Anda di halaman 1dari 41

BAB I

Pendahuluan

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru


kronik yang progresif, artinya penyakit ini berlangsung seumur hidup dan
semakin memburuk secara lambat dari tahun ke tahun. Dalam
perjalanan penyakit ini terdapat fase-fase eksaserbasi akut.

Berbagai faktor berperan pada perjalanan penyakit ini, antara lain


faktor resiko yaitu faktor yang menimbulkan atau memperburuk penyakit
seperti kebiasaan merokok, polusi udara, polusi lingkungan, infeksi,
genetik dan perubahan cuaca. Derajat obtruksi saluran nafas yang
terjadi, dan identifikasi komponen yang memungkinkan adanya
reversibilitas. Tahap perjalanan penyakit dan penyakit lain diluar paru
seperti sinusitis dan faringitis kronik. Yang pada akhirnya faktor-faktor
tersebut membuat perburukan makin lebih cepat terjadi. Untuk
melakukan penatalaksanaan PPOK perlu diperhatikan faktor-faktor
tersebut, sehingga pengobatan PPOK menjadi lebih baik.

BAB II

1
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

PPOK adalah penyakit obtruksi jalan nafas karana bronkhitis kronis

atau emfisema. obstruksi tersebut umumnya bersifat progresif, bisa

disertai hiperaktifitas bronkus dan sebagian bersifat reversible.1

Bronkhitis kronis adalah suatu definisi klinis yaitu ditandai dengan

batuk-batuk hampir setiap hari disertai pengeluaran dahak, sekurang-

kurangnya 3 bulan berturut-turut dalam satu tahun dan paling sedikit

selama 2 tahun. 1

Emfisema adalah suatu perubahan anatomi paru-paru yang

ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran udara sebelah

distal bronkus terminal disertai kerusakan dinding alveolus. 1

2.2. Anatomi Paru

Paru-paru terletak sedemikian rupa sehingga setiap paru terletak

disamping mediastinum. Oleh karena itu ,masing-masing paru-paru satu

sama lain dipisahkan oleh jantung dan pembuluh pembuluh besar serta

struktur lain dalam mediastinum. Masing-masing paru berbentuk konus

dan diliputi oleh pleura visceralis. Paru-paru terbenam bebas dalam

rongga pleuranya sendiri, hanya dilekatkan ke mediastinum oleh radix

pulmonis. 3

Masing-masing paru mempunyai apex yang tumpul, yang menjorok

ke atas, masuk ke leher sekitar 2,5 cm di atas clavicula, facies costalis


2
yang konveks, yang berhubungan dengan dinding dada, dan facies

mediastinalis yang konkaf, yang membentuk cetakan pada perikardium

dan struktur-struktur mediastinum lain. Sekitar pertengahan permukaan

kiri, terdapat hillus pulmonalis, suatu lekukan dimana bronkus, pembuluh

darah dan saraf masuk ke paru-paru untuk membentuk radix pulmonalis.

Paru-paru kanan sedikit lebih besar dibanding paru-paru kiri dan

dibagi oleh fissura oblique dan fissura horisontalis menjadi 3 lobus,

Lobus superior, medius dan inferior. Paru-paru kiri dibagi fisura obliqua

menjadi 2 lobus, lobus superior dan lobus inferior.

2.3. Etiologi

Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya PPOK adalah: 4

1. Kebiasaan merokok
2. Polusi udara
3. Paparan debu dan asap
4. Riwayat infeksi saluran nafas.

2.4. Epidemiologi

Pada studi populasi selama 40 tahun, didapati bahwa hipersekresii

mukus merupakan suatu gejala yang paling sering terjadi pada PPOK,

penelitian ini menunjukkan bahwa batuk kronis, sebagai mekanisme

pertahanan akan hipersekresi mukus didapati sebanyak 15-53% pada

pria paruh umur, dengan prevalensi yang lebih rendah pada wanita

sebanyak 8-22%. Studi prevalensi PPOK pada tahun 1987 di Inggris dari

2484 pria dan 3063 wanita yang berumur 18-64 tahun dengan nilai VEP1

berada 2 simpang baku di bawah VEP prediksi, dimana jumlahnya

meningkat seiring usia, khususnya pada perokok.4,5


5.
3
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa menjelang

tahun 2020 prevalensi PPOK akan meningkat sehingga sebagai

penyebab penyakit tersering peringkatnya meningkat dari ke-12 menjadi

ke-5 dan sebagai penyebab kematian tersering peringkatnya juga

meningkat dari ke-6 menjadi ke-3. Pada 12 negara Asia Pasifik, WHO

menyatakan angka prevalensi PPOK sedang-berat pada usia 30 tahun

keatas, dengan rerata sebesar 6,3%, dimana Hongkong dan Singapura

dengan angka prevalensi terkecil yaitu 3,5% dan Vietnam sebesar

6,7%.6

Tabel 1. Prevalensi PPOK Pada negara-negara miskin, 1990.7

Indonesia sendiri belumlah memiliki data pasti mengenai PPOK ini

sendiri, hanya Survei Kesehatan Rumah Tangga DepKes RI 1992

menyebutkan bahwa PPOK bersama-sama dengan asma bronkhial

menduduki peringkat ke-6 dari penyebab kematian terbanyak di

Indonesia.4

Tingkat morbiditas dan mortalitas PPOK sendiri cukup tinggi di

seluruh dunia. Hal ini di buktikan dengan besarnya kejadian rawat inap,

4
seperti di Amerika Serikat pada tahun 2000 terdapat 8 juta penderita

PPOK rawat jalan dan sebesar 1,5 juta kunjungan pada Unit Gawat

Darurat dan 673.000 kejadian rawat inap. Angka kematian sendiri juga

semakin meningkat sejak tahun 1970, dimana pada tahun 2000,

kematian karena PPOK sebesar 59.936 vs 59.118 pada wanita vs pria

secara berurutan. Di bawah ini di gambarkan angka kematian pria per

100.000 populasi.

Tabel 2. Angka kematian pria per 100.000 populasi.7

2.5. Faktor Risiko.

PPOK yang merupakan inflamasi lokal saluran nafas paru, akan

ditandai dengan hipersekresi mukus dan sumbatan aliran udara yang

persisten.

Gambaran ini muncul dikarenakan adanya pembesaran kelenjar di

bronkus pada perokok dan membaik saat merokok di hentikan. Terdapat

banyak faktor risiko yang diduga kuat merupakan etiologi dari PPOK.

Faktor-faktor risiko yang ada adalah genetik, paparan partikel,

pertumbuhan dan perkembangan paru, stres oksidatif, jenis kelamin,

umur, infeksi saluran nafas, status sosioekonomi, nutrisi dan

komorbiditas.1,4,5

5
2.5.1. Genetik

PPOK merupakan suatu penyakit yang poligenik disertai interaksii

lingkungan genetik yang sederhana. Faktor risiko genetik yang paling

besar dan telah di teliti lama adalah defisiensi 1 antitripsin, yang

merupakan protease serin inhibitor. Biasanya jenis PPOK yang

merupakan contoh defisiensi 1 antitripsin adalah emfisema paru yang

dapat muncul baik pada perokok maupun bukan perokok, tetapi memang

akan diperberat oleh paparan rokok. Bahkan pada beberapa studi

genetika, dikaitkan bahwa patogenesis PPOK itu dengan gen yang

terdapat pada kromosom 2q.8,9

2.5.2. Paparan Partikel Inhalasi

Setiap individu pasti akan terpapar oleh beragam partikel inhalasi

selama hidupnya. Tipe dari suatu partikel, termasuk ukuran dan

komposisinya, dapat berkontribusi terhadap perbedaan dari besarnya

risiko dan total dari risiko ini akan terintegrasi secara langsung terhadap

pejanan inhalasi yang didapat. Dari berbagai macam pejanan inhalasi

yang ada selama kehidupan, hanya asap rokok dan debu-debu pada

tempat kerja serta zat-zat kimia yang diketahui sebagai penyebab PPOK.

Paparan itu sendiri tidak hanya mengenai mereka yang merupakan

perokok aktif, bahkan pada perokok pasif atau dengan kata lain

environmental smokers itu sendiri pun ternyata risiko menderita PPOK

menjadi tinggi juga. Pada perokok pasif didapati penurunan VEP1

tahunan yang cukup bermakna pada orang muda yang bukan

perokok.10,11

Bahkan yang lebih menarik adalah pengaruh rokok pada bayi jika

6
ibunya perokok aktif atau bapaknya perokok aktif dan ibunya menjadi

perokok pasif, selain didapati berat bayi lebih rendah, maka insidensi

anak untuk menderita penyakit saluran pernafasan pada 3 tahun

pertama menjadi meningkat.10,11 Besarnya insidensi PPOK yang telah

terlambat didiagnosis, memiliki kebiasaan merokok yang tinggi.

PPOK yang berat berdasarkan derajat spirometri, didapatkan

hanya sebesar 46,8% ( 95% CI 39,1-54,6) yang mengatakan bahwa

mereka menderita penyakit saluran nafas, sisanya tidak mengetahui

bahwa mereka menderita penyakit paru dan tetap merokok. Status

merokok justru didapatkan pada penderita PPOK sedang dibandingkan

dengan derajat keparahan yang lain.

Paparan lainya yang dianggap cukup mengganggu adalah debu-

debu yang terkait dengan pekerjaan ( occupational dusts ) dan bahan-

bahan kimia. Meskipun bahan-bahan ini tidak terlalu menjadi sorotan

menjadi penyebab tingginya insidensi dan prevalensi PPOK, tetapi debu-

debu organik dan inorganik berdasarkan analisa studi populasi NHANES

III didapati hampir 10.000 orang dewasa berumur 30-75 tahun menderita

PPOK terkait karena pekerjaan. American Thoracic Society (ATS) sendiri

menyimpulkan 10-20% paparan pada pekerjaan memberikan gejala dan

kerusakan yang bermakna pada PPOK.3

Polusi udara dalam ruangan yang dapat berupa kayu-kayuan,

kotoran hewan, sisa-sisa serangga, batubara, asap dari kompor juga

akan menyebabkan peningkatan insidensi PPOK khususnya pada

wanita. Selain itu, polusi udara diluar ruangan juga dapat menyebabkan

progresifitas kearah PPOK menjadi tinggi seperti seperti emisi bahan

bakar kendaraan bermotor. Kadar sulfur dioksida (SO2) dan nitrogen


7
dioksida (NO2) juga dapat memberikan sumbatan pada saluran nafas

kecil (Bronkiolitis) yang semakin memberikan perburukan kepada fungsi

paru.1,13,14

2.5.3. Pertumbuhan dan perkembangan paru

Pertumbuhan dan perkembangan paru yang kemudian menyokong

kepada terjadinya PPOK pada masa berikutnya lebih mengarah kepada

status nutrisi bayi bayi pada saat dalam kandungan, saat lahir, dan

dalam masa pertumbuhannya. Dimana pada suatu studi yang besar

didapatkan hubungan yang positif antara berat lahir dan VEP1 pada

masa dewasanya.2

2.5.4. Stres Oksidatif

Paparan oksidan baik dari endogen maupun eksogen terus

menerus dialami oleh paru-paru. Sel paru-paru sendiri sebenarnya telah

memiliki proteksi yang cukup baik secara enzimatik maupun non

enzimatik. Perubahan keseimbangan antara oksidan dan anti oksidan

yang ada akan menyebabkan stres oksidasi pada paru-paru. Hal ini akan

mengaktivasi respon inflamasi pada paru-paru. Ketidak seimbangan

inilah yang kemudian memainkan peranan yang penting terhadap

patogenesis PPOK.2

2.5.4. Jenis Kelamin

Jenis kelamin sebenarnya belum menjadi faktor risiko yang jelas

pada PPOK. Pada beberapa waktu yang lalu memang tampak bahwa

prevalensi PPOK lebih sering terjadi pada Pria di bandingkan pada

wanita, tetapi penelitian dari beberapa negara maju menunjukkan bahwa


8
ternyata saat ini insidensi antara pria dan wanita ternyata hampir sama,

dan terdapat beberapa studi yang mengatakan bahwa ternyata wanita

lebih rentan untuk dirusak oleh asap rokok dibandingkan pria. Hal ini

dikarenakan perubahan kebiasaan, dimana wanita lebih banyak yang

merupakan perokok saat ini.15

2.5.5. Infeksi

Infeksi, baik viral maupun bakteri akan memberikan peranan yang

besar terhadap patogenesis dan progresifitas PPOK dan kolonisasi

bakteri berhubungan dengan terjadinya inflamasi pada saluran

pernafasan dan juga memberikan peranan yang penting terhadap

terjadinya eksaserbasi. Kecurigaan terhadap infeksi virus juga

dihubungkan dengan PPOK, dimana kolonisasi virus seperti rhinovirus

pada saluran nafas berhubungan dengan peradangan saluran nafas dan

jelas sekali berperan pada terjadinya eksaserbasi akut pada PPOK.

Riwayat tuberkulosis juga dihubungkan dengan di temukannya obstruksi

saluran nafas pada dewasa tua pada saat umur diatas 40 tahun. 2,16,17

2.5.6. Status sosioekonomi dan nutrisi

Meskipun tidak terlalu jelas hubungannya, apakah paparan

polutan baik indoor maupun outdoor dan status nutrisi yang jelek serta

faktor lain yang berhubungan dengan kejadian PPOK, tetapi semua

faktor-faktor tersebut berhubungan erat dengan status sisioekonomi.1,2

2.5.7. Komorbiditas

Asma memiliki faktor risiko terhadap kejadian PPOK, dimana

didapatkan dari suatu penelitian pada Tucson Epidemiologi Study of

9
Airway Obstructive Disease, bahwa orang dewasa dengan asma akan

mengalami 12 kali lebih tinggi risiko menderita PPOK.1,2

10
2.4. Patogenesis

Perubahan patologi pada PPOK mencakup saluran nafas yang besar

dan kecil bahkan unit respiratori terminal. Secara gamblang, terdapat 2

kondisi pada PPOK yang menjadi dasar patologi yaitu bronkitis kronis

dengan hipersekresi mukusnya dan emfisema paru yang ditandai dengan

pembesaran permanen dari ruang udara yang ada, mulai dari distal

bronkiolus terminalis, diikuti destruksi dindingnya tanpa fibrosis yang

nyata.16,17,18

Penyempitan saluran nafas tampak pada saluran nafas yang besar

dan kecil yang disebabkan oleh perubahan konstituen normal saluran

nafas terhadap respon inflamasi yang persisten. Epitel saluran nafas yang

dibentuk oleh sel skuamous akan mengalami metaplasia, sel-sel silia

mengalami atropii dan kelenjar mukus menjadi hipertropi. Proses ini akan

direspon dengan terjadinya remodeling saluran nafas tersebut, hanya saja

proses remodeling ini justru akan merangsang dan mempertahankan

inflamasi yang terjadi dimana T CD8+ dan limfosit B menginfiltrasi lesi

tersebut. Saluran nafas yang kecil akan memberikan beragam lesi

penyempitan pada saluran nafasnya, termasuk hiperplasia sel goblet,

infiltrasi sel-sel radang pada mukosa dan submukosa, peningkatan otot

polos.17,18

11
Gambar 1. Gambaran Epitel saluran nafas pada PPOK dan orang
sehat.18

Pada emfisema paru yang dimulai dengan peningkatan jumlah

alveolar dan septal dari alveolus yang rusak, dapat terbagi atas emfisema

sentrisinar ( sentrilobular ), emfisema panasinar ( panlobular ) dan

emfisema periasinar ( perilobular ) yang sering dibahas dan skar

emfisema atau irreguler dan emfisema dengan bulla yang agak jarang

dibahas. Pola kerusakan saluran nafas pada emfisema ini menyebabkan

terjadinya pembesaran rongga udara pada permukaan saluran nafas yang

kemudian menjadikan paru-paru menjadi terfiksasi pada saat proses

inflamasi.16,17,18

Inflamasi pada saluran nafas pasien PPOK merupakan suatu respon

inflamasi yang diperkuat terhadap iritasi kronik seperti asap rokok.

Mekanisme ini yang rutin dibicarakan pada bronkitis kronis, sedangkan

pada emfisema paru, ketidak seimbangan pada protease dan anti

protease serta defisiensi 1 antitripsin menjadi dasar patogenesis PPOK.

Proses inflamasi yang melibatkan netrofil, makrofag dan limfosit akan

melepaskan mediator-mediator inflamasi dan akan berinteraksi dengan

12
struktur sel pada saluran nafas dan parenkim.

Secara umum, perubahan struktur dan inflamasi saluran nafas ini

meningkat seiring derajat keparahan penyakit dan menetap meskipun

setelah berhenti merokok.18

Peningkatan netrofil, makrofag dan limfosit T di paru-paru akan

memperberat keparahan PPOK. Sel-sel inflamasi ini akan melepaskan

beragam sitokin dan mediator yang berperan dalam proses penyakit,

diantaranya adalah leucotrien B4, chemotactic factors seperti CXC

chemokines, interlukin 8 dan growth related oncogene , TNF , IL-1 dan

TGF. Selain itu ketidakseimbangan aktifitas protease atau inaktifitas

antiprotease, adanya stres oksidatif dan paparan faktor risiko juga akan

memacu proses inflamasi seperti produksi netrofil dan makrofag serta

aktivasi faktor transkripsi seperti nuclear factor sehingga terjadi lagi

pemacuan dari faktor-faktor inflamasi yang sebelumnya telah ada.19,20,22

Hipersekresi mukus menyebabkan batuk produktif yang kronik serta

disfungsi silier mempersulit proses ekspektorasi, pada akhirnya akan

menyebabkan obstruksi saluran nafas pada saluran nafas yang kecil

dengan diameter < 2 mm dan air trapping pada emfisema paru. Proses ini

kemudian akan berlanjut kepada abnormalitas perbandingan ventilasi :

perfusi yang pada tahap lanjut dapat berupa hipoksemia arterial dengan

atau tanpa hiperkapnia. Progresifitas ini berlanjut kepada hipertensi

pulmonal dimana abnormalitas perubahan gas yang berat telah terjadi.

Faktor konstriksi arteri pulmonalis sebagai respon dari hipoksia, disfungsi

endotel dan remodeling arteri pulmonalis (hipertropi dan hiperplasi otot

13
polos) dan destruksi Pulmonary capillary bad menjadi faktor yang turut

memberikan kontribusi terhadap hipertensi pulmonal.16,25

2.5 INFLAMASI PADA PPOK

2.5.1 Inflamasi Lokal dan Sistemik.

Belakangan ini banyak bukti terhadap inflamasi sistemik pada PPOK

peningkatan kadar sitokin pro inflamasi dan protein fase akut tampak pada

PPOK yang stabil, dimana sebelumnya memang sudah diketahui luas

bahwa kedua faktor inflamasi itu terkait dengan eksaserbasi pada PPOK.

Inflamasi ini kemudian akan mempengaruhi banyak sistem sehingga

menelurkan pendapat bahwa PPOK sebagai penyakit multi komponen. 19

Hambatan aliran udara pada saluran nafas, terkait dengan

perubahan-perubahan seluler dan struktural pada PPOK ketika proses

inflamasi tersebut meluas keparenkim dan arteri pulmonalis. Asap rokok

diamati memang memancing reaksi inflamasi yang ditandai dengan

infiltrasi limfosit T, neutropil dan makrofag pada dinding saluran nafas.

Disamping itu terjadi juga pergeseran akan keseimbangan limfosit T

CD4+/CD8+, dimana limfosit T sitotoksik (CD8+) akan menginfiltrasi saluran

nafas sentral dan perifer. Neutrofil yang juga meningkat pada kelenjar

bronkus pasien dengan PPOK memberikan peranan yang penting juga

terhadap hipersekresi mukus, dimana hal ini kemudian memacu ekspresi

gen IL-4 yang mengekspresikan sejumlah besar sel-sel inflamasi pada

subepitel bronkus dan kelenjar submukosa penghasil sekret.19

14
TNF yang merupakan sitokin proinflamasi yang potensial akan

berkoordinasi dan menyebabkan peningkatan sitokin-sitokin lainnya

seperti IL-1 dan IL-6 yang kemudian akan menginduksi angiogenesis.

Peningkatan sitokin-sitoin diatas selain berada didalam saluran nafas,

juga beredar di sirkulasi sistemik. Peningkatan sitokin-sitokin proinflamasi

pada saluran nafas sebagai petanda inflamasi lokal, juga akan

memberikan gambaran pada peningkatan sel-sel inflamasi secara

sistemik, termasuk didalamnya neutrofil dan limfosit pada gambaran darah

tepi.5

Asal inflamasi sistemik pada PPOK sebenarnya tidaklah terlalu jelas

dimengerti, tetapi terdapat beberapa jalur yang diperhitungkan dapat

menjelaskan proses tersebut. Mekanisme pertama yang telah diketahui

luas adalah salah satu faktor risiko yaitu asap rokok.

15
Gambar 2. Mekanisme Inflamasi Pada PPOK.18

Selain menyebabkan inflamasi pada saluran nafas, asap rokok

sendiri secara independen menyebabkan efek ekstra pulmoner seperti

kejadian kardiovaskular dan inflamasi sistemik melalui stres oksidatif

sistemik dan disfungsi endotel vaskular perifer dan menariknya kejadian

ini juga akan dialami oleh perokok pasif meski hanya terpapar beberapa

tahun.

Mekanisme kedua yang bertolak belakang dari mekanisme

pertama menyatakan bahwa respon inflamasi lokal ber diri sendiri,

begitu juga inflamasi sistemik. Hal ini dibuktikan dari penelitian akan

kadar TNFR dan IL8 pada sputum yang ternyata meskipun tinggi pada

sputum, ternyata tidak menunjukkan adanya inflamasi sistemik yang

berat. Begitu juga pada orang sehat yang dipaparkan akan produk

bakterial yang pro inflamasi, lipopolisakarida memang menunjukkan

adanya proses inflamasi lokal berupa kenaikan temperatur tubuh,

reaktifitas saluran nafas dan penurunan FEV1, hanya saja terjadi

perbedaan dimana memang inflamasi sistemik tampak pada subjek

yang mengalami demam, tetapi tidak pada subjek yang hanya

mengalami gangguan saluran nafas tanpa demam. Mekanisme ketiga

yang diduga adalah hipoksia, dan ini merupakan masalah berulang

pada PPOK, dimana hipoksia yang terjadi akibat penyempitan saluran

nafas, akan mengaktivasi sistem TNF dan makrofag yang

menyebabkan peningkatan sitokin proinflamasi pada sirkulasi perifer.21

16
Gambar 3. Lingkaran terjadinya proses kerusakan pada PPOK.26

2.5.2 TNF Alpha pada PPOK.

TNF Alpha atau sinonim lainnya Lymphotoxin B, Cachectin adalah

sitokin inflamasi pleotropik . Teori tentang respon anti tumoral dari sistim

imun secara in vivo sudah di ketahui sejak 100 tahun yang lalu oleh

seorang medis William B. Coley. Pada tahun 1968 Dr. Gale A Granger

dari University of California melaporkan adanya faktor sitotoksik yang

dihasilkan oleh lymphocyte dan diberi nama Lymphotoxin (LT). Sesudah

itu pada tahun 1975 Dr. Lloyd J.Old dari Memorial Sloan-Kettering Cancer

Center, New York, melaporkan faktor sitotoksik lainnya yang diproduksi

oleh makrofag dan diberi nama Tumor Necrosis Factor (TNF). 18,19

Tumor Necrosis Factor (TNF)- adalah sitokin pleotropik yang

memiliki efek yang bermacam-macam, seperti growth promotion, growth

inhibition, angiogenesis, cytotoxicity, inflammation, dan imunomodulation

17
yang berimplikasi terhadap beberapa kondisi inflamasi.

Sitokin ini tidak hanya diproduksi oleh aktivasi makrofag tetapi juga

oleh sistim imun yang lainnya meliputi : lymphocytes, natural killer cells,

mast cells dan jaringan stromal meliputi : endotelhelial cells, fibroblasts,

microglial cells. TNF di sintesis oleh monomeric Type-2 transmembrane

protein (tmTNF) berada didalam membran homotrimer dan membelah

menjadi matrix metalloprotease TNF- converting

enzyme (TACE) dan untuk soluble circulating trimer (solTNF).

Dimana keduanya tmTNF dan solTNF merupakan bentuk biologi yang

aktif. Keseimbangan antara tmTNF dan solTNF menberikan signal yang

dapat mempengaruhi tipe dari sel, aktivasi dari sel, dan menstimulus

produksi dari TNF, aktifitas TACE, dan ekspresi dari endogenous TACE

inhibitors merupakan petunjuk efek dari penyimpangan TNF mediated

pada kelangsungan hidup sel.18,19

Alveolar macrophages memainkan peranan yang penting sebagai

imunitas bawaan dan didapat., yang berperan sebagai pertahanan

patogen terhadap paru-paru, pembersih dari partikel-partikel inhalasi dan

respon inflamasi. Alveolar macrophages memiliki tempat yang unik di

dalam tubuh, karena mereka berlokasi diantara penghubung yaitu udara

dan jaringan paru-paru, dan bertindak sebagai pertahan pertama terhadap

pertikel-partikel inhalasi yang berasal dari udara. Normalnya alveolar

macrophages berjumlah kurang lebih 95% dari leukosit airspace , serta 1

sampai 4% limphosit dan hanya 1% neutophil, ini adalah alasannya

18
bahwa alveolar macrophages berhubungan dengan sel phagositosis dari

sistem imun bawaan pada paru-paru. Sel ini memegang peranan sebagai

poros dari proses inflamasi pada PPOK.21

Alveolar macrophages mengalami kenaikan (5-10 kali) pada saluran

nafas, parenkim paru, Broncho Alveolar Lavage (BAL) dan sputum pada

penderita PPOK yang merokok dan peningkatan jumlah makrophag ini

juga berhubungan dengan tingkat keparahan dari PPOK.21

Paparan asap rokok memang merupakan penyebab tersering dari

PPOK, di mana sebagai akibat dari asap rokok ini akan mengaktivasi

makrofag untuk melepaskan beberapa mediator inflamasi, salah satunya

adalah TNF.

TNF di percaya memerankan peranan yang sangat penting

terhadap patofisiologi dari PPOK. TNF di perlihatkan pada binatang

percobaan yang dapat menginduksi perubahan patologi pada PPOK,

termasuk infiltrasi sel inflamasi pada paru-paru, fibrosis paru dan

emphisema. Secara In vivo peninggian kadar TNF juga dapat di jumpai

pada darah perifer, biopsi bronkhial, induksi sputum dan BAL dari pasien-

pasien PPOK stabil yang dibandingkan dengan kontrol.11,13

2.6. Diagnosis

Penderita yang datang dengan keluhan klinis dispneu, batuk kronik

atau produksi sputum dengan atau tanpa riwayat paparan faktor risiko

PPOK sebaiknya dipikirkan sebagai PPOK. Diagnosis PPOK di pastikan

melalui pemeriksaan spirometri paksa bronkhodilator. Perasaan rasa

19
sesak nafas dan dada terasa menyempit merupakan gejala non spesifik

yang dapat bervariasi seiring waktu yang dapat muncul pada seluruh

derajat keparahan PPOK.2

Pemeriksaan fisik memainkan peranan penting untuk diagnosis

PPOK. Tanda fisik hambatan aliran udara biasanya tidak muncul hingga

terdapat kerusakan yang bermakna dari fungsi paru muncul, dan deteksi

memiliki nilai sensitifitas dan spesifisitas yang rendah. Pada inspeksi

dapat di temukan sentral sianosis, bentuk dada barel-shaped, takhipneu,

edema tungkai bawah sebagai tanda kegagalan jantung kanan. Perkusi

dan palpasi jarang membantu diagnosis PPOK kecuali tanda-tanda

hiperinflasi yang akan mengaburkan batas jantung dan menurunkan batas

paru-hati. Auskultasi sering memberikan kelemahan saluran nafas, dapat

dengan disertai adanya mengi.21

Uji faal paru dengan spirometri merupakan suatu hal yang wajib di

lakukan pada penderita yang memang sudah di curigai PPOK untuk lebih

memastikan diagnosa yang ada sekaligus memantau progresifitas

penyakit.

Perangkat ini merupakan alat bantu diagnosis yang paling objektif,

terstandarisasi dan most reproducible akan adanya hambatan aliran

nafas. Spirometri akan menilai Kapasitas Vital Paksa (KVP) Paru dan

Volume Ekspirasi Paksa 1 detik (VEP1) yang didasarkan pada umur, tinggi

badan, jenis kelamin dan ras. Diagnosa PPOK ditegakkan bila didapati

nilai paksa paska bronkodilatornya VEP1/KVP < 0,70 dan VEP1 < 80%

prediksi, dan berdasarkan penilaian VEP1 tadi, dapat dinilai derajat

20
keparahan dari PPOK.22,23

Gambaran foto dada yang abnormal jarang tampak pada PPOK,

kecuali adanya bulosa pada paru. Perubahan radiologis yang mungkin

adalah adanya tanda hiperinflasi (pendataran diafragma dan peningkatan

volume udara pada rongga retrosternal), hiperlusensi paru dan

peningkatan corak vaskuler paru. Selain itu radiologis membantu dalam

melihat komorbiditas seperti gambaran gagal jantung. Untuk kepentingan

operatif, CT Scan paru juga memegang peranan penting.2

2.7. Penatalaksanaan PPOK Eksaserbasi akut

Prinsip penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut adalah mengatasi

segera eksaserbasi yang terjadi dan mencegah terjadinya kematian.

Risiko kematian dari eksaserbasi sangat berhubungan dengan terjadinya

asidosis respiratorik, adanya komorbid, dan kebutuhan akan alat ventilasi

(GOLD, 2009). Penanganan eksaserbasi akut dapat dilaksanakan di rumah

(untuk eksaserbasi yang ringan) atau di rumah sakit (untuk eksaserbasi

sedang dan berat). Penatalaksanaan eksaserbasi akut di rumah sakit

dapat dilakukan secara rawat jalan atau rawat inap dan dilakukan di

poliklinik rawat jalan, ruang rawat inap, unit gawat darurat, atau ruang ICU

(PDPI, 2003).

2.7.1. Bronkodilator

Bronkodilator yang lebih dipilih pada terapi eksaserbasi PPOK

21
adalah short-acting inhaled B2-agonists. Jika respon segera dari obat ini

belum tercapai, direkomendasikan menambahkan antikolinergik,

walaupun bukti ilmiah efektivitas kombinasi ini masih kontroversial.

Walaupun penggunaan klinisnya yang luas, peranan metilxantin dalam

terapi eksaserbasi masih kontroversial. Sekarang metilxantin (teofilin,

aminofilin) dipertimbangkan sebagai terapi lini kedua, ketika tidak ada

respon yang adekuat dari penggunaan short-acting inhaled B2-

agonists. Tidak ada penelitian klinis yang mengevaluasi penggunaan

long-acting inhaled B2-agonists dengan/tanpa inhalasi

glukokortikosteroid selama eksaserbasi (GOLD, 2009).

Bila rawat jalan B2-agonis dan antikolinergik harus diberikan

dengan peningkatan dosis. Inhaler masih cukup efektif bila digunakan

dengan cara yang tepat, nebulizer dapat digunakan agar bronkodilator

lebih efektif. Hati-hati dengan penggunaan nebulizer yang memakai

oksigen sebagai kompresor, karena penggunaan oksigen 8-10 liter

untuk menghasilkan uap dapat menyebabkan retensi CO 2.

Golongan xantin dapat diberikan bersama-sama dengan bronkodilator

lainnya karena mempunyai efek memperkuat otot diafragma. Dalam

perawatan di rumah sakit, bronkodilator diberikan secara intravena dan

nebulizer, dengan pemberian lebih sering perlu monitor ketat terhadap

timbulnya palpitasi sebagai efek samping bronkodilator (PDPI, 2003).

22
2.7.2. Kortikosteroid

Kortikosteroid oral/intravena direkomendasikan sebagai

tambahan terapi pada penanganan eksaserbasi PPOK. Dosis pasti

yang direkomendasikan tidak diketahui, tetapi dosis tinggi berhubungan

dengan risiko efek samping yang bermakna. Dosis prednisolon oral

sebesar 30-40 mg/hari selama 7-10 hari adalah efektif dan aman

(GOLD, 2009). Menurut PDPI (2003), kortikosteroid tidak selalu

diberikan tergantung derajat berat eksaserbasi. Pada eksaserbasi

derajat sedang dapat diberikan prednison 30 mg/hari selama 1-2

minggu, pada derajat berat diberikan secara intravena. Pemberian

lebih dari dua minggu tidak memberikan manfaat yang lebih baik, tetapi

lebih banyak menimbulkan efek samping.

2.7.3. Antibiotik

Berdasarkan bukti terkini yang ada, antibiotik harus diberikan

kepada (GOLD, 2009):

a. Pasien eksaserbasi yang mempunyai tiga gejala kardinal, yaitu

peningkatan volume sputum, sputum menjadi semakin purulen, dan

peningkatan sesak

b. Pasien eksaserbasi yang mempunyai dua gejala kardinal, jika

peningkatan purulensi merupakan salah satu dari dua gejala tersebut

c. Pasien eksaserbasi yang memerlukan ventilasi mekanik.

Pemilihan antibiotik disesuaikan dengan pola kuman setempat dan

komposisi kombinasi antibiotik yang mutakhir. Pemberian antibiotik di

23
rumah sakit sebaiknya per drip atau intravena, sedangkan untuk rawat

jalan bila eksaserbasi sedang sebaiknya diberikan kombinasi dengan

makrolid, dan bila ringan dapat diberkan tunggal. Antibiotik yang dapat

diberikan di Puskesmas yaitu lini I: Ampisilin, Kotrimoksasol,

Eritromisin, dan lini II: Ampisilin kombinasi Kloramfenikol, Eritromisin,

kombinasi Kloramfenikol dengan Kotrimaksasol ditambah dengan

Eritromisin sebagai Makrolid (PDPI, 2003).

2.7.4. Terapi Oksigen

Pada eksaserbasi akut terapi oksigen merupakan hal yang

pertama dan utama, bertujuan untuk memperbaiki hipoksemia dan

mencegah keadaan yang mengancam jiwa, dapat dilakukan di ruang

gawat darurat, ruang rawat atau di ICU. Tingkat oksigenasi yang

adekuat (PaO2>8,0 kPa, 60 mmHg atau SaO2>90%) mudah tercapai

pada pasien PPOK yang tidak ada komplikasi, tetapi retensi CO2 dapat

terjadi secara perlahan-lahan dengan perubahan gejala yang sedikit

sehingga perlu evaluasi ketat hiperkapnia. Gunakan sungkup dengan

kadar yang sudah ditentukan (ventury mask) 24%, 28% atau 32%.

Perhatikan apakah sungkup rebreathing atau non-rebreathing,

tergantung kadar PaCO2 dan PaO2. Bila terapi oksigen tidak dapat

mencapai kondisi oksigenasi adekuat, harus digunakan ventilasi mekanik

(PDPI, 2003).

24
2.7.5. Ventilasi Mekanik

Tujuan utama penggunaan ventilasi mekanik pada PPOK

eksaserbasi berat adalah mengurangi mortalitas dan morbiditas, serta

memperbaiki gejala. Ventilasi mekanik terdiri dari ventilasi intermiten

non invasif (NIV), baik yang menggunakan tekanan negatif ataupun

positif (NIPPV), dan ventilasi mekanik invasif dengan oro-tracheal tube

atau trakeostomi. Dahulukan penggunaan NIPPV, bila gagal dipikirkan

penggunaan ventilasi mekanik dengan intubasi. Penggunaan NIV telah

dipelajari dalam beberapa Randomized Controlled Trials pada kasus

gagal napas akut, yang secara konsisten menunjukkan hasil positif

dengan angka keberhasilan 80-85%. Hasil ini menunjukkan bukti bahwa

NIV memperbaiki asidosis respiratorik, menurunkan frekuensi

pernapasan, derajat keparahan sesak, dan lamanya rawat inap (GOLD,

2009).

2.8. Pemeriksaan Penunjang

a. Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP)

Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau

VEP1/KVP (%). VEP1 merupakan parameter yang paling umum

dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan

penyakit. Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin

dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai

alternatif dengan memantau variabilitas harian pagi dan sore, tidak

25
lebih dari 20%.

b. Radiologi (foto toraks)

Hasil pemeriksaan radiologis dapat ditemukan kelainan paru

berupa hiperinflasi atau hiperlusen, diafragma mendatar, corakan

bronkovaskuler meningkat, jantung pendulum, dan ruang

retrosternal melebar. Meskipun kadang-kadang hasil pemeriksaan

radiologis masih normal pada PPOK ringan tetapi pemeriksaan

radiologis ini berfungsi juga untuk menyingkirkan diagnosis penyakit

paru lainnya atau menyingkirkan diagnosis banding dari keluhan

pasien (GOLD, 2009).

c. Laboratorium darah rutin

d. Analisa gas darah

e. Mikrobiologi sputum (PDPI, 2003)

2.9. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah gagal napas

kronik, gagal napas akut pada gagal napas kronik, infeksi berulang,

dan kor pulmonale. Gagal napas kronik ditunjukkan oleh hasil analisis

gas darah berupa PaO2<60 mmHg dan PaCO2>50 mmHg, serta pH

dapat normal. Gagal napas akut pada gagal napas kronik ditandai oleh

sesak napas dengan atau tanpa sianosis, volume sputum bertambah

dan purulen, demam, dan kesadaran menurun. Pada pasien PPOK

26
produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni kuman,

hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Selain itu, pada kondisi

kronik ini imunitas tubuh menjadi lebih rendah, ditandai dengan

menurunnya kadar limfosit darah. Adanya kor pulmonale ditandai oleh P

pulmonal pada EKG, hematokrit>50 %, dan dapat disertai gagal jantung

kanan (PDPI, 2003).

27
Daftar Pustaka
1. Tim Pokja PPOK. Definisi. Dalam: PPOK pedoman praktis diagnosis

dan penatalaksaan di Indonesia. Jakarta:PDPI; 2004.p.1-2

2. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease: Pathogenesis,

pathology and pathophysiology. In: Global strategy for diagnosis,

management and prevention of chronic obstructive lung disease.

NHLBI Publication; Updated 2011.p.27-39

3. American Thoracic Society dan European Respiratory Society, 2004.

Standards for the Diagnosis and Management of Patients with COPD.

Available from http://www.copd-ats-ers.org/copddoc.pdf

4. Depkes Ri, 2008. Keputusan Menteri Kesehatan, Pedoman

Pengendalian Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK). Available from

http://www.depkes.go.id/downloads/Kepmenkes/pengendalian_ppok.p

df

5. Lopez, AD. Murray CC. The global burden of disease 1990-2020. Nat

Med 1998; 4: 1241-3

6. World heart organization, 2011. Chronic obstructive pulmonary

disease (COPD) fact sheet. Available from

http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs315/en/

7. Viegi G, Pistelli F, Sherrill DL et al Definition, epidemiology and natural

history of COPD. Series Comprehensive management of End-Stage

COPD Edited by N. Ambrosino and R. Golstein Numberr 1 in this

Series. Eur Respir J 2007;30:993-1013

28
8. Wan ES, Silverman EK, Genetics of COPD and Emphysema. Chest

2009;136:859-866

9. Anderson GP, Buzonovski S. Acquired somatic mutations in the

molecular pathogenesis of COPD. Trends Pharmacol Sei 2003; 24:71-

76

10. MacNee W. Pathogenesis of Chronic Obstructive Pulmonary Disease.

Proc Am Thorac Soc 2005; 2: 258-266

11. Wistuba II, Lam S, Behrens C, et al. Molecular damage in the

bronchial epithelium of current and former smokers. J Natl Cancer Inst

1997; 89:1366-1373

12. Agustin, H, dan Yunus, F, 2008. Proses metabolisme Pada Penyakit

Paru Obstruksi Kronik (PPOK). Dalam: Jurnal Respirologi Indonesia,

2008. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 155-161.

13. Agusti AGN, Noguera A, Sauleda J, Sala E, Pons J, Busquets X.

systemic effect of chronic obstrucive pulmonary disease. Eur Respir J

2003: 21:347-60

14. Shapiro S, 2003. The pathophysiology of copd: what goes wrong and

why. Adv Stud Med 3(2B):591-598.

15. Chang Cl, Marra G, Chauhan DP, et al. Oxidative stress inactivates

the human DNA mismatch repair system. Am J Physiol Cell Physiol

2002;283: C148-C154

16. Wedzicha JA, Seemungal TA, MacCallum PK, et al. Acute

exacerbations of chronic obstructive pulmonary disease are

29
accompanied by elevations of plasma fibrinogen and serum IL-6 levels

(In process Citation). Thromb Haemost 2000;84:210-215

17. Vermaelen K, Paules R. Pulmonary dendritic cells. Am J Respir Crit

Care Med 2005; 172:530-551.

18. Tetley TD. 2002. Macrophages and the Pathogenesis of COPD. Chest

121:5

19. Safwat T, Saeed A, Dina AF,2 Weaan AMI. The Phagocytic Activity of

Peripheral Blood Macrophages in COPD Patients. Egypt J Bronchol

2008;2(2):243-252

20. Vestbo J, Lange P. GOLD provide information of prognostic value in

chronic obstructive pulmonary disease. AM J Respir Crit Care Med

2002;166:329-32

21. Pesci A, Balbi B, Majori M, et al. Inflammatory cells and mediators in

bronchial lavage of patients with chronic obstructive pulmonary

disease. Eur Respir J 1998; 12:380-6

22. Lim S, Roche N, Oliver BG, Mattos W, Barnes PJ, Chung KF. Balance

of matrix metaloprotease-9 and tissue inhibitor of metaloprotease-1

from alveolar macrophages in cigarette smokers: regulation by

interleukin-10. AM J Respir Crit Care Med 2000;162:1355-1360.

23. MacNee. Oxidants/Antioxidants and COPD. Chest 2000;117:3035-

3175

30
24. Bonniaud, P.,Kolb, M.,Galt, T.,et al. Smad3 null mice develop airspace

enlargement and are resistant to TGF-beta-mediated pulmonary

fibrosis.J.Immunol. 2004;173:2099-2108

25. Barnes PJ. Mediators of Chronic Obstructive Pulmonary Disease,

Pharmacol Rev 2004;56:515-548

26. Jeeffrey PK. Structural and Inflammatory changes in COPD: a

comparison with asthma. Thorax 1998;53:129-136

27. Brashier BB, KOdgule R. Risk Factors and Pathophysiology of Chronic

Obstructive Pulmonary Disease (COPD). JAPI 2012;60:17-21

28. Boer WI, Alaagappan VKT, Sharma HS. Moleccular Meechanisms in

Chronic Obstructive Pulmonary Disease Potential Targets for Therapy.

Cell Biochemistry and Biophysics 2007;47:131-148

29. Van Stipdonk MJ. Hardenberg G, Bijker MS, et al. Dynamic

programming of CD8+ T lymphocyte responses. Nat Immunol

2003;4:361-365

30. Majo J, Ghezzo H, Cosio MG. Lymphocyte population and apoptosis

in the lungs of smokers and their relation to emphysema. Eur Respir J

2001;17:946-953

31. Stebbins KJ, Evans JF and Lorrain DS. DP2 Receptor Antagonis:

Novel Therapeutic Target for COPD. Mol Cell Pharmacol

2010;2(3):89-96

32. Lim S, Roche N, Oliver BG, Mattos W, Barnes PJ, Fan CK. Balnce of

matrix metaloprotease-9 and tissue inhibitor of metaloprotease-1 from

31
alveolar macropages in cigarette smokers. Regulation by interleukin-

10. AM J Respir Crit Care Med 2000;162:1355-60

33. Roisin R, MacNee W. Pathophysiology of chronic obstructive

pulmonary disease. Eur Respir Mono 1998;107-26

34. Fooladi AAI, YazdaniS, Nourani MR. Lung and Systemic Inflammation

in COPD. Intl Jourrnal C 2007;2(4);452-462

32
BAB III

LAPORAN KASUS

1. IDENTITAS

Nama : Tn. MS Pendidikan Terakhir : SMA

Umur : 45 tahun Agama : Islam

Gender: Laki-laki Tgl. Pemeriksaan : 17-02-2014

Pekerjaan: Swasta Ruangan : Pipit

2. ANAMNESIS

Keluhan Utama : Sesak napas

Riwayat Penyakit Sekarang : sesak nafas dirasakan sejak satu

bulan yang lalu, dan semakin memberat sebelum dirumah sakit

kurang lebih satu minggu lalu. Sesak hilang timbul timbul dan

waktunya tidak menentu dan memberat kalau pasien duduk atau

berjalan, sesak dapat berkurang dengan posisi baring. Awalnya

pasien merasa batuk berlendir. Pusing (-) sakit kepala (-), mual (-),

muntah (-), sakit ulu hati (+), sakit tenggorokan (+) dan susah menelan

(+) sejak 1 bulan yang lalu, BAB dan BAK lancar.

Riwayat Penyakit Terdahulu : Pasien tidak pernah memiliki keluhan

yang sama sebelumnya.

Riwayat kebiasaan : pasien sering merokok sebelumnya, dua

bungkus dalam sehari-semalam

Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak diketahui

33
3. PEMERIKSAAN FISIS

Keadaan Umum :

SP : CM/ sakit sedang/ kurus BB = 40 kg, TB = 160 cm, IMT = 15,6

Vital Sign :

Tekanan darah : 100/70 Pernapasan : 26x/menit

Nadi : 90x/menit Suhu : 36, C

Kepala

Wajah : Tampak lemas

Deformitas : (-)

Bentuk : normochepali

Rambut : hitam, rontok (-)

Mata : - Konjungtiva : anemis (+/+)

- Sklera : Ikterus (-/-)

- Pupil : Isokor 2,5 mm/isokor 2,5 mm

Mulut : ulkus (-), lidah kotor (-)

Leher

Kelenjar GB : limfadenopati (-)

Tiroid : tidak ada pembesaran, mengikuti gerakan menelan

JVP : R1 +1 H2O

Massa lain : (-)

Paru-paru

Inspeksi : simetris kiri dan kanan, sela iga melebar, massa (-),

cicatrix (-), spider nevi (-)

34
Palpasi : nyeri tekan (-), krepitasi (-), vokal premitus kesan

normal kiri dan kanan

Perkusi : bunyi sonor pada seluruh lapangan paru

Auskultasi: bunyi pernapasan vesikuler. bunyi tambahan

wheezing -/-, ronki -/+ pada apeks paru kiri atas

Jantung

Inspeksi : ictus cordis tidak nampak

Palpasi : ictus cordis teraba di ICS V, midclavicula sinistra

Perkusi :

Batas atas ICS II linea sternalis sinistra

Batas kanan ICS V linea sternalis dextra

Batas kiri ICS V linea midclavicularis

Auskultasi :

BJ 1 dan BJ 2 reguler

Bunyi tambahan : gallop (-), murmur (-)

Perut

Inspeksi : warna kulit kesan normal, bentuk cekung (+)

Auskultasi : bising usus (+) kesan normal

Perkusi : bunyi timpani

Palpasi : nyeri tekan kuadran kanan atas

Anggota Gerak

Atas : edema (-), tophus (-)

35
Bawah : edema (-), tophus (-)

4. RESUME

Laki-laki 45 tahun masuk dengan sesak napas, batuk berlendir, sakit

ulu hati, sakit tenggorokan dan susah menelan sejak satu bulan yang lalu.

Pasien kurus, TD=100/70, N=90x/menit, P26x/menit, S=36.C. Anemis,

rhonki positif pada ICS 2 kiri, dan nyeri tekan kuadran kanan atas.

5. DIGNOSIS KERJA : Suspek PPOK

6. DIAGNOSIS BANDING :

Bronkitis kronik

Emfisema pulmonum

Asma

Tuberculosis paru

7. PENATALAKSANAAN

Non Medikamentosa :

Tirah baring

Berikan oksigen: 3-4 liter

Makan makanan bergizi

Medikamentosa :

IVFD RL 20 tpm

Curcuma 3x1

36
Inj Ranitidin/8jam/IV

Nebulizer: combivent

GG 3x1

Salbutamol 3x1

8. HASIL LABORATORIUM

PEMERIKSAAN Hasil NILAI RUJUKAN

DARAH RUTIN 17 Februari 2014

WBC 10.6 x 103/mm3 4-10 x 103/mm3

RBC 5.60 x 106/mm3 3.80-5.80 x 106/mm3

HGB 12.2 g/dL 11.5-16 g/dL

HCT 36.1 % 37-47 %

PLT 256 x 103/mm3 150-500 x 103/mm3

9. Follow up

TANGGAL/JAM PERJALANAN INSTRUKSI DOKTER

PENYAKIT

Hari 1 S: Tidur masih O2 3-4 ltr

18/2/2014 terganggu, sesak, batuk IVFD RL 20 tpm

TD= 110/80 mmHg (-), sakit ulu hati (+) BAB Nebulizer: combivent

N= 86x/menit dan BAK lancar Ranitidin 1A/8jam

P= 24 O:anemis (+), Vesikuler,

37
S= 36C Rh (+), Wh (-). Lab : SGOT, SGPT,

A: suspect PPOK GDS

Hari 2 S: sesak napas, sakit ulu O2 3-4 ltr

19/2/2014 hati, BAB dan BAK IVFD RL 20 tpm

TD= 100/70 mmHg lancar Curcuma 3x1

N= 100x/menit O: anemis (-), ikterus, Nebulizer:combivent

P= 24 Vesikuler, Rh (-), Wh (-). Ranitidin 1A/8jam

S= 36C A: suspect PPOK GG 3x1

Hasil Lab SGOT:73,

SGPT:48, GDS: 88

Hari 3 S: sesak napas, sakit ulu O2 2-3 ltr

20/2/2014 hati, BAB dan BAK IVFD RL 20 tpm

TD= 100/70 mmHg lancar Curcuma 3x1

N= 76x/menit O: anemis (-), Vesikuler, Nebulizer

P= 24 Rh (-), Wh (-). Ranitidin 1A/8jam

S= 36C A: PPOK GG 3x1

Salbutamol 3x1

Hari 4 S: kurang tidur, sesak IVFD RL 20 tpm

21/2/2014 napas, sakit ulu hati Curcuma 3x1

TD= 120/80 mmHg O: anemis (-), Vesikuler, Nebulizer

N= 960x/menit Rh (-), Wh (-). Ranitidin 1A/8jam

P= 32 A: PPOK O2 2-3 ltr

S= 36,5C

38
BAB IV

DISKUSI

Pasien seorang laki-laki 45 tahun masuk dengan keluhan sesak

napas sejak 1 bulan yang lalu. Sesak dirasakan sepanjang hari dan

semakin memberat ketika pasien melakukan aktifitas dan sedikit membaik

ketika pasien beristirahat. Keluhan sesak seperti ini sudah dirasakan

seama 1 bulan namun sesak yang dirasakan tidak separah saat pasien

masuk ke rumah sakit saat ini. Keluhan sesak berkurang jika pasien

berada di posisi baring. Pasien juga mengeluhkan batuk berlendir, sakit

ulu hati, sakit tenggorokan dan susah menelan sejak satu bulan yang lalu.

Pada kasus didapatkan gejala batuk sejak 1 bulan SMRS, dahak (+),

dari anamnese juga pasien mengkonsumsi rokok 2 bungkus sehari-

semalam. Pada pemeriksaan fisik bunyi pernapasan vesikuler menurun

serta bunyi tambahan berupa ronkhi. Dari anamnese dan pemeriksaan

fisis ada 2 kemungkinan yaitu TB paru dan PPOK. Namun untuk

menegakkan diagnosa PPOK perlu dilakukan tes faal paru (spirometri)

selain itu juga dilakukan pemeriksaan sputum BTA 3x untuk

menyingkirkan diagnosa TB.

Adapun pemeriksaan darah rutin, SGOT, SGPT, dan GDS adalah

untuk memeriksa adanya kelainan lain. Penyakit paru obstruksi adalah

penyakit atau gangguan paru yang memberikan kelainan ventilasi berupa

gangguan obstruksi saluran napas. Penyakit dengan kelainan tersebut

39
antara lain adalah asma bronkial, penyakit paru obtruksi kronik (PPOK)

dan sindrom obstruksi pasca TB (SOPT). Meskipun semuanya

memberikan kelainan berupa obstruksi saluran napas, tetapi mekanisme

terjadinya kelainan itu berbeda pada masing-masing penyakit.

Pada terapi diberikan O2 2-4 L/menit hal ini bertujuan untuk perbaikan

psikis, koordinasi otot, tleransi beban kerja dan pola tidur karena

hipoksemi dapat mencetuskan dekompesatio kordis pada penderita PPOK

terutama saat adanya infeksi saluran napas.

Selanjutnya diberikan Nebulizer Combivent yang berisi Ipatropium

bromida dan Salbutamol sulfat yang berujuan sebagai bronkodilator utama

pada PPOK, karena pada PPOK obstruksi saluran napas yang terjadi

lebih dominan disebkan oleh komponen vagal. GG juga diberikan untuk

mengobati gejala batuk disertai lendir.

40
BAB V

KESIMPULAN

Dari kasus yang di dapatkan, yaitu pada Tn. MS 45 tahun. Gejala

klinis yang ada pada pasien dapat mengarah ke suatu PPOK. Pada

pasien tersebut, adanya riwayat konsumsi rokok 2 bungkus sehari-

semalam, kemungkinan pasien tersebut penderita PPOK dengan etiologi

rokok.

Pilihan terapi yang digunakan pada ruang perawatan adalah terapi

simptomatik, yaitu dengan tujuan mengurangi gejala-gejala yang ada pada

pasien.

41

Anda mungkin juga menyukai