. Walaupun pending kumala
itu si jelita yang memberinya tetapi belum tentu Jelita itulah
pemiliknya.
"Apakah semua akibat pemilik Piagam Hitam itu yang
menanggung jawab ?" seru Hakim Putih.
Cu Jiang ibarat naik dipunggung harimau.
Jika turun, dia tentu akan diterkam. Lebih baik dia naik
terus, kemungkinan akan terjadi perobahan yang tak
terduga-duga.
"Sudah tentu!" sahutnya tanpa ragu2 lagi. Se-olah2 dia
sudah mendapat kuasa penuh dari pemilik Piagam Hitam
untuk memberi jawaban begitu.
"Bagaimana engkau tahu kalau aku dan rombongan akan
tiba di biara ini?" tanya Hakim Putih pula.
"Hanya secara kebetulan saja. Tetapi dengan mengambil
jalan ini akhirnya tentu akan berjumpa juga, benar tidak?"
"Dimana tuan dari Piagam Hitam saat ini?" tanya Hakim
Putih pula.
"Berada seratus li dari tempat ini!"
Sambil gentakkan kakinya ke tanah, Hakim Putih cepat
berseru memberi perintah: "Lepaskan dia!"
Dua orang Pengawal Hitam segera membebaskan
pemuda itu. Pemuda itu agak terhuyung2. Dia hendak
membuka mulut tetapi Cu Jiang cepat mendahului maju,
menyambar tangan pemuda itu dan diajaknya pergi:
"Hayo, kita jalan!"
Kedua pemuda itu segera melangkah keluar dan
menyusup dalam kegelapan.
Hujan sudah reda dan awanpun lenyap. Bintang-bintang
mulai bermunculan.
Tak berapa lama Cu Jiang dan pemuda itu tiba di jalan
besar. Sambil memberi hormat, pemuda itu berkata:
"Terima kasih atas budi pertolongan saudara! "
Sambil memandang ke sekeliling, Cu Jiang menjawab:
"Ah, tak usah banyak peradatan."
"Tak cukup hanya menghaturkan terima kasih tetapi
budi saudara itu akan kuukir dalam hatiku selama-lamanya
..."
"Tak usah. "
"Tolong tanya, siapakah tuan dari Piagam Hitam itu?"
"Soal ini . . . maaf, aku tak dapat memberi tahu."
"Mengapa saudara menolong aku?"
"Anggap saja sebagai suatu hal yang kebetulan. "
"Mohon tanya siapakah nama mulia dari " saudara? "
"Sebaiknya lekas saja engkau melanjutkan perjalanan
"Ah, harap saudara suka memberitahu "
"Ah, perlu apa soal nama. Cukup ingat saja masakan
damai dunia persilatan terdapat manusia yang begini buruk
wajahnya seperti aku!"
Pemuda itu diam beberapa saat.
"Baiklah, " akhirnya dia berkata, "mudah2an lain kali
kita dapat berjumpa lagi . . . namaku Bun Cong Beng."
"Saudara Bun, lekaslah engkau melanjutkan
perjalananmu, " kata Cu Jiang dengan tawar.
Bun Cong Beng tak tahu bagaimana isi hati orang yang
cacad dan buruk muka itu. Terpaksa ia menghaturkan
hormat untuk meminta diri.
Sambil memandang bayangan pemuda itu lenyap dalam
kegelapan, Cu Jiang menghela napas panjang.
"Untung . . . , " katanya. Ia tak menyangka bahwa giok-
pwe atau pending kumala itu ternyata dapat
menyelamatkan dua buah jiwa.
Dia juga meneruskan perjalanan. Tiba di kota Kwiciu,
hari sudah malam. Jalan2 sudah tak banyak orang. Lampu
menyala di setiap rumah dan pintu kotapun sudah tutup.
Pikir Cu Jiang memang hendak mencari rumah
penginapan dalam kota. Tetapi mengingat hari sudah
semalam itu dan lagi wajahnya yang buruk tentu
menimbulkan kemuakan orang maka ia putuskan lebih baik
tidur di luar kota saja.
Sambil berjalan di sepanjang jalan, dia melihat-lihat
keadaan kota saat itu. Rumah2 penginapan banyak yang
sudah tutup, demikian dengan rumah-rumah makan dan
kedai2.
Memang rumah penginapan dan losmen di kota kecil itu
hanya sebagai pondokan dari pedagang-pedagang yang
malam hari singgah dan pagi2 sudah berangkat lagi.
Keadaannya kurang bersih.
Tengah Co Jiang enak2 berjalan, tiba2 sesosok tubuh
tinggi besar tampak berjalan menghampiri ke arahnya.
Tampaknya pelahan saja dia mengayunkan langkah tetapi
ternyata jalannya cepat sekali. Dalam beberapa kejab saja
sudah tiba di muka Cu Jiang.
Dari penerangan lampu jalan, dapatlah Cu Jiang melihat
wajah orang itu. Dan hampir saja dia menjerit kaget. Wajah
orang itu pucat seperti mayat, tubuhnya kurus kering, hanya
seperti tulang terbungkus kulit. Pakaiannya jubah warna
biru.
Tiba2 orang aneh itu berhenti dan memandang Cu Jiang.
Cu Jiang merasa sebal, buru2 dia berputar tubuh terus
hendak berjalan.
"Berhenti!" tiba2 orang itu berseru dan tahu2 sudah
menghadang di depannya.
"Mau apa?" bentak Cu Jiang.
Masih orang tinggi aneh itu mengawasi Cu Jiang seperti
seorang nyonya tengah meneliti calon menantu
perempuannya. Kemudian tertawa gelak2.
"Bagus, tulangnya hebat, wajahnya juga luar biasa!"
Mendengar itu mau tak mau Cu Jiang meringis. Tetapi
melihat sikap orang tinggi itu, tampaknya sangat serius,
bukan seperti orang yang berolok-olok. Diam2 Cu Jiang
heran.
Melihat sikapnya, Cu Jiang mendapat kesan bahwa
orang tinggi itu tentu bukan manusia baik. Tetapi menilik
sinar matanya yang begitu tajam, jelas orang itu tentu
memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.
"Hai, inilah yang dibilang rejeki." orang tinggi itu berkata
seorang diri, "mungkin memang peruntunganku besar."
Cu Jiang tak mengerti apa yang diucapkan orang itu. Dia
berseru:
"Apa maksudmu ?"
Orang aneh itu tertawa gelak2:
"Melihat aku tak ketakutan, nyalimu memang hebat
sekali. Tentulah engkau juga punya simpanan kepandaian."
Habis berkata dia terus menerkam.
Sudah tentu Cu Jiang terkejut sekali. Terkaman orang
aneh itu tak memberi kesempatan dia untuk menghindar
lagi. Belum sempat ia mencari akal tahu2 tangannya sudah
dicengkeram orang tinggi itu. Arus hawa lunak segera
memancar dari ujung kuku jari orang itu.
Pada lain saat Cu Jiang rasakan tubuhnya lemas tak
bertenaga lagi, Ia hendak bicara tetapi mulut hanya
menganga saja tak dapat bersuara. Dalam keadaan seperti
itu tiada lain daya kecuali hanya pasrah nasib saja.
"Apa maksud orang aneh ini ? Mengapa dia mencelakai
diriku ?" pikirnya. Diam2 ia harus mengakui kebenaran dari
kata orang bahwa dunia persilatan itu penuh dengan hal2
yang aneh, berbahaya.
Tiba2 orang aneh itu mengangkat tubuhnya lalu
dipanggul diatas bahu terus dibawa lari secepat terbang. Tak
berapa lama tibalah dia disebuah bangunan gedung besar.
Cu Jiang sempat memperhatikan bahwa bangunan itu
merupakan sebuah gedung yang sudah kosong dan tak
terurus, halamannya penuh dengan rumput dan sarang
gelagasi.
Orang aneh itu bersuit keras lalu melambung keatas,
melayang turun ke dalam gedung dengan gerakan yang
seperti orang terbang.
Pada lain kejap tampak sebuah ruang besar yang terang
benderang. Sesosok2 tubuh manusia berhilir mudik tetapi
tak terdengar suara apa2.
Bum....
Cu Jiang dibanting di tanah sehingga tulangnya seperti
patah, mata bekunang. Tetapi karena menderita tutukan
yang aneh, dia tak dapat bersuara merintih apa2.
Orang aneh itu menendangnya dan terbukalah jalan
darahnya yang tertutuk itu.
Cu Jiang terus berdiri. Begitu memandang ke sekeliling,
semangatnya serasa terbang dan bulu romanya meregang
berdiri semua, keringat dingin membanjir keluar.
Di atas lantai rebah empat sosok mayat yang sudah rusak
dan menyiarkan bau amat busuk. Di kedua samping, berdiri
enam orang aneh yang wajahnya menyeramkan. Setiap
orang aneh itu masing-2 menyeret seorang pemuda yang
berumur sekitar dua puluhan tahun. Menilik dandanannya,
keenam pemuda itu berasal dan keturunan yang berbeda-
beda. Hanya suatu ciri yang sama yalah mereka rata2
berwajah cakap.
Keenam pemuda itu pucat lesi. Tubuhnya menggigil
keras.
Di tengah ruang duduk seorang tua berjubah hitam,
wajahnya berwibawa tetapi dahinya memancarkan cahaya
yang menyeramkan.
Sesaat orang tua itu membuka suara, nadanya seperti
bukan suara manusia hidup.
"Lo-jit, engkau yang datang terakhir ?" Orang aneh yang
membawa Cu Jiang tadi segera menyahut:
"Hampir saja tak dapat menyerahkan apa-apa."
"Engkau membawa mahluk aneh semacam itu?"
"Lo toa, budak ini mempunyai bahan tulang yang luar
biasa. Wajahnya? lo-toa, apakah tidak memenuhi syarat ?"
sahut orang aneh yang membawa Cu Jiang itu.
Mata orang tua berjubah hitam itu memandang Cu Jiang
sehingga Cu Jiang sampai menggigil. Sinar mata orang
berjubah hitam itu benar2 luar biasa tajamnya sehingga
terasa seperti menembus ke ulu hati.
"Ho, ho," orang tua Jubah hitam itu mengangguk2
seraya memuji.
Cu Jiang benar2 tak tahu apa yang dihadapi itu.
Orang tua jubah hitam berpaling kearah kedua samping
dan berseru:
"Tidak pakai semua !"
Serentak keenam orang aneh itu menghantam keenam
pemuda tawanannya. Terdengar jeritan ngeri ketika tubuh
keenam pemuda itu hancur lebur.
Melihat perbuatan yang sekeji itu hampir dada Cu Jiang
meledak. Sepasang matanya seperti akan memancarkan
darah.
Baru pertama sepanjang hidupnya ia melihat perbuatan
yang sekejam itu. Kiranya mayat2 yang berhamburan di
lantai itu tentulah juga mengalami nasib serupa dengan ke
enam pemuda itu.
"Iblis keparat!" tanpa sadar, Cu Jiang berteriak memaki.
Sepasang mata orang tua jubah hitam itu mendelik
seperti mau menelan orang. Tiba2 dia tertawa gelak2:
"Benar2 bernyali besar. Lo-jit, pilihanmu tepat sekali.
Bahan macam itu baru layak menjadi pewaris kita
bersama!"
Mendengar itu barulah Cu Jiang tahu. Ternyata
kawanan manusia aneh itu sedang mencari calon murid
yang akan dijadikan ahli waris mereka. Hanya caranya
memang kejam sekali. Kasihan sekali ke enam pemuda itu.
Mereka harus mati tanpa dosa.
Setelah beberapa saat memandang Cu Jiang, orang tua
jubah Imam itu berkata pula:
"Datanglah ke hadapanku sini!"
Cu Jiang menyadari bahwa dirinya saat itu berada dalam
genggaman orang2 jahat yang buas. Tak mungkin dia dapat
lolos. Maka dengan kuatkan hati dia segera maju ke
hadapan orang tua berjubah hitam.
"Oh, orang cacat!" ke enam manusia aneh itu serempak
berteriak
Orang tua jubah hitam tertawa aneh:
"Lebih baik. Ciri itu dapat mewakili ciri khas kita!"
Habis berkata ia ulurkan tangan dan menjamah tubuh
Cu Jiang. Tiba2 dia tertawa girang sekali.
Setelah berhenti tertawa, orang tua jubah hitam itu
berpaling memandang kepada ke enam orang aneh yang
berada di samping kanan dan kiri.
"Saudara2, kita harus cepat melaksanakan rencana kita.
Kamu berenam, yang dua menuju ke markas Bu-tong-pay,
yang dua ke vihara Siauw-lim dan yang dua ke perguruan
Thay-kek-bun. Sekarang juga berangkatlah. Paling lama
sebulan harus sudah kembali lagi ke sini."
Ke enam orang aneh itu mengangguk lalu berbondong2
pergi.
Kemudian orang tua jubah hitam itu berpaling kepada
Cu Jiang, serunya:
"Budak, peruntunganmu besar!"
"Peruntungan apa?" Cu Jiang menggeram.
"Kami bertujuh akan menggemblengmu menjadi jago
nomor satu di dunia!"
"Ah, sukar melaksanakan."
"Apa? Engkau tak suka?"
"Tak perlu kupikir lagi!"
"Ho, masakan engkau boleh semaumu sendiri? Lo-jit . . "
Orang aneh yang membawa Cu Jiang tadi segara
menyahut:
"Apakah toako hendak memberi pesan?"
"Kukembalikan dia supaya engkau harus.... Tetapi
jangan sampai terjadi apa2."
"Takkan meleset," seru orang aneh seraya terus menutuk
tubuh Cu Jiang, seketika Cu Jiang rasakan tenaganya
lenyap bahkan berdiri saja tak kuat.
"Hm, kalian buang tenaga percuma saja!" serunya geram.
"Jangan ngaco belo!" orang aneh itu menyambar tubuh
Cu Jiang terus dibawa lari ke dalam. Setelah melalui
halaman yang tak terawat, mereka tiba di sebuah kamar
yang hanya di terangi oleh sinar cuaca dari celah2 jendela.
Di situ seperti terdapat tempat tidur dan selimut.
"Untuk sementara waktu, engkau boleh pinjam tempat
kediamanku di sini!"
Bum .... Cu Jiang di lempar ke atas pembaringan,
kemudian orang aneh itu keluar lagi dan menutup pintunya.
Sambil tidur terlentang memandang ke atas, Cu Jiang
tertawa hambar terhadap peristiwa2 aneh yang di alaminya
selama ini.
"Bagaimana aku dapat lolos dari cengkeraman iblis itu?"
Cu Jiang mulai menimang2.
Dia turun dari pembaringan tetapi tenaganya masih
lemas sekali Namun dia paksakan diri juga walaupun
langkahnya masih sempoyongan sehingga dia jatuh ke
pembaringan lagi. Dia menghela napas putus asa.
"Ah, untuk lolos dari tempat ini rasanya lebih tukar dari
naik ke langit. Siapakah manusia2 aneh itu?" pikirnya.
Tiba2 ia teringat akan pelajaran yang diberikan ayahnya
tentang ilmu membebaskan diri dari tutukan.
Segera ia duduk di pembaringan dan mulai menyalurkan
pernapasan. Tetapi astaga. Ternyata sama sekali dia tak
mampu melakukan pernapasan lagi. Jelas ilmu tutuk dari
manusia aneh itu memang bukan olah2 hebatnya.
Harapannyapun bagai awan tertiup angin.
Akhirnya ia memutuskan lebih baik tidur di pembaringan
saja. Pikirannyapun mulai melayang. Memang untuk
melakukan pembalasan, harus menempuh dengan cara apa
saja. Seperti keadaannya saat itu. Jelas dia sudah tak
berdaya. Jika ia tetap berkeras kepala, tentulah tak mungkin
dapat melaksanakan pembalasan dendamnya itu.
Ah, lebih baik menurut saja bagaimana kehendak
manusia2 aneh itu. bahkan ia akan memanfaatkan ilmu
kesaktian yang diterimanya dari mereka untuk kelak
melaksanakan rencananya.
Jelas kawanan manusia aneh itu memiliki ilmu kesaktian
yang hebat. Jika dia berhasil menyerap kepandaian mereka,
bukankah ia akan menjadi seorang tokoh yang hebat.
Dengan begitu masakan dia tak mampu menuntut balas.
Tetapi diapun masih ingat. Bahwa sejak dulu sampai
sekarang, perbuatan Jahat dan Baik itu takkan tegak
berjajar. Dia sebagai putera seorang jago pedang yang
termasyhur, apabila sampai ikut pada aliran Hitam,
tentulah arwah kedua orang tuanya takkan meram di alam
baka.
Dia menduga lebih lanjut. Bahwa tindakan kawanan
manusia aneh itu tentu mempunyai tujuan tertentu. Dia
mau menerima pelajaran ilmu silat dari mereka atau tidak,
tentu tetap akan dikuasai mereka.
"Piagam Hitam!"
Tiba2 ia teringat akan benda itu. Serentak semangatnya
bangkit kembali. Piagam Hitam itu mempunyai pengaruh
besar sekali atas anak buah Gedung Hitam. Apakah piagam
itu juga dapat memberi pengaruh kepada kawanan manusia
aneh itu supaya tunduk? Ah, mungkin saja.
Pikirannya seraya longgar dan tak lama kemudian ia
jatuh pulas.
Ketika bangun, sinar matahari sudah menerobos masuk
dari jendela. Di atas meja terdapat beberapa makanan
bakpao daging sapi. Juga disediakan minuman teh.
Pikir Cu Jiang, makan dulu baru nanti cari pikiran lagi.
Ia segera duduk di pinggir pembaringan dan mulai makan.
Hampir setengah jam lamanya ia makan. Setelah itu ia
segera meronta turun dari pembaringan. Tetapi ia tak
mampu membuka pintu. Apa boleh buat, terpaksa dia harus
buang hajat ditempat itu. Seumur hidup baru pertama kali
itu ia mengalami hal yang seperti itu.
Kembali ia duduk diatas pembaringan. Tiba-tiba orang
aneh tadi membuka pintu dan masuk, memandang
kepadanya dan tertawa menyeringai:
"Budak, seleramu makan hebat juga !"
Walaupun bernada tertawa, tetapi sikapnya tertawa itu
membuat orang gemetar.
Cu Jiang segera mengeluarkan pending kumala lalu
disongsongkan:
"Apakah engkau kenal benda ini ?"
Manusia aneh itu menyambuti lalu memeriksanya dan
terus dikembalikan pada Cu Jiang lagi.
"Barang mainan perempuan dan cewek2. Hm, apakah
pikiranmu sudah limbung ?" serunya.
Cu Jiang seperti diguyur air dingin. Ternyata pending
kumala yang begitu ditaati oleh anak-buah Gedung Hitam,
sedikitpun tak mempunyai pengaruh apa2 kepada manusia
aneh itu.
"Budak, sabarkanlah hatimu. Engkau akan tinggal disini
sebulan lamanya. Sesudah itu dunia ini milikmu. Hai,
mengapa engkau berak disini ? Baiklah, pintunya tak
kututup. Kalau mau buang air, engkau boleh keluar."
"Hm..." Cu Jiang mendesus sebagai penyaluran.
Orang aneh itu keluar dan kembali Cu Jiang rebah di
pembaringan. Kini dia merasa sudah tiada harapan untuk
lolos lagi. Karena itu diapun tak perlu tergesa-gesa mengejar
waktu.
Malam tiba. Orang aneh itu muncul membawa
makanan. Tanpa berkata apa2, dia terus keluar lagi. Cu
Jiangpun tak mau banyak pikir. Kalau di suruh makan
diapun makan. Dia memang tak mau mati kelaparan. Dia
harus hidup terus sampai rencananya selesai.
Memang yang menjadi cita2 hidupnya, tak lain hanya
menuntut balas dendam kematian ayah-bunda dan kedua
adiknya. Hanya itu. Dia tak mengandung cita2 lain lagi.
Habis makan, dia duduk lagi di dekat jendela.
Memandang keluar jendela, bintangpun sudah rebah ke
barat. Malam sudah larut.
Tiba2 ia mendengar suara kelinting yang tajam. Suara
kelinting sebenarnya biasa saja, tetapi di tempat dan
suasana seperti itu mau tak mau Cu Jiang merasa aneh
juga.
Bermula Cu Jiang merasa meragukan telinganya. Tetapi
setelah mendengarkan dengan seksama memang ia
mendengar suara kelinting itu kedengaran seperti dari jauh
tetapi dekat sekali. Sebentar dari arah barat tetapi sebentar
lagi dari arah timur.
Yang membuatnya heran ialah suara kelinting itu
terdengar nyaring sampai menusuk telinga. Dan juga
berirama mengalunkan kerawanan musim rontok dan
gemercik air mencurah dari gunung.
Tanpa disadari, Cu Jiang terpikat perhatiannya.
Akhirnya ia terbenam dalam alunan suara kelinting itu.
Beberapa saat kemudian ia rasakan hatinya terang.
Seolah seperti suatu tenaga aneh yang bertebaran dalam
hatinya. Pelahan-lahan dia mulai turun dari pembaringan,
melangkah ke luar, menuju ke arah suara kelinting itu.
Setelah melintasi halaman, dia berhadapan dengan pintu.
Dia merasa tubuhnya melayang ke atas dan melampaui
pintu itu dan tiba2 suara kelintingpun lenyap. Tahu2 ia
dapatkan dirinya berada di luar halaman.
Apakah aku bermimpi? Tanyanya dalam hati. Ia
menggigit jari tangannya. Ah, masih sakit. Jelas dia tak
bermimpi, ia memandang ke sekeliling penjuru. Dalam
kegelapan malam, sayup2 dia melihat sebuah hutan.
Apakah artinya itu? Apakah ada orang sakti yang
membantunya? Ah, tak mungkin.
Buru2 dia salurkan pernapasan. Ah, ternyata darahnya
telah lancar. Uratnya yang tertutukpun sudah bebas.
Tenaganya kini pulih lagi.
Dia terlongong-longong heran.
Beberapa waktu kemudian baru dia berkata: "Orang sakti
siapakah yang menolong aku ini?"
Tiada penyahutan apa2. Sunyi senyap di sekeliling
tempat itu.
Se konyong2 dia mendengar suara bentakan yang
nadanya seperti tak asing lagi:
"Bagus. Kim Leng hujin, ternyata engkau masih hidup!"
Cu Jiang tahu bahwa suara itu adalah suara orang tua
berjubah hitam. Tetapi siapakah yang di sebut Kim Leng
hujin atau nyonya Kelinting Emas itu?
Mengapa suara kelinting itu dapat membebaskan jalan
darahnya yang telah tertutuk oleh manusia aneh? Apakah
Kim Leng hujin itu memang sengaja datang hendak
menolongnya?
Tiba2 terdengar suara si manusia aneh yang menawan
Cu Jiang itu:
"Mengapa nyonya hendak memusuhi kami bersaudara
lagi?
Terdengar suara seorang wanita tua menyahut:
"Tian Heng, akupun tak menyangka bahwa kalian
bangsa yang suka menghindar dari kesukaran, ternyata juga
masih hidup!"
"Kim Leng hujin, jangan melukai perasaan orang!"
Kim Leng hujin tertawa gelak2.
"Ha ha, sebenarnya apa yang kukatakan itu hanyalah hal
yang wajar."
Kini Cu Jiang tahu bahwa orang tua jubah hitam yang
menjadi pimpinan dari kawanan manusia itu, bernama Tian
Heng.
"Tak perlu adu lidah tajam. Apakah maksud
kedatanganmu ini?" seru Tian Heng pula.
"Aku sedang mencari orang?"
"Mencari orang? Siapa?"
Tergerak hati Cu Jiang. Ia segera pasang perhatian.
"Putera dari Lau Toa Hu di Seng-tou."
"Ha, ha, sungguh heran. Kim Leng hujin yang tak dapat
didekati orang, ternyata menjadi..."
"Tutup mulutmu!" bentak Kim Leng hujin, "anak itu
adalah cucu keponakanku jauh."
"Oh, makanya. Tetapi mengapa engkau mencari
kemari?"
"Kudengar kalian telah menangkap seorang pemuda
yang berbakat bagus!"
Saat itu baru Cu Jiang tahu bahwa wanita yang disebut
sebagai Kim Leng hujin itu ternyata hendak mencari
cucunya, bukan hendak menolong dia.
Memang peristiwa dalam dunia ini sering kali terjadi
secara kebetulan yang tak terduga-duga. Kim Leng hujin
mencari cucunya dan membunyikan kelinting dan dialah
yang menerima manfaatnya, jalan darahnya yang tertotok
telah terbuka.
Iapun teringat akan sepuluhan anak muda yang menjadi
korban pembunuhan kawanan manusia aneh kemarin itu.
Kemungkinan salah seorang tentulah putera dari Lau Toa
Hu dari kota Seng-tou itu.
"Di sini tak ada orang itu!" tiba2 Tian Heng pemimpin
kawanan manusia aneh berseru.
"Benar tidak ada?" Kim Leng hujin menegas.
"Masakan bohong."
"Tian Heng, kalau kelak aku dapat membongkar
peristiwa itu?"
"Aku menurut saja apa keputusanmu."
"Baik," katanya.
Karena merasa bahwa pembicaraan kedua orang itu
tiada sangkut pautnya dengan dirinya, Cu Jiang segera
mengambil keputusan untuk melarikan diri. Dia tak berani
mengambil jalan besar. Juga tak mau kembali ke kota Kui-
ciu.
Ia tahu kawanan manusia aneh itu tentu tak mau
melepaskan dirinya begitu saja. Mereka tentu akan tetap
mencarinya kemanapun saja.
Maka dia tak mendengarkan lagi pembicaraan mereka
dan terus lari masuk ke dalam hutan belantara. Menjelang
terang tanah, dia sudah mencapai berpuluh2 li jauhnya.
Andaikata dia tak cacat, mungkin sudah mencapai ratusan
li.
Saat itu dia berada di perbatasan Hin-san.
Di sebelah timur adalah deretan pegunungan Keng-san.
Dia segera mengambil jalan besar. Setelah berhenti di
sebelah kedai, ia melanjutkan perjalanan lagi.
Tetapi kemanakah dia harus pergi? Ah, dia tak punya
tujuan tertentu.
Tak berapa lama ia mendengar bunyi kelinting kaki kuda
berlari. Buru2 dia tundukkan kepala dan menyingkir ke tepi
jalan. Tetapi kuda itupun berhenti juga di sebelahnya.
Sudah tentu Cu Jiang tak enak hati.
"Nona, itulah dia!" tiba2 terdengar suara seorang gadis.
Longgarlah perasaan hati Cu Jiang tetapi saat itu juga
dia tegang sekali. Itulah suara dari Siao Hui bujang dari si
jelita Ki Ing.
Cu Jiang teringat bahwa dia pernah menggunakan
Piagam Hitam atas nama jelita itu. Tak tahu ia bagaimana
nanti akan memberi pertanggungan jawab kepada nona
jelita itu.
Pada saat itu nona cantik yang berada diatas kuda,
berpaling ke arah Cu Jiang. Ah, siapa lagi kalau bukan si
jelita Ki Ing.
Jelita itu hentikan kudanya dan menegur:
"Benarkah engkau mempunyai pending dari kumala
hijau?"
Cu Jiang terkejut dan menyahut dengan gelagapan:
"Benar, nona... tetapi bagaimana nona tahu hal itu?"
"Hai, kiranya engkau pandai berpura-pura. Hampir tak
dapat mengenali engkau."
"Apa kata nona ?" Cu Jiang tegang sekali.
"Dari mana engkau memperoleh giok-pwe itu ?"
Cu Jiang sudah mendapat akal. Dengan wajah serius ia
menjawab:
"Bukankah nama nona ini nona Ki Ing ?"
"Bagaimana engkau tahu ?" balas si jelita.
"Panjang juga kalau diceritakan ..."
"Panjang atau pendek harus engkau ceritakan!"
"Sungguh nona," kata Cu Jiang, "apabila nona tak
bertanya, hampir saja aku lupa."
"Ceritakan yang jelas."
"Cerita itu harus mulai dari awal..."
"Lekas!"
"Aku seorang desa. Kadang aku berburu ke hutan.
Belum lama ini ketika berada di gunung Thian san aku telah
berjumpa dengan seorang kong cu yang tampan . . ."
Ki Ing serentak loncat turun dari kudanya dan berseru
tegang:
"Seorang pemuda berbaju putih?"
"Benar, nona," Cu Jiang mengangguk.
"Teruskan..."
"Tetapi kongcu itu telah menderita kecelakaan yang tak
terduga...."
Seketika berobah cahaya wajah jelita itu dan serentak ia
berseru dengan nada gemetar: "Menderita kecelakaan
bagaimana?"
"Menderita luka parah sekali !"
"Luka parah ?"
"Ya."
"Lalu ?"
Cu Jiang segera mengambil pending kumala dari dalam
bajunya dan berkata:
"Dia minta tolong kepadaku untuk menyerahkan
kembali kumala ini kepada nona. Dan dia bilang ...."
Air mata si jelita mulai berlinang-linang hendak menetes.
"Bilang apa?" serunya nada beriba-iba.
Hati Cu Jiang seperti disayat-sayat rasanya. Namun
kuatkan perasaannya.
"Kongcu itu mengatakan," katanya, "dia kuatir takkan
dapat hidup lebih lama di dunia. Benda itu tak boleh
sampai jatuh ke lain orang, jika Thian masih memberi umur
panjang kepadanya, belum tentu dapat berjumpa lagi
dengan nona. Namun kalau memang ditakdirkan sampai
disitu saja hidupnya maka cinta kasih nona itu pasti akan
dibawanya ke akhirat dia bersumpah, kelak pada penitisan
yang akan datang, tentu akan melaksanakan tali asmara
dengan nona."
Jelita Ki Ing tak tahan lagi untuk membendung air
matanya yang berderai-derai menumpah ke tanah. Dengan
suara sedih dia berseru:
Tidak... dia takkan mati... dia takkan..."
Bujang Siau Huipun mengucurkan airmata. Buru2 ia
mengusapnya dengan ujung baju.
Menghadapi keadaan seperti itu, hampir saja Cu Jiang
pingsan. Jelas sudah betapa besar dan suci kasih si jelita itu
tertumpah kepadanya. Betapa ingin saat itu dia memeluk si
jelita dan mengatakan: Ing, kekasihku, engkau tak tahu
betapa besar cintaku kepadamu...."
Tetapi ah, nasib. Kini dia telah berobah menjadi seorang
pemuda yang buruk wajah. Tidakkah si Jelita itu akan
hancur hatinya apabila mengetahui keadaan dirinya saat
itu?
"Tidak ! Biarlah aku yang menderita sendiri!"
"Tidak ! Bukan nasib, tetapi manusia gila itu yang
membuat diriku begini sengsara. Tuhan tidak menakdirkan
aku harus berwajah begini buruk. Ke dua orang tuaku pun
melahirkan aku dengan wajah yang cakap.
Hanya manusia jahanam itu yang telah merusak
wajahku. Merekalah yang harus ku balas. Mereka harus
mengalami penderitaan yang lebih hebat dari diriku."
Setelah terjadi pergolakan dalam hatinnya, dapatlah Cu
Jiang menemukan letak dirinya. Dia huras kuatkan hati.
Dia harus hidup. Dia membuang kesamping segala
penderitaan dalam asmara. Dia masih mempunyai tugas
besar untuk menghimpas dendam berdarah dari keluarga
dan dirinya sendiri.
Kini dia telah menyerahkan kembali pending kemala itu
kepada pemiliknya. Berarti dia telah menyelesaikan salah
satu dari sekian rencananya.
"Lalu apa katanya lagi ?" tiba2 Jelita itu bertanya.
"Tidak ada lagi."
"Bagaimana engkau tahu akan kegunaan giok pwe ini ?"
tanya si Jelita pula.
"Kongcu itu yang memberitahu kepadaku. Dia kuatir
aku tak berhasil menyampaikan benda itu kepada nona."
Ki Ing menyambuti pending kumala pengikat asmara itu
Air matanya bercucuran....
"Nona." kata Siau Hui dengan lemah lembut, "orang
baik tentu akan dilindungi Tuhan. Jangan nona kelewat
bersedih sehingga dapat mengganggu kesehatan nona."
Ki Ing memandang tajam2 kepada Cu Jiang serunya:
"Engkau menggunakan pending ini untuk menolong
seseorang ?"
"Ya."
"Apa hubungannya orang itu dengan dirimu ?"
"Tak ada hubungan apa2, hanya karena belas kasihan
saja."
"Engkau sungguh bernyali besar...."
"Mengapa ?"
"Engkau tahu siapa yang menangkap orang itu ?"
"Menurut kata2 yang kudengar, mereka adalah dari
Gedung Hitam..."
"O, engkau mengacau sekali. Sudah cukup kalau engkau
tunjukkan benda ini untuk menolong jiwa orang, tetapi
mengapa engkau masih mendesak mereka supaya
melepaskan orang itu."
Diam2 Cu Jiang merasa bahwa perbuatannya itu
memang keterlaluan. Tetapi karena hal itu sudah terlanjur
dan ia merasa bahwa sebagai seorang pemuda yang berjiwa
kesatria harus berani bertindak menentang kelaliman, maka
diapun harus berani mempertanggung jawabkan.
Untung sekarang wajahnya telah tertutup dengan bekas2
noda hitam sehingga orang sukar untuk mengenalinya lagi.
Beberapa saat kemudian ia meminta maaf:
"Mohon nona suka memberi maaf."
"Hm, sudahlah, karena sudah terlanjur, tak perlu
diungkit lagi."
"Sungguh tak kusangka.... bahwa giok-pwe yang begitu
kecil ternyata mempunyai daya perbawa yang begitu hebat.
Mohon tanya, apakah nona pemilik dari giok-pwe itu ?"
"Soal ini.... tak perlu engkau tanyakan. Apakah kongcu
itu mengatakan namanya kepadamu ?"
"Tidak."
"Dimana dia mendapat luka?"
"Di tengah gunung Bu-leng-san, kira2 perjalanan sehari
dari Li jwan."
"Siapa yang melukainya ?"
"Kongcu tak mengatakan."
"Apakah engkau tak berusaha untuk memberi
pertolongan kepadanya ?"
Cu Jiang membuat gerakan tangan seperti orang yang
putus asa.
"Kongcu itu aneh dan keras wataknya. Setelah
menyerahkan giok-pwe ini dia terus suruh aku lekas pergi.
Katanya, musuh masih berkeliaran disekeliling tempat itu.
Dan katanya, lukanya itu luka dalam, tak sembarang tabib
dapat mengobati."
Walaupun terpaksa harus merangkai kata2 kosong, tetapi
dapatlah alasan2 itu diterima akal. Dan dibawakan dengan
cepat dan lancar, mau tak mau Ki Ing percaya juga.
Sekalipun begitu perasaan Cu Jiang seperti di iris dengan
pisau. Dia terpaksa harus berbohong demi menjaga agar
nona itu jangan sampai hancur hatinya.
Ki Ing menghela napas rawan.
"Siapakah namamu?" tiba2 ia bertanya.
"Ah, aku tak memakai nama lagi. Orang2 memanggil
aku si Gok-jin-ji."
"Gok-jin-ji?"
"Ya."
Gok-jin-ji artinya Anak sengsara. "Apakah karena
khusus hendak mengantarkan benda ini lalu engkau turun
gunung?"
"Boleh di kata begitu."
"Kalau begitu, silahkan engkau kembali ke gunung lagi."
Cu Jiang gelengkan kepada, "Tidak, aku takkan pulang
ke gunung lagi."
Ki Ing kerutkan alis. "Kenapa?"
"Aku sudah sebatang kara dan hidup sengsara. Tak
punya sanak keluarga tak punya tempat tinggal dan masih
cacat begini. Sering aku menerima hinaan dan cemoohan
orang. Maka aku hendak mengembara saja untuk cari
sesuap nasi."
"Ah, kurasa tak perlu," kata Ki Ing, "antarkanlah aku ke
tempat engkau bertemu dengan kongcu tempo hari. Setelah
itu selesai kucarikan tempat untukmu menetap dengan
tenang."
"Ah, terima kasih atas kebaikan nona," sahut Cu Jiang.
"O, kalau begitu, bagaimana kalau kuberimu uang untuk
modal berdagang saja ?"
"Terima kasih, kongcu sudah memberi tak sedikit uang
kepadaku."
"Apakah engkau tak mau menunjukkan jalan ?"
"Bukan tak mau, nona. Tetapi aku sudah bersumpah
takkan kembali ke gunung lagi."
"Kalau kuwajibkan engkau menunjukkan jalan ?"
"Sekalipun nona membunuh aku, aku tetap tak mau
melanggar sumpahku."
Seketika wajah si Jelita Ki Ing berobah. Tetapi pada saat
itu terdengar gemuruh derap kaki kuda berlari. Pada lain
kejap tampak empat ekor kuda mencongklang tiba.
Ternyata mereka empat orang Pengawal Hitam.
Melihat mereka seketika meluaplah kemarahan Cu
Jiang.
Ketika melalui tempat Cu Jiang bertiga dua orang
Pengawal Hitam agak melambatkan kudanya, kemudian
memacunya lagi kencang2. Mereka seolah tak
menghiraukan ketiga anak muda itu.
Cu Jiang merasa heran. Apakah kawanan Pengawal
Hitam itu jeri akan Piagam Hitam? Sesaat Cu Jiang merasa
makin heran akan diri si jelita Ki Ing yang tak diketahui
riwayatnya itu.
"Apakah nona itu..." Tiba2 timbul pikirannya untuk
menyelidiki, katanya.
"Dunia persilatan mengatakan bahwa kawanan
Pengawal Hitam itu suka malang melintang mengunjuk
keganasan. Tetapi rasanya kenyataannya lain."
"Kenapa ?" Ki Ing bertanya dengan dingin.
"Tidakkah nona tadi menyaksikan sikap kedua Pengawal
Hitam yang memandang kita dengan pandang meremehkan
?"
"Mungkin kita tak salah apa2."
"Tetapi kurasa tidak..."
"Lalu ?"
"Karena mempunyai hubungan dengan nona."
"Dengan aku? Hubungan apa?"
"Karena nona sebagai pemilik Piagam Hitam, mereka
tak berani..."
"Engkau keliru." kata Ki Ing tetapi terus tak mau
melanjutkan kata-katanya.
Cu Jiang melanjutkan usahanya untuk menyelidiki.
"Adakah tiada seorangpun dalam dunia persilatan yang
tahu jelas akan keadaan Gedung Hitam ?"
Ki Ing menatap sejenak pada Cu Jiang lalu menyahut
dingin.
"Mungkin."
"Apakah nona juga tak tahu ?"
"Ai, benar2 sangat rahasia sekali..."
"Bagaimana, engkau mau menunjukkan jalan atau tidak
?"
Cu Jiang tundukkan kepala lalu menyahut: "Aku tak
mau melanggar sumpahku sendiri, mohon nona sudi
memaafkan."
"Baik, mengingat engkau telah melakukan
permintaannya dengan baik untuk memberikan giok-pwe
ini kepadaku, akupun tak mau menyusahkanmu !" habis
berkata si jelita terus loncat keatas kuda dan mengajak Siau
Hui pergi.
Ooo0dw0ooO

Jilid 5
Cu Jiang terlongong-longong memandang bayangan si
jelita itu Hanya dengan kekerasan hatinya untuk menuntut
balas dan mengingat wajahnya yang rusak, baru dia dapat
menindas nyala api asmaranya.
Tetapi dia tak mungkin dapat melupakan cinta kasih
asmara dari dara jelita. Walaupun pada kehidupannya yang
sekarang tak mungkin dia dapat bersanding dengan jelita itu
tetapi kelak dalam penitisannya yang akan datang ia
bersumpah akan memenuhi janji terhadap jelita itu.
Bayangan Ki Ing lenyap dan lenyap pula percik asmara
yang membara dalam hatinya. Kini perasaan hatinya
hampa, sehampa cakrawala yang luas.
"Bagus, budak! Engkau berani menolak rejeki besar? Ho,
masakan engkau mampu terbang ke langit?"
Tiba2 terdengar suara orang berseru dan seketika
terbanglah semangat Cu Jiang. Cepat ia berputar tubuh. Ah,
siapa lagi kalau bukan si manusia aneh yang berwajah
seperti mayat itu.
"Jika lo-toa tidak memilih engkau, saat ini tentu
kuhancur leburkan tubuhmu!" seru manusia aneh itu.
Nadanya yang seram, meregangkan bulu roma.
Cu Jiang tahu bahwa sia2 saja untuk meloloskan diri.
Melawanpun juga percuma. Maka ia bersikap tenang dan
menyahut:
"Hendak engkau apakan diriku ?"
"Kubawa pulang!"
"Itu tergantung aku suka atau tidak."
"Ha, ha, ha." manusia aneh itu tertawa gelak2, "budak,
engkau bermimpi disiang hari. Masakan engkau bebas
berbuat sesuka hatimu."
"Kalau aku melawan sampai mati. . ."
"Matipun sukar bagimu. Kalau memang kami
menghendaki jiwamu, tak mungkin engkau dapat lari,
sekalipun engkau mau bersembunyi ke liang semut !"
"Apakah di dunia ini terdapat cara mengambil murid
dengan paksaan?"
"Kami memang lain dari yang lain."
"Paling tidak, kalian harus memberitahu kepadaku siapa
sebenarnya kalian ini."
"Apabila sudah tiba waktunya, tentu. Sekarang Jangan
banyak bicara yang tak berguna."
Cu Jiang tertawa hambar. Ia tertawa mengejek nasibnya
yang buruk.
"Hayo, berangkat!" tiba2 manusia aneh itu membentak.
Tetapi pada saat itu juga terdengar suara kelinting
menusuk telinga. Asalnya dari tengah hutan yang tak jauh
dari tepi jalan.
Cu Jiang tergerak hatinya. Ia tahu bahwa yang datang itu
tentulah Kim Leng hujin.
Manusia aneh keliarkan pandang ke sekeliling lalu
menggeram marah:
"Hai, nenek itu memang sengaja membentur kita
bersaudara."
Cepat ia berputar tubuh terus menyambar Cu Jiang tetapi
pada saat itu juga terdengar suara orang melengking:
"Ong Sip Bo. engkau hendak lari?" menyusul sesosok
bayangan berkelebat menghadang Jalan. Manusia aneh
terpaksa berhenti.
Cu Jiang mengangkat muka dan melihat seorang wanita
tua tegak dua tombak disebelah muka. Wajahnya dingin
sekali. Cu Jiang segera menduga wanita tua itu tentulah
Kim Leng hujin.
Kim Leng hujin menyebut itu dengan nama Ong Sip Bo.
Mungkin namanya memang begitu.
"Hujin hendak memberi petunjuk apa kepadaku?" seru
Ong Sip Bo si manusia aneh.
Kim Leng hujin berseru dingin:
"Ong Sip Bo, apakah engkau hendak melakukan
perbuatan yang melanggar peraturan Thian? Dari mana
engkau menangkap anak itu?"
"Dia bakal menjadi pewaris kami bersama."
"Pewaris dari kalian bersama?"
"Benar."
"Setan yang mengatakan begitu!" karena marah Cu Jiang
berteriak.
Manusia aneh marah. Ia keraskan kepitannya sehingga
Cu Jiang meringis kesakitan karena tulangnya seperti patah.
"Lepaskan anak itu!" tiba2 Kim Leng hujin berseru.
"Kenapa?"
"Tak boleh merusak tunas dunia persilatan!"
"Kalau aku tak mau?"
"Engkau Ong Sip bo, belum layak untuk mengucap kata2
tidak di hadapanku."
"Apakah hujin benar-2 bermaksud hendak memusuhi
kami bersaudara?"
"Urusan di antara kita masih belum selesai.
"Aku akan menyelidiki di mana putera dari Lan Tay Hu
itu sampai ketemu. Apabila kalian yang mencelakainya,
kalian harus mengganti kerugian."
"Ya, tak usah membicarakan hal itu. Yang sekarang
saja."
"Sekarang kusuruh engkau lepaskan dia!"
"Tidak bisa."
"Coba katakan sekali lagi!"
"Mau turun tangan?"
"Jika perlu."
"Kim Leng hujin, ketahuilah. Kami bersaudara selama
ini tak pernah tunduk pada siapa saja. . ."
"Aku tak peduli."
"Jangan kira aku hanya seorang diri . . ."
"Lepaskan dia!" seru Kim Leng hujin dengan tegas dan
keras seraya mengangkat tangan kanannya ke dada. Pada
lengannya tampak sebuah kelinting emas sebesar cawan
arak. Warnanya kuning emas.
Ong Sip Bo menyurut mundur selangkah.
"Hujin, setiap dendam, kami bersaudara pasti akan
membalasnya!" serunya dengan suara getar-getar seram.
Kim Leng hujin tertawa dingin.
"Itu urusan besok. Sekarang engkau lepaskan anak itu."
"Kalau aku tak meluluskan?"
"Tanganku ini akan memberi jawaban!"
"Baik, jangan kira aku Ong Sip Bo takut kepadamu."
Terdengar suara orang tertahan. Tubuh Cu Jiang
terlempar sampai empat tombak jauhnya dan terbanting di
tanah. Sebelum melemparkan, lebih dulu Ong Sip Bo sudah
menutuk jalan darahnya.
Kim Leng hujin memandang ke arah Cu Jiang. Ia
kerutkan alis. Mungkin saat itu baru dia mengetahui betapa
buruk wajah Cu Jiang.
Cu Jiang mempunyai kesan baik kepada wanita itu. Ia
merasa berterima kasih. Memang kemarin tak sengaja
wanita tua itu dalam mencari cucunya, tanpa sengaja telah
menolong dirinya. Tetapi sekarang mungkin lain lagi
artinya.
Tanpa berkata apa2, Ong Sip Bo terus menerkam Kim
Leng hujin. Karena merasa kepandaiannya kalah dengan
wanita tua itu maka dia hendak turun tangan lebih dulu
selagi orang belum siap.
Terkaman yang di lakukan dengan kedua tangan itu
cepatnya bukan kepalang, dahsyatnya bukan main dan
ganasnya bukan olah2.
Diam2 Cu Jiang leletkan lidah. Ia merasa, sekalipun
waktu dirinya belum cacat tak mungkin dia mampu
menghindari terkaman manusia aneh Ong Sip Bo itu.
Diam2 tak habis herannya. Mengapa pada waktu akhir2
ini dia selalu bertemu dengan tokoh2 yang sakti.
Tepat pada saat tubuh Ong Sip Bo bergerak, tubuh Kim
Leng hujinpun sudah berkisar ke samping. Reaksinya
ternyata cepat sekali.
"Kelinting . . . ting ..."
Kelinting emas yang berada pada lengan wanita tua itu
segera berbunyi tajam. Suaranya seperti menusuk telinga,
Beda dengan bunyi kelinting yang didengar Cu Jiang
semalam. Jika semalam nadanya amat menyegarkan
semangat dan sedap di dengar, saat itu seperti menusuk
telinga dan penuh dengan hawa pembunuhan.
Wajah yang pucat seperti mayat dari Ong Sip Bo tampak
membeku, kedua kakinyapun melentuk setengah berlutut.
Sepasang tangannya di taruh di dada dan telapaknya
menghadap ke muka . . .
Bagi ahli persilatan tentu segera tahu bahwa dia sedang
melangsungkan pertempuran tenaga-dalam yang dahsyat.
Cu Jiang baru pertama kali itu mengetahui bahwa suara
kelinting dapat menghamburkan tenaga-dalam untuk
menyerang orang.
Diam2 Cu Jiangpun mengharap agar seperti semalam,
Kim-Leng hujin mau membebaskan jalan darahnya yang
tertotok. Tetapi dia harus menggigit jari.
Tak berapa lama tampak Ong Sip Bo gemetar. Keringat
sebesar kedelai bercucuran dari dahi dan kepalanya. Jelas
tenaga dalamnya masih kalah setingkat dengan Kim Leng
hujin. Dan siapa yang akan kalah atau menang sudah dapat
diduga.
Tiba2 terdengar suara mengerang pelahan dan Ong Sip
Bo pun segera sempoyongan ke belakang sampai lima enam
langkah. Mulutnya menyembur darah. Rupanya dia telah
menderita luka dalam yang tak ringan.
Tiba2 suara kelinting berhenti
Semangat Cu Jiangpun tiba2 menyala. Ia mempunyai
harapan lagi untuk tertolong.
"Perhitungan ini kelak kita selesaikan lagi. Apa sekarang
engkau masih hendak mengatakan apa2 lagi?" seru Kim
Leng hujin dengan nada dingin.
Ong Sip Bo tertawa menyeringai:
"Aku selalu dapat membedakan antara budi dan
dendam."
Sambil mengangkat tangan memberi isyarat, Kim Leng
hujin berseru:
"Sekarang silahkan engkau pergi. Tiap saat aku siap
menyambut kedatangan kalian. "
"Aku masih mempunyai sebuah permintaan bahwa
budak itu adalah pewaris dari kami bersaudara."
"Benar? "
"Ya."
"Apakah dia suka?"
"Soal itu bukan urusanmu!"
"Haa. baik, " dengus Kim Leng hujin, "silahkan engkau
pulang. "
"Baik, kelak jangan engkau menyesal, " seru Ong Sip Bo
terus melesat pergi.
Kim Leng hujin menghampiri ke tempat Cu Jiang. Ia
gerakkan tangan menampar ke udara dan tahu2 Cu Jiang
dapat bergerak. Serentak pemuda itu melenting bangun lalu
memberi hormat sedalam-dalamnya di hadapan Kim Leng
hujin:
"Terima kasih atas budi pertolongan locianpwe"
"Tak usah," kata Kim Leng hujin, "siapa namamu?"
"Aku ... ah, wanpwe bernama Gok-jin-ji. "
"Gok-jin ji?"
"Benar. "
"Apakah engkau benar menjadi pewaris dari kawanan
manusia iblis itu?"
"Tidak, lo cianpwe.. Aku telah ditawan mereka."
"Ya, kutahu. Itulah sebabnya kutolong engkau. Apakah
engkau tahu keadaan pemuda2 yang senasib dengan
engkau?"
"Dengan mata kepala sendiri wanpwe menyaksikan
mereka telah membunuh sepuluh pemuda ..."
"Di mana?"
"Gedung tua yang lo cianpwe pernah datang itu...."
"Apakah diantaranya terdapat putera Lau Tay Hu dari
Seng-mui?"
"Soal itu wanpwe tak tahu. Apakah sebelum kesepuluh
pemuda itu masih terdapat korban lainnya, juga wanpwe
tak tahu. Apabila locianpwe dapat menemukan mayatnya,
mungkin locianpwe dapat mengenali..."
"Bagus !" seru Kim Leng hujin tetapi tiba2 ia mendengus
dan kerutkan alisnya yang sudah putih, "Aah, salah."
Cu Jiang terkejut.
"Apa yang salah, locianpwe?"
"Apakah ilmu tenaga-dalammu sudah mencapai tataran
dapat menyatukan darah dengan hawa dalam tubuh?"
"Ya, sudah dapat walaupun dipaksakan."
"Cobalah engkau salurkan tenaga-dalammu ke arah jalan
darah Ing-joan dan bu it, bagaimana keadaannya?"
Cu Jiang terkejut. Segera ia kerahkan tenaga-dalam
untuk melancarkan ke arah kedua jalan darah itu. Begitu
mencoba seketika wajahnya berobah.
"Benar, locianpwe, dalam jalan darah itu seperti terdapat
suatu benda yang bergerak-gerak menusuk dengan tajam. .
."
"Iblis yang ganas sekali!"
"Apakah Ong Sip Bo itu telah menyusupkan sesuatu ke
dalam tubuh wanpwe?"
"Benar," kata Kim Leng hujin, "tampaknya dia hanya
menutuk jalan darahmu. Tetapi diam2 dia telah
melancarkan tangan ganas Im-sat-tui-beng-ci."
"Im-sat tui-beng-ci?" ulang Cu Jiang.
Im-sat-tui-beng-ci artinya ilmu Jari-penghancur nyawa.
"Ya, apa engkau pernah dengar?"
"Belum pernah."
"Ilmu jari itu telengas sekali. Kecuali mereka, tiada
seorangpun tokoh persilatan lain yang mampu memberi
pertolongan."
"O, tiada orang lain yang mampu menolong?"
Kim Leng hujin mengangguk. Ia menghela napas.
"Gok-jin ji, saat ini engkau hanya mempunyai sebuah
jalan . . ."
"Bagaimana?" seru Cu Jiang tegang sekali.
Kim Leng hujin mengerut dahi lalu berseru dengan nada
tegas:
"Engkau harus kembali kepada mereka !"
"Tidak bisa, locianpwe."
"Jika begini engkau tentu mati."
Semangat Cu Jiang serasa terbang mendengar kata2
wanita sakti itu. Namun dia tetap sekokoh batu karang
pendiriannya.
"Locianpwe," serunya dengan nada gemetar: "Mati
biarlah mati, tetapi wanpwe tak mau menggabung pada
Mo-to (aliran Jahat)."
Kim Leng hujin berkata dengan rawan:
"Ah, tak kira kalau engkau benar2 seorang anak yang
berpambek tinggi. Setengah jam kemudian, tenagamu
sudah lenyap. Dan besok pagi pada saat ini... darahmu akan
bergelimpangan. Suatu siksa penderitaan yang tak dapat
dibayangkan ngerinya. Maka lebih baik engkau ikut mereka
dulu, pelahan-lahan mencari daya lagi. Jangan kuatir, aku
selalu membantumu."
Cu Jiang menghela napas. Dengan perasaan yang sedih
dia berkata:
"Apabila locianpwe mempunyai keperluan lain, silahkan
locianpwe melanjutkan perjalanan."
"Tetapi engkau . . ."
"Akan kuserahkan nasibku kepada Allah !"
"Nak, jangan berkeras kepala. Rasanya tiada jalan lain
lagi kecuali itu."
"Nasibku sudah kenyang dengan penderitaan. Mati
hidup tiada artinya bagiku."
Kim Leng hujin merenung sejenak lalu berkata:
"Baiklah, engkau tunggu saja disini. Kalau lawan
memang tak mau melepaskan engkau, mereka tentu akan
datang kemari mencarimu. Aku perlu lekas mencari jejak
cucuku yang hilang itu, terpaksa aku pergi dulu."
Sebelum pergi kembali Kim Leng hujin memandang Cu
Jiang dan berseru:
"Kawanan Iblis itu senang sekali dengan bahan tulangmu
yang bagus...."
"Mohon tanya, siapakah mereka itu ?"
"Durjana iblis yang telah termasyhur dalam dunia yaitu
Kiu-te-sat !" habis memberi keterangan Kim Leng hujin
terus melesat pergi.
Seorang diri Cu Jiang masih termangu-mangu diam. Dia
tak mengira bahwa kawanan iblis itu tak lain adalah Kiu-te-
sat atau Sembilan iblis neraka.
Saat itu dia merasa tenaganya mulai hilang persis seperti
yang dikatakan Kim Leng hujin tadi. Pada kedua jalan
darah di punggungnya terasa sakit sekali.
Walaupun perangainya amat tinggi hati dan didepan
Kim Leng hujin menyatakan tak menghiraukan soal mati
atau hidup, tetapi setelah berada seorang diri, dia
menyadari bahwa mati hidup merupakan soal penting
baginya.
Dia bukan takut mati tetapi bila ia mati, dia tentu tak
dapat melaksanakan angan-angannya untuk membalaskan
dendam berdarah dari keluarganya. Dengan begitu dia tentu
akan jadi setan penasaran.
Cita-cita hidupnya hanya melakukan pembalasan. Jika
hal itu sudah terlaksana, mati bukan soal lagi baginya. Dan
untuk melaksanakan hal itu seharusnya dia tak
menghiraukan lagi masuk menjadi murid dari perguruan
apapun juga.
Hm, apabila dia dapat menghisap ilmu kesaktian dan
tentulah dia dapat melaksanakan pembalasan itu.
Semasa hidupnya, mendiang ayahnya bergabung dalam
aliran Cing-pay sehingga mendapat gelar agung Kiam-seng
atau Nabi-pedang. Tetapi akhirnya bagaimana jadinya?
Tiba pada kesimpulan itu pandangannya pun mulai
mengalami perubahan. Perasaannyapun agak longgar.
Maka dia lalu beralih ketepi jalan hutan itu. Menurut
perhitungannya, Ong Sip Po tentu akan mencarinya.
Setengah jam kemudian ternyata tiada orang yang
datang, baik Ong Sip Po maupun kawan-kawannya.
Dendamnya makin menebal.
Dengan menahan rasa sakit yang sukar ditahan, dia
segera rebahkan diri dibawah pohon dan mengerang-erang.
Tiba2 sesosok bayangan berkelebat tiba dihadapannya.
Ketika Cu Jiang memandangnya makin terperanjat.
Kiranya yang datang itu bukan Ong Sip Po melainkan
manusia aneh yang berwajah mengerikan, kepala lancip,
brewok, Hidung besar, bibir tebal, kumis kuning yang
jarang, mata runcing seperti tikus.
Cu Jiang diam saja.
"Hai budak, mengapa nenek itu tak membawamu pergi
?" tegurnya.
Yang dimaksud nenek tua itu tentulah Kim Leng hujin.
Tiba2 Cu Jiang teringat akan cerita mendiang ayahnya
dulu tentang diri kesembilan iblis Kiu-te-cat itu.
"Kiranya anda tentulah Song-bun sat Pik Thay Koan."
serunya.
"Hai, budak, siapa yang memberitahu engkau!" teriak
manusia buruk itu.
"Secara tiba2 saja aku teringat."
"Benar, memang aku ini Song-bu sat Pik Thay Koan,"
akhirnya manusia buruk wajah itu mengaku.
"Lalu anda akan bertindak bagaimana terhadap aku ?"
"Engkau tentu sudah mengetahui riwayat kami
bersaudara. Sekarang aku hanya ingin bertanya sebuah
pertanyaan . . ."
"Silahkan!"
"Engkau sudah mempertimbangkan atau belum ?
Bagaimana, apakah engkau suka menjadi murid kami?"
Setelah diam beberapa jenak, akhirnya Cu Jiang
menyahut dengan mengertak gigi.
"Baik. aku suka..."
"Dengan sungguh hati?"
"Tentu."
"Tetapi jangan coba2 melarikan diri," kata Pik Thay
Koan lalu menotokkan delapan jari tangannya ke tubuh Cu
Jiang, Setelah itu dia tertawa mengekeh dan berseru:
"Budak, bangunlah !"
Rasa sakit pada tubuh Cu Jiang lenyap seketika.
Tenaganyapun pulih. Cepat ia meloncat bangun.
Pik Thay Koan meliriknya dan mengangguk: "mata Lo-
Jit nampaknya tajam sekali. Memang benar2 sebuah bahan
yang bagus!"
Sekonyong-konyong mata Cu Jiang tertumbuk pada
pemandangan yang mengejutkan. Ia melihat tangan kiri Pit
Thay Koan hilang jari tengahnya.. Seketika teringatlah dia
akan pemandangan yang menyayat hati ditempat kedua
orang tua dan adiknya dibunuh dahulu.
Dia telah menemukan dua jari tangan dan sebuah
lengan. Kedua jari itu, jari tengah dan jari telunjuk mungkin
jari kelingking. Dia belum dapat memastikan adakah kedua
jari dan sebuah lengan itu milik seorang atau beberapa
orang.
Dia telah melihat kesembilan iblis Kiu te-sat itu semua.
Diantara mereka tiada terdapat ketiga manusia aneh yang
telah menganiaya dan melemparkan dirinya kedalam jurang
itu.
Tetapi kalau menurut keadaan medan pertempuran itu,
kemungkinan bukan hanya kesembilan iblis Kiu-te-sat itu,
pun tentu terdapat juga ketiga manusia aneh dan mungkin
masih ada beberapa orang lain lagi yang melakukan
pengeroyokan kepada kedua ayah bundanya.
Dia harus menyelidiki hal itu sampai jelas. Dan sungguh
kesempatan yang menguntungkan sekali karena lawan telah
menyukai dirinya.
Dan sengajalah dia pura-pura jual mahal, serunya:
"Ah, tetapi sayang, bahan itu sudah tiada gunanya lagi . .
."
"Budak, jangan memandang rendah dirimu sendiri.
Kami bersaudara pasti akan memberimu kepandaian sakti.
Tak perlu kecewa karena cacad tubuh !"
"Apakah sekarang kita akan berhasil ke gedung tua itu
lagi?"
"Tidak, kita sudah mendapat tempat lain yang lebih
rahasia."
"Di mana?"
"Nanti engkau tentu tahu sendiri. Mari, akan kubantumu
dalam perjalanan supaya dapat menghemat waktu, " kata
manusia buruk itu terus mengangkat Cu Jiang dan
mengepitnya lalu lari kencang. Dia tak mengambil jalan
besar, melainkan melintasi hutan menuruni ke luar kota.
Song bun-sat atau Iblis-pintu-neraka Pek Thay Koan
memang hebat sekali kepandaiannya. Dua jam terus
menerus lari secepat angin, tetapi dia tak lelah.
Di sebelah muka merupakan deretan gunung yang
berlapis-lapis. Sukar untuk mencari jalan tetapi Song-bun-
sat Pek Thay Koan dapat melintasinya seperti berjalan di
tanah datar.
Tak berapa lama mereka masuk ke dalam sebuah
lembah. Pohon2 tumbuh tinggi, daunnya yang rindang,
menutupi sinar matahari. Menilik batu2 berobah hijau
terbungkus pakis dan tanah. tertimbun tumpukan daun2
yang tebal, jelas sudah lama tiada orang yang datang ke
lembah itu.
Meletakkan Cu Jiang, Pek Thay Koan berkata:
"Budak, sudah tiba, berjalanlah sendiri perlahan-lahan. "
Walaupun kaki kirinya cacad tetapi kepandaian Cu Jiang
masih cukup baik. Dia dapat berloncatan memasuki hutan.
Setengah jam kemudian baru tampak sinar matahari
memancar pada sebuah tanah lapang. Rupanya sebuah
tempat yang baru saja dibuat orang.
Tanah lapang itu lebih kurang seluas setengah bahu. Padi
ujung yang menempel batu karang, tampak beberapa rumah
batu yang dikelilingi rumput dan pohon2 rotan. Suasananya
menyeramkan.
Song-bun sat Pek Thay Koan mengajak Cu Jiang masuk.
Di dalam ternyata sudah menunggu dua orang. Yang satu si
orang tua jubah hitam Tian Heng.
Kini Cu Jiang sudah dapat mengetahui bahwa Tian
Heng ini adalah kepala dari Kiu-te-sat dan bergelar Te-leng-
sat atau Iblis-penunggu-bumi. Dan yang satu adalah Ong
Sip Po atau orang yang jatuh pada urutan ketujuh, bergelar
Tui-beng sat atau Iblis-pemburu nyawa.
"Toako ini orangnya sudah datang!" seru manusia buruk
Pek Thay Koan.
"Ah, bikin cape engkau saja, ji-te." sahut Te-leng-sat,
tokoh kesatu dan Kiu-te-sat.
Cu Jiang masih bersikap angkuh. Dia berdiri seperti
patung. Tak mau memberi hormat dan tak sudi bicara.
Karena kaki kirinya agak pendek sedikit maka berdiri dia
miring ke sebelah kiri.
Dalam rumah itu telah disiapkan sembilan buah kursi.
Di tengah satu dan kanan kiri masing2 empat kursi.
Song-bun-sat Pek Thay Koan duduk di sebelah dari kursi
pertama. Sedang Tui-beng-sat Ong Sip Po duduk pada kursi
kedua.
Rupanya kesembilan durjana itu mempunyai disiplin
yang baik sekali. Mereka menghormati kedudukan
masing2.
Sejenak memandang Cu Jiang, berserulah jubah hitam
Tian Heng:
"Budak, aku hendak bertanya kepadamu dengan
sungguh2. Maukah engkau menjadi murid pewaris dari
kami bersembilan saudara?"
Dalam hati Cu Jiang tak sudi tetapi karena keadaan dan
demi tujuannya, maka terpaksa dia mengangguk dan
menyatakan kesediannya.
"Apa yang menyebabkan engkau berobah pendirian?"
"Nama besar dari anda bersembilan !"
"Hm, dengarkanlah. Setelah persiapan2 selesai kami
lakukan, barulah nanti diadakan upacara penerimaan
murid."
"Ya."
"Dalam dunia persilatan tiada yang disebut benar atau
salah. Yang lemah tentu dimakan yang kuat. Kekerasan
merupakan keadilan. Engkau tak membunuh, tentu akan
dibunuh. Mengertikah engkau? Apa yang disebut Ceng dan
Shin ( putih dan Hitam ), sukar ditentukan. Mereka yang
menepuk dada sebagai jagoan aliran Ceng-to, diam2
mereka merupakan manusia yang buas melebihi binatang.
Dan yang dianggap sebagai kawanan aliran Hitam, belum
tentu semua hitam . . ."
Wejangan yang berdasar atas pandangan diri sendiri itu,
membuat tubuh Cu Jiang gemetar. Tetapi diam2 diapun
mengakui bahwa apa yang dikatakan kepala Kiu-te-sat itu
tidak semua salah. Misalnya, mendiang ayahnya sendiri,
tak membunuh orang tetapi akhirnya dibunuh orang.
Tetapi Kiu-te-sat pun telah melakukan penjagalan
terhadap belasan pemuda, hal itu takkan dapat dilupakan
Cu Jiang, Adakalanya Baik dan Buruk itu sukar dibedakan
tetapi ada kalanya memang menyolok sekali perbedaannya.
Tokoh golongan Putih, betapapun jahatnya, tentu takkan
melakukan perbuatan yang sedemikian ganas.
Demikian tak terasa waktu berjalan cepat sekali. Sudah
sepuluh hari Cu Jiang berada di pondok dalam lembah
belantara itu. Sehabis makan pagi, dia bersama ketiga iblis
itu duduk bercakap-cakap di ruang tengah.
Tiba2 sesosok tubuh lari terhuyung-huyung. Mereka
berempat serempak berbangkit.
"Lo-ngo! " seru Song-bun-sat Pek Thay Koan.
Blum.... tubuh orang itu membentur pintu dan terus
rubuh ke lantai.
Tubuh hitam Thian Heng cepat melesat ke muka:
"Lo-ngo, kenapa engkau!" teriaknya.
Tempat duduk Cu Jiang kebetulan dekat sekali dengan
orang yang rubuh itu. Dia dapat melihat dengan jelas
keadaannya. Tubuh orang itu berlumuran darah, sehingga
napas menjadi lemah, mulut mengucur darah.
Dia adalah lo-ngo atau urutan yang kelima dari sembilan
durjana Kiu losat, Memakai gelar nama Toan-beng-sat atau
iblis-pencabut nyawa.
Song-bun-sat dan Tui beng-sat serempak membungkuk
dan memeriksa nadi Toan-beng-sat itu. Seketika wajahnya
berobah. Mereka mengangkat kepala dan berkata dengan
nada tergetar kepada Te-leng-sat.
"Toako, tiada.... tiada harapan lagi. Urat jantungnya
sudah putus."
Wajah Te-leng-sat Tian Heng, kepala dari kesembilan
momok durjana membesi wajahnya. Sepasang matanya
membara merah. Dan giginyapun terdengar bercaterukan.
"Kasih sedikit hawa murni, aku hendak bertanya
kepadanya."
Tui-beng-sat atau Iblis-pemburu nyawa segera lekatkan
jari tengahnya pada punggung Toan-beng-sat atau Iblis-
pencabut nyawa. Tak berapa lama Toan-beng-sat dapat
bernapas lagi dan pelahan-lahan membuka mata.
Bibirnya tampak bergerak-gerak seperti hendak berkata
tetapi tak bersuara.
"Lo-ngo, kuatkan dirimu, bilanglah apa yang telah terjadi
?" teriak ketua kesembilan momok durjana itu.
Setelah berusaha beberapa waktu, barulah orang kelima
dari kawanan momok itu dapat berkata dengan lemah.
"Aku... dengan Pat te.... tiba di markas .. . Thay kek
bun... pulangnya. . . ."
"Apakah kitab Thay-kek-sin-hwat-ciang sudah dapat
engkau ambil?"
"Ya ... sudah .. . tetapi dirampas ..... pat-te..."
Pat-te artinya adik seperguruan yang kedelapan, atau
tokoh nomor delapan dari kawanan mo sat.
"Lo-pat bagaimana ?"
"Dia dicelakai ?"
"Lo-pat dicelakai ?"
"Ya..."
"Siapa yang berani mencabut kumis harimau?"
Siapa dia ?"
"Sip... sip ..."
"Apa?"
"Sip-pat. . . hui-thian . . ."
Habis berkata, kepala momok kelima itu terkulai
melentuk dan jiwanyapun putus.
Song-bun-sat dan Tui-beng-sat lepaskan tangannya.
Mereka jatuhkan diri di tanah, matanya memancar ganas.
Sambil mendeburkan kaki pada lantai, Te-leng-sat ketua
dari kesembilan momok durjana itu berteriak.
"Sungguh tak kira kalau lawan berani turun tangan lebih
dulu !"
Siapakah lawan mereka? Tanpa disengaja, Cu Jiang
memperoleh suatu berita yang penting. Lawan kesembilan
momok durjana itu tak lain adalah Sip-pat ( delapan belas ),
Hui thian (terbang ke langit). Tetapi karena kata itu terputus
dan tidak dirangkai dengan urut, Cu Jiang tak dapat
mengetahui jelas apa sebenarnya yang dimaksudkan.
Hanya satu yang dapat dijadikan kesimpulan bahwa
tokoh yang mampu membunuh anggauta Kiu-te-sat itu
tentulah orang tokoh yang hebat sekali kesaktiannya.
Memang durjana2 macam Kiu-te-sat, harus di basmi dari
dunia. Mereka berlumuran darah korban2 yang entah sudah
beratus-ratus jumlahnya. Dia membunuh manusia seperti
membunuh nyamuk, sedikitpun tiada mempunyai rasa peri-
kemanusian.
Toan-beng-sat serta apa yang disebut pat-to (adik
seperguruan nomor delapan) yakni Tho ling-sat (Iblis-
bunga-tho), adalah kedua anggauta Kiu-te-sat yang
mendapat perintah dari ketuanya untuk menuju ke markas
Thay-kek-bun, Bu-tong-pay dan Siau-lim.
Toan-beng-sat atau momok nomor lima ketika sudah tiba
di markas Thay-kek-bun telah berhasil mendapatkan kitab
pelajaran Thay-kek-sim-ciat-hwat dari perguruan itu. Tetapi
entah bagaimana dia telah melakukan tindakan yang
ganas...
"Toako, rencana kita..." baru Song-bun sat atau momok
kedua dari Kiu-te-sat berkata begitu, toako atau ketuanya
sudah menukas.
"Tetap dijalankan, kalau tidak kita tak dapat menghadapi
lawan !"
"Tetapi bagaimana dengan pat-te.... mudah-mudahan dia
tidak berjumpa dengan . ."
"Sudahlah, jangan berkata apa2 lagi !" kata Te-leng-sat
ketua sembilan-momok.
Tiba2 Tui-beng-sat atau momok ketujuh yang bernama
Ong Sip Po seperti tersentak kaget, serunya:
"Celaka !"
Te ling-sat ketua Sembilan-momok deliki mata
kepadanya:
"Mengapa celaka ?"
Tui-beng-sat memandang keluar pondok dan berkata.
"Ngo-ko pulang dengan membawa luka parah. Tentu
musuh akan mengikuti jejaknya. Mungkin saja saat ini
tempat kita sudah di ..."
Song-bun-sat atau momok nomor dua serentak melonjak
berdiri:
"Lalu bagaimana kita harus menghadapi?"
Dengan geram Te-ling-sat atau ketua Sembilan-momok
menggeram:
"Jika musuh hanya seorang, kita bertiga dapat
menghadapinya!"
Wajah yang pucat dari Tui-beng-sat Ong Sip Po
berkerenyitan, serunya.
"Kalau lawan tidak hanya seorang?"
Te-ling-sat ketua mereka, merenung sejenak lalu berkata:
"Selama gunung masih menghijau, masakan takut tak
mendapat kayu bakar. Untuk sementara waktu kita
menyingkir dulu. Apabila rencana kita sudah selesai, kita
jalankan lagi."
Mendengar mereka menyebut-nyebut tentang rencana,
diam2 Cu jiang terkejut. Apakah rencana mereka? Oh,
mungkin menyangkut dirinya. Benarkah itu? Namun dia
tak mau ikut bicara melainkan mendengarkan pembicaraan
mereka dengan penuh perhatian.
Tiba2 terdengar sebuah suitan nyaring. Nadanya mirip
bunyi burung hantu, pun seperti lolong serigala. Tajam dan
mengerikan telinga.
Song-bun-sat Pik Thay Koan, momok kedua terperanjat,
serunya:
"Ah, dugaanku tak meleset, mereka benar2 datang!"
"Kita masuk ke dalam hutan dan jalankan alat perkakas."
kata Te-ling-sat, ketua momok dengan geram.
Sambil menunjuk pada Cu Jiang, Tui-beng sat Ong Sip
Po berseru.
"Bagaimana dengan dia ?"
"Masukkan kedalam ruang rahasia," seru Te-ling-sat
kemudian berpaling dan mengajak momok kedua Song-
bun-sat Pek Thay Koan, "jite. mari kita berangkat dulu."
Kedua momok itupun segera melesat keluar. Dan Tui-
beng-sat Ong Sip Po segera menyambar tubuh Cu Jiang
terus dibawa lari masuk ke belakang.
Dibagian belakang rumah itu, merupakan karang kaki
gunung. Ada sebuah bagian dari karang itu yang menonjol,
lebarnya seperti sebuah meja kecil.
Ong Sip Po menekan dengan tangannya dan batu nonjol
itu segera berkisar, terbuka sebuah lubang guha. Sebelum
sempat berbuat apa2, tahu2 Cu Jiang sudah dilempar
kedalam lubang guha lalu ditutupnya lagi.
Dilempar kedalam tempat yang begitu gelap, Cu Jiang
tak dapat berbuat apa2 lagi. Dia terlempar jatuh ke lantai
gua, kemudian bergeliat bangun dan duduk bersandar pada
dinding gua. Dia bersemedhi menenangkan pikiran.
Beberapa saat kemudian ia membuka mata dan mulai
dapat melihat keadaan guha itu secara remang2.
Tak berapa dalam. Mungkin hanya lima tombak.
Sebelah luar sempit tetapi makin kedalam makin lebar. Gua
itu kosong, tentu merupakan tempat persembunyian Kiu te-
sat apabila menghadapi ancaman bahaya. Atau kalau tidak,
mungkin digunakan untuk berlatih ilmu.
Sambil duduk bersandar pada dinding gua, dia merenung
lebih lanjut. Siapa gerangan musuh yang mampu
merontokkan nyali kawanan momok Kiu-te-sat itu ?
Memang menilik nada suitan yang begitu nyaring,
dapatlah dia menduga bahwa orang itu tentu seorang tokoh
yang hebat. Dia cenderung untuk menduga bahwa tokoh itu
tentu bukan dari aliran Ceng to (putih) melainkan juga
seorang durjana besar.
Adakah pendatang itu yang telah membunuh Toan-beng-
sat dan Tho hoa-sat ?
Banyak hal yang melalu lalang dalam benaknya, tetapi
dia hanya merangkai dugaan2 saja. Dia tak dapat berbuat
apa2. Juga siapa yang menang diantara kedua pihak
durjana itu baginya tiada keuntungan apa2.
Rasanya sudah lama sekali, entah tak tahu dia sudah
berapa lama berada dalam gua itu. Saat itu dia mulai
gelisah. Kemanakah gerangan ketiga durjana tadi? Kalau
mereka juga mengalami nasib seperti kedua kawannya
Toan beng sat dan Tho hoa-sat, berarti dia harus berusaha
sendiri untuk keluar dari gua situ.
Serentak dia berbangkit dan mulai meraba-raba batu
besar penutup gua itu. Ia mengharap mudah-mudahan akan
menemukan alat pembuka pintu itu. Pintu batu itu memang
berbentuk sedemikian rupa, hingga pas sekali, merapat
seperti pintu.
Karena sampai sekian lama tidak juga berhasil
menemukan pintu, akhirnya ia merenungkan ketika Tui-
beng sat melemparkan dia kedalam gua dan menutup gua
itu.
Setelah membayangkan gerak dan posisi Tui-beng sat
Ong Sip Po, dan mulai lagi untuk mencari tombol itu. dan
menekan-nekan dengan jarinya.
Cu Jiang memang cerdas. Dengan cara itu akhirnya
berhasillah dia. Ketika menekan pada suatu bagian, batu itu
melesak kedalam dan pintu batu itu pun pelahan-lahan
mulai berkisar kemuka. Sinar matahari nampak memancar
ke dalam dan seketika itu guapun tampak terang.
Karena sudah beberapa waktu berada dalam tempat
gelap, maka dia menjadi silau melihat sinar matahari yang
keras. Ia cepat2 menutupi kedua matanya. Beberapa saat
kemudian barulah ia dapat membuka tangannya.
Tapi tiba2 dia berteriak kaget ketika melihat ketiga
durjana Kiu te-sat duduk bersila tak jauh dari pintu guha.
Menilik kerut wajahnya, jelas mereka menderita luka parah.
"Bagaimana kalian bertiga ini ?" tegur Cu Jiang.
Tian Heng atau kepala dari kawanan durjana Kiu-te-sat
berseru dengan nada gemetar:
"Lekas bawa kami bertiga kedalam gua !" Sejenak Cu
Jiang mengeliarkan pandang ke sekeliling. Setelah melihat
tiada seorangpun yang tampak, baru dia bertindak. Lebih
dulu dia mengangkat Te-ling sat Tian Heng kedalam gua.
Ke dua Song bun sat Pek Thay Koan dan Tui-beng-sat Ong
Sip Po.
"Tutup pintunya," kata Tui-beng-sat Ong Sip Po dengan
lemas.
Cu Jiang terkesiap. "Bagaimana cara menutupnya?"
"Mengapa tadi engkau dapat membuta ?"
"Hanya secara kebetulan saja aku menekan-nekan pintu
batu."
"Hm. tekanlah sebelahnya !" Cu Jiang menurut. Begitu
menekan, pintu batu itupun segera mengatup kembali.
"Musuh itu ?"
"Sudah ngacir pergi."
"Apakah anda terluka?" tanya Cu Jiang.
"Jangan banyak tanya, tunggu perintah saja !" hardik Tui
beng-Sat Ong Sip Po.
Cu Jiang memandang durjana itu tajam2, dia tak mau
bicara lagi.
Tiba2 Song bun-sat Pek Thay Koan berkata dengan nada
sinis.
"Budak, kalau saat ini engkau hendak turun tangan
kepada kami bertiga, memang kami tidak berdaya lagi ..."
Cu Jiang terkesiap tetapi cepat ia menjawab:
"Aku tak punyai keinginan begitu. Dan lagi akupun tak
mau menghantam orang yang sedang terluka."
"Kalau mau pergi, engkaupun dapat juga!"
"Aku tak mempunyai rencana begitu."
"Bagus, budak, sesungguhnya aku senang sekali
kepadamu, tetapi sayang .... ah . . ."
"Sayang bagaimana ?"
"Semua sudah hilang !"
Mendengar itu Te-leng-sat Tian Heng cepat menukas:
"Lo-ji, Jangan menghamburkan tenaga yang tidak perlu.
Lekas kerahkan tenaga untuk mempersiapkan penyerahan
yang perlu."
Ketiga durjana itu serempak pejamkan mata.
Kata2 terakhir dari ketua Kiu-te-sat untuk
mempersiapkan penyerahan yang terakhir itu, benar-2
mengherankan perasaan Cu Jiang..
Apakah maksud durjana itu sesudah menderita luka
yang membahayakan jiwanya ? Orang yang mampu
mengalahkan ketiga durjana itu jelas tentu bukan kepalang
hebatnya.
Alam pikiran dari kawanan durjana itu memang kadang
berlainan dengan orang biasa. Seperti Song-bun-sat Pek-
Thay Koan. Durjana itu mengajukan pertanyaan yang aneh
tadi kepada Cu Jiang.
Memang jika Cu Jiang mau meninggalkan tempat itu,
memang mudah. Ketiga durjana itu tak dapat berbuat apa2.
Pun jika dia mau turun tangan menghancurkan mereka
bertiga, juga semudah orang mematahkan ranting pohon.
Ketiga durjana itu tak sudah tak berdaya sama sekali.
Tetapi pemuda itu tak mau berlaku begitu, dia tak punya
keinginan begitu. Dia bersandar pada dinding gua dan
menunggu perkembangan selanjutnya.
Te ling-sat Tian Heng tertawa rawan.
"Budak, sebenarnya kami bersaudara hendak menjadikan
engkau seorang jago tiada tandingannya dalam dunia
persilatan. Sayang... Thian tak mengabulkan . . ."
"Apakah maksudmu ?" Cu Jiang heran.
"Kami bertiga sudah tiada gunanya lagi."
"O, apakah .... menderita luka?"
"Benar."
"Sampai begitu parah ?"
"Ya, memang."
"Dengan kesaktian anda bertiga, apakah tak mampu
mengobati?"
"Tak ada seorangpun yang mampu."
"Bagaimanakah luka itu?"
Sepasang mata dari Te-leng-sat Tian Heng mendelik. Ia
marah tetapi pada lain kejap matanyapun redup lagi.
"Budak, tahukah engkau siapa yang datang itu ?"
Hal itulah yang akan ditanyakan Cu Jiang, maka cepat2
ia berseru "Siapakah mereka ?"
"Coba engkau renungkan. Siapakah tokoh dalam dunia
persilatan yang mampu melukai Kiu-te-sat ?"
Cu Jiang gelengkan kepala dan menyatakan tak tahu.
"Hanya tenaga seorang saja mampu melukai kami
bertiga, didunia ini kiranya hanya satu orang . . ."
"Siapa ?"
"Engkau pernah dengar yang disebut Sip-pat-thian-mo ?"
"Sip pat thian-mo ?" ulang Cu Jiang.
"Ya."
Cu Jiang tergetar hatinya.
"Kabarnya Sip-pat- thian-mo itu sudah meninggal dunia.
Belasan tahun yang lalu terkubur didaerah Tian-hong. Anak
buahnya pun sudah bubar . . ."
"Sumber dari kabar burung, belum cukup meyakinkan.
Tetapi bahwa mereka telah lenyap selama belasan tahun,
memang benar."
"Mengapa mereka lenyap secara tiba2 ?"
"Hal itu memang belum diketahui pasti. Yang Jelas hari
ini kawanan Sip-pat-thian-mo telah muncul. Pemimpin
mereka yang disebut Hui-thian-sin-mo, paling sakti
kepandaiannya."
"Hui-thian-sin-mo ?"
"Kecuali dia, rasanya dalam dunia persilatan ini tiada
seorang tokohpun yang mampu dengan seorang diri dapat
melukai kami bertiga."
"Oh..."
Mata Song-bun-sat Pek Thay Koan berkilat-kilat
memancar ke empat penjuru, kemudian berseru tegang:
"Toako, waktu sangat berharga, lebih baik
membicarakan hal yang penting saja."
Sambil mengertek gigi, Te-ling-sat Tian Heng
menggeram:
"Memang aku bersalah karena tak kuasa menahan
kemarahan. Seharusnya aku tak turun mengunjukkan diri.
Ah, Sekarang menyesalpun sudah terlambat . . ."
"Toako, karena sudah begini, tak perlu harus bersedih.
Lawan tak mungkin akan kasihan kepada kita."
"Walaupun lawan juga menderita luka tetapi dia takkan
mati. Sedang kita, telah berturut-turut lima saudara. . ."
Tui-beng-sat Ong Sip Po yang berwajah pucat tampak
berkerenyitan dan menggeram:
"Sungguh2 mati dengan meram..." Te-ling-sat Tian Heng
berpaling, kemudian berkata kepada Cu Jiang.
"Budak, dengarkanlah. Sepuluh tahun yang lampau,
kami ke sembilan saudara telah diagungkan oleh dunia
persilatan dengan gelar Kiu-te-sat. Kiu-te-sat saling
bermusuhan dengan Sip-pat-thian-mo. Mereka hendak
melenyapkan Kiu te-sat tetapi tak berapa lama kemudian,
mereka telah lenyap tanpa berita apa2 lagi. Tetapi akhir2 ini
Sip-pat-thian-mo muncul lagi. Oleh karena itu kami
sekalian hendak mencari seorang yang bertulang bagus
untuk kami didik dan gembleng agar dapat menghadapi
kawanan Sip-pat-thian-mo. Tetapi sayang, rupanya Thian
tak meluluskan, rencana kami itu berantakan "
Cu Jiang terkejut dan menyapukan pandang kearah
ketiga durjana itu. Saat itu dia baru tahu akan rencana dari
Kiu-to-sat.
"Kami bertiga saudara, telah terkena ilmu Jari Thian mo
ci dari Kui-thian-sin-mo, luka yang kami derita sekalipun
dewa juga tak mampu mengobati. Setelah berunding, kami
bertiga telah memutuskan sebuah rencana..."
"Rencana bagaimana ?"
"Dengan sisa2 tenaga yang kami miliki, kami bertiga
akan memindahkan tenaga murni kami kedalam
tubuhmu...."
"Memberikan tenaga-sakti kepadaku?" Cu Jiang berseru
kaget.
"Ya, dan tak perlu terikat suatu hubungan apa2."
"Tanpa ikatan apa-apa?"
"Tanpa."
"Tetapi pakai syarat, bukan ?" tanya Cu Jiang.
"Budak, Jangan engkau memukul genderang terlalu
keras. engkau memang cerdik maka tak berani kami
menyodorkan syarat, cukup suatu permintaan saja."
"Bagaimana, harap lekas mengatakan."
"Gabungan tenaga sakti kami bertiga yang akan kami
berikan kepadamu itu, ditambah pula dengan tenaga dalam
yang sudah engkau miliki, rasanya dalam dunia persilatan
jarang terdapat tokoh setingkat engkau kesaktiannya.
Permintaan kami yang pertama ialah, kami harap engkau
dapat membalaskan sakit hati kami."
Setelah merenung beberapa jenak, Cu Jiang-pun berkata
dengan nada berat:
"Baik. soal itu aku berjanji akan melaksanakannya
dengan sekuat tenaga."
"Yang kedua," kata Tian Heng, "masih ada empat orang
saudaraku yang kusuruh ke vihara Siauw-lim dan Bu-tong-
san hingga kini belum kembali. Kuminta engkau mencari
mereka. Mereka tentu dapat membantu untuk
menyempurnakan kepandaianmu ..."
"Ya, baiklah..."
"Hanya dua buah permintaan itu saja."
"Jika begitu, akupun hendak mengajukan permintaan . .
." kata Cu Jiang.
"Permintaan apa ?"
Sambil menatap Song bun sat Pek Thay Koan, Cu Jiang
berkata:
"Aku hendak mohon tanya sebuah hal kepada anda !"
Song-bun-sat Pek Thay Koan deliki mata dan berseru:
"Katakan !"
"Jari anda yang kutung itu . . ."
"Apa? Jari kutung ?"
"Benar."
"Perlu apa engkau menanyakan hal itu ?"
"Itu persoalanku sendiri."
Dengan mengertek gigi. Song-bun-sat Pek Thay Koan
berseru:
"Engkau minta aku menceritakan kembali peristiwa yang
penuh dendam itu ?"
"Aku harus meminta keterangan yang jelas," sahut Cu
Jiang dengan tegas.
"Hm. dengarkanlah. Peristiwa itu terjadi pada sepuluh
tahun yang lalu. Jari itu telah terpapas kutung oleh tokoh
nomor 16 dan kawanan Sip-pat-thian-mo yang bernama
Cui-mo si Iblis pemabuk."
"Peristiwa dari sepuluh tahun yang lalu ?"
"Ya."
"Benarkah itu ?"
"Budak, apa maksudmu?"
"Ah, tak apa2. Hanya setelah tahu jelas soal itu barulah
aku mau menerima perjanjian anda sekalian."
"Kenapa ?"
"Maaf, aku tak dapat mengatakan hal itu.
Tiba2 Te leng-sat Tian Heng mengangkat tangan dan
bertanya:
"Budak, apakah engkau masih hendak bertanya lagi ?"
"Tidak."
"Baik, duduklah dihadapan kami sini."
Cu Jiang meragu sejenak tetapi ia terus melakukan
perintah dan duduk bersila dihadapan ketiga durjana itu.
"Apa yang kuminta engkau supaya melakukan dua buah
hal tadi, engkau masih ingat, bukan ?" kata Te-ling-sat Tian
Hong pula.
"Ingat dan aku tentu akan melakukannya dengan sekuat
tenaga," kata Cu Jiang.
"Bagus sekarang pejamkanlah matamu dan bersiaplah
untuk menerima curahan tenaga-sakti kami."
Cu Jiang tegang sekali menghadap suasana yang berobah
secara begitu besar dan mendadak. Dia tahu bahwa apabila
ketiga durjana itu tak mau memberikan tenaga saktinya,
tentulah tenaga-sakti mereka akan ikut lenyap dengan
kematian mereka.
Ketiga durjana itu melekatkan telapak tangannya
menjadi satu, kemudian tangan kanan Te-ling-sat Tian
Heng melekat pada ubun2 kepala Cu Jiang.
Ah. ternyata tokoh2 durjana itu juga faham akan ilmu
Gui-ting tay-hwat dari sumber perguruan agama.
"Awas, sambutlah !" seru Tian Heng dan segera
memancar dari kepala Cu Jiang.
Tubuh Ci Jiang menggigil. Buru2 dia kerahkan
semangatnya untuk menggabungkan hawa murni dalam
tubuhnya, menyambut pancaran aliran hawa panas itu dan
menyalurkan kearah seluruh jalan darahnya. Setelah itu
dihimpunnya pula ke atas lagi.
Aliran hawa panas itu makin lama makin keras dan
deras. Sedikit saja Cu Jiang lengah untuk menaruh
perhatian, dia pasti akan terjerumus kedalam keadaan apa
yang disebut Co-hwe Jip-mo ("darah berjalan sesat").
Artinya, jika tidak mati urat nadinya putus, dia tentu akan
cacat seumur hidup.
Saat itu Cu Jiang seperti dibakar api. Panasnya bukan
kepalang. Sesaat kemudian seperti dibenam dalam
kubangan salju, dinginnya sampai menggigit tulang.
Satu-satunya yang membikin kecewa hatinya, pancaran
hawa panas dan dingin tak dapat menyalur ke bawah lutut
di bagian betisnya yang pincang itu.
Terakhir, hawa panas itu menghimpun jadi suatu aliran
panas yang menerobos ke jalan darah Seng-si-hian-koan.
Sekali.... dua kali . . . .Tiga kali ....
Seperti terkena stroom listrik, bagian aliran darah Jin dan
Tok pada punggung, serentak terbuka dan seketika itu Cu
Jiangpun terlelap dalam kenyenyakan yang hampa.
Pada saat dia tersadar, ia merasa dalam gua itu terang
sekali. Ia menyadari bahwa hal itu berkat tenaga-dalamnya
telah bertambah sakti.
Kemudian dia berpaling. Ah. kejutnya bukan kepalang.
Dilihatnya ketiga durjana duduk mematung. Entah kapan,
ternyata mereka sudah melayang jiwanya.
Setelah tertegun sejenak, Cu Jiang berbangkit, memberi
hormat kepada ketiga durjana itu sampai tiga kali.
Dalam anggapannya, sekalipun kejahatan ketiga durjana
itu setinggi gunung dan sekalipun tidak ada ikatan sebagai
guru dan murid tetapi Cu Jiang tetap menghargai budi
bantuan mereka yang telah menyalurkan tenaga sakti
kepadanya.
Habis memberi hormat dan hendak berbangkit tiba2 ia
melihat didepan mayat Te-ling sat Tian Heng terdapat
beberapa lukisan yang aneh diatas tanah.
Cu Jiang tak mengerti apa maksud tulisan yang
diguratkan pada tanah itu. Adakah tulisan lama atau baru
saja dibuat oleh Te ling sat Tian Heng waktu meninggal
tadi.
Guratan2 huruf itu masuk cukup dalam ke tanah. Jelas
bahwa tulisan itu dibuat oleh jari tangan orang yang
bertenaga dalam tinggi.
Karena tak mengerti Cu Jiangpun tak mau mempelajari
lebih lanjut. Dia segera berbangkit. Diam2 ia mendapat
kesan bahwa gua itu memang sebuah tempat
persembunyian yang baik sekali.
Ia membuka pintu lalu menuju ke pondok dan
mengangkut mayat Toan-beng-sat kedalam gua rahasia itu.
Setelah itu ia menekan alat rahasia untuk menutup pintu
gua.
Saat itu sudah petang hari, Dia kembali lagi kedalam
pondok. Besok pagi2 dia akan melanjutkan perjalanan.
Setelah makan sisa hidangan, dia segera duduk
bersemedhi memulangkan tenaga.
Kini dia sudah mendapat tenaga-sakti dari ketiga
durjana. Menurut keterangan Te ling-sat Tian Heng, setelah
menerima saluran tenaga-sakti mereka, maka tenaga-dalam
Cu Jiang tentu akan mendapat tambahan sama nilainya
dengan berlatih selama tenaga-dalam yang dimilikinya
semula, kemungkinan sekarang dia sudah memiliki tenaga-
dalam seperti orang yang berlatih selama tiga puluh tahun.
Dengan begitu tentulah dia mampu memainkan ilmu
pedang warisan dari mendiang ayahnya yaitu It-kiam-tui-
hun atau Sebatang-pedang-mengejar nyawa.
Tempo hari ketika ia memainkan ilmu pedang warisan
ayahnya itu, pedangnya telah terlepas. Tetapi kini setelah
memiliki tenaga-dalam yang begitu kokoh, tentulah dia
takkan mengalami lagi hal seperti itu.
Dan dengan ilmu pedang ciptaan mendiang ayahnya
yang hebat itu, barulah dia mampu untuk menghadapi
musuhnya.
Berpikir sampai disitu, serentak terbayang pula wajah
ayah, ibu dan kedua adiknya serta paman Liok dan anak
perempuannya yang telah menderita kematian begitu
menyedihkan.
Dengan menahan dendam kesumat, dia mengangkat
kepala, meraba kutungan pedang Seng-kiam yang selalu
disimpan di dada bajunya. Gerahamnya bergemerutuk
keras. Hutang darah harus bayar darah, hutang jiwa ganti
jiwa. Sekaranglah saatnya ia akan muncul untuk mencari
balas.
Keesokan harinya dia segera berangkat tinggalkan
lembah itu. Walaupun kaki kirinya cacat tetapi berkat
tenaga-dalamnya telah mencapai tataran yang sedemikian
hebat maka waktu ia gunakan ilmu meringankan-tubuh
untuk lari, ternyata ringan dan cepat sekali. Kakinya yang
timpang sebelah itu, tak menjadi halangan.
Tiba diluar lembah ia berhenti sejenak.
Tengah dia merasakan kelonggaran hati dapat melihat
sinar matahari lagi tiba2 matanya tertumbuk pada suatu
pemandangan disebuah batu karang besar. Seketika
matanya mendelik dan bulu romanya meregang tegak.
Diatas batu karang itu berjajar empat biji batang kepala
manusia, gigi rompal bibir robek dan matanya melotot
keluar sehingga tampak menyeramkan sekali.
Melihat wajahnya, Cu Jiang serasa kenal mereka dan
ketika diseksamakan, menggigillah tubuhnya.
Keempat kepala manusia itu tak lain adalah keempat
durjana Kiu-te-sat yang diperintah ketuanya untuk menuju
vihara Siau-lim dan Bu-tong-san.
Ternyata keempat anggauta Kiu te-sat itupun mengalami
nasib yang sama. Yang membunuh mereka tentulah tokoh2
dari Sip-pat thian-mo. Dengan kematian keempat orang itu,
praktis segenap anggauta Kiu te-sat akan terhapus dari
dunia persilatan untuk selama-lamanya.
Mengapa pembunuhnya menaruhkan kepala keempat
durjana itu diatas batu karang? Apakah maksudnya ?
Yang jelas baginya, karena keempat durjana itu sudah
terbunuh musuh, maka Cu Jiang pun telah bebas dan
kesanggupannya untuk melakukan permintaan yang kedua
dari Te ling-sat Tian Heng.
Demikian akhir riwayat dari seorang durjana besar
macam To ling-sat. Dan kematian yang diterimanya
memang sesuai dengan dosa yang telah dilakukannya.
Demi kemanusian, Cu Jiangpun segera hendak
menanam keempat batang kepala itu. Ia membuat sebuah
lubang. Tetapi tiba2 terdengar suara tawa yang keras.
Cu Jiang terkejut. Ketika memandang ke muka, dari
balik batu besar itu telah muncul seorang manusia aneh
yang berjubah kuning emas, Tingginya lebih dari dua meter.
Mulutnya lebar dan matanya lebih banyak bagian hitam
dari yang putih, memancarkan sinar yang berkilat-kilat.
Cu Jiang menduga bahwa orang itu tentu salah seorang
tokoh dari kawanan Sip-pat-thian-mo. Apakah dia tokoh
Hui thian sin mo yang telah melukai Te-ling-sat Tian Heng
dan kedua durjana lainnya itu?
Habis tertawa, orang aneh itu segera menghamburkan
kata yang memekakkan telinga:
"Hai, budak kecil, engkau pernah apa dengan kawanan
Kiu-te sat itu?"
Cu Jiang berdebar-debar. "Bukan apa-apa!" sahutnya.
Manusia aneh itu kerutkan dahi. Rupanya dia muak juga
melihat wajah Cu Jiang yang buruk. Kemudian berkata
pula:
"Apakah engkau murid Kiu te-sat ?"
"Bukan!"
"Lalu siapakah engkau ini?"
"Setan keluyuran dalam dunia persilatan."
"Heh, heh, mengapa engkau hendak mengubur keempat
kepala manusia itu?"
Itu demi peri-kemanusian, setiap orang tentu memiliki."
"Hm."
"Apakah anda yang membunuh ke empat orang itu?"
"Anggaplah begitu."
"Siapakah nama anda?"
"Engkau belum layak bertanya soal itu."
Cu Jiang mendengus. "Lalu apa maksud anda?"
Manusia aneh jubah emas itu memandang Cu Jiang
beberapa jenak lalu tertawa aneh:
"Aku telah khilaf tak dapat melihatmu. Sekarang telah
mencapai tingkat yang berisi. Mungkin memang benar,
dengan ilmu kepandaian cakar kucing yang dimiliki
kawanan Kiu-te-sat itu, tentu tak mampu menggembleng
bahan seperti dirimu.
"Tetapi bagaimana?"
"Engkau tentu mempunyai hubungan dengan Kiu te sat."
"Kalau ya lalu bagaimana?"
"Kalau begitu engkau harus menyusul mereka. . . ."
Meluaplah kemarahan Cu Jiang. Dia memang sudah
berjanji sanggup membalaskan sakit hati Kiu te-sat. Dan
saat itu peluang yang baik. Tetapi diam2 ia cemas apakah
dia mampu menandingi kesaktian manusia aneh ini.
Sekali bertempur, manusia aneh dari sip pat-thian-mo itu
tentu takkan berhenti sebelum dapat membunuhnya.
"Maksud anda hendak membunuh habis-habisan?"
serunya.
Manusia aneh itu tertawa menyeringai, serunya:
"Itu sudah menjadi peraturanku."
Cu Jiang mengertek gigi.
"Dalam kalangan Sip-pat-thian-mo, anda menempati
kedudukan nomor berapa?"
Tampak manusia aneh itu agak terkesiap.
"Ho, budak kecil, kata-katamu itu makin menunjuk jelas
bahwa engkau mempunyai hubungan dengan Kiu-te-sat.
Kalau tidak bagaimana engkau tahu tentang diriku?"
"Apakah aku menyangkal?"
"Ho, engkau mengaku?"
"Aku juga tak mengaku!"
"Jawab pertanyaanku !"
"Pertanyaan apa?"
"Apalah Kiu te-sat itu masih ada yang hidup?"
"Aku takkan menjawab sebelum anda menyebut diri
anda dulu.
Sekali menggeliat, manusia aneh itupun sudah melayang
di hadapan Cu Jiang.
"Engkau tak berhak untuk tawar menawar dengan aku."
Dengan tak gentar, Cu Jiang menyahut.
"Ah, masakan begitu..."
"Dalam dunia persilatan belum pernah ada orang yang
berani berkata begitu kepadaku ..."
"Anggaplah kali ini memang suatu pengecualian!"
"Ha, ha, ha . . . menggelikan! " dalam tertawa itu tiba2
terdengar suara ledakan keras. batu karang besar yang
mempunyai garis tengah setombak, sekali manusia aneh itu
gerakkan tangannya, segera meledak hancur lebur.
Diam-2 hati Cu Jiang menggigil tetapi dia tetap
mempertahankan keangkuhannya. Sedikit pun dia tak
berkedip mata.
Manusia aneh itu mengangguk-angguk.
"Bagus budak, menilik nyalimu yang begitu besar,
bolehlah aku memberi pengecualian. Dengarlah ! Apabila
engkau sanggup menerima tiga buah pukulanku, akan
kuberitahu namaku dan kulepaskan engkau pergi?"
Cu Jiangpun dengan angkuh menjawab: "Silahkan
mencobanya!"
Walaupun mulut mengatakan begitu tetapi dalam hati
sebenarnya Cu Jiang cemas juga. Ia tak tahu apakah
mampu menyambuti tiga buah pukulan momok itu.
Tetapi apa boleh buat. Dalam menghadapi saat seperti
ini, terpaksa dia harus menghadapi. Apabila memang
berbahaya, dia akan lari.
Sambil ayunkan tangannya, manusia aneh itu berseru:
"Awas, inilah pukulan pertama!" Seiring dengan
kata2nya, tangannyapun segera mendorong ke muka.
Sudah tentu Cu Jiang tak berani lengah. Dia kerahkan
tenaga-dalam dan menyambutnya.
Bum...
Terdengar letupan keras disusul dengan batu dan debu
yang beterbangan keempat penjuru. Kumandangnya jauh
menggema di seluruh lembah.
Cu Jiang terhuyung-huyung mundur sampai tiga
langkah. Darahnya kontan bergolak keras.
Manusia aneh itu masih tetap tegak di tempatnya. Hanya
kakinya makin melesak ke dalam tanah.
"Ha ha, ha sungguh menyenangkan sekali. Tak kira
kalau budak semacam engkau ternyata mampu menyambut
sebuah pukulanku!"
Setelah menenangkan semangatnya, Cu Jiang pun
menyahut:
"Masih ada dua buah pukulan lagi!"
Saat itu pikirannya sudah tak dapat menilai adakah
lawannya itu musuh dari Kiu-te-sat yang harus dia balas.
Dia menyadari bahwa kepandaiannya masih belum mampu
untuk menghadapi manusia aneh itu.
Sudah beruntung kalau dia tak mati dalam menerima
tiga buah pukulan manusia aneh itu. Jelas lawan memukul
dengan sederhana dan terang-terangan. Apabila dia
menggunakan jurus ilmu pukulan, bukankah dirinya sudah
hancur?
"Pukulan kedua! " tiba2 manusia aneh itu berseru pula.
Sebuah gelombang macam gunung rubuh segera
melanda. Cu Jiang segera menghimpun dua belas bagian
tenaga-dalamnya untuk menyambut.
Kembali terdengar ledakan yang lebih keras dari pukulan
pertama tadi. Cu Jiang terhuyung-huyung sampai tujuh
langkah ke belakang dan hampir rubuh. Dengan sekuat
tenaga, dia menelan darah yang hendak muntah dari
mulutnya.
Tetapi manusia aneh itupun juga tersurut ke belakang
sampai tiga langkah. Tubuhnya berguncang-guncang dua
kali.
Cu Jiang tahu bahwa dirinya telah menderita luka
dalam. Tetapi dia berusaha keras untuk menahan diri dan
tetap tak mengunjuk sikap lemah.
Manusia aneh itu memandang lekat2 pada Cu Jiang
sekian lama. Kemudian ia tertawa keras. Lama dan panjang
sekali.
"Sungguh tak tersangka, bahwa dalam dunia persilatan
jarang sekali orang yang mampu menerima dua buah
pukulanku, tetapi budak kecil ini benar-benar hebat. Hai.
budak, apakah kau masih sanggup menerima pukulanku
yang ketiga." serunya.
Dengan nada sarat, Cu Jiang menjawab:
"Tiga pukulan itu adalah anda sendiri yang
mengatakan!"
"Benar, tetapi aku bersedia untuk memberi pengecualian
kepadamu. "
"Mengapa?"
Daging muka yang menonjol dari manusia aneh itu
tampak berkerenyutan. Dan setelah matanya yang hitam itu
berkeliaran sejenak, dia berseru:
"Karena dengan pukulan yang ketiga itu engkau pasti
mati!"
Diam2 tergetar hati Cu Jiang, namun ia tetap bersikap
angkuh dan menjawab.
"Ah, belum tentu!"
"Budak, sepanjang hidupku baru engkaulah satu-satunya,
orang yang berani bersikap congkak kepadaku."
"Hm..." dengus Cu Jiang.
"Baik, sambutlah pukulanku yang ketiga ini!"
Serentak momok itu gerakkan kedua tangannya tetapi
tak terdengar mengeluarkan suara apa2. Sekalipun begitu
Cu Jiang tak berani memandang rendah.
Dia tahu bahwa saat itu dia tengah menghadapi ujian
mati atau hidup. Serentak diapun kerahkan seluruh tenaga-
dalam untuk membalas.
Adu tenaga-sakti yang berlangsung saat itu telah
menimbulkan ledakan yang amat dahsyat sekali.
Bagaikan dihantam dengan berpuluh-puluh godam, Cu
Jiang tertatih-tatih ke belakang. Pandang matanya gelap,
kepala berbinar-binar dan tulang belulangnya serasa lolos
dari sendi persambungan, kaki dan tangannya seperti patah
berantakan.
"Tidak, aku tak boleh rubuh. Tak boleh rubuh !" dengan
kekuatan yang sekeras baja ia berusaha sekuat tenaga untuk
mempertahankan diri supaya tidak rubuh.
Hanya dengan kemauan yang keras, akhirnya dapatlah ia
pertahankan tubuhnya tak sampai jatuh.
Rupanya manusia aneh baju kuning emas itu terkejut
sekali sehingga ia tercengang beberapa saat.
"Bagus! Bagus! Aku akan menetapi janjiku. Aku adalah
yang bergelar Gong Mo (Iblis Gila) yang menduduki urutan
ke 10 dan Sip pat thian-mo. Ingat baik2, budak. Ha, ha. ha,
ha..."
Dengan membawa tawa yang keras, iblis itu pun segera
melesat pergi.
"Benar, nama itu sesuai dengan tingkah lakunya. bahkan
nada tawanyapun seperti tawa orang gila."
Pada saat iblis gila itu lenyap, tubuh Cu Jiangpun
berguncang-guncang dan bluk... akhirnya dia rubuh dan
muntah darah.
"Aku . . . apakah akan mati ?" pikirnya. Benda
disekelilingnya tampak remang2, pikirannyapun mulai
kabur.
Dia ingin melakukan pernapasan untuk mengetahui
bagaimana keadaan jalan-darahnya tetapi tenaganya lemas
sekali.
"Habis riwayatku ..." pikirnya. Ia merasa tentu akan
mati.
Darah masih bercucuran dari mulut dan api
semangatnyapun makin padam.
Mati. Dia tak merasa penasaran karena dia telah mampu
menerima tiga pukulan dari salah seorang iblis Sip-pat-
thian-mo yang menggetarkan seluruh dunia persilatan.
Bahkan kawanan durjana Kiu-te-sat, tak seorang pun
yang hidup menerima pukulan iblis itu.
Tetapi kebanggaan itu tertumbuk dengan kenyataan yang
pahit karena dia belum dapat melaksanakan tugas
membalas sakit hati. Bahkan siapa musuhnya, pun dia tak
sempat menyelidiki lagi. Ah, tidakkah kematian itu suatu
kematian yang tak terelakannya ?
Samar2 dalam pandang matanya yang kabur itu dia
seperti melihat sesosok bayangan hitam muncul dan makin
lama makin bergerak mendekati ke tempatnya.
Dia berusaha untuk mengetahui siapakah pendatang itu
tetapi gagal. Pandang matanya seperti tertutup kabut. Dia
mencoba untuk berseru tetapi kerongkongannya serasa
tersumbat oleh suatu benda sehingga tak dapat bersuara
apa2.
Apakah pendatang itu si Iblis Gila yang datang lagi
hendak mengambil jiwanya ?
Hatinya tergetar dan kesadaran pikirannya-pun agak
terang, tetapi pandang matanya tetap masih pudar.
Tiba2 bayangan hitam itu seperti lenyap dari pandang
matanya.
Sebagai gantinya ia rasakan tubuhnya seperti diserang
berpuluh aliran angin gerakan jari. Aneh.
Kesadaran pikirannyapun makin terang dan tenaganya
juga makin pulih.
Cepat dia hendak menggeliatkan tubuh berpaling ke
belakang tetapi tiba2 terdengar suara seorang wanita berseru
melarangnya:
"Jangan bergerak dulu !"
Cu Jiang tersentak kaget. "Siapa engkau ?"
Wanita itu berkata pula:
"Aku hendak bertanya beberapa patah kata kepadamu..."
"Sukalah memberitahukan dulu nama anda."
"Kuharap engkau Jangan bertanya soal itu. Dengarkan,
bukankah engkau pernah melakukan pertolongan kepada
seorang pemuda baju putih untuk mengantarkan Piagam
Hitam ?"
Cu Jiang terkejut seperti dipagut ular. Soal itu hanya
puteri Jelita Ki Ing dan pelayannya yang tahu. Tetapi nada
suara wanita yang bertanya kepadanya itu, jelas bukan
suara si Jelita Ki Ing.
Juga bukan pelayannya yang bernama Siau Hui. Tetapi
mengapa dia tahu peristiwa itu? Mengapa dia menanyakan
soal itu? Ia sudah puluhan hari berada dalam lembah
rahasia tempat persembunyian kawanan Ku-te-sat,
mengapa orang itu dapat mencarinya kesitu ?
00odwo00

Jilid 6
Banyak sekali yang mengherankan pikirannya sehingga
ia lupa untuk memberi jawaban.
"Apakah engkau tak menjawab apa yang ku tanyakan ?"
wanita itu mengulang pertanyaannya.
"Dengar...."
"Jawablah, apakah betul begitu ?"
"Ya, tetapi . . ."
"Tetapi bagaimana ?"
"Bagaimana engkau tahu hal itu?"
"Apakah itu sukar ? Apakah kalau engkau bicara dengan
orang, tak boleh orang yang berada di dekat situ
mendengarkan ?"
Oh, kiranya wanita itu telah mendengar percakapannya
dengan jelita Ki Ing tempo hari. Tetapi mengapa wanita itu
menanyakan hal itu ?"
"Mengapa engkau menanyakan soal itu itu ?" serentak
Cu Jiang bertanya.
"Jangan hiraukan hal itu. Kutanya lagi, bukankah
engkau mengatakan bahwa pemuda baju putih itu terluka
dan berada di gunung ?"
"Ya."
"Engkau bohong!" seru wanita itu dengan nada sedingin
es.
"Aku .... bohong?"
"Kini, orang telah menyelidiki sekitar tempat itu sampai
seratus Ii, tetapi tak menemukan suatu jejak apa2, engkau
telah merangkai suatu cerita bohong, rupanya tentu
terdapat sesuatu apa2 di situ. Harap engkau berkata
sebenarnya!"
"Apa yang kukatakan itu memang sungguh!"
"Jangan pura2. Bahwa engkau sanggup menerima tiga
buah pukulan dari Iblis Gila, jelas engkau lebih sakti dari
pemuda baju putih Cu Jiang ..."
Kejut Cu Jiang bukan alang kepalang.
"Engkau tahu.... dia bernama Cu Jiang?" serunya dengan
gemetar.
"Tentu saja tahu."
"Siapakah engkau ini?"
"Aku yang bertanya kepadamu, lekas jawab!"
"Aku tak mempunyai keterangan lain lagi kecuali seperti
itu."
"Kalau begitu engkau memang kepingin mati!"
Cu Jiang mengeluh dalam hati. Adakah dia harus
membuka rahasia dirinya sendiri? Tetapi siapakah
pendatang itu?
"Apakah hubungan anda dengan Cu Jiang?" akhirnya ia
mencari akal untuk menyelidiki.
Rupanya wanita tak dikenal itu marah. Dia melengking
tinggi:
"Jangan banyak bicara! Di mana dia?"
"Ditengah-tengah gunung Bu leng san."
"Bohong!"
"Ah, anda terlalu menghina orang."
"Hm, jika engkau tak mau mengatakan sejujurnya, akan
kusuruh engkau mati secara perlahan-lahan."
"Apa yang harus kukatakan?"
"Kutanya lagi. Apakah hubungan antara puteri cantik itu
dengan pemuda baju putih?"
"Soal itu tak dapat kuberitahukan."
"Apakah engkau benar2 menghendaki supaya aku turun
tangan?"
Nada dan irama kata2 wanita itu serentak mengingatkan
Cu Jiang pada seseorang.
"Bukankah anda ini Ang Nio-cu? " tiba2 ia berseru.
"Hai, mengapa engkau tahu?" wanita itu tersentak kaget.
Cu Jiang sendiri juga ikut terkejut, ia menyadari bahwa
pertanyaan itu salah sekali. Dengan begitu tanpa disadari
dia telah membuka rahasia dirinya sendiri.
Ang Nio-cu telah membuat makam untuk mengubur
jenasah ayah bunda dan kedua adiknya. Budi itu takkan
dilupakan Cu Jiang. Seharusnya saat itu dia mengaku saja
siapa sesungguhnya dirinya itu.
Tetapi tiba2 ia teringat bahwa bagaimana keadaan
wanita itu yang sebenarnya, ia belum tahu. Yang
diketahuinya, wanita itu disohorkan dunia persilatan
sebagai momok perempuan yang ganas, ia tak tahu
bagaimana hubungan Ang Nio cu dengan kedua orang
tuanya dahulu semasa kedua orang tuanya itu masih hidup.
Mengingat hal2 itu, diam2 menggigillah hati Cu Jiang. Ia
menyadari bahwa apabila sampai menimbulkan kemarahan
wanita itu, tentulah wanita itu akan bertindak
menghancurkan dirinya.
Mengingat pula bahwa wanita itu telah membuatkan
makam untuk kedua orang tuanya, ia duga Ang Nio-cu itu
tentu mempunyai maksud baik, jika ia sampai bertengkar
dengan Ang Nio-Cu bukankah berarti dia tak ingat pada
budi orang yang telah memberi kebaikan kepada kedua
orang tuanya?
"Andapun pernah membuatkan makam untuk Seng
kiam." akhirnya ia mendapat pikiran dengan mengajukan
pertanyaan.
Ternyata Ang Nio-cu memang makin terkejut.
"Engkau tahu juga hal itu. Engkau ini... sebenarnya
siapa?"
Sejenak berdiam, akhirnya Cu Jiang menemukan suatu
perjanjian.
"Bagaimana kalau kita sama2 membuka rahasia diri kita
masing-2 ?"
"Apa yang engkau kehendaki?"
"Anda menerangkan hubungan anda dengan Seng-kiam
dan akupun akan menerangkan peristiwa yang sebenarnya
kuketahui!"
"Jika aku tak mau mengatakan?"
"Kalau begitu kitapun sama2."
"Tetapi jiwamu saat ini berada dalam tanganku!"
"Aku sudah tak menghiraukan lagi soal mati hidup." kata
Cu Jiang dengan dingin.
"O, tak ada tanda-2 yang kulihat bahwa engkau memiliki
tekad begitu. Apakah engkau hendak mencoba tanganku?"
"Ah, masakan aku berani mengatakan begitu, bahkan
mendengar nama anda saja aku sudah mengagumi sekali."
Ang Nio-cu terdiam beberapa saat. Kemudian tertawa.
"Anggaplah engkau berhasil menawarkan perjanjian tadi.
Kali ini Ang Nio-cu akan melanggar pantangan. Aku hanya
mengagumi kepribadian Seng-kiam saja!"
"Tempat persembunyian Seng-kiam tiada orang yang
tahu. Bagaimana anda dapat tiba ditempat itu ?"
"Pemuda baju putih itu yang menunjukkan jalan sendiri
!"
"O, anda mengikutinya secara diam2."
"Engkau sudah terlalu banyak bertanya. Sekarang
giliranmu yang harus memberi keterangan."
Terlintas sesuatu dalam benak Cu Jiang dan dengan nada
gemetar dia berseru.
"Ijinkan aku bertanya sepatah lagi .. . hanya sepatah saja
. . ."
"Katakan !"
"Siapa pembunuh Seng-kiam sekeluarga?"
"Pertanyaan itu bukan pertanyaan yang sepele. Dan
perlu apa engkau menanyakan hal itu ?"
"Ada sebabnya."
"Tetapi sikapmu terhadap puteri jelita Itu, seharusnya
engkau tak mengajukan pertanyaan semacam itu ?"
"Dulu dan sekarang memang lain."
"Engkau tidak ketolol-tololan lagi?"
"Hai."
"Dengarkan. Aku terlambat datang setindak sehingga tak
menyaksikan peristiwa itu. Tetapi kelak tentu dapat
menyelidiki."
Cu Jiang mengeluh kecewa. Tetapi ucapan Ang Nio-cu
yang terakhir yang menyatakan bahwa kelak tentu dapat
menyelidiki, menimbulkan rasa terima kasihnya terhadap
Ang Nio-cu.
Setelah merenung sejenak, barulah dia berkata pula.
"Aku yang jelek ini tak lain adalah pemuda baju putih
Cu Jiang itu sendiri!"
Kejut Ang Nio cu lebih dari disambar petir.
"Apa . . ." serunya gemetar, " engkau .. . engkau ini ... .
Cu Jiang ....?"
Dengan mengertak gigi, Cu Jiang berkata dengan nada
sedih:
"Ya, memang benar."
"Engkau.... engkau.... meskipun nada suaramu memang
mirip tetapi siapakah yang mau percaya .... "
"Aku sendiri juga tak percaya. Tetapi aku harus
menerima kenyataan pahit ini!"
"Apakah engkau.... menggunakan ilmu merobah muka."
"Tidak!"
"Wajahmu .... kakimu ... . "
"Inilah musuh yang mencelakai diriku sampai begini! "
"Ai . . . . sungguh menyeramkan sekali."
Sungguh di luar dugaan bahwa seorang momok wanita
seperti Ang Nio cu ternyata dapat mengeluarkan kata2 yang
begitu penuh rasa kasihan dan simpati.
"Benar2 suatu hal yang sukar dipercaya."
Seketika ia teringat akan anggapan "Te-ling-sat Tian
Heng.. kepala dari kawanan Kiu- te-sat yang mengatakan,
bahwa apa yang disebut aliran Putih dan Hitam dalam
dunia persilatan itu memang sukar ditentukan.
Ada tokoh yang dicap sebagai momok ganas, tetapi dia
juga seorang manusia yang mempunyai hati kebaikan,
masih ada setitik budi nuraninya yang baik.
Seperti dia sendiri, kelak kalau melakukan pembalasan
tentu akan mengadakan pembantaian hebat. Adakah
tindakannya itu kelak dapat dianggap sebagai tindakan
seorang dari aliran putih ataukah Hitam !
"Aku telah memberi keterangan, apakah anda
memerlukan petunjuk lagi?" akhirnya ia berkata kepada
Ang Nio-cu itu.
Dengan nada gemetar, Ang Nio-cu meminta penegasan:
"Cu Jiang, bagaimana sesungguhnya peristiwa itu
terjadi?"
"Ketika itu aku hendak pulang ke gunung. Kudapati
keluargaku sudah dibantai habis-habisan. Tiba2 aku
diserang oleh tiga manusia aneh lalu dilempar ke dalam
jurang sehingga tubuhku jadi cacad begini."
"Apakah engkau tahu siapa yang melakukan
penganiayaan itu?"
"Tidak tahu."
"Bagaimana wajah mereka?"
"Apabila bertemu tentu dapat mengenali."
"Bagaimana keadaan tubuhmu sekarang?"
Pertanyaan Ang Nio cu itu telah menyadarkan Cu Jiang,
dia tahu kalau menderita luka dalam yang parah. Apabila
terlambat mendapat pengobatan tentu jiwanya melayang.
Tetapi apa daya, tenaganya masih belum pulih dan tenaga
dalamnya masih tak dapat dihimpun. Jelas tak mungkin dia
akan melakukan pengerahan tenaga-dalam untuk
mengobati lukanya itu.
"Tenaga-murni sukar kuhimpun !"
"Begitu parah lukamu itu?"
"Kukira aku tentu. . . ."
"Pejamkan mata, jangan sekali-kali engkau mencuri lihat
aku. Akan kuperiksa lukamu !"
Berdebar keras hati Cu Jiang. Ia tahu wanita itu tak mau
dilihat orang. Ia merangkai kesimpulan bahwa wanita itu
tentu tak mengandung maksud buruk kepadanya. Kalau
memang hendak membunuhnya tentu saat itu dia dapat
melakukannya.
Akhirnya Cu Jiang memutuskan. Terpaksa ia menurut
perintah wanita aneh itu.
"Hm." ia mendesah lalu pejamkan mata.
Sesaat kemudian terasa dari belakangnya berhembus
angin lemah dan segera ia rasakan jalan darah tubuhnya
digerayangi oleh jari orang.
Beberapa saat kemudian tiba2 Ang Nio-cu mendesis
kaget.
"Hai ...!"
Cu Jiang terkejut dan tanpa disengaja membuka mata.
Sesosok bayangan merah cepat menghilang dari pandang
matanya.
"Hai, mengapa engkau membuka mata?" teriak Ang Nio-
cu dari jarak beberapa tombak jauhnya.
"Maaf, aku tak sengaja," Cu Jiang meminta maaf.
"Engkau telah terkena pukulan Thian-kong sat dari Iblis
Gila, dan pukulan itu telah menyusup kedalam jalan darah
tubuhmu ..."
"Thian-kong-sat?"
"Ya."
"Lalu bagaimana?"
"Saat ini aku tak berdaya menolongmu."
Cu Jiang tertawa hambar. "Aku pasrah saja."
"Tidak!" teriak Ang Nio-cu.
Cu Jiang terkesiap. Apa maksud kata2 Ang Nio-cu itu?
Dia tak tahu bagaimana harus berkata. Sesaat suasanapun
hening. Sebenarnya dia tak ingin mendapat bantuan orang
tetapi ia merasa ada beberapa hal yang harus ia nyatakan
kepada wanita itu.
"Atas budi kebaikan anda yang telah mengubur jenazah
ayah bunda dan kedua adikku, sebelum mau mati, aku
tentu akan membalas budi itu, " katanya.
"Hm, siapa yang mengharap belas budi dari engkau,"
desah wanita itu dengan nada dingin.
"Benar, tetapi kita masing2 mempunyai pendirian dan
kepentingan sendiri."
"Engkau tak boleh mati..."
Kembali Cu Jiang tergetar mendengar ucapan itu dan
serentak dia cepat menukas: "Aku tak boleh mati?"
"Tidak boleh !"
"Kenapa?"
"Akan kubiarkan supaya engkau hidup terus."
"Kenapa?"
"Jangan bertanya!"
Cu Jiang tutup mulut tetapi hatinya tetap heran atas
tingkah laku momok wanita yang begitu aneh.
Beberapa saat kemudian baru terdengar Ang Nio-cu
berkata lagi:
"Saat ini aku hanya dapat menolong untuk sementara
waktu, tingkat dapat hidup sampai setengah bulan . . ."
"Setengah bulan?"
"Apakah engkau mempunyai tempat persembunyian. ?"
Sejenak merenung. Cu Jiang berkata:
"Ada. Di dasar jurang, bekas tempat persembunyian Kiu-
te-sat.".
"Baiklah, engkau tunggu saja di sana sampai setengah
bulan."
"Menunggu anda datang lagi"
"Hm, aku hendak meminta obat ke suatu tempat, tetapi. .
."
"Bagaimana?"
"Biar bagaimana juga, aku harus berusaha supaya
engkau hidup."
Hati Cu Jiang tegang sekali.
"Mengapa engkau bersikap begitu kepadaku?" serunya
dengan gemetar.
"Kelak engkau tentu tahu sendiri. "
"Sebenarnya aku tak berani menerima budi kebaikan
anda yang sedemikian besar."
"Tutup mulut! Aku, Ang Nio-cu, akan melakukan apa
yang kuinginkan!"
Cu Jiang tertawa getir dan tak bicara apa2 lagi. Ia
merenungkan tindakan wanita itu mendirikan makam
untuk kedua orang tua dan adiknya. Karena sudah terlanjur
menerima budi orang, mengapa ia akan menolak lebih
lanjut.
"Pejamkan mata dan ngangakan mulutmu!" tiba2 Ang
Nio-cu berseru pula.
Cu Jiang menurut. Baru membuka mulut, beberapa butir
pil telah menyusup ke dalam kerongkongan dan turun
kedalam perut. Pil berbau harum sekali, entah apa
namanya.
Kemudian ia rasakan beberapa jalan darah pada
tubuhnya telah disengat oleh angin dari gerak tutukan jari.
"Sampai jumpa setengah bulan lagi!" Kata2 yang terakhir
itu terdengar jauh sekali. Jelas Ang Nio cu sudah lenyap.
Begitu masuk ke dalam perut, pil itu segera
memancarkan hawa hangat yang mengembang ke dada lalu
mengalir ke seluruh tubuh. Bagian2 yang sakitpun terasa
longgar tetapi tenaga murninya masih belum dapat
dihimpun.
Cu Jiang bangkit berdiri. Ada suatu perasaan hampa
yang membuatnya terlongong2.
Ia teringat akan peristiwa ketika dibawa Song bun sat
turun ke dasar jurang dan akhirnya mendapat saluran
tenaga sakti dari ketiga durjana Kiu te sat. Tetapi kini dia
kembali lagi seperti orang biasa, orang yang tak memiliki
ilmu silat.
Mengingat bahwa kaki kirinya timpang, diam2 ia ngeri
juga. Karena tak punya tempat tujuan terpaksa ia kembali
ke dalam gua persembunyian Kiu te sat untuk menunggu
Ang Nio cu yang akan datang setengah bulan lagi.
"Siapakah sebenarnya Ang Nio cu itu?" Bagaimana
wajahnya dan berapa usianya? Mengapa dia tak mau
mengunjukkan wajahnya ? Kemanakah dia hendak mencari
obat ?
Kesemuanya itu merupakan teka teki dalam pikiran Cu
Jiang. Teka teki yang tak dapat dipecahkannya.
Akhirnya ia gelengi kepala dan tersenyum hambar lalu
dengan tertatih-tatih ia mulai menuju ke lembah lagi.
"Berhenti !" sekonyong-konyong terdengar sebuah
bentakan bengis.
Cu Jiang terkejut dan hentikan langkah lalu berputar
tubuh.. . Ah. semangatnya serasa terbang ketika melihat
sesosok manusia aneh dalam jubah warna putih. Siapa lagi
orang itu kalau bukan Pek-poan koan atau hakim Putih dari
Gedung Hitam. Tak jauh dibelakangnya tampak dua orang
Pengawal Hitam.
Dengan menyeringai, Hakim Putih itu memandang Cu
Jiang lalu berseru sinis:
"Budak buruk, bagus ya, engkau berani mati menjual
nama pemilik Piagam Hitam dan memaksa aku supaya
melepaskan tawanan penting, sehingga aku harus
mempertanggung jawabkan. . ."
Cu Jiang menelan ludah dan membantah: "Apakah
Plakat Hitam itu palsu?"
"Tidak palsu ! Tetapi pemilik Piagam Hitam tak pernah
memberi perintah kepadamu supaya tawanan penting itu ku
lepaskan."
"Lalu anda hendak mengapakan diriku ?"
"Merobek-robek tubuhmu !"
Cu Jiang menggigit bibir kencang2 dan menyahut:
"Silahkan, aku takkan melawan."
Apabila tak terkena pukulan Thian-kong-sat dari Iblis
Gila. tentulah Cu Jiang mampu menghadapi hakim Putih
dari gerombolan Gedung Hitam.
Tetapi saat itu keadaan dirinya tak lebih dari seorang
pemuda biasa yang tak mengerti ilmu silat.
Ah, apabila Ang Nio-cu agak terlambat sedikit perginya
atau kalau dia tadi lekas2 turun ke lembah, mungkin akan
lain keadaannya.
Hakim Putih melesat maju dan dengan mudah sekali dia
sudah dapat mencengkeram tubuh Cu Jiang.
Kecuali meramkan mata menunggu kematian, Cu Jiang
tak dapat berbuat apa2 lagi.
Tiba2 salah seorang dari Pengawal Hitam itu berkata
kepada Hakim Putih:
"Lapor pada hu-hwat bahwa Bak-hu cu-jin (tuan dari
Piagam Hitam) telah memesan kami bahwa kita dilarang
mengganggu Jiwa anak ini."
Cu Jiang terkesiap. Diam2 ia merangkai dugaan siapa
pemilik Piagam Hitam itu.
Rasanya tak mungkin kalau dia itu si jelita Ki Ing,
karena tampaknya nona Itu tak dapat menguasai kawanan
Gedung Hitam. Kebanyakan tentulah ayah atau salah
seorang pamannya yang menjadi pemilik Piagam Hitam
atau yang dipertuan dari Gedung Hitam.
"Kapan dia mengatakan pesan itu ?" tanya Hakim Putih.
"Belum lama ini."
"Karena berani menjual nama pohcu (pemilik Gedung
Hitam) maka pohcu amat marah sekali dan memerintahkan
aku supaya membawa budak itu menghadap. Bukankah
begitu ?"
"Tetapi..."
"Pedomanku hanyalah titah dari pohcu !"
"Ya."
Hakim Putih menatap Cu Jiang lalu tertawa mengekeh:
"Budak cacad itu telah punah kepandaiannya, entah
siapa yang mencelakainya. Aku juga segan turun tangan !"
dia terus mengangkat tubuh Cu Jiang dan dilemparkan
kearah sebuah batu besar yang terpisah beberapa tombak
jauhnya.
Serasa terbanglah semangat Cu Jiang. Jelas dia tentu
hancur lebur apabila membentur batu besar itu. Tetapi dia
tak mampu berbuat apa2 lagi
"Ha, ha, ha, ha..."
Serempak Cu Jiang merasa seperti meluncur turun dan
disambut dalam tangan orang. Cepat ia berpaling dan
melihat wajah seorang Sastrawan pertengahan umur.
"Ih.,.." Hitam Putih mendesah hebat.
Setelah diletakkan di tanah barulah Cu Jiang dapat
mengetahui jelas bahwa yang menolong dirinya itu seorang
lelaki berdandan seperti seorang sasterawan, usianya
diantara empat puluhan tahun.
Wajahnya berseri-seri, ramah dan tamah sekali. Tetapi
ketika tertumbuk dengan pandang matanya, Cu Jiang
terkesiap. Mata sastrawan im memancar tajam sekali,
seperti ujung belati yang menusuk ulu hati.
Pada saat Cu Jiang hendak mengucapkan terima kasih
tetapi Hakim Putih sudah membuka mulut:
"Lim congkoan, engkau juga datang....!"
Mendengar nama Lim congkoan, semangat Cu Jiang
makin menurun. Jelas pendatang itu sekaum dengan Hakim
Putih.
Congkoan adalah kepala pengurus. Sudah tentu
pengurus dari Gedung Hitam.
Kata2 yang sudah di ambang bibir, terpaksa ditelan
kembali oleh Cu Jiang.
Sastrawan pertengahan umur yang disebut Lim
congkoan itu segera berkata:
"Karena tokoh dari Sip pat thian-mo telah muncul di
tempat ini, kita tak boleh main2."
Hakim Putih menunjuk pada Cu Jiang:
"Budak cacad ini ...."
"Untung aku cepat datang," tukas Lim congkoan, "Pohcu
kita menghendaki tawanan hidup agar dapat ditanya!"
Cu Jiang menahan napas. Kepala dari Gedung Hitam
hendak bertanya kepadanya sendiri. Ah, rupanya ia bakal
mempunyai kesempatan berhadapan dengan momok
misterius dalam dunia persilatan yang amat termasyhur itu.
"Apakah tahu tujuan dari gerombolan Sip-pat-thian-mo
yang muncul di sini?" tanya sasterawan pertengahan umur
itu pula.
Hakim Putih gelengkan kepala.
"Tidak."
"Pohcu memberi pesan kepadaku supaya disiarkan
kepada anggauta kita. Sedapat mungkin berusaha
menghindari jangan sampai bentrok dengan mereka!"
"Oh..."
"Apakah budak ini dapat kubawa?"
"Silahkan."
Sasterawan pertengahan umur itu segera mengangkat
tubuh Cu Jiang, mengempitnya dan terus dibawa lari.
Cu Jiang tak dapat berbuat apa2 kecuali pasrah nasib.
Apakah orang ini hendak membawanya ke hadapan kepala
Gedung Hitam?
Kalau benar, ah, sungguh kebetulan sekali, ia tentu
mempunyai kesempatan untuk menyelidiki, apakah
pembunuh dari orang tuanya itu memang gerombolan
Gedung Hitam.
Tetapi ketika teringat bahwa dirinya telah terkena racun
pukulan Thian-kong-sat dari si Iblis Gila dan pil pemberian
Ang Nio Cu itu hanya dapat mempertahankan jiwanya
setengah bulan saja, semangatnyapun dingin pula.
Pikir2, memang sudah nasibnya dia harus mati dan pil
dari Ang Nio Cu itu hanya menambah hutang budi pada
orang.
Sorenya mereka tiba di sebuah kota kecil. Sasterawan
setengah tua melepaskan Cu Jiang dan keduanya segera
berjalan masuk kedalam kota.
Sekalipun kota didaerah pegunungan, tetapi cukup ramai
perdagangannya. Sasterawan itu mengajak Cu Jiang masuk
kedalam sebuah rumah penginapan. Dia suruh jongos
membelikan seperangkat pakaian.
Setelah menyuruh Cu Jiang ganti pakaian, keduanya
segera menunjukkan perasaan lega. Cu Jiang tampak seperti
seorang sastrawan berwajah buruk. Tetapi dia tak peduli. Ia
duga sasterawan setengah tua itu tentu akan menghapus
perhatian orang.
Memang setiap orang yang berpapasan tentu akan
terkejut dan memandang wajah Cu Jiang dengan perasaan
seram tetapi pemuda itu kini sudah tak kaget lagi. Dia
tenang2 saja.
Setelah keluar dari kota, sastrawan setengah tua itu
mengepit tubuh Cu Jiang lagi untuk dibawanya lari.
"Engkoh kecil, siapakah namamu ?" tiba? orang itu
bertanya.
Cu Jiang tetap memberi jawaban seperti yang sudah2:
"Tiada she tiada nama, cukup panggil si Gok-Jin-Ji saja."
"Engkau tidak seperti pemuda desa!"
"Mengapa ?"
"Kulit dan sinar matamu, mengatakan engkau bukan
berasal dan keluarga sembarangan. Dan lagi engkau
mengerti ilmu silat, cerdas dan memiliki seperangkat bahan
tulang yang bagus sekali. Penyamaranmu, hanya dapat
mengelabui orang biasa."
"Uh.." Cu Jiang segan membantah,
"Maukah engkau Memberitahukan asal usul dirimu ?"
"Maaf. tak dapat."
"Engkau tahu apa yang bakal engkau hadapi dalam
perjalanan kali ini ?"
"Ah, paling2 mati."
"Engkau congkak sekali tetapi sikapmu itu tak berguna.
Tiada didunia ini orang yang sengaja hendak cari mati !"
Cu Jiang tersenyum getir. Dia hanya dapat hidup
setengah bulan, perlu apa2 harus banyak pikiran.
"Mungkin diriku lain," katanya.
Sasterawan setengah tua itu tertawa gelak2: "Apa sebab
engkau harus lain ?"
"Aku tak dapat mengatakan."
"Wajahmu tentu tidak begitu buruk sebelumnya."
"Tentu."
"Menilik bekas-bekasnya, tentu baru terjadi lebih kurang
setahun. . . ."
Cu Jiang tergetar hatinya. Mata sasterawan setengah tua
yang bernama Lim congkoan nu sungguh tajam sekali.
"Anggaplah begitu."
"Mengapa engkau kehilangan tenagamu ?"
"Belajar silat tidak sempurna."
"Siapa yang melukaimu ?"
Tiba2 Cu Jiang tertarik perhatiannya.
"Entah, siapa orang itu."
"Mengapa engkau berada di tengah gunung belantara?"
"Mengapa anda bertanya begitu melilit ?"
"Karena ingin tahu sejelas-jelasnya."
"Maaf, aku tak dapat menjawab."
"Engkoh kecil, kalau dihadapan pohcu engkau bersikap
begitu, jelas hendak cari mati . . ."
"Mengapa anda memperhatikan jiwaku?"
"Hm, baiklah. Sampai disini saja pembicaraan kita."
Menjelang malam mereka tiba disebuah kota kecil lagi.
Seperti yang lalu, Sasterawan itu melepaskan Cu Jiang lagi
berjalan sendiri.
"Malam ini terpaksa kita harus beristirahat dikota ini,"
katanya.
Mereka masuk kesebuah warung arak dan memesan
hidangan. Tetamu2 terkejut melihat wajah Cu Jiang yang
buruk.
"Songcu, ci-hwa, kwaci, kacang." tiba2 terdengar orang
menjajakan jualannya.
Cu Jiang seperti kenal dengan suara orang itu. Cepat ia
berpaling. Seorang wanita gemuk tengah membawa rantang
masuk ke dalam warung arak itu.
"Pergi ! Pergi! Kelain tempat saja, Jangan disini!" pemilik
warung arak menghalaunya.
Tetapi wanita gemuk itu tak menghiraukan dan tetap
berteriak-teriak menjajakan jualannya.
Tiba2 sasterawan setengah tua itu menggapainya . "Hai,
penjual liongcu, kemari !"
Wanita gemuk itu deliki mata kepada pemilik warung
lalu melangkah ketempat sasterawan setengah tua itu:
"Tuan mau beli apa ?"
Ketika melihat wanita penjual itu, serentak tergetarlah
hati Cu Jiang. Ia hendak menegurnya tetapi tiba2 tak jadi.
Perempuan gemuk itu tak lain adalah pemilik rumah
penginapan di Ei-jwan yang karena menolong dirinya,
rumah makan itu telah dibakar oleh orang Gedung Hitam.
Ternyata perempuan gemuk itu masih hidup. Tetapi
mengapa dia berada di kota situ?
Perempuan itu tentu tak kenal lagi kepadanya karena Cu
Jiang yang dulu, jauh berlainan dengan yang sekarang,
iapun tak berani menegurnya karena dikuatirkan
perempuan itu akan mengenali suaranya. Akibatnya tentu
berbahaya sekali.
Sambil menyerahkan sekeping perak hancur Lim
congkoan itu berkata: "Ambilkan untuk teman arak!"
"O, tuan .... tak punya kembalinya."
"Tak usah kembali, ambillah!"
"O, terima kasih. Kupujikan tuan banyak rejeki, panjang
umur," kata perempuan gemuk seraya membungkuskan
kwaci dan kacang lalu diletakkan di meja.
Hati Cu Jiang tak keruan rasanya. Dialah yang
menyebabkan perempuan itu sampai merana dan menjual
kacang. Tetapi karena Lim congkoan berada di situ,
terpaksa dia tak berani berkata apa2.
Entah bagaimana, perempuan gemuk itu berpaling ke
arah Cu Jiang.
"Aih . . .." ia menjerit kaget sehingga kacang dan
kwacinya tumpah keluar. Buru2 dia memberi hormat dan
menghaturkan maaf kepada Lim congkoan, lalu
membungkukkan lagi.
"Tak apa," kata Lim congkoan, "memang wajah
sahabatku ini sering mengejutkan orang !"
"Sudahlah, sudahlah," katanya kemudian, "cukup begitu
saja."
"Tetapi uang tuan tadi cukup untuk pembeli sepuluh
keranjang daganganku . ."
"Telah kukatakan," kata Lim congkoan, "ambillah !"
Kembali wanita gemuk itu menghaturkan terima kasih.
"Jika daganganmu ingin maju, engkau harus jualan ke
lain kota yang besar. Di kota pegunungan yang sekecil ini,
mana bisa tutup ongkos . . . ."
"Tuan, selain cari makan, sebenarnya aku sedang
mencari jejak seorang anakku yang hilang."
Cu Jiang terkejut. Ia tahu wanita gemuk itu tak punya
anak, bahkan belum bersuami. Tentulah dia hanya cari
alasan saja untuk mengetuk rasa kasihan orang.
"Oh, anakmu hilang ?" seru Lim congkoan.
"Benar tuan," kata wanita gemuk. "dia adalah puteraku
tunggal."
Melihat perempuan itu berlinang-linang airmata, diam2
Cu Jiang geli. Pandai benar wanita gemuk itu bersandiwara.
Jika tahu bahwa pembelinya itu adalah musuhnya, entah
bagaimana sikap wanita itu.
Menilik wanita gemuk itu memiliki ilmu silat yang
tinggi, tentulah ada maksudnya dia berjualan kacang itu.
Lim congkoan mencelupkan jari kedalam arak lalu
menulis beberapa huruf diatas meja.
Cu Jiang tak memperhatikan tulisan itu.
"Jika begitu engkau tentu orang yang bernasib malang ?"
seru Lim congkoan pula.
Wajah wanita gemuk itu berobah dan air matanyapun
segera bercucuran.
"Dengarkanlah, walaupun aku hidup menderita begini,
tetapi aku tak putus asa. Puteraku itu bukan seorang yang
berumur pendek, dia tentu masih hidup. Dia. .. apabila
sampai . . . tak dapat ku ketemukan orangnya .. . tetapi aku
tetap akan mencari tulangnya !"
Rupanya Lim congkoan merasa kasihan. Ia menghela
napas:
"Kasihan, semoga Tuhan memberkahi agar kalian
mamah dan anak dapat bertemu kembali!"
Diam2 Cu Jiang membatin bahwa Lim cong-koan itu
seorang yang baik hati, beda dengan kaum durjana
umumnya, Diam2 iapun memuji kepandaian wanita gemuk
bermain sandiwara.
Kemudian wanita gemuk itu mohon diri dan
menghaturkan terima kasih. Dia terus keluar. Rupanya dia
tak mau melanjutkan berjualan lagi.
Sejenak termangu, Lim congkoan berkata pula:
"Engkoh kecil, setelah makan kita lanjutkan perjalanan
lagi."
Karena tenaga kepandaiannya punah, maka walaupun
dikempit Lim congkoan selama menempuh perjalanan, dia
tetap merasa lelah.
"Apakah malam hari juga tetap berjalan?" tanyanya.
"Ya."
"Sebenarnya . . ."
"Tutup mulutmu!"
Terpaksa Cu Jiang tak berani berkata. Setelah makan
mereka berangkai lagi. Tiba di luar kota di tempat yang
sepi, seorang berpakaian hitam menuntun dua ekor kuda
menyambutnya.
Cu Jiang heran tetapi Lim congkoan sudah mendahului
berkata:
"Terpaksa engkau harus menderita lagi." Dia terus
menutuk jalan darah Cu Jiang dan anak muda itupun
segera pingsan. Ketika siuman dan membuka mata, ia
merasa dingin sekali dan sekelilingnyapun gelap gulita
sampai tak dapat melihat jari2 tangannya sendiri.
Ketika ia meraba-raba ternyata dirinya berada di atas
sebuah lantai batu.
"Tempat apakah ini?" pikirnya, "apakah aku sudah
berada di Gedung Hitam. Kalau benar, jelas tempat ini
tentu merupakan suatu kamar tahanan."
Dia terus duduk. Serempak pada saat itu terdengar suara
dari Lim congkoan berseru:
"Perhatikan, jawablah pertanyaan pohcu dengan terus
terang!"
Tergetar hati Cu Jiang. Ternyata dia memang berada
dalam Gedung Hitam. Tetapi mengapa tempatnya begitu
gelap sekali.
Tempat apakah ini?" serunya.
"Tak boleh bertanya! " tukas Lim congkoan.
Menyusul sebuah suara yang menggetarkan hati segera
mengumandang: "Siapa namamu?"
Cu Jiang duga yang bertanya itu tentulah kepala dari
Gedung Hitam. Setelah meragu sejenak ia menyahut:
"Gok-jin-ji !"
"Dari keluarga mana?"
"Tak punya keluarga."
"Engkau kenal dengan pemilik Piagam Hitam?"
"Hanya... hanya kenal dengan seorang nona. Entah
apakah dia itu pemilik Piagam Hitam."
"Dari mana engkau mendapatkan Piagam Hitam itu ?"
"Menerima permintaan tolong orang untuk
menyerahkannya kepada nona itu."
"Siapa yang meminta tolong itu."
"Seorang pemuda yang menderita luka parah."
"Siapa namanya ?"
"Entah."
"Apakah bukan seorang pemuda pelajar yang cakap
tampangnya?"
Diam2 Cu Jiang tergetar hatinya, namun ia mengiakan.
"Apakah keteranganmu itu dengan sejujurnya ?"
"Ya."
"Luka apa yang diderita pemuda pelajar itu?"
"Soal itu . . . tak tahu. Tetapi tubuhnya berlumuran
darah, napas terengah seperti tak kuat hidup lagi."
Diam2 Cu Jiang heran mengapa orang itu bertanya
begitu melilit tentang hal itu.
Menilik tempo hari kepala Pengawal Hitam si Mata-sakti
Ong Tiong Ki Juga mendesaknya untuk menceritakan
tentang kedua orang tuanya, Cu Jiang makin keras
dugaannya bahwa yang bertanya kepadanya saat itu,
tentulah orang Gedung Hitam juga. Serentak timbullah
dendam kesumat hatinya.
"Aku tak boleh mati, aku harus hidup. Aku harus
menghimpaskan dendam ini !" hatinya menjerit-jerit.
Tetapi dapatkah dia hidup? Ang Nio Cu sedang berusaha
untuk mencarikan obat, tetapi kini dia jatuh kedalam
tangan orang Gedung Hitam lagi. Karena semua
kepandaiannya sudah lumpuh, tak mungkin dia dapat lolos.
Tetapi kalau harus mati di tangan orang2 Gedung
Hitam, dia sungguh penasaran sekali !
"Pertanyaan selesai !" tiba2 suara orang yang diduga Cu
Jiang sebagai kepala Gedung Hitam itu pun berseru pula.
"Mohon menurunkan perintah bagaimana harus
mengurusnya." seru sastrawan setengah tua atau Lim
congkoan tadi.
"Dia tahu terlalu banyak, seharusnya..."
Mendengar itu, tiba2 timbul pikiran Cu Jiang, cepat ia
berseru menukas:
"Pohcu, aku mempunyai perjanjian dengan pemilik
Piagam Hitam itu !"
"Apa ? Engkau mempunyai perjanjian dengan pemilik
Piagam Hitam ?"
"Ya."
"Perjanjian apa? "
"Penting sekali, aku harus bertemu dengan dia!"
"Heh, heh, heh ... mungkin engkau harus ingkar janji . .
."
"Ah, tiada guna pohcu akan menyusahkan diriku seorang
kerucuk yang tak bernama. "
"Jangan banyak mulut!"
Cu Jiang menggigit gigi, serunya: "Pemilik Piagam
Hitam itu baru puas hatinya apabila sudah bertemu lagi
dengan aku!"
"Kenapa?"
"Dia hendak menyuruh aku melakukan sebuah urusan. "
"Urusan apa?"
"Hendak suruh aku menunjukkan tempat jenasah
pemuda pelajar baju putih itu."
"Jenasah? Apakah engkau yakin pemuda itu tentu mati?"
"Waktu bertemu, kulihat keadaannya sudah tiada
harapan lagi."
"Oh."
Setelah diam beberapa jenak, terdengar ketua Gedung
Hitam berseru:
"Untuk sementara, tangguhkan dulu hukuman!"
Suasana hening pula.
Cu Jiang menghembus napas longgar. Saat itu hatinya
segelap ruangan yang ditempatinya.
Diam2 ia merenungkan letak Gedung Hitam itu. Setelah
meninggalkan kedai arak, lalu ditutuk jalan darahnya oleh
Lim congkoan, dia memang kehilangan arah.
Tetapi ia menarik kesimpulan bahwa orang yang
menyediakan kuda itu berada di sebelah timur kota, tak
mungkin akan kembali menuju kearah barat lagi.
Perjalanan Cu Jiang itu hanya menuju ketiga arah,
timur, timur laut atau tenggara.
Sejak dalam perjalanan itu hingga sekarang Cu Jiang
masih belum merasa lapar. Jelas perjalanan itu tentu tak
sampai seratus li. Dengan begitu dapatlah ditarik
kesimpulan bahwa tempat yang dia berada sekarang ini
tentulah di tengah2 gunung Keng san.
Demikian karena sudah beberapa saat berada di ruang
yang gelap itu, samar2 ia dapat melihat keadaan ruangan.
Empat penjuru dari ruang itu, terbuat dari dinding batu.
Tiada pintu atau jendelanya sehingga tak dapat diketahui
saat apakah sekarang itu. entah siang entah malam.
Sekonyong-konyong ia mendengar suara orang
mengerang pelahan. Ia terkejut. Masakah dalam ruang yang
gelap gulita itu masih terdapat lain orang lagi kecuali
dirinya ?
Ia kerahkan pandang matanya untuk meneliti sekeliling
tempat itu. Ah, hampir ia menjerit kaget ketika melihat dua
sosok hitam menggunduk di ujung ruangan.
Setelah menenangkan perasaannya, barulah pelahan-
lahan beringsut mendekati.
Ternyata kedua sosok hitam itu dua orang lelaki yang
telentang di tanah. Cu Jiang berjongkok dan menegur
mereka:
"Siapakah kalian ini ?"
Sosok tubuh itu tampak bergeliat dan mengerang
kesakitan. Nadanya lemah, tentu menderita luka yang
parah.
"Siapa engkau ?" orang itu balas bertanya.
Cu Jiang tertegun.
"Seorang budak tak ternama, disebut Gok-Jin-ji,"
sahutnya.
"Budak tak ternama tak mungkin kemari...."
"Ah, lebih baik jangan kita berdebat. Siapakah
sesungguhnya sahabat ini ?"
"Aku Go-leng-cu !" t
Terkejut Cu Jiang bukan kepalang.
"Apa? Cianpwe ini salah seorang dari bu-lim samcu yang
bernama Go leng cu ?" serunya gemetar.
"Benar, sahabat kecil, menilik nada suaramu ... . engkau
tentu masih muda."
"Umurku belum mencapai 20 tahun."
"Oh . ."
"Dan yang seorang ini . . . ."
"Thian hian-cu !" sahut orang yang kedua,
Cu Jiang makin terperanjat. Paderi dan imam itu
merupakan tokoh yang menggetarkan dunia persilatan, baik
golongan Hitam maupun Putih.
Mereka berdua itu, berturut-turut hendak mengambilnya
sebagai murid. Mau menggemblengnya menjadi seorang
jago yang sakti. Tetapi mengapa mereka berdua berada
dalam penjara Gedung Hitam?
Iapun masih ingat bahwa Thian-hian cu pernah memberi
sebutir pil kepadanya. Ia hendak memberitahukan siapa
dirinya tetapi tiba2 pada lain saat, ia batalkan maksud itu.
Kalau sampai terdengar orang Gedung Hitam, akibatnya
tentu gawat.
"Bagaimana cianpwe berdua bisa berada disini?"
akhirnya ia mengajukan pertanyaan.
"Tempat apakah ini ?"
"Apa?" Cu Jiang terkejut, "apakah cianpwe tak tahu
tempat ini ?"
"Tidak tahu !"
"Tempat ini adalah ruang penjara dari Gedung Hitam !"
"Hai. Gedung Hitam . ."
"Maukah cianpwe memberitahu mengapa sampai berada
disini ?"
Setelah berdiam diri beberapa jenak, terdengar Go-leng-
cu berkata dengan nada gemetar.
"Siau-sicu, apabila engkau dapat keluar dari tempat ini
dengan selamat, maukah engkau melakukan sebuah...
sebuah hal untukku ?"
"Boleh.... tetapi harapan untuk keluar dengan masih
bernyawa, tipis sekali."
"Itu soal lain. Tetapi apakah sicu mau meluluskan
permintaanku ?"
"Ya."
"Budha bersifat pemurah. Semoga memberkahi sicu
sehingga dapat keluar dari tempat ini tak kurang suatu apa
...."
"Cianpwe menghendaki aku melakukan apa?" tukas Cu
Jiang.
"Dengarkan penuturanku secara ringkas."
"Silahkan."
"Menurut kabar dalam dunia persilatan, aku dengan
Thian cu toyu ini, dalam pelawatan ke negeri Tayli, telah
berhasil mendapatkan pusaka dari negeri itu yang berupa
kitab Giok-kah-kim-keng. . ."
"Giok-kah-kim-keng ?"
"Ya, sebuah kitab pusaka yang berisi ilmu pelajaran
sakti."
"Lalu..."
"Padahal tidak. Tetapi kabar2 di dunia persilatan itu
begitu gencar dan karena itu kami telah tertimpa bahaya."
"Masakan cianpwe berdua yang berkepandaian begitu
sakti sampai . . . ."
"Kata Siau-sicu tadi aku mengerti. Yang turun tangan tak
lain adalah kepala Gedung Hitam sendiri..."
"Begitu hebatkah kepandaian dari kepala Gedung Hitam
itu?" Cu Jiang terkejut.
"Sukar diukur tingginya!"
"Apakah cianpwe maju berdua, masih . . . "
"Aku dan Thian-hian cu toyu memang susul menyusul
ditangkapnya."
Melihat Thian-hian cu tak bergerak, Cu Jiang bertanya.
"Mengapa Thian-hian cu cianpwe tak bergerak?"
"Omitohud!" seru paderi Go-leng cu dengan rawan,
"Thian hian toyu segera akan bebas!"
"Thian-hian cianpwe tiada harapan lagi?"
"Omitohud!"
"Ini . . . ini . . . "
"Tenaga kepandaianku dan Thian hian toyu telah punah
dan kini menderita siksa yang menyedihkan sekali . . ."
Dengan mengertak gigi Cu Jiang berseru: "Jika aku tak
mati, kelak tentu akan mencuci Gedung Hitam dengan air
darah . . . . "
Kemudian dengan gemetar Cu Jiang menegaskan pula:
"Soal apakah yang cianpwe hendak suruh aku
mengerjakan itu ?"
Terdiam sejenak, Go-leng-cu berkata dengan nada
tenang:
"Jika dapat ke luar dengan selamat dari tempat ini, harap
kau pergi mencari Gong gong-cu .. . "
"Ketua dari Bu lim Sam cu?"
"Benar. Walaupun kami berdua diagungkan orang sejajar
dengan Gong-gong sicu. tetapi dalam hal kepandaian dan
siasat, semua itulah jauh sekali dengan Gong-gong sicu.
Katakan kepadanya, bahwa karena keliru langkah telah
melakukan kesalahan besar. Dan sekarang harus menerima
akibatnya."
"Kesalahan apakah yang cianpwe lakukan itu?"
"Salah ucap. Gong-gong sicu pernah menasehati ..."
"Ah, mengapa cianpwe terlalu menyesali diri cianpwe
sendiri!"
Harap dengarkan cerita dulu. Tanpa saling mengajak,
aku dan Thian hian toyu, telah menemukan seorang tunas
yang mempunyai tulang luar biasa bagusnya. "
"Oh..."
"Seorang pelajar berpakaian putih."
Mendengar itu tergetarlah hati Cu Jiang. Bukankah yang
dimaksudkan itu dirinya sendiri.
"Seorang pelajar baju putih?" ia menegas.
"Ya."
"Siapa namanya?"
"Mungkin sama orangnya dengan yang sicu bicarakan
dengan ketua Gedung Hitam tadi."
"Jika demikian pelajar baju putih itu adalah pewaris dari
cianpwe berdua?"
"Tidak, dia belum meluluskan. Tetapi bahan tulang dari
pemuda itu memang jarang sekali terdapat di dunia. "
"Tetapi dia kemungkinan besar sudah mati."
"Tidak!"
"Cianpwe maksudkan..."
"Sedikit-dikit aku mengerti tentang ilmu ramal, Ku lihat
muka pemuda itu tidak menunjukkan dia berumur pendek,
tentu akan selamat dari bahaya!"
Diam2 Cu Jiang terkejut, Tetapi dia kagum atas ilmu
ramal padri itu.
"Apakah cianpwe dapat memastikan?" ia menegas.
"Tentu." kata Go-leng-cu, "kaum Budha pantang
berdusta. "
"Cianpwe menghendaki apalagi kecuali pesan itu?"
"Supaya Gong-gong sicu berusaha sekuat tenaga untuk
mencari pelajar baju putih itu sampai ketemu, agar soal
mula dapat dihimpaskan."
"Apakah soal yang mula itu?" Cu Jiang meminta
keterangan.
"Maaf, aku tak dapat mengatakan. Tetapi maukah sicu
meluluskan permintaanku itu?"
"Apabila aku dapat melihat sinar matahari lagi, aku
bersumpah akan melaksanakan pesan cianpwe."
"Omitohud, lebih dulu aku menghaturkan terima kasih
kepada sicu."
"Harap cianpwe jangan mengatakan begitu, anggap saja
soal itu soal kecil, hanya saja..."
"Bagaimana?"
Cu Jiang menghela napas, ujarnya: "Dikuatirkan sukar
untuk melaksanakan janjiku itu."
Mendengar nada kata2 kepala Gedung Hitam tadi,
rupanya dia membatalkan maksudnya hendak membunuh
sicu . . ."
"Bukan itu yang kumaksudkan . . . . "
"Lalu apa?"
"Apa yang Sip pat-thian-mo berikan kepadaku ...."
"Apa? Engkau mengatakan Sip pat-thian-mo..."
"Ya, aku telah terkena pukulan Thian-kong-sat dari Iblis
Gila dan hanya dapat hidup belasan hari lagi."
"Ah Thian-kong-sat .. . siau-sicu, apabila engkau cepat2
dapat menemukan Gong-gong sicu, dia tentu dapat
menolongmu. Bahkan engkau tidak minta tolong, pun dia
juga akan menolongmu."
Dunia begini luas, bagaimana aku dapat mencarinya?
Dan lagi apakah aku mampu keluar dari penjara Gedung
Hitam ini, ini, Juga masih tanda tanya . . .
Kemudian cepat ia alihkan pada persoalan lain,
tanyanya:
"Aku hendak mohon tanya sebuah hal."
"Apa ?"
"Tahukah cianpwe siapa yang menyerahkan Pending
Kumala sebagai lambang kepercayaan itu?"
"Soal itu aku tak tahu."
Tiba2 dari ujung ruang terdengar Lim congkoan berseru:
"Gok-Jin-Ji, kemarilah!"
Cu Jiang segera menghampiri. Tetapi tak dapat melihat
barang seorangpun juga. Suara itu tentu dipancarkan
melalui alat istimewa.
"Ada apa ?" seru Cu Jiang. "Aku hendak bertanya
kepadamu."
"Apakah keteranganku masih kurang jelas?"
"Tidak. Yang akan kutanyakan saat ini adalah soal
pribadi."
"Pribadi?"
"Ya."
"Tanyalah."
"Pelajar baju putih itu apakah benar2 mengalami nasib
begitu?"
"Benar," sahut Cu Jiang sambil mengertek gigi.
"Engkau memastikan dia tentu mati ditengah gunung itu
?"
"Besar kemungkinannya."
"Apakah pemilik Piagam Hitam itu sudah mengadakan
perjanjian dengan engkau untuk mencari jenasah pelajar itu
?"
"Ya."
"Apa hubungan antara pemilik Piagam Hitam dengan
pelajar baju putih itu ?"
"Entah."
"Sepertinya engkau tidak bicara dengan sungguh2."
"Percaya atau tidak, terserah kepadamu"
Setelah diam beberapa saat, kembali Lim congkoan
berkata pula.
"Apakah engkau tahu tentang diri pemilik Piagam Hitam
itu ?"
Sejenak meragu, Cu Jiang menjawab: "Tidak tahu,
apakah anda dapat memberitahu ?"
"Tidak dapat."
"Sungguh tak nyana ucapan anda ini . . "
Jika bukan karena pemegang Piagam Hitam itu, saat ini
engkau sudah mati, tahu !"
"Ya, aku memang sudah menduga begitu."
"Dimana engkau berjanji hendak bertemu dengan
Pemilik Piagam Hitam itu ?"
"Ditengah lembah dimana aku telah anda tangkap itu."
"Kapan pertemuan itu ?"
"Berapa lama aku ditangkap ini ?"
"Dua hari."
"Jika begitu masih ada tiga belas hari. Tetapi mungkin
dia akan datang lebih pagi. Kami berjanji akan tunggu
dalam setengah bulan lagi."
"Apakah engkau dapat menerangkan lebih jelas tentang
keadaan pelajar baju putih itu?"
Cu Jiang mendapat kesan bahwa pihak Gedung Hitam
itu menaruh perhatian besar sekali terhadap dirinya.
"Apa yang kuketahui hanya begitu," akhirnya ia
menjawab.
"Atas nama peribadi kuminta engkau memberi
keterangan tetapi engkau tetap tak mau memberi
keterangan."
"Sama saja."
"Kalau kusertakan dengan perjanjian."
Tergerak hati Cu Jiang mendengar kata2 itu. Ia heran
mengapa pelajar setengah tua yang disebut sebagai Lim
congkoan itu, begitu menaruh perhatian atas dirinya ketika
masih belum cacad seperti saat itu ?
Orang itu menjabat sebagai congkoan dari Gedung
Hitam, sudah tentu mempunyai hubungan baik dengan
kepala Gedung Hitam dan tentu akan membela kepentingan
majikannya. Mengapa dia hendak mengajukan perjanjian?
Ah, tentulah suatu siasat saja. Pikir Cu Jiang.
Juga ia teringat bahwa betapapun halnya dia tak harus
memberitahu tentang keadaan dirinya.
Tetapi karena orang itu sudah bicara, ingin juga ia
mengetahui lebih lanjut, apa sebenarnya maksudnya.
"Perjanjian bagaimana," serunya.
"Apakah engkau mengharap hidup?"
"Sudah tentu, setiap manusia tentu mengharap hidup,"
teriak Cu Jiang.
"Bagaimana kalau soal itu dijadikan perjanjiannya ?"
Cu Jiang menduga bahwa orang itu hanya mengumbar
janji2 manis saja. Sekalipun dengan janji2 yang lebih muluk
lagi, tak perlu kiranya dia mempertimbangkannya.
Andaikata ia menerima pun orang itu secara diam2 tentu
akan mengikuti perjalanannya.
Lain halnya apabila ditengah jalan bertemu dengan Ang
Nio Cu, tentulah dapat menolong nya.
"Ah, sayang..." Ia sengaja menghela napas.
"Sayang apa ?"
"Aku tak dapat menerima perjanjian itu ?"
"Kenapa ?"
"Karena aku tak dapat memutar balikkan kenyataan."
"Gok jin-ji perjanjian itu tidak mengikatmu dan bukan
siasat kosong . ."
"Mungkin."
"Pasti, tidak mungkin lagi. Aku akan menjamin demi
kehormatan !"
Diam2 Cu Jiang geli. Kehormatannya untuk jaminan?
Anak kecilpun tahu kalau itu hanya membual saja.
"Kuserahkan saja nasibku kepada Thian. Apalagi yang
kuketahui memang hanya begitu."
"Apa engkau tak setuju untuk tukar menukar ?"
"Tidak setuju."
"Tahukah engkau bahwa setelah engkau dilepas untuk
bertemu dengan pemilik Piagam Hitam, orang yang
ditugaskan untuk mengikuti jejakmu tak lain aku sendiri ?"
"Oh!"
"Mati hidupmu adalah ditanganku."
Karena dengan cara halus gagal, orang itu mulai
menggunakan dengan kekerasan. Cu Jiang menghela napas.
"Walaupun aku mempunyai seratus kesempatan untuk
hidup, tetapi aku tetap tak mau memenuhi permintaanmu."
"Baik, pembicaraan kita sampai disini dulu. Mudah-
mudahan engkau mau mempertimbangkan lagi."
Suara itupun segera lenyap.
Cu Jiang masih duduk bersandar pada dinding ruang.
Dendam dan kebencian itu cepat melalu lalang dalam
benaknya sehingga darahnya bergelora keras dan hampir
saja ia tak dapat menguasai diri.
Dari segala segi kesimpulan, ia mendapat kesan bahwa
Gedung Hitam itulah musuhnya. Kini diapun sudah
menjadi tawanan musuh. Tenaganya lumpuh. Ia tak
berdaya sama sekali.
Harapannya hanya bergantung dengan Ang Nio Cu.
Tetapi itupun belum pasti kalau Ang Nio Cu akan berhasil
membawa obat untuknya.
Tiba2 Go leng-cu buka suara dari ujung ruang dimuka.
Suaranya masih lemah.
"Siau-sicu siapakah yang bicara tadi ?"
"Congkoan dari Gedung Hitam, orang she Lim."
"Siau sicu . . . mengapa tak . . . mau menggunakan
kesempatan itu ?"
"Siau-sicu, Thian hian toyu sudah bebas."
Cu Jiang terkejut sehingga tubuhnya menggigil.
"Thian-hian cianpwe sudah meninggal ?"
"Ya. saat ini."
Walaupun hal itu sudah dapat diduga, tetapi kematian
yang begitu menyedihkan dari seorang tokoh yang
termasyhur, benar2 menimbulkan kemarahan hati.
Cu Jiang segera berlutut memberi hormat. Karena tempo
hari mendiang imam itu pernah menolongnya. Jika tiada
pertolongan Thian-hian-cu, kemungkinan dia tentu sudah
mati ditangan Hakim Hijau.
Suasana dalam ruang penerangan itu sungguh
menyedihkan sekali. Seorang yang sudah setengah mati dan
seorang yang sudah mati.
Karena tak dapat menahan kemarahannya, Cu Jiang
segera menghantam dinding tembok.
"Mati ....!" teriaknya kalap.
Teriakannya itu menimbulkan kumandang yang keras.
Seketika terdengar bunyi berderak-derak dan sesaat
kemudian dinding tampak merekah sebuah pintu.
Dalam sinar remang2 yang memancar ke bawah,
dapatlah Cu Jiang melihat sebuah tangga titian yang
menjulang keatas.
Tak lama dua orang Pengawal Hitam turun ke ruang itu.
"Kenapa berteriak!" seru salah seorang.
"Ada orang mati !"
"Siapa ?"
"Imam ini."
Seorang baju hitam itu segera menghampiri dan
memeriksa pernapasan Thian-hian-cu. Kemudian berseru
dingin:
"Makin lekas mati makin bebas. Perlu apa berteriak-
teriak tak keruan ? Go Sam, Lekas lapor pada congkoan !"
Kawannya segera naik keatas dan lama sastrawan
setengah tua atau Lim congkoan itupun datang. Setelah
memeriksa tubuh Thian-hian-cu, Lim congkoan berkata
kepada Go-leng-cu:
"Paderi, engkau tahu sendiri. Jika orang sudah tak
bernyawa walaupun mendapat benda pusaka yang
bagaimana hebatnya pun tak berguna. Mengapa engkau tak
mau menyerahkan kitab pusaka Giok-kah-kim-keng dan
segera engkau akan bebas melihat langit yang biru lagi ?"
Dengan lemah Go-leng-cu menghela napas.
"Pinceng telah mengatakan dengan sejujurnya.
Bagaimana harus menyerahkan kitab Giok kah-kim-keng
itu ?"
Sasterawan setengah tua atau Lim cong-koan tak mau
bicara lebih lanjut.
"Angkut keluar dan kubur !" perintahnya kepada kedua
orang baju hitam.
Kedua orang itu segera mengiakan. Yang bernama Go
Sam membawa sebuah karung besar. Jenasah Thian-hian-
cu segera dimasukkan kedalam karung itu.
Melihat tindakan yang tak kenal perikemanusian itu, Cu
Jiang menggeram.
"Apakah sama sekali tak disediakan peti mati ?"
Go Sam tertawa mengekeh.
"Cui-pat koay, ini saja masih enak. Besok kalau engkau
yang mati, karungpun takkan kusediakan."
Kemudian dia terus berkata kepada kawannya:
"The Put Ko, kita isi perut dulu baru nanti bekerja lagi,
bagaimana ?"
Yang dipanggil The Put Ko mengiakan.
Demikian keduanya segara keluar lagi dan tinggalkan
karung itu didalam ruang.
Tiba2 mata Go-leng cu berkilat-kilat terang dan terus
menggeliat duduk.
"Nak, engkau bakal tertolong!"
Cu Jiang terkesiap, serunya : "Bagaimana cianpwee?"
"Hud cou benar2 melimpahkan berkah. Thian telah
memberi kesempatan..."
"Aku tak mengerti maksud cianpwe."
"Ini merupakan cara bergulat dengan maut."
"Tetapi semua itu tergantung dari keputusanmu...."
"Bagaimanakah caranya?" akhirnya Cu Jiang mulai
tertarik juga.
"Engkau tukar tempat dengan Thian-hian-cu toyu !"
Cu Jiang terbeliak beberapa saat. Kemudian baru dia
dapat mengerti rencana paderi Go-leng-cu itu.
"Maksud cianpwe supaya aku yang masuk kedalam
karung itu dan jenazah Thian hian-cianpwe dipindah keluar
?"
"Tepat !"
"Tetapi hal itu bukankah berlaku tak hormat kepada
yang mati ?"
"Ah, tak perlu mengurusi soal tata cara begitu. Yang
penting engkau dapat lolos dari sini."
Cu Jiang tegang sekali!
"Tetapi bagaimana dapat mengelabuhi mereka?"
"Ruang penjara ini gelap sekali. Pandang matapun tak
dapat jelas. Dan merekapun tentu tak mengira bakal terjadi
peristiwa semacam begitu. Lekas engkau lepaskan baju dan
pakaikan kepada Thian-hian toyu lalu sandarkan dia pada
dinding ditempat itu. Mereka tentu akan mengira engkau
sebagai Thian-hian cu dan Thian-hian-cu dikira sebagai
engkau."
"Ini..."
"Melepaskan kesempatan baik ini. akibatnya tentu sangat
disayangkan."
"Tetapi kalau dikubur, tentulah aku tak dapat keluar lagi.
Bagaimana cianpwe hendak suruh aku berbuat begitu. . ..
Apakah cianpwe masih punya lain cara lagi ?"
"Kesempatan mati dan hidup sama2 lima puluh persen.
Apakah engkau bersedia untuk melakukan cara yang
berbahaya itu ?"
"Daripada menunggu mati dijagal, lebih baik aku
berjuang menentang maut. Ya, aku bersedia !"
Go-leng-cu mengangguk: "Baik, jangan membuang
waktu yang berharga. Nak, dengarkan . . . ."
"Silahkan, cianpwe."
"Ketika berkelana ke negeri Thian-tok (India) dahulu
pinceng bertemu dengan seorang sakti yang memberi
pinceng sebutir pil Kui-si-wan . . . ."
"Kui-si-wan ?" Cu Jiang menegas. Kui-si-wan artinya pil
Napas-kura2.
"Ya, mungkin engkau belum pernah mendengar. Pil itu
tetap kusimpan, belum pernah kugunakan. Apabila minum
pil itu akan dapat menutup napas sampai dua belas jam.
Sepintas pandang tampak seperti orang mati. Dua belas jam
kemudian, akan hidup lagi seperti sediakala . . ."
"O, yang kudengar hanya ilmu Kui-si-tay-hwat (ilmu
pernapasan kura2), tetapi belum pernah . . .."
"Sudahlah, waktu amat berharga sekali!" cepat Go leng-
cu menukas.
"Tetapi tenagaku sudah punah, kalau sampai dikubur,
bagaimana dapat keluar ?"
"Itulah yang kumaksud menempuh bahaya. Menurut
perhitunganku, mereka tentu tak membuat liang yang
dalam untuk menguburmu. Mungkin hanya ditimbuni
dengan tanah dan semak. Hal itu tentu mudah engkau
dorong keluar. Bahkan kemungkinan mereka mungkin
hanya melempar ke semak belantara saja. Itu lebih baik
lagi!"
Paderi Go - leng - cu segera mengeluarkan sebutir pil
sebesar buah kelengkeng.
"Segala hal itu sudah digariskan kodrat, minumlah!"
Gemetar tangan Cu Jiang ketika menyambuti pil itu.
Kali ini dia benar2 mempertaruhkan nyawa. Mati atau
hidup tergantung pada nasib. Kalau orang Gedung Hitam
itu mengubur secara sembarangan saja, dia tentu dapat ke
luar. Tetapi kalau mereka mengubur dalam tanah yang
dalam apalagi kalau ditimbuni batu, tentulah dia mati...
"Pending Kumala hijau bukankah si pemilik Piagam
Hitam seperti yang engkau katakan tadi?"
"Ya."
"Oh. apakah engkau bukan..."
"Aku tak dapat memastikan apakah akan dapat bertemu
dengan orang yang kumaksudkan itu!" cepat Cu Jiang
menukas.
Go leng-cu merenung sejenak lalu berkata pula:
"Pinceng belum pernah mendengar tentang apa yang
disebut pemilik Piagam Hitam. . . ."
Tiba2 dari atas terdengar bunyi berderak-derak.
"Jangan bicara, penjaga datang mengantar makanan!"
cepat Go leng cu berkata.
Sebuah lubang merekah dan memancarlah sinar remang
dari bawah. Dari lubang di atas langit ruangan itu, dapatlah
diketahui bahwa dinding tembok langit2 ruangan tebalnya
lebih kurang dari satu meter. Sekalipun memiliki
kepandaian yang bagaimanapun sakti, tetap tak mungkin
mampu menjebolkan penjara itu.
Dan pada saat sinar itu mencurah ke bawah, Cu Jiang
menggunakan kesempatan untuk memandang ke arah Go
Leng cu. Ah... hampir ia menjerit.
Ternyata keadaan paderi Go leng-cu itu sudah berobah
sama sekali. Sepertiga mirip manusia, tujuh bagian seperti
setan. Jika tadi tak mengadakan percakapan tentulah dia
takkan mengenali lagi paderi itu sebagai Go-leng cu.
Memandang ke arah Thian-hian-cu. Cu Jiang makin
ngeri lagi.
Imam itu yang termasyhur itu kini sama dengan mayat
orang jorok yang terlantar menggeletak di tepi jalan.
Dari jubahnya yang penuh berlumuran darah dapatlah
diduga bahwa imam itu tentu menderita siksaan yang luar
biasa hebatnya.
Saat itu dari lubang di atas, meluncur sebuah rantang,
berisi tiga buah bakpau dan sebotol air.
Go-leng cu mengambil bakpau dan botol berisi air itu
lalu menaruhkan botol kemarin yang sudah kosong, tali lalu
ditarik ke atas lagi. Lubang tertutup dan keadaan ruang itu
gelap gulita pula.
"Benar-benar sebuah neraka! " teriak Cu Jiang.
Go-leng-cu hanya menghela napas dan menyuruh Cu
Jiang makan.
Walaupun dengan menahan perasaan geram, Cu Jiang
menurut juga. Diam2 ia berpikir.
Dengan minum pil dari Ang Nio Cu, dia hanya dapat
bertahan sampai lima belas hari. Tetapi dia telah
membohongi pimpinan Gedung Hitam, mengatakan kalau
mempunyai janji dengan pemilik Piagam Hitam.
Nanti apabila ia meninggalkannya, mereka tentu diam-
diam akan mengikuti. Dan lekas mengetahui bahwa hal itu
hanya bualan kosong yang dibuat2nya, tentulah orang
Gedung Hitam akan membunuhnya.
Dari pada mati konyol, lebih baik ia nekad berjudi
dengan maut. Apabila berhasil ia tetap hidup. Tetapi
apabila gagal dia pasti mati. Tetapi betapapun hal itu masih
mengandung suatu kemungkinan untuk dapat hidup.
"Baiklah, aku bersedia untuk menghadapi bahaya ini, "
akhirnya ia memutuskan.
"Harap jangan lupa pesan pinceng." kata Go leng cu. .
"Tentu takkan lupa!" kata Cu Jiang Bahkan saat itu
sebenarnya dia hendak mengaku siapa dirinya tetapi tak
jadi. Ia kuatir tembok disitu mempunyai telinga. Kalau
sampai terdengar orang, tentu habislah riwayatnya.
"Nak, lekaslah bertindak, " Go leng-cu mendesak.
Cu Jiang segera bekerja. Ia mengeluarkan jenasah Thian
hian-cu dari karung, dipindah ke ujung ruang, pakaiannya
dibuka dan diganti dengan pakaiannya sendiri. Ia memakai
jubah imam itu. Setelah memberi hormat tiga kali, ia
kembali ke dekat Go-leng-cu.
"Cianpwe, sudah beres semua! "
"Lekas masuk ke dalam karung, " kata Go-leng-cu.
Tiba2 Cu Jiang teringat sesuatu.
"Cianpwe, soal ini kurang pantas . . . ."
"Mengapa? " Go leng-cu terkejut.
"Karena masih mempunyai perjanjian dengan pemilik
Piagam Hitam, aku masih mempunyai kesempatan hidup.
Tetapi cianpwe sendiri tak punya kesempatan apa2 lagi.
Seharusnya cianpwelah yang menggantikan tempat Thian-
hian cianpwe ini agar dapat lolos dari neraka di sini!"
"Ah, tak mungkin . . . . " kata Go leng-cu.
"Mengapa?"
"Kesatu, karena pinceng telah berbuat suatu kesalahan.
Tiada muka lagi terhadap sesama ksatrya didunia. Kedua,
ilmu kepandaian pinceng sudah punah, menderita siksaan
hebat sehingga tak dapat bergerak sama sekali. Ketiga,
sebagai salah seorang dari Bu-lim Sam cu, telah kena
diperangkap oleh seorang kerucuk, kemana lagi mukaku
harus kusembunyikan . . ."
"Apabila cianpwe dapat lolos dari bahaya disini,
bukankah cianpwe akan dapat melakukan sesuatu . . .."
"Nak, aku sudah kehabisan hawa dan darah.... tak
mungkin dapat hidup . . . dua hari lagi!"
"Cianpwe . . . . "
"Nak.... lekas atau sesal kemudian tiada gunanya !"
Cu Jiang tak dapat berbuat apa2. Serta merta dia berlutut
memberi hormat kepada paderi Go-leng-cu.
"Aku akan melakukan perintah cianpwe," katanya
dengan nada penuh haru. Lalu cepat dia masuk kedalam
karung. Dengan menggunakan sisa tenaganya, Go-leng-
cupun segera mengikat lagi itu.
"Nak, minumlah pil itu !" serunya.
Dengan kuatkan hati, Cu Jiangpun terus menelan pil
Kui-si-wan itu.
Terdengar pintu berderak derik dan suara langkah orang.
Tetapi kesadaran pikiran Cu Jiang makin pudar dan
akhirnya tak ingat apa2 lagi.
O000od-wo000O

Jilid 7
Entah berapa lama ketika ia sadar, ia rasakan dirinya
seperti diseret di tanah yang lekak-lekuk tak rata. Tulang
belulangnya serasa copot dari persambungan.
Apakah dia hendak dikubur ? Kalau benar, matilah aku.
Ternyata pil Kui-si-wan tak dapat bertahan lagi. Saat itu dia
sudah sadar. Dia akan dikubur, pasti dia akan dikubur
hidup-hidupan.
Teringat akan hal itu, ngerilah hatinya. Dikubur hidup-
hidupan merupakan suatu kematian yang paling
mengerikan.
Tetapi beberapa saat kemudian, Ia merasa ada suatu
kelainan. Yang menyeret tubuhnya itu, sebentar berhenti
sebentar berjalan. Dan terdengar juga napas yang terengah-
engah. Jelas orang itu bukan seorang persilatan.
Cu Jiang tahankan segala penderitaan. Dia tak berani
berkutik. Tak lama kemudian, tubuhnya terasa berhenti
diseret. Tetapi sebagai gantinya dia mencium bau yang luar
biasa busuknya, bau mayat yang membuat perutnya mual
dan muntah. Menyusul seperti ada suatu benda yang
merayap di jubahnya. Napasnya mendesas-desis
ditelinganya.
Cu Jiang cukup lama tinggal di hutan. Dia faham akan
keadaan isi hutan. Serentak timbullah suatu bayang2 yang
mengerikan. Dan gemetarlah dia.
Breet. .. terdengar bunyi robekan dan karung itupun
jebol. Sebuah kepala serigala yang penuh berbulu, matanya
yang berapi-api dan lidah marah yang menjulur panjang,
tengah memandang kedalam lubang karung yang telah
dirobeknya itu.
"Ah, mati aku sekarang." pikir Cu Jiang Tetapi sudah
menjadi naluri setiap mahluk hidup, tentu akan berjuang
untuk menghadapi maut. Demikianpun Cu Jiang.
Tiba2 ia teringat akan kutungan pedang Seng kiam yang
masih disimpan dalam bajunya. Ya, hanya itu satu-satunya
senjata yang dimiliki. Serentak dia mencabut dan
disorongkan lewat lubang karung.
Tiba2 serigala itu meraung keras sehingga jantung Cu
Jiang hampir copot.
Cu Jiang pejamkan mata. Jika sekali tusuk tak dapat
membunuh serigala itu, dia sendirilah yang mati.
Detik2 yang tegang itu segera meledak. Dengan dahsyat,
secepat itu Cu Jiang kerahkan segenap sisa tenaganya maka
Cu Jiang segera menusuk tenggorokan serigala itu,
Terdengar lolong dahsyat disusul dengan gerakan dari
serigala yang meloncat-loncat dan berguling-guling
meregang jiwa. Seolah-olah ditempat itu sedang
berlangsung pertempuran dahsyat.
Sepeminum teh lamanya barulah suara dahsyat itu mulai
reda dan akhirnya tak terdengar lagi.
Cu Jiang menghela napas longgar. Ia tahu bahwa
tusukannya telah berhasil. Maka dia lalu melongok keluar
dari lubang karung itu Seketika tegaklah bulu romanya.
Seekor serigala yang besarnya sama dengan seekor anak
kerbau, rebah terkapar didalam genangan darah. Binatang
itu belum mati. Mulutnya menelan tangkai pedang, sedang
ujung pedang menembus pada tenggorokannya.
Dua ekor serigala kecil tengah mengerumun di dekatnya
dan menjilat2 darah serigala besar itu. Rupanya serigala
besar itu seekor serigala jantan. Tak lama lagi yang betina
tentu akan datang.
Cu Jiang cepat bekerja. ia membuka tali pengikat karung
lalu merangkak ke luar.
Ketika melihat suatu mahluk yang aneh, kedua anak
serigala itu ngangakan mulut seperti hendak menerkam Cu
Jiang.
Cu Jiang segera mencabut pedang dari mulut serigala
besar lalu membunuh kedua serigala kecil itu.
Sarang serigala itu dalamnya tiga tombak. Merupakan
sebuah gua alam. Di dalamnya penuh tumpukan tulang2
manusia. Bahkan ada yang masih terdapat dagingnya.
Baunya jangan ditanya lagi.
Setelah tahu dirinya lolos, orang2 Gedung Hitam tentu
akan bertindak mencarinya. Lebih baik dia cepat2
tinggalkan tempat itu.
Ia terus berbangkit dan hendak pergi tetapi tiba2
matanya melihat sebuah botol kecil di antara tumpukan
tulang itu. Cepat ia mengambil dan terus ke luar.
Ternyata tempat di sekeliling situ penuh dengan gunduk2
kuburan yang tak keruan timbunannya. Tentulah mereka
korban-2 yang telah dimakan serigala lalu dikubur
sekenanya saja.
Ia menyadari bahwa tempat itu masih berada di
lingkungan kekuasaan Gedung Hitam. Lebih dulu dia harus
lolos dari cengkeraman mereka. Soal menuntut balas, saat
itu belum waktunya.
Serentak ia lari dan dalam beberapa kejab ia sudah
mencapai sepuluhan li. Letihnya bukan kepalang sehingga
kakinya terasa berat sekali.
Tak jauh disebelah muka, dilihatnya sebuah lembah.
Rupanya lembah itu jarang didatangi orang. Dengan
kuatkan diri, ia lari menuju ke lembah itu. Ia mencari
tempat yang rapat lalu berbaring diri.
Siang itu, hari kedua siang dari jarak dia lolos,
Kemudian ia mengambil botol kecil tadi. Sehelai kertas
yang bertuliskan tiga huruf, melekat pada botol itu. Tiga
huruf itu berbunyi Hwe-thian-tan.
Diam2 Cu Jiang merenung. Karena dinamakan Hwe-
thian atau kembali dari langit, tentulah pil itu suatu obat
yang mujijad. Tetapi dia tak tahu, dapatkah pil itu
mengobati luka dari pukulan Thian-kong-sat yang
dideritanya.
Ia membuka sumbat dan menuang isinya. Tiga butir pil
hijau sebesar Kacang hijau. ia tahu apakah khasiat dari pil
itu. Tetapi ia yakin, pil itu tentu obat yang hebat. Tanpa
banyak pertimbangan lagi. ia terus menelannya.
Perutnya terdengar berkeruyukan, rasanya panas sekali.
Seketika badannya seperti dibakar, urat2 mengkeret. Suatu
ciri seperti orang yang terminum racun.
Tiba2 ia muntah darah.
"Ah. mati aku ....!" dia terus terguling-guling di tanah,
merangkak-rangkak. Sakitnya sukar dilukiskan.
Akhirnya ia kehabisan tenaga, ia merasa lunglai.
Tubuhnya serasa ringan sekali seperti daun bertebaran di
udara. Rasa sakitpun hilang.
"Ah, aku tentu segera mati !" ia mengeluh. Dan beberapa
saat kemudian dia tak ingat apa2 lagi.
Entah berselang berapa lama, pikirannya mulai sadar
lagi. Dia tak merasa sakit lagi bahkan tubuhnya terasa enak
sekali. Girangnya bukan kepalang, ia mencoba untuk
mengerahkan tenaga-dalam, ah, penuh dan memancar
dengan lancar sekali.
Ia melonjak bangun. Girangnya melebihi orang yang
putus lotre sehingga sampai beberapa jenak ia tak tahu apa
yang harus dilakukan.
Jelas pil Hwe-thian-tan itu dapat menghilangkan racun
pukulan Thian kong-sat. Sungguh dia tak pernah
memimpikan hal itu.
Tentulah pemilik pil Hwe thian-tan itu dilontarkan
sebagai makanan serigala tetapi dia masih meninggalkan pil
itu sehingga tertolonglah jiwanya.
Teringat akan nasib paderi Go-leng cu. ia berlinang air
mata. Tentulah paderi itu telah meninggal.
Tiba2 angin berkesiur dan dua sosok bayangan hitam
muncul di sebelah luar.
Itulah Pengawal Hitam, seru Cu Jiang dalam hati. Ia
memandang gerak gerik kedua orang itu dengan lekat.
Salah seorang dari dua Pengawal Hitam itu berkata:
"Lihatlah ! Benar tidak kataku tadi supaya masuk ke
dalam lembah . . ."
"Engkau memang serigala! " seru kawannya.
Pengawal Hitam yang pertama tadi segera berseru
kepada Cu Jiang:
"Hai, budak jelek, karena engkau minggat, pohcu telah
mengerahkan beratus-ratus ko-jiu untuk mencarimu. Hayo,
lekas ikut kami!"
Cu Jiang tak mau menjawab. Tetapi diam2 dia sudah
bersiap.
"Budak, walaupun dunia ini luas, tetapi jangan harap
engkau mampu lolos! " seru pula Pengawal Hitam yang
seorang.
"Apa yang kalian kehendaki?" seru Cu Jiang dengan
dingin.
"Huh, budak cacad, sudah tentu akan membawamu
pulang, perlu apa bertanya lagi!"
"Coba saja! "
"Huh, engkau hendak melawan?" habis berkata
Pengawal Hitam terus ulurkan tangan menyambar.
Karena mengira Cu Jiang tentu masih lemas tak
bertenaga, maka santai2 saja Pengawal Hitam itu
menerkamnya.
Bum, bum .... terdengar dua buah jeritan ngeri. Pengawal
Hitam yang menerkam itu terpental sampai tiga tombak
jauhnya, tulang-tulangnya remuk dan darah berhamburan
memerah tanah. Sedang yang seorang menggeletak di
tempatnya tak berkutik lagi.
Tenaga Cu Jiang sudah pulih kembali. Karena Pengawal
Hitam itu tak bersiap, sudah tentu mereka hancur lebur.
Pengawal Hitam yang menggeletak di tempatnya itu
masih dapat merintih-rintih tapi tak dapat berkata apa2.
Cu Jiang menghampiri dan mencengkeram Pengawal
Hitam itu, bentaknya:
"Jawab pertanyaanku. Di mana letak Gedung Hitam
itu?"
Hidung dan mulut Pengawal Hitam itu masih terus
mengalirkan darah. Mukanya berkerenyutan.
Cu Jiang benci sekali. Ia memelintir lengan orang itu lalu
mencabut pedangnya.
"Kalau tak mau bilang, akan kuiris-iris tubuhmu! "
"Silahkan!"
"Engkau tetap tak mau bilang?"
"Tidak! Sekalipun engkau mempunyai sayap, tak
mungkin engkau mampu lolos dari cengkeraman gedung
kami!"
"Auhhh ..." orang itu menjerit karena dadanya tertembus
pedang. Namun dia tetap mengertek gigi dan tak mau
bilang.
"Engkau mau bilang atau tidak! " Cu Jiang mengulangi
lagi.
Dengan suara menantang Pengawal Hitam itu
menjawab. "Tidak!
Krakkk, Cu Jiang memelintir lengan orang itu hingga
patah. Orang itu merintih ngeri.
"Hayo, bilang tidak!"
Tubuh Pengawal Hitam itu menggeliat ke atas, Hoak . .
muntah darah lalu terkulai.
Cu Jiang terkejut. Ia tak tahu mengapa tiba2 Pengawal
Hitam itu mati. Tetapi pada suat itu dia melihat sesosok
bayangan muncul dari belakang pohon yang tak jauh
jaraknya.
Kejut Cu Jiang bukan kepalang. Jelas yang muncul itu
adalah sasterawan setengah tua atau Lim congkoan dari
Gedung Hitam. Apakah dia yang turun tangan membunuh
Pengawal Hitam itu?
Tetapi pengawal Hitam itu tetap tak mau mengaku.
Sebenarnya tak perlu dilenyapkan.
Bagaimana cara Lim congkoan membunuh orang itu?
Jaraknya jauh, tentu dia menggunakan senjata rahasia.
Tetapi senjata rahasia itu sama sekali tak mengeluarkan
suara apa2.
Lim congkoan tegak di depan Cu Jiang dengan mata
berkilat-kilat. Cu Jiang agak gentar juga.
"Ah, tak kira kita akan bertemu di sini." kata Cu Jiang.
Lim congkoan tersenyum.
"Sahabat ternyata engkau licin bagai belut!"
"Ah, jangan anda memuji."
"Kita dapat membicarakan sesuatu."
"Apa yang harus dibicarakan?"
"Sudah tentu ada."
Cu Jiang lepaskan tangannya dan mayat Pengawal
Hitam itupun melongsor ke tanah.
"Apakah anda yang turun tangan?" tanya Cu Jiang.
"Anggap saja begitu."
"Kenapa. . ?"
"Tak perlu engkau bertanya, sudah tentu ada alasannya!"
tukas Lim congkoan.
Menggigil hati Cu Jiang. Jika orang itu turun tangan
kepadanya, bukankah dia akan mati tanpa mengetahui
bahwa orang membunuhnya?
"Kalau mau bicara, silahkan !" katanya.
"Sebenarnya aku ingin mengetahui asal usulmu yang
sesungguhnya."
Serentak Cu Jiang menolak.
"Ah, maafkan." ia menolak.
Wajah orang itu agak berobah. Beberapa saat kemudian,
baru dia berkata pula:
"Aku hendak bertanya satu lagi, harap engkau memberi
jawaban yang sejujurnya . . . . "
"Silahkan. "
"Sebenarnya pelajar baju putih itu sudah mati atau masih
hidup?"
"Maaf. tak bita memberi keterangan."
"Sahabat, saat ini engkau sudah berada dalam kekuasaan
Gedung Hitam . . ."
"Belum tentu. "
"Asal kulepaskan pertandaan rahasia, sekali pun engkau
mempunyai sayap . ..."
Cu Jiang mengertek gigi dan tertawa dingin: "Mengapa
engkau tak melepas pertandaan itu?"
Sasterawan setengah tua itu kerutkan alis, sahutnya:
"Akan kutukar jiwanya dengan keteranganmu yang
jujur."
Pada saat itu tiba2 sesosok bayangan melayang tiba.
Ternyata dia adalah si Mata-sakti Ong Tiong Ki, kepala
anak buah Pengawal Hitam.
Melihat kedua mayat Pengawal Hitam, Ong Tiong Ki
bertanya:
"Congkoan, apakah budak cacad itu yang membunuh
mereka?"
Lim congkoan hanya mendesah.
"Masakan budak itu memiliki kepandaian yang begitu
hebat ?" seru Ong Tiong Ki pula.
Lim congkoan balik bertanya dengan nada sinis:
"Kalau menurut anggapan Ong thaubak ?"
"Waktu dijebloskan dalam penjara, bukankah
kepandaian budak itu sudah punah?"
"Mungkin saat ini dia sudah pulih lagi."
"Apakah congkoan tak dapat mencegahnya ?"
"Aku datang terlambat."
Mulut Ong Tiong Ki yang runcing berkomat kamit
seolah tak percaya akan keterangan Lim congkoan. Setelah
berdiam beberapa saat dia berkata.
"Apakah perlu membawanya kehadapan pohcu?"
Tampaknya Ong Tiong Ki sudah mencuri dengar apa
pembicaraan Lim congkoan dengan Cu Jiang tadi.
Wajah Lim congkoan bertebaran hawa pembunuhan.
"Ong thaubak menganggap tindakanku ini tak layak ?"
"Ah, masakan aku berani mengatakan begitu. Aku hanya
bertanya saja."
"Baik, bawalah dia!"
Ong Tiong Ki segera berjongkok untuk memeriksa mayat
kedua Pengawal Hitam.
Tiba2 Lim congkoan mengangkat tangannya dan
serentak Ong Tiong Kipun mengerang pelahan. Seperti
digambar pasir, tubuhnya rubuh telentang ke belakang.
Dia masih dapat menunjuk pada Lim congkoan dan
berseru dengan tersendat-sendat:
"Engkau.... engkau ..."
Tetapi dia tak dapat melanjutkan kata-katanya lagi:
Kepalanya terkulai dan nyawanyapun putus.
Bukan kepalang kejut Cu Jiang. Sastrawan setengah tua
itu adalah congkoan dari Gedung Hitam tetapi mengapa dia
membunuh orangnya sendiri?
Apa yang terjadi tadi, dia sempat melihat juga. Ketika
mengangkat tangan, dan tangan Lim congkoan itu segera
memancar selarik benang perak yang amat halus sekali dan
tak mengeluarkan suara sedikitpun juga.
Jelas benda itu tentu sebuah senjata rahasia. Tetapi
senjata rahasia apakah itu ? Atau apakah semacam pukulan
tenaga-dalam dari aliran Hitam ?
"Mengapa anda membunuhnya ?" akhirnya karena tak
tahan, Cu Jiang bertanya.
"Karena dia sendiri yang cari mati," sahut sasterawan itu
dengan nada dingin.
"Apakah anda tak takut melanggar aturan Gedung
Hitam ?"
"Soal itu tak perlu engkau hiraukan."
"Anda masih akan memberi pesan apa kepadaku ?"
"Kuulangi permintaanku yang tadi. Kuharap engkau
suka mengatakan dengan sejujurnya tempat dimana pelajar
baju putih itu berada !"
Tiba2 tertarik juga hati Cu Jiang. Setelah merenung
sejenak ia bertanya:
"Dalam kedudukan apakah anda ingin mengetahui hal
ini ?"
"Pribadi!"
"Apa sebabnya ?"
"Sahabat, jika ingin kubunuhmu, sekali mengangkat
tangan saja sudah beres."
"Mengapa tak mau terus melakukannya ?"
"Karena aku memerlukan sepatah kata dari mulutmu."
"Jika aku tak mau memberikan ?"
"Akan kujadikan engkau kawan mereka bertiga itu !"
"Tidak membawa aku kembali ke Gedung Hitam ?"
"Pertanyaanmu itu terlalu berkelebihan. Kulihat engkau
bukan orang tolol. Perlukah engkau kubawa kembali ke
Gedung Hitam agar urusanku pribadi berantakan?"
Cu Jiang terbelalak. Dia benar2 tak mengerti apa maksud
yang sebenarnya dari sasterawan setengah umur itu. Tetapi
ada suatu kesan yang dapat ditangkapnya. Bahwa
sasterawan yang menjabat sebagai congkoan dari Gedung
Hitam itu ternyata tak setia kepada Gedung Hitam.
Jika begitu, mengapa dia mengejar jejak ku begitu mati-
matian ? pikirnya.
"Anda hendak membunuh orang untuk melenyapkan
mulutnya ?" akhirnya ia bertanya.
"Sudah tentu."
"Lalu apa tujuan anda berbuat begitu ?"
"Engkau hanya menjawab, jangan bertanya."
"Kalau begitu, anda tentu punya hubungan baik dengan
pelajar baju putih itu ?"
"Ya, memang. Dalam dunia persilatan ini, yang ada
hanya dua macam. Jika bukan Budi tentulah Dendam. Tak
ada lainnya lagi."
"Sungguh pernyataan yang tepat !"
"Sudahlah, Jangan buang waktu, harap engkau
mengatakan sejujurnya."
"Anda mengatakan, bahwa keteranganku ini akan
mendapat Imbalan aku akan dibebaskan dari kematian ?"
"Benar."
"Apakah anda tak takut kalau ku bocorkan rahasia
pembicaraan kita ini ?"
"Tidak. Tak mungkin engkau akan memberitahu kepada
pihak Gedung Hitam. Mereka tak mungkin mempercayai
engkau."
"Aku sungguh tak mengerti. . .."
"Apa yang tak mengerti ?"
"Anda adalah congkoan dari Gedung Hitam. . ."
"Itu persoalan lain !"
"Dapatkah anda memberitahu tentang maksud anda
yang sebenarnya ?"
"Tak perlu!"
"Nama anda ?"
"Ho Bun Cai !"
Cu Jiang merenung sejenak lalu berkata.
"Aku hanya dapat memberitahu sepatah kata kepada
anda, tetapi janganlah anda bertanya lebih lanjut,
bersediakah anda menerima syaratku ini ?"
Sasterawan setengah tua itu mengangguk: "Boleh."
"Pemuda pelajar baju putih itu belum mati," tiba2 Cu
Jiang berkata.
"Apa ? Dia belum mati ?"
"Ya, dia masih hidup."
"Jika begitu keteranganmu dulu itu bohong?"
"Setengahnya bohong, setengahnya memang sungguh."
"Apa maksud perkataanmu itu?"
"Dia menderita luka parah, itu memang sungguh. Tetapi
dia mati itu, tidak benar."
"Lalu kemanakah tujuannya ..."
"Tadi anda telah sanggup untuk tidak bertanya lebih
lanjut !"
Sasterawan itu menghela napas dan berkata menyerah:
"Ya, aku harus menepati janji. Takkan bertanya lebih
lanjut, tetapi .. .."
"Tetapi bagaimana ?"
"Tetapi yang tak menyangkut diri pelajar baju putih
itukan boleh ditanyakan ?"
"Itu .... boleh. Mana yang kuanggap dapat kujawab tentu
kuberi keterangan."
"Perjanjianmu dengan pemilik Piagam Hitam itu
mungkin juga hanya karanganmu sendiri saja."
"Juga setengah benar, setengah tidak."
"Apa artinya ?"
"Janji itu memang benar ada. Tetapi pihak yang kuajak
berjanji itu, belum tentu dia orangnya."
"Pada waktu menunjukkan Piagam Hitam, bukankah
tujuanmu supaya engkau hidup ?"
"Wajar kalau setiap orang memburu hidup itu."
"Lalu siapa yang engkau ajak berjanji itu?"
"Maaf, soal ini tak dapat kuberi jawaban."
"Apakah engkau tetap akan pergi memenuhi janji itu ?"
"Mungkin."
"Lebih baik jangan."
"Kenapa ?"
"Terus terang kuberitahu kepadamu. Karena engkau
lolos maka pohcu marah sekali dan mengerahkan seluruh
ko-jiu dengan perintah harus dapat menangkap engkau.
Tempat engkau akan mengadakan pertemuan dengan orang
yang engkau janjikan itu, tentu sudah dikepung rapat oleh
jago2 Gedung Hitam. Juga semua anak buah Gedung
Hitam disebar ke mana-mana untuk memata-matai gerak
gerik mu. Selangkahpun engkau sukar hendak bergerak."
Cu Jiang menghela napas. Dan merasa kata2 sasterawan
itu memang benar.
"Tetapi tak dapat selamanya aku harus bersembunyi
saja!"
"Hal itu lihat suasana dan nasibmu !"
"Bagaimana dengan keadaan imam tua dalam penjara
itu?"
"Mati."
"Sudah mati ?"
"Pada saat engkau lolos !"
Diam2 hati Cu Jiang seperti disayat sembilu. Dia berdoa
dalam hatinya.
"Semoga cianpwe berdua beristirahat dengan tenang di
alam baka. Wanpwe bersumpah akan menuntut balas untuk
cianpwe berdua . .. ."
Cu Jiang tak mau bertanya lebih lanjut tentang kedua
tokoh Thian-hian-cu dan Go-leng-cu. Mereka toh sudah
mati. Ia alihkan pembicaraan.
"Anda hendak memberi petunjuk apa lagi kepadaku ?"
tanyanya.
"Pada malam hari engkau harus menuju kearah utara,
lebih mudah untuk lolos dari sergapan mereka."
Arah utara itu, berlawanan dengan arah tempat dia
berjanji dengan Ang Nio Cu. Walaupun saat itu, tanpa
diduga-duga ia dapat menemukan pil Hwe-thian tan
sehingga luka dari pukulan Thian-kong-sat telah sembuh.
Tetapi karena dia berjanji dengan Ang Nio Cu. dia tak
enak hati kalau tak menetapi janji itu. Bukankah dengan
kesungguhan hati Ang Nio Cu hendak mencarikan obat
untuk dia ? Kalau dia tak menepati janji, bukankah dia
malu terhadap wanita itu?
Dalam pada itu, sasterawan itu telah menghantam tanah
sehingga menimbulkan sebuah liang. Mayat ketiga anak
buah Gedung Hitam segera ditanam dalam liang itu. Agar
tak menimbulkan kecurigaan orang, maka kuburan itu
ditimbuni dengan daun dan ranting kering. Kemudian
berkata kepada Cu Jiang:
"Sahabat, akan kutepati janjiku untuk membebaskan
engkau, sampai jumpa !"
Tiba2 Cu Jiang teringat sesuatu.
"Harap anda tunggu sebentar !"
Sasterawan Ho Bun Cai berputar tubuh.
"Engkau mau bilang apa lagi ?"
"Aku hendak mengajukan permohonan sedikit."
"Soal apa ?"
"Kedua Jenasah dari Bu-lim Sam-cu itu supaya dikubur
baik2 dan dibuatkan batu nisan."
"Dikubur sih boleh tetapi batu nisannya tak dapat."
"Kenapa ?"
"Engkau harus mengerti bahwa tindakan Gedung Hitam
itu tak boleh diketahui orang luar."
Cu Jiang merenung sejenak.
"Bagaimana kalau diberi tanda?"
"Tanda yang bagaimana ?"
"Asal mudah diketahui..."
"Apa maksudmu ?"
"Karena kedua cianpwe itu pernah sama2 sependeritaan
dengan aku."
"Baik, akan kuusahakan."
Habis berkata dia terus melesat lenyap.
Cu Jiang beralih tempat duduk. Ia memikirkan diri
sasterawan setengah tua yang aneh sepak terjangnya itu.
Yang jelas orang itu tak setia kepada Gedung Hitam. Tetapi
mengapa dia begitu ngotot hendak mencari Jejak pelajar
baju putih yang tak lain adalah dirinya sendiri ?
Menilik ucapannya dan caranya menetapi janji, rupanya
orang itu tentu seorang bu-su atau pendekar.
Janji dengan Ang Nio Cu, harus dipenuhi. Tetapi jelas
bahwa Gedung Hitam tentu sudah menyiapkan penjagaan
ketat disekitar tempat itu. Tokoh2 Gedung Hitam yang
memiliki kepandaian seperti sastrawan Ho Bun Cai, tentu
tidak sedikit jumlahnya.
Kemudian ia memperhitungkan kekuatannya sendiri.
Walaupun ilmu tenaga-dalamnya kini sudah mencapai
tataran yang tinggi, tetapi dalam ilmu silat jelas dia masih
dibawah lawan. Apabila dia sampai tertangkap lagi,
kemungkinan besar tak mungkin dia dapat lolos lagi.
Disamping itu masih banyak janji2 yang harus ia penuhi.
Pesan Go-leng-cu kepada Gong-gong-cu itu, harus
disampaikan.
Gedung Hitam tak dapat diragukan lagi, adalah musuh
dari mendiang ayahnya. Tetapi apakah Gedung Hitam itu
yang menjadi pembunuhnya, masih perlu diselidiki dulu.
Dengan mendapat gangguan dan ancaman dari pihak
Gedung Hitam, memang sukar sekali baginya untuk
melakukan penyelidikan itu.
Selama itu, ia hanya mendapat sedikit keuntungan
bahwa samar2 ia dapat mengetahui letak Gedung Hitam.
Ia merenungkan lebih lanjut dan mendapat kesimpulan
bahwa sasterawan Ho Bun Cai itu merupakan suatu
jembatan yang berharga untuk menyelidiki keadaan
Gedung Hitam.
Tetapi bagaimana ia harus bertindak untuk mempererat
hubungannya dengan sasterawan itu?
Cepat sekali hari berjalan. Saat itu malampun kembali
tiba dengan membawa selimut hitam yang menebar di
seluas alam.
Lembahpun gelap gulita sehingga tak dapat melihat jari
tangannya sendiri. Saat itu Cu Jiang mulai bergerak. Dia
lari keluar lembab. Dia bertindak dengan hati2 sekali agar
jangan sampai ketahuan oleh orang Gedung Hitam.
Ketika terang tanah dia sudah mencapai seratusan li
jauhnya, Dan pada waktu melihat kepulan asap dari sebuah
perumahan desa, ia mulai tegang.
Ia menyadari bahwa wajahnya yang buruk itu tentu akan
menimbulkan rasa kejut dan seram pada orang. Dan karena
orang Gedung Hitam sudah mengenal ciri wajahnya yang
rusak itu, maka tentulah jejaknya akan cepat diketahui
mereka.
Akhirnya ia memutuskan untuk melanjutkan perjalanan
pada malam hari dan pada siang hari, ia beristirahat.
Ia membeli ransum kering di desa itu serta seperangkat
pakaian. Pakaiannya yang lalu, dipakaikan pada mayat
Thian-hian-cu.
Ia memutuskan tetap akan memenuhi perjanjiannya
dengan Ang Nio Cu. Ia tak peduli harus menghadapi
bahaya apapun juga.
Ia terus melanjutkan perjalanan dan kurang dua hari dari
waktunya, ia sudah tiba di tempat perjanjian.
Cu Jiang mencari sebuah tanah tinggi. Ia mencari tempat
persembunyian yang rapat dan dari situ memandang ke
seluruh penjuru.
Setelah sampai setengah hari tak melihat sesuatu yang
mencurigakan, barulah dengan menutup tubuh pakai
daun2, hati2 sekali ia masuk kedalam lembah.
Sepanjang jalan dia tak melihat sesuatu gerakan apa2.
Tetapi ia menyadari bahwa orang Gedung Hitam tentu tak
mau melepaskannya. Maka makin sunyi suasananya, makin
tegang dan menyeramkan.
Tak lama dari sela2 gerumbul pohon, Ia melihat gua
rahasia yang menjadi tempat persembunyian kawanan Kiu-
te-sat dahulu, sudah tampak disebelah muka. Dia
menunggu dulu sampai beberapa waktu. Setelah tak melihat
suatu gerakan apa2, dengan mengambil jalan melingkar ia
maju menghampiri.
Apa yang berada disitu, masih tetap serupa dengan
ketika ia tinggalkan tempat itu tempo hari. Bedanya
hanyalah, sekarang gua itu menyiarkan bau lembab.
Memandang kearah sembilan buah kursi, timbullah
kenangan Cu Jiang pada kesembilan tokoh Kiu-te-sat yang
rata2 berwajah seram.
Setelah memeriksa pondok rumah batu itu ia mendapat
kesan bahwa keadaannya masih tetap sama seperti dulu. Ia
heran. Pada hal tak mungkin Gedung Hitam tak mengirim
jago2 yang sakti untuk menjaga tempat itu.
Apakah Gedung Hitam sudah menghentikan
pengejarannya ? Ah, tak mungkin. Kemungkinan yang
paling mungkin tentulah mereka belum tiba ditempat itu.
Kembali ke ruang muka tiba2 ia teringat akan ruang
rahasia dibagian belakang. Bukankah itu tempat
persembunyian yang paling bagus ? Dia sudah membekal
ransum kering, cukup untuk menunggu sampai beberapa
hari.
Segera ia mencari botol dan diisi dengan air bersih
kemudian melangkah kebelakang pondok.
Ketika hampir tiba di ruang rahasia itu, kejutnya bukan
kepalang.
Enam sosok mayat bergelimpangan ditanah. Menilik
pakaiannya jelas mereka tentulah Pengawal Hitam. Dan
setelah memeriksa lebih lanjut, pada alis setiap mayat itu
terdapat bekas titik merah.
"Bekas noda Jari-terbang." teriak Cu Jiang. Dengan
begitu Ang Nio Cu sudah datang tentu.
Tetapi menunggu sampai beberapa saat, belum juga
terdengar suara Ang Nio Cu.
"Apakah dia pergi lagi ?" pikirnya. Ia ingat dengan jelas
bahwa waktu perjanjian itu adalah lima belas hari. Dan saat
itu masih kurang dua hari, Tetapi mengapa Ang Nio Cu
pergi sebelum bertemu dengan dia ? Taruh kata wanita itu
gagal mendapatkan obat, paling tidak tentu harus bertemu
muka dan memberi keterangan.
Ia yakin wanita seperti Ang Nio Cu tentu akan pegang
janji. Ah, mungkin Ang Nio Cu mengira dia tentu tak
datang karena mendapat halangan.
"Ya, memang mungkin begitu," akhirnya Cu Jiang
menarik kesimpulan, "karena akulah yang membuat janji
kepada Ang Nio Cu akan menunggunya di gua rahasia
situ."
Ia bimbang, menunggu atau pergi. Akhirnya ia
memutuskan akan menunggu sampai waktu yang telah
dijanjikannya itu.
Dengan keputusan itu, ia lanjutkan langkah ke ruang
rahasia di belakang pondok.
"Siapa?" tiba 2 terdengar lengking teguran seorang anak
perempuan.
Sudah tentu Cu Jiang terkejut sekali. Dia mundur
beberapa langkah dan dari sinar yang memancar di dalam
ruang batu itu, ia melihat sesuatu yang mengejutkan lagi.
Seorang dara baju hijau atau si dara cantik Ho Kiong
Hwa itu.
Benar-2 suatu hal yang tak terduga sama sekali.
"Engkau adalah..."
Hampir saja mulut Cu Jiang berkata "engkau adalah
nona Ho." Tetapi seketika itu ia teringat akan wajahnya
yang sudah rusak maka buru2 ia menelannya kembali.
"O, engkau Gok-jin ji" seru Ho Kiong Hwa.
"Ya." Cu Jiang tertegun, "bagaimana nona tahu?"
"Engkau akan menepati janji dengan Ang Nio Cu?"
"Ya . . . entah..."
"Masuklah dan tutup pintunya!" seru dara baju hijau Ho
Kiong Hwa.
Nada suaranya yang merdu dan wajahnya yang memikat
hati benar-2 menggetarkan hati Cu Jiang. Peristiwa nona itu
dikejar jago pedang dari Gedung Hitam dahulu, kembali
terbayang dikalbunya ....
"Masuklah dan kita omong2 di sini." kembali dara cantik
itu berseru pula.
Setelah memeriksa empat penjuru tiada tampak suatu
apa, barulah Cu Jiang melangkah masuk dan menutup
pintu batu. Seketika ruang itu gelap gulita sekali sehingga
tangannya sendiripun tak dapat dilihatnya.
Cu Jiang tetap masih berdiri di ambang pintu. Rasa
heran telah menimbulkan keragu-raguannya sehingga ia
hanya tertegun saja.
Beberapa saat kemudian barulah matanya dapat lebih
mengenal keadaan ruang yang gelap itu. Dilihatnya mata si
dara Ho Kiong Hwa tengah berkilat-kilat memandang
kepadanya.
"Siapa nama nona?" Cu Jiang sengaja bersikap seperti
belum kenal.
"Namaku Ho Kiong Hwa."
"Oh, mengapa nona Ho dapat datang ke mari?"
"Duduk dan marilah kita bicara dengan tenang."
Cu Jiang mengiakan lalu duduk. Berkata dara itu dengan
nada rawan: "Ketika berada di sekitar gunung ini, aku telah
dihadang musuh lagi . . ."
"Apakah orang Gedung Hitam..."
"Ih, bagaimana siauhiap mengetahui ?"
Cu Jiang tersadar kalau kelepasan omong. Cepat dia
menyusuli kata:
"Karena melihat mayat2 diluar ruang gua ini tadi maka
aku menduga begitu."
"Ai, siauhiap cerdik benar," Ho Kiong Hwa tertawa.
"Silahkan nona melanjutkan," kata Cu Jiang walaupun
tergetar perasaannya.
Dara itu hentikan tawa lalu dengan wajah serius berkata:
"Ketika aku dikejar orang2 itu hingga terdesak,
untunglah Ang Nio Cu muncul dan menolong aku . . ."
"Bagaimana nona dapat datang ke tempat puncak
gunung yang begini sunyi ?"
"Aku bermaksud hendak mencari guru sakti, belajar ilmu
silat untuk membalas dendam !"
"Oh," seru Cu Jiang, "lalu bagaimana?"
"Setelah menolong aku, Ang Nio Cu mengatakan bahwa
dia sedang menunggu janji dengan seseorang di lembah ini .
. ."
"Oleh karena itu dia membawa nona kemari juga ?"
"Ya, begitulah."
"Lalu ?"
"Waktu mencari orang yang dijanjikan itu secara tak
sengaja dia menemukan gua rahasia ini dan
menyembunyikan aku disini."
"Kemudian?"
"Belum orang yang dinantikan itu yang datang tetapi
beberapa anak buah Gedung Hitam "
"Lalu dibunuhnya ?"
"Benar."
"Lalu kemanakah dia sekarang ?"
"Karena ada suatu keperluan, dia pergi dulu. Tetapi dia
meninggalkan pesan kepadaku supaya menunggu seorang
yang bernama Gok-jin-ji, yalah siauhiap sendiri."
"O, apakah dia meninggalkan pesan ?"
"Ya."
"Apa pesannya ?"
"Sebenarnya dia habis pergi kedaerah Han-tiong mencari
seorang tokoh bernama Hwe-thian-jiu Ih Hwa untuk
meminta pil mujijad hwe-thian-tan."
"Pil hwe-thian-tan ?" Cu Jiang terkejut.
"Benar. Menurut katanya, hanya dengan pil Itu dapatlah
luka yang siauhiap derita disembuhkan, tetapi sayang ..."
"Bagaimana ?"
"Tokoh Ih Hwa itu sedang keluar rumah dan tak jelas
kemana tujuannya."
Serentak teringatlah Cu Jiang aku peristiwa yang dialami
digua sarang serigala itu. Secara tak sengaja dia telah
menemukan pil Hwe-thian-tan. Jika begitu bukankah Hwe
thian-Jiu Ih Hwa itu sudah mati dibunuh orang Gedung
Hitam dan mayatnya dimakan serigala itu ?
Ah, sungguh besar sekali rejekinya. Ternyata Ang Nio
Cu juga akan mencari pil itu.
"Lalu bagaimana ?" ia bertanya kelanjutannya.
"Dia terpaksa kembali dengan tangan hampa."
"Ah."
"Rupanya luka dari pukulan Thian-kong-sat yang
siauhiap derita itu sudah sembuh ?"
"Benar, itu hanya secara kebetulan saja dan rupanya
memang berkah Thian."
"Bagaimana?"
"Tanpa sengaja aku telah menemukan pil mujijad dan
kini sudah sembuh."
"Aih, sungguh luar biasa ! Jika tahu begitu dia tentu tak
bingung...."
"Apakah dia bingung ?"
"Sudah tentu," kata Ho Kiong Hwa. "dia mengatakan
apabila tidak mendapatkan pil itu, dalam waktu lima belas
hari engkau tentu meninggal."
"Aku sungguh berterima kasih sekali atas budi
kebaikannya."
"Tetapi mengapa siauhiap tidak menepati permintaannya
supaya menunggu di lembah ini ?"
"Aku tertimpa bahaya yang tak terduga-duga dan setelah
berhasil lolos dari cengkeraman maut, aku datang lagi
kemari untuk memenuhi janji."
"Bahaya apakah yang telah siauhiap alami?" Dengan
geram Cu Jiang berkata: "Kalau kuceritakan tentu akan
menimbulkan kepiluan hati, lebih baik tak kukatakan saja."
"O," Ho Kiong Hwa hanya mendesah tetapi tak mau
mendesak lebih jauh.
"Nona menjelajahi gunung dan sungai hanya perlu
hendak mencari guru yang sakti ?" Cu Jiang alihkan
pembicaraan.
"Ya."
"Apakah sudah berhasil mendapatkan?"
"Belum."
"Sebenarnya nona sudah berhadapan dengan guru yang
nona idam-idamkan itu mengapa tidak..,.."
"Siapa?"
"Ang Nio Cu !"
"Oh, dia? Dia tak mau menerima murid !"
"Mengapa ?"
"Entah."
"Ah, benar. Tahukah nona dimana beberapa sosok
mayat yang berada dalam gua ini ?"
"Telah dibawa keluar dan ditanam oleh Ang Nio Cu."
"Apakah dia akan balik kemari lagi ?"
"Ya."
"Dia menyembunyikan nona disini dan meninggalkan
pesan kepada nona, apakah dia tahu kalau aku pasti datang
kemari ?"
"Kurasa begitu. Dia mengatakan, kecuali tertimpa
bahaya, siauhiap pasti takkan ingkar janji."
Cu Jiang mengangguk. Diam2 ia tak menduga bahwa
Ang Nio Cu begitu mempunyai kepercayaan penuh
kepadanya.
"Ang Nio Cu juga meninggalkan barang ini supaya
diserahkan kepada siauhiap," tiba-tiba Ho Kiong Hwa
berkata pula.
"Barang apa ?"
Ho Kiong Hwa menyulut korek dan seketika teranglah
ruang gua itu. Ia mengambil sebuah bungkusan kertas dari
bajunya dan diserahkan kepada Cu Jiang.
"Inilah."
Merasa wajahnya buruk, Cu Jiang menundukkan kepala
dan berkata pelahan:
"Harap lemparkan kemari." Sambil menyulut jelita
didekatnya Ho Kiong Hwa tertawa dan berseru:
"Sebagai seorang kelana dalam dunia persilatan,
mengapa siauhiap masih malu2 ? Sambutilah !"
Ia terus melemparkan bungkusan kertas itu kepada Cu
Jiang.
Sebenarnya bukan itu yang dimaksud Cu Jiang. Dia
merasa rendah diri karena menyadari bahwa wajahnya
rusak dan menyeramkan, tak sedap dipandang mata.
Diam2 Cu Jiang memuji akan kecermatan Ang Nio Cu
mempersiapkan rencana, Dalam gua yang gelap itu telah
disediakan juga sebuah pelita.
Dengan rasa heran, ia segera membuka bungkusan kertas
itu.
Selesai membaca Cu Jiang menjerit dan tubuhnya
gemetar keras.
Dalam bungkusan Itu tiada terdapat suatu benda lain
kecuali sehelai surat pendek macam karcis. Dan karcis itu
adalah karcis yang berisi pesan keluarganya dan yang telah
hilang ketika ia taruhkan pada pelana kuda. Kudanya
dibunuh orang, barang2 bekalannya tiada yang hilang
kecuali karcis itu.
Benar2 ia tak menduga bahwa karcis itu akan jatuh di
tangan Ang Nio Cu.
Ketika mengamati karcis itu ternyata terdapat beberapa
tambahan tulisan berbunyi:
Pohon kumala dilanda badai kehancuran, bunga cantik
bertebaran gugur. Karcis ini menjadi saksi. Jodoh sudah
ditentukan Thian.
Membaca itu Cu Jiang terkejut. Baris pertama dari kata2
itu menunjukkan tentang nasib dirinya yang tertimpa
kemalangan. Baris kedua yang menyebut tentang bunga
cantik itu tentulah menunjuk Ho Kiong Hwa. Jelas Ang
Nio Cu hendak menjodohkan dirinya dengan nona Ho itu
... .
Tanpa disadari ia memandang nona itu sejenak. Ah,
merahlah mukanya. Bunga cantik, ya benar, memang
Kiong Hwa benar2 bagaikan sekuntum bunga cantik.
Tetapi dirinya sendiri? Ah, betapa menyayat hati. Dia
tak lebih hanya seorang mahluk cacad yang wajahnya telah
rusak.
Tiba2 Ho Kiong Hwa tertawa riang. "siauhiap, apakah
sepucuk surat?"
"Ya."
"Apakah isinya?"
"Tidak apa2, " sahut Cu Jiang.
Hoa Kiong Hwa hentikan tawa dan merentang mata
lebar-2, serunya setengah tak percaya:
"Dengan wanti2 Ang Nio Cu pesan kepadaku supaya
menunggumu untuk menyerahkan barang itu. Masakan tak
ada isinya?"
Pilu hati Cu Jiang. Ia tertawa rawan.
"Nona Ho, isinya tak lain hanya beberapa pesan
pribadi."
"Pesan pribadi? Apakah tak boleh dikatakan kepada lain
orang?"
"Tak boleh. "
"Tak percaya!"
"Apa? Nona tak percaya?"
"Karena . ... oh Ho Kiong Hwa tundukkan kepala,
mukanya tersipu-sipu merah.
"Karena apa?" Cu Jiang tertarik untuk mendesak
keterangan.
"Dia memberitahu kepadaku." kata Ho Kiong Hwa,
"setelah menyerahkan surat itu kepadamu, engkau tentu
akan mengatakan apa2 kepadaku..."
Cu Jiang menyadari bahwa dirinya yang sudah cacad
begitu rupa masakan sesuai menjadi pasangan nona cantik
itu. Dia memang tak menduga bahwa Ang Nio Cu akan
mengatur perjodohan itu. Terpaksa dia akan
mengecewakan harapan Ang Nio Cu.
Ia tak dapat membayangkan bagaimana reaksi Ho Kiong
Hwa apabila dia mengemukakan isi surat itu.
"Ah, aku takkan mengatakan apa2, " akhirnya ia kuatkan
hati.
Wajah Ho Kiong Hwa menampil keheranan. Ia kerutkan
alis dan berkata:
"Apakah sungguh begitu?"
"Ya."
"Apakah Ang Nio Cu membohongi aku?"
"Ini . . . . , " Cu Jiang benar2 sulit untuk mengatakan,
"dia tak membohongi engkau ..."
"Kalau dia tak bohong dan siauhiap tak mengatakan
apa2 kepadaku, aku merasa bingung."
Setelah merenung beberapa jenak, Cu Jiang tiba2
menggigit jari tengahnya dan menulis di atas karcis itu.
"Engkau mau apa itu?" teriak Ho Kiong Hwa terkejut.
Selesai menulis, Cu Jiang mengangkat muka dan
menjawab:
"Ah, tidak apa2."
Seketika wajah Ho Kiong Hwa tampak pucat dan
dengan suara gemetar ia berseru:
"siauhiap, tampaknya engkau terlalu tak menghiraukan
aku."
Sejenak Cu Jiang memandang pula pada enam huruf
yang ditulis dengan darah pada karcis itu, berbunyi.
Burung Hong mana setimpal dengan burung gagak
buruk?
kemudian ia berkata dengan nada serius:
"Nona Ho, apakah engkau anggap aku layak?"
"Layak apa?"
"Layak tak menghiraukan orang ?"
"siauhiap, aku ... tak mengerti maksudmu ..."
Cu Jiang membungkus karcis itu lagi lalu diserahkan
kepada Kiong Hwa.
"Tolong nona berikan surat ini kepada Ang Nio Cu.
Katakan bahwa budi kebaikannya terukir dalam hati
sanubariku. Kelak pasti kubalas."
Dengan tak berkedip nona itu memandang Cu Jiang. Dia
tak menyambuti bungkusan karcis itu melainkan berseru
keras:
"siauhiap, paling tidak engkau harus memberitahu
kepadaku apa yang dikatakan Ang Nio Cu dalam surat itu."
Cu jiang tertegun. Beberapa saat kemudian ia lemparkan
bungkusan kertas itu kepada Ho Kiong Hwa.
"Nona Ho, silahkan lihat sendiri!"
Habis berkata ia berputar tubuh dan menekan alat
rahasia pintu gua.
"siauhiap, apakah maksudmu?" teriak Ho Kiong Hwa
dengan gemetar.
Saat itu pintu terbuka. Walaupun dengan hati seperti
disayat sembilu, tetapi Cu Jiang keraskan hati dan terus
melesat keluar. Dengan langkah yang tertatih-tatih ia segera
lari.
Dia terus lari tanpa berpaling kebelakang dan tak berapa
lama sudah keluar dari lembah itu.
Ia menghela napas longgar. Wajah Ho Kiong Hwa yang
secantik bidadari masih terbayang di pelupuk matanya.
Dia merasa bahwa tindakannya itu paling tepat.
Bagaimana ia sampai hati untuk mempersunting bunga
yang secantik itu ? Dan lagi itu hanya kemauan Ang Nio
Cu sendiri. Belum tentu Ho Kiong Hwa juga setuju.
Bukankah lebih baik dia sendiri yang menderita daripada
harus membuat nona itu ikut menderita ?
Tiba2 di udara terbang melayang seekor burung bangau.
Dia terbang seorang diri dan memperdengarkan bunyi
berkaok-kaok yang sedih.
Bukankah burung itu seperti dirinya ? Tanpa terasa Cu
Jiang mengucurkan air mata.
Beberapa saat ia tertegun. Ia merasa seperti kehilangan
sesuatu. Setelah itu baru ia melanjutkan perjalanan lagi.
Dia sendiri tak tahu hendak menuju kemana. Pokok asal
lari membawa kepiluan hatinya.
Saat itu tak terasa haripun sudah petang. Ia baru
mengetahui kalau dirinya masih dalam lingkungan daerah
gunung, jauh dari pedesaan dan warung. Akhirnya ia
memutuskan untuk bermalam dalam gunung saja.
Memandang ke sekelilingnya, melihat sebuah puncak
batu yang tak begitu banyak ditumbuhi gerumbul pohon.
Segera ia menuju ke tempat itu.
Puncak itu penuh dengan batu2 besar, merupakan
tempat yang gersang dan cocok untuk tempat bermalam.
Ia membaringkan diri disebuah batu besar. Pikirannya
masih terbayang wajah Ho Kiong Hwa.
Beberapa saat kemudian bayangan Ho Kiong Hwa itu
berobah menjadi bayang2 wajah Ki Ing, puteri jelita yang
telah memberinya Piagam Hitam. Jelita Ki Ing dan
bujangnya yang karena ia bohongi, tentu menuju ke gunung
Bu-leng-san untuk mencari pemuda pelajar berbaju putih.
Diam2 Cu Jiang menghela napas rawan.
Tiba2 dari arah samping terdengar sebuah suara parau
menegur:
"Hm, budak, mengapa menghela napas tak keruan
sehingga mengganggu mimpiku !"
Cu Jiang terkejut sekali. Ia tak mengira di puncak
sesunyi itu terdapat seorang manusia lain. Mengapa dia tak
mengetahuinya ?
Serentak ia menggeliat duduk. Di bawah sinar bintang
yang remang, ia melihat diatas sebuah batu besar yang
terpisah tiga tombak jauhnya, melingkar sesosok bayangan
hitam.
Tubuh dan wajahnya tak kelihatan jelas. Hanya menilik
suaranya yang parau, dia tentu seorang tua.
"Siapa cianpwe ini ?" seru Cu Jiang.
"Budak kecil, engkau berani mengganggu aku ?" seru
bayangan hitam marah.
Cu Jiang tertegun. Dia merasa bertanya dengan sopan
mengapa dianggap mengganggu ?
Bayangan hitam itu berkata seorang diri pula: "Di dunia
ini benar2 tiada tempat yang tenang. Baru mau tidur saja
sudah tidak bisa."
Cu Jiang tertawa meringis. Dia duga orang tua itu tentu
seorang manusia aneh. Lebih baik tidak usah ia pedulikan
saja. Dia segera rebahkan diri lagi.
Beberapa saat kemudian tiba2 orang tua aneh itu buka
suara lagi:
"Budak, perangaimu yang aneh itu cocok sekali dengan
aku."
Kata2 itu memang kasar tetapi makin menandakan
wataknya yang aneh.
Sebenarnya Cu Jiang seorang pemuda yang berwatak
terus terang dan ramah. Dia menyahut dengan tertawa:
"Benarkah ?"
"Budak mengapa engkau tidur di atas gunung begini ?"
"Mungkin sama dengan cianpwe."
"Engkau sama dengan aku orang tua ini? Ngaco belo!
Bau pupukmu belum hilang, masakah engkau juga jemu
pada dunia."
"Hampir begitulah."
"Hm, siapa namamu?"
"Gok-jin- ji."
"Hai, siapa?" teriak orang tua itu seraya menggeliat
duduk.
"Gok-Jin-ji," Cu Jiang mengulangi.
Orang tua itu tertawa gelak2.
"Bagus, bagus, kucari-cari ke seluruh pelosok dunia tidak
berhasil, kiranya sekarang secara tak terduga-duga bisa
bertemu !"
Cu Jiang tergetar hatinya. Apakah orang tua aneh itu
orang Gedung Hitam yang sedang mencari dirinya? Celaka,
keluhnya lalu diam2 dia bersiap-siap.
"Apakah artinya ucapan cianpwe ?" serunya.
"Aku memang justeru hendak mencarimu, budak
buruk..."
Tiba2 dalam posisi masih duduk, orang aneh itu
melambung ke udara dan melayang ke tempat Cu Jiang.
Cu Jiangpun cepat menghantam dengan kedua
tangannya. Tenaga-dalamnya memang hebat sekali dan saat
itu dilancarkan dengan penuh. Orang tua aneh itupun
melayang balik ke tempatnya semula lagi.
"Hai. budak, mengapa engkau menghantam aku ?" teriak
orang tua aneh itu. Saat itu dia berdiri diatas batu.
Saat itu baru Cu Jiang dapat melihat bahwa orang tua
aneh itu tingginya hanya satu meter, gemuk seperti bola dan
rambutnya yang putih seperti perak, memanjang hingga
limbung dengan jenggotnya.
Dia mengenakan baju warna hitam yang memanjang
sampai menutupi lutut sehingga tampak tubuhnya makin
bundar.
Melihat perawakan orang yang begitu ku koay, hampir
Cu Jiang tak dapat menahan geli tetapi dia tak berani
lengah. Bahwa hantaman yang dilancarkan dengan sepenuh
tenaga itu ternyata hanya dapat melemparnya kembali ke
tempatnya semula tetapi sedikitpun tidak sampai terluka.
Cu Jiang menyadari orang kate itu memiliki ilmu
kepandaian yang menakjubkan sekali.
"Apa yang tidak benar?" seru Cu Jiang. "Tak mungkin
engkau memiliki tenaga-dalam yang begitu hebat!"
"Kenapa ?"
"Tenagamu yang semula, hanya tak ada separuhnya dan
sekarang ini!"
Cu Jiang tertegun.
"Dengan dasar apa cianpwe mengatakan begitu ?"
Orang tua kate itu mengelus-elus jenggot dan berseru:
"Sudah tentu apa yang kuketahui, habis dengan dasar
apa lagi?"
"Tadi cianpwe mengatakan hendak mencari aku,
bukan?"
"Benar."
"Apa maksud cianpwe ?"
"Soal itu nanti dulu, sekarang kita bereskan sebuah
persoalan ..."
"Persoalan apa?"
"Mengapa tadi engkau menghantam aku?"
"Karena cianpwe tak memberitahu siapa diri cianpwe
ini."
"Aku orang tua yang hidup sudah seratus tahun masakan
harus lebih dulu memberi tahu asal usulku kepada seorang
anak?"
"Saat ini wanpwe sedang dikejar musuh, maka..."
"Baik, soal itu tak perlu dibicarakan lagi. Tetapi engkau
tadi telah mengirim sebuah pukulan kepadaku, bagaimana
harus menyelesaikan perhitungannya ?"
Cu Jiang tertawa. Dia pikir orang tua itu masih seperti
anak kecil. Menilik sikapnya, dia tentu bukan orang
Gedung Hitam.
"Lalu bagaimana cara menghitungnya ?" ia berbalik
tanya.
Dengan wajah bersungguh, orang tua aneh itu berkata:
"Akupun harus mengembalikan sebuah pukulan
kepadamu !"
Cu Jiang pelahan-lahan berbangkit dan bertanya pula:
"Tetapi bagaimana cara mengembalikannya itu?"
"Bersiaplah untuk menerima !"
"Baik," sahut Cu Jiang. "tetapi apakah cian-pwe akan
memukul dari tempat cianpwe semula?"
"Tentu."
"Ah, apakah itu sudah adil?"
"Budak, kata2mu itu menandakan bahwa hatimu jujur,
terimalah !"
Habis berkata dia terus mengendapkan tubuh lalu
dorongkan kedua tangannya ke muka.
Walaupun terpisah dua tombak, tetapi Cu Jiang tak
berani meremehkan. Dia pusatkan segenap semangatnya
untuk menyambut.
Eh, mengapa yang berhembus bukan tenaga pukulan
dahsyat melainkan angin yang lembut?
Apakah orang tua itu hendak berolok-olok kepadanya ?
Belum habis rasa herannya, tiba2 angin lembut itu
berobah menjadi gelombang tenaga yang dahsyat.
Cu Jiang terkejut sekali. Dia hendak menghindar
ataupun menangkis, sudah tak keburu lagi. Terpaksa dia
mengempos semangat dan menyambutnya.
Bum....
Dia terpelanting ke belakang dan jatuh dari atas batu,
sempoyongan sampai beberapa langkah dan membentur
segunduk batu besar. Walaupun tak sampai menderita luka
berat tetapi cukuplah membuat kepalanya pusing tujuh
keliling ....
Orang tua aneh itu tertawa terbahak-bahak.
"Nah, begitu baru mending. Kalau tidak, aku si orang tua
ini tentu jatuh merk."
Cu Jiang tertawa meringis. Setelah menenangkan
semangat, dia loncat lagi keatas batu. Dilihatnya orang tua
aneh itupun sudah duduk lagi dialas batu:
"Cianpwe, kau sudah selesai ?"
"Uh. duduklah !"
Cu Jiang menurut. Duduk berhadapan dengan orang tua
itu barulah dia dapat melihat jelas wajahnya. Ternyata
orang tua itu berwajah welas asih.
Setelah beberapa saat memandang Cu Jiang, orang tua
aneh itu mengangguk-angguk.
"Ah, benar2 bahan yang bagus. Siau-lo-ji benar2 bermata
jeli sekali."
Cu Jiang heran. Dia tak tahu apa yang dimaksudkan
orang tua aneh itu. Hanya mendengar orang tua itu
menyebut-nyebut tentang bahan bagus, dia serentak teringat
akan hubungannya dengan maksud hendak mengambil
murid.
Dia benar2 heran, mengapa begitu banyak tokoh2 dalam
dunia persilatan yang ingin sekali mengambil dia sebagai
murid.
"Apakah wanpwe dapat mengetahui nama locianpwe ?"
akhirnya ia bertanya.
Orang tua itu kicupkan kedua matanya lalu mengurut-
urut jenggotnya dengan santai.
"Pernah dengar tentang nama Lam-kek-siu ?"
Cu Jiang terperanjat. Lam-kek-siu atau kakek dari
Kutub-selatan merupakan seorang tokoh aneh yang berada
diluar dunia persilatan. Namanya lebih atas dari Bu-lim
Sam-cu.
Ketika ayahnya masih hidup, pernah mengatakan, ingin
sekali berjumpa dengan tokoh itu.
Ah, sungguh tak terkira bahwa orang tua pendek yang
berada dihadapannya itu tak lain adalah tokoh Lam-kek-siu
yang termasyhur itu. Serentak timbullah rasa
mengindahkan kepada kakek Itu.
"Oh, locianpwe ini tokoh Lam-kek-siu yang termasyhur
itu ?" tanyanya.
"Ya."
"Maaf, wanpwe telah berlaku kurang hormat "
"Ngaco, aku ai kakek tua ini tak perlu engkau junjung
setinggi langit."
"Wanpwe memang berkata dengan kesungguhan hati."
"Engkau dari perguruan mana ?"
"Dari keluarga sendiri."
"Siapa keluargamu ?"
"Ini.... maaf, wanpwe sukar mengatakan."
"Tak apa. Engkau tahu mengapa aku kakek tua ini
mencarimu?"
"Mohon cianpwe memberi keterangan."
"Aku menerima permintaan tolong orang."
"Siapa ?"
"Gong-gong-cu!"
"Gong gong-cu ketua dari Bu-lim Sam-cu?"
Cu Jiang menegas.
"Sudah tentu, masakan dalam dunia persilatan terdapat
dua Gong-gong-cu!"
"Ah, terlalu bagus sekali!"
"Terlalu bagus, apa maksudmu?"
Cu Jiang merasa kelepasan omong. Dia belum kenal
dengan Gong-gong-cu mengapa tokoh itu minta tolong
orang supaya mencarinya? Apakah artinya ?
Tetapi itu memang sungguh kebetulan sekali karena ia
hendak menyampaikan pesan dari Go-leng-cu untuk Gong-
gong-cu.
"Wanpwe juga menyanggupi permintaan orang untuk
mencari Gong-gong cianpwe."
"O, mengapa begitu kebetulan sekali. Siapa yang
menyuruhmu ?"
"Go-leng-cu."
"O, si kepala gundul yang menempuh bahaya itu. Soal
apa ?"
"Sebuah pesan lisan."
"Mengapa kepala gundul itu dapat minta tolong
kepadamu?"
"Karena dia . . . senasib dengan wanpwe."
"Senasib? Apa maksudmu?"
Cu Jiang lalu menceritakan tentang penjara di bawah
tanah dari Gedung Hitam. Tentang nasib yang dialami dari
Go leng-cu dan Thian-hian-cu dan tentang sarang serigala
yang menjadi kuburan dari tokoh2 persilatan.
Mendengar itu Lam-kek-siu marah. Rambutnya
meregang tegak.
"Kalau Gedung Hitam tak dibasmi, dunia persilatan
Tiong goan takkan tenang. Budak, engkau benar2 nyawa
kembalian dari neraka!"
Dengan mengertek gigi, Cu Jiang menyahut:
"Selama wanpwe masih bernyawa, tentu akan
membasmi Gedung Hitam!"
"Sungguh berpambek tinggi! Pokoknya, engkau harus
lekas2 menemui Gong-gong-cu. . ."
"Tetapi di manakah beliau?"
"Dia hanya mondar-mandir di wilayah Sujwan-Oupak,
mencarimu!"
"Bagaimana cara mencarinya?"
"Ini.... karena engkau meloloskan diri dari Gedung
Hitam, mereka tentu berusaha keras untuk menangkapnya
lagi. Oleh karena itu baiklah engkau jangan unjuk diri.
Begini saja, aku mempunyai sebuah benda, pergilah ke
markas Kay-pang cabang Kui-cin, tunjukkan benda itu dan
suruh pengemis2 itu membantu engkau mencarikan..."
Habis berkata Lam-kek-siu mengeluarkan sebuah tiokpay
(keping bambu) kecil, diberikan kepada Cu Jiang.
"Inilah pertandaan dari Kay-pang tiang-lo. Dulu seorang
sahabat pengemis memberikan kepadaku. Aku sih tak perlu.
Sekalian suruh mereka mengembalikan pertandaan itu ke
markas besar Kay-pang dan diserahkan kepada tianglo Kay-
pang yang bernama Tong Ih Leng bergelar Pengemis-
perayu nyawa."
Sambil menyambut Cu Jiang menghaturkan terima
kasih.
"Budak, apabila engkau tidak capek, malam ini engkau
berangkatlah . . ."
"Jika begitu wanpwe mohon diri."
"Hati2 di jalan !"
Setelah memberi hormat, Cu Jiang lalu turun gunung.
Malam itu juga ia terus menuju ke Kui-ciu, mencari
markas partai Kay-pang.
Cu Jiang tetap menggunakan cara yang sama. Kalau
siang beristirahat, sembunyi di hutan atau tempat yang sepi,
malam baru melanjutkan perjalanan.
Pada malam itu tibalah dia di luar kota Kui-ciu. Dia
bersangsi. Saat itu tengah malam, para pengemis tentu
sudah pulang kandang. Bagaimana ia hendak mencari
markas mereka?
Setelah memikir beberapa saat. ia mendapat akal.
Menurut keadaannya markas cabang Kay-pang itu tentu
berada di tempat sepi di luar kota. Ah. baiklah ia coba2
mengitari kota, mungkin saja ia dapat menemukannya.
Dalam perjalanan itu tiba2 ia mendengar jeritan minta
tolong dari seorang wanita. Cu Jiang berhenti dan
memandang ke sekeliling. Rumah2 sudah mati lampunya
dan jeritan itu tak kedengaran lagi
Baru dia bersangsi tiba2 jeritan itu terdengar lagi tetapi
pelahan dan terputus-putus. Jika tak memiliki pendengaran
yang tajam tak mungkin dapat menangkap suara itu.
Kini Cu Jiang dapat mengetahui arahnya. Jelas dari
gerumbul hutan yang terpisah beberapa puluh tombak dari
tempat ia berdiri.
Tanpa ayal lagi dia terus lari menghampiri. Begitu tiba di
hutan itu baru dia dapat melihat di dalam hutan Itu terdapat
sebuah rumah pondok yang dilingkari dengan pagar bambu.
Lampunya masih menyala. Menilik bangunannya, rumah
itu bukan rumah petani melainkan sebuah rumah orang
yang memang hendak mengasingkan diri dari pergaulan
ramai.
Rumah itu merupakan satu-satunya rumah di hutan itu.
Tiada tetangganya lagi. Suara jeritan tadi jelas berasal dari
dalam rumah itu.
Cu Jiang segera menghampiri. Begitu dekat ternyata
pintu rumah itu terbuka separoh. Dia terus melangkah
masuk. Apa yang dilihatnya benar2 mengejutkan sekali.
Di lantai ruang tengah, tampik sesosok mayat yang
bergelimangan darah. Korban mengenakan pakaian sebagai
seorang bun-in atau sasterawan.
Tiba2 terdengar suara rintihan bercampur isak tangis.
Asalnya dari kamar sebelah.
Cu Jiang segera menghampiri kamar itu dan melongok
dari jendela. Apa yang disaksikan dalam kamar itu benar2
membuat darahnya bergolak keras. Nafsu pembunuhan
serentak berkobar-kobar.
Seorang Pengawal Hitam tengah meringkus seorang
anak berumur lima tahun, melintangkan pedang di leher
anak itu. Mukanya tertawa menyeringai sehingga anak itu
ketakutan setengah mati.
Di pinggir ranjang berdiri seorang tua berpakaian hitam,
umur di antara 50 an tahun, sedang membuka pakaian dan
ikat pinggangnya.
Sementara diatas ranjang, rebah seorang wanita muda
berumur 20-an tahun dalam keadaan telanjang dan
memandang lelaki tua itu dengan penuh dendam.
"Heh, heh, jangan memandang aku begitu rupa. Kalau
menghendaki jiwa anakmu, engkau harus mau melayani
aku main satu kali," lelaki berpakaian hitam itu tertawa
mengekeh.
Bibir wanita itu mengumur darah. Rupanya dia telah
menggigit bibirnya sendiri karena dendam kebenciannya
yang meluap-luap.
"Dengarkan, aku tak ingin menggunakan kekerasan.
Sikapmu begitu itu tak menyenangkan, Jika tidak..." kata
lelaki tua itu pula.
Seketika terbayanglah Cu Jiang akan dua buah peristiwa
yang lalu. Anak perempuan dari paman Liok yang mati
diatas ranjang dengan tubuh telanjang.
Dan jenasah ibunya yang menggeletak diatas batu, juga
dalam keadaan tak berpakaian ....
"Tunggulah diluar, nanti kuberi mu bagian," kata lelaki
tua itu kepada Pengawal Hitam.
Wajah yang menyeramkan dari Pengawal Hitam itu
sejenak menyapu tubuh wanita muda yang rebah di ranjang
lalu melangkah keluar.
"Jangan mengganggu anakku!" teriak wanita muda itu
dengan nada pilu.
Saat itu lelaki tua sudah membuka pakaian dan hanya
tinggal celana dalam saja. Dengan tertawa menyeringai dia
berkata:
"Asal engkau mau menurut saja dan dapat memuaskan
aku, anakmu tentu selamat."
Cu Jiang tak dapat menahan kemarahannya lagi. Dia
terus menerjang masuk dan tepat kesampokan dengan
Pengawal hitam yang membawa anak kecil itu.
"Siapa engkau !" bentak Pengawal Hitam.
Secepat kilat Cu Jiang terus mencengkeram tangan orang
itu. Marah sekali Cu Jiang sehingga ia mencengkeram
dengan sekuat tenaganya.
"Auh..." Pengawal Hitam menjerit karena tulang
pergelangannya pecah dan pedangnyapun jatuh.
"Hai, ada apa itu!" seru lelaki tua dalam kamar.
Pengawal Hitam lepaskan anak kecil lalu menghantam
dada Cu Jiang.
Krak.... Cu Jiang menangkis. Pengawal Hitam itu
tergetar. Sebelum ia sempat menghantam lagi, Cu Jiang
sudah mendahului menghantam kepalanya, prak....
rubuhlah orang itu ke lantai.
"Pek thaubak. budak . . itu ....," sebelum melayang
jiwanya, Pengawal Hitam itu sempat berteriak.
"Ho, bagus, kiranya engkau budak!" dengan masih
mengenakan celana dalam kepala kelompok atau thaubak
orang she Pek itu segera melesat keluar.
Dengan berapi-api Cu Jiang memandang orang itu.
Wajahnya yang rusak dan memancarkan hawa
pembunuhan itu, membuat ngeri Pak Thaubak sehingga
menyurut mundur selangkah.
Wanita muda menyambar selimut untuk menutup
tubuhnya lalu lari keluar dan membopong anak kecil itu ke
sudut.
"Budak buruk, tak kira engkau mengantar jiwa sendiri."
seru Pak thaubak menyeringai iblis.
Sepasang bola mata Cu Jiang merah membara dan
gerahamnya bergemerutukan. Tanpa berkata apa2, dia terus
menghantam.
Pak thaubak menangkis dan tangannya yang lain
menyambar. Tetapi alangkah kejutnya ketika tenaga
pukulan Cu Jiang itu sedahyat gunung meletus. Krak.... Pek
thaubak terpelanting kedalam kamar.
Sebelum dia sempat bergerak, Cu Jiang sudah loncat dan
mencengkeram bahunya.
"Auh..." Pek thaubak mengerang kesakitan karena
bahunya mengucur darah. Jari2 Cu Jiang telah menembus
masuk kedalam dagingnya.
Pek thaubak terbelalak. Dia tak mengira bahwa Cu Jiang
memiliki tenaga yang sedemikian sakti.
Cu Jiang tak bicara apa2. Matanya yang merah membara
sudah berbicara sendiri.
Pek thaubak nekad. Karena tubuhnya lemas akibat jalan
darah pada bahunya dicengkeram, dia mengangkat lutut
kaki kanannya dan dibenturkan ke perut Cu Jiang.
Cu Jiang sedang dirangsang kemarahan sehingga dia
kehilangan kewaspadaan. Dia tak mengira lawan akan
menggunakan cara itu.
"Huh.." ia mengerang tertahan dan terjungkal ke
belakang. Kalau tak memiliki tenaga-dalam yang tinggi,
tentu dia sudah mati saat itu.
Berhasil dengan gerakan lutut, Pek thaubak menyusuli
lagi dengan sebuah tendangan.
Tetapi saat itu kesadaran Cu Jiang sudah kembali, ia
miringkan tubuh sembari menyambar kaki lawan dan
sebelah tangannya bergerak untuk menabas kaki orang,
krak.
Tulang kaki Pek thaubak pecah dan orangnyapun rubuh.
Cu Jiang membarengi menerkam paha orang.
"Ha. ha, ha " dia tertawa gelak2.
"Budak engkau berani . . .. "
"Akan ku robek-robek tubuhmu, anjing !" teriak Cu
Jiang. Krak .... sekali merentang kedua lengannya terdengar
Pek thaubak meraung ngeri karena tubuhnya sempal dua.
Setelah menenangkan perasaannya, Cu Jiang melangkah
ke luar. Tampak wanita muda tadi dengan memeluk anak
kecil tengah menelungkupi mayat lelaki berdandan seperti
sasterawan itu, menangis tersedu-sedu.
Sinar lampu yang redup di malam hari, menambah
suasana tempat itu makin seram.
Lama sekati baru wanita itu menyadari bahwa di
sampingnya terdapat seorang pemuda yang tegak berdiri, Ia
mengangkat muka dan terkejut ketika pandang matanya
terbentur pada wajah Cu Jiang yang buruk.
Tetapi sesaat kemudian wanita itu segera menghaturkan
hormat:
"Terima kasih atas budi pertolongan siauhiap!"
"Ah, tak usah, " kata Cu Jiang dengan nada hambar,
"hanya secara kebetulan saja. Apakah yang meninggal itu
suami nyonya?"
"Ya memang .... suamiku," kata wanita itu tersendat-
sendat.
"Siapakah namanya?"
"Sastrawan- pukulan sakti Kang Giok."
"Ah, bukan seorang yang tak ternama. Bagaimana asal
mula peristiwa ini?"
"Silahkan siauhiap melihat di atas meja itu ...."
Cu Jiang berpaling dan tiba2 menjerit:
"Amanat Maut!"
"Benar, Amanat Maut dari Gedung Hitam."
"Mengapa Gedung Hitam mengirim amanat itu ke
mari?"
"Karena kami pernah menerima seorang nona menginap
di sini. Dan nona itu adalah orang yang hendak dicari
Gedung Hitam."
Cu Jiang terkejut.
"Bagaimana nona itu?"
"Seorang dara yang berpakaian hijau."
"Dara berpakaian hijau? " ulang Cu Jiang.
"Ya. hal itu terjadi lima hari yang lalu . .."
"Apakah dara itu mengakui she apa?"
"Dia . . . mengatakan she Ho!"
Cu Jiang tergetar. Sungguh tak kira dalam dunia ini
terjadi hal yang aneh. Dulu ketika dia pulang dari berkelana
dan menolong nona yang bernama Ho Kiong Hwa itu,
telah menerima Amanat Maut dan Gedung Hitam. Jika
tidak wanita gemuk pemilik rumah penginapan yang
melindunginya, dia tentu sudah mati.
Tetapi wanita gemuk itu sendiri yang menjadi korban.
Rumah makan dan penginapannya dibakar dan wanita
gemuk itu jatuh miskin.
Kini Kang Giok yang bergelar Sasterawan-pukulan sakti
itupun mati dibunuh orang Gedung Hitam karena
menolong Ho Kiong Hwa. Bahkan anak isterinyapun
hampir menjadi korban keganasan orang Gedung Hitam.
Tiba2 ia teringat akan dara Ho Kiong Hwa yang
tentunya masih berada dalam gua rahasia menunggu Ang
Nio Cu. Entah bagaimana keadaan dara itu.
Sesaat iapun teringat akan surat dari Ang Nio Cu yang
hendak menjodohkan dia dengan Ho Kiong Hwa. Teringat
itu merahlah wajah Cu Jiang.
"Nyonya Kang, baiklah malam ini juga engkau
tinggalkan rumah ini dan pergi sejauh mungkin. Orang
Gedung Hitam tentu tak mau melepaskan engkau begitu
saja, " katanya.
Wajah nyonya muda itu pucat dan air matanyapun
segera berderai-derai ke luar.
"siauhiap, aku hendak mohon tolong sebuah hal..."
Cu Jiang tertegun. "Soal apa?"
"Akan kuserahkan anak ini kepada siauhiap."
Lalu nyonya?"
"Hendak menyusul suamiku . . ."
Anak itu rupanya agak mengerti maksud ucapan
mamahnya. Dia memandang wajah mamahnya lalu
memandang Cu Jiang. Dia tahu walaupun berwajah buruk
tetapi Cu Jiang berhati baik. Dia tak takut.
"Jangan! " seru Cu Jiang.
"Apakah siauhiap tak meluluskan?"
"Saat ini aku juga orang yang sedang diburu Gedung
Hitam." kata Cu Jiang, "dan cara berpikir nyonya itu tak
benar. Suami nyonya dibunuh orang, nyonya seharusnya
berjuang untuk merawat putera nyonya. Dengan demikian
suami nyonya tentu dapat beristirahat dengan meram di
alam baka."
Nyonya itu terisak-isak. Anaknyapun ikut menangis.
Adegan itu benar2 menyayat hati Cu Jiang.
"Nyonya Kang, harap lekas berkemas-kemas dan
memanfaatkan malam yang gelap ini untuk lolos." sesaat
kemudian Cu Jiang memberi peringatan.
Nyonya itu menurut Ia masuk ke dalam kamar. Tak
lama kemudian ke luar dengan sudah berpakaian dan
membawa sebuah bungkusan. Ia berjongkok di hadapan Cu
Jiang.
"Terima kasih atas budi pertolongan siauhiap." katanya
seraya memberi hormat.
"Ah, tak usah, nyonya," Cu Jiang tersipu-sipu, "Harap
lekas bangun."
"Dapatkah siauhiap memberitahu nama siauhiap yang
mulia?" serunya berbangkit.
"Aku . . . bernama Gok-jin-ji."
"Gok-Jin-Ji?"
"Ya."
"Nama gelaran ?"
"O, ya."
"Nama yang sebenarnya ?"
"Aku tak punya nama dan she. Hanya nama gelaran itu."
"Akan kucatat dalam hati selama-lamanya."
"Lebih baik nyonya segera berangkat. Urusan disini
serahkan kepadaku."
"Mayat suamiku ..."
"Aku yang akan menguburnya."
"siauhiap, keluarga Kang akan mengukir budi kebaikan
siauhiap itu."
"Ah, tak perlu nyonya mempersoalkan hal sekecil itu.
Silahkan berangkat!"
Dengan masih berat hati, nyonya itu memandang lagi
sekeliling rumahnya.
"Mah, kita akan kemana?" seru anak kecil.itu.
Air mata nyonya itu tiada putusnya mengalir.
"Nak, dalam dunia yang begini luas, kita tentu dapat
mencari tempat tinggal."
"Dan paman buruk !"
"Hui, jangan kurang ajar!" bentak mamahnya.
Cu Jiang tertawa.
"Paman Buruk memang tepat. Harap nyonya jangan
marah kepadanya."
"siauhiap, sampai jumpa lagi," nyonya itu memberi
hormat mohon diri.
"Harap nyonya berhati-hati ..."
"Terima kasih !" dengan memondong anaknya nyonya
itu segera melangkah keluar dan lenyap dalam kegelapan
malam.
Cu Jiang menghela napas. Kemudian ia menuju
kebelakang dan membuang liang untuk mengubur Kang
Giok. Dibuatkannya juga sebuah nisan dengan tulisan
nama Kang Giok.
Tepat pada saat ia selesai mengurus mayat itu terdengar
suara ayam berkokok. Hari segera akan terang tanah.
Ia meletakkan Amanat Maut diatas kuburan lain
membakar rumah pondok itu. Maksudnya supaya orang
Gedung Hitam tahu bahwa orang yang hendak dibunuhnya
itu sudah mati.
Tiba2 ia teringat bahwa nyonya tadi tentu juga seorang
wanita persilatan. Jika ia menanyakan letak markas Kay-
pang, mungkin tahu. Tetapi ah, dia sudah pergi jauh.
Cu Jiang melanjutkan perjalanan lagi. Saat itu di jalan
pun sudah tampak orang berlalu lalang. Ia merenungkan.
Apabila jejaknya diketahui Gedung Hitam, tentu akan
melibatkan markas Kay-pang.
Akhirnya ia kembali hendak mencari hutan yang sepi.
Tiba2 di tengah jalan ia melihat sebuah kuil besar. Dia
gembira Sekali karena tempat semacam kuil, merupakan
tempat persembunyian yang bagus. Segera ia lari
menghampiri.
Tetapi tiba di tempat itu ternyata bukan kuil melainkan
sebuah biara yang megah dan besar. Papan nama besar
yang tergantung pada pintu bertulis tiga huruf Hian-to-
kwan.
Pintu biara itu terbuka tetapi tak kelihatan barang
seorang penjaganya.
Cu Jiang mengambil keputusannya. Dari pada
mengganggu para imam dalam biara itu, lebih baik ia
mencari tempat yang sepi untuk bermalam.
Ia segera masuk. Di belakang pintu terdapat sebuah
halaman luas yang penuh ditumbuhi bunga2 indah. Jalan
ditengah tengahnya terbuat dari batu putih yang rapi dan
bagus.
Di ujung halaman merupakan sebuah ruangan. Di
belakang ruang itu tentulah ruang besar. Di kanan kiri
terdapat pintu bundar yang disebut Gwat-tong- bun.
Pada ujung timur laut terdapat sebuah pintu yang
tertutup.
Cu Jiang lalu menghampiri pintu itu dan mendorong.
Tetapi pintu itu terkancing dari dalam. Terpaksa Cu Jiang
loncat dari atas pintu.
Dia menyusur sebuah lorong Jalan. Tiba diujung lorong,
terdapat sebuah halaman kecil. Di situ terdapat sebuah
pondok papan yang cukup bersih. Tetapi menilik halaman
itu penuh ditumbuhi rumput dan semak, jelas pondok itu
sudah lama tak dipakai orang.
"Tempat yang bagus! " pikirnya lalu menghampiri.
Tetapi sebelum tiba di pondok harus melalui sebuah
pintu halaman. Pintu itu dikunci dengan gembok yang
karatan. Cu Jiang tak berani membuka.
Iapun melihat bahwa pintu pondok yang terbuat dari
kayu dipelitur, Juga dikunci. Setelah memeriksa keadaan
disekeliling, Cu Jiang rebahkan diri diatas sebuah bangku
batu dibawah tangga bunga. Pikirnya, tempat itu cukup
aman, tentu tak diketahui orang dan para imam biara situ.
Karena semalam suntuk hampir tak tidur maka Cu Jiang
lelah sekali dan terus jatuh pulas.
Beberapa waktu kemudian ia terjaga oleh suara ribut2.
Ternyata saat itu sudah tengah hari. Cepat ia bangun dan
pasang telinga.
Suara itu berasal dari luar pintu. "Bu-liang-siu-hud, siao-
to tak berani sembarangan masuk !"
"Ngaco!"
"Tempat ini merupakan tempat larangan dalam biara
kami. Kecuali kwan-cu, tiada seorangpun boleh masuk."
"Minta mampus?"
"Apakah sicu sama sekali tak mengindahkan peraturan
dunia persilatan ?"
"Suruh kunyuk2 kecil itu menyingkir"
"Sicu "
Huak ... hoak .... terdengar serentetan orang muntah dan
menyusul sosok2 tubuh yang rubuh.
"Dobrak pintu dan ringkus kawanan imam hidung
kerbau disini !"
Terdengar bentakan2 keras dan suara rintihan.
Bum... pintu jebol terhantam sebuah pukulan dahsyat.
Beberapa sosok bayangan segera menerobos masuk.
Melihat itu Cu Jiang segera loncat bersembunyi dibalik
sebuah gunung-gunungan. Dari celah gunungan batu itu ia
dapat melihat apa yang terjadi. Seketika meluaplah
kemarahannya.
Ternyata yang menerobos masuk itu dua orang
Pengawal Hitam yang menjinjing seorang Imam setengah
tua. Dua orang Pengawal Hitam yang lain mengiring
dibelakang seorang lelaki tua berpakaian hitam.
Cu Jiang cepat mengenali lelaki tua baju hitam itu
sebagai salah seorang thaubak Gedung Hitam yang
bernama Kho Kun gelar Bu ceng-thay-swe atau Pangeran-
tanpa-kasihan.
"Geledah !" Kho Kun memberi isyarat.
Kedua Pengawal Hitam itu segera maju. Brak, pintu
pondok ditendang dan terus menerobos masuk.
Imam yang dikepit itu merah matanya dan meronta
sekuat-kuatnya tetapi tak dapat melepaskan diri dari
himpitan kedua Pengawal Hitam itu.
"Perbuatan kalian ini tentu takkan dibiarkan kwan-cu."
imam itu berteriak-teriak.
O0o0dw0o0O

Jilid 8
Plak
Salah seorang Pengawal Hitam menampar muka imam
itu hingga mulutnya berdarah dan muka bengap.
Mata Cu Jiang melotot keluar, dada serasa mau
meledak. Pada saat ia hendak unjuk diri tiba2 ia melihat
sesosok bayangan melesat dan lenyap. Diam2 ia tahu
bahwa ditempat itu muncul seorang ko jiu atau tokoh sakti.
Terpaksa ia menahan diri dan tak mau bergerak keluar.
Diam2 dia menduga-duga, siapakah bayangan itu? Imam
dari biara atau orang Gedung Hitam?
Kedua Pengawal Hitam yang masuk ke dalam pondok
tadi keluar pula. Salah seorang membawa sejilid kitab,
dihaturkan kehadapan Bu-ceng-thay-swe Kho Kun.
"Laporan, yang kami dapatkan hanya kitab ini!"
Kho Kun menyambuti dan membacanya. "Ah, Thian-to
po-lok."
"Itulah kitab pusaka dari biara kami, kalian jangan..."
"Tutup mulutmu, hidung kerbau!" bentak Kho Kun
kepada imam setengah tua itu ."lebih baik engkau serahkan
saja!"
"Pinto benar2 tak tahan !"
"Mm, kalau belum menghadapi peti mati engkau
memang belum menangis. Kali ini engkau tak mau
menyerahkan kitab, Hian-to-kwan ini akan kuhancurkan."
Kho Kun mengancam.
"Kitab itu sukar didapat keduanya!"
"Hidung kerbau, jangan ngaco belo. Siapa yang
membicarakan kitab itu ?"
Sekonyong-konyong sesosok bayangan melesat masuk.
Seorang lelaki tua berjubah kuning emas, mata berkilat2
tajam.
"Bagus, Sebun sicu, harap memberi keadilan." imam
setengah tua itu serentak berseru.
Lelaki berjubah kuning emas itu kerutkan alis, serunya:
"Apa yang terjadi?"
"Mereka memaksa pinto supaya menyerahkan kitab
Giok-kah-kim keng. Katanya susiok kami yang
memperolehnya."
Mendengar keterangan imam setengah tua itu, Cu Jiang
terkejut Kiranya kawanan anak buah Gedung Hitam itu
sedang mencari kitab Giok-kah kim-keng. Yang disebut
susiok atau paman guru oleh imam setengah tua itu tak lain
adalah Thian-hian cu.
Padahal para imam di biara situ tak tahu bahwa ketua
mereka yakni Thian hian cu sudah dibinasakan secara keji
dalam penjara di bawah tanah dari Gedung Hitam.
Itulah sebabnya mengapa pondok dalam biara itu tak
terawat. Kiranya pondok itu merupakan tempat semedi dari
imam Thian-hian- cu.
Lalu siapakah lelaki tua yang mengenakan jubah kuning
emas itu?
"Ho, kiranya Buddha-hidup Sebun Ong yang datang ini.
Maaf, aku berlaku kurang hormat." seru Kho Kun dengan
sinis.
Cu Jiang makin kaget. Kiranya lelaki tua berjubah
kuning emas itu adalah Bu-lim-seng-hud atau Budha-hidup-
dari-dunia persilatan Sebun Ong, tokoh yang sering dipuji-
puji oleh ayah Cu Jiang waktu masih hidup.
Sebun Ong memiliki kepandaian yang sakti.
Dia menjalankan dharma sebagai seorang hiap-gi atau
pendekar utama!.. Menolong yang lemah dan membasmi
yang lalim. Itulah sebabnya orang persilatan mengagungkan
dia dengan sebutan Buddha hidup dalam dunia persilatan
atau Bu lim seng-hud.
Sebun Ong balas memberi hormat: "Ah, terima kasih.
Tetapi siapakah kiranya nama anda yang terhormat ini ?"
"Aku Bu-ceng-thay-swe Kho Kun."
"Apakah saudara Kho tak keberatan untuk mendengar
sepatah kataku?"
"Ah, kurasa lebih baik anda berada diluar kalangan."
sahut Kho Kun.
"Sayang aku sudah terlanjur mengetahui dan tak dapat
membiarkan saja."
"Kuharap janganlah anda terlalu membanggakan
kemasyhuran nama .. ."
"Ha, ha, ha..." Sebun Ong tertawa, "jangan keliwat
menyanjung terlalu tinggi. Aku jarang muncul dalam dunia
persilatan, bagaimana bisa membanggakan diri ? Hanya
karena kepala biara disini seorang sahabatku yang lama,
terpaksa aku harus ikut campur. . ."
Tiba2 Cu Jiang teringat orang tua cacat didasar jurang
yang telah menolong dirinya ketika dilempar oleh orang
Gedung Hitam dahulu. Kakek cacad itu bernama Cukat
Giok bergelar Tionggoan tayhiap atau pendekar besar dari
Tionggoan.
Karena isteri kakek cacad itu serong dengan Se-bun Ong,
maka kakek cacat itu sampai dicelakai oleh Sebun Ong.
Jelas bahwa Se-bun Ong itu seorang manusia yang telah
merampas isteri sahabatnya, dan mencelakai sahabat itu.
Cu Jiang pun teringat akan janjinya kepada kakek cacat
Tionggoan tayhiap Cukat Giok untuk menuntut balas pada
musuh yang telah mencelakainya itu. Dia akan membunuh
Tio Hou Hui isteri yang serong itu dan akan mencari anak
dari Cukat Giok.
Tetapi melihat sikap dan nada Sebun Ong terhadap
orang Gedung Hitam, diam2 Cu Jiang bersangsi. Adakah
benar Sebun Ong itu seorang manusia jahat seperti yang
dikatakan kakek Cukat Giok itu ?
Tiba2 saat itu Kho Kun tertawa mengekeh dan berseru:
"Sebun Ong, jangan terlalu tak tahu diri!"
Dengan wajah tenang, Sebun Ong tersenyum simpul:
"Apakah saudara Kho tak mau menerima ucapanku. . ."
"Sebun Ong, jika bukan engkau, saat ini tentu sudah tak
dapat bicara di hadapanku! " tukas Kho Kun.
"Aku hanya mengharap untuk memberi penjelasan."
"Apakah engkau tetap ikut campur?"
"Karena sudah begini, terpaksa aku tak dapat lepas
tangan!" sahut Sebun Ong.
Kho Kun keliarkan biji mata lalu berseru:
"Baiklah, karena engkau tetap akan ikut campur, aku
orang she Kho dengan memandang muka mu, akan
melepaskan imam hidung kerbau ini!"
Kedua Pengawal Hitam yang meringkus imam setengah
tua itu segera melepaskannya.
Imam itu gopoh menghampiri dan berdiri di samping
Sebun Ong.
Kemasyhuran nama Buddha-hidup Sebun Ong benar2
amat berwibawa. Kehadirannya dapat memaksa thaubak
dari Gedung Hitam mau melepaskan korbannya.
"Adakah Sebun Ong itu mampu mengelabuhi dunia
persilatan agar menganggapnya sebagai seorang pendekar
perwira?"
Cu Jiang memutuskan hendak menunggu perkembangan
selanjutnya. Ia ingin tahu bagaimana Sebun Ong akan
mengatasi peristiwa saat itu.
Dengan mengangkat tangan memberi hormat, Sebun
Ong menghaturkan terima kasih kepada Kho Kun.
"Ah, tak perlu, aku hanya melakukan perintah atasan
saja untuk menyelesaikan urusan ini. Dan karena anda ikut
campur dalam urusan ini maka kuminta anda menasehati
imam itu agar menyerahkan kitab Giok-kah-kim-keng, "
kata Kho Kun dengan nada dingin.
"Kalau tak mau menyerahkan?"
"Biara Hian-to-kwan ini terpaksa akan dicuci dengan
darah!"
Sebun Ong berpaling ke arah imam itu.
"Han Hi, engkau sudah dengar sendiri. Jika tak
menyerahkan kitab itu, akibatnya sungguh berat. Kalau
paman gurumu pulang, akulah yang akan memberi
penjelasan kepadanya."
Wajah imam Han Hi mengerut, serunya: "Tetapi siau-to
benar2 tak tahu soal kitab itu!"
"Apakah keteranganmu itu sungguh2?"
"Siau-to mana berani bohong."
"Andaikata, di tempat yang engkau ketahui mungkin
menjadi tempat susiokmu menyimpannya...."
"Dalam biara, hanya pondok inilah yang biasa dipakai
susiok. Tiada lain tempat lagi!"
"Cobalah engkau pikir2! "
"Ini sukar . . . siau-to tak pernah ke luar dari biara."
Sebun Ong mengelus jenggot dan kerutkan alis. Dia
merenung diam sampai beberapa saat.
Kho Kun tertawa dingin:
"Jika begitu, bukankah anda sudah boleh lepas tangan?"
Wajah Sebun Ong mengerut serius:
"Tidak !"
Wajah Kho Kunpun mengerut gelap.
"Lalu bagaimana anda hendak mengurusnya?"
"Kasih waktu sebulan, biar kubantu Han Hi to te ini
mencarinya. Di samping itu akan kukirim orang untuk
mencari Thian-hian-cu, barangkali saja akan menyerahkan
sesuatu."
Mendengar itu Cu Jiang mengertek gigi Thian-hian-cu
jelas sudah meninggal. Bagaimana mungkin hendak dicari "
"Mungkin hal itu sukar terlaksana." seru Kho Kun
dengan hambar.
"Lalu bagaimana kalau menurut pendapat anda?" tanya
Sebun Ong.
"Bertindak menurut perintah!"
"Bertindak menurut perintah?" ulang Sebun Ong.
"Ya, mencuci biara Hian-to-kwan ini dengan darah."
"Karena aku berada di sini, mungkin sukar anda
melakukannya."
"Sebun Ong, apakah engkau berani bermusuhan dengan
Gedung Hitam?"
"Aku hanya membela keadilan dan kebenaran saja!" seru
Sebun Ong. Gagah sekali ucapan itu sehingga hati orang
merasa kagum.
"Engkau tentu akan menyesal."
"Aku Sebun Ong, takkan menyesal apa yang telah
kulakukan!"
"Sekalipun harus bertaruh dengan nyawa?" Kho Kun
menegas.
"Jika perlu."
"Apakah itu berharga?
"Dalam membela kebenaran, tiada yang disebut berharga
atau tidak berharga."
"Rupanya kita harus mengadu kepandaian?"
"Orang she Ko, terus terang saja kukatakan kepadamu.
Sekalipun engkau mengajak empat orang kawanmu lagi,
masih bukan tandinganku, percaya tidak?"
Tring, tring .... keempat Pengawal Hitam serempak
mencabut pedang. Belasan imam yang muncul di sekeliling
pintu halaman mengerut alis dalam sikap hendak mengadu
jiwa. Suasana tegang meregang.
Tiba2 Cu Jiang mengambil keputusan. Soal pesan kakek
di dasar lembah terhadap Sebun Ong itu kelak tentu akan ia
selesaikan. Tetapi saat itu yang penting dia harus
membantu pihak Hian-to-kwan.
"Kho Kun, apakah engkau benar2 hendak mencuci biara
ini dengan darah?" seru Sebun Ong dengan nada gemetar.
Kho Kun deliki mata.
"Rupanya memang begitu!"
"Sebun sicu," teriak Han Hi tojin, "kurasa lebih baik
engkau berada diluar urusan ini. Walau pun kami para
imam biara Hian-to-kwan ini tak becus, tetapi kami telah
bertekad hendak mempersembahkan jiwa demi membela
biara kami!"
Sebun Ong pun berteriak keras:
"Jangankan aku ini sahabat karib dari Thian-hian-cu.
Sekalipun orang luar tetapi demi membela Keadilan dan
Kebenaran, aku tentu akan mengadu jiwa . . ."
"Sebun sicu, bersalah kepada Gedung Hitam, akibatnya .
. ."
"Sudahlah, Jangan banyak bicara." cepat Sebun Ong
menukas kata2 imam itu.
Setelah mendapat isyarat mata dari Kho Kun, keempat
Pengawal Hitam itu berteriak dan mulai menyerang Sebun
Ong. Karena Han Hi tojin juga berada di sampingnya,
diapun ikut terancam.
Entah dengan gerakan apa, tahu2 Sebun Ong sudah lolos
dari serangan mereka, bahkan dia masih dapat membawa
Han Hi ke luar dari kepungan. Keempat pedang lawan
hanya menyerang tempat kosong.
Peristiwa itu benar2 mengejutkan orang.
Keempat Pengawal Hitam itu berteriak dan menyerang
lagi. Gerakan pedang mereka, hebat bukan kepalang.
Dengan menggerakkan tangan melingkar dan
menggurat, keempat Pengawal Hitam itu terdampar
mundur.
"Aku tak ingin membunuh orang, harap kalian tahu
diri." serunya.
Kho Kun tertawa mengekeh.
"Sebun Ong, tak perlu pura2 berhati mulia. Pertempuran
ini pertempuran mati hidup. Kalau tiada yang mati tentu
tak selesai."
Habis berkata dia terus silangkan kedua tangan dan
melangkah maju.
Keempat Pengawal Hitam itupun segera mengambil
tempat, mengepung dari empat penjuru.
Sebun Ong menyiak Han Hi tojin. Imam itu pun segera
menghantam seorang Pengawal Hitam. Ternyata angin
pukulannya juga hebat sekali. Pengawal Hitam yang berada
di hadapannya, tersiak pedangnya dan orangnyapun
tersurut mundur dua langkah.
Dua orang Pengawal Hitam serentak maju menyerang
imam itu. Tetapi Han Hi tojin cepat melesat ke muka untuk
menghindar.
Bum ....
Terdengar letupan keras ketika pukulan Kho Kun
disambut oleh pukulan Sebun Ong.
Kuda2 kaki Kho Kan tergempur dua langkah ke
belakang. Jelas kepandaiannya masih kalah setingkat dari
Sebun Ong.
Melihat itu seorang Pengawal Hitam cepat menusuk
punggung Sebun Ong dari belakang.
Tetapi Sebun Ong memang sakti. Punggungnya seperti
bermata. Dia menampar ke belakang dan pedang Pengawal
Hitam itupun mencelat ko udara, tepat jatuh di tempat
gunungan batu.
Tetapi aneh pedang itu sama sekali tak mengeluarkan
suara. Dan tahu2 Pengawal Hitam yang di belakang itu
menjerit rubuh.
Sekonyong-konyong dari balik gunungan batu itu
muncul seorang pemuda berwajah buruk, mencekal pedang
dari Pengawal Hitam yang terlempar jatuh tadi.
"Hai . . . !" sekalian orang menjerit kaget. Mereka benar2
tak percaya akan pemandangan yang dilihatnya. Setan atau
manusiakah yang muncul itu? Kalau manusia mengapa
wajahnya begitu menyeramkan? Tetapi kalau setan
mengapa muncul di siang hari?
"Ho engkau! " tiba-tiba Kho Kun berpaling dan berseru
ketika melihat yang muncul itu tak lain adalah Cu Jiang.
Sejenak menyapu pada sekalian orang yang berada di
tempat itu, Cu Jiang menatap Sebun Ong dan berkata:
"Apakah anda yang disebut Bu-lim-seng-hud?"
Entah bagaimana perasaan Sebun Ong saat itu, girang
atau terkejut. Tetapi yang jelas wajahnya kelihatan
menyeringai seperti kucing tertawa. Namun dengan masih
bersikap garang dia menjawab:
"Ya, siapakah sahabat ini?"
"Aku Gok jin-ji."
"Gok-jin-ji?"
"Ya benar. Aku pernah bertemu beberapa kali dengan
Thian-hian-cu cianpwe kepala biara di sini."
"Oh..."
Kemudian Cu Jiang berpaling menghadap Bu-ceng-thay-
swe Kho Kun dan berseru datar: "Apakah anda terkejut?"
"Budak cacad, memang aku tak menduga sama sekali."
sahut Kho Kun dengan sinis.
"Masih ada lagi yang akan mengejutkan hati mu! " kata
Cu Jiang.
"Apa?"
"Kalian pasti mati semua!"
"Budak cacad, jangan tekebur! Engkau mampu lolos satu
kali. jangan harap dapat lolos lagi untuk yang kedua kali"
Kho Kun maksudkan peristiwa Cu Jiang dapat
melarikan diri dari penjara di bawah tanah dalam Gedung
Hitam.
Merah mata Cu Jiang. Melangkah maju dua tindak, ia
mengangkat pedang dan berseru bengis:
"Aku hendak membunuh habis kalian budak2 Gedung
Hitam ini, hm!"
Tiga Pengawal Hitam, yang seorang menyerang dengan
tangan kosong dan yang dua menyerang dengan pedang.
Mereka bergerak cepat sekali,
Cu Jiang berputar tubuh seraya memutar pedangnya.
Hauhhh ... terdengar jeritan ngeri ketika salah seorang
Pengawal Hitam yang menyerang dengan pedang itu,
terpental batang kepala dan menggelinding ke lantai. Tak
ampun lagi tubuhnyapun rubuh.
Kedua kawannya terlongong kaget.
Cu Jiang sudah terlanjur dirangsang hawa pembunuhan.
Sekali bergerak, seorang Pengawal Hitam rubuh lagi. Kini
hanya tinggal seorang Pengawal Hitam yang menggunakan
pedang.
Dengan sebuah serangan yang luar biasa cepatnya, tahu2
dada Pengawal Hitam itu sudah berlubang, darah
menyembur deras dan orangnyapun terhuyung mundur
sampai setombak. Wajah pucat seperti mayat ....
Dengan menggerung keras. Kho Kun terus menghantam.
Jurusnya aneh dan dahsyatnya bukan alang kepalang
"Berhenti!" tiba2 Sebun Ong membentak dan menangkis
pukulan Kho Kun.
Sebenarnya Cu Jiang tak senang Sebun Ong mencampuri
urusan itu. Tetapi karena mengingat Sebun Ong sama2
menentang Gedung Hitam, terpaksa dia agak sungkan.
"Apa maksudmu?" teriak Kho Kun. Dengan wajah
serius,
Sebun Ong berseru "Maksudku hendak menenangkan
keadaan ini."
"Mungkin sukar!"
"Kho Kun, engkau sudah menyaksikan sendiri kesaktian
dari sahabat kecil ini. Kalau aku ikut masuk, mampukah
engkau menyelamatkan jiwamu?"
"Aku tak mudah digertak !"
"Tetapi itu suatu kenyataan yang tak dapat engkau
sangkal !"
Cu Jiang hendak membuka mulut tetapi rupanya Sebun
Ong tahu dan mencegahnya:
"Sahabat, dalam melakukan sesuatu kita harus
memikirkan akibat dibelakang hari."
Terpaksa Cu Jiang tutup mulut lagi. Ia menyadari akan
akibat yang akan diterima para imam biara Hian-to kwan
dari pembalasan Gedung Hitam nanti.
Kembali Sebun Ong berkata kepada Kho Kun:
"Bagaimana pendapat mu tentang saranku tadi ?"
"Tiga mati dan satu terluka, bagaimana harus
menyelesaikan perhitungannya ?" seru Kho Kun dengan
gusar.
"Juga dalam biara ini sudah empat orang imam yang
binasa, apakah itu juga tak sia-sia ?" sahut Sebun Ong.
"Pihak Gedung Hitam selamanya tak pernah melepaskan
musuh."
"Kata-kataku hanya sampai disini, terserah
keputusanmu!"
Wajah Bu-ceng-thay swe Kho Kun berobah-robah.
Rupanya dia sedang memperhitungkan untung ruginya.
Lama baru dia membuka mulut:
"Sebun Ong, engkau minta waktu sebulan?"
"Ya, benar."
"Apabila sampai waktunya tidak menyerahkan ?"
"Aku Sebun Ong, akan mengundurkan diri dari dunia
persilatan."
"Apakah ucapanmu dapat dipercaya?" Kho Kun
menegas.
"Gila ! Apakah Sebun Ong bangsa manusia yang tak
dapat dipercaya ?"
"Baik. aku dapat menyetujui," kata Kho Kun terus
berpaling kepada Cu Jiang.
"Budak cacat, terpaksa kita tak dapat menggunakan
kesempatan kali ini, sampai Jumpa !" serunya seraya
memberi isyarat kepada Pengawal Hitam yang terluka:
"Apakah engkau masih dapat jalan ?"
"Ya."
"Engkau bawa seorang mayat kawanmu. yang lain biar
aku ..."
"Baik."
"Kho Kun, tinggalkan kitab Hiau-to-po-lok itu!" tiba2 Cu
Jiang berseru dingin.
Dengan deliki mata Kho Kun segera membuang kitab
itu. Imam Han Hi buru2 memungutnya.
Para imam yang mengepung diluar pintu halaman itupun
segera menyingkir.
Dengan membawa dua sosok mayat Pengawal Hitam,
Kho Kun lalu melangkah keluar diikuti Pengawal Hitam
yang terluka dan memanggul mayat kawannya itu.
Kawanan imam yang menunggu diluar pintu mengawasi
kedua orang itu dengan mata marah.
Imam Han Hi segera menghaturkan terima kasih kepada
Cu Jiang. Tetapi Cu Jiang mengatakan supaya imam itu
jangan banyak peradatan untuk soal sekecil itu.
"Harap siauhiap duduk di ruang depan ..."
"Maaf, aku hendak melanjutkan perjalanan lagi, Hanya
ada sepatah kata yang hendak kuhaturkan kepada totiang."
"Soal apa?"
Sejenak merenung. Cu Jiang berkata dengan nada yang
berat:
"Sejak hari ini harap totiang suka membubarkan para
murid dalam biara ini. Demi menjaga pembalasan dari
Gedung Hitam!"
Han Hi tojin terbelalak.
Sejenak kemudian Han Hi tojin mengertek gigi, serunya:
"Membubarkan mereka?"
"Begitulah." sahut Cu Jiang.
"Tetapi, harus susiok-ku yang mengambil keputusan . . ."
"Thian Hian Cianpwe sudah tak dapat mengambil
keputusan! "
"siauhiap maksudkan . . ."
"Thian Hian cianpwe sudah pulang ke alam
kesempurnaan di dalam penjara rahasia Gedung Hitam!"
Seketika cahaya muka Han Hi berobah.
"Apakah kata2 siauhiap ini sungguh2?" serunya dengan
gemetar.
"Masakan aku berani omong sembarangan? Aku juga
nyawa kembalian dari neraka Gedung Hitam. Aku
menyaksikannya dengan mata kepala sendiri!"
"Bu-liang-siu hud!"
Han Hi tojin menundukkan kepala. Tubuhnya
menggigil.
"Sobat kecil, apakah benar terjadi peristiwa itu?" seru
Sebun Ong dengan muka berkerenyutan.
"Benar!"
"Sobat dapat lolos dari neraka Gedung Hitam, tentu
orang sukar percaya . . . . "
"Memang benar, aku sendiri juga tak pernah mimpi
dapat lolos. Tetapi rupanya Thian memang belum
menakdirkan aku harus mati! "
"Apakah sahabat dapat menuturkan peristiwa itu?"
"Maaf, tak dapat."
"Sahabat ini dari perguruan mana? "
"Soal ini ... juga sukar kuterangkan."
"Jurus ilmu pedang yang engkau mainkan tadi bukankah
sama seperti ilmu pedang sakti It kiam-tui-hun dari Nabi-
pedang Cu Beng Ko dahulu?"
Tergetar hati Cu Jiang seketika. Tetapi dia berusaha
untuk menindas kegoncangan hatinya. Dengan tenang ia
menjawab:
"Ilmu silat itu sama sumbernya. Banyak persamaannya
satu dengan lain."
Dengan mata berkilat kilat, Sebun Ong memandang
wajah Cu Jiang, seolah-olah hendak menembus isi hatinya.
"Mengenai pengetahuanku tentang ilmu silat yang
terdapat dalam dunia persilatan Tionggoan, kurasa hanya
ilmu pedang dari Nabi-pedang Cu Beng Ko itu yang sangat
beda dengan ilmu pedang lain2 aliran," kata Han Hi tojin.
Diam2 Cu Jiang memuji ketajaman mata imam itu, ia
tertawa hambar.
"Aku yang rendah karena masih dangkal dalam ilmu
silat, tak berani menyatakan apa-apa," katanya.
"Kudengar berita yang tersiar dalam dunia persilatan
bahwa Nabi-pedang Cu Beng Ko mempunyai putera yang
berkelana di dunia persilatan..."
"Ah, banyak sekali hal2 dalam dunia persilatan yang tak
kuketahui."
"Wajah anda itu agaknya bukan begitu aselinya tetapi
karena menderita luka ..."
Kembali tergetar hati Cu Jiang. Tak mau ia melayani
berbicara soal itu dan buru2 alihkan pembicaraan:
"Sudah lama aku mengagumi akan kemasyhuran nama
cianpwe di dunia peralatan. Sungguh beruntung sekali hari
ini dapat bertemu. Jika cian-pwe tak keberatan, sudilah
memberi alamat tinggal cianpwe agar kelak lain waktu
dapat berkunjung"
Maksud Cu Jiang pada waktu yang diperlukan nanti, dia
akan melaksanakan sebuah pesan terakhir dari Ko-tiong-jin
atau kakek yang menderita dalam gua itu. Jelasnya, Cu
Jiang hendak membuat perhitungan yang penghabisan
dengan Sebun Ong.
"Aku tak punya tempat tinggal tertentu. Tetapi
kegiatanku tak lepas dari lingkungan wilayah Kanglam dan
Kangpak. Sudah tentu kita mempunyai banyak kesempatan
untuk berjumpa lagi."
"Oh..." baru Cu Jiang mendesah, tiba2 sesosok bayangan
berkelebat masuk. Melihat pendatang itu, Cu Jiang
terlongong.
Pendatang itu seorang itu seorang kakek tua mengenakan
jubah kuning telur. Cu Jiang masih ingat, ketika lolos dari
neraka Gedung Hitam dan tiba disebuah kota, dia bertemu
dengan orang tua itu mengaku she Gong dan menyatakan
hendak memungutnya sebagai murid. Tetapi saat itu dia
menolak ....
Tiba2 orang tua itu tertawa keras.
"Sebun Jite, belasan tahun tak berjumpa, engkau masih
tetap awet muda dan gagah seperti dulu!" serunya.
Melihat kedatangan orang tua itu, Sebun Ongpun
tertawa nyaring, serunya:
"Sungguh kebetulan sekali loko datang. Disini telah
terjadi suatu peristiwa besar."
"Peristiwa apa?" orang tua itu hentikan tawanya.
"Menurut berita dalam dunia persilatan, Thian-hian-cu
telah mendapatkan kitab Giok-kah-kim keng. Benarkah
itu?"
"Itu hanya desus desus yang tak sesuai dengan
kenyataannya."
"Jika loko yang mengatakan begitu, sudah tentu yang
paling dapat dipercaya ...." kata Sebun Ong.
Tiba2 mata orang tua itu beralih memandang Cu Jiang.
Wajahnya cerah tersenyum.
"Engkoh kecil, tak kira kita akan bertemu lagi disini."
"Sungguh gembira sekali," Cu Jiangpun segera memberi
hormat.
Dalam pada itu Han Hi tojinpun segera memberi hormat
kepada kakek itu.
"Engkau ini..."
"Han Hi. Tentulah cianpwe masih ingat ketika dalam
perjamuan dihidangkan arak, cianpwe telah memberi
dampratan pedas kepada susiok-ku..."
"Ah, engkau ini Han Hi, hampir aku tak ingat lagi.
Tempo berlangsung cepat sekali mendorong manusia jadi
tua, engkau sudah banyak berobah sekarang."
"Dimanakah Thian hian-cu ?" seru orang tua itu pula.
"kakiku sudah lelah lari kesana kemari mencarinya . .. ."
Seketika wajah Han Hi pucat lesi, sahutnya sedih:
"Sudah pulang ke alam baka!"
"Hah, sudah mati?" teriak orang tua itu gemetar.
"Ya, sudah meninggal."
"Bagaimana peristiwanya !"
"Menurut keterangan siau sicu ini. beliau telah
meninggal dalam kamar rahasia Gedung Hitam . . . . "
"Benarkah itu?" serentak orang itu berseru kepada Cu
Jiang dengan mata berkilat-kilat.
Cu Jiang mengiakan.
"Sudah lama kau menginjak dunia persilatan Tionggoan
Kabarnya sekarang dunia persilatan Tionggoan ini sudah
dikuasai oleh Gedung Hitam. Darimana engkoh kecil tahu
hal itu?"
"Karena aku juga ditawan bersama Thian-hian cianpwe
dalam penjara rahasia itu . .."
"Bagaimana engkau dapat lolos?"
"Karena mendapat bantuan Go-leng cianpwe yang
mengatur siasat supaya aku lolos."
"Apakah Go-leng juga di situ?"
"Ya. Beliau juga mengalami nasib yang menyedihkan."
"Hai! Bu-lim-samcu telah mati dua . . ." seru orang tua
tua dengan airmata berlinang linang.
Mendengar itu girang Cu Jiang bukan kepalang. Serentak
ia berseru:
"Jika tak salah, locianpwe tentulah Gonggong-cu
locianpwe, bukan?"
Orang tua itu mengangguk.
"Benar, pada waktu pertama bertemu dengan engkau,
bukankah aku sudah menyebut she-ku?"
"Aku tolol sekali sehingga mudah lupa." kata Cu Jiang.
"Cobalah engkau ceritakan peristiwa yang telah engkau
alami." kata Gong-gong-cu.
"Kumohon dapat bicara empat mata dengan locianpwe .
..."
"Mengapa perlu begitu?"
"Perjalananku kali ini memang khusus hendak mencari
lo cianpwe!"
"O, baiklah, nanti kita bicara lagi," kata Gonggong-cu
lalu berpaling kepada Han Hi, " Han Hi, peristiwa apakah
yang terjadi dalam biara ini?"
"Gedung Hitam telah mengirim beberapa jagonya ke
mari, memaksa kami supaya menyerahkan kitab Giok-kah-
kim-keng. Kalau tak mau menyerahkan, biara ini akan
dicuci dengan darah."
"Hm, lalu ?"
"Kebetulan Sebun sicu datang dan melerai. Tetapi tetap
kami harus menyerahkan kitab itu dalam waktu satu
bulan!"
"Sama satu kaum saling bunuh membunuh, menandakan
bahwa dunia persilatan akan mendekati hari kiamat!" seru
Gong-gong-cu.
Sebun Ong Juga menghela napas rawan.
"Dunia persilatan memang tak pernah mengenyam hari2
damai. Dari dahulu sampai sekarang selalu terjadi
pergolakan yang tak kunjung habis," katanya.
"Han Hi. lalu bagaimana tindakanmu?" tegur Gong-
gong-cu pula.
"Tiada lain pilihan kecuali harus menyingkir ke lain
tempat ...."
"Demi menyelamatkan suatu pembunuhan besar,
terpaksa aku harus cepat2 bertindak, tak boleh berayal.. ."
"Cianpwe hendak ke mana ?"
"O, aku harus pergi."
"Loko selalu datang dan pergi dengan bergegas-gegas"
seru Sebun Ong,
"sepuluh tahun tak berjumpa apakah kita tak dapat
menikmati omong kosong ?"
Gong gong-cu tertawa.
"Hari masih panjang, kita masih dapat berjumpa pada
lain kesempatan untuk minum arak se puas-puasnya dengan
lote. Tetapi hari ini aku benar2 harus mengecewakan lote!"
"Menurut ucapan loko tadi, apakah kitab Giok kah-kim-
keng itu masih berada di Istana terlarang negeri Tay-li ?"
"Ya,"
"Haa desas desus dunia persilatan itu sungguh berbahaya
sekali sehingga Thian-hian-cu dan Go-leng-cu sampai
menderita nasib malang."
"Tetapi pada suatu hari, Gedung Hitam harus membayar
kesemuanya itu," seru Gong-gong-cu dengan geram.
Mendengar itu Cu Jiang tak tahan untuk diam. Serentak
ia berseru:
"Dewa sakti dari manakah sebenarnya ketua Gedung
Hitam itu?"
"Mungkin tiada seorang dalam dunia persilatan yang
tahu akan dirinya," Sebun Ong menyeletuk.
Memberi isyarat tangan kepada Cu Jiang. Gong-gong-cu
lalu mengajaknya.
"Engkoh kecil, mari kita berangkat. Saudara2, sampai
jumpa !"
"Ijinkan wanpwe mengantar" kata Han Hi. Tetapi
dicegah Gong-gong-cu.
Habis itu Gong-gong-cu sudah mendahului melesat
keluar. Setelah memberi hormat kepada Sebun Ong dan
Han Hi tojin, Cu Jiangpun segera menyusul. Karena
sebelah kakinya pincang, maka larinyapun tidak stabil.
"Engkoh kecil, kita cari tempat yang sepi, jangan sampai
terdengar orang." kata Gong-gong-cu.
Cu Jiang mengiakan.
Gong-gong cu berjalan dimuka dan Cu Jiang mengikuti
dibelakang. Setengah li kemudian, Cu Jiang sudah
ketinggalan jauh. Walaupun dia memiliki tenaga dalam
yang hebat tetapi karena sebelah kakinya cacad, walaupun
larinya masih jauh lebih cepat kalau ditanding dengan jago
silat biasa tetapi karena bertanding dengan tokoh semacam
Gong-gong-cu, sudah tentu terpaut jauh sekali.
Rupanya Gong gong cu tahu hal itu. Ia lambatkan
larinya, kemudian berseru: "Kita ke puncak bukit itu!"
Cu Jiang mengangguk. Beberapa saat kemudian mereka
sudah tiba di puncak bukit itu dan duduk di atas batu dalam
hutan.
Lebih dulu Gong gong cu memetik beberapa ranting
pohon, di tancapkan di sekeliling tempat itu. Lalu
mengumpulkan batu besar kecil diletakkan diantara pagar2
ranting itu. Setelah itu baru duduk dengan Cu Jiang.
Sebagai putera dari seorang tokoh silat yang termasyhur
sudah tentu Cu Jiang memiliki pengetahuan yang luas.
"Ah, kiranya lo cianpwe ahli sekali dalam soal barisan
Ki-bun." serunya.
"Demi menjaga ketenangan, terpaksa harus berbuat
begitu," sahut Gong-gong-cu.
"Barisan apakah yang locianpwe susun ?"
"Barisan Thian-lotin, bagian yang mudah dirobah dari
barisan Kim-soa-tin."
"Ah. aku buta sama sekali tentang ilmu itu," kata Cu
Jiang.
"Marilah kita mulai bicara. Coba engkau dulu yang
bicara, mengapa engkau mencari aku," kata Gong-gong-cu.
Cu Jiang agak bersangsi. Apakah ia harus menceritakan
siapa dirinya ataukah menurut pesan Go-leng cu saja.
Sejenak merenung, ia berkata:
"Aku telah berjanji untuk melaksanakan pesan Go-leng
cu cianpwe, untuk menyampaikan pesan lisan dari beliau. .
."
"Katakanlah !"
"Thian-hian cu dan Go leng cu berdua lo cianpwe,
karena berita2 fitnah di dunia persilatan, telah ditangkap
dan dijebloskan dalam penjara Gedung Hitam Dipaksa
harus menyerahkan kitab. Menunjukkan dimana kitab
Giok-kah-kim-keng. Karena kedua lo-cianpwe itu memang
tak tahu dan tak dapat memberi keterangan, akhirnya
disiksa sampai mati..."
Terkutuk! Teruskan ceritamu!"
"Go-leng-cu cianpwe pesan, bahwa tunas yang luar biasa
itu adalah pada diri Pelajar baju putih. Harap locianpwe
mencarinya sampai ketemu !"
"Pelajar baju putih ?"
"Ya."
"Hanya itu pesannya?"
"Ya, hanya begitu."
Gong-gong-cu memandang Cu Jiang tajam2, kemudian
sepatah demi sepatah ia berkata:
"Menurut penilaianku, tunas luar biasa itu tak lain
adalah engkau sendiri!"
Cu Jiang gemetar.
"Ah, masakan aku berani menerima pujian setinggi itu
dari locianpwe !"
"Itu memang kenyataan, bukan pujian kosong. Tempo
hari aku pernah mengatakan kalau akan menunggu
kesempatan, sekarang .. ."
Ia hentikan kata-katanya dan memandang Cu Jiang.
Rupanya dia hendak menunggu bagaimana reaksi anak
muda itu.
Cu Jiang tahu akan maksud orang. Sengaja dia bertanya
pula.
"Jika ingin memberi petunjuk, harap locianpwe
katakan."
"Apalagi kalau bukan persoalan tempo hari itu pula."
"Hendak mengambil murid?" ulang Cu Jiang.
Wajah Gong-gong-cu membesi, katanya:
"Engkoh kecil, dari daerah Tay-li di ujung selatan
menuju ke utara kali ini, tujuanku bukan hendak mencari
pewaris melainkan demi suatu rencana besar dalam dunia
persilatan ...."
"Demi suatu rencana besar dalam dunia persilatan ?" Cu
Jiang terkejut.
"Benar," kata Gong-gong-cu, "karena salah langkah
akhirnya Thian-hian-cu dan Go-leng-cu telah membuat
kesalahan besar. Akibatnya dunia persilatan telah menderita
bencana. Harus diusahakan untuk menolong. Karena itu
maka Bu-lim Sam-cu bergerak untuk mencari tunas luar
biasa itu !"
Tertarik perhatian Cu Jiang mendengar keterangan itu.
"Dapatkah lo cianpwe memberi penjelasan selengkapnya
?" tanyanya.
Gong-gong-cu menghela napas, ujarnya. "Sudah tentu
dapat kujelaskan kepadamu, tetapi..."
"Bagaimana ?"
"Bersediakah engkau menjadi bintang penolong dari
keadaan yang sudah morat marit itu."
"Aku belum jelas persoalannya..."
"Jika engkau menyatakan bersedia, barulah dapat
kuberitahu."
"Dengan tubuh yang cacat ini, mungkin aku..."
"Jangan merendahkan dirimu. Semuanya akan diatur
beres. Yang penting, engkau bersedia atau tidak ?"
"Bukankah langkah yang pertama harus mengangkat
guru kepada locianpwe ?"
"Dunia persilatan mempunyai peraturan tersendiri.
Hubungan itu memang masih diperlukan."
"Mengapa locianpwe belum memandang penting kepada
seorang cacat seperti diriku ?"
"Karena bakatmu yang luar biasa."
"Bakatku yang begini jelek ...."
"Sudahlah, jangan merendah diri."
Cu Jiang merenung. Menghadapi pilihan yang sepenting
itu yang menjadi murid lain perguruan, bukan suatu hal
main2. Sekali salah pilih, akan menyesal seumur hidup.
Gonggong cu seorang tokoh terkemuka dalam aliran
putih, Dia mendapat penghargaan diangkat sebagai Kun-su
atau penasehat kerajaan Tayli.
Ucapan dan tindakannya tentu dapat dipertanggung
jawabkan.
Kebetulan pula ketiga tokoh Bu-lim atau Bu-lim Sam-cu
itu sama menaksir dirinya. Apakah itu bukan suatu jodoh
yang hebat ?
Setelah mempertimbangkan beberapa saat, akhirnya Cu
Jiang mengambil keputusan, serunya:
"Baik, aku bersedia. Tetapi, aku hendak menghaturkan
sepatah kata."
"Bilanglah!" kata Gong-gong-cu.
"Wanpwe mempunyai beban untuk membalas sakit hati
ayah bunda. Apakah tindakan wanpwe kelak dapat wanpwe
lakukan sendiri ?" kata Cu Jiang yang berganti dengan
sebutan wanpwe kepada Gong-gong-cu.
Tanpa banyak pikir, Gong-gong-cu serentak menyahut:
"Sudah tentu boleh saja, asal jangan sampai melanggar
kesusilaan tata persilatan."
"Masih ada sebuah hal lagi, untuk sementara waktu ini.
wanpwe tak dapat memberitahu asal usul diri wanpwe ...."
"Boleh. Apa masih ada lain lagi ?"
"Tidak ada."
Tepat pada saat itu dari arah biara Hian-hu kwan
mengepul asap tebal.
Seketika wajah Gong-gong-cu berobah, serunya:
"Celaka, Hian-hu-kwan telah dirampok mereka."
"Tentulah perbuatan orang Gedung Hitam." Cu Jiang
menggeram.
"Engkau tunggu saja di sini. Walaupun menyaksikan
apa2, jangan engkau melangkah ke luar dari barisan ini.
Aku hendak menengok ke Hian-tou-kwan," kata Gong-
gong-cu.
"Silahkan," kata Cu Jiang.
Tubuh Gonggong cu menggeliat dan melayang beberapa
tombak terus lenyap.
Cu Jiang marah melihat perbuatan orang Gedung Hitam
yang selalu melakukan pengacauan, pembunuhan dan
kekejaman. Selama berpuluh tahun seolah dunia persilatan
telah di teror oleh gerombolan Gedung Hitam dan tak ada
seorang tokoh persilatan yang berani menentang.
Tiba2 ia melibat beberapa sosok bayangan lari ke lereng
gunung. Makin lama makin mendaki ke puncak. Saat itu
Cu Jiang dapat melihat jelas, mereka adalah anak buah
Gedung Hitam yang terdiri dari enam Pengawal Hitam, tiga
orang tua baju hitam. Diantaranya terdapat Pangeran-
tanpa-perikemanusian Kho Kun.
Cu Jiang serentak berbangkit. Tetapi tiba2 ia teringat
akan pesan Gong-gong cu. Terpaksa ia duduk lagi.
Kesembilan orang itu naik ke atas puncak dari beberapa
jurusan. Makin lama makin dekat. Sudah tentu Cu Jiang
tegang sekali.
Tetapi sungguh heran sekali. Tiba di tepi barisan ranting
dan batu yang tampaknya berserakan tak teratur itu, mereka
berhenti. Dan aneh pula. Mereka seolah-olah tak melihat
Cu Jiang. Sedang Cu Jiang. Sedang Cu Jiang dapat melihat
jelas gerak-gerik mereka.
"Aneh, jelas naik ke puncak ini mengapa tak kelihatan.
Apakah dapat terbang ke langit? " kata salah seorang tua.
Kho Kun memandang kian kemari lalu berkata:
"Rasanya puncak ini agak aneh . . . ."
Dingin2 saja Cu Jiang memandang tingkah ulah mereka.
Diam-diam ia kagum kepada Gong-gong-cu.
"Ah, kalau dulu ayah juga belajar ilmu gaib begini,
tentulah tak sampai mengalami nasib yang menyedihkan."
diam2 ia teringat akan ayahnya.
Sekonyong-konyong ke sembilan orang itu terkesiap
kaget, menundukkan tubuh memberi hormat lalu menyisih
ke sebelah kanan dan kiri.
Dua sosok tubuh tiba2 muncul. Yang pertama,
mengenakan Jubah hitam dan mukanya ditutup dengan
cadar hitam. Dari atas kepala sampai ujung kaki semua
tertutup dengan kain hitam. Hanya terdapat dua buah
lubang untuk kedua matanya yang berkilat-kilat tajam
sekali.
Sedang yang dibelakangnya seorang sasterawan
pertengahan umur. Dia adalah congkoan atau pengurus
besar dari Gedung Hitam, bernama Ho Bun Cai.
Seketika meluaplah darah Cu Jiang. Dia memastikan
bahwa orang yang seluruh tubuhnya tertutup Jubah hitam
itu tentulah pemimpin Gedung Hitam. Ah, tak sangka
kalau ia mempunyai kesempatan untuk melihatnya.
Sebenarnya ingin sekali ia menerjang keluar dari barisan.
Tetapi kesadaran pikirannya mengharuskan dia bersabar. Ia
menyadari bahwa saat itu masih terlalu jauh untuk
melakukan pembalasan kepada musuh.
Dilanda oleh kebencian sakit hati dan diamuk oleh
gemuruh amarah, hampir saja membuat Cu Jiang kalap.
Kepala Gedung Hitam dan Ho congkoan berdiri diluar
barisan dan tengah memperhatikan barisan itu. Kesembilan
anak buah Gedung Hitam tadi jangankan bergerak,
mengangkat kepala yang masih menunduk saja tak berani.
Beberapa waktu kemudian baru pemimpin Gedung
Hitam itu berkata dengan nada yang aneh. "Ho congkoan,
apakah engkau melihat sesuatu ?"
"Menurut penglihatan kami, agaknya seperti sebuah
barisan aneh." kata Ho congkoan.
"Benar," kala pemimpin Gedung Hitam," Gong-gong-cu
memang ahli dalam hal itu. Menurut pendapatmu, barisan
apakah itu ?"
"Ini .... kami tak berani sembarangan menebak,"
Pemimpin Gedung Hitam mengguratkan kaki pada
tanah dan mulutnya menghafal:
"Seng, Si, Keng .... ah, salah, Kung ... disini ujung
akhirnya. Bagaimana kalau kita memasukinya ?"
"Kami menurut perintah," kata Ho congkoan.
Ketuanya segera melangkah kedalam barisan. Melihat
itu Cu Jiang segera bangkit lagi dan bersiap seraya
memandang kedua orang itu. Begitu kedua orang itu
mendekat, dia hendak turun tangan lebih dulu.
Pemimpin Gedung Hitam dan Ho cong koan berjalan di
kanan kiri. Lebih kurang tiga meter berjalan, mereka
berputar-putar kian kemari tetapi tetap dalam lingkungan
seluas satu tombak.
Melihat itu tenanglah hati Cu Jiang. Dia tak mengerti
ilmu barisan maka diapun tak berani gegabah melangkah
keluar. Dia taat perintah Gong-gong-cu untuk tetap tinggal
ditempatnya.
Beberapa saat kemudian kedua pimpinan Gedung Hitam
itupun mundur lagi.
"Bagaimana baiknya Ho congkoan?" ujar ketua Gedung
Hitam.
"Jaga pohon menunggu kelinci, setiap tempat kita jaga",
sahut Ho cong-koan.
"Walaupun cara itu agak bodoh tetapi tiada lain cara
yang lebih baik dari itu. Perintahkanlah!" seru ketua
Gedung Hitam.
Ho cong-koan berseru kepada Kho Kun:
"Kho thaubak. perintahkan anak buah supaya
mengepung bukit ini dengan rapat!"
Kho Kun mengiakan dan rombongan anak buah Gedung
Hitampun segera berpencar melakukan perintah.
Suasana puncak sunyi kembali. Diam2 Cu Jiang gelisah.
Jika Gong gong cu kembali, jelas tentu akan kepergok.
Entah dapatkah dia menghadapi ketua Gedung Hitam?
Jumlah mereka begitu besar, hebat sekalipun Gong-gong cu,
paling2 hanya dapat menyelamatkan diri lari.
Gong-gong-cu dapat lolos tetapi bagaimana nasib
dirinya? Bukankah dia akan terkepung dan akhirnya mati
kelaparan dalam barisan?
Andaikata gerombolan Gedung Hitam itu menarik anak
buahnya dan tinggalkan bukit itu, tetapi dia tetap tak
mampu ke luar dari barisan. Bukankah hal itu sama artinya
dia akan mati kelaparan?
Memandang ke arah biara, api masih tampak berkobar.
Tentulah biara itu habis dimakan api. Ah, siasat orang
Gedung Hitam memang busuk sekali.
Setengah jam telah berlalu tetapi suasana masih sunyi.
Kepala Cu Jiang mulai bercucuran keringat. Mengapa
Gong-gong-cu belum kembali? Apakah dia disergap musuh?
Ah, benar2 dia harus mati dalam barisan itu. Pikir Cu
Jiang.
Cu Jiang tak mengerti sama sekali tentang ilmu barisan.
Thian-lo-tin atau barisan Jala-langit, asing sama sekali
baginya.
Pada saat pikiran tegang hati gelisah, tiba2 bahunya
ditepuk orang dari belakang. Ia tersentak kaget dan
berpaling, ah ... . kiranya Gong-gong-cu.
"Kapan locianpwe datang? " serunya gembira.
Tetapi wajah Gong gong-cu muram dan hanya
mendengus geram.
"Bagaimana keadaan Hian-tou-kwan ?" tanya Cu Jiang
pula.
"Jadi tumpukan puing."
"Dan para imam ?"
"Tak ada yang hidup."
"Kejahatan Gedung Hitam memang sudah melampaui
batas!"
"Jika kesaktian persilatan tak berkembang, kawanan
durjana tentu timbul dan menginjak-injak peri-
kemanusian."
"Apakah locianpwe bertempur?"
"Tidak. Masih belum saatnya. Membasmi beberapa
kerucuk, takkan dapat menolong keadaan."
"Pemimpin Gedung Hitam sudah unjuk diri..."
"Ya, kutahu."
"Kenalkah locianpwe padanya ?"
"Tidak."
"Apakah locianpwe kepergok mereka ?"
"Tidak."
"Tidak? Lalu..,."
"Buyung, engkau heran, bukan? Sebenarnya aku tak
mempunyai keistimewaan melainkan hanya kepercayaan
pada diri sendiri. Kalau aku mau menyembunyikan diri, tak
mungkin mereka dapat mencari aku. Kalau tidak begitu
masakah aku mendapat gelar
Jilid 8 Halaman 25/26 Hilang
.. jaga mereka jangan sampai lolos, kututup goa itu
dengan barisan Kiat-soh-tin (barisan Kunci Emas).
"Mengapa tidak dibasmi saja agar jangan menimbulkan
bahaya dikemudian hari ?" tanya Cu Jiang.
Gong-gong-cu menghela napas:
"Mungkin sudah kehendak Thian. Raja Tayli Toan hong-
ya memang penganut agama Buddha, beliau tak
mengijinkan pembunuhan ...."
"Lalu?" tanya Cu Jiang.
"Peristiwa Sip-pat Thian-mo dijebloskan dalam gua lio
tiada seorang persilatan yang tahu. Beberapa tahun
kemudian Thian-hian-cu dan Go-leng-cu datang ke daerah
selatan dan menyelidiki gunung Jongsan. Tanpa sengaja
mereka mengetahui seorang keadaan Sip pat thian-mo.
Pada waktu itu karena dirangsang kebanggaan, aku
kelepasan omong, mengatakan bahwa tiada manusia dalam
dunia ini yang mampu memecahkan barisan Kim-soh-tin
itu. Tak terduga, ucapanku itu diterima dengan sungguh-
sungguh.."
"Apakah hubungan antara Sam-cu itu?" tanya Cu Jiang
pula.
"Sebenarnya tiada hubungan apa2, melainkan hanya
kenalan saja. Tetapi entah bagaimana dunia persilatan
menamakan kami bertiga sebagai Bu-lim Sam-cu. Bermula
Thian-hian-cu hanya bergelar Thian hian dan Go-leng-cu
juga Go-leng. Sedang aku Gong gong-cu. Kemudian kaum
persilatan menganggap kita sebagai tiga-serangkai atau
Sam-cu. hanya begitulah ..
"Oh..." desah Cu Jiang.
"Disamping Thian-hian dan Go-leng itu masih memiliki
rasa ke-Aku-an dan berusaha untuk lebih dari orang lain,
dan karena mengira bahwa dalam barisan Kim-soh-tin itu
tentu terdapat kitab pusaka negeri Tayli yakni kitab Giok-
kah-kim-keng, maka timbullah nafsu mereka. Setelah
mempelajari keadaan barisan itu selama sepuluh tahun,
akhirnya mereka berhasil memecahkan. Untuk yang kedua
kali mereka datang ke Jongsan lagi dan dapat memecahkan
Kim-soh-tin dan melepaskan Sip-pat Thian-mo..."
"Ah. makanya kedua locianpwe itu selalu menyesali
dosanya sendirinya yang telah salah langkah sehingga
menimbulkan bencana besar."
"Hal itu mungkin memang sudah jalannya Karma.
Mereka berdua harus menerima akibatnya dengan kematian
yang menyedihkan."
"Dari sumber mana maka dunia persilatan timbul desas
desus bahwa kedua cianpwe telah
<<Jilid 8 dw Halaman 29/30 kz Hilang>>
Selama itu tak sedikit Gong-gong-cu harus berhenti tetapi
sebelum musuh memergoki dia sudah melesat ke lain
tempat. Belum sampai setengah jam kemudian, dia sudah
lari belasan li jauhnya tanpa diketahui sama sekali oleh
anak buah Gedung Hitam.
Setelah tiba diluar hutan barulah Gong-gong-cu
meletakkan Cu Jiang. Gong-gong-cu mengeluarkan sehelai
kedok muka yang terbuat dari kulit manusia, diberikan
kepada Cu Jiang.
"Pakailah kedok kulit ini!"
Cu Jiang menurut. Setelah mengenakan kedok kulit, kini
wajahnya yang buruk lenyap dan dia telah menjelma
sebagai seorang lelaki pertengahan umur. Wajahnya
berwarna semu ungu.
Sementara Gong-gong- cupun juga mengenakan kedok
kulit dan menyamar sebagai seorang tua berwajah hitam,
memelihara dua jalur jenggot. Ia membuka baju dan kini
mengenakan jubah warna biru. dengan penyamaran itu
mereka telah menjadi manusia baru. Tak seorangpun yang
mengenal dan mengira siapa diri mereka itu sebenarnya.
"Mari kita lanjutkan perjalanan. Kita cari rumah makan
di kota yang terdekat dari sini." kata Gong-gong-cu.
"Lo cianpwe, kita ambil jalan mana ?"
"Naik perahu ke Sujwan, mengitari daratan lalu masuk
ke wilayah Hun - lam. Kurasa itulah jalan yang paling
singkat !"
"Tetapi tetap makan waktu sebulan."
"Ah, tak sampai, mari kita berangkat." Sekeluarnya dari
hutan mereka lagi berjalan di jalan besar, Sambil berjalan
Gong-gong-cu berkata:
"Buyung, agaknya dengan waktu berjumpa padaku
tempo hari, sekarang engkau sudah berbeda..."
"Apanya yang berbeda ?"
"Keng, go, sin, semua telah berobah."
Keng artinya semangat. Go hawa murni dan sin artinya
jiwa. Diam2 Cu Jiang kagum akan pengamatan Gong-gong-
cu yang teliti. Diantara ketiga Sam-cu, rasanya Gong gong-
cu ini lebih lihay segalanya dari kedua rekannya.
Cu Jiangpun lalu menceritakan bagaimana ketika
berhadapan dengan Samsat (algojo ketiga) dari gerombolan
Kiu-te-sat, ia masih kalah setingkat.
"Rupanya itu sudah kehendak Thian, nak, dengan begitu
aku tak perlu membuang banyak tenaga dan pikiran," kata
Gong-gong-cu dengan perasaan lega.
Diam2 Cu Jing menimang. Jelas bahwa tujuan Gong
gong-cu hendak membawanya ke daerah selatan itu yalah
hendak mengambilnya sebagai murid dan menempanya
menjadi seorang kojiu
Hal itu dipersiapkan untuk membasmi kawanan Sip-pat-
thian-mo. Tetapi pada umumnya, demikian ia berpikir,
tentulah guru itu lebih tinggi kepandaiannya dari murid.
Belum tentu murid itu dapat menyerap semua pelajaran
yang diturunkan gurunya. Jika begitu, mengapa Gong-gong
cu itu tidak mau menghadapi gerombolan Sip-pat-thian-mo
itu sendiri saja ? Bukankah itu lebih singkat waktunya dan
lebih praktis daripada harus bersusah payah mencari murid?
Dengan pemikiran itu segera ia bertanya.
"Kalau dahulu locianpwe mampu menangkap Sip-pat-
thian-mo, mengapa sekarang locianpwe harus bersusah
payah mencari murid?"
Gong-gong-cu tertawa:
"Buyung, lain dulu lain sekarang. Telah kukatakan
bahwa aku berhasil menangkap gerombolan Sip-pat-thian-
mo itu adalah berkat menggunakan siasat. Tetapi kawanan
iblis itu bukan manusia bodoh. Mereka tak mungkin
terjebak lagi untuk yang kedua kalinya."
"Kelak kalau berhadapan dengan mereka boanpwe harus
menggunakan siasat atau kepandaian?"
"Kedua-duanya," sahut Gong-gong-cu.
"Kalau kepandaian kurang dan kecerdikan tak cukup?"
desak Cu Jiang.
Gong-gong-cu tertawa gelak2:
"Buyung, kutahu isi hatimu. Tetapi akupun tentu sudah
mempertimbangkan. Apabila kedua syarat itu masih belum
cukup, tentu aku tak berani sembarangan menyuruh engkau
menghadapi mereka."
"Benar. memang wanpwe juga mempunyai pikiran
begitu."
"Bukankah telah kukatakan bahwa aku masih
mempersiapkan sesuatu lagi...."
Tetapi Cu Jiang tak dapat menduga persiapan apa yang
telah dirancang Gong-gong-cu itu. Dia diam saja.
Beberapa saat kemudian Gong-gong-cu memecah
kesunyian:
"Buyung, kuberitahu kepadamu dengan terus terang.
Atas kemurahan baginda Toan Hong-ya yang memberi ijin
kepadaku untuk mencari calon jago itu, baginda berkenan
akan memberikan kitab pusaka kerajaan Giok-kah-kim-
kang."
Kitab Giok-kah-kim-keng ?" Cu Jiang terkejut.
"Ya, itulah yang kumaksud bahwa aku mempunyai
persiapan lain."
Kini Cu Jiang baru menyadari mengapa ketiga Bu-lim
Sam-cu sama2 hendak mencari tunas baru yang akan
ditempa menjadi kojiu sakti. Kiranya mereka memang
sudah membuat perjanjian.
"Tetapi kitab Giok-kah-kim-keng itu adalah pusaka
kerajaan Tay-li." masih Cu Jiang ingin mendapat
keterangan yang jelas.
"Ya, memang kitab pusaka kerajaan."
"Jika begitu, apakah tak mungkin diantara menteri2 dan
Jenderal2 kerajaan yang mempelajari kitab itu."
"Baginda tak mengijinkan," kata Gong-gong-cu, "sampai
saat ini belum seorangpun yang pernah mempelajari kitab
itu."
"Wanpwe sungguh tak mengerti."
"Untuk mempelajari kitab Giok-kah-kimkeng harus
mempunyai tiga buah syarat...."
"Apakah ketiga syaraf itu ?" Cu Jiang makin heran.
Dengan tenang Gong-gong-cu berkata: "Pertama, orang
itu harus memiliki kecerdasan yang tinggi dan bakat yang
luar-biasa. Kedua, harus masih seorang perjaka. Ketiga
harus memiliki dasar ilmu tenaga dalam yang kuat.
Tampaknya ketiga syarat itu memang tak berat, tetapi untuk
menjadi seorang yang sekaligus memiliki tiga syarat itu
sukarnya seperti mencari jarum dalam lautan."
"Apakah locianpwe menganggap diri wanpwe memiliki
ketiga syarat itu ?" tanya Cu Jiang dengan gemetar.
Gong-gong-cu berpaling memandang Cu Jiang dan
berkata dengan tandas:
"Memiliki semua bahkan lebih !" Pada saat itu tiba2
sebuah tandu lewat. Memandang tandu itu tiba2 mulut Cu
Jiang mendesuh kejut. Tandu itu diangkat oleh empat
wanita baju merah, yang kakinya besar dan alis tebal.
Jalannya seperti orang lari. Hanya dalam beberapa kejap
saja sudah berada belasan tombak jauhnya.
"Nak, banyak nian hal2 yang aneh dalam dunia
persilatan itu. Engkau harus membiasakan diri untuk tidak
heran melihat sesuatu yang heran."
Serta merta Cu Jiang menghaturkan terima kasih.
Nasehat orang tua itu memang benar2 tepat dan berharga
sekali.
Tiba2 terdengar derap kuda berlari deras. Debu dan
kotoran berhamburan tebal ke arah Gong-gong-cu dan Cu
Jiang. Cu Jiang marah. Tetapi ketika melihat Gong gong-cu
tenang2 saja, diam2 ia malu hati sendiri.
Ketika memandang ke muka, tampak penunggang kuda
itu bermantel hitam.
"Pengawal Hitam! " seru Cu Jiang.
Gong gong cu menyahut hambar. "Pertunjukan bagus
akan berlangsung!"
"Bagaimana locianpwe dapat mengetahui?" Cu Jiang
heran.
"Keempat penunggang kuda itu jelas mengejar tandu
indah tadi. Siapa yang berada dalam tandu itu, memang
masih sukar diketahui. Tetapi kalau menilik keempat
wanita yang membawanya begitu lihay, tentulah orang
yang berada dalam tandu itu bukan tokoh sembarangan . ."
000ood-eoo00

Jilid 9
"Oh !" desah Cu Jiang.
Tiba2 terdengar suara bentakan. Tandu indah Itupun
berhenti di tengah jalan, Keempat penunggang kuda
Pengawal Hitam masing2 loncat turun dari kuda dan
mengepung tandu.
Sambil menarik tangan Cu Jiang ke samping, Gong-
gong-cu mengajaknya mendekat untuk menyaksikan apa
yang akan terjadi. Tiga tombak dari tempat orang2 itu,
Gong-gong-cupun berhenti.
"Perlu apa kalian mengejar kami?" seru salah seorang
wanita baju merah.
Salah seorang dari Pengawal Hitam membentak bengis:
"Lekas buka tandu itu!"
"Mau cari mati?"
"Kentut!"
"Kalau berani mengapa tak mau membuka sendiri?"
Sring .... serentak Pengawal Hitam itu menabas wanita
baju merah yang mengejeknya. Tetapi dengan gerak yang
lincah, wanita itu dapat menghindarinya. Hanya terpaut
selembar rambut tubuh dengan pedang. Sungguh
mengejutkan dan mengherankan sekali.
"Maju!" serempak terdengar sebuah aba2 dan keempat
Pengawal Hitam itu pun segera menyerang.
Keempat wanita penggotong tandu itupun bergerak-
gerak laksana bayangan setan. Keempat Pengawal Hitam
itupun menyerang dari empat jurusan.
Salah seorang Pengawal Hitam yang mendekat tandu
segera mencungkilkan ujung pedang menyingkap kain layar
yang menutup pintu tandu.
"Aahhh. . ." seorang Pengawal Hitam yang mengikuti
dengan pandang mata akan tindakan kawannya yang
mencungkil tenda tandu itu serentak menjerit kaget.
Demikian pula ketiga kawannya yang lain
Ternyata yang berada dalam tandu itu adalah seorang
lelaki jubah putih. Dia bukan lain adalah Pek poan koan
atau Hakim Putih.
Keempat wanita baju merah cepat lari menghampiri
tandu dan menutup tendanya. Bahwa tandu dari Hakim
Putih dipikul oleh empat orang wanita memang aneh.
Tetapi lebih menggelikan lagi bahwa Pengawal Hitam atau
anak buah Gedung Hitam kemati-matian mengejarnya
orang atasannya sendiri.
Kejut keempat Pengawal Hitam bukan alang kepalang.
Serempak mereka menghaturkan hormat dengan pedangnya
ke arah tandu.
Dari dalam tandu hanya terdengar suara orang
mendengus dan tak mengucap apa2.
"Locianpwe, memang benar2 suatu pertunjukan yang
menarik." kata Cu Jiang.
"Itu baru permulaan, yang lebih menarik lagi nanti di
belakang."
Salah seorang dari keempat wanita baju merah itu
menegur Pengawal Hitam:
"Mengapa kalian tak lekas pergi dari sini?"
Keempat Pengawal Hitam itu saling bertukar pandang
lalu mundur beberapa langkah tetapi tetap tak pergi.
Tanpa pedulikan mereka lagi keempat wanita baju merah
itupun segera mengangkat tandu dan berangkat lagi.
Mereka lari cepat sekali
"Nak. mari kita pergi juga," kau Gong-gong-cu.
Salah seorang Pengawal Hitam cepat menghampiri dan
membentaknya: "Siapa kalian ini!"
Cu Jiang marah dan hampir tak dapat mengendalikan
diri lagi. Tetapi Gong-gong-cu sudah mendahului
menjawab:
"Kami berdua paman dan keponakan akan menuju ke Su
jwan."
"Aku tak bertanya ke mana kalian hendak pergi tetapi
siapa nama kalian! "
Gong-gong-cu pura2 ketakutan:
"Aku orang tua ini orang she Ho nama Siong Ya dan
keponakanku ini Ho Jin."
"Gelaran?"
"Tidak punya. "
"Dari perguruan?"
"Tidak punya perguruan apa2. Kami hanya belajar
sedikit ilmu silat untuk jaga diri saja, " jawab Gonggong cu.
Ketiga Pengawal Hitam segera menghampiri dan setelah
memandang Gong-gong-cu dan Cu Jiang beberapa jenak,
salah seorang berkata:
"Orang desa tua, biarkan mereka pergi!"
Gong-gong-cu menarik tangan Cu Jiang:
"Nak, mari kita lanjutkan perjalanan."
"Baik," Cu Jiang mengiakan. Terpaksa dia menahan diri
dan mengikuti Gong-gong-cu.
Setelah tiba di sebuah tikungan gunung, mereka melihat
sebuah tandu tadi menggeletak di tengah jalan. Keempat
wanita baju merah tak kelihatan, entah di mana. Sudah
tentu Cu Jiang heran dan bertanya.
"Eh, mengapa begitu ?"
Gong gong-cu hanya ganda tersenyum.
"Cobalah engkau buka kain tandu dan melihat apa yang
berada dalam tandu itu." katanya.
"Apakah locianpwe kenal dengan lelaki baju putih yang
berada dalam tandu itu ?" tanya Cu Jiang.
"Engkau kenal?" balas Gong-gong-cu.
"Ya, dia adalah hoohwat dari Gedung Hitam yang
disebut Hakim Putih."
"Tetapi dia sudah meletakkan jabatan."
"Meletakkan Jabatan?" Cu Jiang heran.
"Sudah tentu. Poan-koan (hakim) itu sebuah jabatan di
Akhirat. Di dunia masakan perlu dengan hakim semacam
itu."
"Lo - cianpwe, wanpwe benar tak mengerti...."
"Lihat saja kesana sendiri engkau tentu tahu."
Namun Cu Jiang masih bersangsi.
"Aneh, mengapa keempat wanita pemikul tandu tadi
membiarkan saja tandu itu di tengah jalan ?" katanya
dengan penuh keheranan.
Sambil masih tertawa Gong - gong - cu berkata:
"Poan-koan sudah melepaskan jabatan, tak perlu lagi
dengan mereka !"
Tetapi Cu Jiang tak mengerti. Pikirnya, kalau menurut
kata Gong-gong-cu, tandu itu kosong. Tetapi dia melihat
dengan mata kepala sendiri bahwa tadi Hakim Putih berada
di dalamnya. Apakah Gong-gong-cu ini memang ahli dalam
meramal ?"
Ia maju menghampiri kemuka tandu dan ulurkan tangan
kiri untuk menyingkap kain penutup, sedang tangan kanan
bersiap menjaga setiap kemungkinan yang tak terduga.
Begitu kain tersingkap, kejutnya bukan kepalang
sehingga ia sampai menyurut mundur tiga langkah dan
terus hendak menghantam ....
"Jangan !" cepat Gong-gong-cu berteriak mencegah.
Cu Jiang turunkan tangannya. Jelas ia melihat Hakim
Putih masih duduk di dalam tandu, maka dia hendak
mendahului menyerangnya. Tetapi sesaat ia teringat bahwa
Hakim Putih itu duduk diam saja seperti patung. Serentak
timbul kecurigaannya dan ia maju pula untuk mengamati.
"Hai, dia sudah tak bernyawa !" serentak ia berteriak
kaget.
"Memang," sahut Gong-gong-cu, "dia sudah beberapa
lama tak bernyawa lagi."
"Bagaimana lo cianpwe dapat mengetahui?" Cu Jiang
makin heran.
"Nak," kata Gong- geng-cu dengan wajah bersungguh,
"hal itu bukan suatu ilmu gaib, melainkan dari ketajaman
cara kita berpikir dan menarik kesimpulan. Coba engkau
renungkan peristiwa tadi lagi. Bahwa kawanan Pengawal
Hitam mengejar tandu itu. Jelas tentu menganggap orang di
dalam tandu itu musuh mereka. Kemudian ternyata dalam
tandu itu berisi Hakim Putih tetapi Hakim Putih itu tak
bicara apa2 kepada Pengawal Hitam. Saat itu juga aku
sudah mengetahui bahwa Hakim Putih tentu mati. Dia
tentu mati di tangan pemilik tandu itu,"
"Siapakah pemilik tandu itu ?" tanya Cu Jiang.
"Dia tentu bersembunyi dibelakang tubuh Hakim Putih.
Karena mayat, apabila tidak disanggah oleh orang dari
belakang, tentu tak dapat duduk dengan tegak, Bukankah
Hakim Putih tadi duduk tegak dan bukan bersandar pada
tandu ? Dan ingat2 suara Hakim Putih yang tidak
menyahut tetapi hanya mendengus tadi. Jelas tentu berasal
dari pemilik tandu itu."
"Oh." desah Cu Jiang tersipu-sipu malu-hati, "dan
kenapa tandu itu sekarang diletakkan di tengah jalan ?"
"Ciri yang mereka gunakan hanya dapat
membingungkan orang Gedung Hitam. Tetapi untuk
sementara waktu saja karena bagaimanapun juga akhirnya
orang Gedung Hitam tentu tahu dan akan mengejar mereka
lagi," kata Gong-gong cu.
Saat itu terdengar ayam berkokok bersahut-sahutan,
menandakan bahwa hari hampir menjelang pagi.
Segera Gong-gong - cu mengajak melanjutkan perjalanan
lagi agar terhindar dari kesulitan. Keduanya segera lari
kearah sebuah hutan.
Pada saat itu timbul pula suatu peristiwa yang aneh
mengejutkan. Entah bagaimana tiba2 tandu itu bergerak
masuk kedalam hutan. Sudah tentu Cu Jiang terkejut. Ia
berpaling dan melihat mayat Hakim Putih menggeletak di
tengah jalan. Dengan begitu jelas pemilik tandu itu tadi
masih berada dalam tandu dan belum melarikan diri.
Sesaat kedua orang itu masuk kedalam hutan maka
terdengarlah gemuruh rombongan kuda lari mendatangi ke
tempat mayat Hakim Putih.
Ternyata penunggang kuda itu ialah keempat Pengawal
Hitam tadi bahkan tambah dengan seorang tua baju hitam,
muka seram.
Kelima penunggang kuda itu serempak loncat turun.
Salah seorang segera mengangkat mayat Hakim Putih ke
atas kudanya lalu dibawanya pergi. Sedangkan yang empat
orang loncat ke kudanya masing2 dan terus lari ke muka.
Jelas mereka tentu hendak mengejar tandu tadi.
Brakkkk .... terdengar suara keras. Gonggong cu dan Cu
Jiang cepat menghampiri ke tempat suara itu. Ternyata
mereka mendapatkan tandu bagus tadi sudah hancur. Tentu
dihancurkan orang tetapi siapa orangnyalah tampak
bayangannya lagi.
Sejenak memandang ke sekeliling, Gonggong cu berkata:
"Kali ini pemilik tanda tentu benar2 sudah pergi."
"Berani menentang Gedung Hitam, jelas dia tentu bukan
tokoh sembarangan, " kata Cu Jiang.
Gong-gong-cu batuk2 kecil.
"Nak, kita ini bukan orang persilatan, lebih baik tak perlu
mengurus urusan persilatan. Mari kita lanjutkan perjalanan
lagi. "
Mendengar kata2 Gong-gong cu, Cu Jiang tak habis
herannya. Tetapi dia segera tahu bahwa tentu ada
maksudnya mengapa Gong-gong cu berkata begitu.
"Ah, aku hanya sembarangan omong saja. Baiklah,
paman, mari kita lanjutkan perjalanan," akhirnya ia
berkata.
Dalam berkata-kata itu Cu Jiang mengeliarkan pandang
ke sekeliling. Ia terkejut sekali ketika melihat seorang lelaki
tua baju hijau, tegak berdiri dibawah pohon lebih kurang
dua tombak jauhnya, dengan pandang mata yang berkilat-
kilat tajam. Rambutnya merah dan mukanya juga merah.
Cu Jiang tak tahu bila dan bagaimana orang tua rambut
merah itu secara tiba2 muncul disitu. Mungkin memang
sejak tadi dia sudah berada disitu. Saat itu baru dia mengerti
mengapa Gong-gong-cu tadi berkata supaya tak usah
mencampuri urusan persilatan.
Tentulah Gong-gong-cu sudah lebih dulu melihat orang
tua rambut merah itu
Karena dipandang sedemikian rupa, hati Cu Jiang tak
enak.
"Anda ini kutu dari mana ?" tiba2 karena tak kuat
menahan perasaan, Cu Jiang berseru.
Lama sekali baru orang tua itu menyahut. "Cik bin Jin!!"
tiba2 orang itu menjawab dengan nada yang menusuk
telinga.
Cek bin-jin artinya Manusia-berwajah-merah. Tentu baja
nama itu sebuah gelaran persilatan. Tetapi
sepengetahuannya. belum pernah ia mendengar gelar yang
bergelar Cek-bin-jin.
Cu Jiang alihkan pandang matanya ke arah Gong-gong-
cu. Ia yakin sebagai seorang tokoh angkatan tua yang
memiliki pandangan luas, tentulah Gong-gong-cu tahu.
Tetapi Cu Jiang putus asa ketika memperhatikan mata
Gong-gong-cu juga tampak bingung.
"Engkau tentu asing kepadaku, bukan ?" seru orang tua
rambut merah pula.
"Benar, karena belum pernah mendengar," jawab Cu
Jiang.
"Tetapi aku tak asing kepadamu..."
Cu Jiang berdebar keras.
"Anda kenal padaku ?" tanyanya gugup.
"Tentu."
"Di depan Hud, jangan suka menyulut dupa palsu.
Jangan berpura-pura, bukankah engkau ini si Gok jin-ji ?"
Cu Jiang seperti disambar halilintar kejutnya sehingga ia
tersurut selangkah ke belakang.
"Siapakah Gok-jin-ji itu 7" serunya.
"Engkau !"
"Anda punya bukti apa ?"
"Kakimu sebelah kiri!"
Cu Jiang mendesah. Ia tak menduga bahwa kakinya
sebelah kiri yang cacat itu dapat dijadikan ciri dirinya.
Namun ia berusaha untuk bersikap tenang dan berkata
dengan nada dingin:
"Dalam dunia orang yang kaki kirinya pincang, bukan
hanya Gok-jin-ji seorang?" Cek bin-jin mengekeh.
"Memang benar. Tetapi wataknya tentu tak sama."
"Belum tentu, " bantah Cu Jiang.
"Tetapi kuanggap memang engkau ini!"
Cu Jiang marah.
"Apa sebenarnya maksud anda? " tegurnya.
"Kalau begitu engkau mengakui, bukan?" si rambut
merah Cek bin-jin balas bertanya.
Cu Jiang menyengir. Ia agak bingung. Mengaku atau
tidak.
"Kalau engkau berani membuka kedok mukamu, engkau
tentu tak dapat menyangkal lagi, " Cek-bin-jin mendesak.
Cu Jiang makin kaget. Kedok muka yang di pakaiannya
itu sedemikian halus buatannya sehingga umumnya orang
tentu tak dapat mengetahui. Tetapi nyatanya kakek rambut
merah itu cepat dapat mengetahui.
Tiba2 Gong-gong-cu menyelutuk: "Bukankah anda ini
yang berada dalam tandu tadi?"
Si rambut merah tertawa mengekeh:
"Kalau benar lalu mau apa?"
"Andapun memakai kedok muka ..."
"Sama-sama, sama-sama!"
"Apakah sebenarnya tujuan anda?"
"Omong2 beberapa patah dengan Gok jin-ji." Mendengar
bahwa tujuan orang hendak mencari dirinya, Cu Jiang
segera menyela .
"Apakah anda hendak bicara dengan aku ?"
"O, engkau sudah mengakui dirimu ? Cek-bin jin
melanjutkan. "engkau kenal dengan Ang Nio-cu ?"
Cu Jiang terkejut. Sejenak merenung ia mengiakan.
"Bagaimana pandanganmu tentang dirinya ?" tanya Cek-
bin-Jin pula.
"Aku belum pernah melihat wajahnya yang sungguh
tetapi telah berhutang budi kepadanya."
"Engkau jujur. Kedatanganku kemari adalah karena
hendak menyampaikan pesannya .. ."
"O, silahkan."
"Engkau masih ingat perjanjian di lembah dulu ?"
Seketika Cu Jiang terbeliak. Ia terbayang akan bayang si
jelita baju hijau dan teringat akan perjanjiannya dengan
Jelita itu tempo hari. Cepat ia dapat menduga apa yang
akan disampaikan oleh Cek-bin-jin saat itu. Ia merasa tak
enak hati namun apa boleh buat, ia terpaksa menjawab:
"Takkan melupakan."
Sejenak Cek - bin - jin keliarkan pandang lalu bertanya:
"Apakah tiada halangan pamanmu palsu itu hadir disini
?"
"Tak apa."
"Baik, sekarang aku hendak menyampaikan kata2 Ang
Nio-cu." Cek-bin-jin mulai pembicaraan, "engkau masih
ingat akan gadis lembah Ho Kiong Hwa itu?
Walaupun sudah menduga tetapi tak urung hati Cu Jiang
berdebar keras, mukanya merah padam dan keningnya
mulai mengucurkan keringat dingin.
" Ya, masih ingat, " katanya terbata.
"Engkau tinggalkan dia seorang diri dalam lembah, jika
sampai terjadi sesuatu, coba tanya pada hati nuranimu,
apakah engkau merasa enak?"
"Aku mengira bahwa Ang Nio-cu tentu akan
melindunginya. "
"Kalau terlambat datangnya?"
"Ini .... ini ... . aku memang mengaku salah."
"Engkau merasa dirimu paling hebat, bukan?"
"Ah, tidak, aku tak merasa begitu."
"Lalu mengapa engkau tak menurut apa yang Ang Niocu
telah mengatur untukmu?"
Cu Jiang terlongong kemudian tertawa hambar:
"Karena aku merasa diriku tak sepadan."
"Apanya yang tak sepadan?"
"Ang Nio-cu tentu sudah maklum sendiri. Telah kutulis
dalam surat yang kuberikan kepada Ho Kiong Hwa. "
Tetapi Cek-bin jin tetap menuntutnya:
"Jelas engkau memandang dirimu terlalu tinggi sehingga
memandang rendah pada Ho Kiong Hwa."
"Kusangkal tuduhan itu! " seru Cu Jiang.
"Tak mungkin Ang Nio-cu akan bertindak secara
gegabah. Soal itu tentu lebih dulu sudah minta persetujuan
Ho Kiong Hwa."
"Tetapi aku tak ingin menghancurkan masa remajanya
yang indah."
"Engkau salah." kata Cek-bin-jin, "Ho Kiong Hwa hanya
ingin menitipkan dirinya yang sudah sebatang kara, bukan
soal wajahmu buruk atau tampan."
"Tetapi orang tentu harus mempunyai rasa tahu diri
sendiri."
"Sudahlah, kita persingkat saja pembicaraan ini.
Bagaimana pandanganmu terhadap Ho Kiong Hwa?"
"Cantik dan cerdas Orangnya sesuai dengan namanya!"
"Lalu engkau setuju atau tidak?"
"Sukar untuk melaksanakan."
Cek-bin-jin mendengus dingin: "Engkau menolak ?"
Dengan nada yang berat Cu Jiang berkata: "Budi
kebaikannya takkan kulupakan seumur hidup."
"Jangan banyak pertimbangan lagi!"
"Aku telah mempertimbangkan sedalam-dalamnya."
"Apakah engkau sudah pernah membayangkan akibat
penolakan terhadap kemauan Ang Nio-cu itu ?"
Cu Jiang keraskan hati, sahutnya: "Jika tak mau
menerima penjelasanku, sudah tentu aku tak dapat berbuat
apa2 kecuali rela menerima akibat apapun juga dikemudian
hari."
"Engkau terlalu congkak!"
"Ah, tidak."
"Jika saat ini kuambil jiwamu..."
Cu Jiang tersentak kaget, serunya: "Apakah maksud
anda ?"
Dengan suara dingin seram, Cek-bin-jin berkata:
"Telah kukatakan bahwa aku dimintai tolong Ang Nio-
cu."
"Apakah dia minta anda supaya mencabut Jiwaku?"
"Ha. ha..."
"Aku tak takut mati, tetapi saat ini, maaf, aku belum
dapat menyerahkan nyawaku."
"Kenapa ?"
"Masih ada urusan penting yang belum ku selesaikan."
"Aku tak peduli semua itu !"
Cu Jiang mengertak gigi, serunya: "Beri waktu setahun,
aku nanti tentu akan menyerahkan diri."
"Kalau aku tak setuju ?"
"Terpaksa aku harus melawan."
"Mungkin engkau tak mampu mengadakan perlawanan
itu."
"Kalau begitu, salahku sendiri mengapa belajar silat tak
sungguh2. Aku takkan menyesali siapa2 lagi."
Saat itu suasana tegang regang. Hawa pembunuhan
bertebaran. Kenyataan sudah jelas bahwa Cek-bin jin
mampu membunuh Hakim Putih dari Gedung Hitam dan
dapat membawa lari tandu seperti orang terbang.
Muncul lenyapnya seolah tak meninggalkan bekas. Jelas
dia seorang tokoh yang amat sakti. Dan Jelas pula bahwa
Cu Jiang tentu tak mampu melawannya.
Tiba2 Gong-gong-cu tertawa gelak2 dan maju selangkah,
serunya:
"Ah, sahabat ini terlampau sekali !"
Cek-bin-jin deliki mata, sahutnya:
"Aku hanya mewakili permintaan tolong orang!"
"Kurasa Ang Nio-cu tak bermaksud begitu.."
"Bagaimana engkau tahu ?"
"Pernikahan merupakan soal besar dalam kehidupan
seseorang. Harus mendapat persetujuan kedua belah pihak.
Kalau tidak begitu, tentu bukan suatu perjodohan yang
wajar, bahkan akan menimbulkan saling dendam diantara
suami isteri !"
"Lebih baik jangan ikut campur !"
"Tetapi aku terikat keluarga dengan engkoh kecil ini."
"O, berarti engkau hendak ikut turun tangan ?"
"Sahabat, walaupun tak tahu bagaimana persoalan yang
sebenarnya tetapi aku telah mendengarkan pembicaraan
tadi. Engkoh kecil itu tak mau dengan badannya yang cacat,
akan mengecewakan masa muda diri nona itu. Dia
bermaksud baik, bukan bermaksud hendak menolak
kemauan Ang Nio-cu.
Dan lagi urusan ini belum sampai pada tingkat dimana
orang harus putus asa. Mengapa tidak sabar menanti pada
lain kesempatan yang menguntungkan dan harus
menyelesaikan sekarang dengan pertumpahan darah ?
Ingat, ini soal perjodohan, suatu hal yang bahagia.
Bagaimana pendapat anda ?"
Agaknya Cek-bin jin tergerak mendengar kata2 Gong-
gong cu. Dia diam merenung.
Cu Jiang tahu bahwa Ang Nio-cu memang bermaksud
baik kepadanya. Karena Ang Nio-cu tahu akan asal usul
dirinya dan sebelum dia rusak wajah dan kakinya dulu.
Sedang Gong-gong cu belum tahu tentang dirinya.
Cu Jiang merasa bahwa apabila saat itu harus
memutuskan perjodohan itu, memang kurang tepat.
Akhirnya ia mengambil keputusan.
"Aku minta waktu setahun. Apabila pada waktu itu
bertemu dengan Ang Nio-cu, aku akan memberi keputusan.
Bagaimana ?"
Setelah merenung beberapa saat, baru Cek-bin-jin
menjawab: "Satu tahun ?"
"Dalam setahun itu kemana saja engkau hendak pergi ?"
"Aku sendiri belum tahu." Sejenak menatap Cu Jiang
dengan tajam. Cek-bin jin akhirnya berkata.
"Baiklah, kuharap engkau dapat pegang janji!"
"Seorang lelaki tentu takkan menjilat ludahnya lagi"
"Sampai jumpa pada lain waktu..."
"Mohon sampaikan pada Ang Nio-cu, budi kebaikannya
lain waktu pasti akan kubalas."
"Sampai Jumpa !" tahu2 Cek bin-jin sudah melesat
lenyap kedalam gerumbul.
"Hebat sekali !"seru Cu Jiang memuji gerakan orang
yang luar biasa gesitnya itu.
"Rasanya selatanku itu harus kutaruhkan kepadanya."
kata Gong-gong-cu.
"Apakah locianpwe benar2 belum pernah mendengar
tentang diri tokoh itu ?"
"Apa engkau tak mengetahui ?"
"Mengetahui apa ?"
"Dia adalah Ang Nio cu sendiri!"
Cu Jiang seperti digambar petir kejutnya:
"Hai! Dia itu Ang Nio Cu sendiri ?"
"Benar."
"Tetapi Ang Nio-cu itu seorang wanita. Nada suaranya
juga tak begitu."
"Aku tak mengatakan bahwa dia tadi seorang lelaki. Ada
dua hal yang dapat membuktikan."
Cu Jiang meminta penjelasan.
Dengan pelahan, Gong-gong-cu berkata:
"Pertama, dia mengaku kalau orang yang ada dalam
tandu dan yang memikul tanda itu empat wanita baju
merah. Dengan begitu Jelas bahwa yang di dalam tandu itu
tentulah seorang wanita. Kemudian kakinyapun lebih kecil
dari seorang lelaki, memakai sepatu kain. Suatu hal yang
janggal bagi seorang pria. Dengan begitu jelas dia tentu
seorang wanita yang sedang menyaru ..."
"O, penilaian locianpwe sungguh tajam sekali. Lalu yang
kedua ?"
"Yang kedua, dia menggunakan tenaga-dalam untuk
merobah nada suaranya. Tetapi nada itu kalau dibanding
dengan suara seorang tua pada umumnya, masih beda
sekali. Tidakkah engkau merasa bahwa suaranya itu aneh
dan menusuk telinga ?"
"Ah, benar, wanpwe memang tolol sekali tak dapat
memikir sampai disitu ..."
"Engkau tidak tolol melainkan masih kurang
pengalaman dan lagi kurang tenang."
Terima kasih atas petunjuk lo-cian-pwe!"
"Mari kita lanjutkan perjalanan lagi," ajak Gong-gong-
cu.
Singkatnya setelah lebih dari satu bulan mengadakan
perjalanan, pada hari itu mereka tiba di kota Tayli yang
terletak di tepi laut.
Gong-gong-cu sudah membahu kedok mukanya, sedang
Cu Jiang masih tetap memakai.
Cu Jiang merasa tegang sekali. Dia berada dalam alam
dan suasana yang asing. Orang2 yang berpapasan
disepanjang Jalan, baik pakaian dan bahasanya, terasa aneh
dan beda dengan Tiong goan.
Banyak sekali aneka ragam keadaan yang belum pernah
dilihatnya. Boleh dikata setiap seratus Ii, tentu ia melihat
keadaan yang baru. Baik mengenai cara dan pakaian rakyat
disitu.
Hanya untungnya, sedikit banyak penduduk disitu
sedikit-sedikit mengerti bahasa Han.
Tiba di pintu kota timur, tampak penduduk memenuhi
sepanjang Jalan untuk melihat. Di pintu kota berpuluh-
puluh pembesar2 yang berpakaian dinas, baik dari kalangan
militer maupun sipil, sudah tegak berjajar dalam dua deret
untuk menyambut.
Gong-gong-cu memimpin tangan Cu Jiang. Dengan
mengulum senyum, tokoh itu melintasi barisan pembesar2
yang menyambut kedatangannya.
Terdengar sorak gembira menyatakan selamat datang
kepada Kok su (penasehat kerajaan). Dan Gong gong-cu
melambaikan tangan sebagai tanda balas menghormati.
Hampir tiba di pintu kota, seorang tua bertubuh tinggi
besar dan berjubah ungu segera maju menyambut dan
memberi hormat:
"Mengemban seng-ci (amanat) baginda untuk
menyambut Kok-su!"
Sekalian menteri dan pembesar serempak
membongkokkan tubuh memberi hormat.
Dengan suara nyaring. Gong-gong-cu menyambut: "Ah.
sungguh berat untuk menerima penyambutan begini."
Saat itu Cu Jiang merasa seperti berada dalam keadaan
yang hanya dapat dijumpai dalam impian. Dia tak dapat
berkata apa2. Sebagai seorang Kok-su. kedudukan Gong-
gong-cu itu hanya setingkat dibawah baginda Tayli.
Demikian deretan menteri dan pembesar2 kerajaan Tayli
itu segera memasuki kota.
Cu Jiang menjadi pusat perhatian orang menilik
wajahnya yang biasa saja, orang tak melihat sesuatu pada
dirinya. Tetapi mengapa Kok-su berjalan berjalan
berdampingan dan menggandeng tangannya ?
Para pembesar itu segera kasak kusuk untuk merangkai
dugaan tentang diri Cu Jiang.
Pada saat memasuk jalan yang menuju ke istana, disitu
telah dipersiapkan meja perjamuan. Empat orang pemuda
dan pemudi cantik, tegak di kedua sisi meja. Meja itu tiada
hidangan apa2 kecuali tiga buah piala kumala, sebuah teko
perak.
Tiga orang gadis mengangkat piala kumala dan menuang
kedalam tiga cawan lalu serempak menghaturkan
kehadapan Gong-gong-cu:
"Hong-ya berkenan memberi arak untuk pelepas lelah."
Wajah Gong-gong-cu serentak berobah serius. Dia
membungkuk tubuh dan berseru penuh khidmat:
"Menghaturkan terima kasih atas budi yang dilimpahkan
Hong-ya."
Ia menyambuti cawan, satu demi satu diteguknya habis.
Sebuah tandu yang dipikul olah delapan orang segera
disediakan di muka meja. Orang tua jubah ungu tadi maju
dua langkah dan berseru :
"Silahkan Kok-su naik kedalam tandu !"
"Terima kasih." kata Gong-gong-cu lalu memimpin
tangan Cu Jiang dan diajak naik tandu.
"Ah, lebih baik wanpwe berjalan di belakang tanda saja,"
Cu Jiang tersipu-sipu.
"Jangan, tidak menguntungkan kalau engkau berjalan
kaki. Lebih baik duduk bersama aku saja," kata Gong gong-
cu.
Teringat akan kakinya yang pincang, apabila berjalan
tentu akan menimbulkan perhatian orang, maka Cu
Jiangpun menurut. Dia duduk disebelah Gong-gong-cu.
Demikian tandu segera diangkat oleh kedelapan pemikul
bertubuh kekar. Sepanjang Jalan masuk kedalam kota,
ternyata negeri Tayli yang kecil itu juga amat ramai. Jalan
raya terbuat daripada marmer, rumah2 penduduk, rumah
makan yang berjajar-jajar disepanjang jalan, dihias dengan
mewah sebagai tanda penyambutan atas kedatangan Kok-
su.
Beberapa saat kemudian tibalah mereka di pintu gerbang
istana raja. Diatas pintu gerbang yang tinggi itu terpancang
tiang bendera. Sedang di kanan kiri pintu, berhias sepasang
singa batu yang besar sekali.
Melalui pintu gerbang, merupakan sebuah lapangan
seluas setengah bau yang juga ditutup dengan batu marmer
semua. Didepan pintu gerbang istana itu dijaga oleh
delapan belas wi-su atau pengawal istana yang bersenjata.
Tandu diturunkan dibawah titian. Belasan pembesar
berpakaian kebesaran segera menyambut. Satu demi satu
Gong-gong-cu membalas hormat mereka.
Setiap orang tentu memandang Cu Jiang dengan mata
terkejut tetapi tiada yang berani bertanya. sekalipun
demikian tetapi Cu Jiang merasa likat sendiri.
Dibelakang pintu terdapat pula sebuah lapangan luas,
terbuat dari marmer, dibelah menurut bentuk palang.
Empat keliling lapangan itu berjajar-jajar bangunan gedung
yang besar. Sepanjang jalan bertumbuhan pohon siong yang
hijau.
Seorang tua berpakaian kuning, keluar menyambut dari
tengah lorong berbentuk palang itu dan berseru lantang:
"Hong-ya melimpahkan amanat karena habis menempuh
perjalanan jauh, Kok-su tentu lelah dan dipersilahkan
beristirahat dulu."
Gong gong cu menghaturkan hormat dan menyatakan
terima kasih. Setelah itu baru orang tua baju kuning itu
tertawa seraya maju menghampiri:
"Ah, Kok-su tentu lelah."
"Ah, tidak. Semoga Hong-ya sehat selalu," sahut Gong-
gong-cu dengan hormat.
"Hong-ya sehat dan bahagia."
"Semoga cong-koan juga sehat2 saja." kata Gong-gong-
cu kepada orang tua baju kuning. Dia pembesar istana yang
berpangkat cong-koan.
"Ah, doa keselamatan untuk Kok-su juga." kata orang
tua baju kuning itu.
"Baiklah, lain waktu kita bercakap-cakap lagi...."
"Silahkan, Kok-su. O. tuan ini...." mata orang tua baju
kuning itu memandang Cu Ciang.
Gong-gong-cu tertawa gelak2, serunya: "Dia adalah
muridku yang baru kuperoleh waktu didaerah Tionggoan !"
Kemudian ia berpaling kepada Cu Jiang: "Inilah Khu Bun
Ki, cong koan istana. Masih banyak hal2 yang engkau perlu
meminta bantuannya."
"Khu cong koan, terimalah hormatku," Cu Jiangpun
secara menghaturkan hormat.
"Ah, tak usah banyak peradatan." kata Khu Bun Ki yang
menjabat cong-koan atau pembesar urusan istana Itu.
Kemudian Gong-gong-cu pun meminta kepada
rombongan pembesar yang menyambutnya tadi supaya
kembali ke tempat masing2. Demikian setelah berbicara
basa-basi dengan beberapa pembesar istana yang
mengerumuninya itu, akhirnya Gong-gong-cu mengajak Cu
Jiang menuju ke lorong kiri dan melangkah ke jalan besar
yang rindang dengan pohon2.
Sesungguhnya istana raja Tayli itu tak lebih hanya
sebesar gedung kediaman seorang menteri Kerajaan di
negeri Tionggoan. Paling bedanya hanyalah istana Tayli itu
dihias dengan sebuah lapangan.
Setelah melalui beberapa pintu halaman, akhirnya Gong-
gong-cu dan Cu Jiang tiba dimuka sebuah pintu berbentuk
rembulan.
Begitu melangkah, Cu Jiang segera merasakan suatu
suasana yang baru. Pagoda kecil tempat beristirahat yang
terbuat dari batu, tiang2 pilar yang tinggi bersih dan terbuat
dari batu marmer, menghias sebuah gedung yang tenang.
Dari dalam gedung itu muncul dua orang anak yang
berlari-lari menyambut: "Kok-su sudah pulang ...!"
Dengan penuh kasih sayang Gong-gong cu mengelus-
elus bahu kedua bocah itu seraya berkata: "Ing San, Bok Ci,
beri hormat kepada Sausu !"
Cu Jiang diam2 menghela napas longgar. Dengan
bijaksana Gong-gong-cu dapat menghindarkan kesulitan Cu
Jiang dengan memberinya sebutan sebagai sausu atau guru
muda.
Juga ketika memperkenalkan kepada Khu Bun Ki,
congkoan atau menteri rumah-tangga istana, Gong-gong cu
juga tak menyebut nama Cu Jiang.
Sejenak memandang ke arah Cu Jiang kedua bocah itu
berturut-turut memberi hormat.
"Ing San menghaturkan hormat kepada sau-su." kata
salah seorang bocah itu sambil berlutut.
"Bok Cui menghaturkan hormat," kata bocah yang
seorang pula. Keduanya segera berlutut di hadapan Cu
Jiang.
"Bangunlah!" buru2 Cu Jiang mengangkat mereka.
Kedua bocah itupun lalu mundur ke samping.
Gong-gong-cu melambai dan suruh Cu Jiang
mengikutinya masuk.
"Rumahku ini bebas, tak perlu sungkan" katanya.
Gong-gong-cu menuju ke sebuah bangunan gedung di
tengah pagar bunga. Walau pun tidak berapa besar tetapi
gedung itu amat bersih dan sedap. Pada papan yang besar
tertulis tiga buah huruf "Tiau-tim-tian" atau wisma
Pembersih Debu.
Alat perabot dalam ruang gedung itu terdiri dari barang2
antik yang jarang terdapat. Ing San membawa Cu Jiang ke
belakang untuk mandi dan tukar pakaian.
Setelah itu Bok Cui datang mengundangnya supaya
makan. Ruang makan berada di tengah kolam. Walaupun
bukan tergolong jenis yang mewah tetapi hidangannyapun
terdiri dari masakan yang mahal dan lezat.
Gong-gong-cu sudah menanti di situ dan Cu Jiangpun
segera duduk berhadapan di sebelah bawah.
"Anggap engkau telah kuberi pencucian debu," Gong-
gong cu.
"Ah, terima kasih."
"Sebelum pengangkatan resmi sebagai guru dengan
murid, kita masih sebagai kawan," kata Gong gong-cu pula,
"Jangan engkau sungkan."
"Baik !"
"Lepaskan kedok mukamu."
Begitu Cu Jiang membuka kedoknya, kedua bocah yang
berdiri disamping itu menjerit tertahan. Gong gong cu
melirik dan merekapun buru2 tundukkan kepala, Betapa
perasaan hati Cu Jiang, dapat dibayangkan.
Setelah makan malam selesai, barulah mereka masuk
kedalam ruang tamu yang telah disiapkan. Semalam itu
benak Cu Jiang penuh diliputi berbagai pikiran sehingga
semalam suntuk tak tidur.
Pagi2 sekali Ing San sudah berseru pelahan2 dimuka
pintu:
"Sausu, utusan baginda datang, harap sausu mandi dan
ganti pakaian."
Cu Jiang buru2 bangun. Selesai mandi dan ganti
pakaian, Gong-gong-cupun sudah memangginya. Buru2 dia
keluar dan menghaturkan selamat.
"Hongya akan menerima engkau."
"Ya, wanpwe tahu."
"Ikut aku."
Mereka melalui pintu samping, berjalan disepanjang
lorong marmar putih. Dinding keraton tinggi sekali. Tiba
diujung lorong, mereka berhadapan dengan sebuah pintu
gerbang bercat merah.
Didalam pintu merupakan sebuah taman yang indah,
penuh dengan aneka bunga yang aneh. Lorong yang
menuju ke ruang istana, terbuat dari marmer putih.
Ditepi titian dimuka pintu ruang, sudah menyambut Khu
Bun Ki menteri pengurus istana.
"Hong-ya menunggu Kok-su." seru Khu Bun Ki.
Setelah mengemasi pakaiannya, Gong-gong-cu suruh Cu
Jiang menunggu di situ sedang dia terus naik ke titian dan
masuk kedalam istana.
Beberapa waktu kemudian, baru menteri Khu Bun Ki
berseru memangginya: "Gok-Jin-Ji, silahkan naik."
Dengan langkah yang pincang, Cu Jiang segera meniti
titian dan naik ke atas. Ruang mana tampak berkilau-
kilauan bergemerlapan. Zamrud permata menghias segenap
ruang.
Di tengah ruang tampak duduk seorang lelaki tua
berjubah kuning. Wajahnya keren tetapi sikapnya amat
ramah. Usianya disekitar 50-an tahun. Sedang Gong-gong-
cu duduk disebelah samping bawah.
"Apakah ini raja Tayli ?" pikir Cu Jiang. Tetapi sebelum
ia sempat berkata apa2 Gong-gong-cu sudah berseru:
"Haturkan hormat kepada Hong-ya!"
Cu Jiangpun segera berturut:
"Menghaturkan hormat kepada Hong-ya."
"Bangunlah, disini ruang paseban muka, tak perlu
banyak peradatan," seru orang berjubah kuning itu.
"Terima kasih, Hong-ya," seru Cu Jiang lalu berdiri.
Ketika mengangkat muka dan beradu pandang dengan pria
jubah kuning itu, hati Cu Jiang bergetar.
"Hong-ya, walaupun wajahnya buruk, tetapi anak muda
itu seorang tunas yang berbakat luar biasa."
"Um.." pria Jubah kuning itu hanya mendesah tetapi tak
berkata apa2.
"Mohon Hong-ya menurunkan titah." seru Gong-gong-
cu pula.
Sampai beberapa saat baru pria jubah kuning itu berseru:
"Koksu, untuk sementara tunda dulu."
Wajah Gong-gong-cu agak berobah.
"Hong-ya, walaupun tua tetapi rasanya mata hamba
masih dapat mengenal barang..."
Pria jubah kuning memotong, serunya: "Koksu, besok
pagi kita berunding lagi."
Gong-gongcu berbangkit dan membungkuk tubuh
dalam2, serunya:
"Hamba menerima perintah, mohon mengundurkan
diri."
Tubuh Cu Jiang terasa agak gemetar. Hanyalah karena
memandang mukanya buruk, rupanya raja Tayli itu kurang
berkenan dalam hati. Tampaknya sia2 saja perjalanan ke
negeri Tayli itu.
"Nak, mari kita kembali dulu," kata Gong-gong-cu
dengan tenang.
Cu Jiang terkejut dan buru2 memberi hormat kepada raja
seraya mohon diri. Kemudian ia mengikuti Gong gong-cu
kembali ke wisma Tiau-tiok-tian, tempat kediaman Gong-
gong cu.
"Nak, jangan putus asa, aku akan berusaha untuk
menembus persoalan ini."
Cu Jiang hanya tertawa hambar.
"Terserah bagaimana locianpwe hendak mengatur,"
katanya
"Nak, apabila sampai gagal, akupun hendak meletakkan
jabatan."
"Ah, jangan locianpwe bertindak begitu. Manusia
berusaha, Thian yang memutuskan. Aku tak bernafsu nekad
untuk menginginkan sesuatu."
"Ya kutahu isi hatimu, nak, beristirahatlah dulu."
Kembali ke kamarnya, perasaan Cu Jiang tak keruan
rasanya. Pikirnya, bagaimana ia dapat lolos dari istana
terlarang itu. Kesan yang telah dialaminya, membangkitkan
pula dendam kebencian yang sudah mengendap beberapa
waktu.
Pada saat dia sedang dilanda oleh luap amarah yang
sukar dikendalikan, tiba2 ia mendengar gemerincing suara
tawa seorang gadis yang berasal dari ruang di sebelah
muka. Ia duga tentulah gadis2 pelayan atau dayang istana
disitu.
"Bagaimana latihan badan?"
tiba2 terdengar suara Gong gong-cu tertawa keras.
"Mau sembunyi tapi takut dapat diketahui," seru gadis
itu.
"Ha, ha, ha "
"Kabarnya Nyo kongkong ketika di Tionggoan telah
menerima seorang murid hebat ?"
"Ih, bagaimana engkau tahu ?"
"Hm, segala apa yang terjadi di negeri ini, dari atas
sampai ke bawah, tiada yang tak kuketahui."
"Engkau lihay sekali!"
"Ucapan Nyo kongkong sukar dipercaya."
"Ih ?"
"Bukankah Nyo kongkong pernah mengatakan tak mau
menerima murid?"
"Oh. .. soal itu, lain dulu lain sekarang."
"Orang tua tetapi tak malu!"
"Mengapa engkau tak mengatakan "tua tetapi tidak mati?
"
"Berbicara dengan sungguh2, Nyo kongkong, apakah
aku boleh berkenalan dengan dia?"
Mendengar itu hati Cu Jiang bergetar keras. Siapakah
gadis itu? Mengapa dia menyebut Gong-gong-cu sebagai
kongkong ( kakek )? Menurut kata gadis itu. Gong-gong cu
itu orang she Nyo Dan kalau menilik nada
pembicaraannya, gadis itu jelas bukan dayang istana. Lalu
siapakah dia?"
Tiba2 terdengar Gong-gong-cu tertawa:
"Kongcu lebih baik jangan kenal dia."
Kali ini Cu Jiang benar2 tergetar hatinya. Ternyata gadis
itu adalah kongcu atau puteri raja. Pembicaraan kedua
orang itu bebas sekali dan tak terikat oleh adat istiadat
istana. Rupanya di istana itu. peraturan antara pria dan
wanita bukan merupakan larangan.
Kerajaan kecil yang terletak di sebelah selatan itu
menyerupai suatu kerajaan tersendiri.
"Kenapa tak boleh?" puteri itu melengking.
"Tak sedap dipandang!" sahut Gong gong cu.
"Asal dapat melihat bagaimana macam orang yang
mampu mendorong Nyo kongkong sampai merobah
keputusan takkan menerima murid. Soal sedap atau tak
sedap dipandang, aku tak peduli!"
"Engkau tak mengerti."
"Apanya yang tak mengerti?"
"Kelak kita bicara lagi. "
"Setelah mendapat murid baru, rupanya Nyo kongkong
tak sayang padaku Toan Swi Ci lagi, ya?"
Tergerak hati Cu Jiang. Toan Swi Ci, oh, nama puteri itu
Toan Swi Ci.
"Apakah engkau tetap akan melihat?"
"Tentu, kalau tidak aku tentu tak dapat setiap waktu
datang ke mari untuk meminta pelajaranmu."
"Baik, nak, keluarlah menemui kongcu!"
Kejut Cu Jiang seperti disambar petir. Dia harus keluar
bertemu puteri raja itu? Ah tidakkah wajahnya begitu
menyeramkan orang? Bagaimana mungkin dia ketemu
seorang puteri raja dengan wajah begitu?
Tetapi ah, kalau toh menyeramkan,kan hanya satu kali
saja Selanjutnya puteri raja itu tentu tak mau bertemu
dengan dia lagi.
Setelah mengambil keputusan dia terus melangkah ke
luar.
Begitu melangkah ke dalam ruang, seketika terpancar
penerangan yang gemilang. Tampak seorang dara secantik
bidadari tengah duduk berhadapan dengan Gong-gong-cu.
Usianya baru diantara 16-17 tathun.
"Aah..." Toan Swi Ci menjerit kaget, wajahnya berobah
tegang.
Betapa perasaan Cu Jiang saat itu sukar dilukiskan.
Malu, marah, benci dan dendam campur aduk menjadi
satu. Serentak ia berputar tubuh dan melangkah keluar.
"Nak, kembalilah !" teriak Gong-gong-cu.
Tetapi Cu Jiang tak menghiraukan. Dia terus menuju ke
ruang di belakang dan duduk terlongong diatas kursi.
"Engkau menyebabkan dia tertusuk perasaannya." tiba2
terdengar suara Gong-gong-cu dari ruang depan.
"Aku tak mengerti mengapa Nyo kongkong menjatuhkan
pilihan padanya ?"
"Itulah sebabnya kukatakan tadi, kalau engkau tak
mengerti."
"Harap Nyo kongkong suka memberi petunjuk."
"Aku memilih bakat tulangnya yang luar biasa, bukan
dari air mukanya."
"Kalau begitu. . . aku hendak minta maaf kepadanya."
"Tak usah."
"Siapa namanya ?"
"Gok jin-ji."
"Gok-jin-ji? Ah, rasanya itu bukan suatu nama.
Dikalangan rakyat juga tak terdapat orang she Gok."
"Itu nama gelarannya."
"Yang kutanyakan nama sebenarnya."
"Dia tak punya nama."
"Ih, aneh. Masakan orang tak punya nama."
"Kongcu yang baik, banyak sekali hal2 dalam dunia
persilatan yang tak engkau ketahui."
Sampai disitu Cu Jiang tak mau mendengarkan lagi. Ia
memandang kearah almari rak buku yang penuh dengan
buku. Ia segara mengambil sebuah. Ternyata sebuah buku
sejarah. Membuka beberapa halaman, ia tak ada selera
membacanya lalu menukar dengan yang lain.
Juga tak senang. Setelah mengembalikan buku itu dia
terus melangkah ke luar halaman. Kebun halaman penuh
dengan aneka bunga yang belum pernah dilihatnya.
Hatinya terasa agak lapang.
Sekonyong-konyong sesosok tubuh yang rasanya sudah
pernah dikenal, mendadak berjalan pelahan-lahan dititian
belahan Jalan-setapak di tengah kebun bunga. Ketika
memperhatikan, hampir saja Cu Jiang memekik.
Itulah si wanita gemuk, pemilik rumah makan yang telah
dibakar oleh orang Gedung Hitam, Tetapi mengapa wanita
gemuk itu berada di istana Tayli ?
Kenangan lama muncul kembali. Ia hendak menemui
wanita gemuk itu dan memperkenalkan dirinya. Selagi dia
masih bersangsi, wanita gemuk itupun, sudah tiba beberapa
langkah di mukanya.
"Hai, engkau!" teriak wanita gemuk itu terkejut.
Cu Jiang menahan luapan perasaannya dan bersikap
tenang: "Ya, memang aku."
"Masih ingat kepada wanita penjual kacang yang
menjajakan dagangannya di kota kecil tempo hari ?"
"Tentu."
"Bukankah engkau bersama seorang sasterawan
pertengahan umur . . ."
"Ya, benar, tetapi aku segera berpisah dengan dia."
Dengan tegang wanita gemuk itu memandang Cu Jiang,
serunya :
"Lalu bagaimana harus menyebutmu ?"
"Aku bernama Gok Jin ji."
"Yang kumaksudkan sebutannya."
"Mereka memanggil dengan sebutan sausu."
"Sausu?"
"Ya."
"Apakah sausu ikut Kok - su yang baru datang dari
Tionggoan itu?"
"Ya."
"Bagaimana keadaan sasterawan yang telah memberi
bantuan uang kepadaku itu ?"
Cu Jiang tak mau mengatakan bahwa orang yang
dimaksud wanita gemuk itu sesungguhnya adalah seorang
cong koan dari Gedung Hitam. Dia hanya menjawab
sembarangan saja.
"Dia baik2 saja. Apakah aku boleh menyebutmu dengan
panggilan .... toanio ?"
"Ah, jangan, sausu ! Aku hanya salah seorang tukang
masak."
"Bukan soal. Aku seorang persilatan. Kaum persilatan
tak membedakan pangkat dan kedudukan."
"Kalau sausu menghendaki, terserah. Memang orang2 di
istana sini memanggil aku begitu."
"Bagaimana toanio dapat datang kemari?"
"Menghindari musuh."
"Ah.." Cu Jiang hanya mengaduh tetapi tak mau
bertanya lebih lanjut. Dia tahu yang dimaksud musuh
tentulah pihak Gedung hitam.
Diam2 Cu Jiang merasa menyesal. Kesemuanya itu
adalah gara-garanya. Jika dia tak mencampuri urusan si
jelita Ho Kiong Hwa tentu tak sampai bentrok dengan
orang Gedung Hitam dan takkan diberi Amanat Maut.
Wanita gemuk itupun tak perlu melindungi dirinya dan
tak sampai rumah makannya dibakar orang Gedung Hitam
dan orangnya harus lari menyembunyikan diri dari kejaran
pihak Gedung Hitam.
"Maaf toanio, kelak budimu tentu akan kubalas," diam2
Cu Jiang berjanji dalam hati.
Sambil memandang lekat2 pada wajah Cu Jiang, wanita
gemuk itu berkata:
"Sausu, maaf, tetapi memang benar engkau ini mirip
dengan seseorang yang kenal baik dengan aku..."
"Siapa ?" Cu Jiang terkejut.
"Usianya sebaya dengan sausu, juga sinar matanya,
bahkan perawakannya. Hanya, ah, mungkin dia sudah tak
berada di dunia lagi.."
"Dia mempunyai hubungan apa dengan toanio ?"
"Keluarga."
"Keluarga? Apa ikatannya dalam keluarga dengan toanio
?"
"Ah, sudahlah, tak perlu dibicarakan lagi. Aku sedih
kalau mengingat dia."
"Cu Jiang, kasih tahu pada toanio, bahwa pemuda yang
dikenangnya itu saat ini berdiri dihadapannya. Hanya
karena wajahnya rusak, engkau tak mengenalnya . . .. "
tiba2 hati Cu Jiang melantang.
Tetapi dia berusaha untuk menekan perasaannya.
Saatnya belum tiba, pikirnya.
Saat Itu bocah Ing San bergegas memanggil. "sausu !"
katanya kepada Cu Jiang, dan kepada wanita gemuk, bocah
itupun berseru: "Toanio, aku mencarimu kemana-mana."
"Ada apa?"
"Siang nanti kongcu hendak bersantap di wisma Tiau-
tim-tian. Koksu pesan agar disiapkan hidangan."
"O, baiklah, aku segera menyiapkannya." wanita gemuk
itu memberi hormat kepada Cu Jiang lalu bergegas pergi.
Cu Jiang kerutkan dahi. Ada sesuatu yang melintas
dalam benaknya.
"Ing San, aku hendak jalan-2 ke luar istana ini, " katanya.
"Sausu hendak pesiar melihat-lihat luar?"
"Ya."
"Biarlah kulaporkan pada Koksu dulu."
"Ya, silahkan."
Bocah itu gopoh2 pergi dan tak lama kemudian dia
muncul kembali seraya tertawa:
"Koksu mengijinkan tetapi supaya dekat2 saja dan cepat
kembali. Juga pesan supaya sausu mengenakan kedok
muka."
Cu Jiang girang sekali, ia masuk ke kamar dan
mengenakan kedok muka.
"Hayo, kita ke luar."
Ing San yang mengiring dan menjadi penunjuk jalan.
Mereka keluar dari pintu samping dan setelah melalui
beberapa lorong akhirnya keluar dari istana.
Saat itu sedang ramai-ramainya orang berjualan. Pasar2
penuh sesak dengan orang berjual beli. Rupanya Ing San
jarang sekali mendapat kesempatan seperti itu. Dia tampak
gembira sekali. Sepanjang jalan selalu nyerocos ngoceh
sembari menuding kesana kesini.
Cu Jiang hanya mengiakan saja tetapi hatinya tak
memikirkan soal itu. Diam2 dia mengasah otak untuk
mencari jalan bagaimana dapat kembali ke Tiong goan.
Kesan yang diterimanya ketika menghadap raja Tayli tak
menyenangkan hati. Lebih baik dia kembali ke Tionggoan
saja.
Tak terasa hampir separoh kota telah dijelajahi dan saat
itu mereka tiba di pintu kota utara. Sengaja Cu Jiang
bersikap gembira, serunya:
"Ing San. kabarnya pemandangan laut Ki-hay itu indah
sekali. Mari kita ke sana . . ."
Ing San menengadah memandang matahari, serunya:
"Sausu, sekarang sudah saatnya kita harus pulang."
"Lebih baik kita makan di luar saja."
"Jangan! Koksu pesan, agar sausu menemani kongcu
makan siang."
"Ing San, aku justeru takut menghadapi peristiwa itu . . ."
"Kenapa?"
"Wajahku yang begini buruk, masakan layak duduk
bersama kongcu?"
"Kongcu sering berkunjung ke wisma Tian-tim-tian. Dan
kongcu tentu akan lebih sering datang, lama kelamaan tentu
biasa."
"Itu soal besok, Ing San. Lebih baik hari ini kita pesiar
sampai puas."
"Hamba tak berani, takut pada Koksu ...."
Melihat sikap bocah itu, tergeraklah hati Cu Jiang. Ia
mendesak:
"Jangan kuatir, segala kesalahan aku yang tanggung
nanti. Engkau hanya menjadi penunjuk jalan. Tak nanti
Koksu akan marah kepadamu."
"Sausu, tindakan sausu itu berarti tak menghormat pada
kongcu . . ."
"Pagi tadi ketika melihat wajahku, kongcu tampak ngeri.
Kalau aku tak pulang, bukankah sesuai dengan kehendak
hatinya?"
Ing San termenung sejenak, katanya:
"Hong-ya hanya mempunyai seorang puteri, amat
disayanginya "
"Tak punya putera?"
"Tidak."
Pada saat itu mereka sudah ke luar dari kota. Ing San
hentikan langkah. Cu Jiang berpaling kepadanya:
"Begini sajalah. Apakah di tepi laut ada rumah makan?"
"Ada, rumah makan Ong-hay-loh, mewah dan bersih,
ramai tetapi tenang."
"Ah, bahasa Han-mu lancar sekali."
"Memang ayah bundaku orang Tionggoan. Mereka
berdagang sampai ke Tayli dan aku dipilih menjadi pelayan
Koksu.
"O, kalau begitu . . . begini sajalah. Engkau pulang dulu
dan memberitahu Koksu. Katakan aku sedang bertemu
dengan seorang sahabat dari Tionggoan dan masih omong2
di rumah makan. Terpaksa sore nanti baru pulang. Akan
kutunggumu di rumah makan Ong hay loh sana,
bagaimana?"
"Apakah tak apa2?"
"Tak apa, lekas engkau pulang dan kembali cari aku
lagi."
"Apakah sausu tahu di mana letak rumah makan Ong-
hay-loh itu?"
"Uh, masakan tak dapat bertanya orang?"
"Tetapi . . ."
Tetapi Cu Jiang cepat menepuk bahu bocah itu dan
berseru:
"Ai, sudahlah, pulang dan kutunggu kedatanganmu lagi.
Hari ini kita akan pesiar sampai puas."
Sebenarnya Ing San takut dimarahi Koksu tetapi dalam
hati ia memang senang kalau dapat pesiar diluar. Akhirnya
ia mau juga menurut perintah Cu Jiang dan harus berangkat
pulang.
Setelah bocah itu jauh, barulah Cu Jiang dapat menghela
napas longgar. Ia pun melanjutkan langkah. Setelah tiba
pada jalan yang terakhir dalam kota, seharusnya belok ke
kanan baru akan tiba di rumah makan Ong hay-loh. Tetapi
Cu Jiang sengaja belok ke kiri.
Walaupun kakinya pincang hingga tak leluasa berlari-
lari, karena ia memiliki tenaga-dalam yang kokoh,
walaupun hanya mengandalkan kaki kanan berlari, pun
tetap cepat sekali. Jago silat biasa tak mungkin dapat
mengimbangi larinya.
Ia takut Gong-gong-cu akan mengirim orang untuk
mengejarnya, maka ia lari terus tanpa berhenti.
Arah yang ditujunya, sama dengan ketika ia datang ke
Tayli, hanya Jalannya yang berbeda.
Menjelang petang hari setelah memperkirakan mencapai
seratusan li, tibalah dia disebuah kota kecil di pegunungan.
Penduduknya separoh suku Han separoh penduduk
pribumi. Tetapi yang digunakan disitu adalah bahasa Han.
Diam2 ia menimang Pada saat bocah Ing San pulang
memberitahu kepada Gong gong cu, tentulah Gong-gong-cu
akan perintahkan orang untuk mencarinya di dalam kota.
Untuk sementara waktu. Gong-gong cu tentu tak
menduga kalau ia sudah meloloskan diri. Pada saat Gong
gong-cu menyadari kalau dia minggat, tentu sudah tak
keburu lagi untuk memerintahkan orang mengejarnya. Apa
lagi jalanan, bukan melainkan satu.
Setelah memperhitungkan hal itu, dia masuk kedalam
kota dan beristirahat dalam sebuah kedai minum yang
diusahakan orang Han.
Rumah makan kecil itu tiada sesuatu hidangan yang
enak. Tetapi Cu Jiang tak memikirkan soal itu. Ia pesan
makanan dan arak.
Kini pikirannya mulai merancang rencana. Lebih baik
menempuh perjalanan pada malam hari atau siang.
Walaupun tenaga-dalamnya sudah bertambah lihay tetapi
ilmu silatnya masih kurang. Sedang musuh yang
dihadapinya terdiri dari tokoh2 lihay, Lalu bagaimana
langkahnya apabila dia kembali ke Tionggoan nanti?
Dalam waktu merenung dan menimang-nimang pikiran
itu tak terasa ia telah menghabiskan arak dan minta tambah
lagi. Tetapi daya arak itu bahkan menambah kedukaan
hatinya.
Pemilik kedai seorang lelaki pertengahan umur,
mengenakan pakaian warna hitam dari kain kasar. Tetamu
hanya sedikit, berikut Cu Jiang hanya tiga orang. Pemilik
kedai itu menghampiri dan duduk pada sebuah meja lain.
"Apakah tuan ini orang Han ?"
"Ya," sahut Cu Jiang. "Berdagang atau .."
"Oh, aku .. . menjenguk sahabat."
"Siapakah sahabat tuan ? Jelek2 aku sudah kenal dengan
semua penduduk disini."
"Ah, tak perlu. Aku sudah tahu. Sahabatku itu menjadi
tabib di kota kerajaan Tayli."
"O, tabib ? Siapakah namanya ?"
Sebenarnya Cu Jiang hanya sekenanya saja menjawab.
Tak tahunya pemilik kedai itu malah mendesak terus.
Untung dia memakai kedok muka sehingga cahaya air
muka tak terlihat orang.
"Orang she Ih," katanya hambar.
Tiba2 pemilik kedai itu menepuk pahanya sendiri dan
tertawa gembira:
"O, apa bukan Sin-Jiu Ih Hoa?"
"Ya, dia!"
"Ah, sungguh tak tahu adat, maaf. Tabib besar In Hoa,
namanya harum mewangi didaerah selatan. Entah berapa
banyak jiwa yang telah ditolongnya. Dia mampu
menghidupkan kembali orang yang sudah mati!" seru
pemilik rumah makan itu dengan gembira.
Cu Jiang geli dalam hati. Dia hanya sembarangan saja
menyebut sebuah she, eh, kiranya memang ada seorang
tabib yang bernama Ih Hoa.
Pemilik rumah makan itu masuk dan keluar lagi dengan
membawa poci perak, sepiring ayam panggang dan
sepasang sumpit.
"Harap tuan suka dahar sebagai tanda hormat kami,"
katanya dengan tertawa.
"Ah, apakah artinya ini ?" Cu Jiang heran.
"Terhadap seorang sahabat dari Ih toa-koh jiu (tabib
negara) kepada siapa aku pernah berhutang budi, sudah
sepantasnya kalau aku menghaturkan hormat."
Ia menuang arak ke cawan Cu Jiang dan ke cawannya
sendiri lalu mempersilahkan pemuda itu minum dan dahar.
Cu Jiang mengucapkan kata2 basa-basi tetapi pemilik
rumah makan itu mendesaknya supaya jangan sungkan,
Terpaksa Cu Jiang minum juga.
"Arak yang hebat," serunya memuji. Pemilik rumah
makan lalu menuang lagi. Berturut turut Cu Jiang menegak
sampai tiga cawan. Tetapi beberapa kejab kemudian ia
rasakan matanya ngantuk sekali, sampai sukar dibuka. Ia
terkulai, rebahkan kepalanya di meja dan tak ingat apa2
lagi.
Entah berselang berapa lama, ingatannya mulai timbul
kembali. Ia rasakan sekujur tubuhnya tak enak dan kaki
tangannya tak dapat digerakkan. Bahkan terasa seperti
lunglai. Ia mendengar suara ribut2 dan bau asap dupa
wangi.
Ketika membuka mata, kejutnya bukan kepalang.
Ternyata saat itu dirinya sedang terikat pada sebatang
tonggak. Sekelilingnya penuh dengan orang, ada yang
duduk ada yang berdiri. Masing2 membawa obor. Bau asap
kayu cendana, timbul dari unggun api.
Tempat itu merupakan sebuah lapangan terbuka. Menilik
pagar-pagar yang terpancang di sekeliling, seperti
merupakan sebuah pasar.
Di sebelah muka, disiapkan meja sembahyangan, bunga
dan lilin. Di atas meja diberi sebuah sin-pay atau nisan yang
bertulis beberapa huruf, berbunyi:
Arwah mendiang tabib Sin-jiu Ih Hoa.
Cu Jiang tercengang tak tahu apa yang terjadi. Bukankah
karena menganggap Cu Jiang itu seorang sahabat dari Ih
Hoa maka pemilik rumah makan lalu menyediakan arak
dan hidangan ayam panggang? Mengapa tahu terjadi
adegan seperti saat itu?
Cu Jiang sudah tentu tak kenal siapa tabib Ih Hoa itu dan
bagaimana peribadinya. Dan hanya karena menjawab
pertanyaan, ia sekenanya saja mengatakan hendak
menjenguk seorang sahabat orang she Ih. Ai, mengapa
tahu2 jadi begini...
Di samping meja tegak delapan lelaki berjubah panjang.
Salah seorang tak lain adalah pemilik rumah makan itu
sendiri.
Menilik gelagatnya, jelas mereka tentu bermaksud buruk
terhadap Cu Jiang. Tentulah pemilik rumah makan itu telah
mencampuri obat ke dalam arak.
"Tho-si telah tiba!" tiba2 terdengar lelaki tua yang berdiri
di tepi meja itu berseru nyaring.
Tho-si adalah sebutan untuk pembesar atau kepala
daerah dari suku golongan minoritas (kecil) yang hidup di
daerah Lam bong atau Tionggoan sebelah barat-daya
Suasana hening seketika. Dari jauh tampak mendatangi
sebuah rotan panjang yang menyerupai ular api. Ternyata
mereka terdiri dan berpuluh-puluh lelaki berpakaian
pendeta, memegang obor dan berjalan menuju ke lapangan.
Diantara cahaya api itu, tampak sebuah tandu besar. Cu
Jiang duga, yang berada dalam tandu itu tentu tho-si.
Selekas memasuki lapangan, rombongan obor itu segera
berpencar dengan rapi sehingga lapangan terang benderang
seperti siang.
Tandu berhenti di muka meja sembahyangan. Orang2
yang berdiri di tepi meja segera maju menghampiri.
Seorang pengawal yang bersenjata golok, segera
membuka tenda penutup tandu dan seorang lelaki bertubuh
tinggi besar mengenakan jubah kuning emas, melangkah ke
luar dari dalam tandu. Dengan mata berkilat-kilat ia
memandang ke sekeliling.
Bagai rumput tertiup angin, sekalian orang yang berada
di lapangan itu, segera berlutut memberi hormat.
Lelaki yang menyambut ke muka tandu itu-pun juga
membungkukkan tubuh memberi hormat. Rupanya ke
delapan orang yang tegak berjajar di kedua samping meja
itu merupakan tokoh2 penduduk yang terkemuka.
Lelaki tua jubah kuning emas lalu berjalan pelahan-lahan
menuju ke muka meja. Ia mengangkat tangan selaku
membalas penghormatan orang2 itu. Kemudian ia duduk di
kursi yang telah disediakan. Kedelapan pengiring bersenjata
golok, tegak berjajar di belakangnya.
Orang2 yang berlutut tadipun bangun. Tetapi tiada
seorangpun yang berani membuka mulut. Suasana masih
tetap hening lelap.
Cu Jiang rasakan benaknya masih memar sehingga ia tak
jelas apa yang terjadi di tempat itu.
Delapan penduduk terkemuka yang berjajar pada kedua
samping meja sembahyangan, berdiri di tepi tempat duduk
lelaki tua berjubah kuning.
Setelah beberapa jenak menatap Cu Jiang, lelaki
berjubah kuning emas itu baru berkata: "Apakah hanya dia
seorang?"
"Ya," jawab seorang tua berjubah panjang. "semalam dia
singgah di kedai Tio lopan. Dalam pembicaraan, dia telah
kelepasan omong, Tio lopan segera menghidangkan arak
obat untuk meringkusnya..."
"Apakah sudah pernah ditanya?"
"Belum, kami menantikan loya yang memeriksanya."
"Tio lopan." seru lelaki tua jubah kuning emas itu.
Pemilik rumah makan segera mengiakan. "Kapan dia
singgah di kedaimu?"
"Baru semalam."
"Dia berkata apa saja ?"
"Katanya hendak berkunjung ke daerah selatan
menjenguk seorang sahabat. Aku curiga dan mendesaknya,
Dia mengatakan sahabatnya itu orang she Ih. Segera
kuhidangkan arak obat sehingga dia rubuh dan ternyata
memang terdapat bukti."
"Bukti ?"
"Kutungan pedang!" kata pemilik rumah makan,
menjemput sebilah kutungan pedang, diangkat tinggi2 lalu
diletakkan kembali.
Bukan main marah Cu Jiang. Kutungan pedang itu
adalah benda peninggalan mendiang ayahnya. Ia tak
menduga orang akan menggeledah dirinya dan menganggap
benda itu sebagai barang bukti.
Wajah lelaki tua jubah kuning emas itu tampak gelap.
Dengan penuh dendam ia memandang Cu Jiang lalu ke
segenap hadirin dan terakhir berseru dengan lantang:
"Tabib Ih, seorang tabib yang budiman dan pandai,
menyelamatkan jiwa manusia dari cengkeraman maut.
Didaerah ini beliau merupakan dewa penolong yang sangat
dipuja dan dihormati. Sungguh tak kira kalau orang yang
begitu baik akhirnya harus mengalami nasib menyedihkan
dibunuh oleh serombongan lima orang.
Sudah empat pembunuh yang membayar dosanya.
Arwah tabib Ih masih melayang-layang di daerah ini
sehingga pembunuh2 itu kebingungan dan menyerahkan
diri. Pada tubuh mendiang tabib Ih, masih tertanam sebilah
pedang kutung. Dan karena dibadan orang itu-pun terdapat
kutungan pedang, maka bukti kejahatannya sudah jelas, tak
perlu ditanya lagi..."
Beratus-ratus mata yang penuh dendam kemarahan
mencurah pada Cu Jiang. Kini Cu Jiang baru menyadari
persoalannya. Ternyata dia telah didakwa sebagai
pembunuh tabib Ih Hua. Padahal ia tak kenal sama sekali
siapa dan bagaimana tabib Ih itu.
"Ah, jika aku tak membantah, tentu akan mati konyol,"
pikir Cu Jiang.
"Tho-si, apakah ucapan anda itu benar ?" serunya.
"Soal apa ?" sahut lelaki tua berjubah kuning emas.
"Anda tak boleh hanya dengan kesimpulan dugaan saja
lalu menjatuhkan hukuman terhadap orang yang tak
berdosa..."
"Apa engkau tak berdosa?"
"Aku seorang pejalan yang kebetulan lalu didaerah ini.
Kutungan pedang itu adalah peninggalan ayahku.
Bagaimana engkau jadikan bukti sebagai alat pembunuh
tabib itu ?"
"Itu menurut katamu."
"Mengapa tak mencocokkan dulu kedua kutungan
pedang itu ?"
Jenasah tabib mulia itu tak boleh diganggu. Kutungan
pedang masih berada pada Jenasah dan ikut dikubur."
"Aku sama sekali tak kenal siapa tabib Ih itu. . ."
"Tutup mulutmu ! Percuma engkau membantah. Lekas
sumbat mulutnya !"
Seorang pengiring segera maju. Merobek baju Cu Jiang
lalu menyumpalkan pada mulut pemuda itu.
Hampir melotot keluar mata Cu Jiang karena menahan
kemarahannya. Tetapi dia tak berdaya. Tenaganya masih
merana, tenaga-dalam masih di hanyut obat dalam arak
tadi.
Jika saat itu dia mau menyebut nama Gong gong-cu,
persoalan tentu akan berobah. Tetapi dia memang berhati
tinggi. Tak mau dia mengemis pertolongan orang.
"Mulai sembahyang !" teriak lelaki berjubah kuning
emas.
Seorang laki tua yang mengenakan pakaian warna biru
segera maju ke depan meja sembahyangan. Kawan-
kawannya yang lain mundur dan berjajar di belakang tho-si.
Sementara thosi itupun segera menghadap meja.
"Mulai! Satu dua.... tiga," dengan suara aneh lelaki
berjubah biru itu berteriak.
Thosi berturut-turut tiga kali melakukan sembahyangan
dengan dupa dan menancapkan pada sebuah tempat dupa.
"Berlutut !" lelaki jubah biru itu berteriak nyaring dan
panjang.
Seluruh hadirin segera berlutut. Suasana hening, tegang
dan seram. Cu Jiangpun berdiri bulu kuduknya. Kini ia
menyadari apa yang akan terjadi. Dia akan dijadikan sesaji
sembahyangan,
"Penghormatan dimulai. Satu .. . dua .. tiga " kembali
lelaki berjubah biru itu berseru. Sekalian hadirin segera
membungkukkan kepala hingga sampai ke tanah.
"Menghaturkan sesaji !"
Dua orang lelaki baju merah muncul dari meja
sembahyangan. Yang seorang membawa panci kayu warna
merah. Dalam panci kayu itu terdapat basi dari tembikar.
Sedang yang seorang mencekal sebatang pisau sebesar
kuping kerbau.
Setelah maju memberi hormat dihadapan meja,
keduanya lalu menghampiri Cu Jiang.
Semangat Cu Jiang serasa terbang. Dia tak nyana bahwa
dirinya akan mati dalam keadaan yang begitu
menyedihkan. Jauh di daerah pedalaman Lam bong dan
disembelih seperti babi.
Kedua Jagal itu berdiri di kanan kiri Cu Jiang.
Dengan kata2 dalam bahasa Han yang kurang lancar,
jagal yang memegang pisau itu berkata pelahan-lahan:
"Semoga dalam penitisanmu besok, engkau akan
menjadi orang baik!"
Orang yang membawa panci kayu, mengertek gigi:
"Dia memang jahat sekali. Jangan cepat2 di bunuh tetapi
harus disayat pelahan agar dia tahu rasa!"
Jagal yang memegang pisau itu segera mengangkat pisau
dan ujung pisaupun mulai digerakkan ke tenggorokan Cu
Jiang. Dan Cu Jiang karena tak berdaya hanya pejamkan
mata pasrah nasib.
"Tahan!" sekonyong-konyong terdengar suara bentakan
keras yang mengejutkan sekalian orang.
O0xxdw-kzxx0O

Jilid 10
Kedua jagal itu terkejut dan mundur sampai beberapa
langkah Orang2 yang berlutut mengikuti upacara
penjagalan Cu Jiang itupun serempak berdiri.
Cu Jiang membuka mata. Tampak seorang lelaki
berumur 40 an tahun melesat ke depan meja
sembahyangan. Dia mengenakan pakaian ringkas seperti
orang persilatan dan menyanggul pedang.
Melihat pendatang itu, lelaki jubah kuning emas tadi
serentak pucat wajahnya. Buru2 dia membungkuk tubuh
memberi hormat.
Se-cun thosi lo Ciau Liang menghaturkan hormat ke
hadapan Lwe-si-tiang."
Orang yang disebut lwe-si-tiang atau kepala prajurit
keraton (bhayangkara) menghela napas longgar.
"Ah, lo thosi tak usah banyak peradatan. Kalau aku
terlambat datang, urusan ini tentu hebat akibatnya . . ."
Sekalian orang berturut-turut menghaturkan hormat
kepada kepala bhayangkara keraton itu, kemudian sama
menyingkir ke samping.
"Mohon segera diberitahu, perintah apa yang lwe-si-tiang
hendak berikan kepada kami?" kata thosi yang ternyata
bernama lo Ciau Liang.
"Tahukah In thosi siapa pemuda itu?"
"Dia ... . adalah . . ."
"Pewaris dari Kok-su!" tukas kepala bhayangkara itu.
"Ah!" thosi itu menjerit kaget, menyusul sekalian
hadirinpun melengking kejut.
Lwe-si tiang terus menghampiri Cu Jiang melepaskan
pengikat dan sumbat mulutnya.
"Ah, sausu tentu menderita kejut," serunya tegang.
Cu Jiang hanya tertawa hambar, tak berkata apa2.
Keduanya segera menghampiri ke muka meja
sembahyangan.
Pemilik rumah makan tadi, pucat wajahnya dan serta
merta berlutut, menundukkan kepalanya sampai ke tanah.
"Hamba pantas dibunuh! Hamba pantas dibunuh!"
"Sausu mengapa tak mau mengatakan diri sausu
sehingga rakyat kami hampir saja melakukan kesalahan
besar," kata In thosi sembari memberi hormat kepada Cu
Jiang.
"Aku tak mendapat kesempatan," sahut Cu Jiang dengan
nada dingin.
Sejenak memandang ke arah rakyat yang masih
dicengkam kejut dan ketakutan, berkatalah kepala
bhayangkara itu kepada Cu Jiang:
"Sausu, Kok-su sedang menuju ke mari, mari kita
menyambutnya."
Untuk menebus dosa, kepala desa In thosi itu mohon
agar tetamu2 agung itu suka singgah di rumahnya. Tetapi
kepala bhayangkara menolaknya.
"Mohon Iwe si-tiang suka memintakan ampun di
hadapan Kok-su." kata In thosi.
"Kok-su selalu bijaksana."
Dalam pada itu pemilik rumah makan segera berlutut di
hadapan Cu Jiang dan menyerahkan sebuah bungkusan:
"Sausu, hamba memang harus mendapat hukuman mati.
Dengan ini hamba haturkan obat penawar arak beracun
itu."
Sambil menyambuti, Cu Jiang mengatakan bahwa orang
yang tak tahu itu tak berdosa. Sudah tentu pemilik rumah
makan sangat gembira dan menghaturkan terima kasih tak
terhingga atas kelapangan hati Cu Jiang.
Setelah minum obat penawar, tenaga Cu Jiang pun pulih
kembali.
Walaupun Cu Jiang mengampuni tetapi kepala
bhayangkara itu tetap marah:
"Hm, kalian tetap tak mau tunduk perintah. Masih
berani menggunakan obat bius untuk mencelakai orang."
Pemilik rumah makan dengan gemetar mohon ampun
atas kesalahannya.
"Sausu, mari kita tinggalkan tempat ini." kata kepala
bhayangkara.
Sebelum pergi, Cu Jiang mengambil kutungan pedang di
meja lalu bersama lwe-si-tiang melangkah pergi. Sekalian
orang serempak memberi hormat.
Salah seorang pengawal dari In thosi, memberikan
kudanya kepada Cu Jiang. Demikian Cu Jiang dan Iwe si-
tiang segera naik kuda menyongsong Gong-gong-cu.
Beberapa saat kemudian tiba2 Cu Jiang hentikan
kudanya.
"Lwe-si tiang, pelahan dulu!"
"Oh, sausu hendak memberi pesan apa ?" kepala
bhayangkara hentikan kuda.
"Ah, hanya mohon tanya siapakah nama lwe-si-tiang
yang mulia?"
"Aku bernama Ang Ban !"
"Oh. harap Ang Iwe-si- tiang sampaikan kepada Koksu
bahwa aku hendak kembali ke Tiong goan . ."
Kepala bhayangkara itu terkejut, serunya:
"Aku tak dapat memberi keputusan. Harap menghadap
Kok-su dulu."
Cu Jiang diam2 menghela napas. Dia sebenarnya malu
kembali ke keraton Tayli tetapi dia tak mau menyulitkan
kepala bhayangkara yang telah menolong jiwanya tadi.
Tidak jauh arah muka tampak tiga ekor kuda
mencongklang datang dengan pesat.
"Koksu sudah tiba," seru Ang Iwe-si-tiang gembira.
Yang dimuka memang Gong-gong-cu. Dua penunggang
kuda dibelakangnya adalah wi-su atau prajurit penjaga
keraton. Cepat sekali ketiga penunggang kuda itu tiba.
Gong-gong-cu loncat dari kudanya.
"Nak, mengapa engkau hendak melarikan diri ?"
Cu Jiangpun turun dari kuda. "Lo cianpwe, wanpwe
merasa tak layak menerima budi yang sebesar itu maka
wanpwe pikir akan kembali ke Tionggoan saja."
"Ah, semuanya dapat diatur pelahan-lahan" kata Gong
gong-cu kemudian berpaling dan bertanya kepada Ang Ban
bagaimana tadi dapat menemukan jejak Cu Jiang.
Ketika Ang Ban selesai menceritakan semua yang terjadi
pada diri Cu Jiang, Gong-gong cu banting2 kaki:
"Berbahaya, sungguh berbahaya sekali! Nak, engkau
terlalu keras hati!
"Wanpwe menyesal sekali," kata Cu Jiang. "Untung tak
sampai terjadi sesuatu yang menyedihkan."
"Wanpwe hendak mohon pamit kepada cian-pwe."
"Jangan terburu-buru dulu." kata Gong-gong-cu lalu
memberi perintah kepada Ang Ban, "lwe-si-tiang,
perintahkan agar semua kesatuan yang mencari jejak
supaya pulang. Dan haturkan ke hadapan Hong-ya, bahwa
dalam beberapa hari lagi aku tentu pulang."
"Apakah untuk sementara waktu ini Kok-su tak kembali
keraton?"
"Aku hendak mengurus sebuah persoalan penting harap
kalian pulang."
Kepala bhayangkara itu mengiakan. Bersama kedua
prajurit penjaga keraton dia memberi hormat kepada Gong-
gong-cu lalu melarikan kuda. Tak berapa lama mereka
lenyap dalam kegelapan.
Setelah mereka pergi, barulah dengan wajah serius
Gong-gong-cu berkata:
"Nah segalanya telah beres."
Cu Jiang terkejut dan heran, tanyanya: "Apa yang lo-
cianpwe maksudkan dengan beres itu ?"
"Semua berjalan menurut yang kita rencanakan."
"Apakah baginda meluluskan?"
"Tentu. Pernah kukatakan, kalau baginda tak
meluluskan, aku akan mengundurkan diri."
"Ah, mengapa locianpwe akan bertindak begitu ?"
"Nak, soal ini menyangkut urusan besar dan kepentingan
mati hidupnya dunia persilatan. Rupanya Thian telah
meluluskan sehingga secara kebetulan dapat berjumpa
dengan engkau. Sudah tentu aku tak mau melepaskan
begitu saja sebelum selesai
"Tetapi wanpwe sudah tak berminat kembali ke kota
Tayli lagi. Harap locianpwe suka memberi maaf."
"Engkau boleh kembali pulang ke Tionggoan," kata
Gong-gong cu.
"Boleh pulang ke Tionggoan ?" Cu Jiang terbeliak kaget:
"Ya, untuk sementara lebih baik jangan dulu."
"Wanpwe sungguh tak mengerti maksud ucapan
locianpwe."
"Dengan susah payah akhirnya aku berhasil menjelaskan
Hong-ya sehingga Hong-ya meluluskan untuk menyerahkan
kitab pusaka kerajaan Tayli Giok-kah-kim-keng kepadamu
agar engkau dapat mempelajarinya.
Di puncak utama dari gunung Jong-san terdapat sebuah
tempat yang bagus untuk berlatih silat. Di tempat itulah
dulu aku memenjarakan gerombolan Sip-pat-thian-mo.
Maksudku, supaya engkau seorang diri mempelajari isi
kitab itu. Aturlah soal makananmu. Setiap waktu boleh
suruh orang untuk mengambil . . . . "
"Wanpwe benar2 tak mengerti."
"Soal apa?"
"Jika kitab pusaka Giok kah kim-keng itu sungguh
sebuah kitab pusaka kerajaan mengapa Hong-ya tak mau
mempelajarinya sendiri? Begitu pula masakan dalam
kerajaan Tayli tiada seorang mentri dan hulubalang yang
mampu untuk meyakinkan isi pelajaran kitab itu?"
"Pertanyaanmu bagus sekali." seru Gong gong cu, "tetapi
pernah kukatakan bahwa untuk mempelajari isi kitab itu
harus yang masih perjaka tulen, mempunyai pokok ilmu
tenaga-dalam yang kokoh dan bakat serta kecerdasan tinggi.
Ketiga syarat itu tak boleh kurang salah satu.
Hong-ya tak berputera melainkan hanya mempunyai
seorang puteri tunggal. Didalam negeri Tayli tiada tunas
yang luar biasa. Dan lagi kalau sembarangan saja
menurunkan pada orang, besar sekali akibatnya. Kalau
orang itu buruk moralnya, akibatnya tentu mengerikan."
"Apakah lo cianpwe memastikan bahwa aku ini seorang
manusia baik?"
Gong gong cu tertawa.
"Nak, dalam ilmu meramalkan tampang muka rasanva
aku masih dapat dipercaya."
"Apakah pusaka milik kerajaan itu, boleh diberi kau
kepada orang luar?"
"Keadaan memaksa begitu. Selama gerombolan Sip pat-
thian-mo itu belum terbasmi, Tayli tentu akan terancam
bahaya. Gerombolan durjana itu. tentu takkan melupakan
dendam kemarahannya karena telah dipenjara selama
berpuluh tahun."
"Tetapi mengapa sampai saat ini mereka tak tampak
melakukan kegiatan apa2?"
"Jika dianggap tenang, ketenangan itu merupakan
ketenangan pada saat badai akan melanda. Sekali meletus
tentu sukar diatasi lagi. Mungkin gerombolan Sip-pat thian-
mo itu hendak membereskan dunia persilatan Tiong goan
dulu, baru kemudian akan bergerak menghancurkan Tayli."
"Oh, apakah terdapat kemungkinan begitu?"
"Nak, bukankah sekarang engkau sudah tak mempunyai
pikiran hendak melarikan diri lagi ?"
"Jika lo cianpwe tidak berkeras menahan, wanpwe tentu
akan pulang."
"Sudahlah, nak, naik kuda dan ikut aku."
Sebenarnya Cu Jiang tak berminat besar tetapi karena
sikap dan perlakuan Gong gong- cu ramah dan hangat,
terpaksa dia menurut. Dia segera naik kuda dan mengikuti
dibelakang Gong-gong- cu.
Tak lama. cuaca terang dan disebelah muka tampak
beberapa orang siap menyambut kedatangan mereka.
Gong-gong-cu memberi perintah supaya menyediakan
makanan dan diantar ke puncak gunung Jong-san. Setelah
itu ia turun dari kuda dan bersama Cu Jiang lalu mendaki
keatas gunung.
Menjelang sore mereka sudah mencapai setengah
perjalanan Puncak gunung yang tertutup salju sudah
nampak. Jelas puncak itu dingin sekali hawanya.
Terdapatnya salju abadi, salju yang tak lumer sepanjang
tahun.
Menjelang petang hari, mereka tiba di tempat di mana
dahulu gerombolan Sip-pat thian-mo dipenjarakan. Barisan
Kim soh-tin yang sudah morat marit, masih berada di muka
gua.
"Nak, di tempat inilah," Gong-gong-cu menunjuk gua
itu, "barisan itu telah kuperbaiki lagi. Engkau dapat
mempelajari kitab itu dengan tenang. Tak perlu kuatir
diganggu orang. Mari kita masuk."
Cu Jiang mengiakan. Diam2 dia setuju sekali. Setelah
melintasi barisan, mereka masuk kedalam gua.
Gua itu merupakan gua alam yang aneh. Lebar dan
bersih sekali. Gong-gong-cu ternyata sudah mempersiapkan
segala sesuatu disitu. Terdapat juga kursi dan meja, tempat
perapian dan lain2.
Didalam gua terdapat beberapa cekung yang menyerupai
gua kecil, jumlahnya delapan buah. Setelah menyulut api,
Gong-gong-cu dan Cu Jiang duduk berhadapan.
Sambil melirik ke sekeliling. Cu Jiang berkata: "Ah,
rupanya locianpwe sudah mempersiapkan semuanya."
Gong gong-cu mengiakan.
"Atas jerih payah lo cianpwe, wanpwe sungguh
berterima kasih sekali."
"Nak, tak usah mengatakan begitu. Sekarang mari kita
membicarakan yang penting2."
Cu Jiang mengiakan.
"Apakah engkau sungguh2 rela masuk menjadi
muridku?"
"Suka."
"Tata peraturan tak boleh diabaikan. Apakah engkau
bersedia untuk melakukan upacara mengangkat guru?"
"Tentu."
Gong-gong cu berbangkit dan mendorong kursi ke
samping. Wajahnya tampak serius.
Juga Cu Jiang berbangkit dan duduk menghadap Gong
gong cu. Ia membuka kedok mukanya.
Gong-gong-cu mulai berseru dengan tegas dan khidmat:
"Aku Nyo Wi, tiada perguruan tiada partai persilatan.
Ilmu yang kuperoleh, sebagian kudapat secara kebetulan,
sebagian dari buah ciptaanku sendiri. Engkau, menjadi
muridku yang pertama. Sesungguhnya, setelah mempelajari
ilmu pelajaran dalam kitab pusaka Giok-kah-kim-keng,
engkau sudah cukup pantas menjadi seorang pendiri sebuah
partai persilatan."
Cu Jiang berlutut dan berseru dengan penuh hormat:
"Murid. Cu Jiang, menghaturkan hormat ke hadapan
suhu!"
"Apa? Namamu Cu Jiang?" seru Gong-gong-cu.
"Ya, murid adalah pelajar baju putih yang pernah
bertemu dan disebut-sebut oleh kedua locianpwe Go Leng-
cu dan Thian-hian-cu itu."
"Jadi pelajar baju putih itu engkau sendiri?"
"Benar, murid adalah anak sebatang kara dari Dewa-
pedang Cu Beng Ko."
Gong-gong cu termangu beberapa saat. Kemudian
tertawa gelak2:
"Jodoh ! Jodoh ! Inilah yang disebut jodoh! Nak, kini
kepercayaanku makin besar terhadap daya penilaianku.
Aku kenal baik dengan ayahmu. O, engkau mengatakan
sudah sebatang kara, apakah. . ."
Dengan mata merah dan nada tersekat Cu Jiang berkata:
"Ijinkanlah murid menuturkannya dengan pelahan-lahan
nanti."
"Baik!"
Cu Jiang lalu menjalankan upacara memberi hormat
dengan berlutut dan membungkukkan kepala sampai tiga
kali. Setelah itu baru ia memohon petunjuk suhunya. Sejak
saat itu dia menjadi murid Gong-gong-cu dan menyebut
Gong-gong-cu sebagai suhu.
"Engkau adalah anak keturunan dari seorang tokoh
termasyhur. Tak usah engkau menuturkan riwayatmu.
Sebagai suhu, aku tetap harus menekan beberapa hal
padamu agar jadi peganganmu. Kesungguhan, Kejujuran
Kebajikan dan Keberanian. Empat hal itu harap engkau
lakukan dan pelihara sebaik-baiknya."
"Murid berjanji akan melakukan pesan suhu."
"Menilik kaki kirimu cacat, akan kuajarkan ilmu gerak
Gong gong-sim-hwat hasil ciptaanku sendiri. Ilmu itu
merupakan sebuah aliran tersendiri. Agar jangan engkau
awut-awutan mempelajari beberapa macam ilmu, untuk
sementara waktu2 ilmu takkan kuberikan.
Curahkan segenap perhatian untuk meyakinkan ilmu
pelajaran dalam kitab pusaka Giok-kah-kim-keng itu. Apa
isi kitab itu, aku sendiri juga belum pernah melihat. Engkau
pelajari dan berlatih sendiri."
Habis berkata Gong-gong cu mengeluarkan sebuah kitab
kecil, diangsurkan kepada Cu Jiang. Anak muda itu
menyambuti dengan kedua tangan.
Kitab itu merupakan pusaka kerajaan Tayli. Merupakan
kitab yang paling diincar oleh segenap jago persilatan,
Mimpipun tidak bahwa saat itu ia telah memperolehnya.
Sudah tentu dia tegang sekali.
"Bangunlah !"
Setelah memberi hormat lagi barulah Cu Jiang
berbangkit.
"Duduk."
"Ah, murid tak berani."
"Jangan takut segala peradatan. Walaupun aku menjadi
Kok-su tetapi perangaiku senang sebagai burung bangau
liar. Aku tak senang mengekang kebebasan dengan segala
tata peraturan."
"Maafkan, kelancangan murid," kata Cu Jiang terus
menarik kursi dan duduk.
"Sekarang engkau boleh menuturkan riwayat hidupmu."
Sebenarnya sedih sekali apabila Cu Jiang harus
menceritakan tentang keadaan keluarganya. Tetapi
dihadapan suhunya, terpaksa dia harus berlaku terus terang.
Ia segera menuturkan semua peristiwa yang telah dialami
dan menimpa keluarganya selama ini.
Juga peristiwa yang dideritanya mengapa kakinya
sampai cacat dan wajahnya rusak, semua diceritakan
dengan terus terang. Hanya bagian yang mengenai soal2
asmara dengan beberapa Jelita itu, dia tak mengatakan.
"Nak. hapuslah semua kenangan lampau yang sedih itu.
Sekarang engkau hanya mencurahkan segenap perhatianmu
untuk mempelajari ilmu sakti dalam kitab pusaka itu. Kelak
segala sesuatunya tentu dapat diatasi," kata Gong gong-cu.
Cu Jiang mengiakan.
"Sekarang, mari, akan kuberimu pelajaran ilmu tata-
langkah yang kuberi nama Gong-gong-poh-hwat.
Keistimewaan dari ilmu gerak langkah itu, mengutamakan
kaki kanan sebagai tiang utama dan kaki kiri sebagai
pembantu. Kuciptakan khusus untuk dirimu." kata Gong-
gong-cu.
Cu Jiang menghaturkan terima kasih.
Dengan memberi petunjuk melalui gerak tangan dan kaki
disertai dengan keterangan lisan, dalam waktu singkat saja,
Cu Jiang sudah dapat menyelami.
Begitu melakukan latihan, dia sudah dapat bergerak
sesuai dengan yang diajarkan suhunya. Yang kurang hanya
dalam kesempurnaannya saja.
Malam itu keduanya bermalam dalam gua. Keesokan
harinya menjelang siang, makanan dan alat2 perkakas yang
diperlukan sudah tiba. Sementara Cu Jiang membuat
perapian, Gong-gong-cupun mengatur lagi barisan Kim soh-
tin.
Pada waktu makan tengah hari, Gong-gong-cu
memberitahu tentang cara masuk keluar barisan itu. Setelah
meninggalkan beberapa pesan kepada Cu Jiang, Gong-
gong-cu lalu tinggalkan gua itu.
Cu Jiang tak mau buru2 membuka kitab pusaka Giok-
kah-kim-keng melainkan berlatih lagi ilmu langkah Gong
gong poh hwat. Ternyata ilmu tata langkah itu hebat sekali.
Didalamnya mengandung beberapa gerak yang tak terdapat
dalam pelajaran silat.
Beda sekali dengan gerak langkah dalam ilmu silat
umumnya. Karena tertarik, semangatnya makin besar dan
tiap hari dia giat sekali berlatih. Dalam sepuluh hari dia
sudah dapat melakukan gerak tata-langkah itu dengan
sempurna.
Pada hari yang kesebelas, pada saat semangatnya
gembira, diapun bersiap-siap hendak membuka kitab
pusaka Giok-kah-kim-keng.
Kitab pusaka itu dibuat dengan luar biasa indahnya.
Giok atau batu kumala yang menjadi tempatnya juga dipilih
dari bahan batu kumala yang tinggi nilainya.
Penutup kotak kumala itu di lekat dengan stempel cap
kerajaan Tayli Masih mulus tiada cacadnya, pertanda
bahwa selama ini kotak kumala atau Giok-kah itu belum
pernah di buka.
Cu Jiang menahan gejolak hatinya. Lebih dulu dia
memberi hormat lalu dengan sikap yang khidmat ia mulai
membuka tutup stempel itu.
Kotak kumala Itu tidak dikunci, maka sekali stempelnya
dibuka, kotakpun terbuka. Di dalamnya berisi sebuah kitab
kecil yang kalau menurut warnanya penuh bintik2, jelas
sudah berumur tua sekali.
Pada sampul kitab itu tertulis empat buah huruf: Giok-
kah-kim-keng.
Begitu membuka lembar pertama, terdapat tulisan huruf2
hias:
Kitab ini ditulis olah Kong yang Beng, tokoh aneh pada
jaman huru hara Can Kok, tahun kedelapan dari
perhitungan tahun Giau Hong.
Jika menilik tulisan itu, kitab Giok kah-kim-keng tersebut
merupakan sebuah kitab kuno.
Kemudian membalik lembaran kedua, terdapat catatan
yang bunyinya hampir sama seperti yang diucapkan
Gonggong cu mengenai syarat2 penting dari orang yang
hendak mempelajari kitab itu.
Sedang pada bagian belakang merupakan indeks atau isi
kitab itu, yakni:
Bagian pertama : Pelajaran Iwekang.
Bagian kedua : ilmu pukulan dan jari.
Bagian ketiga : Ilmu pedang.
Tambahan: Pelajaran ilmu tenaga sakti Kim - kong - sin -
kang
Membuka halaman dari Bagian pertama, disitu memuat
pelajaran yang diuraikan dengan bahasa dan sastera yang
dalam. Tak mudah untuk menyelami artinya.
Orang harus tekun dan mencurahkan segenap pikiran
untuk mempelajari.
Sebagai putera dari tokoh silat yang mendapat gelar Sian
kiam atau Dewa-pedang, Cu Jiang mempunyai
pengetahuan luas dan selera tinggi tentang ilmu pedang.
Waktu membuka Bagian ketiga yang memuat pelajaran
ilmu pedang, mau tak mau dia harus menghela napas.
Pelajaran itu terdiri dari dua belas keterangan untuk
digabungkan dalam satu jurus. Jurus itu disebut Thian-te-
Kiau-thay. Untuk memahami jurus itu, tentu sukar.
Demikian mulai hari itu dia terus mempelajari kitab
pusaka Giok-kah-kim-keng dengan sungguh2.
Bagian pertama menghabiskan waktu selama seratus
hari. Sudah tentu hal itu dikarenakan dia sudah memiliki
pokok2 dasar tenaga-dalam. Jika tidak, tentu paling sedikit
harus menggunakan waktu tiga tahun.
Bagian tengah atau kedua. Juga memerlukan waktu
seratus hari. Dalam pelajaran ilmu gerak tubuh karena
terpancang oleh kakinya yang cacad, terpaksa di hanya
dapat memahami pelajaran teori atau lisan tetapi tak dapat
mempraktekkan dalam latihan.
Selama itu Gong-gong-cu sudah tiga kali datang
menjenguk. Dia hanya bertanya sebentar mengenai
perkembangan dan kemajuan yang dicapai Cu Jiang.
Setelah Itu lalu pergi lagi.
Tidak sepatahpun Gong gong cu menceritakan kepada
Cu Jiang tentang kejadian diluar. Dia kuatir hal itu akan
mengganggu pemusatan pikiran Cu Jiang.
Kini Cu Jiang mulai mempelajari sejurus ilmu pedang
Thian-te-kiau-thay yang tiada bandingannya itu. Uraiannya
terdiri dari dua belas kata. Sepuluh hari telah lalu, huruf
yang pertama saja dia tak mampu mengungkap artinya.
Dia makin ngotot untuk memecahkan arti huruf itu.
Tetapi semakin ngotot, pikirannya makin kacau.
Akhirnya ia menyadari bahwa belajar dengan cara
memaksa diri tentu tiada gunanya. Dan ia teringat akan
sebuah pelajaran dari kaum vihara Siau-lim pay yanki
"Dengan menghadap tembok untuk mengheningkan segala
kerisauan pikiran." Ah, mengapa dia tak mencobanya.
Maka dia lepaskan semua pemikiran, duduk diam
menghadap tembok gua. Dia memulai lagi untuk
menyelami pelajaran itu. Akhirnya ia terbenam dalam
kehampaan dan terlelap dalam keadaan yang tiada.
Sehari, dua hari dan akhirnya pada hari yang ke tiga-
puluh lima, terpetiklah suatu penerangan dalam hatinya.
Kini kekosongan alam pikirannya mulai merekah suatu isi
dan mulailah ia dapat menyelami arti dari keempat huruf
yang terdepan. Dia seperti mendapat penemuan baru,
sebuah alam yang memercik sinar terang.
Dengan cara itu ia melanjutkan untuk membuka tabir
yang menyelimuti rahasia ilmu dalam kitab pusaka Giok
kah-kim-keng itu.
Selama itu apakah Gong-gong cu menjenguk, dia tak
tahu. Karena begitu mulai duduk bersemedhi, tentu dua
hari baru selesai. Kadang sampai tiga hari, lupa makan lupa
minum.
Tempo berjalan cepat sekali. Tak terasa Cu Jiang telah
menghabiskan waktu setengah tahun untuk mempelajari
ilmu pedang itu. Setelah itu seharusnya ia mempelajari
Bagian Tambahan yakni Ilmu pelajaran Kim-kong-sin-kang.
Kim kong-sin-kang merupakan tataran tertinggi dari ilmu
silat, serupa dengan darah dan daging pada tubuh manusia.
Jarang sekali jago silat yang mampu mencapai tingkat itu.
Bahkan dalam seratus tahun, kira2 baru satu orang yang
berhasil.
Setelah membaca uraiannya, Cu Jiang merasa bahwa
untuk memahami pelajaran itu harus memerlukan waktu
berpuluh tahun. Akhirnya ia memutuskan, akan
menghafalkan uraiannya dulu, baru kelak apabila ada
kesempatan ia akan berlatih.
Dengan keputusan itu, Cu Jiang menganggap bahwa
tugasnya mempelajari kitab Giok-kah-kim-keng sudah
selesai.
Hidup selama setahun lebih dalam keadaan "hilang diri"
kini Cu Jiang sudah memperoleh hasil. Selama itu dia harus
menindas segala dendam perasaannya.
Kini bagaikan tahang yang telah penuh air, meluaplah
semua perasaan yang telak tertampung dalam dada Cu
Jiang. Tetapi dia tetap tak mau bertindak sendiri. Dia harus
tunggu kedatangan Gong-gong-cu dan menunggu
petunjuknya.
Jika hampir setahun dia telah mematikan semua
perasaan sehingga tak tahu apa yang terjadi selama ini, kini
perasaannya mulai hidup dan menyala kembali. Rasanya
tempo berjalan amat lambat sekali.
Sehari seperti setahun. Dia ingin lekas2 muncul ke dunia
luar. Ia ingin supaya suhunya, gong-gong-cu lekas datang.
Tetapi ah, sampai beberapa hari ternyata Gong-gong-cu
tak muncul. Karena keisengan, dia melangkah keluar gua,
melintasi barisan Kim-soh tin.
Pemandangan pertama yang menyegel mata adalah
puncak gunung yang tertutup salju, badai yang dingin.
Aneh, mengapa dia tak merasa kedinginn. Memang secara
tak disadari karena ilmu kepandaiannya telah mencapai
tataran tinggi, tubuhnya tahan dingin, panas dan segala
macam perobahan hawa.
Dia mendaki ke puncak yang tertinggi. Dari situ ia
memandang ke laut yang tampak seperti sebuah telaga
besar. Gunung Ke-tiok-san yang termasyhur indah alamnya
di daerah Lampak, tampak seperti sebuah menara di tepi
telaga. Kota kerajaan Tayli seperti sebuah lapangan
berpagar.
Cu Jiang duduk diatas sebuah gunduk es yang menonjol.
Diam2 dia merenungkan perjalanan hidupnya. Sejak kecil
hingga hampir mencapai usia dua-puluh tahun, dia sudah
mengalami nasib yang hebat dan aneh yang mungkin orang
tak pernah mengalaminya.
Kemudian dia mencabut kutungan pedang Seng-kiam.
Itulah benda peninggalan ayahnya. Dan dengan kutungan
pedang itulah kelak dia akan menuntut balas kepada
musuh-musuhnya.
Ketika sedang tenggelam dalam lautan menung, tiba2 ia
mendengar suatu bunyi yang pelahan dan halus sekali.
Seolah tergetar oleh suatu kontak rasa yang tajam, dia cepat
berseru.
"Hai. siapa itu ?"
Dia tetap duduk tenang seperti batu karang, tak berkisar
maupun berpaling. Nada tegurannya lebih dingin dari salju
yang menyelimuti sekeliling tempat situ.
"Ha, ha, ha tiba2 terdengar suara tawa bergelak. Dan
segeralah Cu Jiang tahu siapa pendatang itu. Segera dia
melayang turun dari gunduk es. Tampak suhunya berdiri
pada jarak dua tombak, sedang tertawa gembira.
"Suhu, murid menghaturkan hormat," katanya segera
memberi hormat.
Gong-gong-cu hentikan tawa dan berkata: "Menilik
nadamu, engkau tentu gelisah menunggu kedatanganku,
bukan ?"
"Benar, murid memang mempunyai perasaan begitu."
"Nak engkau telah berhasil dalam mempelajari ilmu
Giok-kah-kim-keng."
"Murid menghaturkan terima kasih atas petunjuk suhu."
"Ha, ha... nak, itu dari usahamu sendiri yang berhasil.
Bagaimana aku engkau anggap berjasa?"
"Apabila suhu mengatakan begitu, murid tiada muka
hidup lagi."
Gong gong-cu tertawa puas.
"Nak satu-satunya ilmu kebanggaanku hanya Jari Gong-
gong-sim-hwat. Bukan tekebur kalau kukatakan bahwa
dengan ilmu itu aku dapat muncul lenyap seperti bayangan,
tetapi kenyataannya hanya beberapa tokoh persilatan yang
mampu menangkap suara gerak tubuhku itu.
Bahwa sekarang pada jarak lebih dari tiga tombak
jauhnya, ia mampu menangkap suara kedatanganku, ilmu
pendengaranmu sungguh tiada tandingannya dalam dunia
persilatan."
Cu Jiang juga gembira sekali, serunya: "Ah, suhu terlalu
menyanjung diriku."
"Bukan menyanjung tetapi memang kenyataan,"
"Tetapi kesemuanya itu adalah berkat petunjuk suhu."
"Nak, Gong-gong cu alihkan pembicaraan, "selama
mempelajari kitab Giok-kah-kim-keng itu, ilmu apa yang
paling engkau senangi ?"
"Ilmu pedang."
"Coba engkau mainkan sebuah jurus untuk suhu."
"Baiklah. Mohon suhu memberi petunjuk apa bila
terdapat kesalahan."
"Petunjuk? Ha, ha, ha, nak, hal itu takkan mungkin."
Cu Jiang pusatkan semangat, kutungan pedangnya
dilintangkan ke muka dada ....
"Nak, dalam gudang kerajaan tak kurang senjata pusaka.
Lain hari engkau boleh pilih sendiri mana yang engkau
sukai .. . ."
"Suhu," sahut Cu Jiang dengan nada sarat, "benda ini
adalah peninggalan mendiang ayahku. Mohon suhu
luluskan agar murid dapat menggunakan kutungan pedang
ini sebagai senjata untuk selama-lamanya."
Gong-gong-cu kerutkan dahi:
"Pedang itu hanya tinggal separoh, apakah tidak
mempengaruhi gerak ilmu pedangmu ?"
"Selama ini murid berlatih dengan pedang kutung ini dan
tak mengurangi keperbawaan ilmu pedang itu."
"Ah, hal itu memang di luar dari kelaziman."
Tiba2 saat itu seekor burung rajawali yang hanya hidup
di daerah gunung es Jong-sa, terbang melayang di udara,
melintas di atas kepala Cu Jiang. Serentak pemuda itu
mendapat pikiran. Sekali ayun, pedang kutungpun
meluncur ke udara.
"Kaok ....!" terdengar bunyi seram dan burung yang
terbang setinggi dua tombak itu segera menukik jatuh ke
tanah salju. Tanah yang bertutup salju putih berhamburan
dengan warna merah darah.
Gong gong-cu tertegun lalu bertepuk tangan: "Oh, aku
tahu. Engkau sudah memahami inti ilmu Kim-gi (hawa
pedang) tingkat tinggi. Kuucapkan selamat kepadamu,
nak!"
Cu Jiang merah mukanya tak dapat menjawab.
"Kelak akan kubuatkan sebuah kerangka untuk
pedangmu itu." kata Gong-gong-cu pula.
Setelah mencabut pedang kutung, Cu Jiang
menghaturkan terima kasih kepada suhunya. Gong-gong-cu
mengajaknya kembali ke gua.
Setelah duduk, Cu Jiang menghaturkan kembali kitab
Giok-kah kim keng itu kepada Gong gong-cu:
"Murid menghaturkan kembali kitab pusaka kerajaan ini,
mohon suhu menghaturkan kembali kepada Hong ya."
Setelah menyambuti dan menyimpannya, Gong-gong-cu
mengangguk kepala:
"Baiklah. Sebenarnya aku memberimu waktu sampai tiga
tahun. Sungguh tak kira kalau dalam waktu setahun lebih
saja, engkau sudah menyelesaikan pelajaranmu."
"Hatur beritahu kepada suhu, murid belum
menyelesaikan semua pelajaran."
"O, kenapa?"
"Bagian terakhir dari kitab itu merupakan Bagian
Tambahan yang memuat pelajaran Kim-kong sin-kang.
Murid hanya menghafalkan uraiannya tetapi belum pernah
berlatih."
"Oh, Kim kong-sin-kang merupakan ilmu yang paling
sakti dalam pelajaran silat. Mengapa engkau
melepaskannya?"
"Murid memperhitungkan, pelajaran itu tentu memakan
waktu sampai tiga-lima tahun baru selesai ..."
"Apakah engkau ingin lekas2 melaksanakan balas
dendam?"
"Benar, suhu. Murid tak berani membohongi suhu."
"Mm, baiklah. Karena engkau sudah faham uraiannya,
setiap ada kesempatan engkau harus melatihnya."
Cu Jiang mengiakan.
"Nak, dengarkan kata-kataku," ujar Gonggong cu,
"selekas engkau turun gunung, beban tugas yang terletak
pada bahumu, bukan main beratnya. Membasmi durjana
memelihara jalan kebenaran, sekarang, besok dan selama-
lamanya. Walaupun kini engkau sudah memiliki ilmu
kepandaian yang tinggi, tetapi Jangan sekali-kali engkau
lupakan. Kecerdasan dan keberanian harus saling mengisi.
Dan yang penting, jangan engkau tinggalkan kehormatan
sebagai seorang ksatrya yang berbudi luhur, jangan
melakukan pembunuhan sewenang-wenang."
"Murid berjanji akan melakukan semua nasehat suhu."
"Karena harus menjaga keamanan kota raja, terpaksa
aku tak dapat menemani engkau kembali ke Tionggoan.
Tetapi akan kuperintahkan empat orang ko-jiu untuk
mengikuti perjalananmu secara diam2 agar setiap saat yang
diperlukan dapat membantumu ..."
"Baik."
"Sekarang kemasilah barang-barangmu dan mari kita
turun gunung."
Murid tak punya barang2 yang perlu dikemasi kecuali
pakaian yang murid pakai ini."
"Pakailah kedok muka lagi nanti boleh engkau buka
setelah berada dalam istana."
Setelah memakai kedok muka, Cu Jiang lalu bersama
Gong-gong-cu turun gunung.
Lebih dari setahun melewatkan kehidupan terasing
dalam gua. menimbulkan rasa berat hati Cu Jiang untuk
meninggalkan tempat itu. Jika tiada berniat akan
melaksanakan dendam darah keluarganya, ia merasa lebih
senang tinggal di tempat yang terpencil dan terasing dari
dunia luar situ.
Menjelang sore, mereka tiba di wisma Tiau lim-kiong,
Dalam setahun itu ternyata kedua bocah pelayan Gong-
gong-cu sudah besar.
"Ai. sausu. telah membuat aku menderita sekali," seru
Ing San ketika menyongsong.
Teringat akan peristiwa meloloskan diri dengan
membohongi bocah itu, diam2 Cu Jiang geli dan menyesal.
"Apakah engkau masih membenci aku ?"
"Ah. tidak... sausu, masakan aku berani."
Setelah membersihkan badan dan ganti pakaian, Gong-
gong cu memerintahkan supaya menyiapkan perjamuan
guna menyambut dan merayakan keberhasilan Cu Jiang.
Yang menemani dalam perjamuan itu adalah keempat ko-
jiu istana.
Setelah memperkenalkan keempat ko jiu itu kepada Cu
Jiang maka Gong-gong-cu mempersilahkan makan.
"Kongcu tiba !" sekonyong-konyong si bocah Bok Cui
berseru nyaring.
Keempat ko-jiu serempak berbangkit. Walaupun ingat
akan hinaan yang pernah diterimanya setahun yang lalu,
tetapi demi penghormatan terpaksa Cu Jiang berdiri Juga.
Hanya Gong-gong-cu yang tetap duduk.
Sesaat kemudian muncullah kongcu dengan di iring
empat orang dayang istana.
Keempat ko-jiu maju menghaturkan hormat.
"Ah. tak usah banyak peradatan. Silahkan duduk," kata
kongcu.
Juga Cu Jiang menghaturkan hormat.
Kongcu tertawa dan berkata:
"Tempo hari aku telah berlaku kurang tata sehingga
menyinggung perasaanmu. Sekarang aku sengaja datang
untuk menebus kesalahan itu."
Merah muka Cu Jiang, katanya:
"Ah, bagaimana aku berani berlaku kurang hormat.
Harap kongcu jangan sungkan."
Percakapan yang dilakukan secara begitu terbuka sudah
tentu di Tionggoan takkan dapat dijumpai.
"Apakah kongcu mempunyai selera untuk minum
secawan arak?"
"Kalau Nyo kongkong tak menganggap hal itu akan
mengganggu acara, aku akan ikut duduk sebentar."
"Baik, silahkan duduk disampingku," kata Gong-gong-cu
lalu memerintahkan keempat dayang itu melayani kongcu.
Setelah minta maaf keempat ko-jiu itupun duduk lagi.
Karena kehadiran puteri itu, suasana pun menjadi resmi.
Sambil mengangkat cawan arak, kongcu berkata kepada
Cu Jiang:
"Sausu kuhaturkan secawan arak kepadamu."
Cu Jiang terkejut dan serempak berdiri:
"Ah. mohon kongcu jangan menyebut begitu. Panggil
namaku Cu Jiang saja . . ."
"Aku Toan Swi Ci. Cu sausu silahkan minum !"
Dengan kedua tangan Cu Jiang menyambut pemberian
puteri dan meneguknya habis. Puteri itu pun juga meneguk
secawan. Setelah itu baru Cu Jiang duduk lagi.
Kongcu juga menghaturkan secawan arak kepada Gong-
gong cu seraya berkata:
"Nyo kongkong, engkau tentu tak marah kalau tadi aku
memberi arak kepada muridmu lebih dulu !"
Gong-gong-cu tertawa terbahak:
"Ah, tidak. Perjamuan ini memang ku peruntukkan dia."
Keduanya masing2 meneguk secawan. Sebagai tanda
penghormatan, keempat ko-Jiu itupun menghaturkan arak
kehormatan kepada puteri.
Beberapa saat kemudian tiba2 Khu Bun Ki, congkoan
istana bergegas masuk kedalam ruangan.
"Kok-su. Hong-ya menitahkan supaya menghadap."
"Ada peristiwa apa ?"
"Peristiwa besar yang gawat."
"Baik," kata Gong-gong cu seraya berbangkit. Setelah
sejenak memandang kepada kongcu maka congkoan itupun
bersama Gong-gong- cu lalu melangkah keluar.
Cu Jiang terkejut. Apakah yang terjadi dalam istana
sehingga Hong-ya secara mendadak menitahkan Gong-
gong-cu menghadap ?
Diam2 Cu Jiang gelisah.
Sepergi Gong gong cu, puteri Toan Swi Ci dengan
mengulum senyum, berkata kepada Cu Jiang: "Kuhaturkan
selamat atas keberhasilan Cu sausu mempelajari ilmu-silat
yang sakti. Tetapi apakah Cu sausu tak berkeberatan untuk
mempertunjukkan barang sejurus saja agar dapat
menambah pengalaman kami?"
Cu Jiang tahu bahwa di balik ucapan yang penuh rasa
sungkan itu sebenarnya puteri hendak menitahkan dia
mempertunjukkan kepandaian. Sejenak merenung, dia
segera berbangkit.
"Ah, titah kongcu benar2 membuat aku mengeluarkan
keringat dingin."
"Ah, sudahlah, jangan memakai kata2 yang merendah."
"Baiklah, kongcu. Apakah kongcu meluluskan hamba
menghaturkan secawan arak kehormatan ke hadapan
kongcu?"
"Arak? Ah, Tak usah...."
"Kumohon kongcu sudi memberi muka kepada hamba
untuk mempersembahkan arak."
Cu Jiang terus mengambil cawan dan In Cuipun segera
menuang arak sampai penuh. Dengan kedua tangan Cu
Jiang mengangkat cawan kemuka dan tahu2 cawan itupun
pelahan-lahan melambung keatas dan melayang kearah
kongcu.
Keempat ko-jiu terbeliak dan melongo. Sedangkan
putripun segera ulurkan tangan untuk menyambuti.
Keempat pahlawan dari istana itu menyadari bahwa
kepandaian yang diunjukkan Cu Jiang termasuk suatu ilmu
tenaga-murni tingkat tinggi.
Tidak sembarang orang persilatan yang mampu
melakukan hal itu. Dengan begitu ilmu kepandaian Cu
Jiang sekarang, jauh diatas keempat pahlawan istana atau
ko-jiu itu.
"Mohon maaf, hamba mempertunjukan kepandaian yang
jelek dihadapan kongcu," seru Cu Jiang.
Puteri pun menegak arak itu lalu dengan nada bergetar
tegang berseru:
"Sausu benar2 berhasil hebat !" Sekonyong-konyong
seorang istana bergegas masuk dan menghadap puteri:
"Mohon kongcu kembali ke istana!"
Putri kerutkan dahi lalu berbangkit: "Ah. maaf tak dapat
menemani." Cu Jiang dan keempat pahlawan istana itu
serempak berbangkit dan hendak mengantar. Tetapi puteri
menolak dan suruh mereka tetap saja di ruangan
melanjutkan makan.
Setelah puteri melangkah keluar diiring keempat dayang
maka Cu Jiang dan keempat pahlawan istana itupun duduk
kembali. Tetapi perasaan mereka tak tenang lagi. Mereka
memandang pada diri puteri. Apakah yang terjadi di istana
sehingga puteri di titahkan kembali ?
Setelah melanjutkan minum beberapa cawan arak yang
"dingin", Gong gong cu lalu meninggalkan ruangan itu dan
tak lama kembali lagi dengan wajah sarat.
Cu Jiang dan keempat pahlawan istana serempak
menyambut.
"Suhu, apakah yang telah terjadi di istana ?"
"Raja Biau mengirim puteranya dengan diiring sepuluh
pengawal yang sakti."
"Oh apakah keperluannya 7"
"Meminang."
"Meminang?" ulang Cu Jiang terkejut.
"Ya, meminang tuan puteri."
"Aah..." desah Cu Jiang. "lalu bagaimana keputusan
Hong ya ?"
"Sudah tentu tak meloloskan."
"Kalau begitu tolak saja."
"Ah, tidak semudah itu."
"Murid tak mengerti apa yang suhu maksudkan," kata
Cu Jiang.
"Menurut adat istiadat suku Biau. Kalau tak dapat
mengikat hubungan keluarga, akan dianggap musuh!"
"Musuh ?"
"Ya," kata Gong-gong-cu, "mereka menganggap
penolakan itu sebagai suatu hinaan besar. Mereka tak segan
mengadakan pertumpahan darah dan menganggap sebagai
musuh bebuyutan."
"Seorang putera raja sebuah suku yang masih belum
beradab berani meminang Kongcu. Sungguh tak tahu diri !"
seru Cu Jiang.
"Mungkin ada lain maksud yang tersembunyi."
"O, mohon suhu suka menjelaskan."
"Putera raja Biau itu bernama Kopuhoa, sikapnya
congkak sekali. Bukan melainkan menimang kongcu, pun
juga menuntut kitab pusaka Giok-kah-kim-keng sebagai
emas kawin."
"Gila !" teriak Cu Jiang.
"Diantara barisan pengawalnya, terdapat enam orang
suku Han. Menurut pengamatanku, keenam orang itu
merupakan jago silat kelas satu."
"Lalu bagaimana keputusan Hong-ya ?"
"Hong-ya belum dapat memberi keputusan dan
menitahkan aku menghadap dan mengusahakan siasat
menghadapi mereka."
"Maksud suhu bagaimana?"
"Menolak berarti pertumpahan darah, tak ada lain
penyelesaian lagi."
"Penumpahan darah?" Cu Jiang menegas terkejut.
"Benar, memang harus begitu. Tetapi sukarnya, selama
ini Hong-ya selalu melarang untuk suatu pertumpahan
darah."
"Dimanakah rombongan tetamu itu ?"
"Di Wisma Tamu Agung."
"Hanya beberapa belas orang saja berani datang ke
kerajaan tayli untuk meminang puteri dan menuntut kitab
pusaka, Benar2 suatu perbuatan yang keliwat batas .. ."
"Menurut penilaianku mereka tentu mempunyai
rencana."
"Lalu rencana suhu untuk menghadapi mereka ..."
"Terpaksa menurut peraturan suku Biau, menerima
tantangan mereka."
"Menerima tantangan ?"
"Ah, penumpahan darah kali ini memang sukar
dihindari."
Kemudian Gong gong cu berkata kepada keempat
pahlawan itu.:
"Karena anda berempat ini berasal dari Tionggoan, lebih
baik malam ini jangan unjuk diri. Silahkan anda kembali ke
tempat peristirahatan."
Keempat pahlawan istana itu mengiakan memberi
hormat lalu meninggalkan ruangan.
Setelah itu Gong gong-cu berkata pula kepada Cu Jiang:
"Bebanmu sangat berat. Saat ini belum saatnya untuk
tampil. Pakailah kedok mukamu lagi. Hong-ya titahkan aku
supaya mengangkat engkau sebagai Tin tian ciangkun . . ."
Tin tian-ciang-kun artinya jenderal kota kerajaan. Cu
Jiang terkejut.
"Suhu, murid tak ingin menjadi menteri !"
"Nak, pangkat itu tiada mempunyai ikatan terhadap
dirimu. Yang penting, dalam menghadapi anak raja Biau
itu, engkau tak boleh keluar tanpa gelar. Nanti engkau
menghadap baginda dan lakukan apapun titahnya."
Cu Jiang mengiakan.
"Gantilah pakaian dulu. Semua telah tersedia dalam
kamarmu."
Pada saat Cu Jiang kembali ke kamarnya benar juga di
situ telah tersedia seperangkat pakaian baju dan topi besi,
sepasang sepatu dan sebatang kerangka pedang yang
bertabur mutiara, memancarkan sinar yang kilau kemilau.
Itulah kerangka pedang yang telah dijanjikan Gong-gong cu
kepada Cu Jiang.
Bocah Ing Sanpun masuk dan membantu Cu Jiang untuk
mengenakan pakaian itu. Setelah selesai ia berkaca. Hampir
saja ia tak mengenali dirinya lagi. Diam2 ia tertawa geli.
Tak kira kalau dia bakal jadi seorang jenderal kerajaan.
"Sausu, Kok-su menunggu!" seru Ing San.
Cu Jiang segera melangkah keluar. Tiba di muka
paseban, Gong gong cu sudah menyongsong dengan
tertawa gelak2:
"Nak, ah, sungguh gagah benar, mari kita ke wisma
Seng-bu-tian!"
Seng-bu-tian atau wisma Ketetapan-pangkat. Merupakan
sebuah gedung mewah dengan enam belas pilar dari batu
marmar yang amat besar dan kokoh.
Di bawah sinar lampu yang terang, tampak penuh
berjajar barisan wisu (pengawal utama). Di tengahnya
terdapat meja panjang. Toan Hong-ya atau baginda Toan
dari negeri Tayli duduk di tengah meja. Di sebelah
kanannya, Gong-gong-cu yang berpangkat Kok-su
(penasehat kerajaan.) di sebelah kirinya adalah Toan Swi
Ci, puteri raja.
Di belakang Hong-ya berdiri menteri urutan istana yakni
Khu Bun Ki congkoan dan kepala bayangkara istana Ang
Ban.
Di samping jajaran tiang sebelah kanan, tampak seorang
panglima yang mengenakan pakaian seragam besi. Dia
adalah Tin tian-ciangkun Cu Jiang.
Pada dua kotak di samping luar tiang pilar, adalah rak
senjata. Delapan belas macam senjata berjajar-jajar dalam
rak itu.
Di muka wisma itu terdapat sebuah tanah lapang. Pada
kedua samping lapangan itu, didirikan dua buah panggung
datar yang berbentuk seperti sayap burung belibis.
Di sebelah kiri, duduk para pegawai kerajaan bagian sipil
maupun militer. Sedang di sebelah kanan, dideret depan
dan di tengah2, tampak seorang pemuda yang mengenakan
pakaian aneh.
Di belakangnya dikawal oleh sepuluh orang. Yang empat
orang busu (militer) berumur pertengahan abad. Sedang
yang enam orang tua. Walaupun kesepuluh pengawal itu
mengenakan pakaian suku Biau namun masih dapat dilihat
bahwa empat dari keenam orang tua dan dua dari ke empat
lelaki pertengahan umur itu, bukan orang Biau melainkan
orang Han. Telinga mereka tidak pakai anting-anting seperti
umumnya lelaki suka Biau.
Suasana tanah lapang itu sunyi senyap tetapi tegang
sekali.
Seorang lelaki Biau tua, berdiri lalu dengan bahasa Han
yang lancar, berseru:
"Lohu adalah Beng Kiu, kepala dari Thian-ji-tong.
Mendapat titah dari Lo-ong (raja) untuk mengiring siau ong
( raja muda ) Kopuhoa berkunjung ke mari untuk
meminang. Sungguh suatu hinaan besar bagi suku kami
bahwa peminangan kami itu telah ditolak.
Lohu mewakili lo-ong untuk menantang adu kepandaian
pada para pahlawan kerajaan ini dalam lima kali
bertanding. Yang memenangkan tiga kali pertandingan,
dianggap menang. Jika pihak kami yang beruntung
menang, mohon supaya permintaan kami diluluskan
semua."
Habis berkata dia duduk kembali.
Mendengar itu seluruh hulubalang dan perwira kerajaan
Tayli serempak berobah air-mukanya. Mereka marah.
Gong-gong cupun segera berdiri dan berseru dengan
suara nyaring:
"Aku, Tayli Koksu, atas nama baginda, menerima baik
tantangan tetamu!"
Seketika suasanapun tegang regang.
Sesaat Gong gong-cu duduk kembali, Kopuhoa, putera
kepala suku Biau segera apungkan tubuh melayang ke
tengah gelanggang Dengan tertawa menyeringai, dia
berseru:
"Kudengar bahwa kongcu kerajaan Tayli itu seorang
puteri yang ahli dalam ilmu sastera dan pandai dalam ilmu
silat. Biarlah dalam pertandingan pertama ini kumohon
supaya kongcu yang keluar untuk menyambut
tantanganku."
Seketika seluruh hadirin gemuruh. Toan Hong-ya
kerutkan alis dan memandang dengan pandang meminta
pendapat kepada Gong-gong-cu.
Dengan berbisik-bisik Gong-gong cu menghaturkan
pendapatnya. Toan Hong-ya tampak mengangguk angguk
kemudian Gong gong cu bisiki puteri Toan Swi Gi. Setelah
itu baru berseru nyaring:
"Kongcu bertubuh lemah lembut dan berharga. Tetapi
karena Ong cu ( pangeran ) mengajukan tuntutan begitu,
sungkan untuk menolak. Baginda telah menurunkan titah,
dalam pertandingan itu jangan menggunakan pedang atau
tombak tetapi cukup dengan tangan kosong. Barang siapa
terkena totokan, dia harus mengaku kalah. Entah
bagaimana pendapat Ong-cu?"
Wajah Kopuhoa berseri cerah. Tetapi karena mukanya
penuh dengan gurat2 dan tato, maka tawanyapun bukan
sedap dipandang melainkan menyeramkan hati.
"Baik, aku setuju !" serunya. "Bertanding dengan cara
bagaimana?"
"Gulat !"
Sudah tentu kata2 itu diluar dugaan orang. Gulat
memang menjadi ciri permainan khusus dari suku Biau.
Dalam adu gulat itu tentu orang harus bergumul,
mencengkram, berpelukan dan lain2 gerak yang merapat.
Dengan mengusulkan cara begitu, jelas anak raja Suku Biau
itu tentu mngandung tujuan yang buruk.
Belum orang habis dilanda kejut, tiba2 terdengar Gong
gong-cu berseru lebih menggemparkan.
"Tantangan itu diterima. Tetapi terbatas hanya dalam
sepuluh jurus."
Kopuhoa gembira sekali. Dia menyurut ke belakang tiga
langkah dan mulai pasang kuda-kuda.
Gong-gongcu memberi isyarat anggukan kepala dan
berbangkit dan menuruni titian masuk ke lapangan.
Walaupun tak mengerti ilmu gulat tetapi Cu Jiang dapat
menduga bahwa adu permainan itu tentu akan saling
mencengkram dan banting membanting. Dalam hal ini,
berpakaian ringkas akan lebih leluasa geraknya.
Padahal puteri mengenakan celana panjang dan baju
semacam jubah yang menjulur sampai ke lutut. Bukankah
hal itu akan menghambat gerakannya ?
Dia cemas tetapi kemudian dia teringat akan Gong-gong
cu. Ia percaya penuh dan mengagumi kecerdasan gurunya
itu. Jika Gong-gong-cu mengijinkan puteri maju ke medan,
tentu dia sudah mempunyai rencana memenangkan
pertandingan itu.
Menghadapi Kopuhoa yang bertubuh tinggi besar, puteri
bersikap tenang sekali. Seolah tiada terjadi suatu apa.
Adalah anak raja suku Biau itu sendiri yang tampak
kelabakan. Betapa tidak. Berhadapan dengan seorang puteri
yang secantik bidadari, semangat Kopuhoa seperti terbang
melayanglayang.
Kini semua perhatian tertumpah ruah kearah lapangan.
Jika puteri sampai kalah atau sampai dibuat malu oleh
Kopuhoa, Kerajaan Tayli akan menderita hinaan besar.
Dengan mengangkat kedua tangan memberi hormat
seperti lazimnya orang Tionggoan, Kopuhoa berseru:
"Sungguh suatu peristiwa yang paling bahagia dalam
hidupku bahwa saat ini aku mendapat kesempatan untuk
melihat wajah tuan putri."
"Ah, jangan memuji." Toan Swi Ci tertawa.
"Walaupun rakyatku tinggal di daerah yang terpencil
tetapi kemewahan dan kebesaran istana kami, tak kalah
dengan negeri tuan puteri. Dan aku adalah putera pewaris
raja ... ."
Toan Swi Ci mengangkat tangan dan menukas:
"Saat ini kita sedang adu pertandingan. Jangan
membicarakan soal2 lain"
Muka putera raja Biau itu makin hitam lalu berkata
dengan sinis:
"Kalau aku yang menang, apakah tuan puteri takkan
mencari alasan lain . .."
"Sekarang masih terlalu pagi untuk mengatakan hal itu!"
"Hm, silahkan bergerak dulu!"
"Ong-Cu seorang tetamu, silahkan turun tangan dulu !"
"Jika begitu, maaf!"
Dalam gaya macan lapar, Kopuhoa terus menerkam
Toan Swi Ci. Gaya gerakannya aneh sekali. Berbeda
dengan ilmu silat di Tionggoan. Sekalian orang menahan
napas. Kalau puteri yang bertubuh lemah gemulai itu
sampai kena terdekap, ah ....
Sekalian orang tak tahu bagaimana puteri bergerak. Yang
mereka lihat hanya sesosok bayangan berkelebat dan tahu2
Kopuhoa sudah menubruk angin karena puteri sudah
pindah ke lain tempat.
Tetapi Kopuhoa tidak berhenti sampai disitu saja.
Berturut-turut dia menerkam sampai tiga kali tetapi tiada
yang kena. Bahkan ujung pakaian puteri saja dia tak
mampu menyentuh.
Rombongan jago2 yang mengiring Kopuhoa, serempak
berobah cahaya mukanya.
Sepintas memandang tahulah Cu Jiang bahwa puteri
sedang menggunakan gerak langkah ajaran Gong-gong-cu.
Diam2 Cu Jiang menghela napas longgar. Ilmu ciptaan
Gong-gong cu itu memang luar biasa sekali. Tak ubah
seperti gerak bayangan setan. Walaupun tak dapat
mengalahkan musuh tetapi jangan harap musuh mampu
mengalahkannya.
Karena malu akhirnya marahlah Kopuhoa. Wajahnya
yang hitam tampak makin hitam sehingga menyeramkan
sekali.
"Hai, ilmu apakah yang seperti gerak setan itu ?"
teriaknya kalap.
"Ah, hanya permainan anak kecil saja." sahut puteri
dengan lenggang.
"Apakah ini sudah dianggap bertanding?"
"Mengapa tidak dianggap ?"
"Tetapi tuan puteri selalu menghindar saja."
"Apakah hal itu melanggar peraturan pertandingan?
Sudah tiga jurus, silahkan melanjutkan lagi! "
Geraham Kopuhoa tampak bergemerutukan karena
menahan kemarahan. Dia mulai menyerang lagi, makin
dahsyat dan keras. Tetapi gerak tubuh puteri luar biasa
sekali, cepat dan aneh.
"Berhenti! Sudah sepuluh jurus"
Tiba2 karena tak kuat menahan ketegangan hatinya, Cu
Jiang berteriak.
Kopuhoa-pun terpaksa hentikan serangannya. "Maaf."
seru puteri.
Tiba2 Kopuhoa mencabut goloknya. Melihat para jago2
Tayli yang berjajar di muka wisma serempak merabah
senjatanya.
Seketika suasana tegang sekali. Pertumpahan darah tak
dapat dihindari lagi.
Melihat itu Beng Kiu, kepala daerah gunung Thian ji
tong segera berseru:
"Ong-cu, pertandingan baru berjalan satu kali. Kita harus
melaksanakan menurut rencana!"
Toan Swi Ci tertawa dingin lalu melangkah ke luar
gelanggang, kembali ke dalam wisma lagi.
Rupanya Kopuhoa tak dapat menahan perangainya yang
kasar. Sambil membolang-balingkan golok, dia berseru
menggeledek:
"Untuk pertandingan kedua, tetap aku yang akan maju!"
Melihat itu Toan Hong-ya kerutkan dahi lalu berpaling
kepada Gong-gong-cu yang berada di sampingnya:
"Koksu, terserah kepadamu untuk menyelesaikan mereka
!"
Gong-gong cu berdiri lalu memberi hormat kepada raja
setelah itu dia duduk lagi. Sejenak memandang ke segenap
penjuru, tiba2 dia berseru:
"Li ciangkun. harap tampil ke gelanggang!" Seorang
lelaki berjubah Imam segera maju ke tengah gelanggang.
Setelah menghadap baginda dan memberi hormat kepada
baginda diapun terus memberi hormat juga kepada Gong-
gong cu. Setelah itu baru menghadapi Kopuhoa dan
pelahan-lahan mencabut pedang.
"Silahkan Ongcu menentukan bagaimana cara
pertandingan ini harus dilakukan?"
"Jika ada salah seorang yang rubuh baru pertandingan
itu berhenti! " seru Kopuhoa dengan geram.
"Silahkan!" seru ciangkun atau hulubalang yang bernama
Li Kong Hi itu.
Tanpa banyak bicara lagi Kopuhoa terus menyerang.
Cepat sekali kedua jago itu terlibat dalam serang menyerang
yang seru dan dahsyat.
Keduanya sama2 bertubuh tinggi besar dan tenaga kuat.
Mereka berimbang kekuatannya. Dalam beberapa kejab saja
sudah melangsungkan tujuh sampai delapan jurus.
Tampak Kopuhoa kalap sekali cara bertempurnya. Dia
menyerang dengan jurus2 yang dahsyat dan adu jiwa. Sama
sekali dia tak menghiraukan pertahanan.
Setelah mencapai jurus yang ke lima puluh, tampak Li
ciangkun sudah mulai lelah. Tetapi pertandingan itu tak
dapat dihentikan sebelum ada salah satu yang rubuh. Atau
ada yang mau mengaku kalah.
Tampak Gong-gong-cu kerutkan dahi. Jelas dia gelisah.
"Hai! Huak..."
Terdengar suara bentakan disusul oleh jeritan tertahan.
Li ciangkun terhuyung mundur beberapa lagi. Bluk, dia
jatuh tak dapat bangun lagi. Dadanya sebelah kanan
memancarkan darah.
Kopuhoa tertawa gelak2: "Ha, ha, dua kali pertandingan
ini, anggap saja serie!"
Dua orang busu segera turun ke gelanggang untuk
mengangkut hulubalang Li.
Kesempatan itupun digunakan Beng Kiu untuk
mempersilahkan Kopuhoa mundur:
"Harap Ong-cu beristirahat. Pertandingan ke tiga biarlah
Auyang huhwat yang melakukan!"
Kopuhoa menurut dan kembali ke tempat duduknya.
Empat orang Han yang berpakaian seperti suku Biau
serempak berbangkit. Dan entah dengan gerak apa, tahu2
sudah melayang ke tengah gelanggang.
Dari gerak itu saja dapatlah diketahui bahwa mereka
tentu jago yang berisi.
Salah seorang yang tua, memberi hormat ke arah Gong
gong cu:
"Hamba Auyang Jong-san, huhwat dari istana raja Biau,
akan menyambut pertandingan yang ketiga ini!"
"Koksu, dia tentu sakti sekali," bisik Toan Hong-ya
kepada Gong gong-cu.
Gong gong cu mengangguk, kemudian memberi
perintah:
"Ang wi tiang, silahkan ke luar!"
Ang Ban, kepala prajurit bhayangkara keraton segera
mengiakan dan turun ke gelanggang.
Setelah saling berhadapan, berkatalah Auyang Jong san
dengan nada yang tajam:
"Anda hendak memakai senjata apa ?"
"Dan anda sendiri ?"
"Sepasang daging tangan."
"Akupun akan melayani dengan sepasang tangan juga."
"Silahkan."
"Silahkan."
Sejenak saling membidik pandang Auyang Jong-san
menggembor keras dan terus menghantam. Ang Ban
menangkisnya Rupanya keduanya hendak saling mengukur
kekuatan tenaga lawan.
Bum!
Terdengar letupan keras dan angin berhamburan
menderu sehingga lampu2 obor bergoncang2. Sungguh
suatu adu pukulan yang dahsyat sekali.
Auyang Jong san masih tetap tegak ditempat sedangkan
Ang Bau tersurut mundur dua langkah.
"Ah, kali ini akan kalah lagi," diam2 Cu Jiang mengeluh.
Tetapi pada saat itu Auyang Jong sanpun sudah
menggembor keras dan menyerang Ang Ban.
Jurus yang digunakan aneh sekali. Selama menyerang
belum habis sejurus sudah berganti lain jurus lagi.
Baru setengah jalan Ang Ban menyambut, dia sudah
mengerang dan muntah darah. Tubuhnya terhuyung-
huyung.
Auyang Jong-san tak memberi ampun lagi. Maju ke
muka ia menghantam kepala Ang Ban sekeras-kerasnya.
"Hai!" terdengar teriak kejut dari empat penjuru.
"Jangan melukai orang."
Tiba2 terdengar bentakan menggeledek dan tahu2 di
tengah gelanggang telah bertambah seorang yang sudah
menyambar tubuh Ang Ban. Bagaimana dia loncat ke
tengah gelanggang dan menarik tubuh Ang Ban, tiada
seorangpun yang melihat jelas.
Auyang Jong-san terkejut dan mundur tiga langkah lalu
membentak:
"Anda telah merusak peraturan pertandingan!"
"Adu kepandaian bukan bertujuan membunuh. Li
ciangsuu tadi sudah menderita luka. Jika anda hendak
melukai orang lagi berarti menghina rakyat Tayli! " seru
orang itu.
"Anda siapa?"
"Tin-tian ciangkun!"
"Bagus, pertandingan keempat akulah yang maju!"
"Aku bersedia melayani."
"Dengan senjata apa?"
"Cukup tangan kosong."
"Bagus! Jika kali ini aku menang, pihak kami telah
menang tiga kali dan kalah satu kali. Dengan demikian jelas
kemenangan tentu ditangan kami."
"Ah, mungkin anda akan kecewa!"
"Hm, kenyataan akan berbicara, mulailah! "
"Tunggu, aku hendak menyatakan sesuatu . .."
"Silahkan."
"Dalam gebrak pertama, anda harus mengerahkan
seluruh tenaga!"
"Lho, kenapa?"
"Karena anda bakal tak punya kesempatan untuk
menyerang lagi."
Ucapan dari Tian-tian ciangkun Cu Jiang yang begitu
congkak, membuat wajah Auyang Jong-san merah padam,
rambut menjingkrak dan mata melotot.
"Auyang huhwat, bertempur sampai mati baru berhenti!"
tiba2 Kopuhoa berseru marah.
"Hm, apakah ciangkun sudah mendengar perintah Ong-
cu kami?" Auyang Jong-san berseru mengejek.
"Sudah, mengapa?"
"Berani menerima?"
"Hong ya tak meluluskan pembunuhan!" tiba2 Gong-
gong-cu berteriak.
Kopuhoa tertawa keras:
"Memangnya Hong ya seorang junjungan yang penuh
kasih sayang atau karena . . . ."
"Jangan kurang ajar! " bentak Cu Jiang.
"Engkau berani menghina Ong cu kami !" Kopuhoa
balas membentak.
Melihat ketegangan itu, buru2 Beng Kiu mencegah.
"Ongcu sukalah memikirkan kepentingan besar. Kita
datang kamar hendak meminang."
Kemudian dia berseru nyaring:
"Menurut tata peraturan, setiap penantang berhak untuk
menentukan cara pertandingan."
Mendengar itu Gong gong-cu segera menghaturkan
laporan kepada Hong-ya:
"Hong ya, agaknya pertumpahan darah tak dapat
dihindari lagi."
Toan Hong-ya gelengkan kepala dan menghela napas,
tak berkata apa2.
"Tin-tian ciangkun, silahkan engkau menentukan
keputusan sendiri."
Cu Jiang memberi hormat kearah Gong-gong-cu lalu
menghadap musuh dan berseru dengan nada dingin:
"Harap anda pertimbangkan lagi, karena anda bakal
tiada kesempatan menyerang lagi."
"Engkau tak berani menerima tantanganku tadi."
"Rasanya anda ini orang persilatan dari Tionggoan. Aku
tak sampai hati melihat mayatmu dibuang ke bawah
gunung."
Auyang Jong - san terkesiap. Matanya berkilat2
memancarkan sinar pembunuhan.
"Saat ini kita sedang adu kepandaian. Kesudahannya
akan menyangkut hubungan kedua belah pihak. Entah
menjadi kawan atau lawan. Dan akulah sebagai pihak yang
menantang."
Sejenak merenung, akhirnya Cu Jiang menjawab:
"Baiklah, aku menerima tantanganmu untuk bertempur
sampai mati!"
Mendengar itu suasana berubah tegang sekali. Sekalian
orang, terutama rombongan pihak Tayli berdebar-debar.
Auyang Jong-san segera silangkan kedua tangannya lalu
pelahan-lahan dijulurkan lurus ke muka dada. Sepasang
telapak tangannya berwarna hitam. Jelas dia memiliki ilmu
tangan beracun yang ganas.
Sudah tentu sekalian menteri hulubalang Tayli was-was
akan keselamatan jenderal baru yang baru saja dilantik itu.
Yang membuat pihak Tayli tegang dan cemas ialah
apabila pertandingan itu dimenangkan pihak tetamu lagi,
jelas puteri Toan Swi Ci akan diperisteri Kopuhoa.
Tampak Cu Jiang tegak berdiri bagaikan gunung karang.
Diam2 dia telah menyalurkan tenaga-murni untuk
melindungi seluruh tubuhnya.
Tiba2 saja Toan Hong-ya berpaling:
"Kok-su, adakah dia dapat diandalkan?"
"Jika tidak, Jelas waktu setahun itu akan sia-sia belaka !"
sahut Gong gong-cu.
"Kok-su, pertandingan itu menyangkut kepentingan
negara..."
"Harap Hong-ya suka lepaskan pikiran, tentu takkan
mengecewakan!"
Puteri Toan Swi Ci Juga gelisah. Bahkan paling gelisah
sendiri. Karena pertempuran itu menyangkut nasib dirinya.
Jika kalah, jelas dia tentu akan menjadi isteri Kopuhoa yang
memuakkan itu.
Saat itu ditengah gelanggang, Cu Jiang dan Auyang
Jong-san saling berhadapan. Selurun perhatian orang
tertumpah ruah pada kedua orang itu.
Keduanya sama2 berdiri tegak mengambil sikap dan
bersiap-siap menyalurkan seluruh tenaga murni. Siapa yang
lengah atau lemah, tentu akan lenyap jiwanya.
Suasana hening lelap Maut mulai bertebaran
"Hait...!!" sekonyong-konyong Auyang Jongsan berteriak
keras dan kedua tangannya yang berwarna hitam itupun
segera menghantam.
Bum ... bum..."
=00o-d^w-o00=

Jilid 11
Terdengar letupan keras ketika dua buah pukulan sakti
saling beradu. Cu Jiang tergetar. Dia tidak menghindar,
juga tidak balas menyerang.
Sedangkan wajah Auyang Jong-san tampak ngeri dan
ketakutan. Dia mundur selangkah demi selangkah.
Mungkin, baru pertama kali itu dia berjumpa dengan
seorang manusia yang mampu menerima pukulan yang
disertai dengan seluruh tenaganya.
Auyang Jong-san mundur, mundur dan mundur lagi
sehingga dia sudah mundur sampai delapan langkah.
Cu Jiang cepat melesat kehadapannya dan berseru
dingin:
"Dengan sejujurnya kuberitahu kepadamu, bahwa
engkau pasti mati hari ini !"
Wajah Auyang Jong-san mengerut dalam, keringat
bercucuran membasahi kepala. Dia tak mundur lagi.
Segenap jago2 pengiring putera raja Biau serempak
berdiri dengan mulut terlongong-longong.
Dendam dan kebencian Cu Jiang yang terpendam
selama ini, tercurah dalam pandang matanya yang berapi
api menyeramkan. Seolah-olah dia hendak menelan orang
itu.
Gong-gong-cu cepat berteriak nyaring: "Tin tian
ciangkun, kalau lawan sudah mengaku kalah, terimalah
saja."
Cu Jiang teringat bahwa raja Tayli itu tak menyukai
pembunuhan. Dia pun teringat bahwa kepandaiannya
berasal dari budi yang dilimpahkan baginda dengan
mengijinkan dia mempelajari kitab pusaka Giok kah kim-
keng.
Dia menyadari bahwa baik-baik kalau dia mengumbar
nafsu kemauannya sendiri. Setelah menekan perasaannya,
berserulah dia dengan nada sarat:
"Apakah engkau sudah menyerah ?"
"Tidak!" teriak Auyang Jong san lalu tiba-tiba
menyerang. Memukul dengan tangan kiri, menutuk dengan
jari tangan kanan lalu menendang ke jalan darah Gi-hay
pada perut orang.
Tiga buah gerakan itu dilancarkan secara tak terduga
duga, cepat dan serempak.
Tetapi diluar dugaan Cu Jiangpun bergerak luar biasa
cepatnya Secepat tubuh berkisar, tangan menghantam dan
huak . . . terdengar jeritan ngeri.
Auyang Jongsan muntah darah, terhuyung-huyung
sampai tiga langkah dan terus jatuh terduduk.
Para pembesar sipil dan militer kerajaan Tayli yang
duduk pada panggung sebelah itu, tak ingat lagi kalau
baginda berada disitu. Mereka serempak bersorak sorai
menyambut kemenangan Cu Jiang itu dengan kegembiraan
yang meluap luap.
Anak rombongan Biau terkejut sekali.
Untuk membunuh lawan, Cu Jiang hanya seperti
menampar nyamuk saja. Tetapi dia tak mau
membunuhnya, melainkan hanya berseru:
"Demi menjunjung titah Hong ya yang penuh welas asih,
kuampuni jiwamu!" habis berkata dia terus mundur ke
tengah gelanggang.
"Tunggu!" tiba2 terdengar sebuah suara yang seram,
disusul dengan sesosok tubuh yang muncul di tengah
gelanggang.
Sekalian orang terkesiap. Gerakan orang itu masuk ke
tengah gelanggang sungguh hebat sekali. Hampir mereka
tak dapat melihatnya. Bahkan mereka mengira kalau orang
itu memang sebelumnya sudah berada di tengah
gelanggang.
Cu Jiang hentikan langkah, berputar tubuh. Dilihatnya
pendatang itu adalah salah seorang pengiring Kopuhoa,
orang Han yang berpakaian seperti suku Biau.
"Anda bermaksud bagaimana?" tegur Cu Jiang.
"Menantang!"
"Kali ini merupakan pertandingan yang terakhir."
"Tahu!"
"Ada syaratnya?"
"Bertempur dengan pedang."
"Baik. Siapakah nama anda?"
"Kepala huhwat istana Biau, Ih bun Ih Hiong."
"Rupanya anda mempunyai keistimewaan dalam ilmu
pedang."
"Tak perlu engkau tanyakan."
Tiba2 Cu Jiang teringat. Apabila kali ini dia
menggunakan kutungan pedang, kelak tentu akan
menimbulkan kesulitan apabila dia muncul di Tionggoan.
Hal itu tentu akan menyangkut kerajaan Tay-li. Iapun
memutuskan untuk memakai pedang lain maka dia berseru
kepada rombongan perwira yang berjaga di depan meja
supaya membawakan pedang.
Seorang perwira segara mengambil sebatang pedang
ceng-kong-kiam dari rak senjata dan di serahkan ke Cu
Jiang
Rupanya Gong-gong-cu tahu kandungan hati Cu Jiang.
Diam2 ia mengangguk.
Kepala huhwat dari istana Biau, Ih bun Ih Hiong
pelahan-lahan mulai melolos pedangnya. Di tingkah sinar
obor, batang pedang itu berkilat-kilat memancarkan sinar
yang menyilaukan mata. Jelas bahwa pedangnya itu tentu
sebuah pusaka. Dan ketika ia getarkan ujung pedang maka
ujung pedang itupun menjulur panjang beberapa jari.
Setelah saling mengucap sepatah kata untuk
mempersilahkan maka kedua jago itupun segera saling
berhadapan. Keduanya melakukan kuda2 pembukaan yang
aneh. Beda dengan kuda2 ilmu pedang biasa.
Namun mereka belum segera mulai bertempur
melainkan saling beradu tatap pandang. Tajam dan penuh
dengan sinar pembunuhan.
Sedetik, semenit... berjalan merayapi ketetapan suasana.
Tiada seorang pun yang mengedipkan mata.
Pelahan lahan ujung hidung Ih hun Ih Hiong
mengucurkan keringat. Beberapa tokoh ahli pedang,
berturut-turut berdiri. Mereka tak kuat menahan ketegangan
hatinya. Mereka tahu bahwa sekali bergerak, keduanya
tentu akan menghadapi kekalahan atau kemenangan.
Memang sikap dari kedua jago itu, berbeda dengan
pertempuran jago pedang yang kebanyakan.
Tetapi mereka tak tahu apa sebenarnya yang sedang
dilakukan Cu Jiang. Sikap yang diambil Cu Jiang untuk
menghadapi lawan itu sebenarnya hanya untuk mengetahui
bagaimana serangan yang akan dibuka lawan. Ia baru akan
menunggu lawan menyerang lebih dulu baru akan
mendahului untuk mematikannya.
Tampak para jago2 pengawal Kopuhoa pun berturut-
turut berdiri. Merekapun tegang sekali.
Dari acara pertandingan yang akan dilangsungkan lima
kali, kedua belah pihak sama2 membagi angka. Dalam
empat kali pertandingan, mereka kalah dua kali dan
menang dua kali. Jadi seri.
Pertandingan saat itu merupakan pertandingan kelima
atau yang terakhir. Itulah sebabnya kedua belah pihak amat
tegang sekali.
Beberapa saat kemudian tampak tubuh Ih-bun It Hiong
gemetar. Hal itu menandakan bahwa dia tak kuat bertahan
lagi.
Dalam keadaan seperti itu sebenarnya Cu Jiang dapat
turun tangan. Lawan sudah goyang konsentrasi
semangatnya. Tetapi Cu Jiang tak mau. Dia tetap diam tak
bergerak. Orang dan pedang seperti bersatu.
Dalam pandangan ahli pedang, keadaan itu merupakan
ilmu pedang yang telah mencapai tataran tertinggi. Dapat
membunuh lawan tanpa terasa.
Kopuhoa mulai mengucurkan keringat. Wajahnya yang
hitam makin menyeramkan.
Sementara Toan Hong-ya berbisik kepada Gonggong cu:
"Kok-su, tak kira anak itu memperoleh hasil yang
sedemikian hebat!"
"Hong-ya, mungkin tidak hanya sampai di situ saja, "
sahut Gong-gong cu.
"Nyo kongkong, sesungguhnya berapa tinggikah
kepandaian dari sausu itu ?" tanya Puteri Toan Swi Ci.
Gong- gong cu tertawa:
"Sukar dikata. Cukup dikatakan bahwa dia sukar dicari
tandingannya !"
"Jika begitu bukankah dia merupakan jago nomor satu
dalam dunia?"
"Ilmu silat itu tiada batasnya. Tak ada yang disebut
nomor satu. Hanya ada tinggi dan rendah saja."
"Bagaimana kalau dibanding dengan Nyo kongkong ?"
"Aku terpaut jauh sekali dengan dia !"
"Aneh, besar2 aneh. Murid lebih sakti dari guru."
Murid dan guru hanya soal nama saja."
"Nyo kongkong, lihatlah.... dia tetap belum turun
tangan!"
Memang Cu Jiang bahkan menyimpan pedangnya dan
berkata:
"Hong-ya tak memperkenankan darah menumpah!"
Habis berkata dia terus melangkah, berhenti serentak
memberi hormat kearah tempat duduk baginda kemudian
baru kembali ketempat duduknya semula.
Wajah Kopuhoa dan sekalian jago2 pengiringnya
berobah, tak sedap dipandang. Dan saat itu Gong gong
cupun berbangkit.
"Pertandingan adu kepandaian ini, telah berakhir. Pihak
Tayli beruntung dapat menangkan sebuah pertandingan.
Urusan peminangan, menurut peraturan sudah bebas.
Sekarang kami persilahkan para tetamu yang terhormat
supaya beristirahat ke Wisma Tamu Agung lagi..."
Dengan napas memburu keras, Kopuhoa berseru:
"Tak lama kami akan datang kembali untuk mohon
pelajaran. sekarang kami hendak mohon diri."
Beng Kiu yang mengepalai rombongan pengiringpun
menyatakan mohon diri kepada tuan rumah.
Diam2 Cu Jiang geli dalam hati. Dia tak mengerti adat
istiadat suku yang tinggal di daerah selatan itu.
"Walaupun kami mengecewakan harapan, tetapi kami
takkan mengecewakan peraturan. Atas nama Hong-ya,
kami mengucapkan selamat jalan kepada rombongan tamu
agung!" seru Gong-gong cu dengan nyaring sebagai
pengantar dan kepergian rombongan Kopuhoa.
Setelah itu dia mohon petunjuk baginda dan raja pun
memberi isyarat agar upacara pertandingan itu dibubarkan.
Sesaat Gong-gong cu mengumumkan bahwa acara telah
selesai dan dibubarkan maka seluruh pegawai sipil dan
militer kerajaan Tayli serempak berdiri memberi hormat.
Dengan diiring puteri, bagindapun tinggalkan tempat itu.
Sorak sorai bergemuruh gegap gempita dari sekalian
menteri dan rakyat Tayli menyambut kemenangan Cu
Jiang. Cu Jiang membalas hormat kepada mereka. Dua
butir airmata haru dan gembira menitik keluar dari pelupuk
Cu Jiang. Dia merasakan saat itu suatu saat yang
mempunyai kebahagian tersendiri.
Gong-gong cu mengajak Cu Jiang pulang ke wisma Tiau-
tim-tian, Ing San dan Bok Cui menyiapkan hidangan.
"Nak, kuhaturkan secawan arak kehormatan atas
kemenanganmu!" seru Gong gong cu.
"Ah bagaimana murid berani menerimanya ? Selayaknya
muridlah yang harus menghaturkan arak kehormatan
sebagai tanda terima kasih atas budi suhu." seru Cu Jiang.
Gong gong-cu tertawa.
"Ha, ha, ha, sudahlah, jangan peduli siapa yang harus
menghaturkan arak kehormatan, yang penting mari kita
meneguknya."
Cu Jiang terpaksa menyambuti dan setelah meneguk
habis diapun menghaturkan secawan arak kepada Gong-
gong-cu.
"Nak, Hong-ya sangat menaruh kepercayaan kepadamu,
Engkau diharapkan dapat menyelesaikan tugas besar,
melenyapkan gerombolan Sip-pat-thian-mo yang ganas itu
!"
"Murid berjanji akan melaksanakan titah Hong ya
dengan sekuat tenaga."
"Kuharap dalam waktu tak lama lagi, aku dapat
menyiapkan perjamuan untuk memberi arak kehormatan
kepadamu lagi."
"Terima kasih suhu."
"Apakah engkau ingin bertamasya melihat-lihat tempat2
indah dalam negeri Tayli sini ?"
Sejenak merenung Cu Jiang mengatakan bahwa dia ingin
selekasnya kembali ke Tionggoan. Kelak kalau tugasnya
sudah selesai, ia tentu akan melihat2 tempat2 indah di
negeri Tayli itu.
Gong-gong cu tak mau memaksa.
"Suhu, kapankah murid dapat berangkat ?"
"Bagaimana kalau lusa saja ?"
Cu Jiang mengiakan. Demikian setelah beristirahat
sehari pada hari kedua Cu Jiangpun segera tinggalkan kota
Tayli.
Dengan mengenakan pakaian seperti seorang pelajar dan
muka tertutup, dia berjalan pelahan-lahan.
Hampir setahun lamanya Cu Jiang pergi dari daerah
Tionggoan selama itu banyak sekali terjadi perobahan. Dan
beberapa kaum persilatan yang dijumpai dalam perjalanan,
Cu Jiang banyak mendengar cerita2 tentang dunia
persilatan yang mengejutkan.
Perkumpulan agama Thong-thian-kau berdiri di kota
Khay-hong. Siapa ketuanya tiada diketahui orang.
Perkumpulan itu mempunyai delapan buah cabang yang
tersebar di beberapa tempat. Pengaruhnya amat besar.
Kecuali Siau-lim-pay, Bu-tong, Kay-pang dan Hek-poh
atau Gedung Hitam, semua partai2 dan perhimpunan silat
kecil2 telah ditelan dan dilebur ke dalam Thian tong kau
itu.
Tetapi Cu Jiang tak tertarik akan partai baru itu. Dia
tetap mencurahkan perhatian pada musuh utamanya yakni
gerombolan kedelapan belas durjana yang disebut Sip-pat-
thian mo itu.
Setiap detik, menit dan jam, hatinya selalu tersikut oleh
dendam kesumat terhadap kawanan durjana itu. Darahnya
bergolak keras ketika teringat akan peristiwa yang lalu yang
menyebabkan kedua orang tuanya mati dan yang membuat
dirinya sekarang menjadi pemuda cacad dan bermuka
buruk.
Kini hutang itu harus di impas. Setelah memasuki daerah
Kwitang dia terus menuju ke Sujwan. Rencananya dari Su-
jwan terus akan menuju ke gunung Keng san tempat
markas Gedung Hitam.
Ia belum tahu apakah ketua dari Gedung Hitam itu
terlibat juga dalam peristiwa berdarah, masih harus
diselidiki. Tetapi tentang dendam dengan Go-leng cu dan
Thian-hiancu memang sudah jelas.
Terhadap gerombolan durjana Sip pat-thian-mo, harus
mencari kesempatan untuk menemui mereka. Untuk itu
harus menggunakan siasat memikat perhatian mereka.
Hari itu dia tiba di kota Keng-ciu wilayah Sujwan. Saat
itu hari sudah menjelang petang. Seperti beberapa hari yang
lalu, dia membeli saja makanan dan minuman botolan, lalu
mencari tempat yang sunyi untuk beristirahat.
Dia tak mau masuk kota melainkan melingkar memutari
kota itu untuk mencari tempat yang sepi. Tak berapa lama,
dia melihat sebuah biara. Dengan langkah yang terpincang-
pincang dia menghampiri biara itu. Ketika tiba di muka
biara itu, pada papan nama di atau pintu terpampang tiga
buah huruf besar: Bu Hou Si atau tempat pemujaan
panglima perang.
Biara itu sunyi senyap tiada bekas dupa sembahyangan.
Rupanya sebuah tempat pemujaan yang tak pernah
dikunjungi orang lagi. Hal itu mencocoki selera Cu Jiang.
Dia memang hendak mencari tempat yang sepi dan tenang.
Setelah masuk dia terus duduk bersila dan membuka
bungkusan makanan. Selesai makan hari pun sudah malam,
suasana amat sunyi.
Dalam biara yang sebesar itu ternyata tiada berpenghuni
sama sekali. Cu Jiang mulai mencurahkan pikirannya untuk
merenungkan ilmu pelajaran Kim-kong-sin kang yang
belum difahaminya itu.
Entah berapa lama, ketika rembulan berada di tengah,
tiba2 terdengar derap langkah kaki orang mendatangi dan
masuk. Masakan tengah malam buta seperti saat itu,
muncul seorang pendatang. Siapa mereka?
Dua sosok bayangan melesat ke dalam ruang. Yang di
depan seorang baju hitam setengah tua. Yang di
belakangnya seorang bun-su ( orang terpelajar ), juga
setengah tua. Cu Jiang tak asing lagi dengan bun su itu.
Siapa lagi kalau bukan Ho Bun Cai, congkoan atau
pengurus Gedung Hitam.
Seketika teringatlah Cu Jiang akan peristiwa yang
lampau. Ho Bun Cai giat menyelidiki jejak pemuda pelajar
baju putih ( Cu Jiang sendiri kala masih belum rusak
mukanya )
Sebagai seorang congkoan Gedung Hitam tetapi ternyata
Ho Bun Cai itu itu malah membunuh beberapa jago
Gedung Hitam sendiri. Pernah membantunya lolos dan
penjara neraka Gedung Hitam. Diam2 Cu Jiang mengakui
bahwa ia masih berhutang setitik budi kepadanya.
Mengapa congkoan itu tiba2 muncul di biara situ?
Siapakah sebenarnya orang itu? Agar tak dipergoki mereka,
Cu Jiang kerahkan tenaga sakti. Tanpa berkisar dari posisi
duduknya, tubuhnya melayang ke belakang sebuah tiang
yang besarnya sepemeluk lengan orang.
Tepat pada saat itu kedua orang itupun muncul di tengah
ruang.
"Di sini saja kita selesaikan," tiba2 orang baju hitam itu
berseru dingin.
Ho Bun Cai tertawa hambar:
"Tio Pit Bu, mengapa engkau tetap ngotot demikian
rupa?"
Pengawal Hitam yang bernama Tio Pit Bu itu tertawa
dingin:
"Ho Bun Cai, urusan ini harus diselesaikan. Kalau tidak
bagaimana dapat mengubur agar arwah suhu mengasuh
dengan tenang di alam baka ..."
"Kalau menurut umur, aku lebih tua dua tahun dari
engkau, " seru Ho Bun Cai dengan nada serius, "layaknya
kusebut engkau sebagai hian-te. Pada masa itu guruku dan
gurumu merupakan sepasang sahabat yang karib . . ."
"Tutup mulutmu! Kalau memang karib hubungannya
mengapa tak mau memberi kelonggaran pada orang?"
"Hiante, ucapanmu itu mengandung prasangka . . . . "
"Prasangka ? Adalah karena hal itu maka mendiang
suhuku sampai binasa. Pada saat menutup mata masih tetap
tak melupakan jurus ilmu pedang yang menyebabkan dia
mendendam kebencian !"
"Hiante, sebenarnya kedua orang tua itu tidak
bermusuhan, hanya .... hanya . . .."
"Hanya bagaimana ?"
"Gurumu itu berwatak agak mau menang sendiri."
"Ngaco! Gurumulah yang hendak membuktikan bahwa
dirinya adalah jago pedang nomor satu didunia ini sehingga
dia tak mau mempedulikan sahabat lagi."
"Hiante, Jurus ilmu pedang itu adalah ciptaan mendiang
guruku sendiri. Pada waktu mereka mengadu kepandaian
tujuannya tak lain hanya saling menguji dan mempelajari
kelemahan masing2 ..."
"Ah, tak perlu menguraikan peristiwa yang telah lalu.
Perhitungan yang oleh angkatan terdahulu belum selesai,
kita sebagai angkatan sekarang harus menyelesaikannya.
Marilah kita buktikan, apakah Jurus ilmu pedang ciptaan
gurumu itu benar2 merupakan ilmu pedang yang tiada
tandingannya dalam dunia ini!"
"Ah, siapapun yang menang atau kalah, engkau atau
aku, lantas bagaimana ?"
"Jika aku sampai kalah," seru Tio Pit Bo dengan nada
tergetar, "aku akan bunuh diri."
Seketika wajah Ho Bun Cai berobah: "Ah, janganlah
hiante begitu serius. Kedua beliau sudah menutup mata,
kita sebagai angkatan sekarang masakan hendak mengikuti
jejak mereka?"
"Lebih dari sepuluh tahun aku membenam diri dari
dunia ramai, perlunya hanya untuk menunggu saat seperti
sekarang ini !"
"Hiante menganggap hal itu sebagai suatu dendam
permusuhan ?"
"Permusuhan sih bukan tetapi hanya dendam saja."
"Tetapi aku sudah bersumpah takkan menggunakan
jurus ilmu pedang itu lagi."
"Apakah dengan alasan itu engkau hendak menjaga
gengsi ?"
"Tidak hiante, apa yang kukatakan itu memang
sesungguhnya."
"Keputusanku sudah mantap, tak mungkin di robah
lagi."
Sudah tentu Cu Jiang tak mengerti apa yang mereka
percakapkan itu. Tetapi ia hanya menduga bahwa urusan
itu menyangkut pertengkaran yang terjadi pada guru
mereka. Memang rata2 kaum persilatan mempunyai watak
begitu, menganggap "nama baik" itu lebih berharga dari
Jiwa.
"Hiante, apakah sudah engkau pikirkan akibatnya ?" seru
Ho Bun Cai pula.
"Akibat yang bagaimana?"
"Demi menjaga agar nama baik mendiang guruku tak
sampai terhina, terpaksa aku harus mainkan jurus itu
dengan sepenuh tenaga."
"Justeru itulah yang kukehendaki !"
"Tetapi begitu dimainkan. Jurus ilmu pedang itu tentu
melukai orang..."
"Juga ilmu pedangku nanti."
"Untuk apakah kita akan bertempur ini ?"
"Demi menumpahkan ganjalan hati"
"Tetapi aku tak mau menggunakan jurus itu."
"Engkau harus!"
"Kalau tidak ?"
"Akan segera kusiarkan kepada dunia persilatan bahwa
ilmu pedang gurumu itu ternyata bukan Ilmu pedang yang
menjagoi kolong langit!"
"Kalau begitu, silahkan hiante menyiarkan!"
"Ilmu pedang ajaran suhu dikala beliau hendak menutup
mata, tak dapat disiarkan ke dunia persilatan bersama
dengan jurus ilmu pedang gurumu itu."
"Apa maksudmu ?"
"Malam ini marilah kita sama2 menguji mana yang lebih
sakti."
"Adu Jiwa?"
"Mati hidup tergantung dari kepandaian yang didapat
masing2. Jangan mengaitkan dengan kata adu Jiwa."
Sebagai putera dari Kiam-seng (Nabi pedang) sudah
tentu Cu Jiang tertarik sekali. Rupanya yang
dipertengkarkan kedua orang itu mengenai sebuah jurus
ilmu pedang yang tiada tandingannya.
Apakah didunia ini benar2 terdapat ilmu pedang yang
tiada lawannya?
Jika begitu ilmu pedang Thian te-kiamhoat atau Langit
bumi-saling-terangkap yang dipelajarinya dari kitab Giok-
kan-kim- keng itu termasuk ilmu pedang tingkat
bagaimana?
Ah, lebih baik ia melihat saja ilmu pedang apa yang akan
dipertunjukkan kedua orang itu.
"Aku tetap tak mau mengeluarkan ilmu pedang Itu," seru
Ho Bun Cai.
"Takut ?"
"Bukan begitu."
"Suatu pengakuan tak berani?"
"Juga bukan."
"Hm, kalau begitu harus dibuktikan."
Dalam berkata itu, Tio Pit Bupun sudah mencabut
pedang dan mengambil sikap dalam gaya yang aneh sekali.
Sekali dipandang tampaknya rapat sekali dan sukar
diserang tetapi dalam pandangan Cu Jiang, masih ada
beberapa bagian kelemahannya.
Ho Bun Cai tiba2 mundur selangkah dan berseru dingin:
"Maaf, tak dapat melayani!"
"Tidak ! Loloslah pedangmu !"
"Tidak !"
"Sungguh tak mau ?"
"Tidak !"
"Penakut, engkau mencemarkan nama baik gurumu."
Wajah Ho Bun Cai menampil kerut kedukaan tetapi
sepasang matanya berapi-api. Tetapi hanya sekejap terus
padam lagi. Dengan mengerenyit geraham dia berkata.
"Hiante. aku tetap tak mau mencabut pedang."
"Engkau tak mau menjaga diri ?"
"Apakah hiante hendak membunuh orang yang tak
melawan ?"
"Mungkin ! Aku mungkin .... melakukan hal itu," seru
Tio Pit Bu dengan nada tinggi dan geram.
Diam2 Cu Jiang heran mengapa Ho Bun Cai menolak
untuk adu kepandaian dengan orang itu. Memang tindakan
itu dapat digolongkan pengecut, suatu perbuatan menghina
perguruan sendiri.
Jelas dia tahu bahwa Ho Bun Cai itu bukan penakut
tetapi mengapa dia bersikap seaneh itu ? Apakah karena dia
tahu tak dapat menang ? Ataukah karena mempunyai
alasan lain ?
"Cabut pedangmu !" kembali Tio Pit Bu berteriak.
"Tidak!" Ho Bun Cai tetap menolak.
Ujung pedang Tio Pit Bu bergetar perlahan, sekali
menyambar tentulah dada Ho Bun Cai akan tembus.
"Kubilang cabutlah pedangmu dan jaga dirimu dari
seranganku. Ho Bun Cai, engkau adalah murid pewaris dari
jago pedang nomor satu di dunia !"
"Siapa bilang ? Dalam dunia persilatan siapa yang tahu?"
"Aku yang tahu, itu sudah cukup !"
"Ah, hiaute, kita berdua bertempur adu jiwa, engkau
yang menang atau aku menang, tiada orang yang menjadi
saksi . .. ."
"Bagaimana kalau aku yang menjadi saksi ?" tiba2
sebuah suara parau berkumandang dari ujung sudut
ruangan dan menyusul sesosok bayangan melesat ke tengah
ruang dalam gerak yang seringan daun kering gugur. Kini di
tengah ruangan bertambah dengan seorang tua berambut
putih bertubuh kurus kering.
Cu Jiang terkejut. Dia tak menyangka bahwa diruang itu
masih terdapat seorang lain lagi. Menilik gerakannya, jelas
orang tua berambut putih itu bukan seorang tokoh yang
lemah.
Ho Bun Cai dan Tio Pit Bu serempak berpaling.
"Apakah anda ini bukan Thian put-thou Ciok Siau Ji?"
seru Ho Bun Cai seraya kerutkan dahi.
Melangkah dan berhenti lebih kurang setombak jauhnya,
orang tua berambut putih itu tertawa gelak-gelak.
"Benar, memang aku inilah orangnya!"
Cu Jiang terkejut lagi. Dia tak kira kalau orang tua
berambut putih dan bertubuh kurus kering, ternyata raja
pencuri yang termasyhur dalam dunia persilatan.
Kepandaiannya mencuri memang hebat sekali sehingga
orang persilatan menggelarinya dengan julukan Thian-put-
thoo atau Hanya-langit-yang-dia tak-mampu-mencuri.
Semua benda apapun dalam dunia dia sanggup mengambil
kecuali langit.
Sejak pertama-tama keluar mengembara kedunia
persilatan, waktu tiba didaerah Kanglam, Cu Jiang pernah
mendengar nama orang itu. Sungguh tak kira bahwa malam
itu dia bakal bertemu dengan manusianya.
Menurut cerita orang persilatan Thian-put-thou itu
berwatak aneh, ilmu kepandaiannya tinggi, suka usil
mencampuri urusan orang. Sekali dia menggoda, orang
tentu akan kewalahan, Tak peduli benda apa saja, asal dia
melihat dan senang, tentu takkan berhenti berusaha
mengambilnya sebelum dapat. Pendek kata, kecuali langit,
dia akan mencuri segala apa dalam dunia ini.
Tetapi ada suatu keganjilan pada diri pencuri itu.
Walaupun dia digelari sebagai pencuri sakti tetapi dalam
soal kebaikan dan kepahlawanan, namanya tak kalah
dengan Bu-lim-seng-hud Sebun Ong.
Tio Pit Bu segara memberi hormat kepada Thian-put-
thou, serunya:
"Sungguh kebetulan sekali Ciok cianpwe hadir, mohon
suka menjadi saksi dalam pertandingan kami ini."
Thian-put-thou tertawa gelak2: "Kalian berebut soal
kebesaran nama?"
"Ya."
"Tujuannya hanya hendak membuktikan siapa
sebenarnya yang paling unggul ilmu pedangnya ?"
"Ya."
"Jika demikian sebutkanlah nama perguruan kalian !"
"Maaf, aku tak dapat memberitahukan nama suhuku,"
seru Ho Bun Cai.
Tetapi Tio Pit Bu cepat merebut pembicaraan dengan
berseru:
"Mendiang guruku adalah Hui-kong kiam Go Siok
Ping!"
Mendengar itu Cu Jiang terkejut sekali, Hui-kong-kiam
Go Siok Ping termasuk salah seorang jago pedang kelas
satu dalam dunia persilatan. Semasa hidupnya, ayah Cu
Jiang sering membicarakan tokoh itu sebagai seorang
manusia yang berdada sempit dan pikiran cupet.
Hal itu merupakan pantangan dalam pelajaran ilmu
pedang. Kalau tidak. Go Siok Ping pasti memperoleh
kemajuan ilmu pedang yang tiada taranya.
Thian- put thou mengangguk lalu memandang Ho Bun
Cai. serunya:
"Kutahu siapa gurumu, tak usah engkau katakan!"
"Terima kasih atas kepercayaan locianpwe," seru Ho Bun
Cai dengan wajah cerah.
Tetapi diam2 Cu Jiang kecewa. Sebagai putera seorang
tokoh yang digelari sebagai Nabi-pedang ternyata dia tak
banyak mengetahui nama tokoh ilmu pedang dalam dunia
persilatan.
"Ho heng. apakah kita dapat mulai?" seru Tio Pit Bu
yang menyala-nyala nafsunya.
Ho Bun Cai gelengkan kepala:
"Telah kukatakan, aku tak mau menggunakannya."
"Tidak beralasan sama sekali!"
Mengapa hiante tak dapat memaafkan orang."
"Aku hanya ingin adu ilmu pedang, aku hanya ingin
membuktikan, lain2 hal aku tak peduli!" seru Tio Pit Bu
dengan nada keras.
"Maaf, aku tak dapat melayani," Ho Bun Cai tetap pada
pendiriannya.
Tio Pit Bu hilang kesabarannya. Gentar pedang dia
berteriak dengan marah:
"Engkau harus turun tangan!"
"Tidak!"
"Takut kubunuh?"
"Silahkan turun tangan!"
"Ho Bun Cai, engkau kira aku tak berani?"
"Kalau berani, langsungkanlah!"
Thian-put-thou kerutkan alisnya yang putih, serunya:
"Menurut pendapatku orang tua ini, sudahlah."
"Tidak bisa sudah begini saja," teriak Tio Pit Bu dengan
nada gemetar, "aku Tio Pit Bu kalau pulang tak membawa
kemenangan, lebih baik kuserahkan jiwaku di tempat ini.
Jika Ciok locianpwe tak suka menjadi saksi, silahkan
menonton di pinggir saja. Dia, jika tak mau menangkis
seranganku, bukan salahku!"
Thian put-thou tertawa gelak2:
"Tunggu dulu! Yang berada di tempat ini, bukan hanya
aku seorang."
"Hai ...." Ho Bun Cai dan Tio Pit Bu serempak berseru
kaget. Mereka tak mengira bahwa dalam ruang itu masih
terdapat seorang lagi.
Juga tak terperikan kejut Cu Jiang. Karena menyadari
jejaknya telah diketahui si pencuri sakti, akhirnya ia
memutuskan untuk unjuk diri.
"Sahabat, silahkan ke luar!" belum ia melaksanakan
keputusannya, si raja pencuri sudah berseru ke arahnya.
Cu Jiang segera berdiri lalu melangkah keluar,
menghampiri ke tempat mereka. Dia berhenti tiga empat
langkah dari mereka.
"Aku baru pertama kali ini mengembara ke luar, tak
kenal dengan siapa saja! " serunya.
"Kalau begitu, silahkan sahabat tinggalkan tempat ini,"
seru Tio Pit Bu.
"Kenapa?"
"Menurut tata peraturan dunia persilatan, suatu
pantangan apabila orang mencuri dengar percakapan orang.
Apalagi saat ini kami sedang membicarakan urusan pribadi
Tidak mengharap orang luar ikut campur dan
mendengarkan."
Tiba2 terlintas sesuatu dalam benak Cu Jiang. Jika ia
bertindak, sekaligus ia akan memperoleh tiga keuntungan.
Pertama, rupanya Ho Bun Cai menyimpan sesuatu rahasia,
karenanya tak mau bertempur. Dia merasa berhutang setitik
budi dari Ho Bun Cai, biarlah dia yang mewakili Ho Bun
Cai untuk menyelesaikan urusan itu.
Kedua, diapun mendapat kesempatan untuk menguji
sampai dimana tingkat ilmu pedang yang dipelajari selama
ini. Dan ketiga, apabila dapat menundukkan lawan, tentu
akan cepat tersiar ke dunia persilatan. Dengan begitu
tentulah akan menarik perhatian dari orang2 yang justeru
hendak dicarinya itu.
Setelah mantap dengan rencananya, Cu Jiang menjawab
tegas:
"Aku yang lebih dulu datang ke sini. Dan kalian datang
belakangan. Menurut peraturan, kalianlah, yang seharusnya
pindah ke lain tempat."
"Apakah sahabat tahu tata peraturan?"
"Tentu."
"Kalau begitu silahkan pergi."
"Telah kukatakan, kalau pergi seharusnya kalian yang
pergi. "
"O, apakah sahabat memang hendak ikut campur dalam
urusan ini?"
"Kalau memang perlu begitu."
Tiba2 mata Ho Bun Cai tertumbuk pada pedang yang
tergantung pada pinggang Cu Jiang. Seketika wajahnya
berobah dan berseru dengan nada tergetar:
"Sahabat engkau . . . pedangmu . . .."
Kenapa?" Cu Jiang juga terkejut.
"Kumaksudkan .... pedang dalam kerangka itu . . . . "
"Sudah tentu pedang tersimpan dalam kerangkanya!"
Beberapa jenak Ho Bun Cai memandang Cu Jiang
kemudian berkata pula dengan nada gemetar:
"Kerangka pedang sahabat ini tentu bukan kerangka
yang aseli."
Kali ini Cu Jiang terbeliak kaget. Rupanya orang2
persilatan paham akan pedang pusaka yang digunakan
mendiang ayahnya. Namun ia beralih tanya tak acuh:
"Apa maksud kata2 anda itu?"
"Aku faham sekali akan pedang itu, tetapi belum pernah
melihat kerangkanya semacam itu."
"Aneh benar anda ini."
"Siapakah nama sahabat?"
Cepat Cu Jiang mendapat pikiran, dengan tegas dia
menyahut:
"Toan- kiam Jan-jin"
"Apa? Sahabat bernama Toan-kiam Jan-jin?"
Ho Bun Cai menegas. Toan kiam artinya pedang kutung.
Jan-jin artinya orang cacad. Orang cacad bersenjata pedang
kutung.
"Pedang itu . . ."
Bu-te-toan kiam, minumannya hanya darah bangsa iblis
durjana!" kata Cu jiang. Bu te-toan-kiam artinya pedang
kutung-tanpa-lawan.
Cu Jiang hanya mengangguk tak menjawab. Tio Pit Bu
memandang Ho Bun Cai dan berseru:
"Engkau dengar, bukan ? Pedang tanpa tanding ?"
"Ya, dengar. Bagaimana ?"
"Tak ada komentar."
Tio Pit Bu mendengus dingin lalu berpaling lagi kepada
Cu Jiang :
"Aku merasa gembira jika sahabat suka memberi
pelajaran ilmu Pedang-tanpa-tanding itu."
"Suatu tantangan ?"
"Boleh dianggap begitu!"
"Bukan aku hendak menyombongkan diri tetapi anda
pasti tak mampu menahan sejurus saja."
Seketika berubahlah wajah Tio Pit Bu.
"Engkau sungguh besar mulut!" serunya marah.
"Memang begitu kenyataannya," Cu Jiang tetap
menyahut dengan nada dingin.
"Kalau begitu mari kita buktikan !"
"Boleh," Cu Jiang terus memandang Thian-put thou dan
berseru: "Harap cianpwe menjadi saksi !"
Raja pencuri itu hanya mengangguk.
Saat itu sikap Tio Pit Bu berobah sembilan puluh derajat.
Jika tadi dia tenang2, kini dia tampak serius sekali.
Diam2 Cu Jiang memuji dalam hati. Memang begitulah
layaknya sikap seorang jago pedang yang berkepandaian
tinggi.
"Silahkan!" ia berseru.
"Mengapa anda tak mencabut pedang?" Tio Pit Bu
menegur.
"Silahkan anda menyerang dulu, begitu kucabut pedang
tentu anda kalah !"
Ucapan itu benar2 menggelitik hati orang. Tetapi
ternyata Tio Pit Bu tak kena diprovokasi. Ia segera
mengambil sikap dan pusatkan perhatian. Cu Jiangpun
terpaksa tak berani mengabaikan. Dia juga pasang kuda-
kuda.
Keduanya mengambil sikap yang hebat. Pertempuran itu
pasti akan dahsyat. Suasana makin tegang. Ho Bun Cai dan
Thian-put-thou juga ikut tegang pula sebagai seorang tokoh
silat, keduanya terasa bahwa pelajar yang mengenakan
kerudung muka ini memang tidak bermulut besar.
Kenyataannya memang seorang ahli ilmu pedang yang
sukar diketahui tingkat kepandaiannya.
Dahi Tio Pit Bu mulai mengucur keringat. Berhadapan
mengadu sikap itu jauh lebih menekan perasaan dan lebih
berbahaya daripada bertempur dengan pedang.
Tiba2 sebuah gemboran teras memecahkan ketegangan
dan menyusul terdengar dering nyaring dari dua buah
senjata yang beradu keras. Tetapi cepat sekali sinar pedang
yang berhamburan itu lenyap lagi.
"Ah," beberapa saat kemudian terdengar Ho Bun Cai
mendesah kejut.
Sementara Thian-put-thoupun menyeloteh seorang diri:
"Malang melintang delapan belas tahun, baru malam ini
mataku terbuka. "
Cu Jiang menyarungkan pula pedangnya ke dalam
kerangka.
Tiba2 terdengar Tio Pit Bu melengking geram dan putus
asa:
"Ah, sudahlah." dia terus menusuk tenggorokannya
sendiri.
"Jangan!" secepat kilat Thian put-thou melesat dan
mencengkeram tangan Tio Pit Bu.
"Ah, mengapa anda hendak berbuat begitu? Apakah
anda tak memiliki sedikit kesabaran saja? Dalam dunia ini
tiada yang disebut ilmu pedang tanpa tanding. Tidak ada
yang dikata pedang nomor satu. Yang kuat masih ada yang
lebih kuat. Apa perlunya anda berebut soal nama kosong? "
kata Cu Jiang.
Tio Pit Bu menghela napas panjang, kemudian mulut
mengigau:
"Toan-kiam Jan-jin! Toan-kiam Jan-jin !"
Sesaat Thian-put-thou lepaskan cengkeramannya, Tio Pit
Bo terus lari keluar dan tetap berteriak . "Toan-kiam Jan jin.
. ."
"Ah, dia sesungguhnya seorang jago pedang ternama,
sayang .. . ," baru Ho Bun Cai berkata begitu, Thian-put
thou sudah menyanggupi.
"Sayang bertemu dengan sahabat ini !" Kemudian
dengan tersendat-sendat, Ho Bun Cai berkata kepada Cu
Jiang:
"Sahabat, dapatkah .... aku mohon keterangan tentang
asal usul pedang kutung anda itu ?"
"Aku akan menjawab segala pertanyaan apapun kecuali
soal itu," sahut Cu Jiang.
Ho Bun Cai terkesiap tak berani berkata apa-apa lagi.
Tiba2 Cu Jiang melihat bahwa jari kiri si Raja pencuri
hanya tinggal tiga buah. Jari telunjuk dan jari tengahnya
hilang Serentak dia teringat akan penemuannya dua buah
jari tangan ditempat kedua ayah bundanya terbunuh
dahulu. Seketika meluaplah darah Cu Jiang. Dipandangnya
Thian-put-thou dengan pandang mencekam.
Rupanya tahu juga orang tua berambut putih yang
bergelar Thian-put-thou itu.
"Sahabat, mengapa engkau memandang diriku begitu
rupa ?"
"Tangan kirimu !"
"Tangan kiriku mengapa ?"
"Mengapa jarinya kurang dua buah ?" Seketika wajah
Thian put-thou berobah geram. Urat2 dahinyapun
meregang-regang dan berat, barulah dia berkata dengan
nada getar:
"Apakah maksudmu ?"
"Aku ingin tahu !"
"Apakah engkau hendak cari-cari?"
"Terserah, pasti aku minta supaya engkau memberi
keterangan !"
Thian-put-thou tak dapat menahan kemarahannya lagi:
"Hak apa engkau hendak menanyakan soal itu ?"
"Kurasa aku memang mempunyai kepentingan untuk
mengetahui." sahut Cu Jiang dengan dingin.
"Sudah berpuluh tahun aku malang melintang di dunia
persilatan, belum pernah ada orang yang berani
memperlakukan aku begitu liar . . ."
"Anggaplah malam ini sebagai suatu pengecualian !"
"Menyelidiki urusan peribadi orang, merupakan
pantangan dalam dunia persilatan . ."
"Kalau melakukan tindakan yang terang dan benar,
kenapa tetap takut diketahui orang?"
"Dalam hal apa aku bertindak tak terang?"
"Aku hanya minta agar anda suka menuturkan tentang
hilangnya kedua jari anda itu."
"Kalau aku tak mau ?"
"Mungkin anda tak dapat menolak !"
"Apa engkau hendak menumpahkan darah !"
"Mungkin."
Karena marahnya tubuh Thian put-thou sampai
menggigil. Tetapi berhadapan dengan seorang jago pedang
yang misterius seperti yang dihadapinya saat itu, dia tak
dapat berbuat apa2.
Mungkin, saat itu merupakan saat yang paling menyiksa
hatinnya selama hidup ini. Dan merupakan adegan yang
paling menekan jiwanya.
"Ah, tentulah ada sebabnya mengapa sahabat begitu
mendesak hendak mengetahui hal itu !" tiba2 Ho Bun Cai
ikut bicara lagi.
Sejenak melirik kepadanya. Cu Jiang menyahut:
"Tentu, kalau tidak masakan aku hendak mencari
perkara!"
"Menurut pengetahuan, empat puluh tahun yang
lampau, di dunia persilatan telah muncul seorang tokoh
sakti yang jarang mendapat lawan. Dia bernama Nabi
pedang-berjari-tujuh !"
"Nabi-pedang-Jari-tujuh ?"
"Benar. Dan Nabi pedang - jari - tujuh pada empat puluh
tahun yang lalu itu adalah Thian-put-thou Ciok cianpwe
saat ini!"
"Apakah peristiwa itu terjadi pada empat puluh tahun
yang lalu?"
"Benar."
"Sungguh ?"
"Sungguh ! Yang kenal akan nama Nabi-pedang-jari
tujuh bukan hanya aku seorang !"
Cu Jiang memandang Thian-put-thou, ujarnya :
"Benarkah begitu ?"
"Benar," sahut Thian-put-thou.
Tiba2 Cu Jiang mengangkat kedua tangan memberi
hormat.
"Ah. aku salah faham, harap dimaafkan."
"Tak apa," Thian-put-thou tertawa menyeringai.
Cu Jiang kembali berpaling memandang Ho Bun Cai
hendak berkata tetapi tiba2 tak jadi. Dia berputar tubuh
terus melangkah keluar.
Dingin, misterius dan nyentrik sekali sikapnya saat itu.
"Tunggu dulu !" tiba2 Thian put-thou berseru.
Cu Jiang berputar tubuh tetapi tak berkata apa2. Thian-
put-thou maju menghampiri.
"Engkau benar2 memiliki perbawa seorang bu-su
(ksatrya). Kalau tak kukatakan isi hatiku, rasanya masih
mengganjal. Lima puluh tahun yang lalu, aku
mengandalkan sebatang pedang malang melintang di
daerah Kanglam Kang-pak. Itu waktu aku masih muda dan
menganggap diriku yang paling sakti. Tetapi dalam sebuah
pertempuran hebat, aku telah kehilangan dua buah jari.
Sejak itu aku digelari orang sebagai Jit-ci seng-kiam atau
Nabi-pedang jari-tujuh.
Kecewa dengan kekalahan itu, aku mengasingkan diri
dan beralih selama lima tahun, kemudian keluar lagi untuk
mencari musuh itu. Secara kebetulan, akupun dapat
bertemu dan melangsungkan pertempuran. Aku beruntung
menang dan menjadikan dia cacad
Waktu kutanya asal usul dirinya, kejutku bukan alang
kepalang. Ternyata dia adalah kakak kandungku sendiri
yang sejak kecil sudah berpisah dengan aku. Serentak
kupatahkan pedang dan bersumpah. Sejak saat itu aku tak
mau menggunakan pedang lagi. Demikianlah sekelumit
kisah hidupku!"
"Oh, kiranya begitu. Maafkan kalau tanpa sengaja aku
telah mengungkit lagi peristiwa yang menusuk perasaan
locianpwe." Cu Jiang dengan lapang dada meminta maaf.
"Tetapi engkohku sudah meninggal, dan tak lama
akupun tentu akan mati. Tak ada sesuatu yang harus
dipedihkan lagi, "kata Thiau-put-thou.
"Aku mohon diri!" Cu Jiang memberi hormat lalu
lanjutkan langkah.
"Ahli pedang seperti dia, dalam seratus tahun sukar
ditemui," Thian-put-thou mengigau seorang diri.
Sambil memandang bayangan Cu Jiang, Ho Bun Caipun
berkata:
"Seorang yang cacad tubuhnya ternyata mampu
memiliki kepandaian sesakti itu ...."
"Itu yang dikatakan, jangan pandang orangnya tetapi
kepandaian." sambut Thian-put thou.
"Cianpwe kaya akan pengalaman dan luas pandangan.
Dapatkah cianpwe memberitahu, apakah sumber ilmu
pedang orang itu?" tanya Ho Bun Cai.
"Sedikitpun aku tak mengetahui?"
"Mungkinkah dia seorang jago pedang dari seberang
lautan?"
"Sukar diduga."
Dalam pada itu Cu Jiangpun sudah jauh dari biara.
Rembulan sudah pudar dan angin segar mulai berhembus.
Saat itu menjelang pagi.
Dari pertandingan tadi, dia mulai menaruh kepercayaan
pada ilmu pedang yang dimilikinya. Apabila ajaran ilmu
pedang It-kiam-tui-hun dari mendiang ayahnya, ia mainkan
dengan tenaga sakti yang dimilikinya sekarang, tentu
perbawanya hebat sekali.
Tak mungkin lemah lagi. Rasanya dalam dunia
persilatan dewasa itu, jarang sekali jago silat yang mampu
menerima serangan dengan ilmu pedang itu.
Mendiang ayahnya telah digelari sebagai Kiam-seng ibu
Nabi pedang. Tentulah gelar itu bukan didapat dengan sia-
sia. Tetapi ilmu pedang ayahnya apabila dibanding dengan
ilmu pedang Thian-te-kiau-thay, ah, masih kalah tinggi.
Hal itu menandakan bahwa ilmu silat itu benar2 tiada
batasnya.
Tak lama hari pun pagi, Kota Kengciu sudah tertinggal
jauh di belakang. Tiba2 ia tersentak oleh sebuah
pemandangan yang mengerikan di sebelah muka.
Di tengah jalan terdapat sebelas tubuh manusia yang
terkapar malang melintang. Mereka berpakaian warna
hitam. Empat orang diantaranya memakai mantel hitam.
Cu Jiang tak ragu lagi. Kesebelas mayat itu tentulah anak
buah Gedung Hitam.
Mayat2 itu keadaannya mengerikan sekali. Jelas bahwa
pembunuhnya telah melampiaskan dendam kebencian yang
meluap-luap. Terutama keempat Pengawal Hitam itu,
tubuhnya penuh berhias tusukan pedang. Rupanya sebelum
mati mereka telah melakukan pertempuran dahsyat.
Tetapi siapakah gerangan yang berani bermusuhan
dengan Gedung Hitam? Yang dapat membunuh Pengawal
Hitam tentulah tokoh yang sakti. Tetapi apakah pembunuh
itu hanya seorang atau beberapa orang?
Karena tiada hubungan dengan kepentingannya, Cu
Jiangpun tak mau menyelidiki lebih lanjut Ia terus berjalan.
Tetapi baru setengah li jauhnya, kembali dia berhadapan
dengan pemandangan yang ngeri lagi.
Kali ini lima sosok mayat malang melintang di tengah
jalan jalan. Empat di antaranya berpakaian ringkas warna
kuning dan seorang mengenakan jubah kuning. Kepala
mereka hancur, benaknya berhamburan ke luar.
Apakah artinya itu? Apakah dalam dunia persilatan
muncul pula seorang momok yang ganas?
Dan siapakah mayat-mayat berpakaian kuning itu ?
Di kala Cu Jiang sedang menimang-nimang peristiwa
aneh itu, tiba2 tiga sosok bayangan berlarian mendatangi.
Ketika dekat, ternyata mereka berpakaian baju kuning
semua. Seorang mengenakan jubah panjang dan yang dua
berpakaian ringkas seperti umumnya kaum persilatan.
Mereka itu jelas sekaum dengan korban2 baju kuning
yang terkapar di tengah jalan.
"Hai!"
Terdengar teriakan kaget dan ketiga orang baju kuning
itupun serempak berhenti.
Orang berjubah kuning itu seorang lelaki tua, matanya
tajam, hidung seperti paruh burung elang. Dengan wajah
sarat dan mata berapi memandang Cu Jiang.
"Sahabat, engkau terlalu ganas.!" serunya.
"Aku hanya kebetulan jalan di tempat ini," sahut Cu
Jiang.
"Sudah membunuh orang masih tak berani mengaku?"
"Gila!"
"Sebutkan namamu!"
Tetapi Cu Jiang tak peduli. Setelah mendengus dia terus
ayunkan langkah.
"Berhenti!" teriak orang tua jubah kuning itu seraya
menghadang jalan. Sementara kedua lelaki muda yang lain
terus mencabut pedang dan mencegat di kanan kiri Cu
Jiang.
"Apakah artinya ini? " seru Cu Jiang.
"Hutang jiwa bayar jiwa!" lelaki tua itu tertawa seram.
Cu Jiang tertawa mengkal tetapi dia masih dapat
menguasai diri, serunya:
"Sudah kukatakan dengan sejujurnya, aku hanya
kebetulan lalu di tempat ini."
"Beritahukan namamu!"
"Tak perlu."
"Minta mati, ya? "
"Engkau tak layak mengatakan begitu."
"Jangan menutup muka pura2 jadi orang baik. Tahukah
engkau aku ini siapa?"
"Siapa? "
"Kepala barisan keamanan dari perkumpulan Thong
thian-kau cabang Siok-ciu."
Cu Jiang terkesiap. Sepanjang berita yang didengarnya
sepanjang perjalanan, partai yang baru muncul ialah Thong
thian-kau, makin berkembang dan makin mendesak
pengaruh Gedung Hitam. Tak kira kalau kawanan orang
baju kuning itu ternyata anak buah mereka.
"Aku tiada mempunyai kepentingan suatu apa dengan
partai kalian," seru Cu Jiang dengan nada dingin.
"O. kalau begitu jelas engkau memang cari mati."
"Kentut !"
"Bunuh!"
Serta mulut berteriak, serempak kedua lelaki muda baju
kuning itu pun membacok Cu Jiang.
Cu Jiang mengisar tubuh dan menggunakan gerak
langkah Gong-gong-poh-hwat ajaran Gong-gong-cu.
Dengan lincah, dia menghindari serangan pedang.
Tetapi diam2 ia terkejut Juga. Ternyata jurus ilmu
pedang kedua orang itu, cukup unggul. Lebih unggul dari
kepandaian Pengawal Hitam. Dapat digolongkan sebagai
jago kelas satu dalam dunia persilatan.
Ketiga orang baju kuning itu tertegun.
"Jangan memaksa aku membunuh orang!" teriak Cu
Jiang memberi peringatan.
Tetapi kedua lelaki muda baju kuning itu rupanya
penasaran. Dengan mendengus geram, mereka menyerang
lagi, makin ganas.
Setelah lolos dari serangan maut, mata Cu liang berapi-
api memancarkan hawa pembunuhan.
"Apa kalian benar-2 ingin mati?" serunya.
"Ha, dengan mengandalkan ilmu meloloskan diri seperti
setan itu, engkau hendak menggertak kami?" orang tua baju
kuning menyeringai.
Kedua lelaki muda baju kuning mulai menyerang lagi.
"Haahh, bum. ..." terdengar jeritan ngeri dan kedua lelaki
baju kuning itupun rubuh ke tanah. Sementara tahu2 tangan
Cu Jiang sudah mencekal pedang kutung yang memancar
sinar darah.
Orang tua baju kuning mundur beberapa langkah.
Wajahnya berubah pucat dan ketakutan. Rupanya dia tak
tahu cara bagaimana tadi Cu Jiang mencabut pedang dan
membunuh kedua kawannya.
Pelahan-lahan Cu Jiang masukkan pedang kutungnya
kedalam kerangka dan dengan tegas menyebut dirinya:
"Toan-kiam-jan-jin !"
Tetapi lelaki tua baju kuning itu sudah pecah nyalinya.
Tanpa berkata apa2, dia terus lari.
Dengan menyebut nama itu, Cu Jiang bermaksud
hendak memperdengarkan diri agar kawanan durjana yang
menjadi musuh2 keluarganya itu muncul mencarinya.
"Ho, sahabat, ilmu pedangmu sungguh membuat hatiku
pecah !" sekonyong-konyong terdengar gema nyaring dan
dari dalam hutan ditepi jalan muncul seorang lelaki tua
mengenakan jubah berwarna kuning emas.
Dia bukan lain adalah Sebun Ong, yang bergelar Bu lim-
seng hud atau Budha-hidup dunia-persilatan.
"Bagus," diam2 Cu Jiang bersorak girang dalam hati.
"Bukankah anda ini yang bernama Buddha hidup Sebun
Ong ?" serunya.
Orang itu tertawa gelak2.
"Ho, kiranya engkau juga tahu namaku ?"
"Ya, sungguh beruntung sekali hari ini aku dapat
bertemu muka .. .."
"Ah, Jangan merendah diri !"
"Tetapi memang benar aku hendak mencari anda."
Serentak Sebun Ong hentikan tawa dan berseru kaget:
"Engkau hendak mencari aku?"
"Benar."
"Keperluan ?"
"Menolongi seorang sahabat untuk membereskan suatu
hutang lama dengan engkau !"
"Menagih hutang ?"
"Hm,"
"Sepanjang hidup, Jarang sekali aku meminjam kepada
orang. Siapakah kiranya sahabatmu itu?"
"Anda tentu tak asing lagi dengan orang itu. Dia adalah
Pendekar-besar dari Tionggoan yang bernama Cukat Giok!"
Seketika cahaya muka Sebun Ong berobah dan menyurut
mundur selangkah.
"Apakah Cukat Giok masih hidup ?" serunya.
"Ya." sahut Cu Jiang dengan dingin, "tetapi hidup-
hidupan, jauh lebih celaka dari orang mati."
Muka Sebun Ong berkerenyutan. Sampai beberapa saat
tak dapat berkata apa2. Wajahnya berobah-robah dan
akhirnya terluncurlah kata-kata dari mulutnya:
"Dia ... dia masih hidup ?"
"Anda tak menyangka bukan ?"
"Benar, memang tak kusangka sama sekali. Dia seorang
sahabatku yang paling erat. Sejak dia lenyap, aku
membuang waktu sepuluhan tahun untuk mencarinya tetapi
sia2. Kukira dia sudah meninggal.. ."
Mendidih darah Cu Jiang. Sebun Ong benar-benar
seorang manusia yang pandai bermain sandiwara.
Mulutnya bersedih tetapi hatinya membenci. Dia telah
mencelakai sahabat itu dan merebut isterinya. Manusia
yang berhati serigala, masih digelari orang sebagai Buddha-
hidup. Dengan begitu jelas dunia persilatan itu kabur akan
pandangannya terhadap manusia baik dan jahat.
"Apakah engkau berkata dengan sesungguh hati?" tegur
Cu Jiang.
"Sudah tentu," sahut Sebun Ong, "di manakah dia
sekarang?"
"Soal itu anda tentu sudah tahu sendiri."
"Ah, mengapa engkau berkata begitu?"
"Sudahlah, jangan berpura-pura. Aku cukup tahu siapa
anda ini. "
Sebun Ong kerutkan alis.
"Sahabat, walaupun aku tak berani bertepuk dada
membanggakan bahwa setiap tindakanku selama ini selalu
berjalan lurus sesuai dengan Jalan Persilatan, tetapi sedikit
banyak aku mempunyai nama."
"Singkat saja kukatakan, bahwa lebih dulu aku hendak
bertemu dengan Ratu-kembang Tio Hong Hui dan puterimu
...."
"Hai, engkau salah. Tio Hong Hui itu isteri Cukat Giok
dan anak perempuan itu juga puterinya . . ."
"Apakah aku boleh bertemu?"
"Tentu saja boleh. Kalau ibu dan anak itu tahu Cukat
Giok masih hidup, ah betapa girang mereka!"
Ucapan itu benar2 diluar dugaan Cu Jiang. Apakah ada
sesuatu rahasia dibalik peristiwa itu? Mengapa Sebun Ong
mengakui bahwa Tio Hong Hui dan puterinya itu adalah
anak isteri Cukat Giok? Dan betapa cepat Sebun Ong
menyanggupi untuk mempertemukannya dengan kedua ibu
anak itu. Hal itu beda sekali dengan keterangan Cukat Giok
tempo hari.
Tetapi ketika dia terjatuh di dasar jurang, dia melihat dan
menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapa
penderitaan Cukat Giok saat itu. Apakah dia sampai hati
akan merangkai cerita bohong? Mungkinkah itu?
Menilik keadaannya, keterangan Cukat Giok itu
berlawanan dengan Sebun Ong. Apakah memangnya Cukat
Giok hendak memperalat dirinya untuk melakukan balas
dendam terhadap Sebun Ong. Tetapi ah, pada saat itu
bukankah dia masih seorang pemuda yang cacad dan tak
berkepandaian tinggi? Mungkinkah Cukat Giok hendak
mengelabuhinya supaya menuntutkan balas?
Tetapi di kalangan persilatan nama Sebun Ong itu sangat
harum. Mungkinkah dia akan melakukan perbuatan yang
sedemikian hina, membunuh sahabat dan merampas
isterinya?
Cu Jiang agak bingung. Dan akhirnya ia memutuskan,
sebelum mengetahui jelas duduk perkaranya, ia tak mau
turun tangan lebih dulu.
Tiba2 ia teringat akan bungkusan Ho poh (teratai ) dan
Poh-po (kain). Bungkusan ho poh itu berisi racun,
diperuntukkan Tio Hong Hui. Sedang bungkusan kain
supaya diserahkan kepada puterinya. Kedua bungkusan itu
masih disimpannya dengan baik. Nanti apabila berhadapan
dengan Tio Hong Hui, segala sesuatu tentu akan terang.
Sebun Ong menghela napas, ujarnya: "Sejak Cukat Giok
menghilang, isteri dan anaknya tiada yang menjadi tiang
sandaran. Aku sebagai seorang sahabat, wajib untuk
memelihara mereka selama belasan tahun ini."
"Tetapi keterangan Cukat Giok lain dengan keterangan
anda!" tukas Cu Jiang.
"Apa katanya?"
"Mencelakai sahabat merampas isterinya."
"Ah, atas dasar apakah tuduhan itu? sesaat berhenti, dia
melanjutkan pula, "soal itu tentu terselip suatu kesalahan
paham. Kuyakin Cukat Giok bukan seorang yang suka
menghambur fitnah. "
"Di manakah nyonya Cukat sekarang?"
"Telah kuatur tempat yang aman untuknya, di jalan
Lam-tay kota Gong-an."
"Ah."
"Silahkan saudara mengunjunginya. Dengan begitu
selesailah sudah tugasku sebagai seorang sahabat."
Menilik ucapannya itu, jelas bahwa Sebun Ong itu
seorang yang budiman suka menolong orang.
"Apakah aku tentu dapat menemukan alamat itu?" kata
Cu Jiang masih meragu.
"Tentu."
"Bagaimana cara mencarinya?"
"Akan kusuruh orang untuk menanti kedatangan anda."
"Baik, dalam sepuluh hari lagi aku pasti akan
mengunjungi rumah itu."
"Apakah aku boleh pergi dulu?"
"Silahkan."
Sebun Ong memberi hormat. Sambil memandang
bayangan orang itu, timbullah keraguan dalam hati Cu
Jiang. Tetapi betapapun setiap perbuatan jahat pasti akan
terbuka kedoknya.
Kalau Sebun Ong itu hanya seorang kuncu ( gentlemen )
palsu, akhirnya tentu terbuka juga belangnya. Menurut
keterangan Cukat Giok, Sebun Ong itu seorang manusia
yang tak pantas diberi hidup. Tetapi buktinya dunia
persilatan sangat menjunjung dan menghormatinya.
Cu Jiang menarik kesimpulan manusia semacam Sebun
Ong itu hanya dapat tergolong satu diantara dua. Kalau
bukan seorang ksatrya yang budiman tentulah seorang
bajingan besar.
Tiba2 muncul seorang lelaki yang menggendong peti
obat. Orang itu memberi hormat ke hadapannya:
"Menghaturkan hormat kepada ciangkun."
Ciangkun adalah jenderal. Demikian pangkat Cu Jiang.
Kini Cu Jiang baru mengetahui bahwa orang yang
menyaru sebagai tukang obat itu tak lain adalah salah
seorang dari Su-tay ko-jiu atau Empat jago sakti dari istana
Tayli, yang ditugaskan untuk diam2 mengikuti dan
memberi bantuan Cu Jiang apabila dalam perjalanan ke
Tionggoan itu mendapat kesulitan.
Keempat jago sakti dari Tayli itu sebenarnya memang
telah dilatih oleh Gong-gong-cu sebagai mata-mata. Tugas
pokoknya untuk menyelidiki jejak gerombolan Sip-pat
thian-mo.
Mereka pandai sekali dalam ilmu menyamar dan
berpengalaman luas dalam dunia persilatan.
"Oh apakah bukan saudara Song Pik Liang?" tegur Cu
Jiang setelah mengetahui siapa yang berada didepannya itu.
"Ah, harap ciangkun jangan merendah diri. Panggil saja
namaku secara langsung."
"Ah, masakan begitu. Ada kabar ?"
"Ya. Menurut keterangan Ko Cun, kepala dari partai
Thian- liong - kau cabang Siok Liu itu adalah Kian mo. Iblis
terakhir dari gerombolan Sip-pat-thian-mo. Saat ini Ko Cun
masih akan menyelidiki lagi secara cermat. Demikianlah
aku mengaturkan laporan lebih dulu kepada sausu agar
sausu dapat berita !."
"Jika begitu Thian tong-kau itu didirikan oleh Sip-pat-
thian-mo?" Cu Jiang menegas.
"Kemungkinan besar."
"Baik, aku akan kembali kedalam kota."
Sejenak memandang kearah mayat2 baju kuning itu
berkatalah Song Pek Leng pula:
"Apakah ciangkun tahu akan asal usul korban2 itu?"
"Anak buah partai Thian-tong-kau cabang Siok-ciu !"
"Benar. Dan tahukah ciangkun siapa pembunuhnya ?"
"Siapa ?"
"Lelaki tua jubah kuning emas yang barusan pergi tadi."
"O, Bu-lim-seng hud Sebun Ong yang membunuh
mereka ?" teriak Cu Jiang terkejut.
Song Pak Liang mengangguk.
"Ya, memang dia. Lebih dulu kawanan baju kuning ini
yang membunuh belasan jago pedang Gedung Hitam tadi,
kemudian baru lelaki Jubah kuning emas yang membunuh
mereka."
"Oh," Cu Jiang mendengus. Bahwa enam murid Thian-
tong-kau membunuh jago2 Gedung Hitam, itu memang
merupakan permusuhan antara kedua partay yang sedang
berebut pengaruh, Tetapi mengapa Sebun Ong membunuh
murid2 Thian-tong-kau?"
Gedung Hitam merupakan sebuah persekutuan jahat
yang mengganggu keselamatan dunia persilatan. Sungguh
kebetulan sekali kalau diberantas oleh Thian-tong-kau. tapi
Thian-tong-kau sendiri tentu juga bukan suatu perkumpulan
yang baik.
Mungkinlah Sebun Ong hendak menggunakan siasat
mengadu domba kedua perkumpulan jahat itu?
"Cara lelaki jubah kuning emas turun tangan sungguh
ganas sekali. Tak memberi kesempatan kepada korban itu
untuk membalas." kata Song Pek Liang pula.
"Bagaimana kalau Pek Liang heng melakukan suatu
urusan untukku ?" tanya Cu Jiang.
"Silahkan ciangkun memberi perintah."
"Lelaki Jubah kuning emas itu adalah tokoh Bu lim-seng-
hud Sebun Ong yang terkenal. Dia telah merawat seorang
wanita dan putrinya, ditempatkan di jalan Lam-tay, kota
Gong-an...."
"Suruh hamba melakukan penyelidikan ?"
"Ya, tetapi jangan sampai mengejutkan mereka sehingga
mereka dapat bersiap. Dalam sepuluh hari aku tentu datang
kesana."
"Baik."
Cu Jiang meminta agar jangan menggunakan sebutan
ciangkun dan berbahasa saja sebagai orang persilatan, demi
menjaga agar diri mereka jangan sampai ketahuan orang.
"Baik. aku akan ke Siok-ciu dulu untuk berunding
dengan ketiga kawanku, baru menuju ke Gong-an."
Cu Jiang mengiakan.
"Tetapi menurut ciangkun, kita menggunakan sebutan
apa?" tanya Song Pek Liang pula.
"Kupanggil kakak dan kamu berempat menyebut aku
lote saja."
"Ada beberapa kata sandi untuk mengadakan hubungan,
harap dicatat agar hubungan kita jangan sampai putus . .."
"Sebutkan."
"Ciangkun . . ."
"Ai, jangan menyebut begitu!"
"O, benar. Semua telah kutulis di kertas. Setelah
membaca harap lote merobeknya." Song Pek Liangpun
menyerahkan sehelai kertas. Kemudian dia pamit pergi.
Cu Jiangpun segera melanjutkan perjalanan sambil
membuka kertas dan menghafalkan sandi2. Tiba di kota
Sok ciu sudah menjelang petang. Setelah semua sandi
dihapalkan diapun lalu menghancurkan kertas itu.
Dia memilih sebuah rumah makan kecil yang terletak
ditempat yang sepi. Setelah memberi sandi pada pintu dia
lalu masuk.
Dia pesan hidangan dan arak, menyuruh jongos pergi
dan mulai makan. Dia sengaja duduk membelakangi
jendela dan menghadap ke sebelah dalam agar orang jangan
melihat wajahnya.
Rumah makan itu sudah sering menerima tetamu-tetamu
yang bertingkah aneh. Mereka tak menghiraukan mereka.
Pokok mereka makan dan bayar.
Brak ,. . tiba2 terdengar meja ditepuk keras oleh orang.
"Hai, Jongos, lekas sediakan daging porsi besar. Ho,
lapar setengah mati. Juga sepoci besar arak !"
Jongos gopoh2 melakukan pesanan itu. Diam2 Cu Jiang
membatin tetamu kasar itu kalau bukan Jahat tentu seorang
limbung.
Rupanya tetamu itu tak menghiraukan apa2. Dia
bersenandung dengan nada suaranya yang parau:
"Tio Bik Tik dengan tiga kali menggerung dapat
meruntuhkan tiang. Bu Siong membunuh harimau besar di
Kang-yang-hong...."
Mendengar senandung yang tak keruan juntrungannya
itu, tiba2 Cu liang teringat akan kata2 sandi. Ah, tetamu itu
tak lain dari Ong Kian, salah seorang dari Su-tay-ko-ju
Tayli. Rupanya dia memang sengaja melantangkan kata
sandi. Tetapi entah dia membawa berita apa saja..."
Tetapi setelah bersenandung beberapa kata tadi, Ong
Kianpun berhenti.
Tiba2 sebuah kertas yang telah dipulung kecil melayang
keatas meja Cu Jiang. Ketika Cu Jiang membukanya
ternyata berisi beberapa tulisan, berbunyi:
"Disebuah gedung besar kira2 tiga li dari sini ke timur,
ketua cabang memang Kiam-mo."
Cu Jiang cepat meremas hancur kertas itu lalu
mengenakan kain kerudung muka lagi. Setelah membayar
rekening dia terus melangkah keluar. Ia sempat melihat
pada Ong Kian yang menyamar sebagai seorang lelaki kasar
tengah menggerogoti paha ayam dan minum arak. Setelah
saling memberi isyarat mata. Cu Jiangpun terus lanjutkan
perjalanan.
Dia menuju ke pintu kota timur, Berjalan tiga li jauhnya
dia melihat sebuah bangunan gedung besar, terletak
ditengah hutan dan dikelilingi sawah yang tak terurus
keadaannya. Bukan padi melainkan rumput dan Ilalang
yang tumbuh.
Diluar dari hutan itu didirikan sebuah lingkaran pagar
tembok, pintunya setengah terbuka tetapi tak tampak
barang seorangpun juga.
Cu Jiang segera menghampiri ke pintu yang terbuat
daripada papan kayu itu.
Seorang lelaki tua berpakaian kuning segera muncul
menyambut. Dalam sikap dan nada yang dingin dia
berkata:
"O, ternyata sahabat datang juga !"
Cu Jiang terkejut. Diam2 ia membatin bahwa ternyata
orang sudah mengadakan persiapan.
"Aku hendak bertemu dengan thau-cu kalian!" sahut Cu
Jiang.
"Sahabat.... engkau mau bertemu thancu kami ?"
"Ya."
"Perlu ?"
"Adu pedang!"
"Apa ? Adu pedang ?"
"Ya!"
"Ah, sahabat datang ke alamat yang tepat, Silahkan ikut
aku."
O0odwo0O

Jilid 12
Cu Jiang melangkah masuk. Ternyata di dalamnya telah
bersiap berpuluh-puluh jago silat berpakaian kuning dengan
senjatanya. Tiap tiga langkah seorang baju kuning. Suatu
penjagaan yang seketat pagar pedang.
Pada saat berjalan melalui mereka, mereka pun
mengangkat pedang selaku hormat kepada lelaki tua baju
kuning itu. Jelas lelaki tua itu tentu mempunyai kedudukan
tinggi. Paling tidak tentu sebagai seorang tongcu.
Setelah berpuluh meter menyusuri jalan, tibalah Cu Jiang
disebuah lapangan yang cukup luas. Sebuah bangunan
gedung bertingkat tampak berdiri dengan kokoh.
Bangunan itu tentu sudah lama dibangun, bukan
didirikan oleh partai Thong-thian-kau. Mereka tentu
merebutnya dari lain orang.
Tiba di tengah lapangan, lelaki tua itu berseru:
"Harap tunggu disini," kakinya terus melangkah kearah
gedung.
Cu Jiang hentikan langkah. "Heh, heh, heh, heh, heh ..
"Huak, huak !"
Terdengar kekeh tawa seram disusul dengan Jeritan
ngeri. Cu Jiang memandang kearah suara itu dan seketika
darahnya pun mendidih.
Pada tepi yang hitam dari lapangan itu, sedang
berlangsung suatu penjagalan yang mengidikkan bulu roma.
Seorang pemuda dengan dandanan sebagai pelajar,
duduk di sebuah kursi. Di depannya terpancang berpuluh
batang tonggak. Setiap tonggak terikat seorang lelaki yang
berpakaian compang-camping seperti pengemis. Tua dan
muda.
Di muka tonggak, tegak sekelompok busu baju kuning
mencekal pedang. Pada saat itu sudah ada empat orang
pengemis yang kepalanya menggelinding ke tanah. Tanah
tergenang darah merah.
Tawa kekeh tadi berasal dari mulut pemuda pelajar itu.
Jelas yang sedang dijagal itu adalah anak murid dari
partai Kay pang atau pengemis.
Pemuda pelajar mengangkat tangan dan berseru:
"Hayo, menerima atau tidak?"
Seorang pengemis tua, meraung dengan nada ngeri:
"Tidak bisa ! Anak murid Kay-pang lebih suka mati
daripada menyerah!"
Pemuda pelajar itu tertawa dingin lalu menjulur tiga
buah jari tangannya. Pedang berkelebat dan jeritan ngeri
segera menusuk telinga.
Batang kepala tiga orang murid Kay-pang menggelinding
lagi ke tanah. Darah menyembur tinggi ke udara.
"Berhenti!" Cu Jiang menggembor keras dan terus
menghampiri.
"Tunggu!" terdengar teriakan empat orang bu-su
pengawal yang melangkah maju dengan membawa pedang.
Tetapi Cu Jiang tetap ayunkan langkah. Ia memandang
tajam pada keempat bu-su itu.
Pemuda pelajar itu masih tetap duduk di kursinya. Dia
hanya berpaling dan berseru:
"Hai, ada apa?"
Rupanya dia tak tahu akan kedatangan Cu Jiang. Dan
dengan gunakan gerak-langkah Gonggong-poh-hwat, dalam
dua putaran saja Cu Jiang sudah berdiri di muka pemuda
pelajar itu.
Dipandangnya pemuda pelajar itu dengan tajam.
Seorang pemuda yang berumur dua puluhan tahun,
berwajah sadis.
Serentak pemuda itupun berbangkit dan menghardik:
"Siapa engkau!"
Belasan bu-su yang bertugas melakukan penjagalan
itupun serempak mengepung. Kilau sinar pedang mereka
mengerikan sekali. Tetapi Cu Jiang tenang2 saja.
"Dan engkau siapa?" Cu Jiang balas bertanya.
"Pelajar-gemar darah Kiang Ki, putera angkat dari ketua
cabang partai . . . . " tiba2 dia teringat sesuatu. Wajahnya
meregang dan berseru dengan tersendat:
"Apakah engkau bukan . . . . "
Sepatah demi sepatah, Cu Jiang berkata:
"Toan . . . kiam ... jan ... jin ...."
Serentak cahaya muka Kiang Ki berobah dan tiba2 ia
menyurut mundur, menendang kursi sampai terpental
setombak jauhnya. Juga kawanan bu-su itupun pucat lalu
mundur beberapa langkah.
"Andakah yang bernama Toan-kiam-jan-jin itu?"
"Benar."
"Apa maksud kedatangan anda ke mari?"
"Menantang adu pedang."
Pemuda pelajar itu terkesiap lalu tertawa sinis:
"Toan-kiam-jan jin, apakah engkau mampu hidup
panjang dengan sikapmu yang congkak itu?"
Sejenak Cu Jiang mengeliarkan pandang ke arah anak
murid Kay-pang yang diikat pada tonggak.
"Apakah anda gemar membunuh orang?" serunya.
"Itu bukan urusanmu. "
"Lepaskan mereka!"
"Heh, heh, heh, dengan dasar apa anda memberi
perintah begitu?"
"Pedang kutung!"
"Bagus ! Hari ini anda beruntung bertemu dengan leluhur
dari orang yang bersenjata pedang."
"Lepaskan mereka !"
"Tidak bisa!"
Namun Cu Jiang tak menghiraukan- Dengan langkah
yang terpincang pincang dia menghampiri ke tempat
tonggak itu.
Sekonyong-konyong setiup hujan pedang segera
menghambur ke arahnya. Setiap bu su itu merupakan jago
pedang kelas satu. Mereka berjumlah belasan orang. Sudah
tentu perbawanya luar biasa dahsyatnya.
Sepasang tangan Cu Jiangpun serempak bergerak.
Segulung angin pukulan yang sedahsyat badai segera
berhamburan memekikkan telinga.
Jeritan ngeri dan teriak tertahan, disusul dengan sosok
tubuh yang mencelat keempat penjuru segera tampak. Tiga
dari kawanan bu su itu mencelat ke udara dan melayang
sampai tiga tombak jauhnya Nyawanya pun putus seketika.
Melihat itu wajah Kiang Ki berobah merah padam.
Matanya memancarkan sinar pembunuhan yang ngeri.
Mencabut pedang dia terus melangkah maju dan
membentak bengis:
"Toan-kiam jan jin, engkau berani membunuh anak
buahku, sungguh besar sekali nyalimu."
"Tempat macam apakah ini ?" sahut Cu Jiang.
"Engkau memang hendak cari mati atau hendak menjual
jiwa untuk Kay-pang?"
"Dua-duanya."
"Kalau membiarkan engkau keluar dari sini dengan
masih bernyawa nama Thong - thian - kau tentu akan pudar
dari dunia persilatan."
"Barangkali."
Kiang Ki makin kalap, ia tertawa seram : "Hm, engkau
akan mati dengan tubuh tercincang!"
"Jangan terburu mengatakan begitu dulu. Apa lagi
engkaupun tak layak berkata begitu. Sekarang katakan dulu,
apa sebab anak murid Kay-pang hendak engkau jagal ?"
"Sederhana sekali. Kay-pang harus enyah dari wilayah
Kekuasaan partai Thong thian-kau cabang kota ini. Kalau
tidak, akan dibunuh semua !"
"Apa mampu ?"
"Tentu."
"Saat ini aku belum mau membunuhmu..." Belum selesai
Cu Jiang berkata, tiba2 terdengar suara nyaring berteriak.
"Than cu datang !"
Sekalian bu-su serempak mundur sampai beberapa
tombak, menundukkan kepala dan tubuh. Juga kawan-2
mereka yang terluka, berusaha untuk mundur.
Cu Jiang berputar tubuh, memandang ke muka. Seorang
lelaki tua bertubuh tinggi besar dan berjubah kuning dengan
dikawal oleh berpuluh orang, melangkah masuk. Lebih
kurang lima tombak dari tempat Cu Jiang, para pengawal
itu berhenti dan membentuk diri dalam formasi busur
melengkung.
Sementara lelaki tua berjubah kuning itu teruskan
langkah menuju ke tengah lapangan.
Pelajar-gemar-darah Kiang Ki serentak memberi hormat:
"Gihu, orang ini hendak menantang adu pedang."
"Kutahu," sahut lelaki tua jubah kuning itu.
Ketika beradu pandang, Cu Jiang agak terkesiap. Dari
sorot mata lelaki tua itu, dapatlah ia menarik kesimpulan
bahwa orang itu memiliki tenaga-dalam yang hebat sekali.
"Apakah engkau yang disebut Toan-kiam-Jan-jin?" tegur
lelaki tua jubah kuning.
"Benar," sahut Cu Jiang, "dan anda tentulah ketua
cabang partai Thong-thian-kau yang bernama Kiam-mo.
bukan?"
"Geladak! Engkau berani menyebut gelar itu seenakmu
sendiri ....!" bentak Kiang Ki dengan kemarahan meluap-
luap.
Tetapi Cu Jiang tak berkedip dan tak mengacuhkan. Dia
tetap mencurah pandang kepada lelaki tua berjubah kuning
itu.
Tiba2 lelaki jubah kuning itu tertawa, serunya:
"Engkau . ... hendak menantang adu pedang dengan
aku?"
"Benar."
"Bagaimana engkau tahu gelaranku?"
"Berkelana dalam dunia persilatan, mata dan telinga
harus tajam."
"Apa tujuanmu?"
Cu Jiang teringat sesuatu.. Dengan nada dan sikap yang
congkak sekali ia berkata:
"Sejak turun gunung, belum pernah aku ber temu dengan
lawan yang mampu menandingi kepandaianku. Kudengar
setiap anggauta dari Sip-pat-thian-mo itu memiliki
kepandaian hebat maka aku hendak menemui mereka satu
demi satu."
"Engkau hendak menempur Sip-pat-thian-mo?"
"Begitulah"
"Mungkin engkau akan kecewa."
"Mengapa ?"
"Karena hari ini engkau sudah keburu mati ditempat ini."
"Ha, ha, ha . . . anda bermulut besar . . .."
Kiang Ki mengisar selangkah, serunya: "Gihu, ijinkan
aku yang menyempurnakannya"
"Jangan," cegah Kiam-mo, "engkau bukan
tandingannya."
"Bukankah gihu mengatakan bahwa kepandaianku
sekarang ini sudah dapat menghadapi jago pedang yang
manapun dalam dunia penilaian di Tionggoan .. .."
"Tetapi tidak dengan orang ini," tukas Kiam-mo.
"Atas dasar apa Gihu membuat penilaian itu?"
"Tenaga-dalammu belum menyamainya."
"Tetapi ilmu pedangku masakan kalah ?"
"Jika tak mencekal senjata, jangan masuk kedalam
hutan. Lebih baik engkau jangan coba-coba."
"Justeru aku ingin sekali mencoba berhadapan dengan
jago pedang yang sakti."
Cu Jiang mendengus dingin:
"Setiap kali pedang kutungku keluar, takkan masuk
kedalam sarungnya apabila belum meminum darah."
Kiang Ki getarkan pedangnya sehingga memancarkan
sinar sampai meluas, lalu berseru dengan congkak:
"Akupun juga begitu. Sebelum minum darah takkan
berhenti."
Kiam-mo mundur tiga langkah, serunya: "Kalau mau
mencoba silahkan. Tetapi hanya boleh sampai tiga jurus
saja."
Serentak meluaplah kemarahan Cu Jiang. Dia
memutuskan hendak membasmi pemuda yang ber hati buas
itu agar melenyapkan bahaya dalam dunia persilatan.
Demikian pula ia hendak mengejutkan kawanan Sip pat
thian-mo agar beramai-ramai keluar mencarinya. Ya, ia
harus bertindak ganas.
"Tidak perlu," serunya, "selama ini aku hanya
menggunakan satu jurus saja. "
"Peraturan yang kupegang selama ini." sahut Kiang Ki,
"jika lawan belum mengucurkan darah, takkan berhenti. "
"Bagus, silahkan mulai! "
"Cabutlah pedangmu."
"Menghadapi engkau, belum perlu." Kata2 yang congkak
dari Cu Jiang itu benar2 meledakkan dada Kiang Ki.
"Marah merupakan pantangan dalam ilmu pedang,"
tiba2 Kiam-mo berseru memberi peringatan kepada pemuda
yang menjadi putera angkatnya itu.
Mendengar itu Kiang Ki tenangkan diri. Ia mengangkat
pedang ke atas, sorot matanya penuh dengan nafsu
pembunuhan yang meluap-luap. Sementara Cu Jiang tetap
memandangnya dengan tak berkedip.
Suasana senyap seketika. Seluruh mata sekalian orang
tercurah ruah ke tengah lapangan. Hati mereka tegang
bukan kepalang.
Walaupun belum lama timbul, tetapi kebesaran nama
Thong thian kau melebihi penguasa dunia persilatan yang
sekarang yakni Gedung Hitam. Bahwa orang berani datang
untuk menantang adu kepandaian, tentulah dia manusia
yang harus digolongkan satu diantara dua jenis: gila atau
sakti.
"Hai!" terdengar pekikan singa yang menggetar jantung
sekalian orang. Pedang dari Kiang Ki memancar
menyambar ke arah Cu Jiang. Bukan saja dengan tenaga
penuh, pun jurus gerakannya luar biasa anehnya.
Selarik sinar pedang memancar lalu padam.
"Huak..." terdengar teriakan keras tetapi hanya setengah
jalan berhenti Dan selesailah pertempuran yang penuh
ketegangan itu.
Tampak Cu Jiang masih mencekal sebatang pedang
kutung, entah bagaimana cara dia mencabut dan
menyerang. Terlalu cepat bagi mata memandangnya.
Ujung pedang Kiang Ki masih menjulur maju ke muka
dada Cu Jiang, hanya terpisah tiga inci dari dada. Dan
sekalian orangpun masih menahan napas. Tetapi mengapa
terdengar jeritan ngeri tadi? Dari mulut siapakah jeritan itu?
Mengapa saat itu Kiang Ki tak melanjutkan gerak
pedangnya untuk menusuk dada Cu Jiang.
Bluk .... sekonyong-konyong tubuh Kiang Ki rubuh,
kepalanya terpisah dari leher, menggelinding ke tanah,
diantar oleh darah segar yang menyembur seperti pancuran.
"Ai..." terdengar teriakan hiruk pikuk yang menggema.
Dan Cu Jiangpun pelahan-lahan menyarungkan pedang
kutungnya.
Wajah Kiam-mo berobah hebat. Serentak dia berteriak:
"Bawa pedang ke mari!"
Seorang busu baju kuning segera menghaturkan sebatang
pedang. Kiam-mo mencabut pedang itu dan busu pun
kembali mundur lagi.
Pedang itu memancarkan sinar dingin yang kebiru-
biruan warnanya. Tentulah sebatang pedang pusaka.
Maju selangkah kehadapan Cu Jiang, Kiam-mo berseru
bengis:
"Budak, apakah maksud kedatanganmu kemari benar2
hendak menantang adu ilmu pedang?"
"Benar," jawab Cu Jiang. "aku telah terlanjur bersumpah.
Apabila aku, Toan-kiam-jan jin masih hidup, takkan
membiarkan seorang jago pedang yang manapun menjagoi
dunia."
"Kecongkakanmu hebat sekali . . ."
"Aku tak pandai putar lidah."
"Sejak hari ini, dunia persilatan takkan terdapat seorang
manusia yang bergelar Toan-kiam-jan-jin lagi."
"Jangan anda terlalu membanggakan diri. Mungkin
nama Kiam-mo akan lenyap."
"Engkau menghendaki cara bagaimana?"
"Satu jurus!"
"Sebelum engkau mati, aku takkan berhenti."
"Aku tetap hanya satu jurus."
Wajah Kiam-mo membesi dan gerahamnya
bergemerutukan.
"Seumur hidup baru pertama kali ini aku berjumpa
dengan seorang yang bakal mati tetapi tetap congkak
sekali."
Cu Jiang tak menghiraukan. Dia tetap tenang dan
dingin.
"Pujian." serunya.
"Mulailah!"
"Tunggu dulu, aku mempunyai syarat," tiba-tiba Cu
Jiang berkata
"Apa? Engkau masih akan mengajukan syarat apa lagi?"
"Ya, memang. Dan syarat itu sederhana sekali. Karena
ada Toan-kiam-jan-jin, tak boleh ada Kiam-mo. Salah satu,
engkau atau aku yang harus hidup di dunia persilatan . . ."
"Ha, apa lagi!"
"Yang kalah, harus menghancurkan ilmu kepandaiannya
sendiri dan selama-lamanya tak boleh muncul dalam dunia
persilatan."
"Bagiku, hanya jiwamu yang akan kuminta," seru Kiam-
mo.
"Baik tetapi anda pun harus menerima syaratku. Kalau
tak berani, tak usah turun tangan, " kata Cu Jiang.
"Jangan banyak mulut, lekas bersiap menerima
kematian!" bentak Kiam-mo.
Serentak dia melakukan sikap pembukaan yang aneh.
Ujung pedang tak henti-hentinya ditarik dan dijulurkan.
Hawa pedang segera berhamburan meluncur seluas satu
tombak.
Hal itu menandakan bahwa segenap tenaga dalam telah
dikerahkan. Rupanya dia sangat bernapsu sekali dalam satu
gebrak dapat menghabisi lawan.
Suasana tegang sekali. Sekalian pengawal Kiam mo yang
berada di sekeliling lapangan itu memandang dengan mata
tak berkedip dan napas tertahan.
Kedua jago itu masing2 mengadakan sikap kuda2 yang
tangguh dan sukar diterobos.
Detik demi detik berlalu cepat. Sekalian pengawal Kiam-
mo-un sudah bercucuran keringat. Mereka dicekam
ketegangan dari pertempuran yang akan terjadi. Entah
bagaimana nanti hasil dari pertempuran itu apabila
berlangsung.
Mata Cu Jiang seperti melekat tak berkedip. Beberapa
waktu kemudian, dahi Kiam-mo mulai agak berkereyutan.
"Hatimu!"
Akhirnya yang dinanti-nanti terjadi juga. Sebuah ledakan
suara gemboran yang dahsyat segera disusul dengan dering
benturan senjata yang seolah-2 memutuskan urat2 jantung.
Setelah itu terus sirap. Sepi lagi.
Cu Jiang memasukkan kembali pedang kutungnya ke
dalam sarung.
Pedang di tangan Kiam-mo menjulai ke bawah dan
orangnyapun sudah bergeser tiga langkah ke belakang.
Mukanya menggigil, sorot matanya yang menyeramkanpun
sudah kehilangan perbawanya. Dua alir darah mengucur
dari sudut mata dan mulutnya
Kiam-mo, salah seorang tokoh dari gerombolan Sip-pat
thian mo yang termasyhur, saat itu menderita kekalahan.
Kekalahan yang menggemparkan, Suatu peristiwa yang
benar2 orang tak mungkin mau percaya.
Suasana sunyi senyap. Tiada barang suatu pekik kejut
ataupun teriakan ngeri Seluruh jago2 ko jiu dari Thong-
thian-kau terlongong-longong.
Beberapa saat kemudian baru Cu Jiang terdengar
membuka mulut. Nadanya dingin dan hambar tetapi
mengandung perbawa yang menakutkan.
"Harap anda segera melakukan syarat itu!" sepatah demi
sepatah diucapkan dengan nada seberat palu menghantam
paku.
Tiba2 pecah gelombang bentakan. Belasan sosok tubuh
berhamburan menaburkan pedang menyerang Cu Jiang.
Huak .... huak ....
Tetapi bagaikan gelembung air tertimpa hujan, cepat
sekali tubuh itu berserakan tercerai berai keempat penjuru.
Yang tertinggal, empat sosok tubuh manusia yang sudah
menjadi mayat.
Kiam-mo menggigil.
"Aku menunggu jawabanmu!" seru Cu Jiang.
"Engkau suruh aku menjawab apa?" Kiam-mo meraung
seperti singa terluka.
"Sesuai dengan syarat yang kukatakan tadi. Lekas
engkau hancurkan ilmu kepandaian anda sendiri!"
"Tidak bisa!"
"Ho, tak kira kalau kawanan Sip pat-thian-mo yang
termasyhur itu ternyata hanya kantong nasi yang tak
berguna. Sungguh mengecewakan sekali. Apa yang
kukatakan tentu kujalankan. Kalau anda tak mau merusak
tenaga kepandaian anda sendiri, terpaksa aku yang akan
mewakili ...."
"Engkau berani?" bentak Kiam-mo dan bertaburan sinar
pedangnya mencurah kepada Cu Jiang.
Cu Jiang menggembor dan hujan sinar pedang itupun
serentak lenyap, berganti dengan selarik sinar melambung
ke udara. Pedang Kiam-mo terlempar ke atas.
"Auh . . . . " terdengar teriak kejut yang menggeledek.
Cu Jiang mengangkat tangan dan menebarkan sebuah
jari ke muka Seketika Kiam-mo mengerang tertahan.
Tubuhnya yang tinggi besar terhuyung-huyung. Wajah
pucat lesi.
"Sejak saat ini, dunia persilatan tak ada tokoh yang
bernama Kiam-mo lagi!" seru Cu Jiang dengan nada bengis.
Kiam-mo memandang Cu Jiang dengan sorot mata
penuh dendam kesumat lalu berputar tubuh dan berjalan
masuk ke dalam gedung.
Sekian banyak jago2 Thong-thian-kau, tak ada
seorangpun yang berani bergerak menyerang Cu Jiang.
Dengan langkah yang terpincang-pincang, Cu Jiang
segera menghampiri ke tempat tonggak. Dengan pedang
menggurat putus tali yang mengikat tubuh seorang
pengemis tua. Pengemis itu serta merta menghaturkan
hormat.
"Terima kasih atas bantuan anda, partai kami .... "
Tiba2 Cu Jiang mengacungkan sebuah benda dan
serentak pengemis tua itupun terkejut lalu jatuhkan diri
berlutut.
"Murid Ang Ih, kepala cabang kwan-se, menghaturkan
hormat ke hadapan tianglo."
"Harap bangun." seru Cu Jiang, "lencana Tiok-hu ini
pemberian tianglo Kay-pang Pengemis-sakti pencabut
nyawa Tong Ih Leng kepada tokoh Lam-kek-sah. Lam kek-
sah minta tolong kepadaku supaya menyerahkan kembali
kepada pemiliknya. Harap Ang tho cu suka mewakili
menerimanya."
Pengemis tua yang bernama Ang Ik itu segera berbangkit
dan menyambuti.
"Lekas ajak anak buah anda tinggalkan tempat ini," kata
Cu Jiang seraya menyimpan pedangnya.
Ang Ikpun segera melakukan perintah. Membebaskan
anak buahnya yang terikat lalu membawa kawan2 yang
menjadi korban. Sebelum pergi mereka beramai-ramai
menghaturkan terima kasih kepada Cu Jiang.
Sekalian anak buah Thong thian-kau hanya melihat saja
anak buah Kay-pang itu pergi tetapi tak berani berbuat
apa2.
Setelah mereka pergi barulah Cu Jiang tinggalkan tempat
itu.
Berita kekalahan partai Thong-thian-kau cabang kota
Kwo-se itu cepat sekali tersiar dalam dunia persilatan.
Kaum persilatan terkejut, heran dan hampir tak percaya,
tetapi mereka harus menerima berita itu sebagai suatu
kenyataan.
Nama Toan-kiam jan-jin menjadi buah bibir.
Tantang menantang.
Kira2 empat belas li dari kota Gong-an, di tepi jalan
besar dibangun sebuah pagoda peranginan, untuk pejalan2
yang hendak beristirahat. Di tepi pagoda peranginan itu
dibangun juga beberapa rumah pondok untuk kedai
minuman dan orang2 jualan.
Ciat goan-thong atau pagoda Pelepas-lelah, demikian
nama tempat peristirahatan itu. Kabarnya pada jaman dulu
ada seorang penyair ternama yang singgah di tempat itu.
Sebelum araknya habis, syair telah selesai dirangkainya.
Sejak itu maka pagoda peranginan diberi nama seperti
diatas.
Saat itu waktu lohor. Di dalam pagoda peranginan
duduk lima jago pedang yang mengenakan pakaian ringkas.
Dua diantaranya berumur dua puluhan tahun, yang dua
lagi berumur tiga puluhan tahun sedang yang satu disekitar
empat puluhan tahun.
Lelaki yang paling tua itu mondar-mandir menggendong
tangan. Wajahnya tegang dan tak henti-hentinya
memandang ke arah jalanan seperti menunggu sesuatu.
Kawanan yang empat juga agak gelisah.
"Toa-suheng, kukira sudah sajalah," tiba2 salah seorang
yang muda berkata.
"Apa? Sudah?" teriak lelaki yang paling tua itu dengan
nada tegang. "sejak lima puluh tahun berselang ketika
ciang-bun su cun (kakek guru ketua partai) kita kalah adu
pedang di gunung Bo-san, nama partai Hoa san-pay seolah-
olah tenggelam dalam dunia persilatan. Sekarang ini kita
mendapat kesempatan yang jarang sekali datangnya untuk
membangun kembali nama perguruan Hoa-san pay,
bagaimana kita akan sudah begitu saja."
"Tetapi .... toa-suheng, ilmu pedang lawan memang
benar2 telah mencapai tataran yang sukar dibayangkan . . ."
"Sute, sepuluh tahun lamanya aku mati-matian bersusah
payah untuk berlatih ilmu pedang, apa tujuanku?"
"Membangun partai, banyak jalan yang dapat ditempuh.
Mengapa harus mengambil cara begini."
"Itu merupakan satu-satunya jalan yang tercepat. "
"Apakah toa suheng yakin pasti menang?"
"Kalau tak berhasil tentu gagal. Kalau kalah tentu mati.
Apakah pendirian hidup seorang ksatria itu?"
"Kukira tidak begitu."
"Sute, engkau salah pilih. Seharusnya engkau menyekap
diri dalam kamar dan rajin belajar agar dapat mencapai
nama. Tak seharusnya engkau memilih jalan hidup sebagai
seorang bu su."
"Toa-suheng, apakah engkau benar2 mempunyai
pegangan?"
Rupanya lelaki yang paling tua dan dipanggil sebagai
toa-suheng itu agak kurang senang, sahutnya:
"Sudahlah, ji sute, jangan merengek-rengek. Sejak
mendapatkan kitab rahasia peninggalan su-cou ya (kakek
guru), aku telah mempelajari dan berlatih keras selama
sepuluhan tahun baru dapat mencapai hasil. Hoa-san-pay
mampu atau tidak untuk bangkit kembali dan
menempatkan diri dalam jajaran Empat-besar partai-
pedang, semua tergantung pada gerakan kali ini. Sejak
berkunjung ke markas partai Bu-tong dan Go-bi,
kepercayaan ku makin tumbuh delapan puluh persen. . ."
"Pernyataan siau sute tadi memang bukan tak beralasan.
Selama dalam perjalanan beberapa kali kita sudah saling
menguji ilmu pedang dengan kawan2 dari partai Bu tong
dan Gobi. Ternyata hasilnya tak mengecewakan. Hal itu
cukup."
"Keputusanku sudah tetap, tak perlu banyak bicara.
Coba pikir, kalau nanti aku dapat menangkan barang
setengah jurus saja dari lawan, bagaimanakah akibatnya.
Andaikata Hoa-san-pay tak dianggap sebagai partai
ilmu pedang yang paling hebat, tetapi sekurang-kurangnya
tentu akan sejajar dengan partai Bu-tong dan Go-bi."
"Mudah-mudahan begitu, tetapi..."
"Tetapi bagaimana ?"
"Kalau tak berhasil menang?"
"Telah kukatakan. Sebagai seorang kaum persilatan,
janganlah kita berat akan Jiwa kita. Dengan susah payah
sucouwnya telah mendirikan partai Hoa-san-pay.
Kemudian kita yang menerima warisan untuk memelihara
ternyata tak mampu menjaga kelangsungan hidupnya.
Apakah ini tidak memalukan ?"
Tiba2 lelaki yang paling muda itu menunjuk ke arah
jalan dan berseru: "Tuh sudah datang !"
Kelima orang itu menjadi tegang dan serempak berdiri.
Dua ekor kuda lari sekencang angin dan beberapa saat tiba
ditempat itu. Penunggangnya loncat turun. Ternyata dua
lelaki baju hitam.
"Bagaimana kabarnya?" serentak lelaki tua yang disebut
toa suheng itu bertanya.
Salah seorang lelaki baju hitam memberi hormat:
"Hatur beritahu kepada ciangbun ..."
"Jangan menyebut ciangbun, belum saatnya!!" tukas
lelaki tua tadi.
Orang berbaju hitam itu agak merah mukanya lalu
berganti sebutan.
"Hatur beritahu kepada toa-supeh, akan segera tiba."
"Segera tiba ?"
"Ya, dia berjalan lambat sekali dan tak kira kalau hanya
seorang cacat..."
"Jangan banyak cakap! Sekarang dia sampai di mana?"
"Kira-kira lima li."
"Baik, kalian boleh kembali ke kota."
Setelah mengiakan kedua pendatang itu pun melarikan
kudanya.
Dibawah bayang2 pagoda peranginan yang menjulur
panjang sampai ke tengah itu, tegak berjajar kelima orang
itu. Pedagang2 disekitar tempat itu sudah sama menutup
dagangannya. Pejalan2 pun sudah sepi.
Tak berapa lama tampak sesosok tubuh muncul dari
ujung jalan. Jalannya aneh, seperti bergoyang gontai.
"Tuh, akhirnya dia datang Juga," kata busu yang
dipanggil toa-suheng.
Keempat kawannya mulai tegang. Makin dekat makin
tampak kalau pendatang itu seorang berkaki pincang,
mengenakan dandanan seperti sasterawan tetapi mukanya
bertutup kain cadar.
"Dengarkan, sute berempat," kata lelaki yang tertua.
"kamu cukup menyaksikan disamping, tak boleh ikut turun
tangan. Kalau aku gagal maka tugas untuk membangun
partai terletak di bahu kalian."
"Toa-suheng,kan ini hanya merupakan saling uji
kepandaian, bukan ajang saling bunuh mencari balas
dendam. Kalah atau menang, bukan soal," seru bu su yang
paling muda.
"Benar," sahut busu yang tua, "tetapi kali ini aku
berjuang untuk mengangkat nama. Seorang ksatrya hidup
demi nama."
"Tetapi apakah toa-suheng tidak memikirkan beberapa
jago dari Bu-tong dan Go bi yang engkau kalahkan itu, juga
tidak berpikiran seperti toa-suheng juga ?"
"Itu lain persoalannya ..."
Saat itu pelajar pincang sudah tiba. Tanpa menghiraukan
pandang, dia terus berjalan.
Setelah sejenak memandang kearah keempat sutenya,
busu yang tertua itu loncat dari pagoda peranginan lalu
memberi hormat.
"Sahabat, harap berhenti dulu!"
Sasterawan pincang itu berhenti. Memandang datar
kepada orang itu. Tidak berkata apa-apa kecuali hanya
memandang saja.
"Aku yang rendah ini adalah Tan Bun Cau dari partai
Hoa-san-pay. Bukankah sahabat ini yang disebut Toan-
kiam Jan-Jin ?" seru busu yang tertua itu pula.
Memang sasterawan pincang itu tak lain adalah Cu
Jiang. Dia hendak ke kota Seng tou untuk memenuhi suatu
janji.
"Ya, benar, apa maksud anda?" sahutnya dengan nada
yang dingin.
"Kabarnya, anda telah mengobrak-abrik partai Thong-
thian-kau cabang Kwo se. Membunuh Pelajar-gemar darah
Kiang Ki dan melumpuhkan Kiam-mo ?" seru Tan Bun
Biau pula.
Cu Jiang tergerak pikirannya.
"Lalu apa maksud anda?"
"Aku sangat mengagumi ilmu pedangmu !"
"Lalu ?"
"Sengaja aku mencari anda untuk mohon pengajaran."
"Ha, ha, ha, ha " Cu Jiang menengadah dan tertawa
gelak2 seraya lanjutkan langkah.
Tan Bun Ciau cepat menghadang.
"Apakah sahabat tak mau memberi pelajaran kepadaku?"
Cu Jiang terpaksa berhenti, Menatap orang itu lalu
berkata dengan nada dingin:
"Aku tak punya selera !"
"Menganggap hina ?"
"Terserah anggapan anda."
"Toan kiam jan jin, apa engkau kira dalam dunia ini
tiada yang mampu menandingi engkau?"
"Aku tak pernah mengatakan begitu. "
Keempat busu yang berjajar di dalam pagoda peranginan
tak setuju melihat tindakan Tan Bun Ciau, toa-suheng
mereka. Tetapi mereka tak dapat berbuat apa2.
"Apakah engkau tak berani?" seru Tan Bun Ciau
menantang.
"Apa yang tak berani?"
"Menguji ilmu pedang!"
"Sudah kukatakan, aku tak punya selera."
"Tetapi aku justeru berselera sekali."
"Menantang?"
"Terserah. "
"Apa tujuanmu?"
"Untuk membuktikan apakah ilmu pedang dari partai
Bu-tong pay itu sederajat dengan partai2 ilmu pedang yang
lain!"
"Ha, ha, ha, ha .... "
"Mengapa tertawa?"
Cu Jiang hentikan tawa, serunya :
"Aku bukan ukuran ilmu pedang masa ini, anda salah
alamat. "
"Aku tetap akan minta pelajaran."
"Apakah anda bernafsu sekali untuk cari nama?"
Tan Bun Ciao terkesiap. Dengan mengertak gigi dia
menyahut:
"Terserah akan dianggap bagaimana !"
"Sudah anda pikirkan masak-masak ?"
"Hmm."
"Ilmu silat itu tiada batasnya. Andaikata dapat
mengalahkan aku, belum tentu anda akan menjadi jago
nomor satu dalam dunia. Dan apabila anda sampai lengah."
"Aku tak meminta nasehatmu!"
"Jadi anda tetap ngotot hendak adu pedang?"
"Ya."
"Kalau aku menolak ?"
"Kecuali engkau Toan-kiam-jan Ji menyatakan
menyerah,"
"Ah, Jangan terlalu mendesak orang."
"Terpaksa begitu."
"Sekali lagi kuperingatkan. Anda ini bukan
tandinganku."
"Harus dibuktikan dulu."
"Silahkan melolos pedang!"
Mendengar itu keempat murid Hoa-sanpay yang lain
serempak keluar dari pagoda peranginan. Beberapa
pedagang yang masih berada disitu terkejut dan cepat2
membenahi dagangannya.
Mereka mengira terjadi bentrokan dari beberapa orang
persilatan yang hendak menuntut balas.
Tan Bun Ciau mencabut pedang dan terus pasang kuda-
kuda. Matahari hampir tenggelam. Bayang2 orang itu
makin menjulur panjang.
Cu Jiang tegak seperti patung. Kedua tangannya
menjulai kebawah.
"Mengapa tak mencabut pedang?" tegur Tan Bun Ciau.
"Silahkan mulai."
"Jangan keliwat sombong !"
"Anda yang menantang pertarungan ini."
Tan Bun Ciau tak mau banyak bicara, Ia salurkan
tenaga-dalam kebatang pedang. Tetapi segera ia melihat
sesuatu yang mengejutkan. Walaupun tampaknya diam
seperti patung tetapi sikap Cu Jiang itu sukar diserang. Tan
Bun Ciau masih menunda serangannya.
Keempat sutenya menghampiri dan berdiri pada jarak
tiga tombak dari tempat pertempuran.
Cepat sekali sudah sepeminum teh lamanya dan Tan
Bun Cian tak uban lagi. Ia menyadari dirinya bukan
tandingan lawan tetapi karena sudah terlanjur menantang,
terpaksa dia harus melanjutkan.
"Haiiiiit!"
Serempak meraung keras, Tan Bun Ciau segera
lancarkan serangan dengan sepenuh tenaga. Jurus itu luar
biasa hebatnya dan telah dilatih dengan sempurna oleh Tan
Bun Ciau. Dalam dunia persilatan, dia sudah termasuk jago
kelas satu. Tetapi sayang dia cari gara2 dengan Cu Jiang.
"Trinng . . . ! " terdengar dering senjata yang nyaring
sekali dan Tan Bun Ciau terhuyung-huyung mundur
beberapa langkah. Pedangnya hampir jatuh.
Keempat sutenya serempak memekik kaget. Cu Jiang
menyarungkan lagi pedangnya, dan berseru:
"Aku hanya menggunakan setengah jurus karena
sebenarnya kita tak saling bermusuhan apa2."
Habis berkata dia terus angkat kaki melanjutkan
perjalanan.
Setengah jurus? Hanya setengah jurus? Ah, mungkin
orang2 tentu takkan percaya. Wajah Tan Bun Ciau pucat
lesu, tubuh bergemetaran keras. Hanya setengah jurus saja,
impiannya yang muluk telah hancur berantakan.
"Ya, sudahlah ..." tiba2 dia ayunkan pedang ke
tenggorokannya sendiri.
"Toa suheng, jangan . . ." keempat sutenya menjerit dan
serempak lari mencegah tetapi terlambat.
Cret .... Tan Bun Cau rubuh mandi darah.
Karena belum jauh Cu Jiang mendengar juga peristiwa
itu. Dia menghela napas tetapi tak mau berpaling. Dia
merasa tak bertanggung jawab atas peristiwa sedih itu. Hal
itu merupakan suatu akibat dari perbuatan seorang
persilatan yang sangat ambisius atau bernafsu untuk cari
nama.
Sekalipun begitu, Cu Jiang diam2 merasa sayang bahwa
seorang jago pedang yang memiliki kepandaian sehebat itu
harus mengakhiri hidupnya sendiri secara begitu
mengenaskan.
Menjelang malam tibalah Cu Jiang di pintu selatan kota
Gong-an. Jalan Lam-tay terletak di pintu selatan kota itu.
Seorang penjual obat tengah merentang tikar dan
menjajakan dagangannya. Dia berteriak-teriak memanggil
pembeli. Pada sebuah peti obat dilandasi selembar kain
yang bertuliskan beberapa huruf, berbunyi. "Obat pusaka
dari kakek moyang, khusus mengobati segala penyakit aneh
yang sukar disembuhkan."
Mendengar suara penjual obat itu, Cu Jiang segera dapat
mengenali siapa orangnya. Orang itu tak lain adalah Song
Pek Liang, salah seorang dari Keempat jago Tayli yang
ditugaskan Cu Jiang untuk menyelidiki tempat yang
dijanjikan Sebun Ong.
Cu Jiang menghampiri dan memberi isyarat mata.
Melihat itu Song Pek Liang segera menegur: "Tuan hendak
memerlukan apa?"
"Ya apakah khusus mengobati penyakit istimewa ?"
sahut Cu Jiang.
"Benar," sahut Pek Liang, "ilmu pengobatanku dari
warisan leluhur. Penyakit ayan, gila, kesetanan, luka2
dibagian tubuh yang manapun, bisul2 yang kelihatan dan
tak kelihatan, angin duduk, angin jahat, tentu dapat ku
sembuh kan. Bagaimana kehendak tuan ?
Cu Jiang geli dalam hati.
"Ada seorang sanakku, menderita penyakit ulu hati,
segala obat telah dicoba tetapi tak mempan ..."
"O, penyakit ulu hati ?" seru Pek Liang, "itu karena
pencernaan macet, hawa darah tak dapat mengalir lancar.
Setelah bertahun-tahun baru meledak. Tuan aku
mempunyai resep. Tuan boleh belikan di rumah obat, tiga
hari kemudian tuan boleh datang lagi kemari, nanti akan
kubuatkan resep lain."
Habis berkata dia terus menulis diatas secarik kertas, lalu
diserahkan kepada Cu Jiang.
"Tuan. obat dalam resep ini harganya mahal tetapi
mengingat tuan tentu seorang kaya maka kurasa tuan tentu
tak keberatan membelikannya."
"O, aku tahu bahan2 obat," seru Cu Jiang.
"Kalau begitu kebetulan sekali."
Setelah memeriksa resep itu, Cu Jiang mengatakan
apakah takerannya tidak terlalu berat.
"Tidak, tidak berat." seru Pek Liang. "justeru disitulah
letak perbedaan resepku dengan resep orang lain. Kayu
pwe-bok lipat dua, tidak pakai biji Ti-lip, yang penting som,
harap diperbankan, belikan menurut resep."
"O, baiklah. Lalu berapa ongkosnya ?"
"Tak usah. Apabila obat itu manjur, tiga hari lagi harap
datang dan tuan boleh bayar ongkosnya."
Setelah mengucapkan terima kasih, Cu Jiang-pun segera
melanjutkan langkah.
Cu Jiang berotak cerdas. Sandi2 yang diselipkan dalam
kata2 Pek Liang tadi, dia cepat dapat menangkap
maksudnya. Yang dibilang "belikan obat menurut resep",
ialah supaya bertindak menurut keterangan. Sedang "kayu
pwe-bok lipat dua dan tidak pakai biji Ti-lip", berarti ada
dua wanita tetapi tidak ada lelakinya. Berarti yang ada
hanya si Ratu-kembang Tio Houw Hui dan putrinya.
Sedang kata2 "yang penting som", artinya yalah
menunjukkan Budha-hidup Sebun Ong. Sementara yang
dibilang "Harganya mahal", menunjukkan bahwa lawan
memiliki kepandaian tinggi.
Menurut tanda2 sandi disepanjang jalan, akhirnya Cu
Jiang tiba di depan sebuah rumah gedung besar. Pintu
bercat merah, gentengnya warna hijau. Beberapa pohon tua
yang tumbuh di sekeliling, menjulang tinggi melampaui
puncak rumah.
Baru Cu Jiang melangkah ke muka rumah, pintupun
sudah terbuka dan seorang lelaki tua menyambutnya.
"Apakah yang datang ini bukan tuan Toan-kiam-jan-jin?"
"Ya, benar."
"Hamba diperintah majikan untuk menyambut
kedatangan tuan. Mari silahkan masuk."
Sejenak meragu, Cu Jiang segera melangkah ke titian
dan masuk ke dalam gedung. Dinding ruangan berhias
sebuah lukisan pemandangan alam. Dua buah lentera dari
sutera tergantung tinggi.
Di belakang tembok, merentang sebuah lorong yang
terbuat dari batu putih. Tak panjang dan beberapa saat
sudah tampak pintu dan jendela dari gedung utama.
Setiba di muka serambi, bujang tua itu berseru nyaring:
"Tetamu sudah datang."
"Ha, ha, ha, sahabat benar2 menepati janji!" tiba2
terdengar suara orang tertawa dan muncullah Budha-hidup
Sebun Ong.
"Anda juga pegang janji." Cu Jiang balas memberi
hormat.
Sebun Ong mempersilakan tetamunya masuk dan duduk
di tengah ruang. Seorang kacung menghaturkan teh.
"Bolehkah sekarang aku bertemu dengan nyonya Cukat
dan puterinya ?" sesaat kemudian Cu Jiang berkata.
"Boleh." kata Sebun Ong lalu menggapai kacung tadi,
"pergilah mengundang Cukat hujin dan siocia kemari.
Katakan kalau tetamu yang ku ceritakan itu sudah datang."
Tak berapa lama muncullah dua orang wanita. Dengan
nada sopan, Sebun Ong mempersilakan wanita itu masuk.
Kembali timbul keraguan dalam hati Cu Jiang. Sebun
Ong benar2 bersikap seperti seorang kuncu atau gentleman.
Beda sekali seperti yang di gambarkan Koh tiong-jin atau
Cukat Giok tempo hari. Apakah benar2 terdapat salah
faham dalam peristiwa itu.
Kedua wanita itupun melangkah masuk. Yang di muka
seorang nyonya dalam pakaian sederhana. Di belakangnya
mengikuti seorang gadis berumur 17-18 tahun. Cantik
menyilaukan mata.
Cu Jiang serentak berdiri memberi hormat: "Maaf atas
kedatanganku pada malam begini."
Sebut Ongpun memperkenalkan diri Cu Jiang sebagai
Toan kiam jan-jin yang menerima permintaan tolong dari
Cukat Giok.
Sejenak memandang Cu Jiang, wanita itu segera
menggandeng tangan si gadis, diajak duduk di samping.
Wajahnya menampilkan kedukaan. Sedang gadis itu
menundukkan kepala.
"Sahabat, silahkan bicara. Kalau tak leluasa, baiklah aku
mengundurkan diri . . . . " kata Sebun Ong.
"Tak usah," cegah Cu Jiang kemudian berkata kepada
wanita itu, "apakah nyonya itu Tio Hong Hui yang bergelar
Ratu-kembang dahulu? Dan nona ini apakah puteri
nyonya?"
"Ya. Kabarnya suamiku masih hidup?"
"Masih."
"Mengapa dia menelantarkan kami ibu dan anak?"
"Tetapi sekalipun masih hidup, keadaannya jauh lebih
menderita dari mati. "
"Ih, kenapa?"
Mata Cu Jiang memancar sinar berkilat-kilat seperti
hendak menembus isi hati nyonya itu. Kemudian dengan
keras ia mengucapkan kata2 sepatah demi sepatah:
"Dia telah dicelakai orang, kini menjadi orang yang
cacad tubuhnya! "
Wajah wanita itu pucat seketika dan dengan nada
gemetar berseru:
"Mengapa dia sampai dicelakai orang?"
Cu Jiang tertegun. Dia agak bingung bagai mana akan
menyelesaikan persoalan itu. Untuk membalas budi Cukat
Giok, dia telah menyanggupi untuk menyelesaikan
persoalan itu. Tetapi kenyataannya, lain seperti yang
diceritakan Cukat Giok. Karena hal itu mengenai jiwa
manusia, ia harus hati2 bertindak.
"Maaf. aku hendak bicara secara blak-blakan. Suami
nyonya telah dicelakai oleh sahabatnya yang karib sendiri."
"Siapa! " teriak wanita itu.
Dengan mata berkilat-kilat, Cu Jiang mengerling ke arah
Sebun Ong dan berseru:
"Sebun tayhiap! "
"Ah . . . ! " kedua ibu dan anak itu serempak menjerit
kaget.
Sebun Ong berbangkit tetapi duduk lagi dan tersenyum
hambar:
"Bagaimana dasar dari tuduhan itu?"
Tiba2 Cu Jiang berdiri dan berseru dengan nada tegang:
"Cukat cianpwe menceritakan sendiri kepada ku. Anda
telah menurunkan tangan ganas kepada nya. Mengorek
sebuah biji matanya, mengutungkan kedua kaki dan
melemparkannya ke dasar jurang. Jika tak ada
kenyataannya, masakan Cukat cianpwe akan merangkai
cerita begitu?"
"Aku.... mengapa harus melakukan perbuatan yang tak
kenal perikemanusian seperti itu?" teriak Sebun Ong dengan
tegang.
"Karena hendak merebut isterinya."
"Haia. sungguh suatu fitnah yang menyakitkan hati!"
Wanita itupun segera mengelap muka dengan lengan
bajunya dan dengan suara terisak-isak, berseru:
"Aku tak percaya, tak mungkin terjadi peristiwa
semacam itu ! Sepuluh tahun lamanya aku dan anakku
telah mendapat pertolongan Sebun siokhu yang memberi
tempat tinggal dan menjamin kehidupan kami dengan baik.
Agar tidak disangka buruk oleh orang, maka hanya setahun
sekali Sebun sioksiok datang kemari. Mengapa ... ada cerita
semacam itu."
Juga gadis itu rebahkan kepala ke dada ibunya dan ikut
terisak-isak.
Melihat adegan itu, itu tak enak hati Cu Jiang. Soal itu
benar2 diluar dugaannya. Lalu bagaimana dia harus
berbuat ? Jika begitu dia perlu harus kembali ke dalam
jurang untuk meminta keterangan yang jelas kepada Cukat
Giok mengenai peristiwa itu.
Bungkusan bunga teratai yang harus diberikan kepada
Tio Hong Hui dan bungkusan kertas yang harus diberikan
kepada nona Beng Cu itu, lebih baik ditahan dulu.
Sambil mengusap air mata, wanita itu berkata pula
dengan rawan:
"Apakah tidak mungkin dia menderita penyakit syaraf
karena putus asa?"
Cu Jiang terkesiap. Memang hal itu mungkin.
Tiba2 nona Beng Cu mengangkat muka dan berkata
dengan sedih:
"Di manakah ayah sekarang? Aku bersumpah akan
mencarinya sampai ketemu . . ."
"Sahabat !" Sebun Ong cepat menanggapi lagi. "dalam
soal salah paham ini, sukar untuk menjelaskan dengan
kata2. Lebih baik anda menunjukkan tempat Cukat beng.
Setelah bertemu dengan orangnya sendiri, segala apa tentu
dapat dijelaskan!"
Cu Jiang tertegun diam.
"Apakah suamiku sudah tak dapat berjalan lagi?" tanya
wanita itu.
"Hm tenaganya sudah hilang, umurnyapun takkan
panjang lagi."
"Apakah dia minta tolong anda untuk membereskan
peristiwa ini?"
"Ya."
"Apa pesannya?"
"Potong kepala manusia yang mencelakai kawan dan
merebut isterinya itu !"
"O, Aah .. ..." Tio Hong Hui meratap. Air matanya
berderai-derai keluar.
"Lalu bagaimana anda akan bertindak ?" kata Sebun Ong
dengan wajah beku.
"Memeriksa lagi persoalan ini sampai jelas."
"Mengapa anda keberatan untuk memberitahu tempat
Cukat-heng !"
"Soal ini .... untuk sementara tak dapat, maaf."
Tiba2 wajah Sebun Ong membesi, serunya : "Sahabat,
maafkan kelancanganku berbicara. Kedatangan anda ini
sangat mencurigakan."
Cu Jiang tertawa meringis. Kini dia berbalik menerima
tuduhan. Ia mendengus:
"Persoalan ini masih belum selesai. Aku masih akan
menyelidiki sampai tenang, maaf, aku mohon diri."
"Tunggu."
"Anda masih mempunyai pesan apa lagi?"
"Sahabat datang sebagai tetamu, ijinkan aku menunaikan
kewajibanku sebagai tuan rumah ...."
"Ah, jangan banyak peradatan."
"Lepas dari persoalan ini, apakah anda benar2 tak mau
memberi muka kepada Sebun Ong?"
"Aku sudah biasa berkelana seorang diri. Tak suka
berkawan, maaf." habis berkata Cu Jiang menatap ke arah
nona Beng Cu, kemudian melangkah keluar.
"Sahabat," Sebun Ong memburu, "setelah persoalan ini
selesai, apakah sahabat tak keberatan bersahabat dengan
aku ?"
"Kelak kita bicara lagi." Jawab Cu Jiang dengan nada
dingin.
Sehabis keluar dari pintu, tiba2 Tio Hong Hui lari dan
menghadangnya:
"Anda harus menunjukkan tempat suamiku !"
"Nyonya, sekarang masih belum waktunya."
"Sudah belasan tahun kami suami isteri tak bertemu.
Kita sama2 tak mengetahui bagaimana nasib kita masing2.
Mengapa anda begitu ...."
"Nyonya, kuminta suka bersabar beberapa waktu lagi."
"Tidak, tidak !" tiba2 Tio Hong Hui menjeritkan
tangisan.
Gadis Beng Cu juga lari keluar dan dengan bercucuran
airmata, berseru:
"Apakah anda benar2 tak mengetahui bagaimana
perasaan suami isteri dan anak?"
Tiba2 Tio Hong Hui berlutut, disusul oleh puterinya.
Melihat keadaan itu Cu Jiang benar2 kelabakan. Ia
tertusuk perasaannya Juga. Jika Tio Hong Hui memang tak
bersalah dan semuanya terjadi karena salah faham,
bukankah berat untuk menerima permohonan yang disertai
berlutut dari Tio Hong Hui ?
Bukankah Tio Hong Hui itu juga seorang cianpwe dalam
dunia persilatan? Kalau memang tidak sungguh2, masakan
wanita itu mau berlutut di hadapannya.
Tetapi apabila memang benar Tio Hong Hui itu
menyeleweng, jika ia memberi tahu tempat Cukat Giok
kepadanya, apakah itu tidak berarti merusak kepercayaan
dan mencelakai Cukat Giok?
Dan ia masih mempunyai lain persoalan yang penting,
jelas tak dapat menemani wanita dan puterinya itu ke
gunung Bu-leng san mencari Cukat Giok.
Cu Jiang bingung dan cepat2 menghindar jauh seraya
berseru.
"Nyonya, jangan bersikap begitu. Kita bisa berunding!"
"Oh, anda meluluskan?" seru Tio Hong Hui penuh
harap.
Cu Jiang teringat bahwa ketika dia jatuh ke dalam jurang
dan ditolong Cukat Giok, ia jelas mengetahui orangnya itu
masih normal pikirannya, tidak terganggu atau menderita
sakit jiwa.
Tetapi ternyata keterangan orang tua itu lain dengan
kenyataan. Mana yang salah dan mana yang benar, ia
masih belum tahu. Teringat akan budi pertolongan orang
tua itu, sebaiknya ia menuju ke dasar jurang menemuinya
lagi agar persoalan itu jelas dan selesai.
Tio Hong Hui dan puterinya masih tetap berlutut. Sebun
Ongpun muncul. Dia kerutkan dahi.
"Sahabat, persoalan ini harus selekasnya dibereskan,
jangan biarkan pembunuh itu bebas berkeliaran diluar.
Sebaiknya engkau luluskan permintaan mereka dan
bersama-sama menemui Cukat-Heng. Hubungan darah
daging, setiap orang tentu merasakan."
"Jika anda tetap menolak, lebih baik anda bunuh aku
sebagai seorang wanita hina!" teriak Tio Hong Hui,
Dalam terdesak dan gugup akhirnya Cu Jiang
mengangguk dan meluluskan. Tio Hong Hui dan Beng Cu
serempak berbangkit.
"Mohon anda memberitahu tempat suamiku itu, agar
kami dapat lekas2 menemuinya," seru Tio Hong Hui.
"Tidak, tempat itu amat rahasia sekali. Harus aku yang
menjadi penunjuk jalan!"
"Ini . . . . ah, bagaimana kami berani membikin repot
anda . . ."
"Aku mempunyai beban dari Cukat cianpwe untuk
melindungi kebenaran."
Tio Hong Hui memandang kearah Sebun Ong dengan
pandang bertanya pendapatnya.
"Sahabat." kata Sebun Ong dengan nada sarat, "bukan
karena aku banyak curiga, Tetapi ke dua nyonya dan
puterinya itu telah diserahkan dalam tanggung jawabku.
Maka hendak kutitipkan keselamatan mereka kepadamu."
"Baik akan kulaksanakannya dengan sekuat
kemampuanku."
"Apakah aku juga boleh ikut?"
"Ah, maaf, rasanya belum waktunya."
"Tetapi sahabat secara lisan mengatakan menjalankan
permintaan tolong dari Cukat Heng. Adakah sahabat
membawa sesuatu yang dapat dijadikan bukti?"
"Ada!"
"Harap menunjukkan."
Dengan hati2 Cu Jiang segera mengeluarkan bungkusan
teratai yang berisi racun sambil menunjuk, dia berkata.
"Benda inilah !"
Sesaat wajah Sebun Ong tampak berobah pada lain saat
sudah tenang kembali. Kemudian berpaling kepada Tio
Hong Hui:
"Ensoh, kenalkah engkau akan benda itu?"
Tio Hong Hui tertegun lalu mengangguk:
"Ya, memang benar."
Cu Jiang menyimpan kembali.
"Sahabat, karena sudah ada keputusan. harap masuk
kedalam lagi, akan kuhaturkan arak terima kasih ..."
"Ah, tak perlu."
"Mengapa sahabat menolak?"
"Adatku memang begitu."
"Apakah sekarang sahabat akan membawa Toasoh dan
puterinya?"
"Kita bertemu di kota Li-Jwan."
"Ah, Li Jwan jauh sekali. Kapan ?"
"Dalam sepuluh hari."
"Jika begitu, baiklah."
Sepeninggal Cu Jiang dari rumah itu, dia masih berkabut
kegelapan. Antara kata Cukat Giok dengan kenyataan tidak
sama. Hal itu berarti dia masih terlibat dalam persoalan
yang belum selesai.
Malam sudah larut. Jalan2 sepi. Tak mungkin dia akan
mencari rumah penginapan. Terpaksa dia berjalan dengan
langkah tertatih-tatih.
Tiba di tempat Pek Liang menjajakan dagangannya, ia
melihat sebuah tanda sandi. Ia mengikutkan pandang
matanya kearah yang ditunjuk oleh tanda sandi itu. Diatas
segunduk tembok ia melihat beberapa corat-coretan yang
melukiskan seorang lelaki tengah dikejar anjing.
Diujung muka, terlukis beberapa ekor anjing,
dibawahnya diberi tulisan yang berbunyi: "Kawanan anjing
milik keluarga siapa?"
Sepintas pandang, lukisan itu merupakan corat coret
yang biasa dilakukan anak-anak nakal pada tembok2
rumah. Tetapi bagi Cu Jiang hal itu merupakan petunjuk
rahasia bahwa saat itu dia sedang dikuntit orang. Selain itu
juga sedang terancam oleh beberapa kawanan musuh yang
belum di ketahui golongannya.
Cu Jiang terkejut heran. Siapa yang secara diam2
mengikuti perjalanannya itu? Orang2 Thong-thian-kau,
Gedung Hitam atau...
Ah, tetapi dia tak gentar. Setelah melalui pintu kota dan
berjalan di jalan yang sepi, ia merasa di belakangnya
terdapat seseorang yang mengikuti.
Tetapi dia pura2 tak tahu.
Tak berapa lama berjalan, tibalah Cu Jiang disebuah
rumah berhala kecil yang terletak di tepi Jalan. Cepat ia
gunakan tata langkah Gong-gong-poh-hwat, menyelinap
bersembunyi.
Tetapi orang yang mengintil itu cerdik sekali. Dia
berhenti tak mau ikut masuk. Cu Jiang tak mengacuhkan.
Dia naik keatas wuwungan dan duduk bersemedhi.
Semalam tak terjadi suatu apa. Tetapi ketika keesokan
harinya dia hendak melanjutkan perjalanan, tiba2 ia
mendengar suara orang mendengus. Kejutnya bukan
kepalang dan cepat2 Ia berpaling kearah suara itu, tempat ia
bersembunyi, diujung wuwungan belakang, tampak seorang
lelaki tua tengah tidur melingkar dan mendengkur.
Kapan orang tua itu muncul, sama sekali tak
diketahuinya. Yang jelas ketika semalam dia naik keatas
wuwungan, ia tak melihat sesosok bayangan manusiapun.
Ah....
Suatu hal yang benar2 mengejutkan hatinya. Karena
kalau menilik ilmu kepandaian yang dimilikinya sekarang,
tak mungkin dia tak mengetahui. Jangankan manusia,
barang semut berjalanpun ia dapat menangkap suaranya.
Dengan begitu jelas orang tua itu bukan orang
sembarangan.
Oh, apakah dia yang menguntitnya selama ini ?
Setelah menenangkan pikiran, Cu Jiang batuk2. Orang
tua itu membalikkan tubuh dan mengingau:
"Siapa yang lebih dulu sadar dalam mimpi, segala urusan
aku dapat mengetahui sendiri. Belum puas tidur diatas
wuwungan rumah berhala uh, mahluk apa yang
mengganggu mimpiku ?"
Kini Cu Jiang semakin Jelas.. Orang tua itu tak lain
adalah Ciok Yau to bergelar Thian-put loya atau Hanya-
langit-yang-tak-dicuri.
Jelas orang tua itu datang belakangan dan bukan karena
secara kebetulan tetapi tentu mempunyai tujuan.
"Aku manusia, bukan binatang." serunya.
Pencuri sakti itu membuka besar-besar mata sambil
bangun, ia lalu memandang Cu Jiang dan tertawa meringis:
"Oh, sungguh kebetulan sekali ! Kiranya Toan-kiam-jan
jiu !"
Sepasang mata Cu Jiang memancar sinar berkilat-kilat,
serunya dingin:
"Apa maksud anda mengikuti aku?"
"Mengikuti ? Tidak, tidak! Aku kemalaman dan terpaksa
tidur disini."
"Apa benar begitu ?"
"Percaya atau tidak. terserah !"
Didalam dunia itu jangan terjadi hal secara kebetulan
seperti kali ini .." Cu Jiang terus melayang turun dan
ayunkan langkah. Nada dan suaranya sungguh jumawa
sekali.
"Hai, menganggap dunia ini tiada tandingannya. Lambat
atau cepat tentu akan mengantar Jiwa dibawah kun (rok) si
Ciok Liu !" terdengar orang tua itu mengigau seorang diri.
Cu Jiang terkesiap tetapi dia tak mau menghiraukan dan
pura2 tak dengar.
Sinar matahari mulai menghangatkan bumi.
Di Jalan pun sudah banyak orang. Cu Jiang singgah
disebuah kedai makan lalu melanjutkan perjalanan lagi.
Dalam sepuluh hari dia harus tiba di Li jwan, bertemu
dengan Tio Hong Hui dan puterinya.
Sebenarnya dia segan kembali ke dasar jurang yang
menyeramkan itu. Tetapi apa boleh buat. Diam2 ia
menimang, berpisah sekian lama, kemungkinan Ko-tiong
Jiu Cukat Giok itu sudah meninggal dunia.
Karena pada waktu berpisah, orang tua itu mengatakan
bahwa tak lama lagi dia tentu sudah mati. Jika Cukat Giok
benar2 sudah mati, bukankah persoalan Itu akan terbeku
selama-lamanya ?
Saat itu dia sedang menempuh jalan yang sepi.
Walaupun dengan kaki sebilah pincang tetapi kecepatannya
mengejutkan orang.
Tiba2 ia merasakan sesuatu yang mencurigakan. Serasa
ada orang yang bersembunyi. Sengaja ia lambatkan
langkah.
Tak berapa lama berjalan, pada jarak sepuluh tombak
dari tepi jalan, ada sebuah gunduk tanah digerumbul
pohon. Rupanya gunduk itu, masih baru dan didepannya
dipasang sebilah papan batu yang bertulis:
"Toan-kiam-jan jin dikubur disini."
Melihat itu Cu Jiang tertawa gelak2. Dia segera
menghampiri. Memang benar, gunduk tanah itu masih
baru. rupanya orang2 itu hendak mencegat, membunuh dan
menguburkan dia disitu.
Selesai memeriksa dia lalu duduk bersemedhi dibawah
sebatang pohon tua, diatas lutut, kemudian pejamkan mata.
Beberapa saat kemudian semula mendengar suara yang
lembut. Dan dua musuh tentu mulai bergerak tetapi dia
diam saja.
Setiup angin dahsyat segera melanda kearah kepalanya.
Huak.... terdengar jeritan ngeri disusul dengan sosok
tubuh yang jatuh. Tanpa membuka mata, pedang kutung di
acungkan keatas dan hawa pedang memancar sampai dua
tombak, merontokkan ranting dan daun2..
"Ha. ha, ha .... Toan-kiam-Jan-jin sungguh hebat sekali !"
Suara gelak tawa itu menggetarkan empat penjuru
angkasa.
Cu Jiang menurunkan pedang, membuka mata dan
berbangkit. Kedua matanya memancarkan sinar berapi-api.
Didepannya melintang sesosok mayat dari seorang busu
baju kuning.
Mungkin karena melibat Cu Jiang duduk pejamkan
mata, busu itu terus melancarkan serangan. Tetapi
akibatnya dia sendiri yang mati.
Dua tombak jauhnya, tampak seorang aneh berjubah
kuning. Mulutnya mencolot, tulang pipinya menonjol, biji
matanya banyak putih dari hitamnya. Tingginya tak kurang
dari dua meter.
Cu Jiang cepat mengenali orang aneh itu sebagai si Iblis
gila atau Gong Mo yang dahulu pernah memukulnya
dengan pukulan Thian-kong-sat.
Tetapi rupanya iblis itu tak kenal siapa sebenarnya Toan-
kiam jan-jin. Dia tentu tak mengira bahwa Toan kiam-Jan
Jin itu tak lain adalah pemuda Gok-jin-Ji yang dahulu itu.
Melihat orang yang telah mencelakai dirinya menjadi
cacat, seketika meluaplah hawa pembunuhan Cu Jiang.
Tetapi ketika keliarkan mata ke sekeliling, ia terkejut juga.
Ternyata sekeliling empat penjuru, telah dikepung tak
kurang dan lima puluhan orang. Pelahan-lahan mereka
maju menghampiri.
Dia menyadari apa yang akan dihadapi saat itu.
Rupanya Thong thian kau telah mengirim berpuluh-puluh
jago sakti untuk membunuhnya. Mereka tentu marah
mendengar berita Thong thian-kau cabang Siok-ciu telah
diobrak-abrik dan ketuanya yakni Kiam Mo. menjadi
manusia lumpuh dan cacat seumur hidup.
"Toan-kiam jan jin," seru Gong Mo dengan nyaring,
"liang sudah disediakan untukmu. Jika ingin mayatmu
utuh, masuklah sendiri ke dalam liang kuburmu itu!"
Cu Jiang mendengus dingin: "Gong Mo, liang itu
untukmu sendiri!"
"Engkau tahu namaku?" Gong Mo terkejut.
"Bukan baru sekarang ini!"
"Siapakah engkau ini?"
"Tak usah bertanya. Aku keluar demi menumpas
kawanan iblis seperti engkau dan kawan-kawan mu itu."
"Ha, ha. ha ... . engkau adalah manusia kedua yang
paling congkak yang kujumpai didunia ini!"
"Siapa yang kesatu?"
"Gok-jin-ji budak gila itu."
Diam2 Cu Jiang geli tetapi ia berseru dengan nada
dingin:
"Sayang engkau takkan bertemu orang yang ketiga lagi!"
"Apa maksudmu?"
"Sejak saat ini dunia persilatan takkan terdapat nama
Gong Mo lagi!"
Karena marah Gong Mo tertawa nyaring: "Akan ku
tangkap hidup-hidupan untuk kusiksa sepuas hatiku. "
"Asal engkau mampu." sahut Cu Jiang. "aku sih tak
memilih kematian cara apa saja."
"Bagus, engkau ini memang budak . .." Gong Mo maju
dua langkah sehingga hanya terpisah tidak sampai dua
meter. Cu Jiang lekatkan pandang matanya, menyalurkan
tenaga dalam ke tangan.
Suasana tegang sekali, diliputi hawa pembunuhan. Tiba2
Gong Mo dorongkan kedua tangannya, menghantam Cu
Jiang.
Pedang berkilat, dengan sepenuh tenaga Cu Jiang
pancarkan ilmu pedang Thian-tay kiau-thay.
Angin pukulan menderu dahsyat, hawa pedang pun
meroket angkasa. Jeritan ngeri, erang tertahan serempak
terdengar.
"Huak . . . . "
"Auh..."
Cu Jiang terdorong tiga langkah ke belakang. Darah
dalam tubuhnya bergolak-golak, pukulan Thian-kong-sat
dari Gong Mo hampir memberantakan tenaga kong gi yang
dipancarkan Cu Jiang untuk melindungi tubuhnya.
Jika setahun yang lalu, dia tentu mati karena pukulan itu.
tetapi sekarang ia mampu bertahan.
Jubah Gong Mo mengalirkan darah merah. Bluk ....
tubuhnya yang tinggi besar segera terjungkal rubuh ke tanah
dan tak dapat bangun lagi untuk selama-lamanya.
"Hai ...." pecahlah teriak kejut dari sekalian anak buah
Thong-thian-kau.
Benar2 mereka tak percaya pada peristiwa yang
dilihatnya saat itu. Seorang anggauta Sip-pat thian mo yang
termasyhur, ternyata hanya dengan sebuah jurus saja, sudah
terbunuh mati.
Secepat kilat dua batang pedang segera menerjang Cu
Jiang. Cu Jiangpun cepat memutar pedang kutungnya.
Huak. . . huak . . . kembali di atas tanah bertambah lagi
dengan dua sosok mayat.
Menyusul tiga pedang menyerang lalu pekik bentakan,
jeritan ngeri. Darah, sinar golok, bayangan pedang, angin
pukulan dan deru sambaran senjata rahasia, bertubi-tubi
menggemuruh ....
Hutan itu segera berobah menjadi tempat pembunuhan.
Jago2 Thong-thian-kan susul menyusul rubuh. Setiap kali
Cu Jiang menggerakkan pedang, paling sedikit tentu ada
seorang musuh yang rubuh.
Mayat makin lama makin menumpuk. Tetapi jago2
Thong-thian kau itu seperti kerasukan setan. Mereka
menyerang dengan jurus2 maut. Mereka tak menghiraukan
mati.
Cu Jiang merah matanya. Diapun ikut kalap seperti
lawan. Pakaiannya penuh berlumur percikan darah.
"Mundur ...!" tiba2 terdengar sebuah bentakan
menggeledek.
Kawanan jago itupun berhamburan mundur. Dari
sejumlah lima puluhan orang, kini mereka hanya tinggal
belasan orang.
Dua orang aneh berjubah warna kuning, serempak maju
ke dalam gelanggang. Keduanya berwajah menyeramkan.
Cu Jiang menjulurkan pedangnya ke bawah, pedang itu
masih mengucurkan darah.
Kedua pendatang itu yang seorang memegang senjata
Tok kak thong jiu atau Orang-tembaga-berkaki-satu dan
yang lain mencekal Ki bi-thiat kun atau tongkat besi. Kedua
senjata itu termasuk senjata berat. Jelas keduanya tentu
memiliki tenaga yang kuat sekali.
Sepasang mata mereka berkilat-kilat memancarkan sinar
buas sekali seperti singa mencium darah.
"Rupanya kalian berdua ini juga anggauta dari Sip pat
thian mo?" tegur Cu Jiang.
"Benar, aku adalah Bu Mo yang termasuk pada jajaran
ke tujuh belas." sahut orang yang mencekal tongkat besi.
"Dan aku iblis yang ketiga belas. Toa-lat-sin-mu. Budak,
aku takkan berhenti sebelum mencincang tubuhmu! "
"Kalian akan maju berdua atau . . ."
"Heh, heh, heh .... Sip pat thian-mo selalu bertempur
satu lawan satu."
"Siapa yang akan maju dulu?"
"Aku."
"Silakan ! Aku masih ada lain urusan penting. Tak dapat
lama disini."
Bu Mo mundur setombak jauhnya. Sementara setelah
siap dengan senjata Tok-kak-thong-jin. maka dengan
tertawa seram, Toa-lat-cin-mo atau Iblis-sakti-bertenaga
besar segera melancarkan serangan menghantam kepala Cu
Jiang dengan sekuat-kuatnya.
Cu Jiang menangkis dengan pedangnya.
Tring . . . senjata Tok-kak-thong-jin tertolak tetapi adu
tenaga itu menggetarkan tubuh Cu Jiang sehingga darahnya
bergolak keras.
Tok-kak-thong Jin atau naga berbentuk orang berkaki
satu merupakan senjata yang berat. Sedang pedang adalah
senjata ringan, hanya mengutamakan kelincahan dan
tenaga si pemakai.
Kalau bukan Cu Jiang, tentu tak ada orang berani
mengadu pedang dengan Tok-kak-thong-Jin tetapi pun jika
bukan Toa lat sin-mo, tentu sudah mati di bawah pedang
Cu Jiang.
Toa-lat-sin-mo juga terkejut bukan kepalang. Dia tak
menyangka lawan berani mengadu pedang dengan gada
yang berat. Dan lebih kaget lagi ketika ia merasakan akibat
dari benturan senjata itu. Ternyata lawan memiliki tenaga
dalam yang hebat sekali.
Pada saat Toa lat-sin-mo masih tercengkram terlongong
keheranan. Cu Jiangpun sudah bergerak menyerang dengan
jurus Thian te kun-thay.
"Uh.." cepat Toa lat sin-mo lintangkan gada Tok kak
thong-jin untuk melindungi tubuhnya.
Iblis itu memang hebat dan cepat bergerak tetapi sayang
masih kalah cepat setindak dengan Cu Jiang.
Serentak terdengar seruan tertahan dan keduanyapun
loncat berpencar diri. Dada Toa-lat sin-mo berhias dengan
suatu luka sepanjang setengah meter, darahnya bercucuran.
Melihat dirinya terluka, Sin-mo marah sekali. Dengan
menggerung seperti singa kelaparan, dia menyerang
dahsyat.
Wut.. tongkat besi dari Bu Mopun ikut menyerang.
Kalau dua iblis maju serempak, dahsyatnya sukar
dilukiskan.
Cu Jiang terkejut dan cepat menggunakan gerak-langkah
Gonggong-poh-hwat untuk menghindar.
Kedua iblis itu menggeram dan serempak berputar
tubuh.
Sebenarnya Cu Jiang hanya menyelinap ke belakang,
bukan melarikan diri.
"Bukankah Sip-pat-thian-mo itu selalu bertempur satu
lawan satu?" serunya mengejek.
"Kecuali terhadap engkau karena engkau harus mati,"
sahut Bu Mo dengan menyeringai.
Dan kedua iblis itu lantas menyerang lagi. Deru angin
sambaran dan dua buah senjata berat mereka, menimbulkan
letupan2 macam halilintar menyambar.
Kali ini Bu Mo benar2 ngotot sekali. Dia menumpahkan
segenap kepandaiannya. Dia cepat merobah permainannya
dalam jurus Ya-con-pat-hong atau bertempur-empat-arah-
pada-malam-hari.
Suatu jurus yang sederhana.. Tetapi dimainkan oleh
seorang iblis macam Bu Mo, jurus itu berobah menjadi
gerak yang hebat.
Saat itu Cu Jiang melihat suatu lubang kesempatan.
Sehabis menghindari serangan, dia terus menghantam
punggung Sin-mo.
0oodwoo0

Jilid 13
Tring ... . terdengar dering senjata beradu di susul dengan
erang kesakitan. Andaikata tak tertahan oleh tongkat dari
Bu Mo, tentulah Toa-lat-sin-mo sudah mati.
Tetapi sekalipun tertahan tongkat, ujung pedang kutung
dari Cu Jiang masih dapat melukai punggung Toa lat sin-
mo sampai sepanjang beberapa jari. Kembali bercucuran
darah lagi. Dan lebih sakit dari luka di dadanya sehingga
dia terhuyung-huyung hampir rubuh.
Cu Jiang tak mau buang tempo. Kin dia akan
membereskan Bu Mo, Tongkat besi merupakan senjata
berat dan panjang. Harus dibasmi dulu.
Tetapi Bu Mo memang lebih berpengalaman. Sesuai
dengan gelarnya Bu Mo atau iblis-silat. dia memang sakti
dan waspada. Pada saat Cu Jiang bergerak, diapun sudah
cepat-cepat menghindar lalu menghantam.
"Ahhh !" terdengar jeritan ngeri. Karena Bu Mo
menghindar, babatan Cu Jiang itu berganti sasarannya.
Karena menderita luka dan gerakannya agak lamban, maka
Toa lat sin mo tak keburu menghindar.
Kepalanya terbelah, darah menyembur dan tubuhnyapun
rubuh.
Serempak pada saat itu, pukulan jarak jauh dari Bu Mo
tadi telah menghantam tubuh Cu Jiang. Karena sedang
melancarkan serangan maka tenaga sakti yang digunakan
Cu Jiang untuk melindungi tubuhnya agak lemah. Dia
mengerang tertahan dan terhuyung-huyung tiga langkah ke
belakang.
Melihat itu Bu Mo tak memberi kelonggaran lagi. Dia
terus menyerang dengan tongkat besinya. Ilmu permainan
tongkatnya, luar-biasa dahsyat dan aneh. Cepat dan gencar
sekali sehingga Cu Jiang tak sempat menangkis. Dia
terpaksa hanya menghindar saja.
Trang. . . . tongkat tersiak tetapi kedua tangan Cu
Jiangpun terasa kesemutan, pedangnya hampir terlepas.
Darah bergolak keras.
Dia sempoyongan sampai lima langkah baru dapat
berdiri tegak.
Bertempur menghadapi serbuan berpuluh-puluh ko jiu
dari Thong-thian kau lalu harus menghadapi keroyokan
kedua iblis itu, menyebabkan Cu Jiang banyak kehilangan
tenaga dalam. Kekuatannyapun banyak berkurang.
Bu Mo tak mau memberi ampun lagi. Dia menyerang
lagi dengan jurus2 permainan tongkat yang aneh dan keras.
Cu Jiang menghindar lalu tangan kirinya menuding
memancarkan tenaga-dalam ke luar.
"Hem ..." Bu Mo mengerang. Bahu sebelah kiri
tertembus, darah bercucuran. Tetapi iblis durjana yang buas
dan ganas itu tidak menyerah karena luka sekecil itu. Dia
menyerang lagi makin dahsyat dan gencar.
Dalam keadaan itu tiada lain jalan bagi Cu Jiang kecuali
menggunakan cara menghindar. Kadang dalam keadaan
terpaksa, baru dia menangkis adu kekerasan.
Tetapi lama2 dia marah juga. Dia memilih cara yang
belakang yakni adu kekerasan. Dengan mengerahkan
seluruh tenaga, dia segera memutar pedang terus
menyerang, tring
Tongkat Bu Mo terbabat, melayang ke udara. Mulut,
hidung, mata dan telinganya mengucurkan darah dan
tubuhnya sempoyongan lalu rubuh. Dia tak kuat mengadu
kekerasan dengan Cu Jiang.
Urat2 jantungnya putus.
Tetapi Cu Jiang juga menderita luka dalam. Mulutnya
menyembur darah sampai separoh dari kerudung mukanya
merah. Diapun terhuyung-huyung beberapa langkah ke
belakang lalu jatuh terduduk.
Melihat itu belasan jago2 Thong thian-kau segera
berteriak dan menyerbu Cu Jiang yang ngelupruk di tanah
itu.
Melihat maut mengancam, dengan kuatkan diri Cu
Jiangpun berdiri lagi. Ia mengerahkan lagi tenaganya untuk
menyambut serangan musuh.
Huak, huak . . . dua orang jago Thong-thian-kau rubuh.
Yang lain2 serempak mundur.
Napas Cu Jiang makin tersengal-sengal dan tubuhnya
gemetar keras. Tiba2 terdengar gemboran keras. Empat
orang menyerang lagi dari empat arah.
Cu Jiang mengertek gigi.
"Cu Jiang, jangan engkau rubuh. Kalau engkau rubuh,
habislah riwayatmu. Hayo, kuatkan dirimu dan bunuhlah
mereka . . ." seolah telinganya mendengar sebuah suara
mengiang-ngiang, membangunkan semangatnya.
Dengan kuatkan diri. Cu Jiang lalu memutar pedangnya.
Terdengar jeritan ngeri dan keempat orang itupun rubuh
mandi darah. Musuh yang berada di sebelah depan, malah
mengalami kematian yang mengerikan.
Kepalanya terbelah, darahnya muncrat mengenai kain
kerudung muka Cu Jiang.
Darah, mayat dan kutungan anggauta badan. Berserak-
serak memenuhi tempat itu. Sekilas terbayanglah benak Cu
Jiang bahwa keadaan tubuh ibunya ketika menghadapi
keroyokan dari berpuluh tokoh2 sakti, tentulah sedemikian
juga.
Teringat akan kematian ayah bundanya, darahnya
meluap, semangatnya pun berkobar lagi.
"Ha, ha, ha . ..." Ia tertawa nyaring. Nadanya
menyerupai aum singa yang menginjak korbannya.
Kini yang masih tinggal hanya sembilan orang. Mereka
saling bertukar pandang. Menilik keadaannya, Cu Jiang
telah seperti pelita yang kehabisan minyak. Jika tidak saat
itu membunuhnya, tentu akan mensia-siakan suatu
kesempatan yang bagus.
Tetapi ilmu pedang Toan kiam jan-jin itu luar biasa aneh
dan saktinya. Dalam keadaan menderita luka, masih
mampu membunuh empat orang jago kojiu ...
Saat itu Cu Jiang seperti orang kerasukan setan. Ia
terbayang akan akan kematian kedua orang tua, kedua
adiknya yang masih kecil, paman Liok dan isterinya serta
anak perempuannya, gadis malang yang diperkosa lalu
dibunuh itu.
Hutan darah, dendam darah, saat itu berkecamuk dalam
dada Cu Jiang sehingga tenaga-dalamnya yang sudah
menurun itu mulai bangkit lagi.
Pelahan-lahan dia berputar tubuh menghadapi
kesembilan sisa jago2 Thong-thian-kau itu.
Pandang mata Cu Jiang yang penuh dendam kesumat
berdarah, tampak merah membara sehingga nyali
kesembilan orang itupun makin berguguran, berganti
dengan bayang2 ketakutan.
"Pergi . . ." entah siapa yang berseru tetapi ke sembilan
orang itupun segera berhamburan mundur.
"Berhenti!" Cu Jiang menggerung dan secepat kilat
berputar-putar menyerang mereka.
Huak, huak, huak . . . jeritan susul menyusul, darah
berhamburan memerah tanah dan sosok2 tubuhpun rubuh
morat marit.
Ia berhasil membasmi beberapa jago itu tetapi setelah itu
diapun kehabisan tenaga, Bluk, dia jatuh terduduk, mata
berkunang-kunang. Entah berselang berapa lama, hingga
pikirannya timbul: "Aku harus tinggalkan tempat ini."
Apabila saat itu Thong-thian-kau mengirim jago-jagonya,
cukup seorang saja, tentulah dengan mudah mengambil
jiwa Cu Jiang. Karena dia benar-benar lunglai sehingga
rasanya tak kuasa lagi mengangkat pedangnya.
Namun tekadnya yang membaja menimbulkan
kekuatannya. Dia merangkak bangun dan dengan
terhuyung-huyung ia melangkah pergi.
"Cu Jiang, kuatkan dirimu. Jangan rubuh, ayo, terus
jalan pelahan-lahan. Makin jauh dari tempat itu makin baik
. . ." suara hatinya membisikinya.
Entah berapa lama dan entah sampai di mana, akhirnya
ia merasa tak kuat lagi.
"Ayo, jangan rubuh ..." hatinya berkata namun tubuhnya
tak kuat Dan jatuhlah ia ke tanah, tak ingat apa2 lagi. .
Tak berapa lama, sesosok bayangan merah muncul. Dia
terlongong tegak di samping Cu Jiang, berjongkok
membuka kain penutup muka anakmuda itu dan menjerit
kaget:
"Oh, kiranya dia!"
Dari nadanya menunjukkan bahwa pendatang itu
seorang wanita. Tetapi siapakah dia? Apakah dia kenal
pada Cu Jiang?
Tiba-2 terdengar suara pekik seram berkumandang dari
kejauhan. Bayangan merah itu segera menghilang dalam
kegelapan lagi.
Selekas bayangan merah itu lenyap maka muncullah
seorang berjubah hitam. Wajahnya juga ditutup dengan
kain kerudung. Gesit sekali orang itu sudah melompat ke
tempat Cu Jiang, membuka kain penutup mukanya dan
menyurut mundur tiga langkah.
"Kiranya tak salah dugaan itu, memang dia!"
Habis berkata dia terus mengangkat tangan dan
menghantam kearah Cu Jiang, tetapi di tengah jalan tiba2
dihentikan lagi.
"Apakah harus sekarang mencabut jiwanya?" Beberapa
saat kemudian, dia mengangkat lagi tangannya. Tiba2
terdengar tawa dari seorang perempuan. Orang berjubah
hitam itu menarik tangannya dan secepat kilat terus lari
kearah suara tawa itu.
Kembali muncul sesosok bayangan. Dengan cepat orang
itu terus menyambar tubuh Cu Jiang dibawa lari.
Ketika sadar, Cu Jiang dapatkan dirinya tidur diatas
tumpukan rumput yang empuk. Walaupun gelap, dia dapat
mengetahui kalau sedang berada disebuah goa.
"Hah, mengapa aku berada disini ? Bukankah aku
terkulai rubuh kehabisan tenaga ?" Ia terkejut sendiri.
Demi menjaga keselamatan, dia tak berani bergerak dan
pura2 tetap pingsan. Tetapi diam2 ia kerahkan tenaga-
dalam. Ternyata sudah pulih separoh bagian. dan sudah tak
merasa sakit.
Hal itu tak mengherankannya. Jalan darah utama Seng-
si-hun-koen pada tubuhnya sudah tertembus. Dan hal itu
hanya merupakan satu langkah lagi untuk mencapai
kesempurnaan tenaga-dalam.
Diam2 dia mengingat dan menghafalkan isi pelajaran
kitab Giok ka-kim-keng mengenai ilmu pernapasan untuk
menenangkan perasaan hati. Dalam beberapa saat
kemudian, tenaganya makin pulih.
Dan kilat pandang matanyapun bertambah tajam.
Memang benar tempat itu sebuah gua yang dalamnya dua
tombak. Diluar tampak bintang2 berkelip-kelip.
Menunjukkan bahwa saat itu masih malam hari.
Tiba2 ia mengetahui bahwa dalam suasana yang gelap
itu ada sepasang mata yang berkilat-kilat tajam memandang
kepadanya. Dia terkejut sekali dan beranjak bangun.
Dari sinar bulan yang menyeruak ke dalam gua, ia segera
mengetahui bahwa pemilik sepasang mata tajam itu tak lain
adalah pencuri-sakti Ciok Yau to bergelar Thian-put-hoa.
Mengapa orang tua itu berada disitu? Belum sempat ia
menegur, orang itu sudah mendahului tertawa:
"Ho, hebat sekali. Ternyata engkau cepat kali sudah
sembuh !"
Diam2 Cu Jiang merabah pedangnya.
"Sahabat kecil, jangan banyak curiga. Kalau mau, aku
dapat dengan mudah mencabut jiwamu!"
Cu Jiang malu atas tindakannya mencurigai orang.
"Apakah cianpwe yang menolong aku?"
"Separoh bagian."
"Separoh bagian? Aku tak mengerti maksud cianpwe."
"Engkau mati satu kali."
Cu Jiang makin bingung.
"Aku benar2 masih tak jelas!"
"Duduk dan mari kita bercakap-cakap, orang itu
memberi isyarat tangan. Dan Cu Jiangpun menurut.
Setelah berbatuk-batuk, Thian-put-thou berkata pelahan-
lahan.
"Setelah engkau membunuh ketiga iblis, membasmi
kawanan kunyuk2 kecil, engkau kehabisan tenaga dan
menggeletak dalam hutan . . ."
"O, lo cianpwe tahu semua ini?" Cu Jiang terkejut.
"Tentu."
"Lalu?"
"Seorang gadis baju merah yang mukanya bertutup kain
cadar, muncul dan membuka penutup wajahmu . . ."
"Ah, dia ...."
"Bentuk badannya seperti hantu. Jika aku tak salah terka,
dia adalah iblis wanita yang disohorkan orang sebagai Ang
Nio Cu !"
"Ang Nio Cu ?" Cu Jiang mengulang gemetar.
"Tetapi itu hanya dugaan saja. Akupun hanya
mendengar namanya belum pernah tahu orangnya."
"Lalu?"
"Ang Nio Cu membawa anak buahnya yang sembunyi.
Ketika mendengar anak buahnya bersuit memberi tanda,
dia terus kabur. Dan lalu muncul lagi seorang lain..."
"Siapa ?"
"Seorang yang pakaian dan mukanya bertutup kain
hitam, entah siapa . . ."
Cu Jiang mengangguk. Pikirnya, mungkin ketua Gedung
Hitam tetapi Thian-put-thou tak mau mengatakan.
Pencuri-sakti Thian-put-thou melanjutkan: "Orang itu
mengenal engkau . . ."
"Apakah dia juga membuka kain penutup mukaku ?" Cu
Jiang terkejut.
"Benar, dia hendak menghancurkan dirimu, tetapi ragu2.
Itulah sebabnya maka kubilang, engkau sudah mati satu
kali."
"Akhirnya dia tak jadi turun tangan ?"
"Jadi. tetapi pada saat dia hendak melepaskan hantaman,
tiba2 Ang Nio Cu bersuit untuk mengganggunya."
"Oh !" Cu Jiang mendesah pula. Diam2 ia mengeluh
karena merasa terlalu banyak berhutang budi pada Ang Nio
Cu.
"Ketika si baju hitam itu pergi, akupun segera
membawamu ke mari, Itulah sebabnya maka aku katakan
bahwa aku hanya memberi pertolongan separoh bagian
adalah wanita baju merah itu." kata Thian put thou pula.
Cu Jiang bangun dan memberi hormat:
"Terima kasih lo cianpwe. Budi locianpwe akan kucatat
baik2 dalam hati."
"Tak usah, tak usah," Thian-put thou gopoh mencegah,
"aku situa ini masih berhati seperti anak kecil. Kita jadi
sahabat saja."
"Tua dan muda harus ada tata peraturannya, masakan .."
"Duduk, duduk. Kalau engkau suka, panggil saja aku
sebagai lo-koko, mau?"
"Ini ..."
"Aku tak senang segala macam peradatan."
"Kalau begitu terpaksa aku menurut saja."
"Begitulah, adik kecil, ha, ha, ha . . ."
"Rupanya lo-koko terus menerus mengikuti aku . . ."
"Kukatakan, hatiku masih seperti anak kecil," kata Thian
put thou lalu berobah serius, katanya. "adik kecil, aku
mempunyai isi hati, seperti tulang menyekat di
tenggorokanku, kalau tak kukatakan cukup mengganjel. . ."
"Lo koko mau bilang apa, silakan."
"Adik kecil! Aku, bagi seorang ksatrya sejati, apakah
pantangannya nomor satu?"
Cu Jiang terbeliak. Ia tak mengerti apa yang akan
dimaksud oleh orang tua itu.
"Pantangan .... apa?"
"Wanita !" Thian-put-thou berkata dengan tegas.
Serentak Cu Jiang teringat, ketika hendak meninggalkan
rumah berhala di luar kota Gong-an. Thian put thou pernah
bergumam: "Hm, jangan menganggap dirinya paling gagah
sendiri di dunia. Lambat atau cepat, pasti akan mengantar
jiwa ke bawah kun ( rok ) si Ciok Liu . . ."
Kini orang tua itu mengatakan soal pantangan, tentu ada
sebabnya. Tetapi Cu Jiang heran, ke mana tujuan kata2
Thian-put thou itu. Selama ini ia merasa selalu menjaga diri
dan menjauhi kehidupan dengan wanita iseng ....
Ia hendak menyatakan keadaan dirinya kepada Thian
put-thou tetapi saat itu dari kejauhan terdengar lengking
jeritan ngeri dari seorang wanita.
Thian-put thou pun serentak berbangkit: "Jangan2
wanita baju merah itu disiksa orang berbaju hitam itu ?"
"Mungkinkah ?" teriak Cu Jiang penuh emosi.
"Mungkin sekali. Ketika kubawa engkau kemari, wanita
baju merah itu masih berkeliaran ditempat itu, rupanya dia
hendak mencari engkau...."
"Lo koko, mari kita ke sana."
"Hayo !"
Keduanya segera melesat dari goa. Menilik letak bintang
Pak-tou, saat itu tengah malam. Setelah jeritan ngeri itu, tak
terdengar suara apa2 lagi. Sukar untuk menentukan
arahnya.
Cu Jiang yakin dugaannya tentu benar. Orang berbaju
hitam dan berkerudung muka kain hitam itu tentulah ketua
Gedung Hitam dan wanita baju merah itu tentulah Ang Nio
Cu.
Kemungkinan Ang Nio Cu tentu bukan tandingan dari
Ketua Gedung Hitam. Ia memang telah banyak berhutang
budi kepada Ang Nio Cu, tak dapat ia berpeluk tangan tak
memperdulikan. Dan lagi, diapun hendak mencari ketua
Gedung Hitam itu untuk menyelesaikan dendam hutang
darah yang terakhir.
"Lo-ko, lari ke timur dan aku yang kebarat. Kalau
bertemu sesuatu, berilah pertandaan suitan."
"Baik," kata Thian put thou yang terus lari ke timur. Cu
Jiangpun menuju ke barat.
Cu Jiang melintasi sebuah hutan. Walaupun gelap sekali
tetapi berkat tenaga-dalam yang dimiliki sudah mencapai
tingkat tinggi, dia tetap dapat menembuskan pandang
sampai jarak seluas delapan tombak.
Beberapa saat berlari dia sudah tiba di ujung hutan.
Ketika dia hendak berputar tubuh balik lagi mencari lain
jalan, tiba2 ia melihat sesosok bayangan bergerak cepat dari
balik gerumbul.
Cu Jiang cepat mengejarnya. Tetapi karena kaki kirinya
pincang. dia kalah gesit dengan orang itu yang diduga tentu
seorang jago ko jiu. Jaraknya makin lama makin jauh.
Orang itu sebentar tampak sebentar lenyap.
Setelah sepuluhan li, tiba2 orang itu berhenti seperti
sudah lelah. Cu Jiang percepat gerakannya. Dalam
beberapa loncatan dia sudah tiba di samping orang. Tetapi
ketika memandangnya, kejutnya bukan kepalang.
Yang dihadapannya, seorang wanita baju merah dan
dibawah kaki wanita itu menggeletak sesosok mayat dari
seorang wanita baju merah lagi.
Cu Jiang tak asing lagi. Wanita baju merah itu adalah
salah seorang dari keempat wanita baju merah yang
memikul tandu tempo hari. Dengan demikian benarlah
dugaan Thian put-thou, bahwa wanita baju merah yang
muncul di hutan itu, tak lain adalah Ang Nio Cu.
Tampaknya wanita baju merah itu tak terkejut atas
kemunculan Cu Jiang. Mungkin pada waktu berkejar-
kejaran tadi, wanita itu sudah tahu.
"Apakah anda Toan-kiam-jan-jin?" tegur wanita itu.
"Ya, benar."
"Engkau tidak mati?" tanya pula wanita itu tanpa
sungkan lagi.
Mengingat Ang Nio Cu, Cu Jing tak marah kepada
bujang baju merah itu, sahutnya:
"Kalau mati masakan bisa datang ke sini."
Sambil menunjuk pada kawannya yang menggeletak di
bawah kakinya, bujang baju merah itu menggeram:
"Engkau masih bernyawa tetapi dia sudah mati."
"Mengapa mati?"
"Karena engkau."
Cu Jiang terperanjat, serunya:
"Apa? Dia mati karena aku?"
"Siapa bilang tidak?"
"Bagaimana peristiwanya?"
"Kami berdua menerima perintah majikan untuk
mencari jejakmu . . ."
"Oh, lalu siapa yang membunuhnya?"
"Seorang baju hitam yang berkerudung muka."
"Dia!" Cu Jiang mengertek gigi.
"Siapa?" dayang baju merah itu tegang.
"Ketua Gedung Hitam!"
"Dia ... dia pemimpin Gedung Hitam yang menguasai
dunia persilatan itu?"
"Ya. "
"Hm, baik, baik . . ." bujang baju merah itu tak
melanjutkan katanya karena terdesak oleh rasa tegang yang
meluap-luap.
Dengan mengertek gigi, berkatalah Cu Jiang dalam nadi
tegas:
"Aku akan membalaskan sakit hatinya."
"Majikan kamipun dapat juga!"
"Di mana majikanmu?"
"Mengejar jejak lelaki jubah hitam itu."
"Lalu hendak engkau apakan mayat kawanmu itu?"
"Menurut peraturan perguruan kami, akan dikubur
dengan baik. "
"Apakah aku dapat membantu? "
"Tak usah."
"Majikanmu mengejar ke arah mana?" tanya Cu Jiang.
"Barat. "
"Bila bertemu dengan majikanmu, tolong sampaikan,
bahwa Toan-kiam-jan-jiu takkan melupakan budinya!"
"Hm, mudah-mudahan hatimu sesuai dengan kata-
katamu." wanita baju merah mendengus dingin.
"Apa maksudmu ?"
Wanita baju merah itu tertawa rawan.
"Orang bawahan tak bebas bicara. Semoga anda ingat
apa yang anda ucapkan tadi!"
Cu Jiang tak mengerti tetapi dia tak mau mendesak.
"Aku seorang lelaki, apa yang kuucapkan adalah
pendirianku Bagaimana aku tak dapat pegang Janji?
Sudahlah, jangan cemas," kata Cu Jiang terus lari ke arah
barat.
Karena sampai terang tanah tak bertemu suatu apa,
terpaksa dia kembali ke timur lagi.
"Thian put-thou kebanyakan tentu sudah tak berada
dalam goa itu. Karena aku harus menepati janji dengan Tio
Hong Hui di Li-jwan. Lebih baik aku kesana dulu."
pikirnya. Dengan keputusan itu ia segera melanjutkan
perjalanan.
Setiba di kota lebih dulu ia membeli seperangkat pakaian
baru untuk ganti, lalu meneruskan perjalanan lagi. Dan
pada hari itu setelah menyeberang di pangkalan Ciok-po-
say, tibalah dia didaerah pegunungan Bu-leng san. Dengan
kota Li-Jwan sudah tak berapa jauh lagi.
Begitu memasuki daerah gunung Bu-leng san, perasaan
Cu Jiang mulai tegang. Keluarganya telah terbunuh di
gunung itu. Dendam darah itu belum terbalas, bagaimana ia
dapat menghibur arwah kedua orang tua dan adik-adiknya?
Untuk mempersingkat jalan, dia tak mau mengambil
jalan besar tetapi melintasi daerah hutan di gunung.
Saat itu matahari sudah condong ke barat. Di sebelah
muka hutan belantara yang tak diketahui ujungnya. Tak
terdapat sebuah rumah pendudukpun juga.
Pada saat ia bingung, tiba2 ia melihat gumpalan asap
mengepul dari arah lamping gunung. Jelas itu sebuah
perumahan, entah milik kaum pemburu entah orang lain.
Cepat ia lari menuju ke tempat itu.
Setelah melintas sebuah bukit, ternyata lamping gunung
itu merupakan sebuah lembah sempit dengan sebuah air-
terjun. Di dekat air-terjun itu, terdapat sebuah rumah
bambu. Membelakangi gunung dan menghadap air-terjun.
Cu Jiang termangu-mangu menyaksikan tempat yang
tenang dengan dikelilingi alam yang indah itu. Ia duga
tempat itu tentu bukan rumah orang tani melainkan tempat
persembunyian seorang yang mengundurkan diri dari
pergaulan ramai.
Cepat ia menuju ke tempat itu. Tiba di muka pagar, pada
waktu hendak berseru tiba2 muncul seorang lelaki
berpakaian seperti seorang sasterawan, tangannya
membawa sebuah buntalan kain panjang.
Jelas dia bukan orang desa atau bangsa pemburu. Cu
Jiang cepat melesat ke belakang sebuah batu besar.
Sasterawan itu melangkah pelahan-lahan ke tengah
ruang. kemudian berdiri tegak dan memandang langit
seolah seperti memikirkan sesuatu yang sulit.
Wajahnya gagah, alis tebal menaungi sepasang matanya
yang bundar. Usianya lebih kurang tiga puluhan tahun.
"Adakah dia seorang persilatan yang menyembunyikan
diri dari kejaran musuh?" tiba2 timbul dugaan Cu Jiang.
"Engkoh Hong!"
"Ya, aku di sini!" terdengar sebuah penyahutan dan
tahu2 muncul seorang wanita muda yang cantik sekali.
"Ah, mengapa kedua orang itu tinggal ditempat yang
sesunyi begini?" timbul lagi pikiran Cu Jiang.
Dengan langkah tergontai, wanita cantik itu
menghampiri ke sisi sasterawan, memandangnya sejenak,
lalu berseru:
"Engkoh Hong, mengapa tiba2 engkau berobah?"
"Ceng-moay, aku tidak berobah." sahut sasterawan itu
dengan tak acuh.
"Ih, mengapa engkau tak mau mengaku. Sejak tiga hari
yang lalu engkau turun gunung, pulang di rumah sikapnya
agak lain ..."
"Ah, engkau terlalu banyak mereka-reka sesuatu."
Wanita cantik itu beralih memandang pada bungkusan
kain yang dipegang sasterawan itu, seketika wajahnya pucat
dan tubuh gemetar.
"Engkau . . . mengeluarkan . . . barang itu lagi?" serunya
dengan nada tergetar.
Wajah sasterawan itu mengulum senyum tetapi tak
sedap dipandang. Suatu senyum hambar yang dipaksakan.
Dan cepat sekali wajahnya sudah membeku lagi.
"Ceng-moay. aku . . . aku ..."
"Engkau bagaimana?"
"Terus terang saja, selama tiga tahun ini aku memang tak
dapat melupakan barang ini!"
Airmata wanita itu mulai berlinang-linang dan dengan
rawan berkata:
"Kalau begitu selama tiga tahun ini, engkau
mempermainkan aku?"
Sasterawan itu tertawa hambar, sahutnya: "Bagaimana
engkau mengatakan begitu?"
"Engkau membohongi aku! Mempermainkan cinta . . ."
"Tidak, aku tidak merasa begitu. Kalau aku memang
bermaksud hendak membohongimu, tentu tak dapat
mengatakannya."
"Tetapi engkau . . . berobah.."
"Berobah?"
"Engkoh Hong, bilanglah dengan setulus hatimu, engkau
mencintai aku atau tidak?"
Di tempat persembunyiannya, Cu Jiang tak mengerti apa
yang terjadi pada kedua orang laki dan wanita itu.
"Sudah tentu mencintaimu." sahut sasterawan itu.
"Kalau sungguh-2 mencintai aku, lupakan barang itu! "
seru wanita itu dengan tegang.
"Tetapi ..."
"Oh, tak dapat melupakan, bukan?"
"Ceng moay, kuminta dengan sangat akan pengertianmu.
Hal itu merupakan tujuan utama dari hidupku . . ."
"Tutup mulut! Engkau lupa bagaimana kita berdua
sampai berkumpul disini. Bukankah karena hendak
menghindari keramaian dunia?"
Dahi sasterawan itu nampak berkerut.
"Engkoh Hong, darimana sepuluh buah luka yang terjadi
pada tubuhmu itu? Tampaknya engkau sudah hampir mati
sampai beberapa kali ? Engkau pernah mengatakan bahwa
selamanya engkau akan melupakan dan takkan membuka
bungkus kain itu lagi. Tetapi mengapa sekarang engkau
berobah pendirian ?"
Wajah sasterawan itu makin tak sedap dipandang.
Menandakan bahwa saat itu hatinya sedang kacau.
"Ceng-moay, aku sangat menderita. Banyak kali aku
berusaha untuk melupakannya, tetapi aku . . . tak dapat!"
akhirnya ia berkata.
"Eh, sebenarnya engkau bertemu apa waktu kali ini turun
gunung ?" seru wanita cantik itu dengan tegang.
"Kudengar.... di daerah Tionggoan telah muncul seorang
jago pedang yang hebat sekali, bernama Toan-kiam-jan jin!"
"Benar, sejak dulu memang begitu. Begitu mendengar di
daerah mana muncul seorang jago pedang, engkau terus
buru2 mencarinya. Apa yang engkau dapatkan? Engkau....
engkau..."
Wanita itu tak dapat melanjutkan kata-katanya karena
tersekat oleh kemarahan.
Sasterawan kerutkan alis dan berkata dengan nada
tegang:
Tetapi kali ini memang berbeda. Kaum persilatan
menyanjung Toan-kiam-Jan Jin sebagai seorang Dewa-
pedang. Setiap kali dia hanya menggunakan sebuah jurus
dan musuh tentu terluka atau mati. Kalau.... aku dapat
mengalahkannya, aku merasa puas seumur hidup !"
Diam2 Cu Jiang tercekat hatinya. Lelaki itu jelas seorang
silat maniak, seorang yang gila akan ilmu silat. Suatu cita2
yang jahat dan juga melanggar etika (susila) persilatan.
Bukankah banyak jalan untuk mengangkat nama supaya
termasyhur. Menjalankan kebaikan, menolong yang lemah,
memberantas yang jahat dan lain2 cara yang bersifat
ksatrya, merupakan cara yang lebih utama dan terpuji
daripada dengan jalan menghancurkan setiap orang yang
dipandang lebih tinggi kepandaiannya dari dirinya.
Terdengar pula sasterawan itu berkata: "Kabarnya dia
muncul disekeliling daerah ini. Aku hendak mencarinya
Ceng moay, ijinkan aku. Hal ini kecuali dirimu, merupakan
cita2 harapanku yang utama. Sejak aku berumur tujuh belas
tahun dan mendapat pelajaran ilmu pedang dari jago
pedang yang tak dikenal itu, baru hari ini aku dapat
memahaminya dengan sempurna."
Tampak wanita cantik itu agak tenang. "Apakah engkau
tetap hendak menantang Toan-kiam jan jin ?" serunya
dingin.
Wajah sastrawan itu berobah merah.
"Ceng-moay, kabulkanlah keinginanku !"
Sepatah demi sepatah, wanita cantik itu berkata dengan
tegas:
"Jika begitu, bunuhlah aku lebih dulu !"
Sastrawan terkejut sekali, serunya: "Apa maksudmu?"
"Karena kita berdua takkan dapat berkumpul"
"Mengapa ?"
"Aku mempunyai firasat, kali ini engkau pasti takkan
kembali lagi."
Sastrawan itu mundur dua langkah. Sepasang matanya
berkilat tegang lalu berseru dengan suara tergetar:
"Ceng-moay, menganggap aku akan mati ditangan Toan-
kiam jan Jin?"
"Aku benar2 mempunyai firasat begitu !"
Sasterawan membuka bungkusan kain panjang dan
sebatang pedang pusaka nampak menongol.
"Engkoh Hong, apakah engkau benar2 sudah tetap pada
keputusanmu?" teriak wanita cantik itu.
Setelah mencabut pedang itu maka tampak pedang itu
memancarkan hawa panas yang menyeramkan. Ditingkah
sinar matahari silam, pedang itu memancarkan sinar yang
aneh, seolah memberi suatu firasat.
"Ceng-moay, hanya sekali ini saja aku mohon
kepadamu!"
Tampak cahaya muka wanita cantik itu sebentar-sebentar
berobah dan akhirnya membeku. Dia mengangguk:
"Sejak dulu aku memang sudah meramalkan bahwa
kelak tentu akan menghadapi saat seperti ini. Tetapi aku
tetap menikah dengan engkau. Mungkin kesemuanya ini
sudah garis takdir !"
"Ceng-moay, jangan berkata begitu!"
"Sekarang aku baru tahu. Engkau tidak mencintai diriku
tetapi lebih cinta pada pedang. Hidup-mu hanya untuk
pedang..."
"Ceng-moay, ucapanmu terlalu tajam..."
Wanita cantik tertawa dingin:
"Bukankah kenyataan memang begitu?"
"Ceng-moay," kata sasterawan dengan nada pilu, "aku
cinta padamu. Tindakanku ini membuatmu bersedih tetapi
kumohon engkau suka maafkan. Aku berjanji, hanya satu
kali ini saja, ya, sekali ini saja !"
"Ya hidup itu .. . memang hanya sekali ini saja !"
"Ceng-moay . .."
"Hong-ko, semoga engkau berhasil mengangkat nama !"
habis berkata tiba2 wanita cantik loncat kebelakang rumah
dan terus lari keatas gunung.
Sasterawan itu tercengang, sesaat kemudian baru
berteriak:
"Hai, hendak kemana engkau, Ceng-moay?"
Tetapi wanita cantik tak menghiraukan lagi. Larinya
makin kencang. Melihat itu sasterawanpun segera mengejar
dan berteriak-teriak memangginya:
"Ceng-moay . . . Ceng-moay ..."
Cu Jiang geleng2 kepala dan menghela napas. Pikirnya,
manusia memang aneh. Mengapa sudah enak2 hidup
tenteram, masih hendak cari perkara? Mengapa orang itu
lebih mengutamakan nama daripada cinta? Apakah
kemasyhuran nama itu? Ayah juga diagungkan sebagai
Seng-kiam (Dewa Pedang), tetapi apa jadinya?
Tertarik oleh peristiwa kedua suami isteri itu, Cu Jiang
diam2pun lari mengikuti, Ia lupa akan rasa lapar.
Tiba di lamping gunung, ia terkejut menyaksikan suatu
adegan yang mendebarkan. Wanita cantik itu berdiri di atas
sebuah batu karang tinggi yang hanya cukup untuk
ditempati seorang. Di bawah karang itu terbentang air-
terjun yang meluncur ke bawah sampai beratus tombak.
Sasterawan merangkak naik menghampiri seraya berseru
membujuknya.
"Ceng moay . . . kembalilah, aku. . . akan menurut segala
permintaanmu!"
Wanita cantik tertawa dingin:
"Terlambat, aku tak mau mengemis cinta karena engkau
kasihan kepadaku. Aku tidak bersandiwara, juga tidak
menggertakmu. Semoga engkau menjaga diri baik2, engkoh
Hong, selamat tinggal, jago pedang nomor satu di dunia . ."
Saat itu sasterawan sudah merangkak ke atas permukaan
karang dan terus menyambar kaki wanita itu tetapi ah....
hanya terpaut seujung jari dan terlambatlah dia. Wanita
cantik itu sudah loncat ke bawah jurang ....
"Ceng moay . . . !" terdengar sasterawan itu melolong
seperti serigala mengaum di tengah malam. Nadanyapun
kepiluan dan putus asa.
Tetapi hal itu tidak menolong apa2. Bahkan hanya
merupakan suatu irama musik yang menghantar tubuh
wanita cantik lenyap tenggelam dalam kabut senja yang
menutupi permukaan jurang.
Hidung Cu Jiang turut mengembang air. Betapa
menyedihkan peristiwa itu. Kematian wanita cantik itu
walaupun dengan cara membuang diri ke bawah jurang,
tetapi hal itu tak lain hanya sebagai akibat dari ambisi
sasterawan itu. Atau lebih jelas, dia mati di tangan lelaki
yang dicintainya.
Karena tak ingin menderita berpisah mati dengan
suaminya yang akan menantang ilmu pedang dengan Toan-
kiam-jan jin, lebih baik ia mati lebih dulu.
Tetapi adakah pengorbanan jiwanya itu mampu
meredakan ambisi besar dari suaminya yang begitu sangat
bernafsu untuk mencari nama itu?
Sebenarnya Cu Jiang tak suka akan pikiran dan tindakan
sasterawan itu. Dia hendak muncul dan memberinya
pengajaran. Tetapi mengingat bahwa baru saja sasterawan
itu berduka cita kehilangan isteri tercinta, dia terpaksa
menahan diri. Dia mengharap semoga peristiwa pahit itu
akan menyadarkan pikirkan orang itu.
Sasterawan itu terus lari ke bawah untuk mencari mayat
isterinya di bawah air-terjun. Cu Jiang pun tak mau
mengikuti lagi dan terus melanjutkan perjalanan.
Keesokan harinya dia sudah keluar dari daerah gunung
Bu-leng-san. Hanya tinggal lima puluh li dari kota Li-jwan.
Ia berhenti di sebuah kota kecil lalu meneruskan jalan lagi.
Diperhitungkan waktu lohor nanti dia akan sudah tiba di
Li-jwan.
Menurut perhitungan hari itu masih kurang dua hari dari
waktu perjanjian. Entah apakah Tio Hong Hui dan
puterinya sudah datang atau belum.
Tengah berjalan tiba2 dia melihat beberapa rumah
pondok di pinggir jalan. Ternyata beberapa kedai minuman.
Kedai2 itu menjadi tempat persinggahan dari para penjual
dari desa.
Cu Jiang juga merasa haus. Dia singgah di sebuah kedai
dan minta disediakan arak putih.
Tengah dia perlahan-lahan menikmati minuman, tiba2
terdengar suara orang tertawa dan seorang pemuda berseru:
"Aneh, Can Su Nio, kepala perguruan Hot-goat-bun,
selama ini tak pernah meninggalkan kota Gong-an. Tetapi
mengapa kali ini tiba2 dia membawa muridnya Kim hun-li
pesiar ke daerah yang begini sunyi?"
Kawannya, juga seorang anak muda menyahut:
"Saudara Tio, mungkin bukan hendak pesiar tetapi ada
lain tujuan . . ."
"Ha, ha, ha .... Ho toako, kecuali cari kumbang memikat
kupu-kupu", apalagi pekerjaan perguruan Hoa-goat-bun
itu?"
"Apakah engkau bermaksud . . . bertamasya di taman
bunga Tho yang indah?"
"Apakah Ho toako tak ingin juga?"
"Kita satu tujuan, satu warna, ha, ha, ha, ha..."
"Ho toako hendak memberi bingkisan apa kepada
mereka ?"
"ini... ya, sebatang pohon Cian lian-hosiu-oh."
"Ah, benar2 sebuah benda yang jarang sekali."
"Dan engkau ?"
"Sepasang mustika Han-giok warisan leluhurku . . ."
"Ah, cukup nilainya."
Agak panas juga telinga Cu Jiang. Partai Hoa-goat-bun,
dia pernah mendengar. Partai itu menggunakan paras
cantik untuk menggaet kawanan orang persilatan yang
rendah moralnya, mengadakan tukar menukar ilmu
kepandaian dengan benda2 pusaka. Setiap kota, besar kecil,
dibuka cabang.
Pengaruhnya cukup besar. Sepak terjang mereka tak
lebih tak kurang seperti sarang pelacur. Hanya bedanya
setiap anak murid perempuan dari partai itu, rata2 memiliki
ilmu silat yang tinggi.
"Ho toako, engkau lebih banyak pengalaman. Menurut
pendapatmu, apakah kita akan berhasil?" tanya pemuda
yang pertama.
"Asal imbalannya cukup tinggi, dimana-mana tentu
dapat saling tukar. Apakah engkau baru pertama kali ini?"
"Ah, sudah . . . pernah sekali."
"Bagaimana?"
"Sukar dikata."
"Ha, ha, ha, ha...."
"Selama bunga Bo-tan masih berkembang, sudah jadi
setanpun orang tetap akan mengenang."
"Anak murid Hoa-goat-bun rata2 memiliki ilmu
kepandaian Kwan-ing-kang-hu (lunak dan keras). Terutama
dalam kepandaian di atas ranjang... sekali engkau pernah
merasakan mereka, engkau takkan kepingin lagi terhadap
lain wanita sekalipun dia itu secantik bidadari."
"Ho toako, hari ini kita akan sama2 mendayung dalam
satu perahu, bukan?"
"Ha, ha, ha . . . lote, jangan kuatir, hari ini aku hendak
coba2 menempel ketuanya, Hong Cek. Dengan sebatang
mustika Cian-lian-ho-siu-oh ini, tentu dapat menarik
perhatian ketuanya. Jika muridnya sudah begitu yahud,
ketuanya tentu lebih hebat lagi, heh, heh . . ."
"Aku sih asal dapat menggaet muridnya yang bernama
Soh-hunli itu saja, rasanya sudah puas!"
"Jika begitu kita sudah ada pembagian, tak mungkin
terjadi rebutan, ha, ha, ha .... "
"Apakah mereka benar menginap di kuil Lian hoa-yan
sana?"
"Benar, kita harus lekas2 ke sana. Jangan sampai
didahului lain orang."
"Mari."
Setelah membayar kedua anak muda itu terus keluar. Cu
Jiang segan mengurus mereka. Setelah minuman, diapun
terus melanjutkan perjalanan. Di jalan dia melihat kedua
busu (orang persilatan) tengah berjalan cepat. Tentulah
kedua pemuda yang berbicara dalam warung tadi.
Cu Jiang bahkan tak mau cepat2 berjalan. Dia masih
mempunyai waktu dua hari. Mungkin Tio Hong Hui masih
sedang dalam perjalanan.
Tiba di persimpangan jalan, yang satu menjurus ke
sebelah kiri dan masuk ke hutan, dia melihat sebuah
pertandaan rahasia. Dia terkejut. Apakah sandi itu dibuat
oleh salah seorang dari ke empat jago ko-jiu Tayli itu?
Apakah di daerah ini terdapat jejak kawanan Sip-pat-thian-
mo?
Ia terus balik ke tikungan jalan. Ia melihat jelas tanda
rahasia itu. Agar tidak membikin kaget lawan, dia segera
masuk ke dalam hutan, mematahkan ranting pohon lalu
dengan menutup diri pakai daun2, dia melanjutkan berjalan
ke muka.
Kira-kira setengah li jauhnya, tampak sebuah rumah
yang berdinding batu merah. Rupanya sebuah kuil. Segera
dia gunakan tata-langkah Gong-gong-poh hwat untuk
menghampiri.
Ketika dekat, Ia terkejut. Ternyata gedung itu adalah kuil
Lian hoa-yan seperti yang dikatakan kedua anak muda di
warung tadi.
Cu Jiang menyembunyikan diri dan merenungkan apa
maksud dari pertandaan rahasia yang ditinggalkan keempat
jago Tayli itu ? Tetapi sampai lama ia tak dapat
menemukan jawabannya.
Tiba2 dari dalam kuil itu terdengar suara tawa dari orang
perempuan. Nadanya amat cabul. Cu Jiang menduga, yang
tertawa itu tentu anak-murid dari partai Hoa-guat-bun yang
bernama Soh-hun li. Kuil merupakan sebuah tempat
pemujaan yang suci. Mana bisa akan dijadikan tempat
maksiat semacam itu.
Lalu apakah maksud tanda rahasia itu mengundang dia
supaya datang ke tempat itu ? Karena tetap tak dapat
menemukan jawaban akhirnya Cu Jiang memutuskan
untuk bersembunyi menunggu perkembangan.
Ia segera menuju ke samping dan terus menyelundup
masuk kedalam kuil.
Lian-hoa-yan partainya Kuil Teratai. Yang dipuja disitu
adalah Koan Im pousat. Keadaan bersih dan indah sekali.
Tak kalah mewah dengan gedung orang kaya.
Dari ruang sebelah barat yang berhias bunga2 indah.
terdengar suara tawa cabul tadi. Kedua busu tadi berdiri
diluar pintu ruangan. Wajahnya tampak dirangsang nafsu
yang berkobar-kobar.
Saat itu Cu Jiang bersembunyi digerumbul bambu yang
berhadapan dengan ruang bunga tadi. Melalui sela2 daun,
dia dapat melihat apa yang terjadi di ruang itu. Begitu
melihat, darahnyapun bergolak, mata merah membara.
Yang duduk didalam, ruang itu tak lain adalah Tio Hong
Hui dan puterinya. Tingkah mereka yang genit dan cabul
jauh berbeda sekali dengan sikap mereka yang sedih ketika
berada di kota Gong-an tempo hari.
Mengapa Tio Hong Hui hendak berjumpa dengan ketua
Hoa-goat-bun ?" demikian Cu Jiang menimang dan
merenung peristiwa aneh itu.
Ah, mungkin Tio Hong Hui itu memang seorang wanita
cabul seperti yang dikatakan oleh bekas suaminya Cukat
Giok atau Koh-tiong-jin, orang dan dalam lembah itu.
Dengan kata2 yang merangsang dan genit berserulah Tio
Hong Hui kearah pintu.
"Karena kalian dengan bersungguh hati datang kemari
hendak mencari keharuman, maka ketua kamipun terpaksa
meluluskan. Begini sajalah, kalian berdua dengan sepasang
burung hong mencari burung hong."
Dada Cu Jiang hampir meledak. Ternyata di dunia
terdapat wanita yang serendah itu martabatnya. Tetapi pada
lain saat dia terpaksa harus sabar. Dalam hal itu tentulah
terdapat sesuatu rahasia. Sebun Ong tentu mengatur
rencana dalam peristiwa itu.
Busu orang she Ho dengan hormat membungkukkan
tubuh lalu berkata.
"Bun-cu, aku yang rendah merasa sangat dahaga dan
mohon bun-cu sudi mencurahkan air hujan..."
Bun-cu artinya ketua perguruan.
"Ah, tak mungkin, barang upetinya tidak memenuhi
syarat." kata Tio Hong Hui dengan tertawa cabul.
"Akan kutambahi dengan pedang Keng-lui-kiam
tinggalan leluhurku!"
"Akan kuberi kelonggaran kepada kalian berdua untuk
bermain-main dengan burung hong !"
"Ini.... ini ... ."
"Terserah mau atau tidak. Jika tak mau, silahkan
kembali dan bawalah barang upeti itu !"
Kedua busu itu saling bertukar pandang. Lalu sama2
mengangguk.
Tio Hong Hui berpaling ke arah dara yang duduk
disampingnya:
"Anak manis, layanilah kedua tuan itu dengan baik2,
Jangan sampai mengecewakan.
Gadis itu tertawa dan berbangkit. Setelah menyatakan
kesanggupannya, ia terus melontarkan lirikan mata kepada
kedua busu yang berdiri di depan pintu, seraya
mengundang:
"Mari. kalian silahkan masuk !" Lirikan mata gadis itu
benar2 maut sekali. Seakan-akan mempunyai daya pesona
yang kuat.
Tiba2 Cu Jiang teringat akan ocehan Thian-put-toa
ketika dipuncak wuwungan rumah berhala.
"Selembar jiwa cepat atau lambat pasti akan diantar ke
bawah kun (rok) si Ciok Liu ..."
Orang tua aneh itu memperingatkan bahwa pantangan
besar bagi seorang pendekar ialah paras cantik.
Dengan begitu jelas bahwa Thian put thou ternyata
sudah tahu bahwa Ratu-kembang Tio Hong Hui dan
puterinya itu wanita yang cabul. Sayang Thian put-thou tak
mau bilang dengan terus terang dan Cu Jiang pun tak mau
bertanya lebih lanjut.
Sudah tentu pula Cukat Giok, kakek bernasib malang
yang terlempar didasar jurang itu, tak tahu bahwa isteri dan
puterinya sudah menjadi wanita penjual senyum.
Kedua busu itupun segera melangkah masuk. Cu Jiang
hampir tak dapat menguasai diri dan hendak keluar
membunuh mereka. Tetapi tiba2 terdengar suara tawa keras
dan dari balik gunungan batu yang tak jauh dari kuil itu,
meluncur keluar sesosok bayangan, seorang tua berjubah
kuning, berwajah merah segar seperti bayi, tubuh gagah
perkasa, memasuki ruangan.
Menilik perawakannya, teringatlah Cu Jiang akan
kawanan Sip-pat-thian-mo. Terpaksa dia menahan
kesabarannya.
Dengan hormat kearah ruangan, orang tua jubah kuning
itu berseru.
"Buncu, sudah lama kita tak berjumpa."
Pada saat itu Tio Hong Hui agak keheranan tetapi cepat
ia tenangkan diri dan tertawa.
"Oh, siapakah anda ?"
"Cobalah terka !"
"Seumur hidup belum pernah kenal, sukar untuk
menerka."
"Di seluruh kolong jagad ini, yang mampu melayani
bertanding ilmu kepandaian dengan bun-cu, siapa lagi
orangnya kecuali aku."
"O, biarlah kuingat-ingatnya dulu . . ."
"Apakah ketua yang dulu tak pernah menceritakan
tentang peristiwa pertempuran seratus babak yang
berlangsung sehari semalam itu?"
Ratu-kembang Tio Hong Hui serentak berbangkit dan
berseru tegang:
"Apakah anda itu dalam persekutuan Sip-pat-thian-mo,
bukan Hong-gwat-mo yang menempati urutan keempat?"
Orang tua jubah kuning itu tertawa gelak2.
"Benar, benar, itulah aku. Bagaimana kekuatan buncu
sekarang?"
"Dalam seratus babak, masih dapat melayani!"
"Bagus, aku sih orangnya tua tetapi tombak ku tak
pernah tua. Akan menjadi menteri utama untuk mengawal
pintu gedung bun-cu!"
Cu Jiang ingin mendekap telinganya agar tak mendengar
kata2 cabul yang bagi mereka diucapkan dengan enak saja.
Saat itu gadis Beng Cu dan kedua bu-su muda tadi sudah
masuk ke dalam kamar samping. Mungkin mereka sudah
mulai melangsungkan adegan yang disebut Sepasang
burung hong bermain dengan burung hong". Dua lelaki
melakukan adegan ranjang melawan seorang perempuan.
"Apakah aku boleh masuk?" seru orang tua jubah kuning
itu.
"Tunggu dulu!"
"Apakah bun cu masih hendak mengatakan pesan lagi?"
"Anda tahu peraturan perguruan kami?"
"Untuk aku si tua ini juga harus terkena peraturan?"
"Siapapun tiada yang dikecualikan!"
"Baiklah, sebuah ilmu silat, bagaimana?"
"Ilmu silat yang bagaimana?"
"Kui ai-lay-hwat?"
"Oh, ilmu pernapasan kura-kura, itu harus di berikan
lebih dulu. . ."
"Aku sudah tak dapat menunggu lagi ..."
"Tidak bisa, itu sudah menjadi peraturan perguruan
kami!"
"Baiklah."
"Silahkan masuk!"
Melihat itu Cu Jiang tak dapat menahan hatinya lagi.
Sambil berseru supaya mereka jangan bergerak dia terus
melesat ke luar.
Melihat Cu Jiang wajah Ratu-kembang Tio Hong Hui
berobah seketika. Kemunculan Cu Jiang benar2 tak pernah
diduganya.
Tanpa berpaling iblis Hong-gwat-mo berseru seram.
"Hai, manusia mana yang tak punya malu berani cari
mampus?"
Berulang kali Tio Hong Hui mengedipkan mata memberi
isyarat kepada iblis itu. Hong-gwat-mo pelahan-lahan
membalik tubuh dan . . .
"Hm engkau tentu Toan-kiam-jan jin yang memusuhi
golonganku?" serunya gemetar.
"Benar!"
"Baik, aku memang hendak mencarimu!"
"Sama-sama."
"Hari ini engkau harus mati!"
"Kata2 itu seharusnya aku yang mengatakan kepadamu!"
Mata Cu Jiang berkilat-kilat menyapu ke dalam ruang.
Ratu kembang Tio Hong Hui menggigil.
Iblis Hong-gwat mo melangkah maju dua tindak. Tiada
angin, jubahnya menggelembung sendiri.
Cu Jiang beralih memandang iblis itu. Diam2 ia
menimang. Walaupun raja Tayli tidak menyukai suatu
pembunuhan dan waktu berangkatpun suhunya, Gong
gong-cu, memberi pesan agar menghindari pembunuhan
dan cukup menghancurkan tenaga kepandaian musuh saja,
tetapi Cu Jiang berpendapat bahwa terhadap iblis cabul
macam Hong-gwat-mo, jika dibiarkan hidup tentu akan
merusak gadis2 dan kaum wanita di dunia. Harus dibasmi.
Setelah mengambil keputusan, mata Cu Jiang pun
memancar sinar pembunuhan. Kata2 Thian-put thou
kembali terngiang di telinganya . . . "jangan kasih
kesempatan pada lawan " . . . .
Dan Cu Jiangpun teringat akan peristiwa yang
dialaminya sendiri. Karena bertempur terlalu lama, hampir
saja dia mati di tangan kawanan Bu Mo dan kawan-
kawannya.
Hong-gwat-mo memang tak kecewa sebagai seorang
pentolan iblis. Melihat sinar mata Cu Jiang ia dapat menilai
isi hati pemuda itu. Maka cepat dia mendahului
menghantam lawan dengan kedua tangannya.
Tetapi dengan memiliki kepandaian yang tinggi, Cu
Jiangpun memiliki gerak yang cepat sekali. Begitu lawan
menghantam diapun terus menyabet dengan pedang
kutungnya. Gerakan itu hampir berbareng waktunya.
Terdengar erang tertahan dan Hong-gwat-mo terhuyung
mundur tiga langkah. Lengan kanannya berdarah. Tetapi
Cu Jiang pun termakan pukulan lawan sehingga tubuhnya
berguncang keras.
Begitu tercerai Hong gwat-mo terus melesat pergi. Sudah
tentu Cu Jiang sangat terkejut sekali. Bagaimana seorang
iblis berasal dari Sip pat thian-mo, dalam satu gebrak saja
sudah ngacir.
"Hai, mau lari kemana engkau !" Cu Jiang terus
mengejar. Tetapi dalam sekejab mata iblis itu sudah lenyap
dalam kegelapan malam. Sekeliling penjuru hutan lebat,
sukar untuk mengejarnya.
Cu Jiang termangu, Ia mengakui bahwa nasehat orang
tua Thian-put-thou itu memang tepat. Jika tadi dia terus
melancarkan serangan dahsyat, Hong-gwat-mo tentu tak
sempat melarikan diri lagi.
Ia terus alihkan perhatiannya pada Tio Hong Hui dan
anak gadisnya. Cepat dia kembali masuk kedalam ruang.
Tetapi alangkah kecewanya ketika melihat ruang itu sudah
kosong melompong.
Ketika menuju ke ruang kecil, ia mendengar suara orang
merintih aneh. Setelah menentukan rintihan dari dalam
sebuah kamar, dia terus menghantam pintunya dan
menerobos masuk. Apa yang di saksikan membuatnya
muak dan panas.
Diatas ranjang kayu yang besar, kedua busu tadi rebah
dengan telanjang. Mereka terus menerus merintih-rintih
karena dibungkus dengan kasur dan dibuntal dengan kain
kelambu. Sedang gadis tadi bersama ibunya sudah lolos.
Kedua bu-su itu lemas tak bertenaga. Mereka tentu
terkena ilmu pesona.
"Menjadi kaum persilatan tetapi melanggar peraturan
persilatan, pantas dibunuh!" Cu Jiang mendamprat seraya
mengangkat tinjunya.
Kedua bu-su itu membuka mulut tetapi tak dapat
bersuara apa2. Keduanya hanya membelalakkan mata
menunggu kematian.
Adegan itu menimbulkan ingatan Cu Jiang akan
kematian yang mengenaskan dari mamah dan anak
perempuan paman Liok Keduanya itu telah menjadi korban
pembunuhan dan perkosaan yang keji dari kawanan
manusia iblis.
Seketika hilanglah rasa kasihan Cu Jiang. Sekali tangan
berayun, ke dua bu su itupun menjadi setan2 cabul di
neraka.
Cu Jiang tak mau menyaksikan lebih lanjut. Dia menuju
kembali ke dalam ruang, ia marah sekali. Dia telah kena
dikelabuhi oleh Sebun Ong dan Tio Hong Hui. Ia menyesal
karena meragukan kepercayaan Cukat Giok.
Kini kemarahannya ditumpahkan pada para rahib dalam
kuil itu. Kuil Lian-hoa-yan merupakan tempat suci,
mengapa sampai dijadikan tempat maksiat. Jelas para rahib
di situ tentu tersangkut. Mereka tentu bukan rahib baik2.
Tetapi ketika dia menuju ke ruang tempat tinggal para
rahib dan lain2 ruang, dia tak melihat barang seorang
rahibpun juga. Rupanya mereka sudah sama melarikan diri
semua.
Karena tak mendapat hasil, dia kembali lagi ke ruang
depan. Tiba2 sesosok bayangan muncul. Cu Jiang terkejut
dan mengawasi tajam. Ah, kiranya pendatang itu seorang
sahabat baik dari suhunya, yaitu Lam-ki-soh.
"Locianpwe, selamat berjumpa," dia memberi hormat.
Tiba2 ia teringat bahwa saat itu ia memakai kain kerudung
penutup muka. Tetapi mengapa Lam-ki-soh dapat
mengenalinya?
"Ho, budak kecil, engkau masih ingat kepadaku?"
tenang2 saja Lam-ki soh menjawab.
"Sudah tentu tak lupa."
"Karena mendapat berita dari suhumu, maka akupun
akan menjaga dirimu . . ."
"Oh, terima kasih, lo cianpwe. "
"Tak perlu."
"Tetapi bagaimana locianpwe dapat datang ke mari? "
Cu Jiang bertanya pula.
"Aku si orang tua justeru hendak bertanya kepadamu.
Mengapa engkau hendak mengejar Hoa-gwat bun bun-cu, si
gagak tua yang tidak tahu malu itu?"
"Aku menerima permintaan tolong dari seorang sahabat
untuk menyelesaikan sebuah persoalan."
"Menerima permintaan orang ?"
"Dari Tionggoan-thayhiap Cukat Giok."
"Hm, bukan orang tak bernama. Mengapa dia dapat
meminta bantuanmu untuk mengejar ketua Hoa-goat bun ?"
"Karena wanita itu adalah isterinya !"
"Apa?"
"Ketua Hoa goat-bun itu adalah isteri Cukat Giok."
"Ngaco!" bentak Lam-ki-soh dengan mata membelalak.
Walaupun menaruh rasa hormat, tetapi Cu Jiang tak
suka diperlakukan semacam itu, Ia menyabut dengan nada
dingin:
"Aku tidak ngaco!"
"Budak, siapa yang bilang kalau isteri dari Cukat Giok
itu ketua Hoa-goat-bun ?" bentak Lam-ki-soh.
"Cukat Giok sendiri."
"Apa itu bukan ngaco belo namanya?"
"Aku bukan manusia yang gemar ngaco !"
"Apa Cukat Giok sudah gila?"
Cu Jiang tertegun lalu menjawab tegas:
"Dia tidak gila !"
"Mengapa dia minta tolong kepadamu supaya mencari
jejak isterinya?"
"Dia telah dikhianati orang dan kini menjadi manusia
cacad, ilmu kepandaiannya sudah punah. Dia mengatakan
bahwa istrinya itu tidak setia dan menyeleweng."
Lam-ki-soh regangkan kepala, merenung sejenak lalu
berkata:
"Apakah dia mengatakan kalau isterinya itu ketua dari
Hoa gwat bun?"
"Tidak ! Dia mengatakan isterinya adalah Hoa Hou
(Ratu kembang) To Hong Hui."
"Ya benar. Dan mengapa engkau tidak mencari Hoa hou
Tio Hong Hui tetapi memburu ketua Hoa-goat-bun?"
Rupanya Cu Jiang cepat menyadari. .
"Apakah ketua Hoa-goat-bun itu bukan Tio Hong Hui?"
serunya dengan nada gemetar.
"Engkau kurang pengalaman. Ketua Hoa-goat bun itu
Can Su Nio. Setiap hidung belang tahu. Mengapa hendak
engkau jadikan sebagai Tio Hong Hui? Apakah engkau
hendak mempersamakan kuda dengan keledai ?"
"Aku kena ditipu !" Cu Jiang menggeram.
"Siapa yang menipu ?"
"Bu lim-seng hud Sebun Ong !"
Lam-Ki soh kerutkan dahi.
"Nama Sebun Ong itu harum sekali, bagaimana
menipumu?"
Dengan mengertak gigi, Cu Jiang lalu memberitahu
semua peristiwa yang telah diceritakan Cukat Giok
kepadanya, tetapi dia tak mau mengatakan tentang dirinya
disiksa Bu Mo dan dilempar kedalam jurang.
"O, kiranya begitu. Kalau demikian, aku telah salah
duga. Ternyata Sebun Ong seorang ksatrya palsu yang
mengelabuhi mata seluruh kaum persilatan!" kata Lam-ki-
soh.
"Takkan kubiarkan dia dapat bebas berkeliaran lagi."
seru Cu Jiang.
"Tetapi tak mudah engkau hendak mencarinya. Dan
hati-hatilah terhadap rencana2 jahat yang akan
dilakukannya terhadap dirimu. "
"Lalu bagaimana langkahmu sekarang ?"
"Membikin perhitungan dengan ketua Gedung Hitam."
Pada saat itu terdengar suara dengusan dingin yang
menusuk telinga.
"Siapa!" teriak Cu Jiang.
Tetapi tiada penyahutan. Pada saat Cu Jiang hendak
mengejar, Lam-ki-sohpun mencegahnya:
"Jangan! Mereka dapat bersembunyi tanpa kita ketahui.
Jelas mereka tentu bukan kawanan yang lemah. Percuma
mengejarnya. Yang penting, bagaimana rencanamu hendak
mencari ketua Gedung Hitam itu?"
"Aku sudah punya rencana !"
Lam ki-soh tak mau mendesak. Dia beralih pembicaraan.
Dia mengatakan bahwa kuil Lian-hoa-yan itu merupakan
cabang perkumpulan Hoa-goat-bun, lebih baik dibakar.
Cu Jiang mengiakan! Dia masuk, merobek kain kelambu
dan menyalakannya. Keduanya keluar dan menyaksikan
kuil itu di makan api. Tiba2 beberapa sosok bayangan
melesat keluar dari dalam kuil itu. Seorang rahib tua dan
lima rahib muda.
"Karena sarangnya terbakar, kawanan rase bermunculan
keluar." Lam ki-soh bertepuk tangan.
"Apakah rahib2 itu anak murid Hoa-goat-bun ?"
"Ya, kau..."
Cu Jiang cepat loncat ke muka. Dengan beberapa
ayunan tangan, keenam rahib cabul itu menjerit ngeri dan
terlempar lagi ke dalam api.
"Budak, agaknya ganas sekali engkau ini." seru Lam.ki-
soh.
"Membasmi kejahatan harus sampai bersih. Membiarkan
orang2 seperti itu hidup di dunia, takkan membawa berkah
pada manusia."
"Hayo, kita pergi." seru Lam ki soh.
Tiba2 pula Lam ki soh berkata bahwa sebaiknya mereka
pergi secara berpencar. Sudah tentu Cu Jiang setuju. Dalam
melakukan pembalasan terhadap Gedung Hitam itu, dia
memang ingin melakukan dengan tenaganya sendiri, tak
perlu dibantu orang.
Demikian keduanya lalu menyetujui rencana itu dan Cu
Jiang terus berangkat dulu. Dalam perjalanan dia masih
marah terhadap Sebun Ong yang telah mengelabuhi
dirinya, menyodorkan ketua Hoa-goat-bun sebagai Tio
Hong Hui.
Diam2 ia bersyukur karena tak lekas menyerahkan kedua
bungkusan dari Cukat Giok itu kepada ketua Hoa-goat-bun.
Andaikata dia terlanjur memberikan, bukankah dia akan
menelantarkan pesan Cukat Giok? Ketua Hoa-goat-bun
mati selagi Tio Hong Hui masih hidup.
Cu Jiang merasa tak perlu masuk ke kota Li Jwan lagi.
Dia memutar dari samping tembok kota lalu menyusur
jalan di sepanjang tepi sungai.
Tengah dia berjalan tiba2 dari belakang terdengar orang
berseru:
"Hai, bung. berhenti dulu!"
Cu Jiang berhenti tetapi tak mau berpaling melainkan
balas menegur:
"Sahabat dari mana ini?"
"Bukankah anda ini Toan-kiam jan jin?" seru orang itu
pula.
"Benar."
"Aku Ban Ki Hong."
"Ada keperluan?"
"Hendak minta beberapa jurus ilmu pedang dari anda."
Cu Jiang berputar tubuh, Ban Ki Hong adalah orang
yang membawa kemauannya sendiri, berkeras hendak
menempurnya sehingga isterinya sampai nekad melempar
diri ke dalam jurang.
Hanya beberapa hari setelah kematian isterinya, Ban Ki
Hong sudah turun gunung dan mengejarnya. Orang itu
benar2 gila.
"Mari kita ke atas pesisir sana." seru Ban Ki Hong seraya
menunjuk ke sebuah pesisir.
"Apa engkau yakin kalau aku tentu mau meladeni
permintaanmu?" seru Cu Jiang.
"Bukankah anda takkan pelit untuk memberi pelajaran
kepadaku?" agak kurang senang Ban Ki Hong balas
bertanya.
"Mungkin."
Wajah Ban Ki Hong berobah seketika.
"Terus terang aku menantang anda!" serunya dengan
nada tergetar.
"Engkau belum pantas menjadi lawanku." sahut Cu
Jiang.
Ban Ki Hong melotot mata, teriaknya: "Anda tak
memandang mata kepadaku!"
"Memang."
"Toan kiam-jan-jin, engkau terlalu menghina orang . . ."
"Lalu?"
"Kita bertempur sampai mati!"
"Telah kukatakan, engkau belum pantas!"
Ban Ki Hong mencabut pedang dan menggetarkannya.
Segulung sinar berhamburan menyilaukan mata.
"Baik, mari kita ke sana," tiba2 Cu Jiang merobah
keputusan.
Dua puluhan tombak jauhnya terdapat sebuah padang
rumput! rumput yang tebal sehingga teraling dari
pandangan orang. Sedang di depannya terdapat pasir yang
menjurus ke tepi sungai.
"Ban Ki Hong, engkau benar2 manusia yang tak punya
perikemanusian !" seru Cu Jiang.
Didamprat begitu, Ban Ki Hong gemetar marah,
serunya:
"Kita belum kenal mengenal. Menantang adu ilmu
pedang sudah lazim dikalangan persilatan. Mengapa
engkau menghambur makian kepadaku ?"
"Hm. sekali lagi kutegaskan. Engkau memang belum
pantas menjadi lawanku."
"Apa artinya ?"
"Dengan memburu nama kosong, engkau
mengesampingkan kecintaan isteri sehingga istrimu sampai
bunuh diri. Apakah engkau ini seorang insan manusia ?"
Pucat seketika wajah Ban Ki Hong. Dia menyurut
mundur sampai empat lima langkah. Dipandangnya Cu
Jiang sampai lama sekali, baru dia berseru:
"Bagaimana engkau tahu ?"
"Tak perlu bertanya. Engkau mengakui atau tidak!"
"Aku... aku .... tak membunuhnya," suaranya penuh
mengandung kesedihan.
"Memang bukan engkau yang membunuh. Tetapi karena
ulah tindakanmu yang menyebabkan doa putus asa dan
nekad. Apakah itu tidak sama artinya engkau yang
membunuh ?"
Butir2 keringat sebesar kedelai bercucuran turun dan dari
dahi Ban Ki Hong. Wajahnya mengerut tegang.
"Apakah anda.... melihat peristiwa sedih itu?" serunya
dengan gemetar.
"Ya "
"Aku tak mengira kalau dia berlaku senekad itu."
"Tetapi kematiannya tetap tak dapat menolong. Engkau
tetap akan turun gunung."
Mendengar itu menjeritlah Ban Ki Hong seperti orang
kalap:
"Aku harus mengadu ilmu-pedang dengan engkau, ini
merupakan jalan hidupku. Ayahku juga keras kepala . ..
tetapi .... akhirnya mati dibawah pedang."
Air matanya berderai-derai membasahi kedua pipinya.
"Bukankah engkau sudah berjanji kepada istrimu takkan
mengeluarkan pedang itu lagi ?"
"Ya."
"Kalau sudah merasa tak dapat memegang janji,
mengapa engkau menikah dengan dia ?"
"Ini.... ini... karena aku mencintainya!"
"Bohong, engkau tak punya malu ! Tak layak engkau
menjadi seorang bu-su !"
Wajah Ban Ki Hong makin berkerenyutan dan berteriak
sekerasnya:
"Tetap harus mengadu pedang!"
"Mudah sekali untuk membunuhmu !"
"Biar, biar ! Mati atau hidup bagiku sekarang sudah tidak
penting lagi."
"Pandangan isterimu memang tepat. Engkau memang
tak dapat dinasihati lagi."
"Cabut pedangmu."
"Engkau mengatakan bahwa waktu berumur tujuh belas
tahun engkau pernah menerima ajaran Ilmu pedang dari
seorang sakti yang tak dikenal. Apakah hingga sekarang
engkau dapat mengerti pelajaran itu?"
"Benar!"
"Engkau hendak mengangkat nama dengan sejurus ilmu
pedang itu?"
"Bukan, aku hanya melanjutkan cita2 mendiang
ayahku."
"Apakah ayahmu juga segila engkau ?"
"Jangan menghina orang yang sudah mati !"
"Ah !"
"Baik, akan kululuskan keinginanmu !" Cu Jiang terus
mencabut pedang kutung, diacungkan condong ke arah
kanan.
Ban Ki Hongpun mengangkat pedang ke muka dada.
Sikapnya tenang kembali. Suatu sikap yang diperlukan
sebelum melakukan gerakan. Walaupun memiliki ilmu
pedang yang sakti, tanpa ketenangan, juga akan berkurang
kesaktiannya.
Melihat sikap perobahan orang, Cu Jiang makin curiga
dan berseru:
"Tunggu dulu!"
"Anda mau bicara apa lagi ?" seru Ban Ki Hong.
"Apa nama jurus ilmu pedangmu itu?"
"Entah !"
"Lalu apa orang yang memberi pelajaran kepadamu itu
tak meninggalkan namanya ?"
"Tidak."
Merenung sejenak Cu Jiang lalu mempersilahkan Ban Ki
Hong menyerang.
Ban Ki Hong tenangkan perhatian. Sepasang mata tak
berkelip memandang Cu Jiang. Melihat sikap dan gayanya,
memang rapat dan tak memberi kesempatan lawan untuk
mencari bagian yang lemah.
Keduanya seperti dua buah patung batu. Saling pandang
memandang tanpa berkedip.
"Haaiit !" dua buah pekikan terdengar. Hampir serempak
sehingga sukar dibedakan mana yang lebih dulu
menghambur teriak dan serangan.
Yang tampak hanya lingkar sinar yang mencurah bagai
bunga, mirip pula dengan ratusan ular perak menari-nari.
Hanya sekejap dan terdengarlah suara mengerang...
00^od^^wo^00
Jilid 14
Suara erangan tertahan dan jeritan kaget hampir
serempak terdengar dan tahu2 pedang Ban Ki Hong
menjulai ke tanah. Tubuhnya berhias empat lobang yang
mengucurkan darah. Wajahnya lebih pucat dari orang mati.
Sinar matanya redup.
Cu Jiang tegak memandangnya.
Beberapa saat kemudian tiba2 Ban Ki Hong menjerit:
"Ceng-moay, aku bersalah kepadamu!" habis berkata dia
terus hendak menikam tenggorokannya sendiri.
"Tring "
Cu Jiang acungkan jarinya dan pedang Ban Ki Hong pun
jatuh ke tanah.
"Toan-kiam jan-jin, seharusnya engkau dapat membunuh
aku dengan jurusmu tadi. Mengapa tak engkau lakukan?"
serunya.
Cu Jiang tidak menyahut tetapi hatinya gelisah. ilmu
pedang yang dimainkan Ban Ki Hong itu ternyata adalah
ilmu simpanan dari ayahnya ialah ilmu pedang It- kiam-tui-
hun.
Ia heran mengapa ayahnya mengajarkan ilmu pedang itu
kepada Ban Ki Hong.
"Toan kiam Jan jin, apakah engkau hendak menyiksa
diriku ?" seru Ban Ki Hong.
"Apa perlu harus begitu?"
"Mengapa engkau tak membiarkan aku mati?"
"Apakah jiwa begitu rendah harganya?"
"Aku sudah tak berharga hidup lagi."
"Ban Ki Hong, sedangkan sip-pat-thian-mo pun mati
dibawah pedangku, apalagi engkau!"
"Tak mampu melaksanakan cita2 ayah, menerima
dendam penasaran isteri. Tidak berbakti dan tidak berbudi,
perlu apa aku hidup di dunia..."
"Jurus ilmu pedangmu tadi, cukup menggetarkan kaum
persilatan. Mengapa tidak engkau gunakan untuk
melakukan perbuatan2 yang berbudi agar arwah isterimu
dapat mengasoh tenang di alam baka? Engkau malu hidup
di dunia, tidakkah engkau akan lebih malu apabila bertemu
dengan isterimu di alam baka?"
Seketika wajah Ban Ki Hong berobah, Dari tegang
menjadi duka dan akhirnya dengan penuh rasa sesal dia
mengangkat kedua tangan memberi hormat.
"Nasihat anda yang berharga, menyadarkan pikiranku
yang gelap. Mohon sejak sekarang jangan..."
"Tunggu !"
"Apa anda masih ingin memberi pesan lagi ?"
"Dalam waktu setahun ini, jangan engkau gunakan jurus
ilmu pedangmu itu. Kalau tak menurut engkau tentu akan
mengalami bencana besar !"
"Mengapa ?" Ban Ki Hong terkejut.
Cu Jiang tak mau secara terus terang memberitahu
bahwa jurus ilmu pedang It Kiam tui-hun itu adalah ilmu
simpanan mendiang ayahnya. Apabila Ban Ki Hong
menggunakan tentu musuh akan tahu dan menduga dia
keluarga Lamkiong, dan pasti akan membunuhnya.
"Maaf, aku belum dapat menjelaskan sekarang tetapi
peringatanku itu memang keluar dari ketulusan hatiku."
sahutnya.
"O, aku memang memutuskan hendak hidup di
pegunungan sepi untuk menemani arwah isteriku tercinta.
Sejak saat ini aku takkan mengurus soal persilatan lagi."
"Bagus." Cu Jiang gembira, "waktu isteri masih hidup tak
dapat pegang janji, setelah isteri meninggalpun masih
mempunyai kesempatan untuk menebus kesalahan."
"Terima kasih."
"Masih ada sebuah hal lagi. Apabila engkau tak
keberatan, maukah menceritakan, tentang peristiwa dari
orang asing yang memberikan ilmu pedang kepadamu itu?"
Sejenak merenung Ban Ki Hongpun berkata.
"Baiklah. Peristiwa itu terjadi secara tak terduga, Jago
pedang itu bersama isterinya sedang menempuh perjalanan
lalu dikejar musuh. Saat itu isteri si jago pedang sedang
mengandung tak mampu lari. Sedang karena melindungi
istrinya, jago pedang itupun menderita luka berat. Mereka
lalu kerumahku minta perlindungan. Kusembunyikan
mereka dan ketika kawanan musuh datang, kukelabuhi
mereka dengan keterangan yang bohong. Setelah peristiwa
itu selesai, jago pedangpun lantas memberikan Jurus ilmu
pedang itu kepadaku."
"Ah . .. ." Cu Jiang hampir mengucurkan air mata tetapi
untung dia dapat menahan. isteri jago pedang itu tak lain
adalah mamanya. Dan bayi yang dikandungnya itu adalah
dirinya sendiri.
Dengan begitu jelas bahwa Ban Ki Hong itu pernah
menolong jiwa kedua ayah bundanya.
"Apakah anda kenal dengan jago pedang itu?" tanya Ban
Ki Hong.
Cu Jiang bersangsi sejenak lalu mengatakan, kelak
setelah ada bukti baru dia akan memberi keterangan lagi
"Apakah anda masih hendak memberi pesan lagi ?"
Cu Jiang teringat bahwa Ban Ki Hong telah melepas
budi yang sedemikian besar kepada ayah-bundanya dan
untuk itu ayahnya telah mengajarkan sejurus ilmu Pedang
istimewa, Walaupun tanpa ikatan apa2, tetapi hal itu tak
ubah sebagai ikatan perguruan. .
"Bagaimana kalau kita bersahabat?" tiba2 Cu Jiang
berseru.
"Anda menjadi sahabatku?" Ban Ki Hong menegas.
"Benar."
"Sudah tentu aku aku menurut sekali"
"Anda lebih tua. aku . . . sebagai siaute dan anda sebagai
heng-tay!"
"Ini ... ini ...
"Toako," cepat Cu Jiang menukas, "ikatan persahabatan
kita ini merupakan jodoh yang dipertemukan pedang.
Bagaimana asal usul diriku, untuk sementara tak dapat
memberitahu dulu. Dalam hal ini kuharap toako suka
memaafkan."
Peristiwa saat itu telah menghapus semua derita
perasaan Ban Ki Hong. Derita malu karena kalah, derita
kehilangan isteri tercinta.
Baiklah, lote, aku menurut saja rencanamu."
"Apakah toako hendak kembali ke gunung Bu-leng-san?"
Teringat akan kematian isteri tercinta, Ban Ki Hong
bercucuran air matanya.
"Sudah tentu aku akan ke gunung lagi untuk menemani
makam isteriku."
"Baiklah, toako, kelak kita berjumpa lagi di gunung itu."
kata Cu Jiang.
"Hiante hendak ke mana?"
"Masih banyak urusan yang hendak kulakukan. Kelak
tentu akan kuceritakan semua kepadamu, toako."
"Jadi sekarang kita akan berpisah?"
"Musuhku terlalu banyak, kurang baik kalau kita selalu
bersama."
Ban Ki Hong menurut. Tiba2 Ban Ki Hong
melemparkan pedangnya ke dalam sungai.
"Hai, mengapa toako lakukan hal itu?" Cu Jiang heran.
"Walaupun aku juga mempunyai dendam, tetapi aku
harus putuskan janjiku terhadap isteri. Aku takkan
menggunakan pedang lagi."
"Bagus, toako, dengan demikian arwah ensoh pasti akan
tenang di alam baka, " seru Cu Jiang.
Memandang pada kain cadar yang menutup wajah Cu
Jiang, Ban Ki Hong hendak berkata tetapi tak jadi.
Rupanya Cu Jiang tahu maksud Ban Ki Hong, katanya:
"Toako, maaf, untuk sementara waktu ini aku tak dapat
menunjukkan mukaku."
Ban Ki Hong tertawa dan memuji Cu Jiang cerdas dan
tajam pandangannya. Dia segera minta diri. Setelah saling
memberi hormat. Ban Ki Hong lalu melesat pergi.
Cu Jiang masih tegak termenung memandang riak
gelombang sungai. Ia merenungkan pula peristiwa kedua
suami isteri itu. Apabila dia terus muncul dan menerima
tantangan Ban Ki Hong. tentulah istrinya tak sampai bunuh
diri.
Tetapi iapun heran mengapa untuk hal itu, isteri Ban Ki
Hong sampai melakukan perbuatan yang senekad itu ?
Dan diapun tak menyangka akhirnya mengikat tali
persahabatan dengan Bin Ki Hong.
Tengah melamun tiba2 ia merasa ada suatu getaran yang
menyiak hawa udara. Jika tidak memiliki ilmu kepandaian
yang tinggi tentu takkan mampu merasakan getaran itu.
Cu Jiang menyadari bahwa dari arah belakang tentu
terdapat orang yang mendatangi. Dan pendatang itu tentu
memiliki kepandaian yang tinggi. Tanpa berpaling, dia terus
menegur:
"Sahabat dari mana itu?" Sebuah suara yang tak asing
nadanya segera menyahut:
"Aku Ho Bun Cai!"
Cu Jiang berbalik tubuh. Dua tombak jauhnya tegak
seorang lelaki. Dia tak lain adalah Ho Bun Cai yang
menjabat sebagai cong-koan atau pengurus rumah tangga
Gedung Hitam.
Melihat Ho Bun Cai muncul, Cu Jiang menduga bahwa
ketua Gedung Hitam tentu juga berada disekitar tempat itu.
Dendam membara pula di dada Cu Jiang. Ia
memutuskan, bahwa dia harus mengorek keterangan dan
mulut Ho Bun Cai ini.
"Ho Bun Cai, congkoan dari Gedung Hitam, "seru orang
itu setelah beberapa saat memandang Cu Jiang, "Toan-kiam
jan-jin, mari kita bicara baik-baik.
"Bagus, akupun memang bermaksud begitu," sahut Cu
Jiang.
"Kenalkah engkau dengan lelaki yang bertanding sejurus
ilmu pedang dengan engkau tadi ?"
Cu Jiang terkejut. Rupanya orang itu sudah lama
bersembunyi dan menyaksikan peristiwa tadi. Diam2 dia
bersyukur karena tak memberikan keterangan lebih luas
kepada Ban Ki Hong.
Tetapi pertanyaan menimbulkan hawa pembunuhan
dalam hati Cu Jiang.
"Anda sudah bersembunyi diatas tembok samping itu
dan mendengarkan semua pembicaraan kami ?"
"Aku tak menyangkal."
"Lalu mengapa anda bertanya soal itu ?"
"Sudah tentu ada maksudnya."
"Katakanlah."
"Tetapi lebih dulu jawablah beberapa pertanyaanku itu."
"Apakah anda tahu juga akan jurus ilmu pedang orang
itu?"
"Tentu saja."
"Apa namanya ?"
"ilmu pedang satu Jurus It-kiam-tui hun-kiam dari Dewa
pedang Cu-Beng Ko."
Cu Jiang tak terkejut karena ilmu pedang mendiang
ayahnya itu memang sudah sangat terkenal di dunia
persilatan.
"ilmu pedang itu memang sudah dikenal dalam dunia
persilatan. Andapun tentu begitu."
"Sekalipun begitu tetapi lain keadaannya !"
"Apa maksudmu ?"
"Engkau tentu tak menyangkal bahwa engkau merasa
heran waktu orang itu mengeluarkan jurus ilmu pedang itu
bukan ?"
"Benar, lalu ?"
"Dengan bukti itu aku melihat suatu ujung dari lingkaran
. .."
"Katakan!"
"Pertama, engkau tentu pemuda yang melarikan diri dari
penjara Gedung Hitam dahulu yakni Gok-jin ji..."
Cu Jiang mendengus.
"Taruh kata benar, lalu bagaimana ?"
Nada Ho Bun Caipun makin tegang:
"Engkau tentu mempunyai hubungan erat dengan pelajar
baju putih itu. Sekali-kali bukan seperti yang pernah engkau
katakan bahwa engkau melakukan permintaan dari pelajar
baju putih itu."
Hawa pembunuhan makin menebal di dahi Cu Jiang,
"Berbahaya sekali penilaianmu itu?"
"Mengapa ?"
"Mungkin aku terpaksa harus turun tangan kepadaku."
Wajah Ho Bun Cai agak berobah, serunya. "Untuk
menghapus mulut, bukan?"
"Mungkin saja begitu."
Tetapi Jika aku mempunyai penilaian baru lagi ?"
"Penilaian apa ?"
Ho Bun Cai mementang mata lebar2 dan berseru :
"Engkau ini adalah pelajar baju putih !"
Cu Jiang menyurut mundur selangkah.
"Siapakah pelajar baju putih itu?" serunya dengan nada
tergetar.
Wajah Ho Bun Cai berkerenyutan lalu berseru pelahan:
"Putera mendiang Dewa pedang yang bernama Cu
Jiang!"
Tegang sekali wajah Cu Jiang. katanya tandas:
"Anda tahu terlalu banyak !"
"Engkau mengakui ?"
Cu Jiang merabah tangkai pedang dan berseru:
"Dan anda harus mati !"
Tubuh Ho Bun Cai gemetar dan dahinyapun beralun
kernyit. Diam2 Cu Jiang heran mengapa orang itu bersikap
demikian.
Memandang beberapa kali kearah pesisir sungai, Ho Bun
Cai berkata pula.
"Bukankah engkau datang dari Tayli ?"
Kejut Cu Jiang sukar dilukiskan lagi. Mengapa Ho Ban
Cai tahu semua tentang dirinya ? Berbahaya, itu harus
dirahasiakan sekali.
"Kenalkan engkau dengan Poan toanio si wanita gemuk
itu?" kembali Ho Bun Cai bertanya pula. Cu Jiang benar2
kewalahan kejutnya.
Ia teringat ketika dibawa Ho Bun Cai ke Gedung Hitam,
ditengah jalan bertemu kembali dengan wanita gemuk yang
menjual kacang. Saat itu Ho Bun Cai tak menunjukkan
reaksi apa2 kecuali mengajukan pertanyaan sederhana dan
lalu memberi uang, suruh wanita gemuk itu jangan
menampilkan diri di muka umum.
Juga ia terkejut ketika bertemu wanita gemuk itu dalam
keraton raja Tayli.
Mengapa sekarang Ho Bun Cai tiba2 mengajukan
pertanyaan tentang diri wanita gemuk itu ?
"Ya, kenal" sahut Cu Jiang.
"Engkau tahu asal usulnya ?"
"Soal itu .... aku tak tahu."
"Dia bernama Cu Han Ih."
"Hai, dia orang she Cu" seru Cu Jiang.
"Bukan hanya she Cu, pun juga..."
"Juga bagaimana ?"
"Engkau mengakui apa yang kukatakan tadi semua ?"
"Ya."
"Baik," kata Ho Ban Cai, "sekarang aku hendak
memberitahu kepadamu bahwa jejakmu selama berada di
Tayli maupun datang ke Tionggoan sini, semua adalah dia
yang menyelidiki."
"Dia.... dia memberi berita itu kepada anda?"
"Benar, tetapi dia hanya menyampaikan berita saja dan
tak tahu jelas asal usul dirimu ..."
"Siapakah sesungguhnya wanita itu?"
"Dia adalah adik perempuan mendiang ayahmu, jadi
bibimu."
Cu Jiang seperti disambar petir kejutnya hingga dia
sampai gemetar, terhuyung mundur tiga langkah. Sungguh
tak pernah diduganya sama sekali bahwa wanita gemuk itu
ternyata bibinya sendiri.
Lalu terbayanglah dia akan peristiwa2 yang lampau.
Ketika di kota Li jwan membuka rumah makan, wanita
gemuk itu sangat memperhatikan sekali dirinya. Dia ketika
ia menerima Amanat-maut dari Gedung Hitam, wanita
gemuk itu berusaha untuk menyembunyikan dirinya dalam
kamar rahasia. Akibatnya rumah makan itu dibakar habis
oleh gerombolan Gedung Hitam.
Cu Jiangpun teringat bahwa dalam pembicaraan, samar2
seadanya nyonya gemuk itu dapat mengetahui asal usul
dirinya....
Jika benar seperti yang dikatakan Ho Bun Cai bahwa
nyonya gemuk itu adalah adik perempuan ayahnya, tentu
tidaklah mengherankan kalau nyonya gemuk itu diam2
selalu memperhatikan dan melindungi dirinya.
Tetapi yang membuat Cu Jiang tak habis bertanya
mengapa Ho Bun Cai yang menjabat congkoan dari
Gedung Hitam, bisa tahu semua hal ini?
"Mengapa anda bisa tahu jelas semua peristiwa ini ?"
akhirnya ia meminta keterangan juga.
Tiba2 mata Ho Bun Cai berlinang-linang.
"Tahukah siapa aku ini sebenarnya ?" serunya dengan
nada rawan.
Cu Jiang terkejut, gelengkan kepala.
"Aku ini sebenarnya adalah suhengmu sendiri!"
Kali ini benar? Cu Jiang terkejut setengah mati. Hampir
ia tak percaya akan apa yang didengarnya saat itu. Ho Bun
Cai, cong koan dari Gedung Hitam itu suhengnya ? Ah,
tidak, tidak mungkin.
Tetapi kalau tidak, mengapa dia bisa tahu jelas asal
usulnya, keadaan rumah-tangga, tentang diri nyonya gemuk
itu. Dan bahkan dia selalu mengejar jejak pelajar baju putih
itu.
Tindakan2 Ho Bun Cai sebagai tokoh penting Gedung
Hitam benar2 tak sesuai dengan perintah perkumpulan itu.
Adakah dia seorang mata2 yang menyelundup dalam tubuh
Gedung Hitam.
Diam2 timbullah percik harapan dalam benak Cu Jiang.
Jika demikian halnya, tentulah dia mempunyai jalan untuk
membongkar rahasia pemimpin Gedung Hitam.
Tetapi seingatnya, waktu masih hidup, mendiang
ayahnya tak pernah mengatakan pernah menerima murid.
Apakah Ho Bun Cai itu menggunakan siasat halus dengan
mengaku sebagai murid mendiang ayahnya?
Kalau tidak, mengapa dia bisa menjabat sebagai Cong-
koan Gedung Hitam? Kalau memang bukan seorang yang
setia, bagaimana ketua Gedung Hitam sampai begitu
percaya mengangkatnya sebagai congkoan?
Mungkinkah tokoh durjana macam ketua Gedung Hitam
itu dapat dikelabuhi begitu mudah ?
"Anda .... mengatakan apa ?" akhirnya ia menegas.
"Aku. . .. adalah suhengmu."
"Engkau .... suhengku ?"
"Sute, dengarkanlah. Selain aku, suhu memang tak
pernah menerima murid lain. Dan beliau menerima akupun
sangat dirahasiakan sekali. Tak ada seorang dalam dunia
persilatan yang tahu hal itu!"
Cu Jiang deliki mata. serunya.
"Bahwa ayah diagungkan sebagai tokoh Dewa-pedang,
semua orang persilatan tahu. Mengapa harus merahasiakan
soal menerima murid ?"
"Suhu memang memiliki pandangan jauh ke muka yang
tajam. Pohon semakin tinggi semakin dilanda angin. Nama
makin termasyhur makin terancam. Karena itu beliau lebih
dulu telah mempersiapkan rencana."
"Tetapi mengapa engkau menghamba sebagai congkoan
pada gerombolan semacam Gedung Hitam itu?"
"Demi menyelidiki sebuah rahasia!"
"Rahasia apa?"
"Tentang diri ketua Gedung Hitam itu!"
"Apakah sudah berhasil?"
Tiba2 seekor burung merpati terbang melintas di udara
dengan mengedarkan bunyi kelinting.
Wajah Ho Bun Cai berobah dan berseru gopoh:
"Sute, lain kali saja kita bicara lagi!" habis berkata ia
terus melesat dan lenyap dari pandang mata.
Cu Jiang masih tertegun. Siapakah yang telah melepas
burung merpati pos itu? Mengapa Ho Bun Cai begitu
ketakutan terus bergegas pergi?
Mengapa tidak sebelum dan sesudahnya tetapi tepat
pada saat Ho Bun Cai sedang akan menuturkan soal
penyelidikannya terhadap diri ketua Gedung Hitam, lalu
tiba2 burung merpati pos itu tiba2 melayang di atas mereka?
Sebenarnya Cu Jiang akan segera mengetahui rahasia
yang diinginkan mengenai diri ketua Gedung Hitam atau
tiba2 digagalkan oleh seekor buyung merpati.
Dan masih banyak hal2 lain yang perlu ditanyakan.
Sudah tentu Cu Jiang penasaran sekali. Tetapi tak dapat
berbuat apa2.
Ho Bun Cai, menurut pengakuannya, adalah satu-
satunya murid dari mendiang ayahnya. Menurut katanya
pula, dia telah mendapat perintah rahasia dari suhunya
supaya menyelundup kedalam Gedung Hitam untuk
mencari tahu rahasia dari ketua Gedung Hitam.
Dan hal itu sudah dilaksanakannya selama belasan
tahun. Apakah selama itu masih belum berhasil menyelidiki
suatu apa? Bukankah dia menjabat sebagai congkoan yang
dekat sekali hubungannya dengan ketua Gedung Hitam?
Dan jika dia mempunyai hubungan dengan nyonya
gemuk, tentulah sebelumnya dia harus sudah tahu bahaya
yang akan menimpa nyonya itu.
Tetapi mengapa rumah makan nyonya gemuk itu sampai
dibakar oleh kawanan Gedung Hitam.
Banyak sekali rahasia yang menyelubungi diri Ho Bun
Cai itu. Asal menuju gunung Keng-san tentu dapat
menemuinya pula.
Setelah meninggalkan pesisir dia mengambil jalan yang
besar lagi. Belum seberapa jauh berjalan tiba2 ia melihat
sebuah peti warna merah, melintang di tengah jalan.
Tutup peti itu dibuang ke tepi jalan dan seorang
perempuan menggeletak di samping peti mati itu.
Sudah tentu Cu Jiang terkejut sekali menyaksikan
pemandangan itu.
Saat itu muncul empat orang busu yang berjalan lewat
samping peti mati. Rupanya mereka juga terkejut melihat
pemandangan di tengah jalan itu.
Mereka menjerit dan saling berpandangan lalu lari
menghampiri. Seketika wajah mereka pucat dan bergerak
menyingkir.
Sudah tentu Cu Jiang makin kaget. Dia lari
menghampiri. Dan ketika menyaksikan peti mati itu,
seketika tegaklah bulu romanya dan menjerit tertahan.
Di dalam peti mati ternyata berisi sesosok mayat yang
telah dipotong2. Sedang yang menggeletak di samping peti
mati itu mayat seorang gadis. Beberapa peralatan dari peti-
mati itu berserakan di sekelilingnya.
Apakah artinya itu?
Potongan kaki dan tangan dari mayat dalam peti mau itu
tak mengucurkan darah lagi. Tentulah sesudah mati, baru
korban itu dipotong-potong.
"Ganas benar !" diam2 Cu Jiang memaki. Sesaat
kemudian ia berjongkok untuk memeriksa mayat gadis itu.
Tak terdapat barang sebuah luka pada tubuhnya, entah mati
karena apa. Memegang tangannya, ternyata masih hangat.
"Ah, belum mati, mungkin masih dapat ditolong."
katanya seorang diri.
Demi menolong jiwa, Cu Jiang tak mengacuhkan tata
susila apa2 lagi. Ia membalikkan tubuh si gadis yang
menggeletak miring.
Gadis itu baru berumur 18 an tahun. Rambut terurai,
mukanya basah dengan airmata tetapi masih cantik sekali.
Ketika memandang ke tubuh nya, tergetarlah darah Cu
Jiang.
Baju nona itu sudah robek sehingga tampak sepasang
buah dudanya. Buru2 Cu Jiang berpaling muka.
Beberapa saat kemudian setelah menenangkan perasaan,
akhirnya ia memutuskan, demi menolong jiwa, tak
seharusnya ia mempunyai pikiran yang bukan2. Terlambat
sedikit saja, jiwa nona itu pasti takkan tertolong lagi.
Dia terus bertindak, memeriksa jalan darah tubuh si
nona Hasilnya, ia mendapatkan bahwa jalan darah nona itu
telah ditutuk orang. Jika tidak keburu ditolong, dia pasti
mati.
Tetapi walaupun memeriksa dengan teliti, ia tak dapat
meneruskan jalan darah yang mana yang telah ditutuk itu.
Lebih dulu ia akan membawa nona itu kesebuah tempat
yang sepi dan pelahan-lahan berusaha untuk membuka
jalan darahnya Tetapi saat itu terang benderang, berjalan
dengan menggotong seorang nona tentu akan mengejutkan
orang2.
Namun kalau membiarkan saja nona itu menggeletak
disitu, itu-pun menyalahi hatinnya sendiri sebagai seorang
bu su.
Dia berbangkit, memandang keempat penjuru untuk
mencari tempat yang sesuai. Tiba2 ia melihat sebuah thiat-
pau atau lencana dari besi, menggeletak disamping peti
mati.
"Amanat-maut!" Ternyata orang Gedung Hitam yang
melakukan kekejaman ini," serunya. Kini dia mengerti apa
sebab beberapa busu yang lalu disitu tadi, tak berani campur
tangan.
Gedung Hitam mengganas lagi. Kini Cu Jiang makin
mantap untuk menolong gadis itu. Ia berjongkok,
menutupkan baju nona itu pada bagian dadanya lagi, lalu
mengangkatnya.
Tetapi ia tertumbuk pula akan mayat dalam peti yang
telah dipotong-potong itu. Apa boleh buat, yang mati
biarlah mati. Yang hidup perlu ditolong ditolong dulu.
Biarlah mayat dalam peti itu diurus orang2 yang lewat
disitu.
Mayat dalam peti itu rautnya sudah berubah, umurnya
lebih dari lima puluh. Entah apa hubungannya dengan
gadis itu.
Cu Jiang menendang Amanat maut, agar orang2 yang
tiba disitu tidak takut untuk menolong orang tua yang
sudah menjadi mayat itu. Kemudian dia terus melanjutkan
perjalanan menyusur sepanjang sungai.
Tetapi hampir satu li berjalan, masih juga ia belum
melihat sebuah tempat yang sesuai. Tiba2 pada sebatang
pohon yang tumbuh ditepi sungai, tertambat sebuah perahu
nelayan.
Segera ia menghampiri perahu itu dan berseru
memanggil pemiliknya.
Tukang perahu muncul. Melihat Cu Jiang membawa
seorang gadis, tukang perahu itu terkejut.
"Apakah tuan hendak menyewa perahu?"
"Membeli perahumu !"
"Apa ? Mau membeli ?"
"Ya."
"Tuan, aku mengandalkan perahu ini untuk cari makan.
Tak kujual."
"Berapa kira2 harga perahu semacam ini kalau masih
baru?"
"Tidak kujual!"
"Hanya tanya saja berapa harganya?"
"Kalau baru paling tidak antara sepuluh tail perak."
"Bagaimana kalau kuberimu dua-puluh tail perak?"
Beberapa orang yang muncul lagi dari dalam ruang perah
itu pun tidak percaya.
"Tuan mengatakan apa?"
"Dua puluh tail perak untuk perahumu ini."
Pemilik perahu mengusap-usap kepala dan sesaat
kemudian berteriak. "Baik, kujuallah!"
Cu Jiang merogoh kepingan perak, dilemparkan kepada
pemilik perahu yang menyambuti dengan tertawa gembira.
"Tuan mau mendayung sendiri atau suruh aku . . ."
"Sendiri!"
"Baik, kami akan turun."
"Angkat semua barang-barangmu."
Dengan gembira tukang perahu itu segera memindahkan
semua barangnya, menyapu lantai geladak sampai bersih
lalu mempersilakan Cu Jiang.
"Tuan, perahu ini menjadi milikmu!" tukang perahu dan
beberapa kawannya segera loncat ke daratan.
Cu Jiang terus loncat ke dalam perahu.
Meletakkan si nona di atas tempat tidur kayu yang butut
dan dia sendiri terus naik ke atas geladak. Dan perahupun
mulai meluncur terbawa arus.
Tak berapa lama perahu tiba di sebuah rumpun ilalang.
Cu Jiang hentikan perahu. Setelah menambatkan pada
sebatang pohon, dia terus masuk ke dalam ruang. Gadis itu
masih pingsan. Kalau tak lekas ditolong tentu mati.
Cu Jiang mulai memeriksa lagi jalan darah nona itu.
tetapi baru diketahuinya bahwa jalan darah yang tersumbat
itu terletak pada bagian bawah perut. Ah .... Cu Jiang
terkesiap. Bagaimana mungkin seorang pria akan mengurut
jalan darah di bawah perut seorang gadis?
Cu Jiang ki mengucurkan keringat dingin. Dia benar2
diuji hatinya. Betapa tidak, baju si gadis yang robek itu
memperlihatkan dua gunduk buah dadanya yang putih.
Sedang tubuh si gadis yang menyiarkan bau harum, benar2
membuat Cu Jiang berdebar-debar.
Seharusnya dia suruh saja beberapa jago Tayli yang
mengawalnya itu untuk melakukan pekerjaan menolong si
nona. Tetapi kemanakah harus mencari mereka.
Dan tentu memakan waktu menemukan mereka, si nona
sudah tak dapat ditolong lagi.
Akhirnya ia nekad. Dengan pejamkan mata ia mulai
bekerja. Melepaskan baju si nona lalu membuka celananya
dan pelahan-lahan tangannya mulai mengurut jalan darah
dibawah perutnya. Tangannya gemetar dan bajunyapun
basah kuyup dengan keringat.
Orang yang telah menutuk jalan darah sinona itu
memang ganas sekali serta memiliki ilmu tutuk yang lihay.
Jika tak bertemu tokoh semacam Cu Jiang, tentu sukarlah
nona itu tertolong jiwanya.
Setelah selesai membuka Jalan darah sinona, Cu Jiang
sandarkan diri pada dinding ruang dan napasnya terengah-
engah seperti orang yang habis kerja berat.
Tak berapa lama, napas nona itu makin lancar dan tak
lama kemudian dia membuka mata, memandang ke
sekeliling.
"Siapa engkau ?" tiba2 ia melonjak kaget ketika melihat
Cu Jiang.
"Toan-kiam-Jan-jin !"
"Toan-kiam jan jin?"
"Benar."
Gadis itu menyiak rambutnya yang menutup muka.
Ketika menunduk dan melihat bajunya robek2, marahnya
bukan kepalang.
"Kuhantam mampus engkau, iblis Jahanam !" serunya
seraya menghantam.
Karena jaraknya amat dekat, hampir berhadapan, maka
Cu Jiang tak dapat menghindar. Jika menangkis, ia kuatir
akan melukai nona. Terpaksa ia menyambar pergelangan
tangannya.
"Nona, engkau salah faham!"
"Salah paham? Kalian kawanan anjing Gedung Hitam,
harus dibunuh!"
Ia meronta tetapi tak mampu terlepas. Akhirnya ia
menghantam kepala Cu Jiang dengan tangan kiri. Tetapi
kembali Cu Jiang menyambar pergelangan tangannya.
"Nona harap tenang. Cobalah ingat lagi peristiwa yang
engkau alami."
"Tak perlu, engkau atau aku yang mati..."
Karena kedua tangannya dikuasai, nona itu ayunkan
kaki menendang dada Cu Jiang. Cu Jiang miringkan tubuh
lalu mendorong si nona ke ranjang lagi:.
"Salahkah aku karena menolongmu?"
Dara itu tertegun lalu menangis. Cu Jiang melengos
memandang ke luar jendela. pemandangan yang
dihadapinya saat itu benar2 menggetarkan hatinya.
"Harap nona jangan menangis. Aku hendak bertanya
kepadamu." beberapa saat kemudian Cu Jiang berseru.
Nona itu menurut tetapi masih terisak-isak, katanya:
"Siapakah nama sauhiap?"
"Toan-kiam-jan Jin."
"Aku mohon tanya nama anda,
"Aku tak punya nama lain."
"Apakah sauhiap yang menolong aku?"
"Ya "
"Mengapa berada di perahu ini ?"
"Untuk menolong jiwa nona."
"Dan jenasah ayahku?"
"Oh, itu .. .. ayahmu..."
Airmata nona itu bercucuran lagi dan dengan mengertak
gigi mengiakan.
"Siapa nama nona?"
"Pui Ji-Ji."
Cu Jiang tergetar. Sungguh sebuah nama yang menarik.
"Maukah nona Pui menuturkan tentang peristiwa yang
nona alami ?"
Ji ji mengusap airmatanya lalu dengan menahan isak
bercerita:
"Ayahku bernama Pui Lim, seorang busu. Ayah bekerja
sebagai pengawal dari gedung Tio gisu dikota Seng tou.
Mamaku sudah meninggal, kami hanya hidup berdua ayah
dengan anak . . .
"Ah, tahukah nona siapa pembunuh ayah nona itu ?"
"Tahu. Kawanan iblis dari Gedung Hitam."
"Apa sebabnya ?"
"Kabarnya ketika Tio gi-su menjabat di kota raja, secara
tak sengaja pernah mendapat sebuah mutiara dari seorang
utusan negeri lain, mutiara itu disebut Hiat-liong-cu."
"Hat liong-cu ?" Cu Jiang terkejut.
"Ya. mutiara itu mempunyai khasiat untuk menolak
bahaya api, air dan segala racun. Maka menjadi incaran
orang persilatan ...
"Lalu ?"
"Sebulan yang lalu, pada malam hari datanglah seorang
bunsu (sastrawan) yang menyampaikan perintah tuannya,
minta supaya dalam waktu setengah bulan, ayah mencuri
mutiara itu dan menyerahkan kepadanya. Kalau tidak.
keselamatan Jiwa ayah tak terjamin.
Cu Jiang mengangguk. Diam ia menduga, bun-su
pertengahan umur itu tentulah Ho Bun Cai, yang mengaku
sebagai suhengnya.
Pui Ji ji mengucap airmatanya pula.
"Ayah seorang yang berhati lurus. Sudah tentu dia tak
mau melakukan pekerjaan hina itu terhadap Tio gisu yang
baik budi. Tetapi dia takut akan ancaman gerombolan
Gedung Hitam. Begitu sudah tiba waktu yang dijanjikan,
ayah lalu minta berhenti, membawa aku pulang ke
kampung halaman."
Tetapi ketika tiba di Kun ciu, kita telah disergap mereka.
Aku seorang anak perempuan, setelah ayah bundaku
meninggal, bagaimana aku dapat hidup .... "
Ia mengusap air matanya lagi.
"Beberapa kali hendak bunuh diri, selalu digagalkan oleh
orang yang baik hati. Kali ini bersama ayah pulang ke
kampung, akhirnya dibunuh oleh musuh. Ayah dibunuh
dan akupun juga dicelakai." sampai disini gadis itu
menangis tersedu sedan.
"Hutang jiwa harus bayar jiwa. Harap nona lihat saja."
seru Cu Jiang dengan menggeram.
Ji-ji memandang Cu Jiang lalu mendadak. Melihat
bajunya compang camping ia menangis makin keras
sehingga Cu Jiang sibuk menghiburnya.
"Selama kawanan iblis itu masih merajalela memang
banyak sekali orang sengsara. Nona termasuk salah seorang
korban keganasan mereka."
Ji-ji tiba2 berbangkit dan berseru: "Budi kebaikan
siauhiap. kelak dalam penitisanku yang akan datang, tentu
ku balas!"
Habis berkata dia terus melangkah keluar. "Nona mau ke
mana?" buru-2 Cu Jiang mau cegah.
"Akan menyusul ayah!"
"Ah, mengapa nona bertindak begitu? Apakah ayah nona
akan meram di alam baka?"
"siauhiap . . . aku . . . aku . . . bagaimana dapat hidup
dalam dunia ini!"
"Duduk dan marilah kita bicara yang tenang."
Ji-ji menurut, lalu bertanya dengan masih terisak-isak:
"Apakah .... yang harus kukatakan?"
"Silahkan, apa saja yang nona hendak katakan."
Sambil menunduk, nona itu berkata: "Ah, sebenarnya
aku ini seorang manusia yang tak kenal budi . . ."
"Ya, silakan bilang apa saja. Di sini tak ada orang lain. "
"Walaupun aku bukan anak seorang keluarga ternama
atau berpangkat, tetapi akupun mengerti tentang susila
seorang wanita..."
"Bagaimana?"
"Ini... suruh harus mengatakan bagaimana?"
"Tak apa. Nona hendak mengatakan apa saja, aku
takkan marah."
Pui Ji ji mengangkat muka memandang Cu Jiang,
katanya:
"Diambil isteri atau dijadikan pelayan, mohon siauhiap
suka menerima diriku."
Kejut Cu Jiang bukan kepalang.
"Mengapa nona mengatakan begitu ?"
Sambil terisak-isak Ji Ji berkata.
"Aku bukan seorang gadis yang tak punya rasa malu.
Jika siauhiap tak meluluskan, aku . . . lebih baik mati
"Eh, bagaimana begitu ?" Cu Jiang kelabakan dibuatnya.
"Siauhiap sudah... menyentuh tubuhku. Bagaimana
aku... dapat menikah dengan lain orang lagi ?"
Cu Jiang tertawa meringis.
"Nona, hal itu kulakukan demi membuka jalan darah
guna menolong jiwamu. Sama sekali aku tak bermaksud
melakukan perbuatan yang hina..."
"Ya .... maka kecuali mati, tak ada jalan lain yang layak
kutempuh !"
"Nona juga seorang puteri persilatan, mengapa terlalu
terikat pada peraturan yang begitu?"
"Itu bukan tata aturan." seraya menarik dada bajunya
sehingga kedua buah dadanya berguncang-guncang lagi.
Sekilas teringat akan tindakannya membuka jalan darah
nona itu, merahlah muka Cu Jiang. Betapapun dia seorang
muda yang masih berdarah panas.
Iapun teringat akan hubungannya dengan si Jelita Ho
Kiong Hwa. Belum dia menyelesaikan perjodohan yang
hendak diatur Ang Nio Cu. sekarang sudah bertambah
dengan seorang nona lagi.
"Ah, apa wanita itu memang tak layak ditolong ?"
pikirnya. Teringat akan perjanjiannya dengan Ang Nio Cu,
iapun terkesiap. Waktu perjanjiannya dengan Ang Nio Cu
sudah lebih dari setahun. Bagaimana nanti kalau bertemu
dengan Ang Nio Cu lagi ?
Dan bagaimana dia harus menyelesaikan gadis yang
bernama Pui Ji-ji ini ?
"siauhiap, aku sudah menebalkan kulit muka untuk
mengutarakan isi hatiku. Sekarang bagaimana jawaban
siauhiap?" seru Ji-ji pula.
Cu Jiang gemetar tangannya. Ia bingung. Kalau menolak
tentulah akan menyinggung perasaannya dan tentulah nona
itu akan nekad bunuh diri. Sampai lama ia memutar otak
baru kemudian berkata:
"Nona Pui, musuhku tak terhitung banyaknya. Entah
pagi entah sore, setiap saat jiwaku terancam. Harap engkau
pikir yang masak lagi."
"Tidak! Keputusanku sudah tetap, tak dapat dirobah
lagi!"
"Percuma saja engkau ikut aku. Engkau tentu tak
bahagia..."
"Tidak peduli, siauhiap mati akupun akan ikut mati! "
Mendengar kenekadan gadis itu, mau tak mau tergerak
juga hati Cu Jiang. Terus terang, walaupun demi untuk
melakukan pertolongan, tetapi dia telah menyentuh bagian
yang paling dirahasiakan oleh seorang gadis. Menilik
wajahnya, Ji-jipun tak kalah dengan Ho Kiong Hwa,
bahkan dengan puteri raja Tayli.
Tetapi dia sendiri? Ah, ketika teringat akan wajahnya
yang sudah rusak, dinginlah hatinya.
"Tidak, aku seorang cacad!"
Tanpa banyak pikir, Ji ji kontan menjawab: "Bagiku,
bagaimanapun wajah dan keadaan siauhiap, pokok aku
dapat melayani siauhiap!"
"Pada satu saat nona pasti kecewa!"
"Tidak!" teriak Ji ji.
"Tetapi maaf, aku tak dapat nona."
Mendengar itu Ji ji memandang rawan ke arah Cu Jiang,
lalu berbangkit hendak melangkah keluar. Cu Jiang
terpaksa mencegahnya lagi.
"Apakah siauhiap meluluskan?"
"Kita rundingkan lagi."
"Aku tak berani mengharap menjadi isteri siauhiap.
Pokok asal siauhiap suka menerima diriku, aku sudah
bahagia."
"Nona yakin kalau aku belum beristeri?"
"Tak jadi apa. Sebagai isteri atau selir, pun boleh."
"Jangan mencinta secara buta. Silahkan duduk," tiba2 Cu
Jiang lepaskan cekalannya dan tiba2 Ji-jipun terhuyung
jatuh ke dada pemuda itu.
Cu Jiang bicara sambil duduk. Bahwa sesosok tubuh
yang lembut dan harum tiba2 menekan dadanya, ia gugup
dan hendak mendorongnya. Tetapi sepasang lengannya
secara tak sengaja telah memegang dua gunduk daging
lembut yang menghias dada si nona. Seperti kena aliran
stroom, dia cepat2 menarik kembali.
Ji-ji seperti tergelitik geli dan makin merapat ke dada Cu
Jiang. Cu Jiang kehilangan diri dan terlongong. Hawa
harum makin menyerbak hidung dan darah mudanya pun
makin mengelora.
Walaupun dia seorang patung malaekat yang terbuat dari
baja, tetapi dalam menghadapi saat seperti itu, tentu akan
luluh juga. Apalagi dia hanya seorang manusia biasa,
seorang anak muda yang masih panas darahnya.
Mempunyai gelora asmara atau perasaan.
Tubuh Ji ji menggigil tak henti-hentinya. Bau harum dari
tubuhnya makin membius. Suasana saat itu sunyi senyap
sehingga napaspun terdengar.
Darah Cu Jiang makin deras, jantungnya mendebur
keras sekali dan napaspun makin berat. Tubuhnya terasa
panas.
Ji-ji menengadahkan muka. sepasang bibirnya yang
mungil merah gemetar. Matanya memancarkan sinar
bening yang penuh pesona. Ah, saat itu pria manakah di
dunia ini yang sanggup menghadapi tantangan semacam
itu?
Cu Jiangpun berantakan imamnya. Ia dapat
ditundukkan. Serentak kedua lengannya yang kokoh
memeluk pinggang si nona, matanya menatap mata si dara.
Dan Ji jipun pasrah bagai seekor domba. Pada lain kejap,
dua pasang bibir telah merapat dengan hangat.
Sejak dahulu kala hingga sekarang, seorang ksatria sukar
untuk melawan godaan wanita cantik. Dan Cu Jiangpun
tak terkecuali.
Pada saat keduanya terbenam dalam kehangatan ciuman
yang mesra. Tiba2 Cu Jiang melihat wajahnya terbayang
pada biji mata Ji-ji. Ia melihat bahwa saat itu mukanya
tertutup kain cadar. Dan seketika timbullah rasa ngeri
apabila sekarang akan wajahnya yang telah rusak itu.
Buruk muka! Cacat kaki!
Tubuh berlumur darah musuh
Bahu memikul beban berat!
Serentak ia menyiak dara itu lalu berkisar ke haluan
perahu dan menghembus napas longgar.
"Sungguh berbahaya!" diam2 ia berseru. Karena
didorong, Ji Ji terpelanting jatuh telentang. Dia menjerit
kaget:
"Koko. engkau kenapa ?"
"Kita tak boleh melakukan begitu !"
"Kenapa ?"
"Soal yang menyangkut kepentingan seumur hidup,
masakan diselesaikan karena secara kebetulan ?"
"Tetapi .... aku sudah menjadi milikmu!"
"Itu persoalan lain !"
Ji ji tetap tak mau bangun dan mulai menangis seraya
berseru rawan:
"Koko, apakah engkau tak mau lagi kepadaku ?"
Dengan mengertek gigi, Cu Jiang menjawab: "Aku tak
mengatakan kalau tak menghendaki engkau."
"Tetapi engkau memperlakukan begitu!"
"Nona Pui . . ."
"Mengapa tak mau memanggil namaku saja?"
Cu Jiang terpesona lagi tetapi untung dia dapat menahan
diri.
"Ji ji . . ."
"Ehm..."
"Kalau kita mau menikah, harus ada yang menjadi
perantara dan saksi."
"Langit yang menjadi perantara, sungai menjadi saksi.
Apakah itu tidak cukup?"
"Tidak, Ji ji, harus tunggu sampai lain waktu."
"Lalu aku.... seorang gadis yang sudah sebatang kara dan
mengembara di dunia persilatan, apakah Gedung Hitam
mau membiarkan saja?"
Memang betul. Gedung Hitam pasti takkan
membebaskan dia. Lalu bagaimana baiknya? Dia sendiri
pun sudah sebatang kara. Tiada rumah tiada keluarga.
"Ji-ji, apakah engkau punya keluarga yang dapat engkau
ikuti?" serunya.
"Oh, engkau hendak menghindari aku . . ."
"Bukan begitu. Aku masih mempunyai banyak persoalan
besar yang harus kukerjakan. Engkau harus mempunyai
tempat tinggal yang aman."
"Lalu besok bagaimana?"
"Setelah urusanku selesai, aku tentu akan mengambilmu
sebagai isteri."
"Memperisteri diriku? Engkau... belum beristeri?"
"Belum."
"Kekasih?"
Serentak terkilas bayang2 Ki Ing dan Ho Kiong Hwa
dalam benak Cu Jiang. Walaupun kedua jelita itu memang
menaruh hati kepadanya, tetapi belum dapat digolongkan
sebagai kekasih. Maka dia pun gelengkan kepala dan
menyahut: "Tidak punya."
"Ah, aku sungguh beruntung sekali." Ji-ji tertawa cerah,
Secerah bunga di pagi hari.
Namun hati Cu Jiang kecut. Pada suatu saat apabila dara
itu tahu wajahnya yang rusak, apakah dia akan tetap
merasa bahagia ?
"Tak mungkin engkau bahagia !" katanya dengan
hambar.
"Mengapa ?" Ji-ji heran.
"Bukan saja takkan bahagia, pun engkau bahkan akan
kecewa !"
Sambil menyiak rambutnya yang terurai Ji-ji deliki mata.
"Mengapa?"
"Aku seorang cacat!" Cu Jiang tertawa masam.
"Kakimu pincang?"
"Masih ada yang lebih hebat lagi."
"Bagaimana hebatnya?"
"Wajahku .... sudah rusak !"
"Itu lebih baik!"
"Apa maksudmu ?"
"Aku tak kuatir engkau direbut orang."
"Ah, itu nanya omongan iseng saja."
"Koko, aku menginginkan hatimu, tak peduli engkau ini
cacat bagaimana saja."
Memang kebaikan seorang Jelita itu sukar sekali ditolak
dan Cu Jiangpun tergerak mendengar pernyataan itu. Ia
memeluk Ji Ji dan berkata dengan nada tegang:
"Ji Ji, aku tak berharga untuk cintamu yang begitu
besar."
Ji-Jipun rebahkan kepala di dada Cu Jiang dan berbisik:
"Koko, Jangan berkata begitu. Jiwaku adalah engkau
yang telah menghidupkan."
"Oh. engkau dasarkan pada membalas budi?"
"Sebagian, tetapi yang penting..."
"Apa ?"
Ji ji menggeser kepalanya menyusup kedada pemuda itu
dan dengan manja berkata:
"Engkau sudah tahu tetapi pura2 tak tahu biar aku
malu..."
Cu Jiang mengusap-usap bahu si dara. Ji ji, aku cinta
kepadamu." katanya.
"Ah, koko, aku seperti bermimpi mendengar ucapanmu
itu. Matipun aku puas."
Cu Jiang tak berkata lagi. Ia benar2 tenggelam dalam
lautan asmara yang menghanyutkan. Kepasrahan Ji-ji
dengan wajahnya yang cantik, senyum menggiurkan dan
tubuh yang putih mulus membias keharuman itu, telah
melelapkan kesadaran Cu Jiang.
Dia sudah tak dapat menguasai diri lagi dan
tangannyapun mulai melepaskan pakaian si dara dan...
"Toan-kiam jan-jin, engkau cari mati!" tiba2 dalam saat
yang gawat. Cu Jiang mendengar lengking seruan orang
dari atas geladak.
Tidak keras tetapi cukup menusuk telinga. Jelas orang itu
tentu memiliki tenaga-dalam yang kuat ?
Cu Jiang terkejut. Nafsunya hilang seketika dan serentak
dia loncat keluar ke geladak. Tetapi diluar hanya gerumbul
rumput ilalang yang menggunduk di sekeliling dan debur
arus sungai, tak tampak barang seorang manusiapun jua.
"Koko, ada apa ?"
Cu Jiang berpaling dan suruh dara itu tetap berada dalam
ruang bawah. Setelah mengeliarkan pandang ke sekeliling
penjuru, lalu berseru dengan sarat.
"Sahabat dari mana itu ? Mengapa tak mau unjuk diri?"
"Toan-kiam Jan-jin, engkau cari mampus. Bukan
begitukah caranya ?"
Suara itu berasal dari balik pohon. Nadanya suara
seorang wanita yang tak asing lagi. Cu Jiang tegang sekali.
Orang itu tak lain adalah yang hendak ditemuinya tetapi ia
takut bertemu, ialah Ang Nio Cu. Apakah semua yang
terjadi dalam perahu itu telah diketahui semua olehnya ?
"Bukankah anda ini Ang Nio Cu ?"
"Ho, kiranya engkau masih mengenal!"
"Hendak memberi pesan apa?"
"Engkau sudah mati dua kali."
Cu Jiang terkejut.
"Bagaimana aku sudah mati sampai dua kali?"
"Tidak percaya?"
"Bukan tidak percaya, tetapi tak mengerti."
"Engkau ternyata juga romantis sekali sehingga tak tahu
mati...."
"Apa maksud anda ?"
"Tanya sendiri kepada dirimu !"
Wajah Cu Jiang merah tetapi dia terus menjawab:
"Aku tak melakukan perbuatan seperti yang anda
katakan itu."
Ang Nio Cu tertawa sinis.
"Masih menyangkal?"
"Tak perlu."
"Apakah engkau anggap aku terlalu usil mencampuri
urusanmu?"
"Aku tidak menganggap begitu."
"Lalu mengapa tak mau mengakui?"
Ya, memang aku telah menolong seorang nona."
"Dan perahu itu memang sebuah tempat in-de-boy yang
asyik ...."
"Hanya agar dapat tenang mengobatinya."
"Dan untuk mengantar jiwamu."
"Mengapa anda tak mau berkata terus terang?"
Tiba2 dari bawah ruang perahu terdengar Ji-ji berseru
terkejut:
"Koko, aku takut."
"Tak perlu," kata Cu Jiang, "orang itu tak bermaksud
jahat."
Ang Nio Cu tertawa dingin "Toan-kiam jan-jin, engkau
sungguh tak tahu atau hanya pura2 saja?"
"Benar2 aku tak mengerti ucapan anda, " seru Cu Jiang.
"Engkau akan mengerti. Bawalah siluman rase itu ke
darat sini!"
"Apa? Siluman rase . . ."
"Ya, jangan sampai dia dapat lolos!"
Dari ruang perahu terdengar pula Ji-ji berseru gemas:
"Koko, engkau percaya pada omonganku atau dia?"
Cu Jiang agak bingung.
"Aku tak mengerti bagaimana sebenarnya urusan ini? "
"Sederhana sekali."
"Sederhana?"
"Benar. Hanya wanita yang tahu jelas hati wanita, " kata
Ji ji.
"Bagaimana?" tanya Cu Jiang.
"Dia mungkin mencintaimu!"
Tergetar hati Cu Jiang mendengar kata2 Ji-ji itu. Ang
Nio Cu tak mungkin mencintai dirinya. Tetapi wanita itu
memang menjadi jomblang untuk menjodohkan dirinya
dengan Ho Kiong Hwa. Tetapi apakah kata2 Ji-ji itu benar .
. ."
"Atas budi pertolongan anda kepadaku, aku pasti takkan
melupakan . . . . " serunya kepada Ang Nio Cu.
"Itu soal lain. " sahut Ang Nio Cu, "aku hendak
menangkap siluman rase itu."
"Mengapa?"
"Apa engkau tergila-gila kecantikannya?"
"Aku bukan manusia semacam itu!"
"Kalau tidak, lekaslah lakukan permintaanku tadi."
"Aku mohon penjelasan dulu."
"Segera engkau akan tahu.
"Apakah anda tak mau memberi keterangan?"
"Tidak!"
"Ini . . . apakah tidak berani anda mencelakai orang?"
"Kecuali kalau engkau memang sudah tak ingin hidup
lagi"
"Harap anda jangan membuat teka teki ..."
"Tahukah engkau dia itu siapa?"
"Dia bernama Pui Ji ji, dicelakai oleh gerombolan
Gedung Hitam . . ."
"Dan engkau percaya?"
"Aku melihat dengan mata kepala sendiri."
"Seluruh peristiwa?"
Cu Jiang terbeliak.
"Dia menggeletak di tengah jalan dan kutolong . . ."
"Seorang ksatrya akan dikelabuhi dengan cara
keksatriyaan. Toan kiam-jan jin, masih banyak hal2 yang
perlu engkau pelajari. Ilmu silat bukan suatu jaminan dapat
mengatasi segala apa.
"Apakah dia . . ."
"Dia memainkan perannya dengan sempurna sekali. Dan
ini memang keistimewaan dari wanita2 yang telah dilatih."
"Dia menjalankan peran?"
Tiba2 dari ruang perahu Ji-ji melengking keras:
"Biar aku mengadu jiwa dengan dia ..."
"Ji-ji, tenanglah, jangan keluar!" cegah Cu Jiang.
"Tetapi koko .... apakah engkau mampu melindungi
keselamatanku?"
"Bila perlu, tentu."
"Tetapi koko fitnah itu amat berbisa. Dia pandai
mengada-ada untuk merangkai fitnah . . ."
"Sudahlah, jangan bergerak."
"Tetapi . . . aku . . . toh sudah tak menghiraukan soal
mati hidup lagi!" serunya dengan nada marah dan putus
asa.
Dan arah daratan terdengar Ang Nio Cu berseru pula:
"Toan kiam-jan-jin, pernahkah engkau mendengar nama
Hoa Goet?"
Tergetar hati Cu Jiang seketika. Baru beberapa hari saja
dia menghadapi peristiwa gerombolan wanita2 cabul itu.
Sudah tentu dia tahu.
"Tahu," Cu Jiang menggeram, "mereka perempuan2 hina
yang harus dilenyapkan."
"Bagus, bunuhlah lebih dulu siluman dalam perahu itu!"
"Dia .... juga . . ."
Cu Jiang berputar tubuh memandang Ji ji.
"Apakah engkau benar perempuan jalang dari
gerombolan Hoa-gwat bun?" tegurnya dingin. Karena benci
sekali kepada pemimpin Hoa gwat-bun yang telah
bersekongkol dengan Sebun Ong untuk menipunya, maka
begitu bicara dia terus gunakan kata2 yang kasar.
Wajah Ji-ji berobah seketika.
"Aku tak tahu apa itu Hoa gwat-bun. Fitnah itu benar2
merupakan siasat busuk dari orang Gedung Hitam!"
serunya tak kalah keras.
Cu Jiang tahu bahwa Ang Nio Cu merupakan musuh
bebuyutan dengan Gedung Hitam.
"Tak usah menyinggung-nyinggung Gedung Hitam.
Bilang terus terang!" bentaknya.
"Aku matipun tak apa, karena manusia semacam diriku
yang bernasib jelek tentu tetap jamak," Ji-ji mengertek gigi,
lalu melesat keluar.
"Hai, mau apa engkau," Cu Jiang cepat menghadangnya.
"Koko, engkau dan aku, dalam kehidupan sekarang tak
dapat terangkap sebagai suami isteri, biarlah kelak dalam
penitisan yang akan datang kita berjumpa lagi! " seru Ji ji
dengan kalap.
"Jangan sampai dia lolos!" teriak Ang Nio Cu.
Tetapi pada saat itu Ji ji sudah loncat ke dalam air. Cu
Jiang ulurkan tangan hendak menyambar tetapi saat itu
lengannya terasa kesemutan seperti terkena tusukan.
Terpaksa dia lepaskan cekalannya, blung. Tubuh Ji-Jipun
tercebur dalam air dan tak lama lenyap ditelan arus.
Cu Jiang memandang terlongong-longong kearah sungai.
"Ai, dia nekad mengubur diri dalam sungai," pikirnya.
Sampai lama tak terdengar suara Ang Nio Cu. Cu Jiang
mulai curiga, pikirnya: "Dia mendesak orang sampai mati,
apakah terus ngacir ?"
"Mengapa anda tak berkata lagi?" serunya.
Tak ada penyahutan. Cu Jiang mulai gelisah. Apakan
benar2 Ang Nio Cu memang hendak memfitnah Ji-ji
supaya mati? Kalau tidak mengapa sekarang dia diam saja ?
Pikir dia tiba pada suatu kesimpulan Bahwa oleh karena
kepentingan peribadi, Ang Nio Cu tak segan untuk
memfitnah seorang dan sehingga mati secara begitu sia-sia.
Diam2 ia merasa bertanggung jawab akan kematian Ji ji.
Mengapa dia begitu saja mau percayai omongan Ang Nio
Cu.
Tiba2 ia rasakan lengannya yang terkena tusukan tadi
mulai menyerang ke atas bahunya. Ketika memeriksanya
pada tempat bekas tusukan ia telah memupuk sebuah
lingkaran darah warna merah hitam.
"Racun!" seketika ia terkejut sekali. Segera dia kerahkan
tenaga-dalam untuk menghentikan peredaran racun itu.
Kini dia harus merombak semua pikirannya tadi. Pada
waktu hendak mencebur ke dalam sungai dan dicekalnya, Ji
ji telah menusuknya dengan benda beracun. Jelas apa yang
dikatakan Ang Nio Cu itu benar semua.
Sebun Ong menggunakan Cian Su Nio ketua Hoa gwat-
bun dan muridnya yang bernama Soh-hun li untuk
menyamar sebagai Ratu kembang Tio Hong Hui dan anak
gadisnya, telah terbongkar rahasianya. Mungkin mereka
hendak menggunakan siasat racun untuk membunuhnya.
Kepala Cu Jiang mulai terasa pusing, pandang
matanyapun berkunang-kunang. Dia duduk bersandar pada
dinding geladak. Kesadaran pikirannya mulai kabur.
Entah sampai berapa lama, ketika membuka mata, ia
masih dapatkan dirinya berada diatas perahu. Tetapi sudah
berbaring diatas tempat tidur kayu dalam ruang perahu.
Diatas geladak duduk seorang wanita yang mukanya
ditutup dengan kain merah. Siapa lagi kalau bukan Ang Nio
Cu.
Cu Jiang coba untuk menyalurkan tenaga dalam, ia
rasakan agak lancar. Hanya lengannya yang terluka tadi,
seolah-olah tak ada atau mati-rasa.
"Apakah aku . . . terkena racun?"
"Ya." Ang Nio Cu menjawab dingin. "racun yang ganas
sekali Racun Toan-bun tok dari perkumpulan Hoa-gwat-
bun!"
"Toan bun-tok?"
"Hm. racun yang tiada obatnya lagi. Sedang yang punya
racun sendiri juga tak punya obat penawarnya. Kecuali
terhadap musuh besar atau lawan yang harus dilenyapkan
jiwanya, racun itu tak sembarangan digunakan.
Serasa terbang semangat Cu Jiang mendengar
keterangan itu.
"Kalau begitu, aku .... pasti mati, " katanya dengan nada
getar.
"Mungkin!"
Tiba2 Cu Jiang mendengar suara orang merintih
pelahan. Ternyata dibawah kolong geladak yang terletak di
muka tempat tidur itu menggeletak seorang dara yang basah
kuyup. Hai, Pui Ji ji!
Dengan mengertek gigi, Cu Jiang menggeliat bangun dan
berseru geram:
"Akan kubunuhnya . . ."
"Jangan bergerak dulu." cegah Ang Nio Cu, "sudah
kuminumkan pil tik-tok wan kepadamu. Tetapi dayanya
hanya dapat melindungi jiwa dalam waktu yang terbatas.
Jika engkau marah maka racun itu akan berkembang dan
menyerang ulu hatimu. Biarlah sekarang dia merasakan
buah yang di tanamnya."
Cu Jiang memandang ke arah Ji ji yang ternyata seekor
ular berbisa Gadis itu tengah memandangnya dengan sorot
mata memohon kasihan.
"Engkau bernama Rase Kumala! " bentaknya.
"Ya..."
"Murid dari Hoa gwat-bun?"
"Hm."
"Mengapa engkau mencelakai aku?"
"Menjalankan perintah atasan."
"Perintah dari Ciam Su Nio?"
"Ya."
"Mengapa?"
"Entah."
"Engkau . . . jalang hina, sampah dunia persilatan.
Engkau bermain sandiwara dengan bagus sekali. Sekarang
tamatlah riwayatmu."
"siauhiap .... aku berbuat begitu lantaran terpaksa . . ."
"Hm, benar, karena terpaksa. Entah berapa banyak jiwa
yang melayang karena perbuatanmu yang terpaksa itu. Aku
terpaksa harus mencincang mu . . ."
Ang Nio Cu melesat ke muka.
"Siluman ini pura2 membuang diri ke dalam sungai
tetapi sebenarnya dia hendak meloloskan diri. Ketika aku
menyelam ke dalam air ternyata dapat membekuknya."
Kemudian ia alihkan mata memandang berkilat2 kepada
Rase Kumala, serunya.
"Rase kecil, engkau bunuh dirimu sendiri saja!"
"Ang cianpwe." Rase Kumala merintih-rintih. "mohon
suka mengampuni jiwaku seorang perempuan hina ini."
"Seorang pendekar pedang yang menyinari dunia
persilatan, saat ini sedang menghadapi kematian. Apakah
engkau berharap hidup?"
Tahu bahwa sia2 saja ia memohon hidup, Rase Kumala
nekad. Mencabut tusuk kundai pada sanggulnya ia terus
menusuk sikunya sendiri. Hanya dalam beberapa kejap saja,
dari ketujuh lubang tubuhnya mengalirkan darah. putuslah
jiwanya.
"Apakah yang digunakan untuk menusuk tangannya juga
tusuk kundai itu? " seru Cu Jiang.
"Ya, memang benda itu," kata Ang Nio Cu. "dinamakan
Toan hun-emn. Cobalah renungkan, betapa besar
kesempatan yang diperolehnya untuk membunuh engkau?"
Cu Jiang terkejut dan diam2 menyesal. Teringat akan
adegan2 yang romantis itu, wajahnya makin merah.
Memang benar, pada saat pikirannya limbung dirangsang
nafsu, mudah sekali bagi Rasa Kumala untuk
membunuhnya.
Jika Ang Nio Cu tak keburu datang, dia tentu sudah
mati. Dia makin mendapat pengalaman, betapa ganas, licik
dan keji insan2 dalam dunia persilatan itu.
Menurut Ang Nio Cu. racun Toan-bun tok itu tiada
obatnya. Dengan begitu jelas dia tentu mati. Mati dia tak
masalah. Tetapi kalau harus mati di tangan perempuan
jalang semacam gerombolan Hoa-gwat-bun, dia benar2 tak
rela.
"Masih ingat perjanjian tempo hari?" tiba2 Ang Nio Cu
menegurnya.
"Masih."
"Lalu bagaimana keteranganmu?"
"Saat ini aku sudah terkena racun Toan hun tok. Aku
tentu mati. Apa guna aku harus memberi keterangan?"
"Tidak! Seorang ksatrya harus pegang janji. Selama
engkau masih dapat bicara, harus melaksanakan janji itu!"
Cu Jiang tertawa meringis.
"Lalu . . . apa yang harus kukatakan?"
"Cukup mengatakan, engkau suka atau tidak suka
mengambil Ho Kiong Hwa sebagai isteri?"
Sukar untuk mengatakan perasaan hati Cu Jiang saat itu.
Dia ingin membuka kain penutup muka Ang Nio Cu. Ingin
ia melihat bagaimana wajah yang sebenarnya dari wanita
yang misterius itu. Masakan tahu dia pasti mati karena
racun itu, masih tetap didesak untuk memberi jawaban
tentang pernikahan dengan Ho Kiong Hwa.
"Apakah anda tak memikirkan kepentingan nona Ho?"
tanyanya.
"Kepentingan apa?"
"Aku tak lama tentu mati. Apakah hal itu tidak
menelantarkan hidupnya . . ."
"Itu lain persoalan."
"Anda tetap hendak menjadi jomblang untuk nya?"
"Benar, semua aku yang memutuskan!"
"Aku sungguh tak mengerti ..."
"Tak usah banyak pikir, engkau suka atau tidak?"
Cu Jiang kewalahan. Pikirnya: "Aku toh pasti mati. Dan
karena menjaga gengsi maka Ang Nio Cu sampai bertindak
begitu. Ia pun merasa bahwa dirinya tak sembabat menjadi
jodoh Ho Kiong Hwa
Setelah merenung beberapa saat. akhirnya ia
mengangguk :
"Baik, aku menurut."
"Tetapi apa keluar dari ketulusan hatimu?"
"Tentu. Masakan dalam persoalan yang begitu penting,
aku hanya berolok-olok ?"
"Baik, ini sudah menjadi keputusan," kata Ang Nio Cu,
lalu mengambil sebuah benda dan dilemparkan Cu Jiang,
katanya:
"Terimalah, itu tanda pengikat dari fihak isterimu."
Cu Jiang menyambuti dan memeriksa. Sebuah kantong
kecil sulaman. Dia tertegun. Sebenarnya dia sembarangan
saja menyetujui karena toh tak dapat hidup lama. Tak kira
Ang Nio Cu begitu serius dan menyerahkan tanda panjar
pengikat perjodohan.
"Bukalah, mengapa terlongong saja?" seru Ang Nio Cu
pula.
Cu Jiang meringis. Ia melakukan perintah. Ternyata
kantong itu berisi sepasang anting-anting dari kumala hijau.
"Engkau menyerahkan apa?*
"Aku .... tak punya apa?."
"Kalau begitu, pakai pedang ini saja," dari bajunya
merah yang gerombyongan, dia mencabut sebatang pedang.
"Memakai pedang anda sebagai pengikat?" Cu Jiang
heran.
"Pedang ini milikmu .. ."
"O . . .. benar, milikku .. ."
Ang Nio Cu mencabut pedang dari kerangkanya dan
bertanya:
"Apa masih mengenali ?"
"Thiat-kiam." teriak Cu Jiang. Dia tak menyangka
bahwa pedang thiat-kiam (besi) miliknya akan jatuh
ditangan Ang Nio Cu. Kini baru dia teringat. Ketika dia
dihantam dan dilempar ke dasar jurang oleh ketiga tokoh
Sip-pat thian-mo, pedang itupun jatuh entah dimana.
Tentulah Ang Nio Cu menemukannya disekitar lembah
buntu itu.
"Bagaimana ?" tegur Ang Nio Cu.
"Baik," kata Cu Jiang.
"Ingat baik-baik! Sejak saat itu nona Ho Kiong Hwa itu
adalah calon isterimu yang resmi!" kata Ang Nio Cu
dengan tandas.
Cu Jiang meringis. Ia merasa seperti bermimpi. Kini dia
sudah mempunyai isteri. Apabila racun itu tak dapat
disembuhkan, bukankah Ho Kiong Hwa akan menjadi Ong
bun-koa atau janda yang belum dikawin.
Setelah menyimpan pedang thiat-kiam, berkata pula Ang
Nio Cu :
"Mari kita berunding mencari jalan menyembuhkan
racun itu."
Cu Jiang terkesiap.
"Bukankah anda mengatakan bahwa racun Toan-bun-tok
itu tiada obatnya lagi?"
"Benar. Tetapi ada seorang yang mungkin dapat
menyembuhkannya."
"Siapa ?"
"Dia berwatak nyentrik sekali, sukar diajak kenal. Tetapi
demi menolong jiwa, terpaksa harus menempuh jalan itu..."
"Siapakah dia itu?"
Ban Yok ih yang bergelar Kui-Jiu sin-Jin atau manusia
sakti bertangan setan"
"Kui-Jiu-sin Jin Ban Yuk Ih.. ..rasanya aku pernah
mendengar nama itu."
"Kepandaiannya dalam ilmu pengobatan, dalam dunia
ini tiada yang melawan. Tetapi wataknya angkuh dan
menjengkelkan sekali. Kecuali dia suka menolong sendiri,
tak mungkin dia dipaksa untuk memberi obat kepada orang
sekalipun akan diancam bunuh ...."
"Apakah dia benar2 mampu menyembuhkan racun
dalam tubuhku ?"
"Kemungkinan besar."
"Berapa lama aku dapat hidup?"
"Aku mempunyai sepuluh butir pil Bi-tok-wan, dapat
membekukan racun itu supaya jangan menjalar. Kalau tiap
hari makan sebutir, engkau pasti mampu bertahan hidup
sampai sepuluh hari..."
"Sepuluh hari!"
"Ya."
"Di mana tempat tinggal Kui-jiu-sin-Jin Bun Yok Ih itu?"
"Didalam lembah dibelakang puncak Sin li hong gunung
Busan."
Sejenak memperhitungkan perjalanannya, Co Jiang
berkata:
"Masih keburu, tetapi..."
"Tetapi bagaimana?"
"Apakah dia mampu menyembuhkan racun itu masih
menjadi pertanyaan, Dan apakah dia mau memberi obat,
juga masih menjadi soal."
"Asal mampu menyembuhkan saja. suka tak suka, mau
tak mau, dia harus mengobati"
"Memakai kekerasan ?* tanya Cu Jiang.
"Cara apapun dihalalkan asal dapat mencapai tujuan."
"Kalau begitu harap tunjukkan jalannya."
"Aku akan menemanimu."
Cu Jiang terkesiap. Ia tak nyana Ang Nio Cu yang
dimasyhurkan dunia persilatan sebagai seorang momok
ganas, ternyata baik sekali kepadanya.
Dengan nada singkat Cu Jiang menyatakan bahwa dia
tak berani merepotkan Ang Nio Cu.
"Sudahlah, jangan banyak cakap. Apakah engkau dapat
mendayung perahu?" tukas Ang Nio Cu.
"Ya."
"Mari kita berangkat dengan perahu." Sejenak merenung
Cu Jiang menyatakan bahwa hal itu kurang leluasa.
"Mengapa?"
"Dengan naik perahu tentu sukar untuk
menyembunyikan jejak. Dan akupun tak pandai berenang.
Apabila musuh menyerang, tentu sukar untuk menghadapi.
"Ya, benar juga. Kalau begitu kita masing2 mengambil
jalan sendiri. Dan nanti bertemu di Busan, bagaimana?"
Cu Jiang setuju.
"Ingat, tiap hari harus minum sebutir pil Bik-tok wan itu,
dan jangan marah!" Ang Nio Cu memberi peringatan lagi.
"Ya, aku akan mengingat hal itu."
Ang Nio Cu berkata sambil botol dilemparkan kepada
Cu Jiang:
"Itulah pil Pik-tok-wan hanya tinggal sembilan butir,
dapat memperpanjang usiamu sembilan hari. Hati2
menjaganya."
Sambil menyambuti, Cu Jiang menghaturkan terima
kasih.
"Kita berjalan berpisah, tenggelamkan saja perahu ini,"
kata Ang Nio Cu terus loncat ke darat dan tak berapa kejab
sudah lenyap.
Dengan gemas Cu Jiang memandang mayat Rase
Kumala. kemudian dia menghantam papan lantai perahu,
setelah itu loncat ke daratan. Perahu mulai menyelam dan
tak lama sudah tenggelam.
Karena buru2 menuju ke Busan, terpaksa ia putar
kembali ke Kui-ciu. Tak sampai setengah li ia melihat
sebuah tandu warna hijau dipikul oleh empat lelaki gagah,
berjalan seperti terbang.
Dalam sekejab saja sudah tiba. Jelas keempat lelaki
pemikul tandu itu tentu bangsa kaum persilatan.
Cu Jiang tak mau cari perkara. Ia menyingkir ke pinggir.
Dan tandu itupun cepat sekali sudah berlalu.
Tiba2 telinga Cu Jiang terngiang ia sebuah suara lembut
sekali. Mungkin orang lain tentu tak mungkin dapat
mendengar.
"Itulah si pembunuh besar, lekas, jangan cari gara2
kepadanya! " ngiang suara lembut itu.
"Apa dia Toan- kiam jan jin?"
"Benar, memakai penutup muka, kakinya pincang,
masakan ciri2 itu masih belum cukup jelas!"
Cu Jiang berpaling memandang, Ia terkejut ketika
melihat pada bagian belakang tandu itu terdapat pertandaan
dari keempat kojiu dari Tayli yang mengikuti perjalanannya
selama ini. Tanda rahasia itu berbunyi: "Tolong orang
dalam tandu."
O0oood0wooo0O

Jilid 15
"Berhenti!" serentak Cu Jiang berteriak dan dengan
beberapa loncatan dia sudah berada di depan tandu.
Keempat pemikul tanda Itu berhenti dan letakkan tandu.
Wajah mereka berobah tegang.
"Siapa di dalam tandu? " seru Cu Jiang.
Keempat pemikul itu saling bertukar pandang. Tiba2 dari
dalam tandu terdengar lengking seorang wanita:
"Siapa yang menghadang jalan itu?"
Cu Jiang terkejut. Keempat Tay-li-ko-jiu tak mungkin
keliru meninggalkan pertandaan bahaya. Tetapi nada
perempuan dalam tandu itu seperti bukan orang yang
membutuhkan pertolongan.
Sejenak meragu, Cu Jiang segera mengambil keputusan.
Betapapun halnya, dia harus memeriksa lebih dulu.
"Toan kiam-jan-jin." serunya dengan nada tergetar.
"Oh, Toan kiam-jan jin, sudah lama tak berjumpa.
Mengapa menghadang jalan?" seru wanita dalam tandu.
Cu Jiang gelagapan tetapi dia tetap berkeras, serunya :
Tandu ini agak mencurigakan, aku akan
memeriksanya!"
"Apa? Mau memeriksa?"
"Ya."
"Apakah engkau hendak melanggar peraturan?"
"Katakanlah begitu. Lekas buka pintu!"
"Toan-kiam-jan jin, ilmu silat mempunyai tata peraturan
silat, masakan hendak digunakan untuk menggertak!"
"Aku tak peduli!"
"Aku seorang wanita baik, harap anda tahu aturan,
jangan berbuat yang tak senonoh . . ."
Cu Jiang sudah terlanjur bertindak dan dia malu untuk
mundur.
"Apakah menghendaki aku turun tangan?"
Keempat pemikul tandu itu tampaknya memang orang
persilatan tetapi semua takut kepada Toan-kiam jan jin.
kecuali mengeluh kejut, mereka tak berani ikut bicara.
Pintu tandu terbuka dan tampaklah seorang wanita
muda yang cantik tengah duduk dalam tandu.
Cu Jiang makin bingung. Keempat kojiu dari Tayli itu
tak mungkin akan berolok-olok dengan dia tetapi mengapa
mereka meninggalkan pertandaan rahasia di tandu itu?
Ternyata dalam tandu itu kecuali seorang wanita muda
yang cantik tak terdapat sesuatu yang mencurigakan lagi.
Adakah karena diancam maka nyonya muda itu tak
berani bergerak?
"Harap beritahukan nama." akhirnya ia berseru.
Dengan tertawa secerah musim semi, nyonya itu berkata:
"Apakah perlu harus begitu?"
Suara tawa itu amat memikat hati. Tetapi Cu Jiang
sudah tak mau kena pengaruh lagi.
"Tentu." sahutnya tegas.
"Apa engkau kenal aku? Kalau aku memberi keterangan
yang palsu, apakah engkau dapat membedakan?"
Cu Jiang terbeliak.
"Ya, mungkin benar. Sekarang silakan turun saja."
Nyonya cantik itu kerutkan alis. "Aku harus turun?"
serunya.
"Ya."
"Mengapa?"
"Tak perlu tanya. "
" Kalau aku tak mau?"
"Apa yang kukatakan, tentu kulakukan."
"Apakah anda hendak membunuh aku?"
"Mungkin."
"Sungguh tak ada aturannya. Engkau berjalan sendiri
dan akupun naik tandu sendiri . . ."
"Ah, terlalu banyak bicara, turun!"
"Tetapi engkau harus memberi alasan!"
"Aku hendak memeriksa tandu ini"
"Aneh, kitakan belum saling kenal, mengapa engkau
hendak mengganggu kami ...."
"Lebih baik engkau turut perintah saja."
Terpaksa nyonya cantik itu turun dari pintu. Cu
Jiangpun menghampiri ke pintu dan memandang ke dalam
tandu. Ternyata tandu itu kosong melompong. Diam2 ia
menghela napas dan meringis dalam hati.
"Sudahkah?" nyonya cantik itu tertawa mengejek.
"Pergilah!" terpaksa Cu Jing mundur teratur. Dengan
tertawa nyonya cantik itupun segera melangkah masuk ke
dalam tandu lagi.
Tiba2 sekonyong-konyong dari dalam tandu terdengar
suara orang bernapas.
Telinga Cu Jiang yang tajam segera dapat menangkap
suara itu dan terus membentak:
"Tunggu!"
Nyonya cantik Itu terkejut. Berputar tubuh dan
menyurut mundur beberapa langkah.
"Toan kiam Jan-jin, apa maksudmu?"
"Apa yang berada dibawah dudukan itu ?" seru Cu Jiang.
Seketika wajah nyonya cantik itu berobah dan menyurut
mundur lagi. Keempat pemikul tandu itupun ikut mundur.
Cu Jiang tak mau membuang tempo. Dia menghantam
atas tandu dan mengangkat papan. Kejutnya bukan alang
kepalang ketika melihat seorang manusia yang lebih
menyerupai seorang manusia darah, berada dibawah
tempat duduk.
Orang itu telah dimasukkan kebawah tempat duduk
sehingga tak kelihatan.
Setelah tempat duduk dibongkar, barulah orang itu dapat
terlihat. Seketika Cu Jiang terkejut demi melihat orang itu:
"Dia !"
Orang itu tak lain adalah Ho Bun Cai, congkoan dari
Gedung Hitam yang mengaku sebagai suhengnya. Saat itu
napasnya lemah sekali.
Melihat kepandaian Ho Bun Cai, tentu yang
merubuhkan dan memasukkannya kebawah tempat duduk
tandu itu, memiliki kepandaian yang sakti.
Begitu rahasianya terbongkar, wanita cantik dan keempat
pemikul tandu itu terus melarikan diri.
Ketika Cu Jiang menyadari, mereka sudah jauh sekali.
Sebenarnya dia mampu mengejarnya tetapi menilik
keadaan Ho Bun Cai yang sudah begitu payah, terpaksa dia
harus menolongnya dulu.
Ternyata tubuh Ho Bun Cai penuh berhias sabetan
pedang sehingga dagingnya murmur.
"Suheng, suheng !"
Ho Bun Cai hanya bergerak sedikit tetapi tak memberi
jawaban apa2.
Cu Jiang segera mengangkat tubuh Ho Bun Cai dan
dibawa kedalam hutan. Meletakkannya di tempat yang
sunyi. Waktu ia memeriksanya, Cu Jiang makin lemas
hatinya.
Bukan saja urat-uratnya malang melintang tak karuan,
pun urat nadi bagian hati telah putus. Jelas luka bagian
dalam lebih parah dari bagian luar.
Siapa yang telah melukainya sampai begitu hebat ?
Cu Jiang getun sekali karena tak dapat membekuk
wanita cantik itu. Lalu bagaimana dia harus bertindak ?
Amarahnya berderai-derai membanjir. Satu satunya
murid dari ayahnya, ternyata tak dapat ditolong
Sesosok tubuh berkelebat dan muncullah seorang tua
bongkok, Cu Jiang segera mengenalinya sebagai salah
seorang dari Empat-kojiu Tayli. Namanya Ko Kun.
"Apakah engkau yang membuat tanda rahasia itu ?"
tegur Cu Jiang.
"Ya."
"Bagaimana peristiwanya ?"
"Hamba mendapatkan korban itu menggeletak dipintu
sebuah kuil di tepi sungai. Mulutnya menyebut Toan-kiam-
Jan-jin. Itulah sebabnya hamba terus meninggalkan
pertandaan rahasia. Tetapi pada saat itu muncul beberapa
orang yang membawa tandu. Korban juga diangkut
kedalam tandu. Oleh karena telah menerima titah baginda
bahwa hamba sekalian tak boleh turun tangan, demi
melaksanakan amanat baginda dan demi menjaga
keselamatan negara serta ciangkun sendiri, maka diam2
hamba mengikuti tandu itu untuk mencari kesempatan
meninggalkan pertandaan rahasia pada tandu itu."
"Oh..."
"Apakah masih dapat ditolong ?"
"Sukar," sahut Cu Jiang dengan sedih.
"Ini...."
"Aku harus berusaha supaya dia dapat bicara !"
Ko Kun membungkuk dan memeriksa urat-nadi. Sesaat
ia gelengkan kepala:
"Kecuali terjadi keajaiban, tak mungkin dia dapat
ditolong lagi !"
"Akan kusaluri tenaga-murni kedalam tubuhnya."
"Mungkin tak dapat bahkan kebalikannya akan
mempercepat kematiannya."
"Tetapi aku perlu bertanya banyak sekali kepadanya."
"Ciangkun...."
"Jangan menggunakan sebutan itu."
"Baiklah," kata Ko Kun, "hanya dengan memberikan
saluran tenaga-murni secara pelahan-lahan, Mungkin saja
dapat menyadarkannya."
"Akan kucoba."
"Demi menjaga rahasia diri, maaf, terpaksa aku harus
pergi. ."
"Silakan."
Ko Kun terus lari dan menyusup kedalam hutan. Saat itu
Cu Jiang seperti mau menangis. Pertama karena
mendapatkan suhengnya tak tertolong jiwanya dan kedua
karena dia masih mempunyai banyak sekali pertanyaan
yang belum diketahui. Kalau suheng itu mati. rahasia
itupun ikut lenyap.
Rahasia diri ketua Gedung Hitam. Musuh-musuh
mendiang orang tuanya dan sebab2 mengapa dirinya
sampai dianiaya oleh orang.
Kesemuanya itu masih merupakan teka teki besar yang
belum terpecahkan. Bibinya, wanita gemuk itu, mungkin
tahu semua peristiwa itu. Tetapi dia berada jauh di negeri
Tayli.
Sementara saat itu suhengnya menghadapi kematian dan
dia sendiripun terkena racun sehingga tak dapat berbuat
suatu apa. Merenungkan hal itu semua teringatlah ia akan
suhunya, Gong gong-cu. Jika suhunya berada disitu,
tentulah mudah bila diajak berunding...
Ah... tiba2 ia teringat. Bukankah dia saat itu sedang
menuju ke gunung Busan untuk mencari Kui jiu-sin-jin Bun
Yok Ih yang kabarnya mempunyai kepandaian mengobati
orang yang sudah mati dapat hidup lagi.
Jika demikian apabila dia membawa suhengnya kesana,
tentulah ada harapan jiwanya tertolong. Tetapi ah ... .
Busan sedemikian jauh dan keadaan suhengnya sedemikian
parah, apakah hal itu dapat tercapai.
Setelah merenung sekian saat, ia memutuskan untuk
memberi pertolongan sendiri. Dengan tangan kiri melekat
ke pusar suhengnya, ia menyalurkan tenaga-murni.
Kemudian tangan kanannya menutuk ketiga belas jalan
darah tubuh suhengnya.
Beberapa waktu kemudian barulah tampak mulut Ho
Bun Cai mulai bergerak-gerak dan napaspun mulai
mendengus, kemudian membuka mata. Tetapi sinar
matanya tampak kuyu.
"Suheng, suheng. apakah kenal kepadaku?" serunya
tegang.
Setelah mengulang berapa kali tampak bibir Ho Bun Cai
mulai bergetar tetapi tetap terkatup. Rupanya dia hendak
berkata tetapi tak dapat bersuara. Sikapnya mengunjukkan
penderitaan yang hebat.
Perasaan Cu Jiang makin rawan. Dia memperkeras
saluran tenaga murninya sembari berseru memanggil:
"Suheng, suheng."
Dengan susah payah akhirnya mulut Ho Bun Cai dapat
juga mengucap beberapa patah kata.
"Bu-lim .... seng-hud . . . Sebun. . . Ong . . . balas
dendam . .." dia hendak melanjutkan kata-katanya tetapi tak
kuat. Matanya melotot dan seketika putuslah nyawanya.
Cu Jiang memeluk tubuh suhengnya dan menangis
tersedu-sedu. Sanak saudaranya dalam dunia ini, satu demi
satu telah meninggalkannya. Betapapun keras hatinya
namun hancur juga kesedihannya.
Bu-lim-seng-hud si Buddha-hidup Sebun Ong itu si
manusia agung yang palsu itu. Mengapa dia membunuh Ho
Bun Cai? Apakah karena Ho Bun Cai itu congkoan dari
Gedung Hitam.
Tetapi apa bedanya Sebun Ong dengan ketua Gedung
Hitam? Bukankah mereka setali tiga uang, sama2 manusia
jahat?
Apakah Ho Bun Cai tak dapat meloloskan diri dari
genggaman Gedung Hitam?
Dengan menilai beberapa kesan itu akhirnya Cu Jiang
menyimpulkan bahwa wanita cantik dalam tandu itu
tentulah salah seorang anak buah gerombolan Hoa-gwat-
bun.
Sungguh tak terduga bahwa Sebun Ong dapat menguasai
gerombolan perempuan2 jalang itu.
Hm jika tak dapat membuka kedok manusia Sebun Ong,
dunia persilatan tentu tak mau percaya bahwa apa yang
mereka agungkan sebagai ksatrya berbudi luhur seperti
Buddha-hidup ternyata seorang manusia jahanam.
Cu Jiang teringat pula akan peristiwa ketika Ho Bun Cai
ditantang oleh Tio Pit Bu. murid dari Hun-kong kiam Go
Siok Ping. Ho Bun Cai mengatakan bahwa dia tak mau
menggunakan jurus ilmu pedang yang dahulu itu.
Dia duga yang dimaksudkan Ho Bun Cai itu tentulah
sejurus ilmu pedang It kiam-tui-hun ajaran mendiang
ayahnya.
Ah, jika pada malam itu dia tak ikut campur dan
membiarkan Tio Pit Bu mendesak Ho Bun Cai, tentulah dia
segera dapat mengetahui diri Ho Bun Cai. Dan tentulah dia
akan memperoleh banyak keterangan dari suhengnya itu.
Dan mungkin peristiwa sedih seperti saat itu takkan terjadi.
Tetapi kesemuanya itu sudah terjadi dan tak mungkin
dirobah. Sesal kemudian tak berguna. Suhengnya telah mati
dengan mengenaskan sekali.
"Sebun Ong! Sebun Ong!" ia menggeram dengan penuh
dendam kesumat. Kemudian ia mencari sebuah tempat di
tepi sungai untuk mengubur Jenazah Ho Bun Cai. Ia
mencari batu untuk nisan dan dengan jarinya ia menggurat
beberapa patah kata:
Makam Ho Bun Cai, murid Dewa-pedang.
Karena menulis itu dia harus menggunakan tenaga-
dalam dan saat itu dia rasakan badannya kurang enak.
Tetapi dia tak menghiraukannya. Kesedihan dan
kemarahan yang meluap-luap telah menegangkan urat-
syarafnya.
Selesai penguburan, dia memberi hormat yang terakhir
dan siap hendak tinggalkan tempat itu. Sekonyong-konyong
terdengar sebuah suara orang berseru dengan nada dingin:
"Toan kiam-jan jin, tempat ini bagus sekali alam
pemandangannya. Tepat kalau menjadi tempat
peristirahatanmu selama-lamanya."
Cu Jiang terkejut dan cepat berputar tubuh. Dua tombak
jaraknya, tegak seorang yang berpakaian hitam dan
mukanya bertutup kain hitam.
Ah, orang itu adalah tokoh misterius yang paling
termasyhur dalam dunia persilatan dewasa itu, yaitu ketua
Gedung Hitam.
Seketika meluaplah darah Cu Jiang, serunya geram:
"Pohcu, selamat bertemu! "
Ketua Gedung Hitam tertawa gelak2.
"Toan kiam jin jin, apakah engkau pernah sesumbar
hendak menghancurkan Gedung Hitam?"
"Benar."
"Mampukah engkau?"
"Tentu!"
"Ha, ha, ha, ha! Jangan keliwat tak tahu diri!"
"Kenyataan nanti yang akan membuktikan!"
"Aku harus bersyukur kepadamu karena engkau mau
merawat mayat congkoan kami Ho Bun Cai," seru ketua
Gedung Hitam.
"Hm," Cu Jiang mendengus.
"Mengapa engkau tahu bahwa dia itu murid dari Dewa
pedang?"
"Tak perlu engkau tahu." baru berkata begitu tiba2 Cu
Jiang terkesiap. Congkoan dibunuh orang mengapa ketua
Gedung Hitam itu tidak menanyakan sebab2 pembunuhan
itu kebalikannya mengalihkan pembicaraan pada lain soal?
Sungguh mengherankan!
Saat itu Cu Jiang hendak bertanya tentang peristiwa
pembunuhan kedua orang tuanya tetapi pikir2, sebelum ada
bukti tentulah ketua Gedung Hitam itu akan menyangkal.
Dan kalau mengemukakan peristiwa pembunuhan itu,
bukankah dirinya sendiri tentu akan ketahuan. Saat itu dia
sedang terkena racun, belum tahu bagaimana nanti
nasibnya.
"Toan-kiam jan-jin." tiba2 ketua Gedung Hi tam berseru
pula, "jangan2 engkau ini juga pewaris dari Dewa-pedang
Cu Hong Ko?"
"Kalau betul begitu, lalu bagaimana?" balas Cu Jiang.
"Engkau sesumbar hendak menghancurkan Gedung
Hitam," kata ketua Gedung Hitam, "atas dasar perhitungan
apa?"
"Perhitungan darah!"
"Dalam peristiwa yang mana?"
"Seharusnya engkau Sudah tahu jelas.
"Banyak sekali aku berhutang kepada orang. Silakan
engkau mengatakan sendiri!"
Cu Jiang merenung. Jika mengatakan pada saat itu,
tentulah dirinya akan ketahuan. Saat itu masih belum
waktunya, lebih baik dia tak mengungkat peristiwa itu, Jika
musuhnya bukan hanya terbatas ketua Gedung Hitam itu
sendiri, bukankah mereka akan terkejut dan tahu lalu
bersiap-siap?
Serentak dia teringat akan pesan Ang Nio Cu bahwa
selama dalam perjalanan untuk mencari obat ke Busan itu,
sekali-kali jangan marah dan jangan berkelahi dengan orang
karena hal itu akan mengakibatnya racun segera bekerja
keras.
"Aku tak mau membereskan hutan darah itu sekarang,"
seru Cu Jiang.
"Kenapa ?"
"Itu urusanku."
"Tetapi aku justeru hendak mengambil batang
kepalamu!"
"Coba saja kalau mampu!"
Tiba2 dari dalam hutan berhamburan keluar belasan
sosok bayangan manusia. Cu Jiang mengerling pandang ke
sekeliling dan melibat dua diantara orang2 itu terdapat dua
orang tua yang tak asing baginya.
Kedua orang itu adalah kedua jago silat yang menjadi
pengawal Kopuhoa anak raja Biau waktu meminang puteri
baginda Tayli dahulu.
Kini jelas bagi Cu Jiang, bahwa anak raja Biau itupun
sudah ditunggangi ketua Gedung Hitam untuk dijadikan
alat memburu kitab pusaka Giok kah- kim-keng.
Cu Jiang kenal dengan kedua kojiu itu tetapi sebaliknya
mereka tak mengenali dirinya. Waktu di Tayli, dia
mengenakan kedok sebagai panglima Tia-tin-ciang-kun.
Dan dia pun tidak menggunakan pedang kutung seperti
sekarang.
Ha, kini makin jelas bahwa Gedung Hitam itu ternyata
sangat bernafsu sekali untuk mendapatkan kitab Giok-kah-
kim-keng. Thian-hian-cu dan Go-leng-cu, berturut-turut
telah menjadi korban mereka.
Saat itu Cu Jiang tak dapat melanjutkan renungannya
lebih lanjut karena bayangan orang2 itu makin
menyempitkan kepungannya hingga hanya terpisah jarak
lima tombak.
Cu Jiang menyadari bahwa pertempuran berdarah tak
dapat dihindari lagi. Bagaimana nanti akhirnya, ia tak dapat
membayangkan.
"Heh, heh, Toan-kiam-jan-jin." ketua Gedung Hitam
tertawa mengekeh, "mengapa engkau tak mau
memberitahukan asal usul dirimu lebih dulu ?"
"Tak perlu!"
"Bagaimana kalau engkau bunuh diri saja?"
"Jangan mimpi!"
"Kalau bertempur, engkau tentu akan mati lebih
mengenaskan . . ."
"Mungkin engkau ?"
"Hm, mari kita lihat saja . .."
Belum habis ucapan itu tiga Pengawal Hitam serentak
maju dari tiga arah. Cu Jiang terkesiap. Ia mendapat kesan
bahwa kesemuanya itu tentu sudah diatur lebih dulu.
Gedung Hitam hendak menggunakan siasat bertempur
secara bergilir untuk menghabiskan tenaganya. Dan yang
terakhir baru ketua Gedung Hitam itu sendiri yang akan
turun tangan.
Saat itu dia masih terkena racun. Menurut Ang Nio Cu,
dia tak boleh menggunakan tenaga dalam. Karena apabila
dia menggunakan tenaga, racun itu tentu akan bekerja.
Jika saat itu tidak hendak meloloskan diri, memang tidak
sukar. Dengan ilmu langkah Gong-gong-poh-hoat, dia tentu
mampu lolos dari kepungan musuh. Tetapi karena masih
berdarah panas, dia tetap tak takut.
Dan terutama nanti apabila menghadapi ketua Gedung
Hitam, dia akan bertempur mati-matian. Sekalipun dia
harus mati, asal durjana itu juga tewas, dia sudah puas.
"Hm, apakah anda tak berani turun tangan sendiri?"
serunya sambil memandang tajam kepada ketua Gedung
Hitam.
"Siapa bilang?"
"Mengapa harus suruh mereka mengantar jiwa lebih
dulu?"
"Untuk melatih kepandaian mereka."
"Ucapan yang indah. Tetapi tidakkah anda bermaksud
hendak menggunakan siasat bertempur secara berantai?"
"Andaikata begitupun tidak apa. Asal bisa mengambil
nyawamu."
"Anjing yang tak tahu malu..."
Saat itu ketiga pengawal Hitam sudah maju dengan
serangan pedang. Ditilik dari kehebatan serangan mereka
tentulah mereka itu termasuk jago2 pilihan dari Gedung
Hitam.
Pelahan-lahan Cu Jiang melolos pedang keluar. Matanya
memancarkan sinar berkilat-kilat buas. Dalam keadaan
seperti saat itu, hanya tinggal satu pilihan, membunuh atau
dibunuh.
Suasana dalam ruanganpun segera berobah tegang
regang, penuh dengan hawa pembunuhan.
Ketua Gedung Hitam mundur sampai empat lima
langkah. Serentak terdengar tiga buah aum pekik yang
dahsyat dari ketiga Pengawal Hitam yang menyerbu dari
tiga arah.
Dengan menggigit gigi, Cu Jiang segera lancarkan jurus
Thian te-kiau-toay atau langit bumi-saling-terangkap.
Huak buk ....
Terdengar jeritan ngeri dan sinar merah darah. Dua
orang pengawal Hitam segera rubuh ke tanah. Sedang yang
seorang terhuyung-huyung mundur dengan berhias tiga
empat tusukan pedang.
Seluruh anak buah Gedung Hitam yang berada di
gelanggang situ, pucat seketika. Serentak tiga lelaki tua baju
hitam masuk kedalam gelanggang. Salah seorang adalah
jago yang menyamar sebagai pengawal putra raja Biau
tempo hari. Jelas bahwa ketiga lelaki tua baju hitam itu
lebih sakti dari kawanan Pengawal Hitam.
Saat itu Cu Jiang rasakan kepalanya agak pusing?, Ia
menyadari dirinya akan tertimpah malapetaka. Diapun
sudah membulatkan tekad. Sebelum dia rubuh, mudah-
mudahan dia dapat membunuh kepala Gedung Hitam itu.
Ketiga lelaki tua baju hitam itu dengan menudingkan
ujung pedang, pun sudah maju menghampiri.
Yang menyerang lebih dulu, akan memiliki kesempatan
lebih kuat. Cu Jiang teringat akan ajaran itu. Saat itu bukan
menguji kepandaian tetapi sedang beradu jiwa. Kalau salah
langkah, pasti akan mati dibawah ujung pedang musuh.
Suatu hal yang membuat hatinya penasaran. Matipun
dia tentu takkan meram, Bagaimana nanti dia harus
mempertanggung jawabkan dirinya kepada raja Tayli,
kepada Gong gong-cu dan kepada kawan-kawan yang telah
mati terbunuh oleh keganasan musuh...
Tiba2 ia mengembangkan ilmu langkah Gong-gong poh
hwat Sekali menggeliat, dia terus melenyapkan diri dari
hadapan ketiga lawan.
Huak, huak, huak
Terdengar tiga buah jeritan ngeri dan diatas tanah segera
bertambah dengan tiga sosok mayat lagi.
Ketua Gedung Hitam terkesiap. Seluruh anak buah
Gedung Hitampun tercengang menyaksikan peristiwa luar
biasa itu.
Tetapi saat itu Cu Jiangpun terhuyung-huyung.
Kepalanya makin pening. Sebelah tangannya mulai mati
rasa. Dia menyadari bahwa keadaannya sudah makin gawat
sekali. Jika tidak segera bertindak, tentulah dia akan mati
dengan membawa dendam penasaran.
Serentak dia melompat ke tempat ketua Gedung Hitam
seraya membentak:
"Cabut pedangmu!"
Gerakan Cu Jiang itu memang diluar dugaan dan diluar
dugaan pula ketua Gedung Hitampun mundur selangkah.
Tiga jago pedang segera loncat menyerang Cu Jiang dari
belakang. Tanpa berpaling, Cu Jiang mengayunkan
pedangnya ke belakang.
Terdengar dering yang tajam dan tiga butir kepala
manusia terlempar jatuh. Yang dua orang tangannya juga
putus.
Tetapi Cu Jiang makin pening. Bahkan pandang
matanya sampai berkunang-kunang, perutnya mual mau
muntah, Itulah gejala dari bekerjanya racun. Namun dia
tetap mengertek gigi dan bertahan berdiri tegak.
Dia merasa bahwa ketua Gedung Hitam itu memang
tengik sekali. Tak mau melayani tantangannya tetapi terus
main mundur dan menyuruh anak buahnya yang maju
dulu. Jika demikian, sia-sialah harapannya. Dia mati tanpa
dapat menyentuh ketua Gedung Hitam yang dibencinya itu.
Tiba2 ketua Gedung Hitam yang mundur sampai tiga
tombak jauhnya.
"Mundur !" serunya. Sekalian anak buahnya yang siap
hendak menerjang Cu Jiang, serempak mundur dan
tinggalkan tempat itu.
Cu Jiang diam2 menghela napas longgar dalam hati. Ah,
kalau saja ketua Gedung Hitam itu tahu akan keadaan
dirinya saat itu, tak mungkin dia mau memberi perintah
mundur kepada anak-buahnya.
Sesaat Cu Jiang tertegun. Dia merasa seperti kembali
dari akhirat. Diapun mulai merenungkan tindakan ketua
Gedung Hitam tadi Apakah ketua Gedung Hitam itu takut
kehilangan banyak sekali jago-jagonya ?
Atau sebab karena merasa tak mampu melawan musuh,
mereka agar jangan kehilangan pamor di hadapan anak
buahnya, ketua Gedung Hitam itu lalu memerintahkan
mereka mundur ?
Tiba2 iapun teringat akan keadaan dirinya. Bukankah
akan berbahaya sekali apabila musuh bersembunyi dan
masih mengawasi dirinya ?
Diam2 Cu Jiang menggigil terus ayunkan langkah
menuju ke jalan besar. Tetapi baru berjalan beberapa belas
langkah, masih belum keluar dari lingkungan medan
pertempuran tadi, ia rasakan pandang matanya gelap,
kepalanya berat dan tubuhnya kaku sehingga dia tak kuat
menggerakkan kaki lagi. Tubuhnyapun terhuyung huyung
akan jatuh.
Dalam keadaan antara sadar tak sadar, sekonyong-
konyong ia melihat sesosok bayangan orang berkelebat di
hadapannya.
"Mati aku .. . ." hati mengeluh, tangan pun segera
menyambitkan pedangnya ke muka dan orangnya terus
rubuh. Pada waktu ia rubuh, ia masih sempat mendengar
sebuah suara yang dikenalnya. Tetapi siapa orang itu atau
bagaimana kelanjutannya dia tak mampu mengetahui lagi
karena saat itu dia terus pingsan.
Waktu dia membuka mata, ia dapatkan dirinya rebah di
atas sebuah ranjang yang beralas jerami dan diterangi oleh
sebuah pelita.
Di manakah dia saat itu? Mengapa dia tak mati? Siapa
yang menolongnya? Mengapa, bagaimana dan kenapa
menghujam benaknya.
"Adik kecil, apakah engkau masih kenal aku?" tiba2
terdengar sebuah suara.
"O. lo koko." serentak Cu Jiang mengenal siapa orang itu
dan berseru sambil bangkit.
Kini dia baru mengetahui bahwa Thian-put thou Ciok
Yau liu duduk di samping ranjangnya.
"Bagaimana yang engkau rasakan? " tanya Ciok Yau Je
pula.
Cu Jiang berusaha hendak bangun tetapi tenaganya
lunglai sekali. Ia mencoba pula untuk mengerahkan tenaga-
murni, juga tak mampu. Keadaan itu sama dengan orang
yang tak dapat ilmu silat. Ia tertawa hambar.
"Lo-koko, aku mungkin sudah tak berguna!"
"Siapa bilang!" teriak Thian-put-thou dengan keras,
"bagaimana engkau tak berguna lagi..."
"Tetapi ilmu kepandaianku sudah lenyap!"
"Ah, apakah yang telah terjadi pada dirimu?"
Cu Jiang segera menuturkan semua yang di alaminya.
Setelah terkena tusukan beracun dari anak buah Hoa-gwat-
bun, dia telah dikepung anak buah Gedung Hitam.
Lalu terjadi pertempuran berdarah yang menyebabkan
racun dalam tubuhnya berkembang sehingga dia rubuh.
Thiau-put thou kerutkan dahi.
"Ah, kutahu engkau memang terkena racun. Tetapi aku
tak menduga kalau engkau terkena racun Toan bun tok
yang ganas itu..."
"Lo-koko, tempat apakah ini?"
"Rumah pondok Bulu-ayam. Kupilih rumah penginapan
kecil ini agar tidak menarik perhatian orang."
"Bagaimana lo-koko secara kebetulan sekali dapat
berjumpa dengan aku?"
"Ha, ha, memang suatu kebetulan yang jarang terjadi.
Aku sedang mondar mandir di Kai-ciu, tak terduga telah
berjumpa dengan sesosok tubuh yang menggeletak di tepi
jalan. Ternyata dia adalah Gong Beng taysu, seorang
tianglo dari vihara Siau lim yang telah menjadi sahabat
baikku. Dia tak dapat menjawab pertanyaanku. Setelah
kuperiksa ternyata dia terkena pukulan beracun Ngo tok
ciang dari Ngo tok-mo, iblis ke tujuh dari gerombolan iblis
Sip-pat-thian-mo. Segera kubawa ia menyingkir lalu aku
nekad mencuri obat penawar racun di markas cabang Thian
tong-kau di Kwi ciu.
"Apakah Ngo-tok mo itu ketua cabang Thian-thong kau
di Kwi-ciu?"
"Benar."
"Lalu ?"
"Dengan susah payah akhirnya aku berhasil mencuri
sebutir pil Hui-lok wan. Ketika aku tiba ditempat
persembunyian. ternyata Gong Beng sudah meninggal.
Terpaksa dengan hati masygul aku melanjutkan perjalanan
lagi. Secara kebetulan kulihat engkau terhuyung-huyung
rubuh. Aku bergegas lari menghampiri tetapi engkau terus
melontarkan pedangmu kepadaku."
"Maaf. lo-koko, kukira musuh yang datang.."
"Ah, tak apa. Waktu kuperiksa nadi pergelangan
tanganmu kudapatkan engkau tak menderita luka tetapi
terkena racun. Maka pil Ho tok-wan yang sedianya hendak
kuberikan kepada Gong Beng taysu itu, kuminumkan
kepadamu..."
"Oh, lo-koko, benar2 suatu kebetulan yang luar biasa !"
"Tetapi Hoa tok-wan itu hanya mampu menahan racun
Toan bun tok itu untuk sementara waktu tetapi tak dapat
menghapus racun itu!"
"Aku hendak ke gunung Busan untuk menemui Ang Nio
Cu."
"Ang Nio Cu?"
"Ya"
"Bagaimana engkau bersahabat dengan momok wanita
itu?"
"Aku banyak berhutang budi kepadanya."
"Momok wanita itu memang misterius sekali. Kabarnya
dia itu anak murid dari perguruan Hiat-ing-bun (bayangan
darah). Siapakah sesungguhnya dia ?"
"Maaf, lo koko. Walaupun aku bersahabat dengan dia,
tetapi aku sungguh2 tak tahu bagaimana wajahnya yang
asli."
"O, begitu."
"Dia hendak mengajak aku ke puncak Sin li-hong untuk
meminta obat kepada Kui Jin-sin Jin."
"Siapa? Kui-Jiu-sin jin?"
"Ya. Apakah lo-koko kenal padanya?"
Thian-put-thou kerutkan alis, katanya.
"Mungkin hal itu sukar terlaksana."
"Mengapa ?"
"Kui jiu sin-jin itu seorang manusia yang terkenal aneh
sekali wataknya. Sifatnya yang nyentrik, mungkin tiada
keduanya di dunia ini. Dia tinggal di lembah Mo-jin-koh . .
. ."
"Apa ? Mo jin koh !"
"Ya. Mo jin kok atau Lembah-emoh-manusia."
"Mengapa memakai nama itu ?"
"Hm, dia sendiri yang menamakan tempat itu. Lembah
itu merupakan sebuah tempat yang buntu, hanya terdapat
sebuah jalan yang menuju ke lembah buntu itu. Lalu dia
memperlengkapi lembah itu dengan bermacam-macam Ki
bun (barisan aneh). Disebelah luar di tanami rumput dan
bunga2 beracun. Tanpa mendapat ijinnya, tiada seorangpun
yang boleh masuk. Itulah makanya disebut Mo Jin koh."
"Tetapi kecuali ke sana aku tiada lain daya lagi."
"Baiklah, aku bersedia menemanimu kesana."
"Ah, hanya merepotkan lo-koko saja ...."
"Jika engkau begitu, aku akan pergi."
"Ya. ya, akan kubantu saja."
"Juga tidak boleh." Cu Jiang tertawa lalu mengiakan.
"Apakah engkau tak dapat jalan ?" tanya Thian-put-thou.
"Hm . .. rasanya begitu."
"Pada hal banyak sekali musuh2 yang menghendaki
jiwamu."
"Memang aku sedang mengalami kemalangan yang tak
terduga."
"Jika aku terang-terangan membawamu kesana, tentu
akan timbul kesulitan
Cu Jiang tertawa hambar dan mengiakan.
Thian-put thou merenung sejenak. Tiba2 ia menepuk
paha, serunya.
"Ada ! Kita berdua minta nasi!"
"Minta nasi?" Cu Jiang terbeliak.
"Hm. kita berdua berganti dengan pakaian pengemis.
Aku mempunyai beberapa kedok muka dan kita lalu
menyamar sebagai pengemis. Tentu orang takkan tahu dan
takkan mengganggu perjalanan kita."
"Kalau mempunyai kedok muka, mengapa harus
menyaru sebagai pengemis?"
"Adik kecil, kakimu yang pincang itu tentu paling
menarik perhatian orang. Jika menyaru sebagai pengemis
dan berjalan dengan sebatang tongkat, tentu dapat
mengelabuhi mata orang."
"Kita berjalan siang malam. Kalau siang engkau berjalan
sendiri, kalau malam baru engkau ku panggul."
"Ah, lo-koko !"
"Sudahlah, jangan banyak ini itu lagi."
Cu Jiang bersyukur sekali dalam hati. Jika tidak bertemu
dengan raja copet Thian put thou, dia tentu mengalami
nasib yang mengenaskan sekali.
Demikianlah dengan menyaru sebagai pengemis mereka
lalu menempuh perjalanan. Dan selama dalam perjalanan
itu mereka tak menemui gangguan apa2, tiba dengan
selamat di gunung Busan.
Diperhitungkan bahwa saat itu Cu Jiang sudah tujuh hari
berpisah dengan Ang Nio Cu. Walaupun tiap hari makan
sebutir pil Pit-tok wan, tetapi keadaannya makin payah.
Adakalanya dia seperti tak sadar pikirannya dan hampir tak
dapat melanjutkan perjalanan lagi. Untunglah Thian-put-
thou memberi bantuan kepadanya.
Walaupun sudah tiba di gunung Busan tetapi untuk
mencapai puncak Sin-li hong, merupakan suatu jarak
perjalanan yang cukup sukar. Dalam penyamarannya
sebagai pengemis itu, tentulah Ang Nio Cu sukar untuk
mengenal mereka.
Rupanya Thian-put-thou menyadari hal itu maka dia
segera mencopot penyamarannya dan ganti pakaian seperti
semula lagi.
Dengan susah payah akhirnya dapat dia membawa Cu
Jiang ke bawah kaki puncak Sin-li-hong dan
menempatkannya di sebuah tempat yang cukup aman.
Ia mengeluarkan ransum kering tetapi Cu Jiang sudah
tak sadarkan diri dan tidak dapat makan dan minum lagi.
Menunggu sampai setengah hari, masih belum juga Ang
Nio Cu muncul. Thian put-thou mulai gelisah. Waktu
sudah amat mendesak sekali.
Kalau tak lekas mendapat pertolongan, Cu Jiang tentu
mati. Sedang dia sendiri tak tahu bagaimana cara memasuki
lembah itu. Dengan begitu jelas dia tak mungkin dapat
mencari manusia aneh Kui-Jiu-sin jin.
Saat itu mentari mulai condong ke balik gunung,
cuacapun mulai meremang petang. Sayup2 terdengar lolong
kawanan serigala dan binatang buas. Tak mungkin dia
paksakan diri membawa Cu Jiang ataupun dia sendiri,
menuju ke lembah Mo-jin koh.
Akhirnya, dalam keputusan daya. Thian-put-thau
melepaskan harapannya kepada Ang Nio Cu. Besok pagi
terang tanah, dia akan membawa Cu Jiang untuk mencapai
lembah Mo Jin koh.
Hawa malam di gunung itu terasa dingin sekali.
Terpaksa Thian-put thou menyalakan api unggun untuk
menghangatkan badan. Disamping itu api unggunpun dapat
mengenyahkan bangsa ular dan serangga.
Maka dia terus keluar dari gua tempat persembunyian itu
untuk mencari rumput kering dan kayu bakar. Tetapi sekitar
tempat itu merupakan sebuah pegunungan karang yang
tandus. Yang tumbuh hanya jenis pakis dan beraneka
rumput.
Apabila hendak mencari kayu bakar harus turun kedalam
hutan yang jaraknya sepuluhan tombak dibawah.
Tetapi dia tak enak kalau meninggalkan Cu Jiang yang
masih pingsan itu seorang diri. Setelah memikir bolak balik,
akhirnya ia memutuskan tetap akan mencari kayu bakar
kehutan itu. Api unggun itu perlu untuk menghangatkan
dingin. Asal dia cepat pergi dan cepat pulang, rasanya Cu
Jiang tak perlu harus dikuatirkan keselamatannya.
Maka diapun terus turun kebawah dan setelah
mengumpulkan beberapa ranting kering, ia terus bergegas
kembali lagi. Tiba di mulut gua, ia seperti tersambar geledek
kagetnya.
Cu Jiang sudah lenyap !
Setelah agak terang, dia mulai memeriksa keadaan gua
dan sekitar. Dia tak melihat barang suatu jejak dan telapak
kaki binatang ataupun bekas2 tubuh yang diseret keluar.
Jelas Cu Jiang tentu bukan dimakan binatang buas
melainkan oleh seseorang. Dan menilik peristiwa itu tak
meninggalkan suatu bekas apa2, jelas orang itu tentu
memiliki ilmu kepandaian yang sakti.
Karena kalau tidak, tak mungkin kehadiran orang itu
dapat mengelabuhi pendengaran dan penglihatannya.
Apalagi dia hanya sebentar saja meninggalkan gua itu.
Lalu siapakah orang itu ?
Ang Nio Cu ?
Mungkin. Dan mudah-mudahan saja dia. Tetapi kalau
bukan dia, ah. celaka. Kalau saja Cu Jiang jatuh ketangan
musuh, dia pasti akan mati ....
Baru pertama kali sepanjang hidupnya, Thian put-thou
merasa gelisah sekali. Pada hal biasanya dia terkenal
sebagai manusia yang tak acuh segala apa di dunia ini.
Kemanakah dia harus mencari Cu Jiang dalam malam
yang segelap itu? Jangankan mencari, sedangkan berjalan
saja sukar untuk melihat jalan.
Tetapi bukanlah Thian-put-thou atau si Pencuri-sakti,
apabila dalam menghadapi situasi begitu menjadi
kelabakan. Dia memang cerdik. Dalam menghadapi
kekacauan seperti itu. yang pertama-tama dilakukan adalah
menenangkan pikirannya dulu.
Setelah tenang, barulah dia mulai mengadakan analisa
tentang peristiwa itu dan siapa2 yang patut dicurigai.
Yang paling keras diduganya adalah Ang Nio Cu.
Mungkin karena tetap hendak menjaga gerak geriknya yang
serba misterius itu, Ang Nio Cu tak mau tindakannya
diketahui orang.
Maka diam2 dia mengikuti perjalanan Cu Jiang dan
menggunakan kesempatan Thian-put-thou sedang turun
kebawah mencari ranting kering Ang Nio Cu terus
menyambar dan membawa Cu Jiang pergi.
Kemungkinan yang kedua, jatuh pada fihak Gedung
Hitam. Tetapi kemungkinan itu memang tipis. Karena
setelah menyamar sebagai pengemis, kalau orang2 Gedung
Hitam itu memang sudah mengetahui, tentu ditengah
perjalanan mereka sudah turun tangan. Tak perlu
menunggu sampai ditempat itu.
Kemungkinan ketiga, diarahkan kepada musuh2 Cu
Jiang yang secara tak sengaja ialah berpapasan di tengah
jalan. Mereka segera menggunakan kesempatan untuk
turun tangan. Sudah tentu kemungkinan ini yang paling
tipis sendiri...
Dengan begitu jelas bahwa kemungkinan pertama itu
yang paling besar. Betapapun saktinya tetapi Ang Nio Cu
itu seorang wanita. Dengan memanggul tubuh Cu Jiang
tentulah langkahnya agak tak leluasa.
Asal dia terus menyusul ke arah lembah Mo Jin koh,
tentulah akan dapat menemui mereka. Dan apabila tiba di
lembah itu ternyata tak menemui mereka, Jelas kalau Cu
Jiang tentu tertimpah suatu peristiwa yang tak diharapkan.
Setelah puas menganalisa, Thian-put thau lari menuju
kearah lembah Mo-Jin-koh.
Dalam malam segelap itu sukar untuk mencari jalan.
Thian-put-thou hanya lari dengan berpedoman pada arah
letak lembah itu. Jika memang Ang Nio Cu tidak sengaja
menyembunyikan diri, tentulah dia akan dapat menyusul.
Dan Thian put-thou mempunyai keistimewaan yang
dapat diandalkan yakni pendengaran dan penglihatannya,
luar biasa tajamnya.
Melintasi puncak Sin li hong, dia mendengar gemericik
suara air dari sebuah parit yang terbentang dihadapannya.
Ditengah parit itu. penuh dengan batu2 menonjol yang
aneh bentuknya. Besar kecil seperti bayangan setan.
Betapapun besar nyali si Thian-put thou itu, tetapi dia
meremang juga bulu-romanya.
"Haha..." tiba2 dari tengah parit itu terdengar suara tawa
dingin tetapi tak ada orangnya.
Tetapi Thian-put-thou malah bangkit semangatnya.
Paling tidak dia telah bertemu orang entah kawan entah
lawan. Dia tak mau bergegas mencari tahu tempat
persembunyian orang itu melainkan hentikan langkah dan
batuk2 lalu berseru.
"Siapa ?"
"Anda seharusnya dapat mengenali." sahut suara orang
itu. Dan nadanya jelas seorang wanita.
Girang Thiau-put-thou bukan alang kepalang. Ia merasa
seperti terlepas dari himpitan batu besar.
"Bukankah anda ini Ang Nio Cu ?" serunya.
"Benar. Tengah malam buta anda berkeliaran ditengah
lembah pegunungan yang sunyi, sungguh suatu kegemaran
yang luar biasa..."
"Hi, hi, haha sama-sama."
"Apakah sebenarnya yang anda cari ?"
"Papan merk ku jatuh !"
"Apa ?"
"Merk namaku jatuh."
"Mengapa ?"
"Kecuali hanya langit, segala apa dalam dunia ini dapat
kucuri semua. Tetapi malam ini aku justeru kecurian."
"Benda apa ?"
"Seorang bocah besar!"
"Pencuri tua, Jangan bergurau. Urusan ini gawat sekali."
"Urusan apa ?"
"Lekas usahakan supaya si maniak aneh dalam lembah
ini keluar untuk mengobati Toan-kiam-jan-jin."
"Ah, dimana dia ?"
"Keadaannya gawat sekali."
"Apakah engkau bukan manusia ?"
"Hm."
"Mengapa engkau tak mau melakukannya sendiri tetapi
menyuruh aku si tua ini ?"
"Bukan menyuruh tetapi meminta. Aku, Ang Nio Cu,
baru pertama kali ini dalam hidupku meminta pertolongan
kepada orang . . ."
"Mengapa ?"
"Anda tentu tahu bahwa mahluk aneh itu paling
membenci kaum wanita. Kalau aku yang datang, tentu akan
runyam."
"Hm, beralasan juga .... tetapi..."
"Tetapi apa?"
"Ini berarti suatu tugas."
"Bukankah dia itu adik kecilmu?"
"Heh, heh. sudah tentu. Kalau tidak begitu, aku si
pencuri tua ini tentu tak sampai begini kalap keluyuran ke
tempat semacam ini !"
"Sudah, kita putuskan begitu. Aku akan membantu
secara bersembunyi."
"Tetapi bagaimana kalau mahluk aneh itu berkeras tak
mau keluar?"
"Dengan kecerdasan yang anda miliki, anda tentu dapat
mencari akal..."
"Sukar dikata lebih dulu."
"Kalau perlu boleh pakai segala cara ..."
"Cara bagaimana?"
"Sampai saatnya baru kukatakan. Sekarang silahkan !"
habis itu terus diam tak ada suara terdengar lagi.
Dengan tertawa kecut, Thian-put-thou geleng-geleng
kepala. Karena Cu Jiang sudah berada ditangan Ang Nio
Cu, Ia tak perlu cemas lagi. Biar nanti setelah terang tanah,
baru dia mulai bekerja. Dari situ ke lembah Mo-Jin koh
hanya terpisah beberapa li saja. Lebih baik ia tidur dulu
untuk memulangkan semangat.
Ia segera mendaki keatas sebuah batu besar lalu
rebahkan diri tidur.
Begitu bangun matahari sudah menjulang di timur. Dia
membasuh muka di saluran air lalu makan ransum kering
dan setelah itu baru turun, lari menuju ke lembah.
Setengah jam kemudian, hari sudah terang benderang.
Dia terus lari menuju kemulut lembah.
"Lokoko . . ." tiba2 terdengar sebuah suara memangginya
sehingga Thian-put thou melonjak kaget. Memandang
kearah suara itu, dia terkejut girang.
Di bawah sebatang pohon, tampak Cu Jiang rebah
dengan tanpa memakai kain penutup muka sehingga
wajahnya yang buruk itu tampak jelas.
Thian put-thou segera lari menghampiri.
"Adik kecil, bagaimana engkau sudah sadar ?" serunya
gembira.
Cu Jiang menghela napas panjang.
"Ang Nio Cu-lah yang telah menolong aku. Sungguh
merepotkan kalian."
"Adik kecil, sudahlah. Jangan omong begitu. Mari kita
mulai bergerak."
"Aku tak bisa jalan."
"Tak apa. Kita sedang meminta pertolongan orang, harus
memakai peradatan. Biarlah aku yang akan mengundang
tuan rumah." ia terus menghadap ke mulut lembah dan
setelah mengumpulkan tenaga lalu berseru nyaring:
"Thian-put thou Ciok Yan Je mohon menghadap pada
tuan pemilik lembah ini !"
Setelah menunggu beberapa saat. Thian-put-thou
mengulang lagi teriakannya. Tetapi tetap tanpa suatu
jawaban. Sampai sepeminum teh lamanya, keadaan tetap
sunyi senyap.
Thian-put-thou tahu bahwa kalau dengan menggunakan
tata cara yang layak, tentu tak mungkin dapat bertemu
dengan tuan rumah. Dia berpaling ke arah Cu Jiang.
"Aku hendak memaki orang itu!"
"Oh, harus dimaki ?" Cu Jiang tertawa.
"Kalau tidak dimaki tentu tidak berhasil. Mahluk tua itu
memang lain wataknya dengan orang biasa."
"Setelah dimaki dan keluar, apakah akan di ajak
berkelahi?"
"Tidak! Aku mempunyai siasat yang bagus. Hanya
dikuatirkan dia tetap tak mau keluar walau pun dimaki
kalang kabut. "
"Maki sajalah!"
Setelah membasahi kerongkongan dengan ludah, ia
menyeringaikan muka lalu mulai berteriak-teriak:
"Ho, tolol, apakah begini caramu menyambut tetamu?"
Menunggu sebentar, Thian-put-thou berseru lagi:
"Hai, orang she Bun, engkau tak memandang mata
kepada aku si pencuri tua ini? Bagus. Mari kita mengadakan
perjanjian mati. Kalau tak bertemu muka, takkan pergi dari
sini. Engkau tak berani keluar, aku yang masuk mencarimu.
Jangan kira dengan mengandalkan permainanmu seperti
anak kecil ini, dapat merintangi aku ..."
Melihat sikap dan kerut wajah Thian-put-thou, diam2
Gu Jiang tertawa geli.
Karena tak diacuhkan, Thian put-thou naik pitam. Dia
memaki sekeras-kerasnya:
"Bun Yok Uh, kalau engkau tetap seperti kura2 yang
menyembunyikan kepala, terpaksa akan kubuka borokmu!"
Rupanya ucapan itu membawa hasil. Dari dalam lembah
segera terdengar suara penyahutan yang dingin:
"Pencuri tua, jangan berkaok-kaok di sini. Apa sih
borokku yang hendak engkau buka itu?"
Thian-put thou tertawa gelak2.
"Aku sih hanya bergurau, Bun lote, karena kuatir engkau
menutup pintu tak mau terima tamu, mata sengaja kubikin
panas hatimu!"
"Silahkan bikin panas, toh ada2 saja. Aku tak mau
menerima orang luar!"
"Tidak mau mengingat betapa jerih payahku jauh2
datang kemari?"
"Itu urusanmu, akukan tidak mengundang."
"Bun lote, jangan begitu getas, dong. Kalau engkau
benar2 mengundang, belum tentu aku mau datang."
"Tentu saja. Kalau tidak mau minta tolong kepadaku,
masakan engkau datang kemari .. ."
"Orang yang pintar tentu sudah mengerti. Ya, engkau
benar. "
"Lebih baik engkau pulang saja, aku tak ada tempo."
"Apakah engkau sungguh2 menolak seorang tetamu
yang datang dari ribuan li?"
"Terserah anda mau mengatakan apa saja. Aku orang
she Bun, memang begini watakku. Banyak bicara tiada
guna . . ."
Thian put thou tertawa dingin:
"Jika begitu, langit sungguh tak kenal orang!"
"Apa maksudmu?" seru Kui jiu sin jin.
"Seorang tabib itu tentu mempunyai budi welas asih
untuk menolong orang. Langit seharusnya tak memberkahi
engkau dengan kepandaian ilmu pengobatan."
"Heh, heh, heh, heh, omong kosong semua!"
"Bun Yok Uh, apakah engkau benar2 tak mau bertemu
orang?"
"Siapapun aku tak mau bertemu."
"Hanya kaum perempuan dan manusia kerdil yang sukar
dipelihara. Engkau memang seorang manusia kerdil," teriak
Thian put thou.
"Orang semacam dirimu, tak berhak menilai orang."
"Pencuripun mempunyai tata susila. Orang she Bun, aku
bukan manusia yang malu berhadapan dengan orang.
Tetapi engkau?"
"Silahkan, aku tiada waktu untuk adu lidah dengan
engkau . . . . "
"Bajingan tua..."
Cu Jiang terkejut mengapa lo kokonya itu dapat memaki
orang. Tetapi Thian put thou memberi kedipan mata
kepadanya agar dia tenang saja.
Sekonyong-konyong sesosok tubuh berkelebat dan
muncul di mulut lembah. Seorang tua yang sudah berusia
lanjut dengan berpakaian jubah yang hanya menutupi di
bawah dengkulnya sehingga kakinya yang telanjang
kelihatan.
Sedang tangannya memegang susuk untuk menyerok
obat. Wajahnya pucat ke biru-biruan dan memandang
Thian put thou dengan penuh kemarahan.
Thian put thou malah tertawa gelak2. "Bun lote,
maafkan perkataanku yang kotor tadi!"
Dengan mengertek gigi, Kui jiu sinjin berteriak: "Aku
hendak mengambil jiwamu!"
"Aku sih sudah tua, matipun tak sayang." sahut Thian
put thou dengan masih tertawa meringis, "kalau minta
nyawaku, sih boleh2 saja. Tetapi lebih dulu engkau harus
mengobati adikku yang kecil ini, bagaimana?"
"Jangan ngimpi, engkau!"
"Apakah engkau benar2 tak mau melakukan?"
"Mengapa aku harus melakukan ?"
Thian put-thou menyeringai.
"Engkau minta imbalan apa ?"
"Engkau tentu tak dapat membayar!"
"Gila, katakanlah!"
"Jiwamu yang tua itu !"
"Ambillah."
Kui-jiu-sin-jin berseru dingin:
"Pencuri tua, jangan engkau tertawa kegirangan,
menghambur namun makian, mengejek orang sesuka
hatimu. Seluas satu li dari lembah ini, telah kutaburi dengan
racun aneh. Barang siapa masuk masuk kedalam lembah
sampai setengah li dan dalam setengah jam tak keluar, tentu
akan kemasukan racun itu. Dalam sehari tentu akan lenyap
tenaganya. Kalau tak percaya, cobalah engkau salurkan
hawa-napasmu!"
Baik Thian-put thou maupun Cu Jiang terkejut dan
serempak menyalurkan napas. Ah, ternyata tenaga-
murninya telak mengumpal tak dapat disalurkan lagi.
"Bun Yok Uh," teriak Thian-put-thou marah sekali, "tak
kira engkau telah tersesat kedalam aliran iblis! Dengan cara
yang licik dan keji engkau telah mencelakai orang."
Tiba2 seorang wanita yang mukanya bertutup kain
kerudung muncul.
"Orang she Bun, saat kematianmu sudah dekat!"
"Siapa engkau?" seru Kui Jiu sin jin dengan suara
tergetar.
"Ang Nio Cu !"
"O, Ang Nio Cu, tenaga kepandaianmu sudah banyak
yang hilang. Engkau paling lama berada ditempat ini dan
masih ada tiga orang anak-buahmu lagi ! Ha, ha, ha . . .."
Ang Nio Cu mendegus dingin
"Kui-jiu sin-jin," serunya, "telah kusiapkan beratus-ratus
kati obat pasang pada kedua puncak dikedua samping
lembah ini. Cukup untuk menimbuni lembahmu ini !"
Wajah Kui-Jin sin-jin pucat seketika.
"Engkau berani menghancurkan tempat tinggalku?"
serunya.
"Engkau berani meracuni orang, mengapa aku tak berani
menghancurkan serangan ?" balas Ang Nio Cu.
"Kita mati bersama-sama !" seru Kui-Jiu-sin-jin.
"Apakah sampai mati engkau tetap tak mau mengobati
orang?"
"Tidak!"
Dada Cu Jiang hampir meledak. Sayang saat itu dia tak
dapat berkutik. Dia merasa menyesal dalam hati karena
orang2 yang hendak menolong dirinya itu malah berbalik
tertimpah bencana sendiri. Dia mati, memang sudah
selayaknya. Tetapi lo koko dan Ang Nio Cu itu ? Bukankah
mereka harus korban untuk darinya?
"Kui-jiu-sin-Jin," seru Ang Nio Cu dengan nada tergetar,
"apakah engkau tak kecewa kalau mati ?"
"Tidak !"
"Asal aku memberi tanda, obat pasang itu pasti
meledak!"
"Silahkan! Aku masih mempunyai cukup waktu untuk
membunuhmu lebih dulu!"
"Belum tentu."
"Kalian sudah terkena racun. Andaikata bisa lolos, toh
tetap akan menjadi cacat seumur hidup. Apalagi kalian tak
mempunyai kesempatan untuk lolos !"
"Aku ingin supaya engkau yang mati lebih dulu!"
Ang Nio Cu segera mengeluarkan sebuah benda sebesar
genggam tangan. Warnanya hitam kelam. Lalu berseru:
"Kui-Jiu-sin-Jin. kenalkah engkau dengan benda ini?"
Wajah Kui Jiu-sin jiu berobah, tetapi suaranya masih
tetap dingin:
"Tak ada yang harus diherankan dengan peluru Bi lik tan
semacam itu!"
"Tentu lebih dari cukup untuk menghancurkan tubuhmu,
bukan?"
"Kan aku sudah bilang, kita bakal mati bersama-sama ?"
Kui jiu-sin-jin benar2 manusia yang aneh wataknya.
Sekalipun menghadapi maut, dia tetap keras kepala tak mau
tunduk.
Menilik gelagatnya, rupanya tiada lain jalan kecuali
harus sama-sama mati.
Tiba2 dengan kerahkan sisa tenaganya, Cu Jiang berseru:
"Sudahlah, saudara berdua. Mati hidup itu sudah ada
garisnya. Aku tak ingin melihat peristiwa yang
mengenaskan hati.. . ."
"Bun Yok Uh." tiba2 Thian-put thou tergerak
hatinya,"biarlah dalam penitisan besok engkau menjelma
menjadi kerbau yang akan disembelih dengan pisau dan
dikuliti urat-uratmu."
Kui-Jiu-sin Jin hanya mendengus tetapi tak mau
menyahut.
Karena tak mempan, Thian put-thou melanjutkan
makiannya lagi:
"Orang she Bun, Isterimu Cium Ngo Nio itu kelak dalam
penitisannya tentu masih menjadi wanita cabul yang
mempermainkan kaum lelaki. Dan engkau hanya menjadi
binatang Kerbau yang akan disembelih dan dijadikan
hidangan mereka !"
Bukan kepalang kejut Cu Jiang. Kiranya Cian Ngo Nio,
ketua gerombolan Hoa-goat-bun itu adalah isteri Kui-jiu-sin
jin. Itulah sebabnya maka Thian-put-thou mengatakan
bahwa Kui jiu sin jin itu paling benci kepada wanita.
Muka Kui jiu tin jin merah seperti kepiting direbus.
Uratnya berkerut-kerut dan tubuhnya gemetar. Matanya
memancar sinar pembunuhan yang berkobar-kobar.
Kata2 Thian put thou benar2 telah menyinggung
perasaannya. Dan karena Kui jiu sin jin menggunakan
racun untuk mencelakai orang, Thiau put thoupun terpaksa
menyemprot dengan kata2 setajam itu.
Ang Nio Cu mengangkat pelor Bik li tan dan berseru
nyaring :
"Orang she Bun, untuk yang terakhirnya jawablah.
Engkau mau atau tidak mengobati racun yang telah
mengendap ke dalam tubuh kita itu?"
"Tidak bisa." cepat Kui jiu sinjin menjawab.
"Terpaksa akan kulontarkan!"
Dengan mengertek gigi, Kui jiu sin jin menyambut
ancaman itu:
"Lemparkanlah, tak nanti aku tunduk!"
Ibarat sudah naik di punggung macan, Ang Nio Cupun
terpaksa harus melakukan apa yang diucapkan itu.
Pada saat malaekat elmaut hendak menaburkan
keganasan, tiba2 sesosok bayangan melesat ke luar dari
dalam lembah dan saat itu muncullah seorang pemuda
gagah berpakaian hitam di sisi Kiu-jiu sin jin.
"Mengapa engkau tak mau mendengar perintahku
supaya jangan keluar?" tegur Kui jiu sin jin dengan nada
tergetar.
Sejenak pemuda itu memandang Thian put thou dan
Ang Nio Cu lalu berkata kepada Kui jiu sin jin:
"Yah, hancurkan mereka!"
"Bagus kiranya kalian bapak dan anak sealiran. Tentu
tidak kesepian, ya! "
Mata pemuda itu memandang ke arah Cu Jiang yang
menggeletak di samping. Tiba2 ia menjerit:
"Ih, engkau!" serentak dia terus melesat menghampiri.
"Mau apa engkau?" Thian put thoupun melesat dan
membentak.
Pemuda itu deliki mata kepada Thian put thou:
"Jangan cengeng! saat ini anda tak kuat menerima
tamparan sebuah jariku saja!"
Thian put thou mendengus:
"Hai, budak kecil, keadaanku bukan seperti yang engkau
duga!"
Melihat pemuda itu, Cu Jiang seperti sudah pernah
bertemu tetapi lupa entah dimana.
Pemuda itu tak menghiraukan Thian put thou melainkan
menuding Cu Jiang.
"Apakah saudara masih ingat padaku?" tegurnya.
Cu Jiang kerutkan alis, sahutnya: "Seperti sudah pernah
ketemu tetapi tidak ingat."
"Aku adalah Bun Cong Beng!"
"Bun . . . Cong . . . Beng .... o, benar . . . . " segera Cu
Jiang terkenang akan peristiwa beberapa waktu yang
lampau ketika ia tengah meneduh hujan ke dalam sebuah
kuil di luar kota Kui-cu, dia berjumpa dengan rombongan
anak buah Gedung Hitam yang dipimpin Pek poan-koan
atau Hakim Putih yang meringkus seorang pemuda.
Hakim Putih itu telah memaksa pemuda itu untuk
menyerahkan kitab Sin-liong po-tian sebagai penukar
jiwanya. Saat itu karena tak tahan melihat perbuatan yang
sewenang-wenang, Cu Jiang lalu menggunakan lencana
Hek-hu pemberian dara Ki Ing untuk mendesak Hakim
Putih melepaskan pemuda itu....
"Apakah saudara sudah ingat?"
"Ya. sekarang ingat."
"Rupanya saudara sedang mengalami kesulitan? "
"Benar, aku telah terkena racun Toan-bun-tok dan
hendak mohon pertolongan ayahmu mengobati racun itu .."
Bun Gong Ban bergegas lari kepada ayahnya dan
mengucapkan beberapa patah kata.
"Setitik menerima budi orang, harus dibalas dengan
curahan pertolongan. Bawa dia masuk!" seru Kui jiu-sin jin
keras2.
Thian put-thou memandang kepada Ang Nio Cu dan
geleng2 kepala:
"Ah, sungguh2 tak terduga!"
Bun Cong Beng kembali ke tempat Cu Jiang dan
mengajaknya masuk ke dalam lembah.
"Bun-heng, bukan aku bermaksud hendak meminta lebih
dari apa yang layak kudapatkan tetapi dapatkah kiranya
anda mengobati dulu racun yang bersarang pada tubuh
kedua kawanku itu?"
"Akan kubicarakan dengan ayah!"
Rupanya Kui-jiu-sin-jin sudah mendengar perkataan
puteranya maka cepat2 dia menanggapi: "Aku hanya
berhutang budi seseorang!"
Saat itu dengan dipimpin Bun Cong Beng, Cu Jiang
sudah tiba di hadapan Kui jiu sin-jin.
"Bun Cianpwe, tak dapat mengabulkan permohonan
wanpwe? "
"Aku selalu membedakan budi dan dendam tak mau
sembrono." sahut Kui jiu-sin jin.
"Baik," kata Cu Jiang, "kalau cianpwe tak mau
mengobati racun pada mereka, wanpwe pun tak mau
menerima pengobatan cianpwe."
"Engkau pernah menolong Cong Beng. Aku hendak
membayar hutang budimu. Selama hidup aku tak mau
menolong orang, juga tak suka berhutang budi kepada
orang."
"Kedatanganku kemari bukan hendak meminta budi juga
tidak akan memberi budi dan mengharap balas. Tentang
asal usul putra cianpwe itu, sebelumnya aku tak tahu.
Hanya secara kebetulan saja hal itu kuketahui setelah dia
muncul tadi."
"Uruslah urusanmu sendiri. Sejam kemudian engkau
pasti takkan tertolong lagi ..."
"Wanpwe tak menghiraukan soal mati atau hidup !"
"Kalau begitu, mengapa datang kemari ?"
"Keadaannya berbeda. Sebelum mati berpantang ajal,
sudah menjadi sifat manusia. Tetapi kini setelah
berhadapan dengan dua hal: kebajikan atau kepentingan
diri sendiri, aku tetap memilih yang tersebut dulu dan tak
menghiraukan lagi soal mati atau hidup."
"Pandangan biasa."
"Lalu apakah pandangan cianpwe itu melebihi orang
biasa."
"Jangan berlidah tajam."
"Karena kepentingan peribadi dan kehilangan kawan,
aku lebih baik menolak."
"Setelah kusembuhkan engkau, anggaplah sebagai
pembayar budimu. Kelak walaupun engkau mengucapkan
kata yang setinggi langit dan minta dengan mati-matian,
aku tak peduli lagi." kata Kui-jiu sin-jin.
Memang aneh sekali watak orang tua itu. Thian-put thou
memandang Bun Gong Beng lalu Cu Jiang, Ia
menghentakkan kaki ke tanah dan berseru:
"Bun Yok Ih, kalau engkau anggap kata-kataku
menyinggung perasaanmu, aku pencuri tua bersedia
mengaturkan maaf. . ." ia terus menjurah memberi hormat
kepada Kui-jiu-sim-jin.
Sudah tentu tak enak sekali hati Cu Jiang. Dia tahu
bahwa orang persilatan itu lebih baik mati daripada tunduk.
Mengapa lo-koko mau berbuat begitu merendah kepada Kui
Jiu sin jin tentu karena mengingat kepentingannya (Cu
Jiang).
Ah, budi sebesar itu entah bagaimana kelak ia dapat
membalasnya.
Dari kemasyhuran nama, Thian-put-thou tak kalah dari
Kui-jiu-sin-Jin. Dari kedudukan tingkat, bahkan lebih tinggi
setingkat dari Kui jiu sin jin itu, tetapi menghadapi
peristiwa semacam itu mau tak mau luluh juga hatinya.
Apalagi, Cu Jiang itu pernah menolong jiwa Bun Cong
Beng,
Seketika wajahnya berobah lalu akhirnya mengeluarkan
sebuah botol kecil dan menuang lima butir pil. serunya:
"Obat ini masih baru, ambil dan tinggalkan gunung ini!"
Thian-put-thou terpaksa menelan kemengkalan. Dia
maju menerima pil itu lalu menunjuk ke arah Cu Jiang:
"Lalu dia?"
"Tak perlu engkau urus!"
"Dia terkena racun ganas Toan-bun-tok."
"Tahu."
"Orang she Bun, aku hendak berkata lebih dulu. Dia
kuserahkan kepadamu. Jika racun itu tak dapat diohati dan
kalau sampai terjadi sesuatu pada dirinya, aku pencuri tua
tentu akan menuntutmu."
"Silahkan !" habis berkata Kui jiu-sin Jin terus lari masuk
kedalam lembah.
Bun Cong Bengpun lekas menggandeng tangan Cu Jiang
diajak menyusul ayahnya.
Thian-put thou memandang Ang Nio Cu, tertawa kecut:
"Engkau Ang Nio Cu, apakah baru pertama kali ini
tunduk pada orang?"
Ang Nio Cu menjawab dingin:
"Demi menolong orang, kalau tidak mau tunduk, habis
bagaimana?"
Thian-put-thou melemparkan empat butir pil kepada Ang
Nio Cu seraya berkata.
"Bagaimana langkah kita sekarang ?"
"Aku hendak menunggunya di gunung ini."
"Aku juga."
"Tetapi kita tak boleh bersama...."
"Sudah tentu." sahut Thian-put-thou, "mari kita jalan
sendiri2 !"
Sekali loncat, Ang Nio Cu terus melesat lenyap. Thian-
put-thoupun Segera ayunkan langkah tinggalkan lembah
itu.
Sementara Cu Jiang digandeng Bun Cong Beng masuk
kedalam lembah, disepanjang jalan dia berpikir:
"Karena Ciam Ngo Nio ketua Hoa goat-bun itu isteri
dari Kui-Jiu-sin-jin, maka racun Toan-bun tok yang
digunakan itu tentu racun yang diperoleh dari suaminya.
Dengan begitu Kui-jiu-sin-jin tentu mudah mengobatinya.
Jika dikatakan bahwa racun itu sejenis racun ganas yang
tiada obatnya, mungkin dimaksudkan Ciam Ngo Nio
memang tak mengerti cara mengobatinya."
Tak berapa lama mereka tiba dimuka sebuah rumah batu
yang dikelilingi oleh pohon2 hijau. Alam pemandangan
disitu, tenang dan meresapkan perasaan.
Setelah dibawa masuk kedalam rumah, Bun Cong Beng
membaringkan Cu Jiang diatas sebuah ranjang kayu.
"Cu heng, akan kuminta ayah untuk menyembuhkanmu
dulu baru nanti kita makan," kata Bun Cong- Beng.
Ah, terima kasih. Bun-beng," sahut Cu Jiang.
"Ai, Cu heng telah memberi budi besar kepadaku,
mengapa mengucapkan kata2 begitu."
"Hal itu sebenarnya hanya secara kebetulan saja. Aku tak
bermaksud hendak memberi budi apa2."
"Beristirahatlah, sebentar ayah tentu datang," baru Bun
Cong Beng mengucap begitu, Kui-jiu-sin-jinpun sudah
muncul dengan membawa sebuah peti obat.
Tanpa berkata apa2, dia terus menusuki seluruh jalan
darah pada tubuh Cu Jiang. Kemudian mengambil lima
butir pil yang berlain-lain warnanya, dimasukkan kemulut
Cu Jiang.
Begitu masuk kedalam perut, serentak timbullah suatu
aliran panas yang tersebar ke seluruh tubuh. Terakhir
mencurah ke lengan kanan Cu Jiang.
Linu, kesemutan, sakit dan gatal, serempak bertukaran
dalam tubuh Cu Jiang sehingga dia tak tahan dan
mengerang-erang. Beberapa saat kemudian rasa sakit yang
sukar ditahan itu pelahan-lahan mulai mengalir kebawah
lengan, ke siku lalu ke pergelangan tangan, Dan terakhir
mengumpul di Jari telunjuk. Ketika Cu Jiang memandang
ke tempat itu, ia terkejut.
Ternyata jari tengahnya bengkak sampai lipat dua
besarnya dan berwarna hitam.
Kui-Jiu- sin-jiu mengambil sebuah pisau tajam lalu
memegang tangan Cu Jiang. Sementara Cong Beng
mengambil sebuah baskom kumala ditaruh dibawah. Begitu
pisau membelek jari tengah maka darah bercampur air
hitam segera mengucur keluar.
Dan Cong Beng lalu menampung kucuran darah hitam
kedalam baskom.
Setengah jam kemudian, Jari tengah itupun pulih
bentuknya seperti semula dan Kui-jiu-sin-Jin lalu berkata:
"Sudah selesai !"
Keringat Cu Jiang membanjir keluar. Rasa sakit reda
tetapi orangnyapun pingsan.
Ketika sadar, lampu sudah menyala. Cu Jiang rasakan
badannya segar. Turun dari ranjang, meja didepan ranjang
sudah tersedia nasi dan lauk pauk. Sedang Cong Beng
tampak berdiri dibelakang meja dan tertawa:
"Cu heng kau tentu lapar. Silahkan makan seadanya..
Kami hanya dapat menyediakan masakan kasar, harap
jangan marah."
Cu Jiang mengucapkan terima kasih atas budi kebaikan
kedua ayah dan puteranya itu.
Selesai makan. Cu Jiang memperhatikan agaknya Cong
Beng hendak berkata tetapi ragu2.
"Bun - heng, silahkan apabila hendak berkata kepadaku."
"Aa, hanya suatu keinginan yang gila karena hendak
mengetahui rahasia orang. Tetapi kalau memang tidak
leluasa, tak perlu anda menceritakan..."
"Tak apa, katakanlah."
"Tempo hari karena tergopoh-gopoh berpisah, sampai
lupa menanyakan nama anda."
"Namaku Cu Jiang, ayahku adalah mendiang Dewa-
pedang Cu Beng Ko.. ."
Bun Cong Beng melonjak bangun dari duduknya dan
berseru kaget:
"O. anda ini putera dari Dewa-pedang. Ah, maaf aku
perlakuanku kurang hormat."
"A., janganlah Bun-heng mengatakan begitu."
"Pada waktu akhir2 ini dunia persilatan digemparkan
dengan munculnya seorang tokoh Toan-kiam-jan-jin,
apakah..."
"Memang aku sendiri."
"Oh," Cong Bun makin terkejut penuh rasa kagum, "Cu
heng, apakah ayahmu sudah meninggal ?"
"Ya," Cu Jiang menyahut sedih, "telah dicelakai oleh
musuh. Seluruh keluarga habis terbunuh, hanya tinggal aku
seorang."
"Ah, maafkan kelancanganku sehingga menyinggung
perasaan Cu-heng..." baru Cong Bun berkata begitu, tiba2
sesosok tubuh berkelebat dan tahu2 muncullah Kui-Jiu sin-
Jin.
"Ho. engkau anak dari Cu Beng Ko?"
Cu Jiang gopoh2 memberi hormat dan mengatakan.
"Kabarnya Cu Beng Ko sudah mengundurkan diri dari
dunia persilatan dan hidup ditempat yang sepi. Lalu
bagaimana peristiwa itu?"
"Ayah menyembunyikan diri karena hendak
menghindari musuh. Tetapi musuh tetap mencarinya "
"Siapa musuh ayahmu?"
"Sedang wanpwe selidiki."
"Sebelum dia menyembunyikan diri, aku pernah bertemu
muka dengan ayahmu.... berapa orang saudaramu ?"
"Wanpwe mempunyai seorang adik lelaki dan seorang
adik perempuan. Tetapi keduanya juga ikut dibunuh
musuh."
"Engkau putera yang sulung?"
"Ya."
"Berapa umurmu sekarang?"
"Hampir dua-puluh."
Kui Jiu-sin jin terkejut.
"Kuingat jelas waktu engkau masih kecil wajahmu amat
tampan. Mengapa sekarang berobah begitu rupa ?"
Cu Jiang mengertak gigi. Dia lalu menuturkan semua
peristiwa yang telah dialaminya. Mendengar kisah yang
menyedihkan itu Kui jiu sin Jin sampai menitikkan dua
butir airmata.
"Walaupun berwatak aneh, tetapi orang tua ini
sebenarnya seorang yang halus perasaannya," diam2 Cu
Jiang membatin.
"Mari kita duduk," kata Kui-Jiu sin Jin. Mereka bertiga
lalu duduk.
"Aku dan ayahmu mempunyai tali persahabatan yang
karib. Boleh dikata hanya dialah satu-satunya orang yang
tahu akan perangaiku. Sungguh tak nyana kalau dia sampai
tertimpa nasib semalang itu, Tak apa, aku akan
memberikan bantuan sekuat kemampuanku untuk
memulihkan wajahmu kembali seperti sediakala!" kata Kui-
jiu-Sin-Jin.
O0odwo0O

Bukan kepalang kejut Cu Jiang saat itu. Dia hampir tak


percaya akan pendengarannya saat itu. Suatu hal yang tak
pernah ia mengimpikan, bahkan mengharappun tak pernah
terlintas dalam benaknya.
"Mengembalikan wajahku seperti bermula?" ia
mengulang dengan nada gemetar.
"Ya."
"Tetapi.... sudah begini cacad .... "
"Engkau percaya kepadaku atau tidak ?"
"Wanpwe . .. hanya ... hanya . .. keliwat tak menduga."
"Apakah nama Kui - Jiu - sin - Jin itu hanya gelar kosong
saja ?"
Kui-Jiu sin-jin artinya Manusia-dewa-bertangan-setan.
"Ya, ya, maafkan wanpwe," Cu Jiang tak dapat berkata
apa2 lagi karena diluap oleh rasa girang yang tak terhingga.
"Wajah dan kaki kirimu itu harus dikerjakan lagi dengan
ilmu pembedahan."
"Pembedahan ?"
"Benar," kata Kui-jiu-sin-jin, "tulang yang patah dapat
disambung tetapi muka yang rusak itu harus diganti dengan
kulit daging yang diambilkan dari tubuhmu."
"Ah," Cu Jiang mendesah penuh keheranan. Baru
pertama kali itu dia mendengar tentang ilmu pembedahan
yang begitu mengagumkan.
"Dan untuk menyelesaikan pembedahan itu harus
memerlukan waktu seratus hari," kata Kui-jiu-sin jin pula.
"Wanpwe .... entah dengan kata apa harus
menghaturkan terima kasih ...."
"Tak perlu. Anggap saja bahwa aku telah melakukan
sesuatu terhadap sahabatku lama."
Demikian dengan ilmu pengobatannya yang sakti, Kui-
jiu-sin-Jin mulai membedah wajah Cu Jiang. Semua bekas
noda dan luka, dihilangkan kemudian ditambal dengan
kulit dan daging pada bagian lain dari tubuh anak muda itu.
Kakinya yang pincangpun mengalami operasi dan
sambung tulang. Selama mendapat pengobatan itu, tiada
lain pekerjaan bagi Cu Jiang kecuali hanya tiduran. Dan
waktu2 beristirahat itu dipergunakan untuk merenungkan
dan memecahkan bagian terakhir dari kitab Giok kah-kim-
keng yalah bagian pelajaran kim kong-sin-kang-lip-bun.
Tenaga sakti Kim-kong-sin-kang itu tak dapat
diselesaikan dalam latihan sehari dua hari tetapi harus
menggunakan waktu yang lama, perhatian yang tekun dan
latihan2 yang giat.
Demikian tak terasa seratus hari telah lewat. Pada hari
itu Kui Jiu sin Jiu membuka kain pembalut muka Cu Jiang.
Entah bagaimana gemetar juga tangan orang tua itu.
Rupanya tabib sakti itu juga merasa kasihan atas
nasibnya dan kagum atas kegagahannya menghadapi segala
bahaya dan musuh-musuh yang ganas itu.
Cong Beng memberikan sebuah cermin dan suruh Cu
Jiang melihat wajahnya. Waktu berkaca, Cu Jiang menjerit
kaget, heran dan gembira. Wajahnya yang semula penuh
bintik dan noda2 luka yang menyeramkan pandang mata,
kini telah berobah halus dan tampan seperti dulu lagi.
Air matanya berderai-derai dan tubuhnya gemetar keras.
Serentak memandang kearah Kui Jiu sin-jin dia terus
berlutut:
"Terima kasih atas budi besar yang cianpwe limpahkan
kepada wanpwe."
Kui jiu sin-jin mengangkatnya bangun.
"Tak usah mengatakan begitu. Selama hidup aku hanya
melakukan pekerjaan yang kusenangi dan juga tak pernah
meminta pertolongan orang. Tetapi..."
"Mohon cianpwe suka memberi petunjuk."
"Setelah turun gunung, lakukan suatu pekerjaan
untukku."
"Baik, mohon cianpwe katakan apa yang harus wanpwe
lakukan nanti."
"Bunuhlah Ciam Su Nio "
Cu Jiang teriak kaget. Ia memandang Bun Cong Beng
lekat2. Dilihatnya pemuda itu juga mengeretak geraham.
Cu Jiang bingung Betapapun tidakkah ketua Hoa Gwat
bun yang bernama Cian Su Nio itu ibu dari Bun Cong Beng
? Betapapun bencinya, tetapi mereka tetap terikat suatu
hubungan darah.
Cu Jiang merasa bahwa peristiwa dalam dunia ini,
memang aneh dan penuh dengan segala kemungkinan yang
tak mungkin..
Tionggoan-tay-hiap Cukat Giok minta tolong kepadanya
untuk membunuh istri dan mencari anak perempuannya.
Kini Kui-jiu sin-jin juga minta tolong kepadanya supaya
membunuh isterinya. Kedua tokoh itu sama dikhianati oleh
istrinya yang menyeleweng.
Melihat Cu Jiang diam saja, Kui-Jiu sin jin segera
menegur:
"Sama sekali bukan karena pernah menolong kepadamu
maka aku terus minta tolong padamu. Aku takkan
memaksa. Kalau engkau tak mau, pun tak mengapa."
"Bukan begitu maksud wanpwe."
"Lalu bagaimana?"
"Tetapi bukankah Ciam Su nio itu .... isteri cianpwe
sendiri?"
"Ha, ha, ha, ha .. . isteriku yang pertama sudah
meninggal ketika melahirkan Cong Beng. Itu waktu aku
belum berhasil mempelajari ilmu pengobatan, jika tidak,
tentulah dapat menyelamatkan jiwanya . . .."
"O, begitu. Baik, wanpwe akan melakukan perintah
cianpwe."
"Bukankah engkau ingin lekas2 tinggalkan tempat ini?"
Merah muka Cu Jiang, sahutnya.
"Maaf, cianpwe. Memang wanpwe masih banyak
urusan
"Tak perlu mengemukakan alasan," sahut Kui-jiu-sin-Jin,
"akupun takkan menahan engkau. Tetapi . . . pintu Mo jin-
koh ini selalu terbuka untukmu. Setiap saat engkau boleh
datang kemari!"
Cu Jiang membungkukkan tubuh dan menghaturkan
terima kasih.
"Cu heng, kuminta engkau datang lagi supaya kita dapat
bercakap-cakap dengan puas," kata Cong Beng.
Cu Jiang mengiakan.
"Silahkan berangkat." kata Kui jiu sin jin. Kemudian dia
suruh Ceng Beng mengantarkan ke luar. sambil berkata dia
terus masuk ke dalam.
Setelah mengambil barang-barangnya dan pedang
kutung, Cu Jiang lalu mengajak Cong Beng menuju ke luar
lembah.
Karena waktu dalam keadaan tak sadar dan dibopong
Cong Beng, ia tak tahu jelas keadaan lembah itu.
Kini barulah dia sempat melihatnya. Ternyata lembah itu
penuh dengan batu2 yang berbentuk aneh. Juga pohon2
aneka warna yang diantarnya Cu Jiang tak tahu namanya.
Tetapi dia tahu bahwa batu dan pohon2 itu merupakan
barisan yang melindungi lembah.
Sedangkan bunga2 yang menonjol warnanya itu
mengandung racun. Orang luar yang berani gegabah
masuk, tentu akan mati.
Cong Beng memberikan sebutir pil.
"Harap Cu heng telan pil penawar racun ini. lembah ini
penuh dengan hawa dan tanaman beracun. Kelak kalau
datang kemari, harap Cu Jiang berseru memanggil aku."
Cu Jiang mengiakan dan menelan pil itu.
Memang dunia ini penuh dengan segala keanehan. Jika
waktu masuk dia seorang pemuda yang berwajah buruk dan
rusak, kakipun pincang, tetapi kini dia kembali utuh lagi
sebagai pemuda yang berwajah tampan dan tidak pincang.
Sedemikian tegang perasaan Cu Jiang saat itu sehingga
dia tak dapat berkata-kata.
"Bun-heng, berkat budi pertolongan dari ayah Bun-heng
yang dengan kepandaian sakti telah dapat memulihkan aku
sebagai seorang manusia yang dapat berjalan tegak di
dunia, aku sungguh tak mengerti bagaimana kelak aku
harus membalas budinya."
Bun Cong Beng tertawa:
"Hendaknya jangan Cu heng mengatakan begitu. Jika
Cu-heng tempo hari tidak menolong aku, bagaimana
mungkin saat ini aku masih hidup di dunia? Maaf ada
sedikit pertanyaan yang ingin ku ketahui. Tetapi tak tahu
apakah layak pertanyaan itu kuajukan kepada Cu-heng?"
"O. silakan. Tak perlu sungkan!"
"Mengenai benda yang mempunyai daya kekuasaan
besar sehingga begitu Cu heng memperlihatkan, hu hwat
dari Gedung Hitam itupun menurut perintah. Sebenarnya,
benda apakah itu ?"
"Oh. itu hanya pemberian dari seorang nona yang
bernama Ki Ing. Aku sendiri sampai sekarang belum jelas
asal usul nona itu."
"Baiklah, tak perlu kita bicarakan soal itu," kata Cong
Beng yang sementara itu sudah dimulut lembah. Dia
berhenti.
"Cu-heng, maaf, aku tak dapat mengantar lebih jauh.
Harap Cu-heng menjaga diri baik2 dan sampai jumpa lagi !"
Keduanya saling memberi hormat perpisahan. Setelah
mengantar pandang Cu Jiang beberapa jenak, barulah Cong
Beng kembali kedalam lembah.
Pelahan-lahan Cu Jiang berjalan. Hatinya penuh
kegembiraan yang tak dapat dilukiskan. Kini dia dapat
berjalan seperti orang biasa lagi.
Tiba2 matanya tersentak sebuah pemandangan yang
mengejutkan, Diantara rumput belukar tampak beberapa
sosok mayat, ia maju menghampiri dan memeriksa. Ah,
ternyata korban2 itu mengenakan pakaian hitam.
Diantaranya ada dua orang yang memakai mantel hitam
dan seorang orang biasa. Tak terdapat suatu luka apapun
pada tubuh mereka kecuali hanya sebuah bekas warna
merah pada alis mereka.
"Telapak Jari terbang!" teriak Cu Jiang. Apakah Ang Nio
Cu masih belum meninggalkan lembah ini ? Jelas korban2
ini dia yang membunuhnya. Demikian ia menimang-
nimang.
Anak buah Gedung Hitam datang ke lembah ini. Apakah
tujuan mereka ?
Cu Jiang segera teringat akan peristiwa Gedung Hitam
menangkap Bun Cong Beng dan memaksanya supaya
menyerahkan kitab pusaka Sin-long-po-lian milik Kui jiu-
sin jin. Tidakkah kedatangan mereka ke lembah itu juga
karena hendak memburu kitab pusaka itu?
Ia merasa telah menerima budi pertolongan besar dan
Kui jiu-sin jin Sudah tentu dia tak dapat berpeluk tangan
mengawasi peristiwa itu.
Sekonyong-konyong ia mendengar debar pakaian tertiup
angin. Cepat iapun menyelinap bersembunyi di balik batu
karang. Dan saat itu juga berhamburanlah bayang2 yang
bergerak seperti hantu cepatnya.
"Hai ....!" terdengar teriakan dari sosok tubuh itupun
serempak berhenti. Mereka terdiri dari lima orang Pengawal
Hitam dan empat orang tua berbaju hitam. Rupanya
keempat orang baju hitam itu mempunyai kedudukan tinggi
dalam Gedung Hitam.
Cu Jiang memandang dengan seksama. Keempat orang
baju hitam itu yang tiga bertubuh tinggi besar, agaknya dia
pernah melihat wajah mereka. Sedang yang seorang
bertubuh pendek.
Salah seorang dari lelaki tua baju hitam itu segera
berseru.
"Mati semua, hah, hah, heh, Kui-jiu-sin jin berani
menggunakan tangan beracun..."
"Bukan makhluk tua itu yang turun tangan." Seru salah
seorang kawannya.
"Lalu siapa ?"
"Ang Nio Cu. wanita iblis yang selalu memusuhi itu !"
"Hah ! ilmu Jari-terbang! Ya, benar, memang wanita
busuk itu..."
"Mengapa dia juga muncul disini ?"
Dalam pada itu Cu Jiang mengingat-ingat untuk
mengenal kembali mereka. Tiba2 ia tersadar dan tahu siapa
ketiga orang baju hitam itu.
Seketika hawa pembunuhan meluap, darah bergolak-
golak seperti meledakkan dadanya. Ketiga orang itu bukan
lain adalah manusia aneh yang dulu telah menghantam dia
sampai terlempar kedasar jurang.
Cepat ia mengenakan kedok muka dan terus muncul dari
balik karang.
"Ada orang !"
"Hai, siapa itu !"
"Ah, Toan-kiam-jan-Jin!"
Hiruk pikuk ucapan dan teriakan kaget itu segera diiring
dengan menumpahkan berpuluh mata kearah diri Cu Jiang.
Cu Jiang memutuskan bahwa dia tetap hendak
mempertahankan diri dalam wajah Toan-kiam jan-jin.
Dengan kaki terpincang-pincang ia maju menghampiri.
"Tak kira kalau si invalid ini juga berada di sini." gumam
si tua pendek dengan gemetar.
"Kita bersama-sama kerjai dia," seru orang tua baju
hitam yang pertama tadi.
Dengan mata berkilat-kilat, Cu Jiangpun sudah tegak
berhadapan dengan mereka. Kelima Pengawal Hitam
serempak menyingkir tetapi tetap siapkan pedangnya.
Keempat orang tua baju hitam itu segera berpencar dan
membentuk formasi setengah lingkar busur. Kecuali hanya
si tua pendek yang menggunakan pedang, yang tiga orang
tetap bertangan kosong.
Cu Jiang curahkan pandang kepada ketiga lelaki tua
tinggi besar. Dendam kesumat yang menyusup sampai ke
tulang sunsum, membuat Cu Jiang seperti bara api yang
panas.
Ketiga lelaki tinggi besar itu sampai gentar dan menyurut
selangkah.
"Toan kiam jan jin, sungguh beruntung kita berjumpa
lagi." salah seorang berseru.
Dengan tegas, Cu Jiang berseru sepatah demi sepatah:
"Mulai saat ini, setiap orang yang termasuk anak buah
Gedung Hitam, harus membayar lunas semua dosa-
dosanya!"
Salah seorang lelaki tinggi besar itu tertawa aneh:
"Toan kiam jan jin, jangan bermulut besar. Hari ini
engkaulah yang pasti mati!"
"Lekas beritahukan nama kalian!" bentak Cu Jiang.
"Ha, ha, ha, ha ..... " keempat lelaki tua bertubuh tinggi
besar itu serempak tertawa keras. Mereka lalu berkisar
langkah untuk menduduki tempat masing2.
Tiba2 Cu Jiang teringat akan nasehat Thian put thou
tempo hari. Apabila berhadapan dengan musuh harus
memperhatikan beberapa hal:
"Jangan kasih kesempatan pada lawan. Jangan ragu2
turun tangan . . . ."
-oo0dw0oo-

Jilid 16
SAAT itu, dia akan mematuhi nasehat Thian put thou.
Dia takkan membiarkan musuh musuhnya itu sampai lolos.
Serentak ia menggembor dan terus menyerang. Antara
mencabut pedang dan menyerang itu hampir terjadi pada
waktu yang serempak. Keempat lelaki tua bertubuh tinggi
besar itu benar2 tak mempunyai kesempatan lagi untuk
bergerak.
"Huak " terdengar jeritan ngeri disusul dengan darah
yang muncrat ke empat penjuru. Si tua pendek itu lengan
putus kepalanya terbang lalu rubuh seketika.
Ketiga lelaki bertubuh tinggi besar meraung dan
serempak menghantam. Cu Jiang menahan dengan pedang
kutungnya.
Ketika angin pukulan dan pancaran hawa pedang saling
beradu, terdengarlah letupan yang keras. Cu Jiang masih
juga tegak berdiri di tempatnya, tetapi ketiga lelaki tinggi
besar itu terdorong mundur selangkah.
Kerut wajahnyapun berobah, matanya memberingas
buas. Sementara kelima Pengawal Hitam yang berada di
luar gelanggangpun sudah pucat mukanya.
"Masih ingat akan peristiwa berdarah di gunung Bu leng
san dulu?" seru Cu Jiang.
Ketiga lelaki tinggi besar itu menggigil. Salah seorang
berteriak.
"Siapakah engkau ini sesungguhnya ?"
"Pelajar baju putih yang pernah kalian hantam sehingga
terlempar ke dasar jurang dulu !"
"Engkau pelajar baju putih itu ?" ketiga lelaki tinggi besar
itupun serempak menjerit kaget.
"Siapa diriku sudah kuterangkan." Kata Cu Jiang. "kalau
kalian mati tentu sudah tak penasaran. Kuharap kelak kalau
kalian menitis jadi manusia, supaya jangan lagi tersesat ke
jalan yang gelap..."
"Serbu !" serempak ketiga lelaki tinggi besar itupun, maju
menyerang..
Sinar pedang berkelebat dan terdengarlah pekik jeritan
ngeri. Salah seorang dari ketiga lelaki tinggi besar itu rubuh
ke tanah.
Cu Jiang juga menderita bahunya berguncang-guncang
keras karena dilanda angin pukulan ketiga lawannya. Tetapi
dia tak mau memberi ampun lagi. Ia taburkan pedangnya
kepada lawan yang berada di sebelah kanan.
Dia menyerang dengan penuh dendam kesumat dan
menggunakan seluruh tenaganya. Jurus Thian-te-kau-thay
atau ilmu pedang Langit-bumi-terangkap, dilancarkan
dengan hebat.
"Huaakk"
Terdengar pula jeritan ngeri dan lelaki tua yang berada
disebelah kanan, tanpa sempat mengeluarkan suara terus
rubuh bermandi darah.
Melihat gelagat berbahaya, lelaki yang disebelah kiri
terus loncat mundur dan melarikan diri.
"Hai, hendak lari kemana engkau !" teriak Cu Jiang
seraya loncat menaburkan pedang. Tubuh lelaki baju hitam
itupun terhuyung jatuh terduduk, tubuhnya berkubang
darah segar.
Melihat peristiwa sengeri itu, kelima Pengawal Baju
Hitam pecah nyalinya. Mereka serempak lari.
Karena kakinya sudah sembuh maka Cu Jiang dapat
bergerak dengan leluasa sekali. Percuma saja kelima
Pengawal Hitam itu akan melarikan diri. Susul menyusul
terdengar jeritan ngeri dari tubuh2 yang rubuh dan terpental
sampai dua tiga tombak.
Cu Jiang hentikan kejaran dan kembali ketempat
keempat lelaki tua tadi. Dan empat orang yang mati tiga
dan yang terluka satu. Memang Cu Jiang sengaja hendak
menyisakan seorang untuk ditanya keterangan.
Menghampiri ketempat orang tua yang tak dapat berdiri
itu, Cu Jiangpun membentaknya:
"Kuharap engkau mau menjawab dengan terus terang
beberapa patah pertanyaanku ini!"
Lelaki tua itu mengangkat muka dan memandang Cu
Jiang dengan deliki mata, serunya:
"Apakah engkau benar pelajar baju putih dulu ?"
"Benar, putera dari Dewa-pedang !"
"Engkau tidak mati ?"
"Anggaplah belum ditakdirkan mati! Karena kalau aku
mati, keadilan dan kebenaran, dalam dunia persilatan tentu
akan hancur lebur ditangan manusia2 seperti engkau !"
"Bagus . . . budak kecil, aku menyerah, lekas bunuhlah
aku ..."
"Tidak seenak itu !"
"Lalu engkau hendak mengapakan aku ?"
"Beritahu namamu lebih dulu!"
"Ya, tak apa. Aku dan kawan-kawanku itu adalah
pengawal dan istimewa dari Gedung Hitam . . ."
"Pengawal Istimewa ?"
"Ya."
"Siapakah yang menjadi biang keladi dari peristiwa
berdarah di gunung Bu-leng-san dahulu. Berapa orang yang
ikut dalam peristiwa itu ?"
"Engkau kira aku mau memberitahu ?"
"Tentu !"
"Engkau mimpi . . ."
"Yang ngimpi mungkin engkau !" tiba2 Cu Jiang
jentikkan jari, menutuk jalan darah orang itu. Dia meraung
keras, wajahnya pucat lesi.
"Sekarang engkau mau memberi keterangan atau tidak.
Tak mungkin engkau akan bunuh diri," kata Cu Jiang
dengan bengis.
Tetapi lelaki tua itu rupanya memang nekad, teriaknya
kalap:
"Walaupun engkau siksa aku dengan cara apa saja,
akhirnya akupun toh akan mati. Tetapi ketahuilah, budak
kecil, engkaupun takkan hidup lama didunia. Gedung
Hitam pasti akan membereskan engkau . . ."
"Kehancuran Gedung Hitam sudah di depan mata!"
"Budak, engkau ngimpi. Gedung Hitam itu sekokoh
gunung baja, penuh dengan jago2 sakti. Dengan
mengandalkan...."
"Jangan banyak mulut, lekas jawab pertanyaanku !"
bentak Cu Jiang.
"Tidak !"
"Engkau menginginkan mati dengan dikerat sepotong-
sepotong ?"
"Terserah!"
Cu Jiang ulurkan tangan kiri lalu mencengkeram bahu
orang, diangkat dan dibentak. "Engkau mau bilang atau
tidak !"
Walaupun Menghadapi kematian tetapi wajah orang tua
itu tetap tak berobah. Dia mengertek gigi dan menjawab
tandas.
"Tidak !"
Cu Jiang marah sekali, Ia keraskan cengkeramannya
sehingga daging orang itu remuk. Tetapi lelaki tua itu tetap
tak mengerang, melainkan hanya deliki mata.
Cu Jiang geregetan sekali. Ia mencabut pedang kutung
dan berseru:
"Apakah engkau benar2 tak mau bilang?"
"Tidak !"
Cu Jiang mendengus geram. Ia tusukkan pedangnya
pelahan-lahan menembus tulang bahu orang itu. Orang itu
mengerang ngeri. Mukanya tak ubah seperti binatang buas
yang sedang menderita.
"Bilang atau tidak ?"
Cu Jiang memutar pedangnya. Betapapun kuatnya orang
tua itu tetapi setelah ilmu kepandaiannya dihancurkan, dia
tentu tak tahan lagi menderita siksaan yang sedemikian
hebat.
"Bunuh.... bunuhlah .... aku ....!"
"Tidak seenak itu!"
"E.... uh auh . .. ."
Percuma engkau mengerang dan merintih.
Aku akan menyuruhmu mati secara perlahan, seiris
demi seiris, akan kusayati tubuhmu."
Karena menahan kesakitan yang tak tertahan, mata
orang tua itu sampai melotot ke luar.
"Bilang," bentak Cu Jiang. "siapa saja yang ikut pada
peristiwa berdarah di gunung Bu-leng san dahulu. Apa
maksud mereka? biang keladinya jelas tentu ketua Gedung
Hitam, majikan kalian itu!"
Namun orang tua itu tetap mengatupkan mulut kencang2
dan tak mau berkata apa2.
Akhirnya Cu Jiang memutuskan percuma saja ia
menekan orang itu. Hanya membuang waktu saja. Karena
jelas musuh utamanya adalah ketua Gedung Hitam. Sekali
ia putar pedang, tubuh orang itu pun terbelah menjadi
beberapa potong.
Setelah membasmi anak buah Gedung Hitam itu semua,
ia berdiri tegak dan acungkan pedang lurus ke muka seraya
memanjatkan doa:
"Ayah dan mamah yang berada di alam baka, harap
menyaksikan anak akan mulai melakukan pembalasan!"
Setelah memasukkan pedang, ia menengadah
memandang matahari. Saat itu matahari sudah mulai
condong ke barat. Akhirnya ia memutuskan untuk
melanjutkan perjalanan agar besok pagi sudah keluar dari
gunung.
Tetapi pada saat ia berputar tubuh, tiba2 terdengar
sebuah suara melengking:
"Ih, puas ya melakukan pembunuhan?"
Cu Jiang segera dapat mengenali suara itu sebagai Ang
Nio Cu Cepat dia berputar menghadap kearah pendatang
itu.
"Mengapa anda masih belum meninggalkan gunung Bu-
san ini?"
"Tentu saja aku tak mau bekerja kepalang tanggung,
setelah menyerahkan engkau kepada Kui jin-sin jin terus
angkat kaki begitu saja!"
"Anda tentu menunggu sampai tiga bulan?"
"Hm, kiranya engkau dapat menghitung waktu dengan
tepat!"
Tak tahu Cu Jiang bagaimana hendak menyatakan rasa
terima kasihnya kepada wanita itu.
"Budi anda sampai akhir hayatku kiranya masih belum
dapat kuhimpaskan." katanya dengan nada gemetar.
Ang Nio Cu tertawa.
"Tak ada orang yang mengharap pembalasan budi
darimu. Dan tak perlu mengucapkan tentang budi
pertolongan segala. Asal kelak engkau mencintai isterimu
Ho Kiong Hwa, berarti engkau sudah membalas budi
kepadaku. Dapatkah engkau melakukan hal itu?"
Tergerak hati Cu Jiang mengapa Ang Nio Cu begitu
memperhatikan sekali si dara baju hijau Ho Kiong Hwa.
Apa hubungan kedua wanita itu?
Ia termenung-menung memikirkan. Bahwa kali ini
andaikata dia tak mendapat obat dan mati karena racun itu,
bukankah Ho Kiong Hwa menjadi seorang janda yang
belum dinikah.
Diam2 ia menggigil dan serentak menyahut. "Tentu!"
"Kuhaturkan selamat atas pulihnya kembali kakimu yang
pincang dan wajahmu yang cacad."
"Oh apakah anda tahu?"
"Anak dari makhluk aneh itu yang mengatakan. Kalau
tidak masakan aku bersabar menunggu sampai seratus
hari."
"Oh, lalu lo-koko . . ."
"Dia juga masih berada di gunung ini menunggu
engkau!"
"Di mana dia sekarang?"
"Di gua hati puncak Sin li hong."
"Jika begitu, aku harus menemuinya." teriak Cu Jiang.
"Tunggu dulu!"
"Anda mau menugaskan apa lagi? "
"Jika mayat2 ini tidak disingkirkan, tentu akan memberi
akibat yang hebat kepada si mahluk tua apabila dia
menerima pembalasan . . ."
"Ah, benar. Aku hampir melupakan hal itu. Akan
kusingkirkan mereka ..."
"Tak usah. biar kusuruh anak buahku yang mengurus
mereka."
"Ah, mana aku berani membikin repot..."
"Tak usah mengatakan begitu. Tetapi bolehkah aku
melihat wajahmu yang sekarang?"
Walaupun bertukar pembicaraan tetapi saat itu Ang-Nio
Cu tidak menunjukkan diri dan bersembunyi di balik
sebuah batu pada jarak tiga tombak dari tempat Cu Jiang.
"Mengapa tak boleh." seru Cu Jiang terus membuka
kerudung mukanya.
"Aa, sungguh tak bernama kosong mahluk aneh itu
digelari sebagai Kui-jiu-sin jin. Dia seperti dewa yang dapat
merobah kodrat alam. Benar2 wajahmu sama seperti dulu
sebelum rusak! " Ang Nio Cu berteriak terkejut.
Cu Jiangpun menutup kembali kain kerudung. Lalu ia
meluapkan kata2 yang sudah lama tersimpan dalam
sanubarinya:
"Apakah aku boleh melihat wajah anda?"
Rupanya Ang Nio Cu sudah menduga hal itu.
"Tidak bisa." serunya cepat.
"Ini . . . apakah adil?"
"Harap engkau bersabar. Kelak pada suatu hari engkau
pasti tahu. Sekarang belum waktunya."
"Mengapa?"
"Sudah tentu aku mempunyai kesulitanku sendiri."
"Baiklah, sekarang tak perlu dibicarakan. Tetapi aku
hendak mohon tanya sebuah hal..."
"Silahkan bilang. "
"Apakah hubungan anda dengan Ho Kiong Hwa?"
"Hem." Ang Nio Cu mendehem lalu merenung.
Beberapa saat kemudian baru berkata lagi, "erat sekali
hubungannya tetapi belum waktunya memberitahu
kepadamu."
"Di manakah dia sekarang?"
"Engkau hendak bertemu kepadanya?"
Merah wajah Cu Jiang.
"Atas bantuan anda untuk merangkapkan perjodohan
ini, aku . . . seharusnya menanyakan tentang keadaannya . .
."
Ang Nio Cu tertawa.
"Rupanya sekarang baru engkau memperhatikan
dirinya?"
"Aku..." suara Cu Jiang tersendat-sendat, sekalipun . .
memperhatikan juga ..."
"Dia sehat tak kurang suatu apa." tukas Ang Nio Cu.
"harap engkau jangan kuatir. Meski-pun dia bertubuh lemah
tetapi berbudi luhur. Dia tak seperti muda-mudi yang selalu
ingin bercumbu rayu. Saat ini diapun tak mengharap
bertemu dengan engkau. Silakan engkau melanjutkan apa
saja yang menjadi tujuanmu."
"Aku berterima kasih atas pengertiannya."
"Tak usah."
"Masih ada sebuah hal lagi yang rasanya kurang layak
...."
"Kalau tahu kurang layak, mengapa hendak engkau
katakan!"
"Karena terpaksa . . ."
"Katakanlah !"
"Kepada anda aku harus menggunakan sebutan apa yang
sesuai ?"
"Oh, engkau maksudkan hal itu .. . Ai, menyebut anda,
apakah tidak sesuai ?"
"Kurang tepat dan tak sesuai!"
"Kalau begitu, panggil saja toa-ci !"
"Toaci !" Cu Jiang diam2 terkejut. Dengan begitu
tentulah Ang Nio Cu itu masih muda.
"Bagaimana ? Apakah kurang tepat ?"
"Bagus sekali!"
"Dan akupun memanggil sebagai siaute:"
Terserah saja kepada toaci."
"Ha. ha, ha, ha " Ang Nio Cu tertawa gembira. Cu Jiang
memperhatikan bahwa nada tawa Ang Nio Cu itu lebih
cerah dan bening dari apabila dia berkata-kata. Dengan
begitu jelas pada waktu berbicara, Ang Nio Cu tentu
menggunakan tenaga-dalam untuk merobah nada suaranya.
Suara itu jelas bukan suaranya yang aseli. Dengan begitu
dapatlah Cu Jiang menduga bahwa sebenarnya Ang Nio Cu
masih seorang nona muda.
"Kabarnya toaci adalah murid pewaris dari perguruan
Hiat-ing-bun ?"
"Soal itu aku tak menyangkal."
"Hiat ing-bun merupakan perguruan yang paling rahasia
dalam dunia persilatan di daerah Tiong goan. Selama ini
tak pernah ikut serta dalam pergerakan apa saja dari partai2
persilatan. Maka tentu ada sebabnya toaci bergerak
melawan kekuatan Gedung Hitam."
"Tentu! Orang tidak mengganggu aku. aku pun takkan
mengganggu orang. Demikian pendirian perguruan kami . .
."
"Lalu apa sebabnya toaci sampai bertindak melawan
Gedung Hitam ?"
Tiba2 nada suara Ang Nio Cu berobah sember dan
rawan.
"Ketua perguruan kami yang dulu bersama dua orang
murid, telah dicelakai oleh ketua Gedung Hitam maka
akupun hendak menuntut balas !"
"Jika begitu toaci mempunyai dendam permusuhan yang
sama seperti aku."
"Soal itu sudah kuketahui ketika engkau bertukar jawab
dengan pengawal istimewa Gedung Hitam tadi !"
"Apakah toaci pernah tahu bagaimana wajah yang
sesungguhnya dari ketua Gedung Hitam?"
"Tidak tahu. Durjana itu memang hebat sekali. Tidak
mudah untuk mengetahui wajahnya yang aseli."
"Setelah turun dari gunung ini, aku terus hendak menuju
ke Gedung Hitam."
"Engkau tahu dimana letak Gedung Hitam?"
"Kudengar terletak di tengah gunung Keng-san, tentu tak
sukar untuk mencarinya."
"Ditengah gunung Keng san ?"
"Ya."
"Tak mungkin engkau dapat mencarinya!"
"Kenapa?"
"Kepergianmu ini tentu sudah diketahui musuh dan
merekapun tentu sudah bersiap-siap menghadapi engkau!"
"Ya, benar."
"Lebih baik serahkan pekerjaan itu kepadaku saja."
"Tetapi toaci tak tahu jelas keadaan dan letak markas
mereka yang tepat. Keng-san itu amat luas sekali, tentu
memakan waktu lama sekali untuk mencarinya. Aku akan
menempuh perjalanan pada waktu malam dan kalau siang
beristirahat. Juga penyelidikan akan kulakukan secara
rahasia."
"Baiklah, aku akan membantumu secara bersembunyi. "
"Jika begitu aku ingin menemui lo-koko lebih dulu. "
"Silahkan. Urusan di sini akan kusuruh orang ku
mengurusnya."
"Terima kasih atas bantuan toaci. "
Setelah kakinya sembuh maka Cu Jiangpun dapat
melakukan gerakan yang sebelumnya dia tak mampu
karena terhalang kakinya yang pincang. Sekali ayunkan
tubuh, dia terus meluncur dan lenyap dalam hutan.
Naik ke puncak Sin li hong, haripun sudah malam.
Bulan pudar, bintangpun samar. Sekeliling penjuru hanya
gunduk2 puncak. Cu Jiang diam2 mengingat-ingat Ketika
lo koko membawanya ke sebuah gua di gunung Bu-san.
Tetapi saat itu dia sedang terluka parah, ingatannya tak
terang sehingga tak dapat mengingat jelas letak gua itu.
Berbagai peristiwa terkenang dalam benaknya. Terutama
pengalaman yang diperolehnya di gunung Bu-san itu.
Kemudian diapun teringat bahwa diantara keanehan yang
aneh itu. tentang pertunangannya dengan Ho Kiong Hwa.
Ia sudah bertunangan tetapi ia tak merasakan hal itu.
Pikirannya tertumpah ruah pada dendam, kewajiban
untuk menuntut balas atas kematian ayah bundanya.
Ah, apabila toa suhengnya Ho Bun Cai masih hidup dan
menjabat congkoan dalam Gedung Hitam, dia tentu akan
mendapat bantuan berharga untuk menyingkap tabir
rahasia dari ketua Gedung Hitam dan komplotannya.
Yang membunuh Ho Bun Cai adalah Buddha-hidup
Sebun Ong. Apa tujuannya?
Dia heran mengapa seorang tokoh yang berilmu tinggi
seperti toa suheng Ho Bun Cai, sampai tak dapat membela
diri atau lolos dan harus menderita luka parah yang
menyebabkan harus menemukan kematian yang begitu
mengenaskan ?
Dendam kebenciannya terhadap Sebun Ong tak kalah
hebatnya terhadap ketua Gedung Hitam. Sungguh tak kira
bahwa ksatrya yang diagungkan sebagai Buddha hidup
dalam dunia persilatan itu ternyata seorang durjana besar.
Seekor harimau yang berselimut kulit domba.
Tengah dia melamun, tiba2 terdengar suara tawa yang
parau.
"Lo-koko !" serentak Cu Jiang berseru girang.
Thian put thou loncat ke hadapan Cu Jiang.
"Adik kecil, siang malam aku berada di puncak untuk
menunggu. Akhirnya engkau datang juga."
"Lo koko, aku sungguh berterima kasih . . ."
"Ai, kebetulan aku sedang memanggang dua ekor ayam
hutan dan mempunyai sebotol arak. Hayo, kita makan
minum untuk menghangatkan badan . . ."
Mendengar itu seketika timbullah rasa lapar Cu Jiang.
Dia segera mengikuti Thian-put-thou lari turun gunung.
Tak berapa lama mereka tiba di gua tempat mereka berhenti
dulu.
Dua ekor ayam sedang terpanggang di unggun api,
menyiarkan bau yang menggelitik perut. Setelah menambah
kayu bakar, hawa dalam gua itupun terang dan hangat.
Cu Jiang mengatakan bahwa dia lupa dan tak dapat
menemukan gua itu sehingga tadi dia berdiri termenung-
menung di puncak.
Thian-put-thou tertawa lalu mengambil dua buah
mangkuk dan guci arak.
"Adik kecil, hayo engkau seekor aku seekor, kita
ganyang sampai habis!"
"Dari mana lo-koko memperoleh arak?" Cu Jiang
terkejut.
"Ini harus berterima kasih kepada Ang Nio Cu. Dialah
yang mengirim," Thian put-thou tertawa.
"Ah," kata Cu Jiang lalu membuka kain penutup
mukanya.
"Hai...!" Thian-put-thou melonjak kaget dan menjerit
sehingga arak dalam mangkukpun tertumpah.
Cu Jiang juga ikut kaget tetapi cepat dia segera
menyadari hal itu,
"Lo koko, wajahku sudah pulih kembali seperti dulu!"
segera dia memberi penjelasan.
Thian put-thou menatap wajah Cu Jiang sampai
beberapa saat.
"Ho, si Pencuri-tua ini sudah hidup sampai begini tua
tetapi belum pernah mendengar peristiwa seaneh ini. Wajah
yang rusak dapat diperbaiki dan pulih lagi. Kui Jiu sin-Jin
benar2 manusia hebat sekali. Hayo, minumlah tiga cawan
yang kuhaturkan untuk memberi selamat kepadamu !"
"Lo koko, silakan duduk saja" Cu Jiang tertawa geli
melihat tingkah Thian put-thou yang bertubuh kecil pendek
dan berloncatan seperti seekor kera.
Demikian keduanya lalu duduk dan menikmati arak.
Baru pertama kali itu Cu Jiang meneguk arak keras.
Kemudian mereka mengganyang ayam panggang.
Selama makan dan minum itu Cu Jiang menuturkan
tentang pengobatan yang dilakukan Kui-jiu-sin-Jin
kepadanya. Thian-put-thou tak habis herannya.
Sekonyong-konyong mereka mendengar suara harpa
berkumandang dari kejauhan.
"Aneh, di tengah malam pada tempat yang begini sepi
mengapa terdapat orang yang memetik harpa," kata Cu
Jiang.
Tetapi Thian-put-thou tak menyahut. Rupanya
semangatnya sedang terpikat oleh irama harpa itu.
Cu Jiang juga begitu. Dia rasakan semangatnya
melayang-layang dan hidungnyapun mulai basah.
Tiba2 Thian-put-thou menutup telinganya dan berseru:
"Celaka, harpa iblis!"
Mendengar itu Cu Jiang tersentak kaget dan
semangatnya yang melayang itupun sadar kembali. "Apa?
Harpa iblis?" teriaknya.
Thian-put-thou melepaskan tangannya.
"Itulah irama harpa iblis dari Bu san sin li." serunya.
"Apa? Bu-san sin-li?"
"Engkau tak pernah mendengar namanya?"
Cu Jiang tertawa nyaring.
"Apakah lo-koko hendak bercerita tentang dongeng raja
jin bertemu dengan bidadari dari gunung Bu-san . . . . "
"Sin-li itu bukan bidadari dalam dongeng yang itu! "
"Lalu apa? " Cu Jiang kerutkan alis.
Wajah Thian-put-thou mengerut tegang dan
tangannyapun menutup telinganya lagi.
"Kalau bidadari itu masih hidup, umurnya tentu sudah
lebih dari seratus tahun. Barang siapa mendengar suara
harpanya, pasti akan mati. Adik kecil, ilmu tenaga-
dalammu memang hebat sehingga tak merasa apa2. Tetapi
aku lo koko ini ... . tak kuat bertahan diri . . . . "
Habis berkata dia terus pejamkan mata mengerahkan
tenaga murni untuk menahan daya-kesaktian suara harpa.
Saat itu suara harpa deras seperti kuda besi
mencongklang di medan peperangan. Penuh dengan hawa
pembunuhan. Cu Jiangpun merasa berdebar hatinya,
darahnya mulai bergolak. Dia terkejut lalu buru2 tenangkan
semangat. Diam2 ia ingin mengetahui siapa gerangan
wanita yang disebut Bu-san-sin-li itu.
Serentak dia keluar dari gua. Sejenak mendengarkan, ia
merasa bahwa suara harpa itu seperti berasal dari puncak
tempat dia mencari Thian-put-thou tadi.
Harpa melengking nyaring macam ujung pisau yang
menusuk ulu.hati. Karena menderita debar yang keras
terpaksa Cu Jiang mendekap telinganya.
Berapa saat kemudian suara harpa itu lenyap. Cu
Jiangpun segera lari menuju ke puncak. Tetapi apa yang
disaksikan di situ, benar2 mengejutkan hati.
Belasan sosok mayat malang melintang di tanah dengan
mulut, hidung, mata, telinga berlumuran darah. Jelas mayat
itu tentu mati karena suara harpa tadi.
Menilik pakaiannya, mereka adalah anak buah Gedung
Hitam untuk membantu rombongan anak buahnya yang
lebih dulu masuk ke dalam lembah itu.
Dengan begitu jelas sudah, bahwa anak buah Gedung
Hitam banyak sekali yang dikirim ke lembah Mo jin-koh.
Pada saat itu tiba2 tampak sosok bayangan yang
bergerak. Ternyata dua lelaki tua tengah berbangkit berdiri
dari tanah.
Cu Jiang terkejut. Jika kedua orang itu tak mati terserang
suara harpa, tentulah mereka memiliki kepandaian yang
sakti. Kedua orang itupun melihatnya.
"Sahabat dari mana ini? " tegur orang itu.
"Apakah kalian ini dari Gedung Hitam?" Cu Jiang balas
bertanya.
"Benar," sahut yang seorang, "sahabat dari mana? "
"Hm, aku mempunyai peraturan! "
"Peraturan apa?"
"Begitu memberitahu namaku tentu akan mengalirkan
darah! "
"Ha, ha. ha, budak kecil, siapakah engkau ini
sebenarnya? "
"Toan-kiam jan-jin!" baru mengucap begitu Cu Jiang
terkejut sendiri karena teringat bahwa saat itu dia tak
mengenakan kerudung muka. Adalah karena bernafsu
sekali untuk membasmi setiap anak buah Gedung Hitam
maka dia sampai lupa.
Kedua orang itu terkejut dan menyurut mundur dua
langkah seraya berteriak:
"Toan-kiam-jan jin?"
Cu Jiang melesat ke hadapan mereka berdua. Dalam
cuaca malam yang gelap gulita, sepasang matanya tampak
berkilat-kilat seperti harimau melihat korban.
"Lekas cabut pedang dan bertempur!"
Kedua lelaki tua harus segera mencabut pedang mereka.
"Toan-kiam jan jin, tentunya engkau mempunyai alasan
untuk bertempur ini! " seru salah seorang dari lelaki tua itu.
"Tentu saja!"
"Apa alasanmu?"
"Membalas dendam berdarah!"
"Dendam berdarah yang mana? "
"Aku adalah putera dari Dewa Pedang Cu Beng Ko,
mengerti?" seru Cu Jiang seraya sudah mempersiapkan
pedang.
Kedua orang itu menyurut selangkah lagi.
"Engkau .... anak dari Dewa-pedang?" seru salah
seorang.
"Ya."
Sekilas sinar pedang berkelebat dan terdengarlah pekik
teriakan ngeri. Sebelum kedua orang itu sempat bergerak,
mereka sudah rubuh di tanah.
Cu Jiang masukkan pedangnya dan memandang ke
sekeliling. Tetapi tiada terdengar suara apa2.
"Apakah Bu san-sin-li sudah pergi? Sebatang harpa dapat
membunuh sekian banyak jiwa . . ." pikirnya.
"Toan-kiam-jan-jin, Sin-li mengundangmu!" tiba2
terdengar lengking suara wanita.
Cu Jiang terkejut dan memandang ke arah tempat suara
itu. Seorang dara baju hijau tampak berdiri tiga tombak
jauhnya.
"Apa? Sin li mengundang aku?"
"Ya."
"Hendak memberi petunjuk apa?"
"Silahkan ikut aku."
Karena heran dan ingin tahu, Cu Jiangpun segera
ayunkan langkah mengikuti dara itu. setelah melintasi
sebuah hutan yang gelap gulita mereka tiba di sebuah
tempat yang penuh dengan batu2 aneh.
"Harap berhenti dulu." tiba2 dara itu berpaling.
Kemudian dia terus menyusup lenyap ke hutan batu itu.
"Apakah engkau yang bernama Toan kiam jan jin?" tiba2
terdengar suara seorang wanita dari balik batu. Merdu dan
lembut sekali nada suaranya, seperti mengandung daya
pikat yang kuat.
"Siapakah wanita itu? Menurut keterangan lo-koko, Bu-
san-sin li itu sudah berumur seratusan tahun. Tak mungkin
memiliki nada suara yang begitu merdu. Apabila dia
menggunakan ilmu tenaga dalam, paling2 hanya mampu
memperbesar atau memperkecil nadanya saja tetapi tak
dapat mengubah kelembutan dan kemerduannya."
"Ya," sahutnya.
"Tetapi engkau tidak cacad," kembali suara yang merdu
memikat itu terdengar pula.
Cu Jiang terperangah. Dia tergesa-gesa ke luar tanpa
memakai kerudung muka dan berjalan dengan tegak,
sehingga tidak sesuai lagi sebagai Jan jin atau manusia
invalid.
"Mungkin tetapipun belum tentu !" sahutnya.
"Apa artinya ?"
"Itu soal peribadi, harap jangan mendesak lebih lanjut."
"Engkau congkak, ya ?"
"Tidak."
"Tenaga-dalam dan ilmu pedangmu, hebat sekali.
Engkau benar2 seorang tunas yang sukar didapat keduanya
. . ."
"Ah, harap jangan memuji."
"Dibawah alunan suara harpa dalam lagu Panggilan-
Jiwa engkau masih dapat bergerak dengan leluasa, sungguh
baru pertama kali ini aku bertemu."
Cu Jiang terkejut. Menilik kata-katanya wanita itu
tentulah Bu-san sin-li, Seorang wanita yang berumur
seratusan tahun tetapi dapat melantangkan nada suara
seperti seorang dara, sungguh hebat bukan kepalang.
Lagu Panggilan-Jiwa ? Uh, betapa seram nama lagu itu.
"Adakah anda ini Bu-san-sianli ?" akhirnya Cu Jiang
serunya.
"Benar, pengetahuanmu luas sehingga kenal juga
namaku sebuah nama yang sudah lama hilang dalam dunia
persilatan."
"Apakah maksud anda memanggil aku ?"
"Sebenarnya aku sudah mengasingkan diri dari dunia
ramai. Tetapi sungguh menjengkelkan orang2 yang datang
mengganggu ketenanganku itu. Karena jengkel aku sampai
memetik harpa lagi. Tak kukira kalau dapat menarik
perhatianmu seorang jago muda. Engkau tidak terkecoh
dengan suara harpa itu maka kuundang engkau datang
kemari."
"Apakah hanya begitu maksud anda ?"
"Ha. ha, ha, ha . . . ." terdengar wanita itu tertawa
gemerincing bagai untaian mutiara tertumpah di pinggang
kumala. Menusuk telinga tetapi memikat hati.
Cu Jiang buru2 tenangkan pikiran.
"Harap anda segera mengatakan apa yang anda hendak
pesan kepadaku," katanya.
"Tunggu dulu. Apakah engkau mau mendengarkan
sebuah lagu Selendang-pelangi lebih dulu?"
Tergerak hati Cu Jiang. Ia tahu wanita itu hendak
menguji kepandaiannya. Hal itu tak beda seperti bertanding
dengan tangan, hanya caranya berlainan.
Menurut keterangan lo-koko, jelas wanita tokoh
sembarangan. Dengan kata2 itu Sin-li hendak
menantangnya. Ah, mengapa dia harus mengunjuk
kelemahan. Biar dia terima tantangan itu sekalian untuk
menguji sampai di mana tingkat kepandaiannya yang
dimiliki saat itu.
"Sayang aku tak mengerti seni musik! " sahutnya.
Kembali Bu-san-sin li menghambur tawa yang mengikat
jiwa.
"Kecuali engkau seorang tolol, tentulah engkau mengerti
tentang seni suara. Paling tidak engkau tentu dapat
menikmatinya."
"Yah, kalau begitu, aku menurut saja."
"Jangan berdiri, duduklah yang santai."
"Hm," Cu Jiang terus duduk bersila di atas sebuah batu.
Dia tahu bahwa ujian yang akan dihadapinya itu bukan
olah-olah hebatnya.
Tung . . . tung . . . tung .
Tiga dentang suara yang nyaring bergemerincing. Setelah
itu tak kedengaran suara apa2 lagi. Sampai lama baru
terdengar suara yang halus dan lembut berkumandang.
Terasa bagai sekawan bidadari yang melayang turun dari
langit.
Pelahan-lahan suara harpa itu makin deras dan cepat.
Dan dalam perasaan Cu Jiang seolah dia melihat
sekelompok bidadari dalam pakaian warna-warni macam
warna pelangi mulai menari-nari sehingga pandang mata
menjadi kabur dan silau.
Di luar kesadaran, tiba-tiba Cu Jiang berdiri dan bergerak
gerak menari menurut urutan irama lagu itu. Uh tiba tiba
dia tergelincir jatuh ke bawah dan kesadaran pikirannyapun
pulih kembali.
"Berbahaya." serentak dia duduk lagi diatas batu.
Menghening semangat dan cipta mengumpulkan perhatian
dan pikiran. Dan lenyaplah bayang2 itu. Tetapi suara harpa
itu masih tetap melengking-lengking.
Tetapi saat itu dia sudah tak terpikat oleh suara harpa Itu
lagi.
Memang indah merdu nian suara harpa itu Cu Jiang
hanya merasakan tetapi tak terpikat apa-apa.
Ilmu tenaga dalam Kim-kong-sin-kang yang
dipelajarinya telah memberikan dia kekuatan yang hebat
sehingga mampu menolak segala gangguan dari luar.
Suara harpa tiba2 berobah menjadi lunak bagaikan suara
dara2 yang tengah mendambakan musim semi atau seorang
isteri yang tengah mengharapkan suaminya pulang.
Hati Cu Jiang kembali tak tenang. Tetapi cepat ia
menyadari maka buru2 ia gunakan tenaga-dalam untuk
menolaknya.
Begitu irama harpa itu berobah-robah, lagu demi lagu
berganti dan kepala serta dahi Cu Jiang pun mulai
bercucuran keringat.
Taaanngg.....
Tiba2 harpa berhenti dan terdengarlah Bu-san sin-li
berteriak:
"Hebat sungguh tenagamu sehingga mampu
mendengarkan lagu Selendang pelangi sampai habis !"
Cu Jiang tertawa gelak2 lalu berbangkit.
"Sin li sungguh pandai bermain harpa !" serunya memuji.
"Ah, tak nyana hari ini aku bertemu dengan seorang ahli
musik . . . . "
"Ah, mana aku patut disebut ahli. Kepandaianku cetek,
sama sekali hampir tak mengerti keindahan seni musik. "
"Jangan merendahkan diri."
"Memang benar."
"Apakah anda mau mengunjungi ke istana kami?"
Tergerak hati Cu Jiang. Dalam keinginan tahu, dia terus
menyambut undangan itu dengan serentak.
"Harap Pengawal Hijau menunjukkan jalan!" seru Bu san
sin li dan dara baju hijau itu segera muncul lalu menggapai
kepada Cu Jiang:
"Sauhiap, harap ikut aku."
Mungkin dara baju hijau itu adalah Pengawal Hijau
yang dimaksud Bu san sin li"
Cu Jiangpun ikut di belakang dara itu. Mereka menuju
ke barisan batu. Walaupun tampaknya tidak teratur tetapi
sebenarnya merupakan barisan aneh. Cu-Jiang tahu akan
hal itu.
Setelah belok kian kemari, mereka tiba di muka sebuah
gua. Pada puncak gua terdapat tiga buah ukiran huruf
berbunyi: Sin-li-kiong atau Istana Sin-li.
Di mulut pintu gua tampak empat dara baju hijau tegak
berjajar pada kedua samping. Diantara senyum memikat
dan mata penuh pesona tengah memandang Cu Jiang.
Tetapi anak muda itu tak balas memandang mereka
melainkan terus mengikuti si dara baju hijau masuk ke
dalam gua.
Gua itu bersih dan datar, Puncak langit gua berhias
mutiara yang memancarkan sinar terang benderang,
berjalan lebih kurang lima puluh tombak, pemandangan
tampak makin terang.
Tampak beberapa ruang yang semua terbuat daripada
batu kumala putih. Sayup2 terdengar suara harpa dan tawa.
Burung2 seriti beterbangan kian kemari. Benar2 merupakan
sebuah kerajaan yang indah.
Cu Jiang terkejut. Tak kira kalau ditempat alam
pegunungan yang begitu sepi, ternyata terdapat sebuah
tempat yang begitu indah. Bau harum yang bertebaran
dibawa angin, benar2 menyegarkan semangat.
Setelah melalui beberapa bangunan, tampak sebuah
ruang besar yang gilang gemilang. Di muka ruang itu penuh
berhias dengan pohon bunga dan jalan yang terbuat dan
batu putih.
"Harap tunggu sebentar." setelah tiba di muka ruang,
tiba-tiba dara baju hijau itu berseru dengan hormat kepada
Cu Jiang.
Kemudian dia membungkuk tubuh dan berteriak
menghadap ruang.
"Tetamu sudah tiba, sedang menunggu di luar ruang.
Dari dalam ruang terdengar suara seorang dara
menyahut:
"Silakan tetamu masuk !"
Dara baju hijau berpaling, tersenyum kepada Cu Jiang:
"Silakan."
Cu Jiang segera ayunkan langkah. Tetapi alangkah
kejutnya ketika kakinya seperti berat pada saat ia
memandang kearah ruang. Kejutnya bukan kepalang.
Di tengah ruang tampak dua orang dara cantik yang
tegak berdiri di kanan kiri mengapit seorang gadis cantik
berpakaian seperti puteri keraton.
Apakah dia itu Bu-san-sin-li ? Apakah dia yang dianggap
sebagai Sin-li yang berumur seratusan tahun ?
Apakah dia Sin-li yang memikat hati orang itu?
"Mengapa tidak masuk ?" terdengar sebuah suara yang
penuh pesona.
Cu Jiang seperti kehilangan semangat. Ia segera
menyadari kalau dirinya telah terlongong2 karena kagum
akan kecantikan Sin-li itu.
Diam2 merahlah wajah Cu Jiang. Melangkah ke muka
lagi dia berhenti kira2 empat lima langkah dari tempat
wanita itu lalu memberi hormat:
"Terimalah hormatku . . .."
"Ah, tak usah banyak peradatan, silakan duduk." kata
wanita itu.
Ketika Cu Jiang mengangkat muka dan pandang
matanya beradu dengan mata wanita itu, dia terkejut sekali.
Betapa bola mata wanita itu tampak bersinar-sinar penuh
mengandung daya pesona. Bola mata yang sedemikian,
bagaimana layak mau jadi milik seorang wanita yang
berumur seratusan tahun?
Dara baju putih itu mengisar sebuah kursi dari samping
dan mempersilahkan Cu Jiang duduk. Cu Jiangpun duduk
disebelah bawah.
"Toan kiam jan-jin," seru Bu-san-sin-li. tentunya engkau
mempunyai nama yang aseli."
"Tentu."
"Siapakah namamu itu ?"
"Maaf, belum dapat kuberitahukan."
"Kalau aku tetap menghendaki tahu supaya engkau
memberi tahu ?"
Cu Jiang agak tertegun lalu menjawab: "Siapapun tiada
hak untuk memaksa orang harus mau mengatakan hal yang
dia tak suka bilang."
"Engkau congkak benar !"
"Ah, tidak !"
"Apa maksud kedatanganmu ke gunung ini ?"
"Minta obat."
"Apa sudah mendapat."
"Ya."
"Menilik ilmu pedangmu yang hebat, engkau tentu
pernah berguru atau bertemu dengan sesuatu yang luar
biasa."
"Ya, aku tak-menyangkal."
"Engkau kira aku berwajah jelek ?"
Cu Jiang terbelalak mendengar pertanyaan itu. Tetapi
diapun dapat menyahuti:
"Cantik dan Jelek hanya perasaan orang yang
memandangnya. Jelek atau cantik itu hanya lahiriah, sama
sekali tak mewakili buruk atau baiknya hati. Sekalipun
cantik seperti Se Si jaman dulu, tetapi kalau hatinya seperti
ular berbisa, apa gunanya ?"
"Hebat, hebat, sungguh suatu uraian yang hebat!"
"Sin li memanggil aku kemari, sebenarnya apakah yang
Sin-li kehendaki?"
Bu-san-sin li tertawa.
"Yang datang itu sebagai tetamu, ijinkan aku
mengunjukkan sikap dan penyambutan sebagai tuan rumah
!" habis berkata dia terus bertepuk tangan tiga kali.
Karena sudah terlanjur berada disitu, Cu-Jiangpun
terpaksa harus menunggu lebih lanjut.
Tetapi bagaimana dengan lo-koko. Karena dia pergi dan
tak balik, tentulah lo-koko itu akan bingung mencarinya.
Tak berselang berapa lama, sekelompok dara baju hijau
muncul dan mempersiapkan hidangan pada kedua lorong
besar itu. Setelah mereka mundur maka beberapa dara baju
hijau muncul lagi dengan membawa hidangan.
"Ah, betapa mewah Bu-san-sin li hendak mengadakan
penyambutan ini. Dia benar2 menikmati kehidupan yang
mewah." pikir Cu Jiang.
Paling akhir, dua orang dara baju putih keluar dengan
membawa poci perak. Keduanya berdiri setengah berlutut
di tepi meja.
Sambil berbangkit Bu-san-sin-li mempersilakan Cu Jiang
duduk ke ruang perjamuan.
Kedua duduk persis saling berhadapan. Cu Jiang sempat
memperhatikan peralatan makan yang tersedia di meja
perjamuan itu.
Cawan dari kumala hijau, sumpit seperti dari gading,
makanan bersih dan beraneka warna.
Dara baju putih menuang arak. Setiup hawa harum
berhamburan menebar ruang.
Tiba2 Bu-san-sin-li mengusapkan lengan bajunya
kewajahnya dan seketika itu mata Cu Jiang-pun silau.
"Aahhh," mulut pemuda itu mendesah kecil.
Bu-san sin-li yang tampak mengerikan dengan kedok
muka yang buruk, begitu kedok muka diusap diusap maka
tampaklah sebuah wajah seorang nona Jelita yang cantik
sekali.
Sedemikian cantik nona yang umurnya baru dua-
puluhan tahun itu sehingga Cu Jiang terlongong-longong
seperti orang kehilangan semangat.
Apakah dia menggunakan ilmu sihir?
Tetapi cepat Cu Jiang menyadari bahwa Bu-san-sin li itu
memang memakai kedok muka. Oleh karena itu baik kulit
maupun nada suaranya memang tak menyerupai seorang
wanita tua. Dan wajah yang tampak saat itu tentulah
wajahnya yang asli.
Tetapi mengapa lo-koko mengatakan bahwa umur
wanita itu sudah mencapai seratusan tahun. Tidakkah Sin-li
yang dihadapinya itu seorang nona yang berumur dua-
puluhan tahun lebih ?
Bu-san-sin-li tertawa merdu. "Kaget ?"
Cu Jiang merah mukanya.
"Ya, memang tak menduga sama sekali."
"Demi menyambut kehadiran seorang tetamu terhormat,
akupun mengunjukkan wajahku yang aseli."
"Ah, aku sungguh tak berani menerima pujian Sinli yang
begitu tinggi!"
"Benarkah?"
"Aku hendak mohon bertanya."
"Silakan."
"Kabarnya Sinli sudah terkenal sejak dahulu ..."
"Siapa yang bilang?"
"Seorang cianpwe."
"Omongan orang bagaimana dapat dipercaya? Mari, kita
minum habis arak ini." kata Sin li terus mengangkat cawan.
Karena jawaban Sin-li itu menyimpang dari pertanyaan
maka tahulah Cu Jiang bahwa Sin-li tentu tak mau
menerangkan sebenarnya. Diapun lantas mengangkat
cawan dan menghaturkan terima kasih kepada Sin-li.
Harum dan lezat sekali arak itu. Cu Jiang tak tahu nama
arak itu.
"Di pegunungan belantara sesunyi ini, tak ada hidangan
yang lezat dapat kuhaturkan. Mari kita minum arak lagi."
"Ah. Sin-li terlalu merendah diri. Kulihat hidangan
semua terdiri dari hidangan kelas satu yang mahal. Kecuali
di istana dan di rumah pangeran2, rasanya jarang orang
menghadapi hidangan semacam ini."
"Marilah, kita minum lagi . . ."
Setelah beberapa kali meneguk arak, Cu Jiang pun
bertanya pula:
"Apabila Sin-li hendak memberi pesan, harap
mengatakan. Maaf, aku tak dapat lama2 mengganggu
waktu Sin-li."
"Sejak seratus tahun ini, hanya lima orang yang pernah
diundang ke Sin li kiong !"
"Jika begitu sudah seharusnya aku merasa bangga karena
mendapat kehormatan besar !"
"Apakah engkau merasa rendah memasuki tempat ini ?"
"Sama sekali aku tak punya perasaan seperti itu."
"Lalu mengapa hendak buru2 meninggalkan tempat ini?"
"Karena aku masih mempunyai urusan penting yang
harus kuselesaikan, Dan lagi ada seorang kawan yang
menunggu aku."
"Baiklah, sekarang mari kita bicara dengan serius."
"Silahkan."
"Kuminta engkau mengobati seseorang !"
"Tetapi aku sama sekali tak mengerti ilmu pengobatan,"
Cu Jiang terkejut. "kedatanganku ke Bu-san ini juga
bermaksud berobat. Kui-Jiu-sin-Jin juga tinggal didaerah
ini, mengapa Sin-li tak mau minta pertolongannya ?"
Sin-li gelengkan kepala.
"Makhluk tua itu tiada gunanya!"
Cu Jiang tertawa.
"Kui-jiu-sin Jin Bun Jok Ih, dapat mengobati segala
penyakit. Kepandaiannya seperti dewa masakan dia tak
berguna. Aku. . ." tiba2 Cu Jiang hentikan kata-katanya:
"Memang benar." kata Sin li. "tetapi harus dilihat dulu
siapa yang sakit."
"Apa maksud Sin-li ?"
Bu-san-sin li kerutkan alis, katanya:
"Penyakit yang menyerang orang itu bukan penyakit
biasa melainkan penyakit hati. Diseluruh penjuru dunia
mungkin sukar mencari orang yang dapat mengobatinya.
Tetapi engkau, Toan-kiam-Jan jin adalah tabib yang tepat
untuk mengobatinya. .. ."
"Aku ?" Cu Jiang terkejut.
"Ya. Penyakitnya itu penyakit linglung. Jika engkau mau
turun tangan tentu dapat menyembuhkannya."
"Ah, harap Sinli Jangan bergurau."
"Pernahkah engkau mendengar nama seorang pendekar
yang bergelar Coat-ceng-kiam-khek?"
Cu Jiang terkesiap, merenung. Coat-ceng-kiam-khek
artinya Pendekar pedang Patah-hati.
"Ya," ia mengangguk, "memang pada waktu kecil,
mendiang ayahku pernah menyebut nama orang itu.
Pendekar Patah-hati merupakan cianpwe yang sakti pada
beberapa puluh tahun yang lalu. Dengan sebatang pedang
dia telah malang melintang dalam dunia persilatan. Setiap
lawan tentu tak kuat menghadapi dua jurus serangannya.
Tetapi sudah lama sekali beliau menghilang dari dunia
persilatan. Entah mengapa tiba2 Sin-li mengatakan tentang
dirinya?"
"Dia masih hidup! "
"Ah...."
"Dan berada di istana sini!"
Kejut Cu Jiang bukan kepalang.
"Benarkah itu?" serunya.
"Dialah yang kukatakan penderita penyakit linglung itu!"
"Oh ..... " Cu Jiang mendesuh, " tetapi aku benar2 tak
mengerti ilmu pengobatan."
"Engkau bisa!"
"Ah, Sin-li berolok-olok. "
"Tidak, aku memang bersungguh-sungguh."
"Ini .... "
"Terus terang kuberitahu kepadamu, Coat-ceng kiam-
khek itu adalah suamiku."
Untuk yang kesekian kalinya Cu Jiang seperti dipagut
ular kejutnya. Benar2 ia seperti orang bermimpi. Pendekar
Patah-hati itu menurut umurnya tentu sudah seratusan
tahun.
Menurut keterangan mendiang ayah Cu Jiang, waktu
Pendekar Patah-hati muncul di dunia persilatan ayah dari
Cu Jiang itu masih belum belajar silat. Sedang Bu-san-sin-li
itu tampaknya begitu muda, belum ada tiga puluh tahun
umurnya. Mengapa menjadi isteri dari Pendekar Patah-
hati?
"Aku benar2 semakin bingung, " katanya.
Bu-san-sin li tertawa, katanya:
"Suamiku itu adalah si Pedang gila ..."
"Pedang-gila?"
"Benar, karena mempelajari ilmu pedang, dia sampai jadi
gila dan dari gila menjadi linglung."
"Aih."
"Selama lima tahun dia berkelana di wilayah Kanglam
dan Kangpak dan selama itu belum pernah berjumpa
dengan lawan yang mampu menandinginya. Oleh karena
itu dia masygul dan berobah perangainya ...."
"Aneh sekali. Kalau tak mendapat lawan berarti ilmu
pedangnya sudah mencapai tingkat sempurna. Seharusnya
gembira mengapa malah kecewa?"
"Soal2 dalam dunia ini memang ada kalanya tak dapat
dipikir dengan nalar sehat. Bermula karena kuatir kalah
dengan orang, giat dan tekun belajar. Setelah mencapai
kepandaian yang tinggi lalu tak mendapat lawan dan
kecewa, sedih, masygul ...."
"Apakah selama berpuluh tahun itu benar2 tak mendapat
lawan?"
"Ya, memang tak ada."
"Misalnya seorang tokoh yang bergelar Dewa-pedang Cu
Hong Ko itu?" sengaja Cu Jiang mengajukan pertanyaan.
Sin-li tertawa tawar.
"Mendiang ayahmu, bukan?"
Cu Jiang meringis dan merahlah wajahnya. Kiranya
waktu dia berbicara dengan kedua Pengawal Hitam tadi,
diam2 Bu-san-sin-li telah mendengarkan. Terpaksa ia
mengiakan.
"Aku hendak berkata terus terang, harap engkau jangan
kecewa. Ayahmu belum dapat menjadi tandingannya! "
kata Bu-san-sin-li.
o0-dw-0o

Mau tak mau Cu Jiang tersinggung juga perasaannya.


Ayahnya telah digelari kaum persilatan sebagai Dewa-
pedang. Kalau dia tak mampu menerima dua jurus
serangan pedang dari Pendekar Patah hati, bukankah gelar
ayahnya itu hanya sebuah nama kosong belaka?
"Apakah sinli anda sudah pernah bertempur dengan
mendiang ayahku?" akhirnya ia berseru dengan nada serius.
"Belum,"
"Lalu dari sudut manakah Sin-li mengadakan penilaian
tadi?"
"Sudah tentu ada alasannya. Masakan aku hanya omong
sembarangan saja."
"Mohon Sin-li suka memberi keterangan."
"Ai, agaknya harus dimulai dari permulaan," kata Bu san
sin-li, suamiku hanya lima tahun lamanya malang
melintang di dunia persilatan. setelah itu lalu kukurung dia
di istana ini. Tak kuijinkan dia muncul di dunia perbuatan
lagi.
"Kenapa?"
"Selama bertahun2 tak ada lawan yang mampu
menerima dua buah jurus ilmu pedangnya, kuibaratkan
sebagai pohon. Makin tinggi pohon itu tentu makin sering
dilanda badai. Makin termasyhur makin terancam. Musuh
yang terang mudah dihadapi tetapi musuh yang gelap sukar
dijaga. Sesungguhnya dia hanya tergila-gila pada ilmu
pedang, sama sekali bukan karena hendak mengajar nama .
.. ."
"Hm, tetapi adakah suami Sin-li itu menurut saja?"
"Sudah tentu tidak," sahut Bu-san-sin-li "aku mempunyai
cara tersendiri. Setiap tahun kusuruh seorang murid untuk
turun gunung dan menyelidiki apakah saat itu di dunia
persilatan terdapat seorang Jago pedang baru. Jika ada,
maka suamiku tentu akan muncul untuk menantangnya .
"Apakah selama bertahun-tahun demikian ?"
"Ya."
"Kalau begitu tentu tak terhindar akan berhadapan
dengan mendiang ayahku?"
"Belasan tahun tahun yang lalu, ayahmu sudah
mengangkat nama. Namanya termasyhur di seluruh
Tionggoan. Pada tahun itu akupun mengutus seorang anak
murid. Kebetulan melihat ayahmu sedang memuji
kepandaian dengan seseorang. Dalam sepuluh jurus,
ayahmu dapat mengalahkan orang itu. Kemudiam anak
murid yang kuutus itu segera mencari orang yang
dikalahkan ayahmu dan mendatanginya. Dalam delapan
jurus, anak muridku dapat mengalahkannya. Dari hal ini
engkau tentu jadi jelas."
Tergetar hati Cu Jiang, pikirnya: "Jika ayah dapat
mengalah dalam sepuluh jurus tetapi murid yang diutusnya
itu mampu mengalahkah dalam delapan jurus: jelas jauh
sekali perbedaannya . . ."
Tetapi segera Cu Jiang teringat bahwa jika tidak sangat
terpaksa memang mendiang ayahnya tak mau
mengeluarkan jurus It kiam tui hun yang diandalkannya itu.
"Masih meragukan, " serunya.
Wajah Busan sinli berobah, serunya:
"Apa maksudmu?"
"Mendiang ayahku masih tak mau mengeluarkan seluruh
ilmu kepandaiannya. "
"Bagaimana engkau tahu?"
"Setelah menciptakan sebuah ilmu pedang sakti, jika tak
terpaksa ayah tak mau menggunakannya. "
"Ketahuilah, bahwa selama melancarkan sepuluh jurus
serangan itu, masakan ayahmu tak menggunakannya?"
"Menurut dugaan memang tidak, jawab Cu Jiang,
"karena setiap kali jurus itu digunakan tentu lawan terluka
atau binasa. Dan pula ayah mengingat karena pertempuran
itu hanya semacam menguji kepandaian bukan suatu
pertempuran antara musuh. Tentu ayah tak mau
menggunakan jurus maut itu."
Bu san sin li mengangguk.
"Mungkin engkau benar," katanya, "mari, kita minum
lagi." Habis berkata dia terus mengangkat cawan dan saling
beradu cawan dengan Cu Jiang.
Beberapa saat kemudian kembali Bu-san-sin li berkata
serius:
"Kalau menurut keteranganmu tadi, bukankah
penilaianku pada waktu dulu itu salah ?"
"Mungkin."
"Apakah engkau juga mampu menggunakan Jurus ilmu
pedang sakti ciptaan ayahmu itu ?"
"Dapat."
"Bagaimana tingkat penguasaanmu kalau di banding
dengan ayahmu dulu ?"
"Aku berlatih dengan susah payah."
"Ketika tadi ia membunuh kedua lelaki tua baju hitam
itu apakah juga menggunakan jurus ilmu pedang itu."
"Bukan."
"Hm, maka kuduga ilmu kepandaianmu bukan berasal
dari dunia persilatan Tionggoan tetapi dari suatu sumber
yang aneh . . .."
"Ya, kutahu," tiba2 wajah Cu Jiang terkesiap menyadari
sesuatu.
"Apa yang engkau ketahui ?"
"Sin li meminta aku mengobati penyakit suami Sin-li,
bukankah tak lain dan bertanding ilmu pedang ?"
"Tepat," seru Bu-san sin-li, "inilah maksudku
mengundang engkau ke dalam keraton sini."
"Lalu bagaimana yang harus kulakukan?"
"Tundukkan dia agar nafsunya untuk mencari orang
yang dapat mengalahkan dirinya, dapat padam."
Darah muda Cu Jiangpun serentak berkobar. Demi
menjaga nama baik ayahnya, dia harus meluluskan
permintaan Bu san sin li.
"Apakah aku mampu?" tanyanya.
"Mungkin mampu, tetapi . . ."
"Apakah masih ada petunjuk lagi?"
"Akan kuterangkan lebih dulu kepadamu. Kalau engkau
sanggup, terserah apa saja yang hendak engkau lakukan. "
"Apa maksud Sin-li?"
"Selama berpuluh tahun menyembunyikan diri, perangai
suamiku berobah aneh sekali. Begitu turun tangan mungkin
dia tak peduli lagi siapa musuhnya . . ."
"Apakah harus sampai berdarah?"
"Mungkin begitu. Kalau engkau tak sanggup
menghadapi bahaya, silahkan pergi."
Cu Jiang tertawa nyaring.
"Bukan soal menghadapi bahaya tetapi soal pertempuran
itu. Aku yang berlumur darah atau suami anda."
Wajah Bu san sin li mengerut.
"Aku hendak mengajukan permohonan yang kurang
layak. "
"Apakah itu?"
"Kalau ilmu pedangmu memang lebih tinggi dari
suamiku, harap membatasi diri untuk menutuknya saja."
Permintaan itu memang kurang layak dan lebih banyak
dipengaruhi dengan kepentingan peribadi. Cu Jiang tertawa
hambar:
"Kalau suami Sin li lebih sakti, aku tetap harus
berlumuran darah?"
Merah muka Bu san-sin-li.
"Itulah sebabnya maka lebih dulu kukatakan bahwa
permohonanku itu kurang layak. Tetapi, aku tentu akan
berusaha untuk menghentikan adegan-adegan yang
mengerikan itu."
"Baik." sahut Cu Jiang dengan wajah serius, "kuterima
permintaan Sin-li."
Bu san-sin-li mengangkat cawan arak dan berseru:
"Lebih dulu kuhaturkan arak terima kasih kepadamu."
Setelah minum, Cu Jiangpun tinggalkan tempat
perjamuan itu dan duduk kembali di tempat semula.
Demikianpun Bu-san-sin li. Beberapa dayang baju hijau lalu
membenahi meja perjamuan.
Bu-san sin-li membisiki beberapa patah kata kepada
dayang yang berada di sampingnya dan dayang itupun lalu
bergegas ke luar. Tak berapa lama dia kembali lagi dan
memberi laporan kepada Bu san-sin-li bahwa semua telah
dipersiapkan.
Dari luar tiba2 tampak penerangan yang terang sekali.
Dua orang dara membawa galang yang ujungnya diberi
mutiara cemerlang tegak di ujung ruang.
"Cu sauhiap, apakah sudah siap ?" tegur Bu-san-sin-li.
"Aku tak mempunyai persiapan apa2." kata Cu Jiang.
"Baik, Jika begitu silahkan menuju keluar ruang !"
Sepanjang lorong serambi telah disediakan tempat
duduk. Cu Jiang dan Bu-san-sin-li lalu duduk di kursi yang
sudah disediakan.
Sesungguhnya Cu Jiang merasa tak enak hati. Demi
menegakkan keharuman nama mendiang ayahnya, dia
telah menerima adu ilmu pedang dengan syarat yang aneh
itu.
Pendekar Patah-hati itu seorang tokoh aneh pada Jaman
seratusan tahun yang lalu. Dapatkah ia menghadapinya
nanti, sama sekali belum diketahuinya.
Begitu pintu disudut terbuka maka muncullah seorang
jago pedang pertengahan umur dengan mengenakan
pakaian yang gemilang.
Kecuali kerut wajahnya agak gelap, semangat dan
tampangnya menunjukkan bahwa dia seorang pria yang
cakap.
Cu Jiang benar2 heran tak mengerti, inikah yang disebut
Pendekar Patah Hati itu? Apakah dia sudah berumur
seratusan tahun ?
Pada saat Cu Jiang sedang mengambang renungan, jago
pedang setengah tua itupun pelahan-lahan melangkah ke
tanah lapang yang berada di muka ruang.
Cu Jiang mengalihkan pandang matanya kearah Bu-san-
sin-li.
"Dialah suamiku, silakan turun ke lapangan" suaranya
agak tegang.
Setelah memberi hormat, Cu Jiangpun segera menuju ke
tanah lapang. Ia tak sempat lagi untuk melontarkan
pertanyaan2 yang terkandung dalam hatinya.
Saat itu si jago pedangpun sudah tiba di tengah dari
persilangan jalan dari taman bunga yang berbentuk bundar.
Dengan pandang berkilat-kilat tajam ia menatap Cu Jiang.
Tetapi anak muda itu tenang2 saja melanjutkan langkah
dan tegak di hadapannya.
"Beritahukan namamu!" sampai beberapa lama baru Cu
Jiang membuka mulut. Nadanya dingin sekali.
"Putera tunggal dari Dewa Pedang yang bernama Cu
Jiang." Sahut Cu Jiang dengan nada yang tak kalah dingin.
"Ha, ha, ha, ha! Dewa-Pedang, berani benar
menganggap diri sebagai Dewa !"
"Itu kaum persilatan yang memberikan nama Gelar
bukan suatu kebanggaan !"
"Tetapi apakah pedang itu mempunyai Dewa?"
"Ilmu sastra setara dengan ilmu silat, berbeda tetap sama.
Beberapa tokoh jaman dulu yang disanjung sebagai dewa,
tentu takkan mengecewakan namanya."
"Tetapi sudah berpuluh tahun aku tak bertemu dengan
lawan yang mampu mengalahkan, lalu bagaimana
katamu?"
"Dalam dunia ini banyak tunas2 berbakat dan manusia2
yang luar biasa. Soalnya hanya belum dapat berjumpa
dengan mereka saja."
"Apakah engkau merasa bangga sebagai putera Dewa-
pedang?"
"Ah, tidak. Aku hanya sekedar melakukan sesuatu yang
tidak mengecewakan harapan orang tuaku."
"Lalu engkau bersedia hendak mengukur kepandaian
denganku?"
"Hanya sekedar tukar menukar pengetahuan saja."
"Berapa umurmu?"
"Dua puluh."
"Tahu berapa umurku ?"
"Kemampuan tak menghiraukan soal umur2"
"Kalau begitu aku tak berguna hidup seratusan tahun ?"
"Aku tak bermaksud mengatakan begitu."
"Kalau engkau menyandang nama tanpa kenyataan,
tahukah engkau bagaimana akibatnya."
"Aku tak meresahkan soal mati atau hidup."
"Belum sampai pada tingkat itu."
"Lalu bagaimana?"
"Aku hendak membasmi semua jago2 pedang ternama
dalam dunia ini."
Cu Jiang mendengus. "Hm, Janganlah anda kelewat
bernafsu besar!"
Sijago pedang setengah tua itupun mendesus dan
memandang Cu Jiang tajam2.
"Takkan kubiarkan kawanan berandal tak berguna itu
menggunakan keluhuran nama Dewa."
"Lalu apa tujuan anda belajar ilmu pedang ?"
"Mengembangkan ilmu pedang."
"Tetapi dengan cita2 hendak membunuh semua jago
pedang di dunia ini, apakah tidak menghancurkan
kemajuan ilmu pedang?"
"Ngaco!"
"Aku berkata secara wajar."
"Hm, kalau engkau hanya bernama kosong tak ada
buktinya, engkaulah yang pertama akan mati!"
"Kalau aku berhasil dapat menerima beberapa jurus ilmu
pedang anda ?"
"Sejak saat ini nama Pendekar Patah - hati akan hapus
dari dunia persilatan !"
Rupanya Jago pedang itu terpengaruh oleh emosi. Cu
Jiangpun tertawa hambar.
"Ah, tak perlu harus begitu. Sesungguhnya dalam dunia
ini tiada terdapat jago pedang yang tak ada tandingannya.
Ilmu silat itu tiada batasnya. Jika anda memang tidak
mengejar nama dan tidak memburu keuntungan melainkan
hanya bertujuan hendak memajukan ilmu pedang, mengapa
harus mempertaruhkan kehormatan nama?"
"Huh, engkau belum layak memberi nasehat kepadaku !"
Cu Jiang hendak berkata tetapi tak jadi. Berdebat dengan
seorang yang dirangsang emosi tiada gunanya.
"Bagaimana kalau sekarang kita segera mulai?" serunya.
Dan Cu Jiang mencabut pedang kutung.
"Hai. engkau menggunakan pedang kutung?" Pendekar
Patah-hati berteriak kaget.
"Ya"
"Engkau berani memandang rendah aku?"
"Memang inilah senjata yang kupakai!"
"Apa engkau tahu bahwa, panjang pendeknya senjata itu
akan menentukan kemenangan ?"
"Tahu."
"Disini kita menyediakan pedang, engkau boleh tukar
mana yang engkau sukai."
"Tak usah !"
Sejenak Pendekar Patah-hati merenung lalu pelahan-
lahan menghunus pedang, serunya.
"Kalau begitu, bersiaplah menyambut seranganku."
"Lebih dulu aku hendak berkata."
"Silakan."
"Entah menang entah kalah, mati atau hidup, aku hanya
melakukan serangan satu jurus saja, takkan sampai dua
jurus..."
"Ha ha, bagus, bagus! Jika kesaktianmu sebesar mulutmu
yang sombong itu, hari ini aku benar2 bertemu dengan
seorang jago pedang yang sejati!"
"Dan..." kata Cu Jiang pula, "sejurus permainan pedang
yang kulakukan nanti adalah ajaran dari almarhum ayahku.
Hal ini perlu kukatakan lebih dulu. "
"Ho, rupanya engkau mabuk dengan nama gelar Dewa
pedang dari ayahmu?"
"Menjadi anak orang harus melanjutkan cita2 ayahnya."
"Ha, ha, ha, hi, sungguh besar sekali nyali mu.
Bersiaplah!"
"Silakan."
Keduanya segera pasang kuda2, saling berpandangan
dengan penuh perhatian. Suasana hening sunyi tetapi penuh
ketegangan.
Berpuluh dara baju hijau dan putih tegak ber jajar2 di
sekeliling tepi lapangan. Satupun tak ada lelaki. Tentulah
kawanan dara itu tak mau melewatkan kesempatan untuk
menyaksikan pertandingan in pedang yang jarang terdapat
dalam dunia persilatan seperti itu.
Cu Jiang telah menghimpun dan memusatkan segenap
semangat perhatiannya. Seolah-olah dirinya sudah
menunggal dengan pedang.
Pendekar Patah-hati juga seperti patung. Matanya tak
berkedip sama sekali.
Dua buah hawa pedang yang seram mulai bertebaran
membawa bayang2 maut. Bu-san-sin-li segera berbangkit
dan berdiri di titian. Dia tampak tegang sekali.
Memang dapat dimengerti. Cu Jiang adalah orang yang
diundangnya sedang yang menjadi lawan adalah suaminya
sendiri. Mungkin pertandingan itu akan berakhir dengan
suatu kesedihan.
"Benarkah tindakanku ini?" ia bertanya dalam hati.
Tetapi keadaan sudah seperti itu, sukar untuk dibatalkan
lagi.
Detik demi detik berjalan tegang. Kedua belah pihak
sama2 menyadari bahwa kali ini mereka berhadapan
dengan lawan yang paling berat yang pernah dihadapinya.
Mati hidup, menang dan kalah, hanya tergantung pada
perobahan setiap saat.
Setengah jam, lalu satu jam telah berlalu. Bagi yang
bertempur, setengah dan satu jam, seperti tak terbuang sia
sia. Tetapi bagi yang melihat, mereka merasa menunggu
satu tahun lamanya!
Ketegangan suasana menyebabkan orang sampai tak
berani bernapas. Bagaimana nanti akhir pertempuran itu
tiada seorang yang dapat membayangkan.
Cuacapun makin terang. Bintang2 mulai pudar sinarnya.
"Hait hait..."
Tiba2 dua buah suara gemboran keras memecah
kesunyian. Entah siapa yang bergerak lebih dulu. Yang
tampak hanya sinar pedang memancar lalu padam lagi.
Tampak orang merapat lalu berpencar lagi.
Pertarungan antara dua buah pedang yang berdering
nyaring, benar2 merontokkan hati orang. Sinar pedang
berhamburan memenuhi sekeliling, daun dan ranting
berguguran dan kawanan dara yang menyaksikan
disekeliling tepi lapangan itupun pucat seketika.
Bu-san-sin-li menutup mukanya dengan ujung lengan
baju. Ia tak berani melihat akhir pertempuran itu.
Tampak pedang Patah-hati berkerenyutan wajahnya.
Pedangnya ditekan ke tanah untuk menyanggah tubuhnya
yang bergemetar keras.
Sedangkan Cu Jiang masih memegang pedang yang
terangkat keatas. Pedang miring tetapi tak sampai jatuh.
Wajahnya membesi.
Beberapa waktu kemudian tiba2 Pendekar Patah-hati
memekik keras:
"Aku kalah. kalah sejurus . . ." kemudian dia tertawa
nyaring. Nadanya panjang menggemuruh bagai ombak
menyapu.
Bu-san-sin li membuka ujung lengan bajunya dan
menghela napas panjang.
Cu Jiang pelahan-lahan menyarungkan pula pedang
kutungnya. Walaupun sikapnya tampak tenang tetapi
sesungguhnya hatinya berguncang keras.
Kemenangan yang direbutnya itu benar2 tak mudah.
Hanya karena ia memiliki tenaga dalam yang hebat berkat
mendapat rejeki luar biasa mempelajari kitab pusaka negeri
Tayli, maka dapatlah ia memenangkan sebuah gerak dalam
jurus permainannya.
Memang apa yang digunakan Cu Jiang saat itu bukan
ilmu pedang Thian-te kau thay yang terdapat dalam kitab
pusaka Giok-kah-kim-keng dari negeri Tayli.
Apabila Cu Jiang menggunakan jurus Thian-te-kau thay
dalam kitab pusaka Giok-kah-kim-keng, pendekar Patah-
hati tentu bukan hanya kalah satu jurus tetapi pasti akan
mengalami akibat yang mengerikan yaitu kalau tidak mati
tentu terluka parah.
Tetapi demi menjaga martabat nama Dewa-pedang dari
mendiang ayahnya, Cu Jiang tetap memakai jurus It-kiam-
tui-hun. Memang berbahaya tetapi dia sudah
memperhitungkan akibatnya.
"Ah, anda mengalah," seru anak muda itu dengan nada
dingin.
Pendekar Patah-hati memegang pedang dengan tangan
kiri lalu tangan kanannya menekuk. trang . . . pedang
kutung menjadi dua.
Sekalian orang yang berada di gelanggang pertempuran
itu seketika pucat wajahnya.
Diam2 Cu Jiangpun menyesal. Dia mengakui pendekar
Patah hati itu memang seorang jago pedang yang sukar
dicari tandingnya. Jika dirinya tak mendapatkan sesuatu
rejeki yang luar biasa, tak mungkin dia mampu
mengalahkan jago pedang itu.
Setelah melemparkan kutungan pedang ke tanah,
pendekar Patah hati tertawa nyaring.
"Sejak saat ini aku takkan membicarakan ilmu pedang
lagi. Toan kiam jan-jin, sejak seratus tahun ini, engkaulah
sesungguhnya jago pedang nomor satu dalam dunia
persilatan!" serunya.
Ia berputar tubuh lalu berjalan pelahan-lahan dan lenyap
di ujung pintu.
"Oh, terima kasih Bumi dan Langit, inilah penyelesaian
yang menggembirakan sekali." terdengar Bu-san-sin li
berseru dengan tegang.
Cu Jiang berputar tubuh menghadap ke arah Sin-li,
serunya:
"Maaf atas kekurang-ajaranku!"
"Penyakit suamiku sudah sembuh sama sekali. Sungguh
aku berterima kasih kepadamu." seru Sin-li.
"Ah, janganlah Sin-li mengucap begitu."
"Cu sauhiap, apakah permintaanmu?"
"Tak ada, hanya akan mohon diri." Cu Jiang tertawa
hambar.
"Apa tidak ada lain lagi?"
"Tidak .... kecuali .... ada sedikit pertanyaan yang
hendak kumohonkan penjelasan Sin-li."
"Katakan."
"Menurut kata orang, Sin li sudah berusia seratusan
tahun . . ."
Bu san sin li tertawa cerah.
"Semua penghuni dalam keraton ini, tak ada yang
umurnya kurang dari lima puluh."
"Ah, bagaimana mungkin? " Cu Jiang terkejut.
"Ini suatu rahasia," kata Bu san sin li dengan wajah
bersungguh, "harap setelah meninggalkan tempat ini, Cu
sauhiap suka menyimpan rahasia."
"Baik."
"Istana Sin li kiong itu menembus sampai ke pusar
gunung. Di situ mengeluarkan suatu sumber air Giok ciok
leng lu (susu dari batu kumala). Semua penghuni istana itu
minum susu itu dapat ternyata dapat membuat kita awet
muda."
Cu Jiang terkejut.
"Jika begitu bukankah usianya akan abadi bersama
dengan bumi dan langit." serunya. Bu san sin li tertawa.
"Mustika langit dan bumi memang mampu menentang
takdir alam. Dapat membuat wajah takkan tua selama-
lamanya. Tetapi umur manusia tetap terbatas. Mana
mampu menyamai bumi dan langit. Paling2 hanya lebih
lama dari manusia kebanyakan. "
Memandang ke arah kawanan gadis2 cantik yang
berseliweran itu, timbullah rasa heran dalam hati Cu Jiang.
Masakan dara2 yang muda belia itu ternyata sudah
berumur lima puluh tahun lebih. Apabila tidak mendengar
keterangan dari Sin li sendiri, sudah tentu dia takkan
percaya!
Dunia yang seluas ini ternyata memang penuh dengan
segala macam keanehan.
"Ya, itu memang benar," akhirnya dia mengangguk
membenarkan keterangan Sin li.
Saat itu cuaca sudah terang. Dia dapat memperhatikan
bahwa istana Sinlikiong itu terletak di tengah cekung perut
gunung. Empat kelilingnya merupakan dinding karang yang
curam. Sedang istana itu menempati sebuah dataran seluas
satu bahu lebih. Sungguh merupakan sebuah gua langit
yang istimewa.
Lembah Mo jin koh tempat tabib sakti Kui Jiu sin jin
merupakan sebuah taman firdaus atau tempat kediaman
dewa. Tetapi kalau dibanding dengan istana Sin li kiong
masih tetap kalah.
Bu san sin li berbisik-bisik memberi pesan kepada gadis
di belakangnya dan gadis itupun segera mengundurkan diri.
Cu Jiang teringat akan Thian put thou dan Ang Nio Cu.
Dia ingin lekas2 menemui mereka maka diapun segera
pamit.
"Harap tunggu sebentar." kata Sin li.
"Apakah Sin li masih mempunyai pesan lagi?"
"Ya, sedikit."
"Harap suka memberitahu."
"Engkau dapat masuk ke dalam istana dan membantu
urusanku, jelas hal itu merupakan suatu jodoh. Ada sebuah
barang yang hendak kuberikan kepadamu sebagai kenang-
kenangan."
"Oh, ini . . . . aku tak berani menerima, terima kasih. "
"Tunggu, sebentar lagi tentu datang."
Tak berapa saat gadis itupun muncul dengan membawa
sebuah kotak emas. Dengan kedua tangan dia
menghaturkan kotak itu kepada Bu san sin li.
Setelah menerima kotak, Bu san sin lipun ayunkan
langkah turun ke titian menghampiri ke tempat Cu Jiang,
membuka kotak emas itu.
"Ini sebuah mustika Thian ju cu, mustika yang
mempunyai khasiat memunahkan racun. Jika engkau bawa,
engkau bebas dari terkena segala macam racun. Dan
apabila bertemu dengan orang yang terkena racun, asal
engkau tempelkan pada mulutnya dalam sekejap saja tentu
racun itu akan tawar. Akan kuberikan kepada sauhiap
sebagai tanda kenang2an dari istana Sin li kiong."
Melihat mustika Thianjucu itu hanya sebesar buah
kelengkeng dan berwarna putih kemilau, Cu Jiang tak
berani memandang remeh.
"Ah, bagaimana aku layak menerima pemberian yang
begini berharga..."
"Tak perlu siauhiap sungkan. Mustika itu tentu berguna
sekali dalam perkelanaanmu di dunia persilatan."
"Jika begitu, akupun menurut perintah Sinli."
"Silakan menyimpannya."
Cu Jiang mengambilnya dengan jari lalu disimpan dalam
baju. Ia menghaturkan terima kasih dan terus pamit.
"Jika engkau memang hendak tergesa-gesa, silakan," kata
Sin-li lalu berpaling seraya memberi perintah kepada gadis
yang memegang kipas, "antarkan Cu sauhiap keluar."
Gadis itu segera serahkan kipas kepada seorang gadis
lain lalu berpaling kepada Cu Jiang, "Silakan ikut aku."
Setelah memberi hormat lagi kepada Sin-li, Cu Jiang lalu
mengikuti gadis itu melangkah keluar seperempat jam
kemudian barulah mereka keluar dari barisan batu.
"Cu sauhiap, harap suka membawa aku," tiba2 gadis itu
berkata.
Sudah tentu Cu Jiang terkejut. "Apa? Membawamu
pergi?" serunya. Gadis itu menghela napas sedih dan
mengiakan.
"Apakah engkau tak kembali ke dalam istana?"
"Tidak, aku sudah jemu dengan kehidupan dalam neraka
itu."
"Tempat dewa yang tiada taranya di dunia, dapat
membuat orang awet muda, masakan engkau katakan
sebagai neraka?"
"Berbulan-bulan, bertahun-tahun hidup didalam perut
gunung yang tak kena sinar matahari, apakah bukan neraka
namanya?"
"Apakah masih kurang baik?"
"Manusia," kata gadis itu, "harus menuntut kehidupan
sebagai layaknya manusia. Walaupun tetap awet muda
tetapi tak mungkin lari dari kematian. Mengapa tidak hidup
wajar menurut kodrat alam sebagaimana lazimnya
manusia?"
Rupanya Cu Jiang dapat mengerti isi hati gadis itu. ia
mengangguk.
"Jika begitu, apakah kawan-kawanmu yang berada di
istana itu hanya lahirnya saja tampak bahagia?"
"Ya."
"Kalau memang begitu, mengapa tak tinggalkan tempat
itu saja ?"
"Tak mungkin dapat."
"Kenapa?"
"Kami telah dipaksa untuk menelan pil beracun. Tiap 3
hari sekali, kami harus menelan obat penawar racun itu.
Jika kami tinggalkan tempat itu dalam tiga hari pasti mati!"
Kejut Cu Jiang bukan alang kepalang. Dia tak
menyangka bahwa Bu san-sin li yang tampaknya seperti
seorang dewi, ternyata menggunakan cara sekejam itu
untuk menekan anak-buahnya.
"Kalau engkau pergi, bukankah engkau akan mati?"
"Bukankah Sin li telah memberikan Thian-ju cu yang
dapat menawarkan racun itu ?"
"Oh kiranya engkau mengincar benda itu.
"Mohon sauhiap sudi meminjamkan untuk menolong
jiwaku," nona itu setengah mengharap.
"Ini . . ."
"Apakah sauhiap menolak?"
"Tetapi bukankah hal itu bertentangan dengan Sin-li ?
Mustika ini dia yang memberi !"
"Dayang2 dalam istana berjumlah puluhan, bukan hanya
aku seorang."
"Tetapi tindakanmu menyalahi kebaikan Sin-li."
Dengan berlinang-linang airmata, nona itu memandang
Cu Jiang,
"Kalau memang demikian nasibku." katanya dengan
sedih. "lebih aku mati asal mati di luar."
Habis berkata dia terus lari. Cu Jiang terkejut dan cepat
mengejarnya.
"Sudahlah, ambil saja benda ini." katanya seraya
menyerahkan mustika Thian-ju-cu itu.
Bercucuran air mata nona itu ketika memandang Cu
Jiang.
"Budi sauhiap, sungguh tak dapat kubalas," katanya lalu
menyambuti mustika itu terus dikulum kedalam mulut.
Beberapa waktu kemudian ia muntahkan mutiara itu lagi.
wajahnya tampak ceria dan berlinang-linang airmata
kegirangan. Ia mengembalikan mutiara itu kepada Cu Jiang
lagi.
"Namaku Tang Yin Yin. berasal dari daerah Han. Lima
puluh tahun yang lalu aku telah diculik dan dibawa
kedalam istana. ..."
"Lima puluh tahun yang lalu?"
"Ya."
"Lalu sekarang engkau . . . "
"Enam puluh delapan tahun."
"Enam puluh delapan?"
"Ya."
"Ah, sungguh sukar dipercaya."
"Apakah sauhiap mengira kehidupan dalam istana itu
bahagia ?"
"Ai, sungguh sukar dipercaya."
"Apakah sauhiap masih mengira kehidupan dalam istana
Sin li-kiong itu menyenangkan."
"O, tidak! Apakah engkau tetap hendak kembali ke
daerah Han?"
Tang Yin Yin tertawa getir.
"Tidak. Ketika meninggalkan rumah, aku masih muda
belia dan kini sudah menjadi seorang wanita berumur lebih
dari setengah abad. Banyak orang yang sudah tak kenal lagi
siapa diriku. Bahkan keluargaku tentu sudah banyak yang
mati. Dengan wajahku seperti sekarang ini, orang tentu
gempar. Dan juga Sinli tentu akan memerintahkan orang
untuk mengejar aku, maka . . ."
"Bagaimana?"
"Walaupun wajahku masih cantik tetapi umurku sudah
tua, sukar untuk diterima sebagai budak atau pelayan demi
untuk membalas budi sauhiap. Maka aku hendak mohon
diri, kelak apabila masih ada rejeki tentu dapat berjumpa
lagi."
"Baik, silakan pergi agar jangan diketahui orang Sin li-
kiong."
Sehabis menghaturkan terima kasih dan hormat, wanita
itu terus melesat lenyap dari pandangan.
Cu Jiang masih tertegun. Peristiwa yang di alami malam
itu, sungguh seperti impian. Menilik gerakan Tang Yin Yin
tadi, sudah jelas dia memiliki ilmu kepandaian setingkat
dengan jago kelas satu dalam dunia persilatan.
Kini wanita itu sudah bebas dari penghidupan seperti
neraka. Tetapi bagaimana dengan kawanan nona yang
masih berada di Sin li-kiong itu?
"Hai, adik kecil, kukira engkau mendapat kesulitan, ah.
membuat bingung hatiku saja!" seru Thian-put-thou yang
berlarian menyongsong kedatangan Cu Jiang.
Cu Jiang amat bersyukur sekali. Manusia thian-put-thou
yang tak peduli segala apa di dunia, bahkan apabila langit
ambruk diapun takkan mempedulikan, ternyata begitu
menaruh perhatian besar kepada dirinya.
"Lo-koko, maafkan aku," serunya.
"Apa yang terjadi ?"
"Aku memburu suara harpa itu."
"Hm, sungguh besar sekali nyalimu. Lalu bagaimana
hasilnya?"
Cu Jiang tak dapat membohongi lo-kokonya itu tetapi
diapun harus menepati janji kepada Bu-san-sin-li untuk
tidak menyiarkan rahasia Sin-li-kiong.
"Lo-koko, semalam aku memang bertemu dengan
peristiwa yang luar biasa," akhirnya ia berkata. "tetapi aku
sudah berjanji kepada orang itu untuk tidak
memberitahukan kepada lain orang."
"O, kalau begitu, akupun takkan bertanya lagi." kata
Thian put-thou.
"Apakah semalam lo koko tidak tidur ?"
"Engkau kira aku dapat tidur pulas?"
"Ah, kalau begitu aku yang salah."
"Sudahlah, mari kita kembali ke gua untuk
menghabiskan makanan. Setelah itu baru kita turun
gunung."
Selama kembali kedalam gua merekapun masing2
habiskan sisa arak dan makanan setelah itu turun gunung.
Cu Jiang masih mengenakan kerudung penutup muka.
Keluar dari daerah Busan, haripun sudah petang.
Perkampungan masih jauh.
"Lo-koko, kita cari tempat beristirahat atau lanjutkan
perjalanan pada malam hari ?" tanya Cu Jiang.
"Jalan terus."
"O, benar Lo-koko, tolong pinjam kedok muka itu lagi."
"Apa engkau masih mau menyamar ?"
"Ya, kalau tidak jejak kita tentu akan diketahui musuh."
"Disebelah muka sana terdapat perumahan orang, kita
siapkan perbekalan."
Setelah lari beberapa saat mereka memang melihat
beberapa perumahan orang. Thian-put-thou hentikan
langkah.
"Tunggu dulu, aku hendak pinjam beberapa barang."
"Apa lo-koko kenal dengan mereka?"
"Hi, hi, dengan siapa saja aku tentu kenal."
Cu Jiang tersadar, serunya : "O, mencuri ?"
"Katakan pinjam, jangan pakai istilah mencuri, kurang
sedap didengar."
Pada saat mengucapkan kata2 yang terakhir diapun
sudah melesat pergi. Tiba2 dari sebuah perumahan itu
terdengar suara anjing menyalak. Tetapi hanya sebentar
terus sepi lagi.
Dan beberapa saat kemudian Thian-put-thou sudah
kembali dengan tertawa mengikik seraya membawa sebuah
bungkusan.
"Hasil ?" Cu Jiang menegur tertawa.
"Adik kecil, untuk seperangkat pakaian baru ini akupun
telah meletakkan setahil perak sebagai gantinya, adil
bukan?"
"Terlalu banyak," seru Cu Jiang.
"Hayo, lekas engkau ganti pakaian," Thian-put-thou
membuka bungkusan. Isinya seperangkat baju pendek
warna biru, sepasang sepatu yang butut dan sebuah topi
yang berlubang. Diapun mengeluarkan kedok muka dan
diberikan kepada Cu Jiang.
Dalam pakaian Itu Cu Jiang berobah menjadi seorang
pemuda desa. Pedang kutungnya dibungkus dengan
bajunya sendiri dan dipanggul dibahu belakang. Kemudian
mereka melanjutkan perjalanan lagi.
"Lo-koko, apakah Ang Nio Cu masih berada digunung
itu ?"
"Entah."
"Sejak turun gunung kita tak pernah..."
"Sudah kutinggalkan tulisan pada batu di luar gua."
"Ah lo-koko sungguh cermat."
"Apa langkah pertama yang harus kita lakukan
sekarang?"
"Cari ketua Gedung Hitam untuk membuat
perhitungan!" sahut Cu Jiang.
"Tidak mudah untuk mencarinya .... "
"Kalau tak sampai berjumpa dengan anak buah Gedung
Hitam, kita masih punya cara lagi."
"Apakah bersama-sama berjalan dengan engkau, aku
tidak mengganggu?"
"Tidak," sahut Cu Jiang. "dengan pengalaman lo-koko
yang luas, sungguh suatu bantuan yang amat berharga
sekali kepadaku. Tetapi hal ini menyangkut musuh
keluargaku, aku hendak menyelesaikannya seorang diri.
Harap lo-koko jangan salah mengerti,"
"Baik, kalau begitu kita bercerai saja."
"Maaf, lo-koko, ini sungguh terpaksa sekali."
"Kutahu."
"Apakah lo koko tahu letak markas besar dari
perkumpulan Hoa-gwat bun ?"
"Itu merupakan suatu rahasia penting dari mereka. Aku
belum pernah dengar."
Jadi untuk mencari ketua Hoa-goat-bun, hanya secara
untung-untungan saja ?"
"Tidak sukar." jawab Thian-put-thou, "anak murid
mereka kebanyakan berada ditempat pelesiran. Dapat
diselidiki jejaknya."
"Dan Bu-lim seng-hud Sebun Ong itu?"
"Tempat tinggal orang itu tak tentu, tak pernah terdengar
orang menceritakan tentang rumah-tangganya."
Demikian mereka berpisah dan beberapa hari kemudian
tibalah Cu Jiang di jalan besar yang menuju ke kota
Kengso. Dalam dandanan seperti seorang pemuda dekil, tak
seorangpun yang menaruh perhatian kepadanya.
Tak ada yang menyangka bahwa dia adalah Toan-kiam
Jan Jin yang termasyhur itu.
-oo0dw0oo-

Jilid 17
Menjelang tengah hari, dia tiba ditempat ketika toa
suhengnya, mendiang Ho Bun Cai, tempo hari
membawanya masuk ke Gedung Hitam. Ialah sebuah kota
kecil dimana dia pernah bertemu dengan wanita gemuk
yang ternyata adalah bibinya atau adik dari ayahnya.
Ia segera masuk ke sebuah kedai minum. Kebetulan
tempat yang dulu pernah ia duduki, masih kosong. Dia
segera duduk disitu.
Seorang pelayan menghampiri, mengawasi Cu Jiang
beberapa jenak.
"Mau makan apa ?" tegurnya dengan dingin.
Sudah tentu Cu Jiang marah terhadap tingkah pelayan
yang begitu kasar. Dia hendak berbangkit tetapi pada lain
saat ia teringat bahwa saat itu dia sedang dalam
penyamaran. Terpaksa dia mengekang kemarahannya dan
pura2 bersikap ketolol-tololan seperti seorang desa.
"Aku mau minum arak apa?" katanya.
"Ya, mau minum arak apa?" sahut pelayan.
"Arak putih saja."
"Hidangannya?"
"Apa saja."
Pelayan itu tertawa gelak2.
"Bung, kami tak jual hidangan "apa saja " ! "
Cu Jiang tetap menahan kemarahannya dan berkata
pula:
"Seekor ayam, terserah mau dimasak apalah!"
"Baik, harap tunggu." kata pelayan terus ngeloyor.
Kedai makan itu termasuk yang paling mewah di kota
kecil itu. Orang desa pada umumnya tak berani masuk ke
situ dan Cu Jiang termasuk yang paling gengsi.
Beberapa waktu kemudian barulah pelayan
membawakan hidangan yang dipesan Cu Jiang. Sambil
makan Cu Jiang teringat akan peristiwa dahulu ketika ia
bersama toa-suheng Ho Bun Cui yang masih menjabat
sebagai congkoan Gedung Hitam.
Saat itu dia masih menganggap Ho Bun Cai sebagai
musuh. Kini toa suhengnya itu sudah meninggal, sedang
bibinya, si wanita gemuk, berada di negeri Tayli.
Membayangkan hal itu, hatinyapun rawan sehingga
selera makannya turut hilang.
Tengah dia melamun tiba2 hidungnya terbaur setiup
angin yang harum, ia memandang ke muka dan terkesiap.
Seorang dara yang berpakaian seperti puteri keraton
melangkah masuk dengan diiring oleh seorang gadis
pelayan. Dara itu tak lain adalah Ki Ing beserta bujang
pelayannya.
Pemilik rumah makan gopoh menyambut sendiri dan
memberi hormat.
"Ah, sungguh suatu kehormatan besar kami dapat
menerima kunjungan siocia. Tetapi maaf, persedian
hidangan kami terdiri dari hidangan yang kasar2."
Tetapi Ki Ing tak menghiraukan pemilik rumah makan
itu. Ia terus berjalan menuju sebuah tempat duduk di dekat
jendela.
Melihat itu pemilik rumah makan bergegas
membersihkan kursi dengan lengan bajunya.
"Disini mungkin tak sesuai, silakan siocia duduk di
dalam." katanya.
"Tak usah, disini sajalah." bujang baju hijau menyahut.
Pemilik rumah makan itu tersipu-sipu mengiakan dengan
hormat.
"Siocia minum arak atau dahar nasi?" kembali pemilik
rumah makan bertanya.
"Minum arak." Kembali bujang baju hijau yang bernama
Siau Hui menyahut.
"Mohon suka memberi pesanan hidangannya."
"Beberapa yang enak."
"Baik, baik." pemilik rumah makan itu terus
mengundurkan diri.
Ki Ing tak mengacuhkan Cu Jiang. Ia tak menyangka
bahwa orang desa yang tengah makan disitu itu adalah Cu
Jiang.
Diam2 Cu Jiang memikirkan diri nona itu. Mengapa
mereka datang ke kota didaerah gunung yang jelas
merupakan wilayah kekuasaan orang Gedung Hitam. Dan
mengapa pemilik rumah makan begitu menghormat sekali
kepada nona dan bujangnya itu ?
Cu Jiang serentak teringat akan lencana Hek-hu yang
pernah diberikan nona itu kepadanya. Dengan lencana itu
ternyata Pek poan-koan atau Hakim Putih dari Gedung
Hitam tunduk. Dengan begitu nona ini tentu mempunyai
hubungan dengan Gedung Hitam. Lalu apakah
hubungannya? Siapakah sesungguhnya dara cantik itu?
Walaupun Ki Ing seperti bidadari cantiknya dan
bujangnya Siau Hui itu juga cantik, tetapi tetamu2 yang
berada di rumah makan itu hanya berani mencuri pandang
ke arah mereka. Itupun dilakukan secara diam2. Tak
seorangpun berani mengganggunya. Hal ini makin
membuat Cu Jiang heran dan curiga.
Teringat akan tindakan Ki Ing yang telah memberinya
lencana Hek hu dan mencari mayat si pelajar baju putih (Cu
Jiang), pemuda itu diam2 dapat menilai akan isi hati Ki Ing.
Tetapi dia sudah terikat janji dengan Ang Nio Cu untuk
mengawini Ho Kiong Hwa. Dengan demikian sekarang dia
sudah beristeri. Ah, biarlah peristiwa yang pernah terjadi
antara dia dengan sidara Ki Ing itu merupakan suatu
kenangan yang indah saja.
Bukankah pelajar baju putih yang didambakan Ki Ing itu
sudah lenyap tak berbekas?
Setelah menenangkan perasaannya, Cu Jiang melirik ke
arah dara itu. Tampak Ki Ing sedang bertopang dagu,
termenung-menung Dalam keadaan seperti itu, Ki Ing
makin tampak cantik.
Serentak hati Cu Jiangpun bergolak. Buru2 dia menarik
pandang matanya tak melihatnya lagi.
Tak lama kemudian pemilik rumah makan
mengantarkan sendiri hidangan. Alat2 hidangannya, bagus
sekali. Berbeda dengan yang diberikan kepada tetamu lain.
Kedua nona dan bujang itu menikmati hidangan dengan
diam. Suasananya tampak rawan.
Tiba2 Ki Ing menghela napas panjang. "Siau Hui,
apakah engkau rasa pelajar baju putih itu masih hidup di
dunia?" tiba2 ia bertanya dengan bisik2.
Seketika darah Cu Jiang mendebur keras dan jantungnya
serasa melonjak. Jelas dara cantik itu tetap mengenang
dirinya, masih tercengkram merindukan kasihnya.
Serentak ingin dia hendak terbang kesana dan membuka
kedok mukanya. Tetapi serentak kesadaran pikirannya
mencegah agar dia jangan bertindak begitu.
Untuk menyalurkan luapan perasaannya, ia segera
meneguk dua cawan arak. Mabuk, ya, biarlah mabuk akan
menghilangkan keresahan pikirannya saat itu.
Ki Ing bicara pelahan sekali. Kecuali orang memiliki
tenaga-dalam yang tinggi seperti Cu Jiang memang sukar
untuk menangkap pembicaraan mereka.
"Sudah tentu masih hidup," sebut Siau Hui dengan agak
geram.
"Bagaimana engkau tahu ?"
"Omongan si Gok-Jin ji itu bohong semua. Menilik
tindakannya menggunakan lencana Hek-hu yang siocia
berikan, untuk mendesak Pek hu hwat membebaskan
seorang tawanan, tentulah Gok Jin-Ji itu bukan orang
sembarangan. Memang tampaknya dia seperti orang yang
minta dikasihani tetapi kurasa dia tentu berisi. Kalau tidak
bagaimana mungkin dia mampu lolos dari penjara Gedung
Hitam. Menurut perasaan hamba, pelajar baju putih itu
bukan seorang pemuda yang setia tetapi manusia yang suka
mengecewakan hati orang.
"Engkau lihay sekali Siau Hui." seru Cu Jiang dalam
hati. Dia gemetar dan tak dapat bicara. Dia merasa bukan
seorang manusia yang suka memainkan hati gadis, tetapi
kenyataan memang demikian.
"Hamba rasa siocia menyiksa perasaan siocia sendiri
sehingga menderita hatin," kata Siau Hui pula.
"Sudahlah, lalu bagaimana baiknya kalau menurut
pandanganmu?" tanya Ki Ing.
"Tetapi aneh sekali, mengapa Gok-jin-ji itu-pun lenyap."
"Aku curiga pada Toan-kiam Jan-Jin itu ..."
"Apanya yang siocia curigai ?"
"Jangan2 Toan-kiam-jan-jin itu penyaruan dari Gok Jin
ji!"
"Kalau dapat menemukan orang itu lalu bagaimana
siocia hendak bertindak ?"
"Akan kulucuti dirinya supaya dapat diketahui wajahnya
yang aseli."
"Tidak mudah..."
"Kenapa ?"
"Kabarnya Toan-kiam jan-jin itu tinggi sekali ilmu
silatnya, Dan orangnya pun angkuh dan dingin sekali.
Sukar untuk dihadapi."
"Kalau tak dapat menyelidiki mati hidup-hidupnya
pelajar baju putih, aku tak tenang!"
"Ah, mengapa siocia harus begitu?"
"Engkau tak mengerti."
"Siocia, hamba rasa baiklah siocia lupakan saja dia!"
"Tidak!" Ki Ing menolak.
Cu Jiang mengangkat cawannya lagi tetapi sudah tak
Ada araknya. Cepat dia berseru:
"Hai, minta tambah arak lagi!"
Pelayan gopoh menghampirinya.
"Hai, bung. jangan berteriak-teriak. Kami sedang
menerima tetamu agung!"
"Tambah satu poci besar lagi." Cu Jiang deliki mata
kepada pelayan itu.
Pelayan cepat ngeloyor dan datang lagi dengan
membawa poci besar.
"Hati-hati, bung, jangan sampai mabuk!"
"Apa pedulimu, pokok aku bayar!"
"Ya, sudahlah, engkau minta sampai puas," pelayan
terus ngeloyor pergi.
Siau Hui memandang kian kemari lalu melanjutkan
pembicaraannya tadi.
"Siocia, siocia telah melupakan sebuah soal besar."
"Soal besar apa?"
"Apabila asal usul diri pelajar baju putih itu telah
dibuktikan dengan betul . . ."
"Aku tak peduli," tukas Ki Ing.
Mendengar percakapan itu kecurigaan Cu Jiang mulai
bangkit. Mengapa mereka hendak mencari tahu asal usul
diriku." pikirnya.
Sebenarnya Cu Jiang ingin membuka kedok mukanya
dan menjelaskan semua rahasia itu. Tetapi ia teringat
bahwa tempat itu merupakan daerah kekuasaan Gedung
Hitam. Apabila dia menuruti keinginan hati. mungkin akan
menelantarkan urusannya yang penting.
Tiba2 ia mendapat akal. Jika Ki Ing dan bujangnya itu
hendak menuju ke Gedung Hitam, bukankah mereka dapat
dijadikan penunjuk jalan yang tepat?
Walaupun tindakan itu memang agak kurang layak
tetapi apa boleh buat. Ia harus menggunakan segala macam
cara agar dapat melakukan balas dendam.
Saat itu Ki Ing dan bujangnyapun sudah berbangkit dari
tempat duduk dan melangkah keluar tanpa membayar
rekening apa2. Bahkan pemilik rumah makan itu gopoh
mengantarkan sampai ke-pintu. Sikapnya amat
menghormat sekali.
Cu Jiangpun segera memanggil pelayan untuk membayar
rekening, kemudian bertanya:
"Siapakah kedua nona cantik tadi ?"
"Jangan usil mulut, bung," pelayan deliki mata.
Cu Jiang menyengir. Ia anggap pelayan itu tak layak
diajak berbantah. Mungkin dia mengerti tetapi tak berani
mengatakan. Diapun segera melangkah keluar.
Tampak Ki Ing dan Siao Hui sudah naik kuda dan
berada jauh diujung jalan. Terpaksa Cu Jiang menyusul
dengan berjalan kaki.
Tak berapa lama dia sudah keluar dari kota itu. Tetapi ia
merasa ada sesuatu yang tak benar. Ternyata kedua nona
majikan dan bujang itu tidak menuju kearah gunung tetapi
mengambil jalan yang keluar dari gunung. Cu Jiang kecele.
Beberapa saat ia tertegun. Akhirnya ia memutuskan
untuk tidak melanjutkan langkah menyusul kedua nona itu.
Tujuannya ke tempat itu adalah hendak mengobrak-abrik
Gedung Hitam, menghimpaskan dendam darah
keluarganya. Kalau gagal membuntuti kedua nona itu. dia
harus cari jalan lain.
Ia memandang bayangan kedua nona majikan dan
bujang itu lenyap di ujung jalan. Ada sesuatu yang terasa
hilang dalam hati Cu Jiang.
Sekonyong-konyong seorang lelaki tua muncul dari
muka dan berjalan lewat disampingnya. Lelaki itu
berpakaian seperti seorang sasterawan miskin. Bajunya dari
kain kasar, kotor dan berlubang. Kopiahnyapun sudah
butut.
Melihat dandanan dan gerak langkah orang itu tahulah
Cu Jiang kalau dia itu Ki Siau Hong salah seorang dari Su-
toa-ko-Jiu atau empat Jago sakti yang mengawal Cu Jiang.
Munculnya Ki Siau Hong ditempat itu, tentu ada
sesuatu. Cu Jiang pun terbatuk-batuk lalu mengucapkan
kata2 sandi:
"Burung alap2 walaupun sakti, tetapi tak menang
melawan gadis merah."
Mendengar itu Ki Siau Hong cepat berpaling dan
berbalik tubuh.
"O, kiranya ciangkun, hamba sampai tak mengenali."
bisiknya.
"Jangan menggunakan sebutan begitu."
"Baik, siau hengte (kakak) gelisah mencari lo-te (adik).
Entah kemana saja lote selama ini."
"Terserang penyakit ringan, lalu berobat !"
"Ah. tidak menjadi soal bukan ?"
"Ya, tidak apa2. Lalu hendak cari apa?"
"Aku sedang mengikuti majikan kemari!"
"Siapa ?"
"Majikan ketiga. Long-sim ... ."
Cu Jiang terkejut sekati. Tokoh nomor tiga dari kawanan
Sip pat thian-mo yakni Long-sim mo, mengapa datang ke
gunung situ ?
"Apa tujuannya datang kemari ?"
"Belum jelas."
"Lalu dia dimana ?"
"Sedang beristirahat di tepi jalan sebelah muka."
"Bagaimana rupanya?"
"Seperti seorang dusun yang tua."
"O. tahu. Aku segera menemuinya !" habis beristirahat
Cu Jiang terus lari menuju ke depan. Melintasi lereng
gunung, ia melihat Ki Ing dan Siau Hui masih menyusur
jalan.
Setelah terpisah pada jarak sepuluhan tombak, Cu Jiang
mulai menimang-nimang. Adakah ia akan melampaui
kedua nona itu untuk mencari Long-sim-mo atau...
Tiba2 terdengar suara orang memaki: "Apa engkau tak
punya mata ?"
Itulah suara Siau Hui. Cu Jiang memandang kearah
mereka. Ternyata seorang tua baju hitam sambil memikul
sebuah kotak kayu, berdiri menghadang didepan kuda
kedua nona itu.
Seketika terkejutlah Cu Jiang, Jelas orang lelaki seperti
penjual itu adalah Long-sim-mo atau Iblis-berhati Serigala.
Mengapa dia menghadang jalan kedua nona itu ?
Cepat Cu Jiang gunakan gerak langkah Gong gong-poh
untuk menyelinap masuk kedalam sebuah hutan ditepi
jalan. Dia bersembunyi disitu.
Penjual itu bertubuh tinggi besar, gagah perkasa, tulang
mukanya menonjol malang, mata memancarkan sinar
berkilat-kilat. Dia tertawa galak2.
"Apakah kalian tak mau melihat barang baik?" serunya.
"Enyahlah !" teriak Siau Hui.
"Aku membawa bermacam-macam dagangan, pupur,
gincu, minyak wangi, bedak, jarum sulam segala ukuran,
handuk dan macam2 model sepatu. Apakah nona tidak
memerlukan?"
Siau Hui mendengus dingin.
"Hm, tak usah pura2. Bilang siapa engkau ini!"
Lelaki tua itu tertawa seram. Ho Ho, kalau menilik nada
ucapanmu, engkau tentu orang persilatan. "
"Anggap saja begitu."
"Dan siocia ini tentu juga bukan siocia biasa?"
"Apa maksudmu? "
"Kuminta nona berdua suka ikut aku!"
"Buat apa?"
"Tidak apa2. Karena sahabatku tak mau mengunjuk diri
maka kuminta tolong nona berdua suka menjadi petunjuk
jalan. "
"Siapa sahabatmu itu? "
"Disini tak leluasa bicara, mari kita pergi cari lain
tempat."
"Hai, jangan engkau cari penyakit! " teriak Siau Hui.
"Heh, heh, heh, heh," lelaki tua itu tertawa mengekeh,
"belum tentu begitu."
"Harap anda suka memberitahu nama anda dulu." saat
itu baru Ki Ing kedengaran membuka mulut.
"Kerucuk tak ternama, rasanya lebih baik tak perlu
memberitahu namanya."
"Lebih baik anda lekas lanjutkan perjalanan sendiri!"
"Kenapa?"
"Kalau anda memang masih ingin hidup, lebih baik anda
lekas pergi."
"Pergi sih boleh saja tetapi harus bersama kalian berdua!"
"Engkau cari mati?"
"Ih, jangan nona begitu galak, nanti tak bisa mendapat
mertua. "
Merah pipi Ki Ing. segera ia memberi perintah: "Siau
Hui, kerjai dia!"
Siau Hui mengiakan. Dia ayun tubuhnya ke udara lalu
berjumpalitan dan menukik turun dalam gerak yang indah
sekali.
"Ah, terhadap nona yang begini cantik, aku siorang tua
ini benar2 tak sampai hati turun tangan! " seru orang tua itu
seraya menampar dengan tangan kanan.
Wut...
Segulung tenaga yang dahsyat melanda ke arah Siau Hui
sehingga Siau Hui mendesuh kejut dan serentak dengan
bunyi yang keras, tubuh Siau Huipun mendesus ke belakang
sampai tiga tombak gantinya. Tetapi dengan cepat, Siau
Huipun melenting bangun. Dia memang tak menderita luka
apa2, tetapi wajahnya tampak pucat lesi.
"O, anda menghina aku," seru Ki Ing seraya loncat turun
dari kudanya.
Lelaki tua itu turunkan pikulannya. Kedua tangan
mendorong ke muka dan seketika terdengarlah jeritan ngeri.
Ke-dua ekor kuda dari Ki Ing dan Siau Hui rubuh
menggelepar di tanah, putus nyawanya
Melihat itu diam2 Cu Jiang terkejut. Ilmu tenaga-dalam
dari iblis itu benar2 telah mencapai tataran yang tinggi
sekali.
Wajah si cantik Ki Ing berobah membesi dan sepasang
matanyapun memancarkan kilat pembunuhan.
"Tikus, engkau berani menghina aku!" teriaknya seraya
tebarkan jari tangannya untuk menyerang orang desa itu.
Namun walaupun menghadapi jurus serangan yang luar
biasa ganas dan dahsyat, lelaki desa itu tak gentar, ia
menggurat-guratkan kedua tangannya dan lekas serangan
Ki Ing yang dahsyat itupun terhapus seketika.
"Kalau ayahnya hebat, puterinyapun jempol. Cukup
menggairahkan seranganmu, sayang masih kurang
mantap!"
Ki Ing hentikan serangannya dan berseru:
"Harap anda memberitahukan diri anda!"
"Telah kukatakan." sahut lelaki tua itu dengan tak acuh,
"disini bukan tempat yang sesuai. Kita cari lain tempat."
Cu Jiang menarik kesimpulan bahwa agaknya iblis Long
sim mo itu tahu akan asal usul Ki Ing. Itulah sebabnya
maka dia mengatakan "ayah lihay, puterinya tentu jempol".
Lalu siapakah ayah dari Ki Ing itu? Apakah pemilik dari
lencana Hek-hu itu?
Sekonyong-konyong terdengar derap kuda
mencongklang gemuruh dan pada lain kejap muncul
delapan penunggang kuda baju hitam. Yang tiga orang,
berjajar lurus. Jelas mereka itu kawanan Pengawal Hitam.
"Lekas kemarilah," bisik penjual itu seraya loncat masuk
ke dalam hutan di tepi jalan.
Aneh dikata. Entah bagaimana Ki Ing dan Siau Huipun
segera ikut menyusup ke dalam hutan itu.
Cu Jiang terkejut. Hendak memainkan siasat apakah iblis
Long sim-mo itu?
Setelah masuk ke dalam hutan. Long-sim mo tidak
melanjutkan langkah masuk lebih dalam. Ki Ing dan Siau
Hui tegak termangu-mangu di samping iblis itu. Mereka
sama membisu Wajahnya tegang sekali seperti melihat
hantu.
Tempat ketiga orang itu bersembunyi hanya terpisah tiga
tombak dari tempat Cu Jiang. Cu Jiang terpaksa menahan
napas dan tak berani bergerak.
Pada saat ketiga orang itu masak ke dalam hutan, empat
orang penunggang kuda pun tiba. Salah seorang berbaju
hitam itu lalu mengangkat tangan ke atas dan keempat
penunggang kuda serempak berhenti.
"Hai, celaka, inilah kuda tunggangan milik siocia .. ."
teriak orang baju hitam itu.
Mendengar Itu Cu Jiang segera menyadari. Ki Ing itu tak
lain adalah puteri dari ketua Gedung Hitam. Memang
waktu itu Ki Ing hanya memberitahukan nama tanpa
menyebut shenya karena kata she akan menyangkut nama
ayahnya.
Begitu pula lencana Hek hu yang diberikannya itu
banyak berpengaruh terhadap lingkungan anak buah
Gedung Hitam. Lain2 orang persilatan tak kenal.
Ah, dia ternyata puteri dari musuhnya yang paling
dibenci. Sesaat Cu Jiang tertegun dalam kelongongan yang
menghanyutkan segera ia berpikirnya.
Iblis Long sim-mo dengan menyaru sebagai orang desa
hendak mencari ketua Gedung Hitam tentulah mempunyai
rencana.
Keempat penunggang kuda itupun loncat turun dan
memencar ke sekitar tempat itu.
"Ji Bing, lekas lepaskan pertandaan untuk memberitahu
kepada pohcu !" seru Pengawal Hitam yang tua.
"Baik," salah seorang menyahut lalu mengambil panah
berapi dan pelana kuda.
"Ha, ha, ha, ha . . ." tiba2 terdengar suara orang tertawa
gelak2 dan seram, seorang lelaki desa tua muncul dan
menghampiri mereka.
"Berhenti." teriak orang tua baju hitam, "ko-jiu dari
manakah anda ini ?"
Namun lelaki desa itu tetap berjalan seraya menyahut:
"Apa-apaan sih segala macam ko-jiu ? Seorang penjaja
barang2 yang menjual segala macam jarum dan alat2
kecantikan wanita, sedang lewat digunung ini."
Orang tua baju hitam mendengus dingin: "Hm, sahabat,
beritahukan namamu!"
Lebih kurang empat tombak dari tempat kawanan baju
hitam itu, barulah si penjual berhenti. Memandang kearah
Pengawal Hitam yang sedang memegang panah berapi, dia
berseru: "Tak perlu begitu !"
"Jadi peristiwa disini engkau yang melakukan ?" seru
orang tua baju hitam pula.
"Peristiwa apa ?"
"Engkau mengapakan kedua nona itu?"
"O, tidak kuapa-apakan, masih tetap seperti sediakala."
Tiga orang Pengawal Hitam serentak melolos pedang
dan berpencar mengepung penjual tua itu. Tetapi penjual
barang2 itu tenang2 saja.
"Sahabat, tahukah engkau siapa nona yang seperti puteri
keraton itu ?"
"Apakah bukan puteri dari Gedung Hitam?"
"Kalau sudah dapat menduganya, jelas engkau memang
sengaja . . ."
"Anggap saja begitu !"
"Apa maksudmu ?"
"Tak perlu bertanya. Percuma saja kalian tahu. Kalian
berempat tinggal saja disini."
"Maju !" serentak orang tua baju hitam itu berteriak
marah.
Tiga batang pedang segera berhamburan melayang dari
tiga Jurusan. Cepat dan dahsyatnya bukan kepalang. Tetapi
waktu penjual itu kebaskan lengan bajunya, ketiga pedang
itupun tersiak semua.
Suatu peristiwa aneh telah terjadi. Ketiga Pengawal
Hitam itu tidak menyerang lagi. Pedang mereka terkulai
dan orangnyapun tegak seperti palang.
Orang tua baju hitam terbelalak lain membentak sekeras-
kerasnya:
"Engkau pakai racun..." baru dia berkata begitu tiba2
diapun tertegun diam.
Cu Jiang terkejut sekali. Kiranya Long-sin-mo dapat
menguasai Ki Ing dan Siau Hui kemudian keempat anak
buah Gedung Hitam itu bukan dengan ilmu sihir tetapi
dengan kekuatan racun. Jelas suatu jenis racun yang luar
biasa, tidak bersuara dan tidak berwujud, tetapi tahu2 orang
telah kehilangan kesadaran dirinya.
Tiba2 dia mendengar suara orang tertahan berturut-turut.
Ternyata keempat anak buah Gedung Hitam itu telah
dibantai Long-sim-mo. Iblis itu mencakar hancur batok
kepala mereka. Menilik caranya yang ganas itu, tepatlah
kalau dia dijuluki sebagai Long-sim-mo atau Iblis-berhati-
serigala.
Setelah membunuh keempat orang itu, Long-Sim-mo
masuk kedalam hutan lagi. Sambil memandang Siau Hui,
dia bergumam:
"Kalau kubawa, sebenarnya memang merepotkan. Tetapi
kalau kuhancurkan, juga sayang sekali. Jarang sekali bisa
mendapatkan Cewek2 seperti mereka berdua. Kalau
kubuang bukankah suatu kehilangan besar? Hm, biarlah
kunikmati dulu baru nanti melanjutkan perjalanan lagi."
Habis berkata dia terus menggapai: "Mari jalan lagi !"
Entah bagaimana kedua nona itu amat mendengar kata
sekali, Disuruh jalan terus jalan. Mengikuti Long sim-mo
masuk lebih dalam kedalam hutan.
Timbul pertentangan hatin Cu Jiang. Haruskah ia
menolong kedua nona itu. Tetapi Ki Ing adalah puteri dari
musuh besarnya. Ah, seorang lelaki harus dapat menarik
garis antara budi dan dendam. Dia pernah menerima
kebaikan dari nona itu.
Dan bagaimanapun juga, dia masih dapat merasakan
curahan hati Ki Ing. Dan lagi Long-sim-mo itu juga salah
seorang musuh yang dibasmi. Tentu takkan dilepaskan
begini saja.
Setelah mengambil keputusan, diapun segera mengikuti
jejak mereka. Kira2 satu li jauhnya, jalanan mulai sukar
dilalui. Long sin-mo berhenti di sebuah tempat. Dia
menarik Siau Hui ke bawah pohon.
"Kalau engkau dapat melayani dengan baik, aku tentu
akan membawamu dalam perjalanan," katanya dengan
mata memancarkan nafsu binatang yang menyala-nyala.
Dia menerkam lengan Siau Hui, sedang sebelah
tangannya mengelus-elus pipi dara itu.
"Heh, heh, manis, mari kita menikmati kesenangan yang
memuaskan!" ia tertawa mengekeh. Namun Siau Hui tetap
tertegun seperti patung. Demikian pula Ki Ing yang berada
disebelah, juga tak mengadakan reaksi suatu apa.
Melihat itu seketika terbayanglah ingatan Cu Jiang akan
peristiwa yang lampau dimana mamahnya, anak
perempuan dari paman Liok telah diperkosa. Seketika
meluapkan hawa pembunuhan. Serentak dia membuka
kopiah lalu mengenakan kerudung muka dan mengenakan
pakaian sebagai pelajar.
Saat itu Long-sim-mo memondong Siau Hui diletakkan
di atas tumpukan daun kering.
"Lekas buka pakaianmu, bukalah..."
Siau Hui memang benar2 kehilangan kesadarannya. Dia
menurut saja perintah orang dan mulai membuka sabuknya.
Long-sim mo menunggu dengan tertawa menyeringai.
Pada saat itu Cu Jiangpun melesat muncul. Memang tak
kecewa Long sim-mo menjadi anggauta Sip-pat thian-mo.
Cepat dia berputar tubuh dan tertegun ketika melihat Cu
Jiang.
"Engkau mau cari mati? " bentaknya.
Cu Jiang hanya memandang tajam2 dan tidak menyahut.
Rupanya Long sim mo seperti teringat sesuatu.
"Ho, apakah engkau ini bukan Toan kiam jan jin itu?"
bentaknya.
"Benar, memang aku." sahut Cu Jiang dengan nada
dingin.
Long sim mo menyurut mundur selangkah. Dahinya
berkerunyutan hawa pembunuhan yang seram.
"Bagus, budak, memang aku hendak mencarimu!"
serunya gemetar.
"Long sim mo, saat kematianmu sudah tiba!"
"Akan kucincang tubuhmu untuk membalas dendam
saudara-saudaraku."
"Huh, mampukah engkau?"
"tring, pedang kutungpun serentak dicabutnya.
Tanpa tampak bergerak tahu2 tubuh Long sim mo sudah
melayang ke muka Cu Jiang dan terus kebutkan kedua
lengan bajunya.
Cu Jiang rasakan hidungnya terbaur hawa harum
sehingga kepalanya agak pening tetapi pada lain kejap
sudah segar lagi. Dia tahu bahwa Long sim mo mulai
menebarkan racun wangi tetapi karena dia menyimpan
mustika Thian ju cu pemberian dari Busan sinli, maka
diapun kebal terhadap segala racun. Tetapi saat itu dia
pura2 terhuyung agar dikira terkena racun.
Benar juga, Long sim mo segera tebarkan jari tangannya
dan maju menerkam. Saat itu tak disia-siakan oleh Cu
Jiang. Sekali membabatkan pedang, huakkkk .... terdengar
jeritan ngeri dari mulut Long sim mo. Lengan kiri iblis itu
telah kutung dan jatuh di tanah, darah menyembur seperti
air mancur.
Tetapi iblis itu memang luar biasa. Walaupun menderita
luka parah tetapi dia tetap gesit. Selekas kehilangan
lengannya, dia terus enjot tubuhnya loncat ke belakang dan
melarikan diri.
"Berhenti! " tetapi baru dia hendak lari Cu Jiang sudah
melesat dan menghadang di depannya. Sudah tentu kejut
iblis itu bukan kepalang. Namun dia masih berusaha untuk
bersikap tenang.
"Budak kecil, engkau berani mengganggu aku? " serunya
dengan garang.
"Benar, aku hendak membunuhmu!" sahut Cu Jiang
dingin.
Saat itu Long-sim-mo sudah menutuk lengannya untuk
menghentikan pendarahan. Ia mundur beberapa langkah
dan membentak:
"Engkau . . . tidak takut racun?"
"Racun? Huh, apa racun itu? Bukankah hanya mainan
orang persilatan saja?"
"Budak, engkau .... sebenarnya siapa?"
"Toan-kiam jan-jin, menerima perintah dari suhuku guna
membereskan kawanan Sip pat-thian mo!"
"Siapa suhumu?"
"Gong-gong cu, tahu?"
"Engkau .. engkau murid Gong-gong-cu ..."
"Serahkan jiwamu!" Cu Jiang ayunkan pedang dan
terdengar lagi jeritan ngeri dari Long-sim-mo disusul
dengan tubuhnya yang rubuh dalam genangan darah.
Setelah membereskan iblis itu, Cu Jiang berputar tubuh.
Seketika darahnya mendebur keras sekali. Buru2 dia
berbalik diri lagi.
Ternyata saat itu Siau Hui sudah membuka seluruh
pakaiannya sehingga menimbulkan pemandangan yang
mengerikan hati Cu Jiang.
Pemuda itu pejamkan mata. Setelah berhasil
menenangkan gejolak darahnya, dia tidak berani berbalik
tabuh lagi melainkan terus menghampiri ke tempat Ki Ing.
Menghadapi dara yang menjadi puteri musuh besarnya,
Cu Jiang benar2 kehilangan faham. Dia mengeluh mengapa
nasib telah menggariskan keadaan yang sedemikian
kejamnya. Antara suara hati dengan tugas.
Tetapi bagaimanapun halnya, dia telah bertunangan
dengan Ho Kiong Hwa. Dengan demikian segala pertalian
hati yang tak dikehendaki akan putus itu tetap putus juga.
Ki Ing memandangnya dengan terlongong-longong.
Wajahnya tak menampilkan suatu reaksi apa2. Sikapnya
yang ceria pun tak tampak sama sekali.
Cu Jiang mengambil mustika Thian-Ju-cu dan
diserahkan kepada dara itu.
"Kulumlah dalam mulut!"
Ki Ing menyambuti dan terus memasukkannya ke mulut.
Beberapa saat kemudian tampak matanya mulai bersinar.
Sikapnya yang kakupun mulai bersemangat lagi.
Melihat itu Cu Jiang memerintahkan supaya si dara
memuntahkan mustika dalam mulutnya.
Ki Ing membuka mulut hendak berkata dan meluncurlah
mustika itu keluar. Cu Jiang cepat menyambutinya,
menyurut mundur beberapa langkah untuk melihat
bagaimana perkembangan dara itu.
Tak berapa lama wajah Ki Ing tampak mengerut rasa
heran dan kejut.
"Siapakah anda?" akhirnya ia berseru.
Sebelum Cu Jiang menyahut, pandang mata Ki Ingpun
sudah terbentur pada Siau Hui yang telanjang bulat.
Serentak berobahlah cahaya wajah dara itu:
"Binatang, aku hendak membunuhmu !" teriaknya seraya
menyerang Cu Jiang dengan jurus maut.
Cu Jiang beringsut dengan gerak langkah Gong-pong-
poh-hwat. Diam2 Cu Jiang memuji ilmu kepandaian yang
dimiliki Ki Ing memang hebat sekali.
Serangannya luput, Ki Ing cepat mengganti Jurus.
Setelah memperhatikan arah tempat Cu Jiang dia tentu
tebarkan lengan bajunya. Dari jarinya mendesis angin yang
gencar kearah Cu Jiang.
Itulah ilmu Lau-hoa-hud-hian-jiu atau Tamparan jalan-
darah yang sudah Jarang terdapat dalam dunia persilatan.
Ci Jiang menghindar dan berseru:
"Nona, harap tahan dulu."
"Aku harus menghancurkan tubuhmu !" teriak Ki Ing
dengan menyala-nyala kemarahannya.
"Seharusnya nona bertanya dulu tentang peristiwa ini."
"Perlu apa harus bertanya lagi, bukti sudah jelas didepan
mata."
"Apakah nona tak dapat mengingat lagi peristiwa yang
terjadi beberapa saat tadi ! Cobalah lihat, mayat siapa yang
menggeletak ditanah itu?"
Ki Ing memandang kearah mayat Long-sim-long dan
seketika dia seperti teringat sesuatu.
"Apakah penjual tua itu anda yang membunuhnya ?"
serunya.
"Ya."
"Oh. kalau begitu aku..."
"Dia bukan seorang penjual biasa melainkan Iblis ketiga
dari Sip-pat-thian mo yang bergelar Long-sim-mo !"
"Hai, Long-sim-mo? Siau Hui . . ."
"Kalau terlambat sedikit aku muncul, entah bagaimana
keadaannya."
Ki Ing merah wajahnya.
"Siau Hui, mengapa tak lekas berpakaian ?" ia meneriaki
bujangnya.
Tetapi Siau Hui hanya memandang nona majikannya
lalu mengenakan pakaiannya lagi. Tetapi gerakannya
lambat sekali.
"Nona berdua telah terkena racun penghilang kesadaran
dari Long-sim mo. Racun dalam tubuh nona sudah hilang
tetapi dia belum."
"O, benar," teriak Ki Ing terkejut, "mustika yang engkau
bawa tadi, apakah bukan ..."
"Bukan, itu mustika untuk menghilangkan racun !"
"Jika begitu, andalah yang menolong kami berdua. Aa,
aku bersikap kurang pantas, harap anda memaafkan dan
terima kasih."
"Tak usah."
"Tolong tanya anda . . ."
"Mengapa tidak menolong dia dulu ?"
Merah muka Ki Ing, serunya:
"Kalau begitu terpaksa akan merepotkan anda sekali
lagi."
Cu Jiang segera menyerahkan mustika Thian-ju cu
dengan pesan agar Siau Hui mengulum dimulut.
Pada saat Ki Ing mengobati Siau Hui, Cu Jiang yang
berdiri dibelakang mereka masih sibuk menimang-nimang.
Apakah ia akan menanyakan tentang letak Gedung Hitam
kepada Ki Ing. Demikian juga tentang asal usul ketua
Gedung Hitam itu?
Tetapi teringat akan curahan kasih serta budi
pertolongan dara itu, Cu Jiang bersangsi. Budi dan dendam
harus dipisahkan agar dia tidak mengecewakan diri sebagai
seorang persilatan.
Saat itu Ki Ing dan Siau Huipun sudah menghampiri dan
menyerahkan mustika Thian-Ju-cu serta tak lupa
mengucapkan terima kasih kepada Cu Jiang.
Tiba2 Siau Hui berteriak:
"Siocia, dia ...."
"Dia kenapa ?" Ki Ing kerutkan alis.
"Dia adalah Toan-kiam-jan-jin."
"Ah !" Ki Ing berteriak kaget dan terus menyurut mundur
tiga langkah, memandang dengan penuh kejut kepada Cu
Jiang. katanya, "Apakah anda benar Toan kiam-jan-jin ?"
"Benar," sahut Cu Jiang.
"Kali ini kami berdua keluar dari rumah pun perlu
hendak mencari..." tiba2 dara itu merasa kelepasan bicara
dan berhenti. Tetapi apa maksudnya sudah jelas.
"Nona meninggalkan Gedung Hitam secara diam2,
apakah karena diriku ?" cepat Cu Jiang menyambung.
"Apakah anda sudah tahu asal usul diriku?"
"Ya."
Tiba2 wajah Ki Ing tampak muram. "Tetapi anda tetap
menolong kami berdua !"
"Itu lain soal."
"Apakah anda mempunyai dendam permusuhan hebat
terhadap keluargaku ?"
"Memang benar seperti yang nona katakan."
Wajah dara itu menampilkan kedukaan, katanya dengan
rawan:
"Sampai kapankah bunuh membunuh itu akan berakhir?"
"Sampai yang harus mati itu sudah mati." sahut Cu Jiang
dengan nada dingin.
"Mengerikan sekali!"
"Kurasa tak tepat kalau aku membicarakan soal itu
dengan nona."
Mendengar itu Ki Ing tundukkan kepala. Beberapa saat
kemudian dia baru mengangkat muka.
"Aku hendak minta tanya sebuah hal kepada anda."
"Silahkan."
"Apakah Gok Jin-Ji seperguruan dengan anda?"
Cu Jiang tak mengira kalau Ki Ing akan mengajukan
pertanyaan begitu. Dia tergetar hatinya.
"Aku tak kenal dengan Gok jin-Ji," setelah merenung
beberapa jenak akhirnya ia menjawab.
"Benarkah itu?" Ki Ing kerutkan alis.
"Tentu," Jawab Cu Jiang. "dalam dunia persilatan
manakah terdapat seorang tokoh yang bernama Gok-jin-ji?"
Sejenak Ki Ing keliarkan pandang kontak Siau Hui, lalu
bertanya pula:
"Aku hendak bertanya lagi tentang seseorang !"
"Siapa ?"
"Pelajar baju putih !"
Lagi2 hati Cu Jiang mendebur keras. Tetapi dengan nada
dingin dan hambar ia menjawab.
"Siapakah dia?"
Wajah Ki Ing makin tegang dan matanyapun bersinar.
Kemudian menggigit lidah seperti telah mengambil
keputusan penting. Lalu dengan suara yang sarat ia berkata:
"Mungkin dia adalah putera tunggal dari Dewa pedang
Cu Beng Ko."
"Oh." Cu Jiang pura2 terkejut, "mungkin saja! Apakah
nona belum merasa pasti ?"
"Hampir dapat memastikan."
"Siapa namanya?"
"Cu... Jiang."
Sengaja Ki Ing menyuarakan nama itu dengan panjang
sambil memperhatikan wajah Cu Jiang. Dia ingin melihat
bagaimana reaksi pemuda itu. Tetapi karena Cu Jiang
mengenakan kain kerudung muka maka Ki Ingpun hanya
dapat melihat sinar mata pemuda itu yang berkilat-kilat
memancarkan dendam kebencian. Namun buat Ki Ing hal
itu sudah cukup menjadi bukti bagi Ki Ing.
Memang karena masih berdarah panas, Cu Jiang sukar
untuk menyembunyikan luapan perasaannya sehingga
terpancar dari sinar matanya.
"Apakah hubungan nona dengan dia ?" tanya Cu Jiang.
"Harap anda menjawab dulu, kenal atau tidak
kepadanya?"
Untuk menghindari desakan si nona dan sekalian hendak
mengetahui apa maksud tujuan nona itu, maka Cu
Jiangpun menjawab:
"Memang pernah bertemu beberapa kali."
"Tentu tidak hanya itu saja ?"
"Terserah nona percaya atau tidak."
"Baik, untuk sementara aku percaya. Lalu di mana dia
sekarang ?"
"Dunia begini luas, sukar mengatakan."
Ki Ing menggigit bibirnya lagi, lalu berkata dengan nada
gemetar:
"Apakah anda tak mau memberitahu ?"
"Tetapi nona belum mengatakan pertanyaannya," sahut
Cu Jiang.
Tiba2 Siau Hui menyelutuk:
"Terus terang saja, siocia kami memang menaruh hati
kepadanya ..."
Merah muka Ki Ing. Dia buru2 tundukkan kepala.
Dengan kuatkan hati, Cu Jiang berkata: "Lebih baik
nona hentikan pemikiran itu..."
Ki Ing merentang kedua matanya.
"Apa maksud kata-katamu ?" serunya membelalak.
Cu Jiang berusaha untuk menekan perasaannya dan
berkata dengan nada tenang.
"Seharusnya nona tahu sendiri."
"Aku tak mengerti !"
"Ah, nona terlalu mendesak."
"Mengapa tak anda katakan yang terang ?"
"Tak perlu kukatakan tentulah nona sudah menyadari
sendiri."
Wajah Ki Ing berobah pucat dan berseru dengan
gemetar:
"Anda maksudkan permusuhan antara kedua belah
pihak?"
"Benar."
"Dendam itu mudah dinyatakan, sukar dihapus. Kurasa
...."
"Dendam itu memang tak dapat dihapus!"
Wajah Ki Ing makin tak sedap dipandang dan terhuyung
mundur selangkah. Ditatapnya Cu Jiang dengan tajam.
"Sukalah anda memberitahu jejak pelajar baju putih
itu..!" serunya.
"Aku tak dapat memberitahukan."
"Harap anda suka membuka penutup muka anda."
"Nona, tahukah nona bahwa soal itu tak dapat
kulakukan?"
"Kalau kukatakan . . ."
"Mengatakan apa?"
"Bahwa anda inilah pelajar baju putih itu!"
Gemetar tubuh Cu Jiang. Kemudian dia tertawa nyaring
sampai lama. Setelah berhenti tertawa baru dia berseru:
"Bagaimana tiba2 nona timbul anggapan begituan ?"
"Tidak aneh."
"Lalu?"
"Maukah anda membuka penutup muka anda?"
"Tidak dapat !"
Tiba2 Siau Hui menyelutuk.
"Kalau aku jadi pelajar baju putih itu, aku takkan
menyembunyikan diri dengan mengatakan kalau sudah
mati. Budi atau dendam, harus ada suatu penyelesaian yang
jelas!"
Diam2 Cu Jiang mengakui bahwa omongan bujang itu
memang tepat sekali. Seharusnya ada penyelesaian.
Dia teringat ketika hendak memasuki gunung, apabila
tidak mendapat pertolongan nona dan bujangnya itu jelas
dia tentu mati ditangan musuh. Dan waktu turun gunung,
apabila tidak mendapat pemberian lencana Hek hu, juga
sukar untuk lolos dengan selamat.
oee-dw-eeo

Tetapi dendam berdarah dari keluarga, harus


dihimpaskan. Jika tidak membunuh Ki Ing dan Siau Hui,
itupun sudah termasuk membalas budi kebaikan keduanya.
Demikian pikiran Cu Jiang menimang-nimang suatu
penyelesaian dan akhirnya ia memutuskan bahwa
penyelesaian itu baiklah ditangguhkan sampai terdapat
suatu kesempatan yang baik di kemudian hari.
Setelah mengambil keputusan dia segera memberi
hormat:
"Maaf, aku hendak mohon diri!"
"Tunggu dulu!" Ki Ing berteriak dan melesat
menghadang.
"Nona masih hendak memberi pesan apa?" seru Cu
Jiang.
Sepasang biji mata dara cantik itu merah membara dan
berseru dengan penuh dendam.
"Engkau sungguh kejam sekali!"
"Ah, nona salah duga."
"Pelajar baju putih, Gok jin-ji, Toan-kiam-jan jin, semua
adalah satu orang yalah engkau sendiri!"
"Ha, ha, ha, ha..."
"Tak ada yang harus ditertawakan. Mari kita bicara
dengan sesungguhnya."
"Apa lagi yang harus dibicarakan?"
"Engkau benar2 seorang manusia yang tak punya
perasaan hati."
Sebenarnya dalam hati Cu Jiang tergerak akan
pernyataan Ki Ing yang begitu tulus mencintainya. Tetapi
bagaimanapun, dia harus teguhkan hati untuk melakukan
balas dendam.
Dia akan membasmi ketua Gedung Hitam. Jika dia
berhati lemah, akibatnya tentu celaka. Maka sengaja dia
berkata dengan dingin:
"Kukatakan sekali lagi, aku bukanlah insan yang anda
impikan itu."
Bercucuran air mata Ki Ing mendengar kata itu, serunya
setengah meratap:
"Aku bukan akan mengemis cintamu, hanya . . ."
Sampai disitu Ki Ing tak melanjutkan kata-katanya.
"Aku melakukan pertolongan hanya sekedar memenuhi
kewajiban sebagai seorang persilatan. Kalau tidak..."
"Kalau tidak, bagaimana?"
"Tiada alasan mengapa aku harus menolong."
"Toan kiam jan jin," teriak Ki Ing dengan menggigit
bibirnya, "tak peduli siapa sesungguhnya dirimu itu. Kita
tak mempersoalkan hal2 yang lain hanya aku hendak
bertanya kepadamu. Apakah tujuanmu datang kemari
karena hendak menuntut balas.?"
"Benar, apakah nona sudah puas?"
"Engkau tahu apa akibat dari tindakanmu itu?"
"Nona sendiri menganggap bagaimana?"
"Akibatnya tentulah pertumpahan darah, kematian,
entah fihak yang mana. "
"Benar, memang demikianlah yang akan ku lakukan."
"Engkau tahu siapa diriku tetapi engkau tak mau
membunuh bahkan menolong, mengapa?"
"Seorang persilatan tahu bagaimana harus bertindak dan
bagaimana tidak harus bertindak. Lain kali mungkin saja !"
"Mengapa tidak sekarang ?"
"Itu menyalahi pendirianku semula !"
"Sampai berapa jauh engkau hendak membalas dendam
nanti?"
Dengan mata berkilat-kilat memancar api, berkatalah Cu
Jiang penuh kemantapan:
"Gedung Hitam akan kucuci dengan darah."
Menggigil tubuh Ki Ing mendengar ucapan dendam
kesumat anak muda itu. Ia menyurut mundur dan berseru:
"Kalau sebelum dapat melaksanakan tujuanmu engkau
keburu meninggal, lalu bagaimana ?"
"Itu terserah pada nasib," sahut Cu Jiang tanpa ragu2.
"Nasib itu ditanganmu sendiri. Pada detik2 dimana
engkau akan menentukan pilihan, mengapa engkau tak mau
merubah nasib ?"
"Nona tak perlu berkering lidah untuk mempengaruhi
aku !"
"Engkau senang pertumpahan darah ?"
"Dalam dunia persilatan Gedung Hitam sudah
termasyhur sebagai sumber kejahatan, pertumpahan darah
dan pembunuhan. Setiap orang persilatan yang mempunyai
rasa kesatryaan, tentu akan membencinya. Mengapa nona
menuduh aku senang menumpahkan darah?"
"Yang hendak engkau tuntut itu pembalasan dendam
peribadi atau untuk kepentingan umum?"
"Kedua- duanya."
"Tak dapat dihentikan?"
"Tidak mungkin bisa!" habis berkata Cu Jiang terus
gunakan tata - langkah Gong - gong poh-hwat menyelinap
lenyap.
Ki Ing menghela napas panjang.
"Ah, jika tahu begini, mengapa kita dulu berjumpa ?"
Siau Hui menghampiri.
"Siocia, apakah engkau sudah menyadari?"
"Tidak !"
"Apakah siocia menganggap memang dia orangnya ?"
"Benar."
"Jika begitu mari kita pulang, rasanya tiada gunanya kita
keluar rumah."
"Tidak !"
"Apakah siocia masih . . ."
"Kurasa tak perlu aku hidup di dunia ini!"
Mendengar itu Siau Hui terkejut sekali.
"Mengapa siocia berkata begitu ?" serunya dengan
cemas, "Satu sama lain tak terikat suatu pertalian hubungan
yang akrab, tetapi hanya..."
"Engkau tak mengerti."
Saat itu Cu Jiang belum berapa jauh. Dia tengah ganti
pakaiannya penyamaran lagi. Sudah tentu dia dapat
mendengar pembicaraan kedua nona itu. Tetapi soal itu tak
dapat menggoyahkan pendiriannya untuk menuntut balas.
Sekonyong-konyong empat sosok bayangan menyiak
ranting dan semak, menerobos kedalam hutan. Melihat Ki
Ing dengan Siau Hui, mereka terkejut dan gopoh memberi
hormat.
"Atas titah pohcu, mohon siocia suka pulang ke gedung,"
salah seorang berseru.
Ki Ing deliki mata.
"Aku tidak pulang, pergilah kalian !"
Keempat orang itu adalah Pengawal Gedung Hitam.
Orang yang berbicara tadi memberi hormat lagi dan
berseru:
"Siocia, kami mendapat perintah dari ayahanda siocia .."
"Enyah !" bentak Ki Ing.
Tepat pada saat itu sebuah suara terdengar menyambuti:
"Moay-moay, toako datang menjemputmu !" dan
serentak muncullah seorang pemuda dalam pakaian seorang
bu-su warna kuning emas.
Siau Hui cepat menggamit ujung baju nona majikannya
namun Ki Ing tetap bersikap manja, serunya:
"Toako, aku tak ingin pulang."
"Engkau hendak kemana?" sambil berkata pemuda itu
menghampiri maju.
"Dalam gedung terlalu sempit perasaanku. Aku hendak
keluar mencari hiburan."
Di tempatnya, Cu Jiang diam2 gembira karena putera
dari ketua Gedung Hitam muncul disitu.
Pemuda baju kuning emas itu tertawa:
"Ah, moay-moay, engkau tak tahu keadaan..."
"Mengapa tak tahu ?"
"Saat ini waktu apa?"
"Hampir petang hari."
"Bukan itu yang ku maksudkan !" kata pemuda itu pula
"saat ini merupakan saat2 yang gawat bagi gedung kita.
Thong-thian-kau tetap akan berusaha untuk merebut
kedudukan kita dari dunia persilatan. Anak buah kita
banyak yang sudah menjadi korban. Sedang diluaran
bertambah lagi dengan munculnya Toan-kiam-Jan jin . ..
hai, siapakah yang mati itu ?"
"Salah seorang dari kawanan Sip-pat thian-mo yang
bergelar Long sim-mo !"
Seketika wajah pemuda itu berobah. "Long-sim-mo ?" ia
mengulang,
"Benar."
"Ah, kiranya lawan sudah berani menyusup masuk
kedalam pusat daerah kita. Mungkin beberapa korban yang
berada di jalan sebelah luar hutan itu dia yang
membunuhnya."
"Siapa lagi kalau bukan dia !"
"Moay moay yang membunuhnya ?"
Agak ragu Ki Ing hendak menjawab tetapi akhirnya ia
berkata:
"Hampir saja aku terkena tangan beracunnya."
"Lalu siapa yang membunuhnya ?"
"Toan kiam-jan jin!"
"Toan-kiam jan jin ?" pemuda baju kuning emas itu
berteriak kaget, wajah berubah dan mundur selangkah lalu
berseru. "kalau begitu dia tentu juga sudah menyusup
kemari."
"Itu sudah dapat diduga,"
"Tetapi mengapa tak ada laporan dari para penjaga ?"
Dengan kepandaiannya yang tinggi rasanya para
penjaga itu tentu sukar untuk mengetahui jejaknya."
"Mengapa dia membunuh Long-sim-mo ?"
"Menolong aku dan Siau Hui."
"Dia tahu siapa dirimu?"
"Tidak tahu."
"Apa saja yang kamu bicarakan."
"Tidak ada pembicaraan apa2. Dia dingin sekali. Muncul
dan lenyap secara tiba2"
Pemuda itu berpaling kearah keempat Pengawal Hitam,
serunya:
"Lekas kalian kembali ke gedung dan beritahu bahwa
Toan-kiam-jin Jin sudah masuk kedaerah ini. Perkuat
penjagaan!"
Keempat Pengawal Hitam itu mengiakan lalu melesat
pergi. Cu Jiangpun segera melesat keluar hutan. Dari Jarak
beberapa tombak, ia lepaskan tutukan-dari Jarak Jauh.
Seorang Pengawal Hitam itu mendengus dan rubuh.
Ketiga kawannya kaget. Tanpa sebab mengapa
kawannya itu mendadak rubuh. Setelah saling bertukar
pandang, mereka bertiga terus lari. Cu Jiang melepaskan
tutukan - Jari lagi dan seorang Pengawal Hitam rubuh lagi.
Yang dua orang makin ketakutan sehingga kakinya
lunglai.
Seorang lelaki desa muncul dari gerumbul pohon.
Melihat itu kedua Pengawal Hitam segera mengangkat
pedang dan berseru:
"Hei, sahabat darimana ?"
"Mengambil nyawa." Baru berkata begitu, lelaki desa itu
sudah melambung dan hantamkan kedua tangannya. Tak
sempat lagi kedua pengawal Hitam itu menggerakkan
pedangnya, tubuh mereka mencelat membentur pohon.
Terdengar erang tertahan mereka. Cu Jiang menyusuli
dengan dua buah tutukan jari dan melayanglah jiwa kedua
orang itu.
Setelah membunuh empat orang Pengawal Hitam dia
masih belum puas. Dia lari kembali ke tempatnya tadi.
Tiba2 dia melihat Ki Ing dan Siau Hui lari menuju ke
arahnya. Buru2 dia bersembunyi ke pinggir. Setelah ketiga
orang itu lewat diam2 dia mengikutinya.
Saat itu timbul berbagai pertimbangan dalam hati Cu
Jiang. Apakah dia harus membunuh putera dari ketua
Gedung Hitam saat itu atau tidak.
Akhirnya ia memutuskan, untuk sementara dia takkan
membunuhnya melainkan akan menggunakannya sebagai
penunjuk jalan.
Sekeluar dari hutan mereka tiba di jalan besar. Karena
takut akan diketahui mereka, Cu Jiang bersembunyi dengan
hati2. Tiba di puncak gunung, matahari sudah condong ke
barat.
Ki Ing bertiga masuk lagi ke rumah makan tadi. Jelas
rumah makan itu tentu mempunyai hubungan dengan
Gedung Hitam. Ki Ing tak mau minum arak juga tak mau
bicara. Dia hanya makan dengan gegas. Pemilik rumah
makan melayani sendiri dengan sikap yang menghormat.
Cu Jiang yang juga masuk ke rumah makan itu,
mendahului keluar dan menunggu di luar kota. Tak berapa
lama tiga ekor penunggang kuda mencongklang keluar dari
kota itu.
Haripun mulai malam. Malam di pegunungan lebih pagi
datangnya dari di kota. Cu Jiang lalu gunakan ilmu
meringan-tubuh untuk menyusul.
Setelah melintasi beberapa puncak, tampak sebuah biara
kecil disebelah depan. Mereka bertiga hentikan kuda dan
pemuda baju kuning emas itu bersuit. Sesosok bayangan
muncul dari tempat gelap.
"Menghaturkan hormat kehadapan sau-pohcu!"
"Ya. Bawa perintahku, sampaikan kepada mereka agar
penjagaan lebih diperlipat gandakan !"
"Baik." kata orang itu terus mengundurkan diri.
"Moay moay, mari kita masuk kedalam bersama, aku
hendak bicara tentang sedikit soal kepadamu."
"Bicara sambil berjalan apakah tidak leluasa?"
"Tidak. Itu penting sekali tak boleh didengar orang lain."
"Nanti kalau pulang ke gedung kita bicarakan lagi."
"Juga kurang leluasa kalau bicara di gedung."
"Ah, jangan koko jual rahasia. Kitakan engkoh adik,
masakan tak bisa omong2 dalam rumah . . ."
"Nanti engkau tentu tahu sendiri." habis berkata dia
berpaling kepada Siau Hui, "pulanglah dulu untuk memberi
laporan. Siocia segera akan menyusul, agar pohcu dan hujin
(nyonya majikan) tidak gelisah."
"Baik," Siau Hui terus mencongklangkan kudanya.
Diam2 Cu Jiang bingung. Akan mengikuti Siau Hui atau
tetap mengikuti gerak-gerik kedua engkoh dan adik
perempuannya itu. Akhirnya ia memutuskan untuk tetap
mengikuti Ki Ing saja. Betapapun ia ingin juga mendengar
apa yang akan dibicarakan kedua saudara itu.
Ki Ing dan engkohnya menuju ke biara kecil. Dalam
pada itu Cu Jiangpun menyadari bahwa saat itu dia berada
di daerah yang gawat. Penjagaan didaerah itu tentu sangat
ketat. Maka dia harus berhati-hati sekali. Sepanjang
berjalan mengikuti kedua engkoh adik itu, dia selalu
menggunakan tata-langkah Gong-gong-poh-hwat.
Seorang thaubak atau kepala kelompok segera muncul
menyambut kedatangan Ki Ing dan engkohnya. Setelah
turun, keduanya menyerahkan kuda-kudanya kepada
thaubak itu.
"Suruh anak buah dalam biara keluar semua. Walaupun
terjadi apa saja, mereka dilarang masuk ke dalam biara,"
pemuda baju kuning emas itu memberi perintah.
Thaubak mengiakan lalu membunyikan pertandaan
rahasia, setelah itu dia masuk kedalam hutan disamping
biara.
Seperti bayangan setan, Cu Jiang menyelinap masuk ke
biara itu. Biara itu tak berapa besar? Kecuali pintu besar,
didalamnya hanya terdapat tiga buah ruang. Ruang muka
merupakan ruang besar, sedang dua ruang yang lain tampak
gelap. Tak ada penerangannya dan sunyi senyap.
"Lekas bilanglah, koko," rupanya Ki Ing tak sabar.
"Kita masuk ke ruangan," sahut engkohnya.
Setelah masuk kedalam ruang gelap itu, pemuda baju
kuning emas itu duduk diatas sebuah kursi bundar
kemudian mempersilahkan Ki Ing duduk di kursi yang di
sebelah muka.
Dengan ragu2, duduklah Ki Ing. Tetapi sekonyong-
konyong dia menjerit terus rubuh ke lantai.
Dari sela2 dinding disebelah luar ruang itu, Cu Jiang
mengintai kedalam. Walaupun gelap sekali tetapi berkat
matanya yang tajam dapatlah ia melihat keadaan dalam
ruang itu.
Pada saat Ki Ing duduk, cepat sekali pemuda itu sudah
menutuk Jalan darah nona itu.
Kejut Cu Jiang bukan kepalang. Mengapa tiba2 pemuda
itu menutuk Ki Ing. Bukankah keduanya engkoh dan adik ?
Karena jalan darahnya tertutuk, Ki Ing masih dapat
bicara tapi tak dapat berkutik.
"Koko," serunya gemetar. "apakah artinya ini?"
Pemuda baju kuning emas itu tertawa riang: "Moay-
moay, aku cinta padamu."
Seketika mendidihlah darah Cu Jiang. Hampir dia tak
percaya akan pendengarannya. Bukankah pemuda itu
engkoh dari Ki Ing? Mengapa dia mengucapkan kata2
begitu.
"Apa katamu ?" teriak Ki Ing tak kalah kejutnya.
Pemuda itu cepat mendekap pipi Ki Ing dan berkata
dengan bisik-bisik.
"Aku cinta padamu, aku akan memiliki engkau selama-
lamanya."
"Apa engkau gila!" teriak Ki Ing.
"Tidak, aku tidak gila."
"Lalu mengapa engkau berkata begitu ?"
"Karena aku cinta kepadamu. Bukan sehari dua hari
tetapi sudah bertahun-tahun, kutunggu sampai engkau
dewasa ..."
"Engkau . . . engkau ... benar2 sudah gila . . . "
"Aku tetap waras."
"Engkau mau apa?"
"Adik yang baik, kawinlah dengan aku . .."
"Engkau . . . engkau ..." Ki Ing bercucuran airmata.
Tetapi pemuda baju kuning emas itu malah tertawa
gembira.
"Moay-moay, saat ini marilah kita jadikan hari baik kita
itu ... "
"Engkau . . . berani?"
"Aku cinta kepadamu, takkan kubiarkan engkau jatuh ke
tangan lain orang."
"Engkau manusia atau binatang?"
"Sudah tentu aku seorang manusia."
"Aah, kalau ayah dan mamah tahu, engkau tentu
dibunuh!"
"Jangan kuatir, mereka takkan melakukan itu."
Mendengar pembicaraan itu seketika meluaplah
kemarahan Cu Jiang. Benar-2 dia tak menduga bahwa di
dunia terdapat manusia yang lebih rendah martabatnya dari
binatang. Pada saat ia hendak bertindak . . .
"Sebenarnya engkau bukan adikku!" tiba2 terdengar
pemuda itu berkata.
Cu Jiang tertegun dan hentikan langkah.
Ki Ingpun seperti disambar kilat kejutnya. "Aku bukan
adikmu?" serunya gemetar.
"Bukan !"
"Engkau ngaco!"
"Kalau tak percaya tanyakanlah pada mamahmu!.."
"Mamahku ? Apakah mamahku bukan mamah mu?"
"Bukan !"
"Mamahku sudah lama meninggal dan aku ikut ayah."
"Engkau hanya ngaco belo .. .."
"Dengar! Ini bukan ngaco belo, tetapi memang sungguh.
Waktu engkau masih kecil, engkau datang ke gedung
bersama mamahmu."
"Benarkah itu?"
"Aku bersumpah."
"Lalu siapa ayahku ?"
"Tanya pada mamahmu."
"Ah !"
Ki Ing benar2 terpagut rasa kejut yang tak terhingga
ketika mendengar asal-usul dirinya. Bahwa menurut
keterangan pemuda yang dianggap sebagai engkohnya
sendiri, ternyata antara dirinya dengan engkohnya itu
ternyata bukan saudara.
Engkohnya itu adalah anak dari ketua Gedung Hitam
dengan mamah yang lain. Dan ia sendiri adalah anak dari
mamahnya yang berasal dari papahnya yang sudah
meninggal.
Jelasnya ketua Gedang Hitam itu seorang duda dengan
seorang anak, menikah dengan seorang Janda yang juga
sudah membawa anak.
"Lepaskan aku." teriak Ki Ing setelah menyadari keadaan
saat itu.
"Moay moay, engkau tentu tahu bahwa permintaanmu
tentu tak dapat kulakukan," sahut pemuda baju kuning
emas.
Ki Ing menjerit kalap.
"Bunuhlah aku !"
Tetapi pemuda itu tak menghiraukan. Dia alihkan
tangan mulai membuka pakaian Ki Ing seraya berbisik:
"Moay-moay, apakah aku sampai hati membunuhmu?"
"Sekalipun kelak aku jadi setan, aku tetap takkan
mengampuni mu."
"Moay-moay, sejak kecil kita bermain-main bersama dan
sama2 berangkat dewasa."
"Huh!"
"Moay-moay.."
Rasa malu, marah gugup dan geregetan meluap dari
dada Ki Ing. Ia menguak memuntahkan darah segar lalu
pingsan ....
Saat itu Cu Jiang tak dapat menahan diri lagi. Cepat ia
melesat keluar...
Tetapi hampir berbareng dengan langkahnya itu, dalam
ruang itu terdengar suara orang mengerang. Cu Jiang
hentikan gerakannya. Tampak pemuda baju kuning emas
Itu menggelepar di tanah. Ternyata punggungnya telah
tertancap sebatang pedang pendek yang menyusup masuk
hingga tinggal tangkai saja yang kelihatan.
Kejut Cu Jiang bukan kepalang. Pembunuhnya itu cepat
dan lipat sekali gerakannya. Tetapi siapakah gerangan
orang itu ? Kecuali ketua Gedung Hitam, siapakah yang
memiliki keberanian untuk membunuh siau-pohcu?
Kalau bukan ketua Gedung Hitam tetapi orang luar,
mengapa sama sekali tak terdengar suaranya memasuki
ruang itu?
Jelas tadi pemuda itu telah memerintahkan kepada
semua anak buah Gedung Hitam yang berada dalam kamar
keluar semua. Dengan begitu tak mungkin terdapat orang
yang bersembunyi dalam ruang itu.
Karena tak dapat memecahkan pertanyaan itu, Cu Jiang
mementang mata dan memandang tajam ke sekeliling ruang
itu. Tetapi dia tak melihat suatu apa.
"Sahabat dari manakah yang telah turun tangan ini,
harap suka unjuk diri," akhirnya ia berseru.
Tetapi sampai diulang beberapa kali tetap tiada jawaban.
Dengan perangainya yang keras kepala, bukan mundur
tetapi kebalikannya Cu Jiang malah ingin mengetahui
peristiwa aneh itu. Cepat ia melesat masuk.
Tiba2 terpencarlah sepercik penerangan dan seketika
ruang itu telah terang benderang. Cu Jiang terkejut, mundur
tiga langkah. Entah kapan datangnya, ternyata di muka
arca dalam ruang itu telah berdiri seorang wanita
pertengahan umur yang cantik.
Sedang di atas meja terletak sebutir mutiara besar.
Mutiara itulah yang memancarkan sinar penerangan.
Wanita itu memiliki kecantikan yang cemerlang sekali
sehingga orang takut untuk menatapnya.
Dahulu ketika masih muda, tentulah dia merupakan
seorang Jelita yang jarang terdapat tandingannya.
"Adakah wanita cantik Itu yang membunuh pemuda
atau siau-pohcu itu ?"
Setelah memandang beberapa jenak pada Cu Jiang,
berkatalah wanita itu dengan lembut:
"Dari manakah sahabat ini ?"
"Berburu dan kesasar tiba disini," sahut Cu Jiang.
"Berburu orang atau berburu binatang ?"
Cu Jiang tertegun,
"Sudah tentu berburu binatang, masakan berburu
manusia ?"
"Tetapi di gunung ini tiada jenis binatang yang berharga
diburu."
"Baru pertama kali ini aku datang kemari."
"Sahabat, didepan area sang Buddha, Jangan menyulut
dupa palsu. Gunung ini merupakan daerah pangkalan
Gedung Hitam yang penting. Penuh dengan penjagaan
sehingga burungpun sukar terbang melintasi gunung ini.
Aku sungguh kagum atas nyali dan kepandaianmu . . ."
"Rasanya tak perlu kujelaskan lagi," kata Cu Jiang.
Wanita itu tertawa, ujarnya:
"Mengingat-ingat kau hendak menolong puteriku tadi,
akupun takkan bertanya lebih lanjut tentang asal-usulmu ..."
Cu Jiang terperanjat. Ia tak menyangka bahwa wanita
cantik itu adalah isteri dari ketua Gedung Hitam.
"Adakah nyonya yang membunuh sau pohcu tadi ?"
serunya agak heran.
"Benar, karena dia sendiri yang cari mati," Menilik nada
ucapan wanita itu, apa yang diceritakan pemuda baju
kuning emas Kepada Ki Ing tadi memang benar. Rupanya
antara nyonya itu dengan si pemuda, tak ada hubungan
darah apa2.
"Kuperingatkan kepadamu!" kata wanita itu pula.
"lekaslah engkau tinggalkan gunung ini. Engkau dapat
datang tentu mampu pergi juga."
Apa boleh buat, Cu jiang terpaksa tak mau bertindak
dulu sebelum ia mengetahui jelas siapa dan bagaimana
keadaan ketua Gedung Hitam itu.
Serentak ia memberi hormat dan menghaturkan terima
kasih atas nasehat wanita itu. Kemudian dia berputar tubuh
dan melesat keluar dengan tata-langkah Gong gong-poh-
hwat. Tetapi cepat ia membiluk lalu dengan hati2
menyelundup masuk lagi.
Dilihatnya wanita cantik dan Ki Ing berdiri berhadapan.
Air mata. Ki Ing bercucuran dan mulutnya mengertek lagi.
"Ma, engkau sudah lama berada dalam biara ini, tetapi
mengapa engkau membiarkan saja binatang ini . . ."
"Anakku, serigala yang berhati buas, sudah lama
kuperhatikan. Tak kira dia berani bernyali besar. Beruntung
ditengah jalan aku bertemu dengan Siau Hui. Dia
mengatakan bahwa engkau diajaknya kedalam biara ini.
Aku seperti mencium gelagat tak baik dan bergegas datang
kemari. Aku masih menunggu kalau2 dia sadar dan dapat
menghentikan perbuatannya yang gila itu tetapi ternyata
tidak. Maka akupun terpaksa turun tangan membunuhnya."
"Apakah keterangannya itu benar semua?"
"Ini .... hanya sebagian yang benar."
"Bagaimana jelasnya?"
"Dia memang ikut ayahnya tetapi engkau adalah anak
kandungku."
"Ayah ?"
"Nak, perlu apa engkau tanyakan? Kabarnya Toan-kiam
jan-jin pernah menolongmu dari tangan Long-sim-mo ?"
"Ya."
"Apa engkau tak dapat mengenali dirinya?" Sejenak
wanita itu merenung lalu berkata : "Nak, mari kita pulang."
"Mayat itu ?"
"Kita bawa pulang. Jangan sampai diketahui anak-
buahnya, habis berkata dia terus menarik kain tirai dimuka
arca, dibungkusnya tubuh sau-pohcu lalu dijinjingnya,
setelah menyimpan mutiara, ia segera mengajak Ki Ing
pergi.
Keduanya naik kuda dan tinggalkan biara itu. Diam2 Cu
Jiang tetap mengikuti. Lebih kurang sepuluhan li, haripun
sudah terang tanah. Disebelah muka penuh dengan Jajaran
puncak gunung, setelah melintasi jalan-setapak pada dua
buah puncak, kedua ibu dan puterinya itu masuk kedalam
lembah dan lenyap.
Cu Jiang terkejut sekati. Jaraknya dengan ke dua orang
itu hanya sepuluhan tombak. Dia dapat melihat bayangan
kedua ibu dan puterinya itu. Tetapi mengapa tiba2 mereka
lenyap ?
Cepat ia mengejar akan tetapi tetap tak mendapatkan
kedua wanita itu. Tampak disebelah muka karang gunung
yang berbentuk menonjol dan menurun kebawah, Jalan
bersilang selisih ruwet sekali. Sejenak Cu jiang berhenti. Ia
teruskan pengejarannya atau berhenti disitu saja.
Beberapa saat kemudian ia memutuskan akan
melanjutkan langkahnya mengejar mereka, ia memutuskan
untuk mengambil jalan yang agak besar Tetapi setelah lari
sekian saat, ternyata dia kembali lagi ditempat semula tadi.
Saat itu baru ia menyadari kalau dirinya sedang
terkurung dalam sebuah barisan yang aneh. Pada hal dia tak
mengerti sama sekali akan ilmu barisan yang aneh2. Kalau
dia nekad melanjutkan lari menyusuri jalan2 hal itu tentu
sia2 saja. hanya membuang tenaga. Bahkan kemungkinan
akan diketahui musuh. Akhirnya ia memutuskan mencari
sebuah tempat untuk beristirahat.
Ia merenung memikirkan keadaan yang dihadapi saat
itu, Bertahun-tahun Gedung Hitam dapat menjaga
rahasianya sehingga tak dapat diketahui oleh orang
persilatan, ternyata memang memiliki keistimewaan.
Sebelumnya dia tak sampai berpikir begitu. Lalu bagaimana
langkahnya sekarang?
Diam2 ia menyesal mengapa ketika di negeri Tayli dulu,
dia tak mau belajar tentang ilmu barisan kepada gurunya?
Mungkin saat itu jejaknya sudah diketahui musuh.
Terlambat, ia mengeluh. Kalau tadi dia terus bertindak
tegas untuk menangkap kedua wanita itu dan menyuruh
mereka menunjukkan jalan mungkin lain keadaannya.
Tiba2 terdengar derap langkah orang berjalan dari arah
gua. Tidak hanya seorang tetapi beberapa, Cu Jiang mulai
tegang.
Saat itu kiranya sudah fajar hari tetapi keadaan di tempat
itu masih tetap remang. Seketika timbul suatu pikiran.
Benar, kalau mereka datang, asal dia dapat menangkap
salah seorang dan memaksanya untuk menunjukkan jalan,
tentulah dia dapat lolos dari tempat itu.
Tetapi tindakan itu tentu akan menimbulkan suara
berisik. Kemungkinan akan mengundang kedatangan
beberapa bala bantuan mereka. Padahal Gedung Hitam
mempunyai banyak sekali jago2 ko-jiu yang sakti.
Tak berapa lama langkah kaki orang itu berhenti tak
berapa jauh, ditengah barisan. Kalau ia diam saja, tentulah
mereka takkan melihat, Setelah menentukan siasat, dia
segera berteriak.
"Setan keparat, masakan orang berburu engkau sesatkan
begini ?"
Tetapi tetap ada tiada penyahutan, kembali ia
mengulang:
"Biar, masakah setelah hari terang toaya tak dapat keluar
dari sini!"
"Ha, ha, ha, ha . ..." tiba2 tiga sosok bayangan manusia
muncul di muka. Dua orang berpakaian ringkas dan
seorang berpakaian hitam, umurnya diantara tiga-puluh
tahun.
Cu Jiang segera dapat mengenali bahwa yang berpakaian
hitam itu tentu seorang thaubak (Kepala kelompok).
Mereka tentu sedang bertugas menjaga barisan.
Cu Jiang pura2 melonjak kaget dan berseru kepada
mereka:
"Tuan-tuan sekalian, tempat apakah ini ?"
Lelaki berpakaian hitam itu memandang Co Jiang
dengan tajam.
"Engkau tak tahu tempat apa ini ?" tegurnya dengan
nada dingin.
"Kalau aku tahu takkan kemari !"
"Tetapi bagaimana engkau masuk kesini ?"
"Mengejar binatang yang hendak kuburu dan akhirnya
tersesat disini."
"Ngaco ! Jelas engkau tentu seorang persilatan . , . . "
"Heh, heh, aku sebenarnya bukan orang persilatan tetapi
aku pun pernah berlatih beberapa gerakan silat."
"Hm, tiga puluh li sekeliling tempat ini, burungpun tak
dapat masuk. Sahabat, engkau hebat juga !"
"Tuan tuan. aku benar2 seorang baik2. Sudah beberapa
keturunan aku mencari nafkah sebagai pemburu."
Lelaki berpakaian hitam itu tiba2 melangkah maju,
menebarkan kelima jari tangannya dan secepat kilat
menerkam pergelangan tangan Cu Jiang. Cu Jiang memang
sudah siap. Ia sengaja tak mau melawan.
"Aduh !" ia pura2 menjerit kesakitan dan terus
berjongkok.
"Bawa dia !" perintah lelaki baju hitam itu. Kedua anak
buahnya segera menyeret Cu Jiang.
Diam2 Cu Jiang gembira. Dengan membiarkan dirinya
diseret begitu, bukankah suatu cara yang mudah untuk
dapat masuk kedalam Gedung Hitam. Namun ia pura2
menjerit-jerit.
"Hai, apa-apaan kalian ini? Kalian bukan pembesar
negeri juga bukan penguasa..."
"Bungkam mulutnya !" teriak lelaki baju hitam itu.
Hanya dalam beberapa kejap, cuaca sudah terang
benderang lagi. Kiranya mereka sudah keluar dari barisan
dan saat itu haripun sudah terang.
Dengan menyeret Cu Jiang kedua anak buah Gedung
Hitam itu berlari. Diam2 Cu Jiang memperhatikan tempat2
yang dilalui. Kiranya dia dibawa kembali kearah biara kecil
yang didatanginya semalam.
"Hai. tuan2 hendak membawa aku ke mana ?" teriak Cu
Jiang. Sebenarnya mudah sekali dia membunuh ketiga
orang itu tetapi ia memutuskan untuk tetap bersikap pura2.
Ia hendak melihat lebih jauh apa yang akan dilakukan
ketiga orang itu.
Sepeminum teh lamanya, tibalah mereka dimuka biara
kecil. Kedua anak buah itu berhenti didepan pintu biara
sedang lelaki baju hitam terus melangkah masuk kedalam
biara. Tak berapa lama terdengar orang berseru memberi
perintah.
"Bawa masuk !"
Suara orang itu menyengat telinga. Bukan seperti suara
orang laki tetapi Juga bukan suara orang perempuan.
Kedua anak buah itu segera menyeret Cu Jiang masuk
kedalam biara. Sunyi senyap tiada orangnya. Dan salah
seorang dari kedua anak buah itupun segera berseru.
"Orangnya sudah kami bawa!"
Sejenak bertukar pandang, kedua anak buah itu segera
melangkah kedalam ruang besar. Tetapi tiba dipintu,
keduanya menjerit kaget dan tegak seperti patung.
Cu Jiang merentang mata memandang kedalam ruang
besarku. Seketika bulu kuduknyapun ikut meregang dan
semangatnya terasa terbang.
Ternyata dalam ruang besar itu telah berjajar lebih dari
lima puluh sosok mayat manusia. Dijajar rapi sekali! Juga
lelaki baju hitam yang baru masuk tadi, pun ikut terbujur
dalam jajaran mayat itu.
"Huak, huak..." tiba2 kedua anak buah itu menjerit dan
rubuh ke lantai. Sementara karena dilepas, Cu Jiang
terhuyung-huyung hampir jatuh.
Kini di hadapannya telah muncul dua orang wanita
muda berpakaian warna merah. Mereka memandang Cu
Jiang lalu tersenyum.
Saat itu baru Cu Jiang menyadari. Kiranya Ang Nio Cu
juga ada disitu. Dan semuanya itu adalah perbuatannya.
Kedua manusia baju merah itu menyeret mayat kedua
anak buah Gedung Hitam dan dijajarkan pada jajaran yang
lain.
Cu Jiang cepat melesat masuk, serunya:
"Toaci, engkau juga datang kemari?"
Sesosok bayangan merah darah, melesat keluar dari
belakang arca.
"Ai, siaute, aku memang lebih dulu dari engkau. "
"Oh, taci sudah lebih dulu datang? Mendapat penemuan
apa saja?"
"Lekas kita tinggalkan gunung ini! "
"Kenapa?"
"Bukankah engkau terjebak dalam barisan? Itulah yang
akan menjadi soal . . . . "
"Soal?"
"Benar. Gedung Hitam itu terletak di tengah barisan
Apakah engkau tahu akan ilmu barisan?"
"Ti . . .dak. "
"Itulah makanya engkau terperangkap."
"Mengapa toaci tak mau membiarkan salah seorang dan
mereka hidup untuk kita korek keterangan?"
"Soal itu tak perlu engkau ingatkan. Apa yang harus
dikerjakan tentu kulakukan. Tetapi mereka lebih suka mati
daripada membuka mulut. Dan sesungguhnya, kecuali
beberapa tokoh yang mempunyai kedudukan, para thaubak
dan anak buah itu memang tak mengerti keadaan markas
mereka.
Barisan itu dijaga sendiri oleh orang kepercayaan ketua
Gedung Hitam. Tanpa ijin, siapapun tak boleh masuk ke
markas. Berani melanggar tentu dihukum mati."
Tiba2 Cu Jiang membanting-banting kaki.
"Celaka, aku telah melepaskan kesempatan yang baik!"
serunya.
"Kesempatan apa ?"
"Sebenarnya aku sedang mengikuti jejak isteri ketua
Gedung Hitam dan puterinya. Kalau tahu begini, lebih baik
mereka kutangkap saja .. "
"Percuma."
"Kenapa ?"
"Engkau tetap tak dapat pergi dari tempat itu, Begitu
masuk kedalam barisan, engkau tentu kehilangan faham.
Bentuk luarnya, barisan itu menyerupai barisan Kiu-kiong-
pat-kwa. Tetapi dalamnya merupakan barisan Bi-hun-toa-
tin (barisan besar Penyesat nyawa). Aku sendiri pernah
menyusup masuk jauh ke dalam. Andaikata tak lekas2
menyadari gelagat, mungkin aku tentu sudah terperangkap
didalamnya."
"Karena sudah tahu akan nama barisannya, toaci
tentu..."
"Yang kuketahui hanya kulit luarnya saja. Tetapi
bagaimana perobahan2 didalamnya, hanya lawan yang
tahu. Juga belum diketahui apakah di luar barisan itu masih
terdapat lain batuan bay-Taok (barisan pendam).
Taruh kata engkau dapat menangkap seorang lawan
yang berkedudukan penting, pun begitu masuk kedalam
barisan Bi-hun tin, pikiranmu akan kacau dan tentu
tertangkap. Bukankah itu akan sia2 saja?"
"Lalu bagaimana langkah kita sekarang ?"
"Mencari seseorang."
"Siapa ?"
"Seorang aneh yang sudah lama mengasingkan diri dari
dunia persilatan, bergelar Ih-se lojin..."
Ih-se lojin ?" Cu Jiang mengulang heran.
"Ya, pernah dengar ?" tanya Ang Nio Cu.
"Belum."
Gelarnya Ih-se lojin, siorang tua yang meninggalkan
keduniawian, sudah tentu tak mau campur dengan manusia
lagi. Perangainya aneh, tak kalah dengan tabib Kai-Jiu-sin-
jin itu."
"Perlu apa mencarinya ?"
"Dalam dunia persilatan Jaman ini, kecuali dia seorang
yang mahir akan segala ilmu barisan aneh, masih ada
seorang lagi yakni Gong-gong cu . . ."
"O, mencarinya unjuk memecahkan barisan di Gedung
Hitam ?"
"Benar, minta petunjuknya.
"Dimana tempat kediamannya ?"
"Ada dua buah jalan yang dapat kita telusuri. Menurut
kabar, ada orang yang pernah melihatnya berada di gunung
Tay-pa-san. Dan yang kuketahui, dia tinggal di gunung
Bok-nia. Kedua gunung itu Jaraknya amat jauh sekali. Satu
di utara, satu di selatan. Kita berpencar mencarinya. Kita
tentukan kapan bertemu lagi. Bagaimana pendapatmu?"
Sesaat meragu, Cu Jiang menyahut: "Mengapa kita tak
nantikan kesempatan lain lagi."
"Siaute," kata Ang Nio Cu dengan lembut, "rasanya
hanya itulah jalan satu-satunya untuk mengatasi keadaan.
Menunggu kesempatan, tiada kepastian waktunya. Dan lagi
setiap waktu tentu terjadi perobahan yang sukar diduga.
Mencari orang tua itu dan meminta petunjuknya cara
memecahkan barisan, merupakan cara penyelesaian yang
terbaik."
"Baik, aku menurut saja."
"Bagus, adikku."
Cu Jiang merah mukanya lalu menanyakan Ang Nio Cu
hendak menuju ke gunung mana.
"Aku lebih paham keadaan gunung Bok nia. Engkau
yang pergi ke gunung Tay-pa-san. Empat-puluh hari kita
bertemu di rumah penginapan Naga-hijau dikota Tongyang-
shia."
"Baik, tetapi bagaimana ciri2 dari Ie-se lojin itu?"
"Ih. benar. Hampir saja aku lupa memberitahukan.
Orang itu selalu mengenakan jubah warna kuning telur,
tidak memakai kain kepala juga tidak bersepatu. Diantara
kedua alisnya terdapat sebuah tahi lalat merah. Kalau
bertemu tentu mudah mengenalinya ..."
Tiba2 dari arah jauh terdengar suara burung hantu. Dan
Ang Nio cepat segera memberi isyarat tangan:
"Ada orang datang, kita harus lekas2 tinggalkan tempat
ini. Siaute, hati-hatilah dalam perjalanan !"
"Sampai Jumpa, toaci," kata Cu Jiang. Sekali bergerak
dia sudah melesat keluar dan lenyap.
Suara burung hantu Itu memang dari anak buah Ang
Nio Cu. Sekeluar dari biara, Cu Jiang melihat
segerombolan bayangan manusia yang berlari mendatangi
dari arah jauh. Empat penjuru biara itu sunyi senyap.
Semua penjaga tempat itu sudah dibereskan Ang Nio Cu,
Kawanan pendatang itu tentulah penjaga2 yang akan
mengganti giliran.
Ia menuju keutara. Satu-satunya jalan singkat mencapai
gunung Tay-soat san harus mengitari gunung Tay-hong-san.
Kesanalah dia menuju.
Hari itu dia tiba di kota Ih-shia, sebuah kota bandar yang
ramai. Bagian hulu terdapat kota Siang-yang dan bagian
muara kota An-liok. Setelah melintas sungai Han cui.
gunung Tay-hong-san sudah tak berapa jauh lagi.
Selama dalam perjalanan itu Cu Jiang tetap memakai
kedok muka. Hanya pakaiannya berganti seperti seorang
pedagang. Dia menginap di rumah penginapan Gwa lay ti
tua.
Dia memesan beberapa hidangan dan arak. Tengah dia
hendak menikmati hidangan, tiba2 pintu kamarnya dibuka
orang.
"Jangan berisik, kalau keperluan nanti kupanggil," seru
Cu Jiang mengkal. ia kira tentu pelayan.
"Ki Siau Hong, Ko Kun!" terdengar suara orang diluar.
"Oh, silakan masuk."
-oo0dw0oo-

Jilid 18
DUA orang lelaki masuk. Seorang sasterawan tua dan
seorang tua bungkuk. Keduanya tak lain dari Ki Siau Hong
dan Ko Kun, dua dari keempat pengawalnya.
"Silakan duduk, akan kusuruh pelayan menambah gelas,
kita minum bersama .. ."
"Tak usah."
Cu Jiang terkejut mendengar nada mereka yang kaku.
Kedua orang itu mengambil kursi dan duduk disebelah Cu
Jiang.
"Ciangkun, kami hendak bicara dengan sungguh-
sungguh !" kata Ki Siau Hong.
"Soal apa ?"
Sejenak memandang kearah wajah membesi dari Ko
Kun. Ki Siau Hong berkata dengan tegas.
"Ciangkun, maafkan hamba berlaku kurang hormat.
Walaupun kedudukan ciangkun lebih tinggi, tetapi kami
juga sama2 menjadi menteri dan sama2 mengemban tugas
dari Kok-su, agar diam2 membantu ciangkun. Dalam hal
ini ciangkun tak berhak membunuh . .. ."
"Apa katamu ?" teriak Cu Jiang kaget.
"Apakah ciangkun tak tahu?"
"Jangan menyabut ciangkun !"
"Tidak, ini menyangkut urusan dinas."
"Aku benar2 tak mengerti. Katakanlah yang jelas."
Tiba2 Ki Siau Hong berbangkit dan dengan deliki mata
berseru dalam nada getar:
"Bagaimana kesaktian ciangkun, kami semua sudah
mengetahui, kami bukan tandingan . ... "
Cu Jiang benar2 bingung. Tetapi melihat sikap orang
yang begitu serius dan tegang, dia anggap urusan tentu
serius sekali. Diapun berbangkit dan berseru:
"Sebenarnya apakah yang telah terjadi ?"
Ko Kun juga berbangkit dan menyeletuk: "Kenapa ?"
"Sia-sia kami antarkan jiwa di Tionggoan, mati tanpa
alasan apa2."
Cu Jiang memandang kedua orang itu dengan tajam lalu
berkata dengan sarat : "Aku tak jelas apa yang kalian
katakan ...."
"Asal ciangkun mengerti sajalah."
"Kalian takut mati. Memang tugas ini penuh
mengandung bahaya. Baiklah, kalian boleh pulang."
"Sebagai seorang biasa, tak mungkin takut mati. Tetapi
mati harus yang jelas dan harus yang berharga." Ki Siau
Hong menyelutuk.
"Berharga bagaimana?"
"Kami memberanikan diri hendak mohon tanya kepada
ciangkun." kata Ki Siau Hong, "apakah kesalahan Ong
Kian sehingga menimbulkan kemurkaan ciangkun dan
ciangkun lalu membunuh nya?"
Mendengar itu gemetarlah Cu Jiang.
"Apa katamu?" serunya keras.
"Mohon tanya apa kesalahan Ong Kian sehingga
ciangkun menghukumnya mati?"
"Apa? Engkau .... mengatakan aku membunuh Ong
Kian?"
"Apakah ciangkun menyangkal?"
"Ini . . . ini . . . apa buktinya?"
"Silakan ciangkun lihat ini." Ki Siau Hong mengeluarkan
sebuah benda dan menyerahkan kepada Cu Jiang. Tangan
Ki Siau Hong gemetar keras. Sedang Ko Kun yang
menyaksikan dari sampingpun juga tegang sekali wajahnya.
Dahinya berkerenyutan keras.
Cu Jiang menyambuti dan memeriksa. Ternyata barang
itu seperangkat pakaian dan diatasnya tertulis huruf dari
darah, berbunyi: "Ciangkunlah yang membunuh aku."
"Tulisan ini adalah tulisan tangan Ong Kian. Pada saat
hendak kami kuburkan, baru kami menemukannya." kata
Ki Siau Hong.
Dada Cu Jiang bergolak keras. Dia membuka kedok
muka dan menunjukkan wajahnya yang aseli. Tampak
kerut wajahnya membesi dan dahinya berkerenyutan, bum .
..."
"Siapa yang membunuh Ong Kian?" dia menghantam
meja sekeras-kerasnya.
Kedua pengawal itu tergetar dan saling bertukar
pandang.
"Ciangkun, ijinkanlah kami pulang lebih dahulu ke
Tayli. "
Pikiran Cu Jiang penuh dengan berbagai persoalan. Dia
marah dan sedih atas peristiwa itu.
"Dimana Ong Kian dibunuh?" tanyanya.
"Diluar kota Hok yang-shia."
"Bagaimana kalian dapat menemukannya?"
"Karena kami mendengar bahwa ciangkun muncul di
pintu kota itu maka kamipun buru2 menyusul."
Mendengar itu Cu Jiang tahu bahwa persoalan itu
memang tak wajar. Jelas dia tak melalui kota Hok yang
shia. Tetapi sesaat dia tak dapat memberi penjelasan.
"Dan kalian menemukan Ong Kian sudah dibunuh
orang?"
"Benar, tubuhnya menderita delapan belas buah tusukan
pedang. Bekas luka2 itu menunjukkan kalau dari tusukan
pedang kutung milik ciangkun."
"Apakah tulisan darah itu dia yang menulis?"
"Ciangkun, sekarang bukan saatnya berdebat . . ."
"Kenapa ?"
"Orang luar tentu tak menyebut "ciangkun" kepada
ciangkun"
Diam2 Cu Jiang mengeluh dalam hati. Peristiwa
memang benar2 aneh sekali.
"Ciangkun, kami mohon diri."
"Tunggu dulu.."
Wajah kedua orang itu berobah lalu mereka diam2
bersiap-siap.
Cu Jiang menghela napas.
"Atas kematian Ong Kian, aku benar2 sedih sekali.
Tetapi aku mengatakan dengan sungguh2. bahwa aku tak
membunuhnya. Dan memang tiada alasan untuk
membunuhnya. Harap kalian tenang dan marilah kita
bicara dengan baik2."
Dari kerut wajah kedua orang itu, tampak mereka tak
mau percaya begitu saja kepada Cu Jiang. Empat huruf
yang ditulis dengan darah itu menjadi bukti yang berbicara.
Sekonyong-konyong sesosok bayangan menerjang masuk
dan terus menyerang Cu Jiang. Karena tak menduga dan
berlangsung dalam waktu secepat kilat, Ki Siau Hong dan
Ko Kun menjerit kaget. Tetapi Cu Jiang lebih cepat
reaksinya.
Ia condongkan tubuh dan menyambar pedang yang
menyerang nya. Ah. ternyata penyerangnya itu tak lain
adalah Song Pak Liang yang menyaru jadi penjual obat
tempo hari.
Dengan mata penuh bawa pembunuhan dan tubuh
menggigil keras. Song Pek Liang memandang Cu Jiang
dengan penuh dendam kebencian.
"Juara Jago pedang, kalau engkau mau bunuh Song Pek
Liang, bunuhlah !" serunya penuh dendam sinis.
Cu Jiang tahu bahwa orang itu sedang dirangsang
dendam kemarahan yang timbul karena salah faham.
Percuma kalau mau membunuhnya. Ia dapat memaafkan
tindakan orang.
"Song-heng, tenanglah, soal ini tentu akibat salah
faham," akhirnya ia turunkan pedang dan berkata dengan
ramah.
Tetapi Song Pek Liang tetap penasaran.
"Salah paham? Adakah orang mati itu pada saat2
terakhir dapat meninggalkan tulisan untuk memfitnah
orang?" serunya sinis.
"Memang itu yang menjadi pokok persoalan," kata Cu
Jiang dengan menahan perasaan.
"Kami ingin mendengar penjelasan ciangkun." seru Song
Pak Liang.
Sejenak menenangkan perasaannya, Cu Jiangpun segera
berkata kepada Ko Kun:
"Ko-heng, harap engkau menjaga diluar."
Sejenak memandang kearah kedua rekannya, dengan
kepala menunduk Ko Kun segera melangkah keluar.
Setelah itu barulah Cu Jiang berkata dengan tandas:
"Dengan mengesampingkan peraturan, Kok-su telah
menerima aku sebagai murid. Baginda Tonghongyapun
telah berkenan memberikan kitab pusaka sehingga aku
berhasil memperoleh ilmu kepandaian.
Tugasku yang utama yalah membereskan kawanan Sip-
pat-thian-mo. Dalam rangka melaksanakan tugas itu
saudara berempat telah memberi bantuan. Soal Jabatanku
sebagai Tin-tian-ciang-kun adalah dikarenakan harus
menghadapi tantangan dari putera raja Biauw tempo hari.
Dalam hal ini kuharap saudara jangan terlalu menyanjung
diriku ... "
"Ucapan baginda itu bukan kata2 kosong. Dan lagi telah
disaksikan oleh sekalian menteri, tidak boleh dianggap
sepele," kata Song Pak Liang.
Cu Jiang tertawa hambar.
"Saudara Song. baiklah, aku takkan membicarakan soal
itu. Mengenal kematian Ong Kian, aku benar2 tak pernah
datang ke Hu-yang.. ."
"Lalu bagaimana dengan tulisan darah itu?"
"Marilah kita mempelajarinya dengan tenang, untuk
mencari sebabnya."
"Ciangkun, tetapi urusan bukan hanya yang itu saja."
"Masih ada yang lain lagi ?" teriak Cu Jiang terkejut.
"Apakah aku harus mengatakan satu demi satu ?"
"Silakan memberi keterangan."
"Song-heng, kesabaranku ada batasnya. Sekali lagi
kuminta engkau bersikap tenang."
Dahi Song Pek Liang berkerenyut.
"Biarlah aku yang mulai bicara," kata Ki Siau Hong,
"kantor pengiriman barang Han Tiong dikota Hu-yang pada
suata hari telah menerima pekerjaan untuk mengirim
barang gelap yang harganya semahal pembelian sebuah
kota. Barang itu terdiri dari sebuah barang permainan dari
batu permata yang tak ternilai indahnya. Tetapi sebelum
sempat berangkat mengirim, kepala perusahaan itu dan
seluruh keluarganya besar kecil berjumlah delapan orang,
telah mati dibunuh orang.. ."
"Oh..."
"Siau-lim Sam-lo Juga dibunuh di Kwiciu."
"Siapa lagi ?"
"Ketua partai Heng-san-pay mati dicincang puterinya
diperkosa."
"Lalu ?"
"Masih ada lagi, tetapi tak perlu kami terangkan. Pokok,
banyak sekali terjadi pembunuhan2 yang amat keji !"
"Semua itu Toan-kiam-jan-Jin yang melakukan?" Cu
Jiang mengertek gigi.
"Ciangkun," kata Song Pek Liang dengan nada tergetar,
"menurut beritanya memang begitu. Dan banyak sekali
saksinya. Kamipun pernah melihat sendiri bukti itu."
"Pernahkah Song heng membayangkan bahwa
kemungkinan ada orang yang menyamar sebagai diriku ?"
"Tetapi Ong Kian tak mungkin salah melihat diri
ciangkun ?"
"Seratus hari lamanya aku berobat di gunung Busan,"
kata Cu Jiang, "seturun gunung, aku tak menyamar menjadi
Toan-kiam-Jan Jin lagi. "
"Soal itu hanya ciangkun sendiri yang tahu."
Sejenak berpikir, Cu Jiang menatap Ki Siau Hong,
serunya.
"Yang menyampaikan berita tentang diri Long sim-mo
itu adalah Ki-heng, pada waktu itu bagaimana keadaan
diriku?"
"Peristiwa itu terjadi pada waktu ciangkun belum muncul
di kota itu," jawab Ki Siau Hong.
"Mengapa waktu itu engkau tak memberitahukan?"
"Sudah sebulan lamanya kami mengikuti Long-sim-mo.
Pada waktu itu belum begitu jelas tentang peristiwa itu !"
"Belum ada sebulan aku turun dari gunung Busan. Ang
Nio Cu dan- Thian put thou menjadi saksinya . . ."
"Ong Kian terbunuh lima hari yang lalu!"
Mendengar jawaban itu Cu Jiang benar2 tak dapat
membantah, ia kerutkan alis tak berkata apa2.
"Ciangkun, kami hendak kembali ke Tayli dulu untuk
memberi laporan kepada Kok-su." kata Song Pek Liang,
"Untuk sementara jangan kalian pergi dulu."
"Mengapa ?"
"Tunggu sampai peristiwa ini jelas."
"Bagaimana tindakan ciangkun untuk membereskan soal
itu ?"
"Mencari orang yang memalsu diriku."
"Song-heng menganggap tentu aku sendiri ?"
"Karena bukti memaksa kami tak dapat menduga yang
lain,"
"Hm," Cu Jiang menahan kemarahannya, "tindakan
musuh itu Jelas mengandung siasat yang licik. Tujuannya
tentu hendak membangkitkan kemarahan kaum persilatan
terhadap diriku. Tentu musuh takkan berhenti sampai
disitu. Kalau kita menyelidiki dengan sungguh2, pasti akan
dapat menemukan jejaknya.
Agaknya Ki Siau Hong lebih sabar maka dia segera
membujuk kawannya. Song Pek Liang.
"Song-heng. karena ciangkun mengatakan begitu,
bagaimana kalau kita ikut menyelidiki ?"
"Aku tak ingin mengubur tulangku di tanah Tionggoan,"
sahut Song Pek Liang dengan tegang.
Mendengar sikap Song Pek Liang begitu kukuh, Cu
Jiang mendongkol sekali serunya:
"Kalau aku memang seperti yang kalian duga, perlu apa
aku harus berbanyak kata. Bukankah saat ini juga aku dapat
membereskan kalian bertiga?"
Kata2 itu penuh mengandung keterbukaan hati dan
kemarahan yang tertahan sehingga kedua orang itu
terkesiap. Memang benar, jika mau, dengan mudah Cu
Jiang tentu dapat membunuh mereka bertiga.
Akhirnya Song Pek Liang agak kendor. Setelah
merenung beberapa saat, ia berkata:
"Ciangkun. mudah-mudahan hal itu benar2 suatu
kesalahan faham."
"Memang sebenarnya suatu rencana busuk sekali. "
"Kira2 siapakah yang melakukan rencana itu?"
"Siapa lagi kalau bukan orang Gedung Hitam. "
"Lalu bagaimana tindakan kita?"
"Kita berpencar menyelidiki. Hanya apabila kalian
menemukan sesuatu, jangan sekali-kali menunjukkan diri
biarlah aku yang membereskan sendiri. Karena berani
melakukan pemalsuan itu, musuh tentu memiliki
kepandaian hebat dan lagi tentu dikawal oleh anak
buahnya."
"Baiklah, kami akan mohon diri "
"Ei, mengapa tak minum dulu?"
"Lain waktu saja." Ki Siau Hong dan Song Pek Liang
segera menghaturkan hormat lalu melangkah keluar.
Cu Jiang masih termenung dikursinya. Dia benar2 tak
menyangka kalau musuh akan melakukan rencana begitu.
Memikirkan peristiwa itu, dia pun tak punya selera makan
lagi.
Dia memanggil pelayan, membayar rekening lalu
tinggalkan rumah makan itu.
Saat itu jalan sudah ramai. Lampu2 menerangi seluruh
jalan, orang tak putus-putusnya berjalan hilir mudik.
Ramainya bukan kepalang.
Dengan dandanannya sebagai seorang pedagang Cu
Jiang berjalan pelahan-lahan. Tengah dia berjalan, tiba2 dia
melihat pertandaan-rahasia yang di tinggalkan oleh Su-tay-
ko-jiu.
Semangatnya bangkit serentak. Apakah dalam waktu
singkat mereka sudah mendapatkan jejak musuh?
Segera dia menurutkan pertandaan rahasia itu. Akhirnya
dia tiba di ujung jalan yang sepi. Seorang sasterawan tua
segera menyongsong kedatangannya, memberi hormat.
"Laute." seru sasterawan tua itu. "sungguh beruntung
dapat berjumpa. Tampaknya laute berseri-seri tentu
mendapat kemajuan dalam kehidupan. Sebaliknya aku ini
tetap sasterawan yang tak berguna, nasib buruk . . . .
Sasterawan tua itu tak lain adalah Ki Siau Hong. Dan Cu
Jiangpun balas memberi hormat.
"Ki-heng, sudah bertahun-tahun tak berjumpa tetapi
sikap Ki-heng masih tetap gagah seperti dulu!"
"Gagah ? Ha, ha, ha, ha ... aku sih begini rudin."
Tetapi adakah..."
"Tinggal di luar kota, entah apakah laute suka
berkunjung kesana?"
"Ai, tentu,"
"Baiklah, laute. Mari kita ke sana."
Demikian keduanya segera berjalan menuju keluar kota,
Tiba diluar kota yang sepi, barulah Ki Siau Hong berkata.
"Kita bicara di pondok petani itu."
"Hm."
Setelah berada digerumbul pohon bambu dibelakang
pondok, Cu Jiang terus bertanya:
"Apakah mendapat penemuan?"
"Dikedai minum telah tersiar berita besar," kata Ki Siau
Hong dengan semangat.
"Berita besar apa ?"
"Waktu malam terang bulan, dibiara Kang-sin-bio kira2
lima li diluar kota, Toan-kiam-Jan-jin akan menantang
ketua Gedung Hitam."
"Bagus! Kiranya kedua manusia itu sama2 muncul!" seru
Cu Jiang dengan gembira.
"Ciangkun." kata Ki Siau Hong, "Toan-kiam-jan-Jin dan
ketua Gedung Hitam itu merupakan tokoh2 yang paling
menonjol dalam dunia persilatan dewasa ini. Kedua belah
pihak sama2 memberi pengumuman itu, tentu ada
maksudnya. Harus menjaga akal muslihat jahat mereka. Ko
Kun dan Song Pek Liang sudah ke tempat itu untuk
menyelidiki kebenarannya . . ."
"Sekarang masih kurang berapa hari dari bulan
purnama?"
"Tujuh hari."
Cu Jiang memperhitungkan waktunya. Perjanjiannya
dengan Ang Nio Cu yalah dalam empat puluh hari akan
bertemu di kota Hu-yang. Apalagi harus membuang waktu
tujuh hari, memang temponya terlalu mendesak sekali.
Tetapi peristiwa pertempuran antara Toan-kiam jan-jin
dengan ketua Gedung Hitam juga sangat penting. Akhirnya
ia memutuskan, akan menunggu pertandingan itu baru
kemudian berangkat ke gunung Tay pa san.
"Baiklah, aku akan menunggu selama tujuh hari di kota."
"Sebaiknya ciangkun jangan pergi kemana-mana, agar
setiap waktu kita dapat bertemu ... "
"Ya, aku tetap berada di rumah penginapan Gwat-lay
tiam. "
Setelah itu mereka berpisah. Semalam ia tak dapat tidur
karena memikirkan siapakah orang yang memalsu dirinya
itu. Apa maksudnya? Dia menantang ketua Gedung Hitam
untuk bertempur di biara Kang sin-bio. Juga perlu diselidiki.
Adakah yang bertempur itu benar ketua Gedung Hitam
yang aseli atau palsu?
Ayam berkokok, baru Cu Jiang tidur. Ketika bangun
haripun sudah siang. Sehabis mandi, dia pesan makanan.
Menunggu, suatu hal yang menyiksa. Apalagi Cu Jiang
harus menunggu sampai tujuh hari. Bagaimanakah ia harus
melewatkan tempo selama tujuh hari itu ?"
Jika dalam pertempuran pada bulan purnama nanti,
ketua Gedung Hitam yang asli benar2 muncul, memang itu
akan merupakan suatu kesempatan bagus untuk menuntut
balas. Tetapi dia curiga, jangan2 hal itu hanya suatu siasat
dari Gedung Hitam saja.
Hanya satu hal yang membuatnya girang ialah dengan
perkembangan peristiwa yang begitu cepat, dapatlah
kesalah-fahaman Ki Siau Hong dan kawannya hilang.
Andaikata ketiga pengawal itu benar2 pulang ke Tayli,
entah bagaimana nanti reaksi baginda dan Gong-gong cu
terhadap dirinya.
Teringat akan tulisan darah Ong Kian pada bajunya. Cu
Jiang heran tetapi masih belum dapat memecahkan rahasia
itu. Dengan cara bagaimana mereka dapat membinasakan
Ong Kian ? Padahal Ong Kian itu cerdas dan
berkepandaian tinggi, masakan dia tak dapat mengenali
Toan-kiam jan-jin itu palsu atau asli.
Kemungkinan satu-satunya ialah, Toan-kiam-jan-jin
palsu itu sebenarnya tak mengenal Ong Kian. Karena
menilik peristiwa pembunuhan ini seolah-olah Ong Kian
tak diberi kesempatan untuk bicara. Dengan demikian Ong
Kian tentu mengira bahwa Toan kiam jan jin itu tentulah
dirinya (Cu Jiang). Dan jelas pula bahwa Toan kiam jan jin
palsu itu seorang tokoh yang sakti sekali.
Kamar Cu Jiang itu terletak disebelah belakang dari
bagian rumah makan. Dan kebetulan merupakan
pertemuan antara dua buah kamar yang gelap dengan dua
buah kamar yang diberi penerangan.
Didepannya terdapat sebuah lorong yang mencapai
ujung pekarangan. Bersih dan tenang.
Sekonyong-konyong pintu gang dibuka dan muncullah
seorang lelaki.
"Tuan, maaf, hendak mengganggu."
"Siapa?"
"Aku, pemilik rumah penginapan."
"Ada urusan apa?"
"Hm, hendak berunding dengan tuan."
"Masuk..."
Seorang lelaki setengah tua mengenakan pakaian warna
biru. masuk kedalam ruangan Cu Jiang. Ia memberi hormat
lalu tertawa.
"Tuan. sesungguhnya tak harus aku berkata begini
kepada tuan. Tetapi keadaan memaksa."
"Katakanlah !"
"Maaf. bagaimana kalau tuan kami minta pindah ke lain
kamar?"
"Apa? Suruh aku pindah ?"
"Ai, ini .... tetapi ruang gudang sebelah barak itu juga
bersih dan tenang dan masih terdapat sebuah kamar yang
terang serta dua kamar lagi."
"Mengapa aku engkau minta pindah?"
"Maaf, karena tetamu yang hendak menginap di sini."
"Tetamu?"
"Ya, tetamu wanita."
"Apa wanita tak dapat tinggal disebelah sana?"
"Maaf, karena tetamu itu rupanya hendak melahirkan,
mungkin kurang leluasa maka terpaksa aku minta maaf
kepada tuan. Kamar di sebelah luar juga . . ."
Cu Jiang mempertimbangkan. Karena ada tamu wanita
yang hendak melahirkan, memang kurang leluasa kalau
pakai kamar sebelah luar. Tetapi bagaimana nanti dengan
Ki Siau Hong. Bukankah dia sudah berjanji kalau akan
tinggal dikamar yang sekarang."
"Baik, aku akan pindah." akhirnya ia berkata.
Pemilik rumah penginapan itu serentak menghaturkan
hormat:
"Terima kasih atas kemurahan hati tuan. Harap jangan
terburu-buru, silakan makan dulu. sebentar mereka tunggu
juga tak apa. "
"Hm..." dengus Cu Jiang.
Dia tak membawa barang apa2. Hanya sebuah buntalan
dan sebatang pedang kutung. Selesai makan, lebih dulu dia
membuat tanda sandi pada ujung pintu kamar itu, setelah
itu ia memang pelayan supaya mengantarkan kamar yang
disebelah barat.
Tepat pada waktu Ci Jiang pindah kamar, sebuah tandu
yang digotong oleh beberapa bujang perempuan turun di
ujung pintu gang. Seorang nyonya yang berpakaian mewah
turun lalu dengan kepala menunduk masuk ke pintu.
Menilik gerak geriknya dia tentu seorang wanita kaya atau
isteri dari orang berpangkat.
Cu Jiang tak tahu rombongan wanita itu. Dia memakai
sebuah ruangan besar yang terdiri dari tiga kamar.
Tiga hari kemudian, datanglah Ki Siau Hong dengan
membawa berita bahwa dari dalam dan luar kota, telah
bermunculan banyak sekali orang persilatan. Ada yang tak
diketahui asal usulnya. Saat itu kota Ih-shia benar2 menjadi
kandang dari harimau dan naga.
Hari keempat dan kelima, yang datang makin banyak.
Selama itu Cu Jiang tetap berada di rumah penginapan. Dia
tak mau keluar.
Hari keenam atau malam purnama kurang sehari, tetap
belum mendapat hasil penyelidikan, siapa sesungguhnya
Toan kiam-jan jin dan ketua Gedung Hitam itu.
Karena kesal, timbullah keraguan dalam hati Ki Siau
Hong, Song Pak Liang dan Ko Kun bahwa sebenarnya
tokoh Toan-kiam-jan-jin itu tak lain memang Cu Jiang
sendiri.
Cu Jiang sendiri tak kurang gelisahnya. Mengapa sampai
sekian lama menyelidiki tetap belum memperoleh hasil
suatu apa.
Setelah makan2 dan minum arak untuk menghibur
kekecewaan hatinya, Cu Jiang lalu berjalan mondar mandir
di sepanjang lorong gang. Dia sedang menimang-nimang
bagaimana besok akan bertindak.
Dalam rumah penginapan itu juga banyak tetamu orang
persilatan tetapi mereka tak memperhatikan diri Cu Jiang
karena menilik pakaiannya Cu Jiang itu lebih menyerupai
seorang pedagang daripada seorang persilatan.
Ciri dari orang persilatan adalah sepasang matanya yang
berkilat kilat tajam. Tetapi apabila sudah mencapai tataran
tinggi dalam ilmu tenaga dalam, dapatlah ia
menyembunyikan sinar matanya sehingga tampak seperti
orang biasa saja. Demikianlah yang dilakukan Cu Jiang
untuk menghapus perhatian orang.
Tiba2 dari balik sebuah jendela diujung gang terdengar
suara seorang wanita yang dikenalnya. Cu Jiang terkejut.
Tetapi dia pura2 diam saja lalu menyelinap ke arah jendela
itu untuk mendengarkan lebih lanjut. Dengan hati2 ia
menghampiri jendela dan mengintai melalui celah celahnya.
Dari sinar penerangan dalam ruang itu tampak seorang
wanita cantik dalam pakaian sutera sehingga dadanya
tampak menonjol.
Bukankah itu yang dikatakan rombongan tetamu wanita
oleh pemilik rumah penginapan? Mengapa dia tidak akan
melahirkan? Hm, jelaslah sekarang.
Karena hendak mengambil muka pada wanita cantik
maka pemilik rumah penginapan itu meminta dia pindah
lain kamar dengan merangkai alasan kalau wanita itu
hendak melahirkan.
Tiba2 wanita yang menghadap ke sebelah sana, berputar
tubuh menghadap ke arah Cu Jiang. Melihat wajah wanita
itu, hampir saja Cu Jiang berteriak. Untung dia cepat dapat
menekan perasaan dan hanya mundur beberapa langkah.
Darahnya bergolak keras.
Wanita cantik itu tak lain adalah Tiam Su Nio, ketua
dari perkumpulan wanita cabul Hoa-gwat-bun.
Jika musuh lama bertemu, sudah tentu mata menjadi
marah. Cu Jiang tak sangka bahwa dia bakal bertemu lagi
dengan wanita cabul di situ. Mungkin sudah takdir. Malam
ini dia takkan memberi ampun lagi.
Dia kembali ke dalam kamar dan menutup pintu lalu
duduk bersemedhi menenangkan pikiran. Jelas bahwa Bu-
lim-seng-hud Sebun Ong itu berkomplot dengan ketua Hoa-
gwa-bun.
Jika wanita cabul itu berada disini, tentulah Sebun Ong
juga berada disini, Jika benar Sebun Ong datang, ah, Allah
maha pemurah dan arwah toa-suhengnya memang memberi
restu.
Diapun mempertimbangkan untuk segera turun tangan
ataukah tunggu setelah Sebun Ong sudah muncul.
Tetapi karena menjaga gengsi dan Sebun Ong tak mau
datang pada wanita itu, bukankah malam itu dia akan
kehilangan kesempatan baik untuk membasmi wanita cabul
itu ?
Teringat betapa dulu ia hampir saja mati ditangan wanita
cabul itu, mendidihlah darah Cu Jiang. Bunuh saja wanita
itu. Akhirnya ia mengambil keputusan.
Tetapi mereka terdiri dari beberapa pengikut. Kalau
dibunuh dalam rumah penginapan itu tentu akan
menimbulkan kegemparan para tamu lain. Sedang tetamu2
yang menginap disitu kebanyakan orang2 persilatan semua.
Cu Jiang agak bingung memikirkan. Sampai lama belum
juga ia menentukan cara yang tepat. Karena kalau ia tetap
bertindak dan akhirnya ketahuan siapa dirinya, tentulah
kemungkinan dapat mengakibatkan peristiwa besok malam
yang lebih penting, karena siapa berani tanggung bahwa di
antara tetamu2 yang menginap disitu, tak ada orang2 pihak
Gedung Hitam ?
Tiba2 pintu diketuk orang.
"Siapa ?"
"Laote, aku."
"O, Ki-heng, silahkan masuk."
Yang datang itu Ki Siau Hong. Setelah duduk
berhadapan maka Cu Jiang menanyakan maksud
kedatangannya.
"Ah, tidak ada sesuatu yang penting hanya ingin saja."
kata Ki Siau Hong lalu tertawa. Kemudian dengan berbisik
berkata, "besok malam kalau kedua pihak tak muncul,
terpaksa kami akan kembali ke Tayli."
Cu Jiang terkesiap, Ia dapat menyelami arti kata2 Ki
Siau Hong. Jelas Ki Siau Hong dan kawan-kawannya
menyangsikan dirinya. Mereka menduga besok pagi kedua
belah pihak tentu takkan muncul karena jejak Cu Jiang
sudah ketahuan.
Dengan demikian masih berlaku tuduhan bahwa Cu
Jiang yalah Toan kiam-jan jin yang membunuh Ong Kian.
"Ki-heng, kalau kalian memang hendak pulang akupun
tak dapat memaksa. Tetapi sebaliknya peristiwa ini dapat
dibikin terang dulu. Tetapi kalau memang mereka tak mau
muncul karena hendak mengatur siasat, silakan Ki-heng
kembali ke Tayli."
"Kami juga mengharap agar peristiwa ini dapat segera
dibereskan."
"Apakah ada perkembangan lain ?"
"Tidak ada, kedua pihak sama2 diam. Orang yang ingin
menyaksikan pertempuran itu makin lama makin banyak.
Bahkan ada yang datang dari tempat yang jauh. Memang
kedua tokoh itu sangat menarik perhatian seluruh umat
persilatan."
"Apakah sesungguhnya rencana mereka?"
"Belum jelas."
"Apakah Ki heng pernah melihat Bu-lim-seng hud Sebun
Ong muncul disini. Mestinya dalam peristiwa sebesar ini
dia tentu datang . . ."
"Tidak."
"Aku bahkan menemukan sesuatu."
"Apa?"
"Yang tukar kamar dengan aku ternyata ketua Hoa-goat-
bun Tiam Su Nio."
"Ah, lalu apakah laute akan bertindak?"
"Tentu, tetapi kuatir akan mengejutkan tetamu-tetamu
yang lain sehingga mengakibatkan acara besok malam itu."
"Awasi dia, setelah besok malam selesai, baru bertindak."
"Yah .... terpaksa memang harus begitu."
"Aku hendak pamit. Kalau tiada suatu perubahan apa2,
maka aku tak datang kemari lagi."
"Baik."
Ki Siau Hong sengaja bicara sekerasnya: "Laute, besok
dalam pertemuan partai kita di ruang Tang hun-kheng,
harap datang!"
"Tentu," sahut Cu Jiang dengan suara keras juga.
Setelah Ki Siau Hong pergi, Cu Jiang kembali merenung.
Yang dia kuatirkan kalau gerombolan Hoa-goat-bun itu
sampai lolos lagi. Untuk mencari mereka tentu makan
waktu yang lama.
Saat itu sudah menjelang tengah malam. Cu Jiang
memadamkan lampu dan membaringkan badannya. Dia
memutuskan apabila sampai terjadi keributan, dia hendak
tinggalkan rumah penginapan itu dan sembunyi di luar kota
hingga sampai besok malam.
Dengan gunakan gerak Gong-gong-poh, dia melompati
tembok dan menyelinap ke ujung halaman. Ruang disitu
masih menyala penerangannya sehingga dari tirai jendela ia
dapat melihat ketua Hoa goat-bun tidur terlentang di atas
ranjang. Tubuhnya yang menarik, tentu menyengsamkan
setiap lelaki yang memandangnya.
Cu Jiang batuk-2.
"Siapa?" terdengar teguran dari dalam ruang dan pada
lain kejap muncullah seorang dara baju biru. Melihat Cu
Jiang, dia terkejut.
Menyusul muncul lima orang lelaki dan perempuan.
Seorang lelaki setengah umur, maju ke hadapan Cu Jiang,
mengawasi lekat2 lalu menegurnya.
"Mengapa sahabat berani sembarangan masuk kemari?"
"Aku hendak menemui majikanmu." sahut Cu-Jiang
dingin.
"Majikan kami tak ada, hanya rombongannya yang ada.
Sahabat dari mana?"
"Mencari hiburan."
"Apa ?"
"Tetamu iseng."
Sekalian anak buah Hoa-goat-bun berobah mukanya dan
lelaki itu deliki mata, membentak.
"Disini keluarga pembesar, rasanya engkau memang
bosan hidup . .. ."
"Keluarga pembesar ? Kapankah kiranya ketuamu yang
terhormat itu menjadi keluarga pembesar negeri ?"
Mendengar kata2 "ketua", wajah lelaki itu terperanjat
dan berseru dengan menggigil.
"Sahabat, sebutkan dirimu siapa ?"
"Apakah kata-kataku tadi tidak benar ?"
"Jika begitu jangan harap engkau dapat pergi dari sini
dengan membawa nyawamu."
"Apabila bertemu dengan ketuamu, aku dapat memberi
penjelasan."
"Tidak !"
"Tidakpun harus bisa !" cepat Cu Jiang gunakan gerak
langkah Gang-gong-poh melesat kian kemari lalu gunakan
ilmu jari Hui-ci-tiam, sess, sesss, dua orang lelaki dan tiga
wanita segera rubuh.
"Ha, ha, ha. sahabat sungguh lihay sekali !" entah kapan
tahu2 ketua Hoa goat bun telah muncul dipinggir pintu.
Melihat itu mata Cu Jiang berkilat-kilat memancarkan
hawa pembunuhan. Tetapi ketua Hoa-goat-bun tenang saja.
"Bagaimana kita bicara didalam," katanya menggeliat
dengan wajah menghormat.
Sedangkan gadis yang seorang lagi melontarkan senyum
berani kepada Cu Jiang lalu membuka kain tirai. Gadis itu
tak lain adalah Soh-hun-li yang pernah bersama ketua Hoa-
goat-bun menyaru sebagai Tiong Hong Hui dan puterinya.
Diam2 Cu Jiang gembira karena sekaligus dia akan dapat
membasmi dua ekor rase. Segera ia melangkah masuk,
diikuti ketua Hoa-goat-bun. Ia duduk disebuah kursi dan
mempersilakan Cu Jiang duduk di kursi yang lain.
Cu Jiang tak mau sungkan lagi terus duduk tak berapa
jauh. Bau yang harum bertebaran tetapi hati anak muda itu
tetap masuk. Sedang Soh-hun li berdiri di belakang ketua
Hoa-goat-bun.
"Malam2 datang kemari tentulah sahabat mempunyai
urusan penting?" ketua Hoa goat-bun mulai membuka
pembicaraan.
"Ya."
"Tadi sahabat mengatakan hendak cari hiburan."
"Hm," Cu Jiang merah mukanya. "Sukalah memberi
tahu nama sahabat ini."
"Ini... tak perlu ..."
"O. apakah kita pernah bertemu?" ketua Hoa goat-bun
tertawa genit.
"Ya, tidak hanya sekali saja."
Ketua Hoa-goat-bun kerutkan alis, ujarnya:
"Kapan dan di mana."
Cu Jiang tak mau banyak berbelit belit. Dia terus
langsung berkata:
"Kedatanganku kemari adalah karena atas permintaan
seorang sahabat."
"Atas permintaan orang?" ketua Hoa goat-bun mulai
agak berobah cahaya mukanya.
"Benar."
"Siapa?"
"Kui jiu sin Jin Bun Yak Ih?"
Ketua Hoa goat bun seperti terpagut ular. Dia melonjak
dari kursinya. Wajahnya pucat.
"Engkau mengatakan Ban Yak Ih? "
"Benar."
"Lalu dia minta tolong apa saja kepada sahabat?"
"Sebelum kukatakan hal itu, aku hendak mohon tanya
sebuah hal."
"Soal apa?"
"Dimanakah saat ini sahabatmu yang bernama Bun lim
seng hud Sebun Ong itu?"
"Apa? Sahabatku? Engkau salah, aku tak punya
hubungan apa2 dengan Sebun Ong."
"Benar?"
"Masakan tidak!"
Cu Jiang menggeram. Tetapi diapun tak dapat berbuat
apa2 karena ia masih tak mau mengatakan siapa dirinya.
"Baik, kalau anda tak mengaku, tak perlu dibicarakan
lagi. "
"Sahabat, sekarang katakanlah, apa permintaan Bun Yak
Ih kepadamu?"
"Adakah anda ini hujin (isteri) dari Bun cianpwe?"
"Memang pernah menjadi isterinya."
"Dan sekarang tidak lagi?"
"Apa katanya?"
"Membunuh engkau!"
Wanita itu terkejut tetapi sesaat kemudian tertawa
nyaring. Soh-hun-li juga ikut tertawa seperti mendengar
sebuah lelucon,
"Tiam Sa Nio, apa yang engkau tertawakan?" tegur Cu
Jiang.
Ketua Hoa goatbun hentikan tawanya dan melirik:
"Bun Yak Ih belum meninggal, mengapa urusan suami
isteri harus diserahkan kepada lain orang?"
"Mempunyai isteri begitu macam, dia malu bertemu
dengan kaum persilatan!"
"Kenapa diriku? adakah seorang ketua sebuah
perkumpulan itu menghina namanya?"
"Hinaan saja masih belum cukup. "
"Lalu bagaimana?"
"Membuat dia tak dapat mengangkat muka untuk
selama-lamanya."
"Benar."
"Sahabat, apakah engkau mampu melakukan."
"Pasti."
Kembali ketua Hoa-goat-bun itu tertawa. Tiba2
serangkum bau harum bertebar menusuk hidung Cu Jiang.
Dia tergetar hatinya dan segera menyadari bahwa wanita
itu tengah melepas siasat busuk... racun.
Tetapi karena dia membekal mustika Thian-Ju-cu maka
diapun tak kena apa2.
Melihat pemuda itu tak kurang suatu apa, diam2 ketua
Hoa-goat-bun terkejut tetapi ia masih bersikap tenang.
"Sahabat, engkau memang hebat. Adalah kami yang
kurang cermat. Karena melakukan permintaan Ban Yak Ih,
sebetulnya engkau tentu sudah menyiapkan penolak racun."
"Asal engkau sudah tahulah."
Ketua Hoa-goat-bun itupun berdiri, berjalan dua langkah
dan berseru:
"Sahabat, harap menyebut dirimu dulu, maukah ?"
"Ah, tak perlu."
"Tidak ! Dapat membunuh ketua Hoa-goat-bun dan
sebelumnya memberitahuku dulu, tentu bukan tokoh
sembarangan."
"Salah ! Aku tak lain hanya seorang kerucuk tak ternama
dalam dunia persilatan."
Ketua Hoa-goat-bun terkesiap, tertawa.
"Bagaimana engkau hendak turun tangan ?"
"Saat ini ditempat ini juga !"
"Waktunya sudah keliwat lama mengapa tak lekas turun
tangan ?"
Cu Jiang tertawa dingin. Ia meletakkan buntalannya
keatas kursi lalu pelahan-lahan membukanya. Ketua Hoa-
goat-bun dan Soh-hun-li heran melihat tingkah laku
pemuda itu.
Setelah lipatan buntalan kain itu dibuka maka tampaklah
sebuah kerangka pedang yang bertebar mutiara. Suasana
saat itu segera berobah tegang penuh dengan hawa
pembunuhan.
Tiba2 Cu Jiang tertegun. Kalau dia mencabut pedang itu,
jelas dirinya akan ketahuan. Maka dia harus berhasil untuk
membasmi semua gerombolan Hoa-goat-bun. Tak boleh
ada seorangpun yang di biarkan hidup.
Dengan tangan kiri memegang kerangka dan tangan
kanan memegang tangkai pedang, pelahan-lahan dia berdiri
dan berhadapan dengan Tiam Sa Nio.
Tiba2 Soh-bun-li melengking lain secepat kilat menerjang
Cu Jiang. Dia mendahului menyerang untuk mengetahui
sampai dimana kesaktian anak-muda itu.
Tampak pedang berkilat, terdengar erang pelahan disusul
dengan tubuh Soh-hun-li yang rubuh berlumuran darah.
Karena menjaga jangan sampai membuat suara sehingga
mengejutkan lain tetamu, maka Cu Jiang bergerak cepat
sekali. Yang diarah bagian tenggorokan sehingga Soh hun li
tak sempat menjerit lagi.
Tampak wajah ketua Hoa goat bun pucat dan mulutnya
segera memekik kaget:
"Toan kim jan jin!"
"Bagus, engkau tentu dapat mati dengan mata meram . ."
Tiba2 tubuh ketua Hoa goat bun bergeliat dan
terdengarlah letupan keras disusul dengan gulungan asap
yang menebar menggelapkan pandang mata.
"Celaka!" diam2 Cu Jiang mengeluh. Setelah
menentukan arah tempat lawan, dia terus menabas tetapi
ternyata tempat kosong.
Karena ruang itu tak berapa besar maka kepulan asappun
segera memenuhi seluruh ruang sehingga gelap sekali. Cu
Jiang terpaksa loncat keluar. Beberapa saat setelah asap
menipis, ternyata dalam ruang itu sudah kosong. Tiam Su
Nio sudah lolos dari jendela.
Marah Cu Jiang bukan kepalang. Dirinya sudah
diketahui tetapi dia tetap belum dapat membasmi wanita
itu. Tidakkah hal itu akan menambah kesulitan lagi
baginya?
Diam2 dia menyesal mengapa membuang waktu bicara
begitu lama. Kalau dia terus turun tangan secepatnya,
tentulah wanita itu tak dapat lolos.
Berpaling ke belakang dilihatnya kelima anak buah Tiam
Su Nio yang masih tak dapat berkutik.
Mereka banyak melakukan kejahatan, lebih baik
dilenyapkan. Dia segera menutuk jalan darah kematian
mereka.
Untuk mengejar wanita itu tentu sukar dan makan waktu
lama. Tiam Su Nio tak mengerti bahwa dia menginap disitu
juga dan peristiwa tadi ternyata tak mengejutkan lain
tetamu. Maka diapun segera kembali ke kamarnya lagi.
Tanpa menyalakan lampu dia terus menutup pintu dan
tidur.
Ketika bangun matahari sudah bersinar, ia tak
mendengar suara apa dari sebelah kamar mereka. Dengan
begitu peristiwa semalam tentu belum didengar orang lain.
Ketika turun dari pembaringan, hampir dia menjerit.
Ketua partai Hoa-goat-but ternyata muncul di atas meja.
Waktu dia merentang mata memandangnya ternyata yang
berada di meja itu adalah batang kepala Tiam Su Nio.
Cu Jiang cepat menghampiri dan memeriksa kepala
manusia itu. Siapakah yang membunuh ketua Hoa-goat-
bun. Dan mengapa dikirim kedalam kamarnya? Adakah Ki
Siau Hong yang melakukan? Ah, tak mungkin. Gong-gong-
cu telah memberi pesan, melarang keempat pengawal itu
untuk turun tangan. Lalu siapa?
Mengapa orang itu tahu tentang dirinya lalu membunuh
Tiam Su Nio dan mengirim kepalanya kedalam ruang
kamarnya.
Sepasang mata wanita itu masih terbelalak dan wajahnya
pucat tetapi masih tampak seperti orang hidup.
Tiba2 ia melihat secarik kertas di meja itu Buru2
diambinya. Tulisannya indah dan lemas, tentu tulisan
seorang wanita. Bunyinya:
"Tak sengaja bertemu disini. Tahu bahwa anda menghendaki
jiwa wanita beracun ini. Maka dengan ini kupersembahkan
kepalanya sebagai balas budi anda dahulu kepadaku.
Yin-yin.
Yin-yin ? Siapakah Yin-yin itu ? Dia coba berusaha
untuk menggali ingatannya. Ya, ia agaknya kenal dengan
nama itu Tang Yin-yin, oh .... dia adalah anak murid dari
Bu-san-sin-li itu!
Ya, benar dia telah menolong wanita itu minggat dari
cengkeraman Bu-san sin-li.
Ah, sungguh kebetulan sekali peristiwa ini. Tetapi diam2
diapun berdebar. Kiranya dirinya telah diketahui orang.
Padahal dia sudah berusaha sekuat mungkin untuk tidak
mengadakan gerakan apa2 dan menyembunyikan diri.
Kemudian diapun berterima kasih atas bantuan Yin-yin.
Dengan terbunuhnya Tiam Su Nio, tentulah dapat dicegah
akibat lebih luas dari tindakan Tiam Sunio untuk
menyiarkan tentang diri Toan-kiam-Jan Jin.
Tiba2 terdengar langkah kaki orang mendatangi dan
pada lain saat terdengar pintunya diketuk: "Tuan hendak
pesan makanan apa?"
"Sejam lagi kirimkan hidangan dan arak. Dobel porsi
sekali." kata Cu Jiang.
"Baik."
"Dan juga carikan beberapa helai kertas minyak,
beberapa utas tali kecil. Masukkan dalam rekening."
"Baik, tuan."
Setelah pelayan itu pergi, Cu Jiang lalu menaruhkan
kepala orang itu diatas ranjang kemudian membersihkan
meja. Pada saat itu pelayanpun datang dengan membawa
kertas dan tali.
Setelah pelayan pergi, Cu Jiang lalu membungkus kepala
Tiam Su Nio itu dengan kertas minyak dan diikat dengan
tali lalu dibungkus lagi dengan buntalan kain. Dengan
begitu tentu takkan menimbulkan kecurigaan orang.
"Pembunuhan !" tiba2 dari gedung sebelah terdengar
orang berteriak dan tak lama ramailah orang mengerumuni.
Cu Jiang tenang2 saja berada dalam kamar. Dia tak mau
ikut menonton karena kuatir akan ketahuan dirinya.
Sampai siang masih ramai orang mendatangi rumah
penginapan itu. Diantaranya terdapat pembesar daerah
yang memeriksa.
Siang itu Song Pek Liang datang membawa berita bahwa
di belakang biara Kang sim-bio, didekat tepi sungai telah
didirikan sebuah panggung.
Tetapi tak diketahui siapa yang memerintahkan.
Pekerja2 yang membangun panggung itu hanya memberi
keterangan bahwa mereka menerima pesanan dari seorang
lelaki yang tak dikenal.
Dengan tak sabar Cu Jiang menunggu siang berganti
malam. Setelah malam baru dia menuju ke tempat itu. Dia
telah mempergunakan dandanan sebagai seorang saudagar.
Pedang kutung dibawanya sedangkan kepala Tiam-su-nio
disimpan dalam kamar dan dikuncinya.
Sepanjang jalan banyak sekali rombongan2 orang
persilatan yang berbondong-bondong menuju tempat itu.
Toan-kiam jan-jin menantang ketua Gedung Hitam
memang merupakan berita yang paling menggemparkan
dalam tahun ini.
Tampak ditempat itu dibangun sebuah panggung setinggi
satu tombak, luas dua tombak lebih.
Dimuka dan kanan kiri panggung itu dipagari dengan
pagar bambu diberi jalan seluas tiga tombak. Orang yang
melihat hanya dapat dari luar pagar bambu.
Cu Jiang menyusup diantara penonton. Tak lama Ki
Siau Hong, Song Pek Liang dan Ko Kun bermunculan.
Mereka memberi salam melalui kicupan mata.
Dikanan kiri panggung dipasang dua buah obor besar
sehingga suasana panggung terang benderang. Di bawah
panggung orang penuh sesak seperti melihat pasar malam.
Tetapi sampai lama sekali belum juga tampak acara
dimulai, bahkan seorangpun tak muncul diatas panggung.
Lama menunggu penonton tak sabar dan mereka bersungut-
sungut berisik sekali.
Cu Jiangpun juga gelisah. Kalau kedua orang itu benar2
tak muncul dan hanya suatu siasat, tentulah Ki Siau Hong
dan kawan- kawannya makin mencurigai dirinya.
Sampai menjelang tengah malam masih tetap panggung
itu kosong melompong, Song Pek Liang menghampiri ke
sisi Cu Jiang dan berkata seorang diri:
"Ah, rasanya Toan-kiam jan-Jin malam ini tak berani
unjuk muka."
Apa maksud kata2 itu, Cu Jiang sudah dapat
menangkap. Sekonyong-konyong sesosok bayangan
manusia melayang ke udara dan melayang turun keatas
panggung dengan gerakan yang indah sekali.
Hiruk pikuk para penonton lenyap seketika. Kini mereka
mencurah pandang pada pendatang itu.
Cu Jiang terkejut juga. Tetapi ketika ia memandang ke
arah panggung ternyata yang muncul itu seorang lelaki
muda berumur 30-an tahun, mengenakan pakaian
berkabung dan membawa pedang.
Wajah memberingas dan membungkuk tubuh memberi
hormat kearah penonton, serunya.
"Aku yang rendah, Ong Cu Bo dari gunung Hong san,
sengaja naik ke panggung untuk menantang Toan kiam Jan-
Jin!"
Terdengar suara hiruk di bawah panggung. Bahwa ketua
Hong-san-pay dibunuh dan puterinya dinodai
kehormatannya telah diketahui seluruh dunia persilatan.
Maka munculnya Ong Cu Bo tidaklah mengherankan
mereka.
Perasaan Cu Jiang benar2 sakit sekali. Orang telah
memalsu dirinya dan telah membunuhi beberapa tokoh
persilatan yang terkenal. Dengan demikian kaum persilatan
tentu membenci kepada Toan-kiam jan jin.
Sedangkan Song Pek Liang hanya tertawa dingin
sehingga hati Cu Jiang makin tertusuk.
"Toan-kiam jan-jin, hayo keluarlah! Apa engkau takut
mati ! Binatang, mengapa engkau menyembunyikan diri
seperti kura-kura .. . ."
Geraham Cu Jiang bergemerutuk keras tetapi apa daya?
Dia memutuskan, jika tak mampu membekuk orang yang
memalsu dirinya itu, untuk selama-lamanya dia tak mau
memakai nama Toan-kiam jan-jin lagi. Tetapi bagaimana ia
harus menjelaskan kepada Ki Siau Hong bertiga?
Sekonyong-konyong sesosok bayangan mendesak
kesamping Cu Jiang bahkan membenturnya lalu berkata :
"Bagaimana ini ?"
Cu Jiang berpaling. Ternyata disampingnya seorang tua
bertubuh pendek dengan sepasang mata yang berkilat-kilat
tajam. Siapa lagi kalau bukan si orang aneh Lam kek-soh
sahabat kental dari guru Cu Jiang, Gong gong-cu.
Cu Jiang tertawa meringis dan gelengkan kepala:
"Tunggu sampai Toan-kiam-jan-Jin muncul di atas
panggung !"
Lam kek-soh mendengus tak berkata apa2. Kembali
sesosok tubuh melesat keatas panggung.
"Itu dia!" teriak sekalian orang.
"Hai. bukan dia !" sesaat kemudian seorang lain berseru
terkejut.
Ong Cu Bo yang sudah lintangkan pedang tiba2 pun
julaikan pedangnya ke bawah lagi.
Yang naik ke panggung itu seorang tua berambut merah,
gagah perkasa dengan memegang sebatang tongkat theng-
ciang (rotan). Dia memandang kearah sekalian penonton
lalu berseru dengan dingin:
"Toan-kiam jan-jin, hendak kucincang tubuhmu. Kini
engkau tak berani keluar, terang engkau memang kutu
busuk !"
"Cianpwe, siapakah dia ?" tanya Cu Jiang kepada Lam
ki-soh.
"Belum pernah melihatnya," Lam-ki-soh gelengkan
kepala.
Ong Cu Bo pun memandang orang tua gagah itu dengan
tercengang. Tetapi orang tua gagah itu tertawa mengekeh
dan berkata seorang diri:
"Toan - kiam jan jin mengandalkan ilmu pedangnya
untuk berbuat sekehendak hatinya. Sekarang hendak
kucincang tubuhnya, kubeset kulitnya. Ternyata malam ini
kedua belah pihak sama2 tak muncul. Rupanya ketua
Gedung Hitam itu juga bangsa kura2 tua!"
Sudah tentu ucapan itu menimbulkan gelak tawa
sekalian penonton. Sementara Cu Jiang masih belum habis
herannya, siapakah gerangan orang tua yang berani
menantang Toan-kiam-jan-jin itu? Bahkan berani juga
memaki ketua Gedung Hitam sebagai bangsa kura2.
Siapakah dia?
Tiba2 melayang pula sesosok bayangan ke belakang
kedua orang itu. Tiada seorangpun yang tahu kapan dan
bagaimana dia berada di panggung. Seolah-olah dia
memang sudah berada disitu.
"Toan kiam jan jin! " terdengar sorak gegap gempita dari
sekalian penonton.
Seketika gemetarlah Cu Jiang. Benar, memang yang
muncul di atas panggung itu adalah orang yang mirip
dirinya waktu masih menjadi Toan kiam jan jin.
Mengenakan baju sasterawan warna biru dan kerudung
kepala serta muka warna biru juga. pinggangnya tergantung
sebuah kerangka pedang, tangkai pedang berhias mutiara.
Song Pek Liang dan Lam ki soh berpaling ke arah Cu
Jiang dan memandangnya dengan heran.
Cu Jiang memandang lekat2 ke panggung. Rupanya Ong
Cu Bo dan lelaki tua gagah itu merasa lalu serempak
berputar tubuh. Begitu melihat Toan-kiam-jan-jin sudah
hadir di situ, mereka berteriak kaget dan bersiap-siap.
Dengan wajah mengerut dendam kemarahan Ong Cu Bo
segera menegur:
"Apakah anda ini Toan-kiam-jan-jin?"
"Benar, siapa engkau?"
"Putera dari ketua Heng san pay, Ong Cu Bo!"
"Mau apa engkau?"
"Menagih hutang darah kepada anda."
Cu jiang sudah mulai mengisar langkah tetapi Lam ki
soh cepat membentaknya:
"Peristiwa aneh sekali, jangan sembarangan bergerak!"
Cu Jiang terpaksa menurut.
Dengan langkah tertatih tatih pincang, Toan kiam jan jin
menghampiri dan berseru:
"Lawanku malam ini adalah ketua Gedung Hitam. Yang
lain lainnya tidak sepadan!"
"Cabut pedangmu!" teriak Ong Cu Bo.
"Engkau hendak menjadi orang pertama yang berlumur
darah?" seru Toan kiam jan jin.
"Cabut pedangmu!"
"Engkau tak berharga menghadapi aku!"
"Aku hendak mencincang tubuhmu!" Ong Cu Bo terus
menyerang.
Sekali bergerak, sudah dapat diketahui seorang jago itu
sungguh berisi atau kosong. ilmu pedang dari Jago muda
Heng-san-pay itu memang hebat sekali. Juga tenaga
dalamnya amat tinggi.
Apalagi dia menyerang dengan penuh dendam kesumat,
sudah tentu gerakannya maut sekali.
"Huakkkk..." terdengar Jeritan ngeri dan tubuh Ong Cu
Bopun terhuyung-huyung dua kali lalu rubuh. Sekalian
penonton terlongong menyaksikan permainan ilmu pedang
Toan-kiam jan- Jin.
Kecuali Cu Jiang seorang, tak ada lain orang lagi yang
dapat melihat bagaimana cara Toan-kiam-Jan jin bergerak
tadi.
Diam2 Cu Jiang menyesal. Kalau dia muncul ke atas
panggung tentulah dia dapat menyelamatkan jiwa putera
dari ketua Heng-san-pay itu.
Kemudian Toan-kiam Jan-jin menghadap lelaki gagah
berambut merah, serunya.
"Apa kata anda ?"
Wajah lelaki tua berambut merah itu pucat dan belum
beberapa lama tak kedengaran dia membuka suara. Tahu2
dia terus melayang turun ke bawah panggung.
Kini diatas panggung hanya tinggal Toan-kiam Jan-Jin
seorang. Suasana penuh diliputi ketegangan yang
menyeramkan.
Beratus-ratus jago2 silat yang berkumpul di bawah
panggung, tak seorangpun tahu bagaimana gerak pedang
Toan-kiam-jan-jin, apa nama jurus ilmu pedang itu, hanya
pernah mendengar namanya tetapi belum pernah melihat
kenyataannya. Kini apa yang mereka saksikan, benar2
membuat mereka kesima.
Tetapi dibalik rasa kagum, terpencarlah rasa ngeri dalam
hati setiap orang. Karena dengan munculnya seorang tokoh
semacam itu, Jelas dunia persilatan akau menjalani hari
kiamat.
Sementara saat itu Toan kiam jan-jinpun menyimpan
pedangnya dan dengan suara tandas berseru:
"Apakah ketua Gedung Hitam benar2 tak mau keluar
menyambut tantanganku ?"
Sejak berpuluh tahun tak pernah terdapat manusia yang
berani menantang ketua Gedung Hitam, apalagi menantang
secara terang-terangan di depan umum.
Setiap jago silat yang berada di tempat itu sangat ingin
sekali melihat ketua Gedung Hitam muncul. Mereka ingin
tahu bagaimana wujud ketua Gedung Hitam, tokoh yang
selama ini merupakan tokoh misterius dalam dunia
persilatan.
Sekalian orang menahan napas. Apakah ketua Gedung
Hitam berani keluar ? Jelas bahwa tokoh misterius itu tentu
sudah berada diantara orang2 yang hadir ditempat itu.
Siapakah sesungguhnya yang lebih Sakti, ketua Gedung
Hitam atau Toan-kiam-jan-Jin ?
Malam makin larut. Toan-kiam-jan-Jin masih berdiri
tegak diatas panggung, bagaikan seorang malaikat pencabut
nyawa. Sayang tak tampak bagaimana wajah yang
sebenarnya dibalik kain kerudung yang menutupi mukanya
itu.
Sekonyong-konyong dari samping panggung sesosok
bayangan melayang keatas panggung. Ternyata seorang tua
kurus berjubah hitam. Tangannya membawa sebuah
buntalan kain.
Begitu berada dipanggung terus melontarkan buntalan
itu kelantai panggung lalu berdiri dengan mendekap kedua
tangan.
Ketua Gedung Hitamkah itu ?" Pikir Cu Jiang. Tetapi ia
melihat perawakannya tidak mirip.
Toan-kiam-jan-Jin berputar tubuh dan menghadap orang
tua itu menegur dingin:
"Siapakah anda ?"
Walaupun bertubuh kurus tetapi nada suara orang tua itu
amat besar dan nyaring.
"Aku pemimpin pengawal pribadi dari ketua Gedung
Hitam. Namaku Ki Gai Kah."
Toan-kiam-Jan-Jin tertawa dingin. "Ki Gai Kah,
bukankah engkau ini Thian lan pohcu ? Mengapa engkau
menjadi anjing penjaga ketua Gedung Hitam?" serunya.
"Peliharalah lidahmu yang baik," Ki Gai Kah
mendengus dingin.
"Orang she Ki, perlu apa engkau naik ke panggung.?"
"Mewakili pohcu !"
"Yang kutantang bertempur adalah pohcu sendiri."
"Pohcu kami akan muncul nanti."
"Kalau begitu perlu apa engkau keluar ?"
"Untuk mengadakan pemeriksaan."
"Apa ?"
"Memeriksa diri anda yang sebenarnya."
Ucapan itu telah menimbulkan berbagai bisik-bisik
dikalangan penonton, Cu Jiang tahu bahwa sebentar lagi
bakal terjadi pertunjukan yang menarik.
Mata Toan-kiam-Jan-jin berkilat-kilat memancarkan
hawa pembunuhan dan dengan suara gemetar berseru:
"Ki Gai Kah, apa maksud omonganmu?"
"Pohcu kami sangsi, apakah anda ini benar Toan-kiam-
jan jin yang aseli."
"Ha, ha, ha, apakah perlu harus memalsu diri ?"
"Berhati-hati terhadap orang, memang yang paling baik.
Dalam pertemuan besar ini, banyak sekali hal2 yang harus
dicurigai."
"Bagaimana kalau engkau menyambuti barang sejurus
saja dari pukulan untuk membuktikan palsu atau tidaknya
diriku?"
"Tunggu, kita harus bicara yang jelas . . ."
"Katakan !"
"Menurut penilaian pohcu kami terhadap perangai Toan-
kiam-Jan-jin, ada beberapa hal yang perlu ditanyakan."
"Tanyakanlah !"
"Pertama. Toan-kiam-Jan-jin itu seorang manusia yang
suka menyendiri dan angkuh. Tak mungkin mau
menantang bertempur diatas panggung terbuka seperti ini.
Kedua, sinar mata anda kurang pancaran dendam dan
keganasan. Ketiga, perawakan anda juga kurang tinggi
sedikit, begitu pula suara anda. Keempat, cara anda
mencabut pada pedang tidak sama seperti dulu. Dan
kelima, dalam peristiwa pembunuhan yang terjadi pada
akhir2 ini, jelas Toan-kiam-jan-Jin tak bersangkut ..,."
"Masih ada lagi?!
"Rasanya sudah cukup."
Cu Jiang diam2 terkejut. Ia tak mengira ketua Gedung
Hitam ternyata memiliki pengetahuan yang cermat
terhadap dirinya. Juga sekalian penonton terdengar hiruk
pikuk.
Seluruh mata penonton tertumpu pada diri orang yang
diduga sebagai Toan-kiam jan Jin palsu itu.
Toan-kiam jan jin yang berada diatas panggung
terdengar mendengus geram.
Si Gui Kah, aku tak sudi melayani ocehanmu. Yang
akan kubunuh yaitu ketua Gedung Hitam. Kalau engkau
mau menjual jiwa antiknya, lekas copot nyawamu dan
letakkan dipanggung ini!" serunya.
"Nanti dulu." Si Gui Kah memberi isyarat tangan,
"masih ada yang hendak kukatakan."
Tetapi Toan-kiam jan jin sudah mencabut pedang
kutungnya dan membentak:
"Jangan banyak mulut, lekas engkau bunuh dirimu . . ."
"Apakah anda tak ingin melihat dua barang yang berada
dalam bungkusan ini." kata Si Gui Kah seraya menunjuk
pada buntalan yang berada di tengah panggung.
Toan-kiam-jan-jin tampak tertegun. "Apa sih barang itu?"
serunya.
"Anda mau melihat?"
"Jangan coba main-main . ."
"Bukti apa?"
"Bukti dari dirimu."
Sekalian orang yang berada disekeliling gelanggang yang
semua dicengkam rasa tegang saat itu berobah heran.
Rupanya Toan-kiam jan-jin juga terkejut. Ia memandang
kearah buntelan kain itu. serunya:
"Si Gui Kah, engkau hendak coba2 membuka rahasia
diriku?"
"Tak perlu aku yang mengatakan, buntalan itu sudah
berbicara sendiri."
"Apakah sebenarnya buntalan itu?"
"Kepala manusia !"
"Apa? Kepala orang?"
"Benar, memang sebutir kepala orang ?"
"Batang kepala siapa ?"
"Batang kepala dari hu-hwat perkumpulan Thong thian-
kau cabang kota Siang-yang, yaitu yang bergelar Ang mo-
kim-kong!"
Toan kiam-Jan jin terkejut. Tiba2 dia menyahut.
"Hal itu tiada sangkut pautnya dengan diriku ?
Dengarkan, kalau malam ini ketua Gedung Hitam tak
berani keluar, dalam beberapa hari dia harus membubarkan
Gedung Hitam dan seluruh anak buahnya. Sejak itu nama
Gedung Hitam hapus dari dunia persilatan! "
Si Gui Kah tertawa gelak2.
"Dengan begitu dalam dunia persilatan hanya ada
Thong-thian-kau, bukan?"
Mendengar itu tiba2 Cu Jiang seperti tersadar.
"Hai, kutahu kiranya urusannya begitu." Song Pek Liang
yang berada di sampingnya, berkata seorang diri.
Cu Jiang berpaling dan mengangguk.
Sebelum Toan-kiam jan jin sampai menyatakan sesuatu,
sekonyong-konyong Si Gui Kah sudah loncat turun dari
panggung dan lenyap dibalik kerumunan orang.
Toan-kiam jan-jin gemetar karena marah.
"Ketua Gedung Hitam, aku hendak membunuhmu. Di
hadapan jago2 dari segenap pelosok dunia persilatan,
beranikah engkau naik ke panggung?"
Saat itu hati Cu Jiang sudah tenang. Dia sudah dapat
menduga apa yang telah terjadi.
Tiba2 diantara kerumun penonton, terdengar seseorang
berseru nyaring.
"Toan kiam jan jin, bukalah buntalan itu!"
Entah karena ingin tahu, entah karena marah
dipermainkan orang, Toan kiam jan jin memang terus
mengambil buntalan itu dan membukanya.
"Astaga...!"
Terdengar pekik teriak terkejut dari sekalian penonton.
Ternyata isi buntalan itu memang sebutir kepala orang.
Kepala dari lelaki tua berambut merah yang barusan naik ke
panggung lalu terbirit-birit melarikan diri itu!
Karena memakai kain cadar yang menutup mukanya
maka tak dapat diketahui bagaimana perubahan wajah
Toan kiam jan jin saat itu. Tetapi dari sorot matanya yang
memancarkan cahaya berkilat, jelas dia tentu juga kaget.
Tetapi hanya sebentar dan sorot mata kaget itu segera
berganti dengan pancaran sinar pembunuhan yang buas
Karena gemas, dia lalu membanting kepala orang itu ke
lantai panggung, bum ....
Terdengar ledakan keras dan disusul asap yang
bergulung-gulung dan suara orang menjerit ngeri. Seluruh
penonton terkejut dan panik. Mereka tak menduga bahwa
kepala manusia itu ternyata berisi bahan peledak.
Sebelum orang2 tenang kembali dan asap reda, beberapa
sosok bayangan telah berhamburan loncat ke atas
panggung. Terdengar beberapa ledakan keras lagi.
Asap hitam membumbung tinggi, keping2 kayu meledak
bertebaran dan sekalian penontonpun kacau balau. Mereka
berdesak-desak menyingkir ke empat penjuru. Pekik dan
erang memenuhi tempat itu.
"Mari kita pergi," Lam-kek soh menggapai kearah Cu
Jiang, "tak ada apa apanya lagi disini."
Cu Jiang meragu, ia menyatakan hendak mencari ketua
Gedung Hitam.
"Kalau dia berada disini, lawan tentu sudah
mencarinya," kata Lam-kek soh.
Untuk menghindarkan kecurigaan orang, Cu Jiang
pulang seorang diri. Saat itu sudah tengah malam. Begitu
masuk ke kamar, Ki Siau Hongpun sudah mengikuti juga.
Dengan penuh rasa sesal pengawal dari Tayli itu segera
menghaturkan maaf.
"Atas nama kawan bertiga, aku menghaturkan maaf atas
segala kesalahan terhadap ciangkun." katanya.
"Ah, itu hanya salah faham tak dapat menyalahkan
kamu bertiga, duduklah."
Tanpa memasang lampu, keduanya duduk bercakap-
cakap.
"Apakah ciangkun sudah dapat menduga peristiwa itu?"
"Ya, siasat dari Thong thian kau."
"Benar. Tahukah ciangkun siapa yang menyaru jadi
Toan kiam jan jin itu?"
"Siapa?" Cu Jiang balas bertanya.
"Kiu-kio Thian-mo, jago nomor lima dari kawanan Sip
pat thian mo. Dia cerdik dan cermat sekali. Jika orang
mempunyai tujuh lubang dia memiliki sembilan lubang.
Itulah sebabnya dia bergelar kiu-kio atau sembilan lubang
..."
"Oh !"
"Dia adalah kepala dari Thong-thian-kau cabang Siang
yang."
"Bagaimana saudara Ki begitu jelas?"
"Sedang lelaki tua berambut merah adalah hu-hwat dari
cabang Thian long kau itu. Setelah turun dari panggung dia
terus dibekuk orang Gedung Hitam, dipaksa supaya
mengaku dan diapun segera menerangkan semua yang telah
terjadi .."
"Bagaimanakah sebenarnya peristiwa itu?"
0dw0

Ki Siau Hong mengisar kursinya ke dekat jendela untuk


menjaga apabila ada orang yang mencuri dengar.
"Tujuan Thian thong kau untuk menggunakan siasat itu
tidak lain untuk memancing ketua Gedung Hitam dan
ciangkun supaya tampil keluar. Karena ciangkun dianggap
sebagai musuh mereka yang utama sedang Gedung Hitam
merupakan saingan mereka dalam rencana mereka untuk
menguasai dunia persilatan."
"Apakah rencana mereka semula menghendaki supaya
aku dan ketua Gedung Hitam keluar ke atas panggung?"
"Benar. Mereka sudah mempersiapkan obat peledak di
bawah panggung. Asal ciangkun naik ke panggung, mereka
segera akan meledakkan panggung "
"Ah."
"Karena tak tampak seseorang naik panggung maka
mereka lalu memutuskan untuk menampilkan diri sebagai
Toan-kiam jan-jin. Agar ketua Gedung Hitam mau keluar.
Tetapi ternyata ketua Gedung Hitam memang cerdik dan
licin.
Sebelumnya dia sudah menyebar anak buahnya di
sekeliling tempat itu untuk mengikuti perkembangan
keadaan. Begitu lelaki berambut merah itu loncat turun dari
panggung, mereka terus menangkapnya.
Kepala lelaki berambut merah itu dipotong, dibuntal
dengan kain, disebelah dalam dari kepala itu diisi dengan
bahan peledak lalu diletakkan di panggung.
"Siasat itu sungguh ganas sekali!" seru Cu Jiang.
"Dan rencana kedua. anak buah Gedung Hitam itu telah
mendahului untuk menguasai barisan pendam anak buah
Thian thong-kau, lalu menyulut api."
"Jika begitu toh telah Kiu-kio Thian-mo sudah mati?"
"Tentu. Dia tentu sudah hancur berkeping-keping
bersama beberapa anak buahnya."
Menggigil hati Cu Jiang mendengar penuturan itu.
Diam2 ia merasa ngeri membayangkan jika tadi dia tak
dapat menguasai diri dan terus loncat keatas panggung,
tentulah saat itu dia sudah menjadi mayat yang hangus.
Dari pengalaman itu ia dapat menarik kesimpulan bahwa
hubungan antara Thong-thian-kau dengan Gedung Hitam
sudah gawat sekali.
"Apakah saat itu ketua Gedung Hitam berada disitu?
tanyanya.
"Jika ada, tentu dia menyamar sehingga sukar dikenali."
"Lalu bagaimana akibat dari peristiwa itu?"
"Hubungan kedua pihak bagaikan air dan api"
"Apakah kalian bertiga tetap hendak pulang ke Tayli?"
"Tidak ! Karena salah faham sudah beres, hamba bertiga
tetap akan melakukan titah Kok-su untuk membantu
ciangkun. Sungguh beruntung kami mendapat bantuan dari
Lam kek-soh..."
"Apa yang terjadi dengan dia ?"
"Adalah karena memandang muka Kok-su maka dia
mau membantu kita."
"Lalu bagaimana dengan Ong Kian?"
"Mayatnya telah kami bakar, abunya kelak akan kami
bawa pulang dan dikubur dengan upacara yang layak."
Cu Jiang mengangguk.
"Lalu bagaimana langkah engkau selanjutnya ?" tanya Ki
Siau Hong.
"Saat ini aku hendak menuju ke gunung Tay-pa-san
untuk menemui seorang sakti yang aneh."
"Siapa ?"
"Ih Se lojin."
"Untuk apa ?"
"Meminta petunjuk kepadanya tentang ilmu yang dapat
untuk menghancurkan Gedung Hitam."
"Oh..."
"Sebelum kemudian aku akan kembali kekota Huyang
dan akan bertemu dengan Ang Nio Cu dirumah penginapan
Naga Hijau."
"Apakah ciangkun masih ada pesan lagi ?"
"Tidak."
"Jika begitu hamba hendak mohon diri."
"Silakan,"
Ki Siau Hung berbangkit, dengan hati2 ia membuka
jendela lalu loncat keluar dan lenyap dalam kegelapan.
Cu Jiang teringat akan batang kepala dari Ciam Su Nio
yang masih disembunyikan dibawah ranjang. Pikirnya. Jika
wanita itu muncul di situ, tentulah Bu lim-seng hud Sebun
Ong juga akan datang.
Mengapa dia tak mau menggunakan batang kepala itu
untuk memikat agar Sebun Ong mau unjuk diri ?
"Hem." serunya dalam hati, "aku harus membalaskan
sakit hati toa-suheng."
Dia tak jadi tidur. Setelah mengemasi barangnya dan
meninggalkan sekeping perak diatas meja, dia lalu
menjinjing bungkusan kepala orang itu dan terus loncat
keluar.
Saat itu kota sunyi senyap. Kecuali kentongan ronda,
seluruh penjuru tak terdengar suara apa2 lagi.
Ia memilih sebuah tiang lentera penerangan jalan lalu
memancang kepala orang itu diatas tiang. Setelah itu dia
bersembunyi ditempat gelap.
Malam cepat sekali berlalu. Menjelang terang tanah, di
jalan mulai muncul orang2 yang gempar melihat kepala
orang diatas tiang lampu jalan.
Cu Jiang juga keluar dan berjalan mondar-mandir. Kini
makin lama makin banyak orang berkerumun untuk
menyaksikan peristiwa itu. Mula2 mereka hiruk pikuk
menduga-duga siapa kepala dari wanita secantik itu.
Bagi kaum persilatan, peristiwa itu tidak mengherankan
tetapi bagi kaum awam, sudah tentu mereka menganggap
hal itu sebagai sesuatu yang menggemparkan.
Sekonyong-konyong sesosok tubuh melayang ke udara,
melampaui tiang lampu dan pada lain kejap orang itupun
sudah lenyap. Cepat sekali gerakannya sehingga orang2 tak
sempat untuk berteriak.
Saat itu Cu Jiang berada pada jarak lima enam tombak
dari tiang lentera tetapi dia juga tak mampu melihat siapa
bayangan orang itu. Cepat ia melesat, loncat ke atas
wuwungan rumah dan mengejar.
Lari orang itu memang cepat sekali. Dalam beberapa
kejap dia sudah melampaui tembok kota, Cu Jiangpun
segera tancap gas, mengejar keluar kota.
Diluar kota, orang makin banyak. Ada yang mau masuk
kota dan ada yang keluar dari kota. Cu Jiang gemas sekali.
Dia mengingat ingat perawakan, pakaian dan gerak-gerik
orang itu. Kemudian dia berhenti di tepi jalan sambil
memperhatikan setiap pejalan yang lewat.
Sampai setengah jam menunggu, ia merasa kecewa. Dia
tak melihat seorang yang menimbulkan kecurigaan.
Akhirnya ia memutuskan, lebih baik tak melanjutkan
pengejaran yang sia-sia itu.
Teringat akan waktu perjanjiannya dengan Ang Nio Cu,
ia harus lekas2 menuju ke Tay pay san. Soal jalanan, ia sih
kenal. Tetapi ia tak tahu berapa lama ia dapat kembali dari
gunung itu.
Ia bergegas mencari tempat yang sepi untuk berganti
pakaian, menyamar sebagai seorang pemuda desa. Dengan
begitu, dia tentu tak banyak menimbulkan perhatian orang.
Setelah melintasi sungai Han cui, dia lalu mengarahkan
perjalanan ke timur laut. Dalam beberapa waktu dia sudah
mencapai seratusan li. Menjelang tengah hari, tiba disebuah
kota kecil.
Setelah berhenti makan dan membeli bekal rangsum
kering, ia melanjutkan perjalanan lagi. Petang hari dia
bermalam ditempat seorang penduduk desa. Keesokan
harinya dia berangkat dan sorenya dia sudah berada
didaerah gunung Tay-hong-san.
Dia hanya menentukan arah tetapi tak mau mengambil
jalan di gunung. Dengan begitu memang dia banyak
menghemat waktu. Tetapi untuk memotong jalan naik bukit
turun lembah, jika tidak memiliki kepandaian silat yang
tinggi, tentu sukar.
Pada saat bintang2 muncul di angkasa, dia mendaki
sebuah puncak, mencari tempat yang bersih dan duduk
menikmati bekal makanannya.
Puncak gunung yang jauh disebelah muka, menggunduk
hitam seperti raksasa. Kukuk burung hantu dan lolong
serigala, menimbulkan suasana seram.
Tetapi Cu Jiang seorang pemuda yang bernyali besar.
Dia tak gentar. Beberapa saat kemudian terdengar letupan2
keras macam petir. Datangnya dari puncak jauh disebelah
muka.
Dia terkejut dan heran. Malam itu bintang
bergemerlapan di angkasa, langit tak mendung tetapi
mengapa terdengar suara petir?
Tiba2 suara letupan petir itu terdengar lagi. Dia makin
heran. dimalam yang terang terdengar petir, sungguh aneh.
Lebih aneh lagi ketika ia memperhatikan bahwa walaupun
ia dengar suaranya tetapi dia tak melihat pancaran sinar
petir.
Pada waktu terdengar bunyi petir yang ketiga kalinya,
Cu Jiang tak dapat menahan keinginan tahunya lagi.
Serentak ia lari menuju ketempat itu.
Puncak itu hampir boleh dikata gundul. Hanya
ditumbuhi beberapa batang pohon siong saja. Rumput dan
semak2 tak ada sama sekali.
Cu Jiang berdiri diatas sebuah batu yang tinggi. Ia
memandang kesegenap penjuru tetapi tak melihat barang
sesuatu yang menimbulkan keheranan.
"Bu m m m . . . !"
Ledakan keras terdengar, dekat sekali dari tempat Cu
Jiang berdiri sehingga pemuda itu melonjak kaget.
Menyusur pandang kearah asal suara itu, kejutnya bukan
kepalang.
Dibawah dua pohon siong yang saling berhadapan,
tampak duduk seorang lelaki dan seorang wanita. Mereka
terpisah pada jarak dua tombak. Keduanya saling
menjulurkan telapak tangan kemuka.
Jelas mereka sedang melakukan pertempuran mengadu
tenaga dalam. Tetapi dengan ilmu apakah yang mereka
pancarkan itu sehingga dapat menimbulkan daya tenaga
yang sedemikian dahsyatnya?
Siapakah mereka? Mengapa mereka mengadu Ilmu
kepandaian pada saat tengah malam buta dan ditempat
pegunungan yang sunyi senyap?
Ketika memandang dengan seksama, Cu Jiang dapatkan
bahwa kedua insan itu sudah sama2 berambut putih. Yang
lelaki bertubuh kurus, sepasang matanya cekung kedalam,
dahi penuh keriput.
Pada saat Cu Jiang masih melekatkan pandang, tiba2
lelaki tua itu menarik kedua tangannya dan berseru:
"Nenek tua, ada orang yang melanggar larangan!"
Nenek tua itupun menarik pulang tangannya lalu berseru
dengan nada dingin: "Seorang lelaki desa."
Cu Jiang terkejut. Kiranya mereka sudah mengetahui
kedatangannya. Tetapi apa maksud mereka mengatakan
kalau dia melanggar larangan itu?
Kakek tua mendengus.
"Nenek tua, jangan membuang waktu, bereskan lalu kita
menyelesaikan urusan yang penting!" serunya.
Nenek itu mengangkat muka memandang Cu Jiang
dengan mata berapi-api, serunya.
"Budak kecil, kemari engkau!" Cu Jiang loncat turun dan
pelahan-lahan menghampiri. Kira2 terpisah satu tombak
dari tempat mereka, dia berhenti.
"Budak kecil, penggallah kepalamu sendiri agar tidak
merepotkan aku!" tiba2 nenek tua itu berseru.
Bukan kepalang kejut Cu Jiang.
"Suruh aku bunuh diri sendiri?" serunya. "Mengapa ?"
"Engkau berani melanggar larangan!"
"Melanggar larangan? Larangan apa ?"
"Apa engkau tak membuka lebar2 matamu !" Cu Jiang
terkesiap lalu mengeliarkan pandang kesekeliling. Saat itu
baru dia melihat pada gundukan batu yang terpisah
beberapa tombak jauhnya, tertancap sebatang panji
berbentuk segi tiga dan berlukiskan sebuah tengkorak putih.
Seram tampaknya.
Tiba2 Cu Jiang teringat akan cerita dalam dunia
persilatan tentang sepasang iblis besar. Seketika
menggigillah hatinya.
"Apakah kalian ini Pek Kut song-sian?"
Kakek tua itu tertawa keras.
"Ho, budak, kiranya engkau juga tahu kebesaran nama
dari kami berdua suami isteri !"
Cerita dunia persilatan mengenai sepasang suami isteri
iblis itu, memang menyeramkan. Mereka gemar membunuh
dan setiap membunuh tentu takkan membiarkan mayatnya
utuh. Tanda pengenal mereka adalah sebatang panji
Tengkorak.
Setiap orang berjumpa dengan panji itu, jangan harap
dapat hidup. Tetapi ada keistimewaan Juga. Orang yang
melihat panji itu terus melarikan diri, sepasang suami isteri
iblis itu tak mau mengejar.
Sudah berpuluh tahun sepasang iblis itu tak muncul
dalam dunia persilatan. Kabarnya, mereka sudah dibasmi
oleh pendekar dan golongan putih. Tetapi ternyata mereka
masih segar bugar dan berada di gunung yang sepi itu.
"Budak kecil, aku tak punya waktu melayani engkau,
lekas bereskan dirimu!" teriak nenek Tengkorak.
Cu Jiang menyahut sinis:
"Tetapi aku masih senang hidup, bagaimana?"
"Budak, suruh engkau bunuh diri, sudah suatu
kemurahan besar bagimu. Kalau sampai aku turun tangan,
mayatmu tentu berantakan!"
"Tetapi aku tak minta kemurahan begitu !" Jawab Cu
Jiang dengan masih bersikap dingin.
"Hih, malam ini baru yang pertama dalam sepanjang
hidupku, ada orang berani bicara begitu kepada kami
berdua suami isteri .. . ."
"Akupun juga baru pertama kali ini disuruh orang
supaya bunuh diri." sahut Cu Jiang.
"Engkau benar2 tak tahu diri. Kakek tua, bagaimana
akan mengurusnya ?"
Kakek Tengkorak bertepuk tangan, serunya: "Ada !
Mengapa tak menjadikan dia benda percobaan diri ilmu
pukulan Ngo-lui ciang !"
"O, bagus sekali," sambut nenek Tengkorak dengan
gembira.
Diam2 Cu Jiang menimang. Kiranya saat itu kedua
suami isteri iblis sedang melatih Ngo-lui ciang atau pukulan
halilintar. itulah sebabnya tadi ia mendengar beberapa
letusan seperti petir.
Ilmu pukulan sakti itu sudah lama hilang dari dunia
persilatan. Entah dari mana sepasang suami isteri iblis itu
dapat menemukan pelajaran ilmu sakti itu.
Diam2 Cu Jiangpun teringat bahwa ada sebuah pukulan
dalam kitab Giok-kah-kim-keng yang belum sempat ia
gunakan. Ilmu pukulan itu dinamakan Mo-kiat-ciang atau
pukulan Angin pusing.
Entah bagaimana kalau ilmu pukulan itu diadu dengan
pukulan Ngo-lui-ciang.
"Kebetulan sekali," pikir Cu Jiang. "mereka hendak
mencoba ilmu pukulan yang sedang dilatih, akupun juga
demikian."
Maka dengan tenang2 dia berseru: "Apakah kalian
hendak mengadu pukulan dengan aku ?"
Nenek Tengkorak tertawa mengikik. "Benar, pukulan
Ngo-lui ciang itu dapat membuat alat pekakas dalam dada
orang pecah berantakan tetapi tubuhnya tak kurang suatu
apa. Sejak dilatih belum pernah dicobakan pada orang.
Budak, sungguh kebetulan sekali engkau datang kemari."
Cu Jiang balas tertawa dingin.
"Oh, itu sungguh kebetulan sekali. Akupun juga berlatih
sebuah ilmu pukulan. Lawan yang menerima pukulan itu,
apabila dia makin tinggi kepandaiannya, perbawa
pukulanku itu akan makin hebat. Sungguh beruntung sekali
malam ini aku dapat berjumpa dengan kalian berdua untuk
mencoba ilmu baruku itu !"
Sepasang suami isteri iblis itu terkesiap. Mereka tak tahu
apakah kata2 pemuda desa itu sesungguhnya ataukah
hanya berolok-olok saja.
Tetapi menilik sikap Cu Jiang yang begitu tenang mereka
menduga tentulah pemuda itu memang berisi.
Kakek Tengkorak tertawa mengekeh.
"Nenek, apakah didunia terdapat kebetulan yang begitu
aneh ?"
"Kakek, nasib kita berdua sungguh sial," tiba2 nenek
Tengkorak berseru.
"Apa maksudmu itu ?"
"Coba engkau ingat2, apakah selama ini terdapat orang
yang berani bicara begitu terhadap kita ?"
"Rasanya tak ada."
"Tetapi agaknya sekarang ada."
"Nenek, apakah budak itu gila?"
"Tampaknya tidak."
"Kalau begitu tergolong anak kambing yang baru lahir."
"Bukan, dia tak layak sebagai anak kambing, lebih tepat
sebagai anak anjing."
"Ha, ha, setelah mencoba harus membelah dadanya
untuk diperiksa, sayang .... aku tak dapat melihat . . ."
"Nenek tua isteriku, akan kuceritakan nanti kepadamu."
"Bagus, mari kita mencobanya."
Kedua suami isteri tua itu serempak berdiri. Ternyata
tubuh mereka lebih tinggi dari ukuran orang biasa. Belum
turun tangan, orang tentu sudah ketakutan setengah mati
melihat perwujudan mereka yang menyeramkan.
Cu Jiang segera menghimpun segenap tenaga-dalam ke
lengannya. Diam2 Ia merasa gelisah karena belum merasa
yakin, mampukah pukulannya nanti menyambut pukulan
dari kedua suami isteri iblis itu.
Pek Kong Song sian, merupakan dua momok yang
menggetarkan nyali setiap orang persilatan pada masa
berpuluh tahun yang lampau.
"Nenek, siap?"
"Ya."
"Eh, budak itu sama sekali tak takut."
"Aku tak dapat melihat."
"Hm, memang aneh."
"Mulailah!" seru nenek Tengkorak.
"Ya, mari," sahut kakek Tengkorak. Dan kedua suami
isteri iblis itu lalu menghantam dari dua arah pada Cu
Jiang.
Saat itu Cu Jiangpun serentak menyongsong dengan
ilmu pukulan Mo kiat-ciang yang belum pernah digunakan.
Bum . . . bum. . .
Terdengar ledakan sedahsyat gunung rubuh. Batu karang
pecah bertebaran, dahan2 pohon siong berhamburan.
Sampai mirip gempa yang terjadi di sekeliling tempat itu
batu reda.
Sepasang suami isteri iblis itu mundur sampai dua meter
dari tempatnya semula.
Tubuh Cu Jiang berguncang-guncang mau rubuh. Darah
bergolak keras, matanya berkunang-kunang. Diam2 ia
bersyukur dalam hati karena dapat menyambut pukulan
Ngo-lui-ciang yang dilepas kedua suami isteri iblis itu.
Menurut penilaian sebenarnya kedua suami isteri Pek
Kut song-sian kalah setingkat.
Kejut nenek Tengkorak itu bukan kepalang sehingga
matanya mendelik dan mulut melongo.
"Nenek, bagaimanakah ini ?" seru kakek Tengkorak.
"Kita kalah."
"Apa? Kalah?"
"Benar."
"Bagaimana mungkin terjadi?"
"Kakek, apakah engkau tak merasakan?"
Kelopak mata kakek Tengkorak yang cekung kedalam
nampak berkerenyutan beberapa kali. Lama baru dia
membuka mulut:
"Ah, tak kira kalau Pak Kut Song-sian hari ini jatuh
ditangan seorang anak muda!"
Tiba2 nenek Tengkorak itu deliki mata dengan buas.
Sambil melangkah maju dia membentak.
"Budak, beritahukan namamu!"
"Seorang kerucuk, tak pantas menyebut namanya!" sahut
Cu Jiang.
"Kecongkakanmu memang boleh sekali."
"Ah. jangan memuji."
Nenek itu berpaling kearah suaminya.
"Kakek, jangan melanggar peraturan kita," serunya.
"Nenek, jangan melanjutkan latihan Ngo-lui-ciang lagi, "
seru kakek tengkorak.
"Kenapa?"
"Karena terhadap seorang budak kecil saja kita tak
mampu merubuhkan . . ."
"Kakek, jangan putus asa. Peristiwa ini hanya secara
kebetulan saja."
"Lalu bagaimana maksudmu?"
"Lenyapkan dia!"
"Oh, terserah kepadamu."
Nenek Tengkorak kebaskan kedua lengan bajunya dan
segulung kabut putih segera berhamburan keluar.
Cu Jiang gunakan tata-langkah Gong gong-poh-hwat,
berkisar tubuh berganti tempat. Tetapi ruang lingkup kabut
itu luas sekali dan cepat sekali bertebaran. Mau tak mau
hidung Cu Jiang terhisap bau mayat yang busuk. Diam2 ia
terkejut sekali.
"Nenek tua, bagaimana?" seru kakek Tengkorak.
"Kakek! Dia ... dia ..."
"Bagaimana?"
"Dia tak takut racun!"
"Tidak mungkin! Dia juga manusia."
"Tetapi buktinya dia tak kena apa2."
Kakek tengkorak menggigil dan berseru dengan nada
gemetar:
" Apakah dia sudah menguasai ilmu kebal Kimkong put-
hoay?"
Wajah yang bengis dari nenek itupun lenyap Seketika
berganti dengan kejut ketakutan. "Mungkin saja," serunya
gemetar.
"Kuharap kalian berdua jangan suka membunuh orang
lagi. Jika tetap melakukan perbuatan begitu, hukum karma
tak mungkin kalian hindari lagi." seru Cu Jiang dengan
tandas.
"Budak, apakah engkau datang dari luar daerah?" kakek
Tengkorak terpaksa bertanya.
"Bagaimana dapat diketahui?"
"Dalam dunia persilatan di Tionggoan tak terdapat ko
Jiu seperti engkau."
"Salah !" sahut Cu Jiang "tokoh yang lebih sakti dari
diriku banyak sekali di Tionggoan, hanya anda belum
pernah bertemu saja."
"Ngaco! Menurut omonganmu, dengan begitu Pak Kong
song sian itu tak berharga lagi dalam dunia persilatan!"
"Bukan begitu artinya."
Kakek Tengkorak tak dapat menjawab. Tiba2 nenek
Tengkorak menampar dahinya sendiri dan berseru tegang:
"Kakek, dahulu kita pernah belajar ilmu apa itu,
sekarang aku mendapat akal . .."
"Akal bulus apa uh ?"
"Bagaimana kalau kita serahkan urusan kita itu kepada
engkoh kecil ini?"
-oo0dw0oo-

Jilid 19
Tergerak hati Cu Jiang ketika mendengar sebutan kepada
dirinya yang semula "budak kecil" menjadi "engkoh kecil".
Diam2 ia menduga-duga, hendak berbuat apakah kedua
suami isteri iblis ini kepadanya ?
"Bagus! itu tepat sekali!" seru kakek Tengkorak seraya
bertepuk tangan.
Kemudian nenek Tengkorak berkata kepada Cu Jiang:
"Sahabat, ada sebuah urusan yang hendak minta
bantuanmu .. ."
"Suruh membunuh orang?" tegur Co Jiang.
"Hampir seperti itu "
"Pek Kut tong-sian hendak membunuh orang lain
menggunakan algojo, sungguh ganjil sekali berita ini !"
"Sahabat, engkau menerima?"
"Coba terangkan dulu bagaimana urusannya.
"Kami berdua suami isteri mempunyai musuh. Tetapi
dia selalu menyembunyikan diri tak akan muncul. Kami
berlatih pukulan Lima-petir ini, tujuannya yalah hendak
menghancurkan gua si kura2 tua. Dari pukulan mu yang
engkau tunjukkan tadi apabila engkau mau membantu,
urusan ini tentu berhasil."
"Siapakah musuhmu ?"
"Seorang makhluk tua yang aneh. Dia telah menawan
putera tunggal kami."
"O, kalian hendak menolong putera?"
"Benar."
"Ah, tak kira dalam dunia ini terdapat manusia yang
berani menculik putera dari Pek Kut song sian, Bagaimana
peristiwa itu dapat terjadi ?"
"Sahabat, lebih baik engkau tak perlu mengusut asal usul
peristiwa itu."
Diam2 Cu Jiang geli. Tentulah mengenai hal2 yang tak
boleh diketahui orang, mungkin yang membuat malu
kepada kedua suami isteri itu, maka keduanya tak mau
menerangkan.
"Lalu dengan alasan apa aku akan membantu anda
berdua?" tanyanya.
"Ada imbalannya." seru kakek Tengkorak.
"Ada imbalannya ? Imbalan apa ?"
"Tentu !"
"Apa imbalannya?"
Sejenak memandang kepada isterinya, kakek Tengkorak
merenung beberapa saat.
"Sebuah kitab pusaka!" katanya kemudian.
"Kitab pusaka mengenai ilmu apa saja?" Cu Jiang mulai
tertarik.
"Cara memecahkan ilmu barisan aneh."
"Pemecahan ilmu barisan ?" Cu Jiang terkejut.
"Hm, kitab itu berisi rahasia dan segala macam ilmu
barisan dari jaman dahulu sampai sekarang. Disebut Ki-
bun-cong-thai."
Terkejut hati Cu Jiang, Ia ke gunung Tay-pa-san mencari
tokoh aneh Ie Se lojin, tujuannya juga minta petunjuk
tentang ilmu barisan. Tetapi kemungkinan akan mendapat
hasil tipis sekali.
Sekarang dia secara tak sengaja telah bertemu dengan
sepasang suami isteri iblis yang memiliki simpanan kitab
pusaka tentang ilmu barisan. Jika berhasil mendapatkan
kitab pusaka itu, tak perlu lagi kiranya dia harus ke Tay-pa-
san.
Tetapi siapakah musuh mereka ? Jika sepasang tokoh
seperti Pek Kut song-sian tak mampu mengalahkan dan rela
menyerahkan kitab pusaka yang tak ternilai harganya
sebagai imbalan untuk bantuan itu, tentulah musuh mereka
tokoh yang luar biasa.
"Siapakah musuh anda?" akhirnya ia meminta
keterangan.
"Sahabat, soal itu jangan engkau tanyakan."
"Lalu bagaimana caraku memberi bantuan ?"
"Cukup meminjam tenaga pukulanmu untuk
menghancurkan kunci dari sebuah barisan. Cukup begitu
saja."
"Tak perlu membunuh orangnya?"
"Jika engkau tak mau, tak perlu begitu."
"Baik, aku menerima tawaran ini. Lalu kapan dan
dimana akan memulainya?"
"Tempatnya di gunung Tong-pek-san. Kalau terus
menerus menempuh perjalanan dalam tiga hari tentu sudah
tiba disana."
"Dan kitab itu kapan akan diserahkan ?"
"Setelah urusan selesai."
"Apakah aku boleh melihatnya ?" Sejenak merenung
kakek Tengkorak mengiakan. Dia mengambil keluar sejilid
kitab yang dibungkus dengan sutera dari dalam bajunya.
Kulit kitab itu sudah kuno sekali. Dia melemparkan kepada
Cu Jiang.
"Kakek !" nenek Tengkorak menjerit kaget.
Cu Jiang tahu bahwa nenek itu tentu kuatir kalau dia
akan menghancurkan kitab itu.
"Takut kalau kuhancurkan?" serunya mengejek.
Kedua iblis itu diam. Membalik lembaran pertama. Cu
Jiang melihat beberapa huruf kuno yang berbunyi Ki bun-
ceng-ciat oleh Gak Bu cu orang dari Gui.
Ah, memang benar sebuah kitab kuno ditulis oleh Gak
Bu cu dari negeri Gui pada jaman Jun Jiu.
Membuka lembaran selanjutnya, memang terdapat
beberapa gambaran. Setelah itu ia lemparkan kembali
kepada kakek Tengkorak dan berseru:
"Baik, aku menerima tawaran anda!"
"Mari kita berangkat sekarang," kata kakek Tengkorak
itu.
Demikian mereka bertiga dengan gunakan ilmu lari cepat
segera berangkat menuju ke gunung Tong-pek san.
Ringkasnya, mereka telah tiba disebuah lembah yang
terletak dibelakang gunung Tong pik-san.
Lebih kurang setengah li memasuki lembah, mereka
berhadapan dengan sepasang puncak yang tegak menjulang
tinggi tetapi merapat satu sama lain sehingga jalannyapun
sempit sekali, hanya selebar dua tiga tombak.
Ditengah jalan sempit itu tegak tiga gunduk batu karang
yang aneh bentuknya. Setiap batu karang besarnya
sepemeluk dua orang, sehingga menyumbat jalan.
"Sudah sampai," seru kakek Tengkorak.
Sejenak mengeliarkan pandang ke sekeliling Cu Jiang
menegasi apakah benar tempat itu.
"Ya, memang disini."
"Batu itu aneh sekali bentuknya, " kata Cu Jiang.
"Itulah pintu barisan. sahut kakek Tengkorak, "kalau
batu itu tak dihancurkan, tak mungkin masuk kedalam
barisan."
"Apakah musuh anda berada dalam barisan itu?"
"Ya."
"Itukah sebabnya maka anda berdua lalu berlatih ilmu
pukulan Lima petir?"
"Benar."
"Apakah selama ini anda tak pernah memikirkan untuk
menggunakan bahan peledak, atau . ."
"Tidak bisa."
"Kenapa?"
"Puteraku itu ditawan tak berada jauh dari pintu barisan.
Kalau diledakkan sudah tentu puteraku yang akan hancur
lebih dulu."
"Oh, begitu hebat akal orang itu!"
"Ketiga gunduk batu itu harus serempak sekaligus
dihancurkan kalau tidak keadaan barisan tentu berobah."
"Barisan apakah itu namanya?"
"Hian li ki bun!"
"Apakah akan dimulai sekarang?"
"Ya."
"Apakah tak perlu memanggil orang itu lebih dulu?"
"Percuma, dia akan pura2 tuli."
"Setelah menghancurkan pintu barisan?"
"Aku dan isteriku cukup untuk menghadapinya. "
"Mari!"
"Tunggu dulu." teriak kakek Tengkorak, "kami berdua
harus melepaskan pukulan dari jarak dua tombak. Dalam
lingkaran dua tombak, tak boleh orang mendekati. Sahabat,
engkau menghancurkan batu yang tengah, aku berdua akan
menghancurkan batu yang kanan dan kiri. Ingat, ini bukan
bermain-main, harus menggunakan sepenuh tenaga!"
"Baik, " sahut Cu Jiang.
Mereka bertiga lalu mundur kira2 dua tombak dan lalu
mulai menghimpun tenaga-dalam menyalurkan kearah
tangan.
Tiba2 kakek Tengkorak mengembor dan serempak
mereka bertiga melontarkan hantaman. Tiga gulung tenaga
pukulan yang dahsyat segera menerjang, bum, bum, bum
....
Terdengar tiga kali suara ledakan yang dahsyat, ketiga
batu itu pecah berhamburan. Tiba2 kedua Pek Kut Song-
sian itu melesat masuk kedalam lembah.
"Tahan dulu!" teriak Cu Jiang seraya loncat mengejar,
"bagaimana pertanggungan jawab ucapan anda itu?"
Kakek Tengkorak tertawa.
"Pertanggungan jawab bagaimana?"
"Soal Ki-bun ceng-ciat."
"Setelah selesai akan kuberikan kepadamu. . . ."
"Sebelumnya, bagaimana janjimu?"
"Budak, engkau tunggu saja."
Mendengar itu marah Cu Jiang bukan kepalang.
"Kuhancurkan kalian setan busuk!" bentaknya seraya
mengangkat kedua tangan. Tetapi secepat itu Pak Kut Song
sian sudah melesat lenyap.
Cu Jiang penasaran. Ia terus mengejar. Tetapi alangkah
kejutnya ketika ia memandang kemuka. Ternyata
keadaannya sudah bukan jalanan lembah seperti tadi.
Serentak ia tersadar bahwa dirinya telah terlibat dalam
sebuah barisan aneh. Setelah pintu barisan pecah, kedua
iblis itu dapat masuk dengan leluasa. Walaupun barisan
belum pecah tetapi karena kedua iblis itu mempunyai kitab
Ki-bun-cong-ciat, mereka tentu dapat memasuki dengan
lancar.
Tetapi dia sendiri sekarang terkurung dalam barisan itu,
Ah, benar2 ia tak menyangka kalau akan terjebak dalam
tipu muslihat yang busuk.
Kanan kiri merupakan batu yang menonjol dan sebelah
muka hanya hutan batu semua. Bahkan arahpun Cu Jiang
tak dapat mengenal lagi.
Cu Jiang pernah terkurung dalam barisan di Gedung
Hitam sehingga ia tak mampu keluar. Maka saat itu dia tak
mau sembarangan bergerak dan tenangkan diri.
Dia marah dan penasaran tetapi diam2 dia pun geli
menertawakan dirinya sendiri. Bukankah sepasang suami
isteri Pek Kut song sian itu sudah terkenal sebagai momok
yang jahat dalam dunia persilatan?
Mengapa ia masih mau percaya pada omongan mereka?
Bukankah itu kebodohannya sendiri?
Iapun segera membayangkan bahwa tokoh yang menjadi
musuh kedua suami isteri itu tentulah tokoh golongan
Ceng-pay (Putih). Mengapa ia menyanggupi membantu
kedua suami isteri untuk melawan tokoh itu?
Makin merenung makin geram. Makin memikirkan
makin penasaran sekali.
Siapakah sesungguhnya tokoh yang berada dalam
lembah Itu?
Entah sampai berapa lama Cu Jiang masih tercengkram
dalam kebimbangan itu. Tiba2 ia rasakan pinggangnya
kesemutan dan terus rubuh.
Seorang lelaki tua kurus, dengan wajah murka tegak
dihadapannya dan tahu2 menjinjing tubuh Cu Jiang terus
dibawa lari. tak berapa lama, cuaca terang dan keduanya
sudah berada diluar gua.
Lelaki tua itu melemparkan tubuh Cu Jiang ke tanah.
Dia tegak bersidekap tangan. Matanya berkilat-kilat
memancarkan kemerahan.
Pikir Cu Jiang, adakah dia berhadapan dengan tokoh
dalam lembah itu? Dengan susah payah ia mengangkat
muka.
Ia sempat melihat lelaki tua itu berwajah terang, bukan
dari golongan Sia-pay atau jahat. Diam2 Cu Jiang kerahkan
tenaga dalam, ah, jalan darahnya sudah terbuka...
Tiga sosok bayangan berkelebat melesat keluar dari
mulut tempat itu. Yang dua jelas kedua suami isteri Pek Kut
song sian, sedang yang seorang lelaki muda berwajah
seram. Tentulah putera dari kedua suami istri iblis itu.
"Berhenti !" teriak orang tua itu.
Ketiga orang itupun serempak berhenti. Kakek
Tengkorak tertawa congkak.
"Oh, mahluk tua, kukira engkau sudah ngacir pergi?"
"Tinggalkan kitab Ki-bun-congciat!" seru orang tua itu
pula.
"Mau apa engkau ?"
"Jika sembarangan akan kubunuhnya!"
"Siapa yang hendak engkau bunuh ?"
"Kawanmu ini." seru orang tua itu menuding pada Cu
Jiang.
Nenek Tengkorak berpaling kearah suaminya. "Pak tua,
sungguh kebetulan sekali hal ini. Kalau budak itu tak
dilenyapkan, kelak tentu menimbulkan bahaya..."
"Ya, biarlah mahluk tua itu membunuhnya."
"Masih belum meyakinkan. Lebih baik kita saksikan dia
membunuhnya."
Orang tua itu tertegun mendengar percakapan kedua
suami isteri iblis. Tetapi pada lain saat ia seperti menyadari
sesuatu.
"Jangan main gila, jika tak mau memberikan kitab Ki-
bun-cong-ciat itu, lebih dulu akan kubunuhnya." serunya.
Kakek Tengkorak mengangkat bahu. "Silakan turun
tangan..." Tampak lelaki muda kerutkan alis dan bertanya.
"Yah, siapakah dia ?"
"Ha, ha, na, anakku, Jika tidak dia yang membantu
menghancurkan pintu barisan, engkau tentu belum dapat
keluar .
"O, kalau begitu kita harus menolongnya."
"Tidak perlu !"
"Kenapa ?"
"Dia seorang yang berbahaya."
Orang tua dari lembah itu menukas: "Apakah kalian
memperalat dia ?"
Dalam kegirangan, nenek Tengkorak telah kelepasan
bicara. Ia menyahut serentak:
"Ya, memang begitu, lekas engkau bunuh dia !"
Orang tua dari lembah itu menggigil karena marahnya.
Tiba2 lelaki muda itu ayunkan tubuh ke muka Cu Jiang,
serunya:
"Dalam beberapa hari ini aku hampir mati karena
terkurung. Sekarang biarlah kuhibur tangan ku yang gatal
ini."
Dia berhadapan dengan orang tua dari lembah,
sementara Cu Jiang berada di tengah2 mereka berdua.
Orang tua itupun juga melangkah maju.
"Membantu orang jahat, juga bukan manusia baik,
bunuhlah!" serunya kepada lelaki muda.
Lelaki muda atau putra dari kedua suami isteri Pek Kut
song sian, tertawa mengekeh:
"Begitu baru kata2 yang tepat!" habis berkata ia
mengangkat tangan dan diayunkan kearah kepala Cu Jiang.
Bum ....
Terdengar lengking jeritan ngeri dan sesosok tubuh yang
mencelat ke atas sampai beberapa tombak. Tubuhnya
menghambur hujan darah.
Kedua suami isteri iblis menjerit kaget dan cepat melesat
kearah tubuh itu. Ternyata yang mencelat ke udara itu
tubuh lelaki muda, anak dari sepasang suami isteri iblis.
Sedang Cu Jiang berbangkit pelahan-lahan.
Orang tua dari lembah itu terlongong-longong. Pemuda
desa itu jelas telah ditutuk jalan darahnya dan tak berkutik.
Mengapa dalam waktu sekejab saja dia sudah dapat
membebaskan diri.
Nenek Tengkorak memondong tubuh lelaki muda dan
menjerit kalap:
"Pak tua, dia mati !"
"Mati ?" teriak kakek Tengkorak.
"Hancur leburkan bangsat kecil itu . . ."
"Baik!" seru kakek Tengkorak terus loncat kemuka Cu
Jiang. Ia memandang pemuda itu dengan wajah
memberingas seram.
Tiba2 Cu Jiang teringat sesuatu. Ia terus membuka
buntalan kain dan mengambil pedang kutung. Tangan kiri
memegang sarung pedang, tangan kanan pedang kutung,
lalu berseru dingin.
"Iblis tua. lekas serahkan kitab Ki-bun ceng-ciat dan akan
kuampuni jiwamu !"
"Bangsat, belum puas hatiku kalau belum meremukkan
tulangmu !" teriak kakek Tengkorak seraya ayunkan
sepasang tangannya, menghantam kepala dan menusuk
dada Cu Jiang.
Cu Juang keluarkan gerak langkah Gong-gong poh untuk
menghindar seraya berseru:
"Kuberimu kemurahan satu kali!"
Kakek Tengkorak cepat menarik tangan dan berputar
kearah Cu Jiang.
"Bangsat kecil, aku harus membunuhmu."
Cu Jiang mendengus, sahutnya:
"Selama ini kejahatan anda sudah melewati batas, entah
sudah berapa banyak jiwa yang mati ditangan anda. Maka
kalau hari ini anda harus mati, sudah selayaknya, bahkan
masih murah."
Cu Jiang melintangkan pedang kutung.
Pedang kutung !" kakek Tengkorak itu berteriak gentar.
"Apakah dia tokoh Toan-kiam-Jan-Jin yang akhir2 ini
menghebohkan dunia persilatan?" seru nenek Tengkorak.
"Benar, memang aku," sahut Cu Jiang.
Wajah orang tua dari lembah itupun tampak berobah
cahayanya. Dia Juga tahu akan nama besar dari Toan-
kiam-Jan jin.
Kakek Tengkorak tebarkan jubah dan dari lengan
Jubahnya meluncur sebuah benda aneh. Benda itu tak lain
adalah dua batang tulang lengan. Sebelah tangan kanan dan
kiri masing2 mencekal tulang itu, dia berseru:
"Toan-kiam-Jan-Jin, engkau harus mengganti jiwa
puteraku !"
Cu Jiang bingung. Apakah daya khasiat dari sepasang
tulang belulang?
Tiba2 orang tua dari lembah mundur tiga langkah seraya
berseru ngeri.
"Pek-kut-cau-bon !"
Cu Jiang tak mengerti apa arti kata2 itu tetapi ia
menduga tentulah merupakan benda yang amat beracun.
Jangan memberi kesempatan bergerak kepada lawan.
Kata2 itu cepat mengiang dalam telinga Cu Jiang.
"Mundur, Jangan coba menangkis tulang." berteriak
orang tua dari lembah. Dan dia sendiripun turut loncat
mundur sejauh tiga tombak.
Cu Jiang juga mengadakan reaksi yang cepat. Selekas
memindah pedang ke tangan kiri, dia terus melepaskan
hantaman sembari terus loncat mundur setombak jauhnya.
Ternyata tindakan Cu Jiang itu berhasil. Sebelum kakek
Tengkorak sempat melancarkan serangan, tubuhnya sudah
terpental mundur sampai lima langkah. Melihat itu Cu
Jiang tak mau memberi kesempatan lagi. Dia lepaskan
hantaman yang kedua ....
Kali ini Kakek Tengkorakpun memutar tubuh untuk
menyambut pukulan itu.
"Lekas mundur!" teriak orang tua dari lembah pula.
Bang!!
Terdengar letupan keras ketika Cu Jiang tepat sudah
loncat mundur beberapa tombak. Seketika dari udara seperti
muncrat berhamburan air hitam seluas dua tombak.
Dan selekas jatuh ketanah maka terdengarlah bunyi
mendesis-desis di susul dengan asap hitam yang bergulang-
gulung membumbung.
Ketika memandang dengan seksama, kejut Cu Jiang
bukan kepalang. Ternyata rumput2 ditanah itu hangus
semua, bahkan sampai tanahnyapun ikut berwarna hitam.
Batu yang dekat tempat itupun penuh berhias lubang2.
Benar2 sejenis racun yang maha hebat. Jika batupun
sampai berlubang, tidakkah tubuh manusia apabila terkena
tentu akan hancur lebur ?
Cu Jiang cepat memeriksa pakaiannya. Ternyata
celananya juga penuh dengan lubang kecil-kecil.
Melihat Cu Jiang tak kurang suatu apa. kejut kakek
Tengkorak itu bukan alang kepalang. Tetapi bukannya jera.
dia malah kalap. Dengan memekik sekeras-kerasnya dia
terus loncat menerjang. Tetapi serempak dengan itu. Cu
Jiangpun sudah membabatkan pedangnya.
"Auahhh..."
Terdengar lengking jeritan ngeri yang berkumandang
memenuhi angkasa. Kakek Tengkorak rubuh, kepala
terpisah menggelinding sampai beberapa langkah dari
tubuhnya.
Cu Jiang menghela napas. Ia berpaling tetapi ternyata
nenek Tengkorak sudah lenyap entah kemana.
"Engkau sudah terkena racun penghancur tulang !" seru
orang tua dari lembah dengan nada getar.
Cu Jiang terkejut. Saat itu dia memang merasakan,
beberapa bagian dari tubuhnya terasa panas seperti
terbakar. Hampir ia tak dapat menahan rasa sakitnya.
Buru2 ia membuka bajunya dan memeriksa. Badannya
terdapat tujuh delapan buah gunduk hitam sebesar buah
kelengkeng.
"Barang siapa tercemar racun itu, tentu segera akan luluh
jadi cairan air. engkau . . . bagaimana?"
Cu Jiang teringat akan mustika Thian-ju cu. Segera ia
mengambil dan menempelkan pada noda2 hitam itu. Aneh
tetapi nyata, noda2 hitam pada kulitnya itu segera hilang
demikian rasa sakitnya.
Setelah tahu dirinya tak kurang suatu apa, dia terus
berjongkok untuk mengambil kitab Ki-bun-ceng ciat dari
tubuh kakek Tengkorak. Kemudian dia mengangkat muka
memandang kearah orang tua dari lembah.
Sejak tadi dia memang belum sempat memperhatikan
wajah orang tua dari lembah itu. Kini begitu
memandangnya, dia terlongong-longong kaget.
Orang tua itu mengenakan jubah yang menutup tubuh
sampai kebatas lutut. Kepala gundul, tidak memakai sepatu.
Ditengah alisnya terdapat sebuah tahi-lalat merah.
Tidakkah orang itu yang dikatakan Ang Nio Cu sebagai
Ih Se lojin?
Ah, Cu Jiang menghela napas. Jika dia benar2 menuju
ke gunung Tay-pa san yang jauh, tentulah akan sia2 saja
karena tokoh yang hendak dicari itu ternyata berada di
gunung Tong-pek-san.
Peristiwa dengan Pek Kut song sian itu ternyata
membawa rejeki. Dan jelas Ang Nio Cu tentu membuang
tenaga sia2.
Mata orang tua itu memandang lekat2 pada kitab yang
dipegang Cu Jiang lalu berkata dengan nada sarat:
"Toan kiam jan jin, apakah engkau pernah melihat kitab
pusaka itu?"
Cu Jiang terkejut.
"Apakah kitab ini milik cianpwe?"
"Benar."
"Bagaimana dapat jatuh ditangan kedua suami isteri iblis
itu?"
"Dia merebut dari seorang muridku yang celaka."
"Oh."
"Karena hendak merebut kembali kitab itu aku terpaksa
menggunakan siasat menculik anak lelakinya agar kita
dapat tukar menukar . . ."
"Oh, kiranya begitu. "
"Engkau . . . mempunyai kemampuan untuk terhindar
dari racun?"
Cu Jiang tertawa. Tanpa menjawab pertanyaan itu ia
menyerahkan kitab Ki bun ceng ciat.
"Karena milik lo cianpwe, harap suka menerimanya,"
kata Cu Jiang.
Orang tua dari lembah itu terbeliak. Dia tak mau cepat2
menerima, melainkan kerutkan alisnya yang putih.
"Lapang sekali hatimu. Setitikpun engkau tak
mempunyai keinginan untuk memiliki kitab pusaka yang
jarang terdapat dalam dunia."
"Karena kitab ini memang bukan milikku."
"Engkau hendak mengajukan perjanjian apa?"
"Perjanjian?" Cu Jiang terbeliak.
"Ya, aku tak mau menerima dengan cuma2."
Seketika itu timbullah rasa kagum dalam hati Cu Jiang.
Walaupun memang aneh sikap orang tua itu tetapi tindakan
itu memang patut dihargai.
"Tak ada perjanjian apa2," serunya.
"Baik, tetapi aku akan mencatat budimu ini," kata orang
tua dari lembah seraya menyambuti kitab.
"Mohon tanya, siapakah gelaran yang mulia dari
cianpwe?"
"Ah, sudah lama tak kupakai nama gelaranku."
"Bukankah gelaran yang mulia dari cianpwe itu Ih Se
lojin?"
"Ho, engkau .... bagaimana dapat mengetahui?"
"Jika begitu lo cianpwe memang benar Ih Se lojin?"
"Anggap saja engkau berkata benar. "
"Wanpwe justeru hendak mohon bertemu."
"Hah, engkau hendak mencari aku?"
"Ya. Sebenarnya wanpwe hendak menuju ke Tay-pa-san
mencari locianpwe. Tak terduga wan pwe tertipu oleh Pek
Kut song sian tetapi justeru malah dapat bertemu dengan lo
cianpwe."
Tiba2 nada Ih Se lojin berobah dingin:
"Perlu apa engkau hendak mencari aku?"
Saat itu bukan kepalang gembira Cu Jiang, namun ia
tetap bersikap tenang.
"Akan mohon petunjuk pada lo cianpwe. "
"Soal apa?"
"Mohon petunjuk cara memecahkan sebuah barisan."
"Tidak bisa."
"Apakah lo cianpwe tak mau memberi petunjuk?"
"Aku sudah mengikrarkan sumpah, tak mau
berhubungan dengan manusia di dunia lagi."
Sebagai seorang ksatrya, dengan tulus Cu Jiang
menyerahkan kembali kitab pusaka yang sehebat itu. Tak
terduga Ih Se lojin masih bersikap begitu ketus.
"Apakah tak dapat memberi kelonggaran?" tanyanya
dengan marah.
"Tidak bisa! "
"Kalau tadi wanpwe tak menyerahkan kembali kitab
pusaka itu dan wanpwe terus mempelajarinya sendiri,
bagaimanakah kesudahannya?"
"Itu persoalan lain lagi."
"Apakah lo cianpwe tetap mengukuhi pendirian itu ?"
"Tentu, tetapi.. ."
"Tetapi bagaimana ?"
"Jika hal itu engkau anggap sebagai perjanjian dari
tindakanmu menyerahkan kitab pusaka kepadaku tadi, aku
memang tak dapat berkata apa2. Karena seumur hidup aku
tak mau menerima budi orang. Begini sajalah, bagaimana
kalau permintaanmu itu kau anggap sebagai syarat dari
penyerahan kitab itu ?"
"Tidak!" sahut Cu Jiang dengan angkuh, "ucapan
seorang lelaki harus ditepati. Aku sudah mengatakan kalau
penyerahan kitab itu tanpa suatu syarat apa, masakan aku
hendak menjilat ludahku lagi ?"
"Hii, watakmu hampir sama dengan aku ... ."
"Ah, lo cianpwe memuji."
"Akupun juga begitu. Apa yang telah kukatakan, takkan
kulanggar."
"Dalam keadaan bagaimana cianpwe dapat memberi
kelonggaran?"
"Tak ada kemungkinannya:"
"Kalau kuminta cianpwe supaya mengajukan syarat
supaya cianpwe dapat memberi kelonggaran ?"
"Juga tidak mungkin, kecuali ...."
"Kecuali bagaimana?"
"Mengandalkan ilmu kepandaianmu !"
Cu Jiang terpaksa menyeringai. Rasanya tiada manusia
yang lebih nyentrik wataknya dari orang tua ini. Itulah
sebabnya maka Ang Nio Cu mengatakan bahwa Ih Se lojin
itu lebih nyentrik lagi dari tabib Kui jiu sinjin.
"Maksud lo cianpwe agar aku mengeluarkan ilmu
kepandaian silat?" ia menegas.
"Benar." Sahut Ih Se lojin dengan nada bengis, "pada
saat aku sudah tak dapat melawan lagi, barulah aku dapat
memberi kelonggaran. Kuanggap hal itu tidak melanggar
sumpahku."
"Apakah itu satu-satunya jalan?"
"Tidak ada lainnya lagi."
"Jika begitu terpaksa aku hendak mencoba."
"Hm, kuharap ilmu kepandaianmu tidak tinggi."
"Lo cianpwe," seru Cu Jiang. "maaf jika aku hendak
mengucapkan kata2 yang sombong. Sejak turun dari
perguruan, selama ini aku belum pernah bertemu lawan
yang dapat lolos dari pedang kutungku itu !"
"Engkau terlalu mengandalkan dirimu!"
"Ah, tidak, tetapi kenyataan memang begitu."
"Ilmu silat itu bukan hanya dari satu sumber. Tidak bisa
karena memiliki sebuah aliran lalu sudah berbangga diri. . ."
"Bukan maksudku hendak membanggakan diri."
"Kalau begitu, engkau boleh mulai."
"Sebenarnya aku tak ingin berlaku kurang hormat
terhadap cianpwe."
"Jika begitu. silahkan engkau pergi saja."
Cu Jiang merasa bahwa berputar-putar lidah tiada
gunanya. Jelas orang tua itu tak mau merobah
pendiriannya. Pelahan-lahan ia maju ke hadapan orang tua
itu.
"Maaf, wanpwe terpaksa berlaku kurang hormat,"
serunya.
"Mulailah!"
"Harap hati-hati !"
Dalam berkata-kata itu Cu Jiangpun sudah mencabut
pedang kutung dan terus menyerang. Dia hanya gunakan
setengah bagian dari tenaga dalamnya karena ia anggap
orang tua itu bukan musuh melainkan hanya menguji saja.
Sekalipun begitu jurus Thian-te-kau thay yang dimalukan
itu menghamburkan sinar pedang yang dahsyat.
Tetapi apa yang didapatinya, sungguh diluar dugaan.
Baru dia melancarkan jurus serangannya, bayangan orang
tua itupun sudah lenyap.
Terpaksa setengah jalan ia hentikan serangannya.
Dilihatnya Ih Se lojin tegak disebelah kanan lebih kurang
dua meter jauhnya. wajahnya mengulum tawa.
Cu Jiang merah mukanya. Ia menyerang lagi dengan
delapan bagian tenaganya. Namun hasilnya tetap serupa. Ih
Se lojin bagaikan sesosok bayangan setan yang menghilang
dan pindah tempat.
Diam2 Cu Jiang sempat memperhatikan bahwa Ih Se
lojin menggunakan gerakan yang mirip dengan gerak-
langkah Gong gong-poh hwat.
Setelah merenung, Cu Jiang diam2 mengangguk.
"Kalau sampai serangan yang ketiga masih gagal, engkau
harus pergi." seru Ih Se lojin tertawa gembira.
"Baik, Jika kali ini masih gagal, aku segera tinggalkan
tempat ini." sahut Cu Jiang dengan nada tandas.
"Bagus,.
"Harap locianpwe hati-hati..." pedang kutung segera
ditaburkan.
Ih Se lojin masih tetap menggunakan gerak-langkah
semula. Secepat terayun tubuh, dia sudah lenyap, Tetapi
ternyata serangan Cu Jiang itu hanya suatu gerak
menggertak saja. Dia tetap mengikutkan pandang mata
pada orang tua itu.
Sesaat Ih Se lojin melesat pergi, diapun cepat melesat
mengikutinya.
Sampai delapan kali Ih Se lojin melesat untuk
menghindar tetapi Cu Jiang dengan gerak-langkah Gong-
gong-poh-hwat tetap dapat membayanginya. Bahkan dia
lebih cepat bergerak diri orang tua itu.
Pada saat gerakan Ih Se lojin agak kendor, tahu2 ujung
pedang kutung sudah melekat pada dadanya.
"Lo cianpwe, maaf, aku berlaku kurang hormat!" pada
lain saat terdengar Cu Jiang berseru.
Sepasang mata Ih Se lojin melotot.
"Engkau menggunakan gerak langkah apa?" serunya
dengan nada gemetar.
"Hanya langkah kucing menangkap tikus yang tak berarti
dan tak berharga dikatakan."
"Bilang!"
"Harap lo cianpwe suka melaksanakan janji."
"Katakan dulu, gerak langkah apa yang engkau lakukan
tadi?"
Karena terus menerus didesak, akhirnya Cu Jiang
mengaku:
"Gong gong-poh hwat."
"Hai, Gong-gong-poh-hwat?" - teriak Ih Se lojin terkejut.
"Benar."
"Gong-gong . . . Gong gong .... apakah engkau murid
pewaris dari Nyo Wi itu?"
Diam2 Cu Jiang terkejut. Jarang sekali orang persilatan
yang kenal akan riwayat Gong-gong-cu. Tetapi orang tua
itu dapat menyebut nama aseli dari Gong-gong-cu. Apakah
dia sahabat baik dan suhuku, pikir Cu Jiang.
"Apakah lo cianpwe kenal akan suhuku? " akhirnya ia
bertanya.
"Apakah engkau benar2 murid dari Nyo Wi?"
"Benar."
"Dan kau datang kepadaku untuk meminta petunjuk
tentang ilmu barisan?"
"Benar."
Seketika berobah cahaya muka Ih Se lojin.
"Enyah!" teriak dengan bengis.
Cu Jiang tertegun. Adakah orang tua itu mempunyai
dendam permusuhan dengan gurunya?
"Lekas engkau pergi dari sini!" bentak Ih Se lojin pula.
"Apa artinya ini?" seru Cu Jiang dengan nada dingin.
"Kusuruh engkau pergi!"
"Baik, tetapi harus ada alasannya."
"Tidak ada! Lekas engkau enyah dan tanyakan sendiri
pada Nyo Wi! "
"Apakah locianpwe mempunyai ganjelan terhadap
suhuku?"
"Engkau tidak berhak tanya. Selanjutnya kalau engkau
berani menginjak tempat ini lagi, aku tentu akan
membunuhmu!"
Saat itu makin keras dugaan Cu jiang bahwa Ih Se lojin
tentu mempunyai ganjelan hati terhadap suhunya, Ia tahan
kemarahannya.
"Tetapi tidakkah lo cianpwe merasa karena tidak
menetapi janji?" serunya.
Ih Lo lojin tertawa dingin.
"Tindakanku Ini sudah cukup baik, " sahutnya.
"Jika tidak?"
"Aku..." kata2 selanjutnya tak diucapkan lagi. Ih Se lojin
menyadari bahwa pemuda yang berdiri dihadapannya lebih
tinggi kepandaiannya dari dia.
Cu Jiang sendiri juga kehilangan faham. Untuk
mendapat petunjuk dari orang tua aneh itu, jelas tak
mungkin lagi. Tetapi barisan dalam Gedung Hitam harus
dihancurkan. Apabila ia mengirim orang untuk meminta
petunjuk pada guru di Tayli, tentu memakan waktu lama.
Apabila dia merebut saja kitab pusaka dari tangan Ih Se
lojin, juga tidak enak. Ah, tetapi apa daya kecuali harus
menggunakan kekerasan. Bukankah orang tua itu juga
menghendaki cara begitu...
"Locianpwe. kita tak perlu panjang lebat bicara. tekadku
datang kemari, kalau tak mendapat apa yang kuinginkan,
aku takkan kembali."
"Engkau bermimpi."
"Jangan salahkan kalau aku terpaksa berani berlaku
kurang adat."
"Mau pakai kekerasan? Ha, ha, ha . . ." tiba2 Ih Se lojin
melesat dan terus lenyap kedalam mulut lembah.
Sudah tentu Cu Jiang terkejut sekali. Orang tua itu cepat
sekali gerakannya, tak mungkin dia dapat menahan.
Padahal lembah itu disusun dalam bentuk barisan aneh. Dia
tadi sudah merasakan tak dapat keluar. Lalu bagaimana?
Dia tegak termangu-mangu di tempat itu. Mayat kakek
Tengkorak yang tiada kepalanya, masih membujur di tanah.
Dia tersenyum tawar. Belum setengah hari saja dia sudah
mengalami peristiwa yang tak terduga duga. Jika bermula
dia mengira beruntung karena dapat bertemu dengan Ih Se
lojin, ternyata keberuntungan itu cepat lenyap seperti awan
terhembus angin.
Jika dia teras tinggalkan tempat itu, sebenarnya dia
masih penasaran. Tetapi akan kemanakah ia ayunkan
langkahnya?
Menilik gerak gerik langkah yang dimiliki Ih Se lojin,
kecuali suhunya Gong gong cu, rasanya dalam dunia
persilatan tak ada yang menandingi lagi.
Tetapi apakah yang terjadi diantara suhunya dengan Ih
Se lojin? Menilik betapa geram sikap Ih Se lojin terhadap
Gong gong-cu, tentulah dia mempunyai dendam yang
hebat.
Tiba2 sesosok bayangan meluncur datang. Ketika
memandangnya, girang Cu Jiang bukan kepalang. Ternyata
pendatang itu tak lain adalah sahabat baik dari gurunya
yakni Lam ki soh. Dia benar-tak menyangka kalau tokoh itu
datang ke gunung Tong peksan juga. Cepat ia maju
menyambut dan memberi hormat:
"Cianpwe, terimalah hormat wanpwe."
"Hai, mengapa disini?" ternyata Lam ki sok juga terkejut.
Cu Jiang lalu menuturkan peristiwa yang dialami disitu.
Lam-ki-soh mengangguk-angguk.
"O, kukira engkau sudah menuju ke Tay-pa-san."
"Lalu maksud kedatangan cianpwe kemari?"
"Kalau tidak untuk kepentinganmu, apalagi!" sahut Lam-
ki-soh.
"Urusan wanpwe?" Cu Jiang heran.
"Waktu mendengar cerita dari Ki Sau Hong, aku segera
mengejarmu, Kalau sebelumnya engkau memberitahukan
maksudmu kepadaku, aku tentu dapat membawamu
menemui Ih Se lojin itu kemari."
"Apakah, cianpwe memang sudah tahu kalau dia diam
disini?"
"Tidak tahu," sahut Lam ki soh, "baru akhir2 ini setelah
menerima berita dari suhumu di Tayli, baru kuketahui hal
itu . .. karena tak dapat mengejarmu, maka kuputuskan
untuk datang sendirian kemari. Tak kira kalau engkau
sudah bertemu dengan dia, sungguh kebetulan sekali .. ."
"Suhu mengirim berita?"
"Hm, dia minta aku menguruskan sebuah urusan
untuknya."
"Urusan apa ?"
"Dengan Ih Se lojin"
Cu Jiang tertarik hatinya, Dia lalu menceritakan
pengalamannya dengan Ih Se lojin. Begitu dia mengaku
bahwa Gong gong cu itu suhunya, kontan Ih Se lojin
membuat reaksi keras.
"Sesungguhnya apa saja yang telah terjadi antara suhu
dengan Ih Se lojin?" tanyanya.
Lam-ki-soh tersenyum misterius, katanya:
"Nanti engkau pasti tahu sendiri, mari kita menemuinya
..."
"Jalanan lembah ditutup dengan barisan yang aneh,"
kata Cu Jiang.
"Ya, tahu, kupanggilnya supaya keluar. "
"Dia belum tentu mau keluar ..."
"Ah, ikuti aku saja.! "
Keduanya menuju ke batu yang dihancurkan Cu Jiang
tadi. Batu itu merupakan pintu barisan. Lam-ki-soh
kerahkan tenaga-dalam lalu berseru sekeras-kerasnya:
"Co King Yap, Gong cu-wi datang menemuimu!"
Tetapi tiga kali dia mengulang seruannya, tetap tak ada
penyahutan. Saat itu Cu Jiang baru tahu bahwa nama asli
dan Lam-ki-soh itu Gong cu wi dan nama dari Im Se lojin
itu Co Keng Yap.
Beberapa saat kemudian, Lam ki soh berseru pula:
"Orang she Co, apakah engkau benar tak memandang
muka kepada aku orang she Gong ini?"
Namun tetap tiada jawaban. Lam ki soh berpaling
kepada Cu Jiang, tertawa:
"Aku hendak memaki-makinya!"
Dia berbatuk-batuk untuk membasahi kerongkongan lalu
menggembor sekuat tenaganya.
"Hai, Co keng Yan, apa sih engkau ini, berani
memandang hina orang. Apakah engkau minta aku masuk
untuk meringkusmu!?"
Tiba2 sesosok bayangan berkelebat dan Ih Se lojinpun
muncul keluar dari barisan. Sejenak memandang dingin
kepada Cu Jiang dia terus membentak Lam ki soh:
"Hai, orang she Gong, jangan berteriak teriak seperti
orang gila! "
Lam ki soh tertawa gelak2.
"Loheng, engkau dan aku segera akan masuk kedalam
kuburan, mengapa watakmu masih begitu berangasan?"
"Mau apa engkau kemari?" tegur Ih Se lojin dingin.
"Sudah tentu ada urusan, masa kalau tak ada urusan aku
datang kemari? Engkau kira aku senang gentayangan naik
gunung seperti ini?"
"Aku orang she Co sudah tak mau mengurusi urusan
manusia di dunia lagi!"
"Urusanmu sendiri engkau mau menanyakan atau
tidak?"
"Urusanku sendiri?"
Lam-ki-soh berpaling ke arah Cu Jiang dan
menggapainya:
"Nak, mari, haturkan hormat kepada toa-supeh !"
Cu Jiang termenung seketika. Mengapa Lam ki-soh
mengatakan Ih Se lojin itu sebagai toa supehnya (paman
guru). Ia teringat tatkala upacara pengangkatan guru. Gong-
gong-cu pernah mengatakan bahwa Cu Jiang itu termasuk
murid angkatan pertama. Apakah artinya itu.
"Orang she Gong, jangan soal itu...." tiba2 Ih Se lojin
deliki mata.
Tetapi Lam-ki-soh seperti tak mengacuhkan berseru
kepada Cu Jiang:
"Budak kecil, engkau dengar atau tidak omonganku
tadi?"
Lam-ki-soh merupakan sahabat baik dari suhunya,
seorang tokoh yang termasyhur, tentu tak mau omong
sembarangan. Kata-katanya itu tentu ada dasarnya maka
segera Cu Jiangpun membungkuk tubuh dihadapan Ih Se
lojin.
"Menghaturkan hormat kepada toa-supeh !"
Sepasang alis Ih Se lojin tegak keatas. Jelas dia sedang
marah besar. Cepat dia berputar tubuh kearah Lam-ki soh
dan berteriak keras2.
"Gong Cu-wi, enyah dari hadapanku !"
Cu Jiang meringis, mukanya merah.
"Co Keng Yap, engkau benar2 bukan manusia!" Lam ki-
soh balas berseru marah.
Tetapi Ih Se lojin tak mengacuhkan. Berputar tubuh dia
terus ayunkan langkah....
"Berhenti !" bentak Lam-ki-soh dengan marah. "aku
hanya akan mengatakan sepatah kata saja."
Entah bagaimana, Ih Se lojin pun berhenti dan berbalik
tubuh, serunya: "Bilanglah !"
Lam-ki-soh tenangkan kemarahannya lalu berkata
pelahan-lahan:
"Jika tak menyanggupi permintaan orang, tak mungkin
aku sudi bicara dengan bahasa manusia pada kerbau.
Dengarkan ! Dibawah arca kakek guru perguruanmu,
terdapat sebuah benda. Lihatlah sendiri. Kutunggu engkau
setengah Jam. Cukup pergilah !"
Ih Se lojin terbeliak tercengang-cengang memandang
Lam-ki soh. Tanpa berkata apa2, dia terus berputar tubuh
dan masuk kedalam lembah.
"Cianpwe, apakah artinya ini semua ?" Cu Jiang tak
dapat menahan keheranannya.
"Dia memang toa-supehmu !"
"Hal ini .. . tak pernah suhu menceritakan.."
"Sudah tentu dia tak menceritakan. Soal itu menyangkut
urusan perguruannya belum dibereskan, suhumu tak diakui
oleh perguruan."
Cu Jiang makin tertarik, serunya: "Dapatkah cianpwe
memberi keterangan?"
Sambil mengajak Cu Jiang duduk pada segunduk batu
didekat situ. Lam-ki-soh mulai melanjutkan ceritanya lagi.
"Suhumu mengirim berita kepadaku agar aku
menyelesaikan urusan itu . .."
"Mohon cianpwe suka menerangkan sejelasnya."
"Sebenarnya suhumu itu saudara seperguruan dengan si
tua kepala batu itu. Mereka berguru pada Bu Ya Siangjin.
Karena Cu Keng Yang lebih dulu yang menjadi murid,
maka suhumu yang masuk belakangan menyebutnya
sebagai suheng.."
"Oh, maka gerak tubuhnya mirip sekali. Walaupun
suhumu mengadakan beberapa perobahan tetapi sumber
dasarnya tetap tak meninggalkan perguruan."
"Lalu ?"
"Suhumu berbudi luhur, memiliki bakat yang bagus, oleh
karena itu paling disayang oleh gurunya. Sudah tentu hal
itu menimbulkan rasa iri dan benci dalam hati supehmu.
Dia tak akur dengan suhumu . . ."
"Oh!"
"Kala itu kakek gurumu mempunyai rencana untuk
menyerahkan kedudukan ketua perguruan kepada gurumu .
. ."
"Mendudukkan yang pertama dan mengangkat murid
yang kedua, apakah hal itu tidak bertentangan dengan
peraturan dunia persilatan ?"
"Itu hanya suatu peraturan saja. Setiap partai perguruan
mempunyai peraturan sendiri tidak harus mengangkat
murid yang pertama. Seorang calon pengganti ketua harus
dinilai dari perbawa, peribadi dan tingkah laku serta ilmu
kepandaian .... Apabila semua2 itu sudah dipenuhi barulah
dapat diangkat sebagai pewaris ketua."
"Tetapi apakah nama dari perguruan kami?"
"Thay hi bun !"
"Thay hi bun ? Rasanya belum pernah mendengar nama
itu.. ."
"Ya, memang. Thay-hi-bun itu sebuah perguruan
rahasia, tidak ikut dalam kancah dunia persilatan dan tidak
menghimpun pergolakan dunia...."
"Lalu seterusnya ?"
Pusaka dari perguruan Thay hi-bun itu merupakan
sebuah kitab pusaka yang disebut Thay-hi keng- Kecuali
ketua, lain2 murid tak boleh mempelajari isinya. Kakek
gurumu telah menyerahkan kitab itu kepada suhumu.
Dengan begitu berarti secara diam2 dia telah memberi
isyarat bahwa kelak suhumulah yang akan diangkat sebagai
penggantinya."
"Lalu mengapa ..."
Setelah mengetahui hal itu, supehmu menuduh kakek
gurumu berat sebelah. Dan sejak itu dia makin membenci
sekali kepada suhumu. Tetapi hanya karena penyerahan
kitab itu belum cukup sebagai hak untuk mengganti
kedudukan ketua."
"Makanya bukan begitu cara pengupasannya. Manusia
bukan dewa, iri dan marah merupakan sifat kelemahan
setiap orang. Sebenarnya supehmu itu, kecuali wataknya
yang keras dan aneh, dalam segala hal dia berimbang
dengan suhumu."
"Kemudian lalu?"
"Akhirnya kedua saudara seperguruan itu bertempur.
Suhumu berhasil melukai suhengnya. Dia bersalah karena
tak mau mendengar nasehat gurunya. Dia melanggar
peraturan perguruan dan harus diusir dari perguruan dan
untuk selama-lamanya tak diakui sebagai murid Thay-hi
bun . . ."
"Ah . . ."
Tepat pada saat itu muncullah Cu Keng Yap dengan
wajah yang muram durja. Setelah beberapa saat
memandangnya, baru Lam-ki-soh bertanya: "Bagaimana?"
Wajah Ih Se lojin berkerenyutan sampai beberapa saat,
baru kemudian berkata dengan nada tegang:
"Silahkan masuk !"
"Bersama dengan anak ini ?"
Ih Se lojin mengangguk. Dia yang berjalan sebagai
penunjuk jalan dimuka. Diam2 Lam-ki-soh menyeringaikan
wajah kepada Cu Jiang. Geli. Cu Jiang hanya mengikuti
saja.
Setengah li kemudian, tibalah mereka dimuka sebuah
gedung yang indah. Empat orang lelaki yang berumur
sekitar 30 an tahun, sudah siap disitu untuk menyambut.
Dengan hati tak keruan rasanya, Cu Jiang ikut masuk.
Setelah Lam ki-soh dipersilakan duduk, dia tetap berdiri
disampingnya. Keempat lelaki yang dimuka pintu tadi tak
ikut masuk.
Ih Se lojin menghela napas pajang.
"Karena salah langkah telah mengakibatkan dendam
kebencian yang mengerikan." ujarnya.
Berkata Lam ki soh dengan wajah serius:
"Ciang-bun-jin, peristiwa itu sudah lama lampau, Bahwa
sekarang hal itu dapat dihapus, benar2 merupakan
kebahagian dalam perguruanmu. Tak perlu engkau sesali
lagi . . ."
"Tidak, kedudukan ciang-bun-jin ini, akan kuberikan
kepada sute . . ."
"Engkau salah, itu bukan maksud Nyo Wi."
"Apakah aku masih mempunyai muka untuk menduduki
jabatan ini."
"Co toako, engkau adalah ketua yang diangkat atas titah
ketua yang telah lalu. Sudah tentu pengangkatan itu resmi
dan sah."
"Tidak, memang kesalahanku sehingga ketua yang
terdahulu salah angkat . . ."
"Sutemu kini sudah menjabat kok-su di negeri Tay-li,
tentu takkan kembali ke Tionggoan lagi."
"Aku akan kedaerah selatan untuk menemui dan
menghaturkan maaf kepadanya."
"Tak perlu," kata Lam-ki soh, "maksudnya apabila anak
ini dapat diterima kedalam perguruan, maka diapun tak ada
maksud lainnya lagi."
"Sute rela menderita diusir dari perguruan, sungguh
suatu penderitaan yang menusuk hatiku selama-lamanya.
Segala itu adalah terjadi karena perbuatanku. Jika aku tak
diberi kesempatan untuk menghaturkan maaf, bagaimana
kelak aku dapat bertemu dengan arwah kakek guru di alam
baka."
"Penderitaan yang dialami saudara Nyo selama ini,
hanyalah berdasar karena menghormat saudara tua maka
dia rela menggunakan cara itu. Maka apabila kali ini
kembali menduduki jabatan ketua lagi, tentulah
perasaannya tersinggung. Maka dalam hal itu tak perlu
dipersoalkan lagi. Yang penting sekarang ini ialah untuk
menerima anak itu masuk kedalam perguruan.
Habis berkata dia berpaling kepada Cu Jiang.
"Buka kedok mukamu dan berilah hormat kepada
ketua!"
Hati Cu Jiang tegang sekali. Saat itu dia sudah dapat
merangkai suatu dugaan. Segera ia melakukan perintah,
membuka kedok mukanya.
Melihat wajah Cu Jiang, Ih Se lojin mendesah kaget. Cu
Jiang membereskan pakaiannya. Pada saat dia hendak
menghaturkan hormat...
"Tunggu!" tiba2 Ih Se lojin mengangkat tangan
mencegahnya.
Cu Jiang terkejut dan hentikan langkah.
"Kalian masuk kemari." seru Ih se lojin kepada keempat
penjaga. Mereka berempat masuk dan setelah memberi
hormat kepada Ih Se lojin mereka tegak berjajar disamping.
Saat itu Lam ki-soh pun memberi kicupan mata kepada
Cu Jiang dan anak itupun segera melangkah kehadapan Ih
Se lojin lalu berlutut menghaturkan hormat.
"Murid Cu Jiang, mohon menghadap ciang-bun supeh!"
"Bangun," seru Ih Se lojin, "kenalkan dengan keempat
suhengmu!"
Cu Jiang bangun. Secara berturut-turut Ih Se lojin lalu
memperkenalkan:
"Itulah ji suhengmu yang bernama Ko Kun, sam-suheng
Siong Ci Beng, si-suheng Gak Ong dan ngo suheng Ih Kim
Gan!"
Cu Jiang memberi hormat kepada keempat suheng itu.
Tetapi terhadap toa-suhengnya, ia mempunyai kesangsian.
Mengapa yang ada hanya keempat suheng? Ke manakah
toa-suheng atau suheng yang pertama?
Setelah memberi hormat, Cu Jiang kembali ketempatnya
semula. Keempat suheng itu agaknya terkejut dan heran
atas pertemuan yang tiba2 itu.
"Toa-suhengmu yang bernama Go Wi Jin, pada sepuluh
tahun yang lalu terpaksa pulang ke desanya untuk merawat
mamahnya yang sudah tua. Dia hanya pada musim rontok
datang sekali kemari, Besok kalau ada kesempatan tentu ku
perkenalkan engkau dengan dia, " kata Ih Se lojin pula.
Kemudian kepada keempat muridnya, dia
memperkenalkan Cu Jiang sebagai murid dari paman guru
(susiok) Nyo Wi. Kemudian dia memerintahkan supaya
malam itu diadakan perjamuan untuk merayakan persatuan
kembali dari perguruannya.
Cu Jiang tak mengira bahwa ia akan mengalami
peristiwa semacam itu. Kini dia tahu lebih jelas tentang
asal-usul suhunya, Gong-gong-cu yang selama ini selalu
dirahasiakan.
Setelah keempat murid itu mengundurkan diri maka Ih
Se Lojin berkata pula kepada Cu Jiang.
"Pada waktu suhumu diusir dari perguruan sucou (kakek
guru) lupa untuk meminta kembali kitab Thay hi keng.
Sucoumu mengira kitab itu tentu dibawa pergi suhumu
yang setelah meninggalkan perguruan terus lenyap tak
diketahui rimbanya. Dua tahun kemudian, sucou-mu telah
meninggal dunia. Dan tiga tahun kemudian dalam dunia
persilatan telah muncul tiga tokoh yang disebut Bu lim Sam
cu. Tetapi ku tak tahu bahwa diantara ketiga tokoh yang
bernama Gong gong-cu itu ternyata adalah suhumu. Baru
tahun yang lalu, toa-suhengmu datang membawa berita
kalau Gong-gong-cu itu adalah paman gurunya, Nyo Wi,
yang telah diusir dari perguruan itu.Sebenarnya aku hendak
mencarinya untuk meminta kembali kitab Thay-hi-keng itu,
tetapi masih belum sempat. Ai, tak kira ..."
Dia berhenti sejenak lalu melanjutkan. "Dia tak
membawa kitab pusaka Thay-hi-keng dan
menyembunyikan kitab itu dibawah arca cousu. Disamping
itu dia telah meletakkan sepucuk surat, ambil dan bacalah
sendiri!" ia mengeluarkan sehelai kertas dan diserahkan
kepada Cu Jiang.
Serentak Cu Jiang maju menyambut. Surat itu berbunyi:
Dihaturkan toa-suheng,
Kedudukan ketua, seharusnya diserahkan kepada toa-suheng.
Tetapi perintah suhu tak dapat kubantah. Maka terpaksa kuambil
siasat supaya aku dikeluarkan dari perguruan. Mohon setelah
membaca surat ini, toa-suheng sudi memohon ampun atas segala
kesalahan dan terima kasih atas semua budi kebaikannya. Setelah
toa-suheng menerima kedudukan ketua, aku tentu akan pulang ke
gunung untuk mohon hukuman. Nyo Wi."
Tak terlukiskan perasaan Cu Jiang saat itu. Dia benar2
sangat mengagumi dan menghormat sekali akan
kepribadian suhunya. Kemudian ia menyerahkan kembali
surat itu seraya mengatakan bahwa selama ini suhunya tak
pernah bercerita apa2 tentang hal itu.
"Jika suhumu tak mau datang kemari untuk menerima
jabatan ketua, aku benar2 tak punya muka untuk
menghadap arwah para sucou. . ." kata Ih Se lojin.
Sebagai angkatan yang lebih muda. sudah tentu Cu Jiang
tak dapat memberi tanggapan ini ituu apa tentang urusan
dalam perguruan. Dia diam saja.
"Dia takkan meluluskan," kata Lam-ki-soh dengan nada
tandas, "Jika engkau tetap memaksa dia supaya menerima
berarti engkau menutup pintu agar dia tak datang ke
gunung sini lagi
Beberapa saat kemudian murid kedua Ko Kun
menghadap untuk menyampaikan laporan bahwa hidangan
sudah siap. Maka Cu Jiangpun diajak Ih Se lojin masuk.
Setelah menghadap arca dari kakek guru. mereka kembali
lagi ke ruang.
"Engkau mengatakan hendak meminta petunjuk untuk
memecahkan barisan apakah itu?" tanya Ih Se lojin.
Dengan mata merah penuh dendam kemarahan,
berkatalah Cu Jiang:
"Tentang gerombolan Gedung Hitam yang banyak
mencelakai dunia persilatan, apakah supeh sudah mendapat
berita yang lengkap ?"
"Hai," desuh Ih Se lojin.
"Dan ketua Gedung Hitam itu adalah musuh besar dari
keluarga murid."
"Ah, asal usul dirimu ..."
"Almarhum ayah murid adalah Cu Beng Ko."
"O, engkau putera dari Dewa-pedang ?"
"Engkau mencari guru dengan sudah mempunyai bekal
kepandaian ?"
"Ya."
"Ah, makanya ilmu pedangmu .. ."
"Tetapi itu bukan ajaran Keluargaku."
"Apa ? Bukan ilmu warisan keluargamu ? Tetapi Jelas
ilmu pedang yang engkau gunakan itu bukan dari
perguruan ku."
d00w

Dengan terus terang Cu Jiang lalu menuturkan semua


peristiwa yang dialaminya ketika ia mendapatkan ilmu
pedang itu.
"Luar biasa," seru Ih Se lojin, "kelak engkau tentu
mampu mempelajari kitab pusaka Thay hi-keng itu. Dengan
menggubahnya sendiri, pastilah kelak ilmu silat perguruan
kita akan cemerlang dalam dunia persilatan."
"Terima kasih, supeh."
"Bagaimana persoalanmu dengan Gedung Hitam ?"
"Selama ini tiada seorang persilatan yang mampu
menyelidiki markas besar Gedung Hitam di gunung Keng-
san karena markas besar itu dibentuk dalam barisan yang
aneh."
"Barisan apa ?"
"Menurut keterangan seorang sahabat, barisan itu
dibentak antara gabungan barisan Kiu-kiong pat kwa
dengan ti-hun-im."
"Mestinya itu barisan Thay ho-tin .. ."
"Thay-ho tin ?" Cu Jiang menegas.
"Ya, kalau menurut keterangan, barisan itu mestinya
disebut Thay-ho-tin. Tetapi barisan Thay-ho-tin itu
merupakan salah satu barisan dari tiga barisan besar yang
terdapat dalam kitab pusaka Ki-bun-ceng ciat. Mengapa dia
bisa menyusun barisan itu?"
Tiba2 Cu Jiang teringat.
"Kitab Ki-bun-ceng ciat diwaktu hilang dan jatuh ke
tangan Pek kut song-sian...?"
"Tidak mungkin, kedua iblis itu singkat sekali waktunya
mendapatkan kitab pusaka itu, hanya dalam seratus hari."
"Mohon tanya, bagaimana kitab itu bisa hilang ?"
"Gara2 sam-suhengmu yang mempelajari kitab itu. Tidak
seharusnya waktu keluar lembah, dia membawa kitab itu
sehingga ketahuan kedua iblis dan direbutnya. Untung anak
dari suami isteri iblis itu dapat kutawan sebagai sandera."
"Ya, murid telah mengetahui."
"Tetapi apakah benar barisan di markas Gedung Hitam
itu merupakan Thay-ho-tin. Jika tidak, tentulah akan
membuang waktu sia-sia." kata Lam-ki soh yang sejak tadi
diam saja.
Ih Se lojin kerutkan dahi.
"Jika kusuruh murid untuk memeriksa, berarti akan
mencampuri urusan dunia persilatan. Suatu hal yang
bertentangan dengan pendirian perguruan ku," katanya.
"Tetapi sekarang saja Cu Jiang sudah masuk menjadi
murid Thay-hi bun. Apakah hal itu berarti dia tak boleh
melakukan gerakan apa2."
"Itu lain lagi persoalannya, pertama, karena dia
mampunyai dendam berdarah untuk keluarganya. Dan
kedua, dia telah mendapat perintah dari suhunya ...."
"Kalian telah bersumpah untuk mengasingkan diri tak
mau mencampuri urusan dunia, adakah dalam soal budi
dendam dari murid. Juga tak mau memberi bantuan?" tegur
Lam-ki-soh.
"Peristiwa budi dendam yang menyangkut dirinya
dahulu sebelum masuk kedalam perguruan, perguruan kami
takkan mengurus."
Kuatir kedua tokoh tua itu akan terlibat dalam
perdebatan yang sengit, buru2 Cu Jiang berkata:
"Supeh, murid hanya mohon petunjuk bagaimana cara
untuk memecahkan barisan Thay-ho-tin saja. Jika tak
berhasil, kelak murid akan menghadap kemari lagi untuk
mohon petunjuk."
"Kalau begitu sih boleh," kata Ih Se lojin "tetapi ingat,
selama engkau bergerak di dunia persilatan tak boleh
engkau mengaku sebagai murid perguruan Thay-hi-bun !"
"Murid akan ingat baik"
"Masih ada satu lagi. Jika benar barisan itu barisan Thay-
ho-tin, engkau harus menyelidiki siapakah yang
membuatnya."
"Baik."
Sementara itu kelima murid Ih Se lojin, masuk dengan
melaporkan bahwa hidangan dan arak sudah siap semua.
Sembari berbangkit, Ih Se lojin mengajak Lam-ki-soh
makan bersama. Tetapi tokoh itu menolak dan mengatakan
dia cukup akan makan bekalnya sendiri.
"Gong-heng, menganggap aku orang she Co ini benar
seorang manusia yang tak kenal perasaan?"
"Ai, hanya bergurau saja. Kan merepotkan saudara. "
Demikian mereka lalu bersama-sama duduk di meja dan
menikmati hidangan malam. Selesai makan haripun sudah
malam. Ih Se lojin lalu membuat sebuah lukisan peta dan
diserahkan kepada Cu Jiang dengan memberi penjelasan2
seperlunya. Juga mengenai barisan dalam lembah itu, Ih Se
lojinpun memberitahu kepada Cu Jiang.
Keesokan harinya, Cu Jiang bersama Lam-ki-soh pamit.
Dengan masih mengenakan kedok muka, Cu Jiang keluar
dari lembah itu. Setelah tiba di kaki gunung Tong-pik-san,
Cu Jiang berpisah dengan Lam-ki-soh.
Jika menuju ke Hu-yang untuk menemui Ang Nio Cu, di
perhitungkan waktunya masih belum tiba, mungkin Ang
Nio Cu tentu belum kembali.
Apabila dia bertindak sendiri untuk menggempur
Gedung Hitam, dia merasa telah melanggar janji dengan
Ang Nio Cu. Ah, akhirnya ia memutuskan, baiklah ia
pelahan-lahan menuju Huyang agar waktunya menunggu
disana tak usah terlalu lama.
Demikianlah dengan cara santai itu, setengah bulan
kemudian barulah dia tiba di kota Huyang. Terpaut dengan
waktu berangkat ke gunung Tay-pa san sudah hampir satu
bulan. Menurut perjanjian dengan Ang Nio Cu, ia lalu
mencari dan menginap di hotel Naga Hijau, sebuah hotel
besar yang terletak dipusat kota.
Untuk tidak menarik perhatian orang. Cu Jiang
menyamar jadi seorang anak sekolah. Tetapi menunggu
sampai tiga hari belum juga Ang Nio Cu muncul. Dia mulai
gelisah. Menurut perhitungan waktunya, seharusnya Ang
Nio Cu sudah datang.
Karena tak dapat menemui Ih Se lojin, seharusnya Ang
Nio Cu cepat kembali ke Huyang. Saat itu sudah menjelang
keempat puluh hari, mengapa dia belum muncul juga?
Seorang diri dia menikmati arak dalam kamar.
Pikirannya melayang-layang. Kalau sampai hari yang
keempat puluh, Ang Nio Cu tetap belum muncul, terpaksa
dia tak bisa menunggu lebih lama lagi. Dia harus
menggempur Gedung Hitam sendiri.
Sekonyong-konyong dari arah luar kamar terdengar
suara wanita bersungut-sungut:
"Dia sudah mengatakan dalam empat puluh hari lagi
akan datang ke rumah penginapanmu ini . . ."
"Eh. siapakah sesungguhnya yang nona hendak cari itu?"
kata jongos hotel.
"Bukanlah sudah kukatakan kalau aku hendak mencari
seorang anak keponakanku yang jauh?"
"Nona, tetapi dia tentu mempunyai nama, kalau engkau
hanya bersungut-sungut dan marah2, tentu akan
mengganggu lain2 tamu. . ."
Cu Jiang terkesiap. Cepat ia beranjak dan mengintai
kearah luar Di halaman tampak seorang wanita tengah
memandang kian kemari sedang seorang jongos
menyeringai di sampingnya.
Wanita itu tergolong sudah pertengahan umur, karena
mengenakan baju merah maka cepat Cu Jiang dapat
mengenalinya sebagai salah seorang dari Empat wanita baju
merah yang menjadi pengawal Ang Nio Cu.
"Aku disini, " seru Cu Jiang.
Nona itu deliki mata kepada si jongos: "Tuh, apa
bukan?"
"O, Allah, mengapa nyonya tadi2 tak bilang kalau tuan
muda itu?" seru jongos. Namun nyonya itu tak
mengacuhkannya dan terus masuk ke dalam kamar Cu
Jiang.
"Silahkan duduk toanio." Kata Cu Jiang.
"Jangan memanggil begitu, namaku Soh Tan Hong."
"O, Soh toanio."
Jongos datang membawa minuman lalu menanyakan Cu
Jiang mau pesan apa lagi.
"Bawakan bebek panggang dan arak wangi," kata Cu
Jiang.
Setelah jongos keluar, Cu Jiang menuangkan arak ke
cawan dan mulai menanyakan tentang Ang Nio Cu.
"Dia tak dapat datang memenuhi janji dan
memerintahkan aku kemari . . ."
"Mengapa dia tak dapat datang?"
"Dia menderita luka parah, jiwanya terancam . . ."
Kejut Cu Jiang bukan kepalang. Seketika wajahnyapun
berobah.
"Dimana dia sekarang?" serunya gemetar.
"Di sebuah biara tua diluar kota Keng-ciu."
"Dimana dia menderita luka?"
"Waktu di belakang puncak Kiu-kiongsan!"
"Siapa yang mencelakainya?"
"Entah. Mungkinkah Ih Se lojin?"
"Tidak mungkin! "
"Bagaimana sauhiap memastikan begitu?"
"Karena aku sudah dapat menemukan Ih Se lojin itu."
"Di gunung Tay pa-san?"
"Hm," Cu Jiang hanya sembarangan mendengus karena
dia tak mau sembarangan memberitahukan tempat
perguruannya. "bagaimana lukanya?"
"Menderita luka dalam yang parah sekali, sehingga tak
sadarkan diri. Waktu kutinggalkan sudah lima hari
lamanya, entah..." ia tak dapat melanjutkan kata2 karena
tersendat isak air matanya.
"Toanio, silahkan makan dulu, nanti kita segera
berangkat."
"Aku . . . tak dapat makan."
"Tetapi engkau harus makan agar tenagamu tak lemas.
Mari minum dulu..."
"Tidak."
Begitulah keduanya terus makan. Cu Jiang sendiri juga
tak ada selera makan. Setelah membereskan rekening, dia
bersama Soh Tan Hong terus tinggalkan Hu yang.
Karena siang malam menempuh perjalanan, pada hari
keempat pagi mereka tiba di kota Keng-ciu. Soh Tan Hong
membawanya menuju ke sebuah biara bobrok yang terletak
tujuh delapan li dari kota.
"Mengapa tak memilih tempat yang layak?" tegur Cu
Jiang ketika menyaksikan alam sekeliling tempat itu sunyi
senyap.
Soh Tan Hong tertawa hambar.
"Majikan kami banyak musuh, dan lagi dalam keadaan
luka parah, dia tak dapat membuat gerakan yang
menimbulkan perhatian orang."
"Oh, begitu." Kata Cu Jiang.
Keadaan biara tua memang mengenaskan sekali.
Dindingnya banyak yang gompal dan rumput tumbuh liar
tak dirawat. Biara itu sendiri amat besar, dulu tentu
merupakan tempat ziarah yang ramai.
Memasuki ruang kedua, muncul seorang wanita lain lagi.
"Bagaimana dengan majikan?" tegur Soh Tan Hong
kepada kawannya itu.
Wanita itu menghela napas panjang: "kita harus
bersyukur kepada Langit dan Bumi bahwa majikan tak
sampai terancam malapetaka. Tetapi dia masih
memerlukan istirahat untuk memulangkan tenaga . . ."
Apa sudah mau makan?"
"Hanya sedikit."
"Bicara?"
"Secara memaksakan diri."
Kemudian wanita itu berkata kepada Cu Jiang.
"Sungguh tepat kedatangan sauhiap ini. Waktu sadar,
pertama yang disebut oleh majikan kami ialah nama
siauhiap."
"Apakah aku boleh menengoknya?"
"Tentu saja boleh, silahkan."
Melintasi halaman yang penuh ditumbuhi rumput liar,
mereka tiba di muka sebuah ruang yang bersih. Dan wanita
yang menjadi penunjuk jalan itu berseru nyaring:
"Cu sauhiap hendak menghadap majikan!"
"Lekas silahkan masuk." terdengar suara wanita
menyahut dari dalam.
Cu Jiang amat tegang. Mengikuti kedua wanita itu
masuk, ia melihat sebuah ranjang kayu yang diberi alas
dengan rumput jerami dan diatasnya rebah tubuh dari tokoh
misterius dalam dunia persilatan yakni Ang Nio Cu. Dia
masih mengenakan kain kerudung muka.
"Toaci, aku datang menjengukmu," seru Cu Jiang
dengan nada tegang.
Sepasang mata Ang Nio Cu berkaca-kaca, dengan suara
lemah ia menyahut:
"Ah, adik, membikin repot engkau saja."
"Taci, bagaimana dengan lukamu?"
"Rasanya tentu mati."
"Sudah minum obat?"
"Aku hanya mengandalkan tenaga dalam untuk
menyembuhkan, mungkin masih perlu waktu setengah
bulan lagi untuk beristirahat."
"Apakah yang dapat kulakukan?"
"Tak usah, aku dapat mengatasi sendiri. Adik,
bagaimana hasilmu ke gunung Tay pa san?"
"Beruntung tak sampai mengecewakan perintah taci."
"Engkau.... dapat menemui Ih Se lojin."
"Ya !"
"Dia mau memberi petunjuk kepadamu cara
memecahkan barisan?"
"Ya."
"Ah."
"Taci, bagaimana engkau sampai terluka?"
"Biar... Go Kiau yang memberitahu kepadamu."
Wanita yang menjaga di samping, mengangkat sebuah
meja kaki tiga.
"Harap Cu siauhiap duduk, aku akan bercerita pelahan-
lahan."
Cu Jiangpun duduk.
Wanita yang bernama Go Kiau itupun mulai menutur:
"Aku dan Soh suci bertiga mengikuti... majikan kami tiba
di belakang gunung Bok-tok-san. Tujuan kami pertama
yang mencapai lembah Ki lin koh yang berada di belakang
puncak gunung Kiu kiong san. Karena Ih Se lojin pernah
muncul disitu. Kami sangka dia tentulah penghuni lembah
itu. Tiba di mulut lembah, majikan memerintahkan kami
supaya menunggu di luar dan dia terus masuk ke dalam
lembah..."
Cu Jiang mengangguk.
"Lebih kurang seperminum teh lamanya, majikan keluar
dari lembah membawa luka. Dia suruh kami cepat2
membawanya pergi dari tempat itu, dan beberapa saat
kemudian diapun pingsan tak sadarkan diri lagi..."
"He, lalu..."
"Kamipun segera meninggalkan mulut lembah masuk ke
dalam daerah pedalaman untuk mencari persembunyian.
Kami bertiga berusaha menyalurkan telaga dalam dan
setengah hari kemudian barulah majikan kami siuman.
Dia terus menitahkan supaya diantar ke Hu yang. Kami
berusaha menggunakan kendaraan darat dan air. tetapi
sampai ditempat ini keadaan majikan sudah tak kuat lagi.
Terpaksa menggunakan biara tua ini untuk tempat
meneduh dan menyuruh Soh suci memberitahu Cu
sauhiap..."
"Apa hanya begitu ?"
"Masih ada lagi. Setelah keadaan majikan agak tenang,
dia mengatakan bahwa ketika di lembah Ko Min ton, yang
menyerangnya adalah seorang lelaki tua aneh yang pada
tengah dahinya tumbuh sebuah tahi lalat. Tak diketahui
nama dan asal usulnya. Begitu bertemu terus menyerang.
Hanya dalam lima gebrak, majikan sudah terluka parah dan
meloloskan diri. Untung masih dapat lolos, kalau tidak,
malah bagaimana jadinya..."
Cu Jiang berpaling kearah Ang Nio Cu. "Taci, apakah
engkau dapat menduga siapa orang tua itu ?"
Ang Nio Cu pejamkan mata, ujarnya.
"Tak dapat kuketahui asal usulnya. Yang jelas ilmu
kepandaian teramat sakti. lebih tinggi dari ketua Gedung
Hitam."
Sejenak berdiam diri Cu Jiang berkata.
"Taci, engkau perlu harus beristirahat."
"Ya, paling sedikit setengah bulan."
"O itu lebih baik. . ."
"Mengapa lebih baik?"
"Aku hendak menuju ke Kiu-Kiong-san "
"Mengapa ?"
"Taci, dendam darah kita itu, harus kutagih kepada
mereka."
"Ah, adik Jiang, sudahlah, tak usah kita bicarakan lagi,"
seru Ang Nio Cu.
"Tidak! Betapapun aku harus dapat melihat siapa
sebenarnya orang itu ! Masakan dunia memperkenankan
manusia yang lebih buas dari binatang, setiap bertemu
orang tentu membunuhnya."
"Apakah engkau benar2 hendak kesana ?"
"Tentu, setelah aku kembali dari sana, luka tacipun tentu
sudah baik."
"Hati-hatilah."
"Harap jangan kuatir, aku dapat membawa diri dan
kuharap taci dapat menjaga diri baik-baik agar lekas
sembuh. Sekarang aku mohon diri. ."
"Sekali-kali jangan kau memandang rendah pada lawan.
Bertindaklah menurut gelagat."
"Baiklah."
"Akan kusuruh menyediakan makanan dan arak.
Beristirahatlah dan besok engkau boleh berangkat."
"Tak usah."
"Adik Jiang . .. engkau harus meluluskan pesanku tadi
untuk berhati-hati... jangan membuat hatiku cemas. Engkau
harus mengetahui bahwa masih ada sebuah kebahagian
hidup seseorang yang diserahkan kepadamu..."
Cu Jiang tergetar perasaannya. Secara resmi ia telah
menjadi suami isteri dengan Ho Kiong Hwa tetapi tak
pernah ia memikirkan diri nona itu...
"Taci, aku akan melakukan segala pesanmu."
"Bagus."
"Sekarang aku mohon diri."
"Baik2 engkau menjaga diri, adik Jiang."
Sedemikian akrab bahkan mesrah Ang Nio Cu bersikap
terhadap Cu Jiang. Seolah-olah seperti seorang taci
terhadap adik kandungnya.
Dengan perasaan gembira dan berterima kasih, Cu Jiang
keluar dari biara itu. Saat itu masih siang, ia tak mau masuk
ke kota lagi melainkan terus melanjutkan perjalanan.
Agar tidak putus hubungan dengan rombongan Ki Siau
Hong, disepanjang jalan ia selalu meninggalkan tanda
rahasia.
Ketika tiba di lembah Ki lin koh gunung Kiu Kiong san,
Cu Jiang berganti menyaru sebagai tokoh Toan kiam jan jin
lagi. Ia sengaja berjalan dengan langkah pincang dan
pinggang menyelip pedang kutung bertebar mutiara.
Lebih kurang empat puluh tombak memasuki lembah
tiba2 ia melihat sebuah ciok pay atau papan batu yang
bertulis empat buah huruf yang besar, berbunyi:
"Masuk lembah pasti mati."
Cu Jiang tertawa dingin, Brak, ia menghantam hancur
papan batu itu. Kemudian ia melanjutkan langkah.
Jalanannya berbahaya sekali, penuh karang dan batu2 aneh
yang malang melintang, Sepintas memang tampak seperti
seekor kilin yang muncul.
Diantara batu2 yang aneh bentuknya itu, terdapat pula
tulang belulang yang menyeramkan pandangan mata.
Tentulah tulang2 itu berasal dan orang yang berani
memasuki tempat itu.
Dari kesan itu, dapat disimpulkan bahwa orang yang
berada dalam lembah tentu seorang manusia yang ganas.
Krak, krak, setiap langkah Cu Jiang menimbulkan bunyi
yang menyeramkan karena kakinya menginjak hancur
tulang2 manusia.
Tiba2 sesosok bayangan berkelebat dan tahu2 seseorang
telah menghadang jalan. Cu Jiang hentikan langkah
Memandang kemuka, terpaku ia terkesiap. Yang muncul di
muka itu seorang manusia yang menyeramkan, lebih tepat
dikatakan makhluk yang aneh.
Matanya hanya satu, punggung bungkuk menjungkai
keatas, bibir sumbing sehingga giginya yang besar2
menonjol keluar. Rambut kaku dan tangan mencekal
sebatang Joan pian atau ruyung lemas.
Mahluk seram itu memalingkan kepala memandang Cu
Jiang sejenak lalu tertawa aneh:
"Hai, bocah cilik, engkau berani menghancurkan papan
larangan di mulut lembah itu? siapakah engkau bagaimana
nanti engkau harus mati ?"
"Coba saja katakan, bagaimana cara kematian yang
harus kuterima ?" Cu Jiang menyahut sinis.
"Lebih dulu akan kubeset urat2 mu lalu kulitmu, setelah
itu engkau akan kurendam dalam air garam, nah, coba
bayangkan bagaimana rasanya nanti ?"
"Bagus, bagus, sungguh nikmat sekali. Tetapi asal
engkau mampu melakukan !"
Sring.... ruyungpun segera menggeletar di udara dan
secepat kilat menyambar.
"Aku hendak bertemu dengan yang menjadi pemilik ini,"
seru Cu Jiang.
Makhluk aneh itu tertawa lagi. Nadanya jauh lebih
menyeramkan dari serigala melolong.
"Jangan mimpi !"
"Kalau tak salah beberapa waktu yang lalu disini
kedatangan seorang wanita yang mukanya memakai
kerudung. Apakah kalian yang melukainya ?" seru Cu
Jiang.
"Dia belum mati ?"
"Tak mungkin dia akan mati !"
"Ah ah. engkau komplotannya ?"
"Ya, memang, aku memang khusus datang kemari
hendak membuat perhitungan."
"Heh. heh, bagus, bagus. Sungguh tak pernah kuduga
kalau ada orang yang berani datang kemari hendak
membuat perhitungan."
"Jangan heran, yang lebih bagus lagi akan terjadi nanti !"
"Budak kecil, aku tak punya waktu adu lidah dengan
engkau," habis berkata dia terus ayunkan cambuk joan-pian
nya.
Cu Jiang menghindar hilang. Manusia aneh itu menjerit
kaget dan cepat menarik pulang cambuknya.
"Hai, budak kecil, engkau hebat sekali!"
Setelah mengambil arah, dia segera ayunkan lagi
cambuknya, tar, tar . . . . seketika bayangan cambuk itu
mengembang seperti selembar layar hitam yang melingkupi
seluas dua tombak.
Cu Jiang tetap gunakan gerak langkah Gong gong poh-
hwat untuk menghilang lenyap.
"Rupanya aku terpaksa harus membunuhmu lebih dulu!"
Dua kali serangan cambuk ruyungnya luput, rambut
manusia aneh itu meregang tegak. Matanya yang bundar
kecil seperti mata ular, berkeliaran buas. Mulut menganga
sehingga gigi-giginya yang panjang tampak membersit-
bersit.
Cu Jiang mencabut pedang kutung.
"Engkau Toan kiam jan jin ?" teriak orang aneh itu.
"Benar !"
"Bagus! Tak kira kalau engkau mengantarkan jiwamu
kemari sendiri . ." kata2 itu ditutup dengan ayunan cambuk
yang menimbulkan bunyi menggeletar sekeras-kerasnya
menyambar.
Tetapi Cu Jiang sudah siap. Ia memutar pedang. Tiba2 ia
rasakan tangannya kesemutan dan tahu2 pedang kutung
telah terlilit cambuk.
"Heh, heh, heh, heh . . ." terdengar manusia aneh itu
tertawa mengekeh dan Cu Jiang serentak merasakan dari
ujung cambuk orang itu telah memancar aliran tenaga-
dalam yang keras.
Cepat anak muda itu mengerahkan tenaga dalam untuk
mencekal pedangnya erat2. Lalu mulai balas mendesak.
Ternyata tenaga-dalam orang aneh itu bukan main
hebatnya sehingga ia masih mengimbangi Cu Jiang. Pada
saat Cu Jiang mengerahkan segenap tenaga dalamnya,
tampak biji mata orang aneh itu seperti melotot keluar,
urat2 dahinya melingkar-lingkar dan keringat bercucuran
sebesar kedele. Tetapi dia tetap ngotot untuk bertahan.
Tenaga dalam yang dimiliki Cu Jiang sudah menjadi
tataran hampir sempurna. Dengan begitu dapat diduga
betapa hebat tenaga dalam dari manusia aneh yang mampu
bertahan terhadap serangan Cu Jiang. Jelas dia lebih unggul
dari kawanan Sip pat Thian-mo.
Tetapi betapapun toh daya pertahanan manusia aneh itu
bobol juga. Dengan aliran tenaga-dalam yang dahsyat dan
tak henti-hentinya seperti ombak mendampar, akhirnya Cu
Jiang mengerahkan seluruh tenaga dan tiba2 mengibaskan
pedangnya.
Hai terdengar orang tertahan dan cambuk ruyung dari
manusia aneh itu terlepas, kaki terhuyung tiga langkah ke
belakang, mulutnya mengucur dua tetes darah.
Cu Jiang mengentak jatuh batang ruyung lalu melesat
maju. tak mau kasih kesempatan kepada musuh, demikian
terlintas kata2 itu dalam benaknya.
Huakkk... terdengar jerit ngeri, tubuh manusia aneh itu
bergemetaran, dadanya berlumur darah merah.
Tetapi pada saat itu, orang anehpun sempat
menghantam Cu Jiang sehingga anak muda itu terpental
selangkah ke belakang.
Cu Jiang benar2 heran tak terkira, mengapa jurus ilmu
pedang Thian-te kay thay tak berhasil merobohkan lawan.
Tiba2 orang aneh itu berputar tubuh terus lari masuk
kedalam lembah.
"Hai, berhenti dahulu!" teriak Cu Jiang seraya
mengacungkan pedang kutung ke atas kepala.
Gigi orang aneh itu terdengar berkemerutukan. Tiba2 dia
ngangakan mulut dan beberapa benda mirip bintang segera
menyembur keluar.
Cu Jiang cepat menghindar tetapi betapapun, tetap dia
kalah cepat dengan semburan yang tak terduga-duga itu.
Jaraknya begitu dekat dan senjata rahasia itu disemburkan
dengan mulut.
Lengan dan bahunya telah termakan beberapa biji
senjata rahasia itu. Untung tak mengenai jalan darah
penting. Kalau sampai terkena pada bagian jalan darah
penting, dia tentu mati.
"Huakkkk..."
Terdengar pekik ngeri menembus udara. Tubuh orang
aneh itu telah terbabat kutung menjadi dua oleh pedang Cu
Jiang.
Sebelum kumandang jeritan ngeri itu lenyap tiba2
terdengar suara mengembor keras.
"Hai, manusia liar dari mana yang berani membunuh
anak buahku yang bertugas menjaga mulut lembah !"
Selesai kata2, orangnyapun sudah muncul. Seorang laki2
tua berambut putih tetapi tubuh masih segar kekar.
Cu Jiang terperanjat. Ketika memandang, ia
memperhatikan pada tengah2 dahi orang tua itu terdapat
sebuah tahi lalat yang besar seperti mata.
Diam2 Cu Jiang girang. Inilah orang yang
dikehendakinya. Pemilik lembah yang telah melukai Ang
Nio Cu itu, pikirnya. Yang dibunuhnya tadi hanyalah anak
buah, dan Kalau anak buah saja sudah begitu hebat
kepandaiannya, majikannya tentu lebih dahsyat lagi, Mau
tak mau Cu Jiang tergetar juga hatinya.
Orang tua pendatang yang dahinya seperti mempunyai
sebuah mulut lagi (tahi lalat besar), tampak memandang
kearah mayat manusia aneh tadi. Tubuhnya yang tinggi
besar tampak gemetar. Tentulah dia sangat marah sekali.
Cu Jiang mencekal pedangnya erat2, siap menghadapi
segala kemungkinan. Sesaat orang tua itu mengangkat
muka, sepasang matanya berkilat2 tajam memandang
kearah Cu Jiang.
Cu Jiang merasa seperti dipancari sinar tajam yang
membuat bulu2 tubuhnya meremang tegang.
"Engkau .... Toan-kiam-jan Jin?"
Cu Jiang terkejut mendengar pertanyaan itu. Sekati
membuka mulut, orang itu sudah mengenal dirinya. Diam2
Cu Jiang menyadari bahwa ciri2 dirinya sebagai pemuda
pincang dengan pedang kutung ternyata sudah termasyhur
dan dikenal oleh setiap orang persilatan.
"Ya !" sahutnya ringkas.
"Heh, heh, budak kecil, engkau bakal mati tak berkubur!"
"Siapakah nama anda ?"
"Aku Sam Bok thian-cun!"
Cu Jiang tertegun. Dia tak pernah mendengar nama
tokoh persilatan semacam itu. Tetapi ia percaya, orang itu
tentu seorang tokoh angkatan tua yang ternama.
"Belum lama ini apakah anda melukai seorang nona
yang makanya memakai kain cadar ?" serunya pula.
"Melukai ? Apakah dia tak mati ?" Sam Bok thian-cun
atau Malaikat bermata-tiga mengulang. Dan kata2 itu tepat
seperti yang diucapkan manusia aneh tadi.
Setiap orang yang diserang, tentu mati. Aneh sekali
kalau hanya menderita luka dan tak sampai mati. Suatu hal
yang menunjukkan betapa ganas dan buas mereka.
"Apakah tentu harus mati ?" ulang Cu Jiang.
"Yang berharga untuk menerima serangan tanganku,
tidak banyak jumlahnya. Tetapi tak pernah ada yang
hidup."
"Tetapi kali ini memang suatu pengecualian!" sambut Cu
Jiang.
"Toan-kiam-jan-Jin, bagaimana asal usul dirimu ?"
"Tak perlu bertanya, aku takkan memberitahu! "
"Tak kubiarkan engkau menurut sekehendakmu sendiri.
Aku harus menyelidiki sampai jelas !"
"Untuk apa ?"
"Mencabut rumput harus sampai pada akarnya !" nada
Sam bok thian cun sangat menyerampak sekali.
Cu Jiang mendengus dingin:
"Sam Bok thian-cun, tak usah banyak bicara yang tak
berguna, Anda harus membayar semua perbuatan anda
selama ini."
"Membayar? Ha, ha, rasanya dalam dunia ini hanya
engkau seorang yang berani menagih pembayaran
kepadaku."
"Anda heran ?"
"Heran sekali !"
"Akupun baru pertama kali ini mendengar ucapan yang
begitu tekebur seperti anda."
"Ho, apakah arti budak semacam engkau ini."
"Dan engkau sendiri juga makhluk macam apa?" balas
Cu Jiang.
"Ha, ha. entah bagaimana harus kucincang tubuhmu
supaya hatiku puas nanti..."
"Sama-sama, bung !" sahut Cu Jiang.
"Budak, Jika engkau bukan Toan-kiam Jan jin, tak nanti
aku mau banyak bicara."
"Oh, terima kasih."
Sepasang mata Sam Bok thiancun membara merah
sehingga wajahnya makin menyeramkan. Ke dua
tangannya pelahan-lahan mulai diangkat...
Tiba2 Cu Jiang menyarungkan pedangnya.
"Pukulan harus disambut dengan pukulan. Biar engkau
mati dengan puas!" serunya dengan nada beku.
Sam Bok thiancun tertawa menyeringai.
"Hebat engkau !" serunya.
Seiring dengan bentakan yang dahsyat, serentak
keduanya mengayunkan kedua tangan, bum . . terdengar
letupan keras yang- menggetarkan seluruh lembah. Batu
dan pasir beterbangan ke udara.
Cu Jiang mundur tiga langkah. Darahnya serasa
bergolak-golak keras. Tetapi Sam Bok thian cun juga
tersurut ke belakang tiga empat langkah. Rambutnya awut-
awutan.
Ke-dua2nya tak membuka mulut tetapi hati masing2
sudah tahu bahwa kali itu mereka benar2 bertemu dengan
lawan yang tak boleh dianggap enteng.
Cara mereka berhantam tadi yalah keras lawan keras.
Tak memakai gerak jurus ilmu silat apa2, melainkan secara
jujur beradu kerasnya tulang dan tingginya tenaga. Siapa
yang lemah tentu binasa.
Setelah sama2 memulangkan napas, merekapun mulai
bergerak kembali ketempatnya semula tadi.
Tangan mulai di angkat, tenaga dihimpun dan hampir
serempak mereka mengayunkan lagi tangannya.
Buuummm.....
Terdengar ledakan hebat lagi dan keping2 hancuran
karang, yang mencurah dari udara seperti hujan.
Kali ini keduanya terpental ke belakang sampai tujuh
delapan langkah. Napas mereka memburu keras seperti
kerbau habis bekerja.
Hampir sepeminum teh lamanya baru mereka bergerak
maju ke tempatnya tadi. Saat itu merupakan babak
penentuan mati atau hidup. Keduanya sama2 mengerahkan
seluruh tenaga-dalam lalu mengayunkan tenaganya untuk
babak yang ketiga.
Kali ini yang terhebat sendiri. Hamburan karang dan
debu serta ranting2 dan daun bertebaran memenuhi lembah
sehingga suasana amat gelap.
Setelah terhuyung-huyung beberapa langkah, rubuhlah
Cu Jiang ke tanah. Segumpal darah meluap kearah
tenggorokan tetapi ia paksakan diri untuk menelannya
kembali. Tulang belulangnya seperti remuk.
Pandang matanya berkunang-kunang. hawa murni
tubuhnya sudah habis. Kali ini tamatlah riwayatku,
pikirnya.
Beberapa saat setelah suasana tenang dan terang, dia
melihat Sam Bok thiancun juga jatuh terduduk ditanah.
Rambutnya yang putih berwarna merah dan tubuhnya
menggigil keras.
"Dia terluka lebih hebat dari aku," kata Cu Jiang dalam
hati.
Sekarang ia harus cepat bertindak untuk mendahului
lawan. Siapa yang turun tangan lebih dulu, dialah yang
akan menang.
Cu Jiang segera melakukan ilmu pernapasan menurut
ajaran dalam kitab Giok-kah-kim-keng.
Sudah tentu Sam Bok thiancun juga tak tinggal diam.
Dia juga mempunyai rencana seperti yang diangankan Cu
Jiang.
Beberapa waktu kemudian Cu Jiang mulai berbangkit.
Dia tak mau memberi kesempatan sampai lawan dapat
memulihkan tenaganya.
-oo0dw0oo-

Jilid 20
Selangkah demi selangkah dia menghampiri ke tempat
Sam Bok thiancun. Langkahnya yang sarat menimbulkan
suara berderak-derak yang menyeramkan. Suasana saat itu
benar2 menyeramkan sekali.
Urat2 wajah Sam Bok thiancun bergeliatan menonjol.
Diapun mulai berbangkit.
Setelah lebih kurang satu setengah meter dimuka Sam
Bok thiancun, Cu Jiangpun hentikan langkah.
"Budak kecil." seru Sam Buk thiancun dengan napas
terengah-engah, "engkau merupakan satu-satunya lawan
yang dapat mengimbangi kepandaianku selama ini, hanya
salah seorang dari kita berdua yang harus hidup atau
mungkin kita berdua akan sama2 terluka atau mati.
Dapatkah engkau.... mengatakan asal usul dirimu?"
Cu Jiang menggertak gigi.
"Putera tunggal dari Dewa-pedang Cu Beng Ko."
serunya.
Sepasang mata Sam Bok thiancun mendelik.
"Dengan modal apa Cu Beng Ko berani mengangkat diri
sebagai dewa pedang ?"
"Tua bangka, engkau berani menghina mendiang
ayahku?"
Blum
Cu Jiang menutup kata-katanya dengan sebuah
hantaman dan Sam Bok thiancun pun balas menangkis.
Terdengar letupan keras dan erang ngeri. Mulut Sam Bok
thiancun muntah darah dan orangnyapun rubuh.
Cu Jiang juga terhuyung-huyung, setelah muntah darah
diapun jatuh terduduk, pandang matanya serasa gelap.
Pikirnya, kali ini kalau Sam Bok thiancun turun tangan, dia
tentu mati. Dia benar2 tak mampu menggerakkan anggauta
tubuhnya lagi.
Sekonyong-konyong terdengar derap langkah kaki orang
dan sesaat kemudian lengking jerit seorang wanita. Hati Cu
Jiang bergetar. Samar2 dia melihat dua orang wanita tetapi
tak dapat melihat jelas wajah mereka.
"Ma. Sucou..."
"Hai, kiranya si algojo kecil ini."
"Dia "
Semangat Cu Jiang serasa terbang ketika mendengar
kedua wanita itu menyebut sucou (kakek guru) kepada Sam
Bok thiancun. Saat itu dia sudah lebih sadar. Bayangan
kedua wanita itu mulai tampak lebih jelas.
"Sekarang aku pasti mati." diam2 ia mengeluh.
Kedua wanita yang datang itu bukan lain adalah nyonya
Gedung Hitam bersama puterinya.
Wajah nyonya Gedung Hitam itu membeku dingin,
sepasang matanya berapi-api. Sedangkan nona itu atau
yang menurut pengakuannya bernama Ki Ing, tampak
pucat.
Yang berseru menyebut sucou tadi, Ki Ing juga. Dengan
demikian mamanya atau isteri dari ketua Gedung Hitam itu
murid pewaris dari Sam Bok thiancun.
Dengan demikian rahasia diri wanita itu yang selama ini
tiada orang yang mengetahui jelas bagaimana asal usulnya,
sedikit-sedikit mulai tersingkap.
Diam2 Cu Jiang teringat bagaimana manusia aneh
penjaga mulut lembah dan pemilik lembah itu atau Sam
Bok thiancun, dapat mengatakan kalau dia adalah Toan-
kiam-jan-jin. HaI itu tentulah karena sudah mendengar
laporan dari nyonya Gedung Hitam.
"Adakah dendam permusuhan antara ayah dengan ketua
Gedung Hitam, juga karena mempunyai hubungan dengan
Sam Bok thiancun ?" pikir Cu Jiang.
Tanpa disadari sinar matanya telah beradu dengan
tatapan sinar mata Ki Ing. Tergetarlah hati Cu Jiang.
Dalam pandangannya, Ki Ing itu seorang nona yang
penuh kasih dan curahan asmara. Tetapi Cu Jiang tak
tersentuh hatinya. Andaikata Cu Jiang belum terikat
pernikahan dengan Ho Kiong Hwa, diapun tetap sukar
menerima Ki Ing karena mereka terpisah oleh jurang
pemisah lebar yang berupa dendam darah dari orang tuanya
masing2.
Ki Ing, nona yang pertama-tama pernah menyentuh
hatinya, ternyata puteri dari musuhnya. Diam2 Cu Jiang
bersyukur karena ia belum sampai menjalin hubungan kasih
yang lebih dalam.
Kemudian mengerling kesamping, Cu Jiang melihat
tubuh Sam Bok thiancun rebah tak bergerak di tanah. Dia
mati.
"Hari ini engkau pasti mati," seru Hek Poh hujin atau
nyonya Gedung Hitam. Secepat kilat tangannya
menyambar kain kerudung yang menutupi muka Cu Jiang,
juga kedok mukanya.
"Hai, dia benar2 pelajar baju putih itu !" serentak Ki Ing
melengking kejut.
Saat itu Cu Jiang sedang menderita luka-dalam yang
parah sekali sehingga dia tak dapat berbuat apa2.
Sejenak nyonya Gedung Hitam tertegun lalu berseru.
"Apakah engkau hendak meninggalkan pesan apa-apa ?"
sesaat nyonya itu menegur.
"Aku masih penasaran mengapa tak dapat membunuh
kalian gerombolan Iblis ini dan menghancurkan Gedung
Hitam !" sahut Cu Jiang dengan nada keras.
"Cita-citamu memang mulia, sayang engkau harus
menunggu sampai penitisanmu yang akan datang," sahut
nyonya Gedung Hitam.
"Ma!" tiba2 Ki Ing berseru dengan rawan.
Nyonya itu berpaling kearah puterinya yang tercinta dan
kerutkan alis melihat sikap anak itu.
"Nak, engkau kenapa ?"
"Apakah.... engkau tak dapat melepaskannya."
"Apa ? Melepaskannya ...."
"Ya."
"Nak, engkau gila !"
"Aku tidak gila, ma."
"Soal lain2 tak perlu kita bicarakan tetapi dari
perbuatannya membunuh sucoumu itu saja, dia harus
mati!"
"Yang kuat menang yang lemah hancur, itu sudah
menjadi dalih dunia persilatan. Kurasa apa yang terjadi tadi
memang suatu pertempuran yang layak."
"Tutup mulutmu!" bentak nyonya itu. "engkau tak
menyadari apa yang engkau katakan. Jika tidak sekarang
kita turun tangan, kelak tentu berbahaya akibatnya !"
Sepasang mata nona itu merah. Setelah terdiam beberapa
jenak dia berkata pula:
"Ma, kali Ini lepaskanlah dia."
"Nak, jangan engkau terlalu bermanja diri, tak mungkin
hal itu dapat kulakukan !"
Dalam pada itu berkat memperkeras ilmu Sim-hwat.
dapatlah Cu Jiang memulihkan sebagian dari tenaganya.
Dia menyadari bahwa gelagat saat itu lebih banyak celaka
daripada menguntungkan. Dia benar2 penasaran kalau
harus mati ditangan seorang wanita.
Dengan bercucuran airmata, Ki Ing tetap merengek:
"Aku telah berhutang sesuatu perasaan kepadanya!"
"Hutang perasaan apa ?"
"Perasaan, ya perasaan, tidak perlu kukatakan."
"Nak, Jika engkau lepaskan dia, apakah dia juga akan
melepaskan kita ?"
"Aku akan berusaha agar dia melepaskan niatnya untuk
melakukan pembalasan berdarah.."
"Suatu kegaiban ?"
"Aku tetap akan berusaha."
"Tak perlu berusaha. Melepaskan harimau pulang ke
gunung, tentu akan segera menerima bencana."
"Ma, berikan kesempatan satu kali saja kepadaku !"
"Jangankan satu kali, setengah kalipun tidak!"
Tiba2 Ki Ing melintang dihadapan Cu Jiang dan berseru
dengan meratap.
"Kalau begitu bunuhlah aku dulu, ma!"
"Engkau benar2 sudah gila," teriak nyonya Gedung
Hitam, "tak mau tahu segala apa. enyahlah !"
"Tidak!" seru Ki Ing.
Nyonya itu tak dapat berbuat apa2, dengan napas
memburu keras dia berkata:
"Baiklah, jika tidak kecebur kedalam bengawan
Hoanghoo, engkau tentu belum jera. Coba tanya kepadanya
apakah dia mau melepaskan niatnya mencari balas atau
tidak !"
Ki Ing berputar kebelakang memandang Cu Jiang.
Dipandangnya wajah pemuda itu sampai beberapa jenak.
"Setelah berjumpa, apa katamu ?" akhirnya meluncur
juga kata2 dari mulutnya.
"Budi kebaikan ini, tentu akan kuukir selama-lamanya
dalam hatiku !" kata Cu Jiang dengan nada gemetar.
"Itu persoalan lain."
"Aku tak mau memohon belas kasihan supaya dapat
hidup dan tak dapat melepaskan niatku untuk menuntut
balas !"
"Tidak dapat?" seru Ki Ing dengan gemetar.
"Ya, tidak dapat, " Ki Ing mengertek gigi.
"Sekarang engkau tak dapat hidup, bagaimana engkau
masih kukuh mengatakan tak dapat?"
"Seorang lelaki takkan memberatkan soal mati atau
hidup."
"Orang yang mati segala akan habis." seru Ki Ing,
"ksatrya atau bukan, apa bedanya?"
"Itu tak perlu dipersoalkan."
"Apakah engkau benar2 tak mau mempertimbangkan
lagi?"
"Tidak usah dipertimbangkan lagi"
Ki Ing banting2 kaki dan menjerit dengan sedih:
"Baik, matilah dan jadilah ksatrya di neraka?"
"Nak, bagaimana? Apakah engkau masih tetap pada
pendirianmu?" tiba2 nyonya Gedung Hitam menyelutuk.
Ki Ing menutup muka dengan lengan bajunya tetapi
tetap tak mau menyingkir.
"Pergilah!" bentak nyonya Gedung Hitam.
Tetapi Ki Ing tetap tak mau bergerak. Cu Jiang tergerak
hatinya. Bahwa seorang gadis yang mencintai, tentu akan
berbuat tindakan yang diluar dugaan orang.
Tiba-2 nyonya itu melesat dari samping dan terus
menghantam Cu Jiang.
Buuuum.......
Terdengar erang ngeri ketika tubuh Cu Jiang terlempar
sampai dua meter dan membentur sebuah batu besar. Dia
muntah darah beberapa kali.
Untuk yang kedua kalinya dia harus merasakan lagi
betapa rasa orang yang sekarat maut itu.
"Sudahlah kini, . . . tentu tak dapat hidup!" kembali Ki
Ing menyerbu.
Nyonya Gedung Hitam mendengus:
"Hm, aku hendak membuktikan apakah dia benar2
sudah mati!"
Saat itu kesadaran pikiran Cu Jiang makin kabur. Dia
merasa kematiannya sudah tak jauh. Pada waktu berpisah
dengan Ang Nio Cu, nona itu pesan wanti2 agar dia
berhati-hati, jangan mengagulkan kekerasan.
"Ma, mengapa engkau . . ." Ki Ing meratap.
"Pembuktian yang tepat hanyalah kalau mencerai
beraikan mayatnya!"
Walaupun keadaan Cu Jiang sudah tak sadar lagi tetapi
samar2 dia masih mendengar kata2 "menceraikan
mayatnya" .
Mati dengan cara apapun saja tetap mati. Tetapi mati
ditangan musuh, memang suatu kematian yang tak
merelakan. Darah kembali bercucuran dari mulut Cu Jiang.
Dia masih belum mati rata, belum putus napasnya. Dia
masih dapat merasakan penderitaan dari kematian yang
akan dialaminya nanti.
Tiba2 telinga Cu Jiang mendengar suara orang berseru:
"Berhenti!" Suara itu dia cukup mengenalnya.
"Pencuri tua, apakah engkau mau cari mampus!"
"Tio Hong Hui, kalau pencuri tua ini mati tentu takkan
melepaskan engkau juga !"
Menyusul terdengar suara benturan keras. Tetapi Cu
Jiang sudah tak berdaya lagi, kesadaran pikirannyapun
hilang.
Ketika dia siuman, bintang2 bergemerlapan di angkasa,
angin berkesiuran silir dan tubuhnyapun terasa sakit.
"Hai, aku belum mati ?" serunya.
"Adik kecil, engkau tak mati!"
Terkejut Cu Jiang mendengar suara itu. Cepat dia
berpaling kesamping lalu menggeliat duduk. Ah, ternyata
yang berada disamping adalah Ciok Yau Je yang bergelar
Hanya-langit tidak dicuri.
Dia teringat ketika pingsan, samar2 dia masih
mendengar suara itu.
"Lo koko, engkaukah yang menolong aku ?"
"Jangan mengatakan menolong, aku memang menyusul
engkau !"
"Bagaimana lo-koko tahu ?"
"Aku berjumpa Ang Nio Cu, dia yang memberi tahu."
"Oh lo koko, tempat apakah ini ?"
"Masih didaerah, tak boleh berjalan. Aku tak berani
membawamu keluar gunung."
Cu Jiang mencoba melakukan pernapasan. Memang
hawa-murni dalam tubuhnya lemah sekali. Tulang
belulangnya seperti copot dari persendian.
Tetapi dia tak mempedulikan lukanya. Dia tetap
mencurahkan pikiran pada sebuah soal besar.
"Lo-koko, rasanya tadi engkau menyebut nama Tio
Hong Hui, bukan ?"
"Ya, kurang sedikit saja aku remuk di tangannya.
Engkau ...."
"Apakah dia bukan Ratu-kembang Tio Hong Hui itu?"
"Benar."
"Isteri majikan Gedung Hitam ?" tanya Cu Jiang pula.
Kali ini giliran si pencuri tua yang gelagapan.
"Dia itu isteri pemilik Gedung Hitam ?" serunya terkejut.
"Ya." sahut Cu Jiang.
"Bukankah dia menikah dengan Tionggoan-tay-hiap
Cukat Giok?" tanya Ciok Yan Je pula.
"Memang benar ..." sahut Cu Jiang Ia merangkai dugaan
bahwa kemungkinan besar Cukat Giok atau kakek cacad di
dasar jurang itu, tentu dicelakai pemilik Gedung Hitam.
Mungkin gembong Gedung Hitam itu menyaru sebagai Bu
lim-seng-hud Sebun Ong.
Itulah sebabnya mengapa Sebun Ong gelagapan dan
menyangkal keras kalau dia telah membunuh Cukat Giok.
Dan Ki Ing itu tentulah puteri tunggal dari Cu Kat Giok.
Ya, benar. Bukankah sau pohcu atau putera dari pemilik
Gedung Hitam pernah mencoba hendak mencemarkan
kehormatan Ki Ing di biara tempo hari! Sau pohcu itu
mengatakan bahwa Ki Ing bukan saudaranya sungguh!
Tetapi nyonya Gedung Hitam atau Tio Hong Hui tetap
memberitahu kepada Ki Ing. bahwa ayah Ki Ing itu adalah
tokoh pemilik Gedung Hitam. Hm, jelas wanita itu
berbohong ....
"Adik kecil, engkau lengah melamun apa?" tiba2 Ciok
Yau Je menegur.
"Aku memang justeru hendak mencari Tio Hong Hui!"
"Mengapa?"
Cu Jiang segera menuturkan pengalamannya bertemu
dengan Cukat Giok di dasar jurang.
"Bermula engkau mengira ketua Hoa-gwat-bun Tiam Su
Nio itu sebagai Tio Hong Hui, bukan?" tiba-2 Ciok Yau Je
bertanya.
"Ya, karena itu maka timbul beberapa peristiwa !"
"Adik kecil, engkau harus beristirahat dulu agar cepat
sembuh."
"Baik."
"Kubantu engkau . . ."
"Tak usah, cukup lo koko menjaga keamanan saja."
"Apa engkau masih dapat melakukan pernapasan
sendiri?"
"Bisa."
"Baik, silakan mulai."
Cu Jiang segera rebah, pejamkan mata dan mulai
menyalurkan ilmu Sim hwat untuk menyembuhkan
lukanya.
Beberapa waktu kemudian setelah bangun Cu Jiang
rasakan tubuhnya panas. Ternyata saat itu matahari sudah
di tengah angkasa. Ketika dia menggeliat bangun, barulah
dia tahu kalau saat itu dia sedang berada di sebuah puncak
gunung.
Ciok Yiu Je tertawa mengikik, serunya:
"Adik kecil, apakah engkau sudah sembuh?"
"Lo koko, budi pertolonganmu, entah bagai mana aku
harus menghaturkan terima kasih."
"Ah, tak perlu."
"Lo koko. apa engkau pernah mendengar nama Sam Bok
thiancun?"
Ciok Yau Je kerutkan alis, terkejut.
"Mengapa tiba2 engkau menyebut nama itu?"
"Aku telah membunuhnya "
"Apa? Engkau ... engkau membunuh Sam Bok
thiancun?"
"Ya."
"Dimana ?"
"Ditempat aku menderita luka itu."
"Ah, karena mencurahkan pikiran untuk menolong
engkau, aku sampai tak memperhatikan hal itu. Sudah
berpuluh tahun Sam Bok thian-cun muncul di dunia
persilatan. Mungkin umurnya sudah lebih dari seratus
tahun. Dia seorang tokoh yang kejam dan buas tetapi ilmu
kepandaiannya tinggi sekali. Kabarnya dulu dia sudah mati
dibunuh orang-orang jago dari aliran putih tetapi ternyata
sampai sekarang masih hidup. Apakah yang melukai Ang
Nio Cu juga dia ?"
"Ya. pemilik Gedung Hitam itu adalah murid
pewarisnya!"
"Hei." teriak Ciok Yau Je, "jika benar begitu, engkau
telah berhasil menyingkap sebuah rahasia besar yang
selama ini tak diketahui dunia persilatan ..."
"Lo koko, aku hendak pergi ke lembah Ki lin-koh lagi !"
"Mau apa ?"
"Mencari Tio Hong Hui dan menyelesaikan urusan
Tionggoan- thayhiap."
"Baik, aku akan menemanimu."
"Berapa jauhnya dari sini ?"
"Lebih kurang setengah jam."
Keduanya segera lari menuruni gunung. Karena kain
kerudungnya hilang maka saat itu Cu Jiang menampakkan
wajahnya yang aseli. Selama dalam perjalanan dia tetap
memikirkan tentang diri gadis Ki Ing yang ternyata begitu
kemati-matian mencintainya. Kini setelah dapat
menemukan bagai mana asal usul nona itu maka
pandangannya terhadap nona itupun berobah.
Tetapi justeru karena hal itu maka diapun kehilangan
faham. Asmara, benar2 merupakan sesuatu yang
menggelisahkan hati manusia. Ksatrya yang gagah dan
berani dapat menabas putus leher musuh, membunuh
semua lawan. Tetapi berapakah jumlah ksatrya gagah yang
mampu memutuskan libatan asmara, mampu membunuh
asmara hatinya?
Jika ia nanti akan menyingkap asal usul diri nona itu,
lalu bagaimana reaksi Ki Ing? Bagaimana reaksi nona itu
apabila tahu bahwa ayahnya telah memberi tugas
kepadanya (Cu Jiang) untuk membunuh ibu nona itu?
Tak sampai setengah jam kemudian, mereka sudah tiba
di mulut gua. Rupanya Cu Jiang sudah tak sabar lagi. Ia
terus menerjang masuk seraya berteriak:
"Lo koko, mari kita masuk!"
"Baik, tetapi harus hati-hati!"
Tiba ditempat Cu Jiang melakukan pertempuran
kemarin, ternyata mayat manusia aneh dan Sam Bok
thiancun sudah tak kelihatan lagi. Hanya ceceran darah dan
dua gunduk makam baru.
Cu Jiang menjemput kain kerudung tetapi kedok sudah
tak dapat dipakai lagi.
"Lo koko. kedoknya sudah rusak."
"Lempar saja, aku masih punya."
"Kurasa tak perlu lagi. Wajahku sudah terbuka dan
musuhpun sudah kelihatan."
"Baik, kalau mau pakai, bilang. Lalu bagaimana kita
sekarang?"
"Masuk kedalam lembah."
"Ayo!"
Dangau gunakan ilmu meringankan tubuh keduanya
berlincahan melintasi gunduk2 batu dan tiba didasar
lembah. Tetapi yang ada hanya puing2 batu. Tio Hong Hui
tentu sudah menghancurkan markasnya.
Cu Jiang kecewa. Untuk mencari Tio Hong Hui bukan
hal yang gampang.
"Menghancurkan markas dan mengubur kedua orang itu
tentu makan waktu setengah malam. Dengan begitu Tio
Hong Hui dan puterinya tentu belum lama meninggalkan
lembah ini. Mereka tentu menuju ke Gedung Hitam. Jika
kita kejar, kemungkinan dapat menyusul mereka," kata
Ciok Yau Je.
Cu Jiang mengiakan. Keduanya segera meninggalkan
lembah itu. Setelah keluar dari daerah gunung, Cu Jiang
mengusulkan supaya mereka berpencar.
"Kita nanti bertemu di kuil tua diluar kota Keng-ciu itu, "
katanya.
Ciok Yau Je setuju. Selama menempuh perjalanan Cu
Jiang tak mau mengenakan kerudung muka. Kecuali
beberapa pentolan Gedung Hitam, anak buah mereka
jarang yang kenal akan wajahnya.
Dua hari dua malam terus menempuh perjalanan tetapi
dia tak melihat jejak wanita itu. Cu Jiang makin penasaran.
Kecuali tidak mengambil jalan yang sama, tentulah wanita
itu akan tersusul.
Hari kedua diwaktu petang, Cu Jiang tiba di sebuah kota
kecil Bian yang. Dia memutuskan untuk bermalam. Setelah
masuk kedalam kota dia memilih rumah penginapan Lu-an.
Dia minta kamar di loteng agar dapat melihat setiap pejalan
yang lalu di jalan situ.
Tiba2 ia melihat sebuah tandu bercat biru yang keluar
dari pintu rumah penginapan. Cu Jiang terkejut dan buru2
turun loteng, mencari jongos:
"Siapakah yang naik tandu itu?"
"Seorang wanita dengan anak perempuannya. Anaknya
cantik sekali dan mamanya . . ."
"Uang kamarku!" cepat Cu Jiang susupkan sekeping
perak ke tangan jongos, lalu melangkah keluar.
Jongos terkejut dan lari menyusul: " Tuan, terlalu banyak
ini!"
"Kelebihannya, buat engkau!" tanpa berpaling Cu Jiang
lanjutkan langkah. Tiba2 disebuah jalan dilihatnya tandu
itu berjalan pelahan-lahan.
Di jalan besar tak leluasa untuk turun tangan maka
diapun terus mengikuti dari kejauhan.
Lebih kurang satu Ii jauhnya, pejalan mulai berkurang
tetapi pada Saat itu Cu Jiangpun melihat bahwa disebelah
muka tampak seorang tua berjubah hitam yang berjalan
mengikuti di belakang tandu.
Cu Jiang segera cepatkan langkah dan ketika hampir
dekat, orang tua jubah hitam itu tiba2 berpaling. Melihat
wajah orang tua itu makin yakinlah Cu Jiang bahwa yang
berada dalam tandu itu tentu Tio Hong Hui dan Ki Ing.
Orang tua jubah hitam itu tak lain adalah Ki Gui Kah,
kepala busu dari Gedung Hitam. Jelas dia sedang mengawal
keamanan nyonya majikannya.
Agar tidak menimbulkan kecurigaan Ki Gui Kah, Cu
Jiang lambatkan langkah lagi dan terpisah agak jauh. Jika
turun tangan ia harus membasmi Ki Gui Kah dulu.
Tak berapa lama tandupun tiba diluar kota yang sepi.
Orang di jalanpun jarang2. Cu Jiang anggap sudah
waktunya untuk bergerak. Lebih dulu ia mengenakan kain
cadar menutup mukanya lalu menyelinap kedalam hutan.
Setelah berputar-putar mengitari jalan, dia terus loncat
keluar menghadang Ki Gui Kah:
"Berhenti!" bentaknya.
Ki Gui Kah berhenti. Mengamati penghadang itu,
wajahnya berobah seketika.
"Apakah engkau Toan-kiam-jan-jin ?" serunya.
"Benar."
"Mau apa?"
"Minta nyawamu!"
Ki Gui Kah menggigil lalu menyurut mundur tiga
langkah dan mencabut pedang.
Cu Jiangpun mencabut pedang dan menggembor:
"Hai..."
Tetapi pada saat itu juga. Ki Gui Kapun taburkan
pedangnya sehingga Cu Jiang gelagapan dan terpaksa
memutar pedangnya. Dan tepat pada saat Cu Jiang sibuk
menangkis, Ki Gui Kapun terus loncat menyusup kedalam
hutan.
"Hai, mau lari kemana engkau!" Cu Jiang cepat mengejar
tetapi Ki Gui Kah sudah lenyap bayangannya.
"Hm, menurut peraturan Gedung Hitam, bukankah
tokoh yang mempunyai kedudukan akan mendapat
hukuman berat apabila takut berhadapan dengan musuh."
pikirnya.
Tetapi serentak ia terbeliak karena teringat akan
tujuannya. Apabila Tio Hong Hui sampai lolos, bukankah
akan sia2 saja jerih payahnya itu?
Cepat ia menerobos keluar dari hutan dan dilihatnya
tandu itu masih benda pada jarak berpuluh tombak. Segera
mengejar dan menghadang:
"Jangan bergerak!" bentaknya.
Keempat lelaki yang memikul tandu serentak meletakkan
tandu dan terus lari ketakutan. Cu Jiang tak menghiraukan
mereka. Menghampiri ke muka pintu tandu dia memberi
perintah supaya penumpangnya keluar.
"Siapa?" terdengar lengking suara seorang wanita.
Dan sesaat kain tenda tersingkap maka sesosok tubuh
gemuk segera melesat keluar. Cu Jiang terlongong-longong
tak dapat berkata apa2. Sementara menyusul lagi sesosok
tubuh yang langsingpun keluar dari tandu itu.
Kali ini Cu Jiang benar2 seperti terbang semangatnya
sehingga dia mundur tiga langkah matanya dipentang lebar
dan tubuh gemetar. Sampai lama baru dia dapat membuka
mulut :
"Toanio, kiongcu, kalian..."
Yang muncul dari tandu itu bukan Tio Hong Hui dan
puterinya tetapi si wanita gemuk dan puteri raja Tayli.
Bahwa wanita gemuk itu kembali ke Tionggoan itu
masih dapat dimengerti tetapi bahwasanya kiongcu dari
Tayli itu juga ikut, Cu Jiang benar2 seperti bermimpi.
Puteri itupun terkejut memandang Cu Jiang, serunya
dengan nada gemetar:
"Apakah engkau Cu sausu?"
"Benar."
Dengan wajah sedih, wanita gemuk itu bertanya rawan:
"Nak. engkau tahu aku ini siapa?"
"Bibiku."
"Oh, engkau sudah tahu."
"Toa-suheng Ho Bun Cai yang memberitahukan hal itu
kepadaku."
"Apakah dia masih menjabat congkoan di Gedung
Hitam?"
"Dia telah tertimpa kemalangan."
"Apa katamu?" wanita gemuk membelalak.
"Toa-suheng sudah . . ."
"Hai, mengapa terjadi begitu?"
"Pada saat menutup mata, toa-suheng mengatakan kalau
dia dicelakai Bulim-seng-hud Sebun Ong!"
"O, Tuhan!" wanita gemuk mengeluh. Air matanya
bercucuran deras.
Puteri tak mengerti apa pembicaraan mereka. Dia hanya
melihat saja kedua orang itu.
Beberapa pejalan yang lalu di tempat itu terpaksa
mengitari jalan karena tengah-2 jalan dipenuhi oleh tandu.
"Bibi, di sini kita mengganggu jalan, lebih baik kita
bicara di dalam hutan," bilik Cu Jiang.
Wanita gemuk mengangguk. Setelah mengambil barang
bekal dari dalam tandu, ia memimpin tangan kongcu
berjalan ke arah hutan. Cu Jiang mengikuti dari belakang.
Mereka memilih beristirahat di sebuah tempat yang bersih
dalam hutan itu. Puteri kerutkan dahi dan berkata:
"Sausu, kitakan orang sendiri. Buka saja kerudung
mukamu."
Cu Jiang mengangguk dan terus melepaskan kain cadar
yang menutup mukanya.
"Hai ....!" tiba2 puteri menjerit kaget.
Cu Jiang tahu apa yang dikejutkan puteri. Sambil
tersenyum ia memberi keterangan:
"Karena beruntung bertemu dengan tabib sakti, wajahku
dapat dipulihkan seperti semula."
"Apakah wajah yang sudah rusak dapat di pulihkan
kembali?" puteri setengah tak percaya.
"Dapat, " sahut Cu Jiang, "tetapi itu tergantung dari
rejeki luar biasa."
"Ih, ternyata di dunia terdapat ilmu pengobatan yang
dapat merobah ketentuan alam ..."
"Tetapi dewasa ini, di dunia kiranya hanya ada seorang
saja yang mempunyai ilmu kepandaian seperti itu. "
"Siapa namanya?"
"Kui-jiu Sin-jin."
"Enak benar kedengarannya nama itu tetapi aku asing
sama sekali dengan tokoh2 Tionggoan .... sausu, engkau
benar2 seorang pria yang tampan !" seru puteri.
Walaupun puteri raja tetapi kerajaan Tayli terletak
didaerah selatan yang terpencil. Kebudayaan dan alam
kehidupan di kerajaan itu masih serba bersahaja sehingga
perangai puteri Itupun lugu, Apa yang dikandung dalam
hati terus di utarakan di mulut.
Cu Jiang tersipu-sipu merah mukanya.
"Nak, coba engkau ceritakan bagaimana toa suhengmu
sampai dicelakai orang ?" si nyonya gemuk berseru dengan
nada rawan.
"Dibunuh Bu-lim-seng-hud Sebun Ong."
"Mengapa Sebun Ong membunuhnya ? Bukankah
diantara mereka berdua tiada dendam permusuhan suatu
apa ?"
"Juga terhadap tit ji, diapun berulang kali hendak
mencelakai," kata Cu Jiang.
Tit-Ji berarti anak keponakan, digunakan Cu Jiang untuk
menyebut dirinya kepada khuma atau bibinya.
"Kenapa ?"
"Entah, hanya dia yang tahu."
"Ah, tak nyana pertemuanku dengan toa-suhengmu di
kota pegunungan itu merupakan yang terakhir kali," nyonya
gemuk atau Poan toanio menghela napas.
Hidung Cu Jiang mengembang air. Dengan mengertak
gigi dia bergumam:
"Sebun Ong harus membayar hasil perbuatannya !"
"Bagaimana dengan semua musuh2 keluargamu ?" tanya
Poan toanio.
"Ya, memang tit-ji justeru hendak minta petunjuk bibi.
Sesungguhnya permusuhan apakah yang telah terjalin
antara ayah dengan ketua Gedung Hitam itu ?" Cu Jiang
balas bertanya.
"Pada hakekatnya perkataan pada dalih "pohon tinggi
tentu menderita angin besar, nama besar tentu terancam
bahaya . .."
"Tetapi bukankah ayah sudah menyingkir mengasingkan
diri ?"
"Ya. memang dia sepertinya hendak menyingkiri
permusuhan."
"Lalu mengapa sampai terjadi permusuhan itu."
"Lawan telah mengeluarkan Si-pay (Amanat maut),
dalam pertempuran, ayahmu telah menghancurkan dua
belas jago2 ko-Jiu musuh dan melukai ketua Gedung
Hitam. Setelah Itu musuh lalu mengundang Sam Bok
thiancun."
"Hm, Sam Bok thiancun ? Cu Jiang terkejut.
"Ya. Apa engkau pernah mendengar nama orang itu?"
"Harap bibi suka melanjutkan lagi."
"Ayahmu bukan tandingan Sam Bok thiancun. Dalam
pertempuran sengit hampir saja ayahmu tak dapat
meloloskan diri. Sejak itu dia merasa malu karena
mengecewakan harapan kaum persilatan yang telah
menyebutnya dengan gelar Kiam-seng (Dewa pedang). Dan
menjaga kemungkinan musuh akan melakukan
pembunuhan habis-habisan maka ayahmu lalu berusaha
untuk menyembunyikan diri atau menyingkir dari kejaran
musuh !"
"Tetapi musuh tatap tak mau melepaskannya?"
"Dendam itu harus dibalas !" seru Poan toa-nio.
"Apakah bibi tahu akan riwayat ketua Gedung Hitam ?"
"Tidak tahu. Dia adalah benggolan durjana pada masa
itu. Sekalipun menyelundup menjadi congkoan di Gedung
Hitam sampai bertahun-tahun, tetapi toa-suhengmu tetap
tak pernah dapat melihat wajahnya yang aseli dan asal usul
dirinya. Toa-suhengmu tak percaya kalau orang mampu
merahasiakan diri selama-lamanya. Pada suatu hari dia
pasti dapat mengetahuinya!"
"Yang jelas, iblis itu adalah anak murid pewaris dari Sam
Bok thiancun!" kata Cu Jiang.
"Bagaimana engkau tahu ?" Poan toanio kaget.
"Tit-ji telah dapat membinasakan Sam Bok thiancun."
seru Cu Jiang dengan geram. Poan toanio menggigil.
"Apa ? Engkau dapat membunuh Sam Bok thiancun ?"
"Ya."
"Dimana ?"
"Di lembah Ki-lin-koh yang terletak dibelakang gunung
Kiu-kiong-san."
"Ah, nak. ini benar2 kejutan besar. Dengan
kepandaianmu itu, dapatlah kiranya engkau menghibur
para arwah yang telah menjadi korban keganasan momok
itu."
"Tit-ji sudah terlanjur bersumpah untuk mencuci Gedung
Hitam dengan darah."
"Mencuci dangau darah ?" tiba2 puteri terkejut,
"mengapa harus begitu ? Apakah kecuali balas dendam
berdarah, di dunia persilatan itu tiada lain urusan lagi ?"
Baginda Toa Hong-ya dari negeri Tayli menganut agama
Buddha. menjunjung welas asih. Dia paling benci dengan
pertumpahan darah. Puteripun sedikit banyak lelah
mewarisi perangai ayahandanya.
"Apakah kiongcu tahu akan penderitaan hidupku?" Cu
Jiang tertawa hambar.
"Ya. toanio yang menceritakan."
"Kiongcu, bagaimana pendirian kiongcu?"
"Ah, tak perlu membicarakan soal itu. Engkau menyebut
aku dengan sebutan kiongcu dan akupun memanggilmu
Sausu atau ciangkun. Rasa2nya janggal. Bagaimana kalau
kita berganti dengan lain sebutan saja?"
"Sebutan apa?"
"Sesuai dengan adat istiadat Tionggoan, bagaimana
kalau engkau panggil aku nona Toan dan aku menyebutmu
Cu toako? "
Cu Jiang gelengkan kepala.
"Tidak! Tata-susila tak boleh dihilangkan."
Puteri tundukkan kepala dan berkata sendu:
"Apakah engkau masih membenci perbuatanku ketika
pertama kali aku melihat wajahmu?"
"Tidak," Cu Jiang gopoh menjawab, "sama sekali aku tak
mengandung pikiran semacam itu. Memang wajahku waktu
itu, aku sendiripun juga ngeri melihatnya."
"Kalau begitu engkau anggap wajahku tentu buruk?"
desak puteri.
"Kiongcu secantik bidadari menjelma di dunia,
bagaimana aku berani menghina?"
OdwO

Puteri mengangkat muka dan menatap Cu Jiang dengan


pandang mendesak. Cu Jiang tergetar hatinya. Dia tak asing
dengan sinar mata begitu dari seorang gadis Ho Kiong Hwa
dan Ki Ing juga pernah menatapnya dengan pandang mata
begitu, hati puteri telah terpancar keluar melalui sinar
matanya.
Tetapi dia sudah beristeri, disamping diapun hanya
seorang busu, sedang gadis itu seorang puteri raja, apakah
dia layak menjadi pasangannya?
"Jika tidak begitu engkau tentu memandang diriku ini
seorang gadis dari daerah liar," seru puteri pula dengan
nada rawan.
"Ah, kiongcu makin lama makin jauh," Cu Jiang
tergopoh-gopoh.
Poan toanio tersenyum.
"Apakah salahnya untuk berganti dengan lain sebutan
saja?"
Cu Jiang merah mukanya.
"Bibi, engkau tak tahu . . ."
"Nak, kutahu Kiongcu suka kepadamu, seharusnya
engkau berbahagia!"
"Bibi, aku . . ."
"Baiklah, hari masih panjang, kelak kita bicara lagi."
Cu Jiang terpaksa menurut dengan beralih pada lain
pembicaraan. Dia bertanya bagaimana bibinya bersama
puteri dapat tiba di Tiong goan.
Wajah Poan toanio kembali gelap.
"Waktu aku berada di istana, aku telah menerima berita
dari toa-suhengmu yang mengatakan bahwa Gok jin-ji itu
tak lain adalah engkau sendiri. Hari pembalasan sudah di
ambang pintu. Maka akupun membulatkan tekad kembali
ke Tionggoan. Kiongcu ingin sekali menikmati alam
pemandangan Tiong goan yang permai dan memaksa ikut .
. ."
"Oh, dewasa ini suasana dunia persilatan sedang
terancam bahaya, keselamatan jiwa kiongcu ..."
"Asal tidak menunjukkan diri tentu tiada halangan
apa2." sahut Poan toanio.
"Perkumpulan Thong thian-kau dan Gedung Hitam
sama2 mengincar jiwaku. Apabila mereka tahu kalau bibi
dan kiongcu mempunyai hubungan dengan aku. akibatnya
tentu runyam sekali . . ."
"Oleh karena itu di depan umum, hendaknya kita jangan
menonjolkan hubungan itu. Di samping itu masih ada
empat orang ko jiu istana Tayli yang mengawal
keselamatan kiongcu . . ."
"Apakah bibi sudah bertemu dengan Ki Siau Hong dan
kawan-kawannya?"
"Hm."
"Bibi tahu juga nasib yang diderita Ong Kian?"
"Ya, tahu. Berita itu sudah disampaikan ke Tayli. "
"Tit-ji sungguh merasa tak enak hati."
"Bukan salahmu. Sekali orang berani turun ke
gelanggang dunia persilatan, tentu tak dapat menghindari
hal2 yang buruk."
"Apa petunjuk dari suhu?"
"Hanya sepatah. Jangan mengecewakan harapan
baginda."
"Baik," sahut Cu Jiang tegas.
"Nak, kalau panggil aku tetap saja dengan sebutan
"toanio". Aku suka dengan sebutan itu."
Cu Jiang mengiakan.
"Kita tak boleh terlalu lama disini, Kemanakah engkau
hendak pergi ?" tanya Poan toanio.
"Tit-ji hendak ke Keng-ciu."
"Setelah itu?"
"Ke Gedung Hitam!"
"Benar! Kok-su masih mengirim sebuah pesan .... "
"Bagaimana?"
"Apabila tugas berat itu sudah engkau selesaikan, apabila
engkau tak mau kembali ke Tayli, engkau boleh tinggal di
Tionggoan."
Sejenak Cu Jiang merenung dan kemudian mengatakan
bahwa soal itu kelak akan ia pertimbangkan lagi.
"Sausu sudah memutuskan untuk tidak kembali ke
Tayli!" tiba2 puteri menyeletuk.
Cu Jiang terbeliak.
"Bagaimana kiongcu dapat mengatakan demikian?"
Puteri tertawa rawan, sahutnya:
"Tanyalah pada hatimu sendiri."
Cu Jiang dapat menyelami kata2 puteri itu. Jelas puteri
itu menuduh bahwa dia takkan mau menerima cinta puteri,
Cu Jiang tak mau menjawab. Ia berpaling kepada bibinya.
"Pemikul tandu toanio sudah melarikan diri, lalu
bagaimana?"
"Nanti akan ku usahakan lagi. Eh, benar, siapakah orang
tua yang mengikuti di belakang tandu tadi ?"
"Kepala pasukan pengawal dalam dari Gedung Hitam
yang bernama Ki Gui Kah."
"Bagaimana engkau menyelesaikannya?"
"Sayang dia dapat lolos."
Sejenak merenung Poan toanio berkata:
"Rasanya akan terjadi sesuatu yang tak terduga lagi.
Karena curiga dia lalu mengikuti tandu, kemudian engkau
hajar tetapi dia dapat lolos. Dia tentu penasaran. Dan
paling tidak jejak kita tentu sudah diketahuinya ..."
"Mungkin tidak begitu mencemaskan karena dia tak tahu
penyamaranku."
"Bagaimana engkau dapat mengejar tandu yang kami
naiki ?"
"Karena tit-ji menyangka bahwa yang berada dalam
tandu ini, orang yang hendak kucari.
"Siapa orang itu ?"
"Ratu-kembang Tio Hong Hui dan anaknya.
"Ah..."
Tiba2 kesiur angin yang lembut bertiup. Poan toanio dan
puteri tak merasakan apa2 tetapi telinga Cu liang yang
tajam cepat dapat menangkap kesiur angin itu dan dapat
pula mengetahui bahwa ada serombongan orang yang
tengah mendatangi. Serentak ia bangun berdiri.
"Toanio, ada orang datang. Lekas ajak kiong cu menuju
kearah barat hutan ini. Dan yang datang bukan hanya
seorang !"
Poan toanio mengangguk-angguk.
"Nak, hati2 menghadapi mereka. Selanjutnya kalau
mengadakan hubungan, kita gunakan sandi rahasia."
"Baik."
"Kiongcu, mari kita berangkat," kata nyonya gemuk itu.
Namun sejenak puteri menatap Cu Jiang. Bibirnya gemetar
hendak mengucap sesuatu tetapi tak jadi. Dia terus
mengikuti wanita gemuk itu melintasi hutan.
Cu Jiang mengantar kedua wanita itu dengan pandang
penuh arti. Yang seorang, putri raja dari sebuah kerajaan di
pedalaman selatan. Yang seorang, adalah bibinya, satu-
satunya keluarga yang masih hidup dalam dunia.
Cu Jiang dapat menangkap apa arti sinar mata puteri
yang bersinar-sinar memancarkan luapan kasih hati
kepadanya.
Sementara itu suara dari kejauhan itu makin terdengar
jelas, menyusup disela-sela dan Cu Jiang cepat mengenakan
kain kerudung mukanya lagi dan duduk bersandar pada
sebatang pohon. Kedua matanya setengah dipejamkan.
Pada lain kejab terdengar suara kata2 orang: "Ui tongcu,
apakah engkau anggap lawan akan terperangkap siasat
kita?"
"Tentu," sahut yang ditanya, "saat ini pengaruh Thian-
thong-kau sedang berkembang sedangkan gerombolan Sip-
pat-thian-mo itu sama sekali tak memandang mata pada
orang persilatan ...
"Kalau siasat ini tak termakan mereka dan lawan dapat
menguasai Oh-yang, kita siapkan siasat lagi di Hun yang.
Dan pihak kita pasti akan keluar sebagai yang utuh
sendiri... ."
"Li hu-hwat, bagaimana dengan tempat ini ya, disini kita
mulai mempersiapkan."
Mendengar pembicaraan itu tahulah Cu Jiang bahwa
mereka anak buah Gedung Hitam tetapi tujuannya bukan
mengejar dia melainkan hendak mengatur siasat untuk
menghadapi Thian-thong-kau.
Rombongan pendatang itu berhenti pada jarak puluhan
tombak dari tempat Cu Jiang. Beberapa saat kemudian
terdengar kesiur angin menggetar daun2 pohon.
Diam2 Cu Jiang menimang. Kalau tujuan anak buah
Gedung Hitam itu hendak mengarah tokoh gerombolan
Sip-pat-thian-mo, sungguh suatu kesempatan bagus sekali
baginya. Ia memutuskan, untuk sementara takkan
menampakkan diri dulu.
Ia berbangkit lalu mencari tempat bersembunyi yang
lebih rapat. Dari celah2 daun yang menutup tempatnya, ia
dapat mengintai gerak-gerik mereka.
Ia terkejut ketika melihat dua lelaki tua baju hitam dan
serupa orang Pengawal Hitam tengah menggantung empat
sosok mayat pada batang pohon.
Kemudian mereka menggali liang disekeliling pohon itu.
Lebih kurang sepeminum teh lamanya, keempat Pengawal
Hitam itu meninggalkan tempat itu tetapi kedua lelaki tua
baju hitam masih berada disitu.
"Siap!"
"Lepaskan pertandaan rahasia !"
"Jangan, tunggu sebentar lagi. Biar kaum Iblis itu mulai
curiga dulu baru lepaskan pertandaan rahasia untuk
menjebak mereka!"
"Kalau ketiga iblis itu tidak semua muncul ?"
"Muncul satu, bunuh satu !"
Mendengar ucapan kawannya, lelaki tua baja hitam itu
tertegun, kemudian berkata:
"Menurut keterangan dari korban tadi, Jika melepaskan
panah-api panca-warna, menandakan kalau ada peristiwa
besar. Entah apakah keterangannya dapat dipercaya."
"Tentunya dapat dipercaya."
"Menurut kata Ki thongleng, Toan-kiam Jan-jin sudah
muncul disekitar tempat ini, Entah mau apa dia ?"
"Hal itu mudah saja ditebak. Kalau bukan mencari
sasaran kepada Gedung Hitam kita, tentulah perkumpulan
Thong-thian-kau.."
"Hm, sungguh sombong sekali manusia itu berani
menentang dua kekuatan besar yang merajai dunia
persilatan dewasa ini !"
"Tetapi memang ilmu pedangnya luar biasa sekali. Ki
thongleng mengaku bukan tandingannya."
"Bagaimana kalau ketua kita."
"Ah, Jangan membicarakan soal itu lagi!"
"O, ya, ya."
"Segera saja mulai bekerja !"
"Baik," kata salah seorang tua itu lalu mengeluarkan
sebuah benda dari kantong baju dan menyulut korek.
Sepercik sinar bintang melayang ke udara dan pletak, benda
itu meledak menghamburkan bunga api warna warni.
Melihat itu Cu Jiang tahu apa yang terjadi. Anak buah
Gedung Hitam berhasil menangkap anak murid Thong
thian-kau, setelah dikorek keterangannya lalu dibunuh.
Kemudian ditempat itu mereka memasang perangkap
dengan melepaskan panah api sebagai umpan.
Setelah melepas panah-api panca warna, kedua lelaki tua
itupun cepat2 meninggalkan tempat itu. Tetapi baru dua
puluh tombak jauhnya, pandang mata mereka nanar ketika
melihat seorang yang wajahnya bertutup kain hitam, tegak
menghadang ditengah jalan.
Keduanya berhenti dan salah seorang memekik keras.
"Toan-kiam Jan-jin!" Wajah kedua lelaki tua itu tampak
ketakutan sekali.
"Ingin kubertanya beberapa patah kata kepada kalian,"
seru Cu Jiang yang saat itu dalam perwujudan sebagai
Toan-kiam-Jan-jin lagi.
"Soal apa ?" seru salah seorang dengan gemetar.
"Untuk menghadapi pihak manakah rencana yang kalian
siapkan dalam hutan itu," tanya Cu Jiang.
"Perlu apa engkau tanyakan hal itu?"
"Jangan bertanya apa2, cukup engkau memberi jawaban
saja !"
Kedua lelaki tua itu saling bertukar pandang, kemudian
tertawa mengekeh.
"Mungkin engkau tentu gembira sekali
mendengarkannya. Rencana itu kami tujukan kepada iblis
nomor sebelas, dua belas dan lima belas dari gerombolan
Sip-pat thian mo!"
"Hm, Bagus, aku memang girang sekali, tetapi .. ."
"Bagaimana ?"
"Kalian juga harus serahkan jiwa!"
Kedua lelaki tua itu pucat dan menyurut mundur
beberapa langkah. Tangannya meraba pedang.
Cu Jiang tak mau membuang waktu.
"Bersiaplah menjaga diri!" serunya seraya menerjang.
Mencabut pedang dan menyerang maju, hampir dilakukan
dengan serempak dalam gerak yang luar biasa cepatnya.
"Huak, huak" kedua lelaki tua itupun rubuh. Cu
Jiangpun bersembunyi lagi di tempat tadi. Lebih kurang
menunggu sampai sepeminum teh lamanya, tiba2 muncul
beberapa lelaki dalam pakaian kuning emas. Mereka
terkejut melihat tubuh yang tergantung diatas pohon.
"Berhenti !" teriak salah seorang yang menjadi pimpinan
rombongan, "tunggu dulu perintah dari ketiga Huhwat
kita!"
Tak berapa lama, muncul tiga sosok tubuh yang tinggi
besar. Sedikitpun gerak mereka tak bersuara.
Cu Jiang tegang. Jelas ketiga orang itu tentu iblis nomor
sebelas, dua belas dan lima belas dari Sip pat-thian-mo.
"Kawanan kerucuk itu memang menjemukan sekali."
kata salah seorang dari ketiga pendatang itu, "Ong thaubak
!"
Pimpinan rombongan baju emas tadi segera tampil
memberi hormat: "Murid siap mendengar perintah."
"Lepaskan mayat itu !"
Ong thaubak mengiakan lalu memberi perintah dan
empat orang baju emas segera naik keatas pohon. Mereka
masing2 menurunkan sesosok mayat.
"Potong saja talinya dengan pedang," perintah Ong
thaubak.
"Baik!" seru keempat baju emas lalu mencabut pedang
dan membabat tali penggantung. Keempat mayat itu
meluncur jatuh.
Bum . ..
Serempak pada saat mayat2 itu jatuh di tanah
terdengarlah letupan keras dan asap tebal segera bergulung-
gulung menyelimuti empat penjuru. Pohon tumbang,
tubuh2 manusia beterbangan.
Cu Jiang juga terpental beberapa meter dari tempat
persembunyiannya, Ia rasakan seperti terjadi gempa bumi
hebat.
Setelah asap menipis, barulah dia tahu apa yang terjadi.
Sekeliling tempat itu penuh dengan darah dan kutungan2
anggauta badan. Mengerikan sekali. Daerah seluas lima
tombak keliling, hampir sudah binasa semua.
Baru Cu Jiang berdiri, tiba2 ia mendengar suara orang
menggembor. "Oo, engkau budak !"
Ia terkejut dan mengangkat muka. Ah, ternyata saat itu
dia sudah dikepung olah tiga manusia aneh yang bertubuh
tinggi besar. Ia terkejut dan heran mengapa ketiga iblis
durjana itu tak sampai mati dalam ledakan itu.
"Budak, bukankah engkau yang disebut Toan kiam-jan-
jin itu?" salah seorang iblis bertanya.
"Benar !"
"Engkau berani menggunakan siasat licik itu?"
"Rasanya aku belum pernah melakukan pekerjaan selicik
itu!"
"Kalau begitu .. ."
"Ingat saja hutang piutangmu dengan pihak Gedung
Hitam !"
"Budak, Mengapa engkau memusuhi pihak kami ?"
"Anggap saja sebagai Jalan kearah kesejahteraan!"
"Untuk kesejahteraan ? Ha. ha ha. ha . .. ." enam pasang
biji mata yang berapi-api mencurah kearah wajah Cu Jiang,
seolah hendak menelan hidup-hidupan.
Baru mendengar nama Sip-pat-thian-mo saja, orang
persilatan pasti sudah menggigil nyalinya. Apalagi kalau
bertemu dengan salah seorang anggautanya.
Tetapi berhadapan dengan ketiga iblis dari Sip-pat-thian-
mo itu, Cu Jiang tak gentar sama sekali. Dia memang
sedang mengemban tugas untuk membasmi kawanan Sip-
pat-thian-mo yang ganas itu. Untuk menyelamatkan dunia
persilatan dan kepentingan negeri Tayli.
"Pedang tak bermata, harap kalian suka
mempertimbangkan !" seru Cu Jiang.
Tetapi peringatan Cu Jiang itu hanya disambut dengan
gelak tawa oleh ketiga iblis.
"Mengapa kalian tertawa ?"
"Budak, apa yang engkau kehendaki supaya kami bertiga
mempertimbangkan?"
"Hancurkan kepandaian kalian sendiri dan lekas
tinggalkan dunia persilatan !"
Kembali ketiga iblis itu tertawa nyaring.
"Budak, apakah engkau tengah mengigau dalam
bermimpi ?" salah seorang iblis itu berseru.
"Aku mengatakan yang sejujurnya!"
Tetapi justeru akulah yang hendak mencincang
tubuhmu."
"Rupanya kalian memaksa aku harus turun tangan !"
"Akan kubeset kulitmu hidup-hidupan !" sahut ketiga
iblis itu.
Tiba2 Cu Jiang mendapat pikiran. Untuk meringankan
bebannya, ia tak boleh memberi kesempatan sehingga
ketiga momok itu dapat bersatu untuk mengerubutinya.
Suhu dan baginda Toan Hong-ya memang menitahkan
supaya kawanan Sip-pat thian mo itu jangan dibasmi
semua.
Tetapi terhadap kawanan durjana semacam mereka,
sukar untuk melaksanakan perintah itu.
Pelahan-lahan Cu Jiang mencabut pedang kutung.
Ketiga iblis itupun saling bertukar pandang lalu serempak
mengangkat tangan mereka ...
Tiba2 dengan kecepatan seperti kilat menyambar, Cu
Jiang menyerang kepada iblis yang berada disamping
kanan. Dia menggunakan tenaga penuh. Terdengar suara
orang tertahan, darah menyembur dan iblis itupun
terhuyung-huyung empat lima langkah, bluk. ia jatuh
terduduk.
Serempak pada saat itu juga pukulan dahsyat dari kedua
iblis telah melanda Cu Jiang sehingga anak muda itu
terpental mundur sampai lima enam langkah.
Dengan menggembor seram, kedua iblis itu terus loncat
menerjang Cu Jiang seraya lepaskan empat buah pukulan
maut.
Cu Jiangpun ayunkan pedang. Kiam-gi atau hawa
pedang menyongsong pukulan lawan, menimbulkan
benturan keras.
Cepat sekali kedua momok itu mengisar kaki berganti
langkah. Mereka menyerang dari kanan kiri. Cu Jiang
gunakan tata-langkah Gong-gong-poh-hwat untuk
menghindar, tetapi kepandaian kedua momok itu memang
bukan olah2 hebatnya.
Mereka dapat menguasai setiap gerakannya, menyerang
dan menarik pukulan, dilakukan dengan sempurna. Setelah
menilai posisi gerak putaran Cu Jiang, keduanya lalu
menyerang gencar.
Cu Jiang terpaksa memutar pedang untuk menyerang
iblis yang menyerangnya dari kanan.
"Huak . .. ." terdengar pula suara erang yang ngeri, iblis
itu rubuh tetapi punggung Cu Jiang termakan pukulan iblis
yang berada dikiri. Cu Jiang terseok-seok kebelakang
sampai beberapa langkah dan hampir rubuh.
Darahnya bergolak keras, pandang matanya gelap.
Tetapi ia masih memiliki kesadaran pikiran. Waktu
terhuyung-huyung dia menjurus ke sebelah samping.
Siut, siut, siut angin tajam yang berasal dari pancaran
jari, berhembus lewat disisinya. Kurang sedikit saja dia
tentu hancur tubuhnya. Angin tajam itu telah menyasar
pohon dan menimbulkan tiga buah lubang.
Karena kedua kawannya sudah mati. iblis Itu marah
sekali. Saat itu Cu Jiang sudah menyelinap ke belakangnya.
"Anda menduduki urutan yang ke berapa ?" Seru Cu
Jiang.
Iblis itu berputar tubuh. Dia pancarkan lagi semburan
tenaga-jari yang sakti seraya menyahut: "Aku berada di
urutan nomor sebelas!"
"Apakah anda Kim ci-mo?" tanya Cu Jiang seraya
menghindar. Tetapi baru dia tegak, punggungnya telah
dilanda angin pukulan dahsyat.
"Uh .,..," ia sempoyongan hampir rubuh. Ternyata yang
menyerangnya itu adalah iblis yang terluka dan jatuh
terduduk itu. Saat itu Cu Jiang terhuyung beberapa langkah
di mula iblis. Setelah berhenti dan berdiri tegak, ia menegur.
"Dan anda termasuk urutan yang ke berapa?"
"Kelima belas !"
"Hai, anda benar2 tak bernama kosong Hek sim-mo!"
seru Cu Jiang.
"Budak, Jiwamu memang alot sekali!"
"Jika begitu, yang telah mendahului berangkat itu
tentulah iblis nomor dua belas Toan bing-mo ...." dalam
berkata-kata itu Cu Jiang sudah melesat kemuka Kim ci-mo
atau iblis Jari-emas. Ia mengangkat pedang kutung dan
berseru:
"Sekarang giliran anda yang akan kuberangkatkan ke
akhirat!"
"Jangan tekebur!" Kim-ci mo menggembor,
mengendapkan tubuh, kedua tangan menjulur dan jari-
jarinya menebar.
Saat itu Cu Jiang baru menyadari bahwa ujung jari
lawan berwarna kuning emas, seperti menjepit jarum atau
paku emas. Tiga batang jarum itu telah mengenai batang
pohon dan pohonpun berlubang.
Apabila dirinya sampai terkena jari emas itu, uh, ngeri
juga membayangkan bagaimana akibatnya.
Barang siapa menyerang dulu, dia tentu memperoleh
posisi yang kuat, Ya, benar dan Cu Jiang-pun segera
kembangkan ilmu pedang Thian-te-kau-thay dan
menyerang dengan cepat.
Tring. tring....
Terdengar bunyi berdering-dering dan percikan sinar
emas berhamburan, Cu Jiang rasakan bahu kirinya nyeri
sekali sampai menusuk tulang. Dia tahu kalau terkena jari-
emas lawan.
Dari rasa sakit, ia duga Jari-emas atau Kim-ci itu tentu
mengandung racun.
Huakkkkk.
Terdengar pekik seram dan tubuh Kim-ci-mo terhuyung-
huyung, bluk, dia jatuh terkapar berlumuran darah.
Cu Jiang cepat mengeluarkan mustika katak dan
disusupkan ke dalam mulutnya. Kemudian ia berpaling ke
arah Hek sim mo.
Iblis itu tengah merangkak bangun. Wajahnya seperti
binatang yang buas.
Mustika katak itu memang bukan olah2 sakti nya. Dalam
beberapa kejap saja bahu kirinya yang terluka itu sudah
lenyap sakitnya. Cu Jiang muntahkan mustika itu dan
disimpannya lagi.
"Budak, engkau pasti mati!" seru iblis Hek-sim mo atau
Hati-hitam sambil memandang Cu Jiang.
"Iblis tua, apakah engkau memastikan bagiku?"
"Engkau telah terkena racun dari Kim ci, walaupun
tenaga dalamnya sudah sempurna sekali, pun hanya
mampu bertahan untuk beberapa waktu saja. Jika tidak
menggunakan tenaga, memang tak apa2. Tetapi begitu
engkau bergerak mengeluarkan tenaga, racun itu akan
menyerang ulu hatimu !"
"Belum pasti begitu !"
"Aku bersedia menolongmu ..."
"Ha, haa, kalau anda mati dulu, tentu tak dapat melihat
aku mati, bukan ?"
Hek sim-mo mundur beberapa langkah. Wajahnya
berkerenyutan lalu berseru tegang:
"Walaupun aku dicari sebagai iblis berhati hitam,
sebenarnya tidak begitu ..."
"Bagaimana ?"
"Kalau engkau sekarang ingin hidup, aku dapat
membantumu tetapi..."
"Tetapi ada syaratnya, bukan ?"
"Tentu."
"Apa syaratnya ?"
"Hancurkan kepandaianmu sendiri, nanti baru
kuberitahu obat penawar."
Cu Jiang tertawa gelak2.
"Caramu itu terlalu kekanak-kanakan. Biarlah kulawan
racun dalam tubuhku itu dan akan kuantar anda ke akhirat
lebih dulu !"
"Coba saja kalau engkau tak percaya !"
"Kalau aku turun tangan anda tentu mati !"
"Tak apa, cobalah !"
Cu Jiang masukkan pedang kedalam sarung lalu berkata
dengan dingin: "Bagaimana kalau kugunakan pukulan
tangan saja ?"
Hek-sim-mo tertawa aneh, teriaknya: "Bagus
kesombonganmu ini memang tak ada duanya dalam
dunia!"
"Sebenarnya aku tak ingin membasmi habis-habisan.
Silakan anda menghancurkan ilmu kepandaian anda sendiri
dan kubebaskan dari kematian !" seru Cu Jiang.
"Engkau bermimpi?"
"O. anda benar2 ingin mati?"
Tiba2 Hek-sim-mo ayunkan kedua tangan menghantam.
Dia ingin memancing Cu Jiang supaya balas menghantam
dengan sepenuh tenaga agar racun Kim-ci segera
berkembang menyerang uluhatinya.
Cu Jiang memang menangkis dengan dorongkan kedua
tangan. Dia menggunakan tenaga penuh.
Bum.....
Terdengar benturan keras dan seketika Hek-sim mo
muntah darah lalu jatuh terduduk lagi.
"Bagaimana ?" seru Cu Jiang.
Betapapun hitam hati Hek-sim-mo tetapi ia baru rontok
nyalinya ketika melihat Cu Jiang tak kurang suatu apa.
Pada hal racun Kim-ci itu ganasnya bukan kepalang.
Orang yang kepandaiannya kurang, seketika tentu mati.
Dan yang kepandaiannya tinggi, hanya dapat bertahan
beberapa waktu saja.
"Toan-kiam-jan-jin engkau... tidak terkena racun itu ?"
serunya terbata-bata.
"Racun semacam Kim-ci masakah mampu berbuat apa2
terhadap diriku ?"
"Engkau..."
"Kejahatan anda sudah melewati takaran, matipun masih
enak!" Cu Jiang terus maju dan mengangkat tinju,
diarahkan ke kepala Hek-sim-mo.
Saat itu Hek-sim-mo sudah tak berdaya sama sekali. Dia
meraung lalu muntah darah. Pada saat tinju hendak
diayunkan tiba2 Cu Jiang menghentikannya.
"Budak, engkau bermaksud bagaimana?" teriak Hek-sim
mo.
Saat itu tiba2 Cu Jiang teringat akan pesan suhunya agar
jangan mengobral pembunuhan. Pun baginda Toan Hong-
ya juga melarang pertumpahan darah apabila tak terpaksa.
Cu Jiang berkata.
"Kali ini kuberi ampun jiwamu, Kuharap engkau
memberitahukan kepada kawan-kawanmu, setelah dapat
membubarkan Thong-thian-kau. lekaslah kalian tinggalkan
dunia persilatan . . ."
0odwo0

"Huh, siapa sudi menerima ampunmu ?"


"Apa yang telah kukatakan tentu kulaksanakan, engkau
akan tetap hidup tetapi ilmu kepandaianmu harus
dilenyapkan agar engkau jangan berbuat kejahatan lagi."
"Bunuhlah aku!" teriak Hek-sim-mo marah, "toh nanti
tentu ada orang yang akan membalaskan engkau budak . . ."
"Engkau tak dapat menuruti kehendakmu sendiri!" seru
Cu Jiang dan serentak dia pancarkan tenaga-sakti dari Jari.
Seketika Hek-sim-mo gemetar, meraung keras dan muntah
darah.
Ilmu kepandaian dihancurkan, bagi seorang tokoh
persilatan ternama, jauh lebih tersiksa daripada dibunuh.
Terutama durjana2 seperti gerombolan sip-pat-thian-mo itu.
"Budak, bunuhlah aku saja !" Hek-sim-mo meraung-
raung pilu.
Cu Jiang tertawa dingin: "Dengarkan, aku hendak titip
pesan supaya engkau sampaikan kepada kawan kawanmu.
Bahwa aku memang ditugaskan untuk membasmi
gerombolan Sip-pat-thian-mo!"
Hek-sim mo menggigil keras.
Sementara Cu Jiangpun terus ayunkan langkah keluar
dari hutan. Dia menghitung-hitung jumlah gerombolan Sip-
pat-thian-mo yang telah diselesaikan. Hek sim-mo dan
Kiam-mo telah dihancurkan ilmu kepandaiannya. Long-
sim-mo, Kiau-thian-mo, Gong mo, Toa lat Sin-mo, Bu-mo
dan tadi di tambah pula dengan Kim-ci mo serta Toan leng-
mo, semua berjumlah tujuh iblis yang telah dibunuhnya.
Dengan demikian kedelapan belas iblis itu sekarang
sudah berkurang separuh. Suhunya pernah mengatakan
bahwa yang paling ditakutkan ialah apabila Lo Mo atau
iblis tertua diantara mereka, masih hidup.
Sip-pat-thian mo sudah begitu menggelisahkan dunia,
ketua mereka tentu lebih hebat lagi.
Kemudian ia beralih memikirkan diri putri Tayli yang
mengembara ke Tiong goan itu. Sungguh berbahaya sekali
tindakan puteri itu. Apalagi hanya ditemani oleh Poan
toanio, tentu setiap saat terancam bahaya.
Diam2 Cu Jiang cemas. Teringat betapa sikap dan nada
puteri itu kepadanya Cu Jiangpun makin gelisah. Dia
menyadari dirinya hanya seorang persilatan biasa, tentu tak
layak menjadi pasangan hidup puteri itu.
Juga tali pernikahannya dengan Ho Kiong Hwa sudah
menjadi kenyataan, sukar untuk diputuskan lagi.
Teringat akan Ho Kiong Hwa, ia membayangkan betapa
nasibnya yang malang. Gadis itu seorang yang baik, layak
mendapat curahan kasihan.
Saat itu dia sudah muncul dijalan besar. Sebenarnya dia
hendak mengejar Jejak Ratu-bunga Tio Hong Hui dan
puterinya tetapi diluar dugaan dia bertemu dengan puteri
Tayli dan Poan toanio, kemudian dapat membasmi tiga
iblis sip pat-thian-mo.
Hari itu dia tiba di sebuah dusun yang tak jauh dari kota
Keng-ciu. Saat itu hari sudah petang tetapi dia ingin lekas2
berjumpa dengan Ang Nio Cu.
Maka setelah mengisi perut disebuah rumah-makan,
iapun meneruskan perjalanan lagi. Diperhitungkannya
bahwa menjelang tengah malam nanti dia tentu tiba
ditempat Ang Nio Cu. Entah bagaimana keadaannya,
apakah lukanya sudah sembuh.
Beberapa li jauhnya, tiba2 sesosok bayangan hitam lewat
disisinya dengan menggunakan ilmu lari yang cepat.
Walaupun malam gelap tetapi mata Cu Jiang yang tajam
dapat melihat bahwa orang itu adalah seorang Pengawal
Hitam.
Terhadap musuh besar dari Gedung Hitam, dia tak
pernah mau memberi kelonggaran. Diikutinya Pengawal
Hitam itu.
Beberapa waktu kemudian, orang itu membiluk
kesebuah jalan kecil dan lebih kurang satu li jauhnya
tampak sebuah pedesaan yang terdiri dari beberapa rumah
kaum pemburu.
Pengawal Hitam itu lari menuju ke desa yang sunyi
senyap itu. Bahkan lampu2 pun sudah dipadamkan semua.
Rupanya kehidupan mereka miskin maka merekapun
sangat berhemat.
Setelah melompat pagar tembok yang pendek. Pengawal
Hitam itu terus masuk ke dalam sebuah rumah yang terdiri
dari tiga petak. Terdengar anjing menyalak tetapi sesaat
kemudian sudah sirap lagi.
Cu Jiang dengan hati2 mengikuti masuk. "Siapa?"
terdengar suara orang dari dalam rumah.
"Aku, yah, Sam Long"
"Mengapa tengah malam pulang ?"
"Ada urusan penting, lekas buka pintu."
"Ya, tunggu sebentar."
Penerangan dalam rumah dinyalakan dan terdengar
suara wanita bergumam lalu suara anak kecil terkejut
bangun.
Pintu terbuka dan masuklah Pengawal Hitam itu. Yang
membuka pintu seorang lelaki setengah tua. Kemudian
muncul seorang wanita muda yang mengempo bayi.
Sambil mengucal-ucal mata, lelaki tua itu menegur:
"Sam Long, ada peristiwa apa?"
"Yah, ringkasilah barang2, kita pergi dari sini!" kata
Pengawal Hitam dengan gopoh.
"Ada kejadian apa sih ?" seru wanita muda itu agak
gemetar.
Pengawal Hitam yang bernama Sam Long Itu belum ada
tiga puluh tahun umurnya. Cakap juga wajahnya.
"Kita harus lekas2 tinggalkan tempat ini. Kalau mereka
tahu, tentu celaka kita !" kata Pengawal Hitam itu.
"Katakan apa yang terjadi!" lelaki tua itu berseru
gemetar.
Pengawal Hitam itu membuka bajunya dan melongok
keluar dengan pandang cemas, lalu berkata:
"Yah, aku telah melarikan diri dari mereka."
"Mengapa ? Apa yang terjadi ?"
"Cong-koan kami yang lama Ho Bun Cai telah dibunuh,
ditanam ditepi sungai. Enam orang Pengawal Hitam yang
mempunyai hubungan rapat dengan Hu congkoan, sudah
ada lima orang yang dibunuh. Tinggal aku seorang maka
akupun nekat melarikan diri."
"Oh !" seru lelaki itu.
"Ai !" wanita muda itupun menjerit.
Sam Long melanjutkan lagi. "Tadi aku kebetulan
mendapatkan tugas meronda diluar. Ditengah jalan
kawanku yang bernama Tong Co Ju memberi tahu tentang
peristiwa itu maka . . . akupun segera melarikan diri.
"Nak, walaupun dunia ini lebar sekali, tetapi tak
mungkin kita dapat bersembunyi," kata lelaki tua itu.
"Tetapi kita tak dapat menunggu kematian tanpa berdaya
apa-apa. . ."
"Bawalah isterimu pergi sejauh mungkin. Biarlah aku
tetap menjaga warisan leluhur kita ditempat ini. Matipun
aku ingin berkubur disini!"
San Long bertekuk lutut dihadapan ayahnya dan
meratap: "Anak tidak berbakti, mohon ayah..."
"Kita akan menuju kemana ?"
"Kota Pek-te-shia."
"Apa ? Pek-te-shia ... mengapa ?"
"Kota itu merupakan daerah kekuasaan perkumpulan
Thong-thian-kau. Disana pengaruh Gedung Hitam tidak
seberapa."
"Tetapi kota itu ribuan li jauhnya. Mampukah kita
mencapai kesana dengan selamat?"
"Yah, jangan hiraukan soal itu, kita nanti akan
menyamar ...."
"Bangun !"
Sam Longpun berbangkit, pipinya bercucuran air mata.
isterinyapun pucat dan berkata dengan gemetar: "Dulu lebih
baik engkau jangan masuk perkumpulan Gedung Hitam
itu."
"Ah, tak perlu menyesali hal itu, tak ada gunanya. Aku
berhutang budi kepada Ho congkoan yang telah menolong
jiwaku. Dialah yang minta kepadaku supaya masuk sebagai
pengawal dari Gedung Hitam. Sudah tentu aku tak dapat
menolak."
"Ah," isterinya menghela napas.
"Pergilah kalian berdua, aku tetap akan tinggal disini."
sahut lelaki tua itu berkata dengan mantap.
Sam Long menangis: "Yah. mereka tentu takkan
melepaskan engkau."
Tetapi orang tua itu tetap kukuh: "Aku sudah tua, tak
tahan menempuh bahaya sejauh perjalanan itu . ..."
Tiba2 dari ruang tengah melayang sebuah benda yang
tepat jatuh keatas meja, tring ....
"Amanat Maut!" teriak Sam Long ketika melihat benda
itu. Seketika ia menggigil seperti orang sakit demam.
Wajahnya pucat seperti mayat.
Lelaki tua dan isteri Sam Long juga kaget. Bayinya
menangis.
"Ah, habis riwayat kita sekarang" Sam Long mengernyut
geraham.
Sebuah suara seram terdengar dari ruang tengah.
"Kang Sam Long, keluarlah!" seru suara itu.
Sejenak memandang kepada ayah dan isterinya Sam
Long menendang pintu dan melangkah keluar. Ayah dan
isterinyapun mengikuti ke pintu.
Dihalaman muka tampak empat sosok tubuh. Yang tiga
mengenakan pakaian hitam seperti Sam Long dan yang
seorang lelaki tua berlengan tunggal. Ditingkah cahaya
bulan remang, wajah orang tua itu tampak menyeramkan
sekali.
Sam Long memberi hormat di hadapan orang berlengan
satu itu. "Menghaturkan hormat kepada congkoan !"
Lelaki berlengan tunggal itu tertawa seram: "Kang Sam
Long, tak usah banyak omong, tahukah engkau akan
peraturan Gedung kita ? Bagaimana tindakanmu ?"
Rupanya Sam Long sudah menentukan keputusan.
Dengan suara tenang dia berkata: "Cong-koan, hamba tahu
akan kesalahan hamba, terserah bagaimana hukuman yang
hamba terima. Tetapi hamba hendak mengajukan sebuah
permohonan !"
"Apa ?"
"Mohon keluarga hamba dibebaskan dari hukuman ..
"Engkoh Sam..." wanita muda menjerit dan menangis.
Bayinya juga ikut menangis keras.
Lelaki tua berlengan satu itu berpaling ke arah seorang
pengawal: "Jangan sampai membikin kaget para tetangga
sekeliling. Hentikan tangis mereka !"
Pengawal Hitam itu segera mencabut pedang dan
menghampiri. Melihat itu Sam Long berseru kepada
isterinya: "Lekas masuk jangan bersuara."
Dengan wajah sedih dan takut, wanita itu mendekap
mulut anaknya dan masuk kedalam. Pengawal Hitam itu
melanjutkan langkahnya.
Kang Sam Long juga mencabut pedang dan berteriak:
"Li San Beng, jangan membunuh orang yang tak berdosa.
Semuanya aku yang bertanggung jawab !"
Lelaki berlengan tanggal mengangkat tangan, memberi
isyarat agar Li Sin Bang kembali ke tempatnya lagi.
Kemudian lelaki lengan satu itu memandang Sam Long,
serunya: "Kang Sam Long, engkau berani mencabut
pedang?"
"Congkam, mohon keluargaku yang tak berdosa ini
diberi ampun. Hamba rela menerima hukuman apapun
juga!" jawab Sam Long.
"Sekarang jawablah beberapa pertanyaanku dengan terus
terang," kata lelaki lengan satu itu, "kesatu, masukmu ke
dalam Gedung Hitam adalah Hu congkoan yang
mengusulkan. Lalu tugas apa yang Ho Bun Cai berikan
kepadamu?"
"Tidak memberi tugas apa2." kata Sam Long dengan
keraskan hati.
"Hm. dalam sekian tahun, apa saja yang engkau telah
lakukan untuknya ?"
"Hamba bertugas sebagai Pengawal Hitam dan selalu
bertindak menurut perintah atasan. Tak pernah hamba
melakukan sesuatu yang melanggar peraturan."
"Ah, baik sekali engkau hendak menghindar. Engkau
tentu kenal jelas tentang diri Ho Bun Cai . . ."
"Hamba tak tahu."
"Dan kaki tangannya itu ?"
"Cong-kam, hamba benar2 tak tahu."
"Rupanya semua pertanyaanku itu sia2 saja."
"Hamba menjawab dengan sejujurnya."
"Baik Pengawal, kemarilah!"
Ketiga Pengawal Hitam serempak menghadap.
"Seret keluar orang2 dalam rumah itu tetapi jangan
sampai menimbulkan suara gaduh !"
Setelah mengiakan ketiga Pengawal Hitam segera
melangkah kedalam rumah. Tetapi secepat itu Sam
Longpun sudah melintangkan pedang menghadang.
"Congkam, apakah hendak memaksa hamba melawan ?"
serunya dengan bengis.
"Engkaukan sudah melawan !"
"Silakan . . ." seru Sam Long mengucap sepatah kata,
tiba2 lengan congkam itu berayun dalam gerak setengah-
lingkar lalu kembali lagi ke tempatnya.
Telapak tangan Sam Long terkulai dan pedangnyapun
terlepas. Dia tegak seperti patung. Jelas jalan darahnya
telah ditutuk oleh lelaki bertangan tunggal itu.
Ketiga Pengawal Hitam menyerbu ke dalam, menyeret
isteri Sam Long dan ayahnya. Memang mereka tak menjerit
dan menangis karena jalan-darahnya sudah ditutuk.
Sepasang mata Sam Long merah membara, keringat
bercucuran deras. Walaupun tak dapat berkutik tetapi
mulutnya masih dapat bicara.
"Jika keluarga sampai dibunuh, aku Kang Sam Long
sekalipun jadi setan, tetap akan jadi setan untuk membalas
dendam ini !" serunya.
Lelaki tua berlengan tunggal itu hanya menyambut
dengan tertawa iblis. Berpaling kearah Pengawal Hitam
yang membawa bayi: "Bawa ke-sampingnya!"
Pengawal Hitam itu segera membawa bayi ..
^^Jilid 20 Halaman 26/27 Hilang^^
hendaki orang tua dan perempuan itu hidup.
Janganlah engkau ikut campur urusan ini !"
Cu Jiang tak menghiraukan, ia memberi peringatan keras
kepada kedua Pengawal Hitam itu.
"Dengarkan, serambut saja kalian berani mengganggu
kedua orang itu, kalian pasti kucincang !"
Kedua Pengawal Hitam itu gemetar.
Kemudian Cu Jiang berpaling lagi kepada Li Ho.
serunya: "Lengan anda yang putus itu bukankah terjadi
ketika di gunung Bu-leng-san dahulu?"
Wajah Li Ho berobah seketika, serunya. "Budak, apakah
engkau benar2 putera dari Cu Beng Ko ?"
"Orang she Li, sudah lama aku mencarimu !"
"Siapa namamu ?"
"Cu Jiang !"
"Hm, bukankah dahulu eagkau sudah terlempar kebawah
jurang ....."
"Tuhan belum menghendaki aku harus mati."
"Tidak ! Tidak ! Engkau . . . tentu si Gok-jin ji itu."
Serentak Cu Jiang mencabut kain penutup muka dan
tampaklah wajahnya yang tampan. Melihat itu Li Ho
menyurut mundur.
"Engkau ,.. pelajar baju putih itu ?"
"Benar,"
"Umurmu sungguh panjang .. ."
"Li Ho, siapakah yang turun tangan waktu di gunung
dahulu itu ?"
"Engkau kira aku tentu mau memberitahu ?"
"Mungkin."
"Engkau ngimpi!"
Cu Jiang maju selangkah, matanya berapi-api, serunya:
"Li Ho, engkau hendak membayar apa yang telah engkau
lakukan selama ini?"
"Budak," teriak Li Ho. "selangkah engkau berani maju
lagi, lelaki dan wanita ini tentu kuhabisi jiwanya !"
Cu Jiang berpaling kearah kedua Pengawal Hitam,
serunya: "Kurasa mereka takkan berani melakukan."
"Coba saja kalau engkau tak percaya !"
"Ya, aku memang hendak mencoba . . ." Sambil
mengangkat pedang kutung, Cu Jiang maju selangkah lagi.
Cring, Li Ho juga mencabut pedang. Sekali-pun
lengannya tinggal satu tetapi sikapnya memang masih
berwibawa. Jelas bahwa ilmu pedangnya tentu hebat.
Keduanya saling mencurah perhatian, menunggu
kesempatan. Dalam pada itu Kang Sam Long-pun
mencabut pedang dan menghampiri ke samping kedua
Pengawal Hitam.
Jika kedua Pengawal Hitam itu berani membunuh ayah
dan isterinya, diapun akan menyerang.
Sampai beberapa saat masih belum terjadi gebrakan
tetapi saat itu kepala Li Ho sudah bercucuran keringat dan
matanya mulai berkunang-kunang. Dalam mata seorang
ahli pedang, tanda2 itu sudah menunjukkan suatu
kesalahan yang fatal.
"Hait . . . tring . . . ngekkk !"
Terdengar gemboran, denting benturan dan suara
menguak ngeri. Hanya dalam sekejap mata, mautpun sudah
menyambar nyawa. Lima buah tusukan celah menghias
tubuh Li Ho. Dia terhuyung-huyung lalu jatuh terduduk.
Cu Jiang cepat berputar tubuh dan menghadap ke arah
kedua Pengawal Hitam : "Lepaskan !"
Kedua Pengawal Hitam itu ngeri dan tanpa disadari
telah melepaskan ayah dan isteri Kang Sam Long.
Melihat itu Kang Sam Long buru2 menyarungkan
pedang lalu menarik kedua ayah dan isterinya. Cu Jiangpun
memancarkan tenaga dari jari untuk membuka jalan darah
kedua orang yang tertutuk itu.
"Kang Sam Long, lekas benahi2 barang-mu dan
tinggalkan tempat ini !" seru Cu Jiang lalu mengambil dua
butir beng cu (mutiara) dan dilemparkan: "Benda ini
rasanya cukup untuk membuat rumah baru lagi."
Kang Sam Long terlongong-longong mengawasi Cu
Jiang. Bibirnya bergerak-gerak tetapi tak dapat
mengeluarkan kata2.
"Ho Bun Cai itu suhengku, engkau harus mengerti dan
lekaslah pergi !" seru Cu Jiang.
Kang Sam Long mendesah kejut, memungut mutiara
lalu menghaturkan hormat: "Budi anda akan kuukir sampai
mati!" habis berkata dia terus memimpin tangan ayah dan
istrinya masuk kedalam rumah.
Tiba2 kedua Pengawal Hitam loncat hendak melarikan
diri. Tetapi Cu jiang cepat membentak: "Berhenti !"
Kedua Pengawal Hitam itu terpental kembali
ketempatnya semula dan tahu2 Cu Jiang sudah
menghadang dimuka mereka.
"Menurut peraturan Gedung Hitam, anak buah yang
melarikan diri dari lawan, akan dihukum mati!"
Wajah kedua Pengawal Hitam itu pucat seperti mayat.
Mengangkat pedang kutung. Cu Jiang berseru: "Mati
dalam pertempuran merupakan kematian yang gemilang
dari seorang ksatrya. Sekarang hunuslah pedang kalian dan
siaplah membela diri!"
Kedua Pengawal Hitam itu sejenak melihat kearah
congkam mereka yang masih duduk ditanah. Dengan
gemetar keduanya menyurut mundur.
"Lekas cabut pedang. Aku hanya menyerang dalam satu
jurus, Jika kalian mampu membela diri tentu akan
kulepaskan pergi !"
Kedua Pengawal Hitam Itu saling bertukar pandang lalu
mencabut pedang.
"Awas, terimalah seranganku !" Cu Jiang berseru,
pedang berkelebat dan terdengarlah jerit auman ngeri
memecah kesunyian malam. Kedua Pengawal Hitam
terkapar dalam kubangan darah.
Setelah menyelesaikan kedua Pengawal Hitam, Cu Jiang
menghampiri ketempat Li Ho:
"Orang she Li, membunuh, memperkosa, engkau tentu
turut ambil bagian, bukan ?"
Li Ho membisu.
Cu Jiang menengadahkan kepala. Sekilas terbayang akan
pemandangan delapan belas bulan yang lalu. Darah,
kepingan daging dan tubuh yang telanjang.
"Li Ho, engkau mau menjawab atau tidak, sama juga.
Aku akan mencincang tubuhmu !"
Wajah Li Ho berkerenyutan menyeramkan sekali.
Dengan lengannya yang tinggal satu itu dia berusaha untuk
berbangkit. Cu Jiang pelahan-lahan mencabut pedang dan
sekali ayun, Li Ho menjerit ngeri lalu jatuh terduduk lagi.
Pedang kutung berulang kali bergerak kian kemari,
seiring dengan jeritan ngeri yang berturut-turut, Li Ho telah
berobah menjadi manusia darah yang terkapar dan
meregang-regang. Dia harus menderita siksaan yang hebat
sebelum jiwanya melayang...
Cu Jiang menghela napas. Setelah memasukkan pedang,
ia lantas membuang mayat Li Ho ke-dalam sumur dan
ditutup. Saat itu sudah lewat tengah malam. Dia terus lari
menuju kejalan besar dan melanjutkan perjalanan ke kota
Kang ciu.
Tiba ditempat Ang Nio Cu terluka, haripun sudah
menjelang fajar. Saat itu tentulah Ang Nio Cu masih tidur.
Dia sungkan untuk membangunkan dan terpaksa mondar-
mandir di luar biara.
Tetapi beberapa waktu kemudian, dia tak sabar lagi terus
masuk kedalam biara. Sengaja dia batuk2 dan memberati
langkah kakinya.
Tiba2 dia merasakan sesuatu yang tak wajar. Batuk dan
langkah kaki berat, tentu akan mengejutkan mereka tetapi
mengapa tetap sunyi senyap saja.
Ya, benar, paling tidak Ang Nio Cu tentu menyuruh
salah seorang muridnya untuk berjaga diluar tetapi
mengapa tak seorangpun yang tampak?
Tiba2 dipintu ruang tempat Ang Nio Cu dirawat, tampak
pintu terbuka dan keadaannya sunyi saja.
"Taci..." Cu Jiang berteriak keras. Tak ada penyahutan.
Ia memperhitungkan tentulah Ang Nio Cu sudah sembuh
dari lukanya, masakan sampai tak tahu kalau ada orang
masuk kedalam biara itu.
Dengan cemas Cu Jiang terus melesat masuk kedalam
ruang. Ah, tempat tidur tua kosong melompong, tak ada
orangnya sama sekali. Apakah Ang Nio Cu sudah pindah
ke lain tempat? Toh, tak mungkin. Bukankah dia sudah
berjanji akan bertemu ditempat itu ?
Cu Jiang memandang ke sekeliling ruang untuk mencari
sesuatu jejak. Tiba2 pandang matanya terbeliak dan hatinya
berdebar keras. Di lantai terdapat bekas darah dan bekas2
pertempuran. Celaka! Ang Nio Cu tentu telah menderita
bencana.
Tiba2 ia mendengar helaan napas orang dari sudut
ruang. Ah. Cu Jiang menjerit kaget dan cepat melesat
ketempat itu. Sesosok tubuh manusia yang berlumuran
darah rebah di lantai. Dia adalah seorang anak buah Ang
Nio Cu. Napasnya sudah lemah sekali.
Cu Jiang berjongkok dan berteriak:
"Apakah yang telah terjadi ? Kemana mereka?"
Tetapi nona itu tak menjawab lagi. Cu Jiang kucurkan
keringat dingin. Memeriksa denyut nadi tangan nona itu, ia
mengeluh dalam hati. Urat-nadi jantungnya sudah tak
normal jalannya. Rasanya sukar ditolong lagi.
Cu Jiang bingung. Satu-satunya jalan untuk mendapat
keterangan harus bertanya kepada nona itu. Segera ia
mencekal tangan nona itu dan menyalurkan tenaga-murni.
Beberapa saat kemudian tampak mata nona itu bergerak-
gerak dan mulutnya menghembus napas.
"Engkau masih mengenal aku ? Di mana dia?" seru Cu
Jiang.
Mulut nona itu bergerak-gerak tetapi tak dapat
mengeluarkan kata2. Cu Jiang menghapus keringat di
jidanya lalu menyaluri tenaga-murni lagi.
Akhirnya wanita itu dapat mengeluarkan suara lemak
seperti ngiang nyamuk : "Nona Thong-thian Keng-cia . . .
cabang, . . markas. .."
"Nona? Siapa dia ?" Cu Jiang gopoh menegas. Tetapi
wanita itu menghembuskan napas yang terakhir, kepala
terkulai dan melayanglah jiwanya.
Cu Jiang terpaksa lepaskan cekalannya. Sesaat ia tak
tahu apa yang harus dilakukan. Siapa yang dimaksudkan
nona itu ? Kawanan pengiring itu selalu menyebut Ang Nio
Cu sebagai majikan.
Lalu pengiring yang dua orang, Soa Tan Hong dan Gu
Kiau, kemanakah mereka ?
Thong-thian Kang-ciu, Jelas berarti partai Thong thian-
kau di Kangciu. Tetapi dimanakah letak cabang markasnya?
Ia menggali lubang untuk mengubur mayat wanita itu.
Sampai terang tanah Cu Jiang masih termenung-menung
dalam biara untuk merenung siasat.
Kembali ia terkejut ketika daun pintu yang berlumuran
darah, Juga diluar biara. Ia segera menuruti bekas2 ceceran
darah itu yang menuju ketepi hutan. Mengeliarkan
pandang, seketika lunglailah semangatnya. Hampir saja dia
rubuh.
Dua sosok mayat rebah berselang. Jelas kedua mayat itu
adalah Song Tan Hong dan Gi Kiau. Karena ketiga
pengiringnya sudah dibunuh, jelas Ang Nio Cu tentu
menderita bencana.
Setelah beberapa saat termenung seperti patung karena
menyaksikan kebiadaban orang persilatan yang gemar
melakukan pembunuhan, akhirnya Cu Jiang mengubur
kedua mayat itu.
Matahari bersinar gemilang tetapi dalam pandangan Cu
Jiang, tak lain hanya darah merah.
Tiba2 terdengar langkah kaki orang. Cu Jiang cepat
berpaling ke belakang. Tiga tombak jauhnya, tampak tegak
seorang baju merah yang mukanya bertutup kain.
"Taci, engkau... tak kena apa2 ?" serentak Cu Jiang
berteriak kegirangan.
Memang yang muncul itu adalah Ang Nio Cu. Tetapi
dia tak menjawab melainkan melangkah maju beberapa
langkah. Ketika mata saling beradu. Cu Jiang tergetar
hatinya. Sinar mata Ang Nio Cu sedemikian rupa seperti
yang belum pernah dilihatnya selama ini.
"Taci, apakah yang telah terjadi?" seru Cu Jiang.
"Adik, engkau telah datang," kata Ang Nio Cu dengan
nada rawan, "tetapi... terlambat . . ."
"Apa? Terlambat?" Cu Jiang makin kaget. "Dendam
telah terjadi, tak dapat dihapus kembali!"
Cu Jiang melesat maju dan berseru gemetar: "Taci,
sebenarnya apakah yang telah terjadi ?"
"Engkau sudah melihat mayat2 itu?"
"Ya, sudah kukubur. Siapa yang membunuhnya."
"Kedua iblis Hong-gwat-mo dan Thian-kau-mo beserta
belasan anak buahnya."
Marah Cu Jiang meluap-luap. Iblis Hong-gwat mo
pernah ia kalahkan ketika berjumpa dibiara Lian hoa yan di
luar kota Li-jwan dulu. Tetapi Thian-kau-mo dia belum
pernah bertemu.
"Apakah Thian-kau-mo itu termasuk iblis yang ke empat
belas?" tanyanya.
"Benar, dia menjabat sebagai ketua cabang kota Keng
ciu, dibantu oleh Hang-gwat-mo .. .. "
"Bagaimana peristiwa itu telah terjadi?"
"Demi kepentingan isterimu Ho Kiong Hwa!" Hati Cu
Jiang tergetar keras: "Karena dia?"
"Hm."
"Bagaimana urusannya?"
"Ketika dia menuju ke biara tua, dia telah dibuntuti
musuh . . ."
"Perlu apa musuh hendak mengikutinya?"
"Karena kecantikannya!"
"Dimana dia sekarang?"
"Pergi jauh!"
"Dimana letak cabang Keng ciu itu?"
"Dari sini delapan li menuju ke timur akan terdapat
sebuah gedung. "
Cu Jiang diam sejenak lalu mengertek gigi:
"Aku hendak membuat perhitungan ..."
"Tunggu !" Ang Nio Cu mencegah.
"Taci hendak memberi pesan apa lagi?"
"Bagaimana dengan perjalananmu kemari?"
"Dapat membasmi iblis tua!"
"Siapa?"
"Sam-bok thian cun, guru dari ketua Gedung Hitam."
"Ah."
"Aku akan pergi dan nanti kita bicara lagi!"
"Aku masih hendak bicara."
"Silakan."
Ang Nio Cu berdiam sejenak, katanya: "Pedang yang
engkau serahkan untuk tanda pengikat pernikahan itu Ho
Kiong Hwa telah menyerahkan kembali kepadaku.. .."
"Kenapa?"
"Dia minta kepadaku supaya menyerahkan kepadamu.
Tetapi kupikir, akan kuminta kepadamu supaya benda itu
kusimpan sebagai kenang-kenangan. Tentang gelang
kumala yang dia berikan kepadamu, dia minta supaya
engkau simpan sebagai kenangan selama-lamanya .. ."
"Apakah artinya ini?" Cu Jiang terkejut. Dia merasa ada
sesuatu yang terjadi.
"Tali pernikahan itu diputuskan !"
-oo0dw0oo-

Jilid 21
Gemetar tubuh Cu Jiang sehingga dia sempoyongan
mundur sampai tiga langkah, serunya:
"Tali pernikahan bukan seperti mainan kanak-kanak.
Dan taci sendiri yang telah menjodohkan, mengapa . . ."
"Karena dia sudah tak bermuka lagi bertemu dengan
engkau!"
"Aku benar2 tak mengerti."
Dengan nada rawan. Ang Nio Cu berkata. "Sekarang dia
merasa seperti bunga layu yang telah gugur tercampak
dilumpur!"
Cu Jiang terlongong-longong sampai beberapa saat.
Lama sekali baru dia dapat berkata:
"Ini . . . ini . . . . bagaimana terjadi ?"
"Dia telah dinodai Hong gwat-mo dengan cara
kekerasan. . ."
Saat itu Cu Jiang rasakan dirinya seperti disambar petir.
Dia tegak mematung, hatinya hancur berkeping-keping.
Beberapa waktu kemudian tiba2 dia tertawa nyaring.
Nadanya penuh menghambur kedukaan dan dendam
kesumat.
"Adik ku. ini memang sudah takdir," setelah Cu Jiang
berhenti tertawa, barulah Ang Nio Cu menghiburnya.
Pukulan batin yang diderita Cu Jiang saat itu tak kalah
dengan ketika melihat kedua orang tuanya mati terbunuh
dahulu. Dia rasakan bumi serasa berputar cepat, tubuh
terhuyung-huyung hingga mau jatuh. Mulutnya tak henti-
hentinya mengigau:
"Takdir! Nasib! Apakah ini yang disebut nasib?" tiba2 dia
terus lari.
"Adik Wan, tunggu dulu" teriak Ang Nio Cu, tetapi Cu
Jiang sudah tak menghiraukan lagi. Dia lari seperti orang
kalap. Dalam sekejap saja dia sudah mencapai delapan li.
Sebuah gedung besar tampak menyembul ditengah
gerumbul pohon.
Sekeliling penjuru merupakan sawah ladang yang tak
terurus dan beberapa rumah petani. Dia tak sangsi lagi
bahwa gedung besar itu tentu markas cabang Keng-ciu.
Dia segera melangkah dengan kaki sarat menuju ke
gedung itu. Tiba di tepi hutan, terdengar bentakan orang
yang menyuruhnya berhenti. Dua orang bu-su (orang
persilatan) berpakaian ringkas warna biru, menghadang
jalan.
Cu Jiang dengan mata menyala-nyala memandang kedua
orang itu.
"Cari mati. berhenti!" teriak kedua busu itu.
Tetapi Cu Jiang tak menghiraukan dan tetap melangkah
maju. Kedua penjaga itupun segera mencabut pedang dan
menyongsong. Tiba2 Cu Jiang dorongkan kedua
tangannya. Seketika segulung angin dahsyat berhamburan
melanda ke muka.
Huak, huak, sebelum sempat bergerak kedua penjaga itu
sudah muntah darah dan terlempar sampai beberapa meter
jauhnya. Cu Jiang tak menghiraukan mereka, terus
lanjutkan langkah.
Rupanya dia sudah hangus terbakar oleh bara dendam
yang menyala-nyala.
Bagi seorang lelaki, tunangan atau isteri dinodai orang,
merupakan hinaan yang tak dapat ditahan lagi.
Tujuh delapan sosok tubuh manusia berhamburan lari
menghampiri. Salah seorang berteriak:
"Siapa kau yang berani mati masuk kedalam markas? "
Cu Jiang tak mau menjawab Dengan menirukan gaya
Toan-kiam jan-jin, dia berjalan dengan kaki terpincang-
pincang.
Kedelapan orang itu segera menyerbu. Tetapi
kepandaian mereka kalah dengan kawanan Pengawal
Hitam dari Gedung Hitam.
Terdengar jerit menguak beberapa kali dan dari delapan
orang itu, yang lima sudah rubuh mandi darah.
Sambil mencekal pedang kutung yang masih berlumuran
darah, Cu Jiang terus melangkah maju.
"Toan- kiam-jan jin!" sisa ketiga orang yang masih hidup
itu serempak menjerit keras dan terus lari masuk kedalam.
Setelah melintas jalan dari papan batu tampaklah sebuah
gedung bertingkat yang dipagari dengan pagar tembok.
Sepasang pintu besar berbentuk huruf pai, tampak
terpentang lebar. Tetapi di dalamnya tak tampak barang
seorangpun juga. Tentulah kedelapan orang tadi bertugas
menjaga pintu besar itu.
Terdengar gemuruh derap kaki berlari mendatangi dan
pada lain saat muncul belasan busu. Yang di muka sendiri
seorang lelaki tua brewok, tangannya mencekal sebatang
golok kui thau-to (golok kepala setan) bergigi tebal. Alisnya
lebat, mata bundar dan wajahnya menyeramkan sekali.
Orang itu menerobos ke luar pintu sedang di
belakangnya berjajar belasan anak buahnya.
Cu Jiang hentikan langkah, memandang lelaki tua itu
dengan menyala-nyala. Lelaki tua itupun balas menatap Cu
Jiang lalu menyeringai:
"Toan-kiam-jan-jin, perkumpulan kami memang justeru
hendak mencari engkau..."
"Tak perlu dicari, " sahut Cu Jiang dengan nada dingin,
"aku tentu akan datang sendiri."
"Perlu apa engkau datang kemari?"
"Membikin perhitungan!"
"Perhitungan apa?"
"Darah !"
"Aku ...."
"Siapa nama anda?"
"Song Piu, menjabat sebagai penilik."
"Menyingkirlah! "
"Engkau kira engkau boleh bertindak semaumu sendiri?"
"Aku tak punya waktu meladeni engkau!" Cu Jiang
menutup kata-katanya dengan taburkan pedang kutung.
Lelaki tua itupun mengangkat golok kui-thau-tonya tetapi
belum sempat ia memainkannya, mulutnya sudah menguak
darah dan tubuh terkulai rubuh, goloknya terlempar sampai
beberapa meter memancarkan letikan bunga api.
Kawanan anak buah itu serasa melayang semangatnya,
mereka cepat menyiak ke samping, Cu Jiang melangkah
masuk. Di halaman yang merupakan sebuah lapangan,
tampak kosong melompong. Sepanjang tepi lapangan
berjajar-jajar perumahan.
Tampak orang2 sibuk lari kian kemari. Ada yang meniup
terompet pertandaan bahaya. Tetapi Cu Jiang mengangkat
kepala ayunkan langkah menuju ke bangunan gedung di
tengah.
Sepanjang jalan tiada yang menghalangi. Tiba di muka
gedung besar, berpuluh-puluh busu dari kedua samping
gedung berhamburan muncul sembari lepaskan senjata
rahasia.
Untuk menghadapi hujan taburan senjata rahasia itu, Cu
Jiang gunakan tata langkah Gong gong poh-hwat.
Dan kelompok busu itu bergabung untuk menghadang
tetapi Cu Jiang masih mampu menyelinap kian kemari.
Yang terdengar hanya jerit pekik ngeri, darah muncrat dan
pedang2 yang berhamburan melayang.
Setelah itu tubuh2 kawanan busu yang malang melintang
menggeletak tumpang tindih. Berpuluh busu itu tak
seorangpun yang masih hidup.
Tampak pula gelombang kedua dari puluhan busu yang
berlari larian datang tetapi mereka berhenti pada jarak lima
tombak. Suasana dalam gedung markas itu tampak tegang
sekali.
Menunggu sampai beberapa waktu tetap tak melihat
kedua iblis itu muncul, diam2 Cu Jiang menimang. Markas
itu luas sekali, kalau kedua Iblis itu sengaja bersembunyi,
tentu akan memakan waktu untuk mencari mereka.
Diam2 ia memutuskan untuk menggunakan siasat,
mendesak mereka supaya munculkan diri.
Dia mundur ke tempat serambi. Setelah menyarungkan
pedang, dia lalu kerahkan tenaga dan menghantam
sebatang tiang besar, bum . . . tiang berkisar tempat dan
rubuhlah wuwungan rumah menimbulkan suara yang
gemuruh sekali.
"Tua bangka Hong-gwat, Jika engkau tetap tak berani
keluar, sarangmu ini akan kuhancurkan dan kubasmi semua
anak buahmu!" teriaknya nyaring.
Tetapi tetap tiada penyahutan sama sekali. Karena tak
sabar, Cu Jiang kembali menghantam sebuah tiang di
sebelah kiri, bum .... para2 rumah bagian tengah
berhamburan roboh.
"Hayo, Thian-kau, Hong-gwat, apakah kalian benar2 tak
berani unjuk muka? " teriak Cu Jiang lagi. Namun tetap
tiada jawaban suatu apa.
Karena marah, Cu Jiang terus lari menghampiri
kawanan busu yang berjajar-jajar di tempat jauh itu.
Kembali terdengar jeritan ngeri. Cu Jiang benar2 seperti
harimau lapar yang menerkami kawanan kambing.
Kawanan busu itu memang berkepandaian tinggi tetapi
berhadapan dengan Cu Jiang mereka tak ubah sebagai
kawanan ayam yang menjadi bulan2an serangan burung
elang.
"Berhenti!" tiba2 terdengar suara bentakan yang
menggeledek. Cu Jiang berhenti. Mayat2 berserakan
memenuhi tempat itu. Yang masih hidup hanya beberapa
orang saja.
Dua lelaki bertubuh tinggi besar muncul. Ke duanya tak
lain adalah Hong-gwat mo dan Thian kau mo. Keduanya
diiring oleh tujuh orang anak buah yang mempunyai
kedudukan tinggi.
"Iblis tua, sudah berapa banyak gadis2 suci yang telah
engkau celakai?" teriak Cu Jiang.
"Budak kecil, kalau engkau tanyakan hal itu, aku sudah
tak ingat lagi !"
"Kalau peristiwa kemarin itu, apa engkau tidak ingat
lagi."
"Bagaimana ?"
"Engkau harus membayar sampai seratus kali lipat."
"Bagai mana cara membayarnya ?"
"Aku akan mencuci markas ini dengan darah!"
Mendengar itu menggigil hati sekalian orang yang berada
di tempat itu.
"Toan-kiam-jan-jin, mulutmu memang besar sekali.
Engkaulah yang harus membayar semua perbuatanmu
disini." tiba2 Thian-kau-mo membentak keras2.
"Serbu!" Hong-gwat-mopun segera memberi perintah.
Kedua iblis Itu terus berkisar memecah diri dan menyerang
dari kanan kiri. Ketujuh jago yang di belakang merekapun
segera berpencar mengepung.
Terdengar letupan dari pukulan yang beradu. Tubuh Cu
Jiang terhuyung tetapi kedua iblis itupun menyurut mundur
selangkah. Pada saat itu barisan ketujuh jago serempak
menyerang dengan senjata pedang.
Cu Jiang mencekal pedang kutung lalu memutarnya,
tring, tring, tring.... seorang Jago tua rubuh dan enam orang
mundur. Kedua iblis segera melemparkan pukulan dahsyat
untuk menutup lubang yang bobol itu.
Menilik cara mereka bertempur, jelas kalau sudah diatur
lebih dulu.
Pedang hanya dapat digunakan untuk jarak dekat. Kalau
mengandalkan hawa-sakti yang dipancarkan pada gerakan
pedang, sukar untuk melukai kedua iblis itu.
Menghadap pukulan yang mampu menghancurkan
karang dan kedua iblis itu, memang tak menguntungkan Cu
Jiang. Hawa pedang terdampar dan Cu Jiang sendiripun
terpaksa harus sempoyongan. Dalam kesempatan itu,
keenam jago segera menerjang dengan pedangnya.
Cu Jiang gunakan tata-langkah Gong gong-poh-hwat.
sambil pancarkan tenaga-penuh pada gerak pedang kutung,
ia berlincahan menghindar dan menabas.
Hiiak, huat ,.. kembali tiga orang lawan terkapar ditanah.
Tetapi pukulan sedahsyat bumi terbelah segera melandanya.
Cu Jiang mundur sampai tiga empat langkah, Darahnya
bergolak-golak keras.
Setelah empat dari tujuh jago2 anak buah kedua iblis itu
terbasmi, kini hanya tinggal tiga orang. Dan ketiga jago itu
memang tak mampu menyelonong melakukan serangan
lagi.
Sejenak mengurusi pernapasan, kini Cu Jiang pun maju
menyerang Thian kau-mo. Serangan kali ini dilancarkan
dengan sepenuh tenaga dan harus dapat merobohkan
lawan.
Iblis Thian-kau-mo memekik ngeri, tubuhnya terhuyung-
huyung lalu rubuh. Melihat gelagat tak baik, iblis Hong
gwat-mo berputar tubuh terus melarikan diri. Tetapi Cu
Jiang lebih cepat untuk menghadang.
"Anjing tua, akan hendak mencincang tubuhmu menjadi
bakso !"
Hong-gwat mo membentak dan menghantam dengan
kedua tangannya terus melenting ke samping. Pukulan iblis
itu memang istimewa. Anginnya tidak berhembus lurus
melainkan berputar-putar seperti angin lesus. Ia terkejut dan
tak sempat lagi untuk menghindar.
Dalam keadaan yang genting, ia masih dapat
melontarkan pedang kutung kearah Hong-gwat-mo yang
saat itu sudah loncat keatas wuwungan rumah.
"Uh..." iblis itu menjerit dan meluncur jatuh. Cu Jiang
yang berhasil membebaskan diri dari libatan angin lesus
terus menyusuli dengan sebuah hantaman dahsyat, bummm
. . Tubuh Hong gwat-mo yang hampir tiba di tanah, mental
lagi sampai dua tombak jauhnya. Rusuk kirinya berhias
pedang kutung yang menyusup sampai ke tangkainya. Iblis
itu masih meregang-regang nyawa.
"Anjing tua." Cu Jiang loncat menghampiri "ketahuilah,
nona yang engkau cemarkan kesuciannya semalam itu
adalah calon istriku."
Sepasang mata iblis itu membeliak dan mulutnya hanya
menganga tak dapat bicara lagi.
Setelah mencabut pedangnya. Cu Jiang berkata pula:
"Anjing tua, engkau harus membayar hutangmu !"
Cu Jiang benar2 sudah kehilangan diri. dia marah sekali
atas peristiwa yang telan diderita Ho Kiong Hwa. Maka
dilampiaskan dendam kemarahannya itu dengan
mencincang tubuh Iblis itu.
Setelah itu ia menyulut api dan membakar markas
gerombolan iblis2 terkutuk itu. Kemudian ia kembali ke
biara tua untuk menemui Ang Nio Cu.
Sesosok tubuh langsing tengah tegak memandang
mentari pagi yang baru timbul di ufuk timur. Rupanya
semangat dan perhatian orang itu seperti tercurah
sepenuhnya sehingga ia tak tahu kalau Cu Jiang sudah
berada di belakangnya.
Cu Jiang menduga tentulah Ang Nio Cu itu sangat
berduka sekali atas peristiwa yang menimpa diri Ho Kiong
Hwa.
"Taci, aku sudah kembali," akhirnya ia berseru.
"Ih ..." Ang Nio Cu menghela napas dan pelahan-lahan
berputar tubuh.
Cu Jiang tak berani beradu pandang dengan Ang Nio
Cu. Ia merasa sinar mata nona itu benar2 menghancurkan
hati.
"Adik." akhirnya beberapa saat kemudian Ang Nio Cu
berkata dengan suara rawan. "semula dunia ini terasa indah
sekali, siapa tahu ternyata hanya impian di musim semi."
"Taci."
"Sejak dahulu kala, wanita cantik tentu bernasib jelek.
Kiong Hwa memang kasihan sekali."
"Nasib telah menggariskan jalan hidup yang kejam
terhadap dirinya."
"Adik. bagaimana hasilmu ke markas iblis itu ?"
"Kedua iblis itu sudah kucincang dan markasnya
kubakar!"
"Terima kasih engkau telah membalaskan sakit hati
Kiong Hwa."
"Ah, mengapa taci mengatakan begitu. Sudah tentu hal
itu merupakan kewajibanku!"
"Adik .. . apakah engkau dapat mengijinkan dia
bersemayam dalam hatimu untuk selama lamanya ?"
Sepasang mata Cu Jiang memancar terang dan dengan
nada bersungguh dia berkata. "Taci, aku hendak bertanya
beberapa hal kepadamu."
"Apa ?"
"Apakah hubungan taci dengan Ho Kiong Hwa?"
Ang Nio Cu tercengang.
"Sudah tentu amat erat sekali, hampir seperti diriku
sendiri."
"Ah, dalam hubungan apakah itu?"
"Adik, hal itu kelak akan kuterangkan lagi kepadamu."
Cu Jiang tak berani mendesak lebih lanjut.
"Taci. tolong kasih tahu dimana beradanya Ho Kiong
Hwa saat ini .... "
"Buat apa?"
"Aku harus mencarinya."
"Engkau.... masih mau mencarinya?"
"Kenapa taci heran? Bukankah dia itu isteriku? Tali
hubungan itu tentu tak dapat diputuskan selama-lamanya."
"Adik, dia sudah bukan isterimu lagi. Tali pernikahan itu
sudah putus."
"Tidak! Aku tidak setuju! Aku tetap akan menjadi suami
isteri untuk selama-lamanya dengan dia. Tak ada alasan
mengapa aku harus membuangnya. Apakah itu
kesalahannya? Tidak, dia tak bersalah, dia mendapat
kecelakaan . . ."
"Adik," kata Ang Nio Cu dengan gemetar. "dia bukan
lagi sesuci dia yang dulu, dia laksana permata yang sudah
pecah . . ."
"Apakah dia merasa rendah diri begitu? Tidak! Yang
ternoda hanya tubuhnya tetapi jiwanya masih tetap suci
bersih. Kuanggap dia tak beda dengan dulu. Yang berbeda
hanya dia mempunyai penderitaan hatin tetapi kini
musuhnya sudah terbunuh. Tak perlu dipikirkan lagi. Yang
lampau biarlah lalu ..."
"Adik, kata-katamu itu ... tentu akan menghiburnya
sampai mati."
"Taci, dimanakah tempatnya?"
"Tak perlu engkau mencarinya. Dia sudah menentukan
keputusan. Jika engkau mencarinya, hanya akan
menambah derita hatinya saja."
"Taci, kumohon engkau ..."
"Tetapi akupun tak tahu ke mana perginya. Dia hanya
mengatakan bahwa sejak saat ini dunia sudah tak ada lagi
manusia yang bernama Ho Kiong Hwa . . ."
"Ah, tentulah taci tak mau memberitahu kepadaku!"
"Adik yang baik, sudahlah, lupakan saja dia!"
"Tidak! Tak mungkin aku melupakannya!" teriak Cu
Jiang dengan kalap, "aku tak dapat melupakannya, tidak
dapat melupakannya!"
Nadanya amat tegas bagaikan paku menancap di kayu.
Betapapun dingin atau keras hati seseorang tentu akan
trenyuh juga mendengar ucapan itu.
Ang Nio Cu menghela napas: "Adik, mari kita ke
gunung Keng-san."
Cu Jiang mengangguk: "Baik, apabila urusanku sudah
selesai, ke ujung duniapun aku tetap akan mencarinya!"
"Ah, cintamu itu hanya tinggal kenangan belaka."
"Tidak, cinta itu tetap akan kulanjutkan sampai kapan
pun juga."
"Adik, kita berpencar saja dan ketemu lagi di mulut
gunung Keng-san."
"Apakah tidak baik bersama-sama saja?"
"Kurang leluasa. "
"Setelah memasuki gunung, kita akan menyerang secara
terang-terangan atau..."
"Secara terang-terangan saja tak perlu pakai tedeng
aling2."
"Baik."
"Silakan berangkat dulu, aku hendak tinggal disini
beberapa jenak lagi. Tiga tetua angkatan terdahulu,
bertahun-tahun mengikuti aku. Sekarang mereka telah
tiada, sudah selayaknya kalau aku tinggal beberapa waktu
lagi untuk mengenang mereka ... ."
Cu Jiang terharu. Perpisahan memang merupakan
peristiwa yang mengharukan hati. Baik pisah hidup
maupun karena meninggal.
"Taci, dari sini aku akan melalui Tang yang, Wan-an lalu
menuju ke Keng-san. Kita bertemu didesa gunung itu."
Ang Nio Cu mengiakan dan Cu Jiangpun segera minta
diri. Dia pergi dengan membawa hati yang hancur sehingga
lupa makan dan lupa segala. Hari itu dia hanya mampu
mencapai jarak sepuluhan li. Disebelah muka tampak
sebuah bukit tanah merah.
Ketika ia melintasi jalan yang membelah tengah2 bukit
itu, tiba2 dari jauh terdengar suara harpa. Dia terkejut dan
sadar dari lamunannya. Ia memasang telinga dan
memperhatikan bahwa suara harpa itu berasal dari arah
kanan tak jauh dari bukit itu.
Harpa itu aneh sekali suaranya. Nadanya seperti orang
yang baru belajar, menusuk telinga menyebabkan hati
kacau dan perasaan tak keruan.
Memandang ke muka, tak berapa jauh ia melihat
gulungan asap mengepul dari arah bukit itu. Sejenak
berhenti, Cu Jiang melanjutkan langkah lagi. Tiba2 suara
harpa itu berobah, nadanya penuh dengan hawa
pembunuhan sehingga perasaan Cu Jiang tak enak dan
darah dalam tubuhnyapun ikut bergolak. Dia terkejut dan
hentikan langkah. Suara harpa itu memang menimbulkan
kecurigaan.
Sesaat kemudian timbulkan keinginannya untuk
mengetahui. Setelah menenangkan semangat dan perasaan,
dia segera menuju ke arah kepulan asap. Tiba2 harpa
berhenti.
Melintasi sebuah gundukan tinggi, pemandangan di
sebelah muka membuatnya terkejut. Tampak api unggun
yang berasal dari tiga batu yang dijajar, di atas batu itu
digantung sebuah kuali besar yang airnya mendidih. Asap
dan uap air mendidih itu bergulung-gulung campur jadi
satu.
Disamping api unggun itu duduk seorang nenek tua baju
kuning. Wajahnya seperti burung dara, rambutnya yang
putih sudah banyak yang rontok. Dia tengah mendekap
sebuah harpa. Matanya memejam, diam tak berkutik.
Dengan rasa heran Cu Jiang menghampiri. Ia melihat
jelas tubuh nenek itu menyerupai pohon jeruk yang layu,
sepasang tangannya seperti cakar burung, kuku panjang dan
runcing, kulitnya mengeriput. Sukar menentukan usianya.
Entah apa yang sedang dilakukan nenek itu tetapi
didengar dari petikan harpa tadi tentulah nenek itu seorang
persilatan.
Karena sampai beberapa jenak nenek itu tetap tak
bergerak, Cu Jiangpun tak sabar, tegurnya:
"Pohpoh, apakah yang sedang engkau lakukan?"
Kelopak mata nenek agak terbuka dan dari celah selaput
matanya memancar sinar yang membuat Cu Jiang terkejut
sekali. Sinar mata nenek itu jelas menunjukkan seorang
yang memiliki tenaga dalam yang tinggi.
"Siapa engkau?" seru nenek itu.
"Orang2 menyebut diriku sebagai Toan-kiam-jan-jin."
"O, Toan-kiam . . . jan-jin!"
"Pohpoh, menggodok kuali besar . . ."
"Menggodok orang!"
Cu Jiang melonjak kaget: "Apa? Menggodok orang?"
Nenek itu membuka kelopak mata dan menyahut dingin:
"Benar, menggodok orang!"
"Buat apa?"
"Dimakan."
Cu Jiang mendelik, serunya: "Ah, mengapa nenek
bergurau?"
Nenek itupun deliki mata dan napasnya memburu keras,
serunya: "Sudah hidup seabad, perlu apa aku bergurau
dengan seorang bocah yang belum tulang bau susu ibunya
seperti engkau!"
Cu Jiang menyurut mundur selangkah. Memandang
kuali besar dan berseru penuh keheranan: "Pohpoh
memasak orang untuk dimakan?"
"Ya."
"Siapa yang pohpoh masak itu?"
"Dia datang sendiri."
Hampir Cu Jiang tak percaya pendengarannya. Belum
pernah ia mendengar orang yang memasak makanan dari
tubuh orang. Jika nenek itu seorang gila, ah, tentu
berbahaya sekali bagi keselamatan dunia persilatan. Tetapi
mengapa dia belum pernah mendengar dalam dunia
persilatan terdapat tokoh yang suka makan orang?"
"Siapa nama pohpoh yang mulia?" tanyanya.
"Pertandaanku yalah harpa."
Cu Jiang tertegun lagi. Dia belum pernah mendengar
tokoh persilatan yang memakai ciri pertandaan harpa.
"Maafkan pengetahuanku yang sempit sehingga tak
mengetahui diri pohpoh."
"Ya, sudahlah."
"Mengapa tak tampak orang yang datang mengantar
diri?"
"Sudah datang."
"Di mana?"
"Engkau!"
Cu Jiang seperti disambar petir kejutnya sehingga dia
menyurut selangkah lalu berteriak:
"Aku ?"
Tiba2 nenek itu berdiri dan memandang Cu Jiang
dengan mata menyala: "Benar !"
"Pohpoh sudah memperhitungkan bahwa aku tentu
datang kemari ataukah karena melihat aku datang lalu
hendak menggodok diriku?"
"Aku memang sengaja menungguimu."
Cu Jiang menggigil, serunya: "Pohpoh memang sengaja
menunggu kedatanganku?"
"Ya, benar!"
"Tetapi kitakan belum pernah kenal?"
"Siapa bilang? Engkau telah berhutang banyak sekali
peristiwa berdarah, harus membayar."
"Ini ... . bagaimana jelasnya?"
"Engkau akan masuk ke dalam kuali itu sendiri atau
perlu aku harus turun tangan?"
"Apakah omongan pohpoh ini sungguh2?"
"Mengapa tidak?"
Serentak bergeloralah darah Cu Jiang. Hawa
pembunuhan merangsang dadanya.
"Harap memberitahu siapa pohpoh ini?" teriaknya.
"Sudah kukatakan, pertandaan diriku ialah harpa, kalau
engkau tak tahu. Jangan banyak omong lagi!"
"Aku berhutang darah apa kepada pohpoh?"
"Bagaimana nasib dari kawanan Sip-pat-thian-mo itu?"
Seketika sadarlah Cu Jiang. Ia tertawa nyaring: "Oh,
kiranya engkau salah seorang komplotan kawanan iblis itu.
Bagus, aku gembira dapat membasmi seorang kutu penyakit
...."
Nenek itu mendengus: "Asal sudah tahu saja, agar kalau
mati jangan engkau menjadi setan penasaran !"
Tiba2 Cu Jiang teringat akan kata2 suhunya bahwa
dibelakang kawanan Sip pat-thian-mo itu, masih terdapat
beberapa iblis tua. mungkin sudah mati. Tetapi kalau
mereka masih hidup, tentu sukar dihadapi.
Ia duga, nenek ini tentulah salah seorang dari iblis tua
yang berdiri dibelakang Sip pat-thian-mo.
Teringat akan hal itu. Cu Jiang berseru dingin : "Sebagai
tokoh dibelakang Sip-pat-thian-mo, sudah lama aku
mengagumi pohpoh !"
Menuding pada kuali yang mendidih, nenek itu berseru
seram: "Bocah, engkau turun sendiri, tentu lebih nyaman.
Kalau suruh aku turun tangan, engkau tentu mati secara
pelahan !"
Cu Jiang mengertek gigi, serunya: "Mungkin akulah
yang hendak meminta engkau terjun kedalam kuali itu !"
"Mana orang2 ini !" teriak nenek itu dan serentak dua
sosok bayangan muncul dari balik gunduk bukit disebelah.
Cepat sekali mereka sudah melesat tiba.
Dua orang lelaki bertubuh kekar dengan wajah
menyeramkan. Yang satu memanggul tiga batang kayu,
yang satu membawa tali.
Tanpa bicara apa2 mereka terus mengikat ketiga batang
kayu itu dalam bentuk segi tiga, lalu dipasang diatas kuali
dan diberi gantungan tali. Setelah itu keduanyapun
mundur.
Menunjuk pada tiang segi-tiga, si nenek berseru pula:
"Bocah, engkau hendak kugantung diatas tiang itu lalu
pelahan-lahan kuturunkan kedalam kuali. Nah. engkau
dapat merasakan sendiri betapa rasanya kalau digodok
dengan pelahan-lahan itu!"
Cu Jiang mendengus dingin: "Asal engkau mampu
melakukan, akupun tak menghiraukan harus mati dengan
cara apa saja !"
"Bagus, nyalimu sungguh besar." seru nenek itu. "aku tak
dapat menemukan cara lain lagi, bagaimana harus
menyuruhmu mati secara lebih menderita lagi . . ."
"Nenek tua, kata-katamu itu terlalu pagi engkau
ucapkan. Nanti saja apabila engkau sudah berhasil
meringkus aku, barulah engkau boleh bergembira!"
"Bocah edan, rupanya aku terpaksa harus turun tangan . .
."
"Silakan !"
Cu Jiang mencabut pedang kutung dan pasang kuda2. Ia
percaya nenek itu tentu lebih lihay dari gerombolan Sip-pat-
thian-mo. Dia tak berani memandang sepele. Dia
pancarkan tenaga penuh hingga pedang itu memancarkan
hawa yang menyeramkan.
Nenek itupun harus melintangkan harpa, matanya
memancarkan sinar pembunuhan yang buas.
Suasana tempat itu sunyi senyap. Keduanya sama2 maju
dua langkah dan mencapai jarak yang dapat dilakukan
pertempuran.
Cu Jiang telah mempersatukan semangat, pikiran, tenaga
dan pedang menjadi satu. Baru sekali itu dia benar2 harus
menumpahkan seluruh semangatnya untuk menghadapi
musuh.
Mungkin nenek itu terlalu memandang rendah lawan
atau mungkin dia terlalu membanggakan diri. Setelah
merenung diapun mendesuh lalu menghantamkan harpanya
dari samping. Gerakannya tampak biasa2 saja tetapi
sebenarnya mengandung perubahan2 yang sukar diduga
dan ditaksir.
Cu Jiangpun ayunkan pedang untuk melawan keras
dengan keras. Tring .., keduanya menyurut mundur
selangkah.
Saat itu Cu Jiang baru mengetahui bahwa harpa nenek
itu terbuat daripada baja murni. Diam2 dia terkejut. Tenaga
yang terpancar dari harpa itu sedahsyat gunung rubuh
sehingga tangan Cu Jiang kesemutan.
Diam2 ia terkejut dan mengagumi nenek itu. Yang
mampu menerima Jurus Thian-te kau thay, barulah nenek
itu saja.
Nenek itu juga mengetahui kesaktian Cu Jiang. Diapun
terkejut tetapi cepat dia sudah tenang kembali.
"Hait.... !" terdengar lengking dan gemboran ketika
kedua senjata beradu lagi. Kali ini Cu Jiang yang
melancarkan serangan. Setelah itu keduanya menyurut
mundur lagi.
Tetapi keadaannya agak berbeda. Baju nenek itu dari
bahu sampai keujung lengan telah rompal sehingga
lengannya yang kurus kering tampak tergurat dengan
goresan pedang yang memanjang.
Kali ini nenek itu benar2 marah bukan kepalang
sehingga rambutnya sama tegak berdiri. Wajahnya yang
penuh keriput itu makin menyeramkan. Harpa bergetar-
getar mendengung.
Cu Jiang meningkatkan kewaspadaannya.
Kembali terdengar pekik dan gemboran ketika keduanya
berhantam lagi. Bayangan harpa menggunduk seperti
gunung, sinar pedang bertebaran seperti awan. tring, tring . .
Sejurus, dua jurus, tiga jurus. Ternyata tenaga
kepandaian keduanya hampir berimbang. Dalam
pertempuran maut itu, keduanya telah menghamburkan
tenaga dalam yang menakjubkan. Tiada ampun lagi dalam
pertempuran itu kecuali salah seorang roboh.
Tring .... terdengar dering keras sekali disusul oleh erang
tertahan. Cu Jiang sempoyongan sampai lima enam
langkah baru dapat berdiri tegak.
Kain kerudung mukanya hampir separoh telah basah
dengan darah. Pedang kutung menjulai kebawah dan
napasnya tersengal-sengal keras.
Nenek itu juga tersurut mundur sampai dua meter, mulut
menyembur darah dan harpapun jatuh ke tanah.
Keadaannya lebih mengerikan. Kedua lelaki kekar tadi
hanya terlongong-longong kaget.
Cu Jiang cepat2 mengatur pernapasannya. Beberapa saat
kemudian dia sudah dapat bergerak, mengangkat pedang
dan menghampiri ke tempat nenek itu.
"Nenek, ambillah harpamu agar engkau dapat menyerah
dengan hati puas," serunya.
Wajah si nenek yang penuh keriput tampak
berkerenyutan. Dia melangkah maju memungut harpa lalu
mundur beberapa langkah. Sepasang matanya tetap berapi-
api memandang Cu Jiang,
"Toan kiam jan-jin, engkau satu-satunya musuh tangguh
yang pernah kujumpai seumur hidup. Beranikah engkau
mendengar petikan harpaku?"
"Silakan! "sahut Cu Jiang dengan angkuh. Si nenek terus
duduk bersila dan melintangkan harpa dipangkuan.
Matanya menunduk dan jari jarinya yang menyerupai cakar
burung itupun mulai meraba senar harpa, trung
Bagaikan suitan nyaring yang berasal dari langit.
Seketika gundahlah hati Cu Jiang. Buru2 dia menenangkan
pikiran dan mengarahkan tenaga-murni untuk melawan.
Tring, tring, trung. trung . . . . Makin lama harpa makin
deras. Nadanya mengandung kumandang rintihan setan.
Cu Jiang menggerenyet gigi, mengeraskan semangat untuk
menahan darah yang bergolak keras.
Suara Harpa makin deras dan riuh. Bagai langit berputar,
bumi bergetar dan badai prahara mengamuk, gelombang
tam menghempas dahsyat. Dunia seakan kiamat ....
Seperminum teh lamanya, sekonyong-konyong suara
harpa itu berhenti. Cu Jiang rasakan tenggorokannya
manis- anyir, ia muntahkan segumpal darah segar. Bajunya
basah kuyup dengan keringat.
Brungng .... harpa nenek itu tiba2 jatuh ke tanah.
Mulutnya mengalir darah dan sinar matanya pun redup.
Setelah mengusap darah di mulut, Cu Jiang melangkah
ke tempat nenek itu, serunya:
"Pohpoh, engkau ingin mati dengan pedang ini atau
turun mencebur ke dalam kuali itu sendiri?"
Nenek itu meraung-raung. "Budak, engkau menang,
hayo bunuhlah aku."
Sejenak Cu Jiang memandang ke arah kuali yang masih
mendidih itu. Dilihatnya kedua lelaki gagah tadi sudah
terkapar tak bernyawa. Jelas mereka mati karena suara
harpa maut tadi.
Memandang kembali ke arah nenek, Cu Jiang berkata.
"Pohpoh, kalau menggodokmu itu kelewat tak berperi
kemanusian. Lebih baik kuantar dengan pedang saja!"
"Bunuhlah! Jangan . . . banyak omong!"
Cu Jiangpun segera mengayunkan pedang dan nenek itu
pejamkan mata menunggu maut.
Tetapi pada saat pedang hampir mendarat di leher si
nenek, tiba2 Cu Jiang menghentikannya. Melihat rambut
yang sudah putih dan banyak yang rontok di kepala si
nenek, hati Cu Jiang tak tega.
Seorang nenek yang sudah begitu tua renta, masih dapat
hidup berapa tahun lagi?
"Mengapa tak lekas turun tangan? Engkau hendak
mengapakan diriku?" seru si nenek.
Cu Jiang menarik pedangnya dan berseru dingin:
"Engkau sudah di tepi lubang kubur. Aku tak tega
membunuhmu, kali ini kuampuni jiwamu . . ."
"Tutup mulutmu! Aku tak sudi menerima ampunmu!"
"Tidak, aku sudah terlanjur berkata, takkan kutarik
kembali. Kalau mau mati, silahkan engkau bunuh diri
sendiri !"
"Jahanam ..."
"Hanya satu hal yang pasti akan kulakukan. Yaitu ilmu
kepandaian yang membuat engkau melakukan kejahatan itu
harus kulenyapkan..."
"Engkau berani?"
Sebagai jawaban Cu Jiang acungkan jarinya untuk
menotok. Nenek itu mengerang ngeri dan berguling-guling
ke tanah.
"Pohpoh, sekarang engkau boleh tenang2 melewatkan
sisa hidupmu!"
Nenek itu menggeliat duduk dan bergumam dengan
sedih:
"Sungguh tak kira, aku Harpa penyambar nyawa, yang
begitu ditakuti dunia, sekarang harus hancur di tangan
seorang bocah yang tak ternama ...."
Mendengar kata2 itu terkejutlah Cu Jiang. Nama Harpa-
penyambar nyawa itu rasanya dia pernah mendengar tetapi
ia lupa entah di mana.
Ah, benar. teringat dahulu mendiang ayahnya pernah
menceritakan bahwa dalam dunia persilatan memang
terdapat sepasang iblis besar yakni Harpa-sambar nyawa
dan Genderang-pelelap-jiwa. Kedua iblis itulah yang
menghabiskan jago2 dari lima partai persilatan besar.
Cu Jiang benar2 tak menduga bahwa nenek yang
dihadapannya itu tak lain adalah Toh Hun pi-peh atau
nenek Harpa-penyambar nyawa. Nenek itu tentu sudah
berumur 100 tahun lebih. Apakah Jui-beng-to itu
Genderang pelelap nyawa itu, apakah masih hidup dalam
dunia?
"O, kiranya engkau tak lain adalah Toh-hun-pi peh yang
melakukan kejahatan setinggi gunung. Sebenarnya kalau
kubunuh mati itu sudah jauh lebih murah menilik dosamu.
Tetapi biarlah kali ini kuampuni asal engkau masih dapat
hidup untuk menebus dosamu." seru Cu Jiang.
"Budak hina, sungguh tak kukira siapa manusia dalam
dunia persilatan yang mampu mengajarkan ilmu kesaktian
begitu hebat kepadamu ..."
"Kalau tak dapat menduga, ya sudahlah !"
"Jangan bermulut besar ! Kelak pasti akan terdapat
seseorang yang akan membereskan Jiwamu !"
"O. si Jui-beng-ko itu ?"
"Benar."
"Jangan kuatir, kalau dia tak bertemu aku, aku akan
mencarinya."
"Engkau .. . mengapa bermusuhan dengan Sip pat thian-
mo?"
"Untuk memulihkan kesejahteraan dunia persilatan."
"Aku tak punya waktu, sampai jumpa !" habis berkata
Cu Jiang terus melanjutkan perjalanan. Diam2 dia masih
merata terkejut. Kiranya gerombolan Sip- pat thian mo itu
adalah murid2 dari sepasang iblis Toh hun-pi-peh dan Jui-
beng-ko. Jika kedua momok itu berada disitu, tak mungkin
dia mampu mengalahkan mereka.
Setelah dapat melakukan pembalasan di gunung Keng-
san lalu menghancurkan markas Thong-thian kau di kota
Pek te-shia, tugasnya yang penting telah selesai. Sisanya dia
dapat mempergunakan untuk jejak calon isterinya Ho
Kiong Hwa.
Diapun juga terkenang kepada si dara baju hijau Ki Ing
atau tepatnya bernama Cukat Bengcu. Diam2 ia heran atas
kesalahan faham dari Tionggoan-tay-hiap Cukat Giok atau
ayah dari nona itu yang mengira bahwa yang mencelakai
dirinya adalah si Buddha - hidup - Sebun Ong. Padahal jelas
isteri dari Cukat Giok itu kini telah diperisteri oleh ketua
Gedung Hitam. Dalam peristiwa itu tentu terjadi sesuatu
yang masih gelap.
Saat itu haripun sudah mulai gelap. Tiba2 ia mendengar
jeritan nyaring yang mengerikan memecahkan kesunyian
malam. Cu Jiang terkejut dan cepat2 lari menuju ke arah
tempat itu.
Ia tiba di sebuah anak sungai di tengah hutan. Di
seberang anak sungai itu tampak sebuah pemandangan
yang membuatnya marah sekali. Wanita gemuk atau Poan
toanio beserta dua anggauta pengawal Su-tay-kojiu yakni Ki
Siau Hong dan Ko kun sedang dikepung oleh kawanan
orang yang tak dikenal. Sedang puteri dari Tayli tak tampak
bayangannya. Di tengah gelanggang pertempuran itu sudah
rebah empat orang baju busu.
Dalam pertempuran itu ada sebuah pemandangan yang
menyebabkan darah Cu Jiang naik seketika. Dalam
lingkaran kepungan orang2 itu, Poan toanio bertiga telah
bertempur dengan Ratu- bunga Tio Hong Hui dan putrinya,
dibantu oleh dua orang lelaki tua baju hitam. Dengan
demikian jelas bahwa gerombolan yang mengepung itu
tentulah dari pihak Gedung Hitam.
Cu Jiang serentak hendak muncul tetapi tiba2 ia
mendapat pikiran dan menahan diri. Dia hendak
memperhatikan keadaan di seberang itu dengan lebih jelas
lagi. Yang menjadi pemikirannya, mengapa puteri tak
berada dengan Poan toanio ?
Di belakang tepi anak sungai itu terdapat sebuah
gerumbul hutan pohon yang melingkari tiga buah rumah
pondok. Rumah itu memancarkan penerangan.
Saat itu bintang2 bermunculan di angkasa sehingga
pertempuran itu dapat dilihat jelas. Sesaat terdengar Ratu
bunga Tio Hong Hui tersenyum.
"Putri negeri Tayli berkunjung ke Tionggoan, masa kami
dari pihak Gedung Hitam tak menyambutnya." serunya.
"Jika kalian berani mengganggu kongcu, kelak tentu
akan menerima pembalasan yang mengerikan." seru Poan
toanio.
Mendengar itu tercekatlah hati Cu Jiang. Dengan begitu
jelas puteri telah jatuh di tangan musuh. Kedua pengawal
dari Tayli, Ki Siau Hong dan Ko Kun, telah mendapat
perintah agar merahasiakan diri. Tetapi karena saat itu
mereka terang2 muncul dan bertempur dengan musuh,
tentulah karena keadaan sudah gawat sekali.
"Cu Heng ih, karena engkau mempunyai rejeki besar dan
banyak pengalaman, tentulah diangkat menjadi inang besar
di negeri Tayli," seru Tio Hong Hui lagi.
"Tio Hong Hui." teriak Poan toanio, "hendak kalian
mengapakan kongcu kami?"
"Tidak apa2," sahut Tio Hong Hui tenang2, "pihak kami
hanya ingin menjamunya sebagai tetamu agung. Asal raja
Toan Hong ya mau memberikan kitab Giok-kah kim-keng,
setiap saat kongcu boleh kembali ke negeri Tayli!"
"Engkau ngimpi!"
"Bukan, aku tidak bermimpi tetapi itu memang
kenyataan."
"Engkau kira Tayli mau tunduk pada tuntutanmu itu?"
"Demi keselamatan kongcu, lebih baik kita tak saling
merusak persahabatan."
"Engkau kira mampu melakukan hal itu?"
"Kukira bisa."
"Engkau mengira Tayli tak mempunyai jago?"
"Cu Heng Ih, meskipun engkau mengatakan begitu,
tetapi aku tak dapat merobah apa yang telah kukatakan.
Kedua sahabatmu itu boleh kembali ke Tayli untuk
menghaturkan laporan tetapi engkau .... harus tetap tinggal
di sini."
"Apa?"
"Anak keponakanmu si Toan kiam jan jin itu apabila
tahu kalau engkau bertamu di gedung kami tentu akan
datang, ha, ha, ha .... "
"Tio Hong Hui, jangan buru2 bergiring dulu. Apakah
engkau yakin dapat menjamin dirimu bakal pulang dengan
selamat?"
"Tentu !"
"Engkau mempunyai keyakinan begitu?"
"Tentu saja karena saat ini mungkin kongcu sudah
berada di Gedung Hitam!"
Mendengar itu serasa terbanglah semangat Cu Jiang.
Ternyata kongcu sudah ditawan oleh orang2 Gedung
Hitam untuk dijadikan sandera. Dia harus bertindak. Kalau
terlambat dan sampai terjadi sesuatu dengan diri kongcu,
bagaimana kelak dia harus memberi pertanggungan jawab
di hadapan baginda Toan Hong-ya?
Wajah Poan toanio berobah seketika.
"Kalian berdua tentu sudah jelas." seru Tio Hong Hui
kepada Ki Siau Hong dan Ko Kun. Kami minta agar
kongcu ditukar dengan kitab Giok kah kim keng. Silakan
kalian pergi dan kami pujikan supaya selamat tiba di negeri
Tayli!"
Dengan mengertek gigi Ki Siau Hong berseru:
"Hujin, kelak engkau pasti menyesal."
"Ah takkan begitu, " Tio Hong Hui tersenyum.
"Hujin, tunggu dan lihatlah saja nanti," seru Ko Kun
"Ya, kami tentu akan menunggu kabar baik dari kalian."
Tio Hong Hui berseru lagi.
"Aku hendak mengadu jiwa dengan engkau." tiba2 Poan
toanio berteriak kalap dan terus maju menyerang. Tetapi
salah seorang dari lelaki tua baju hitam itu segera
songsongkan tangan dan Tio Hong Hui pun menyurut
mundur.
Poan toanio bertempur seru melawan lelaki tua baju
hitam itu. Diam2 Cu Jiang terkejut dan kagum
menyaksikan kepandaian dari wanita gemuk yang menjadi
bibinya itu. Baru kali itu ia mengetahui kepandaian dari
bibinya
"Bukan urusan kalian, silakan pergi!" seru Tio Hong Hui
kepada kedua pengawal dari Tayli.
Tampak wajah Ki Ing yang berada di samping, mengerut
tak puas atas sikap mamanya.
Melihat itu Cu Jiang tak dapat bersabar lebih lama.
Setelah dia ayunkan tubuh melayang melewati anak sungai
kecil itu. Selekas menginjak tepi, dia ayunkan lagi kaki
untuk melayang kedalam kepungan.
"Hai siapa itu ?"
"Huak..." lelaki tua yang bertempur melawan Poan
Toanio. serentak roboh dan di gelanggang pertempuran
telah bertambah dengan seorang bertutup muka dan
mencekal pedang kutung.
"Toan kiam-Janjin !" serempak terdengar pekik kejutan.
Poan toanio, Ki Siau Hong dan Ko Kun berobah girang
bukan kepalang. Wajah Tio Hong Hui berobah wajahnya.
Ki Ing kerutkan alis. Sekalian anak buah Gedung Hitam
yang berada di tempat itupun pucat.
0oodwoo0

Cu Jiang langsung menghampiri ke hadapan Tio Hong


Hui dan berseru dengan dingin:
"Nyonya Gedung Hitam, selamat bertemu lagi."
Tio Hong Hui menyurut mundur dua langkah.
"Toan kiam-jan-Jin. engkau benar2 panjang umur!"
serunya.
"Kalau aku tak panjang umur. habis siapa yang akan
membereskan kalian kawanan kurcaci ini semua?" seru Cu
Jiang.
"Apa kehendakmu ?"
"Tidak menghendaki apa2. Lebih dulu bebaskan dulu
puteri ?"
"Kalau tidak?"
"Semua orang-orangmu yang berada di tempat ini pasti
tak ada satupun yang hidup!"
"Rupanya engkau juga mempunyai hubungan dengan
negeri Tayli ?"
"Sudahlah. Jangan banyak bicara !"
"Kongcu sudah dibawa ke Gedung Hitam, bagaimana ?"
"Sederhana sekali. Akan kurebut kembali puteri itu dan
nyawaku sebagai tebusannya !"
"Apakah semudah itu ?"
Cu Jiang berpaling kearah bibinya: "Toanio, kapan
kongcu dilarikan ?"
"Kemarin pagi."
"Saudara Song Pek Liang Juga sudah mengejar ke sana.
Di sepanjang Jalan tentu dia meninggalkan jejak pengenal."
kata Ki Siau Hong.
Cu Jiang menimang-nimang. Dia dapat mencapai
markas Gedung Hitam di gunung Keng-san dalam satu
hari. Maka ia mengangguk, serunya:
"Toanio. Ki-heng dan Ko-heng, bersiaplah untuk
membantai kawanan anjing2 ini !"
Habis berkata. Cu Jiang melirik kearah Ki Ing dengan
pandang meminta maaf. Kemudian berkata bengis kepada
Tio Hong Hui:
"Apakah aku harus menyebutmu sebagai nyonya
Gedung Hitam atau nyonya Cukat ?"
Mendengar itu seketika wajah Tio Hong Hui pucat lesi.
Ki Ing pun terkejut memandang pada pelajar baju putih
yang pernah mencuri hatinya itu.
Cu Jiang tertawa dingin, Katanya pula: "Tio Hong Hui,
karena hendak mencari engkau, beberapa kali aku hampir
kehilangan nyawa!"
"Engkau .. . hendak mencari aku !"
"Benar."
"Perlu apa?"
"Heh, heh, aku melakukan permintaan orang untuk
menyerahkan barang kepadamu!"
"Barang apa ?" Tio Hong Hui makin tegang.
"Kalau sudah melihat engkau tentu tahu sendiri," sahut
Cu Jiang, lalu mengambil dompet titipan dari Ko-tiong-jin
atau Orang-dari lembah yaitu Tiong-goan thayhiap atau
pendekar besar dari Tionggoan, Cukat Giok.
Dia menjepit benda itu dengan kedua jari tangan kirinya,
serunya:
"Kenalkah engkau akan benda ini ?"
Gemetar tubuh Tio Hong Hui dan wajahnya makin
pucat. Dia berpaling kepada puterinya "Nak, masuklah
kedalam pondok itu!"
"Mengapa?" Ki Ing terkejut.
"Turutilah kata-kataku. Keadaan sudah sangat genting,
aku tak menghendaki engkau terlibat dalam bahaya !"
"Apakah .... begitu?"
"Anakku, apa maksudmu ?"
"Aku tetap akan tinggal disini."
"Kusuruh engkau tinggalkan tempat ini."
"Tidak !" sahut Ki Ing dengan mantap.
"Puteri nyonya seharusnya hadir disini."
"Engkau hendak menjadikannya sandera dan hendak
menukar dengan puteri Tayli itu?"
"Nyonya, engkau tentu tahu bahwa aku tak akan berbuat
begitu."
"Budak perempuan, mengapa engkau masih tak mau
pergi !" teriak Tio Hong Hui.
"Tak mau !"
"Nyonya, biarlah dia hadir disini..." kata Cu Jiang.
"Toan-kiam-jan-Jin baiklah, engkau hendak mengatakan
apa ?"
"Silakan nyonya mengatakan dulu kenal atau tidak
dengan benda ini ?"
"Kenal!"
"Bagus," Cu Jiang mengangguk, "suami nyonya Cukat
tayhiap, minta tolong kepadaku untuk menyerahkan benda
ini kepadamu !"
"Apa maksudnya ?"
"Serahkan kemari!"
"Tunggu dulu, aku hendak bertanya....*"
"Soal apa?"
"Bukanlah nyonya telah bersatu hati dengan Buddha-
hidup Sebun Ong ? Mengapa nyonya menjadi isteri dari
ketua Gedung Hitam?"
Wajah Ki Ing mulai bergolak dan sepasang matanya
yang indah, mulut membulat.
Tio Hong Hui mulai berkeringat.
"Engkau tak perlu mengurus soal itu !" teriaknya
melengking.
"Kalau nyonya tak mau menerangkan, terpaksa aku
harus mencari lain bukti!"
"Apalagi kata Cukat Giok ?"
"Dia sudah tak dapat hidup lama lagi di dunia ini. Hanya
satu satunya yang masih menjadi ganjalan hatinya yalah
tentang benda ini."
"Serahkan kepadaku !" teriak Tio Hong Hui.
Cu Jiangpun terus melontarkan dan Tio Hong Hui
menyambutinya. Tubuhnya gemetar tak berkata apa-apa.
"Apakah nyonya tak mau membuka dan memeriksa
isinya ?" seru Cu Jiang.
Tio Hong Hui memandang dengan penuh dendam
kebencian kepada Cu Jiang lalu membuka bungkusan itu
dengan jarinya:
"Apakah isinya ?"
Persembahan dari suami nyonya!"
"Apa ?" baru berkata begitu, wajah Tio Hong Huipun
berobah seketika dan cepat melemparkan bungkusan itu,
serunya: "Ra...cun..."
Dia terus rubuh terkulai di tanah. Sekalian orang
menjerit kaget. Dan Ki Ingpun terus hendak lari menubruk
mamanya.
Tio Hong Hui bergeliatan, meregang-regang. Menderita
kesakitan yang hebat. Mulutnya tak henti-hentinya merintih
dan mengerang-erang.
"Toan-kiam-jan-jin, engkau sungguh keji, menggunakan
cara yang begitu biadab!" tiba2 lelaki baju hitam tadi
membentak.
"Huak .,.." terdengar jeritan ngeri dan lelaki tua itu pun
rubuh mandi darah.
Poan toanio, Ki Siau Hong dan Ko Kun tertampak ikut
turun tangan. Karena Cu Jiang berada disitu sudah tentu
kawanan anak buah Gedung Hitam itu pecah nyalinya.
Mereka lari tunggang langgang.
Yang kepandaian rendah, harus meninggalkan tubuhnya
yang sudah tak bernyawa.
Cu Jiang tegak di samping Ki Ing yang menangisi
mamanya. Dia sedang merenungkan cara bagaimana
hendak memberi penjelasan kepada nona itu.
Tiba2 Poan toanio melesat dan terus menyambar Ki Ing:
"Ia dapat dijadikan penukar kongcu !"
"Toanio, lepaskanlah!" seru Cu Jiang.
"Mengapa?" Poan toanio terkejut.
"Jangan menjadikannya barang penukar kong-cu!"
"Kenapa tidak?"
"Aku pernah menerima budi pertolongannya
menyelamatkan jiwaku, " sahut Cu Jiang.
"Menarik garis tajam antara budi dan dendam memang
benar. Tetapi keadaan kongcu saat ini .... "
"Sukalah toanio lepaskan dia lebih dulu. "
"Keselamatan kongcu?"
"Aku akan mempertaruhkan jiwaku untuk
menolongnya."
Mendengar janji itu terpaksa Poan toanio mau
melepaskan Ki Ing.
Jelita itu tidak menangis. Tak mengucurkan setetes air
matapun juga. Wajahnya merah biru dan tiba2 dia meraung
kalap: "Engkau telah membunuh mamaku!" terus
menyerang Cu Jiang.
Pemuda itu menghindar dengan gerak langkah Gong
gong-poh hwat, sembari berseru:
"Nona, dengar dulu, aku hendak bicara ..
Tetapi Ki Ing kalap. Dia menyerang makin hebat dan
melancarkan jurus2 maut. Karena berulang kali berseru
memberi peringatan tetap tak digubris, akhirnya Cu Jiang
balas menyerang, mencengkeram lengan si nona seraya
berseru:
"Dengarkan dulu aku hendak menceritakan tentang
peristiwa itu..."
"Tak perlu, engkau telah membunuh mamaku!" teriak Ki
Ing.
"Nona, aku hanya melaksanakan permintaan dari . . ."
"Tutup mulutmu ? Aku dapat menandingi engkau,
bunuh sajalah aku !"
"Tiada alasan aku harus membunuhmu . . ."
"Jika engkau tak mau membunuh aku, aku bersumpah
pada suatu hari tentu akan membunuhmu !"
"Dengarkan dulu keteranganku . .
Ternyata Tio Hoag Hui masih belum mati. Tiba2 dengan
terputus-putus dia berseru:
"Anakku ... kemarilah ..."
"Lepaskan !" teriak Ki Ing dengan mata melotot.
Tertegun oleh sikap yang begitu berani dari si nona, Cu
Jiangpun melepaskannya. Nona itu menubruk dan
memeluk mamanya lalu mengangkatnya terus dibawa pergi
....
"Dengarkan dulu," cepat Cu Jiang melesat menghadang,
"aku harus memberitahu kepadamu bahwa engkau ini
sebenarnya berasal. ..
"Enyah!!"
"Engkau harus mendengarkan keteranganku !"
"Tidak!!"
Wajah Tio Hong Hui saat itu sudah berobah kehitam-
hitaman. Dengan terengah-engah wanita itu berkata
"Toan-kiam .... jan-jin tujuanmu ... telah tercapai .. . aku
. . , segera mati ... dia . . memang anak kandungku., .
biarlah aku dan anakku ... . pada saat terakhir . ..." sampai
disitu ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena
nyawanya putus.
Cu Jiang terlongong. Sementara Ki Ing terus
memondong tubuhnya dibawa lari.
"Sausu, engkau membiarkan dia lari?" seru Ki Siau
Hong.
Cu Jiang menghela napas: " Biarlah mereka ibu dan anak
dapat bersama dalam saat2 terakhir!"
" Apakah itu bukan budi pekerti seorang perempuan?"
"Aku mempunyai pertimbangan sendiri." Cu Jiang deliki
mata membentak marah.
"Jika kongcu sampai terjadi apa2, bagaimana kami atau
menghadap baginda dan Koksu?" Ko Kun menyeletuk.
"Kalian boleh membawa batang kepalaku!" sahut Cu
Jiang getas.
Mendengar penyahutan dan sikap Cu Jiang, kedua
pengawal dan Tayli itu leletkan lidah dan tak berani berkata
apa2 lagi.
"Nak, jangan membawa adatmu sendiri," seru Poan
toanio pula.
Cu Jiang terdiam sejenak lalu berkata:
"Sekarang juga aku hendak mengejar kongcu, toanio dan
kedua saudara itu boleh mengikuti secara diam2. Setelah
berhasil merebut kongcu, aku segera akan kembali. Karena
saudara berdua dan saudara Song Pek Liang sudah
mengunjuk diri, dan gerombolan Sip pat-thian mo pun
sudah tinggal separoh kurang. tak menguatirkan. Setelah
kubebaskan kongcu, kalian boleh mengantarkannya ke
Tayli."
Ki Siau Hong dan Ko Cun hanya mementang mata tak
menyahut.
"Toanio," kata Cu Jiang dengan nada menyesal,
"kuharap toanio bersama kedua saudara itu lebih dulu
berangkat. Aku hendak mengejar Tio Hong Hui dengan
puterinya itu, demi untuk menyelesaikan urusan yang orang
minta tolong kepadaku!"
"Nak, aku benar2 tak mengerti."
Terpaksa Cu Jiang menceritakan peristiwa dahulu ketika
dia dilempar musuh kebawah jurang, telah ditolong oleh
Ko-tiong Jin, Ternyata Ko-tiong-jin itu tak lain adalah
Tionggoan-tayhiap Cukat Giok yang kemudian minta
tolong kepadanya untuk mencari isteri dan putrinya.
"Tio Hong Hui dan nona itu tak lain adalah isteri dan
puteri dari Tionggoan-tay-hiap Cukat Giok." kata Cu Jiang.
"Oh," Poan toanio mendesuh kejut, "kiranya
demikianlah peristiwa itu."
"Toanio, aku segera akan mengejar jejak nona Beng Cu."
seru Cu Jiang terus melesat keluar dari pondok.
Poan toanio, Ki Siau Hong dan Ko Kun pun segara
tinggalkan tempat itu.
Cu Jiang terkejut ketika memandang ke empat penjuru
tak tampak barang seorangpun juga.
Ia masih mempunyai kewajiban untuk menyerahkan
kantong kain dari Cukat Giok kepada puterinya. Begitu
pula ia merasa wajib harus menerangkan asal usul diri Ki
Ing agar nona itu tidak salah paham.
Lari sampai empat lima li, tetap ia kehilangan jejak Ki
Ing yang membawa mamanya itu. Tak mungkin nona itu
mampu lari sejauh itu. Mungkin karena malam gelap, nona
itu bersembunyi. Kalau dia harus balik kembali untuk
mencari disekeliling tempat itu, tentu akan menunda
rencananya untuk membebaskan puteri Tayli.
"Ah, mungkin mereka telah dibawa olah anak buah
Gedung Hitam," akhirnya ia menarik kesimpulan lain.
Yang jelas Tio Hong Hui tentu sudah mati. Jika demikian
tentulah arah larinya nona itu juga menuju ke Gedung
Hitam.
Sekali dayung dua tepian. Pikir Cu Jiang. Dan diapun
harus memenuhi janji dengan Ang Nio Cu untuk bertemu
di Gedung Hitam. Demikian setelah menimang-nimang,
akhirnya ia hentikan pengejarannya dan terus menuju ke
jalan besar yang mencapai ke arah Gedung Hitam.
Menjelang terang tanah dia sudah mencapai seratusan li.
Dia berhenti makan disebuah warung ditepi jalan. Dan dia
melihat tanda rahasia yang ditinggalkan Song Pek Liang.
Setelah makan, cepat2 dia melanjutkan perjalanan lagi.
Dia tak menghiraukan pakaiannya yang berlumur percikan
darah. Sepanjang jalan dia menurutkan tanda2 rahasia yang
ditinggalkan Song Pek Liang. Sebelum tiba di kota Tong-
yang, dia mengambil jalan kecil yang menuju ke kota
Wasan.
Pada hari ketiga, tiba2 tanda rahasia itu tak tampak lagi.
Dia heran dan kaget. Apakah dia yang kehilangan jejak
atau memang Song Pek Liang yang mendapat bahaya ?
Dia kembali ke tempat tanda rahasia yang terakhir dan
berusaha untuk menyelidiki sekitar tempat itu tetapi
hasilnya nihil.
Dia bingung juga. Putusnya tanda rahasia itu hanya
dapat terjadi dalam dua Kemungkinan. Pertama, memang
jejak pemburuan itu hanya sampai ditempat situ. Orang
yang dikejar, berhenti disekitar tempat itu. Hanya letaknya
yang belum diketahui benar2.
Kedua, Song Pek Liang tertimpah bahaya sehingga tak
sempat meninggalkan tanda rahasia. Dan kemungkinan
kedua itu memang besar kemungkinannya. Karena kalau
hanya kehilangan jejak yang dikejar, tentulah Song Pek
Liang masih sempat meninggalkan pertandaan rahasia.
Setelah menimang-nimang, akhirnya Cu Jiang
memutuskan untuk menyelidiki sekeliling tempat itu sampai
beberapa li. Jika tak berhasil, barulah dia akan menuju ke
gunung Kengsan.
Sejam lamanya dia menyelidiki sampai seluas lima li dari
tempat tanda rahasia itu, tetap dia tak berhasil menemukan
sesuatu. Dia bingung dan kecewa.
Jika kongcu sudah dibawa ke Gedung Hitam untuk
menekan baginda Tayli supaya menebus dengan kitab
pusaka Giok kah-kim keng, itu memang dapat dimaklumi.
Gedung Hitam sudah lama sekali menginginkan kitab itu.
Diam2 Cu Jiang heran mengapa suhunya. Gong-gong-cu
mengijinkan kongcu pesiar ke daerah Tiong-goan padahal
tindakan itu berbahaya sekali bagi keselamatan kongcu.
Tetapi semuanya telah berlangsung. Tak ada lain pilihan
kecuali harus berusaha untuk mendapatkan kongcu
kembali. Jika dia hendak menghadang kawanan anak buah
Gedung Hitam yang membawa kongcu itu, dia harus
merahasiakan diri.
Jika tidak, maka musuh tentu dapat mengetahuinya. Ah.
sayang mengapa tempo hari dia tak mau meminta beberapa
kedok muka dari si pencuri sakti Thian-put thau.
Akhirnya ia memutuskan untuk melanjutkan masuk ke
kota kecil disebelah muka. Dia hendak menyaru dan
membeli perlengkapan sebagai seorang pemburu. Mungkin
kalau ia bertindak hati2 musuh tentu sukar mengetahui.
Segera ia lari. Beberapa waktu kemudian tiba2 ia
menemukan pertandaan rahasia lagi dari Song Pek Liang.
Tanda rahasia itu menyatakan bahwa Song Pek Liang telah
dikepung olah jago2 sakti dari pihak Gedung Hitam.
Melihat tanda rahasia itu. jelas Song Pek Liang telah
membuatnya dalam keadaan terburu-buru sekali. Tetapi dia
tak memberi keterangan suatu apa tentang diri kongcu.
Sekarang dia harus menolong Song Pek Liang lebih dulu
baru nanti meminta keterangan tentang beradanya kongcu.
Disebelah depan tampak jalan besar. Terdapat beberapa
rumah petani. Sebelah kanan jalan terbentang tanah ladang
dan disebelah kiri sebuah hutan.
Cu Jiang tujukan langkah ke hutan itu. Kalau tak
berhasil menemukan apa2, barulah dia akan kembali lagi
menyusur jalan besar.
Setelah menjelajahi hutan dan tak menemukan apa2, dia
terus hendak keluar lagi. Tiba2 ia melihat diatas tanah bukit
yang tak jauh dari hutan itu seperti tampak berkelebat
beberapa bayangan. Serentak timbullah semangatnya dan
terus saja dia melesat ketempat itu.
Tiba di tepi hutan, terpaksa ia harus menghela napas
panjang. Ternyata bayang2 itu bukan sosok manusia
melainkan batang pohon yang ditancapkan di punggung
bukit. Diatas dahan itu terpancang sehelai baju yang
berkibar2 dihembus angin.
Memandang dengan seksama, dilihatnya batang dahan
itu masih digantungi lagi dengan sebuah peti obat. Sudah
tentu dia terkejut sekali. Bukankah peti obat itu milik Song
Pek Liang ketika dia menyaru menjadi penjual obat tempo
hari ? Ah, jelas Song Pek Liang tentu menderita bahaya.
Ia mengeliarkan pandang ke sekeliling dan kejutnya
makin hebat lagi. Tak berada jauh dari dahan itu. sebutir
kepala manusia menggeletak di tanah. Darah Cu Jiang
mendidih seketika.
Song Pek Liang telah dibunuh musuh secara mengerikan
sekali. Dia dikubur berdiri sampai sebatas leher sehingga
kepalanya saja yang kelihatan di permukaan tanah.
"Bajingan2 itu harus kuhancur-leburkan semua!" teriak
Cu Jiang.
Tetapi sekonyong-konyong terdengar suara bentakan
yang gemuruh. Asalnya diperkirakan seperti di sebelah
kanan bukit itu. Segera dia lari ke tempat itu.
Ternyata dugaannya memang benar. Di tempat itu
sedang berlangsung pertempuran yang seru. Dan yang
bertempur itu tak lain adalah Ang Nio Cu bersama Thian-
put thou. Ang Nio Cu berhadapan dengan seorang lelaki
tua kurus berjubah kuning emas. Ang Nio Cu menggunakan
pedang yang Cu Jiang berikan sebagai tanda perjodohan
kepada Ho Kiong Hwa yang lalu.
Baru pertama kali itu Cu Jiang melihat Ang Nio Cu
bertempur dengan menggunakan senjata. Dan dilihatnya
pula bahwa ilmu-pedang nona itu, mempunyai corak gaya
permainan yang istimewa.
Lawannya, lelaki tua berjubah kening emas, juga
menggunakan pedang. Ilmu pedangnya hebat sekali.
Keduanya bertempur dengan seru sehingga sukar dibedakan
satu sama lain.
Sedang Thian-put-thou seorang diri menghadapi empat
orang Pengawal Hitam dan seorang lelaki pertengahan
umur yang mengenakan pakaian seperti seorang thaubak
(kepala regu).
Keadaan Thian-put-thou memang kurang
menguntungkan. Dia hanya mengandalkan kelincahan ilmu
meringankan tubuh untuk menghindari serangan lawan.
Sementara ditanah tampak berserakan tujuh sosok
mayat. Lima diantaranya adalah kawanan Pengawal
Hitam. Jelas rombongan anak buah Gedung Hitam itu
tentulah yang membunuh Song Pek Liang. Mungkin juga
yang membawa kongcu.
Cu Jiang tak menduga bahwa Ang Nio Cu dan Thian
put-thou akan muncul disitu dan bertempur dengan musuh.
Maka diapun terus melayang ke gelanggang dan...
Huak. . . huak . .. terdengar beberapa jeritan ngeri yang
menyeramkan dan kedua belah pihak yang bertempur itu
terkejut dan serempak berhenti
Kelima orang yang menjadi lawan Thian-put thou, sudah
ada tiga yang menggeletak, diantaranya yalah lelaki
setengah tua yang berpakaian sebagai thaubak.
"Adik kecil, bagus, engkau datang !" seru pencuri sakti
Thian put-thou.
"Adik Jiang !" seru Ang Nio Cu.
"Toan-kiam-Jan-jin !" teriak lelaki tua yang mengenakan
jubah kuning emas dengan wajahnya pun serentak berobah
kaget. Sedang kedua Pengawal Hitam tampak pucat pasi.
Cu Jiang tak mau berkata apa2 terus berputar tubuh,
mencabut pedang dan menyerang. Kedua Pengawal Hitam
itu menjerit dan rubuh. Lalu menyerang lelaki tua berjubah
emas untuk menggantikan Ang Nio Cu.
"Adik Jiang, dia adalah wakil ketua dari Gedung
Hitam." seru Ang Nio Cu.
Lelaki tua berjubah kuning emas itu cepat melesat
melarikan diri.
"Hai, mau lari ke mana engkau!" teriak Cu Jiang yang
dengan gunakan gerak Gong-gong-poh-hwat sudah
menghadangnya dan terus menghantam.
Rupanya lelaki tua yang menjadi wakil ketua Gedung
Hitam itu sudah tak menghiraukan soal gengsi lagi. Dengan
gerak Keledai malas menggelinding-ke tanah, dan
menyambitkan senjata rahasia kearah Cu Jiang.
Serangan itu benar2 tak pernah di duga Cu Jiang.
Hantamannya tadi bahkan malah membantu lawan untuk
berguling ke tanah dan setelah melepaskan senjata rahasia,
terus menyelinap lenyap kedalam hutan.
Ang Nio Cu dan Thian-put-thou serempak loncat
mengejar. Cu Jiangpun marah dan terus menyerbu kedalam
hutan. Tetapi dalam beberapa kejab itu. ternyata lawan
sudah menghilang. Sesaat mereka bertiga berjumpa dalam
hutan, ketiganya-pun tertawa kecut.
Sambil banting2 kaki, Cu Jiang uring2an:
"Aku harus dapat mengejar orang itu . ."
"Menolong orang lebih penting," Thian-put-thou
mencegah.
"Mereka telah menculik puteri Tayli .. .. "
"Kutahu," Thian-put-thou mengangguk, "saat ini
mungkin sudah berada di Gedung Hitam ..."
"Mengapa begitu cepat?"
"Setiap pos, mereka berganti kuda, sudah tentu bisa
cepat."
"Bagaimana lo-koko tahu?"
"Karena mendengar mereka secara tak sengaja telah
bercakap-cakap membocorkan hal itu."
"Lalu bagaimana tindakan kita ?"
"Kita berunding lagi."
"Kalian berdua mengapa dapat bersama ... "
"Bertemu di tengah jalan."
Cu Jiang berpaling kepada Ang Nio Cu: "Apakah taci
juga mengambil jalan pendek..."
"Ah, kita tolong orang dulu " kata Ang Nio Cu.
Mendengar itu Cu Jiang gelagapan. Ia baru teringat
tentang Song Pek Liang yang dikubur begitu kejam. Entah
dia masih hidup atau sudah mati. Cepat dia melesat dan
mengajak kedua orang itu
"Tunggu dulu, tak perlu terburu-buru !" seru Thian-put-
thou.
"Lo koko kenapa?!" Cu Jiang hentikan langkah.
"Itu sebuah jebakan, khusus menunggu engkau, maka
jangan gegabah !"
"Jebakan ?"
"Apakan engkau tak memperhatikan mengapa lawan
sengaja menunjukkan pertandaan itu secara menyolok
sekali. Tak lain hanya untuk memikat engkau. Untung
belum menolongnya, kalau tidak engkau tentu sudah
hancur lebur!"
Mendengar itu berdetaklah hati Cu Jiang. "Apakah
mereka memasang obat peledak?" tanyanya.
"Ya !"
"Keparat !"
"Mari kita ke sana."
Apakah Song Pek Liang masih hidup!"
"Mungkin belum mati."
Ketiga orang itu menuju ke tepi hutan dibawah bukit.
Memandang kepada kepala Song Pek Liang yang menonjol
di atas tanah, dada Cu Jiang serasa meledak.
Thian put-thou garuk2 telinga dan mukanya dan
bersungut-sungut. "Harus mencari akal untuk
menghilangkan obat peledak itu."
"Bagaimana caranya ?" tanya Cu Jiang.
"Jika salah menyentuh bahan itu, akibatnya sukar
dilukiskan. Yang menjadi kesulitan, kita tak mengetahui
dimana letak mereka memendam obat pasang itu."
"Oh, tentu tak jauh dari tempat orang yang dikubur itu.
Mereka tentu memperhitungkan, begitu adik Jiang melihat
kawannya dikubur hidup-hidupan tentu akan buru2
menolongnya. Begitu mengejar kesitu, tentu segera akan
meledak," tiba2 Ang Nio Cu menyelutuk.
Thian-put-thou kerutkan alisnya yang putih: "Sayang
orang yang dikubur itu jalan darahnya telah ditutuk
sehingga tak dapat bicara. Kalau tidak, dia tentu dapat
memberi tahu."
"Apakah dia masih dapat ditolong ?" tanya Cu Jiang
harap2 cemas.
"Tentu saja masih, asal dapat menyingkirkan bahan
peledak itu."
"Aneh, mengapa musuh dapat mengetahui diri saudara
Song . . . . "
"Kudengar semua itu hasil tindakan mereka untuk
menekan si puteri manis itu sehingga rombongan pengawal
dari Tayli dan bahkan dirimu telah diketahui semua oleh
musuh."
Cu Jiang tertawa hambar.
"Tak apa, kita dapat membuat serangan secara terang-
terangan," serunya.
"Tetapi engkau tentu tak sampai berpikir, bahwa apabila
peristiwa itu tersiar keluar, tentu akan menimbulkan banyak
kesulitan kepada kerajaan Tayli."
"Tetapi tiada lain jalan lagi. Setelah dapat membebaskan
kongcu, aku segera hendak mengantarkannya kembali ke
Tayli."
"Itu memang benar."
"Sekarang apa daya kita untuk menolong Song Pak
Liang ?" gumam Cu Jiang dan ketika memandang kearah
Song Pek Liang, dilihatnya mata pengawal dari Tayli itu
sudah mengatup rapat. Cu Jiang serentak berseru
meneriaki:
"Saudara Pek Liang!"
Rupanya pendengaran Song Pek Liang masih belum
hilang. Dia membuka mata. Sudah tentu Cu Jiang gembira
sekali karena hal itu menandakan bahwa dia masih hidup.
Bibir Song Pak Liang bergerak-gerak seperti hendak omong
tetapi tak dapat mengeluarkan suara.
Tiba2 Cu Jiang mendapat akal, serunya gembira: "Aku
menemukan akal!"
Ang Nio Cu dan Thian-put-thou serempak lompat
menghampiri: "Bagaimana ?"
"Pandangan Pek Liang masih belum beku," kata Cu
Jiang. "hanya tak dapat berkata, dia menggunakan kerling
mata untuk menyampaikan maksud hatinya . . ."
"Saudara Pak Liang, apakah engkau dapat mendengar
omonganku ? Jika dapat, harap engkau kicupkan mata !"
seru Cu Jiang.
Eh, ternyata Pek Liang mengicupkan mata. Sudah tentu
Cu Jiang bertiga gembira sekali.
"Saudara Peh Liang, aku hendak bertanya. Jika engkau
mengiakan, tolong kicupkan mata. Apakah jalan darahmu
tertutuk?" seru Cu Jiang.
Pek Liang kicupkan mata.
"Engkau terluka ?"
Kembali Pek Liang kicupkan mata.
Cu Jiang mengangguk lalu bertanya pula.
"Apakah mereka memasang obat peledak disamping
tempatmu?"
Lagi2 Pek Liang kicupkan mata.
"Sekarang kami hendak mencari tempat obat peledak itu.
Apakah obat itu berada dalam lingkungan satu meter di
sekelilingmu ?"
Pek Liang diam saja.
"Dua meter ?"
Tetap diam.
"Tiga meter ? ... Empat ... Lima meter ? Satu tombak ?"
Namun Pek Liang tak memberi reaksi apa2.
"Apakah berada pada tubuhmu ?" akhirnya Cu Jiang
mendesak.
Pek Liang mengangguk.
Cu Jiang berpaling kepada Thian put thou tanyanya:
"Lo-koko, obat itu ada pada tubuhnya, bagaimana ?"
"Hanya dengan cara perlahan-lahan kita menggali untuk
mengeluarkan tubuhnya tetapi hal itu memang
mengandung bahaya besar. Salah-salah obat meledak dan
tubuh hancur berkeping2."
Sejenak merenung Cu Jiang bertanya lagi:
"Saudara Pek Liang, kami hendak menyingkirkan obat
peledak itu. Lalu dari mana kita harus mulai bertindak?
Dari muka ?"
"Dari belakang ?"
"Dari sebelah kiri ?"
Setelah berulang kali diam, akhirnya Pek Liang kicupkan
mata, menyatakan bahwa penggalian itu harus dilakukan
dari sebelah kiri.
Cu Jiang segera minta Thian-put-thou dan Ang Nio Cu
supaya mundur karena ia hendak bertindak.
"Tidak," sahut Thian-put thou."seharusnya aku yang
turun tangan."
"Tetapi lo-koko mengapa hendak menempuh bahaya."
"Adik kecil, tugasmu yang penting belum selesai. Musuh
besarmu belum dibalas dan engkau masih muda belia. Hari
depanmu masih gemilang. Sedangkan aku sudah seperti
pohon tua yang mendekati lapuk. Kalau harus mati itu
sudah wajar, tak ada yang perlu disalahkan. Tetapi itupun
hanya suatu kemungkinan karena belum tentu aku mati."
"Tidak, lo-koko ! Ini urusanku ..."
"Urusanmu apakah bukan urusanku Juga ?"
Cu Jiang tergerak hatinya. Ia terbaru mendengar
pernyataan lo-koko atau engkohnya yang tua itu.
"Lo koko, kecintaanmu terhadap diriku, sampai mati
pun takkan kulupakan. Tetapi dalam urusan ini, biarlah aku
saja yang turun tangan, harap kalian mundur . .. . "
"Tidak!" wajah Thian-put-thou berobah sarat,
"bagaimanapun aku takkan menurut perintahmu !"
"Jika demikian biarlah aku saja agar kalian tidak saling
berebut." tiba2 Ang Nio Cu menyeletuk.
"Tidak layak !" seru Cu Jiang terkesiap.
"Mengapa ?"
"Bagaimanapun alasan taci. tetapi engkau tak boleh
menerjang bahaya itu. Dan lagi penerus dari perguruan Hiat
ing bun terletak pada diri taci...."
"Seorang ksatrya rela mati untuk orang yang akrab
hubungannya dengan dia. Tak perlu harus memikirkan
segala alasan itu. Dan terus terang, aku sudah jemu dengan
kehidupan ini. Kalau bisa melakukan sesuatu yang
membahagiakan orang, hatiku sangat gembira . . ."
"Taci ..."
"Adik Jiang, tetapi ini bukan perjalanan menuju ke
kematian!" kata Ang Nio Cu.
Tetapi Cu Jiang tak mau berbantah lagi. Sekonyong-
konyong tubuhnya melayang ke samping Song Pek Liang.
Sudah tentu Ang Nio Cu dan Thian-put-thou terkejut sekali
namun sudah tak keburu untuk mencegah.
"Hati-hati!" mereka hanya dapat memberi peringatan.
"Ya, tahu. Harap kalian beristirahat ke dalam hutan."
sahut Cu Jiang.
Tampak wajah Song Pek Liang merah padam. Karena
tubuh tertanam di tanah, darah tak dapat mengalir lancar
sehingga terhenti di muka. Apabila tak lekas ditolong tentu
mati. DI samping itu rupanya Song Pek Liang tak
menghendaki Cu Jiang bertindak begitu. Sedikit kurang
hati2, tentu akan menyentuh obat pasang dan keduanya
temu akan hancur lebur.
"Song-heng, jangan cemas, aku akan bertindak dengan
hati2." seru Cu Jiang lalu mencabut pedang kutung dan
mulai menggali. Diam2 sebenarnya hati Cu Jiang juga kebal
kebit.
Dia tahu bahwa saat itu sedang menghadapi maut. Tak
berapa lama pakaiannyapun basah kuyup dengan keringat.
Napas memburu keras.
Ang Nio Cu dan Thian-put-thou yang berada di hutan
juga tak kurang tegangnya.
Pelahan-lahan sudah tampak bahu dan rusuk kiri dari
Song Pek Liang. Cu Jiang berhenti menggali.
"Song heng, di mana obat itu letaknya ? Dibawah
pinggangmu ?
"Kaki ? Paha ? . . . . Pantat.. ?"
Tetapi Song Pek Liang tetap pejamkan mata tak
menyahut. Sudah tentu Cu Jiang gugup. Terang kalau Song
Pek Liang itu pingsan. Cepat ia lanjutkan penggaliannya
dengan hati2. Akhirnya sampai ke perut.
Tiba2 ia mendapat pikiran. Ia hentikan penggalian lagi.
Pikirnya, ia hendak membuka Jalan darah Song Pek Liang
yang tertutuk itu agar dapat ditanya keterangan. Ia segera
meraba-raba tubuh Song Pek Liang tetapi tak berhasil
menamakan bagian yang tertutuk. Ia menyadari bahwa
musuh mempunyai ilmu tutuk yang istimewa. Terpaksa ia
hentikan usahanya.
Saat itu ia mulai menggali lagi dan ketegangannyapun
makin memuncak. Mati atau hidup hanya tergantung dari
detik2 yang menentukan.
"Adik kecil, bagaimana, keadaannya ?" teriak Thian-put-
thou.
"Dia pingsan," Cu Jiang membesut keringat.
"Engkau menemukan apa saja?"
"Tidak menemukan apa2."
"Peti obat atau barang sejenis itu ?"
"Tidak!"
"Engkau turun kemari, biar aku yang mengganti. Aku
lebih ahli dalam soal itu ...."
"Tidak !" Cu Jiang menolak.
Thian-put-thou dan Ang Nio Cu serempak ayunkan
tubuh melayang ke tempat Cu Jiang.
"Apa maksud kalian ? Apakah hendak bersama-sama
mati?" tegur Cu Jiang dengan tegang.
"Engkau dan Ang Nio Cu cepat menyingkir, aku yang
menyelesaikannya !" kata Thian-put-thou dengan serius.
"Tidak !"
Sekonyong-konyong dari gunduk atas bukit itu terdengar
suara tertawa dingin. Ketiga orang itu terkejut. Memandang
kearah suara tawa itu, tampak wakil ketua Gedung Hitam
sedang tegak berdiri dengan mencekal seutas tali.
Cu Jiang mendengus geram. Pada saat dia hendak
bergerak tiba2 wakil ketua Gedung Hitam Itu membentak:
"Jangan bergerak!"
"Apa engkau hendak mengantar Jiwa?" teriak Cu Jiang
marah.
Wakil ketua Gedung Hitam itu tertawa mengekeh seraya
menggerak-gerakkan tali, serunya:
"Tali ini bersambung dengan sumbu obat peledak. Sekali
kutarik, kalian bertiga tentu hancur lebar!"
Cu Jiang bertiga menelan ludah. Jarak wakil ketua
Gedung Hitam dengan tempat mereka terpisah dua puluhan
tombak. Betapapun hebat ilmu ginkang seseorang, tetapi
tetap masih kalah cepat dengan gerakan menarik tali itu.
Cu Jiang rasakan dadanya seperti meledak. Dengan ilmu
langkah Gong gong-poh mungkin dia masih dapat terhindar
dari bahaya kehancuran. Tetapi Ang Nio Cu dan Thian put-
thou tentu hancur.
Tak ada lain daya dari ketiga orang itu kecuali saling
bertukar pandang.
"Li Ing Bo, apa maksudmu? " teriak Thian-put-thou.
Ternyata wakil ketua itu bernama Li Ing Bo. Dia
membalas dengan tawa gelak2, serunya:
"Kalian bertiga hendak kuantar naik ke akhirat!"
"Adik kecil, dengan kepandaianmu, mungkin engkau
dapat menghindar dan tempat ini . . . ," bisik Thian put
thou.
"Lo koko menganggap aku ini orang apa?" Cu Jiang
memberingas.
"Bukan begitu maksudku," kata Thian put thou, " perlu
apa kita bertiga harus mati? Bukankah masih ada seorang
yang kelak dapat membalaskan dendam darah ini?"
"Aku tak mau!"
"Adik kecil, saat ini bukan saat main keras kerasan
kepala . . . .
"Tidak! Kecuali kita bertiga sama2 ke luar!"
"Tak mungkin!"
"Taci tentu dapat keluar juga," kata Cu Jiang kepada
Ang Nio Cu.
"Hm, apakah lo kokomu ini juga tak mampu ?" dengus
Ang Nio Cu
"Kalau kita bergerak keluar dan lingkungan tempat ini,
mungkin dapat selamat. Tetapi bagaimana dengan jiwa
saudara Pek Liang..."
"Kecuali menemaninya mati, memang sudah tak ada lain
jalan lagi." kata Ang Nio Cu.
"Kalian hendak memberi pesan terakhir apa saja ?" seru
Li Ing Bo dengan keras.
"Orang she Li," teriak Cu Jiang dengan keras, "kalau aku
tak mati, kelak tentu akan kuratakan Gedung Hitam dan
takkan kutinggalkan seorangpun bahkan anjing dan ayam
pun akan kubunuh semua !"
Heh, heh, heh, sayang engkau sudah mati dulu !"
Cu Jiang kebingungan faham. Tiba2 Thian put-thou
berkata dengan segera. "Kita tak boleh menunggu kematian
dengan cara begini. Harus lekas mengambil putusan !"
Tiba2 saat itu sesosok bayangan muncul disamping Li
Ing Bo. Hai jelas si Jelita Ki Ing, puteri dari Tay hiap-tiong-
goan Cukat Giok yang belum tahu asal usul dirinya dan
mengira kalau ketua Gedung Hitam itu ayahnya.
"Susiok, berikan tali itu kepadaku !" tiba2 si Jelita berkata
kepada Li Ing Bo. Dengan menyebut Li Ing Bo sebagai
susiok atau paman guru, mungkin Li Ing Bo ini juga adalah
seorang murid dari Sam Bok thian cun.
"Budak, lekas engkau menyingkir !" bentak Li Ing Bo.
"Tidak, aku hendak membalas dendam mamaku."
"Apakah kalau aku bukankah sama saja..."
"Aku hendak menghancurkan Toan-kiam-jan-jin dengan
tanganku sendiri ..."
Merah mata Cu Jiang mendengar itu. Tak tahu dia
bagaimana caranya untuk memberi penjelasan kepada nona
itu. Jika benar2 nona itu turun tangan, ah, akibatnya tentu
mengerikan.
"Nona Ki Ing engkau bukan . . . ."
"Tutup mulutmu Toan kiam-Jan Jin ! Rasanya tak puas
hatiku kalau tak menghancurkan engkau dengan tanganku
sendiri !"
Mendengar itu akhirnya mau juga Li Ing Bo memberikan
tali kepada Ki Ing.
"Sayang tali itu terpendam dibawah tanah. Jika tidak
begitu, kita dapat memutuskannya," bisik Ang Nio Cu.
"Budak, mengapa tak lekas engkau tarik tali itu !" seru Li
Ing Bo.
Cu Jiang terkejut dan serentak dia hendak berteriak lagi
memberi penjelasan kepada Ki Ing. Tetapi sekonyong-
konyong nona itu lemparkan tali dan berseru gopoh: "Lekas
kalian lari !"
Sudah tentu Cu Jiang bertiga terlongong-longong
menyaksikan perbuatan yang tak terduga-duga itu. Adalah
Cu Jiang yang lebih dulu menyadari hal itu. Serentak dia
ayunkan tubuhnya seraya meneriaki kedua kawannya :
"Lekas lari !"
Sesaat ketiga orang itu melesat pergi terdengarlah suara
orang menguak yang mengerikan sekali. Kemudian disusul
dengan ledakan yang dahsyat. Tanah dan keping2 batu
muncrat berhamburan ke udara.
Bahan peledak itu telah meledak.
Sebenarnya Cu Jiang terus hendak enjot tubuh ke tempat
Li Ing Bo tetapi ledakan Itu telah membuatnya tertegun di
tempat. Sebuah pemandangan yang mengerikan serentak
menusuk hatinya.
Ki Ing mati dan Pek Liangpun hancur lebur. Tetapi pada
lain saat. Cu Jiang dapat melepaskan pikirannya dari
peristiwa itu dan cepat melambung ke atas bukit. Dia
hendak menghancurkan Li Ing Bo.
Tetapi wakil ketua dari Gedung Hitam itu sudah lenyap.
Yang tampak hanya si Jelita Ki Ing, menggeletak di tanah,
mata dan hidungnya mengucurkan darah.
Cu Jiang cepat lari menghampiri. Dilihatnya wajah nona
itu pucat seperti kertas, sinar matanya redup dan layu.
Tetapi napasnya belum putus. Jelita itu memandang Cu
Jiang, dari sudut bibirnya merekah senyum.
"Nona Beng Cu, Jangan kuatir, engkau tentu tertolong !"
"Apakah masih dapat ditolong ?" seru Thian-put thou
gugup.
Ang Nio Cu memeriksa seluruh jalan darah tubuh nona
itu. Lama baru dia berkata dengan nada tegang: "Dia
menderita luka-dalam yang parah sekali, tetapi denyut
jantungnya masih baik, Dia terkena pukulan ganas yang
istimewa. Aku tak dapat menolongnya."
"Dia telah menyelamatkan kita bertiga, tidak bisa
membiarkan dia mati begitu saja!" seru Cu Jiang.
Thian-put-thou mengeluarkan beberapa butir pil dan
diberikan kepada Ang Nio Cu: "Untuk mempertahankan
jiwanya, baru nanti kita berusaha untuk mengobati."
Ang Nio Cu pun lalu menyusupkan pil itu ke dalam
mulut Ki Ing.
"Ah, kenapa dia harus bertindak begitu ?" Thian-put-thou
menghela napas.
"Mungkin tak dapat melupakan rasa asmaranya terhadap
adik Jiang." kata Ang Nio Cu.
Cu Jiang tertegun, memandangnya. Kemudian
menengadah memandang kearah bukit, Ditempat Song Pek
Liang dikubur hidup hidup tadi, terbukalah sebuah lubang
seluas dua tiga tombak.
Sedih hati Cu Jiang sehingga ia menitikkan airmata.
Diantara empat pengawal dari Tayli yang diperintah Gong-
gong-cu untuk mengikutinya ke Tionggoan, dua orang yaitu
Ong Kian dan Song Pak Liang telah mati. Bahkan kematian
Song Pek Liang itu sangat mengerikan.
Cu Jiang serentak melesat ke tempat bekas ledakan itu
tetapi tubuh Song Pek Liang sudah hancur lebur tak dapat
dikumpulkan lagi. Setelah berdoa memanjatkan arwah
Song Pek Liang agar mendapat tempat yang layak di
nirwana, Cu Jiang kembali ke tempat Ki Ing.
"Adik Jiang, satu-satunya yang dapat menolong nona ini
ialah Kui jiu-sin-Jin di gunung Busan.
Cu Jiang mengangguk.
"Kecuali engkau sendiri, lain orang tak mungkin
diijinkan masuk ke lembah Mo jin-koh," kata Ang Nio Cu
pula.
"Baik, akulah yang akan kesana."
"Benar, memang kecuali engkau tak ada lain orang yang
mampu melindungi nona itu. Dia harus beristirahat. Kalau
sampai terganggu dan menderita goncangan hati, dia tentu
binasa. Aku akan menemanimu kesana," kata Thian put-
thou.
Kepada Ang Nio Cu, Cu Jiang mengatakan bahwa
apabila membawa Ki Ing ke Bu-san, perjalanan ke Keng san
tentu tertunda.
"Sudah tentu menolong jiwa orang lebih penting."
sambut Ang Nio Cu.
"Perjalanan ke Bu-san ini paling tidak tentu memakan
waktu setengah bulan. ai..."
"Aku ikut dan Ciok cianpwe tak perlu capek2 kesana."
"Celaka!" teriak Thian-put-thou, "kalau nganggur aku
tentu angot penyakitku, Lebih baik aku saja yang menemani
adik kecil ke sana !"
"Dia seorang gadis, kalian kaum lelaki bagaimana akan
merawatnya di sepanjang jalan nanti ?"
-oo0dw0oo-

Jilid 22
Thian-put-thou terbeliak. Dia benar2 terpojok. Memang,
bagaimana mungkin kalau dua orang lelaki harus merawat
seorang gadis dalam perjalanan nanti.
"Lo-koko, terpaksa engkau yang tidak ikut !" Cu Jiang
tertawa.
Thian-put-thou garuk2 kepalanya: "Ang Nio Cu tak
dapat menunjukkan diri secara terang-terangan. Dan
engkau, adik kecil, musuhmu tersebar dimana-mana. Boleh
dikata setiap jalanan engkau selalu terancam bahaya. Kalau
aku si tua ini ikut dalam perjalanan, tentu dapat diajak
berunding apabila menghadapi sesuatu bahaya !"
"Ya." akhirnya Cu Jiang menghela napas,"kalau begitu
kita harus pergi bertiga saja."
"Itulah yang tepat," Thian put-thou tertawa, aku akan
menyewa kereta dulu baru nanti kita berangkat."
Dia terus lari turun. Ang Nio Cu segera mengangkat KI
Ing dibawa masuk ke hutan untuk menunggu kereta.
Sedang Cu Jiang masih tetap berjaga diatas gunduk tanah
untuk mengawasi apabila pihak Gedung Hitam hendak
melakukan serangan.
Sejam kemudian Thian-put thou kembali dan membawa
mereka turun bukit. Ternyata dia sudah mempersiapkan
kereta Ang Nio Cu dan Ki Ing disuruh masuk, sedang Cu
Jiang dan Thian put-thou menyaru sebagai ayah dan anak
yang mengantar kereta.
Karena naik kereta mereka terpaksa harus mengambil
jalan ke kota Hu-yang baru kemudian menuju ke barat.
Pada hari kedua menjelang petang, Poan toanio, Ki Sian
Hong dan Ko Kun muncul menyambut. Cu Jiang
menceritakan semua peristiwa yang telah terjadi. Ketiga
orang itu mengucurkan airmata mendengar nasib yang
diderita Song Pek Liang.
Akhirnya diputuskan, Poan toanio bertiga supaya
menunggu dan bersembunyi sampai nanti Cu Jiang sudah
kembali dari Busan baru bergerak lagi untuk menolong
kongcu.
Sebenarnya Cu Jiang memang cemas akan keselamatan
puteri Tayli itu, tetapi karena mengingat jiwa Ki Ing itu
perlu diselamatkan, terpaksa ia harus menunda dulu
rencananya untuk menggempur Gedung Hitam.
Mereka berpisah. Cu Jiang dan rombongannya
melanjutkan perjalanan lagi. Sepanjang perjalanan tak
terjadi suatu apa.
Setelah tiba di Kui-ciu, mereka naik perahu dan setelah
tiba di daerah gunung, mereka menempuh perjalanan lagi
dengan jalan kaki. Selama perjalanan itu, Ang Nio Cu yang
bertugas merawat Ki Ing.
Waktu mendaki gunung merekapun tak mengalami
kesukaran apa2. Dan kurang menggembirakan luka Ki Ing
atau namanya yang aseli Cukat Beng Cu, tak berobah
memburuk tetapi tetap begitu saja.
Keadaan di lembah Mo-Jin kok tetap seperti dulu.
Mereka berhenti di mulut lembah dan Cu Jiang lantas
berseru mohon menghadap pemilik lembah.
Tak berapa lama putera dari Kui-Jin sin-jin yakni Bun
Cong Beng keluar. Cu Jiang segera mengatakan maksud
kedatangannya.
Sambil menjabat tangan Cu Jiang. Cong Beng berkata:
"Cu-heng, engkau tentu sudah tahu bagaimana perangai
ayahku yang aneh itu. Dia tak mau bertemu dengan
manusia, apalagi diminta mengobati seorang anak
perempuan. Tetapi karena yang minta Cu-heng, rasanya
tentu lain. Harap tunggu sebentar, aku hendak memberi
laporan kepada ayah."
"Sebenarnya memang berat rasa hatiku untuk
mengganggu ayahmu tetapi apa boleh buat. Soal ini
memang penting sekali, harap Bun-heng dapat membantu."
"Ah. tentu," kata Cong Bang. "lalu bagaimana tentang
permintaan ayah tempo hari ...."
"Ah. syukur aku dapat melaksanakannya." kata Cu
Jiang. Setelah ia teringat akan peristiwa ketua Hoa-gwat-
bun Tiam Su Nio.
Seperminum teh lamanya, Kui-jiu-sin-jin dan anaknya
keluar. Cu Jiang dan kawan-kawannya Bergegas
menghaturkan hormat..
Memandang ke arah Thian-put-thou dan Ang Nio Cu,
Kui jiu sin jin berkata: "Karena urusanmu, aku tak dapat
mengatakan apa2 lagi."
Cu Jiang menjura dan menghaturkan terima kasih.
Kemudian memandang kepada Ki Ing, tabib sakti itu segera
suruh membawanya masuk. Ang Nio Cu meletakkan Ki Ing
di muka Kui-jiu-sin-jin.
Kui jiu sin jin berjongkok dan memeriksa beberapa jenak
lalu berbangkit lagi, ujarnya:
"Telat setengah hari, tak mungkin ditolong!"
"Tolong tanya, lo cianpwe, dia terkena ilmu pukulan
apa?"
"Coat bun ciang!"
"Coat ban ciang?" Cu Jiang mengulang.
"Ya. Ilmu pukulan itu amat beracun sekali. Khusus
untuk melukai urat2. Apabila terkena tiada dapat tertolong.
Beruntung aku masih dapat menolongnya."
"Mohon locianpwe suka menolongnya."
"Perlu beristirahat selama sepuluh hari baru dapat
sembuh."
"Ini ...."
"Dia seorang gadis, jika tinggal di dalam lembah, kurang
leluasa. Tetapi kalau tinggal di luar lembah dikuatirkan
terjadi hal2 yang tak diinginkan . . ."
"Apakah locianpwe mengijinkan kalau taciku ini
menyertainya tinggal dalam lembah?" tanya Cu Jiang.
Kui jiu sinjin kerutkan dahi, akhirnya dengan suara sarat
ia mengiakan.
"Taci," berseru Cu Jiang kepada Ang Nio Cu, "apakah
taci tak keberatan?"
"Tidak."
"Terimalah lebih dulu terima kasihku."
"Jangan berlebih-lebihan adik Cu." seru Ang Nio Cu.
"Cu-heng, mari kita masuk dan bercakap-cakap sambil
minum hidangan teh." kata Cong Heng.
"Maaf, Bun-heng, mungkin aku tak dapat memenuhi
permintaanmu."
"Kenapa? Apakah Cu-heng tak mau masuk ke dalam
lembah?"
"Aku masih mempunyai urusan penting yang belum
selesai. Selama sepuluh hari ini, biarlah kugunakan untuk
menyelesaikan hal itu."
"Urusan apa saja?"
"Aku hendak menuju ke markas besar perkumpulan
Thong thian kau di Pek teshia."
"Seorang diri?"
"Ya."
"Tentu harus pergi?"
"Karena melakukan perintah suhu. Kalau tak lekas
dilaksanakan dikuatirkan akan timbul perobahan2 yang tak
diinginkan."
"Ah, kalau begitu sungguh sayang sekali."
"Maaf, biarlah lain kali saja aku pasti akan menemani
Bun heng."
Setelah itu, Ang Nio Cu mengutarakan juga
kekuatirannya tentang rencana Cu Jiang yang hendak
menuju ke markas besar Thong thian kau seorang diri.
"Menetapi kewajiban sebagai seorang ksatrya, tiada lain
jalan kecuali harus melaksanakan apa yang telah
disanggupkan."
"Sepuluh hari kemudian, dimana kita akan bertemu?"
tanya Ang Nio Cu.
"Bagaimana kalau di gunung Keng-san?" kata Cu Jiang.
"Thong thian kau merupakan sarang dari Iblis2 yang
ganas, apakah engkau .... tidak berbahaya seorang diri ke
sana?"
"Jangan kuatir, taci, aku dapat menjaga diri dengan
hati2."
"Jika memang begitu, baiklah, silahkan engkau
berangkat." akhirnya Ang Nio Cu melepas.
Tiba2 Kui jiu sinjin mau memberi nasehat kepada Cu
Jiang:
"Nak, dunia persilatan itu penuh dengan Iblis yang jahat.
Hanya dengan mengandalkan kepandaian saja tak cukup.
Yang penting engkau harus berhati-hati dan waspada."
Cu Jiang menyatakan terima kasih sekali atas kebaikan
manusia aneh itu.
"Silahkan berangkat, dan jangan kuatir, aku akan
berusaha untuk menolong nona itu, " kata Kui jiu-sin-jin.
Kemudian manusia aneh itu berpaling kearah Thian put
thou, serunya: "Apakah engkau suka menjadi tetamu dari
lembah ini?"
Thian put thou tertawa gelak2, serunya: "Sudah tentu
aku senang sekali tetapi maaf, aku terpaksa harus
menemani adik kecil itu agar setiap waktu yang diperlukan
dapat memberi bantuan."
"Jika begitu, sampai jumpa dan selamat jalan." habis
berkata Kui jiu sin jin terus masuk ke dalam lembah. Ang
Nio Cu menggendong Ki Ing mengikuti masuk. Demikian
pula Bun Cong Beng.
"Lo koko, apakah engkau hendak menemani aku?" tegur
Cu Jiang kepada Thian put thou.
"Jika engkau menolak, kita mengambil jalan sendiri-2
saja."
"Ah, tidak, bukan begitu maksudku."
Begitulah keduanya segera menuruni gunung.
Disepanjang jalan, mereka tak banyak bicara. Cu Jiang
terkenang akan semua peristiwa yang dialaminya di gunung
Bu-san dahulu. Diam2 ia menghela napas.
Thian-put thoa deliki mata: "Adik kecil jarang sekali
kudengar engkau menghela napas !"
Cu Jiang tertawa tawar: "Kata orang, dunia persilatan itu
merupakan laut bahaya. Setiap hari gelombang bahaya itu
bergolak dalam dua belas jam."
Thian-put thou gelengkan kepala. "Adik kecil, mengapa
tiba2 engkau menjadi dewasa ?"
"Hanya merasakan kesan2 selama ini saja."
"Benar, adik kecil. Ang Nio Cu yang begitu ngotot
hendak memperjodohkan engkau, tak terduga dia sendiri
jatuh cinta..."
"Lo-koko tahu hal itu?"
"Ang Nio Cu sendiri yang mengatakan kepadaku."
"Hah !"
"Adik kecil, apakah sampai sekarang engkau belum
pernah melihat wajah yang sebenarnya dari Ang Nio Cu ?"
"Belum."
"Dia sangat memperhatikan sekali kepadamu. Ada
kalanya sampai berlebih-lebihan."
"Berlebih-lebihan ?"
"Ya. Orang yang diluar persoalan, tentu dapat melihat
jelas. Pada waktu aku seperjalanan dengan dia, paling
sedikit dia tentu menyebut namamu sampai sepuluh kali
dengan nada yang mesra. Sebagai sosok wanita yang
dianggap momok aneh oleh kaum persilatan, itulah dia
seorang wanita yang mengerikan. Tetapi tiap saat dia
menyebut namamu, sering terlepas kata2 keluhan yang
bernada pernyataan hatinya kepadamu. Sudah tentu hal itu
tak luput dari pengawasanku."
"Bagaimana menurut pengawasan lo-koko?"
"Dia sangat cinta kepadamu."
"Ah, benar2 suatu hal yang mengherankan. Mungkin
usianya terpaut lebih dari separoh umurku."
"Sukar di kata. Asmara itu memang ajaib. Kadang
memang sukar diukur dengan nalar biasa."
"Dalam kata-katanya dia pernah kelepasan omong," kata
Thian-put-thou pula.
"Soal apa ?"
"Dia menyatakan bahwa tiga kali dalam penitisan
perjodohan itu telah ditentukan, siapa tahu ternyata sampai
sekarang tetap hampa . ."
"Apakah dia bukan maksudkan Ho Kiong Hwa ?"
"Mungkin begitu tetapi mungkin bukan begitu. Karena
waktu mengatakan begitu dia hanya seorang diri, dan aku
secara kebetulan saja mendengarnya."
Cu Jiang mengangguk: "Biarlah begitu. Tetapi aku hanya
mempunyai perasaan menghormat jenasah orang tuaku."
Saat itu mereka sudah tiba dibawah bukit dan mendengar
suara orang bercakap-cakap.
"Peraturan perguruan tak boleh dirusak !"
Kemudian terdengar suara seorang wanita yang bernada
rawan: "Congkoan, karena urusan sudah begini, muridpun
taat pada perintah..."
Cu Jiang dan Thian put thou terkesiap. Setelah sejenak
bertukar pandang, keduanya pun segera menuju ke tempat
suara itu.
Tampak ditengah hutan lebat, seorang dara yang cantik
tengah berlutut di tanah. Disamping tegak seorang pemuda
yang cakap dengan wajah membesi.
Tak berapa jauh dari tempat dara baju hijau itu. Juga
terdapat seorang dara yang dandanannya mirip seorang
puteri, mukanya memakai kain cadar.
Cu Jiang makin terkejut, Ia seperti kenal dengan mereka.
Agaknya dara2 dari istana Sie-li-kiong, Melihat kearah dara
baju hijau yang sedang berlutut itu. Cu Jiang segera makin
yakin bahwa dugaannya itu memang benar.
Dara itu tak lain adalah dara yang pernah diperintah Bu
san Sin-li untuk memikatnya masuk ke dalam istana Sin-li
kiong tempo hari.
Apakah yang telah terjadi ditempat itu. Siapakah
pemuda pelajar yang cakap itu ?
"Geng Siu Yin," seru dara istana itu, "karena engkau
telah berhianat melanggar peraturan perguruan, walaupun
aku kasihan kepadamu tetapi aku tak dapat berbuat apa2
lagi.
Dara baju hijau yang disebut dengan nama Ceng Siu Yin
Itu. mengertek gigi lalu berseru:
"Congkoan, murid hendak mengajukan sebuah
permohonan terakhir.. ."
"Apa ?"
"Harap lepaskan dia !"
"Tidak bisa ! Tidak seharusnya engkau membawanya ke
atas gunung sehingga membocorkan rahasia perguruan
kita."
"Congkoan, murid bersumpah bahwa dia tak tahu apa2."
"Yin-moay," tiba2 pemuda pelajar itu berteriak, "tak
perlu engkau mintakan ampun jiwaku. Jika engkau mati
akupun tak ingin hidup lagi !"
Cu Jiang dapat menduga tentang peristiwa itu. Tentulah
dara yang bersama Ceng Siu Yin itu telah diutus turun
gunung untuk melakukan sebuah tugas.
Dia berkenalan dengan pemuda itu. Tetapi menurut
peraturan istana Sin-li-kiong, setiap murid yang turun
gunung, lebih dulu harus minum pil beracun. Jika tidak
pulang pada waktunya, racun itu akan bekerja dan matilah
dia. Cu Jiang tahu hal itu atas keterangan Tang Yin dulu.
Dia lalu membawa kekasihnya naik gunung, jelas Siu
Yin telah melanggar peraturan Istana.
Dia harus menerima hukuman yang berat. Tetapi dia
merasa tergerak hatinya melihat tekad dari sepasang muda-
mudi yang telah memadu kasih itu.
Sejenak memandang kearah pemuda pelajar itu, kembali
dara istana itu berkata.
"Siu Yin, bagaimana dengan hasil tugasmu untuk
melakukan penyelidikan itu ?"
"Toan-kiam-jan-jin tidak membawa pergi Tang Yin Yin."
sahut Siu Yin.
Cu Jiang terkejut. Ternyata Siu Yin turun gunung itu
karena diperintah untuk menyelidiki jejaknya. Diam2 ia
menghela napas. Ternyata tindakannya untuk menolong
Yin Yin, menghapus racun dengan mustika Thian-ju cu
sehingga Yin Yin dapat lolos dari istana Sin-li-kiong, belum
diketahui oleh pihak Sin li kiong.
"Apakah engkau dapat menemukan mayatnya ?" tanya
dara istana itu pula.
"Tidak."
"Lalu bagaimana engkau dapat memastikan bahwa dia
tak dibawa pergi Toan-kiam-janjin ?"
"Karena selama kuselidiki, Toan-kiam-Jan-jin itu
kemana-mana hanya seorang diri saja."
"Adakan kemungkinan dia tak menyembunyikan Yin
Yin ?"
"Murid telah menyelidiki ke desa tempat kelahiran Yin
Yin. Menurut keterangan orang desa di situ. memang pada
suatu hari pernah muncul seorang gadis. Dia mondar-
mandir di desa itu tetapi tak pernah bicara dengan orang.
Tak lama gadis itu terus bunuh diri dengan membuang diri
ke dalam sungai."
Diam2 Cu Jiang mengangguk. Ia tahu bahwa peristiwa
itu hanya cerita yang dirangkai Yin Yin untuk menutupi
keadaannya.
"Benarkah itu?"
"Benar."
"Baik, lalu apakah engkau masih mempunyai pesan yang
hendak engkau tinggalkan lagi?"
"Harap lepaskan dia!"
"Soal itu tak bisa."
"Congkoan, dia tak berdosa apa2."
"Dirinya yang melakukan sendiri tak dapat menyesali
lain orang." Habis berkata dia berpaling kepada pemuda
pelajar itu, serunya:
"Sebutir pil ini, dapat membantu engkau tak merasakan
penderitaan apa2. Jika dalam kehidupan di dunia kalian tak
dapat terangkap dalam perjodohan, kelak di akhirat tentu
kalian dapat melaksanakan perjodohan itu. Ingat, setengah
jam kemudian, segeralah kalian gali liang untuk tempat
peristirahatan kalian selama-lamanya!"
Habis berkata dia terus melemparkan pil itu yang
disambuti pemuda pelajar lalu tanpa ragu2 terus ditelannya.
"Engkoh Tio, aku berdosa kepadamu!" seru Siu Yin
dengan pilu.
"Yin-moay, jika hidup tak dapat berkumpul biarlah kalau
mati kita berada dalam satu liang! " sahut pemuda itu.
Kedua anak muda itu tak mengucurkan air mata tetapi
derita perasaan hati mereka memang sangat mengibakan
sekali.
Dara istana yang berpangkat congkoan atau pengurus
istana Sin-li-kiong itu berputar tubuh terus melesat lenyap.
Pemuda pelajar itu mengangkat tubuh Siu Yin dan
membelainya dengan pilu:
"Adik Yin, besarkanlah hatimu. Ini memang sudah
takdir kita, kita harus menerimanya. Kelak dalam penitisan
yang akan datang, kita tentu dapat bersatu."
Rebahkan kepalanya di dada sang kekasih, Siu Yin
berkata sedih: "Engkoh Tio, akulah yang bersalah, tak
seharusnya aku... menerima cintamu."
"Yin-moay, aku tak menyesal karena harus mati. Dua
bulan kita berkumpul rasanya melebihi lain orang yang
berkumpul seumur hidup."
"Engkoh Tio, jika tahu keadaan bakal begini, dan aku . .
."
"Yin moay, waktu setengah jam itu sangat singkat sekali.
Engkau lihat bagaimana keadaan tempat ini sebagai tempat
peristirahatan kita selama lamanya."
"Mari. . ." kedua sejoli itu bergandengan tangan dan
ayunkan langkah tinggalkan tempat itu.
Cu Jiang menghela napas.
"Lo koko," kalanya, "cinta mereka benar2 sekokoh baja.
Pemuda itu sungguh hebat, dia memandang kematian
seperti pulang saja .. ."
"Aku tak mengerti maksudmu?"
Tiba2 Cu Jiang teringat akan janjinya kepada Bu-san Sin-
li bahwa dia takkan membocorkan rahasia istana Sin-li
kiong kepada siapapun juga. Maka kata2 yang sudah tiba
dimulutnya, ditelannya kembali.
"Mari kita ikuti mereka," akhirnya ia alihkan
pembicaraan.
"Adik kecil, mereka menyebut-nyebut namamu dengan
dikaitkan peristiwa melarikan seorang murid," kata Thian-
put-thou.
"Itu hanya salah faham tetapi maaf, aku sudah berjanji
dan tak dapat memberitahu soal itu."
"Baik. Tetapi apa guna kita mengikuti kedua kekasih itu?
Apakah kita hendak melihat mereka mati ?"
Sejenak keliarkan pandang kesekeliling penjuru. Cu
Jiang berbisik-bisik: "Aku mempunyai akal untuk menolong
mereka."
"Sungguh !"
"Masakah aku bergurau."
Mereka terus mengikuti dan ternyata kedua pasangan itu
menuju ke gua batu yang pernah dipakai Thian-put thou
dan Cu Jiang tempo hari.
"Memang tempat itu bagus sekali," kata Cu Jiang.
"Lalu bagaimana engkau hendak menolong mereka?"
tanya Thian-put-thou.
"Lo koko jangan campur tangan, lihat sajalah nanti."
Tiba di mulut gua, tiba2 sepasang kekasih itu tahu kalau
ada orang datang. Mereka keluar dan menegur: "Siapa itu?"
"Aku, orang yang kebetulan jalan lewat gunung ini."
sahut Cu Jiang. Memang saat itu dia dan Thian put thou
menyaru menjadi orang biasa, kusir kereta.
"Engkoh Tio, suruh mereka pergi," seru Siu Yin dari
dalam.
"Kuminta kalian segera pergi." kata pemuda pelajar itu
kepada Cu Jiang berdua.
"Tetapi hari sudah tengah petang aku dan ayahku ini
butuh bermalam di gua ini. Sayang telah kalian diami, ini
...."
"Maaf. terpaksa harus minta saudara berdua supaya cari
lain tempat saja."
"Gunung ini banyak harimau dan serigala. Kalau tidak
tidur di tempat ini tentu berbahaya." bantah Cu Jiang.
Pemuda itu berpaling ke dalam, serunya:
"Yin-moay, memang nasib kita sial. Bahkan hendak
moksha saja kita tak dapat tempat yang tenang."
"Waktu sudah mendesak sekali. Ke mana lagi kita harus
cari tempat? Kita tutup pintu gua saja!"
Cu Jiang sengaja deliki mata dan berseru: "Tuan tadi
mengatakan moksha?"
"Ya, apa engkau tahu artinya moksha itu?"
"Mungkin aku salah dengar . . ."
"Tidak, memang moksha!"
"Hm, pernah kudengar cerita paderi dari kuil di desaku
bahwa moksha itu artinya pulang ke Se-thian (akhirat).
Alam telah menciptakan hubungan yang sungguh tak
karuan, sungguh kacau. . ."
"Tak peduli keruan atau tidak keruan, silakan saudara
berdua pergi. Maaf, gua ini tak dapat kuberikan kepada lain
orang."
"Tidak bisa! " Cu Jiang berkeras.
"Apa yang tidak bisa?"
"Bahwa tuan tadi mengatakan moksha, jelas tentu
mencari kematian. Ujar orang tua mengatakan melihat
kematian tidak menolong, berarti dosa . . ."
"Silakan pergi, aku tak mempunyai waktu untuk adu
lidah. Yin-moay, kita . . ."
"Tunggu dulu! Mengapa kalian, sedikitpun tak punya
rasa kemanusian?"
"Apa maksudmu?"
"Kalau kalian memang hendak mencari kematian,
mengapa harus memilih segala macam cara. Mengapa
harus bersembunyi tak mau didekati orang? Kalau aku dan
ayahku sampai dimakan harimau, apakah aku takkan jadi
setan penasaran?"
Wajah Siu Yin mulai pucat dan menjerit kesakitan yang
hebat, ia berseru tersendat-sendat: "Engkoh Tio . . . aku . . .
tak . . . kuat ..."
Pemuda itu cepat memeluknya: "Yin-moay, mari kita ke
puncak di sebelah depan itu. Kita cari lain tempat dan
biarlah gua ini ditempati mereka."
"Baik."
"Biar kupanggulmu, Yin-moay." kata pemuda itu terus
memeluk tubuh kekasihnya lalu dibawa lari. Melihat
gerakannya dia tentu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi
juga.
Cu Jiang mengangguk. "Lo koko, hati budi pemuda itu
baik sekali."
"Hm, jangan menyiksa orang, lekas engkau tolong
mereka!"
Keduanya lalu melesat. Menjelang petang mereka tiba di
karang buntung. Sambil membopong kekasihnya, pemuda
itu selangkah demi selangkah menghampiri ke tepi karang.
"Tunggu, tunggu! " teriak Cu Jiang.
Pemuda itu terkejut dan berputar tubuh. Dia terkejut lalu
membentak keras2:
"Oh, kiranya sahabat ini orang persilatan. Apa
maksudmu hendak mempermainkan aku?"
"Sekarang aku sudah sadar, Bahwa kalau melihat orang
menderita tak menolong, itu berdosa. Maka aku buru2
mengejar kemari, " Cu Jiang tertawa.
"Sahabat sengaja hendak mencari-cari alasan untuk
bertengkar?" kata pemuda itu dengan nada bengis.
"Betapapun buruknya tetapi hidup itu lebih baik dari
mati. Kalian masih muda, mengapa sependek itu pikiran
kalian?"
Pemuda itu berputar tubuh dan lanjutkan langkah
menuju ke tepi karang buntung. Cu Jiang melesat
menghadangnya.
"Kongcu, mengapa pikiran kongcu begitu gelap?"
serunya.
Melihat gerakan Cu Jiang, pemuda itu terkejut, Siu Yin
yang masih dalam pondongannya makin tampak pucat,
keringatnya bercucuran deras. Rupanya dia tengah
menderita kesakitan hebat.
Cu Jiang mengangguk: "Rupanya nona itu menderita
keracunan yang bersifat pelahan bekerjanya."
Pemuda itu merentang mata dan berseru gemetar:
"Sahabat, engkau dapat mengetahui?"
"Tentu, " sahut Cu Jiang, "kalau tak tahu bagaimana
dapat mengatakan?"
"Sahabat, apakah engkau dapat menolongnya?"
"Hm, soal ini bukan main-main."
"Sahabat, bukan hanya dia, aku sendiri pun termakan
racun ganas, tetapi..."
"Tetapi bagaimana ?"
"Katanya, racun itu tak dapat diohati siapapun juga."
"Bagaimana kalau kucobanya?" Pemuda itu memandang
Cu Jiang dengan pandang bersangsi. Wajah pemuda yang
biasa saja itu apakah mampu untuk menolongnya.
"Letakkan dia" tiba2 Cu Jiang berseru.
"Jika sahabat tak dapat menolongnya ?"
"Mudah. Engkau boleh lanjutkan keputusan untuk terjun
kebawah jurang itu."
"Kalau racun dalam tubuhku sudah bekerja sehingga aku
tak dapat berjalan?"
"Aku bersedia unjuk melakukan pesanmu apa saja."
"Benarkah itu ?"
"Ucapan seorang lelaki seperti kuda lepas dari kandang."
"Baik," pemuda itu segera meletakkan gadis kekasihnya.
Wajah pemuda itu sendiripun mulai berobah cahayanya.
Rupanya racun dalam dirinya juga sudah mulai bekerja.
"Engkoh Tio, apakah aku harus mengalami penderitaan
yang lebih lama lagi ?" gumam Sio Yin.
"Yin-moay, mungkin Tuhan bermurah hati untuk
menolong kita."
Cu Jiang mengeluarkan mustika laba2 pemberian Bu-san
Sin li. Ia menjepitnya dengan kedua jari dan berseru:
"Kulumlah dalam mulut nona, tentu sembuh."
Sepasang mata Sin Yin yang sudah redup tiba2
membelalak lebar2 dan serentak timbullah pula tenaganya.
Dia bergeliat bangun seraya berseru gemetar:
"Mustika laba2 !"
"Nona kenal barang ini ?"
"Engkoh Tio, kita... ketolongan !" seru Siu-Yin dengan
kegembiraan yang meluap-luap.
"Benarkah Itu. Yin-moay ? Oh, Tuhan terima kasih !"
Kemudaan Siu Yin memandang lekat2 pada wajah Cu
Jiang. Beberapa saat kemudian, dengan nada gemetar ia
berseru: "Bukankah anda ini Toan kiam jan-jin ?"
Cu Jiang mengangguk.
Setiap orang persilatan tentu kenal akan nama Toan
kiam jan-jin. Maka menggigillah pemuda pelajar itu demi
mendengar nama itu.
"Anda .. . anda ... Toan kiam Jan-Jin ? Ah, sudah lama
aku mengagumi nama anda, sayang selama itu tak ada
rejeki untuk bertemu. Ah, maafkan kalau tadi aku berlaku
kurang hormat.
"Sudahlah, rupanya kita dapat bertemu ini karena
memang berjodoh," kata Cu Jiang. Ia segera menyerahkan
mustika laba2 itu dan dengan tangan gemetar Siu Yin
menyambut lalu dimasukkan ke dalam mulut.
Hanya dalam beberapa jenak saja. wajahnya yang sudah
pucat itu, pelahan-lahan berobah merah segar lagi.
Beberapa saat kemudian Siu Yin dapat berdiri,
memuntahkan mustika itu dan disusupkan ke-mulut
kekasihnya.
Setelah beberapa waktu, pemuda itu menyerahkan
kembali mustika kepada Cu Jiang. katanya: "Namaku Tio
Ki Hung, selama hidup aku pasti takkan melupakan budi
anda."
"Ah, tak perlu saudara mengingat pertolongan sekecil
ini," kata Cu Jiang.
Diam2 ia memperhatikan sepasang kekasih yang penuh
kesetiaan itu. Ia tahu bahwa Siu Yin usianya sudah
setengah abad umurnya. Hanya karena mengandalkan obat
Giok-sik-leng-lu, maka dia dapat mempertahankan
kecantikan seperti masa remaja.
Sedangkan Tio Ki Hong lebih kurang baru berumur dua
puluhan tahun. Apakah mereka memang sudah ditakdirkan
menjadi jodoh ataukah karena kekhilafan.
Bagaimana reaksi pemuda itu apabila mengetahui
keadaan Siu Yin yang sebenarnya?
Walaupun pikirannya berkata begitu tetapi Cu Jiang tak
mau mengatakan apa2.
"Sauhiap, persoalan Tang Yin Yin yang meloloskan diri
dari Sin li kiong itu..."
"Dia mati secara mengenaskan sekali."
"Tidak, dia tidak mati."
"Apa? Dia tidak mati ?"
"Tidak, Dia masih hidup dengan selamat. Akulah yang
menolongnya dengan mustika ini.
"O, mengapa orang2 di desanya mengatakan kalau dia
bunuh diri ke dalam sungai."
"Dia memang pintar. Siasat itu kena sekali "
"Dimana dia sekarang?"
"Ah, aku sendiri tak tahu."
Saat itu hari sudah gelap, Cu Jiang menganjurkan supaya
kedua kekasih itu segera tinggalkan tempat itu. Demikian
setelah menghaturkan terima kasih, Tio Ki Hong dan Siu
Yin segera mohon diri.
"Lo-koko, bagaimana kita sekarang ?" tanya Gu Jiang.
"Lanjutkan perjalanan lagi !" seru Thian-put thou.
Kedua orang itupun segera lari menuruni puncak dan
menuju ke jalan besar.
Selama dalam perjalanan ia tak henti-hentinya Cu Jiang
menyatakan kecemasannya terhadap diri puteri Tayli.
"Adik, menurut pendapatku, untuk saat ini lebih baik
jangan engkau menuju ke Pek-te shia." tiba2 Thian put thou
berkata.
"Mengapa?"
"Segala persoalan itu ada urutan tingkatannya. Yang
mana harus cepat2 dikerjakan dan yang mana boleh
pelahan sedikit. Thong-thian-kau takkan pindah tempat
sedang keselamatan kongcu menguatirkan.
Lebih dulu harus menolong kongcu itu ke Gedung
Hitam. Dikuatirkan nanti timbul lain2 perobahan yang tak
kita inginkan."
"Tetapi aku sudah berjanji dengan Ang Nio Cu . . ."
"Hm, bukankah kalian sudah saling berjanji akan
bertemu di gunung Keng-san? Bukankah hal itu takkan
terganggu?"
Cu Jiang kerutkan kening merenung, Akhirnya Ia dapat
menyetujui pendapat Thian-put-thou untuk menuju ke
Keng-san.
^0dooow0^

Demikian pada hari itu mereka tiba di kota Kui-cia.


Setelah beristirahat makan di sebuah kedai di luar kota,
tiba2 Cu Jiang menanyakan apakah dalam kota Kui-cia itu
tak ada cabang perkumpulan Thong-thian-kau.
"Hm, ya."
"Karena lo ko-ko pernah mencuri pil Hoa-tok tan dari
Ngo tok mo. tentulah lo koko paham keadaan markas
cabang itu."
"Tentu."
"Kurasa aku hendak menyelesaikan Iblis Ngo tok mo
sekalian."
"Baik, karena engkau membekal mustika yang dapat
mengobati racun, maka dapatlah engkau menghadapinya."
Tiba2 jongos menghampiri dan berkata bisik2:
"Apakah tuan berdua tetamu dari lain daerah?"
"Ya, kenapa?"
"Lebih baik tuan segera tinggalkan tempat ini."
"Mengapa?"
"Kota ini sedang diserang wabah penyakit. Tiap hari
tentu jatuh korban."
"Apa ? Wabah penyakit ?"
"Ya, mengerikan sekali. Warung inipun kami bersiap-
siap hendak menutupnya dalam dua tiga hari lagi."
"Terima kasih."
Setelah jongos pergi, Thian-put-thou kerutkan dahi,
katanya: "Aneh, aneh, ditempat ini tidak di serang banjir
atau kebakaran maupun peperangan, mengapa terjangkit
wabah penyakit menular ?"
"Lebih baik menyingkir saja daripada harus menerjang
bahaya," kata Cu Jiang.
"Tidak, disini tentu ada apa-apanya . ."
"Ada apanya ? Apakah maksud lo ko-ko, wabah itu tidak
wajar dan buatan manusia ?"
"Benar, dalam dunia persilatan memang tak jarang hal
itu terjadi."
"Tetapi apa tujuan orang hendak mencelakai jiwa
manusia yang tak berdosa ?"
"Mungkin jiwa, harta benda atau mungkin untuk sesaji
sembahyangan."
Tiba2 diluar jalan tampak beratus-ratus rakyat, tua
muda, besar kecil, laki perempuan berjalan berduyun-duyun
dalam keadaan yang kacau balau.
"Apakah yang telah terjadi ?" Thian-put-thou memanggil
seorang jongos dan bertanya.
"Selain Malaekat-hidup yang hendak menyembuhkan
wabah penyakit itu, apa lagi.. .."
"Malaekat hidup ?"
"Ya."
"Bisa mengobati wabah penyakit ?"
"Bukan saja bisa mengobati, pun dapat melindungi. Asal
orang mau minum air suci dari Malaekat-hidup itu,
Jiwanya tentu selamat."
"Dimana Malaekat hidup itu ?"
"O, di biara Sian-yu kwan lebih kurang sepuluh li dari
sini."
"Bagaimana wajah Malaekat-hidup itu?"
"Ini .. . tak ada orang yang pernah melihatnya? Yang
minta air-jimat, cukup datang menghadap dan
menyerahkan uang sembahyangan. Heh heh... tak mungkin
Malaekat-hidup itu akan menipu. Kabarnya pagi2 tadi
seorang bernama Ma Han Lim berasal dari kota. pura2
menyaru sebagai orang miskin yang hendak mohon air-
Jimat. Dia dikenali oleh Malaekat hidup dan seketika rubuh
mati..."
"O. sudah berapa lama Malaikat hidup itu muncul ?"
"Rasanya belum lama."
"Baik," setelah membayar rekening, Cu Jiang dan Thian-
put thou segera melangkah keluar, Thian put-thou
mengajak Cu Jiang untuk menyaksikan keramaian itu.
"Apakah lo-koko hendak campur tangan?"
"Tidak belum semudah begitu. Kukira Malaekat hidup
itu tentulah perbuatan dari kaum Thong thian kau. Mereka
hendak memperdayai rakyat, mengumpulkan harta benda
dan pengikut ?"
"Mungkinkah begitu ?" Cu Jiang menegas.
"Jangan lupa bahwa iblis Ngo-tok-mo itu seorang ahli
penyebar racun yang lihay."
"O," tiba2 Cu Jiang teringat. Keduanya segera ayunkan
langkah menuju ke biara Sian-yu-kwan. Dimuka biara itu
berkerumun penuh sesak dengan orang2. Suasananya
seperti pasar malam.
Cu Jiang dan Thian-put-thou berhasil menyusup ke dekat
pintu biara. Di muka pintu dijaga empat orang imam yang
mencegah orang berdesak-desakan hendak masuk. Orang2
itu harus masuk satu persatu.
Setelah beberapa waktu menunggu akhirnya Cu Jiang
mendapat giliran masuk. Keempat imam itu
memandangnya lalu menegur.
"Apa tidak membawa uang lilin?"
"Ada," kata Cu Jiang. Dia segera dipersilahkan masuk.
Cu Jiang ikut dalam urut-urutan orang yang masuk ke
dalam ruang besar. Sebuah meja sembahyangan yang besar,
diterangi dengan lilin yang terang benderang.
Orang yang hendak minta air mantra harus berlutut
memberi hormat lalu menyerahkan uang dan imam yang
menjaga di pinggir meja memberikan selembar kertas hu
(mantra) warna kuning.
Menunggu hampir setengah jam, baru Cu Jiang bisa
berada nomor dua dari orang yang paling depan. Di
depannya itu seorang tua perut gendut, pakaian bagus. Dia
tampaknya tegang sekali. Cu Jiang hanya terpisah tiga
langkah dari orang tua gendut itu.
Begitu tiba di muka meja, orang itu terus berlutut dan
berkemak kemik memanjatkan doa: "Hamba Ut Toa Ki,
mohon dengan sangat agar Sin-sian (malaekat) menurunkan
belas kasihan untuk menyembuhkan lima orang keluarga
hamba yang sakit."
Tiba2 dari balik tirai dibelakang meja terdengar suara
orang: "Ui Toa Ki. Sin-sian menitahkan agar engkau
menghaturkan seribu tail emas."
Orang itu gemetar dan berkata dengan tersendat-sendat :
"Hwat sin-sian .... hamba .... hamba tidak kaya ..."
"Ui Toa Ki, ini bukan jual beli yang boleh tawar
menawar. Apakah lima orang jiwa tak berharga seribu tail ?
Apalagi itu suatu dana kebaikan untuk kepentingan orang
banyak."
"Baik .. , baik . .. hamba baru membawa dua ratus...."
"Baik. sisanya boleh suruh orang mengantar kemari."
"Ya, ya," ia segera menyambuti beberapa lembar kertas
kuning, keringatnya bercucuran deras sekali. Rupanya ia
gemetar karena harus mengeluarkan biaya yang begitu
banyak.
"Bakar kertas hu itu dan abunya terus telan saja. Segala
macam penyakit tentu hilang. Nah, pergilah!" seru orang
dibelakang kain tirai pula.
Setelah menyerahkan uang dua ratus tail, orang gendut
itupun terus merangkak keluar pintu samping.
Sekarang giliran Cu Jiang. Dia agak ragu-ragu tetapi
mengingat dia hendak menyelidiki, terpaksa ia lakukan juga
upacara itu. Berat rasa hatinya harus berlutut memberi
hormat kepada kain tirai.
Thian put thou tak tampak, entah menyelinap ke mana
saja.
"Lekas, jangan mengganggu lain orang yang menunggu
giliran !" imam di pinggir meja berseru.
Cu Jiang terpaksa melakukan juga. Dia berkata: "Tecu
bernama Cu Jiang kebetulan lewat di desa ini, mohon Sin-
sian suka memberikan hu untuk menjaga wabah penyakit
itu."
Habis berkata ia terus ulurkan tangan dimasukkan dalam
lubang diatas meja. Tetapi saat itu juga tangannya telah
disambut oleh sebuah tangan yang memancarkan tenaga-
dalam kuat.
Dia terkejut dan mengakui bahwa apa yang diduga lo
koko Thian put thou memang benar. Malaikat-hidup itu
seorang jago silat yang berilmu tinggi.
Cu Jiangpun segera memancarkan tenaga-dalam untuk
bertahan. Ternyata orang didalam itu tidak lemah. Diapun
pancarkan tenaga dalam lebih hebat lagi. Cu Jiang
mendapat akal. Dia pura2 meringis kesakitan.
"Orang she Cu engkau terkena penyakit aneh. Bila
hendak mengobatimu. Masuk dari pintu samping sebelah
kanan !"
"Engkau membawa uang lilin tidak ?" seru imam yang
menjaga disamping meja.
"Berapa ?"
"Sebutir mutiara."
"Baik, bangunlah !"
Tangan yang menjabat tangan Cu Jiang itupun
mengendor dan Cu Jiang segera berbangkit. Sejenak
merenung ia terus melangkah masuk pintu samping kanan.
Begitu tiba di ruang besar pandang matanya terbentur
pada pemandangan yang mengejutkan.
Ruang itu sekelilingnya ditutup dengan kain layar.
Malaikat Hidup itu juga tidak kelihatan berada di situ.
Hanya dua orang lelaki baju hitam memandang berkilat-
kilat ke arah Cu Jiang. Juga terdapat seorang imam yang
duduk bersila dengan mata menunduk.
Suasana dalam ruang itu sungguh menyeramkan. Salah
seorang dari kedua lelaki baju hitam segera menggapai ke
arah Cu Jiang.
"Mari, ikut aku."
Cu Jiang mengangguk dan mengikutinya. Setelah
melintasi ruang besar itu, ia tiba di sebuah halaman besar
yang sunyi senyap, Setelah tiga kali melintasi halaman
barulah ia tiba di sebuah bangunan rumah yang dikelilingi
pagar tembok tinggi. Rupanya bangunan itu merupakan
tempat tinggal para Imam.
Setelah membawa masuk Cu Jiang, lelaki baju hitam itu
diam2 terus menyelinap pergi. Seorang lelaki tua Jubah
kuning, duduk dibagian yang tinggi dalam ruang bangunan
itu. Matanya berkilat-kilat memandang Cu Jiang sampai
beberapa saat.
"Sahabat, kepandaianmu hebat juga" serunya. Cu Jiang
tertegun, serunya. "Kedatanganku kemari hendak meminta
hu."
"Aku tahu."
"Lalu mengapa aku diundang kemari?"
"Kasih tahu dulu nama perguruanmu!"
"Apa hubungan hal itu dengan pengobatan penyakitku ?"
"Jangan bertanya, engkau hanya wajib menjawab !"
"Aku tak mempunyai perguruan, kepandaianku berasal
dari keluargaku sendiri."
"Siapa ayahmu ?"
"Dahulu dia seorang piausu."
"Engkau berlatih dengan senjata apa ?"
"Pedang."
"Bagus!" seru orang tua jubah kuning itu lalu meneriaki
orangnya. Seorang lelaki berpakaian hitam muncul dari
pintu samping dengan membawa pedang. Cu Jiang tak
mengerti apa yang akan terjadi.
"Cu Ing Jit. engkau boleh bertanding pedang dengan
dia." seru orang tua jubah kuning. Memang Cu Jiang
menggunakan nama Cu Ing Jit.
"Bertanding pedang ? Mengapa harus begitu?" Cu Jiang
terkejut.
"Jangan tanya !"
"Kedatanganku kemari bukan untuk bertanding ilmu
pedang," Cu Jiang membantah.
"Jangan banyak bicara !"
Akhirnya Cu Jiang memutuskan. Ia akan menurut saja
perintah orang. Ia ingin tahu apa saja tujuan mereka. Segera
ia menuju ketengah halaman. Lelaki baju hitam itupun
menyerahkan sebatang kepada Cu Jiang.
"Sahabat, engkau harus mengeluarkan seluruh
kepandaianmu kalau tidak engkau tentu menyesal."
katanya.
Memang Cu Jiang tak membawa pedang kutungnya.
Pedang kutung itu dibungkus kain dan dibawa Thian put-
thou.
"Menyesal bagaimana?" tanya Cu Jiang seraya
menyambuti pedang.
"Terluka atau mati, engkau sendiri yang menanggung
akibatnya."
"Ini mengadu kepandaian atau bertanding dengan
taruhan jiwa?"
"Kalau tak bertanding sungguh2, tentu tak dapat
diketahui kepandaianmu yang sesungguhnya!"
"Aku tak mengerti apakah maksudnya semua ini ?"
"Tak perlu tanya. Nanti engkau tahu sendiri, Itupun
kalau engkau masih hidup."
Cu Jiang kerutkan dahi. Ia benar2 tak mengerti apa
maksud orang itu.
"Lekas cabut pedang !" seru orang itu.
Cu Jiang terpaksa menurut, Lelaki baju hitam itupun
segera menghunus pedangnya dan terus menaburkannya
dalam suatu gerak lingkaran yang menimbulkan tebaran
sinar pedang.
"Sahabat, kita saling menyerang dalam tiga jurus !"
"Baik."
Awas, sambutlah. . ."
"Silahkan !"
Lelaki baju hitam itu berubah merah wajahnya. Segera ia
menyerang dengan jurus yang ganas. Cu Jiang hanya
gunakan tiga bagian tenaganya untuk menghadapi.
Tring tring .. . pedang saling beradu dan kekuatan kedua
belah fihak ternyata berimbang.
"Kali ini harap hati2!" seru orang baju hitam itu seraya
menyerang dengan gerak yang cepat dan dahsyat. Ujung
pedang mengarah ketiga buah jalan darah didada Cu Jiang.
Kali ini Cu Jiang gunakan lima bagian tenaganya untuk
menangkis dan dapat mengimbangi.
"Sahabat," orang itu tertawa dingin. "engkau selalu
hanya bertahan. Serangan yang ketiga ini memastikan
hidup matimu. Waspadalah !"
Dalam berkata-kata itu pedangpun sudah meluncur
cepat. Tampaknya orang itu menggunakan seluruh
kepandaiannya untuk menyerang.
Terpaksa Cu Jiang gunakan delapan bagian tenaganya
untuk bertahan.
Tring .. . pedang orang baju hitam itu terpental dan
orangnyapun tersurut mundur dua langkah.
"Sudah cukup ?"
"Sahabat, sekarang giliranmu yang menyerang !"
"Ah, tak usah."
"Tidak bisa." orang itu berkeras.
"Selama ini aku hanya menyerang cukup satu jurus saja."
"Apa engkau hanya mampu menyerang dalam satu jurus
saja ?"
"Katakan begitu."
"Baik."
Cu Jiang memutuskan, sebelum ia Jelas akan keadaan
orang, ia takkan menggunakan jurus yang ampuh. Ia akan
menggunakan delapan bagian tenaga dan setengah dari
Jurus Thian te-kiau-thay. Sekalipun begitu, perbawanya
masih tetap dahsyat.
Tring .... orang itu mundur sampai beberapa langkah.
Ujung pedang Cu Jiang mengarah ke dada dan terus
membayanginya, terpisah hanya satu dim tetapi tidak
ditusukkan.
Wajah orang itu berobah menyeramkan.
"Bagus, boleh masuk kemari !" seru orang tua berjubah
kuning.
Cu Jiang hentikan serangannya dan mengembalikan
pedang kepada orang baju hitam itu.
"Ilmu pedangmu menarik sekali," orang tua jubah kuning
itu memuji.
"Ah, jangan memuji."
"Engkau lulus ujian !"
"Lulus ujian ? Apa artinya ?"
"Engkau akan diangkat sebagai pengawal dari
perkumpulan kita!"
"Tetapi kedatanganku kemari karena hendak minta obat.
bukan untuk melamar menjadi pengawal .. ."
"Engkau tak boleh menolak !"
Cu Jiang menyeringai heran lalu bertanya perkumpulan
apakah yang akan dimasukinya itu.
"Thong-thian kau!"
Mendengar itu benar2 Cu Jiang kagum akan ketajaman
mata Thian put-thau. Thian put thou dengan cepat dapat
menduga bahwa wabah penyakit di kota itu adalah buatan
dari kaum Thian-thong-kau hendak mengumpulkan dana
dan mencari pengikut.
"Tong-thian kau ?" Cu Jiang pura2 terkejut.
"Ya. Perkumpulan Thong thian kau dalam waktu yang
tak lama lagi akan bergerak untuk menguasai dunia.
Sahabat, kesempatan yang engkau peroleh ini tak
sembarang orang bisa mendapatkan. Aku adalah hu-hwat
dari cabang Thong-thian-kau kota Kui-ciu, Engkau jelas
sekarang ?"
"Tetapi, aku ... "
"Jangan banyak bicara ! Engkau tak dapat memilih lain."
"Jika aku tak ingin menjadi pengawal Thong thian-kau ?"
Orang tua jubah kuning itu bertepuk tangan dan pintu
samping terbuka. Diatas meja tampak beberapa butir kepala
manusia yang masih berlepotan darah.
"Seperti itulah !" serunya.
Melihat itu bergidiklah bulu roma Cu Jiang Seketika
hawa pembunuhan meluap-luap dalam dadanya. Tetapi dia
pura2 bersikap kaget, serunya:
"Aku . . . suka menerima . . . ."
Pintu itupun tertutup lagi. Kemudian lelaki tua berjubah
kuning itu segera memerintahkan orang berbaju hitam
supaya membawa Cu Jiang keluar menunggu perintah.
"Aku masih mempunyai seorang kawan yang datang
bersama, aku hendak memberitahu kepadanya dulu . ."
"Tidak boleh !"
"Ikut aku !" lelaki baju hitam itu melambai kepada Cu
Jiang.
Dengan membawa sikap seperti enggan, Cu Jiang
mengikuti orang itu masuk ke dalam halaman samping.
Dalam ruang terdapat empat orang pemuda yang mengerut
dahi. Rupanya mereka juga terpilih menjadi pengawal
Thong-thian-kau. Melihat kedatangan Cu Jiang. merekapun
diam tak mengacuhkan.
"Tunggulah disini, Jangan coba2 membuat rencana yang
tidak-tidak, tak ada orang yang mampu keluar dengan
masih bernyawa dari tempat ini" habis berkata lelaki baju
hitam itu terus ngeloyor pergi.
Kini kelima orang itu saling berpandangan tanpa
berkata-kata apa.
Tak berapa lama, dari lain ruangan terdengar suara
orang dan gemerincing pedang lalu erang jeritan ngeri.
Tentulah seorang calon sedang diuji dan karena
kepandaiannya kurang lalu menemui kematian.
Seperminun teh lamanya, terdengar lagi suara
pertempuran. Tetapi kali ini rupanya dengan adu pukulan,
tidak menggunakan pedang.
Setelah berhenti beberapa waktu, seorang lelaki tua kurus
berumur lebih kurang lima puluhan tahun, dibawa masuk
ke dalam ruang itu. Begitu melihat orang itu, diam2 Cu
Jiang bersorak dalam hati. Orang itu tak lain adalah lo-
kokonya yakni Thian put-thou. Dia telah lulus dari ujian.
Dengan langkah bergoyang gontai, Thian-put-thou
melangkah masuk. Setelah pengawal baju hitam itu pergi,
dia terus melangkah kedepan mata kepada Cu Jiang,
serunya: "Aku si tua ini sungguh masih punya rejeki besar.
Dalam umur yang begini tua, aku masih mendapat
kesempatan untuk mengangkat nama."
Keempat pemuda yang lebih dulu berada dalam ruang
itu tak menyahut.
Thian-put-thou Ciok Yau Hong itu sudah berumur
delapan puluh tahun, rambutnya putih. Tetapi karena dia
menyaru, maka sukarlah orang mengenalinya.
"Ha, ha." Cu Jiang menyambut tawa gembira.
Thian-put-thou kerutkan alis lalu berkata dan
menyerahkan bungkusan pedang kutung: "Adik kecil, inilah
barangmu !"
"Terima kasih." Cu Jiang menyambutinya.
Beberapa waktu kemudian, masuklah lelaki jubah kuning
dengan dua orang pengawal baju hitam. Mereka
memandang rombongan enam orang yang berada dalam
ruang itu lalu berkata dengan nada sarat:
"Saudara2 telah mendapat kehormatan untuk menjadi
pengawal perkumpulan kami. Lebih dulu kami hendak
menghaturkan selamat. Kemudian akan membagikan tugas
menurut urutan kepandaian kalian.
Sekarang, beberapa pil ini dapat menambah tenaga dan
kekuatan, pemberian khusus dari Malaikat hidup sebagai
tanda menyambut kedatangan kalian."
Kedua pengawal baju hitam lalu maju dan membagikan
sebutir pil merah kepada setiap orang. Setelah menyambuti,
keempat pemuda itu tampak bersangsi untuk menelan.
"Jangan tak menghargakan kebaikan Hwat-sin-sian
(Malaekat hidup), makanlah!"
Setelah memberi kicupan ekor mata, Cu Jiang terus
menelan pil itu demikian pula Thian-put thou. Melihat itu
keempat pemuda itupun segera mengikuti.
Lelaki jubah kuning tertawa serunya: "Bagus, sebentar
lagi akan disalurkan hidangan, silakan nanti kalian
menikmati sepuas-puasnya, Malam ini kita nanti
mengadakan pertemuan!"
"Bagus! Thian put-thou bertepuk tangan, sudah tiga
bulan aku si tua ini tak pernah makan enak dan sebulan tak
pernah minum arak!"
Sejenak memandangnya lelaki jubah kuning itupun
segera meninggalkan ruang itu.
Menjelang petang, memang benar muncul orang yang
mengantar hidangan dan arak. Walaupun tak terdiri diri
masakan yang lezat tetapi juga cukup untuk membuat lidah
bergoyang. Saat itu keempat pemuda tadi sudah berobah
sikapnya.
Mereka bicara dan tertawa. Wajahnya yang mengerut,
sudah lenyap. Thian-put thou juga seperti berobah adanya.
Diam2 Cu Jiang sudah mengulum katak mustika,
kemudian diam2 menaruhkan mustika itu ke dalam cawan
araknya dan lalu ditukarkan dengan cawan Thian-put thou.
Setelah minum, tak berapa lama tingkah laku Thian-put
thou sudah normal kembali. Tetapi dia tak mengetahui hal
itu.
Menjelang tengah malam, dua orang pengawal baju
hitam muncul dan salah seorang berseru mengajak mereka
berangkat.
Mereka keluar dan biara itu menyusur jalan menuju ke
barat.
Setelah tiba ditempat yang sunyi. Cu Jiang baru turun
tangan menotok jalan darah kedua pengawal baju hitam itu.
"Hah, apa-apaan itu ?" keempat pemuda itu berteriak
kaget.
Cu Jiang tak sempat memberi penjelasan lagi, dengan
cepat dia berkata:
Pil yang saudara telan tadi, mengandung racun.
Sekarang akan kuberi obat dan setelah itu silakan saudara
pergi !"
Tanpa memberi kesempatan. Cu Jiang memaksa
keempat orang itu supaya mengulum katak-mustika.
Mereka menurut. Beberapa saat kemudian mereka seperti
sadar.
"Mengapa tak lekas pergi!" bentak Thian-put thou.
Keempat pemuda itu memberi hormat lalu melesat pergi.
Lo koko, kita tunggu dulu beberapa waktu lagi." bisik
Cu Jiang.
"Apa maksudmu?"
"Tunggu mereka datang kemari hendak memberi
pertolongan kepada kedua orangnya ini..
"Apa tak kuatir kalau kita akan ketahuan ?"
"Tak apa, kalau secara gelap tak dapat kita harus
menempuh dengan cara yang terang-terangan. Silahkan lo
koko menyingkir dulu."
"Mengapa?"
"Yang ku arah hanyalah si Iblis Ngo-tok-mo itu. Jika aku
bertindak seorang diri, tentu lebih leluasa !"
"Apakah engkau hendak membuang aku?"
"Ah, Jangan lo koko berpendapat begitu. Berbicara soal
pengetahuan dan pengalaman sudah tentu aku tak menang
dengan lo-koko. Hanya kali ini dalam menghadapi jago2
dari Kawanan iblis ..."
"Sudahlah, Jangan panjang lebar. Dimana kita nanti
akan berjumpa?"
"Di warung kecil yang kemarin kita singgahi itu.
Disebelahnya terdapat sebuah penginapan, bagaimana
kalau kita bertemu di situ !"
"Sudah. Hati-hati saja di jalan."
"Terima kasih."
Habis memberi pesan Thian put thou terus berputar
tubuh dan melangkah pergi. Tapi belum berapa jauh sudah
kembali lagi.
"Apakah lo koko hendak memberi pesan lagi?"
"Hampir saja aku melupakan sebuah urusan besar."
"Urusan apa."
"Soal wabah penyakit itu. Sebenarnya itu merupakan
racun yang bekerjanya lambat. Perbuatan keji dari pihak
Thong-thian kau itu tentu dilakukan dengan cara diam2
menyebarkan racun dalam sumur2 rumah rakyat. Jika tak
memperoleh obat yang tepat tentu akan menimbulkan
bencana..."
"Baiklah."
"Kita bekerja secara terpisah..."
"Bagaimana tindakan lo koko?"
"Hi, hi, kerjaan lama. Malam ini aku hendak berziarah
ke biara Sin yu kwan, menjenguk si Malaekat hidup itu.
Mereka memberi hu, pada hal itu tentu dilumuri dengan
obat penawar racun. Di samping itu akan menggali tanah
baru."
"Apa maksud lo-koko?"
"Menganjurkan supaya penduduk jangan menggunakan
air dari sumur tetapi membuat sumur baru atau
menggunakan air sungai. agar terhindar dari keracunan."
"Bagus !"
"Sudahlah, pencuri tua akan mulai bekerja !" habis
berkata Thian put thou terus melesat sampai beberapa
tombak dan pada lain saat sudah lenyap dalam kegelapan.
Diam2 Cu Jiang kagum akan ilmu meringankan tubuh lo
kokonya itu. Kecuali tata langkah Gong-gong pon hwat,
rasanya dalam dunia persilatan tak ada lain ilmu yang
mampu menandingi gerakan Thian put-thou itu.
Beberapa waktu kemudian, tampak beberapa sosok
bayangan berlari-lari mendatangi. Yang di muka tak lain
adalah orang tua jubah kuning itu.
Cu Jiang serentak menyongsong dan berseru: "Laporan
kepada hu hwat, telah terjadi peristiwa besar."
Rombongan pendatang itu berhenti. Orang tua jubah
kuning memandang kedua pengawal baju hitam yang
menggeletak di tanah lalu berseru:
"Peristiwa apa ?"
"Kita menerima serangan gelap yang tak terduga-duga !"
"Dan orang2 itu kemana ?"
"Dibawa mereka !"
"Mengapa engkau tidak ikut dibawa?"
"Uh . .. hamba bukan kerbau. Dengan kepandaian yang
kumiliki, mereka tak mampu membawa aku."
"Apakah kedua orang itu mati?"
"Tidak, hanya ditutuk jalan-darahnya tetapi entah
dengan ilmu tutukan apa, aku tak mengerti."
"Siapa musuh yang menyerang itu?"
"Semua mengenakan pakaian hitam sampai
mukanyapun tertutup kain hitam..."
"O, kutahu. Tentulah pihak Gedung Hitam hendak
mencari gara-gara."
Orang tua jubah kuning itu terus memeriksa kedua anak
buahnya yang menggeletak di tanah itu. Tetapi sampai
beberapa saat dia tak berhasil apa2. Jelas diapun tak tahu
ilmu tutuk apa yang digunakan musuh untuk menutuk jalan
darah ke dua orang itu.
Diam2 Cu Jiang geli. Memang dia mempergunakan ilmu
tutukan dari kitab Giok kah-simkeng. Tokoh-2 silat pada
umumnya tentu tak mengerti ilmu tutukan itu.
"Bawa mereka pulang ke markas !" teriak lelaki jubah
kuning dengan marah.
Rombongan anak buahnya segera memanggul kedua
korban itu Kemudian mereka melanjutkan perjalanan
lagi,.Tak berapa lama tiba di sebuah pedesaan.
Setelah saling memberi sandi rahasia, mereka lalu
masuk. Lingkungan markas itu memang luas dan besar.
Sepanjang jalan terdapat pos2 penjagaan yang ketat.
Sampai jalan masuk tentu dijaga oleh pengawal. Cu Jiang
dibawa kesebuah ruang oleh seorang pengawal.
Dalam ruang itu beberapa anak buah tengah bergembira
ria, bersorak dan mabuk-mabukan sehingga mereka tak
mengacuhkan kedatangan Cu Jiang.
Cu Jiang duduk disebuah meja dekat jendela.
Dia tak mau membuang waktu. Keselamatan puteri
Tayli selalu membayangi benaknya. Urusan di tempat itu
harus selesai malam itu. Paling lambat sampai besok pagi.
Tiba2 seorang thau-bak atau kepala kelompok, muncul di
pintu dan melongok ke dalam.
"Ong San Ko. kalian berenam nanti menjelang tengah
malam harus pergi ke biara Sianyu-kwan untuk mengganti
penjagaan di sana !"
Ternyata kawanan anak buah yang berada dalam
ruangan itu tengah berjudi dan minum arak. Salah seorang
yang bermuka hitam mengangkat muka dan berseru:
"Li thaubak, apakah engkau yang memimpin kami?"
"Hm."
"Siapakah yang menjadi Malaekat hidup besok pagi?"
"Song hu-hwat."
"Uh, sukar dilayani . .."
"Ong Sam Ho, jangan kuatir, lain orang malah mudah."
"Apa yang harus kita sediakan?"
"Mudah saja, bawakan seguci air yang sudah bertuliskan
huruf2 mantra."
"Harus meminta kepada Song hu-hwat?"
"Tak usah, besok aku yang membawanya."
Saudara2, mari kita lanjutkan permainan lagi sampai
puas," si wajah hitam itu berseru lalu memegang lagi
kartunya.
Kemudian thaubak yang disebut orang she Li itu berseru
kepada Cu Jiang: "Thamcu memanggil, mari ikut aku!"
"Baik," Cu Jiang berbangkit lalu melangkah. Dia masih
membawa bungkusan pedang.
"Hai. bung, taruh saja barang itu disini. Tak ada orang
yang mau mencurinya."
"Tetapi ini . . . tak dapat terpisah dari aku."
"Apa berisi pusaka?"
"Hampir begitulah."
Salah seorang anak buah yang tengah bermain judi itu,
menyelutuk:
"Kabarnya pendatang baru itu berkepandaian tinggi
sehingga Tio si su saja kalah . . ."
"Mungkin akan diberi jabatan yang keras. Karena
walaupun kepandaiannya tinggi tetapi orangnya dingin."
sambut Ong Sam Ho.
Cu Jiang tertegun. Dipanggil oleh pimpinan tentu tak
boleh membawa bungkusan barang. Tetapi di mana dia
harus menaruh bungkusan pedang itu.
"Lekas apa engkau suruh thamcu menunggu sampai
lama?" teriak Li thaubak.
Karena belum mendapat akal, terpaksa Cu Jiang
membawa bungkusan pedangnya. Thaubak itu hanya
tertawa tapi tak berkata apa2.
Setelah melalui berlapis-lapis penjagaan, mereka tiba di
sebuah ruang besar yang diterangi dengan lampu besar.
"Anggauta yang baru itu telah menghadap." seru Li
thaubak.
"Suruh masuk."
Li thaubak melirik kepada Cu Jiang dan menyuruhnya
dia sendiri yang masuk. Cu Jiang mengangguk. Ia masuk
dan melangkah naik ke atas titian dan masuk ke dalam
ruang. Dalam ruang Itu terdapat sebuah meja besar,
rupanya sebagai tempat untuk memberi perintah.
Di belakang meja itu duduk seorang tua berjubah kuning
emas Matanya berkilat-kilat merah seperti mata ular
sehingga menimbulkan rasa seram. Pada kedua samping
meja terdapat delapan kursi dari kayu jati. Tetapi baru berisi
tiga orang lelaki tua dan seorang lelaki setengah tua
berjubah kuning.
Cu Jiang menduga bahwa lelaki tua berjubah emas
duduk dibelakang meja pimpinan itu tentulah iblis Ngo tok-
mo.
"Menghaturkan hormat kepada thamcu." begitu masuk
Cu Jiang memberi hormat kepada lelaki di meja pimpinan
itu.
"Oh, engkau membawa apa itu?"
"Perlengkapan bekal."
Ngo tok mo mengerling memandang ke arah tiga lelaki
tua jubah hitam yang duduk di sebelah kanan.
"Ku congkoan !"
"Siap !" seru salah seorang lelaki jubah hitam itu.
"Sediakan semua persiapan dan tunggu perintah dari
thancu."
"Di ruang Bu-thia," katanya pula.
"Baik."
Ruang Bu-thia atau tempat berlatih silat saat itu terang
benderang. Di panggung telah hadir tokoh2 pimpinan yang
berada dalam ruang tadi.
Di bawah panggung terbentang sebuah lapangan seluas
tiga tombak. Di sekeliling lapangan itu berjajar-jajar dua
puluhan orang busu atau jago silat, tua dan muda.
Cu Jiang ditempatkan di pintu masuk.
"Song huhwat !" seru Ngo-tok-mo.
Lelaki tua Jubah kuning berdiri dari tempat duduk dan
memberi hormat.
"Siapa namanya?"
"Cu Ing Jit."
"Kepandaiannya tergolong tingkat ke berapa?"
"Dalam ujian, dengan sebuah jurus dia dapat
mengalahkan Tio sisu, rupanya bisa digolongkan kelas
satu."
"Kelas satu?"
"Ya,"
"Suruh seorang busu kelas satu untuk bertanding dengan
dia ?"
"Baik."
Lelaki jubah kuning itu berpaling kearah busu yang
duduk pada Jajaran kedua dan berseru: "Kwee sisu, cobalah
dia barang sejurus !"
Seorang bu-su berumur lebih kurang 40an tahun segera
berbangkit dan mengiakan. Dia melangkah ke tengah
gelanggang, memberi hormat ke arah panggung lalu
berputar tubuh dan berdiri di samping.
"Cu Ing Jit, pilihlah senjata dan bertandinglah dengan
Kwee si-su !"
Sebenarnya Cu Jiang sudah sebal tetapi apa boleh buat,
dia harus bersabar lagi. Tanpa menyahut ia terus
menghampiri rak senjata dan sembarangan saja mengambil
sebatang pedang lalu menuju ke gelanggang dan
berhadapan dengan jago yang bernama Tio si-su. Tangan
kirinya tetap mencekal bungkusan pedang kutung.
Orang she Tio itu kerutkan kening dan berseru :
"Letakkan bungkusanmu itu."
"Tak usah !" Cu Jiang tersenyum.
"Mengapa engkau begitu sombong ?"
"Bukan sombong tetapi aku memang selamanya hanya
menggunakan sebelah tangan saja."
"Kita bertandang sejurus saja."
"Silakan menyerang dulu!"
"Tidak, engkau yang mulai dulu"
"Si su adalah tokoh terkemuka dalam perkumpulan kita,
bagaimana aku berani berlaku kurang hormat"
"Jika begitu, siap2lah menyambut seranganku ini!"
pedang dileburkan dan berhamburan hawa dingin melanda
Cu Jiang. Jalan-darah yang penting diseluruh tubuh, dari
atas sampai bawah. terancam ujung pedang. Hebatnya
membuat orang leletkan lidah.
Saat itu Cu Jiang tak berani menunjukkan siapa dirinya.
Dia hanya menangkis. Terdengar dering pedang beradu dan
serangan Kwee si-su itu semua dapat ditangkisnya. Merah
padam muka jago she Kwee itu.
"Maaf. sekarang harap menyambut seranganku." seru Cu
Jiang. ia terus gunakan salah sebuah jurus dari ilmu pedang
Thian te kiau thay. Pedang menyerang datar dan lurus ke
muka tetapi Kwee si su kelabakan tak dapat menangkis dan
terpaksa mundur tiga langkah. Wajahnya menyeringai tak
sedap dipandang.
Cu Jiang tak mau mengejar. Ia menarik pulang
pedangnya.
"Cukup!" seru Ngo-tok-mo "persidangan dibubarkan,
tujuh hari kemudian akan diadakan pengangkatan jabatan
yang resmi."
Selain bu su serempak berdiri dan memberi hormat. Ngo
tok mopun segera masuk kedalam pintu samping.
Sementara seorang bu-su lain mengantarkan Cu Jiang
kembali kedalam kamar peristirahatannya.
Keenam bu su yang berjudi tadi sudah selesai dan siap
menunggu perintah. Diatas meja terdapat sebuah botol,
tentulah berisi air hu atau mantra.
Tak berapa lama, Li thaubak bergegas datang dan
berkata:
"Cu In Jit, kamar ini hanya tinggal engkau seorang,
silakan beristirahat, jangan pergi kemana-mana."
"Baik."
Ketujuh orang itupun segera tinggalkan ruangan. Cu
Jiang menutup pintu dan memadamkan lampu lalu rebah di
ranjang. Dia memikir-mikir bagaimana tindakan yang akan
dilakukan.
Saat itu sudah lewat tengah malam, suasana sunyi sekali.
Kecuali hanya terdengar derap langkah dari para peronda,
tak terdengar apa2 lagi.
Cu Jiang memutuskan untuk bertindak. Ia berganti
pakaian dan mengenakan kain kerudung muka, membawa
pedang kutung. Setelah siap dalam penyamaran sebagai
Toan-kiam-jan-jin, dia terus ke luar.
Para peronda itu hanya anak buah biasa. Sudah tentu
mereka tak dapat mengetahui gerak-gerik Cu Jiang.
Gedung itu mempunyai banyak sekali ruangan sehingga
sukar untuk mencari tempat Ngo tok-mo. Dia menuju ke
sebuah ruang yang paling akhir sendiri lalu bersembunyi di
ujung yang gelap.
Tiba2 sesosok bayangan masuk ke dalam ruang dan
berseru: Hamba Lu Goan, mohon menghadap hun than-
ciang untuk menghaturkan laporan penting!"
Semangat Cu Jiang timbul seketika. Ternyata dia telah
menemukan ruang yang tepat.
Dari dalam ruang itu terdengar suara Ngo-tok-mo yang
menusuk telinga: "Soal penting apa?"
"Cong-than, memberitahukan sebuah peristiwa yang
penting!"
"Katakan!"
"Menurut laporan rahasia, puteri Tayli yang pesiar ke
Tiong goan telah ditawan oleh pihak Gedung Hitam. Dan
tokoh yang bernama Toan-kiam-jan-jin itu ternyata telah
menjabat pangkat sebagai Tin tian ciang-kun (jenderal
bhayangkara keraton) Tayli. Diapun murid dari Koksu
Gong gong-cu. Pimpinan mengumumkan, supaya setiap
ketua cabang menyelidiki tentang gerak gerik Toan kiam-
janjin. Kalau menemukannya tak boleh bergerak sendiri
tetapi harus cepat2 memberi laporan karena ketua hendak
turun tangan sendiri untuk membereskannya."
"Oh." seru Ngo tok-mo.
"Murid masih ada sebuah hal yang perlu murid
haturkan."
"Hal apa?"
"Kedua anak buah kita yang tertutuk jalan-darahnya itu
tak dapat diobati sehingga binasa. Kamipun berhasil
menangkap lima anak buah Gedung Hitam dan setelah
kami paksa menelan pil Ok-tim-wan, mereka memberi
keterangan bahwa Gedung Hitam tak mempunyai jago2
unggul didaerah Kwi ciu. Gedung Hitam tak tahu menahu
tentang peristiwa itu."
"Lu ciangleng. bagaimana pendapatan sendiri ?"
"Kuanggap Cu Ing Jit yang baru saja kita terima menjadi
pengawal itu, mencurigakan . . ."
"Apa alasannya ?"
"Dari kelima calon yang hendak kita terima menjadi bu-
su. ternyata yang empat dapat meloloskan diri, hanya
tinggal dia seorang yang selamat. Dan pula menilik gerak
ilmu pedangnya seperti bukan berasal dari ilmu pedang
aliran Tionggoan. Dia masih belum mau menunjukkan
ilmu kepandaiannya yang sesungguhnya. Sebenarnya waktu
di biara Sian-yu-kwan dia sudah disuruh menelan pil In-
seng-wan, tetapi ternyata pikirannya masih sadar dan
tingkah lakunya juga tetap biasa .... "
"Hal itu aku memang sudah melihatnya. Kalau menurut
Lu ciangleng, bagaimana kita akan menyelesaikan orang
itu?"
"Segera membuka sidang peradilan dan seluruh tong-cu
harus hadir."
"Baik."
Ciangleng atau pembawa amanat orang she Lu itu segera
bergegas keluar. Cu Jiang loncat ke luar dari tempat gelap.
Ia mendorong pintu ruang tengah tetapi ruang itu kosong.
Dia terus melangkah masuk.
"Siapa?"
"Aku."
"Engkau siapa?"
"Orang yang anda hendak cari itu!"
Ngo tok-mo segera membawa lampu keluar. Begitu
melihat siapa yang berada dalam ruang itu, dia berteriak
gentar: "Engkau Toan-kiam-jan jin?"
"Heh, heh, benar," Cu Jiang tertawa mengekeh, "silakan
engkau berteriak minta tolong atau memanggil bala bantuan
anak buahmu!"
Ngo-tok-mo deliki mata. Ia menyulut lilin besar dalam
ruang itu kemudian mempersilakan tetamunya duduk.
"Tak usah," Cu Jiang menolak.
"Kita akan bercakap cakap."
"Tak perlu!"
"Lalu apa maksudmu datang kemari?"
"Katakan saja, untuk menagih hutang darah dari rakyat!"
"Ha, ha. ha, ha ...."
"Hm, rupanya engkau tenang2 saja? "
Segulung bau harum bertebaran menyusup hidung. Cu
Jiang segera menyadari bahwa saat itu Ngo-tok-mo sedang
menebarkan racun harum. Tetapi dia tenang saja karena
mempunyai katak-mustika.
"Toan kiam-jan-jin, engkau benar2 bernyali besar karena
berani menyusup masuk ke dalam markas ini. Entah
bagaimana engkau harus menderita kematian nanti."
"Mungkin kebalikannya, bukan aku tetapi engkau!"
"Mengapa engkau tak mencoba mengerahkan
tenagamu?"
"Apa maksudmu?"
"Ketahuilah, dalam lingkungan tempat kamar ku, penuh
dengan racun2 berbisa. Sekali melangkah kedalam
lingkaran daerah racun itu, dewapun pasti mati juga!
"Benarkah itu?"
"Engkau..."
"Bagaimana kepandaianmu kalau dibanding dengan
nenek Teh-hun-pi-peh?"
Wajah Ngo tok-mo seketika berobah. Sesaat kemudian
dia menenangkan diri, mempersiapkan kedua tangan untuk
menjaga diri dengan ketat.
Cu Jiang harus memburu waktu. Dia tak mau tenaganya
diperas terlalu lama disitu. Dengan membentak keras, ia
terus ayunkan pedang kutung. Harus cepat2 dapat
membunuh iblis itu maka dia gunakan seluruh tenaganya.
Ngo tok-mo tak dapat menghindar mundur. Kanan
kiripun telah tertutup oleh sinar pedang. Tak ada lain jalan
kecuali harus mengadu jiwa. Maka diapun lancarkan
serangan balasan.
Huak.... terdengar suara menguak ngeri, disusul dengan
darah menyembur. Tangan Ngo tok mo masih menuding
Cu Jiang dan mulut menganga seolah-olah ia tak puas harus
menemui keakhiran hidup seperti itu. Tetapi nasib sudah
digariskan. Dia tetap terkulai dan rubuh ke tanah.
Pada saat lawan melancarkan serangan balasan tadi, Cu
Jiang pun sudah mundur beberapa langkah. Darahnya
bergolak keras.
Jeritan ngeri dari Ngo-tok-mo itu telah mengejutkan
kawanan peronda. Mereka segera memburu masuk ke
ruang itu. Cu Jiang membakar kain tirai dan kelambu.
Begitu terbit kebakaran, terompet pertandaan segera
berbunyi. Seluruh markas di makan api.
Sekali sudah turun tangan, Cu Jiang tak mau kepalang
tanggung. Dia terus melepas api untuk membakar markas.
Setelah seluruh markas menyala, barulah dia lari menuju ke
biara Sian-yu-kwan.
Tetapi saat itu ternyata biara Sian-yu-kwan juga sedang
kacau balau tak keruan. Malaikat-hidup yang biasa
memberikan obat, hilang entah ke mana. Sedang seguci hu
yang baru saja diangkut ke biara itu juga lenyap.
Siapakah yang berani melakukan perbuatan itu?
Lelaki jubah kuning yang hendak mengganti giliran
sebagai Malaikat hidup, berjingkrak-jingkrak seperti
kebakaran jenggot. Dia memerintahkan seluruh anak buah
biara itu untuk mencari secara diam2 tak boleh menyiarkan.
Karena kalau hal itu sampai bocor, tentulah permainan
mereka akan ketahuan orang.
Tiba di biara Sian yu kwan. Cu Jiang melihat waktu
sudah hampir mendekati fajar. Dia terus menyelinap masuk
ke bagian belakang.
"Siapa itu ?"
Terdengar orang menegur dan terdengar pula suara
sosok tubuh yang jatuh ke tanah.
Lelaki jubah kuning lari memburu ke halaman. Sejenak
memandang ke empat penjuru, ia berseru bengis: "Sahabat
dari manakah yang berkunjung kemari?"
"Aku datang hendak menghadap Malaikat-hidup."
terdengar suara penyahutan dari arah tempat yang gelap.
Lelaki jubah kuning itu terkejut dan dengan gemetar ia
berseru pula: "Siapakah sahabat ini?"
Tiba2 dihadapannya muncul seorang yang mengenakan
kain kerudung muka.
"Engkau . , . Toan kiam janjin? "
"Benar! "
"Engkau . . , engkau . .. hendak mengapa?"
"Hendak menumpas kedosaanmu yang berani menyaru
menjadi Malaikat dan mencelakai rakyat!"
"Tolong . . !" teriak lelaki jubah kuning memanggil anak
buahnya.
Beberapa anak buahnya segera berhamburan muncul.
Empat orang yang mengenakan pakaian seperti imam serta
busu terus menyerang Cu Jiang. Tetapi hampir serempak,
mereka menjerit ngeri dan rubuh.
Lelaki jubah kuning itu tahu akan kelihayan Toan-kiam
jan jin yang mampu mengalahkan nenek Toh-hun pipeh
atau guru dari gerombolan iblis Sip-pat-thian mo.
Maka pada saat keempat anak buahnya menyerang Cu
Jiang, diapun terus menyelinap pergi dan menghilang
dalam kegelapan.
Tetapi ternyata Cu Jiang lebih gesit. Begitu tiba dalam
hutan di belakang biara, baru lelaki tua jubah kuning itu
menghela napas longgar dan hendak menyembunyikan diri,
tiba2 sesosok bayangan berkelebat dan:
"Malaikat-hidup, mau mengumpat kemana engkau?"
terdengar teriakan disertai munculnya Toan kiam jan jin di
hadapannya.
Lelaki jubah kuning melongo seperti kehilangan
semangat.
"Malaikat hidup, bagaimana kalau engkau bunuh diri
saja?" Cu Jiang tertawa dingin.
Tiba2 lelaki tua jubah kuning itu mengangkat kedua
tangannya dan menghantam. Karena gugup ketakutan, dia
telah menggunakan seluruh tenaganya.
"Hm, rupanya engkau mau membangkang! " Cu Jiang
menyelinap dan ayunkan tangan. Lelaki jubah kuning itu
mengaum, terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang
dan muntah darah.
"Uh..." Cu Jiang memburu dan menutukkan jarinya.
Lelaki tua jubah kuning itupun rubuh.
Cu Jiang menjinjing tubuh orang itu, lari kembali ke
biara, menyingkap kain tirai dan mengikat lelaki jubah
kuning itu pada kursi.
"Malaikat hidup, begitu hari terang, rakyat yang minta
air hu kepadamu itu akan memberi peradilan!"
"Toan kiam janjin, bunuhlah aku!" seru lelaki jubah
kuning itu.
Cu Jiang menutuk jalan darah gagu di tenggorokan
orang itu, katanya: "Enak kalau engkau harus mati.
Masakah permainan tadi dari Thong thian kau tak ada
urusannya lagi?"
Sepasang mata lelaki jubah kuning itu seperti mau pecah.
Dadanya diamuk amarah dan kembali dia muntah darah.
Tetapi ilmu kepandaiannya sudah dirusak dan mulutnya tak
dapat bicara, Tak ada lain jalan baginya kecuali hanya
pasrah nasib.
Cu Jiang berdiri di muka ruang sambil mencekal pedang
kutung. Kawanan anak buah yang diperintah untuk
mencari gentong air hu yang hilang itu mulai kembali lagi
ke biara.
Tetapi mereka telah disambut Cu jiang. Cu Jiang tak
mau membunuh, melainkan hanya merusak tenaga
kepandaian mereka.
Hari baru saja fajar tetapi di luar pintu biara sudah
banyak orang yang berkerumun untuk minta air hu. Mereka
antri. Cu Jiang tertawa puas, lalu tinggalkan biara itu.
Begitu masuk kedalam biara, rakyat tentu akan mengetahui
peristiwa dalam biara itu.
Cu Jiang kembali menyamar seperti pemburu dan lari
keluar kota untuk menemui Thian put thou di rumah
penginapan. Ternyata Thian put thou memang sudah
menunggu.
"Adik kecil, bagaimana keadaannya?"
"Rakyat akan menghakimi. Tetapi air hu itu .... "
"Oh. telah kuserahkan kepada pimpinan partai Kay pang
disini untuk membagi-bagikan kepada penduduk."
Keduanya lalu melanjutkan perjalanan. Hari itu mereka
tiba di sebuah kota kecil didaerah pegunungan. Dari situ
mulai memasuki gunung tempat markas Gedung Hitam.
Ternyata kota kecil disitu sudah dikuasai pihak Gedung
Hitam. Tiga empat kali mereka bertemu dengan orang2
Gedung Hitam yang bertanya tentang diri mereka.
Untung Thian-put thou banyak pengalaman. Dia dapat
memberi jawaban yang menghilangkan kecurigaan orang,
Menilik hal itu, jelas bahwa penjagaan Gedung Hitam tentu
luar biasa ketatnya.
Mereka singgah disebuah rumah makan. Waktu makan.
Cu Jiang berbisik-bisik meminta agar Thian put thou tinggal
di kota itu.
"Uh, engkau memang selalu hendak mencampakkan aku
saja ..."
"Bukan begitu. Aku terlanjur bersumpah hendak
melakukan balas dendam itu dengan tanganku sendiri."
"Tetapi bukankah tujuanmu kemari karena hendak
menolong puteri dari Tayli itu ?"
"Melakukan pembalasan, sekalian untuk menolong
orang dan mungkin masih ada lain2 hal lagi."
"Apakah tenagaku tak engkau butuhkan ?"
"Tentu. Maka kuminta lo koko tinggal disini agar setiap
waktu yang diperlukan, dapat memberi bantuan kepadaku."
"Baiklah, toh percuma saja aku ngotot, engkau tentu tak
mau merobah pendirianmu."
Cu Jiang tertawa dan minta maaf karena selama ini
selalu suka membawa adat menuruti kemauannya sendiri.
Thian-put thou hanya tertawa dan mengajaknya
melanjutkan makan dan minum. Setelah selesai, mereka
lalu berpisah. Cu Jiang berangkat masuk ke gunung. Dia tak
mau mengambil jalan biasa melainkan melintas gunung dan
desa yang lebih dekat.
Selain mempersingkat waktu, pun pos2 penjagaan
Gedung Hitam juga sukar untuk mengetahui.
Menjelang petang, tibalah dia di puncak yang terdapat
kuil gunung. Kuil itu dulu pernah dibuat tempat sau-pohcu
atau putera dari ketua Gedung Hitam, melarikan Ki Ing dan
hendak mencemarkan kehormatan nona itu.
Saat itu malam tiada rembulan, hanya bintang2
bertaburan di langit. Tiba2 Cu Jiang melihat tak berapa jauh
dari tempatnya berdiri, terdapat dua gunduk tanah kuburan.
Dia terkejut dan heran.
Segera tempat itu dihampirinya. Ternyata tak ada batu
nisannya dan gundukan tanah itupun penuh ditumbuhi
dengan rumput tinggi. Dengan begitu tak dapat diketahui
siapakah yang dikubur didalam tanah itu.
Didepan tanah kuburan yang tak bernama itu terdapat
sebuah batu besar yang berbentuk seperti kerbau
mendekam. Dia naik keatas gunduk batu itu dan
menimang-nimang langkah selanjutnya. Dia lalu membuat
guratan tentang peta yang dibuai Ih Se lojin, paman
gurunya dahulu.
Tindakan itu memang tepat sekali. Apabila terlambat,
dia tentu akan mengalami nasib yang mengerikan. Pada
saat jarinya merabah permukaan batu itu, ia seperti
merasakan batu itu terdapat guratan, serentak ia menghapus
pakis yang memenuhi batu itu.
Kini ia melihat jelas bahwa pada permukaan batu itu
terdapat dua buah guratan yang melukiskan sebuah topi
imam dan sebuah kopiah pendeta.
Apakah artinya itu ?
Setelah merenung beberapa saat, tiba2 ia tersadar. Jelas
bahwa yang dikubur dalam dua buah gunduk tanah itu
tentulah kedua tokoh dari Bu-lim Sam-cu yakni Thian-hian
cu dan Go-leng-cu.
Ternyata toa suhengnya, Ho Bun-cai, tak ingkar janji.
Dia benar2 mengubur jenazah kedua tokoh itu dengan
sebaik-baiknya. Dan agar tidak diketahui orang, maka dia
hanya membuat dua buah guratan gambar topi dan kopiah.
Penemuan itu hanya membuat hatinya sedih
mengenangkan peristiwa2 yang telah lampau. Kedua tokoh
Bu-lim Sam-cu telah binasa demikian pula Ho Bau Cai, toa
suhengnya, pun mati dibunuh oleh Gedung Hitam.
Ia harus membalas semua dendam darah itu. ia tak tahu
bagaimana nanti kesudahan dari tindakannya menggempur
markas Gedung Hitam itu.
Sekonyong-konyong terdengar suitan nyaring memecah
kesunyian. Cu Jiang menduga tentulah kawanan anak buah
Gedung Hitam yang sedang melakukan ronda.
Untuk sementara ia tak mau turun tangan dan akan
bersembunyi dulu. Ia segera melayang masuk kedalam
hutan dan bersembunyi di atas dahan sebuah pohon yang
lebat.
Tepat pada saat itu muncul empat orang lelaki tua
bertubuh tinggi besar. Salah seorang rambutnya putih
mengkilap, Cu Jiang dapat melihat jelas bahwa
kemungkinan besar keempat orang itu bukan dari Gedung
Hitam. Keempat orang itu tiba2 berhenti lalu duduk bersila
di muka gunduk kuburan.
"Suhu, kapan kita mulai turun tangan ?" seru salah
seorang yang duduk di sebelah kanan kepada lelaki tua
berambut putih yang duduk ditanah.
"Setelah terang tanah !"
"Masih ada waktu."
"Kita bunuh dulu beberapa kelinci dan anak cucunya."
"Tetapi tidakkah hal itu akan membuat mereka tahu dan
memperkeras penjagaan ?"
"Ah. tak apa. Mereka hanya mengandalkan barisan Ho
thian-tin saja."
Orang yang duduk di sebelah kiri berseru sinis: "Asal
Gedung Hitam sudah dibasmi dan Toan-kiam-janjin
menyerahkan batang kepalanya, perkumpulan kita tentu
akan menjadi yang dipertuan dalam dunia persilatan."
Cu Jiang terkejut. Kiranya beberapa orang itu adalah
tokoh2 terkemuka dari gerombolan Sip-pat-thian-mo.
Sungguh kebetulan sekali. Jika mereka menyebut kakek
berambut putih itu dengan panggilan suhu, bukankah kakek
itu tokoh iblis yang bernama Jui- beng-koh?
Barisan Ho-thian-tin merupakan salah satu dari ilmu
barisan Ki bun ceng coat. Dan ilmu ajaran Ki bun ceng coat
itu berasal dari perguruan Thay hi bun.
Mengapa mereka tahu akan nama barisan itu? Dan
mengapa pihak Gedung Hitam dapat menyusun barisan
semacam itu?
Cu Jiang teringat bahwa toa-supeh (paman guru) pernah
menyuruh dia menyelidiki, siapakah orang yang dapat
menyusun barisan itu.
Tiba2 salah seorang dari keempat lelaki tua itu berkata:
"Kali ini jika tak mengandalkan ilmu kepandaian merobah
muka dari Kiu-te (saudara yang kesembilan) sehingga dapat
menyusup kedalam Gedung Hitam tentu sukar untuk
mengetahui siapa yang menyusun barisan itu..."
Cu Jiang menimang. Kiu-te adik kesembilan tentulah
dimaksud Cian-bin Koay-mo atau Iblis-seribu muka yang
tercantum pada urutan ke sembilan dalam gerombolan Sip-
pat-thian-mo.
Mengapa mereka hendak mencari orang yang menyusun
barisan itu ? Apa maksudnya ?
Cu Jiang segera memasang telinga untuk mendengarkan
pembicaraan mereka lebih lanjut.
"Lo pat, rupanya Thian memberkahi kita," kata lelaki
yang berada di sebelah kiri.
"Tetapi harus membantu diri sendiri dulu baru Thian
akan membantu kita." sahut orang tua berambut pulih.
"Lo-liok, yang paling menakutkan adalah si Toan kiam
jan-jin itu..."
"Ji-ko," kata kawannya yang disebut Lo-liok atau
saudara yang keenam, "keadaan kita memang sudah
berantakan. Yang mati dan yang cacad. Dendam darah ini,
negeri Tayli harus membayar seratus kali lipat."
-oo0dw0oo-

Jilid 23 Tamat
Diam2 Cu Jiang menghitung-hitung. Gerombolan sip-
pat-thian-mo, selain tiga iblis yang saat itu berada disitu,
hanya tinggal dua lagi yaitu iblis nomor sembilan dan iblis
nomor satu. Kalau ia dapat membasmi empat iblis lagi.
kekuatan mereka tentu sudah rontok.
Tetapi dia tahu bahwa iblis tua yang berada disitu, tentu
sukar dihadapi. Tentu harus mencari aksi dan kesempatan
untuk menghancurkan mereka. Jika mereka sempat bersatu
dan melakukan pengeroyokan, akibatnya tentu sukar
dibayangkan.
"Lo kiu datang?!" tiba2 lelaki tua di sebelah kiri berseru.
Dan serentak itu seorang lelaki tua berpakaian hitam
muncul dengan mencekal tangan seorang lelaki setengah
tua yang juga berbaju hitam.
Wajah lelaki setengah tua itu pucat lesi dan gemetar
ketakutan.
Lelaki tua berambut putih berpaling dan menegur tajam:
"Bagaimana !"
"Dia sudah melukis barisan itu."
"Boleh dipercaya?"
"Dia takut mati sekali !"
"Ha, ha, ha, ha..."
Cian bin koay-mo segera mengeluarkan segulung kertas,
katanya: "Inilah gambar barisan itu. Setiap lukisan empat
helai, harap suhu periksa."
Ia memberikan kepada iblis kedelapan yang berada dekat
dengan dia, kemudian iblis kedelapan itu memberikan
selembar kepada iblis tua berambut putih, sisanya dibagi-
bagikan setiap orang selembar.
Dalam tempat persembunyiannya, Cu Jiang memandang
dengan seksama kepada lelaki setengah tua yang tangannya
dicengkeram iblis Cian-bin koay-mo.
Tetapi ternyata dia tak kenal dengan orang itu, Menurut
pakaiannya, orang itu tentulah seorang tokoh Gedung
Hitam yang mempunyai kedudukan tinggi.
Keempat iblis itu memeriksa teliti gambar barisan.
Kemudian iblis ke sembilan atau cian-bin koay-mo (iblis
seribu muka) berkata:
"Gambar itu sama dengan gambar yang dulu dia
serahkan. Agar tidak salah maka kusuruh dia membuat lagi
empat lembar..."
"Waktu sudah hampir tiba, kita bekerja menurut rencana
semula!" kata iblis tua rambut putih.
Cianbin koay-mo segera menarik lelaki setengah tua itu
bersembunyi kearah ia datang tadi. Sedang ketiga iblis yang
lain lalu berpencaran.
Terdengar suara genderang berbunyi tiga kali. Cu Jiang
makin tegang. Tak perlu diragukan lagi iblis tua berambut
putih itu tentulah iblis Jui bengkok atau si Genderang-
pelelap nyawa, guru dari kawanan Sip pat thian mo.
Suara kentungan itu ternyata bukan kentungan biasa
melainkan hamburan dari mulut iblis berambut putih itu.
Memang aneh dan dahsyat sekali nadanya sehingga anak
telinga hampir pecah di buatnya.
Diam2 Cu Jiang teringat akan pasangan dari iblis tua itu
yakni nenek Toh hun pi peh. Jika tidak karena ia memiliki
tenaga dalam yang kuat, tentulah dia sudah binasa digetar
suara harpa nenek itu.
Diapun masih memikiri lelaki setengah tua yang
diringkus Cian bin koay mo itu. Orang itu rupanya tahu
akan rahasia barisan Ho thian tin ia harus membayangi
orang itu.
Maka iapun segera menyelinap turun dari pohon dan
terus mengitar menuju kesamping mencari Cian-bin koay-
mo.
Bagian belakang gunung itu merupakan sebuah tempat
yang turun naik seperti bentuk pelana kuda, puncak disitu
seolah2 bersambung dengan puncak yang lain seperti
bentuk punggung onta.
Saat itu sudah menjelang tengah malam, Gelap sekali.
Karena sampai beberapa waktu tak dapat melihat bayangan
Cian bin koay-mo akhirnya Cu Jiang naik lagi ke puncak
gunung.
Diatas puncak itu pohon2 tumbuh tinggi tetapi tak
berapa banyak. Dari jauh ia seperti melihat sosok bayangan
bergerak dibawah pohon. Hati2 sekali Cu Jiang
menghampiri.
Ternyata dibawah pohon itu memang terdapat Cian bin
koay-mo. Sedang lelaki setengah tua itu diikat dengan akar
pohon, rupanya jalan-darahnya telah ditutuk.
Cu Jiang membuka bungkusan dan menyisipkan pedang
kutung di pinggang. Dia tak mengenakan kerudung muka
dan tetap tak ganti pakaian.
"Tio-huhwat." seru Cian bin koay-mo dengan nada sinis.
"terpaksa menyiksamu satu malam ini. Kalau
penghancuran barisan itu berjalan lancar, engkau boleh
bebas!"
Kiranya lelaki setengah tua itu hu-hwat dari Gedung
Hitam. Tetapi mengapa dia dapat melukis barisan Ho thian-
tin ?
Waktu amat mendesak. Cu Jiang tak mau membuang
waktu. Dia terus muncul dan Cian-bin koay-mo pun cepat
dapat mengetahui.
"Siapa ?" Ia berputar diri dan membentak.
"Seorang pejalan gunung." sahut Cu Jiang.
Melihat perwujudan Cu Jiang, rupanya Cian bin koay-
mo meremehkan, Dia terus melesat maju menghampiri dan
tertawa mengekeh: "Budak kecil, pulang saja ke rumah
nenekmu !"
Secepat kilat. Cian-bin koay-mo mencengkeram. Begitu
hampir menyentuh dada. Cu Jiang terus menghantamnya.
Sudah tentu Cian-bin koay-mo tak mengira sama sekali.
Apalagi tenaga kepandaian Cu Jiang jauh lebih tinggi.
Seketika ia menjerit ngeri dan muntah darah.
Bluk . . ." iblis itupun jatuh.
"Bangun !" bentak Cu Jiang.
Cian-bin koay-mo berbangkit dan memandang Cu Jiang
dengan bengis.
"Budak, engkau .... siapa ?"
"Bukankah anda ini Cian-bin koay-mo ?" Cu Jiang balas
bertanya.
"Bagaimana .... engkau tahu ?"
"Aku telah mengarungi empat penjuru dunia karena
hendak mencari engkau."
Cian bin koay-mo menyurut langkah.
"Siapa sebenarnya engkau !"
Pelahan-lahan Cu Jiang mencabut pedangnya.
"Toan-kiam-jan Jin!" Cian-bin koay-mo memekik kaget,
seraya terus loncat ke balik pohon. Tetapi Cu Jiang
gunakan tata-langkah Gong-gong-poh-hwat untuk mengejar
sehingga Cian-bin-koay-mo kabur matanya karena tak
dapat menentukan tempat posisi lawannya.
Cian bin koay-mo serasa bilang semangatnya ketika
melihat Cu Jiang seperti lenyap. Pukulan yang dideritanya
telah menyebabkan ia terluka parah.
Satu-satunya jalan yang paling selamat ialah harus lari.
Dengan menghimpun sisa tenaga, dia terus hendak
ayunkan tubuh....
"Berhenti!" tiba2 segulung tenaga telak mendorong
tubuhnya yang tengah melayang di udara itu terpental jatuh
ke tanah lagi. Dan tahu2 Toan-kiam-jan-jin sudah berada
dihadapannya.
"Toan-kiam jan-Jin ... engkau hendak mengapakan
diriku ?" seru iblis itu menggigil.
Karena jejaknya sudah diketahui oleh kawanan Sip-pat-
thian mo, maka Cu Jiang memutuskan akan membasmi
kawanan iblis itu. Kalau tidak kelak tentu menimbulkan
bahaya besar bagi negeri Tayli.
"Bagaimana selera anda tentang alam pemandangan di
tempat ini?" serunya dingin.
Tubuh Cian-bin koay-mo gemetar. Tiba2 mulutnya
memekik aneh dan dengan menggunakan segenap sisa
tenaganya yang ada. ia hantamkan kedua tangannya kearah
Cu Jiang. Dia memang sudah kalap dan tak mau mati
begitu saja.
Bum . . . Cu Jiang pun menyongsongkan kedua tangan
untuk mengadu kekerasan. Terdengar suara erang tertahan
dan tubuh Cian bin koay-mo sempoyongan lalu rubuh.
Setelah beberapa saat menggelepar meregang jiwa,
akhirnya tubuhnya pun kaku tak berkutik lagi.
Cu Jiang terkejut sekali ketika melihat wajah Cian-bin
koay-mo telah berubah menjadi lain perwujudan. Tetapi dia
tak sempat untuk menyelidiki hal itu dan terus lari kembali
ke tempatnya tadi.
Dari puncak disebelah muka terdengar suara bentakan
keras bercampur dengan pekik jeritan ngeri. Rupanya
kawanan iblis itu sudah mulai mengganyang anak buah
Gedung Hitam. Biar mereka saling bunuh sendiri, Cu Jiang
tak mau menghiraukannya.
Ketika melihat Cu Jiang, huhwat Gedung Hitam yang
diikat dengan akar pohon tadi. wajahnya berobah lesi. Cu
Jiang segera menghampiri.
"Siapakah nama anda ?" tegurnya.
"Lau Wi Han."
"Asal dari ?"
"Maaf tak dapat memberitahu."
Cu Jiang mendengus: "Apakah barisan Ho-thian tin itu
anda yang merencanakan?"
"Ya, benar."
"Gambar barisan yang aseli, darimana anda
mendapatkan ?"
Hu-hwat Gedung Hitam itu deliki mata. Beberapa saat
kemudian baru dia berkata dengan suara tersendat:
"Ini ... ini .. . warisan keluargaku!"
"Apa katamu? Warisan dari keluarga?"
"Ya."
"Siapa keluarga anda?"
"Ya . . . yalah keluarga Lau."
"Ilmu barisan keluarga Lau."
"Benar."
"Dalam dunia persilatan Tionggoan, rasanya tak pernah
terdengar sebuah barisan dari keluarga Lau ..."
"Yang mengerti, belum pasti namanya akan termasyhur."
Cu Jiang menggeram marah: "Ketahuilah, Jika anda tak
mau bicara terus terang, aku tak menjamin keselamatan
jiwamu."
"Memang keteranganku itu semua sungguh2!"
"Betul? Hm, rupanya kalau belum Melihat peti mati,
anda memang belum menangis . . . . " habis berkata Cu
Jiang hendak menutuk perut orang itu tetapi tiba2 dia
melihat jari tangan kanan orang itu hanya tiga. Jari telunjuk
dan jari tengah hilang.
Seketika meluaplah bawa pembunuhan dalam benak Cu
Jiang. Dia batalkan tutukannya.
"Mengapa jari tangan anda hilang dua buah?" tegurnya
dengan mengertek gigi.
Seketika wajah orang itu berkerenyutan tegang dan
membisu.
"Bilang!" bentak Cu Jiang.
"Ini . . . apa kepentinganmu?"
"Apa engkau tetap tak mau bilang?"
"Tak . . . bisa memberitahu."
"Peristiwa berdarah di gunung Bu-leng san, apa engkau
masih berani menyangkal tak ikut campur?"
Wajah Lau Wi Hian makin ngeri.
"Toan kiam janjin . . . engkau . . . engkau benar putera
dari Dewa-pedang?"
"Ya. "
"Mengapa . . . engkau tahu?"
"Di tempat pertempuran itu terdapat kutungan jari."
"Tetapi . . . tetapi hal itu hanya secara kebetulan saja.
Aku . . . aku tak tahu ..."
Karena geram, Cu Jiang menutuk perut orang itu. Lau
Wi Hian meraung kesakitan. Cu Jiang memutuskan tali
pengikatnya dan membuka jalan-darah yang ditutuk Cian
bin koay mo tadi.
Bum . . . Lau Wi Hian rubuh dan berguling-guling di
tanah. menggelepar dan meregang . . .
"Engkau mau bilang atau tidak?"
"Tidak . . tahu . . ."
"Baik, akan kucincang tubuhmu," ia mematahkan sebuah
dahan pohon, mengalirkan tenaga-dalam ke dahan itu dan
menghardik:
"Orang she Lau, kalau menggunakan pedang, engkau
tentu keenakan. Sekarang aku hendak memakai dahan
pohon itu agar engkau tahu bagaimana rasanya disate itu."
"Aah . . . ," Lau Wi Hian menjerit ngeri ketika dahan
kayu itu menembus bahunya. Ujung dahan itu tak runcing
dan tak rata. Hanya karena disaluri dengan tenaga-dalam
maka dahan itu menjadi sekeras baja. Begitu menyusup ke
dalam daging, sakitnya jangan dikata lagi.
"Bilang! "
"Auh . . . kembali lengannya tertusuk ujung dahan.
Darah bercampur dengan tanah dan orang itu sudah tak
seperti manusia lagi wujudnya. Dia meraung-raung seperti
harimau buas.
"Kalau tak mau bilang, akan kuhias tubuhmu dengan
seratus lubang tusukan."
"Bu . , nuh saja aku!"
"Tidak seenak itu. bung !"
"Ya. . aku akan bilang . . dan kasihlah aku kematian
yang lebih cepat . ."
"Bilang !"
"Be . . nar . . kedua jari tanganku ini . . memang . .
dibabat putus oleh Dewa-pedang. . "
"Berapa banyak orang yang ikut dalam pengeroyokan
itu?"
"Ada . . dua puluh orang lebih."
"Siapa pemimpinnya?"
"Ketua . . Gedung Hitam."
"Baik, sekarang terangkan asal usul barisan Ho-thian-tin
itu!"
Lau Wi Hian menenangkan napas, tiba? ia menjerit
kalap: "Aku memang harus mati !"
"Tentu," kata Cu Jiang dangau nada dingin. "meskipun
mati sampai seratus kali, juga belum cukup. Lekas bilang,
mengapa engkau mampu membentuk barisan Ho-thian-tin
itu?"
"Mengapa eng . . kau menanyakan hal itu?"
"Sudah tentu ada kepentingannya."
"Apakah . . engkau mau memberitahu tentang
kepentinganmu itu?"
"Sudahlah, kewajibanmu hanya memberi keterangan
tentang barisan itu."
"Aku . . merasa heran . . mengapa engkau mendesak
pertanyaan itu . ."
Cu Jiang menggeram: "Ketahuilah, bahwa ilmu barisan
Mo-thian-tin itu merupakan ilmu simpanan dari sebuah
perguruan. Orang luar tak mungkin mengetahuinya."
Lau Wi Hian berhenti berguling, sepasang matanya yang
merah berdarah memandang Cu Jiang sampai beberapa
saat.
"Engkau .. mengapa tahu soal itu?" serunya.
"Kuberitahu yang lebih jelas lagi. Bahwa Ilmu simpanan
itu adalah dari perguruanku."
Biji mata Lau Wi Hian melotot seperti mau keluar,
serunya: "Perguruan . . per . . guruan . . kapan engkau
masuk kedalam perguruanmu?"
Cu Jiang tergetar hatinya. Tiba2 ia teringat sesuatu dan
berseru bengis:
"Bukankah engkau murid pertama dari toa-supehku Ih
Se lojin?"
"Siapakah engkau . . ,. sebenarnya ?" Lau Wi Hian
makin gemetar.
"Kenalkah engkau akan orang yang bernama Yang Wi ?"
"Engkau .... pewaris dari Yang suhu ?"
"Benar."
"Cousu yang berada di alam baka, murid berdosa besar
dan dengan ini murid hendak menebus dosa itu . . ."
terdengar jeritan ngeri dari mulut Lau Wi Hian. Mulutnya
menyembur darah dan seketika putuslah jiwanya. Ternyata
dia telah bunuh diri dengan menggigit lidahnya.
Murid murtad, musuh dan suheng ....
Mau tak mau tangan dan kaki Cu Jiang terasa dingin
juga, Dia seolah mengalami impian buruk. Menurut
keterangan dari toa-supeh (paman guru) murid pertama dari
paman gurunya itu pada sepuluh tahun berselang telah
pulang untuk merawat ibunya.
Tiap setahun baru murid itu berkunjung ke gua. Ternyata
dia telah bekerja pada Gedung Hitam dan menjadi sebagai
hu hwat.
Setelah mengubur mayat Lau Wi Hian. Cu Jiang
kembali ke puncak di sebelah muka lagi. Di langit timur
sudah menyemburat warna kuning. Empat penjuru puncak
gunung itu penuh bertebaran sosok2 mayat.
Kemudian dia turun dan menuju ke tempel kawanan
iblis itu berkumpul beberapa taat lalu, gembong iblis Jui-
beng-koh berbangkit dan memberi perintah:
"Kita mulai, dibagi empat kelompok menyerbu kedalam
barisan. Kita bertemu di pintu barisan. Perhatikan, setiap
tempat yang terdapat tiang merah, disitu terdapat
pemasangan obat peledak. jangan menyentuhnya !"
Di tempat persembunyiannya, diam2 Cu Jiang bersyukur
dalam hati. Jika tidak mendengar keterangan iblis tua itu
mungkin dia akan tertimpa bencana.
Keempat iblis itu segera lari turun dari puncak. Diam2
Cu Jiang mengikuti mereka. Ia sudah mengerti tentang
susunan barisan Ho Hay tin itu.
Jika menggunakan kesempatan itu untuk
menghancurkan ketiga iblis, maka hanya tinggal gembong
iblis Jui-beng-koh yang akan berhadapan dengan ketua
Gedung Hitam. Dan dia akan menyelundup untuk
menolong puteri Tayli.
Rupanya serangan yang diincarkan keempat iblis telah
menghasilkan jatuhnya banyak korban dari pihak Gedung
Hitam. Kini mereka dapat leluasa memasuki barisan..
Cuaca pagi makin terang. Lembah yang terjepit diantara
dua buah puncak, merupakan pintu barisan. Setelah saling
memberi isyarat, mereka berempat lalu menyerbu masuk.
Cu Jiang memutuskan untuk mengikuti iblis nomor dua.
Setelah masuk dan membiluk kesebelah kanan ia melihat
disebelah muka tampak seorang tengah memotong jalan.
Orang itu tentulah iblis kedua.
Keempat iblis itu memasuki barisan dengan menurutkan
peta yang dibuat Lau Wi Hian, Sedang Cu Jiang sudah
faham akan barisan itu. Setelah beberapa waktu mengikuti
di belakang. Cu Jiang lalu melesat ke belakang iblis kedua
itu dan membentak: "Tunggu dulu!"
Iblis kedua terkejut dan berpaling. Tetapi sebelum ia
sempat berbuat apa2, Cu Jiang sudah menyabet batang
leher iblis itu hingga jatuh terpisah dari tubuhnya.
Setelah itu dia mengitar lagi untuk mencari iblis keenam
dan iblis ke sembilan. Tanpa banyak membuang tenaga,
dapatlah dia membunuh ketiga Iblis dari gerombolan Sip
pat thian mo itu.
Kini tinggal gembongnya yakni iblis tua Jui beng ko. Ia
membobol jalan disebelah kiri dan menyusuri jejak Jui
beng-ko.
Barisan itu memang rapat sekali sehingga waktu ketiga
iblis dibunuh Cu Jiang, iblis tua Ju -beng koh tak tahu.
Cu Jiang tiba di bagian mata barisan yang dahulu Ang
Nio Cu mengatakan pernah tersesat. Tempat itu merupakan
tempat persambungan antara barisan bagian dalam dan
barisan bagian luar. Kunci pemecahannya sebatang pohon
siong yang pendek dan tiga gunduk kepingan batu. Asal
mata barisan sudah pecah, seluruh barisan akan berantakan.
Jui-beng-koh lebih dulu tiba disitu. Pada saat dia
mengangkat tangan hendak menghantam pohon siong itu,
tiba2 dari tengah2 tumpukan batu muncul seseorang yang
membawa sebuah bola kecil warna merah. Orang itu terus
melontarkan bola merah itu kepada Jui-beng-koh.
Saat itu Cu Jiangpun muncul: Melihat bola merah
melayang, tanpa disadari dia berseru: "Lekas mundur !"
Mendengar itu Jui-beng-ko pun cepat melayang mundur
sampai beberapa tombak lalu bertiarap.
Bola merah itu dihembus segulung angin keras dan
melayang jatuh ketengah gunduk keping batu, buum ....
Terdengar ledakan dahsyat, pasir dan tanah
berhamburan muncrat, batu2 pun hancur berantakan.
Beberapa saat kemudian di tempat ledakan itu telah
berlobang besar.
Pohon siong pendek lenyap dan gunduk keping batu
itupun rata, bahkan terdapat pula beberapa daging dan
kutungan anggauta tubuh manusia yang berserakan di
empat penjuru.
Suatu pemandangan aneh telah muncul. Begitu ledakan
dahsyat itu sirap. lebih kurang sepuluh tombak disebelah
muka, tampak muncul sebuah poh atau bangunan besar
yang terbuat dari batu, Bentuknya mirip dengan sebuah
benteng.
Jui-beng koh berbangkit, sambil membersihkan
pakaiannya dari debu. ia memandang Cu Jiang dengan
tajam, serunya : "Engkau siapa?"
"Penyerbu barisan !" sahut Cu Jiang.
"Engkau telah menolong jiwaku."
Cu Jiang tertegun. Sama sekali dia tak berniat hendak
menolong orang itu. Bahkan dia hendak membunuhnya.
Tetapi karena tak sadar tadi dia telah meneriakinya supaya
menyingkir. Dan kini secara tak sengaja, keduanya pun
menjadi kawan setujuan.
"Hm, ha. ya kebetulan saja!" sahutnya.
Di pinto poh, golok dan pedang bergemerlapan. Paling
tidak lima puluh orang terbagi menjadi empat lima
kelompok, berjajar-jajar di depan pintu. Mereka terdiri dari
laki perempuan, tua muda.
Jui-beng-koh memandang kian kemari. Rupanya dia
tengah mencari ketiga muridnya. Sementara jago2 dari
Gedung Hitam itupun tegang wajahnya.
Tiba2 Jui beng ko mengacungkan pusakanya, sebuah
genderang kecil, lalu dipukulnya. Serentak terdengar bunyi
genderang meledak sehingga jantung orang2 yang berada
disitu tergetar seperti mau putus.
Tung.. tung, tung . . .
Berturut-turut terdengar ledakan dahsyat macam
halilintar memecah angkasa. Berpuluh-puluh jago Gedung
Hitam itu kacau balau dan berbondong-bondong mundur ke
dalam gedung.
Sesaat genderang berhenti, maka di depan pintu gedung
itupun berserakan lebih dari dua puluh sosok mayat. Mata,
hidung, mulut dan telinga mereka mengalir darah.
Ngeri juga Cu Jiang menyaksikan peristiwa itu. Nyata
Jui-beng-koh memang sakti sekali.
Sekali lagi Jui beng-koh berpaling ke arah pohon siong
pendek. Tetapi dia tetap tak melihat ke tiga iblis anak
muridnya: "Aneh, " gumamnya.
Cu Jiang tak mau membuang tempo. Agar tidak
diketahui orang siapa dirinya, ia memungut sebatang
pedang dari salah seorang jago Gedung Hitam yang
menggeletak di tanah. Setelah itu dia terus menyerbu
masuk. Jui beng-ko cepat melesat mendahului di muka Cu
Jiang. Diam2 Cu Jiang girang. Biarlah gembong iblis itu
yang membuka jalan.
Gedung Hitam sesuai dengan namanya, memang
merupakan sebuah bangunan yang terbuat dari batu hitam
semua sehingga menimbulkan pemandangan yang
menyeramkan.
Juga halaman yang berada di belakang pintu besar,
ditabur dengan batu hitam. Di sekeliling tepi lapangan
terdapat jajaran rumah2 yang berpintu besi dan jendela
dengan terali besi. Semua berwarna hitam, mirip penjara.
Cu Jiang mengikuti Jui beng koh yang berhenti di tengah
lapangan. Sunyi senyap tak ada seorang pun juga.
"Siaucu, engkau tabu siapa aku ini?" Jui beng koh
berpaling.
"Sama dengan aku." sahut Cu Jiang hambar.
"Sama? Apanya yang sama?"
"Bukankah kita sama2 menjadi musuh Gedung Hitam?"
"O, benar. Menilik engkau hanya seorang diri saja dan
mampu menghantam pelor Bi lik tan tadi, engkau tentu
hebat sekali."
"Ah, harap jangan memuji."
"Waktu masuk ke dalam barisan, apakah engkau melihat
ketiga anak buahku?"
"Sudah mati semua. "
"Hai? Mati?"
"Ya, mayatnya malang melintang dalam barisan."
"Engkau melihat sendiri?" rambut putih dari iblis tua itu
bertebaran kencang.
"Ya."
"Bagaimana kematian mereka?"
"Di tangan Toan kiam jan jin."
"Toan kiam jan jin! " teriak Jui bengkok.
"Ya, memang dia. Mukanya bertutup kain, kaki pincang
dan pedangnya kutung."
Jui beng koh menggertakkan gigi: "Aku akan merobek
robek manusia itu!"
"Ingat, disini tempat Gedung Hitam, harap jangan lupa
!" Cu Jiang deliki mata.
"Mengapa aku tak melihat bayangannya ?"
"Kalau dia mau, tentu akan muncul."
Engkau ini.. Jika tak pernah menolong aku ..."
"Ada orang keluar!" cepat Cu Jiang menukas.
Memang saat itu disebelah muka dari pintu salah sebuah
rumah, muncul seorang lelaki tua berjubah hitam dan
mukanya ditutup dengan kain hitam. Dia diiring oleh
empat orang lelaki jubah hitam berwajah seram.
"Hah, hah, apakah ketua Gedung Hitam ?" Jui-beng-koh
tertawa mengekeh.
"Benar." sahut lelaki berkerudung kain hitam itu dengan
suara seram. "bukankah anda ini Jui-beng-koh ?"
"Benar !"
"Apa maksud kedatangan anda ?"
"Hendak menyampaikan sepatah kata!"
"Kedatangan anda dengan mengadakan pembunuhan
besar-besaran ini hanya perlu hendak menyampaikan
sepatah kata?"
"Hm..."
Ketua Gedung Hitam terkesiap mendengar jawaban
gembong iblis Jui-beng-koh yang begitu dingin.
"Kata2 itu tentu penting sekali. Aku ingin
mendengarnya." katanya.
"Hari ini juga. bubarkan gerombolan Gedung Hitam dan
jangan muncul dalam dunia persilatan lagi!" seru Jui-beng-
koh.
"Hanya itu?"
"Ya."
"Ha, ha, ha ... . anda, eh, Thay-siang kaucu masakan
Gedung Hitam yang begitu termasyhur akan serentak bubar
hanya karena sebuah kata dari engkau tadi?"
"Menurut atau tidak, terserah saja kepadamu."
"Kalau tidak menurut?"
"Dalam beberapa kejap. Gedung Hitam akan menjadi
kota hantu!"
Keempat pengiring yang berada di belakang ketua
Gedung Hitam mendengus geram. Tetapi ketua Gedung
Hitam sendiri tertawa lagi.
"Thay-siang kaucu." serunya lantang, "jangan kelewat
tak memandang mata pada orang!"
"Memang kalian tak kuanggap semua!"
"Walaupun Gedung Hitam bukan akhirat, tetapi
keadaannya hampir sama dengan neraka. Bisa masuk, tak
mungkin dapat keluar!" habis berkata tiba2 pintu tertutup.
Jui-beng koh mengerling kearah Cu Jiang, serunya: "Aku
hendak menghancurkan neraka ini."
Saat itu Cu Jiang sedang memperhatikan keadaan tempat
itu. Tetapi selain beberapa bangunan rumah batu yang
kelihatan, ia tak dapat melihat suatu apa lagi. Dia pernah
ditawan dalam penjara batu Gedung Hitam.
Karena menggunakan siasat pura2 jadi orang mati, ia
beruntung dapat lolos. Tetapi bagaimana ia dijebloskan
dalam penjara dan bagaimana ia lolos keluar, semua berada
dalam tempat gelap.
Sedikitpun tak berbekas dalam ingatannya. Diam2 ia
gelisah memikirkan cara untuk menolong puteri.
Jui-beng-koh mengangkat senjata genderang dan
tangannya yang satupun siap hendak memukul.
"Thaysiang kaucu," ketua Gedung Hitam tertawa sinis,
"seranglah, aku bersedia menerima letusan genderangmu
sampai tiga kali. Tetapi lebih dulu perlu kujelaskan..."
"Apa yang hendak engkau katakan ?" Jui-beng-koh
hentikan tangannya.
"Bagaimana kalau aku dapat bertahan menerima tiga kali
pukulan genderangmu?"
"Aku akan mengundurkan diri selama-lamanya dari
dunia persilatan dan perkumpulan Thong-thian-kau akan
kububarkan!"
"Apakah kata-katamu itu dapat kupercaya ?"
"Huh, masakan Jui beng ko..."
"Ah, sukar dikata !"
Cu Jiang tahu bagaimana kelicikan ketua Gedung Hitam
itu. Matanya yang berkeliaran dan sikap serta nada
perkataannya yang begitu tenang, jelas menunjukkan bahwa
dia sedang mengulur waktu.
Dan ketua Gedung Hitam itu seorang ahli dalam obat
peledak. Diam2 Cu Jiang meningkatkan kewaspadaan.
Tiba2 ia memperhatikan salah seorang dari pengiring
ketua Gedung Hitam, berpaling ke samping dan memberi
anggukan kepala.
"Dung...." Jui-beng ko mulai menghantam genderang.
Cu Jiang loncat menyerbu ke arah rumah batu di tengah.
Gerakan itu mencapai lima tombak.
Dan serempak waktu itu juga, terdengar letusan dahsyat.
Batu2 berhamburan, peron dari bangunan rumah di
lapangan itu hancur lebur.
Ternyata rumah2 itu mempunyai pintu penghubung satu
sama lain. Cu Jiang hampir saja tertimbun, untung dia
sudah waspada dan terus menyusup masuk ke bagian
dalam.
Setelah ledakan, berpuluh-puluh anak buah Gedung
Hitam berhamburan ke luar. Lapangan yang berlapis batu
hitam itu sudah hancur lebur penuh dengan lubang2 besar
sampai seluas lima tombak.
Dari jendela rumah, Cu Jiang dapat menyaksikan
pemandangan yang mengerikan itu. Kaki dan tangan Jui
beng-koh sudah hancur dan terkapar dua tombak dari pintu.
Rupanya diapun berusaha hendak meloloskan diri tetapi
terlambat.
"Hatur beritahu kepada pohcu, mayat setan kecil itu tak
kelihatan!" terdengar sebuah suara.
"Apa?"
"Hanya iblis tua itu yang hancur!"
"Lekas cari dalam rumah!"
"Baik."
Berpuluh-puluh anak buah itu segera lari masuk ke
dalam bangunan rumah. Cu Jiang mendapat akal. Dia lari
ke bagian belakang karena orang2 Itu memeriksa bagian
muka. Tetapi dia tak tahu keadaan gedung itu dan terpaksa
hanya lari membabi buta saja.
Beberapa saat dia tiba di sebuah pintu bundar yang
keadaannya beda dengan gedung2 lainnya. Gedung itu
dikelilingi pagar tembok. Di sebelah dalam pintu, bunga2
yang aneh menyiarkan bau harum dan jajaran batu-2
gunung yang sedap dipandang.
Cu Jiang teringat bahwa dalam Gedung Hitam terdapat
apa yang disebut Gedung Terlarang yang tak boleh
sembarangan dimasuki orang. Rupanya gedung itu tentu
Gedung Terlarang.
Setelah timbul pemikiran itu, cepat ia menyerbu masuk.
Tetapi belum sempat ia berdiri tegak, empat orang sudah
membentak dan menyerangnya dari kanan kiri.
Cu Jiang menyambut dengan pedang kutung. Terdengar
jeritan ngeri dan dua orangpun rubuh. Kiranya keempat
penyerbunya itu pengawal2 baju hitam.
Jika demikian benarlah dugaannya bahwa rumah gedung
yang hendak dimasukinya itu memang Gedung Terlarang
karena gedung itu khusus dijaga oleh Pengawal Hitam.
Kedua Pengawal Hitam yang lain kesima. Sementara
saat itu dari ruang tengah muncul dua wanita. Cu Jiang
cepat membabat kedua Pengawal Hitam itu. Yang satu
rubuh dan yang satu sempat loncat meloloskan diri keluar
dari pintu dan terus lenyap.
Tung, tung, tung, tung . . , dari halaman Gedung
Terlarang itu segera berdentang-dentang genta peringatan
bahaya.
Cu jiang terus lari ke arah kedua perempuan itu. Mereka
menjerit kaget dan lari masuk tetapi Cu Jiang sudah
memburu dan mengarahkan ujung pedang pada salah
seorang dari mereka dan membentak: "Dimana tempat
ditahannya tawanan gadis itu? Lekas bilang !"
Perempuan itu berputar tubuh hendak tetap melarikan
diri tetapi dia segera menjerit karena punggung tertusuk. Cu
Jiang berpaling dan mengancam perempuan yang seorang.
"Lekas bilang !"
Perempuan itu pucat dan gemetar. Dengan suara
tersendat-sendat dia berkata: "Di. .. di.. sini..."
"Tunjukkan ke sana!"
Dengan langkah gontai, perempuan itu pun melangkah
keluar pintu ruang dan berjalan di lorong serambi menuju
ke kamar sebelah timur.
Sementara itu terdengar derap orang berlari. Perempuan
itu berpaling, dahinya mengerut kesangsian.
"Lekas !" bentak Cu Jiang seraya lekatkan ujung pedang.
Perempuan itu mengerang kesakitan lalu terhuyung-
huyung melangkah kedepan dan tiba dipintu ruang samping
kanan.
Beberapa penjagapun muncul dan terus menyerang Cu
Jiang. Cu Jiang menabas, dua orang rubuh, lainnya jeri..
Cu Jiang menendang daun pintu. Seorang dara cantik
tengah berdiri kesima di tengah ruang itu. Itulah puteri
Tayli.
"Kongcu, apa kenal dengan suaraku?" serunya tegang.
"Bukankah anda ini sausu?" puteri itu terkejut.
Beberapa sambaran angin pedang tiba dan Cu Jiang
berbalik diri membabatnya. Kembali dua orang rubuh.
"Kiongcu, apa engkau dapat berjalan ?"
"Tenagaku . ., dilumpuhkan."
"Lekas, kemari !"
Kiongcu melangkah keluar dari kamar dan terus lari
kepada Cu Jiang. Belasan pengawal sudah siap mengepung
mereka di tengah ruang.
Cu Jiang menikung. Yang penting ia harus
menyelamatkan putri itu dulu. Dia berada dalam kurungan
barisan, harus dapat mengendalikan nafsu untuk membalas
dendam.
Segera ia mengepit tubuh puteri di tangan kiri, ia terus
melangkah dengan pedang di tangan kanan. Baru
selangkah. beberapa orang itu sudah menyerangnya.
Penyerang2 itu menilik pakaiannya dapat di ketahui
bahwa mereka adalah pengawal dari Gedung Terlarang.
Sudah tentu kepandaiannyapun lebih tinggi dari Pengawal
Hitam biasa.
Tring, tring, huak. . huak ... tiga batang pedang terpental
ke udara, salah seorang penyerang itu rubuh. Cu Jiang
lanjutkan langkah. Ia membabat jago2 yang mengepung itu.
Empat batang pedang serempak meluncur ke arahnya.
Cu Jiang memutuskan. Untuk meloloskan diri tak ada
lain jalan kecuali harus turun tangan dengan ganas.
Terdengar jeritan ngeri dan dua orang jago Gedung
Hitam menggeletak lagi. Kepungan di tengah ruang itu
bobol tetapi diluar masih terdapat kepungan yang lebih
ketat lagi.
Tetapi Cu Jiang sudah nekad. Dia melangkah ke pintu
bundar. Kali ini dering senjata dan jeritan seram makin
hiruk. Separoh dari Jago2 yang mengepungnya itu rubuh,
sedang yang separoh masih tetap menyerang.
Saat itu Cu Jiang sudah tiba di tepi pintu. Diluar pintu
barisan Pengawal Hitam sudah siap menunggu. Andai tidak
memikirkan keselamatan puteri, tentulah saat itu dia sudah
mengamuk sepuas-puasnya.
Puteri terkejut dan pucat menyaksikan pertumpahan
darah yang begitu dahsyat. Ia mendekap pinggang Cu Jiang
makin kencang. Diam2 kegagahan Cu Jiang itu telah
bersemi dalam hati puteri.
Rupanya barisan Pengawal Hitam itu gentar juga
menyaksikan kegagahan Cu Jiang. Mereka menyurut
mundur.
"Mundur !" tiba2 terdengar bentakan keras dan kawanan
jago Gedung Hitam itupun serempak menyingkir ke
samping sehingga terbuktilah sebuah jalan. Ternyata ketua
Gedung Hitam muncul.
Cu Jiang tegang dan sangsi mampukah dalam keadaan
seperti itu ia menghadapi ketua Gedung Hitam? Tetapi
berhadapan dengan musuh besar, bagaimana mungkin ia
takkan mengadu jiwa ?
"Lepaskan aku, engkau sukar lolos. Jangan kita berdua
kehilangan jiwa. Pergilah, mereka menghendaki kitab Giok-
kah kim-keng, untuk sementara tentu takkan mencelakai
aku."
Kata2 itu membangkitkan keputusan Cu Jiang.
Menyelamatkan puteri adalah yang penting. Ilmu
kepandaiannya didapat dari kitab Giok-kah-kim-keng dan
kitab itu merupakan kitab pusaka negeri Tayli. Dia merasa
menerima budi besar dari baginda Toan hongya. Dia harus
membalas budi itu.
Satu-satunya keuntungan pada saat itu, dirinya belum
ketahuan lawan, mereka mengira dia seorang jago dari
Thong-thian kau.
"Engkau benar2 panjang umur. Tetapi jangan harap
engkau dapat lolos dari Gedung Hitam," seru ketua Gedung
Hitam.
"Coba saja."
"Apa kedudukanmu dalam Thong-thian-kan?"
"Maaf. soal itu tak dapat kuterangkan."
"Lepaskan nona itu."
"Tidak bisa !"
"Apa tujuan mu membawanya ?"
"Kita sama2 setujuan."
"Engkau tahu ... dia siapa?"
"Puteri kerajaan Tayli."
"Sahabat, lepaskan dia dan engkau boleh pergi dari sini
atau kalau membangkang engkau tentu mati."
"Ha, ha, sudah kukatakan, tidak bisa."
"O, kalau begitu engkau kepingin menyusul ketuamu
Thay-siang kaucu itu?"
"Siasat keji, aku tak dapat menghargai."
"Terserah apa saja engkau mau bilang, pokoknya,
engkau tentu mati. ."
"Kalau tidak hidup tentu mati. Hidup itukan hanya
begitu," Cu Jiang tertawa sinis.
"Heh. hah, rupanya nyalimu hebat sekali,"
"Tak perlu memuji."
"Baik akan kulaksanakan keinginanmu itu."
Tring. ketua Gedung Hitam mencabut pedang. Cu
Jiangpun segera kerahkan seluruh semangatnya dan
menghimpun segenap kekuatannya.
Saling bersiap menyerang itu berlangsung cukup lama
sehingga suasana tegang sekali.
"Hait..." tiba2 Cu Jiang menyerang dulu. Dia tak mau
tenaga-dalamnya terhambur sia2.
Terdengar dering senjata yang tajam dan keduanya
mundur selangkah. Rencana Cu Jiang adalah hendak
menyelamatkan puteri. Setelah menempatkan puteri itu
disebelah lengan kiri, dia mulai menyerang lagi.
Ketua Gedung Hitam mampu menangkis. Tetapi setelah
Cu Jiang menyerang yang ketiga kalinya, ketua Gedung
Hitam sempoyongan beberapa langkah ke belakang. Bahu
sebelah kanannya berwarna merah.
Cu Jiang tak mau menghilangkan kesempatan. Dia
menyerang lagi yang keempat kalinya. Ketua Gedung
Hitam menggembor, tangan kiri menghantam dan tangan
kanan yang mencekal pedang-pun menabas ke atas.
Tetapi ternyata serangan Cu Jiang itu hanya gertakan
kosong. setelah sudah terpisah agak jauh dari ketua Gedung
Hitam, Cu Jiang terus gunakan ilmu langkah Gong-gong
poh-hwat untuk melesat ke luar.
"Kejar !" teriak ketua Gedung Hitam yang terus
mendahului loncat. Rombongan anak buah Gedung
Hitampun segera mengikuti.
Saat itu Cu Jiang sudah tiba di lapangan depan.
Rombongan anak buah Gedung Hitampun tiba tetapi Cu
Jiang sudah mempunyai rencana.
Setelah berhasil menghindari serangan dari muka, sekali
loncat ia sudah melesat di bawah pagar tembok lalu enjot
kakinya melambung ke atas tembok.
"Mau lari ke mana engkau!" ketua Gedung Hitam
memburu sampai di tengah lapangan. Tetapi Cu Jiang
sudah loncat turun di luar pagar tembok. Beberapa anak
buah Gedung Hitam yang hendak menghadangnya,
terpaksa harus melarikan diri.
Setelah melintasi dua buah puncak gunung, Cu Jiang tiba
di sebuah lembah, mencari tempat yang bersih, meletakkan
tubuh puteri Tayli lalu menghela napas: "Ah, akhirnya lolos
juga dari sarang harimau. "
Puteri memandang pemuda itu dengan rasa terima kasih.
Lama baru dia membuka mulut: "Jiang ko, aku merepotkan
engkau saja! "
Tergetar hati Cu Jiang ketika dipanggil Jiang-ko atau
engkoh Jiang. Ia tertawa: "Kalau kongcu sudah selamat,
aku sudah bersyukur kepada langit dan bumi."
"Apa engkau tak dapat mengganti panggilan kepadaku?"
"Tata susila tak boleh diabaikan."
Setelah mengalami peristiwa penculikan itu rupanya
perangai puteri yang nakal dan periang mulai berobah.
Dengan tersenyum rawan dia menghela napas: "Jiang-ko,
apakah engkau . . . tak mengerti hatiku?"
Sudah tentu Cu Jiang tahu, tetapi dia tak ingin menderita
kepahitan lagi maka dengan nada bersungguh2 dia berkata:
"Kongcu, lebih baik tinggalkan daerah Tionggoan..."
"Maksudku tak lain hanya ingin menikmati keindahan
alam di daerah Tionggoan."
"Tetapi dunia persilatan di Tionggoan itu penuh dengki
peristiwa2 yang berbahaya. Kurang baik bagi Kongcu. "
"Apakah engkau mengusir aku?"
"Ah tidak. Aku berkata dengan maksud baik. Biarlah Ki
Siau Hong dan Ko Kun yang mengantarkan kongcu
kembali ke Tayli."
"Dan engkau?" puteri kerutkan dahi.
Cu Jiang tertawa hambar: "Aku seorang persilatan,
setelah urusan tugas dan peribadi sudah selesai, aku hendak
menggantung pedang dan hidup menyepi ..."
"Hidup menyepi? Ah. kata2 mu seperti ucapan orang
tua. Jiang-ko, berapakah usiamu?"
"Kongcu, apa yang kualami dalam kehidupan banyak
sekali ..."
"Engkau tak mau kembali ke Tayli lagi?"
"Suhu telah mengatakan, memberi kebebasan kepadaku
untuk bertindak."
"Engkau belum menjawab pertanyaanku tadi."
Cu Jiang tertegun lalu keraskan hati, menjawab:
"Kongcu, aku . . sangat berterima kasih atas kebaikan
budimu ..."
"Sudahlah, jangan mengucapkan kata2 yang merendah
begitu."
"Ini bukan kata merendah."
"Lanjutkan kata-katamu."
"Aku . . sudah terikat dengan Janji pernikahan."
Seketika berobahlah cahaya wajah puteri itu, serunya
gemetar: "Benarkah itu?"
"Tentu saja benar . ."
"Apa engkau bukan cari alasan untuk menolak aku?"
Cu Jiang mengeluarkan dompet dari bajunya, "Inilah
tanda pengikat pernikahan itu." Puteri kesima. Hatinya
tentu remuk rendam. Beberapa saat kemudian barulah ia
paksakan bersenyum.
"Pilihanmu tentu seorang yang jelita sekali dan cerdas..."
"Tidak, hanya seorang gadis biasa," jawab Cu Jiang
penuh rasa haru karena teringat akan nasib Ho Kiong Hwa.
"Aku tak percaya."
"Ah, hal itu memang tak dapat kuhindari," kata Cu
Jiang, "kongcu, bukankah engkau mengatakan tenagamu
telah dilumpuhkan mereka?"
"Ya."
"Ijinkanlah aku membukanya."
"Baik."
Atas pertanyaan, kongcu itu mengatakan bahwa Jalan
darah Jin tok dan Tay-meh tak dapat lancar. Cu Jiang
segera menjulurkan jari dan melakukan tutukan dari jarak
jauh.
Cara membuka jalan darah dari jauh itu, hanya beberapa
orang saja di dunia persilatan yang mampu melakukan.
"Sudah, " seru puteri seraya menggeliat.
"Kongcu, mari kita tinggalkan tempat ini!"
"Baik."
"Daerah ini dikuasai Gedung Hitam. Mereka tentu telah
menghias daerah ini dengan alat2 yang berbahaya. Maka
terpaksa aku harus membawa kongcu untuk melintas
gunung dan menyeberang sungai."
"Bagus, akupun senang juga."
Demikian keduanya segera berangkat.
"Bagaimana kongcu sampai jatuh ketangan mereka ?"
tanya Cu Jiang.
"Ketua Gedung Hitam turun tangan sendiri."
"Oh..."
"Kepandaiannya memang menakjubkan sekali. Gerak
langkah yang kupelajari dari paman Nyo, ternyata tak
mampu menghindari dari orang itu."
Sebenarnya Cu Jiang hendak mengatakan bahwa bukan
gerak Gong-gong-poh hwat itu yang salah tetapi karena
tenaga-dalam puteri itu memang masih kurang sehingga tak
dapat mengembangkan ilmu tersebut.
"Ya, kepandaian ketua Gedung Hitam memang hebat
sekali," kata Cu Jiang karena tak mau menyakiti hati puteri.
"dan otaknya memang hebat. Kalau tidak masakan dia
mampu menguasai dunia persilatan Tionggoan selama
belasan tahun."
"Dimana toanio ?"
"Kita akan bertemu di jalan terdekat."
Petang hari, mereka tiba di kota pegunungan. Setelah
menempatkan puteri disebuah tempat yang aman, Cu Jiang
masuk kedalam kota, mencari Thian put-thou Ciok Yau Je.
Tokoh itu berada dalam sebuah rumah makan kecil sedang
minum arak.
"Adik kecil, mari kita minum arak !" serunya girang
ketika melihat Cu Jiang.
"Tidak, usah ada urusan penting."
"Urusan apa ?"
"Orang yang kita cari, sudah menunggu diluar kota ini."
"Dia ?"
"Ya,"
"Lalu bagaimana ?"
"Kita belikan makanan dan pakaian, suruh dia
menyamar ..." kata Cu Jiang, "dan apakah bisa
menyediakan kuda ?"
"Berapa ekor ?"
"Cukup seekor saja. Nanti akan kuserahkan
pengawalannya kepada pengawalnya."
"Baik, engkau tunggu saja disini," kata Thian-put-thou
terus ngacir keluar. Hanya setengah jam kemudian Thian-
put thou sudah muncul lagi dengan membawa sebuah
bungkusan besar: "Makanan dan pakaian disini semua.
Kudanya di luar kota, Berangkatlah dulu, nanti kutunggu
dengan kuda itu."
Pada saat itu dua orang imam yang jubahnya tak keruan,
masuk kedalam rumah makan itu dan duduk di pojok. Cu
Jiang seperti kenal dengan mereka. Ketika mengawasi
dengan seksama, ia girang sekati. Kedua imam itu tak lain
adalah Ki Siau Hong dan Ko Kun.
"Lekas berangkat, tunggu apa lagi !" desak Thian put
thou.
"Mereka sudah datang."
"Siapa ?"
"Orang yang akan mengawal."
"Oh..." Thian-put thou yang cerdas segera dapat
memahami maksud Cu Jiang.
Cu Jiang memberi sandi yang mendapat jawaban dari
kedua imam palsu itu. Karena tak leluasa berbicara, Cu
Jiang mengangguk kepala dan memberi isyarat "aman".
Setelah itu memberi pesan kepada Thian-put-thou
supaya mengadakan kontak dengan kedua imam itu, iapun
terus keluar. Ia kuatir puteri terlalu lama menunggunya.
Alangkah kejutnya ketika tiba ditempat dan tak
mendapatkan puteri berada disitu. Ia terlongong-longong
bingung.
"Nak..." tiba2 terdengar sebuah suara yang tak asing bagi
Cu Jiang, serentak dia menyahut: "Apakah toa-nio ?"
Seorang wanita gemuk muncul dari tempat gelap Dia
bukan lain memang Poan toanio, bibi Cu Jiang sendiri.
"Toanio, engkau juga kemari ?"
"Sudah berjumpa dengan kedua imam palsu itu?" kata
Poan toanio.
Cu Jiang mengangguk.
"Selama dalam perjalanan kami tak menemui rintangan
suatu apa dan kebetulan sekali dapat berjumpa dengan
engkau," kata Poan toanio.
"Toanio, kongcu..."
Poan toanio kerutkan dahi dan berkata dengan nada
sarat: "Nak, ada beberapa pertanyaan yang kuminta engkau
menjawab dengan sungguh."
Cu Jiang terkejut namun ia mempersilakan bibinya
mengatakan.
"Engkau anggap kongcu itu cantik tidak."
"Cantik sekali."
"Bagaimana peribadinya ?"
"Periang, lincah, ah, semuanya baik."
"Tetapi mengapa engkau menolaknya?"
Merah wajah Cu Jiang. Ia tertawa rawan.
"Toanio, tit-ji hanya seorang kelana dalam dunia
persilatan . . ."
"Begitupun suhumu, Gong-gong-cu tetapi dia pun mau
menjabat sebagai Koksu. Mendiang ayahmu bergelar
Dewa-pedang asal keturunanmu tidak rendah, nak."
"Ya, tetapi . . ."
"Mengapa engkau merendahkan dirimu sendiri. Jika
wajahmu belum pulih seperti sekarang, aku memang tak
dapat berkata apa2."
"Toanio belum mendengarkan habis keteranganku . . .
tit-ji sudah terikat perjodohan dengan orang."
Sepasang mata Poan toanio yang besar terbelalak.
"Benarkah itu?"
"Toanio mengapa aku membohongmu ?"
"Engkau tak pernah mengatakan hal itu kepadaku."
"Hal itu terjadi belum berapa lama dan Ang Nio Cu yang
menjadi perantaranya . . ."
"Ang Nio Cu menjadi comblangnya?"
"Ya."
"Siapa gadis itu?"
"Seorang gadis yang bernasib malang, namanya Ho
Kiong Hwa."
"Hm, Ho Kiong Hwa ..."
"Tetapi toanio, aku tak dapat mengecewakannya..."
"Apa dia pernah melepas budi kepadamu?"
"Tidak, tetapi bagaimanapun aku tak dapat
membuangnya . . . "
"Mengapa?"
Cu Jiang lalu menuturkan semua peristiwa yang
menimpa diri Ho Kiong Hwa yang karena merasa telah
ternoda lalu membatalkan ikatan kawin itu.
"Nak, apakah engkau keberatan untuk membatalkan
ikatan itu?"
"Walaupun ke ujung langitpun aku tetap hendak
mencarinya. Sebagai seorang ksatrya, aku tak mau
melanggar janji. Apalagi sebelumnya dia sudah terikat
perjodohan dengan aku."
"Itulah sebabnya maka engkau menolak kongcu?"
"Begitulah."
"Hm, memang engkau tak bersalah, tetapi kongcu
hancur hatinya ..."
"Akupun mengetahui hal itu."
"Baik, kita sudahi saja pembicaraan tentang hal itu.
Bagaimana keadaan di Gedung Hitam?"
"Barisannya sudah hancur. Karena Thong-thian-kau juga
ikut menggempur, banyak jago2 Gedung Hitam yang mati.
Kekuatan Gedung Hitam sudah lemah."
"Engkau pernah bertempur dengan ketua Gedung
Hitam?"
"Ya, tetapi demi menyelamatkan kongcu, terpaksa untuk
sementara kulepaskan dia."
"Bagaimana wajahnya yang aseli?"
"Tetapi masih belum diketahui tetapi kupercaya tak lama
kedoknya tentu akan terbuka."
"Lalu pihak Sip-pat-thian-mo?"
"Hanya tinggal seorang, yakni Hui-thian Sin-mo yang
kemungkinan menjaga di markas besar Thong-thian-kau.
Tugas yang diberikan suhu, boleh dikata hampir selesai."
"Nak, setelah tugasmu selesai, bagaimana kira-kira
rencanamu nanti?"
"Lebih dulu mencari Ho Kiong Hwa lalu mengundurkan
diri dan dunia persilatan."
"Tak kembali ke Tayli untuk menjabat Tin-lian ciang-kun
lagi?"
"Toanio, tit-ji tak begitu tertarik dengan pangkat."
"Juga kepada diriku ini?"
"Ah, toanio, tit-ji mempunyai rencana?"
Di gunung Bu-leng san terdapat seorang bu su yang
bernama Ban Ki Hong. Dahulu pernah mendapat pelajaran
ilmu pedang dari mendiang ayah. Dia senang tinggal
mengasingkan diri di gunung itu.
Apabila toanio ingin meninggalkan dunia ramai, tit-ji
bersedia mengantar toanio kesana. Kelak tit-ji tentu akan
merawat toanio sampai tua."
Poan toanio berlinang-linang air mata dan mengangguk
angguk: "Baik . . . baik ..."
"Toanio, kongcu ..."
"Mari ikut aku!"
Cu Jiang mengikuti wanita gemuk itu. Beberapa jenak
kemudian mereka tiba di sebuah tempat yang penuh
gunduk batu tinggi.
"Kongcu! Kongcu!" teriak Poan toanio. Tetapi sampai
diulang beberapa kali tak terdengar penyahutan. Cu Jiang
mulai gelisah.
Poan toanio segera mencari ke sekeliling tempat itu
tetapi beberapa saat kemudian ia muncul dengan dahi
mengeriput: "Aneh, dia menunggu aku di sini."
Tiba2 ia melihat sesosok tubuh kecil berlari-lari
mendatangi. Cepat ia meneriaki Cu Jiang dan pemuda itu
pun bergegas keluar.
"O, dia adalah sahabat tit-ji, Thian-put-thou lo koko !"
serunya gembira.
Memang yang datang itu Thian put thou. "Adik kecil,
engkau di sini? Dan ini . . "
"Bibiku Poan toa-nio."
"O, insaf, pencuri tua menghaturkan hormat."
"Ah, terima kasih," Poan toaniopun balas memberi
hormat.
Kemudian Thian-put-thou bertanya kepada Cu Jiang:
"Apa engkau hendak mencari kongcu?"
Cu Jiang mengiakan.
"Tak perlu engkau cari ..."
"Mengapa?"
"Dia sudah pergi."
"Pergi?" Cu Jiang terkejut.
"Ya, dia telah diiring oleh kedua pengawal yang
menyaru sebagai imam itu."
"Ah . . ." Cu Jiang mendesah.
"Dia hanya meninggalkan pesan kepadamu, asam di
gunung, garam di laut, semoga dapat berpadu!"
Cu Jiang mengeluh dalam hati. Dia seperti kehilangan
sesuatu. "Baik. perpisahan begini memang lebih baik."
akhirnya ia menghela napas.
"Ya, tetapi kurang enak juga terhadap Kok-su dan
baginda Toan hongya, " kata Poan toanio.
"Kalau begitu tit-ji akan menyusulnya."
"Buat apa?"
Cu Jiang tertegun. Ya, kalau bertemu dengan puteri
Tayli itu apakah yang harus ia katakan. Bukankah kedua
pihak akan sama menderita hatin?
"Nak, tak perlu bersedih. Biarlah urusan itu selesai
sampai disini." Poan toanio menghiburnya.
"Waktu kembali ke Tionggoan, keempat pengawal itu
ikut. Tetapi kini mereka hanya tinggal dua yang pulang.
Bukankah suhu dan baginda akan kecewa kepada tit-ji ?"
Poan toanio menghela napas dan mengatakan bahwa
kedua jago yang telah mengorbankan jiwa untuk kerajaan
Tayli itu, kelak tentu akan mendapat penghargaan."
"Sudahlah, Jangan bersedih akan peristiwa yang telah
lalu. Sekarang bagaimana langkahmu ?" tanya Poan toanio.
"Menyerbu Gedung Hitam lagi !"
"Tidak menunggu Ang Nio Cu ?" Thian-put-thou garuk2
kepala.
"Dikuatirkan ketua Gedung Hitam itu akan meloloskan
diri, tentu sukar untuk mencarinya !" kata Cu Jiang, "lo-
koko. .."
"Mau menghalang diriku lagi, ya ?" Thian-put-thou deliki
mata.
"Ih, bukan begitu."
"Lalu bagaimana ?"
"Langkahku kali ini adalah untuk membalas dendam
keluargaku."
"Tak menghendaki bantuan orang ?" Thian-put-thou
menukas.
"Ai, lo-koko .. ."
"Si tua ini hanya melihat saja, tidak ikut turun tangan,
bagaimana?"
Apa boleh buat, Cu Jiang hanya dapat tertawa meringis.
"Baiklah kalau begitu."
Demikian ketiga orang itu segara lari menuju ke gunung
lagi. Tiba di daerah markas Gedung Hitam, sudah hampir
fajar hari. Karena sudah faham jalannya, maka Cu Jiang
membawa Poan toanio dan Thian put thou ke puncak yang
di datangi dulu.
"Toanio, dari sini lebih kurang seperempat jam lagi. kita
akan tiba di Gedung Hitam! Mumpung musuh belum
bersiap-siap, kita terus menyerangnya saja!"
"Baik," sahut kedua kawannya.
Kali ini Cu Jiang memang hendak datang secara terang-
terangan. Dia menanggalkan kedok kulit muka dan berganti
dalam pakaian seperti seorang pelajar. Pedang kutung
diselipkan di pinggang. Kini dia benar2 kembali seperti Cu
Jiang dahulu atau si pelajar baju putih.
Tiba2 saat itu di lereng puncak yang terpaut sebuah
jurang, seperti tampak berpuluh bayangan orang sedang
bergerak.
"Toanio, lo koko, apakah melihat apa yang berada di
lereng puncak itu?"
Thian put thou memandang ke puncak itu:
"O, orang, paling sedikit sepuluh."
"Api !" tiba2 Poan toanio menunjuk ke arah markas
Gedung Hitam.
Cu Jiang berpaling. Memang benar Gedung Hitam yang
besar dan luas itu sedang dimakan api.
"Jangan2 mereka membakar sarangnya sendiri?" kata
Thian put-thou.
Cu Jiang seperti disadarkan. Orang2 dilereng puncak
sebelah muka itu, mungkin ....
"Aku hendak mencegat mereka!" ia terus loncat dan
menghilang dalam kabut. Poan toanio pun mengajak Thian-
put-thou menyusul.
Dengan gunakan gerak Gong-gong-poh-hwat, setelah
melintasi lembah, naik gunung turun gunung, dalam
beberapa waktu dapatlah Cu Jiang tiba di tempat orang2
tadi. Agar jangan membikin kaget mereka, ia sengaja
memutar dari samping dan naik ke puncak. Tetapi orang2
itu ternyata sudah tak ada.
Saat itu cuaca makin terang tetapi kabut di puncak
gunung masih meremang, pandang mata Cu Jiang
mengelilingi puncak itu tetapi tetap tak dapat menemukan
apa2.
Gedung Hitam sudah dibumi hanguskan dan tentulah
ketuanya sudah pergi. Thong-thian-kaupun sudah tak
mempunyai kekuatan lagi untuk menyerang Gedung
Hitam.
Poan toanio dan Thian-put-thou tiba.
"Bagaimana?" seru thian-put-thou.
"Mereka menghilang!"
"Mungkin kita salah siasat " tiba2 Poan toanio berkata.
"Bagaimana?"
"Sebenarnya kita langsung menyerbu ke Gedung Hitam,
mungkin masih dapat membekuk seorang atau dua orang
anak buahnya dan dapat kita korek keterangan. Sekarang
sudah terlambat."
"Sosok2 bayangan tadi memang mencurigakan."
"Mungkin sosok yang memusuhi Gedung Hitam."
Cu Jiang menghela napas. Menilik gelagatnya jelas ketua
Gedung Hitam sudah melarikan diri entah kemana.
Tengah ketiga orang itu termenung-menung kehilangan
langkah, tiba2 sesosok bayangan orang yang aneh, muncul
dari hutan jauh disebelah muka. Orang itu seperti mengepit
seseorang.
Tanpa bicara apa-2, Cu Jiang terus loncat memburu.
Ketika dekat, ia terkejut sekali. Ternyata orang itu tak lain
adalah Ang Nio Cu dan yang dikempitnya adalah Cukat
Beng Cu, puteri dari Cukat Giok yang kemudian waktu
menjadi anak dari ketua Gadung Hitam berganti nama Ki
Ing.
Menurut perhitungan tak mungkin Cukat Bsog Cu itu
dapat sembuh sedemikian cepatnya, kecuali tokoh aneh Kui
jiu-sinjin mempercepat pengobatannya.
Diam2 Cu Jiang mengikuti. Ilmu meringankan tubuh
dari Ang Nio Cu memang hebat sekali. Jika bukan Cu
Jiang, tentu sukar untuk mengikuti.
Berlari beberapa waktu, mereka tiba ditepi puncak. Dari
tempat itu melihat sebuah puncak jauh disebelah muka
Puncak gunung itu dikelilingi oleh lekuk2 lembah yang
lebat.
Ketika memandang kearah puncak itu seketika darah Cu
Jiangpnn bergelora. Belasan sosok tubuh yang menghilang
tadi ternyata sedang berjalan melintasi celah2 gunung.
Ang Nio Cu berhenti, turunkan Cukat Beng Cu dan
berbisik: "Apakah disini ?"
"Ya, benar," Cukat Beng Cu mengangguk.
"Kulihat ada orang yang berlari disini . ."
"Apa yang siau-moay duga memang tak salah," sahut
Cukat Beng Cu. Ia membahasakan dirinya sebagai siau-
moay atau adik.
"Celaka mengapa Toan-kiam Jan jin tak kelihatan
bayangannya ?"
"Taci, kalau engkau seorang diri apakah tidak terlalu
berbahaya.. ."
"Demi membalas dendam suhuku, aku tak
menghiraukan apa2 lagi!"
Mendengar itu Cu Jiang seperti mengetahui sesuatu.
Tetapi pada saat dia hendak muncul, Ang No Cu sudah
menyambar Cukat Beng Cu dan terus dibawa lari lagi.
Cu Jiang terpaksa mengikuti Bayangan orang yang
tampak berjalan di celah gunung tadi, tiba2 lenyap. Cu
Jiang terpaksa hentikan langkah. Tetapi Ang Nio Cu tetap
maju, bahkan rupanya ia sengaja berjalan ditengah celah
gunung itu.
Tiba2 timbul pikiran Cu Jiang. Jika dia mengitari gedung
itu tentulah dia akan dapat menemukan rombongan orang
tadi. Dan kalau dia berhati-hati bersembunyi dibalik batu
atau pohon, tentulah mereka takkan mengetahui.
Segera ia lakukan hal itu. Saat itu Ang Nio Cu tiba
ditempat dimana rombongan orang tadi menghilang. Ang
Nio Cu berhenti disitu. Cu Jiangpun segera bersembunyi
dibalik segunduk batu besar, terpisah tiga tombak dari
tempat Ang Nio Cu.
"Ang Nio Cu sengaja datang hendak bertemu!" seru Ang
Nio Cu dengan nyaring tetapi tak ada penyahutan.
Sekali lagi Ang Nio Cn mengulangi: "Jika tak mau
menampakkan diri, aku terpaksa akan menghancurkan
sandera ini!"
Sandiwara ? Apakah ketua Gedung Hitam bersembunyi
disitu ?
Waktu Cu Jiang dan Thian-put thou tak berkutik
menghadapi ancaman wakil ketua Gedung Hitam yang
hendak meledakkan obat pasang, tiba2 Cukat Beng Cu
muncul dan minta tali penarik bahan peledak itu dari
tangan Li Ing Bo, wakil ketua Gedung Hitam.
Ternyata dia meneriaki Cu Jiang dan Thian put-thou
supaya lari dan tidak mau menarik tali itu. Li lng Bo marah
lalu melepaskan pukulan beracun yang hampir saja
menewaskan jiwanya. Dengan tindakan itu tentulah Cukat
Beng Cu sudah tahu asal-usul dirinya. Pikir Cu Jiang.
Sekarang Ang Nio Cu membawanya ketempat itu,
mungkin mereka berdua sedang menggunakan apa yang
disebut Gok-ji ki atau siasat Menyakiti-diri.
Tetapi bukankah wakil ketua Gedung Hitam Li Ing Bo
itu sudah tahu penghianatannya ? Apakah siasat Gok-Ji ki
itu akan berhasil. Merenung hal itu, Cu Jiang gelisah.
"Heh, heh, heh, heh..." terdengar suara orang tertawa
mengekek sinis. Beberapa sosok tubuh dari arah lain,
muncul berlarian mendatangi. Yang paling depan adalah
ketua Gedung Hitam sendiri, dibelakangnya diiring oleh
dua orang pengawal Gedung Terlarang.
Melihat musuh muncul, darah Cu Jiang mendidih, hawa
pembunuh meluap-luap.
"Ang Nio Cu." seru ketua Gedung Hitam, hebat juga
engkau dapat menemukan tempat rahasia disini. . ."
"Thian maha pemurah!" tukas Ang Nio Cu.
"Bebaskan dia!"
"Boleh, tetapi ada syaratnya !"
"Syarat bagaimana?"
"Engkau harus bertempur, lawan aku satu lawan satu,
Iain orang tak boleh membantu."
"Hi, ha. ha, ha . . . Ang Nio Cu, tak ada lain hal yang
lebih bagus dari syarat yang engkau ajukan itu!"
"Masih ada lagi," kata Ang Nio Cu, "budak perempuan
ini telah kututuk jalan darahnya dengan ilmu tutuk yang
istimewa. Jangan engkau coba2 bertindak licik untuk
merebutnya.
Kecuali aku, tak mungkin lain orang mampu membuka
jalan darahnya yang tertutuk itu. Jika tak kubuka, dalam
waktu sejam, dia tentu mati!"
"Engkau pintar sekali ..."
"Bagimu masih tak terhitung apa2."
"Ang Nio Cu, kalau engkau mati, bukankah putriku yang
tersayang itu akan ikut mati juga ?"
"Hal itu tergantung dari rejekimu !"
"Baik, mari kita mulai."
"Suruh anakbuahmu itu mundur agak jauh."
"Kalian mundur," ketua Gedung Hitampun memberi
perintah dan kedua pengiringnyapun segera mundur sejauh
lima tombak.
Ang Nio Cu juga loncat mundur dua tombak untuk
meletakkan Cukat Beng Cu di kaki puncak. Dan secara
kebetulan tepat di depan Cu Jiang bersembunyi.
Pemuda itu kerutkan dahi. Dia tahu mungkin Ang Nio
Cu tak dapat menandingi kesaktian ketua Gedung Hitam.
Bukankah tindakannya itu berbahaya sekali ? Dendam tak
terbalas, dirinyapun mungkin binasa sendiri.
Ang Nio Cu kembali maju lagi. Dia membawa pedang
Cu Jiang yang tempo hari dijadikan barang tanda pengikut
perjodohan dengan Ho Kiong Hwa, Ketua Gedung Hitam
juga mencabut pedang. Setelah saling menatap beberapa
saat, mereka lalu mulai bergerak.
Ilmu pedang Ang Nio Cu memiliki gaya aneh dan
dahsyat dari sumber perguruan agama. Begitu bertempur,
keduanya sukar dilerai lagi.
Cu Jiang mengikuti pertempuran itu dengan penuh
perhatian. Dia tahu bahwa Ang Nio Cu mempunyai
dendam darah yang hebat dengan ketua Gedung Hitam.
Diam2 Cu Jiang menimang, jika dia keluar dan
menggantikan Ang Nio Cu tentu tak punya kesempatan lagi
untuk melampiaskan dendam kesumatnya.
Tetapi kalau tak turun tangan, Ang Nio Cu tentu tak
dapat membunuh ketua Gedung Hitam itu.
Pertempuran berjalan makin seru dan menakjubkan.
Sekonyong-konyong dua sosok tubuh diam2 telah
menyelinap ke tempat Cukat Beng Cu dan terus ulurkan
tangan hendak menyambar nona itu.
Cu Jiang terkejut. Cepat dia menjulurkan jari untuk
memancarkan ilmu Jari-sakti kepada kedua orang itu.
Tetapi sebelum ia sempat melakukannya. tiba2 kedua orang
itu mengerang terus rubuh, Cu Jiang diam2 menghela napas
longgar.
Kiranya Ang Nio Cu sudah menyiapkan langkah untuk
menghadapi perbuatan musuh yang hendak mengganggu
Cukat Beng Cu.
Tetapi saat itu Ang Nio Cu sudah mulai terdesak oleh
pedang ketua Gedung Hitam. Dengan mati-matian Ang
Nio Cu harus bertahan diri walaupun dengan pontang-
panting.
"Huak..." terdengar mulut Ang Nio Cu menguak dan
tubuhnya sempoyongan.
"Berhenti!" saat itu Cu Jiang tak dapat menahan diri lagi
dan terus melayang keluar.
"Adik !" teriak Ang Nio Cu girang sekali.
Ketua Gedung Hitam mundur tiga langkah seraya
berseru gemetar : "Toan-kiam-jan-jin !"
Sepasang mata Cu Jiang memancar hawa pembunuhan,
gerahamnya bergemerutuk.
"Tua bangka, dengarkan yang jelas, aku bernama Cu
Jiang putera tunggal dari Dewa pedang Cu Beng Ko!"
Kembali ketua Gedung Hitam mundur dua langkah
dengan wajah terkejut. Cu Jiang menghampiri maju dan
terus mencabut pedang kutung dari pinggangnya.
Ketua Gedung Hitam memandang Cukat Beng Cu
dengan mata penuh kemarahan, serunya:
"Budak hina, engkau berani mengkhianati aku?"
"Bangsat tua, aku hendak menyayat-nyayat daging
tubuhmu. Sekarang, bukalah kedok mukamu !" teriak Cu
Jiang.
Mata ketua Gedung Hitam berkeliaran ke samping tetapi
Cu Jiang segera menghardik:
"Jahanam, Jangan coba2 cari akal busuk, jangan harap
engkau dapat lolos!"
Cukat Beng Cu berbangkit terus lari kesisi Ang Nio Cu.
Ketua Gedung Hitam mendengus geram. Ia terus
mainkan pedang menyerang Cu Jiang. Serangannya itu
dilancarkan dengan sepenuh tenaga. Tampaknya dia
bernapsu sekali dirangsang kegugupan.
Cu Jiang membentak lalu memainkan ilmu pedang It-
kiam-tui-hun ajaran mendiang ayahnya.
Begitu terjadi benturan, terdengarlah suitan nyaring di
udara dan ketua Gedung Hitam itu terus hendak berputar
tubuh.
Tetapi Cu Jiang sudah menjagai hal itu. Dia loncat
membayangi dengan ujung pedang kutung sehingga ketua
Gedung Hitam itu terpaksa berbalik tubuh lagi untuk
melayaninya.
Rupanya kedua belah pihak sangat bernafsu sekali untuk
membunuh lawan. Setiap jurus yang dilancarkan selalu
jurus2 maut yang dahsyat.
Terdengar bentakan nyaring campur erang tertahan dan
tubuh ketua Gedung Hitampun berlumur warna merah. Dia
sempoyongan. Cu Jiang tak mau memberi ampun lagi. Ia
menyerang dengan sebuah Jurus ilmupedang It-kiam-tui-
hun.
Tring, tring....
Ketua Gedung Hitam mundur lagi beberapa langkah
tetapi ia masih dapat menangkis serangan maut lawan.
Cu Jiang makin kalap. Bagai harimau haus darah, dia
terus menyerang lagi. Terdengar erang pelahan dan tubuh
ketua Gedung Hitaaa bertambah luka baru pula.
"Aku hendak menghias mayatmu dengan seribu
tusukan." seru Cu Jiang.
"Hm. . . .!" ketua Gedung Hitam menggembor dan balas
menyerang seperti orang kalap. Delapan buah jurus yang
aneh dan ganas, disertai dengan seluruh tenaganya,
dilancarkan dengan hebat, Cu Jiang sibuk juga menangkis
dan terdesak mundur dua langkah.
Jika dia menggunakan ilmu pedang Thian-te-kau-thay
dari kitab pusaka Giok-kah-kim-keng, ketua Gedung Hitam
tentu tak mampu bertahan sampai lima Jurus. Tetapi karena
hendak membalas dendam maka ia tetap mempergunakan
ilmu pedang ajaran ayahnya. Itulah sebabnya maka ketua
Gedung Hitam mampu balas menyerang.
Delapan jurus yang dilancarkan ketua Gedung Hitam
telah selesai. Kini Cu Jiang mulai balas menyerang. Dia
tetap menggunakan ilmu pedang It-kiam-tui-hun.
Tring . . . terdengar pekik kejut dan pedang ketua
Gedung Hitam itupun mencelat ke udara. Cu Jiang julurkan
pedang buntung lurus ke muka. Mengarah dada lawan.
Ketua Gedung Hitam ketakutan dan mundur tetapi Cu
Jiang tetap mendesak maju.
Suasana gelanggang pertempuran diliputi hawa
pembunuhan. Tak ada seorangpun pihak Gedung Hitam
yang tampak. Mungkin karena melihat gelagat buruk
mereka sudah bersembunyi.
Setelah terus menerus mundur, akhirnya ketua Gedung
Hitam tertutup jalan oleh segunduk batu besar.
"Hiaaat . . . !" sekali pedang menggurat, Cu Jiang
berteriak kaget. Ia memang mencongkel kedok muka ketua
Gedung Hitam. Tetapi begitu wajah aseli dari lawan terlihat
jelas ia sendiri terkejut bukan kepalang. Kiranya ketua
Gedung Hitam itu tak lain adalah Bulim seng-hud atau
Buddha hidup Sebun Ong.
Buddha hidup yang begitu diagungkan sebagai tokoh
yang berhati mulia, ternyata seorang biang durjana yang
selama berpuluh puluh tahun telah meneror dunia
persilatan. Hampir Cu Jiang tak percaya apa yang
dilihatnya.
Rahasia besar dalam dunia persilatan kini telah
tersingkap. Tiong goan tay hiap Cukat Giok benar. Yang
merampas isteri dan puterinya memang Sebun Ong.
Cu Jiang teringat bahwa ketika menghembuskan napas
yang terakhir, toa suhengnya Ho Bun Cai pernah
mengucapkan kata "Sebun Ong" . Tetapi Cu Jiang tak
menyadari hal itu.
"Sebun Ong, belasan tahun engkau dapat mengelabuhi
mata dunia persilatan. Tetapi akhirnya Thian
menghukummu juga, ha, ha, ha ... . "
Cukat Beng cu berbalik diri. Rupanya ia tak sampai hati
melihat keadaan ayah tirinya yang selama ini
memperlakukan ia dengan baik. Ia belum tahu akan nasib
ayahnya sendiri.
"Budak, aku menyerah, bunuhlah !" seru Sebun Ong
dengan menarik napas.
"Sebun Ong, mengapa engkau memusuhi ayahku?"
"Dia tak layak mendapat gelar Dewa-pedang."
"Engkau . . . jahanam tua, hanya karena merasa iri saja,
sampai hati untuk membunuh seluruh keluargaku. Engkau
bukan manusia ..."
"Bunuhlah aku!"
"Tidak begitu cepat engkau harus mati, crat ..." pedang
buntung menusuk bahu kiri Sebun Ong, darah mengucur
deras, "ini untuk Cukat Giok lo cianpwe!"
Cret . . . kembali ujung pedang menusuk tembus bahu
kanan. "Dan ini untuk Toa suhengku Ho Bun Cai . . ! "
Sebun Ong berobah menjadi manusia darah. Ia terkulai
tetapi Cu Jiang mencengkeram dada dan mengangkatnya:
"Jahanam, mengapa dulu2 engkau tak mau bertobat!"
"Engkau . . engkau . . keji sekali . ."
"Dan yang ini adalah untuk arwah keluargaku . . . cret! "
pedang itupun menembus ulu hati Sebun Ong. Seketika dia
terkulai putus nyawanya.
Cu Jiang lalu berlutut menghadap ke barat.
"Ayah, mama, adikkku, paman Liok...aku telah
membalas dendam dan hendak menghancurkan kepala
musuh..."
Ang Nio Cu maju mencegahnya: "Adik Jiang orang yang
mati, sudah himpas dosanya. Dia sudah menerima buah
dari pberbuatannya!"
Cu Jiang menurut. Memandang ke segenap penjuru, ia
berkata: "Sisanya tentu masih..."
"Tempat ini merupakan sarang rahasia dari Gedung
Hitam yang penuh lorong2 berbahaya. Mereka tentu sudah
melarikan diri..." tiba2 Cukat Beng Cu menyela.
"O, nona Cukat, aku masih ada sesuatu yang belum
sempat kuberitahu kepadamu."
Sambil menggigit gigi, nona itu berkata: "Waktu
mamaku mati karena racun, diapun sudah menerangkan
sedikit . ."
"Tentang ayah nona?"
"Ayah sudah meninggal dunia."
"Tidak, beliau masih hidup!"
"Ayah masih hidup?" seketika gemetarlah tubuh Cukat
Beng Cu.
Cu Jiang lalu menuturkan semua peristiwa yang
dialaminya bersama Cukat Giok, serta soal dompet yang
diserahkan kepada mama Cukat Beng Cu. Nona itu
menangis tersedu-sedu.
Tiba2 dia berputar tubuh dan ayunkan tangan ke mayat
Se bun Ong. Tetapi setengah jalan, dihentikan lagi: "Ah,
sudahlah ..."
"Nona, inilah barang titipan ayah nona yang telah
diberikan kepadamu," kata Cu Jiang seraya menyerahkan
dompet dari Cukat Giok. Dengan tangan gemetar, Cukat
Beng Cu menyambutinya.
Kemudian Cu Jiang bertanya kepada Ang Nio Cu
mengapa dapat muncul lebih pagi di gunung Keng-san itu.
"Luka adik Beng Cu sembuh lebih cepat dari waktunya.
Kami segera menuju kemari. Mata2 Gedung Hitam
mengatakan kepada adik Beng Cu bahwa wakil ketua Li lng
Bo telah mati dibunuh orang Thong thian-kau. Maka ketua
itu tak tahu tentang perbuatan adik Beng Cu yang berpaling
haluan. Pada saat kami tiba, ternyata markas Gedung
Hitam sudah hancur. Dan dari seorang anak buah, adik
Beng Cu tahu kalau tempat ini merupakan tempat
persembunyian rahasia dari ketua Gedung Hitam . . ."
"Oh, maka taci lalu menggunakan siasat Gok-ji-ki untuk
memikat supaya Sebun Ong keluar !"
"Ya, tetapi aku salah..."
"Mengapa?"
"Tak tahu kekuatan diri sehingga apabila engkau tak
muncul, akibatnya tentu sukar dibayangkan!"
"Ah, itu karena Sebun Ong memang sudah sampai
umurnya mati!"
Tiba2 dua sosok bayangan berlari mendatangi. Ternyata
keduanya adalah Poan toanio dan Thian put thou.
Lebih dulu Cu Jiang memperkenalkan Ang Nio Cu dan
Cukat Beng Cu kepada bibinya.
"Ho, sungguh tak kira kalau ketua Gedung Hitam itu
ternyata Sebun Ong !" seru Thian-put-thou.
Dengan berlinang-linang. Poan toanio berkata: "Nak,
kini arwah ayah bundamu, adik-adikmu dan kawan2 yang
telah mati dengan penasaran tentu akan terhibur di alam
baka!"
Tiba2 Cu Jiang memperhatikan bahwa pada waktu
Cukat Beng Cu membuka dompet dari ayahnya, nona itu
tampak terlongong-longong.
"Nona Cukat !" tak terasa Cu Jiang berseru menegurnya.
Cukat Beng Cu tundukkan kapala. Mulutnya mendesis
lalu berpaling ke samping memandang Ang Nio Cu.
Cu Jiang mengikuti dengan pandang mata.Di lihatnya di
tangan nooa itu terdapat sebuah kumala yang berwarna
hijau kehitam-hitaman. Di bawah batu kumala itu terdapat
pula secarik kertas yang berisi beberapa tulisan.
"Apakah itu bukan Lencana Hitam ?" diluar kesadaran,
mulut Cu Jiang mendesir.
Cukat Beng Cu memandang Cu Jiang dengan pandang
mata yang aneh, Kemudian ia mengeluarkan sebutir
kumala dari bajunya lalu diletakkan di sisi kumala tadi. Ah,
benar2 sepasang batu kumala hitam yang baik bentuk dan
warnanya seperti pinang dibelah dua.
"Apakah artinya itu ? Cu Jiang berseru heran.
Wajah nona itu nampak pilu.
"Kedua untai kumala ini sebenarnya merupakan
sepasang. Ayah dan ibu masing2 menyimpan satu.Milik
mendiang, ibu telah diserahkan kepadaku." sampai disini ia
hentikan kata-katanya.
Wajahnya mengerut tegang, entah mengandung
perasaan marah atau dendam, kemudian melanjutkan pula:
"Kemudian kumala yang menjadi milikku itu, kujadikan
sebagai tanda diriku dan disebut Hek-hu. Hanya... begitulah
!"
"O, benar." kini Cu Jiang menyadari. "waktu nona
memberikan kumala itu kepadaku, kecuali dalam
lingkungan anak buah Gedung Hitam, diluar memang tak
ada pengaruhnya apa2. Kiranya karena hal itu..."
"Cu siangkong, tadi engkau mengatakan bahwa ayahku
telah dicelakai Sebun Ong?"
"Keterangan itu menurut cerita ayah nona sendiri."
"Aku.... ingin bertemu dengan ayahku !"
"Lembah rahasia itu hanya mempunyai sebuah jalan.
Dan pada musim kemarau barulah dapat mencapai ke
tempat itu. Aku bersedia mengantar nona ke sana. ."
"Kapan ?"
"Setelah kubasmi iblis yang terakhir dari gerombolan Sip-
pat thian-mo itu !"
"Iblis yang mana ?" Poan toanio menyela.
"Iblis ke satu yang disebut Hui-thian Sin-mo..."
"Tak perlu engkau buang tenaga!"
"Kenapa ?"
"Iblis kesatu sama2 hancur binasa dengan wakil ketua
Gedung Hitam Li Ing Bo. Hui-thian Sin-mo mati akibat
bahan pasang yang diledakkan Li Ing Bo tetapi Li Ing
Bopun akhirnya mampus karena dibunuh biang iblis Jui-
beng-koh."
"Ah...." Cu Jiang menghela napas longgar, Kini tugasnya
ialah selesai. Musuh besar telah dl-tumpas, tak ada lagi
yang harus diresahkan. Tiba2 la teringat akan nasib Ho
Kiong Hwa, calon isterinya itu.
Saat itu Ang Nio Cu mengambil surat dari tangan Cukat
Beng Cu setelah membaca dia berseru: "Bagus, adik Beng
Cu, akulah yang akan mengaturnya."
Cukat Beng Cu tertawa tersipu-sipu lalu tundukkan
kapala. Sudah tentu sekalian orang heran melihat kasak-
kusuk kedua orang itu.
Ang Nio Cu beralih memandang Cu Jiang.
"Adik Jiang, sekali lagi aku hendak menjodohkan
engkau."
"Apa? Taci mengatakan apa?" Jiang terbeliak.
"Akan menjadi comblangmu !"
Poan toanio dan lain2, memandang heran ke-arah
wanita yang mukanya selalu ditutup dingin kain selubung
itu.
"Aku benar-2 tak mengerti !" seru Ca Jiang.
"Bacalah sendiri," seru Ang Nio Cu seraya menyerahkan
kertas itu kepada Cu Jiang. Cu Jiang menyambuti dan
membacanya. Serentak merahlah wajah anak muda itu.
Hatinya mendebur keras dan mulut ternganga tak dapat
berkata sepatahpun jua.
Ternyata surat itu berbunyi, minta kepada Beng Cu akan
menikah dengan orang yang menyampaikan pesan dari
ayahnya itu.
Memang bagi Beng Cu itu merupakan suatu perintah
dari ayahnya. Tetapi sebenarnya, sebelum peristiwa itu
terjadi, diapun sudah jatuh hati kepada pemuda itu. Sudah
tentu peristiwa itu merupakan suatu kebenaran yang tak
terduga-duga sama sekali.
"Adik Jiang, bagaimana maksud mu?" desak Ang Nio
Cu.
Dengan wajah merah. Cu Jiang menyahut tergagap
Taci. engkau tentu tahu sendiri . . . jangan mengolok-olok
aku !"
"Siapa sih yang mengolok-olok engkau ?"
"Ho Kiong Hwa, adalah taci yang menjodohkan."
"Benar, tetapi peristiwa itu sudah lampau."
"Pernikahan bukan seperti mainan kanak2. Aku Cu
Jiang, takkan menjadi seorang manusia yang
mengecewakan hati orang...."
"Ho Kiong Hwa sendiri yang memutuskan tali
perjodohan itu, bukan salahmu."
"Tidak!"
"Apakah adik Beng Cu tak layak menjadi pasangan
hidupmu?"
Mendengar ucapan itu barulah Poan toanio dan yang
lain2 tahu duduk persoalannya.
"Taci .... engkau sungguh .... keterlaluan!" teriak Cu
Jiaug.
"Sudah tentu adik Beng Cu tak dapat berkata apa2.
Disamping hal itu merupakan perintah ayahnya, pun
bagaimana dulu hubungannya dengan engkau, dia sudah
memberitahu kepadaku. Pelajar baju putih, lencana Kumala
Hitam sebagai saksi!"
Memandang ke arah Beng Cu yang tundukkan kepala.
Cu Jiang mengusap keringat pada dahinya dan berseru
rawan: " Memang Ho Kiong Hwa malang sekali nasibnya.
Tetapi ke ujung langitpun, aku tetap akan mencarinya."
"Dalam kehidupan yang sekarang ini, tak mungkin dia
mau menemui engkau! " kata Ang Nio Cu dengan rawan.
"Tetapi aku tetap akan mencarinya!"
"Hatinya keras sekali, jangan mendesak dia ke arah jalan
buntu . . ."
"Taci, jangan lupa, engkaulah yang jadi comblangnya!"
"Adik Jiang, aku takkan lupa."
"Kalau begitu, seharusnya taci bantu menyelesaikan soal
itu."
"Itu sudah takdir, kita manusia tak berdaya
merobahnya."
Tiba2 Beng Cu mengangkat muka dan dengan mata
berkaca-kaca, dia berseru: "Taci, tali perjodohan itu
memang sudah digariskan oleh takdir. Harap jangan
membicarakan lagi soal ini."
"Nona Cukat, harap nona suka memaklumi
kesukaranku." seru Cu Jiang.
"Tak mungkin aku dapat memaklumi. Engkau hanya
melaksanakan apa yang dipesan ayah dan akupun
menghaturkan terima kasih kepadamu Ya, memang,
bermula .... aku pernah jatuh hati kepada pelajar baju putih
itu. Tetapi peristiwa itu sudah lampau Cu sauhiap, engkau
bukan pelajar baju putih yang dahulu. Pelajar baju putih
yanbg dahulu juga bukan Toan-kiam-jan-jin yang sekarang
ini..."
Nada nona itu mengandung getar2 isak. Dan Cu Jiang
pun bungkam tak dapat menyahut.
"Adik Beng Cu, serahkan semua ini kepadaku." Ang Nio
Cu menepuk bahu Cukat Beng Cu dan menghiburnya.
"Soal ini memang menyangkut perasaan dukacita." kata
Poan toanio, "nasib yang menimpa Ho Kiong Hwa sungguh
menyedihkan sekali sehingga dia melarikan diri karena
putus asa. Disamping menunjukkan sifatnya yang suci, pun
dia tentu menderita luka hati yang dalam sekali . . ."
"Ku kira juga begitu, jangan menambahkan luka hati
pada nona yang bernasib malang itu!" seru Thian put-thou.
"Nah, bagaimana pendapat taci? " seru Cu Jiang.
Tetapi Ang Nio Cu tetap berkeras: " Soal diri Ho Kiong
Hwa, aku yang bertanggung jawab!"
Cukat Beng Cu tertawa rawan:
"Sudahlah, harap kalian jangan bertengkar tentang hal
ini. Aku sendiri memang juga bernasib malang. Belasan
tahun aku menganggap seorang bangsat sebagai ayahku
yang tersayang. Budi kebaikan saudara-2 selama ini, akan
kubawa seumur hidup dan sekarang aku hendak mohon diri
. . ."
"Jangan pergi!" seru Ang Nio Cu.
Cu Jiang benar2 serba salah. Beberapa saat kemudian
baru dia dapat berkata:
"Nona Cukat, kalau hendak menemui ayah nona, harus
kuantar."
Nona itu memandang Cu Jiang lalu berkata: "Cukup
sauhiap mengatakan letak tempat dan jalannya, aku tentu
dapat mencarinya sendiri!"
"Adik Jiang, bagaimana keputusanmu?" Ang Nio Cu
mendesak.
"Maaf, aku tak dapat menurut perintah taci, " kata Cu
Jiang.
Ang Nio Cu memandang Cu Jiang dengan dengan
pandang aneh, penuh dengan arti dan penuh pula dengan
berbagai luap perasaan hati. Tiada seorangpun yang dapat
menebak bagaimana isi hati wanita misterius ini.
Lama, lama sekarli baru dia kedtengaran berkataq
dengan nada rarwan memilukan:
"Adik Jiang, apabila Ho Kiong Hwa tak berada dalam
dunia fana ini?"
Seketika wajah Cu Jiang berobah tegang, serunya tegas:
"Mengapa taci mengatakan begitu?"
"Aku hanya mengatakan saja."
"Tetapi mengapa taci berkata begitu, tentulah ada
sebabnya?"
"Jawablah, janganlah hiraukan lain2 sebab lagi!"
Cu Jiang menggerinyit gigi dan berkata dengan tandas.
"Jika dia benar2 mati, akupun akan mencari
jenasahnya!"
"Kalau ketemu lalu apa yang hendak engkau lakukan?"
"Akan kutanam dan aku akan menjaga makamnya
selama hidupku."
Singkat kata2 itu tetapi artinya cukup menyatakan
bagaimana keras dan setia hati Cu Jiang terhadap rasa cinta
itu. Sekalian orang itu tergetar hatinya mendengar
pernyataan pemuda itu.
Cukat Beng Cu tertawa rawan:
"Cu sauhiap, aku sangat menghormati engkau. Aku
gembira sekali karena kenal dengan engkau dan
bersahabat," serinya.
"Adik Jiang, Ho Kiong Hwa tentu tidak menghendaki
begitu," seru Ang Nio Cu dengan gemetar.
"Seharusnya dia tak perlu memberi pengorbanan begitu
besar." kata Cu Jiang.
"Dia ibarat., . bunga yang sudah terpetik . ." kata2 yang
terakhir itu diucapkan Ang Nio Cu dengan berbisik.
"Aku tak menghiraukan, soal itu bukan kesalahannya,
hanya nasib buruk yang membuatnya menderita!"
"Mengapa nona Ang berkeras hendak melaksanakan hal
itu ?" tiba2 Poan toanio menegur.
Terpaksa Poan toanio menyebut nona Ang, karena ia tak
tahu nama dan she yang sesungguhnya dari Ang Nio Cu.
Demikian pula raut dan wajahnya. Hanya karena Ang Nio
Cu itu berbahasa taci adik kepada Cu Jiang, iapun
menyebutnya dengan kata "nona Ang".
"Pernah apakah nona itu dengan engkau, nona Ang ?!"
Poan toanio mendesak lagi.
"Hampir sama orangnya. Kepalanya dua, tetapi jiwanya
satu."
"Kata2 dan tindakan nona, sungguh sukar dirobah ..."
Tiba2 Cu Jiang berkata dengan wajah serius: "Toanio,
kuminta pembicaraan itu selesai sampai disini saja."
"Adik Jiang," seru Ang Nio Cu, "yang dikata tidak
berbakti itu ada tiga hal. Tidak punya keturunan termasuk
salah satu. Engkau harus menikah."
"Arwah ayah bunda di alam baka, tentu dapat
mengampuni diriku yang tidak berbakti ini." sahut Cu
Jiang.
"Apakah engkau benar2 tak mau merobah pendirianmu
?"
"Tidak !"
"Apakah engkau tetap hendak bertemu dengan Ho Kiong
Hwa?"
Tergetar hati Cu Jiang mendengar pertanyaan itu. Dia
benar2 pusing dikacau ucapan Ang Nio Cu yang dibolak-
balik berulang kali. Ia hanya nyalangkan mata dan
memandang Ang Nio Cu tanpa berkata sepatah kata.
Bahkan Cukat Beng Cu, Poan toanio dan Thian-put-thou
juga tertegun.
"Adik Jiang, jawablah !" sekali lagi Ang Nio Cu
mendesak.
"Tidak hanya ingin saja." seru Cu Jiang penuh
ketegangan. "bahkan aku bersumpah, takkan berhenti
berusaha sebelum dapat mencarinya !"
"Aku dapat memberitahunya supaya bertemu dengan
engkau. . ."
"Sungguh?" teriak Cu Jiang.
"Kapankah aku pernah bohong kepadamu."
Karena dicengkam ketegangan, Cu Jiang sampai
gemetar.
"Taci, dia ... sebenarnya berada dimana ?" serunya.
Dengan ketenangan yang rawan. Ang Nio Cu menjawab:
"Jangan tanyakan dulu dia berada di mana. Untuk
berjumpa dengan dia, hanya ada syaratnya !"
"Bagaimana syaratnya !"
"Engkau harus meluluskan perjodohanmu dengan nona
Beng Cu !"
Poan toanio dan Thian-pui-thou menghela napas. Wajah
merekapun berobah cahayanya.
Dahi Cu Jiang tampak berkerenyut keras.
"Sekalipun Cu sauhiap meluluskan, aku pun tak mau.
Aku tak menghendaki diriku menjadi seorang yang tak
kenal kebajikan."
"Jangan ikut bicara!" Ang Nio Cu deliki mata kepada
Beng Cu.
Benak Cu Jiang benar2 kacau balau.
"Taci, jangan menyiksa diriku, aku tak kuat
menderitanya putus asa.
"Sama sekali aku tak bermaksud hendak menyiksamu,"
kata Ang Nio Cu dengan dingin, "adik Jiang, asmara murni
memang demikian."
"Aku tak percaya !"
"Mau bukti?"
"Ya."
"Tetapi engkau mau meluluskan soal pernikahanmu
dengan Beng Cu atau tidak?"
"Tidak dapat."
"Hm, kalau begitu dalam hidupmu sekarang ini engkau
takkan berjumpa dengan Ho Kiong Hwa untuk selama-
lamanya !"
"Tidak ! Aku pasti akan mencarinya... tetapi aku tak
dapat melalaikan hal itu. Taci, engkau sungguh kejam !"
Airmata Cu Jiang berderai-derai membasahi kedua
pipinya.
Suasana di tempat itu tenggelam dalam kesunyian yang
lengang. Kesunyian yang menghimpit dada dan menekan
perasaan.
Beberapa waktu kemudian baru Ang Nio Cn berkata
pula dengan nada yang berbeda:
"Adik Jiang, aku mau mengalah selangkah. Tetapi
setelah engkau bertemu dengan Kiong Hwa, diapun akan
mengajukan permintaan kepadamu. Apakah engkau mau
meluluskan ?"
Saat itu pikiran Cu Jiang sudah kacau. Tanpa banyak
pertimbangan lagi dia terus berseru:
"Baik, dia dimana.. . ."
"Disini !"
Sekalian orang mencurah pandang kepada Ang Nio Cu.
Tampak Ang Nio Cu dengan tangan gemetar mulai
menyingkap kain merah yang menutup wajahnya...
"Hai !"
Serempak orang2 itu menjerit kaget, Cu Jiang terhuyung-
huyung mundur beberapa langkah. Serasa bumi yang
dipijaknya itu amblong.
Langit ambruk, dunia berputar-putar keras sehingga
tubuhnyapun hendak terjungkal roboh.
Ang Nio Cu . . . ternyata juga Ho Kiong Hwa calon
mempelai Cu Jiang. Peristiwa itu benar2 diluar dugaan
orang.
Ang Nio Cu sendiri yang berkeras menjadi comblang
untuk menjodohkan Cu Jiang dengan Ho Kiong Hwa.
Tetapi kemudian dia sendiri juga yang memutuskan tali
perjodohan itu. Kemudian dia juga berkeras untuk
melangsungkan perjodohan antara Cu Jiang dengan Cukat
Beng Cu.
Tidakkah kesemuanya itu mengejutkan hati Cu Jiang
sehingga dia seperti disambar petir rasanya.
"Engkau . . . engkau . . . Kiong Hwa ..." Cu Jiang
menuding kearah Ang Nio Cu dan berseru tergagap-gagap.
Ang Nio Cu atau Ho Kiong Hwa tertawa rawan. Dua
butir airmata mengembang pada kedua matanya. Tetapi dia
sudah bersiap-siap dan dengan sekuat tenaga dapat
menahan segala gejolak perasaannya.
"Adik Jiang, bukankah tadi engkau sudah meluluskan,
begitu bertemu dengan aku, engkau harus menurut
perkataanku?"
"Ya ... . aku memang berjanji begitu." kata Cu Jiang
setengah berbisik.
"Jika begitu, kuminta engkau mau melangsungkan
perjodohan dengan adik Beng Cu!"
"Tidak! Tidak bisa, matipun aku tak dapat melakukan
hal itu!" teriak Cu Jiang.
Mendengar itu pucatlah wajah Cukat Beng Cu. Ia
mengerang pelahan lalu ayunkan tubuh melesat pergi.
"Hai. nona Cukat, hendak ke manakah engkau? " teriak
Poan toanio seraya lari mengejar.
Melihat itu Ho Kiong Hwa berseru tajam:
"Jika engkau tak mau meluluskan hal itu, jangan harap
engkau dapat bertemu dengan aku untuk selama-lamanya . .
."
Pada saat mengucapkan kata2 yang terakhir itu Ho
Kiong Hwa atau Ang Nio Cupun sudah melayang beberapa
tombak dengan gerak yang mengejutkan sekali. Hanya
dalam beberapa loncatan saja, dia sudah berada di puncak
dan menghilang kedalam hutan.
"Aya, celaka nih. Yang satu ngacir, yang satu lari . . ."
teriak Thian-put-thou terus lari mengejar Ho Kiong Hwa.
Kini yang tinggal di tempat itu hanya Cu Jiang seorang.
Kaki tangannya serasa lunglai. Pikirannya kosong
melompong.
Dia kehilangan diri. Beberapa waktu kemudian baru
terdengar mulutnya mengigau:
"Walaupun dunia ini teramat luas, aku tetap akan
mencarinya ..."
Perlahan-lahan dia ayunkan langkah. Tak tahu ke mana
ia harus pergi. Ia membiarkan kakinya berjalan membawa
raganya.
Ia rasakan saat itu amat letih. Sejak bertahun-tahun ia
selalu dikejar-kejar oleh peristiwa yang malang, menelan
berbagai penderitaan lahir dan batin, terjerat datam jaring2
asmara dan melakukan pertempuran2 maut.
Kini setelah semua peristiwa itu telah usai dia masih
harus menghadapi penyelesaian soal perjodohan yang
rumit.
Ia dapat merasakan derita hati yang dialami Ang Nio Cu
alias Ho Kiong Hwa. Dia harus menghibur dan
menerimanya sebagai isteri yang tercinta.
"Dapatkah cinta itu dibagi?" teringat pula urusan
perjodohannya dengan Cukat Beng Cu.
"Tetapi Kiong Hwa begitu tulus ikhlas. Jika aku menolak
Beng Cu, Kiong Hwapun tak mau menjadi isteriku.
Memang aneh pendiriannya. Tetapi dia berhati mulia, ah..."
Cu Jiang menghela napas.
0-Tamat-0

Anda mungkin juga menyukai